8 minute read

8 Perjumpaan-Perjumpaan Kolaboratif, 1889–1892

Next Article
Catatan

Catatan

DELAPAN

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF

Advertisement

1889 – 1892

Sudah dinyatakan bahwa dalam proses penciptaan kategori Agama-Agama Dunia, dan penyertaan Buddhisme dalam kerangka tersebut, arsip tekstual Eropa mulai menggantikan representasi diri pribumi, meninggalkan lapangan untuk para misionaris.1 Namun, meski rangkaian peristiwa yang sama bisa diikuti di bidang Islamologi Hindia Belanda, ini hanya berlaku hingga 1889 karena pada tahun itulah pengkritik paling energik para Orientalis dan pendeta mendarat di Jawa, siap untuk mengulangi perannya sebagai ‘Abd al-Ghafar.

ANTARA MANUSKRIP, TEKS CETAK, DAN GURU SUFI

Berada di sana selama beberapa hari, menjadi jelas bagi saya apakah akan dibiarkan dengan damai sebagai seorang muslim Eropa yang mengenakan fez, atau akan [diusik] tanpa belas kasih karena sebuah topi.2 (Snouck kepada van der Chijs, Desember 1888)

Ketika Snouck tiba di Batavia pada 11 Mei 1889, dia pastinya memegang dua topi. Di satu sisi, kunjungannya ke Mekah menandainya sebagai seorang Orientalis yang sangat berhasil bagi rekan-rekan sejawatnya. Di sisi lain, bagi rakyatnya pada masa depan dia adalah seorang muslim yang berpengetahuan mendalam. Beberapa darinya bahkan bersedia menyebut Snouck sebagai haji atau mufti (padahal dia bukan keduanya). Hal ini cukup menjelaskan antusiasme sebagaimana diungkapkan dalam Bintang Barat pada akhir Mei ketika seorang koresponden menggambarkan betapa kedatangan seorang “Mr. Dr. C. Snouck Hurgronje alias Moefti Hadji Abdoel Gafar, seorang yang sangat terpelajar dalam bahasa Arab dan agama” telah menimbulkan sedikit kehebohan, dengan beberapa orang bertanya-tanya apakah dia juga akan pergi ke Solo di Jawa Tengah, untuk memeriksa praktik Islam di kalangan orang-orang Tionghoa.3

Snouck memang pergi ke Solo sebagai bagian tur studi ulang-alik antara Batavia, Priangan, dan Ponorogo sejak pertengahan Juli 1889 hingga awal Februari 1891. Pada akhir tahap ini dalam kariernya dia akan menolak peluang untuk kembali menduduki kursi guru besar di Leiden dan memulai negosiasi untuk jabatan seumur hidup sebagai “Penasihat untuk Urusan Pribumi dan Arab”. Ini mestinya tidak mengejutkan. Snouck sudah lama menyukai pekerjaan yang memberinya kesempatan untuk menyampaikan “pengetahuan berguna” apa pun yang bisa dihasilkan untuk negara. Sebagaimana yang dia beri tahukan kepada teman teolognya Herman Bavinck (1854–1921) pada Juli 1890, “pengetahuan tentang situasi kawasan Mohammedan di sini, tentang semangat dan pengaruh pendidikan Mohammedan, tentang cakupan apa yang disebut masyarakat mistis, dsb. dsb. sama pentingnya bagi pemerintah dan legislasi, seperti roti yang kita makan sehari-hari”.4

Meskipun tidak secara khusus tertarik kepada Tionghoa muslim sebagai kategori observasi tersendiri, Snouck sangat metodis dalam caranya memulai melihat bagaimana Islam dipraktikkan dalam kehidupan seharihari. Sebagian sekadar merupakan kebiasaannya dalam bekerja, sebagian yang lain disebabkan sifat tugasnya, yakni untuk menilai berbagai cara pengaturan Islam sehingga negara bisa meresmikan sebuah gereja “Mohammedan” dan mengoordinasikan pengumpulan dan alokasi dananya.

Sangat berbeda dari usahanya di Mekah, yang jauh dari kenyamanan dan perlindungan kekuasaan Eropa, Snouck mampu memenuhi sekitar dua lusin buku catatan dengan hasil pengamatan karena bekerja dalam lingkungan yang sering kali sangat mewah.5 Selain ini, dia mampu mendapatkan berbagai manuskrip dan menggunakan jasa para penyalin, berbeda dari para pendahulu seperti Grashuis, yang kadang harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan karya-karya tertentu.6 Seperti yang bisa diduga, sebagian besar catatan Snouck menempatkan berbagai ulama yang turut serta dalam dewandewan keagamaan yang baru, memetakan bagaimana mereka terhubung dengan hierarki kolonial, terhubung satu sama lain melalui perkawinan, dan terhubung dengan jejaring pengajaran yang silang-menyilang di Jawa dan dunia muslim yang lebih luas. Tersebar di halaman-halaman buku catatannya, cuplikan teks-teks lain: berbagai laporan para informan yang terdidik, fatwa yang tertulis pada taplak, dan salinan berbagai legenda pra-Islam pada pelat tembaga.

Untuk tujuan kita, pengamatan dikonsentrasikan pada jejaring pengetahuan dan khususnya tarekat. Ini adalah instruksi utama Snouck. Empat minggu setelah kedatangannya, Snouck mengirimkan laporan kepada Gubernur Jenderal. Dia kembali menyatakan bahwa para syekh “ordo mistis kelas bawah”, yang ditentang para guru yang dihormati seperti Junayd, Mujtaba Batavia, dan Sayyid ‘Utsman, memiliki potensi menjadi lawan

terbesar pemerintah kolonial. Lebih jauh, Snouck mengejek pernyataan bahwa Nawawi “yang ortodoks” akan menyetujui “pertunjukan” seperti yang terjadi di Cilegon. Nawawi mengutuk jenis “mistikus kasar” semacam itu melalui sebuah fatwa, yang menurut seorang pejabat junior di Serang membuatnya mendapatkan ancaman pembunuhan.7

Demikianlah, Snouck berangkat mencari para musuh yang kasar bagi ortodoksi Islam ataupun keamanan kolonial. Ini perjalanan yang tidak terburu-buru. Di Sukabumi, pada pertengahan Juli, dia tinggal bersama menantu mantan penghulu. Orang ini menyertai Snouck berkeliling ke sekolah-sekolah setempat dan mendapati para guru menggunakan Sullam al-tawfq sebagaimana dikomentari oleh Nawawi, serta sebuah cetakan baru buku pengantar al-Sanusi. Snouck mencatat para guru tidak bisa melakukan aktivitas tanpa izin dari ulama yang diawasi Belanda dan setiap buku baru harus diperiksa sebelum digunakan. Selain itu, Snouck mengamati bahwa semua teks berbahasa Arab, tetapi penjelasan disampaikan dalam bahasa Sunda. Di sini pula dia mencatatkan sesuatu mengenai pencariannya terhadap sebuah buku misterius, Martabat tujuh, yang disebarkan oleh seorang guru Batavia bernama Wirta atau Merta. Tak seorang pun yang dia temui di Priangan pernah mendengar tentang buku tersebut, atau pernah bertemu pengarangnya, yang konon muncul di Ibu Kota tepat setelah para pelayan rumah tangga menerima gaji.8

Catatan-catatan ini berguna bagi Snouck untuk berbagai pernyataannya mengenai Islam di Hindia. Catatan yang sama juga berguna bagi pihak-pihak lain karena merupakan produk sebuah keterlibatan dengan para informan yang siap mendapatkan keuntungan dengan si orang Belanda muda. Yang paling penting di antara mereka adalah Hasan Mustafa, yang diklaim pernah Snouck jumpai di Kota Suci. Hasan Mustafa muncul di halaman dua. Snouck, yang pergi ke Garut bersama Holle, mencatat bahwa Hasan Mustafa adalah murid Muhammad Garut (disusul Nawawi Banten, Muhammad Hasab Allah, Mustafa ‘Aff, dan ‘Abdallah al-Zawawi) di Mekah. Hasan Mustafa kembali ke rumah ketika ayahnya tidak mampu lagi membiayainya. Karena sudah menjalin hubungan dengan Penghulu Kepala, dia diberi sebuah sekolah dan tempat tinggal dekat masjid kota yang posisinya tidak pas.9

Catatan sepintas lalu semacam itu mengarahkan pada kenyataan bahwa mereka tidak pernah bertemu sebelum titik ini. Korespondensi Hasan Mustafa sulit dipahami pada titik ini, dan Snouck sendiri tidak pernah memberikan perincian tentang pertemuan mereka di Mekah.10 Walaupun perjumpaan mereka di Mekah hanya sekilas, tak diragukan lagi mereka ditakdirkan untuk bertemu karena Hasan Mustafa adalah anak didik Holle serta ‘Abdallah alZawawi. Masa depan mereka di Hindia saling berkelindan karena Hasan Mustafa menjadi informan Snouck, dengan bayaran f50 per bulan. Sejak

saat inilah metode kerja Snouck menjadi jelas bagi para pembaca catatancatatannya. Dia mendokumentasikan kunjungan-kunjungannya ke berbagai masjid dan pondok setempat, mencatatkan judul-judul yang diajarkan, nama para guru, dan tarekat yang diklaim mereka wakili.

Pada beberapa kasus, Snouck bahkan tidak perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Hasan Mustafa, misalnya, sudah menyusun sebuah daftar karya-karya berbahasa Arab yang digunakan di Priangan untuk pemerintah pada November 1889, dengan memilah antara buku-buku yang dianggap “lama” (barangkali dalam arti “klasik”) dan kitab yang lebih baru semisal karya Nawawi dan risalahnya yang merupakan versi syair dari kitab terkenal Waraqat (Lembaran-Lembaran) karya al-Juwayni (w. 1085). Mengingatkan pada kata-kata pejabat yang telah melaporkan bukubuku yang digunakan di Kendal pada 1886, Hasan Mustafa menggambarkan karya-karya mengenai Sufsme sebagai ditujukan untuk “melestarikan berbagai tindakan baik tubuh dan hati” pembaca.11

Lama dan baru adalah tema yang dominan dalam karya Snouck. Dalam berbagai wawancara dia kerap memulainya dengan pertanyaan tentang pengaturan waktu dan ritual-ritual penting, lalu berlanjut pada pertanyaan mengenai sifat pengajaran di pesantren-pesantren sekitar, dan akhirnya— tetapi tidak selalu—tentang tarekat yang diajarkan. Juga jelas bahwa, sepanjang proses ini, para syekh dengan senang hati memberikan berbagai materi berkat hubungan Snouck dengan komunitas Mekah dan keimanan yang masih ditampakkannya. Banyak di antara materi ini adalah teks-teks Syattari. Kesediaan para syekh memberikan materi-materi itu merefeksikan menurunnya popularitas tarekat Syattari akibat invasi Naqsyabandi. Meski tampaknya hanya ada sedikit keengganan untuk menyingkirkan manuskripmanuskrip Syattari di beberapa kota, para penganut Syattari tetap kukuh di banyak bagian Jawa.

Setidaknya, Snouck masih bisa menemukan para guru yang menyandang nama tersebut, termasuk Imam Prabu dan Adi Kusuma (Raden Muhammad Nur Allah Habib al-Din, w. 1903). Namun, meski kedua guru ini, yang berbasis di Cirebon, mengklaim nama Syattari, Imam Prabu menekankan bahwa hanya sedikit orang-orang sejenis mereka yang benar-benar melangkah lebih jauh daripada menjelaskan dzikr. 12 Adi Kusuma, yang mengklaim keturunan Sunan Gunung Jati, dan lebih menyukai pakaian pejabat Jawa ketimbang pakaian kiai, tampaknya hanya menawarkan sedikit sekali kepada pengikutnya. Meski tidak pernah mempelajari Al-Quran, dia membimbing banyak murid melalui apa yang disebutnya ajaran Syattari; meskipun bukan dalam dzikr itu sendiri. Dia memiliki salinan Tanbih al-mashi (Arahan bagi yang Cakap) karya al-Sinkili, tetapi silsilahnya tidak memiliki kesamaan dengan garis silsilah ‘Abd al-Ra’uf dan Muhyi al-Din Karang. Adi Kusuma

juga malu-malu dalam kaitannya dengan kemampuannya sendiri, mengakui bahwa manuskripnya yang berharga lebih mirip “pusaka” sakti ketimbang panduan yang berguna. Tampaknya Snouck sepakat karena dia kembali ke halaman tentang Cirebon dan mencatat bahwa kota itu dan Pekalongan mempertahankan pengajaran “prinsip-prinsip ilmu pengetahuan lama”.13

Mengenali bahwa saat itu adalah masa transisi, Snouck belakangan mengingat betapa dia berhasil mendapatkan banyak buku panduan dari kulit kayu yang dimiliki ayah dan kakek para guru “ortodoks” yang sesekali merasa malu. Salah satu kasus demikian terjadi di Cikalong pada Agustus 1889 ketika Kiai Sahwi memberinya lembaran-lembaran buku panduan kakeknya yang berisi silsilah Syattari ‘Abd al-Muhyi. Selain silsilah tersebut, semua teksnya (‘Awamil, Ajurrumiyya, Sittin, Samarqandi, Miftah, dan Mufd) adalah karyakarya yang tetap disukai. Barangkali keadaan manuskrip yang menyedihkan membuat Kiai Sahwi bersedia menyerahkan pusakanya. Karena, ada banyak karya cetakan baru untuk dimiliki dan murah harganya.14

Akan tetapi, pada umumnya murid-murid dari segala tradisi menuju sekolah-sekolah terkenal di pesisir utara, seperti sekolah milik Salih Darat dari Semarang, yang peraturannya diberikan kepada Snouck. Rujukan-rujukan tersebut kalah pamor jika dibandingkan Surabaya sebagai tujuan keilmuan. Ke mana pun Snouck pergi di Jawa Barat—dia menghabiskan lebih banyak waktu di sana ketimbang di tempat lain setelah menikahi putri Penghulu Kepala Ciamis—semakin jelas bahwa sebagian besar jalan mengarah ke Surabaya. Tampaknya sebagian murid akan pulang dengan puas karena dikenal sebagai santri Surabaya. Lagi pula, kota itu sudah semakna dengan ‘Ubayda karena seluruh generasi Kiai Garut belajar di bawah bimbingannya di Sidosremo. Namun, Snouck tidak tahu banyak tentang ‘Ubayda selain bahwa orang ini terkenal sebagai keturunan Sunan Ampel, yang kemudian digantikan seseorang bernama Zubayr setelah kematiannya, barangkali sekitar 1874. Van den Berg menegaskan bahwa lembaga itu diwariskan ke tangan ‘Abd al-Qahhar yang memimpinnya sampai kebakaran melalap bangunan yang sudah reyot pada 1885.15

Menjadi jelas bagi Snouck bahwa pesantren-pesantren seperti Sidosremo, bagi sebagian orang, adalah tempat antara untuk menuju Mekah, tempat mereka akan menghabiskan waktu rata-rata enam tahun dan setelah itu dilanjutkan dengan mempelajari tata bahasa di Madura. Juga menjadi lebih jelas bahwa berbagai edisi cetak yang baru adalah hal penting bagi orangorang Jawa. Edisi cetak itu mendorong penggunaan karya-karya berbahasa Arab tingkat lanjut ketimbang buku-buku pengantar berbahasa Melayu yang lebih disukai orang-orang Syattari. Namun, bahasa Melayu tetap penting di Jawa Barat dan sebagian sekolah di pesisir utara. Mendiang ‘Abd al-Ghani dari Cikohkol, yang mengklaim keturunan ‘Abd al-Muhyi Pamijahan, konon

This article is from: