12 minute read
5 Rezim-Rezim Baru Pengetahuan, 1800–1865
by wiwit123
LIMA
REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN
Advertisement
1800 – 1865
Universitas Leiden patut dikenal karena simpanan manuskrip-manuskrip Islam-nya. Namun, koleksi Indonesia-nya memiliki sejarah yang ganjil, agak mirip sejarah usaha tropis Belanda secara umum. Seorang sejarawan Belanda terkemuka menegaskan bahwa upaya-upaya untuk memberikan pengetahuan yang berguna mengenai berbagai bahasa dan kebudayaan lokal kepada para pejabat kolonial berlangsung tersendat-sendat dan baru benarbenar dimulai secara serius setelah kekuasaan peralihan Inggris pada 1811–16. Selama sebagian besar abad kesembilan belas, kecendekiawanan Belanda mengikuti jejak Inggris, didorong oleh kebutuhan untuk bersaing dengan satu-satunya kekuatan nyata yang menguasai gelombang yang mengempas dermaga-dermaga dari Rotterdam dan Batavia hingga London dan Kolkata.1
Meski demikian, Inggris tidak sampai ke Batavia tanpa perlawanan dan bisa dikatakan melanjutkan fondasi yang dibangun Belanda. Setelah kelahiran Republik Batavia di Belanda pada 1795, pembubaran VOC yang mengikutinya, dan kemudian penggabungan di bawah Bonaparte pada 1806, para gubernur ditugaskan ke Hindia dengan gagasan sangat berbeda yang disesuaikan untuk mempertahankan kemenangan mereka di Asia. Di bawah Marshall Herman Daendels (menjabat 1808–11), Jalan Raya Pos yang besar dibangun melintasi sisi sepanjang Jawa. Berbagai inventaris pun dibuat untuk menyiapkan penguasaan yang lebih langsung terhadap puluhan juta rakyat Asia karena para pendahulu korporat mereka hanya memiliki pemahaman paling samar mengenai jumlah orang yang mereka kuasai.2
Daendels juga memerintahkan agar dilakukan persiapan untuk menilai keadaan pendidikan Jawa dan memberikan sesuatu yang merupakan alternatif Eropa.3 Berbagai upaya seperti itu segera terhenti karena perangperang di Eropa, demikian pula di Samudra Hindia. Sebagai buntut dari banyaknya pertempuran, serangkaian petualang-imperialis yang lain mulai mempertaruhkan klaim mereka atas kepulauan Indonesia. Di antaranya
adalah Letnan Gubernur Jawa masa depan (menjabat 1811–1816), Tomas Stamford Rafes (1781–1826) dan Surveyor Jenderal India, Kolonel Colin Mackenzie (1753–1821). Keduanya berusaha mendapatkan teks apa pun sebisanya, kerap dengan menjarah perpustakaan istana-istana yang mengintai kesempatan untuk kembali merdeka.4 Sayangnya, sebagian dari koleksi Rafes musnah dilalap api di kapal Fame pada 1824. Sebagian besar materi lain, serta banyak koleksi Mackenzie, berhasil sampai di London pada saat yang bersamaan dengan pengapalan sisa-sisa koleksi Islam dari perpustakaan Palembang ke Batavia Belanda.5
Sebelum kedatangan Rafes, minat Inggris terhadap urusan-urusan di luar India “mereka” sudah berkembang, paling menonjol dalam diri pendukung Rafes, William Marsden (1754–1836), sang veteran Bencoolen (Bengkulu). Ketika dia menerbitkan History of Sumatra-nya pada 1783, Marsden mengungkapkan sedikit keterkejutan pada kurangnya minat terhadap sejarah yang ditunjukkan oleh Portugis dan para pesaing mereka dari Atlantik Utara. Karena belum pernah melihat prosiding Masyarakat Batavia, Marsden menyatakan bahwa keengganan Belanda untuk mencatat sejarah wilayah kekuasaan adalah akibat kegemaran mereka pada kerahasiaan perdagangan. Marsden melangkah hingga sejauh menghubungkan hal itu dengan “apa yang diyakini sebagai kecondongan watak bangsa [mereka] ... [dan] kecintaan mereka pada keuntungan, yang cenderung mengalihkan pikiran dari semua pencarian liberal”.6
Dibandingkan Rafes, yang tidak ragu-ragu untuk mempergunakan sekaligus menutup jalan bagi kontribusi para cendekiawan Belanda, Marsden memperbaiki pernyataannya yang berlebihan itu pada edisi-edisi berikut dari karyanya tersebut, dengan memberi penghormatan kepada Valentijn.7 Selain itu, dia mengenali berbagai kegagalan para pendahulu Inggris-nya di Bencoolen. Ketika mengumpulkan dan membandingkan sekelompok teks Islami yang sekarang berada di perpustakaan School of Oriental and African Studies di London, Marsden percaya bahwa Islam adalah pengaruh asing yang melenyapkan kebudayaan asli bangsa-bangsa di Nusantara. Dia tidak menyukai penggunaan istilah “Melayu” karena jubah seorang muslim didasarkan hanya pada sunat dan kemampuan untuk membaca tulisan Arab dan menyesalkan proses yang membuat orang-orang Minangkabau “kehilangan sebagian besar karakter Sumatra sejati mereka”.8 Lebih jauh dia menuding bahwa jati diri orang Aceh lebih lemah lagi karena telah mengadopsi cara-cara Arab dan aksara Arab secara begitu menyeluruh. Meskipun menyatakan bahasa Melayu bisa disombongkan sebagai “bahasa Italia dari Timur”, Marsden menyesalkan bahwa bahasa Arab berhasil melakukan “invasi sehari-hari” dalam bentuk AlQuran dan buku-buku lain di atas kertas yang memuat “dongeng-dongeng legenda” yang dianggapnya hanya memiliki sedikit kegunaan sebagai karangan.9
Rasa tidak suka terhadap dongeng-dongeng legenda membuat Marsden bersimpati, setidaknya hingga tingkat tertentu, kepada al-Falimbani, yang rekan-rekannya sangat mungkin telah dia jumpai. Namun, ada orang-orang lain dalam ekspedisi Jawa 1811 yang akan menerima persis karya-karya ini. Di antara mereka adalah John Leyden (1775–1811), seorang Skot yang terkenal menguasai bahasa-bahasa Oriental, termasuk Melayu, yang kali pertama dilihatnya pada 1802 ketika menyalin 69 judul karya Werndly. Setelah berkunjung ke Penang pada 1805 dan bersahabat dengan Rafes, Leyden mulai mengerjakan terjemahan Sulalat al-salatin, yang oleh Werndly disebut buku berbahasa Melayu “paling berharga”.10
Tak diragukan lagi, Leyden gatal ingin melakukan penjarahan literatur sendiri. Walaupun begitu, ekspedisi ke Jawa akan menjadi petualangan tersingkatnya karena Leyden terserang tifus begitu mendarat dan memeriksa sebuah perpustakaan setempat (barangkali perpustakaan Masyarakat Batavia). Tiadanya Orientalis kesukaannya, Rafes menjalin hubungan yang berguna dengan para pejabat penting Belanda dan mengawasi kebangkitan Masyarakat Batavia. Hindia menjadi sebuah wilayah untuk dijelajahi dan dieksploitasi meski atas nama kemajuan bagi para penduduk pribuminya. Jika slogan Masyarakat Batavia menegaskan bahwa usaha-usahanya adalah “untuk kebaikan bersama”, Rafes membuat klaim eksplisit bahwa kekuasaan Inggris dirancang untuk meningkatkan pribumi. Mengesampingkan ketulusannya, masa bulan madu berlangsung singkat bagi Rafes. Dia diperintahkan mengembalikan Jawa kepada Belanda pada 1818 dan pergi ke Bencoolen (Bengkulu). Di sana dia merencanakan penciptaan Singapura Inggris pada 1819 dan menyaksikan terjemahan Leyden atas Sulalat al-salatin dicetak sebagai Malay Annals. 11
KEBANGKITAN BELANDA
Ketika Belanda kembali berkuasa, mereka membuat sebuah upaya baru untuk mengumpulkan informasi mengenai pendidikan pribumi dengan niat untuk menggantinya dengan sesuatu yang mereka buat sendiri. Mengikuti instruksi yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal G.A.G.P. van der Capellen (menjabat 1816–26) pada Desember 1818, para pejabat setempat diminta agar pada Maret berikutnya menyelidiki: (1) pendidikan apa yang diberikan kepada pribumi Jawa, (2) siapa yang menyelenggarakannya, (3) di mana pendidikan berlangsung dan siapa yang membiayainya, dan (4) bagian populasi mana yang dipengaruhinya.12 Hanya selusin kepala administratif yang memenuhi instruksi, dan, bahkan dengan mengizinkan bias dan ketidakpahaman yang lazim, gambaran yang mereka lukiskan mengenai pesantren-pesantren sangatlah muram.13 Meski “para pendeta” dan guru mengajari murid—kadang
sejumlah besar murid—dengan pengetahuan pasif mengenai Al-Quran dan teknik-teknik terkait yang dibutuhkan untuk membaca, hanya sedikit lulusan yang dianggap melek huruf secara fungsional dalam bahasa Melayu, apalagi Arab atau Jawa. Bahkan, di pusat-pusat seperti Surabaya, diduga bahwa pendidikan agama hanya terbatas pada hafalan beberapa pasase dari Al-Quran dan dasar-dasar baca-tulis Arab.
Meski demikian, laporan-laporan tersebut memberikan beberapa perincian yang untuk kali pertama muncul dalam catatan Belanda. Sebuah laporan dari Rembang memberikan daftar teks-teks yang diajarkan di berbagai “langgar” dan “mesigit” oleh sekitar 32 pendeta. Meski mengikuti praktik Jawa dengan mendaftar buku berdasarkan topiknya, bukan berdasarkan judul resminya, daftar ini mengonfrmasi informasi dalam Serat Centhini mengenai asupan ilmiah waktu itu.14 Juga menjadi jelas bahwa keluarga-keluarga terkemuka lebih memilih mendidik putra-putra mereka di rumah di bawah bimbingan para kepala administrator dan juru tulis mereka. Kadang-kadang seorang murid yang menjanjikan dikirim keluar dari rumah, paling sering ke pelabuhan Surabaya dan Semarang, tempat penggunaan bahasa Melayu konon terbatas pada eselon atas, dan dilanjutkan ke sekolah-sekolah pedalaman yang lebih tinggi di Madiun, Ponorogo, dan Yogyakarta.
Tampaknya semua informasi yang dikumpulkan sia-sia karena tanggapannya sekadar diarsipkan dan tak ada tindakan lebih jauh. Nasib yang sama menimpa survei lain yang dilaksanakan pada 1831, yang pada dasarnya mengulangi pekerjaan 1819; meski kali ini empat belas administrator mengirimkan data yang mencakup sejumlah tempat pengajaran yang memusingkan.15 Lagi-lagi pendidikannya digambarkan sebagai buruk, hanya memberikan pengetahuan mengenai teks yang sepenuhnya pasif, meski beberapa tamatan benar-benar mampu melafalkan teks-teks tersebut dengan sangat baik. Diduga bahwa kalangan elite lebih suka mendidik putra-putra (dan putri-putri) mereka di dalam batas-batas lingkungan istana. Patut dicatat bahwa salah satu komisi pribumi yang mengirimkan laporan, melampirkan sejumlah usulan untuk pengenalan persekolahan bergaya Barat dan pengawasan seluruh guru dan sekolah, termasuk pesantren, di bawah sebuah lembaga yang dikepalai para pejabat muslim yang ditunjuk secara lokal.16
Yang benar-benar mengejutkan dalam laporan-laporan tersebut, setidaknya dalam bentuk ringkasannya, adalah bahwa tak ada penyebutan eksplisit apalagi kekhawatiran terhadap Mekah sebagai tujuan kecendekiawanan. Pesantren diasumsikan melayani mereka yang berminat dari anggota masyarakat di bawah tingkatan elite priayi yang semakin terbaratkan (dan meluas). Hanya ada sedikit petunjuk mengenai murid yang pergi lebih jauh dari rumah, ataupun mengenai jumlah uang yang beredar selain sebagai imbalan sukarela untuk membantu sang guru.17 Terlepas dari hal
ini, kita sekarang tahu bahwa semakin banyak orang mampu melaksanakan haji serta untuk belajar. Ini juga merupakan momen ketika lebih banyak guru, termasuk orang-orang Arab, mengadu nasib ke Kawasan Tapal Kuda untuk menawarkan kelas-kelas yang diselenggarakan dalam bahasa Melayu. Ini adalah perkembangan yang tak banyak diramalkan. Sultan Madura, misalnya, menganggap pendidikan dasar langgar sudah memadai untuk membangun pikiran rakyatnya kecuali yang “paling berangasan”.18
Dengan keuntungan pengetahuan kita tentang masa lalu, tampaknya ada perbedaan yang kian lebar antara persepsi orang Jawa dan Belanda mengenai posisi elite priayi vis-à-vis Islam. Perbedaan yang setara antara yang literer dan yang religius juga mewujud dalam berbagai Masyarakat Batavia. Barangkali menyadari Rafes telah menerbitkan Malay Annals karya Leyden, pada 1823 komite pengarah Belanda menawarkan hadiah untuk menerjemahkan karya yang sama ke dalam bahasa mereka sendiri. Tujuan mereka adalah mengakui nilainya sebagai sebuah sejarah dan gaya sastranya yang halus.19 Sumbangan apa pun yang mungkin diberikan untuk memahami Islam sama sekali tidak dipedulikan, sebagaimana berbagai perincian mengenai Islam masih diabaikan dalam analisis-analisis kebijakan yang dibawa kembali di bawah bendera Belanda. Dalam sebuah laporan panjang mengenai Palembang, Komisioner J.I. van Sevenhoven bisa jadi sudah mendokumentasikan dengan baik tingkatan-tingkatan ulama dan para guru di sana. Namun, dia menyimpulkan bahwa istana yang telah mengangkat mereka tidaklah benar-benar religius. Sevenhoven bahkan menyatakan bahwa istana tidak disukai oleh populasi Arab setempat, yang terisolasi di tengah-tengah penduduk yang secara umum percaya takhayul dan durhaka.20
Tak terlalu jauh dari sana, di Bencoolen, seorang mantan Residen Jawa Tengah, Letkol H.G. Nahuijs, berembuk dengan Rafes dan menyuarakan visi bersama mereka mengenai masa depan orang-orang kafr Jawa:
Agar tidak membuat dunia tersinggung, kita tidak sekali pun boleh mendiskusikan soal-soal yang bertentangan dengan berbagai prasangka atau keyakinan agama orang-orang yang lebih tua atau yang akan berbenturan dengan agama Mohammedan. Ini sama sekali bukan menghalangi pembinaan kaum muda melalui kisah-kisah moral terpilih untuk memupuk rasa bertanggung jawab serta rasa hormat dan kebajikan. Keadaan benar-benar menguntungkan karena dengan kepemimpinan jenderal yang baik banyak bantuan bisa diperoleh. Orang Jawa sangat menyukai cerita, sampai-sampai para pangeran menghabiskan berjam-jam waktu mereka untuk siapa saja yang bisa menarik perhatian dengan satu atau lain cerita. Tak kurang menguntungkannya bahwa pribumi Jawa, berbeda dari pengikut Mohammed yang lain, lebih dekat ke agama Kristen dan lebih mudah mengubah adat istiadatnya menjadi adat orang-orang Eropa. Bagi saya, hal itu membuka prospek yang membahagiakan.
Di bawah bimbingan pemerintah yang memahami dan kebapakan, tak lama lagi orang-orang Jawa akan menganut Kristen meski tidak dalam nama, tapi dalam praktik. Menurut cara pikir saya, yang terakhir lebih berharga ketimbang yang pertama.21
Surat Nahuijs diterbitkan di Breda pada 1826. Terlepas dari apa yang disesalkannya sebagai “rangkaian keadaan yang tak menguntungkan” yang memaksa Belanda bertempur merebut hampir seluruh bekas kekuasaannya sehingga “darah penduduk pribumi ... tertumpah di seantero tanah kekuasaan ini”, tatanan Belanda sudah bergerak menuju pemulihan penuhnya.22 Selain itu, Inggris dan Belanda, meski aktif bersaing satu sama lain, bersama-sama memanfaatkan kekuatan ilmu pengetahuan dan retorika agama untuk mendukung usahanya, yang digambarkan oleh seorang misionaris pada masa belakangan sebagai “mengenalkan peradaban ke tengah-tengah jutaan orang”.23
MENCETAK ULANG PENGETAHUAN KRISTEN
Untuk sebagian orang, kekuasaan peralihan Inggris lebih dari sekadar menyurvei wilayah yang baru saja dimenangkan untuk meningkatkan reputasi pribadi mereka. Di antara pasukan ekspedisi, terdapat mereka yang memandang Nusantara sebagai lapangan misi potensial, terlepas dari berbagai sejarah kegagalan mereka di kawasan ini. Yang mereka miliki dan tidak dimiliki para pendatang terdahulu adalah alat cetak yang mudah dibawa-bawa. Bagi mereka, ini sama penting dengan meriam bagi serdadu pelindung mereka.
Tentu saja karya-karya tercetak mudah dikenal. Bagian-bagian Injil Matius karya Ruyl dikirimkan dari Enkhuizen awal 1629, diikuti salinan-salinan Perjanjian Baru-nya yang kemudian diperbaiki oleh Heurnius pada 1650-an. VOC mengawasi penerbitan teks-teks keagamaan sejak 1659 seiring usaha menjaga hubungannya yang ambigu dengan gereja-gereja reformasi. Adalah kekuasaan peralihan Inggris dan penemuan litograf yang memungkinkan ledakan aktivitas cetak di kawasan ini. Tak lama setelah kedatangan para agen Masyarakat Misionaris London, kegiatan percetakan dimulai; di Malaka pada 1817, Negeri-Negeri Selat dan Batavia pada 1822, dan Padang pada 1834.24 Inggris sekali lagi diikuti oleh Belanda melalui pendirian Masyarakat Injil Belanda pada 1814, yang bekerja untuk memastikan kitab suci tersedia baik dalam aksara Jawi maupun Latin. Proyek pertama adalah pengerjaan ulang Injil Leijdecker, yang dicetak pada 1820.25
Media ini menjanjikan, tetapi para misionaris mengakui bahwa kendala budaya utama masih harus diatasi. Pada Juli 1828 W.H. Medhurst (1796–1857) melaporkan dari Singapura mengenai berbagai kesulitan serta jalan keluar yang mungkin:
Orang-orang Melayu hanya punya sedikit, atau sama sekali tidak punya, buku cetakan. Ketika diberi buku yang dibuat dengan huruf cetak, mereka menganggapnya sama sekali berbeda dan begitu asing tampilannya. Mereka cenderung menolaknya berdasarkan alasan tersebut. Pribumi di sini telah terbiasa membaca buku dengan titik-titik, yang sulit untuk diletakkan pada setiap kata menggunakan huruf cetak. Semua ini mudah diperbaiki dalam percetakan litografs: buku-buku yang dicetak menggunakan cara ini, memiliki penampilan manuskrip. Dengan sebuah inskripsi Mohammedan di bagian awal, terbitan kita mendapatkan penerimaan semudah terbitan mereka sendiri.26
Dibutuhkan lebih dari sekadar inskripsi “Mohammedan” di bagian awal. Pengoperasian mesin-mesin cetak baru bergantung kepada para penerjemah lokal, yang mengambil lebih banyak hal dari juragan mereka daripada sekadar pengetahuan mengenai teologi Kristen. Contoh paling terkenal adalah Munsyi Abdullah, yang membantu Leyden di Penang, Rafes, Medhurst, dan misionaris-misionaris lainnya di Singapura. Dengan bekerja bersama orang-orang ini selama dua dekade, Munsyi Abdullah mendapat pemahaman mengenai percetakan tipografs. Kenangan tentang kebakaran di kapal Fame mendorongnya memilih jalan pelestarian sastra dan sejarah Melayu pada 1840-an, menciptakan preseden baik bagi Kemas Azhari di Palembang maupun Husayn al-Habsyi di Surabaya.27
Bukan berarti para pastor tidak mendapatkan pengikut baru atau bahwa mereka tidak memiliki pemahaman mengenai agama orang-orang yang hendak mereka terima. Bahasa Arab berada di luar jangkauan pengetahuan kebanyakan misionaris. Terdapat bukti kuat bahwa di Batavia setidaknya mereka mendapatkan bantuan aktif pemeluk baru yang memiliki cukup pengetahuan mengenai bahasa tersebut. Teks yang relevan adalah sebuah salinan tulisan tangan dari Hikayat Maryam wa-‘Isa. Diselesaikan pada 1826, teks ini memuat banyak kutipan Injil dalam bahasa Arab dengan penjelasan bahasa Melayu. Dengan demikian, ini berjalan jauh melampaui inskripsi di awal ala Medhurst. Teks tersebut meniru karya tafsir tradisional yang penuh oleh penjelasan mengenai kitab suci. Pernyataan keimanan dirumuskan ulang sehingga bercorak mistis, “Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Yesus adalah ruh Allah.”28
Sekali lagi, konsep-konsep semacam itu sama sekali tidak baru. Kita bisa mengingat bahwa ketika dipenjara di Aceh, Frederick de Houtman membangun pembelaannya terhadap agama Kristen berdasarkan penyebutan Al-Quran terhadap Yesus sebagai ruh Allah, juga diketahui bahwa Isaac St. Martin memiliki salinan Mazmur dalam bahasa Arab.29 Tetapi, teksteks semacam itu sekarang dicetak dalam jumlah besar, seperti serangkaian himne yang disusun oleh seorang pendeta Baptis yang aktif di Jawa, William Robinson (1784–1853).30 Meski begitu, bentuk adalah satu hal dan isi