2 minute read

KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

Next Article
Catatan

Catatan

BAGIAN DUA

KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

Advertisement

Buku ini telah mempertanyakan hubungan yang sering dinyatakan antara Sufsme tarekat dan perpindahan agama ke dalam Islam di Asia Tenggara. Saya telah menyatakan bahwa tidak ada bukti pasti bahwa yang satu merupakan mesin bagi yang lain. Sebaliknya, Sufsme muncul (dan kemudian kerap muncul kembali) sebagai sebuah isu doktriner yang naik ke permukaan ketika ortodoksi negara perlu disesuaikan kembali agar selaras dengan standar-standar “Mekah”. Pertanyaan semacam itu menciptakan sebuah peran dalam kisah perpindahan agama yang diterima bagi para tokoh seperti ‘Abd al-Ra’uf, Syekh Yusuf, dan murid-murid mereka serta memberikan ruang penjelajahan pribadi dalam sistem pesantren yang berkembang pesat bagi sebagian populasi. Begitu memasuki abad kesembilan belas, kita mulai memiliki gambaran lebih jelas mengenai bentuk-bentuk aktivitas tarekat terpelajar tertentu sebelum status para penyokong mereka merosot—sebagaimana yang sangat sering terjadi—menjadi bawahan bangsa Eropa. Hal ini tidak menandai berakhirnya berbagai program reformasi dari masa sebelumnya. Sebaliknya, tampaknya beberapa penafsiran tertentu terhadap Sufsme, dan terutama yang bisa mengklaim hubungan dengan Mekah pascalepas dari cengkeraman Wahhabiyyah, menjadi penggerak utama perubahan keagamaan. Ini paling jelas terbukti di Jawa. Di sana, terdapat ketidakpastian yang mendalam mengenai sekolah-sekolah serta guru-guru mana yang harus menerima keuntungan kebijakan non-intervensi oleh negara kolonial yang menjadi pewaris kekuasaan. Berbagai kontroversi dalam lingkaran-lingkaran terpelajar ataupun populer ini menjadi pasar bagi produk-produk percetakan muslim di Singapura, dan memunculkan beberapa pertanyaan yang menuntut kita untuk memberikan perhatian lebih saksama terhadap cara berbagai bangsa menjadi familier dengan literatur cetak. Dalam perjalanan proses ini, Islam

menjadi semakin tertanam dalam apa yang disebut ruang publik muslim, dengan akibat bahwa pengawasan ortodoksi tarekat itu sendiri menjadi sebuah persoalan kolonial.

Sebagian besar dari proses hubungan dengan Timur Tengah dan pelembagaan yang tengah berlangsung untuk meniru struktur pembelajarannya terjadi tanpa dikenali oleh orang-orang Eropa. Walaupun begitu, Belanda tidaklah sepenuhnya abai. Diktum yang kerap dirujuk bahwa mereka hanya tertarik pada perdagangan—dan karena itu sangat berbeda dari para pendahulu mereka dari Iberia—bisa dikatakan menutup jalan bagi banyak sekali misi yang saling bersaing yang masuk ke usaha kolonial Belanda.

Meskipun bermula sebagai perusahaan transnasional pertama di dunia, tetapi, seperti akan kita lihat di paruh kedua buku ini, warisan Kristen memainkan peranan dalam membentuk berbagai gagasan mengenai peran agama dalam konteks kolonial. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, kita mengalihkan perhatian terhadap berbagai pandangan fundamental mengenai Islam pada era perusahaan-perusahaan dagang. Ini akan diikuti oleh pembahasan yang saling menyilang mengenai berbagai bingkai metropolitan yang digunakan di kelas-kelas kolonial pada abad kesembilan belas dan tulisantulisan misiologis berbasis lapangan yang terkait. Dengan melakukan hal ini, saya hendak menunjukkan bahwa kadang-kadang terdapat keterputusan yang signifkan antara apa yang diketahui di lapangan dan pengetahuan yang disebarkan untuk khalayak Eropa.

This article is from: