1 minute read

Gambar 4 Imam Bonjol, sekitar 1848

Next Article
Catatan

Catatan

sebagai pewaris Karangnunggal. Kita kemudian memeriksa kecenderungan yang terjadi pada abad kedelapan belas; yaitu, sebuah reaksi (Kairo) terhadap popularitas muhaqqiqin yang berorientasi Madinah yang meletakkan fondasi bagi kurikulum Islam standar di Asia Tenggara. Hal ini jelas terlihat di pelabuhan Palembang yang kaya, tempat tarekat Sammaniyyah memainkan peranannya dalam mengembangkan dan memperbaiki kecendekiawanan Suf. Namun, sekali lagi penekanan ditujukan pada pembatasan akses terhadap risalah-risalah flosofs yang muskil bagi orang-orang terpilih dan mencegah persebaran teks-teks lebih awal dan hikayat-hikayat sejenis yang populer, yang meski begitu terus didukung oleh orang-orang Melayu.

Gambar 4. Imam Bonjol, sekitar 1848. Dari H.J.J.L. de Stuers, De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra.

Advertisement

Tentu saja perubahan tidak langsung terjadi, jauh dari itu, dan bagian berikutnya dari bab ini berhenti sejenak untuk menjelaskan bagaimana para siswa bisa mengakses rangkaian teks yang membentuk jalur pendidikan Islami yang kian terbakukan, dan betapa banyak orang, meskipun berbagai peringatan dikeluarkan di istana, yang mengaitkan diri mereka pada sebuah tarekat, entah itu dari tradisi spekulatif yang lebih tua, atau terkait dengan gaya Sammani yang lebih baru. Sammaniyyah memang hanyalah sebuah alternatif, sebagaimana akan kita lihat dalam kisah yang mengelilingi tokohtokoh kontroversial seperti Imam Bonjol dari Sumatra.

This article is from: