Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Konse p, Implementasi onsep & Strategi Ad vokasi Adv
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Konsep, Implementasi & Strategi Advokasi Penulis: Aditya Perdana Francisca Fitri Nor Hiqmah Editor: Indra J. Piliang Desain & lay out Moelanka Diterbitkan oleh: Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (YAPPIKA) Jl. Pedati Raya No. 20 RT 007/09 Jakarta Timur 13350 Telp: (021) 8191623 Fax: (021) 8500670/85905262 e-mail: yappika@indosat.net.id http://www.yappika.or.id
Kata Pengantar
A
rus demokratisasi di Indonesia membawa pada upaya untuk memperluas demokratisasi itu tidak hanya pada tingkat pemerintah pusat tapi didorong sampai pada tingkat pemerintahan lokal, baik propinsi, kabupaten/kota, sampai desa. Cukup banyak muncul terobosan baru dalam peraturan-peraturan daerah yang bertujuan untuk menjamin demokratisasi di tingkat lokal ini berjalan, seperti perda transparansi dan partisipasi di berbagai kabupaten/kota. Yang menonjol pada proses penyusunan perda-perda itu biasanya diawali dengan adanya forum-forum yang berisi berbagai macam stakeholder termasuk dari organisasi masyarakat sipil. Upaya-upaya di atas tak lepas dari tujuan untuk membangun sebuah tatanan pemerintahan lokal yang demokratis (TPLD). Secara konseptual TPLD ini bukanlah sesuatu yang baru tetapi juga bukanlah sesuatu yang ketinggalan jaman, karena terus-menerus pengalami pembaharuan. Mulai dar i konsep desentralisasi, pemerintahan lokal dan tata pemerintahan yang baik. Tiga konsep yang diyakini sebagai pijakan dasar untuk pemahaman TPLD ini bukan sesuatu yang baru muncul di Indonesia. Cukup banyak contoh bisa ditemukan di masyarakat Indonesia bahwa praktekpraktek konsep di atas memang telah ada sejak lama, misalnya nagari
di Sumatera Barat, huta di Sumatera Utara, atau kampung di Kalimantan Timur. Namun persebarannya terasa lebih cepat pada saat konsep itu datang bersamaan dengan kucuran dana dari lembaga-lembaga internasional. Sehingga muncul kecurigaan adanya agenda-agenda tersembunyi yang dibawa oleh berbagai lembaga tersebut. Terlepas dari kerumitan di atas, Yappika mencoba menyusun sebuah pedoman tata pemerintahan lokal yang demokratis yang berkaca pada pengalaman praktis di lapangan. Buku ini diharapkan berguna untuk memahami konsep TPLD secara bersama mitra dengan Yappika sehingga bisa menjadi acuan pelaksanaan program TPLD yang dikembangkan bersama. Dan terlebih buku ini diharapkan dapat meneguhkan peran-peran masyarakat sipil dalam pemerintahan dan pembangunan.
Jakarta, 21 Maret 2006
vi
Daftar Isi Pengantar ....................................................... v Bab I Pengertian Tata pemerintahan Lokal yang Demokratis .......................................................... 1.1 Pendahuluan ......................................................... 1.2. Pengertian Demokrasi .......................................... 1.3. Pengertian Luas Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis (TPLD) ............................................. 1.3.1. Desentralisasi ............................................. 1.3.2. Pemerintahan Lokal .................................. 1.3.3. Tata Pemerintahan yang Baik(Good Governance) ................................................ 1.4. Pengertian Dasar TPLD ......................................... 1.5. Otonomi Daerah .................................................. 1.6. Penutup ................................................................
1 1 3 7 9 11 13 16 18 23
Bab II Penerapan TPLD di Empat Negara ........................ 2.1. Pendahuluan ......................................................... 2.2. Negara Ethiopia ................................................... 2.2.1. Payung Hukum ......................................... 2.2.2. Struktur Pemerintahan Lokal .................... 2.2.3. Keterlibatan Masyarakat Sipil .................... 2.3. Filipina ................................................................. 2.3.1. Payung Hukum ......................................... 2.3.2. Struktur Pemerintahan Lokal ..................... 2.3.3. Keterlibatan Masyarakat Sipil ..................... 2.4. Norwegia .............................................................. 2.4.1. Payung Hukum .........................................
25 25 27 27 28 30 31 31 31 33 34 34
2.4.2. Struktur Pemerintahan Lokal .................... 2.5. Brazil .................................................................... 2.5.1. Payung Hukum ......................................... 2.5.2. Struktur Pemerintahan Lokal .................... 2.6. Perbandingan dengan Indonesia ...........................
34 36 36 36 38
Bab III Apa dan Bagaimana? ............................................. Pendahuluan ............................................................... 3.2. Dari Political Will sampai Strategi Perluasan ........ 3.2.1. Political Will Pemerintah Pusat .................. 3.2.2. Infrastruktur untuk Mempertahankan Political Will ........................................... 3.2.3. Strategi Masyarakat Sipil sebagai Respon terhadap Desentralisasi................. 3.2.3.a. Membangun Basis yang Kuat dan Mengakar .............................. 3.2.3.b. Meningkatkan Kapasitas Desa, Organisasi dan SDM yang Memadai ...................................... 3.2.3.c. Mendorong Pemerintahan yang Terbuka dan Responsif ............... 3.2.4. Kewenangan Pemerintah Daerah .............. 3.3. Sejumlah Contoh Kasus ....................................... 3.4. Penutup ................................................................
41 41 42 42 44 46 51
56 57 58 62 63
Daftar Pustaka ...................................................... 65
viii
BAB I Pengertian Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis 1.1. Pendahuluan:
N
egara Republik Indonesia sedang menghadapi gelombang demokrasi baru, seiring dengan perubahan sistem politik, tata negara, pemerintahan, sampai pola hubungan sipil dengan militer. Bukan hanya demokrasi di tingkat negara, melainkan juga masuk ke tingkat masyarakat dan partai-partai politik. Perubahan yang sangat penting adalah mulai berkembangnya demokrasi di tingkat daerah, baik provinsi, kabupaten, kota, sampai desa. Hal ini menunjukkan adanya harapan kearah perbaikan peri kehidupan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Tahun 1999, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum untuk ketiga kalinya dalam dekade 1990-an. Pemilu pertama diselenggarakan tahun 1992, lalu pemilu kedua tahun 1997. Keputusan Presiden Soeharto untuk berhenti dari jabatannya sebagai presiden telah memunculkan desakan untuk menyelenggarakan pemilu. Pemerintahan barupun yang dipimpin oleh Presiden BJ Habibie mengagendakan perubahan paket undang-undang politik, sekaligus juga pemilu. Tanpa didampingi oleh wakil presiden, eksistensi BJ Habibie begitu dominan. Proses liberalisasi politikpun dimulai dengan cara membongkar sejumlah tatanan politik di masa Orde Baru yang pengap dan berdarah.
Pemilu 1997pun berlangsung dengan aman. Walaupun sistem dan mekanismenya disiapkan oleh kekuatan politik di pemerintahan dan DPR hasil pemilu 1997, namun dari segi peserta pemilu 1999 sudah memunculkan pelbagai kekuatan partai politik baru. Terdapat 48 partai politik yang menjadi peserta pemilu 1999, sekalipun hasilnya lebih memberikan kemenangan kepada tiga partai politik yang sudah hadir sejak Orde Baru, partai-partai politik yang mempunyai afiliasi dengan organisasi kemasyarakatan, sampai dengan kelompok-kelompok yang pada masa Orde Baru melakukan perlawanan aktif. Partai politik lalu menjadi pemain penting dalam demokrasi. Namun, sebagaimana dicatat oleh Paige Johnson, Namun “masyarakat politik� Indonesia yang berkembang tampaknya amat mudah pecah. Para peserta (kompetisi demokrasi) gagal melembagakan persaingan sehat di antara mereka sendiri. Persaingan antarpartai (seperti dibuktikan dengan tarik tambang antara presiden dan parlemen) membawa bangsa lebih dekat ke jurang malapetaka.1 Pada tahun 2004, pemilupun digelar setelah perubahan paket undang-undang politik dilakukan sepanjang tahun 2002-2003. Perubahan UUD 1945 juga terjadi, sekalipun sifatnya elitis dan miskin partisipasi publik. Indonesiapun memulai era demokrasi dengan memberikan proporsi kekuasaan yang semakin besar kepada partaipartai politik yang bisa memasuki lembaga eksekutif dan legislatif. Bukan hanya itu, lewat UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, era demokrasi politik lokalpun dimulai. Kepala daerah dipilih secara langsung untuk pertama kalinya, setelah tahun 2004 kepala negara dan pemerintahan, yakni pasangan presiden dan wakil presiden, juga dipilih secara langsung. Namun, di tengah semaraknya arus demokrasi, mulai di tingkat global, regional, nasional dan lokal, justru korupsi dan inefisiensi pemerintahan terjadi. Pelayanan publik menjadi terbengkalai, akibat anggaran lebih banyak digunakan untuk kepentingan aparatur 1
Paige Johnson, “Partai Politik dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia,“ dalam Yayasan API. Juli 2001.
2
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
pemerintahan, ketimbang untuk kepentingan masyarakat umum. Hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari peningkatan kebutuhan di kalangan aparatur pemerintahan sendiri yang gajinya kecil. Sekalipun contoh pemerintahan yang berjalan dengan baik juga ada, secara umum Indonesia masih ber masalah dengan aparatur pemerintahannya. Untuk mengurangi dampak distortif dari demokrasi yang kita laksanakan, dirasakan perlu memperbaiki pola pikir tentang pemerintahan, terutama dalam kaitannya dengan mekanisme internal dan eksternal yang terkait dengan demokrasi. Pemikiran yang lebih aplikatif diperlukan, ketimbang hanya sekadar wacana dan perspektif yang bersifat spekulatif dan akademis. Hal-hal itulah yang coba dijelaskan dalam uraian berikut ini. 1.2.Pengertian Demokrasi Demokrasi bukanlah tatanan dunia antah berantah yang datang tiba-tiba dari langit. Dalam masyarakat yang banyak digerakkan oleh mitologipun demokrasi bisa hinggap, asal bisa disistematisasi dan distrukturkan menjadi bentuk kelembagaan politik dan pemerintahan. Barangkali, karena itu pula demokrasi bisa mengalami perubahan makna dan bentuk, tergantung di mana konsep itu diterapkan. Komposisi penduduk, income per kapita, tingkat pendidikan, sampai pengalaman kolektif masyarakat, bisa memengaruhi praktek demokrasi yang diterapkan. Juan J.Linz dan Alfred Stepan mendefinisikan demokrasi sebagai2: Kebebasan hukum untuk merumuskan dan mendukung alternatifalternatif politik dengan hak yang sesuai untuk bebas berserikat, bebas berbicara, dan kebebasan-kebebasan dasar lain bagi setiap orang; persaingan yang bebas dan antikekerasan di antara para pemimpin 2
Lihat Juan J. Linz dan Alfred Stepan, “Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi�, dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (Ed). 2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara Lain. Bandung: Mizan, hal. 26-27.
3
dengan keabsahan periodik bagi mereka untuk memegang pemerintahan; dimasukkannya seluruh jabatan politik yang efektif di dalam proses demokrasi; dan hak untuk berperan serta bagi semua anggota masyarakat politik, apapun pilihan politik mereka. Negara Republik Indonesia tengah mencoba menempatkan dirinya sebagai negara yang demokratis. Berbagai proses penting sebagai syarat negara demokrasi telah terlewati dengan baik, seperti pemilu, reformasi institusi pemerintahan, kebebasan pers, dan juga reformasi hukum. Indonesia menjadi lebih demokratis, walaupun terus melakukan transformasi nilai pada pelbagai tingkatan penyelenggaraan negara. Sejumlah lembaga negara baru lahir, seperti Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Komisi-komisi negara juga berkembang, seperti Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan sebagainya. Pergeseran ini pun digerakkan ke level pemerintahan daerah. Setelah bergulirnya pemilihan kepala daerah secara langsung pertama tahun 2004, daerah pun perlahan mengikuti pola pemerintahan yang pro-demokrasi dan pro-partisipasi rakyat. Sehingga, berkaitan dengan posisi transisi demokrasi, Juan J.Linz dan Alfred Stepan3 menjelaskan bahwa adanya persetujuan yang memadai telah dicapai mengenai prosedur-prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan terpilih. Jika semua proses tersebut sudah dilalui dan menghasilkan pemerintahan baru dan kewenangan yang jelas, maka masa transisi sedang dijalankan. Tetapi masa transisi adalah percobaan ketika masih begitu banyak tugas dan masalah yang harus diselesaikan, sejumlah syarat harus dipenuhi, serta penanaman nilai dan sikap demokrasi untuk mencapai tahap konsolidasi dilakukan. Terdapat tiga kondisi dimana demokrasi telah terkonsolidasi4: Pertama, dari segi perilaku. Dalam rezim demokrasi yang terkonsolidasi tidak ada tokoh-tokoh nasional, sosial ekonomi, 3
ibid hal. 28. ibid hal. 40-41.
4
4
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
politik atau institusional yang utama menggunakan sumber daya yang penting untuk mencapai kepentingan dan tujuan mereka dengan menciptakan rezim non demokratis atau upaya memisahkan diri dari negara. Kedua, dar i segi sikap. Dalam rezim demokrasi yang terkonsolidasi mayoritas opini publik, termasuk dalam kondisi sosial dan ekonomi yang berat dan timbulnya ketidakpuasan, masih memegang teguh keyakinan bahwa prosedur-prosedur dan institusi-institusi demokrasi merupakan cara paling tepat untuk mengatur kehidupan kolektif, sementara dukungan bagi alternatif antisistem sangat kecil dibandingkan kekuatan prodemokrasi. Ketiga, dari segi konstitusi. Dalam rezim demokrasi yang terkonsolidasi jika kekuatan pemerintah dan non pemerintah sama-sama tunduk pada dan juga terbiasa dengan upaya pemecahan konflik dalam batas undang-undang, prosedur, dan institusi tertentu yang ditetapkan melalui proses yang demokratis. Demokrasi juga mengenal lima arena5 dimana semua kelompok tersebut memiliki peran dan fungsi masing-masing untuk meningkatkan kapasitas demokrasi di negara yang bersangkutan. Kelima arena itu adalah partai politik yang berjuang untuk mendapatkan hak menjalankan kontrol terhadap pemerintah atau melaksanakan program pemerintah, kelompok masyarakat sipil yang bertugas menjalankan dan memperjuangkan kepentingan mereka, birokrasi pemerintah yang bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh pemimpin demokratis, supremasi hukum yang ditegakkan dan arena ekonomi yang menyokong terhadap kemandirian masyarakat. Dalam catatan Paige Johnson, seperti Linz dan Stepan, Guillermo A. O’Donnell dan Philippe C. Schmitter juga mengakui, seringkali bukanlah partai-partai politik yang menjatuhkan rezim lama (ini biasanya tugas para penganjur hak asasi manusia, mahasiswa dan 5
ibid hal. 41-47.
5
lain-lain), namun kepada partai politiklah orang harus berpaling kalau membicarakan konsolidasi yang menyangkut transisi. Konsolidasi membutuhkan partai-partai politik guna membangun sistem kompetisi baru untuk jabatan politis. O’Donnell dan Schmitter memandang Pemilu pertama sebagai alat untuk membangunkan partai-partai agar beraksi, karena “partai adalah lembaga modern untuk merestrukturisasi dan mengumpulkan pilihan-pilihan individual.� Para pengamat negara seperti kasus Rusia, Portugal, dan Chile, melihat, peranan partai adalah kunci untuk memahami kemajuan (atau ketiadaan) transisi. Untuk Peter Mair, “Abad 20 bukan saja abad demokratisasi dan demokrasi, tetapi merupakan juga abad demokrasi partai.�6 Berangkat dari posisi konsep demokrasi yang berkembang di dunia, dan yang tengah terjadi di Indonesia saat ini, maka nampaknya Indonesia tengah berupaya terus untuk mengonsolidasikan diri dalam negara yang demokratis. Meskipun Indonesia terengah-engah memasuki tahap tersebut, paling tidak upaya-upaya tersebut terlihat manakala proses membiasakan nilai-nilai demokrasi tengah berlangsung dan proses reformasi aturan hukum serta institusional yang lebih demokratis juga tengah terjadi. Demokrasi adalah a point of no return. Sangatlah tidak masuk akal dan bertentangan dengan kehendak zaman apabila Indonesia kembali ke era feodalisme, otoritarianisme, dan kediktatoran. Dari arena masyarakat politik, makin terlihat bahwa partai politik masih terkesan belum menampakkan nilai demokratis dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan partai politik di Indonesia masih beror ientasi elit yang oligarkis dalam struktur dan sistem kepemimpinannya. Dari kelompok masyarakat sipil, terdapat kemajuan berarti dalam dinamisnya gerakan dan pengaruh terhadap kebijakan meskipun masih perlu menjaga stamina gerakan dari desakan kekuatan politik lainnya. Kelompok birokrasi juga nampaknya belum banyak berubah dalam hal paradigma untuk
6
Paige Johnson, Op. Cit.
6
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Yang masih terjadi, birokrasi terkesan masih ingin dilayani. Sementara, supremasi hukum juga masih belum maksimal dikarenakan mental aparat hukum yang mudah dirayu oleh berbagai godaan mater i dan akhirnya terbelit oleh korupsi dan penyelahgunaan wewenang. Padahal reformasi aturan hukum yang ada telah banyak terjadi. Serta, terakhir, masyarakat ekonomi masih berorientasi kepada meningkatkan investasi secara makro, bukan untuk kemandirian usaha kecil dan menengah. Fenomena yang semakin meningkat adalah aktifnya kalangan usahawan dalam arena politik praktis, sehingga menghasilkan satu aktor untuk lebih dari dua arena. Namun, penelitian yang lebih serius dan dalam harus dilakukan untuk menguji sejauh mana persepsi masyarakat Indonesia tentang demokrasi dan untuk mengukur keyakinan tentang nilai demokrasi sebagai pemecah masalah di negara ini. 1.3. Pengertian Luas Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis (TPLD) Bagian ini hendak memahami lebih jauh tentang Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis (TPLD). Konsep ini tidaklah baru karena memang terjadi perkembangan yang signifikan terhadap berbagai konsep yang menyertainya seperti desentralisasi, pemerintahan lokal, demokratisasi dan hal lain yang berkaitan. Tetapi konsep TPLD ini merupakan sebuah proses yang ingin ditempuh sebagai konsekuensi dari arus demokratisasi yang tengah kita jalani. Sebagai kerangka umum, tentunya patut juga dikemukakan tentang konsep democratic governance.7 Secara singkat, democratic governance merupakan paradigma baru yang diusung oleh gerakan 7
Lihat Gregorius Sahdan, “Tantangan dan Peluang Democratic Governance PascaPemilu 2004�, dalam JURNAL ANALISIS CSIS, Volume 33, No. 1, Maret 2004, hal. 33-34.emocratic Governance PascaPemilu 2004"Indonesia. maupun rein, demokratisasi dan desentralisasi; serta (3)
7
pembaruan (reformasi) 1998 yang meliputi: (1) cara pandang baru terhadap pengelolaan tata pemerintahan maupun relasi negaramasyarakat-pasar; (2) dinamika empiris dan wacana akademis pengelolan negara berhadapan dengan masyarakat dan pasar, dalam konteks globalisasi, demokratisasi dan desentralisasi; serta (3) isuisu governance reform yang berkaitan dengan konsep good governance maupun reinventing government yang tengah menjadi bahan perbincangan di Indonesia. Selain itu, beberapa prinsip utama democratic governance yang lahir dari kegagalan authoritarian governance adalah:8 (1) Menempatkan negara sebagai pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan hegemoni, tetapi negara adalah aktor setara (primus inter pares) yang mempunyai kapasitas memadai untuk memobilisasi aktor-aktor masyarakat dan pasar untuk mencapai tujuan besar; (2) Tidak lagi menempatkan negara sebagai sentrum “kekuasaan formal� tetapi sebagai sentrum “kapasitas politik�. Kekuasaan negara harus ditransformasikan dari kekuasaan atas (power over) menuju kekuasaan untuk (power to); (3) Negara harus berbagi kekuasaan dan peran pada tiga level, yaitu ke atas pada organisasi transnasional, ke samping pada LSM dan swasta, serta ke bawah pada masyarakat lokal; (4) Negara harus melonggarkan kontrol politik dan kesatuan organisasinya agar mendorong segmen-segmen di luar negara untuk mampu mengembangkan pertukaran dan kemitraan secara kokoh, otonom dan dinamis; (5) Negara harus melibatkan unsur-unsur masyarakat dan swasta dalam agenda pembuatan keputusan dan pemberian layanan publik; dan (6) Penyelenggara negara harus memiliki kemampuan responsif, adaptatif, akuntabilitas publik, transparansi, adil, dan memiliki kapasitas memadai dalam menerapkan rule of law. 8
Ibid, hal. 34..
8
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Konsep TPLD mencakup tiga hal penting yaitu desentralisasi, pemerintahan lokal dan tata pemerintahan yang baik. Ketiga konsep ini sebagai pijakan dasar dan menyeluruh dari pemahaman TPLD. 1.3.1.Desentralisasi9 Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai proses perpindahan atau penyerahan kekuasaan (wewenang atau urusan) dari pemerintah pusat kepada pemerintahan lokal yang terpilih dalam hal otoritas, tanggung jawab dan akuntabilitasnya. Pengertian ini lebih ditujukan kepada pemerintahan lokal yang sudah melakukan pemilu secara langsung, karena legitimasi dan otonomi kekuasaan lokal akan mempunyai eksistensi yang kuat dibandingkan kepala daerah yang ditunjuk oleh pusat. Asumsinya adalah pejabat yang memiliki otoritas dan legitimasi langsung dari para pemilihnya di daerah tentu lebih mudah menjawab persoalan dari pemilihnya, dibandingkan dengan pejabat yang merupakan titipan dan agen kepentingan pusat. Para pemilih juga telah meletakkan harapan yang lebih besar kepada orang yang mereka pilih langsung, ketimbang yang sebelumnya dipilih oleh pusat atau oleh parlemen daerah. Pemahaman desentralisasi terletak di tempat kewenangan itu terjadi atau dilakukan. Perpindahan dan pemaknaan kewenangan dari pusat ke daerah (dalam beberapa hal) untuk mengelola sumber daya di daerah merupakan titik tekan yang penting dalam defenisi desentralisasi. Meskipun pada akhirnya pendefenisian desentralisasi menjadi remang-remang dilihat dari berbagai dimensi. Konsep desentralisasi dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu: desentralisasi administrasi yang meliputi tanggung jawab fungsional dari pusat ke daerah seperti pelayanan kesehatan, desentralisasi keuangan yang menyangkut seberapa besar akses terhadap sumber daya dari tiap daerah dan pergeseran kekuasaan keuangan ke tingkat lokal, serta terakhir desentralisasi politik yang menyangkut akuntabilitas dan kepercayaan terhadap masyarakat. 9
Beberapa bagian dari definisi ini merujuk kepada Decentralization and Democratic Local Governance Programming Handbook, Washington DC, May 2000, USAID.
9
Dalam kondisi ideal, desentralisasi yang efektif meliputi: dimensi desentralisasi politik (devolusi), adanya pemilihan kepala daerah yang berlangsung secara berkesinambungan, munculnya partisipasi politik masyarakat, dan juga pemerintah lokal mempunyai otoritas untuk mendesain dan memanfaatkan mekanisme partisipasi untuk menerima masukan masyarakat. Aspek desentralisasi politik menjadi penekanan manakala proses yang ada di tingkat lokal tersebut merupakan wadah kepentingan yang beragam yang harus didengarkan dan dinegosiasikan melalui forum diskusi publik untuk mengalokasikan berbagai sumber daya yang ada. Sehingga, nilai lebih dari desentralisasi politik yaitu pada nilai demokratisasi dan stabilisasi politik serta nilai pengembangan bagi masyarakat lokal.10 Turunan nilai dari demokratisasi dan stabilitas politik diharapkan memberikan pendidikan politik bagi anggota masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam pemilu, dan juga meningkatkan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap proses politik yang ada di daerahnya. Sementara pendewasaan bagi masyarakat lokal termasuk dalam hal bagaimana masyarakat mampu memengaruhi kebijakan lokal, meningkatnya tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat dengan akses yang terbuka, dan juga meningkatnya kemampuan pemerintah untuk melayani keinginan masyarakat. Dalam desentralisasi administrasi (dekonsentrasi), pemerintah pusat memberi jaminan yang jelas kepada pemerintah lokal mengenai tanggung jawab dalam urusan kepentingan publik dan urusan lokal. Jaminan yang jelas tersebut tentunya berupa regulasi yang menjadi pegangan bagi daerah untuk berkreasi dalam mengelola wilayahnya. Nilai lebih dari dekonsentrasi diantaranya untuk menjaga integritas nasional, menjaga standar minimum pelayanan nasional serta penyediaan prasarana minimal yang 10
Dr.Riswandha Imawan, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance, dalam dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Derah, Syamsuddin Haris (ed), Jakarta, LIPI Press 2005, hal. 43
10
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
diperlukan warga masyarakat untuk mengembangkan diri secara nasional.
beraktivitas
dan
Semua kondisi ideal tersebut ingin menunjukkan bahwa aspek tersebut paling tidak harus dipenuhi untuk menjadi desentralisasi yang lebih demokratis. Sedangkan nilai yang ingin diambil adalah sebuah kondisi ideal tata pemerintahan lokal yang lebih demokratis. Smith (1985), sebagaimana dicatat oleh Syarif Hidayat, telah mengupas nilai-nilai dari desentralisai berdasarkan kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan pemerintah daerah. Dari sisi kepentingan pemerintah pusat, sedikitnya terdapat tiga nilai desentralisasi, yakni untuk pendidikan politik, latihan kepemimpinan, dan untuk menciptakan stabilitas politik. Sementara, dari sisi kepentingan pemerintah daerah, terdapat pula tiga nilai desentralisasi, yaki political equality, local accountability dan local responsiveness.11 1.3.2.Pemerintahan Lokal Dalam sejarahnya, pemerintahan lokal merupakan daerah yang terbentuk karena kebutuhan anggota masyarakat di dalamnya. Komunitas-komunitas yang memiliki kesamaan budaya dan etnisitas membentuk kesatuan masyarakat hukum yang awalnya bersifat komunal. Perkembangan ini memang diawali dari praktek pemerintahan di Eropa pada awal abad ke-11 dan 12.12 Satuansatuan wilayah itu dikenal dengan nama municipal (kota), county (kabupaten), dan commune/gementee (desa). Di Indonesia pada waktu itu juga dikenal dengan nagari (Sumatera Barat), huta (Sumatera Utara), dan kampung (Kalimantan Timur). Perlahan namun pasti, satuan wilayah tersebut memerlukan berbagai lembaga dalam hal politik, sosial budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan, untuk mempertahankan eksistensinya. Kemudian, satuan wilayah tersebut dimasukkan ke dalam 11
12
Syarif Hidayat. September 2000. Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan ke Depan. Jakarta: Pustaka Quantum, hal. 3-5. Hanif Nurcholis. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo, hal. 1-2.
11
pemer intahan berdaulat secara administratif yang dibedakan berdasarkan letak geografis, kewenangannya dan bentuk kelembagaannya. Awal munculnya pemerintahan daerah memang diperlukan sebagai kebutuhan akibat arus urbanisasi yang cukup besar dari desa ke kota sehingga memerlukan sistem kemasyarakatan untuk memudahkan dan mengatur kepentingan masyarakat tersebut. Pemerintahan Lokal dapat dilihat sebagai bentuk pemerintahan di tingkat lokal secara keseluruhan, tidak hanya menyangkut mekanisme pemerintahan (dalam hal ini birokrasi) tetapi juga kelompok masyarakat secara luas serta interaksi dengan otoritas daerah tersebut.13 Interaksi masyarakat dalam pemerintahan lokal yaitu terlibat aktif dalam mekanisme pembuatan kebijakan dan juga pengawasan terhadap proses implementasi kebijakan ekonomi dan masyarakat di daerah tersebut. Ada dua tipe pemerintahan daerah yaitu, pertama, sistem fungsional dimana setiap departemen menempatkan kepala-kepala instansi vertikal di wilayah administrasi untuk member ikan pelayanan umum di bidangnya (sektoral) secara fungsional. Sedangkan wilayah kerjanya terdapat di masing-masing wilayah negara. Sehingga terlihat adanya keterpisahan antar departemen dalam melaksanakan fungsi pelayanan pada wilayah kerja pejabatnya di daerah yang tentu berbeda-beda pula kebutuhannya. Kedua, sistem prefektur dimana wilayah nasional dibagi ke dalam fungsi-fungsi pelayanan departemen secara terfragmentasi, terbagi dalam wilayah administrasi dan/atau daerah otonom dengan batas yurisdiksi yang sama dengan sebutan yang sama pula. Indonesia dengan UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang digantikan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menganut sistem prefektur yang terintegrasi. Artinya ada dua fungsi dan status dirangkap oleh kepala daerah yaitu sebagai perwakilan dari pemerintah pusat di daerah dan juga sebagai kepala daerah 13
Rob Imrie dan Mike Raco, “How New is the New Local Governance? Lessons from the United Kingdom�, dalam Jurnal Transactions of the Institute of British Geographers, Vol. 24, No.1, 1999, hal. 45.
12
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
yang otonom di wilayah administrasi yang dipimpinnya (untuk konteks gubernur). Sehingga seorang Gubernur, dalam satu waktu bisa bertindak atas nama pemerintah pusat, tetapi di lain waktu mengatasnamakan kepala daerah yang dipimpinnya untuk mengkritisi kebijakan pemerintah pusat. Ada empat komponen untuk melihat kinerja dari pemerintahan lokal 14, yakni pertama, pemerintah lokal diharapkan membuat rangkaian dan formulasi kebijakan demi kepentingan masyarakat. Kedua, pemer intah lokal diharapkan mengimplementasikan kebijakan secara efektif dengan melihat tujuan dan capaian dari hasil kebijakan tersebut. Ketiga, pemerintah lokal diharapkan bekerja untuk kepentingan masyarakat. Dan keempat, pemerintah lokal diharapkan pula menjadi lebih demokratis dalam keorganisasian dan aktivitas mereka. Keempat komponen tersebut yang selayaknya dibangun dari sebuah pemerintahan lokal yang demokratis dalam setiap proses formulasi hingga evaluasi kebijakan. Dengan adanya desentralisasi politik dalam pemerintahan lokal, tentunya memberi peluang seluas-luasnya bagi pemerintah lokal untuk mengajak dan mendapatkan partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijakan daerah, dan juga memberikan kesempatan kepada pemerintah lokal untuk menjalankan pelayanan publik yang lebih baik. Pemer intah lokal mempunyai keleluasaan dalam berkreasi dan ber inovasi bagi pengembangan wilayahnya, kesejahteraan penduduknya, dan keadilan sosial yang hendak dicapai. Sekalipun preferensi kepentingan pemerintah lokal tetaplah kepada sistem perencanaan pembangunan nasional, tetap saja pelbagai keunggulan komparatif daerah bisa digali secara maksimal. 1.3.3. Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Berbagai pemahaman tentang tata pemerintahan yang baik sudah banyak didiskusikan. Paling tidak Canada International Development Agency (CIDA) mendefinisikan Tata Pemerintahan yang Baik 14
Gabor Soos. March 2001. The Indicators of Local Democratic Governance Project: Concepts and Hypotheses. Budapest: Open Society Institute, hal. 11.
13
sebagai berikut 15, yakni cara dimana kekuasaan digunakan oleh pemerintah dalam mengelola sumber daya ekonomi dan sosial di sebuah negara. Tata Pemerintahan yang “baik� adalah penggunaan kekuasaan di semua tingkatan pemerintah secara efektif, jujur, bersamaan, transparan dan akuntabel. Menurut Research Tr iangle Institute (RTI), ada empat karakteristik untuk menempatkan tata pemerintahan yang “baik� itu yaitu, pertama, legitimasi dalam hal penerimaan otoritas kekuasaan publik, termasuk di dalamnya segala aturan, proses dan prosedur yang ada. Kedua, akuntabilitas publik terhadap kekuasaan dan legitimasinya dengan memerhatikan proses pemegang kekuasaan dan prosedur dari pembuatan kebijakan. Ketiga, manajemen yang efektif dalam dimensi teknis. Efektivitas menjadi hal penting dengan mengacu kepada birokrasi publik yang berdaya dan efisien, dalam menentukan prioritas dan sumber daya publik. Keempat, ketersediaan informasi antara semua lini, termasuk kelompok masyarakat sipil dan pemer intah untuk menilai keefektifan dari kekuasaan dan birokrasinya. Terdapat sepuluh prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) yang menjadi acuan bagi pemerintah lokal di Indonesia16, yakni: Pertama, partisipasi; yakni mendorong seluruh masyarakat untuk mengekspresikan hak-haknya serta pandangannya dalam proses pembuatan kebijakan terutama berkaitan dengan kepentingan publik, secara langsung atau tidak langsung. Kedua, ketaatan hukum; yakni menyadari penegakan hukum dimana kejujuran dan keadilan untuk semua, tanpa pengecualian, dengan menghormati hak-hak dasar umat manusia dan nilai nilai yang ada dalam masyarakat. 15
16
Dikutip dari Canada International Development Agency. July 1997. Redefining The Concept of Governance, hal 1. Kesepuluh prinsip ini merupakan hasil dari Forum Pemerintah Daerah yang diadakan di Denpasar,Bali pada tanggal 3-4 Juni 2002 yang dihadiri oleh semua Asosiasi Pemerintahan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seluruh Indonesia.
14
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Ketiga, transparan; yakni membangun kepercayaan antara pemerintah dan publik untuk mendapatkan akses informasi seluas-luasnya dengan jaminan informasi yang akurat. Keempat, kesamaan; yakni menyediakan kesamaan kesempatan kepada semua anggota dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kelima, responsif; yakni meningkatkan sensitifitas aparatur pemerintahan terhadap aspirasi publik. Keenam, bervisi; yakni mengembangkan wilayah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dengan pelibatan partisipasi masyarakat dalam semua proses pembangunan sehingga mereka memiliki rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap kemajuan wilayahnya. Ketujuh, akuntabilitas; yakni meningkatkan akuntabilitas dari pembuat keputusan dengan melibatkan semua aspek kepentingan publik. Kedelapan, supervisi; yakni meningkatkan dukungan supervisi dalam operasional pemerintahan dan implementasi dari pembangunan dengan melibatkan sektor privat dan masyarakat umum. Kesembilan, efisiensi dan efektivitas; yakni memberi jaminan pelayanan publik dengan memanfaatkan semua sumber daya yang ada dengan secara optimal dan penuh tanggung jawab. Kesepuluh, profesional; yakni meningkatkan kapasitas dan watak moral dari aparatur pemerintah sehingga mereka dapat menyediakan dan memberikan pelayanan yang mudah, cepat dan akurat. Kesepuluh prinsip tersebut merupakan komitmen yang sudah dibangun oleh seluruh pemerintah daerah yang ada di Indonesia untuk menjadi Pemerintahan daerah yang baik. Sehingga, kita tinggal melihat tingkat implementasi dari komitmen tersebut. Bukan hanya pemerintah yang menjadi bagian penting dari kesepuluh prinsip itu, melainkan juga seluruh stakeholders lainnya, termasuk kelompok bisnis, masyarakat sipil dan partai-partai politik. Namun, kesepuluh
15
prinsip itupun mengalami interpretasi yang berbeda-beda, tetapi dengan maksud yang sama dan seiring. Masyarakat Transparansi Indonesia, misalnya, mengemukakan sembilan prinsip good governance, yakni partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis.17 1.4. Pengertian Dasar TPLD Berangkat dari pemahaman konsep dan prinsip di atas, dapat didefinisikan pengertian dan formulasi ideal dari TPLD. Paling tidak, terdapat empat pengertian mendasar dari konsep ini18 : Pertama, pemerintahan lokal yang memiliki keotonoman dengan otoritas dan sumber daya yang dapat berfungsi sesuai dengan tatanan dan perilaku demokrasi. Kedua, pemerintahan yang akuntabel dan transparan dengan melibatkan masyarakat dan institusi organisasi masyarakat sipil dalam proses pembuatan program, keputusan dan kebijakan. Ketiga, administrasi pemer intahan lokal yang mampu mengantarkan institusi dan struktur pemerintahan itu untuk memutuskan dan berbuat sesuatu untuk mereka sendiri, tanpa terjebak kepada keberpihakan subjektif. Keempat, pemerintahan lokal yang menghadirkan mekanisme untuk kompetisi politik yang jujur, transparan dan akuntabel dalam proses berpemerintahan yang terbuka untuk publik, memberikan respon kepada masyarakat dan diatur oleh hukum. Singkatnya, TPLD adalah pemer intahan lokal yang melaksanakan pr insip responsif, partisipatif, akuntabel, dan meningkatnya model dan metode demokrasi yang efektif. Selain 17
18
Lihat Agung Hendarto dan Nizar Suhendar (Ed). 2002. Good Governance dan Penguatan Institusi Daerah. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, hal. 2-3. Camellie Cates Barnett, Henry P. Minis dan Jerry Van Sant. Desember 1997. Democratic Decentralization. Research Triangle Institute, hal.3.
16
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
itu, tentunya TPLD memerlukan sumberdaya manusia yang memiliki keterampilan teknis, sekaligus juga mampu menyelami setiap persoalan secara imparsial. Dalam era politik yang dialami oleh Indonesia, birokrasi pemerintahan lokal bisa saja dibajak oleh segelintir pemimpin-pemimpin formal dari kalangan partai politik. Hal ini harus dihindari, karena bisa jadi akan berdampak negatif bagi pelaksanaan prinsip-prinsip yang sudah digariskan tadi. Dalam TPLD sangat diharapkan terjadinya peningkatan respon dari pemerintah lokal terhadap kebutuhan masyarakat dan juga terbangunnya interaksi yang intensif dengan masyarakat. Mekanisme pemerintahan yang partisipatif tersebut dapat melalui berbagai pertemuan kelompok kepentingan, dengar pendapat, kunjungan kerja, dialog publik, dan pelibatan masyarakat dalam anggaran serta perencanaan dari sebuah kebijakan. Idealnya pemimpin lokal dapat memanfaatkan forum ini untuk mendapatkan masukan dan sekaligus membangun konsensus dalam kebersamaan bagi berbagai kebijakan yang akan atau sedang digulirkan oleh pemerintah daerah. Menurut Research Triangle Institute (RTI), terdapat tiga karakteristik dari TPLD yaitu: Pertama, meningkatnya akuntabilitas, transparansi dan respon dari pemerintah lokal; meliputi standar etika, ukuran kinerja, informasi terbuka, audit, transparansi, sistem informasi, dan respon terhadap kebutuhan masyarakat, opini dan permintaan. Kedua, meningkatnya peran dari masyarakat sipil; meliputi di dalamnya kompetisi pemilu damai, adil dan jujur untuk semua kekuatan politik di dewan perwakilan, dan juga meningkatnya akses informasi publik serta meningkatnya intensitas semua pertemuan dan berbagai mekanisme dalam pembuatan keputusan. Ketiga, meningkatnya kualitas hidup; termasuk pemberdayaan masyarakat, pelayanan publik, kesamaan akses terhadap pelayanan, peningkatan dalam status ekonomi untuk kelompok masyarakat yang lemah dan sensitivitas peran gender.
17
Sehingga, TPLD paling tidak mencakup pr insip-prinsip akuntabelitas, responsifitas, transparansi, dan juga partisipasi publik. Seyogianya pemerintahan daerah yang ingin lebih demokratis harus mencakup hal-hal tersebut dalam kegiatan pemerintahannya. Dalam hal ini, pemahaman YAPPIKA sebagai organisasi nirlaba yang bergelut bagi kepentingan masyarakat memiliki posisi yang sama dalam pemerintahan lokal yang demokratis yaitu tata pemerintahan yang terbuka, akuntabel, partisipatif dan responsif dalam melayani kepentingan masyarakat luas. Bukan hanya YAPPIKA, melainkan juga pelbagai organisasi masyarakat sipil lainnya adalah bagian tidak terpisahkan dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa satu sama lainnya harus saling meniadakan. 1.5. Otonomi Daerah Dari pemahaman tentang TPLD tersebut, tentu patut dilihat dalam konteks dinamika otonomi daerah yang terjadi di Indonesia saat ini. Konsep, teori atau prinsip tertentu tidaklah bisa dilepaskan dari konteksnya. apalagi otoomi daerah telah menjadi wacana yang menarik ketika dihubungkan dengan isu pemerintahan lokal yang lebih demokratis. Sebagai sebuah wacana, otonomi daerah menjadi lahan yang tepat untuk mengeksplorasi bagaimana Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis diterapkan di seluruh daerah di Indonesia. Bukan hanya ssekadar wacana, otonomi daerah sudah menjadi bagian dari realitas empiris pemerintahan lokal, tepatnya sejak tanggal 1 Januari 2001.19 Padahal, sejak awal kemerdekaan, pendir i bangsa ini menganjurkan agar desentralisasi dan otonomi daerah dijadikan sebagai pertimbangan untuk mengelola bangsa Indonesia yang besar dan majemuk ini. Muhammad Hatta, misalnya, pada tahun 1957 menulis: “Otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya prakarsa sendir i untuk 19
Lihat, misalnya, Wawan Sobari, Dkk. September 2004. Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Surabaya: Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi.
18
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri maka tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga terutama memperbaiki nasibnya sendiri.�20 Akan tetapi, sejak pemerintahan demokrasi terpimpin Presiden Sukarno (1959-1965), demokrasi dan desentralisasi yang didengungkan oleh para pendiri bangsa (termasuk oleh Sukarno sendiri) perlahan sirna, digantikan oleh sentralisasi dan otoritarianisme. Rezim Orde Baru pun melanjutkan sentralisasi tersebut dalam bentuk UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Menurut Ryaas Rasyid21, terdapat dua alasan mengapa wacana otonomi daerah menguak dalam diskusi-diskusi tahun 1990-an manakala pemerintah pusat makin kokoh dengan sentralisasi terhadap daerah; yaitu: Pertama, UU No.5 tahun 1974 dianggap masih relevan, hanya saja belum dilaksanakan secara konsisten. UU tersebut memang menekankan otonomi pada daerah tingkat II (kabupaten dan kotamadya), tetapi belum terwujud keotonomannya. Ada semacam keengganan dari pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan terhadap pemer intah daerah, sebaliknya pemerintah daerah dalam posisi kesulitan unutuk mengoreksi berbagai kebijakan dari pemerintah pusat. Kedua, UU No.5 tahun 1974 sudah harus diganti sama sekali, dikarenakan konsep otonomi dalam UU tersebut yang kurang member i kewenangan dan akuntabilitas daerah untuk melakukan kreativitas dan inovasi di daerah masing-masing. Berangkat dari hal tersebut, kiranya pemerintahan Presiden BJ Habibie merasa perlu untuk membuat kebijakan desentralisasi 20
21
Lihat sampul belakang buku Indra J. Piliang, Dkk (Ed.). November 2003. Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta: Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa. Lihat Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, MA, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya�, dalam Syamsuddin Haris (Ed). 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Derah. Jakarta: LIPI Press, hal 3-4.
19
dengan UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Habibie mengeluarkan kebijakan otonomi daerah karena derasnya tekanan untuk desentralisasi sebagai akibat gerakan reformasi tahun 1998. Di samping pula, adanya kebutuhan bagi daerah untuk diberi kewenangan lebih akibat tersumbatnya keran kebebasan bagi daerah untuk berkreasi. Yang menarik dalam UU No 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan paradigma dalam melihat otonomi daerah yang ada. Pergeseran paradigma tersebut merupakan bentuk dan sebab musabab kondisi sentralisasi yang terjadi pada masa Orde Baru. Paradigma pembangunan yang tersentralisasi menjadikan peran pokok dijalankan oleh pemerintah, sambil mengabaikan peran pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Ditambah pula pengabaian terhadap peran masyarakat dalam pembuatan kebijakan. Akibat paradigma pembangunan yang tersentralisasi tersebut adalah adanya keseragaman pola dan bentuk pembangunan yang sama di semua daerah yang berdampak kepada ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat dalam semua proses kebijakan. Dan masyarakat diacuhkan dalam semua proses tersebut. Padahal peran dan posisi masyarakat perlu dilibatkan dalam hal mekanisme evaluasi kebijakan dan bisa member ikan masukan kreatif dan inovatif dalam pembangunan. Apa yang kita saksikan sangat dalam, yakni gagalnya pembangunan Orde Baru.22 Sehingga, menurut Ryaas Rasyid, tujuan dari kebijakan desentralisasi dengan dikeluarkannya UU No. 22/1999 adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik. Desentralisasi kewenangan yang dimiliki oleh daerah nantinya akan mengalami proses pemberdayaan yang lebih signifikan, karena daerah memiliki keleluasaan, tidak seperti era Orde Baru yang selalu ada keseragaman dari pusat. Implikasinya, daerah akan menjadi lebih ter pacu dalam meningkatkan kemampuan prakarsa dan kreativitas.
22
Andrinof Chaniago. 2001. Gagalnya Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
20
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Analisa kritis Ryaas Rasyid terhadap UU No 22/1999 juga terletak pada dua hal penting, terutama menyangkut bagaimana sikap dan posisi pemerintah daerah dalam hal pengembangan fungsifungsi pemerintahan, yakni: Pertama, mengenai aturan pelengkap sebagai turunan dari UU tersebut belum terfasilitasi dengan baik. Padahal UU tersebut sudah diimplementasikan sejak tahun 2001 yang semestinya urusan aturan pelengkap sudah harus selesai. Bahkan posisi pemerintah daerah menjadi tidak jelas dan dilematis dalam menyikapi hal tersebut, yakni antara menunggu adanya berbagai aturan baru atau terus jalan sambil ber inovasi dalam pengembangan daerah. Kedua, akibat lambatnya gerak pemerintah pusat dalam menyikapi berbagai aturan pendukung tersebut maka terjadi kevakuman yang akan berdampak serius bagi supervisi dan pengawasan dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Kevakuman dapat terjadi manakala pihak yang akan disupervisi (pemerintah daerah) merasa tidak jelasnya aturan yang mendukung hal tersebut. Secara lebih gamblang Sutoro Eko23 memberikan penilaian terhadap kemajuan yang didapat dari UU No.22/1999 (terlihat dalam tabel): Ringkasnya tabel tersebut menjelaskan bahwa ketika berlakunya UU No. 5/1974, justru memperkuat dekonsentrasi kepada pemerintahan di daerah. Implikasinya adalah muncullah penguasa daerah yang harus tunduk dan patuh kepada penguasa pusat. Desentralisasi dalam UU No.22/1999 lebih mengarah kepada bagaimana konteks otonomi daerah diwujudkan dalam bentuk transfer kewenangan, tangung jawab dan keuangan, agar semua bisa dilakukan untuk terciptanya tanggung jawab daerah, yakni kemampuan dan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap masyarakat di daerah. Kemudian, daerah yang otonom tidak lagi 23
Sutoro Eko, “Mengkaji Ulang Otonomi Daerah�, makalah yang disampaikan dalam Seminar “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Pluralitas dalam Perspektif Lokal�, 1-3 Juli 2002, hal.5.
21
21
Tabel Perubahan Paradigma UU Otonomi Daerah NO 1
UU No.5/1974
UU NO 22/1999
Sentralisasi dengan titik berat pada Desentralisasi dekonsentrasi
2
Pemerintahan di Daerah
Pemerintahan Daerah
3
Efsiensi, teknokrasi dan korporatisme
Demokrasi
4
Keseragaman
Keragaman
5
Pemerintahan Birokratis
Pemerintahan oleh Partai Politik
6
Loyalitas Vertikal
Akuntabilitas Lokal
7
Executive Heavy
Legislative heavy
8
Fungsi mengkuti uang
Uang mengikuti fungsi
diseragamkan, melainkan diragamkan dalam jenisnya yaitu daerah otonom provinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota dan kesatuan masyarakat adat. Bahkan daerah khusus yang memiliki kekhasan sendiri seperti Aceh dan Papua adalah contoh yang lain. Proses demokratisasi yang muncul di daerah dapat terlihat dari rekrutmen politik lokal yang lebih terbuka dan kompetitif dibandingkan pada masa Orde Baru. Akibat arus demokratisasi di daerah maka dimungkinkan terjadinya legislative heavy, mengingat posisi antara DPRD dan kepala daerah sederajat, bukan lagi penguasa tunggal, serta memberikan peluang bagi terciptanya akuntabilitas lokal, bukan lagi loyalitas terhadap pemerintah pusat. Di samping itu, pemerintahan yang terbentuk juga akibat institusionalisasi dari pemilu yang memberi peluang hidup dan berkembangnya partai politik sehingga rekrutmen politik harus melalui partai politik. Sementara, isu keuangan pun bergeser menjadi tugas dan kewenangan yang bermanfaat bagi daerah yang ditangani daerah langsung, bukan lagi oleh pemerintah pusat. Hal ini tergambar dalam UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Berbagai analisa dan posisi kritis terhadap UU No.22/1999 dan UU No. 25/1999 menjadi ajang awal yang menarik untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang Tata Pemerintahan Lokal yang
22
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Demokratis. Akan tetapi, belum sampai tiga tahun dijalankan, paket UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 inipun mulai mendapatkan sorotan. Dalam waktu yang sangat singkat, yakni sejak Desember 2003, kedua UU inipun direvisi, sampai munculnnya UU baru sebagai pengganti pada bulan September 2004. UU No 32/2004 sebagai revisi terhadap UU No 22/1999 juga menimbulkan pro kontra, begitu juga UU No. 33/2004 sebagai pengganti UU No. 25/1999. Pro kontra dalam UU No.32/2004 lebih banyak mengkritisi bab Pemilihan Kepala Daerah secara langsung (Pilkada). Kalangan lembaga swadaya masyarakat dan akademisi lebih sepakat apabila bab Pilkada sebaiknya dikeluarkan dari UU No.32/2004 dan disatukan saja dengan UU Pemilu, karena semestinya Pilkada merupakan bagian dari rezim Pemilu, serta bukan bagian dari rezim Pemerintahan Daerah. Persoalan penyelenggaraan Pilkada di daerah konflik seperti Aceh dan Papua juga tidak luput dari kontroversi, termasuk ketentuan menyangkut hak dipilih anggota TNI dan Polri. Hal lain yang patut dikritisi adalah peran sentral pemerintah pusat begitu kental dalam hal mudahnya pusat membatalkan Peraturan Daerah (Perda) apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang lebih tinggi, padahal mekanisme pembatalan seharusnya melalui Mahkamah Agung. Di samping itu, bab tentang Pemerintahan Desa perlu direvisi dalam kewenangan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) dan juga posisi sekretaris desa yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). 1.6. Penutup TPLD yang dikembangkan oleh YAPPIKA ingin memajukan lebih jauh mengenai otonomi daerah yang tentunya lebih demokratis. Tantangan pertamanya datang dari perilaku organisasi dan aktivitas birokrasi pemerintahan daerah yang idealnya lebih memerhatikan kepentingan masyarakat. Namun, dalam era politik, terutama pascapilkada, terlihat betapa birokrasi sedang mencoba meminggirkan netralitasnya. Hal ini terkait dengan persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah yang harus berasal dari partai
23
politik atau gabungan partai politik. Afiliasi politik, terutama secara tertutup, memberikan kenyamanan kepada birokrasi lokal agar tidak dipinggirkan dalam penentuan dan pemilihan formasi pemerintah lokal ketika seseorang yang berasal dari partai politik menjadi kepala daerah yang baru. Penerapan TPLD tentunya membutuhkan peranan pelbagai pihak terkait, terutama pemerintahan daerah, baik eksekutif, maupun legislatif. Dalam kapasitas yang berlainan, peranan pemerintahan pusat juga diperlukan, apalagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang mewakili daerah pemilihan tertentu di tingkat kabupaten, kota atau gabungan kabupaten dan kota dalam satu provinsi. Selain itu, tentunya keterlibatan empat orang anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) RI juga sangat penting, terutama dalam melancarkan arus informasin pusat ke daerah atau sebaliknya, dari daerah ke pusat. Kontribusi penting juga diperlukan dari media massa, baik yang berbasiskan di daerah, ataupun media massa nasional. Arus demokratisasi dan desentralisasi juga banyak digerakkan oleh media massa, terutama dari kecepatan informasi menyangkut daerah tertentu. Banyaknya kasus-kasus berskala lokal, terutama bencana alam, busung lapar, konflik dan korupsi, kemudian menjadi kasuskasus nasional telah didorong oleh pemberitaan pers. Dalam soal akurasi dan transparansi, peranan media massa sebagai watch dog sudah sedemikian pentingnya. Selain itu, komunitas bisnis dan masyarakat sipil akan menjadi sandaran utama dalam pemberdayaan masyarakat lokal dalam kaitannya dengann TPLD. Di kalangan masyarakat bisnis, misalnya, sudah juga mengemuka konsep Good Corporate Governance yang antara lain berisikan soal community development dan social corporate responsibility. Sermentara, bagi masyarakat sipil sendiri, sudah dikembangkan prinsip-prinsip pengukuran kesehatan masyarakat sipil. Sosialisasi dan implementasi dario kecenderungan yang membaik itu tentulah sangat diharapkan, sehingga nantinya kita akan menemukan perbaikan-perbaikan berarti dalam menuju masa depan tatanan pemerintahan lokal yang semakin maju.
24
BAB II Penerapan TPLD di Empat Negara 2.1. Pendahuluan
P
enerapan TPLD di Indonesia tentunya memerlukan perspektif dan perbandingan. Hal ini diperlukan bukan karena konsep ini masih baru di Indonesia, melainkan lebih melihat kelemahan dan kekuatan penerapan TPLD di negara-negara lain sebagai bahan evaluasi, proyeksi dan sekaligus antisipasi. Sebagaimana halnya dengan demokrasi yang merupakan konsep “luar�, Indonesia sebetulnya lebih banyak memerlukan studi-studi perbandingan dengan negara-negara lain di berbagai bidang, termasuk TPLD. Namun, seringkali anggota parlemen Indonesia menerjemahkan studi perbandingan itu dengan studi-studi banding yang hanya bermakna sebagai kunjungan wisata dan belanja. Bahan-bahan menyangkut TPLD sesungguhnya mudah didapatkan, terutama lewat internet. Tanpa harus mengunjungi negara-negara yang bersangkutan, dengan biaya akses internet yang murah, akan terhidang ribuan dokumen yang bisa langsung dibaca. Ketika mengetik “democratic local governance� dalam situs www.google.com, misalnya, ditemukan 16.200.000 bahan untuk diakses dalam waktu 0,16 detik. Melimpahnya bahan-bahan itu menunjukkan betapa TPLD sudah menjadi trend-setter dunia dalam milenium ketiga ini. Sehingga, kalau tidak mengikutinya, terasa sekali Indonesia akan jauh ketinggalan.
Keseriusan pemerintah sangat diharapkan untuk menjalankan TPLD ini. Di kalangan dunia usaha, sudah terbangun kesadaran untuk mewujudkan konsep Good Corporate Governance. Dalam sejumlah pertemuan di kawasan, tercapat sejumlah prinsip penerapan GCG ini, sekaligus evaluasi di sejumlah negara, terutama di kawasan Asia Timur. Pemrakarsa pertemuan-pertemuan itu antara lain Pacific Economic Corperation Council (PECC).1 Walaupun di Indonesia baru coba dilakukan dalam sebagian kecil perusahaan, antara lain PT Timah TBK yang pernah dipimpin oleh Erry Riyana Hardjapamekas 2 , setidaknya langkah-langkah kearah perbaikan sudah dimulai. Penerapan konsep community development, pembagian kepemilihan saham atas dasar stakeholders dan pembagian keuntungan berdasarkan shareholders, misalnya, sudah coba dilakukan, agar perusahaan tidak mengalamai alienasi dar i masyarakat di sekelilingnya. Gejolak perubahan politik tahun 19981999 di Indonesia menunjukkan betapa masyarakat terpancing untuk melakukan penjarahan atas aset-aset perusahaan yang dirasaja tidak member ikan nilai positif bagi masyarakat, sementara perusahaan yang memberikan dampak positif justru dilindungi. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, bab ini akan memuat praktek-praktek TPLD di empat negara, yaitu di Ethiopia, Filipina, Norwegia dan Brazil. Empat negara itu mewakili empat benua, yakni Afr ika, Asia, Eropa dan Amerika Latin. Hanya Norwegia yang bisa disebut sebagai negara paling maju dalam banyak hal, termasuk pemberantasan korupsi, kesejahteraan rakyat, sampai human development index-nya. Sementara Ethiopia adalah negara yang pernah begitu akrab dengan telinga Indonesia, ketika penyanyi kawakan melantunkan lagu menyangkut kelaparan yang melanda negara itu. Filipina adalah negara tetangga Indonesia yang paling 1
2
Jesus Estanislao dan Guo Jiading (Ed). 2001. Good Corporate Governance: East Asian Perspective. Shanghai: PECC. Baca Buku Erry Riyana Hardjapamekas. Desember 2000 (Cetakan Ketiga). Esensi Kepemimpinan: Mewujudkan Visi Menjadi Aksi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Erry juga dikenal sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipandang sebagai lembaga baru yang berwibawa.
26
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
mengalami modernisasi dari segi kebudayaan, sekaligus terlebih dahulu memasuki negara demokratis sejak tumbangnya rezim Ferdinand Marcos pada tahun 1986. Brazil sempat terpuruk secara ekonomi, tetapi paling tidak masyarakat Indonesia mengenalinya lewat tarian Samba para pesohor sepakbola yang bisa dilihat tiap pekan di layar televisi. 2.2. Negara Ethiopia3 2.2.1. Payung Hukum Negara Ethiopia hingga tahun 1974 merupakan negara dengan sistem kerajaan, diperintah oleh Kerajaan Haile Selassie. Sistem pemerintahan yang otoriter dan sentralistik tersebut berlanjut dengan naiknya rezim militer DERG(?) di bawah Mengistu, sehingga menjadikan Ethiopia sebagai negara sosialis Lenin yang sangat sentralistik hingga tahun 1991. Pemerintah transisional yang dibentuk setelah jatuhnya rezim militer, memutuskan untuk mengubah bentuk pemerintahan yang sentralistik menjadi bentuk federal. Alasan utama proses desentralisasi ini adalah politik, mengingat pembagian region merupakan bentuk desentralisasi kekuasaan yang paling sesuai untuk konteks Ethiopia. Pada tanggal 8 Desember 1994, Ethiopia mengadopsi Konstitusi Federal baru yang demokratis. Konstitusi Federal tersebut memuat bahwa “Setiap bangsa dan rakyat memiliki hak untuk melaksanakan pemerintahan sendiri, termasuk hak untuk mendirikan institusi pemerintah di dalam teritorial yang dihuninya�.4 Bisa dikatakan Konstitusi inilah yang memayungi pelaksanaan tata pemerintahan lokal di Ethiopia. 3
4
African Decentralisation Policies and Practices From 1980s and Beyond. Bamidele Olowu. March 2001. Diambil dari Constitutional of The Federal Democratic Republic of Ethiopia, artikel 47 sub artikel 2. Dalam konstitusi ini juga memuat kondisi untuk terpenuhinya hak-hak negara, bangsa, dan rakyat dalam membentuk negara sendiri. www.oefre.unibe.ch/law/icl/et00000_.html
27
2.2.2.Struktur Pemerintahan Lokal Republik Demokratik Federal Ethiopia terdiri dari sembilan negara bagian. Addis Ababa sebagai ibukota negara dan kota Dire Dawa mendapat status administratif khusus dan memiliki dewan yang dipilih. Sedangkan negara bagian (regional state) dan pemerintahan pada tingkat yang lebih rendah mendapatkan mandat konstitusional. Konstitusi Federal memuat bahwa “Pemerintah negara bagian sebaiknya dibentuk di State dan tingkat administratif lain yang dianggap perlu. Kekuasaan yang cukup sebaiknya diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah untuk memungkinkan rakyat berpartisipasi secara langsung.�5 Struktur pemerintahan Ethiopia terbagi menjadi lima tingkatan, yaitu pemerintahan federal, negara bagian, zone, wereda (kabupaten), dan kebele (komune/desa). Negara bagian diberi kekuasaan dan fungsi untuk melaksanakan administrasi negara yang sangat maju pemerintahan otonomnya, sebuah tugas demokratik berdasarkan aturan hukum untuk melindungi dan mempertahankan Konstitusi Federal di dalam negaranya. Tugas negara bagian termasuk tanggung jawab untuk memformulasikan dan mengeksekusi kebijakan ekonomi, sosial dan pembangunan, strategi dan perencanaan. Tanggung jawab lain yang dimiliki adalah mengelola tanah dan sumber daya alam (SDA) lainnya; memungut dan mengumpulkan pajak serta menerima sumber cadangan negara dan mengelola anggaran negara; serta membuat dan mengelola polisi negara dan menjaga tugas publik dan keamanan dalam negara. Konstitusi dan undang-undang negara bagian juga memberikan kekuasaan dan fungsi penting kepada pemer intahan lokal. Pemerintah wereda dan kebele dikelola seperti pada tingkat negara bagian, yang memiliki dewan yang dipilih dan dewan eksekutif. Administrasi wereda memiliki organ sebagai berikut:
5
Constitutional of The Federal Democratic Republic of Ethiopia, artikel 50 sub artikel 4.
28
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
6 6 6 6 6
Dewan, merupakan perwakilan dari kebele. Dewan eksekutif, terdiri dari 12 anggota yang dipilih dari dewan. Badan yudikatif, ditunjuk oleh dewan negara bagian yang dinominasikan dari komisi administrasi yudikatif negara bagian. Kantor hakim wereda, kantor keamanan dan kepolisian wereda. Kantor ekonomi dan pembangunan sosial wereda.
Wereda juga memiliki kantor sektor yang bertanggung jawab secara langsung kepada departemen sektor zone. Wereda diberi kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, peraturan, kebijakan dan arahan yang diputuskan oleh negara bagian; menyiapkan dan memutuskan pelayanan sosial dan rencana pembangunan ekonomi dalam wilayah yurisdiksinya; memutuskan urusan internal wilayahnya, dan untuk mengembangkan lokalitas. Kebele memiliki dewan yang dipilih, badan eksekutif, pengadilan sosial, dan badan sosio-ekonomi dan keamanan. Anggota dewan dipilih secara langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Badan eksekutif terdiri dari 12 anggota yang dipilih dari dewan kebele dan mereka bertanggung jawab kepada dewan. Dilihat dar i aspek birokrasi, pemerintah negara bagian bertanggung jawab untuk mengelola pegawainya sendiri. Pegawai pemerintah di tingkat pemerintah lokal (Wereda dan Kebele) digaji oleh dan bertanggung jawab kepada negara bagian. Konstitusi Federal mengatur pembelanjaan antara pemerintah federal dan negara bagian, yaitu pemerintah federal dan negara bagian masing-masing menanggung seluruh pembelanjaan keuangan yang perlu untuk melaksanakan semua tanggung jawab dan fungsinya, dan pemerintah federal dapat memberi bantuan dan hutang kepada negara bagian dengan beberapa alasan. Hal terpenting dari semua itu adalah bahwa pemerintah federal memiliki kekuasaan untuk melakukan audit dan pemeriksaan pembangunan yang dilakukan oleh negara bagian.6 6
Pasal 97 Konstitusi Federal. www.oefre.unibe.ch/law/icl/et00000_.html.
29
Seperti telah ditulis di atas, konstitusi memberikan kekuasaan kepada negara bagian untuk melakukan pengaturan keuangan sendiri. Negara bagian bebas untuk memungut dan mengumpulkan pajak pendapatan, tanah, kepemilikan pr ibadi, penjualan, pertambangan termasuk sewa tanahnya, dan royalti penggunaan sumber daya hutan. Dalam hal tanggung jawab keuangan, meskipun ada ketergantungan besar pada dana pemerintah federal, sebelumnya negara bagian hanya bertanggung jawab kepada diri mereka sendiri. Tetapi dengan terungkapnya skandal keuangan di tingkat negara bagian pada tahun 1977, maka disusunlah sebuah undang-undang baru. Undang-undang baru tersebut memandatkan negara bagian untuk bertanggung jawab pada auditor federal. Selain auditor di tingkat pemerintah federal, setiap negara bagian memiliki auditor sendiri. Di tingkat negara bagian, tradisi akuntabilitas kepada birokrasi pemerintah lebih tinggi masih terus berlanjut, bahkan sejumlah struktur ada di tingkat lokal untuk mendorong akuntabilitas tersebut. Contoh praktisnya adalah, banyak komunitas yang dapat menggunakan kekuasaannya dalam hal melakukan recall untuk memberhentikan politisi yang korup. Hal ini ser ingkali menyebabkan instabilitas di beberapa negara bagian. Meskipun demikian, praktek ini membantu membangun sebuah kultur akuntabilitas yang baru pada tingkat lokal. Sedangkan dilihat dari aspek kompetisi politik tingkat lokal, meskipun konstitusi memberikan kebebasan bagi warga untuk mendirikan perkumpulan politik, partai yang berkuasa secara efektif mengatur untuk menetralkan partai politik lain, terutama yang berbasis etnis. Kelompok ini tidak terwakili di parlemen dan mereka tidak menguasai regional manapun. Namun, sebagaimana dengan negara demokratik lainnya, menurut kelompok oposisi, pemilu yang demokratik di Ethiopia telah dimanipulasi. 2.2.3. Keterlibatan Masyarakat Sipil Jika ditinjau dari aspek keterlibatan masyarakat sipil, dalam pemerintahan federal Ethiopia ini keterlibatannya sangat terbatas
30
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
dalam memberikan pelayanan publik. Meskipun begitu, dalam sektor kesehatan dan sektor air di daerah-daerah kering terdapat sejumlah lembaga non pemerintah yang cukup aktif bekerja. Bagaimanapun, sangatlah kecil keterkaitan antara sistem pemerintah lokal dan organisasi-organisasi ini. 2.3. Filipina7 2.3.1. Payung Hukum Filipina merupakan negara berbentuk republik. Dalam Konstitusi yang dirativikasi tahun 1987 telah memuat bahwa “Negara menjamin otonomi pemerintah lokal�. Pada tahun yang sama diajukan rancangan undang-undang mengenai pemerintahan lokal. Namun baru pada tahun 1991 pemerintahan Presiden Aquino mengesahkan undang-undang yang bernama Local Government Code tersebut. Dirancangnya undang-undang ini karena sebelumnya pengaruh pemerintahan pusat sangat kuat, sehingga diperlukan adanya aturan yang dapat mengurangi dominasi pemerintah pusat dan untuk menguatkan pemerintah lokal. Jika otoritas dipindahkan ke tingkat lokal, maka keputusan akan dibuat lebih transparan dan pengambilan keputusan akan lebih akuntabel kepada rakyat yang seharusnya mendapat manfaat dari keputusan tersebut. 2.3.2.Struktur Pemerintahan Lokal Filipina merupakan negara demokratik kesatuan. Konstitusi yang dirativikasi pada tahun 1987 tersebut juga memperlihatkan pertanda kembalinya Filipina menjadi negara demokratik setelah 21 tahun dipimpin secara otoriter oleh Presiden Marcos. Struktur pemerintahan terdiri dari nasional, provinsi dan kota yang sangat 7
Diambil dari The 1987 Constitution of the Republic of the Philippines, section 25. www.gov.ph/aboutphil/consart2.asp dan dari paper Democratic Local Governance in the Philippines, yang dipresentasikan dalam acara Yappika di Denpasar pada tanggal 18 Februari 2000 oleh Gerry Bulatao, Sr.
31
padat, kotamadya dan kota, dan barangay (desa). Mindanao dan Cordillera mendapatkan status otonomi khusus sama seperti wilayah ibukota negara. Pemerintahan terdiri dari eksekutif, legislatif bikameral dan yudikatif. Eksekutif terdiri dari presiden dan wakil presiden, serta kabinet. Rakyat memilih presiden dan wakil presiden melalui pemilu setiap 6 tahun sekali. Anggota kabinet ditunjuk oleh presiden dengan persetujuan dari Komisi Penunjukkan (Commission of Appointments). Kongres yang merupakan badan legislatif terdiri dari Senat (Senado) dan Dewan Perwakilan Rakyat (Kapulungan Ng Mga Kinatawan). Senat terdiri dari 24 kursi, setengahnya dipilih setiap tiga tahun dan anggota lain dipilih rakyat melalui pemilu untuk menjabat selama 6 tahun. Dewan Perwakilan Rakyat terdiri dari 214 kursi yang anggotanya dipilih rakyat melalui pemilu untuk menjabat selama 3 tahun. Presiden bisa menunjuk anggota dewan tambahan tetapi Konstitusi melarang Dewan memiliki anggota lebih dari 250 orang. Badan yudikatifnya adalah Pengadilan Tinggi, dengan hakim yang ditunjuk oleh presiden berdasarkan rekomendasi dari Dewan Yudisial. Hakim ini akan menjabat hingga berumur 70 tahun. Dalam Local Government Code mengatur: 6 Devolusi tanggung jawab, sumber daya dan kekuasaan dalam hal pertanian, kesehatan, lingkungan, kesejahteraan sosial, pembangunan infrastruktur pedesaan, konstruksi sekolah publik, dan turisme. 6 Meningkatnya pembagian Internal Revenue dari 12% menjadi 40%. 14% ini dibagi di antara provinsi, kota, kotamadya, dan desa (barangay), dan ditambahkan kepada bisnis dan pajak real estate yang dikumpulkan secara lokal. 6 Otoritas untuk negosiasi pinjaman dan menerima hibah. 6 Pembentukan dewan pembangunan provinsi, kota, kotamadya dan barangay. Paling tidak satu per empat anggota dewan sebaiknya berasal dari MS (?) dan sektor swasta. Rencana pembangunan tahunan perlu persetujuan dari dewan pembangunan ini.
32
32
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
6 6
6
6
6 6 6
Otor itas bagi masyarakat untuk menolak, mengamandemen, atau menyetujui UU dan resolusi. Sistem untuk recall, mengijinkan pemilih terdaftar di masyarakat untuk mengekspresikan “ketidakpercayaan� pada penyelenggara pemilu. Idenya adalah untuk membuat pejabat yang dipilih lebih akuntabel. Tetapi pemilih dapat menggunakan hak ini satu tahun setelah dan satu tahun sebelum pemilu. Karena pemilu dimandatkan oleh konstitusi untuk dilakukan tiap tiga tahun, hal ini berarti pejabat yang dipilih dapat di-recall hanya sepanjang tahun ke dua. Badan khusus lokal untuk kesehatan, pendidikan, panitia pra-kualifikasi tender dan penilaian, perdamaian dan peraturan, dan penegakan hukum. Perwakilan sektoral lokal untuk menjamin buruh, perempuan, dan satu sektor lain (miskin kota, orang tua, pribumi) akan terwakili, karena dipercaya bahwa councilor terpilih secara teritorial dan anggota dewan sering tidak termasuk dalam kategori wakil-wakil tadi. Konsultasi publik dalam seluruh proyek infrastruktur. Pemberian sertifikat izin lingkungan. Reservasi laut lebih dari 15 km dari garis pantai untuk penggunaan perikanan kotamadya.
2.3.3. Keterlibatan Masyarakat Sipil Kunci utama dari Local Government Code adalah desakan pada partisipasi rakyat. Dalam undang-undang tersebut memuat aturan mengenai hubungan unit pemerintah lokal (Provinsi, Kota/ Kotamadya, Barangay) dengan organisasi rakyat dan organisasi non pemerintah (ornop).8 Dalam bab 4 undang-undang itu menyatakan bahwa unit pemerintah lokal harus mempromosikan pendirian dan pengoperasian organisasi rakyat dan organisasi non pemerintah menjadi mitra yang aktif dalam penelusuran otonomi lokal. Undang8
Local Government Code of 1991, chapter 4.
33
undang juga mengatur bahwa unit pemerintahan lokal dapat memasuki joint venture dan bentuk kerjasama lain dengan organisasi rakyat dan organisasi non pemerintah dalam pemberian pelayanan dasar tertentu. Unit pemerintah lokal, melalui kepala eksekutif lokalnya, menyediakan asistensi dan pembiayaan untuk proyekproyek tertentu organisasi rakyat dan organisasi non pemerintah yang diimplementasikan dalam wilayahnya. Dengan berlakunya Local Government Code ini banyak NGO yang diminta untuk duduk dalam berbagai badan pemerintah lokal. Namun ternyata hal ini merupakan tempat yang salah untuk memulai terlibat dalam pemerintahan. Hal ini disebabkan pada masa pemerintahan Presiden Marcos, NGO menjadi sangat sektoral. Sangat sedikit NGO yang memahami kotamadya melalui cara pandang dari sudut yang berbeda. Masalah lain adalah NGO seringkali kurang memahami bagaimana cara pemerintah bekerja. 2.4. Norwegia9 2.4.1. Payung Hukum Norwegia merupakan negara berbentuk monarki yang konstitusional, negara ini dikenal memiliki konstitusi yang sudah sangat tua. Pada tanggal 17 Mei 1814 Norwegia mengadopsi Konstitusinya. Sistem kotamadya yang sekarang, didirikan melalui Local Government Act tahun 1847. meskipun saat ini jauh lebih banyak kotamadya, namun kerangka formal dan sistem untuk pemerintahan lokal sendiri masih sama dengan 160 tahun lalu. 2.4.2. Struktur Pemerintahan Lokal Pada tahun 2001, Norwegia dibagi menjadi 19 county (sama dengan provinsi) dan 435 kotamadya. County dan kotamadya memilih Dewan (Council) masing-masing, jumlah total anggota 9
Diambil dari The role of governor and of the provincial administration, comparative experiences. Patrick Keuleers. UNDP, www.oefre.unibe.ch/ law/icl/no__indx.html dan www.oefre.unibe.ch/law/icl/no00000_indx.html
34
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
dewan seluruhnya kurang lebih 14.000. Menurut aturan dalam Local Gover nment Act, seluruh kotamadya dan county harus mempunyai Dewan, seorang Ketua Dewan (Mayor) dan seorang Kepala Administrasi. Dewan merupakan badan tertinggi dan dapat menentukan kebijakan, kewajiban dan investasi. Dewan dipilih setiap empat tahun. Dalam batasan tertentu, Dewan memiliki hak untuk mengalokasikan dana, menentukan pajak properti, menerima biaya-biaya sewa, dan menggunakan otoritas dalam bentuk peraturan yang mengikat warga. Pemilihan Dewan County dilakukan simultan dengan pemilu kotamadya. County bertanggung jawab untuk mendirikan dan berfungsinya pelayanan kesehatan, pendidikan lanjutan, perencanaan perusahaan county, perdagangan regional dan kebijakan industri, jasa komunikasi, termasuk jalan raya dan transportasi umum, dan melestarikan warisan budaya. Sedangkan kotamadya bertanggung-jawab mendirikan dan berfungsinya pendidikan dasar, pusat kesehatan, perawatan untuk manula, kesejahteraan sosial, tempat rekreasi dan kebudayaan, jasa komunikasi (jalan kotamadya), saluran air (termasuk saluran pengumpulan dan pembuangannya), pemetaan dan survei, perumahan rakyat, pengoperasian sarana umum, dan pemungutan pajak. Lebih dari 100 tahun pertama self-government kotamadya, hubungan antara pemerintah pusat dengan kotamadya bisa dikatakan mutualistik tanpa saling mengganggu. Dengan terjadinya krisis hutang kotamadya yang luas membuat kotamadya menginginkan adanya intervensi kebijakan oleh pemerintah pusat. Hingga saat ini intervensi pemerintah pusat pada jalannya pemerintah kotamadya secara de facto mengurangi kebebasan kotamadya yang seharusnya dimiliki berdasarkan prinsip-prinsip utama peraturan pemerintahan lokal. County merupakan organ yang independen secara hirarki dengan negara dan pemerintah lokal (kotamadya). County memiliki fungsi politik dan administrasi. Gubernur county, selain sebagai kepala daerah, secara formal juga merupakan wakil negara (pusat) di setiap county. Fungsi ini sama dengan fungsi gubernur di Indonesia. Gubernur county harus mengawasi dan mengontrol fungsi yang
35
berhubungan dengan kotamadya. Dia juga memiliki tugas mengelola dan mengarahkan kotamadya, dalam hal administrasi dan ekonomi. Gubernur county juga memiliki peran dalam bidang perlindungan lingkungan, pertanian, jasa pelayanan dan sektor-sektor rumah tangga. Gubernur menjalankan tanggung jawabnya di bawah otoritas Menteri (Department of Government Services), tetapi juga menjalankan fungsinya atas nama menteri lain. 2.5.Brazil10 2.5.1. Payung Hukum Saat ini Brazil adalah negara berbentuk Republik, yang memiliki tujuh konstitusi sejak merdeka. Enam di antaranya adalah konstitusi republik, empat di antara itu, termasuk yang sekarang, adalah konstitusi demokratik. Negara ini kembali menjadi demokratis setelah jatuhnya pemerintahan militer pada tahun 1985, dan diadopsinya Konstitusi pada tahun 1988. Hal ini menjamin kemerdekaan state dan pemerintahan tingkat lokal. Pada tahun 1995, Presiden Fernando Henrique Cardoso, di bawah program reformasi konstitusi, diminta oleh Kongres untuk melanjutkan amandemen Konstitusi, dengan tujuan utama untuk mengurangi monopoli negara. Draft amandemen berisi perubahan sistem keamanan sosial, sistem pajak, pelayanan publik dan peradilan. Semua amandemen ini diterima kecuali sistem keamanan sosial, yang kemudian diubah tetapi belum diadopsi maupun ditolak. 2.5.2.Struktur Pemerintahan Lokal Bentuk pemerintahan Brazil adalah federal. Negara ini terdiri dari 26 state (negara bagian) dan 1 distrik federal. Negara ini juga memiliki hampir 5.000 kotamadya yang otonom. Pada tingkat federal terdiri dari badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kongres Brazil merupakan Kongres bikameral (memiliki dua badan legislatif), 10
Diambil dari www.citymayors.com/government/brazil_government.html dan www.oefre.unibe.ch/law/icl/br__indx.html.
36
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Senat terdiri dari 81 anggota (3 dari setiap state) dan 513 orang sebagai Deputi (Chamber of Deputy). Anggota kongres dipilih tiap empat tahun, pemilu dilakukan pada waktu yang sama dengan pemilu presiden. Pemilu menggunakan daftar terbuka dengan konstituen seluruh state. Pada pemilu tahun 2002, terdapat 19 partai politik, tujuh di antaranya memiliki perwakilan lebih dari 5 persen. Brazil mempertahankan pemisahan antara eksekutif dan legislatif. Dua puluh tujuh gubernur harus mendapatkan lebih dari 50% suara, termasuk pada putaran kedua di antara dua kandidat teratas jika perlu. Dibandingkan dengan tingkat federal, legislatif dari state berbentuk unikameral meskipun deputi dipilih melalui cara yang sama. Di tingkat kotamadya, struktur pemerintah sama dengan tingkat state, ada pemisahan antara eksekutif (Mayor) dan legislatif berbentuk unikameral (City Council). Pemilu untuk memilih Mayor juga memerlukan kemenangan lebih dari 50% suara, dengan pengecualian untuk kota yang penduduknya kurang dari 200.000. Pemilu tingkat lokal ini dilakukan pada tahun kedua antara pemilu presiden, kongres dan state. Sistem peradilan di Brazil merupakan salah satu sistem yang paling otonom di Amerika Latin. Sistem ini independen dari eksekutif secara struktural, dengan pengecualian bahwa Hakim Agung Federal ditunjuk oleh presiden. Terdapat lima sistem peradilan yang paralel, yakni (1) pengadilan rakyat dan penjahat yang diorganisir negara, (2) pengadilan federal berkaitan dengan hukum federal dan konstitusi, (3) pengadilan pemilu, (4) pengadilan militer dan (5) pengadilan buruh. Terdapat tiga tingkat peradilan sebelum Pengadilan Tinggi, yaitu lokal, regional dan superior. Konstitusi tahun 1988 memberikan state kekuasaan, termasuk kontrol eksklusif terhadap sistem kepolisian dan peradilan penjahat, serta berbagi tanggung jawab dengan pemerintah federal dalam bidang kesehatan, pendidikan, pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Pemerintah kotamadya harus berbagi tanggung jawab dengan otoritas federal dan state dalam pelayanan publik, kecuali dalam bidang transportasi. Tanggung jawab utama pemerintah
37
kotamadya berkaitan dengan pendidikan dasar dan membuat rencana pembangunan perkotaan yang populasinya lebih besar dari 200.000 orang. Dari sisi anggaran, baik pemerintah state dan kotamadya tergantung pada transfer federal. Namun state memiliki keuntungan dibandingkan dengan kotamadya karena memiliki sumber pendapatan dari pajak pertambahan nilai. Jumlah penerimaan pajak ini bervariasi, state yang kaya seperti Sao Paulo menghasilkan banyak pajak dari pajak pertambahan nilai, tersebut sementara state yang lebih miskin tergantung pada transfer federal. Relatif kurang jelasnya pemisahan kekuasaan diantara state dan kotamadya, serta adanya kesenjangan sumberdaya keuangan, juga menimbulkan berbagai masalah. Termasuk kurangnya koordinasi di antara otoritas yang berbeda, ketidaksetaraan regional dan disparitas, serta sikap endemik tidak bertanggung-jawab terhadap keuangan oleh state. Untuk mengatasi keterbatasan Konstitusi tahun 1988 tersebut, pemerintahan Presiden Cardoso mengeluarkan Undang-Undang Tanggung Jawab Fiskal pada tahun 2000. Undangundang ini mengharuskan otor itas state dan kotamadya mempublikasikan anggaran pener imaan dan pembelanjaan, membatasi defisit dan alokasi budget, serta membuat pejabat publik bisa dituntut secara hukum atas kejahatannya. 2.6. Perbandingan dengan Indonesia Jika dikaji lebih jauh, tentu tidak terdapat persamaan yang nyaris mirip antara keempat negara itu dengan Indonesia. Riwayat pemerintahan masing-masing juga berbeda, termasuk dalam perjuangan menghadapi kolonialisme. Bagi Indonesia, kolonialisme masih menjadi bagian luka bangsa yang paling dalam, sehingga kelompok-kelompok nasionalis mendapatkan dukungan luas oleh penduduk. Sengketa dengan negara-negara di perbatasan menjadi hal yang langsung memicu sentimen nasionalis penduduk. Sementara, pengalaman keempat negara itu amat berbeda dengan Indonesia.
38
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Negara Indonesia, sebagaimana bunyi konstitusi, adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Sebagai negara kesatuan, tindakan opresif, ofensif dan represif diterapkan kepada daerah-daerah yang melakukan pembangkangan, terutama pada tahun-tahun gejolak politik hubungan pusat dan daerah pada pertengahan tahun 1950an sampai pertengahan tahun 1960-an. Untuk Aceh dan Papua, gejolak itu bahkan sampai memasuki tahun 2005. Provinsi Papua malah masih menyisakan kelompok separatis bersenjata, walaupun jumlahnya tidak pernah diketahui, sekalipun tetap menjadi momok bagi pemerintah pusat di Jakarta. Indonesia juga berpengalaman dalam menghadapi kekuatan bersenjata di Timor Timur yang kemudian melepaskan diri sebagai negara mini Timor Lorosae yang berbatasan langsung dengan Nusa Tenggara Timur. Brazil dan Ethiopia berbentuk federal, sementara Norwegia berbentuk monarki. Hanya Filipina yang lebih mirip Indonesia, sebagai negara republik yang menerapkan prinsip negara kesatuan (unitarian). Indonesia pernah menjadi negara federal, dalam bentuk Republik Indonesia Serikat, namun hanya bertahan sebentar. Bentuk negara federal ini bahkan menyingkirkan elemen-elemen politik yang ingin menerapkannya. Dukungan terhadap bentuk negara federal ini hanya pernah muncul di Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Selatan. Namun, semakin lama, kian sedikit politikus yang mau memperjuangkan bentuk negara federal ini, sekalipun terdapat dukungan yang lumayan luas dari kalangan akademisi pada periode transisi 1998-1999.11 Bahkan untuk menjalankan konsep bikameral di tingkat parlemen pusat pun Indonesia masih setengah hati. Kalaupun pemilu 2004 sudah memilih 128 orang anggota Dewan Perwakilan Daerah, berbanding 550 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, tetap saja DPD RI memiliki banyak keterbatasan. Hal ini menunjukkan dominannya pengaruh dan pemikiran kalangan nasionalis yang sejak
11
Lihat buku federalisme terbitan Suara Pembaruan dan Kompas, serta bukubuku lainnya.
39
awal menerapkan konsep negara integralistik.12 Walaupun terdapat usaha untuk mengubahnya, tetap saja tidak mampu mendapatkan dukungan luas. Perlawanan sangat serius dilakukan oleh kelompok militer yang terus memelihara komando-komando teritorial yang berbasiskan matra/angkatan darat. Pada tingkat pemerintahan daerah sendiri, sebetulnya belum begitu jelas konsep otonomi yang ingin diterapkan. Dengan sebutan daerah provinsi, kabupaten dan kota, terdapat hubungan struktural dengan pemerintah pusat, termasuk dalam soal pengesahan dan penolakan atas peraturan-peraturan daerah. Belum lagi pada belum seimbangnya hubungan struktural partai-partai politik. Desentralisasi politik belum merupakan kebutuhan, sehingga yang terjadi adalah oligarki kepartaian yang berujung kepada tokoh-tokoh tertentu di Jakarta. Untuk itu, diperlukan sejumlah modifikasi dalam sistem pemerintahan. Upaya untuk memperkuat daerah, terutama dalam pergumulan menghadapi hadangan globalisasi, arus modal dalam kapitalisme, sampai kepada universalisme budaya yang dipaksakan dari luar, layak terus dilakukan. Pemberian status otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan rencana pemberian status Pemerintahan Aceh kepada Provinsi Aceh menunjukkan arah yang agak berbeda, sekalipun belum mengarah kepada konsep negara federal. Indonesia masih akan menyaksikan lagi beragam perubahan, baik dalam tingkatan konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah, sampai kepada perilaku politik warga negaranya.
12
Lihat bukunya Marsilam Simandjuntak‌
40
BAB III Apa dan Bagaimana? “Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu; bangunlah dari apa yang mereka punya; tetapi pendamping yang baik adalah, ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, rakyat berkata, “Kami sendirilah yang mengerjakannya�’. Lao Tse (700 sm) 3.1. Pendahuluan
P
ada bab I sudah dijelaskan tentang TPLD. Begitu pula pada bab II menyangkut pengalaman empat negara dalam menerapkan TPLD. Pertanyaannya kemudian adalah apa yang mesti kita lakukan sebagai bagian dari masyarakat sipil? Sejauh mana TPLD bisa diterapkan di Indonesia, lalu bagaimana cara menerapkannya? Sudah cukupkah hanya bersandarkan kepada kemauan baik dari pemerintah pusat dan daerah, tanpa harus lewat advokasi yang serius? Bab ini berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Ada dua hal yang akan dipaparkan pada bab ini. Pertama: tentang political will, realitas yang mendorong political will, dan bagaimana mempertahankan dan memperluas kondisi political will itu. Selain itu infrastruktur (prasyarat) yang diperlukan untuk mempertahankan peluang yang tersedia dan memperluasnya, apa yang telah dicapai dari polical will tersebut, dan strategi yang harus digunakan untuk mencapainya. Pembentukan strategi ini dengan melihat tradisi masyarakat lokal/desa, begitu juga kesiapan kapasitas masyarakat lokal/desa tersebut.
Kedua, tentang kewenangan pusat dan daerah. Bagian ini akan mengevaluasi kewenangan yang diberikan UU no. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, apa saja yang didesentralisasi dan apa saja yang tidak, apa kondisi ideal dari kewenangan ini, dan bagaimana strategi untuk mengisi kewenangannya (antara lain berupa penguatan kapasitas pemerintahan desa). TPLD, sebagai konsep baku, tentunya juga memerlukan fleksibilitas. Bisa jadi hanya sejumlah unsur yang bisa dipenuhi, sementara unsur lain sama sekali tidak bisa dijalankan. Untuk itu, pengalaman dari lapangan sangat diperlukan untuk melihat bagaimana bentuk pelaksanaannya yang tepat dan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. 3.2. Dari Political Will sampai Strategi Perluasan 3.2.1.Political Will Pemerintah Pusat Era reformasi, berupa pergantian kekuasaan dari mantan Presiden Soeharto, telah membuka babak baru bagi Indonesia, hampir di segala bidang kehidupan. Salah satunya menyangkut perubahan atas sistem pemerintahan sentralistik yang telah diterapkan selama 33 tahun oleh pemerintahan Orde Baru dan selama 7 tahun oleh pemerintahan Orde Lama. Desakan agar pemerintah pusat dapat membagi kekuasaannya (dari sentralistik ke desentralistik) yang dilakukan oleh gerakan rakyat dan mahasiswa telah “merubah� paradigma elit untuk memberikan otonomi bagi daerah. Hal ini sering disebut sebagai political will dari pemerintah pusat, atau malahan dari Presiden BJ Habibie yang lebih berpikiran modernis. Political will ini merupakan salah satu syarat munculnya desentralisasi (otonomi daerah). Desentralisasi terjadi ketika negara (pemerintah pusat) membagi kekuasaan, kewenangan, keuangan, kepercayaan dan tanggungjawab pada pemerintahan lokal. Selain itu diharapkan dari basis lokal yang tumbuh hal-hal yang positif, seperti keswadayaan, modal sosial, adat dan pranata lokal, kapasitas dan sumberdaya ekonomi. Desentralisasi juga pada hakekatnya adalah
42
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
politics in command! Pemerintahan daerah akan lebih mampu mengendalikan dan melaksanakan kewenangannya dalam sejumlah bidang, apabila politik relatif stabil di tingkat nasional. Political will pemerintah Indonesia untuk desentralisasi ini termuat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang ini digantikan dengan UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004. Akan tetapi, dibandingkan dengan UU No. 22/1999, maka UU No. 32/2004 menurut banyak pengamat lebih bercorak sentralistik, sekaligus membawa resiko kemunduran otonomi, bahkan demokrasi di tingkat desa. Sejauh ini, pemerintah merasa otonomi adalah pemberian atau hadiah dari pusat, sementara bagi daerah justru merupakan hak. Hal inilah yang harus dijembatani, agar terdapat konsensus dan komitmen nasional setiap pemerintahan untuk tidak lagi menarik desentralisasi menjadi sentralisasi. Penyeragaman dalam sistem pemerintahan di tingkat desa dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru lewat UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. UU ini lahir sebagai pengganti uu No 19/1965 tentang Desapraja yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan. Dalam klausul “menimbang’ UU No 5/ 1979 disebutkan bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif. Penyeragaman struktur pemerintah desa itu termuat dalam Pasal 3 UU No. 5/1979 yang berbunyi: (1) Pemerintah Desa terdiri atas a. Kepala Desa; b. Lembaga Musyawarah Desa. (2) Pemerintah Desa dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Perangkat Desa. (3) Perangkat Desa terdiri atas : a. Sekretariat Desa; b. Kepala-kepala Dusun. (4) Susunan organisasi dan tatakerja Pemerintah Desa dan Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang
43
ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (5) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (4) baru berlaku sesudah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang. Keluarnya UU No. 22/1999 telah mengubah penyeragaman itu. Makanya, sejumlah sebutan kultural muncul ke permukaan, seperti nagari di Sumatera Barat atau subak di Bali. Akan tetapi, keluarnya UU No. 32/2004 juga menyebut ketentuan-ketentuan lainnya, misalnya sekretaris desa yang harus merupakan bagian dari pegawai negeri sipil. Hal inilah yang kemudian memunculkan sejumlah persoalan, antara lain aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh kepala-kepala desa di Jakarta agar juga diangkat sebagai pegawai negeri sipil dan diberikan hak politik. 3.2.2 Infrastruktur untuk Mempertahankan Political Will Berbagai perubahan telah dilakukan sejak tahun 1999, terutama pada tingkatan undang-undang. MPR periode 1999-2004 juga sudah merampungkan amandemen UUD 1945. Sejarah tidak mungkin ditarik lagi ke belakang, ketika negara membuka dirinya atas partisipasi dan aspirasi masyarakat luas, termasuk masyarakat daerah, masyarakat hukum adat, hingga daerah-daerah terbelakang dan masyarakat desa. Kebijakan desentralisasi turut menghasilkan keterbukaan politik di seluruh wilayah Nusantara. Sekalipun begitu, unsur ikutan yang negatif juga mencuat, antara lain maraknya politik identitas, politik etnis, serta upaya ekslusifisme berdasarkan suku dan agama. Hasil dari perubahan yang terjadi pada saat ini adalah masyarakat relatif lebih dapat menikmati kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat, tidak hanya masyarakat kota (di tingkat pusat dan daerah), tetapi juga berbagai masyarakat yang tersebar di berbagai pelosok desa. Namun terdapat juga euforia politik yang membangkitkan politik lokal di berbagai daerah. Kalaupun sifatnya masih tradisional, antara lain simbolisasi kesukuan yang kuat lewat pembentukan sejumlah laskar, hal ini tidaklah bisa dihindari. Keterlambatan pemberian hak politik kepada rakyat memunculkan pemaknaan identitas politik yang berlainan.
44
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Idealnya, kebangkitan politik lokal ini mestinya memang terwadahi dalam era otonomi daerah. Otonomi dan desentralisasi selayaknya bisa memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah, dan keterlibatan rakyat untuk bergerak menggunakan hak demokrasinya dalam masalah-masalah publik yang paling mendasar. Tetapi hal ini belum menjadi perhatian maksimal. Malahan, bagi sebagian elite pemerintahan daerah, otonomisasi tidak disandarkan kepada pelayanan publik, melainkan lebih banyak berupa kesempatan untuk mengendalikan anggaran demi keuntungan pribadi. Hal ini tidak terlepas dari lambannya pembangunan insfrastruktur dasar desentralisasi. Terdapat dua prasyarat yang memungkinkan keterlibatan rakyat dalam era otonomi daerah tersebut: Pertama; pemerintah daerah yang terbuka (dengan produk kebijakan yang berdasarkan kepada kebutuhan masyarakat lokal). Keterbukaan ini sangatlah penting, karena demokrasi identik dengan keterbukaan. Kedua; kapasitas lokal yang memungkinkan masyarakat lokal dapat berhubungan dengan penguasa dan terlibat dalam membuat kebijakan lokal, melobi kepentingan mereka, dan dalam membangun jaringan yang berkenaan dengan masalahmasalah lokal. Bukan hanya di level daerah (baik provinsi, kabupaten atau kota), prasyarat serupa juga dibutuhkan di level desa. Dalam buku “Prakarsa Desentralisasi & Otonomi Daerah� yang diterbitkan IRE1, agar desentraliasi dan otonomi mempunyai makna bagi seluruh entitas desa, maka ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dan dikembangkan: (1) Membuat struktur pemerintahan non-hirarkhis dengan cara membagi kewenangan secara proporsional antara pusat, daerah dan desa, seraya mengembangkan multy level governance; 1
Abdur Rozaki dkk, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Daerah, IRE PRESS, 2005 hal. xxi
45
(2) Membuat local self government di desa yang berbasis pada self-governing community; (3) Menghargai keunikan dan keragaman basis sosio-kultural lokal; (4) Membuat subsidiary (pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan secara lokal) untuk desa; (5) Supervisi, fasilitasi dan capacity building dari supradesa; (6) Ditopang dengan demokrasi: akuntabilitas, transparansi, responsivitas dan wadah representasi; (7) Berorientasi pada pemberdayaan masyarakat; dan (8) berbasis partisipasi masyarakat desa. 3.2.3. Strategi Masyarakat Sipil sebagai Respon terhadap Desentralisasi Untuk mengawal proses desentralisasi di daerah, sangat penting untuk membuat strategi gerakan masyarakat sipil. Strategi ini untuk membentuk gerakan yang luas, kuat dan mengakar di masyarakat sehingga menciptakan “massa kritis�. Dengan strategi itu pula upaya mendorong birokrasi setempat agar memenuhi tuntutan dan perkembangan dar i bawah bisa dicapai. Strategi ini mesti menyesuaikan diri dengan tradisi masyarakat lokal/desa setempat, juga kesiapan kapasitas masyarakat lokal/desa tersebut, jenis birokrasi atau aparatur pemerintah yang dihadapi, sampai kepada persoalan yang hendak dimajukan. Saat ini terjadi pergeseran strategi gerakan masyarakat sipil dalam menangkap peluang desentralisasi di daerah. Bila pada zaman Orde Baru, masyarakat sipil lebih berjuang di ranah ekstraparlementer sebagai kekuatan oposisi yang mengkritisi kebijakan yang dibuat parlemen, bahkan dengan tindakan-tindakan putus asa yang biasa disebut sebagai ratu-adilisme, sekarang ini ada strategi baru yang coba digulirkan oleh masyarakat sipil seperti memasukkan beberapa elemen radikal ke dalam keanggotaan parlemen lewat perjuangan ekstraparlementer dan penguatan basis pengorganisiran rakyat. Strategi seperti ini bisa kita lihat ketika dalam praktek pemilu
46
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
langsung, pilkada dan desakan untuk pembentukan partai politik lokal. Beberapa orang berhasil menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. Muspani, misalnya, adalah salah seorang anggota DPD RI yang mewakili provinsi Bengkulu yang didukung oleh kalangan petani. Dua strategi itu, yakni parlementer dan ekstraparlementer, memiliki sisi positif dan sisi negatifnya tersendiri. Dalam strategi parlementer termasuk dalam hal ini keikutsertaan dalam proses pemilihan kepala dan wakil kepala daerah yang sesungguhnya ranah eksekutif di tingkat lokal. Dua strategi ini sudah dijalankan oleh kekuatan masyarakat sipil di daerah-daerah. Namun, sampai sejauh ini, belum ada evaluasi yang bersifat menyeluruh, lengkap dengan contoh kasusnya. Padahal, gerakan ekstraparlementer menjadi sangat kuat apabila diikuti oleh kepentingan masyarakat luas, sebagaimana terjadi di Porsea, Sumatera Utara, dalam kaitannya dengan penolakan beroperasinya kembali PT Indorayon.2
2
Baca J. Anto dan Benget Silitonga. 2004. Menolak Menjadi Miskin: Gerakan Rakyat Porsea Melawan Konspirasi Gurita Indorayon. Medan: Bakumsu. Baca juga Disertasi Victor Silaen,2004. Gerakan Sosial Baru di Toba Samosir: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Rakyat Terhadap Indorayon (Periode 1983-2000). Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Politik di Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
47
Tabel I Strategi Parlementer dan Executive Oriented Strategi
Positif
Negatif
Menjadi kader Partai Politik
Memudahkan untuk mengorganisir basis dan membangun kekuatan rakyat lewat struktur partai politik
Masuk Struktur Partai Politik (Dewan Pimpinan Pusat atau Dewan Pimpinan daerah)
Infiltrasi atas platform dan program kerja partai politik, serta memengaruhi fraksi di parlemen, serta anggota kabinet, atau bahkan kepala-kepala daerah yang berasal dari partai politik yang dimasuki Kekuatan penyeimbang dari eksekutif, pelaksanaan hak legislasi, anggaran dan kontrol.
Tidak semua basis bisa menerima. Bahkan kemungkinan bisa ditinggalkan basisnya, termasuk perbedaan pilihan partai politik oleh basis masing-masing Ancaman sektarianisme partai politik, ideologisasi, kultus-individu, sampai ketertutupan atas ide-ide perubahan lainnya, apalagi kalau partai politik itu sedang berkuasa. Ancaman lunturnya komitmen dan loyalitas pada perjuangan rakyat, terutama oleh banyaknya fasilitas yang didapatkan Ancaman ikut arus stratus quo yang konservatif dan prokemapanan, serta anti-perubahan Ancaman ikut arus status quo yang konservatif, terjebak dalam birokratisasi pengambilan keputusan.
Masuk Parlemen
Masuk Wakil Kepala Daerah
Menjadi Kepala Daerah
Memengaruhi perubahan yang berpihak pada rakyat dalam program kerja di daerah Membuat peraturan dan program kerja yang berpihak kepada rakyat di daerah
Rekomendasi Strategi ke Depan • Pengawalan oleh gerakan ekstrapalementer • Membuat sekolah rakyat • Ada kontrak politik dalam dukungan program
Dari tabel I di atas terlihat sejumlah hal positif dan negatif dari gerakan intra-parlementer dan kaitannya dengan eksekutif daerah. Strategi ini mempunyai peluang besar untuk diperbaiki, terutama dengan mulai tumbuhnya demokrasi di tingkat lokal, terutama dalam proses pemilihan anggota-anggota parlemen lokal dan eksekutif lokal. Hanya saja, kelemahan masyarakat sipil di daerah juga terlihat, yakni dari segi substansi sampai hal yang bersifat elementer seperti pendanaan.
48
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Kontinuitas sebuah program selama ini banyak ditentukan oleh hubungan antara organisasi masyarakat sipil di daerah dengan lembaga-lembaga dana filantropis yang berasal dari luar negeri, sekaligus juga dengan mitra nasionalnya yang berada di Jakarta. Artinya, independensi dalam soal pendanaan belum memaksimalkan kekuatan filantropis nasional. Sedikit sekali orang Indonesia yang mau menjadi filantropis. Kalaupun ada, biasanya dikaitkan dengan kegiatan sosial perusahaan-perusahaan yang mereka miliki atas nama social responsibilities.
Tabel 2 Strategi Ekstraparlementer Strategi
Positif
Membangun Grup Penekan
Sebagai alat penekan pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat
Membangun Jaringan
Penyatuan kekuatan untuk lebih memberikan dorongan pada isu-isu yang diperjuangkan
Sekolah rakyat
Pengembangan kapasitas dan peningkatan pengetahuan
Kapasitas Lembaga
Menjadikan lembaga menjadi mesin-mesin untuk mencetak output program
Suplai informasi lewat kaukus yang terbentuk di parlemen
Memberikan perspektif dan wacana bagi parlemen untuk memengaruhi kebijakan yang dibuat
Negatif -
-
Ancaman sektarian, tidak mau bersolidaritas Muncul “raja kecil� di tingkat basis, masyarakat menjadi tergantung dan tidak mandiri
Kesulitan untuk membangun platform bersama dan ada sikap kompromi atas isu yang hendak diusung bersama Kesulitan mencari tenaga pengajar, pengembangan modul dan komitmen orang per orang, termasuk pendanaan Dipakai oleh kekuatan lain yang lebih besar yang tidak bisa dikontrol oleh lembaga tersebut Informasi hanya dijadikan sebagai masukan oleh parlemen, tanpa keinginan untuk dijadikan sebagai kebijakan parlemen
Rekomendasi Strategi ke depan - peningkatan SDM organiser untuk mengembangkan basis yang mandiri - mengadakan pertemuan rutin dengan orangorang di pemerintahan dan diparlement - diskusi rutin di berbagai lembaga untuk penguatan jaringan - membuat kurikulum, modul, database pengajar, dan lainlain, untuk menyiapkan sekolah rakyat - data informasi yang tersistemik untuk kemudahan akses - kontrak politik dan penegasan komitmen bagi kawan yang akan bekerja di pemerintahan dan di parlemen
49
Strategi
Positif
M b Membangun sistem pengawasan lewat: lobby, hearing, aksi, juga: • Pemecatan keanggotaa n • Pemutusan dukungan politik
S b i l k Memengaruhi program dan kebijakan yang ada di parlemen maupun di pemerintahan
Negatif j p A Kesibukan anggota parlemen dan pemerintah menyebabkan kegiatan ini sangat tergantung kepada kesediaan mereka memberikan waktu.
Rekomendasi Strategi ke depan i k SDM
Strategi ekstraparlementer juga memiliki ciri positif dan negatif. Hal ini disebabkan oleh persoalan kesinambungan gerakan. Dibutuhkan lebih dari sekadar logistik untuk menjaga agar gerakan ekstraparlementer berjalan efektif dan berkesinambungan. Bisa jadi, serta seringkali, gerakan ini menjadi kempes, ketika ada tokohtokoh gerakan yang berafiliasi dengan kelompok yang dijadikan sasaran. Para pimpinan gerakan diharuskan untuk memantau keseluruhan gerak langkah para anggotanya, tetapi hal ini menjadi mustahil mengingat sebagian besar juga harus mencari makan hari itu agar keluarganya tidak kelaparan. Tindakan represif dari aparat keamanan juga bisa memunculkan trauma, bahkan apatisme. Apapun strategi yang ingin digulirkan untuk merespon desentralisasi ini, terdapat tiga hal yang perlu disiapkan oleh masyarakat sipil yaitu: (a) Basis yang kuat dan mengakar; (b) Kapasitas desa, organisasi dan sumber daya manusia yang memadai; dan (c) Pemerintahan yang responsif. Ketiga elemen itu akan saling memengaruhi. Kalau hanya salah satu elemen yang kuat, bisa jadi akan memunculkan konflik. Padahal, diperlukan kerjasama antara berbagai elemen untuk mempertemukan kepentingan masingmasing. Masing-masing elemen itu selayaknya saling memperkuat, bukan saling meniadakan.
50
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
3.2.3.a. Membangun Basis yang Kuat dan Mengakar Dalam membangun kekuatan basis biasanya terdapat dua strategi yang masing-masingnya mempunyai pendekatan sendiri yaitu strategi pendekatan sektoral (kelompok buruh, tani, Kaum Miskin Kota) dan strategi pendekatan wilayah (kota, des, pesisir, pegunungan). Beberapa penggerak lapangan menilai bahwa pendekatan sektoral ini lebih mudah untuk membangun basis yang kuat karena, pertama, basisnya homogen (semua buruh, semuanya petani atau semuanya Kaum Miskin Kota), kedua, ada kepentingan bersama yang hendak diperjuangkan bersama, serta ada target capaian perjuangan dari pengorganisiran ini. Ketika komunitasnya sama, ada isu yang sama untuk diperjuangkan bersama, maka pengorganisiran sektoral menjadi lebih cepat mengonsolidasikan kekuatannya. Setiap orang yang terlibat di sektor ini akan tergerak untuk bergabung dengan komunitas tersebut karena komunitas ini benar-benar memperjuangkan kepentingan tiap orang di sektor tersebut. Sayangnya pengorganisiran sektoral biasanya sulit untuk digiring melakukan perluasan front ketika isu tersebut jauh (atau tidak bersentuhan langsung) dengan kepentingan basis sektoral. Pengorganisiran basis sektoral biasanya hanya memperjuangkan halhal yang normatif (seperti upah buruh, tanah untuk petani, dan perahu nelayan), dan berdasarkan pengalaman agak sulit memperjuangkan hal-hal yang lebih substansial seperti transparansi, keterlibatan publik, dan pengawasan kebijakan. Bahkan untuk memperjuangkan anggaran publik berdasarkan anggaran negara dan anggaran daerah juga lebih banyak dilakukan kalangan pimpinan organisasi soal kemasyarakatan, padahak sektor-sektor buruh, petani dan nelayan, misalnya, selalu saja muncul dalam anggaran publik ini. Untuk memperjuangkan isu-isu yang lebih substansial, sebenar nya basis wilayah lebih memungkinkan untuk melakukannya. Dalam strategi pendekatan wilayah, asumsinya di wilayah itu berkumpul beberapa sektor (di satu wilayah pemukiman ini, ada yang bekerja sebagai buruh, petani, supir, guru, atau orang kantoran), sehingga semua isu sektoral bisa dielaborasi oleh organiser
51
(penggerak) wilayah untuk dilihat substasi persoalan dari semua sektor tersebut. Misalnya, ternyata faktor dari banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh karena kebijakan privatisasi, pupuk mahal karena ada privatisasi, bahan bakar minyak (BBM) naik karena ada pencabutan subsidi, sehingga akhirnya ada kesepakatan isu bersama lintas sektoral yaitu neoliberalisme sebagai musuh bersama. Semua orang di wilayah tersebut akan membawa isu neolib ini di masingmasing sektornya dan akan merealisasikan isu ini berdasarkan kasus yang ada di sektor masing-masing. Karena itu pengorganisiran wilayah lebih memungkinkan untuk perluasan sektoral, dan perjuangan bersama antar basis komunitas dari berbagai sektor. Namun seringkali agak sulit untuk mengorganisir wilayah karena keberagaman karakteristik orang, isu, kasus atau persoalan yang dihadapi. Akan tetapi hal ini adalah tantangan bagi para organiser itu sendiri. Semakin luas cakupan orang yang terlibat, semakin baik dampaknya bagi pembangunan basis organisasi, terutama untuk mengatasi kesulitan mendapatkan informasi yang sama sekali berbeda. Selain itu, perbedaan sudut pandang dalam agenda-agenda pertemuan organisasi akan menghasilkan langkahlangkah yang lebih komprehensif. Namun, kelemahan lain juga ada, yakni adanya ketergantungan kepada seseorang yang dalam hubungan sosial sudah dianggap sebagai “tokoh� di lingkungannya, baik karena faktor keturunan, kekayaan, agama, lama menetap, sampai faktor lainnya. Apapun strategi yang digunakan, dalam pengorganisiran rakyat harus sesuai dengan karakteristik wilayah (tradisi masyarakat/basis) yang akan didampingi. Namun kita juga mesti kritis terhadap tradisi/ struktur-struktur organisasi masyarakat lokal yang juga mengandung banyak masalah seperti paternalistik, primordialistik, bahkan banyak yang masih sangat feodal dan patriarkis. Untuk itu kita juga harus membangun nilai-nilai, memberi makna baru pada struktur-struktur tradisional tersebut agar menjadi lebih terbuka, lebih demokratis dan egaliter, lebih partisipatif dan lebih berwawasan kesetaraan atau
52
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
keadilan gender.3 Beberapa prinsip pengorganisiran rakyat yang dirumuskan oleh Puter4 adalah: 1. Membangun pertemanan/persahabatan dengan komunitas atau masyarakat 2. Bersedia belajar dari kehidupan komunitas bersangkutan. 3. Membangun komunitas atau masyarakat dengan berangkat dari apa yang ada atau dimiliki oleh komunitas tersebut 4. Tidak berpretensi untuk menjadi pemimpin atau “tetua� dari komunitas tersebut 5. Memercayai bahwa komunitas memiliki potensi dan kemampuan untuk membangun dirinya sendiri hingga tuntas. Satu kunci keberhasilan proses pengorganisasian rakyat adalah memfasilitasi mereka sampai akhirnya mereka dapat memiliki suatu pandangan dan pemahaman bersama mengenai keadaan dan masalah yang mereka hadapi. Proses pengorganisiran rakyat berlangsung terus sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai 5; dengan prinsipprinsip berikut ini: 1. Mulai dari rakyat itu sendiri. 2. Ajak mereka berfikir kritis. 3. Lakukan analisis ke arah pemahaman bersama. 4. Capai pengetahuan, kesadaran, perilaku baru. 5. Lakukan tindakan. 6. Evaluasi tindakan. Menurut Roem Topatimasang dan Jo Hann Tan, secara umum dan sederhana, tahap-tahap proses pengorganisiran rakyat adalah sebagai berikut: 3
4
5
Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang, Mengorganisir Rakyat, SEAPCG & READ, 2003 hal. 95 Ahj. Wazir Wicaksono dan Taryono Darusman, Catatan Pertama Pengalaman Belajar Praktek Pengorganisiran Masyarakt di Simpul Belajar, Yayasan Puter , 2001 hal. 5 Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang, Mengorganisir rakyat, SEAPCG & READ, 2003 hal. 10
53
6
6
6
6
54
Pendekatan kasus. Mulai melakukan pendekatan dengan kasus tertentu dengan menangani masalah-masalah khas yang mereka hadapi. Mencari penghubung. Memfasilitasi proses-proses yang membantu, memperlancar, dan mempermudah rakyat setempat agar pada akhirnya nanti mampu melakukan sendiri semua peran yang dijalankan oleh organiser. Untuk itu seorang organiser rakyat harus memiliki penghubung yang tepat di masyarakat, pengetahuan yang kerakyatan (progresif) dan, tentu saja, keterampilan teknis mengorganisir dan melakukan proses-proses fasilitasi tersebut. Merancang Strategi. Pengorganisiran rakyat, pada akhirnya, bertujuan untuk melakukan dan mencapai perubahan sosial yang lebih besar dan lebih luas, karena itu dibutuhkan strategi. Strategi harus berdasarkan analisis keadaan/kondisi wilayah, rumusan kebutuhan dan keinginan masyarakat, sumber daya dan kemampuan masyarakat, kekuatan dan kelemahan masyarakat sendiri dan “lawannya�, dan rumusan bentuk tindakan dan upaya yang kreatif. Jika keadaan/kondisinya berbeda, maka taktiknyapun berbeda. Seorang organiser, bersama rakyat yang diorganisirnya, dituntut untuk menggalang dukungan dari berbagai pihak jika mereka ingin mencapai tujuan perjuangannya. Mengerahkan aksi. Pengerahan aksi massa tidak selalu berarti melakukan pawai unjuk rasa di jalan-jalan. Berbagai bentuk kegiatan sederhana dan keseharian yang melibatkan sekelompok kecil orang saja, tetapi dilakukan dengan sengaja untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, sebenarnya juga merupakan bentuk pengerahan aksi. Aksi-aksi sederhana semacam itu justru ser ing lebih berhasil menumbuhkan kembali rasa percaya diri untuk berupaya mengatasi masalah dan merubah keadaan. Ada beberapa prinsip yang harus diterapkan yaitu bahwa aksi harus mengutamakan agenda rakyat sendiri; rakyat sendiri, bukan
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
6
6
organiser, yang menjadi pelaku utama aksi; rakyat terlibat dalam keseluruhan proses secara demokratis dan mengandung kepekaan dan per imbangan gender; strateginya dirancang dan dilaksanakan menurut kemampuan rakyat sendiri; informasi dan media yang digunakan harus kreatif dan mudah difahami oleh orang awam; tidak menganggap sepele persolan-persoalan teknis (kecermatan informasi, kesiapan peralatan, ketepatan waktu, dan sebagainya) dan ada evaluasi bersama sesudah aksi terjadi. Meskipun aksi-aksi pengerahan massa cukup efektif untuk memberikan tekanan politik dan membentuk opini umum, namun bukan satu-satunya cara. Menata Organisasi. Membangun organisasi rakyat berarti juga membangun dan mengembangkan satu organisasi yang didirikan, dikelola dan dikendalikan oleh rakyat setempat sendiri. Juga berarti membangun dan mengembangkan suatu struktur dan mekanisme yang menjadikan mereka, pada akhirnya, sebagai pelaku utama semua kegiatan organisasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dan tidak lanjutnya. Bahkan, sejak awal sebenarnya struktur dan mekanismenya itu harus dibentuk oleh rakyat setempat sendiri. Membangun sistem pendukung. Harus dipikirkan juga soal yang menyangkut dukungan atas pengorganisasian rakyat itu, seperti penyediaan bahan-bahan dan media kreatif, pengembangan kemampuan dan strategi pelatihan, dukungan penelitian, kajian dan informasi, dukungan sarana dan prasarana kerja.
Bargaining position bisa menjadi kuat, apabila pihak yang ingin dituju melihat ada kelompok grassroots dalam setiap gerakan. Grassroots ini juga akan sangat menentukan bagi scope dan wilayah pekerjaan. Apabila masyarakat petani memperjuangkan nasib buruh industri, misalnya, akan lebih mudah untuk dikendalikan dan dialihkan aspirasinya. Tetapi kalau petani memperjuangkan nasib buruh tani atau perkebunan, bisa jadi akumulasi kekuatannya
55
menjadi lebih besar dan massif. Sehingga, dibutuhkan informasi yang lebih lengkap dan detil menyangkut strategi pembangunan basis yang kuat dan mengakar ini. Apalagi, di tingkat basis, afiliasi masing-masing orang juga beragam, baik dalam organisasi politik, agama, kesukuan, sampai yang sifatnya arisan. Jangan sampai muncul pandangan negatif betapa organisasi baru yang dibikin adalah sesuatu yang asing. 3.2.3.b. Meningkatkan Kapasitas Desa, Organisasi dan SDM yang Memadai Orang sering melihat bahwa peningkatan organisasi rakyat (OR) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Non Pemerintah (Ornop) sudah cukup untuk mendorong demokratisasi di tingkat desa, apalagi dengan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Padahal, selain dua hal tersebut, peningkatan kapasitas desa, juga menjadi prioritas utama untuk diperhatikan, karena kapasitas merupakan sebuah esensi dan basis otonomi (kemandirian) masyarakat desa. Kemampuan merupakan modal dasar bagi kemandirian. Di sisi lain, kapasitas pemerintah dan masyarakat lokal merupakan bagian inheren dalam proses desentralisasi. Peningkatan kapasitas desa, organisasi dan SDM adalah prayarat utama untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratik. IRE dalam buku “Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa� mengutip Anneli Mile (2001)6 mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individual, organisasi dan sistem untuk menjalankan dan mewujudkan fungsi-fungsinya secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Kapasitas juga dilihat sebagai kemampuan untuk mencapai kinerja, untuk menghasilkan keluaran-keluaran (output) dan hasil-hasil (outcames). Berangkat dari definisi itu tampaknya kapasitas bekerja pada tiga level yang saling terkait. Pertama, level individu, yaitu tingkat ketrampilan dan kualifikasi individu berupa uraian pekerjaan, 6
Milen, Anneli, (2001), What do we know about capacity building? An overview of exiting knowledge and good practice, World Health Organization, Geneva
56
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
motivasi, dan sikap kerja. Kedua, level kelembagaan atau organisasi, yaitu tingkat kemampuan badan/lembaga dengan struktur organisasi tertentu, proses-proses kerja dan budaya kerja. Ketiga, level sistem yang menetapkan kondisi-kondisi kerangka yang memungkinkan (enabling) dan yang membatasi (constraining) bagi pemerintah, dan dimana berbagai komponen sistem berinteraksi satu sama lain. Penguatan kapasitas bukan hanya sekadar pendidikan, pelatihan, penataran, penyuluhan, dan sosialisasi atau magang atau yang lainnya. Pengembangan dan peningkatan kapasitas menurut kerangka nasional pengembangan kapasitas pemerintahan daerah yang dirumuskan pemerintahan pusat ini mengacu pada kebutuhan akan penyesuaian kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan, reformasi kelembagaan, modifikasi prosedur-prosedur kerja dan mekanisme-mekanisme koordinasi, peningkatan keterampilan dan kualitas sumber daya manusia, perubahan sistem nilai dan sikap atau prilaku sedemikian rupa, sehingga dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan otonomi daerah, sebagai suatu cara pendekatan mekanisme-mekanisme partisipatif yang tepat guna memenuhi tuntutan yang lebih demokratis. 3.2.3.c. Mendorong Pemerintahan yang Terbuka dan Responsif Desentralisasi merupakan upaya mendorong proses demokrasi di tingkat pusat agar dapat sampai di tingkat lokal (daerah) untuk perwujudan TPLD. TPLD bisa terbentuk jika ada pembagian peran antara pemer intahan lokal dengan kelembagaan politik, kelembagaan ekonomi dan kelembagaan sosial dalam membangun pemerintahan yang demokratis, dan tentu saja keterlibatan rakyat dalam proses legislasi, pengawasan, anggaran dan penumbuhan kekuatan rakyat sebagai penyeimbang kekuasaan. Karena itulah, syarat dari pemerintahal lokal yang demokratis adalah partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Partisipasi rakyat ini harus mengejawantah dalam dorongan untuk mendesak pemerintahan yang terbuka dan responsif, baik di tingkat Rt/Rw, desa, kelurahan, kecamatan, sampai di kantor-kantor
57
pelayanan publik seperti rumah sakit, puskesmas, kantor pos, pemadam kebakaran, pengendali banjir, atau kantor imigrasi. Rakyat berhak mendapatkan informasi tentang kenapa harga obat mahal misalnya, kenapa subsidi rumah sakit di daerah setempat kecil, kenapa dana subsisi bahan bakar minyak terlambat, kenapa mobil pemadam kebakaran datang setelah rumah habis dilalap api, kenapa sarana pengendali banjir tidak ada, atau sampai kepada kenapa biaya pengurusan pasport untuk bekerja ke luar negeri tiba-tiba menjadi mahal. Rakyat harus mendorong aparatur pemerintah untuk transparan, akuntabel dan melayani rakyat dengan baik. Dorongan itu juga bisa diarahkan kepada tingkat legislasi nasional, misalnya dalam pembuatan UU tentang Pelayanan Publik, UU tentang Penanganan Bencana Alam, sampai kepada peraturan pelaksananya, mulai dari tingkat Peraturan Pemerintah, sampai ke tingkat Peraturan Daerah. Namun, seringkali undang-undangnya sudah tersedia, akan tetapi masyarakat belum mengetahuinya, apalagi memahaminya dengan baik. Untuk itu juga diperlukan sosialisasi atas undang-undang sampai peraturan pelaksanaan lainnya. Sampai tingkatan tertentu, pemerintah juga layak menyusun apa yang disebut sebagai service charter, yakni pernyataan tentang sebuah pelayanan. Bunyinya, misalnya, “Apabila kartu tanda penduduk anda tidak selesai dalam waktu dua hari, maka anda berhak menuntut kami.� 3.2.4. Kewenangan Pemerintah Daerah Sebagai konsekuensi dar i negara demokratis yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, maka pemerintah (dalam hal ini lembaga eksekutif) sebagai representasi dari pilihan rakyat secara langsung memiliki tanggung jawab dalam kewenangan di pemerintahan secara nasional. Isi kewenangan (atau urusan) pemerintah pusat mencakup kewenangan pemerintahan umum yaitu pengaturan kehidupan politik, sosial, ketertiban, pertahanan dan keamanan, dan di luar kewenangan pemerintahan umum seperti penyediaan pelayanan kepada masyarakat (kesehatan, telekomunikasi dan lainnya).
58
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Ada dua pendekatan dalam pendistribusian kewenangan antara pusat dan daerah yaitu: pertama, berdasarkan basis kewilayahan dan kedua, berdasarkan pada basis fungsional. 7 Basis ter itor ial kewenangan untuk menyelenggarakan urusan lokal didistribusikan di antara satuan wilayah (state local government) dan pemerintah lokal (self local government). Sedangkan basis fungsional kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan lokal didistribusikan kementerian pusat dan agen-agen yang di luar kantor pusat sebagai pelaksana kebijakan darinya. Pemer intah pusat mendistr ibusikan kewenangan penyelenggaraan urusan lokal tersebut pada badan-badan pelaksananya, baik secara fungsional ataupun teritorial. Sifat hubungannya pun saling terkait. Pemer intah pusat dengan mengombinasikan dua prinsip tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal juga bisa menerapkannya dalam semua kegiatan. Untuk urusan tertentu seperti pelayanan pos, jalan kereta api, pertahanan keamanan, politik luar negeri ditekankan pada distribusi fungsional. Pada urusan ini kementerian pusat dan semua agennya tidak perlu berbagi tanggung jawab dengan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan untuk urusan lainnya, seperti jalan raya, kesehatan, pendidikan, posisi kementerian pusat dan agen-agen di provinsi dan kabupaten/kota dapat berbagi peran dan tanggung jawab dengan pemerintah lokalnya.8 Ada dua cara penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah.9 Pertama, Ultra Vires Doctrine, yakni pemer intah pusat menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dengan cara merinci satu per satu. Daerah otonom hanya boleh menyelenggarakan wewenang yang sudah diserahkan, 7
8 9
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2005, hal.73. ibid, hal.74 ibid, hal.75-76
59
sedangkan sisa wewenang dari wewenang yang diserahkan tetap dipegang oleh pusat. Cara seperti ini terlihat dalam UU No. 5/ 1974 tentang Pokok-pokok Pemer intahan di Daerah. Pemerintah pusat memberikan kewenangan setahap demi setahap dalam urusan tertentu yang disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan daerah yang bersangkutan. Kedua, Open End Arrangement atau General Competence yaitu daerah otonom boleh menyelenggarakan kewenangan semua urusan di luar yang dimiliki oleh pusat. Sederhananya cara ini menyebutkan di luar kewenangan pusat semuanya adalah kewenangan daerah, dan daerah diminta menyelenggarakan dengan baik dan bertanggung jawab. Cara kedua inilah yang dianut dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan penggantinya UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah . Disebutkan dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No. 22/1999 bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal serta agama. Kewenangan lainnya yaitu kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional. Di luar semua kewenangan itu adalah wewenang daerah. Pelaksanaan kewenangan daerah telah ditetapkan dalam UU No. 32/2004 yaitu menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah, yang meliputi hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya, yang dilaksanakan secara adil dan selarasa, kecuali urusan sebagai berikut: (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisi; (5) moneter dan fiskal nasional; dan (6) agama.
60
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Selain kewenangan tersebut, untuk mewujudkan cita-cita ideal tentang konsep desentralisasi maka pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota), sebagaimana bunyi pasal 13 dan pasal 14 UU No. 32/2004, mempunyai urusan wajib daerah, yakni: 1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. Penanganan bidang kesehatan; 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15.
16.
Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; Penanggulangan masalah sosial (untuk provinsi: lintas kabupaten/kota); Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah (untuk provinsi termasuk lintas kabupaten/ kota); Pengendalian lingkungan hidup; Pelayanan pertanahan (untuk provinsi: termasuk lintas kabupaten/kota); Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; Pelayanan administrasi umum pemerintahan; Pelayanan administrasi penanaman modal (untuk provinsi termasuk lintas kabupaten/kota); Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya (untuk provinsi: termasuk yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/ kota); dan Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
61
3.3. Sejumlah Contoh Kasus Dalam berbagai har ian nasional dan lokal, kita ser ing menemukan artikel-artikel menarik sehubungan dengan kasus-kasus yang terjadi di tingkat desa. Dua kasus dapat dilihat di bawah ini: Pertama, dalam kasus pertanahan. Dalam kasus ini, warga suku Jering yang mendiami Desa Kundi, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bang, berhasil mempertahankan tanah desanya yang semula ingin ditanam kelapa sawit oleh PT GSBL di desanya. PT GSBL mendapatkan izin prinsip dari Menteri Pertanian, Dirjen Perkebunan bahkan Bupati Bangka ketika itu. Kini, untuk melindungi wilayah desa yang diwariskan para leluhurnya, warga Kundi dibantu jaringan LSM membuat sendiri peta wilayah desa mereka. Dengan hanya ber-bekal kompas dan alat penunjuk lokasi, pembuatan peta di-selesaikan dalam waktu hampir satu bulan. Peta itu terbilang cukup lengkap, menggambarkan dengan jelas mana wilayah hutan adat, mana wilayah tanah keramat, mana wilayah permukiman desa, dan lain-lain. Bersamaan dengan penyelenggaraan Sedekah Kampung tahun ini, pada 27 Agustus 2001 lalu peta desa itu “diresmikan” dengan ditandatangani oleh delapan Jenang (dukun kampung) Desa Kundi. Peta itulah, dokumen formal kepemilikan tanah suku Jering di Desa Kundi.10 Kedua, dalam kasus pendirian sekolah rakyat. Bingkat, sebuah desa yang terletak di antara perkebunan sawit, sekitar tujuh kilometer dari jalan trans-Sumatera di Kabupaten Deli Mendagi, Sumatera Utara, akhirnya memiliki madrasah tsanawiyah (MTs). Padahal, desa itu diberi label oleh pemerintah Orde Baru sebagai sarang pendukung Barisan Tani Indonesia, organisasi yang berpayung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Label PKI itu menjadi “meterai” turun-temurun bagi warga Bingkat. Label itu telah menutup semua peluang warga Bingkat dan anak cucunya untuk
10
Lihat laporan Rakaryan Sukarjaputra, “Cara Kundi Mempertahankan Tanah”, Kompas, 4 September 2001.
62
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
menjadi pegawai negeri, bahkan untuk menjadi buruh tetap perkebunan yang mengepung wilayah desa itu. Bersama sejumlah rekannya, juga Lely Zailani yang pernah menjadi muridnya di Madrasah Aliyah Perbaungan, Sudarno mengajak lulusan sekolah dan perguruan tinggi di desa itu untuk mengajar dan mendirikan sekolah. Bersama Abdul Choliq, lulusan IAIN Sumatera Utara, Sudarno memfokuskan kegiatan mengembangkan madrasah tsanawiyah (MTs). Sementara Lely lebih berkonsentrasi menggerakkan ibu-ibu dan mengembangkan sanggar belajar untuk anak-anak prasekolah.11 Kedua contoh itu adalah bentuk keberhasilan berdasarkan inisiatif masyarakat sendiri, termasuk atas bantuan LSM yang muncul di koran nasional. Persoalannya, koran daerah biasanya menghadapi kesulitan memunculkan tulisan seperti itu, terutama yang mencoba mengkritik pemerintah atau dunia usaha, mengingat kesulitan dalam hal perlindungan. Selain keberhasilan gerakan itu, banyak yang juga mengalami kegagalan dan bahkan berujung kepada kekerasan oleh aparat keamanan. Dalam masa Orde Baru, bukan hanya aparat kepolisian yang menghadapi masyarakat, melainkan juga aparat TNI (atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, kala itu). Pada masamasa mendatang, inisiatif warga masyarakat desa sendiri sangatlah diperlukan, terutama untuk mengurangi dampak-dampak negatif dari moden infiltrasi dan intervensi pembangunan yang datang dari tingkat pemerintahan di atasnya. 3.4. Penutup Uraian di atas memperlihatkan betapa luas dan lapangnya ruang partisipasi publik dan urusan wajib daerah, apabila dilaksanakan secara maksimal. Sistem pemerintahan yang sentralistik kenyataannya menghancurkan banyak sekali sumber-sumber daya daerah, termasuk sumber ekonomi, social capital, sampai kuturalnya. 11
Lihat laporan P Bambang Wisudo, “Perlawanan Guru Mewujudkan Sekolah Rakyat�, Kompas, 11 Desember 2004.
63
Pelaksanaan desentralisasi membuka peluang bagi munculnya daerah sebagai pionir atau ujung tombak perubahan. TPLD menjadi salah satu bentuk bagi pemberdayan pemerintahan daerah, berikut juga masyarakat daerah itu sendiri. Upaya untuk membangun sinergi kepentingan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil, misalnya, juga mengandalkan masyarakat yang sama. Selayaknya dibangun saling pengertian antara berbagai elemen itu untuk saling bekerjasama, tetapi sekaligus juga saling melakukan kontrol. Sudah bukan zamannya lagi pemerintah dan rakyat berjalan sendiri-sendiri, karena hanya akan merugikan negara dalam jangka panjang. Gambaran yang bersifat konseptual, teoritis dan praktis pada bab ini hanyalah sebagian kecil dari apa yang bisa dituliskan. Sesungguhnya, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan, termasuk berdasarkan pengalaman pemerintah dan masyarakat di negaranegara lain, baik yang masuk kategori negara berkembang atau negara maju dan moderen. Adalah kehormatan bagi kita bersama, apabila pelbagai pengalaman baik bisa dituliskan dan dijadikan referensi, termasuk juga pengalaman-pengalaman buruk yang berbuah kepada kegagalan. Sembari terus berharap betapa masa depan masyarakat Indonesia akan beranjak ke taraf hidup yang lebih baik, rasanya juga menjadi penting bagi kita untuk mengerjakan hal-hal yang bermanfaat bagi kepentingan kita bersama.
64
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
Daftar Pustaka 1. Abdur Rozaki dkk, 2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: IRE PRESS. 2. Agung Hendarto dan Nizar Suhendar (Ed). 2002. Good Governance dan Penguatan Institusi Daerah. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia. 3. Ahj.Wazir Wicaksono dan Taryono Darus-man. 2001. Catatan Pertama Pengalaman Belajar Praktek Pengorganisiran Masyarakt di Simpul Belajar. Bogor: Yayasan Puter. 4. Andrinof Chaniago. 2001. Gagalnya Pembangunan. Jakarta: LP3ES. 5. Anneli Milen. 2001. What do We Know about Capacity Building? An Overview of Exiting Knowledge and Good Practice. Geneva:World Health Organization. 6. Bamidele Olowu. March 2001. African Decentralisation Policies and Practices From 1980s and Beyond. 7. Camellie Cates Barnett, Henry P. Minis dan Jerry Van Sant. Desember 1997. Democratic Decentralization. Research Triangle Institute. 8. Canada International Development Agency. July 1997. Redefining The Concept of Governance. CIDA. 9. Constitutional of The Federal Democratic Republic of Ethiopia. 10. Gabor Soos. March 2001. The Indicators of Local Democratic Governance Project: Concepts and Hypotheses. Budapest: Open Society Institute. 11. Gerry Bulatao, Sr., “Democratic Local Governance in the Philippines�, Makalah yang dipresentasikan dalam acara Yappika di Denpasar pada tanggal 18 Februari 2000.
65
12. Gregorius Sahdan, “Tantangan dan Peluang Democratic Governance PascaPemilu 2004”, dalam JURNAL ANALISIS CSIS, Volume 33, No. 1, Maret 2004. Democratic Governance PascaPemilu 2004"Indonesia. maupun rein, demokratisasi dan desentralisasi. 13. Hanif Nurcholis. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo. 14. Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (Ed). 2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara Lain. Bandung: Mizan. 15. Indra J. Piliang, Dkk (Ed.). November 2003. Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta: Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa. 16. J. Anto dan Benget Silitonga. 2004. Menolak Menjadi Miskin: Gerakan Rakyat Porsea Melawan Konspirasi Gurita Indorayon. Medan: Bakumsu. 17. Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang. 2003. Mengorganisir Rakyat. SEAPCG & READ. 18. Konstitusi Federal Amerika Serikat 19. Local Government Code of 1991. 20. P. Bambang Wisudo, “Perlawanan Guru Mewujudkan Sekolah Rakyat”, Kompas, 11 Desember 2004. 21. Patrick Keuleers. The Role of Governor and of The Provincial Administration, Comparative Experiences.UNDP. 22. Rakaryan Sukarjaputra, “Cara Kundi Mempertahankan Tanah”, Kompas, 4 September 2001. 23. Rob Imrie dan Mike Raco, “How New is the New Local Governance? Lessons from the United Kingdom”, dalam Journal Transactions of the Institute of British Geographers, Vol. 24, No.1, 1999. 24. Sutoro Eko, “Mengkaji Ulang Otonomi Daerah”, makalah yang disampaikan dalam Seminar “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Pluralitas dalam Perspektif Lokal”, 1-3 Juli 2002.
66
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis
25. Syamsuddin Haris (ed). 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Derah, Jakarta: LIPI Press. 26. Syarif Hidayat. September 2000. Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan ke Depan. Jakarta: Pustaka Quantum. 27. The 1987 Constitution of the Republic of the Philippines. 28. USAID. May 2000. Decentralization and Democratic Local Governance Programming Handbook. USAID: Washington DC. 29. Wawan Sobari, Dkk. September 2004. Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Surabaya: Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi. 30. Victor Silaen. 2004. Gerakan Sosial Baru di Toba Samosir: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Rakyat Terhadap Indorayon (Periode 1983-2000). Disertasi yang diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Politik di Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. 31. Yayasan API. Juli 2001. Panduan Parlemen Indonesia. Jakarta: Yayasan API.
Website 32. w w w . c i t y m a y o r s . c o m / g o v e r n m e n t / brazil_government.html 33. www.gov.ph/aboutphil/consart2.asp 34. www.oefre.unibe.ch/law/icl/br__indx.html. 35. www.oefre.unibe.ch/law/icl/et00000_.html 36. www.oefre.unibe.ch/law/icl/et00000_.html. 37. www.oefre.unibe.ch/law/icl/no__indx.html www.oefre.unibe.ch/law/icl/no00000_indx.html
67