Jurnal Tsaqafah: Tulisan Terpilih

Page 1


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam Hamid Fahmy Zarkasyi* Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Indonesia Email: hfzark4@gmail.com

Abstract This article aims at promoting an appropriate term to depict the substantial meaning of Islamic civilization. Even though there are various terms in Arabic that refer to the meaning of civilization, such as h}ad}ârah, tsaqâfah, ‘umrân, the term that substantially compatible with Islam is tamaddun. From a linguistic perspective the root of tamaddun can be traced back to the word dîn, meaning religion. In this case the relation between civilization in the form of scientific movement and political authority with religion is considerably clearer and even provable with historical facts. From the time of the Prophet Muhammad, Umayyad Caliphate, Abbasid Caliphate, until the Ottoman Caliphate the relationship of religion and civilization was manifested. In Islamic history, when Islam entered to a region, the knowledge there will grow rapidly so as to bring prosperity and welfare. When Islam expanded its territory, it did three important stages: First, the expansion of political power dominated by military forces; second, the spreading of religion to the society such Islamic preaching and scientific activity based on al-Qur’an was dominated. Here, the people tried to integrate the teaching of al-Qur’an with the science that comes from other civilizations, especially Greek, Indian, and Persian; third is the spreading of Arabic language to become the official language of science and communication. These three stages proved that the widespread political power in Islamic history was always based on dîn and the development of science, which in turn, becomes civilization of science as well as religion, which defines tamaddun. Therefore, Islam accepted by any nation either non-Muslim or non-Arab for it departed from rational dîn which develops into tamaddun.

Keywords:

Dîn, Tamaddun, Scientific Tradition, Politic, Concept

* Kampus Pusat UNIDA Gontor, Jl. Raya Siman Km. 06, Siman, Ponorogo Jawa Timur, Telp: +62352 483762 Fax: +62352 488182

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


2

Hamid Fahmy Zarkasyi

Abstrak Makalah ini bertujuan untuk mengangkat istilah yang tepat untuk menggambarkan makna peradaban Islam secara substantial. Meskipun dalam bahasa Arab terdapat berbagai istilah yang merujuk kepada makna peradaban, seperti h}ad}ârah, tsaqâfah, ‘umrân dan sebagainya, namun istilah yang secara substansial sesuai dengan watak Islam adalah tamaddun. Dari sisi kebahasaan akar kata tamaddun dapat dilacak dari kata dîn yang berarti agama. Di sini hubungan antara peradaban dalam bentuk gerakan keilmuan dan kekuasaan politik dengan agama tampak jelas sekali dan bahkan terbukti oleh fakta-fakta sejarah. Dari sejak zaman Nabi SAW, kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani membuktikan bahwa hubungan itu jelas ada. Dalam sejarahnya, ketika Islam memasuki suatu wilayah maka ilmu pengetahuan di situ akan berkembang pesat, sehingga mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya. Ketika umat Islam meluaskan wilayah kekuasaannya, mereka melakukan tiga tahap penting. Tahap pertama adalah perluasan kekuasaan politik yang didominasi oleh kekuatan militer. Kedua adalah penyebaran agama ke tengah-tengah masyarakat. Pada tahap ini yang dominan adalah kegiatan dakwah dan kegiatan keilmuan yang berpegang pada al-Qur’an. Umat berupaya mengintegrasikan ajaran-ajaran dalam al-Qur’an dengan ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban lain, terutama Yunani, India, dan Persia. Ketiga adalah penyebaran bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa komunikasi. Dari ketiga tahap ini dapat dikatakan bahwa meluasnya kekuasaan politik dalam sejarah Islam selalu berdasarkan agama (dîn) dan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga menjadi peradaban ilmu dan agama sekaligus, itulah makna sesungguhnya dari tamaddun. Jadi Islam diterima oleh bangsa-bangsa non-Arab dan non-Muslim berangkat dari dîn yang rasional yang berkembang menjadi tamaddun.

Kata Kunci: Dîn, Tamaddun, Tradisi Ilmu, Politik, Konsep

Pendahuluan

T

idak dipungkiri bahwa Islam adalah agama dan peradaban, namun istilah untuk menggambarkan makna Islam sebagai peradaban masih merupakan kontroversi, meskipun tidak mengakibatkan perselisihan yang serius. Dalam tradisi intelektual Islam terdapat istilah-istilah seperti tamaddun, h} ad}ârah, tsaqâfah, ‘umrân, dan sebagainya yang secara etimologis berbeda antara satu dengan lainnya. Kontroversi itu barangkali disebabkan oleh adanya Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

3

persepsi dalam memahami substansi peradaban. Ada yang hanya meninisbatkan peradaban dengan bangunan masjid-masjid, candicandi, gedung-gedung, dan sebagainya. Ada pula yang menekankan pada ilmu pengetahuan rasional-empiris saja dan ada pula yang hanya menekankan pada agama saja atau agama dan ilmu pengetahuan sekaligus. Namun, jika ditelusuri lebih mendalam sejarah peradaban Islam itu sejatinya merupaan kombinasi dari aktivitas ibadah kepada Allah dan hidup bermasyarakat dalam sistim kehidupan yang diatur oleh syariat Islam. Pengertian itu terintegrasikan dalam trilogi iman, ilmu, dan amal yang tidak hanya memancarkan ilmu pengetahuan yang sangat luas, tapi juga menghasilkan amal-amal yang sangat tinggi dan bermanfaat bagi umat manusia. Itu semua merupakan pancaran dari din yang sempurna, dan oleh sebab itu terminologi yang paling tepat untuk menggambarkan peradaban Islam yang eksklusif adalah tamadun. Makalah ini memaparkan bagaimana Islam sebagai tamadun berkembang dari dîn yang mengkaji alQur ’an menjadi tradisi keilmuan dan kemudian berkembang menjadi peradaban ilmu yang tetap berbasis pada dîn dan didukung oleh kekuatan politik.

Sebuah Definisi Istilah untuk merujuk kepada peradaban dalam tradisi intelektual Islam sedikitnya ada empat yaitu h}ad}ârah, tsaqâfah, ‘umrân, dan tamaddun. Kata h} a d} â rah akar katanya adalah kata kerja tsulâtsi “h}ad}ara” yang berarti hadir bertempat tinggal, kebalikan dari nomad (orang yang selalu mengembara) atau badâwah. 1 Dalam istilah h}ad}â rah ini, tidak terdapat unsur agama atau kepercayaan, dan karena itu dapat digunakan untuk makna kebudayaan yang bukan Islam. Adapun tsaqâfah, berarti aktivitas atau perbuatan yang berkaitan dengan dan mengarah kepada ketrampilan. Terkadang dikaitkan dengan masalah keilmuan, sehingga kata mutsaqqaf berarti terpelajar atau berilmu.2 Selain tsaqâfah, terdapat pula istilah yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun sebagai ‘umrân. ‘Umrân adalah 1 Lihat E.W. Lane, Arabic English Lexicon, Islamic Text Society, Jilid I, (England: Cambridge, 1863), 589. 2 Kata tsaqafa artinya memahami atau memperoleh dengan ilmu dan perbuatan; tsaqaftu al-syai’ artinya saya menjadi terampil dalam suatu hal. Tsaqaftu al-‘ilm artinya saya memperoleh ilmu. Lihat E.W. Lane, Ibid., 342-343

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


4

Hamid Fahmy Zarkasyi

sekelompok orang yang bekerja sama dan mengorganisir diri mereka agar dapat tetap bertahan hidup. Bertahan hidup tidak harus dimaknai sebagai suatu jalan agar seseorang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka, namun sebagai keinginan untuk dapat berdiri sendiri. Dari kerja sama masyarakat itulah tercipta ‘umrân.3 Seperti halnya h} a d} â rah dan tsaqâfah, ‘umrân juga tidak mengharuskan adanya unsur agama atau kepercayaan. Namun, baik tsaqâfah maupun ‘umrân ditandai dengan wujud dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori ‘umrân Ibnu Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu ‘umrân harus dimulai dari suatu “komunitas kecil”, dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir ‘umrân besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Teori Ibnu Khaldun ini berdasarkan pengamatannya terhadap kelahiran negara dari sebuah kota. Dari kota terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang darinya timbul suatu sistem kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu negara. Contoh yang diberikan adalah kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Kairo, dan lain-lain yang asalnya hanya sebuah komunitas di kota dan berkembang menjadi negara. Selain ilmu pengetahuan di antara tanda hidupnya suatu ‘umrân bagi Ibnu Khaldun adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan/arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktik kedokteran, kesenian (kaligrafi, seni, sastra, dan sebagainya). Sudah tentu perkembangan itu juga diikuti oleh lahir dan tumbuhnya komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan. Selain teori di atas terdapat pula suatu teori yang menekankan faktor agama sebagai bagian terpenting dalam suatu peradaban. Artinya agama atau kepercayaan selalu ada dalam proses kelahiran suatu peradaban, namun di antaranya ada yang dominan dan ada yang marginal. Jika diasumsikan bahwa agama, keyakinan, dan kepercayaan termasuk ideologi yang merupakan asas bagi setiap peradaban, maka hal itu dapat diterima dan sangat beralasan, sebab 3 Ibnu Khaldun, The Muqaddimah, An Introduction to History, Vol. 2, (UK: Princeton University Press, 1989), 271.

Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

5

kepercayaan dasar (basic belief) manusia, baik percaya pada Tuhan ataupun atheis, animistis, sekuler, atau liberal merupakan asas perilaku dalam kehidupan sosialnya atau tindakan nyatanya atau manifestasi lahiriahnya. Sebaliknya, aktivitas manusia itu akhirnya dapat dilacak dari atau dapat direduksi menjadi kepercayaan dasar atau pandangan hidupnya.4 Sejalan dengan teori ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban. Alasannya, bangsa-bangsa kuno seperti Yunani, Mesir, India, dan sebagainya, membangun peradaban mereka dari sebuah agama, keyakinan, atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan spiritual (batiniah) memungkinkan seseorang untuk memanifestasikannya dalam bentuk lahiriah (outward manifestation) yang kemudian disebut sebagai peradaban itu.5 Dalam konteks Islam, Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Keimanan yang dimaksud bukan sekadar kepercayaan kepada Tuhan, akan tetapi telah menjadi kombinasi antara prinsip kepercayaan kepada Tuhan dan kemanusiaan. Maka dari itu prinsip-prinsip peradaban Islam menurutnya adalah ketakwaan kepada Tuhan, keyakinan kepada keesaan Tuhan (tawh}îd), dan supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material; pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, dan sadar akan fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi berdasarkan petunjuk dan perintah-Nya (syariat).6 Teori ini tampaknya lebih sesuai untuk menggambarkan peradaban Islam yang bermula dari agama atau dîn. Oleh sebab itu, seperti yang akan dibuktikan sesudah ini, terminologi yang sesuai untuk menggambarkan peradaban Islam adalah tamaddun. Istilah tamaddun dapat dilacak dari kata dîn. Al-Qur ’an menyebut Islam sebagai dîn (QS. Ali Imran [3]:19, 85) dan istilah itu sejatinya merupakan konsep seminalnya yang mengandung makna 4 Dalam pernyataan Alparslan Acikgence jelas sekali disebutkan bahwa every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Lihat Alparslan Acikgence, “The Framework for a History of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization, Vol. 1. No. 1&2, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 6. Lihat juga Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sribner’s Sons, T.Th.) 1-2. 5 Seperti dikutip oleh Muhammad Abdul Jabbar Beg, dalam The Muslim World League Journal, edisi November-Desember, 1983, 38-42. 6 Ibid.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


6

Hamid Fahmy Zarkasyi

peradaban. Ibnu Manzur dalam kamus Lisân al-‘Arab memaknai kata “dîn” menjadi empat. Pertama, bermakna hukum, kuasa, tunduk, mengatur, dan perhitungan (al-h}ukm wa siyâsat al-umûr wa al-qahr wa al-tadbîr wa al-muh} â sabah). Contohnya: ‫ ﺩﺍﻧ ﺩﻳﻨﺎ ﺩﺍﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻗ ﺮ ﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ‬artinya memaksa manusia untuk taat. Kata kerja dâna juga terdapat dalam hadis Nabi SAW:

‫ ﺍﻟﻜﻴﺲ ﻣﻦ ﺩﺍﻥ ﻧﻔﺴ ﻋﻤﻞ ﳌﺎ ﺑﻌﺪ ﺍﳌ ﺕ‬. Artinya

“orang cerdas adalah orang yang menghutangkan dirinya atau menundukkan dirinya dan beramal untuk sesuatu sesudah mati”. Makna ‘dâna nafsahu’ dalam hadis di atas dapat diartikan dengan menundukkan hawa nafsunya. Kedua, dîn berarti ketertundukan, taat, pengabdian, tunduk (altaskhîr, wa al-it}â’at wa al-khud}û’). Contohnya:

‫ ﺃﻃﺎﻋ ﺧﻀﻊ ﻟ‬: ‫ﺩﺍﻥ ﻟ‬.

Kata kerja dâna di sini diartikan taat. Pengertian ini terdapat pula dalam hadis Nabi SAW yang berbunyi: ‫ﺃﺭﻳﺪ ﻣﻦ ﻗﺮﻳﺶ ﻛﻠﻤﺔ ﺗﺪﻳﻦ ﺎ ﺍﻟﻌﺮﺏ‬ Artinya, “Saya ingin agar dari Quraisy terdapat ada satu kalimat yang ditaati oleh orang Arab”. Makna ‘tadînu bihâ’ di sini adalah ditaati. Ketiga, dîn bermakna pembalasan, perhitungan, dan ganjaran (aljazâ’ wa al-h}isâb wa al-mukâfa’ah). Keempat, dîn bermakna akidah (al-I’tiqâd). Dîn berdasarkan pandangan ini adalah jalan atau syariat yang dilaksanakan oleh seseorang.7 Dari keempat klasifikasi makna di atas dîn dapat diartikan sebagai hukum, kuasa, tunduk, mengatur, perhitungan, menghutangkan diri, menundukkan diri, pengabdian, ketaatan, pembalasan, perhitungan, dan akidah. Namun, jika makna dîn dirujuk kepada berbagai kamus yang disusun sejak masa dulu sampai masa kini, dapat disarikan menjadi sembilan belas makna yaitu: (1) pembalasan, (2) perhitungan, (3) keputusan, (4) kepatuhan, (5) ketundukan, (6) sikap berserah diri (islam), (7) kerendahan, (8) wara’, (9) adat atau kebiasaan, (10) keadaan, (11) tingkah laku, (12) kekuasaan, (13) pemaksaan, (14) cara atau jalan, (15) peraturan, (16) hukum, (17) syariah, (18) akidah, dan (19) agama (millah).8 Dari makna-makna itu semua 7

Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, Jilid 13, (Beirut: Dâr S}âdir, T.Th), 170-171. Sumber-sumber yang dirujuk adalah sebagai berikut: Ibrahim Anis, et.al., al-Mu‘jam al-Wasît}, Juz 1, (Mesir: Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah, 1972), 307; Ahmad ‘Athiyyah Allah, al-Qâmûs al-Islâmî, Jilid 2, (Kairo: Maktabat al-Nad}ah al-Mis}riyyah, 1966), 423-424; Abu al-Husayn Ahmad bin Fariz bin Zakariya, Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, Juz 2, Edited by ‘Abd al-Salam Muhammad, (Kairo: Maktabat al-Habikhi, 1981), 319-320; Jamâ‘ah min Kibâr al-Lughawiyyîn al-‘Arab, al-Mu‘jam al-‘Arabi al-Asâsî, (Beirut: Larousse, T.Th.), 475. 8

Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

7

Ibnu Faris berpendapat bahwa dîn bermakna semua jenis dari ketertundukan dan keterhinaan (al-inqiyâd wa al-dhull). Bila merujuk pada pandangan Ibnu Faris, maka semua makna etimologis yang dikemukakan di atas merupakan spesies dari makna genus ‘ketertundukan dan keterhinaan’.9 Masih sejalan dengan makna-makna seminal itu semua, dîn dapat dilacak dari kata daynun yang artinya hutang. Oleh karena itu, ber-Islam dapat diartikan sebagai proses membayar hutang kepada Sang Khalik. Makna ini dapat digambarkan dalam sebuah struktur keberagamaan dan kehidupan sekaligus. Dalam kaitannya dengan makna ini, maka kata kerja “dayâna” artinya memberi hutang, “dâna” artinya berhutang. Maka di sini sebutan Allah adalah “al-Dayyân” maknanya Pemberi hutang, sedangkan Nabi SAW diberi julukan (laqab) “Dayyân” artinya pengatur hutang piutang atau menghutangkan dirinya. Dalam kaitannya dengan makna hukum, Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai penguasa hukum, sehingga dipanggil oleh para pujangga Arab: Ya Sayyid al-Nâs wa Dayyân al-‘Arab. Dari pengertian berhutang di dalam makna dîn terdapat sebuah minhaj, sistem, atau aturan hidup yang berdasarkan hukum yang menyeluruh dan lengkap. Sebab keberhutangan, berkaitan dengan susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang menaati hukum dan mencari pemerintah yang adil, telah menggambarkan sebuah peradaban.10 Dalam istilah dîn tersembunyi suatu sistem kehidupan yang teratur berdasarkan hukum dan keadilan. Oleh sebab itu, ketika dîn (agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat yang sebelumnya bernama Yatsrib itu diubah menjadi Madinah. Dari akar kata dîn dan madînah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan, dan memartabatkan.11 Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudaya9

Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, Juz 2,

319-320. 10 Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam, Religion, and Morality”, dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 43-44 11 Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, Jil. 13, 402.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


8

Hamid Fahmy Zarkasyi

an kota (culture of the city). Jika ditelusur dari akar katanya tamaddun dapat diartikan sebagai tempat yang dibangun atas dasar agama. Dalam teori sejarah ilmu, jika suatu kata diterima oleh masyarakat dan digunakan dalam kehidupan mereka, maka kata itu telah sah menjadi istilah teknis (technical term) untuk disiplin ilmu yang bersangkutan. Istilah tamaddun adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Muslim. Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Târi>kh al-Tamaddun al-Islâmî (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejauh pengetahuan penulis, semenjak itu perkataan tamaddun atau derivatifnya digunakan umat Islam sebagai istilah untuk peradaban. Di dunia Melayu digunakan pula istilah tamaddun, di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddun dan madaniyat. Namun di Turki istilahnya mengikuti akar kata madinah atau madana atau madaniyyah, namun diubah dengan dialek Turki medeniyet dan medeniyeti. Di anak benua Indo-Pakistan, tamaddun digunakan hanya untuk pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhi>b. Jika istilah tamaddun dapat digunakan untuk istilah peradaban Islam, maka di dalam Islam sebagai dîn terkandung makna tamaddun atau peradaban. Asumsi dasar yang ingin ditawarkan di sini adalah, bahwa Islam adalah agama dan peradaban, sebab al-Qur’an, sebagai kitab suci agama Islam, tidak hanya mengajarkan doktrin teologis dan ritual keagamaan saja, tapi juga memproyeksikan suatu pandangan hidup rasional yang kaya dengan berbagai konsep seminal (khususnya tentang ilmu pengetahuan) yang menjadi asas kehidupan baik individu maupun sosial sehingga berkembang menjadi suatu peradaban. Artinya, Islam adalah sebuah dîn yang telah berkembang menjadi tamaddun atau peradaban. Berikut penjelasan bagaimana Islam sebagai dîn berkembang menjadi tamaddun dengan tradisi intelektual dan politiknya.

Dari al-Qur’an ke Tradisi Ilmu Para sejarawan modern sepakat bahwa al-Qur’an dan alSunnah merupakan sumber yang memberikan kekuatan pendorong bagi bangkitnya tradisi intelektual, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kedua sumber ini kaya ayat-ayat yang mendorong kelahiran ilmu pengetahuan, seperti perintah mencari ilmu, perintah berpikir, Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

9

mengamati dan berzikir, penghargaan terhadap pencari ilmu, perintah menjadikan ilmu sebagai alat hidup di dunia dan akhirat, dan keistimewaan lain bagi pencari ilmu. Kekuatan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber ilmu dan peradaban Islam tercermin dari kandungannya. Ayat yang perama kali turun adalah perintah iqra’ (Bacalah!).12 Selain itu al-Qur’an juga memberi nasehat kepada Nabi SAW untuk berdo’a, “Oh Tuhan tambahlah ilmu kepadaku.”13 Ditegaskan pula, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dan orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu)”14; “Mereka (yang) mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, tapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak” 15 ; “Tanda kebesaran Allah hanya diberikan kepada orang yang mengetahui”16; “Barang siapa yang dikaruniai hikmah (ilmu) itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”17 Ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an juga dikaitkan dengan kekuatan fisik, “Ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.”18 Dengan ilmu pulalah manusia dijadikan khalifah di bumi dan melebihi derajat para malaikat.19 Namun, al-Qur’an dan al-Sunnah tidak melulu berbicara tentang ilmu, tapi juga objek ilmu, yakni alam semesta dan subjeknya, yaitu manusia. Al-Qur’an mengajari manusia untuk merenungkan fenomena alam, penciptaan langit dan bumi, perubahan musim, perubahan siang dan malam, lautan, awan, angin, matahari, bulan dan bintang, serta hukum-hukum. Juga perintah untuk mengamati peristiwa dan rahasia kelahiran dan kematian, dan banyak lagi. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa al-Qur ’an tidak mengandung konsep-konsep secara mendetail, seperti misalnya konsep ilmu, konsep negara, konsep politik, konsep ekonomi, dan 12

QS. al-‘Alaq: 1-4. QS. Thaha: 114. 14 QS. al-Zumar: 9. 15 QS. al-A’raf: 179. 16 QS. al-An’am: 97-98. 17 QS. al-Baqarah: 269. 18 QS. al-Baqarah: 247. 19 QS. al-Baqarah: 30. 13

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


10

Hamid Fahmy Zarkasyi

lain sebagainya. Konsep-konsep yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah itu secara saintifik dapat disebut sebagai seminal concept atau konsep awal. Ia mengajarkan tentang al-‘ilm, al-‘âlim (manusia), dan al-ma’lûm (alam semesta) yang saling berkaitan. Yang terpenting dari seluruh kegiatan keilmuan manusia sebagai al-‘âlim (yang mengetahui) adalah keterkaitannya yang terus menerus dengan alAlîm (Yang Maha Mengetahui). Oleh sebab itu, para ulama mengartikan kata ‘aqala (berfikir, mengikat) dengan mengikat ilmuilmu yang kita peroleh dari pengamatan kita terhadap alam dengan al-Alîm (Sang Pencipta alam). Perintah “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan” mengandung arti agar kita membaca ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah dengan mengaitkannya dengan Tuhan. Tanpa mengaitkan dengan Tuhan, ilmu yang kita peroleh menjadi sekuler, seperti ilmu-ilmu Barat sekarang ini. Ini menunjukkan bahwa ilmu yang menjadi asas peradaban Islam adalah ilmu yang terikat pada Tuhan, ilmu yang teologis, dan bukan ilmu yang godless (sekuler). Jadi asas ilmu dan peradaban Islam itu adalah konsep seminal dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Konsep-konsep itu kemudian ditafsirkan, dijelaskan, dan dikembangkan menjadi berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam. Keseluruhan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah yang dijelaskan oleh para ulama itu merefleksikan suatu cara pandang terhadap alam, baik dunia maupun alam akhirat yang secara konseptual membentuk apa yang kini disebut Pandangan Alam, Pandangan Hidup, atau Worldview. Oleh sebab itu, jika al-Qur’an diakui sebagai sumber peradaban Islam, maka dapat dikatakan pula bahwa pandangan hidup Islam merupakan asas peradaban Islam. Dan oleh karena al-Qur’an itu penuh dengan dimensi ilmu pengetahuan, maka seperti yang akan dijelaskan nanti, ilmu pengetahuan adalah asas peradaban Islam, malahan dapat dikatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban ilmu dan bukan peradaban bangunan. Dengan konsep yang seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada sisi kehidupan intelektual Muslim, kehidupan keagamaan dan politik, bahkan kehidupan sehari-hari seorang Muslim yang awam yang tidak tersentuh sikap penghargaan terhadap ilmu. Ilmu memiliki nilai yang tinggi dalam Islam. Oleh sebab itu, tidak heran jika Franz Rosenthal penulis buku Knowledge Triumphant (Keagungan Ilmu) menyimpulkan bahwa “ilmu adalah Islam”.20 20

Franz Rosenthal, Knowledge the Triumphant, (Netherlands: Leiden, 1970), 19.

Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

11

Sekarang kita perlu melihat kembali ke belakang bagaimanakah al-Qur’an yang kaya dengan ayat-ayat tentang ilmu pengetahuan itu telah mampu melahirkan tradisi intelektual Islam yang kokoh dan kemudian menjadi motor penggerak bagi berbagai perubahan dalam diri masyarakat Islam. Masyarakat Muslim yang lahir dari sebuah kitab suci itu telah berjaya membentuk tradisi intelektual. Meski mereka berjumlah sangat sedikit, namun tiba-tiba berubah dan berkembang menjadi peradaban besar yang berasaskan ilmu pengetahuan. Dalam sejarahnya, tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir, dan periode Madinah. Pada periode pertama, lahirnya pandangan hidup Islam dapat digambarkan dari kronologi turunnya wahyu dan penjelasan Nabi SAW tentang wahyu itu. Sebab, pandangan hidup Islam bermula dari peranan utama Nabi SAW yang menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Di sini periode Makkah merupakan periode yang sangat penting dalam kelahiran pandangan hidup Islam. Karena banyaknya surah-surah al-Qur’an diturunkan di Makkah (yakni 85 surah dari 113 surah al-Qur’an diturunkan di Makkah), maka periode Makkah dibagi menjadi dua periode: periode awal dan periode akhir. Pada periode awal wahyu yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepada-Nya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam. Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsepkonsep yang lebih luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, dîn, ‘ibâdah, dan lain-lain.21 Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena dua pertiga dari al-Qur’an diturunkan di sini, akan tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi SAW serta partisipasi masyarakat Muslim dalam memahami wahyu itu telah menjadikan struktur konsep tentang dunia (world-structure) menjadi jelas. Karena sebelum Islam datang, struktur konsep tentang dunia telah dimiliki oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam (Jâhiliyyah), maka struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam menggantikan 21 Alparslan Acikgence, Islamic Science Towards Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1981), 71-72.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


12

Hamid Fahmy Zarkasyi

struktur konsep yang ada sebelumnya.22 Konsep “karam”, misalnya, yang pada masa Jahiliyah berarti kemuliaan karena harta dan banyaknya anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena ketakwaan (inna akramakum ‘inda Allâh atqâkum). Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, sistem hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga, dan masyarakat; termasuk hukumhukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan Muslim dengan non-Muslim, dan sebagainya. 23 Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Muslim. Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tematema wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah masih terus didiskusikan. Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada beberapa prinsip dasar akidah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsipprinsip itu ke dalam konsep-konsep yang lebih praktikal. Dalam konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep dunia terjadi pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam terjadi pada periode Madinah. Periode kedua timbul dari kesadaran bahwa wahyu yang turun dan dijelaskan Nabi SAW itu merupakan konsep seminal yang telah mengandung struktur konsep yang fundamental, seperti struktur konsep tentang kehidupan (life-structure), struktur tentang dunia (world structure), tentang ilmu pengetahuan (knowledge structure), tentang etika (ethical structure) dan tentang manusia (man structure), yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan 22

Professor Izutsu membuktikan munculnya pandangan hidup baru ini dengan menunjukkan sistem kata yang menjadi anasir utama dalam kosa-kata bahasa Arab pra-Islam. Contoh yang diberikan di sini adalah kata Allâh yang dalam al-Qur’an merupakan kata yang sangat sentral yang menempati medan semantik keseluruhan kosa-kata, sedangkan dalam sistem kata pada masa pra-Islam, Allâh tidak mempunyai kedudukan yang sangat sentral, Allâh adalah tuhan dalam hierarki tuhan-tuhan yang lain. Penjelasan lebih detail lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in The Qur’an, Semantic of the Qur’anic Weltanschauung, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, New Edition, 2002), 36-38. 23 Untuk lebih detail tentang perbedaan tema-tema umum antara wahyu yang diturunkan di Makkah dan Madinah lihat Abu Ammar Yasir Qadhi, An Introduction to the Science of the Qur’an, (Birmingham: al-Hidayah Publishing and Distribution, 1999), 100-101.

Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

13

keilmuan. Istilah-istilah konseptual seperti ‘ilm, îmân, us}ûl, kalâm, tafsîr, ta’wîl, fiqh, khalq, h}alâl, harâm, irâdah, dan lain-lain telah mencukupi untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan (pre-scientific conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya anasiranasir epistemologis yang mendasar dalam pandangan hidup Islam. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujud struktur pengetahuan dalam pikiran umat Islam saat itu yang berarti menandakan adanya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam. Kata-kata ‘ilm dan turunannya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak kurang lebih 800 kali. Atas dasar framework ini, maka dapat diklaim bahwa pengetahuan ilmiah yang terbentuk dari adanya istilah-istilah keilmuan (scientific terms) dalam Islam itu sesungguhnya lahir dari pandangan hidup Islam. Ia tidak diambil dari kebudayaan atau pandangan hidup lain. Ini bertentangan dengan framework para penulis sejarah Islam kawakan dari Barat, seperti De Boer, Eugene Myers, Alfrend Gullimaune, O’Leary,24 yang umumnya menganggap ilmu dalam Islam bukan asli dari ajaran Islam. Seolah tidak ada sesuatu apapun yang berasal dari dan disumbangkan oleh Islam kecuali penerjemahan karya-karya Yunani. Framework seperti ini diikuti oleh penulis modern seperti Radhakrishnan,25 Majid Fakhry,26 W. Montgomery Watt,27 dan lain-lain. Semua asumsi itu sudah tentu 24 De Boer misalnya berasumsi bahwa sains dalam Islam lebih banyak ditentukan oleh pengaruh asing dan karena itu “keseluruhannya bukan hasil murni” umat Islam. Sebab pada abad pertama Islam tidak terdapat kesadaran akan metode dan sistem. Bahkan baginya filsafat Islam hanyalah eklektisisme, yang bergantung kepada hasil-hasil kerja terjemahan karya Yunani, dan merupakan asimilasi daripada karya asli. Lihat TJ. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (U.K: Curzon Press-Richmond, 1994), 28-29, 309. The emphasize on translation see, Eugene A. Myers, Arabic Thought and The Western World, (New York: Fredrick Ungar Publishing Co, 196), 7-8. Senada dengan itu Alfred Gullimaune menyatakan bahwa framework, skop, dan materi filsafat Arab harus dilacak dari bidang-bidang di mana filsafat Yunani begitu dominan dalam sistem mereka. Alfred Gullimaune, “Philosophy and Theology” in The Legacy of Islam, (UK: Oxford University Press, 1948), 239. Demikian pula De Lacy O’Leary menganggap pemikiran Arab hanyalah transmisi filsafat Yunani dari versi Hellenisme Syriac kepada Barat Latin. De Lacy O’Leary, Arabic Thought and Its Place in History, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1963), viii. 25 See “Islamic Philosophy”, Chapter XXXII, in Sarvepalli Radhakrishnan, History of Philosophy; Eastern and Western, (London: George Allan & Unwin Ltd., 1957), 120-149. 26 Majid Fakhry menekankan pengaruh kebudayaan asing seperti Yunani, India, dan Persia ke dalam filsafat Islam. Lihat Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press, 1983), viii-ix. 27 Watt menggambarkan lahirnya filsafat dan teologi Islam dari dua gelombang Hellenisme. Gelombang pertama adalah periode penerjemahan karya Yunani dan kedua

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


14

Hamid Fahmy Zarkasyi

berdasarkan pada framework tertentu yang tidak menganggap atau menafikan pandangan hidup Islam dan kerangka konsep keilmuan di dalamnya. Jelasnya, mereka gagal menangkap asas kebangkitan tradisi intelektual dalam Islam, yaitu pandangan hidup Islam. Periode ketiga adalah lahirnya tradisi intelektual dan keilmuan dalam Islam. Periode ini memerlukan penjelasan yang lebih panjang dan detail. Sebab tradisi keilmuan dalam Islam adalah merupakan hasil dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Karena tradisi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat, maka Alparslan menegaskan bahwa untuk menggambarkan tradisi intelektual dan keilmuan Islam, pertama-tama perlu ditunjukkan wujudnya komunitas ilmuwan dan proses kelahirannya pada awal abad pertama Islam. Kemudian menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme) yang merupakan framework yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu.28 Dari proses lahirnya pandangan hidup Islam yang tergambar dari 3 periode di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan ajaran yang mendorong kelahiran tradisi intelektual dan tumbuhnya ilmu pengetahuan. Konsep-konsep seminal di dalam al-Qur’an itu kemudian dipahami, ditafsirkan, dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tâbi’ tabiin, dan para ulama yang datang kemudian. Sebagai contoh, misalnya konsep seminal ‘ilm dalam al-Qur’an itu bersifat umum. Tidak ada definisi ilmu secara konseptual dalam al-Qur’an, dan tidak ada pula klasifikasi ilmu secara mendetail. Definisi dan klasifikasi itu dilakukan oleh para ulama yang datang sebagai pewaris nabi, sehingga dalam tradisi intelektual Islam terdapat berbagai definisi.29 Para sahabat, tabiin, tâbi’ tabiin, dan para ulama yang datang kemudian itu membentuk sebuah komunitas ilmuwan. Memang dalam sosiologi ilmu suatu tradisi intelektual tidak akan lahir tanpa komunitas keilmuan (scientific community) yang berfungsi sebagai pembentuk disiplin ilmu dan medium transformasi ilmu pengetahuan kedalam masyarakat luas. adalah munculnya filosof Muslim Neoplatonic Aristotelian, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain. Lihat W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, (Edinburgh: University of Edinburgh Press, 1985), 33-64; 69-128. 28 Alparslan Acikgence, Islamic Science…, 81. 29 Rosenthal mencatat lebih dari seratus definisi ‘ilm dalam tradisi intelektual Islam, dan mengategorikannya menjadi dua belas kategori, F. Rosenthal, Knowledge the Triumphant, 52-69.

Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

15

Dalam tradisi intelektual Islam, komunitas ilmuwan itu berkembang secara bertahap. Komunitas ilmuwan yang paling awal dan berfungsi sebagai medium transformasi ilmu pengetahuan wahyu adalah Bait al-Arqam. Namun yang lebih efektif dari itu adalah al-Suffah, yang artinya beranda atau serambil masjid dan komunitas intelektualnya disebut As}h } âb al-Suffah. 30 Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini, kandungan wahyu dan hadishadis Nabi SAW dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kegiatan ini mulai berjalan diperkirakan 10, 17, atau 19 bulan sesudah Hijrah atau 2 tahun setelah Hijrah. Tujuan utama As}h}âb alSuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, dari sumbernya, yaitu wahyu dan hadis-hadis Nabi SAW. Meski materinya masih sederhana, seperti shalat, membaca al-Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama, berzikir, serta belajar menulis, namun, karena objek kajiannya31 tetap berpusat pada wahyu, maka ia betul-betul luas dan kompleks. Bukan sekadar membaca dan memahami, para sahabat tidak pernah melewatkan sebuah surah dari al-Qur ’an dan mempelajari surah berikutnya sebelum mereka menghafal dan mengamalkannya. Artinya mereka mempelajari ilmu dan amal. Oleh sebab itu, materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang pasti jumlah mereka adalah ratusan dan tidak dapat ditampung seluruhnya di serambi masjid. Abu Nu’aim mencatat bahwa Sa’id bin ‘Ubadah sendiri biasa memberikan penginapan kepada 80 orang di rumahnya untuk anggota komunitas al-Suffah ini.32 Yang pasti As}h}âb al-Suffah adalah sebuah komunitas belajar mengajar yang efektif yang merupakan tradisi intelektual Islam yang paling awal.33 Produk dari komunitas ini atau alumni, sebut saja demikian, dari sekolah masyarakat (learning society) ini juga menunjukkan peran mereka dalam 30 Khalifah bin Khayyat, al-Târîkh, dengan komentar dari Akram Diya’ al-’Umari, Vol. 1, (Najaf: al-Adab Press, 1967), 321. 31 Lihat Abu Daud al-Sijistani, al-Sunan, Vol. 2, (Egypt: Mus}t}afâ al-Bâbi al-Halabi, 1371), 237; Ibnu Majah, al-Sunan, Jil. 2, Tahkik oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, (Cairo: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1953), 70. 32 Mengenai jumlah peserta dalam komunitas ilmuwan dan materi yang dikaji, lihat Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Asbahani, H}ilyat al-Auliyâ’, Jil. 1, (Mesir: al-Sa’âdah Press, 1357), 339, 341. 33 Ibid., 1/341.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


16

Hamid Fahmy Zarkasyi

melahirkan disiplin ilmu-ilmu keislaman, seperti misalnya Abu Hurairah, Abu Dhar al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lain. Ribuan hadis telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini. Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadis ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Suraih (w.80/699), Muhammad bin al-Hanafiyyah (w.81/700), Ma’bad alJuhani (w. 84/703), Umar bin ‘Abd al-’Aziz (w. 102/720), Wahb bin Munabbih (w.110), Hasan al-Basri (w. 110/728), Ghaylan al-Dimashqi (w.123/740), Ja’far al-Sadiq (w.148/765), Abu Hanifah (w. 150/767), Malik bin Anas (w. 179/796), Abu Yusuf (w. 182/799), al-Syafi’i (w. 204/819), dan lain-lain. Kegiatan keilmuan dan munculnya ilmuwan-ilmuwan di atas, didorong secara alami oleh karena pandangan alam (worldview) yang tertuang dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh hadis Nabi SAW. Dalam kedua sumber ilmu pengetahuan Islam itu terdapat konsep-konsep asas (seminal concept) yang sempurna. 34 Konsep-konsep yang sempurna itu kemudian diterjemahkan, dijelaskan, dan dijabarkan oleh para ilmuwan anggota masyarakat yang terlibat. Konsep-konsep ‘ilm, ‘adl, dîn, insân, dan lain-lain dalam al-Qur’an dan hadis, misalnya, tidak dijelaskan secara detail. Konsep-konsep itu kemudian dijelaskan oleh para ilmuwan yang datang sesudah Nabi SAW, baik dari Sahabat, Tabiin, Tâbi’ Tabiin maupun ulama sesudahnya. Kajian Franz Rosenthal menunjukkan bahwa dalam tradisi intelektual Islam terdapat seratus definisi ‘ilm dan diklasifikasikan menjadi dua belas kategori.35 Konsep tersebut menjadi istilah-istilah teknis yang mudah dipahami dan bahkan berkembang menjadi struktur konsep keilmuan atau scientific conceptual scheme. Dari konsep ‘ilm ini pula kemudian lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti Ilmu Fikih, Tafsir, Hadis, Falak, Hisab, Faraid, Kalam, Tasawuf, dan lain sebagainya. Jika ilmu-ilmu tersebut ditinjau dengan menggunakan teori sejarah ilmu, niscaya akan didapati bahwa asal usul ilmu-ilmu tersebut adalah dari komunitas intelektual Muslim yang tekun 34 Kesempurnaan konsep-konsep dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak berarti bahwa di dalamnya terdapat semua konsep secara mendetail. Kesempurnaannya terletak pada sifatnya yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. 35 F. Rosenthal, Knowledge the Triumphant, 52-69.

Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

17

mengkaji al-Qur’an dan hadis. Ilmu-ilmu tersebut bukan ilmu yang telah jadi dan diambil begitu saja dari tradisi intelektual asing sehingga menjadi ilmu milik umat Islam. Pengkajian terhadap wahyu pada periode Madinah terus berlangsung hingga periode-periode berikutnya bahkan hingga periode-periode ketika Islam tersebar ke berbagai kawasan di luar jazirah Arab. Pada periode kekhalifahan Umayyah, lembaga pendidikan formal belum banyak berdiri, kecuali sedikit. Putra-putra khalifah pun dikirim ke pendidikan formal di Suriah untuk belajar bahasa al-Qur’an dan Arab resmi. Namun tidak berarti waktu itu tidak ada pendidikan.36 Masyarakat luas yang hendak memperoleh pendidikan, dalam pengertian masa itu, akan menggunakan masjid untuk belajar. Karena itu, guru-guru paling pertama dalam Islam adalah para pembaca al-Qur’an (qurrâ’). Materi utamanya al-Qur’an, al-Sunnah, dan bahasa Arab, tapi selain itu murid-murid juga diajar nilai-nilai keberanian, kesabaran, menaati hak dan kewajiban agama, menghormati tetangga, menjaga harga diri (murû’ah), kedermawanan, keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan, dan sebagainya. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai apa yang mereka sebut al-Kâmil. Ini berarti aspek intelektual dan spiritual atau moral ditanamkan secara simultan. Namun kajian terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah sulit dilakukan oleh Muslim yang bukan asli Arab. Para pemeluk Islam baru, yang berasal dari daerah yang dikuasai umat Islam itu akhirnya mengkaji bahasa Arab. Oleh sebab itu, kegiatan yang menonjol di Khurasan di masa Dinasti Umayyah adalah kajian bahasa Arab. Dari sinilah lahir pakar tata bahasa Arab legendaris yang bernama Abu al-Aswad al-Dua’li (w. 688) yang dilanjutkan oleh al-Khalil bin Ahmad (w. 786), ulama Bashrah yang terkenal dengan kamus bahasa Arab Kitâb al-‘Ain. Muridnya berasal dari Persia bernama Sibawaih (w. 793), menulis buku tata bahasa Arab sistimatis berjudul al-Kitâb. Dari kajian ilmu kebahasaan yang dikaitkan dengan pemahaman dan penafsiran al-Qur’an ini lahirlah dua ilmu penting, yaitu filologi (philologhy) dan leksikografi (lexicography). Dari kajian terhadap alQur ’an itu telah mendorong al-Hajjaj 37 yang pernah menjadi 36 Di Kufah kita mengenal al-Dhahhak bin Muzahim (w. 723) yang mendirikan sekolah dasar (kuttâb) dan tidak memungut bayaran dari siswa. Pada abad kedua Hijriah kita juga mendengar seorang Badui di Bashrah yang mendirikan sekolah dengan memungut biaya. 37 Wakil Abdul Malik (695) di Irak.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


18

Hamid Fahmy Zarkasyi

panglima perang itu, melakukan perubahan ortografi al-Qur’an agar masyarakat terhindar dari kesalahan membaca kitab suci itu. Ia kemudian mendalami ilmu sastra dan retorika. Dukungannya terhadap kemajuan puisi dan ilmu pengetahuan sangat menonjol.38 Dalam bidang kajian hadis, di zaman Umayyah terdapat nama Hasan al-Basri dan Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 742). Hasan al-Basri sangat dihormati dalam bidang hadis karena ia mengenal secara pribadi 70 orang sahabat. Selain ilmu, karena Islam memerintahkan umatnya untuk hidup sehat, maka para sahabat dan pengikut Nabi SAW bergiat mempelajari ilmu kedokteran dari Yunani dan Persia. Daftar urutan teratas dokter-dokter Arab pada abad pertama Islam ditempati oleh al-Harits bin Kaladah (w. 634) dari Thaif, yang menuntut ilmu di Persia. Seorang dokter Yahudi dari Persia, Masarjawaih yang tinggal di Bashrah pada masa-masa awal pemerintahan Marwan bin alHakam, menerjemahkan sebuah naskah Suriah tentang pengobatan ke dalam bahasa Arab. Naskah ini awalnya ditulis dalam bahasa Yunani oleh seorang pendeta Kristen di Iskandariyah, Ahrun, dan merupakan buku kedokteran pertama dalam bahasa Arab.39 Untuk melengkapi ilmu kedokteran, umat Islam pun mempelajari ilmu kimia. Tidak hanya mempelajari dari bangsa lain, umat Islam juga mengembangkan sendiri ilmu ini. Karena prestasi umat Islam dalam bidang ini, Hitti menyatakan bahwa ilmu kimia adalah salah satu dari beberapa ilmu yang banyak berhutang pada penemuan orang Arab. Seperti halnya ilmu pengobatan, ilmu kimia merupakan salah satu disiplin ilmu yang paling awal dikembangkan. Khalid (w. 704 atau 708), putra khalifah Umayyah kedua adalah seorang “filosof keluarga Marwan�, merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik tentang kimia, kedokteran, dan astrologi.40 Selain itu, umat Islam juga belajar ilmu matematika dari India. Ilmu ini diperlukan untuk penghitungan atau pembagian harta waris. Di antara buku terjemahan karya-karya astronomi lainnya pada masa ini adalah karya terjemahan dari bahasa Persia ke bahasa Arab oleh al-Fadhl bin Nawbakhti (w. 815) kepala lembaga pustaka alRasyid.41 Sekitar tahun 154 H/771 M, seorang pengembara India 38

Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Bandung: Mizan, 2002), 274. Ibid., 318-319. 40 Ibid., 319-320. 41 Ibid., 383 39

Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

19

memperkenalkan naskah astronomi ke Baghdad yang berjudul Sidhanta (bahasa Arab Sidhind) yang atas perintah al-Mashur kemudian diterjemahkan oleh Muhammad bin Ibrahim al-Fazari (meninggal antara 796 dan 806) yang kemudian menjadi astronom Islam pertama.42 Al-Khwarizimi (w. 850) kemudian menjadikan karya terjemahan al-Fazari sebagai rujukan utamanya untuk menulis tabel astronomi (zij)-nya yang terkenal itu. Demikianlah seterusnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam selalu merujuk kepada perintah al-Qur’an dan al-Sunnah, yang berarti bahwa peradaban ini berdasarkan pada din. Maka tidak heran jika selama periode kekuasaan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, kota kembar di Irak, Bashrah dan Kufah, adalah merupakan pusat aktivitas intelektual di dunia Islam.

Dari Tradisi Ilmu ke Politik Di masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn Islam mulai menyebar keluar dari jazirah Arab. Diawali pada masa Abu Bakar dan mencapai titik tertingginya pada masa Umar bin Khattab dan boleh dikatakan terhenti pada zaman Ali bin Abi Thalib. Pada masa al-Khulafâ’ alRâsyidûn umat Islam telah menguasai kawasan-kawasan di sekitar jazirah Arab, seperti Persia, Mesir, Syria, dan sebagainya. Dari sejak itu umat Islam sudah tidak terbendung lagi untuk keluar dari jazirah Arab. Namun sungguh mustahil jika umat Islam keluar dari jazirah Arab tanpa bekal apa-apa. Al-Qur’an, al-Sunnah, dan pandangan hidup Islam seperti yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya merupakan bekal yang sangat berharga. Dalam hal ini komentar George F. Kneller sangat menarik untuk dicermati: “Bala tentara Islam… tidak berbekalkan apa-apa secara kultural selain dari Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Tapi karena inner-dynamic-nya, maka ajaran Islam itu telah menjadi landasan pandangan hidup yang dinamis yang kelak… memberi manfaat untuk seluruh umat manusia.”43 Apa yang dimaksud Kneller dengan inner-dynamic tampaknya adalah konsep-konsep seminal yang didominasi oleh konsep iman dan ilmu yang merupakan daya pendorong bagi wujudnya amal42

Sa’id bin Ahmad, T}abaqat al-Umam, Edited by L. Cheikho, (Beirut: T.K, 1912),

49-50. 43 George F. Kneller, Science as a Human Endeavor, (New York: Columbia University Press, 1978), 3-4.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


20

Hamid Fahmy Zarkasyi

amal islami. Amal peradaban adalah gerakan-gerakan politik, sosial, ekonomi, intelektual, dan lain-lain yang dilakukan umat Islam di luar jazirah Arab. Dengan bekal itulah maka umat Islam pada abad ke-7 berhasil mendirikan kekhalifahan Umayyah di Damakus (661750 M). Dengan berdirinya kekhalifahan Umayyah, Damaskus telah berubah menjadi pusat pemerintahan Islam membawahi wilayah terpenting kerajaan Byzantium lainnya, seperti Palestina, Suriah, Persia (635-640 M), Mesir (641 M), Siprus (649 M), Iskandariyah (652 M), Transoxiana, serta kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ke tangan Alexander the Great. Pada tahun 700-an, tidak lebih dari setengah abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad (632 M), umat Islam telah tersebar ke kawasan Asia Barat dan Afrika Utara. Selanjutnya, umat Islam memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut William R. Cook pada tahun 711713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ke tangan Muslim dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke-7 kawasan itu cukup makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat menjadi Muslim. Baru pada abad ke11 kerajaan Kristen di kawasan itu mulai melawan Muslim.44 Demitri Gutas dengan jelas mengakui: “… pada tahun 732 M kekuasaan dan peradaban baru didirikan dan disusun sesuai dengan agama yang diwahyukan kepada Muhammad, Islam, yang berkembang seluas Asia Tengah dan anak benua India hingga Spanyol dan Pyrennes.45 Pengakuan Gutas bahwa peradaban Islam “disusun sesuai dengan agama yang diwahyukan kepada Muhammad, Islam” adalah bukti bahwa peradaban Islam disusun berdasarkan din Islam, dan karena itu sangat sesuai disebut sebagai tamadun. Di dalam tamadun itu terdapat kedamaian, dan karena itu tidak salah ketika Gutas mengakui bahwa dengan munculnya peradaban Islam, Mesir untuk pertama kalinya, sejak penaklukan Alexander the Great, dapat dipersatukan atau didamaikan secara politis, administratif, dan ekonomis dengan Persia dan India dalam jangka waktu yang cukup lama. Perbedaan ekonomi dan kultural yang memisahkan dua dunia yang berperadaban, Timur dan Barat, sebelum Islam datang yang dibatasi oleh dua sungai besar dengan mudahnya diganti dengan ukhuwah 44 William R. Cook dan Ronald B Herzman, The Medieval Worldview, (New York: Oxford University Press, 1983), 119-120. 45 Demitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, (London: Routledge, 1988), 13.

Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

21

perdamaian dan kemakmuran. Bukan hanya itu, unsur kedamaian juga tampak ketika umat Islam masuk ke kawasan Kristen dengan tanpa peperangan. Tidak ada catatan sejarah bahwa umat Islam memerangi kekaisaran Romawi, yang ada hanyalah analisa bahwa salah salah satu faktor penyebab kejatuhan kekaisaran Romawi adalah Islam. Edward Gibbon dalam The Decline and Fall of The Roman Empire menyatakan bahwa periode kedua dari merosot dan jatuhnya kekaisaran Romawi disebabkan oleh lima faktor: 1) di era kekuasaan Justinian banyak memberi wewenang kepada Imperium Romawi di Timur; 2) adanya invasi Italia oleh Lombards; 3) penaklukan beberapa provinsi Asia dan Afrika oleh orang Arab yang beragama Islam, 4) pemberontakan rakyat Romawi sendiri terhadap raja-raja Konstantinopel yang lemah; dan 5) munculnya Charlemagne yang pada tahun 800 M mendirikan kekaisaran Jerman di Barat. Jadi, penyebab kejatuhan Romawi merupakan kombinasi dari berbagai faktor, seperti problem agama Kristen, dekadensi moral, krisis kepemimpinan, keuangan, dan militer. Sejatinya faktor terpenting penyebab kajatuhan Romawi adalah datangnya Islam yang tanpa peperangan. Tampaknya pernyataan Nabi SAW “Aku akan menyerang Romawi dari dalam rumahku� benar-benar terbukti. Nabi SAW tidak pernah pergi menyerang Romawi Barat maupun Timur, tapi datangnya gelombang peradaban Islam telah benar-benar menjadi faktor penyebab kejatuhan Romawi. Pada tahun 711 M, umat Islam di bawah kepemimpinan panglima perang Tariq bin Ziyad berhasil menguasai Andalusia. Selain meluas ke Barat, umat Islam juga menyebar ke Timur. Di bawah komando panglima perang pada kekhalifahan Umayyah yang bernama al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, kekuasaan Islam meluas ke Bukhara, Takaristan (Afghanistan), Balkh, Samarkand, Khawarizm, Cina, Mongolia, Tashkent (751 M), dan negara-negara Asia Tengah lainnya. Seperti disebutkan di atas, al-Hajjaj adalah penglima perang sekaligus juga ahli bahasa Arab. Selanjutnya di bawah panglima Muhammad bin Qasim, anak tiri al-Hajjaj, Dinasti Umayyah berhasil menguasai anak benua India. Jadi, pada masa itu Damaskus menjadi ibukota dunia Islam yang kekuasaannya meliputi bagian-bagian penting benua Asia, Afrika, dan Eropa. Di Timur terbentang mulai dari Asia Tengah dan Transoxiana sampai ke perbatasan Cina, anak benua India; di Barat dari Afrika Utara, Spanyol, hingga ke Perancis Selatan. Ketika kekuasaan Umayyah melemah dan runtuh, kekhalifahan Abbasiyah muncul di Baghdad. Ibukota dunia Islam lalu berVol. 11, No. 1, Mei 2015


22

Hamid Fahmy Zarkasyi

pindah dari Damaskus ke Baghdad. Abbasiyah berkuasa selama kurang lebih 500 tahun (750-1258), menguasai kawasan-kawasan yang sebelumnya dikuasai Dinasti Umayyah. Luas wilayah Abbasiyah dapat dilihat dari propinsi-propinsi yang berada di bawah kekuasaannya. Di masa kekuasaan Abbasiyah terdapat kurang lebih 23 propinsi, di antaranya adalah Afrika sebelah Barat, Mesir, Palestina, Irak, Azerbaijan, Persia, Afghanistan, Bukhara, Samarqand, Tashkent, Turki, dan lain sebagainya. Di masa kekhalifahan Abbasiyah konsentrasi bukan pada perluasan wilayah tapi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Selama lima abad perjalanan kekhalifahan Abbasiyah telah benar-benar menunjukkan sebuah tamadun Islam, sebab di sepanjang kekuasaan kekhalifahan ini terbangun sebuah kota terbesar di dunia masa itu dan berhasil membangun tradisi ilmu yang sangat produktif. Dari kota ini berbagai karya berbahasa Arab dalam bidang kesusasteraan, syair, filsafat, hukum, sejarah, dan ilmu alam terbit dalam jumlah besar. Apa yang menarik di sini adalah bahwa semua kegiatan keilmuan dan produktivitas para ilmuwannya pada mulanya berangkat dari kajian terhadap al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Meskipun demikian tidak dipungkiri bahwa sesudah kaum Muslim mengkaji al-Qur ’an dan menghasilkan ilmu keagamaan sendiri, mereka kemudian mempelajari berbagai ilmu dari peradaban lain, terutama Yunani. M.J.L.Young dan kawankawan mengakui bahwa umat Islam telah menghasilkan ilmu-ilmu keagamaan seperti tafsir, hadis, teologi, fikih, ilmu sejarah, dan berbagai ilmu bahasa. Sedangkan dari peradaban asing, umat Islam belajar ilmu kedokteran, ilmu alam, matematika, astronomi, astrologi, geografi, farmasi, mekanik, dan sebagainya.46 Kekhalifahan Abbasiyah akhirnya jatuh ke tangan tentara Hulagu, penguasa Mongol. Dengan menguasai Baghdad tahun 1258, Hulagu menghancurkan hampir keselurhan kota termasuk perpustakaannya yang tak ada bandingannya itu. Pada saat kejatuhan Dinasti Umayyah pada tahun 755 M, Putra Mahkota Umayyah yang terakhir, Abdurrahman, lari ke Spanyol dan mendirikan kekuasaan di Cordoba yang bebas dari kekuasaan Abbasiyah. Kekhalifahan Abdurrahman yang bermula tahun 929 M berakhir hingga 1031 M, berhasil membangun masjid Cordova 46 Lihat M.J.L Young, et.al, (Eds.), “Pengantar Editor” dalam Religion, Learning and Siences in The Abbaside Period, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), xv.

Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

23

yang megah, tapi pada masa penaklukan Ferdinand III tahun 1236 M, diubah menjadi katedral Kristen. Selain itu, menurut Philip K. Hitti Cordova telah memprakarsai gerakan intelektual yang membuat Spanyol-Islam dari abad ke-9 sampai ke-11 Masehi menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam.47 Di sini bisa dicatat bahwa masjid yang merupakan tempat ibadah kepada Allah juga menjadi tempat belajar ilmu pengetahuan yang berdampak positif pada peradaban. Kemajuan dalam bidang seni, sastra, ilmu agama, sains, filsafat, tata kota, dan lain-lain tidak dapat dipungkiri lagi. Sekali lagi terbukti di sini din berkembang menjadi tamadun. Peradaban ilmu inilah yang telah mempesona orang-orang Kristen di Eropa sehingga mereka terdorong untuk belajar dan bahkan meniru gaya hidup orang Islam. Karena jumlah mereka cukup banyak dan membentuk kelas sosial tersendiri, maka akhirnya orang-orang peniru itu diberi julukan Mozarab (arabnya Musta’rib), yaitu orang non-Arab yang ke-ArabAraban. Begitulah tamaddun Islam tidak melulu kekuasaan yang hegemonik tapi juga berwajah ilmu pengetahuan dan kemakmuran rakyat yang terhitung selama 800 tahun (dari 755 M hingga 1492 M). Maka dari itu, ketika orang-orang Kristen mengalahkan dan mengusir umat Islam dari Granada pada tahun 1492 M, mereka tidak hanya merebut istana-istana dan masjid-masjid, tapi juga membakar buku-buku karya umat Islam. Dengan berakhirnya kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, ternyata pada abad ke-13 masih berdiri lagi kekhalifahan yang kemudian menjadi lebih besar dari pendahulunya, yaitu kekhalifahan Turki Utsmani. Kekhalifahan ini pada mulanya didirikan oleh bangsa non-Arab, yaitu bangsa Seljuk pada tahun 1299 M. Namun Turki resmi menjadi sebuah kekhalifahan setelah peristiwa penaklukan Konstantinopel (kemudian disebut Istanbul) pada tahun 1453 M. Seperti halnya penaklukkan di masa kekhalifahan Umayyah, kedatangan Islam diterima dengan sukarela oleh penganut agama Kristen, sehingga kini hampir dikatakan tidak tampak dominasi penganut agama itu di Turki. Kekhalifahan Turki ini berkuasa hingga 1924 M, dengan luas kekuasaannya meliputi tiga benua, yaitu Eropa Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika Utara, membentang dari Selat Gibraltar di Barat, hingga Laut Kaspia dan Teluk Persia di Timur. Dari pinggiran Austria, 47

Philip K. Hitti, History‌, 647.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


24

Hamid Fahmy Zarkasyi

Slovakia, dan beberapa bagian Ukraina di Utara hingga Sudan Eriterea, Somalia dan Yaman di Selatan. Kekhalifahan ini merupakan pusat yang menghubungkan dunia Timur dan Barat selama 6 abad lamanya. Dengan ibukotanya Istanbul, kekhalifahan Turki Utsmani ini menggantikan kekaisaran di kawasan Laut Tengah, seperti Romawi dan Bizantium, sehingga tak heran jika Turki Utsmani ini dianggap pewaris kekaisaran Romawi dan juga tradisi kekhalifahan Islam.48 Dari sisi keagamaan dan keilmuan, Turki Utsmani masih tetap melanjutkan tradisi Islam yang telah berjalan di zaman Abbasiyah sehingga bahasa Turki masih banyak mengadopsi bahasa Arab. Meski gerakan keilmuan di zaman Turki Utsmani tidak sehebat zaman Umayyah dan Abbasiyah, namun ikatan antara Islam sebagai dîn dan berbagai aktivitas politik, budaya, serta ekonomi masih dipertahankan. Philip K. Hitti mencatat kontribusi orisinal kekhalifahan ini adalah ilmu ketatanegaraan, arsitektur, dan sastra.49 Di masa kegemilangannya, kekhalifahan Turki Utsmani menjadi satu-satunya kekuatan Islam yang benar-benar menjadi halangan bagi bangkitnya kekuatan Eropa Barat antara abad ke-15 hingga 19 M. Ia perlahan-lahan menurun pada abad ke-19 dan benarbenar runtuh pada Perang Dunia I, sehingga pemerintahannya hancur dan terpecah-pecah menjadi negara-negara nasional. Sebagai gantinya timbullah Revolusi Turki di bawah pimipinan Mustafa Kemal Ataturk yang pada tanggal 1 November 1922 kekhalifahan Turki dihapuskan dan pada 29 Oktober 1923 secara resmi berganti menjadi republik.

Penutup Islam adalah agama yang bersumber dari kitab suci al-Qur’an dan sunah Nabi SAW yang kemudian berkembang menjadi tradisi keilmuan yang didukung oleh kekuatan politik. Ini juga merupakan bukti bahwa perjalanan peradaban Islam selalu berdasarkan pada dan bermula dari pemahaman dan pengamalan terhadap Islam sebagai dîn. Artinya, perjalanan komunitas Muslim itu dimotori oleh pandangan hidup yang berkembang menjadi peradaban ilmu. Dari 48 H. Ýnalcýk, “The rise of the Ottoman Empire” dalam P.M. Holt, A.K.S. Lambstone, and B. Lewis (eds), The Cambridge History of Islam, (Cambridge: Cambridge University Press, T.Th.), 295-200. 49 Philip K. Hitti, History…, 913.

Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

25

komunitas Sahabat, Tabiin, Tâbi’ Tabiin, dan ulama-ulama pewarisnya yang diikat oleh pandangan hidup, visi, dan misi keagamaan yang sama, yang jelas-jelas berasal dari konsep-konsep yang terdapat dalam sumber pokok ajaran Islam. Tulisan ini telah membuktikan apa yang dinyatakan Demitri Gutas di atas, bahwa “peradaban baru didirikan dan disusun sesuai dengan agama yang diwahyukan kepada Muhammad.” 50 Artinya, tamaddun Islam itu didirikan berdasarkan din yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Meluasnya kekuasaan politik Islam tidak bisa ditafsiri bahwa Islam itu datang membawa kehancuran peradaban lain. Sebab Islam masuk ke suatu kawasan tidak untuk menjajah tapi membebaskan dari ketidakadilan dan penindasan penguasa. Bahkan tidak sedikit kasus bahwa Islam tersebar tanpa peperangan. Jadi, Islam tersebar bukan melulu karena pedang, tapi Islam tersebar, menguasai, dan menyelamatkan (mengislamkan) masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya karena pandangan hidupnya yang mudah diterima penganut agama lain. Di Turki yang sebelumnya berpenduduk Kristen Katolik, setelah dikuasi umat Islam, pemeluk Kristen dengan sukarela beralih memeluk Islam. Demikian pula di Indonesia, Islam masuk dan diterima oleh masyarakat yang telah memiliki kepercayaan Hindu yang kuat. Namun karena kekuatan konsepnya, Islam dengan mudah menggantikan pandangan hidup masyarakat Nusantara waktu itu. Hal ini dapat dibuktikan bahwa masuknya Islam ke suatu kawasan yang dikuasi umat Islam ilmu pengetahuan berkembang pesat, sehingga mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Jadi Islam diterima oleh bangsa-bangsa non-Arab karena umat Islam berangkat dari dîn yang rasional dan berkembangan menjadi tamaddun. Selain membawa kedamaian, Islam tidak melakukan eksploitasi sumber alam untuk dibawa ke daerah dari mana Islam berasal. Tidak ada pertambahan kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada kemiskinan akibat masuknya Muslim ke kawasan yang didudukinya. Daerah-daerah yang dikuasai atau diselamatkan umat Islam membawa sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat. Itulah watak peradaban Islam yang sangat berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif yang dengan kolonialisme justru memiskinkan negara-negara yang dijajah. Dengan kekuasaan Islam, kemakmuran 50

Demitri Gutas, Greek Thought…, 13.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


26

Hamid Fahmy Zarkasyi

dan kesejahteraan rakyatnya, serta stabilitas politik pun terjamin dalam waktu yang cukup lama. Sudah tentu kondisi kehidupan ekonomi kekhalifahan Islam itu berjalan seiring dengan kemajuan di bidang politik. Yang penting adalah perhatian yang cukup besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sebagai ciri tamaddun Islam. Sebenarnya, ketika umat Islam meluaskan wilayah kekuasaannya, mereka melakukan tiga hal penting yang dapat disarikan menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah perluasan kekuasaan politik yang didominasi oleh kekuatan militer. Kedua adalah penyebaran agama ke tengah-tengah masyarakat. Pada tahap ini yang dominan adalah kegiatan dakwah dan kegiatan keilmuan yang berpegang pada al-Qur’an. Umat berupaya mengintegrasikan ajaranajaran dalam al-Qur ’an dengan ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban lain, terutamanya Yunani, India dan Persia. Ketiga adalah penyebaran bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa komunikasi. Dari ketiga tahap ini dapat dikatakan bahwa meluasnya kekuasaan politik dalam sejarah Islam selalu berdasarkan agama (dîn) dan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga menjadi peradaban ilmu dan agama sekaligus, itulah makna sesungguhnya dari tamaddun.[]

Daftar Pustaka Acikgence, Alparslan. 1981. Islamic Science Towards Definition. Kuala Lumpur: ISTAC. Al-Asbahani, Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah. 1357. H}ilyat alAuliyâ’, Jil. 1. Mesir: al-Sa’âdah Press. ‘Athiyyah Allah, Ahmad. al-Qâmûs al-Islâmî, Jilid 2. Kairo: Maktabat al-Nahd}ah al-Mis}riyyah. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. “Islam, Religion, and Morality”, dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC. Alparslan Acikgence, 1996. “The Framework for a History of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization, Vol. 1. No. 1&2. Kuala Lumpur: ISTAC. Anis, Ibrahim. et.al., 1972. al-Mu‘jam al-Wasît}, Juz 1. Mesir: Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah. Beg, Muhammad Abdul Jabbar. 1983. The Muslim World League Jurnal TSAQAFAH


Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

27

Journal. Edisi November-Desember. Cook, William R. dan Ronald B Herzman. 1983. The Medieval Worldview. New York: Oxford University Press. De Boer, TJ. 1994. The History of Philosophy in Islam. U.K: Curzon Press-Richmond. Fakhry, Majid. 1983. A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press. Gullimaune, Alfred. 1948. “Philosophy and Theology” in The Legacy of Islam. UK: Oxford University Press. Gutas, Demitri. 1988. Greek Thought, Arabic Culture. London: Routledge. Hitti, Philip K. 2002. History of The Arabs. Bandung: Mizan. Ibnu Ahmad, Sa’id. 1912. T}abaqat al-Umam, Edited by L. Cheikho. Beirut: T.K. Ibnu Khaldun. 1989. The Muqaddimah, An Introduction to History, Vol. 2. UK: Princeton University Press. Ibnu Khayyat, Khalifah. 1967. al-Târîkh. Dengan komentar dari Akram Diya’ al-’Umari, Vol. 1. Najaf: al-Adab Press. Ibnu Majah. 1953. al-Sunan, Jil. 2. Tahkik oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi. Cairo: Dâ>r Ih}yâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. Ibnu Manzur. T.Th. Lisân al-‘Arab, Jilid 13. Beirut: Dâr S}âdir. Ibnu Zakariya, Abu al-Husayn Ahmad bin Fariz. Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, Juz 2, Edited by ‘Abd al-Salam Muhammad. Kairo: Maktabat al-Habikhi, 1981. Ýnalcýk, H. T.Th. “The rise of the Ottoman Empire” dalam P.M. Holt, A.K.S. Lambstone, and B. Lewis (Eds). The Cambridge History of Islam. Cambridge: Cambridge University Press. Izutsu, Toshihiko. 2002. God and Man in The Qur’an, Semantic of the Qur’anic Weltanschauung. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, New Edition. Jamâ‘ah min Kibâr al-Lughawiyyîn al-‘Arab. T.Th. al-Mu‘jam al‘Arabî al-Asâsî. Beirut: Larousse. Kneller, George F. 1978. Science as a Human Endeavor. New York: Columbia University Press. Lane, E.W. 1863. Arabic English Lexicon, Islamic Text Society, Jilid I. England: Cambridge. Myers, Eugene A. 196. Arabic Thought and The Western World. New York: Fredrick Ungar Publishing Co. O’Leary, De Lacy. 1963. Arabic Thought and Its Place in History. London: Routledge & Kegan Paul Ltd. Vol. 11, No. 1, Mei 2015


28

Hamid Fahmy Zarkasyi

Qadhi, Abu Ammar Yasir. 1999. An Introduction to the Science of the Qur’an. Birmingham: al-Hidayah Publishing and Distribution. Radhakrishnan, Sarvepalli. 1957. History of Philosophy; Eastern and Western. London: George Allan & Unwin Ltd. Rosenthal, Franz. 1970. Knowledge the Triumphant. Netherlands: Leiden. Al-Sijistani, Abu Daud. 1371. al-Sunan, Vol. 2. Egypt: Mus}t}afâ alBâbi al-Halabi. Smart, Ninian. T.Th. Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief. New York: Charles Sribner’s Sons. Watt, W. Montgomery. 1985. Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: University of Edinburgh Press. Young, M.J.L. et.al, (Eds.). 1990. “Pengantar Editor” dalam Religion, Learning and Siences in The Abbaside Period. Cambridge: Cambridge University Press.

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat Hamid Fahmy Zarkasyi Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Indonesia Email: hfzark4@gmail.com

Abstract In the era when the idea of similarity, equality and pluralism are disseminated in diversified area, one might face difficulty to distinguish one civilization from the other. Now capitalism is the most dominant system of economic in the world and even developed into a civilization that has a worldveiw. Capitalism also used to be claimed and accepted as universal system that could be applied to the whole world. In response to this state of mind, it is imperative that capitalism be studied and identified from its very basic concept, i.e worldview perspective, and then compared it with Islam. This paper is a preliminary attempt to identify capitalist worldview and prove that it differs fundamentally from the worldview of Islam. The capitalist vision on religion, world, life style, justice, freedom of thought, wealth, economic activities which are influenced by Western worldview is diametrically different from Islamic worldview. Based on this study it must be very clear that Muslim intellectual who intend to borrow certain concept of capitalism for the development of Islamic economic should realize there are fundamental principles of capitalism that are irreconciliable with that of Islamic economic. Dalam era dimana faham kesamaan, kesetaraan dan pluralisme disebarkan kedalam berbagai bidang, orang mungkin akan menemukan kesulitan untuk membedakan satu peradaban dengan peradaban lain. Kini kapitalisme adalah sistem ekonomi yang paling dominan di dunia dan bahkan dikembangkan menjadi peradaban yang memiliki worldview sendiri. Kapitalisme juga sering diklaim dan diterima sebagai sistem universal yang dapat diterapkan ke suluruh dunia. Dalam merespon cara berpikir ini, kapitalisme perlu dikaji dan diidentifikasi dari konsepnya yang paling mendasar yakni dari perspektif * Program Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, telp. (0352) 488220.

Vol. 9, No. 1, April 2013


16

Hamid Fahmy Zarkasyi

worldview, dan kemudian dibandingkan dengan Islam. Makalah ini adalah upaya awal untuk mengidentifikasi worldview kapitalis dan membuktikan bahwa ia berbeda secara mendasar dari worldview Islam. Pandangan kapitalis tentang agama, dunia, gaya hidup, keadilan, kebebasan berpikir, kekayaan, kegiatan ekonomi yang dipengaruhi oleh worldview Barat berbeda secara diametrik dari worldview Islam. Berdasarkan kajian ini jelaslah sudah bahwa cendekiawan Muslimyang berhasrat untuk meminjam konsep tertentu dari kapitalisme bagi pengembangan ekonomi Islam, perlu menyadari bahwa prinsip-prinsip dasar kapitalism tidak dapat disatukan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.

Keywords: Worldview, kapitalisme, Islam, Barat, ekonomi Islam

Pendahuluan

K

ajian tentang Islam dalam konteks ideologi dan peradaban modern, khususnya Barat memerlukan suatu pendekatan yang seimbang sehingga memungkinkan adanya suatu kajian perbandingan. Pendekatan menjadi seimbang jika Islam diletakkan sebagai ideologi dan peradaban pula dan bukan melulu sebagai agama dalam arti sempit. Identitas suatu ideologi dan peradaban dapat ditemukan secara fundamental melalui teori pandangan hidup (worldview) yang sejatinya merupakan asas dari setiap peradaban. Islam dan Barat selalu digambarkan sebagai dua kekuatan yang saling berhadapan dan yang satu menjadi ancaman bagi yang lain. Ketika Samuel Huntington menyatakan bahwa konflik paska Perang Dingin bukan lagi ideologis, politik atau ekonomi, tapi kultural temasuk bahasa, sejarah, nilai, adat istiadat, dan yang paling penting adalah agama. Sebenarnya ia berbicara tentang ancaman terhadap kapitalisme Barat. 1 Sebab identitas kultural Barat bukanlah agama Katolik atau Protestan, tapi The Civilization of Capitalism, sedangkan identitas Islam dilihat hanya sebagai agama, padahal sejatinya ia adalah agama dan peradaban. Sementara itu, kapitalisme kini tidak hanya diartikan sebagai sistem ekonomi yang menjunjung kepemilikan pribadi yang tak terbatas, 1

Lihat Samuel P. Huntingto, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, (New York: Simon & Schuster, A Touchstone Book, 1996), 21; lihat juga Samuel P. Huntington, “Clash of Civilization?� Foreign Affair 72 (Summer 1993), 22-49.

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat

17

pasar bebas, pemisahan negara dan kegiatan bisnis dan sebagainya,2 tapi merupakan suatu pandangan hidup yang disebut the capitalist worldview dan menghasilkan apa yang disebut Joseph A Schumpeter sebagai The Civilization of Capitalism.3 Ketika kebudayaan kapitalisme ini dipasarkan ke seluruh dunia secera imperialistis, ia tidak hanya sebagai sebuah sistem ekonomi tapi telah merupakan tata nilai, tata sosial, kultur masyarakat, dan bahkan gaya hidup masyarakat modern. Oleh sebab itu, kini perlu ditegaskan bahwa problem hubungan Islam dan Barat adalah konflik worldview atau dalam istilah Peter Berger collision of consciousness (benturan persepsi). Kajian dengan menggunakan teori worldview ini sangat penting karena beberapa alasan: Pertama, karena di era globalisasi melebur identitas, maka suatu bangsa atau peradaban tidak lagi dapat diukur dari tradisi, nilai-nilai sosial, atau gaya hidup. Tolok ukur yang dapat mengatasi hilangnya atau leburnya identitas itu adalah worldview. Kedua, dengan teori worldview persamaan dan perbedaan antara Islam dan peradaban dapat dilakukan secara konseptual ketimbang ideologis. Ketiga, dengan menyadari perbedaan antar peradaban berdasarkan worldview, maka benturan peradaban (clash of civillization) yang sering dinilai ideologis itu dapat direduksi menjadi kesadaran akan adanya pluralitas peradaban yang saling menghormati tanpa harus menganut doktrin pluralisme, mutlikulturalisme, dan relativisme. Maka dari itu, makalah ini tidak hendak membedakan antara Islam dan sistem ekonomi kapitalis karena keduanya merupakan entitas yang berbeda. Tidak juga akan membedakan sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalis, karena keterbatasan otoritas penulis. Makalah ini akan mencoba menjelaskan perbedaan pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Islam dan yang dibawa oleh Kapitalisme Barat. Untuk memahami konsep pandangan hidup (worldview) perlu dijelaskan terlebih dulu pengertiannya, elemen-elemennya baik dari pandangan Barat maupun dari Islam, baru kemudian melacak esensi pandangan hidup Barat kapitalis. 2 Capitalism is economic system characterized by the following: private property ownership exists; individuals and companies are allowed to compete for their own economic gain; and free market forces determine the prices of goods and services. Such a system is based on the premise of separating the state and business activities. Capitalists believe that markets are efficient and should thus function without interference, and the role of the state is to regulate and protect. http://www.investorwords.com/713/capitalism.html, dirujuk pada tanggal 10 April 2007

Vol. 9, No. 1, April 2013


18

Hamid Fahmy Zarkasyi

Pengertian Worldview Sebenarnya istilah umum dari worldview hanya terbatas pada pengertian ideologis, sekuler, kepercayaan animistis, atau seperangkat doktrin-doktrin teologis dalam kaitannya dengan visi keduniaan. Artinya worldview dipakai untuk menggambarkan dan membedakan hakikat sesuatu agama, peradaban, atau kepercayaan. Terkadang ia juga digunakan sebagai metode pendekatan ilmu perbandingan agama. Namun karena terdapat agama dan peradaban yang memiliki spektrum pandangan yang lebih luas dari sekadar visi keduniaan, maka makna pandangan hidup diperluas. Tapi kosa kata bahasa Inggris tidak memiliki istilah yang tepat untuk mengekspresikan visi yang lebih luas dari sekadar realitas keduniaan selain dari katakata worldview. Oleh sebab itu cendekiawan Muslim mengambil kata-kata worldview (untuk ekspresi bahasa Inggris) untuk makna pandangan hidup yang spektrumnya menjangkau realitas keduniaan dan keakhiratan dengan menambah kata sifat “Islam�. Namun dalam bahasa Islam para ulama mengekspresikan konsep ini dengan istilah yang khas yang berbeda antara satu dengan yang lain. Karena pandangan hidup adalah suatu konsep yang dapat digunakan untuk menggambarkan cara pandang manusia secara umum tanpa melihat bangsa atau agama, maka beberapa definisi tentang worldview yang juga menggambarkan luas dan sempitnya spektrumnya dapat dikemukanan di sini. Menurut Ninian Smart, misalnya, worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. 4 Hampir serupa dengan Smart, Thomas F. Wall mengemukakan bahwa worldview adalah sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakikat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi (An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of existence).5 Lebih luas dari kedua definisi di atas Prof.Alparslan 3

Lihat Joseph A Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democarcy, (New York dan London: Harper & Brothers Publishers, 1942), 121. 4 Smart mengakui bahwa Bahasa Inggris tidak memiliki istilah khusus untuk menggambarkan visi yang mencakup realitas keagamaan dan ideologi. Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sribner’s sons, n.d.), 1-2. 5 Thomas F. Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem, A Modern Introduction, Wadsworth, (Australia: Thomson Learning, 2001), 532.

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat

19

mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiah dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu, maka aktivitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup.6 Ada tiga poin penting dari definisi di atas, yaitu bahwa worldview adalah motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah. Dalam konteks sains, hakikat worldview dapat dikaitkan dengan konsep “perubahan paradigma” (Paradigm Shift) Thomas S Kuhn7 yang oleh Edwin Hung juga dianggap sebagai weltanschauung Revolution. Sebab paradigma menyediakan konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, atau ringkasnya merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan untuk kajian sains.8 Namun dari definisi di atas setidaknya kita dapat memahami bahwa worldview adalah identitas untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Bahkan dari dua definisi terakhir menunjukkan bahwa worldview melibatkan aktivitas epistemologis manusia, sebab ia merupakan faktor penting dalam aktivitis penalaran manusia. Selain itu, ketiga definisi di atas berlaku bagi peradaban atau agama secara umum. Namun definisi untuk “worldview Islam” mempunyai nilai tambah karena sumbernya dan spektrumnya yang luas dan menyeluruh. Penggunaan kata sifat Islam menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya adalah netral dan dapat digunakan untuk menyifati worldview lain, seperti Western worldview, Christian worldview, Hindu worldview, dan lain-lain. Karenanya, ketika kata sifat Islam diletakkan di depan kata worldview, maka makna etimologis dan terminologisnya menjadi berubah. 6 Asli Inggrisnya the foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Alparslan Acikgence, “The Framework for A history of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization, vol.1. Nos. 1&2, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 6. 7 Kuhn menyatakan:”penelitian ilmiyah diarahkan kepada artikulasi fenomena-fenomea dan teori-teori yang paradigmanya telah tersedia” Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, International Encyclopedia of Unified Science, vol.2, no 2, (Chicago: Univerity of Chicago Press, 1970), 24. 8 Lihat Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives, (California: Wardsworth, 1997), 340, 355, 368, 370.

Vol. 9, No. 1, April 2013


20

Hamid Fahmy Zarkasyi

Definisi worldview Islam dapat kita peroleh dari beberapa tokoh ulama kontemporer. Sebab dalam tradisi Islam klasik terma khusus untuk pengertian worldview belum diketahui, meski tidak berarti Islam tidak memiliki worldview. Para ulama abad 20 menggunakan term khusus untuk pengertian worldview ini yang berbeda antara satu dengan yang lain. Menurut al-Mauwdudi, worldview adalah Islâmî Nazariyat (Islamic Vision) yang berarti pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (syahâdah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab syahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh.9 Hampir sama dengan al-Mawdudi, Sheykh Atif al-Zayn mengartikan worldview sebagai al-Mabda’ al-Islâmî (Islamic Principle) yang berarti aqîdah fikriyyah (kepercayaan yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap muslim wajib beriman kepada hakikat wujud Allah, kenabian Muhammad SAW, dan kepada alQur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib berdasarkan cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal sehingga tidak dapat dipungkiri lagi. Iman kepada Islam sebagai dîn yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya. 10 Masih bertumpu pada akidah, Sayyid Qutb mengartikan worldview Islam dengan istilah al-Tasawwur al-Islâmî (Islamic Vision), yang berarti akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di balik itu.11 Hampir sejalan dengan Sayyid Qutb, Naquib al-Attas mengganti istilah worldview Islam dengan Ru’yah al-Islâm li al-wujûd yang berarti pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakikat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total, maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud.12 9

Abu al-A’la Mawdûdî, The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967), 14, 41. Shaykh thif al-Zayn, al-Islâm wa Idulujiyyat al-Insân, (Beirut: Dâr al- Kitâb alLubnânî, 1989), 13. 11 M. Sayyid Qutb, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Shurûq, tt), 41 12 S.M.N. al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 2. 10

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat

21

Dari definisi worldview Islam menurut ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa meski istilah yang dipakai berbeda-beda pada umumnya para ulama tersebut sepakat bahwa Islam mempunyai cara pandangnya sendiri terhadap segala sesuatu. Selain itu pandangan-pandangan di atas telah cukup baik menggambarkan karakter Islam sebagai suatu pandangan hidup yang membedakannya dengan pandangan hidup lain. Namun, jika kita kaji keseluruhan pemikiran di balik definisi para ulama tersebut, kita dapati beberapa orientasi yang berbeda. Maududi lebih mengarahkan kepada kekuasaan Tuhan yang mewarnai segala aktivitas kehidupan manusia, yang berimplikasi politik. Sheykh Atif al-Zayn dan Sayyid Qutb lebih cenderung mamahaminya sebagai seperangkat doktrin kepercayaan yang rasional yang implikasnya adalah ideologi. Sayyid Qutb agak filosofis mengarahkan pada makna worldview sebagai gambaran tentang wujud. Sedangkan Naquib al-Attas lebih tegas lagi memaknai worldview secara metafisis dan epistemologis sehingga menjadi cara pandang.

Elemen Worldview Sebagai sebuah sistem yang secara definitif begitu jelas, worldview atau pandangan hidup memiliki karakteristik tersendiri yang ditentukan oleh beberapa elemen yang menjadi asas atau tiang penyokongnya. Antara satu pandangan hidup dengan pandangan hidup lain berbeda karena berbeda elemennya atau karakteristiknya. Demikian pula perbedaan definisi tentang worldview juga mempengaruhi penentuan elemen di dalamnya. Di sini akan dibandingkan secara singkat antara elemen pandangan hidup dalam perspektif pemikir Barat dan pemikiran Muslim. Menurut Thomas suatu pandangan hidup ditentukan oleh pemahaman individu terhadap enam bidang pembahasan yaitu: 1) Tuhan, 2) Ilmu, 3) Realitas, 4) Diri, 5) Etika, dan 6) Masyarakat.13 Seperti disebutkan di atas bagi Thomas elemen-elemen pandangan hidup di atas merupakan suatu sistem yang integral, di mana antara satu konsep berkaitan dengan konsep yang lain secara sistemik. Hal ini dapat disimak dari pernyataan Thomas berikut ini: It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important element in any worldview. First if we do believe that God exists, then we are more likely 13

Thomas F. Wall, Thinking‌, 16

Vol. 9, No. 1, April 2013


22

Hamid Fahmy Zarkasyi

to believe that there is a plan and a meaning of life, ……if we are consistent, we will also believe that the source of moral value is not just human convention but divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe that knowledge can be of more than what is observable and that that there is a higher reality – the supernatural world. … if on the other hand, we believe that there is no God and that there is just this one world, what would we then be likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and after life, the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on.14

Jadi dengan pernyataan tersebut, maka keenam bidang pembahasan di atas yang merupakan elemen suatu pandangan hidup mempunyai kaitan erat satu sama lain. Artinya kepercayaan individu terhadap adanya atau tidak adanya Tuhan akan berkaitan secara konseptual dengan pandangan inidividu tersebut terhadap ilmu, realitas, diri, etika dan masyarakat. Namun bagi Ninian Smart, yang mengkaji worldview dalam konteks kepercayaan atau agama, elemen pandangan hidup ditentukan oleh elemen-elemen dalam agama dan kepercayaan masyarakat itu. Oleh sebab itu ia mengajukan enam elemen penting suatu pandangan hidup, yaitu: 1) doktrin, 2) mitologi, 3) etika, 4) ritus, serta 5) pengalaman dan kemasyarakatan.15 Pandangan Smart terhadap agama nampaknya dipengaruhi oleh persepsinya tentang agama di Barat, sebab di sini konsep Tuhan, ilmu, dan realitas nampak absen dari elemen pandangan hidup agama. Pandangan Thomas, yang melihat worldview secara filosofis, nampaknya lebih komprehensif, meskipun, seperti yang akan dipaparkan nanti, elemen-elemen itu tidak selengkap elemen-elemen dalam pandangan hidup Islam. Meskipun demikian elemen pandangan hidup yang disampaikan oleh Thomas dan Ninian Smart berguna bagi upaya mencari bidang-bidang pokok yang dapat digunakan untuk membandingkan antara satu pandangan hidup dengan yang lainnya. Tidak banyak cendekiawan muslim yang menggambarkan elemen-elemen pandangan hidup Islam secara terperinci. Sheykh Atif al-Zayn, misalnya, tidak merincikan elemen pandangan hidup Islam, namun hanya mengajukan karakteristik yang membedakan antara pandangan hidup Islam dari pandangan hidup lain. Karakteristik itu hanya tiga: 1) berasal dari wahyu Allah, 2) berdasarkan konsep (dîn) yang tidak terpisah dari Negara, dan 3) kesatuan antara 14 15

Ibid, 60. Ninian Smart, Worldview…, 8-9.

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat

23

spiritual dan material.16 Sebagaimana Sheykh Atif al-Zayn, Sayyid Qutb juga melihat bahwa pandangan hidup Islam itu menyeluruh dan tidak mempunyai elemen atau bagian (juz’). Ia adalah keseluruhan sisi dan sempurna karena kesempuranaan sisi-sisinya. Bahkan pandangan hidup Islam bukan ciptaan manusia, akal manusia tidak dapat menciptakannya, karena ia berasal dari Allah.17 Di sini penekanan pada aspek keilahian cukup menonjol, sedangkan aspek keilmuan tidak nampak. Seakan-akan pandangan hidup Islam sama saja dengan wahyu yang tanpa penjelasan keilmuan. Berbeda dari ketiga ulama di atas, Naquib al-Attas melihat worldview Islam memiliki elemen yang sangat banyak dan bahkan yang merupakan jalinan konsep-konsep yang tak terpisahkan. Di antara yang paling utama adalah 1) konsep tentang hakikat Tuhan, 2) konsep tentang wahyu (al-Qur’an), 3) konsep tentang penciptaan, 4) konsep tentang hakikat kejiwaan manusia, 5) konsep tentang ilmu, 6) konsep tentang agama, 7) konsep tentang kebebasan, 8) konsep tentang nilai dan kebajikan, 8) konsep tentang kebahagiaan, 9) dan lain sebagainya.18 Di sini al-Attas menekankan pada pentingnya konsep sebagai elemen pandangan hidup Islam. Konsep-konsep ini semua saling berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik. Elemen yang disampaikan Sheykh Atif, Sayyid Qutb dan Syed Naquib al-Attas berbeda dalam penekanannya, tapi ketiganya mempunyai kesamaan visi, yaitu bahwa pandangan hidup Islam berpusat pada akidah atau kepercayaan kepada Tuhan. Namun apa yang membedakan pandangan hidup Islam dari pandangan hidup lain mereka berbeda-beda. Shyakh Atif dan Sayyid Qutb perbedaannya adalah pada asal atau sumber pandangan hidup tersebut, sedangkan al-Attas melihat secara lebih konseptual dan praktis. Secara praktis konsep-konsep penting yang diajukan al-Attas itu dapat berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Bagi al-Attas untuk menentukan sesuatu itu benar dan riel dalam setiap kebudayaan berkaitan erat dengan sistem meta16

Shaykh thif al-Zayn, al-Islâm.., 11-12 M. Sayyid Qutb, al-Tashawwur al-Islâmî wa Muqawamâtuhû, (Cairo: al-Babi alHalabi, 1962), 45;Lihat juga, 30-34 18 S.M.N. al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah Shifa al-Attas (ed.), Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 29. 17

Vol. 9, No. 1, April 2013


24

Hamid Fahmy Zarkasyi

fisika masing-masing yang terbentuk oleh worldview.19 Di sini kita melihat konsep pandangan hidup al-Attas dengan jelas menekankan aspek epistemologis. Dan ini cukup signifikan dalam era moderninasi dan globalisasi disaat mana terjadi disolusi konsep yang cenderung melemahkan pandangan hidup Islam yang kekuatannya tertelak pada struktur konsepnya. Untuk melihat sisi lain yang lebih detail mengenai hal itu, kita paparkan gambaran al-Attas tentang elemen penting yang menjadi karakter utama pandangan hidup Islam. Elemen penting pandangan hidup Islam itu digambarkan dalam poin-poin berikut ini.20 Pertama, dalam pandangan hidup Islam realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan pada kajian metafisika terhadap dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak nampak (invisible world). Kedua, pandangan hidup Islam bercirikan pada metode berpikir yang tawhîdî (integral). Ketiga, pandangan hidup Islam bersumber pada wahyu yang diperkuat oleh agama (dîn) dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi. Keempat, elemen-elemen pandangan hidup Islam terdiri utamanya dari konsep Tuhan dan diikuti oleh elemen lain yang berpusat pada konsep Tuhan tersebut. Itulah elemen pandangan hidup atau worldview Islam yang tidak saja membedakan Islam dari agama, peradaban dan kebudayaan lain tapi juga membedakan metode berpikir dalam Islam dan metode berpikir pada kebudayaan lain. Agar identitas pandangan hidup Islam dapat dipahami lebih jelas lagi, ada baiknya dibahas pula pandangan hidup Barat

19

S.M.N. al-Attas, Prolegomena…, ix. Penjelasan al-Attas tentang konsep worldview Islam dan penjabaran elemenelemen asasnya terdapat dalam karyanya Prolegomena to The Metaphysics of Islam. Pendahuluan buku ini menjelaskan ciri-ciri khusus pandangan hidup Islam yang berbeda dari pandangan hidup Barat. Teori ini kemudian mendapat penjelasan lebih detail dalam kaitannya dengan timbulnya sains dan tradisi intelelktual Islam, dari Professor Alparslan. Professor Alparslan yang telah lama mengkaji teori worldview dalam kaitannya dengan sains dan sistem pemikiran, kemudian menulis risalah berjudul Islamic Science Towards definition. Untuk proses perjalanan pengkajiannya itu lihat “acknowledgement” halaman. v. al-Attas, SMN, Prolegomena…, lihat “Introduction” 1-37. Cf. Al-Attas, S.M.N., “Opening Address, The Worldview of Islam, an Outline” in Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of Modernity, Historical and Contemporary Contexts, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 28-29. 20

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat

25

Worldview Barat Modern Pandangan hidup Barat dapat kita lacak dari periode modern, yang dari situ lahir pula pandangan hidup kapitalisme. Sejarahnya, peradaban Barat adalah peradaban yang dikembangkan oleh bangsabangsa Eropa dari peradaban Yunani kuno yang di kawinkan dengan peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa Eropa terutama Jerman, Inggris, dan Perancis. Prinsipprinsip asas dalam filsafat, seni, pendidikan dan pengetahuan diambil dari Yunani; prinsip-prinsip mengenai hukum dan ketatanegaraan diambil dari Romawi. Sementara agama Kristen yang berasal dari Asia Barat disesuaikan dengan budaya Barat.21 Selain itu pandangan hidup Barat juga sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran umat Islam. Ketika agama Kristen dominan dalam kehidupan keagamaan masyarakat Eropa, mereka masih berada dalam zaman yang mereka sebut Dark Ages (Zaman Kegelapan). Namun mereka mendapat pencerahan setelah mereka menerjemahkan karya-karya cendekiawan Muslim dalam berbagai bidang sains (1050- 1150) ke dalam bahasa Latin. Oleh sebab itu Eugene Myers dengan tegas menyimpulkan bahwa salah satu faktor terpenting kebangkitan Barat adalah penerjemahan karya-karya cendekiawan Muslim.22 Dari Abad abad kegelapan (Dark Ages), Barat memasuki Zaman Pencerahan (Renaissance), Revolusi Perancis (France Revolution), dan industrialisasi besar-besaran di Inggris. Melalui proses tersebut maka Barat memasuki apa yang disebut dengan Zaman Modern. Alain Touraine menggambarkan modernitas sebagai berikut: The idea of modernity make science, rather than God, central to society and at best relegates religious belief to the inner realm of private life. The mere presence of technological applications of science does not allow us to speak of modern society. Intellectual activity must also be protected from political propaganda or religious beliefs; ‌.public and private life must be kept separate‌..the idea of modernity is therefore closely associated with that of rationalization.23

21

S.M.N. Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2000),

164-165. 22

Eugene A. Myers, Arabic Thought and The Western Word, (New York: Fredrick Ungar Publishing Co., 1964), 83. 23 Alain Touraine, Critique of Modernity, (UK: Blackwell, Oxford, 1995), 9-10.

Vol. 9, No. 1, April 2013


26

Hamid Fahmy Zarkasyi

Jalan pikiran manusia Barat modern yang juga disebut “akal modern” (modern mind) itu telah membawa angin baru atau “cara baru” dalam melihat segala sesuatu dan dari situlah lahir sains modern. Di sini kaitan antara “cara baru” dalam berpikir dengan pengetahuan ilmiah yang dihasilkannya sangat erat sekali. Jika kita rujuk kembali definisi worldview di atas, maka modernitas adalah pandangan hidup modern. Karena moderrnitas lebih menekankan pada sains dan teknologi, ketimbang agama, maka pandangan hidup Barat waktu itu disebut dengan scientific worldview. Sejak saat itulah pandangan hidup orang Barat telah berubah secara fundamental. Jadi modernitas pada intinya adalah state of mind atau cara berpikir yang diaplikasikan ke dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu, sejalan dengan perkembangan sains dan pandangan hidup saintifik, JW Schoorl mendefinisikan modernisasi menjadi “penerapan pengetahuan ilmiah yang ada pada semua aktivitas, semua bidang kehidupan atau kepada semua aspek kehidupan masyarakat”24 Penerapan cara berpikir rasional ke dalam keseluruhan aspek kehidupan pada akhirnya menjelma menjadi suatu idea yang lebih luas, yaitu menciptakan masyarakat rasional (rational society), yaitu suatu masyarakat yang segala kegiatannya termasuk bidang sains dan teknologi serta kehidupan politiknya dikontrol oleh rasio. Karena rasionalitas adalah satu-satunya prinsip yang mengatur kehidupan individu dan sosial, termasuk kehidupan keagamaan, maka rasionalisasi berkaitan erat dengan tema sekularisasi. Jadi, dua elemen penting peradaban modern adalah rasionalisasi dan sekularisasi. Dengan kedua elemen ini, maka pandangan hidup Barat tidak lagi bersifat teistik dalam memandang segala sesuatu.25 Pandangan hidup Barat yang saintifik tersebut akhirnya memarginalkan agama. Diskursus yang meletakkan Tuhan secara sentral hanya terbatas pada para teolog, sedangkan para filsuf lebih tertarik pada sains. Habermas menyatakan bahwa proyek moder24 JW. Schoorl, Modernization, terjemahan bahasa Indonesia oleh RG.Soekadijo, Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Berkembang, (Jakarta: Gramedia, 1981), 4. 25 Menurut Huston Smith pendekatan yang bersifat teistik para pemikir Barat, yang ditandai oleh pemikiran yang memposisikan konsep Tuhan secara sentral dalam berbagai diskursus hanya berjalan hingga abad ke sebelas. Lihat Huston Smith, Beyond The PostModern Mind, (Wheaton, Illinois, USA: Quest Book, The Theosophical Publishing House, 1989), 5.

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat

27

nisasi berkulminasi pada abad ke 18 M, di saat mana model pemikiran rasional menjanjikan liberalisasi masyarakat dari mitologi irrasional, agama, dan takhayul.26 Inilah gerakan sekularisasi yang sebenarnya yang berupaya untuk menyuntikkan gagasan desakralisasi ilmu dan organisasi sosial. Menurut James E. Crimmins, proses desakralisasi, atau dalam istilah Weber ‘disenchantment’ ini memang sengaja diarahkan untuk melawan agama dan digambarkan sebagai agen utama untuk menggusur dan menggeser agama tradisional.27 Hasil dari gerakan desakralisasi agama itu sendiri adalah peminggiran agama dari fungsinya yang sentral dalam kehidupan publik dan berbagai diskursus tidak dapat dielakkan. Alain Finkielkraut dalam bukunya The Defeat of the Mind menggambarkan kondisi agama pada era modern sebagai berikut: What they called God was no longer the Supreme Being, but collective reason‌ From now on God existed within human intelligence, not beyond it, guiding people’s action and shaping their thoughts without their knowing it. Instead of communicating with all creatures, as His namesake did, by means of the Revelation, God no longer spoke to man in a universal tongue; He now spoke within him, in the language of his nation. 28

Gambaran ini menunjukkan bahwa dengan dihapusnya nilainilai transendental, maka Tuhan telah direduksi menjadi semangat kebangsaan dan kebudayaan. Ini juga berimplikasi pada pembebasan pemikiran rasional dari agama dan segala macam kepercayaan yang ada di masyarakat. Bagi mereka tidak ada agama yang bisa dipahami secara rasional. Pada zaman ini (modern) pemikiran yang mendiskusikan apakah Tuhan itu ada atau tidak, sebagaimana pada zaman pra-modern sudah tinggal sedikit, yang ada hanya diskusi yang justru menggugat agama. Meskipun demikian Alain sendiri percaya bahwa pada abad ke 18 itu masih dapat dianggap abad metafisika,29 namun fondasi metafisis yang menjadi pembela kebenaran agama perlahanlahan mulai tidak dapat dipertahankan lagi dan tinggal menunggu penghapusan metafisika pada abad berikutnya. 26

David Harvey, The Condition of Postmodernity, (Cambridge: Blackwell, 1991), 12-

13. 27 James E.Crimmins (ed.), Religions, Secularizatin dan Political Thought, (London: Routledge, 1990), 7. 28 Alain Finkielkraut, The Defeat of The Mind, Trans. by Judith Friedlander, (New York: Columbia University Press, 1995), 18. 29 Ibid, 19.

Vol. 9, No. 1, April 2013


28

Hamid Fahmy Zarkasyi

Selain dari elemen rasionalisme dan sekularisme, Barat Modern juga menganut pandangan filsafat empirisisme, yaitu suatu prinsip yang merupakan konsekuensi logis dari rasionalisme dan saintifisme. Dari perspektif ontologi Barat modern juga diwarnai oleh prinsip dualisme dalam memandang realitas, pemisahan jiwa dan raga adalah contoh yang paling konkrit. Berkaitan erat dengan dualisme adalah cara memandang segala sesuatu secara dikotomis, yaitu suatu cara pandang terhadap realitas secara mendua. Dan yang terakhir adalah humanisme. Hal ini muncul sebagai konsekuensi logis dari adanya proses sekularisasi, desekularisasi, dan disenchantment of nature. Jadi gambaran singkat pandangan hidup Barat Modern di atas menunjukkan bahwa elemen pandangan hidup Barat terdiri dari rasionalisme, sekularisme, empirisisme (positivisme), dualisme atau dikotomi, dan humanisme.

Worldview Kapitalisme Makna kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berorientasi pada cara-cara produksi secara individu atau dimiliki oleh individu, di mana distribusi, penentuan harga dan jasa-jasa pelayaan di dalamnya ditentukan oleh pasar bebas. Pengertian individu di sini dapat juga diartikan sebagai individu secara kolektif dalam bentuk perusahaan (corporate ownership) dan bukan milik masyarakat atau milik negara.30 Oleh sebab itu, kapitalisme juga disebut dengan sistem ekonomi dengan pendekatan pasar bebas (free market). Para pendukung sistem ini percaya bahwa pasar adalah efisien dan harus berfungsi secara bebas tanpa campur tangan pihak manapun, tugas negara hanya mengatur dan memproteksi.31 Jika kapitalisme menekankan pasar bebas dan kompetisi, maka sosialisme berdasarkan pada kerjasama (koperasi) yang menekankan pada perencanaan dan distribusi yang disentralisir.32 Kapitalisme adalah sistem ekonomi produk dari kebudayaan Barat modern. Ia dianggap juga sebagai sistem sosial (social system) yang pertama dan terpenting di Barat yang berkembang menjadi 30 John Schrems, Understanding Principles of Politics and the State, (PageFree Publishing, 2004), 234. 31 http://www.investorwords.com/713/capitalism.html 32 http://www.investorwords.com/4613/socialism.html

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat

29

kebudayaan kapitalis (capitalist civilization).33 Jika kita merujuk pada definisi worldview di atas, maka pandangan hidup kapitalisme dapat diartikan sebagai kepercayaan, sikap mental, dan cara pandang masyarakat Barat terhadap cara-cara pemenuhan kebutuhan materi mereka. Dalam teori Max Weber sikap manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya ini disebut dengan Spirit of capitalism (semangat kapitalism). Ini adalah kata lain untuk menyebut manusia sebagai homo economicus.34 Spirit of Capitalism ini menurut Weber terdapat dalam agama Protestan, khususnya dalam sekte Puritan. Tapi perlu dicatat bahwa yang dimaksud Weber adalah orang Protestan dan bukan teologinya atau Bible. Sebab menurutnya, semangat kapitalisme ini bermula dari praktik-praktik yang telah dilakukan oleh Benyamin Franklin (1706-1790). Pada masa sebelum Franklin, agama Protestan tidak memiliki cukup kekuatan yang dapat mendorong terselenggaranya kegairahan kerja sesuai dengan cita-cita kapitalisme. Agama Protestan benar-benar menjadi kapitalistis setelah dilengkapi oleh ajaran-ajaran Franklin. Yang menjadi rujukan Weber pertama-tama adalah sikap hidup sehari-hari Benyamin Franklin, seperti berlaku hati-hati, bijaksana, rajin dan bersungguh-sungguh dalam mengelola bisnis, tidak bermalas-malasan dan tidak berkata kecuali yang bermanfaat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, hati-hati, hemat, melakukan segala sesuatu dengan baik sehingga tidak sia-sia, rajin dan tidak membuang-buang waktu, tulus dan tidak berlebihlebihan, dan sebagainya.35 Dan yang terpenting tujuan kehidupan baginya adalah untuk mendapatkan kemakmuran dan kekayaan. Kegiatan ekonomi adalah suatu tugas dalam rangka melayani Tuhan. Untuk tujuan ini seseorang mesti ingat waktu adalah uang. Memanfaatkan modal sesuai dengan kepentingannya, jujur dan tepat waktu dalam menghaslikan pinjaman, mau bekerja keras akan membantu meningkatkan simpanan. Hemat dalam pemakaian uang, tidak memboroskannya pada hal-hal yang tidak perlu dan tidak 33 Immanuel Wallestein, Historical Capitalism with Capitalist Civilization, (LondonNew York: Verso, 1996), 13; Schumpeter menggunakan istilah “Civilization of Capitalisme� Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, 121. 34 Gordon Marshal, In Search of the Spirit of Capitalism: An Essay on Max Weber’s Protesteant Ethic, (New York: Columbia University Press, 1982), 97. 35 Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Trans. by Talcott Parsons, Anthony Giddens, (London-Boston: Unwin Hyman, 1930). lihat Bab II.

Vol. 9, No. 1, April 2013


30

Hamid Fahmy Zarkasyi

dipakai untuk hidup bermalas-malasan serta mencari kesenangan yang sifatnya sementara, tapi sedikit demi sedikit ditabungkan dan dijadikan kapital tertentu akan menghasilkan keuntungan yang berlipat. Singkat kata, cara untuk memperoleh kekayaan adalah dengan cara hidup rajin dan hemat dalam arti tidak membuangbuang waktu dan uang, tetapi menggunakannya sebaik mungkin.36 Jadi sumber semangat kapitalisme adalah sikap hidup orang Protestan, seperti Benyamin Franklin, dan bukan teologi yang terpancar dari Bible, meski disebutkan bahwa kegiatan ekonomi adalah untuk melayani Tuhan. Oleh karena itu tidak heran jika Franklin memisahkan moralitas dari teologi.37 Pemisahan ini semakin jelas ketika ia mengakui bahwa tidak semua usaha untuk mencari keuntungan selalu dibarengi dengan pertimbagan moral atau tidak lagi bermakna ibadah. Tindakan-tindakan amoral untuk memperoleh keuntungan pribadi mewarnai perjalanan kapitalisme. Weber menggambarkan sikap moral kapitalisme ini dengan meminjam ungkapan seorang kapten laut Belanda: “Pergilah ke neraka untuk mendapatkan keuntungan, sekalipun kamu akan menghanguskan layarmu”.38 Oleh karena itu, pendekatan Weber adalah sosiologis dan bukan teologis. Hipotesisnya adalah bahwa orang Katolik mementingkan kehidupan yang tenang dan suka pada kehidupan yang nyaman sedangkan orang Protestan lebih suka pada kehidupan yang penuh resiko dan menantang untuk mendapatkan kehormatan dan kekayaan.39 Jika dalam worldview Islam konsep dan kepercayaan kepada Tuhan adalah sentral, dalam worldview kapitalis harta, kesejahateraan dan kekayaan materi adalah sentral. Namun, etika Protestan ternyata bukan satu-satunya sumber. Meningkatnya suplai emas ke Eropa yang mengakibatkan inflasi pada abad pertengahan telah membuka peluang bagi sikap-sikap kapitalistis untuk mengambil kesempatan. Situasi ini ditambah lagi dengan munculnya negara-negara bangsa yang kuat pada era Mercantilis (1500-1750). Negara-negara itu kemudian melahirkan 36

Ibid., 48-55. Raplh Kercham, “Benyamin Franklin”, The Encyclopedia Americana, International Edition (New York: Americana Corporation, 1974), vol. 12, hal. 8-12.; lihat juga Kurt Samuelson, Religion and Economic Actioin: A Critique of Max Weber, (New York: Harper Torch Books And Row Publication, 19640), 55-56. 38 Weber, The Protestant Ethic…, hal. 57 39 Ibid., 40-41. 37

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat

31

kebijakan yang memungkinkan swasta lebih berperan dalam pengembangan ekonomi. Itu semua membuat lajunya sistem kapitalisme di Barat.40 Masalahnya, baik orang Katolik maupun orang Protestan tidak mendasarkan sikap hidup mereka dalam berekonomi pada teologi Kristen. Weber sendiri mengakui bahwa orang Katolik Perancis pada umumnya tertarik pada kemewahan dan tidak perduli pada agama. Begitu juga orang Protestan di Jerman yang juga terlibat jauh dengan kehidupan duniawi sama-sama meninggalkan agamanya. Jadi, Spirit of Capitalism bukan berasal dari teologi Protestan, mungkin itu sebabnya Weber menyebutnya Protestant Ethic. Karena agama bukan asas konseptualnya, maka etika ini dalam realitas sosialnya berkembang menjadi kerakusan material dan menghasilkan motto yang berbunyi “greed is good� (rakus adalah bagus).41 Di sini dapat disimpulkan bahwa kapitalisme adalah produk dari sikap keagamaan penganut sekte Protestan dan bukan konsep yang diderivasi secara resmi dari ajaran Kristen yang berdasarkan pada Bible. Besar kemungkinan sikap kapitalistis itu lebih dipengaruhi oleh situasi sosial ekonomi Eropa Zaman Renaissance yang diwarnai oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview) daripada oleh ajaran agama mereka. Protestan sendiri muncul karena pengaruh rasionalisme Barat modern.

Kapitalisme dan Islam Sejalan dengan pandangan hidup Barat modern yang bercirikan rasionalisme, saintifisme, sekularisme, dan cara pandang yang empiristis, maka kapitalisme dapat dikatakan sebagai produk dari padangan hidup Barat modern. Salah satu elemen pandangan hidup Barat yang mempengaruhi kapitalisme adalah rasionalisme. Menurut Weber yang menonjol dalam pemikiran kapitalisme adalah semangat kalkulasi rasional (spirit of rational calculation) yang dikembangkan menjadi prinsip-prinsip pengembangan teknologi dan produksi. Yang terpenting di sini bagi Weber adalah semangat entrepreneurship yang merebak ke bidang politik dan kultural. Kapitalisme akhirnya mempengaruhi perkembangan bentuk perusahaan, kepercayaan 40 The New Encyclopedia Britanica, vol. 2, Encyclopedia Britanica inc, The University of Chicago, 1991, 831. 41 http://cepa.newschool.edu/het/profiles/weber.htm dilihat pada tanggal 15 April 2007

Vol. 9, No. 1, April 2013


32

Hamid Fahmy Zarkasyi

publik dan birokrasi dunia modern. Weber dengan tegas menyatakan: It might thus seem that the development of the spirit of capitalism is best understood as part of the development of rationalism as a whole, and could be deduced from the fundamental position of rationalism on the basic problems of life. In the process Protestantism would only have to be considered in so far as it had formed a stage prior to the development of a purely rationalistic philosophy.42

Kutipan di atas menunjukkan bahwa perkembangan semangat kapitalisme dapat dipahami dengan baik dari perkembangan rasionalisme di Barat, dan yang lebih jelas lagi dari pandangan rasionalisme terhadap problem-problem kehidupan. Protestanisme hanya diperhitungkan sebagai suatu tahapan sebelum berkembangnya filsafat rasionalistis yang murni. Jadi kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari pandangan hidup Barat yang rasionalistis. Dari semangat rasionalisme Protestan dan Barat modern itu, maka kapitalisme berkembang menjadi sistem ekonomi yang mendunia yang oleh Joseph disebut Capitalist Civilization (Kebudayaan Kapitalis). Pada pendahuluan di atas telah disebutkan bahwa asas setiap kebudayaan dan peradaban adalah worldview, maka dari itu kapitalisme adalah kebudayaan dan sekaligus pandangan hidup (worldview). Sebagai suatu pandangan hidup tentu ia mempunyai elemen dan ciri-cirinya tersendiri. Joseph A. Schumpeter menyebutkan ciri-ciri kebudayaan kapitalisme sejalan dengan ciri-ciri rasionalisme Barat, sebagai berikut: 1. Adanya pemikiran atau perilaku individu yang rasional yang berkembang menjadi pemikiran kolektif yang mengkritisi berbagai pihak termasuk kekuasaan politik dan agama. 2. Kapitalisme juga berkembang menjadi cara pandang masyarakat terhadap alam semesta, tentang kehidupan, tentang arti keadilan, konsep keindahan, kesehatan, filsafat hidup, dan lainlain. 3. Kapitalisme merupakan sikap terhadap sains modern, manusia modern dan cara-cara sains modern dikembangkan. Dari sikap hidup ini kemudian timbul seni kapitalis (capitalis art) dan gaya hidup kapitalis (capitalist style of life). 42

Weber, The Protestant‌, bab II.

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat

33

4. Oleh karena pengaruh rasionalisasi perilaku dan pemikiran, maka rasionalisasi juga mempengaruhi sikap mereka terhadap kepercayaan metafisis, mistik, dan ide-ide yang lain, sehingga semua itu akan mengasah metode dalam mencapai tujuan akhir. 5. Kebebasan berpikir dan memandang dunia secara pragmatis terjadi secara alami. 43 Selain dari yang diungkapkan Joseph di atas masih terdapat ciri-ciri lain dari kapitalisme yang menyangkut cara pandang terhadap realitas. Ciri itu adalah doktrin universalisme, yaitu kepercayaan bahwa di sana terdapat pernyataan umum tentang dunia fisik dan sosial yang benar secara universal dan permanen. Tujuan sains adalah mencari pernyataan ini, sehingga dapat menghilangkan apa yang selama ini disebut subyektif. Universalisme ini kemudian menjadi keyakinan (faith) dan juga epistemologi dan puncaknya adalah ideologi (kapitalisme). Untuk itu kapitalisme menggunakan universitas sebagai tempat workshop ideologi dan singgasana kepercayaan itu, selain sebagai tempat mencari kebenaran. Dan sejalan dengan sistem ekonomi kapitalis, Amerika yang menganut liberalisme berpendirian bahwa kebenaran hanya dapat diketahui dari hasil interaksi dalam pasar bebas bagi ide-ide (free market-place of ideas).44 Selain itu ketika ekonomi dunia kapitalis disebarluaskan pada beberapa aktivitas yang ikut serta di dalamnya, seperti Kristenisasi, pemaksaan penggunaan bahasa Eropa, pengajaran tentang teknologi tertentu, perubahan undang-undang, dan lain-lain. Sistem kapitalis ini seringkali disebarkan melalui kekuatan militer atau lewat cara persuasif terhadap pemimpin yang didukung oleh militer. Keseluruhan proses penyebaran sistem ini oleh Emmanuel Wallestein yang disebut “westernisasi” atau lebih arogan lagi mereka klaim “modernisasi” yang dibumbui dengan kepercayaan pada ideologi universalisme tersebut di atas. Globalisasi merupakan proyek lain dan sangat menguntungkan kapitalisme. Kapitalisme lebih kuat dari sistem ekonomi nonkapitalis, sebab ia mempunyai sarana dan strategi yang kuat untuk menjadikan sistem pasar itu universal. Jadi globalisasi menurut Gibson-Graham adalah tindak kekerasan yang berakhir dengan 43 44

Joseph A. Schumpeter, Capitalism…, 121-124. Immanuel Wallerstein, Historical Capitalism…, 81.

Vol. 9, No. 1, April 2013


34

Hamid Fahmy Zarkasyi

pembunuhan bentuk ekonomi selain sistem kapitalisme. Gaya hubungan sosial dan ekonomi kapitalis didesain agar dapat masuk ke dalam sistem sosial dan ekonomi lain, tapi tidak sebaliknya.45 Alasan yang sering digunakan adalah efisiensi ekonomi, tapi pada saat yang sama menyebarkan norma-norma kultural baru dan menggeser kultur tradisional yang menjadi saingannya. Normanorma atau konsep baru yang dibawa kapitalisme itu adalah demokrasi liberal, kebebasan sipil, kebebasan berpolitik, dan kesempatan ekonomi bagi setiap warganegara.46 Kultur yang dibawa oleh kapitalisme atau faktor pendukungnya telah merupakan kebudayaan dan pandangan hidup. Menurut Huntington elemen-elemen kebudayaan Barat Kapitalis yang ia namakan sebagai “paradigma peradaban” adalah prinsip-prinsip keagamaan dan filsafat.47 Paradigma peradaban dalam konteks Negara Kapitalis Amerika ia sebut dengan America’s core culture. Identitas peradaban Amerika itu dapat diketahui melalui elemen-elemen pentingnya yaitu, 1) agama Kristen, 2) etos kerja dan nila-nilai moralitias Protestan, 3) filsafat, 4) bahasa Inggris, 5) tradisi hukum bangsa Inggris, 6) sistem politik demokrasi liberal, 7) khazanah seni, sastra, filsafat, dan musik Eropa, 8) prinsip-prinsip liberalisme, persamaan, dan individualisme, serta 9) kapitalisme.48 Jika elemen pandangan hidup Islam dan Barat dibandingkan akan diketahui perbedaannya. Dari matrik pandangan hidup yang dipaparkan Thomas Wall di atas yang terdiri dari konsep Tuhan, ilmu, realitas, diri, etika dan masyarakat, 49 ditambah dengan America’s core culture yang disebut oleh Huntington, jelaslah bahwa pandangan hidup Islam berbeda secara diametris dan konseptual dari pandangan hidup Barat, baik Barat modern maupun Barat postmodern, baik Eropa maupun Amerika. Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pandangan hidup Barat adalah gambaran khas tentang teori-teori pertumbuhan ekonomi. Pandangan hidup ini berdasarkan pada 45 Gibson-Graham J.K., The End of Capitalism (as we knew it), (Feminist Critique of Political Economy, Blackwell Publisher, 1996), 125. 46 Joseph A. Schumpeter, Capitalism…, 109. 47 Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html 48 http://www.newyorker.com/critics/books/?040517crbo_books 49 Thomas F Wall, Thinking…, 16

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat

35

asumsi utopis bahwa ekonomi adalah ilmu yang bebas nilai, rasional, analitis dan teknis. Sistem ekonomi kapitalisme berpegang pada teori bahwa perkembangan ekonomi ditentukan oleh pasar yang dalam buku-buku ekonomi disebut kompetisi sempurna, atau dalam istilah Adam Smith dinamakan the invisible hand. Pandangan hidup Islam tidak berangkat dari pemikiran tentang kehidupan dunia tapi kehidupan dunia dan akhirat sekaligus. Oleh sebab itu, konsep-konsep tentang kehidupan dunia selalu terkait erat dengan konsep kehidupunan akherat. Maka dari itu, jika kapitalisme memisahkan moralitas dari teologi, maka Islam tidak. Islam tidak menafikan perlunya rasionalitas untuk menyelesaikan masalah kehidupan dunia, tapi konsep rasional dalam Islam tidak hanya terbatas pada logika matematis, ia melibatkan pula dimensi spiritual metafisis. Secara keseluruhan Islam berbeda dari pandangan hidup Barat Kapitalis. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History, and the Last Man mengakui bahwa kini dunia Barat Posmodern dengan prinsip ‘free market� kapitalisme dan “liberalisme� merupakan babak akhir dari sejarah manusia (the end of History). Artinya paham liberalisme adalah alternatif terakhir bagi umat manusia, faham apapun yang tidak dapat mengakomodir ciri-ciri ini akan tersingkir dari proses evolusi menuju kesempurnaan sejarah atau tertinggal jauh di belakang. Namun ia mengakui pula bahwa Islam memiliki nilai moralitas dan doktrin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri. Ia bahkan meletakkan Islam sejajar dengan ideologi Liberalisme, Kapitalisme, Komunisme, dan sebagainya. Cara pandang Fukuyama ini membuktikan bahwa Islam, liberalisme, kapitalisme, dan komunisme adalah sederet worldview yang secara konseptual tidak mungkin ada konvergensi konseptual. Di dalam bukunya itu, Fukuyama juga menyatakan bahwa dalam politik Islam pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal dan praktek-praktek liberal. Tapi kini menurutnya kekuatan Islam tidak demikian bahkan kondisi Islam kini menjadi terbalik. Maka dari itu dia menyimpulkan: Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya

Vol. 9, No. 1, April 2013


36

Hamid Fahmy Zarkasyi

fundamentalisme adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap masyarakat Islam tradisional. 50

Kesimpulan Fukuyama bahwa Islam nampak lebih lemah menghadapi ide-ide liberal mungkin dapat diterima untuk sementara waktu. Namun poin bahwa munculnya fundamentalisme disebabkan oleh kuatnya ancaman nilai-nilai liberal tidaklah tepat. Sebab kini umat Islam telah mulai bersikap kritis terhadap Barat, khususnya sejak abad ke 20 di mana kemakmuran ekonomi dan stablitias politik mulai dinikmati oleh negara-negara Islam. Mungkin Fukuyama tidak menyadari bahwa sistem ekonomi liberal tidak ditolak dengan tindakan-tindakan kelompok “fundamentalis� yang seringkali dikaitkan dengan terorisme. Akan tetapi direspon dengan gagasan, ide, dan bahkan praktek ekonomi Islam. Jadi Islam tidak lemah dan hancur ketika menghadapi sistem ekonomi kapitalis, tapi justru bangkit dengan perlahan-lahan dengan membawa ekonomi Islam, meskipun melalui proses asimilasi dan Islamisasi.

Penutup Kajian tentang kapitalisme sebagai sistem ekonomi telah banyak dilakukan orang, namun kajian tentang kapitalisme sebagai kebudayaan dan pandangan hidup memerlukan pembahasan yang lebih komprehensif dan lebih mendetail. Jika konsep sentral worldview Islam adalah Tuhan, maka konsep utama worldview kapitalis adalah kekayaan dan kemakmuran hidup di dunia. Konsep utama ini pada gilirannya akan mempengaruhi konsep-konsep yang lain. Meskipun konsep-konsep lain yang akan dikembangkan itu relatif sama seperti harta, kebahagiaan, kenikmatan, keadilan, distribusi, konsumsi, monopoli dan lain sebagainya, namun perbedaan konsep sentral itu akan membedakan konsep turunannya yang dikembangkan kemudian. Oleh sebab itu dengan berkaca kepada kapitalisme sebagai sistem eknomi yang memiliki worldview tersendiri dengan konsep-konsep sentralnya sendiri, maka ekonomi Islam secara 50

Aslinya:�Indeed, the Islamic world would seem more vulnerable to liberal ideas in the long run than the reverse, since such liberalism has attracted numerous and powerful Muslim adherent over the past century and a half. Part of the the reason for current, fundamentalist revival is the stregth of the perceived threat from liberal, Western values to traditional Islamic societies. Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, (New York: Avon Book, 1992), 45-46.

Jurnal TSAQAFAH


Worldview Islam dan Kapitalisme Barat

37

konseptual harus dikaitkan dengan worldview Islam yang konsep sentralnya adalah akidah. Secara epistemologis worldview Islam akan menjadi basis filsafat ilmu eknomi Islam, dan secara sistemik worldview Islam dapat menjadi basis konsep kesejahteraan dan kemakmuran serta kebijakan ekonomi makro, serta menjadi tata nilai dalam praktek kehidupan konomi mikro. []

Daftar Pustaka Acikgence, Alparslan. “The Framework for A history of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization, vol.1. Nos. 1&2, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 6. al-Attas, S.M.N. “Opening Address, The Worldview of Islam, an Outline” in Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of Modernity, Historical and Contemporary Contexts, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996). _______. Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995). _______. Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2000). al-Zayn, Sheykh thif. al-Islâm wa Idulujiyyat al-Insân, (Beirut: Dâr al- Kitâb al-Lubnânî, 1989). Crimmins, James E. (ed.). Religions, Secularizatin dan Political Thought, (London: Routledge, 1990). Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives, (California: Wardsworth, 199). Finkielkraut, Alain. The Defeat of The Mind, Trans. by Judith Friedlander, (New York: Columbia University Press, 1995). Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man, (New York: Avon Book, 1992). Harvey, David. The Condition of Postmodernity, (Cambridge: Blackwell, 1991). Huntington, Samuel P. “Clash of Civilization?” Foreign Affair 72 (Summer 1993). ________. If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/

Vol. 9, No. 1, April 2013


38

Hamid Fahmy Zarkasyi

Samuel-p-huntington/index.html ________. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, (New York: Simon & Schuster, A Touchstone Book, 1996). J.K. Graham Gibson, The End of Capitalism (as we knew it), (Feminist Critique of Political Economy, Blackwell Publisher, 1996). Kercham, Raplh. “Benyamin Franklin”, The Encyclopedia Americana, International Edition, Vol. 12, (New York: Americana Corporation, 1974). Kuhn, Thomas S. “The Structure of Scientific Revolution”, International Encyclopedia of Unified Science, vol.2, no 2, (Chicago: Univerity of Chicago Press, 1970). Marshal, Gordon. In Search of the Spirit of Capitalism: An Essay on Max Weber’s Protesteant Ethic, (New York: Columbia University Press, 1982). Mawdûdî, Abu al-A’la. The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967). Myers, Eugene A. Arabic Thought and The Western Word, (New York: Fredrick Ungar Publishing Co., 1964). Qutb, M. Sayyid. al-Tas}awwur al-Islâmî wa Muqawamâtuhû, (Cairo: al-Babi al-Halabi, 1962). Samuelson, Kurt. Religion and Economic Actioin: A Critique of Max Weber, (New York: Harper Torch Books And Row Publication, 19640). Schrems, John. Understanding Principles of Politics and the State, (PageFree Publishing, 2004). Schumpeter, Joseph A., Capitalism, Socialism and Democarcy, (New York dan London: Harper & Brothers Publishers, 1942). Smart, Ninian. Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sribner’s sons, n.d). Smith, Huston. Beyond The Post-Modern Mind, (Wheaton, Illinois, USA: Quest Book, The Theosophical Publishing House, 1989). The New Encyclopedia Britanica, Vol. 2, Encyclopedia Britanica inc, (US: The University of Chicago, 1991) Wall, Thomas F. Thinking Critically About Philosophical Problem, A Modern Introduction, (Australia: Thomson Learning, 2001).

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an Hamid Fahmy Zarkasyi Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo Email: hfzark@yahoo.co.uk

Abstract Orientalism is a field of study that deals with Eastern and Islamic studies as it object of study. Being a discipline of knowledge it must have specific theory and methodology or framework of study. However, since it emerged in Western intellectual tradition, it is permeated by Western worldview. In other words, being a science orientalism is value laden. This paper tries to prove the correlation between the traditions of orientalism, where religious, cultural and political melieu permeated their framework, with the study of the Qur’an. The finding suggests that the framework of orientalis in their study of the Qur’an could be resumed into four: trying to employ previous sacred text as their standard of Qur’anic studies, preferring the textual studies rather than narration, questioning the process of compilation, examining the content of the Qur’an using their own logic and experience, and finally employing the Biblical methodology. Those frameworks inevitably has resulted incongruencies that could lead one to be misunderstanding the Qur’an Orientalisme adalah bidang studi yang berhubungan dengan Timur dan studi Islam, karena berkaitan dengan objek kajian studi. Ia kini telah menjadi disiplin ilmu yang harus memiliki spesifikasi teori dan metodologi atau kerangka studi. Namun, karena ia muncul dalam tradisi intelektual Barat, maka ia disikapi dengan pandangan Barat. Dengan kata lain, orientalisme menjadi disiplin ilmu yang sarat nilai. Tulisan ini mencoba untuk membuktikan korelasi antara tradisi orientalisme, di mana agama, budaya dan nuansa politik demikian meresap dalam kinerja dan pribadi mereka, khususnya mengenai studi Al-Qur’an. Tak ayal lagi, kerangka pikir orientalis dalam kajian mereka terhadap Al-Qur’an * Program Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Telp. (0352) 488220.

Vol. 7, No. 1, April 2011


2

Hamid Fahmy Zarkasyi

diaplikasikan dalam empat langkah: menggunakan teks suci sebelumnya – Bibelsebagai standar studi Qur’an, selanjutnya lebih memilih studi tekstual daripada narasi, dan mempertanyakan proses kompilasinya, memeriksa isi Qur’an dengan menggunakan logika dan pengamalan empiris mereka sendiri, dan akhirnya mereka menggunakan metodologi Al-Kitab (Bibel). Kerangka kerja tersebut pasti telah mengakibatkan ketidaksesuaian hasil kajian yang dapat membawa kita kepada salah paham terhadap Al-Qur’an.

Keywords: biblical criticism, oriental studies, etnocentris, mushaf, tafsir

Pendahuluan

O

rientalisme adalah tradisi kajian ketimuran dan keislaman di dunia Barat yang telah berumur berabad-abad, karena itu maka semangat dan kualitas kajian dapat dikatakan ilmiah. Namun, karena subyek kajian ini umumnya adalah manusia Barat maka bias ideologis, kultural dan religius tidak dapat dihindari.1 Akibat dari bias-bias tersebut orientalisme menghasilkan frameworknya sendiri dalam mengkaji masalah-masalah ketimuran dan keislaman. Framework ini bagi cendekiawan Muslim yang tidak kritis akan nampak objektif dan bahkan baru sehingga diadopsi. Salah satu bidang kajian keislaman yang menunjukkan frameworknya yang khas orientalis adalah bidang kajian al-Qur’an.2 Makalah ini mencoba menemukan benang merah antara nilai-nilai dan metodologi yang menjadi latar belakang bidang studi orientalis dengan metodologi atau framework kajian al-Qur’an. Dalam kaitannya dengan itu, maka framework orientalis yang mencoba menjadikan kitab-kitab terdahulu sebagai standar kajian al-Qur’an, mengutamakan rasm (teks dari riwayah), mempermasalahkan proses pembentukan mushaf, mempersoalkan kandungan al-Qur’an dan penggunaan metodologi Bible merupakan topik-topik yang akan menjadi kajian makalah ini. Namun agar kajian ini lebih komprehensif, framework kajian al-Qur’an orientalis perlu dicari benang merahnya dengan worldview orientalis. Maka dari itu akan dipaparkan terlebih dahulu 1

Edward Said, Orientalism, (New York: Vintage Books, 1979), h. 204. Kajian lebih detail mengenai pemikiran kelima tokoh orientalis tentang al-Qur’an lihat Muhammad Mohar Ali, The Qur’an and the Orientalists: An Examination of their Main Theories and Assumption,s Jam’iyat Ihyaa’ Minhaaj al-Sunnah (JIMAS) 2004. 2

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

3

tradisi orientalisme dalam mengkaji Islam yang menyangkut motif kajian, fase perkembanganya dan objektifitas kajiannya.

Tradisi Orientalisme Gerakan pengkajian ketimuran (oriental studies) diberi nama orientalisme baru abad ke 18, meskipun aktivitas kajian bahasa dan sastra ketimuran (khususnya Islam) telah terjadi jauh sebelumnya.3 Namun istilah orientalis muncul lebih dulu daripada istilah orientalisme. A.J. Arberry (1905-1969) dalam kajiannya menyebutkan istilah orientalis muncul tahun 1638, yang digunakan oleh seorang anggota gereja Timur (Yunani). Menurutnya orientalis adalah “orang yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.” Adapun definisi dan skop kajian orientalisme yang merujuk akar kata orient (timur) yang merupakan lawan kata occident (barat) adalah scholarship or learning in oriental subject.4 Dalam kaitannya dengan agama-agama pengertian ini dapat dipersempit menjadi kegiatan penyelidikan para ahli ketimuran di Barat tentang agamaagama di Timur. Namun secara luas berarti kegiatan kajian tentang hal-hal yang menyangkut bangsa-bangsa di dunia Timur beserta lingkungannya sehingga meliputi berbagai bidang kehidupan. Hal ini menyangkut bidang sejarah, bahasa, agama, kesusasteraan, istiadat, politik, ekonomi dan sebagainya. Secara disipliner Edward Sa‘id mendifinisikan orientalisme sebagai: …..bidang pengetahuan atau ilmu yang mengantarkan pada [pemahaman] dunia timur secara sistematis sebagai suatu objek yang dapat dipelajari, diungkap, dan diaplikasikan.”5

Jika orientalisme merupakan bidang pengetahuan, maka sudah tentu ia memiliki metode, obyek kajian, teori dan bahkan framework kajiannya sendiri. Namun sebagai suatu disiplin ilmu, sejarahnya tentu diwarnai oleh latar belakang ideologi, agama, kepercayaan masyarakat Barat. Jadi sejarah ilmu orientalisme diwarnai milleu keagamaan, politik dan keilmuan.6 3 4

The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, h.200 Longman Dictionary of English Language, (Burnt Mill, Harlow, Longman, 1984),

h. 1035 5 6

Edward Said, Orientalism…, h. 92 Ibid., h. 204.

Vol. 7, No. 1, April 2011


4

Hamid Fahmy Zarkasyi

Motif keagamaan Barat yang di dominasi oleh Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrindoktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya telah banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Islam dianggap “menabur angin� dan lalu menuai badai perseteruan dengan Kristen. Bahkan lebih ekstrim lagi, perseteruan itu ada sejak sebelum Islam datang. Thomas Wright, penulis buku Early Christianity in Arabia, A Historical Essay7 mensinyalir perseteruan antara Islam dan Kristen terjadi sejak bala tentara Kristen pimpinan Abrahah menyerang Ka’bah dua bulan sebelum Nabi lahir. Menurutnya, kalau saja tentara Abrahah itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada ditangan Kristen, dan tanda salib sudah terpampang di Ka’bah. Muhammad pun mungkin mati sebagai pendeta. Selain itu perang salib yang berjalan hampir selama dua abad (sejak tahun 1096 hingga tahun 1271) telah cukup menambah milleu perseteruan tersebut. Di saat-saat seperti inilah keingin tahuan orang Barat tentang Islam mulai tumbuh. Selanjutnya, orientalisme lahir dari milleu politik dimana Islam dianggap sebagai ancaman besar bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Realitas sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan Islam telah tersebar kepelbagai pelosok dunia termasuk ke Eropah dan sangat mengganggu stabilitas politik di Negara-negara Barat waktu itu. Menurut W.C. Smith permusuhan yang lebih sengit terjadi pada masa kekuasan Turkey Uthmani pada akhir abad 19, tidak hanya dalam bentuk kekuatan militer, tapi telah menyangkut alam pikiran dan aqidah.8 Milleu politik ini kemudian mendorong penaklukan balas yang membawa konsekuensi ekonomi atau perdagangan yang akhirnya berubah menjadi kolonialisme. Namun, di sisi lain, meski Islam-Barat mengalami suasana perseturuan politik yang hebat, hubungan keilmuan antara keduanya snagat erat. Bahkan sejak sebelum terjadi perang salib aktifitas penterjemahan karya-karya Muslim kedalam bahasa Latin di Spanyol sudah cukup pesat. Suasana politik, agama, budaya dan keilmuan itulah yang mengiringi kelahiran tradisi orientalisme yang akhirnya berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri. 7 Thomas Wright, Early Christianity in Arabia, A Historical Essay (New Jersey:Theological Seminary Princeton, tt.), h. 92 8 W.C.Smith, Islam in Modern History, 4th edition, (Princation, 1996), h. 166.

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

5

Sebenarnya ketiga milleu tersebut diatas tidak terjadi pada satu waktu tertentu atau berjalan secara monoton, namun berjalan menyusuri waktu dengan perkembangan yang berbeda-beda intensitas kajiannya. Meski nama bidang kajian orientalisme baru diberikan pada abad ke 18, namun aktivitasnya telah terjadi sejak abad ke 8, namun sejatinya kajian serius orientalisme baru dapat dilacak dari sejak abad ke 16. Oleh sebab itu fase perkembangan orientalisme dibagi menjadi empat: Fase pertama dimulai pada abad ke enambelas (abad 16). Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan sebagai simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen. Bagi orang Eropah Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Southern dalam bukunya Western Views of Islam in the Middle Ages, menulis bahwa “orang Kristen ingin agar Timur dan Barat Eropah bersepakat bahwa Islam itu adalah Kristen yang sesat (misguided version of Christianity).�9 Bahkan tidak sedikit yang menulis bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur dsb yang kesemuanya itu diambil dari doktrin kagamaan yang dibawanya.10 Fase kedua orientalisme terjadi pada abad ke 17 dan 18 M. Fase kedua ini adalah fase penting orientalisme, sebab ia merupakan gerakan yang bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah raja-raja dan raturatu di Eropah sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran. Untuk menyebut beberapa, Erpernius (1584-1624), menerbitkan pertama kali tatabahasa Arab, dan diikuti muridnya Jacob Goluis (1596-1667), dan oleh Lorriunuer Franz Meurnski dari Austria tahun 1680. Selain itu Bedwell W (15611632) mengedit tujuh jilid buku Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad. Meskipun Barat memerlukan Islam, tapi api perseteruan masih tetap membara. Maka dari itu selain mengumpulkan informasi tentang Timur mereka juga menyebarkan informasi negatif tentang Timur kepada masyarakat Barat. Fase ketiga orientalisme adalah abad ke 19 dan seperempat pertama abad ke 20. Fase ini adalah fase orientalisme terpenting baik bagi Muslim maupun bagi orientalis sendiri. Sebab pada fase ini 9 R.W. Southern Western Views of Islam in the Middle Ages, 3rd edition, (Harvard: Harvard University Press, 1978), h. 91-92, 108-109. 10 Norman Daniel, Islam and the West, The Making of an Image, (Boston: Oneworld Publication, 2000), h. 246-296.

Vol. 7, No. 1, April 2011


6

Hamid Fahmy Zarkasyi

Barat telah benar-benar menguasai negara-negara Islam secara politik, militer, kultural dan ekonomi. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negeri-negeri Islam, mereka mudah mendapatkan bahan-bahan tentang Islam. Oleh sebab itu pada waktu yang hampir bersamaan lembaga-lembaga studi keislaman dan ketimuran didirikan di mana-mana. Tahun 1822 di Paris didirikan Society Asiatic of Paris, Royal Asiatic Society of Great Bretain and Ireland didirikan tahun 1823 di Inggeris; tahun 1842 di Amerika juga didirikan American Oriental Society; tahun 1916 di University of London, didirikan School of Oriental Studies sekarang menjadi SOAS (School of Oriental and African Studies). Dengan berdirinya pusatpusat studi keislaman maka framework kajian orientalis berubah dari fase caci maki menjadi serangan sistimatis dan ilmiah. Tapi sistematis dan ilmiah tidak berarti tanpa kesalahan dan bias. Fase keempat orientalisme ditandai dengan adanya Perang Dunia ke II. Khusus di Amerika, Islam dan ummat Islam menjadi obyek kajian yang populer. Kajian itu bukan saja dilakukan untuk kepentingan akademis, tapi juga untuk kepentingan kebijakan politik dan juga bisnis. Sekali lagi pada fase ini kajian orientalisme berubah lagi, dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Cantwell Smith terang-terangan mengatakan “Pencarian ilmu selalu siap merubah hypotesanya. Faktanya memang orangorang Barat non-Muslim baru saja mulai memperlembut (sikapnya terhadap Islam) dan bahkan menarik kata ‘tidak’nya”.11 Sir Hamilton Gibb secara diplomatis mengatakan bahwa ia menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tapi Islam perlu menafsirkan ulang konsep-konsep di dalamnya yang tidak bisa dipertahankan lagi itu.12 Perubahan sikapnya begitu kentara, berubah dari menuduh Nabi sebagai penipu, mereka kemudian mempersoalkan konsep wahyunya, dan kini mereka mulai mempersoalkan interpretasinya.

11

Lihat W.Cantwell Smith On Understanding Islam-Selected Studies, (the Hague, 1981),

h. 296 12 Sir Hamilton Gibb, Pre-Islamic Monotheism in Arabia, (Harvard: Harvard Theological Review, 55, 1962), h. 269.

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

7

Objektivitas Orientalis Jadi demikianlah, mulanya para orientalis itu hanyalah sebuah circle yang memiliki semangat anti-Islam, dalam perkembangannya nuansa anti-Islamnya lalu dikurangi dan diganti dengan pendekatan yang menggunakan logika, pengetahuan dan argumentasi. Meskipun demikian tujuan orientalisme adalah tetap sama. Contoh yang jelas adalah jurnal The Muslim World yang diterbitkan oleh Samuel Zwemmer tahun 1920. Pada mulanya jurnal ini terang-terangan diperuntukkan bagi media informasi bagi para missionaris tentang Islam dan dunia Islam. Ini sesuai dengan motto mereka yang terkenal yaitu know your enemy, (ketahuilah musuhmu). Tapi kemudian jurnal itu menjadi media kajian Islam yang serius dan ilmiah. Oleh sebab itu orientalisme dikenal sebagai suatu tradisi kajian ilmiah tentang Islam yang menggunakan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik.13 Mereka bahkan dianggap memiliki disiplin dan sikap ilmiah yang ‘khas’, yang membentuk sebuah framework pengkajian. Namun meski bersifat ilmiah dan terkesan objektif, framework kajian orientalis tidak lepas dari warna dan latar belakang agama, politik, worldview dan nilai-nilai peradaban Barat. Bagi yang berfikir kritis perubahan sikap orientalis ini akan mendapati bahwa kajian para orientalis itu berpijak pada subyektifitas mereka sebagai orang Barat. Kajian Edward Said melahirkan kesimpulan bahwa apa saja yang dikatakan oleh orang Eropah tentang Timur tetap saja rasial, imperialis dan etnocentris.14 Subyektivitas itu digambarkan dengan sangat jelas sekali oleh Anwar al-Jundi dalam bukunya al-Fikr al‘Arabi al-Mu‘a>s}ir fi> Ma’rakat al-Taghri>b.15 Menurutnya para orientalis itu pertama-tama menentukan tujuan dan proposisi. Kemudian untuk membuktikan proposisi mereka, mereka mengumpulkan berbagai macam data, seperti teks-teks keagamaan, cerita-cerita fiksi, syair-syair, kisah-kisah, dan lain-lain yang otentik ataupun yang tidak dan kemudian menafsirkan sesuai dengan tujuan dan proposisi mereka itu. Data yang tidak sesuai dengan tujuan mereka dibuang. Proposisi digunakan untuk membuat teori-teori “baru”, tanpa memperdulikan apakah teori-teori mereka itu sesuai dengan fondasi 13 Lihat Dr. Afaf, al-Mushtashriku>n wa Mushkilat al-H}ad}a>rah, (Cairo: Dar al-NahÌah al-‘Arabiyyah, 1980), h. 33-34 14 Edward Said, Orientalisme…, h. 204 15 Anwar al-Jundi, al-RisÉlah, (Cairo, tt.), h. 133-137

Vol. 7, No. 1, April 2011


8

Hamid Fahmy Zarkasyi

ajaran Islam atau tidak. Kajian al-Jundi hanyalah salah satu dari sekian framework kajian orientalis. Berbeda bidang kajian berbeda pula frameworknya, dan berbeda periode berbeda pula tehnik dan metode kajiannya. A.L. Tibawi penulis buku English Speaking Orientalists, menyimpulkan bahwa ketika para orientalis ahli polemik periode awal terlibat dalam penghinaan dan penafsiran yang salah tentang Islam, tujuan mereka hanyalah destruktif. Tapi setelah adanya motif missionaris mereka mulai menggunakan pendekatan objektif. Metodenya merupakan campuran antara penghinaan dan pengungkapan hal-hal negatif tentang Islam, namun dengan menggunakan fakta-fakta yang solid, tapi tetap dipahami dalam perspektif Kristen. Metode yang pertama telah ditinggalkan sedangkan metode yang kedua menjadi lemah atau diberi baju baru. Ini jelas sekali ketika diketahui bahwa para orientalis itu gencar menyarankan, mendorong dan bahkan kasarnya memprovokasi agar Islam itu direformasi.16 Sebagai contoh dapat dilihat dari pendapat Montgomery Watt. Watt menyatakan bahwa “rekonstruksi intelektual pandangan hidup Islam secara mendasar adalah penting jika bertujuan untuk menghilangkan elemen-elemen yang salah dan keliru, dan untuk memberikan gambaran yang lebih tepat tentang kedudukan Islam dalam dunia kontemporer.”17 Dia memberikan beberapa contoh tentang “apa yang dianggap kesalahan yang serius menurut kritik sejarah Barat,” seperti kisah Maryam yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang oleh Watt dianggap salah karena Al-Qur’an tidak membedakan antara Miriam saudara Harun (Maryam [19]: 28) dan Meri, ibunda Nabi Isa a.s. Kesalahan lain yang lebih serius tentang informasi sejarah, menurut Watt, adalah penolakan Al-Qur’an terhadap cerita yang mengatakan bahwa Nabi Isa a.s. disiksa dan mati di tiang salib (anNisa’ [4]: 157), sedangkan menurut mereka “penyiksaan yang membawa kematian Nabi Isa a.s. adalah satu diantara bukti sejarah masa silam yang paling pasti.”18 Selain itu Watt ternyata meragukan otentisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan bahwa beberapa bagian al-Qur’an dan Hadits itu dibuat-buat dan tidak konsisten, 16 A.L. Tibawi, “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”, dalam The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2, h. 41. 17 William Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New York: Routledge, 1988), h. 88. 18 Ibid., h. 83, 88.

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

9

dan karena itu tidak bisa dijadikan sumber pandangan hidup Islam. Ia bahkan mencurigai adanya “ayat-ayat setan” dalam al-Qur’an.19 Kajian orientalis tentang Islam dan sejarahnya nampak sangat canggih (baca: soophisticated) dan subtil sehingga pembaca awam, alias bukan pakar tidak mudah mengetahui implikasi-implikasi negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya berdasarkan spekulasi, penentuan sumber data yang selektif demi tujuan dan kepentingan tertentu. Edward Said baik dalam Orientalism (1978) maupun dalam The World, The Text and the Critic,20 yakin bahwa Orientalis dan Barat adalah diskrimatif. Batas rasial, kultural dan bahkan saintifik sangat kental. Antara “kami” dan “mereka”, minna dan minhum merasuk kedalam kajian sejarah, linguistic, teori ras, filsafat, antropologi dan bahkan biologi hingga abad ke 19. Selain dari itu, pandangan dan kritik orientalis berdasarkan kajian mereka yang sangat spesifik. Artinya jika mereka mengkaji suatu bidang tertentu, mereka melewatkan bidang kajian yang lain. Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik-kritik yang tidak dikaitkan dengan Kalam misalnya, kritik dalm bidang filsafat tidak dikaitkan dengan aqidah, kritik dan kajian al-Qur’an tanpa disertai ilmu tafsir, bahkan tidak aneh jika para orientalis mengkaji al-Qur’an dengan metodologi Bibel, mengkaji politik Islam dalam perspektif politik Barat sekuler dst. Dan yang pasti disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam itu tidak dikaji dengan framework pandangan hidup Islam, tapi Barat. Jadi, kajian orientalis yang dianggap objektif dan ilmiah itu sangat mungkin untuk terjerumus dalam kesalahan. Cara pandang mereka terhadap Nabi, al-Qur’an dan Islam sebagai agama masih tidak bisa lepas bebas dari pengaruh orientalis periode awal yang diwarnai permusuhan dan oleh pengalaman manusia Barat. Artinya orientalisme sebagai ilmu itu tidak bebas nilai.

Framework Studi al-Qur’an Orientalis Pengaruh worldview Barat terhadap framework kajian orientalis nampak dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an. Asumsi dasar 19

M.Watt, Muhammad at Mecca, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960), h.

103 20 Edward Said, The World, the Text, and the Critic, (Cambridge: Harvard University Press, 1984), h. 14.

Vol. 7, No. 1, April 2011


10

Hamid Fahmy Zarkasyi

mereka bahwa al-Qur’an itu bukan wahyu menjadi landasan dan sekaligus tujuan kajian mereka terhadap al-Qur’an. Kajian sejarah teks al-Qur’an yang dipelopori khususnya oleh Theodore Noldeke dan Arthur Jeffery,21 teori revisi teks al-Qur’an oleh Richard Bell dan M.Watt,22 ataupun asumsi J.A.Bellamy tentang kesalahan penulisan al-Qur’an membuktikan akan hal itu. Bahkan Bergtrasser, Mingana, Pretzl, Tisdal, Wansbrough, Puin dan banyak lagi lainnya telah mencurahkan seluruh kehidupan mereka guna menyingkap perubahan teks al-Qur’an. Di antara karya-karya yang tercatat dalam sejarah adalah: 1) A. Mingana and A. Smith (ed.), Leaves from Three Ancient Qurans, Possibly Pre-’Othmanic with a List oftheir Variants, Cambridge, 1914; 2) G. Bergtrasser, “Plan eines Apparatus Criticus zum Koran”, Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7; 3) O. Pretzl, “Die Fortfuhrung des Apparatus (‘riticus zum Koran”, Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5; dan 4) A. Jeffery, The Qur’an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York, 1952. Karena terpengaruh oleh worldview dan nilai-nilai Barat, maka dalam mengkaji al-Qur’an para orientalis hanya menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmu-ilmu sosial yang mereka miliki. Sebagai konsekuensi dari pendekatan tersebut maka masalah-masalah yang mereka jadikan topik bahasan disesuaikan dengan metode tersebut. Berikut ini dipaparkan beberapa model kajian orientalis yang berdasarkan framework mereka sendiri. 1. Mengaitkan dengan Teks terdahulu Karena pengaruh milleu keagamaan mereka yakni Yahudi dan Kristen, para orientalis menggunakan kitab mereka sebagai standar penilaian. Di antara caranya adalah dengan mencari kesamaan-kesamaannya. Abraham Geiger (1810-874), seorang intelektual Yahudi Liberal Jerman, mengajukan teori mengenai pengaruh Yahudi terhadap al-Qur’an. Pada tahun 1833, dalam esainya yang berjudul “Apa Yang Telah Muhammad Pinjam Dari Yahudi?”, memaparkan sejumlah indikasi bahwa al-Qur’an merupakan imitasi dari Taurat dan Injil antara lain dari segi kosa kata yang berasal dari bahasa Ibrani 21

Arthur Jeffery, “Progress in the Study of the Qur’an Text”, Muslim World, 1935, h.

4-16. 22 Richard Bell & W.M.Watt, Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970)

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

11

yaitu. Tabut, Taurat, Jahannam, Taghut, dan sebagainya. Selain itu, Geiger juga berkeyakinan bahwa muatan al-Qur’an sangat terpengaruh oleh agama Yahudi seperti penjelasan al-Qur’an mengenai: (a) hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, (b) peraturanperatuan hukum dan moral dan (c) pandangan tentang kehidupan.23 Geiger juga berpendapat bahwa kecaman al-Qur’an terhadap Yahudi disebabkan oleh kejahilan dan kesalah fahaman nabi Muhammad terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi.24 Sedangkan Richard Bell menganggap al-Qur’an berasal dari tradisi dan kitab suci Kristen. Richard Bell mengatakan, pengaruh Kristen belum terjadi pada masa akhir Makkah dan awal Madinah. Indikasinya, surah al-Ikhlas bukan polemik antara Muhammad dan orang Kristen, tetapi dengan orang musyrik yang percaya bahwa Allah mempunyai tiga anak perempuan. Kemudian ketika surah al-Alaq ayat 1 sampai 5 turun pengaruh Kristen juga belum nampak, karena disitu dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah. Sementara dalam konsep Bibel manusia itu diciptakan dari tanah. Baru kemudian pada surat al-Mu’min 67 dinyatakan bahwa: “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, sesudah itu segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak..”. Di dalam surah ini pengaruh Kristen baru terbaca. Selain itu, menurut Bell, pengaruh Bibel terhadap al-Qur’an dapat dilihat dari konsep penolakan penyaliban Yesus. Konsep ini, menurutnya diambil dari satu sekte Kristen di Syiria. Selain itu Bell juga berpendapat bahwa wahyu yang dialami Muhammad merupakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Hal ini merujuk kepada pengalaman orang-orang Kristen bahwa pengetahuan tentang agama Kristen diaktualkan sebagi wahyu melalui trance-medium (keadaan tak sadar) dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun. Bell mengartikan wahyu dengan sugesti yang muncul sebagai kilasan Inspirasi, dan sugesti itu terjadi secara alami. Sudah tentu masalah-masalah tersebut muncul karena dalam pandangan mereka hal-hal yang bersifat supranatural tidak dapat dikaji secara saintifik.25 23 Lihat dalam Andrew Rippin, Introduction The Quran: Style and Contents, editor Andrew Rippin (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2001), h. xi, 24 Abraham Geiger, “What Did Muhammad Borrow from Judaism’?” dalam The Origins of the Koran, editor Ibn Warraq (New York: Prometheus Books, 1998), h. 165-26. 25 Richard Bell, The Origin of Islam in its Christian Environment, (London: 1926), h. 17-52.

Vol. 7, No. 1, April 2011


12

Hamid Fahmy Zarkasyi

Sikap orientalis yang mengaitkan atau menyamakan al-Qur’an dengan Bible diakui oleh Karl-Heinz Ohlig, guru besar teologi di Universitas Saarbucken, Jerman. Ia menyatakan: Bercermin dari [sejarah Kristen] dimana ajaran dan riwayat hidup Jesus dibentuk secara kerygmatic dan dibangun melalui tradisi [yang berkembang] dalam komunitas [para pengikutnya] selama 40 tahun sampai munculnya Injil Markus, sehingga Jesus sejarah [yang sesungguhnya] hampir mustahil untuk diketahui, maka [bercermin dari kasus ini] boleh jadai tradisi [riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad saw pun melalui proses serupa.26

Selain Bell dari kalangan Kristen terdapat nama Theodore Noldeke, seorang pendeta Kristen yang juga berasal dari Jerman. Ia mengukur kebenaran al-Qur’an dari Bibel. Maka, apa pun yang terkandung di dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan Bibel akan dianggap salah. Seperti penolakan al-Qur’an terhadap penyaliban Nabi Isa. Dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, menyebutkan banyak kekeliruan di dalam al-Qur’an karena “kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi. Menurutnya terdapat kecerobohan dalam menyebut nama-nama yang dicuri dari sumber-sumber Yahudi.27 Dengan membuat daftar kesalahan la menyebut: [Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibu dari al-Masih.28

Pandangan Noldeke ini sebenarnya juga merupakan kecerobohan. Sebab menyimpulkan bahwa Fir’aun tidak memiliki seorang menteri yang bernama Haman, hanya karena tidak disebut dalam Kitab Suci yang terdahulu, adalah naïf. Sebab ia sendiri tidak memiliki bukti kuat bahwa menteri Fir’aun itu bukan orang yang bernama Haman atau nama lain. Jika pun bukti itu ada dan diambil dari kitab Bible tentu tidak tepat pula, sebab ia belum membuktikan 26

Karl Heinz Ohlig et.al, “Neue Wege der Koranforschung” seperti dikutip oleh Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, h.11 27 Lihat “The Koran”, Encyclopedia Britannica, ed. ke 9, 1891, jld. 16, hlm. 597ff. Dicetak kembali dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book, (NY: Prometheus Books, Amherst, 1998), h. 36-63. 28 T. Noldeke, “The Koran”, dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran, h. 43.

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

13

apakah Bible lebih otentik dibanding al-Qur’an sehingga standar yang digunakan adalah Bible. Padahal, jika ia percaya bahwa kedua kitab itu adalah wahyu Tuhan, tentu ia akan mengikuti apa firman Tuhan yang datang belakangan, yakni al-Qur’an. Demikian pula ketika menyalahkan al-Qur’an dalam soal hubungan kekerabatan Maryam (Ibu Isa al-Masih) sebagai “saudara perempuan Harun” bukan Musa. 29 Noldeke salah sebab Maryam atau Elizabeth sebagai “saudara-saudara perempuan Harun” atau “anak-anak perempuan `Imran” (ayah Harun).30 Gagasan Noledeke untuk mengkaitkan al-Qur’an dengan kitab terdahulu mempengaruhi orientalis yang lain. Diantaranya adalah murid Noledeke sendiri yaitu Israel Schpiro (m.1957). Ia menulis disertasi dalam bahasa Jerman dengan judul Elemen-elemen Haggadi dalam Bagian Kisah al-Qur’an. Ia meneliti secara detail kisah-kisah Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf dan membandingkannya dengan Taurat dan Injil. Selain Noldeke terdapat nama AJ Wensick, murid Christian Snouck Horgronye. Dalam bukunya yang berjudul Muhammad dan Yahudi di Madinah (Mohammed en de Joden te Medina, Leiden 1908), ia menyatakan bahwa nabi Muhammad itu terpengaruh oleh Yahudi.31 Selain mempengaruhi orientalis lainnya, Noledeke dkk juga telah mempengaruhi Ali Dashti, pemikir Syiah Liberal. Pernyataannya yang banyak dikutip kembali oleh orientalis adalah sbb: “In the field of moral teachings, however, the Qor ’an cannot be considered miraculous. Mohammad reiterated principles which mankind had already conceived in earlier centuries and many places. Confucius, Buddha, Zoroaster, Socrates, Moses, and Jesus had said similar things.” 32

Jika hanya mencari kesamaan isi al-Qur’an dengan kitab-kitab sebelum Islam sudah tentu akan ditemukan dengan mudah. Karena jika diingat bahwa al-Qur’an adalah penyempurna kitab-kitab sebelumnya, maka itu adalah wajar. Selain itu, kesamaan itu justru 29

Qur’an 19: 28 Lihat komentar Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an, mengenai ayat 3: 35 dan 19: 28. 31 Seperti dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 139. 32 Ali Dashti’s Twenty-Three Years: A study of the Prophetic Career of Mohammad, (London: Allen and Unwin, 1985), h. 45 30

Vol. 7, No. 1, April 2011


14

Hamid Fahmy Zarkasyi

harus dianggap mukjizat al-Qur’an, karena Nabi Muhammad yang ummi itu ternyata dapat merekam ajaran-ajaran yang ada dalam kitab sebelumnya. Hal ini menunjukkan pula bahwa ajaran moral yang dibawa oleh al-Qur’an itu adalah universal dan sesuai dengan fitrah manusia. Masalahnya, mereka lupa bahwa dalam al-Qur’an terdapat ajaran-ajaran yang tidak terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. 2. Mengutamakan Rasm dari Riwayah Al-Qur’an adalah bacaan yang berbeda dari ucapan dan perbuatan Nabi yang direkam dan disimpan secara terpisah dalam bentuk Hadits yang secara literer berarti berita, laporan atau narasi.33 Seorang orientalis yang objektif, Michael Zwettler mencatat bahwa pada zaman kuno, ketika menulis jarang digunakan, hafalan dan transmisi oral diamalkan dan diperkuat pada tingkat yang kini tidak dapat diketahui. Maka, sebagian besar dari wahyu dengan mudah dihafalkan oleh sebagian besar orang dalam komunitas Nabi.34 Ini berarti Zwettler mengakui adanya tradisi periwayatan daripada tulisan. Namun, para orientalis yang terpengaruh oleh ilmu-ilmu social Barat dan juga oleh metodologi kajian Bible menekankan pada faktafakta empiris yang berlebihan sehingga bukti-bukti lain selain yang memiliki fakta fisik (habeas corpus) tidak dapat diterima. Hal ini terbukti dari besarnya perhatian orientalis yang berlebihan dalam mengkaji sejarah kompilasi teks al-Qur’an atau sejarah teks alQur’an.35 Ini nampaknya berdasarkan pengalaman mereka dalam melacak sejarah Bible yang hanya mengandalkan pada tulisan manuscript dalam bentuk papyrus, scroll dan sebagainya. Manuscript itulah yang berperan dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi penulisan Gospel. Dengan metode ini John Wansbrough menganggap al-Qur’an sebagai karya sejarah atau rekaman situasi dari budaya Arab abad ke 7 dan 8 Masehi.36 Dengan metode sejarah terks itu 33

Muhammad Hamidullah, Introduction to Islam, (London: MWH Publishers, 1979), 17 Michael Zwettler, The Oral Tradition of Classical Arabic Poetry, (Ohio: Ohio State Press, 1978), p.14. 35 Menurut Jeffery, “Para ilmuwan Barat tidak sependapat bahwa susunan teks AlQur’an yang ada di tangan kita sekarang, sama dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad “, maksudnya dalam hal susunan surah dan ayat-ayatnya. 36 Lihat John Wnasbrough, Qur’anic Studies, Sources and Methods of Scriptural Interpretation, (Oxfrod: Oxford University Press, 1977). 34

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

15

pula Arthur Jeffery menyimpulkan bahwa mushaf yang ada sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya, padahal dia sendiri tidak menunjukkan bentuk asli. Karena itu ia kemudian membuat al-Qur’an edisi kritis (critical edition of the Qur’an) berdasarkan manuskrip-manuskrip yang diperoleh tanpa memperhatikan riwayat dari manuskrip tersebut.37 Dengan pendekatan tekstual itu maka orientalis mengkaji alQur’an dengan berdasarkan sebuah asumsi bahwa Al-Qur’an adalah ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’, qira’ah. Dengan asumsi keliru ini (taking the Qur’an as text) mereka lantas mau menerapkan metode-meode filologis yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Logika tekstual itulah yang mengkibatkan anggapan bahwa al-Qur ’an sebagai hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8M dengan masyarakat sekeliling mereka. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (tanpa mengetahui bagaimana teks aslinya itu) dan karena itu mereka lantas membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, maupun membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Sebenarnya, dalam Islam Al-Qur’an bukanlah ‘tulisan’ (rasm, text atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan (qira>’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun (pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan (transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ al-Qur’an adalah ‘membaca dari ingatan’ (qara>’a ‘an zhahri qalbin). Rasm dalam berbentuk tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun dan lain sebagainya hanya berfungsi sebagai alat penyimpan dari apa yang ada dalam hafalan para Qari’. Hafalan qari’ ini kemudian ditransmisikan dengan isnad secara mutawatir dari generasi ke generasi hingga zaman sekarang sehingga tetap seperti yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi.38 Maka dari itu prinsip yang terkenal dikalangan para ulama dlam hal ini adalah bahwa “al-rasm ta>bi li al-riwa>yah” (tulisan itu mengikuti riwayat). 37

Lihat Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an: The Old Codices, (Leiden, E.J.Brill, 1937). 38 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Intellektual, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 10

Vol. 7, No. 1, April 2011


16

Hamid Fahmy Zarkasyi

Bagaimana hafalan itu dapat terjaga dari lupa, para sahabat dan para ulama menggunakan metode isnad yang mutawaatir dari generasi ke generasi. Hafalan seorang alim di cross check dengan ulama yang lain. Terdapat tiga pedoman yang harus dipenuhi sebelum sebuah bacaan suatu ayat diterima sebagai al-Qur’an: pertama, qira’at mesti tidak diriwayatkan hanya dari satu sumber yang memiliki otoritas, melainkan melalui sejumlah riwayat besar (yang cukup untuk melenyapkan kemungkinan adanya kesalahan yang masuk), yang juga sampai kepada Nabi Muhammad yang dapat menjamin keaslian dan kepastian bacaan. Kedua, teks bacaan mesti sama dengan apa yang terdapat Mushaf Uthmani. Ketiga, cara pengucapan mesti senada dengan tata bahasa Arab yang benar.39 3. Menyoal Pembentukan Mushaf Para orientalis pada umumnya sepakat bahwa keaslian alQur’an dapat dilacak dari abad pertama Hijrah atau ketujuh Masehi di Makkah dan Madinah. Keaslian disini bukan sebagai wahyu Allah kepada nabi Muhammad, tapi keaslian al-Qur’an sebagai karangan Nabi Muhammad. Sebagai pengarang, Nabi bagi mereka tidak meninggalkan susunan teks resmi yang lengkap dan definitif, karena itu materi al-Qur’an dalam bentuk tulisan dan ucapan baru disusun setelah dua puluh tahun dari wafatnya Nabi oleh Uthman bin Affan dan diterbitkan sebagai satu-satunya teks yang resmi. Keaslian alQur’an – yang menurut W.Montgomery Watt dan Richard Bell dianggap sebagai karangan Nabi Muhammad – dalam tradisi Islam hanya dibuktikan dari keseragaman bahasanya,40 sudah tentu bagi mereka bukti ini adalah lemah. Jika Watt dan Bell meragukan keaslian wahyu karena tidak adanya bukti teks yang lengkap, John Wansbrough mempersoalkan bagaimana cara-cara teks itu disusun menjadi teks seperti yang ada sekarang ini. Baginya sumber analisa hanya berdasarkan kajian fakta sejarah dan menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi meragukan. Sebenarnya, menurut Wansbrough, sumber-sumber Muslim 39

MM. Al-Az}ami>, “The History of the Qur’anic Text, comparative Study with the Old and New Testaments, From Revelation to Compilation”, di Indonesiakan oleh Sohirin Solihin dkk, Sejarah Teks al-Qur’an, dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani Press, International Islamic University, 2005), h. 224 40 W. M.Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), h. 2-3.

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

17

tentang asal usul Islam, termasuk al-Qur’an dan Hadits, sunnah nabi, tafsir dan sejarah adalah produk dari aktifitas kesusasteraan yang harus dianalisa sebagai sastra dengan menggunakan juga metode kritik sastra (literary-critical methods). Sebab, alasannya, kesimpulan terbaik dari fakta-fakta sejarah itu adalah analisis kesusasteraan41 dan itu ia ambil dari kajian bible (biblical studies). Metode kritik kesusasteraan ini pada akhirnya berujung pada kesimpulan bahwa kepercayaan tradisional Muslim tentang al-Qur’an yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad dan teks resminya itu merupakan koleksi dan perbaikan redaksi tidak lama dari meninggalnya Nabi adalah tidak benar. Kepercayaan ini menurut Wansbrough hanyalah fiksi, yang nampaknya mengikuti model kitab suci Yahudi. Dalam dua bukunya Qur’anic Studies: Sources and Method of Scriptural Interpretation42 Wansbrough menggambarkan perlunya kajian kritis terhadap kualitas sumber informasi dari perspektif kesusateraan agar terhindar dari pengaruh pendekatan teologis. Oleh sebab itu pertanyaan pertama yang diajukannya dan tidak pernah dipersoalkan orang dalam studi Islam adalah “apa buktinya?” Dan ketika arah pertanyaan Wansbrough ditujukan ke al-Qur’an maka pertanyaan menjadi:”Bukti apakah yang ada untuk membuktikan akurasi sejarah dari penjelasan Muslim tradisional tentang “kompilasi” al-Qur’an sesudah wafatnya Nabi Muhammad?” Pertanyaan curiga ini dijadikan landasan untuk mengkaji teks al-Qur’an dengan dalih bahwa seluruh dokumentasi kitab harus dilihat dari analisas kesusasteraan yang disebut dengan teori “salvation history”. Model analisa ini dikembangkan dengan serius oleh Bultmann dan Neusner dalam kajian Bible.43 Teorinya bermula dari proposisi bahwa meskipun dokumentasi tentang “salvation 41 J.Wansbrough, The sectarian milieu: Content and composition of Islamic salvation history (Oxford: Oxford University Press, 1978), h. ix, 118–19. 42 John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Method of Scriptural Interpretation, (Oxford: Oxford University Press, 1977) 43 Teorinya dapat dibaca dari Rudolf Bultmann, The History of the Synopic Tradition, trans. John Marsh, 2nd ed., Oxford: Blackwell, 1968; sedangkan Neusner menulis dalam bentuk makalah-makalah seperti misalnya “The Study of Religion as the Study of Tradition in Judaism” dalam Roberts D. Baird, Methodological Issues in Religious Studies, (Chicago, California: New Horizon Press, 1975), h. 31-48. Salvation history bukan penjelasan sejarah yang dapat dikaji oleh sejarawan, tapi merupakan kesusasteraan yang memiliki konteks sejarahnya sendiri. Sebab sejarah keselamatan ini menurut Bultmann diterima dari generasi ke generasi dalam bentuk sastra dan harus didekati dengan cara yang sesuai yaitu analisas kesusasteraan.

Vol. 7, No. 1, April 2011


18

Hamid Fahmy Zarkasyi

history” menunjukkan dirinya sebagai peristiwa yang seakan-akan sama dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Tapi sejatinya itu adalah gambaran yang dibuat sesudah peristiwa itu terjadi, dan menunjukkan bahwa penjelasan itu berdasarkan pandangan yang ditulis sesudah peristiwa itu terjadi untuk tujuan-tujuan zaman itu. Apa yang sebenarnya terjadi dikesampingkan untuk tujuan interpretasi. Pendekatan yang digunakan untuk Bible ini kemudian ditrapkan untuk kajian al-Qur’an, sehingga teorinye menjadi begini: apa yang akan dibuktikan oleh al-Qur’an, apa yang akan dijelaskan oleh tafsir, sira dan kajian-kajian teologis tidak dari upaya untuk mengaitkan segala peristiwa dizaman Nabi itu dengan Tuhan. Seluruh aspek dari sejarah keselamatan Islam (Islamic Salvation History) diarahkan untuk kepentingan keimanan bahwa Tuhan berperan besar dalam mengarahkan nasib manusia.44 Disini jelas sekali bahwa framework orientalis, meski menampakkan keseriusan kajiannya, namun pengaruh metode kajian Bible dengan kritik kesusasteraannya tidak dapat disembunyikan. Para orientalis pada umumnya tidak percaya pada fakta tentang keberadaan al-Qur’an dalam bentuk lisan dari tradisi hapalan di kalangan orang-orang Arab pada waktu itu. Dengan memberi penekanan pada substansi al-Qur’an sebagai sebuah teks, kalangan orientalis berusaha menepis sejarah penulisan dan kompilasinya di masa Muhammad dan di masa khalifah Abu Bakr, namun menerima upaya kompilasi yang dilakukan oleh ‘Uthman. Hanya saja mereka kemudian menduga adanya kemungkinan terjadinya kesalahan dalam teks Al-Qur’an di masa itu. Sebab antara wafatnya Rasulullah dengan distribusi naskah Al-Qur’an ke pelbagai wilayah Dunia Islam selisih lima belas tahun. Mereka menganggap dalam rentang waktu ter-sebut telah terjadi distorsi dan pemalsuan teks aslinya. Padahal, ilmuwan Kitab Injil tidak mempermasalahkan sejarah Bibel, meskipun beberapa Kitab Perjanjian Lama ditulis berdasarkan transformasi lisan setelah berselang delapan abad lamanya. Sebaliknya naskah bahasa Yahudi, yang mengalami transmisi saat kembalinya orang Yahudi itu dari Babilonia ke bumi Palestina sejak masa penawanan, sama sekali tanpa bukti ilmiah dan hal demikian berlaku selama dua ribu tahun hingga terjadinya kontak dengan orang-orang Arab 44 Lihat Andrew Rippin, “Literary, Analysis of Qur’an, Tafsir and Sira, The Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin (Ed) Approach to Islam In Religious Studies, (Oxford: Oneworld, 2003), h. 151-163.

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

19

Muslim yang memacu mereka dalam hal tersebut. Meskipun anggapan bahwa selisih waktu lima puluh tahun sebagai sarana pembuktian kepalsuan naskah al-Qur’an dan kemungkinan adanya keragu-raguan, sangat tidak masuk akal. Kajian-kajian orientalis seakan mempertanyakan, jika AlQur’an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad, dan disimpan baik dalam pengawasan beliau maupun para Sahabat, mengapa pula ‘Umar takut kehilangan Al-Qur’ an karena syahidnya para h}uffa>z}? ‘Umar merasa khawatir dengan kematian para h}uffa> z} pada peperangan Yamamah dan kemudian memberi tahu Abu Bakr akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka? Lebih jauh lagi, mengapa bahan-bahan yang telah ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri? Jika demikian, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan dalam menyiapkan S}uh}uf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya adalah palsu. Selain itu mereka juga mempertanyakan jika terdapat satu naskah al-Qur’an milik Nabi Muhammad mengapa beliau lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan? Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Tsabit tidak memakainya sebagai narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakr? Jadi, karena Nabi tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis kepada para sahabat, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain. Pertanyaan-pertanyaan tersebut boleh saja dilontarkan, namun fakta sejarah menunjukkan bahwa para h}uffa> z} yang jumlahnya ribuan itu memperoleh ilmu pengetahuan al-Qur’an langsung dari Nabi Muhammad atau melalui mata rantai sanad yang telah diuji kepercayaannya secara komprehensif sehingga tidak memungkinkan adanya kesalahan. Maka dari itu hingga wafatnya Rasulullah SAW hampir seluruh catatan-catatan awal para sahabat nabi yang merupakan koleksi pribadi dengan perbedaan kualitas dan kuantitasnya telah wujud. Karena untuk keperluan masing-masing, banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir) dipinggir ataupun disela-sela ayat yang mereka tulis. Namun, sekali lagi rekaman catatan para sahabat itu tidak lebih

Vol. 7, No. 1, April 2011


20

Hamid Fahmy Zarkasyi

utama dari hapalan mereka. Itulah sebabnya mengapa setelah susutnya jumlah penghafal Al-Qur ’an karena gugur di medan perang, Khalifah Abu Bakr as-Siddiq r.a berusaha mengkodifikasikan (jam’) dengan membentuk sebuah tim pengumpul hingga Al-Qur’an terkumpul dalam satu mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawaatir dari Nabi SAW. Setelah wafatnya Abu Bakr r.a (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira’at yang ada, serta meneliti dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Untuk membuat kompilasi S}uh}uf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang tidak hanya harus membawa ayat, melainkan juga membawa dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu benar-benar datang langsung dari Nabi Muhammmad. Hukum kesaksian ini juga dihidupkan kembali di zaman pemerintahan ‘Uthman. Jadi otoritas saksi merupakan poin paling penting dalam menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen. Ayat-ayat yang telah ditulis tetap terpelihara di suatu tempat tertentu. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standard yang masing-masing mengandung qira>’at mutawa>tirah yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi SAW. Jadi sangat jelaslah fakta sejarah dan proses kodifikasinya. 4. Mempersoalkan Kandungan al-Qur’an Dari menekankan pada substansi al-Qur ’an sebagai teks orientalis kemudian beralih mempersoalkan kandungan teks alQur’an. Dengan menggunakan pendekatan historis dan fenomenologis, W. Montgomery Watt misalnya beranggapan bahwa sumber wahyu al-Qur’an itu ada dua yaitu Tuhan dan nabi Muhammad. Dari anggapan ini ia kemudian menafsirkan bahwa wahyu al-Qur’an itu bersumber dari Allah tetapi diproduksi oleh Muhammad dengan bahasanya sendiri dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi dan Kristen). Watt di satu sisi tidak menolak Islam yang fundamental, tetapi disisi lain dia menerapkan pendekatan Historisme yang bertentangan dengan keyakinan Islam. Watt menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Baginya wahyu turun dari

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

21

Tuhan hanya dalam bentuk makna, bukan dalam bentuk lafal. Karena ada peranan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka dari sini menurutnya dimungkinkan terjadinya kekeliruan dalam al-Qur’an. Contoh kekeliruan yang ia tunjukkan adalah penolakan terhadap penyaliban Yesus dalam al-Qur’an (QS 4:157). Ajaran seperti ini menurut Watt diambil Muhammad dari sekte Kristen Syiria yang keliru. Watt berkesimpulan bahwa dengan keterlibatan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka bisa terjadi kekeliruan dalam Al-Qur’an bila kekeliruan seperti penolakan Yesus dihilangkan, maka Islam dan Kristen bisa bersatu. Kajian terhadap kandungan al-Qur’an dengan menggunakan framework Barat dilakukan oleh Joseph Schacht dalam karyanya Introduction to Islamic Law. Schacht membagi hukum dalam Islam kepada judul judul berikut: orang (persons), harta (property), kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain. 45 Susunan seperti ini berdasarkan tata hokum Romawi dan bukan tata hukum Islamdan tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik bahasan serta pembagi-annya yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islam. Wansbrough melakukan hal yang sama terhadap Al-Qur’an dengan membagi Quranic Studies menurut empat prinsip-prinsip penafsiran (Principles of Exegesis) yaitu: (1) Tafsiran Masoreti (Masoretic exegesis); (2) Penafsiran Hagadi (Haggadic exegesis); (3) Deutungsbedurftigkeit; (4) Penafsiran Halaki (Halakhic exegesis); dan (5) Retorika dan simbol perumpamaan (Rhetoric and allegory). Tafsir-tafsir seperti ini tidak dipahami oleh para ilmuwan Muslim baik yang berlatar belakang pendidikan Timur mau pun Barat. Barangkali hanya pendeta Yahudi yang dapat menjelaskan peristilahan Perjanjian Lama yang mengerti jenis tafsir itu. Mengapa mereka melakukan itu semua, tidak lain adalah untuk membuktikan bahwa isi kandungan al-Qur’an itu bersumber dari Yahudi dan Kristen.46 Ini dapat diperkuat oleh pandangan Wansbrough, yang menyatakan bahwa “Doktrin ajaran Islam secara umum, hahkan 45

J. Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford Univ. Press, 1964), lihat kandungan isi. 46 M.M al-A’zami, The History of The Qur’anic Text - From Revelation to Compilation, terjemahan Bahasa Indonesia, Sejarah Teks Al-Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, Gema Insani Press dan Universitas Islam Internasional Malaysia, (Jakarta: 2005), h. 337-343; lihat juga J. Wansbrough, Quranic Studies, lihat Daftar Isi.

Vol. 7, No. 1, April 2011


22

Hamid Fahmy Zarkasyi

ketokohan Muhammad, dibangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi.”47 Kritikan orientalis mengenai kandungan al-Qur’am telah dibahas dengan baik diantaranya oleh Muhmammad Khalifa, dalam The Sublime Qur’an and Orientalism. Dalam buku ini Khalifa adalah Konsep Tuhan dalam al-Qur’an, pengertian Islam, kepercayaan dalam Islam, ritual-ritual dalam Islam, sikap al-Qur’an terhadap agama lain, Konsep moralitas dalam al-Qur’an, masalah Qada-Qadar dan masalah-masalah metafisis seperti ruh, jiwa, kematian, neraka, surga, hari akhir, pembalasan dan lain sebagainya.48 5. Menggunakan Metodologi Bibel Karakteristik orientalis yang lain adalah penerapan metodologi kajian Bibel kedalam kajian al-Qur’an. Metodologi tersebut adalah kritis historis. Tokohnya adalah pendeta Edward Sell (m. 1932), salah seorang misionaris terkemuka di Madras, India. Ia mendesak agar kajian kritis-historis al-Qur’an dilakukan dengan menggunakan kritik Bibel (biblical criticism). Ia sendiri merealisasikan gagasannya dengan menulis Historical Development of the Qur’an, yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India.49 Ia juga menjadikan karya Theodore Nöldeke, Geschichte des Qorans, sebagai model untuk kajian kritis al-Qur’an.50 Jejak Sell kemudian diikuti oleh Pendeta Alphonse Mingana (m. 1937) yang menyatakan: Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.51

Selain itu Arthur Jeffery (m. 1959), seorang orientalis dari Australia melihat konsep kesucian al-Qur’an sebagaimana konsep 47 Lihat R.S. Humpreys, Islamic History: A Framework for Inquiry, Revised edition, (Princeton: Princeton Univ. Press, 1991), h. 84. 48 Khalifa, Mohammad, The Sublime Qur’an and Orientalism, (London and New York: Longman, 1983), lihat Daftar Isi. 49 Lihat Canon Sell, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama kali terbit tahun 1928), h. 253-56. 50 Arthur Jeffery, “The Quest of the Historical Mohammed,” The Moslem World 16 (1926), h. 330. 51 Mingana menyatakan: “The time has surely come to subject the text of the Kur’a>n to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian Scriptures.” Lihat Alphonse Mingana, “Syiriac Influence on the Style of the Kur’an,” Bulletin of the John Rylands Library 11: 1927.

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

23

kesucian Bibel. Kesucian Bibel bukan karena dirinya sendiri, akan tetapi oleh karena tindakan komunitas masing-masing agama. Jeffery mengatakan: Komunitaslah yang menentukan masalah suci dan tidaknya [kitab suci]. Komunitaslah yang memilih dan mengumpulkan bersama tulisan-tulisan tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang mana komunitas merasa bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaan yang otentik yang sah untuk pengalaman keagamaan yang khusus.”52

Jeffery mencoba menyamakan apa yang terjadi di dalam komunitas lintas agama. Komunitas Kristen (Christian community) misalnya, memilih 4 dari sekian banyak Gospel, menghimpun sebuah korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), Perbuatan-Perbuatan (Acts) dan Apocalypse yang kesemua itu membentuk Perjanjian Baru (New Testament). Ini sama dengan komunitas Muslim, dimana penduduk Kufah, misalnya, menganggap Mushaf ‘Abdullah ibn Mas‘ud sebagai al-Qur’an edisi mereka. Penduduk Basra menganggap Mushaf Abu Musa sebagai milik mereka, sedangkan penduduk Damaskus dengan Mus} h } a f Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan Mushaf Ubay.53 Jeffery menyatakan sikap awal kaum Muslimin tersebut paralel sekali dengan sikap masing-masing pusatpusat utama gereja terdahulu yang menetapkan sendiri ragam variasi teks untuk Perjanjian Baru. Teks Perjanjian Baru memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria (Alexandrian text),54 teks Netral (Neutral text),55 teks Barat (Western text),56 dan teks Kaisarea (Caesarean text).57 52 Arthur Jeffery menyatakan: “It was the community which decided this matter of what was and what was not Scripture. It was the community which selected and gathered together for its own use those writings in which it felt that it heard the authentic voice of religious authority valid for its peculiar religious experience.” Lihat Arthur Jeffery, “The Qur’a>n as Scripture,” The Moslem World 40 (1950), h. 43. 53 Arthur Jeffery, The Qur’a>n as Scripture (New York: Russell F. Moore Company, 1952), h. 94-95. 54 Menurut Westcott dan Hort, teks Alexandria dalam tahap tertentu terjaga di dalam kodeks Ephraemi (C), kodeks Regius (L), kodeks 33, dan versi-versi Koprik (Khususnya Bohairik), sebagaimana juga kutipan-kutipan dari Gerejawan Alexandria, Klement, Origen, Dionysius, Didymus dan Cyril. Dikutip dari Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, h. 133. 55 Dalam pandangan Westcott dan Hort, teks Netral adalah teks yang paling bebas dari kerusakan dan percampuran dan yang paling dekat dengan teks otograf. Kodeks Vaticanus (B) dan kodeks Sinaiticus (à) yang paling mewakili teks Netral. Lihat lebih lanjut Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, h. 133. 56 Teks Barat terjaga di dalam manuskrip-manuskrip inci tertentu yang dalam dua bahasa (certain bilingual uncial manuscripts), utamanya kodeks Bezae tentang Bibel dan

Vol. 7, No. 1, April 2011


24

Hamid Fahmy Zarkasyi

Masing-masing teks tersebut memiliki varian bacaan tersendiri. Bukan hanya itu, Jeffery juga menghimbau para cendekiawan Muslim untuk melakukan kritik teks kepada al-Qur’an, sebagaimana yang telah dilakukan kepada Bibel. Hal ini tampak menurut Jeffery, karena belum ada satupun dari para mufasir Muslim yang menafsirkan al-Qur’an secara kritis. Ia mengharapkan agar tafsir kritis terhadap teks al-Qur’an bisa diwujudkan. Caranya dengan mengaplikasikan metode kritis ilmiah (biblical criticism). Jeffery meyatakan: Apa yang kita butuhkan, bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Qur ’an.”58

Dari mencontoh kritik terhadap Bibel (biblical criticism), Jeffery merancang proyek ambisius yaitu mengedit al-Qur’an secara kritis (a critical editon of the Qur’an). Namun proyek Jeffery tersebut gagal karena kematian kolega-koleganya dalam perang dunia ke-2 yang menghancurkan 40.000 naskah lebih yang telah terhimpun di Munich. Dalam upayanya untuk membuat al-Qur’an edisi kritis ia berpendapat bahwa kosa kata asing di dalam al-Qur’an mesti diteliti dan dirujuk hingga ke sumber asalnya. Dengan cara demikian, ia berharap bisa memahami sumber-sumber yang mempengaruhi Muhammad saw. dalam mengajarkan risalahnya. Karena menurutnya Muhammad termasuk orang yang haus darah, sehingga kebanyakan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an bersifat tidak humanis. Dimana ayat-ayat al-Qur’an banyak dihasilkan dari pada apa yang dilihat oleh Muhammad disekitarnya, seperti menyebarkan Islam dengan pedang, hukum rajam, qhisas dan lain-lain. Perbuatan-Perbuatan (D) dan kodeks Claromontanus tentang Surat-Surat (Dp) dalam versi Latin Kuno (s) dan dalam manuskrip-manuskrip Kuretonia (Curetonian) yang berbahasa Syiriak Kuno. Lihat penjelasan lebih lanjut di Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, 132; 213-14. 57 Mungkin teks Kaesarea berasal dari Mesir dan dibawa oleh Origen ke Kaesarea, dan dari situ dibawa ke Israil. Karakteristik khusus dari teks Kaesarea adalah percampuran antara bacaan Barat (Western readings) dan Alexandria (Alexandria readings). Lihat Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, 214-15. 58 Arthur Jeffery menulis: “What we needed, however, was a critical commentary which should embody the work done by modern Orientalists as well as apply the methods of modern critical research to the elucidation of the Koran. Lihat Arthur Jeffery, Progress in the Study of the Qur’Én Text, The Moslem World 25 (1935), h. 4.

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

25

Tidak hanya itu, beberapa kandungan hukum al-Qur’an, banyak bertentangan dengan hukum moral dan hukum ketuhanan. Legitimasi seorang untuk dapat kawin lebih dari satu, menurut mereka bertentangan dengan moral dan merupakan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan. Demikian pula hukum pidana dalam al-Qur’an seperti hukum rajam, qishas dan lain-lain banyak bersifat lokal dan tidak humanis. Pola pikir ini bermula dari sebuah konsep yang subjektif, yaitu bahwa Muhammad saw. adalah penulis al-Qur’an yang sebenarnya. Usaha untuk mengadopsi metodologi Bibel kepada al-Qur’an, masih terus berlanjut. Pada pertengahan abad ke 20, John Wansbrough (m. 2002) dalam karyanya Quranic Studies yang terbit pada tahun 1977, menggunakan kritik sumber (source criticism) ke dalam studi al-Qur’an. Ia menyatakan: “As a document susceptible of analysis by the instruments and techniques of Biblical criticism it is virtually unknown.”59 Berlanjut sehingga kini, orientalis terus-menerus mengaplikasikan metodologi Bibel dalam studi al-Qur’an. Baru-baru ini ketika mereview Die syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur Entsclüsselung der Koransprache (Cara membaca al-Qur’an dengan bahasa Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa al-Qur’an), karya Christoph Luxernberg (nama samaran), Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn menyatakan: “Tidak di dalam sejarah tafsir al-Qur’an karya seperti ini pernah dihasilkan. Karya-karya yang sama hanya dapat ditemukan di dalam bentuk kesarjanaan kritis teks Bibel.” (Not in the history of commentary on the Qur’an has a work like this been produced. Similar works can only be found in the body of text-critical scholarship on the Bible.) 60 Akibat penerapan biblical criticism dalam studi al-Qur’an, para orientalis melontarkan berbagai pendapat yang kontroversial mengenai al-Qur’an seperti: al-Qur’an telah mengalami berbagai penyimpangan; standartisasi al-Qur’an disebabkan rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan; Utsman ibn Affan salah karena telah 59

John Wansbrough, Quranic Studies; Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1970), h. ix 60 Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg (ps.) “Die syroaramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschüsselung der Qur’ansprache.” Hugoye: Journal of Syiriac Studies, 1. Dikutip dari http://syrcom.cua.edu/Hugoye/Vol6NO1/ HV6N1PRPhenixhorn.html

Vol. 7, No. 1, April 2011


26

Hamid Fahmy Zarkasyi

mengkodifikasi al-Qur’an; perlunya mewujudkan al-Qur’an edisi kritis; al-Qur’an ditulis bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa Aramaik; al-Qur’an adalah karangan Muhammad; terdapat sejumlah kesalahan dalam penulisan al-Qur’an; tidak ada di dalam al-Qur’an yang orisinal dan berasal dari langit karena wujudnya pengaruh Yahudi-Kristen yang sangat dominant dalam al-Qur’an, menyamaratakan qira’ah mutawatirah dengan qira’ah shadhdhah, merubah kata dan kalimat dalam al-Qur’an dan lain sebagainya.

Penutup Dari uraian diatas jelaslah bahwa pemahaman orientalis terhadap Islam didorong oleh motif-motif tertentu yang penuh dengan kepentingan Barat. Demikian pula kajian mereka terhadap sejarah al-Qur ’an, proses kompilasinya, status ontologisnya, kandungannya dan metodologinya dipengaruhi oleh pendekatan ilmu pengetahuan Barat sekuler dan diwarnai oleh kepercayaan dan tradisi agama Kristen dan Yahudi. Karena pendekatan ini berbeda dengan apa yang terdapat dalam tradisi intelektual Islam maka hasilnya pun akan berbeda. Ketika mereka menerapkan metodologi Bibel, teks al-Qur’an dianggap sama dengan teks Bibel, padahal keduanya berbeda secara historis maupun secara tekstualnya. Kajian terhadap al-Qur’an mensyaratkan adanya unsur keimanan, sedangkan para orientalis itu mengkaji al-Qur’an tanpa keimanan, sehingga hal-hal yang bersifat doktriner ditinggalkan. Kajian yang hanya mengandalkan akal hanya akan menimbulkan keraguan ketika menemui masalah-masalah yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Satu hal yang perlu diakui adalah bahwa setiap teks memiliki latar belakang sejarahnya sendiri sendiri. Oleh sebab itu, menerapkan metodologi suatu teks, seperti Bible kedalam kajian teks yang lain, khususnya al-Qur’an tidaklah tepat. Metodologi yang tidak sesuai untuk mengkaji al-Qur’an akan menggiring kesimpulan yang justru bertentangan dengan esensi al-Qur’an sendiri. Alasan lainnya alQur’an telah memiliki metodologi tersendiri. Metodologi kajian alQur’an yang diwarisi dari para ulama itu adalah ‘ulum al-Qur’an. Meskipun ada beberapa persamaan antara ‘ulum al-Qur’an dan biblical criticism, namun terdapat sejumlah perbedaan yang mendasar terutamanya status teks itu sendiri.

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

27

Jika metodologi Bibel diterapkan dalam kajian al-Qur’an sudah tentu metode tafsir al-Qur’an juga dapat diterapkan dalam kajian Bibel. Jika kajian al-Qur’an diterapkan ke dalam kajian teks Bible, tentu Bibel menjadi tidak berarti apa-apa. Jadi Biblical criticism hanya tepat diterapkan untuk Bibel dan bukan untuk kajian al-Qur’an. Sebab Bibel itu adalah hasil karangan beberapa orang penulis yang hidup dalam zaman yang berlain-lainan. Latar belakang penulis yang beragam mewarnai isi Bibel. Oleh sebab itu, textus receptus dan teks standar Bibel memang harus ditolak karena justru menghilangkan keaneka-ragaman yang memang sejak awal sudah terjadi. Jika teks Bibel bisa disamakan dengan teks-teks lain yang dikarang oleh manusia, maka al-Qur’an tidak demikian, karena ia adalah tanzil yang tidak bisa disamakan dengan teks karangan manusia. Bahkan anggapan sementara orang bahwa al-Qur’an telah tercampur oleh perkataan Nabi Muhammad telah terbantah oleh firman Allah SWT yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”. Allah juga berfirman yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[] Daftar Pustaka Afaf, al-Musytasyriqu> n wa Musykila> t al-H} ad} a > r ah, (Cairo: Dar alNahdah al-‘Arabiyyah, 1980) al-A’zami, M.M, The History of The Qur’anic Text - From Revelation to Compilation, terjemahan Bahasa Indonesia, Sejarah Teks AlQuran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, (Jakarta: Gema Insani Press dan Universitas Islam Internasional Malaysia, 2005). Ali Dashti’s Twenty-Three Years: A study of the Prophetic Career of Mohammad, (London: Allen and Unwin, 1985). Ali, Muhammad Mohar, The Qur’an and the Orientalists: An Examination of their Main Theories and Assumption,s Jam’iyat Vol. 7, No. 1, April 2011


28

Hamid Fahmy Zarkasyi

Ihyaa’ Minhaaj al-Sunnah (JIMAS) 2004. al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n, al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, 2003). Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Intellektual, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008). Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Bell, Richard, & W.M.Watt, Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970) Bell, Richard, The Origin of Islam in its Christian Environment, (London: 1926). Bultmann, Rudolf, The History of the Synopic Tradition, trans. John Marsh, 2nd ed., (Oxford: Blackwell, 1968). Daniel, Norman, Islam and the West, The Making of an Image, (Boston: Oneworld Publication, 2000). Geiger, Abraham, “What Did Muhammad Borrow from Judaism’?” dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran, (New York: Prometheus Books, 1998). Gibb, Sir Hamilton, Pre-Islamic Monotheism in Arabia, (Harvard: Harvard Theological Review, 55, 1962). Hamidullah, Muhammad, Introduction to Islam, (London: MWH Publishers, 1979) H}ibba>n, Ima>m Abi> Ha>tim Muh}ammad ibn, Kitab al-Majru>h}i>n min al-Muh}additsi>n wa al-D}u’afa>’ wa al-Matru>ki>n, editor Mah}mu>d Ibra>hi>m Za>yid (H}alb/Aleppo: Da>r al-Wa’y, 1396 H) Humpreys, R.S., Islamic History: A Framework for Inquiry, Revised edition, (Princeton: Princeton Univ. Press, 1991) Jeffery, Arthur, “Progress in the Study of the Qur’an Text”, Muslim World, 1935. ______, “The Quest of the Historical Mohammed,” The Moslem World 16, 1926. ______, “The Qur’a>n as Scripture,” The Moslem World 40 (1950). ______, Materials for the History of the Text of the Qur’an: The Old Codices, (Leiden: E.J.Brill, 1937).

Jurnal TSAQAFAH


Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an

29

______, Progress in the Study of the Qur’a>n Text, The Moslem World 25 (1935). ______, The Qur’a> n as Scripture (New York: Russell F. Moore Company, 1952). Khalifa, Mohammad, The Sublime Qur’an and Orientalism, Longman London and New York, 1983. Longman Dictionary of English Language, (Burnt Mill, Harlow, Longman, 1984) Metzger, Bruce M., The Text of the New Testament, 133. Mingana, Alphonse, “Syiriac Influence on the Style of the Qur’a>n,” Bulletin of the John Rylands Library 11: 1927. Neusner “The Study of Religion as the Study of Tradition in Judaism” dalam Roberts D. Baird, Methodological Issues in Religious Studies, (Chicago, California: New Horizon Press, 1975). Phenix Jr., Robert R. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg (ps.) “Die syro-aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschüsselung der Qur’ansprache.” Hugoye: Journal of Syiriac Studies, 1. Dikutip dari http://syrcom.cua.edu/Hugoye/ Vol6NO1/HV6N1PRPhenixhorn.html Rippin, Andrew, “Literary, Analysis of Qur’an, Tafsir and Sira, The Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin (Ed) Approach to Islam In Religious Studies, (Oxford: Oneworld, 2003). ______, Introduction The Quran: Style and Contents, editor Andrew Rippin (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2001). Said, Edward, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979) ______, The World, the Text, and the Critic, (Cambridge: Harvard University Press, 1984). Schacht, J., An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford Univ. Press, 1964). Sell, Canon, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama kali terbit tahun 1928) Smith, W.C., Islam in Modern History, 4th edition, (Princation, 1996). ______, On Understanding Islam-Selected Studies, (the Hague, 1981). Southern, R.W.: Western Views of Islam in the Middle Ages, 3rd edition, Vol. 7, No. 1, April 2011


30

Hamid Fahmy Zarkasyi

(Harvard: Harvard University Press, 1978). The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII Tibawi, A.L. “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”, dalam The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2). Wansbrough, John, The sectarian milieu: Content and composition of Islamic salvation history (Oxford: Oxford University Press, 1978). ______, Qur’anic Studies: Sources and Method of Scriptural Interpretation, (Oxford: Oxford University Press, 1977). Warraq, Ibn, (ed.), The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book, (Amherst, NY: Prometheus Books, 1998). Watt, William Montgomery, Bell’s Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970). ______, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New York: Routledge, 1988). ______, Muhammad at Mecca, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960). Wright, Thomas, Early Christianity in Arabia, A Historical Essay, (New Jersey: Theological Seminary Princeton, tt). Zwettler, Michael, The Oral Tradition of Classical Arabic Poetry, Ohio State Press, 1978.

Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis Hamid Fahmy Zarkasyi Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Ponorogo email: hfzark@yahoo.co.uk

Abstract Factually, liberalism in social sciences and politics in Western Civilization has marginalized religion or separated religion from social lives and politics step by step. When liberalism became parts of religious thought of Christianity, Catholic and Protestant, it had subordinated the church under the political interest and humanism, and reduced its theological role in almost all aspects of social lives. Therefore, in liberalism of religious thought, the main problem to be argued is the concept of God (Theology) then doctrine and religious dogma. After that, liberalism argued and separated the relationship between religion and politics (Secularism). Finally, liberalism of religious thought became secularism, and influenced by the wave of postmodernism thought which enhances pluralism, equality and relativism. In its expansive movement, through globalization, modernization, and westernization, the West subsequently becomes the challenge of all nations and other civilization include Islam. Specifically, Western Civilization could be seen from three cultural sources; missionaries, orientalism, and colonialism. These three movements essentially disseminate the principle or element of Western way of life. Keywords:

sekularisme, equality, relativisme, humanisme, postmodernisme

Pendahuluan

T

antangan fundamental yang dihadapi umat Islam dewasa ini sebenarnya bukan berupa ekonomi, politik, sosial dan budaya, tapi tantangan pemikiran. Sebab persoalan yang timbul dalam bidang-bidang tersebut serta bidang-bidang terkait lainnya, jika

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


2

Hamid Fahmy Zarkasyi

dilacak, ternyata bersumber pada persoalan pemikiran. Tantangan pemikiran itu bersifat internal dan eksternal sekaligus. Tantangan internal telah lama kita sadari yaitu kejumudan, fanatisme, taqlid, bidah khurafat. Sebagai akibatnya adalah lambatnya proses ijtihad umat Islam dalam merespon berbagai tantangan kontemporer, lambatnya perkembangan ilmu pengetahuan Islam dan pesatnya perkembangan aktivisme. Sedangkan tantangan eksternal adalah masuknya paham, konsep, sistem dan cara pandang asing seperti liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, relativisme, feminism, gender dan lain sebagainya ke dalam wacana pemikiran keagamaan Islam. Sebagai akibat tantangan eksternal yang berupa percampuran konsep-konsep asing ke dalam pemikiran dan kehidupan umat Islam adalah kerancuan berpikir dan kebingunan intelektual. Mereka yang terhegemoni oleh framework yang tidak sejalan dengan Islam ini, misalnya, akan melihat Islam dengan kaca mata sekuler, liberal dan relativistik. Dampak lebih konkret dari kedua tantangan internal dan eksternal tersebut termanifestasikan ke dalam problem pengembangan sistem ekonomi Islam. Di satu sisi umat Islam kekurangan ulama pakar syariah yang bergiat mengembangkan konsep-konsep ekonomi syariah tapi juga memahami ekonomi kontemporer. Di sisi lain ilmuwan Muslim kini kebanyakan telah diajari disiplin ilmu dan praktik ekonomi konvensional (baca: kapitalis) sehingga menolak syariah. Sementara itu praktik-praktik perbankan syariah, takaful, bursa syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya tidak berdasarkan pada kajian ilmiah akademik dan metodologis di tingkat perguruan tinggi. Sebaliknya kajian ekonomi Islam di perguruan tinggi tidak berkembang sepesat praktik-praktik ekonomi perbankan. Jadi untuk mengembangkan sistem ekonomi Islam umat Islam terhadang oleh kondisi internal umat dan juga tantangan eksternalnya. Dari kedua tantangan tersebut yang akan dibahas di sini hanya tantangan eksternal umat Islam, khususnya tantangan liberalisasi pemikiran umat Islam. Tantangan yang kini sangat gencar disebarkan melalui berbagai media komunikasi dan pendidikan itu ternyata tidak berdiri sendiri. Ia menemukan momentum dan aksentuasinya setelah terjadi drama tragedi 11 September 2001. Sebab saat itulah postmodernisme dan liberalisme menemukan rival sejatinya yaitu

Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

3

fundamentalisme, 1 relativisme menghadapi lawannya yakni absolutisme. Jalan atau cara-cara yang ditempuh untuk penyebaran paham-paham itu adalah misionarisme, orientalisme, dan kolonialisme.

Makna dan Sejarah Liberalisme Term “liberal� diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berfikir (The old Liberalism). Dari makna kebebasan berfikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai makna. Secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi.2 Dalam konteks sosial liberalisme diartikan sebagai adalah suatu etika sosial yang membela kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) secara umum. 3 Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor Sejarah di Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan kesempatan (opportunity).4 Sejarahnya paham liberalisme ini berasal dari Yunani kuno, salah satu elemen terpenting dari peradaban Barat. Namun, jika dilacak hingga Abad Pertengahan, liberalisme dipicu oleh kondisi sistem ekonomi dan politik yang didominasi oleh sistem feodal. Di dalam sistem ini, raja dan bangsawan memiliki hak-hak istimewa, sedang1

Menurut Akbar S Ahmed, salah satu ciri postmodernisme adalah semangatnya yang berhadapan dengan fundamentalisme, lihat Akbar S Ahmed, Postmodernisme, Bahaya dan Harapan Bagi Islam (terjemahan M.Sirozi), (Bandung: Mizan, 1994), p. 26. 2 Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford: Oxford University Press, 1996), v.s. liberalism. 3 Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip, (Blackwell Publishing, 1995), p. 440. 4 Brinkley, Alan.Liberalism and Its Discontents. (Harvard Univ. Pr., 1998); Lihat juga Gray, John.The Two Faces of Liberalism, (New Pr., 2000); Kloppenberg, James T.The Virtues of Liberalism, (Oxford, 1998).

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


4

Hamid Fahmy Zarkasyi

kan rakyat jelata tidak diberi kesempatan secara leluasa untuk menggunakan hak-hak mereka, apalagi hak untuk ikut serta dalam mobilisasi sosial yang dapat mengantarkan mereka menjadi kelas atas. Perkembangan awalnya terjadi sekitar tahun 1215, ketika Raja John di Inggris mengeluarkan Magna Charta, dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja kepada bangsawan bawahan. Charta ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan Raja John sendiri dan dianggap sebagai bentuk liberalisme awal (early liberalism). Liberalisme awal sendiri ditandai dengan perlawanan dan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah yang cenderung absolut. Perkembangan liberalisme selanjutnya ditandai oleh revolusi tak berdarah yang terjadi pada tahun 1688 yang kemudian dikenal dengan sebutan The Glorious Revolution of 1688. Revolusi ini berhasil menurunkan Raja James II dari England dan Ireland (James VII) dari Scotland) serta mengangkat William II dan Mary II sebagai raja. Setahun setelah revolusi ini, parlemen Inggris menyetujui sebuah undang-undang hak rakyat (Bill of Right) yang memuat penghapusan beberapa kekuasaan raja dan jaminan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris. Pada saat bersamaan, seorang filsuf Inggris, John Locke, mengajarkan bahwa setiap orang terlahir dengan hak-hak dasar (natural right) yang tidak boleh dirampas. Hak-hak dasar itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama, dan berbicara. Di dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690), John Locke menyatakan, pemerintah memiliki tugas utama untuk menjamin hak-hak dasar tersebut, dan jika ia tidak menjaga hakhak dasar itu, rakyat memiliki hak untuk melakukan revolusi. Di bidang ekonomi, liberalisme berkembang melalui kebijakan laissez faire seorang ekonom Scotties, Adam Smith, di dalam bukunya, The Wealth of Nations (1776). Di kemudian hari, gagasangagasan ekonomi Adam Smith ini dijadikan dasar untuk membangun sistem ekonomi kapitalis yang menawarkan liberalisasi kegiatan ekonomi bagi setiap orang. Kibijakan ini akhirnya membatasi Negara untuk campur tangan dalam kegiatan ekonomi rakyat. Di Prancis, sejak tahun 1700-an, filsuf terkenal Prancis Montesquieu dalam bukunya, The Spirit of the Laws (1748) mengajarkan pemisahan kekuasaan negara (separation of powers): Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

5

kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Ini sudah merupakan langkah maju untuk mengurangi kekuasaan politik yang absolute. Sementara Rousseau, di dalam bukunya, The Social Contract (1762), menyatakan, pemerintahan itu merupakan gambaran dari kepercayaan rakyat yang diperintahnya. Artinya, kekuasaan sejatinya milik rakyat dan bukan milik raja atau penguasa. Adapun Voltaire menyerang pemerintah yang terlalu campur tangan dalam kebebasan individu. Ketiga tulisan filsuf tersebut pada prinsipnya menyuarakan hak-hak individu dan kebebasan. Dan dampak dari tulisan mereka itu adalah terjadinya Revolusi Prancis pada tahun 1789. Di Amerika Serikat, The Revolutionary War (1775-1783) telah memerdekakan Amerika dari penjajahan Inggris. Dan tidak lama sesudah itu, tahun 1788, konstitusi AS menetapkan berdirinya pemerintahan demokratik: kekuasaan dibagi menjadi tiga; Presiden, Konggres, dan Pengadilan Federal. Setahun kemudian, pada tahun 1789, rakyat Amerika Serikat mencetuskan sebuah amandemen yang dikenal dengan sebutan Bill of Rights. Pada tahun 1971, amandemen ini dijadikan salah satu bagian undang-undang dasar. Isi penting dari Bill of Rights adalah jaminan terhadap hak-hak dasar seperti kebebasan berbicara, pers, beragama, dan sebagainya. Puncak liberalisasi politik terjadi pada abad ke 19 ketika di beberapa negara Eropa paham liberalisme terus menggelinding dalam bentuk ide-ide kebebasan dan gerakan-gerakan revolusioner. Akibatnya tahun 1830 banyak raja dan bangsawan Eropa yang kehilangan kekuasaan mereka. Pada tahun 1848, banyak negara berhasil memperjuangkan hak-hak sipil, meskipun sedikit sekali yang berubah menjadi negara demokrasi. Pada tahun-tahun itu pula hampir seluruh negara Eropa berhasil menghapuskan sistem perbudakan. Sedangkan tahun 1865 Amerika Serikat melakukan amandemen ke-13 pada Konstitusi Negara itu untuk menghapuskan perbudakan. Amandeman ke-15 yang kemudian diadopsi pada tahun 1870 memberikan hak pilih kepada para budak. Sejak tahun 1800-an pula, para pekerja memperoleh hak-hak politiknya. Menginjak abad ke 20 setelah berakhirnya perang dunia pertama pada tahun 1918, beberapa negara Eropa menerapkan prinsip pemerintahan demokrasi. Hak kaum perempuan untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi di dalam pemerintahan. Menjelang tahun 1930-an, liberalisme mulai berkembang tidak hanya meliputi kebebasan berpolitik, tetapi juga mencakup

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


6

Hamid Fahmy Zarkasyi

kebebasan di bidang lainnya; misalnya ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Tahun 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan empat kebebasan, yakni kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan kebebasan dari ketakutan (freedom from fear). Pada tahun 1948, PBB mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights yang menetapkan sejumlah hak ekonomi dan sosial, di samping hak politik. Dari sini dapat dipahami, sejak tahun 1900-an, politik dan ekonomi liberal memiliki hubungan yang sangat erat. Gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan bahwa setiap individu harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya tanpa ada intervensi dan campur tangan dari negara. Kaum liberal percaya, bahwa ekonomi akan melakukan regulasi sendiri (the invisible hand). Atas dasar itu, campur tangan negara tidak diperlukan lagi. Gagasan semacam ini diadopsi dari pemikiranpemikiran Adam Smith dan menjadi landasan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di dunia saat ini. Jika ditilik dari perkembangannya liberalisme secara umum memiliki dua aliran utama5 yang saling bersaing dalam menggunakan sebutan liberal. Yang pertama adalah liberal classic atau early liberalism yang kemudian menjadi liberal ekonomi yang menekankan pada kebebasan dalam usaha individu, dalam hak memiliki kekayaan, dalam polesi ekonomi dan kebebasan melakukan kontrak serta menentang sistem welfare state. Kelompok ini mendukung persamaan (equality) didepan hukum tapi tidak dalam ekonomi (economic inequality) karena distribusi kekayaan oleh negara tidak menjamin kemakmuran. Persaingan dalam pasar bebas menurut kelompok ini lebih menjamin. Yang kedua adalah liberal sosial. Aliran ini menekankan peran negara yang lebih besar untuk membela hak-hak individu (dalam pengertian yang luas), seringkali dalam bentuk hukum antidiskriminasi. Kelompok ini mendukung pendidikan bebas untuk umum (universal education), dan kesejahteraan rakyat, termasuk jaminan bagi penganggur, perumahan bagi tunawisma dan 5 Chandran Kukathas, The Many and the One: Pluralism in the Modern World, Richard Madsen and Tracy B. Strong, editors, (2003), p. 61

Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

7

perawatan kesehatan bagi yang sakit, semua itu didukung oleh sistem perpajakan. Dengan kata lain liberalisme awal (early liberalism) lebih menekankan pada hak-hak ekonomi dan politik. Liberal dalam konteks kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berpikiran luas, terus terang, dan terbuka. Kebebasan intelektual sejatinya berkembang sejalan dengan perkembangan liberalisme sosial dan politik yang terjadi di Barat pada akhir abad ke 18, namun akar-akarnya dapat dilacak seabad sebelumnya yaitu abad ke 17. Di masa itu dunia Barat terobsesi untuk membebaskan bidang intelektual, keagamaan, politik dan ekonomi dari tatanan moral, supernatural dan bahkan Tuhan. Maka dari itu prinsip-prinsip Revolusi Perancis 1789 dianggap sebagai Magna Charta liberalisme. Di dalamnya terdapat kebebasan mutlak dalam pemikiran, agama, etika, kepecayaan, berbicara, pers dan politik. Konsekuensinya adalah penghapusan hak-hak Tuhan dan segala otoritas yang diperoleh dari Tuhan; penyingkiran agama dari kehidupan publik menjadi bersifat individual. Selain itu agama Kristen dan Gereja harus dihindarkan agar tidak menjadi lembaga hukum ataupun sosial. Yang jelas liberalisme mengindikasikan pengingkaran terhadap semua otoritas yang sesungguhnya, sebab otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya kekuatan di luar dan di atas manusia yang mengikatnya secara moral. Kebebasan intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan dari Tuhan itu secara logis merupakan liberalisme dalam pemikiran keagamaan dan itulah yang pertamakali dirasakan oleh agama-agama di Barat. Liberalisme dalam pemikiran keagamaan atau yang terkenal dengan theological liberalism berkembang melalui tiga fase perkembangan. Fase pertama dari abad ke 17 yang dimotori oleh filsuf Perancis Rene Descartes yang mempromosikan doktrin rasionalisme atau Enlightenment yang berakhir pada pertengahan abad ke 18. Doktrin utamanya adalah a) percaya pada akal manusia b) keutamaan individu c) imanensi Tuhan dan d) meliorisme (percaya bahwa manusia itu berkembang dan dapat dikembangkan). Fase kedua bermula pada akhir abad ke 18 dengan doktrin Romanticisme yang menekankan pada individualisme, artinya individu dapat menjadi sumber nilai. Kesadaran-diri (self-consciousness) itu dalam pengertian religious dapat menjadi Kesadaran-Tuhan (god-consciousness). Tokohnya adalah Jean-Jacques, Immanuel Kant, dan Friedrich Schleiermacher. Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


8

Hamid Fahmy Zarkasyi

Fase terakhir bermula pada pertengahan abad ke 19 hingga abad ke 20 ditandai dengan semangat modernisme dan postmodernisme yang menekankan pada ide tentang perkembangan (notion of progress). Agama kemudian diletakkan sebagai sesuatu yang berkembang progressif dan disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern serta diharapkan dapat merespon isu-isu yang diangkat oleh kultur modern. Itulah sebabnya maka kajian mengenai doktrindoktrin Kristen kemudian berubah bentuk menjadi kajian psikologis pengalaman keagamaan (psychological study of religious experience), kajian sosiologis lembaga-lembaga dan tradisi keagamaan (sociological study of religious institution), kajian filosofis tentang pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan (philosophical inquiry into religious knowledge and values).6 Sementara itu pada abad ke 19 liberalisme dalam pemikiran keagamaan Katholik Roma berbentuk gerakan yang mendukung demokrasi politik dan reformasi gereja, namun secara teologis tetap mempertahankan ortodoksi. Sedangkan dalam pemikiran Kristen Protestan liberalisme merupakan tren kebebasan intelektual yang menekankan pada substansi etis dan kemanusiaan Kristen dan mengurangi penekanan pada teologi yang dogmatis.7

Ciri Liberalisme Keagamaan Barat Ketika liberalisme merasuk ke dalam pemikiran keagamaan maka banyak konsep dasar dalam agama Kristen yang berubah. Nicholas F. Gier, dari University of Idaho, Moscow, Idaho8 menyimpulkan karakteristik pemikiran tokoh-tokoh liberal Amerika Serikat sebagai berikut: Pertama, percaya pada Tuhan, tapi bukan Tuhan dalam kepercayaan Kristen Orthodok. Karena Tuhan mereka tidak orthodok maka mereka seringkali disebut Atheist. Ciri-ciri Tuhan menurut Kitab Suci dan doktrin agama sebagai person dengan sifat-sifat khusus ditolak oleh kelompok liberal karena mereka lebih menyukai 6

The New Encyclopedia of Britanica, University of Chicago, 1991, vol. 11, p. 693 Http://uk.search.yahoo.com/search;_ylt=A0oGkuebQs9Hd0kBPmtLBQx.?p = origin + of +religious+liberalism&y=Search&fr=slv8-acd&ei=UTF-8&rd=r1 8 Nicholas F. Gier, “Religious Liberalism and The Founding Fathers�, dalam Peter Caws, ed. Two Centuries of Philosophy in America, (Oxford: Basil Blackwell Publishers, 1980), p. 22-45. 7

Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

9

konsep Tuhan yang diambil dari akal manusia. Tuhan dalam kepercayaan ini dianggap tidak mengetahui kehidupan manusia secara detail dan tidak mencampuri urusan individu nanusia. Kedua, kaum liberal memisahkan antara doktrin Kristen dan etika Kristen. Dengan mengurangi penekanan pada doktrin atau kepercayaan, mereka berpegang pada prinsip bahwa Kristen dan non-Kristen harus saling menerima dan berbuat baik. Seseorang menjadi religius bukan hanya afirmasi terhadap dogma, tapi karena etika dan perilaku moralis seseorang. Inilah yang membawa kelompok liberal untuk berkesimpulan bahwa orang atheist sekalipun dapat menjadi moralis. Ketiga, kaum liberal tidak ada yang percaya pada doktrin Kristen Orthodok. Mereka menolak sebagian atau keseluruhan doktrin-doktrin Trinitas, ketuhanan Yesus, perawan yang melahirkan, Bible sebagai kata-kata Tuhan secara literal, takdir, neraka, setan dan penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). Doktrin satu-satunya yang mereka percaya, selain percaya akan adanya Tuhan adalah keabadian jiwa. Keempat, menerima secara mutlak pemisahan gereja dan negara. Para pendiri negara Amerika menyadari akibat dari pemerintahan negara-negara Eropa yang memaksakan doktrin suatu agama dan menekan agama lain. Maka dari itu kata-kata “Tuhan� dan “Kristen� tidak terdapat dalam undang-undang. Ini tidak lepas dari pengaruh tokoh-tokoh agama liberal dalam konvensi konstitusi tahun 1787. Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama. Pada mulanya toleransi dibatasi hanya pada sekte-sekte dalam Kristen, namun toleransi dan kebebasan penuh bagi kaum atheis dan pemeluk agama non-Kristen hanya terjadi pada masa Benyamin Franklin, Jefferson dan Madison. Kebebasan beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan dalam beragama tapi bebas dari agama juga, artinya bebas beragama dan bebas untuk tidak beragama. Jadi, liberalisme dalam bidang sosial dan politik dalam peradaban Barat telah memarginalkan agama atau memisahkan agama dari urusan sosial dan politik secara perlahan-lahan. Agama tidak diberi tempat di atas kepentingan sosial dan politik. Dan ketika liberalisme masuk ke dalam pemikiran keagamaan Kristen Katholik dan Protestan ia telah mensubordinasikan gereja ke bawah kepentingan politik dan humanisme, serta mengurangi peran teologi dalam bidang-bidang kehidupan. Maka dari itu dalam liberalisme

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


10

Hamid Fahmy Zarkasyi

pemikiran keagamaan, masalah yang pertama kali dipersoalkan adalah konsep Tuhan (teologi) kemudian doktrin atau dogma agama. Setelah itu, liberalisme mempersoalkan dan kemudian memisahkan hubungan agama dari politik (sekularisme). Akhirnya liberalisme pemikiran keagamaan menjadi sekularisme dan dipicu oleh gelombang pemikiran postmodernisme yang menjunjung tinggi pluralisme, persamaan (equality), dan relativisme. Gambaran di atas menunjukkan bahwa liberalisme – baik dalam bidang sosial dan politik serta pemikiran keagamaan merupakan tren yang dominan di Barat saat ini. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History, and the Last Man bahkan mengemukakan thesisnya bahwa : ‌ the principle of liberty and equality underlying the modern liberal state had been discovered and implemented in the most advance countries, and that there were no alternative principles or forms of social and political organization that were suprior to liberalism. Liberal societies were, in other words, ‌.would therefore bring the historical dealectic to a close. 9

Artinya, prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan yang mendasari negara liberal modern telah diketemukan dan diimplementasikan pada negara-negara maju, dan tidak ada prinsip atau bentuk alternatif organisasi sosial dan politik yang lebih superior daripada liberalisme. Dengan kata lain masyarakat-masyarakat liberal akan menjadikan dialektika sejarah berakhir. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa wajah peradaban Barat yang liberal itu merupakan bentuk final dan ideal dari sistem sosial dan politik serta keagamaan Barat, tidak ada sistem lagi yang sebaik liberalisme.

Islam dan Tantangan Liberalisme Karena liberalisme merupakan sistem, pandangan hidup atau ideologi Barat, maka Islam bagi Barat merupakan tantangan bagi liberalisme. Sudah tentu sebaliknya liberalisme juga merupakan tantangan bagi Islam. Francis Fukuyama dalam bukunya itu jelasjelas menyejajarkan Islam dengan ideologi Liberalisme dan

9 Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, (New York: Avon Book, 1992), p. 64.

Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

11

Komunisme, meskipun Islam ia anggap memiliki nilai moralitas dan doktrin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri. Menurutnya karena ajaran Islam bersifat universal, maka ia pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal dan praktik-praktik liberal. Tapi ia juga mengakui bahwa nilai-nilai liberal Barat merupakan ancaman bagi masyarakat Islam. Dalam hal ini Fukuyama menegaskan: Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya fundamentalisme adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap masyarakat Islam tradisional. 10

Fukuyama jelas-jelas meletakkan Islam, Liberalisme dan Komunisme sebagai ideologi-ideologi atau pemikiran yang mempunyai doktrin masing-masing dan saling bertentangan satu sama yang lain dan saling mengancam. Apa yang disebut ancaman bukan bayangbayang ketakutan yang satu terhadap yang lain, akan tetapi merupakan fakta bahwa liberalisme dan Islam itu sangat berbeda. Perbedaan ini dapat dilacak dari fakta bahwa umat manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan setiap bangsa memiliki peradaban sendirisendiri. Cara berpikir dan cara pandang antara satu peradaban dengan yang lain juga berbeda-beda. Perbedaan itu lebih berupa perbedaan cara memandang kehidupan atau perbedaan pandangan hidup (worldview). Perbedaan pandangan hidup antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dipengaruhi oleh kultur, agama, kepercayaan, ras dan lain-lain. Dalam artikel berjudul If Not Civilizations, What? (Samuel Huntington Responds to His Critics), Huntington menyatakan bahwa substansi atau asas peradaban adalah prinsipprinsip keagamaan dan filsafat. Oleh sebab itu faktor-faktor untuk mengidentifikasi orang, dan juga faktor yang menjadikan mereka siap perang dan mati adalah keimanan dan keluarga (faith and family), darah (baca: ras) dan kepercayaan (blood and belief).11 10 Aslinya:�Indeed, the Islamic world would seem more vulnerable to liberal ideas in the long run than the reverse, since such liberalism has attracted numerous and powerful Muslim adherent over the past century and a half. Part of the the reason for current, fundamentalist revival is the stregth of the perceived threat from liberal, Western values to traditional Islamic societies. Francis Fukuyama, Ibid., p. 45-46. 11 Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


12

Hamid Fahmy Zarkasyi

Perbedaan identitas dan kemudian gesekan antara satu peradaban dan worldview inilah yang diskenariokan dan diteorikan Samuel P. Huntington sebagai “clash of civilization” (benturan peradaban). Benturan ini menurutnya akan mengakibatkan ketegangan, benturan, konflik ataupun peperangan di masa depan.12 Selain itu, tesis Huntington merupakan deklarasi ataupun selfdisclosure bahwa Barat akan berhadapan dengan peradaban yang berbeda dan akan mengakibatkan ketegangan, benturan, konflik ataupun peperangan di masa depan. Masalahnya bukan hanya karena terdapat perbedaan antar peradaban, tapi karena peradaban atau bangsa-bangsa Barat mengklaim cara pandang mereka itu “universal” dan dapat dianut oleh seluruh umat manusia. Persoalannya apa yang oleh Barat itu dianggap “universal” ternyata tidak demikian bagi umat Islam. Faktanya memang antara konsep-konsep Barat dan Islam terdapat perbedaan yang tidak dapat disatukan. Perbedaan ini pada tingkat kehidupan sosial menyebabkan konflik, clash atau dalam bahasa Peter L. Berger disebut collision of consciousness (tabrakan persepsi). Pada tingkat individu, mengakibatkan terjadinya pergolakan pemikiran dalam diri seseorang dan pada tataran konsep, mengakibatkan tumpang tindih dan kebingungan konseptual (conceptual confusion). Perang pemikiran pada tingkat inidividu inilah yang kini dirasakan umat Islam Indonesia. Jadi perang pemikiran dalam skala besar saat ini terjadi antara peradaban Islam dan kebudayaan Barat atau pandangan hidup (worldview) Islam dan Barat. Akan tetapi Barat berusaha memaksakan penggunaan konsepkonsep mereka itu ke dalam pikiran umat Islam. Pemaksaan itu dikenal dengan proyek westernisasi13 dan globalisasi. Penggunaan istilah “Islam fundamentalis”, “Islam Liberal”, “Islam tradisional”, “Islam modern” dan sebagainya merupakan sedikit contoh bagaimana terminologi dan konsep-konsep Barat dipaksakan kepada umat Islam. Untuk penyebaran bidang budaya, paham-paham dan ideo-

12 Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html 13 Istilah Westernisasi dunia dikenal pasca perang Salib yang berarti perluasan imperium orang kulit putih keseluruh dunia. Tujuan utamanya adalah kolonisasi, Kristenisasi (evangelization), pencarian pasar, supplai bahan mentah, pencarian dunia baru dan pemenuhan kebutuhan akan tenaga kerja. Lihat Serge Latouche, The Westernizationi of the World, The Significance, Scope and Limits of the Drive towards Global Uniformity, terjemahan bahasa Inggeris dari bahasa Perancis oleh Rosemary Morris, (Cambridge: Polity Press, 1996), p. 5

Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

13

logi digunakan proyek Westernisasi dan Globalisasi, untuk penyebaran bidang pemikiran keislaman digunakan gerakan orientalisme, untuk memperluas penerimaan kultur dan kepercayaan Barat digunakan gerakan misionarisme dan untuk penaklukan dunia Islam di berbagai bidang digunakan kolonialisme. Sebenarnya jika globalisasi dipahami secara adil maka Barat dapat memahami worldview Islam dan bahkan dapat saling tukar menukar konsep dan sistem yang tidak bertentangan dengan worldview masing-masing. Namun, kenyataannya sikap Barat jauh dari harapan itu. Masyarakat Barat memang terbukti tidak toleran dan bahkan resisten terhadap praktik-praktik keagamaan masyarakat Islam di Barat. Di negeri-negeri mereka (Barat) misalnya kita tidak akan pernah menyaksikan mimbar agama Islam di TV, atau perayaan hari Raya Islam di tempat terbuka, kumandang azan dari menara masjid. Padahal di negara mayoritas Muslim umat Kristiani bebas merayakan hari natal, caramah di TV, membunyikan lonceng gereja dan sebagainya. Demikian pula dalam soal pakaian. Di Barat pakaian jilbab bagi Muslimah di “haramkan�, sementara umat Islam Indonesia dipaksa toleran terhadap orang Barat yang berpakaian setengah telanjang di tempat-tempat umum. Jika sikap masyarakat Barat begitu resisten, maka tidak heran jika umat Islam juga resisten terhadap paham-paham sekuler, liberal, pragmatis dan hedonis serta berbagai kultur yang khas masayarakat Barat. Sudah tentu situasi seperti ini harus diterima sebagai konflik atau perang pemikiran yang telah terjadi dan berjalan terus. Inilah yang disebut dengan Ghazwul fikri (perang pemikiran). Kini setelah peristiwa dramatis 11 September 2001, upayaupaya Barat untuk menyebarkan nilai, ide, konsep, sistem dan kultur Barat ke dunia Islam semakin gencar dan merupakan kerjasama kompak antara Barat kolonialis, orientalis dan misionaris. Karena hal ini berkaitan dengan pemikiran, maka mediun yang digunakan untuk menyebarkan konsep dan pemikiran Barat adalah medium untuk pemikiran yang berupa karya-karya ilmiah, seperti buku, makalah-makalah dan workshop-workshop ataupun berupa opini di media elektronik dan media massa. Namun, medium yang paling efektif bagi penyebaran teori, konsep dan ideologi adalah bangkubangku kuliah di perguruan tinggi melalui transmisi oral para intelektual, ulama, saintis, budayawan. Melalui berbagai sarana inilah maka secara teknis paham, ide, konsep, sistem dan teori liberalisme Barat disebarkan ke dunia Islam. Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


14

Hamid Fahmy Zarkasyi

Liberalisasi Melalui Missionaris, Orientalis dan Kolonialis Dalam kondisi pasif yang kita saksikan dari peradaban Islam dan kebudayaan Barat hanyalah suatu perbedaan biasa dan wajar. Tapi dalam gerakannya yang ekspansif melalui proyek globalisasi, modernisasi, dan westernisasi Barat berubah wajah menjadi tantangan bagi bangsa-bangsa dan peradaban lain, termasuk Islam. Maka dari itu, jika wajah kebudayaan Barat itu diperinci lebih spesifik lagi akan kita temukan bahwa globalisasi dan westernisasi itu merupakan gerakan yang bersumber dari 1) Missionaris 2) Orientalis dan 3) Kolonialis. Ketiganya merupakan gerakan pemikiran yang mengusung prinsip-prinsip atau elemen-elemen pandangan hidup Barat. Berikut ini diungkapkan bagaimana ketiga bentuk gerakan tersebut bekerjasama menghadapi umat Islam dan kini menjadi tantangan umat Islam.

a. Missionaris Ketika Barat masuk ke negara-negara Islam ia membawa serta misi agama, politik, ekonomi dan kebudayaan. Namun tidak banyak yang melihat bahwa Barat itu sendiri telah membawa seperangkat doktrin pemikiran yang berdasarkan pandangan hidup mereka. Hal ini dapat dicermati dari fakta sejarah bahwa gerakan kolonialisme selalu disertai atau bahkan didahului oleh kegiatan missionaris Kristen yang berkaitan dengan orientalisme. Keduanya tidak lain dari aktivitas untuk mempengaruhi cara berfikir. Kerjasama missionaris, orientalis dan kolonialis ini telah lama terjadi dan dapat dibuktikan melalui pengakuan Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, seperti yang dikutip oleh Dr. Aqib Suminto berikut ini: â€œâ€Śâ€Śkristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.â€? 14

Peran Snough Hurgronye sebagai orientalis dalam memuluskan penjajahan Belanda di Indonesia merupakan bukti kongkret kerjasama antara orientalisme, missionarisme dan kolonialisme Barat. Targetnya lagi-lagi berkaitan dengan pemikiran, yaitu untuk meru-

14

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), p. 26.

Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

15

bah cara berpikir umat Islam. Proyek missionaris yang menonjol adalah penghancuran pemikiran umat Islam. Strategi ini telah lama diikrarkan oleh Samuel Zwemmer seorang orientalis Yahudi yang menjabat direktur organisasi misionaris dan yang juga pendiri Jurnal the Muslim World. Pada tahun 1935 pada Konferensi Misionaris di Kota Yerussalem Zwemmer mengatakan bahwa: Misi utama kita sebagai orang Kristen bukan menghancurkan kaum Muslimin, namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar jadi orang Muslim yang tidak berakhlak. Dengan begitu akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam. Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam. Generasi Muslim yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang malas, dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsunya. Di mata rantai kebudayaan Barat, gerakan misi punya dua tugas: menghancurkan peradaban lawan (baca: peradaban Islam) dan membina kembali dalam bentuk peradaban Barat. Ini perlu dilakukan agar Muslim dapat berdiri pada barisan budaya Barat akhirnya muncul generasi Muslim yang memusuhi agamanya sendiri. 15

Harry Dorman, dalam bukunya Towards Understanding Islam, mengungkapkan pernyataan seorang misonaris Kristen: “Boleh jadi, dalam beberapa tahun mendatang, sumbangan besar misionaris di wilayah-wilayah Muslim akan tidak begitu banyak memurtadkan orang muslim, melainkan lebih banyak menyelewengkan Islam itu sendiri. Inilah bidang tugas yang tidak bisa diabaikan.� Dr. Cragg, seorang misionaris terkenal asal Inggris, menyatakan:�Tidak perlu diragukan bahwa harapan terakhir misi Kristen hanyalah melakukan perubahan sikap umat Muslim, sedemikian rupa sehingga mereka mau bertoleransi.�16 Apa yang disampaikan Zwemmer 70 tahun yang lalu itulah kini yang diterapkan Barat sebagai strategi perang pemikiran terhadap umat Islam. Oleh sebab itu gerakan kristenisasi berkembang dari konversi kepada gerakan distorsi dan perang pemikiran.

b. Orientalis Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang 15

Ali Gharisah, Wajah Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1989), p. 41 Lihat dalam Maryam Jameela, Islam dan Orientalisme, (Jakarta: 1994), p. 8-9, 51-52.

16

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


16

Hamid Fahmy Zarkasyi

lalu. Namun menurut The Oxford Dictionary gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme baru abad ke 18. Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, mempunyai latar belakang sejarah panjang yang kompleks, dan sekurangkurangnya terdapat dua motif utama: Pertama adalah motif keagamaan. Barat yang disatu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Itulah Islam dianggap “menabur angin” dan lalu menuai badai perseteruan dengan Kristen. Bahkan lebih ekstrim lagi, perseteruan itu ada sejak sebelum Islam datang. Thomas Right, penulis buku Early Christianity in Arabia, mensinyalir perseteruan antara Islam dan Kristen terjadi sejak bala tentara Kristen pimpinan Abrahah menyerang Ka’bah dua bulan sebelum Nabi lahir. Di situ tentara Abrahah kalah telak dan bahkan tewas. Kalau saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada di tangan Kristen, dan tanda salib sudah terpampang di Ka’bah. Muhammd pun mungkin mati sebagai pendeta. Jika Right benar berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah Nabi Ibrahim, sebab mereka bukan menyerang Islam yang dibawa Nabi, tapi Ka’bah yang merupakan khazanah millah Ibrahim itu. Jadi motif orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Kristen dan missionarisme. Kedua adalah motif politik. Islam bagi Barat adalah peradaban yang di masa lalu telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat sebagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman besar dan langsung bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Barat sadar benar bahwa Islam bukan hanya sekadar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, tapi peradaban yang memiliki khazanah dan tradisi ilmu pengetahuan yang tinggi. Oleh sebab itu mereka perlu merebut khazanah ini untuk kemajuan mereka dan sekaligus untuk menaklukkan Islam. Jadi motif kajian-kajian orientalis itu bersifat politis: kolonialisme. Motif yang hampir serupa juga terjadi di kalangan missionaris. Jurnal The Muslim World yang diterbitkan oleh Michael Zwemmer tahun 1920, misalnya pada mulanya terang-terangan untuk media informasi bagi para missionaris tentang Islam dan dunia Islam. Tapi Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

17

kemudian menjadi jurnal kajian Islam yang serius dan ilmiah, meskipun tetap menggunakan framework yang sama. Montgomery Watt yang dianggap orientalis moderat misalnya, ketika menulis alQur’an dan Sunnah mencoba meragukan otentisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan bahwa beberapa bagian al-Qur’an dan Hadis itu dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak bisa dijadikan sumber pandangan hidup Islam. Ia bahkan mencurigai adanya “ayat-ayat setan” dalam al-Qur ’an. 17 Inilah contoh bias orientalis yang paling nyata. Kajian orientalis terhadap Hadis yang juga bias itu misalnya dapat ditemui dalam metodologi Harald Motzki dalam mengkaji hadis Sahifah Hammam Ibn Munabbih. Motzki yang dianggap objektif itu ternyata juga ambigu. Ia seakan-akan mengkritik metode kajian Joseph Schacht, namun sejatinya tidak beda dan tetap mempertahankan sikap orientalismenya. Jadi, orientalisme yang dikenal saat ini sebagai suatu tradisi kajian ilmiah tentang Islam, sejatinya adalah berdasarkan pada ‘kaca mata’ dan pengalaman manusia Barat yang dipicu oleh motif dan semangat missionaris. Tapi motivasi ini ditutupi dengan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik.18 Tidak heran jika orientalis kemudian dianggap memiliki disiplin dan sikap ilmiah yang ‘khas’, bahkan menjadi sebuah framework pengkajian. Meskipun ilmiah, tapi jika cara pandang dan tujuannya diwarnai oleh latar belakang agama dan politik serta worldview Barat atau nilai-nilai peradaban Barat, kajian mereka itu lebih cenderung salah. Ini juga membuktikan bahwa ilmu memang tidak bebas nilai. Oleh sebab itu menganggap orientalis di masa kini objektif dan ilmiah hanya benar dipermukaannya. Kajian akademis dan ilmiah terhadapnya membuktikan sebaliknya. Cara pandang mereka terhadap Nabi, al-Qur’an dan Islam sebagai agama masih tidak bisa lepas bebas dari pengaruh pendahulunya. Dan orientalis terdahulu itu diwarnai oleh pengalaman manusia Barat. Perlu disadari bahwa kajian outsider tentang suatu agama dan peradaban, termasuk Islam, betapapun objektif dan akademisnya, ia tetap saja menyisakan bias. 17

M. Watt, Muhammad at Mecca, (Edinbrugh: Edinburgh University Press, 1960), p. 103; Lebih detail lagi tentang kajian orientalis terhadap al-Qur’an tulisan dapat dibaca kajian Adnin Armas berjudul Metodologi Orientalis Dalam Studi al-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani Press, 2004). 18 Lihat Dr. Afaf, al-Mustasyriqu>n wa Musykilat al-Had}a>rah, ) Cairo: Dar al-Nahdah al‘Arabiyyah, 1980), p. 33-34.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


18

Hamid Fahmy Zarkasyi

A.L. Tibawi penulis buku English Speaking Orientalists, menyimpulkan bahwa ketika para orientalis ahli polemik periode awal terlibat dalam penghinaan dan penafsiran yang salah tentang Islam, tujuan mereka hanyalah destruktif. Tapi setelah adanya motif missionaris mereka mulai menggunakan pendekatan obyektif. Metodenya merupakan campuran antara penghinaan dan pengungkapan halhal negatif tentang Islam, namun dengan menggunakan fakta-fakta yang solid, tapi tetap dipahami dalam perspektif Kristen. Metode yang pertama telah ditinggalkan sedangkan metode yang kedua menjadi lemah atau diberi baju baru. Tapi yang aneh adalah ketika para orientalis itu gencar menyarankan, mendorong dan bahkan memprovokasi agar Islam itu direformasi.19 Kajian dan sekaligus serangan orientalis terhadap Islam dan sejarahnya memang sangat canggih (baca: soophisticated) dan subtil sehingga pembaca awam, alias bukan pakar tidak mudah untuk membongkar implikasi-implikasi negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya berdasarkan spekulasi, bahkan manipulasi sumber data dan seringkali bersikap selektif terhadap data-data sejarah dengan tujuan dan kepentingan tertentu. Edward Said baik dalam Orientalism (1978) maupun dalam The World, The Text and the Critic (1983) yakin bahwa Orientalis dan Barat adalah diskriminatif. Batas rasial, kultural dan bahkan saintifik sangat kental. Antara “kami” dan “mereka”, minna dan minhum merasuk kedalam kajian sejarah, linguistik, teori ras, filsafat, antropologi dan bahkan biologi hingga abad ke 19. Edmund Leach setuju, sekali stigma “other” itu melekat maka selain bangsa Eropa tetap asing dan bahkan inferior. Ringkasnya, katanya, kajian Timur yang berasaskan ilmu Barat telah di frame oleh pengalaman imperialisme dan persengketaan kultural ( cultural hostility). Zaynab al-Ghazzali malah lebih keras dari itu, katanya memisahkan agama dari politik atau Islam dari hukum syariah adalah tindak kriminal. Di kalangan pemikir Barat sendiri framework orientalis diberi stigma sebagai “exotic cum barbaric norm”. Selain dari itu, ciri-ciri kajian orientalis adalah parsial, artinya jika mereka mengkaji suatu bidang tertentu, mereka melewatkan bidang kajian yang lain. Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik19 lihat Tibawi, “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”, dalam The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2, p. 41.

Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

19

kritik yang tidak dikaitkan dengan Kalam misalnya, kritik dalm bidang filsafat tidak dikaitkan dengan aqidah, kritik dan kajian alQur ’an tanpa disertai ilmu tafsir, bahkan tidak aneh jika para orientalis mengkaji al-Qur’an dengan metodologi Bibel, mengkaji politik Islam dalam perspektif politik Barat sekuler. Dan yang pasti disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam itu tidak dikaji dengan framework pandangan hidup Islam, tapi Barat. Meski telah banyak kajian tentang orientalisme, tapi dalam perkembangan pemikiran akhir-akhir ini, tema orientalisme ini menjadi semakin relevan untuk diangkat kembali. Sebab kini mengadopsi pandangan, framework dan kritik-kritik para orientalis tentang Islam menjadi tren di kalangan sementara cendekiawan Muslim. Nampaknya, mereka berpikiran bahwa dengan cara itu mereka bisa mengambil jalan pintas untuk “reformasi”, “pembaruan” atau “liberalisasi” pemikiran Islam. Bagi masyarakat awam atau ulama “tradisional”, pemikiran hasil “adopsi” itu nampak baru, karena tidak pernah ada dalam khazanah intelektual Islam. Padahal, sifat “baru”nya tidak mempunyai unsur tajdid, karena terlepas dari fondasi asalnya (wahyu) dan bahkan seringkali berseberangan. Mungkin mereka telah gagal menyelami khazanah intelektual Islam secara komprehensif, kreatif, dan apresiatif sehingga kehilangan daya kritis mereka terhadap orientalis dan Barat. Orientalisme adalah suatu cara pandang orang Barat terhadap bangsa selain Barat. Bangsa-bangsa selain Barat itu – yakni bangsabangsa Timur Tengah dan Asia - dilihat dengan kacamata rasial yang penuh prasangka. Bangsa-bangsa Timur dianggap mundur dan tidak sadar akan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Untuk itu Barat kemudian “membantu” membuat kajian tentang konsep-konsep kebudayaan, sejarah, dan juga agama-agama dan bangsa-bangsa Timur. Sudah tentu prinsip, metode dan pendekatan kajian ini khas Barat. Namun, kajian ini tidak murni kajian keilmuan, tapi kajian yang dimanfaatkan untuk proyek missionaris Kristen dan imperialisme Barat ke Negara-negara Timur.20 Akar gerakan orientalisme dapat ditelusuri dari kegiatan mengkoleksi dan menerjemahkan teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin sejak Abad Pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumnya dipelopori oleh para teolog 20

Lihat Edward Said, Orientalism, (New York: Vintage, 1979), p. 1-3, 5.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


20

Hamid Fahmy Zarkasyi

Kristen. Dari hasil koleksi itu Museum London dan Mingana Collection di Inggeris adalah di antara pemilik koleksi manuskrip Islam terbesar di dunia. Selanjutnya, karena Orientalisme telah menjadi suatu tradisi pengkajian yang penting di dunia Barat, maka ia berkembang dan melembaga menjadi program formal di perguruan tinggi, dalam bentuk departemen atau jurusan dari universitas-universitas di Barat. Kini banyak sekali unversitas di Barat yang mendirikan program Islamic, Middle Eastern, atau Religious Studies. Universitas London misalnya mendirikan SOAS (School of Oriental African Studies), Universitas McGill Canada, Univesitas Leiden Belanda mendirikan Departement of Islamic Studies, Universitas Chicago, universitas Edinburgh, University of Pennsylvania, Philadelphia dan lain-lain mendirikan Departement of Middle Eastern Studies; Universitas Birmingham Inggris mendirikan Centre for the Study of Islam-Christian Relation dan lain sebagainya. Program-program kajian keislaman di universitas-universitas Barat tersebut merupakan tradisi yang kokoh karena didukung oleh pakar dan tokoh dibidang masing-masing. Sekedar untuk menyebut beberapa berikut ini nama-nama orientalis dalam beberapa bidang tertentu: 1) Bidang Teologi dan Filsafat: Montgomery Watt, O Learry, DB Mc Donald, Alfred Gullimaune, Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, Oliver Leaman dll. 2) Bidang Hadis Josep Schacht, Ignaz Golziher, G.H.A.Juyuboll, Eerik Dickson, Aarent J Wensinck, Nicholson, WD. Van Wijagaarden. 3) Bidang Fikih Waell Hallaq, Harold Motzki, N.Calder, N.J. Coulson, J.Fuck, John Burton, 4) Bidang Politik Snouck Hurgronje, Bernard Lewis, Samuel Huntington, Bob Hefner, William Liddle, Greg Burton dll. 5) Bidang al-Qur ’an Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergtrasser, Otto Pretzl, Arthur Jeffery, John Wansbrough, John Burton, Richard Bell, Andrew Rippin, Chrostoph Luxemburg.21 Dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan semua disini. Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu:

21 Perlu dicatat dalam beberapa kasus nama-nama dan bidang kepakaran orientalis terkadang bertumpang tindih (overlap), ada yang menguasai lebih dari satu bidang.

Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

21

1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). 2) Bahwa orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak objektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.22 Ketiga kesimpulan Edward Said di atas adalah benar adanya, artinya studi Islam di Barat yang ada sekarang ini menggunakan cara pandang (framework) Barat dan oleh sebab itu jika tulisan para orientalis itu dikaji secara kritis maka akan menunjukkan beberapa kerancuan konsep. Gambaran tentang cara pandang (framework) Barat ini sebenarnya sangat kompleks, tapi secara sederhana dapat diartikan sebagai cara mereka memandang Islam dan peradabannya. Cara Barat melihat Islam sebagai din, Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, al-Qur ’an sebagai wahyu dan kalam Tuhan, cara memahami hadis, sikap mereka terhadap otoritas ulama berbeda sama sekali dengan cara pandang Islam dan umat Islam. Namun, tantangan yang dihadapi umat bukan hanya dari pikiran para orientalis, tapi cendekiawan Muslim yang mengikuti cara berpikir orientalis dalam memahami Islam. Kini yang mengatakan semua agama sama, al-Qu’ran bukan wahyu Allah, Ajaran Islam itu menindas kaum wanita, dan sebagainya bukan lagi orientalis, tapi para cendekiawan Muslim sendiri. Produk dari kuatnya tradisi oritentalisme itu adalah terbitnya karya-karya mereka yang kemudian dirujuk dan bahkan diikuti oleh para cendekiawan Muslim. Akhirnya, orientalisme juga memproduk cendekiawan Muslim yang tidak kritis terhadap Barat dan bahkan mengikuti saja cara berpikir mereka. Kini muncul cendekiawan Muslim di berbagai Negara Islam yang mengusung ide-ide yang merupakan agenda Barat. Untuk sekadar menyebut beberapa berikut ini nama-nama mereka: Teologi, Filsafat dan Pluralisme agama: Rene Guenon, Fritjhof Schuon, Martin Ling, Syed Hussein Nasr, Muhammad Sachidina, Hasan Askari, Mahmud Ayyub, Farid Essack Hermeneu22 Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” The New Criterion Vol. 17, No. 5, January 1999, p. 5.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


22

Hamid Fahmy Zarkasyi

tika: Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Gender dan feminisme: Aminah Wadud Muhsin, Fatima Mernissi, Nawal Sa’dawi Islam Kiri: Hasan Hanafi, Asghar Ali. Fiqih: Abdullah; Ahmad al-Naim, Muhammad Syahrur, dan sebagainya. Sekadar contoh marilah kita lihat bagaimana perjalanan ide orientalis sampai kepada pemikir Muslim. Para orientalis dari generasi ke generasi menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Hal ini dapat dibaca dari pernyataan G.Sale, [dalam bukunya The Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei, (1734)], Sir William Muir [dalam bukunya Life of Mahomet (1860)], A.N. Wollaston [dalam bukunya The Religion of The Koran (1905)], H. Lammens, dalam [Islam Belief and Institution (1926)], Champion & Short [dalam buknya Reading from World Religious Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [dalam bukunya The Life and Time of Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [dalam bukunya Islam and Capitalism (1977)]. Ide ini diterjemahkan oleh Muhammad Arkoun menjadi begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia biasa. Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim liberal yang diusir dari Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka ia adalah produk budaya Arab (muntaj thaqafi). Implikasi ide ini adalah al-Qur’an bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan, karena itu umat Islam tidak terlalu fanatik berpegang pada al-Qur’an; dan agar umat Islam mau menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut, karena ia hanya perkataan manusia biasa. Namun secara objektif perlu diakui bahwa selain dari bidangbidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis ada yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamuskamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dalam mengkaji karya-karya orientalis. Untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan Islam yang sebanding dengan mereka.

Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

23

c. Kolonialis Seperti disebutkan di atas bahwa orientalis pernah bekerjsama dengan kolonialis dan missionaris. Pengertian kolonialisme dalam hal ini menyesuaikan dengan kondisi pascaperang dunia kedua, yang bergeser dari pendudukan menjadi penguasaan dalam bidang-bidang tertentu secara strategis. Kolonialisme kini tidak mesti berarti exploitasi sumber daya manusia dan alam seperti di zaman penjajahan, tapi monopoli dalam perdagangan, penguasaan sistem ekonomi politik dan liberalisasi perdagangan. Untuk itu kolonialis berkepentingan untuk menyebarkan kultur dan pemikiran Barat, sehingga ide-ide atau pemikiran Islam dan umat Islam sejalan dengan pemikiran dan kepercayaan Barat. Tujuan akhirnya kepentingan ekonomi dan politik mereka di negara-negara Islam dapat berjalan dengan mulus. Strategi bagaimana agar ide-ide dan pemikran umat Islam sejalan dengan kolonialis, dan bagaimana sebuah pemikiran berubah menjadi kebijakan strategis, sebaiknya kita rujuk sebuah buku yang berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies, (2003). Buku yang ditulis oleh Cheryl Bernard 23 ini menjelaskan tentang strategi dan taktik pemikiran yang perlu dilakukan Barat untuk menghadapi umat Islam pasca 11 September. Targetnya untuk melawan apa yang mereka istilahkan dengan “terorisme dan fundamentalisme” dalam Islam. Bahkan setelah menulis buku ini ia menulis buku lain berjudul “U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11 (2004), The Muslim World After 9/11 (2004), dan Three Years After: Next Steps in the War on Terror (2005). Cheryl Bernard menulis ini di bawah proyek penelitian sebuah lembaga swadaya masyarakat di Amerika lembaga itu bernama Rand Corporation. Sebuah lembaga riset yang mengklaim sebagai lembaga independen yang membuat “analisa objektif dan solusi efektif terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun individu 23

Cheryl Bernard adalah sosiolog yang pernah menulis novel-novel feminis yang memojokkan ulama dan menyatakan wanita dalam Islam itu tertindas. Jilbab menurutnya diambil dari pemahaman yang salah terhadap al-Qur’an, dan merupakan simbol pemaksanaan dan intimidasi. Suaminya adalah Zalmay Khalilzad, blasteran Afghan-Amerika yang menjadi asisten khusus Presiden George W Bush dan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National Security Council (NSC) khusus untuk teluk Persia dan Asia Barat-Daya. Selain itu ia pada tahun 1980 bekerja dibawah Paul Wolfowitz pada Policy Planning Council. Pada saat terjadi perang terhadap Iraq tahun 1991, Zalmay menjadi sekretaris menteri pertahanan.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


24

Hamid Fahmy Zarkasyi

diseluruh dunia�. Lembaga ini dibiayai oleh Smith Richardson Foundation. Di lembaga ini Cheryl menulis untuk Divisi Riset Keamanan Nasional (National Security Research Division) di mana suaminya bekerja. Tujuan dari buku ini adalah untuk membuat suatu laporan dan usulan dalam rangka membantu kebijakan pemerintah Amerika, khususnya dalam soal pemberantasan ekstrimisme, dan pengembangan bidang sosial, ekonomi, politik melalui proses demokratisasi. Yang jelas divisi ini bertugas memberi saran-saran kepada pemerintah Amerika bagaimana menghadapi “fundamentalisme� dalam Islam dan menyebarkan pemikiran liberal ketengah-tengah umat Islam. Sebuah saran tentunya berdasarkan pertimbangan dan dasar pemikiran tertentu. Pemikiran mana yang menjadi asasnya, ia pilih sejalan dengan kepentingannya. Berdasarkan pemikiran itu ia memberi masukan kepada pemerintah Amerika, pertama tentang nilai-nilai mana dalam Islam yang bisa diseret ke dalam nilai-nilai Amerika. Kedua tentang peta masalah-masalah umat Islam dalam konteks nilai-nilai Amerika. Dan akhirnya muncullah saran-saran agar isu-isu seperti demokrasi dan HAM, poligami, hukuman bagi kriminalitas, keadilan, masalah minoritas, pakaian wanita dan hakhak suami-istri masuk ke dalam pemikiran umat Islam. Saran-saran itu, seperti yang akan terlihat di bawah ini, dilaksanakan dengan baik di Indonesia. Untuk membuktikan adanya serangan yang berbentuk politik atau memakai kendaraan politik, berikut ini dipaparkan strategi bagaimana menghadapi Islam yang tertuang dalam buku tersebut. Laporan itu membagi umat Islam menjadi 4 kelompok dan memberi masukan bagaimana seharusnya sikap pemerintah Amerika terhadap keempat kelompok tersebut: a) Fundamentalis, yaitu kelompok yang menolak nilai-nilai demokrasi, dan kultur Barat kontemporer. Mereka menginginkan negara autoritarian dan murni untuk melaksanakan hukum dan nilai-nilai moral Islam, tapi mau menggunakan teknologi modern untuk mencapai tujuan mereka. b) Traditionalis, yaitu kelompok yang menginginkan masyarakat konservatif, curiga terhadap modernitas, inovasi dan perubahan. c) Modernis, yaitu kelompok yang menginginkan agar dunia Islam menjadi bagian dari modernitas global. Mereka ingin Jurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

25

memodernisir Islam agar sejalan dengan zaman. d) Sekularis yaitu kelompok yang mengingkan dunia Islam menerima pemisahan gereja dan negara, sebagaimana yang terjadi pada demokrasi industri Barat, di mana agama diposisikan sebagai urusan pribadi. Untuk menghadapi kelompok-kelompok tersebut di atas Cheryl Benard memberi saran-saran bagaimana menghadapi masingmasing kelompok. Di akhir saran-saran ia mengingatkan agar kebijakan yang diambil disesuaikan dengan strategis tidaknya isu yang berkembang. Saran-saran untuk menghadapi keempat kelompok tersebut dapat disimak berikut ini: a) Pertama-tama dukung modernis, dengan mengembangkan visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Caranya dengan memberikan arena yang luas agar mereka dapat menyebarkan pandangan mereka. Mereka harus dididik dan diangkat secara ketengah-tengah publik sebagai mewakili wajah Islam kontemporer. b) Dukung kelompok sekularis berdasarkan kasus per kasus c) Dorong institusi sipil dan kultural serta program-programnya. d) Dukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan mereka agar berlawanan dengan kelompok fundamentalis dan untuk mencegah pertalian yang erat diantara mereka. Didalam kelompok tradisionalis kita harus mendukung secara selektif mereka yang lebih sesuai dengan masyarakat sipil modern. Misalnya, beberapa mazhab-mazhab Fiqih lebih dapat disesuaikan dengan pandangan kita tentang keadilan dan hak azazi manusia daripada yang lain. e) Musuhi kelompok fundamentalis secara aktif dengan menghantam kelemahan mereka dalam pandangan keislaman dan ideologi mereka, yaitu dengan mengeskpos hal-hal yang tidak dapat diterima oleh masyarakat baik anak muda yang idealis ataupun pengikut tradisionalis yang saleh, seperti korupsi, kekerasan, kebodohan, pelaksanaan Islam yang bias dan jelas salah dan ketidakmampuan mereka memimpin dan memerintah. Untuk pelaksanaan saran-saran di atas Cheryl memerincikan langkah-langkah yang lebih kongkret dalam bentuk yang ia sebut “rekomendasi� yang terdiri dari 5 poin: Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


26

Hamid Fahmy Zarkasyi

a) Hancurkan monopoli fundamentalis dan tradisionalis dalam mendefinisikan, menjelaskan dan menafsirkan Islam. b) Tunjuk cendekiawan modernis yang tepat untuk membuat website yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku harian dan menawarkan pandangan hukum Islam kaum modernis. c) Dukung cendekiawan modernis untuk menulis buku-buku teks dan mengembangkan kurikulum. d) Terbitkan buku-buku pengantar dengan disubsidi agar dapat diperoleh seperti karya-karya penulis fundamentalis. e) Manfaatkan media regional yang popular, seperti radio, untuk memperkenalkan pemikiran dan praktik Muslim modernis untuk membuka pandangan internasional tentang apa itu Islam dan dapat berarti apa

Penutup Masalah pemikiran adalah masalah yang berkaitan dengan ilmu, dan masalah ilmu berkaitan dengan ibadah. Jika terjadi kerancuan pemikiran maka upaya atau meng-islah permikiran tersebut adalah termasuk dalam bab ibadah. Kerancuan pemikiran yang disebabkan oleh masuknya anasir peradaban di luar Islam bukan terjadi pada masa sekarang saja, tapi sejak periode awal peradaban Islam bangkit dan berkembang. Dalam situasi perang pemikiran seperti ini Islam sebagai agama yang s}a>lih} likulli zama>n wa maka>n telah memiliki mekanisme tersendiri untuk merespon. Namun perlu diingat bahwa perang pemikiran memerlukan rentang waktu yang lebih lama, ia bahkan boleh jadi berlangsung sepanjang satu generasi. Maka dari itu dalam perang pemikiran yang dipicu oleh globalisasi dan westernisasi ini umat Islam tidak perlu membawanya kepada peperangan fisik. Akhirul kalam, perlu disadari bahwa pemikiran mempunyai peran penting dalam pembangunan peradaban Islam, sebab dalam Islam pemikiran selalu mendahului perilaku individu, ilmu selalu mendahului amal. Rusaknya amal disebabkan oleh rusaknya ilmu. Ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong (al-Ghazzali). Amal tanpa ilmu lebih cenderung merusak daripada memperbaiki. Oleh sebab itu dalam menghadapi perang pemikiran prioritas utama perlu diberikan kepada peningkatan ilmu pengetahuJurnal TSAQAFAH


Liberalisasi Pemikiran Islam

27

an dalam berbagai bidang ilmu agama. Tradisi keilmuan yang dikembangkan dari pandangan hidup Islam yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah, dan warisan tradisi intelektual Islam perlu terus dipertahankan dan dikembangkan.[] Wallahul musta’an.

Daftar Pustaka Afaf, al-Mustasyriqu>n wa Mushkila>t al-Had}a>rah, (Cairo: Dar al-NahÌah al-‘Arabiyyah, 1980). Ahmed, Akbar S, Postmodernisme, Bahaya dan Harapan Bagi Islam (terj. M.Sirozi), (Bandung: Mizan, 1994). Armas, Adnin, Metodologi Orientalis dalam Studi al-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani Press, 2004). Blackburn, Simon, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford: Oxford University Press, 1996). Brinkley, Alan.Liberalism and Its Discontents. (Harvard Univ. Pr., 1998) Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip, (Blackwell Publishing, 1995). Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man, (New York: Avon Book, 1992). Gharisah, Ali, Wajah Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1989). Gier, Nicholas F., “Religious Liberalism and The Founding Fathers”, dalam Peter Caws, ed. Two Centuries of Philosophy in America, (Oxford: Basil Blackwell Publishers, 1980) Gray, John.The Two Faces of Liberalism, (New Pr., 2000) Huntington, Samuel P., If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html Jameela, Maryam, Islam dan Orientalisme, (Jakarta: 1994) Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” The New Criterion Vol. 17, No. 5, January 1999.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


28

Hamid Fahmy Zarkasyi

Kloppenberg, James T.The Virtues of Liberalism, (Oxford, 1998). Kukathas, Chandran, The Many and the One: Pluralism in the Modern World, Richard Madsen and Tracy B. Strong, editors, (2003). Latouche, Serge, The Westernizationi of the World, The Significance, Scope and Limits of the Drive towards Global Uniformity, (Cambridge: Polity Press, 1996). Said, Edward, Orientalism, (New York: Vintage, 1979). Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985). The New Encyclopedia of Britanica, University of Chocago, 1991, vol. 11, p. 693 Tibawi, “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism�, dalam The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2. Watt, M., Muhammad at Mecca, (Edinbrugh: Edinburgh University Press, 1960)

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam Nirwan Syafrin ISTAC-IIUM Kuala Lumpur Malaysia Email: nirwan_syafrin@yahoo.com

Abstract The movement of liberalism in Islamic world at the time being has made the Islamic syari’ah as the object of criticism which must be banned because it considered as the problem of history. Strangely, they always proud on what they have done as interpretation and renovation. In Indonesia liberalism movement factually not without the chesing scenario of politics and world intellects. It is really difficult to avoid the influence of America and its campaign against terrorism in this movement. They try to raise a positive image then what has been presented by the groups of radicalism, fundamentalism, and conservatism, they seem like to change this image, but finally they changed their own image which tend to be more Westernised than the West itself. At least there are three categories, the argumentation of the liberalist against the enforcement of Islamic syariat, that is: historical argumentation, with consideration on Shariah purposes and human right. This article elaborates the position of liberalism view in contemporary Islamic thought, retrieves the process of liberalism in the view of Syari’ah modernisation and criticism toward argumentations of liberalists. Keywords: liberalisme, maqa>s}id al-syari>’at, nasakh, fiqh, hermeneutik

Pendahuluan

K

ehadiran gagasan liberalisasi Islam, yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘Islam liberal,’ dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena banyaknya ide dan gagasan yang mereka usung sangat bertentangan dengan prinsipVol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


52

Nirwan Syafrin

prinsip dasar aqidah dan syariat Islam. Di antara ide yang paling menonjol adalah seperti mempertanyakan kesucian dan otentisitas al-Qur’an;1 mengkritik otoritas nabi beserta hadith-hadith sahih-nya, menghujat serta mendiskreditkan sahabat-sahabat nabi dan para ulama. Umumnya pendukung liberal ini menolak penerapan syari’at Islam secara formal oleh negara. Untuk tujuan ini mereka mencoba mereka-reka berbagai alasan. Ada alasan budaya, HAM, tidak prinsip, dan lain-lain. Inilah beberapa masalah keislaman yang belakangan ini mencuat dalam wacana pemikiran Islam di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya yang sempat menimbulkan keresahan bahkan perpecahan di kalangan umat Islam. Artikel ini mencoba untuk mengeksplorasi dan sekaligus mengkritisi beberapa pandangan pemikiran liberal tentang sejumlah isu yang terkait dengan syariat Islam. Namun sebelum membahas topik tersebut, penulis akan menjelaskan makna liberal dan isu-isu yang terkait dengannya.

Wacana Liberalisme dalam Pemikiran Islam Kontemporer Trend pemikiran Islam liberal merupakan fenomena global yang belakangan ini mulai menggejala di hampir seluruh belahan dunia Islam. Ia menyebar dan menjalar ke setiap lini kehidupan masyarakat Muslim pada khusunya seiring dengan derasnya ekspansi neo-imperialisme Barat yang dibuat atas nama globalisasi dan perang melawan terorisme. Di Indonesia trend ini selalu 1 Ide ini banyak disuarakan oleh Mohammad Arkoun, pemikir asal al-Jazair yang sudah puluhan tahun menetap di Perancis dan menjadi Professor di Sarbone University dalam bidang kajian keIslaman. Idenya ini dapat dibaca dalam beberapa karyanya seperti, Mohammad Arkoun, Al-Fikr al-Isla>mi: Qira>’ah ‘Ilmiyyah (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz alThaqafi al-‘Arabi, 1996); idem, Al-Qur’an min al-Tafsir al-Mawru>ts ila> tahlil al-Khit}a>b al-Dini, terj. Hashim Saleh (Beirut: Dar al-Tali’ah li al-Tiba’ah wa al-Nasr); idem, Ta>rikhiyyah al-Fikr alIslami, terj. Hashim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al‘Arabi,1996). Ringkasan ide-ide Arkoun tentang al-Qur’an ini dapat dibaca di Ahmad Idris alTa’an al-Hajj, “Intihak Qadasah al-Qur’an fi al-Khitab al-‘Ilmani,” Al-Muslim al-Mu’a>si} r, no. 115, 2005, p. 103 -123; Nu’man ‘Abd al-Razzaq al-Samarra’i, Al-Fikr al-‘Arabi wa al-Fikr al-Ishtishra>qi bayn Dr. Muhammad Arkoun wa Dr. Edward Sa’id (Riyad: Dar Tabari li al-Nashr wa al-Tawzi’), p. 57-66. Dan studi kritis atas idenya bisa dilihat pada, Abdul Kabir Hussain Solihu, Historicist Approach to the Qur’an: Impact of Nineteenth-century Western Hermeneutis in the Writings of Two Muslim Scholars: Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun (Kuala Lumpur, Disertasi Doktoral di International Islamic University Malaysia (IIUM), 2003), dan Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), p. 63-69.

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

53

diidentikkan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), meskipun tidak seluruh orang-orang yang berpikiran liberal yang ada di Indonesia tergabung secara formal dalam Jaringan ini. Trend ini menyebar di berbagai institusi perguruan tinggi, organisasi keagamaan, dan juga LSM. Bila diteliti dengan cermat, hampir seluruh gerakan liberal di dunia Islam termasuk di Indonesia lahir sebagai respon ideologis terhadap berbagai persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang sedang melanda masyarakatnya. Kelompok ini berusaha ingin membuat terobosan baru untuk membangkitkan kembali masyarakat mereka yang telah jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Barat. Dan, terobosan itu, kata mereka, hendaklah dimulai dari Agama. Karena Agama (Islam) selama ini menjadi penghalang kemajuan dan akselerasi pembangunan di tengah-tengah masyarakat Arab dan Muslim. Keyakinan inilah yang dapat direkam dari seorang pemikir Arab abad dua puluh yang lalu, Muhammad Nuwayhi. 2 Dalam artikelnya dia menyatakan, “kalau kita betul serius ingin berusaha mencapai “Revolusi Budaya Arab Komprehensif”, maka kita harus memulainya untuk berhadapan dengan fakta, bahwa penghalang pertama perjalanan ini adalah Agama. Pernyataan yang sama juga terdengar dari budayawan Lebanon, Adonis. Tokoh ini begitu “jengkel” dengan peran yang dimainkan Agama (Islam) dalam membentuk kebudayaan Arab. Karena menurutnya Agama inilah yang telah mendorong masyarakat Arab menjadi statis, tidak dinamis dan kreatif; hanya bergantung pada hal-hal yang absolut, fixed dan permanen.3 Baik Adonis maupun Nuwayhi sepertinya lupa atau sengaja melupakan bahwa sesungguhnya kemajuan dan kegemilangan yang pernah digapai dan diraih Peradaban Islam selama sekian abad tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Agama Islam. Di Indonesia kemunculan gerakan liberalisasi ini juga tak terlepas dari persoalan multi dimensi yang sedang melilit masyarakat 2 Muhammad Nuwayhi “A Revolution in Religious Thought,” in John J. Donohue and John L. Esposito (eds.), Islam in Transition: Muslim Perspectives (New York and Oxford: Oxford University Press, 1982), p. 106. 3 Monah A. Khouri, “Criticism and the Heritage: Adonis as Advocate of a New Arab Culture,” dalam George N. Atiyeh dan Ibrahim M. Oweiss (ed.), Arab Civilization: Challenges and Responses, studies in honous of Constantine K. Zurayk (New York: State University of New York, 1988), p. 183-207.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


54

Nirwan Syafrin

Indonesia hari ini. Dan secara khusus kelompok ini telah menempatkan dirinya sebagai respon dan reaksi terhadap fenomena baru yang mereka beri label sebagai ‘radikalisme dan fundamentalisme Islam’ yang mulai marak seiring dengan jatuhnya rezim pemerintahan Orde Baru. Yang mereka maksudkan dengan kelompok terakhir ini adalah mereka yang secara getol berusaha untuk menerapkan syari’at Islam sebagai hukum positif dalam sistem pemerintahan Indonesia. Ada yang melihat gerakan liberal ini tak lain hanya merupakan kelanjutan dari usaha ‘pembaruan’ yang pernah digagas Nucholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Harun Nasution dan lain-lain.4 Tapi bukan tidak mungkin gerakan liberal ini juga sebuah ungkapan ketidakberdayaan para pendukungnya dalam berhadapan dengan fenomena global yang saat ini didominasi dan dihegemoni oleh peradaban Barat. Mereka merasa begitu rendah diri sekali (inferior) serta sangat silau dengan kemajuan yang diraih Barat sehingga timbul keyakinan bahwa bila umat Islam ingin maju maka mereka harus mengikuti setiap jejak langkah Barat. Umat Islam harus mengadopsi demokrasi, kebebasan agama dan berpendapat, persamaan kedudukan laki-laki dan wanita, pemisahan agama dari ruang publik, dan lain sebagainya. Karena hanya dengan begitu, mereka yakin, masyarakat Islam akan terlepas dari keterpurukan yang sedang mereka alami. Tidak dapat dinafikan bahwa dunia Islam saat ini memang sedang dalam krisis yang sangat dalam. Ungkapan Isma‘il Faruqi mungkin sangat tepat menggambarkan keberadaan umat Islam hari ini: The world-ummah of Islam stands presently at the lowest rung of the ladder of nations. In this century, no other nation has been subjected to comparable defeat or humiliation. 5 Dalam kolom khusus di harian al-Ahram,6 Ridwan al-Sayyid, pemikir Islam asal Lubnan, sempat dikutip seperti berikut. Dia mengatakan: “the Middle East region seems to me to be the only place in the world which has witnessed the return of colonialism in its oldest ruthless form- direct military intervention.” Dia lantas memperkuat 4 Untuk keterangan lanjut tentang proses lahir dan berkembangnya Jaringan ini bisa dibaca pada Muhamad Ali, “The Rise of the Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary Indonesia,” American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 22, no. 1, 2005, p. 1-27. 5 Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (Virginia, Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1982), p. 1. 6 4-10 November, no. 715

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

55

pendapatnya ini dengan menunjukkan fakta lapangan kehadiran militer asing pada lebih kurang tujuh atau delapan negara Arab baik dalam bentuk kamp militer atau konsesi teritori. Keadaan dunia Islam sangat memilukan hari ini. Oleh sebab itu jika pada batasbatas tertentu dunia Islam memang sangat perlu sekali untuk mengkaji ulang kembali beberapa kebijakan mereka terkait isu-isu kebebasan berpendapat, hak wanita, kebebasan dan lain sejenisnya. Tetapi melakukan penjiplakan membabi buta atas konsep Barat untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa kritis bukanlah langkah yang bijak. Fazlur Rahman sendiri, yang idenya banyak diserap dan dijadikan rujukan kelompok liberal di Indonesia, menyadari bahwa sikap penjiplakan inilah sesungguhnya yang menjadi salah satu titik kelemahan gerakan modernis Muslim sehingga mereka gagal untuk membawa masyarakat pada cita-cita yang mereka inginkan. Kata Rahman: the ad hoc issues the Modernists chose were, in the nature of case, those that had become issues in and for the West. Although the Modernists were sincere both in adopting them, their ad hoc character left strong impression that the Modernists were both Westernized and Westernizers.”7

Sayangnya Rahman sendiripun terjebak dalam kelemahan ini. Dalam beberapa karyanya, dia juga turut terlibat aktif dalam mengangkat isu yang menjadi concern masyarakat Barat. Perlu dicatat bahwa gerakan liberalisme Islam di Indonesia yang berkembang belakangan ini sebenarnya tidak lepas dari skenario percaturan politik dan intelektual dunia. Sulit untuk menafikan kuatnya dampak kebijakan Amerika dalam kampanyenya melawan terorisme atas gerakan ini. Para pendukungnya mencoba ingin memberikan citra yang sedikit positif tentang Islam ketimbang apa yang dipersembahkan oleh kelompok yang mereka sebut “radikal, fundamentalis, dan konservatif”. Alih-alih ingin merubah citra tersebut, akhirnya mereka telah merubah citra mereka sendiri yang terkadang lebih Barat dari Barat. Seperti orientalis yang “mengobokobok” ajaran Islam, kelompok Muslim liberal ini mengikut gerak yang sama, dan menari dengan nada yang dimainkan oleh para orientalis. Mereka meyerang al-Qur’an sebagai produk rekayasa

7

Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford T. Welch dan Pierre Chachia (eds.), Islam: Past Influence and Present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), p. 324.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


56

Nirwan Syafrin

politik kaum Quraysh, menuduh hukum-hukum yang terkandung di dalamnya sangat tidak humanis dan seterusnya.

Liberalisasi atau Pembaruan Syari’ah? Gerakan Liberalisasi yang berkembang di dunia Islam saat ini telah menjadikan syariat Islam sebagai objek kritik yang perlu dihabisi karena dianggap sebagai beban sejarah yang menghalang perkembangan dan pembangunan masyarakat yang menganutnya. Anehnya mereka selalu mendabik dada bahwa apa yang mereka lakukan tersebut adalah bagian dari ijtiha>d dan tajdi>d.8 Benarkah demikian, tentu perlu dikaji lebih mendalam. Wacana pembaruan atau sering disebut dengan tajd>id, is}la>h}, atau ih}ya>’ (renewal, reform) bukanlah barang baru dalam Islam; ia merupakan built-in-system dalam dunia intelektual Islam. Rasullullah sendiri sudah mewanti-wanti kemungkinan terjadinya pembaruan ini dalam sabdanya: “sesungguhnya Allah akan mengutus pada tiap pangkal abad seorang mujaddid yang akan memperbaharui agamaNya”. Menurut data yang diberikan Ibn Athir dan Suyuti, program pembaruan sudah berjalan sejak awal abad pertama hijriyah. Ini terbukti dengan tersenarainya ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz dan Imam Syafi‘i sebagai pembaharu abad pertama dan kedua.9 Hanya saja persoalan pembaruan menjadi kritis ketika dunia Islam memasuki abad ke-18 di mana ketika itu kebanyakan dunia Islam mulai jatuh satu persatu ke tangan imperialisme Barat sehingga mencapai titik kulminasinya tahun 1798 di saat Napoleon dengan kekuatan militernya menaklukkan Mesir, yang saat itu masih menjadi bagian dari kerajaan Uthmaniyyah di Turki. Kehadiran Barat dengan segala perangkat modernitasnya telah menimbulkan berbagai persoalan bagi dunia Islam. Para pemimpin dan pemikir Muslim ketika itu mulai bertanya: kenapa bangsa Arab yang dulunya menguasai peradaban dunia ini kalah tertunduk di hadapan bangsa Barat? Sebuah pertanyaan yang kemudian diformulasikan Sakib Arsalan menjadi judul bukunya limaa>dha> ta’akhkhara al-muslimu>n 8

Lihat misalnya karya Mohammad Arkoun, Min al-Ijtiha>d ila> Naqd al-‘Aql al-Isla>mi, terj. Hashim Saleh (London: Dar al-Saqi,19910; idem, al-Fikr al-Isla>mi: naqd wa ijtiha>d (London: Dar al-Saqi, 1998). 9 Bustami Muhammad Sa’id, Mafhu>m Tajdi>d al-Di>n (Kuwait: Dar al-Da’wah, 1984), p. 40, 41, dan 43.

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

57

wa taqaddama ghayruhum? Bisakah umat Islam sukses seperti Barat? Apakah Islam dapat hidup berdampingan dengan nilai-nilai modern sekular Barat? Awal abad kedelapan belas beberapa tokoh reformis Muslim mulai tampil untuk menjawab persoalan ini dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (m. 1792) terhitung sebagai tokoh yang paling awal mencanangkan pembaruan Islam dalam sejarah modern Islam. 10 gerak langkahnya kemudian diikuti oleh beberapa tokoh Islam di berbagai belahan dunia lain seperti di Indonesia oleh kaum Paderi dan di Sudan oleh kelompok Mahdi. Gerakan ini berlanjut terus seiring dengan semakin kuatnya dominasi Barat atas beberapa bagian dunia Islam. Bermula dia Syria, gerakan apa yang disebut dengan Nahd}ah ini berkembang dan mendapat momentumnya di Mesir. Lahirlah tokoh-tokoh seperti Rifa’ah Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rashid Ridha di Mesir, dan lain-lain. Usaha yang dirintis oleh para tokoh reformis tersebut ternyata belum menemukan titik terangnya. Hingga pertengahan abad kedua puluh yang lalu, ketika hampir kebanyakan dunia Islam secara politis terlepas dari cengkeraman penjejah, dunia Arab periode ini memasuki periode Revolusi (‘as}r al-tsawrah) menggantikan periode sebelumnya yang dikenal dengan ‘as}r al-nahd}ah. Di bawah pimpinan Gamal ‘Abd al-Nasser, gerakan ini tampaknya mendapat sambutan hebat. Ada dua ideologi besar yang berkembang saat itu, yaitu: nasionalisme dan sosialisme. Akan tetapi kedua ideologi itu akhirnya mendapat pukulan telak menyusul terjadinya perang enam hari melawan Israel tahun 1967 yang menyaksikan kekalahan negara Arab di negara kecil yang baru berdiri itu. Persoalan yang pernah mengemuka pada awal abad sembilan belas di atas kembali menggema hingga hari ini. Tapi kali ini pertanyaan itu tampaknya lebih serius mengingat kekalahan ini terjadi setelah dunia Arab secara besar-besaran melakukan modernisasi dalam pelbagai hal: militer, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Oleh sebab itulah maka Issa J. Boullata menyebut peristiwa ini ujian pahit bagi modernisasi bangsa Arab (it is the acid test of Arab modernization).11 10 Tapi bagi Fazlur Rahman tokoh reformis Muslim abad modern adalah Ahmad Sirhindi (m. 1625). Lihat Fazlur Rahman, “Revival and Reform”, dalam P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 2: 673. 11 Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought (Albany: State University of New York, 1990), p. 1.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


58

Nirwan Syafrin

Kekalahan ini telah memberi angin segar bagi kelompok Islam yang menilai pemerintahan berideologi sekuler telah gagal bukan saja untuk memperbaiki tarap hidup rakyatnya tapi juga gagal mempertahankan wilayah kekuasaannya. Sejak itulah gema kebangkitan Islam menyapa persada dunia Arab dan lambat laun hampir seluruh dunia Islam. Mereka menuntut agar syariat Islam diterapkan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan problema yang sedang mereka hadapi. Karena didukung oleh massa yang banyak, gerakan ini pada tahap tertentu berhasil juga mempengaruhi banyak kebijakan pemerintah Arab. Ibrahim Abu Rabi’ menulis: “One can convingcingly argue that 1967 paved the way for various Islamic movements and ideologues to reformulate an alternative to the crisis of the nation/state and the social and political vacuum from the defeat,” 12 Ide penerapan syariat ini bagaimanapun tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari semua kalangan Muslim. Beberapa sarjana dan cendikiawan Muslim sebaliknya mengecam dan mencemoohkan kelompok yang memperjuangkan ide ini, seperti yang dilakukan Faraj Fawdah. Fawdah memang bukan cendikiawan yang berlatar belakang pendidikan syariat. Bidang studi garapannya adalah Teknik Pertanian (agricultural engineering), tapi dia sangat keras menentang gerakan Islam dan mereka yang menginginkan penerapan syariat Islam. Dia selalu menantang kelompok ini untuk berdebat dan perdebatannya yang terakhir adalah pada Pameran Buku Kairo 1992 dengan Muhammad al-Ghazali. Dalam perdebatan tersebut dia menyatakan: “saya menolak penerapan Syariat Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau secara bertahap... karena saya melihat dalam penerapan Syari’at Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara agama)... barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sendirinya dapat menerima aplikasi Syari’ah Islam... dan barangsiapa menolaknya maka dia menolak penerapan Syari’at Islam.”13 Ringkasnya Fawdah mendukung sekularisme dan menolak campur tangan agama dalam urusan pemerintahan. Di Mesir ide seperti ini tentunya tidak baru, ia pernah dilontarkan ‘Ali ‘Abd al-Raziq dalam bukunya al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm. Fawdah kerap memperolok-olokan kelompok Islam yang ingin membentuk negara Islam. Menurutnya tidak ada satu pun negara 12 Ibrahim Abu Rabi’, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Arab World (Albany: State University of New York Press, 1966), p. 262. 13 Ahmad Jawdah, H}iwa>ra>t H}awla al-Syari’ah (Kairo: Sina li al-Nashr, 1990), p. 14.

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

59

Islam ideal yang dapat dijadikan contoh. Dia sering menuduh kaum Muslim itu terlalu mengagungkan sejarah masa silam. Padahal ungkapnya sejarah masa silam Islam tidaklah seindah yang mereka sangkakan; ia sesungguhnya penuh dengan noda dan dosa. Sejarah Islam adalah sejarah tragis umat manusia yang dibayangi perkelahian dan pertumpahan darah, tandas Fawdah. Untuk memperkuat argumentasinya dia kemudian merujuk pada kasus kematian tiga al-khulafa>’ al-ra>shidu>n yang meninggal akibat pembunuhan. Dengan cara ini, sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa penerapan syariat Islam belum tentu dapat menjamin seluruh persoalan umat dapat selesasi. Banyak peristiwa tragis dan memalukan di masa lalu berlaku bahkan ketika syariat Islam masih diterapkan. Misalnya skandal politik para sahabat ternama seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Talhah ibn ‘Ubaidillah, dan ‘Abdurrahman bin ‘Awf. Ia bahkan menuduh Ibn ‘Abbas terlibat korupsi.14 Selain Fawdah, Muhammad Sa’id ‘Ashmawi juga terhitung sebagai cendikiawan Muslim Mesir yang keras menentang penerapan syariat. Menurut As’ad Abukhalil, Fawdah sendiri sebenarnya banyak terinspirasi oleh tokoh ini. 15 Berbeda dengan Fawdah, ‘Ashmawi memang memiliki kepakaran dalam bidang hukum. ‘Ashmawi kerap mengkritik gerakan Islam sehingga menyebabkannya beberapa kali mendapat ancaman bunuh. Dia sempat mencetuskan polemik dengan al-Azhar karena mengkritik legalitas yang diberikan kepada institusi ini untuk menyensor musik, film dan video. Kritiknya ini telah menimbulkan kemarahan ulama al-Azhar sehingga sempat melarang peredaran beberapa bukunya. Pelarangan itu ditarik kembali setelah intervensi Presiden Mesir Husni Mubarak.16 Dalam karyanya ‘Ashmawi selalu membedakan dua tipe Islam. Pertama apa yang disebutnya dengan “political Islam” dan yang 14 Issa J. Boullata, Trends and Issues, p. 157-159; Ibrahim Abu Rabi’, Intellectual Origins, p. 256-257; As’ad Abukhalil, “Against the Taboos of Islam: Anti-Conformist Tendencies in Contemporary Arab/Islamic Thought”, dalam Charles E. Butterworth dan I William Zartman (eds.), Between the State and Islam (Cambridge: Woodrow Wilson Center Press and Cambridge University Press, 2001), p. 117 – 120. 15 Lihat catatan kaki no. 31 dari tulisan As’ad Abukhalil, “Against the Taboos of Islam”, p. 123. 16 William E. Shepard, “Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi and The Application of the Shari’a in Eypt”, dalam International Journal of Middle East Studies, vol. 28, no. 1, February 1996, p. 42-43.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


60

Nirwan Syafrin

kedua “enlightened Islam” (Islam yang tercerahkan). Dia memasukkan gerakan Islam pada kelompok pertama. Karena tuntutan penerapan syariat (tat}bi>q al-shari’ah) atau enakmen syari’at (taqni>n al-shari’ah) tidak lebih dari hanya slogan politik semata yang bertujuan meraih dukungan politik.17 Dia berpendapat bahwa tidak satu pun perkataan syariat dalam al-Qur’an yang berkonotasi hukum (qa>nu>n ataupun tashri>’) yang menjadi tanggung jawab umat untuk melaksanakannya. Hanya ada satu ayat yang menyebut perkataan syariah surah 45: 18, itupun tidak berarti hukum tetapi ‘jalan’ (t}ari>q, sabi>l, atau manhaj), jelas ‘Ashmawi. Jadi syariat Islam berarti Jalan Islam atau Jalan Allah. Karena itu, dia menyimpulkan, isu penerapan syariat Islam tak lain hanya rekaan manusia semata. ‘Ashmawi menerangkan bahwa pada awalnya perkataan syariat bermaksud aturan-aturan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah berkenaan ibadah dan masyarakat. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya perkataan ini melebar sehingga mencakup ijtihadnya para ulama. Padahal yang terakhir ini lebih tepat disebut fiqh bukan syari’at. Mereka yang menuntut penerapan syari’ah, katanya, sesungguhnya bukan menuntut pengaplikasian Islam secara utuh tapi menuntut penerapan ijtihad-ijtihad ‘ulama seperti yang tercantum dalam kitab fiqh klasik.18 Perbedaan antara syariat dengan fiqh bukanlah barang baru dalam wacana pemikiran Islam. Para ulama sejak dulu sudah membahas persoalan ini dengan sangat detail. Memang perkataan syariat telah mengalami penyempitan. Semula ia mencakup seluruh aspek Islam: hukum, ‘aqidah dan juga akhlaq tapi kemudian menyempit dan identik dengan Islam. Kata Ibn Athir, Syariat adalah ketentuan agama yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya. 19 Artinya syariat adalah Islam itu sendiri. Sebagaimana syariat, istilah fiqh juga mengalami perkembangan yang sama. Pada awal perkembangan pemikiran Islam, kata fiqh mencakup seluruh keilmuan Islam. Imam Abu Hanifah misalnya menggunakan istilah fiqh untuk bukunya yang membahas tentang persoalan aqidah (us}u>l al-di>n) dengan menamakan bukunya al-Fiqh al-Akbar. Akan tetapi istilah ini kemudian menyempit dan akhirnya hanya terbatas pada masalah17

Ibid., p. 43. Ibid., 43 dan 44; As’ad Abukhlail, “Against the Taboo of Islam”, p. 125-126. 19 Dikutip dari Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqa>s}id al-‘A<mmah li Shari>’ah al-Isla>miyyah (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1991), p. 20. 18

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

61

masalah hukum seperti yang terlihat dari definisi yang diberikan para ulama bahwa fiqh adalah “pengetahuan tentang hukum-hukum praktis berkenaan dengan syara’ beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia”20 Lantas apa hubungan syariat dengan fiqh? Apakah keduanya sama sekali tidak berhubungan? Apakah fiqh tidak memiliki nilai syariat? Banyak kalangan pemikir Muslim hari ini melihat fiqh seolah-olah sebagai produk pemikiran semata, hasil kontemplasi tidak ada hubungannya dengan syari’ah. Maksudnya jika seseorang ulama mujtahid mengatakan bahwa hukum A atau B haram atau halal, maka hukum tersebut adalah hasil ijtihadnya, atau dengan kata lain buah pikirannya. Pendapat ini mengisyaratkan seolah-olah fiqh tidak memiliki nilai syari’at. Maka oleh sebab itu ia tidak mengikat. Siapapun boleh mengikuti atau meninggalkannya. Pendapat ini memiliki dampak yang sangat besar dalam kita mengkonsepsikan Agama. Andaikan pendapat ini dipertahankan, sama artinya kita mengatakan bahwa agama ini adalah hasil rekayasa manusia. Ini karena kebanyakan sendi-sendi ibadah yang kita lakukan hari ini tak lepas dari ijtihadnya Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Sebagai contoh, dalam mazhab Syafi’i niat shalat atau wudlu adalah merupakan rukun ibadah ini. Demikian juga mazhab Syafi’i mengatakan bahwa bismillah adalah bagian dari al-fa>tih}ah dan oleh sebab itu ia wajib dibaca. Kedua pendapat ini adalah ijtihad para ulama syafi’iyah. Lantas apakah orang yang berpegang dengan pendapat ini, ia dikatakan berpegang pada pendapat Syafi’i, bukan berpegang pada perintah Allah? Kalaulah pendapat yang terakhir ini kita pegangi, sama artinya kita mengatakan bahwa Syafi’i telah mereka-reka ibadah salat. Dalam konteks ini menarik untuk menyimak ungkapan Imam al-Ghazali dalam al-Mustasfa menyatakan: Adapun nabi, sultan, tuan (kepada hamba sahaya), ayah, suami, apabila mereka memerintahkan dan mewajibkan (sesuatu), ia tidak menjadi wajib disebabkan oleh mereka mewajibkannya, akan tetapi karena Allah mewajibkan untuk menta’ati (mematuhi) mereka. Karena kalau demikian (kewajiban itu disebabkan perintah mereka), niscaya setiap orang akan mewajibkan sesuau terhadap orang lain. Dan orang yang diperintahkan tersebut juga berhak untuk menuntut hal yang

20

‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968), p. 22.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


62

Nirwan Syafrin

sama dari orang yang memberikan perintah tadi, karena dasarnya tidak diantara keduanya yang lebih utama dari yang lain. Oleh sebab itu, kewajiban itu adalah menta’ati Allah, dan juga menta’ati orang yang diwajibkan Allah untuk menta’atinya. 21

Memang fiqh merupakan hasil ijtihad para ‘ulama, oleh sebab itu ia terkadang berubah sesuai dengan dalil dan juga kondisi nyata yang berlaku ditengah masyarakat. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa fiqh merupakan produk pikiran manusia semata atau hasil rekayasa para fuqaha’. Karena fiqh seperti dikatakan al-Asmandi adalah “al-ah}ka>m al-mustafa>dah bi al-syara’ la al-ah}ka>m al-mudrikah bi al-‘aql” (hukum-hukum yang diambil dari syara’ bukan yang diperoleh melalu akal).22 Dalam mendefinsikan fiqh, para ‘ulama lazimnya menggunakan dua perkataan berikut: “istinba>t al-ah}ka>m” atau “ma’rifah al-ah}ka>m”. 23 Kedua perkataan ini mengisyaratkan bahwa tugas para fuqaha hanyalah menderivasi atau mengetahui hukum saja. Artinya para fuqaha tersebut berusaha dengan sedaya upaya mereka untuk mengetahui ataupun menderivasi hukum yang pada prinsipnya sudah ada dalam teks-teks aslinya. Akan tetapi hukum tersebut tidak dapat ditangkap dengan mudah oleh kebanyakan orang. Makanya ia disebut fiqh yang oleh Abu Muzaffar al-Sam’ani dikatakan “istinba> t } h} u km al-musykil min al-wa> d } i h” (mengeluarkan hukum yang rumit dari sesuatu yang jelas).24 Oleh sebab itulah makanya para ‘ulama berbeda pendapat perihal hukum-hukum yang secara gamblang dapat ditangkap seperti ibadah salat, puasa, haji, hukum qisas, hudud, dan lain sebagainya yang dalam dalam Ilmu Usul Fiqh disebut dengan al-qat}’iyya>t atau al-ma’lu>m min al-d}i>n bi al-d}aru>rah. Para ‘ulama berbeda pendapat; 21 Al-Ghazali, Al-Mustasfa, di edit oleh Hamzah Zuhayr Hafidh, 1, p. 273, 276. Dikutip dari Yusuf al-Qardawi, al-Siya>sah al-Syar’iyyah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), p. 18. 22 Muhammad bin ‘Abd al-Hamid al-Asmandi, Badhl al-Naz}ar fi al-Us}ul> , ed. Muhammad Zaki ‘Abd al-Barr (Al-Qahirah: maktabah Dar al-Turath, 1992), p. 6. 23 Para ulama berbeda pendapat tentang ketepatan penggunaan perkataan ‘ilm dalam definisi ini. Sebagian menolaknya dengan alasan bahwa perkataan ‘ilm berkonotasi ‘pasti dan yakin (al-qaÏ‘)’, padahal kebanyakan hukum fiqh bersifat zann. Oleh sebab itu Abu Ishaq al-Syirazi mengusulkan menggunakan perkataan ma‘rifah al-ah}ka>m. Abu Ishaq Ibrahim alSyirazi (w. 393), Syarh al-Luma’, diedit oleh ‘Abdul Majid al-Turki (Bayrut: Dar al-Gharb alIslami, 1989) 1, p. 158-9. Seperti Syirazi, Sadr al-Shari‘ah (w. 747) juga berpendapat sama. Menurutnya fiqh adalah “ma‘rifah al-nafs ma> lahu wa ma> ‘alayh”. Al-Talqi>h Syarh al-Tanqi>h, diedit oleh Najm al-Din Muhammad al-Warkani (Bayrut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2001), p. 26. 24 Abu Muzaffar al-Sam’ani (426-489), Qawa>t}i’ al-Adillah fi al-Us}u>l, ed. Muhammad Hasan Hitu (bayrut: Muassasah al-Risalah, 1996), p. 33.

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

63

ada yang mengatakan bahwa ini termasuk bagian fiqh, ada juga yang mengatakan sebaliknya.25 ‘Umar Sulayman al-Ashqar menjelaskan bahwa fiqh adakalanya bisa menjadi syariat yaitu ketika ijtihad yang dilakukan ulama tersebut mengenai sasaran sesuai dengan ketetapan Allah. Tapi ada kalanya ijtihad juga salah, maka ketika itu fiqh tetap sebagai fiqh tidak berubah menjadi syariat.26 ‘Ashmawi selanjutnya menegaskan agar kita membedakan antara agama dan pemikiran keagamaan. Agama merupakan seperangkat prinsip yang disampaikan oleh nabi atau rasul, tapi pemikiran keagamaan adalah metode dalam memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut. Pemahaman atau penafsiran atas teks keagamaan adalah pemikiran keagamaan bukan agama. Sebagai pemikiran ia bisa saja sesuai dengan inti ajaran agama, tapi bisa juga tidak. 27 Pendapat ini sama dengan yang ditegaskan Nasr Hamid dalam karyanya Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni. Menurutnya salah satu kesalahan kelompok Islamis adalah mereka tidak bisa membedakan antara al-din dan al-fikr al-di>ni. Akibatnya mereka terjerumus pada pensucian pemikiran (taqdi>s al-afka>r).28 Terhadap pendapat kedua pemikir liberal ini, ada beberapa persoalan yang perlu dipertanyakan. Apakah kriteria yang dapat dijadikan ukuran untuk membedakan ‘agama’ dan ‘pemikiran keagamaan’? Hal ini perlu dipertanyakan karena kekeliruan memahami kedua hal tersebut dapat mengakibatkan problem yang sangat fatal lagi. Menganggap pemikiran keagamaan sebagai agama adalah salah, tapi demikian juga sama salahnya mereka yang menganggap agama sebagai pemikiran keagamaan. Kalau kelompok konservatif dituduh oleh orang liberal jatuh pada kesalahan pertama, kebanyakan orang liberal melakukan kesalahan kedua: mereka menyamaratakan agama dengan pemikiran keagamaan. Maka tak heran jika belakangan ini kita mendengar suara-suara dari kalangan liberal hari ini yang mereduksi ajaran Islam menjadi sekedar budaya

25

Untuk penjelasan lanjut dapat dibaca ‘Abid bin Muhammad Sufyan, al-Tsaba>t wa alSyumu>l fi al-Syari>’ah al-Isla>miyyah, p. 63-73. 26 Untuk keterangan lanjut tentang perbandingan fiqh dan syari’at lihat ‘Umar Sulayman al-Asyqar, Tari>kh al-Fiqh al-Isla>mi, p. 17-19. 27 Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi, Us}u>l al-Shari’ah (al-Qahirah: Sina, 1992), 28 sebagaimana yang dikutp oleh As’ad Abu Khalil, “Against the Taboo of Islam”, p. 125. 28 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Dini, cet. 3 (al-Qahirah: Madbuli, 1995), 67ff.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


64

Nirwan Syafrin

Arab. Pemakaian jilbab, hukum waris, hukum potong tangan bagi pencuri, qis}a>s}, rajam dan lain sebagainya dianggap budaya Arab, bukan hukum Islam. Karena dianggap budaya Arab, maka akhirnya hukum-hukum tersebut dianggap tidak lagi relevan. Lebih ekstrem lagi ada yang menilai shalat yang dilakukan dalam bahasa Arab pun sebagai bagian dari budaya Arab. Makanya salah seorang liberal Indonesia mengatakan bahwa “Andaikata dia (red. Nabi Muhammad saw) diutus di Tanah Jawa, sudah pasti dia akan shalat dengan bahasa Jawa. Jadi faktor bahasa hanyalah faktor budaya dan bukan bagian inti dari ibadah.”29 Lebih lanjut lagi, bagi Nasr Hamid sendiri sesungguhnya sudah tidak ada lagi apa yang disebut sebagai agama yang bersifat suci dan mutlak. Hatta al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ini pun tidak dianggapnya sebagai ‘Agama’ dalam arti turun langsung dari Allah. Ini karena dalam pandangan Nasr Hamid, al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang inipun produk “pemahaman manusia”, yaitu pemahaman Nabi Muhammad saw. Dia menyatakan bahwa apa yang disebut Suci itu hanya sebuah wujud metafisis yang tak dapat dijangkau manusia. Berikut petikan dari Nasr Hamid Abu Zayd: Wa min al-d}aru>ri> huna> an nu’akkida anna h}a>lah al-nas|s} al-muqaddas h}a>lah mitafiziqiyyah la> nadri ‘anha> shay’an illa ma> dhakarahu al-nas}s} ‘anha> wa nafhamuhu bi al-d}aru>rah min za>wiyah al-insa>n al-mutaghayyir al-nisbi. alnas}s} mundhu lah}z}ah nuzu>lihi al-u>la> –ayy, mundhu qira>’ah al-nabi lahu lahdha al-wahy – tah}awwal min kawnihi (nas}s}an ila>hiyyan) wa s}a>ra fahman (nas}s}an insa>niyyan), liannahu tah}awwal min al-tanz}il ila al-ta’wi>l.30

Artinya, Nasr Hamid Abu Zayd seolah-olah mengatakan bahwa al-Qur’an itu bukan Nas Allah lagi tapi sudah menjadi nas (teks)nya manusia karena ia telah bersentuhan dengan Rasul. Dari Sudan – tepatnya dari Amerika, karena Na’im sekarang berdomisili di Amerika Serikat — penentangan terhadap Syariat disuarakan oleh Abdullah Ahmad an-Na’im. Agak sedikit berbeda dengan kebanyakan pemikir lainnya, Na’im menafikan kesakralan (divine) syariat, karena ia bukan wahyu yang langsung datang dari Allah. Syari’at, katanya, adalah “the product of a process of interpretation of, analogical derivation from, the text of the Qur’an and Sunna 29

Lihat misalnya wawancara Dr. Djohan Effendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Inti dari Ibadah,” 16/05/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816. 30 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni, p. 126.

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

65

and other tradition.”31 Ia menamakan syari’at ini dengan historical shari’ah (syari’ah historis). Dengan mengutip pandangan John L. Esposito, Na’im menyatakan kekurang setujuannya atas perbedaan yang dibuat oleh Muslim modernis antara syariat dan fiqh, karena dalam prakteknya perbedaan ini kurang signifikan.32 Pandangan Na’im ini jelas bertentangan dengan mainstream pemikiran Islam seperti yang dijelaskan di atas, yang selama ini selalu membedakan antara syariat dengan fiqh. Penyamaan ini jelas dapat menimbulkan implikasi fatal dalam kehidupan beragama. Ia dapat menghilangkan nilai sakralitas syariat, karena dianggap bukan dari Allah, dan dengan demikian akan dapat menyebabkan rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan syariat, karena dinilai produk manusia. Na’im tampaknya tidak peduli dengan implikasi di atas. Dia malah menyerukan perubahan hukum Islam yang terkait dengan konstitusionalisme, hukum kriminal, hubungan internasional, dan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang sebagiannya telah diputuskan secara qat’iy dalam al-Qur’an. Alasan perubahan ini sangat sederhana: karena hukum-hukum itu dianggap bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia dan standar hukum international. Sebagai contoh, kasus perbudakan. Menurutnya meskipun perbudakan dikecam kebanyakan intelektual Muslim, secara teori Islam masih mengakui legalitas hukum ini. Pengakuan inilah yang dianggapnya melanggar prinsip fundamental dan universal Hak Asasi Manusia. 33 Na’im selanjutnya menyatakan “...some definite and generally agreed principles of Shari’a are in clear conflict with corresponding principles of international law,”34 Kedua hukum tersebut tidak mungkin dapat hidup berdampingan, jelas Na’im.35 Andaikan kaum Muslim tetap memaksakan untuk menerapkan syariat Islam tersebut, kata Na’im lagi, mereka akan mengalami kerugian karena tidak dapat mengecap manfaat sekularisasi (If historical shari’a is applied today, the population of Muslim countries would lose the most significant benefits of secularisation).36 31

Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1990), p. 11. 32 Ibid., p. 50 dan xiv 33 Ibid., p. 177. 34 Ibid., p. 151. 35 Ibid., p. 8. 36 Ibid.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


66

Nirwan Syafrin

Sepertinya Na’im memberikan propaganda buruk tentang syari’at Islam ke masyarakat dunia. Dia sepertinya sedang melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh para orientalis Barat yang menanam rasa kebencian pada Islam. Kecamannya persis dengan apa yang pernah diungkapkan Elizabeth Meyer dan Donna Arzt dalam tulisan mereka bahwa syari’at Islam bersifat diskriminatif terhadap non-Muslim, 37 memperlakukan ahl al-dhimmah sebagai masyarakat kelas dua serta menyekat hak mereka untuk berpartisipasi mengatur negara. 38 Jadi diam-diam Na’im telah memasukkan kerangka pemikiran Barat ke dalam alam bawah sadarnya. Bagi Na’im hanya ada satu cara agar syariat Islam tetap eksis dalam dunia modern ini yaitu dengan mereformasinya. Tapi ia menolak reformasi ini dilakukan dalam framework syariat yang ada. Sebab dalam framework ini, menurutnya, ijtihad tidak berlaku pada hukum yang sudah disentuh al-Qur’an secara definitif. Sementara hukum yang perlu direformasi itu adalah hukum-hukum yang masuk kategori ini seperti hukum h}u>dud dan qis}a>s}, status wanita dan non-Muslim, hukum waris dan seterusnya.39 Inilah dilematis yang dihadapi para pembaharu hukum Islam, kata Na’im. Di satu sisi mereka disuruh berijtihad, tapi pada sisi lain mereka dihalang oleh ketentuan usul fiqh klasik “la ijtiha>d fi> mawrid al-nas}s}.” Oleh sebab itu apa yang diperlukan bukanlah reformasi tapi dekonstruksi. Na’im sepertinya ingin mendobrak pintu reformasi dengan menempuh jalan seperti yang pernah dilalui umat Kristen. Untuk itu, ia lantas mengusulkan penggunaan metode hermeneutika untuk membaca tujuan serta kandungan normatif ayat-ayat al-Qur ’an sebagaimana orang Kristen telah menggunakannya untuk membaca Kitab Bibel mereka,40 tanpa menghiraukan perbedaan fundamental yang dimiliki kedua Kitab suci. Pada titik ini, ide Na’im sama saja dengan Muslim kontemporer lain seperti Fazlur Rahman, Hassan 37 Ann Elizabeth Meyer, Islam and Human Rights: Traditions and Politics (Boulder and San Francisco: Westview Press, 1991), p. 98; Donna Arzt, “The Treatment of Religious Dissidents under Islamic Law,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), Religious Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), p. 413-416. 38 Donna Azrt, Ibid., p. 412-414. 39 Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation, p. 49-50. 40 Abdullah Ahmad an-Na’im, “Islamic Foundations of Islamic Human Rights,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), Religious Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), p. 70.

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

67

Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zayd. Penggunaan hermeneutika Na’im telah menghasilkan sebuah pendekatan baru yang disebutnya dengan ‘Evolutionary Approach’, sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembangkan oleh gurunya Mahmud Muhammad Taha dalam bukunya AlRisa>lah al-Tsa>niyah. 41 Esensi pendekatan ini adalah “...reversing the process of naskh or abrogation so that those texts which were abrogated in the past can be enacted into law now, with the consequent abrogation of text that used to be enacted as Shari’a.”42 Menurut Na’im pendekatan ini perlu dilakukan karena pesanpesan fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyah bukan madaniyyah. Adapun praktek hukum dan politik yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah periode Madinah, menurutnya, tidak semestinya merefleksikan pesan ayat-ayat Makkiyyah.43 Lagi-lagi Na’im melawan arus pemikiran yang sudah mapan dalam dunia pemikiran. Persoalannya bukan karena Na’im melawan mainstream pemikiran yang sudah mapan, tapi karena pendekatan ini dapat menimbulkan persoalan metodologis yang lebih akut. Mungkin orang akan mempertanyakan atas dasar apa ayat Makkiyah bisa menasakhkan ayat Madaniyyah. Jawabannya sudah tentu bukan atas dasar kronologis seperti yang selama ini dipahami, sebab kalau atas dasar ini sudah pasti yang terakhir (ayat-ayat Madaniyyah) yang akan jadi nasikh kepada yang lebih awal (ayat-ayat Makkiyyah). Adapun jika berdasarkan pesan dan kandungannya seperti yang tersirat dalam argumentasinya di atas, permasalahan yang timbul tentu lebih rumit. Karena Na‘im seolah-olah menolak adanya konsistensi dan kesinambungan antara ayat Makkiyah dengan ayat Madaniyyah. Ini terbukti dari pernyataannya bahwa “the specific political and legal norms of the Qur’an and Sunna of Medina did not always reflect the exact meaning and implications of the message as revealed in Mecca.”44 41 Pemikiran keagamaan Mahmud Muhammad Taha dapat dibaca pada Mohamed Mahmoud, “Mahmud Muhammad Taha’s Second Message of Islam and His Modernist Project,” dalam John Coper, Ronald L. Netter, and Mohamed Mahmoud (eds.), Islam and Modernity: Muslim Intellectuals Respond (London and New York: I.B Tauris, 1998), p. 105128. 42 Abdullah Ahmad an-Na’em, Toward an Islamic Reformation, p. 56 dan 180. 43 Ibid., p. 13. 44 Ibid., p. 13.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


68

Nirwan Syafrin

Persoalan yang tak kalah pentingnya sesungguhnya terletak pada soal nasakh itu sendiri. Na’im sepertinya masih berpegang dengan pandangan mayoritas ulama klasik yang mengakui adanya nasakh. Pada titik ini Na’im kelihantanya tidak reformatif. Padahal kebanyakan cendikiawan dan pemikir Muslim hari ini sudah mulai meninggalkan pendapat tentang nasakh tersebut tentunya dengan alasan yang bervariasi. Dan masih banyak lagi persoalan nasakh yang perlu di ungkap sebelum konsep ini di aplikasikan. Andaikan metodologi nasakh terbalik ini dipraktikkan, maka banyak hukum-hukum Islam yang sudah tidak layak dipraktekkan. Ini karena hukum-hukum seperti salat, zakat, haji, perkawinan, riba, dan lain-lain yang hampir keseluruhannya terkandung dalam ayatayat Madaniyyah. Apakah hukum-hukum ini pun harus diabaikan? Kalau Na’im konsisten dengan metodologinya maka jawabannya sudah pasti affirmatif.

Beberapa Catatan Kritis atas Pengkritik Syari’at Islam Secara umum argumentasi kaum liberal untuk menolak penerapan syariat Islam dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama, argumentasi historis. Kedua, berdasarkan pertimbangan maqa>s}id syari’at. Dan ketiga, atas pertimbangan Hak Asasi Manusia. Ketiga argumen ini berkaitan saling berkaitan satu dengan yang lain.

1. Argumentasi Historis Argumen ini berbunyi bahwa hukum Islam yang ada sekarang adalah produk abad pertengahan. Ia dibentuk berdasarkan latar belakang sosial dan politik masyarakat ketika itu. Ia merupakan sebuah respon terhadap keperluan dan kepentingan masyarakat saat itu. Menurut Fazlur Rahman: “The Qur’an is the divine response to Qur’anic times, through the Prophet’s mind, to the moral-social situation of the Prophet’s Arabia, particularly to the problems of the commercial Meccan society of his day.”45 Karena itulah, kata mereka, tidak menutup kemungkinan bahwa hukum Islam pun dipengaruhi sistem budaya, politik, dan ideologi yang berlaku ditengah-tengah masyarakat waktu itu. Menurut Khalil ‘Abdul Karim, pemikir liberal Mesir, banyak hukum45

Fazlur Rahman, Islam and Modenirty (Oxford: Oxford University Press, 1979), p. 2.

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

69

hukum pra-Islam yang telah diadopsi Islam bahkan dalam bidang ibadah.46 Para pengkritik hukum Islam selalu mengatakan banyak produk hukum Islam khususnya yang terkait dengan perempuan terinspirasi oleh budaya patriarki Arab abad ke tujuh. Dalam wawancaranya dengan The Jakarta Post, Musdah Mulia, salah seorang yang bertanggung jawab dalam Tim Pengarusutamaan Gender mengatakan “Because Islam descends from the very patriarchal Arab society, so a patriarchal interpretation is inevitable.”47 Amina Wadud juga melontarkan pernyatan yang sama. Katanya, “The established order within the Arabian penisula at the time of the revelation was patriarchial; a ‘culture built on a structure of domination and subordination...’ which demands hierarchy.”48 Salah satu contoh yang selalu diangkat dalam konteks ini adalah hukum waris. Menurut kaum liberalis, laki-laki diberikan porsi yang lebih banyak dari perempuan karena ketika itu mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar, baik terhadap keluarga maupun kelompok sukunya. Akan tetapi corak kehidupan masyarakat hari ini sudah berubah. Wanita bukan lagi sekedar beban kepada keluarga tapi juga menjadi tonggak penyangga utama dalam kehidupan rumah tangga. Maka wajar jika hukum 2:1 ini ditinjau kembali.49 Persoalan ‘iddah pun dikatakan sebagai konstruk budaya Arab ketujuh. Salah seorang penulis menyatakan “’Iddah sebagai konsep keagamaan lebih merupakan konstruk budaya dari pada ajaran agama. Sebagai konsep agama, ‘iddah berfungsi mengecek ada tidaknya kehamilan. Di sisi lain, ‘iddah merupakan penahanan istri pada wilayah domestik yang berakar dari konsep budaya yang dipakai sebagai alasan keagamaan.”50 Oleh sebab itu, maka konsep ‘iddah pun harus direvisi. Secara ringkas argumen di atas ingin menegaskan bahwa syariat Islam tidak mungkin diaplikasikan untuk saat ini karena ia 46

Lihat misalnya Khalil Abdul Karim, Syariah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003) 47 The Jakarta Post, 3 October 2004. 48 Amina Wadud, Qur’an and Women, p. 80. 49 Lihat ‘Abd al-Hadi ‘Abd al-Rahman, Sultah al-Nass: qiraa’t fi tawzif al-nass al-dini (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), 152-153; Fazlur Rahman, A Survey of Modernization, p. 463. 50 Mufidah Ch, Paradigma Gender, p. 190.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


70

Nirwan Syafrin

tidak merefleksikan kepentingan masyarakat hari ini. Ketika mengomentari hukum publik Islam, Abdullah Ahmad an-Na’im mengatakan: “the public law of Shari’a was fully justified and consistent with historical context. But it does not make it justified and consistent with present context. Furthermore, given the concrete realities of the modern nation-state and present international order, these aspects of the public law of Shari’a are no longer politically tenable.” 51 Argumen semacam ini menyisakan beberapa persoalan. Pertama, argumen ini telah menghilangkan nilai universalitas hukum Islam, karena ia dianggap hanya berlaku untuk masyarakat Arab abad ketujuh. Dan kedua, argumen ini telah mereduksi Islam menjadi sekedar budaya Arab. Kelompok ini bagaimana pun menolak kesimpulan ini, karena bagi mereka yang universal dan permanen itu bukan bentuk legal formalnya tapi objektif yang ingin ditujunya. Dari sini mereka kemudian mengembangkan argumen kedua yang dibangun atas konsep maqasid syari’ah.

2. Argumentasi Berdasarkan Maqa>s}id al-Syari<’ah Argumen ini menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai objek/maqasid utamanya sendiri. Objek utama syariat Islam secara umum adalah menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia. Riba diharamkan untuk menjaga kepentingan golongan lemah dan miskin dari eksploitasi kelompok kapitalis. Hudud disyariatkan untuk menciptakan rasa aman dan tenteram bagi masyarakat di samping untuk menciptakan rasa adil di tengah masyarakat. Akan tetapi menurut kelompok liberal konsep maslahah itu sendiri berubah seiring dengan berputarnya waktu. Apa yang dianggap mas}lah}ah pada saat tertentu dan oleh masyarakat tertentu belum tentu dianggap sama oleh masyarakat lain dan dalam konteks waktu yang lain. Jadi, apa yang dianggap masyarakat Arab abad ketujuh sebagai mas}lah}ah, belum tentu demikian bagi masyarakat hari ini. Misalnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, hukum waris dan lain sebagainya meskipun sesuai dengan masyarakat Arab ketika itu, belum tentu dapat menimbulkan maslahah bagi masyarakat hari ini. 51 Abdullah Ahmad an-Na’im, Towards an Islamic Reformation (Syracuse: Syracuse University Press, 1990), p. 59.

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

71

Kajian maqa>s}id al-syari>’ah dalam pemikiran Islam, sama sekali bukan merupakan topik baru. Ia sudah dibahas bahkan seawal alTurmudzi (w. 3 H). Tirmidzi telah menggunakan istilah maqasid untuk judul bukunya al-S}ala>h wa Maqa>s}iduha>. Ide ini kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti Abu Mansur al-Maturidi (w. 333H0, Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyhi (w.365), Abu Bakar al-Abhari (w. 375H), Imam al-Baqillani (w. 403H), Imam Juwaini hingga Ibn taymiyyah. Al-Ghazali (w. 505H), murid Juwayni, kemudian mensistemasikan konsep ini dengan membaginya kepada tiga kategori: d}aru>riyya>t, h}a>jiyya>t, dan tah}siniyya>t atau tazyi>niyya>t. Kemudian Fakhruddin al-Razi (w.606) yang telah bersungguhsungguh mempertahankan rasionalisasi hukum (ta’lil al-ahkam), ketika konsep ini mulai mengalami proses degradasinya.52 Popularitas konsep ini mencapai klimaksnya di tangan Imam Abu Ishaq alShatibi melalui karyanya al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l al-Shari> ’ah. Jejak Shatibi diikuti Ibn ‘Ashur dengan bukunya Maqa>s}id al-Syari>’ah dan ‘Alal al-Fasi melalui karyanya Maqa>s}id al-Syari>’ah wa Maka>rimuha>. Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, prinsip maqa>s}id al-syari’ah memang telah menjadi rujukan utama dalam merespon isu-isu kontemporer. Ia digunakan oleh para ulama dan juga para cendikiawan liberal. Akan tetapi sangat disayangkan, ketika konsep ini jatuh ketangan kaum liberal, ia menjadi entry point untuk mendekonstruksi seluruh tatanan hukum Islam. Maka tidak heran bila ada orang yang menggunakan maqa> s } i d untuk menggugurkan wajibnya memakai jilbab (bagian dari penutupan aurat bagi perempuan), karena melihat “jilbab pada intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency).” Kepantasan umum tentu bersifat fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.” 53 Tentu bisa dipertanyakan, bagaimana bila konsep “kepantasan umum” masyarakat itu bertentangan dengan prinsip syariat? Misalnya, bagi masyarakat India, bagian perut wanita tidak dianggap ‘awrat yang harus ditutup. Apakah ‘kepantasan’ ini bisa dijadikan acuan? Begitu juga kepantasan umum bagi masyarakat Barat apakah ia bisa dijadikan ukuran untuk dijadikan landasan hukum? Lihat Ahmad Raysuni, Nazariyyah al-Maqa>s}id ‘Ind al-Ima>m al-Sha>t}ibi (Virginia: The International of Islamic Thought and Civilization, 1997) 53 Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,” Kompas, 18 November 2002. 52

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


72

Nirwan Syafrin

Atas nama maqa>s}id juga seorang cendikiawan di Indonesia membolehkan salat dengan menggunakan dwi bahasa (bahasa Arab dan Indonesia) karena “Inti salat adalah bagaimana orang bisa berkomunikasi dengan Tuhan secara mesra. Dan itu biasanya diungkapkan dalam bentuk bahasa yang merupakan ungkapan hati. Inti dari ibadah sebetulnya hati.”54 Atas alasan maqa>si} d juga, akhirnya hukum hudud, qisas, rajam, waris, ‘iddah, dan lain sebagainya tidak lagi penting selagi objektif yang dimaksudkan dari hukum tersebut dapat dicapai. Padalah kebanyakan studi dan riset yang dilakukan para peniliti lebih dari enam tahun yang lalu menyatakan bahwa hukum mati dapat memberikan efek jera kepada pembunuh. Mereka menghitung bahwa antara tiga hingga delapan nyawa dapat diselamatkan dengan mengeksekusi setiap pembunuh yang ditetapkan bersalah.55 Kalau demikian, benarkah hukum pidana Islam tidak dapat menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat hari ini? Persoalannya adalah apakah sesungguhnya yang di maksudkan dengan maslahah oleh para kelompok liberal ini? Apakah maslahah merupakan konsep relatif? Bagaimana bila terjadi konflik di tengah masyarakat dalam mempersepsikan maslahah? Para liberalis perlu menjawab persoalan ini sebelum mereka menggunakan konsep ini sebagi bumper menjustifikasikan ide-ide ‘nyeleneh’ mereka. Melihat penggunaan konsep ini secara gegabah oleh para pemikir liberal, tidak salah kiranya bila Ahmad Idris al-Ta’an al-Haj mengatakan bahwa konsep maqa> s } i d al-syari> ’ ah telah menjadi “kalimat al-h}aq yuri>du biha> al-ba>t}il”. 56 Sesungguhnya bila konsep maslahah ini diaplikasikan menurut hawa nafsu saja, seperti yang selalu mengemuka dalam pelbagai pembahasan, maka bukan hanya hukum Islam yang akan runtuh, agama pun akan menjadi absurd dan tidak berarti lagi (meaningless). Orang akan mengatakan bahwa tujuan beragama adalah untuk menciptakan kebaikan, kemaslahatan, kesejahteraan bagi manusia dan juga untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan, bila seseorang dapat mencapai tujuan ini tanpa melalui agama, maka dia tidak perlu lagi beragama. Musdah Mulia, aktivis 54 Wawancara Dr. Djohan Effendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Inti dari Ibadah,” 16/05/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816. 55 Robert, Tanner, “Studies say death penalty deters crime’, AP, National Writer. 56 Ahmad Idris al-Ta’an al-Hajj, “Al-Madkhal al-Maqa>si} di li al-Khit}ab > la-‘Ilmani: dirasah naqdiyyah,” Al-Muslim al-Mu’asir, no. 114, Oktober-Nov.-Des 2004, p. 21.

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

73

perempuan yang mengetuai Tim Pengarusutamaan Gender, Depag RI dan juga pemegang gelar Doktor dari UIN Jakarta ini, tampaknya membenarkan seperti ini. Ketika ditanya apakah agama masih diperlukan, dia mengatakan, “If he or she thinks religion doesn’t bring peace of mind, then there’s no use in having a religion. Just follow your conscience, seriously.”57

3. Argumentasi Atas Nama Hak Asasi Manusia Argumen ketiga ini menjadi salah satu argumen favorit para penghujat hukum Islam. Argumen ini biasanya banyak digunakan oleh kalangan orientalis Barat. Tapi belakangan ini cendekiawan liberal pun banyak menggunakan dalih yang sama untuk menghujat hukum Islam. Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) yang diusung oleh Tim Pengarusutamaan Gender pun berpijak atas dasar ini. Salah seorang tim penyusun ini mengatakan, “KHI tidak paralel dengan produk perundang-undangan, baik hukum nasional maupun internasional yang telah diratifikasi. Dalam konteks internasional, juga bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi, dan beberapa instrumen penegakan dan perlindungan HAM lain seperti Deklarasi Universal HAM (1948), Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966).”58 Kesalahan kelompok ini adalah mereka terlalu mengagungkan HAM, seolah mereka telah menempatkannya sebagai ‘Kitab Suci’ yang tanpa cacat, menjadi acuan untuk menakar dan menilai segalagalanya. Kebenaran dan kesalahan ditakar sejauh mana ia sesuai dengan ketentuan HAM. Sehingga ketika syariat yang dianggap bertabrakan dengan prinisp HAM, maka harus diubah dan disesuaikan dengan HAM. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa HAM bukan konsep netral; ia dibangun atas landasan filosofis dan pandangan hidup (worldview) masyarakat Barat sekuler yang secara diametral bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Dalam pandangan hidup Barat manusia 57 Jakarta Post, 3 Oktober 2004, diposting kembali di http://www.wluml.org/english/ newsfulltxt.shtml?cmd%5B157%5D=x-157-75549 58 Abd Moqsith Ghazali, “Argumen Metodologis CLD KHI,” o8/03/2005, http:// islamlib.com/id/index.php?page=article&id=774

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


74

Nirwan Syafrin

merupakan pusat segala-galanya. Ia memiliki otoritas penuh untuk menentukan baik dan buruk bagi dirinya. Tidak ada institusi lain yang dapat mengatur hidup dan kehidupannya. Dia memiliki kekebebasan mutlak. Bahkan Tuhan pun tidak berhak untuk turut campur mengaturnya. Benarlah apa yang dikatakan Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa di Barat “Man is deified, Deity humanized.�59 (Manusia diTuhankan sementara Tuhan dimanusiakan). Konsep ini sangat bertolak belakang dengan konsep manusia Islam. Dalam framework Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang diangkat oleh Allah untuk menjadi khalifah. Sebagai khalifah, tugasnya adalah taat dan patuh menjalankan perintah sang penciptanya untuk kesejahteraan dirinya sendiri. Oleh sebab itu menggunakan HAM untuk mengkritik hukum Islam bukan hanya tidak tepat tapi juga merupakan sebuah kekeliruan besar. Selanjutnya beberapa pertanyaan berikut pun bisa diajukan kepada para pemikir liberal di atas. Bila hukum Islam dikatakan dipengaruhi oleh budaya Arab abad pertengahan, bukankah HAM yang dibentuk atas dasar filosofis sekuler Barat juga dipengaruhi oleh nilai dan budaya Barat? Kalau demikian, kenapa HAM semacam itu harus diterapkan ke masyarakat Islam yang struktur dan keperluan masyarakatnya berbeda dengan masyarakat Barat? Kita tidak menafikan bahwa ada beberapa unsur dalam HAM yang bersifat universal. Akan tetapi menjadikan HAM sebagai standar mutlak untuk mengukur kebenaran dan kesalahan adalah pemikiran dan perbuatan yang keliru.

Penutup Gerakan liberalisasi Islam dengan menjadikan Barat sebagai rujukan utama sebenarnya sudah lama dipraktikkan beberapa dunia Islam. Benihnya bisa ditelusuri ketika Daulah Utsmaniyyah mulai mengadopsi beberapa pemikiran Barat, yang bermulan saat Kamal Attaturk membubarkan Daulah Islamiyyah ‘Uthmaniyyah dan mendirikan negara Turki berideologi sekularisme. Proses westernisasi pun berjalan dan segala yang berbau agama segera dihabisi. Hampir satu abad negara Turki sekuler sudah berdiri namun hingga hari ini 59 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), p. 87.

Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

75

tetap tidak ada bedanya dengan negara dunia ketiga yang lain, terbelakang dari segi pendidikan dan terpuruk dari sisi ekonomi. Kasus Turki itu mestinya memberikan ‘itibar bahwa sekularisasi dengan mencontoh dan mengikuti Barat secara membabi buta bukanlah jalan keberhasilan untuk menggapai kemajuan. Mungkin kita bisa bertanya: apakah dengan diharamkannya poligami, disamakannya bagian warisan anak laki-laki dan perempuan, dihapuskannya hudud dan qisas, seperti yang diinginkan para pemikir Muslim kontemporer, masyarakat Islam akan menjadi lebih mulia dan terhormat, dihargai dan disanjung, menjadi lebih maju dan berkembang? Sesungguhnya sejak zaman kolonialisme umat Islam telah jauh meninggalkan syariat Islam. Mereka telah mengadopsi hukum Barat untuk diaplikasikan di negara mereka masing-masing. Hingga hari ini, negeri-negeri Muslim itu bukannya bertambah maju. Sebagiannya malah menjadi lebih sengsara. Maka, kita bertanya, apakah hukum Islam yang tidak diterapkan itu yang salah, atau justru hukum model Barat yang menjadi biang kehancuran umat hari ini?[]

Daftar Pustaka Abdalla, Ulil Abshar, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,” Kompas, 18 November 2002. Abukhalil, As’ad, “Against the Taboos of Islam: Anti-Conformist Tendencies in Contemporary Arab/Islamic Thought”, dalam Charles E. Butterworth dan I William Zartman (eds.), Between the State and Islam (Cambridge: Woodrow Wilson Center Press and Cambridge University Press, 2001) Al-‘Ashmawi, Muhammad Sa’id, Us}ul> al-Shari>’ah (al-Qahirah: Sina, 1992) Al-Asmandi, Muhammad bin ‘Abd al-Hamid, Badhl al-Naz}ar fi alUs}u>l, ed. Muhammad Zaki ‘Abd al-Barr (Al-Qahirah: maktabah Dar al-Turath, 1992) Al-Asyqar, ‘Umar Sulayman, Ta>rikh al-Fiqh al-Isla>mi, (?) Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995) Al-Faruqi, Isma’il Raji, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (Virginia, Herndon: The International Institute Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


76

Nirwan Syafrin

of Islamic Thought, 1982) Al-Hajj, Ahmad Idris al-Ta’an, “Al-Madkhal al-Maqa>s}idi li al-Khita>b la-‘Ilma>ni: dirasah naqdiyyah,” Al-Muslim al-Mu’a>s}ir, no. 114, Oktober-Nov.-Des 2004 _________, “Intihak Qada>sah al-Qur’an fi al-Khitab al-‘Ilmani,” AlMuslim al-Mu’a>s}ir, no. 115, 2005 Al-Ahram, 4-10 November, no. 715 Ali, Muhamad, “The Rise of the Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary Indonesia,” American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 22, no. 1, 2005 Al-Qardawi, Yusuf, al-Siya>sah al-Syar’iyyah (Beirut: Mu’assasah alRisalah, 2000) Al-Rahman, ‘Abd al-Hadi ‘Abd, Sultah al-Nass: qira>’at fi tawzif alnas}s} al-di>ni (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993) Al-Sam’ani, Abu Muzaffar, Qawa> t i’ al-Adillah fi al-Us} u > l , ed. Muhammad Hasan Hitu (bayrut: Muassasah al-Risalah, 1996). Al-Samarra’I, Nu’man ‘Abd al-Razzaq, Al-Fikr al-‘Arabi wa al-Fikr al-Ishtishra>qi bayn Dr. Muhammad Arkoun wa Dr. Edward Sa’id (Riyad: Dar Tabari li al-Nashr wa al-Tawzi’) Al-Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim, Syarh al-Luma’, diedit oleh ‘Abdul Majid al-Turki (Bayrut: Dar al-Gharb al-Islami, 1989) An-Na’im, Abdullah Ahmad, “Islamic Foundations of Islamic Human Rights,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), Religious Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996) _________, Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1990) Arkoun, Mohammad, al-Fikr al-Islami: naqd wa ijtihad (London: Dar al-Saqi, 1998). _________, Al-Fikr al-Islami: Qira>’ah ‘Ilmiyyah (Beirut: Markaz alInma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1996) _________, Al-Qur’a>n min al-Tafsi>r al-Mawru>ts ila> tah}lil al-Khit}ab> al-Di>ni, terj. Hashim Saleh (Beirut: Dar al-Tali’ah li al-Tiba’ah wa al-Nasr) _________, Min al-Ijtiha> d ila Naqd al-‘Aql al-Isla>mi, terj. Hashim Saleh (London: Dar al-Saqi,19910 Jurnal TSAQAFAH


Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

77

_________, Ta>rikhiyyah al-Fikr al-Isla>mi, terj. Hashim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi,1996). Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005) Arzt, Donna, “The Treatment of Religious Dissidents under Islamic Law,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), Religious Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996) Boullata, Issa J., Trends and Issues in Contemporary Arab Thought (Albany: State University of New York, 1990) Ghazali, Abd Moqsith, “Argumen Metodologis CLD KHI,” o8/03/ 2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=774 http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816. Jakarta Post, 3 Oktober 2004, diposting kembali di http://www.wluml. org/english/newsfulltxt.shtml?cmd%5B157%5D=x-157-75549 Jawdah, Ahmad, H}iwa>ra>t H}awla al-Syari’ah (Kairo: Sina li al-Nashr, 1990) Karim, Khalil Abdul, Syariah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003) Khallaf, ‘Abdul Wahhab, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968). Khouri, Monah A., “Criticism and the Heritage: Adonis as Advocate of a New Arab Culture,” dalam George N. Atiyeh dan Ibrahim M. Oweiss (ed.), Arab Civilization: Challenges and Responses, studies in honous of Constantine K. Zurayk (New York: State University of New York, 1988), p. 183-207. Mahmoud, Mohamed, “Mahmud Muhammad Taha’s Second Message of Islam and His Modernist Project,” dalam John Coper, Ronald L. Netter, and Mohamed Mahmoud (eds.), Islam and Modernity: Muslim Intellectuals Respond (London and New York: I.B Tauris, 1998). Meyer, Ann Elizabeth, Islam and Human Rights: Traditions and Politics (Boulder and San Francisco: Westview Press, 1991) Mufidah Ch, Paradigma Gender, (?) Nuwayhi, Muhammad, “A Revolution in Religious Thought,” in John J. Donohue and John L. Esposito (eds.), Islam in Transition: Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


78

Nirwan Syafrin

Muslim Perspectives (New York and Oxford: Oxford University Press, 1982) Rabi’, Ibrahim Abu, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Arab World (Albany: State University of New York Press, 1966) Rahman, Fazlur, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford T. Welch dan Pierre Chachia (eds.), Islam: Past Influence and Present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979) _________, “Revival and Reform”, dalam P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1970) _________, Islam and Modenirty (Oxford: Oxford University Press, 1979) Raysuni, Ahmad, Naz}ariyyah al-Maqa>si} d ‘Ind al-Ima>m al-Sha>ti} bi (Virginia: The International of Islamic Thought and Civilization, 1997) Robert, Tanner, “Studies say death penalty deters crime’, AP, National Writer. Sa’id, Bustami Muhammad, Mafhu>m Tajdi>d al-Di>n (Kuwait: Dar alDa’wah, 1984) Shepard, William E., “Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi and The Application of the Shari’a in Eypt”, dalam International Journal of Middle East Studies, vol. 28, no. 1, February 1996. Solihu, Abdul Kabir Hussain, Historicist Approach to the Qur’an: Impact of Nineteenth-century Western Hermeneutis in the Writings of Two Muslim Scholars: Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun (Kuala Lumpur, Disertasi Doktoral di International Islamic University Malaysia (IIUM), 2003) Sufyan, ‘Abid bin Muhammad, al-Tsaba>t wa al-Syumu>l fi al-Syari>’ah al-Isla> m iyyah. The Jakarta Post, 3 October 2004. Wadud Amina, Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, (New York, Oxford: Oxford University Press,1999) Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqa>si} d al-‘A<mmah li Shari>’ah al-Isla>miyyah (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1991). Zayd, Nasr Hamid Abu, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni, cet. 3 (al-Qahirah: Madbuli, 1995) Jurnal TSAQAFAH


Konsep Nilai dalam Peradaban Barat Dinar Dewi Kania Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor Email: dinargainer@yahoo.com

Abstract The Western’s conception of values, morals and ethics are so different with Islamic conception. In fact, there is difference about it between western scholars. These is a consequence from secularization that spread upon the whole Europe after their people’s believe of church’s conductiveness disappeared. This secularization impacts to the separation between religion’s doctrines and life activities as politic, education even to the marriage. In the end, Western society considers the values of religion are just subjective phenomenal that experienced by individual and are not universally. Religion has space its self that different with space of non-religion. The value and moral concept in West would be evolved and developed according to western society’s conception of human being reality, religion, sciences and life it’s self. This paper has a purpose to describes western scholar’s thoughts about values and moralities chronologically, starting from medieval centuries when Churches have the power of high legitimacy in western society until renaissance era and then describing about glorious era that the western scholar’s thoughts still influences the concept of values in this century.

Keywords: Value, Western Society, Secularization, Church

* Jl. KH. Sholeh Iskandar Km. 2 Kd. Badak Bogor 16162, Telp dan Fax: +62251 8356884

Vol. 9, No. 2, November 2013


246 Dinar Dewi Kania Abstrak Konsepsi Barat tentang nilai, moral, dan etika, sangat berbeda dengan Islam. Bahkan, di antara pemikir Barat pun, konsep tentang hal tersebut berbeda. Hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi dari sekularisasi yang melanda Eropa setelah hilangnya kepercayaan Masyarakat Barat terhadap kepempinan gereja. Sekulerisasi berdampak pada pemisahan agama dengan segala aktivitas kehidupan duniawi, seperti politik, pendidikan, ataupun perkawinan. Pada akhirnya, Masyarakat Barat menganggap nilai-nilai agama merupakan fenomena subjektif yang dialami oleh masing-masing individu dan tidak bersifat universal. Agama memiliki ruangnya tersendiri yang berbeda dengan ruang non-agamis. Konsep nilai dan moral di Barat kemudian akan terus berevolusi, berkembang sesuai dengan konsepsi Masyarakat Barat terhadap hakikat manusia, agama, ilmu, dan kehidupan itu sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pemikiran tokoh-tokoh Barat tentang nilai dan moralitas atau etika secara kronologis, dimulai pada Abad Pertengahan di saat gereja menjadi pemegang kekuasan tertinggi dalam Masyarakat Barat, hingga munculnya Zaman Renaissance, dilanjutkan dengan Zaman Pencerahan yang pemikiran tokoh-tokohnya terus mempengaruhi teori-teori nilai di abad ini.

Kata kunci: Nilai, Masyarakat Barat, Sekularisasi, Gereja Pendahuluan

P

embahasan tentang nilai (value) dan moral telah lama menjadi topik sentral dalam kajian ilmu filsafat, dan ilmu sosial lainnya. Tidak ketinggalan, ahli-ahli pendidikan Barat sejak abad ke-20 mencoba merumuskan pendidikan yang berorientasi kepada nilai dan moral atau etika sebagai solusi dalam mengatasi problematika abad modern yang semakin kompleks dan multidimensi. Dalam ilmu sosiologi, nilai secara umum dikonsepsikan sebagai “group conceptions of relative desirability things� atau berarti konsepsi kelompok atas keinginan relatif terhadap sesuatu.1 Secara kultural nilai diartikan sebagai ide tentang sesuatu yang dianggap penting. Nilai dibedakan menjadi nilai ideal (ideal value) yang diklaim oleh suatu masyarakat dan ada nilai sesungguhnya (real value), yaitu nilai yang dipraktikkan dalam masyarakat tersebut.2 Teori tentang nilai disebut etika yang bersumber pada akal pikiran manusia. 1 2

http://www.sociologyguide.com/basic-concepts/Values.php, 10 Des 2010. Kathy. S Stoley, The Basic of Sociology, (Westport: Greenwood Press, 2005), 45-46.

Jurnal TSAQAFAH


Konsep Nilai dalam Peradaban Barat

247

Secara umum etika sering disamakan dengan moral, namun sebagian menyimpulkan bahwa etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk dalam etika menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaraan moral tolok ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Adapun virtue (kebajikan) dipercaya secara luas sebagai kekuatan yang memiliki efek yang baik-kecendrungan untuk melakukan apa yang baik. Seseorang yang bijak dipahami sebagai seseorang yang mempersepsikan dan bertindak berdasarkan kebutuhan-kebutuhan moral yang unik sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.3 Konsepsi Barat tentang nilai, moral, dan etika, sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Konsep tentang apa yang disebut baik dan buruk merupakan kancah pertarungan pemikiran yang tak pernah berhenti dari filosof-filosof Barat, sejak Zaman Yunani sampai saat ini. Perdebatan konsepsi mengenai hal-hal tersebut di atas sejatinya adalah sebuah konsekuensi dari sekularisasi yang melanda Eropa setelah hilangnya kepercayaan Masyarakat Barat terhadap kepemimpinan gereja. Sekularisasi bertujuan membebaskan manusia dari agama dan pengaruh metafisik yang mengontrol logika dan bahasa manusia.4 Akibatnya, pengukuran baik-buruk, benar-salah semata-mata dilakukan melalui akal pikiran dan pengalaman indera manusia. Masyarakat Barat pada akhirnya menganggap nilai-nilai agama merupakan fenomena subjektif yang dialami oleh masing-masing individu dan tidak bersifat universal. Konsepsi nilai dan moral dalam Peradaban Barat akan terus berevolusi sesuai dengan tuntutan zaman akibat pemisahan ketiadaan nilai absolut yang bersumber dari wahyu otentik, sebagaimana al-Qur’an dan al-Hadis yang mengatur kehidupan Masyarakat Muslim dan menjadi rujukan moralitas sampai saat ini. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pemikiran tokoh-tokoh Barat tentang nilai dan moralitas atau etika secara kronologis, dimulai pada Abad Pertengahan di saat gereja menjadi pemegang kekuasan tertinggi dalam Masyarakat Barat, hingga munculnya Zaman 3 James Arthur, Education with Character; The Moral Economic of Schooling, (London: RoutledgeFalmer, 2003), 27. 4 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993), 16.

Vol. 9, No. 2, November 2013


248 Dinar Dewi Kania Renaissance, dilanjutkan dengan Zaman Pencerahan yang pemikiran tokoh-tokohnya terus mempengaruhi teori-teori nilai di abad ini.

Abad Pertengahan (Medieval Age) Banyak ahli sejarah menyatakan periode 600 – 1050 Masehi di Barat sebagai age of faith di saat manusia percaya pada Tuhan tanpa mempertanyakannya lagi, ketika iman dan fenomena agama dalam berbagai hal merupakan keasyikan bagi manusia Barat. Namun yang sebenarnya terjadi adalah suatu masa di mana doktrin gereja, dalam hal ini Katolik, merupakan satu-satunya sumber kebenaran yang harus diterima tanpa pertanyaan. Masa itu merupakan zaman ketika doktrin Kristen ditetapkan oleh otoritas tradisi dan ditegakkan oleh konsesus pengajar-pengajar ortodoks gereja. Tampak begitu kuat pengaruh gereja dalam kehidupan Masyarakat Barat pada Abad Pertengahan. Pernyataan Paus Gregorius yang melarang keterlibatan raja dalam pengangkatan gereja menurutnya merupakan konsep gereja sebagai monarkhi yang berasal dari tradisi Imperium Romawi. Paus berhak mengadakan Sidang Umum dan mengeluarkan peraturan moral dan keagamaan. Jika paus mengucilkan seseorang penguasa, maka penguasa tersebut tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen (christendom).5 Oleh karena itu, pada Abad Pertengahan atau Zaman Kegelapan di Barat (dark ages) adalah masa nilai baik dan buruk, benar dan salah, ditetapkan oleh institusi gereja, karena gereja bertindak sebagai wakil Tuhan, dan mengatasnamakan Tuhan. Salah satu filosof Abad Pertengahan yang mencoba menggabungkan etika Kristen dengan Filsafat Yunani adalah Thomas Aquinas (1225–1274). Dalam karyanya, Aquinas banyak terpengaruh oleh pemikiran Aristoteles karena ia memiliki akses kepada karyakarya Aristoteles berkat translasi ke Bahasa Latin yang dilakukan oleh Ibn Sina dan Ibn Rusyd, serta seorang ilmuwan Yahudi, Moses 5 Eric O. Hanson menjelaskan ketika terjadi konflik antara Paus Gregorius VII dan Raja Hendri IV pada abad ke-11 mengenai kekuasaan absolut gereja. Raja Henry IV menolak klaim Paus tersebut dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang dari Tuhan. Menghadapi tantangan tersebut, Gregorius menyerukan kepatuhan pasif terhadap Henry IV, sehingga pada akhirnya ia menyerah dan dipaksa menemui Gregorious di Canossaa pada 1077. Paus kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya dan menunjukan betapa efektifnya kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskipun tanpa tentara, mampu melakukan pengucilan terhadap raja yang sangat besar kekuasaannya di Eropa. Lihat, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 33.

Jurnal TSAQAFAH


Konsep Nilai dalam Peradaban Barat

249

Maimonides yang kesemuanya hidup di Spanyol.6 Aquinas mengambil konsepsi Aristoteles tentang moralitas, di mana moralitas diibaratkan sebuah situs kebajikan dan latihan yang akan membawa kepada kebahagiaan serta perkembangan manusia. Pandangan Thomas Aquinas tentang etika terdapat dalam buku ke-III Summa Theologiae. Aquinas berpandangan bahwa kejahatan manusia adalah tidak disengaja, bukan sesuatu yang esensi dan sebab aksidental yang baik. Kebahagiaan manusia tidak terletak dalam indera, seperti kesenangan jasmani, kehormatan, kemenangan , kekayaan, kekuasan dunia, atau tubuh yang indah. Kebahagiaan tertinggi manusia juga tidak terletak pada tindakan kebajikan moral yang dilakukan karena semua itu hanyalah alat. Kebahagiaan tertinggi terdapat pada perenungan Tuhan, tapi pengetahuan kebanyakan orang tentang Tuhan tidak mencukupi, begitu juga pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh dari pembuktian, apalagi dari kepercayaan.7 Aquinas membedakan empat macam hukum, yaitu hukum abadi, alam, manusia, dan Ilahi, yang dapat disebut masing-masing, sebagai hukum Tuhan, hukum alam, hukum perdata, dan hukum Alkitab. Hukum Tuhan merupakan semua sumber hukum yang berada dalam pikiran Tuhan sebagai desainer abadi dan memiliki efek mencakup tiga hukum lainnya. Manusia mengenali hukum-hukum tersebut secara tidak langsung karena manusia tidak memiliki akses langsung kepada pikiran Tuhan. Hal tersebut diketahui secara tidak langsung melalui jejak-Nya di dunia melaui prinsip keteraturan dalam cara kerja alam dan masyarakat ketika beroperasi. Tipe kedua, hukum alam, meliputi hukum deskriptif alam (seperti hukum gravitasi) dan hukum alam preskriptif (seperti hukum terhadap pembunuhan). Hukum perdata dan hukum Alkitab juga merupakan preskriptif karena namanya diambil dari jejak yang memberikan akses tidak langsung kepada pikiran Tuhan. Hukum manusia merupakan korpus buatan manusia, namun ketika dikonstruksikan secara tepat, maka akan merefleksikan desain Tuhan terhadap hubungan manusia dan hukum Ilahi. Namun karena hal tersebut berasal dari Bible yang dikonstruksikan secara tepat namun tidak selalu diinterpretasikan secara tepat, sehingga refleksi dari desain tersebut tidak dapat dilihat 6 F. Clark Power, et.all (ed), Moral Education: A Handbook; Volume 1 & 2, (Westport: Praeger, 2008), 19. 7 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan II, 2004), 606.

Vol. 9, No. 2, November 2013


250 Dinar Dewi Kania secara jelas hanya melalui alam dan masyarakat.8 Walaupun Aquinas berusaha memadukan etika Kristen dengan ajaran Filsafat Yunani, namun secara umum logika di Abad Pertengahan telah ditekan menjadi sebuah pelayanan terutama pada teologi dan doktrin kebenaran, yang keduanya bermula dari premispremis yang dibangun oleh otoritas (dalam hal ini otoritas gereja).9 Kekuasaan gereja yang absolut tidak memberi ruang kepada ilmu pengetahuan dan kebenaran gereja adalah doktrin yang dipaksakan secara politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Kekejaman gereja terhadap para tokoh yang menentang doktrin-doktrin Kristen tercermin melalui lembaga inkuisisi yang berdiri pada Abad Pertengahan yang berfungsi mengadili para pelaku bidah (heresy).

Zaman Renaisans (Renaissance) Renaisans yang terjadi pada abad ke-16 dimaknai sebagai kelahiran-kembali peradaban Yunani-Romawi. Pelopor-pelopornya disebut “humanis�, yang berarti pelajar dan pemuja Peradaban Yunani-Romawi pra-Kristen, bertolak belakang dengan pelajar dan penekun Teologi Kristen Barat.10 Renaisans dimulai dari Italia dan merupakan gerakan sekelompok kecil sarjana dan seniman yang didukung oleh pelindung-pelindung liberalnya, khususnya Medici dan paus-paus yang humanis.11 Renaissance menjadikan modernsekuler-humanis sebagai inti dari cita-cita perjuangan mereka. Kata modern merupakan pendefinisian ulang yang utama dari manusia yang bebas dari dominasi kristen Abad Pertengahan menuju pandangan hidup baru yang anti kristen dengan ide baru tentang budaya dan peradaban. 12 Era Renaisans di Italia ditandai dengan tidak dihargainya aturan-aturan moral lama. Kebanyakan penguasa negara bagian pada masa lalu mendapatkan kursi kekuasaan karena berkhianat, dan kemudian mempertahankan kekuasaannya dengan kekejaman. Menurut Burckhardt, ketika para kardinal diundang makan malam 8

F. Clark Power, et.all (ed), Moral Education‌, 20-21. Horald Hoffding, A History of Modern Philosophy; A Sketch of the History of Philosophy, Volume I, (USA: Dover Publication, 1955), 184. 10 Arnold Toynbee, Sejarah Umat Manusia; Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan IV, 2007), 643. 11 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 656. 12 Michael W. Kelley, The Impulse of Power, Formative Ideals of Western Civilization, (Minneapolis: Contra Mundum Books, 1998), 190. 9

Jurnal TSAQAFAH


Konsep Nilai dalam Peradaban Barat

251

dalam acara penobatan seorang paus, mereka membawa anggur dan pembawa gelasnya sendiri karena mereka takut jika diracun. 13 Walaupun Renaisans adalah tahap persiapan untuk mencapai pembentukan filsafat pada abad ke-17, namun Renainsans Italia pada akhirnya telah meruntuhkan sistem skolastik yang dianggap rijid sebagai baju pengekang intelektual bagi Barat. Alison Brown dalam bukunya Sejarah Renaisans Eropa, virtue (kebajikan) pada era ini telah dikosongkan dari muatan moralnya dan diubah bentuk menjadi “keberanian” ala Machiavelian, yaitu lebih dekat pada “kecakapan” Herculean dan bukan virtue moral yang diwajibkan untuk seorang pahlawan Kristen. Kelenturan juga dianggap sebagai kualitas yang diperlukan untuk mengatasi nasib, yang menurut Machivelian dianggap sebagai unsur asli ancaman dan ketakperkiraannya di dunia. Nasib bagi Machiavelian bukan sekedar suatu aspek penyelenggaraan Tuhan yang tidak bisa dilihat oleh manusia.14 Pada abad ke-17 muncullah aliran Filsafat Rasionalisme dan Empirisme yang menganggap sumber pengetahuan semata-mata berasal dari akal (rasional) dan pengalaman (empiris). Tokoh aliran rasionalisme yang pemikirannya memiliki pengaruh sampai abad sekarang, adalah Rene Descartes (1596-1650). Descartes tidak mengajarkan etika secara khusus namun hanya memberi pandangan-pandangan etis dengan mengandaikan adanya kehendak bebas. Kebebasan adalah ciri khas kesadaran yang berpikir. Tubuh pada hakekatnya tidaklah bebas. Selain pemikiran, kebebasan adalah hiasan manusia yang mulia dan kebebasan manusia tidak lebih kurang daripada kebebasan Tuhan. Manusia merealisasikan kebebasannya dengan mengekang segala nafsunya dan ditekankan perlunya penaklukan diri kepada pimpinan akal dan menganggap sepele kehidupan duniawi dengan kebaikan dan kejahatannya.15 Tokoh lainnya adalah Baruch Spinoza (1632 – 1627), seorang Yahudi yang dikucilkan oleh sinagog karena pandangan-pandangannya yang liberal. Rasionalisme Spinoza dianggap lebih luas dan lebih konsekuen dibadingkan dengan Descartes. Masalah etika dalam teorinya dimulai dengan menguraikan hal afek-afek atau perasaanperasaan. Tujuan pengenalan segala perasaan adalah untuk 13

Burckhardt dalam Bertand Russell, Sejarah Filsafat Barat, 660. Alison Brown, Sejarah Renaisans Eropa, (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), 149. 15 Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-24, 2011), 24-25. 14

Vol. 9, No. 2, November 2013


252 Dinar Dewi Kania menguasainya. Usaha untuk menguasai perasaan itu yang dinamakan kebajikan. Kebajikan dan kekuasaan adalah sama, kerena melalui kekuasaan manusia mengenal dirinya sendiri. Oleh karena itu, menurut Spinoza, apa-apa yang baik adalah yang sesuai dengan akal, karena yang akali identik dengan yang bermoral. Yang disebut dengan akali adalah usaha merealisasikan diri, dan bermoral (atau susila) adalah berada sebagai dirinya sendiri. Di dalam upaya merealisasikan diri dalam kasih yang akali manusia berusaha menuju kepada Tuhan (amor Dei intellectualis).16 Adapun John Locke (1632-1704) bisa dianggap sebagai pendiri Empirisme, yaitu doktrin yang menyebutkan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman. Ia juga dianggap sebagai pendiri liberalisme filosofis dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya revolusi di Inggris dan Prancis. Doktrin tentang etika Locke menekankan pentingnya kebijaksanaan. Pentingnya kebijaksanaan menurut Russel adalah ciri khas liberalisme, maka liberalisme akan membangkitkan kapitalisme karena orang bijaksana akan menjadi kaya sedangkan orang yang tidak bijaksana akan tetap miskin. Locke menyatakan bahwa kebebasan bergantung pada kebutuhan untuk mencari kebahagiaan hakiki dan pada pengendalian hasrat diri. Kepentingan pribadi dan publik akhirnya akan berpadu walaupun dalam waktu yang sangat lama. Baginya komunitas warga yang semuanya saleh dan bijaksana akan berbuat, dengan kebebasannya, untuk menciptakan kebaikan bersama. Tidak akan dibutuhkan hukum-hukum manusia untuk membatasinya karena hukum-hukum Tuhan sudah mencukupi. Orang baik yang digoda untuk menjadi penyamun akan berkata pada dirinya sendiri, “Aku bisa lolos dari hakim manusia, tetapi tidak dari hukuman Tuhan.� Oleh karenanya, orang baik tersebut akan menanggalkan niat jahatnya dan hidup dengan baik seolah-olah sedang diawasi polisi. Menurutnya, kebebasan hukum hanya dapat dimungkinkan apabila kebijaksanaan dan kesalehan bersifat universal dan pengekanganpengekangan yang dipaksakan oleh hukum pidana adalah perlu. Selain itu Locke juga berpandangan bahwa moralitas dapat membatasi manusia.17 Thomas Hobbes (1588-1679) adalah orang pertama yang mengikuti aliran Empirisme di Inggris. Filsafatnya tentang moral ia 16 17

Ibid, 31. Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 803-806.

Jurnal TSAQAFAH


Konsep Nilai dalam Peradaban Barat

253

tuangkan dalam pandangannya tentang negara. Bagi Hobbes, semua manusia pada dasarnya sama, yaitu dalam keadaan alamiah ia ingin mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang lain yang disebabkan adanya naluri. Manusia itu pada dasarnya cendrung untuk mempertahankan diri, akibatnya terjadi pertengkaran yang menimbulkan pertengkaran total karena semua orang memerangi semua orang. Keadaan yang demikian menyebabkan kehidupan menjadi buruk, kasar dan singkat karena kebajikan pokok yang terdapat pada perang total adalah kekuatan dan kecurangan. Oleh karena itu menurut Hobbes diperlukan perjanjian diantara para warga negara sendiri dan sepakat untuk mentaati suatu kuasa yang memerintah mereka. Negara bagi Hobbes mempunyai kekuasaan tanpa batas, juga di dalam gereja. Rakyat diharuskan berbakti kepada Tuhan, paling tidak dengan membuat orang percaya bahwa Tuhan itu ada dan telah mengutus Kristus untuk memasyhurkan kerajaan yang akan “datang�. 18

Zaman Pencerahan (Aufklärung) Pada awal abad ke-18 di Eropa, dimulailah suatu zaman yang disebut Zaman Pencerahan. Abad ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru pada realitas bendawi dan rohani, yaitu kenyataan mengenai manusia, dunia, dan Tuhan. Namun abad ke-18 mencoba meneliti secara kritis (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal) terhadap segala sesuatu yang ada, baik dalam negara maupun masyarakat. Orang juga tidak takut untuk mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk celaan yang kurang atau lebih tajam. Sikap pencerahan pada agama Kristen umumnya memusuhi karena pada saat itu orang menjadikan akal sebagai sumber kebenaran yang tertinggi. Ide-ide tentang pencerahan dimulai di Inggris, kemudian menyebar ke Prancis dan dari sana menyebar ke seluruh Eropa. Di Prancis gerakan ini dilakukan secara terang-terangan dan berkesinambungan dalam menentang keadaan masyarakat, negara, dan institusi gereja. Agama Kristen diserang secara pedas dengan senjata yang diberikan oleh Deisme.19 Selain itu keterlibatan kelompokkelompok sastra dan gerakan rahasia Freemason di Perancis, mem18

Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah‌, 34-35. Deisme adalah suatu aliran yang mengakui adanya pencipta alam semesta ini, namun setelah dunia diciptkan Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri, sebab ia telah memasukan hukum-hukum dunia kedalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukum tersebut sehingga manusia dianggap telah berbakti kepada Tuhan apabila telah hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Lihat, Harun Hadiwijoyo, Ibid, 47 – 49. 19

Vol. 9, No. 2, November 2013


254 Dinar Dewi Kania bantu penyebaran pemikiran-pemikiran baru ini melalui pertemuanpertemuan para anggotanya yang pada umumnya berasal dari kelas menengah. 20 David Hume merupakan tokoh pencerahan di Inggris yang mengembangkan Filsafat Empirisme, salah satunya pemikiran Locke. Filsafat Hume merupakan kritik terhadap rasionalisme dogmatis Decartes, sehingga etika dari Kaum Rasionalis dihancurkan. Virtue tak lain dari rasa enak yang manusia jika ia melakukan sesuatu atau mengerjakan sesuatu yang umum diterima dan disetujui. Hak dan keadilan adalah artifical virtues yang tergantung pada situasi setempat (relativisme etis). Negara tidak didasarkan pada kontrak sosial namun sesuatu yang terjadi berdasarkan persetujuan implisit dengan nilai utilitas (yang berguna).21 Dalam filsafat moral Hume, jenis perilaku tertentu seharusnya didorong secara moral karena mereka dapat menempatkan keharmonian sosial dan kerjasama pada tingkatan yang lebih tinggi. Hume juga skeptis dan meremehkan apa yang disebut sebagai nilai kebajikan “rahibâ€? dari banyak moralitas agama tradisional, maka ia melakukan disposisi sebagai tujuan untuk merealisasikan dampakdampak sosial tertentu yang juga ditafsirkan sebagai konstitutif kebahagiaan umum manusia.22 Hume menegaskan bahwa perasaan dan kepercayaan merupakan hal terpenting dalam etika. Suatu penilaian moral dapat berlaku umum apabila disetujui atau ditolak oleh perasaan orang-orang disekitarnya. Suatu perbuatan dianggap baik apabila pelakunya merasa bahwa perbuatannya itu membangkitkan kesenangan dan persetujuan dari orang-orang yang menyaksikannya.23 Kesimpulannya, etika hanya berlaku di tengah-tengah masyarakat. Di Prancis tokoh pencerahan yang sangat gencar menentang nilai dan dogma gereja adalah Voltaire, nama samaran dari Francois Marie Arouet (1694-1778). Voltaire terpengaruh pemikiran di Inggris karena pada tahun 1726 ia mengungsi ke Inggris dan berkenalan dengan teori-teori Locke dan Newton. Voltaire banyak berbicara 20 William L. Langer, et.al, Western Civilization; The Struggle for Empire to Europe in Modern World, (New York: A Harper-Amerikan Text Book, 1968), 189. 21 MAW. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, (Bandung: Penerbit Alumni, Cetakan Ke-3, 1986), 63. 22 Alexander E. Hooke, Virtuous Persons, Vicious Deeds, (Mountain View: Mayfield Publishing Company, 1998), 180. 23 Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah ‌, 56.

Jurnal TSAQAFAH


Konsep Nilai dalam Peradaban Barat

255

mengenai agama alamiah dan etika. Menurutnya agama alamiah adalah agama yang memenuhi tuntutan akal. Etika mengenai keadilan dan kebajikan tidak boleh disandarkan kepada pandangan metafisis atau teologis karena hukum kesusilaan bukanlah seluruh aturan yang dibawa sejak lahir, namun aturan itu bersifat abadi, tidak berubah disegala zaman dan sama disetiap tempat. Isi hukum kesusilaan menurut Voltaire adalah, “Hiduplah seperti apa yang kamu inginkan telah kamu lakukan pada saat kamu mati, dan berbuatlah terhadap sesamamu seperti yang kamu inginkan ia berbuat terhadapmu.” 24 Tokoh pencerahan Prancis lainnya yang bebicara mengenai moralitas adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Dalam pandangan Rousseau manusia baik adalah manusia alamiah yang lahir dari kandungan alam, yang senantiasa berbuat sesuai dengan asas-asas yang tetap dan tidak berubah. Manusia yang dihasilkan oleh hidup bermasyarakat adalah jahat.25 Retorika Rousseau yang sangat terkenal, yaitu “Manusia terlahir bebas, dan dimana-mana ia terbelenggu.” Kebebasan dalam hal ini menjadi tujuan dari pemikiran Rousseau. Namun dalam bukunya “Contract Social”, Rousseau tidak menginginkan ditiadakannya masyarakat yang sudah ada, dan menganggap kehidupan bermasyarakat sebagai sesuatu yang penting, karena ada saat ketika individu tidak bisa bertahan dengan kemandirian primitifnya, sehingga dirasakan perlunya upaya perlindungan-diri sehingga individu-individu tersebut bersatu membentuk masyarakat.26 Namun Rousseau menegaskan bahwa keuntungan-keuntungan yang terdapat dalam keadaan alamiah harus sedapat mungkin tetap dipelihara. Rousseau juga mengakui adanya keadilan universal (universal justice) yang bersemi hanya dari akal. Ia memiliki ketertarikan pada manusia secara individu dan juga sosial terutama yang diekspresikan dalam konsep keadilan universal yang mungkin ditemukan apabila dilakukan latihan yang tepat pada akal manusia. Menurutnya. “by 24

Ibid, 58. Keadaan alamiah di mana manusia hidup atas dasar dirinya sendiri, kesepian, dan sendirian, di tengah-tengah hutan yang lebat, dengan memiliki dirinya sendiri segala kekuatan rohaniah dan badaniah. Manusia tidak menghasilkan lebih dari apa yang diperlukan sendiri. Pada waktu itu tiada hukum alam, sebab tidak perlu aturan-aturan hukum dirumuskan bagi orang-orang yang tidak saling memerlukan. Selengkapnya lihat: Harun Wijono, Sari Sejarah…, 60. 26 Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 908. 25

Vol. 9, No. 2, November 2013


256 Dinar Dewi Kania means of rational deliberation we may free ourselves from the condition of false consciousness whereby our vision of the true good for man is clouded by vanity, pride, and self-love.â€? Namun orang yang bebas menurut Rousseau adalah yang berperilaku sesuai dengan aturanaturan keadilan universal yang tertuang dalam hukum moral (moral law). Ia juga menegaskan bahwa untuk menjadi bebas seseorang perlu untuk diatur, dan kunci kepada kebajikan moral adalah ketika manusia berada pada kondisi dimana ia dapat memerintah dirinya sendiri.27 Berbeda dengan pencerahan di Perancis, para tokoh intelektual dan filsafat di Jerman tidak menyerang secara pedas agama Kristen. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha menyerang dasar-dasar iman kepercayaan Kristen dan menggantinya dengan agama yang berdasarkan perasaan. Etika menjadi pusat perhatian dari pencerahan di Jerman dan orang bercita-cita mengubah ajaran moral Kristen menjadi suatu ajaran moral yang berdasarkan “kebaikan umumâ€?, yang cenderung memusatkan pada perasaan.28 Karenanya, di penghujung abad ke-18 menyebarlah Gerakan Romantisme yang dimotori oleh kaum muda Jerman yang terinspirasi oleh ide-ide Rousseau. Gerakan ini kemudian mulai menyebar di Inggris pada awal abad 19 dan juga Perancis.29 Gerakan Romantisme memiliki ciri digantikannya standar kepraktisan dengan estetika. Moral bagi kalangan romantik selain memperhatikan estetik juga harus memperhatikan perubahan selera yang menjadikan rasa keindahan mereka berbeda dari para pendahulu.30 Tujuan Gerakan Romantisme pada dasarnya adalah melepaskan belenggu kesepakatan dan moralitas sosial dan mereka tidak bermaksud mewujudkan kedamaian dan ketentraman, namun kehidupan yang bersemangat dan penuh dengan gairah. Kaum Romantik menekankan perasaan, segi-segi adiduniawi, cerita-cerita rakyat, fantasi, religiusitas, serta melawan Rasionalisme dan Pencerahan.31 Diderot, Rousseau, dan Herder, tampil pada zaman ketika orang Barat mulai bosan dengan nalar, menghidupkan kembali 27 David Carr, Educating the Virtues; an Essay on the Philosophical Psychology of Moral Development and Education, (London: Routledge, 1991), 69-71. 28 Selengkapnya lihat Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah‌, 62-63. 29 Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 887. 30 Ibid, 885-886. 31 Fanz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-5, 2009), 59.

Jurnal TSAQAFAH


Konsep Nilai dalam Peradaban Barat

257

“antusiasme”, dan menerima kebangkrutan nalar, mengizinkan hati nurani untuk memutuskan persoalan-persoalan yang tidak dapat diputuskan oleh akal. Penekanan pada hati nurani dari tahun 17501794 kian menonjol, namun kemudian berakhir pada Revolusi Prancis. Setidaknya di Prancis, karena di bawah kekuasaan Napoleon, hati dan kepala (pikiran) sama-sama dibungkam.32 Selain Gerakan Romantisme, pencerahan di Jerman memunculkan aliran filsafat baru dengan tujuan mengamankan pengetahuan dan kebaikan dari doktrin-doktrin subversif akhir abad ke-18. Aliran ini dinamakan Idealisme dan memiliki hubungan dengan Gerakan Romantisme. Immanuel Kant, salah seorang pendiri Idealisme Jerman yang kemudian banyak menulis tentang masalah moralitas. Ajaran Kant tentang etika terdapat di dalam 3 macam buku, yaitu Grundlegung Zur Metaphysik der Sitten, atau “Dasar bagi Metafisika Kesusilaan” (1785), Kritik der praktischen Vernunft, atau “Kritik atas Rasio paktis” (1788) dan Metaphysik der Sitten, atau “Metafisika Kesusilaan” (1797). Kant berpendapat bahwa ada suatu intuisi pada manusia yang mengatakan bahwa tidak ada perbuatan yang lebih tinggi dari perbuatan yang dilakukan karena “kehendak baik”, lepas dari buahbuahnya.33 Menurutnya, semua konsep moral memiliki tempat dan asal muasal yang a priori dalam rasio. Nilai moral hanya ada selama manusia bertindak-tanduk dengan berlandaskan rasa kewajiban. Kant menyatakan dengan tegas bahwa kebajikan tidak tergantung pada hasil tindakan yang dikehendaki, namun hanya pada prinsip di mana ia merupakan hasilnya; dan jika ini diakui, tidak ada yang lebih konkret dibandingkan kaidahnya. Kant menyatakan bahwa kita sebaiknya bertindak dan memperlakukan setiap orang sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. 34 Kewajiban moral yang paling mendasar adalah memperlakukan manusia sebagai tujuan akhir dan bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan di luar dirinya. Beberapa versi teori Hak Asasi Manusia merupakan contoh dari pendekatan deontological/ Kantian melalui etika.35 32

Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 918. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah…, 73. 34 Kant berkata, “Berlakulah seolah-olah kaidah tindakan anda itu anda harapkan menjadi hukum alam umum.” Lihat, Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 927-928. 35 Lihat Steven Hitlin and Stephen Vaisey (eds.), Handbook of the Sociology of Morality, (New York: Springer Science - Business Media, 2010), 15. 33

Vol. 9, No. 2, November 2013


258 Dinar Dewi Kania Menjelang abad ke-19, Filsafat Idelialisme yang dikembangkan oleh Kant mencapai puncak perkembangannya di tangan Hegel (1770-1831). Ia termasuk salah satu filsuf Barat yang paling menonjol dan memberi pengaruh besar sampai di luar Jerman.36 Pandangannya tentang moral sebagian mengadopsi pandangan Kant, seperti pembedaan antara legalitas dan moralitas. Menurutnya, karena manusia ingin dinilai menurut bagaimana ia menentukan dirinya sehingga dalam hubungan itu manusia adalah bebas bagaimanapun kondisi-kondisi lahiriahnya. Keyakinan manusia tidak mungkin dipaksa dan tidak terjangkau dari luar, sehingga keyakinan manusia tidak dapat diperkosa oleh kehendak moral. Nilai manusia ditentukan dari tindakan batiniahnya, dengan demikian titik tolak moral berupakan kebebasan yang berada bagi dirinya sendiri. Manurut Hegel, suara hati menjadi milik pribadi manusia. Kebebasan ini merupakan kebebasan batiniah dan subjektif namun sangat nyata, karena kebebasan itu sepenuhnya diisi oleh subjek. Suara hati menurutnya adalah ruang otonomi hakiki subjek yang tidak bisa dimasuki dari luar. Hegel juga mengkritisi Kant yang memandang moralitas semata-mata sebagai dimensi batin dan tidak mengacu pada realitas struktur-struktur dunia luar yang sosial. Kewajiban sebagai kewajiban itu abstrak dan jatuh ke dalam “formalitas kosong�. Menurutnya, ada wilayah moralitas sosial (sittichkeit) di mana tatanan ini ditentukan oleh keluarga, masyarakat, dan negara karena tiga lembaga ini menentukan cara individu harus bertindak apabila mau dianggap bermoral, melalui tradisi, adat istiadat, dan hukum. Paham Hegel tentang moralitas sosial mengandaikan bahwa bidang-bidang kehidupan obyektif sudah terstrukturisasi sebagai perealisasian kebebebasan. Dalam pandangannya, orang-orang yang bertindak sesuai dengan struktur-struktur tersebut dianggap telah menyatakan kebebasannya. Sistem hukum yang dijamin negara merupakan “kerajaan kebebasan sudah terealisasi� dan tatanan moralitas sosial adalah wilayah di mana kehendak khusus subjek otonom menyatu dengan kehendak umum dan termanifestasikan dalam lembaga-lembaga.37 Abad ke-19 juga memunculkan suatu aliran baru dalam filsafat, yaitu Positivisme yang berawal dari tulisan-tulisan Auguste Comte (1798-1857). Positivisme membatasi filsafat dan pengetahuan pada 36 37

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah‌, 98. Frans Magnis, Pijar-Pijar Filsafat, 89-90.

Jurnal TSAQAFAH


Konsep Nilai dalam Peradaban Barat

259

bidang gejala-gejalanya saja. Kesamaan Positivisme dengan Empirisme adalah keduanya mengutamakan pengalaman, namun Positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman obyektif, sedangkan Empirisme menerima juga pengalamanpengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif.38 Dalam filsafat moral, tokoh yang terpengaruh pemikiran positivisme Comte adalah John Stuart Mills (1806-1873). Mills dalam bukunya Utilitarianism, berpandangan bahwa kesenangan adalah satu-satunya hal yang patut terhasrati (desirable). “Patut terhasrati� merupakan kata yang memprasyaratkan suatu teori etika. Menurutnya etika menjadi penting lantaran adanya konflik hasrat antarmanusia disebabkan oleh egoisme. Kebanyakan orang lebih tertarik kepada kesejahteraan mereka sendiri daripada kesejahteraan orang lain.39 Namun sebenarnya yang ingin dicapai seseorang bukan bendanya sendiri, melainkan kebahagiaan yang ditimbulkan oleh benda-benda atau sesuatu itu sendiri.40 Bagi Mills, etika memiliki tujuan ganda: pertama, menemukan kriteria untuk membedakan hasrat yang baik dan hasrat yang buruk; kedua, dengan sarana pujian dan kecaman, untuk mendorong hasrat yang baik dan meredam hasrat yang buruk. Bagian etika dari doktrin utilitarian menyatakan bahwa hasrat-hasrat dan tindakan-tindakan itu bagus apabila pada faktanya memajukan kebahagiaan umum. Kebutuhan ini bukan niat tindakan, melainkan hanya pengaruhnya.41 Menurut Smart pada dasarnya doktrin utilitarianism dibedakan menjadi act-utilitarianism dan rule-utilitarianism. Act-utilitarianism mengajarkan manusia untuk memilih tindakan yang menambah kebahagiaan dan menghilangkan penderitaan. Sedangkan rule-utilitarianism mengajarkan manusia untuk bertindak sesuai dengan aturan yang cendrung menambah kebahagiaan dan menghilangkan penderitaan.42

38

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah‌, 110. Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 1013-1014. 40 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah‌, 114. 41 Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 1013-1014. 42 J.J. Smart dalam Chistina Sommers and Fred Sommers, Vice & Virtue in Everyday Life; Introductory Reading in Ethicc, (Orlando: Harcourt Brace & Company, 1997), 110. 39

Vol. 9, No. 2, November 2013


260 Dinar Dewi Kania Penutup Kehidupan intelektual abad ke-19 di Barat merupakan masa yang kompleks dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Ada beberapa sebab yang mendasari hal ini: 1) Amerika dan Rusia memberikan kontribusi penting dalam bidang pemikiran, 2) Eropa mulai menyadari kehadiran Filsafat India, baik kuno maupun modern, 3) produksi mesin mengubah struktur sosial secara besar-besaran, dan 4) terjadi pemberontakan radikal baik filosofis maupuan politik melawan sistem-sistem tradisional dalam hal pemikiran, politik, dan ekonomi. Pemberontakan ini memiliki dua bentuk, yaitu romantik dan lainnya adalah rasionalistik. Tokoh-tokoh pemberontakan romantik adalah Byron, Schopenhauer, Nietzsche, Musollini, dan Hitler. Pemberontakan rasionalistik diawali oleh filsuf-filsuf revolusi Prancis, berlanjut ke arah radikal filosofis di Inggris, kemudian berujung pada Marx di Soviet, Rusia.43 Sebab-sebab di atas tentu saja berpengaruh terhadap perkembangan konsep nilai dalam Masyarakat Barat pada abad setelahnya (abad ke-20 dan 21). Pemberontakan terhadap etika agama Kristen yang tidak lagi diyakini kebenarannya, pada akhirnya memunculkan berbagai macam teori nilai yang berlandaskan pada akal. Munculah aliran-aliran baru yang tentunya terinspirasi oleh filsafat pada Zaman Renaisans dan Pencerahan, seperti aliran Pragmatisme dengan tokohnya William James dan John Dewey, Fenomenologi oleh Edmund Husserl, dan Ekstensiallisme dengan tokohnya seperti Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, serta Soren Aabye Kierkegaard, dan masih banyak lagi. Perkembangan konsep nilai di Barat dari sejarah yang telah dipaparkan di atas, menunjukkan betapa Barat tidak pernah akan berhenti dalam merumuskan nilai-nilai yang dianggap baik bagi kehidupan masyrakatnya. Sejarah memperlihatkan perubahan nilai di Barat secara radikal, dimulai dari penerimaan pada etika moral gereja, sampai akhirnya berujung kepada penghapusan unsur-unsur metafisika dalam etika moralnya. Dahulu gereja mengharamkan tindakan homoseksual karena tidak sesuai dengan nilai etika agama tersebut, namun saat ini dunia menyaksikan seorang homoseksual telah diangkat menjadi Uskup di Gereja Anglikan, New Hamshire pada tahun 2003 lalu. Konsep nilai dan moral di Barat akan terus berevolusi, berkembang sesuai dengan konsepsi Masyarakat Barat terhadap hakikat manusia, agama, ilmu, dan kehidupan itu sendiri.[] 43

Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 938-939.

Jurnal TSAQAFAH


Konsep Nilai dalam Peradaban Barat

261

Daftar Pustaka Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Arthur, James. 2003. Education with Character; The Moral Economic of Schooling, London: RoutledgeFalmer. Brouwer, M.A.W. dan M. Puspa Heryadi. 1986. Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman. Bandung: Penerbit Alumni. Cetakan Ke-3. Brown, Alison. 2009. Sejarah Renaisans Eropa. Bantul: Kreasi Wacana. Carr, David. 1991. Educating the Virtues; an Essay on the Philosophical Psychology of Moral Development and Education. London: Routledge. Hadiwijoyo, Harun. 2011. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-24. Hitlin, Steven and Stephen Vaisey (eds.). 2010. Handbook of the Sociology of Morality. New York: Springer Science - Business Media. Hoffding, Horald. 1955. A History of Modern Philosophy; A sketch of the History of Philosophy. Volume I. USA: Dover Publication. Hooke, Alexander E. 1998. Virtuous Persons, Vicious Deeds. Mountain View: Mayfield Publishing Company. http://www.sociologyguide.com/basic-concepts/Values.php, 10 Des 2010 Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani Press. Kelley, Michael W. 1998. The Impulse of Power, Formative Ideals of Western Civilization. Minneapolis: Contra Mundum Books. Langer, William L., et.al. 1968. Western Civilization; The Struggle for Empire to Europe in Modern World. New York: A HarperAmerikan Text Book. Power, F. Clark. et.al (ed). 2008. Moral Education: A Handbook; Volume 1 & 2. Westport: Praeger. Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan II.

Vol. 9, No. 2, November 2013


262 Dinar Dewi Kania Sommers, Chistina dan Fred Sommers. 1997. Vice & Virtue in Everyday Life; Introductory Reading in Ethic. Orlando: Harcourt Brace & Company. Stoley, Kathy. S. 2005. The Basic of Sociology. Westport: Greenwood Press. Suseno, Fanz Magnis. 2009. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-5. Toynbee, Arnold. 2007. Sejarah Umat Manusia; Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan IV.

Jurnal TSAQAFAH


Pemikiran Islam Kontemporer, Antara Mode Pemikiran dan Model Pembacaan Mohammad Muslih Program Pascasarjana ISID Gontor Email: muslih@isid.gontor.ac.id

Abstract This paper examines mode of Islamic thought is developing today, which was then known as Contemporary Islamic Thought, by searching the role of logic and reasoning behind the idea. Three main issues are addressed: first, the project of contemporary Islamic thought, which is a radical reading of the construction of epistemology of sciences and building of logical basic of traditions, culture and civilization, by taking the authentic (al-ash창lah) and inner structure (bunyah), so that it can be transformed to the present. Second, the mode of contemporary Islamic thought, related to attitudes toward tradition (tur창ts) on the one hand and attitudes towards modernity (had창tsah) on the other. In contrast to the traditional thought that addressing modernity with a priori for conservation, are also different from modern thought that response to the tradition as something that must be eliminated for the sake of progress; Contemporary Islamic thought involved a critical reading of tradition and modernity, before bringing them within the framework of contemporary challenges. And third, the model of contemporary readings, by indicate methodological tools of scientific work. Hermeneutics, criticism, and deconstruction are three species of readings that be able to break through the scarcity of methodological for reading complexity of culture and problems of humanity in general, which has not been available instrument for that. Tulisan ini mengkaji mode pemikiran Islam (mode of thought) yang berkembang dewasa ini, yang kemudian dikenal dengan Pemikiran Islam Kontemporer, dengan melakukan penelusuran terhadap logika dan nalar yang berperan di balik pemikiran itu. Tiga isu utama yang dibahas, yaitu pertama, proyek pemi* Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, telp. (0352) 488220

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


348 Mohammad Muslih kiran Islam kontemporer, yaitu pembacaan secara radikal terhadap bangunan epistemologi keilmuan dan bangunan nalar tradisi, budaya dan peradaban, dengan mengambil yang otentik (al-as}âlah) dan struktur terdalam (bunyah), sehingga bisa ditransformasikan ke masa kini. Kedua, mode pemikiran Islam kontemporer, terkait sikap terhadap tradisi (turâts) di satu sisi dan sikap terhadap modernitas (hadâtsah) di sisi yang lain. Berbeda dengan pemikiran tradisional yang menyikapi modernitas dengan apriori demi konservasi, juga berbeda dengan pemikiran modern yang menyikapi tradisi sebagai sesuatu yang mesti dihilangkan demi kemajuan; pemikiran Islam Kontemporer terlibat pembacaan kritis terhadap tradisi dan modernitas sebelum akhirnya mempertemukan keduanya, dalam kerangka menjawab tantangan kontemporer. Dan ketiga, model pembacaan kontemporer dengan menunjukkan perangkat-perangkat metodologis kerja ilmiah. Hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi adalah tiga spisies pembacaan yang dianggap mampu menerobos kelangkaan metodologis dalam membaca kompleksitas budaya dan problem kemanusiaan pada umumnya, yang selama ini belum tersedia instrumen untuk itu.

Kata Kunci: al-turâts, al-h}adâtsah, parole, langue, signifier, signified, hermeneutik, discourse, dekonstruksi.

Pendahuluan

T

iga sampai empat dasawarsa terakhir ini dinamika pemikiran Islam menunjukkan trend yang sama sekali baru. Perkembangan ini ditandai dengan lahirnya karya-karya akademis dan intelektual sebagai pembacaan ulang terhadap warisan budaya dan intelektual Islam. Bila dilihat dari awal kemunculannya, fenomena pemikiran baru ini sesungguhnya merupakan respon atas kekalahan bangsa Arab di tangan Israel pada perang enam hari Juni 1967. Peristiwa itulah yang menjadi garis pemisah antara apa yang disebut dengan pemikiran modern dan pemikiran kontemporer, Problem utama pemikiran Islam Kontemporer umumnya terkait sikap terhadap tradisi (turâts) di satu sisi dan sikap terhadap modernitas (h}adâtsah) di sisi yang lain. Berbeda dengan pemikiran tradisional yang menyikapi modernitas dengan apriori demi konservasi, juga berbeda dengan pemikiran modern yang menyikapi tradisi sebagai sesuatu yang mesti dihilangkan demi kemajuan; pemikiran Islam Kontemporer terlibat pembacaan kritis terhadap

Jurnal TSAQAFAH


Pemikiran Islam Kontemporer...

349

tradisi dan modernitas sebelum akhirnya mempertemukan keduanya, dalam kerangka menjawab tantangan kontemporer. Bagaimana struktur pemikiran Islam Kontemporer, trend apa yang menjadi gagasan besarnya. Inilah beberapa persoalan yang akan diuraikan dalam makalah ini.

Mode Pemikiran Islam Kontemporer Pemikiran Islam kontemporer umumnya ditandai dengan lahirnya suatu kesadaran baru atas keberadaan tradisi di satu sisi dan keberadaan modernitas di sisi yang lain, serta bagaimana sebaiknya membaca keduanya. Maka “tradisi dan modernitas” (al-turâts wa al-hadâtsah)1 merupakan isu pokok dalam pemikiran Islam kontemporer. Apakah tradisi harus dilihat dengan kacamata modernitas ataukah modernitas harus dilihat dengan kacamata tradisi atau bisakah keduanya dipadukan? Berbeda dengan pemikiran Islam tradisional yang melihat modernitas sebagai semacam dunia lain, dan berbeda pula dengan pemikiran Islam modernis yang menggilas tradisi demi pembaharuan, pemikiran Islam kontemporer melihat bahwa turâts adalah prestasi sejarah, sementara hadâtsah adalah realitas sejarah. Maka tidak bisa menekan turâts apalagi menafikannya hanya demi pembaharuan; rasionalisasi atau modernisasi sebagaimana perspektif modernis selama ini.2 Juga tidak bisa menolak begitu saja apa-apa yang datang dari ‘perut’ hadâtsah, terutama perkembangan sains dan teknologi. Karena sekalipun banyak mengandung kelemahan, karenanya juga dikritik, tetap banyak memberikan penjelasan atas problem kehidupan, keilmuan, mungkin juga keberagamaan. Maka keduanya, turâts dan hadâtsah harus bisa dibaca secara kreatif, dengan sadar, dengan “model pembacaan kontemporer” (qirâ’ah mu’âshirah).3 Di sini, turâts tidak hanya dibaca secara harfiah 1 Lihat misalnya Hasan Hanafi dengan proyek al-Turath wa al-Tajdid (Al-Qahirah: Maktabah Anjlu Misriyyah, 1987), demikian pula Abied Jabiri dengan proyek al-Turats wa al-Hadatsah. (Beirut, Al-Markas al-Tsaqafi al-Arabi, 1991) 2 M. Arkoun dan Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, (Bandung: Pustaka, 1997), h. 120. M. Arkoun membedakan antara modernism material dan modenisme pemikiran. Yang pertama terkait kerangka eksternal eksistensi manusia seperti industrialisasi. Sedangkan modernism pemikiran adalah mencakup metode atau kerangka berfikir dan sikap rasional yang mempercayai rasionalitas lebih sesuai dengan realitas. 3 Istilah “pembacaan kontemporer” dipinjam dari beberapa intelektual Muslim kontemporer seperti Muhammad Syahrur dan Abied al-Jabiri yang telah memperkenalkan

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


350 Mohammad Muslih tetapi sampai pada basis pembentuknya untuk menemukan makna potensial sehingga bisa ditransformasikan di zaman kita. Tidak sebagaimana perspektif modernisme, apa saja yang datang dari Barat diterima tanpa kritik, bahkan dianggap pasti baik dan benar. Dalam pembacaan kontemporer, h}adâtsah juga harus dibaca secara kritis, dengan kritik, dengan mengambil jarak, juga untuk membongkar basis filosofis dan ideologisnya. Di sinilah peran filsafat ilmu, juga sosiologi dan sejarah ilmu sebagai perspektif sangat diperlukan. Setelah keduanya dibaca secara kritis-kreatif, lalu terbangun konstruksi pemaknaan yang baru. Sebagaimana disebutkan di atas, trend dan mode pemikiran demikian tidak bisa dilepaskan dari dinamika pemikiran yang berkembang empat sampai lima dasawarsa terakhir ini. Perkembangan ini ditandai dengan lahirnya karya-karya akademis dan intelektual sebagai pembacaan ulang terhadap warisan budaya dan intelektualisme Islam. Bila dilihat dari awal kemunculannya, fenomena pemikiran baru ini sesungguhnya merupakan respon atas kekalahan bangsa Arab di tangan Israel pada perang enam hari Juni 1967. Peristiwa itulah yang menjadi garis pemisah antara apa yang disebut dengan pemikiran modern dan pemikiran kontemporer, sekaligus merubah peta pemikiran di dunia Arab. Menurut Sadik Al-Azm, “I found myself suddenly preoccupied with writing about and debating direct political questions which I never dreamed would be a concern of mine.”4 Peristiwa itu telah menimbulkan lahirnya “gelombang self-criticism dan instropeksi”5 di kalangan pemikir Arab Muslim. Ratusan publikasi yang bersifat “deep social insight, self analysis and a great measure of self-criticism,”6 segera memenuhi literarur Arab Islam. 7 Setiap orang kelihatannya sedang berbicara qirâ’ah mu’âshirah terkait metode interpretatif yang mereka tawarkan. Syahrur menulis di antaranya: Al-Kitâb wa al-Qur’an: Qirâ’ah Mu’âshirah, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992). Sedang Abied al-Jabiri tampak dalam karyanya: Nahnu wa Turats: Qirâ’ah Mu’âshirah fi Turâtsina alFalsafi, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi, 1993) 4 Ghada Talhami, “An interview with Sadik Al-Azm - University of Damascus professor - Interview,” Arab Studies Quarterly (ASQ). Summer, 1997. FindArticles.com. 11 Jun. 2007. http://findarticles.com/p/articles/mi_m2501/is_n3_v19/ai_20755838. 5 R. Hrair Dekmejian, Islam and Revolution: Fundamentalism in the Arab World (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1985), 84. 6 Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought. SUNY,1990, 2. 7 Misalnya Adib Nasur, al-Naksah wa al-Kha ’ (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1968); Yusuf al-Qaradawi, Dars al-Nakbah al-Thaniyah: Limadha Inhazamna wa Kayfa Nantasir (Al-Qahirah, 1987).

Jurnal TSAQAFAH


Pemikiran Islam Kontemporer...

351

tentang pembaharuan, kritik, dan alternatif, lalu berpendapat bahwa sesuatu mesti dilakukan untuk mendobrak situasi yang ada sekarang. Masing-masing mencoba untuk memberikan penafsiran (tafsir al-azmah) atas krisis yang terjadi. Mereka mencoba mencari jawaban atas penyebab terjadinya peristiwa tersebut.8 Di antara sekian banyak interpretasi yang mengemuka, kritik epistemologi merupakan satu corak yang sangat populer di kalangan pemikir kontemporer ini. Abdullah al-‘Arwi dengan karyanya: L’idelogie arabe contemporaine (yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab menjadi Aydiyulujiyyah al-‘Arabiyyah alMu‘âsirah)9. Dalam karyanya ini, ‘Arwi melakukan kritik terhadap Akal Arab dan membongkar basis ideologinya. Dia mengkritisi pola pikir yang dikembangkan tokoh pembaharu Muslim, Muhammad ‘Abduh. Meski tokoh ini telah berusaha untuk merestorasi dan merekonstruksi akal dalam usaha pembaharuannya, namun akal tersebut masih berpijak pada akal teologis abad pertengahan (dhihniyyah al-kalam). Sadiq Jalal al-‘Azm mengikuti jejak ‘Arwi, tidak lama setelah peristiwa 1967, dia menulis buku berjudul alNaqd al-Dhâti ba‘d al-Hazimah. 10 Selain kedua nama tersebut di atas, masih ada lagi beberapa nama lain yang tak kalah pentingnya dalam belantika pemikiran Arab Islam hari ini. Di antaranya adalah Yasin al-Hafidh dengan karyanya al-Hazimah wa al-Aydiyulujiyyah al-Mahzumah. 11 Ali Ahmad Said atau yang lebih dikenal dengan Adonis yang pada tahun 1970an dia menyelesaikan disertasi doktornya yang kemudian diangkat menjadi buku dan diberi judul al-Tsâbit wa al-Mutah}awil. Seperti judulnya, buku ini mencoba mengidentifikasi yang permanen dan yang berubah dalam nalar Arab dan selanjutnya berusaha untuk mendekonstruksinya. Adonis seperti yang lainnya juga menuduh kemenangan tradisionalisme atas nalar sebagai penyebab 8 Nakhlah Wahbah mencoba menganalisa seluruh bentuk respond an reaksi serta interpretasi intelektual Arab terhapad peristiwa ini dalam artikelnya yang berjudul, “Ittijahat al-Mufakkirin al-‘Arab hawl al-Hazimah 1967,” al-Mustaqbal al-‘Arabi, Vol. 9, no, 88, June 1986, 18-39. 9 ‘Abdullah al-‘Arwi, Ayduyulujiyyah al-‘Arabiyyah al-Mu‘asirah, 2nd ed (Beirut: AlMarkaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1999). 1st ed 1967. 10 Beirut: Dar al-Tala‘ah, 1969, “A summary discussion of this book can be read” in Nissim Rejwan, Arabs Face Modern World (Gainesville: University Press of Florida, 1998), 107-113. 11 Syria: Dar al-Hisad li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1997. 2nd ed.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


352 Mohammad Muslih atas keterpurukan bangsa Arab hari ini.12 Tema kritik nalar (critique of reason/naqd al-‘aql), meski sudah muncul sejak 1970an, namun baru berkembang pada era 1980an keatas. Perkembangan ini tidak terlepas dari karya Mohammed Arkoun yang terbit pada tahun 1980an, yaitu Pour une Critique de la Raison Islamique.13 Begitu pula Mohammed Abied al-Jabiri14 dengan karyanya Nahnu wa al-Turâts.15 Mengkuti jejak intelektual di atas, Nasr Hamid Abu Zayd tahun 1990 juga menerbitkan karya dengan nuansa kritis yang sama Naqd al-Khitab al-Dini16 di samping karyanya yang lain Mafhum al-Nass dan al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis alAydiyulujiyyah al-Wasatiyyah. Di buku ini, Abu Zayd mencoba menulusuri apa yang disebutnya aliyat al-fikr pemikiran Islam kontemporer. Selain keempat tokoh di atas, masih banyak lagi pemikir, tokoh intelektual, dan filsuf Arab Muslim kontemporer yang tampil dengan ide-ide kritik pemikiran keagamaan. Halim Barakat dengan salah satu karya monumentalnya al-Mujtama’ al-’Arabi al-Mu’âsir 17, Hisham Sharabi dengan teori Neopatriarchy 18 dan al-Naqd alH} ada> ri-nya, Hasan Hanafi dengan proyek al-Turâts wa al-Tajdidnya, 19 yang keduanya merupakan sebuah kritik atas struktur masyrakat Arab dan pola pikirnya, Tayib Tizini dengan Min al-Turâts ila al-Thawrah, Mahmud Amin, Abdullah Laroui, dan lain sebagainya. Intinya para pemikir ini merasa perlu untuk menilai kembali tradisi keilmuan Islam yang telah kita warisi dari generasai Muslim abad pertegahan sebagai usaha untuk merespon tantangan zaman 12

Adonis, “Khawatir hawl Mazahir al-Takhalluf al-Fikri fi al-Mujtama‘ al-‘Arabi,” alAdab, no. 5, May 1974, 27. 13 Buku ini diterjemahkan Hashim Salih, murid dan juga teman baik Arkoun, kedalam bahasa Arab dan diberi judul Tarikhiyyat al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1986). Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Rahayu S. Hidayat dan diberi judul Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta: INIS, 1994). 14 Mohammad ‘Abied al-Jabiri, pemikir muslim kontemporer adalah seorang antropolog kelahiran Maroko, 1936. Gelar doktornya diperoleh pada Universitas al-Khamis Rabat Maroko. Di tempat yang sama, sejak tahun 1976 menjadi dosen dalam bidang filsafat dan pemikiran Islam pada Fakultas Sastra. 15 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats (Al-Dar al-Bayda’: Al-Markaz alThaqafi al-’Arabi, 1983). 16 Qahirah: Maktabah Madbuli, 1990. 17 Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1991. 18 Hisham Sharabi, Al-Nizam al-Abawi wa Isykaliyah Takhalluf al-Mujtama’ al-‘Arabi, (Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1993)

Jurnal TSAQAFAH


Pemikiran Islam Kontemporer...

353

dan menjawab persoalan yang sedang terjadi. Gelegar dan trend pemikiran Islam kontemporer ini yang pada kenyataannya memberikan support dan warna baru terhadap dinamika studi Islam di era kontemporer ini. Dalam konteks ini, tampaknya menarik untuk melihat berbagai tawaran para pemikir Islam untuk pengembangan studi Islam. Ada yang mengembangkan aspek metodologi, sementara yang lain mengembangan aspek epistemologi. Umumnya, pada aspek metodologi berkembang dua trend pemikiran, yaitu ada yang menjadikan usul fiqh sebagai lahan pembaharuan, sementara yang lain memfokuskan diri pada pembaharuan metodologi tafsir. Meskipun berangkat dari sudut pandang yang berbeda, pada prinsipnya mereka mempunyai pandangan yang sama yaitu metodologi usul fiqh dan tafsir al-Qur’an klasik sudah tidak sanggup menjawab tantangan zaman. Metode qiyas, dan tafsir yang dikatakan berputar-putar sekitar teks tanpa melihat setting sosial, kultur dan politik yang sedang berkembang hanya akan menjadikan ajaran Islam tersebut kaku dan sebagai akibatnya akan gagal merespon kebutuhan umat.20

Kritik Epistemologi, Proyek Besar Pemikiran Islam Kontemporer Menurut Bollouta, Setidaknya terdapat tiga kelompok yang mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan budaya vis a vis modernitas,21 yaitu: Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif, yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari kelompok ini umumnya berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dll. Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif, yang menginginkan sikap akomodatif, dengan 19 Hasan Hanafi, al-Turats wa al-Tajdid, (Al-Qahirah: Maktabah Anjlu Misriyyah, 1987). Cet.3 20 Lihat misalnya Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982); Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Qahirah: Maktabah Madbuli, 1990); Abdullah Ahmad an-Na’im, Towards an Islamic Reformation (Syracuse: Syracuse University Press, 1990); ‘Abdul Hamid Abu Sulayman, The Criris of Muslim Mind, terj. Yusuf Talal Larenzo (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1991); dan Taha Jabir al-’Ulwani, Islah al-Fikr al-Islami (Virginia: AlMa’had al-’Alami li al-Fikr al-Islami). 21 Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), 114-115.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


354 Mohammad Muslih mereformasi tradisi yang selama ini dihidupinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dll. Ketiga, kelompok yang disebut idealis-totalistik, yang menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran dan hadis. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dll. Sementara itu, beberapa peneliti juga menemukan bahwa ada tiga kelompok pemikir Islam kontemporer, terutama pada sayap postra. Pertama, sayap ekletis (al qirâ’ah al-intiqiyah). Kelompok ini mencoba menghubungkan antara orisinalitas (al-as} âlah) dan modernitas (almu’âs}irah) dalam membangun teori tradisi. Prinsip yang dipakai adalah membuang unsur-unsur yang negatif dalam tradisi dan mengambil sisi positif tradisi untuk memecahkan persoalan kekinian. Di antara tokohnya adalah Fahmi Jad’an dan Zaky Naqueb Mahmud. Kedua, sayap revolusioner (al-qirâ’ah al-tsauriyah). Proyeknya adalah melakukan revolusi dan liberasi pemikiran keagamaan yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Dan juga merekonstruksi pemikiran klasik dengan memasukkan nilai-nilai humanistik dalam kajian keagamaan. Hassan Hanafi bisa dikatakan tokoh kunci model ini. Dan Ketiga, sayap dekonstruktif (al-qirâ’ah al-tafkikiyah). Upaya yang dilakukan adalah bongkar pasang tradisi secara komprehensif, sehingga menimbulkan kontroversial. Bahkan untuk mendekonstruksi wacana agama, mereka menggunakan pemikiran-pemikiran modern dan metodologinya dari kalangan post-modernis, post-strukturalis, hermeneutika, dan analisis semantik atau semiotika. Tokohnya adalah M. Abed Al-Jabiri, M. Arkoun, Abu Zayd, Aliya Harb, M. Shahrur, dan sebagainya.22 Sekalipun berbeda orientasi, ketiga style pemikiran di atas, menempatkan problem pembacaan sebagai core gagasan besar mereka. Seperti disinggung di awal, pembacaan terhadap nalar atau kritik epistemologi dimaksudkan untuk melihat struktur pengetahuan dan kaitannya dengan sistem pemikiran kolektif yang menjadi basis tumbuh-kembangnya pengetahuan dan tradisi, sekaligus proses pembentukannya. Ada beberapa istilah yang dapat diindentifikasi sebagai technical concept dari epistemologi, seperti reason (Immanuel Kant),23 22 Lihat Zuhairi Misrawi, “Dari Tradisionalisme Menuju Post-Tradisionalisme Islam, Geliat Pemikiran Islam Arab”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 10, Tahun 2001, 58-59. 23 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, Translated by JMD. Meiklejohn, (New York: Prometheus Books, 1990)

Jurnal TSAQAFAH


Pemikiran Islam Kontemporer...

355

episteme (Michel Faucoult),24 dan scientific paradigm (Thomas S. Kuhn).25 Sementara pemikir Muslim kontemporer, ada yang menggunakan istilah al-khithab [al-khitab al-diniy, Nasr Hamid Abu Zayd],26 ada juga yang menggunakan istilah al-‘aql seperti al-‘aql al-islami (Mohammad Arkoun),27 ‘aql al-‘arabiy (Mohammed Abed al-Jabiri).28 Beberapa istilah ini sudah tentu memiliki kekhasan masing-masing, namun demikian semuanya menunjukkan bahwa pengetahuan itu memiliki sistem epistemologi sebagai basisnya. Dengan mengikuti al-Jabiri, kritik epistemologis mengajak untuk menganalisis struktur pemikiran (bunyah al-’Aql) di satu sisi, dan melakukan penelusuran tehadap proses pembentukan pemikiran (takwîn al-’Aql) di sisi yang lain. Formulasi inilah yang ditawarkan al-Jabiri dalam dua karyanya: Bunyah al-’Aql al-’Arabi dan Takwîn al-’Aql al-’Arabi. Buku pertama menganalisis secara mendalam seluk beluk mekanisme kinerja struktur nalar-nalar Arab yang tak jarang saling berbenturan dalam memperebutkan hegemoni ditengahtengah budaya Arab-Islam. Sedangkan buku kedua menganalisis background sosio-politik proses perumusan (formulation) dan keterbentukan nalar Arab-Islam. Untuk mendefinisikan ‘aql [-Arab], al-Jabiri meminjam teori Lalande tentang diferensiasi antara la raison constituante (al-’aql almukawwin) dengan la raison constituée (al-’aql al-mukawwan). La raison constituante adalah bakat intelektual (al-malakah) yang dimiliki setiap manusia guna menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip universal, sedangkan la raison constituée adalah akumulasi teori-teori atau prinsip-prinsip —bentukan la raison constituante— yang berfungsi sebagai tendensi pencarian konklusi, atau kaidah-kaidah sistematis yang ditetapkan, diterima dan dinilai sebagai nilai mutlak dalam suatu babak sejarah tertentu. La raison constituée memiliki 24 Lihat Michel Foucault, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994) 25 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970). Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989) 26 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Diny, (Mesir: Sina li.al-Nashr, 1994) 27 Mohammad Arkoun, Qad}a>ya> fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa Nafhamu al-Islam alYawm?, (Dar al-Thali’ah). Lihat juga Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhammad Arkoun, (Dar al-Thali’ah). 28 Mohammed Abied Al-Jabiri, Takwîn al-’Aql al-’Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah alWahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2002); Binyah al-’Aql al-’Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah alWahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2004)

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


356 Mohammad Muslih relativitas dan, oleh karenanya, ia dicirikan dengan sifat berubahubah secara dinamis setiap waktu dan berbeda-beda antara satu pemikir dengan pemikir lainnya. Nalar Arab tak lain adalah la raison constituée, yakni kumpulan prinsip dan kaidah yang diciptakan oleh ulama Arab-Islam ditengah-tengah kultur intelektual Arab sebagai alat produksi pengetahuan.29 Nalar ini, dalam teori Michel Foucault, disebut dengan sistem kognitif (nid}âm ma’rifi) atau sistem pemikiran (episteme). Dengan demikian proyek epistemologi melakukan pembacaan terhadap mekanisme kinerja la raison constituante di satu sisi, dan terhadap la raison constituée di sisi lain. Secara operasional, kerangka kerja epistemologi mesti melakukan analisis terhadap proses-proses kinerja la raison constituante dalam membentuk la raison constituée pada babakan sejarah tertentu dan mencari kemungkinan-kemungkinan la raison constituante membentuk teori-teori baru.30 Dengan perangkat kritik epistemologi seperti itu, pemikiran Islam kontemporer terlibat penelusuran terhadap sistem, struktur, dan bangunan episteme sebagai basis tumbuh kembangnya tradisi (turats). Apa yang disebut dengan tradisi dan bagaimana semestinya memperlakukan tradisi agar bisa menjawab modernitas? Demikian kurang lebih persoalan utamanya. Dalam pandangan Al-Jabiri, tradisi adalah “sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain, baik masa yang jauh maupun masa yang dekat.” Tradisi adalah titik temu antara masa lalu dan masa kini.31 Tradisi bukan masa lalu yang jauh dari keadaan kita saat ini, tapi masa lalu yang dekat dengan kekinian kita. Jadi, dalam pandangan Al-Jabiri, semuanya adalah tradisi, bila berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di tengah kita dan menyertai kekinian kita, asal itu berasal dari masa lalu.32 Persoalannya, adalah bagaimana kemudian membaca tradisi itu agar bisa relevan dengan masa kini. Metodologi yang dipakai Al-Jabiri dalam mengkaji persoalan tradisi adalah dengan pendekatan “objektivisme” (maud}u’iyah) dan “rasionalitas” (ma’quliyah).33 Objektivisme artinya menjadikan tradisi 29

M. Abied Al-Jabiri, Post Tradisonalisme Islam, (peny. Ahmad Baso), (Yogyakarta: LKIS, 2000), xxxii. 30 Mohammed Abied Al-Jabiri, Takwîn..., 5-6 & 13-16. 31 M. Abied Al-Jabiri, Post Tradisonalisme..., 24. 32 Ibid, 25. 33 Ibid, 28.

Jurnal TSAQAFAH


Pemikiran Islam Kontemporer...

357

lebih kontektual dengan dirinya, dan berarti memisahkan dirinya dari kondisi kekinian kita. Tahap ini adalah dekonstruksi, yaitu membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi dan keinginan-keinginan masa kini, dengan jalan memisahkan antara subyek pengkaji dan obyek yang dikaji. Sebaliknya, yang dimaksud dengan rasionalitas adalah menjadikan tradisi tersebut lebih kotekstual dengan kondisi kekinian kita. Tahap kedua adalah merekonstruksi pemikiran baru dengan menghubungkan antara obyek dan subyek kajian. Maksud Al-Jabiri, hal ini dilakukan agar didapatkan pembacaan yang holistik terhadap tradisi. Al-Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Al-Jabiri telah melampaui ideologi dalam proyek peradabannya, dengan menyusun tetralogi bukunya yang serius digarap. Tetralogi yang tergabung dalam proyek peradabannya adalah: (i) Takwin al-‘Aql al-Araby (Formasi Nalar Arab). Seri Kritik Nalar Arab I (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, 1991), cet.V, (ii) Bunyah al‘Aql al-‘Araby (Struktur Nalar Arab). Seri Kritik Nalar Arab II (Beirut: Markaz Dirasah al-wihdah al-Arabiyah, 1996), cet. V, (iii) al-‘Aql asSiyâsi al-Araby (Nalar Politik Arab). Seri Kritik Nalar Arab III (Beirut: Markaz Dirasah al-wihdah al-Arabiyah, 1995, cet. III, dan (iv) ‘Aql al-Akhlaq al-Araby (Nalar Etika Arab). Seri Kritik Nalar Arab IV (Beirut: Markaz Dirasah al-wihdah al-Arabiyah, 2001). Dalam tetralogi itu, proyek metodologis pemikiran Al-Jabiri yang terkenal dengan istilah “Kritik Nalar Arab”, terbagi atas dua model. Pertama, kritik nalar epistemologis. Nalar ini sifatnya spekulatif, yang mengkaji arkeologi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang berlaku di kalangan umat Islam. Kedua, nalar politik, yaitu nalar praktis yang melakukan kritik pemikiran dalam bagaimana cara umat Islam berkuasa, menguasai, dan mempertahankan kekuasaan. Persoalan etika masuk dalam nalar kedua karena terkait dengan perilaku umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Seri Kritik Nalar Arab I dan II adalah model nalar epistemologis, sedangkan dua yang terakhir adalah model nalar praktis.34 Dalam bukunya Nah} n u wa at-Turâts: Qira> ’ ah Mu’âs} i rah fi Tura> tsina al-Falsafi (Kita dan Warisan: Pembacaan Kontemporer 34 Lihat Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 10, Tahun 2001, 33.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


358 Mohammad Muslih terhadap Warisan Filsafat Kita)35, Al-Jabiri memetakan perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan epistemologis filsafat Arab. Menurut Al-Jabiri, muatan epistemologis filsafat Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelektual berbeda dengan muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua terkait dengan konflik sosio-politik ketika ia dibangun.36 Kedua istilah itu (epistemologis-ideologis) sering dipakai Al-Jabiri dalam studinya tentang Akal Arab. Istilah epistemologi merupakan kumpulan kaidah berfikir yang siap digunakan dalam berbagai kondisi kemasyarakatan. Sedangkan, istilah ideologi adalah kondisi sosial dan politik yang mempengaruhi arah pemikiran setiap tokoh pada masa dan tempat dia berada. Seorang tokoh bisa saja menggunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk memecahkan problematika yang dihadapinya.37 Al-Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namu>dhaj salafi).38 Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme (as} âlah). Padahal menurut Al-Jabiry, dalam membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolak dari realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut Al-Jabiri, tradisi (turâts) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan.39 Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable. Untuk menjawab tantangan modernitas, Al-Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem 35

Beirut: Dar ath-Thali’a, 1980. Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam (Yogyakarta: LKIS, 2001), 64. 37 Muhammad Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiasse, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri”, dalam M. Aunul Abied Shah (ed.), Islam Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), 304. 38 Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi..., 65. 39 M. Abied Al-Jabiri, Post Tradisionalisme…., 6. 36

Jurnal TSAQAFAH


Pemikiran Islam Kontemporer...

359

yang menurut skema al-Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu: Pertama, disiplin “eksplikasi” (‘ulum al-bayân) yang didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, disiplin gnotisisme (‘ulum al’irfân) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin bukti “inferensial” (‘ulum al-burhân) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual.40 Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhâni adalah empirik, dalam epistemologi umumnya.

Hermeneutika, Kritik, dan Dekonstruksi: Model Pembacaan Kontemporer Hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi tampaknya merupakan konsep kunci dari pemikiran kontemporer saat ini, bahkan pemikiran filsafat pada umumya. Posisinya sebagai model pembacaan meluas sehingga menjadi semacam mode pemikiran (mode of thought). Disebut sebagai mode pemikiran karena ketiganya telah menjadi wilayah perenungan tersendiri yang berbeda dengan trend dan mode pemikiran sebelumnya, pemikiran klasik dan modern, sehingga terus bermunculan konsep-konsep baru. Dinamikanya pada wilayah mode pemikiran ini sudah tentu dapat memperkaya ketiganya sebagai model pembacaan. Sebagai model pembacaan, hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi memang tidak sama persis, bahkan perbedaan itu juga tampak pada asumsi atas “bahan” bacaannya. Tetapi ketiganya memiliki maksud yang —kurang-lebih— sama, yaitu untuk mendapatkan makna lebih dari sekedar yang tampak pada bacaan, mengambil yang tersembunyi, yang selama ini tak terbaca, bahkan yang seakan tak mungkin terbaca. Sejalan dengan penekananya pada makna, ketiganya disibukkan pada pencarian, penelusuran atau penemuan 40

M. Abied Al-Jabiri, Naqd al-‘Aql al-‘arabi, Vol 1, 56-71.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


360 Mohammad Muslih makna dari teks atau wacana, serta proses produksinya, bukan pada realitas yang menjadi objek “pembicaraan” teks atau wacana. Yang terakhir ini juga ciri paling mencolok yang membedakannya dengan model pembacaan tradisional pada umumnya. Sebagai model pembacaan kontemporer, kehadiran hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi sebenarnya merupakan reaksi dan kritik atas model pembacaan tradisional dan konvensional yang mempercayai kekuatan metodologi dan sistem (manhaj) secara rigit. Artinya, hanya dengan metodologi dan sistem yang tepat, pembaca dapat mengambil makna dengan tepat pula. Karena bacaan, teks, wacana, dan pengetahuan pada umumnya, diandaikan terbangun hanya dengan metodologi dan sistem yang rigit juga. Pandangan demikian memang cukup populer dan dominan pada pemikiran modern dengan patok-patok standar ilmiah (scientific) dan pemikiran klasik dengan kekuatan otoritasnya. Dengan begitu, sisi-sisi personal dan psikis pembaca, kondisi sosio-kultural dan interest pembaca, dan kekuatan hegemonik ideologis-politis pembaca, tidak mendapat dukungan metodologis, sehingga bukan saja perannya diabaikan, tetapi bahkan peran itu dianggap tidak ada sama sekali. Hermeneutika bukan hanya menerima peran sisi personal dan sosial pembaca, tetapi ia bahkan menyediakan dukungan metodologis untuk aspek personal dan sosial itu sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses pembacaan (dan produksi pengetahuan). Jadi terjadi pertemuan antara subyektifitas pembaca dan obyektivitas teks.41 Sementara “kritik”, lebih jauh lagi, ia memasuki basis ideologis-politis dan berbagai interest42 di balik produksi teks dan wacana. Sedang dekonstruksi (bukan destruksi) melakukan pembongkaran terhadap pemikiran (apapun), yang selama ini diterima begitu saja, dengan 41 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Hans-George Gadamer dan Pengembangan Ulumul Qur’an dan Pembacaan Al-qur’an Pada Masa Kontemporer, dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (editor),Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta, Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), 38-39 42 Sekedar contoh, seperti tampak pada proyek metodologis “Kritik Nalar” Al-Jabiri, yang terbagi atas dua model, yaitu kritik nalar epistemologis dan kritik nalar politik. Kritik nalar epistemologis, sifatnya spekulatif, yang mengkaji arkeologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan nalar politik adalah nalar praktis yang melakukan kritik pemikiran dalam bagaimana cara berkuasa, menguasai, dan mempertahankan kekuasaan. Lihat Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 10, Tahun 2001, 33.

Jurnal TSAQAFAH


Pemikiran Islam Kontemporer...

361

emosional, secara tradisional, tanpa pertimbangan, bahkan tanpa kesadaran, sehingga semuanya tampak seperti given, natural dan baku.43 Dengan begitu, dekonstruksi terlibat dalam upaya membangunkan kesadaran, dengan melakukan penelusuran terhadap geneologi pembentukan wacana, dan menemukan basis-basis kesadaran baru. Ketiganya berangkat dari asumsi bahwa setiap ide, pemikiran, nalar, atau akal adalah produk budaya yang historis, karenanya tampil dalam bahasa budaya. Begitu pula budaya, ia ada hanya karena pertemuan antara pemikiran, ide, atau nalar dengan bahasa budaya. Dengan demikian, maka bahasa budaya pasti terlahir dari dialektika antara pemikiran dengan budaya tertentu. Artinya setiap bahasa mengandung pemikiran dan budaya sekaligus. Maka membaca bahasa berarti menemukan ide, pemikiran, atau nalar dan sekaligus menemukan budaya yang memproduksi ide atau nalar itu. Ketiga hal inilah medan garapan hermeneutika, kritik dan dekonstruksi. Hanya saja hermeneutika lebih tertarik dengan teks, karena sifatnya yang interpretable, sementara kritik lebih memusatkan perhatiannya pada nalar atau pemikiran sebagai wilayah yang tidak pernah bisa lepas dari bahasa dan budaya, sedangkan dekonstruksi mengambil wacana sebagai wilayah pembahasannya, seiring dengan kerangka kerjanya yang terlibat upaya menelusuri proses pembentukan (geneologi) nalar itu. Maka kata kunci ketiganya adalah: bahasa, nalar, dan budaya. Itulah sebabnya, pembahasan hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi, menjadi pembahasan menarik pada ilmu bahasa (linguistik), filsafat, dan ilmu budaya sekaligus, bahkan linguistik dan filsafat menjadi bagian dari ilmu budaya. Munculnya model pembacaan ini sudah tentu menarik banyak kalangan untuk mengungkap kompleksitas budaya dan problemproblem kemanusiaan pada umumnya, yang selama belum tersedia instrumen untuk itu. Berbagai eksperimen dilakukan, tidak hanya dengan menjajaki kemungkinan lahirnya perspektif baru, tetapi juga memperluas willayah kajiannya. Beberapa pemikir Islam kontem43

Deconstruction (al-tafkik) adalah istilah metodologis untuk menunjuk suatu upaya penelusuran dari dalam dengan mengungkap aneka ragam aturan yang sebelumnya tidak tampak dan tidak dikatakan dalam teks, l’impense (yang tidak pernah terpikirkan), l’impensable (yang tidak mungkin terpikirkan), dan le pense (yang dapat dipikirkan), lihat Mohammed Arkoun, al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, Hasyim Shalih (pent.), (Beirut: Markaz alInma’ al-Qawmi, 1987), h. 23.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


362 Mohammad Muslih porer, umumnya menerapkannya untuk pembacaan turâts atau khasanah intelektual Islam klasik, bahkan ada pula yang coba menerapkannya ke pembacaan terhadap kitab suci. Yang terakhir ini berangkat dari asumsi bahwa al-Qur’an itu berbahasa Arab. Sebagai bahasa, tentu mengandung makna (ide, gagasan). Tak ada bahasa yang mengandung makna, jika tidak dilahirkan dari budaya. Dari sinilah lahir kajian seputar konsep teks (nass), konsep tanzil, konsep qira’ah, “asbab al-nuzul”, dll., yang semuanya dikembangkan untuk membuktikan bahwa al-Qur’an juga teks budaya. Berbagai upaya itu sudah tentu mengalami banyak kesulitan, tidak hanya karena berangkat dari asumsi yang lain (yang mana, untuk ini hanya menjadi kajian elit, karena sifatnya yang filosofis dan ushûly), tetapi juga kesulitan pada wilayah metodis, yang terkait soal logika dan metodologi dalam beristinbat. Sama dengan pembacaan tradisional, pembacaan kontemporer mengakui bahwa suatu teks atau wacana dapat saja kaya makna atau dapat pula miskin makna, namun berbeda dengan pembacaan tradisional yang mengandaikan intensitas (kaya-miskinnya) makna itu berada dalam teks, sedang dalam pembacaan kontemporer, kaya atau miskinnya makna itu sangat ditentukan oleh kaya-miskinnya perspektif si pembaca. Artinya, pembaca hanya akan dapat mengambil makna sesuai dengan kapasitas dan kualitas pembacaannya. Suatu teks atau tulisan hanya berupa kumpulan bunyi-bunyian atau kumpulan kata-kata, jika pembaca tidak memiliki sensitivitas dan taste apapun. Sensitivitas dan taste pembaca menjadi sedemikian penting untuk membuat teks menjadi lebih hidup. Singkatnya, teks hanya terbaca bagi orang-orang yang bisa baca. Sebesar apa sensitivitas dan taste pembaca, sebesar itu pula makna yang didapat. Persoalannya, bagaimana menumbuhkan sensitivitas dan taste pembaca yang dengan itu, pembaca akan memiliki kekayaan perspektif? Di sinilah ilmu-ilmu modern menjadi sedemikian penting perananya sebagai alat bantu baca, seperti ilmu fonologi, semiotika, simantik, logika dan filsafat, psikologi, sosiologi, sejarah, antropologi, ilmu politik, dll.44 Sebagaimana diketahui, fonologi merupakan ilmu yang membahas bunyi (pada kata) dan perubahannya, yang dengan perubahan itu, pada akhirnya diketahui, berakibat pada perubahan makna. Ilmu semiotika adalah ilmu yang berbicara 44

Bandingkan misalnya dengan Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), 65-66.

Jurnal TSAQAFAH


Pemikiran Islam Kontemporer...

363

tetang sistem tanda, sehingga ada signified (petanda) dan signifier (penanda). Sehingga makna kata, umpamanya, bukan ada pada untaian huruf-hurufnya, tetapi pada apa yang ditunjuk atau ditandai oleh kata itu. Dan, fakta menunjukkan bahwa problem signified (petanda) dan signifier (penanda) itu bukan hanya pada wilayah bahasa saja tetapi juga pada kehidupan sosial dan budaya pada umumnya, sehingga semiotika juga menjadi wiayah kajian ilmu antropologi yang sangat menarik. Ilmu simantik bicara sistem struktur, awalnya memang struktur kata dan kalimat, tetapi berkembang ke struktur sosial dan budaya juga. Konsep kuncinya berkisar antara parole dan langue. Parole adalah kata, kalimat atau gaya (hidup) yang bersifat personal, yang dibuat secara sembarangan (arbitrary) sehingga terkesan asing, aneh, atau lucu bagi orang lain. Sementara langue adalah kata, kalimat atau gaya hidup yang sudah terstruktur dalam kesadaran masyarakat pada umumnya, sehingga sudah dimengerti maksudnya, posisinya, dan eksistesinya. Logika dan filsafat sudah tentu untuk mengetahui kedalam pemikiran yang dikandung dalam bahasa dan budaya tertentu. Psikologi untuk melihat situasi kejiawaan baik personal maupun sosial. Sedangkan ilmu sosiologi, sejarah, antropologi, dan ilmu politik, kesemuanya untuk melihat fakta dan peristiwa benar-benar sebagai human and sosial construction, yang sifatnya historis, sehingga ada dinamika, ada tarik ulur, ada continuity and change, ada kepentingan, ada tradisi, dan ada faham dan ideologi, dan lain sebagainya. Beberapa ilmu tersebut, untuk menyebut beberapa di ataranya, sudah tentu merupakan disiplin ilmu modern yang relatif baru, dan saat ini juga telah berkembang sedemikian rupa dengan temuan teori-teori yang baru. Meski demikian tidak bisa dikatakan, penggunaan ilmu-ilmu ini sebagai perspektif dalam membaca khasanah Islam klasik sebagai satu bentuk infiltrasi. Sehingga penggunaan sosiologi hukum sebagai bagian dari perangkat istinbath hukum bukanlah pemaksaan. Sosiologi hukum memang satu disiplin ilmu baru, namun nalar sosiologis sudah diletakkan dasar-dasarnya oleh para ulama dan para fuqaha. Demikian juga ilmu-ilmu yang lain tadi. Jika para ulama dan para fuqaha tampak seperti tidak menggunakan nalar sosiologi, itu bukan berarti mereka benar-benar tidak ada kepekaan sosiologis dalam melahirkan produk hukumnya, tetapi, dari perspektif pembacaan kontemporer, sekali lagi, karena pembaca, kita, tidak memiliki sensitivitas dan taste sosiologis.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


364 Mohammad Muslih Penggunaan ilmu-ilmu modern dengan segala teori temuannya untuk memperkaya perspektif seperti itu, jelas merupakan ciri utama dari model pembacaan kontemporer yang berbeda dengan model pembacaan tradisional yang umumnya steril dari ilmu-ilmu tersebut. Corak pemikiran semacam ini cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap corak studi Islam. Ilmu-ilmu keislaman yang dikenal dengan al-dirâsah al-Islâmiyah jelas lahir dari kandungan turâts. Dalam perspektif tradisional, al-dirâsah al-islâmiyah dibaca secara harfiyah, tanpa diskusi. Sementara dalam pembacaan modernis atau reformis, al-dirâsah al-islâmiyah harus dibaca secara rasional, makanya harus memasukkan lebih banyak aspek rasionalitas dan sedikit banyak membuang yang tidak rasional. Tidak sebagaimana perspektif modernis, apa saja yang datang dari Barat diterima tanpa kritik, bahkan dianggap pasti baik dan benar. Dalam pembacaan kontemporer (qirâ’ah mu’âs}irah), h}adâtsah juga harus dibaca secara kritis, dengan kritik, dengan mengambil jarak, juga untuk membongkar basis filosofis dan ideologisnya. Demikian juga turâts, ia tidak hanya dibaca secara harfiah tetapi sampai pada basis pembentuknya untuk menemukan makna potensial sehingga bisa ditransformasikan di zaman kini. Maka problem Studi Islam era kontemporer adalah bagaimana “bermain seni” melakukan balancing bagi pertemuan atau perpaduan antara dirasah islamiyah yang lahir dari nalar turâtsina al-qadim itu dengan sains-teknologi modern yang lahir dari “perut” hadâtsah. Memasuki diskursus ini tentu langkah maju bahkan sebagai ujud dari kesadaran baru dan bisa dikatakan sebagai “mega proyek” keilmuan. Jika di era dirasah islamiyah (studi Islam in the old fashion), dua tradisi itu tidak pernah saling sapa, kemudian di era islamic studies sudah mulai ada kontak, sekalipun tetap berada pada kesalingcurigaan. Sementara Studi Islam Kontemporer mencoba melakukan dialog (belum integrasi) antara dua tradisi besar itu: turâts dan h}adâtsah.

Penutup Kekalahan politik Arab-Islam oleh Barat pada tahun 1967, telah dilihat pemikir muslim sebagai kekalahan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan kekalahan peradaban. Limadha taakhkhara almuslimun wa taqaddama ghairuhum, demikian kegelisahan mereka

Jurnal TSAQAFAH


Pemikiran Islam Kontemporer...

365

bisa dibahasakan. Keprihatinan terhadap warisan budaya, tradisi atau turats telah menimbulkan kesadaran baru agar bisa ditransformasikan ke massa kini, agar terus aktual dan bisa menyelesaikan masalah kontemporer. Demikian juga rasionalitas, ilmu pengetahuan dan teknologi yang lahir dari modernitas (h}ada> t sah) dipayakan bisa dimanfaatkan untuk kemajuan dan menyelesaikan masalah kontemporer. Jika selama ini, turats dan hadatsah diposisikan secara vis a vis, sekarang keduanya diperlakukan dan dibaca secara kritis, untuk menemukan otentisitas (al-as}a > lah) dan struktur terdalam (bunyah), dalam rangka membangun basis ilmu pengetahuan dan juga basis dari bangunan peradaban yang kokoh. Maka gelegar pemikiran Islam kontemporer umumnya menjadikan episteme, nalar, ‘aqal, khitab, atau paradigma yang dimengerti sebagai basis tumbuh-kembangnya ilmu dan tradisi, dijadikan sebagai objek pemikiran mereka. Sudah tentu upaya ini berangkat dari asumsi bahwa tradisi (turats) dan modernitas (hadatsah) adalah bersifat historis, bukan natural apalagi given, dan untuk itu, mereka terus membuktikannya. Perangkat metodologis yang digunakan untuk menelusuri dan memasuki relung-relung sejarah itu adalah keilmuan linguistik, filsafat, dan ilmu budaya. Kritik (critique, naqd), hermeneutik, dan dekonstruksi (deconstruction, tafkik), masing-masing merupakan spisies dari aktivitas membaca (qira>’ah), sekaligus merupakan sistem metodologis dari kerja ilmiah. Ketiganya dimaksudkan untuk membaca sesuatu bacaan, yang dalam pembacaan tradisional dan pembacaan modern tak terbaca, untuk mengambil makna lebih dari sekedar yang tampak, yang harfiah. Inilah model pembacaan kontemporer (qirâ’ah mu’âs}irah) itu secara sederhana bisa disimpulkan. Kritik adalah membaca ‘aqal, reason, episteme, khitâb dan discourse, untuk menemukan struktur pikir, atau pola pikir di balik bangunan keilmuan, filsafat, budaya, dan peradaban. Hermeneutik adalah model membaca yang memusatkan perhatiannya pada teks, dan apa saja yang interpretable dengan memberikan dukungan metodologis pada adanya communication area antara maksud teks, author, dan reader, baik dari aspek sosiologis, antropologis, maupun ideologis-politis. Sementara dekonstruksi itu model membaca yang bergumul pada wacana (discourse) dengan menerobos kebakuan dan kebekuan makna oleh kekuasaan. Hiruk pikuk, bahkan pro kontra dinamika Studi Islam di era kontemporer ini pada dasarnya dipengaruhi oleh

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


366 Mohammad Muslih masuknya perangkat-perangkat metodologis Pemikiran Islam kontemporer itu, baik sebagai mode pemikiran maupun sebagai model pembacaan.[]

Daftar Pustaka Adonis, “Khawatir Hawl Mazahir al-Takhalluf al-Fikri fi al-Mujtama‘ al-‘Arabi,” al- dab, no. 5, May 1974. Al-‘Arwi, ‘Abdullah, Ayduyulujiyyah al-‘Arabiyyah al-Mu‘asirah, (Beirut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1999). Al-‘Azm, Sadiq Jalal, al-Naqd al-Dhâti ba‘d al-Hazimah, (Beirut: Dar al-Fala‘ah, 1969 Al-Fajjari, Mukhtar, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhammad Arkoun, (Dar al-Thali’ah). Al-Jabiri, Abied, al-Tura> ts wa al-H}ada> tsah. (Beirut, Al-Markas alTsaqafi al-Arabi, 1991). Al-Jabiri, Abied, Nah}nu wa Turats: Qirâ’ah Mu’âshirah fi Turâtsina al-Falsafi, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi, 1993). Al-Jabiri, M. Abied, Post Tradisonalisme Islam, (peny. Ahmad Baso), (Yogyakarta: LKIS, 2000), p. xxxii. Al-Jabiri, Mohammed Abied, Takwîn al-’Aql al-’Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2002); Binyah al-’Aql al-’Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2004) Al-Jabiri, Muhammad Abied, Nahnu wa al-Turats (Al-Dar al-Bayda’: Al-Markaz al-Thaqafi al-’Arabi, 1983). Al-Qaradawi, Yusuf, Dars al-Nakbah al-Tsaniyah: Limadha Inhazamna wa Kayfa Nantasir (Al-Qahirah, 1987). Al-’Ulwani, Taha Jabir, Islah al-Fikr al-Islami (Virginia: Al-Ma’had al-’Alami li al-Fikr al-Islami). An-Na’im, Abdullah Ahmad, Towards an Islamic Reformation (Syracuse: Syracuse University Press, 1990) Arkoun, M. dan Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, (Bandung: Pustaka, 1997). Arkoun, Mohammad, Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa Nafhamu al-Islam al-Yawm?, (Dar al-Thali’ah). Jurnal TSAQAFAH


Pemikiran Islam Kontemporer...

367

Arkoun, Mohammed, al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, Hasyim Shalih (pent.), (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1987). Arkoun, Mohammed, Tarikhiyyat al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1986). Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Rahayu S. Hidayat dan diberi judul Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta: INIS, 1994). Baso, Ahmad, “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 10, Tahun 2001. Boullata, Issa J., Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam (Yogyakarta: LKIS, 2001). Boullata, Issa J., Trends and Issues in Contemporary Arab Thought. (SUNY, 1990). Dekmejian, R. Hrair, Islam and Revolution: Fundamentalism in the Arab World (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1985). Foucault, Michel, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994) Hanafi, Hasan, al-Turath wa al-Tadid, (Al-Qahirah: Maktabah Anjlu Misriyyah, 1987). Kant, Immanuel, Critique of Pure Reason, Translated by JMD. Meiklejohn, (New York: Prometheus Books, 1990) Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolution, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970). Misrawi, Zuhairi, “Dari Tradisionalisme Menuju Post-Tradisionalisme Islam, Geliat Pemikiran Islam Arab”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 10, Tahun 2001, pp. 58-59. Nasur, Adib, al-Naksah wa al-Khatif’, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1968). Rahardjo, Mudjia, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, (Malang: UIN-Malang Press, 2006). Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982). Shah, Muhammad Aunul Abied dan Sulaiman Mappiasse, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


368 Mohammad Muslih Al-Jabiri”, dalam M. Aunul Abied Shah (ed.), Islam Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001). Sharabi, Hisham, Al-Nizam al-Abawi wa Ishkaliyah Takhalluf alMujtama’ al-‘Arabi, (Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1993) Sulayman, Abdul Hamid Abu, The Criris of Muslim Mind, terj. Yusuf Talal Larenzo (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1991). Syahrur, Muhammad, Al-Kitâb wa al-Qur’an: Qirâ’ah Mu’âshirah, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992). Syamsuddin, Sahiron, ”Hermeneutika Hans-George Gadamer dan Pengembangan Ulumul Qur’an dan Pembacaan Al-qur’an Pada Masa Kontemporer”, dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (editor),Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta, Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009). Talhami, Ghada, “An interview with Sadik Al-Azm - University of Damascus professor - Interview,” Arab Studies Quarterly (ASQ). Summer, 1997. FindArticles.com. 11 Jun. 2007. http:// findarticles.com/p/articles/mi_m2501/is_n3_v19/ai_20755838. Wahbah, Nakhlah, “Ittijahat al-Mufakkirin al-‘Arab awl al-Hazimah 1967,” al-Mustaqbal al-‘Arabi, Vol. 9, no, 88, June 1986, p. 1839. Wijaya, Aksin, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004). Zayd, Nasr Hamid Abu, Naqd al-Khitab al-Dini, (Qahirah: Maktabah Madbuli, 1990).

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam: Telaah bidang Fiqh dan Ushul Fiqh Nirwan Syafrin International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur Email: nirwan_syafrin@yahoo.com

Abstract Islamic Jurisprudence is a knowledge on the practical Islamic law based on its detailed approve concerning with the deeds of human. This article discusses on the position of Jurisprudence in relation with two different functions, indeed as a positive law and moral standard. In order to derive the Islamic law from its primary sources, al-Qur’an and the Sunnah, Islamic Jurisprudence needs theoretical tool and methodology which commonly named as the Principle of Islamic Jurisprudence. So the Islamic Jurisprudence is considered as Islamic epistemology which stands as the basis of the development of Islamic Jurisprudence as a knowledge. As the basis of epistemology, the principle of Islamic Jurisprudence is closely related to theology. Furthermore, this knowledge develops a principle on adillah which its foundation has been constructed by Syafi’i, indeed al-Qur’an, the Sunnah, Ijma’ and Qiyas. Since constructed by Syafi’i, this Principle of Islamic Jurisprudence has some changes and innovations. This innovation has been in the long duration of time with complicated problems and helped the ummah to solve the problems. Keywords:

Kalam, adillah, istidlal, ijma’, qiyas

Pendahuluan

F

iqh menempati posisi penting dalam peta pemikiran Islam. Ia merupakan salah satu produk par excellence yang pernah dihasilkan peradaban Islam; ia bukan hasil adopsi apa lagi jiplakan dari Hukum Romawi (Roman Law) seperti dikatakan sebagian orientalis, tapi murni hasil kreativitas intelektual Muslim yang sepenuhnya berakar pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


228 Nirwan Syafrin saw.1 Begitu pentingnya fiqh ini, sampai ada yang mengatakan andaikan saja peradaban Islam bisa diungkapkan dengan salah satu produknya, maka kita akan menamakannya sebagai “Peradaban Fiqh”, sebagaimana Yunani diidentikkan dengan “Peradaban Filsafat”.2 Joseph Schacht menyatakan adalah sebuah truism untuk mengatakan Islam sebagai agama hukum.3 Menurut H.A.R. Gibb hukum Islam (fiqh) adalah “the epitome of the true Islamic spirit, the most desicive expression of Islamic thought, the essential kernel of Islam.4 Disebabkan oleh itu, banyak peneliti Islam yang berkesimpulan tidak mungkin untuk memahami Islam dengan baik tanpa pengetahuan komprehensif tentang fiqh.5 Dalam makalah ini penulis mencoba mengekplorasi bagaimana konstruk epistemologi Islam, melalui satu telaah dalam bidang fiqh dan usul fiqh. Pemahaman terhadap masalah ini sangat penting, mengingat saat ini begitu banyak kalangan yang menyerukan perlunya pambaruan dalam bidang fiqh dan usul fiqh akibat mem1

Profesor Bernard Weiss menulis “The refusal to accord to law an autonomous textual basis created in Muslims an attitude which made it impossible for them to embrace Roman law...what is important here is that Roman law could not be formally received into Islam: that was impossible.” Bernard Weiss, “Law in Islam and in the West: Some Comparative Observation”, dalam Wael B. Hallaq and Donald P. Little (eds.), Islamic Studies Presented to Charles J. Adams (Leiden: E.J. Brill, 1991), p. 245. Muhammad ‘Abid Al-Jabiri mengatakan apapun usaha yang dilakukan untuk mengaitkan fiqh Islam dengan hukum Roman hanya akan sia-sia saja. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Bayrut: Markaz Dirasat al-Wahdah al‘Arabiyyah, 1989), p. 96. 2 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, p. 96. 3 Joseph Schacht, “Theology and Law in Islam”, dalam G.E. von Grunebaum (ed.), Theology and Law in Islam, (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1969); p. 3. Jauh sebelum Schacht, Hurgronje, orientalis kawakan asal Hungaria, juga pernah menyatakan pernyataan yang sama: “Islam is a religion of law in full meaning of the word.” Lihat G-H. Bosquet dan Joseph Schact (eds.), Selected Works of C. Snouck Hurgronje (Leiden: E.J. Brill, 1957), p. 48. 4 H.A.R. Gibb, Mohammadenism (London: 1949), p. 106. Pernyataan ini mulanya diungkapkan oleh Bergstrasser. Kemudian dikutip oleh Gibb, dan selanjutnya dipopulerkan oleh Joseph Schacht dalam bukunya An Introduction to Islamic Law. Schacht menuliskan “Islamic laa is the epitome of Islamic thought, the most typical manifestation of the Islamic way oflife, the core and kernel of Islam itself.” An Introduction to Islamic Law (Oxford: Clarendon Press, 1984), p. 1. lihat juga idem, “Islamic Religious Law”, dalam Joseph Schacht dan Charles E. Bosworth (eds.), The legacy of Islam (Oxford: Clarendon Press, 1974), p. 392. 5 Wilfred Cantwell Smith, “The Concept of Shari‘a Among Some Mutakallimin”, dalam George Makdisi (ed.), Arabic and Islamic Studies in Honor of Hamilton A.R. Gibb (Leiden: E.J. Brill, 1965). Daniel S. Lev menulis: “but for many devout Muslims, traditionalist and modernist, Islam without Law is imaginable”. Islamic Courts in Indonesia (Berkeley: University of California Press, 1972), p. 228; Joseph Schacht, “Theology and Law in Islam”, p. 3.

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

229

banjirnya serbuan ilmu-ilmu sosial Barat. Kita dituntut untuk tidak terburu-buru menolak yang baru dan juga tidak latah meninggalkan khazanah keilmuan Islam klasik, sebelum memahaminya dengan baik.

Kedudukan Fiqh dalam Pemikiran Islam Bagi umat Islam, fiqh adalah perwujudan (embodiement) kehendak Allah terhadap manusia yang berisi perintah dan larangan. Oleh sebab itu, pelaksanaan hukum-hukum fiqhiyyah dianggap sebagai bentuk ketundukan kepada Allah; ia adalah manifestasi eksoterik keimanan. Fiqh bukan hanya mengatur hal-hal yang berhubungan dengan ritual semata, tapi juga seluruh aspek kehidupan manusia dari mulai hubungan pribadinya dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya, keluarganya, lingkungan masyarakatnya serta dengan orang yang di luar agama dan negaranya.6 Para ulama mendefiniskan fiqh sebagai “pengetahuan tentang hukum syara‘ praktis beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia”7 Definisi ini menunjukkan bahwa yang menjadi objek kajian fiqh adalah perbuatan manusia, mengenai haram atau halal, wajib atau mubah, dan sebagainya. Kehadiran hukum seperti ini mutlak diperlukan oleh manusia. Karena ia dapat menjamin dan melindungi masyarakat dari keonaran dan kekacauan. Sebab manusia pada dasarnya, kata Ibn Khaldun, adalah “domenieering being” yang punya ambisi dan kecendrungan untuk 6

Muhammad Mustafa Imyani menyebutkan sebelas bahasan pokok fiqh yaitu, ‘Ibadat,, Mu‘amalat, hukum keluarga, hukum makanan dan minuman, hubungan internasioanl pada masa perang dan aman, hudud dan jinayat, kehakiman (judicial/al-qad}a’> ), sumpah (al-Ayma>n), hukum tentang hamba, hukum tentang pelombaan dan permainan, dan terakhir hukum yang bersangkutan dengan kematian. Lihat “Al-Dirasat al-Fiqhiyyah”, dalam Al-Dirasat alIslamiyyah, silsilah al-nadwat (Al-Qahirah: Dar al-Fikr, 1981), p. 143-146. Bandingkan dengan ‘Umar Sulayman al-Ashqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1982), p. 1921. 7 ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Us}ul al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968), p. 22. Para ‘ulama berbeda pendapat tentang ketepatan penggunaan perkataan ‘ilm dalam definisi ini. Sebagian menolaknya dengan alasan bahwa perkataan ‘ilm berkonotasi ‘pasti dan yakin (alqat}‘i)’, padahal kebanyakan hukum fiqh bersifat d}anni. Oleh sebab itu Abu Isha>q al-Syira>zi mengusulkan menggunakan perkataan ma‘rifah al-ahkam. Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazi (w. 393), Syari al-Luma’, diedit oleh ‘Abdul Majid al-Turki (Bayrut: Dar al-Gharb al-Islami, 1989) 1. p. 158-9. Seperti Syirazi, Hadr al-Syari‘ah (w. 747) juga berpendapat sama. Menurutnya fiqh adalah “ma‘rifah al-nafs ma laha wa ma ‘alayha”. Al-Talqih Syari al-Tanqih, diedit oleh Najm al-Dan Muhammad al-Warkani (Bayrut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2001), p. 26.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


230 Nirwan Syafrin menguasai dan menaklukkan orang lain serta memaksa mereka tunduk dan patuh kepadanya. Bila sifat ini tidak dikekang maka ia akan mencetuskan konflik dan peperangan.8 Dalam Islam fiqh mempunyai dwi fungsi, pertama sebagai hukum positif dan kedua sebagai standar moral. Yang dimaksudkan sebagai hukum positif disini adalah bahwa fiqh berfungsi seperti hukum-hukum positif lain dalam mengatur kehidupan manusia. Ia mendapatkan legitimasi dari badan judikatif, yaitu mahkamah. Tapi perlu ditekankan bahwa tidak semua hukum-hukum fiqh mendapat justifikasi dan legitimasi mahkamah. Masalah hukum mubÉÍ, makruh, bahkan mengenai hukum wajib dan harampun tidak bisa sepenuhnya dibawah jurisdiksi mahkamah. Disini fiqh lebih merupakan etika atau moral. Jadi, disini fiqh memainkan fungsi double, sebagai hukum positif dan moral. Aspek inilah yang membedakan secara prinsip konsep hukum Islam dengan konsep hukum di Barat. Dalam Islam “etik dan agama menyatu dengan aturan-aturan hukum positif.”9 “the ideal code of behaviour which is the Syari‘ah has in fact a much wider scope and purpose than a simple legal system in the Western sense of them. Jurisprudence ... is also a composite science of law and morality”. 10 Mungkin atas sebab inilah Robert Brunschvig menyebut hukum Islam dengan “ethico juridical”.11 Berbeda dengan di Barat di mana hukum positif tidak mungkin menyatu dengan hukum moralitas, meskipun keduanya menyentuh lahan pembahasan yang sama.12 Bagi mereka “law that is not humanly enacted and recognized, and whose observance is not ascertainbale by human faculties, is not law.”13 Perlu ditekankan bahwa fiqh bukan syari‘ah. Syari‘ah lebih luas dari sekadar hukum saja; ia mencakup fiqh, ‘aqidah, dan juga akhlak. Karakteristik utama Syari‘ah adalah bersifat permanen dan 8 Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin Ltd, 1957), p. 178 dan 193. 9 Fyzee, A Modern Approach to Islam (Bombay: Asia Publishing House, 1963), p. 31. 10 N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edindurgh: Edinburgh University Press, 1978), p. 83. 11 Robert Brunschvig, “Logic and Law in Classical Islam,” dalam G. E. von Grunebaum (ed.), Logic in Classical Islamic Culture (Weisbaden: otto Harrasowitz, 1970), p. 9. 12 Bernard G. Weiss, “Introduction”, dalam Bernard G. Weiss, The Search for God’s Law (Salt Lake City: University of Utah Press, 1992), p. 7 13 Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and Orientalists (Lahore: Islamic Publications (Pvt) LTD, 1994), p. 245.

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

231

tidak akan pernah berubah. Sementara fiqh bersifat relatif dan fleksible; ia dapat berubah seiring dengan peredaran waktu; ia merupakan produk ijtihad ‘ulama. Tapi ini bukan berarti bahwa fiqh karya pemikiran semata; ia masih berkait erat dengan Syari’at. Ketika seorang mujtahid benar dalam ijtihadnya, artinya tepat dan sesuai dengan hukum Allah, ketika itu fiqh disebut syari’at. Hanya ketika dia salah fiqh tetap menjadi fiqh. Dalam konteks ini juga kita harus memahami bahwa tidak semua masalah fiqhiyyah masuk dalam kategori berubah seperti wajibnya salat, puasa, zakat, dan haji serta haramnya riba, zina, mencuri, dan membunuh. Semua ini masuk dalam pembahasan fiqh tapi sudah menjadi bagian syari’ah, oleh sebab itu ia bersifat permanen. Sebagaimana Syari‘ah yang bersumberkan dari al-Qur’an dan Sunnah, demikian juga fiqh, berlandaskan kepada kedua sumber primer Islam ini. Oleh sebab itu Fiqh yang bertentangan dengan prinsip al-Qur’an dan Sunnah tidak bisa dikategorikan fiqh Islami. 14 Untuk dapat menderivasi hukum dari sumber primer, fiqh memerlukan perangkat teoretik atau metodologi, yang biasa disebut usul fiqh.

Us}ul Fiqh dan Epistemologi Islam Sebagai sebuah ilmu yang diderivasi dari al-Qur ’an dan Sunnah, fiqih memerlukan kerangka teoretik atau metodologi berpikir yang disebut usul fiqh. Usul fiqh adalah “pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara umum, cara mempergunakanya, serta pengetahuan tentang orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut.”15 Ia begitu penting dalam menderivasi hukum. Fungsi dan perannya mirip logika dalam filsafat. Jika logika dapat menghindarkan seseorang melakukan kesalahan (fallacies) dalam berargumentasi, maka usul fiqh mencegah seorang faqih berbuat kesalahan dalam menderivasi hukum”.16 Sehingga tidak berlebihan jika para ‘ulama mene14 Untuk keterangan lanjut tentang perbandingan fiqh dan syari’ah lihat ‘Umar Sulayman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, p. 17-19. 15 Jamal al-Din ‘Abd al-Rahim bin al-Hasan al-Asnawi (w. 772), Nihayah al-Suwl fi Shari Minhaj al-Usul (w. 685), (Bayrut: ‘Alam al-Kutub, t.t),vol.1, 5. Para ‘ulama mendefinisikan ‘ilm ini secara variatif.. Baqillani menyebutnya sebagai “dasas pokok ilmu tentang hukum perbuatan mukallaf”, lihat, Al-Taqrib wa al-Irsyad, 1:172. Sementara itu, Imam al-Haramayn mendefinisikannya sebagai “dalil-dalil fiqh” saja, Al-Burhan, p. 8. 16 ‘Ali Sama al-Nasysyar, Manahij al-Bahth ‘Inda Mufakkir al-Islam (Qahirah: Dar alMa‘arif, 1966), p. 64-65.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


232 Nirwan Syafrin tapkannya sebagai salah satu prasyarat terpenting yang mesti dimiliki oleh seorang mujtahid.17 Peran usul fiqh dalam penetapan hukum-hukum fiqh tidak terlepas dari ketokohan Imam Syafi‘i, peletak dasar-dasar ilmu ini.18 Kemiripan usul fiqh dengan logika dapat dibaca dari statement Fakhruddin al-Razi yang menyamakan Syafi‘i dengan Aristotle.19 Jasa besar Syafi‘i sebenarnya terletak pada keberhasilannya mentransfomasikan usul fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu.20 Ada yang menyamakannya seperti Descartes. Kalau Descartes meletakkan dasar epistemologi pemikiran Barat, Syafi‘i meletakkan fondasi dasar pemikiran Islam.21 Proses lahirnya ilmu usul fiqh tidaklah secara tiba-tiba. Akarnya dapat ditelusuri pada nabi dan juga Sahabat. Sebagaimana fiqh telah muncul seiring dengan lahirnya Islam,22 demikian juga dengan usul fiqh. Terbukti Nabi sendiripun berijtihad, begitu juga Sahabat. Para sahabat terkadang juga menggunakan qiyas, istih}sa>n, dan metodemetode lain yang pada gilirannya dikenal dengan adillah. Seperti Sahabta, para Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in juga mempergunakan prinsipprinsip dasar ijtihad tadi, hingga sampai kepada Syafi‘i. 23 Syafi‘i 17

Lihat misalnya Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syawkani (w. 1255), Irsya>d al-Fuh}u>l ila> Tah}qiq al-Haq min ‘Ilm al-Us}u<l, diedit oleh Ahmad ‘Abd al-Salam (Bayrut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah,1994), p. 373. 18 Abu Zakariyya Muhy al-Din bin Sharf Al-Nawawi (W .676), Tahdhib al-Asma’ wa al-Lugha>t (Mesir: Idarah al-Tiba‘ah al-Muniriyyah, t.t), 1: 49; Abu al-Fala ‘Abd al-Hayy bin al‘Imadi al-Hanbali (d. 1089), Syadhara>t al-Dhahab fi Akhba>r man Dhahab (Bayrut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, n.d), 2:10; Abu al-‘Abbas Shams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakr bin Khalkan, Wafaya>t al-‘A’ya>n wa Anba> ‘u Abna’ al-Zama>n, ed. Ihsan ‘Abbas (Qum: Mansyurat al-Rida, 1342), 4:165. Belakangan ini beberapa penulis meragukan pendapat ini. Ahmad Hasan misalnya menulis “the claim that Shafi‘i was the first legal thinker who introduced the principles of law would not seem to be correct.” Ini berdasarkan keterangan Ibn Nadim yang menyatakan bahwa Imam Syaybani dan Abu Yusuf juga memiliki buku yang berjudul Usul Fiqh. Bahkan ada pendapat yang mengatakan Wahil bin ‘Ata’ lah orang yang pertama sekali menulis tentang usul fiqh.Ahmad Hasan, Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad, Pakistan: Islamic Research Institute, International Islamic University, 1994), p. 179ff. 19 Fakhr al-Din al-Razi, Mana>qib al-Imam al-Syafi‘i (Bayrut: Dar al-Jil, 1413/1993), p. 146. 20 Muhammad Jamal Barut, “Al-Ijtihad bayn al-Nas} wa al-Waqi‘,” in Ahmad Raysani and Muhammad Jamal Barut , Al-Ijtiha>d: al-nas}, al-waqi‘, al-mas}lah}ah (Bayrut: Dar al-Fikr alMu‘a>s}ir & Dimashq: Dar al-Fikr, 2000), p. 77-78. 21 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, p. 100. 22 ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, p. 15. 23 Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal (New York: Pantheon Books, 1958), vol. 3, 24. Lihat juga misalnya ‘Abd al-Wahhab Ibrahim

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

233

kemudian mensistemasikan pola pikir ijtihadi ini dalam mognum opus-nya yang kemudian dinamai dengan al-Risalah, Sejak saat itulah, usul fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tercatat didirikan. Kata N.J. Coulson, teori usul fiqh Syafi‘i “was an innovation whose genius lay not in the introduction of any entirely original concepts, but in giving existing ideas a novel connotation and emphasis and welding them together within a systematic scheme.”24 Dengan nada yang sama Joseph Schacht berkomentar bahwa Risalah Syafi‘i adalah “a magnificently consistent system and superior by far to the doctrines of ancients schools of law”.25 Bahkan ada yangmenilai usaha Syafi‘i ini bukan hanya sekedar sistematisasi tapi juga sebagai upaya rasionalisasi pemahaman terhadap hukum Islam.26 Usul fiqh adalah disiplin ilmu yang memiliki prinsip-prinsip epistemologi, bukan sekedar metodologi penderivasian hukum. 27 Masalah qat{‘i dan Z}anni, syakk dan wahm, mutawatir dan ahad, misalnya adalah merupakan beberapa contoh yang sangat kental muatan epistemologinya, sebab disitu menyangkut persoalan sumber ilmu, validitas ilmu, dan tingkat kebenaran ilmu. Secara epistemologis qat{‘i berarti pasti, yakin, dan tidak mengandungi keraguan dan tidak mungkin dipertanyakan. Berbeda dengan Z}anni yang berkemungkinan salah dan benar, tidak pasti seperti qat{‘i. Untuk menentukan apakah ilmu tersebut qat{‘i atau Z}anni tergantung pada sumber ilmu tersebut. Bila sumbernya qat}‘i maka dengan sendirinya ilmu yang dihasilkannya juga bersifat qat}‘i (pasti dan yakin) dan begitu juga sebaliknya, bila sumbernya diragukan maka ilmu yang disandarkan kepadanya sudah tentu diragukan juga.

Abu Sulayman, Al-Fikr al-Usuli, dirasah tahliliyyah naqdiyyah (Jeddah: Dar al-Shuruq, 1984); Taha Jabir al-‘Ulwani, Usul al-Fiqh manhaj bah}ts wa ma’rifah (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1995). Dalam bukunya Tamhid li t-Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, Mustafa ‘Ali Abdul Raziq telah membahas bagaimana tradisi ijtihad, ketika itu dinamakan al-ra’y, sesungguhnya sudah berkembang sejak zaman Rasul. Dengan demikian beliau membantah pandangan orientalis yang selalu mengaitkan perkembangan pemikiran Islam, baik falsafah maupun fiqhnya, dengan pengaruh Yunani, Kristen, dan empayar Roman. Lihat Mustafa ‘Ali ‘Abdul Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah (Al-Qahirah: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyyah,TT). 24 N.J. Coulson, A History of Islamic Law, p. 55. 25 Joseph Schact, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press, 1959), p. 137. 26 C. E. Bosworth et al (eds.), The encyclopedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1997), “Shafi‘i”, vol. 9, p. 1983.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


234 Nirwan Syafrin Us}ul Fiqh dan Ilm Kalam Sebagai sebuah konsep ilmu yang diderivasi dari konsep-konsep al-Qur’an, usul fiqh juga berkaitan dengan teologi dan filsafat. Kaitan ini dapat ditelusuri pada pemikiran al-Qadi ‘Abd al-Jabbar dari Mu‘tazilah dan al-Qadi Abu al-Tayyib al-Baqillani dari Asya‘irah. Kedua tokoh inilah yang pertama sekali memasukkan persoalanpersoalan teologis-filosofis, termasuk isu epistemologi, kedalam ilmu usul fiqh. Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar memiliki buku berjudul Kitab al‘Umad. Buku ini diberi komentar oleh seorang tokoh Mu’tazilah lain, bernama Abu al-Husayn al-Basri. Abu al-Husyan selanjutnya menuliskan karyanya sendiri yang diberinya judul Al-Mu‘tamad. Dalam muqaddimahnya, Abu al-Husayn secara eksplisit menyebutkan bahwa dia akan membahas isu-isu yang berhubungan dengan epistemologi seperti tentang klasifikasi ilmu, ilmu muktasab, dan seterusnya. Imam Baqillani menyadari bahwa concern utama usul fiqh sebenarnya adalah dalil. Tapi, seperti Abu al-Husayn, dia tidak menjadikannya sebagai topik prioritas. Dalam al-Taqrib wa al-Irsya> d Baqillani malah memulai dengan penjelasan tentang hakikat ilmu, akal, nazar (nalar), klasifikasi dan kategori ilmu dan seterusnya. Menurutnya hal ini perlu dilakukan, karena dalil dan madlu>l, hukum akal dan syara’ dan lain-lain merupakan objek ilmu (ma‘lu>ma>t). Objek ini tidak bisa diketahui selagi kita tidak mengetahui esensi ilmu itu sendiri dan segala yang berhubungan dengannya. Oleh sebab itulah membahas persoalan ilmu menjadi suatu kemestian.28 Langkah al-Baqillani dikembangkan oleh muridnya Juwayni. Karyanya yang terkenal dalam bidang ini adalah al-Burha>n fi Us}u>l al-Fiqh. Ghazali mengikuti langkah gurunya ini dan menuliskan karyanya al-Mustas}fa min ‘Ilm al-Us}u>l. Menurut kebanyakan penulis ditangan Ghazalilah proses integrasi kedua ilmu ini mecapai titik klimaksnya. Dan Ghazali dianggap orang yang bertanggung jawab membawa Ilmu Mantiq kedalam usul fiqh. Ghazali menyadari bahwa Mantiq sebenarnya tidak punya kaitan sama sekali dengan usul fiqh. Tapi bagi Ghazali ini penting untuk diketahui, bahkan menurutnya barang siapa yang tidak mengetahui ilmu ini, 27 Wael Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), p. 37 28 Al-Baqillani, Al-Taqrib wa al-Irsya>d, vol.1, 172ff.

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

235

keilmuannya tidak bisa dipercaya.29 Memasuki abad ke 5, antara usul fiqh dengan ilmu kalam sudah tidak mungkin untuk dipisahkan. Juwayni sendiri menyatakan salah satu sumber usul fiqh itu adalah ilmu kalam, disamping fiqh dan ilmu bahasa.30 Mungkin karena kuatnya muatan teologis inilah, para ‘ulama menamakannya dengan haraqah al-mutakallimi>n. Metode ini berbeda dengan Hara>qah al-fuqaha>’ yang dirintis oleh ulamaulama mazhab Hanafiyyah seperti Abu Bakar al-Jassas dan alSarakhsi. H}ara>qah al-Mutakkallimi>n selanjutnya mendapatkan elaborasi panjang dari Fakruddin al-Ra>zi melalui al-Mah}s}u>l-nya dan al-‘A<midi dengan al-Ih}ka>m-nya. Mah}s}u>l al-Razi kemudian diringkas Siraj alDin al-‘Urmawi dalam Kitab al-Tah}s}i>l dan Taj al-Din al-‘Urmawi dalam Kitab al-H}a>sil. Shihab al-Din al-Qarafi selanjutnya memilih beberapa poin dari buku ini dalam bukunya al-Tanqi>h}a>t. Seperti alQarafi, al-Bayd}a>wi melalui Kitab al-Minha>j juga melakukan hal yang sama. Al-Minha>j diberi komentar oleh al-Asnawi dalam Niha>yah alSu>l dan ‘Ali ‘Abd al-Kafi al-Subki dalam Al-Ibha>j fi Shari al-Minha>j. Sementara itu, buku Al-‘A<midi diringkas oleh Ibn al-Hajib dalam al-Mukhtas}ar.31 Demikianlah usul fiqh mengalami perubahan drastis dari sebuah disiplin yang berbicara tentang metodologi derivasi hukum menjadi sebuah ilmu yang banyak membahas mengenai epistemologi Islam.32 Karakter ‘teologis’ ilmu usul fiqh ini, menurut George Makdisi, tidak baru; ia dapat ditelusuri pada pemikiran Syafi‘i. Andaikan saja Syafi‘i bisa ditanya tentang kandangan al-Risalah-nya itu, kata Makdisi, niscaya dia juga akan menjawab bahwa tidak ada yang baru, semuanya berhubungan dengan usul al-din.33 Oleh sebab itu, bagi Makdisi ilmu ini lebih layak disebut Juridical theology, yaitu ilmu yang membahas hukum Allah, bukan tentang Tuhan itu sendiri seperti menegenai eksistensiNya, sifatNya, dll. Sebab, yang terakhir 29

Al-Ghazali, Al-Mustas}fa>, vol.1, p. 45. Al-Juwayni, Al-Burha>n, p. 7. 31 Lihat Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, terj. Roshental, vol. 3, p. 29-30. 32 Untuk keterangan lanjut tentang proses integrasi usul fiqh dengan ilmu kalam lihat Qutb Mustafa Sano, “Al-Mutakallimun wa Usul al-Fiqh,” Isla>miyyah al-Ma’rifah, no.9, July 1997, p. 37-70. 33 Gorge Makdidi, “Ther Juridical Theology of Sha>fi‘i> - Origins and Significance of Us}ul Fiqh,” Studia Islamica, MCMLXXXIV, p. 45. 30

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


236 Nirwan Syafrin ini adalah bidang kajian ilmu kalam.34 Dalam pandangannya, tujuan Syafi‘i mencipta ilmu ini adalah untuk meletakkan dasar berpikir ilmiah bagi kelompok tradisionalis, untuk menentang pola pikir kalam yang pada saat itu direpresentasikan oleh kelompok mu’tazilah. (Syafi‘i’s purpose was to create for traditionalism a science which could be useed as antidote to Kalam...)”35 Usul fiqh memang tidak dipisahkan dari ‘ilm kalam. Karena ia sendiripun dibangun atas postulat-postulat ilmu kalam. Usul fiqh hanya membahas sesuatu yang sudah dibuktikan benar oleh ilmu kalam. Prinsip nasikh-mansukh, dibangun atas postulat kebenaran Qur’an; bahwa ia benar-benar kalam Allah. Andaikan postulat kalam ini masih diragukan maka seluruh prinsip metodologi tadi dengan sendirinya juga akan runtuh. Menurut Ghazali ilmu kalam itu sebenarnya prinsip dasar epistomologis seluruh ilmu-ilmu Islam seperti fiqh, usul fiqh, tafsir dan hadits. Karena melalui ilmu inilah kebenaran al-Qur’an, Sunnah, dan nubuwwah Rasulullah saw mendapatkan affirmasi. Ghazali memposisikan ilmu kalam sebagai ilmu kulliyah (universal/genral), sementara yang lain ‘ulum juz’iyyah (partikular). Ia disebut Juz’iyyah karena bidang kajian yang mereka garap hanya terbatas pada aspek tertentu saja. Fiqh misalnya hanya mengkaji aspek hukum perbuatan manusia saja, sementara tafsir hanya membahas makna Kitab semata. Garapan usul fiqh pula sebatas dalil syara’ saja, dan hadits seputar otentisitas hadits. Hal ini berbeda dengan ilmu kalam. Bidang kajiannya lebih luas dan umum. Ia bukan membahas aspek hukum alQur’an tapi mengenai al-Qur’an itu sendiri, apakah ia benar kalam Allah atau sebaliknya, bersifat qadim atau bukan. Demikian juga, ilmu kalam tidak mengkaji otentisitas hadits, falah atau saqim, mutawatir atau ahad. Kajiannya adalah tentang kebenaran nubuwwah Muhammad saw.36

Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Usul Fiqh Diskursus prinsip epistemologi dalam usul fiqh dapat ditelusuri dari perdebatan antara kubu Iraq yang biasa disebut dengan ahl ra’y dan kelompok ahl hijaz dikenal dengan ahl hadits. Ahl Iraq 34

Ibid., p. 43. Ibid., p. 12. 36 Al-Ghazali, Al-Mustas}fa>, p. 36-8. 35

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

237

dikatakan lebih banyak menggunakan akal manakala ahl Hijaz menggunakan hadits-hadits rasul. Nah Syafi‘i, yang sempat mengenyam pendidikan dikedua sekolah pemikiran ini dan belajar dari para tokoh-tokohnya, berusaha ‘mendamaikan’ dua kubu ini dengan cara mensintesakan metode yang digunakan kedua mazhab pemikiran ini. Tujuannya sebenarnya adalah ia ingin membuktikan bahwa tidak ada konflik antara wahyu dan akal. Sebagaimana wahyu, dalam hal ini termasuk Hadits, merupakan sumber otoritatif dalam hukum Islam, demikian juga halnya dengan akal; keduanya tidak bertentangan; sebaliknya saling mendukung. Banyak ulama memuji Sya>fi’i atas keberhasilannya menggabungkan kedua pendekatan mazhab pemikiran ini. Kata Razi, sebelum Syafi‘i biasanya orang dikelompokkan kepada ahl al-h}adits dan ahl al-ra’y. Yang pertama ahli dalam hadits tapi lemah dalam dalam bernalar dan berargumen. Sementara kedua kompeten dalam berdebat (muja>dalah), tapi lemah dalam hadits. Tapi Syafi‘i memiliki kedua kemampuan itu. 37 Namun begitu, dalam kacamata Nasr Hamid Abu Zayd, Syafi‘i tetap seorang tradisionalis, yang komited dengan jalur pemikiran gurunya, Imam Malik. 38 Pendapat Nasr Hamid ini lemah. Sebab, jika benar Syafi‘i seorang tradisionalis, pasti tidak ada mazhab yang bernama Syafi‘iyyah. Dan ia lebih bagus dikelompokkan dalam ahl Hijaz seperti gurunya. Tapi fakta mengatakan sebaliknya, di sana ada mazhab pemikiran yang bernama Syafi‘iyyah dan masih eksis hingga sekarang. Ini membuktikan bahwa pikiran Syafi‘i memang berbeda dengan pendahulunya atau yang sezaman dengannya sehingga layak untuk diberi label baru. Hal ini diakui oleh ‘Abd al-Wahhab Abu Sulayman. Menurutnya pemikiran hukum Syafi‘i benar-benar merefleksikan sebuah mazhab baru yang independen. Kebaruannya bukan saja pada pemikiran hukumnnya, tapi juga metodologinya yang ilmiah.39 Dalam kacamata Manna‘ Qattan pemikiran Syafi‘i merefleksikan tahap kematangan hukum Islam.40 37

Fakhr al-Din al-Razi, Mana>qib, p. 63. Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Imam Syafi‘i wa ta’sis al-aydulu>jiyyah al-wasat}iyyah (Al-Qahirah: Maktabah Madbuli, 1996), cet.2, p. 93. 39 ‘Abd al-Wahhab Ibrahim Abu Sulayman, Manhajiyyah Al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‘i (ra) fi Us}u>l al-Fiqh: ta’sil wa tah}lil (Bayrut; Dar Ibn Hazm & Makkah alMukarramah: Al-Maktabah al-Makkiyah, 1999), p. 27 & 28. 40 Manna‘ Qattan, Tarikh Tasyri’ Islami, p. 374. 38

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


238 Nirwan Syafrin Dari keterangan di atas jelas bahwa pemikiran Islam tidak mengenal dikotomis rigid antara literalis dan rasionalis. Pemikiran Islam tidak mengenal aliran literalis ala fundamentalis kristen di Barat. Juga tidak mengakui rasionalis murni seperti yang dikembangkan Descartes. Sebagaimana juga ia tidak mengenal aliran empericism model Logical Positivism. Oleh sebab itu pula pemikiran Islam tidak mengenal pemisahan objektif dan subjektif, sebagaiman ia juga tidak mengakui dikotomi deduktif-induktif tekstual-kontekstual, dan historis-normatif. Dalam paradigma pemikiran Islam, seperti yang diterangkan oleh S.M. Naquib al-Attas, keseluruhannya menyatu menjadi satu integritas yang utuh, bukan dalam metodologi investigasi saja, tapi juga dalam kualitas kepribadian mereka. Kata al-Attas: “They combined in their in their investigations, and at the same time in their persons, the emperical and the rational, the deductive and the inductive methods and affirmned by no dichotomy brterrn subject and the objective, so that they all affected what I would call the tawhid method of knowledge.”41 Dalam dalam konteks ini jugalah hendaknya kita harus memahami posisi Imam Abu Hanifah, panutan mazhab ‘Iraq, dan Imam Malik, ikutan mazhab Hijaz. Imam Abu Hanifah bukan seorang liberal, dalam arti yang populer digunakan sekarang ini, yaitu orang mengedepankan akal atas teks al-Qur’an dan Sunnah Demikian juga Imam Malik, bukan literalis yang anti rasio. Baik Abu Hanifah maupun Imam Malik kedua-duanya meletakkan nass al-Qur’an dan sunnah nabi pada posisi tertinggi dalam hirarkis sumber ilmu dan hukum Islam. Suatu ketika Imam Abu Hanifah menulis surat kepada khalifah al-Mansur untuk menolak tuduhan orang yang dialamatkan kepadanya. “… Ceritanya bukan seperti yang sampai kepadamu ya amirul mu’minan. Aku berbuat sesuai dengan Kitab Allah, Sunnah Rasulullah (saw), keputusan yang dibuat oleh Abu Bakar, ‘Umar, Uthman, dan ‘Ali (r.a) serta sahabat-sahabat yang lain. Aku melakukan qiyas bila aku mendapati mereka berbeda pendapat.”42 Terjadinya perbedaan pendekatan antara ahl hijaz adan ahl ‘Iraq sesungguhnya lebih bersifat teknis, dari filosofis. Ahl Iraq banyak menggunakan akal karena kesulitan mengakses sunnah rasul disebakan letak geografis tempat mereka yang jauh dari pusat Islam, 41 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prologomena to Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: the International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), p. 3. 42 S}aha Jabir al-‘Ulwani, Usul Fiqh, p. 77.

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

239

Makkah dan Madinah, di mana khazanah sunnah nabi banyak tersimpan. Persoalan politik yang telah menyebabkan berkembangnya hadits-hadits palsu juga sebab penting yang perlu dipertimbangkan. Para fuqaha’ Iraq sangat hati-hati sekali menggunakan hadits, karena mereka khawatir menggunakan hadits palsu. Disebabkan oleh itu, mereka lebih memilih menggunakan rasio daripada hadits. Keadaan ini tentu saja berbeda dengan Hijaz (Madinah dan Makkah). Di kota yang masih banyak dihuni oleh sahabat dan tabi’in ini, sunnah sangat mudah sekali diakses. Sehingga apabila timbul sesuatu masalah, mereka mudah merujuknya ke sunnah rasul.43 Perseteruan ahl hadits dan ahl ra’y mengalami metamorposis sekitar abad keempat dan kelima dalam konflik Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Perseteruan kedua kelompok ini memang lebih bersifat epistemologis, yaitu berkisar seputar isu definisi ilmu dan jenisjenisnya, definisi akal dan batasannya, bahkan tentang definisi ‘definisi’ itu sendiri (ta‘rif al-H}add). Mu’tazilah, yang dikenal bersifat rasionalis, mempertahankan tesis mereka bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk mengenai sesatu tanpa bantuan syara’, mereka percaya bahwa baik dan buruk itu adalah rasional, artinya dalam ruang lingkup kemampuan akal (al-H} a san wa al-qubh} ‘aqliyayn). Tapi ulama Asya’irah menolak konklusi ini. Menurut Juwayni>, sesuatu itu terlarang atau sebaliknya bukan karena sifat esensi (dhat)nya itu sendiri, tapi karena ketetapan syara’. Minum khamar haram misalnya. Hukum haram itu bukan sifat esensi ‘minum’ itu. Karena apabila kita mewajibkan meminum khamar ketika terpaksa, hukum itu sama dengan ketika ia diharamkan pada waktu biasa. Artinya haram atau tidaknya meminum khamar itu bukan tergantung pada dhat minuman tersebut tapi pada syara’. Ia menjadi haram karena syara’ melarangnya dan sebaliknya menjadi wajib karena adanya perintah. Jadi bukan 43

Lihat Mahmud Muhammad al-Hanawi, Al-Madkhal ila al-Fiqh al-Islami: Tarikh Tasyri’ wa Mahdiruhu..wa Nazariyyat al-Fiqhiyyah (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1408H/ 1987), p. 118-122; ‘Abd al-Rahman al-Albani et al, Al-Madkhal al-Fiqhi wa Tarikh al-Tasyri‘ alIslami (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1982), p. 249-252. Apalagi ketika sunnah rasul tersebut dianggap telah menyatu menjadi bagian sistem sosial masyarakat Madinah sehingga praktekpraktek masyarakat Madinah (‘amal ahl madinah) pun dijadikan referensi hukum sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik. Keterangan lanjut tentang otoritas praktek-praktek masyarakat Madinah ini, lihat: Yasin Dutton, The Origins of Islamic Law (Surrey: Curzon Press, 1999).

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


240 Nirwan Syafrin disebabkan sifat minum itu sendiri.44 Razi menjelaskan, bahwa baik dan buruk itu terkadang bermaksud apakah sesuai dengan nature atau sebaliknya. Dalam keadaan seperti ini, Razi tidak menafikan bahwa ia dapat diketahui melalui akal. Katanya kita sepakat bahwa ilmu itu baik dan bodoh itu buruk. Tapi bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu yang baik berhak mendapat pujian dan pahala, sementara yang buruk mendapat cacian (al-dham) dan balasan (‘iqab). Hal ini ini tidak bisa diketahui dengan akal, tapi dengan ketetapan syara’.45 Persoalan ini memiliki dampak besar dalam persoalan hukum. Akibat perbedaan di atas, ada ‘ulama yang berpendapat bahwa hukum itu tidak bersebab (ghayr mu‘allalah). Tapi pendapat ini ditolak oleh ‘ulama lain, sebab tidak mungkin hukum Allah tidak punya tujuan. Tujuannya jelas: memberikan kebaikan kepada manusia dunia dan akhirat. Pada prinsipnya pesoalan ini lebih bersifat teologis ketimbang hukum. Kelompok yang menafikan adanya ‘illah disebalik hukum Allah bermaksud mentanzihkan (mensucikan) Allah dari unsur paksaan. Allah tidak terpaksa untuk berbuat baik kepada manusia. Sebab Allah berbuat menurut Qudrah dan IradahNya. Tapi Mu’tazilah berpendapat bahwa wajib atas Allah untuk berbuat baik terhadap manusia. Kata Syatibi andainya persoalan ini tidak dilihat dari kacamata kalam, niscaya semua sepakat bahwa seluruh hukum Allah itu adalah ditujukan untuk kebaikan manusia didunia dan juga di akhirat.46

Konstruk Epistemologi Islam dalam Usul Fiqh Salah satu persoalan yang mendasar dalam epistemologi adalah bagaimana kita mengetahui? Atau dengan cara apa kita tahu? Persoalan ini cukup mendasar sekali karena ia menyangkut masalah validitas ilmu ilmu itu sendiri. Syafi‘i menjawab persoalan ini dengan bentu hirarkis. Katanya “’ala an laysa li ah}adin abadan an yaqu>la fi syay’in: Hall aw h}a ruma illa min jihah al-‘Ilm. wa jihah al-‘ilm al44

Al-Juwayni, Al-Burha>n, p. 8. Al-Razi, al-Maqa>l, vol.1, p. 45. 46 Perdebatan seputar ta‘lil al-ahka>m ini sudah banyak dibahas para ‘ulama dulu dan sekarang. Salah satu buku yang secara ekstensif membahas masalah ini adalah karya MuÍammad Mustafa Syalabi yang diangkat dari disertasi doktornya di Azhar. Ta‘lil al-Ahka>m (Bayrut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1981). Isu ini juga dibahas Ahmad Raysani, Nazariyyah al-Maqasid ‘Ind al-Imam al-Syaibani (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1995), terutama Bab 3, fasal 1. 45

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

241

khabar fi al-Qur’an aw al-sunnah, aw al-ijma‘ aw al-qiyas.” (tak seorangpun yang boleh mengtakan sesuatu itu halal atau haram kecuali dengan ‘ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui khabar yang ada di Qur’an atau sunnah, Ijma’ atau qiyas).47 Dalam usul fiqh, al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas disebut adillah. Prinsip epistemologis ini sejalan dengan firman Allah masing-masing dalam surah al-Nahl:116 dan al-Isra’: 36. Format hirarkis yang dibuat Syafi‘i ini telah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam sejarah pemikiran Islam. Terbukti sejak itu, format hirarkis ini tidak pernah mengalamai gugatan dan kritik. 48 Para ‘ulama seolah-olah telah memperlakukan sebagai sesuatu yang taken for granted. Juwayni dalam al-Burhan menyebutkan bahwa dalil fiqh adalah teks al-Al-Qur’an, teks Sunnah mutawatir, dan Ijma’.49 Ghazali mengatakan “anna adillah al-ah}ka>m: alQur’an, al-Sunnah, wa al-Ijma‘.” (dalil-dalil hukum itu adalah: alQur’an, Sunnah dan Ijma’)50 Bukan hanya ‘ulama Asya’irah, pemikir Mu’tazilahpun tidak membantah format hirarkis ini. Begitu juga dengan Shi’ah. Para ‘ulama Syi’ah sepakat bahwa sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, hadis, Ijma’ para fuqaha’ Syi’ah, dan akal. Memang dalam Syi’ah dikenal prinsip “kullu ma h}akam bihi al-‘aql h}akam bihi al-syar‘“ (apa yang telah ditetapkan akal juga menjadi ketetapan syara’). Maksudnya akal bisa saja secara independen menetapkan sesuatu hukum tanpa bersandar pada syara’. Tapi menurut Muhammad Baqir Sadr itu berlaku hanya pada tataran teori saja. Karena pada prakteknya, itu tidak pernah terjadi.51 Format hirarkis ini mempunyai implikasi epistemologis yang sangat besar. Salah satu implikasinya adalah segala jenis ilmu, dari manapun ia diderivasi, mestilah memenuhi standar al-Qur’an, dan apalagi bertentangan. Maka, andaikan ada ilmu — apakah diderivasi 47 Muhammad bin Idrus al-Shafi‘i (w. 204), Al-Risalah, ed. Ahmad Syakir (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), p. 39 dan 508. 48 Hanya baru sekarang gugatan tersebut mula muncul. Joseph E. Lowry bukan saja mempertanyakan tapi juga menolak kebenaran yang mengatakan Syafi’i mempunyai teori “empat sumber hukum Islam” sebagaimana yang selama ini dipahami oleh baik para ‘ulama sesudahnya maupun oleh para peniliti kontemporer. Lihat Joseph E. Lowry, “Does Shafi‘i Have A Theory of “Four Sources” of Law,” dalam Bernard G. Weiss, Studies in Islamic Legal Theory (Leiden: E.J. Brill, 2002), p. 23-50. 49 Al-Juwayni, Al-Burhan, vol.1, p. 8. 50 Al-Ghazali, Al-Mustasfa, vol.1, p. 36. 51 Hossein Moderresi, “Rationalism and Traditionalism in Shi’i Jurisprudence: A Preliminary Survey”, Stvdia Islamica, LIX, 141 dan 142 (footnote no.4).

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


242 Nirwan Syafrin dari sunnah, pengalaman (experience), atau akal — yang kontradiktif dengan al-Qur’an, maka disana ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ilmu tersebut salah, dan kemungkinan kedua, pemahaman dan penafsiran kita tentang al-Qur’an itu yang salah. Al-Qur’an sendiri tidak mungkin salah, karena bersumber dari yang Maha Benar. Terkadang konflik antara sumber ilmu tidak dapat dielakkan, seperti yang mungkin berlaku antara al-Qur’an dengan al-Qur’an atau al-Qur’an dengan sunnah, atau sunnah dengan sunnah. Dalam ilmu usul biasanya disebut dengan ta’arud} wa al-tarjih. Dalam ta‘arud} wa al-tarjih, rekonsiliasi biasanya menjadi keutamaan. Untuk melakukan itu prinsip-prinsip seperti ‘am-khas}s}, haqiqah-maja>z, muqayyad-mutlaq, mujmal-mubayyan, nasikh-mansukh dan seterusnya mutlak diperlukan. Apabila konflik menemui jalan buntu, maka dilakukan tarjih. Untuk melakukan ini, seseorang harus mempunyai kompetensi dalam ilmu hadis untuk menentukan tingkat otoritas sebuah hadits; apakah ia mutawatir atau ah}ad, h{asan atau da‘if, dan seterusnya. Nah, disini persoalan otoritas berperan penting. hadits yang tingkat validitasnya lebih tinggi harus didahulukan dari yang lebih rendah. Maka sahih harus didahulukan atas yang da’if, dan begitulah seterusnya. Andaikan usaha rekonsiliasi tidak memungkinkan, metode yang terakhir adalah nasikh wa al-mansukh. Karena otoritasnya lebih tinggi, maka al-Qur’an tidak bisa dimansukhkan oleh Sunnah. Al-Qur’an hanya dapat dimansukhkan oleh al-Qur’an itu sendiri. Bagaimana jika konflik itu terjadi antara wahyu dan akal. Para ‘ulama tetap mendahulukan rekonsiliasi. Akan tetapi bila pertentangan tersebut pada ranah syari’ah, jelas akal harus tunduk pada ketetapan syara’, bukan sebaliknya seperti yang terjadi belakangan ini, di mana teks al-Qur’an dan sunnah ditundukkan pada akal dan realitas sosial. Syatibi menjelaskan “jika terjadi konflik antara naql (wasy) dan akal dalam persoalan-persoalan Syara’, maka naqal harus diposisikan didepan, dengan demikian ia menjadi ikutan (fayakuna matba‘an), sementara akal berada diposisi belakang menjadi pengikut.”52 Maksud al-Qur’an sebagai sumber ilmu adalah bahwa kita bisa memperoleh ilmu dari al-Qur’an. Terutama sekali pada persoalanpersoalan yang berbau metafisik, seperti mengenai Tuhan, Malaikat, Jiwa manusia, juga mengenai sejarah masa lalu. Kita tidak dapat 52

Al-Syatibi, al-Muwafaqa>t, vol. 1, p. 56.

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

243

mengetahui semua ini hanya dengan akal atau indera semata. Karena alam metafisika diluar jangkauan kedua sumber ini. Kita tidak tahu Tuhan karena Dia sendiri yang mendiskripsikan tentang diriNya kepada kita melalui firmanNya dalam al-Qur’an. Tanpa wahyu ini, kita akan buta sama sekali mengenai Tuhan. Karena bersumber dari yang Maha Mengetahui, maka mustahil ia salah. “Revelation (wahy), which all prophets received from Divine source, is the most certain knowledge.”53 Selain al-Qur’an, Sunnah juga merupakan sumber otoritatif ilmu. Berbeda dengan al-Qur’an yang keselurahannya dijamin benar, sunnah tidak demikian. Karena tidak seluruh sunnah qat}‘i al-wurud. Hanya yang qat}‘i al-wurud, dalam hal ini hadits mutawatir, yang dijamin kebenaranya. Berbicara mengenai sunnah maka kita tidak bisamelepaskan diri dari Syafi‘i. Karena dialah yang pertama sekali memformulasikan konsep sunnah dan hadits, serta otoritas hadits ahad. Dia jugalah yang mempertahankan otoritas (hujjiyah) sunnah sehingga menjadi sumber hukum. Oleh sebab itu kata Hallaq “it would not be an exaggeration to state that the treatise (i.e. al-Risa>lah) represents a defense of the role of the Prophetic reports in the law, as well as of the methods by whcih the law can be deduced from those reports.”54 Usaha Syafi‘i menkoseptualisasikan sunnah sebenarnya didorong oleh realitas saat itu, di mana sunnah telah dipahami secara arbitrari. Terkadang bahkan terjadi percampuran antara apa yang disebut dengan sunnah nabi dengan sunnah sahabat, sunnah dalam arti tradisi yang berkembang, dan dengan pendapat individual (ra’y). Syafi‘i kemudian merevolusi makna Sunnah dengan hanya membatasinya kepada rasulullah, tidak kepada yang lain. Dia kemudian mengidentikkan sunnah dengan hadits. Artinya sunnah rasul hanya dapat diketahui melalu jalur hadits sahih. Hadits sahih menurut Syafi‘i adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang terpercaya (tsiqah) dan dari orang terpercaya pula hingga sampai pada rasulullah (saw), dengan syarat tidak bertentangan dengan hadits sahih yang lain (shadh). 55 Sebelum Syafi‘i, sunnah mengandung multi-arti; bisa 53

Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam and its implications for education in a developing country (London: Mansel, 1989), p. 36. 54 Wael Hallaq, A History, p. 24. 55 Muhammad bin Idrus al-Shafi‘i, “Kitab Ikhtilaf Shafi‘i wa Malik,” dalam Al-Umm, disupervisi dan koreksi oleh Muhammad Zuhri al-Najjar (Bayrut: Dar al-Ma’rifah, n.d), vol. 7:191. Definisi ini telah menjadi standard dalam ilmu hadith. Sejumlah muhaddithin seperti AlKhatib, Ibn ‘Uday, al-Hakim bahkan telah mengadopsinya kedalam buku mereka masingmasing. Sa‘ad bin Umar Ghazi, “Kalimah Muhaqqiq al-Kitab,” dalam Manawi, Manaqib, p. 10.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


244 Nirwan Syafrin berarti tradisi yang berkembang dimasyarakat (living tradition), sirah nabi, perbuatan dan perkataan sahabat dan lain-lain.56 Akan tetapi, seperti yang diutarakan Juynboll, sejak zaman Syafi‘i, hampir tak seorangpun pennulis yang menganggap sunnah selain dari apa yang dinisbahkan kepada Rasul.57 Akan tetapi ini bukan berarti bahwa sunnah merupakan kreasi Imam Syafi‘i atau apa yang diyakini Schacht sebagai kreasi masyarakat Islam abad kedua.58 Selain al-Qur’an dan Sunnah, Ijma’ dan qiyas juga berfungsi sebagai sumber ilmu. Disini kita mungkin dapat membaginya menjadi dua; pertama ijma’ al-ummah (kesepakatan masyarakat Islam secara keseluruhan) dan kedua Ijma’ al-‘ulama. Termasuk dalam kategori Ijma’ adalah Ijma’nya para sahabat. Menurut Shawkani ilmu tentang hal-hal yang sudah menjadi ijma’ merupakan salah satu prasyarat yang harus dimiliki seorang mujtahid. Tujuannya adalah supaya seorang mujtahid tidak memberikan fatwa yang bertentangan dengan keputussan ijma’.59 Jadi keputusan ijma’ bersifat mengikat. Secara epistemologis ini berarti bahwa keputusan ijma’ adalah benar, dan kita tidak mungkin untuk menetangnya. Qiyas merupakan berada pada posisi terakhir sebagai sumber hukum dan ilmu dalam pemikiran Islam. Qiyas, yang dalam Risalah terkadang diidentifikasikan dengan ra’y, memiliki nilai startegis dalam usaha mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an. Ia merupakan penghubung antara teks dan realitas. Dengan qiyas, makna teks bisa diperlebar sehingga mencakup seluruh permasalahan yang terjadi. Menurut Syatibi, qiyas bukan aktivitas akal semata, karena ia masih berada dalam lingkaran teks al-Qur’an.60

56 Lihat Zafar ishaq Ansari, “Islamic Juristic Terminology Before Safi’i: A Semantic Analysis with Special Reference to Kufa,” Arabica, 19 (October 1972), 3. Cf. Ahmad Hassan, Early Development, 85-109; M. MuÎtafa Al-Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Oxford Center for Islamic Studies & The Islamic Text Society, 1996), p. 29-36. 57 G.H.A. Juynboll, “Some New Ideas on the development of Sunna As A Technical Term in Early Islam,” Jerusalem Studies in Arabic and Islam, 10 (1987), p. 108. 58 Lihat Joseph Schacht, Origins, p. 3. Pendapat Schact ini telah mendapat kritikan banyak kalangan, termasuk dari orientalis. Lihat mislanya M. MuÎtafa Al-Azami, On Schacht’s Origins. 59 Shakwani, Irsya>d al-Fuh}u>l, p. 372. 60 Syatibi, al-Muwa>faqa>t, vol. 1, 57.

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

245

Wacana Pembaruan Fiqh dan Usul Fiqh Hari ini fiqh sedang mendapat sorotan tajam dan kritikan pedas dari berbagai kalangan. Bahkan ada yang menilainya sebagai faktor kemunduran dan keterbelakangan ummat Islam saat ini.61 Salah satu kritik terhadap fiqh adalah ia dituduh bersikap diskrimanitf terhadap non-Muslim. “Banyak konsep fiqih menempatkan penganut agama lain lebih rendah ketimbang umat Islam, sehingga berimplikasi meng-exclude atau mendiskreditkan mereka.”62 Fiqh juga ditohok atas perlakuannya terhadap wanita. Fiqh Islam, kata mereka, selalu memposisikan wanita sebagai subordinate terhadap laki-laki. Ringkasnya fiqh klasik tidak ramah perempuan.63 Sifat ketidak ramahan ini, lanjut mereka, bukan karena karakter Islam ataupun al-Qur’an itu sendiri, tapi sebab bias jender para penafsir.64 Oleh sebab karakternya ini maka fiqh Islam mendesak untuk direformasi atau dekonstruksi. Sejumlah pemikir Islam menilai bahwa proses reformasi ini tidak bisa dilakukan selagi perangkat teoretiknya, yakni usul fiqh, tidak diperbaharui. dengan demikian pembaharuan usul fiqh haruslah menjadi agenda utama. Diantara pemikir Muslim yang berusaha untuk melakukan pembaharuan ini adalah Hasan Turabi. Turabi menilai usul fiqh tidak lagi relevan untuk sekarang ini, karena ia dibangun atas realitas masyarakat abad pertengahan, bukan atas keperluan dan kebutuhan masyarakat sekarang. Oleh sebab itu ia hanya sesuai untuk masyarakat tersebut.65 61

Lihat misalnya Jamal al-Banna, Nah}wa Fiqh Jadid (Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Islami,

t.t), p. 8. 62

Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Yayasan Paramadian Bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004), p. ix. 63 Lihat misalnya Amina Wadud, Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspektif (New York: Oxford University Press); Nasaruddin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000); dan Masdar F. Mas’udi, “Perempuan di antara Lembaran Kitab Kuning,” dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabya: Risalah Gusti, 1996), p. 167-180. 64 Lihat misalnya Nasaruddin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000); dan Masdar F. Mas’udi, “Perempuan di antara Lembaran Kitab Kuning,” dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabya: Risalah Gusti, 1996), p. 167-180. 65 Turabi, Hasan, Tajdid Usul al-Fiqh al-Islami (Jeddah: Al-Dar al-Su’udiyyah1404H/ 1984M), p. 9-13. Tulisan ini kemudian dipublikasikan lagi dalam Hasan Abdullah Turabi, Qad}iya al-Tajdid, Nah}wa Manhaj Usuli (Khartym: Ma‘had al-Buhuth wa al-Dirasat alIjtima‘iyyah) pada bab 4. tentang Tajdid Usul al-Fiqh.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


246 Nirwan Syafrin Seperti Turabi, ‘Abdul hamid Abu Sulayman juga mengusulkan hal yang sama. Abu Sulayman mensinyalir beberapa kelemahan usul fiqh klasik. Di antaranya textual dan linguistic oriented sehingga cendrung melupakan unsur historisitas teks, dimensi waktu dan tempat (spatio-temporal dimension). Menurut ‘Abdul Hamid “Simple and direct deduction from Islamic textual materials, without properly accounting for changes involving the space-time element of the early Muslim period is a retroressive practice.”66 Di antara yang paling gencar menyuarakan pembaharuan ini, Muhammad Shahrur merupakan yang paling getol. Shahrur telah mengelaborasi ide ‘pembahruan’nya dalam dua spektakulernya alKita>b wa al-Qur’a>n: Qira’ah mu‘a>s}irah67 dan Nah}wa Us}u>l Jadidah li al-Fiqh al-Islami. 68 Shahrur banyak menggunakan pendekatan bahasa untuk merumuskankan teorinya. Dia mengusulkan sebuah teori baru dikenal dengan Teori Batas (nazariyyah al-hudad). Menurut Shahrur, hukum Islam hendaklah dibaca dalam kurva batasan ini. Banyak kalangan yang telah mengkritik Shahrur, terutama sekali atas bukunya Al-Kita>b wa al-Qur’an, di mana dia dituduh banyak memutar balik makna al-Qur’an.69 Nasr Hamid Abu Zayd sendiri, yang juga berada pada garda depan Muslim liberal, juga menyatakan keberatannya atas buku Shahrur tersebut.70 Berdiri sejajar dengan Shahrur adalah Muhammad Arkoun. Arkoun mempertanyakan konstruk usul fiqh klasik. Dengan menggunakan pisau analisis “postmodernisme” yang dikembangkan Foucoult, Arkoun mencoba membongkar (deconstruct) bangunan usul fiqh. Arkoun mengkritik Syafi‘i karena telah membakukan sumber hukum Islam dan sunnah sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang unthinkable. Dalam penilain Arkoun, konstruk usul

66 Lihat ‘Abdul Hamid Abu Sulayman, Azmah al-‘Aql al-Muslim (Virginia: Al-Ma‘had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1994), 73. idem, Crisis of Muslim Mind, terj. Yusuf Talal DeLorenzo (Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1997), p. 80. 67 Dimashq: al-Ahali, 1990. 68 Dimashq: Dar al-Ahali, 2000. 69 Banyak sekali buku kritikan atas karya Shahrur al-Kitab wa al-Qur’an. Ada yang sangat semosional, tapi tak sdikit yang juga ilmiyah. Misalnya Mahir al-Munajjid, al-Isykaliyya al-manhajiyya fi “Al-Kitab wa al-Qur’an” (Bayrut: Dar al-Fikr, 1994). 70 Nasr Hamid Abu Zayd, “Limadhataghat al-talfiqiyya ‘ala kathir min masyra’at tajdid al-Islam?,” Al-Hilal, Oktober 1991, 17-72, dan idem “al-manhaj al-Nafi‘ fahm al-nusus aldiniyya,” Al-Hilal, March 1992.

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

247

fiqh klasik sangat kental dipengaruhi ideologi dominant ketika itu.71 Fazlur Rahman juga mendesak agar metode penafsiran alQur’an yang dibakukan melalui usul fiqhsegera dirombak. Menurutnya al-Qur’an harus dipahami dalam konteks masyarakat ketika ia diturunkan.72 Karena mengabaikan realitas sosial hanya akan berujung pada penegasian tujuan dan objektif moral-sosial al-Qur’an.73 Rahman selanjutnya menawarkan teori gerak ganda (doublemovement). Secara ringkas teori ini mengatakan bahwa untuk memahami al-Qur’an kita harus kembali melihat konteks sejarah dan sosial al-Qur’an ketika itu. Setelah itu barulah kita memformulasikan prinsip umum dari ayat tersebut yang pada prinsip merupakan objektif utama dari ayat tersebut. Setelah proses ini selesai, kita kemudian kembali ke zaman kini untuk diaplikasikan dalam kasus-kasus yang terjadi sekarang.74 Secara umum pembaharuan atau apa yang sering disebut dengan tajdid atau ihya’ (renewal, reform) bukanlah hal baru dalam Islam; ia bahkan sudah menjadi built-in-system dalam pemikiran Islam. Rasullullah sendiri sudah mewanti-wanti hal itu. Sabdanya: “sesungguhnya Allah akan mengutus pada tiap pangkal abad seorang mujaddid yang akan memperbaharui agamaNya”. Pembaharuan memang sudah berjalan sudah sejak dini lagi. Para ‘ulama memperkirakan bahwa ia sudah berlangsung sejak abad pertama hijriyah. Ini terbukti dengan daftar pembaharu Muslim yang dibuat Ibn alAthir dan al-Suyuti di mana ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz disebut sebagai pembaharu abad pertama Islam dan Imam Syafi‘i abad kedua. Fiqh memang perlu untuk selalu diperbaharui untuk merespon persoalan yang berkembang. Banyak masalah-masalah fiqh yang telah diperbaharui, khususnya dalam bidang ekonomi Islam. Isu seperti investasi waqaf, zakat profesi, dan lain-lain merupakan bukti bagimana fiqh merespon perkembangan masyarakat. Sebagaimana kehidupan manusia yang mempunyai elemen tetap dan tidak berubah, begitu juga fiqh. Ada beberapa bagian dalam fiqh yang tidak 71 Pembahsannya mengenai Syafi’i dapat diabca di Muhammad Arkoun, Tarikhiyya al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, terj, Hashim Aleh (Bayrut: Markaz al-Inma‘ al-Qawmi dan alMarkaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1996), khususnya Bab kedua, Mafhum al-‘Aql al-Islami. 72 Rahman, Fazlur. Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), p. 5. 73 Ibid, p. 19. 74 Untuk keterangan lanjut lihat Ibid., p. 19-20.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


248 Nirwan Syafrin mungkin diubah dan diperbaharui, karena ia membentuk bagian terpenting syari’at Islam. Ruang untuk berijtihad dalam fiqh sebenarnya masih terbuka lebar. Banyak masalah-masalah kontemporer yang sesungguhnya menantikan ijtihad-ijtihad segar. Tapi sayangnya pemikir Muslim kontemporer hanya berkutat pada isu-isu lama seperti poligami, hak warisan wanita, hukum hudu, dan qisas yang sesungguhnya tidak memberikan dampak besar dalam perubahan masyarakat Muslim hari ini. Apakah dengan diharamkannya poligami, disamakannya bagian warisan anak laki-laki dan perempuan, dihapuskannya hudud dan qisas, seperti yang diinginkan para pemikir Muslim kontemporer di atas, masyarakat Islam akan menjadi lebih terhormat dan dihargai, menjadi lebih maju dan berkembang. Sudah lebih dua abad, semenjak kolonialisme, umat Islam membelakangkan hukum Islam, khususnya yang berhubungan dengan ruang publik. Sudah sejak lama, hukum hudud dan qisas tidak diterapkan tanpa harus ada reinterpretasi dan sejenisnya. Tapi nyatanya, tetap saja umat Islam terbelakang,mundur dan menjadi objek pemerasan. Usul fiqh sebenarnya mempunyai dinamikanya sendiri untuk memperbarui diri. Sejak diformulasikan Syafi‘i, usul fiqh telah banyak mengalami perubahan dan pembaharuan.75 Baqillani telah memperbahruinya dengan mengintegrasikan ilmukalam kedalamnya. Ghazali juga telah memberikan sentuhan pembaharuannya dengan menjadikan Mantiq sebagai bagian terpenting usul fiqh. Begitu juga dengan Syatibi. Dengan al-Muwa>faqa>t, Syatibi telah memberikan dimensi baru dalam kajian usul fiqh. Hingga hari ini Muwafaqat Syatibi menjadi rujukan penting dalam usul fiqh dan telah menarik minat banyak kalangan cendikiawan Muslim kontemporer.76 Meskipun usul fiqh telah mengalami perubahan disana75 Lihat misalnya Qutb Mustafa Sanu, “Fi Murtakazat Tajdid al-Fikr al-Usuli, “ dalam Tafakkur, jilid 1 dan 2, no. 1 dan 2, 1421H/2000 dan Ahmed Kazemi Moussavi, “A Schema of Islamic Legal Methodology (Usul Fiqh) in early Islam,” dalam Al-Shajarah, vol. 9, no. 1, 2004, p. 1-42. 76 Belakangan ini sumbangan Syatibi dalam usul fiqh Islam telah mendapat perhatian banyak kalangan. Menariknya banyak kelompok liberal yang juga menjadikannya sebagai rujukan untuk memperkuat dan memperteguh posisi keliberalan mereka, meskipun pada kadar tertentu Syatibi sendiripun mungkin tidak akan sepakat. Untuk kajian detail tentang pikiran Syatibi lihat: Hammadi al-‘Ubaydi, al-Syatibi wa Maqatid al-Syari‘ah (Dimashq: Dar Qutaybah, 1992); Ahmad Raysani, Nazariyyah al-Maqatid ‘ind al-Imam al-Syatibi (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1416H/1995); Muhammad Khalid Mas’ud, Shatibi’s Philosophy of Islamic Law (Pakistan: Islamic Research Institute, 1995).

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

249

sini, usul fiqh tetap berputar pada pusaran epistemologi Islam. Para ‘ulama pembaharu itu tetap menjadikan teks al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber otoritatif dan mendudukkan akal dibawah telunjuk keduanya. Hal ini jauh sekali berbeda dengan pemikir liberal Muslim kontemporer. Mereka cendrung menjadikan usul fiqh tak lebih dari sekedar bahan untuk menjustifikasi realitas yang ada. Teks al-Qur’an dan sunnah ditundukkan pada kehendak waktu dan tempat, pada akal dan kepentingan sesaat. Mereka telah menjungkir balikkan struktur epistemologi Islam. mereka meletakkan realitas sosial yang dihegemoni kebudayaan Barat di atas segala-galanya, hatta di atas teks al-Qur’an dan sunnah. Realitas sosial menjadi standard kebenaran. Oleh sebab itu, apa pun adanya jika tidak sesuai dengan ‘teks’ realitas harus dirubah dan direinterpretasi. Dengan demikian, ayat warisan yang memabagi anak laki-laki lebih dari perempuan harus ditafsir ulang, karena realitas sekarang perempuan yang banyak bekerja. Poligami harus diharamkan, karena tidak sesuai dengan budaya masyarakat modern. Hukum hudud dan qisas harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan standar International Convetion of Human Rights, demikian Abdullah Ahmad an-Naem menjelaskan.77 Dan atas nama realitas juga, wanita Muslimah boleh nikah dengan lelaki non-Muslim.78 Para pemikir Muslim liberal mengkritik usul fiqh klasik karena berpaut erat pada teks-teks al-Qur’an dan sunnah. Tanpa mereka sadari, saat ini mereka juga sedang bergantung pada tek-teks ‘realitas sosial’. Ketergantunga fiqh pada teks al-Qur’an dan sunnah sebenarnya bertujuan untuk menjaga objektivitas hukum.79 Hukum yang tidak punya rujukan hanya akan menimbulkan keonaran (chaos). Karena setiap orang akan memberikan interpretasinya masing-masing sesuai dengan kepentingannya. Persoalan teks dalam koridor hukum bu77 Abdullah AÍmad An-Na’im lima sektor penitng dalam sektor publik dimana hukum Islam tidak bisa diterapkan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusian hari ini. Kelima-lima bidangitu adalah: tentang Konstitusi, Hukum Kriminal, Hubungan Internasional, dan hak asasi Manusia. Lihat Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1990). 78 Lihat Pembaharuan Hukum Islam,Ccounter Legal Draft kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender DEPAG RI, 2004), p. 53. 79 Pembahasan lebih lanjut bisa dibaca di bernard Weiss, “Exotericism and Objectivity in Islamic Jurisprudence,” dalam ed. Nicholas Heer, Islamic Law and Jurisprudence (Seatle and London: University of Washington Press, 1990), p. 53-71.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


250 Nirwan Syafrin kan hal baru yang berlaku pada hukum Islam saja. Ia berlaku di Barat, sebagaimana juga berlaku di Indonesia. Para pengacara dan Hakim di Indonesia punya teks yang disebut dengan KUHP. Dan setiap keputusan akan selalu mengacu dan merujuk pada teks ini. Kegagalan menemukan pijakan tekstualnya mengakibatkan hukum tidak bisa diterapkan. Jadi kalau begitu, ketergantungan pada teks bukan satu kelemahan hukum Islam. Hanya dengan demikian objektivitas hukum dapat di tegakkan. Fiqh Islam sebenarnya tidaklah sekaku yang dibayangkan sebagian orang, yang membuta tuli bergantung pada teks, mengabaikan realitas yang ada. Fiqh Islam memiliki nilai fleksibilitasnya sendiri. Dia dapat mengadopsi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Dan ini telah terbukti secara historis. Sepanjang empat belas abad, fiqh telah mengharungi bermacam ragam realitas sosial dan politik, dari Afrika hingga Asia, dari Mesir hingga Samosir. Namun fiqh tetap fiqh, ia masih utuh seperti ketika ia mula-mula lahir. Ini karena fiqh memiliki mekanismenya sendiri untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang ada. Dalam fiqh Islam dikenal kaedah yang sangat populer “taghayyur al-ah}ka>m bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah”, (hukum berubah dengan perubahan masa dan tempat) dan “al-tsa>bit bi al-‘urf ka al-tsa>bit bi al-nas}s}”, (‘adat bisa menjadi hukum). Kaedah ini menunjukkan bahwa dimensi waktu dan tempat dapat mempengaruhi ketetapan hukum. ‘Urf (kebiasaan masyarakat setempat) dapat dijadikan sandaran hukum dengan syarat ia tidak kontradiksif dengan syari’at Islam, maksudnya teks eksplisit dalam al-Qur’an yang tidak mengandung multi interpretasi. Ibn ‘Abidin menegaskan: “’urf yang bertentangan dengan nas}s} tidak bisa menjadi pertimbangan.” Selanjutnya Ibn Najim juga mengatakan: “‘Urf tidak bisa menjadi bahan pertimbangan pada persoalan yang ada ketetapan nassnya (al-mans}u>s} ‘alayh)”.80 Oleh sebab itu, hukum haramnya ghibah dan dusta, wajibnya salat, zakat, puasa, haramnya riba, hukum nikah dan talaq, hukum hudud dan qisas, rajam terhadap penzina, dan lain-lain yang oleh ulama dikategorikan qat}‘i al-tsubu>t wa al-dila> l ah tidak bisa berubah, meskipun waktu dan tempat berubah. 80 Dikutip dari ‘Umar Sulayman al-Ashqar, Nazarat fi Usul al-Fiqh (Bayrut: Dar alNafa’is, 199), p. 168.

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

251

Demikianlah perjalanan sejarah usul fiqh yang telah melewati rentang batas waktu yang cukup panjang, menghadapi berbagai persoalan membantu ummat untuk menyelesaikan persoalan mereka. Ada sisi yang perlu diperbaharui dari usul fiqh, karena pembaharuan adalah sifat sejatinya. Tapi pembaharuan haruslah berjalan pada prinsip-prinsip epistemologi Islam yang sudah menjadi kesepakatan ummat sepanjang sejarah.

Penutup Usul fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang telah berjasa meletakkan dasar epistemologi pemikiran Islam. Ia telah memberikan konstruk final bagi epistemologi Islam. Dalam ilmu ini kekuatan wahyu dan akal digabungkan menjadi satu sehingga membentuk satu bangunan yang dinamakan epistemologi Islam. Wahyu dalam hal ini al-Qur’an dan Sunnah diposisikan pada tingkat yang teratas, karena ia bersumberkan dari yang Maha Tahu. Akal diposisikan pada tingkat lebih rendah secara hirarkis dari keduanya, mengisyaratkan agar akal tunduk kepada kebenaran keduanya. Dalam konstruk ini, wahyulah yang menjadi standard kebenaran. Belakangan ini banyak tawaran yang diajukan untuk dijadikan sebagai alternatif kepada usul fiqh yang ada. Karena banyak menilai bahwa usul fiqh yang ada mengandungi banyak kelemahan yang prinsipil. Hasan Turabi, Fazlur Rahman, Arkoun, M. Shahrur, dan al-Jabiri, dan lain-lain adalah beberapa nama yang getol untuk memperjuangkan pembongkaran usul fiqh klasik tersebut. Sayangnya, sampai detik ini, tak seorangpun yang telah memberikan sebuah tawaran metodologi utuh dan komprehensif. Solusi dan usulan mereka masih terlalu umum dan kabur, belum menampakkan satu bentuk yang konkrit. Yang adanya hanya luapan-luapan kritik atas pikiran-pikiran ‘ulama klasik. Sementara mereka sendiri masih belum mampu melampaui prestasi para ulama ushuliyyun di masa lalu. Belum satu pun diantara mereka yang mampu menghasilkan karya usul fiqh yang mumpuni. Tawaran-tawaran pembaruan usul fiqh perlu kita sikapi dengan kritis, tidak a priori. Tetapi, juga jangan sampai kita terburu-buru membuang khazanah klasik keilmuan Islam, hanya karena melihat ada yang baru. Apalagi, terbukti, tawaran-tawaran pembaruan epistemologi termasuk bidang usul fiqh juga tidak terlepas dari hegemoni pemikiran Barat yang berakar pada worldview sekular-liberal.[] Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


252 Nirwan Syafrin Daftar Pustaka ‘Ubaydi, Hammadi al-, al-Syat}ibi> wa Maqa>si}d al-Syari>‘ah (Dimashq: Da>r Qutaybah, 1992) Ansari, Zafar Ishaq, “Islamic Juristic Terminology Before Safi’i: A Semantic Analysis with Special Reference to Kufa,” Arabica, 19 (October 1972) Arkoun, Muhammad, Ta> r ikhiyya al-Fikr al-‘Arabi al-Isla> m i, terj, Hashim S}a>leh (Bayru>t: Markaz al-Inma‘ al-Qawmi dan alMarkaz al-Thaqa>fi al-‘Arabi, 1996) Ashqar, ‘Umar Sulayman al-, Naz}ara>t fi Us}u>l al-Fiqh (Bayrut: Dar al-Nafa’is, 199) ______, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1982) Asnawi, Jamal al-Din ‘Abd al-Rahim bin al-Hasan al- (w. 772), Niha>yah al-Su>l fi Syari Minha>j al-Us}u>l(w. 685), (Bayrut: ‘Alam al-Kutub, t.t),vol.1 Attas, Syed Muhammad Naquib al-, Prologomena to Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: the International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995) Azami, M. Mustafa Al-, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Oxford Center for Islamic Studies & The Islamic Text Society, 1996) Banna, Jamal al-, Nah}wa Fiqh Jadid (Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Islami, t.t) Baqillani, al, Al-Taqrib wa al-Irsya>d, vol.1, 172ff. Barut, Muhammad Jamal, “Al-Ijtihad bayn al-Nass wa al-Waqi‘,” in Ahmad Raysani and Muhammad Jamal Barut, Al-Ijtihad: alnass, al-waqi‘, al-mas}lah}ah (Bayrut: Dar al-Fikr al-Mu‘aÎir & Dimashq: Dar al-Fikr, 2000) Bosquet dan Joseph Schact (eds.), Selected Works of C. Snouck Hurgronje (Leiden: E.J. Brill, 1957). Bosworth, C. E., et al (eds.), The encyclopedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1997), “Shafi‘i”, vol. 9, 1983. Brunschvig, Robert, “Logic and Law in Classical Islam,” dalam G. E. von Grunebaum (ed.), Logic in Classical Islamic Culture (Weisbaden: otto Harrasowitz, 1970) Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

253

Coulson, N. J., A History of Islamic Law (Edindurgh: Edinburgh University Press, 1978) Daud, Wan Mohd Nor Wan, The Concept of Knowledge in Islam and its implications for education in a developing country (London: Mansel, 1989) Dutton, Yasin, The Origins of Islamic Law (Surrey: Curzon Press, 1999). Fyzee, A Modern Approach to Islam (Bombay: Asia Publishing House, 1963) Gibb, H.A.R., Mohammadenism (London: 1949) Hallaq, Wael, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997) Hanbali, Abu al-Falah ‘Abd al-Hayy bin al-‘Imadi al- (d. 1089), Syadhara>t al-Dhahab fi Akhba>r man Dhahab (Bayrut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, n.d) Hasan, Ahmad, Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad, Pakistan: Islamic Research Institute, International Islamic University, 1994) Jabiri, Muhammad ‘Abid al-, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Bayrut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1989) Juynboll, G.H.A., “Some New Ideas on the development of Sunna As A Technical Term in Early Islam,” Jerusalem Studies in Arabic and Islam, 10 (1987) Khaldun, Ibn, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal (New York: Pantheon Books, 1958) Khalkan, Abu al-‘Abbas Shams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakr bin, Wafaya>t al-‘A’ya>n wa Anba>’ Abna>’ al-Zama>n, ed. Ihsan ‘Abbas (Qum: Mansyurat al-Rida, 1342) Khallaf, ‘Abdul Wahhab, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968) Lev, Daniel S., Islamic Courts in Indonesia (Berkeley: University of California Press, 1972) Lowry, Joseph E., “Does Syafi‘i Have A Theory of “Four Sources” of Law,” dalam Bernard G. Weiss, Studies in Islamic Legal Theory (Leiden: E.J. Brill, 2002)

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


254 Nirwan Syafrin Mahdi, Muhsin, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and Unwin Ltd, 1957) Makdidi, Gorge, “Ther Juridical Theology of Shafi‘i - Origins and Significance of Usul al-Fiqh,” Stvdia Islamica, MCMLXXXIV, 45. Mas’ud, Muhammad Khalid, Shatibi’s Philosophy of Islamic Law (Pakistan: Islamic Research Institute, 1995). Mas’udi, Masdar F., “Perempuan di antara Lembaran Kitab Kuning,” dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabya: Risalah Gusti, 1996) Moderresi, Hossein, “Rationalism and Traditionalism in Shi’i Jurisprudence: A Preliminary Survey”, Stvdia Islamica, LIX Moussavi, Ahmed Kazemi, “A Schema of Islamic Legal Methodology (Usul Fiqh) in early Islam,” dalam Al-Shajarah, vol. 9, no. 1, 2004 Munajjid, Mahir al-, al-Isyka>liyya al-manhajiyya fi “Al-Kitab wa alQur’an, (Bayrut: Dar al-Fikr, 1994). Muslehuddin, Muhammad, Philosophy of Islamic Law and Orientalists (Lahore: Islamic Publications (Pvt) LTD, 1994). Na’im, Abdullah Ahmad An-, Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1990). Nasysyar, ‘Ali Sami al-, Mana>hij al-Bah}ts ‘Inda Mufakkir al-Islam (Qahirah: Dar al-Ma‘arif, 1966). Nawawi, Abu Zakariyya Muhy al-Din bin Sharf Al- (W .676), Tahdhib al-Asma’ wa al-Lugha>t (Mesir: Idarah al-Tiba‘ah al-Muniriyyah, t.t) Tébani, ‘Abd al-Rahman al-, et al, Al-Madkhal al-Fiqhi wa Tarikh alTasyri‘ al-Islami (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1982) Rahman, Fazlur. Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press, 1984) Raysani, Ahmad, Naz} a riyyah al-Maqa> s } i d ‘Ind al-Imam al-Syatibi (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1995) Rézi, Fakhr al-Din al-, Mana>qib al-Imam al-Syafi‘i (Bayrut: Dar alJil, 1413/1993)

Jurnal TSAQAFAH


Konstruk Epistemologi Islam

255

Réziq, Mustafa ‘Ali ‘Abdul, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah (Al-Qihirah: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyyah,TT). Sanu, Qutb MuÎtafa, “Al-Mutakallimun wa Usul al-Fiqh,” Islamiyyah al-Ma’rifah, no.9, July 1997 ______, “Fi Murtakazat Tajdid al-Fikr al-Usuli,“ dalam Tafakkur, jilid 1 dan 2, no. 1 dan 2, 1421H/2000 Schacht, Joseph dan Charles E. Bosworth (eds.), The legacy of Islam (Oxford: Clarendon Press, 1974) ______, “Theology and Law in Islam”, dalam G.E. von Grunebaum (ed.), Theology and Law in Islam, (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1969) ______, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press, 1959), 137. Shafi‘i, Muhammad bin Idrus al-, (w. 204), Al-Risalah, ed. Ahmad Syakir (Bayrut: Dir al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t) ______, “Kitab Ikhtilaf Shafi‘i wa Malik,” dalam Al-Umm, disupervisi dan koreksi oleh Muhammad Zuhri al-Najjur (Bayrut: Dar alMa’rifah, n.d), vol. 7 Sirry, Mun’im A., (ed.), Fiqih Lintas Agama ( Jakarta: Yayasan Paramadian Bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004) Smith, Wilfred Cantwell, “The Concept of Shari‘a Among Some Mutakallimin”, dalam George Makdisi (ed.), Arabic and Islamic Studies in Honor of Hamilton A.R. Gibb (Leiden: E.J. Brill, 1965). Sulayman, ‘Abd al-Wahhab Ibrahim Abu, Al-Fikr al-Us}u>li, dira>sah tah}liliyyah naqdiyyah (Jeddah: Dar al-Shuruq, 1984) ______, Manhajiyyah Al-Ima>m Muhammad bin Idrus al-Shafi‘i (ra) fi Usul al-Fiqh: ta’sil wa tahlil (Bayrut; Dar Ibn Hazm & Makkah al-Mukarramah: Al-Maktabah al-Makkiyah, 1999) ______, Azmah al-‘Aql al-Muslim (Virginia: Al-Ma‘had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1994) ______, Crisis of Muslim Mind, terj. Yusuf Talal DeLorenzo (Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1997) Syawkani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al- (w. 1255), Irsya>d al-Fuh}u>l ila Tah}qiq al-H}aq min ‘Ilm al-Us}u>l, diedit oleh Ahmad ‘Abd al-Salam (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1994). Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


256 Nirwan Syafrin Tursbi, Hasan, Tajdid Us} u >l al-Fiqh al-Islami (Jeddah: Al-Dar alSu’udiyyah 1404H/1984M) Ulwani, Taha Jabir al-‘, Us} u > l al-Fiqh manhaj bah} t s wa ma’rifah (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Isla>mi>, 1995) Umar, Nasaruddin, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000) Wadud, Amina, Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspektif (New York: Oxford University Press) Weiss, Bernard G., “Introduction”, dalam Bernard G. Weiss, The Search for God’s Law (Salt Lake City: University of Utah Press, 1992) ______, “Exotericism and Objectivity in Islamic Jurisprudence,” dalam ed. Nicholas Heer, Islamic Law and Jurisprudence (Seatle and London: University of Washington Press, 1990) ______, “Law in Islam and in the West: Some Comparative Observation”, dalam Wael B. Hallaq and Donald P. Little (eds.), Islamic Studies Presented to Charles J. Adams (Leiden: E.J. Brill, 1991) Zayd, Nasr Hamid Abu, “Limadhataghat al-talfiqiyya ‘ala kathir min masyra’at tajdid al-Islam?,” Al-Hilal, Oktober 1991 ______, “al-manhaj al-Nafi‘ fahm al-nus}us al-diniyya,” Al-Hilal, March 1992. ______, Al-Imam Syafi‘i wa ta’sis al-aydulujiyyah al-wasatiyyah (AlQahirah: Maktabah Madbuli, 1996).

Jurnal TSAQAFAH


Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur’a<n Yusuf Rahman Fakultas Ushuluddin & Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email: yrahman@hotmail.com

Abstract This article discusses the ideology of Sayyid Qutb and how this ideology has influenced his approach to the Qur’an. Although, in the beginning of his life he saw the Qur’an as the literary text and hence the literary approach to the Qur’an is the preferred approach, in his later life – when he became Islamist – he revised this approach and treat the Qur’a>n as a political document. Because of this political interpretation of the Qur’a>n, his tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n has influenced many radical groups in Egypt and other countries. The primary sources of this article are Sayyid Qutb’s works, especially al-Tas}wi>r al-Fanni> fi alQur’a>n, Masya>hid al-Qiya>mah fi> al-Qur’a>n, and Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. These works are read chronologically and historically to see the development of Qutb’s thought and the shifting of his ideology. Thus, the knowledge of the social-historical and political context of Egypt is important to determine its influence to Qutb and vice versa. Finally, this article concludes that Qutb’s literary approach to the Qur’an has been transformed into ideological and political approach. This shifting is due to the changing of Sayyid’s Qutb worldview, from a secular Muslim to be an ideological one. Furthermore, at the end of his life, he became a theoretical ideological Islamist. Tulisan ini mendiskusikan ideologi Sayyid Qutb dan bagaimana ideologinya mempengaruhi penafsirannya terhadap al-Qur’an. Meskipun pada permulaan hidupnya dia melihat al-Qur’an sebagai teks sastra dan kemudian menggunakan pendekatan sastrawi untuk menafsirkan al-Qur’an, pada fase kehidupan berikutnya ketika dia menjadi Islamis dia merevisi pendekatannya dan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman politik. Dengan penafsiran politis * Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jl. Kertamukti No.5 Pisangan Barat, Ciputat, Tangerang Telp. 021 7401472

Vol. 7, No. 1, April 2011


70

Yusuf Rahman

terhadap al-Qur’an, tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n telah mempengaruhi kelompokkelompok radikal di Mesir dan Negara lainnya. Sumber utama dari kajian ini adalah karya Sayyib Qutb terutamanya al-Tas}wi>r al-Fanni> fi al-Qur’a>n, Masya>hid alQiya>mah fi> al-Qur’a>n, and Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. Karya-karya ini dibaca secara kronologis dan historis untuk dapat melihat perkembangan pemikiran Sayyid Qutb dan pergeseran ideologinya. Dari sini, pengetahuan tentang konteks sejarah sosial dan politik Mesir adalah penting untuk menentukan keterpengaruhan Sayyid Qutb. Akhirnya, studi ini berkesimpulan bahwa pendekatan sastrawi Sayyid Qutb terhadap al-Qur’an telah bertransformasi menjadi pendekatan ideologis dan politis. Pergeseran dan perubahan cara pandang terhadap al-Qur’an ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan cara pandang Sayyid Qutb dari seorang muslim “sekuler” menjadi seorang muslim “ideologis”, bahkan di akhir hidupnya ia merupakan teoritikus ideologis Islamis.

Keywords: kita>b adabi>, wijhah fanniyyah, tas}wi>r, kita>b da‘wah, manhaj Islami>, h}a>kimiyyah.

Pendahuluan

T

ulisan ini untuk menunjukkan bahwa berbeda dengan karya para sarjana Muslim yang telah menggunakan pendekatan sastrawi terhadap al-Qur’a>n, seperti Ami>n al-Khu>li> (1895-1966) dan para penerusnya hingga Nas}r H{a>mid Abu> Zayd (1943-2010), yang masih dikecam oleh kebanyakan masyarakat Muslim, karya Sayyid Qut}b (1906-1966) justru meraih dukungan dan bahkan ideologi yang dikembangkannya menjadi salah satu yang paling berpengaruh. Tesis yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah bahwa prasupposisi atau praanggapan seseorang terhadap al-Qur’an>lah yang mempengaruhi respon dan tanggapan masyarakat Muslim yang berbeda. Walaupun sama-sama menggunakan tafsir sastrawi, respon masyarakat Muslim terhadap karya-karya Qut}b lebih positif dibandingkan dengan mazhab Ami>n al-Khu>li>. Sebelum mendiskusikan gagasan-gagasan Qut}b, perhatian khusus harus diberikan kepada edisi suntingan dan edisi cetakan karya-karya Qut}b. Sebagaimana yang telah ditekankan oleh banyak sarjana pengkaji karya Qut}b,1 Qut}b sering merevisi buku-bukunya 1 Banyak sarjana yang mengkaji Qut}b biasanya merujuk kepada berbagai perubahan di antara edisi-edisi Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n karya Qut}b. Lihat, misalnya, Adnan A. Musallam, “The

Jurnal TSAQAFAH


Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi

71

dalam cetakan-cetakan selanjutnya dan, konsekuensinya, ide-ide yang dituangkan dalam buku edisi revisi biasanya mengurangi, mengoreksi atau menambah gagasan-gagasan edisi sebelumnya.

Prasupposisi dalam Penafsiran Dalam artikelnya, “Tafsir from T{abari> to Ibn Katsi>r,” Norman Calder (1950-1998) menulis bahwa kualitas yang membedakan seorang penafsir dengan yang lain bukan terletak pada kesimpulannya sehubungan dengan apa yang al-Qur’a>n maksudkan, melainkan pada pengembangan dan penunjukkan teknik-teknik yang menjadi tanda penguasaan mereka atas bidang sastra.2 Dengan kata lain, berbagai metode yang digunakan oleh para penafsir bisa dianggap lebih penting ketimbang hasil penafsirannya. Sering juga dikatakan bahwa berbagai kesimpulan berbeda dalam penafsiran utamanya adalah karena variasi metode yang digunakan oleh para penafsir.3 Tetapi, di samping metode-metode tersebut, pra-konsepsi yang diadopsi oleh para penafsir sering jauh lebih berpengaruh dalam memproduksi hasil-hasil yang bervariasi ketimbang perbedaan mereka dalam metode. Para sarjana seringkali berbeda dalam penilaiannya terhadap teks yang sama. Pada kasus al-Qur’a>n, misalnya, Formative Stages of Sayyid Qut}b’s Intellectual Career and His Emergence as an Islamic Da>‘iyah, 1906-1952" (Disertasi, the University of Michigan, 1983), 231; ‘Abdulla>h ‘Awadh al-Khabba>sy, Sayyid Qut}b al-Adi>b al-Na>qid (Yordania: Maktabat al-Mana>r, t.t. [1983?]), 313; Mhd. Syahnan, “A Study of Sayyid Qut}b’s Qur’a>n Exegesis in Earlier and Later Editions of His Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n With Special Reference to Selected Themes,” (Tesis Magister, McGill University, 1997). Namun, edisi berbeda buku-bukunya yang lain juga memperlihatkan berbagai perubahan dan penambahan. Lihat, misalnya, William E. Shepard yang mengkaji edisi berbeda karya Qut}b, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m, dalam Sayyid Qut}b and Islamic Activism (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. xviii-ff.; dan Musallam, “The Formative Stages,” h. 192. Lihat juga Kristiya>n Tsi>ska> (Christian Szyska), “H}awla Mafhu>m ‘al-Adab al-Multazim’ ‘inda Udaba>’ al-H{araka>t al-Islajmiyyah,” dalam al-Karmil (Abh}a>ts fi> al-Lughah wa al-Adab) 20 (1999), h. 36, n. 15. 2 Calder, “Tafsi>r from T{abari> to Ibn Kathi>r: Problems in the Description of a genre, illustrated with Reference to the Story of Abraham,” dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kadir A. Shareef (eds.) Approaches to the Qur’a>n (London dan New York: Routledge, 1993), h. 106. 3 J. Wansbrough menulis dalam karyanya Quranic Studies bahwa “setelah semuanya, kesimpulan-kesimpulan lebih banyak bergantung kepada metode dibanding bahan [yang digunakan] (Results are, after all as much conditioned by method as by material). Lihat dalam karyanya, Quranic studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press , 1977), h. 91.

Vol. 7, No. 1, April 2011


72

Yusuf Rahman

Asy‘ariyyah menekankan kekadimannya, sementara Mu‘tazilah yakin akan ke-makhlukan-nya. Pra-konsepsi ikut terlibat dalam setiap aspek hubungan antara sang penafsir dengant teksnya. Pada umumnya, para sarjana membuat perbedaan antara pra-konsepsi (presuppositions) dan prasangka (prejudice). Pra-konsepsi adalah titik awal yang bersifat filosofis atau teologis yang digunakan seorang penafsir, sementara prasangka berarti faktor-faktor personal yang mempengaruhi penilaian seorang penafsir.4 Tak ada sarjana yang lebih ekspresif dalam penjelasannya mengenai pra-konsepsi dari seorang teolog dan ahli hermeneutika Jerman, Rudolf Bultmann (1884-1967). Dalam karyanya yang berpengaruh, “Is Exegesis Without Presupposition Possible?,” Bultmann menyatakan bahwa tak akan ada penafsiran tanpa adanya prakonsepsi (there cannot be any such thing as presuppositionless exegesis),5 karena setiap orang terkondisikan oleh individualitas, bias, dan kepentingannya sendiri. Dalam artikelnya yang lain, “The Problem of Hermeneutics,” Bultmann berargumen bahwa untuk menuntut sang penafsir menghindar dari subjektivitas dan individualitasnya adalah usaha yang keliru, karena hal itu akan merusak kondisi penafsirannya, yaitu “hubungan yang hidup” antara sang penafsir dan subjeknya. 6 Namun, Bultmann membuat perbedaan antara pra-konsepsi dan prasangka. Penafsiran, menurutnya, harus tanpa prasangka, dalam arti bahwa prasangka tak boleh lebih dahulu memutuskan bagaimana hasil penafsirannya itu nantinya, atau memanipulasi suatu teks untuk menegaskan sebuah opini tertentu.7 Mengomentari akan bahaya prasangka dalam suatu penafsiran, Bultmann memperingatkan: setiap penafsiran yang diatur oleh berbagai prasangka dogmatis 4 Graham N. Stanton, “Presuppositions in New Testament Criticism,” dalam I. Howard Marshall (ed.), New Testament Interpretation: Essays on Principles and Methods (Exeter: The Paternoster Press, 1977), h. 61. 5 Bultmann, “Is Exegesis without Presuppositions Possible?” diseleksi, diterjemahkan dan diberi kata pendahuluan oleh Schubart M. Ogden, Existence and Faith: Shorter Writings of Rudolf Bultmann, cetakan ke-5 (Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1966), h. 290. 6 Bultmann, “The Problem of Hermeneutics,” dalam idem, Essays Philosophical and Theological (London: SCM Press Ltd., 1955), 255. Lihat juga, h. 241, 242. 7 Bultmann, “Exegesis without Presuppositions?,” h. 289, dan idem, “The Problem of Hermeneutics,” h. 255.

Jurnal TSAQAFAH


Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi

73

tidak mendengar apa yang teks bicarakan, tapi hanya membiarkan teks berkata apa yang ingin didengarkan prasangka dogmatis itu (every exegesis that is guided by dogmatic prejudice does not hear what the texts say, but only let the latter say what it wants to hear).8 Prapemahaman, di sisi lain, adalah sebuah asumsi terbuka yang akan mendengar sebuah teks berbicara dan siap dikritisi atau dikoreksi olehnya selama perjumpaannya dengan teks tersebut. Dengan penjelasan seperti di atas, kita akan mengidentifikasi pra-konsepsi Qut}b terhadap al-Qur’a>n. Dan di sini kita akan melihat transformasi dan perubahan pra-konsepsi Qut}b terhadap al-Qur’a>n, sebagaimana yang tercermin dari karya-karyanya.

Perubahan Prasupposisi Sayyid Qut}b terhadap al-Qur’a>n Dalam karyanya, al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n — edisi pertamanya terbit tahun 19459— Qut}b berargumen bahwa keindahan sastrawi al-Qur’a>n harus dikembangkan sebelum lanjut kepada tujuan-tujuan penafsiran yang lain. Qut}b menegaskan bahwa dia telah menulis buku tersebut bukan untuk menekankan kesucian religius al-Qur’a>n ataupun bukan untuk kepentingan dakwah Islam, tapi: agar kita bisa menemukan keindahan artistik murni [al-Qur ’an], elemen yang esensial di dalam dirinya, yang akan kekal di dalam alQur’a>n, yang dipenuhi oleh seni dan lepas dari semua ketertarikan dan tujuan. Tentunya, keindahan ini bisa dinikmati dengan sendirinya [tanpa yang lain] dan cukuplah ia, [tapi saat] ia disandingkan dengan tujuan-tujuan agama, maka nilai[nya] bertambah.10

Dalam artikelnya “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi< al-Qur’a>n al-Kari<m” terbit dalam al-Muqtat}af 94, 2 (1 Februari 1939), 206-207, Qut}b secara jelas menyatakan bahwa dia akan menafsirkan/memperlakukan al8

Bultmann, “Exegesis without Presupposition?,” h. 290. Sayangnya, penulis tidak bisa merujuk kepada edisi pertama ini. Buku ini dikembangkan dari artikel-artikelnya di al-Muqtat}af tahun 1939 dan al-Risa>lah tahun 1944-1945 mengenai subjek yang sama. Lihat Musallam, “The Formative Stages,” h. 130-137; Boullata, “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation,” dalam Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a>n, dalam Issa J. Boullata (Richmond, Surrey: Curzon Press, 2000), h. 355, 368, nn. 9-10; Sayyid Basyi>r Ahmad Kasymi>ri>, ‘Abqari> al-Isla>m Sayyid Qut}b: al-Adi>b al-‘Imla>q wa al-Mujaddid alMulham fi> D{aw’ A>tsa>rih wa Inja>za>tih al-Adabiyyah (Kairo: Da>r al-Fadhi>lah, 1994), h. 280-281. 10 Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1994), cetakan kesebelas, h. 23. 9

Vol. 7, No. 1, April 2011


74

Yusuf Rahman

Qur’a>n sebagai sebuah teks sastra (kita> b adabi> ).11 Di sinilah kita melihat bahwa tafsir sastrawi, menurut Qut}b, adalah pengkajian alQur’a> n hanya dari perspektif artistik (al-wijhah al-fanniyyah albah}tah). Menurut Qut}b, tujuan utama suatu seni adalah untuk menghasilkan berbagai pengaruh emotif, menyebarkan kepuasan artistik, menimbulkan suatu kehidupan yang tersembunyi di balik pengaruh ini, dan untuk mengisi imajinasi dengan suatu gambaran (fa-waz{ifat al-fann al-u> l a> hiya itsa> rat al-infi‘a> l a> t al-wijda> n iyyah, wa isya> ‘ at alladhdhah al-fanniyyah bi-ha> d hihi al-itsa> r ah, wa ija> s yat al-h} a ya> t alka>minah bi-ha>dhihi al-infi‘a>la>t, wa taghdhiyat al-khaya>l bi-al-s}uwar).12 Tujuan artistik ini, lanjut Qut}b, akan ditemukan dalam gaya-gaya berekspresi al-Qur’a>n, yang ia sebut dengan istilah tas}wi>r (penggambaran artistik), takhyi> l (pembentukan imaginasi) dan tasykhi> s } (personifikasi). Mengomentari editor al-Muqtat}af yang menyatakan kepadanya bahwa Perjanjian Lama dan Baru telah dikaji secara sastrawi di Barat, Qut}b menyatakan bahwa al-Qur’a>n dengan gayanya yang unik lebih pantas (awla>) untuk pendekatan sastrawi itu. Dalam mengomentari klaim Qut}b bahwa tak ada seorangpun sebelumnya yang berusaha mengkaji al-Qur’a>n berdasarkan suatu pendekatan sastrawi,13 Bint al-Sya>t}i’ (1913-1998) menulis dalam alAhra>m bahwa metode ini telah diajarkan di Cairo University; sebuah komentar yang ditolak Qut}b seraya menantangnya untuk bisa menyebut sebuah karya yang merekomendasikan pendekatan ini.14 Namun dalam edisi ketiga bukunya al-Tas}wi>r al-Fanni>, terbit tahun 1953, Qut}b menyadari bahwa hanya beberapa saat—setelah edisi pertama bukunya terbit—Ami>n al-Khu>li> telah mengajarkan para mahasiswanya aspek-aspek metode sastrawi (nawa>h}i> min ha>dha> aliitija>h)15 di Fakultas Adab Cairo University. Menariknya, penulis tidak 11 Lihat Qut}b, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m” terbit dalam al-Muqtat}af 94, 2 (1 Februari 1939), h. 206-207, Qut}b secara jelas menyatakan bahwa dia akan menafsirkan/ memperlakukan al-Qur’a>n sebagai sebuah teks sastra (kita>b adabi>). 12 Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 242. 13 Lihat, Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 9. 14 Argumen balik Qut}b diterbitkan dalam artikelnya “Maba>hi} ts ‘an al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n,” al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 529. Lihat juga al-Khabba>sy, Sayyid Qut}b, h. 307; Kasymi>ri>, ‘Abqari> al-Isla>m, h. 298. 15 Lihat al-Tas}wi>r al-Fanni>, edisi ke-3, t.t. [1953?], 9, n. 1. Karena penulis tidak bisa merujuk kepada edisi yang kedua, penulis tidak yakin jika Qut>b menulis catatan ini untuk edisi tersebut. Penanggalan edisi ketiga tahun 1953 didasarkan pada catatan Qut}b sendiri saat dia menyatakan bahwa edisi kedua Masya>hid al-Qiya>mah “muncul pada tahun ini, 1953” (tas}dur fi> ha>dha> al-‘a>m, 1953). Lihat al-Tas}wi>r al-Fanni>, edisi ketiga, h. 113, n. 1.

Jurnal TSAQAFAH


Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi

75

menjumpai catatan ini dalam edisi-edisi al-Tas}wi>r al-Fanni> selanjutnya.16 Di dalam al-Tas}wi>r al-Fanni>, Qut}b menceritakan perkenalan dan pergaulannya dengan al-Qur’a>n sejak kecil hingga akhirnya dia “menemukan” al-Qur’a>n (laqad wajadtu al-Qur’a>n). Di waktu kecil ketika membaca al-Qur’a>n dia dapat melihat suatu gambaran (als}u>rah al-sa>dhijah) yang tertanam dalam imajinasinya, walaupun dia belum bisa memahami maknanya maupun tujuannya. Dan ketika beranjak dewasa dan membaca karya-karya tafsir, yang dia dapatkan hanyalah al-Qur’a>n yang sulit dan kompleks (‘usr mu‘aqqad), di mana dia tidak temukan lagi gambaran yang indah yang dulu pernah ia rasakan. Akhirnya, setelah membaca langsung al-Qur’a> n tanpa melalui kitab-kitab tafsir, dia menemukan kembali al-Qur’a>n yang menggembirakan dan indah (al-ladhi>dh al-jami>l),17 yaitu al-Qur’a>n yang atraktif dalam gaya pengekspresiannya. Setelah penemuan al-Qur’a>n ini dan pada saat yang sama menemukan di dalam dirinya kelahiran kembali al-Qur’a>n (mawlid alQur’a>n min jadi>d),18 Qut}b berusaha menyebarkan penemuan ini kepada publik melalui berbagai artikel yang dia publikasikan di dalam al-Muqtat}af19 dan al-Risa>lah,20 yang akhirnya diterbitkan kembali dalam bentuk buku berjudul al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n tahun 1945. Dalam karya yang disebut terakhir ini pembahasan Qut}b mengenai tas}wi>r dalam syair pra-Islam, syair masa Islam, syair pada Perjanjian Lama dan syair dalam kesusasteraan Barat yang telas dibahas di majalah al-Muqtat}af dan al-Risa>lah tidak dimasukkan. Pembahasan tersebut dimasukkan dalam karyanya yang lain al-Naqd al-Adabi>.21 16 Namun, dalam kata akhir (postscript)-nya untuk edisi ke-3 al-Tas}wi>r al-Fanni>, dia memberikan beberapa arahan bahwa beberapa pengkaji al-Qur’a>n dan para guru di banyak sekolah (universitas?) mengaplikasikan pendekatan sastrawi terhadap al-Qur’a>n juga. Lihat kata akhir yang dicetak dalam edisi ke-14 (1993), h. 254. 17 Lihat Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 7-8. 18 Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 10. 19 Qut}b, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,” dalam al-Muqtat}af 94, h. 2 (1 Februari 1939), h. 206-211; idem, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,” al-Muqtat}af 94, h. 3 (1 Maret 1939), h. 313-318. 20 Qut}b, “al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l,” al-Risa>lah 581 (21 Agustus 1944), 690-693; “Baqiyyah fi> al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l,” al-Risa>lah 583 (4 September 1944), 728-731; “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> alQur’a>n,” al-Risa>lah 601 (8 Januari 1945), h. 43-45; “al-Tana>suq al-Fanni> fi> Tas}wi>r al-Qur’a>n,” al-Risa>lah 611 (19 Maret 1945), h. 278-281. 21 Hal-hal ini didiskusikan dalam “al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l” dan “Baqiyyah fi> al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l”, secara berurut. Keduanya masuk ke dalam karya Qut}b, al-Naqd al-Adabi>: Us}u>luh wa Mana>hijuh, edisi ketiga (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1960), h. 22-30.

Vol. 7, No. 1, April 2011


76

Yusuf Rahman

Selanjutnya, pada tahun 1947, Qut}b mengaplikasikan teori tas}wi>r-nya dan mengembangkan diskusinya tentang penggambaran al-Qur’a>n akan Hari Kiamat yang ada dalam al-Tas}wi>r al-Fanni> menjadi sebuah buku yang terpisah, berjudul Masya>hid al-Qiya>mah fi> al-Qur’a>n.22 Dalam mengimplementasikan teori utamanya, tas}wi>r, yang Qut}b tegaskan sebagai “instrumen yang lebih unggul dalam gaya pada ayat-ayat Al-Qur’a>n,” Qut}b mengumpulkan dalam karyanya ini 150 gambaran (masya>hid) mengenai Hari Kebangkitan dari 80 surat (baik surat Makkiyyah ataupun Madaniyyah), dan menyusunnya secara kronologis.23 Qut}b secara sadar menggunakan istilah masyhad lantaran hanya ayat-ayat yang memiliki gambaran personifikasi dan bergerak (masyhad sya>khis} aw mutah}arrik)24 yang diperhatikan dalam diskusinya, sementara ia mengabaikan ayat-ayat lain yang juga menggambarkan Hari Kiamat. Sama dengan tujuan penulisan buku pertamanya, tujuan Qut}b dalam menulis Masya>hid al-Qur’a>n adalah juga murni untuk tujuan sastrawi (hadafi> huna> hadaf fanni> kha>lis} mah}d}).25 Lantaran minatnya yang terlalu berorientasi kepada sastra, ia dikritik oleh H}asan alBanna> (1906-1949), tokoh utama al-Ikhwa>n al-Muslimu>n, lantaran mengabaikan aspek religius al-Qur’a>n.26 Ada juga beberapa sarjana yang mengkritik Qut}b karena mengaplikasikan ide-ide sekuler terhadap teks Tuhan, seperti pengaplikasian kriteria syair terhadap alQur’a>n, seperti tas}wi>r dan takhyi>l, atau memperlakukan nabi-nabi yang maksum layaknya orang biasa.27 Penting untuk disebutkan bahwa dalam edisi ketiga bukunya, al-Tas}wi>r al-Fanni> yang terbit tahun 1953, saat menjawab berbagai keberatan atas penggunaan 22

Dalam edisi ketujuh Masya>hid al-Qiya>mah, Qut}b menasihati para pembacanya untuk menelaah karyanya, al-Tas}wi>r al-Fanni>, sebelum beranjak kepada Masya>hid alQiya>mah, karena karya yang pertama menjelaskan kerangka teoritis gaya ekspresi al-Qur’a>n, sedangkan buku yang kedua secara ekstensif merujuk ke teori itu. Lihat Qut}b, Masya>hid alQiya>mah (1981), h. 229. Nasihat ini, yang merupakan kata akhirnya (kalimah fi> al-khita>m), tidak muncul dalam edisi keduanya. Penulis yakin bahwa hal ini ditambahkan oleh Qut}b mulai dengan edisi ketiga atau keempatnya. 23 Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 10. 24 Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 10. 25 Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 12. 26 Lihat, Musallam, “Formative Stages,” h. 138-139. 27 Lihat review-review Naji>b Mahfu>z} dan ‘Abdullat}i>f al-Subki> mengenai al-Tas}wi>r alFanni> dalam al-Risa>lah 616 (23 April 1945), h. 433 dan al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 542, secara berurut. Lihat juga jawaban Qut}b dalam al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 527 dan alRisa>lah, h. 620, 621 (28 Mei 1945), h. 569-570.

Jurnal TSAQAFAH


Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi

77

istilah “seni” (fanni>) atas al-Qur’a>n, Qut}b menegaskan bahwa dia tidak bermaksud mengatakan bahwa al-Qur’a>n adalah karya fiksi, yang tercipta atau berlandaskan sekadar pada imajinasi (mulaffaq, al-mukhtara‘ aw al-qa>’im ‘ala> mujarrad al-khaya>l), tapi bahwa istilah seni yang diatributkan kepada al-Qur’a>n maksudnya adalah “keindahan” dalam konteks penyampaian, eksekusi, dan efisiensi dalam produksi [makna]” (jama> l al-‘ard} , tansi> q al-ada> ’ wa bara> ‘ at alikhra> j ). 28 Banyak sarjana yang mengklasifikasi kedua karya Qut}b ini, al-Tas} wi> r al-Fanni> dan Masya> hid al-Qiya> mah, sebagai karya yang masuk dalam fase “pra-Islamis.”29 Christian Szyska mencatat bahwa pemahaman Qut}b terhadap seni atau sastra berubah dengan penerbitan karyanya, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m, tahun 1949.30 Karya yang membicarakan keadilan sosial dalam Islam ini dianggap oleh banyak sarjana31 sebagai buku pertama Qut}b yang berhaluan Islamis. Namun, jika kita membandingkan edisi pertama al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah dan edisi-edisi selanjutnya, kita menemukan bahwa setidaknya hingga edisinya yang ketiga, yang terbit tahun 1952, pemahaman Qut}b akan seni dan perannya dalam masyarakat hampir sama dengan yang telah diekspresikannya dalam buku-buku lain 28 Lihat kata akhir Qut}b untuk edisi ketiga yang dicetak ulang dalam edisi al-Tas}wi>r al-Fanni> yang ke-14, h. 255. 29 Sarjana lain menggunakan kategori “Sekularis Muslim” (Muslim Secularist) seperti Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, h. xvi, n. 13; “Pra-Islami” (pre-Islamic) seperti Ronald Nettler, “A Modern Islamic Confession of Faith and Conception of Religion: Sayyid Qut}b’s Introduction to the Tafsi>r, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n,” British Journal of Middle Eastern Studies 21, 1 (1994), 102; “Sécularisme Neutre” seperti Olivier Carré dalam “‘A L’Ombre du Coran’ Revisité: Les lendemains possibles de la pensée de Sayyid Qut}b et du ‘Qut}bisme’,” Arabica 48 (2001), 87. Lihat juga Boullata, “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation,” dalam LSRMQ, 354. Bandingkan dengan Leonard Binder dan John Calvert yang berpendapat bahwa paham Islamisme Qut}b telah bermula dari konsepsinya mengenai apresiasi estetika Al-Qur’a>n; jadi, dari karyanya, al-Tas}wi>r al-Fanni>. Lihat Binder, Islamic Liberalism (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 170-205; dan Calvert, “Qur’a>nic Aesthetics in the Thought of Sayyid Qut}b,” Religious Studies and Theology 15, h. 2-3 (Desember 1996), h. 61-76. Musallam menanggalkan komitmen Qut}b kepada Islam tahun 1947, khususnya dengan publikasi jurnal Islam al-Fikr al-Jadi>d. Lihat Musallam, “Formative Stages,” h. 187-191. 30 Szyska, “H{awla Mafhu>m ‘al-Adab al-Multazim’,” h. 36-37. Dia mengakui bahwa dia tidak bisa merujuk kepada edisi pertama buku ini namun bergantung kepada edisi selanjutnya, 1980. Menurut Shepard, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah ditulis tahun 1948, namun diterbitkan tahun 1949. Melalui banyak perubahan, karya ini diterbitkan kembali sebanyak lima kali selama masa hidup Qut}b. 31 Lihat, misalnya, Shepard, Sayyid Qutb and Islamic Activism, h. x.

Vol. 7, No. 1, April 2011


78

Yusuf Rahman

seperti al-Naqd al-Adabi>. Pada buku yang disebut terakhir itu, Qut}b menegaskan bahwa karya sastra adalah ekspresi tentang suatu pengalaman emotif dalam bentuk verbal (al-ta‘bi>r ‘an tajriba syu‘u>riyyah fi> s}u>rah mu>h}iyah),32 yang tujuannya adalah memproduksi efek emosional dalam jiwa-jiwa orang lain (mutsi>rah li-al-infi‘a>l al-wijda>ni> fi> nufu>s al-a>khari>n).33 Dalam edisi-edisi awal al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah,34 sang pengarang juga menyatakan bahwa sastra memiliki pengaruh terkuat dalam menciptakan ide emosional kehidupan di dalam diri seseorang, dan ia menambahkan bahwa “karena itu kita harus berhati-hati untuk menyeleksi sastra Barat macam apa yang kita sampaikan kepada generasi muda kita, baik dalam bahasa Arab atau bahasa Eropa.”35 Hanya pada edisi-edisi al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah yang selanjutnya kita dapat temukan Qut}b mengaplikasikan ideologi Islamis radikalnya ke wilayah kesusasteraan/kesenian.36 Pernyataan yang dikutip di atas diganti dalam edisi selanjutnya dengan “karena itu kita memerlukan sastra yang berasal dari konsepsi Islami dan maka mungkin baik bahwa kita berbicara secara detail mengenai pengembangan sastra Islami.” Dari poin ini dan seterusnya, Qut}b mendiskusikan konsepsi sastra Islam. Dia berargumen bahwa sastra dan seni-seni yang lain tercipta dari “suatu konsep kehidupan yang spesifik” (tas}awwur mua‘ayyan li-al-h}aya>h), sementara Islam memiliki sebuah konsepsi hidup yang khusus.37 Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa baru setelah tahun 1964, karya-karya Qut}b mulai kental dengan ideologi Islamis32

Qut}b, al-Naqd al-Adabi>, h. 7. Ibid., h. 8. 34 Menurut Shepard, edisi 1-3. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, 335, no. 182. 35 Lihat Qut}b, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m, edisi ke-3 (Kairo: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1952), h. 255. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamism Activism, 335, no. 182. Cf. Terjemahan John B. Hardie dalam Sayed Kotb, Social Justice in Islam (New York: Octagon Books, 1970), h. 257. 36 Menurut kajian Shepard, dalam edisi-edisi al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah yang kelima dan selanjutnya, Qut}b menambahkan lebih dari 20 paragraf akan diskusinya mengenai seni/ kesusasteraan. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, h. 308-312. 37 Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, 310-311, no. 191-197. Dalam alNaqd al-Adabi>, Qut}b juga mencatat bahwa, setelah terpengaruh oleh konsepsi Islamis, dia tidak sependapat dengan mereka yang mendeskripsikan berbagai kelemahan dalam hidup. Lihat Qut}b, al-Naqd al-Adabi>, 30, n. 1. Karena tujuannya dalam buku selanjutnya adalah untuk menyampaikan teori kritik sastra secara umum, dia tidak secara detail menjelaskan konsepsi Islami mengenai kesusasteraan. 33

Jurnal TSAQAFAH


Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi

79

nya. Jika dalam edisi-edisi awal al-Tas}wir al-Fanni> dan Masya>hid alQiya>mah, Qut}b memandang al-Qur’a>n sebagai teks sastra (nas}s} adabi>) dan mengkajinya dari perspektif artistik (al-wijhah al-fanniyyah) dan untuk tujuan sastrawi (hadaf fanni> kha>lis}), maka setelah memasuki fase Islamis, dalam edisi al-Tas}wi>r al-Fanni> yang selanjutnya, alQur’a>n ditempatkan sebagai kitab da‘wah diniyyah.38 Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n adalah karya Qut}b yang lain yang secara spesifik berhubungan dengan al-Qur’a>n selain al-Tas}wi>r al-Fanni> dan Masya>hid al-Qiya>mah. Mulanya karya ini ditulis untuk al-Muslimu>n milik Sa‘i>d Ramad}a>n, tokoh terkemuka al-Ikhwa>n al-Muslimu>n, dan selama periode di saat Qut}b secara konstan menjalin komunikasi dengan al-Ikhwa>n al-Muslimu>n. Sebagaimana karya Qut}b yang pra-Islamis sebelumnya, dalam Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n edisi pertama, Qut}b masih menekankan keindahan artistik al-Qur’a>n. Sebagaimana yang dicatat oleh Boullata, Qut}b masih mengusung topik tas{wi>r, sering merujuk kepada dua bukunya yang berkaitan dengan masalah keindahan artistik al-Qur’a>n, dan bahkan memperkenalkan sebuah konsep sastra yang baru, yaitu kesatuan surat al-Qur’a>n yang koheren dan juga al-Qur’a>n secara keseluruhan.39 Sebagaimana dalam buku-bukunya yang awal, dalam mukadimahnya pada edisi pertama Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, Qut}b menegaskan bahwa dia berusaha mengekspresikan makna keindahan artistik al-Qur’a>n. Demikian juga, ia menekankan bahwa dia tidak ingin terlalu banyak berkutat dengan analisa linguistik, teologi, dan hukum yang bisa “menyembunyikan Al-Qur’a>n dari jiwaku dan jiwaku dari al-Qur’a>n” (tah}jub al-Qur’a>n ‘an ru>h}i> wa tah}jub ru>hi> ‘an al-Qur’a> n). 40 Namun dalam edisi-edisi Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n selanjutnya, Qut}b memperkenalkan tafsirnya dengan menyampaikan deklarasi—”confession” dalam istilah Ronald Nettler41— Islamis, sebagai hasil penga-

38

Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 119. Lihat Boullata, “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation,” 362ff. 40 Lihat Qut}b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1953), 1:6. Dari sekarang, karya ini akan dirujuk sebagai Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n edisi pertama. 41 Lihat Nettler, “A Modern Islamic Confession of Faith,” h. 104. Olivier Carré mendiskusikan teologi Qut}b seperti yang direpresentasikan dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n dalam karyanya “Eléments de la ‘aqi>da de Sayyid Qut}b dans Fi> z}ila>l al-qur’a>n,” Studia Islamica 91 (2000), h. 165-197. 39

Vol. 7, No. 1, April 2011


80

Yusuf Rahman

lamannya “hidup” dalam bayang-bayang al-Qur’a>n.42 Jika di dalam mukadimah Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n edisi pertama, Qut}b mendiskusikan metode yang diadopsi dalam mendekati al-Qur’a>n dan menekankan keindahan artistik al-Qur’a>n, maka pada edisi Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n yang selanjutnya Qut} b meletakkan pemikiran keagamaan dan gagasan masyarakat Islam yang berlandaskan “sistem Allah” (manhaj Alla>h) dibandingkan dengan masyarakat ja>hiliyyah. Mulai saat itulah, tujuan utama Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n bukanlah lagi untuk kepentingan sastra, tapi untuk tujuan religius, yaitu untuk merevolusionisasikan masyarakat, menangkal masyarakat ja>hiliyyah, dan untuk dakwah Islam.43 Menarik untuk mengkaji istilah-istilah kunci yang Qut} b gunakan dalam mukadimahnya, dan dari sana ia kemudian mengelaborasikannya dalam penafsirannya secara keseluruhan. Namun, sebelum mendiskusikan istilah-istilah kunci ini, seseorang tak bisa menghindar untuk melihat transisi ekspresi Qut}b dari “Aku telah menemukan al-Qur’a>n” (laqad wajadtu al-Qur’a>n) dalam bukunya Fi> al-Tas} wi> r al-Fanni> , menjadi “Aku telah hidup dalam bayangbayang al-Qur’a>n” (‘Isytu fi> Z{ila>l al-Qur’a>n) dalam mukadimah Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n.44 Perubahan ini adalah untuk mengingatkan para pembaca bahwa sang pengarang telah bergerak dari tingkatannya yang awal menuju tingkatan yang selanjutnya yang dia anggap sebagai yang lebih tinggi, tempat “ia mendengar Allah berfirman kepadanya” (yatah}addats ilayya).45 Dengan mempresentasikan maqa>m yang baru ini, seakan-akan Qut}b akan membandingkan pengalamannya dengan pengalaman Nabi Muh}ammad saat sang Nabi menerima wahyu, dan berbicara dengan Tuhan melalui malaikat Jibril. 42 Lihat Qut}b, “Muqaddimah,” Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, edisi ke-15 (Beirut: Da>r al-Syuru>q, 1988), 1:11-18. Dari sekarang, karya ini akan dirujuk sebagai Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15. Untuk kajian detailnya atas muqaddimah dari edisi selanjutnya, lihat Nettler, “A Modern Islamic Confession of Faith,” h. 104-114. 43 Untuk kisah penulisan Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n oleh Qut}b, lihat al-Khabba>sy, Sayyid Qut}b, 311-313; Kasymi>ri>, ‘Abqari> al-Isla>m, 313-315. Lihat juga Syahnan, “A Study of Sayyid Qut}b’s Qur’a>n Exegesis in Earlier and Later Editions of His Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n,” khususnya Bab Tiga. 44 Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:11. Dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi pertama, 1:5-7, Qut}b mengkaitkan bagaimana dia menemukan hasrat terpendam (raghbah khafiyyah) di dalam dirinya untuk dihidupkan dalam bayang-bayang al-Qur’a>n sebelumnya akhirnya dia hidup di dalamnya. Dia juga berharap dengan menulis tafsir ini, orang lain akan mengikuti jejaknya. 45 Lihat Qut}b, “Muqaddimah,” Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:11.

Jurnal TSAQAFAH


Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi

81

Setelah hidup dan merasakan nikmatnya hidup di dalam bayang-bayang al-Qur’a>n – yang merupakan posisi yang tertinggi, Qut}b kemudian melihat ke-ja>hiliyyah-an masyarakat yang ada di sekelilingnya. Keadaan ja>hiliyyah itu, menurut keyakinan kuat dan meyakinkan Qut}b (yaqi>n ja>zim h}a>sim),46 adalah lantaran manusia berpaling dari Allah dan dari perintah Al-Qur’a>n untuk berhukum berdasarkan sistem Allah (al-ih}tika>m ila> manhaj Alla>h).47 Demikianlah dapat dilihat secara nyata perubahan dan perkembangan tesis Qut}b terhadap al-Qur’a>n. Jika di dalam karyakaryanya yang awal – masa pra-Islamis –, seperti al-Tas}wir al-Fanni>, Masya>hid al-Qiya>mah, bahkan Fi Z}ila>l al-Qur’a>n, Qut}b memandang al-Qur’an sebagai teks sastra dan dengan demikian pendekatan terhadapnya adalah pendekatan sastrawi (wijhah fanniyya), maka setelah memasuki fase Islamis, al-Qur’a>n ditempatkan sebagai teks agama dan kitab dakwah. Bahkan dalam edisi Tafsi>r Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n yang selanjutnya, Qut}b tidak hanya meletakkan al-Qur’a>n sebagai kitab dakwah, tapi melebihi dari itu, yaitu sebagai kitab jalan kehidupan (manhaj al-h} a ya> h).48 Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh konteks sosial politik di saat Qut}b menulis dan merevisi karya-karyanya yang pra-Islamis. Pembahasan sebelumnya telah menunjukkan bagaimana H}asan alBanna> menegur Qut}b yang mengkaji al-Qur’a>n hanya dari aspek sastra; komentar beberapa peresensi bukunya yang menyayangkan penggunaan teori sastra sekuler terhadap al-Qur’a>n; pergaulannya dengan tokoh-tokoh Ikhwa>n al-Muslimu>n; dan tentu saja pengaruh dari kehidupannya yang beberapa kali dimasukkan ke penjara. Beberapa karyanya, terutama Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, diselesaikan dan direvisi ketika ia di dalam penjara. Tambahan atas fakta ini adalah kenyataan bahwa pada tahun 1950-an konsep komitmen (iltiza>m) dalam kesusasteraan muncul dalam kajian kritik sastra, sehingga muncullah konsepsi sastra Islami>. Hal ini tentu berbeda dengan tesis para pendukung pendekatan sastrawi dari mazhab Ami>n al-Khu>li.49 Al-Khu>li> misalnya menulis di 46

Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:15. Lihat Qut}b, “Muqaddimah..., 1:15. 48 Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:55. Dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi pertama, 1:28, istilah manhaj al-haya>h tidak disebutkan. 49 Untuk melihat penafsiran sastrawi Mazhab al-Khu>li>, lihat Yusuf Rahman, “al-Tafsi> alAdabi> fi> al-Qur’a>n: a Study of Ami>n al-Khu>li>’s and Muhammad Khalaf Alla>h’s Literary Approach to the Qur’a>n,” Mimbar Agama & Budaya, XIX, 2 (2002), h. 129-151. 47

Vol. 7, No. 1, April 2011


82

Yusuf Rahman

Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Adab bahwa al-Qur’a>n adalah “karya berbahasa Arab yang paling agung dan paling besar pengaruh sastrawinya” (kita>b al-‘arabiyyah al-akbar wa atsaruha> al-adabi> al-a‘z} m).50 Dan sebagai kitab terbesar sastra maka al-Qur’a>n harus dikaji dengan perspektif sastrawi sebelum mengkajinya dari perspektif agama. Pendekatan ini mengkritik metode penafsiran M. Abduh (1849-1905) yang menyatakan bahwa tujuan penafsiran adalah untuk mencari petunjuk (al-ihtida>’) dan untuk mengambil manfaat (al-intifa>‘) dari kandungan al-Qur’a>n.51 Bagi al-Khu>li>, pendekatan sastrawi harus lebih didahulukan dari kepentingan lainnya. Baru setelah terpenuhinya studi sastra, seorang pembaca/penafsir bisa meranjak untuk mendeskripsikan berbagai kesimpulan lain dari al-Qur’a>n sesuai dengan kebutuhannya, seperti masalah hukum, teologi, etika dan lain-lain. Demikian pula dengan pandangan pengikut mazhab al-Khu>li>, yaitu Nas}r H}a>mid Abu> Zayd (1943-2010). Dia menulis di Mafhu>m al-Nas}s} bahwa al-Qur’a>n adalah teks kebahasaan (nas}s} lughawi>)52 yang terkait dengan budaya dan konteks tertentu. Di dalam karyanya yang lain ia menyatakan “teks-teks keagamaan adalah teks-teks kebahasaan yang bentuk-bentuknya adalah sama dengan bentuk teks-teks yang lain dalam suatu kebudayaan” (anna al-nus}u>s} aldiniyyah nus} u>s} lughawiyya sya’nuha> sya’n ayyat nus}u>s } ukhra> fi altsaqa> f a). 53 Prasupposisi dan tesis inilah — yang menyamakan al-Qur’a>n dengan teks-teks lain54 – yang membedakan karya mazhab al-Khu>li> dengan karya Qut}b pada masa Islamis. Dan ini pula salah satu yang menyebabkan respon negatif masyarakat Muslim terhadap karyakarya mazhab al-Khu> li> . 55 Berbeda dengan respon negatif yang diterima Mazhab al-Khu>li>, karya Qut}b – terutama karya-karyanya 50 Al-Khu>li, Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Adab (Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A>mmah li al-Kita>b, 1995), h. 229. 51 Al-Khu>li, Mana>hij al-Tajdi>d, 229. Lihat ‘Abduh, “Muqaddimat al-Tafsi>r,” dalam Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-’A>mmah li al-Kita>b, 1972), Jilid 1, 17. 52 Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}s} : Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: al-Markaz alTsaqa>fi> al-‘Arabi, 1998), h. 9, 10, 18,19, 25, dst. 53 Abu> Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni> (Kairo: Si>na> li al-Nasyr, 1992), h. 197. 54 Lihat Yusuf Rahman, “Al-Qur’a>n sebagai Teks Sastra: Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur’a>n,” (dalam proses penerbitan). 55 Lihat Yusuf Rahman, “Islamist Thinkers vis a vis Muslim Liberal Thinkers: Responses of Egyptian Islamists to Nashr H}a>mid Abu> Zayd,” Jauhar: Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual 3, 1 (2002), h. 52-84.

Jurnal TSAQAFAH


Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi

83

pada masa Islamis – sangat berpengaruh terhadap beberapa kelompok dan kalangan Islam radikal di dunia Muslim.

Pengaruh Penafsiran Sayyid Qut}b Pengaruh tafsir Qut}b yang paling kentara bukan terletak pada penafsiran sastrawinya, namun pada penafsiran h}araki>-nya. Sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan di atas, bahwa di dalam mukaddimah tafsir Fi Z}ila>l al-Qur’a>n — yang edisi Islamis (edisi ke-15) – Qut}b telah menjelaskan akidah Islamisnya secara tegas. Di sana ia menegaskan tentang sistem Islam (manhaj al-Islam), konsep Islam (tas}awwur Isla>mi), dan menyatakan bahwa dunia dan bahkan juga masyarakat Muslim sudah berada dalam ke-ja>hiliyyah-an karena menyimpang dari sistem Islam tersebut. Ja>hiliyyah merupakan konsep utama dalam penafsiran h}araki Qut}b. Di sini, kita tidak hanya melihat tafsir politik Qut}b, tapi juga, yang utamanya, pandangannya tentang al-Qur’a>n sebagai dokumen politik.56 Dengan mengusung al-Qur’a>n sebagai dokumen politik, Qut}b selalu berusaha menafsirkan berbagai situasi sosio-politik dalam kaitannya dengan kisah-kisah al-Qur’a>n dan melihat bahwa solusi satu-satunya atas krisis yang terjadi saat ini adalah kembali kepada al-Qur’a>n. James Barr menyebut ajakan kembali kepada kitab suci ini sebagai model teokratik (theocratic model),57 karena model ini meyakini bahwa kitab suci telah mengungkap jalan hidup ilahi (manhaj ila>hi>) di mana suatu masyarakat semestinya hidup. Maka tidak mengejutkan bahwa dalam penafsiran alQur’a>nnya, Qut}b mengaitkan kisah dalam al-Qur’a>n dengan situasi masa sekarang.58 Misalnya, analisanya terhadap ja>hiliyyah pra-Islam, menurutnya, juga muncul dalam masa modern ini. Menurut Qut}b, ja>hiliyyah mengandung arti mengedepankan kekuasaan manusia yang tidak berdasar di atas cara-cara Islami (al-manhaj al-Isla>mi>). Berdasarkan definisi ini, istilah ja>hiliyyah tidak mengindikasikan 56 Penulis meminjam istilah ini dari karya James Barr “The Bible as a Political Document” dalam karyanya, Explorations in Theology 7: The Scope and Anuthority of the Bible (London: SCM Press, 1980), h. 91-110. 57 Lihat Barr, “The Bible as a Political Document,” h. 94. 58 Clodovis Boff menyebut metode ini “correspondence of relationships” seperti dikutip oleh Tim Gorringe dalam karyanya “Political Readings of Scripture,” dalam The Cambridge Companion to Biblical Interpretation, h. 74.

Vol. 7, No. 1, April 2011


84

Yusuf Rahman

suatu masa sejarah yang telah lewat -seperti yang selama ini dipahami, yaitu masa pra Islam-,59 tapi sesuatu yang berlanjut muncul kembali di saat suatu masyarakat menyimpang dari cara-cara Islami, baik di masa lalu, masa kini atau masa mendatang. Dalam Fi Z}ila>l al-Qur’a>n, Qut}b menulis: Dan ja> h iliyya bukan sebuah periode sejarah; tapi ia adalah suatu keadaan yang muncul kapanpun konstituennya hadir dalam sebuah situasi atau sistem ... inti dari [konstituen] ini adalah pilihan dalam berhukum dan berlegislasi menurut nafsu manusia, dan bukan menurut jalan Allah dan undang-undang-Nya dalam kehidupan.60

“Korespondensi” antara kedua jenis ja>hiliyyah ini, menurut Qut}b, berarti hidup dalam landasan sistem manusia; dan karena itu, solusi satu-satunya atas situasi ini adalah kembali kepada sistem dan hukum Allah. Penulis menyebut tipe penafsiran ini, mengikuti analisa Tim Gorringe dalam penafsiran Bibel, adalah “penafsiran politik al-Qur’a>n.” Penafsiran politik Qut}b terhadap al-Qur’a>n diperkuat lagi dengan konsep h}a>kimiyyah – yaitu berhukum berdasarkan sistem Allah –, yang merupakan lawan dari konsep ja>hiliyyah, berhukum kepada sistem manusia. Akidah ini didasarkan pada pemahaman Qut}b terhadap ayat al-Qur’a>n wa man lam yah}kum bi-ma> anzala lLa>hu fa-’ula>’ika humu l-ka>firu>n (Q.S. 5: 44), wa man lam yah}kum bima> anzala l-La>hu fa-’ula>’ika humu l-z}a>limu>n (Q.S. 5: 45), wa man lam yah}kum bi-ma> anzala l-La>hu fa-’ula>’ika humu l-fa>siqu>n (Q.S. 5: 47). Yang menarik adalah Qut}b menafsirkan ayat-ayat ini berarti siapapun yang tidak “memerintah” (to govern, to rule) berdasarkan pada apa yang telah diturunkan Allah.61 Padahal, kalau dilihat konteks dan muna>sabah ayat serta asba>b nuzu>l-nya, ayat ini tidak berkaitan dengan pemerintahan. Terjemahan Al Qur’an dan Terjemahnya, misalnya, menerjemahkan ayat ini dengan “Barangsiapa tidak memutuskan perkara 59

Lihat diskusi tentang ja>hiliyyah dan perkembangan maknanya dalam William E. Shepard, “Age of Ignorance,” Encyclopaedia of the Qur’a>n, volume 1 (Leiden: Brill, 2001), h. 37-40, dan Shepard, “Sayyid Qut}b’s Doctrine of Ja>hiliyya,” International Journal of Middle East 35 (2003), h. 521-545. 60 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 2:891. 61 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15. Lihat juga Shahrough Akhavi, “Qut}b, Sayyid,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (New York: Oxford University Press, 1995), vol. 3, h. 402.

Jurnal TSAQAFAH


Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi

85

menurut apa yang diturunkan Allah ...”62 Dengan demikian, ia menerjemahkan kata yah}kumu dengan “memutuskan” bukan “memerintah” seperti yang ditafsirkan Qut}b. Dan terjemahan ini sesuai dengan asba>b al-nuzu>l ayat ini yang memang mengisahkan tentang bagaimana Nabi Muh}ammad memutuskan perkara orang Yahudi yang melakukan zina dengan putusan rajam.63 Namun, tafsiran Qut} b terhadap ayat h} a > k imiyyah ini, dan membawanya ke ranah politik dan pemerintahan, akhirnya telah banyak mempengaruhi kelompok radikal di Mesir dan juga di tempat yang lain. Para pembela pendirian Negara Islam selalu merujuk kepada ayat ini, dan menentang bentuk pemerintahan yang tidak berdasar pada sistem Allah. Bahkan atas dasar pengaruh penafsiran politik ini, Presiden Mesir Anwar Sadat pada tahun 1981 dibunuh kelompok al-Jiha>d karena dianggap tidak memerintah berdasarkan pada hukum Allah,64 padahal Mesir disebut sebagai negara Islam. Qut}b dan para pendukungnya berpendapat bahwa sebagai pemimpin dan pemerintah negara Islam, ia harus “memerintah” dengan sistem Islam. Dan ketika pemerintahan Islami itu tidak terwujud, maka ia berhak untuk dihukum.

Penutup Artikel ini telah berusaha untuk menunjukkan bahwa pendekatan sastrawi terhadap al-Qur’a>n yang dilakukan Sayyid Qut}b telah mengalami beberapa perkembangan. Jika pada awalnya ia melihat bahwa ¾ (tsalatsat arba>‘) dari al-Qur’a>n merupakan karya sastra dan dengan demikian pendekatan sastrawi merupakan pendekatan yang lebih baik untuk memahaminya, maka pada karyanya yang kemudian ia menyatakan al-Qur’a>n sebagai kita>b da‘wah dan pedoman politik, dan semua bentuk penafsiran -termasuk penafsiran sastrawi- ditujukan untuk menerapkan pedoman ini dalam kehidupan riil. Pergeseran dan perubahan cara pandang terhadap al-Qur’an ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan cara sikap Qut}b dari seorang Muslim “sekuleris” menjadi Muslim “ideologis”, dan bahkan di akhir hidupnya ia merupakan seorang teoretikus ideologi Islamis.[] 62

Khadim al-Haramain al-Syarifain, Al Qur’an dan Terjemahnya, h. 167-168. Al-Wa>h}idi> al-Ni>sa>bu>ri>, Asba>b Nuzu>l al-Qur’a>n (al-Mans}u>rah: Maktabat al-I>ma>n, 1996), h. 133. 64 Lihat Akhavi, “Qut}b, Sayyid,” h. 403, Shepard, “Sayyid Qut}b’s Doctrine of Ja>hiliyya,” h. 535. 63

Vol. 7, No. 1, April 2011


86

Yusuf Rahman

Daftar Pustaka ‘Abduh, Muh}ammad. Tafsi>r al-Mana>r. Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A>mmah li al-Kita>b, 1972. Abu> Zayd, Nas}r H}a>mid. Mafhu>m al-Nas}s} : Dira>sah fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: al-Markaz al-Tsaqa>fi al-‘Arabi>, 1998. _______, Naqd al-Khit}a>b al-Dini. Kairo: Si>na> li al-Nasyr, 1992. Akhavi, Shahrough. “Qut}b, Sayyid.” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Ed. John L. Esposito/ New York: Oxford University Press, 1995. Vol. 3. Barr , James. “The Bible as a Political Document.” Dalam James Barr. Explorations in Theology 7: The Scope and Anuthority of the Bible. London: SCM Press, 1980. Binder, Leonard. Islamic Liberalism. Chicago: University of Chicago Press, 1988. Boullata, Issa J. “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation.” Dalam Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a>n. Dalam Issa J. Boullata. Richmond, Surrey: Curzon Press, 2000. Bultmann, Rudolf. “Is Exegesis without Presuppositions Possible?” Diseleksi, diterjemahkan dan diberi kata pendahuluan oleh Schubart M. Ogden. Existence and Faith: Shorter Writings of Rudolf Bultmann. Cetakan ke-5. Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1966. _______, “The Problem of Hermeneutics.” Dalam Bultmann. Essays Philosophical and Theological. London: SCM Press Ltd., 1955. Calder, Norman.”Tafsi>r from T}abari> to Ibn Kathir: Problems in the Description of a genre, illustrated with Reference to the Story of Abraham.” Dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kadir A. Shareef (eds.). Approaches to the Qur’a> n . London dan New York: Routledge, 1993. Calvert, John. “Qur’a>nic Aesthetics in the Thought of Sayyid Qut}b.” Religious Studies and Theology 15, 2-3 (Desember 1996). Carré, Olivier. “‘A L’Ombre du Coran’ Revisité: Les lendemains possibles de la pensée de Sayyid Qut}b et du ‘Qut}bisme’.” Arabica 48 (2001). _______, “Eléments de la ‘aqida de Sayyid Qut}b dans Fi> z}ila>l al-

Jurnal TSAQAFAH


Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi

87

qur’a>n.” Studia Islamica 91 (2000). Gorringe, Tim. “Political Readings of Scripture.” Dalam The Cambridge Companion to Biblical Interpretation, 74. Kasymi>ri>, Sayyid Basyi>r Ahmad. ‘Abqari> al-Isla>m Sayyid Qut}b: alAdi> b al-‘Ima> q wa al-Mujaddid al-Mulham fi> D}aw’ A> tsa> rih wa Inja>za>tih al-Adabiyyah. Kairo: Da>r al-Fadhi>lah, 1994. Al-Khabba> s y, ‘Abdulla> h ‘Awadh. Sayyid Qut} b al-Adi> b al-Na> q id. Yordania: Maktabat al-Mana>r, t.t. [1983?]). Al-Khu>li>, Ami>n. Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa alTafsi>r wa al-Adab. Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A>mmah li al-Kita>b, 1995. Mahfu>z}, Najib. “Review terhadap al-Tas}wi>r al-Fanni>.” al-Risa>lah 616 (23 April 1945). Musallam, Adnan A. “The Formative Stages of Sayyid Qut} b ’s Intellectual Career and His Emergence as an Islamic Da>‘iyah, 1906-1952.” Disertasi, the University of Michigan, 1983. Nettler, Ronald. “A Modern Islamic Confession of Faith and Conception of Religion: Sayyid Qut}b’s Introduction to the Tafsir, Fi Z}ila>l al-Qur’a>n.” British Journal of Middle Eastern Studies 21, 1 (1994). al-Ni> s a> b u> r i> , Al-Wa> h } i di> . Asba> b Nuzu> l al-Qur’a> n . al-Mans} u > r ah: Maktabat al-I>ma>n, 1996. Qut}b, Sayyid. “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m.” al-Muqtat}af 94, 2 (1 Februari 1939), 206-207. al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), 527 dan al-Risa>lah 620, 621 (28 Mei 1945). _______, “Maba>h}its ‘an al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n.” al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945). _______, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m. Edisi ke-3. Kairo: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1952 John B. Hardie dalam Sayed Kotb, Social Justice in Islam (New York: Octagon Books, 1970). _______, Masya> hid al-Qiya> mah (1981) _______, al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1994. Cetakan kesebelas. _______, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n. Edisi ke-15. Beirut: Da>r al-Syuru>q, 1988. Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15.

Vol. 7, No. 1, April 2011


88

Yusuf Rahman

_______, Fi> Z} i la> l al-Qur’a> n . Kairo: Da> r al-Ihya> ’ al-Kutub al‘Arabiyyah, 1953. Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi pertama. _______, “Baqiyyah fi> al-Ma‘a> n i> wa al-Z} i la> l .” al-Risa> l ah 583 (4 September 1944). _______, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m.” al-Muqtat}af 94, 3 (1 Maret 1939). _______, “al-Ma‘a>ni> wa al-Z}ila>l.” al-Risa>lah 581 (21 Agustus 1944). _______, “al-Tana>suq al-Fanni> fi> Tas}wi>r al-Qur’a>n.” al-Risa>lah 611 (19 Maret 1945). _______, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m.” al-Muqtat}af 94, 2 (1 Februari 1939). _______, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n,” al-Risa>lah 601 (8 Januari 1945). _______, al-Naqd al-Adabi>: Us}u>luh wa Mana>hijuh. Edisi ketiga. Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1960. Rahman, Yusuf. “Al-Qur’a>n sebagai Teks Sastra: Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur’a>n.” Dalam proses penerbitan. _______, “al-Tafsi> al-Adabi> fi> al-Qur’a>n: a Study of Ami>n al-Khu>li>’s and Muhammad Khalaf Alla> h ’s Literary Approach to the Qur’a>n.” Mimbar Agama & Budaya, XIX, 2 (2002). _______, “Islamist Thinkers vis a vis Muslim Liberal Thinkers: Responses of Egyptian Islamists to Nashr H}a>mid Abu> Zayd.” Jauhar: Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual 3, 1 (2002). Shepard, William E. “Age of Ignorance.” Encyclopaedia of the Qur’a>n. Volume 1. Leiden: Brill, 2001. _______, “Sayyid Qut}b’s Doctrine of Ja>hiliyya.” International Journal of Middle East 35 (2003). _______, Sayyid Qut}b and Islamic Activism. Leiden: E.J. Brill, 1996. Stanton, Graham N. “Presuppositions in New Testament Criticism.” Dalam I. Howard Marshall (ed.). New Testament Interpretation: Essays on Principles and Methods. Exeter: The Paternoster Press, 1977. al-Subki> , ‘Abdullat} i > f . “Review terhadap al-Tas} w i> r al-Fanni> . ” alRisa>lah 620 (21 Mei 1945).

Jurnal TSAQAFAH


Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi Syamsuddin Arif* Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Ponorogo Email: tagesauge@yahoo.co.id

Abstract Is there such a thing called “Islamic philosophy”? If there is one, what is it? What does it mean for philosophy to be Islamic? How does Islamic philosophy differ from non-Islamic one? Why do some Muslim scholars reject philosophy, ban its instruction, and even scorn its proponents? The present article will address all these questions and seeks to offer a balanced perspective on controversial issues pertaining to philosophy in Islamic intellectual context, drawing upon authoritative, primary sources. The first section deals with definition and terminology, including the disagreement among scholars over which of these is the best appellation: ‘Islamic philosophy’, ’Muslim philosophy’, or ’Arabic philosophy’. This will be followed by a discussion of the main sources of Islamic philosophy and its impacts, as well as the aims and benefits of studying philosophy according to its exponents. The final section provides a critical appraisal of the arguments for and against philosophy that have been put forward by its defenders and its critics. Furthermore, the article also discusses three current approaches to Islamic philosophy, namely the mysticalhermeneutical such as advocated by Leo Strauss and Henry Corbin, the historicalphilological study such as practiced Richard Walzer and Dimitri Gutas, and the philosophical-analytical approach such as espoused by Oliver Leaman and Lenn E. Goodman. A final word about the challenges and prospect of Islamic philosophical studies is in order, taking into account recent developments in various parts of the world following revival of interest in Avicenna, Averroes and al-Ghazali.

Keywords:

Islamic Philosophy, al-Ghazali, Analytical Approach, Philological Study, Philosophical Study

* Kampus Pusat UNIDA, Jl. Raya Siman Km. 06, Siman, Ponorogo Jawa Timur, Telp: +62352 483762 Fax: +62352 488182

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


2

Syamsuddin Arif

Abstrak Adakah sesuatu yang dinamakan ’filsafat Islam’? Dan jikalau ada, apakah yang dimaksud dengan ’filsafat Islam’? Dimana letak perbedaan antara ’filsafat Islam’ dengan filsafat bukan Islam? Mengapa banyak ulama yang menolak filsafat dan melarang orang mempelajarinya? Pertanyaan-pertanyaan ini dan seumpamanya akan coba dijawab dan dibahas secara jernih lagi bernas dengan merujuk kepada sumber-sumber otoritatif dan karya-karya primer sebatas jangkauan penulis. Bagian pertama dari artikel ini akan mengulas definisi dan terminologi filsafat dalam Islam, termasuk perbedaan pendapat mengenai frasa apakah yang paling tepat dari tiga ini: filsafat Islam, filsafat Muslim ataukah filsafat Arab. Berikutnya akan ditinjau ulang sumber-sumber filsafat Islam dan pengaruhnya, terhadap dunia Islam, diikuti oleh ulasan mengenai tujuan dan manfaat belajar filsafat, dan diakhiri dengan diskusi seputar argumentasi mereka yang melarang maupun yang membolehkan untuk melakukan kajian filsafat dalam Islam. Selanjutnya dibahas dalam artikel tiga pendekatan yang dominan dalam studi filsafat Islam, yaitu pendekatan hermeneutik-mistik yang dianjurkan oleh Leo Strauss dan Henry Corbin, pendekatan historis-filologis yang dicontohkan oleh Richard Walzer dan Dimitri Gutas, serta pendekatan filosofis-analitis yang dipilih oleh Oliver Leaman dan Lenn E. Goodman. Pembahasan terakhir berkenaan dengan tantangan-tantangan serta prospek lebih lanjut dari studi filsafat Islam dalam rangka mempertimbangkan perkembangan-perkembangan terkini di berbagai belahan dunia seiring dengan meningkatnya minat dalam mempelajari Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan al-Ghazali.

Kata Kunci: Filsafat Islam, al-Ghazali, Pendekatan Analitis, Studi Filologis, Studi Filosofis

Pendahuluan

B

eberapa dekade terakhir menyaksikan kebangkitan kembali minat terhadap studi filsafat Islam di berbagai belahan dunia. Sementara di sisi lain masih banyak yang bertanya-tanya adakah sesuatu yang dinamakan “filsafat Islam”? Dan jikalau ada, apakah yang dimaksud dengan “filsafat Islam” itu? Atau di mana letak perbedaan antara “filsafat Islam” dengan filsafat bukan Islam? Mengapa banyak ulama yang menolak filsafat dan melarang orang mempelajarinya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan coba dijawab dalam tulisan berikut ini. Jurnal TSAQAFAH


Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi

3

Makna Filsafat Istilah ’filsafat’ atau ’falsafah’ dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab: ‫ ﻓﻠﺴﻔﺔ‬. Ia merupakan pengaraban dari kata majmuk (philosophia) yang dalam bahasa Yunani kuno gabungan dari kata philein (cinta) dan sophia (kearifan). Apa makna “sophia”? Kata Aristoteles: “Biasanya sophia dipahami sebagai pengetahuan mengenai pokok-pokok perkara dan sebab-sebabnya ( περί τινας !ρχ"ς κα# α$τίας %στ#ν %πιστήμη δ&λον ).”1 Para cendekiawan Romawi dan Skolastik abad pertengahan kemudian menerjemahkan “sophia” ke dalam bahasa Latin menjadi “sapientia”, dari kata kerja sapere yang artinya mengetahui. Thomas Aquinas menurunkan definisinya: “Sapientia adalah pengetahuan yang membahas sebabsebab utama dan sebab-sebab umum; sapientia meneliti sebab-sebab inti dari segala sebab (sapientia est scientia quae considerat causas primas et universales causas; sapientia causas primas omnium causarum considerat).”2 Pengertian ini dipakai hingga abad kedelapan-belas, dimana Claudius Frassen menulis: “Philosophia dicitur amor sapientiae, et formatur a nominibus Gracis, [amicus], et [sapientia], unde Philosophus is dicendus est, qui studio et assidua animi contentione sapientiam investigat.”3 Singkatnya, “filsafat” itu ilmu pengetahuan yang dicapai manusia dengan akal pikirannya. Para filsuf/mempelajari aneka persoalan alam semesta, langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, mineral, dan lain sebagainya. Mereka adalah kelompok orang-orang yang di zaman sekarang kita panggil sebagai saintis. Betul, filsuf adalah saintis, karena waktu itu belum dikenal pemisahan dan pembedaan sempit seperti yang kita kenal saat ini antara filsafat dan sains, antara filsuf dan saintis, antara ahli biologi dan ahli geologi, antara ahli fisika dan ahli kimia. Bahkan hingga zaman Isaac Newton (16421 Aristoteles, Ta Meta Ta Physika, Terj. H. Tredennick (Cambridge: MA, 1980), I.i.17/982a. 2 Thomas Aquinas, In Metaphysicam Aristotelis Commentaria, Ed. M.-R. Cathala (Turin, 1926), I, ii. Bandingkan dengan definisi Christian Wolff dalam Philosophia rationalis sive logica methodo scientifica pertractata et ad usum scientiarum atque vitae aptata. Praemittitur discursus praeliminaris de philosophia in genere (Frankfurt, 1728), §1: “Filsafat adalah ilmu tentang segala sesuatu yang mungkin sebagaimana adanya, atau mengapa dan bagaimana yang mungkin itu mungkin (philosophia est scientia possibilium quatenus esse possunt, sive cur et quomodo sint possibilia).” 3 Claudii Frassen, Philosophia Academica, (Venice: Nicolaus Pezzana, 1767), 7: Quaestio secunda: Quid sit philosophia.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


4

Syamsuddin Arif

1727), kajian mengenai fenomena-fenomena alam yang kini kita namakan “fisika” masih disebut “filsafat alam”. Simaklah judul karya monumental Newton: Philosophiae naturalis principia mathematica –prinsip-prinsip matematis dari filsafat alam (1687). Adapun istilah “scientia” dan turunannya (science, scienza, sains) dalam arti yang sempit baru marak digunakan sejak dua abad terakhir ini.4 Walhasil, istilah “filsafat” mengalami pengerucutan arti hingga akhirnya dimaknai tak lebih dari sekadar kajian spekulatif terhadap asal-usul dan pokok-pokok yang mendasari sesuatu. Lalu ketika dihubungkan dengan cabang ilmu tertentu, filsafat kemudian dipahami sebagai perenungan mendalam dan penguraian menyeluruh tentang persoalan-persoalan asasi, prinsip-prinsip, dan hukumhukum dalam ilmu yang bersangkutan. Muncul istilah filsafat ilmu matematika, filsafat ilmu fisika, filsafat ilmu biologi, filsafat ilmu pendidikan, filsafat ilmu ekonomi, dan lain-lain. Situasi ini bertambah buruk menyusul kampanye anti-metafisika yang dimotori oleh pengusung “logical positivism” alias “logical empiricism” semacam Bertrand Russell, Alfred Jules Ayer, Ludwig Wittgenstein, dan Rudolph Carnap.5 Menurut mereka, filsafat bukanlah ilmu tentang Tuhan, alam, dan manusia yang kini sudah dikapling-kapling menjadi teologi, fisika, biologi, kimia, psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan sebagainya itu. Filsafat uraian logis lagi matematis atas bahasa yang digunakan oleh ilmuwan sebagai medium penyampai pengetahuan. Intisari doktrin mereka tersimpul dalam ungkapan masyhur dari Wittgenstein: “Was sich überhaupt sagen lässt, lässt sich klar sagen; und wovon man nicht reden kann, darüber muss man schweigen”, yang maksudnya apabila sesuatu itu bisa dibicarakan, maka ia mesti bisa dibicarakan dengan jelas, dan karenanya segala sesuatu yang tidak bisa dibicarakan secara jelas semestinya kita diamkan saja.6 Atau dengan kata lain, kalau tidak paham, lebih baik diam. Namun jika 4 Lihat Ann Blair, “Natural Philosophy,” dalam The Cambridge History of Science: Early Modern Science, Ed. Katharine Park and Lorraine Daston, Vol. 3 (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 365. 5 Lihat Logical Positivism in Perspective: Essays on Language, Truth and Logic, Ed. Barry S. Gower (London: Croom Helm, 1987) dan Logical Empiricism: Historical and Contemporary Perspectives, Ed. Paolo Parrini et al. (Pittsburgh: Pittsburgh University Press, 2003). 6 Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-philosophicus, Terj. C.K. Ogden (New York: Barnes & Noble, 2003; berdasarkan cetakan perdana London: Kegan Paul, 1922), 3.

Jurnal TSAQAFAH


Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi

5

pendapat ini kita ikuti, niscaya Plato dan Aristoteles pun tak akan layak disebut filsuf, sebab hanya kaum positivis-logis sajalah yang pantas menyandang gelar filsuf. H}ikmah atau Falsafah? Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum dipakai untuk “sophia”. Pertama, h}ikmah: istilah ini dipakai oleh generasi awal pemikir Muslim sebagai padanan kata “sophia”. Lafaz “hikmah” ini tampaknya sengaja dipilih supaya lebih mudah diterima oleh kaum Muslim supaya terkesan bahwa filsafat itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam akan tetapi justru berhulu dan bermuara pada al-Qur’an. Al-‘Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah, dan di antara manusia yang pertama dianugerahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno sebagai ahli hikmah (al-h} u kamâ‘ alsab’ah) –yaitu Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon.7 Demikian juga al-Kindi yang menerangkan bahwa secara harfiah kata “falsafah” artinya h}ubb al-h}ikmah (cinta pada kearifan).8 Menurut al-Farabi, adalah para filsuf Yunani kuno yang menamakan ilmu mereka “sophia”: wa kâna al-ladhîna ‘indahum hâdhâ al-‘ilm min al-Yûnâniyyîn yusammûnahu al-h} ikmah ‘alâ al-it} l âq.9 Adapun Ibnu Sina dalam buku filsafat yang ditulisnya menjelaskan bahwa h}ikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan akal pikiran maupun perbuatan sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmâl al-nafs al-insâniyyah bitas} a wwur al-umûr wa al-tas} d îq bi al-h} a qâiq al-naz} a riyyah wa al‘amaliyyah ‘alâ qadri t}âqat al-insân). Siapa berhasil menggapai ‘hikmah’ beginilah yang mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibnu Sina.10 Namun demikian, tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Di antara ulama yang menentangnya ialah Imam al7 Al-‘Amiri, Kitâb al-Amad ‘alâ al-Abad, Ed. dan Terj. E. Rowson, A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate, (New Haven: American Oriental Society, 1988), paragraf III.1. 8 Lihat Rasâ’il al-Kindî al-Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. 2 jilid, (Kairo, 1950-3), 1: 124; cf. T.Z. Frank, Al-Kindî’s Book of Definitions, (Unpublished PhD diss. Yale University, 1975), s.v. ‘falsafa’. 9 al-Farabi, Kitâb Tah}s }îl al-Sa‘âdah (Hyderabad: Majlis Dâ’irat al-Ma‘ârif al‘Utsmâniyyah, 1345), 38. 10 Ibnu Sina, Uyûn al-H}ikmah, Ed. Abdurrahman Badawi, (Kuwait: Wakâlat al-Mat}bûât, 1954), 16.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


6

Syamsuddin Arif

Ghazali. Menurutnya, para filsuf telah menyalahgunakan kata “hikmah” untuk kepentingan mereka, padahal “hikmah” yang dimaksud dalam kitab suci al-Qur’an bukan filsafat, melainkan syariat agama yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul.11 Yang kedua adalah falsafah, istilah yang dimasukkan ke dalam kosakata Arab melalui penerjemahan karya-karya Yunani kuno. AlKindi termasuk yang mempopulerkan istilah asing ini melalui karyanya Fî al-Falsafah al-Ûlâ (Tentang Filsafat Utama). Menurut al-Kindi, filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Ada filsafat teoritis yang bertujuan menemukan kebenaran, dan ada pula filsafat praktis yang intinya mengarahkan perilaku manusia agar selaras dengan kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat adalah upaya manusia mengenal dirinya, tambah al-Kindi.12 Sementara menurut al-Farabi, filsafat itu definisinya dan esensinya ialah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (al-falsafah h} a dduhâ wa mâhiyyatuhâ innahâ al-‘ilm bi al-mawjûdât bimâ hiya mawjûdah),13 kendati secara bahasa, filsafat itu artinya mengutamakan dan mencintai kearifan agung (al-falsafah .. wa ya’nûna bihi îtsâr al-h} i kmah al-‘uz} m â wa mah} a bbatahâ). 14 Adapun kelompok cendekiawan yang menamakan diri “Ikhwân al-S}afâ” (boleh jadi kata majemuk ini merupakan terjemahan bebas namun puitis dari philosophoi – para sahabat atau pemilik “sophia”) berkata: “Filsafat itu awalnya suka kepada ilmu [yakni rasa ingin tahu]. Tahap selanjutnya ialah mengetahui hakikat segala sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Dan puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang diketahui (al-falsafah awwaluhâ mah}abbatu al-ulûm, wa awsat} u hâ ma‘rifatu haqâ‘iq al-mawjudât bih} a sabi almâqat al-insâniyyah wa âkhiruhâ al-qawl wa al-’amal bimâ yuwâfiq al-ilm)‘.15 Barangkali karena inilah Aba H}ayyan al-Tawhidi mencatat 11 Imam al-Ghazali, Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn, Ed. Sidqi Muhammad Jamil al-‘Ammar, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1420/1999), jilid 1, 40-41 (Bayân mâ buddila min alfâz} al-‘ulûm). 12 Lihat: Rasâ’il al-Kindî al-Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. 2 jilid, (Kairo, 1950-3), 1: 124, 173, 274; cf. T.Z. Frank, Al-Kindî’s Book of Definitions, (Unpublished PhD diss. Yale University, 1975), 124-31. 13 Al-Farabi, Kitâb al-Jam’i bayna Ra’yay al-Hakîmayni Aflât}ûn al-Ilâhi wa Arist}ût}âlîs, Ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar el-Machreq, 1968), 80. 14 Al-Farabi, Kitâb Tah}s}îl al-Sa‘âdah, (Hyderabad: Majlis Dâ’irat al-Ma‘ârif al‘Utsmâniyyah, 1345 H), 38-39. 15 Lihat: Rasa’il Ikhwân al-S}afâ’ wa Khullân al-Wafâ’, (Beirut: 1957), 1: 23.

Jurnal TSAQAFAH


Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi

7

tidak kurang dari enam buah definisi filsafat.16 Ketiga, istilah ulûm al-awâ‘il yang secara harfiah berarti “ilmuilmu orang terdahulu”. Istilah ini mengandung makna negatif, terutama ketika dipakai oleh penulis-penulis sejarah dari kalangan ahli hadits seperti al-Dhahabî,17 Ibnu Hajar al-‘Asqalani18 dan alSuyuti.19 Disebut demikian, lantaran yang dimaksud adalah ilmuilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti India, Persia, Yunani dan Romawi, yakni ilmu-ilmu logika, matematika, fisika, kedokteran, astronomi dan sebagainya. Menurut Ibn H}ajar al-‘Asqalani, ilmu-ilmu semacam itu tidak hanya berseberangan dengan Sunnah murni (yukhâlif mah} d } al-sunnah), akan tetapi merupakan hasil rumusan para filsuf ateis (al-hukamâ‘ al-dahriyyah) yang tidak perlu dipelajari. Filsafat Islam, Muslim atau Arab? Di abad keduapuluh hingga sekarang ini, para ahli ketimuran dan keislaman masih belum sepakat mengenai istilah yang tepat dan seharusnya digunakan apabila kita bicara tentang filsafat yang digeluti golongan ahli pikir dari umat Islam. Sebagian sarjana orientalis lebih suka menyebutnya ‘Filsafat Arab‘ (Arabic Philosophy). Ernest Renan, Dimitri Gutas, dan Peter Adamson yang mewakili kelompok ini beralasan bahwa filsafat yang tumbuh berkembang di dunia Islam adalah hasil sebuah proses intelektual yang panjang dan rumit, di mana para sarjana Muslim maupun non-Muslim (terutama Yahudi dan Nasrani) turut aktif mengambil bagian. Namun, mereka yang berbeda-beda bangsa dan agama itu mengambil bahasa Arab sebagai medium untuk menyatakan pikiran-pikirannya. Bahasa Arab telah menjadi ‘lingua franca‘ bagi para ilmuwan dan cendekiawan yang berasal dari berbagai negeri yang berjauhan seperti Andalusia (kini Spanyol) dan Khurasan (Iran) itu. 16 Lihat: Abu Hayyan al-Tawhidi, Al-Muqâbasât, Ed. M.T. Husayn, (Baghdad: 1970), 203-4 (Pasal ke-48); cf. J. L. Kraemer, Philosophy in the Renaissance of Islam, (Leiden, 1986), 246-7; juga D.M. Dunlop, “The Existence and Definition of Philosophy,” dalam jurnal Iraq 13 (1951): 76-93. 17 Al-Dhahabi, Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A‘lâm, Ed. ‘Umar ‘A. al-Tadmuri, (Beirut: 1999), Tabaqah 59, daftar wafat 587 Hijriah, pada biografi Suhrawardi alMaqtul. 18 Ibnu H}ajar al-‘Asqalani, Lisân al-Mîzân, (Beirut: 1971), 4: 242 (biografi no. 653 s.v. ‘Ali ibn ‘Ubaydillah Abu al-Hasan al-Zaghuni). 19 Al-Suyuti, S}awn al-Mant}iq wa al-Kalâm ‘an Fannay al-Mant}iq wa al Kalâm, (Kairo: 1947), 19.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


8

Syamsuddin Arif

Alasan kedua, para penekun filsafat pada periode awal seperti al-Kindi dan al-Farabi lebih banyak bergelut dengan karya-karya filsuf Yunani semisal Plotinus dan Aristoteles ketimbang merintis filsafat Islam tersendiri. Namun, bukan mustahil di balik semua alasan itu tersembunyi rasisme intelektual bahwa yang namanya filsafat itu mesti produk pemikiran Yunani dan karenanya apa yang dikerjakan kaum Muslim sekadar menerima dan memeliharanya untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka.20 Pun bisa jadi terselip alasan ideologis untuk pilihan istilah tersebut. Menurut Seyyed Hossein Nasr, mereka yang suka memakai istilah “Arabic Philosophy” biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak museum, sehingga pendekatannya melulu historis dan filologis. Maka, filsafat Islam di mata para orientalis semisal Van den Bergh hingga Gutas ibarat sosok mumi dari mahluk yang lahir di abad ke-9 dan mati di abad ke-12 Masehi. Mereka ini, kata Nasr, biasanya tidak peduli dan tidak mengerti bahwa filsafat Islam adalah kegiatan pikiran yang senantiasa hidup dari dahulu sampai sekarang.21 Tetapi, mayoritas orientalis, seperti W. Montgomery Watt, Richard Walzer, Michael E. Marmura, George F. Hourani, Oliver Leaman, Samuel Stern, Parviz Morewedge, Seyyed Hossein Nasr, Hossein Ziai, dan Hans Daiber lebih memilih istilah Islamic Philosophy (Filsafat Islam),22 manakala Max Horten dan T.J. de Boer 20 Lihat: E. Renan, Averroès et Laverroïsme: Essai Historique, Edisi ke-3 (Paris: Michel Lévy, 1886), 90; D. Gutas, “The Study of Arabic Philosophy in the Twentieth Century,” dalam British Journal of Middle Eastern Studies 29 (2002): 5-25; P. Adamson dan R.C. Taylor, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, (Cambridge: CUP, 2005), 3-4; Ch. Genequand, “La philosophie arabe,” dalam Les Arabes et Loccident (Geneva, 1982), 51-63; Ch. Butterworth dan B.A. Kessel, The Introduction of Arabic Philosophy into Europe, (Leiden: E.J. Brill, 1994); C.C. D Ancona, La Casa Della Sapienza: La Trasmissione Della Metafisica Greca e La Formazione Della ia Araba (Milan: 1996). 21 Lihat: S.H. Nasr, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996), 11-18 (“Introduction”). 22 W.M. Watt, Islamic Philosophy and Theology, (Edinburgh: EUP, 1962); R. Walzer, Greek into Arabic: Essays on Islamic Philosophy, (Oxford: OUP, 1962); S. Stern (et al.), Islamic Philosophy and the Classical Tradition, (Oxford: OUP, 1972); Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (London: Longman, 1970); G.F. Hourani, Essays on Islamic Philosophy and Science, (Albany: SUNY Press, 1978); P. Morewedge, Islamic Philosophy and Mysticism, (Delmar, 1981); M.E. Marmura, Islamic Theology and Philosophy, (Albany: SUNY Press, 1984); O. Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, (Cambridge: CUP, 2002); S.H. Nasr and O. Leaman, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996); H. Ziai, “Islamic Philosophy,” dalam The Oxford Companion to Islamic Philosophy, (Oxford: OUP, 1995), 419-21; Hans Daiber, Bibliography of Islamic Philosophy, (Leiden: E.J. Brill, 1999).

Jurnal TSAQAFAH


Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi

9

dalam bukunya memakai istilah Philosophie in Islam (Filsafat dalam Islam). Beberapa alasan telah dikemukakan untuk itu, antara lain oleh Oliver Leaman. Filsafat Islam, katanya, adalah nama generik keseluruhan pemikiran yang dihasilkan masyarakat dalam bingkai tradisi dan konteks peradaban Islam terlepas apakah mereka yang punya andil di dalamnya adalah keturunan Arab ataupun bukan Arab, Muslim ataupun non-Muslim, di Timur Tengah, Andalusia, India, Asia Tengah dan Asia Tenggara, dengan bahasa Arab, Parsi, Ibrani, Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak zaman dahulu sampai sekarang ini. Filsafat Islam membawa agenda dan misi tersirat, bagaimana menyelaraskan ajaran wahyu dengan tuntutan akal, meskipun hakikatnya dikotomi semacam ini bukannya persoalan sentral dalam wacana filsafat Islam. Leaman mencermati lunturnya corak asal dan universal dari perkara-perkara yang dibahas akibat terjadinya proses penetralan dan pengislaman; kendati masalah-masalah yang dikupas bukannya baru sama sekali, namun perbincangannya dilakukan dalam bahasa yang mencerminkan cara pandang Islami (framed within the language of Islam, within the cultural context of Islamic society). Menurutnya, filsafat Islam itu sudah barang tentu sangat is, senantiasa hidup dan dinamis, tidak sekadar melanjutkan tradisi sebelumnya, akan tetapi juga membuat terobosan-terobosan kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan lama maupun baru: Much Islamic philosophy, like much philosophy of any kind, is just the accretion of new technical representaions of existing issues .... new traditions of thinking about problems and resolving difficult conceptual issues.23 Jadi, jelas keliru mengatakan filsafat Islam itu hanya kelanjutan dari filsafat Yunani atau menyempitkannya sebagai teologi saja atau menganggapnya sebagai sejarah belaka. Argumen lain diutarakan oleh pakar-pakar filsafat dari Mesir, antara lain Ibrahim Madkour dan Mustafa Abdur Raziq. Menurut Madkour, filsafat Islam itu bersifat “islami” ditinjau dari empat sisi: pertama, dari segi masalah-masalah yang dibahas; kedua, dari aspek konteks sosio-kulturalnya; ketiga, dari segi faktor-faktor pendorong serta maksud-tujuannya; dan keempat, dari kenyataan bahwa para pelakunya berada di bawah naungan kekuasaan Islam.24 Sementara 23 Lihat: O. Leaman, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996), 1-10 (“Introduction”). 24 Lihat: Ibrahim Madkour, Al-Falsafah al-Islâmiyyah: Manhaj wa Tat}biquhu (Kairo: t.p., T.Th), 19.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


10

Syamsuddin Arif

Mustafa ‘Abdul Raziq berpendapat sebaiknya kita memakai istilah yang telah digunakan sejak dulu oleh para pemikir Muslim seperti Ibnu Sina, al-Syahrastani, dan Ibnu Khaldun –untuk menyebut beberapa fakta konkret- yang masing-masing memakai istilah-istilah berikut ini: “al-mutafalsifah al-islâmiyyah”, “falâsifat al-Islâm”, dan “h}ukamâ‘ al-Islâm”,25 dimana terjadi penisbatan eksplisit kepada Islam, bukan kepada Arab, terlepas dari pro-kontra kesahihannya. Akan tetapi ada juga beberapa sarjana yang memutuskan untuk memakai istilah “filsafat Muslim”. Mereka adalah orientalis Perancis Léon Gauthier dalam Introduction a L’étude de la Philosophie Musulmane (1923) dan Louis Gardet dalam artikelnya, Le Problème de la Philosophie Musulmane.26 Begitu pula sarjana Pakistan M.M. Sharif yang memilih istilah Muslim Philosophy untuk judul buku hasil suntingannya. Dalam kata pengantar buku tersebut, Sharif menegaskan bahwa filsafat Islam itu sangat luas bidang kajiannya, meliputi aneka macam cabang ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, filsafat Islam hanyalah satu dari sekian banyak aspek dari peradaban Islam yang bersumberkan kitab suci al-Qur’an. Meskipun bukan buku filsafat, al-Qur’an berbicara mengenai masalah-masalah besar yang menjadi tumpuan filsafat, seperti soal Tuhan, alam semesta, jiwa manusia, hidup sesudah mati, dan nilai-nilai universal seperti kebenaran, kebaikan, keadilan, dan masih banyak lagi. Demikian penjelasan M.M. Sharif.27 Istilah lain yang cukup menarik dilontarkan oleh Harry A. Wolfson lewat karyanya Philosophy of the Kalam (filsafat ilmu kalam).28 Pakar sejarah teologi ini tercengang melihat betapa seru, tajam dan rasionalnya argumen-argumen yang dilontarkan tokohtokoh ilmu kalam mulai dari Imam al-Asyari sampai al-Iji. Boleh dikata Wolfson ini sebenarnya menggaungkan kembali apa yang pernah dinyatakan Ernest Renan kira-kira seabad sebelumnya, bahwa filsafat Islam yang sejati itu dapat ditemukan dalam literatur kalam, di mana direkam adu pendapat yang sengit namun rasional 25

Mustafa ‘Abdul Raziq, Tamhîd li Târîkh al-Falsafah al-Islâmiyyah, (Kairo: 1944),

19-20. 26

Diterbitkan dalam Mélanges offerts à Etienne Gilson, (Paris, 1959), 261-84. Bandingkan dengan Miguel Cruz Hernandez, Ia Hispano-Musulmana, (Madrid, 1953). 27 M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, 2 jilid, (Wiesbaden: Harrassowitz, 1963-6), 1 :136 (Bab: Philosophical Teachings of the Qur’an). 28 H.A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam, (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976).

Jurnal TSAQAFAH


Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi

11

antara berbagai aliran pemikiran Islam: “Le véritable mouvement philosophique de l’islamisme doit se chercher dans le sectes théologiques: Kadarites, Djabarites, Sifatites, Motazélites, Baténites, Ta’limites, Asch’arite, et surtout dans le Kalâm”, tulis Renan.29 Sumber-Sumber Filsafat Islam Terdapat beberapa pandangan berbeda mengenai matriks filsafat Islam. Pandangan pertama menyatakan bahwa filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: “It is Greek philosophy in Arabic garb”, kata Renan, De Boer, Gutas, dan lain-lain. Artinya, menurut mereka tidak ada yang baru, istimewa atau hebat sama sekali dari filsafat Islam karena seluruhnya berasal dari Yunani mulai sistem ontologi, epistemologi, psikologi, hingga kosmologinya. Pendapat ini juga dianut oleh sebagian sarjana Muslim semisal ’Ali Sami al-Nasysyar yang menganggap filsafat al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan semisalnya itu tidak layak disebut filsafat Islam karena elemen-elemennya yang universal maupun yang partikular semua berasal dari Yunani, campuran dari Aristotelianisme dan Neoplatonisme.30 Pandangan kedua mengatakan filsafat Islam memang lahir dari dalam, hasil ijtihad intelektual Muslim sendiri. Akan tetapi pemicunya datang dari luar, sehingga filsafat Islam itu dikatakan muncul sebagai reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang telah berkembang pada waktu itu. Menurut pendukung pandangan ini, kaum Muslim banyak mengambil dari dan dipengaruhi oleh tradisi pemikiran Yahudi-Kristen. Pandangan ini disuarakan oleh Maimonides, seorang padri Yahudi asal Andalusia: “Ketahuilah olehmu bahwa semua yang dilontarkan oleh orang Islam –pemikir Mutazilah maupun Asyariyah mengenai masalah-masalah [teologi] ini adalah pandangan-pandangan yang didasari pada sejumlah proposisi, yaitu proposisi-proposisi yang sumbernya buku-buku orang Yunani dan Syria yang berusaha menyanggah pendapat-pendapat para filsuf dan berusaha mematahkan pernyataan-pernyataan mereka.”31 Di29 E. Renan, Averroès et Laverroïsme: Essai Historique, Edisi ke-3, (Paris: Michel Lévy, 1886), 89. 30 ‘Ali Sami al-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm, (Kairo, 1977), 519: “Falsafat hâ’ulâ’ al-akhîrîn ghayr islâmiyyah! Hiya yûnâniyyah fî kulliyyâtihâ wa juz’iyyâtihâ wa mazîj min al-Aristûtâliyyah wa al-aflâtûniyyah al-muh}datsah.” 31 Dalam kitabnya Dalâlat al-Hâ’irîn, diterjemahkan oleh Shlomo Pines, The Guide for the Perplexed (Chicago: Chicago University Press, 1963), 177. Terjemahan Inggrisnya

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


12

Syamsuddin Arif

katakan bahwa tidak hanya topik-topiknya, bahkan teknik pembahasan dan pola argumentasi mereka pun konon dipungut dari ilmu retorika dan dialektika Yunani, yang kemudian diwarisi dan dilestarikan oleh para tokoh-tokoh gereja, seperti Justin Martyr, John Philoponus, dan John Damascenus. Juga diklaim konon istilah ’kalâm’ adalah terjemah dari dialexis, diálektos, dan dialektika dalam bahasa Yunani kuno.32 Ketiga adalah pandangan revisionis yang melihat filsafat Islam sebagai hasil kegiatan intelektual yang wujud sejak kurun pertama Islam. Perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan serta kaitannya dengan kebebasan dan tanggung jawab manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat Islam yang ketika itu masih disebut kalâm. Munculnya kelompok-kelompok Khawârij, Syîah, dan Mu’tazilah yang melontarkan argumen-argumen rasional untuk menopang pendapat masing-masing, selain merujuk ayatayat suci al-Qur’an, berperan besar dalam mendorong perkembangan pemikiran filsafat Islam. Ahli sejarah merekam misalnya sepucuk surat yang ditulis al-Hasan al-Basri sebagai jawaban kepada Khalifah perihal kada dan kadar, di mana beliau menangkis argumen kaum fatalis maupun kelompok rasionalis sekular.33 Perdebatan seru menyusul di abad-abad selanjutnya antara berbagai aliran pemikiran, berkisar kedudukan logika, masalah atom, ruang hampa, masa, dan yang tak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan, serta keazalian dan keabadian alam semesta.34 Pandangan revisionis demikian: “Know that all that the Muslims, both the Mu’tazilites and the Ash’arites, have said on these subjects are opinions based upon certain propositions, which propositions are taken from the books of Greeks and Syrians who sought to oppose the views of the philosophers and to refute their assertions.” Lihat: H.A. Wolfson, The Philosophy of Kalâm, (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 48. 32 Lihat: Richard M. Frank, “The Kalâm, an Art of Contradiction Making or Theological Science?” dalam Journal of American Oriental Society (JAOS) 88 (1968): 295-309; Josef van Ess, “The Logical Structure of Islamic Theology,” dalam Logic in Classical Islamic Culture, ed. Gustav E. von Grunebaum (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1970), 24 ff; Josef van Ess, “Disputationspraxis in der islamischen Theologie. Eine vorläufige Skizze,” dalam Revue des Études Islamiques, 44 (1976): 23-60 Josef van Ess, “The Beginning of Islamic Theology,” dalam The Cultural Context of Medieval Learning, Ed. J. Murdoch dan E. Sylla, (Boston: D. Reidel, 1975); Shlomo Pines, “A Note on an Early Meaning of the Term Mutakallim,” dalam Israel Oriental Studies 1 (1971): 224-40; dan Michael Cook, “The Origins of Kalâm,” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies (BSOAS) 43 (1986): 32-43. 33 Lihat: Michael Schwarz, “The Letter of al-Hasan al-Basrî,” dalam Oriens, vol. XX (1972), 15-30. 34 Lihat: Shlomo Pines, Beiträge zur Islamischen Atomenlehre (Berlin: Gräfenhainichen, 1936) dan Alnoor Dhanani, The Physical Theory of Kalâm: Atoms, Space, and Void in Basrian Mu’tazilî Cosmology, (Leiden: Brill, 1994).

Jurnal TSAQAFAH


Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi

13

ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif dan Alparslan Acikgenc.35 Menurut mereka, filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an yang menduduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim. Memang, dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan dan direduksi, atau bahkan diabaikan sama sekali. Menurut para sejarawan filsafat seperti Hegel, Coplestone, atau Russell, kalau pun ada nilainya maka itu terlalu kecil dan insignifikan, sebatas menampung dan melestarikan warisan pemikiran Yunani kuno untuk kemudian meneruskannya kepada orang-orang Barat yang saat itu hidup dalam apa yang mereka namakan Zaman Kegelapan (Dark Ages), atau sekadar menjadi “jembatan peradaban” (Kulturvermittler) ¯ meminjam istilah sejarawan Eropa.36 Walhasil, jika ditelusuri dan diteliti karya-karya mereka, para filsuf Muslim bukan semata-mata mereproduksi apa yang mereka pelajari dari khazanah pemikiran Yunani kuno. Mereka tidak reseptifpasif, tidak menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah tanpa resistensi dan sikap kritis. Sebaliknya, para pemikir Muslim telah mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi, menjelaskan dan menyanggah, mengkritik, dan menilai, menyaring dan mengubahsuaikan, mengurangi dan menambahkan, memperkenalkan konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru ke dalam istilah-istilah yang sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi baru untuk persoalan-persoalan perennial dalam filsafat. Di samping berhasil melahirkan sintesis cemerlang dan membangun sistem pemikiran tersendiri, filsuf Muslim itu terutama berhasil mengakomodasi khazanah keilmuan Yunani kuno dalam kerangka pandangan hidup (Weltanschauung) Islam. Dengan kata lain, yang telah mereka lakukan adalah upaya Islamisasi. 35 Lihat: Alparslan Acikgenc, “The Framework for a History of Islamic Philosophy,” al-Shajarah, 1: 1-2 (1996). 36 Pandangan-pandangan reduksionistik dan eurosentrik semacam ini telah diulas oleh Hans Daiber, “What is the Meaning of and to What End Do We Study the History of Islamic Philosophy? The History of a Neglected Discipline,” dalam Bibliography of Islamic Philosophy, 2 jilid (Leiden: Brill, 1999), 1: xi-xxxiii.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


14

Syamsuddin Arif

Urgensi Filsafat Islam Mungkin masih banyak yang bertanya-tanya, apa pentingnya kita mempelajari filsafat Islam. Setidaknya ada beberapa jawaban yang bisa kita kemukakan bagi pertanyaan ini, terutama bila kita ingat bahwa tidak sedikit dan sudah sejak lama orang-orang Eropa yang nota bene bukan Muslim pun dengan serius mempelajari dan mengajarkan filsafat Islam. Begitu pula jika pertanyaan tersebut dibalik: Apa sebab orang-orang Islam tertarik mempelajari filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan dari peradaban Yunani, Persia, India kuno yang nota bene bukan Islam itu? Jawaban pertama, sebagai kegiatan ilmiah, filsafat Islam seperti halnya filsafat Hindu, Buddha, Kristen, dan lainnya merupakan bagian dari perjalanan intelektual manusia mencari kebaikan, menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan –sebuah cita-cita universal yang ingin dicapai oleh setiap bangsa apapun agamanya, budayanya, dan bahasanya. Maka mempelajari filsafat Islam itu suatu keniscayaan, mengingat obor ilmu pengetahuan dipegang oleh umat Islam selama berabad-abad pada Kurun Pertengahan (Middle Ages atau Medieval Times). Kedua, bagi mereka yang haus ilmu dan cinta kearifan, mempelajari filsafat itu sama dengan mencari hikmah yang hilang atau tercecer di manapun adanya perlu dikejar dan dari manapun datangnya perlu diambil. Ini persis yang dikatakan oleh al-Kindi: “Wa yanbaghî lanâ an lâ nastah}yiya min istih}sân al-h}aqq wa iqtinâ’ al-h}aqq min ayna atâ, wa in atâ min al-ajnâs al-qâs}iyah ’annâ wa al-umam almubâyinah lanâ.”37 Ketiga, tidak sedikit yang mengkaji filsafat Islam semata-mata didorong oleh rasa ingin tahu belaka –sebuah kecenderungan alami pada setiap manusia sebagai hewan berakal. Kata Aristoteles: “ ”.38 Terakhir, mungkin juga sebagaimana Ibnu Sina atau Aquinas, motivasi orang mempelajari filsafat bersifat religius pragmatis dalam arti untuk membangun argumen rasional demi mengukuhkan keyakinan agama masing-masing, bagaimana keimanan itu bisa dipertahankan secara akal. Maka lahirlah konsep Wajib al-Wujûd, h}udûth, dan argumenargumen ontologis, kosmologis, teleologis dan sebagainya itu. 37 al-Kindi, Fî al-Falsafah al-Ûlâ, dalam Rasâil al-Kindî al-Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah, (Kairo, 1950-3), 1: 33. 38 Aristoteles, Ta meta ta physika, terj. H. Tredennick (Cambridge, MA, 1980), 980á21.

Jurnal TSAQAFAH


Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi

15

Problem dan Prospek Pembelajaran dan pengajaran filsafat di dunia Islam hingga kini masih terkendala oleh banyak hal. Pertama, adanya gambaran keliru belajar filsafat itu sulit dan rumit, di samping anggapan umum bahwa belajar filsafat itu sia-sia, membuang waktu saja karena tidak mendatangkan manfaat ekonomis dan tidak jelas apa gunanya. Menjadi tugas para guru, dosen dan ilmuan untuk menepis anggapan semacam itu dan menerangkan hakikat filsafat dan manfaatnya untuk mengasah keterampilan berpikir analitis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan mengutarakan hujah atau argumen secara logis dan ilmiah. Bahwa ada kasus-kasus memprihatinkan di kalangan mahasiswa yang menjadi ateis, melecehkan nabi dan ulama, mengabaikan kewajiban agama, dan sebagainya, hal itu bukan semata-mata disebabkan oleh filsafat sebagai disiplin ilmu, melainkan lebih karena sikap mental yang buruk alias sû’ al-adab (tidak tahu diri) dan diabolisme intelektual (merasa diri hebat, angkuh, membangkang, mengingkari kebenaran, dan melecehkan otoritas). Kendala lainnya adalah oposisi sebagian ulama terhadap kajian filsafat. Sebagaimana kita ketahui, di abad kelima Hijriyah Imam alGhazali melepaskan pukulan keras terhadap doktrin-doktrin filsuf dalam karya terkenalnya Tahâfut al-Falâsifah. Menurut beliau, ada tiga ajaran para filsuf yang berimplikasi kufur: pertama, keyakinan mereka bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara detil; dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari kiamat.39 Adapun matematika, fisika, astronomi yang mereka menjadi bagian dari ilmu mereka tidak ditolaknya: mâ lâ yas} dimu madhhabuhum as}lan min us}ûl al-dîn... fa inna hâdhihi al-umûr taqûmu ’alayhâ barâhîn handasiyyah hisâbiyyah lâ yabqâ ma’ahâ raybah.40 Artinya, Imam al-Ghazali tidak melempar filsafat dalam satu keranjang, akan tetapi bersikap kritis-selektif, ada yang mesti dibuang dan ada yang bisa dimanfaatkan. Kriterianya apakah ia bertentangan dengan akidah ataukah tidak. Imam al-Ghazali juga memilah ilmu mereka dalam enam kategori: yang tercela dan yang tidak tercela (mâ yudhammu minhâ 39

al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, Ed. Sulaymân Dunyâ (Kairo, 1961), 81. Ibid., 80. Bandingkan dengan kitab Al-Munqidh min al-D}alâl, Ed. ‘Abd al-Mun’im al-‘Ânî (Damaskus, 1415/1994), 55. 40

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


16

Syamsuddin Arif

wa mâ lâ yudhammu), yang bisa membuat orang jadi kafir dan yang tidak menyebabkan kufur (mâ yukaffaru fîhi qâ’iluhu wa mâ lâ yukaffaru), dan yang dapat menjadikannya ahli bid’ah dan tidak membuatnya begitu (mâ yubadda’u fîhi wa mâ lâ yubadda’u). Kemudian dari segi akidah, para filsuf dikelompokkan menjadi tiga golongan: ateis (al-dahriyyûn) yaitu filsuf materialis yang mengatakan alam ini kekal abadi dan tidak diciptakan Tuhan; naturalis (al-tabî’iyyûn) yaitu mereka ahli fisika, biologi, anatomi (kedokteran) yang walaupun meyakini adanya Sang Pencipta akan tetapi tidak mempercayai kehidupan sesudah mati karena mereka anggap kehidupan semua mahluk bermula dan berakhir di sini dan segalanya di alam ini berjalan dengan tabiat dan sesuai dengan kodratnya. Ketiga, golongan ahli metafisika seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles yang ajaran-ajaranya juga banyak mengandung kekeliruan, kesesatan dan kekufuran.41 Fatwa yang paling tegas dikeluarkan oleh Ibnu al-Salah. Ketika ditanyakan pendapatnya tentang hukum mempelajari dan mengajarkan logika (ilmu mantiq), tentang pemakaian istilah-istilah ilmu mantiq dalam menetapkan hukum syarak, dan tentang tindakan apa yang harus diambil terhadap orang-orang ahli filsafat yang menulis dan mengajar di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi (madâris), Ibnu al-Salah menjawab sebagai berikut: “Filsafat adalah pangkal kebodohan dan penyelewengan, kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka buta lah hatinya dari kebaikankebaikan Syariah yang suci yang dikuatkan dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang gamblang. Siapa yang mempelajarinya, maka ia bersama kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan terpedaya oleh setan. Adakah ilmu lain yang lebih hina dari ilmu yang membutakan mata pemiliknya dan menggelapkan hatinya dari cahaya ajaran Nabi kita. Tentang ilmu mantiq, ia adalah jalan kepada filsafat, dan jalan kepada keburukan adalah keburukan juga. Mempelajari filsafat atau mengajarkannya termasuk yang tidak dibolehkan oleh syarak, tidak pula dibenarkan oleh para Sahabat, Tabi`in, imam-imam mujtahidin, ulama-ulama salaf, pemimpin-pemimpin umat yang telah Allah bersihkan dari kotoran-kotoran ilmu tersebut. Oleh karena itu, penggunaan istilah-istilah ilmu mantiq dalam hukum syarak tidak dibenarkan, dan untungnya hukum-hukum syarak tidak memerlu41

Ibid., 52-54.

Jurnal TSAQAFAH


Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi

17

kan ilmu mantiq.”42 Menurut al-Suyuti, fatwa tersebut di atas cukup mewakili karena sebelum itu para ulama dari Imam al-Syafi’i hingga Ibnu Taymiyyah berpendapat sama, yakni haram hukumnya belajar ilmu kalam, filsafat dan logika. Sejumlah alasan dikemukakannya: bahwa itu menyimpang keluar dari bahasa agama (’adala ’an lisân al-syar’i) dan jika dipakai untuk memahami teks-teks agama akan membuat orang jadi bodoh dan sesat; bahwa itu menimbulkan bidah, menyalahi Sunnah dan objektif pengasas agama (sabab lil-ih}dâth wa al-ibtidâ’ wa mukhâlafat al-sunnah wa mukhâlafat ghaira alsyâri’), bahwa itu dikhawatirkan bakal menyelewengkan dan menimbulkan kekacauan (khawfa al-zaygh wa al-fitnah). Kemudian dikutipnya juga pernyataan al-Muhasibi, al-Bukhari, al-Khattabi, alLalika’i, al-Ajurri, Abu Talib al-Makki, al-Khatib al-Baghdadi, Ibnu al-Sam’ani, Imam al-Haramayn al-Juwayni, al-Ghazali, dan alHarawi.43 Namun, penting untuk diketahui bahwa al-Suyuti pun menurunkan kutipan panjang dari kitab Fais} a l al-Tafriqah dimana Imam al-Ghazali menyatakan bahwa maksudnya bukan haram mutlak, melainkan haram karena banyak dampak buruknya (likatsrat al-âfât) meski dengan pengecualian bagi dua jenis orang, yaitu mereka yang mempunyai masalah (rajul waqa’at lahu syubhah) ibarat orang yang sakit memerlukan obat, dan kedua, mereka yang kuat akalnya, mantap agamanya, dan teguh imannya (syakhs}un kâmil al-’aql, râsikh al-qadam fî al-dîn, thâbit al-îmân bi anwâr al-nafs), ibarat dokter yang ingin mengobati orang sakit, atau mematahkan pemikiran sesat, atau menjaga keimanannya agar tidak bisa diguncang oleh pemikiran keliru.44 Di samping itu, studi filsafat Islam juga dirundung masalah metodologis. Sejauh ini, pendekatan historis dan filologis masih mendominasi ketimbang pendekatan logis analitis. Hal ini dicermati oleh banyak sarjana Muslim maupun non-Muslim. Oliver Leaman, 42

Lihat: Fatâwâ wa Masâ’il Ibn al-S}alâh, Ed. ‘Abd al-Mu’mî Amîn Qal’aji, 2 jilid, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1406/1986), 209-212 (mas’alah no. 55). 43 Al-Suyuti, S}awn al-Mant}iq…, 15-19. Cf. Mufti Ali, Muslim Opposition to Logic and Theology in the Light of the Works of Jalâl al-Dîn al-Suyuti, (d. 911/1505), PhD diss. Leiden University, 2008. 44 Al-Suyuti, S}awn al-Mant}iq..., 186-187. Cf. G. Endress, “The Defense of Reason: the Plea for Philosophy in the Religious Community,” Zeitschrift für Geschichte der arabischislamische Wissenschaften 6 (1990), 1-49.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


18

Syamsuddin Arif

misalnya, melihat tiga pola pendekatan orientalis terhadap filsafat Islam. Pertama, pendekatan ala Leo Strauss yang menganggap filsafat Islam itu ekspresi kemunafikan, upaya mengendorkan ketegangan yang terjadi antara akal dan wahyu, antara filsafat dan agama, antara Jerusalem dan Athena. Maka tugas peneliti filsafat Islam adalah membongkar motif-motif yang terselip di balik teks, makna-makna yang tersembunyi di belakang tanda, simbol, alegori, dan sebagainya. Asumsinya bahwa apa yang dimaksud bukan apa yang dikatakan, apa yang tersirat itu kebenaran, sedang yang tersurat itu kepalsuan. Para filsuf diperlakukan sebagai occultis-esoteris, pengecut yang bersembunyi di balik kata-kata. Leaman menilai kerangka dikotomis seperti ini simplistik dan reduksionistik. Kedua, pendekatan historisfilologis yang kemudian diistilahkan Greco-Arabic sebagaimana dikerjakan oleh Richard Walzer dan para pengikutnya. Ciri khasnya adalah melacak sumber-sumber Yunani, Romawi, Persia atau India kuno untuk setiap ide, konsep, teori atau argumen para filsuf Muslim. Asumsi dasar pendekatan ini adalah filsafat Islam itu barang impor, pinjaman, jiplakan, atau turunan pemikiran-pemikiran yang telah berkembang sebelumnya. Namun pendekatan ini pun banyak dikritik, antara lain oleh almarhum Muhsin Mahdi, mantan guru besar di Harvard.45 Penganut pendekatan ini, mungkin karena ada mengidap hellenophilia, begitu terobsesi dengan asal-usul dan ketergantungan setiap peradaban pada peradaban lain sehingga menafikan konteks lokal dan daya kreatif manusia. Sesungguhnya yang terjadi, menurut Leaman, adalah para filsuf Muslim itu sudah barang tentu melakukan adopsi dan adapsi: “They did not just accept the concepts which were handed down to them, but adapted them and constructed new concepts to make sense of the nature of the problem as they saw it.” 46 Maka pendekatan ketiga, dan ini yang dianjurkannya, adalah mengkaji filsafat Islam sebagai filsafat, bukan sebagai naskah kuno atau narasi sejarah intelektual. Artinya, diperlukan analisis logika yang kuat dan tajam terhadap konsep-konsep, teori-teori, dan argumentasi para filsuf Muslim, untuk menguji validitasnya atau kelemahan-kelemahannya. Dan ini seperti yang dilakukan oleh 45

Lihat: Muhsin Mahdi, “Al-Fârâbî’s Imperfect State,” dalam JAOS, 110 (1990), 691-

726. 46 Lihat: O. Leaman, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996), 9 (“Introduction”).

Jurnal TSAQAFAH


Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi

19

Imam al-Ghazali, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Taimiyyah dalam karyakarya mereka. Pendekatan ketiga yang menekankan analisis murni atau menggabungkannya dengan pendekatan historis tampak mulai banyak diikuti oleh generasi baru semisal, Jon McGinnis, Tony Street, dan Robert Wisnovsky.

Penutup Di atas itu semua kita masih punya harapan, menyaksikan kajian filsafat Islam masih berlanjut di dunia Islam dan kian semarak di banyak perguruan tinggi di Eropa dan Amerika. Semakin banyak karya-karya filsuf Muslim yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, bahkan Itali. Hampir saban tahun digelar konferensi internasional untuk mendiskusikan berbagai aspek pemikiran Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, bahkan Ibnu Taimiyyah. Ini belum termasuk kajian-kajian serius dalam bentuk tesis dan disertasi mengenai aneka topik dalam wilayah filsafat Islam yang sebagian basar telah disenaraikan dalam Bibliography of Islamic Philosophy oleh Hans Daiber. Maka tak berlebihan jika Julio César Cárdenas Arenas menyimpulkan: “La ía islámica puede considerarse una tradición viva y dinámica que en su tiempo actualizó y adecuó los conceptos extranjeros para su propia lengua y tiempo (Filsafat Islam itu boleh dikata merupakan tradisi hidup dan dinamika yang mengkontekstualisasi konsep-konsep asing agar sesuai dengan konteks bahasa dan zamannya). []

Daftar Pustaka ‘Abdul Raziq, Mustafa. 1944. Tamhîd li Târîkh al-Falsafah alIslâmiyyah. Kairo. Adamson, P. dan R.C. Taylor. 2005. The Cambridge Companion to Arabic Philosophy. Cambridge: CUP. Al-‘Asqalani, Ibn Hajar. 1971. Lisân al-Mîzân. Beirut. Al-Âmiri. 1988. Kitâb al-Amad alâ al-Abad, Ed. dan Terj. E. Rowson, A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate. New Haven: American Oriental Society. Ali, Mufti. 2008. Muslim Opposition to Logic and Theology in the Light of the Works of Jalâl al-Dîn al-Suyuti. Leiden University.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


20

Syamsuddin Arif

Aquinas, Thomas. 1926. In Metaphysicam Aristotelis Commentaria, ed. M.-R. Cathala. Aristoteles. 1980. Ta Meta ta Physika, Terj. H. Tredennick. Cambridge, MA. Barry S. 1987. Logical Positivism in Perspective: Essays on Language, Truth and Logic, Ed. London: Croom Helm. Blair, Ann. 2006. “Natural Philosophy,” dalam The Cambridge History of Science: Early Modern Science. Ed. Katharine Park and Lorraine Daston. vol. 3. Cambridge: Cambridge University Press. C.C, D Ancona. 1996. La Casa Della Sapienza: La Trasmissione Della Metafisica Greca e La Formazione Della ia Araba. Milan. Ch, Butterworth dan B.A, Kessel. 1994. The Introduction of Arabic Philosophy into Europe. Leiden: E.J. Brill. Ch, Genequand. 1982. “La Philosophie Arabe,” dalam Les Arabes et Loccident. Geneva. Daiber, Hans. 1999. “What is the Meaning of and to What End Do We Study the History of Islamic Philosophy? The History of a Neglected Discipline,” dalam Bibliography of Islamic Philosophy, 2 jilid. Leiden: Brill. ______. 1999. Bibliography of Islamic Philosophy. Leiden: E.J. Brill. Al-Dhahabi. 1999. Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa alA‘lâm, Ed. ‘Umar ‘A. al-Tadmurî. Beirut. Dhanani, Alnoor. 1994. The Physical Theory of Kalâm: Atoms, Space, and Void in Basrian Mu’tazilî Cosmology. Leiden: Brill. E, Renan. 1886. Averroès et Laverroïsme: Essai Historique. Edisi ke-3. Paris: Michel Lévy. Ess, Josef van. 1970. “The Logical Structure of Islamic Theology,” dalam Logic in Classical Islamic Culture, ed. Gustav E. von Grunebaum. Wiesbaden: Otto Harrassowitz. ______. 1975. “The Beginning of Islamic Theology” dalam The Cultural Context of Medieval Learning, Ed. J. Murdoch dan E. Sylla. Boston: D. Reidel. Fakhry, Madjid. 1970. A History of Islamic Philosophy. London: Longman. Al-Farabi. 1345. Kitâb Tah}s}îl al-Sa‘âdah. Hyderabad: Majlis Dâ’irat al-Ma‘ârif al-‘Utsmâniyyah.

Jurnal TSAQAFAH


Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi

21

______. 1968. Kitâb al-Jam’i baina Ra’yai al-H} a kîmaini Aflât} û n alIlâhi wa Arist}ût}âlîs, Ed. Albert N. Nader. Beirut: Dar el-Masyriq. Frank, T.Z. 1975. Al-Kindî’s Book of Definitions. Unpublished PhD diss. Yale University. Frassen, Claudii. 1767. Philosophia Academica. Venice: Nicolaus Pezzana. G.F, Hourani. 1978. Essays on Islamic Philosophy and Science. Albany: SUNY Press. Al-Ghazali. 1415/1994. al-Munqidh min al-D}alâl, Ed. ‘Abd al-Mun’im al-‘Ânî. Damaskus. ______. 1420/1999 Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn. Jilid 1. Ed. Sidqi Muhammad Jamil al-‘Ammar. Beirut: Dâr al-Fikr. ______. 1961. Tahâfut al-Falâsifah. Ed. Sulayman Dunya. Kairo. H.A, Wolfson. 1976. The Philosophy of Kalâm. Cambridge, MA: Harvard University Press. Hernandez, Miguel. 1953. Cruz ia Hispano-Musulmana. Madrid. Ibnu Sina. 1954. Uyûn al-H} i kmah, Ed. Abdurrahman Badawi. Kuwait: Wakâlat al-Mat}bûât. Al-Kindi. 1950. Fî al-Falsafah al-Ûlâ. dalam Rasâil al-Kindî alFalsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. Kairo. Kraemer, J. L. 1986. Philosophy in the Renaissance of Islam. Leiden. Leaman, Oliver. 2002. An Introduction to Classical Islamic Philosophy. Cambridge: CUP. Madkour, Ibrahim. T.Th. Al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tat}biquhu. Kairo. Marmura, M.E. 1984. Islamic Theology and Philosophy. Albany: SUNY Press. Morewedge, P. 1981. Islamic Philosophy and Mysticism. Delmar. Nasr, S.H. 1996. History of Islamic Philosophy. London: Routledge. Nasr, S.H. and O. Leaman. 1996. History of Islamic Philosophy. London: Routledge. Al-Nasysyar, Ali Sami. 1977. Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm. Kairo. Parrini, Paolo (et al.). 2003. Logical Empiricism: Historical and Contem-porary Perspectives, Ed. Pittsburgh: Pittsburgh University Press. Vol. 10, No. 1, Mei 2014


22

Syamsuddin Arif

Pines, Shlomo. 1936. Beiträge zur Islamischen Atomenlehre. Berlin: Gräfenhainichen. Qal’aji, ‘Abd al-Mu’mi Amin. 1406/1986. Fatâwâ wa Masâ’il Ibn alS}alâh}, 2 jilid. Beirut: Dâr al-Ma’rifah. Schwarz, Michael. 1972. “The Letter of al-Hasan al-Basrî” dalam Oriens, vol. XX. Sharif, M.M. 1963. A History of Muslim Philosophy, 2 jilid. Wiesbaden: Harrassowitz. Stern, S, et al. 1972. Islamic Philosophy and the Classical Tradition. Oxford: OUP. Al-Suyuti. 1947. S}awn al-Mant}iq wa al-Kalâm ‘an Fannai al-Mant}iq wa al-Kalâm. Kairo. Al-Tawhidi, Abu Hayyan. 1970. Al-Muqâbasât. Ed. M.T. Husayn. Baghdad. Walzer, R. 1962. Greek into Arabic: Essays on Islamic Philosophy. Oxford: OUP. Watt, W.M. 1962. Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: EUP. Wittgenstein, Ludwig. 1922. Tractatus Logico-philosophicus, Terj. C.K. Ogden. New York: Barnes & Noble, 2003; berdasarkan cetakan perdana London: Kegan Paul. Ziai, Hossein. 1995 “Islamic Philosophy,” dalam The Oxford Companion to Islamic Philosophy. Oxford: OUP.

Jurnal TSAQAFAH


Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam A. Khudori Soleh* Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, Malang Email: khudori_uin@yahoo.com

Abstract Although acknowledged that Greek philosophy gave great influence on the development of Islamic philosophy, but philosophy of Islam are not based on it, because; (1) to learn does not necessarily reflect a repetition, (2) every thought is not separated from their cultural context, (3) the real fact shows that Islamic rational thinking has established before the arrival of Greek philosophy. If so, where Islamic philosophical thought come from? The answer is from the Islamic tradition itself, from scientists who attempt to explain the teachings of the Muslim holy book. There are three measures relevant to philosophical reasoning: ta’wil method, explanation of musytarak meaning, and qiyâs. In addition, the demands on theological issues, to harmonize the views that seem contradictory and complex, for further systematized it in an integral metaphysical idea. From there developed methods and philosophical thought in Islam, long before the arrival of Greek philosophy through the process of translation. First of all it was accepted because it is needed to answer new problems which require rational thinking, then it was declined at the time of Ibn Hanbal because there are certain cases which considered deviant, it was developed again in the time of al-Farabi and Ibn Sina, then rejected and considered to cause disbelief in the al-Ghazali era, and it was developed again at the Ibn Rushd, then change lanes to work together with Sufism in the time of Suhrawardi and Ibn Arabi. Finally, tradition of philosophical thought in the Sunni world does not grow up but remains develop well within the Shiite community.

Keywords:

Greek Philosophy, Islamic Philosophy, Islamic Tradition, Theological Issues, Shiite Community

* Jl. Gajayana, Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144, Indonesia Telp. +62341 551354

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


64

A. Khudori Soleh

Abstrak Meski diakui bahwa filsafat Yunani memberikan pengaruh besar pada perkembangan filsafat Islam, tetapi filsafat Islam tidak didasarkan atas filsafat Yunani, sebab; (1) berguru tidak berarti menunjukkan pengulangan, (2) setiap pemikiran tidak lepas dari konteks budaya masing-masing, dan (3) kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional Islam telah lebih dahulu mapan sebelum datangnya filsafat Yunani. Jika demikian, dari mana pemikiran filsafat Islam berasal? Jawabnya, dari tradisi Islam sendiri, yaitu dari upaya para ilmuwan Muslim untuk menjelaskan ajaran kitab sucinya. Ada tiga upaya yang relevan dengan penalaran filosofis: metode takwil, penjelasan makna musytarak, dan qiy창s. Selain itu, juga adanya tuntutan dalam persoalan-persoalan teologis, untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Dari situlah berkembang metode dan pemikiran rasional filosofis dalam Islam, jauh sebelum datangnya filsafat Yunani lewat proses penerjemahan. Namun sayangnya, perkembangan filsafat Islam ternyata tidak berjalan mulus, tetapi mengalami pasang surut. Pertama-tama dikembangkan karena dibutuhkan untuk menjawab problem-problem baru yang membutuhkan pemikiran rasional, kemudian ditolak pada masa Ibnu Hanbal karena ada kasus-kasus tertentu yang dinilai menyimpang, apalagi setelah masuknya pemikiran filsafat Yunani lewat proses penerjemahan. Setelah itu, pemikiran filsafat dikembangkan kembali pada masa al-Farabi dan Ibnu Sina, kemudian ditolak dan dianggap dapat menyebabkan kekufuran pada masa al-Ghazali, dibela pada masa Ibnu Rusyd, dan akhirnya berpindah jalur bersinergi dengan tasawuf pada masa Suhrawardi dan Ibnu Arabi. Tradisi pemikiran filosofis akhirnya berhenti dalam dunia Sunni tetapi tetap berkembang dengan baik dalam lingkungan masyarakat Syiah.

Kata Kunci: Filsafat Yunani, Filsafat Islam, Tradisi Islam, Isu-isu Teologi, Masyarakat Syiah

Pendahuluan

P

erkembangan filsafat Islam sebagai bagian tidak terpisahkan dari sejarah panjang khazanah pemikiran Islam sesungguhnya bukan sesuatu yang sederhana. Banyak aspek dan hubungan yang harus dipahami, dijelaskan dan diuraikan. Ketidaktelitian dalam mencermati, memilah dan memilih persoalan inilah yang sering menyebabkan kita tidak tepat untuk menilai dan mengambil Jurnal TSAQAFAH


l

Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

65

tindakan. Adanya sikap yang anti-filsafat di sebagian kalangan umat Islam atau anggapan bahwa filsafat Islam hanyalah berasal dari Yunani, salah satu sebabnya adalah karena adanya kekurang telitian tersebut. Tulisan ini akan mencermati sejarah panjang perkembangan filsafat Islam, mulai asal-asulnya, pertemuannya dengan filsafat Yunani dan perkembangannya dalam sejarah pemikiran Islam.

Bukan dari Filsafat Yunani Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Meski demikian, menurut ditulis Oliver Leaman (l. 1950 M),1 seorang orientalis asal Universitas Kentucky, USA, adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari proses penerjemahan teks-teks Yunani tersebut, atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384322 SM) seperti dituduhkan Ernest Renan (1823-1893 M), atau dari Neo-Platonisme seperti disampaikan Pierre Duhem (1861-1916 M).2 Ada beberapa hal yang harus diperhatian. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti hanya meniru atau mengikuti semata. Harus dipahami bahwa suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles (384-322 SM), misalnya, jelas murid Plato (427-348 SM), tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Begitu pula Baruch Spinoza (1632-1777 M), walau secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650 M), tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri.3 Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filsuf Muslim. Al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Rusyd (126-1198 M), misalnya, walau banyak dilhami oleh pemikiran filsafat Yunani, tetapi itu tidak menghalanginya untuk mempunyai pandangannya sendiri yang tidak sama dengan filsafat Yunani. 1 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terj. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali, 1988), 8. 2 Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah Manhaj wa Tat}bîquhu, I, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, T. Th), 26. 3 Ibid.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


66

A. Khudori Soleh

Kedua, bahwa ide, gagasan, atau pemikiran, seperti dinyatakan Karl A. Steenbrink, adalah ekspresi dan hasil dari proses komunikasi sang tokoh dengan kondisi sosial lingkungannya.4 Artinya, sebuah ide, gagasan, atau pengetahuan tidak bisa lepas dari akar sosial, tradisi, dan keberadaan seseorang yang melahirkan ide atau pemikiran tersebut. Pemikiran filsafat Yunani dan Islam lahir dari keyakinan, budaya dan kondisi sosial yang berbeda. Karena itu, menyamakan dua buah pemikiran yang lahir dari budaya yang berlainan adalah sesuatu yang tidak tepat, sehingga penjelasan karya-karya Muslim secara terpisah dari faktor dan kondisi kulturalnya juga akan menjadi suatu deskripsi yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi besar yang sering terjadi ketika batasbatas kultural sudah terlewati. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka apa yang disebut sebagai transmisi filsafat Yunani ke Arab Islam pada dasarnya adalah suatu proses panjang dan kompleks di mana ia justru sering banyak dipengaruhi oleh keyakinan dan teologis para pelakunya, kondisi budaya yang melingkupi dan seterusnya; termasuk dalam hal istilahistilah teknis yang digunakan tidak akan lepas dari konteks dan problem bahasa Arab dan ajaran Islam. Konsekuensinya, tugas rekonstruksi sumber-sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu diharapkan dalam terjemahan yang jelas ke dalam sesuatu yang dianggap asli Yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi di luar teks. Begitu juga perluasan-perluasan, pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari alKindi (801-878 M) sampai Ibnu Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya dapat dipahami tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut.5 Ketiga, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah lebih dahulu ada dan mapan dalam tradisi keilmuan muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan sejak masa kekuasaan Bani Umaiyah (661-750 M), tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahir4 Karel A. Steenbrink, Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia: Beberapa Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad 19, (Semarang: LP3M IAIN Walisongo Semarang, 1985), 4. 5 Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar�, dalam Jurnal al-Hikmah, (Edisi 6, Oktober 1992), 90.

Jurnal TSAQAFAH


Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

67

kan al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa khalifah al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki (767-803 M), Yuhana ibn Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn Ishaq (809-873 M).6 Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional yang dibangun oleh Wasil ibn Atha’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (664- 761 M), Bisyr ibn al-Mu‘tamir (w. 825 M), Mu‘ammar ibn Abbad (w. 835 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M) dan Jahiz Amr ibn Bahr (781869 M).7 Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbât}) dengan istilah-istilah seperti istih}sân, istis}lâh}, qiyâs, dan lainnya telah lazim digunakan. Tokohtokoh mazhab fikih yang melahirkan metode istinbât} dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibnu Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran rasional filosofis yang berjalan baik dalam tradisi keilmuan Islam, yakni dalam kajian teologis dan hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam, bukan sebaliknya.8

Sumber Rasionalitas Islam Jika demikian, dari mana sumber pemikiran rasional filosofis Islam itu berasal? Seperti dinyatakan oleh banyak peneliti, baik muslim maupun non-muslim,9 pemikian rasional-filosofis Islam lahir 6

Philip K. Hitti, History of the Arabs, (New York: Martin Press, 1986), 363. Louis Gardet & Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dîni, II, Terj. Prancis ke Arab oleh Subhi Saleh dan Farid Jabr, (Beirut: Dâr al-‘Ulûm, 1978), 76. 8 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam Jurnal al-Hikmah, (Edisi 4, Februari 1992), 56. 9 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 8; Louis Gardet dan Anawati, Falsafah alFikr al-Dîni, 77; Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, (T.K: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 57 7

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


68

A. Khudori Soleh

bukan dari pihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur‘an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menyesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul SAW masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul SAW wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur‘an, lewat berbagai pemahaman. Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut, minimal ada tiga model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriah (z}âhir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Di sini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks.10 Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. al-Taubah: 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata ‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an (yang secara bahasa Arab menunjuk makna laki-laki) juga mencakup wanita dan budak? Bersamaan dengan itu, dalam persoalan-persoalan teologis, para sarjana Muslim dituntut untuk menyelaraskan pandanganpandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan sifat Maha Tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsir10

Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9.

Jurnal TSAQAFAH


Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

69

kan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur‘an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya.11 Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berpikir rasional dan filosofis. Kenyatannya, metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah-masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan di antara keduanya, menurut Leaman,12 hanya terletak pada premispremis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku. Pemikiran dan filsafat Yunani baru masuk lewat program penerjemahan setelah sistem penalaran rasional dalam Islam mapan, khususnya dalam teologi dan yurisprudensi.

Penerjemahan Filsafat Yunani Filsafat dan pemikiran Yunani sesungguhnya telah mulai dikenal dan dipelajari kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa, dan Qinnesrin (wilayah Syiria Utara), juga di Nisibis dan Ras‘aina (wilayah dataran tinggi Irak) sejak abad ke IV M.13 Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara Muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Kenyataan ini, setidaknya bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karyakarya filsafat, seperti Severus Sebokht (575-667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles (384-322 SM), juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan 11 Selain berdasarkan renungan atas teks-teks suci, menurut Louis Gardet (19041986 M), seorang orientalis asal Prancis, persoalan teologis ini juga didorong oleh adanya polemik antara Kriten dan Yahudi di Syiria saat itu. Masalah yang dibahas antara lain adalah soal kebebasan dan keterpaksaan manusia (taqdir) dan soal al-Qur‘an sebagai firman yang tidak ciptakan. Kaum muslimin ikut terlibat dalam kajian rumit ini dan berusaha membela dan mempertahankan doktrinya dari serangan luar, sehingga pembahasan teologi Islam bersifat apologis. Sampai perkembangannya yang cukup jauh, sifat apologis tersebut ternyata belum juga hilang. 12 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 10. 13 Philip K. Hitti, History of the Arabs, 241-2.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


70

A. Khudori Soleh

buku Categories karya Aristoteles (384-322 SM) ke dalam bahasa Arab. 14 Karya-karya dan filsafat Yunani tersebut kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Proses penerjemahannya itu sendiri paling awal dimulai pada masa kekhalifahan Bani Ummayah (661750 M), khususnya masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M). Namun, pada masa ini buku-buku yang diterjemahkan lebih berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan, dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Setelah itu, kemudian buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia, dan antropologi.15 Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukkan oleh persoalan-persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik. Proses penerjemahan atas pemikiran filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab kemudian baru benar-benar dilakukan secara serius setelah masa pemerintahan Bani Abbas, khususnya pada masa kekuasaan khalifah al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh Abed al-Jabiri (1936-2010 M), seorang pemikir Muslim asal Universitas Muhammad V, Maroko, dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab.16 Menurut Hasymi, saat itu sampai dibentuk tim khusus yang bertugas melawat ke negeri-negeri sekitar untuk mencari buku pengetahuan apa saja yang pantas diterjemahkan dan dikembangkan.17 Di antara mereka yang dikenal berjasa dalam usaha-usaha penerjemahan ini, antara lain, adalah oleh orangorang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki (767-803 M), Yuhana ibn Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn Ishaq (809-873 M). Menurut Montgomery Watt (1909-2006 M), seorang tokoh orientalis asal Universitas Edenbergh, Scotlandia, Hunain ini mempunyai kelebihan dibanding penerjemah yang lain. Yaitu, bahwa para penerjemah lain umumnya menerjemahkan karya-karya Yunani dari edisi bahasa Syiria, sementara Hunain ibn Ishaq menerjemahkan langsung dari 14 Madjid Fakhry, a History of Islamic Philosophy, (New York: Colombia University Press, 1983), 3-4. 15 Ibid., 5. 16 Al-Jabiri, TakwĂŽn al-‘Aql al-‘Arabi, 195. 17 Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 227.

Jurnal TSAQAFAH


Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

71

bahasa Yunani sekaligus mengkajinya secara filosofis. Ini pula yang menjadi catatan al-Ghurabi kenapa banyak karya filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab bercampur dengan pandangan Neo-Platonis Kristen Syiria.18 Program penerjemahan atas buku-buku filsafat Yunani tersebut dilakukan secara masal dan gencar karena memang adanya kebutuhan akan hal itu. Yaitu, bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang kurang lebih hiterodok yang datang dari wilayah Iran, India, Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah ‘zindiq’.19 Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari sistem berpikir rasional dan argumen-argumen yang lebih kuat, karena metode sebelumnya, bayani, sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itulah, Ira M. Lapidus (l. 1937 M), seorang orientalis asal Universitas California, USA, menyatakan bahwa filsafat Islam bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama.20

Pasang Surut Pemikiran Filsafat Pemikiran filsafat Islam yang berkembang pasca penerjemahan atas buku-buku Yunani, pertama kali, dikenalkan oleh al-Kindi (806875). Dalam Kata Pengantar untuk buku ‘Filsafat Utama’ (al-Falsafah al-Ûla), yang dipersembahkan pada khalifah al-Mu`tashim (833-842 M), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat. Meski demikian, karena begitu dominannya kaum fukaha ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema.21 Meski demikian, al18 Philip K. Hitti, History of the Arabs, 363; Montgmery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), 54; Ali Musthafa al-Ghurabi, Târîkh al-Firâq al-Islâmî, (Kairo: Maktabah wa Matba‘ah, T.Th), 128-9. 19 Louis Gardet, Falsafah al-Fikr al-Dîni, I, 75-76. 20 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 95. 21 Muhsin Mahdi, Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam, 60.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


72

A. Khudori Soleh

Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang: (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, dan (3) pengetahuan Tuhan, apa ada hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.22 Pemikiran rasional filsafat kemudian semakin berkembang. Sepeninggal al-Kindi, lahir al-Razi (865-925), tokoh yang dikenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan juga dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Salah satu pikirannya yang dikenal adalah pandangannya tentang akal. Menurutnya, semua pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Hakikat manusia adalah akal atau rasionya, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka, dan kebohongan. 23 Akan tetapi, perkembangan pemikiran filsafat yang begitu pesat berkat dukungan penuh dari para khalifah Bani Abbas (7501258 M) ini, khususnya sejak al-Makmun (811-833 M), kemudian mengalami sedikit hambatan pada masa khalifah al-Mutawakil (847861 M). Hambatan ini disebabkan oleh adanya penentangan dari sebagian kalangan ulama salaf, seperti Imam Ibnu Hanbal (780-855 M) dan orang-orang yang sepikiran dengannya. Mereka menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu filosofis. Menurut George N. Atiyeh (1923-2008 M),24 seorang peneliti dari Universitas America di Beirut, Libanon, penentangan kalangan salaf tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya kekhawatiran di sebagian kalangan ulama fiqh bahwa ilmu-ilmu filosofis akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap ajaran agamanya. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang menerjemahkan filsafat Yunani atau mempelajarinya adalah orang-orang non-Muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia, dan sarjana muslim penganut mazhab Batiniyah 22

Ibid., 58. Ibid., 59; MM. Syarif, Para Filosof Muslim, Terj. A Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), 37-38. 24 George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Terj. Kasidjo D, (Bandung: Pustaka, 1983), 4. 23

Jurnal TSAQAFAH


Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

73

yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya, maupun paham-paham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filosofis. Kecurigaan dan penentangan kaum salaf terhadap ilmu-ilmu filsafat memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, memang tidak sedikit tokoh Muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Yahya ibn Ishaq al-Rawandi (827-911 M). 25 Ia menolak konsep kenabian setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syariat-syariat yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal; akal dengan kemampuannya sendiri sebagai sesuatu yang dianugerahkan Tuhan pada manusia telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat, dan seterusnya.26 Contoh lain adalah Ibnu Zakaria al-Razi (865-925 M), seorang tokoh yang telah disebutkan di atas.27 Al-Razi juga menolak konsep kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. (2) Tidak ada alasan untuk pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka, dan (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan di antara mereka.28 25 Menurut Ibrahim Madkur, Ibnu Rawandi pernah berhubungan dengan kaum Muktazilah dan dianggap sebagai salah satu muridnya yang paling cerdas, sebelum kemudian balik menyerang Muktazilah. Ibnu Rawandi termasuk tokoh yang masih asing dalam kajian filsafat Islam. Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah, 84. 26 Ibid. Menurut Madkur, pernyataan al-Rawandi sebenarnya hanya mengulang apa yang pernah disampaikan Muktazilah yang mempunyai pandangan bahwa baik dan buruk harus didasarkan rasio. Hanya saja, Muktazilah tidak seekstrim ini dalam penggunaan rasio, bahkan mereka berusaha memadukan rasio dengan wahyu. Ibid., 85-6. 27 MM. Syarif, Para Filosof Muslim, 31. 28 MM. Syarif, Para Filosof Muslim, 47; Ibrahim Madkur, Fî Falsafat al-Islâmiyyah, 87; Hasyim Hasan, Al-Asâs al-Manhajiyyah li Binâi al-Aqîdah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr alFikr, T.Tn), 71. Di samping kedua tokoh di atas, Husein Nasr masih menyebut tokoh lain

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


74

A. Khudori Soleh

Usaha penentangan kaum salaf yang dipelopori Ibnu Hanbal (780-855 M) terhadap ilmu-ilmu filosofis di atas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum salaf menyebabkan kajian dan pemikiran filosofis mengalami hambatan. Lebih dari itu, kalangan salaf yang saat itu dekat dengan khalifah dan “berkuasa” melakukan revolusi: orangorang Muktazilah dan ahli filsafat yang tidak sepaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi (801-878 M) yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru istana karena tidak sepaham dengan sang khalifah yang salaf.29 Meski demikian, hambatan tersebut sesungguhnya hanya terjadi di lingkar pusat kekuasaan, di Baghdad. Di luar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filsuf besar, yakni Abu Nasr al-Farabi (870-950). Al-Farabi, tokoh yang mempunyai pengaruh besar pada pemikiran sesudahnya ini, baik dalam Islam sendiri maupun di Barat-Eropa, tidak hanya mengembangkan pemikiran-pemikiran metafisika Islam melainkan juga memberikan landasan bagi pengembangan keilmuan pada umumnya. Dalam bidang metafisika, antara lain, ia mengembangkan teori emanasi yang menggabungkan antara teori Neo-platonis dengan tauhid Islam untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan Yang Maha Gaib dengan realitas yang empirik, Tuhan Yang Maha Esa dengan realitas yang plural dan seterusnya; mempertemukan antara konsep idealisme Plato (427-348 SM) dengan empirisme Aristoteles (384322 SM), dan mempertemukan antara agama dan filsafat. Dalam bidang keilmuan, al-Farabi lewat karyanya yang terkenal, Ih}s}â al‘Ulûm, mengklasifikasi ilmu pengetahuan dalam 3 kelompok: filsafat, ilmu keagamaan dan ilmu bahasa. Yang termasuk filsafat adalah metafisika, ilmu-ilmu matematis, ilmu kealaman, dan politik.30 Menurut Husein Nasr (l. 1933 M), seorang pemikir muslim dari Universitas George Washington USA, klasifikasi ilmu ini merupakan klasifikasi pertama yang dipakai secara luas oleh masyarakat ilmiah sebagai ingkar kenabian, yakni Ahmad ibn Thayib al-Syarkhasi (833-899 M), salah seorang murid dari al-Kindi (801-878 M) dan guru dari khalifah al-Mu‘tadhid (892-902 M). Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, (Bandung, Risalah, 1986), 7. 29 Atiyeh, Al-Kindi, 7. 30 Al-Farabi, Ih}s}â’ al-Ulûm, Ed. Ali Bumulham, (Mesir: dar al-Hilal, 1996).

Jurnal TSAQAFAH


Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

75

dan paling berpengaruh dalam sejarah peradaban Islam. Karena jasanya inilah, al-Farabi (870-950) digelari sebagai ‘guru kedua’ (almu`allim al-tsâni) dalam tradisi filsafat Islam setelah Aristoteles (384322 SM) sebagai ‘guru pertama’ (al-mu`allim al-awwal).31 Menurut Ali Sami, seorang peneliti dari Mesir, prinsip-prinsip penalaran filosofis yang dikembangkan al-Farabi (870-950 M) di atas, pada masa-masa berikutnya, tidak hanya digunakan oleh kaum filsuf murni, tetapi juga oleh para tokoh yang menolak pemikiran filsafat, seperti al-Ghazali (1058-1111 M). Prinsip-prinsip penalaran tersebut bahkan juga digunakan oleh para fukaha seperti al-Syafi‘i (767-820 M). 32 Pemikiran filsafat kemudian semakin berkibar dalam percaturan pemikiran Arab-Islam pada masa Ibnu Sina (980-1037 M). Ibnu Sina yang muncul setelah al-Farabi mengembangkan lebih lanjut konsep emanasi al-Farabi, dengan cara menggabungkan antara prinsip Neo-Platonisme Yunani, tauhid Islam, dan filsafat Timur yang mistik dan simbolik sehingga melahirkan sistem pemikiran yang khas.33 Pada saatnya kemudian pemikiran ini mendorong lahirnya konsep emanasi yang lebih lengkap dan sempurna di tangan Suhrawardi al-Maqtul (1153-1191M) yang terkenal dengan filsafat Isyrâqiyyah-nya. Ibnu Sina juga berusaha memadukan antara wahyu dan filsafat, pada aspek makna dan fungsi. Menurutnya, setiap kewajiban yang diperintahkan agama, seperti pelaksanaan shalat, puasa, zakat, dan seterusnya, mempunyai kebaikan dan hikmahhikmah tertentu yang mempercepat proses terwujudnya cinta kasih (al-‘isyq) pada keseluruhan tingkatan realitas, khususnya pada diri manusia sendiri dan jiwa-jiwa tinggi. Sesungguhnya, sifat cinta kasih ini telah ada pada semua tataran wujud, bahkan munculnya realitas adalah karena adanya sifat itu. Pelaksanaan bentuk-bentuk kebajikan dan kewajiban mempercepat dan memperkuat ikatan cinta dalam alam wujud. Artinya, ajaran-ajaran wahyu tentang kewajiban dan 31 Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, 134. Uraian secara lebih lengkap tentang alFarabi, pemikiran metafisika dan upayanya untuk mempertemukan agama dan filsafat. Lihat, A. Khudori Soleh, Integrasi Agama dan Filsafat Pemikiran Epistemologi al-Farabi, (Malang: UIN Press, 2010). 32 Ali Sami al Nasyar, Manâhij al-Bah}ts ‘Inda Mufakkir al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1967). 33 Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam, 27-30; Abbas Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, Terj. Yudian Wahyudi, (Solo: Pustaka Mantiq, 1988), 100-105

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


76

A. Khudori Soleh

larangan dapat dipahami secara filosofis, sehingga tidak ada pertentangan antara wahyu dan filsafat.34 Selain itu, Ibnu Sina (980-1037 M) juga berusaha menjelaskan dan membuktikan konsep kenabian dengan menyatakan bahwa kenabian adalah sesuatu yang “lumrah” yang dapat dipahami secara nalar. Menurutnya, kenabian adalah tingkat tertinggi dalam fase manusia di mana ia menghimpun seluruh potensi kemanusiaan dalam wujudnya yang paling sempurna. Baginya, syarat kenabian hanya 3 hal: kecerdasan intelek, kesempurnaan daya imajinasi, dan kemampuan untuk menundukkan hal-hal yang muncul dari luar dirinya agar bisa tunduk dan taat. Ketika ketiga syarat ini terpenuhi, maka seseorang akan memperoleh kesadaran kenabian, mendapat limpahan pengetahuan secara langsung tanpa butuh pengajaran dari orang lain. Berdasarkan atas prestasi-prestasinya yang luar biasa dalam filsafat, Ibnu Sina (980-1037 M) kemudian diberi gelar “Guru Utama” (al-Syaikh al-Raîs), di samping gelarnya sebagai “Pangeran Para Dokter” (Amîr al-At}}ibbâ’) karena jasanya yang besar dalam bidang kedokteran. 35 Akan tetapi, setelah Ibnu Sina (980-1037 M), pemikiran filsafat kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali (10581111 M), meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat, yaitu aspek epistemologi. Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifah yang diulangi lagi dalam al-Munqidh min al-D}alâl,36 alGhazali menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran metafisika al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M), meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya juga tidak tepat.37 Al34

Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam, 43. Konsep kenabian Ibnu Sina sesungguhnya mirip dengan konsep kenabian alFarabi. Bedanya terletak pada potensi yang ditonjolkan. Al-Farabi menonjolkan potensi imajinasi, sedang Ibnu Sina menonjolkan aspek intelek. Lihat, Fazlur Rahman, Kenabian dalam Islam, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 2003). 36 Al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, Edited by Sulaiman Dunya, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1966). Kitab ini selesai pada 11 Muharram 488 H/ 21 Januari 1095 M. Di sini diuraikan 20 persoalan filsafat yang dianggap merupakan bidah, tiga di antaranya bahkan merupakan kekufuran bagi penganutnya. Adapun al-Munqidh min al-D}alâl, ditulis sekitar lima tahun sebelum kematian al-Ghazali, setelah ia mengalami krisis epistemologi —bukan krisis keyakinan— dan setelah kembali mengajar di perguruan tinggi al-Maimunah al-Nizamiyah di Nisabur. Osman Bakar, Tauhid dan Sains, Terj. Yuliani L, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), 51. 37 Dalam tulisannya, al-Ghazali memasukkan al-Farabi dan Ibnu Sina dalam daftar orang-orang yang terlibat dalam tiga persoalan yang dianggapnya dapat menggiring pada kekufuran: tentang keqadiman alam, kebangkitan rohani, dan ketidaktahuan Tuhan terhadap 35

Jurnal TSAQAFAH


Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

77

Ghazali juga menyerang pemikiran para filsuf Yunani kuno, seperti Thales (625-545 SM), Anaximandros (611-547 SM), Anaximenes (570-500 SM), dan Heraklitos (540-480 SM); sebuah serangan yang juga tidak pada tempatnya, karena pemikiran mereka sudah dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam.38 Dalam buku-buku ini, al-Ghazali (1058-1111 M) sekali lagi hanya menyerang aspek metafisikanya yang merupakan produk, dan bukan ilmu logika atau epistimologinya yang merupakan alat atau sistem, sesuatu yang menjadi inti dari kajian filsafat, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama.39 Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam al-Mustasyfâ fî ‘Ulûm al-Fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, bahkan menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani, untuk mengungkapkan gagasannya tentang hukum.40 Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai ‘H} u jjat al-Islâm’ ternyata telah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti, mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat. Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun, jika ada kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisi sejarah dan metafisikanya, bukan aspek epsitemologi, metodologi, atau sistem penalarannya.41 hal-hal yang partikular (juz’iyyât), padahal kedua tokoh filsuf Muslim ini sebenarnya tidak menyatakan persis seperti yang dituduhkan al-Ghazali. Tentang keqadiman alam misalnya, apa yang dimaksud bahwa alam qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu. Apa yang disebut sebagai ‘waktu’ atau ‘zaman’ muncul bersamaan dengan alam. Tidak ada istilah waktu atau zaman sebelum munculnya alam. Kebersamaan alam dengan waktu, atau tidak didahuluinya alam oleh waktu tertentu inilah yang dimaksud qadim oleh para filsuf; dan keqadiman alam ini tetap tidak sama dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan Qadîm bi Dhâtihi, qadim dengan diri-Nya sendiri tanpa berhubungan dengan ruang dan waktu atau yang lain. Dengan kata lain, keqadiman alam hanya berhubungan dengan waktu tetapi ia hadis (temporal) dibanding keqadiman Tuhan. Ini jelas berbeda dengan istilah qadim seperti yang dipahami dan digunakan oleh kaum teolog, di mana al-Ghazali sendiri termasuk di dalamnya. Dengan demikian, apa yang dituduhkan al-Ghazali sebenarnya kurang tepat, tapi lebih merupakan karena adanya perbedaan pengertian atau kesalahpahaman terhadap istilahistilah yang digunakan kaum filsuf dengan al-Ghazali yang seorang tokoh teolog. A. Khudori Soleh, Skeptisme al-Ghazali, (Malang: UIN Press, 2009), 67. 38 Ibid., 68 39 Al-Ghazali, Al-Munqidh…, 49. 40 M. Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1991), 438. 41 Amin Abdullah, “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi llmu dan Budaya” dalam Mukti Ali dkk, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), 265.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


78

A. Khudori Soleh

Pemikiran filsafat kemudian muncul kembali dalam kancah pemikiran Islam pada masa Ibnu Rusyd (1126-1198 M). Lewat tulisannya dalam Tah창fut al-Tah창fut, Ibnu Rusyd berusaha mengangkat kembali pemikiran filsafat setelah sempat tenggelam akibat dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena seperti ditulis Nurcholish Madjid (1939-2005 M),42 bantahan yang diberikan Ibnu Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali (1058-1111 M) bersifat Neo-Platonis. Meski demikian, lepas dari kegagalannya membendung serangan alGhazali, Ibnu Rusyd telah berjasa besar terhadap perkembangan pemikiran filsafat. Dalam bidang metafisika ia telah memberikan wawasan baru pada persoalan hubungan antara Tuhan dengan alam, bukan lewat teori emanasi seperti al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M), melainkan dengan teori gerak. Menurutnya, berdasarkan teori fisika Aristoteles (384-322 SM), semua benda pada prinsipnya adalah diam, tetapi kenyataannya bergerak. Gerakan benda tersebut pasti disebabkan oleh penggerak di luar dirinya karena dirinya sendiri tidak mampu bergerak. Sang penggerak luar yang menggerakkan benda juga butuh penggerak lain di luar dirinya yang sehingga dia mampu menggerakkan benda lainnya. Begitu seterusnya sampai penggerak akhir yang tidak bergerak; itulah yang dalam Islam disebut Allah SWT, Tuhan Sang Penggerak semesta.43 Selain itu, Ibnu Rusyd (1126-1198 M) juga berjasa untuk mempertemukan antara agama dan filsafat. Berbeda dengan al-Farabi (870-950 M) yang mempertemukan dua hal tersebut pada aspek metafisikanya dan Ibnu Sina (980-1037 M) pada aspek fungsionalnya, Ibnu Rusyd mempertemukan agama-filsafat lewat aspek-aspek yang lain: (1) Pada aspek garapan, yaitu bahwa bidang garapan wahyu berkaitan dengan persoalan metafisis dan masalah informasi hidup sesudah mati, sedang rasio atau intelek berkaitan dengan persoalan fisik dan kehidupan sekarang. (2) Pada aspek metode yang digunakan. Menurut Ibnu Rusyd (1126-1198 M), metode rasional burhani (demonstratif) yang digunakan pada ilmu-ilmu filosofis tidak hanya monopoli milik filsafat, tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis ilmu-ilmu keagamaan. Begitu juga premispremis primer tidak hanya dapat dihasilkan dari analisis rasional 42 43

Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 36. Majid Fakhri, Averroes His Live Works and Influence, (Oxford: One World, 2001).

Jurnal TSAQAFAH


Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

79

saja tetapi juga dapat didasarkan atas teks wahyu, sehingga hasil dari analisis keagamaan tidak kalah valid dibanding dengan ilmuilmu filosofis atau analisis rasional. (3) Pada aspek tujuan yang ingin dicapai oleh keduanya. Yaitu, bahwa wahyu dan rasio, agama, dan filsafat, sama-sama mengajak dan ingin menggapai kebenaran. Menurut Ibnu Rusyd (1126-1198 M), jika agama dan filsafat samasama mengajak dan ingin mencapai kebenaran, maka kebenaran yang satu tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang lain.44 Setelah Ibnu Rusyd (1126-1198 M), pemikiran filsafat Islam biasanya dianggap telah tamat, selesai atau berhenti, oleh sebagian kalangan, karena sudah tidak ada lagi tokoh filsafat yang muncul. Namun, yang terjadi sesungguhnya tidak demikian. Pemikiran filsafat Islam terus berkembang pesat, bahkan lebih besar, hanya dia berubah jalur dan mazhab. Jika sebelumnya pemikiran filsafat bersifat ‘mandiri’ lewat perenungan-perenungan filosofis rasional murni, tidak terkait dengan sistem-sistem pemikiran yang lain, maka pada masa ini tepatnya pasca serangan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap filsafat, pemikiran filsafat tetap berkembang dengan cara bergabung atau bersinergi dengan pemikiran tasawuf yang saat itu mulai berkembang pesat. Juga, jika sebelumnya masalah filsafat banyak didiskusikan dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat Sunni, pasca Ibnu Rusyd pemikiran filsafat banyak dikaji dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat mazhab Syiah. Sedemikian, sehingga apa yang dianggap bahwa pemikiran filsafat telah mati atau tamat sesungguhnya hanya terjadi dalam lingkungan Sunni, bukan masyakarat Islam secara keseluruhan. Kenyataannya, setelah itu lahir seorang tokoh filsuf-sufistik besar, yaitu Suhrawardi al-Maqtul (1153-1191 M) di Aleppo Syiria, yang dikenal sebagai Syaikh al-Isyrâq (Guru Besar Illuminasi) karena ajarannya tentang Illuminasi, suatu ajaran yang berusaha mensinergikan sistem berpikir rasional filosofis dengan ketajaman hati sufistik (mukâsyafah). Juga lahir Muhammad ibn Arabi (1165-1240 M) di Andalus, yang diberi gelar Muhy al-Dîn (Penghidup Agama) dan Syaikh al-Akbar (Doctor Maxcimus) karena pikiran-pikiran sufistik-filosofisnya yang luar biasa. Menurut Arthur J. Arbery (19051969 M) seorang orientalis asal Universitas Cambridge Inggris, belum 44

Uraian panjang Ibn Rusyd tentang masalah ini lihat, “Fas}l al-Maqâl”, dalam Falsafah Ibn Rusyd, (Beirut: Dâr al-Âfâq, 1978).

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


80

A. Khudori Soleh

ada tokoh sufi Muslim yang mencapai posisi seperti kedudukan Ibnu Arabi, sehingga ia dijuluki sebagai The greatest mystical genius of Arab.45 Dalam lingkungan mazhab Syiah, muncul Ibnu Hasan al-Thusi yang dikenal dengan Nasir al-Din al-Thusi (1201-1274 M), di Khurasan. Dalam bidang filsafat, tokoh ini berusaha untuk menghidupkan kembali ajaran filsafat Ibnu Sina (980-1037 M) yang tenggelam karena serangan al-Ghazali (1058-1111 M), lewat komentar-komentarnya (syarh}) atas karya-karya Ibnu Sina (980-1037 M), khususnya al-Isyârât wa al-Tanbîhât. Bersamaan dengan itu, muncul juga Qutb al-Din al-Syirazi (1236–1311 M), yang dikenal lewat dua karya besarnya, yaitu Durrat al-Tâj setebal 25.000 halaman dan Syarh} H}ikmat al-Isyrâq karya Suhrawardi (1153-1191 M). Dalam karya yang disebutkan pertama, al-Syirazi mendiskusikan tentang ilmu dan membaginya dalam dua bagian: ‘ulûm al-h}ikmah (filosofis) dan ‘ulûm ghair al-h}ikmah (non-filosofis). Menurut Osman Bakar, pemikir muslim asal Malaysia, klasifikasi ilmu yang dibuat al-Syirazi ini digunakan untuk mengangkat kembali nilai penting filsafat dalam tradisi keilmuan Islam setelah menurun akibat karena serangan alGhazali (1058-1111 M).46 Pemikiran filsafat Islam tidak berhenti di situ. Masuk abad XIV M, lahir banyak filsuf handal, seperti Ibnu Mahmud al-Amuli (w. 1385 M), komentator Ibnu Sina (980-1037 M), dan juga penulis klasifikasi ilmu yang berjudul Nafâ’is al-funûn fî ‘arâ’is al-‘uyûn; Ibnu Turkah (1369-1432 M) penulis Syarh} Qawâid al-Tauh}îd, sebuah buku yang menjelaskan doktrin tauhid dalam perspektif filosofis; Jalal alDin ibn Asad al-Dawani (1425-1503 M) yang dianggap sebagai perintis awal berdirinya the school of Isfahan yang dibangun oleh M. Baqir Astarabadi yang juga dikenal dengan nama Mir Damad (w. 1631 M).47 Terakhir adalah Shadr al-Din al-Syirazi yang dikenal dengan Mulla Sadra (1571-1640 M), pendiri Filsafat Transenden (alH}ikmah al-Muta`âliyah). Secara epistemologis, filsafat ini tidak hanya menggunakan kekuatan rasio (filsafat) dan kemampuan intuitif (sufistik) melainkan juga mendasarkan diri pada teks suci.48 45 Affifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi, Terj. Nandi Rahman, (Jakarta: Media Pratama, 1989), 1; AJ. Arbery, Sufism an Account of the Mystics of Islam, (London: Unwin Paperback, 1975), 97. 46 Osman Bakar, Hierakhi Ilmu, terj. Purwanto, (Bandung: Mizan, 1997), 299. 47 Mulyadhi Kartanegara, “Pengantar” dalam A. Khudori Soleh (Ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), viii. 48 Jalaluddin Rahmat, “Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rushd”, Jurnal Al-Hikmah, (Bandung: Edisi 10, September 1993), 78.

Jurnal TSAQAFAH


Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

81

Pada abad-abad berikutnya, pasca Mulla Sadra (1571-1640 M), para filsuf Muslim yang menggabungkan antara pemikiran filsafat dengan tasawuf terus bermunculan. Antara lain, Ahmad ibn Zayn al-Din ibn Ibrahim al-Ahsa’i (1753-1826) pendiri mazhab Shaikhi di Iran, dan Mulla Hadi Sabzavari (1797–1873), seorang filsuf, teolog sekaligus penyair. Menurut Mulyadhi Kartanegara, guru besar UIN Jakarta, melalui murid Sabzavari yang bernama Mirza Ali Akbar Yazdi (w. 1924 M), penulis buku Syarh} al-Manz}ûmah, tradisi pemikiran Islam diantar ke abad modern, karena ia adalah salah satu guru filsafat dan irfan dari Ayatullah Ali Khumaini (1902-1989 M), pencetus konsep walâyat al-faqîh dan Republic Islam Iran (1979). Sementara itu, Khumaini sendiri adalah guru dari para pemikir filsafat Islam kontemporer, seperti Murtadha Muthahhari (1920-1979 M) dan Mehdi Hairi Yadi (1923-1999 M). Selain itu, masih ada tokoh besar filsafat Islam Syiah lain seangkatan mereka, seperti Husein Thabathabi (1892-1981 M) yang menulis Tafsîr T}aba’t}abai dan M. Baqir al-Sadr (1935-1980 M), penulis buku Falsafatunâ.49

Penutup Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Pertama, bahwa pemikiran filsafat Islam tidak didasarkan atas filsafat Yunani yang masuk ke dalam tradisi keilmuan Islam lewat proses terjemahan melainkan dikembangkan dari sumber-sumber khazanah Islam sendiri karena adanya kebutuhan untuk itu. Alihalih didasarkan atas filsafat Yunani, sebaliknya justru pemikiran rasional Islam yang telah ada dan mapan sebelumnya itulah yang telah memberikan jalan bagi diterimanya filsafat Yunani dalam tradisi intelektual Islam. Meski demikian, harus diakui juga bahwa hasilhasil perterjemahan karya Yunani telah membantu perkembangan filsafat Islam menjadi lebih pesat. Kedua, bahwa grafik perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam ternyata tidak senantiasa naik dan mulus melainkan mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan menghadapi pemikiranpemikiran ‘aneh’ dan ‘menyimpang’, tapi kemudian dicurigai karena 49 Ibid., ix. Buku Falsafatuna ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama, Falsafatuna, Terj. Nur Mufid, (Bandung: Mizan, 1999).

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


82

A. Khudori Soleh

ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang balik ajaran agama Islam sendiri yang dianggap telah baku, khususnya pada masa Ibnu Hanbal (780-855 M). Setelah itu, filsafat berkembang pada masa al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M), tapi kemudian jatuh lagi karena serangan al-Ghazali (1058-1111 M); bangkit lagi pada masa Ibnu Rusyd (126-1198 M), tapi akhirnya tidak terdengar suaranya, karena filsafat berpindah jalur dan mazhab. Pasca Ibnu Rusyd, pemikiran filsafat berkembang dengan bersinergi pada kajian sufisme, terutama di tangan Suhrawardi (11531191 M) dan Ibnu Arabi (1165-1240 M). Setelah itu, kajian filsafat masih terus berkembang di kalangan akademi mazhab Syiah, bahkan sampai sekarang. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka jika pemikiran filsafat Islam dimulai pada masa al-Kindi (806-875), tepatnya penulisan buku ‘Filsafat Utama’ (al-Falsafat al-Ûlâ) yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim (833-842) dan berakhir pada masa Ibnu Rusyd (1126-1198) seperti klaim sebagian kalangan, maka pemikiran filsafat Islam berarti hanya hidup selama sekitar 350 tahun, suatu masa yang tidak lama jika dibanding dengan perjalanan Islam sendiri yang dimulai sejak turunnya wahyu pertama di masa Rasul SAW (611 M) sampai sekarang (2014) yang berarti telah berjalan selama 1400 tahun. Akan tetapi, jika dimulai sejak upaya para sahabat dan tabiin untuk memahami dan menjelaskan ajaran al-Qur’an secara rasionalfilosofis sampai sekarang, maka pemikiran filsafat Islam berarti hidup dan berkembang sepanjang perjalanan agama Islam itu sendiri. Ketiga, bahwa para tokoh filsafat Islam, mulai al-Kindi (806875 M), al-Farabi (870-950 M), sampai Ibnu Rusyd (1126-1198 M), dengan caranya masing-masing sesungguhnya senantiasa berusaha untuk menyelaraskan antara wahyu dan rasio, antara agama dan filsafat, bukan memisahkannya seperti yang sering dituduhkan oleh sebagian kalangan. Karena itu, dugaan, asumsi atau bahkan tuduhan bahwa filsafat Islam telah mengabaikan atau bahkan meninggalkan ajaran wahyu, kiranya patut dikaji ulang [.]

Jurnal TSAQAFAH


Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

83

Daftar Pustaka Abdullah, Amin. 1998. “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi llmu dan Budaya” dalam Mukti Ali dkk, Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana. Affifi. 1989. Filsafat Mistis Ibnu Arabi. Terj. Nandi Rahman. Jakarta: Media Pratama. Aqqad, Abbas Mahmud. 1988. Filsafat Pemikiran Ibnu Sina. Terj. Yudian Wahyudi. Solo: Pustaka Mantiq. Arbery, AJ. 1975. Sufism an Account of the Mystics of Islam. London: Unwin Paperback. Atiyeh, George N. 1983. Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim. Terj. Kasidjo D. Bandung, Pustaka. Bakar, Osman. 1995. Tauhid dan Sains, Terj. Yuliani L. Bandung, Pustaka Hidayah. _____. 1997. Hierakhi Ilmu. Terj. Purwanto. Bandung: Mizan. Fakhry, Madjid. 1983. a History of Islamic Philosophy. New York: Colombia University Press. _____. 2001. Averroes His Live Works and Influence. Oxford: One World. Al-Farabi. 1996. Ih}s}â ’al-Ulûm. Edited by Ali Bumulham. Mesir: Dâr al-Hilâl. Gardet, Louis. & Anawati. 1978. Falsafah al-Fikr al-Dîn, II, Terj. Prancis ke Arab oleh Subhi Saleh dan Farid Jabr. Beirut: Dâr al-‘Ulûm. Al-Ghazali. 1966. Tahâfut al-Falâsifah, Ed. Sulaiman Dunya. Mesir: Dâr al-Ma’ârif. Al-Ghurabi, Ali Musthafa. T.Th. Târîkh al-Firâq al-Islâmî. Kairo: Maktabah wa Mathba‘ah. Hasan, Hasyim. T. Th. Al-Asâs al-Manhajiyah Libina’ al-Aqidah alIslâmiyah. Kairo: Dar al-Fikr. Hasymi. 1975. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta, Bulan Bintang. Hitti, Philip K. 1986. History of the Arabs. New York, Martin Press. Ibnu Rusyd. 1978. Falsafah Ibn Rusyd. Beirut: Dâr al-Âfâq. Al-Jabiri, M. Abid. 1991. Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi. Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


84

A. Khudori Soleh

_____. 1991. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. Beirut: Markaz al-Tsaqafi al‘Arabi. Kartanegara, Mulyadhi. 2003. “Pengantar” dalam A. Khudori Soleh (Ed.), Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela. Lapidus, Ira M. 1999. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press. Leaman, Oliver. 1988. Pengantar Filsafat Islam. Terj. Amin Abdullah. Jakarta: Rajawali. Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Madkur, Ibrahim. T.Th. Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah Manhaj wa Tambîquhu, I. Mesir: Dâr al-Ma’ârif. Mahdi, Muhsin. 1992. “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam Jurnal al-Hikmah. Edisi 4, Februari. Nasr, Husain. 1986. Tiga Pemikir Islam. Terj. A. Mujahid. Bandung: Risalah. Al-Nasyar, Ali Sami. 1967. Manâhij al-Bah}ts ‘Inda Mufakkir al-Islâm. Bairut: Dâr al-Fikr. Rahman, Fazlur. 2003. Kenabian dalam Islam. Terj. Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka. Rahmat, Jalaluddin. 1993. “Hikmah Muta’âliyah, Filsafat Pasca Ibnu Rushd”, Jurnal Al-Hikmah. Edisi 10, September. Sabra. 1992. “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam Jurnal al-Hikmah. Edisi 6, Oktober. Soleh, A. Khudori. 2009. Skeptisme al-Ghazali. Malang: UIN Press. _____. 2010. Integrasi Agama dan Filsafat Pemikiran Epistemologi alFarabi. Malang: UIN Press. Steenbrink, Karel A. 1985. Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia: Beberapa Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad 19. Semarang: LP3M IAIN Walisongo Semarang. Syarif, MM. 1996. Para Filosof Muslim. Terj. A Muslim. Bandung: Mizan. Watta, Montgmery. 1987. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Terj. Umar Basalim. Jakarta: P3M.

Jurnal TSAQAFAH


‘Transmigrasi Ilmu’: Dari Dunia Islam ke Eropa Syamsuddin Arif* International Islamic University Malaysia. Kuala Lumpur Email: tagesauge@yahoo.com

Abstract It has been a sad fact that whilst the ancient Greco-Roman civilization and the so-called Renaissance have always received high praise, the period in between, popularly known as the Dark Ages, is highly obscured or just ignored. These intermediating centuries are the missing link in the history of science and civilization, when most decisive scientific inventions were made, and the foundations of modern civilisation were laid, with scholarly, literary and scientific works in their thousands, artistic creativity, great architecture, huge libraries, hospitals, universities, mapping of the world, the discovery of the sky and its secrets, and much more. It was the time when al-Biruni, al-Khwarizmi, alIdrisi, al-Razi, Ibn Sina, Ibn al-Haytham, al-Ghazali, al-Jazari and other Muslim luminaries shone on the Dark Ages. This article aims to highlight the fact that the modern Western civilization owes much to the Muslims, who did not only inherit and preserve the ancient learning but modified and developed it. It is the Muslim legacy that paved the way for the revival and enlightenment of Europe in the 15th and subsequent centuries.

Keywords: transmigrasi, dark age, sundial, bayt al-hikmah, al-qanun fi altibb

Pendahuluan

H

ampir setiap orang kenal – meski hanya lewat buku pelajaran di sekolah - siapa Robert Boyle (1691), Isaac Newton (1727) atau Charles Darwin (1882). Mereka adalah saintis-saintis

* Dept. of General Studies KIRKHS International-Islamic University Malaysia. Telp. 60166005916

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


200 Syamsuddin Arif asal England yang namanya cukup akrab di telinga kita. Tetapi coba kita perhatikan angka-angka yang menunjuk tahun kematian mereka, niscaya timbul pertanyaan: Apakah yang dikerjakan oleh orang-orang Inggris sebelum tahun 1600? Apakah penduduk Britania sebelum abad itu tahunya cuma berburu dan berkelahi seperti halnya bangsa-bangsa barbariklain di Eropa? Dalam sepucuk surat yang ditulisnya untuk Robert Hooke sahabat karibnya, Newton sempat menyadari bahwa “ If I have seen further, it is by standing on [the] shoulders of giants. Jika aku dapat melihat lebih jauh maka hal itu lantaran aku berdiri di atas pundak para raksasa.” 1 Pernyataan ini patut mengingatkan kita bahwa saintis tidak muncul tiba-tiba dari langit biru. Para saintis belajar dari apa yang diwariskan oleh para pendahulunya. Mereka mewarisi para ilmuwan terdahulu. Kalau sebelum Newton ada Galileo Galilei (1642) dari Italia dan Nicolas Copernicus (1543) asal Polandia, dua tokoh yang kerap disebut sebagai pelopor sains modern, maka patut ditanya siapakah saintis-saintis yang giat menggarap penelitian, melakukan temuantemuan dan terobosan kreatif-inovatif pada abad-abad sebelumnya? Sedikit sekali di antara kita yang tahu ternyata Kepler dan Copernicus itu terinspirasi oleh al-Battani yang kitabnya diterjemahkan ke bahasa Latin dengan judul De scientia stellarum.2 Jawaban yang kerap kita dengar umumnya terkesan naïf dan distortif: bangsa Eropa memang sudah hebat ‘dari sononya’ –bermula sejak zaman Yunani kuno hingga runtuhnya imperium Romawi pada abad ke-5 Masehi diteruskan dengan ‘tidur panjang’ ratusan tahun lamanya sampai terbitnya cahaya Islam mengakhiri apa yang mereka sebut sebagai Zaman Kegelapan. Soal adanya ‘mata-rantai yang hilang’ dalam rentetan sejarah keilmuan yang mencakup filsafat, sains, dan teknologi ini belakangan mulai banyak disadari. Hal ini 1 Derek Gjertsen, The Newton Handbook (London: Routledge & Kegan Paul, 1986), h. 231-2. Mirip dengan pernyataan Bernard de Charters: “Nos esse quasi nanos gigantium humeris insidientes” (Kami/kita ini tak ubahnya ibarat cebol yang duduk di punggung para raksasa). 2 Kitab beliau yang berjudul az-Zîj telah diterjemahkan dua kali, oleh Robertus Retinensis (alias Ketenensis, Castrensis, atau Cataneus), dan Plato Tivoli, yang edisi perdananya dicetak di Nuremberg, Jerman pada 1537 bersama kitab al-Farghânî dengan judul: Rudimenta astronomica Alfragrani. Item Albategnius peritissimus de motu stellarum ex observationibus tum propriis tum Ptolemaei; dan edisi kedua (Bologna, Italia 1645), tanpakarya al-Farghânî, berjudul Mahometis Albatenii de scientia stellarum liber cum aliquot additionibus Ioannis Regiomontani.Lihat Willy Hartner, “al-Battânî,” artikel dalam Dictionary of Scientific Biography, jilid 1, h. 507-16.

Jurnal TSAQAFAH


‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa

201

telah ditegaskan antara lain oleh Michael H. Morgan: “Most Westerners have been taught that the greatness of the West has its intellectual roots in Greece and Rome, and that after the thousand-year sleep of the Dark Ages, Europe miraculously reawakened to its Greco-Roman roots.” 3 Tetapi pada saat yang sama terdapat upaya untuk menenggelamkan fakta sejarah ini oleh segelintir orang seperti Sylvain Gouguenheim yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu.

Dari Alexandria ke Baghdad Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa warisan intelektual Yunani kuno dalam pelbagai cabang ilmu telah dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang Islam. Seiring dengan sukses mereka menyebarkan Islam ke seluruh jazirah Arabia, Afrika Utara (Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Marokko), Syria, Palestina, Mesopotamia (Irak), Persia (Iran), Transoxiana (Asia Tengah), semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal) dan terakhir India, kaum Muslim terdorong mempelajari dan memahami tradisi intelektual negerinegeri yang ditaklukkannya. Mulailah diterjemahkan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syria. Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya Daulat ‘Abbâsiyyah di Baghdad. Seperti dinasti sebelumnya, penguasa ‘Abbasiyah banyak merekrut kaum terpelajar setempat sebagai pegawai dan staf ahli. Sebutlah, misalnya, Ibn al-Muqaffa‘ (w. 759 M) dan Yahyâ ibn Khâlid ibn Barmak (w. 803 M), cendekiawan dan politisi keturunan Persia yang diangkat jadi menteri pada masa itu. Lalu pada zaman pemerintahan Khalifah al-Ma’mûn (w. 833 M) digaraplah proyek penerjemahan, riset dan pengembangan secara massif. Ia mendirikan sebuah research centre dan perpustakaan yang dinamakan Bayt al-Hikmah. Di antara mereka yang aktif sebagai penerjemah dan peneliti tersebutlah nama-nama semisal Hunayn ibn Ishâq dan anaknya Ishâq ibn Hunayn, Abu Bishr Mattâ ibn Yûnus, dan Yahyâ ibn ‘Adî. Di akhir abad ke-9 M, hampir seluruh korpus saintifik Yunani telah berhasil dialihbahasakan ke Arab, 3 Michael Hamilton Morgan, Lost History: The Enduring Legacy of Muslim Scientists, Thinkers, and Artists (Washington, D.C.: National Geographic Press, 2007), h. Xv.

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


202 Syamsuddin Arif meliputi pelbagai bidang ilmu, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi dan kimia.4 Maka tak lama kemudian muncullah Jâbir ibn Hayyân (w. 815 M), pakar kimia terkenal, al-Kindî (w. 873), ahli filsafat dan matematika, Abu Ma‘syar (w. 886 M), ilmuwan astronomi, al-Khwârizmî (w. 863 M), pelopor matematika modern, Ibn Sîna (w. 1037 M) begawan metafisika dan kedokteran, Ibn al-Haytsam (w. 1040 M) ahli fisika, al-Bîrûnî (w. 1048 M), peletak antropologi modern, alIdrîsî (w. 1150 M) pakar geografi, dan masih banyak sejumlah nama besar lainnya.5 Kegemilangan ilmiah ini berlangsung selama beberapa ratus tahun, ditandai dengan produktivitas yang tinggi dan orisinalitas yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, al-Battânî (w. 929 M) telah mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemeus, mendesain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur mural quadrant.6 Kritik terhadap Ptolemeus juga dikemukakan oleh 4 Lihat Ibn an-Nadîm, Kitâb al-Fihrist, ed. G. Flügel, 2 jilid (Leipzig: F.C.W. Vogel, 1871), 1: 248-51; Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, trans. E. and J. Marmorstein (London: Routledge, 1965); F.E. Peters, Aristoteles Arabus (Leiden: E.J. Brill, 1968); dan Dimitri Gutas, Greek Thought in Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd-4th / 8th-10th Centuries) (London: Routledge, 1998). Fenomena ini diulas oleh Max Meyerhoff, “Von Alexandrien nach Baghdad.Ein Beitrag zur Geschichte des philosophischen und medizinischen Unterrichts bei den Arabern, “Sitzungs- berichte der Preussischen Akademie der Wissenschaften. Philosophisch-historische Klasse(1930): 389-429. Cf. “ bersetzung in und zwischen den Kulturen: Der Vordere Orient im Altertum und Mittelalter,” dalam bersetzung: ein internationales Handbuch der bersetzungsforschung, ed. Harald Kittel (Berlin: de Gruyter, 2007), jilid 2, khususnya h. 1194-1230. 5 Uraian mengenai pencapaian dan sumbangsih kaum Muslim dalam pelbagai cabang ilmu secara spesifik dapat dilihat dalam The Encyclopedy of the History of Arabic Science, ed. Roshdi Rashed, 3 jilid (London: Routledge, 1996); The Legacy of Islam, ed. T. Arnold dan A. Guillaume (London: Oxford University Press, 1931; edisi kedua oleh J. Schacht dan C.E. Bosworth, Oxford: The Clarendon Press, 1974); S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: The Islamic Text Society, 1987; cet. pertama Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968); Eilhard Wiedemann, Aufs tze zur arabischen Wissenschaftgeschichte, ed. W. Fischer, 2 jilid (New York: George Olm Verlag, 1970); Edward S. Kennedy, Studies in the Islamic Exact Sciences (Beirut: American University of Beirut, 1983); J.L. Berggren, Episodes in the Mathematics of Medieval Islam (New York: Springer, 1986); David King, Islamic Mathematical Astronomy (London: Variorum, 1986); A.E. Sabra, The Optics of Ibn alHaytham: Books I-III on Direct Vision, 2 jilid (London: The Warburg Institute, 1989); Manfred Ullmann, Islamic Medicine (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1978). 6 Willy Hartner, “al-Battânî, ” artikel dalam Dictionary of Scientific Biography, jilid 1, h. 507-16.

Jurnal TSAQAFAH


‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa

203

Ibn Rusyd (w. 1198 M) dan al-Bitrûjî (w. 1190 M).7 Dalam bidang fisika, Ibn Bâjjah (w. 1138) mengantisipasi Galileo dengan kritiknya terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan percepatan. 8 Demikian pula dalam bidang-bidang saintifik lainnya. Bahkan dalam hal teknologi, pada sekitar tahun 800an M di Andalusia, Ibn Firnas telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat oleh Roger Bacon (w. 1292 M) dan belakangan diperkenalkan oleh Leonardo da Vinci (w. 1519 M).

Dari Arab ke Latin Proses yang sama terjadi di Eropa pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi. Karya-karya ilmuwan Muslim dalam pelbagai bidang telah diterjemahkan secara massif ke dalam bahasa Latin, yang hingga abad ke-18 merupakan lingua franca sekaligus bahasa agama dan ilmu pengetahuan. Bermula dari Perang Salib yang berlangsung antara 1096 hingga 1192 Masehi dan Reconquista (perebutan kembali Andalusia oleh orang Kristen) yang terjadi antara tahun 790 hingga 1300 Masehi. Hubungan diplomatik dan konflik militer ini dibarengi dengan kontak intelektual dan kultural antara orang Eropa yang waktu itu masih terbelakang dan biadab dengan orang-orang Islam yang hidup makmur, terpelajar dan cemerlang di segala bidang ilmu pengetahuan. Tak heran jika kemudian orang-orang Eropa merasa perlu mempelajari buku-buku ilmiah yang ditulis oleh orang Islam. Seperti kata Edward Grant, mereka tidak punya pilihan lain kecuali menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa yang mereka pahami, yaitu Latin. Sebab, kalau tidak, niscaya mereka bakal terus-menerus berada di dalam jurang kebodohan: “Latin scholars in the 12th century recognized that all civilizations were not equal. They were painfully aware that with respect to science and natural philosophy, their civilization was manifestly inferior to that of Islam. They faced an obvious choice: learn from their superiors or remain inferior forever. They chose to learn and launched a massive effort to translate as many Arabic texts into Latin as was feasible. Had they assumed that all cultures were equal, or that theirs was superior, they would have had no reason to seek out Arab 7 Lihat A.E. Sabra, “The Andalusian Revolt against Ptolemaic Astronomy: Averroes and al-Bitrûjî,” dalam Transformation and Tradition in Sciences: Essays in Honor of I. Bernard Cohen, ed. Everett Mendelsohn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), h. 133-53. 8 Lihat Ernest A. Moody, “Galileo and Avempace: The Dynamics of the Leaning Tower Experiment,” dalam Journal of the History of Ideas 12 (1951): 163-93 dan 375-422.

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


204 Syamsuddin Arif learning and the glorious scientific history that followed might not have occurred.”9

Kasus cukup menarik bisa kita lihat pada Adelard Bath (hidup antara 1080-1150 M), yang kini dijuluki ‘ilmuwan pertama Inggris’ (the first English scientist) jauh sebelum Boyle dan Newton. Adelard lahir dan dibesarkan pada zaman di mana kaum bangsawan Inggris memperoleh pendidikan dan pengajaran dari guru-guru privat alias tutor, kalau bukan dari sekolah-sekolah yang ber-afiliasi ke gereja setempat. Itu pun paling tinggi hanya sampai tingkat menengah. Adapun untuk tingkat yang lebih tinggi, maka mereka harus merantau ke Paris, Roma, Toledo atau bahkan Timur Tengah. Tak terkecuali Adelard. Dikisahkan bahwa ia membawa serta murid-muridnya untuk melanjutkan pelajaran mereka di Laon, sebuah kota kecil di timurlaut Paris yang dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan tinggi waktu itu. Ia sendiri kemudian pergi mengembara sampai ke Antioch (Syria), Tarsus (Turki) dan Sicily (Italia), yang hingga tahun 1072 masih termasuk wilayah Islam, dalam rangka menimba ‘ilmu orangorang Arab’ (studia Arabum). Ketika tujuh tahun kemudian Adelard pulang ke England dan bertemu lagi dengan mantan muridnya tamatan dari Laon, ia menyimpulkan, dibandingkan dengan ilmu orang Arab, maka ilmu orang Perancis itu ketinggalan jauh, beku dan menjadikan otak tumpul. “Satu pelajaran penting yang kudapat dari guru-guruku orang Arab: jadikan akal sebagai pemandu. … Apa gunanya kita punya otak, kalau tidak bisa berpikir sendiri?! (I have learned one thing from my Arab masters: with reason as guide. … So what is the point of having a brain, if one does not think for oneself?),” tukasnya.10 Dan ternyata, Adelard bukan satu-satunya orang yang menilai kaum Muslim saat itu lebih maju dan lebih tinggi peradabannya. Peter Abelard, teolog masyhur yang hidup sezaman dengannya pun berkesimpulan yang sama. Baginya, Islam itu identik dengan 9 Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), h. 206. 10 "… a magistris Arabicis ratione duce didici”, seperti dikutip Jean Jolivet, “The Arabic Inheritance,” dalam A History of Twelfth-Century Western Philosophy, ed. P. Dronke (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), h. 113. Cf. Adelard of Bath.Conversations with his Nephew. On the Same and the Different, Questions on Natural Sciences and On Birds, ed. Charles Burnett et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).

Jurnal TSAQAFAH


‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa

205

rasionalitas dan toleransi.11 Maka ketika ditekan lantaran kasus hubungan gelapnya dengan puteri seorang petinggi gereja, ia pun sempat mengancam akan pindah agama atau kabur ke negeri orang Islam yang dikenal berpikiran terbuka lagi toleran. Mirip dengan kasus Henry II, raja England, beberapa tahun sesudahnya (yaitu pada 1168), yang juga mengancam akan masuk agama Sultan Nuruddin Zangi, penguasa Aleppo, jika Paus di Roma enggan mencopot Thomas Becket dari jabatan Kepala Uskup (Archbishop) England waktu itu. Menyadari betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi setiap masyarakat yang ingin maju, kaum terpelajar seperti Adelard pun berinisiatif melakukan penerjemahan, baik perorangan maupun kelompok. Ia sendiri mengalih-bahasakan karya geometri Euclid dan tabel astronomi al-Khwarizmi dari Arab ke Latin.12 Diriwayatkan bahwa Gerbert Aurillac (945-1003) yang belakangan menjadi Paus (Sylvester II), sempat mengembara ke wilayah utara Spanyol untuk belajar matematika, astronomi dan cara-cara menggunakan astrolabe yang dibuat kaum Muslim.13 Kemudian, masih di abad yang sama, seorang intelektual yang hanya dikenal sebagai Constantinus dari Carthago, Afrika Utara, telah memboyong buku-buku berbahasa Arab karya Hunayn ibn Ishaq, ‘Ali ibn ‘Abbas dan Ibn al-Jazzar dalam bidang kedokteran untuk diterjemahkannya ke dalam bahasa Latin. Namun, proyek penerjemahan secara besar-besaran dan lebih terencana dikerjakan di Toledo, sebuah kota kecil di wilayah tengah Spanyol. Di sana Dominicus Gundisalvi, ketua gereja setempat yang hidup sampai tahun 1190, bersama cendekiawan Gerard de Cremona (1114-1187) memenerjemahkan kitab-kitab rujukan penting ke bahasa Latin tentang psikologi, metafisika, logika, geometri, fisika, astronomi dan kedokteran. Selain mereka juga aktif 11 Lihat Jean Jolivet, “L’Islam et la raison, d’après quelques auteurs latins des XIe et XIIe siècles,” dalam L’art des confins. Mélanges Maurice de Gandillac (Paris, 1987), h. 153-65. 12 Judulnya: Euclidis elementa ex Arabico in Latinum translata par Adelardum Goth. Bathoniensem sub commento mag. Campani Novariensis (tersimpan di Glasgow, HaenelCol. 786);Euclidis Elementorum artis geometriae per Adelardum Bathoniensem ex Arabica lingua in Latinam translatae propositiones, nebst der Institutio artis geometriae ab Euclide descripta XV libros continens, per Adelardum Bathoniensem ex Arabico in Latinum sermonem translata. Cf. Marshall Clagett, “The Medieval Latin Translations from Arabic of the Elements of Euclid, with Special Emphasis on the Versions of Adelard of Bath,” dalam jurnal Isis 44 (1953), h. 16-42. 13 David C. Lindberg, “The Transmission of Greek and Arabic Learning to the West,” dalam Science in the Middle Ages, ed. David C. Lindberg (Chicago: The University of Chicago Press, 1978), h. 61-2.

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


206 Syamsuddin Arif sejumlah pakar seperti Abraham ibn Dawud (Avendauth), John dari Seville, Hermannus Alemannus dari Carinthia, Alfred Shareshill, dan Michael Scot. Pengalih-bahasaan ini didorong oleh sejumlah faktor, antara lain semangat memburu ilmu para pelakunya, permintaan dari golongan terpelajar dari kalangan gereja maupun istana, di samping anjuran para pemuka agama Kristen agar masyarakat disuguhi bahan bacaan berbahasa Latin sebagai pengganti literatur Arab. Gerakan penerjemahan ini belakangan diperkuat dengan keikutsertaan John Salisbury, Robert Ketton, Peter Alphonsi dan banyak lagi pada abad selanjutnya.14 Secara kronologis tampak bahwa proses penerjemahan dari Arab ke Latin itu terjadi secara bertahap dalam kurun waktu 400 ratus tahun lamanya. Pada mulanya (sekitar tahun 1150 M.), bukubuku yang diterjemahkan masih seputar filsafat, kosmologi dan psikologi karya al-Kindi, al-Farabi, Ikhwan as-Shafa’ dan terutama Ibn Sina. Pada babak berikutnya (sekitar 1250 M) keinginan untuk memahami pemikiran Aristoteles telah mendorong penerjemahan karya-karya Ibnu Rusyd baik berupa ringkasan maupun komentar panjang dan menengahnya. Cendekiawan Yahudi turut berperan dalam gerakan ini, di mana mereka berinisiatif menulis komentar tersendiri. Maka pada tahap sesudahnya (sekitar 1450 M), tatkala kaum intelektual Eropa sedang gandrung kepada teks klasik, orangorang Yahudi menjadi sumber rujukan dan banyak menolong mereka menerjemahkan ulang kitab-kitab Ibn Sina, al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Kemudian pada awal abad keenam belas (sekitar 1520 Masehi), karya-karya lainnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin seperti al-Risa> l ah al-Syamsiyyah karya al-Qazwini dan kitab Ta‘li> m alMuta‘allim karya az-Zarnuji. 15 Di abad-abad berikutnya hingga 14 Lihat Ferdinand Wüstenfeld, Die bersetzungen arabischer Werke in das Lateinische seit dem XI. Jahrhundert (G ttingen: Dieterich’sche, 1877); Moritz Steinschneider, Die europ ische bersetzungen aus dem Arabischen bis Mitte des 17. Jahrhundert (Vienna: Graz, 1956); Marie-Thérèse d’Alverny, La transmission de textes philosophiques et scientifiques au Moyen Age (Aldershot: Ashgate, 1994); C.Burnett, “The Coherence of the Arabic-Latin Translation Program in Toledo in the Twelfth Century”, Science in Context, 14(2001): hlm. 249-58; idem, “The Second Revelation of Arabic Philosophy and Science: 1492–1575,”dalam Islam and the Italian Renaissance, ed. C. Burnett dan A. Contadini (London: The Warburg Institute, 1999), h. 185-98. 15 Telah dua kali diterjemahkan: oleh Friderico Rostgaard dan Abraham Ecchellensis, ed. Hadrianus Relandus, dengan judul: Enchiridion Studiosi, Arabice conscriptum a Borhaneddino Alzernouchi (Trajecti ad Rhenum, apud Gulielmum Broedelet, MDCCIX [1709]); dan oleh

Jurnal TSAQAFAH


‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa

207

zaman sekarang pun penerjemahan masih terus dilakukan, bukan ke dalam bahasa Latin tentunya, melainkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa yang lain sebagaimana kita ketahui. a. Periode Awal Adalah Constantinus Aphricanus yang tercatat sebagai pelopor. Selain menguasai beberapa bahasa, Constantinus berjasa memboyong puluhan buku-buku ilmiah dari wilayah Islam ke Eropa untuk kemudian diterjemahkannya sendiri ke dalam bahasa Latin. Robert Guiscard, yang pada tahun 1075 menjadi penguasa di Salerno, mengangkat Constantinus sebagai juru tulisnya. Namun tak lama, karena kedengkian sebagian orang di sana, Constantinus akhirnya memutuskan untuk pergi ke Monte Cassino dan mengasingkan diri sebagai biarawan Ordo Benedictine sampai meninggal pada tahun 1085. Buku-buku yang ia alihbahasakan termasuk: Liber regius(=Liber completus artis medicae qui dicitur regalis dispositio dalam versi Stephanus) karya ‘Ali ibn ‘Abbas (w. 994 M), yang aslinya berjudul Ka>mil al-Sina>‘ah al-T}ibbiyyah dan naskahnya masih tersimpan di Basel (edisi 1539); Himpunan kata-kata Hippocrates berikut penjelasan Galen yang diberi judul Hippocratis Aphorismorum liber cum Galeni commentario; dan kitab kedokteran Abu Bakr ar-Razi yang diterjemahkan menjadi Abubecri filii Zachariae Rhasis Divisionum liber (tersimpan di Oxford Coxe Pars II. Colleg. St. Joh. Bapt. No. 85). Demikian pula Gerard dari Cremona, yang dijuluki ‘Tuan Guru’ (doctus magister) di Toledo, telah menerjemahkan dari bahasa Arab ke Latin tak kurang dari tujuh-puluh buku. Termasuk di antaranya buku Analytica Posteriora, Physica, Meteorologia dan De Generationeet Corruptione karya Aristoteles, empat risalah karya al-Kindi, satu risalah Ikhwan as-Shafa dan kitab Ihs}a>’ al-‘Ulu>m karya al-Farabi.16 Pada saat yang sama kitab al-Syifa>’ karya Ibn Sina juga diterjemahkan oleh tim pakar terdiri dari Abraham ibn Dawud alias Avendauth, Carolus Caspari, dengan judul: Borhan-ed-dini es-Sernudji Enchiridion Studiosi, ad fidem editionis Relandianae nec non trium codd. Lips.Et duorum Berolin. denuo arabice edidit, latine vertit … textum et scholia vocalibus instruxit et lexico explanavit Carolus Caspari, praefatus est Henricus- Orthobius Fleischer (Lipsiae [Leipzig], 1838). 16 Dengan judul: el-Farabi de divisione philosophiae, tersimpan dalam Oxford Catalog. Mss. Angl. Tom. I. Pars I. hlm.81 No. 1677; hlm.140 No. 2590; hlm. 285 No. 6341; Pars II., h. 50 No. 1553.

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


208 Syamsuddin Arif Dominicus Gundissalinus (1161-1181) dan Johanes Hispanus. 17 Mereka juga mengalihbahasakan kitab Maqa> s} i d al-Fala> s ifah dan kitab Taha>fut al-Fala>sifah karya Imam al-Ghazali ke dalam bahasa Latin, kitab al-Kala>m fi Mah}dh al-Khair yang merupakan petikan 20 proposisi teologi Proclus dalam versi Arab, dilatinkan menjadi Liber de causis. Sebagian dari karya-karya ini lalu dijadikan bahan perkuliahan di universitas Oxford pada abad ke-12, yang salah seorang pentolannya Alfred dari Shareshill, kemudian menerjemahkan karya Nicholas dari Damaskus mengenai tanaman (De plantis) serta bagian mineralogi dan geologi dari kitab al-Syifa>’ karya Ibn Sina.18 b. Periode kedua Penerjemahan kitab al-Syifa>’ yang terdiri dari ribuan halaman karya Ibn Sina itu berlanjut di abad ke-13. Kitab al-H}aya>wan (zoologi) karya Aristoteles dilatinkan oleh Michael Scot (w. tahun 1236), sementara kitab ilmu-ilmu alamnya (yang belum semuanya digarap oleh penerjemah sebelumnya) yang dialihbahasakan ke Latin adalah kitab fi al-Sama>’ (De caelo), al-Kawn wa al-Fasad (De generatione et corruptione), al-Af‘a>l wa al-Infi‘a>la>t (De actionibus et passionibus), dan al-Ajra>m wa al-Atsa> r al-‘Ulwiyyah (Meteorologia) oleh Juan Gonsalvez atas permintaan Gonsalvez Garc a de Gudiel, Uskup Burgos (1275-1280) berdasarkan manuskrip tunggal yang tersimpan di gereja Toledo. Namun, hasil terjemahan itu jarang dibaca. Barangkali karena karya-karya tersebut sukar dipahami apa adanya. Itu sebabnya mengapa orang Eropa kemudian menerjemahkan buku-buku Ibn Rusyd yang dalam pelbagai ukuran memberikan penjelasan, ulasan ataupun ringkasan terhadap semua karya Aristoteles. Michael Scot, yang pergi meninggalkan Toledoke Sicily, Italia untuk mengabdi kepada raja Frederick II, melatinkan sejumlah komentar panjang Ibn Rusyd atas karya Aristoteles mengenai kosmologi, psikologi, fisika, dan metafisika. 17

Misalnya: Avicennae Metaphysicorum libri decem interprete Dominico Gondisalvo, Archidiacono Tholet. de arabico in latinum (tersimpan di Paris MS Cod. 6443,1.16097 dan dicetak di Venezia dengan judulAvicennae Metaphysica sive ejus prima philosophia (Venet. 1493). 18 Untuk ulasan detil karya-karya Ibn Sina dalam bahasa Latin, lihat Marie-Thèrese d’Alverny, “Notes sur les traductions médiévales d’Avicenne,” dalam Archives d’histoiredoctrinale et littéraire du moyen age 27 (1952): 337-358 danAvicenne en Occident(Paris: Vrin 1993).

Jurnal TSAQAFAH


‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa

209

Sementara itu pakar lainnya yang juga bekerja di istana itu, yakni Theodore dari Antioch, menerjemahkan bagian pendahuluan (Proemium)yang ditulis Ibn Rusyd untuk buku fisika Aristoteles, manakala William Luna mengalihbahasakan komentar menengah Ibn Rusyd atas buku Categoria dan Peri Hermeneias karya Aristoteles serta buku Isagogekarya Porphyrius. Komentar Ibn Rusyd lainnya atas buku Rhetorika, Poetica dan Ethica Aristoteles digarap terjemahannya oleh Hermannus Alemannus sekitar tahun 1256. Karyakarya Ibn Rusyd ini tersebar luas di kalangan akademisi dan intelektual di pusat-pusat pembelajaran tingkat tinggi di Eropa.Begitu kuat dirasakan pengaruhnya sehingga rektor universitas Paris waktu itu, tienne Tempier, yang juga merangkap ketua gereja lantas menerbitkan ‘fatwa sesat’(condemnation) pada tahun 1277.19 c. Periode Ketiga Pada masa ini yang banyak berperan sebagai penerjemah adalah para cendekiawan Yahudi. Mungkin karena kaum terpelajar Kristen ketika itu untuk sementara waktu ‘tiarap’ akibat ‘fatwa sesat’ yang dilontarkan oleh Etienne Tempier. Namun demikian, aktivitas penerjemahan terus berjalan. Hal ini diperlihatkan misalnya oleh Calonymus ben Calonymus ben Meir, intelektual Yahudi yang menerjemahkan kitab Taha>fut al-Taha>fut karya Ibn Rusyd untuk memenuhi permintaan Robert Anjou, raja Napoli. Tetapi yang lebih menarik lagi, mulai akhir abad ke-13 dan setelahnya, kebanyakan terjemahan ke bahasa Latin dibuat melalui bahasa Ibrani, dan bukan langsung dari versi Arabnya. Sekurang-kurangnya terdapat 38 karya Ibn Rusyd yang tersimpan, diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani ataupun disalin menggunakan aksara Ibrani (bukan Arab atau Romawi). Tersebutlah Jacob Anatoli dan, pada kurun selanjutnya, Moses ibn Tibbon, Levi ben Gerson (alias Gersonides), ShemTov ibn Falaquera dan Moses Narbonsis yang masing-masing mempunyai andil menyediakan versi Latin dari karya-karya Ibn Rusyd. 19 Lihat John F. Wippel, “The Condemnations of 1270 and 1277 at Paris,” The Journal of Medieval and Renaissance Studies 7 (1977), 169-201; Alain de Libera, “Philosophie et censure. Remarques sur la crise universitaire parisienne de 1270-1277,” dalam Was ist Philosophie im Mittelalter? ed. Jan A. Aertsen dan Andreas Speer(Berlin: Walter de Gruyter, 1998), h. 71-89 dan Nach der Verurteilung von 1277. Philosophie und Theologie an der Universit t von Paris im letzen Viertel des 13.Jahrhunderts. Studien und Texte, ed. Jan A. Aertsen et al.(Berlin: Walter de Gruyter, 2001).

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


210 Syamsuddin Arif Mereka semua inilah yang memuluskan jalan bagi para cendekiawan Renaissance yang haus ilmu semacam Pico della Mirandola, Kardinal Domenico Grimani dan Paus Leo X. Tokohtokoh ini mensponsori penerjemahan karya-karya Ibn Rusyd oleh: (1) Elias del Medigo (komentar menengah atas Meteorologi I-II, masalah-masalah berkenaan Analytica Priora, pengantar buku Lambda dari Metafisika, komentar menengah atas Metafisika I-VII dan komentar menengah atas Republica Plato); (2) Paulus Israelita (komentar menengah atas de Caelo); (3) Abram de Balmes (ringkasan dari Organon, komentar menengah atas Topica, Sophistica, Rhetorica dan Poetica, komentar panjang atas Analytica Posteriora, dan satu risalah Ibn Bajjah; (4) Johannes Burana (ringkasan dan komentar menengah atas Analytica Priora dan Analytica Posteriora; (5) Vitalis Nissus (ringkasan Degeneratione et corruptione); dan (6) terutama Jacob Mantinus (w. 1549). Jacobus Mantinus yang berasal dari Tortosa ini diberi tugas oleh Girolamo Bagolino, Romolo Fabi dan Marco degli Oddi, tiga orang penggarap proyek ambisius penyuntingan seluruh karya Aristoteles lengkap dengan komentar Ibn Rusyd (dan akhirnya berhasil juga diterbitkan oleh Tommaso Giunta di Venizia pada tahun 1550-1552), untuk merevisi semua terjemahan karya Ibn Rusyd. Namun sayangnya, tatkala ia selesai melatinkan ulang sepuluh karya besar Ibn Rusyd, termasuk komentar atas ‘Republica’ Plato, Jacobus meninggal dalam perjalanan ke Damaskus pada 1549. Itulah sebabnya dalam edisi tersebut dicetak kedua versi lama dan baru sebagaimana bisa kita lihat sampai sekarang. d. Periode Keempat Memasuki abad ke-16 orang-orang Eropa tak surut minatnya untuk mempelajari khazanah keilmuan Islam. Sebuah buku tatabahasa Arab beserta kamusnya karya Pedro Alcalà terbit pada tahun 1505 di Spanyol. Seorang ilmuwan Muslim yang diculik dan diberi nama baru ‘Leo Africanus’ oleh Paus Leo X, (disuruh) menghimpun data bibliografi karya ilmiah yang ditulis orang Islam semenjak tahun 1518. Pemburuan dan pengumpulan manuskrip semakin gencar dilakukan. Naskah Arab dari Ennead IV-VI yang bertajuk Us}u>lujiya Arist}at}alis dari Damaskus, berikut versi Latinnya oleh Moses Arovas dan Pier Nicolas Castellani diterbitkan di Roma pada tahun 1519. Masih di Damaskus, Andrea Alpago merevisi terjemahan kitab al-

Jurnal TSAQAFAH


‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa

211

Qa> n u> n fi al-T{ i bb karya Ibn Sina dan menerbitkan dua risalah psikologi Ibn Sina yang lain. Kemudian pada tahun 1584 di Roma, Giovan Battista Raimondi berkat dukungan para Medici telah mendirikan percetakan Arab. Kajian Islam semakin marak dengan diangkatnya Guillaume Postel sebagai guru besar bahasa Arab di Paris pada 1535, Thomas Erpenius di Leiden pada tahun 1613. Adapun di Oxford, Edward Pococke menerbitkan karyanya yang berjudul Specimen historiae Arabumdan menerjemahkan novel filsafat Ibn Tufayl (w. 1185), H}ayy ibn Yaqz}a>n, yang konon menjadi sumber inspirasi bagi penulis Robinson Crusoe.20

Penutup Tak bisa dipungkiri fakta terjadinya pertukaran, peminjaman dan saling mempengaruhi ketika dua bangsa, masyarakat atau peradaban berhubungan satu sama lain. Tidak ada peradaban yang berdiri sendiri ataupun menjiplak seratus persen peradaban lain. Sejatinya, setiap peradaban memiliki ciri-ciri khas, elemen-elemen unik yang mungkin tidak terdapat ataupun tidak berkembang dalam peradaban lain. Tetapi bisa dipastikan juga terdapat unsurunsur yang dipetik, diambil atau ditiru dari peradaban lain yang telah ada sebelumnya dan disekitarnya. Inilah yang dinamakan dengan teori ‘interdependence’ (bukan ‘total dependence’ dan bukan pula ‘absolute interdependence’. Sebagaimana orang-orang Yunani kuno berhutang budi kepada orang Mesir dan Babilonia, begitu juga orang-orang Barat (Eropa) berhutang budi kepada orang Islam.[]

20 Roman Hayy ibn Yaqzan mulanya diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani (Hebrew) pada 1349 oleh Moses Narbonsis, kemudian dari Ibrani ke Latin oleh Pico della Mirandola, dan langsung dari Arabnya ke Latin oleh Edward Pococke pada 1671. Versi Inggrisnya oleh George Keith terbit tahun 1674, sementara Robinson Crusoeoleh Daniel Defoe terbit 1719. Lihat G.A. Russel, “The Impact of the Philosophus Autodidactus: Pocockes, John Locke and the Society of Friends,” dalam The ‘Arabick’ Interest of the Natural Philosophers in Seventeenth-Century England, ed. G.A. Russell (Leiden: Brill, 1994), h. 224-65; juga Lawrence I. Conrad, (ed), The World of Ibn Tufayl: Interdisciplinary Perspectives on Hayy ibn Yaqzan, (Leiden: Brill, 1996).

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


212 Syamsuddin Arif Daftar Pustaka Aertsen, Jan A., Was ist Philosophie im Mittelalter? (Berlin: Walter de Gruyter, 1998) Aertsen, Jan A., Nach der Verurteilung, Philosophie und Theologie an der Universit t von Paris im letzen Viertel des Jahrhunderts, Studien und Texte, (Berlin: Walter de Gruyter, 2001) Berggren, J.L. Episodes in the Mathematics of Medieval Islam (New York: Springer, 1986) Burnett, Charles, Adelard of Bath.Conversations with his Nephew. On the Same and the Different, Questions on Natural Sciences and On Birds, (Cambridge: Cambridge University Press, 1998) Conrad, Lawrence, (ed), The World of Ibn Tufayl: Interdisciplinary Perspectives on Hayy ibn Yaqzan, (Leiden: Brill, 1996). Contadini, dan C. Burnett, Islam and the Italian Renaissance, (London: The Warburg Institute, 1999) Gjertsen, Derek The Newton Handbook (London: Routledge & Kegan Paul, 1986), Grant, Edward, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1996) Guillaumem, A dan T. Arnold The Legacy of Islam, (London: Oxford University Press, 1931 edisi kedua oleh J. Schacht dan C.E. Bosworth, Oxford: The Clarendon Press, 1974) Gutas, Dimitri, Greek Thought in Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd-4th / 8th-10th Centuries) (London: Routledge, 1998) Jolivet, Jean, “L’Islam et la raison, d’après quelques auteurs latins des XIe et XIIe siècles,” dalam L’art des confins. Mélanges Maurice de Gandillac (Paris, 1987) ————— , “The Arabic Inheritance,” dalam A History of TwelfthCentury Western Philosophy, ed. P. Dronke (Cambridge: Cambridge University Press, 1988) Kennedy, Edward S. Studies in the Islamic Exact Sciences (Beirut: American University of Beirut, 1983) King, David, Islamic Mathematical Astronomy (London: Variorum, 1986) Lindberg, David C. “The Transmission of Greek and Arabic Learning Jurnal TSAQAFAH


‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa

213

to the West,” dalam Science in the Middle Ages, (Chicago: The University of Chicago Press, 1978) Morgan, Michael Hamilton, Lost History: The Enduring Legacy of Muslim Scientists, Thinkers, and Artists (Washington, D.C.: National Geographic Press, 2007) Nasr, S.Hossein. Science and Civilization in Islam (Cambridge: The Islamic Text Society, 1987; cet. pertama Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968) Peters,F.E., Aristoteles Arabus, (Leiden: E.J. Brill, 1968) Rashed, Roshdi, The Encyclopedy of the History of Arabic Science, ed., 3 jilid (London: Routledge, 1996) Rosenthal, Franz, The Classical Heritage in Islam, trans. E. and J. Marmorstein (London: Routledge, 1965) Russel, G.A. “The Impact of the Philosophus Autodidactus: Pocockes, John Locke and the Society of Friends,” dalam The ‘Arabick’ Interest of the Natural Philosophers in Seventeenth-Century England, ed. G.A. Russell (Leiden: Brill, 1994) Sabra, A.E. The Optics of Ibn al-Haytham: Books I-III on Direct Vision, 2 jilid (London: The Warburg Institute, 1989) —————, “The Andalusian Revolt against Ptolemaic Astronomy: Averroes and al-Bitrûjî,” dalam Transformation and Tradition in Sciences: Essays in Honor of I. Bernard Cohen, ed. Everett Mendelsohn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984) Steinschneider, Moritz, Die europ ische bersetzungen aus dem Arabischen bis Mitte des 17. Jahrhundert (Vienna: Graz, 1956) Thérèse d’Alverny, Marie-, La transmission de textes philosophiques et scientifiques au Moyen Age (Aldershot: Ashgate, 1994) Ullmann, Manfred, Islamic Medicine (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1978) Wiedemann, Eilhard, Aufs tze zur arabischen Wissenschaftgeschichte, ed. W. Fischer, 2 jilid (New York: George Olm Verlag, 1970) Wippel, John F. “The Condemnations of 1270 and 1277 at Paris,” The Journal of Medieval and Renaissance Studies 7 (1977) Wüstenfeld, Ferdinand, Die bersetzungen arabischer Werke in das Lateinische seit dem XI. Jahrhundert (G ttingen: Dieterich’sche, 1877)

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik: Telaah Proses Sejarah dan Transmisi Ilmu Pengetahuan Shobahussurur* Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta Email: shobahalazhar@gmail.com

Abstract The history of science and its development process in Islam is not a mere message of religious doctrine, but it has really manifested itself in the stages of the history of science. As a historical fact, Islamic sciences have grown and developed by several factors, either it’s directly related to intellectual Muslim development, or to social factors, political and cultural situations which existed at that time. The spirit of science development has been ongoing continuously from one generation to another. Numbers of research, experiment, discovery, and the development of methodology of science are continuously conducted and developed by Muslims. In the history of Islam, scientific work has fluctuated. Starting from the exploration of the roots of science, this article tries to explain the position and the systematization of knowledge in Islamic literatures. This work also proves that the rise and development of science in Islam, cannot be separated from various educational institutional roles, such as maktabah, kuttâb, h}alaqah, observatories, hospitals and clinics, Dâr al-H}ikmah, Dâr al-’Ilm, and madrasah. Therefore, the development of science in the Islamic world is not only beneficial for Muslims, but also for the entire human race. It is proved that even the renaissance in the Western world took many of its success from Islamic civilization since the 14th century AD.

Keywords:

Science, Science Transmission, Intellect, Philosophy, Educational Institutions

* Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jl. Ir. H. Djuanda No. 95, Ciputat, Tangerang Selatan 15412.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


90

Shobahussurur

Abstrak Ilmu pengetahuan dalam sejarah dan proses pengembangannya dalam Islam bukan hanya sekadar pesan doktrin agama, tetapi pesan itu benar-benar telah terwujud dalam panggung sejarah keilmuan. Sebagai fakta sejarah, ilmu keislaman tumbuh dan berkembang karena beberapa faktor, baik yang terkait langsung dengan upaya pengembangan intelektualitas umat Islam, maupun faktor-faktor eksternal yang terkait dengan situasi sosial, politik, dan budaya, yang berkembang pada zamannya. Dari generasi ke generasi semangat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terus dilakukan. Berbagai penelitian, eksperimen, penemuan, dan metodologi keilmuan terus menerus dilakukan dan dikembangkan oleh kaum intelektual Muslim. Pasang surut proyek kerja ilmiah tersebut terjadi dalam sejarah Islam. Diawali dengan penelusuran terhadap akarakar pengembangan ilmu, artikel ini memberikan kejelasan tentang posisi dan sistematisasi ilmu dalam khazanah keislaman. Tulisan ini juga membuktikan bahwa kejayaan dan perkembangan ilmu dalam Islam, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran yang dimainkan oleh pelbagai lembaga pendidikan, seperti maktabah, kuttâb, h}alaqah, observatorium, rumah sakit dan klinik, Dâr al-H}ikmah, Dâr al‘Ilm, dan madrasah, dalam proses transmisi ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam sendiri, melainkan juga bagi umat agama manusia seluruhnya. Hal tersebut terbukti bahwa terjadinya Renaisans Barat sejak abad ke 14 M tidak lepas dari peran peradaban Islam saat itu.

Kata Kunci: Ilmu Pengetahuan, Transmisi Ilmu, Intelektualitas, Filsafat, Lembaga Pendidikan

Pendahuluan

T

idak dapat disangkal betapa Islam menghargai peran akal. Penghargaan itu begitu tinggi sehingga seorang tidak dibebani untuk menjalankan ajaran-ajaran agama ketika akal itu rusak, tidak lagi berfungsi. Begitu sebaliknya, seseorang mendapatkan dosa yang sangat berat ketika berusaha merusak fungsi akal atau bahkan meniadakannya.1 Untuk itu, Islam memberikan penghargaan yang 1 Larangan keras untuk tidak boleh bermabuk-mabukan umpamanya adalah terkait dengan tindakan seseorang dalam merusak fungsi akal dan oleh karenanya dilarang. Lihat beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti dalam: QS. al-Baqarah [2]: 219, QS. al-Nisa [4]: 43, QS. al-Maidah [5]: 90-91.

Jurnal TSAQAFAH


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik

91

setinggi-tingginya kepada siapa saja yang menumbuhkembangkan fungsi akal melalui berbagai proses belajar mengajar dan mendidik yang mencerahkan.2 Dari generasi ke generasi semangat mengembangkan ilmu pengetahuan itu terjadi. Penelitian, eksperimen, penemuan, dan metodologi keilmuan terus menerus dilakukan oleh kaum intelektual Muslim. Pasang surut proyek kerja ilmiah tersebut terjadi dalam sejarah Islam. Tulisan berikut akan mengkaji bagaimana sejarah dan transmisi ilmu pengetahuan itu berlangsung pada masa klasik, terutama yang dikembangkan dalam lembaga-lembaga Islam. Hasil kajian berikut diharapkan dapat dijadikan masukan bagi kemungkinan pengembangan ilmu pengetahuan di lembagalembaga Islam, sehingga di samping mengedepankan nilai-nilai modernitas, sebuah lembaga Islam tidak sampai tercerabut dari unsur orisinalitasnya (as}âlah). Istilahnya, al-muhâfaz}ah ‘alâ al-qadi>m al-s} âlih} wa al-akhdhu bi al-jadîd al-as}lah}, (Memelihara unsur lama yang baik dan mengambil yang terbaik dari unsur-unsur modern).

Ilmu Pengetahuan dalam Sejarah Islam Pada masa keemasan Islam, ilmu pengetahuan asing dari Yunani, Hellenisme, dan Hellenistik, diserap dengan baik oleh Islam dan dengan cepat tersebar luas ke penjuru dunia Islam. Beberapa faktor yang menjadi sebab demikian menurut analisa Mehdi Nakosteen, antara lain: pertama, adanya tradisi keilmuan kaum Ortodoks Kristen, seperti Nestorian, yang oleh gereja induk mereka disingkirkan. Mereka menemukan perlindungan dari kaum Muslim yang melakukan al-futûh} ât al-islâmiyyah (pembebasan Islam) ke wilayah Persia dan Romawi. Kaum Muslim bertindak toleran dengan membiarkan tradisi keilmuan dari Yunani selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Melalui perantara kaum Nestorian, khazanah 2 Tentang perintah dan anjuran melakukan segala sesuatu dengan akal, dalam alQur’an disebutkan dengan menggunakan redaksi yang berbeda-beda, menggunakan akar kata ‘aqala dengan berbagai tas}rîfnya sebanyak (490 kali, dari akar kata fakara dengan berbagai tas}rîfnya sebanyak (20) kali, dari akar kata faqaha sebanyak (20) kali, dari akar kata ‘alima sebanyak (679) kali, dari akar kata qara’a sebanyak (70) kali. Bahkan wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah SAW adalah perintah untuk membaca (iqra’), QS. al-‘Alaq [96]: 1. Al-Qur’an mengecam mereka yang tidak menggunakan akal sebagai binatang (QS. alA’raf [7]:179, QS. al-Furqan [25]:44), dan Allah akan mengangkat seorang mencapai derajat yang setinggi-tingginya karena menguasai ilmu (QS. al-Mujadilah [58]: 11).

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


92

Shobahussurur

intelektual Yunani, mengalami proses pengalihan yang begitu cepat ke dunia Islam. Kedua, adanya penaklukan Aleksander Agung yang tidak hanya meraih kekuasaan ke Timur hingga Persia dan India, tapi membawa dampak positif karena kedatangannya serta para penggantinya ke wilayah taklukan juga menyebarkan ilmu pengetahuan Yunani, sehingga proses transmisi ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat. Ketiga, peran penting Akademi Jundishapur yang dibangun setelah Universitas Alexandria. Akademi Jundishapur memulai program pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggalakkan aktivitas penerjemahan ilmu pengetahuan dan filsafat klasik Yunani ke dalam bahasa Pahlevi dan Suriah hingga pada masa awal Islam. Pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan kuno menyebar di Barat dan Timur, sampai kemudian diambil alih oleh Baghdad di Timur serta Sisilia dan Cordova di Barat. Keempat, karyakarya ilmiah kaum Yahudi turut pula memperlancar proses penyebaran ilmu pengetahuan yang diawali dengan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Hebrew dan Arab, kemudian dikembangkan sedemikian rupa menjadi ilmu pengetahuan.3 Selain faktor-faktor eksternal di atas, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam mengalami kemajuan pesat karena faktor-faktor internal. Pertama, ajaran Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap peran akal untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban. Islam mengajarkan pentingnya meningkatkan etos kerja dalam berbagai bidang pekerjaan, termasuk dalam mengadakan penelitian, penemuan, dan eksperimen di bidang ilmu pengetahuan. Etos kerja di bidang pengembangan ilmu pengetahuan tampak menonjol pada masa Dinasti Abbasiyah, di mana para khalifah, terutama Harun al-Rasyid dan al-Makmun, sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan. Kedua, peranan keluarga Barmak yang sengaja difungsikan oleh para khalifah untuk mendidik keluarga istana dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, adanya program penerjemahan secara besar-besaran terhadap literatur-literatur Yunani ke dalam bahasa Arab yang mendapat dukungan serius dan dengan dana yang sangat besar dari para penguasa. Al-Makmun umpamanya, mendukung program tersebut dengan mengangkat para penerjemah Muslim maupun 3 Lihat Mehdi Nakosteen, The History of Islamic Origins of Western Education A. D. 800-1350; with an Intruction to Medieval Muslim Education, (Colorado: University of Coloroda Press, Boulder, 1964), 18-27.

Jurnal TSAQAFAH


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik

93

non-Muslim secara besar-besaran dengan memberikan fasilitas dan imbalan yang menarik.4 Keempat, adanya suasana yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan, di mana pada saat itu suasana negara relatif aman dan terkendali, tidak ada pergolakan dan pemberontakan. Meskipun pada masa awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah, masa al-Safah dan alMansur, pergolakan itu terjadi. Namun sebagaimana lazimnya sebuah masa konsolidasi, dan seiring dengan semakin solidnya kekuasaan, suasana damai semakin mantap dan pada saat demikian peradaban dan ilmu pengetahuan mengalami persemaian dan perkembangannya. Kelima, adanya proses asimilasi budaya yang saling mengisi karena heterogenitas budaya saat itu. Setidaknya ada empat budaya besar yang saling berbenturan dan mengalami asimilasi, yaitu kebudayaan Arab, Persia, Yunani, dan Hindu.5 Proses asimilasi dalam suasana damai itu menghasilkan kebudayaan besar dalam wajah dan nama baru, yaitu kebudayaan Islam. Keenam, kondisi sosial Baghdad yang kosmopolit turut mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan. Ragam ras, suku, etnis, dan budaya yang saling berinteraksi memberikan dampak besar bagi pemecahan masalah dengan pendekatan intelektual. Selain kaum Urban dari berbagai suku, ras, dan etnis di Baghdad, terdapat pula suku bangsa asli seperti Kildani dan Suryani. Kondisi demikian, dengan permasalahan yang semakin kompleks, tidak mungkin menyelesaikan masalah dengan menggunakan satu sudut pandang. Problem sosial bertambah rumit dan 4

Sebagai ilustrasi betapa perhatian yang tinggi terhadap para penerjemah, al-Makmun memberi upah kepada para penerjemah, termasuk para penerjemah Kristen Nestorian, seperti Hunain bin Ishaq (810-877 M), penerjemah bidang kajian filsafat, astronomi, dan meteorologi, dengan gaji emas seberat lembaran-lembaran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. AlMakmun juga mengembangkan lembaga Bait al-H}ikmah sebagai tempat menghimpun karya terjemahan dan dijadikan perpustakaan terbesar pada masa itu. Pada akhir abad kesembilan, hampir semua karya yang diketahui dalam museum-museum Helenistik telah tersedia bagi para ilmuwan Islam. Selain Hunain bin Ishaq yang dibantu oleh staf ahli dan murid-muridnya yang kesemuanya berjumlah lebih dari 90 orang, ada pula para penerjemah ahli lainnya seperti: Tsabit bin Qurrah (826-901 M), penerjemah bidang kajian matematika, fisika, dan astronomi, Abu Yahya al-Batriq, Qasta bin Luqa, Hubaysh bin Hasan, dan Abu Bishr Matta bin Yunus. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Mac Millan Press, 1974), 313. Lihat juga Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam The Classical Period A. D. 7001300, Terj. Afandi, (Jakarta: Logos Publishing House, 1994), 83. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), 12. Syed Hossen Nasr, Science and Civilization in Islam, Terj. Mahyudin, (Bandung: Pustaka,1986), 26. 5 Ahmad Amin, D}uh}창 al-Isl창m, (Kairo:Maktab al-Nahd}ah al-Mis}riyyah, 1933), 163.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


94

Shobahussurur

oleh karenanya pertimbangan-pertimbangan rasional harus digunakan dari pada sekadar menggunakan pertimbangan dalil-dalil tekstual.6 Terakhir, adanya sikap keterbukaan terhadap paham dan pendapat yang berbeda sebagai konsekuensi adanya heterogenitas ras, etnis, dan kultur, serta adanya persaingan antar mereka untuk memperebutkan supremasi kehidupan. Mengaca dari keterangan di atas, dalam rangka menjelaskan perkembangan keilmuan dalam sejarah Islam klasik, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kategorisasi, yaitu ilmu-ilmu keislaman, ilmu pengetahuan alam,7 filsafat, dan Humaniora.8

Ilmu-Ilmu Keislaman Ilmu-ilmu keislaman berkembang pesat seiring dengan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dalam memahami petunjuk agama yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Maka berkembanglah ilmu yang berhubungkan dengan al-Qur’an, hadis, fikih, kalam, tasawuf, dan tarikh. Di samping itu, berkembang pula ilmu-ilmu bantu serta metodologi yang sistematis dalam kajian ilmuilmu tersebut. Maka berkembanglah ‘ulûm al-Qurân dan tafsirnya, ûlûm al-h} a dîts, ‘ilm al-fiqh, us} u l al-fiqh, ‘ilm al-kalâm, ‘ilm altas}awwuf, dan sebagainya. Ilmu al-Qur’an dan tafsirnya mengalami perkembangan yang spektakuler. Muncul para ahli tafsir dengan berbagai metode dan pendekatan. Dua metode penafsiran yang terkenal, yaitu tafsîr bi al-ma’tsûr9 dan tafsîr bi al-ra’y,10 dipilih oleh para mufasir dalam 6 Bandingkan umpamanya para imam mazhab yang tinggal di kota Madinah dan yang tinggal di Baghdad. Di Madinah, karena kondisi sosialnya yang homogen, lebih menggunakan pendekatan tekstual dan oleh sebab itu, masyarakatnya banyak mengikuti tokoh seperti Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, sebagai imam mazhab ahl al-h}adi}ts. Berbeda dengan Baghdad yang heterogen, maka masyarakatnya banyak menganut tokohtokoh mazhab ahl al-ra’y, seperti Imam Abu Hanifah. 7 Mengenai ilmu kealaman lebih lengkap dapat dilihat dalam Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Harvard University Press, 1968). 8 Mengenai filsafat dan humaniora secara mendalam dapat dilihat dalam M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, (Wiesbaden: Otto Harroswitz, 1963) dan Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, (Columbia University Press, 1983). 9 Yaitu metode penafsiran al-Qur’an dengan dalil al-Qur’an itu sendiri, dengan hadis Nabi SAW, dengan pendapat sahabat, dan dengan perkataan para tabiin yang menjelaskan maksud Allah SWT yang terkandung dalam teks al-Qur’an. 10 Yaitu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal pikiran sebagai pendekatan utama.

Jurnal TSAQAFAH


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik

95

memahami teks al-Qur’an. Tokoh terkemuka yang menggunakan metode tafsîr bi al-ma’tsûr adalah Ibnu Jarir al-Thabari (lahir 839 M/ 310 H), dengan karya monumentalnya Jâmi al-Bayân ‘an Ta’wîl ay al-Qur’ân, melalui pendekatan periwayatan hadis. Sedangkan tokohtokoh penting yang menggunakan metode tafsîr bi al-ra’y adalah Abu Bakr Asham (w. 854 M/ 240 H), Abu Muslim Muhammad bin Nashr Isfahani (w. 934 M/ 322 H), Mahmud al-Zamakhsyari (w. 1143 M/538 H) dengan karyanya al-Kasysyâf ‘an H} a qâiq al-Ta’wîl, Abdullah al-Baidhawi (w. 1191 M/ 691 H) dengan karyanya Anwâr al-Tanzîl, dan Abdullah al-Nasafî (w.1302 M/701 H) dengan karyanya Madârik al-Tanzîl. Penelitian di bidang hadis mengalami perkembangan yang membanggakan. Probematika umat yang semakin kompleks mengharuskan pentingnya melacak penuturan-penuturan secara lisan oleh Nabi SAW sebagai sumber lain selain al-Qur’an. Pelacakan terhadap akurasi dan kebenaran setiap hadis dilakukan dengan metodologi baku dan ketat dalam disiplin ilmu hadis. Hal itu dilakukan karena mereka sadar bahwa kalau hadis-hadis Nabi SAW tidak dilakukan kodifikasi dengan seleksi ketat terhadap akurasinya, maka dihawatirkan akan semakin banyak ucapan-ucapan yang mengatasnamakan beliau untuk tujuan-tujuan tertentu di kemudian hari. Di samping ada kekhawatiran bahwa kalau hadis-hadis Nabi SAW tidak dibukukan, maka umat Islam tidak mempunyai panduan dalam memahami al-Qur’an. Hal itu menjadi sebuah keharusan karena al-Qur’an masih harus diperjelas dengan praktik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, tindakan, dan kebijakannya. Di antara tokohtokoh besar yang dengan ketelitian dan kegigihannya berhasil menghimpun hadis, antara lain; al-Bukhari (w. 870 M/256 M) dengan kitabnya al-Jâmi’ al-S} a h} î h} al-Musnad al-Mukhtas} a r min Ah} â dîts Rasûlillâh SAW Sunanih wa Ayyâmih disingkat dengan al-S}ah}î h};11 11 Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, lahir di Bukhara, suatu daerah di Uzbekistan, Asia Tengah. Ia berhasil menghimpun lebih dari 600.000 hadis, 300.000 di antaranya dihafalnya. Hasil penelitiannya, dari 300.000 hadis yang dihafal hanya 7.275 hadis saja yang berstatus sahih dan dihimpun dalam kitabnya. Menurut al-Faruqi, hadis sahih yang diterima al-Bukhari terdapat pengulangan-pengulangan, sehingga bila dikurangi, maka jumlah hadis sahih yang diterimanya hanya 2.602 saja, bahkan yang dinilai asli hanya 1.500 saja. Muhammad Abu Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-S}ih}h}ah al-Sittah, (Kairo: Silsilah al-Buhûts al‘Ilmiyyah, 1969), 50. Ali Mustafa Yaqub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), 11. Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York: MacMillan, 1982), 292.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


96

Shobahussurur

Muslim (w. 261 H)12 dengan kitabnya al-Jâmi’ al-S}ah}îh, atau S}ah}îh Muslim memuat 3030 hadis; Abu Dawud (W.275 H) dengan kitabnya Sunan Abî Dâwûd memuat 4800 hadis dari 500.000 hadis yang diseleksi; al-Tirmidhi (w. 279 H) dengan kitabnya Sunan al-Tirmidhi; al-Nasa’i (w. 303 H) dengan kitabnya Sunan al-Nasa’î yang memuat 5.761 hadis; dan Ibnu Majah (w.273 H) dengan kitabnya Sunan Ibn Mâjah. Enam kitab hadis itu dikenal dengan nama al-Kutub al-Sittah. Perkembangan ilmu-ilmu keislaman juga terjadi pada bidang fikih (hukum Islam). Hal itu terjadi sejalan dengan semakin besarnya kekuasaan Islam dan semakin banyaknya peristiwa-peristiwa sosial dan problematikanya yang harus diselesaikan. Maka muncul empat imam besar, yaitu Abu Hanifah (W. 768 M/150 H), Anas bin Malik (W. 795 M/179 H), Muhamad bin Idris al-Syafi’i (w.769 -820 M/ 150-204 H), dan Ahmad bin Hanbal (w. 779-855 M/ 164-240 H). Dalam membuat penetapan hukum Islam, mereka menggunakan metodologi yang disebut us} û l al-fiqh yang berguna untuk menetapkan kriteria validitas bagi pengembangan hukum baru dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Agaknya yang menjadi sebab kenapa terjadi perbedaan hasil penetapan hukum di antara tokoh mazhab itu adalah faktor pendekatan dalam melakukan kajian. Abu Hanifah umpamanya, dalam menetapkan hukum atas sebuah masalah sering mengedepankan pendekatan ra’y (logika, pikiran), sehingga mazhabnya dikenal sebagai mazhab ahl al-ra’y. Oleh karena itu, ia banyak menggunakan metode al-qiyâs dan al-istih}sân13 dalam menetapkan hukum suatu kasus. Pendekatan logika Abu Hanifah tampaknya dapat dipahami karena beberapa hal, antara lain; 1) situasi dan kondisi Baghdad tempat tinggal Abu Hanifah yang heterogen dan kompleks, juga jaraknya yang jauh dari Madinah, sehingga tidak mungkin memutuskan sebuah hukum dengan satu pertimbangan saja; 2) keikutsertaan Abu Hanifah dalam kajian ilmu kalam di sebuah 12 Nama Lengkapnya adalah Abu al-Husain Muslim bin Hajaj bin Muslim bin Ward bin Qusay al-Qusyairi al-Naisaburi. 13 Qiyâs adalah proses pembuatan analogi hukum atas suatu kasus yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an atau al-Sunnah dengan suatu kasus yang hukumnya sudah disebutkan secara jelas, karena ada faktor kesamaan alasan mengapa hukum itu ditetapkan (‘illah). Istih}sân adalah peralihan dari suatu ketetapan hasil qiyâs kepada hasil qiyâs lain yang lebih kuat, atau dengan kata lain, mentakhsis qiyâs dengan dalil yang lebih kuat hingga muncul qiyâs yang baru. Lihat Abdul Wahhab Khallaf, Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmî, (Kairo: Da>r al-Qalam, 1970), 69.

Jurnal TSAQAFAH


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik

97

halaqah di masjid Kufah secara intensif juga mewarnai pola pikirnya. Pembahasan ilmu kalam yang erat hubungannya dengan ilmu filsafat, mantiq (logika), manhaj al-bah}ts wa al-munâz}arah (metode penelitian dan diskusi), dan perbandingan agama, turut mewarnai corak pemikirannya dalam mengambil keputusan hukum yang tampak rasional. Hal itu berbeda dengan Imam Malik bin Anas (93-179 H) yang lebih dikenal dengan tokoh mazhab ahl al-hadîts karena pendekatannya banyak menggunakan hadis Rasulullah SAW, bahkan menempatkan praktik penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madînah) sebagai salah satu pedoman dalam menetapkan hukum. Pendekatan itu dilakukan tampaknya karena; 1) kondisi masyarakat Madinah (Hijaz secara umum), tempat tinggal Imam Malik yang tergolong homogen, menyebabkan sedikit tuntutan penggunaan rasional dalam menetapkan hukum, 2) permasalahan belum begitu kompleks, karena budaya bentukan Nabi SAW masih relatif kokoh, stabil dan belum banyak mendapat tantangan dari budaya asing, 3) kota Madinah adalah kota yang banyak ditemukan hadis, dan 4) situasi politik di mana Imam Malik hidup di dua masa kekuasaan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyyah, membuat dirinya konsisten untuk hanya menggunakan pendekatan teks daripada menggunakan pendekatan rasional. Kerja keras Imam Malik dalam mengumpulkan, meneliti, dan menyeleksi hadis menghasilkan sebuah kitab monumental, al-Muwatt}a ’, di dalamnya terkumpul hadis-hadis sahih, ucapan para sahabat, tabiin, dan fatwa-fatwa mereka.14 Imam Syafi’i dalam membuat ketetapan hukum berupaya melakukan kompromi antara dua pendekatan di atas, meskipun kecenderungan pendekatan hadis lebih dominan. Meskipun oleh banyak peneliti Imam Syafi’i lebih digolongkan sebagai tokoh ahl al-h}adîts karena sangat kuat berpegang pada nas} al-Qur’an dan alSunnah, namun ia berbeda dengan gurunya, Imam Malik. Ia menolak penggunaan prinsip al-mas}âlih} al-mursalah15 sebagaimana ijtihad yang dilakukan Imam Malik dan menolak pula prinsip istih}sân sebagaimana yang dilakukan Imam Abu Hanifah. Baginya, cukuplah menggunakan prinsip qiyâs sebagai dasar penetapan 14

Manna’ al-Qaththan, Tasyrî’ al-Fiqh al-Islâmî, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1989), 220. Al-Mas}âlih} al-Mursalah yaitu menetapkan hukum yang tidak disebutkan di dalam nas al-Qur’an atau al-Sunnah dengan pertimbangan untuk kepentingan dan maslahat hidup manusia dalam rangka mengambil manfaat dan menjauhi mudarat. 15

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


98

Shobahussurur

hukum atas kasus yang tidak ditemukan hukumnya dalam alQur’an, hadis, dan ijmak. Imam Ahmad bin Hanbal (779-855 M/164-240 H) hidup pada masa al-mihnah (inkuisisi), sebuah peristiwa berdarah penguasa Dinasti Abbasiyyah masa kepemimpinan al-Makmun (813-833 M) yang berpaham Mu’tazilah atas umat Islam yang berbeda paham. Ahmad bin Hanbal adalah salah satu ulama yang menentang keras paham Mu’tazilah, seperti paham tentang kemakhlukan al-Qur’an. Ia disiksa dan dipenjara hingga dibebaskan pada masa alMutawakkil (847-861 M). Dalam menetapkan hukum, Ahmad bin Hanbal berpedoman kepada al-Qur’an, al-Sunnah, fatwa dan ijmak sahabat, hadis mursal, dan qiyâs. Dia menerima ijmak hanya pada ijmak sahabat. Selain itu ditolaknya. Ia menggunakan qiyâs dalam keadaan yang sangat mendesak dan terpaksa. Dia menggunakan al-mas}âlih} al-mursalah karena hal itu dilakukan para sahabat. Ia adalah tokoh dari mazhab ahl al-h}adîts, salah satu ulama tradisionalis ulung yang dengan keras melawan mazhab rasional. Perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang juga mengalami kemajuan dahsyat adalah di bidang teologi atau ilmu kalam. Ada dua kubu besar arus pemikiran kalam saat itu yang paling dominan, yaitu Mu’tazilah dengan tokohnya Washil bin Atha’16 dan Asy’ariyyah dengan tokohnya Abu Hasan al-Asy’ari.17 Persoalan kalam muncul sejak peristiwa al-fitnah al-kubrâ18 yang menyebabkan umat Islam terpecah-pecah menjadi kelompok Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah. 16 Aliran Mu’tazilah bermula dari protes Washil bin Atha’ terhadap gurunya, Hasan alBashri, yang tidak puas atas jawaban gurunya mengenai dosa besar. Ia keluar dari halaqah kajian sang guru dan membuat kelompok kajian sendiri hingga terbentuk paham sendiri. 17 Karyanya tentang kalam antara lain: Maqâlât al-Islâmiyyîn, al-Ibânah fi> Us}ûl al- Diyânah, dan al-Luma’. Pokok-pokok pikirannya antara lain: 1) Tuhan mempunyai sifat dan sifat itu bukan zat-Nya, 2) al-Qur’an adalah kalâm Allâh yang qadîm dan bukan makhluk. 3) Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala langsung di akhirat. 4) Manusia dengan akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan. Tapi akal itu tidak dapat mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau tidak karena wajib atau tidak itu hanya diketahui melalui wahyu. 5) Perbuatan menusia tidak akan lepas dari kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan kekuasaan mutlak-Nya, Tuhan bebas melakukan apa saja, termasuk andaikata Dia berkehendak memasukkan semua ke dalam surga atau neraka. Tokoh-tokoh penting dalam mazhab ini selain al-Asy’ari antara lain: al-Baqillani, al-Juwaini, dan alGhazali. Lihat Abu Hasan al-Asy’ari, Kitâb al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’, (Kairo: Mat}ba’ah al-Mu’înah, 1955), 30-51. Juga al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nîh}al, Jilid 1, (Beirut: Dâr al-Ma’ârif, 1980), 42, 101. Al-Asy’ari, al-Ibânah…, 9. 18 Yaitu peristiwa terbunuhnya Usman bin ‘Affan yang kemudian menyulut terjadinya pemberontakan dan perang. Puncaknya adalah perang Shiffin pada pertengahan abad ke 7 M antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Mu’awiyah hingga berakhir dengan kekalahan pasukan Ali.

Jurnal TSAQAFAH


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik

99

Maka muncul kemudian perdebatan kalam tentang para pelaku dosa besar pada peristiwa tersebut, siapa yang kafir dan yang bukan, siapa yang masuk surga atau neraka, dan sebagainya. Kemudian muncul mazhab kalam pertama, yaitu mazhab alQadariyyah yang dipelopori oleh Ma’bad bin Khalid al-Juhani (w. 699 M/79 H) dan mazhab al-Jabariyyah yang dipelopori oleh Jahm bin Shafwan (w. 745 M/127 H). Pandangan utama al-Qadariyyah adalah bahwa manusia mampu berbuat dan menentukan sendiri atas perbuatan yang dilakukan dan oleh karenanya bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang dilakukan. Sedangkan al-Jabariyyah berpandangan bahwa semua perbuatan manusia itu sepenuhnya ditentukan oleh kuasa Tuhan, termasuk keimanan, kebajikan, dan kejahatan. Semua adalah kehendak dan paksaan Tuhan di mana manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukan pilihan atas perbuatannya. Ilmu kalam mengalami kemajuan pesat saat digerakkan oleh kaum Mu’tazilah. Gerakan Mu’tazilah merupakan tahapan penting dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam. Mereka memberi peran akal yang sangat tinggi bahkan setingkat wahyu dalam memahami agama, sehingga dikenal dengan paham rasionalis Islam.19 Namun gerakannya itu mendapat perlawanan yang ketat dari gerakan paham Asy’ariyyah. Dengan logikanya sendiri, Asy’ari berhasil melumpuhkan gerakan Mu’tazilah, mengonsolidasi umat dalam pemikiran kalam yang dikenal dengan paham Sunni.20 Ia berhasil mencari jalan tengah antara paham Qadariyah dan Jabariyah yang teorinya dijadikan sebagai rumusan ajaran pokok agama (us}ûl al-dîn) di hampir seluruh dunia Islam hingga saat ini. Perkembangan ilmu-ilmu keislaman juga terjadi pada bidang tasawuf. Aliran ini berkembang sejalan dengan semakin maju dan besarnya kekuasaan Islam. Umat Islam semakin sibuk dengan dunia materi dan banyak meninggalkan kebutuhan ruhani. Di antara 19 Prinsip kalam Mu’tazilah terhimpun dalam apa yang diistilahkan al-Us}ûl al- Khamsah (pokok-pokok yang lima), yaitu al-tawh}îd (keesaan Allah), al-manzilah bayn al- manzilatain (kedudukan di antara dua kedudukan), al-wa’d wa al-wa’îd (janji dan ancaman), al-‘adl (keadilan), dan al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar (perintah kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran). Tokoh-tokoh penting Mu’tazilah antara lain: Abu al-Huzail, al-Jubba’i, al-Nazzam, al-Jahidz, dan Muammar bin Abbad. Lihat keterangan lebih luas tentang paham Mu’tazilah dalam al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nih}al, 1/42. Ahmad Amin, Fajr alIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), 381. 20 Lihat Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 28.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


100 Shobahussurur paham tasawuf itu ada yang masih berpijak dengan syariah, seperti teori-teori yang dibuat oleh al-Ghazali sehingga terkenal dengan istilah tas}awwuf sunni tetapi muncul pula tasawuf lain yang bebas dan ekstrim, seperti ajaran-ajaran tasawuf Zun Nun al-Mishri (w. 860 M),21 Abu Yazid al-Bishtami (w. 874 M),22 dan al-Hallaj.23 Tasawuf aliran ini muncul di saat kecenderungan terhadap kehidupan materi yang berlebihan dan manusia semakin meninggalkan nilai-nilai moral, persaingan hidup semakin ketat dan kompleks, sehingga kehidupan asketisme menjadi alternatif. Bahkan di saat runtuhnya Baghdad tahun 1258 M., aspek tasawuf menjadi corak pemikiran yang dominan di dunia Islam pada waktu itu. Penyebarannya di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, banyak dilakukan oleh para pejuang dari para sufi dan pengikut tarekat. Maka tidak heran kalau kemudian karya-karya intelektual Islam awal yang berkembang di Indonesia didominasi oleh corak tasawuf, dan para ulamanya kebanyakan adalah pengikut tarekat.24 Sejalan dengan dominasi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah di dunia Islam, maka penyebaran Islam di Indonesia juga tidak terlepas dari corak tasawuf Sunni tersebut. Corak tasawuf versi al-Ghazali al-Syafi’i jauh lebih terlihat nyata dibanding corak tasawuf al-Hallaj al-Syi’i.25 Memang belakangan corak tasawuf non-Sunni berkembang pula di Indonesia, tapi akarnya tidak sekuat tasawuf Sunni. Jalinan komunikasi antara ulama Indonesia dengan ulama Haramain juga menjadi faktor penting dalam mendukung perkembangan tasawuf dan tarekat di Indonesia. Haramain merupakan pusat 21

Paham Zun Nun al-Mishri yang terkenal adalah al-Ma’arif. Menurutnya, pengetahuan hakiki yang dimiliki kaum sufi adalah al-ma’rifat, yaitu mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Ma’rifat hanya dimiliki kaum sufi, yaitu pengetahuan yang diberikan Tuhan sehingga hatinya bercahaya penuh sinar. 22 Ajaran Abu Yazid al-Bisthami adalah al-fanâ’ wa al-baqâ’, yaitu penghancuran diri, hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia dan yang tertinggal adalah wujud ruhani yang telah menyatu dengan Tuhan. 23 Paham al-Hallaj adalah al-h}ulûl, yaitu bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah tidak ada lagi sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh itu dan yang ada adalah sifat-sifat ketuhanan (lâhût). 24 Lihat bagaimana peran para sufi dan ahli tarekat sejak abad 13 dalam berjuang membangun dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam di penjuru dunia, termasuk peran mereka dalam penyebaran Islam di Indonesia, dalam Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), 15. Juga Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad XIX, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 173. 25 Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976), 217.

Jurnal TSAQAFAH


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik

101

gerakan Islam, tidak terkecuali gerakan dakwah kaum sufi. Para sufi di Indonesia mempunyai hubungan sanad yang cukup kuat dengan para ulama besar di belahan dunia lain. Oleh karena itu bentuk tasawuf dan tarekat yang berkembang di Indonesia merupakan kelanjutan dan perkembangan dari tasawuf dan tarekat yang ada di wilayah lain di dunia Islam.

Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu pengetahuan alam atau eksakta mengalami perkembangan yang spektakuler dengan ditemukannya dasar-dasar eksakta bagi peneliti berikutnya. Bahkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat tidak lepas dari peran para saintis Muslim di masa klasik. Di antara disiplin ilmu eksakta yang menonjol dikembangkan saintis Muslim waktu itu adalah astronomi, fisika, kimia, kedokteran, biologi, matematika, dan aljabar. Tradisi intelektual Ptolemeus pada masa keemasan Alexandria diteruskan oleh para intelektual Muslim. Karyanya yang monumental, Almagest dalam sains dan astronomi menjadi penting untuk dikembangkan oleh saintis Muslim karena sangat berguna bukan saja untuk kepentingan pertanian, peternakan, atau pelayaran, tapi juga berguna untuk kesempurnaan menjalankan ibadah, seperti penentian arah kiblat, penentuan waktu shalat, penentuan kalender, dan lain-lain. Sejalan dengan paham Islam tentang tauhid, maka astronomi masuk ke dalam pemikiran saintis Muslim dengan membersihkan mitos-mitos pra Islam yang serba khurafat dan tahayul yang sangat merusak akidah Islam. Muncul tokoh besar dalam bidang astronomi seperti Ibnu al-Haitsam yang dikenal dengan Alhazen dalam dunia Barat dan Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209 M/ 606 H). Kaum Muslimin berkenalan dengan ilmu kedokteran Yunani di pusat pendidikan Nestorian dan Neoplatonis di Mesopotamia Utara setelah terjadi penaklukan kaum Muslimin atas Kerajaan Sasaniah di Persia. Kota Jundisahpur adalah pusat kajian ilmiah dan praktik kedokteran yang berpengaruh. Karya-karya Galen, seorang dokter peripatetik akhir abad kedua Masehi yang menafsirkan kedokteran Yunani sejak zaman Hippocrates, diserap dan dikaji dengan serius oleh saintis Muslim. Bahkan ilmu kedokteran dan profesi sebagai dokter menjadi ilmu dan profesi bergengsi. Di Baghdad pada masa al-Muqtadir (931 M/319 H) umpamanya, Vol. 11, No. 1, Mei 2015


102 Shobahussurur pernah terdapat 869 dokter yang mengikuti ujian untuk mendapatkan izin praktik. Rumah sakit, sekolah kedokteran, dan poliklinik dibangun besar-besaran sejalan dengan kemajuan ilmu tersebut.26 Di antara saintis bidang kedokteran adalah Muhammad bin Zakaria al-Razi (865-925 M/251-313 H)27 dan Abu Ali al-Husein bin Sina (9801037 M/370-428 H).28 Perkembangan sains di bidang lain tidak kalah pesatnya. Ahli kimia, Jabir bin Hayyan (721-815 M/103-200 H), dianggap sebagai tokoh utama di bidang ini dengan karya utamanya Miah wa Itsnâ ‘Asyar Kitâb dan Sab’ata ‘Asyar Kitâb yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (w. 863 M/249 H) sangat terkenal di bidang matematika dengan karyanya al-Jabr wa al-Muqâbalah (Aljabar). Yang menarik dari para saintis Muslim tersebut adalah bahwa rata-rata mereka tidak hanya menguasai satu bidang sains saja. Ibnu Sina umpamanya, selain dikenal sebagai ahli kedokteran, juga ahli di bidang filsafat, kimia, dan lain-lain. Ibnu al-Haitsam (Alhazen) tidak hanya seorang ahli astronomi, tapi juga ahli di bidang optika, matematika, dan filsafat. Hal itu barangkali karena pengaruh kebebasan dalam Islam tentang dunia pendidikan waktu itu yang tidak memilah-milah ilmu pengetahuan. Berbeda dengan pandangan pendidikan Islam umumnya di masa sekarang, hingga muncul dualisme dalam pendidikan Islam yang antara satu dengan yang lain seakan tidak berhubungan sama sekali, bahkan terkadang nyaris berlawanan.

26

Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya Faruqi, The Cultural…, 358-359. Pada mulanya al-Razi lebih memfokuskan kajian bidang kimia kemudian mengembangkannya ke bidang kedokteran hingga menjadi ahli kedokteran setingkat Ibnu Sina. Karya medis yang terkenal adalah al-Hâwî yang memuat banyak hasil observasinya sendiri di bidang kedokteran hingga berpengaruh bukan saja di dunia Islam tapi juga di dunia Barat. Lihat Syed Hossein Nasr, Science…, 247. 28 Di antaranya karya terbesar Ibnu Sina di bidang kedokteran adalah Kitâb al-Qânûn fî al-T}ibb, sebuah karya yang tidak saja ditransmisikan di dunia kedokteran Timur tapi juga ke dunia Barat. Buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan sebutan Canon tersebut diajarkan berabad-abad lamanya di beberapa perguruan tinggi Barat di masa Renaisans. Karya lain adalah al-Syifâ’, karya ensiklopedia kedokteran yang berpengaruh. Nama-nama saintis Barat seperti Roger Bacon, St. Thomas, Duns Scotus, Albertus Magnus, diduga kuat sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Sina. Lihat Syed Hossein Nasr, Science…, 223. 27

Jurnal TSAQAFAH


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik

103

Filsafat dan Humaniora Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tidak lepas dari kebutuhan para ilmuwan Muslim ilmu-ilmu eksakta yang dipelajari. Bagi mereka filsafat Yunani dengan alat-alatnya seperti dialektika, sillogisme, logika, dan sebagainya, sangat membantu memecahkan persoalan teoritis ilmu pengetahuan. Dari mulai usaha penerjemahan karya-karya Aristoteles, Plato, Plotinus, dan lain-lain, pemikiran filsafat kemudian dipahami, diolah, sehingga muncul corak baru dengan ciri khas tersendiri sebagai filsafat Islam. Di antara para filsuf terbesar Islam adalah al-Kindi.29 Minat besarnya terhadap kajian filsafat menjadikan dirinya sebagai tokoh pendiri filsafat peripetetik Islam. Nama besarnya disegani di dunia Barat pada abad pertengahan hingga Renaisans. Dalam pandangan al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar. Agama dan filsafat tidak saling bertentangan, karena keduanya bertujuan mencari yang benar. Agama berdasar wahyu dan filsafat berdasar akal. Yang Benar Pertama adalah Tuhan (al-H}aqq al-Awwal, The First Truth). Filsafat tertinggi adalah filsafat ketuhanan. Filsuf besar selanjutnya adalah al-Farabi (870-950 M/258-339 H). Filsuf yang lahir di daerah Farab, Transoxania, ini adalah seorang komentator utama terhadap filsafat Aristoteles. Karya monumentalnya tentang filsafat politik adalah al-MadĂŽnah al-Fâd}ilah, menjadi rujukan para akademisi dan praktisi politik di kemudian hari. Dalam hal filsafat ketuhanan, al-Farabi menemukan teori emanasi (al-faid}), yang menjelaskan bagaimana yang banyak itu timbul dari yang satu. Tuhan sebagai akal berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiranNya itu timbul maujud lain. Maujud pertama berpikir tentang dirinya maka muncul maujud yang kedua dan begitu seterusnya. Filsuf yang lain adalah Ibnu Sina. Dia menyempurnakan teori emanasi al-Farabi. Ia juga memperdalam dan menambah secara lebih detail teori spekulatif al-Farabi dalam logika, epistemologi, dan metafisika. Kemajuan di bidang humaniora terlihat dari kemajuan bidang sastra, baik sastra Arab maupun Persia. Kasusastraan Arab tidak dapat dilepaskan dari Islam. Sejak sebelum Islam, tradisi intelektual Arab dapat dilihat dari karya-karya sastranya. Al-Qur’an diturunkan dengan kandungan nilai sastra yang tinggi juga tidak lepas dari tradisi 29

Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi (801-873 M/185-260 H).

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


104 Shobahussurur masyarakat itu. Oleh karenanya, minat mempelajari kesusastraan Arab semakin tinggi dalam rangka mengkaji al-Qur’an. Sejalan dengan perkembangan wilayah Islam, kota-kota pusat peradaban juga meluas. Perkembangan seperti itu sedikit banyak mempengaruhi kesusastraan Arab dari segi orisinalitas, serapan, dan asimilasi bahasa-bahasa. Kekhawatiran akan rendahnya kualitas sastra akibat benturan-benturan budaya tersebut, kajian sastra Arab semakin digalakkan dalam rangka membuat formulasi baku bahasa Arab dari segi tata bahasa, leksikologi, filsafat bahasa, dan lain sebagainya. Munculnya tokoh bahasa terpenting seperti Sibawaih menunjukkan adanya kemajuan di bidang ini.30 Kesusastraan Persia menjadi penting untuk dipelajari, dipahami, dan dikembangkan karena pada saat itu ilmu-ilmu Yunani, India, Cina, banyak ditulis dengan bahasa Persia dan harus diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.31 Selain kesusastraan, bidang humaniora yang berkembang pesat adalah historiografi. Kesadaran akan pentingnya makna sejarah menuntut kaum Muslimin memusatkan perhatiannya di bidang ini. Kesadaran untuk mengumpulkan sejarah tradisi Nabi SAW yang kemudian dikenal dengan alSîrah al-Nabawiyyah merupakan cikal bakal historiografi Islam. Kemajuan historiografi Islam mencapai puncaknya dengan munculnya usaha menulis sejarah universal, yaitu periwayatan sejarah dunia sejak masa penciptaan alam raya hingga masa penulis. Biasanya, sejarah universal itu sebagai pengantar bagi sejarah Islam. Tokoh yang melakukan ini antar lain, Ibnu Jarir al-Thabari (w. 928 M) dengan karyanya Târîkh al-Rusul wa al-Mulûk yang disingkat dengan Târîkh al-T}abarî. Karya ini merekam sejarah manusia dari pertama hidup di muka bumi hingga masa al-Thabari. Empat puluh tahun lamanya ia menulis karya itu dan menghasilkan 150 volume besar, namun hanya 15 volume yang dapat ditemukan.

Lembaga Pendidikan Zaman Klasik Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat pada zaman klasik sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tidak bisa lepas dari peranan lembaga pendidikan, karena ia merupakan tempat bagi proses belajar mengajar itu berlangsung. Maka kajian tentang 30 31

Majid Fakhri, A History…, 36. Ahmad Amin, D}uh}â al-Islâm, 164-228.

Jurnal TSAQAFAH


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik

105

lembaga pendidikan yang menjadi sarana bagi berlangsungnya transmisi ilmu pengetahuan menjadi sangat penting. Banyak sekali lembaga pendidikan yang berperan menjadi sarana pengembangan ilmu, antara lain: maktabah, kuttâb, h}alaqah, observatorium, rumah sakit dan klinik, Dâr al-H}ikmah dan Dâr al‘Ilm, serta madrasah. Maktabah (perpustakaan) mempunyai peranan penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan zaman klasik. Di kota-kota seperti Baghdad, Kairo, Cordova, Masyhad, dan lain-lain, sejumlah maktabah penuh dikunjungi oleh para ilmuwan, baik untuk membaca di sana berjam-jam atau membeli buku-buku sebagai koleksi perpustakaan pribadi. Besar kecilnya maktabah tergantung pada kelengkapan koleksinya. Petugas maktabah tak segan-segan mengadakan perjalanan jauh untuk menambah koleksi maktabahnya.32 Kuttâb adalah lembaga pendidikan tingkat dasar yang sudah ada sejak Nabi SAW. Biasanya dibuat di rumah guru atau di istana untuk keluarga istana. Di dalam lembaga ini diajarkan baca tulis alQur’an, diajarkan ilmu-imu agama, diajarkan pula seni berpidato, etika dan estetika, sejarah, dan tradisi.33 Sejak abad ke-8 Masehi diajarkan pula ilmu pengetahuan umum, ilmu sosial dan kebudayaan, untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. H}alaqah adalah lembaga pendidikan tingkat lanjutan setingkat college, di mana seorang guru duduk dikelilingi para murid. Kebanyakan diselenggaraka di masjid. Ada dua tipe h}alaqah, yaitu h} a laqah di masjid jami’ dan h} a laqah di masjid non-jami’. Tipe pertama atas biaya negara dan berada dalam pengawasan pemerintah setempat. Di dalamya dikaji ilmu-ilmu agama secara umum pada tingkat tinggi. Tipe kedua diselenggarakan di masjid kecil yang tidak digunakan untuk salat Jum’at. Masjid-masjid itu biasanya eksklusif, dibangun untuk jamaah mazhab tertentu. 34 Disiplin ilmu yang diajarkan dalam h} alaqah tersebut meliputi ilmu-ilmu keislaman (hadis, tafsir, fikih, ushul fikih, nahwu, sharf, dan sastra arab). Ilmuilmu non-agama sedikit sekali diajarkan. Filsafat Yunani, sains, dan humaniora sedikit sekali kalau tidak dikatakan tidak diminati oleh masyarakat umum. Di masa Abbasiyah, abad ketiga Hijriah, ada 32

Mehdi Nakosteen, The History…, 64-65. Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam; Kajian atas Lembaga-lembaga Pendidikan, (Bandung: Mizan, 1994), 47. 34 Michael Stanton, Higher Learning…, 36. 33

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


106 Shobahussurur lebih dari 3000 masjid yang menyelenggarakan kajian dalam bentuk h} a laqah. Pada abad ke-14 M ada 12.000 masjid di Alexandria.35 Masjid al-Mansyur di Baghdad mempunyai 40 h} alaqah. Masjidmasjid itu menjadi pusat transmisi ilmu pengetahuan dari masa ke masa. Di samping peran al-Haramayn itu sendiri, masjid-masjid seperti al-Azhar, al-Hamra, Kairo, Damaskus, dan lain-lain menunjukkan peran luar biasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Observatorium adalah lembaga pusat pengembangan ilmuilmu alam, terutama astronomi. Al-Makmun menempatkan alKhawarizmi sebagai peneliti khusus untuk menyusun kalender di observatorium Bait al-H}ikmah. Para peneliti lain juga bekerja di observatorium, seperti Ibnu Sina, Umar Khayam, dan lain-lain. Observatorium yang terkenal adalah observatorium Maraghah di Persia pada tahun 1261 M. Lembaga tersebut menyimpan berbagai peralatan lengkap di bawah pengawasan al-Thusi. Di antara perlengkapan itu seperti armillary spheres, solistial armilla, equinoctial armilla, dan azimuth rings yang berfungsi penting dalam pemetaan benda-benda langit. Observatorium itu dilengkapi pula dengan perpustakaan dengan koleksi buku tidak kurang dari 400.000 buah mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan.36 Rumah sakit dan klinik tidak saja berfungsi untuk merawat dan menyembuhkan orang sakit, tapi juga berfungsi untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang kedokteran. Rumah sakit dan klinik dijadikan sebagai lembaga pendidikan tinggi pada masa dinasti Bani Abbas dengan biaya dari kerajaan dan masyarakat. Di lembaga ini para mahasiswa harus menguasai ilmu kedokteran karya Hipocrates, Aphorism, Hunain bin Ishaq, al-Razi, Tsabit bin Qurra’, Ibnu Sina, dan lain-lain. Di samping itu, mahasiswa juga dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu keagamaan sehingga selain mendapat gelar sarjana kedokteran, mereka mampu mengikuti kajian-kajian, baik ilmu keagamaan atau ilmu kealaman di pusatpusat kajian.37 Dâr al-H}ikmah dan Dâr al-‘Ilm adalah lembaga-lembaga kajian filsafat dan sains Yunani. Dimulai dengan proses penerjemahaan besar-besaran kemudian dikembangkan hingga ditemukan teoriteori baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Di lembaga-lembaga itu 35

Mehdi Nakosteen, The History, 63-64. Michel Stanton, Higher Learning…, 171-172. 37 Ibid.,174-175. 36

Jurnal TSAQAFAH


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik

107

para cendekiawan dan ulama berkumpul untuk melakukan kajiankajian atas berbagai disiplin ilmu. Nama-nama besar seperti alKhawarizmi dengan teori logaritma dan ilmu falaknya, Abu Ja’far dengan ilmu matematika dan logikanya, adalah para ahli dari lembaga-lembaga tersebut. Lembaga-lembaga ini mengalami nasib yang tragis, di mana pada kekuasaan Bani Saljuk, satu per satu mati. Di Baghdad, Dâr al-H}ikmah mati digantikan madrasah-madrasah Nidzamiyah. Di Mesir, Dâr al-‘Ilm mati digantikan madrasahmadrasah al-Ayyubiyyah. Shalahuddin al-Ayyubi merobohkan Dâr al-‘Ilm dan di tempat yang sama didirikan madrasah al-Syafi’iyyah. Madrasah sebagai lembaga pendidikan baru dikenal pada masa Dinasti Saljuk menggantikan Dinasti Buwaihi (945-1055 M/344-447 H). Madrasah yang mula-mula didirikan adalah madrasah alBaihaqiyah oleh penduduk Naisabhur. Di antara madrasah yang terkenal adalah madrasah Nidzamiyah di Baghdad yang didirikan oleh Wazir Nizam al-Mulk tahun 457 H. Para ulama besar mengajar di madrasah ini antara lain, Abu Ishaq al-Syirazi al-Fairuzzabadi, pengarang kitab Tanbîh, kitab fikih mazhab Syafi’i. Juga Abu Hamid al-Ghazali yang menjadi guru besar di madrasah tersebut. Setelah berkuasanya Bani Saljuk yang Sunni menyingkirkan Bani Buwaihi yang Syi’i, madrasah didirikan secara besar-besaran. Para khalifah, wazir, sultan, orang-orang kaya berlomba-lomba mendirikan madrasah. Di Mesir hingga abad ketujuh Hijriah berdiri lebih dari 63 madrasah yang kebanyakan dibiayai dengan menggunakan harta wakaf.38 Madrasah dibuat terutama untuk kajian ilmu-ilmu agama dengan penekanan bidang fikih, hadis, dan tafsir. Ilmu alam tidak mendapatkan porsi yang proporsional dalam madrasah. Pada mulanya, madrasah biasanya dibangun untuk kepentingan mazhab fikih tertentu dan terutama dalam rangka melawan pengaruh Syi’ah yang dianggap sesat oleh Ahlusunnah. Tapi belakangan, madrasah-madrasah tertentu juga mengajarkan ilmu keaalaman. Khalifah al-Mustansyir (1226-1242 M/623-640 H) mengangkat dokter ahli untuk mengajar para mahasiswa di madrasah al-Mustansyiriyyah. Dokter dan para mahasiswa itu diberi gaji dan beasiswa seperti yang diberikan kepada mereka yang menekuni bidang fikih, hadis, dan tafsir.39 38 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Ibrahim Huseon, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 42. 39 Lihat Ahmad Syalabi, Târîkh al-Tarbiyah al-Islâmiyyah, (Kairo: al-Nahd}ah alMis}riyyah, 1977), 108-109.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


108 Shobahussurur Lembaga-lembaga tersebut di atas mempunyai peran penting dalam proses transmisi ilmu pengetahuan masa klasik. Lembagalembaga tersebut mengangkat ilmu pengetahuan Islam menjadi sebuah peradaban Islam yang disegani di Barat. Namun karena faktor-faktor politik, kekuasaan, kepentingan mazhab dan kepentingan kelompok, tidak jarang lembaga-lembaga pendidikan itu menjad korban. Pada masa Bani Saljuk umpamanya, dapat dilihat bagaimana para penguasa itu mematikan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan hanya karena mempunyai paham keagamaan yang berbeda. Sesuatu yang mestinya tidak boleh terjadi dalam membangun peradaban Islam yang agung.

Proses Transmisi Ilmu Pengetahuan Perkembangan ilmu pengetahuan yang spektakuler melalui lembaga-lembaga sebagaimana disebutkan di atas mengundang pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya. Bagaimana proses transmisi ilmu pengetahuan itu berlangsung sehingga peradaban Islam berkembang dengan pesat. Ilmu pengetahuan pada awalnya terkonsentrasi pada pribadipribadi guru. Para murid datang dari berbagai penjuru melakukan rih} l ah ‘ilmiyyah kepada syeikh tertentu untuk menimba ilmu pengetahuan yang diinginkan. Para guru memiliki spesialisasi ilmu tertentu. Dari para ahli itu para murid menimba ilmu, memahami, dan menguasainya. Proses transmisi pada awalnya lebih bersifat guru minded (teacher centered). Murid yang dianggap oleh guru telah menguasai bidang pelajaran tertentu diberi ijazah (sertifikat) dari dan atas nama sang guru, bukan dari lembaga seperti sekarang. Ketokohan sang guru lebih penting dari lembaga di mana dia mengajar. Mayoritas para ulama terkenal adalah produk proses belajar mengajar secara pribadi antar guru dan murid. Ada dua cara transmisi ilmu pengetahuan yang utama, yaitu secara oral dan secara tulisan. Metode oral dilakukan dengan cara guru membaca teks yang dipelajari, memberi keterangan atas poinpoin penting, sementara murid mendengarkan, atau dengan cara al-qirâ’ah ‘alâ al-syaikh, guru meminta murid membaca teks, guru mendengarkan kemudian mengoreksi bacaan yang salah.40 Setelah 40 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), 84. Juga Jonathan Berkley, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education, (Cambridge: Harvard University Press, 1992), 24.

Jurnal TSAQAFAH


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik

109

itu murid dipersilahkan untuk menanyakan hal-hal yang belum dipahami dari apa yang dibaca, atau sang guru bertanya (mengadakan ulangan) kepada murid seberapa jauh pemahamannya terhadap apa yang dibaca. Terjadilah diskusi serius (munâz} a rah atau munâqasyah), antara guru dan murid dengan argumen-argumen yang dimiliki. Tradisi ini penting bagi murid di kemudian hari karena mendidiknya untuk berargumentasi dengan nalar kuat dan dalildalil akurat.41 Metode tulisan dilakukan dengan cara pencatatan atau penyalinan teks yang didiktekan oleh syeikh. Proses ini penting karena tidak ada teknologi percetakan yang menggandakan tulisan dalam bentuk fotokopi atau percetakan. Buku-buku sangat mahal dan langka, itupun ditulis secara manual dengan tangan yang belakangan dikenal dengan manuskrip. Peserta didik tidak gampang dapat memiliki buku yang dimiliki guru. Oleh karenanya menyalin adalah solusi. Dua metode itu yang biasa dilakukan dalam proses belajar mengajar antara guru dan murid. Keduanya dipraktikkan melalui bentuk-bentuk, antara lain:42 1. Kontak langsung dalam majelis; semua murid dengan berbagai kemampuannya menghadiri h} a laqah, menyimak apa yang diterangkan oleh sang guru (syaikh), kemudian diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan atau komentar sekadarnya atas permasalahan yang belum jelas. 2. Kontak langsung secara pribadi antara guru dan murid di luar majelis dengan sangat intensif. Proses semacam ini sangat efektif dan sangat berhasil dalam proses transmisi. Proses seperti ini biasanya hanya dilakukan oleh seorang murid yang ingin mengambil spesialisasi khusus kepada guru yang ahli dibidangnya. 3. Murid dibantu al-Mu’îd (asisten guru) dalam menjelaskan kajian yang dianggap sulit oleh murid. Praktik ini biasanya dilakukan di luar majelis. Peran al-Mu’îd menjadi penting karena tidak semua penjelasan syeikh langsung dapat ditangkap oleh murid. 4. Belajar bersama antara murid di luar h} a laqah atau majelis (mudhâkarah), semacam kegiatan muwâjahah dalam pendidikan pesantren atau study club di sekolah-sekolah sekarang. Kegiatan ini sangat efektif dilakukan oleh para murid karena mereka dapat 41 Hasan Abd al-‘A’la, al-Tarbiyah al-Islâmiyyah fi> al-Qarn al-Râbi’ al-Hijrî, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, T.Th.), 154. 42 Jonathan Berkley, The Transmission…, 21; Ahmad Syalabi, Târîkh…, 230.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


110 Shobahussurur saling mendiskusikan pelajaran yang telah diajarkan oleh guru, bahkan mereka dapat mengembangkannya dengan temuan pikiran baru. 5. Murid belajar sendiri (self study), untuk memahami pelajaran. Murid membaca sendiri bidang pelajaran yang ingin ditekuni, berusaha menghafal dan memahaminya. Pada akhirnya murid menghadap guru tertentu sesuai dengan bidang pelajaran yang habis dibaca diminta diuji sejauh mana pamahamannya terhadap teks yang dibaca. Keberhasilan proses transmisi ilmu pengetahuan tidak lepas dari peran penguasa pada waktu itu yang turut mendukung, membiayai dan membina proses transmisi. Sebut saja khalifah alMakmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dengan semangatnya membangun Dâr al-H}ikmah dan Dâr al-‘Ilm, Wazir Nizam al-Mulk mengembangkan lembaga-lembaga yang disebut madrasah. Mereka mengelola sumber-sumber pendanaan pendidikan dengan baik, berupa pendayagunaan zakat, infak, sedekah, wakaf, dan sumber-sumber pendanaan lain. Pengelolaan pendidikan tidak saja diserahkan kepada lembaga, guru, murid atau walinya, tapi mendapat perhatian besar dari penguasa.

Penutup Kemajuan ilmu pengetahuan Islam masa klasik mengantarkan umat Islam mencapai puncak kejayaannya. Pengaruhnya tidak saja bagi umat Islam itu sendiri, tetapi bagi umat manusia seluruhnya (rah}matan li al-‘âlamîn) dalam rangka membangun bangunan peradaban manusia yang kokoh, sophisticated, dan beradab. Renaisans Barat sejak abad ke 14 M terjadi tidak lepas dari peran peradaban saat itu.43 Kota-kota ilmu pengetahuan penting seperti Baghdad, Kairo, Cordova, ramai dikunjungi oleh para mahasiswa yang ingin menimba ilmu bukan saja dari dunia Islam tapi dari daratan Eropa. Dalam rangka proses transmisi ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan didirikan. Pada mulanya bahkan proses transmisi itu tidak melalui lembaga tapi melalui pribadi guru. Semangatnya adalah bagaimana ilmu pengetahuan itu dapat ditransmisikan. Oleh karenanya, sangat naif bila lembaga pendidikan didirikan tetapi tidak mampu berfungsi sebagai lembaga pengembang ilmu pengetahuan. Metode transmisi ilmu pengetahuan harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga lembaga pendidikan benar-benar menjadi agent Jurnal TSAQAFAH


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik

111

of change (agen perubahan) bagi kemajuan peradaban Islam. Ilmu pengetahuan pada masa kejayaan Islam tidak pernah dikotak-kotakkan menjadi bagian-bagian, kemudian menganggap ilmu tertentu penting dan ilmu yang lain tidak berguna. Perhatian para ulama terhadap ilmu-ilmu profane (filsafat, eksakta, dan humaniora) sama besarnya dengan perhatian mereka terhadap ilmuilmu keislaman. Namun ilmu dan peradaban Islam menjadi redup sejalan dengan pola pikir yang berubah, di mana ilmu-ilmu keislaman dijadikan sebagai paling dominan, sementara ilmu-ilmu profane menjadi ilmu pinggiran.[]

Daftar Pustaka Abd al-‘A’la, Hasan. T.Th. al-Tarbiyah al-Islâmiyyah fî al-Qarn alRâbi’ al-Hijrî. Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî. Abu Syuhbah, Muhammad. 1969. Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub alS}ih}h}ah al-Sittah. Kairo: Silsilah al-Buh}ûts al-‘Ilmiyyah. Al-Asy’ari, Abu Hasan. 1955. Kitâb al-Luma’ fi> al-Radd ‘alâ Ahl alZiyagh wa al-Bida’. Kairo: Mat}ba’ah al-Mu’înah. Amin, Ahmad. 1933. D}uh}â al-Islâm. Kairo:Maktab al-Nahd}ah alMis}riyyah. ______. 1968. Fajr al-Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam; Kajian atas Lembaga-lembaga Pendidikan. Bandung: Mizan. Berkley, Jonathan. 1992. The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education. Cambridge: Harvard University Press. Bruinessen, Martin Van. 1992. Tarekat Naqsabandiyyah di Indonesia. Bandung: Mizan. Fahmi, Asma Hasan. 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Ibrahim Huseon. Jakarta: Bulan Bintang. Fakhri, Majid. 1983. A History of Islamic Philosophy. Columbia University Press. Al-Faruqi, Ismail Raji., dan Faruqi, Lamya. 1982. The Cultural Atlas of Islam. New York: MacMillan. Hamka. 1976. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. Hitti, Philip K. 1974. History of The Arabs. London: Mac Millan Press. 43

Bahasan lebih lanjut tentang kontribusi Islam terhadap Barat lihat Montgomery Watt, The Influence of Islam on Medieval Europe, (Edinburgh: Edinburgh Unversity Press, 1994).

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


112 Shobahussurur Khallaf, Abdul Wahhab. 1970. Târi>kh al-Tasyrî’ al-Islâmi. Kairo: Da>r al-Qalam. Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Nakosteen, Mehdi. 1964. The History of Islamic Origins of Western Education A. D. 800-1350; with an Intruction to Medieval Muslim Education. Colorado: University of Coloroda Press, Boulder. Nasr, Syed Hossein. 1968. Science and Civilization in Islam. Harvard University Press. _____. 1986. Science and Civilization in Islam, Terj. Mahyudin. Bandung: Pustaka. Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press. Al-Qaththan, Manna’. 1989. Tasyrî’ al-Fiqh al-Islâmi. Kairo: Dâr alMa’ârif. Rahman, Fazlur. 1984. Islam. Bandung: Pustaka. Sharif, M.M. 1963. A History of Muslim Philosophy. Wiesbaden: Otto Harroswitz. Stanton, Charles Michael. 1994. Higher Learning in Islam The Classical Period A. D. 700-1300, Terj. Afandi. Jakarta: Logos Publishing House. Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad XIX. Jakarta: Bulan Bintang. Syalabi, Ahmad. 1977. Târîkh al-Tarbiyah al-Islâmiyyah. Kairo: alNahd}ah al-Mis}riyyah. Al-Syahrastani. 1980. al-Milal wa al-Nih}al, Jilid 1. Beirut: Dâr alMa’ârif. Watt, Montgomery. 1994. The Influence of Islam on Medieval Europe. Edinburgh: Edinburgh Unversity Press. Yaqub, Ali Mustafa. 1991. Imam Bukhari dan Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Jurnal TSAQAFAH


Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru: Membaca Pemikiran Said Nursi Akhmad Rizqon Khamami* Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Tulungagung Email: rizqonkham@yahoo.com

Abstract There are three models of approaches to modernity that was born in the West; 1) accepting it by taken for granted, 2) rejecting it, and 3) trying to find a new alternative in addition to the Western civilization with the spirit of re-establishing the practice of ijtihad, erasing taklid, and returning to al-Quran and al-Sunnah. This article discussed the idea of Said Nursi in the reconciliation of science and Islam. It offered an epistemological approach that integrates Islam and science. The author attempted to break the academic problem and borrowed Ian Barbour’s approach. Four reactions that occur as a result of the encounter of science and religion: conflict, independence, dialogue, and integration. The theory states that the first step to make the integration go smoothly is removing science from materialist philosophy. This step is performed by Nursi. Nursi built a new epistemology as an offer to the condition of Muslims, who at that time should redevelop the civilization which was left behind by European nations. Nursi reconciled Islam and science towards integrity. Nursi was against Materialism for the first step. Secondly, he put the al-Qur’an as the highest source of science. By making the method of science under the principles and worldview of the al-Qur’an, it can change the modern scientific understanding of the universe to be in accordance with the description of the al-Qur’an.

Keywords:

Said Nursi, Science, Epistemology, Revelation, Rational

*

Fakultas Ushuluddin IAIN Tulungagung, Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung, Jawa Timur 662211. Telp. (0355) 321513.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


52

Akhmad Rizqon Khamami

Abstrak Terdapat tiga model pendekatan umat Islam terhadap modernitas yang dilahirkan masyarakat Barat; 1) menerima modernitas tersebut mentah-mentah, 2) menolaknya, dan 3) berusaha menemukan alternatif baru selain peradaban Barat dengan semangat menegakkan kembali praktik ijtihad, menghapus taklid, serta kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah. Artikel ini membahas ide Said Nursi pada rekonsiliasi sains dan Islam. Ia menawarkan sebuah pendekatan epistemologis yang mengintegrasikan Islam dan ilmu pengetahuan. Penulis berusaha mengupas kegelisahan akademik tersebut dengan meminjam pendekatan yang ditawarkan oleh Ian Barbour, yaitu empat reaksi yang timbul sebagai akibat perjumpaan sains dan agama: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa jika integrasi ingin berjalan dengan mulus, langkah pertama adalah menyingkirkan filsafat Materialisme dari sains. Langkah ini dilakukan oleh Nursi. Nursi membangun epistemologi baru sebagai tawaran untuk kondisi umat Islam yang pada masa itu harus mengembangkan kembali peradaban yang tertinggal dari bangsa-bangsa Eropa. Nursi merekonsiliasi Islam dan sains menuju integritas. Sebagai langkah pertama, Nursi menentang Materialisme. Kedua, menempatkan al-Qur’an sebagai sumber ilmu tertinggi. Dengan menjadikan metode sains tunduk pada prinsip dan cara pandang al-Qur’an maka dapat mengubah pemahaman sains modern atas alam semesta menjadi lebih sesuai dengan deskripsi al-Qur’an.

Kata Kunci: Said Nursi, Sains, Epistemologi, Wahyu, Rasional

Pendahuluan

P

erjumpaan dunia Islam dengan peradaban Barat pada abad ke-19, terutama dengan masuknya Perancis ke Mesir dan berkuasanya kolonialisme Inggris di India, menyadarkan umat Islam akan kemunduran yang menimpa dunia Islam, dan selanjutnya melahirkan tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamal al-Din alAfghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain. Perjumpaan dua peradaban ini melahirkan perdebatan serius di kalangan intelektual Muslim, terutama persoalan hubungan antara Islam dan sains, serta cara merengkuh modernitas. Sebagai reaksi atas perdebatan tersebut muncul tiga kubu: kelompok revivalis yang menolak westernisasi dan modernisasi sekaligus, kelompok modernis ekstrem yang melakukan modernisasi dan Jurnal TSAQAFAH


Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru

53

menerima westernisasi, dan kelompok modernis yang menerima modernisasi namun menolak westernisasi. Adapun kelompok pertama menyeru untuk kembali pada ajaran Islam murni seperti zaman Nabi Muhammad dan peradaban awal Islam dengan membuang seluruh pengaruh kultur dari luar meskipun dalam kajian Boullata tersingkap bahwa kelompok revivalis ini ternyata tidak menolak sains. Mereka justru beranggapan bahwa sains modern merupakan kelanjutan dari peradaban di masa kejayaan Islam di era sebelumnya.1 Sedangkan kelompok modernis ekstrem dipraktikkan oleh Kemal Ataturk dengan proyek Republik Turki-nya yang meniru sepenuhnya peradaban Barat.2 Adapun Islam modernis, sebagai kubu ketiga, berada di tengah dua suara tersebut. Kelompok ini berusaha menemukan alternatif baru selain peradaban Barat dengan semangat menegakkan kembali praktik ijtihad, menghapus taklid, serta kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah (rujû’ ila al-Qur’ân wa al-sunnah). Bagi sebagian orang, pendidikan model Eropa dianggap sebagai kunci untuk mencapai kemajuan peradaban seperti Barat.3 Sekolah berkurikulum Eropa muncul beriringan dengan sistem pendidikan madrasah yang telah ada sejak dulu. Madrasah memberi pendidikan agama kepada masyarakat, sedangkan sekolah bergaya Eropa untuk kelompok elit.4 Persaingan kedua model pendidikan ini menimbulkan kesenjangan kultural antara lulusan madrasah yang berorientasi tradisional dengan lulusan sekolah berkurikulum Barat yang berorientasi modern. Kesenjangan ini disebut oleh ilmuwan sebagai krisis peradaban. 5 Pertanyaan yang timbul dalam membaca fenomena ini, bagaimana reaksi intelektual Muslim? Reaksi intelektual Muslim beragam, dan dalam tulisan ini dibatasi pada reaksi seorang ulama dan pemikir Turki, yaitu Said 1 Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Thought, (Albany: SUNY Press, 1990), 4. 2 Christopher A. Furlow, “The Islamization of Knowledge: Philosophy, Legitimation, and Politics”, dalam Social Epistemology, Vol. 10, No. 3&4 (1996), 259-271. 3 Seteney Shami, “Socio-cultural Anthropology in Arab Universities”, dalam Current Anthropolog, Vol. 30, No. 5 (Desember 1989), 649-654. 4 Mahmud A. Faksh, “The Consequences of the Introduction and Spread of Modern Education: Education and National Integration in Egypt”, dalam Middle East Studies, Vol. 16, No. 2 (1990), 42-55. 5 Lihat, R. Hrair Dekmejian, “The Anatomy of Islamic Revival: Legitimacy Crisis, Ethnic Conflict and the Search for Islamic Alternatives”, dalam Middle East Journal, Vol. 34, No. 1 (Winter 1980), 1-12.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


54

Akhmad Rizqon Khamami

Nursi (1877-1960). Dalam pandangan Nursi, integrasi sains dan Islam adalah obat untuk krisis peradaban tersebut. Pertanyaan menggelitik yang muncul selanjutnya, bagaimana cara Said Nursi menyelesaikan problem integrasi tersebut, terutama problem epistemologi yang memisahkan sains dan agama? Pertanyaan inilah yang menjadi dasar kajian dalam tulisan ini. Penulis berusaha mengupas kegelisahan akademik tersebut dengan meminjam pendekatan yang ditawarkan oleh Ian Barbour, yaitu empat reaksi yang timbul sebagai akibat perjumpaan sains dan agama: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa jika integrasi ingin berjalan dengan mulus, langkah pertama adalah menyingkirkan filsafat Materialisme dari sains. Langkah ini dilakukan oleh Nursi.

Rekonsialiasi Sains dan Islam Sebelum Hamid Algar menerjemahkan buku-buku Nursi ke dalam bahasa Inggris sejak tahun 1979 dan memperkenalkan sosok Nursi melalui berbagai publikasi,6 para intelektual Barat hampir tidak mengenal sosok Nursi. Saat ini, di samping publikasi Algar tersebut, ketertarikan ilmuwan pada Nursi dipicu munculnya fenomena gerakan sosial keagamaan yang dikenal sebagai gerakan Nurcu (pengikut Nursi) di panggung nasional Turki maupun di pentas global sejak tahun 80-an. Sampai-sampai jurnal bergengsi dalam kajian keislaman, The Muslim World, pada edisi vol. LXXXIX, no. 34, Juli-Oktober 1999, mengangkat topik Said Nursi yang mengupas dari berbagai aspek kajian. Salah satu cabang Nurcu yang fenomenal adalah Gulen Movement yang memiliki ribuan pengikut, membuka lembaga pendidikan di seantero dunia dengan penekanan pada pengajaran sains, serta menjadi gerakan sosial yang disegani di pentas politik Turki. Di Indonesia telah berdiri sejumlah sekolah Gulen, di antaranya: Pribadi di Depok dan di Bandung, Kharisma Bangsa di Tangerang, Semesta di Semarang, Hati di Probolinggo, dan dua sekolah Gulen lainnya di Aceh. Nursi adalah sosok pemikir Islam Turki yang berusaha merekonsiliasi sains dan Islam, serta membangun teori rekonsiliasi 6 Salah satu artikel Hamid Algar menempatkan sosok Said Nursi sebagai salah satu pemikir modernis abad 20 yang menarik untuk dikaji. Lihat, Hamid Algar, “The Centennial Renewer: Bediuzzaman Said Nursi and the Tradition of Tajdid,� dalam Journal of Islamic Studies, Vol. 12, No. 3, September 2001, 291-311.

Jurnal TSAQAFAH


Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru

55

tersebut. Said Nursi masuk dalam kategori pemikir era modern seperti halnya Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, dan Jamal al-Din al-Afghani. Ia memperlihatkan diri sebagai pemegang tongkat estafet pembaharuan Islam tokoh-tokoh tersebut. Nursi meyakini bahwa kemajuan sains adalah faktor utama keunggulan peradaban Eropa. Jika umat Islam ingin menyusul Barat, maka pilihan utamanya tidak lain adalah mengembangkan sains. Modernisasi, lanjut Nursi, tidak dapat dihindari. Pendidikan di dunia Islam harus mengajarkan sains. Untuk itu Nursi pernah bermimpi akan mengembangkan model pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan Islam dengan sains, Medresse-ul Zahra. Meskipun Nursi ingin memodernkan pendidikan Islam, tetapi ia bersikap kritis terhadap peradaban Barat. Nursi melihat penetrasi sains ke tengah masyarakat Ottoman pada era Tanzimat (reformasi) selama rentang tahun 1839 hingga 1876 justru menyuburkan filsafat Materialisme. Sains berkontribusi pada penyebaran paham ini ke tengah masyarakat. Karena itu, ia ingin mengembangkan pembaruan sains yang cocok bagi masyarakat Muslim. Perhatian utama Nursi adalah memperjelas benang merah hubungan sains dan Islam. Meski ia mengagumi kemajuan sains Barat sebagaimana halnya al-Afghani, menariknya Nursi tidak mengikuti pendekatan yang dilakukan oleh al-Afghani. Ia mengambil jalan berbeda. Menurut Nursi, ilmu-ilmu Islam, ilim, lebih unggul dibanding ilmu Barat. Melalui penggunaan metodologi sains modern ia berusaha “menemukan” Tuhan. Nursi bahkan berpendapat bahwa sebuah pengetahuan dapat diterima meski berasal dari intuisi, bukan hanya indra (empiris) yang selama ini menjadi dasar epistemologi Barat. Kebenaran intuisi ini, lanjut Nursi, lebih kuat dibanding kebenaran parsial sains materialis yang bergantung pada indra. Pengalaman indra, demikian ungkap Nursi, bisa saja keliru.7 Dari sudut epistemologi, Nursi berada di tengah persinggungan antara sains materialis, formalisme kering ulama, dan sufisme. Rekonsiliasi sains dan Islam ia lakukan dengan mengintegrasikan pandangan sufi ke dalamnya. Integrasi ini untuk menjawab tantangan pengikut filsafat Materialisme sains yang menyerang agama dan menolak Tuhan. Syarat pertama yang harus dilakukan adalah dengan menyesuaikan integrasi tersebut dengan bahasa dan 7 Imtiyaz Yusuf, “Bediuzzaman Said Nursi’s Discourse on Beliefe in Allah: A Study of Texts from Risale-i Nur Collection”, dalam The Muslim World, 89, 1999, 347.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


56

Akhmad Rizqon Khamami

pemahaman masyarakat modern. Islam harus memasukkan temuan sains ke dalam penafsiran agama, bukan menolaknya. 8 Nursi mengakui sains bisa menjadi sumber kebenaran. Namun menempatkan sains di bawah payung Islam akan semakin mengokohkan sains. Ketika kita membaca alam fisik, cara pandang kita harus dibungkus dengan konsep ketuhanan. Nursi berkesimpulan bahwa sains dan Islam tidak berkonflik.9 Penghalang pertama integrasi ini adalah masuknya filsafat Materialisme ke dalam metode sains.10 Karena itu ia menyerang filsafat Materialisme. Cara ini sejalan dengan teori Ian Barbour bahwa integrasi bisa dilakukan jika filsafat Materialisme dihilangkan.

Kritik terhadap Materialisme Serangan Nursi terhadap filsafat Materialisme ini tidak lepas dari maraknya filsafat Materialisme di seantero Kesultanan Ottoman. Beberapa intelektual terkemuka Ottoman merupakan pengikut Materialisme ini, antara lain adalah Besir Fuad, Baha Tevfik, dan Abdullah Cevdet—untuk menyebut beberapa nama saja. Musuh Nursi bukanlah aliran filsafat ketuhanan deisme, tetapi “Materialisme Vulgar”11 Jerman yang didengungkan oleh tokoh seperti Karl Vogt (1817-1895) dan Ludwig Buchner (1824-1899).12 Kedua orang ini bukan hanya filsuf dalam pengertian umum, mereka juga dikenal sebagai ilmuwan dalam bidang ilmu alam. Filsafat Materialisme menegaskan bahwa Tuhan, malaikat, dan seluruh hal gaib yang tidak bisa dibuktikan secara indra dan tidak berwujud materi maka dianggap tidak ada. Di Eropa, Materialisme Vulgar tidak berumur 8 Ibrahim Abu-Rabi, “Editor’s Introduction”, dalam Islam at the Crossroads: On the Life and Thought of Bediuzzaman Said Nursi. Edited by Ibrahim M. Abu-Rabi’, (Albany: State University of New York Press, 2003), x. 9 Serif Mardin, Religion and Social Change in Modern Turkey: The Case of Bediuzzaman Said Nursi, (Albany, NY: State University of New York Press, 1989), 81. 10 Lihat, Ian G. Barbour, When Science Meets Religion, (New York: Harper Collins Publishers, 2000). 11 Karl Marx membuat istilah ‘Vulgar Materialist’ yang digagas oleh Ludwig Feuerbach (seperti Karl Vogt, Ludwig Buchner, dan Jacob Moleschott) untuk membedakan dengan ‘Materialisme Historis’ yang ia sendiri gagas. Untuk lebih detil, lihat Karl Marx dan Friedrich Engels, On Religion, (New York: Schocken Books, 1964), 231. 12 Lihat, M. Sait Ozervarli, “Transfering Traditional Islamic Disciplines into Modern Social Sciences in Late Ottoman Thought: The Attempt of Ziya Gokalp and Mehmed Serafeddin”, dalam The Muslim World , Vol. 97, April 2007, 317-330.

Jurnal TSAQAFAH


Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru

57

panjang. Selain Nietczhe, pengkritik aliran filsafat ini bermunculan. Salah satunya adalah kelompok neo-Kantian. Serangan kelompok neo-Kantians seperti Julius Frauenstadt (1813-1879) berakibat pada pudarnya pengaruh Materialisme Vulgar di Jerman dan di Eropa pada akhir abad-19. Anehnya, filsafat ini justru menjadi tren di kalangan intelektual Ottoman bahkan di kemudian hari diadopsi oleh Kemal Ataturk dalam menggerakkan Turki Modern.13 Meskipun secara sekilas kritikan Nursi terhadap filsafat Materialisme tampak memiliki kemiripan dengan neo-Kantian, namun kritik Nursi sesungguhnya memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Nursi berpandangan bahwa Materialisme Vulgar memiliki pemahaman yang salah terhadap alam. Kesalahan kelompok Materialisme terletak pada konseptualisasi mereka tentang alam yang dianggap sebagai sebuah sistem tertutup yang berjalan dengan sendirinya (self-sustaining). Sedangkan dalam pandangan Nursi, semua fenomena alam, selain memiliki makna fisik yang immanen (makna ismi) yang terkait dengan hukum alam yang menyebabkannya, juga memiliki makna yang transenden (makna h}arfi) yang merujuk pada Sang Pencipta hukum alam itu sendiri, yaitu Tuhan. Pengikut Materialisme mengabaikan penafsiran transenden dengan melebih-lebihkan karakter alam yang tidak membutuhkan Tuhan. Karena itu Nursi menganggap epistemologi filsafat Materialisme tidak pernah dapat diakomodasi dalam Islam.14 Bahkan kelak ketika memasuki fase ‘New Said’,15 Nursi tidak saja bersikap kritis terhadap Materialisme, namun ia pada akhirnya tidak lagi bersikap kooperatif dengan nilai-nilai Saintisme.16 Nursi membedakan antara sains materialis dan sains murni. Materialisme tidak dapat direkonsiliasi dengan Islam, sedang temuan sains murni dapat diserap. Menurut Nursi, alam semesta dan al13 M. Sukru Hanioglu, “Blueprints for a Future Society: Late Ottoman Materialists on Science, Religion, and Art”, dalam Late Ottoman Society: The Intellectual Legacy, (ed.), Elisabeth Ozdalga, (Abingdon: RoutledgeCurzon, 2005), 28-116. 14 Sukran Vahide, “Toward an Intellectual Biography of Said Nursi.” dalam Islam at the Crossroads…, 3. 15 Dalam uraiannya, Sujiat Zubaidi, mengklasifikasikan fase kehidupan Said Nursi dalam tiga rumusan masa sesuai dengan karakteristik dan corak pemikirannya: fase pertama, Nursi Harakiy; kedua, Nursi Tarbawiy; dan ketiga Nursi al-Zahid, lihat selengkapnya dalam Sujiat Zubaidi, Tafsir Kontemporer Bediuzzaman Said Nursi dalam Risale-i Nur, Studi Konstruk Epistemologi, Disertasi Doktor di Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015, (Tidak Diterbitkan), 138-148. 16 Saintisme adalah sikap menganggap sains sebagai sesuatu yang paling benar.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


58

Akhmad Rizqon Khamami

Qur’an adalah wahyu. Sedangkan metode materialistik yang mendapatkan pengetahuan tentang alam fisik dengan tidak mempertimbangkan fondasi metafisika merupakan sumber penolakan terhadap agama. Penolakan kelompok materialis ini menyebabkan ketidaksesuaian antara sains dan al-Qur’an. Al-Qur ’an hadir sebagai wahyu dalam bentuk tertulis, sedangkan alam semesta adalah ayat-ayat wahyu dalam bentuk fisik. Karena itu mempelajari alam tidak bertentangan dengan keimanan, bahkan justru memperkuat. Nursi mengkonstruksi hubungan refleksif dan interdependen antara al-Qur’an dan fenomena alam. Ayat-ayat yang tampak tidak sesuai dengan fakta sains, atau tidak dapat ditangkap oleh akal manusia, sejatinya menunggu untuk ditafsirkan sesuai dengan alam. Dunia yang diciptakan Tuhan ini, Nursi menganggap sebagai “kitab alam semesta”, manifestasi al-Qur’an dalam bentuk fisik. Ia menekankan pentingnya dunia spiritual, “mengislamkan” apa yang hingga kini dipahami oleh kelompok materialis sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya dengan menempatkan Tuhan sebagai pencipta. Dengan demikian, ketika Nursi memberikan warna spiritual pada dunia fisik ini, maka berarti ia meluruskan penyimpangan saintis yang tidak ingin dibatasi oleh wahyu dalam menggunakan rasio. Nursi tidak ragu dengan persesuaian antara Islam dan kemajuan dunia materi. Ia justru membuktikan bahwa al-Qur’an menjadi basis kemajuan teknologi dan sains. Islam meneguhkan al-Qur’an sebagai kitab normatif yang sesuai dengan kemajuan manusia. Hubungan reflektif antara al-Qur’an dan alam semesta memiliki arti bahwa keduanya saling terkorespondensi. Nursi menegaskan bahwa korespondensi antara alam semesta dan al-Qur’an bersifat alamiah. Korespondensi ini muncul sebagai jawaban ketika dunia Islam sedang dikepung oleh perseteruan epistemologi antara metode objektif rasionalis yang dipakai kalangan filsuf dan metode esoterik subjektif oleh pengikut Sufisme. Kalangan sufi memperoleh ilmu dengan ‘hati’ (intuisi). Sedangkan para filsuf menggunakan logika induktif dan observasi indra dengan kecenderungan mengagungkan aspek material dan mengorbankan dimensi metafisik. Untuk mendamaikan dua pendekatan intelektual ini—menyatukan hati dan rasio—diperlukan panduan al-Qur’an. Menemukan titik korespon17

Serif Mardin, Religion and Social Change, 80.

Jurnal TSAQAFAH


Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru

59

densi antara wahyu dan aspek pengamatan (empiris) merupakan hal krusial. Nursi menegaskan, jika pengetahuan tidak memiliki wawasan hati, maka itu adalah kebodohan.17 Nursi tidak menggantungkan hanya pada perhitungan rasional yang didasarkan pada spekulasi semata, tetapi juga logika deduktif yang didasarkan pada bukti-bukti empiris dan observasi. Epistemologi Nursi adalah gabungan antara logika deduktif, observasi kontemplatif, dan pemikiran analogis yang dipandu oleh al-Qur’an. Ia membedakan antara makna nominal benda sebagai materi yang wujud (makna ismi), dan makna indikatif di mana benda sebagai tanda dan manifestasi Tuhan (makna h}arfi). Metodologi ini merupakan inti pemikiran epistemologi Nursi. Sedangkan filsafat Materialisme, menurut Nursi, menempati posisi yang salah karena ismi (benda) menjadi hilang dalam sifat superfisial alam. Sedangkan hakikat benda sesungguhnya adalah bayangan dari sifat dan nama Tuhan. 18 Islam menggunakan titik pandang al-Qur ’an dalam mengamati realitas benda sebagai sesuatu yang memiliki indikatif (h} a rfi). Semua benda di dunia memperlihatkan adanya Sang Pencipta. Keteraturan alam, misalnya, merupakan tanda adanya sosok Tuhan yang Maha Kuasa. Setiap benda memiliki makna intrinsik pada dirinya. Benda tidak memiliki makna atau eksistensi diri kecuali apa yang inheren dalam dirinya sebagai refleksi sifatsifat ketuhanan. Epistemologi Nursi ini melahirkan sains yang bisa berintegrasi dengan agama. Sains model ini, menurut Nursi, memakai pendekatan agama dalam mengamati objek pengetahuan. Sementara itu Materialisme tidak menangkap makna indikatif yang melekat pada benda. Materialisme hanya mengakui makna nominal saja. Artinya, mereka hanya memperhatikan hal-hal luar yang kasat mata (materi) sebagai sesuatu yang sah untuk diobservasi. Lalu muncul pertanyaan, kenapa Tuhan tidak memunculkan diri sebagai sosok materi yang dapat diindra? Nursi menjawab bahwa sesungguhnya Tuhan sengaja menyembunyikan hakikat diri-Nya agar eksistensi-Nya menjadi rahasia, memancing manusia agar terus mencari. Dengan cara demikian itu, dunia menjadi arena ujian bagi manusia. Hakikat Tuhan yang tertutup ini menjadi tantangan bagi 18 M. Sait Ozervarli, “Said Nursi’s Project of Revitalizing Contemporary Islamic Thought”, dalam Islam at the Crossroads…, 325.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


60

Akhmad Rizqon Khamami

iman seseorang. Sedangkan bagi pengikut Materialisme, kondisi tertutup tersebut diyakini ada dengan sendirinya, tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya.

Integrasi Rasio dan Hati: Epistemologi Baru Nursi menawarkan jalan epistemologi baru, yaitu mengintegrasikan rasio dan hati. Ia menjawab kebutuhan Islam di abad modern. Misi yang ingin diusung oleh Nursi adalah menyegarkan kembali pemikiran Islam. Masa itu para pemikir modernis berpendapat bahwa Islam mengalami kemunduran dan kejumudan, sehingga harus diganti dengan corak pemikiran yang baru. Ia sedang mengisi ceruk tersebut. Pemikiran ini merefleksikan premis dasar pemikiran Nursi seperti yang tergambar dari lingkungan intelektual di hampir seluruh dunia Islam masa itu, dari Abduh, al-Afghani, juga Sayyid Ahmad Khan. Semua pemikir tersebut bersepakat bahwa Islam mengalami kemunduran. Salah satu sebab kemunduran itu adalah kemandulan intelektual di dunia Islam. Nursi mengusulkan sains sebagai jawaban atas kemunduran tersebut. Sains bisa menjadi standar intelektual di zaman modern, termasuk agama. Islam, dengan demikian, tidak boleh mengabaikan intellectual inquiry sebagai metode memperoleh pengetahuan. Sains modern harus diintegrasikan ke dalam Islam. Ketika formula ini dijadikan pijakan epistemologi maka akan muncul teori integrasi antara Islam dan sains, salah satunya melalui penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada temuan sains modern. Nursi mendefinisikan proyek ini sebagai ‘Miraj-i Qur’ani’. Ia menghadirkannya sebagai tawaran metode pemikiran di tengah pemikiran Islam yang telah ada, semisal sufi, filsafat (hikmah) dan ilmu kalam. Ia menganggap metode ‘Miraj-i Qur’ani’ lebih kokoh dibanding tiga pemikiran tersebut. Metode ini dapat menggantikan metode normatif dalam membaca al-Qur’an. Metode tersebut dapat menjadi standar untuk membaca al-Qur’an di zaman modern. Letak perbedaan antara metode yang ditawarkan oleh Nursi dan metode normatif adalah pada penggunaan temuan sains modern. Metode ‘Miraj-i Qur’ani’ mengintegrasikan temuan sains modern ke dalam tafsir al-Qur’an. Metode ini pada mulanya 19 Serdar Dogan, “The Influence of Modern Science on Bediuzzaman Said Nuris’s Thinking”, dalam Islamic Sciences, Vol. 12, No. 1, Summer, 2014, 5-6. 20 Abasi Kiyimba, “Islam and Science: an Overview”, dalam Islamic Perspective on Science, Editor: Ali Unal, (New Jersey: The Light, Inc., 2007), 14.

Jurnal TSAQAFAH


Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru

61

berangkat dari keyakinan Nursi tentang objectivity and universal validity of modern science.19 Artinya, sains selamanya dianggap benar. Pada fase ‘Old Said’ ia mempercayai Saintisme. Sains diterima hampir tanpa kritik. Ia tidak menyadari bahwa penggunaan temuan sains modern dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dapat melahirkan masalah—meminjam istilah Abasi Kiyimba—sebagai ‘bom waktu’.20 Seiring perubahan waktu, pemikiran Nursi mengalami pematangan. Rencana penafsiran model di atas tidak terealisasikan sebagaimana yang diinginkannya. Justru kemudian lahir karya monumentalnya: Risale-i Nur. Dalam buku ini ia tidak memakai temuan sains modern seperti gagasan awal di atas, ia justru menggunakan metode lain yang ia sebut sebagai membaca al-Qur’an dari dekat. Akan tetapi ia tidak memunculkan kritik terhadap sains modern yang tersistematis sehingga dapat membongkar kekurangan sains materialis pada level filsafat. Pergeseran pemikiran Nursi ini menandai perubahan fase yang dikenal di kalangan ilmuwan pengkaji Nursi sebagai fase ‘Old Said’ menjadi ‘New Said’. Pada fase ‘Old Said’, fokus Nursi mengarah pada rencana besarnya untuk mendirikan sekolah yang mengajarkan sains modern berdampingan dengan ilmu keislaman. Pada fase ini Nursi meyakini perlunya sebuah penafsiran baru yang ditulis berdasarkan temuan sains modern. Ia mengusulkan agar tafsir al-Qur ’an tersebut hendaknya ditulis oleh sekelompok saintis. Ia bahkan mulai menulis model ini pada sekitar masa-masa Perang Dunia Pertama, dan diberi judul Isyârât al-I’jâz. Dari gambaran di atas terbaca bahwa perubahan pemikiran Nursi dari ‘Old Said’ menjadi ‘New Said’ bukanlah terjadi secara kebetulan, namun merupakan pilihan sadar yang muncul setelah mengalami kegelisahan dan pencarian panjang. Kegelisahan tersebut lahir sebagai dampak dari perenungan panjang. Perubahan fase ‘Old Said’ menjadi ‘New Said’ merupakan akibat dari krisis spiritual yang ia alami. Menurut penulis, krisis ini barangkali disebabkan oleh penggunaan rasio yang berlebihan ketika memahami al-Qur’an sehingga berpengaruh negatif pada kehidupan spiritualnya. Kegelisahan intelektual di atas pada akhirnya memicu kesadaran Nursi bahwa dirinya membutuhkan bimbingan spiritual. Menariknya, ia tidak tertarik untuk memilih sosok guru secara personal dan berguru di bawah bimbingannya, ia malah memilih berguru kepada seseorang yang sudah lama meninggal. Akhirnya ia menemukan sosok tersebut pada Ahmad Faruq Sirhindi (meninggal Vol. 11, No. 1, Mei 2015


62

Akhmad Rizqon Khamami

1624). Ia berguru lewat karyanya. Saat membaca karya Sirhindi, Nursi mendapati satu tulisan yang berisi wejangan kepada seseorang yang kebetulan bernama Bediuzzaman. Karena memiliki persamaan nama antara orang tersebut dengan dirinya, Nursi menganggap wejangan tersebut seakan-akan ditujukan untuk dirinya. Wejangan tersebut berisi perintah untuk memilih satu kiblat. Maksudnya, Nursi harus memilih satu guru saja. Setelah merenungi nasehat ini, ia memutuskan kiblat yang dimaksud adalah al-Qur’an.21 “Dialog” dengan Sirhindi ini bukan satu-satunya pengalaman pencarian spiritual Nursi. Pengalaman kedua terjadi saat ia membaca buku Futûh} al-Ghayb karya tokoh sufi besar Abdul Qodir al-Jailani (meninggal 1166). Buku ini menjadi ilham kemunculan epistemologi Nursi tentang “memadukan rasio dan hati”. Pergulatan Nursi dengan buku ini memberinya pengalaman yang kemudian mendorong Nursi untuk bertekad menjadikan tulisan-tulisannya kelak harus berisi bimbingan spiritual, bukan hanya buku tentang ilmu pengetahuan.22 Nursi memberi perhatian besar pada Futûh} al-Ghayb. Ia menganggap buku ini seperti tabib pribadi yang mengobatinya menuju kesembuhan batin. Dalam membaca buku ini ia menghayati seakan-akan si penulis sedang berbicara langsung dengannya. Bahkan suatu hari, konon dalam satu kisah diceritakan bahwa seorang guru menegur keras salah satu muridnya. Karena penghayatan yang mendalam ketika membaca, Nursi merasakan seakan-akan si murid itu adalah dirinya. Teguran itu ia rasakan keras sekali hingga membuat hatinya bergemuruh. Teguran tersebut menusuk ego dirinya, sampai-sampai ia harus berhenti membaca dan beristirahat selama satu minggu. Baru setelah reda, ia mulai membacanya kembali. Kali ini dapat dituntaskan. Buku ini sebagai obat untuk kegelisahan jiwanya. Berkat buku tersebut ia mengalami transformasi spiritual.23 Pilihan Nursi pada al-Qur’an sebagai satu-satunya “guru”, senada dengan renungan imajiner Nursi tentang perbedaan filsafat dan wahyu. Perbedaan keduanya ia ibaratkan seperti sebuah perjalanan melalui terowongan yang digali di perut bumi. Terowongan ini digali oleh para filsuf Yunani dan para pengikutnya, seperti Plato, 21 Sukran Vahide, The Author of the Risale-i Nur: Bediuzzaman Said Nursi. (Istanbul: Sözler Nezriyat, 1998), 166-167. 22 Serdar Dogan, “The Influence…”, 33. 23 Ibid., 166.

Jurnal TSAQAFAH


Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru

63

Aristoteles, al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi, dan Ibnu Rusyd untuk menemukan jalan menuju ‘Realitas Tertinggi’ (h}aqîqah). Akan tetapi filsuf ini pada akhirnya menemui kegagalan. Mereka tetap terpenjara di dalam terowongan selamanya. Hakikat ‘Realitas Tertinggi’—dalam imajinasi Nursi tersebut diwakili oleh matahari—tidak mereka temukan. Sedangkan Nursi dengan menggunakan alat bantu seperti kompas dan lampu, berhasil menemukan jalan keluar, dan akhirnya menemukan matahari—yang menjadi simbol ‘Realitas’. Alat bantu tersebut adalah al-Qur’an. Jadi, hanya pada saat ‘filsafat’ melayani ‘wahyu’ sajalah kebenaran sejati dapat diraih. Karena itu, meskipun Nursi berusaha melakukan rekonsiliasi antara wahyu dan akal, ia tidak menyelaraskan agama dengan akal sebagaimana Muhammad Abduh, al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, dan pembaru Islam lainnya. Filsafat harus tunduk pada kebenaran wahyu, dan problem epistemologi dewasa ini adalah keengganan filsafat “bekerja” di bawah wahyu. Epistemologi Nursi tentang rasio dan intuisi dapat dipahami sebagai upaya Nursi membaca al-Qur’an sebagai cermin ‘wahyu fisika alam semesta’. Jika penggunaan rasio dalam membaca alQur’an digambarkan sebagai jalan yang aktif, sedangkan penggunaan hati, menurut Nursi, dapat didefinisikan sebagai jalan yang pasif karena akal manusia lebih rendah ketika berhadapan dengan alQur’an. Hal ini berarti Nursi telah meninggalkan pemikiran ‘Old Said’ yang ditandai dengan meminimalisir peran akal dalam membaca al-Qur’an. Beberapa karakteristik pemikiran Nursi, salah satunya, adalah bantahan Nursi terhadap kausalitas horizontal dan penggunaan logika inferensi.24 Fase ‘New Said’ dapat ditandai dengan tersistemnya teori Occasionalism al-Asyariyyah di tangan Nursi.25 Istilah agama untuk teori ini adalah “lâ musabbiba illâ Huw”, tidak ada sumber sebab kecuali Allah. Hubungan antara sebab dan akibat hanyalah persepsi manusia. Hubungan kausalitas sesungguhnya tidak lain merupakan bentuk campur tangan Tuhan. Semakin seseorang menyadari pemahaman seperti ini, semakin ia menyadari Tuhan menggerakkan keteraturan alam semesta dan bekerja dengan 24

Serif Mardin, Religion and Social Change, 176-177. Untuk mengetahui lebih dalam tentang konsep Occasionalism al-Asy’ariyyah, lihat Nazif Muhtaroglu, Islamic and Cartesian Roots of Occasionalism, (Disertasi tidak diterbitkan, University of Kentucky, 2012), 29-43. 26 Serdar Dogan, “The Influence…”, 35. 25

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


64

Akhmad Rizqon Khamami

sempurna. Keteraturan alam dianggap sebagai indikator adanya wujud Tuhan. Kesimpulan itu ia dapat bukan dengan menggunakan cara pandang sains. Justru ia menghilangkan semua hubungan kausal yang menjadikan keteraturan alam terus berlangsung dan sekaligus menjadi “tirai penutup” Sang Penyebab yang harus disibak oleh para pencari kebenaran.26 Di sini terlihat, keteraturan alam yang pernah dianggap sebagai basis sains mulai ditinggalkan oleh Nursi.27 Dalam rentang sejarah pemikiran Islam, selain pendapat Nursi, pembahasan teori kausalitas, sebab dan akibat, bukanlah perdebatan baru. Al-Asy’ari melahirkan teori Occasionalism. Begitu juga al-Ghazali. Namun al-Ghazali tidak mengorbankan pengalaman supra-sensible tentang Tuhan. Sebaliknya, Nursi lebih mendukung ‘mental apprehension’ dibanding pengalaman supra-sensible. 28 Dalam pandangan Nursi, metode ini merupakan jalan ringkas menuju Tuhan. Sedangkan jalan sufi merupakan jalan panjang karena harus melalui dua tahap: dari cinta ilusif menuju cinta Tuhan. Saat memasuki periode ‘New Said’, Nursi menampilkan pemikiran yang bermuatan logika inferensi. Dengan logika ini ia melakukan bantahan terhadap teori kausalitas yang diusung oleh pengikut filsafat Materialisme dan orang-orang yang anti agama ketika itu. Saat melawan kelompok inilah Nursi lebih banyak menggunakan rasio dibanding aspek esoterik. Pendekatan Nursi terhadap esoterisme terkesan sangat berhati-hati, terutama terkait dengan posisinya sebagai sumber ilmu pengetahuan (epistemologi).29 Ia membuang kasyf (penyingkapan spiritual) dan dhawqi rûh}âni (pengalaman ruhani sufi) dari peta intelektual dan epistemologi yang ia rancang. Dengan pendekatan ini Nursi setidaknya melepaskan sumber epistemologi tersebut dari olah intelektual, dan meletakkannya pada posisi yang lebih rendah.30 Jadi, logika inferensi merupakan aspek penting intelektual Nursi. Aspek ini terkait dengan keinginan Nursi untuk merasionalkan Islam. Penggunaan logika inferensi memberi warna rasionalistik pada pemikiran Nursi. Kecenderungan rasional ini dipengaruhi oleh 27 Yamina B. Mermer, “The Hermeneutical Dimension of Science: A Critical Analysis Based on Said Nursi’s Risale-i Nur.” dalam The Muslim World 89, no. 3/4, 1999, 276. 28 Serdar Dogan, “The Influence…”, 38. 29 Serif Mardin, Religion and Social Change, 176. 30 Serdar Dogan, “The Influence…”, 40.

Jurnal TSAQAFAH


Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru

65

pemikiran Renaisans di Eropa ketika itu, terutama sains modern. Pertanyaan yang muncul, sejauh mana pengaruh Renaisans terhadap Nursi, terutama sains? Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini kita perlu melihat atmosfer intelektual yang melingkupi Nursi. Ia tidak bisa menghindarkan diri dari pengaruh atmosfer yang sedang tren di Kesultanan Ottoman ketika itu sehingga masuk akal jika ia juga menggunakan pemikiran Barat dan memasukkannya ke dalam wacana intelektual yang ia kembangkan. Fenomena ini juga dapat kita baca sebagai alat bantu untuk menjelaskan perubahan pemikiran Nursi dari ‘Old Said’ menjadi ‘New Said’. Pada periode ‘Old Said’ Nursi berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan temuan sains modern. Sedang pada periode ‘New Said’, Nursi mulai mempromosikan pandangannya bahwa sains dan Islam tidak sedang saling memusuhi. Sains tidak harus selalu milik kelompok pengikut Materialisme. Ilim (sains Islam) adalah bukti demonstratif dari keyakinan tersebut. Ilim memasukkan unsur moral ke dalam sains materialis modern sehingga sains berwarna religius. Dari sini terlihat, sejatinya Nursi sedang melakukan Islamisasi sains yang kelak menjadi tren intelektual pada tahun 1970-an. Pertanyaannya, bagaimana cara yang ia pakai dalam pengembangannya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Nursi dituntut terlebih dahulu menyelesaikan sejumlah persoalan, di antaranya: persesuaian antara kosmologi Islam dengan sains modern, misalnya sulitnya menyatukan antara teori Newton dan konsep eksistensi Tuhan sebagai sosok yang eternal dan sebagai sosok yang dapat mengintervensi perjalanan alam secara langsung dan terus-menerus. Kedua, perbedaan antara pandangan Islam dan Newton, di mana Islam menekankan pada kekuasaan Tuhan atas umat manusia, sedangkan Newtonian memfokuskan diri pada hubungan antara manusia dan subjek.31 Saat menjawab persoalan tersebut Nursi menggunakan pendekatan sufi. Dengan memasukkan prinsip ketauhidan Tuhan, Nursi menjelaskan secara rinci tentang konsep kosmologi Islam. Salah satu konsep tersebut, misalnya, menegaskan bahwa alam adalah kitab suci yang merefleksikan bayangan Tuhan. Ia menyebut ‘kitab suci alam semesta’ ini sebagai ‘wahyu dalam bentuk alam fisik’.32 Karena itu melakukan penyelidikan sains dianggap sebagai 31 32

Serif Mardin, Religion and Social Change, 176. Ibid., 211.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


66

Akhmad Rizqon Khamami

pembacaan atas wahyu ini. Dengan menggunakan cara pendekatan Sufi ini, Nursi mampu menjelaskan keteraturan alam sebagai bukti adanya sang Pencipta. Pendekatan Nursi ini tidak berbeda dengan konsep intelligence design yang menafsirkan kompleksitas alam semesta sebagai bukti deduktif keberadaan Tuhan karena alam tidak mungkin muncul secara kebetulan. Nursi membayangkan bahwa alam semesta didesain dan diatur oleh sosok Pencipta. Menurut Mardin, pandangan Nursi tentang sains lebih dekat dengan model mekanistik Newtonian atau model teologi natural abad 17. Hanya saja Nursi menyatakan bahwa Tuhan melakukan intervensi dalam perputaran alam. Nursi mengadopsi sikap al-Asy’ariyyah yang menganggap intervensi Tuhan dalam alam semesta bersifat langsung dan berkelanjutan. Nursi menegaskan bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan ciptaan-Nya pada sebuah mekanisme yang impersonal. Nursi tidak sepakat dengan asumsi mekanistik Newtonian yang menyatakan bahwa alam berjalan dengan sendirinya yang terbebas dari intervensi Tuhan. Perbedaan mencolok antara Nursi dan Newton yaitu bahwa Nursi cenderung pada agama (sufi), sedangkan Newton pada deisme. Nursi ingin membangun sains melalui penafsiran modern yang bersumber dari pandangan sufi tentang alam, dan menegaskan penelitian sains adalah ibadah. Menariknya, meskipun Nursi cenderung menggunakan sufi, namun ia tidak sepenuhnya mengadopsi. Menurut Mardin, kompleksitas sufisme kurang cocok dengan target Nursi yang ingin mempopulerkan Islam di kalangan orang awam. Tawaran epistemologi Nursi di atas berangkat dari kesadarannya yang menganggap penting merebut sains dengan memunculkan epistemologi baru sebagai fondasi intelektual peradaban Islam baru. Proyek peradaban yang digagas oleh Nursi merupakan reaksi atas tampilnya Eropa modern sebagai kekuatan baru dunia. Bangunan epistemologi tersebut dimaksudkan untuk melecut proses kemajuan di dunia Islam. Nursi bertekad untuk mengubah kemunduran dunia Islam tersebut. Nursi mengaitkan kemunduran ini dengan melemahnya hubungan antara al-Qur’an dan masyarakat Muslim. Sebagaimana para pembaru Islam masa itu, ia juga meyakini bahwa solusinya adalah mengembalikan masyarakat Muslim kepada al-Qur’an.

33

Sukran Vahide, “Toward an Intellectual…”, 2.

Jurnal TSAQAFAH


Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru

67

Jika masyarakat Muslim berpegang teguh pada al-Qur’an, maka dunia Islam akan maju. Agar mudah dipahami, ia menawarkan sebuah metode baru dalam membaca al-Qur’an, yaitu memilih temuan sains modern sebagai basis penafsiran tersebut. Adapun cara lain adalah dengan mempopulerkan al-Qur’an melalui metode rasionalisasi sebagaimana tokoh-tokoh abad 19 seperti Jamal al-Din Afghani dan Muhammad Abduh.33 Sumber inspirasi tokoh-tokoh ini adalah pemahaman mereka terhadap Barat yang dianggap maju dan dunia Islam mundur, juga persaingan peradaban (contest of civilizations). 34 Selain itu, fondasi epistemologi Nursi ini disusun untuk menjawab tantangan yang dilempar oleh kelompok penganut sains materialis, dan untuk menjawab mereka yang menentang Islam.35 Dengan menyatakan “jihad keilmuan”, Nursi sampai pada kesimpulan bahwa Islam harus ditafsirkan dengan cara baru agar sesuai dengan bahasa dan pemahaman para pendengar modern. Sains harus direngkuh, bukan malah ditolak. Nursi menginternalisasi wacana lawan-lawan intelektualnya untuk memperkuat dan menghidupkan kembali ajaran-ajaran dasar Islam, dan merespon dengan lebih efektif para pengkritiknya. Jika memasukkan Materialisme ke dalam metode sains maka sains tidak dapat direkonsiliasi dengan Islam. Epistemologi Nursi ini berguna untuk membangun fondasi ontologi tentang sains. Pemikiran Nursi ini disarikan secara eklektik dari beragam sumber. Nursi meminjam elemen dari pemikiran Ibnu al-‘Arabi, Sirhindi, dan pemikiran ulama Sunni.36 Tuhan menciptakan alam semesta dari ruang hampa, ex nihilo. Tuhan mempunyai maksud dan tujuan dalam penciptaan ini (teleologis). Seperti halnya Ibnu al-‘Arabi, Nursi meyakini bahwa Tuhan berbeda dari alam semesta, dan selalu hadir di dalamnya. Tuhan berbeda dari ciptaan-Nya, dan Tuhan mengetahui tentang partikularnya. Tuhan menciptakan alam semesta untuk memanifestasikan keindahan dan kesempurnaan Diri-Nya. Penciptaan merupakan refleksi sifat dan nama-nama Tuhan. 37

34

Serdar Dogan, “The Influence…”, 25. Serif Mardin, Religion and Social Change, 77. 36 Ibid., 209. 37 M. Hakan Yavuz, “Nur Study Circles (Dershanes) and the Formation of New Religious Consciousness in Turkey”, dalam Islam at the Crossroads, 300. 35

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


68

Akhmad Rizqon Khamami

Penutup Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Nursi membangun epistemologi baru sebagai tawaran untuk kondisi umat Islam yang ada pada masa itu yang harus mengembangkan kembali peradaban yang tertinggal dari bangsa-bangsa Eropa. Perjumpaannya dengan pemikiran Renaisans Eropa dan sains modern mendasari terbentuknya epistemologi tersebut. Nursi merekonsiliasi Islam dan sains menuju integritas. Sebagai langkah pertama, Nursi menentang Materialisme. Kedua, menempatkan al-Qur’an sebagai sumber ilmu tertinggi. Rasio di bawah otoritas Tuhan. Rasio harus tunduk pada wahyu. Dengan menjadikan metode sains tunduk pada prinsip dan cara pandang al-Qur’an maka dapat mengubah pemahaman sains modern atas alam semesta menjadi lebih sesuai dengan deskripsi alQur’an. Aktivitas sains yang dilakukan dengan semangat al-Qur’an menghasilkan tidak saja kebenaran dan observasi empiris tentang dunia objektif, tetapi juga pengetahuan tentang Tuhan. Hal ini mengubah sains menjadi bidang pengetahuan spiritual dan menjadikan studi sains sarana untuk beribadah. Pendekatan Nursi terhadap sains perlu diketengahkan di sini: ia mengakui bahwa sains dapat menggerakkan umat Islam ke arah peradaban maju. Ia mendorong adopsi sains modern tersebut. Bahkan Nursi mengembangkan epistemologi baru tentang rekonsiliasi Islam dan sains untuk bisa menyingkirkan aspek sekuler dan filsafat Materialisme yang awalnya melekat di dalam sains. Epistemologi yang menjadikan al-Qur’an sebagai intisari epistemologi tersebut menggiring pada arus revivalisme Islam yang berujung pada sikap kaku dalam memaknai agama. Sementara itu sains membutuhkan kelenturan.[]

Daftar Pustaka Abu-Rabi’, Ibrahim M. 2003. Islam at the Crossroads: On the Life and Thought of Bediuzzaman Said Nursi. Albany: State University of New York Press. Algar, Hamid. 2001. “The Centennial Renewer: Bediuzzaman Said Nursi and the Tradition of Tajdid,” dalam Journal of Islamic Studies, Vol. 12, No. 3, September. Barbour, Ian G. 2000. When Science Meets Religion. New York: HarperCollins Publishers. Jurnal TSAQAFAH


Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru

69

Boullata, Issa J. 1990. Trends and Issues in Contemporary Thought. Albany: SUNY Press. Dekmejian, R. Hrair. 1980. “The Anatomy of Islamic Revival: Legitimacy Crisis, Ethnic Conflict and the Search for Islamic Alternatives”, dalam Middle East Journal, Vol. 34, No. 1. Dogan, Serdar. 2014. “The Influence of Modern Science on Bediuzzaman Said Nuris’s Thinking”, dalam Islamic Sciences, Vol. 12, No. 1, Summer. Faksh, Mahmud A. 1990. “The Consequences of the Introduction and Spread of Modern Education: Education and National Integration in Egypt”, dalam Middle East Studies, Vol. 16, No. 2. Furlow, Christopher A. 1996. “The Islamization of Knowledge: Philosophy, Legitimation, and Politics”, dalam Social Epistemology, Vol. 10, No. 3&4. Hanioglu, M. Sukru. 2005. “Blueprints for a Future Society: Late Ottoman Materialists on Science, Religion, and Art”, dalam Late Ottoman Society: The Intellectual Legacy, ed., Elisabeth Ozdalga, Abingdon: Routledge Curzon. Kiyimba, Abasi. 2007 “Islam and Science: an Overview”, dalam Islamic Perspective on Science, Editor: Ali Unal, New Jersey: The Light, Inc. Mardin, Serif. 1989. Religion and Social Change in Modern Turkey: The Case of Bediuzzaman Said Nursi. Albany, NY: State University of New York Press. Marx, Karl., Engels, Friedrich. 1964. On Religion, New York: Schocken Books. Mermer, Yamina B. 1999. “The Hermeneutical Dimension of Science: A Critical Analysis Based on Said Nursi’s Risale-i Nur.” dalam The Muslim World 89, no. 3/4. Muhtaroglu, Nazif. 2012. Islamic and Cartesian Roots of Occasionalism, Disertasi tidak diterbitkan, University of Kentucky. Ozervarli, M. Sait. 2007. “Transfering Traditional Islamic Disciplines into Modern Social Sciences in Late Ottoman Thought: The Attempt of Ziya Gokalp and Mehmed Serafeddin”, dalam The Muslim World , Vol. 97, April.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


70

Akhmad Rizqon Khamami

Shami, Seteney. 1989. “Socio-cultural Anthropology in Arab Universities”, dalam Current Anthropolog, Vol. 30, No. 5. Desember. Vahide, Sukran. 1998. The Author of the Risale-i Nur: Bediuzzaman Said Nursi. Istanbul: Sözler Nezriyat. Yusuf, Imtiyaz. 1999. “Bediuzzaman Said Nursi’s Discourse on Beliefe in Allah: A Study of Texts from Risale-i Nur Collection”, dalam The Muslim World, 89. Zubaidi, Sujiat. 2015. Tafsir Kontemporer Bediuzzaman Said Nursi dalam Risale-i Nur, Studi Konstruk Epistemologi, Disertasi Doktor di Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, (Tidak Diterbitkan)

Jurnal TSAQAFAH


Internalisasi Konsep Ta’dîb Al-Attas dalam Pengembangan Karakter Peserta Didik M. Arfan Mu’ammar* Universitas Muhammadiyah Surabaya Email: arfan.slan@gmail.com

Abstract The ‘character building’ topic starts as the top topics in discussion latterly. Various training holds sporadically for the executives, teachers, and employer’s company in outbound form or workshop. Those activities are good definitely, but it’s not enough to build a character. We have to combine our efforts systematically and integrated, so the character building as we want can be effective, learnable and known by the others. That’s all because the intellectualities and cognitive capability cannot guarantee for someone to be able to erase his mentality of corruption, collusion and nepotism, etc. In the other side, awkward’s morality can override the student’s intellectualities. Al-Attas as a Muslim scholar, offers a concept of Ta’dib that has been offered and nominated in the first time at the First Islamic Conference at Mecca in 1977. Al-Attas has a notion that everyone who learned is good man and the term ‘good’ here is a behavior that includes of someone’s spiritual life and material, who try to implants kindliness that he accepted it. The good man is a human being who has characters and polite. The internalization concept of Ta’dib inside of Character building is a requirement than we need, especially this times that we have to face some thoughtfulness phenomena’s degradation of moral. This Ta’dib concept leads someone to be able to put something in its place. So, we can create some condition which the structuralist’s fungsional called as well regulated society. If this society does not reflects the well regulate society, then this society still uncultured.

Keywords: Character, Adab, Ta’dib, Correct Society

* Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jl. Sutorejo No. 59, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, 60113, Phone: +62 31 381 1966 Fax: +62 31 381 3096

Vol. 9, No. 2, November 2013


358 M. Arfan Mu’ammar Abstrak Topik character building memang mulai mengemuka akhir-akhir ini. Berbagai pelatihan secara sporadis dilakukan untuk para eksekutif, pendidik, karyawan perusahaan dalam bentuk outbound maupun workshop. Tentu itu aktivitas yang bagus, tapi belumlah cukup. Perlu ada upaya bersama, sistematik dan terpadu agar pendidikan karakter menjadi efektif dan bergaung. Karena Intelektualitas dan kemampuan kognitif siswa tidak menjamin accountabilitas atau hilangnya sikap-sikap mental korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya. Di sisi lain, moralitas yang kaku bisa mengesampingkan intelektualitas siswa. Al-Attas dalam hal ini sebagai pemikir Islam, menawarkan sebuah konsep Ta’dîb yang pertama kali diangkat pada Konfrensi Islam Pertama di Mekkah tahun 1977. Al-Attas berpendapat bahwa orang yang terpelajar adalah orang baik, dan “baik” yang dimaksudkannya disini adalah adab dalam artian menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya”. “Orang baik” atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Internalisasi konsep ta’dîb dalam pendidikan karakter merupakan sebuah keniscayaan, ketika bangsa ini dihadapkan pada sebuah fenomena degradasi moral yang saat ini sangat memprihatinkan. Konsep Ta’dîb ini mengantarkan seseorang untuk dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, sehingga dapat menciptakan suatu keadaan yang oleh kalangan struktural fungsional disebut dengan tertib sosial. Ketika masyarakat bangsa ini belum dapat mencerminkan budaya tertib sosial, maka pada saat yang bersamaan masyarakat bangsa ini belum ber”adab”.

Kata kunci: Karakter, Adab, Ta’dîb, Tertib Sosial Pendahuluan

K

ementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa dasar dari pengembangan kurikulum baru (Kurikulum 2013) adalah untuk membangun pendidikan karakter pada anakanak bangsa. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pengembangkan karakter di samping ketrampilan dan kemampuan kognitif. Hal itu karena Indonesia saat ini sedang mengalami krisis karakter yang diperlihatkan dari banyaknya korupsi, tindak kejahatan terjadi di mana-mana, dan mudahnya anak-anak bangsa menerima kebudayaan dari negara lain tanpa menyaring baik atau buruknya. Karenanya upaya pembentukan karakter anak adalah sebuah keniscayaan, sehingga berbagai upaya dilakukan dalam mewujudkan upaya tersebut, di antaranya mulai diwajibkannya pramuka sebagai media pembentuk karakter. Menurut Pembina Kwarcab Pramuka Kota Malang, Oetodjo Sardjito, pramuka merupakan salah Jurnal TSAQAFAH


Internalisasi Konsep Ta’dÎb al-Attas dalam Pengembangan Nilai...

359

satu wahana pembentukan karakter siswa karena di dalamnya siswa dilatih akan kepemimpinan, kerja sama, solidaritas, mandiri, dan keberanian. Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah. Banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya kecurangan, tetapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian1. Syed Muhammad Naquib al-Attas2, seorang pemikir kontemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara yang baik dan tidak pula pekerja yang baik. Sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik melalui penanaman adab. Tulisan ini bertujuan mengupas konsep ta’dÎb yang digagas al-Attas untuk kemudian diinternalisasikan ke dalam pengembangan nilai dan karakter anak didik.

Hilangnya Adab Secara integral, adab merupakan bagian daripada hikmah dan keadilan, sehingga hilangnya adab akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, dan bahkan kegilaan secara alami.3 Kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya secara tepat, sedangkan 1

Adian Husaini, Pendidikan Karakter: Penting tapi Tidak Cukup, (Jakarta: INSIST, 2010), 1. 2 Biografi lebih lengkap mengenai Syed Muhammad Naquib Al-Attas dapat di lihat di Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Method of Syed Muhammad Naquib Al-Attas An Exposition of the Original Concept of Islamization, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995) 3 A. L. Tibawi, Islamic Education: Its Tradition and Modernization into the Arab National Systems, (London: Luzac & Co., 1972), 207.

Vol. 9, No. 2, November 2013


360 M. Arfan Mu’ammar kebodohan (h} u mq) adalah melakukan cara yang salah untuk mencapai hasil tujuan tertentu, adapun kegilaan (junÝn) adalah perjuangan berdasarkan pada tujuan dan maksud yang salah untuk mencapai hasil tujuan dan maksud yang salah.4 Sesuatu akan lebih menjadi gila lagi jika tujuan utama mencari ilmu adalah bukan untuk mencapai kebagaian yang sebenarnya atau kecintaan kepada Tuhan (mah}abbah) sesuai dengan ajaran agama yang benar, yaitu untuk dapat melihat Allah (ru`yatulla>h) di hari kemudian. Demikian pula, adalah suatu kebodohan jika berupaya mencari kebahagiaan di dunia ini dan di akherat nanti tanpa ilmu dan amal yang benar. Al-Attas menerangkan pengaruh negatif daripada hilangnya adab ini : Definisi yang autentik menjadi hancur dan sebagai penggantinya kita mewarisi slogan yang kabur yang berkedok konsep. Ketidakmampuan untuk mendefinisikan, mengidentifikasikan dan mengangkat masalah, dan kemudian memberikan solusi yang benar, pemunculan pseudo-problem, reduksi masalah menjadi hanya sebatas faktor-faktor politik, sosio-ekonomi, dan hukum sudah menjadi kenyataan. Tidaklah mengherankan jika situasi semacam ini dapat menyuburkan tumbuhnya berbagai bentuk ekstrimisme yang modal utamanya adalah kebodohan5.

Jika kita mempelajari Ilmu Hadis, ada satu kriteria yang begitu ketat, sampai sebuah hadis tersebut mendapat beberapa tingkatan derajat. Tingkatan tersebut dikenal dengan sanad. Semakin tinggi kredibilitas perawi hadis, maka semakin tinggi pula derajat sanadnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga otentisitas sumber hadis yang runutannya sampai kini bisa terlacak hingga Rasulullah SAW. Salah satu syarat agar perawi dipandang kredibel adalah moralitas dan akhlaknya, termasuk kejujuran si perawi. Sekali saja seorang perawi diketahui tidak jujur, maka namanya akan tertulis dengan tinta merah dan akan mempengaruhi hadis atau kisah yang diriwayatkannya. Demikianlah peraturan bagi intelektual Muslim dalam menjaga keotentikan ilmu. Peraturan ini berbanding terbalik dengan yang ada di Barat. Paul Johnson, penulis buku Intellectuals, mengatakan 4 Dikutip oleh Umaruddin, The Ethical Philosophy of al-Ghazzali, 166 dalam Wan Mohn Nor Wan Daud, Konsep Al-Attas tentang Ta’dib: Gagasan Pendidikan yang tepat dan komprehensif dalam Islam, (Majalah IslamiaTahun I No. 06 Juli-September 2005), 79 5 S.M.N Al-Attas, Acceptance Speech, 31. dalam Wan Mohn Nor Wan Daud, Konsep‌, 79.

Jurnal TSAQAFAH


Internalisasi Konsep Ta’dÎb al-Attas dalam Pengembangan Nilai...

361

hal demikian dan mencoba menyorot beberapa intelektual Barat akan hal itu. Di antara pemikir Barat yang disorot adalah Ernest Hemigway, Bertrand Russel, Jean Jacques Rousseau, Jean Paul Sartre, dan lain-lain.6 Ernest Hemigway misalnya, merupakan seorang pemikir Barat yang mengagungkan arti cinta, hobinya berzina, bahkan dengan teman-teman karib ibunya. Ada Jean Jacques Rousseau yang menyebut dirinya sendiri sebagai laki-laki gila yang mencintai dirinya sendiri dan membenci setiap orang lain. Ada Bertrand Russel yang konon membenci peperangan tapi begitu gandrung memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sangat benci pada Tuhan7.

Konsep al-Attas Tentang Ta’dÎb Kondisi yang digambarkan Paul Johnson di atas menjelaskan betapa moralitas di Barat tidak secara integral ada dalam diri para intelek mereka. Padahal, salayaknya moralitas dan intelektualitas harus menyatu dan saling terkait. Al-Attas mengatakan, bahwa orang yang terpelajar adalah orang baik. Pengertian baik adalah meliputi kehidupan spiritual dan materialnya dan berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.8 Oleh karena itu, orang yang terpelajar adalah orang yang beradab. Orang yang baik itu adalah orang yang menyadari sepenuhnya akan tanggungjawab dirinya kepada Tuhan yang hak, yang memahami dan menunaikan kewajiban terhadap dirinya sendiri dan orang lain yang terdapat dalam masyarakatnya, yang selalu berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju ke arah kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.9

Adab mempunyai arti yang sangat luas dan mendalam, tetapi digunakan dalam konteks yang terbatas, seperti untuk sesuatu yang merujuk pada kajian kesusastraan, etika professional, dan kemasyarakatan. Al-Attas mengatakan bahwa ide yang terkandung dalam perkataan ini sudah diislamisasikan dari konteks yang dikenal pada 6

Paul Johnson, Intellectuals, (Harpercollins, 1988). Ibid., 8 S.M.N Al-Attas, Islam: The Concept of Religion and The Foundation of Ethic and Morality, 33-34. Lihat juga, Aims and Objectives of Islamic Education, (London/Jeddah: Hodder & Stoughton/King Abdul Aziz University, 1979), 32-33. 9 S.M.N Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Monograph tidak diterbitkan, tertanggal Mei 1973, 280. 15. 54 7

Vol. 9, No. 2, November 2013


362 M. Arfan Mu’ammar masa sebelum Islam dengan cara menambah elemen-elemen spiritual dan intelektual pada dataran semantiknya.10 Berdasarkan arti perkataan adab yang telah di Islamisasikan itu dan berangkat dari analisis semantisnya, al-Attas mengajukan definisinya tentang adab: Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya masingmasing dalam kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan kapasitas serta potensi fisik, intelektual dan spiritualnya.11

Perkataan al-Attas, “seseorang itu mempunyai tempatnya masingmasing”, bermakna bahwa seseorang harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pernyataan ini mengisyaratkan adanya tertib sosial,12 sehingga peserta didik dapat berperilaku sesuai dengan tempatnya dan membudayakan tertib sosial tersebut. Adapun yang dimaksud pengenalan dalam definisi di atas adalah mengetahui kembali (re-cognize) perjanjian pertama (primordial covenant) antara manusia dan Tuhan. Ini menunjukkan bahwa semua materi sudah berada pada tempatnya masing-masing dalam berbagai hierarki wujud, hanya saja disebabkan oleh kebodohan dan kesombongannya, maka manusia kemudian mengubah tempat-tempat tersebut sehingga terjadilah ketidakadilan. Sedangkan pengakuan yang dimaksud al-Attas adalah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang telah dikenal di atas. Untuk itu, maka afirmasi dan konfirmasi atau realisasi dan aktualisasi nilai-nilai tersbut dalam diri manusia harus dilakukan, karena tanpanya pendidikan menjadi sesuatu yang tidak lebih dari sekedar proses belajar (ta’allum).13 10 F. Gabrieli, dalam tulisannya yang singkat namun padat tentang adab, menjelaskan bahwa perkataan adab sebagaimana yang dipakai pada abad I Hijrah mempunyai maknamakna intellektual, etika dan sosial. Kemudian perkataan ini menjadi istilah yang berarti sejumlah ilmu pengetahuan yang menjadikan seseorang itu manusia yang berperadaban dan tercerahkan. Lihat S.M.N Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework of an Islamic Philosophy of Education An Address to the Second World Confrence on Muslim Education, (Islamabad Pakistan, 1980). 36. 11 S.M.N Al-Attas, The Concept…, 27. 12 Tertib Sosial merupakan salah satu tujuan dalam teori struktural fungsional yang diketengahkan oleh Herbert Spencer. 13 Wan Mohn Nor Wan Daud, Konsep Al-Attas…, 79.

Jurnal TSAQAFAH


Internalisasi Konsep Ta’dÎb al-Attas dalam Pengembangan Nilai...

363

Urgensi Character Building dalam Pembangunan Moralitas Bangsa Aristoteles menyebutkan pengertian karakter yang baik adalah kehidupan berperilaku baik dan penuh kebajikan, berperilaku baik terhadap pihak lain, Tuhan Yang Maha Esa, manusia, alam semesta, dan terhadap diri sendiri. Jonathan Webber dalam Journal of Philosophy menjelaskan bahwa karakter adalah akumulasi dari berbagai ciri yang muncul dalam cara berfikir, merasa dan bertindak.14 Sikap pemberani atau pengecut seseorang dalam menghadapi bahaya, sikap ketakutan dalam menghadapi orang banyak, merupakan contoh-contoh sederhana tentang karakter seseorang. Demikian rumusan yang dikemukakan oleh Victor Battistch dari Universitas Missouri St. Louis, dalam salah satu tulisannya berjudul Character Education, Prevention and Positive Youth Development, menegaskan bahwa karakter adalah konstelasi yang sangat luas antara sikap, tindakan, motivasi, dan keterampilan. Karakter mencakup sikap, tindakan, cara berfikir, dan respon terhadap ketidakadilan, interpersonal, dan emosional, serta komitmen untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat, bangsa, dan negaranya.15 Sebagaimana Webber, Battistich juga melihat, karakter selalu dihadapkan pada dilema antara baik buruk, dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang. Melakukan yang baik berarti berkarakter baik dan ideal, sebaliknya melakukan yang buruk berarti berkarakter buruk. Sejalan dengan keduanya, Katherine M.H, Blackford dan Arthur Newcomb, menekankan bahwa karakter seseorang senantiasa berlawanan secara diametral antara baik dan buruk. Namun, Katherine menegaskan bahwa orang-orang yang berkarakter yang bisa diharapkan akan bisa maju dan akan mampu membawa kemajuan adalah mereka yang memiliki ciri-ciri pokok, yakni, kejujuran, dapat dipercaya, setia, bijaksana, penuh kehati-hatian, antusias, berani, tabah, penuh integritas, dan bisa diandalkan.16 Karakter terdiri dari tiga unjuk perilaku yang saling berkaitan, yaitu: 1) tahu arti kebaikan, (2) mau berbuat baik, dan (3) nyata berperilaku baik. 14 Jonathan Webber, Sarte’s Theory of Character, Europe Journal of Philosophy, (UK: Blackwell Publishing House, 2006), 95. 15 Victor Battistich, Character Education, Prevention and Positive Youth Development, (USA: University of Missouri, St. Louis, 2002), 2. 16 Katherine M.H Blackfoard and Arthur Newcomb, Analyzing Character, (Gutenberg, eBook, 2004), 25.

Vol. 9, No. 2, November 2013


364 M. Arfan Mu’ammar Ketiga substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain, karakter dapat dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik. Thomas Lickona menyatakan bahwa karakter yang baik meliputi knowing the good, desiring the good, and doing the good habits of mind, habits of heart, and habits of action. (mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan yang baik – kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan tindakan). Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.17 Menurut dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter terbitan Kementrian Pendidikan Nasional, pendidikan karakter didefinisikan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengambil keputusan yang baik, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.18 Kemendikbud telah mengintrodusir 18 macam inti karakter dalam desain induk yang akan dikembangkan pada semua kegiatan pendidikan dan pembelajaran serta penciptaan suasana yang kondusif di sekolah, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggungjawab. Secara rinci penulis jelaskan dalam kolom berikut:19 No

Nilai/ Inti Karakter

1

Religius

2

Jujur

17

Deskripsi Sikap dan Perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.

Thomas Lickona, Education for Character, 2001 Pusat Kurikulum, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, (Jakarta: Badan Litbang, Kementrian Pendidikan Nasional, 2010), 9. 19 Ibid., 9-10 18

Jurnal TSAQAFAH


Internalisasi Konsep Ta’dÎb al-Attas dalam Pengembangan Nilai...

3

Toleran

4

Disiplin

5

Kerja Keras

6

Kreatif

7

Mandiri

8

Demokratis

9

Rasa Ingin Tahu

10

Semangat Kebangsaan

11

Cinta Tanah Air

12

Menghargai Prestasi

13

Bersahabat/ Komunikatif

14

Cinta Damai

15

Gemar Membaca

365

Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang dimiliki. Sikap dan Perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar. Cara Berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan dari kelompoknya. Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerja sama dengan orang lain. Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

Vol. 9, No. 2, November 2013


366 M. Arfan Mu’ammar

16

Peduli Lingkungan

17

Peduli Sosial

18

Tanggungjawab

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk meperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Internalisasi Konsep Ta’dîb Dalam bukunya Islam, Secularism, and the Philosophy of the Future, Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa dalam pendidikan Islam melekat tiga element mendasar yaitu: Process, Content, and Recipient (Proses-Isi-Penerima). Yang dimaksud dengan proses adalah proses penanaman (process of instilling) yang kemudian dirujuk pada metode dan sistem pembelajaran. Jadi jika ada pertanyaan “Apakah itu pendidikan?”, maka jawabannya adalah pendidikan adalah sebuah proses penanaman sesuatu kepada manusia (Education is a process of instilling something into human beings).20 Dari definisi pendidikan tersebut, selanjutnya menimbulkan sebuah pertanyaan: “Apa yang akan ditanam?” (What is Instilled?). Dalam pendidikan Islam, yang ditanam disini adalah adab, dengan demikian yang dimaksud dengan content atau isi di atas adalah adab. Setelah pertanyaan “Apa yang akan ditanam?” sudah terjawab, ada satu pertanyaan lagi yang perlu dijawab, yaitu: “Kepada siapa adab itu ditanamkan?”. Jawabannya adalah penerima atau recipient dari pendidikan tersebut, apakah balita, anak-anak, remaja, orang dewasa, atau orang lanjut usia. Dari sinilah kemudian muncul beberapa disiplin ilmu, seperti: psikologi anak, psikologi remaja, pedagogy, andragogy, dan lain-lain. Karena metode penyampaian isi atau content disesuaikan dengan penerima isi atau content tersebut, maka mendidik anak-anak tidak sama dengan mendidik remaja, 20 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future. London-(New York: Mansell Publishing Limited. 1985), 173.

Jurnal TSAQAFAH


Internalisasi Konsep Ta’dÎb al-Attas dalam Pengembangan Nilai...

367

mendidik remaja tidak sama dengan mendidik orang dewasa, dan seterusnya21. Namun hal yang terpenting dari ketiga element mendasar yang terdapat dalam pendidikan Islam tersebut adalah bagaimana metode penanaman content atau isi tersebut? Artinya bagaimana metode pembentukan karakter anak didik? Al-Attas mencoba mengilustrasikan metode internalisasi adab terhadap peserta didik layaknya sebuah undangan untuk menghadiri jamuan spiritual, inviting to a banquet. Sebagaimana yang dijelaskan al-Attas: Kitab Suci al-Qur ’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya tentang al-Qur ’an itu adalah dengan menikmati makanan-makanan yang lezat yang tersedia dalam jamuan kerohanian tersebut. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu ditambah dengan kehadiran kawan yang agung dan pemurah, dan karena makanan tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan etiket yang suci, maka hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia.22

Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa, seseorang ketika menghadiri jamuan makan di sebuah undangan, dengan dihadiri orang-orang yang terhormat, maka secara otomatis mulai dari gerakgerik dan cara makan akan berbeda dengan ketika di rumah. Berhubung dalam jamuan tersebut banyak orang yang agung dan terhormat, maka para undangan akan menikmati jamuan tersebut dengan cara-cara, sikap, dan etiket yang baik, berbeda halnya dengan ketika makan di rumah sendiri, seseorang akan makan dengan lahapnya, kaki diangkat di atas kursi, tanpa menghiraukan sikap dan etiket yang baik. Dengan demikian orang tua harus dapat menciptakan suasana religius di dalam rumah, bagaimana membuat suasana rumah layaknya inviting to a banquet, sehingga perilaku anak menjadi sopan, memiliki sikap hati-hati, menjaga perkataan dan perbuatan layaknya dalam sebuah inviting to a banquet yang digambarkan oleh al-Attas. 21

Ibid., 174. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, Art Printing Works Sdn. Bhd. 1993), 149. 22

Vol. 9, No. 2, November 2013


368 M. Arfan Mu’ammar Di antara yang dapat dilakukan orangtua, misalnya adalah membiasakan diri mengaji setelah maghrib, shalat berjamaah ketika mendengar azan, dan berbicara sopan kepada anak. Jika demikian, maka sang anak akan merasa malu jika setelah magrib tidak mengaji padahal orang tuanya mengaji. Anak akan merasa malu jika ketika azan televisi masih menyala, padahal orang tuanya sudah siap mau ke masjid. Anak akan merasa malu berbicara kasar pada orang tua, karena orang tua selalu berbicara sopan dan lembut kepada anak. Demikian halnya di lingkungan kampus, jika seorang dosen ingin membentuk karakter mahasiswa agar suka menulis, maka paling tidak dosen tersebut harus sudah pernah menulis buku, menulis di jurnal dan koran, jika tidak, maka jangan pernah berharap mahasiswa mau menulis, karena sang figur yang seharusnya dijadikan panutan belum pernah menulis, seperti ungkapan dalam al-Qu’ran: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 3). Dengan demikian, pembentukan karakter sangatlah dipengaruhi oleh figur dan tokoh sang pembentuk karakter, terbentuknya karakter di keluarga dipengaruhi oleh orang tua sebagai figur, terbentuknya karakter di sekolah dipengaruhi oleh guru sebagai figur, dan terbentuknya karakter di masyarakat oleh tokoh masyarakat. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah Indonesia saat ini sedang krisis “figur”. Figur dan lingkungan menjadi faktor utama terbentuknya karakter peserta didik. Al-Attas menjelaskan bahwa lingkunganlah yang membentuk perilaku dan karakter peserta didik, layaknya perilaku seseorang tiba-tiba dapat berubah dikarenakan suasana saat inviting to a banquet tadi sangat dipenuhi figur-figur yang sangat dihormati dan disegani.

Penutup Dari semua analisis di atas dapat disimpulkan bahwa, al-Attas menganggap adab adalah hal yang melekat dalam konsep pendidikan Islam, menciptakan good man merupakan tujuan utama pendidikan Islam. Adab oleh al-Attas di ilustrasikan seperti inviting to a banquet, yang menggambarkan bahwa sikap dan etika seseorang dipengaruhi oleh lingkungan di mana seseorang tersebut hidup. Dengan demikian, jika ingin mengubah sikap dan etika anak didik, harus dimulai dengan mengubah lingkungan sekitar menjadi baik, dan perubahan tersebut diawali oleh figur-figur yang berperan Jurnal TSAQAFAH


Internalisasi Konsep Ta’dÎb al-Attas dalam Pengembangan Nilai...

369

di masing-masing lingkungan. Orang tua sebagai figur di rumah, guru sebagai figur di sekolah, dan tokoh masyarakat sebagai figur di masyarakat. Adapun 18 macam inti karakter dalam desain induk yang akan dikembangkan pada semua kegiatan pendidikan dan pembelajaran tersebut hanya akan tinggal sebuah pepesan kosong jika para pelaku pendidikan atau pendidikan tidak mengontrol lingkungan yang berada disekitar peserta didik.[] Daftar Pustaka Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, (ed). 1979. Aims And Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University. _________. 1985. Islam, Secularism and the Philosophy of the Future. London-New York: Mansell Publishing Limited. _________. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: Art Printing Works Sdn. Bhd. _________. 1995. Prolegomena to The Methaphysics of Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Islamic Civilization (ISTAC). _________. 1980. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. An address to the Second World Confrence on Muslim Educatiion, Islamabad Pakistan. _________, 1973. Risalah untuk Kaum Muslimin, Monograph tidak diterbitkan, tertanggal Mei. Arifin, Muzayyin. 2003. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Battistich, Victor. 2002. Character Education, Prevention and Positive Youth Development. USA: University of Missouri, St. Louis. Blackfoard, Katherine M.H and Arthur Newcomb. 2004. Analyzing Character, Gutenberg, eBook. Beker, Anton. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat, Jogjakarta: Kanisius. Conference Book. 1393. First World Conference on Muslim Education, Jeddah-Mecca: King Abdul Aziz University. Daud, Wan Mohd Nor Wan. 1995. The Educational Philosophy and Method of Syed Muhammad Naquib Al-Attas an Exposition of

Vol. 9, No. 2, November 2013


370 M. Arfan Mu’ammar the Original Concept of Islamization, Kuala Lumpur: ISTAC Husaini, Adian. 2010. Pendidikan Karakter: Penting tapi Tidak Cukup. Jakarta: INSIST. Johnson, Paul. 1988. Intellectuals, Harpercollins. Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Litbang, Kementrian Pendidikan Nasional. Sudarto. 1997. Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soejono dan Abdurrahman. 1999. Bentuk Penelitian, suatu Pemikiran dan Penerapan. Jakarta: Rineka Cipta. Tibawi, A. L. 1972. Islamic Education : Its Tradition and Modernization into the Arab National Systems, London : Luzac & Co. Webber, Jonathan. 2006. Sarte’s Theory of Character, Europe Journal of Philosophy. UK: Blackwell Publishing House.

Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb Adian Husaini Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor Email: adianh@yahoo.com

Abstract At the moment, Indonesian government campaigns for education based on character rapidly. Various theories have been proposed to make this mission success. Unfortunately, the government tends to use the secular’s theories which so far from religious values, whereas Indonesia is the biggest nation with Muslims population in the world. Righteously, the education which based on character should be taken from this Religion’s precepts. Actually, this idea has been engaged by the founding father of this country. In the principle’s foundation of this country (Pancasila), the founding father formulate some principle which using Islamic terms. As an example, in second principle, we can find word ‘Adil’ and ‘Adab’ which both of these words is Islamic term that considered as Islamic basic vocabulary and closely related with Islam’s precepts. Because of this importance, the founding father used this words and Islamic terms inside the principle’s foundation of this country (Pancasila). These indicates how strong the influences of Islamic worldview in prefatory’s constitution of this country (Pembukaan UUD 1945). Therefore, we have to understanding these Islamic terms (adab and adil) with Islamic worldview. Because of the importance of this ‘Adab’ term, then this is the time when the government use these term in implementation of education based on character in this country.

Keywords: Adab, Education, Character, Islamic Worldview

* Program Pendidikan Islam, Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Jl. KH. Sholeh Iskandar Km. 2 Kd. Badak Bogor 16162 Telp dan Fax: +62251 835-6884

Vol. 9, No. 2, November 2013


372 Adian Husaini Abstrak Saat ini, Pemerintah Indonesia sangat gencar mengkampanyekan pendidikan berbasir karakter. Berbagai teori dikemukakan untuk mensukseskan misi tersebut. Sayangnya, Pemerintah cenderung menggunakan teori-teori sekuler yang jauh dari agama. Padahal, Indonesia merupakan Negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia. Sudah selayaknya, pendidikan karakter diambil dari ajaran agama ini. Hal itu sebenarnya sudah ditanamkan oleh para pendiri Negara ini. Dalam perumusan Dasar Negara Indonesia (Pancasila), para pendiri Negara telah merumuskan sila-sila yang menggunakan istilah-istilah agama Islam. Sebagai contoh pada sila kedua, digunakan kata “adil” dan “adab”. Dalam Islam, istilahistilah seperti adab, adil, wakil, musyawarah, dan lain sebagainya, tidak dipandang sebagai istilah yang tanpa makna. Istilah-istilah tersebut merupakan istilah kunci (Islamic basic vocabulary) dalam ajaran Islam, yang maknanya terkait erat dengan konsep ajaran Islam. Karena pentingnya istilah-istilah tersebut, maka tidak salah jika para pendiri Negara ini memasukkan kata-kata tersebut ke dalam dasar Negara Indonesia, Pancasila. Seperti istilah “adil” dan “adab” dalam sila kedua Pancasila. Masuknya istilah “adab” merupakan indikasi kuatnya pengaruh Islamic worldview (pandangan alam Islam) dalam rumusan Pembukaan UUD 1945. Karena berasal dari kosa kata Islam, maka seyogyanya istilah adab harus dipahami dalam perspektif pandangan alam (worldview) Islam. Karena pentingnya konsep adab tersebut, maka sudah saatnya konsep ini dipakai oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis karakter.

Kata kunci: Adab, Pendidikan, Karakter, Pandangan Hidup Islam Pendahuluan

P

emerintah Indonesia memandang penting Pendidikan Karakter bagi kemajuan bangsa ke depan. Tahun 2011, Balitbang Kementerian Pendidikan dan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), mengeluarkan buku kecil berjudul Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. 1 Kepala Balitbang Depdiknas, Prof. Dr. Mansur Ramly, menuliskan dalam kata pengantarnya untuk buku tersebut: “Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi 1 Bagian ini merujuk pada buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendiknas, 2011.

Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dÎb

373

upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.�

Masih menurut Prof. Dr. Mansur Ramly, berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini, semakin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Selanjutnya ditegaskan lagi: “Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar dan luar sekolah, akan tetapi juga melalui pembiasaan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab, dan sebagainya. Pembiasaan itu bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang hal-hal yang benar dan salah, akan tetapi juga mampu merasakan terhadap nilai yang baik dan tidak baik, serta bersedia melakukannya dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai tersebut perlu ditumbuhkembangkan peserta didik yang pada akhirnya akan menjadi cerminan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sekolah memiliki peranan yang besar dalam pengembangan pendidikan karakter karena peran sekolah sebagai pusat pembudayaan melalui pendekatan pengembangan budaya sekolah (school culture).� Jadi, pendidikan karakter, bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, menurut buku Panduan ini, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.

Tujuan Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) Vol. 9, No. 2, November 2013


374 Adian Husaini membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Sedangkan fungsi Pendidikan karakter adalah (1) membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warganegara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni. Disebutkan, bahwa dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan, telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggungjawab.2 Tekad pemerintah untuk menerapkan kebijakan pendidikan berbasis karakter bisa dimaklumi, mengingat sudah banyak pihak mengkhawatirkan tentang masa depan Bangsa Indonesia, karena memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) yang kurang atau rendah karakternya. Padahal, kemajuan suatu bangsa terbukti lebih disebabkan oleh keunggulan SDM-nya, ketimbang keunggulan SDA (Sumber Daya Alam)-nya. Sebuah kritik keras terhadap karakter Bangsa Indonesia pernah dilontarkan oleh budayawan Mochtar Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977. Ketika itu, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggungjawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. 3 Salah satu negara yang disebut-sebut telah sukses dalam menerapkan pendidikan berbasis karakter adalah RRC. Pemimpin Cina, Deng Xiaoping, pada tahun 1985 sudah mencanangkan 2 Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009: 9-10. 3 Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).

Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb

375

pentingnya pendidikan karakter: “Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society.” Li Lanqing, mantan wakil PM Cina, dalam bukunya, Educations for 1.3 Billion, menjelaskan reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina. Ia menulis: “After many years of practice, character education has become the consensus of educators and people from all walks of life across this nation. It is being advanced in a comprehensive way.”4

Apresiasi dan Kritik Program pemerintah RI tentang pendidikan berbasis karakter patut diapresiasi, sebab kemajuan seseorang atau suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter manusia atau bangsa tersebut. Syekh alAmir Syakib Arsalan, dalam analisisnya tentang kemunduran Umat Islam menyebutkan salah satu faktor kekalahan umat Islam adalah rendahnya semangat berkorban. Dalam surat balasannya kepada Syekh Basyuni Imran dari Kalimantan, Syekh Syakib Arsalan menulis: “Tuan mengetahui, bahwa keadaan tentara mereka (bangsa Eropa) datang berduyun-duyun menuju ke tempat kematian (ke medan perang) dengan berebutan, dan mereka berdesakan untuk menyerbu dengan hebatnya ke gelanggang pertempuran dalam perang dunia yang lalu, pula mereka berkorban dalam perang dunia itu dengan pengorbanan yang melebihi daripada yang telah digambarkan oleh pikiran manusia biasa.”5

Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan. Sebelum kemerdeka4 Dikutip dari Ratna Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007). 5 Al-Amir Syakib Arsalan, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 14. Buku ini asalnya merupakan jawaban Syekh Arsalan terhadap surat Syekh Basyuni Imran, di awal abad ke-20, yang bertajuk “Limâz}â Ta’akhkhara al-Muslimûn, wa Limâdzâ Taqaddama Gairuhum), dialihbahasakan oleh KH. Munawar Chalil.

Vol. 9, No. 2, November 2013


376 Adian Husaini an, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah… Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya...”

Lalu, untuk memajukan bangsa, Mohammad Natsir berpesan: “Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara yang masih terbengkalai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara berencana. Usaha besar yang kita hadapi pada waktu ini, telah pernah kita hadapi dengan kerelaan menerima segenap konsekuensinya. Dan perjuangan yang terbentang di hadapan kita ini, tidak kurang berkehendak kepada keberanian untuk menegakkan kedudukan bangsa dan falsafah hidupnya, juga dengan segenap konsekuensinya dengan berupa “keringat, air mata dan darah”.” 6

Seperti dikhawatirkan Mochtar Lubis, salah satu karakter yang menonjol pada manusia Indonesia adalah lemah karakternya. Jika karakter yang lemah seperti ini dibiarkan dan tidak dilatih agar berangsur-angsur menjadi semakin kuat, maka masa depan bangsa juga mengkhawatirkan. Umat Islam, sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia seharusnya menjadi umat yang paling menonjol karakternya. Allah Berfirman, “Kamu adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia. Kamu menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan kamu beriman kepada Allah.” (QS 3:110). Umat Islam adalah umat yang mulia. Umat yang diserahi tugas mewujudkan rah} m atan li al-âlamîn, memakmurkan bumi dan 6

M. Natsir, Capita Selecta 2, Cet. II, (Jakarta: PT Abadi, 2008), 76-79.

Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb

377

mewujudkan keselamatan bagi manusia, di dunia dan akhirat. Umat Islam akan menjadi saksi atas manusia. Sebab kata Nabi SAW, “alIslâmu ya’lû wa lâ yu’lâ alaihi”. (Islam itu tinggi, tidak ada yang lebih tinggi dari Islam). Begitulah yang sering kita dengar dari ayat-ayat maupun Hadis Nabi SAW. Dulu, generasi-generasi pertama Umat Islam, masa sahabat, dan tabiin, tentu tidak sulit mengerti makna ayat-ayat tersebut. Saat itu mereka memang benar-benar menjadi umat yang disegani. Sering kita dengar musuh-musuh Islam sudah gemetar duluan tatkala mendengar tentara Islam datang. Dalam benak mereka terdapat persepsi: tentara Islam tidak dapat dikalahkan. Menghadapi apapun, Umat Islam kala itu tidak gentar. Kisah popular, seorang tentara Islam saat Perang Qadisiyyah, sendirian masuk ke Istana Rustum, panglima tentara Persia, tanpa sedia menundukkan kepala. Bahkan kudanya pun dibawanya masuk, menginjak-injak karpet istana yang indah. Juga tengoklah bagaimana seorang Ja’far bin Abi Thalib, dalam keadaan terjepit mampu mengeluarkan argumen-argumen jitu di hadapan Raja Najasi dan pembesar-pembesar Habasyah, saat Hijrah pertama. Kaum Muslim di bawah Khalifah Muhammad al-Fatih dengan gagah berani menaklukkan ibukota Romawi, Konstantinopel (sekarang Istanbul), sebuah imperium yang besar dan hebat di dunia tanggal 29 Maret 1453. Karena itu, memang bisa dikatakan, masa depan Umat Islam dan Bangsa Indonesia, akan ditentukan oleh berhasil atau tidaknya pendidikan berbasis karakter atas mereka. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah: “Pendidikan Karakter seperti apa?” Tentu, sebagai Bangsa yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (bertauhid), maka tidak sepatutnya Bangsa Indonesia mengembangkan konsep Pendidikan Karakter yang ateis atau sekuler.7 Seyogyanya, pendidikan karakter yang dikembangkan di Indonesia, khususnya untuk Umat Islam, haruslah pendidikan karakter berbasis Tauhid. Jika Bangsa Cina, Jepang, AS, dan sebagainya, maju sebagai hasil pendidikan karakter, tentulah Bangsa Indonesia harus memiliki karakter yang lebih baik, tanpa perlu menjadi komunis, ateis, atau sekuler. Dalam perspektif Tauhid inilah, tampak sejumlah ketidakjelasan dan kerancuan dalam konsep 7 Tentang arti Pancasila, lihat Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009).

Vol. 9, No. 2, November 2013


378 Adian Husaini Pendidikan Karakter yang diajukan pemerintah. Misalnya, disebutkan, bahwa “Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945”

Jika ditanyakan, apa makna ungkapan “akhlak mulia”, “moral”, “etika”, “adab”, menurut Falsafah Pancasila? Apakah Pancasila bisa dijadikan sebagai landasan untuk berakhlak mulia? Jika bisa, bisakah dijelaskan bagaimana berakhlak mulia sesuai Pancasila? Bisakah dijelaskan, bagaimana cara menggosok gigi yang baik menurut Falsafah Pancasila? Juga disebutkan, misalnya, tujuan Pendidikan Karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Menjadikan Pancasila sebagai pedoman pembentukan karakter bangsa akan menimbulkan persoalan serius, karena akan terjadi benturan dengan agama. Pancasila seyogyanya tidak dijadikan sebagai pedoman amal atau pedoman karakter. Sebab, itu adalah wilayah agama. Jika Pancasila akan ditempatkan sebagai pedoman karakter atau moral, maka akan menjadi pedoman baru, yang menggantikan posisi agama. Hal itu tidak akan berhasil, sebab Pancasila tidak memiliki sosok panutan ideal yang bisa dijadikan contoh dalam pembentukan karakter. Berbeda dengan Islam, yang memiliki suri tauladan yang jelas dan abadi, yaitu Nabi Muhammad SAW. Seharusnya, Bangsa Indonesia belajar dari kegagalan Orde Baru dalam upaya penempatan Pancasila sebagai pedoman amal. Upaya Pemerintah Orde Baru untuk menempatkan Pancasila menjadi landasan moral melalui sosialisasi dan indoktrinasi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tahun 1978, Partai Persatuan Pembangunan menolak pengesahan Tap MPR tentang P4. Tokoh Masyumi, Sjafroedin Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb

379

Prawiranegara juga berkirim surat kepada Presiden Soeharto tanggal 7 Juli 1983, yang menyatakan, bahwa tidak ada yang namanya moralitas Pancasila, karena urusan moral sudah ada dalam agama masing-masing. Sjafroedin menekankan, bahwa Pancasila adalah asas negara dan landasan konstitusi. Prof. HM. Rasjidi juga berpendapat, P4 membahayakan keberadaan Islam. Misalnya, ajaran tentang kerukunan beragama telah dipergunakan untuk membelenggu umat Islam supaya tidak menentang pemurtadan umat Islam oleh aliran kebatinan dan kristenisasi. Ada juga tokoh yang menulis bahwa P4 memberikan perlindungan terhadap aliran kepercayaan dan menyingkirkan kaitan historis kedudukan Umat Islam dalam kerangka ideologi Pancasila. P4 dipandang sebagai manipulasi dan pemusatan penafsiran ideologi negara oleh penguasa tanpa mengaitkan asasasas ajaran agama, terutama Islam. Memang, sejak tahun 1975, PMP wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Sejak ditetapkan MPR, maka Penataran P4 diwajibkan untuk pegawai negara dan mahasiswa. Menurut Riswanda Imawan, penataran P4 dimaksudkan untuk mengurangi pentingnya ideologi Islam. Ada juga yang menyebut proses Pancasilaisasi mempunyai implikasi “deislamisasi”. Juga, menurut Leifer, salah satu fungsi Pancasila adalah untuk melindungi identitas budaya kelompok abangan. Muhammad Natsir menyebut diberlakukannya pelajaran PMP di sekolah-sekolah merupakan bentuk pendangkalan agama dan penyamaan agama dengan Pancasila.7 Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, Ridwan Saidi kembali menulis kolom berjudul “Gejala Perongrongan Agama”. Lagi-lagi, politisi yang juga dikenal sebagai budayawan Betawi ini mengupas dengan sangat tajam kebijakan Prof. Dardji Darmodiharjo. 7 Setelah Tap MPR No II/1978 disahkan, sebagian kalangan Muslim kemudian mencoba mewarnai konsep P-4 itu dengan corak pandang Islam. Tahun 1978, Ditjen Bimas Islam Departemen Agama RI menerbitkan sebuah buku kecil berjudul P-4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Islam. Ketika menjelaskan tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dikutiplah QS. al-Ikhlas (112), dan sejumlah ayat al-Qur’an lainnya untuk mendukung pengertian tersebut. Dalam sambutannya untuk buku ini, Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara menyatakan, bahwa “Pengamalan Pancasila bukan lagi masalah bagi umat beragama khususnya umat Islam, karena memang para perumusnya dahulu juga tidak sedikit adalah tokoh-tokoh Islam selain tokoh-tokoh nasional yang juga umat Islam terkemuka.” (Komentar: Tampaknya, langkah Menteri Agama tersebut lebih berbau politis, untuk merebut makna Pancasila dengan kelompok lain yang memberi penafsiran yang berbeda dengan penafsiran ala Islam. Hal ini akan tampak pada percaturan politik nasional pada dekade 1970 dan 1980-an, dimana kubu sekular – yang antara lain diwakili oleh Menteri P&K Daoed Joesoef – semakin lama semakin tersingkir dari pusaran kekuasaan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto).

Vol. 9, No. 2, November 2013


380 Adian Husaini Beginilah antara lain gambaran yang diberikan Ridwan Saidi tentang Prof. Dardji: “Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.” 8

Jika pendidikan karakter didasarkan kepada falsafah Pancasila yang tidak dijelaskan maknanya maka, sudah barang tentu, pendidikan karakter itu berpijak di atas fondasi yang rapuh. Seharusnya, pendidikan karakter di Indonesia dilaksanakan – khususnya bagi Kaum Muslim – dengan berdasarkan kepada konsep Tauhid. Itulah sebenarnya makna dan konsep yang paling tepat bagi pendidikan Karakter di Indonesia, sesuai dengan makna Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiul Awal 1404 H/ 21 Desember 1983 memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.9 8 Lihat, Ridwan Saidi, Islam dan Moralitas Pembangunan, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), 11. 9 Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). Lihat juga, Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Pemikiran KH Achmad Siddiq, (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2002), 118-145; M. Ali Haidar, dalam bukunya,

Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb

381

Jadi, menurut keputusan Munas alim ulama tersebut, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bermakna tauhid dan menjiwai sila yang lain. Tauhid di sini juga ditegaskan: “menurut pengertian keimanan dalam Islam”. Pemahaman bahwa sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dimaknai sebagai tauhid dalam Islam, bukanlah klaim kosong. Para tokoh yang terlibat dalam perumusan Pancasila itu sendiri sudah menegaskan, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa memang harus dimaknai tauhid. Mohammad Hatta yang giat melobi para tokoh Islam agar rela menghapus tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya), dari sila pertama dan menggantinya dengan “Yang Maha Esa” menegaskan, bahwa pengertian “Ketuhanan Yang Maha Esa” memang tauhid dalam ajaran Islam. Sebenarnya, terlepas dari agama dan ideologi masing-masing, harusnya bangsa Indonesia mau bersikap jujur, bahwa rumusan Pancasila yang berlaku sekarang ini, tidaklah terpisahkan dari rumusan Pembukaan UUD 1945, yang kini berlaku kembali sebagai hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena itu, dalam memahami sila Pertama, misalnya, tidak boleh dilepaskan dari alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”. Jadi, sila pertama, menurut berbagai tokoh organisasi Islam, bisa dikatakan sebagai penegasan konsep Tauhid dalam Islam, sebab dalam alinea ketiga jelas-jelas disebutkan nama Tuhan yang Esa yaitu Allah. Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Prof. Kasman Singodimedjo menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.”10 Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), memberikan komentar terhadap keputusan Munas Alim Ulama tersebut: “Penegasan ini sebenarnya bukannya tidak terduga. Seperti dikemukakan Hatta ketika bertemu dengan beberapa pemimpin Islam tanggal 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan UUD, mereka dapat menerima penghapusan ‘tujuh kata’ yang tercantum dalam Piagam Jakarta, karena dua alasan. Pertama, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah negara yang baru diproklamasikan sehari sebelumnya… Salah seorang yang dipandang Hatta berpengaruh dalam kesepakatan ini ialah Wachid Hasjim, tokoh NU yang memiliki reputasi nasional ketika itu. Jadi rumusan deklarasi itu hakekatnya menegaskan kembali apa yang telah disepakati sejak negara ini baru dilahirkan tanggal 18 Agustus 1945 yang lalu.” (hal. 285-286). 10 Lihat, Kasman Singodimedjo, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), 123-125.

Vol. 9, No. 2, November 2013


382 Adian Husaini Karena itu, sudah sepatutnya, pendidikan karakter di Indonesia memang didasarkan kepada konsep tauhid. Sebagai aplikasinya, karakter “toleransi”, misalnya, harus diberi batasan, bahwa Umat Islam, tidak boleh bertoleran terhadap kemusyrikan dan kemungkaran. Dalam tataran kebangsaan, sudah sepatutnya, negara tidak menfasilitasi berkembangnya paham-paham syirik yang bertentangan dengan konsep Tauhid. Untuk itu, keliru, jika siswa diajarkan agar bertoleran terhadap semua aliran keagamaan atau jenis pemikiran. Yang benar adalah, anak-anak Muslim ditanamkan untuk memiliki karakter yang kuat dalam toleransi tetapi tanpa merusak akidahnya.

Pendidikan Adab Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) susunan W.J.S. Poerwadarminta, kata “adab” didefinisikan sebagai: kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, dan akhlak. Sedangkan “beradab” diartikan sebagai sopan, baik budi bahasa, dan telah maju tingkat kehidupan lahir dan batinnya. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Melayu Utusan, mengartikan kata “adab” dengan “sopan” (lawan dari kata “biadab”). “Beradab” berarti baik budi bahasa.11 Istilah “adab” tentu saja bukan hal yang asing bagi Bangsa Indonesia. Sebab, kata ini sudah terbiasa digunakan di tengah masyarakat dan juga tercantum dalam Pancasila, sila kedua, yaitu: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Masuknya istilah “adab” dalam Pancasila ini merupakan indikasi kuatnya pengaruh Islamic worldview (pandangan alam Islam) dalam rumusan Pembukaan UUD 1945, dimana terdapat rumusan Pancasila. Indikasi yang lebih jelas tentang kuatnya pandangan-alam Islam pada rumusan Pancasila adalah terdapatnya sejumlah istilah kunci dalam Islam lainnya, seperti kata “adil”, “hikmah”, “rakyat”, “daulat”, “wakil”, dan “musyawarah”. Perlu dicatat, rumusan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab sangat berbeda dengan rumusan yang pernah diusulkan oleh tokohtokoh sebelumnya, Muhammad Yamin, dalam Sidang BPUPK, tanggal 29 Mei 1945, mengusulkan rumusan sila keduanya: “Peri Kemanusiaan”. Soekarno, pada 1 Juni 1945, mengusulkan rumusan 11 Dikutip dari Usman Syihab, Membangun Peradaban dengan Agama, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), 77-78.

Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb

383

sila kedua: “Internasionalisme atau Perikemanusiaan.” Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku 29 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 memuat rumusan sila kedua: “Peri Kemanusiaan”. Rumusan “Peri Kemanusiaan” ini juga diteruskan dalam Konstitusi UUDS, 1950 sampai 5 Juli 1959.12 Dengan mencermati berbagai rumusan sila kedua yang pernah diusulkan atau dicantumkan dalam beberapa Konstitusi RI, tampak bahwa dua istilah – “adil” dan “adab” — ini jelas berasal dari kosakata Islam, yang memiliki makna khusus (is} t} i lâhan) dan hanya bisa dipahami dengan tepat jika dirunut pada pandangan-dunia Islam. Kedua istilah tersebut jelas tidak ditemukan dalam tradisi Indonesia asli, sebelum kedatangan Islam. Adil adalah istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Qur’an. Sebagai contoh dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS. 16:90). Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang makna adil dalam ayat ini, yaitu “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. “Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai,” tulis Hamka.13 Jadi, adil bukanlah sama rata-sama rasa. Konsep adil adalah konsep khas Islam yang oleh orang Islam, seharusnya dipahami dari perspektif pandangan-dunia Islam, karena konsep ini terikat dengan konsep-konsep Islam lainnya. Jika konsep adil dipahami dalam kerangka pandangan-alam Barat (western worldview), maka akan berubah maknanya. Sejumlah aktivis Kesetaraan Gender, yang berpedoman pada “setara” menurut pandangan Barat, misalnya, mulai menggugat berbagai ajaran Islam yang dinilai menerapkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Dipertanyakan, 12 13

Kaelani, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2010, edisi ke-9), 24-27. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1997).

Vol. 9, No. 2, November 2013


384 Adian Husaini mengapa akikah untuk bayi laki-laki, misalnya, adalah dua kambing dan akikah untuk bayi perempuan adalah 1 kambing. Konsep itu dinilai tidak adil dan diskriminatif. Dalam Islam, laki-laki berhak menjadi imam shalat bagi laki-laki dan perempuan adalah adil. Menurut konsep yang lain, bisa dikatakan tidak adil. Dalam pandangan demokrasi Barat, tidak ada pembedaan antara hak “orang jahat” dengan”orang baik” dalam kesaksian dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Bagi hukum pidana yang berlaku sekarang, dianggap adil jika Presiden – yang tidak ada hubungan keluarga apa pun – berhak memberikan grasi kepada seorang terhukum. Tetapi, dalam Islam, yang lebih adil adalah jika hak pengampunan itu diberikan kepada keluar korban kejahatan. Jadi, kata adil, memang sangat beragam maknanya, tergantung pandangan-dunia apa yang digunakan. Sejumlah kalangan, dengan alasan HAM, menilai aturan Islam tidak adil, karena melarang wanita Muslimah menikah dengan lakilaki non-Muslim. Juga dengan dasar yang sama, mereka menuntut keadilan, agar kaum homoseksual dan lesbian juga diberikan hak yang sama untuk diakui keabsahan pernikahan mereka, sebagaimana pernikahan kaum hetero. Lama-lama, bisa juga mereka menuntut hak untuk pengesahan perkawinan manusia dengan binatang, dengan alasan, tidak mengganggu orang lain. Ada juga tuntutan hak untuk mati, sebagaimana hak untuk hidup, dan sebagainya. Karena itu, jika istilah “adil” dalam sila kedua – Kemanusiaan yang Adil dan Beradab – dilepaskan maknanya dari sudut pandangan-alam (worldview) Islam, maka akan terlepas pula maknanya yang hakiki, sebagaimana dimaksudkan oleh para perumus Pancasila itu sendiri. Bagi Kaum Muslim, khususnya, Prof. Naquib al-Attas mengingatkan perlunya memperhatikan masalah penggunaan bahasa atau istilah-istilah dasar dalam Islam dengan benar agar jangan sampai terjadi kekeliruan yang meluas dan kesilapan dalam memahami Islam dan pandangannya tentang hakikat dan kebenaran. Menurut Prof. Naquib, banyak istilah kunci dalam Islam yang kini menjadi kabur dipergunakan sewenang-wenang, sehingga menyimpang dari makna yang sebenarnya. Ia menyebutnya sebagai penafi-islaman bahasa (de-Islamization of language). Contoh kasus penafi-islaman bahasa adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang diartikan sebagai “tiada menyebelahi mana-mana pihak, dan menyamaratakan taraf tanpa batasan, atau sebagai tata cara belaka. Contoh lain, penyalahpahaman makna istilah “adab”, yang diartikan hanya sebagai adat Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb

385

peraturan mengenai kesopanan, yang lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan.14

Makna Adab Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka”. Dalam hadis lain juga disebutkan, “Jika seseorang mendidik anaknya (menjadikan anaknya beradab), maka itu lebih baik baginya daripada bersedekah setiap harinya setengah sha’”. (HR Imam Ahmad) Istilah “adab” dalam kedua Hadis Nabi SAW tersebut identik dengan istilah pendidikan saat ini. Karena itulah, istilah “adab” juga merupakan salah satu istilah kunci dalam Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Di Indonesia, K.H. M. Hasyim Asy’ari, Pendiri NU, menulis sebuah buku berjudul Âdab al-‘Âlim wa al-Muta’allim (edisi Indonesia: Etika Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007). Terjemahan harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas secara panjang lebar tentang masalah adab. Kyai Hasyim Asy’ari membuka kitabnya dengan mengutip hadis Rasulullah SAW: “Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik.” Dikutip juga perkataan sejumlah ulama. Hasan al-Bashry misalnya, yang menyatakan: “Hendaknya seseorang senantiasa mendidik dirinya dari tahun ke tahun.” Habib bin al-Syahid suatu ketika menasehati putranya: Bergaullah engkau dengan para fukaha serta pelajarilah adab mereka. Sesungguhnya yang demikian itu akan lebih aku cintai daripada banyak hadis.” Ruwaim juga pernah menasehati putranya: “Wahai putraku, jadikanlah ilmumu seperti garam dan adabmu sebagai tepung.” Ibn al-Mubarak menyatakan bahwa mempunyai adab meskipun sedikit lebih dibutuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan. Suatu ketika Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang: “Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab?” Beliau menjawab: “Se14

Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2007), 60. Secara khusus, Prof. Naquib al-Attas mengingatkan: “Many major key terms in the Islamic basic vocabulary of the languages of Muslim peoples have now been displaced and made to serve absurdly in alien fields of meaning. This modern cultural phenomenon is what is causing the confusion of the Muslim mind. It is a kind of regression towards non-Islamic worldviews; it is what I call the de-islamization of language.” Lihat, S.M.N. al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Petaling Jaya: ABIM, 1980),11.

Vol. 9, No. 2, November 2013


386 Adian Husaini tiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (mendengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran (telinga). Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti.” Beliau ditanya lagi, “Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?” Beliau menjawab, “Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.” Maka, dalam bukunya ini, Kyai Hasyim Asy’ari menuliskan kesimpulan: Kaitannya dengan masalah adab ini, sebagian ulama lain menjelaskan, “Konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada Allah (yakni dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena, apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah. Demikian pula keimanan, jika keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukumhukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitu pun dengan pengamalan syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab, maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat, dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah. Berdasarkan beberapa hadits Rasulullah saw dan keterangan para ulama di atas, kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam. Karena, tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT (sebagai satu amal kebaikan), baik menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah (perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi Allah SWT adalah melalui sejauh mana aspek adab disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukannya.15

Demikianlah penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang makna adab. Menyimak paparan pendiri NU tentang adab tersebut, maka tidak bisa tidak, kata “adab” memang merupakan istilah yang khas maknanya dalam Islam. Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar “sopan santun” atau baik budi bahasa. 15

K.H. M. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam (terj.), (Yogyakarta: Titian Wacana,

2007).

Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb

387

Oleh karena itu tentunya sangat masuk akal jika orang Islam memahami kata “adab” dalam sila kedua itu sebagaimana dipahami oleh sumber-sumber ajaran Islam dan para ulama Islam. Sebab, memang itu istilah yang sangat khas dalam Islam. Jika adab hanya dimaknai sebagai “sopan-santun”, maka bisabisa ada orang yang menyatakan, Nabi Ibrahim AS sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, “Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. 6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ’an al-munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah ada yang menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap tidak sopan. Banyak yang menganggap tentang dosa zina, dan dianggap tidak etis jika masalah itu diangkat ke permukaan, sementara masalah korupsi harta bisa diangkat ke permukaan. Karena itulah, menurut Islam - sekali lagi menurut ajaran Islam – harkat dan martabat sesuatu adalah berdasarkan pada ketentuan Allah, dan bukan pada manusia atau budaya. Sebagai contoh, kriteria orang yang mulia, menurut al-Qur’an adalah orang yang paling takwa (QS. 49:13). Oleh karena itu, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, Kaum Muslim harus menghormati seseorang karena keimanan dan ketakwaannya; bukan karena jabatannya, kekayaaannya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya beradab, menurut al-Qur’an. Begitu juga ketika al-Qur’an memuliakan orang yang berilmu (QS. 35:28, 3:7, 58:11), maka sesuai konsep adab, seorang Muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan terlibat dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat yang beradab juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya. AlQur’an sangat menekankan, bahwa ada perbedaan antara orang yang berilmu dan yang tidak berilmu. Orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya. “Katakanlah, tidaklah sama, orang yang tahu dan orang yang tidak tahu.” (QS. 39:9). “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu, beberapa derajat.” (QS. 58:11). Karena itulah, Allah mengecam keras orang-orang yang tidak menggunakan segala potensinya untuk berpikir dan meraih ilmu. Orang-orang seperti ini, dalam al-Qur’an, disamakan derajatnya Vol. 9, No. 2, November 2013


388 Adian Husaini dengan binatang ternak: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai qalb tapi tidak untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS 7:179).

Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu yang benar sebagaimana digariskan dalam al-Qur’an ini. Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Sebab seorang Muslim senantiasa berdoa: “Rabbi zidniy ’ilman” (Ya Allah, tambahkanlah ilmuku). Lebih dari itu, Rasulullah SAW juga mengajarkan doa, agar ilmu yang dikejar dan dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan ilmulah, maka manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai ketentuan Allah SWT. Inilah konsep adab sebagaimana dipahami oleh Kaum Muslim. Dengan demikian, jika ditelaah, adalah sangat masuk akal menghipotesakan, bahwa masuknya kata “adil” dan “adab” dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah usulan para tokoh Islam yang duduk dalam “Panitia Sembilan”. Perlu dicatat, bahwa sebelum “Panitia Sembilan” bermusyawarah, Soekarno dan Muhammad Yamin sudah mengajukan asas atau dasar “peri-kemanusiaan” sebagai salah satu asas atau dasar dari Dasar Negara Indonesia. Mengapa, misalnya, sila kedua itu tidak berbunyi: Kemanusiaan yang sopan dan berbudi? Atau Kemanusiaan yang sopan dan santun? Atau, hanya berhenti pada istilah kemanusiaan. Jika demikian, maka akan sangat mungkin kata ini dimaknai secara fleksibel dan netral agama. Inilah yang secara mendasar digugat oleh Mohammad Natsir dalam pidatonya di Majelis Konstituante, “Di mana sumber perikemanusiaan itu?” Bagi yang memegang nilai-nilai relativisme dalam kebenaran dan moral, maka makna “kemanusiaan” akan memiliki makna yang nisbi dan tidak absolut, tergangung pada tradisi atau kesepakatan suatu masyarakat. Seperti disinggung sebelumnya, jika masyarakat tidak berkeberatan dengan budaya pornografi dan pornoaksi, maka nilai itu akan dianggap sebagai

Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb

389

kebenaran. Orang yang menentang tradisi masyarakat tersebut bisa dikatakan manusia tidak beradab. Begitu juga ketika suatu masyarakat menerima praktik pelacuran, perjudian, atau minuman keras, maka itu dianggap sebagai nilai yang benar. Menurut kaum relativis ini, tidak ada nilai yang tetap sepanjang zaman dan sembarang tempat. Nilai selalu berubah. Batasan aurat wanita, misalnya, menurut mereka, tidak ada yang tetap, tetapi berdasarkan budaya setempat. Apa yang sopan dan tidak sopan, ditentukan oleh tradisi dan kesepakatan dan konsensus. Tentu saja, konsep semacam ini sangat berbeda dengan konsep Islam. Karena itulah, masuknya kata “adil” dan “adab” dalam sila kedua dari Pancasila semakin memperkuat bahwa Pancasila bukanlah konsep yang netral agama. Tampak, pandangan-dunia Islam yang dibawa oleh para tokoh perumusnya, terutama KH. Wachid Hasyim (Putra KH. Hasyim Asy’ari), Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikusno Tjokrosuyoso, cukup mewarnai rumusan Pancasila, sehingga sangat tidak keliru jika umat Islam memberi makna adil dan adab sesuai dengan makna dalam Islam, bukan makna yang netral agama. Sebab, jika istilah adil dan adab diletakkan dalam bingkai atau perspektif pandangan-dunia sekular atau netral agama, maka kata itu juga tidak akan bermakna sesuai dengan makna asalnya. Dengan demikian, adalah tidak fair, tidak adil dan tidak beradab, jika orang Islam memberi makna adil dan adab dilepaskan dari pandangan-alam Islam. Bisa dipastikan, sebelum Islam masuk ke wilayah Nusantara, kedua istilah tersebut tidak dikenal di wilayah ini. Hingga kini, tidak ditemukan, terjemahan yang tepat dari kata adil dan adab ke dalam Bahasa Jawa, Minang, Sunda, Makasar, dan sebagainya.

Adab dan Tujuan Pendidikan Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Naquib al-Attas. Menurutnya, adab adalah pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal, maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia karena yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketidaksadaran dan kejahilan. Vol. 9, No. 2, November 2013


390 Adian Husaini Lebih jauh, Prof. Naquib al-Attas menjelaskan, bahwa jatuhbangunnya umat Islam, tergantung sejauhmana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Lebih jauh, pakar filsafat Islam dan sejarah Melayu ini menjelaskan: “Ta’rif adab yang dikemukakan di sini dan yang lahir dari pengertian Islam, dengan sendirinya menjelaskan bukan sahaja harus dia itu ditujukan maksud pengenaannya pada bangsa insani belaka; bahkan dia juga harus dikenakan pada keseluruhan alam tabi’i dan alam ruhani dan alam ilmi. Sebab, adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata, yang merupakan ma’lumat bagi ilmu. Tiap sesuatu atau seseorang memiliki hak yang meletakkannya pada keadaan atau kedudukan yang sesuai bagin keperluannya. Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat, yang memberitahu atau memperkenalkan sehingga ketara tentang hak yang mensifatkan sesuatu atau seseorang itu; dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di manakah atau bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya. Apabila faham adab itu dirujukkan kepada sesama insan, maka dia bermaksud pada kesusilaan akhlakiah yang mencarakan kewajiban diri berperangai mengikut keperluan haknya dalam susunan berperingkat darjat yang terencana, umpamanya, dalam keluarga, dalam musharakat, dalam berbagai corak pergaulan kehidupan. Apabila dia dirujukkan pada alam ilmi pula, maka dia bermaksud pada ketertiban budi menyesuaikan haknya pada rencana susunan berperingkat martabat yang mensifatkan ilmu; umpamanya pengenalan serta pengakuan akan ilmu bahawa dia itu tersusun taraf keluhuran serta keutamannya, dari yang bersumber pada wahyu ke yang berpunca pada perolehan dan perolahan akal; dari yang fardu ain ke yang fardu kifayah; dari yang merupakan hidayah bagi kehidupan ke yang merupakan kegunaan amali baginya. Dan adab terhadap ilmu itu iaitu mengenali serta mengakui taraf keluhuran serta keutamaan yang terencana pada ilmu, nescaya dapat menghasilkan dalam diri pencapaian yang seksama terhadap meramukan, menurut taraf keperluannya, pelbagai macam ilmu yang membina keadilan dalam diri. Dan keadilan dalam diri itu menyesuaikan haknya pada kewajiban membimbingnya ke arah pengenalan serta pengakuan akan ilmu yang bersumberkan wahyu, yang menyesuai hak diri jua, dan yang dengannya dapat menjelmakan

Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb

391

akibat amali dalam diri sehingga menyelamatkannya duniaakhirat.” 16

Jadi, seperti ditegaskan oleh Prof. Naquib al-Attas, di dalam Islam, konsep adab memang sangat terkait dengan pemahaman tentang wahyu. Orang beradab adalah yang dapat memahami dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah. Di dalam Islam, orang yang tidak mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, bisa dikatakan tidak adil dan tidak beradab. Sebab, di dalam al-Qur’an, syirik dikatakan sebagai kezaliman besar, seperti dikatakan Lukman kepada anaknya: “Wahai anakku, janganlah kamu menserikatkan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS. 31:13). Adalah tidak beradab mengangkat derajat makhluk ke derajat alKhalik. Begitu juga menurunkan derajat al-Khalik ke derajat makhluk juga tindakan yang tidak beradab. Orang yang berilmu juga tidak sama derajatnya dengan orang bodoh. Begitu juga orang mukmin, tidak sama derajatnya dengan orang kafir (QS. 98; QS. 3:110, 119). Jadi, derajat manusia di hadapan Allah SWT tidaklah sama. Derajat seseorang di hadapan Allah tergantung pada keimanan dan ketakwaannya. Konsep adab seperti ini sesuai dengan istilah dan tujuan Pendidikan Islam itu sendiri, yaitu ta’dib dan tujuannya adalah membentuk manusia yang beradab (insan adaby). Prof. Naquib alAttas dalam bukunya, Islam and Secularism, menggariskan tujuan pendidikan dalam Islam tersebut: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”17 16 Uraian selengkapnya tentang adab bisa dikaji dalam buku Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 118-120. Dalam rumusan lain, al-Attas mendefinisikan: “Adab is recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and one’s physical, intellectual and spiritual capacities and potentials.” Lihat: Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Petaling Jaya: ABIM, 1980), 27. 17 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2003), 150-151.

Vol. 9, No. 2, November 2013


392 Adian Husaini “Orang baik” atau good man, bisa dikatakan sebagai manusia yang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya. Dengan berpijak kepada konsep adab dalam Islam, maka “manusia yang baik” atau “manusia yang beradab”, adalah manusia yang mengenal Tuhannya, mengenal dan mencintai nabinya, menjadikan Nabi SAW sebagai uswah h}asanah, menghormati para ulama sebagai pewaris nabi, memahami dan meletakkan ilmu pada tempat yang terhormat – paham mana ilmu yang fardhu ain, dan mana yang fardu kifayah; juga mana ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang merusak – dan memahami serta mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah dengan baik.

Penutup Istilah adab sejatinya merupakan salah satu istilah kunci (Islamic basic vocabulary) dalam ajaran Islam, yang berhasil dimasukkan oleh para pendiri Bangsa Indonesia ke dalam Pancasila. Karena berasal dari kosa kata Islam, maka seyogyanya istilah adab yang sebenarnya juga harus dipahami dalam perspektif pandangan alam (worldview) Islam. Pemaknaan “adab” dengan sopan-santun, baik budi bahasa, tidak sesuai dengan makna istilah ini sendiri dalam ajaran Islam, yang pada intinya adalah memahami dan mengakui segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah SWT. Karena pentingnya penegakan adab di tengah masyarakat Muslim, maka pakar pendidikan dan pemikiran Islam, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sudah mengajukan istilah “ta’dib” untuk suatu proses pendidikan, yang tujuannya adalah membentuk manusia yang beradab, atau manusia yang baik (a good man). Dengan itu, tujuan pendidikan Islam adalah mencetak manusia yang beradab. Adalah aneh, meskipun tercantum dalam Pancasila, konsep adab tidak dipahami sebagaimana mestinya. Karena pentingnya konsep adab ini, maka sudah saatnya pemerintah dan Umat Islam pada umumnya mengacu pada konsep adab dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis karakter.[]

Jurnal TSAQAFAH


Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb

393

Daftar Pustaka Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1980. The Concept of Education in Islam. Petaling Jaya: ABIM. _________. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC. _________. 2003. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC. _________. 2007. Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia,. Arsalan, Al-Amir Syakib. 1992. Mengapa Kaum Muslimin Mundur. Jakarta: Bulan Bintang. Asy’ari, K.H. M. Hasyim. 2007. Etika Pendidikan Islam (terj.). Yogyakarta: Titian Wacana. Bisri, A. Mustofa. 2009. “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali. Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: LP3ES. Haidar, M. Ali. 1994. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hamka. 1997. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. Husaini, Adian. 2009. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Kaelani. 2010. Pendidikan Pancasila, Edisi Ke-9. Yogyakarta: Paradigma. Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar Pada Karakter. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI. Natsir, M. 2008. Capita Selecta 2, Cet. II. Jakarta: PT Abadi. Noeh, Munawar Fuad. dan Mastuki HS (ed.). 2002. Menghidupkan Pemikiran KH Achmad Siddiq. Jakarta: Pustaka Gramedia Utama. Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta: Kemendiknas. Pusat Kurikulum. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Kemendiknas.

Vol. 9, No. 2, November 2013


394 Adian Husaini Saidi, Ridwan. 1984. Islam dan Moralitas Pembangunan. Jakarta: Pustaka Panjimas. Singodimedjo, Kasman. 1982. Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun. Jakarta: Bulan Bintang. Syihab, Usman. 2010. Membangun Peradaban dengan Agama. Jakarta: Dian Rakyat.

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban Umat Islam Menurut Muhammad Fethullah Gulen Usman Syihab* Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta Email: usmansyihab@uinjkt.ac.id

Abstract This article examines Muhammad Fethullah Gulen’s thought on the roles of religion in reconstruction of a civilization. The article analyzes the problem anatomy of the Ummah, concepts of civilization, relationship between identity and civilization, religion and its roles in formation of civilization identity, the “essential” conditions for Muslim’s renaissance, and the role of Islamic scholars in the renaissance process. The article reveals Gulen’s idea, that the Muslim’ crises is internal in nature, and not because of others, it is a “liability to be colonize” attitude. Religion has a vital role in construction of a civilization identity. A religion can be pillar of a civilization is a religion that has lofty goals, able to apply moral values, upgrade spiritual quality, and fulfill human’s soul needs. According to Gulen, every civilization has its links with the past and its cultural haritage, and that any attempt to reconstruct a future civilization has to consider its own cultural roots. Thus, a civilization is neither a life adopted from colonials nor values that has been deprived from its own noble values. The article, using philosophical, historical and sociological approaches, tries to analyze the “essential” conditions that able to restore Islamic civilization and spawn Muslim’s renaissance, mainly; a) moral-spiritual, b) knowledge, c) aesthetic, and d) love. The article also explains critically the roles and missions of ulamâ in making “resurrection from the grave”, renaissance and total reform of the ummah.

Keywords:

*

Muhammad Fethullah Gulen, Renaissance, Religion, Civilization, Moral-Spiritual

Jl. Ir. H. Djuanda No. 95, Ciputat, Tangerang Selatan, 15412. Telp: (+6221) 7401925.

Vol. 10, No. 2, November 2014


342 Usman Syihab Abstrak Makalah ini mengkaji pemikiran Muhammad Fethullah Gulen tentang peranan agama dalam rekonstruksi sebuah peradaban. Ia menganalisis anatomi problem umat, konsep peradaban dan hubungan jati diri dengan peradaban, agama, dan peranannya dalam pembentukan jati diri peradaban, syarat-syarat renaissance umat Islam, serta peranan ulama dalam proses renaissance. Makalah ini menjelaskan pendapat Gulen bahwa krisis umat Islam adalah internal, bukan dari luar, yaitu sikap “kelayakan dijajah�. Bagi Gulen agama memiliki peran vital dalam pembentukan jati diri sebuah peradaban, dan bahwa agama yang dapat menjadi pilar peradaban adalah agama yang memiliki tujuan luhur, menerapkan nilai moral, meningkatkan kualitas spiritual dan memenuhi rasa dahaga jiwa manusia. Menurut Gulen setiap peradaban harus memiliki hubungan dengan masa lampaunya, dan memiliki hubungan dengan warisan kebudayaannya sendiri, dan bahwa usaha mencari dan membangun peradaban yang lebih baik untuk masa depan tidak akan berhasil kecuali dengan mengambil akar-akar kebudayaan yang dimiliki. Oleh karena itu peradaban bukan bentuk kehidupan yang diadopsi dari para penjajah dan bukan pula nilai-nilai yang telah mencerabut umat dari nilai-nilai luhur yang dimiliki. Makalah, dengan pendekatan filosofis, historis, dan sosiologis ini menganalisis syarat-syarat penting peradaban yang ideal yaitu; a) moral-spritual, b) ilmu pengetahuan, c) estetika, dan d) cinta. Makalah ini juga menjelaskan secara kritis peran dan misi ulama dalam menggerakkan “kebangkitan dari kubur�, renaissance, dan reformasi total umat Islam.

Kata Kunci: Muhammad Fethullah Gulen, Renaissance, Agama, Peradaban, Moral-Spiritual

Pendahuluan

M

uhammad Fethullah Gulen (yang selanjutnya disebut Gulen) adalah sosok arsitek spiritual berasal dari Turki. Lahir 11 November 1938 di Erzurum, Turki, dan kini menetap di Amerika Serikat. Lahir di tengah keluarga yang sangat agamis dan sarat akan semangat keislaman. Memulai pendidikan dari rumahnya sendiri; belajar bahasa Arab dan Persia dan dasar-dasar agama dari ayahnya kemudian berlanjut dalam lembaga pendidikan resmi. Menimba ilmu-ilmu keislaman dari ulama-ulama besar yang ada di kota kelahirannya, mengenali dan mempelajari pemikiran Said Nursi, dan mempelajari karya-karya utama filosof Barat dan Timur. Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

343

Gulen memulai kiprahnya di kota Izmir dengan menjadi guru di sebuah madrasah tahfiz al-Qur’an Kastanah Bazari dan madrasah Kawaizh, dan kemudian menjadi imam besar di masjid kota Izmir. Dari kota ini Gulen melakukan perjalanan keliling Turki untuk menyampaikan ceramah ilmiah dengan topik beragam meliputi masalah agama, sosial, filsafat, dan pemikiran. Menggagas apa yang disebut dengan Hizmet Movement (pelayanan untuk masyarakat) yang melibatkan banyak orang dari berbagai bidang khususnya pendidikan dengan semboyan “cinta dan sabar”. Sejak tahun 1990, Gulen mulai menggagas sebuah gerakan internasional dalam dialog dan toleransi antarbangsa yang jauh dari segala bentuk fanatisme dan pemahaman yang kaku. Gulen adalah aktivis perdamaian, sarjana intelektual dan agamis, pengarang dan penyair, dan pemandu spiritual. Gerakan yang dilakukannya adalah gerakan pendidikan, pendidikan untuk hati, jiwa, dan juga pikiran, yang ditujukan untuk merestorasi umat dan membangun peradaban manusia yang berbasis spritiual, cinta, dan toleransi. Atas semua kiprahnya, pada tahun 2008 Foreign Policy Magazine menempatkannya dalam urutan nomor satu dari seratus tokoh intelektual paling berpengaruh di dunia. Gulen telah menulis lebih dari 70 buku, di antaranya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jerman, dan bahasa Indonesia. Di antara karya-karya Gulen yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia adalah: Membangun Peradaban Kita, Bangkitnya Spiritualitas Islami, Cahaya Abadi Muhammad Shallallau Alaihi Wasallam, Cahaya Al-Qur’an, Dakwah, Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, dan Qadar. Untuk menyebarkan pemikiran dan pengaruh Gulen ke seluruh dunia, para murid dan pendukungnya mendirikan “Kursi Kehormatan” di berbagai negara, di lingkungan akademisi, yang antara lain adalah Fethullah Gulen Chair yang telah dibuka di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun 2009.

Anatomi Krisis Umat Islam sebagai suatu peradaban semakin tidak berdaya di tengah-tengah dominasi peradaban Barat dan globalisasi nilainya. Sekalipun konflik yang diakibatkan oleh clash of civilizations tidak menjurus menjadi peperangan besar, ia sebenarnya secara diam-diam telah memakan bermacam-macam aspek budaya hidup Muslim1 1 Mohamad Abu Bakar, Persekitaran Strategik Umat Islam Abad Ke-21, (Kuala Lumpur: Utusan Melayu, 2000), 9.

Vol. 10, No. 2, November 2014


344 Usman Syihab dan kepentingannya. Ketika hampir kesemua negara Islam sedang berhempas pulas coba berdiri sebagai entitas politik yang bebas, merdeka, dan berdaulat, ketika ia sedang bertarung dengan bermacammacam persoalan sosio-ekonomi, dan ketika ia sedang dalam keadaan terdesak menangani masalah kesehatan, buta huruf dan pencemaran alam, pada saat yang sama ternyata ia terpaksa pula menghadapi kenyataan yang sungguh menantang dari peradaban Barat. Pergerakan dan kebangkitan Islam yang sedang berputik, atau yang masih berada pada tahap permulaan menjadi tersudut apabila berkonfrontasi dengan monolith Barat yang hanya tahu merempuh apa saja yang menghalang pergerakannya.2 Semakin Barat berkembang semakin mengecil harapan kebangkitan dunia Islam. Negara Muslim yang kelihatan menantang peradaban Barat dan menggugat ‘orde internasional kontemporer’ akan digempur dan dihancurkan. Begitulah nasib Iran, Sudan, Libya, Somalia, Afganistan, Irak, Mesir, dan Syiria. Peristiwa berkaitan dan berikutan serangan ke atas Pusat Dagangan Dunia dan Pentagon di Amerika Serikat, 11 September 2001, telah menjelma dengan lebih ketara lagi kedudukan dunia Islam dalam peta strategi terbaru. Kejadian di New York tersebut menjadi jalan bagi Barat untuk memerangi Osama bin Laden, Saddam Husen, Muammar Ghadafi, Jamaah Islamiyah, dan negara-negara Islam dengan alasan menghapus terorisme internasional. Huntington menilai bahwa hubungan antara Islam dan Barat adalah hubungan yang dipenuhi oleh konflik. Menurutnya, selama empat belas abad sejarah membuktikan bahwa hubungan antara Islam dan Kristen sering memanas. Konflik antara Demokrasi Liberal dan Marxisme-Leninisme pada abad kedua puluh hanya merupakan fenomena sejarah yang kecil dan sementara jika dibandingkan dengan konflik yang berterusan dan dalam antara Islam dan Kristen. Dalam masa-masa perdamaian tidak dapat dipertahankan; hubungan bertambah banyak berisikan permusuhan dan berbagai bentuk peperangan yang panas.3 Huntington mengutip kata-kata John Esposito yang mengatakan “selalu ditemukan antara kedua2

Ibid., 7. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remarking of World Order, (New York: Touchstone, 1997), 209. 4 John L. Esposito, The Islamics Threat: Myth or Reality, (New York: Oxford University Press, 1992), 46. 3

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

345

dua masyarakat dalam kompetisi, dan terkunci dalam kancah peperangan, untuk kuasa, tanah, dan jiwa.”4 Sepanjang berbagai abad nasib kedua agama tersebut naik dan turun saling bergantian.5 Berdasarkan pada perspektif clash (konflik), Huntington selanjutnya berpendapat bahwa Islam adalah ancaman yang paling berbahaya bagi peradaban Barat modern, khususnya setelah kejatuhan komunisme.6 Masyarakat Islam adalah masyarakat “pasca-peradaban” (marh}alah mâ ba’da al-had}ârah). Masyarakat yang telah melampaui fase peradaban. Yaitu “masyarakat yang sudah jumud pemikirannya dan bergerak ke belakang.”7 Masyarakat pasca peradaban, bukan hanya tidak bergerak dari tempatnya, melainkan masyarakat yang mundur atau berjalan ke belakang, setelah menyeleweng jauh dan putus dari peradabanya.8 Masyarakat yang telah terkeluar dari peradaban (pasca-peradaban) yang tidak dapat lagi menghasilkan karya-karya peradaban (oeuvre civilisatrice) dan mengadakan perubahan-perubahan yang fundamental.9 Yaitu masyarakat yang menurut Malik Bennabi, filusuf sosiologi dari Aljazair, sebagai masyarakat yang layak atau memiliki syarat-syarat untuk dijajah (al-qâbiliyyah li al-isti’mâr). 10 Gulen, menyadari benar bahwa krisis yang dialami oleh umat Islam sekarang ini adalah krisis yang multidimensi dan menyeluruh. Krisis luar biasa yang menyerang hampir seluruh sendi kehidupan kaum Muslim. Mulai dari akidah, akhlak, pola pikir, pendidikan, produktivitas, tradisi, budaya, bahkan hingga ranah sosial-politik.11 Mereka terbelenggu dalam kebodohan, dekadensi moral, klenik, dan hedonisme yang hanya ingin memuaskan syahwat jasmani. Mereka sedang terbenam dalam kegelapan yang parah. Mereka bingung bagai ayam kehilangan induk, atau laksana biji-biji tasbih yang lepas dari tali perangkainya. Saat ini mereka sedang tertindas 5

Huntington, The Clash of Civilizations…, 209. Huntington memperbincangkan pendapatnya secara panjang lebar dalam bukunya, the Clash of Civilization, dari bab 8 hingga 10. 7 Malik Bennabi, Musykilât al-Afkâr fî al-‘Âlam al-Islâm, Terj. Bisam Barkah dan Ahmad Sakbu, (Damascus, Syria: Dâr al-Fikr, 1980). 40. 8 Malik Bennabi, Syurût} al-Nahd}ah , Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin dan Umar Kamil Miskawi, (Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 4, 1987), 38. 9 Ibid., 78. 10 Ibid., 92. 11 Muhammad Fethullah Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, (Jakarta: Republika, 2012), 1. 6

Vol. 10, No. 2, November 2014


346 Usman Syihab di bawah kaki kekuatan yang tak kasat mata. Mereka tertekan dan terguncang. Lemah tak berdaya. Remuk rendam centang perenang dikoyak kuasa jahat. Mereka semua kebingungan.12 Menurut Gulen, sebab utama dari krisis ini adalah faktor internal, bukan eksternal. Dengan bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan Malik Bennabi, Gulen mengatakan bahwa umat Islam “terseret ke arah ketidakberdayaan di semua aspek kepribadiannya sehingga ia menjadi mudah dijarah dan “layak untuk dijajah.”13 “Tak ada gunanya kita berlelah-lelah mencari musuh di luar diri kita, karena musuh kita yang sebenarnya justru ada di dalam diri kita sendiri. Dengan tenang musuh kita itu duduk bertumpang kaki di dalam istananya sembari terus tertawa terbahak-bahak dalam hati ketika melihat kesengsaraan kita.”14 Di masa lalu umat Islam telah berhasil membangun sistem pemerintahan paling sempurna yang pernah ada dalam sejarah manusia. Sebuah sistem pemerintahan yang tak pernah terbayang oleh siapa pun. Selama sekian abad umat Islam menjadi umat yang paling teguh dalam berpegang pada agama mereka serta menjadi umat yang paling luhur akhlaknya dan paling sempurna kebudayaannya. Pada masa keemasan itu kaum Muslim mampu melebarkan sayap kekuasaan mereka dengan menggunakan tiga hal, yaitu: inspirasi, rasional, dan pengalaman.15 “Sungguh menyakitkan ketika kita dapati saat ini seluruh dunia kembali jauh dari nilai-nilai Islam yang telah mengangkat harkat manusia selama berabad-abad.”16

Peranan Agama dalam Pembentukan Jati Diri Peradaban 1. Konsep Peradaban Kata peradaban berasal dari kata “adab” yang berarti: kesopanan; kehalusan dan kebaikan budi pekarti; akhlak. Beradab berarti: 1) sopan baik budi bahasa; dan 2) telah maju tingkat kehidupan lahir dan batinnya. Peradaban berarti: 1) kemajuan (kecerdasan,

12

Ibid., 3. Muhammad Fethullah Gulen, Membangun Peradaban Kita, (Jakarta: Republika, 2013), 14-15. 14 Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 139. 15 Ibid., 1-2. 16 Ibid., 2. 13

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

347

kebudayaan) lahir batin; 2) hal yang menyangkut budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa.17 Dari pendekatan antropologis, menurut Gulen, peradaban adalah sebuah konsep yang memiliki beragam bentuk yang berbedabeda, sesuai dengan pandangan, konsep, falsafah, dan daya nalar yang dimiliki orang yang bersangkutan. Peradaban mencakup 1) sekumpulan aktivitas yang berhubungan dengan kehidupan manusia, atau 2) pola pemikiran, keyakinan, dan keilmuan satu umat, atau 3) setiap karakter khusus tertentu baik materiil maupun nonmateriil.18 Peradaban menjadi indikator atau sumber dari berbagai kondisi dan karakter baik materiil maupun non-materiiI, namun semua kondisi dan karakter itu juga selalu siap merespons kebutuhan individu di tengah masyarakat mulai dari kanak-kanak, generasi muda, dan orang-orang lanjut usia. Bahkan semua kondisi dan karakter itu juga sanggup merespons setiap periode yang berlangsung dalam kehidupan dan perkembangan manusia.19 2. Hubungan Peradaban dan Jati Diri Jati diri merupakan sesuatu hal yang efeknya terasa di semua sendi kehidupan masyarakat; sesuatu yang nutrisinya bersumber dari memori, emosi, dan nurani kolektif suatu bangsa atau masyarakat seiring berjalannya waktu, sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang. Menurut Gulen, peradaban merupakan wujud dari jati diri. Oleh karena itu baginya “peradaban bukan bentuk kehidupan yang kita adopsi dari para penjajah yang telah merajang jiwa kita selama bertahun-tahun itu. Dan, bukan pula nilai-nilai yang telah mencerabut kita dari nilai-nilai luhur yang kita miliki.”20 Itulah sebabnya, adalah keliru jika membatasi “Barat” masa kini sebagai hasil dari kerja keras ilmuwan yang memiliki kemampuan tinggi seperti Copernicus, Galileo Galilei, Leonardo da Vinci, Michael Angelo, Dante, Edison, Max Plane, dan Einstein. Sebagaimana juga tidak dapat dikatakan bahwa “kebangkitan sains” yang 17

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), 5. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 15. 18 Gulen, Membangun Peradaban Kita, 16. 19 Ibid., 18. 20 Ibid., 16.

Vol. 10, No. 2, November 2014


348 Usman Syihab terjadi kemarin, atau “letupan sains dan teknologi� yang terjadi saat ini, semata-mata hanya sebagai hasil segelintir orang seperti yang telah disebutkan tadi. 21 Pelbagai peradaban hebat yang telah memukau banyak kepala dan menyilaukan sekian pasang mata dengan kekayaan kultural yang dimilikinya, tidak pernah muncul di Roma, Athena, Mesir, atau Babylonia dalam sekejap mata tanpa didahului oleh masa panjang “pendahuluan�. Di mana pun juga, setiap peradaban selalu lahir dari masa pengasuhan yang panjang di dalam dimensi emosional dan intelektual yang dimiliki individu-individu yang tinggal di dalam peradaban yang bersangkutan serta di dalam lahan subur kesadaran kolektif mereka.22 3.

Peranan Agama dalam Pembentukan Jati Diri Peradaban Menurut Gulen, agama adalah salah satu unsur terpenting dalam hidup manusia, unsur yang tidak bisa diganti oleh sesuatu yang lain. Menurut Gulen agama memiliki peran yang sangat vital dalam pembentukan jati diri sebuah peradaban. Dalam proses pembentukan jati diri suatu peradaban agama berperan: pertama, agama memainkan peran penting dalam pengorganisasian dan pengaturan kebutuhan spiritual manusia, kebutuhan yang sangat bermakna dan sangat penting bagi kita ketimbang kebutuhan materi. Agama bukan hanya penting bagi manusia, tapi juga bagi pengorganisasian kehidupan individu, pribadi dan sosial, demikian pula bagi kehidupan materi manusia. Agama memainkan peran yang krusial dalam menentukan dan memberlakukan hukum yang merupakan prinsipprinsip yang mengatur dalam aspek-aspek tertentu kehidupan. Kedua, agama memiliki kekuatan hukum yang tidak dapat terbantahkan. Agama didasarkan atas landasan menempatkan iman pada keberadaan Tuhan yang melihat dan mengontrol manusia, dan yang mempengaruhi bukan hanya semua yang mereka lakukan, melainkan juga semua yang mereka pikirkan dan semua niat dan tujuan mereka. Dan keimanan ini alami bagi manusia, dan selalu bersemayam di hati nurani, membuatnya sadar setiap saat. Selain itu, agama - meskipun mungkin bebas dari batas-batas pengawasan Tuhan - mengajarkan manusia bahwa mereka bertanggung jawab atas semua yang mereka lakukan di dunia ini, dan bahwa mereka 21 22

Ibid., 20. Ibid., 33.

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

349

akan diadili di hari kemudian atas perbuatan mereka, dan bahwa menurut hasil pengadilan tersebut mereka akan diberi kebahagiaan kekal atau hukuman. Sebenarnya, dalam mendidik manusia agar dapat melakukan kebajikan, bukan kejahatan, tidak ada sistem lain di dunia ini yang bisa menggantikan sistem keimanan ini. Ketiga, dalam prinsip-prinsip etika, agama secara khusus memiliki prioritas yang tak tergantikan oleh hal duniawi lainnya dalam pengembangan manusia. Sebenarnya, aturan etika ini adalah kriteria yang telah diterima semua orang sepanjang waktu. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Kriteria ini menantang eksistensi maupun waktu. Apakah hal ini menimbulkan dampak yang diperlukan pada manusia, tergantung lagi pada keadaan keyakinan agama dan penerapannya dalam masyarakat.23 Bagi Gulen, agama yang dapat menjadi pilar peradaban adalah agama yang memiliki tujuan luhur seperti menerapkan nilai moral, meningkatkan kualitas spiritual, mengajarkan tujuan yang lebih tinggi dari kehidupan dunia, serta memenuhi rasa dahaga yang dirasakan oleh jiwa manusia, pastilah bukan sebuah agama yang melulu berisi ibadah (ritual), melainkan sebuah ajaran yang mengayomi hidup manusia secara komprehensif, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Selain itu, agama tersebut pasti juga mampu merasuk ke seluruh elemen yang terdapat di dalam diri kita: akal, roh, dan hati. Ia juga pasti mampu memberi warna pada semua niat, serta tindakan kita, bahkan pada segala hal lainnya.24 Agama adalah ‘katalisator’ nilai-nilai sosial semenjak fase kelahiran, perkembangan, dan pergerakkan suatu masyarakat, yaitu ketika agama berperanan sebagai fenomena masyarakat ramai. Ini karena, “ketika iman menjadi fenomena individu atau hal perseorangan, maka sejarah misinya akan terputus di bumi, tidak mampu menjadi penolak dan penggerak peradaban, karena ia menjadi seperti imannya para rahib yang memutuskan hubungan dengan kehidupan dan melarikan diri dari kewajiban-kewajiban.”25 Sistem-sistem peribadatan dan muamalah dalam ajaran agama – khusunya dalam konsepsi Islam – adalah faktor-faktor yang 23

Muhammad Fethullah Gulen, Cinta dan Toleransi, (Jakarta: BE Publishing, 2011),

270. 24

Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 26. Malik Bennabi, Wijhah al-‘Âlam al-Islâmî, Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin, (Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 4, 1986), 27. 25

Vol. 10, No. 2, November 2014


350 Usman Syihab menjadikan suatu keimanan yang ada dalam hati dan dalam alam fikiran yang abstrak, suatu hakikat yang hidup sebagai amalan masyarakat. Oleh karena itu, menurut Malik Bennabi, dalam konsep agama Islam, ketika Allah SWT. berfirman, yang artinya: “Dan Aku tidak mencipta jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” 26 Allah SWT tidak bermaksud memisahkan manusia dari bumi. Ia justru bermaksud membuka jalan yang lebih lebar bagi manusia untuk melaksanakan kerja-kerja bumi mereka.27 Alasannya adalah, karena “ketika agama menciptakan jaringan roh yang menghubungkan antara masyarakat dengan Allah SWT, ia dalam masa yang sama juga menciptakan jaringan sosial. Jaringan yang menjadikan masyarakat dapat memainkan peranan duniawi mereka dan dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas mereka bersama. Dengan demikian agama mengikat cita-cita langit dengan tuntutan-tuntutan bumi.”28 “Hubungan rohani antara manusia dengan Allah SWT adalah yang menciptakan jaringan sosial dan yang mengikat hubungan manusia dengan saudaranya sesama manusia.”29 Peranan pemikiran agama tidak hanya dalam membentuk jaringan sosial kemasyarakatan dan tingkah laku manusia untuk dapat mencapai misi peradaban, tapi ia juga memecahkan masalahmasalah psikologi masyarakat yang penting yang berkaitan dengan kelangsungan hidup suatu peradaban. Hal ini karena aktivitasaktivitas kemasyarakatan tidak dapat menghasilkan sesuatu dan tidak dapat bertahan hidup kecuali dengan adanya ‘sebab tertentu’, yang dapat menghasilkan dan menggerakkan kekuatan. Yaitu sebab yang lahir dari pemikiran agama. Oleh karena itu, pemikiran agama selain menciptakan jaringan hubungan dan membentuk tingkah laku individu dalam masyarakat, ia juga “menciptakan dalam hati masyarakat suatu undang-undang tentang tujuan hidup yang jauh, dengan memberikan kesadaran akan tujuan tertentu, yang dengannya kehidupan menjadi bermakna dan mempunyai arah. Ketika ia menekankan tujuan tersebut dari generasi ke generasi dan dari satu tingkatan masyarakat ke tingkatan yang lain, ia pada saat yang sama 26

QS. al-Dhariyat (15): 56. Malik Bennabi, Mîlâd Mujtama’, Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin, (Damascus: Dâr alFikr, Cet. 3, 1987), 79. 28 Ibid. 29 Ibid., 56. 27

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

351

memberikan keupayaan kepada masyarakat tersebut untuk bertahan dan menjamin kelangsungan peradaban mereka.30 Semua keberhasilan luar biasa yang terjadi kemarin dan hari ini serta berbagai kreasi internasional yang besar, selain berhubungan dengan kejeniusan individu, juga berhubungan dengan struktur sosial yang melahirkan kejeniusan itu, lingkungan yang kondusif bagi kelahiran para penemu, dan dengan nilai yang berkembang di masyarakat yang menjadi inkubator bagi berbagai kemampuan. Berdasarkan alasan ini, pembicaraan tentang lingkungan dan nilai yang berkembang di masyarakat umum akan selalu muncul setiap kali kita membicarakan tentang kekuatan tekad dan kerja keras orangorang yang memiliki kesiapan tinggi itu, bahkan banyak individu yang menunjukkan kecerdasan dan kemampuan luar biasa dari mereka yang memiliki kemampuan super dan otak jenius, justru berbanding lurus dengan kondisi lingkungan yang mereka diami. 31 Menurut Gulen, ada kaitan dan hubungan yang erat antara kejeniusan individu dan lingkungan sosial. Artinya lingkungan sosial memiliki peran aktif dalam melahirkan tokoh dan sarjana. Hal ini menurutnya sudah merupakan hukum alam. Telah menjadi sebuah aksioma bahwa tidak ada seorang pun yang mampu mengubah kaidah-kaidah hukum-fitrah. Karena cepat atau lambat, siapa pun yang ingin melawan hukum alam pasti akan kalah bahwa “Kejeniusan yang berada tidak pada tempat yang tepat pasti hanya akan menjadi “seperti daun-daun yang dimakan utat�, sebagaimana halnya sebutir bibit unggul yang ditanam di tanah gersang yang tidak pernah diberi pasokan udara, air, dan daya tumbuh.�32 Agama telah melahirkan berbagai peradaban besar dunia. Menurut Gulen, sepanjang perjalanan sejarah yang terentang sejak masa para Brahma sampai kelahiran Buddhisme, dari masa Judaisme sampai masa Kristen dan lahirnya Islam, ada banyak umat yang bertumbuh kembang dalam inkubator iman, kerinduan spiritual, dan nilai-nilai moral, hingga membuat mereka mampu membuat bumi, waktu, dan manusia mencapai ketinggian yang tak ternilai harganya.36 Semenjak Islam mulai mendirikan kemahnya di muka bumi, agama ini selalu mengerahkan seluruh energi yang dimilikinya 30

Bennabi, SyurĂťt} al-Nahd}ah, 80. Gulen, Membangun Peradaban Kita, 21. 32 Ibid., 21. 36 Gulen, Membangun Peradaban Kita, 28. 31

Vol. 10, No. 2, November 2014


352 Usman Syihab untuk mengajak bicara serta membuka hati manusia, sampai akhirnya ia berhasil menggambarkan citranya di dalam setiap sanubari dan kemudian bergerak menuju seluruh sendi kehidupan yang ada.�37 Demikian pula dengan peradaban Barat yang sekuler adalah juga lahir dari rahim agama, yaitu Kristen. Menurut Gulen, Kristen adalah unsur yang paling penting dalam pembentukan struktur sosial modern di Eropa. Kristen telah memainkan peran yang membentang struktur politik dan sosial serta selalu memainkan peran penting dalam wilayah tertentu, dengan undang-undang signifikan tentang penghujatan, hari libur keagamaan dan ibadah kolektif.38 Menurut analisis Gulen meskipun rakyat mungkin tidak mempedulikan agama sampai batas tertentu di Eropa Barat, orangoramg dalam pemerintahan tampaknya, secara keseluruhan, agak religius. Di antara mereka, selalu ada pejabat-pejabat tinggi yang agamis, dan masih ada hingga hari ini. Selain itu, meskipun sekulerisme berkuasa di semua negara ini, tidak pernah ada mentalitas yang mendikte bahwa bimbingan agama harus ditinggalkan dalam kehidupan sosial atau bahkan politik dalam suatu negara.39 4. Sumber-Sumber Peradaban Umat Islam Ada banyak ahli yang menjelaskan tentang budaya dan kaitannya dengan pemikiran tertentu, bahwa budaya adalah kumpulan kondisi yang diekspresikan oleh umat tertentu, baik dengan seluruh maupun sebagian besar cara berekspresi, untuk menunjukkan nilainilai moral, mazhab (atau keyakinan), pemikiran, serta pandangan mereka mengenai wujud, alam semesta, dan manusia. Budaya juga bentuk ekspresi dari sikap sosial-politik serta landasan perilaku umat. Ada juga yang mengatakan Budaya adalah kumpulan hal-hal yang diraih suatu umat dari alur sejarah dalam kerangka keharusan berpikir dan kesadaran jati diri. Contohnya: pemikiran, seni, kebiasaan, adat, dan tindakan.40 Sesungguhnya rumus hubungan antara “manusia-semestaAllah�, dengan cara membaca sepintas yang tidak mementingkan urutan antara yang mengikuti dan yang diikuti, merupakan landasan utama dalam sistem kebudayaan kita. Bahkan semua aktivitas mental 37 38 39 40

Ibid., 81. Gulen, Cinta dan Toleransi, 271. Ibid. Gulen, Membangun Peradaban Kita, 126.

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

353

pikiran, dan tindakan kita berkaitan erat dengan rumus hubungan ini. Sementara itu, logika Eropa modern, yang merupakan warisan utuh dari peradaban Yunani kuno, selalu mengaitkan berbagai pandangannya dengan manusia, benda-benda, dan kejadian-kejadian. Itulah sebabnya, Eropa tidak pernah menganggap adanya peran Tuhan, atau kalau pun mereka menerima peran Tuhan, maka peran itu mereka anggap sebagai elemen sekunder yang tidak terlalu penting.41 Kebudayaan adalah isi dan inti dari peradaban. Tidak dapat dibayangkan kewujudan sejarah tanpa adanya kebudayaan. Suatu bangsa yang kehilangan kebudayaannya berarti telah kehilangan sejarahnya. Kebudayaan dengan kandungan pemikiran keagamaannya, yaitu pemikiran yang mengatur perjuangan manusia sepanjang sejarah sejak zaman Adam, bukanlah suatu ilmu yang dipelajari manusia, tetapi ia merupakan lingkungan yang mengelilingi manusia dan kerangka tempat manusia bergerak. Ia yang memberi makan janin peradaban dan ia adalah tempat di mana semua unsur-unsur masyarakat berperadaban terbentuk, dari tukang besi, seniman, penggembala, dan imam.42 Ia adalah juga “semua yang memberikan ciri-ciri khas suatu peradaban dan yang menentukan kedua kutubnya; dari rasionalisme Ibnu Khaldun dan spiritualisme al-Ghazali atau rasionalisme Descartes dan spiritualisme Jane Dark.”43 Kebudayaan sebagai lingkungan yang terdiri dari kebiasan-kebiasaan, tradisi-tradisi, adat istiadat dan cita rasa, atau sebagai lingkungan umum yang membentuk cara kehidupan suatu masyarakat dan tingkah laku individu di dalamnya dengan ciri-cirinya yang khas,44 menjadi faktor penting yang menentukan kedinamisan atau kemunduran suatu peradaban; ia menjadi sumber tenaga penggerak individu-individu dalam masyarakat atau justru menjadi beban dan penyebab kemalasan individu dan masyarakat. Menurut Gulen, budaya adalah himpunan berbagai konsep, kaidah, dan kecenderungan yang dipelajari oleh manusia, diyakini dan diterapkan dalam kehidupan sehingga menjadi sumber pengetahuan yang keberadaan dan dampaknya selalu dapat dirasakan di sepanjang waktu. Berapa banyak keyakinan, kebiasaan, dan adat 41

Ibid., 126. Bennabi, al-Tsaqâfah, 76-77. 43 Ibid., 77. 44 Malik Bennabi, Ta’ammulât, (Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 5, 1991), 143. 42

Vol. 10, No. 2, November 2014


354 Usman Syihab istiadat yang merasuk ke dalam jiwa lalu mengendap di dalam ketidaksadaran kita, kemudian melahirkan berbagai pedorong intrinsik kepada akal dari waktu ke waktu melalui berbagai pendorong dan penyebab dari apa yang didapat oleh manusia. Setelah itu ia akan memotivasi mengaktivasi, menciptakan, dan membentuk sebagaimana aslinya.45 Dalam konsepnya tentang kebudayaan, Gulen berpendapat bahwa sebuah kebudayaan pasti akan mati jika ia dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dan ternyata lingkungan baru yang didiaminya tidak menyediakan segala hal yang mendukung keberadaan dan pertumbuhannya. Atau setidaknya kebudayaan yang bersangkutan pasti akan kehilangan banyak ciri khas kepribadiannya dan ia akan memalingkan wajah serta menghilangkan jati dirinya untuk berpaling pada ladang kebudayaan yang lain. Padahal “orang lain” tidak akan mampu menyamai secara presisi suara, irama, rupa, dan gaya kita dengan jati diri yang asli. Sebagaimana halnya kita juga tidak bisa meniru secara sempurna berbagai ciri khas kebudayaan orang lain.46 Menurutnya: “Dengan kekayaan warna yang ada di dalam kebudayaan kita, ternyata orang lain tidak banyak mengambil makna dari hal itu seperti yang kita lakukan. Sebagaimana halnya sensasi yang muncul pada diri kita tidak akan pernah muncul pada diri orang lain. Bahkan ketika suatu hal tertentu memapar mereka, maka itu tidak akan pernah memberi dampak dengan bentuk dan karakter yang sama. Dan kondisi yang sebaliknya juga akan terjadi ketika kita menelan mentah-mentah kebudayaan milik umat lain tanpa terlebih dulu mencerna dan mengunyahnya.” 47

Semua itu dapat terjadi karena kebudayaan bukanlah benda mati yang dapat dibeli dari para saudagar yang berniaga di manamana, untuk kemudian dapat kita tenteng ke rumah seperti layaknya sebuah lukisan, foto, CD, atau kaset. Sebagai sebuah wujud yang menjadi tempat bertemunya berbagai elemen temporal dan spasial bagi lingkungan yang ada di sekelilingnya, kebudayaan adalah tempat tumbuh kembang “setiap komponen” yang tidak terpisah. Selain itu, kebudayaan juga adalah sebuah wujud khusus dengan

45 46 47

Gulen, Membangun Peradaban Kita, 128. Ibid., 46. Ibid., 46.

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

355

lingkungan yang menjadi tempatnya bertumbuh.48 Pendapat Gulen tersebut sama dengan pendapat Malik Bennabi. Bennabi meyakini bahwa suatu kebudayaan memiliki tempat dan ciri-ciri khasnya tersendiri sesuai dengan norma-norma peribadi yang digunakan suatu masyarakat dalam menilai sesuatu benda atau ide, maka menurut Malik Bennabi: “Kita dapat memahami bahwa suatu benda [karya kebudayaan] kadang kala mati atau tidak berfungsi kalau ia diputuskan dari lingkungan kebudayaannya, karena di luar kebudayaanya sendiri bahasa yang dimilikinya tidak dapat dipahami, sebagai perumpamaan, sebuah roket mendatangi sebuah planet yang dihuni oleh makhluk-makhluk yang mundur, maka tentunya roket tersebut, yang merupakan benda, kehilangan segala nilainya [tidak berguna] karena berada di luar budayanya sendiri.”49

Seperti Gulen, Malik Bennabi berpendapat bahwa untuk membangun suatu peradaban tidak dapat membeli atau mengimpor barang-barang atau karya-karya peradaban dari luar (Barat) karena suatu peradaban hanya dapat menjual barang-barangnya dalam aspek lahiriah atau kerangkanya saja dan tidak termasuk aspek roh, pemikiran, dan nilai-nilai keperibadian yang dimiliki barang-barang tersebu.50 Persoalan kebudayaan adalah persoalan di luar kesadaran, yang berhubungan dengan akar dan norma-norma peribadi (almaqâyîs al-dhâtiyyah). Norma-norma atau ukuran-ukuran peribadi yang digunakan untuk menilai sesuatu, seperti dalam perkataan; “ini indah” dan “ini buruk” atau “ini baik” dan “ini jahat” adalah yang menentukan perilaku sosial secara umum dan yang menentukan sikap seseorang ketika menghadapi persoalan-persoalan sebelum akal ikut masuk berperan, bahkan ia juga menentukan peranan akal dalam tingkatan tertentu. Norma-norma inilah yang menentukan ciri kepribadian individu dan bangunan masyarakat. Norma-norma peribadi ini diwarisi oleh individu dari masyarakatnya melalui proses di bawah sadar dalam bentuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat dan kebiasaan. Individu memilih dan mengambil norma-norma tersebut dari masyarakat yang ada di sekitarnya dengan tanpa melalui proses berpikir sebagai keperluan aspek maknawi, seperti dia menghirup 48 49 50

Ibid., 47. Bennabi, al-Tsaqâfâh, 55. Bennabi, al-Nahd}ah, 47.

Vol. 10, No. 2, November 2014


356 Usman Syihab oksigen untuk kewujudannya secara biologis. 51 Norma-norma peribadi yang berbentuk kepercayaan, tradisi, kebiasaan, dan adatistiadat yang berkembang dalam suatu masyarakat memiliki hubungan yang erat dengan agama dan ideogi yang diyakini oleh masyarakat tersebut. Dalam masyarakat Islam semua kepercayaan, adat istiadat, tradisi, dan kebiasaan merupakan norma-norma yang bersumberkan dari pada ajaran-ajaran agama Islam. Oleh karena itu, setiap peradaban harus memiliki hubungan dengan masa lampaunya, dan memiliki hubungan dengan warisan kebudayaanya sendiri. Usaha mencari dan membangun peradaban yang lebih baik untuk masa depan tidak akan berhasil kecuali dengan mengambil akar-akar peradaban dan kebudayaan yang dimiliki. Dalam usaha untuk membangun peradaban Islam masa depan harus berdasarkan pada budaya-budaya dan norma-norma yang bersumberkan dari ajaran Islam yang telah lama wujud dalam kehidupan masyarakat Islam itu sendiri.52 Menurut Gulen ada beberapa dasar kuat yang ditemukan ketika kita menemukan diri kita senantiasa mengaitkan diri dengan segenap kandungan, pemahaman, pola pikir, interpretasi, dan pendekatan yang kita miliki.53 Dasar-dasar kuat tersebut adalah alKitab dan al-Sunnah. Selain kedua sumber utama itu, terdapat beberapa sumber lain yang berada di dalam kerangka kedua sumber utama, yaitu: ijma, qiyas, istihsan, mashalih, tasawuf, ilmu kalam, kebiasaan (‘urf), adat, amal, tafsir, hadis, usul tafsir, usul hadis, fikih, dan usul fikih.54

Misi Renaissance Dalam analisis Gulen, semua bangsa yang berkembang dan maju pada saat ini, sebenarnya juga pernah mengalami penderitaan. Mereka harus jatuh serta merasakan perihnya api keterbelakangan. Tapi kemudian datanglah hari-hari ketika semua gerbang pembaruan terbuka lebar bagi setiap orang yang berjuang untuk itu setelah mereka merasakan kecintaan mendalam terhadap penelitian, 51 52

Bennabi, al-Tsaqâfah, 55. Usman Syihab, Membangun Peradaban dengan Agama, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010),

206. 53 54

Gulen, Membangun Peradaban Kita, 135. Ibid., 135-155.

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

357

asyiknya pengetahuan, kerja tanpa kenal lelah, dan kepedulian untuk merangkul siapa pun yang berhenti di tengah jalan. Dan akhirnya, terwujudlah kesuksesan demi kesuksesan yang kemudian juga menyebabkan lahirnya kebulatan tekad dan gairah yang mendalam. Bagi mereka, lingkungan telah bertambah menjadi ruang inkubator yang dapat menetaskan pikiran cemerlang. Dan muncullah pelbagai bentuk penemuan baru. Mulai dari mesin uap sampai mesin pembuat garmen. Mulai dari riset eksperimental sampai publikasi lewat media cetak. Sehingga dalam waktu singkat, mereka telah sampai pada era ilmu pengetahuan dan kecerdasan elektronik.56 Di tengah sejarah bumi, dunia Islam adalah sebuah dunia yang unggul melampaui masanya dalam ilmu pengetahuan biologi, spiritualitas, tasawuf, logika, peradaban, seni, dan sebagainya. Dunia Islamlah yang memiliki begitu banyak pakar ilmu pasti seperti alKhawarizmi, al-Biruni, Ibnu Sina, dan al-Zahrawi. Dunia Islam juga memiliki banyak guru besar dalam bidang hukum seperti Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad, al-Sarkhasi, dan al-Marghanalli. Bahkan dunia Islam telah memiliki berbagai kesiapan yang melebihi semua standar manusia. Umat Islam telah menjalani kehidupan di atas garis haluan spiritual yang menjadikan hati dan logika sebagai panutan. Dunia Islam memiliki Imam al-Ghazali, Imam al-Razi, Maulana Jalaluddin Rumi, Syaikh Naqsyabandi. Kita juga memiliki pakar hukum seperti Imam al-Maturidi, al-Taftazani, al-Jurjani, alDawwani. Bahkan dunia Islam juga memiliki seniman-seniman hebat dan arsitek ulung seperti Hayreddin, Sinan, Itri, dan Dede Efendi. Jadi setelah tertidur sekian lama, semua jiwa dan akal yang bersemayam di dunia Islam sangat mungkin untuk kembali bergerak hidup untuk kemudian mewujudkan kebangkitan global yang kedua atau ketiga.57 Menurut Gulen sudah lama umat Islam berusaha bangkit namun selalu gagal. Selama berabad-abad masyarakat dunia Islam selalu berputar-putar di dalam lingkaran setan sambil terus mengulangi berbagai kesalahan yang sama tanpa pernah mampu menemukan jati diri mereka sendiri. Ketika mereka berhasil maju selangkah ke depan, hal itu selalau disusul dengan kemunduran sekian langkah ke belakang, atau dengan penyimpangan dari jalan yang lurus.58 56 57 58

Gulen, Membangun Peradaban Kita, 118-19. Gulen, Bangkitanya Spiritualitas Islam, 36. Ibid., 25.

Vol. 10, No. 2, November 2014


358 Usman Syihab Bagi Gulen, umat Islam sangat membutuhkan segera “kebangkitan dari kubur”. Umat Islam membutuhkan reformasi total pada ranah rasionalitas, spiritual, dan juga pemikiran. Mereka harus “dihidupkan” kembali pada semua aspek yang dibutuhkan manusia untuk menjalani kehidupan, di manapun dan kapanpun, sesuai dengan kemampuan mereka. Renaissance total ini, menurut Gulen, harus berlandaskan pada syariat dan dari ajaran agama Islam,59 dan bukan dari ajaran ideologi-ideologi lain. Menurutnya, “kita tidak pernah bisa mempercayai bahwa akan ada tatanan baru yang lahir dari rahim kapitalisme, komunisme, sosialisme, demokrasi, atau liberalisme. Karena pada dasarnya, jika memang kelak akan ada sebuah tatanan dunia baru yang sempurna, maka itu adalah tatanan dunia Islam yang akan dialami oleh generasi masa depan sebagai era kebangkitan Islam.”60 Dalam pandangan Gulen, dunia Islam sekarang ini adalah “dunia yang hamil tua.”61 Menurutnya keterpurukan yang telah berlangsung sekian lama ini tidak akan terus berlanjut. Walaupun para perampok bergentayangan di mana-mana; walaupun kebiasaan memakan uang hasil korupsi masih sulit dihilangkan, namun umat Islam, yang jumlahnya mencapai seperlima dari populasi penduduk dunia, sedang berjuang untuk bangkit di seluruh penjuru dunia. Umat Islam berusaha membebaskan diri dari penjajah terkutuk. Tak selangkah pun mereka surut dari perjuangan itu, walaupun setiap hari ada saja musibah yang menimpa mereka, walaupun setiap hari ada saja kejadian yang memaksa mereka memutuskan hubungan dengan Allah serta memupuskan cita-cita luhur yang mereka miliki.62 Dalam pemikiran Gulen, sekarang ini adalah masa yang paling tepat bagi umat Islam untuk segera bergerak menunaikan misi renaissance atau kebangkitan kembali dalam semua bidang: agama, sains, seni, teknologi, ekonomi, dan keluarga untuk kemudian melesat menuju posisi yang tertinggi dalam sejarah. Membangun sebuah peradaban Islam dengan visi yang merangkum seluruh aspek kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sebagaimana yang diwariskan dari khazanah yang telah berusia seribu tahun dan terus 59 60 61 62

Ibid., 28. Ibid., 33. Ibid., 1. Ibid.., 3.

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

359

berlanjut hingga saat ini.63 Itulah sebuah “kelahiran baru” ketika seluruh umat manusia dunia akan kembali menimba ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral dari Islam. Bahkan dari Islam pula mereka akan mempelajari pemahaman baru terhadap seni sehingga mereka akan menemukan sebuah seni sejati yang sama sekali berbeda dengan seni yang kita kenal saat ini. Pada saat itu seluruh dunia akan mendengar alunan musik yang dimainkan dengan perasaan dan romantisme yang sama. Pada saat itu, umat Islam akan memiliki pendirian yang sangat kokoh dalam segala bidang, baik dalam Ilmu pengetahuan maupun seni, dan baik dalam bidang pemikiran maupun akhlak, sebab umat Islam yang menjamin masa depan dunia.64

Syarat-Syarat Renaissance Menurut Gulen, ketika Barat berhasil mewujudkan kebangkitan dalam perjalanan mereka menuju peradaban modern, mereka menggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Kristen, Yunani, dan Romawi. Tentu saja praktik seperti ini dapat diterapkan oleh kebudayaan di mana pun dan kapan pun. Maka menurut Gulen, syarat penting kebangkitan kembali (renaissance) umat Islam harus dilakukan dengan “kembali mencari akar dan menggali khazanah masa silam yang masih bersih dari kekotoran zaman,” dan sekaligus harus dengan “mengambil semua hal-hal baik yang belum muncul di zaman sekarang yang dianggap dapat menjadi sumber kebanggaan umat Islam untuk selama-lamanya.”65 Dalam pandangan Gulen, umat Islam, dengan mengenyampingkan semua solusi yang ditawarkan oleh antropologi modern, harus mampu mendayagunakan segenap elemen yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan luhur yang telah didiktekan oleh pikiran mereka sendiri, agar mereka dapat menemukan solusi alternatif untuk melepaskan diri dari kekacauan yang tengah mereka alami. Dan jika umat Islam memang ingin menemukan solusi, alternatif, maka mereka harus mampu melihat dengan cermat segala hal yang berhubungan dengan posisi geografis dan sosiologis mereka. 66 63

Gulen, Cinta dan Toleransi, 98. Ibid., 33. 65 Ibid., 40. 66 Gulen, Membangun Peradaban Kita, 17. 64

Vol. 10, No. 2, November 2014


360 Usman Syihab Bagi Gulen, orientasi renaissance umat Islam harus dengan kembali kepada jati diri, mencari karakter peradaban yang sejati, dan membersihkan diri dari segala bentuk penjajahan pemikiran dan konsep asing, menurutnya: “Jika sekarang kita berpikir untuk kembali membangun jati diri kita, atau mencari karakter peradaban kita yang sejati, maka kita harus membersihkan diri dari segala bentuk penjajahan pemikiran dan konsep asing yang selama ini bercokol di dalam diri kita, yang telah dirancang sedemikian rupa untuk menghancurkan akar spiritualitas dan moralitas yang kita miliki. Kita harus mengikuti jalan yang dapat membuat kita mampu bertindak sesuai dengan pola pikir, keyakinan, dan falsafah hidup yang kita miliki di atas bangunan peradaban kita yang khas.�67

Menurut Gulen satu-satunya jalan untuk menyelamatkan umat Islam dari krisis adalah dengan menghidupkan kembali semua sistem dan aturan yang telah ditetapkan oleh agama Islam secara komperhensif serta menjadikannya sebagai spirit utama bagi seluruh umat.68 Yaitu agama Islam yang pernah menjadikan umat Islam selama berabad-abad menjadi umat yang paling luhur akhlaknya dan paling sempurna kebudayaannya. Semua keungulan itu membuat mereka layak menjadi pemimpin dunia dengan wawasan mereka yang luas dalam bidang politik, sosial, dan pemikiran. Gulen menegaskan, bahwa semua itu dapat terjadi karena dulu umat Islam selalu menjalankan syariat Islam tanpa cacat dengan keluhuran akhlak dan rasionalitas yang matang hingga mereka mengungguli semua umat yang lain di sepanjang sejarah manusia.69 Menurut Gulen, di antara dasar-dasar terpenting bagi kebangkitan umat Islam adalah rasa cinta dengan segala berkahnya, kekuatan lahir batin, ketajaman pikiran, keteguhan sikap, kebebasan, dan rasa percaya diri. Selain itu, umat Islam juga harus memiliki kedalaman, ketelitian, kebebasan, pola nalar, dan spirit wahyu yang terkandung dalam falsafah dan semua tindakan.70 Pada kesempatan lain, Gulen menyebutnya sebagai “representasi ilmu pengetahuan, keimanan, akhlak dan seni�.71 Oleh karena itu, dapat disimpulkan empat dasar 67

Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam , 36. Gulen, Cinta dan Toleransi, 27. 69 Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam , 1. 70 Ibid., 41. 71 Ibid., 229. 68

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

361

utama renaissance menurut Muhammad Fethullah Gulen yaitu; 1) moral-spritual, 2) ilmu pengetahuan, 3) estetika, dan 4) cinta. 1) Moral-Spiritual Yang dimaksud dengan moral-spiritual adalah moral-spiritual Islam. Moral-spritual Islam selain menjadi dasar renaissance dan bangunan peradaban Islam, ia juga menjadi dasar masing-masing bangunan ilmu pengetahuan, estetika dan cinta-kasih sayang dalam hubungan sesama makhluk. Menurut Gulen setiap tindakan dan perbuatan seorang Mukmin sejati pasti selalu berjalan di atas landasan ibadah, sebagaimana setiap upaya yang dilakukannya pasti memiliki dimensi jihad serta selalu dilaksanakan dengan ikhlas dan diwarnai oleh kesadaran ukhrawi. Ketika kesadaran keagamaan seperti itu muncul, maka Mukmin yang bersangkutan pasti tidak akan memisahkan lagi antara kehidupan dunia dan akhirat, antara hati dan akal, antara perasaan dan akal sehat. Semuanya menjalin kesatuan yang utuh. Selain itu semua hasil penalarannya tidak pernah bertentangan dengan intuisi yang terbesit dalam nuraninya.72 Ketika kesadaran keagamaan seperti itu muncul, maka semua pengalaman yang terekam dalam otak seorang Mukmin akan menjadi tangga cahaya yang menghantarkannya kepada rasionalitas yang jernih.73 Landasan kehidupan moral umat Islan harus dibangun di atas pemikiran dan karakter agama yang mereka yakini. Mereka harus selalu menjaga eksistensi mereka berlandaskan dasar-dasar pemikiran dan moral karakter agama, sebab eksistensi umat Islam pun dapat terjaga dengan dasar-dasar tersebut. Seandainya saja umat Islam nekat meninggalkannya, niscaya akan mundur seribu tahun ke belakang.74 Saat ini, sosok yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam adalah sosok manusia yang memiliki sifat ikhlas, bertekad kuat, dan seimbang kepribadiannya. Sosok yang digerakkan oleh kesadaran terhadap pemahaman dan tindakannya di masa depan selalu dibangun berdasarkan pemikiran atas apa yang dibutuhkan hari ini. Sosok arsitek spiritual dan pemikiran, yang hatinya selalu terbuka terhadap segala entitas, yang akalnya selalu memiliki kesadaran pada 72

Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 26-27. Ibid., 27. 74 Ibid., 26. 73

Vol. 10, No. 2, November 2014


362 Usman Syihab ilmu, yang selalu mampu memperbarui dirinya sendiri di setiap waktu, yang selalu patuh pada aturan, yang selalu mampu memperbaiki orang lain.75 Sosok yang selalu melangkah menuju kebenaran yang menjadi hakikat dan inti ajaran Islam dalam bentuk sifat-sifat terpuji seperi qanaah, berani, empati, gemar mengasah rohani, dan tunduk kepada Allah, serta mampu menjernihkan jiwa dengan berbagai nilai luhur dan membentuknya berdasarkan nilai-nilai tersebut.76 Dalam pandangan Gulen orang Islam tidak boleh mengagumi Barat secara berlebihan. Barat selama beberapa abad terakhir ini memang telah membuat umat Islam ikut bangkit pada bidang industri dan teknologi modern. Tapi disebabkan kemajuan dalam bidang materi itulah kemudian umat Islam mengalami kelumpuhan spiritual. Pandangan umat Islam menjadi rabun sehingga kita tidak mampu lagi mendeteksi berbagai bentuk keburukan yang muncul dengan dalih ilmu pengetahuan dan jargon moderenitas yang palsu.”77 Menurut Gulen, sumber kekuatan rohani yang dapat membangkitkan kembali umat Islam adalah: 1) kemampuan umat untuk mengetahui kembali esensi keimanan, 2) meresapnya iman ke dalam hati, 3) sikap untuk selalu menjadikan kehendak Allah sebagai “nutrisi” bagi semua keinginan sehingga jiwa selalu terbuka dan siap menerima segala bentuk kebaikan dan kemaslahatan, 4) kian mendalamnya semangat “ihsan” dari hari ke hari yang membuat umat semakin menyadari esensi dari kalimat “Aku memiliki satu waktu bersama Allah,” 5) keterkaitan berkesinambungan dengan alam akhirat, dan terakhir 6) umat ini memiliki wawasan spiritual yang luas. Menurut Gulen, kekayaan moral tersebut kelak, “ketika musim semi telah datang mengganti musim kering ini, kita semua akan dapat melihat benih-benih yang sudah kita sebar melalui kenikmatan ibadah itu bersemi di seluruh penjuru dunia. Pada saat itulah kita akan mengalami masa-masa musim bunga di tengah masyarakat dunia yang murung.78 Prinsip moral adalah yang memberikan arah masyarakat secara umum dengan menentukan faktor-faktor pendorong dan tujuan yang harus dicapai.79 Moral agama, lebih75

Ibid., 142. Ibid., 38. 77 Ibid., 137. 78 Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 9. 79 Bennabi, Ta’ammulât, 150. 76

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

363

lebih lagi dengan unsur ‘pahala’ yang terdapat dalam agama, adalah yang menciptakan dan menentukan jaringan-jaringan antar individu di dalam kehidupan sosial80 dan yang demikian ia adalah faktor yang membangkitkan kecenderungan-kecenderungan dan naluri manusia untuk berkumpul, berkomunikasi, dan bermasyarakat yang merupakan asas penting dalam kemajuan. Ia membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban-kewajiban sosial dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi untuk menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini, agama sebagai prinsip moral telah membantu menciptakan sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.81 Prinsip moral juga membangkitkan kecenderungan kemanusiaan seseorang ke alam luar untuk mencakup alam hewan yang hidup bersama manusia, yang oleh karena itu kita dapat menjumpai, dalam masyarakat berbudaya, syair-syair yang menggambarkan perasaan manusia terhadap hewan seperti juga kita lihat karya-karya seni, baik seni ukir ataupun seni lukis, yang berusaha menerjemahkan perasaanperasan hewan82 Demikianlah moral dapat menjadikan kebudayaan dan peradaban menjadi dinamis ketika ia wujud dalam dimensi kemasyarakatan, yang dapat mencipta jaringan sosial, dan yang dapat mempengaruhi dan mengarahkan gerakan sejarah. 2) Ilmu pengetahuan Menurut Gulen, agama tidak berbenturan dengan ilmu pengetahuan dan rasionalitas. Agama tidak harus bertanggung jawab atas krisis dan pertikaian yang terjadi di tengah masyarakat. Karena semua perselisian yang muncul di tengah-tengah masyarakat sebenarnya terjadi disebabkan kebodohan dan adanya ambisi tertentu dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Agama sama sekali tidak pernah mendorong manusia untuk bermusuhan. “Konflik seperti itu terjadi dikarenakan para individu yang ada dalam kelompok-kelompok yang bertikai tersebut masih belum mencapai kematangan iman dan keikhlasan yang semestinya.”83 80

Ibid., 149. Elizabeth K. Nottingham, Agama Dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi, Terj. Abdul Muis Naharong, (Jakarta: Rajawali, 1985), 36. 82 Bennabi, Ta’ammulât, 149. 83 Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 28. 81

Vol. 10, No. 2, November 2014


364 Usman Syihab Satu-satunya cara untuk mengangkat harkat umat Islam dari keterpurukan yang tengah mereka alami di saat ini adalah dengan menemukan kembali jati diri mereka yang sebenarnya dan dengan menggali kembali nilai-nilai, pola nalar, dan tatanan hidup rasional yang diajarkan Islam, selalu memiliki gairah, tekad, kesabaran, cita-cita, dan keteguhan hati yang cukup.84 Menurut Gulen, hal ini dapat dilakukan melalui dua cara pandang; cara pandang universal-holistik dan komperhensif-inklusif, baik secara umum maupun secara khusus.85 Cara pertama, adalah sensitivitas serta kesadaran akan semesta, manusia, dan kehidupan dengan pengetahuan yang jernih, tepat, memiliki prinsip serta tujuan yang tetap, saling mendukung satu sama lain, dan terbuka. Cara kedua, akal dan hukum harus menuntun pada pemahaman atas semua kejadian secara holistik, baik dari aspek esensinya maupun sisi realitanya yang terdapat di dalamnya. Hal ini serupa dengan buku puisi yang mengandung banyak makna, atau seperti layaknya sebuah karya seni yang mengandung berjuta warna yang merupakan refleksi dan manifestasi Ilahi yang mampu membuat mata siapa pun yang memandangnya terpesona oleh keindahannya.86 Umat Islam saat ini sangat membutuhkan pola pikir objektif yang mampu menangkap gambaran masa lalu dan masa kini secara bersamaan. Selain itu, pola pikir tersebut juga harus melihat dari dekat seluruh semesta, umat manusia, dan kehidupan secara sekaligus; mampu menjaga keseimbangan; selalu terbuka atas segala penyebab dan alasan kemunculan semua entitas; menguasai dengan baik dinamika semua komunitas yang muncul dan runtuh di tengah masyarakat; mampu menjadi “hakimâ€? yang menunjukkan semua kebenaran dan kesalahan yang terdapat dalam ilmu sosiologi dan psikologi; selalu mengawasi perkembangan semua kebudayaan dunia; mampu membedakan antara tujuan (ghâyah) dan jalan (wasĂŽlah) menuju tujuan tersebut; memiliki hati yang tulus dan pikiran yang istiqamah; menghormati cita-cita luhur umat; menguasai hikmah di balik syariat dan apa yang diingini oleh Allah; mengetahui landasan hukum agama; dan selalu siap menerima semua inspirasi yang dianugerahkan dari Tuhan.87 84 85 86 87

Ibid., Ibid., Ibid., Ibid.,

16. 18. 16-17. 18-19.

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

365

Perkembangan ilmu dan teknologi dalam suatu masyarakat tergantung pada lingkungan dan budaya yang dapat mendorong semangat keilmuan dan yang dapat menggerakkan perasaan untuk menerima ilmu atau menyampaikannya dalam masa yang sama. Ilmu aljabar melahirkan diri dalam lingkungan yang diciptakan al-Qur’an. Demikian juga berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi yang lahir dalam sejarah peradaban Islam tidak lain adalah karena adanya lingkungan intelektual dan budaya ilmiah yang telah diciptakan oleh ajaran-ajaran al-Qur’an dalam masyarakat tersebut. Al-Qur’an tidak mendatangkan secara langsung ilmu matematika, aljabar, atau sistem decimal, tetapi ia mendatangkan lingkungan aqliyah (rasional) dan budaya ilmiah yang baru yang menjadikan ilmu dapat berkembang dengan pesat. Agama Islam membuka jalan ke arah lingkungan ilmiah melalui perkataan “iqra’” (bacalah), kemudian meletakkan beberapa langkah fundamental yang dapat menciptakan ruang dan psikologi sosial bagi mewujudkan budaya intelektual dan perkembangan ilmu pengetahuan. Di antara langkah-langkah tersebut adalah: 1) Islam memberikan penekanan terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dan keutamaan orang-orang yang berilmu, seperti apa yang dinyatakan al-Qur’an yang artinya: “Katakanlah adakah sama antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu.”88 2) Menjadikan proses menuntut ilmu sebagai pekerjaan dan aktivitas harian manusia, sesuai dengan beberapa hadis Rasulullah SAW yang di antaranya: “Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim lelaki dan perempuan.”89 Atau hadis Rasulullah yang maksudnya: “Carilah ilmu hingga ke negeri Cina.”90 Atau dalam hadis yang lain yang maksudnya: “Tinta para ulama lebih berharga dari darah para syuhada.”91 88

QS. al-Zumar (39): 9. Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan lafal “‘alâ kulli Muslim” (bagi setiap Muslim), yang maksudnya ditujukan bagi setiap Muslim baik lelaki maupun perempuan. 90 Hadis diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adyi, Abu Nuaim, Ibnu Alaik, al-Qusyairi, al-Khatib, dan Ibnu Abdul Bar, yang semuanya melalui al-Hasan Ibnu Atiyyah dan Abu Atikah dari Anas. Menurut al-Albani, ini adalah hadis batil. Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Silsilah al-Ah}adîts al-D}a’îfah wa al-Maud}û’ah, Jil. 1, (Damascus: al-Maktabah al-Islami, Cet. 5, 1985), 413. 91 Hadis ini diriwayatkan oleh Muhammad bin al-Hasan al-Askari dari Abbas alBahrani. Menurut al-Khatib al-Baghdadi, ini adalah hadis maud}û’. Lihat Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Mîzân al-I’tidâl fî Naqd al-Rijâl, Jil. 5, (Beirut: Dar al89

Vol. 10, No. 2, November 2014


366 Usman Syihab 3) Dengan meletakkan dasar cara berpikir ilmiah dan objektif dengan menolak ilmu yang berdasarkan spekulasi, taklid dan khurafat. Al-Qur’an menggambarkan penyelewengan orang Yahudi dengan mengatakan, yang artinya: “Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Taurat kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya mendugaduga.”92 Al-Qur’an juga menjawab spekulasi mereka dengan mengatakan, yang artinya: “Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya/semestinya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui.?” 93 Langkah-langkah inilah yang kemudian dapat menciptakan budaya ilmu dan meletakkan semua syarat-syarat yang dapat membawa kepada terjadinya revolusi ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi dalam sejarah peradaban Islam.94 Ketika orang-orang yang sangat menghormati ilmu itu melakukan berbagai penemuan dan riset ilmiah, mereka pun menjadi jalan menuju terbentuknya kesiapan penuh di mana saja untuk menemukan saat yang tepat untuk bertumbuh dan berkembang. Seolah-olah seluruh penjuru negeri yang mereka diami adalah etalase bagi berbagai bentuk keajaiban yang dihasilkan oleh kerja-kerja jenius tanpa pernah ada habisnya.95 Sebagaimana halnya para ilmuwan terus muncul di dunia Islam, semisal Ibnu Sina, al-Farabi, al-Khawarizmi, al-Razi, dan al-Zahrawi, pada masa ketika kondisi seperti yang disebutkan di atas terbentuk di Dunia Islam, Dunia Barat mendayagunakan berbagai warisan yang mereka dapatkan dari masa lalu dengan sebaik-baiknya dan dengan seluas mungkin sehingga mereka berhasil membentuk beberapa abad terakhir seperti masamasa cemerlang peradaban Islam masa lalu.96 Jadi, menurut Gulen, umat Islam harus mencari apa yang mereka cita-citakan untuk masa depan mereka, pada sebuah titik Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 112; Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisân al-Mîzân, Jil. 5, (Beirut: Muassasah al-A’lam li al-Mat}bû’ât, Cet. 3, 1987), 125. 92 QS. al-Baqarah (2): 78. 93 QS. Ali Imran (3): 66. 94 Usman Syihab, Membangun Peradaban…, 246. 95 Gulen, Membangun Peradaban Kita, 20. 96 Ibid., 20. 97 Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 21. 98 Gulen, Membangun Peradaban Kita, 98.

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

367

yang berpadu dengan lingkungan yang kondusif, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, tekad yang kuat dalam bertindak, dan penelitian yang sesuai dengan cara yang telah ditentukan. Ketika semua itu memberi pengaruh terhadap usaha dan prestasi, maka manusia akan merasakan sensitivitas terhadap aktivitas yang luar biasa dengan pembenahan sebelum direalisasikan dalam kehidupan sesuai cara yang telah ditentukan. Setelah itu, ia akan menciptakan sebuah “Lingkaran Kebaikan� yang akan meningkatkan berbagai inspirasi, aksi komponen, dan solusi yang baru.97 3) Estetika Menurut Gulen, iman dapat melahirkan ruh estetika yang tertanam di dalam ruh yang terbuka terhadap keindahan yang selalu menyeru ke arah ketakjuban dan kekaguman. Seorang seniman yang beriman dapat mencapai esensi absolut di tengah hamparan entitas yang fana.98 Seni islami tidak dapat dibatasinya hanya pada seni yang menolak hal-hal yang bersifat subjektif atau objektif, atau sebagai bentuk pamer keterampilan. Akan tetapi -di satu sisi- lebih sebagai perpaduan antara ruh, makna, dan kandungan yang menjadi saksi atas hubungan antara entitas dan kejadian sehingga ia dapat dirasakan atau atas apa yang dapat diindra sehingga dapat dipahami. Di sisi lain, juga merupakan perpaduan antara bahasa perasaan, dan indra.99 Oleh sebab itu, maka wajarlah apabila kemudian seni islami selalu membimbing ke arah sang Wujud yang tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dengan segala bentuk inspirasi dan sugesti dari berbagai tingkat dan derajat. Islam adalah iman, ibadah, akhlak, dan aturan yang meninggikan nilai-nilai kemanusiaan menuju keluhuran, pemikiran, ilmu, dan seni. Islam selalu menyikapi hidup secara utuh dan sempurna; untuk kemudian ia menjelaskan hidup dan menakar nilainya, serta menawarkan hidangan langit kepada para pemeluk agama ini tanpa kekurangan suatu apa pun.100 Estetika atau cita rasa keindahan memiliki peranan penting di dalam kedinamisan kebudayaan dengan segala isinya, bahkan ia adalah kerangka di mana suatu peradaban terbentuk.101 Cita rasa keindahan berperanan penting dalam kedinamisan suatu kebudaya99

Ibid., 99. Ibid., 100. 101 Bennabi, al-Tsaqâfah, 94. 100

Vol. 10, No. 2, November 2014


368 Usman Syihab an karena ia dapat menggerakkan keinginan ke arah yang lebih jauh atau melampaui aspek kepentingan dan menambahkan nilai-nilai yang positif dalam moral individu, nilai-nilai yang berkaitan dengan perasaan dan cita rasa kemanusian.102 Kalau prinsip moral memberikan arah masyarakat secara umum dengan menentukan faktorfaktor pendorong dan arah tujuan, maka estetika adalah yang memberikan ciri-ciri khas terhadap jaringan-jaringan dalam masyarakat dan yang menambahkan gambaran yang sesuai dengan perasaan dan cita rasa umum dari aspek warna dan bentuk.103 Dari sudut psikologi sosial, pemandangan atau lingkungan memberi pengaruh dalam proses pemikiran (kognitif) dan tingkahlaku (behaviour) individu-individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, menurut Gulen, pemandangan atau lingkungan yang indah akan memberi pengaruh dan kesan yang positif dalam pemikiran, yang seterusnya akan memberi pengaruh yang positif dalam tingkah laku. Sebaliknya pemandangan dan lingkungan yang buruk akan memberi pengaruh dan kesan yang negatif dalam pemikiran dan yang seterusnya akan melahirkan-tingkah laku dan kebiasaan yang buruk. Imam al-Ghazali (1085-1111), berpendapat bahwa interaksi antara sisi kognitif dan perilaku praktis lahiriah merupakan hal yang pasti. Seseorang tidak melakukan sesuatu tingkah laku tertentu – walaupun itu dengan keterpaksaan– kecuali berpengaruh kepada pemikiran dan perasaanya, demikian juga sebaliknya, setiap kali terjadi perubahan dalam pemikiran dan persepsi, terjadi pula perubahan-perubahan dalam perilakunya yang tampak. Dalam hal ini al-Ghazali, dengan bahasa psikologi modern, mengatakan seperti berikut: “Setiap sifat yang muncul dalam hati berpengaruh terhadap anggota badan, sehingga anggota badan tidak bergerak melainkan sesuai dengannya. Setiap perbuatan anggota badan juga berpengaruh terhadap hati; antara hati dan badan satu sama lain saling mempengaruhi.”104 Estetika sebagai basis nilai suatu peradaban, memiliki pengaruh yang luas yang menyentuh setiap detik kehidupan. Ia menyentuh cita rasa dalam berpakaian, kebiasaan-kebiasaan, cara tertawa, cara mengatur rumah, menyisir rambut anak, membersihkan sepatu, atau dalam cara membersihkan kaki, dan sebagainya. Islam sebagai 102

Bennabi, Ta’ammulât, 150. Ibid., 149-150. 104 Abu Hamid al-Ghazali, Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn, Jil. 3, (Beirut: Dâr al-Qalam, T. Th), 59. 103

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

369

agama, telah memberikan dorongan moral dan penekanan tentang pentingnya keindahan dalam kehidupan individu dan masyarakat. Hal ini menurutnya dapat dilihat bagaimana ia memberikan penekanan terhadap pentingnya kebersihan spiritual, fisik dan lingkungan, sehingga Islam menganggap bahwa menyingkirkan duri dari jalan merupakan bagian dari iman, dan sebagai suatu sedekah.105 Sebagaimana juga tampak dalam hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad bahwa “Sesungguhnya Allah itu indah dan Dia mencintai keindahan.”106 4) Cinta Cinta adalah bagian terpenting dari setiap makhluk. Ia adalah sinar paling cemerlang dan kekuatan paling dahsyat yang dapat melawan dan menguasai segala hal. Cinta mengangkat setiap jiwa yang meresapinya, dan mempersiapkan jiwa untuk perjalanan menuju keabadian. Jiwa yang mampu membangun hubungan dengan keabadian melalui cinta, memacu dirinya untuk mengilhami jiwa-jiwa lain untuk memproleh hal yang sama. Jiwa itu membuktikan hidupnya untuk tugas suci ini, yang demi tugas tersebut, ia rela memikul segala penderitaan yang paling pedih, dan seperti ketika ia melafalkan “cinta” pada hembusan nafas terakhirnya, ia juga akan mengucapkan “cinta” ketika diangkat pada Hari Pembalasan kelak. 107 Mementingkan orang lain adalah sikap mulia yang dimiliki manusia, dan sumbernya adalah cinta. Siapapun yang memiliki andil terbesar dalam masalah cinta ini, merekalah pahlawan kemanusiaan paling hebat: orang-orang ini telah mampu mencabut perasaan benci dan dendam pada diri mereka. Pahlawan-pahlawan cinta ini akan senantiasa hidup bahkan setelah mereka tiada. Jiwa-jiwa agung ini, yang tiap hari menyalakan suluh cinta yang baru dalam alam batiniah mereka dan menjadikan hati sebagai sumber cinta dan altruisme, akan disambut dan dicintai masyarakat.108 105

Dikutip dari Badran bin Masud bin Husain, al-Z}âhirah al-Gharbiyyah fî al-Wa’yi al-Had}ârî Anmûdhaj Malik Bennabi, (Doha: Kitâb al-Ummah, 1999), 162. 106 Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah ibn Masud, dalam S}ahîh} Muslim, Kitab: al-Imân. Hadis no. 131. Dalam Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, CD, Edisi 1: 1.1, (Kairo: Syarikah Sakhar li Barâmij al-H}âsib 1991-1996). 107 Muhammad Fethullah Gulen, Essays – Perspectives – Opinions, (New Jersey: Tughra Books, 2009), 49. 108 Gulen, Cinta dan Toleransi, 2.

Vol. 10, No. 2, November 2014


370 Usman Syihab Seorang ibu yang rela mati demi anaknya adalah pahlawan cinta: orang-orang yang membaktikan hidup untuk kebahagiaan orang lain adalah “pejuang yang gagah berani”, dan mereka yang hidup dan mati untuk kemanusiaan diabadikan dengan monumenmonumen yang pantas untuk disematkan ke dalam hati kemanusiaan. Di tangan para pahlawan ini cinta menjadi obat mujarab untuk mengatasi setiap hambatan dan kunci untuk membuka setiap pintu. Meraka yang memiliki obat mujarab dan kunci demikian ini lambat atau cepat akan dapat menguak gerbang semua belahan dunia dan menyebarkan semerbak wangi kedamaian di mana pun, dengan menggunakan “pedupaan” cinta di tangan.109 Menurut Gulen, umat manusia “secara sadar” berpartisipasi dalam simfoni cinta yang sedang diputar di alam semesta. Dengan mengembangkan cinta di tempat yang benar, umat manusia menyelidiki bagaimana mereka mampu menunjukkannya dengan cara yang manusiawi. Oleh karena itu, dengan tidak menyalahgunakan semangat cinta dan demi cinta seperti apa adanya, setiap orang semestinya bersedia menawarkan bantuan dan dukungan nyata kepada orang lain. Mereka semestinya melindungi keharmonisan bersama yang telah ada dalam semangat keberadaan yang mempertimbangkan, baik hukum alam maupun hukum yang telah dibuat, untuk mengatur kehidupan manusia.110 Dalam sejarah kebudayaan Islam, cinta telah melahirkan sistem persaudaraan yang ideal, yaitu ikatan persaudaraan sosial yang kuat antara kaum Muhajirin dan kaum Ansar. Sistem sosial yang menyatukan dan mengubah masyarakat badui yang bertebaran menjadi masyarakat yang bersatu dan bersama-sama membangun peradaban yang baru, dalam bentuk “al-Mu’âkhât” dan tidak hanya “al-Ukhuwwah.” Yang pertama (al-Mu’âkhât) lebih aktif, dinamis dan lebih praktis, sementara yang kedua (al-Ukhuwwah) hanya merupakan perasaan yang pasif dan abstrak serta hanya terdapat dalam sastra.111 Cinta merupakan basis moral penting. Ia dapat menciptakan prinsip-prinsip jejaring sosial, yang dapat melahirkan kebudayaan yang dinamis, yaitu; a) prinsip tolong-menolong, b) prinsip persaudaraan, dan c) prinsip empati:112 109

Ibid., 1. Ibid., 8. 111 Usman Syihab, Membangun Peradaban…, 231. 112 Ibid., 230 dan 232. 110

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

371

a ) Prinsip tolong-menolong, merupakan salah satu prinsip sosial yang penting dalam proses pembentukkan jaringan dan kerjasama masyarakat. Bantuan dan pertolongan yang diberikan oleh individu terhadap yang lain dalam suatu masyarakat, tanpa mengharapkan balasan dan semata-mata karena sebagai kewajiban sosial, merupakan usaha yang berdimensi moral yang dianjurkan oleh agama seperti dalam ayat yang maksudnya sebagai berikut: “Dan saling tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebajikan dan ketakwaan.”113 b) Prinsip persaudaraan adalah penyatuan unsur-unsur masyarakat dalam suatu ikatan sosial yang erat dan dinamis. Agama Islam banyak menekankan pentingnya prinsip ini, di antaranya adalah apa yang difirmankan Allah SWT yang maksudnya sebagai berikut: “Orang-orang Mukmin adalah bersaudara, maka damaikanlah di antara kedua saudaramu.”114 Atau seperti apa yang digambarkan oleh Rasulullah SAW bahwa: “Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam kasih mengasihi, sayang menyayangi, dan cinta mencintai, adalah seperti sebuah tubuh yang apabila sebagian daripadanya merasakan sakit semua tubuh merasa tidak sehat dan demam.”115 c) Prinsip empati di antara individu dan masyarakat. Kecenderungan hidup individualistik merupakan penyakit moral masyarakat. Penanaman prinsip ini ke dalam psikologi dan akal individu akan membawa kepada kerjasama dan menjadikan individu memiliki tanggung jawab sosial, khususnya dalam saat-saat genting. Tanggung jawab sosial dan sikap saling memperhatikan di antara individu dan masyarakat, dalam satu sudut, mengharuskan ‘kemauan keras masyarakat’ untuk menentang segala tingkah laku individu yang salah, dan pada sudut yang lain, ia juga mengharuskan individu untuk berperanan secara kritis terhadap kesalahan-kesalahan dalam tingkah laku masyarakat secara umum. Dengan tugas berganda seperti tersebut, maka kohesi sosial dan sifat-sifat dinamis masyarakat akan dapat bertahan. Dalam perspektif agama 113

QS. al-Maidah (5): 2. QS. al-Hujurat (49): 10. 115 Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari al-Nu’man bin Basyir, dalam S}ah}îh} Muslim, Kitab: al-Birr wa al-Silah wa al-Adab. Hadis no. 4685. Dalam Mausû’ah al-Hadîts alSyarîf, CD, Edisi 1: 1.1, (Kairo: Syarikah Sakhar li Barâmij al-H}âsib 1991-1996). 114

Vol. 10, No. 2, November 2014


372 Usman Syihab Islam tanggung jawab dan kepedulian sosial seperti tersebut adalah sesuai dengan apa yang telah difirmankan Allah SWT yang maksudnya seperti berikut: “Orang-orang Mukmin lelaki dan perempuan satu sama lain adalah penanggung jawab, yang masing-masing menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.”116Atau sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW yang maksudnya seperti berikut: “Barang siapa di antara kamu melihat suatu kemungkaran maka ubahlah ia dengan tangan, apabila ia tidak mampu, maka ubahlah ia dengan lisan, dan apabila ia tidak mampu maka ubahlah ia dengan hati, dan ia adalah selemah-lemah iman”.117 Muhammad Fethullah Gulen menyimpulkan bahwa “mereka yang kehilangan cinta, seperti orang-orang yang terperangkap dalam sikap mementingkan diri sendiri, tidak mampu mencintai orang lain dan benar-benar tidak menyadari cinta yang tertanam dalamdalam pada setiap yang ada”118

Peranan Ulama dalam Renaissance Gulen memandang bahwa para ulama dan cendikiawan memiliki tugas dan peranan penting dalam renaissance di masa lalu dan yang akan datang. Merekalah yang membuka wawasan umat Islam yang tertutup serta menggerakkan nalar mereka yang selama ini jauh dari “langit” nilai-nilai Ilahi yang selalu berotasi di garis orbit al-Qur’an. Mereka tidak pernah alpa terhadap segala rahasia yang terdapat dalam jagat raya, manusia, dan kehidupan. Mereka selalu menjadi suri tauladan bagi umat beragama karena merekalah yang terus mengimplementasikan semua perintah agama secara maksimal. Mereka selalu menjaga hal-hal pokok (us}ûl) sembari tetap menempuh jalan kebenaran dengan mengikuti Allah untuk selalu mencari yang mudah, pas, dan toleran. Merekalah yang mengobati semua penyakit akut yang diderita umat Islam beserta segala penafsirannya.119 116

QS. al-Taubah (9): 71. Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id al-Hudri, dalam S}ah}îh} Muslim, Kitab: al-Iman. Hadis no. 70. Dalam Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, CD, Edisi 1: 1.1, (Kairo: Syarikah Sakhar li Barâmij al-H}âsib 1991-1996). 118 Gulen, Cinta dan Toleransi, 8. 119 Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 19. 117

Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

373

Para ulamalah yang telah mengubah semua tempat, baik sekolah maupun masjid, baik jalan umum maupun rumah, menjadi tempat-tempat perenungan terhadap hakikat kebenaran yang terkandung di balik entitas, kehidupan, dan manusia. Mereka berhasil membuka jendela menuju pengelihatan transendental yang telah tertutup selama berabad-abad. Merekalah yang membangun “bala tentara Islam” yang mampu menerapkan ajaran syariat pada seluruh aspek kehidupan. Mereka mampu mengasah sensitivitas pada diri umat hingga mereka mampu menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan tertentu. Dan mereka juga mampu melakukan olah batin dan olah nalar dengan baik.120 Para ulama dan cendikiawanlah yang berperan menjadi “otak” bagi “tubuh” masyarakat Muslim. Mereka akan selalu berdialog dengan semua “anggota tubuh” yang lain untuk kemudian menyampaikan arahan yang tepat bagi seluruh “sel” di tubuh umat. Merekalah yang membisikkan spiritualitas dan nilai moral kepada umat sejak dulu, dan semakin menggiat saat ini, untuk kemudian berlanjut ke masa mendatang.121

Penutup Gulen menyadari benar bahwa krisis yang dialami oleh umat Islam sekarang ini adalah krisis yang multidimensi dan menyeluruh. Gulen menilai sebab utama dari krisis tersebut adalah internal, bukan dari luar, yaitu “kelayakan dijajah” atau kesiapan internal yang menjadikan mereka mundur. Menurut Gulen, sudah lama umat Islam berusaha bangkit namun selalu gagal. Mereka selalu berputarputar di dalam lingkaran setan sambil terus mengulangi berbagai kesalahan yang sama dan ketika mereka berhasil maju selangkah ke depan, hal itu selalu disusul dengan kemunduran sekian langkah ke belakang. Dalam pandangan Gulen, dunia Islam sekarang ini adalah “dunia yang hamil tua” yang sewaktu-waktu akan melahirkan, dan keterpurukan yang telah berlangsung sekian lama ini tidak akan terus berlanjut. Umat Islam sangat membutuhkan segera “kebangkitan dari kubur”, renaissance, dan reformasi total. Menurut Gulen, agama adalah unsur terpenting dalam hidup manusia, unsur yang tidak bisa diganti oleh sesuatu yang lain dan 120 121

Ibid., 19-20. Ibid., 31.

Vol. 10, No. 2, November 2014


374 Usman Syihab agama memiliki peran yang sangat vital dalam pembentukan jati diri sebuah peradaban. Di sepanjang perjalanan sejarah, agama telah berperanan aktif melahirkan peradaban manusia; sejak masa para Brahma sampai kelahiran Buddhisme, dari masa Judaisme sampai masa Kristen dan lahirnya Islam, ada banyak umat yang bertumbuh kembang dalam inkubator iman, kerinduan spiritual, dan nilai-nilai moral, hingga membuat mereka mampu membuat bumi, waktu, dan manusia mencapai ketinggian yang tak ternilai harganya. Agama yang dapat menjadi pilar peradaban menurut Gulen adalah agama yang memiliki tujuan luhur seperti menerapkan nilai moral, meningkatkan kualitas spiritual, mengajarkan tujuan yang lebih tinggi dari kehidupan dunia, serta memenuhi rasa dahaga yang dirasakan oleh jiwa manusia. Bukan sebuah agama yang hanya berisi ibadah (ritual), tapi sebuah ajaran yang mengayomi hidup manusia secara komprehensif baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Menurut Gulen, setiap peradaban harus memiliki hubungan dengan masa lampaunya, dan memiliki hubungan dengan warisan kebudayaanya sendiri, dan bahwa usaha mencari dan membangun peradaban yang lebih baik untuk masa depan tidak akan berhasil kecuali dengan mengambil akar-akar kebudayaan yang dimiliki. Akar-akar dan sumber-sumber kebudyaan umat Islam adalah alQur’an dan al-Sunnah, ijma, qiyas, istihsan, mashalih, tasawuf, ilmu kalam, kebiasaan (‘urf), adat, amal, tafsir, hadis, usul tafsir, usul hadis, fikih, dan usul fikih. Dalam konsepnya tentang kebudayaan, Gulen juga berpendapat bahwa sebuah kebudayaan pasti akan mati jika ia dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain karena lingkungan baru yang didiaminya tidak menyediakan segala hal yang mendukung keberadaan dan pertumbuhannya. Oleh karena itu, menurut pandangan Gulen syarat utama renaissance kebangkitan kembali umat Islam adalah dengan kembali kepada jati diri, mencari karakter peradaban yang sejati dan akarakar budaya sendiri dan membersihkan diri dari segala bentuk penjajahan pemikiran dan konsep asing. Bagi Fethullah Gulen peradaban bukan bentuk kehidupan yang diadopsi dari para penjajah yang telah merajang jiwa umat selama bertahun-tahun. Dan, bukan pula nilai-nilai yang telah mencerabut umat dari nilai-nilai luhur yang dimiliki. Untuk itu, Gulen merumuskan empat dasar utama renaissance sekaligus sebagai syarat-syarat penting peradaban yang ideal yaitu; a) moral-spritual, b) ilmu pengetahuan, c) estetika, dan d) cinta.[] Jurnal TSAQAFAH


Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban...

375

Daftar Pustaka Al-Albani, Muhammad Nasiruddin. 1985. Silsilah al-Ah} â dîts alD} a ’îfah wa al-Maud} û ’ah. Jil. 1. Damascus: al-Maktabah alIslami, Cet. 5. Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 1987. Lisân al-Mîzân. Jil. 5. Beirut: Muassasah al-A’lam li al-Mat}bû’ât, Cet. 3. Bakar, Mohamad Abu. 2000. Persekitaran Strategik Umat Islam Abad Ke-21. Kuala Lumpur: Utusan Melayu. Bennabi, Malik. 1980. Musykilât al-Afkâr fî al-‘Âlam al-Islâm. Terj. Bisam Barkah dan Ahmad Sakbu. Damascus, Syria: Dâr alFikr. _________. 1986. Wijhah al-‘Âlam al-Islâmî. Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 4. _________. 1987. Syurût} al-Nahd}ah. Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin dan Umar Kamil Miskawi. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 4. _________. 1989. Musykilât al-Tsaqâfah. Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 3. _________. 1991. Ta’ammulât. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 5. _________. Mîlâd Mujtama’. 1987. Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 3. Al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. 1995. Mîzân alI’tidâl fî Naqd al-Rijâl, Jil. 5. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Esposito, John L. 1992. The Islamics Threat: Myth or Reality. New York: Oxford University Press. Garvin, James Louis. et.al, (Eds). 1990. Encyclopedia Britanica Inc. Jil. 4 dan 7. Chicago: Encyclopedia Britanica Company, Cet. 15. Al-Ghazali, Abu Hamid. T. Th. Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn, Jil. 3. Beirut: Dâr al-Qalam. Gulen, Muhammad Fethullah. 2009. Essays – Perspectives – Opinions. New Jersey: Tughra Books. _________. 2011. Cinta dan Toleransi. Jakarta: BE Publishing. _________. 2012. Bangkitnya Spiritualitas Islam. Jakarta: Republika. _________. 2013. Membangun Peradaban Kita. Jakarta: Republika. Huntington, Samuel P. 1997. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Touchstone. Ibnu Husain, Badran bin Masud. 1999. al-Z}âhirah al-Gharbiyyah fî al-Wa’yi al-Had}ârî Anmûdhaj Malik Bennabi. Doha: Kitâb alUmmah. Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf. CD, Edisi 1: 1.1, Kairo: Syarikah Sakhar Vol. 10, No. 2, November 2014


376 Usman Syihab li Bar창mij al-H}창sib 1991-1996. Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama Dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi. Terj. Abdul Muis Naharong. Jakarta: Rajawali. Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Syihab, Usman. 2010. Membangun Peradaban dengan Agama. Jakarta: Dian Rakyat. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Jurnal TSAQAFAH



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.