5 minute read
Pengelolaan Food Waste Dalam Peningkatan Ketahanan Pangan
Khusnul Khotimah
Advertisement
Ketahanan pangan adalah isu yang sangat komplek dan multidimensi karena mencakup berbagai aspek diantaranya adalah aspek sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan (Suryana, 2014). Pengertian ketahanan pangan telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Berbagai upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia telah dilakukan. Namun demikian upaya-upaya tersebut belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah sejauh ini lebih terfokuskan pada peningkatan produksi melalui berbagai peningkatan produktivitas dan perluasan areal panen.
Sedangkan upaya-upaya tersebut selalu terbenturkan dengan hal-hal yang menjadi kendala seperti semakin berkurangnya lahan pertanian produktif dan faktor iklim yang tidak menentu. Kedua faktor tersebut secara simultan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan dan budidaya pertanian.
Di Indonesia alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian seperti perumahan, industri, perkantoran, jalan serta sarana publik lainnya rata-rata sebesar 60.000 sampai 100.000 hektar pertahun (Nurchamidah, 2017). Selanjutnya adalah dampak perubahan iklim yang tidak menentu. Fenomena iklim ekstrem menjadi kendala bagi petani dalam mengatur pola atau jadwal bertanam dan memanen. Adanya kenaikan temperatur udara, pola dan intensitas curah hujan yang tidak normal, kekeringan, ataupun serangan hama yang tidak terkendali tentu mempengaruhi produksi pangan. Hal-hal ini lah yang akhirnya menjadikan upaya peningkatan ketahanan melalui jalur peningkatan produktivitas dan perluasan lahan pertanian menjadi sulit untuk terealisasi sesuai harapan.
Dari berbagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan pangan belum banyak upaya yang ditujukan untuk mengatasi permasalahan kehilangan pangan (food loss) dan pemborosan pangan (food waste) yang terbilang masih cukup tinggi dan tentunya berpengaruh terhadap
ketahanan pangan. Namun kedua isu ini sepertinya belum banyak dilirik dan terus menerus terjadi peningkatan seiring dengan semakin dinamisnya perkembangan gaya hidup dan jumlah manusia. Data FAO menyebutkan sekitar 1,3 miliar ton/tahun makanan yang di produksi tidak dapat dikonsumsi karena hilang, rusak, tidak memenuhi standar kualitas, bahkan terbuang karena kadaluarsa (Saragih, 2016).
Food waste
Proses terjadinya kehilangan pangan dan pemborosan pangan terjadi pada proses produksi hingga pada tahap konsumsi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemborosan pangan (food waste) yang terjadi di Negara maju lebih tinggi dibandingkan di Negara berkembang. Jumlah pemborosan pangan di Negara maju pada rata-rata mencapai 95115 kg per kapita pertahun pada tahap konsumsi. Sedangkan di Negara berkembang, termasuk Indonesia adalah sekitar 6-11 kg per kapita pertahun (Kariyasa, 2012). Pada penelitian lainnya disebutkan bahwa rata-rata limbah makanan yang dihasilkan oleh generasi muda di Indonesia adalah 564,62 gram per orang dalam satu tahun (Mandasari, 2018).
Kehilangan pangan (food loss) dapat terjadi karena penanganan yang tidak tepat pada saat panen, pengolahan, hingga pemasaran. Jumlah kehilangan dipercaya berkisar antara 10 sampai 20 persen, tergantung pada komoditas, musim, dan teknologi yang digunakan (Suryana, 2014). Sedangkan pemborosan pangan umumnya terjadi hanya pada tingkat pangan yang siap diolah maupun yang disajikan untuk dikonsumsi. Sedangkan dalam kasus pemborosan pangan (food wate), kegiatan yang berpeluang untuk terjadinya pemborosan pangan adalah ketika jual beli di tingkat pasar pengecer hingga tiba di rumah konsumen, saat penyimpanan di rumah, atau bahan pangan yang tersisa di piring karena tidak dimakan seluruhnya (Kariyasa, 2012). FAO melaporkan bahwa sepertiga dari bagian pangan yang dapat dikonsumsi terbuang percuma atau terboroskan. Jumlah tersebut tentunya tidak sedikit dan berkemungkinan untuk terus meningkat jika tidak ada upaya untuk mengatasinya.
Food waste pada tahap konsumsi
Perubahan gaya hidup terutama dalam hal pola konsumsi pangan memberikan dampak pada peningkatan food waste yang dihasilkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya food
waste diantaranya yaitu faktor jenis kelamin, frekuensi makan di luar (restoran atau rumah makan), biaya hidup, dan frekuensi belanja makanan. Menurut Mandasari (2018) faktor yang paling signifikan mempengaruhi terjadinya food waste adalah jenis kelamin dan frekuensi makan di luar.
Pemborosan pangan atau food waste pada tahap konsumsi banyak terjadi di tempat-tempat makan dan keramaian seperti di sekolah, asrama, restoran, maupun di acara-acara perayaan pesta. Dimana pada tempat-tempat tersebut tidak ada regulasi penanganan pangan berlebih. Sehingga pangan sisa hanya terbuang tanpa adanya pengelolaan lebih lanjut. Perlu adanya penanganan lebih lanjut untuk mengatasi makanan sisa layak makan agar tidak terbuang dan juga pemanfaatan makanan sisa yang tidak layak makan menjadi sesuatu material yang dapat bermanfaat.
Selain penanganan secara teknis juga dibutuhkan sosialisasi dan pencerdasan kepada seluruh elemen masyarakat mengenai dampak negatif atau kerugian yang disebabkan dari pemborosan pangan atau food waste agar dapat mengurangi jumlah pangan terbuang. Ketahanan pangan berkelanjutan bisa menjadi ujung road maps dari kerangka penanggulangan food waste. Sehingga semua orang akan tersadar betapa pentingnya menghabiskan makanan, tidak membuang makanan, dan efisien
dalam penggunaan bahan pangan dalam meningkatkan ketahanan pangan.
Upaya Mengurangi Food Waste
Pengetahuan mengenai tahapan kehilangan dan pemborosan pangan menjadi sangat penting untuk diketahui sehingga bisa dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dini yaitu sejak hulu hingga hilir. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk mengurangi pemborosan pangan. Baik pada tataran horizontal yaitu pada masyarakat umum maupun vertikal kaitannya dengan regulasi penanganan pangan bersisa yang dikomandoi oleh lembaga atau instansi terkait.
Pertama, upaya yang dapat dilakukan dalam tataran masyarakat secara umum salah satunya adalah dengan adanya sosialisasi mengenai dampak negatif dari pemborosan pangan. Hal ini dilakukan agar masyarakat memiliki pemahaman bahwa pemborosan pangan berakibat pada berkurangnya ketersediaan pangan dan lebih lanjut berpengaruh pada kondisi ketahanan pangan. Kemudian perlu adanya gerakan pengurangan pemborosan pangan yang sistematis dan masif ke berbagai lapisan masyarakat dengan pendekatan sosial budaya maupun
agama.
Kedua yaitu secara vertikal dengan adanya sinergi masyarakat dengan pemangku kebijakan. Salah satunya adalah dengan meningkatkan ketersediaan dan pemanfaatan teknologi penanganan, pengolahan, dan distribusi pangan. Selanjutnya perlu adanya peningkatkan aksesibilitas petani secara fisik dan ekonomi terhadap teknologi pengolahan pangan tersebut. Upaya mengurangi pemborosan dan kehilangan pangan harus dilaksanakan oleh semua stake holder, pemerintah, bisnis, dan petani.
Namun dari berbagai upaya yang telah diuraikan diatas, ada hal yang lebih penting untuk dilakukan yaitu adalah menumbuhkan kesadaran diri untuk mulai mengurangi pemborosan pangan. beberapa langkah yang harus mulai dilakukan sebagai seorang konsumen pangan diantaranya adalah dengan membuat perencanaan makanan baik dalam hal jenis dan jumlah, lakukan FIFO (First In, First Out) ketika membongkar makanan dari tempat penyimpanan, mulailah untuk peduli dan catat tanggal kadaluwarsa makanan, pelajari cara menyimpan makanan yang baik sesuai dengan jenis dan karakteristik bahan, dan mulailah membiasakan diri untuk tidak menyisakkan makanan di piring.
Referensi
[1] Kariyasa, K. dan A. Suryana. 2012. Memperkuat ketahanan pangan melalui pengurangan pemborosan pangan. Analisis
Kebijakan Pertanian 10(3): 269-288.
[2] Mandasari, P. 2018. Quantifying and analyzing food waste generated by Indonesian undergraduate students.
International Conference on Green Agro-industry and
Bioeconomy 131: 1-5.
[3] Nurchamidah, L. dan Djauhari. 2017. Pengalih fungsian lahan pertanian ke non pertanian di Kabupaten Tegal. Jurnal
Akta 4(4): 699-706.
[4] Saragih, B. 2016. Revolusi kehilangan dan pemborosan pangan untuk kemandirian pangan. Universitas
Mulawarman.
[5] Suryana, A. 2014. Menuju ketahanan pangan Indonesia berkelanjutan 2025: tantangan dan penanganannya. Forum
Penelitian Agro Ekonomi 32(2): 123-135.