Garuda Magazine, Middle East Service, Juni-Juli 2012

Page 1

THE MAGAZINE OF MIDDLE EAST SERVICE | JunI - JULI 2012

GARUDA Jelajah Pesona

Jeddah

+ Dunia di Mata Battuta, Damai di Bumi Singkawang, Profil Ratih Sanggarwati

www.garuda-indonesia.com


www.garudamagazine.com

www.garuda-indonesia.com

Editorial Board Pujobroto Helmy Kurniawan Cristian Rahadiansyah

Editor-in-Chief Cristian Rahadiansyah Managing Editor Arvada Gregorius Haradiran Editor Sari Widiati Group Copy Editor Simon Pitchforth (TA) Editorial Assistant Belinda (Intern) E-mail: garudamagazine@indomultimedia.co.id

9

Director of Business Development Rudi Hendian Art Director Canny Ciomas Sutanto Designers Arief Aji Prasetya Heritanta Ilham Nugroho Head of Production Agus Muslim Production Nuridin Muhidin Fahri Sugeng Susanto

22

Photographer

Traffic Ratna Aryani

4

Seputar Garuda Indonesia

6

Welcome On Board

8

ULASAN BUKU

9

PROFIL : RATIH SANGGARWATI

30

Garuda Frequent Flyer

31

Doa-doa Perjalanan

32

Inflight Screenings

33

Inflight Music

34

Info Produk Garuda Indonesia

35

Culinary Corner

36

Alamat Penting

37

Kantor Garuda Indonesia di Seluruh Dunia

38

Jadwal Penerbangan Garuda Indonesia

39

Jaringan Domestik dan Regional Garuda Indonesia

40

Kiki Djaffar

Distribution Pandu Guritno Siti Turyati Advertising Jakarta Harry Sutanto, Melanie Wahyu, Sri Neni Supriyanti, DP Saraswati, LD Michael Tel: (62-21) 7918 7008, Fax: (62-21) 7918 7009 E-mail: sales@indomultimedia.co.id Bali Ayu Oka Trisnawati Tel: (62-361) 919 0756, 919 0765, Fax: (62-361) 756 354 E-mail: bali@indomultimedia.co.id

GARUDA magazine is published under licence for Garuda Indonesia by PT Indo Multi Media. Opinions expressed in this magazine are those of the authors. The publishers and printers accept no responsibility­for the contents thereof. No part of this publication may be r eproduced without prior permission of the publishers. Editorial enquiries or submissions should be addressed to The Editor, GARUDA Magazine, Globe Building 3rd Floor, Jl. Buncit Raya Kav 31-33, Jakarta 12740, by fax: 62-(0)21-7918 7009, e-mail: garuda@garudamagazine.com. While every care will be taken, the publishers accept no responsibility for loss or damage to manuscripts, photographs, artworks or other unsolicited editorial material.

Jaringan Internasional Garuda Indonesia

Garuda Magazine 06-07.12

3


10

Garuda Magazine 04.12


Liputan Utama

dunia

di mata BATTUTA Walau kalah pamor dari Marco Polo atau Cheng Ho, Ibnu Battuta sebenarnya jauh lebih unggul dalam hal cakupan wilayah jelajah. Jarak yang ditempuhnya bahkan hampir lima kali lipat dari Marco Polo. Arvada Haradiran menelusuri jejak petualang Muslim terbesar di dunia.

Dia terlahir di Tangier, Maroko, dengan nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Battuta. Pria ini bukanlah penjelajah pertama di dunia, tapi dia yang pertama mengeluarkan buku catatan perjalanan terlengkap. Dokumentasinya tak sekadar menggambarkan wajah dunia di abad ke-14, tapi juga memperlihatkan perspektif seorang Muslim atas perbedaan budaya. Merujuk sejarah, Bangsa Fenisia bisa dibilang merupakan eksplorer pertama di muka bumi, sebab mereka sudah berdagang melintasi Laut Tengah dan Asia Kecil pada 1000 SM. Di abad kedua SM, seorang utusan kekaisaran Cina, Zhang Qian, mengarungi Asia Tengah dan merintis Jalur Sutra. Lalu, di abad ketujuh, Islam lahir dan memulai gelombang baru ekspedisi Muslim ke penjuru Asia dalam misi niaga dan dakwah. Di abad ke-10, musafir asal Irak, Ahmed bin Fadlan, adalah Muslim pertama yang terkenal mendokumentasikan ekspedisinya. Sewaktu bekerja sebagai sekretaris duta besar Khalifah Abbasiyah

al-Muqtadir, dia singgah di Bulgaria dan bertemu kaum Viking. Catatannya mengenai bangsa pelaut itu menginspirasi kelahiran film Hollywood berjudul 13th Warrior. Di abad ke-14, Ibnu Battuta yang masih berusia 21 tahun, berlayar dari kampungnya di Tangier menuju Makah untuk menunaikan haji. Tapi naluri petualangan kemudian membawanya berkelana ke pojok-pojok planet, termasuk Afrika Utara, Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tengah, Asia Tenggara, serta Cina. Selama 30 tahun, dia melintasi sekitar 44 negara dengan jarak tempuh 120 ribu kilometer! Catatan ini lebih mengagumkan mengingat Airbus dan Google Map belum ditemukan. Selain menyandang titel petualang sejati, Ibnu Battuta merupakan Muslim yang mulia atas usahanya berjihad mencari pengetahuan. Kisahnya seolah merupakan aplikasi nyata atas imbauan Nabi Muhammad: “Carilah ilmu hingga ke negeri Cina.�

Garuda Magazine 04.12

11


New Sarai Astrakhan

Laut Kaspia

Kerch

Laut Hitam Sinop

Konstatinopel Granada

Tabriz

Algiers

Tangier

Tunis

Tlemcen Tripoli

Fez Marrakech

Lau t Me dite rania

Antalya Aleppo

Latakia

Baghdad Aleksandria

Sijilmasa

Mosul

Gaza

Damaskus

Esfaha al-Kufa

Jerusalem Kairo

Shiraz Tabuk

Luxor Assiou

Walata

Madinah Hofuf Aydhab Jidda

Timbuktu Takedda Gao

Sana'a

ai ng Su r ge Ni

Djibouti

Mogadishu

Mombasa

Kilwa

Garuda Magazine 04.12

Makah

il ai N ng Su

N

12

al-Qatif

Aden


Sungai Ural

EKSPEDISI

BATTUTA

Danau Aral

Bukhara Samarkand

Kabul Hangzhou

an Multan Delhi Hormusz

Guangzhou

Quanzhou

Muscat Cambay

Laut Arab

el at an

Chittagong

Dhofar Daulatabad

k Benggal Telu

Qui Nhon

Calicut

aS Cin t Lau

Quilon Adam's Peak Sumatera Maladewa

Garuda Magazine 04.12

13


DARI TANGIER KE HANGZHOU

Tangier Kota kelahiran Ibnu Battuta yang terletak di utara Maroko, tepatnya di tepi Selat Gibraltar

MOMBASA Kota di pesisir timur Kenya

yang pernah disinggahi Ibnu Battuta sebelum menuju Kilwa dan Dhofar.

Yang juga penting dipelajari, Ibnu Battuta tidak menganggap dirinya warga bagi satu negara, melainkan bagian dari sebuah komunitas besar di bawah panji Dar al-Islam. Dalam konteks ini, dia merupakan salah seorang perintis global traveller, di zaman ketika travelling belum menjadi tren. Tujuh ratus tahun silam, saat pergerakan manusia dilakukan di atas punggung hewan, seorang pria asal Maroko sudah memiliki perspektif global. Kisah fenomenalnya terangkum dalam buku berjudul Rihla.

Battuta merupakan Muslim yang mulia atas usahanya berjihad mencari pengetahuan. Kisahnya seolah merupakan aplikasi nyata atas imbauan Nabi Muhammad: “Carilah ilmu hingga ke negeri Cina.”

Rihla hanya populer di kalangan cendekiawan Muslim. Tak heran, sosok Ibnu Battuta terasa asing di dunia modern yang notabene didominasi peradaban Barat. Para peneliti sastra dan sejarawan juga harus bekerja ekstra untuk mencerna Rihla karena konteks zamannya telah banyak berubah: sebagian nama dan batas-batas negara yang disatroni Ibnu Battuta tak lagi valid. Sebut saja wilayah yang dulu bernama Golden Horde, Bizantium, atau Ottoman. Mereka kini telah terpecah jadi banyak negara, seperti Belarus, Bulgaria, Rusia, dan Turki. Eksistensi Rihla baru dideteksi peradaban Barat setelah dua pastor Prancis secara tidak sengaja menemukan serpihan naskah buku itu di Aljazair pada 1850. Seiring maraknya industri wisata, gairah untuk menggali kisah-kisah petualangan klasik pun berkembang. Seorang professor sejarah dari San Diego State University di Amerika Serikat, Ross E. Dunn, mengeluarkan versi naratif baru

14

Garuda Magazine 04.12

Istanbul Ibnu Battuta datang ke Istanbul saat kota ini berada di bawah kekuasaan Ottoman.

atas Rihla yang lebih gampang dicerna dan telah disempurnakan dengan update atas lokasi-lokasi yang diceritakan. Terakhir, Time membuat edisi khusus bertajuk "Travel Through Islam" yang membandingkan daya jelajah Ibnu Battuta dengan Cheng Ho dan Marco Polo. Tapi Rihla bukannya tanpa kontroversi. Sejumlah orang mengklaim mayoritas teks tidak ditulis oleh Ibnu Battuta, melainkan oleh Ibnu Juzayy, seorang ulama yang dia temui di Granada. Sementara narasi tentang beberapa tempat di Timur Tengah, contohnya Damaskus, Makah, dan Madinah, dituding merupakan salinan cerita dari Ibnu Jubair, ulama avonturir dari abad ke-12. Meski begitu, Rihla tetap diakui sebagai dokumentasi perjalanan terlengkap yang menggambarkan dunia di abad ke-14. Buku tersebut menggambarkan bumi yang global, di mana pertukaran barang, budaya, agama, dan ideologi mengalir bebas di antara negara-negara di banyak kawasan. Dari Rihla pula kita mengetahui bagaimana dunia Muslim di masa lalu melebur dalam satu jati diri universal yang didasarkan pada nilai-nilai humanisme. Rasisme, radikalisme, dan terorisme terbilang minim. Rihla menceritakan sebuah masa di mana semangat “Islam untuk satu dunia” begitu kental. Sebuah semangat yang mengusung prinsip suci “Islam adalah rahmat untuk alam”. Islam dipraktikkan dalam tatanan yang ideal, di mana perbedaan bukan alasan untuk saling mencederai atau merusak. Simak saja betapa tercengangnya Ibnu Battuta saat mendapati kaum Muslimah di Turki bertindak tegas terhadap suami mereka. Atau ketika dia melihat


Liputan Utama

DELHI Ibnu Battuta sempat 'ditawan' Sultan Delhi, sebelum kemudian dikirim sebagai duta ke Cina.

maladewa Ibnu Battuta menikahi putri raja dan sempat bekerja sebagai hakim dalam urusan agama.

Photograph: Gettyimages (7).

wanita-wanita berkeliaran tanpa menutup aurat di Maladewa. Seperti semua pengembara lain, Ibnu Battuta mengalami kejutan budaya, tapi dia tidak menyikapinya dengan anarki. Perjalanan haji Ibnu Battuta dimulai pada 1352. Umumnya, “naik haji� kala itu memakan waktu sekitar 16 bulan akibat keterbatasan alat transportasi, medan yang berat, dan ancaman keamanan. Ibnu Battuta menempuh jalur darat, lalu menyusuri pantai Afrika Utara hingga mendarat di Kairo. Di Tunisia, dia menikah, satu dari sekian pernikahan yang menghiasi perjalanannya. Ada tiga jalur yang umum digunakan menuju Makah, dan Ibnu Battuta memilih yang paling minim peminat: melalui lembah Nil. Tapi revolusi lokal pecah di sana dan memaksanya memutar ke utara, melalui Jerusalem, Damaskus, hingga akhirnya sampai di Madinah dan Makah. Usai menyabet gelar haji, bagaikan Forrest Gump yang mendadak tidak bisa berhenti berlari, Ibnu Battuta tidak pulang ke rumah, melainkan terus mengembara, Eksplorasi Ibnu Battuta membawanya naik-turun padang pasir Arabia, menyelami kota-kota dongeng Persia, mengarungi pesisir timur Afrika, merasakan masa keemasan Bizantium dan Ottoman, bertamu ke rumah leluhur bangsa Mongol, dan mendaki gunung suci Sri Pada di Ceylon (sekarang Sri Lanka). Di India, dia “ditawan� oleh Sultan Muhammad bin Tughluq dan dijadikan hakim dalam urusan-urusan agama. Untuk melepaskan dirinya, Ibnu Battuta berpura-pura hendak naik haji lagi. Tapi sang Sultan malah menobatkannya sebagai duta besar Kesultanan Delhi bagi Dinasti Yuan di Cina. Dalam perjalanannya menuju Cina lewat Gujarat, rombongan-

HANGZHOU Ibnu Battuta menyebutnya

sebagai kota terbesar yang pernah dikunjunginya.

nya dirampok oleh bandit, dan Ibnu Batuta hampir kehilangan nyawanya. Ketika akhirnya pulih dan hendak berlayar menyeberangi laut, badai datang dan mengandaskan kapalnya. Enggan pulang ke Delhi tanpa hasil, Ibnu Battuta memutuskan berlayar ke Maladewa, dan lagi-lagi dia "disandera" oleh penguasa setempat. Ibnu Battuta hidup di sangkar emas. Dia memegang posisi penting dan menikah dengan salah seorang putri Raja Omar I. Tapi jiwanya ternyata tak bisa dikekang. Dia melarikan diri ke Ceylon. Sialnya, lagi-lagi kapalnya karam. Sialnya lagi, kapal penyelamatnya diserang bajak laut! Akhirnya, setelah detour panjang yang melewati Bangladesh, Sumatera, Filipina, Malaka, dan Vietnam, Ibnu Battuta menginjakkan kakinya di Cina. Dia meneroka interior negeri Tirai Bambu dan beberapa kotanya, termasuk Hangzhou yang disebutnya kota terbesar yang pernah dikunjunginya. Dalam perjalanan pulang dari Timur ke Barat, Ibnu Battuta melalui jalur yang sedang dilanda wabah Kematian Hitam (Black Death). Setelah 24 tahun mengembara, dia akhirnya tiba di Tangier dan menyadari ayahnya telah meninggal selama 15 tahun. Namun kisahnya tidak berakhir di situ, sebab roh petualang telah menguasai raganya. Baru beberapa hari di rumah, Ibnu Battuta langsung mencanangkan mimpi baru: menuju Semenanjung Iberia, Valencia, Granada, Sahara, dan Afrika, lalu mudik atas perintah Sultan Maroko setelah enam tahun berkelana. Ibnu Battuta menetap permanen dan bekerja sebagai hakim hingga mengembuskan napas terakhirnya di sekitar 1368 atau 1369. Sumber: Time, New York Times, National Geographic, San Francisco Chronicle, Saudi Aramco World

Garuda Magazine 04.12

15


Gerbang

Tanah

Suci

Pemerintah Arab Saudi kian giat membangun industri pariwisata di Jeddah, kota yang selama ini hanya dijadikan tempat transit bagi para jemaah haji. Turis diajak melihat warisan kerajaan, bertemu hewan-hewan gurun di kawasan konservasi, dan mengarungi bukit-bukit pasir. Nick Walton melakoni ekspedisi atraktif di gerbang tanah suci.

22

Garuda Magazine 06-07.12


Bersiap-siap menjelajahi gurun menggunakan mobil 4WD. KIRI: Minaret dan kubah mendominasi langit kota Jeddah.

Garuda Magazine 04.12

23


Arab Saudi Kairo Jeddah

Dubai

MATAHARI

TENGGELAM di batas horizon gurun. Panas mereda dan keheningan meliputi tenda-tenda Badui. Para petugas tenda yang mengenakan jubah putih melambai-lambai, bergerak gesit untuk menghidupkan api, lalu menyiapkan teh. Cahaya kuning api memantul di barisan renda emas di tenda, hingga menciptakan atmosfer yang gemerlap di tengah gulita. Benar-benar mirip adegan di kisah Seribu Satu Malam. Kesan itulah yang memang didambakan pelaku industri pariwisata Jeddah. Selama berabad-abad, kota yang dijuluki “Mutiara Laut Merah” dan gerbang kota suci ini melayani jutaan pedagang dan peziarah yang hendak naik haji. Kaum senior di Jeddah, kota paling kosmopolitan di kerajaan Arab Saudi, sepertinya sedang menjajaki strategi baru untuk menyulap harta kota—mulai dari pasar-pasar kuno, artefak arkeologi, hingga lanskap padang pasir—jadi magnet untuk memikat pelancong internasional yang memiliki selera bagus dan berpikiran terbuka. Di lobi Hilton Jeddah, saya bertemu Samir Komosani, general manager Platin Travel, operator tur berlisensi pertama di Arab Saudi. Penampilan sang pemandu sesuai dengan jabatannya—jangkung dan berkarisma ningrat, memakai jubah putih, serta berkumis tipis. Sempat menempuh pendidikan di Amerika Serikat, Samir bersikap optimis mengenai prospek pariwisata negaranya, dan ia berharap pihak kerajaan dapat menerima lebih banyak turis asing.

Matahari terus mendaki langit saat kami menyusuri jalan-jalan sibuk Jeddah dan tepian Corniche, yakni sabuk hijau di sepanjang pantai dengan rumput hijau yang terawat rapi dan meja-meja piknik tempat para keluarga berkumpul tiap akhir pekan. Setelah itu, kami ke sebuah museum pribadi yang dilingkupi dinding lumpur tradisional. Nama Tauibat City Museum for International Civilization (www.altayebatcity.com) mungkin terkesan berlebihan, tapi bangunan ini memang pantas disambangi. Museum ini masih mempertahankan koridor-koridor sempit dari masa ketika ia berstatus sekolah asrama. Di bawah langit-langitnya bernaung sekitar 300 kamar yang seluruhnya memajang barangbarang warisan kerajaan. Ada patung-patung kecil yang berpakaian ala tentara padang pasir, sejumlah

24

Garuda Magazine 06-07.12


SEARAH JARUM JAM, DARI KIRI ATAS: Kurma dan kopi panas adalah menu penyambut tamu khas Arab; Pelang jalan di daerah Al Balad; Manisan kacang di sebuah toko di Pasar Ghulail; Pelang peringatan akan kehadiran unta bagi pengendara di padang pasir. KIRI, DARI ATAS: Rumahrumah tua masih bisa ditemukan di kawasan Jeddah Lama; Samir Komosani, pemandu dari Platin Travel menunjukkan rumah tempat kelahirannya di Al Balad.

Garuda Magazine 04.12

25


Di masa kejayaan minyak era 1970-an, Jeddah pernah menyewa pematungpematung kondang sekaliber César Baldaccini, Henry Moore, dan Alexander Calder, untuk menciptakan ratusan instalasi apik dari logam sisa konstruksi Masjid Al Anani.

porselen dan koin kuno yang tak terbayang harganya, serta kain-kain bersulam dengan motif yang melukiskan kehidupan dan keyakinan. Tiap barang ini dilengkapi dengan informasi, jadi memudahkan pengunjung dalam memahaminya. Bertolak dari museum, kami meluncur ke Laut Merah untuk melihat patung-patung yang teronggok di alam terbuka. Di masa kejayaan minyak era 1970an, Jeddah pernah menyewa pematung-pematung kondang sekaliber César Baldaccini, Henry Moore, dan Alexander Calder, untuk menciptakan ratusan instalasi apik dari logam sisa konstruksi Masjid Al Anani. Sebagian karya itu dibuat untuk menghormati sejarah kerajaan, sementara sisanya menggambarkan karakter Jeddah masa kini. Masa depan maupun masa lampau, keduanya merupakan kebanggaan warga kota. Saat bayang-bayang kian miring, kami mendarat di Al Balad (Jeddah Lama), bagian kota yang dipenuhi jalan berliku. Di ujungujung menara masjid, para muazin menyerukan panggilan kepada kaum beriman untuk segera menyapa Tuhan. Tak lama kemudian, jalanan berubah sunyi dan aktivitas hari ini pun berakhir. Tokotoko ditutup, mobil-mobil diparkir, dan selama beberapa menit, saya nyaris sendirian di tengah metropolis Arab Saudi. Tapi momen

26

Garuda Magazine 06-07.12

itu tak berlangsung lama. Selang beberapa menit, rembulan bertengger di langit dan kota tua ini kembali berdenyut. Al Balad adalah tempat yang menawan. Daya tariknya adalah bangunan-bangunan rapuh yang menjulang di atas gang-gang sempit. Blasakblusuk di tempat ini, Anda akan menemukan tukang sepatu, warung buah, toko roti, serta penjual karpet yang barang dagangannya meluber hingga badan jalan. Samir lalu menunjukkan rumah sederhana tempatnya dilahirkan dan menghabiskan masa muda. Jalan-jalan yang sangat uzur ini telah menampung keluargakeluarga yang tak terbilang banyaknya, ketika uang dari kilangkilang minyak melahirkan sebuah kota baru nan modern. Kami berhenti di daerah Corniche untuk makan di Al-Nakheel, restoran yang dipayungi kanopi dan terlihat mirip tenda raksasa. Menu malam ini terdiri dari daging domba panggang, hummus yang lembut, dan khobz (roti tanpa ragi) yang hangat. Setelah itu, kami mengisap pipa shisha berisi tembakau beraroma apel. “Arab Saudi menawarkan banyak hal kepada para wisatawan asing,” kata Samir. “Selama mereka menghormati cara-cara kami, juga agama dan tradisi kami, maka mereka akan mendapati bahwa


DARI POJOK KIRI: Unta memainkan peran penting dalam kebudayaan tradisional Badui; Sandal-sandal yang dijajakan di Jeddah Lama; Salah satu instalasi karya para pematung dunia yang menghiasi kota.

Garuda Magazine 04.12

27


SEARAH JARUM JAM, DARI KIRI ATAS: Pedagang jagung bakar di Corniche, kawasan piknik populer di akhir pekan; Salah satu penghuni kawasan konservasi milik pangeran Arab; Tenda berisi sajian khusus kaum ningrat di luar batas kota; Seorang penari asal Afrika berdansa mengikuti alunan musik padang pasir. KANAN, DARI ATAS: Generasi baru Arab Saudi kini lebih menyukai quad bike ketimbang unta; Hummus dicampur minyak zaitun dan biji delima.

28

Garuda Magazine 06-07.12


Travel Pontianak

kami adalah bangsa yang ramah. Keramahtamahan bangsa Arab sangat tersohor, dan di Saudi Anda mendapatkan keramahtamahan yang sejati.” Samir lalu membawa saya keluar kota, melewati bandara internasional dan terminal hajinya yang megah dan mirip tenda-tenda Badui. Ratusan ribu jemaah berlindung di kakinya dari sengatan ganas mentari Timur Tengah. Musim haji telah tiba dan langit Arab pun dipenuhi pesawat dari penjuru bumi. Jauh di tengah gurun, persisnya di sebuah pompa bensin, saya berkenalan dengan serombongan penggemar off-road yang tampak seperti pemberontak di atas mobil 4WD. Mereka bersatu di bawah panji Safeer Al Remal, klub mobil off-road yang menawarkan petualangan padang pasir kepada para wisatawan yang bernyali tebal. Seperti di Qatar dan Dubai, gurun merupakan tempat di mana benih pariwisata disemai. Mengikuti barisan tiang listrik, kami menembus alam liar yang terlihat bagaikan permukaan bulan. Debu merah dan bebatuan sebesar bola basket bertaburan. Pengemudi saya berdandan ala bajak laut— berkumis tebal, kepala terbalut syal, memakai kacamata hitam. Namanya Mohammad, pemimpin Safeer Al Remal. Mengemudikan Land Cruiser yang telah dimodifikasi, dia mengarungi bukit-bukit pasir curam dan melemparkan jutaan butir pasir ke udara. Gurun sangat gersang, tapi terasa indah. “Saya sangat mencintai tempat ini,” ujar Mohammad. Memimpin klub mobil adalah pekerjaan sampingannya di luar profesi sebagai akuntan. “Di masa depan, mudah-mudahan setiap hari kami bisa menunjukkan kepada publik keindahan padang pasir Saudi—sensasi yang juga ditawarkan negara-negara Arab lainnya. Saudi tidak terlalu touristy, jadi pengalaman yang disajikannya berbeda, lebih autentik.” Menutup kegiatan hari ini, kami kembali ke jalan raya, mengisi angin ban mobil, lalu melaju ke arah matahari terbenam. Setelah melewati sebuah lahan yang tersembunyi di balik pohon-pohon tinggi, kami berhenti di depan gerbang besar yang dihiasi emblem Arab Saudi: dua pedang bersilang di bawah sebuah pohon kurma. Wajah seorang penjaga kemudian muncul di antara jeruji pintu. Tempat ini adalah konservatori hewan liar milik salah seorang pangeran. Mobil melenggang masuk dengan lampu menyoroti mata hyena dan oryx. Kami juga melewati burung unta dan jerapah yang terpaku di dalam kandang, serta kawanan merpati yang menukik ke arah kandang yang bersemayam di menara batu. “Walaupun tempat ini milik keluarga kerajaan, semoga kelak para wisatawan dari seantero dunia dapat mengunjunginya dan berbagi kecintaan kami terhadap gurun, alam liar, dan kebudayaan Badui,” jelas Samir seraya menyuguhkan secangkir teh hitam.

Mereka bersatu di bawah panji Safeer Al Remal, klub mobil off-road yang menawarkan petualangan padang pasir kepada para wisatawan yang bernyali tebal.

Garuda Magazine 04.12

29


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.