Senandika Edisi Agustus #3: Melipat Jarak

Page 1

SENANDIKA ZINE AKSARA EDISI AGUSTUS


Afrizal Efendi Dwi Wijayanti


Dari sekian jauh perjalanan, dan kau akan terus menjadi

tempat pulang.

— Ririn Arika



Astronot Renaldi Manurung

Kita adalah seorang astronot dengan jutaan misi penjelajahan menuju planetplanet asing di kolosalnya angkasa yang perlahan kita sebut sebagai fase kedewasaan. Setiap jejak kaki yang membekas mengartikan satu perjuangan menuju satu rotasi hingga berevolusi sempurna tanpa henti. Astronom kuno pun pernah mengira bahwa di atas benda bernama "rembulan" itu pernah ada samudra walau kita tetap bogot untuk tidak percaya. Terkadang, penjelajahan itu begitu melelahkan, bukan? Sukar rasanya ketika harus menuliskan prosa estetis soal astronot dan tetek bengeknya namun jemalamu hanya memikirkan soal membeli rumah di Tokyo lalu hidup sejahtera dalam bualan futuristismu yang absolut bentuknya. Satu yang aku tahu pasti, perjuanganmu nanti akan mengalir dengan rinai hujan dan lihatlah ke mana hujan itu bermuara; ke ujung sana, kapal besar yang mustahil karam menantimu.


Halo, Rayhan? Sebuah pentigraf oleh Afrizal Efendi

Sejenak lalu, seorang pemuda berjaket coklat berjalan di dingin malam yang berangin, menuntun langkahnya menuju apartemen yang tak jauh dari tempat ia beranjak. Kini, ia sempatkan mampir di warung kopi yang kelihatanya bersahabat dengan suasana hatinya. Kursi-kursi yang kesepian dan kaca jendela yang merasa kedinginan sepertinya jadi pelengkap malam yang penuh lamunan. Pemuda itu memesan espresso kemudian menyamankan diri di meja kosong dekat jendela. Ia mengeluarkan buku dari tas kecil dan mulai menjelajahi baris demi baris bacaan yang menambah kerapuhan perasaan. Malam yang berat, ketika semua kerinduan menguap ke langit-langit toko yang sunyi. Entah dari halaman keberapa dari bukunya, ia merasa benar-benar telah menghabiskan waktu berbulan-bulan tanpa seorang teman. Ia memutuskan berpisah dengan sahabatnya tak lama setelah pertengkaran yang ia pun lupa apa penyebabnya. Dan yang ia tahu, tak ada lagi yang bisa dijumpai kecuali sahabatnya itu. Maka hidup yang sendiri adalah jalan yang ia lalui selama ini, tanpa berhubungan lagi meski sekadar sapa. Namun pada dasarnya mereka sangat berbeda, yang memisahkan keduanya dari rasa menerima.


Bel pintu toko berbunyi, dua orang datang dan memecah kelengangan ruangan yang sebelumnya hanya ada pemuda itu dan penjaga toko. Gelas espressonya pun sudah kosong. Pemuda itu membereskan buku dan ponselnya ke dalam tas sembari berangkat dari kursinya. Selagi mebayar di kasir, tanpa gerimis, hujan deras mengguyur jalanan dan halaman toko hingga kaca jendela. Meskipun jarak apartemennya tinggal beberapa blok, ia mengurungkan niat untuk pulang dan menunggu sebentar lagi. Setengah jam berlalu, dan belum ada tanda-tanda hujan akan reda. Ia memesan segelas espresso dan kembali menyamankan diri di tempat ia tadi duduk. Malam yang penuh pikiran. Ia akhirnya memutuskan untuk menghubungi kontak yang hampir hilang beberapa bulan terakhir ini. Dengan sedikit ragu ia memanggil kontak tersebut. Berdering beberapa saat. Sebelum ia mengakhiri panggilan, seseorang mengangkat dengan nada yang sedikit gembira, “Halo, Rayhan?�


Jarak dan Kesempatan Putri Wulandari

Ini bukan hanya perihal rindu. Di mana jarak dan waktu yang mengujinya. Bukan perihal berapa kilometer tempat kita berada. Jarak memang menjauhkan, tetapi di balik angkuhnya jarak mendewasakan.

Ada sabar dan kesempatan yang bersisihan. Entah sabarmu yang menungguli atau rasa nyaman dari kesempatan yang kau alami Semua itu hanya kau yang tahu sebab rasa tak pernah memilih akan ada untuk siapa Mungkin dia yang jauh disana Atau mungkin seseorang yang disampingmu saat ini

Palembang, 17 Agustus 2020



Malam Sastra 2 bersama angkatan 2016, 2017, 2018, dan 2019


Majelis Seni Jumat Malam bersama Lamban Sastra Isbedy Setyawan


Sebuah Diskusi Tentang Perjuangan

Orang-orang yang berdialog: Bobby, Patrialis, Putri Wulandari, Siantara.

Suatu malam dalam jaringan.

SIANTARA: “Perjuangan dalam karya sastra" Perjuangan adalah usaha yang penuh kesukaran dan bahaya. Sebelum kita masuk ke tema malam ini, mari kita review sedikit tentang era sastra. Banyak versi tentang era sastra. Periodisasi sastra menurut H.B Jassin adalah: Sejarah Melayu Lama Sastra Indonesia Modern Angkatan 20 Angkatan 33 atau Pujangga Baru Angkatan 45 Angkatan 66 Sastra melayu lama atau sastra melayu klasik contohnya seperti gurindam, seloka, talibun, dan lain-lain. Tokoh-tokoh sastra melayu lama berkembang pada daerah Minangkabau dan daerah Sumatra lainnya. Salah satu karya sastra yang terkenal adalah Gurindam 12 karya Raja Ali Haji. Sastra Indonesia modern angkatan 20 atau yang dikenal sebagai angkatan balai pustaka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek, dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam, dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.


Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Angkatan Balai Pustaka karena ada banyak sekali karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapat dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah novel Sumatra, dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya. Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-tema ini yang banyak diangkat oleh penulis-penulis lain pada masa itu. Jadi perjuangan dalam era ini adalah perjuangan generasi muda untuk menyadarkan masyarakat bahwa adat istiadat tidak harus selalu dilestarikan. Adat istiadat harus dipilah sesuai dengan perkembangan zaman. PUTRI WULANDARI: Siti Nurbaya adalah novel pertama yang aku baca saat kelas tiga SD. SIANTARA: Sastra pada pada era pujangga baru memiliki ciri berbentuk puisi baru, bukan pantun atau syair lagi. Dan tema dalam sastranya sudah meluas, bukan saja tentang adat istiadat lagi. Namun sudah muncul karya-karya tentang tanah air, seperti karya-karya dari Mohammad Yamin. Ada juga yang mengatakan Mohammad Yamin masuk ke pujangga baru ada pula yang mengatakan masuk ke dalam balai pustaka. Periode angkatan 45. Sastra sudah berkembang menjadi berbagai jenis sastra antara lain puisi, cerpen, novel, serta drama. Salah satu sastrawan terfenomenal adalah Chairil Anwar. Pada era ini konflik cerita sudah lebih berkembang dan pilihan kata atau diksi menggunakan bahasa sehari-hari. Mengemukakan masalah kemanusiaan umum (humanisme universal) seperti kesengsaraan hidup atau ketidakadilan. BOBBY: Apa yang menyebabkan pergeseran tema dan gaya bahasa?


SIANTARA: Kondisi sosial. Pada era melayu, bahasa Indonesia belum lahir sehingga masih menggunakan bahasa Melayu atau bahasa daerah. Sementara kalau pada tema, para sastrawan itu mengambil keadaan sekitar. Mereka menuangkan keluh kesah dan perasaan mereka ke dalam karyanya, inilah poin lebih sastra menurutku. Kita bisa lebih mudah membayangkan keadaan pada waktu karya tersebut dilahirkan. BOBBY: Jadi gaya bahasa bisa mencerminkan keadaan sekitar penulis dan waktu penulisannya, ya? SIANTARA: Iya, seperti puisi W.S. Rendra yang berjudul “Gugur� yang menceritakan betapa mengerikannya 5 hari 5 malam pertempuran Ambarawa. PATRIALIS: Kak, apakah ada pergeseran dalam pembuatan suatu karya sastra yang dulunya memang untuk sebuah perjuangan atau menggambarkan kondisi sekitar menjadi suatu alat komersil? SIANTARA: Kalau dari pendapatku iya, pembuatan karya sastra itu karena ingin menyampaikan pendapatnya. Lanjut ke era sastra angkatan 66, di angkatan ini pasti kita mengenal Eyang Sapardi Djoko Damono. Beliau ini sastrawan yang lahir pada era ini. Salah satu karyanya yang kembali naik daun beberapa tahun ini adalah Hujan Bulan Juni. Pada angkatan ini ada suatu organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Pada era ini sastrawan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok sastra 60 sampai dengan 66 merupakan masa kejayaan sastrawan Lekra yang bernaung di bawah panji-panji PKI dan kelompok sastra tahun 66 sampai dengna 70-an. Pada era sastra angkatan 66, cerita dengan latar perang dalam prosa mulai berkurang dan pertentangan dalam politik pemerintahan lebih banyak


mengemuka. Jadi dari era ini perjuangan sastra sudah mulai tidak mengkritik adat namun mengkritik pemerintah. Salah satu karya yang lahir adalah “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” karya Taufiq Ismail Selanjutnya kita langsung loncat ke era sebelum reformasi, ya. Sudah ada yang pernah menonton film “Istirahatlah Kata-Kata”? PATRIALIS: Sulit mencarinya, Kak. BOBBY: Belum, sulit dicari. SIANTARA: Serius? Film ini menceritakan kisah Widji Thukul. Widji Thukul merupakan salah satu penyair yang dipaksa menghilang, yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. PATRIALIS: Apakah melakukan perjuangan melalui karya sastra masih relevan, Kak? SIANTARA: Masih. Karena saat suara dibungkam maka tulisan yang bersuara. Para orator terkenal kalau tidak pandai memilah kata dan kalimat bagaimana bisa menggerakkan massa. Banyak anak-anak muda yang menyuarakan ketidakadilan melalui sastra. Mereka berjuang dengan karyanya.


Peringatan

Jika rakyat pergi ketika penguasa pidato kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa.

Kalau rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri penguasa harus waspada dan belajar mendengar.

Bila rakyat berani mengeluh itu artinya sudah gasat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam.

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan! Ini salah satu karya Widji Thukul. Dalam film “Istirahatlah Kata-Kata�, diceritakan Widji Thukul menjadi buron karena puisinya. Aku sendiri tidak tahu puisi yang mana. Dari cuplikan adegan itu, kita bisa menarik kesimpulan bahwa betapa sangat tajam kata-kata.


Bisa menjadi senjata yang ampuh dalam perjuangan. Kuingat pidatonya Bung Tomo yang amat menggelora dan bisa menggerakkan masyarakat Jawa Timur, “Sastra menjadi senjata yang ampuh saat kau tak tahu harus menyuarakan ketidakadilan kepada siapa. Menulislah agar mereka membaca. Mereka yang harusnya sadar dengan ketidakadilan ini.� PATRIALIS: Setajam silet. Untuk sebuah karya sastra yang sesuai dengan tema ini, pemilihan katanya bagaimana? SIANTARA: Karya sastra yang mana? Lalu perjuangan yang bagaimana? Apa yang diperjuangkan? PATRIALIS: Semisal puisi tentang keadilan bagi bumi. SIANTARA: Sekarang sastra itu sudah berkembang, jadi tidak terikat. Dan masing-masing penulis punya gaya tulisan masing-masing. Setiap orang punya pandangan tersendiri terhadap peristiwa. Kalau gaya tulisan itu biasanya dipengaruhi oleh jenis bacaan sastra dan kesukaannya dalam menulis. Ada penulis yang ingin pembacanya langsung mengetahui isi cerita, ada juga yang ingin pembaca menerka-nerka.


Unwanted Lockdown Afrizal Efendi


Tak lagi kulihat wajahmu di deret awan yang bergerak semu dari luar kaca jendela bus antarkota tak lagi kudengar suaramu di debur ombak yang berkejaran dan menambrak sisi kapal di tengah selat dan pandangan yang horizontal tak lagi kurasakan getar jiwamu di setiap gerbong kereta api yang aku naiki setiap hari tak lagi, sebab kau telah menutup perjalanan dan mengunci perhatian entah sampai kapan.


Ilustrasi Oleh Ainun


Warnamu, Perjuanganmu Putra Adji Gumilang

Aku masih sama abu-abu dengan segala hal yang bisu

Aku tak pernah memberikanmu warna, aku hanya warna dari hal yang sia-sia, aku hanya mencoba mengajakmu untuk menghidupkan warna yang kau punya

Aku tak pernah memberikanmu warna aku hanya warna yang tak jelas ke mana aku hanya mencoba mengajakmu untuk menerangkan corak yang kau punya

Aku masih sama abu-abu kau yang berbeda penuh dengan warna yang tak lagi malu bukan karena aku, perjuanganmu.


Senandika Edisi Agustus 2020 @aksara_itera


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.