Senandika Edisi September #4: yang tergambar dalam ingatan

Page 1

SENANDIKA ZINE AKSARA EDISI SEPTEMBER


Setelah sekian semu, embun masih menunggu

di tepian kelabu yang kian membiru

— Dwi Wijayanti


Afrizal Efendi



Maaf Cerpen oleh Dwi Wijayanti

Apakah benar bahwa aku mampu mengubah suatu keadaan antara dua atau lebih insan yang sedang berseberangan? Sejauh ini, itulah keahlian yang sangat bisa dibanggakan dari diriku. Di saat salah satu dari mereka dengan ikhlas maupun agak malas menyebutkan namaku, hal-hal yang mereka perdebatkan mulai melebur dan perlahan terkubur dalam memori yang dalam sekian waktu akan semakin mengabur. Setelah namaku terpanggil, tentu aku akan sejenak memantau keakraban yang sebelumnya terbelah dan sedikit demi sedikit mereka rekatkan lagi hingga kembali terarah. Betapa bahagianya aku saat mereka berhasil melawan ketidakmampuan mengendalikan diri dan emosi dengan aku yang menjadi perantara. Kurasa inilah pekerjaan terbaik di seluruh penjuru dunia! Aku telah melihat semuanya. Aku pergi ke setiap sudut desa yang kian menjelma kota, ke setiap sudut kota yang kian menjelma dewa bagi mereka yang haus akan cita, ke setiap sudut rumah yang masih dan akan selalu menjadi dermaga, ke setiap sudut hati yang masih ingin menggenggam apa yang dirasa sebagai miliknya. Entah berapa usiaku, aku tak ingin menghitungnya. Yang aku tahu, sisanya tak begitu pendek untuk bisa diperkirakan dan tak cukup panjang untuk sekadar disia-siakan. Lagi pula, bukankah usia hanya sekadar angka? Ya, begitulah yang kudengar dari


mereka yang percaya bahwa usiamu belum tentu dapat tercermin dari luar pakaian kebanggaanmu. Bicara soal usia, aku jadi teringat pekerjaanku beberapa minggu yang lalu. Satu cerita tentang gadis berambut sebahu yang menyukai warna biru. Jangan kau tanyakan nama gadis itu, aku tak akan ingat. Kau yang harus ingat bahwa aku telah dan masih akan terus mendatangi setiap inci bumi ini, dengan nama yang berbeda di setiap benua, negara, bahkan desa. Si gadis berambut sebahu yang menyukai warna biru itu memanggilku dengan nama Maaf. Tiba-tiba aku mengingatnya bukan karena hanya dia satu-satunya orang yang memanggilku demikian, tapi aku mengingat bagaimana adegan demi adegan yang kusaksikan saat hadir di antara dirinya dan seorang pemuda. Mungkin akan terdengar sedikit kekanak-kanakan bagimu, tapi inilah cerita yang kuingat tentang seorang gadis berambut sebahu yang menyukai warna biru dengan seorang pemuda yang sebenarnya aku lupa harus mendeskripsikan dia seperti apa. Jangan kau tanyakan nama pemuda itu, aku tak akan ingat. Biasanya, setelah aku datang dan memastikan perselisihan telah terselesaikan, aku akan pergi untuk mendatangi tempat lain di mana aku dibutuhkan, atau sekadar melihat-lihat kota besar dengan rerumputannya yang kian terabaikan. Hal yang berbeda aku lakukan saat gadis berambut sebahu yang menyukai warna biru memanggil namaku dengan senyum getir yang sulit diartikan. Tidak, bukan senyuman itu yang membuatku mengingat cerita ini maupun melakukan hal yang berbeda dari pekerjaanku di tempat-tempat lain. Kala itu, aku yang menunggu babak penyelesaian, entah itu akan berakhir baik atau buruk, semakin penasaran dengan apa yang terjadi antara gadis berambut sebahu yang menyukai warna biru dengan pemuda beralis tebal yang mengenakan jaket abu-abu sehingga mereka harus menyertakan aku ke dalam percakapan itu. Ah, ya! Kini aku ingat bagaimana harus mendeskripsikan pemuda itu.


Tapi sepertinya pendeskripsianku ini terlalu panjang, ya. Mari kita pangkas saja menjadi gadis dan pemuda. Jangan kau tanyakan nama mereka, aku tak akan ingat.

Gadis itu tersenyum getir saat memanggilku untuk datang ke depan gerbang salah satu universitas swasta di kota yang cukup panas ini. Pagar putih yang diapit oleh dua pilar tinggi berwarna jingga berbisik padaku bahwa inilah tempat pertama mereka saling menatap. Aku hanya mengangguk paham sembari terus mengikuti seluruh pembicaraan mereka, baik yang terucap maupun hanya sanggup ditahan dalam hati yang kian pengap. Aku menunggu penyelesaian kisah dua remaja yang kurasa akan berakhir layaknya kisah remaja lain seusia mereka, di mana sedikit saja kenyataan mulai menampakkan diri, penolakan akan selalu mencuat dari hati, yang nantinya menyebabkan mereka saling menaruh rasa benci. Ah, remaja-remaja masa kini. Apa yang mereka ketahui soal hati? Satu persatu rangkaian cerita mereka telah kupahami dari kata-kata yang terlontar, wajah yang semakin mendatar, serta hati yang gemetar. Beberapa ucapan dan tindakan yang pernah hadir saling tumpang tindih dan memenuhi isi kepala si gadis hingga membuatnya menangis. Tidak, dia tidak menumpahkan air mata itu dengan sengaja untuk mengemis hati si pemuda yang sejak sepuluh menit lalu memilih tak berkata lagi setelah mendengar semua isi hati terdalam yang bertahun-tahun hanya dipendam sendiri. Justru air matanya yang menumpahkan diri, tak sanggup lagi menahan perih yang selama ini berusaha diobati. Tepat tujuh tahun yang lalu mereka bertukar pandang di depan gerbang salah satu universitas swasta di kota yang cukup panas ini. Si gadis yang hendak menaiki angkutan umum terpesona dengan alis tebal seorang pemuda berjaket abu-abu yang bahkan dirasa lebih indah dari alis yang dianugerahkan Tuhan untuknya sebagai


seorang wanita. Si pemuda yang baru saja turun dari angkutan umum melihat sekilas rambut sebahu yang dihiasi pita kecil berwarna biru, membuatnya terkesan lucu. Hanya sepersekian detik yang mereka kira tak akan bermakna apa-apa. Dua tahun kemudian si gadis memulai pendidikannya di salah satu sekolah menengah yang ternyata merupakan tempat si pemuda bersekolah juga. Berada di satu sekolah yang sama membuat mereka dengan cepat menyadari keberadaan masing-masing. Gadis berambut sebahu dan pemuda beralis tebal, begitu cara mereka mengingat satu sama lain. Entah bagaimana mulanya pemuda itu mendekati gadis yang ternyata berada satu tingkat di bawahnya hingga mendapatkan tanggapan cukup baik. Jika kau menebak kejadian selanjutnya adalah mereka menjalin hubungan, jawabannya adalah tidak. Mereka tidak pernah berada dalam suatu hubungan, tidak memiliki ikatan, atau terserah kau mau menyebutnya apa. Mereka hanya saling mengungkapkan perasaan yang terpendam dan membiarkan arus waktu membawa mereka entah sampai ke mana. Tidak ingin ada rasa terlalu memiliki yang akan membuat mereka lupa diri, begitu alasan yang kupahami, atau malah tak begitu kupahami. Ah, mereka berdua ini, berlagak sudah paham benar bagaimana kerja hati. Empat setengah tahun mereka lalui tanpa adanya rintangan yang berarti. Hanya saja, kesibukan si pemuda kian menumpuk hingga kata sapa perlahan tak lagi hadir di antara mereka. Si gadis dengan sabar mengajari dirinya sendiri untuk memahami keadaan. Memahami bahwa dia tak punya hak penuh untuk sekadar bicara bahwa dirinya tak suka jika mereka mulai berjauhan. Pun memahami pemuda yang memiliki hatinya, meski tanpa ikatan. Dengan segala perhatian dan pengertian yang masih terus dihujani pada si pemuda meski terkadang tak mendapatkan hal yang sebaliknya, gadis itu tetap berpikir semua


akan tetap baik-baik saja. Walaupun jika dilihat ke bagian terdalam dari hatinya, ada segunung keraguan di sana. Semua yang tak ingin dia pikirkan terlebih sampai diucapkan. “Apakah aku bisa terus bertahan jika dia tak juga memberi tanggapan yang berarti?” “Bagaimana jika dia menyerah pada semua ini?” “Apakah dia benar-benar masih menginginkan aku berada di sini? “Bagaimana jika ada orang lain yang mampu membuatnya menaruh hati?” Aku terkekeh saat pertama kali mendengar suara hatinya itu. Bagaimana mungkin si pemuda akan sejahat itu pada hatimu yang teramat tulus dan tingkahmu yang lugu, duhai gadis berambut sebahu yang menyukai warna biru? Nyatanya, aku salah. Sama salahnya seperti bisikan-bisikan baik dari sisi lain hati gadis itu. Ya, si pemuda menghancurkan segalanya. Bukan hanya hati, dia benar-benar mengobrak-abrik mimpi gadis malang itu. Dengan alasan yang tak pernah diungkapkan, si pemuda meminta si gadis untuk berlaku selayaknya teman. Hanya teman. Benar-benar teman. “Aku memedulikanmu, tapi bukan untuk ke arah mimpi-mimpimu.” “Maaf, aku tak pernah cukup memahamimu. Aku tak pernah menjadi yang terbaik untukmu, aku tahu itu. Selama ini, hatiku memberi kekuatan untuk tetap bertahan dan percaya pada semua ucapanmu yang lalu. Sekarang kau telah menghancurkannya, menghancurkanku.” “Hatimu teramat sangat baik. Sungguh sayang sekali jika kau berikan kepada orang seperti aku.”


“Iya, aku tahu. Sungguh sayang sekali aku baru tahu saat ini bahwa kau tak cukup baik untuk mendapatkan sedikit saja tempat di hatiku. Terima kasih, ya. Aku berhenti mengejarmu. Kumohon, baik-baik dengan orang yang akan bersamamu nanti. Jangan lagi kau buat orang lain sehancur aku, karena kutahu mereka tak akan sekuat itu.� Gadis itu melajukan kendaraan bermotornya sebelum si pemuda sempat mengucapkan salam perpisahan. Perpisahan? Gadis itu menggeleng, tak perlu ada perpisahan bagi mereka yang tak pernah dipersatukan. Gadis itu mengabari beberapa orang teman yang mengetahui tentang dirinya dengan si pemuda, mengucapkan terima kasih karena sudah selalu mendengarkan dan menguatkan, serta lagi-lagi memanggil namaku karena dia merasa bersalah telah membuang waktu teman-temannya dengan cerita yang nyatanya tak berguna. Saat ini, aku masih sering melihat gadis itu saat sedang bepergian ke kotanya. Seiring waktu, dia berpikir bahwa semakin dirinya membenci pemuda itu, maka akan semakin benci juga dia pada dirinya sendiri. Maka dia memilih untuk melepaskan semuanya, melepaskan rasa sakit, benci, bahkan peduli. Gadis itu benar-benar sudah berdamai dengan semuanya. Berdamai bukan berarti harus kembali menjadi teman akrab yang seolah lupa dengan ribuan goresan di hati, bukan? Tidak, dia tak akan berhenti menjadi orang baik hanya karena pernah tak diperlakukan dengan baik. Dia tahu pemuda itu juga sebenarnya orang baik, namun bukan yang terbaik untuknya. Aku mulai setuju dengan jalan pikiran gadis yang sudah mulai beranjak dewasa itu. Cara dia bangkit dan menata kepingan hati dengan kedua tangannya sendiri membuatku tersenyum. Kebanyakan anak muda akan mencari orang lain sebagai tempat singgah dari kesepian, namun tidak dengan gadis itu. Kini, dia sibuk menjadi versi terbaik dari dirinya, untuk dirinya. Dia kembali membiarkan arus waktu membawanya entah sampai ke mana, entah pada siapa.


Oh, lihatlah! Ah, aku lupa jika kalian tak bisa melihat ini, baiklah akan aku ceritakan saja pada kalian. Gadis itu sedang menatap langit malam yang sedikit terhalang awan, menceritakan tentang seseorang yang sorot matanya bagai mengandung rasi bintang. Gadis itu tertawa kecil, menopang wajahnya dengan kedua tangan yang tak begitu mungil, tiba-tiba merasa bangga pada dirinya sendiri yang sudah tak pernah menangis lagi. Kini, dia hanya kembali membiarkan arus waktu membawanya entah sampai ke mana, entah pada siapa, mungkin pada seseorang yang sorot matanya bagai mengandung rasi bintang tadi? Ah, gadis berambut sebahu yang menyukai warna biru. Kurasa dia mulai paham bagaimana cara menjaga hatinya sendiri.


Galeri Ilustrasi Renaldi Manurung







Mencintai Kamu Bukan Sebuah Kesalahan Amartya Azzahra

Nanti saat waktu di bumi habis, saat angin berhenti meniup ujung helai rambutmu bahkan batu mulai bergulir pindah ke daratan tinggi Sampai kala itu waktu mencintaimu telah usai menerbangkan segala harap, segala rasa yang pernah singgah Aku akan bersamanya, bersahabat dengan alam tidur di antara bintang, menjadikan awan sebagai penopang Tenang saja, kamu dan segala kenangan bukan hal buruk, bukan hal yang harus disesali juga, menurutku karena semua punya rahasia dan rasanya masing-masing Mencintai kamu bukan sebuah kesalahan



Telaga Afrizal Efendi

Frasa-frasa tua melepas pisah dengan tangkai-tangkai yang menderita

berjatuhan seperti merdu soneta di pelupuk telaga di ujung musim yang terus menua

lubuk dengan aksara yang tenggelam berusaha membisikkan suara-suara

tentang rasa dan beberapa cerita luka yang sudah berlumut dan tak bernyawa


September Dalam waktu yang berotasi kita masih menjumpai kesempatan untuk saling mengisi

Lettering bersama bulan september




Senandika Edisi September 2020


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.