Senandika Edisi Juni #1: yang mengaku tenggelam adalah kata-kata

Page 1

SENANDIKA ZINE AKSARA EDISI JUNI


Afrizal Efendi Dwi Wijayanti


kusisipkan pesan kulipat harapan

kurobohkan angan-angan

kiranya lembayung ‘kan jaga ombak pasang dari pantai berkarang

Antara hujan dan lautan

pun menghapus butiran pasir di lengkung insang

— Dwi Wijayanti



Merekam Ruang dan Mengabadikan Perasaan Afrizal Efendi

Kita tentu tahu bagaimana sebuah video memerangkap momen, atau sebuah fotograf yang seakan menghentikan waktu sehingga kita tetap bisa menyaksikan kenangan berulang-ulang selama berkas tersebut tersimpan. Indra yang berperan paling dominan dalam hal ini adalah mata yang secara langsung menangkap deskripsi utuh dari citra video maupun fotograf. Namun sesuatu yang juga mampu melakukan hal serupa adalah tulisan. Tulisan menjadi sebuah piranti yang sangat tepat untuk menuangkan pandangan, perasaan, dan peristiwa yang terjadi di satu waktu. Akan tetapi cara kita memperoleh gambaran suasana dari tulisan adalah bagaimana kata-kata di dalamanya merangsang imajinasi dan menempatkan pikiran seolah-olah berada di ruang dan waktu yang direkamnya. Kualitas yang baik dari sebuah tulisan tak hanya dilihat dari banyaknya isi tulisan. Komposisi yang terkandung, sudut pandang yang diambil, serta fokus yang ditujukan harus benar-benar bisa melukiskan apa yang dibayangkan penulis dengan jelas. Seperti itulah cara tulisan merekam ruang dan mengabadikan perasaan.

Salah satu kumpulan tulisan berkualitas hebat adalah Buku Tentang Ruang, karya Avianti Armand yang sangat mampu memberikan pengalaman puitis melalui visualisasi naratif dari setiap halaman buku. Penggambaran suasana diracik dengan kata-kata sederhana, lalu dengan isu-isu humanistis terbentuk puisi yang menyentuh kepekaan bahasa. Tipografi yang berkarakter dan beberapa halaman kosong juga menambah kesan spasial pada buku. Terdapat hal-hal yang lazim maupun tak wajar disajikan berdampingan bahkan dalam satu penyajian puisi. Ketakwajaran ini pun tetap bisa dicerna karena struktur dan diksi yang mudah dipahami, sehingga perasaan yang direkam oleh penulis tetap abadi sebab kenikmatan membaca mengalir tenang dan lancar. Tak akan terasa bahwa kita sudah berada di bagian akhir buku.


Rapuh

Putra Adji Gumilang

Aku ingin bertanya kepada awan, Apa yang membuatmu tetap melayang dan terbang? Aku ingin bertanya kepada gunung, apa yang membuatmu tetap kokoh meski hujan badai menimpa dari kaki sampai kepala? Aku ingin bertanya kepada rumput, apa yang membuatmu tetap tumbuh meski sering dipijak dan dilewati? Aku ingin bertanya kepada Tuhan, mengapa manusia diciptakan selemah ini? Dengan kata-kata ia bisa rapuh, dengan sifat ia bisa runtuh, dengan perilaku ia bisa jatuh.



Kecerobohan yang Berefek Ganda Ahmad Agung Zefi Syahputra


Sabtu, 11 Januari 2014 Hari yang sangat kubenci. Entah karena letaknya yang berada di paling akhir minggu ini, atau memang sudah kodratnya untuk menjadi hari yang tidak disukai. Hari itu, aku menjalankan kewajibanku sebagai siswa SMP. Seperti yang diketahui, menjadi murid lakilaki bukanlah hal yang mudah. Dari dimulainya hari itu, aku terus dihantui oleh kegiatan yang melelahkan dan membosankan, seperti bangun ketika pagi menyapa, membereskan tempat tidur, dan mandi pagi. Mandi? Sebuah bencana besar! Karena sebenarnya, aku tidak terlalu mencintai mandi pagi. Tetapi yang terjadi setelah aku masuk ke kamar berair itu, bisa-bisa ruangan tersebut berubah menjadi kering kerontang. Ya, airnya sudah tertelan bumi setelah aku mandi. Selesai mandi, aku langsung berpakaian di kamarku. Bencana di sekolah muncul karena aku dengan hebatnya melupakan hal yang cukup penting. Aku lupa kalau sekolahku menutup gerbang tepat pada pukul 7 pagi. Setelah aku sampai di depan sekolah, aku melihat pintu kesuksesanku itu sudah tertutup rapi. Aku hanya menyesali perbuatanku yang menyebabkan aku terlambat. “Untung saja ini hanya terlambat datang ke sekolah, bukan terlambat menyadari bahwa doi sudah ada yang punya,� ucapku dengan enteng. Aku hanya berharap bahwa ada orang yang dengan sukarela menjadi temanku di saat seperti ini. Tepat pukul 07.30, gerbang itu dibuka kembali. Aku menghela nafas saat tahu bahwa yang membukanya adalah kepala sekolah. “Habislah aku!� ujarku sambil menepuk kepalaku yang hanya membuat aku semakin pusing. Setelah beberapa saat, aku memberanikan diri untuk melangkah masuk ke dalam. Entah mengapa, kakiku serasa tertimpa batuan besar yang membuatku sulit berjalan. “Ternyata Bu Kepsek hanya menyuruh Pak Satpam


membukakan gerbang. Jika beliau mau, bisa saja aku dijemur hidup-hidup di tengah lapangan,� ucapku pada diriku sendiri. Aneh, tetapi memang begitu adanya. Dengan susah payah aku berjalan ke arah kelas VIII-6, kelas unggulan Bahasa Indonesia yang terletak di bagian tengah sekolah. Sesampainya di kelas, aku mendapatkan bencana baru lagi. Aku lupa kalau hari ini aku piket kebersihan kelas. Terhenyak dalam keheningan untuk beberapa saat adalah hal yang kulakukan setelah ingat kewajibanku. Aku langsung sadar dari kegelisahan yang menyelimuti diriku dan mengambil sapu lidi untuk menyapu halaman kelas yang cukup lebar. Andai saja aku tidak terlambat tadi pagi, pasti tugasku menjadi jauh lebih ringan. Akupun mulai menyapu, dari ujung kanan sampai ujung kiri. Selang beberapa menit kemudian, keringatku bercucuran bak seorang model yang sedang berjalan di bawah derasnya hujan. Selesai menyapu, segera aku tancap gas ke kamar mandi untuk menghapusnya walaupun bajuku sudah basah kuyup. Pelajaran hari itu dimulai dari Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan IPA. Empat pelajaran yang akan diujikan pada Ujian Nasional itulah yang akan mengisi otakku untuk hari ini. Aku pikir aku tidak akan mendapatkan masalah, karena aku memang tidak ingin mendapatkannya. Bahasa Indonesia di hari itu hanyalah membuat puisi dan Matematika hanya membahas tentang bangun ruang. Tiba saatnya untuk berisitirahat. Kulangkahkan sepasang kakiku dengan tegapnya seperti seorang anggota Paskibra menuju kantin tersayang, kantin Emak. Tetapi alangkah terkejutnya aku saat mengecek saku, aku merasa uangku telah lenyap ditelan seseorang. Selang beberapa detik kemudian, aku sadar bahwa tadi pagi aku lupa meminta uang saku. Dengan lemas, aku kembali ke kelas dan duduk di pojok kelas sambil mendengarkan musik dari smartphone-ku. Matahari seharusnya sudah mulai naik di singgasananya, tetapi tertutup awan kelabu dan petir bergelintir. Pelajaran IPA sedang berlangsung padahal aku sangat mengantuk. Ditambah lagi hujan deras yang mengguyur siang itu sukses membuat suasana semakin pas untuk tidur siang. Tanpa disengaja, aku tertidur dengan pulasnya sampai pukul 14.00. Aku terbangun karena mendengar suara gaduh di kelas yang menandakan sudah waktunya pulang. Langsung saja aku menyiapkan diri untuk kembali ke rumah. Tas hitamku menggantung dengan apik di punggungku. Aku bersiap keluar kelas untuk bertemu dengan temanku agar berjalan beriringan ke gerbang. Teman-temanku memanggil dari seberang lapangan. Aku berlari dengan kencangnya ke arah mereka. Tetapi, apa yang terjadi? Aku lupa kalau sebelumnya ada hujan deras, dan secara tidak sengaja kuinjak genangan air yang kecil itu yang menyebabkan keluar suara yang merdu


‘gubrak..gubrak!’ dari tubuhku. Aku terpeleset saat berusaha menuruni tangga. Tulang ekorku sakit bukan main. Di saat itu juga, teman-temanku langsung menertawaiku, padahal itu bukanlah waktu yang tepat. Akupun berusaha bangkit dari masalah yang mencoba menjatuhkan citraku di depan teman-temanku. Menahan sakit dan menanggung malu sekaligus bukanlah hal yang mudah bagiku. Dibantu teman-temanku, aku berjalan ke depan gerbang sekolah. Di sana, sudah ada ojek yang menunggu dengan sabar untuk mengantarkanku pulang ke rumah. Selama perjalanan, aku termenung. Mengapa bisa hal-hal buruk terjadi secara beruntun hari ini? Apa memang nasibku yang sedang sial, ataukah ini hanya sebagian kecil cobaan yang ada di dunia yang besar ini? Begitulah isi pikiranku selama perjalanan. Apa memang ini sudah takdirku? Hanya Allah yang tahu.


Aku Adalah Anala Ria Kurniati

Jika menangis adalah tanda bersedih dan bahagia, lantas bagaimana aku mengungkap luka dengan rasa yang tak nyata? Bila mencinta adalah bukti nyata ketulusan dari sang pencipta, lalu seperti apa penggambaran benci karena adanya ilusi dan tipudaya?

Aku adalah api, Anala yang hidup dari sebuah tragedi, timbul akibat ambisi dan ironi Aku selalu bekobar, lantas semua hangus menjadi puing arang dan sisa abu Seperti itulah diriku digambarkan

Aku pernah jatuh, merangkak bangkit pun takbisa terlalu dalam Siapa peduli? Sepertinya memang aku terlahir untuk dibuang


Kemudian aku jatuh dan mencinta dengan isi kepalaku sendiri bergelut dengan melodi dan detak nadi menjadi satu dengan aliran DNA hingga akhirnya mati dengan atau tanpa permisi lagi

Pada jeritan malam yang telah menjadi teman tidurku Pada isak tangis yang sudah menjadi syair biasa kudendangkan Terimakasih pada diriku, karna sudah mengajari bahwa kecewa tak selamanya menyedihkan Dan sakit tak selamanya harus dirasa


Selembar Kertas Rindu Siantara Inanugrahan


Bagian 1

"Semoga hari ini aku akan bertemu dengannya, jika tidak bertemu semoga saja aku bisa melihatnya," begitulah doaku sebelum memulai hari, saat langkah kakiku baru sampai di kampus. Kelas hari ini dimulai pagi dan berakhir sore. Namun siang hari tidak ada jam perkuliahan. Biasanya aku akan menghabiskan waktu di kantin atau di gazebo dekat gedung sendirian. Aku tidak memiliki banyak kawan seperti kawan-kawanku yang lain. Aku lebih nyaman menjadi orang yang tidak dikenal. Kakiku melangkah menuju ruang kelas dengan mata tertuju pada ujung sepatu merah mudaku. Menghitung ubin yang sudah aku lewati atau terkadang mataku mencari kucingkucing yang biasanya ada di sekitar lorong. Suasana lorong yang sudah mulai ramai dengan beragam reaksi orang. Ada yang terburu-buru, ada pula yang lebih senang menunggu kawannya di lorong dari pada menuju kelas terlebih dahulu. Namun saat aku sampai di lantai 2, Ina menahanku untuk masuk kelas. “Nanti aja, Mes. Belum ada dosen, kok.� Aku hanya mengangguk dan mendekatinya, kami sama-sama menikmati kebisuan dan hembusan angin yang pelan. Udara masih terasa dingin, kabut tipis di kejauhan sudah mulai hilang. Nyanyian burung yang saling bersahutan. Dan bising kendaraan yang diparkiran terdengar sayup-sayup. "Aku naruh tas dulu deh, Na." "Nitip dong, Mes!" "Ogah!" tolakku dan langsung meninggalkannya. Ina mengikutiku dengan bersungutsungut. Sampai di kelas, aku memilih duduk di bagian tengah, tepat di depan AC. Sementara Ina memilih duduk di sebelahku. Jika sudah duduk sudah dipastikan tingkat kemalasanku untuk gerak meningkat sangat tinggi.


Namun, sudah hampir setengah jam kami baru menerima kabar bahwa tidak ada perkuliahan. Rasanya terlalu malas untuk pulang ke kos, sementara perkuliahan selanjutnya masih beberapa jam lagi. Tak menunggu lama, suasana kelas langsung berubah sepi. Ina pamit pulang lebih dulu dan akhirnya tinggal aku sendiri di dalam kelas. Kuikuti langkah kaki yang entah akan membawaku ke mana. Langit hari ini begitu cerah, begitu biru sementara angin berhembus masih tak begitu kencang. Suasana gazebo tak begitu ramai, aku duduk sendiri di salah satu sudut. Melihat lalu lalang orang-orang dengan berbagai ekspresi dan ciri khas jalan mereka, berharap barangkali dia ada di antara mereka yang lewat. Namun rasanya begitu nihil. Semenjak perpisahan itu, aku dan dia jarang sekali bertemu. Rasanya aku dan dia tinggal di dunia yang benar-benar berbeda, tidak ada lagi suatu kesempatan yang mempertemukan aku dan dia. Mungkin karena aku dan dia sama-sama sudah di tingkat akhir perkuliahan. Terkadang aku berpikir mengapa perasaan ini begitu sesak, aku semakin tak yakin benarkah dia menyukaiku. Meluangkan waktunya saja seperti amat sulit. Jangankan untuk bertemu, untuk membalas pesanku saja begitu lama bahkan terkadang tak dibalas. Sulit sekali membangun komunikasi ini, terlebih kami sama-sama orang yang tidak terlalu suka memainkan ponsel. Terkadang aku merasa seperti di sebuah permainan, seolah hanya aku saja yang menyukainya. Seolah hanya aku yang ingin kami bersama. Lalu di saat aku ingin menyerah, tiba-tiba saja dia datang, seperti tidak terjadi apapun. Seperti aku dan dia dalam beberapa waktu tak ada jeda serta jarak. Rasanya ingin sekali memarahinya namun aku tidak berhak. Kami hanya sekedar dekat, dan itu dulu. Hingga siang menjelang, aku masih saja duduk di gazebo. Beberapa kali ada kawan yang lewat dan menyapa. Hanya sekedar menyapa, duduk sebentar, dan pergi. Tinggal aku sendiri. Namun saat akan menjelang jam perkuliahan, sudut mataku menangkap bayangnya yang datang bersama kawannya dari parkiran. Terhitung sudah sekitar beberapa hari lewat aku dan dia tidak berkomunikasi. Rasanya terlalu canggung untuk memulai menyapa, namun terlalu sayang jika sekedar lewat. Sudah tinggal beberapa langkah dan aku langsung saja menyibukkan diri untuk pura-pura bermain ponsel. "Semoga hari ini aku akan bertemu dengannya, jika tidak bertemu semoga saja aku bisa melihatnya," doa yang aku panjatkan tadi pagi dan saat ini dia berdiri di depanku. Aku dapat melihat sepatunya yang berwarna hitam itu. Dan saat aku mengangkat wajah, kulihat senyumnya mengembang. Aku kembali jatuh cinta untuk kesekian kali. Aku membalas senyumnya. “Apa kabar?� aku langsung spontan bertanya seperti itu.


“Baik, aku senang bertemu lagi denganmu. Dan selalu saja kamu lebih menyukai kesendirian dari pada menyukaiku. Aku jadi cemburu.” Aku hanya tersenyum dan tak menanggapinya, dia langsung saja duduk tak jauh dari tempatku. Kulihat jam dan sebentar lagi sudah akan mulai jam perkuliahan. Aku langsung berdiri, dia menatapku heran. “Maaf, aku duluan. Udah mau masuk.” “Gak bisa lebih lama lagi?” “Mungkin lain kali.” Ucapku yang langsung meninggalkannya, biarlah waktu mengikis bayang. Karena terkadang lelahnya hati harus pula dipikiri. Biarlah aku dan dia tetap hanya sebagai teman. Mungkin saja ucapan suka dan sayangnya hanya sebatas ucapan, bukan perasaan. Dan biarlah lembaran rindu ini mengusang.


Serah Terima Jabatan Kepengurusan 2019/2020

“If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.� Pepatah Afrika


“Takdir itu ibarat kumpulan benang di kolam renang, ujung dan pangkalnya ialah kelahiran dan kematian, saat bertemu orang lain saat itulah benangnya bersinggungan.� Bobby Permana

ICoSiTeR 2019


Rapat luring terakhir semester genap 2020


Sebuah Diskusi Sastra Pop Orang-orang yang berdialog: Afrizal, Awam, Bobby, Diki, Putri, Siantara.

Suatu malam dalam jaringan.

AFRIZAL: Malam ini kita akan membahas tentang nilai-nilai sastra pop. Berdasarkan definisinya dalam KKBI, pop atau populer berarti dikenal dan disukai orang banyak, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Sastra populer dalam kebanyakan pengartian merupakan sastra yang unsurnya lebih mementingkan fungsi rekreatif, yaitu memberikan kesenangan atau hiburan pada pembaca. Sastra populer sendiri bahkan beberapa pakar sastra ada yang menyebut dengan istilah sastra picisan, atau murahan. Murahan di sini berarti yang kurang memiliki makna, tidak berkualitas, dan pada kebanyakan kasus dulu hanya sebagai pembangkit gelora syahwat. PUTRI: Apakah itu yang mematikan sastra-sastra berat, atau memang karena perubahan zaman saja? BOBBY: Tidak juga, kan sesuai selera pasar penikmatnya. SIANTARA: Menurutku juga tidak put, mengingat sastra berat masih eksis sampai sekarang. DIKI: Tidak bisa disebut mematikan sastra berat juga. Mungkin pasarnya saja sudah beda. Lagipula definisi sastra berat dengan sastra ringan memang saklek? Kan tidak.


AFRIZAL: Sebagaimana definisi namanya, sastra populer berangkat dari kebutuhan masyarakat akan hiburan dalam literasi. Dan benar, sastra berat atau yang disebut sastra kanon masih eksis. Nah, definisi pop dengan kanon/berat/serius saja tidak bisa ditaruh bertolak belakang, karena antonim pop sendiri adalah eksklusif sedangkan serius adalah ngawur. Tapi karena konten sastra pop yang ringan makanya agak disandingkan dengan sastra kanon.

DIKI: Karena tidak semua orang suka membaca, dan rata-rata mereka baca untuk menghabiskan waktu, jadi sastra pop ya sah-sah saja. Tapi yang saya takutkan adalah banyak yang merasa bahwa membaca sastra pop tidak keren. Mengeksklusifkan diri sendiri berdasarkan bacaan yg dibaca, kemudian memandang yang lain rendah. Itu yang banyak kejadian. SIANTARA: Ya, bahkan ada beberapa yang menjadikan buku sebagai pencitraan agar dikira terpelajar. BOBBY: Hmmm, elitis. Sering melihat yang seperti ini, bawa buku biar dikira terpelajar walau tidak terlalu paham isinya. PUTRI: Memangnya apa sih batas sastra pop dengan sastra kanon sampai harus dibandingkan seperti itu?


AFRIZAL: Dari kontennya tadi, sastra pop lebih mudah dicerna bahkan untuk orang yang tidak bergelut di dunia sastra. SIANTARA: Sastra memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah sebagai hiburan. Sama seperti kita yang bisa memilih banyak hiburan, sastra pop tetap bisa disebut karya sastra walau memiliki lebih sedikit amanah. DIKI: Amanah bagaimana? AFRIZAL: Amanah yang artinya sastra tersebut memiliki fungsi didaktif. Contoh dari sastra yang didaktif adalah fabel. Fabel merupakan personifikasi dari realitas sosial manusia yang dikemas dalam bentuk cerita untuk anak-anak sehingga memberi pendidikan moral. PUTRI: Sastra pop harusnya efektif untuk menaikkan minat baca. SIANTARA: Tidak juga, tergantung niat si pembaca. DIKI: Kalau menurut saya iya, karena jujur saja, buku-buku yang saya baca adalah bukubuku ringan. AFRIZAL: Hm, paradigma masyarakat sebenarnya yang menjadikan sastra pop bermakna dangkal dan berkadar estetika rendah.


SIANTARA: Ya, menurut saya sekarang mudah sekali menerbitkan buku. Bermodal ketenaran saja maka buku langsung bisa diterbitkan. Ada salah satu penulis yang tidak bisa saya nikmati sama sekali. Masih banyak kesalahan penulisan dan sebagainya, yang menurut saya semakin menurunkan nilai sastra pop. SIANTARA: Sastra pop apakah tetap masuk dunia sastra? AFRIZAL: Ya, tetap masuk. Bahkan yang disebut sastra picisan tadi. PUTRI: Apakah artikel dan tulisan digital lainnya termasuk sastra pop? AFRIZAL: Ya, tetap masuk. Segala tulisan yang memiliki unsur-unsur sastra tetap masuk ke dalam karya sastra. BOBBY: Bagus juga sebenarnya sastra pop untuk dijadikan bahan memulai meminati sastra, apalagi saat ini minat baca yang sangat rendah, jika langsung disajikan sastra kanon takutnya malah malas membaca. AFRIZAL: Ya, kalau kata Eyang Sapardi sastra yang paling konvensional adalah sastra pop. Jadi penjabaran istiah, konsep, dan unsur sastra lain paling jelas di sastra pop. PUTRI: Nah, sastra kanon tuh yang seperti apa sih? yang masih pakai bahasa indonesia lama atau yang ilmiah?


AFRIZAL: Sastra kanon contohnya bisa dilihat dari karya Pramodya. Karya yang masih memiliki gaya bahasa yang sarat makna, multimakna dan memberikan pelajaran hidup yang dalam. Bisa dibilang juga sebagai sastra lama.

PUTRI: Apakah masih ada karya-karya yang diterbitkan memakai model ejaan sastra lama? SIANTARA: Eka kurniawan masih ada karyanya yang menggunakan ejaan soewandio. AWAM: Karyanya yang mana? AFRIZAL: Ya, masih ada. Di kumpulan cerita pendek Cinta Tak Ada Mati. SIANTARA: Sastra menurut saya terus berkembang, dan semakin banyak jenisnya. Terus mengikuti mangsa pasar. Sekarang mangsa pasar yang besar itu mangsa pasar sastra pop dengan ide cerita nikah karena dijodohkan. Mungkin kita bisa ingat dulu sempat booming dan sampai sekarang masih ada bukunya Siti Nurbaya. Selain itu banyak pula buku-buku yang dengan cerita yang sama. Mungkin karena kemasannya yang mengikuti gaya bahasa anak sekarang. Hal itulah yang membuat bahasa2 lama kita sedikit pudar. AFRIZAL: Ya, benar. Sebab perkembangan ini juga nilai-nilai sastra pop seharusnya semakin diperhatikan. Terkadang kondisi yang membentuk sikap skeptis peminat sastra pada sastra populer, tapi dari perkembangan tadi kondisi mulai bergeser. Teoriteori kebahasaan juga mulai berkembang seperti naratologi, posmodernisme, semiotik, stilistik, feminisme, dan sebagainya yang mendukung nilai-nilai sastra


pop tersebut. Contohnya, sastra pop kebanyakan memiliki ilustrasi, yang dapat diteliti dengan keterkaitannya pada ilmu ketandaan atau semiotika. SIANTARA: Mungkin yang menjadikan sastra pop terlihat rendah karena pengemasannya. Jadi kita hanya menikmatinya saja. Tapi kita tidak mendapatkan nilai-nilai ilmu tambahan di dalamnya. Seperti si penulis menceritakan ilmu pengetahuan lainnya, misal ada fenomena okot di suatu daerah. AWAM: Apakah perbedaan sastra pop dengan sastra kanon juga terdapat pada kedalaman maknanya? AFRIZAL: Ya, seperti definisinya tadi, sastra pop lebih mudah dimengerti dan secara struktur sangat sederhana dibandingkan sastra serius atau sastra kanon. Jadi struktur dan gaya bahasa yang ada pada sastra kanon mempengaruhi kedalaman maknanya. Tapi bukan berarti semua sastra pop tidak ada yang memiliki makna yang dalam, seperti karya-karya tere liye, meskipun bahasa yang mudah dimengerti tapi pelajaran hidupnya juga tetap dalam. SIANTARA: Nah, benar. Ini salah satu kelebihan bang Darwis. Menyisipkan ilmu, memberi hiburan dan mengemasnya ke dalam cerita yang mudah dimengerti. Cocok untuk generasi milenial. AFRIZAL: Ya, cocok juga untuk orang yang sedang belajar sastra. Tapi terkadang terdapat kesalahpahaman mengenai penempatan proporsi sastra pop ketika ingin mempelajarinya. Seharusnya ada beberapa sikap yang diambil untuk menghindari kesalahpahaman ini.


Pertama, mengerti sepenuhnya bahwa sastra pop dalam hubungannya dengan khalayak sudah tidak dianggap sebagai barang seni, melainkan komoditi, sebagaimana Eyang Sapardi katakan. Kedua, sastra pop bukan merupakan karya individu melainkan karya kolektif. Maksudnya, berdasarkan semangat market-oriented hasil akhir karya juga ditentukan oleh pemilik modal, penerbit, penyunting, dan distributor, terutama yang dipublikasikan oleh penerbit mayor. Ketiga, memaklumi bahwa sifat sastra populer adalah rekreatif, sehingga sangat realistik, terikat oleh aktualitas zaman, bersifat temporer, dan kontekstual. Sikap-sikap tersebut setidaknya dapat membantu objektivitas ketika mempelajari/meneliti sastra pop sehingga sastra pop tidak dianggap remeh, dangkal, dan tidak bermutu. PUTRI: Ya, benar sekali.


HINA Bobby Permana

Dengan baju zirah kujemput adamu dengan tersengal kudaki tebing tersedak dahak mengental Namun ku lupa betapa jauhnya kita kau yang berjalan di awan menapaki alam para Dewa sedangkan diriku masih merayap di tanah terhina Dalam sebuah nestapa antara ada dan tiada


Ilustrasi Oleh Afrizal


Sudut Logika Almirah Amanda

Terkadang, kita ini sering lelah untuk selalu berdebat dengan diri sendiri.

Pikiran dan hati, menjadi alasan yang tak pernah sehati kekurangan selalu saja jadi tombak bunuh diri selalu memikirkan orang lain yang mencaci maki, tanpa pernah memikirkan diri sendiri.

Memaksakan kehendak mereka ini Tanpa sadar mengubur potensi diri lalu sekarang, tak tahu harus mencari apa dan di mana selalu saja memikirkan bagaimana?

Dunia memang selucu ini mencari ruang sepi, menetap di hati yang kosong lalu mencari-cari ke mana jati diri sudah hilang atau memang sudah tak teranggap.


Entahlah, sepucuk daun gugur pun paham ia gugur, hanya karena masanya telah habis


Senandika Edisi Juni 2020 @aksara_itera


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.