Senandika Edisi Juli #2: Mendulang Waktu

Page 1

SENANDIKA ZINE AKSARA EDISI JULI


Dan semua ragu yang menderu sendu

Masih mengharapkan sisa sinarmu

— Dwi Wijayanti


Afrizal Efendi Dwi Wijayanti

“


Lagi dan Lagi Islamey

Entah berapa kali lagi aku harus bernafas. Aku sudah tak tahan dengan kedipan mata ini. Rasanya ingin kututup mata ini, Ku hentikan detak jantung ini, dan, ku potong kedua kaki dan tanganku agar aku tak perlu pergi ke mana pun. Orang lain akan menganggapku gila. Dengan melihat bagaimana keadaanku sekarang. Apakah aku peduli? Untuk sesaat ya. Manusiawi. Hanya sesaat. Aku sadar betul, aku hanya harus mempedulikan diriku sendiri, hanya aku tak bisa. Sebesar apapun rasa sakit yang aku rasakan, luka yang aku alami, tetap saja, aku akan peduli lagi dengan mereka. Sering aku tersadar, kepedulianku tak pernah dianggap. Tapi, tetap saja.. Kakiku tetap melangkah mendekat, tanganku tetap terulur untuk mereka.. Hingga akhirnya, aku sendiri yang hancur. Hancur hingga tak tahu harus bagaimana. Aku tak bisa mengingat apa yang sebenarnya telah aku lakukan untuk mereka. Hanya rasa benci pada diriku sendiri yang tersisa. Benci mengapa aku begitu bodoh. Bodoh karena melupakan diriku, hanya untuk membantu mereka. Siapa aku? Kenapa aku?


Apa hanya aku? Aku benci pada diriku. Diriku yang lebih peduli dengan orang lain. Diriku yang melupakan diriku. Diriku yang hancur hanya karena aku peduli. Dan sekarang, aku seperti ini.. Mencoba menyadarkan diriku dari kehancuran yang ada. Setidaknya, aku tak akan meninggalkan dunia ini hanya dengan kehancuran yang terasa.. Sedikitnya, ada rasa puas dalam diri ini, yang tak semua bisa rasakan. Lagi dan lagi, aku begini.


Pria Naif yang Berharap Jadi Angkasa Renaldi Manurung

Pagi itu, awan terlihat muram ditemani semarai warna putih kehitaman dari sisa hujan pukul lima, pagi tadi. Aroma petrikor kian menyerbak lantas menghilang bersamaan ketika jarum jam tepat menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit. Sementara itu, seorang lelaki berkacamata terlihat berjalan di bahu jalan dan tetap berada dalam irama derap yang sama. Dia menyusuri bahu jalan yang sepertiganya telah diambil alih oleh beberapa pedagang asongan yang menawarkan apa yang dijajakan mereka dengan sopan. Lelaki itu mendongakkan kepalanya ke angkasa, masih dalam irama derap yang sama, kemudian ia berujar, "Tidak ada pelangi hari ini: baik biru, hijau, atau jingga. Entah di balik awan sirus maupun kumulonimbus; hanya kelabu. Sama seperti kemarin, lagi dan lagi." Lelaki itu berhenti dalam gerakan mendadak, ia menanggalkan kacamata yang bertengger di kepalanya, kemudian diusap-usapkannya dengan saputangan. Ia terkekeh, suaranya hampir tak dapat didengar oleh siapa pun. Sok tua, sok puitis, sok estetika. Lihat! Usahamu sendiri masih membuatmu pontangpanting bahkan sampai kapan pun itu. Aku sih kalau jadi dirimu lebih baik mati saja, malu dilihat orang; enggak punya tujuan hidup! Nyusahin orang tua!


Kilasan memori tentang masa SMA-nya tiba-tiba berputar di kepalanya, seperti fotograf usang yang tak dapat dikendalikannya. Dia lantas mengusap wajahnya, menghela napas, lalu beringsut maju seraya memakai kacamatanya yang telah bersih dari tempias air hujan. Hari ini, ditemani kalkulasi matang yang terasa tak berkesudahan, ia telah membulatkan tekadnya untuk menghadiri acara peluncuran resmi buku puisi pertamanya pada salah satu toko buku terbesar di kotanya. Lelaki itu kembali menyusuri bahu jalan sejauh lima ratus meter ke depan, kemudian ia berbelok tepat di pertigaan lampu merah menuju pelataran gedung tinggi berlapis ratusan kaca laminasi yang terlihat megah dan berkilau. Di atas pintu masuk menuju lobi, terpampang tulisan keperakan yang bertuliskan "Toko Buku Sentral". Sesuai namanya, toko buku tersebut benar-benar berdiri tepat di tengah kota, seolah-olah toko buku tersebut merupakan manifestasi makna bahwa pusat kota tak lain ialah pengetahuan. Lelaki itu memasuki toko buku tersebut. Suasana di sana terlihat agak ramai. Kedatangan pria itu dengan sigap disambut oleh petugas keamanan yang lantas mengawalnya masuk melewati lautan manusia menuju ke altar panggung yang berdiri tepat di belakang eskalator penghubung lantai satu dengan lantai yang lain. Terdengar beberapa penggemar sosial medianya sesekali meneriakkan namanya, yang sebisa mungkin dia balas dengan senyum simpul yang teramat sangat canggung. Seorang pria lain, yang dapat ditebak mungkin pembawa acara untuk pagi hari itu, begitu antusias saat melihat kedatangannya. Dia kemudian berujar seraya mengencangkan mic-nya di tangan kanan. "Hari ini kita kedatangan tamu yang cukup spesial, Adhinatta Ephraim! Penulis buku antologi puisi Sajak: Angkasa. Mari kita beri tepuk tangan yang meriah!" Suara tepuk tangan menggema di udara, lelaki yang bernama Adhinatta Ephraim itu menyapa penonton seraya memegang mic yang diberi pembawa acara itu dengan sopan. "Selamat pagi, semuanya," seluruh penonton membalas ucapannya walau terdengar riuh dan kurang jelas. Adhinatta Ephraim mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ribuan kilasan masa lalunya bagaikan ujung tombak yang harus dikeluarkan lewat mulutnya. "Saya boleh bercerita sedikit?" yang ditanya menceracau tidak jelas,


sedangkan lelaki itu sendiri benar-benar butuh untuk mengutarakan hal yang ada di dalam kepalanya. "Jadi sebelum saya sampai di tempat semegah ini, tiba-tiba saya mengingat sesuatu, mungkin apa yang saya pikirkan sedari dulu secara tidak langsung tersurat di dalam buku saya sendiri. Ribuan sajak yang selama ini saya tulis adalah ribuan fragmentasi sebagaimana saya melihat masa lalu." Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling sekali lagi, kemudian dia melanjutkan kalimatnya, "Terkadang pandangan setiap orang tentang bakat dan profesi itu berbeda-beda. Seolah ada patokan sebagaimana tigkat kesuksesan seseorang diukur." Adhinatta tertawa, dia kembali mengingat masa-masa kelamnya tadi seolah isi kepalanya kini telah menjelma diari tua yang ingin dibukanya kembali secara sengaja. Ia meraih buku puisinya di atas meja kayu yang tepat berada di sampingnya, "Saya ini sedari dulu dikenal sebagai manusia yang gampang iba, punya rasa simpati yang tinggi, sampai-sampai saya sendiri tidak dapat membedakan mana 'meminta tolong' dan mana yang 'memanfaatkan'. Hal inilah yang justru membuat kehidupan saya semakin tidak karuan." Kali ini lelaki itu tertawa lebih keras. Guratan memori tentang masa SMA-nya berputar cepat di kepalanya. "Maaf, mengingat kata 'iba', saya terkadang suka merasa lupa kalau diri saya itu ternyata terlalu naif." Adhinatta membuka segel buku di genggamannya, dia mencari sebuah puisi di dalamnya, tangannya terlihat agak gemetar, keadaan di tempat itu tiba-tiba menjadi hening seketika. "Dari sejuta mimpi yang berakhir patah Pantaskah aku menyebutnya 'rumah'? Kini serupa kukila yang berkelana di luasnya bumantara; ia rela berkelana jauh tanpa segulung peta seolah tidak ada yang hilang dan meniadakan Seolah aku ini adalah kayu yang lindap menjadi abu Kita akhirnya reda. untuk esok dan selamanya."


Adhinatta menutup bukunya, dia kembali melempar pandangannya, "Saya ini sangat suka sekali melihat pelangi setelah hujan. Sejak kecil saya rela menunggu pelangi bahkan untuk waktu yang sangat amat lama. Namun kalau dipikir-pikir kembali, saya ternyata lebih menyukai angkasa sejak lama. Angkasa tidak menyejukkan seperti hujan, tidak memiliki banyak spektrum warna seperti semarai pelangi, tetapi yang paling penting, angkasa selalu ada tanpa peduli dengan siapa dan kapan. Saya selalu merasa di posisi itu, saya selalu merasa ada walaupun terkadang dianggap tiada. Dan, buku antologi Sajak: Angkasa adalah sebuah bentuk pelarian semata sebagaimana rasanya menjadi ada dan tiada dalam waktu yang bersamaan."

Cerita satu, Pria Naif yang Berharap Menjadi Angkasa


Lelah

Ahmad Agung Zefi

Angan palsu yang didamba itu semakin dikejar semakin menjauh semakin dilihat semakin semu dibiarkan hilang datang kembali Sudahlah kalau kau anggap orang lain tertawa pada lelucon yang sama setiap hari bagaikan menelan manisan yang basi lalu, kau anggap apa dirimu yang tiap hari selalu tenggelam dalam gemerlapnya masalah yang sama? Memang, menerka perasaan orang itu mudah namun kau sendiri bagai “pinokio� pada relung hatimu Akuilah saja! Akhirilah drama tanpa penontonmu pulanglah kau ke pangkuan dirimu hinggaplah di ketinggian pohon impian dan ambil inti sari masa lalu sebagai pelajaran Kau pantas menerima masa depan Kau pantas melepaskan masa kelam

Bandar Lampung, 19 Juli 2020



Menaruh Impian Afrizal Efendi

Derasnya hujan perlahan mulai reda. Ari terbangun dari tidur pulasnya semenjak bakda zuhur tergeletak di lantai perpustakaan hingga azan azhar terngiang di telinganya. Ia menilik buku tulis yang ada di sebelahnya belum ada satu lembar pun terisi, yang seharusnya berisi rangkuman bab buku Bahasa Indonesia sebagai remedial sebab tak tuntas. Belum lagi hafalan surah yang harus sudah disetor besok. Bagaimana ia akan menghafal dan menyelesaikan semua itu dalam satu malam. Benar saja kalaukalau nilainya kerap anjlok, teledor ia jadikan peliharaan. Azan azhar lekas selesai, ari mulai membereskan buku-bukunya ke dalam tas sembari bergegas keluar perpustakaan. Namun di beranda tak ia dapati sandal swallow putih yang sengaja diukir namanya untuk semata identitas. Sempat berpikit dibawa orang, ternyata sandalnya telah berlayar mengarungi selat genangan air antara perpustakaan dengan koridor. Satu setengah jam hujan cukup membentuk genangan sedalam di atas mata kaki. Jauh sandalnya sudah tiga meter. Tanpa pikir panjang Ari mengambil sapu dari dalam perpustakaan kemudian dengan tangan kirinya ia memegangi tiang sementara yang satunya menjulurkan sapu tersebut. Belum mampu ujung sapu menggapai sandalnya, Ari mengangkat lsatu lagi kakinya maksud untuk menjauhkan jangkauan. Lantaran keramik yang licin karena basah, akhirnya ia terpeleset juga ke dalam genangan itu.


Seragamnya basah, celananya basah, pikirannya pun menjadi basah memikirkan apa yang harus ia kenakan besok mengingat seragamnya tinggal satu. Lagi-lagi teledor ia jadikan peliharaansebab dari jam sebelas keluar kelas bukannya mengganti pakaian ia malah keluyuran kemana-mana. Alhasil, ia pun berkaki ayam ke asrama dengan separuh pakaiannya kuyup. Sepanjang perjalanan setiap orang tergelak, lebihlebih ada yang berujar “Ciee.. yang abis mandi dari kayangan.� Ari hanya tersipu malu. Itulah Ari, anak ketiga dari lima bersaudara. Satu-satunya orang di keluarganya yang bersekolah di SMA favorit kabupaten. Kendati ketika tes masuk ia berada di posisi tujuh dari ratusan peserta, namun di kelas yang hanya berjumlah tiga puluh, ia selalu berada di peringkat bawah. Ari yang memang tidak pernah melawan atau meminta hal besar pada orang tuanya, masih belum paham bagaimana membuat mereka senang, belum mengerti cara membalas budi mereka. Atau sekadar memberikan sesuatu untuk mereka. Kata dewasa betul belum dijumai pada dirinya. Hari sabtu pagi, kursi chitose telah tersusun rapi di aula sekolah. Hari ini merupakan penerimaan rapor hasil satu semester. Ketika penyambutan ke depan sebagai juara kelas, berharap dipanggil pun Ari sama sekali tak dipanggil. Semampai betul angannya itu. Malar-malar, setelah semua dibagikan begitu kecewanya ia, dua puluh tujuh adalah peringkat yang tercantum di rapornya. Heran rasanya merenungi nilai Ari yang begitu anjlok, padahal dari sekolah dasar sampai menengah pertama lima besar tak pernah lepas dari tangannya. Mengenai hal itu ayahnya hanya berkata kepadanya “Kita tak akan bisa berlari sebelum bangkit nak, dan sebelum bangkit terkadang kita harus jatuh dulu.� Sedikit banyaknya, dapatlah Ari memahami nasihat ayahnya itu. Libur semester yang bagi Ari tak ubahnya hari-hari biasa karena sepanjang pekan hanya di rumah, sesekali ia habiskan waktu bersama Rama sahabatnya. Rama yang


sudah mengenal Ari semenjak kecil kali ini juga merasakan kondisi akademis Ari yang semakin menurun, dan berpengaruh pada semangat hidupnya. “Ri, bukankah kau punya mimpi? Apa mimpimu?” tanya Rama. Ari terdiam sembari bernala-nala, “Hmm, mungkin jadi seniman.” “Apakah kata mungkin bisa disandingkan dengan mimpi?” ujar Rama. “Tapi aku tak tahu apa aku bisa jadi seniman.” “Justru karena kamu berpikir tidak bisa akibatnya kamu tidak berusaha.” Ari termenung kembali, kemudian disambung lagi oleh Rama “Ingat kawan, kita ini harus punya mimpi, dan harus ditanamkan, sebab mimpi adalah tujuan.” Sambil tersenyum Rama mengacak tas di hadapannya, meyodorkan sebuah buku kepada Ari, “Ini, bacalah novel ini.” Sebuah novel dengan judul Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Rama berharap sekali Ari dapat termotivasi dari buku tersebut. Meskipun ia tahu Ari tidak terlalu menyukai sastra, namun buku tersebut telah menginspirasi dirinya sendiri dan ia juga tahu Ari adalah tipikal orang yang selalu menghargai pemberian orang lain. Benar saja dengan wajah berseri Ari menerimanya. Satu keadaan, di tengah Ari gemarnya mengacak bacaannya, ia teringat biaya komite sekolah. Hari terakhir liburan semester menjadi pemicu ingatan tersebut. Lantas dengan rasa sedikit ragu ia katakan pada ibunya. “Bu, besok Ari bayar dana komite 250 ribu” ucapnya dengan nada rendah. “250 ribu? Harus besok ya nak?” Ibu Ari terkejut. “Iya Bu.” “Iya nak, nanti Ibu usahakan.” Sebenarnya Ari tidak tega memberitahu ibunya mendadak, namun buah dari keteledorannya berdampak seperti ini. Hingga esok hari pun, ibu Ari belum mendapatkan uang tersebut. Usaha berjualan abu keliling yang tak seberapa hanya


cukup membiayai kebutuhan pangan sehari-hari, dan ayahnya yang bekerja sebagai buruh tani pun sedang jarang ada panggilan akhir-akhir ini. Sebenarnya Ari mendapat beasiswa di sekolah tersebut, namun terkadang tetap ada dana yang harus dikeluarkan seluruh siswa tanpa terkecuali, seperti saat ini. Belum sempat azan subuh berkumandang, mata Ari terbelalak. Ruang tamu yang sekaligus ruang tempat Ari tidur karena rumahnya yang kecil hanya ada kelengangan. Hawa malam masih terjebak di langit-lagit. Beberapa menit lagi azan. Kenapa tidak ada yang membangunkannya. Di mana ibu yang biasanya sebelum subuh sudah selesai menanak nasi? Dengan selimut yang masih membalut tubuh dan wajah yang sama sekali belum berpaling, ia mendengar pintu yang berat berderit. Ada yang datang. Ari seketika memejamkan matanya. Ia mengintip, ternyata itu Ibu. Wajah ibunya terlihat buncah, kemudian beranjak ke dapur. Ari menyadari, sebetulnya ibunya baru saja keluyuran mencari pinjaman uang perkara bayarannya itu. Entah ke mana saja. Mungkin kepada orang-orang yang hendak berangkat sholat, atau yang berangkat bekerja ke hutan lebat. Tapi yang pasti, ibunya tak sepenuhnya mendapatkan itu. Perlahan air mata Ari menetes, mengalir di pipinya, jatuh membasahi bantal. Bukan karena uang tersebut, melainkan kegigihan ibunya yang mengharukan. Tak kuat ia melihat kesusahan ibunya di hari yang masih sangat belia ini. Sejalan dengan air mata yang terus keluar, ingatan-ingatan pengorbanan ibunya pun terulang. Punggung yang terbakar matahari setiap kali menjajakan abu ke seluruh desa, kaki yang rapuh dengan ratusan kilometer perjalanan. Tak tahu lagi sekuat apa fisiknya, setegar apa hatinya. Dan itu untuk keluarganya semata. Ari merasakan tersembulnya kesadaran dalam dirinya di pagi yang lengang itu. *** Kembali pada rutinitas sekolah yang seperti sebelumnya, Ari mulai membenahi diri sedikit demi sedikit. Dengan bantuan Rama tentunya. Rama sama sekali tak jenuh


memberikan dorongan dan motivasi selama lebih dari sepuluh tahun menghadapi Ari. Semakin ke sini malah semakin terlihat kekuatan persahabatan mereka. Bahkan Ari mulai tertarik dengan kegemaran sastra Rama. Ia mengikutinya, merasakan hidup dalam kehidupan bersastra. Bersender di batang pokok kedondong, berteduh dari terik matahari, Ari dengan khusuk menuntun jeli matanya menjelajahi setiap tulisan pada buku yang ia baca. Semilir angin berhembus lembut membelai hijaunya rumput, menampar dedaunan kedondong, melantunkan senandung alam. Di tengah kedamaian membalik lembaran buku, terbesit sesuatu di hatinya. Ia memandangi langit yang biru, awan sirus tipis terlukis. Di antaranya, terlukis pula kehendaknya. Ia mulai mengambil kertas serta pena lalu menuliskan sebuah puisi untuk ibunya. Semampai angkasa Ibu Aku gantungkan angan-anganku Walau tak semampai rasa cintamu

Ibu, aku ingin berbagi Sejuknya semilir angin hari ini Hijaunya rumput di latar ini Menemaniku melesatkan mimpi-mimpi

Namun, tiada lagi di sebalik cita-citaku Kecuali membahagiakanmu Hanya semata engkau Ibu Hanya semata untukmu


Kini sudah jelas tergambar mimpi Ari. Membanggakan orang tua adalah tujuannya. Ia ingin jadi seorang penulis sukses. Ia ingin pergi ke tempat-tempat indah, membagikan cerita, menjadi seniman dan dihargai orang. Ari mulai menyusun rencana-rencana kegiatan, mengatur jadwal, dan belajar lebih giat. Ada usaha yang harus ia lakukan untuk menggapai mimpi.

Panyabungan, 2016


Sebuah Diskusi Realitas dan Fantasi Orang-orang yang berdialog: Afrizal, Amartya, Bobby, Dwi, Putri, Siantara, Wulandari.

Suatu malam dalam jaringan.

PUTRI: Malam ini kita akan berdiskusi tentang realitas dan fantasi dalam sastra. Menurut KBBI realitas adalah kenyataan, sedangkan fantasi adalah gambar atau bayangan dalam angan-angan, khayalan, bukan kejadian yang sebenarnya. Secara sederhana, karya sastra dapat dibedakan menjadi dua, fiksi dan nonfiksi. Karya fiksi juga tidak hanya fiktif atau fantasi, dan tidak semua karya fiksi yang bergenre fantasi adalah fiktif. Banyak cerita fantasi yang para penulisnya tidak hanya mengandalkan imajinasi, tetapi juga mengambil referensi dari legenda, realitas sejarah, cerita rakyat, dan mitos-mitos yang ada di dunia. Fantasi memiliki arti lain, yaitu imajinasi, sehingga lawan kata dari fantasi adalah realitas. Sastra tanpa imajinasi adalah sastra nonfiksi. Contoh sastra fiksi bergenre fantasi adalah novel Percy Jackson yang mengambil referensi dari mitologi Yunani, atau novel Everlasting Andante yang fokus pada ghoul dari cerita rakyat Arab. Fantasi sendiri umumnya berkisah tentang dunia lain atau dunia paralel. Dunia yang memiliki hukum-hukumnya sendiri, dunia di mana ibu peri, naga, kota di dalam perut bumi adalah hal-hal lumrah, selumrah kita melihat seekor kucing di tepi jalan.


Bayangkan betapa asyiknya memiliki beruang berbulu kuning-putih dan ukurannya tidak lebih besar dari kucing dewasa. Atau bayangkan jika sebenarnya kampus kita berada di atas air dan terdapat tuas untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti ke puncak gunung berapi. AFRIZAL: Bagaimana dengan science fiction yang pemikirannya sudah sangat jauh, apakah itu termasuk fantasi? Misalnya "Interstellar" yang ketika dirilis mendapatkan banyak komentar dari para penontonnya bahwa mereka tidak megerti akan film tersebut. PUTRI: Nah, kalau sains fiksi itu genre tersendiri, terkadang banyak juga karya sastra yang memiliki banyak genre sekaligus, lagi pula tidak ada batasan dalam genregenre sastra itu sendiri. Jika kita saja sudah punya teori, seperti mutasi genetik untuk membuat beruang jadi sekecil kucing, ceritanya akan berubah menjadi genre sains fiksi. AFRIZAL: Padahal jika kita paham tentang fisika modern, hukum-hukum yang ada di cerita bisa dijelaskan. PUTRI: Setuju, sastra sangat keren bisa mengemas hal-hal seberat fisika modern menjadi menyenangkan untuk dibaca. AFRIZAL: Ya, benar. Bahkan tidak hanya sains, sejarah juga lebih mudah dipahami melalui sastra. BOBBY: Benar, contohnya Thales yang dalam teorinya bumi mengambang di atas air, yang akhirnya mengilhami ilmu bumi saat ini.


AFRIZAL: Bang Tri Subhi juga menjelaskan mengapa ia lebih memilih menjadikan bukunya dalam bentuk roman ketimbang buku sejarah. Karena dengan cerita, orang akan lebih paham. BOBBY: Jadi membayangkan tinggal di dalam kota bawah tanah karena apocalypse, bisa juga science fiction masuk ke genre fantasi. AFRIZAL: Sangat menarik. DWI: Berarti, bisa dikatakan bahwa sastra itu dapat menerjemahkan berbagai macam ilmu dengan penyampaian yang lebih menarik, ya. PUTRI: Ya, setuju. Padahal, tokoh-tokoh penulis juga berhasil punya buah pikiran sekeren itu dari hasil mengkhayal. DWI: Dikombinasikan dengan ilmu yang dia miliki. AFRIZAL: Ya. Sebenarnya menciptakan sebuah dunia itu sangat sulit. Bayangkan bagaimana J.K. Rowling harus membangun sebuah dunia sihir dengan segala kompleksitasnya, mantra-mantra, makhluk-makhluk, bahasa, dan lainnya. PUTRI: Ditambah lagi detail-detailnya yang membutuhkan riset. SIANTARA: Dan kebanyakan diambil dari mitos.


WULANDARI: Apakah jika mitos yang dijadikan cerita itu termasuk ke genre fantasi juga? DWI: Bukankah mitos tersebut dijadikan sebagai referensi cerita? Sehingga isinya bukan benar-benar hanya menceritakan mitos tersebut. PUTRI: Ya. Mitos itu sendiri bisa dijadikan referensi untuk membuat cerita sains fiksi, fantasi, horor, bahkan roman atau misteri. SIANTARA: Seperti Nagini dalam Harry Potter yang terinspirasi dari Indonesia. AFRIZAL: Benarkah? Dari daerah mana? SIANTARA: Kalau tidak salah dari Kalimantan. Nagini berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ular betina. PUTRI: Berarti Nagini termasuk mitologi, bukan mitos. AFRIZAL: Apa perbedaan mitos dengan mitologi? PUTRI: Mitos lebih ke peraturan atau kisah-kisah tentang asal usul, larangan-larangan, dan sebagainya. Sedangkan mitologi lebih subjektif perihal legenda atau cerita rakyat. SIANTARA: Dan Indonesia punya segudang mitos yang harusnya jadi aset para penulis Indonesia. Jadi bisa dibilang indonesia punya banyak mitologi, seperti orang hunian, Nagini, dan lain-lain.


AFRIZAL: Sepertinya karena peminat fantasi di Indonesia juga bukan ke urband legend Indonesia itu sendiri. Tapi lebih ke fantasi barat. AMARTYA: Fiksi barat lebih realistis penggambarannya, memberikan warna baru di dunia imajinasi kita. Kalau Indonesia, sudah terdoktrin sejak kecil sehingga lebih terlihat biasa saja. Apalagi cerita barat kalau sudah dijadikan film benar-benar memenuhi ekspektasi pembaca. Totalitasnya itu sampai ke detail terkecil yang terkadang luput oleh pembaca. Kalau cerita Indonesia, kebanyakan konflik yang membangun suasana di film bergenre seperti ini sering dipotong sehingga agak kurang menarik. AFRIZAL: Ya, benar. Mungkin pengaruhnya juga karena bentuk penceritaannya melalui mulut ke mulut bukan melalui tulisan. PUTRI: Ya, benar sekali. Sayangnya Indonesia belum banyak produksi karya-karya fantasi. Film Indonesia masih merintis. Kemarin sudah ada “Gundala� tapi sepertinya kurang booming. Mungkin juga karena stigma masyarakat, terlalu mengangkat mitos-mitos nantinya malah menjadi horor. SIANTARA: Tidak semua mitos itu horor. DWI: Ya, benar. Tapi penilaian tiap pembaca berbeda-beda. PUTRI: Padahal sangat berharap bisa membaca karya fantasi asli negeri sendiri yang banyak mengangkat urband legend.


SIANTARA: Coba baca Misteri AIUEO. Sepertinya penulisnya orang Indonesia, tapi mengambil cerita ke arah Eropa. PUTRI: Belakangan yang sedang hits karyanya Tere Liye yang serial Bumi. SIANTARA: Menurutku ini masih kurang. AFRIZAL: Ya, menurutu juga karya Tere Liye belum terlalu memiliki local wisdom yang kuat, hanya latarnya saja. SIANTARA: Tapi sepertinya sekarang yang sedang tren juga bacaan-bacaan horor, ya. Penulis cerita horor banyak bermunculan. Kebanyakan dari kita membaca cerita hanya sekadar ringkasan saja, apalagi ketika kita masih kecil. Banyak buku-buku cerita yang menceritakan sinopsis, coba lebih diolah pasti menarik. DWI: Apakah riset untuk menulis cerita dengan referensi mitos atau mitologi itu sulit? Mengapa? BOBBY: Karena penyebaran ceritanya dari mulut ke mulut sehingga terdapat banyak versi. PUTRI: Ya, benar. Karena mitos dan mitologi Indonesia diceritakan dari mulut ke mulut sehingga agak sulit untuk melakukan risetnya, karena cerita dari tiap orang bisa berbeda. SIANTARA: Karena berbeda itu disatukan, diracik, dan dikemas. Harusnya lebih menarik.


DWI: Mungkin takut tumpang tindih karena penjelasan dari tiap versinya ada yang berbeda jauh. AMARTYA: Tapi fantasi Indonesia yang ditulis ada aksen selain Indonesia sangat menarik untuk dibaca. Contohnya Time Travel to Majapahit. Itu menggunakan khayalan luar negeri kalau dia bisa punya mesin waktu tapi cerita sejarahnya sangat kuat ditambah fantasi. SIANTARA: Pernah baca Genderang Perang di Padang Kurusetra, itu yang menulis orang Indonesia dan keren. Dia bisa membawa kisah Pandawa Korawa menjadi apik. AMARTYA: Ini sangat keren. Tapi karena bukunya sudah lama dan covernya, jadi kurang menarik untuk dibaca generasi muda. Aku baca itu sewaktu SMP dan bahasanya juga agak sukar dipahami. PUTRI: Silver Stone karya Ardina Hasanbasri juga keren. AFRIZAL: Ada juga buku lama tentang kisah Rama dan Sinta, tapi lebih dari perspektif sisi baik Rahwana. Judulnya Rahuwana Tattwa karya Agus Sunyoto. PUTRI: Hmm, karya karya fantasi sedang redup sekarang, sepertinya kalau sekarang banyak yang membuat cerita sastra pop yang bergenre fantasi dengan membawa mitos-mitos Indonesia, anak muda akan tertarik untuk baca. AFRIZAL: Ya, benar. Salah satu yang membuat menarik itu pengemasannya.


PUTRI: Setuju. AMARTYA: Sebagai penggemar fantasi sejak lama, menurutku fantasi tidak pernah ada matinya. Tapi kalau dibandingkan dengan romance memang masih kalah jauh. AFRIZAL: Aku pernah baca komik yang peminatnya banyak karena mengangkat mitos. Judulnya 7 Wonder. PUTRI: Yang menceritakan selendang bidadari? AFRIZAL: Ya, benar. Keren, ceritanya juga kekinian.


Jumpamu

Bobby Permana Putra

Di dalam gelap ku terperangkap Dalam ruang imaji yang pengap Selalu buntu barang tak tentu Terkungkung badan dalam pikiran Hanya hitam dan putih mata melihat Langkah terhuyung tak tentu arah Ah, masa bodohlah dengan meraka Namun semakin menderita jadinya

Selarik cahaya menerpa Sorot matamu yang sayu bercahaya Selalu mengiringi hadirmu di sana Namun masihkah aku ragu juga? Benarkah engkau penyelamatnya Saat ku tenggelam dalam benakku Kau rengkuh aku dalam pelukmu Dan berbisik tuk lenyapkan raguku

Kau lemaskan segala kakuku

Sirna sudah negeri sunyiku

Walau aku baru jumpa denganmu

Karena datangnya sosok dirimu

Masihkah aku harus ragu padamu


Blueming Ainun

Kemarin, kau kembali dan bertanya "Tuan puteri mau baju warna apa?" "Hmmm, orange?!" "Okayyy!!" Kemudian, kau memberiku baju biru lengkap dengan langit yang senada sebagai seragam penghantar kepergianmu dan kau tak lagi kembali Sejak saat itu, kebiruanmu mulai membirukan semestaku Aku membiru, dan aku rindu.

ai/19.7.20

Ilustrasi oleh Ainun


Senandika Edisi Juli 2020


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.