Membingkai KAMMI, Refleksi Perjalanan dalam Kesatuan

Page 1


Membingkai KAMMI, Refleksi Perjalanan dalam Kesatuan Oleh: Alikta Hasnah Safitri Copyright Š 2014 by GarudaUNS

Penerbit GarudaUNS

Desain Sampul: Hisyam Latif

2


Ucapan Terimakasih

Untuk KAMMI Shoyyub UNS dan HMI Komisariat M. Iqbal Untuk Forum Diskusi KAMMI Kultural Untuk Abangku, Adiwena dan Kuncoro Untuk Akhi dan Ukhti Untuk Kanda dan Yunda Untukmu yang sudi membaca paradoks dalam diriku yang tak kunjung usai dalam tiga tahun ini (2012-2014)

3


Pengantar Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yang saya putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status sebagai mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya menjadi wadah untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat menempa kedewasaan diri, kawah candradimuka yang menguji matang/tidaknya pola pikir dan pola sikap, serta rumah singgah yang mengantarkan saya menemukan sahabat sejati. Buku ini tak hadir dengan perencanaan yang matang. Ia hanya menghimpun kumpulan kegelisahan yang saya tuliskan secara bebas dalam blog pribadi selama tiga tahun terakhir. Begitu labil, emosional, dan penuh paradoks. Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun tulisan yang terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat besar untuk membaginya secara massif ke hadapan pembaca sekalian. Tulisan ini adalah cermin untuk berkaca pada masa lalu yang penuh inkonsistensi, menyadarkan saya bahwa proses ini belumlah usai, dan mungkin tak akan pernah selesai. Dengan berbagi, saya berharap hati saya menjadi lapang untuk membuka ruang penerimaan. Sekaligus, membuka ruang kritik dan koreksi untuk memperbaiki kualitas diri. Tak dapat saya berkata banyak. Semoga Alloh swt menunjukkan kita ke jalan-Nya yang lurus. Surakarta, 29 November 2014 Alikta Hasnah Safitri

4


Daftar Isi Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah Refleksi 7 Karena Kita Adalah KAMMI 21 Mencari Jalan Pulang 27 “Ya, Memang Beginilah KAMMI..� 33 Refleksi 15 Tahun Kelahiran KAMMI dan Reformasi : Antara Tuntutan, Realita, dan Harapan 37 Merayakan Keberagaman KAMMI 42 Merajut Benang-Benang Epistemologi Paradigma Gerakan KAMMI 48 Korupsi dan Budaya Jawa 70 Jelang Satu Periode 76 Mencermati Pelabelan Kultural-Struktural dalam Tubuh KAMMI 80 Belajar dari Kunjungan ke KAMMI UNY 85 Membingkai Potret Pengkaderan KAMMI: Sebuah Harapan Mencetak Kaderisasi Mandiri dalam Tubuh KAMMI 88 Pseudo-independence KAMMI 102 Alternatif Dauroh Khas KAMMI UNS 107 Model Kaderisasi Integratif KAMMI UNS 114 Merumusan Platform Kader Siyasi Kampus UNS 122 Tentang Aksi KAMMI Esok Hari 130

5


Sekolah Rakyat Tan Malaka dan Kaderisasi Gerakan Mahasiswa Hari Ini 133 Self Assessment Dauroh Marhalah 1 KAMMI 138 Melampaui Konflik dalam Kesatuan 143 Basis Massa Atau Basis Kader? 148 KIDS dan Satu Generasi Muslim yang Kita Pertaruhkan 153

6


Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah Refleksi Hal yang menarik ketika kita bicara tentang ‘intelektual’ adalah karena dengannya kita seolah dipaksa untuk berkaca di depan album waktu yang kita beri nama ‘sejarah’. Dalam studi sejarah, Arnold Toynbee mengemukakan adanya recurrent pattern atau kecenderungan berulangnya suatu pola dengan beragam variasinya. Apakah kecenderungan ini pun berlaku ketika memperbincangkan intelektual Indonesia dari masa ke masa? Tentunya, ini akan menarik bila kita telaah bersama. Namun, saya tidak akan membuat cerita ini menjadi panjang dengan membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya hanya akan membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan pikiran saya yang sederhana. Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya nasional mencatat kaum terpelajar dalam dinamika masyarakatnya memang amat menonjol. Bahkan terlihat sejak menjelang akhir abad ke-19 dengan tampilnya sejumlah kalangan terpelajar yang melakukan kritik pedas terhadap pemerintahan kolonial. Tidak sedikit diantaranya malah yang sudah berani mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan. Perlawanan menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh mereka yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.[1] Pada 16 Oktober 1905, seorang saudagar batik asal Kampung Batik Laweyan bernama Hadji Samanhoedi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi modern berasas Islam pertama di Hindia Timur, yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya organisasi pergerakan lain di Indonesia. Selain memperdalam ilmu agama pada Kyai Djodjermo di Surabaya,

7


semasa kecil ia juga mengenyam pendidikan di Inlandsche School dan Eerste Inlandsche School. Ini membuktikan bahwa Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang pengusaha yang memegang teguh Islam, tetapi juga seorang pejuang intelektual Islam yang anti terhadap segala bentuk penjajahan. Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo, murid STOVIA yang sering dikenal sebagai pelopor wartawan Indonesia. Ia senantiasa melakukan kritik pedas terhadap pemerintah kolonial melalui Medan Prijaji. Meskipun surat kabar tersebut bernama Medan Prijaji, surat kabar tersebut tidaklah dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Malah, ia yang sebelumnya mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi bagian dari Boedi Oetomo menulis: Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini memang memuat maksud yang begitu[2], akan tetapi antara maksud dan kesampaiannya maksud itu masih ada ruang lebar‌ tetapi yang demikian juga tak dapat diharapkan, sebab anggota Boedi Oetomo juga ingin berumah yang patut dan penghidupan senang, hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan yang baik, biar di kandang gubermen, biar di halaman partikulir�[3] Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus mengalami pembuangan ke Lampung. Namun, di masa pembuangannya pun ia tak pernah berhenti menulis karangankarangan yang bertujuan membela rakyat kecil serta melawan praktik buruk dari pemerintah kolonial setempat. Apa yang dialami oleh Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi pulau buru-nya yang terkenal itu. Termasuk juga kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco, serta Hadji Misbach. Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada tahun 1915 dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Salah satu tulisannya yang dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul Sroean Kita

8


mengundang ragam kontroversi. Ia menyindir umat Islam yang kaya namun enggan bersedekah, juga umat Islam yang memiliki ilmu agama namun enggan mengajarkannya pada bangsanya, malah mereka gunakan untuk menipu bangsanya sendiri. “..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus dengan tipu daya orang yang mengisep darah kita.. itulah sebabnya kita kaum muslim harus melawan dengan sekeraskerasnya.. contohlah bergeraknya jujungan kita Kanjeng Nabi Muhammad saw yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takut sakit mati untuk melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita BINASAKEN!”[4] Tulisan tersebut menjadi semangat dan gairah keberagamaan yang baru. Agama tidak lagi menjadi anjuran beramal shalih yang diterjemahkan hanya sebagai ibadah ritual, tetapi mampu menjadi alat melakukan transformasi sosial. Selanjutnya, Hadji Misbach terus berusaha melakukan propaganda dan memimpin beragam aksi pemogokan. Langkahnya semakin masif setelah ia bergabung dengan Sarekat Islam.[5] Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang sama dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat propaganda melalui tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo: “…Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa… “Orang Jawa bodoh”, kata Tuan, “Sudah tentu saja, memang pemerintah sengaja membikin bodoh kepadanya. Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya untuk orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita Nederland?”[6]

9


Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa primitif, kotor, dan terbelakang inilah yang menjadi pembenaran bagi kaum penjajah melanggengkan kekuasaannya di tanah Hindia. Hal ini juga yang membuat kaum terpelajar kita kala itu ‘menjauh’ dari akar masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak ingin dikategorikan sebagai kaum kromo yang primitif, kotor, dan terbelakang. Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max Havelaar menulis bagaimana dogma agama menjadi pembenaran bagi Belanda menjajah bangsa Hindia dalam ceramah yang dilakukan oleh Blatherer. “Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera Hindia, dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra yang sangat terkutuk-Nuh yang mulia[7], yang menemukan rahmat di mata Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan mereka merangkak di sekitar sarang ular berhala yang menjijikan-di sana mereka menyembah kepala hitam, keriting di bawah penindasan pendeta egois! Disana, mereka berdoa kepada Tuhan, memohon pada nabi palsu yang merupakan kebencian di dalam pandangan Tuhan…”[8] Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang ia klaim harus mereka lakukan guna menyelamatkan ‘para penyembah berhala miskin’, yang di dalam salah satu poinnya berisi: “Memerintahkan masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan dengan cara bekerja.” Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka resah. Belanda memang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi untuk belajar (berhitung dan baca tulis), akan tetapi tujuan pendidikan itu pun hanya mendapatkan buruh dengan upah rendah. Tan yang resah kemudian mendirikan ‘Sekolah Rakyat’[9] bersama SI Semarang. Sekolah ini tak hanya

10


mengajarkan pada para muridnya agar memiliki keterampilan untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga menanamkan kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan dan penindasan. Begitulah, kaum intelektual di zamannya mentransformasikan ide dan gagasan yang mereka yakini dalam praksis kehidupan berbangsa. Memang, ada saat dimana terjadi pertentangan ide dan gagsan hingga menyebabkan konflik, baik konflik ideologis maupun politis, akan tetapi yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para cendekiawan kritis masa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya, pada rapat di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya. SI pun pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang dengan sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya bergerak di dalam agama. Konflik antara Semaoen dan HOS Tjokroaminoto pernah terjadi, namun Semaoen memilih diam dan Tjokro pun menganggap kelakuan Semaoen sebagai bentuk gejolak kaum muda. Pun, konflik itu pernah terjadi antara kubu Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang lebih memilih berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta HattaSjahrir yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) yang berasas sosialis. Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti sampai disana, generasi tua yang memegang tampuk pemerintahan pasca proklamasi kini diimbangi dengan gerakan kaum muda. Inisiatif brilian itu dilakukan jelang dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 5 Februari 1947 ketika pemuda Lafran Pane memprakarsai berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya dengan realitas kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup di masa tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari upaya HMI guna turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain realitas kebangsaan,

11


kehadiran HMI terkait pula dengan realitas keagamaan dan kemahasiswaan, dimana agama Islam saat itu tidak dilaksanakan secara konsisten oleh umat Islam sendiri, terutama mahasiswa. Lafran Pane, bersama kawan-kawannya di UII, melihat pentingnya kembali menegakkan ajaran Islam di kalangan mahasiswa, seperti sholat tepat waktu, dan lain-lain. Dalam perkembangan selanjutnya, HMI secara aktif terlibat dalam melakukan pengkaderan generasi muda bersama PMII dan IMM (yang lahir setelahnya), serta beberapa organisasi mahasiswa lain seperti GMNI, PMKRI, CGMI, dan lain-lain. Sependek referensi yang pernah saya baca, saya akhirnya mengenal beberapa ‘intelektual’ yang hidup di zaman pasca kemerdekaan. Mereka menuliskan sepenggal perjalanan hidupnya lewat catatan harian. Diantaranya, Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran), dr.Sulastomo (Hari-Hari yang Panjang 1963-1966), serta Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran Islam). Ketiga orang tersebut jelas adalah mahasiswa. Gie adalah mahasiswa Ilmu Sejarah UI yang berafilisasi terhadap PSI. Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang juga merupakan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966. Ahmad Wahib adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UGM yang juga merupakan kader HMI. Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita simak dengan jeli bagaimana mereka sebagai mahasiswa memandang berbagai persoalan yang terjadi di pada tahun yang diklaim bersejarah bagi gerakan mahasiswa di Indonesia (yang katanya) menumbangkan kekuasaan tiran, yakni tahun 1965 ketika meletus peristiwa G-30 September. Saya tidak akan mengulas lebih lanjut mengenai peristiwa itu. Akan tetapi, ternyata ada hal menarik yang terjadi pada persepsi Sulastomo dan Arief Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut.

12


Arief Budiman mengatakan bahwa pada 1965/1966 mahasiswa sebenarnya bukanlah kekuatan yang independen. Ia menekankan agar mahasiswa tak berilusi bahwa orde baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi ya, hanya ilusi saja, dan tidak benar. Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu adalah pertarungan antara ABRI melawan PKI dengan gerakan mahasiswa sebagai ujung tombak. Mahasiswa sendiri tidak mungkin bergerak tanpa dukungan ABRI. Oleh karena itu, kemenangan mahasiswa ketika itu sebenarnya merupakan bagian kecil dari pertarungan yang lebih besar dan mungkin tidak kelihatan.[10] Sulastomo secara bijak menanggapi pendapat yang Arief Budiman katakan, “Sekali lagi memang salah apabila ada anggapan Orde Baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tetapi juga tidak betul apabila mahasiswa digambarkan tidak berperan apaapa. Sebab, kekuatan Orde Baru adalah kekuatan rakyat yang sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI, pemuda, dan lain-lainnya. ABRI berperan besar dan menjadi pelopor adalah benar. Tetapi memfokuskan persitiwa 1965/66 hanya pada pertarungan yang besar antara PKI dan ABRI, dapat menimbulkan interpretasi yang mungkin lain, yang mungkin juga kurang menguntungkan.�[11] Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general kemelut dan pertentangan garis politik yang terjadi di antara organisasiorganisasi mahasiswa jelang persitiwa 30 September 1965: Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat OrganisasiOrganisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).[12]

13


Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di film Gie yang mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar organisasi mahasiswa tersebut, kemudian bersatunya mereka saat berusaha menumbangkan kekuasaan Orde Lama. Namun, yang patut kita cermati lebih lanjut adalah adegan saat Gie bertemu kawannya yang telah menjadi anggota dewan pasca lahirnya Orde Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi lahirnya calon borjuis kecil yang diam-diam membina hubungan intim dengan pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek, akhirnya idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi kepatuhan pada kenikmatan dan kemegahan. Gagasan demokrasi kemudian dibunuh oleh para pejuangnya. Anak-anak muda yang dulu antusias mengutuk rezim Soekarno duduk antusias di kursi parlemen, berkoalisi menguras lebih dalam kekayaan bangsa untuk kantong pribadi bersama rezim baru yang kini berkuasa. Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974, praktis ruang gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra kampus mengalami pengebirian yang luar biasa. Dampaknya, kampus menjadi tempat yang steril dari kegiatan politik mahasiswa, dan semata difungsikan sebagai lembaga pengkajian akademis. Kelesuan aktivisme mahasiswa yang terjadi menyebabkan munculnya pola-pola gerakan baru yang berkembang dalam kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan mahasiswa Islam. Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang telah ada sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2) kelompok mahasiswa Islam yang bersentuhan dengan pemikiran Islam kiri, serta 3) munculnya aktivitas keislaman berbasis masjid-masjid kampus. Fenomena gerakan yang berbasis masjid kampus ini dimotori oleh seorang tokoh HMI bernama Imaduddin Abdulrahim. Melalui beliau, gerakan ini mengakar ke seluruh kampus di Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya

14


FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus). Telah beberapa kali dilangsungkan pertemuan FSLDK guna membahas khittah LDK agar tercipta kesamaan pemahaman dan kesamaaan arah dalam melaksanakan strategi dakwah kampus, hingga pada FSLDK Ke X di Malang para Aktivis Dakwah Kampus tersebut menyadari perlunya respon terhadap kondisi perpolitikan nasional yang begitu memprihatinkan. Selepas acara, dideklarasikanlah kelahiran Front Aksi yang disepakati bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada 29 Maret 1998. Pada muktamar nasional pertama pada tanggal 1-4 Oktober 1998 dimulailah era baru bagi KAMMI, yakni perubahan statusnya sebagai front aksi menjadi ormas yang permanen. Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan penuh kebanggaan bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah reformasi ternyata gerakan mahasiswa belum berhasil membangun mimpinya akan sebuah negara yang ideal. Gerakan mahasiswa berubah atributnya menjadi gerakan moral, masa kepahlawanan selesai, ada sisi yang hilang karena ketidakmampuan gerakan dalam menggalang massa. Gerakan mahasiswa menjadi kebingungan membawa peran, saat mereka pulang kandang ke kampusnya, mereka punya aturan-aturan baru, namun kampus ternyata lebih dahulu membuat aturanaturannya sendiri. Ide-ide para ‘pahlawan reformasi’ ini pun tidak hidup. Konsep tanpa prinsip dan uang ternyata tak bisa terealisasi. Ide mahasiswa menghantam kekuatan yang jauh lebih besar. Wujud eksperimentasi gerakan mahasiswa dengan corak kirikanan yang menggaungkan politik progresif pun digempur militer. Habislah intelektual kampus. Mereka yang pintar akan masuk ke dalam birokrasi, sementara yang radikal akan tersingkir. Mulai tahun 2001-2002, tradisi intelektual menjadi menurun. Disisi lain, masyarakat mulai meragukan efek reformasi

15


sebab demokrasi nyatanya tak menjamin apa yang dulu dijamin oleh Soeharto (meski diberikan dengan hutang luar negeri). Gerakan Mahasiswa pun hanya hidup saat pergantian kepengurusan, pelantikan, dan diskusi. Kita pun kian terjebak, antara keinginan untuk melakukan pemberontakan atas tatanan dan ketidaktahuan merumuskan alternatif. Mungkin karena itu kebanyakan kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling realistis: mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya. Lantas, peran apa yang mestinya diambil oleh para intelektual hari ini? Izinkan saya mengutip Manhaj Kaderisasi KAMMI 1427 H, sebagai berikut: Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau termakan agenda orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak sebagaiwatch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini. Kompetensi dasar atas itu merupakan wujud dari pengokohan gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada pemecahan masalah umat dan bangsa. Menjadi proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abai terhadap permasalahan, kemudian menjadi permisif dan enggan turun tangan. Kaum intelektual wajib menjunjung tinggi dasar ilmiah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pilihan sikapnya. Pers pernah menjadi alat perjuangan yang mematikan guna melawan kaum penjajah, saat ini pers berubah menjadi penjajah baru yang mematikan intelektualitas dan moral bangsa, kaum intelektual muda memiliki tanggung jawab yang besar

16


untuk membuat arus baru pers yang mencerdaskan. Ragam organisasi pernah didirikan sebagai bentuk ijtihad para founding fathers guna mewujudkan cita-cita besar kemerdekaan Indonesia (dan mereka berhasil), kaum terdidik kita hari ini pun memiliki organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama (Indonesia yang lebih baik), maka pendidikan kader dan penanaman ideologi yang persisten dan konsisten mesti kita jaga dan tanamkan baikbaik, disamping turut andil berbuat dan berkarya untuk menjadi solusi permasalahan umat dan bangsa. Jumlah perguruan tinggi hari ini semakin banyak. Pertemuan mahasiswa semakin mudah, tukar menukar gagasan pun semakin mudah. Yang perlu kita ciptakan adalah momentum dan kesempatan mengambil peran. Sebelum menuju kesana, yang perlu kita perhatikan benar adalah memulihkan kembali kepercayaan publik pada gerakan mahasiswa. Produksi ide kita harus lebih banyak, harus lebih autentik dan genuine. Bukan berdasar kata senior ataupun pendapat mainstream para ilmuwan sosial yang kini lebih memilih menjadi ‘pelayan pembangunan’ ketimbang penggerak perubahan. Gerakan pemuda harus mengakar pada kebutuhan rakyat, dan kita hanya akan bisa mengerti apa yang diinginkan rakyat manakala kita mengidentifikasi diri sebagai rakyat, bukan bagian terpisahkan yang menempatkan diri dengan narsis sebagai agent of change, agent of social control, iron stock, moral force, dan lainlainnya. Sebutan langitan ini membuat mahasiswa berada pada posisi yang berbeda dengan rakyat secara umum, ‘merasa’ lebih intelek-lah, lebih rasional-lah, lebih inilah, itulah. Karena mahasiswa adalah rakyat, maka tiap langkah yang kita ayun, tiap jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita torehkan, merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan bernama rakyat.

17


Kita menyadari inferoritas kita ditengah superioritas mitologi yang membangun kerangka diri kita selama ini, menyadari sepenuhnya bahwa sebagai rakyat kita memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mudahmudahan dengan menghidupkan kesadaran ini, tidak akan lagi terjadi dikotomi yang terbangun antara diri dengan rakyat, sebab kita sendiri pun harusnya menempatkan diri sebagai bagian inheren dari rakyat, tanpa menafikan kapasitas keilmuan yang kita miliki secara teori maupun praksis yang kita dapat di perguruan tinggi. Pada akhirnya, selain mengidentifikasi diri sebagai bagian kolektif dari rakyat, tak bisa tidak, kita mesti mengidentifikasi diri sebagai individu, sebagai pribadi. Sebagai pribadi, kita bisa berkaca pada Hadji Misbach yang menggaungkan semangat perlawanan pada kekuasaan yang menggurita atas nama Tuhan. Kita bisa berkaca pada Tan Malaka yang membangkang terhadap otoritas pendidikan di zamannya dengan membuat sistem pendidikan yang memerdekaan, merakyat, dan membebaskan. Kita bisa berkaca pada RM Tirtohadiserjo yang menolak kemapanan sistem dan memilih bergerak dengan kekuatan pena. Apabila kita tak merasa nyaman dengan mengidentifikasi pada sosok-sosok tersebut, yakinlah bahwa kita bisa memainkan peran kita sendiri, tanpa menunggu naskah maupun skenario dari sutradara. Mengambil peran adalah kebutuhan tak terbantah bagi mereka yang mengaku sebagai kaum intelektual! Akhirul kalam, Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang lurus Ya Tuhan kami..

18


Sumber Bacaan: Islam, R. J. (2013, November 15). Jejak Islam untuk Bangsa. Retrieved Oktober 4, 2014, from Hari-Hari Terakhir Hadji Samanhoedi; Pejuang yang Ter(Di)Lupakan: http://www.jejakislam.net/?p=225 Multatuli. (2008). Max Havelaar. Jakarta: Penerbit Narasi. Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin. Yogyakarta: Resist Book. Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim. In C. N. Saluz,Dynamics of Islamic Student Movements (pp. 77-103). Yogyakarta: Resist Book. Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana Lintas Kultural. In Kebebasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda.Jakarta: Pustaka Republika. Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka LP3ES. Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika Masyarakat, Sebuah Refleksi. In Kebebeasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda (pp. 60-74). Yogyakarta: Pustaka Republika. _______________________________ [1] Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat [2] maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme [3] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180 [4] ibid, hal 189 sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 19121926 hal 181

19


[5] Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar dengan kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis Indonesia. Ini pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah, bukan dihilangkan karena dianggap sebagai aib. [6] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189 [7] Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh yang enggan mengimani risalah yang dibawa ayahnya. [8] Multatuli, Max Havelaar halaman 165 [9] Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama “Sekolah Kerakyatan�. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan dengan nama tersebut karena orientasi pendidikannya berakar pada permasalahan dan kebutuhan rakyat. [10] Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115 [11] Ibid, hal 121 [12] Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85

20


Karena Kita Adalah KAMMI Apa yang pertama rekan rasakan saat pertama kali terlibat dalam suatu aktivitas da’wah? Barangkali yang akan muncul dalam benak rekan sekalian ketika pertanyaan sederhana ini saya lontarkan adalah sebuah kenangan manis bercampur getir yang rekan alami di awal mula perkenalan dengan da’wah ini. Akankah sebuah senyuman yang tergurat di wajah sebab merasakan bahagia dan syukur teramat karena telah diberi kesempatan mengenal dien yang kita cintai bersama ini? Ataukah, sebuah emosi yang tertahan jauh di dalam jiwa seketika terpantik untuk menyala, manakala teringat bahwa keterlibatan kita disini murni bukanlah atas dasar keikhlasan serta ketundukan hati, melainkan paksaan dari kakak tingkat atau murobbi. Tentunya, akan ada banyak ekspresi lain yang akan terjabarkan ketika kita kembali mengingat awal mula menapaki perjalanan kita yang masih teramat panjang ini, dan pastinya akan ada lebih banyak ekspresi yang tersirat dalam gurat wajah ketika kita tengah menempuh perjalanan ini. Bias getir air mata? Kekecewaan yang parah? Rona pias manakala genting menyapa? Setiap kenangan yang terhampar menyisakan jawaban atas pertanyaan. Dan setiap jawaban akan menciptakan satu pertanyaan baru lagi untuk dijawab. Demikianlah da’wah mengajarkan pada kita, bahwa jalan ini amat sangat panjang dan berat, boleh jadi malah tak berkesudahan.

21


Saya mengenal KAMMI jauh sebelum saya menginjakkan kaki saya di kampus. Waktu itu, saya masih anak kecil polos dan lugu yang memproklamirkan diri sebagai Aktivis Dakwah Sekolah. Bukan karena saya berada di kota besar serta saya mengetahui langkah dan gerak perjuangan KAMMI maka saya terobsesi. Bukan, bukan itu. Bahkan, yang saya ketahui tentang KAMMI sangatlah jauh pucuk dari akar. Mendengar KAMMI pun hanya lewat kisah dan cerita singkat murobbi mengisahkan perjuangan yang dulu dilalui hingga akhirnya da’wah dikenal dan tak lagi terkesan eksklusif dan saklek. Selebihnya, saya tak tahu dan tak mau tahu. Bagi saya, KAMMI tak lain hanya sebuah wajihah dakwah. Ia memiliki kedudukan dalam taraf yang sama dengan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) maupun forum-forum lain yang bergerak dalam

spesialisasinya

masing-masing,

entah

di

bidang

kepenulisan maupun sosial. Dan saya yakin, tentu saja masih banyak wajihah dakwah lain yang terhampar dan menanti kontribusi dari saya. Awalnya, tak ada niat sedikit pun untuk bergabung dengan KAMMI. Alasan saya cukup jelas kala itu. Begitu mengetahui kepanjangan dari nama KAMMI, yakni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Saya langsung antipati dan menolak segala bentuk hal yang berhubungan dengannya karena satu suku kata itu, AKSI. Barangkali rasa antipati ini muncul sebab trauma mendalam karena aksi pertama yang saya ikuti saat SMA (saat itu saya mengikuti aksi kepedulian untuk Palestina dengan memboikot produk-produk Yahudi laknatullah). Karena hal itu,

22


esoknya guru Kewarganegaraan di SMA saya menyindir habishabisan tindakan aksi yang saya ikuti dengan tak lupa sedikit ‘mendelik’ ke arah saya. Saat itu saya baru kelas 1 SMA, benarbenar drop, down, mati kutu, apapun namanya itu. Dengan adanya kata AKSI itu, saya memasung sama sekali keinginan saya untuk bergabung dengan KAMMI. Cukuplah saya memberikan kontribusi saya untuk dakwah di LDK di kampus manapun saya berada nantinya, begitu pikir saya. Semakin menguatkan pemikiran saya kala itu, saya pun membuat dalih macam-macam dalam otak saya: “Memangnya kenapa kalau saya tidak ikut KAMMI? Toh, bukan KAMMI yang saya junjung tinggi. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang wajib saya bela sampai mati.” Jadi, meskipun ketika itu murobbi berkisah lagi tentang KAMMI, atau ketika mbak dan mas saya yang lebih dulu melanjutkan studi ke perguruan tinggi mengatakan bahwa mereka masuk dan bergabung bersama KAMMI, saya kukuh dan kokoh, tak tergoda. Sampai di suatu kesempatan, saya bertanya pada seorang kakak yang saya kenal baik sejak SMA. “Mbak, kenapa memilih KAMMI, bukan organisasi mahasiswa lain?” Dari hasil diskusi dengan beliau, saya pun belajar dengan menyimpulkan. “Ya. KAMMI tak lain memang hanyalah sebuah wajihah dakwah. Namun dengan menunjukkan kata “hanya”, tak berarti ia

23


tak memiliki arti penting dalam perjuangan dakwah ini. Berada di dalamnya pun bukanlah suatu perkara yang mudah. Tak seperti di Lembaga Dakwah Kampus maupun organisasi mahasiswa internal lainnya yang memiliki suplai kader berlimpah, KAMMI memiliki kader aktif yang relatif sedikit. Saat berada di KAMMI akan menjadi sangat membosankan. Sedikit yang kita dapatkan, namun begitu banyak yang harus dikorbankan. Melelahkan, karena ia menuntut begitu banyak perhatian dari kita. Menyebalkan, karena tak semua orang didalamnya sejalan dengan pemikiran. Bahkan menakutkan, lantaran resiko besar yang siap menghadang kapan saja.� Setelahnya, bukannya saya semakin termotivasi untuk tetap meneguhkan pendirian saya dengan menolak KAMMI dalam hidup saya. Malah saya semakin kagum dengan keberjalanan wajihah dakwah yang satu ini. Nyatanya, dengan segenap problematika yang ada. Dengan minimnya suplai kader dan dana, dakwah KAMMI tetap eksis dalam kancah perpolitikan mahasiswa hingga sekarang. Ia tetap kokoh berdiri meski ribuan tangan berusaha merobohkannya. Bahkan dari rahimnya senantiasa lahir sosoksosok pemim pin yang teguh membawa misi juang sebagai ‘Director of Change’. Jika diibaratkan, maka KAMMI tak lain adalah sebuah perahu yang berlayar di atas samudra kehidupan. Sedang kita yang berada didalamnya, masing-masing adalah nahkoda serta awak kapalnya. Apakah kita hendak mengikuti aliran arus kemanapun ia membawa kita tanpa perlu bersusah payah mendayung, ataukah kita hendak membawa bahtera ini melawan

24


dinamika arus yang ada dengan mengokohkan eksistensi kita lewat dayungan dari tangan-tangan yang kokoh serta hati-hati yang tangguh? Akankah

jika bahtera kita terhempas ombak dan

menabrak karang yang kokoh hingga terjadi chaos padanya kita akan menyerah dan rela menceburkan diri ke laut untuk menyelamatkan diri, ataukah kita tetap berada didalamnya dengan menanggung segala resiko yang ada? Ya, semua kembali pada kita. Maukah kita berada di dalamnya atau tidak. Semua bergantung pada kemauan kita. Toh, seperti yang saya katakan di awal tadi. KAMMI bukanlah satu-satunya wajihah dakwah. Dan kini, disinilah saya berada. Baru beberapa bulan memang. Ya, baru sebentar. Belum ada

getar-getar

aneh

pertanda

cinta

yang

menggebu

didalamnya. Meski demikian, ada amarah yang bergemuruh di dada manakala orang lain mengatakan hal yang buruk tentang KAMMI. Katanya, KAMMI ini lah, itu lah. Saya yakin, pasti rekan semua lebih tahu dari saya pribadi. Namun, seperti kata Imam Hasan Al Banna dalam Bainal Amsi Walyaum (Antara Kemarin dan Hari ini) “Setiap pemerintahan akan membatasi gerak langkah kalian serta menaburkan duri-duri di jalan yang kalian tempuh.

25


Para perampas akan berjuang dengan segala cara untuk menyerang dan memadamkan cahaya dakwah kalian. …… Semua orang akan menaburkan debu-debu keraguan di sekitar dakwah kalian dan melancarkan tuduhan-tuduhan tak beralasan kepadanya. Mereka akan berusaha untuk mencari-cari setiap kekurangan di dalam dakwah kalian serta mengeksposnya kepada khalayak ramai setelah dimanipulasi seburuk mungkin dengan bantuan kekuatan dan kekuasaan mereka, berbekalkan harta dan pengaruh yang mereka miliki. ‘Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulutmulut mereka, padahal Allah akan menyempurnakan cahayaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.’ (Ash-Shaff:8) …… Namun, Allah SWT menjanjikan bahwa setelah itu semua berlalu. Akan ada pertolongan bagi para mujahidin serta pahala bagi orang-orang yang bekerja secara ihsan. Maka Akankah Kalian Tetap Tegar Menjadi Pembela Agama Allah? Saya menjawab seruan ini, rekan. Dan saya pastikan, anda pun demikian. Karena saya adalah KAMMI. Karena anda adalah KAMMI. Karena kita adalah KAMMI.

26


Mencari Jalan Pulang Mengapa aku mencintai KAMMI? Pertanyaan ini sering terbersit dalam benak saya tanpa pernah saya coba temukan jawabnya secara pasti. Entah, apakah karena cinta itu tak pernah ada, atau karena saya masih yakin sepenuhnya bahwa cinta tak butuh alasan, atau karena tertutupi oleh sekian baris daftar kekecewaan yang saya rasakan selama menjadi bagian dari barisan ini? Beberapa orang mengatakan mereka mulai jatuh cinta pada KAMMI sejak mengikuti Dauroh Marhalah 1. Saya? Ah, tidak sepertinya. Dauroh Marhalah 1 (DM1) tak memberi kesan yang mendalam bagi saya. Bukannya saya tak memperhatikan, sungguh, saya mencoba berkonsentrasi, memperhatikan setiap detik pemaparan materi, berusaha menyelesaikan tugas dengan baik, berusaha sepenuhnya menjalankan setiap ketetapan maupun peraturan yang digariskan oleh panitia. Nyatanya? Saya gagal menyimpulkan satu ketetapan yang pasti bahwa saya jatuh cinta pada KAMMI setelah mengikuti DM 1. Saya belum menyerah. Saya lemparkan pernyataan pada diri saya kembali, sekadar untuk meyakinkan. “Mungkinkah kau jatuh cinta sejak mengikuti ICES-Islamic Civilization Engineering School-Sekolah Rekayasa Peradaban Islam?� Saya ragu untuk menjawab. Berfikir sedemikan panjang untuk menjawab. Namun kembali harus dihadapkan pada jawaban jujur yang tak memuaskan : Tidak.

27


Bukan, tentu bukan karena ICES. Saya rasakan forumforum yang kering dari nilai-nilai intelektualitas, miskin diskusi dan dialektika, sekadar ceramah satu arah, Tanya jawab, lalu selesai. Diskusi yang tak diimbangi dengan diskursus dan bacaan komprehensif serta ketidakjelasan materi, yang sekali lagi membuat saya kecewa karena dari sekian banyak buku yang saya baca, tak ada satu pun yang dijadikan landasan dalam berdialektika. Saya coba maklumi itu. Saya coba pahami bahwa inilah kesatuan. Kesatuan pandang dalam menyikapi masalah. Kesatuan arah dalam memandang persoalan. Dan kesatuan gerak dalam menjawab tantangan kehidupan. Ya, karena ini barisan yang bersatu. Karena inilah yang disebut Kesatuan. Maka mulailah saya coba mencari alasan itu. Jawaban dari pertanyaan “Mengapa” yang normalnya dijawab dengan kata “karena bla bla bla ”. “Karena KAMMI adalah organisasi yang komprehensif.

Lengkap

dengan

gerakan

dakwah

tauhid,

kemamapanan intelektual profetik, aktif berkontribusi secara langsung dalam ranah garap sosial, hingga terjun langsung dalam pergulatan politik praktis di kampus.” Ujar saya mantap ketika salah seorang teman di Lembaga Dakwah Kampus menanyakan “Kenapa anti semangat banget di KAMMI ukh?” Benar begitu? Ah, jawaban itu tak bertahan lama. Karena pada kenyataannya, saya kembali merasa kecewa pasca didaulat menjadi salah satu staff dalam jajaran kepengurusan KAMMI komisariat Shollahudin Al Ayyubi UNS. Kecewa bukan main. Karena harapan tak sesuai kenyataan? Ya. Karena saya harus menghadapi ketidakidealan disetiap sisi? Ya.

28


Meskipun pada kenyataannya, sebagai pengurus belum banyak yang bisa saya berikan. Bahkan barangkali tak pernah benar-benar saya hadirkan hati dan totalitas kesungguhan dalam setiap aktivitas, sungguhpun betapa keras saya meyakinkan diri saya bahwa ini normal. Wajar. Tak jadi soal. Semua baik-baik saja. Saya tak mengatakan bahwa kinerja KAMMI payah. Tak begitu. Saya rasakan betapa KAMMI tetap berusaha untuk bercokol, berusaha untuk tetap eksis dengan memberikan sumbangsih dalam ranah garap sosial, intelektual, maupun pembelajaran politik baik secara teoritis maupun praktis, tak sebatas aksi ‘parlemen jalanan’ semata. Jauh lebih berarti dari sekedar mereka yang sibuk bernyanyi dengan nada-nada sumbang dalam upaya destruksi pemikiran, pemandulan kerjakerja intelektual dan taktis, bahkan hanya sibuk cari massa dan cari sensasi. Saya hanya rasa ada yang kurang pas. Mungkin saya salah. Mungkin semua baik-baik saja. Mungkin saya yang tak baik-baik saja. Mengapa aku mencintai KAMMI? Belum juga terjawab. Maka saya lakukan sebuah proses pencarian panjang yang bahkan sampai saya selesai menuliskan tanda titik di akhir tulisan ini, belum bisa saya temukan jawabnya. Atas ajakan seorang teman, jelang detik terakhir semester pertama, saya putuskan mengikuti Latihan Kader 1 HMI dengan mendapat predikat yang sangat memalukan: TIDAK LULUS. Predikat ini sama sekali tak membuat saya jera, malahan saya

29


semakin antusias dan bergairah. Mulailah saya rutin mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan komisariat, membaca buku-buku yang sering dijadikan referensi oleh Kanda-Yunda saya, mengikuti alur berpikir mereka yang bebas, merdeka, tanpa sekat. Sungguh menyenangkan. Saya semakin tertarik. Mungkin atas dasar hasrat anak muda yang selalu ingin cari hal-hal baru. Entahlah, tak tahu. Mengalir saja seperti itu. Maka saya biarkan diri saya larut dan hanyut mengkomparasikan pemikiran-pemikiran Yusuf Qardhawi dan Mukti Ali. Mulai rajin searching e-book Nurcolis Madjid, Dawam Raharjo, dan Djohan Efendi yang notabene selalu dikaitkan dengan JIL. Meskipun, di sisi yang lain selalu disodori buku Fathi Yakan: Robohnya Dakwah di Tangan Da’I dan buku Ust Eko Novianto, Sudahkah Kita Tarbiyah? Saya sering merasa lelah dan galau, marah dan sedih, jengkel dan kecewa, meski terkadang ada rasa asyik yang menggairahkan saat saya temukan banyak hal baru dalam petualangan saya ini. Beberapa teman mulai katakan saya pengkhianat, selingkuh, dualis, dan lain sebagainya, saya tetap berpura-pura cuek dan lakukan rutinitas saya sebagai pengurus di KAMMI tanpa rasa bersalah. Tetap berusaha profesional dan persembahkan totalitas kerja untuk membuat jantung KAMMI yang bernama Kaderisasi ini berdetak—meski tak banyak yang bisa saya lakukan. Enam bulan berselang, tak ada tanda yang pasti bahwa saya akan akhiri pencarian ini. Saya masih asik masyuk dengan dialektika yang saya lakukan terhadap diri saya sendiri. Sibuk menandingkan pikiran ustadz ini dengan syekh itu. Lakukan

30


destruksi besar-besaran pada konsepsi soal ketuhanan dan kemerdekaan dengan menyandingkannya dengan konstruksi pada landasan dakwah tauhid dan konsep al qiyadah wal jundiyah. Penat. Pusing. Pada akhirnya, saya tetap turuti dorongan yang begitu bergemuruh dalam dada untuk kembali menjajal mengikuti Latihan Kader 1, tepatnya di Sukoharjo. Berbeda dengan hasil memalukan di LK pertama, di LK yang kedua ini, saya mendapat predikat: Peserta Terbaik yang tak terlantik. Mungkin begitulah rencana yang Tuhan gariskan, agar saya tak begitu kesulitan saat menjadi kader ganda dimana di satu sisi saya masih terdaftar dalam kepengurusan KAMMI namun disisi yang lain menjadi Anggota Biasa 1 di organisasi eksternal yang lain. Belum lagi usai kisah cinta segitiga ini, saya lakukan pencarian kembali. Kali ini dengan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (M-HTI) yang diawali dari sebuah seminar yang batal saya ikuti karena lebih prioritaskan ikuti pleno tengah KAMMI. Pasca itu, rutinlah saya mengikuti Focus Group Discussion yang dilaksanakan setiap sepekan sekali dalam komunitas M-HTI. Dengan pemikiran yang sudah acak-acakan karena belum sempurna terkonstruksi kembali, saya dipaksa benturkan lagi itu pada satu konsepsi pemikiran baru yang masih asing untuk saya. Sempurnalah kegilaan temporal yang saya alami. Sudah demikian banyak yang saya tuliskan. Tapi belum jua sampai pada jawaban atas pertanyaan “Mengapa aku mencintai KAMMI?� Menjengkelkan ya? Sungguh, tak bermaksud lakukan itu. Tapi memang dengan cara inilah saya belajar

31


mencintai KAMMI. Belajar mencintai dengan adanya acuan kepada sikap kritis dan pertimbangan matang, sehingga pengikutan atas dasar kecintaan itu pun dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan. Yang membuat saya tidak mencintai secara membabi-buta, akan tetapi tetap kritis dengan pertimbangan akal sehat. Dengan melalui semua itu, saya dapatkan pelajaran berharga bahwa setiap etnosentris golongan maupun pribadi yang menganggap bahwa dirinya-lah yang serba tahu dan faham, yang anggap bahwa orang-orang diluar diri dan lingkungannya tak mengerti soal kelembagaan, organisasi, wawasan keislaman dan pengetahuan tak akan hasilkan apapun kecuali kematian intelektual yang menjerumuskan. Saya mencintai KAMMI secara sadar. Dengan kesadaran itu, saya yakin bahwa KAMMI mampu kembalikan spirit perjuangan yang dulu membara, yang tak akan pernah berkompromi terhadap idealisme walau dibujuk dengan harta dan tahta. Spirit perjuangan yang membentuk pribadi muslim untuk menjadi penegak dalam bergerak mengembalikan kegemilangan Islam.

32


“Ya, Memang Beginilah KAMMI..� Prawacana Muda dan energik, begitulah saya memandang KAMMI di usianya yang tak lebih dari lima belas tahun ini. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang lahir di masa transisi perpolitikan Indonesia tahun 1998, harus diakui KAMMI telah berhasil menorehkan identitas kesejarahannya dalam dinamika keislaman, kemahasiswaan, dan keindonesiaan. Namun, dengan latar belakang historis tersebut, kita harus jujur mengakui bahwa ada semacam kegamangan untuk positioning dalam dinamika kekinian yang semakin turbulen. KAMMI masih terbelenggu pada otoritas masa lalu yang defensif dan determinatif, sehingga menyebabkan dominasi berlebih pada setiap wacana, pola pikir, dan langkah gerak organisasi. Padahal, tuntutan untuk melakukan pembaharuan guna menjawab tantangan zaman tentu merupakan suatu keharusan yang tak bisa ditawar. Salah satu stigma yang melekat pada KAMMI, sekaligus menjadi brand imagenya adalah aksi-aksinya yang menitikberatkan pada mobilisasi massa sebagai gerakan parlemen jalanan. Stigma tersebut kini telah melembaga dalam tradisi pergerakannya, sehingga legitimasi dari otoritas sejarah ini menyisakan kalimat, “Ya, memang beginilah KAMMI, dari dulu memang seperti ini..� ketika muncul berbagai kritik, baik itu dari eksternal maupun internal KAMMI sendiri terkait aksi-aksi reaktif dan sporadis, serta terkesan miskin solusi, yang dijadikan isu sentral dalam pergerakannya.

33


Inti dari kritikan tersebut kebanyakan menyoroti minimnya kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas di tubuh KAMMI. Tentu hal ini bukan perkara remeh, sebab mau tidak mau, suka tidak suka, eksistensi organisasi dalam garis sejarah akan dipengaruhi oleh kinerja dan produk organisasi. Kinerja dan produk organisasi, tentu saja, berkaitan sangat erat dengan kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas yang melingkupinya. Dua Kutub dan Gebrakan Baru Dua orientasi besar kader dalam organisasi pergerakan mahasiswa dibagi menjadi dua kutub, yakni orientasi keilmuanintelektual dan politik-praktis. Kalangan intelektual merupakan minoritas yang mencintai tradisi akademisi, sedangkan kalangan politik-praktis merupakan mayoritas yang mencintai politik praktis dan kerja-kerja teknis. Rasa-rasanya, istilah yang dipakai Arip Mustopha dalam mendiagnosa ‘penyakit’ ini cukup tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi di tubuh KAMMI saat ini. Dengan konteks historis yang mendasari kelahirannya, KAMMI memang dituntut bergumul dengan hal-hal yang sifatnya praktis-teknis, namun bukan berarti setelah zaman bergulir, KAMMI pun kemudian mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat intelektual-keilmuan. Bukan begitu? Berbagai kritik yang menerpa KAMMI belakangan ini mestinya berhasil menumbuhkan kesadaran untuk membuat sebuah perubahan di KAMMI. Bahkan, beberapa kader pun telah mengkristalkan wacana tersebut dengan menggelar forum-

34


forum diskusi pekanan dan Sarasehan Intelegensia KAMMI yang menghadirkan para founding fathers KAMMI guna merealisasikan secara kongkrit perubahan yang diharapkan. Memang, sistem otoritatif yang telah melembaga dan terwariskan dalam regenerasi KAMMI seolah telah membungkam kader untuk banyak berkata selain menghela nafas dan berkata, “Ya, beginilah KAMMI..�, sehingga sebuah gebrakan yang tegas dan persisten tentu menjadi sebuah alternatif solusi yang ideal guna menciptakan iklim demokratis, terbuka, kritis, dan jujur dalam pencarian kebenaran dengan memaparkan fakta sejarah disertai argumentasi pendukung yang sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual. Kini, ruang guna mengembangkan kultur intelektualitas ini terlembaga dalam sebuah forum kultural yang menopang setiap ide dan pengetahuan baik berupa lisan maupun tulisan, yang kemudian didokumentasikan dan disosialisasikan menembus batas-batas ruang dan menjadi pelajaran dan referensi bagi kader-kader lain di seluruh Indonesia. “Ya, Memang Beginilah KAMMI. . .� Saya berharap, forum kultural yang digagas ini bisa menjadi medium yang mampu memediasi warisan masa lalu dan mengelaborasikannya dengan semangat menghadirkan perubahan dan pembaruan sebagai ikhtiar penafsiran tandatanda zaman yang telah berubah tanpa membuat kader merasa terbebani dengan sakralisasi terhadap tradisi yang menyebabkan kekritisannya menjadi tersumbat.

35


Sudah saatnya, ledakan budaya intelektual secara massif ini digalakan. Sehingga sebagai seorang kader KAMMI kita akan dengan percaya diri dan lantang mengatakan, “Ya, Memang Beginilah KAMMI. .� Semoga.

36


Refleksi 15 Tahun Kelahiran KAMMI dan Reformasi : Antara Tuntutan, Realita, dan Harapan ‘Mahasiswa’ adalah sebuah kata dengan asumsi tanggungjawab besar dalam perkembangan keberjalanan sebuah negara. Dengan idealisme dan ketajaman intelektual serta energi yang melimpah, kelompok mahasiswa selalu diidentikkan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Maka, adalah menjadi realitas historis yang sangat masuk akal apabila kalangan mahasiswalah yang secara aktif melakukan perlawanan terhadap otoritas kekuasaan. Hal ini lebih dikarenakan pada alasan bahwa mereka mempunyai komitmen serta otoritas moral yang tinggi terhadap penderitaan yang berlangsung di sekitarnya. Sebagai intelektual, kalangan mahasiswa dinilai mempunyai kemampuan berpikir serta kapasitas keilmuan untuk membaca struktur sosial yang secara kontinyu mengalami perubahan. Dalam membaca lintas kesejarahan mahasiswa, perlu kita lihat adanya corak khas yang menjadi karakter gerakan mahasiswa, yakni menempatkan dirinya di posisi ekstraparlementer yang memanfaatkan momentum dan bertindak vis a vis negara. Tuntutan yang diusung pun relatif sama, yakni berupaya secara tegas melawan kekuasaan yang dinilai melakukan penindasan terhadap rakyat. Saat rezim orde baru berkuasa, digunakanlah terminologi baru untuk membatasi ruang gerak mahasiswa, yakni politik

37


praktis versus politik moral. Ini dikarenakan pemerintah melihat munculnya gelombang perlawanan dari mahasiswa yaitu penolakan terhadap kenaikan BBM yang dinilai menyengsarakan rakyat dan desakan menuntut ketegasan pemerintah memberantas korupsi yang dimotori oleh Arif Budiman dan Hariman Siregar. Penolakan ini berpuncak pada peristiwa Malari tahun 1974 yang bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka, yang memunculkan lahirnya Tritura baru: Ganyang korupsi, bubarkan asisten pribadi presiden, dan turunkan harga. Hal ini tentu saja dinilai mengancam kekuasaan dan otoritas pemerintah. Maka, pemerintahan orde baru pun mengambil tindakan pengekangan berupa SK No.0156/U/1978 mengenai NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kampus) melalui SK menteri P&K No.037/U/1979 dimana

setiap

organisasi

Dewan

Mahasiswa

di

kampus

dibubarkan dan atau diawasi secara ketat guna menekan aktivitas poltik yang ada. Ditambah lagi dengan UU Ormas serta munculnya LSM sebagai gerakan alternatif yang berdampak pada generasi kampus yang apatis dan rezim rezim pemerintah semakin represif. Dengan demikian, politik praktis seolah menjadi hal yang haram untuk dimasuki, sehingga mahasiswa pun seolah berada dalam sangkar moralitas yang kesuciannya tak boleh ternoda oleh sifat praktis dari politik. Namun, apakah gerakan mahasiswa kemudian mati begitu saja? Ternyata tidak! Kondisi yang demikian represif justru menyuburkan budaya diskusi dan gelombang baru pergerakan mahasiswa yang berporos pada masjid-masjid kampus, sebut saja munculnya LDK di masjid salman ITB yang dimotori oleh

38


Imaduddin Abdulrahim yang berkembang dan menyebar di seluruh kampus di Indonesia. Pada tahun 1990, kebijakan NKK-BKK dicabut, sehingga kebebasan berpendapat dan berorganisasi kembali dapat berjalan meskipun masih dalam kekangan yang sedemikian rupa. Namun, masjid kampus sebagai basis aktivisme baru mahasiswa nyatanya semakin subur dan berkembang dengan dinamisasi tersendiri yang tak terjamah oleh pemerintahan yang represif. 8 tahun berselang, dalam sebuah momentum FSLDK (Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) ke X se Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal 29 April 1998 dicetuskan dan dimunculkanlah KAMMI sebagai salah satu kekuatan alternatif mahasiswa yang berbasis mahasiswa muslim. Kejenuhan mahasiswa terhadap rezim orde baru semakin memuncak ketika untuk kesekian kalinya Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden RI, ditambah lagi dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia sedemikian Gelombang perlawanan mahasiswa ini dimulai

parahnya. sejak 20

Mahasiswa UI mendatangi gedung MPR-DPR yang dengan tegas menolak laporan pertanggungjawaban presiden, yang kemudian disusul

dengan

aksi

besar-besaran

hingga

menilbulkan

kerusuhan berdarah di beberapa tempat, termasuk Solo. Selanjutnya, pada Mei 1998 ribuan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR yang menjadi titik balik lahirnya era reformasi dengan tuntutan: dicabutnya dwi-fungsi ABRI,

diturunkannya Soeharto, diberantasnya KKN,

39


diamandemennya UUD 1945, diterapkannya Otonomi Daerah, serta ditegakkannya supremasi hukum. Pasca reformasi, banyak pihak merasa belum terbentuknya suatu mekanisme perpolitikan nasional dalam memformulasikan terjadinya perubahan dalam konstelasi politik nasional. Alih-alih menciptakan pola masyarakat yang melakukan politik konstruktif, hingar bingar dalam pentas politik kita justru mencerminkan kebinatangan yang tak beradab dari para lakonnya yang cenderung berorientasi pada kekuasaan dan mengesampingkan etika serta tatanan nilai yang berlaku secara umum dalam masyarakat. Reformasi melahirkan sejumlah aktor politik baru yang diharap bisa memberi wajah baru politik menjadi lebih bermoral dan bermartabat. Mereka muncul dari kalangan akademisi, agamawan, maupun para pengusaha, tidak melulu dari kalangan militer. Sayangnya, integrasi yang diharapkan ini tak berjalan sesuai yang diharapkan, politik tetap sajalah bernama politik yang tentunya memakai perhitungan matematis kalkulasi kekuasaan yang untuk meraihnya sering kali menggunakan cara yang bertentangan dengan hati nurani. Realita perselingkuhan antara kekuasaan politik dengan mekanisme pasar globa turut membenarkan apa yang dikatakan Marx bahwa Negara dimanapun ia, akan selalu berpihak pada pemegang kekuasaan. Tuntutan untuk melakukan liberalisasi secara agresif dan privatisasi secara massif baik itu dalam bidang ekonomi maupun pendidikan telah membawa dampak yang bisa kita rasakan bersama dimana pendidikan yang bertujuan

40


mendorong tradisi intelektual kemudian disulap menjadi pasar kerja. Pada akhirnya, kita menjadi anak tiri di negeri sendiri. Selain menjadi korban kebijakan yang tidak memihak pada kelompok akar rumput. Institusi yang dianggap mewakili rakyat pun malah menjadi kebijakan tersebut.

pengusung

utama

digelontorkannya

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apa latar belakang kelahiran KAMMI dan peranan yang dilakukan dalam penggulingan orde baru menuju era reformasi dan pola yang bisa ditempuh oleh KAMMI dan gerakan mahasiswa secara umum untuk mengawal 15 tahun agenda reformasi? Kita lah yang harus menjawab.

41


Merayakan Keberagaman KAMMI Aku Berpikir, maka Aku Ada “Apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi.�-Erikson Dalam

teori

perkembangan

kepribadian

yang

dikemukakan oleh Erikson, ada delapan tahap perkembangan yang terjadi dalam perkembangan identitas seseorang. Perkembangan ini berlangsung dalam jangka waktu yang teratur dan bersifat hierarkis. Delapan tahap perkembangan kepribadian menurutnya, memiliki ciri utama dimana di satu pihak bersifat biologis, sementara di lain pihak bersifat sosial. Keduanya berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Disini, penulis hanya akan membahas mengenai tahap ke-5 dari perkembangan teori kepribadian tersebut. Dalam cultural studies, saat seseorang menginjak usia remaja hingga 18-20 tahun, sebenarnya ia tengah menjalani masa peralihan dari ketergantungan masa anak-anak menuju otonomi masa dewasanya. Jika orang dewasa menilai masa muda sebagai era transisi semata, kaum muda justru menjadikannya sarana untuk mengungkap identitas diri mereka. Menurut Erikson, dalam tahap ini pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda harus dicapai. Kaum muda

42


haruslah memahami siapa dirinya yang sebenarnya di tengah pergaulan dan struktur sosialnya agar pada akhirnya tidak mengalami kekacauan identitas. Dalam pencapaian identitas diri tersebut, seringkali kaum muda bertindak sangat ekstrim dan berlebihan. Oleh karena itu, pemberontakan senantiasa mengiringi perjalanan pengalamannya dalam mengungkap berbagai penanda ideologis yang menguak gambaran utopis tentang masa depannya. Tak pelak, slogan “Pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari” seolah menjadi cambuk yang melecut gairah kaum muda untuk beraktualisasi lebih. Mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda, dengan menggunakan sudut pandang diatas sejatinya memiliki substansi yang

sama.

Mahasiswa

mencoba

mengaktualisasikan

keberbedaannya dengan melakukan sebuah movement, antara lain dengan membuat komunitas dengan masuk dalam sebuah organisasi maupun menjadi pegiat diskusi atau kajian. Ruang diri yang lebih terbuka seolah menjadi identitas baru yang ia identifikasikan dalam kepribadiannya yang khas. Pergerakan mahasiswa dalam hal ini, menggunakan logika dengan gejala yang sama. “Aku berpikir maka aku ada”, demikian kata Descartes yang kemudian oleh mahasiswa aktivis diplesetkan menjadi, “aku berdiskusi, aku aksi, aku berontak, aku berbeda dari mainstream, maka aku ada”. Mungkin hal ini memang tidak berangkat dari teori an sich, tapi kenyataankenyataan yang penulis lihat di lapangan menunjukkan gejala yang relatif sama.

43


Dua Kutub Pada dasarnya, dalam setiap ruang, manusia memiliki penyikapan yang beragam atas situasi yang dihadapi. Penyikapan ini, hemat penulis, bisa digolongkan dalam dua kategori ekstrem, yaitu ‘adaptasi’ dan ‘rekayasa’. Sederhananya, jika kita sedang berada dalam sebuah ruangan yang panas, adaptasi yang kita lakukan adalah dengan menyesuaikan tubuh kita agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan melepas jaket yang dikenakan, misalnya. Sementara, rekayasa yang bisa kita lakukan adalah dengan mengubah kondisi lingkungan, misal dengan menyalakan kipas angin atau membuka jendela agar terjadi sirkulasi udara. Demikian

pula

yang

kaum

muda

lakukan

dalam

pencapaian identitas kepribadiannya. Dalam dunia aktivis, mereka akan mensekatkan diri pada pengkotak-kotakan idealisme gerakan. Tak hanya bertumpu pada satu mainstream gerakan, tapi tersebar dalam seluruh komponen, baik komponen hobi, minat, bakat, aktivitas politik, keagamaan, dan lain sebagainya. Seringkali terjadi kekacauan identitas antara dirinya dengan entitas yang bersama hidup dalam kelompoknya. Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan ‘pengingkaran’. Ia akan mengingkari keanggotaannnya dalam sebuah entitas tempat ia hidup bermasyarakat dan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya. Hal ini menjelaskan bahwa di lapangan-dalam dunia aktivis, ada beragam kasus yang mengungkap bahwa sebagian

44


orang dari suatu entitas cenderung keluar dari pakem kebiasaan yang melekat di organisasinya karena menganggap bahwa perbedaan yang mereka rasakan harus diaktualisasikan. Disisi lain, mereka memproduksi ide perjuangannya dalam komunitas yang memiliki mind-set seragam. Suatu hal yang kontradiktif memang, tapi patut mendapat apresiasi. Merayakan Keberagaman KAMMI Berbicara tentang dunia aktivisme mahasiswa, tak akan berlepas dari keberadaan KAMMI sebagai organisasi yang telah penulis ikuti sejak tahun pertama di kampus. Bagi penulis, mitos tentang internal kammi yang begitu-begitu saja, manut-manut saja, adem ayem saja, statis dan homogen, harus diekspose maknanya. Sejak masa berdirinya, kenyataan yang heterogen dalam internal KAMMI secara sadar ataupun tidak telah diingkari oleh kelompok-kelompok internal yang seolah takut membiarkan suara-suara yang tak beraturan berselisih paham dan menimbulkan kekacauan internal. Hingga hari ini, ketakutan akan resiko dan ketidakmenentuan berada pada tingkatan patologis. Keberagaman dalam KAMMI seolah tak disepakati, disetujui, dan bahkan didesak dengan alasan bahwa hal tersebut akan mengikis kesatuan internal. Pertama-tama, yang harus dilakukan adalah sebuah otokritik terhadap diri kita sendiri berkaitan dengan gagasan tentang identitas dan perbedaan. Hal ini terjadi karena KAMMI untuk waktu yang lama telah terjerat dalam jalan buntu dialektika yang dibuatnya sendiri. KAMMI perlu menerima,

45


mengenali, dan bahkan merayakan keberagaman internal di dalam dirinya. Perlu disadari bawa keberagaman adalah sebuah fakta kehidupan dan ciri yang bisa ditemui dalam semua peradaban. Untuk bisa terlibat dalam dialog yang bermakna dengan gerakan lainnya, KAMMI harus memulainya dengan membuka dialog ke dalam dirinya sendiri. Ini hanya dapat terjadi jika kita belajar menerima perbedaan-perbedaan internal kita dengan menerima secara bijak kehadiran suara-suara baru yang bisa jadi berbeda dari mainstream kebanyakan. Mengontrol energi dan suara internal yang berbeda bukanlah dengan menghapus atau meniadakan kehadiran energi dan suara itu sendiri. Bahkan, cara tersebut hanya akan membuat suara-suara yang tersumbat itu bermutasi dan menyembunyikan diri menjadi suara-suara sub-altern yang beragam, gerakan bawah tanah yang tersembunyi, dan semakin memperparah ketidakstabilan organisasi. Jika memang internal KAMMI ingin menciptakan kondisi sosial yang kondusif agar tak menghambat kinerja organisasi, maka, membuka pintu perbincangan, pikiran, dan perbedaan dalam diri KAMMI sendiri adalah solusi ideal yang bisa diterapkan secara berkelanjutan. Selama ini, kita seolah menunjukkan pada diri kita sendiri dan yang lain potret wajah KAMMI yang tunggal dan homogen, padahal kita sadari betul bahwa ada begitu banyak suara dan wajah beragam yang membentuk potret KAMMI secara utuh. Pengakuan

46

terhadap

keberagaman

ini

tak

hanya

akan


memperindah perwajahan KAMMI, tapi juga membuat kita lebih jujur. Bukankah mengenali keberagaman yang ada dalam diri kita akan membuka jalan untuk mengenali kebergaman yang lain-lain juga? Penutup Dalam teorinya, Erikson mengatakan, kesetiaan akan diperoleh sebagai nilai positif yang dipetik setelah melewati tahap ini. Kesetiaan yang ia maksud memiliki makna tersendiri, yakni kemampuan hidup berdasar standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistenannya. Pada akhirnya apapun yang dilakukan oleh sebagian dari kader KAMMI yang ‘berbeda’ dari mainstream adalah dalam rangka mencari identitas diri. Insya Allah, tak ada satu aktivitas pun yang sia-sia. Jika memang yang dilakukan itu berangkat dari keyakinan yang teguh akan kebenaran yang diperjuangkan, maka biarlah Allah menilainya sebagi kebaikan, tetapi apabila ternyata salah, minimal menjadi pelajaran untuk dirinya sendiri. Billahi taufiq wal Hidayah.

47


Merajut Benang-Benang Epistemologi Paradigma Gerakan KAMMI To win being strong is not enough, you must be an idea (Batman Begins) Begitulah yang niscaya! Terlebih bagi sebuah organisasi pergerakan dan terkhususnya lagi organisasi pergerakan mahasiswa muslim. Ia tak hanya membutuhkan sejumlah besar pasukan tangguh yang memiliki senjata tempur yang canggih, tapi juga haruslah memiliki sebuah ide-ide dasar yang melandasi setiap langkahnya. Ide-ide ini berkaitan dengan hal-hal yang prinsip dan strategis dalam menentukan corak dan etika gerakan dalam berfikir dan bertindak. Dengan landasan tersebut, maka sebuah organisasi pergerakan akan memiliki rambu-rambu dalam membimbing para anggotanya untuk mencapai visi yang ingin dicapai. Bukankah visi KAMMI sebagai wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan Negara Indonesia yang islami sejatinya adalah visi dari setiap anggota KAMMI itu sendiri? KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa Islam dalam hal ini merumuskan substansi spirit, paham, corak, landasan berfikir dan bertindaknya dalam Paradigma Gerakan KAMMI. Menurut Ahimsa, Paradigma dapat didefiniskan sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan dan

48


masalah yang dihadapi[1]. Seperangkat konsep inilah yang akan membentuk kerangka pemikiran guna memahami realita yang ada, mendefinisikannya secara utuh, mengkategorikannya dalam bagian-bagian, lalu mengkorelasikannya dengan kategori atau segmentasi yang lain sehingga pada akhirnya lahirlah sebuah pemahaman yang utuh atas kenyataan yang dihadapi. Pada akhirnya, reaksi dari sejumlah hal tadi akan diejawantahkan dalam tindakan nyata yang sifatnya dzahir. Namun demikian, Paradigma Gerakan KAMMI sebagai seperangkat konsep ternyata baru memberikan gambaran umum tentang isi dari kerangka pemikiran, belum memberikan keterangan lebih lanjut tentang isi dari kerangka pemikiran itu sendiri. Padahal, dalam upaya pengembangan paradigma, pendefinisian konsep saja belum cukup, yang lebih penting adalah

pendefinisian

unsur-unsur

yang

tercakup

dalam

pengertian paradigma itu sendiri[2]. Dalam sarasehan intelegensia KAMMI yang dilaksanakan 24 Desember 2012 di Yogya, Imron Rosyadi selaku ketua SC Muktamar IV KAMMI tahun 2004 menyatakan bahwa paradigma gerakan KAMMI saat ini belum selesai dan bukan sesuatu yang final. Dengan demikian, penjelasan lebih lanjut terkait dengan komponen-komponen konseptual yang membentuk kerangka pemikiran epistemologi dari paradigma tersebut sangatlah diperlukan sehingga penerjemahannya ke ranah aksiologis akan lebih terarah dan tidak menimbulkan multitafsir. Dengan tidak bermaksud lancang dan sembrono, disini penulis ingin mencoba menyusuri jejak epistemologis Paradigma

49


Gerakan KAMMI secara ringkas dann sederhana mengingat kedangkalan pengetahuan yang penulis miliki. Maka, Izinkan Aku Merajutnya dengan Kesederhanaan dan Jarum Ikhtiar-Alikta

Benang

Paradigma Gerakan KAMMI terdiri dari empat frasa inti, yakni: Dakwah Tauhid, Intelektual Profetik, Sosial Independen, dan Politik Ekstraparlementer. Lebih lanjut, penulis akan membahasnya dalam poin per poin. Pertama, KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid. Tafsir dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan dakwah tauhid adalah gerakan pembebasan manusia dari segala bentuk penghambaan terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya yaitu Allah SWT. 2) Gerakan dakwah tauhid merupakan gerakan yang menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (ilahiyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). 3) Gerakan da’wah tauhid adalah gerakan perjuangan berkelanjutan untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan universal dan meruntuhkan tirani kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Mengapa dari sekian banyak frasa yang mungkin bisa dirangkai, diambillah dua kata tersebut : Dakwah dan Tauhid. Apa esensi yang terkandung dibaliknya? Jawaban yang paling rasional disebabkan minimnya referensi yang penulis miliki adalah apa yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid, beliau menyatakan bahwa Tauhid adalah cara bertuhan yang paling

50


manusiawi dan merupakan bentuk dari kemanusiaan itu sendiri. Lebih lanjut, beliau menambahkan, inti kemanusiaan itu sendiri adalah akal budi dan kebebasan. Tauhid itu membebaskan dan memerdekakan. Sebab, manakala ia hanya bergantung dan berserah diri hanya pada satu Dzat, maka dia akan bebas. Contoh analogi sederhana dari konsep ini adalah pendulum. Ia bisa bergerak bebas sebab hanya tergantung pada satu titik. Jika ia tergantung pada dua atau tiga titik, tentulah ia akan terbelenggu dan statis[3]. Maka dari itu, sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan pada Tuhan itu sendiri- Tuhan Allah Yang Maha Esa(41:37). Ini disebut Tauhid, dan lawannya disebut syirik, artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya maupun sebagian, maka jelaslah bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban kemanusiaan‌.[4]Konsekuensi logis dari tauhid ini adalah bebasnya manusia dari perbudakan oleh sesama manusia, materi, nalar, dan lainnya sehingga ia menjadi manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka dan hanya memiliki semangat pengabdian kepada Allah SWT sajalah yang akan mendeklarasikan tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (ilahiyah), sebab tidak ada pada dirinya dikotomi antara jiwa dan raga, dunia material dan dunia spiritual, dunia dan akhirat. Hal ini membebaskan manusia dari kepasrahan kepada kekuatan sosial manapun selain kepasrahan kepada Tuhan. Manusia hanya bertanggungjawab dihadapan Hakim Tunggal, yakni Allah SWT. Inilah makna Islam, ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan dan perlawanan terhadap semua kekuasaan duniawi yang bermaksud menundukkan ataupun yang meminta menggantikan kedudukan

51


Tuhan. Sehingga ia akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Manusia yang di dalam dirinya memiliki sifat-sifat ketuhanan sebagai pengejawantahan kalam Illahi inilah yang oleh Ali Syariati disebut sebagai manusia ideal. Dalam dirinya ada tiga aspek mendasar yakni kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Menurut fitrahnya, dia adalah khalifah Allah. Selanjutnya, sejalan dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus mengupayakan kerja-kerja dalam amal nyata. Hal ini sejalan dengan apa yang telah Allah katakan dalam wahyu-Nya: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah�(3:110). Dalam ilmu sosial-profetiknya, Kuntowijoyo menafsirkan bahwa inti pokok dari ayat ini adalah: humanisasi, liberasi, dan transdensi. Humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian manusia sebagai implementasi dari nilai perubahan amar

ma’ruf.

Liberasi

atau

pembebasan

merupakan

implementasi dari nilai nahi munkar, sedang transendensi merupakan implementasi dari nilai tu’minuuna billaah. Kerja-kerja kemanusiaan ini secara essensial haruslah menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat pada nilai-nilai yang lebih baik, lebih

52


maju, dan lebih insani itu disebut amar ma’ruf, sementara usaha guna mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilainilai kemanusiaan itu disebut nahi munkar.[5] Dan pada akhirnya, marilah kita maknai dalam-dalam mengenai apa yang disampaikan Ust. Fathi Yakan berkaitan dengan definisi dakwah. Beliau mengatakan bahwa dakwah adalah menghancurkan dan membangun, maksudnya menghancurkan jahiliah dengan segala macam bentuknya, baik jahiliah pola pikir maupun jahiliah perundang-undangan dan hukum, setelah itu membangun masyarakat Islam berlandaskan Islam dalam bentuk, isi, perundang-undangan dan cara hidup, maupun dalam persepsi keyakinan terhadap alam, manusia, dan kehidupan[6]. Maka, demikianlah

unsur pertama dari Paradigma

Gerakan KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid mengantarkan saya pada pemahaman bahwa dakwah tauhid adalah landasan mutlak bagi kader KAMMI untuk berfikir dan berkehendak merdeka serta menjadi petarung sejati yang pemberani. Kedua, KAMMI sebagai Gerakan Intelektual Profetik. Tafsir dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan intelektual profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal. 2) Gerakan intelektual profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana

pada

prinsip-prinsip

kemanusiaan

yang

universal. 3) Gerakan intelektual profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik. 4) Gerakan intelektual

53


profetik adalah gerakan pemikiran yang menjangkau realitas rakyat dan terlibat dalam penyelesaian masalah rakyat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Intelektual secara bahasa berarti cendekiawan atau orang yang cerdas, berakal, dan berfikiran jenih berdasarkan ilmu pengetahuan, memiliki daya akal budi serta totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman. Intelektual dalam Islam dikenal dengan tiga cirinya yaitu : Pertama, tidak ada rasa takut dalam menyuarakan kebenaran, Kedua, tidak ditunggangi kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, partai, dan lain-lain. Ketiga, ia adalah agen perubahan, bukan yang dirubah oleh lingkungannya.[7] Dalam menyelami makna profetik sebagai paradigma gerakan KAMMI yang kedua ini, penulis dengan segala keterbatasannya ternyata gagal memahami cara berfikir Kuntowijoyo yang cenderung strukturalis-integralis, sehingga disini penulis hanya menggunakan makalah Ahisma yang bertutur mengenai akar epistemologis dan kritik terhadap Ilmu Sosial-Profetik yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo. Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita mencari akar ontologis dari kata profetik untuk memudahkan pemahaman. Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti nabi. Menurut Oxford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of, pertaining or proper to a prophet or prophecy”; “having the character or function of a prophet”; (2) “Characterized by, containing, or of the nature of prophecy; predictive”. Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau

54


bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi ‘kenabian’. Kuntowijoyo (dalam Ahimsa, 2011) menyatakan bahwa Islam diturunkan dengan tujuan untuk mengubah masyarakat dan melakukan transformasi sosial. Ia kemudian mengusulkan adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam hal ini, pengetahuan akan wahyu menjadi hal yang aprori, sebab wahyu menempati posisi konstruk yang memberikan pedoman dalam merumuskan desain besar mengenai sistem Islam dan ilmu pengetahuannya, guna menjadi paradigma dalam berpikir dan bertindak seorang muslim. Keimanan dalam ilmu profetik dijadikan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal. Beriman kepada Allah dimaknai sebagai relasi-pengabdian pada-Nya. Disini, Allah ditransformasikan menjadi

Pengetahuan,

karena

Dirinya

adalah

Sumber

Pengetahuan. Sehingga, beriman pada Allah dalam konteks profetik adalah mengimani pengetahuan itu sendiri. Beriman kepada Malaikat berarti membangun relasi-persahabatan dengan malaikat karena malaikat adalah sahabat orang yang beriman. Beriman kepada Kitab berarti membangun relasipembacaan, sebab kitab adalah sesuatu yang dibaca. Beriman kepada Nabi berarti membangun relasi-Perguruan dan Persahabatan, sebagai guru yang memberikan pengetahuan sekaligus juga persahabatan seperti hubungan yang terjadi

55


antara Rasulullah dan para sahabatnya. Beriman pada hari akhir artinya membangun relasi-pencegahan, sebab dalam konteks ini kiamat ditafsirkan sebagai kehancuran. Beriman kepada Takdir berarti membangun relasi-Penerimaan, sebab takdir tak dapat terhindarkan. Dengan demikian, mengembalikan segala penalaran yang dilakukan akal pada Allah SWT sebagai Pencipta sebagai proses sakralisasi terhadap-NYA. Inilah yang membedakan ilmu profetik dengan ilmu sosial yang lainnya. Pengembalian secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal dalam Paradigma Gerakan KAMMI ini bersesuaian dengan apa yang disampaikan Ahimsa, bahwasanya aktivitas keilmuan juga merupakan aktivitas kemanusiaan,

sehingga

ia

dituntut

memiliki

etos

kerja

kemanusiaan yang meliputi : kejujuran, ketelitian, kekritisan, dan penghargaan. Implikasi dari adanya pertemuan nalar akal dan nalar wahyu ini adalah penggunaan kompilasi wahyu (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah (Al-Hadist) sebagai salah satu sumber untuk merumuskan hipotesa-hipotesa untuk diteliti lebih lanjut dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik. Maksudnya secara organik yakni merujuk pada intelektual yang merujuk pada intelektual yang berfungsi sebagai perumus dan altikulator dari ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan kelas yang sedang tumbuh.

56


Dari Paradigma KAMMI yang kedua sebagai Gerakan Intelektual Profetik, mestinya bisa menempatkan para kader KAMMI sebagai ilmuwan yang memiliki ketajaman analisa sehingga mampu menjadi penghitung resiko yang cermat yang pada akhirnya akan memunculkan pemikiran-pemikiran yang mampu menjangkau realitas masyarakat secara tekstual dan kontekstual guna mencari solusi paling efektif dan efisien dalam penyelesaian masalah-masalah kerakyatan. Ketiga, KAMMI adalah gerakan sosial independen. Tafsir dari kalimat tersebut adalah : 1) Gerakan sosial independen adalah gerakan kritis yang menyerang sistem peradaban materialistik dan menyerukan peradaban manusia berbasis tauhid. 2) Gerakan sosial independen merupakan gerakan kultural yang berdasarkan kesadaran dan kesukarelaan yang berakar pada nurani kerakyatan. 3) Gerakan sosial independen merupakan

gerakan

pembebasan yang

tidak

memiliki ketergantungan pada hegemoni kekuasaan politikekonomi yang membatasi. 4) Gerakan Sosial Independen bertujuan menegakkan nilai sosial politik yang tidak bergantung pada institusi manapun, termasuk Negara, partai, maupun lembaga donor. Penulis

akan

mengawali

pembahasan

ini

dengan

beberapa tokoh yang menjadikan kebebasan manusia sebagai bagian utama filsafat mereka, yakni Hegel, Karl Marx, dan Jean Paul Sarte. Hegel meyakini bahwa dalam sebuah Negara modern masyarakat menginginkan pembebasan dari segala macam belenggu. Ide Hegel ini diteruskan oleh Karl Marx dengan sosialismenya yang mendobrak rezim kapitalisme yang kala itu tengah membelenggu tatanan manusia.

57


Marxisme klasik menyuarakan pembebasan kaum buruh dari kapitalisme guna terciptanya masyarakat tanpa kelas. Bagi kalangan marxisme klasik, revolusi adalah sebuah keniscayaan sejarah, sebab mereka menganggap kapitalisme adalah ideologi yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan dirinya sendiri. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa hubungan antar sesama manusia hanyalah berdasar pada sistem produksi. Persepsi yang muncul akan hal ini adalah bahwa sesuatu/seseorang hanya akan memiliki nilai ketika ia mampu menghasilkan

atau

memproduksi

barang

sehingga

mengesampingkan bahwa manusia pun memiliki dimensi sosiologis dan psikologis[8]. Ide marxisme klasik ini ditentang oleh Antonio Gramsci, Tan Malaka dan beberapa tokoh lain (revisionis Marx) yang menyatakan bahwa revolusi bukanlah suatu keniscayaan sejarah, namun muncul karena adanya kesadaran masyarakat terhadap dominasi kaum mayoritas. Sehingga, kesadaran kolektif itu haruslah ditumbuhkan, bukan hanya ditunggu sampai titik kritis itu datang. Dalam dunia Islam sendiri, Hassan Hanafi, seorang mantan aktivis IM, juga menyuarakan kritiknya terhadap relasi antara barat dan timur, dimana barat dinilai memarginalkan dunia timur dengan menganggap bahwa peradaban mereka adalah peradaban yang superior sementara peradaban timur hanyalah kaum inferior sehingga mereka berhak mendikte timur baik dalam masalah politik, ekonomi, maupun ideologi. Ia sendiri juga berpendapat bahwa menempatkan teks-teks agama (skriptualisme) untuk memahami Islam dalam pencarian kebenaran tanpa menggunakan potensi akal adalah perbuatan

58


orang yang cepat putus asa dan lemah, sehingga ia selalu melakukan kritik pada pemahaman Islam yang bercorak mistis dan normatif. Keduanya, baik revisionis Marx maupun revolusioner Islam, mengangkat isu yang sama, yakni pembebasan manusia dari belenggu baik dogma agama maupun dominasi kaum yang berkuasa. Gerakan sosial merupakan fenomena penting dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan bangsa-bangsa. Hampir semua peristiwa besar yang mengubah sebuah tatanan, baik itu dalam konteks politik, ekonomi maupun tatanan sosial, seringkali bermula dan mendapat momentum dari sebuah gerakan sosial. Contoh kasus yang pernah terjadi di Indonesia adalah pergerakan mahasiswa yang berkembang tahun 19601970an. Menegakkan nilai sosial politik yang independen adalah jawaban konkrit atas sinisme pendanaan yang selama ini dilakukan oleh sejumlah ornop (organisasi non profit) atau yang biasa kita sebut dengan LSM. Tudingan yang umum dilancarkan adalah konten agenda program yang harus menyesuaikan keinginan lembaga donor. Hal ini tentunya akan membawa implikasi buruk pada citra Gerakan, selain tentunya membawa dampak jangka panjang yakni mudahnya gerakan disetir oleh kepentingan-kepentingan

politik

dari Negara atau

partai,

maupun kepentingan swasta dari lembaga donor. Keempat,

KAMMI

adalah

gerakan

Politik

Ekstraparlementer. Tafsir dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan

59


politik ekstraparlementer adalah gerakan perjuangan melawan tirani dan menegakkan demokrasi egaliter 2) Gerakan politik ekstraparlementer adalah gerakan sosial kultural dan struktural yang berorientasi pada penguatan rakyat secara sistematis dengan melakukan pemberdayaan institusi-institusi sosial/rakyat dalam mengontrol proses demokrasi formal. 3) Gerakan ekstraparlementer berarti tidak menginduk pada institusi parlemen maupun pembentuk parlemen (partai politik dan senator). Independensi sikap politik bulat utuh tanpa intervensi partai apapun. 4) Gerakan ekstraparlementer bergerak di luar parlemen dan partai politik, sebagai representasi rakyat secara independen. Saat menulis ini, ada yang mengganjal dalam benak penulis, yaitu terkait stigma yang berkembang di masyarakat secara umum mengenai hubungan struktural KAMMI sebagai underbow

dari

Partai

Keadilan

Sejahtera

yang

memang

berlatarbelakang ideologi yang ‘identik’ (lepas dari kontroversi yang muncul tentang itu). Untuk tidak memperlebar pembahasan, maka disini penulis tidak akan membahas hal tersebut. Berbicara mengenai politik, seperti yang tertera dalam Paradigma Gerakan KAMMI yang keempat, penulis melihat bahwa politik yang ingin diperjuangkan KAMMI adalah politik sebagai alat untuk melakukan suatu konstruksi sosial. Dalam hal ini, ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat, sebab manakala terjadi dikotomi antara keduanya akan berakibat pada hilangnya kepercayaan publik (masyarakat) terhadap politik yang diperjuangkan.

60


Namun, pada prinsipnya perjuangan guna melakukan konstruksi sosial ini tak bisa lepas dari kondisi sosial-masyarakat itu sendiri. Masih ingat dengan ucapan mahsyur ini ‘homo hominis lupo est–manusia adalah serigala untuk sesama’? Akan hal ini, Montesquieu beranggapan bahwa manusia purba yang belum berkongsi sadar betul lemahnya ia di tengah alam sekitarnya. Namun, hukum alam menuntun manusia guna berkongsi dengan sesamanya yang mengakibatkan kecenderungan untuk saling menguasai manusia lain, sebab saat ia berkongsi, ia sadari bahwa manusia lain juga lemah dan hilanglah ketakutannya. Kecenderungan pada kekuasaan ini melahirkan nafsu dan tirani dalam diri manusia maupun kelompok tempat ia melibatkan diri didalamnya. Perlawanan terhadap tirani adalah kewajiban dari setiap warga masyarakat. Akan tetapi, dalam prakteknya diperlukan adanya suatu kelompok dalam masyarakat yang senantiasa berusaha terus menerus melawan tirani yang pada prinsipnya tidak sejalan dengan fitrah kemanusiaan guna menegakkan keadilan yang merata. Montesquieu berpendapat bahwa aspek pemerataan (égalité) secara khusus bermakna persaman semua warga dihadapan hukum. Namun, lebih lanjut ia mengatakan bahwa égalité kurang bersifat legalis melainkan lebih menjurus kepada faham fraternité, persaudaraan. Konsekuensinya, setiap warga boleh memiliki harta, namun diharapkan setiap warga mencukupi kebutuhan hidup dan keluarganya dan

yang berlebihan

diberikan kepada negara untuk disalurkan kepada warga yang kekurangan[9], sehingga muncullah solidaritas sosial sesama

61


warga, dan lahirlah sebuah konstruksi sosial menuju masyarakat madani (civil society). Civil society adalah modal yang dibutuhkan untuk membentuk masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang cukup mampu mengimbangi kekuasaan Negara. Akan menjadi hal menarik jika kita perhatikan kenyataan yang ada, bahwa ternyata kekuasaan yang mendominasi kita secara struktur justru merupakan komunitas minoritas disbanding keseluruhan jumlah warga Negara Indonesia. Penguatan masyarakat secara sistematis dengan melakukan pemberdayaan institusi-institusi sosial/rakyat baik melalui jalur struktural (meskipun saya tidak tahu bagaimana melakukan pemberdayaan institusi melalui jalur struktural yang dimaksud disini- dengan asumsi bahwa ggerakan mahasiswa adalah gerakan intelektual dan gerakan kultural) maupun kultural dalam meletakkan pemahamannya pada asumsi bahwa demokrasi menuntut keterlibatan masyarakat dalam aktivitas sosial mengontrol proses demokrasi formal yang berjalan.

guna

Disinilah peran gerakan mahasiswa Islam sebagai basis intelektual masyarakat untuk melakukan pencerdasan politik pada masyarakat, dengan pembangunan opini publik maupun penyelenggaraan diskusi rasional sehingga penguatan politik masyarakat akan mampu membangun ruang komunikasi timbal balik antara rakyat dan penguasa. Ketika ruang-ruang dialektis terbuka dengan persamaan hak yang utuh, pada akhirnya akan memberi kesempatan pada rakyat untuk bisa berperan dalam pengambilan kebijakan/ peraturan perundang-undangan yang hendak diberlakukan.

62


Agar hal ini dapat terjadi, maka gerakan tidak boleh menginduk pada institusi parlemen maupun pembentuk parlemen (partai politik dan senator). Ilustrasi sederhananya adalah tidak mungkin seseorang akan mengatakan A dan B di waktu yang bersamaan. Misal pada saat yang sama saya mengatakan : IBU, saya juga mengatakan: AYAH. Apakah yang kemudian akan didengar oleh orang lain? BUAYA? UUAAA? Atau *&%$#@ (sebuah bahasa yang tak dikenal maknanya)? Apa yang kemudian di dengar oleh orang lain tentulah berbeda dengan pemaknaan awal kata IBU maupun AYAH. Jelas disini bahwa seseorang yang berbicara atas nama rakyat tidak mungkin kemudian berbicara juga atas nama pemerintah. Tentu yang saya maksud bukan pengertian rakyat vis a vis pemerintah. Namun, kontradiksi/ketidaksesuaian antara kedua institusi itulah yang mengharuskan gerakan mengambil posisi independen, sebab ketergantungan gerakan pada institusi partai sebagai bagian dari pemerintah dikhawatirkan akan membuat distorsi yang membatasi obyektivitas gerakan dalam menentukan langkah aksiologis dalam menanggapi suatu permasalahan. Disini, diperlukan suatu sikap independensi bulat utuh tanpa intervensi dari pihak manapun, meskipun hal ini juga tak berarti bahwa gerakan mengambil posisi yang sejauh-jauhnya dari partai politik dan berantipati padanya. Disini, penulis melihat adanya kontradiksi mengenai apa yang ada dalam Paradigma Gerakan dan Unsur Perjuangan KAMMI

terkait

independensinya

sebagai

gerakan

politik

ekstraparlementer (merujuk pada teks, bukan pada ranah praksis). Tanpa bermaksud melakukan tindakan korektif terhadap kedua hal tersebut, penulis memandang bahwa hal tersebut

63


menjadi batu penghalang dalam merajut epistem pemahaman mengenai independensi KAMMI. Berikut penulis sampaikan agar benang epistem ini tidak kusut dan memperburuk rajutan (yang sudah cukup buruk). Saat dalam Paradigma Gerakan ditegaskan bahwa Independensi KAMMMI adalah sikap bulat utuh tanpa intervensi partai apapun serta menempatkan diri sebagai representasi rakyat yang independen. Disisi yang lain, Unsur-Unsur Perjuangan KAMMI pada bagian KAMMI dan Partai Politik berisikan: ‘… KAMMI akan siap bekerja sama dengan mereka yang menurut KAMMI masih mengedepankan intelektualitas, nurani, dan kepeduliannya pada rakyat dalam berpolitik.’ Disini, ada semacam ‘pseudo-tolerance’[10]yang kentara terlihat.

Disebut

pseudo-tolerance

karena

toleransi

yang

demikian adalah konsep toleransi yang setengah-setengah, penuh kompromi dan tidak didasari oleh niat yang utuh. Disatu sisi KAMMI menegaskan sikap independennya, namun disisi lain tetap membuka kran kerjasama dengan partai politik. Bagi saya, ini bukanlah hal yang sehat. Meskipun demikian, penulis tidak akan membahas lebih jauh hal tersebut karena (lagi-lagi) pasti akan bersinggungan dengan ranah praksis. Harap dimaafkan. Independensi adalah bentuk kemanusiaan manusia yang telah

nyata dari memutuskan

fitrah untuk

mentauhidkan Allah SWT, ini akan teraktualisasikan dalam dinamika berfikir, bersikap, dan berperilaku dalam konteks hubungan vertikalnya dengan Allah SWT maupun hubungan horizontalnya terhadap sesama manusia. Independensi ini akan memunculkan kebebasan, keterbukaan, dan kemerdekaan yang

64


melahirkan sikap objektif, rasional, dan kritis, sehingga pada akhirnya membentuk karakter insan yang progesif, dinamis, demokratis, jujur, dan adil[11]. Ketika masing-masing pribadi telah mengaktualisasikan konsep independensi dalam dirinya, maka independensi gerakan semestinya bisa menjadi watak yang secara alamiah tergambar dalam pola pikir maupun tindakan nyata gerakan. Hal ini akan melahirkan sikap independensi sikap politik bulat utuh tanpa intervensi partai apapun sebagai representasi rakyat secara independen. Penulis berharap, makna-makna dalam kata independensi kaitannya dengan partai maupun lembaga donor bisa diartikan secara lebih bijak. Sebab, independen sendiri tak mesti bermakna ‘menjaga jarak yang sama dalam semua momentum’. Sebab, melihat tata dunia sekarang yang serba terbuka, modern, dan kompleks, saling memengaruhi dan saling bergantung tidak bisa dinafikan, sehingga terkadang dalam derajat tertentu kita harus memberikan interdependensi dalam pemaknaan independensi tersebut. Lebih lanjut lagi, ini dikarenakan KAMMI adalah gerakan politik aktif (sebagai implementasi dari harokatul ‘amal), bukan gerakan politik pasif. a Man May Die, a Nation May Rise, But an Idea Lives On-J.F Kennedy Kata Cak Nur, ide itu berkaki. Maksudnya, ide-ide yang kuat berakar pada persoalan-persoalan teoritis dan kontekstual akan memiliki kakinya sendiri. Ide-ide itu akan menjadi perdebatan di pasar bebas ide (free market of ideas). Ada orang

65


yang meneruskannya, mengkritiknya.[12]

dan

tentu

saja

akan

ada

yang

Apakah Paradigma KAMMI akan mengakar kuat dalam sanubari para kader untuk kemudian diwariskan ke generasi berikutnya

akan

tergantung

dari

bagaimana

ide-ide

itu

menyentuh persoalan dari segi tekstual dan kontekstual. Karena itulah epistemologi yang menyusun kerangka berfikir menjadi sebuah bahasan yang penting. Meskipun demikian, penulis pun menyadari bahwa berlelah-lelah dengan epistemologi ini sungguh akan menghabiskan waktu dan tenaga. Apalagi jika menilik konteks historisnya epistemologi bisa dikatakan hampir atau telah mati. Berangkat dari konsep Descartes yang cenderung skeptis memandang dunia, orang-orang yang skeptis merasa bahwa mereka berdiri otonom diluar dunia sehingga bebas mengeksplorasi dunia sekehendak hatinya. Akan tetapi, cara berfikir macam ini ternyata menuai kritik tajam dari aliran posivitisme yang menitikberatkan metodologi dalam suatu pengetahuan sesuai hukum sains, yang kemudian-sayangnyameminggirkan kedalaman individu dan perkembangan sosial yang dinamis dalam sebuah masyarakat yang menyentuh kearifan lokal. Maka, bolehlah kita mengarah pada apa yang dikatakan Feyarabend dengan ‘anti-metode’nya, agar ilmu pengetahuan lebih terbuka terhadap dirinya sendiri dan menjadi lebih kaya. Dengan konsekuensi logisnya mengakui bahwa Epistemology is DEAD.

66


Feeling guilty is a big deal for some, since the others choose to prove they’re guilty or not-Adiwena Dalam tulisan ini, saya mencoba ‘berbicara’ mengenai Paradigma Gerakan KAMMI yang sampai saat ini belum memiliki keterangan tafsir lebih lanjut selain dari gambaran umum yang telah ada dengan interpretasi semau saya. Pastilah sangat dangkal dan tidak ilmiah, tak lain disebabkan oleh kedangkalan pengetahuan, sedikitnya wacana dan sumber referensi, serta terbatasnya ruang dan waktu. Lebih lanjut, saya pun menyadari bahwa upaya konklusi per poin atas Paradigma Gerakan dengan Kredo Gerakan dengan tujuan ‘memberikan kesan mendalam’ malah semakin memberi kesan ketidak-ilmiahan dalam tulisan ini. Namun, saya harap tulisan ini bisa menjadi prasasti dan kenangan indah atas ikhtiar terbaik yang bisa saya berikan dalam mengerjakan salah satu penugasan sebelum mengikuti Dauroh Marhalah 2 KAMMDA Sleman. Karena bagi saya DM 2 bukanlah sekedar peningkatan jenjang marhalah semata, melainkan sebuah langkah awal untuk lebih menghayati ke-KAMMI-an saya, belajar mencintainya dengan adanya acuan kepada sikap kritis dan pertimbangan matang, sehingga pengikutan atas dasar kecintaan itu pun dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan. Yang membuat saya tidak mencintai secara membabi-buta, akan tetapi tetap kritis dengan pertimbangan akal sehat. Kritik

apapun bentuknya, baik konstruktif maupun

destruktif akan saya terima dengan segala kerendahan hati. Sungguh, Allah-lah yang Maha Tahu. Segala kesalahan pasti dari

67


saya pribadi. Semoga Allah mengampuni, dan pembaca memaafkan. Surakarta, 28 Januari 2013

[1] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Makalah Sarasehan Profetik tahun 2012 : Paradigma Profetik, Mungkinkah? Perlukah? [2] lebih lanjut baca Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana [3] Zezen Zaenal Muttaqien dalam buku All You Need Is LoveCak Nur di Mata Anak Muda Bagian Teologi Perdamaian Cak Nur, dengan judul Sebuah Surat tentang NDP, Tauhid, dan Sekularisasi Cak Nur, hal 96 [4] Badan Pengelola Latihan HMI Cabang Sukoharjo 2012 dalam Nilai Dasar Perjuangan HMI BAB I (Dasar-Dasar Kepercayaan), hal 81 [5] Hariqo Wibawa Satria, Skripsi : Pemikiran Lafran Pane tentang Intelektual Muslim Indonesia. UIN Sunan Kalijaga, 2009. [6] Dr. Sayid Muhammad Nuh, Dakwah Fardiyah, (Solo : Era Adicitra Intermedia, 2011) [7] Hariqo Wibawa Satria, Skripsi : Pemikiran Lafran Pane tentang Intelektual Muslim Indonesia. UIN Sunan Kalijaga, 2009.

68


[8] Jostein Gaarder, Dunia Sophie-Sebuah Novel Filsafat, (Bandung : Mizan, 2006) [9] Dalam buku Merayakan Kebebasan Beragama-Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, bagian Agama, Teologi, dan Demokrasi, dengan judul ‘Mengenai Roh Kehidupan Demokrasi’ oleh Prof. Dr. Olaf Schumann, hal 691 [10] M. Asrul http://rullypattimahu.wordpress.com/

Pattimahu,

lihat

Istilah ini mengutip essai yang ditulis oleh Prio Pramono dalam Kolom Edisi 004, Agustus 2011 yang berjudul : Pseudo-Toleransi : Metode Dakwah Al-Qardlawi Dan Masa Depan Pluralisme Kita [11] Badan Pengelola Latihan Kader 1 HMI Cabang Sukoharjo 2012 dalam Tafsir Independensi Himpunan Mahasiswa Islam, hal 73

69


Korupsi dan Budaya Jawa Budaya Korupsi dari Masa ke Masa “Korupsi di negeri kita bukanlah akibat dari pikiran yang korup, melainkan akibat dari tekanan ekonomi. . . Pada akhirnya, ketika pertumbuhan ekonomi menjadi sedemikian pesat dan dan menciptakan taraf kehidupan yang lebih baik dalam segala bidang, para pegawai pemerintahan akan menerima gaji yang memadai dan tidak lagi memiliki alasan untuk melakukan korupsi.”- Soeharto, mantan Presiden RI Tidaklah mengherankan bahwa di era kepemimpinan Suharto, Indonesia menyabet reputasi sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Dari pernyataanya yang seolah acuh tak acuh terhadap korupsi seperti yang saya kutip di awal tulisan ini, kiranya bisa memberikan gambaran bahwa persoalan suap, uang terima kasih, hadiah yang bernilai ratusan juta pada klien atau bawahan, anggota keluarga, atau pejabat yang loyal terhadap kekuasaan pemerintah hanyalah persoalan kecil yang dalam politik ‘diperbolehkan’. Memang, bagi sebagian besar masyarakat kita, pemberian hadiah oleh seseorang terhadap pemimpin atau rekan bisnis bukanlah suatu perkara yang bisa dikategorikan dalam tindak pidana korupsi. Memberikan jabatan pada keluarga maupun kerabat dekat juga bukan merupakan bentuk tindakan nepotis. Hal ini tentu bisa dijelaskan, mengingat bahwa jika kita ingin menjustifikasi tindakan korupsi sebagai ‘korupsi’ kita harus

70


melihatnya berdasarkan pada perspektif budaya yang menjadi pemahaman yang menghegemoni bawah sadar manusianya. Beberapa praktik yang saat ini kita sebut sebagai korupsi sebenarnya dapat kita temukan dilaksanakan di kerajaankerajaan di Pulau Jawa pada masa lampau. Para raja Jawa di masa lalu berupaya mendapat jaminan loyalitas dari para elite politik di kerajaannya dengan menempatkan orang-orang yang setia terhadapnya pada posisi-posisi tertentu dengan pemberian gelar khusus agar pada saatnya nanti memberikan kebermanfaatan bagi posisi sang Raja. Dan pemanfaatan kekuasaan untuk hal-hal semacam itu tidak dikategorikan sebagai nepotisme. Sebagai akibatnya, para bangsawan yang diangkat oleh sang Raja pun secara berkala memberikan upeti yang berfungsi sebagai simbol loyalitas dan ‘balas jasa’ kepada sang Raja. Inilah yang seolah membenarkan praktik tahu sama tahu, yang diadopsi untuk membenarkan praktik-praktik serupa di era sekarang. Konsepsi kepemimpinan Jawa yang menempatkan kekuasaan Raja dalam hierarkis kasta yang kaku dan memberikan pandangan bahwa jabatan sebagai Raja memiliki kekuasaan absolut sehingga rakyat harus nrimo ing pandum pada segala bentuk kebijakan yang diambil oleh raja yang tak pernah salah telah memberi dampak kuatnya tradisi patronasi dalam gaya kepemimpinan yang diwariskan turun temurun secara periodik dari masa ke masa. Patronasi ini terlembaga dalam sistem patrimonial yang berhubungan dengan corak politik dimana kekuasaan penguasa diperoleh terutama dari kemampuannya mempertahankan loyalitas dari elite politik yang menyokong kepemimpinannya dengan jalan memuaskan keinganan mereka.

71


Dalam perkembangan selanjutnya, ketika penjajah datang ke Nusantara, praktik aristokrasi tradisional pun mulai diterapkan dengan mempekerjakan para pamong praja/ penguasa pribumi oleh pemerintah kolonial. Sehingga, otoritas para penguasa pribumi lebih tergantung pada koloni penjajah, bukan atas legitimasi mereka sebagai penguasa sah. Budaya Indonesia secara substantif pun banyak dibentuk oleh kebudayaan Jawa, apalagi sejarah kepemimpinan republik ini secara periodik menunjukan dominasi kepemimpinan para pribumi Jawa. Lihat saja pada kepemimpinan Soekarno, Soeharto, Megawati, Gus Dur, dan SBY yang memiliki latar belakang budaya Jawa yang relatif bisa kita lihat dalam corak kepemimpinannya. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa korupsi akan selalu menimbulkan pengaruh politis yang membawa pada kejatuhan sebuah sistem. Pada abad ke 18, praktik bisnis korup menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kebangkrutan VOC. Demokrasi Terpimpin Soekarno dengan kebijakan nasionalisasi asset-aset asing menjadi milik Negara membawa dampak mewabahnya praktik korupsi besar-besaran, seiring dengan inflasi anggaran belanja hingga membawa kejatuhannya antara tahun 1965-1966. Pun, demikian terulang pada Soeharto tiga dekade setelahnya dengan praktik korupsi dalam birokrasi pemerintahannya. Kini, di era reformasi, korupsi bukannya habis, malah semakin berkembang dengan meluasnya otonomi daerah yang menyebar pada tiap elemen lembaga kekuasaan negara. Kini,

yang

menjadi

pertanyaan

adalah,

akankah

pemerintahan yang kini sedang memegang tampuk kekuasaan akan kembali digulingkan karena kasus korupsi yang juga semakin merajalela? Jika pun hal itu terjadi, bisakah kita

72


menjamin bahwa praktik KKN akan habis sepenuhnya dari bumi Nusantara ini? Masihkah ada Harapan? Sekali lagi, kita seolah telah kehabisan kata, daya, dan upaya dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari gerakan sosial antikorupsi, penafsiran teologi korupsi, pembuatan aturan perundangan anti korupsi setiap kali ada kasus korupsi yang dinilai baru, serta pembentukan lembaga yang khusus menangani masalah korupsi. Namun nyatanya, korupsi tetap ada, mengakar, dan membudaya. Gagasan mengenai good governance yang bersih dari praktik KKN pun mulai terdengar sumbang untuk digaungkan, oleh

sebab

para

elite

yang

selalu

berbicara

mengenai

pemerintahan yang bersih pun telah menodainya ketika menjabat dalam tatanan struktural di pemerintahan. Ironis, memang. Kalaupun sudah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh sekelompol warga masyarakat, baik itu ormas, organisasi kemahasiswaan, maupun LSM, hasilnya belum begitu terlihat kalau tak bisa dibilang nihil. Tokoh

dan

lembaga

keagamaan

Islam

khususnya,

haruslah memiliki common platform dalam gerakan bersama melawan korupsi. Bukan sekedar menyuarakan jargon retoris semata! Jikalah patronasi hierarkis budaya Jawa dalam gaya kepemimpinan yang diwariskan turun temurun secara periodik dari masa ke masa ini masih relevan di era sekarang, maka hierarki institusi yang berbasis keagamaan entah itu parpol, ormas, LSM dan lain sebaginya mampu melakukan pengawasan

73


pada semua level organisasi, dari atas hingga ke bawah sehingga transparansi dapat terwujud pasti. KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang dalam prosesi kelahirannya merupakan salah satu pengusung reformasi yang menuntut terselenggaranya pemerintahan yang bebas dari korupsi dengan penegakkan supremasi hukum memiliki tanggungjawab moral yang besar dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan paham keagamaan yang modern dan puritan, massa yang banyak, serta basis pengkaderan yang relatif mapan, maka KAMMI semestinya bisa memainkan peran untuk menggaungkan gerakan anti korupsi yang lebih menyentuh pada tatanan praksis. Sebagai pressure group, KAMMI semestinya secara ‘cantik’ mampu memainkan perannya dengan membawa suara moral keagamaan dalam melakukan kontrol sosial terutama pada pimpinan parpol dan organisasi massa khususnya yang memiliki basis keislaman untuk membuktikan bahwa organisasi dan partainya bersih dari KKN. Namun,

sejatinya

komitmen

KAMMI

dalam

pemberantasan korupsi harus dimulai dari dirinya sendiri (ibda’ bi nafsika). Sejauh mana komitmen itu terpegang teguh manakala yang terlibat adalah salah satu kader, simpatisan, petinggi, alumni, atau penyokong dana yang menghidupi organisasinya. Lebih lanjut, beranikah kita bergerak secara sadar dan objektif menyikapi kasus-kasus yang menimpa mereka sebagaimana kita asik masyuk menilai organisasi/parpol yang juga terlibat dalam skandal kasus korupsi. Ataukah kita malah terjebak dalam praktik budaya para Raja Jawa yang melembagakan tradisi patronasi

74


sebab kitalah para punggawa yang ingin memberi balas jasa pada ‘sang Raja’? Bisakah kita bersikap dan bertindak dewasa?

75


Jelang Satu Periode Tak terasa, satu periode kepengurusan KAMMI Shoyyub UNS periode 2013-2014 akan segera usai. Begitu banyak cerita yang terbingkai dalam kenangan. Seperti sebuah film pendek, kenangan itu menyajikan abstarksi gambaran di benakku, satu per satu. Dimulai saat pelantikan kami di gladak, di bawah patung Slamet Riyadi, ikrarkan dengan teguh janji untuk terus berjuang dan menegakkan dien ini. Saat itu, sebetulnya aku masih ragu, “Sungguhkah ini jalan yang akan kupilih?� Mataku mencari sosok kakakku di Himpunan yang juga turut hadir dalam pelantikan. Pagi sebelum pelantikan itu ia mengirim sebuah pesan pendek, “Semoga bertahan.� Satu. Dua. Tiga. Mata kami sempat bertemu sesaat, meski segera ia mengalihkan pandangan dariku. Lalu, dimulailah hari-hari panjang di kepengurusan baru. Sepi. Itulah gambaran dari komisariat kami, sebuah rumah kontrakkan di dekat kuburan Mojo. Warnanya hijau, di depannya berjejer bendera merah putih dan bendera KAMMI, ada beberapa tulisan yang digantung di dinding, mengguratkan semangat perjuangan dalam sepi. Menujunya, mesti diingatkan dengan aroma kematian yang menguar dari ratusan makam yang berjejer di sepanjang jalan. Syuro-syuro kami dilaksanakan disana, pun dengan agenda diskusi dwi-pekanan yang juga sepi peminat. Tak apa.

76


Memang sepi itu indah, nikmat, manis. Jika di tempat lain bergugurannya pengurus adalah karena faktor bosan dan lelah, bergugurannya jumlah pengurus dalam kepengurusan kami adalah cerita soal pembagian peran dan tanggung jawab lebih untuk berkontribusi. Ya, begitulah kami. Musyawarah komisariat (Muskom) KAMMI Komisariat Shalahuddin Al Ayyubi UNS sebentar lagi akan diadakan. Semaraknya berusaha untuk dikobarkan oleh kesekjenan meski tak mendapat tanggapan yang begitu antusias dari kadernya. Obrolan-obrolan tentang bagaimana komsat akan dibawa ke depan menjadi menarik bagi beberapa kader disaat beberapa lainnya bicara soal suksesi kepemimpinan. Namun, tak jarang beberapa lagi yang lain tak tau apa itu muskom. Tak apa. Aku pun risau, mau dibawa kemana KAMMI periode ini? Akankah sama seperti sebelumnya? Ataukah hilangkan segalanya dan mulai mengkonsepsi dari awal lagi? Seorang kakak pernah mengutip (dan memodifikasi) kalimat Hasan Al Banna dalam Risalah Pegerakan, mengirimkannya padaku dalam sebuah email panjang saat kubilang padanya aku sudah terlibat aktif sebagai staff kaderisasi lembaga dakwah di fakultasku, dan aku mengamininya sampai hari ini. Mulailah dari titik dimana generasi pendahulu berhenti. Janganlah memutus pencapaian yang telah diraih. Janganlah hancurkan komponen-komponen yang telah dibangun. Janganlah mendongkel pondasi yang telah diletakkan, dan janganlah memporak-porandakan apa yang telah dirakit.

77


Kalau kau tak menambahkan pada tingggalan para pendahulu yang baik, paling tidak kau bisa bertahan dengan produk yang telah ada dan menjaganya sekuat tenaga. Kalau kau tidak mengikuti jejak pendahulu dengan menambah tingkat bangunan lalu melangkah ke tujuan yang diinginkan, paling tidak serahkanlah tongkat estafet perjuangan kepada yang lain. Begitu seterusnya. Sampai cita-cita dan impian dapat terwujud. Kekhawatiran ini semakin menjadi. Aku tenggelam dalam perenungan yang panjang namun belum ada sedikit pun hal yang terlintas dalam benakku. Kupikir, akan baik kalau pada periode ini KAMMI Shoyyub UNS berfokus pada pengkaderan dan pembinaan. Misal dengan melakukan sebuah lokakarya kaderisasi demi tercapainya kaderisasi yang terintegrasi di semua bidang. Mungkin bedah IJDK bisa menjadi alternatif pilihan, karena pada dasarnya penerjemahan visi dan orientasi kaderisasi KAMMI tak akan pernah lepas dari pemenuhan IJDK itu sendiri. Varian diskusi juga harus dirombak ulang. Bukan hanya berfokus pada apa yang kader butuhkan, tapi apa yang mereka inginkan. Untuk yang satu ini, memang aku agak konservatif. Kupikir, banyak kader yang menginginkan suplemen soal kepemimpinan kampus dengan menghadirkan tokoh-tokoh kampus yang telah besar namanya. Ini bagus. Tapi, sejatinya aku menginginkan gerakan eksternal tak terlalu berfokus ke ranah itu, lebih ingin kembali menekuni buku-buku, berdialog, berdiskusi, membentuk mind-set yang utuh sebagai bagian dari tanggung jawab intelektualnya.

78


Aku telah melewati perjalanan yang cukup panjang untuk menemukan orientasi perjuanganku, sesuatu yang membuatku menjadi manusia lagi, dan berada di KAMMI adalah pilihan sadar yang kubuat. Tak banyak yang bisa kuberi sejauh ini. Tapi, memperjuangkan idealisme di tengah idealisme-idealisme yang lain, berani memberikan inisiatif ditengah inisiatif-inisiatif kuat yang lain, serta menemukan jalanku bertemu dengan Tuhanku adalah sebuah keindahan keutuhan diri lagi.

yang

membuatku

merasakan

“Semoga bertahan.

79


Mencermati Pelabelan Kultural-Struktural dalam Tubuh KAMMI Labelisasi KAMMI (Struktural-Kultural) Sejak perdebatan mengenai lahirnya sebuah gerakan dalam tubuh KAMMI yang melabeli dirinya sebagai Gerakan Kultural bergulir, adu argumen yang terjadi antar dua kubu menjadi bahan kajian yang menarik untuk dibahas. Sebab, disini kedua belah pihak yang sama-sama menolak pengkotak-kotakan gerakan, justru mengkotaki terlebih dahulu dirinya dengan label Struktural-Kultural di ranah perdebatan literal. Bukannya mempertanyakan apa fungsi label strukturalkultural ini. Ironisnya, kader KAMMI yang berada di luar arena perdebatan literal itu malah sibuk berspekulasi dengan menghomolog-kan label Struktural-Kultural dengan label halal-haram. Mungkin, karena budaya verbalisme yang telah mengurat nadi, mereka yang tak tahu duduk persoalan pun turut mengamini labeling tersebut, sehingga tak pelak isu yang menyatakan bahwa gerakan kultural adalah sebuah gerakan sempalan, gerakan manuver, yang digagas oleh beberapa kader dalam upaya melakukan destruksi terhadap warna gerakan Ikhwanul Muslimin dan patronasinya dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun menguar ke permukaan. Menjadikan gerakan Kultural yang baru hadir tersebut menjadi musuh bersama bagi seluruh kader KAMMI, baik yang masuk dalam struktur pengurus maupun mereka yang hanya berafiliasi.

80


Nah, disinilah poin pertama yang ingin saya ungkapkan. Homogenisasi label struktural-kultural dengan label halal-haram ini sejatinya telah merancukan kerangka berfikir kita untuk melihat segala sesuatunya secara objektif. Padahal, inti dari persoalan bukanlah pada pelabelan itu, akan tetapi pada argumentasi rasional yang akan menopang dan mengarahkan pada posisi teoritik yang diringkaskan ke arah frasa pelabelan yang dimaksud. Maka, sebelum melangkah ke pembahasan selanjutnya, mari kita jernihkan terlebih dahulu persepsi kita mengenai penggunaan kedua term ini. Kultural, Menjawab ‘Inkusifisme Lip Service’ Struktural Fenomena makin menggeliatnya gerakan kultural di media sosial, baik di facebook (Group KAMMI Lintas Generasi dan akun

facebook

Diskusi

Kultural)

maupun

website

(kammikultural.org) yang berupaya membedah kembali identitas dan ideologi KAMMI melalui kajian keilmuan yang rasional dan empiris, serta menciptakan iklim demokratis, terbuka, kritis, dan jujur dalam pencarian kebenaran dengan memaparkan fakta sejarah disertai argumentasi pendukung yang sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual sudah saatnya mendapat apresiasi dari rekan-rekan KAMMI di seluruh Indonesia, bukannya mendapat label haram, ‘barisan sakit hati’, pemberontak, sempalan, maupun ungkapan steriotipe lainnya. Sadar tidak sadar, diakui maupun tidak, semaraknya group dan website tersebut menandakan bahwa pada dasarnya Kultural telah diterima untuk mengisi ruang-ruang dialektis serta pertarungan wacana di tubuh KAMMI yang selama ini identik dengan mitos statis, homogen, dan terkesan eksklusif. Tentu saja

81


hal ini merupakan langkah awal yang sangat positif dalam membangun pencerdasan bersama menuju kemajuan dan kemandirian organisasi yang egaliter di setiap level struktur. Bahwa untuk bisa terlibat dalam dialog yang bermakna dengan gerakan lainnya, KAMMI harus memulainya dengan membuka dialog ke dalam dirinya sendiri. Ini hanya dapat terjadi jika KAMMI belajar menerima perbedaan-perbedaan internal dengan menerima secara bijak kehadiran suara-suara baru yang bisa jadi berbeda dari mainstream kebanyakan. Selama ini, kita seringkali acuh tak acuh (atau tidak sadar?) apabila ideologi gerakan KAMMI yang tertuang dalam paradigma, kredo, dan prinsip gerakan digunakan secara apologis, yakni dengan memilih teks yang pas untuk membebaskan diri dari inkonsistensi (atau ‘kemunafikan’) yang terjadi dalam praktek. Malah, tanpa pikir panjang menjadikannya sebagai tameng guna menutup diri demi menjaga kemurnian ajaran. Padahal, ide tetaplah ide, akan selamanya bersifat ekletik. Diperlukan pematangan meskipun harus mengkonfrontasikannya dengan ide dan gagasan lain dalam percaturan wacana. Memang, sebagai organisasi yang memiliki pucuk pimpinan dan terorganisasi secara terpusat kader KAMMI berharap bahwa struktur-lah yang mengambil peran menentukan identitas organisasi untuk kemudian diartikulasikan dalam perjuangan politik dan ideologinya, bukannya oleh segelintir orang yang berada di tataran grassroot. Akan tetapi, seringkali upaya-upaya penyadaran identitas itu tersandera oleh kepentingan-kepentingan lain yang menyuntikkan pengaruhnya ke dalam struktur hingga menyebabkan KAMMI terjebak pada

82


dinamika parlementer dan politik an sich serta keberpihakan dalam penyikapan isu yang menuntut kesatuan bulat suara untuk menghimpun massa. Heterogenitas dinilai akan menghancurkan soliditas dan harus diberangus sampai ke akar-akarnya. Otomatis, suara-suara sub-altern itu pun tenggelam dan tak lagi terdengar, inklusifitas akan keberagaman pun seolah menjadi lip service semata, inklusifitas yang malas dan cenderung parsial. Maka, langkah yang paling masuk akal adalah membuat agensi di luar struktur yang merumuskan identitas kolektif dan artikulasi perjuangan organisasi dalam rangka merealisasikan tanggungjawab moralnya sebagai kader KAMMI yang otonom dan independen, tanpa ada tendensi untuk merebut kekuasaan struktur dalam upaya merealisasikannya secara revolusioner. Mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami Selama ini, kita seolah menunjukkan pada diri kita sendiri dan yang lain potret wajah KAMMI yang tunggal dan homogen, padahal kita sadari betul bahwa ada begitu banyak suara dan wajah beragam yang membentuk potret KAMMI secara utuh. Pengakuan terhadap keberagaman ini tak hanya akan memperindah perwajahan KAMMI, tapi juga membuat kita lebih jujur. Dan kiranya, kalimat Mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami, sebagai visi KAMMI yang tertuang dalam konstitusi bisa menjadi kalimat perekat kebersamaan yang mempersatukan kolektivitas perjuangan kader KAMMI di seluruh penjuru tanah air, baik yang melabeli dirinya struktural maupun kultural.

83


Dalam pidato monumental Lahirnja Pantjasila pada Juni 1945, Bung Karno mengatakan, “Kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!� Mungkin untuk sekali lagi, kita harus memaknai bahwa perjuangan yang heroik lagi panjang ini bukanlah untuk kepentingan kelompok, apalagi hanya perkara struktural-kultural, akan tetapi merupakan suatu komitmen pengabdian yang murni dan tulus untuk merumuskan yang terbaik bagi semua, bagi KAMMI, bagi Indonesia, bagi ummah. Semua buat semua! Sekalipun hanya daur ulang ide dan kesimpulan lama, semoga tulisan ini bermanfaat, Akhirul kalam, astaghfirullah hal’adzim.

84


Belajar dari Kunjungan ke KAMMI UNY Senin, 11 Februari lalu saya dan rekan-rekan dari Pengurus Komisariat KAMMI Shoyyub UNS melakukan kunjungan ke KAMMI Komsat UNY (yang mereka sebut Gaza University) untuk bersilaturrahim

dan sharing berbagai

hal

yang

menjadi

kegelisahan maupun tawaran solusi di masa yang akan datang mengenai keberjalanan organisasi ini, minimal di tingkat komisariat. Hal pertama yang kami bahas adalah mengenai struktur organisasi dan keberjalanannya. KAMMI UNY di komandani oleh Mas Ngadino. Secara instruktif di bawah ketua ada dua Sekretaris Umum dengan dua departemen di bawahnya, yakni BPO (Pengembangan Organisasi) dan KSK (Kesekretariatan) serta Bendum dengan BUMK (Badan Usaha Milik KAMMI) yang dimilikinya. Sementara secara koordinatif instruktif ketua umum KAMMI UNY mengomandani lima bidang, yakni Kaderisasi, Humas,

Kebijakan

Publik,

Sosial

Masyarakat,

dan

DPW

(Departemen Pengembangan Wilayah). Dari kunjungan kali ini saya mendapatkan pengertian baru mengenai permasalahan kolektif yang dimiliki KAMMI baik di komisariat UNS maupun UNY. Pertama, mengenai dilarangnya organisasi eksternal di internal kampus dan dualitas peran kader sabagai kader KAMMI dan kader lembaga internal kampus. Pembahasan panjang terkait hal ini lebih cenderung dikaitkan dengan posisi kader sendiri yang semestinya menjadikan KAMMI sebagai wajihah dan organisasi Internal sebagai wasilah, bukan sebaliknya.

85


Kedua, mengenai sasaran kaderisasi. Selama ini, kita harus mengakui bahwa kaderisasi KAMMI belum mampu menghasilkan kader genuine, kader yang asli ‘cetakan’ KAMMI. Rata-rata mereka datang dari objek dakwah yang saat SMA sudah ngaji, mereka yang aktif terlebih dahulu di LDK maupun AAI, bukan karena KAMMI memang berhasil mengkader. Efeknya, apabila kita berbicara soal loyalitas, maka KAMMI selalu dijadikan rumah kedua bagi kader. Ketiga, ideologisasi. KAMMI harusnya mampu mencetak kader-kader pemimpin seperti yang tertuang dalam visinya. Hal ini membutuhkan penanganan ekstra terlebih jika kita ingin menjadikan KAMMI sebagai lumbung kader yang mampu mengorbitkan banyak kader (meminjam istilah Mas Panca). Tentu ini harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas kader, sehingga aktivis KAMMI selain mapan secara intelektual dan mentalitas, juga matang secara loyalitas. Keempat, penetrasi nilai-nilai keKAMMIan dalam kampus. Dari pembahasan dapat saya simpulkan bahwa KAMMI UNS menggunakan cara-cara kultural, sedang UNY dengan cara struktural. Kelima, fungsi taurits. Karakter KAMMI sebagai organisasi pengkaderan dan organisasi amal menuntut KAMMI memiliki platform dalam gerakannya. Akan tetapi, selama ini kita belum memiliki sebuah platform yang bisa diwariskan dan dievaluasi secara periodik sehingga keberjalanan kepengurusan ‘seolah’ hanya mengulang lagi dari periode sebelumnya. Ini patut menjadi evaluasi bersama. Hal yang harus diupayakan segera adalah membuat grand desain KAMMI di masing-masing

86


komisariat agar tidak terjadi diskontinuitas program tanpa ada taurits, selain itu pengejawantahan renstra KAMMI secara nasional tahun 2014-2022 pun patut menjadi perhatian bersama. Selain berbagai hal diatas, ada beberapa hal lain yang kami bahas. Akan tetapi, agaknya lebih etis untuk dibahas dalam forum tersendiri.

87


Membingkai Potret Pengkaderan KAMMI: Sebuah Harapan Mencetak Kaderisasi Mandiri dalam Tubuh KAMMI Refleksi Sederhana Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kaderisasi dan pembinaan adalah merupakan napas utama dari pergerakan. Apabila sebuah pergerakan ingin tetap terus bertahan, eksis, berupaya memberikan kontribusi terbaiknya bagi ummat, maka parameter mutlak yang menjadi syarat utama adalah bagaimana keberjalanan proses kaderisasinya. Karakter KAMMI sebagai harokatu tajnid menuntut konsekuensi logis akan kebutuhan proses pembinaan yang berjalan secara sistemik dan berkesinambungan demi mewujudkan cita-cita bersama organisasi, yakni: bangsa dan negara Indonesia yang Islami. Namun, hal yang bertolak belakang dengan idealita itu terjadi di tubuh KAMMI selama kurun waktu 15 tahun lebih ia mengada di Indonesia. Kaderisasi yang carut marut dari tingkat pusat hingga komisariat terjadi di depan mata tanpa penganganan yang berarti. Setiap pleno/evaluasi diadakan di komisariat maupun tingkat daerah, kritik terhadap kaderisasi selalu menguar ke permukaan, gagasan dan terobosan baru diungkapkan untuk membedah akar permasalahan kaderisasi. Akan tetapi, solusi yang ditawarkan tak kunjung membawa perubahan berarti, stagnan berdiam dalam notulensi acara, mandul dalam praksis di lapangan. Beberapa kali saya sempatkan membahas persoalan kaderisasi dengan rekan saya di komisariat, jawaban seragam yang muncul membawa saya pada satu kesimpulan, yakni

88


kegagalan KAMMI melakukan proses kaderisasi mandiri. Memang, tak bisa dipungkiri, relasi kekuasaan dan politik praktis telah membawa KAMMI dalam dilema berkepanjangan dalam merumuskan ideologinya, yang pada akhirnya berimplikasi pada aksiologis gerak KAMMI secara taktis di lapangan. KAMMI sebagai organisasi pengkaderan memiliki instrumen kaderisasi yang terbingkai dalam Manhaj Kaderisasi 1433 H. Turunan dari penjabaran Manhaj tersebut adalah terbinanya kader KAMMI yang secara konseptual membentuk Muslim Negarawan, yang pada gilirannya mampu memimpin di berbagai sektor kehidupan dalam fase mihwar daulah dalam kontribusinya di ranah publik kenegaraan. Demi menunjang hal tersebut, setiap kader KAMMI diharuskan memiliki kompetensi wajib di bidang aqidah, fikrah dan manhaj perjuangan, akhlak, ibadah, tsaqofah keislamanan, wawasan ke-Indoneisaan, kepakaran dan profesionalitas, kemampuan sosial politik, pergerakan dan kepemimpinan, serta pengembangan diri. Dengan segala macam tata ukur tersebut, saya sering membayangkan bahwa seorang Muslim Negarawan pada haikatnya adalah manusia super yang tanpa cela dan cacat, sebuah terminologi alay yang justru menjadi kebanggaan organisasi bernama KAMMI. Tak masalah. Meski paradoks dengan yang saya yakini, saya cukup bangga membawa label ini kemana-mana. Pada kenyataannya, KAMMI mengakomodir dua sistem pengkaderan di waktu yang sama, diterapkan pada kader yang sama, dalam kurun waktu yang juga sama. Hal ini tentu membawa problema dilematis bagi KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang independen. Di satu sisi, ia ingin melaksanakan secara total aplikasi manhaj KAMMI yang telah disusun sedemikian rupa, disisi lain ia memiliki posisi sebagai wajihah dakwah jama’ah Tarbiyah yang juga memberlakukan manhaj-nya sendiri.

89


Akibatnya, kader KAMMI terjebak dalam pembenaran bernama efektifitas dan efisiensi. Instrumen pengkaderan berupa tasqif, dauroh, kajian, telah dilaksanakan oleh jama’ah, jadi buat apa lagi KAMMI kembali mengadakan? Bukankah itu pemborosan waktu, tenaga, dan biaya? Awalnya, saya mengamini kalimat diatas. Namun, kemudian sesuatu yang jauh lebih besar menggelitik dalam diri saya. Nah, jika demikian kenyataannya, artinya KAMMI belum mandiri secara ideologi. Apakah sama karakteristik gerak sebuah organisasi mahasiswa independen yang memiliki nalar berpikir gerakan mahasiswa dengan organisasi politik-keagamaan yang menekankan pada politik praktis? Bagi saya, kader KAMMI pun akan canggung menjawab pertanyaan diatas. Hal ini dilatarbelakangi oleh dualitasnya sebagai kader KAMMI sekaligus kader jama’ah, sekaligus dualitas KAMMI sebagai organisasi mahasiswa independen dan hubungan patron-client nya dengan PKS. Bagi saya, pembongkaran dualitas peran ini harus tuntas sebelum seorang kader dilantik menjadi Anggota Biasa1 KAMMI paska mengikuti Dauroh Marhalah1. Menyoal Dauroh Marhalah1 Berpedoman pada Manhaj Kaderisasi KAMMI 1433 H, ada lima materi wajib dalam penyelenggaraan Dauroh Marhalah1. Kelima materi itu antara lain: Aqidah Islam, Syumuliyatul Islam, Problematika Umat Islam, Islam Pemuda dan Perubahan Sosial, serta Sejarah dan Filosofi Gerakan KAMMI1. Selain lima materi wajib ini, pengelola Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS

1

di UNS, materi ini diberi nama Ke-KAMMI-an

90


menyisipkan tiga materi tambahan, yakni Fiqh Demonstrasi, Pengembangan Diri, serta setting dan Simulasi Aksi. Materi tersebut semestinya diberikan oleh Instruktur yang telah mengikuti TFI, akan tetapi KIDS (Korps Instruktur Daerah Solo) selama ini belum menjalankan fungsinya sebagai pemandu maupun pengelola Dauroh. Materi pertama dan kedua biasanya disampaikan oleh ustadz terpilih, materi ketiga dan selanjutnya oleh instruktur (kader KAMMI yang berkompeten), sedang materi Pengembangan Diri yang baru sekali diuji cobakan dalam Dauroh Marhalah1 bulan Oktober 2013 menghadirkan trainer dari luar kader KAMMI. Sangat disayangkan bahwa KIDS belum menjalankan perannya sebagai elemen pengawal kaderisasi KAMMI yang secara struktural berada di bawah Departemen Kaderisasi KAMMI Jawa Tengah. KIDS juga belum secara konsisten melakukan pengelolaan proses pendidikan dan pelatihan kader agar mampu menghasilkan kader yang berkualitas secara moral, spiritual, maupun intelektual. Dalih yang sekali lagi muncul adalah: tujuan menghasilkan kader yang demikian sudah diemban oleh manhaj jama’ah, melakukan hal yang sama persis merupakan pemborosan! Namun, saya tidak ingin memperlebar pembahasan mengenai pembenaran yang terus menjadi dalih tersebut. Disini, saya akan memulai menyoal Dauroh Marhalah 1 sebagai pintu gerbang pertama bagi seorang mahasiswa memasuki organisasi bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Proses pengkaderan kader KAMMI dimulai dengan diadakannya screening berupa wawancara dan tes tertulis bagi mahasiswa yang berniat mendaftar mengikuti Dauroh Marhalah1. Dalam pengelolaan Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS pada Oktober 2013, peserta diwajibkan mengikuti screening

91


berupa tes tertulis dan wawancara. Selain mengetahui data diri peserta, pengelola juga memberikan soal sebagai tes tertulis. Tes berupa soal essay yang dikerjakan secara individu dan open source. Berikut soal tes tersebut: 1. Sejauh mana anda mengetahui Aqidah Islamiyah? Bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari? 2. Sejauh apa anda mengetahui tentang KAMMI? Mengapa anda ikut DM1? 3. Menurut anda permasalahan apa yang paling krusial di Indonesia? Peran apa yang bisa anda berikan untuk mengatasi permasalahan tersebut? Selain tes tertulis, pengelola juga melakukan wawancara dengan tujuan menngetahui pemahaman peserta mengenai kondisi aqidah, pengetahuannya tentang gerakan mahasiswa di Indonesia, kondisi sosio-politik-budaya Negara Indonesia, pemahaman peserta terhadap ajaran Islam, serta pengetahuannya mengenai KAMMI mengikuti Dauroh Marhalah 1. 1. Peserta percaya tahayul, dll.

dan

lurus

alasan

peserta

aqidahnya,

tidak

2. Peserta mengetahui semua gerakan mahasiswa yang ada di Indonesia dan mengetahui perbedaan masing-masing. 3.

Peserta

memahami

kondisi

di

Indonesia. 4.

Mengetahui

pemahaman

terhadap islam (apakah liberal, fundamentalis).

92

peserta


5. Mengetahui tentang KAMMI dan tahu alasan mengapa ikut DM1.

Secara teknis, saya tidak begitu mempersoalkan mengenai isi dari wawancara tersebut meskipun saya merasa janggal dengan instrumen wawancara yang memuat mengenai pengetahuan peserta mengenai gerakan mahasiswa di Indonesia. Menurut saya pribadi, tiga hal yang mestinya menjadi titik tekan dalam pelaksanaan wawancara (tanpa menafikan hal yang lain) adalah: (1) Pengetahuan ke-Islam-an yang telah tercakup dalam tes tertulis di poin 1 dan wawancara di poin 1 dan 4, (2) Wawasan ke-Indonesia-an, yang telah tercakup dalam soal tertulis poin 3 dan wawancara poin 2, (3) Organisasi dan Kemahasiswaan yang tercakup dalam lembar biodata peserta. Dua poin mengenai pengetahuan peserta tentang KAMMI, selain menunjukkan betapa narsisnya KAMMI, juga mampu memberikan gambaran awal tentang segmentasi peserta Dauroh Marhalah 1. Seperti yang telah saya singgung di muka, dualitas kaderisasi yang melanda KAMMI sebagai organisasi maupun yang dialami oleh kader KAMMI sendiri semestinya membuat kita melakukan refleksi kritis terhadap segmentasi peserta DM1. Saya yakin, peserta Dauroh Marhalah 1 akan memberikan jawaban beragam mengenai motifnya mengikuti DM1. Ada yang menganggap bahwa mengikuti DM1 merupakan kewajiban bagi kader Tarbiyah, ada yang karena desakan/ paksaan murobbi, ada yang hanya sekedar ikut-ikutan, mencari pengalaman, dan lain sebagainya. Motif awal ini semestinya menjadi data berharga

93


bagi pengelola dalam melakukan proses pengelolaan data base calon peserta DM1. Motif yang berbeda membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Seorang peserta yang memiliki kepahaman saklek bahwa DM1 adalah kewajiban yang mesti diikuti oleh kader Tarbiyah membutuhkan penanganan yang berbeda dengan peserta lain yang menganggap bahwa KAMMI adalah sebuah entitas pergerakan mahasiswa ekstra kampus yang independen dan bebas kepentingan golongan/partai manapun. Ini merupakan tantangan awal yang harus dijawab oleh pengelola sebelum melangkah ke proses pengkaderan selanjutnya. Apakah data ini semacam menjadi arsip dan onggokan kertas belaka, atau menjadi instrumen pendukung vital dalam pengelolaan dauroh yang sebenarnya. Tak lupa, seperti yang sudah-sudah, paska screening dilakukan, peserta akan diberikan tugas untuk membuat essay dan membaca buku tertentu. Essay biasanya berkisar soal problematika umat, sedang buku bacaan wajib di KAMMI UNS adalah Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus dan Dari Gerakan ke Negara. Evaluasi dari penugasan ini, sekali lagi, hanya menjadi onggokan kertas yang tertumpuk, tanpa evaluasi bahwa essay tersebut merupakan plagiasi dari tulisan yang dengan mudah didapat di internet, tanpa penghargaan bahwa tulisan tersebut bisa jadi dibuat dengan kesungguhan dan semangat yang luar biasa. Buku referensi yang diwajibkan pun hanya menjadi bacaan yang mengawang di angan-angan, tak ada pembacaan kritis mengenai buku-buku tersebut. Ya, kita baru sampai sebatas itu.

94


Pasca pengelola melakukan screening, selanjutnya diadakanlah Pra-DM1. Ini adalah agenda rutin yang dilaksanakan sebelum dimulainya Dauroh Marhalah 1, tujuan praktisnya adalah mengenalkan KAMMI pada mahasiswa sekaligus meyakinkan mereka bahwa mengikuti Dauroh Marhalah1 merupakan hal yang benar, tepat, dan memang seharusnya mereka

lakukan.

Tidak

ada

kritik

mendasar

mengenai

pengelolaan Pra-DM1 sampai sejauh ini oleh saya. Pada akhirnya, Dauroh Marhalah 1 yang selalu dirayakan dengan suka cita oleh setiap kader KAMMI terwujud di depan mata, dengan sejumlah peserta yang datang dengan antusias (mungkin ditambah ekspektasi berlebih). Hal ini membuat perasaan saya sebagai OC dalam empat Dauroh Marhalah 1 terakhir di UNS berdebar. Apakah KAMMI mampu menjawab ekspektasi mereka saat dengan antusias mereka hadir di hari pertama Dauroh? Ataukah, hanya kekecewaan yang akan mereka dapat karena dauroh KAMMI yang begitu-begitu saja? Saya belum mampu menjawab pertanyaan ini. Sebab, tak ada yang benar-benar pernah mengatakan pada saya bahwa DM1 itu payah dan begitu-begitu saja. Mungkinkah pengelolaan DM1 selama ini memang luar bisa sempurna, atau kader KAMMI yang begitu latah dengan euforia dan penilaian hati atas dasar ikut-ikutan? Bagi saya pribadi, Dauroh Marhalah 1 adalah agenda yang sangat vital dalam proses kaderisasi di KAMMI. Disinilah, untuk kali pertama, para calon kader mengenal KAMMI. Dari mulai sejarah, tafsir asas dan tujuan, paradigma, ideologi KAMMI dan bagaimana KAMMI memandang berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat, termasuk bagaimana KAMMI

95


mengejawantahkan nilai-nilai syahadatain dan syumuliyatul Islam dalam langkah gerak organisasinya. Berkaca pada Latihan Kader 1 (Basic Training) Himpunan Mahasiswa Islam, penulis membangun argumen mengenai bagaimana pengelolaan Dauroh Marhalah ideal di KAMMI. Tanpa menafikan bahwa kultur yang dibangun di HMI tak selalu tepat dan relevan untuk diterapkan juga di KAMMI. Bahwa KAMMI pun memiliki karakter khas yang harus selalu dipertahankan. Namun demikian, penulis berusaha mensarikan kritik mendasar terhadap pola Dauroh Marhalah1 di KAMMI. Pertama, Segi Peserta Sesuai

dengan

Panduan

Kerja

Nasional

yang

digelontorkan PP KAMMI, KAMMI memiliki target pengkaderan yang secara nasional dijadikan parameter dalam mengukur keberhasilan kaderisasi. Efeknya, di tingkat komisariat pengejaran kuantitas menjadi hal yang otomatis dominan terasa. Dalam empat DM1 yang penulis ketahui di UNS, jumlah peserta DM1 selalu lebih dari 40 orang, sehingga kelas/ ruang sesi selalu mengambil pola kelas klasikal. Pola klasikal bukanlah pola yang efektif dalam rangka ideologisasi kader. Maka, dauroh pun sama kondisinya dengan penyampaian materi di kuliah umum, apabila jumlah peserta membludak, tak akan jauh beda dengan seminar. Bagi saya, permasalahan ini membutuhkan penanganan serius. Apabila instruktur memang menginginkan keidealan dan kualitas dauroh. Ada dua pilihan yang mungkin: mengurangi jumlah peserta atau membuat kelas-kelas tersendiri yang maksimal hanya diperuntukkan untuk 20-25 orang.

96


Kedua, Metode Penyampaian Metode penyampaian materi pun terkesan indoktrinatif. Peserta masuk ruang sesi, moderator memberikan pengantar, waktu diberikan pada moderator, moderator menyampaikan, peserta berbicara saat sesi tanya jawab. Ini menyebabkan peserta sebatas tahu dan paham, akan tetapi gagal dalam mewacanakan hal tersebut dalam sebuah metodologi pikir yang utuh dan integral. Dampaknya, peserta akan gagap menarik benang merah yang menghubungkan antara satu materi ke materi lainnya, sehingga kepahaman yang terbentuk pun pada akhirnya adalah kepahaman yang parsial, tidak utuh dan padu. Ketiga, Gagalnya Ideologisasi Yang terparah dari semua permasalahan yang saya kemukakan diatas adalah kegagalan Dauroh Marhalah 1 mencetak kader-kader ideologis yang siap bertarung di tataran wacana, utamanya terkait dengan tafsir paradigma gerakan KAMMI. Dauroh Marhalah 1 mestinya menjadi gerbang utama bagi kader untuk mengenal KAMMI, akan tetapi tidak ada materi ideologisasi yang cukup relevan didalamnya. Peserta hanya dituntut untuk tahu dan paham dengan sejarah gerakan KAMMI. Padahal, perlu ada pendalaman yang lebih komprehensif mengenai ideologi KAMMI. Dalam Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam, materi LK1 meliputi: Metodologi Diskusi (Pengantar), Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam, Konstitusi HMI (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Struktur

97


Organisasi, Pedoman Atribut, Memori Penjelasan tentang Islam sebagai Azas HMI, Tafsir Tujuan serta Tafsir Independensi), kemudian porsi pemberian materi terbanyak adalah pada saat dipaparkan mengenai ideologi HMI yang terbingkai dalam Nilai Dasar Perjuangan. Namun, porsi materi ideologi KAMMI yang mencakup banyak hal termasuk sejarah, visi, misi, prinsip, karakter, unsurunsur perjuangan, paradigma, serta kredo mendapat porsi penyampaian materi yang sama dengan materi lainnya. Menurut hemat saya, porsi penyampaian materi ini harus diperpanjang, karena disinilah kader bisa mengkontruksi pemikirannya sebagai kader KAMMI yang memiliki identitas jelas, jelas dalam platform gerakan maupun karakter pribadi. Manhaj Filosofi Gerakan KAMMI Adalah hal yang sangat wajar, manakala penulis berpendapat bahwa pembuatan modul berisi literatur teks materi DM1 oleh instruktur adalah kebutuhan mendesak sekaligus merupakan perangkat utama dalam pelaksanaan Dauroh Marhalah 1. Setidaknya dengan modul tersebut, kita berharap peserta memiliki kesiapan dalam menghadapi materi yang akan diberikan. Ia bisa menyiapkan tesis atau antitesis sebelum materi, artinya ia tidak datang dari suatu ruang kosong, melainkan dari argumen teoritis berdasar kajian pustaka maupun pengalaman empiris yang pernah dilaluinya. Modul tersebut akan memuat materi Dauroh Marhalah 1 yang semuanya terbingkai dalam analisa ideologi KAMMI atau tafsir filosofi gerakan. Materi yang berkaitan dengan syahadatain dan syumuliyatul Islam akan menjadi bab awal di modul ini

98


dengan judul Tafsir Paradigma Islam KAMMI. Disini, KAMMI akan melakukan penafsiran secara qur’ani dengan dilengkapi pisau analisis sosial sehingga akan didapatkan tafsir utuh mengenai bagaimana syahadatain dan syumuliyatul Islam menjadi muara dari semangat penggerak yang dijiwai kader KAMMI dalam setiap aktivitasnya secara individu maupun organisasional dalam melakukan perubahan sosial. Materi ketiga mengenai Problematika Umat Islam tidak akan dibahas di modul ini, melainkan menjadi sesi wajib diskusi. Disinilah instruktur mereview ulang tugas yang pada saat screening diberikan pada kader KAMMI. Tugas tersebut berupa analisa kritis peserta DM1 terhadap kondisi umat dewasa ini. Bisa berupa isu kontemporer, isu strategis, maupun lewat fenomena sosial yang peserta lihat di kesehariannya. Disini, instruktur dapat mulai memahami bagaimana peserta memposisikan dirinya dalam dinamika kelompok, pola pikir, serta pandangannya akan hal-hal keumatan. Pada tahap selanjutnya, ini akan menjadi data awal dalam pengelolaan kaderisasi saat mereka dikelompokkan dalam kelompok diskusi. Materi keempat mengenai Islam, Pemuda, dan Perubahan Sosial akan dijabarkan dalam buku ini dengan judul KAMMI dan Perubahan Sosial. Disini akan dibahas mengenai perubahan sosial macam apa yang akan dilakukan KAMMI sebagai entitas yang lahir dari rahim pergerakan dakwah sekaligus kelompok organisasi kepemudaan milik Bangsa Indonesia. Dalam kerangka tersebut, instruktur akan mengambil benang merah dari problematika umat serta paradigma Islam yang KAMMI tawarkan sebagai solusi. Sehingga, tidak ada lagi dikotomi bagi kader KAMMI untuk menjadi bagian dari kader umat sekaligus kader bangsa. Akan dibahas pula Sejarah KAMMI sebagai aktualisasi riil

99


dari perubahan sosial yang coba dilakukan oleh kalangan mahasiswa muslim di Indonesia dalam perannya sebagai kader bangsa Indonesia. Materi kelima mengenai Ideologi KAMMI akan dibahas dalam Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI yang dirumuskan secara nasional dan menjadi rujukan bagi kader KAMMI dalam menjelaskan tafsir paradigmatik ideologi KAMMI. Tafsir Filosofi Gerakan ini akan mirip dengan teks Nilai Dasar Perjuangan HMI yang menjadi dasar teoritis penjelasan ideologi HMI. Jika dalam Nilai Dasar Perjuangan terdapat tujuh bab berisi : Dasar-Dasar Kepercayaan,

Pengertian-Pengertian

tentang

Dasar

Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir), Ketuhanan yang Maha Esa dan Perikemanusiaan, Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan Ekonomi, Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan serta Kesimpulan dan Penutup. Dalam benak saya, tafsir filosofi gerakan KAMMI nantinya akan dibahas mengenai : Visi Gerakan, Misi Gerakan, Prinsip Gerakan, Karakter Organisasi, Paradigma Gerakan, Unsur-Unsur Perjuangan, serta Kredo Gerakan. Sementara, materi-materi yang merupakan inisiasi dari tiap instruktur daerah akan dituliskan dalam bagian tersendiri dalam buku ini. Tulisan tersebut merupakan tulisan dari instruktur sendiri, bukan saduran atau plagiasi. Keseriusan instruktur untuk menggarap DM1 ini baiknya tercermin juga dari i’tikad baiknya menuliskan tujuan dari penyampaian materi pada peserta Dm1. Tafsir dan Kemandirian

100


Merumuskan Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI adalah PR besar bagi Pengurus Pusat. PP mestinya dalam waktu dekat ini membentuk suatu tim Dewan Pakar guna merumuskan tema besar itu. Sebab, dalam tingkat yang paling sederhana Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI merupakan landasan normatif dalam perjuangan organisasi. Ia merupakan etos yang menjiwai spirit perjuangan kader yang dimanifestasikan dalam aksiologisnya, ketiadaan tafsir pasti yang komprehensif akan menyebabkan kerancuan pikir kader dari tingkat nasional hingga komisariat. Yang jadi persoalan adalah bagaimana mungkin dibentuk Tim Dewan Pakar yang merumuskan Tafsir Filosofi Gerakan apabila kaderisasi KAMMI pun selalu dibayang-bayangi kaderisasi Jama’ah yang menancapkan pengaruhnya dengan begitu kuat. Pada akhirnya, tafsir hanyalah sekedar tafsir, berhenti di ruang-ruang diskusi dalam dauroh maupun diskusi. Paska itu, kita akan kembali terbelit dalam dalih dan pembenaran atas nama efisiensi dan efektifitas. Ya, mau bagaimana lagi?

101


Pseudo-independence KAMMI Relasi KAMMI dan independensi politiknya merupakan sebuah perbincangan yang tidak akan habis untuk diwacanakan sebab dalam waktu yang lama KAMMI telah terjerat dalam jalan buntu dialektika yang dibuatnya sendiri mengenai hubungannya dengan Partai Politik tertentu. Kita boleh membuat berbagai macam argumen yang rasional (maupun tidak) untuk membenarkan bahwa KAMMI adalah organisasi mahasiswa yang independen. Itu sah-sah saja. Akan tetapi dalam aktifitas keseharian organisasi ini, nyata terlihat bahwa metode yang digunakan dalam rekruitmen anggota baru, kurikula yang digunakan dalam proses kaderisasi, serta sistem penjagaan kader, telah menempatkan KAMMI sebagai identitas formal untuk melembagakan diri dalam afiliasi kader pada partai politik yang bersangkutan. Jika Paradigma Gerakan KAMMI adalah cerminan dari metodologi berpikir dan bertindak, maka sejatinya saat ini kita tengah berkaca pada cermin yang buram. Buramnya cermin ini adalah karena adanya gap antara apa yang ada dalam pantulan cermin dengan diri kita yang tengah berkaca di depannya. Buramnya kaca (gap) bisa kita maknai sebagai sikap pseudoindependence KAMMI. Disebut pseudo-independence karena independensi yang selama ini diterapkan adalah sikap independen yang setengah-setengah, penuh kompromi dan tidak didasari oleh niat yang utuh. Disatu sisi KAMMI menegaskan sikap independennya, namun disisi lain tetap membuka kran kerjasama (bahkan hubungan mesra) dengan partai politik tersebut.

102


Betapapun KAMMI sebagai gerakan mahasiswa menyuarakan independensinya, independensi itu hanya menjadi lip service secara organisatoris-formal saja, sementara secara kultural-ideologis, adanya kesamaan latar belakang dan metode kaderisasi, keterpautan emosional, serta kesamaan gerak membuat

ikatan

yang

terjalin

antara

keduanya

susah

direnggangkan. Efeknya, sebagai gerakan mahasiswa KAMMI pun gagap mengidentifikasi dan merumuskan jati dirinya sebagai gerakan yang memiliki nalar politiknya sendiri, malah cenderung menegasikan segala macam pemikiran dan tindakan politik yang tidak sejalan dengan kepentingan partai yang bersangkutan. Agaknya

memang

optimisme

memperjuangkan

independensi KAMMI secara bulat utuh harus dipendam dalamdalam mengingat betapa secara struktural KAMMI lebih memilih setia dengan ikatan kultural-ideologis yang dibangun secara emosional daripada kembali pada khittah konstitusinya sebagai organisasi yang independen. Realisasi Independensi KAMMI, Mungkinkah? Di tengah skeptisisme dan pesimisme tersebut, saya meyakini bahwa pilar independensi bukan hanya sebatas tampilan luar secara organisatoris, akan tetapi menjadi spirit yang melandasi pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan yang diambil oleh tiap pribadi yang menisbahkan dirinya sebagai bagian dari kesatuan. Sehingga, poin intinya bukanlah terletak pada output, bukan pada mereka yang selama menjadi aktifis tergabung dalam kesatuan lantas setelahnya menjadi politikus yang berkecimpung dalam percaturan politik praktis, melainkan

103


pada input, pada mereka yang untuk kali pertama memilih KAMMI sebagai jalan aktifismenya. Sudah semestinyalah, saat memutuskan berhimpun dalam kesatuan ini, secara kolektif masing-masing dari kita menumbuhkan independensi dalam pola pikir, pola sikap, serta pola tindakan sehingga untuk selanjutnya secara sadar kita bisa menimbang dan menetapkan tiap keputusan secara independen, tanpa terpengaruh intervensi dan tekanan dari siapapun. Sehingga, di masa yang akan datang, tak ada lagi cerita soal kader yang ragu berpendapat karena khawatir dianggap berbeda, takut mengambil langkah karena khawatir menyimpang dari koridor ketaatan pada senior, tidak mau mengambil sikap tegas karena takut dikira gerakan sempalan. Hal ini tentu saja telah tergambar jelas dalam Kredo Gerakan KAMMI yang sejatinya telah merangkum bagaimana independensi kader semestinya diterapkan: Kami adalah orangorang yang berpikir dan berkehendak merdeka. Tidak asa satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan. Maka, yang diperlukan saat ini adalah pemaknaan dan realisasi dari independensi yang melekat pada watak dan kepribadian kader KAMMI di masa kini dan masa yang akan datang. Wujud dari pemaknaan dan realisasi ini dapat bersifat formal dan informal. Pada ranah formal, realisasi independensi kader dimasukkan ke dalam training perkaderan KAMMI (Dauroh Marhalah) yang menekankan pada kontekstualisasi nilai-nilai independensi dalam internal organisasi serta dalam kehidupan

104


berbangsa dan bernegara. Pada ranah informal, KAMMI haruslah memberikan percontohan sikap independensi itu dalam merespon ragam isu kampus, nasional, hingga tataran global. Sementara, bagi kader yang memang dalam prosesnya memilih untuk menjalankan dualisme (sebagai penggerak KAMMI sekaligus penggerak partai politik), maka diperlukan pula tata aturan (kode etik) yang membatasi hingga sejauh mana peran dualisme itu bisa berjalan. Pada Akhirnya..

akan

Visi KAMMI sebagai wadah perjuangan permanen yang melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya

mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang islami seharusnya dapat kita maknai dalam kerangka independensi ini, yakni lahirnya kader pemimpin independen yang kelak akan mengisi pos-pos pengabdian, baik itu sebagai praktisi pendidikan, birokrat di lembaga pemerintahan, pengusaha swasta, maupun pos pengabdian lain yang dengan teguh mempertahankan apa yang ia yakini sebagai kebenaran dalam koridor Al-Qur’an dan As sunnah di tengah kecamuk problematika umat dan hiruk pikuknya politik transaksional demi mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang islami. Bisakah kita bayangkan apabila sejak dalam rahim KAMMI saja kadernya sudah gagal berpikir, bersikap, dan bertindak secara independen, bagaimana jadinya apabila mereka mengisi pos-pos pengabdiannya di masa yang akan datang? Pemahaman sebagaimana yang saya sebutkan di atas memang belum lengkap atau bahkan sangat sederhana, akan

105


tetapi dari yang sederhana itu, harus saya akui betapa berat dan lelahnya berjalan di atasnya sampai sejauh ini. Billahi Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat.

106


Alternatif Dauroh Khas KAMMI UNS Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memikul tanggung jawab untuk melaksanakan fungsinya sebagai kaum muda terdidik yang berperan dalam mempelopori proses perubahan masyarakat. Apalagi, bagi mereka yang mengikrarkan dirinya sebagai bagian dari organisasi bernama KAMMI. Mereka, pada akhirnya memiliki tanggung jawab lebih, bukan hanya mempelopori proses perubahan, akan tetapi berupaya dengan segenap memampuannya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami (seperti yang tertuang dalam visi KAMMI). Maka sejatinya, fungsi kaderisasi mahasiswa memiliki peran vital dalam memasok kader-kader yang pada saatnya nanti mengisi pos-pos strategis dalam masyarakat. Fungsi kaderisasi ini harus ditopang oleh sistem yang kokoh dan pengelolaan yang konsisten, agar kaderisasi mahasiswa tidak mandul atau malah melahirkan generasi yang lemah. Sebagai organisasi pengkaderan, KAMMI memiliki Manhaj Kaderisasi yang menjadi pedoman pengkaderan dalam perekrutan, pembinaan, maupun pengkaryaan. Hanya saja, pelaksanaan manhaj di lapangan berbenturan dengan banyak hal, dari mulai ketidaktersediaan sumber daya, sumber dana, hingga dalih efektifitas atau efisiensi. Semua problem itu membawa KAMMI pada keharusan menciptakan suatu back-up plan agar kaderisasi tidak menghasilkan kader yang lemah dalam pikir, sikap, dan tindak. Permasalahan yang hampir dialami oleh semua komisariat adalah belum berjalannya Madrasah KAMMI sebagai sarana follow-up pasca mengikuti Dauroh Marhalah1. Padahal, transfer ideologi yang dilakukan pada saat DM1 berlangsung barulah

107


sedikit, hanya sebatas di permukaan/ kulit luar, sementara substansi pengkaderan yang sebenarnya barulah akan dikecap paska mengikuti DM1. Selama beberapa tahun terakhir ini, KAMMI UNS menyelenggarakan ICES (Islamic Civilization Engineering School). ICES didirikan karena sebagai organisasi kader, KAMMI harus memiliki sistem kaderisasi yang integratif, sistem penahapan suplemen yang efektif sekaligus menjadi sarana yang profesional. Diharapkan, ICES mampu mengakselerasi kematangan kualitas kader yang diproduk KAMMI sebab ketidakberjalanan MK Khos. Materi yang dibahas saat ICES berkisar dari Pengantar Peradaban Islam serta Pergerakan Islam Kontemporer, Fiqh Siyasi dan Fiqh Negara, Penegakkan Syariah Islam dan Sejarah Politik Islam di Indonesia, Studi Gerakan Mahasiswa, serta Dakwah Sya’biyah. Beberapa materi lain pun disisipkan dalam upaya akselerasi tingkat kematangan kader. Namun sekali lagi, pengelolaan ICES pun memiliki banyak kelemahan. Diantaranya, pesertanya yang terbatas bagi para alumni DM1, penyampaian yang masih indoktrinatif, serta dinamika forum yang minim. Karena hal itu, kami berinisiatif menyelenggarakan sebuah alternatif baru kajian keilmuan yang bertujuan meningkatkan kapasitas keilmuan kader sekaligus mahasiswa umum. Kajian keilmuan ini dikemas dalam sebuah diskusi yang dilaksanakan dua pekan sekali berbentuk Diskusi Integratif. Diskusi Integratif adalah rumusan diskusi yang dirancang oleh Bidang Kebijakan Publik KAMMI UNS yang tersistem secara integral dengan beberapa tema diskusi yang saling berkaitan. Satu tema melandasi pemahaman akan tema lain yang diadakan

108


setelahnya, diharapkan diskusi ini mampu menopang pemahaman kader agar berpikir secara terpadu, integral, dan sesuai kaidah berpikir ilmiah dalam konteks pergerakan mahasiswa. Tema-tema tersebut antara lain: No.

Materi

1

Tanggungjawab Intelektual Mahasiswa Dalam Konteks Gerakan Dakwah Kampus

Pokok Bahasan 1. Definisi siapa mahasiswa

intelektual

2. Bagaimana cara mencapai derajat intelektual mahasiswa 3. Peran dan tanggungjawab inteletual mahasiswa

2

Anatomi masyarakat islam (Yusuf Qhardawi)

1.

Mengidentifikasi pemikiran Yusuf Qardhawi

2.

Menganalisis yusuf

pemikiran

Qardawi

relevansinya

dan terhadap

fenomena sosial masyarakat muslim di setiap zaman 3

Studi perbandingan tokoh pemikir islam modern

- Jamaluddin Al Afghani - Muhammad Abduh - M. Rashid Ridha

109


4

5

6

7

Studi tokoh dan strategi kebijkan kebangkitan pergerakan islam dunia Pemikiran Kontemporer Politik Ikhwanul Muslimin (Prof. Dr. Taufiq Yusuf al Wa’iy.) Kebangkitan Post Islamisme

Lintasan Sejarah perkembangan gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia

8

Bedah buku Api Sejarah 1 dan 2

9

Sejarah Pergerakan mahasiswa

- Syaikh taqiyuddin an nabhani - Muhammad ilyas - Hasan Al Banna Bedah buku Prof. Dr. Taufiq Yusuf al Wa’iy

Bedah buku ahmad Dzakirin “analisis strategi dan kebijakan AKP turki” -Mengidentifikasi munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia - Menganalisis kelompok-kelompok pemikiran yang berkembang di Indonesia dalam lintasan sejarah pembaharuan pemikiran Islam.

1.

tahun 1945-1965 (Munculnya Konsep Berbangsa)

2.

Dinamika Gerakan Mahasiswa selama Orde Baru

3.

110

Mahasiswa dan Era Reformasi


10

Refleksi Sejarah Pergerakan MahasiswaRekonstruksi Pola Gerakan Mahasiswa yang mampu menjawab Tantangan Zaman

1.

Merefleksikan sejarah pergerakan mahasiswa yang merupakan warisan dari NKK/BKK dengan polarisasi mainstream gerakan yang menyebabkan

pemodelan

spesifikasi gerakan 2.

Membuat gerakan

formulasi mahasiswa

baru yang

mampu menjawab tantangan zaman 11

12

Quo Vadis Gerakan Intelektual Mahasiswa Jurnalistik Investigasi dan Riset Gerakan

Mahasiswa dan Profesionalisme Kepakaran, antara Fakta dan RealitaMengukur Peran Mahasiswa dalam Pembangunan 1. Metode investigasi dalam mendapatkan berita, data dan informasi

yang

akurat

dan

populer 2. Mengolah data dan mengemas informasi 3. Kaidah-kaidah asas riset gerakan, perbedaannya

dengan

riset

akademis 4. Merancang kerangka dasar riset gerakan 13

Manajeman Isu dan Propaganda

Teknik manajemen isu yang baik dan benar agar mampu memikat publik (konsep gagasan, koordinasi massa, controling dan evaluasi)

111


14

Manajemen Jaringan (Network Society)

1. Urgensi jaringan dalam gerakan 2. Langkah jaringan

takstis

membangun

3. Merawat jaringan sebagai bentuk gerakan massa 15

Gagasan Kebangkitan Gerakan Mahasiswa ala KAMMI

Merumuskan gagasan kebangkitan yang berdasar pemahaman ideologi KAMMI

Tabel diatas bukanlah sebuah rumusan final mengenai hal-hal yang akan dibahas, akan tetapi Insya Allah tema-tema diatas akan dilaksanakan secara konsisten, entah dalam bilangan pekan maupun bulan, sebab satu tema tak mesti akan selesai dilaksanakan dalam satu hari diskusi. Selain diskusi integratif, Badan khusus Jaringan Fakultas UNS menyelenggarakan Diskusi Kepakaran yang bertujuan meningkatkan profesionalisme kader KAMMI dalam bidang kepakaran masing-masing. Kedua diskusi ini saling melengkapi dan membangun satu sama lain. Di tengah berbagai persoalan yang mendera KAMMI yang menjalar dari tingkat pusat ke tingkat daerah, beberapa alternatif inisiatif kader di tingkat komisariat patut diapresiasi. Harapannya, ini menjadi bentuk ikhtiar terbaik selagi menunggu realisasi

112


terbentuknya Manhaj Filosofi Gerakan KAMMI sebagai rujukan kaderisasi dalam lingkup nasional, serta beberapa instrumen pendukung lain dalam mewujudkan kemandirian organisasi.

113


Model Kaderisasi Integratif KAMMI UNS Prawacana Kaderisasi dan pembinaan merupakan napas utama dari pergerakan. Apabila sebuah pergerakan ingin tetap bertahan, eksis, berupaya memberikan kontribusi terbaiknya bagi ummat, maka parameter mutlak yang menjadi syarat utama adalah bagaimana keberjalanan proses kaderisasinya. Maka sejatinya, fungsi kaderisasi mahasiswa memiliki peran vital dalam memasok kader-kader yang pada saatnya nanti mengisi pos-pos strategis dalam masyarakat. Fungsi kaderisasi ini harus ditopang oleh sistem yang kokoh dan pengelolaan yang konsisten, agar kaderisasi mahasiswa tidak mandul atau malah melahirkan generasi yang lemah. KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang memiliki visi untuk melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami memiliki konsekuensi dan tanggung jawab untuk senantiasa melandasakan seluruh aktivitas keorganisasian dalam rangka menggali potensi kualitatif dari kader demi memenuhi kualifikasi kepemimpinan sebagaimana yang dirumuskan dalam terminologi Muslim Negarawan-nya. Arah perkaderan KAMMI untuk membentuk Muslim Negarawan ini menuntut dilaksanakannya proses perkaderan yang dilaksanakan secara integratif dan berkesinambungan dalam aktivitas keorganisasian. Adapun penekanan perkaderan KAMMI menitikberatkan pada beberapa kompetensi berikut: aqidah, fikrah dan manhaj perjuangan, akhlak, ibadah, tsaqofah keislamanan, wawasan ke-Indoneisaan, kepakaran dan

114


profesionalitas, kemampuan sosial politik, pergerakan dan kepemimpinan, serta pengembangan diri. Proses kaderisasi adalah sebuah refleksi panjang mengenai bagaimana sebuah gerakan melakukan transformasi nilai-nilai perjuangan yang dimilikinya ke dalam aktivitas organisasi sehingga seluruh aktivitas keorganisasian tetap diarahkan pada arah perkaderan KAMMI yakni untuk melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami. Demikian halnya yang dilakukan KAMMI Komisariat Sholahuddin Al Ayyubi Universitas Sebelas Maret dalam melaksanakan kaderisasi integratif sebagai arahan kerja pada Musyawarah Komisariat yang dilaksanakan setahun silam. Setelah kader melalui Dauroh Marhalah 1 dan resmi dilantik sebagai anggota biasa KAMMI, ia berhak mendapatkan suplemen kaderisasi KAMMI UNS, antara lain: 1.

Madrasah KAMMI

Manhaj Kaderisasi KAMMI 1433 H mensyaratkan dilaksanakannya Madrasah KAMMI baik secara klasikal maupun khos (kelompok halaqoh/usroh) sebagai instrumen wajib kaderisasi di tingkat daerah hingga komisariat. Madrasah KAMMI untuk Anggota Biasa ini ditujukan untuk membina kader menjadi manusia yang memiliki syakhsiyah islamiyah (kepribadian islam) yang memiliki kesiapan serta kesediaan untuk bergerak ditengah tengah masyarakat guna merealisasikan, dan mengeksekusi tugas tugas dakwah. 2.

ICES (Sekolah Rekayasa Peradaban Islam)

115


Selama beberapa tahun terakhir, termasuk tahun ini, KAMMI UNS menyelenggarakan ICES (Islamic Civilization Engineering School) atau yang bisa disebut Sekolah Rekayasa Peradaban Islam. ICES didirikan karena sebagai organisasi kader, KAMMI harus memiliki sistem kaderisasi yang integratif, sistem penahapan suplemen yang efektif sekaligus menjadi sarana yang profesional. Diharapkan, ICES mampu mengakselerasi kematangan kualitas kader yang diproduk KAMMI disebabkan belum efektifnya Madrasah KAMMI Klasikal dan Khusus. Beberapa poin materi yang dibahas di ICES antara lain: Keislaman, Pemikiran, Keindonesiaan, Kepakaran dan Profesionalisme, Kepemimpinan, Kekampusan, dan Pergerakan Mahasiswa. 3.

Ragam Varian Diskusi (Diskusi Integratif dan Diskusi Kepakaran)

Diskusi Integratif adalah rumusan diskusi yang dirancang oleh Bidang Kebijakan Publik KAMMI UNS yang tersistem secara integral dengan beberapa tema diskusi yang saling berkaitan. Satu tema melandasi pemahaman akan tema lain yang diadakan setelahnya, diharapkan diskusi ini mampu menopang pemahaman kader agar berpikir secara terpadu, integral, dan sesuai kaidah berpikir ilmiah dalam konteks pergerakan mahasiswa. Ketika membahas satu tema tertentu, pembahasan tidak hanya akan berkutat mengenai tema tersebut, akan tetapi merambah pada aspek lain yang masih berkaitan dengan tema yang tengah dibahas. Beberapa tema yang telah dibahas antara lain: Tanggung jawab Intelektual Mahasiswa dalam Konteks Gerakan Dakwah Kampus, Anatomi Masyarakat Islam, Studi Perbandingan Tokoh Pemikir Islam Modern, Studi Tokoh dan Strategi Kebijkan Kebangkitan Pergerakan Islam Dunia, Pemikiran

116


Kontemporer Politik Ikhwanul Muslimin, Kebangkitan Post Islamisme, dan Lintasan Sejarah Perkembangan Gerakan Pembaharuan Islam Di Indonesia. Diskusi Kepakaran adalah diskusi yang diselenggarakan secara rutin oleh biro khusus Jaringan Fakultas yang bekerja sama dengan beberapa lembaga internal kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan, Himpunan Mahasiswa Prodi, serta Lembaga Studi Mahasiswa guna meneropong suatu permasalahan dilihat dari kacamata keilmuan yang berkaitan. Tujuan diadakannya diskusi ini adalah untuk menumbuhkan kepekaan kader agar menguasai disiplin keilmuan yang digeluti sehingga dengan kapasitas tersebut ia mampu melakukan aksiaksi sosial, baik dalam bentuk pemberdayaan masyarakat maupun sikap dukungan/penentangan/perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Tentunya, sinergisitas antara Diskusi Integratif dan Diskusi Kepakaran adalah hal yang seharusnya terus diupayakan, sebab apabila tengah berbicara mengenai suatu topik keilmuan, seorang kader KAMMI tetaplah harus mendasarkannya pada pandangan Islam (baik dari hukum Islam, ijtihad para ulama, maupun belajar dari sejarah). Hal ini merupakan upaya penyadaran akan tanggung jawab keilmuan mahasiswa sebagai insan akademis yang berkepribadian islami. 4.

Ragam Varian Dauroh (Dauroh Qur’an, Dauroh Ijtima’i, dll)

Dauroh Qur’an adalah salah satu kegiatan yang dilakukan bidang kaderisasi KAMMI UNS untuk (sekali lagi) memahamkan kader bahwa fikroh KAMMI bersumber dari Al-Qur’an, konsekuensi logisnya adalah kader KAMMI memiliki motivasi yang tinggi untuk bertilawah, menghafal, dan mengamalkannya dalam keseharian.

117


Dauroh Ijtima’i dilaksanakan untuk menumbuhkan sensitivitas kader terhadap lingkungan sosialnya, sehingga ia belajar mengenai dakwah sya’biyah hingga pada akhirnya mampu melakukan pendekatan pada masyarakat untuk membangun basis sosial. Hal ini perlu dilakukan mengingat kader dakwah dan seperangkat sistem yang ia bangun (untuk perubahan/perbaikan) tak mungkin bisa lepas dari akar masyarakatnya. Refleksi Hari Ini Adalah sebuah keindahan melihat terintegrasinya proses perkaderan yang terjadi beberapa pekan terakhir di KAMMI UNS. Pada Rabu tanggal 19 Maret lalu, pertemuan ICES ke empat membahas mengenai Keindonesian (konteks Solo), hal yang dibahas dalam poin tersebut yakni Sejarah pergerakan Islam di Solo dan pemikiran tokoh-tokoh pergerakan Islam di Solo (H.Samanhudi, HOS Tjokroaminoto, Haji Misbach, Mas Marco Kartodikromo). Sabtu-Ahad, tanggal 22-23 Maret kemarin diadakanlah Dauroh Ijtima’i. Selasa sore tadi (25/3), diadakan Diskusi Integratif yang membahas mengenai Lintasan Sejarah perkembangan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dengan pokok bahasan: Munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan analisis kelompok-kelompok pemikiran yang berkembang di Indonesia dalam lintasan sejarah pembaharuan pemikiran Islam. Sementara, ICES esok hari (26/3) akan membahas mengenai kepakaran dan profesionalisme dengan melakukan pengkajian terhadap potensi/permasalahan kota Solo dan interpretasi potensi/permasalahan tersebut untuk melakukan konseptualisasi Islam di sektor strategis sesuai keahlian/kepakaran/disiplin ilmu yang digeluti. Pekan yang akan datang ICES akan membahas poin Kepemimpinan, Diskusi Kepakaran akan membahas mengenai kepemimpinan salah seorang tokoh nasional, disusul ICES lagi yang membahas materi

118


Kekampusan dan Diskusi Integratif yang membahas mengenai Sejarah Pergerakan Mahasiswa Indonesia periode 1945-1965. Jika kita perhatikan urutan dan keterkaitan kegiatan antara satu dengan lainnya, dapat kita lihat bahwa sejatinya telah dilakukan upaya kaderisasi secara integratif dengan arah untuk mempersiapkan diri untuk melakukan perubahan sosial. Hal-hal yang tengah diupayakan diatas sejalan dengan teori perubahan sosial yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun. Beliau menyatakan bahwa metode historis adalah pendekatan terbaik untuk memahami perubahan sosial. Menurut beliau, perubahan sosial dapat mengambil pelajaran suatu umat atau sejarah masyarakat itu sendiri. Dengan mengenal lintas kesejarahan masyarakat dimana ia tinggal, ia dapat mengetahui gambaran pola pikir, adat istiadat, kebiasaan, maupun cara pengambilan keputusan masyarakat, sehingga kajian mendalam tentang masyarakat dan budayanya adalah hal yang menjadi poin mendasar. Ini telah coba diupayakan dalam materi ICES dan Diskusi Integratif KAMMI UNS. Selanjutnya, menurut Ibnu Khaldun, karena masyarakat adalah sistem yang hidup, tentulah ia memiliki beragam faktor perubahan sosial. Hal ini menyebabkan perubahan sosial membutuhkan amal dan usaha yang memiliki pengaruh besar, diantaranya adalah pendidikan dan politik. Berkaitan dengan hal tersebut, pertemuan ICES esok hari akan menyelenggarakan diskusi dengan wakil ketua DPRD Kota Surakarta untuk membahas mengenai sasaran pembangunan daerah berdasarkan prioritas nasional. Teori ketiga yang Ibnu Khaldun kemukakan adalah bahwa perubahan sosial berkaitan denga organisasi sosial, setelah membahas mengenai berbagai organisasi yang ada di Indonesia (baik yang sudah bubar maupun yang masih ada), kader diharapkan memiliki gambaran interpretasi untuk melakukan

119


konseptualisasi Islam di sektor strategis sesuai keahlian/kepakaran/disiplin ilmu yang digeluti dengan membentuk/berjuang dalam wajihah amal sesuai bidang yang menjadi lahan garapnya. Gambaran yang terbentuk dari penjelasan diatas tentunya masih sangat abstrak, akan tetapi hal tersebut merupakan ikhtiar dari segenap pelaksana kaderisasi KAMMI UNS untuk mewujudkan tujuan organisasi sebagaimana yang telah disebut di muka. Penutup Saat dengan bangga dan lantangnya kita selaku kader KAMMI menyebut diri sebagai agent of change, agent of social control, maupun agen-agen lainnya, sudah selayaknya kita mengimbangi slogan dan label tersebut dengan meningkatkan kapasitas keilmuan kita. Ada beragam jalan yang telah coba diupayakan, dari mulai Madrasah KAMMI, ICES, maupun ragam varian diskusi dan dauroh, yang dibutuhkan adalah kemauan dari pribadi kita sebagai pembelajar yang selalu haus dengan terus membaca, bertanya, dan mengetuk setiap pintu keilmuan yang ada. Memang belum sempurna, mungkin belum ideal, ada begitu banyak celah yang kurang disana-sini, namun salah satu hal yang mampu menutup celah itu adalah kehadiran kita, kita yang pernah dan telah berikrar bergabung menjadi bagian dari kesatuan ini. Dengan segala kekurangan yang ada, setulusnya saya meyakini, bahwa model kaderisasi integratif ini adalah jawaban untuk membebaskan diri dari slogan dan label yang kosong menjadi lebih berisi dan penuh kebermaknaan.

120


Mudah-mudahan kita belajar, mudah-mudahan kita dengan lapang dada melakukan otokritik terhadap pribadi maupun organisasi, mudah-mudahan kita selalu ingin melakukan perbaikan. Mudah-mudahan Alloh swt memudahkan langkah kita.

121


Merumusan Platform Kader Siyasi Kampus UNS Tujuan Dakwah Kampus= Tujuan Dakwah KAMMI Dakwah Islam dilaksanakan di setiap tempat, tidak terkecuali di kampus sekalipun. Dakwah kampus (DK) merupakan salah satu dari sekup kecil wilayah perjuangan dakwah. Dakwah kampus dijalankan dari kampus, oleh civitas akademika (kalangan kampus) demi manfaat untuk kampus sampai masyarakat global. Dakwah kampus (DK) dilaksanakan untuk sebesar-besarnya perjuangan menegakkan kemenangan Allah swt. (Atian, 2010) Dakwah kampus adalah implementasi dakwah Illallah dalam lingkup perguruan tinggi. Dimaksudkan untuk menyeru civitas akademika ke jalan Islam dalam berbagai sarana formal/informal yang ada dalam kampus. Dakwah kampus bergerak di lingkungan masyarakat ilmiah yang mengedepankan intelektualitas dan profesionalitas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aktivitas Dakwah Kampus merupakan tiang dari dakwah secara keseluruhan, puncak aktivitasnya, serta medan yang paling banyak hasil dan pengaruhnya pada masyarakat. Sasarannya, adalah terbentuknya barisan pendukung dan penggerak DK yang terlatih untuk menjalankan kegiatan dakwah kampus yang regeneratif. (FSLDKN, 2004) Pada akhirnya, dakwah kampus, tiada lain bertujuan jangka panjang untuk membentuk alumni-alumni yang memiliki afiliasi terhadap dakwah Islam. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang lahir sebagai anak kandung dakwah Islam ini pun memiliki tujuan yang serupa. Hal ini ditegaskan dalam visinya, yakni: Wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader

122


pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami. Kedua tujuan yang seiring sejalan ini seharusnya ditopang dengan sinergisitas peran antara KAMMI dengan ADK. Kaderisasi KAMMI yang bertujuan untuk menghasilkan kader-kader pemimpin seharusnya tetap berjalan dalam koridor dakwah illallah yang dirumuskan oleh LDK, demikian pula peran kader ADK juga tidak berlepas dari aktivitas siyasi sebagaimana yang telah menjadi dasar pembinaan KAMMI selama ini. Dalam sejarah KAMMI tertulis jelas bahwa KAMMI lahir pasca dilaksanakannya Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus di Malang yang ke sepuluh. Para aktivis di forum tersebut menyadari perlunya segera berkontribusi dalam upaya penyelesaian krisis yang terjadi. Akhirnya, setelah forum muktamar FSLDKN berakhir, sebagian besar dari mereka mendeklarasikan suatu front aksi yang bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). (Muhammad Hasanudin, Kartika Nurrahman, 2009) Hal ini tentunya membawa kesadaran akan kesamaan nasib yang sepenanggungan antara aktivis dakwah kampus maupun KAMMI sendiri, sebab pada dasarnya sejak kelahirannya kedua elemen ini telah dipersaudarakan, pun dalam implementasi tujuan yang pada dasarnya bermaksud untuk mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami dalam naungan ridho Allah swt.

Diskusi Siyasi= Merumuskan Profil Kader Siyasi Jumat, 7 April 2014 lalu telah diselenggarakan Diskusi Siyasi kampus, dalam diskusi tersebut dirumuskan mengenai

123


profil kader siyasi kampus UNS. Kesimpulan diskusi tersebut memutuskan bahwa kader siyasi, adalah mereka yang telah mengikuti alur kaderisasi KAMMI melalui Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS. Selanjutnya, kami membahas peran yang mestinya dimiliki oleh kader siyasi. Pertama, perannya sebagai kader dakwah. Kedua, perannya sebagai kader lembaga. Ketiga, perannya sebagai kader KAMMI. Ketiga peran ini tak bisa dipisahkan satu sama lain. Berikut kami rumuskan bagan peran kader siyasi tersebut.

Kaderisasi KAMMI

Kader Pemimpin (Kader Dakwah)

Memimpin di Lembaga (Kader Lembaga) Disisi lain, kader dakwah yang dilahirkan melalui kaderisasi KAMMI haruslah memiliki kompetensi yang telah dirumuskan dalam indeks jati diri kader KAMMI. Kompetensi tersebut meliputi: Keislaman, Aqidah, Tsaqofah, Ibadah, Akhlaq, Fikrah dan manhaj perjuangan, keindonesiaan, kepakaran dan profesionalisme, kemampuan sosial politik, pergerakan dan kepemimpinan, serta pengembangan diri. Indeks jati Diri Kader tersebut akan menunjukkan spesifikasi/kecenderungan kepemimpinan kader sebelum berperan menjalankan amal siyasi melalui wajihah yang ada dalam internal kampus. Meskipun, seluruh kader memang diwajibkan untuk mengenal seluruh amalan dakwah, baik itu

124


da’wiy, siyasi, maupun ‘ilmy. Dengan kata lain, kader memang dituntut untuk menjadi seorang yang generalis, tapi memiliki spesifikasi tertentu, sehingga pola penempatan kader dalam wajihah amal dalam internal kampus dapat dilakukan secara tepat dan efektif.

Kader KAMMI (menguasai IJDK)

Amal Siyasi

Lembaga Amal Siyasi

Amal Da’wiy

Lembaga Amal Da’wiy

Amal Ilmy

Lembaga Amal Ilmy

Titik Tekan: Pengembangan, bukan (sekedar) Perubahan Dalam diskusi tersebut, banyak dimunculkan pernyataan mengenai perubahan yang mestinya dilakukan di masa yang akan datang. Baik itu mengenai suksesi kepemimpinan, pola kaderisasi, hingga upaya sadar membuka kran keterbukaan dengan organisasi maupun fikrah yang bertentangan. Semua isu yang dilontarkan semakin membuat diskusi memanas. Penulis meyakini bahwa perubahan tak selalu sama dengan pengembangan, akan tetapi pengembangan selalu mengandung perubahan. Pengembangan berarti meningkatkan nilai atau mutu, sementara perubahan adalah proses pergeseran posisi, kedudukan atau keadaan, yang mungkin akan membawa perbaikan, tetapi dapat juga memperburuk keadaan (Lise Chamisijatin, 2009).

125


Berdasar hal tersebut, penulis secara subjektif mengambil term pengembangan dalam perumusan platform2 kader siyasi di kampus UNS. Jika kita membahas mengenai pengembangan platform, kita dapat mempertanyakan mengenai dalam arti apa platform tersebut digunakan. Apakah ia hanya dipandang sebagai alat yang menunjang tercapainya ideologisasi, sistem guna menghasilkan produk, ataukah hanya sebagai slogan/jargon. Atau bisa jadi, ia bermakna sebagai sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu, serta selalu dikembangkan secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Menurut penulis, dalam sebuah gerakan, platform memiliki beberapa peran. Pertama, peran konservatif. Platform

menurut wikipedia, platform atau serambi merupakan kombinasi antara sebuah arsitektur perangkat keras dengan sebuah kerangka kerja perangkat lunak (termasuk kerangka kerja aplikasi). Kombinasi tersebut memungkikan sebuah perangkat lunak, khusus perangkat lunak aplikasi, dapat berjalan. Platform yang umum sudah menyertakan arsitektur, sistem operasi, bahasa pemrograman dan antarmuka yang terkait (pustaka sistem runtime atau antarmuka pengguna grafis) untuk komputer. Platform adalah unsur yang penting dalam pengembangan perangkat lunak. Platform mungkin dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tempat untuk menjalankan perangkat lunak. Penyelenggara platform menyediakan pengembang perangkat lunak dengan kesepakatan serangkaian kode logika yang akan berjalan secara konsisten sepanjang platform ini berjalan di atas platform yang lainnya. Kode logika ini mencakup bytecode, kode sumber, dan kode mesin. Dengan demikian, pelaksanaan program tidak dibatasi oleh jenis sistem operasi yang tersedia. Platform telah menggantikan sebagian besar bahasa mesin independen 2

126


memiliki peran konservatif sebab ia merupakan instrumen guna mengkonservasi ideologi yang dianut oleh suatu gerakan. Tanpa memiliki suatu platform gerakan, ideologi suatu gerakan bisa sirna dengan sekejap karena tak adanya pengejawantahan ideologi dalam ranah praksis maupun literal. Kedua, peran kritis dan evaluatif. Maksudnya, platform dapat dengan kritis menilai dan mengevaluasi implementasi ideologi yang telah dilaksanakan, apabila dalam ranah praksis beberapa hal tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian, maka perlu dilakukan suatu kritik evaluatif agar ia tetap selaras dengan kebutuhan, tetapi tidak meninggalkan akar pijakannya. Meskipun selalu ada hukum pengulangan dan kausalitas dalam sejarah, namun dalam sejarah pergerakan mahasiswa, tak pernah ada sesuatu yang kembali dalam bentuk aslinya. Biasanya yang lama akan timbul dalam bentuk yang lain. Ada masanya pergerakan bercorak kedaerahan berdasar agama/ras/suku, kemudian muncul rasa kebangsaan yang menguatkan nasionalisme. Perjuangan fisik pernah berjaya, lantas berubah menjadi perjuangan diplomasi dan lobi-lobi. Sementara mahasiswa kembali terkotak dalam ragam gerakan mahasiswa yang mengusung ideologinya masing-masing, timbul pulalah suatu gerakan menentang pengkotak-kotakkan tersebut, sehingga semua gerakan diharap menanggalkan jaket organisasinya dan melebur dalam satu suara, demi Indonesia, atas nama nasionalisme. Pasca pemilu 2014 ini, gerakan mahasiswa harus menentukan platform geraknya. Apakah gerakan mahasiswa akan terjebak pada kepentingan politik yang cenderung pragmatis, ataukah secara cerdas membangun basis kaderisasi yang mapan guna menyiapkan diri menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.

127


Setiap masa peralihan merupakan masa yang rawan. Sebab dalam masa peralihan, di dalamnya berlangsung proses perubahan. Dalam proses ini, gerakan mahasiswa akan mudah terjebak dalam kebingungan, kecemasan, dan ketidakpastian. Sama halnya yang terjadi dalam suksesi kepemimpinan KAMMI UNS di periode 2014 ini. Selayaknyalah generasi baru tidak mengingkari hakikat bahwa keberadaannnya merupakan mata rantai yang menghubungkan hasil yang telah dicapai di masa lalu dengan apa yang akan diraih di periode mendatang. Untuk itulah, maka merupakan suatu keniscayaan bahwa sebagai organisasi pergerakan mahasiswa, KAMMI mendidik dan melatih para kadernya agar memiliki visi dan platform yang jelas. Kader pemimpin yang dihasilkan KAMMI sebagaimana yang tertuang dalam visinya akan terbentuk apabila KAMMI mulai mempraktekkan sikap, sistem, dan prosedur demokratik yang baik dalam membina organisasi. Sejak awal, kader KAMMI dilatih berpikir demokratik. Berpikir demokratik artinya membiasakan diri senang berdialog dengan siapapun, dibiasakan untuk mendengar dan menerima pendapat dan kebenaran orang lain, toleran dan mampu mengidentifikasi bahkan menunjukkan kekurangan dalam reasoning lawan dialog. Tapi, lebih penting lagi adalah keberanian untuk mengakui kekurangan dan kekeliruan pendapatnya sendiri secara terbuka. Persaingan secara sehat dan terbuka harus menjadi bagian kehidupan kader. (Soemitro, 1997)

Sumber Referensi Atian, A. (2010). Menuju Kemenangan Dakwah Kampus. Surakarta: Era Intermedia.

128


FSLDKN, T. P. (2004). Risalah Manajemen Dakwah Kampus. Depok: Studi Pustaka. Lise Chamisijatin, d. (2009). Pengembangan Kurikulum SD. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Muhammad Hasanudin, Kartika Nurrahman. (2009). KAMMI: Membentuk Lapis Intelegensia Muslim Negarawan. Dalam C. N. Saluz, Dynamics of islamic Student Movements. Yogyakarta: Resist Book. Soemitro. (1997). Suksesi Militer dan Mahasiswa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

129


Tentang Aksi KAMMI Esok Hari Dalam psikoanalisis, kekecewaan selalu berasal dari kegagalan sesuatu yang kita harap-harapkan (rely on) untuk memenuhi harapan dan aspirasi kita. Pada tahap selanjutnya, kegagalan akan segera diikuti dengan ansambel ekspresi kekecewaan: marah, protes, menggertak. Layaknya suara satu dan suara dua dalam paduan suara, variasi paradigmatik itu tak banyak berbeda. Seperti banyak dilansir beberapa media belakangan ini, isu mengenai hubungan diplomatik yang merenggang antara Indonesia-Australia lantaran penyadapan yang dilakukan pihak intelegen Australia terhadap beberapa tokoh penting di Republik (termasuk Presiden dan beberapa menteri) menuai banyak kritik. Utamanya karena ketidaktegasan Presiden dalam mengambil sikap demi menjaga kehormatan NKRI. Dengan memposisikan problem ini, maka alternatif solusi yang bisa diambil adalah: mengganti presiden/anak buahnya, mengevaluasi kenerja kementerian atau pihak-pihak terkait, memutus hubungan diplomatik dengan australia, atau bisa jadi hanya sekedar menumpahkan histeria dan ekspresi kekecewaan di media/ jejaring sosial. Saat merenungkan hal ini, saya tersenyum simpul. Semisal memang

yang

dilakukan

intelegen

Australia

merugikan

kepentingan nasional dan mencoreng harga diri Bangsa Indonesia, lantas mengapa permasalahan ini tak kunjung terselesaikan?

130


Mengapa pemerintah ‘seolah’ tidak menyelesaikan persoalan ini secara sistematis?

berusaha

Apa sulitnya bagi Presiden SBY menelepon pemerintah Australia, memprotes dengan keras perilaku aparatnya yang melakukan tindakan yang melampaui batasan etika intelejen tersebut? Bagi saya, jawaban pertanyaan tersebut sudah mutlak. Negara tidak serius menangani permasalahan ini. (Memang negara jarang serius menangani masalah diplomatik dengan luar negeri), akan tetapi fakta ini semakin membuat saya yakin bahwa ketidakseriusan memang telah melekat secara alamiah pada kedaulatan negara kita. Beberapa Tanggapan “Atas nama Kepentingan Nasional Bangsa Indonesia, Indonesia harus mengusir Diplomat AS & Australia. Ini adalah pesan tegas bahwa Pemerintah Indonesia memiliki komitmen besar melindungi Kepentingan Nasional Bangsa Indonesia, dan siap bertindak tegas kepada siapapun yang mengusik dan mengancam Kepentingan Nasional Bangsa Indonesia”, demikian dilansir web Pengurus Pusat KAMMI (http://kammi.or.id/usirdiplomat-as-australia-demi-melindungi-kepentingan-nasionalbangsa-indonesia/) pada 20 November 2013. Tak lama berselang, kira-kira pukul 15.00 WIB sore tadi, Ketua Bidang saya di KP KAMMI UNS mengirim pesan berisi seruan aksi kader KAMMI se-Solo Raya untuk esok Jum’at pukul 8.30 WIB.

131


Namun pikiran saya malah mengembara pada suasana kelas tadi pagi. Dosen saya sedikit berkomentar mengenai permasalahan ini. Menurut beliau, ketidakjelasan negara dalam menangani kasus ini bukan karena ‘ketidakseriusan’ negara dan minimnya nasionalisme pemimpin kita, akan tetapi jika negara dipaksa untuk meladeni lebih jauh, maka hanya akan berimplikasi negatif pada akumulasi kapital yang telah dibangun. Yah, secara politik memang negara telah tunduk pada logika kapital tertentu. Atau dengan kata lain, negara tunduk pada sistem kapital yang menjadikannya memble dalam bersikap. Adalah tantangan berat untuk mengubah ‘ketidakberdayaan’ pemerintah dan segala kebijakan yang diterapkan dalam menangani kasus ini, maka mahasiswa sebagai agent of social dan political control memiliki tanggung jawab moral untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa.

132


Sekolah Rakyat Tan Malaka dan Kaderisasi Gerakan Mahasiswa Hari Ini Malam

sabtu

kemarin,

kawan-kawan

GMNI

UNS

mengundang saya dan kawan-kawan KAMMI untuk hadir dalam diskusi pekanan mereka. Diskusi kali ini membahas mengenai sekolah rakyat Tan Malaka dan relevansi pemikirannya untuk diterapkan pada dunia pendidikan hari ini. Berbekal tulisan Tan Malaka yang berjudul SI Semarang dan Onderwijs, berangkatlah saya untuk sekedar berbagi resah dan berbincang hangat dengan kawan-kawan GMNI UNS. Dan tepat seperti yang saya duga sebelumnya, mereka pun memberikan hard-copy tulisan Tan Malaka tersebut sesampainya kami di sekre mereka. Sebagai

pemantik,

dua

orang

kawan

GMNI

UNS

membuka diskusi dengan memberikan pemaparan singkat mengenai sosok Tan Malaka berikut sejarah perjalanan hidup yang tak hanya membuatnya menjadi seorang pejuang, tapi juga pendidik yang konsisten dan persisten menanamkan semangat juang pada diri setiap muridnya. Kisah ini berawal ketika Tan bekerja menjadi guru sebuah perkebunan kuli kontrak di Deli. Sesampainya disana, ia melihat buruh-buruh perkebunan hidup tidak layak. Melihat realita yang demikian, Tan berkeinginan memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak kuli kontrak perkebunan tersebut. Namun, ide mendirikan sekolah yang ‘layak’ tersebut baru terealisasi ketika pada 1921 ia memutuskan hijrah ke tanah Jawa. Sekolah yang ia dirikan diikhususkan bagi anak-anak Sarikat Islam di Semarang.

133


Dalam tulisannya yang berjudul SI Semarang dan Onderwijs, Tan mengungkapkan bahwa tujuan sekolah tersebut tidak untuk menjadi juru tulis seperti tujuan sekolah-sekolah khas kolonial, melainkan selain untuk mencari nafkah untuk diri sendiri dan keluarganya, juga membantu rakyat dalam pergerakannya. Progresifitas sekolah tersebut membuat banyaknya permintaan dari luar Semarang untuk membuat sekolah yang serupa, akhirnya Tan membuka pendidikan kelas khusus bagi siswa kelas 5 untuk dipersiapkan menjadi calon guru. Saya rasa, banyak hal yang dapat kita pelajari dari Tan Malaka dengan sekolah rakyatnya. Bukan hanya sekadar untuk mengkomparasikan relevansi pemikirannya guna diterapkan dalam dunia pendidikan dewasa ini, tapi juga membuat kita turut serta memikirkan satu konsepsi mendasar mengenai gagasan kemerdekaan yang ia gelorakan jalur pendidikan. Ya, kita harus berpikir jauh melampaui zaman dimana kita hidup saat ini, seperti Tan. Tan tidak menyebut sekolah yang ia dirikan sebagai Sekolah Kerakyatan, tidak sama sekali. Analisa yang panjang dari para sejarawan lah yang menghasilkan terminologi Sekolah Kerakyatan (yang kita kenal sekarang). Sekolah khas Tan Malaka hadir secara pragmatis untuk menjawab tantangan zaman di masanya. Maka, wajarlah yang diajarkan di sekolah adalah ilmuilmu taktis tanpa kurikulum yang tersusun secara sistematis. Namun, selain ‘cacat’ pragmatis ini, saya harus memberikan penghormatan sedalam-dalamnya pada gagasan Tan Malaka dengan

tujuan

pendidikan

sekolah

rakyatnya,

yakni:

mempertajam kecerdasan dan memperkokoh kemauan, serta memperhalus perasaan‌, disamping itu juga menanam

134


kebiasaan berkarya yang tak kurang mulianya dari pekerjaan kantor. Sebetulnya, saya rasa, ia telah melakukan need assesmen secara mendalam sebelum mendirikan sekolah tersebut, saya bisa katakan bahwa kepragmatisan sekolah tersebut adalah buah dari assesmen yang ia lakukan sebelumnya: melihat kebutuhan mendasar bangsanya yang mesti segera sadar atas keterjajahan yang tengah dialaminya tanpa perlawanan berarti! Ya, memberantas kebodohan yang sengaja kaum kolonial semai dan suburkan di persada tanah airnya, Republik Indonesia. Sayang, buah dari kepragmatisan ini pun berakhir pahit, semakin lama ia semakin kehilangan ruh dan daya penggerak, maka sesuai sunatullah, mandeglah sekolah tersebut. Semangat pembebasan yang sama juga pernah dilakukan oleh Paulo Freire, seorang pendidik dari Brazil. Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas (hal 27), Freire mengatakan: “Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng. Dalam kedua tahap ini, dibutuhkan gerakan yang mendasar agar kultur dominasi dapat dilawan secara kultural pula.� Kedua tokoh ini mengaktualisasikan gagasannya dalam pola awal yang sama, yakni kaum tertindas (atau kaum kromo,

135


meminjam istilah Tan) harus menyadari ketertindasannya. Dalam situasi apapun, ketika “Penindas� melakukan penindasan/pemerasan pada “Tertindas�, maka hal tersebut resmi disebut penindasan. Ini mutlak, dan sifatnya pasti, meskipun kaum penindas menutupinya dengan penghargaan atau kedermawanan palsu. Agaknya, saat ini kita harus mengangkat kepala sejenak guna memandang realitas pendidikan kita hari ini. Artikel Febri Hendri AA di kolom opini Kompas, Jum’at 19 September 2014 kemarin patut menjadi cermin jernih untuk berkaca. Secara garis besar, artikel tersebut membahas kekecewaan Penulis pada kurikulum baru yang dirasanya penuh masalah yang urung dituntaskan, diantaranya: motif yang mendasari terbentuknya kurikulum baru baik yang berkenaan dengan motif kepentingan maupun motif politik serta implementasi penerapan kurikum secara teknis di lapangan. Tentunya, hal ini menyisakan pertanyaan besar bagi kita. Dalam kurun 1920an-2014, pendidikan senantiasa menyisakan problematika yang tak kunjung tuntas. Jika di Era Tan Malaka, ia berjuang untuk menyadarkan rakyat hakikat kebebasan dan kemerdekaan, saat ini yang terjadi justru sebaliknya: pendidikan menjadi alat untuk menjajah dan menindas. Pun, hal ini tak hanya terjadi untuk pendidikan dasar dan menengah, tapi juga bagi kita yang saat ini menyandang status sebagai mahasiswa. Status mahasiswa bukanlah status yang permanen, kita harus melepasnya (suka tidak suka). Akan tetapi, apa yang terjadi jika universitas tempat kita menempa diri malah menjadi penjara yang memasung kemerdekaan dan kebebasan kita? Bagaimana

136


jika sistem perkuliahan yang kita jalani selama ini pelan tapi pasti malah merenggut kesadaran humanis kita? Ah, bagaimana bisa? Kita harus menyalakan lilin, bukan mengutuk kegelapan. Begitu kata orang. Maka, dengan keyakinan tersebut, saya masih sangat percaya bahwa kaderisasi gerakan mahasiswa eksternal mampu menjadi titik tolak pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang menumbuhkan nilai dan kesadaran, pendidikan yang membuat kita merdeka dalam pikir, tindak, dan laku. Saat ini, kaderisasi gerakan mahasiswa eksternal masih kembang

kempis

didera

banyak

persoalan.

Kita

sibuk

membandingkan heroisme generasi pendahulu dan memble-nya generasi hari ini. Tapi, penanaman nilai dan kesadaran ini tak boleh putus. Karena akan tiba saatnya, gerakan mahasiswa kembali dibutuhkan oleh zaman. Mungkin bukan di zaman kita, atau zaman adik-adik kita, tapi akan ada masanya.. Ya, saya yakin seyakin-yakinnya. Keyakinan itulah yang membuat saya bertahan.

137


Self Assessment Dauroh Marhalah 1 KAMMI Pengelolaan dauroh selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan dari waktu ke waktu, utamanya oleh saya yang saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Setiap kali dosen memberikan materi mengenai strategi pembelajaran, inovasi kurikulum, manajemen berbasis sekolah, hingga asesmen pembelajaran, dalam benak saya langsung terbayang bagaimana membuat konsep ideal pengelolaan dauroh yang efektif di KAMMI. Akan tetapi, saat tiba masanya bagi saya mengaplikasikan ilmu yang telah saya dapatkan di lapangan, dalam hal ini mengajar peserta didik, saya menyadari bahwa segala teori yang telah saya dapatkan menguap, berganti dengan grusa-grusu, grogi, gagap ketika kondisi ideal yang diperlukan untuk mendukung proses pembelajaran tak terwujud sebagaimana yang saya harapkan. Dari

sinilah

saya

paham

bahwa semua

ilmu

mengajar,

menajemen kelas, dan lain-lian, hanya akan hanya jadi teori apabila saya gagap mengejawantahkannya di ranah praksis. Pun, saya akhirnya menyadari bahwa mengimplementasikan bidang keilmuan saya ini di KAMMI memang tak semudah membalikan telapak tangan. Ada begitu banyak tantangan dan kesulitan yang harus dihadapi dan ditaklukan. Saya akan memulai tulisan ini dengan memberikan gambaran umum pengelolaan Dauroh Marhalah 1 terakhir di KAMMI UNS yang melibatkan saya sebagai salah satu panitia teknisnya. Dauroh Marhalah 1 terakhir di komisariat saya dilaksanakan beberapa bulan yang lallu dan diikuti oleh 80 an peserta dengan input kader dari 9 fakultas di UNS. Dauroh

138


Marhalah 1 ini diawali dengan Pra-DM1 yang terbagi ke dalam tiga sesi, yakni untuk rumpun MIPA (meliputi Fakultas Kedokteran, MIPA, Pertanian, dan Teknik), rumpun sosial (meliputi Fakultas ISIP, Ekonomi, Hukum), dan terakhir rumpun FKIP. Sepanjang dilaksanakannya Pra-DM1 tersebut, pengelola dauroh menjalankan proses screening untuk mengenal peserta lebih mendalam dan mengetahui tingkat kepahaman mereka, khususnya yang berkiatan dengan tsaqofah keislaman, keindonesiaan, kepemimpinan, hingga pergerakan mahasiswa (dalam hal ini KAMMI). Pada akhirnya, terselenggaralah Dauroh Marhalah 1 di KAMMI UNS yang dilaksanakan selama 3 hari dua malam dengan 5 materi wajib dan materi tambahan berupa manajemen dan simulasi aksi. Sepintas saya tangkap, dalam lelah dan kantuk para peserta yang mengikuti dauroh, mereka cukup antusias mengikuti rangkaian kegiatan hingga usai. Akan tetapi, apakah hanya karena tak ada peserta yang memilih pulang saat acara berlangsung dapat kita tarik kesimpulan bahwa dauroh berjalan sukses? Apakah hanya karena mereka dapat mengerjakan soal post-test yang pengelola berikan, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dauroh menghasilkan kader dengan output berkualitas? Apakah hanya karena satu dua pertanyaan yang dilontarkan peserta lantas kita menganggapnya sebagai keaktifan nyata yang pantas mendapat penghargaan? Selayaknya, saat ini kita merenungkan kembali bagaimana pengelolaan dauroh marhalah kita selama ini berjalan. Pola dauroh sudah semestinya berpusat pada kebutuhan peserta dauroh. Peserta haruslah mampu mengkonstruksi kembali pengalaman

atau

pengetahuan

yang dimilikinya.

139


Sementara, MOT hanya berfungsi sebagai fasilitator atau pencipta kondisi dauroh yang memungkinkan peserta dauroh secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkontruksinya menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan lama yang telah dimilikinya. Maka, sebagai MOT, yang harus kita lakukan antara lain: memberi kesempatan kepada peserta dauroh unuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, memberi kesempatan pada peserta dauroh untuk mencoba gagasan baru kemudian mendebatnya untuk selanjutnya mendorong peserta dauroh memikirkan perubahan gagasan mereka. Mengapa demikian? Sebab, konstruksi pengetahuan yang ideal erat sekali kaitannya dengan pola pikir divergen, yakni kemampuan menghasilkan jawaban alternatif. Kemampuan ini dapat dikembangkan dengan mencoba berbagai alternatif jawaban guna penyelesaian masalah, sehingga mereka dapat memiliki keluwesan berpikir yang secara fleksibel dapat dikembangkan dalam mengatasi berbagai persoalan yang berbeda di lingkungan sekitar. Lebih jauh lagi, diharapkan kader berhasil mengemukakan ide dan gagasan yang orisinal serta kemampuan mengelaborasi ide sampai pada hal yang sifatnya detil. Hal yang perlu dimunculkan guna mencapai tahap tersebut adalah motivasi intrinsik dari tiap individu. Hal ini yang akan menyebabkan peserta dauroh melakukan segala aktivitas dengan optimal dan bertahan dalam jangka waktu yang lama.

140


Menurut teori kebutuhan Maslow, di dalam diri setiap individu terdapat sejumlah kebutuhan yang tersusun secara berjenjang, mulai dari kebutuhan yang paling rendah tetapi mendasar, yakni kebutuhan fisik, sampai jenjang yang paling tinggi yakni aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai keinginan untuk mengaktualisasi diri, yakni untuk menjadi dirinya sendiri, karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti dirinya sendiri, menentukan hidupnya sendiri, dan menangani sendiri masalah yang dihadapinya. Itulah sebabnya, MOT harus bisa memfasilitasi tiap peserta dauroh untuk mengaktualisasikan dirinya. Hal ini bisa dilakukan apabila MOT telah mengetahui motivasi peserta mengikuti dauroh marhalah 1 KAMMI, artinya, kita hanya perlu memberikan apa yang mereka inginkan, apa yang menjadi ekspektasi mereka. Maka, selesai, antusiasme mereka akan mampu menjaga semangat mereka hingga akhir. Hal yang ingin saya bahas dalam tulisan ini bukanlah bagaimana pengelolaan dauroh yang ideal (dari segi teknis), karena hal itu telah saya tulis di makalah yang saya buat 24 Novermber 2013 silam, yang ingin saya tekankan disini adalah pola asesmen terpadu yang meliputi penilaian proses serta penilaian hasil. Hal ini penting untuk dibahas, mengingat Manhaj Kaderisasi KAMMI belum memuat hal-hal yang berkaitan dengan prinsip maupun pola asesmen dauroh secara komprehensif. Padahal, dengan pola asesmen yang benar, MOT dapat mengetahui tingkat pemahaman peserta dauroh setelah proses dauroh berlangsung, lebih penting lagi, ini merupakan kontrol bagi pengelola tentang perkembangan kader. Saat pelaksanaan ICES (Islamic Civilization Engineering School) di KAMMI UNS, pengelola merumuskan model penilaian

141


baru guna memudahkan penilaian dauroh. Model penilaian ini dikembangakan dan dimodifikasi berdasar model penilaian dauroh yang dilaksanakan oleh Pelajar Islam Indonesia, yakni dengan menggunakan beberapa kriteria pokok, yang kami sebut dengan ARLEI (Attitude, Respon, Logic, Emotion, dan Integrity). Akan

tetapi,

cukupkah

angka-angka

tersebut

mewakili

pelaksanaan penilaian proses dauroh yang berlangsung? Tentu, hal tersebut tidaklah cukup. Baiknya, kita memberi kesempatan pada peserta dauroh untuk melakukan self assessment (penilaian diri). Self assessment akan membuat peserta dauroh dapat menilai dirinya sendiri berdasar status, proses, dan tingkat pencapaian materi yang diberikan berdasar sejumlah acuan yang telah disiapkan. Teknik penilaian diri ini tentunya memiliki keunggulan, diantaranya: menumbuhkan kepercayaan peserta dauroh karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri, mengintrospeksi kelebihan dan kekurangan yang ia miliki, serta mendorong peserta dauroh bersikap objektif dalam menilai dirinya sendiri. Hal yang perlu dilakukan oleh MOT hanyalah melakukan komparasi antara self assesment yang dilakukan mandiri oleh peserta dauroh dan penilaian objektif yang

dilakukan

oleh

pengelola,

sehingga

didapatkanlah

pemahaman yang utuh mengenai apa yang dipahami dan dirasakan oleh peserta selama materi berlangsung. Tentunya, terlaksanakanya pola dauroh yang konstruktif dan pola asesmen yang komprehensif ini tidak dapat terwujud apabila tidak mendapat keseriusan dan perhatian serius dari pengelola dauroh.

142


Melampaui Konflik dalam Kesatuan Saat membuka beranda facebook sore tadi, saya dikejutkan oleh beragam respon yang muncul untuk menanggapi tulisan yang dirilis oleh Bang Umar akhir pekan lalu berjudul “Melupakan Fahri Hamzah dari Pikiran KAMMI�. (http://www.kammikultural.org/2014/10/melupakan-fahrihamzah-dari-pikiran.html) Yunda Zahra memberi tanggapan dengan membangun narasi tentang KAMMI sebagai sebuah keluarga. Setiap kader diharapkan memiliki loyalitas terhadap KAMMI sebagai bagian dari keluarga besar yang akan terus menopang, mendukung, dan menguatkan. Bahkan Yunda Zahra mencontohkan Anas Urbaningrum yang hingga saat ini masih didukung oleh kader HMI untuk menguatkan argumennya. Saya tidak tahu dari mana Yunda Zahra mengambil kesimpulan naif ini. Jelaslah tidak semua kader HMI membabi buta membela senior yang bersalah, banyak dari mereka yang juga mengutuk alumni yang jadi broker politik, banyak juga dari mereka yang berupaya keras menyelamatkan kader-kader baru untuk tak terjebak pada rantai politik yang dibangun oleh seniorsenior busuk yang menggerogoti organisasi. Jangan sampai terjadi, atas dasar solidaritas keluarga ini, KAMMI malah melegalkan pembelaan membabi buta pada alumni yang terseret kasus (jika ada), tentu kita tak ingin ini terjadi. Lebih jauh, Bang Dharma membedah ingatan kita pada tagline yang dibawa PP pada periode ini. Tagline yang menarik: KAMMI

Untuk

Indonesia.

Ia

mencoba

mengajak

kader

143


menegaskan wajah baru KAMMI yang otentik Indonesia, tentu tanpa menegasikan pemikiran Ikhwan yang lebih dulu mapan dalam tubuh KAMMI sendiri. Bang Faqih secara lebih detail membawa kita untuk merenungkan QS Al Mujadalah ayat 22 yang turun setelah salah seorang sahabat Rasulullah, Abu Ubaidah bin Jarrah membunuh ayahnya sendiri dalam perang badar. Rasul pun bersabda bahwa yang Abu Ubaidah bunuh bukanlah ayahnya, melainkan kesyirikan dan kebathilan dalam dirinya (ayah Abu Ubaidah). Senada dengan Bang Dharma, Bang Faqih pun mengajak kita untuk menjadikan nilai kebenaran sebagai landasan dalam gerak dan pikir, bukan pada asas kekeluargaan seperti yang disampaikan oleh Yunda Zahra. Selanjutnya, Bang Faqih pun mencoba melakukan analisis semantik atas tulisan Bang Umar. (lih https://www.facebook.com/notes/865923736775903/) Masing-masing

berusaha

membentuk

dan

mempengaruhi opini publik dengan argumentasi dan kebenaran pendapatnya sendiri-sendiri, dan anehnya semua terasa masuk akal untuk dimengerti. Beberapa kader merasa pesimis dan khawatir bahwa perdebatan di ranah literal ini akan berdampak negatif sebab dinilai dapat memunculkan konflik horizontal di kalangan kader sendiri, baik itu di pengurus daerah maupun pengurus komisariat.

Beberapa

lainnya

merasa

optimis.

Mereka

menganggap perdebatan adalah hal yang wajar dan mampu menjadi proses pendewasaan yang baik dalam keberjalanan organisasi. Sisanya, cenderung tidak peduli, “banyak hal lain yang lebih esensial untuk dipikirkan�, begitu pikir mereka.

144


Sebagai pribadi, saya sendiri cenderung beranggapan bahwa munculnya konflik/perdebatan harus diterima sebagai kenyataan hidup. Bahwa konflik/perdebatan bisa terjadi dimana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun. Tak terkecuali bagi organisasi yang dalam namanya mengandung kata “kesatuan� ini. Perbedaan cara pandang dalam melihat dan memahami sesuatu menimbulkan dorongan untuk meningkatkan semangat berpikir, menulis, dan berdialektika dengan sehat. Karenanya, perdebatan harus dikelola dengan baik, sehingga setiap pihak memiliki kesempatan belajar membangun kemerdekaan pikir berdasar argumen teoritisnya masing-masing. Harapannya, sintesa baru akan lahir menjadi kebenaran sementara, begitu seterusnya, hingga sintesa-sintesa baru terus memperkaya ruang gagasan kita. Saya meyakini, apabila kader terbiasa dengan budaya debat publik secara terbuka, jujur, dan tanpa tedeng aling-aling, mereka pun akan terlatih berpikir dan bertindak secara objektif. Lagi-lagi, tulisan Bang Umar telah menyentuh sisi sensitif kader KAMMI dimana pun berada. Tujuan tulisan untuk menjadikan Fahri Hamzah serta relasi patron klien KAMMI dan alumninya yang terjun ke pergulatan politik praktis sebagai metafor malah dipahami sebagai provokasi untuk menegasikan KAMMI dari akar sejarahnya. Bahkan beberapa berburuk sangka dengan berkomentar singkat yang lepas dari konteks. Hanya dengan mencari titik lemah dari deretan kata-kata dengan dibumbui kecurigaan untuk melakukan serangan balik.

145


Saya berharap setiap orang yang turut berkomentar dalam perdebatan ini, entah dalam celetukan singkat maupun uraian panjang mampu berbesar hati membawa keakuan dan egoisme diri ke titik yang paling rendah. Mengutip apa yang disampaikan oleh Musa Asy’arie, “sehingga kata-kata yang diucapkan punya jiwa dan menjadi kekuatan pencerahan, tidak mengundang kebencian dan sakit hati, tetapi menyejukkan, dan dapat menjadi penggerak lahirnya perilaku kesalihan sosial.� Ketika Yunda Zahra membangun narasi tentang KAMMI sebagai

sebuah

keluarga,

agaknya

Yunda

Zahra

perlu

mempertimbangkan rekonsiliasi di tingkat pusat sebagai bentuk pertanggungjawaban atas narasinya. Rekonsiliasi jelas diperlukan sebagai upaya perdamaian di atas puing reruntuhan konflik antara Pengurus Pusat dan KAMMI Nasional. Dan itu tak akan dapat terwujud tanpa ada adanya loyalitas kader terhadap KAMMI sebagai bagian dari keluarga besar yang akan terus menopang, mendukung, dan menguatkan. Namun, sudah pasti rekonsiliasi akan gagal manakala masing-masing dari kita enggan mengosongkan egoisme, atau paling tidak menekan keakuan hingga level terendah. Ada banyak hal yang harus dikawal dalam kepengurusan PP KAMMI periode ini. Salah satunya adalah tagline yang digagas oleh Bang Arif Susanto: KAMMI Untuk Indonesia. Sudah sejauh mana KAMMI mampu mengindonesia? Masihkah fasih mengutip kalimat Hasan Al Banna tapi enggan belajar sejarah perjuangan ulama-ulama yang berjuang menegakkan Islam di bumi Indonesia?

146


Atau, bagaimana kelanjutan lokus-lokus kepakaran yang sempat digagas di awal kepengurusan? Apakah ia hanya berhenti sebatas pada pewacanaan global tanpa realisasi di lapangan? Sudahkah ada prototype komisariat yang menjadi bahan percontohan giatnya lokus-lokus kepakaran? Cukupkah lokus ini menjadi kelompok studi, atau akan dikembangkan menjadi Lembaga Semi Otonom? Baru-baru ini, PP juga menggagas “Rekruitmen 100.000 Kader Penggerak Kebangkitan Indonesia”. Tak ada pertanyaan, mengapa harus seratus ribu? Mungkin, karena angka itu paling mudah diambil, karena bulat, dramatis, dan cukup abstrak untuk dibubuhi keterangan lebih panjang. Lantas, siapkah KAMMI melakukan pembinaan terstruktur untuk seratus ribu kader tersebut? “Menggagas ide adalah satu tahapan, dan mewujudkan ide itu menjadi nyata adalah tahapan yang lain.” Kata Bang Wibi. Fahri Hamzah telah mendeklarasikan lahirnya KAMMI. Imron Rosyadi, Mu’tamar Ma’ruf, dan Yusuf Maulana telah meletakkan pondasinya. Kita? Telah berproses sependek ini.. Bukan, bukan melupakan. Melampaui Fahri Hamzah dan para senior kita adalah suatu keharusan..

147


Basis Massa Atau Basis Kader? Beberapa waktu lalu, kawan-kawan Gema Pembebasan menyelenggarakan ICMS. Kakak-kakak saya di sekretariat KAMMI-lah yang menerima undangan tersebut. Katanya, mereka sempat berbincang soal grand design kongres meskipun sedikit. Lebih jauh, saya tak tahu apa yang mereka perbincangkan. Kalau bicara soal kongres Gema Pembebasan, prakiraan saya, ruhnya terasa senada dengan vergaadering yang dilakukan Sarekat Islam di masa perjuangan melawan kolonialisme. Agitasi masa. Pidato persuasif. Metodenya sama seperti yang dilakukan oleh HOS Tjokroaminoto dan Soekarno. Bedanya mungkin hanya pada kemasan dan kontennya saja. Atau, ada perbedaan yang lain lagi? Saya sendiri agak kaget dengan metode-metode yang mereka gunakan. Agitasi masa tak sekali ini saja mereka lakukan. Di banyak kesempatan mereka sering kumpulkan massa dan lakukan propaganda. Beda betul dengan metode yang disampaikan Ust Taqiyuddin an-Nabhani dalam At-Takattul al Hizbiy. Jika telah terdapat tiga hal pokok, yakni fikrah yang dalam, thariqah yang jelas, dan manusia yang bersih, maka akan terbentuklah sel utama. Sel utama ini akan bertambah menjadi sel-sel kecil (halqah) pertama dalam partai, yang sekaligus menjadi pimpinan partai. Nah, barulah kemudian terbentuk kutlah hizbiyah (kelompok kepartaian) yang akan berjuang mewujudkan fikrah yang diyakininya. Mirip dengan sistem Partai

148


Komunis Indonesia ya? Atau sama juga dengan metodenya Tarbiyah? Hehe Sejujurnya saya ingin belajar secara lebih mendalam soal propaganda yang secara persisten mereka gencarkan di kampus. Lantas, bagaimana si kabar sel-sel ini? Pernah selama empat bulan saya ikut ngaji dengan kawan-kawan Musliman HTI Solo Raya, tetapi terlalu banyak perbedaan yang tak dapat saya jembatani, karenanya, demi kebaikan saya pribadi, saya pun memilih keluar. Saya rasa sel-sel kecil tadi masih hidup dan eksis. Tapi saya kurang yakin apa saja yang mereka bahas. Waktu itu, saya masih begitu muda dan lekas bosan akan segala sesuatu, makanya saya putuskan keluar karena wacana yang diusung memang itu-itu lagi. Tak memberikan kebebasan berpikir dan menuangkan gagasan alternatif lain. Judgement. Berontak. Satu solusi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Selain aksi dan propaganda yang massif, saya rasa kawankawan GP juga punya massa yang sangat militan. Kalau tak militan. Siapalah yang mau repot-repot pasang selebaran dan pamflet di setiap spot di kota Solo? Dipikir lebih jauh, karakter gerakan kawan-kawan GP sangat jauh berbeda dengan KAMMI. KAMMI memiliki karakter sebagai organisasi kader dan organisasi amal. Makanya, yang jadi fokus KAMMI adalah basis kader, bukan basis massa. Perlu dibedakan antara siapa yang kita sebut sebagai kader, dan siapa yang kita golongkan sebagai simpatisan. Lantas, mana yang lebih baik? Fokus pada kader atau pada massa?

149


Ah, jawabannya tentu sulit. Tapi, perbedaan pendapat antara Soekarno dan Hatta mengenai bagaimana tepatnya partai bergerak patut jadi bahan renungan bagi kita yang mengaku sebagai aktivis pergerakan. Setelah dijebloskan ke penjara Sukamiskin, PNI secara resmi dinyatakan sebagai partai terlarang. Aktivis partai kemudian mendirikan Partindo (Partai Indonesia), tetapi gerakannya tidak terasa, jarang sekali mereka mengadakan pertemuan, dan kalaupun ada, pengunjungnya sangat sedikit. Sementara itu, dua tokoh intelektual: Hatta dan Sjahrir pun mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia). Aktivis dan simpatisan PNI pun terbelah, antara mengikuti Partindo dan PNIBaru. Bung Karno merasa kecewa dengan perpecahan ini, ia menginginkan persatuan dari dua kubu. Bung Hatta : Dengan sistem Bung Karno, partai tidak memiliki kestabilan. Ketika Bung Karno beserta tiga kawan kita masuk penjara, seluruh gerakan tercerai berai. Gagasanku adalah membentuk satu inti kecil dari organisasi yang kemudian akan melatih kader untuk digembleng sesuai cita-cita kita. Bung Karno

: Lalu apa yang akan dilakukan para

kader ini? Apakah akan mendatangi massa

rakyat dan

membangkitkan semangat mereka seperti yang telah kukerjakan? Bung Hatta

: Tidak. Konsepsiku lebih didasarkan

pada pendidikan praktis untuk rakyat daripada didasarkan pada daya tarik pribadi dari seorang pemimpin. Dengan cara demikian, bila para pemimpin puncak berhalangan, partai akan tetap berjalan dengan pemimpin di bawahnya yang sudah sadar mengenai apa yang kita perjuangkan. Pada gilirannya, mereka

150


akan meneruskan cita-cita ini ke generasi berikutnya sehingga barisan kita bertambah banyak dengan mereka yang simpati pada perjuangan kita. Kenyataannya sekarang, tanpa pribadi Soekarno, tidak ada partai. Ini akan membuat partai bubar karena rakyat tidak memiliki kepercayaan kepada partai itu sendiri. Yang ada hanya kepercayaan pada Soekarno. Bung

Karno

:

Mendidik

rakyat

agar

cerdas

membutuhkan waktu bertahun-tahun Bung Hatta. Cara yang Bung lakukan baru akan tercapai puluhan tahun. Bung Hatta

: Kemerdekaan memang tidak akan

tercapai selagi kita masih hidup. Tapi setidak-tidaknya cara ini pasti. Pergerakan kita akan terus berjalan selama bertahun-tahun. Seperti yang telah kita ketahui, perdebatan yang berlanjut hingga beberapa bulan kemudian itu menemui jalan buntu. Baik Bung Karno maupun Bung Hatta sama-sama meyakini jalan juang yang dipilihnya. Menurut Bung Karno, yang dikatakan Hatta adalah khayalan revolusioner. Buku teks tak dapat mempimpin dan menggerakkan jutaan rakyat. Sementara, Bung Hatta pun keukuh mempertahankan yang diyakininya, ia katakan, “Ini merupakan janji kesetiaan pada negeri kita. Ini merupakan soal prinsip. Soal kehormatan.� Bung Karno pada akhirnya masuk Partindo, dan Bung Hatta tetap meneruskan perjuangannya lewat PNI-Baru. Agak janggal menarik persoalan ini pada kebimbangan gerakan menentukan mana yang lebih baik, membina basis massa atau basis kader. Tapi setidaknya percakapan dua tokoh besar tadi mampu membuat kita menyelami hakikat perbedaan

151


paling prinsipil yang kemerdekaan republik.

pernah

terjadi

dalam

perjuangan

Kawan-kawan GP, janganlah anti pada buku-buku sejarah bangsamu sendiri. Kawan-kawan Tarbiyah, jangan hanya andalkan wacana IM tahun 85. Mari kita saling berdialog dan berwacana dengan kajian yang matang. Era informasi kian membanjir, maka kita tahu bahwa era ini akan segera berakhir. Gerakan intelektual akan kembali berjaya. Pastinya, kita harus segera menyiapkan diri. Referensi

152

1.

Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams

2.

At Takattul Al Hizbiy karya Taqiyuddin an Nabhani


KIDS dan Satu Generasi Muslim yang Kita Pertaruhkan Training For Instructure KAMMI Daerah Solo Raya usai dilakukan. 14 Instruktur baru resmi dilantik. Sayang, komposisi instruktur baru ini tidak berimbang. Kebanyakan berasal dari angkatan lama. 2008-2009. Padahal, keinstrukturan yang dipegang kaum muda adalah keniscayaan yang kuyakini mampu membangkitkan semangat zaman. Aku kagum (sekaligus iri) pada kader KAMMI Jogja. Konsep-konsep keinstrukturan yang mereka inisasi goal di muktamar. Ide-ide mereka dipakai secara nasional meskipun belum merata. Pemerataan in tentu merupakan sebuah proses yang panjang. Membutuhkan waktu lama dan konsistensi yang tak mudah surut, apalagi luruh. Sungguh, pertanggungjawaban kita pada mereka yang telah memilih KAMMI sebagai saluran aktualisasi dan kawah candradimuka untuk menempa diri harus dihayati dengan sebenar-benarnya penghayatan dan kesadaran. Pertanggungjawaban itu harus mewujud dalam kerjakerja perkaderan yang tersusun dalam kerangka konseptual, integral, dan holistik. Yang ku tahu, pembenahan kaderisasi kita tidak akan tuntas dalam waktu singkat. Kerja-kerja kaderisasi adalah kerja yang tak pernah putus. Mata rantainya menyambung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Terus begitu.

153


Hanya saja, karakter gerakan KAMMI sebagai harokatul amal menuntut kadernya tak hanya fokus mengurus kaderisasi, tapi secara taktis berkontribusi memecahkan persoalan umat dan bangsa. Atas sebab keanggotaan dan kepengurusan organisasi yang terus berjalan dari periode ke periode, maka sangat sulit mengharapkan kematangan sikap, kestabilan organisasi, dan kematangan konsepsi di tubuh KAMMI sendiri. Karenanya, taurits (pewarisan) haruslah menjadi hal pokok yang jadi prioritas. Sayangnya, budaya taurits ini belum terwujud secara utuh. Hanya sebatas dokumen-dokumen kerja yang tak menguraikan proses berpikir, kurasa. Aku

berharap

bisa

menjadi

saksi

sejarah

yang

mendokumentasikan serangkaian proses berpikir itu dalam tulisan-tulisanku (termasuk tulisan ini). Proses berpikir merupakan pondasi yang paling fundamen dalam melakukan perbaikan. Bisa jadi, karena ketiadaan dokumen ‘proses berpikir’ ini, generasi selanjutnya akan memulai konsep dari awal lagi. Seperti yang kubilang di awal, karena KAMMI adalah rumah tinggal sementara (kawah candradimuka untuk menempa diri), maka waktu yang singkat ini harus dimanfaatkan sebaikbaiknya. Mengoptimalkan proses perkaderan di tubuh KAMMI dengan pengoptimalan Korps Instruktur adalah ikhtiar yang dipilih. Di beberapa organisasi kader lain, jalan ini telah ditempuh sejak lama. KAMMI sebetulnya tinggal mengadopsi atau mengadaptasi saja apa yang telah diterapkan oleh PII atau HMI, tentunya dengan tetap berpegang pada filosofi gerakan dan

154


nalar/orientasi kaderisasi nasional kita. Tapi, memang tak semudah itu. Kemarin, pasca TFI usai. Dilaksanakan pula lokakarya KIDS (Korps Instruktur Daerah Solo). Ada tiga agenda yang jadi pokok bahasan. Pertama, laporan pertanggungjawaban penanggung jawab sementara KIDS. Kedua, pembentukan renstra KIDS. Ketiga, pembentukan struktur dan penempatan personil KIDS. Dari laporan PJS KIDS sebelumnya, aku menyimpulkan bahwa fungsi keinstrukturan belum berjalan sebagaimana pola ideal

yang

diharapkan.

Meskipun

memang

KIDS

telah

menginisiasi dihapusnya Sie Acara dalam kepanitiaan DM1 (sebetulnya KIDS bertanggungjawab untuk semua suplemen dauroh yang diselenggarakan KAMMI, akan tetapi fokus garapan pokok di periode awal ini adalah mengidealkan DM1) dan menggantinya dengan sistem kepengelolaan. Dari empat komisariat yang berada di KAMMI Daerah Solo (Sholahuddin Al Ayyubi UNS, Al Fath UMS, Al Aqsha IAIN, dan Abdullah Azzam yang merupakan gabungan beberapa universitas macam Universitas Setia Budi, Universitas Slamet Riyadi, serta Poltekes), hanya Shoyyub UNS lah yang telah established menerima konsep keinstrukturan dalam pengelolaan Dauroh Marhalah. Maka dari itu, aku mengusulkan dibentuknya suatu renstra jangka pendek. Dengan logika yang sama, saya, Mas Umam, dan Mas Hartono mengusulkan renstra satu tahun. Melalui perdebatan yang cukup alot, renstra satu tahun yang dibagi dalam dua fase tersebut disepakati forum.

155


Ada empat poin yang menjadi acuan kerja-kerja KIDS selama satu tahun ke depan, yakni 1) Bertambahnya jumlah instruktur 2) Selesainya sosialisasi KIDS ke seluruh komisariat 3) Pengelolaan DM1 yang 100% ditangani KIDS dan peninjauan dauroh-dauroh lain untuk pembuatan SWOT renstra jangka panjang satu tahun mendatang 4) Peningkatan kompetensi intruktur melalui Halaqoh Instruktur (HI). Untuk menunjang tercapainya dibentuklah struktur sebagai berikut:

renstra

tersebut,

Koordinator : Ahmad Walid (Pascasarjana UNS) Sekretaris & Bendahara : Diandaru (Pascasarjana UNS) Tim Instruktur Lapangan : Evi (UNS-alumni), Alvian (UMS), Irine (UNS-alumni), Fitri (IAIN), Amin (UNS) Tim Manajemen Data dan Informasi : Rahmad (UNS), Titis (UNS), Titik (UMS) Tim Pengembangan Kompetensi Instruktur: Nuzul (UMS), Alikta (UNS), Umam (UNS-alumni), Vike (IAIN), Syahid (UNSalumni) Besar

harapan

yang

ku

tumpukan

pada

sistem

keinstrukturan ini. Aku sadar betul bahwa satu tahun ke depan adalah masa trial and error. Mudah-mudahan Alloh SWT mengampuni kami semua. Aku ingin menggubah tulisan Ahmad Wahib untuk mengakhiri tulisanku kali ini..

156


Arena telah kita pilih KAMMI sebagai saluran Bertahun-tahun kita membina Satu generasi muslim kita pertaruhkan Untuk umat Islam Kegagalan KAMMI kegagalan satu generasi Keberhasilan KAMMI keberhasilan satu generasi Kita telah memilih KAMMI sebagai wadah perjuangan permanen (seperti yang kita hafal sebagai visinya). Mari berdoa, mudah-mudahan Alloh SWT membimbing KAMMI ke jalan-Nya yang lurus. Mudah-mudahan Alloh SWT mengampuni kita atas satu generasi muslim yang kita pertaruhkan.

157


TENTANG PENULIS: Alikta Hasnah Safitri adalah mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Terhitung sejak awal tahun 2012 aktif dalam kepengurusan KAMMI UNS. Saat ini, masih menikmati perannya sebagai admin website resmi KAMMI UNS (kammiuns.org) dan Dewan Redaksi Jurnal KAMMI Kultural (kammikultural.org).

158


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.