Al-Intima' edisi 07

Page 1

Edisi No.007 Tahun 2010 • Infaq Rp 4.900,- (Luar kota tambah ongkos kirim)

Spirit Kebangkitan Dakwah

Ketika kita memastikan keniscayaan jalan yang akan kita tempuh. Qul hadzihi sabili ad’u ilallah ‘alaa bashiratin…maka ad’u ilallah adalah landasan keimanan dan moralitas kita. Bahwa dakwah dan perjuangan kita seluruhnya ilallah.



dari redaksi Edisi No.007 Tahun 2010

Edisi No.007 Tahun 2010 • Infaq Rp 4.900,- (Luar kota tambah ongkos kirim)

Spirit Kebangkitan Dakwah

Ketika kita memastikan keniscayaan jalan yang akan kita tempuh. Qul hadzihi sabili ad’u ilallah ‘alaa bashiratin…maka ad’u ilallah adalah landasan keimanan dan moralitas kita. Bahwa dakwah dan perjuangan kita seluruhnya ilallah.

Majalah Dakwah Islam

Al-Intimã’ Terbit 1 (satu) bulan sekali Infaq Rp 4.900,-

Penerbit Forum Dakwah dan Tarbiyah Islamiyah Bandung Alamat Redaksi Jl. Cilengkrang II No. 48 Kel. Palasari Kec. Cibiru Bandung Telpon (022) 92230564 e-mail mdi.intima@gmail.com Pemimpin Umum Bahruzin Pemimpin Redaksi M. Indra Kurniawan Sidang Redaksi Setiadi Yazid Taufiq Rizqon Ridwan Nurdin Mufti Rifan Fahrani M. Indra Kurniawan Desain Grafis & Tata Letak Widesain Pemasaran, Iklan & Distribusi Peni Rusmustikawati, Engkus Kusnadi Keuangan Agus Suryana Percetakan Dunia Offset. Redaksi menerima tulisan dari pembaca. Setiap tulisan masuk tidak dikembalikan. Lampirkan foto copy identitas yang masih berlaku. Isi di luar tanggung jawab percetakan.

Segala puji milik Allah yang dengan karunianya sempurnalah segenap kebaikan. Salawat dan salam semoga dilimpahkan Allah kepada pengajar kebaikan, yang menunjukkan manusia kepada kebenaran, pemimpin dan imam kita, panutan dan kekasih kita, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan benar hingga hari kiamat nanti. Para pembaca budiman, saat ini redaksi sedang gencargencarnya menjalin komunikasi dengan banyak pihak, khu­ sus­nya para ustadz yang terbiasa menulis, untuk meminta me­re­ka menjadi contributor Al-Intima’. Alhamdulillah…dua orang ustadz yang cukup dikenal dengan karya-karyanya yang berbobot, Ustadz Khozin Abu Faqih dan Ustadz Farid Nu’man, menyatakan kesediaannya menjadi kontributor tetap. Tulisan beliau berdua dapat Anda simak mulai edisi 007 ini. Tulisan Ustadz Farid Nu’man kami jadikan bahasan utama di rubrik Harakatuna. Sementara tulisan Ustadz Khozin Abu Faqih kami simpan di rubrik Siyasah. Oh ya pembaca budiman, pada edisi kali ini, Anda pun akan menemukan rubrik baru. Selain rubrik Siyasah, Anda akan temu­kan rubrik Ijtima’iyyah dan Qawiyyul Jismi. Insya Allah rubrik-rubrik ini akan kami patenkan dan selanjutnya akan diisi oleh kontributor yang berkompeten. Mohon do’anya agar kami dibe­ri kemudahan. Amin…. Selanjutnya kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda semua, ikhwan dan akhwat, yang telah mengirimkan ko­ men­tar, support, kritik, saran, dan tulisan-tulisan, baik melalui FB, SMS, atau email. Sungguh semuanya sangat berarti bagi kami demi pengembangan majalah ini ke depan. Hanya saja, dengan sangat menyesal, kami tidak dapat menampilkan semua komentar, support, kritik, saran, dan tulisan-tulisan tersebut, mengingat berbagai keterbatasan yang ada pada kami. Mudah-mudahan Allah SWT mencatat itu semua sebagai kebaikan yang bernilai di sisi-Nya, karena menjadi bukti ghirah pada dakwah Islamiyah. Berikutnya kami beritahukan, Al-Intima’ kini sudah memiliki blog/web resmi. Silahkan kunjungi kami di http:// intimagazine.wordpress.com. Web ini berisi sebagian tulisan yang telah dimu­at di Al-Intima’ edisi lama. Selain itu mudahmudahan web ini bisa menjadi sarana diskusi dan komunikasi para pembaca setia Al-Intima. Selanjutnya kami persilahkan Anda segera menyimak sajian kami kali ini. Selamat membaca! 1


Redaksi menerika surat pembaca melalui facebook. Kunjungi kami di Facebook: Majalah Dakwah Islam Al-Intima Majalah Dakwah Islam Al-Intima Dicari! Mujahid dakwah yang siap mewakafkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk bersama-sama berjuang membangun majalah dakwah Islam Al-Intima'. Disukai berkafa'ah syar'i, bisa mencurahkan ide melalui tulisan, dan atau menyukai dunia jurnalistik, berdomisili di daerah Bandung Raya. Inna Fithriyana Aku suka mnulis..Tp ttg pa? Untuk info yg lbh jlas da no yg bs dhub mgkn.. Akmal Sjafril untuk kirim tulisan, formatnya bagaimana? Biasanya ada batasan jumlah halaman, spasi, atau jumlah karakter. Mohon infonya. Majalah Dakwah Islam Al-Intima @ Inna:Majalah Al-Intima isinya kan materi keislaman, kajian tg dakwah Islam... selanjutnya kita juga ingin tulisan di al-intima mengupas hal2 yg lebih up to date tg kondisi sosial masyarakat kita... @Akmal: Minimal tulisan 6000 karakter kang...maksimalnya...12.000 karakter.... kecuali kalo tulisan di bahasan utama...bisa lebih. Pokoknya kirim aja kang...kali aja tulisan kang Akmal jadi bahasan utama.... Afdhal Saputra Assalamualaykum,kang kalau ngin membeli majalah edisi2 lalu bisa dibeli dimana ya? karena ada beberapa edisi yang terlewatkan..syukron.. Majalah Dakwah Islam Al-Intima Pak Afdhal tinggal di daerah mana? Coba hubungi agen al-intima yang tertera di majalah. Atau hubungi Ibu Peni via sms/telp di 02292230564. Eva Ps El Hidayah Subhanallah...semua isi2 majalah ini sangat bermanfaat...alhamdulillah ana pelanggan setia majalah ini.. selain majalah tasqif dan tarbawi ... sdh masuk edisi 6 ya... semoga sukses selalu... ^_^ oh ya.. Insya Allah ana mau mengirimkan tulisan kebetulan ana tinggal bandung dan kantor Al Intima dekat dengan tempat kuliah ana di Cibiru...hee..semoga Allah memudahkan langkah2 kita Amiin..Insya Allah...^_^

Majalah Dakwah Islam Al-Intima Alhamdulillah...kami tunggu ya teh... Makhrus Ali Luar biasa sungguh menyenangkan dan membuat gairah hidup membaca majalah ini .... Thank Abooot Lukman Muttaqiin tapi saya di luar Bdg Raya... pingin gabung gimana atuh? Majalah Dakwah Islam Al-Intima Kirim tulisan aja Pak Lukman....kami tunggu ya... semoga ALLAH melimpahkan pahala pada niat baik Bapak. Amin... Sayyid Indra Rifa'i Al-Husna terbitnya jg telat terus dong...... Majalah Dakwah Islam Al-Intima Saat ini kita sedang berupaya membentuk tim yang lebih solid pak, mohon do'anya ya ^_^ Abdul Rohman masukan aj untuq al-intima tercinta!!! transliterasi arab ke latin agar diperhatikan, trus penulisannya harus di bedakan.... Majalah Dakwah Islam Al-Intima Ya, insya ALLAH... Hafidz Mata Elang sebenarnya terbit sebulan sekali, atau sebulan 2 kali pak? Majalah Dakwah Islam Al-Intima Terbitnya sebulan sekali, cuma ya itu jadwalnya belom teratur....masih banyak kendala untuk tepat waktu......mudah2an mulai edisi 6 kita bisa terbit teratur...mohon do'anya.... Didin Wahyudin Assalamualaikum. Ane dari Sangatta, Kutim, Kaltim. Alhamdulillah sudah dapat mulai edisi 5. kalau boleh usul, ada rubrik Siroh nabawiyah dan materi tarbiyah jasadiyah. Majalah Dakwah Islam Al-Intima Insya Allah pak Didin...good idea!

daftar isi taujih • Tafawwuq dan Ikhtiroqot..................................... 4 harakatuna Ghuroba tapi Gaul....................................................... 8 Yakhtalithun Walakin Yatamayyazun........................ 12 Ijtima'iyah Membangun Kembali Moralitas Bangsa................... 16 2

siyasah • Urgensi Kekuasaan (bagian pertama)............. 20 nisaa • Profil Muslimah Ideal........................................... 26 'aqidatuna • Tauhid Asma wa Shifat............................30 thulaby • Ketika Pena Menari ........................................ 34 qowiyyul jismi • Olah Raga, Yuk!.................................38 misykat • Kasih Sayang Sesama Muslim......................... 40 Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


ed

i al ti or

Kita adalah Mujahid Dakwah Dakwah kita terus bergulir mengisi ruang dan waktu. Selangkah demi selangkah target-target dakwah itu coba kita gapai. Tidak sedikit yang telah kita raih, namun masih banyak apa yang belum kita dapat. Oleh karena itu, langkah ini tidak boleh berhenti, berubah, atau berbalik arah. Ke­ku­atan harus terus kita bangun. Bekal di perjalanan harus terus kita persiapkan. Lihatlah, jalan kita masih panjang. Banyak terminal yang harus disinggahi, sementara kita belum tahu pasti, berapa satuan waktu yang kita butuhkan untuk berputar di tiap-tiap hamparan ruangnya. Jalan ini membutuhkan kesabaran di atas kesabaran, dan pengorbanan di atas pengorbanan, serta keistiqomahan langkah menuju tujuan yang akan dicapai. Waspadalah, dan tetaplah kita menjadi orang-orang Rabbani. Berhati-hatilah, karena jalan ini penuh ranjau ujian dan cobaan. Godaan dan bujuk rayu. Pandanglah jauh ke depan dan teruslah melangkah. Jangan lagi tengok kiri dan kanan, buang jauh cita-cita murahan di tengah jalan. Karena kita adalah tentara Allah. Cita-cita kita jauh membumbung ke atas langit. Agenda kita menumpuk. Kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia. Maka jangan biarkan hati condong dan terpesona, larut dalam fatamorgana dunia. Hiasilah diri dengan kesederhanaan. Sibukkanlah lisan dengan tilawah Al-Qur’an. Jadikan shalat sebagai penawar letih dan penyejuk hati. Biarkanlah semangat keprajuri­ tan mengalir mengisi ruang jiwa. Lalu tampilkanlah akhlakul karimah dengan penuh keikhlasan. Maka jadilah kita mujahid dakwah sebenarnya. Hari ini bukan hari berleha-leha. Hari ini adalah hari-hari penuh kerja. Majulah terus wahai mujahid. Sesungguhnya Allah bersama kita! “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menye­ lamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam Telah Berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (QS. As-Shaf, 61: 10 – 14)

3


!

taujih

Tafawwuq dan Ikhtiroqot Oleh: k.h. hilmi aminuddin, lc.

Kita ini organisasi kader, walaupun secara operasional, melalui program-programnya, kita adalah gerakan massal yang melibatkan publik untuk berjuang bersama-sama kita. Syiar kita ‘nahnu minhum’ (kita bagian integral dari ummat ini), wa nahnu ma’ahum (dan kita bekerja sama dengan mereka dalam mengayunkan langkahlangkah perjuangan), wa nahnu lahum (dan seluruh perjuangan kita adalah untuk membela, memperjuangkan, dan mensejahterakan umat ini).

K

ualitas kader yang mengemban visi dan misi seperti itu tentu harus memiliki keunggulan-keunggulan. Apalagi mutathollabat maidaniyyah (tuntu­ t­an medan) Indonesia yang demikian luas. Indonesia adalah negara yang membentang luas dengan jumlah populasi tertinggi di antara negeri-negeri Islam. 4

Tentu kita menyadari sebagai jama’ah, yang secara organisatoris adalah organisasi kader, tidak mungkin dari sudut populasi dan kuantitas SDM, kita menjadi mayori­ tas. Organisasi kader selamanya adalah mi­no­ritas. Yang bisa mencapai organisasi mayo­ritas, walau sifatnya temporal, itu ha­ nya organisasi massal yang biasanya juga Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


secara organisatoris cair. Karena cair, maka cenderung labil. Anggotanya seringkali mu­dah berubah, mudah berpindah, mu­ dah merubah loyalitas kalau loyalitas itu memang ada dan mudah merubah komit­ men kalau komitmen itu memang ada. Pilihan kita adalah menjadi organisasi kader, dimana kader-kader kita berkualitas, mempunyai tafawwuq (keunggulan-ke­ung­ gulan). Pertama, tafawwuq imani (keung­ gulan iman) yang merupakan basis moral dan kekuatan semangat juang kita. Iman adalah hasil tafa’ul ruhi (interaksi jiwa) kita dengan aqidah yang dari waktu ke waktu harus selalu diperkokoh dan diper­ kuat, karena tantangan-tantangan yang ki­ta hadapi semakin besar dan semakin kuat. Kedua, tafawwuq ilmi (keunggulan ilmu) yang memancarkan tafawwuq fikri (keunggulan idealisme) yang dibangun oleh pemahaman terhadap ilmu-ilmu ke­ is­la­m­an yang sekaligus diselaraskan ju­ ga oleh pemahaman kita tentang ulum kauniyyah. Diseimbangkan. Sehingga seca­ ra realitas kita unggul. Segala sesuatu yang kita inginkan, yang kita cita-citakan, kita perjuangkan, seluruhnya adalah dengan bashirah. Ketika kita memastikan keniscayaan ja­ lan yang akan kita tempuh. Qul hadzihi sabili ad’u ilallah ‘alaa bashiratin … maka ad’u ilallah adalah landasan keimanan dan moralitas kita. Bahwa dakwah dan per­ju­ angan kita seluruhnya ilallah. Untuk men­ jadi ala bashiratin, maka kita harus memiliki keung­gulan ilmu, baik ilmu syar’i maupun il­mu kauni. Dari rata-rata umat secara umum, kader dakwah harus memiliki ke­ le­bihan secara ilmiyyah, syar’iyyah atau kau­niyah, agar bisa ala bashirah. Ulum syar­’iyyah sebagai basis bashirah kita ada­lah untuk mempertahankan asholah (orisina­litas) keislaman, dakwah, dan ja­ ma­’ah kita. Ulum kauniyyah diperlukan

sebagai basis untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan kita dalam me­ ngem­bangkan dakwah. Sebab dakwah ini menuntut semakin luas menggunakan alasalib (metode-metode yang kita am­bil) dan wasail al-haditsah (sarana dan prasa­ rana baru). Pengembangan metode tidak terlepas dari sarana dan prasarana, dan itu landasannya adalah penguasaan ulum kauniyyah. Saya berkali-kali sering mengatakan bah­ wa saya tidak pernah khawatir jama’ah dan dakwah ini terkena infiltrasi personil. Karena sistem tarbiyah dan taqwim yang demikian ketat dan panjang menyulitkan orang untuk melakukan infiltrasi. Apakah karena dari awal dia sudah larut menikmati tarbiyah sehingga ia mengikuti nurani dan fitrahnya untuk sadar akan tanggung jawab keislamannya, keumatannya, dan kedakwahannya. Makanya kita ti­dak per­ nah ragu membina mad’u dengan bahan baku apa saja. Apakah dia mahasiswa, san­ tri, petani, nelayan, tentara, polisi, atau intel. Kita tidak pernah ragu. Kita bina saja. Kalau ada niatan infiltrasi dia tidak akan tahan. Kalau kemudian dho­mir­-nya hidup lalu berinteraksi dengan ma­badi (prinsip) aqidiyyah, fikriyyah, man­ha­ jiyyah, khuluqiyyah, wal ubudiyyah. Dia akan menjadi ikhwanukum fiddin (sau­ dara kalian dalam agama) yang bersamasama mengusung risalah dakwah ini seba­ gaimana yang diwariskan oleh Rasulullah SAW. Justru yang sering saya ingatkan bahwa memang kita tidak pernah ragu bahwa sis­ tem kita tidak mungkin diinfiltrasi secara personil. Tapi dalam perjalan hidup dan perjuangan kita, terutama pada era jama­ hiriyah, kita bergaul dengan aneka ragam orang, pemikiran, keyakinan, dan aqidah. Bahkan ke depan, dalam mihwar dauliy, aneka ragam agama akan bersentuhan

Organisasi kader selamanya adalah minoritas

... organisasi mayoritas hanya organisasi massal yang biasanya juga secara organisatoris cair. Karena cair, maka cenderung labil. Anggotanya seringkali mudah berubah, berpindah, mudah merubah loyalitas... 5


Dengan basis tarbiyah yang terus kita kelola,

seharusnya kita bisa bertahan. Kita tidak perlu khawatir memunculkan ikhwan dan akhwat di tengah-tengah masyarakat dan berinteraksi dengan kita. Sebagai ka­der sudah seharusnya kita memegang dok­trin kekaderan dalam pergaulan sosial. Se­per­ti dicanangkan oleh Sayyid Quthb, ‘yakh­talitun walakin yatamayyazun’, ber­ ga­ul tapi sanggup mempertahankan keis­ timewaan dan kelebihannya. Sanggup mempertahan­kan keunggulan imaniyyah, fikriyyan wa amaliyyan, ubudiyyan wa khuluqiyyan. Dengan basis tarbiyah yang terus kita kelola, seharusnya kita bisa bertahan. Kita tidak perlu khawatir memunculkan ikhwan dan akhwat di tengah-tengah masyarakat untuk bergaul dengan aneka ragam aliran pemikiran, keyakinan, perilaku, sosial, bu­ daya, politik. Karena ikhwan dan akhwat sudah dibekali keunggulan-keunggulan; tafawwuq imani, tafawwuq ilmi dan tafaw­ wuq amaliy. Tafawwuq imani berarti tafawwuq ruhi, tafawwuq ta’abudi, dan tafawwuq khuluqi. Keunggulan iman artinya keunggulan moral, ruhiyah, ibadah, dan akhlak yang seharusnya tidak tergoyahkan ketika kita bergaul di tengah-tengah masyarakat de­ ngan aneka ragam aqidah, ideologi, latar belakang budaya, pendidikan, sosial, dan lain sebagainya. Begitu juga tafawwuq ilmi yang meman­ car­kan bashirah fikriyyah (ketajaman ke­ cer­dasan intelektual) yang sanggup me­ nem­bus tabir-tabir kesemuan dalam perga­ ulan, seharusnya bisa menjaga asholah fikri­y­yah-nya. Walaupun begitu, karena kader juga ma­ nu­sia, jama’ah harus tetap berupaya men­ja­ ga kader-kadernya, agar jangan melenceng dalam pergaulan. Kita harus memastikan langkah-langkah untuk muhafazhah (me­ me­lihara) amal jama’i melalui tiga langkah: tawashow bil haq, tashow bil shobr, dan tawashow bil marhamah. Dengan ketiga langkah itu, secara indi­ 6

vidu kita kokoh, tidak mudah tergelincir dari jalan yang benar karena ada tawashow bil haq yang secara terus menerus diberikan oleh lingkungan jama’ahnya, oleh ikhwan dan akhwatnya. Kita punya daya tahan da­ lam memikul beban, menghadapi goda­ an, dan menghadapi tantangan, karena se­ ca­ra terus menerus mendapatkan himba­ uan tawashow bil shobr. Kader juga ti­dak mudah rontok potensinya akibat musi­ bah-musibah yang menghampiri da­lam kehidupan, seperti meninggalnya kera­ bat, orang tua, anak, suami, istri, atau juga gagalnya bisnis atau terpental dari pekerjaan karena PHK, karena semuanya bisa diatasi dengan adanya semangat tawa­ show bil marhamah. Setiap ikhwan dan akhwat di saat prihatin seperti itu harus selalu mendapatkan hak­ nya untuk menerima sentuhan tawashow bil marhamah, sentuhan ruhama bayna­ hum yang merupakan hak dasar dari ukhu­ w­wah Islamiyyah. Kalau kita secara konsisten, terus mene­ rus, menyelaraskan khutuwat (langkahlang­kah) untuk muhafazhah amal jama’i dengan tawashow bil haq, tashow bil shobr, dan tawashow bil marhamah, insya Allah kekuatan jama’ah ini, baik secara komunal mau­pun individual, bisa diandalkan ketika ditun­tut oleh perjalanan dakwah untuk berga­ul, berinteraksi, berkomunikasi, be­ ker­jasama di tengah-tengah masyarakat, di tengah-tengah publik, dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang pe­mi­ki­ ran, sosial, budaya, dan pendidikan yang beraneka ragam. Jika kita lengah dalam menjaga tafawwuq imani, tafawwuq ilmi, dan tafawwuq amali, jika kita lengah memelihara kekokohan amal jama’i melalui tawashow bil haq, tawa­show bil shobr, dan tawashow bil mar­ hamah, naudzubillah, maka akan berlaku hukum sosial yang umum ketika bergaul: Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


nuatstsir fiihim wa nataattsar bi­him, kita bisa mempengaruhi mereka, dan kita pun bisa dipengaruhi mereka. Inilah yang sering saya ingatkan, bah­ wa kita tidak mungkin diinfiltrasi dan dipe­­ne­­trasi secara personil. Tapi jika le­ ngah dalam muhafazhah terhadap amal jama’i dan dalam menjaga tafawwuq kita, naudzubillah, bisa saja tiba-tiba terjadi tahaw­wul ruhi dan ma’nawi (perubahan rohani dan moral). Terjadilah penetrasi moril atau ikhtiroq ma’nawi. Tiba-tiba saja, naudzubillah, ikhwan dan akhwat, jika lengah, sudah tidak bermoral islami lagi. Akibat dari dialog, komunikasi, dan inte­ rak­si pemikiran, bisa juga terjadi ikhtiroq fikriy (penetrasi ideal). Penetrasi idealisme bisa membuat kita berubah pemikiran dan idealita perjuangan. Oleh karena itu, sebagai jama’ah, kita harus mempunyai fokus terhadap upaya memelihara keung­ gulan-keunggulan tadi: tafawwuq imani, ilmi, dan amaliy. Tafawwuq amaliy ini ar­ ti­nya keunggulan manhajiyyan. Kita tidak mungkin mempunyai keunggulan amaliy­ yan kecuali kita unggul secara manhajiyyan. Kita juga harus fokus kepada upaya-

upaya yang menjamin terselenggaranya pemeliharaan amal jama’i. Bentuknya ta­wa­show bil haq, tashow bil shobr, dan tawashow bil marhamah. Kalau hal ini bi­sa kita jamin, insya Allah meski secara organisatoris kita ini akan tetap minoritas di tengah jumhur, tapi justru kita akan sang­gup, seperti yang dituntut oleh visi kita, menjadi hizb yang kokoh, melayani, dan memimpin bangsa. Sebab tidak mungkin memimpin kecuali mempunyai keunggulan-keunggulan, dan tidak mung­ kin melayani kecuali mempunyai yadul ulya (tangan di atas). Tidak mungkin yadul ulya kalau tidak mempunyai keunggulankeunggulan. Kalau kita mutafawwiqin (unggul), in­ sya Allah kita memiliki qudroh alal atho’ (kemampuan memberi), sehingga bisa me­ la­yani. Kalau kita sudah bisa melayani dan memberi, insya Allah akan diakui sebagai pemimpin. Sayyidul qowmi khodimuhum wan naasu yuwaluwna man khadamahum, tokoh masyarakat itu adalah yang melayani, dan manusia selalu memberikan loyalitas kepada mereka yang telah melayaninya. 

Kita juga harus fokus kepada upaya-upaya yang menjamin terselenggaranya pemeliharaan amal jama’i. Bentuknya ta­wa­show bil haq, tashow bil shobr, dan tawashow bil marhamah. ‫تفوق رويح‬

‫تواصوا باحلق‬

‫تفوق تعبدي‬

‫تفوق ايماين‬

‫تفوق خلويق‬ ‫تواصوا بالصرب‬

‫تواصوا باملرمحة‬

‫احلطوات‬ ‫املحافظة‬

‫تفوق فكري‬

‫تفوق عليم‬

‫تفوق منهيج‬

‫تفوق عميل‬

‫تفوق‬

7


Oleh: FARID nU'MAN

Imam Thabrani, maksud ghuraba adalah “Manusia shalih yang sedikit di antara ma­ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam nu­sia yang banyak. Orang yang menentang bersabda: mereka lebih banyak di banding yang men­ “Islam bermula dalam keadaan asing taati mereka.” Syaikh Saad al Ghamidi seorang kader Al(gharib), dan akan kembali di anggap asing Ikhwan Al-Muslimun, munsyid (penasyid), sebagaimana bermula. Maka beruntunglah hafizh dan qari terkenal yang murattal-nya orang-orang asing itu (ghuraba).” (HR. telah menyebar di negeri-negeri muslim, Imam Muslim dari Abu Hurairah, juga berkata dalam intro nasyid Arab yang sa­ dari Ibnu Umar namun tanpa kalimat ngat terkenal di kalangan aktivis harakah “Beruntunglah orang-orang asing itu”. pada tahun 90-an berjudul Ghuraba yang Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu dilantunkannya sendiri dalam album Ad Mas’ud. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, dan Anas. Damaam 2:

Mukadimah

Imam Baihaqy dari Katsir bin Abdullah bin Auf, dari Ayahnya dari kakeknya. Imam Thabrani dari Salman, Sahl bin Saad as Saidi, dan Ibnu Abbas ridhwanullah ‘alaihim ajma’in)

Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan, “Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang yang asing.” (HR. Bukhari) Dalam riwayat Imam Thabrani dari Sahl radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya, “Siapakah Ghu­­ raba itu wahai Rasulullah?” Beliau men­ jawab, “Yaitu orang-orang yang melakukan perbaikan ketika orang-orang lain rusak.” Dalam riwayat Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, maksud ghuraba adalah An Nuzza’ minal Qaba-il (Orang-orang yang memutuskan diri dari golongannya). Maksudnya tidak fanatik dengan golongannya. Dalam riwayat Imam Baihaqy dan Imam Tirmidzi yang lain , maksud ghuraba ada­ lah “Orang-orang yang menghidupkan sun­nahku dan mengajarkannya kepada manusia.” Dalam riwayat Imam Ahmad dan 8

Bukanlah orang asing itu yang berpi­ sah dari negerinya. Tetapi orang asing itu adalah orang yang melihat manu­sia di sekitarnya bermain-main, ia memba­ ngunkan manusia sekitarnya yang tertidur, dan ia di atas jalan kebaikan ketika manusia di sekitarnya ter­bawa kesesatan.

Benarlah perkataan pe­nyair, ketika ia berkata: Seorang sahabat berkata, engkau terlihat asing Di antara manusia, engkau tidak memiliki kekasih Aku berkata: sekali-kali tidak, bahkan manusia itulah yang terasing Aku berada pada duniaNya dan mendapat petunjuk di atas jalanNya

Demikianlah orang terasing. Orang ter­ asing di sisi manusia ia laksana terpenjara, tetapi ia mulia di sisi Rabb mereka.

Gharib Bukan ‘Uzlah

Ada perbedaan mendasar antara ‫غريب‬ (gharib - terasing) dengan ‫‘( عزلة‬uzlah, me­ ngasingkan diri). Gharib dalam konteks Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


harakatuna ini adalah orang yang terasing karena ma­ syarakatnya yang menganggapnya a­­sing, walau ia hidup di tengah masyarakat dan bagian dari mereka, dan ia tidak menja­ uh dari masyarakat. Sedangkan uz­lah adalah orang yang memisahkan diri (i’ti­ zal) dari masyarakat, ia sendiri yang lari dari masyarakat, bukan masyarakat yang menjauh darinya. Ya, jadilah ghuraba (orang-orang tera­ sing), bukan karena kita pendatang baru di kampung halaman, melainkan karena kita memegang teguh prinsip-prinsip agama, di tengah masyarakat yang telah melupakan agama. Manusia yang memegang teguh su­nah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di tengah masyarakat yang tidak kenal siapa sosok nabinya, bahkan istihza (memperolok-olok) sunahnya. Memegang teguh akhlak dan adab Islam, di tengah masyarakat yang terpukau dengan akh­lak dan adab Barat yang sekuler dan libe-ral, atau akhlak dan adab timur yang sinkre­ tisme. Memegang teguh solusi Islam di te­ ngah masyarakat yang lebih memper­cayai solusi Barat atau sebaliknya, ucapan para dukun dan penyihir timur. Me­me­gang te­ guh fikrah Islam di tengah masyarakat yang terpesona fikrah filsafat. Kita terasing di kampung sendiri karena ini, terasing di kantor karena ini, terasing di parlemen karena ini, terasing di kampus karena ini, bahkan terasing di keluarga sen­di­ri karena ini; karena apa? karena Islam yang kita bawa. Bukan karena kita lari dari mereka. Bu­ kan pula karena kita tidak mengenalkan diri. Mereka telah mengenal kita dan kelu­ ar­ga kita dengan baik, telah mengenal aqi­ dah kita, keimanan, fikrah, akhlak dan adab, serta solusi yang kita bawa, justru karena itu kita dianggap asing. Apa yang kita bawa dan tanamkan, dianggapnya ber­ ten­tangan dengan kebiasaan, adat, tradisi, kepentingan, dan hawa nafsu mereka. Tera­ sing bukan karena kita menjauh, terasing karena nilai kebaikan yang kita bawa telah

menjadi hal yang aneh dan ‘baru’ bagi me­ reka karena kelalaian mereka mengkaji aga­ ma, atau sikap apatis dan apriori terhadap agama. Lebih dari itu, apa yang kita bawa menjadi ancaman bagi keadaan status quo mereka. Kalau kita mengalami ini, di mana saja kita beraktivitas da’wah, lalu kita bersabar atas segala macam cobaan dan fit­nah ma­ nusia, maka mudah-mudahan ki­ta terma­ suk golongan ghuraba, bukan golo­ngan yang kabur dari keadaan.

Berbaur Lebih Utama Dibanding Uzlah

Imam an Nawawi dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhus Shalihin min Kalami Sayyidil Mursalin, membuat bab yang sa­ ngat panjang, Keutamaan berbaur dengan manusia dan menghadiri perkumpulan dan ja­maah mereka, menyaksikan kebaikan dan majlis dzikir bersama mereka, menjenguk orang sakit, dan mengurus jenazah me­re­ ka. Memenuhi kebutuhan mereka, mem­ bimbing kebodohan mereka, dan lain-lain berupa kemaslahatan bagi mereka, bagi sia­ pa saja yang mampu untuk amar ma’ruf nahi munkar, dan menahan dirinya untuk menyakiti, serta bersabar ketika disakiti. Imam an Nawawi berkata,: “Ketahuilah, bergaul dengan manusia dengan cara seperti yang saya sebutkan, adalah jalan yang dipi­lih oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan seluruh Nabi Shalawatullah wa Salamuhu ‘Alaihim, demikian pula yang ditempuh oleh Khulafa’ur Rasyidin, dan orang-orang setelah mereka dari kala­ ngan sahabat, tabi’in, dan orang setelah me­reka dari kalangan ulama Islam dan orang-orang pilihannya. Inilah madzhab kebanyakan dari tabi’in dan orang-orang setelah mereka, ini pula pendapat Asy Syafi’i dan Ahmad, dan kebanyakan fuqaha radhiallahu ‘anhum ajma’in. Allah Ta’ala berfirman: ‘Saling tolong menolonglah da­lam kebaikan

... terasing di kampung, di kantor, di parlemen, di kampus, bahkan di keluarga sendiri, karena apa?

karena Islam yang kita bawa.

9


dan ketaqwaan’ (QS. Al Maidah: 2) Ayat-ayat dengan makna seperti yang saya sebutkan sangat banyak dan telah diketahui.” (Imam an Nawawi, Riyadhush Shalihin, hal. 182, tahqiq oleh Muhammad Ishamuddin Amin. Maktabatul Iman, Al Manshurah)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Orang mu’min yang bergaul de­ngan manusia dan sabar menghadapi gang­guan mereka, lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tak sabar menghadapi gangguan mereka. “(HR. Imam Bukhari dalam Adabul Al Mufrad, Imam At Tirmidzy, dan Imam Ahmad)

terjadi adalah para da’i itu yang tertimpa fitnah, bencana, dan kerusakan. Sedangkan para da’i pun tidak mampu membendung itu semua. Inilah pandangan yang diikuti mayoritas ahli zuhud seperti Ibrahim bin Ad-ham, Sufyan ats Tsauri, Daud ath Tha’iy, Fudhail bin ‘Iyyadh, Bisyr al Hafy, dan lainlain. Imam an Nawawi pun membuat bab dalam Riyadhus Shalihin-nya berjudul, Dianjurkannya Uzlah ketika zaman telah rusak atau takut tertimpa fit­nah dunia, halhal haram, syubhat, dan lain-lain (Ibid, hal. 181) Hujjah (argumentasi) kelompok ini ada­ lah Allah Ta’ala berfirman: “Maka ber­se­geralah kembali kepada Allah. Sesungguh­nya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz Dzariyat: 50)

Keutamaan bergaul dengan masyarakat merupakan pilihan hidup dari para Imam, ini pula pandangan yang dianut oleh Said Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu bin al Musayyab, Qadhi Syuraih, Amr bin ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulul­ asy Sya’bi, Abdullah bin Mubarak, dan lah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: lain-lain. Inilah pilihan para ulama ma­sa kini, padahal zaman semakin rusak, na­mun “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang mereka turun gunung untuk ikut mem­ bertaqwa, kaya (hati), dan ter­sem­bunyi.” perbaiki keadaan. Bukan justru lari dari (HR. Muslim) kenyataan. Dari Abu Said al Khudri radhiallahu Demikianlah, sifat ghuraba tidaklah ‘anhu ia berkata: meng­­halangi kita untuk tetap bergaul dan berda’wah di tengah masyarakat, dan ber­ Bertanyalah seorang laki-laki, ‘Manusia tahan dari fitnah dan kerusakan mereka, apa yang paling uta­ma ya Rasulullah?’, serta menahan diri untuk menyakiti mere­ Beliau menjawab, “Mu’min yang berjihad ka. Makna ghuraba menurut Rasulullah dengan dirinya dan hartanya.” Laki-laki itu Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani da­ menjawab, “Seseorang yang uzlah menuju ri Sahl bin Saad as Saidi, adalah “Orangcelah bukit lalu ia menyembah Rabbnya.” orang yang melakukan perbaikan di tengah Dalam riwa­yat lain, “Ia meninggalkan masyarakat yang rusak.” manusia karena keburukannya.” (HR.

Kapan ‘Uzlah lebih Utama?

Muttafaq ‘Alaih)

Uzlah bisa lebih utama di banding berga­ ul dengan masyarakat jika kerusakan te­lah merata dan celah untuk melakukan perba­ ikan sangat sempit dan sulit. Justru yang

Umar radhiallahu 'anhu berkata: “Ambillah bagian untuk kalian ber‘uzlah.”

Keutamaan bergaul dengan masyarakat merupakan pilihan para Imam ... Said bin al Musayyab, Qadhi Syuraih, Amr bin asy Sya’bi, Abdullah bin Mubarak ... padahal zaman semakin rusak, mereka memperbaiki keadaan. Bukan lari dari

kenyataan.

10

Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


harakatuna Daud ath Tha’iy rahimahullah berkata: “Hindarilah manusia sebagaimana engkau lari dari singa.”

Saad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku ingin andai saja anta­ra diriku dan manusia ada sebuah pintu besi, sehingga tak seorang pun berbicara denganku dan aku pun tidak bicara dengan­­nya, hingga aku berjumpa dengan Allah.”

Manfaat Bergaul Dengan Manusia

Imam Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin menyebutkan beberapa kentungan bergaul dengan manusia: 1. Belajar dan mengajar Ar Rubayyi bin Khaitsam berkata: "Bela­jarlah lalu uzlah-lah, karena ilmu itu meru­pa­kan dasar agama. Tidak ada keba­ikan dalam uzlahnya orang-orang awam.”

Seorang ulama ditanya,

“Apa pendapat­mu tentang uzlahnya orang bodoh?” Dia menjawab, “Itu sama dengan kehan­ curan dan bencana.” Orang itubertanya lagi, “Lalu bagaimana dengan uzlahnya orang berilmu?” Ulama tersebut menjawab, “Engkau ti­ dak perlu peduli dengannya. Biarkan saja uzlahnya itu. Dia sendiri yang menanggung penderitaan dan kenistaannya. Dia meno­lak minum air segar, hanya minum dari daun-daun kering hingga berjumpa dengan Allah.”

Sedangkan mengajarkan ilmu adalah sa­ lah satu amal paling utama dalam Islam, sebagaimana mencari ilmu. 2. Mengambil dan Memberi Manfaat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. “ (HR. Muslim)

bergaul dengan manusia, dan Rasulullah sendiri menegaskan bahwa sebaik-baik ma­ nu­sia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya (anfa’uhum linnas). 3. Melatih diri sendiri dan membimbing orang lain Bergaul dengan manusia merupakan sa­ rana berlatih kesabaran, menata jiwa dan emosi, serta menundukan hawa nafsu, ka­ re­na ia harus menghadapi berbagai ka­rak­ ter manusia. Adapun membimbing manu­ sia sama halnya dengan mengajarkan ilmu kepada mereka, dengan segala macam ben­ tuk dan kendalanya. 4. Mendapat pahala dan Membuat orang lain mendapat pahala Bergaul dengan manusia membuat anda dapat saling mengunjungi, menjenguk o­rang sakit, mengurus jenazah, memenuhi kebutuhan, mengundang jamuan makan atau mendatangi undangan. Ini semua ten­ tu tidak syak lagi adalah ladang amal shalih yang memiliki ganjaran yang besar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla bagi pelakunya atau orang lain. 5. Tawadhu Sifat ini tidak akan muncul jika seorang menyendiri. Bisa jadi uzlah dilakukan ka­ re­na kesombongan, merasa bersih, dan su­ ci, sedangkan orang lain kotor dan ru­sak. Itulah yang membuatnya hilang ketawa­ dhuan dan husnuzh zhan dengan manusia. Terakhir, Imam Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu pernah berkata: “Mengisolir diri dari manusia bisa mendatangkan permusuhan dan membuka diri kepada manusia bisa mendatangkan keburukan. Tempatkan di­ri­mu di antara mengisolir dan membuka diri. Siapa yang mencari selainnya maka dia tidak tepat, dia hanya mau tahu terha­dap dirinya sendiri dan dia tidak layak membu­at ketetapan untuk orang lain.”

Wallahu A’lam walillahil ‘Izzah. 

Hadits ini tidak bisa kita amalkan tanpa 11


Yakhtalithun walakin

Yatamayyazun Oleh: FARID nU'MAN

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ُ ‫َّاس َ�ف ُه َو أَ ْهل‬ َ ‫إِذَا ق‬ َ ‫الرُج ُل َهل‬ ‫َك ُه ْم‬ َّ ‫َال‬ ُ ‫َك الن‬

“Jika seseorang berkata ‘Manusia telah rusak’ maka dialah yang lebih rusak dari mereka.” (HR. Muslim No. 2623)

S

eringkali jiwa kita marah, emosi melu­ap, bahkan pernah memaki, ketika melihat fenomena penyakit masyarakat yang kian hari semakin pa­ rah. Angka perzinahan, per­ga­ulan bebas, korupsi di atas dan bawah, perju­dian, acara televisi yang minim ketela­da­nan, bid’ah dan kemusyrikan. Ingin ra­sa­nya melakukan perubahan cepat dan me­­ngem­ balikan mereka kepada fitrah (Islam) yang benar. Tapi, sering pula ha­nya sebatas itu yang kita lakukan; marah, emosi, dan memaki. Tak ada aksi perbaikan, te­tapi per­debatan, tak ada doa, tetapi cela­an.

12

Tidak. Masyarakat tidak mem­butuh­kan perdebatan dan celaan, mere­ka membutuh­ kan uluran tangan dan doa para mush­lihun.

Tahan Lisan Jangan Sok Suci

Hadits di atas mengajarkan kita untuk menahan lisan dari mencela masyarakat dan memandu agar tidak merasa lebih be­ nar dan suci, baik dari sisi akhlak, pemi­ kiran, ibadah, dan lainnya. Justru sikap itu­ lah yang menunjukkan kekurangan kita; sombong. Oleh karena itu, Imam An Nawawi men­ je­laskan: Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


ّ ‫َواتفق العلماء ع أن هذا‬ َ ‫يم ْن‬ َ ‫اذلم إِ َّن َما ُهو ِف‬ َّ َ َ َّ َ َ‫َّ َ َ ْ ُ َ َ لَى‬ ْ‫ َواح ِتقارهم‬، ‫قال ع سبيل ال ْز َراء ع انلاس‬ َ ْ ِ َ َ‫َ هَ ُ لَى‬ ِ ْ‫إ‬ َّ َ‫لَى‬ َ َ ْ ْ ْ ، ‫ و َت ْق ِبيح أَ ْحواهلم‬، ‫ َو َت ْف ِضيل َن ْفسه َع َلي ِهم‬، ّ ‫لنه ل َيعلم‬ . ‫الل يِف َخ ْلقه‬ ِ‫أِ َ َّ ُ اَ ْ َ ر‬ َّ‫س ه‬ “Para ulama sepakat bahwa celaan dalam hadits ini adalah bagi orang yang ucapannya itu dimaksudkan untuk mencela manusia, merendahkannya, dan mengutamakan dirinya di atas mereka, dan memburukkan keadaan masyarakat, lantaran dia tidak tahu rahasia Allah Ta’ala atas hambaNya.”

Namun jika ungkapan tersebut karena kesedi­han meratapi masyarakat karena fak­ tor agama, maka sebagian ulama membo­ lehkannya. Beliau melanjutkan:

ْ َ ‫ت ُّز ًنا لِ َما َي َرى يِف‬ َ َ‫ال َذلِ َك ح‬ َ ‫ َف َأ َّما َمن َق‬: ‫ق الُوا‬ ْ َ ‫ادلين َف اَل‬ ِّ ‫انل ْقص يِف أَ ْمر‬ َّ ‫انلاس ِمن‬ َّ ‫َن ْفسه و يِف‬ ‫َب ْأس َع َل ْي ِه‬

Mereka mengatakan: Ada pun jika siapa yang mengatakannya karena kesedihan terhadap apa yang dilihatnya pada dirinya dan manusia berupa kekurangan dalam urusan agama, maka hal itu tidak apaapa.” (Lihat semua dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/463. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sikap sebagian da’i yang senang menye­ rang kaumnya sendiri, mencela agama dan kepribadian mereka, adalah sikap yang sa­ ma sekali tidak memberikan solusi apa pun. Lalu, ia menjauh dari masyarakat dengan alasan menghindari noda dan fitnah. Me­ man­dang manusia sekitarnya dengan pan­ da­ngan rendah dan perasaan jijik. Bukan

harakatuna begitu sikap da’i petarung, bukan demikian sikap da’i penyabar. Allah Ta’ala berfirman:

ْ ُ ‫ف اَل تز ّ ُكوا َأنفس‬ ‫ات َقى‬ َّ ‫كم ُه َو َأ ْع َل ُم ِب َم ِن‬ َ ُ َ َ ُ ْ “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm (53): 32)

Membaurlah, Tetapi ...

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendapatkan gelar Al Amin (ter­ per­caya) dari masyarakatnya sejak se­be­ lum masa bi’tsah (pengangkatan men­jadi Rasul). Gelar itu selalu melekat kepadanya hingga akhir hayatnya; walau di ma­ta mu­ suhnya sendiri. Ketaqwaannya, kesu­cian akh­lak­nya, kekhusyu’annya dalam beri­ ba­dah, sama sekali bukan penghalang untuk membaur dengan masyarakatnya. Tentunya gelar ini didapatkan melalui inte­ ra­ksi, bergaul, dan menyelami kehidupan masyarakatnya dan berempati dengan per­ ma­sa­lahan mereka. Selain itu, gelar ini juga menunjukkan bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan hanya membaur (yakhtalith) tetapi juga tetap istimewa dan memiliki kemuliaan dan nilai tersendiri (yatamayyazun). Sebab, betapa banyak da’i yang membaur, tetapi tidak dikenal sebagai Al Amin, atau gelar baik lainnya. Justru melekat pada mereka julukan yang tidak sedap; tukang hutang, tidak amanah, jam karet, jarang ke masjid, dan lainnya. Pada masa sebelum bi’tsah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ber­ kum­pul di rumah Abdullah bin Jud’an to­ koh kafir qurasiy saat itu bersama kafir Quraisy lainnya. Pertemuan itu diistilahkan dengan Hilful Fudhul. Rasulullah saw juga pernah memberikan ma­­kan dan menyuapi sendiri makanan

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendapatkan gelar Al Amin (ter­per­caya) dari masyarakatnya sejak se­be­ lum masa bi’tsah (pengangkatan men­jadi Rasul). Gelar itu selalu melekat kepadanya hingga akhir hayatnya; walau di

ma­ta mu­suhnya sendiri.

13


Membaur di tengah masyarakat, tetapi mampu bertahan dari fitnah yang ada pada mereka, adalah lebih utama

di­banding ‘uzlah (mengasingkan diri).

ter­­se­but kepada seorang nenek buta yang sangat membencinya. Nenek tersebut se­la­ lu mempengaruhi setiap orang lewat a­gar berhati-hati dengan seorang bernama Muhammad. Tetapi, justru Rasulullah yang memberikannya makan dan menyuapinya. Dan, masih banyak contoh lainnya. Yang jelas, dengan membaur di tengah manusia seorang da’i akan mendapatkan keutamaan dan memberikan banyak man­ faat pada banyak amalan-amalan yang di­ sya­ri­atkan seperti; shalat berjamaah, me­ ngu­rus jenazah, menjenguk orang sakit, mengajar atau belajar, majelis dzikir, sila­ tur­rahim, dan suhbatush shalihin (bersa­ habat dengan orang shalih). Sehingga, dia bisa memperoleh kesempatan untuk meraih posisi sebagai manusia terbaik. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫و خري انلاس أنفعهم للناس‬ “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia.” (Syaikh Al Albani menyatakan: Hasan shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 426. Darul Ma’arif)

Membaur di tengah masyarakat, tetapi mampu bertahan dari fitnah yang ada pada mereka, adalah lebih utama di­banding ‘uzlah (mengasingkan diri). Imam An Nawawi menegaskan dalam Riyadhush­ shalihin tentang keutamaan membaur dengan manusia dan ikut dalam perkum­ pulan mereka, menyaksikan kebaikan, ber­ majelis dzikir bersama mereka, menjenguk yang sakit, mengurus jenazah, membantu kebutuhannya, dan semua ben­tuk kemasa­ lahatan lainnya bagi yang mampu beramar ma’ruf nahi munkar, me­na­han diri dari berbuat jahat dan bertahan pula dari ben­ tuk kejahatan manusia. Lalu Imam An Nawawi Rahimahullah melanjutkan: 14

‫ع الوج ِه الذَّ ِي‬ ‫اعلم‬ ْ ِ ‫بانل‬ َّ ‫أن االختالط‬ َ‫اس لَى‬ َّ ُ َ ْ ْ - ‫َذ َكر ُت ُه ُهو املختار الذَّ ِ ي اَك َن َع َلي ِه رسول اهلل‬

‫صلوات‬ ‫ وسائر األنبياء‬- ‫صىل اهلل عليه وسلم‬ ُ َّ ‫ وكذلك اخللفاء‬، ‫هلل وسالمه عل ْيه ْم‬ ‫الراشدون‬ ِ ‫ا‬ ِ َ َ ُ ُ َ َ َّ َ ‫ ومن‬، ‫ني‬ َ ‫ ومن‬، َّ ‫بعد ُهم ِمن الص َحاب ِة و‬ َ ‫اتل ِاب ِع‬ َ َ ُ َ ‫ و ُه َو‬، ‫ارهم‬ َ ‫ب‬ ِ ‫عد ُهم من ُع َلما ِء المسلمني وأَ ْخي‬ ُ َ ْ َ ْ ‫ال‬ َ ‫عني و َمن ب‬ ِ َ‫َم ْذ َهب ر‬ َ ‫ وبه َق‬، ‫عد ُهم‬ َّ ‫أكث‬ َ ‫اتل ِاب‬ ُّ ‫اهلل عنهم‬ ‫وأمحد‬ ‫الشافيع‬ ُ ُ ‫وأكث الفقها ِء ريض‬ َ‫ر‬ ُ ِّ ‫اونوا ع ال‬ َ َ ِ‫ { و َت َع ُ لَىَ بر‬:‫ال‬ ُ ‫ال‬ َ ‫ َق‬.‫أمجعني‬ َ‫اهلل َت َع ى‬ َ ‫] واآليات يف معىن َما‬02 : ‫اتل ْق َوى } [ املائدة‬ َّ ‫و‬ . ‫ذكرته كثرية معلومة‬

Ketahuilah, bahwa membaur dengan manusia dengan cara seperti yang telah saya sebutkan, adalah sika pilihan yang di atasnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada, juga semua para Nabi Shalawatullah wa salamuhu ‘Alaihim, demikian juga para khulafa’ur rasyidin, dan yang setelah mereka dari kalangan sahabat dan tabi’in, dan yang setelah mereka dari kelompok ulama Islam dan manusia-manusia terbaik mereka, dan inilah madzhab mayoritas tabi’in dan manusia setelah mereka. Inilah pendapat Asy Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas fuqaha Radhiallahu ‘Anhum ajma’in. Allah Ta’ala berifirman: “Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan.” (QS. Al Maidah (5): 20). Dan ayat-ayat yang semakna sebagaimana yang telah saya sebutkan banyak jumlahnya dan terkenal. (Lihat Riyadhushshalihin Hal. 210. Cet. 3. 1998M – 1419H. Muasasah Ar Risalah. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth) Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


harakatuna Ghuraba Itu Bukan ‘Uzlah

Orang-orang terasing (ghuraba) bukan­ lah orang yang lari dari kenyataan hidup, menyendiri di pegunungan dan tepi pantai. Itu bukan ghuraba, melainkan gambaran orang-orang kalah. Ghuraba adalah orangorang yang tetap melakukan perbaikan di tengah-tengah masyarakat yang rusak, dan mereka senantiasa menghidupkan sunah dan mengajarkannya kepada manusia. Me­ reka terasing karena keunikan dan keis­ ti­mewaan sikap hidup mereka. Me­re­ka mem­perbaiki ketika manusia merusaknya, mereka menghidupkan sunah ke­ti­ka ma­nu­ sia mematikannya, mereka memberantas syirik dan khurafat ketika masyarakat me­nyu­burkannya, mereka memerangi kebatilan ketika masyarakat men­jadi pembelanya, mereka memenuhi masjid ketika masyarakat menjauhinya, mereka menangis di tengah malam menghadap Rabbnya ketika manusia meng­isi malam­ nya dengan hura-hura dan mak­si­at, mereka menyiapkan diri untuk berji­had ketika manusia meremehkan dan men­cela jihad. Demikianlah ghuraba dan beruntunglah mereka. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ً ‫يبا َوس َيعود كما َبدأ غ ِر‬ ً ‫َبدأ السل ُم غ ِر‬ ‫يبا‬ َ َ​َ َ َ ُ ُ َ َ َ‫َ َ إْ ِ ْ ا‬ َ‫ى‬ َ َ ‫َف ُطوب لِ ْل ُغربا ِء‬

“Pertama kali muncul, Islam dianggap asing (gharib), nanti dia akan dianggap asing lagi seperti awalnya. Maka, beruntunglah orang-orang terasing itu.” (HR. Muslim No.145. Ibnu Majah No. 3986. Abu ‘Uwanah dalam Mustakhraj No. 221. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 7493, dari Abu Said Al Khudri. Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 982, dari Ibnu Umar. Abu Ja’far Ath Thahawi, Musykilul

Atsar No. 588, dari Anas bin Malik )

Dalam riwayat lain, dari Abdurrahman bin Sannah Radhiallahu ‘Anhu, dia men­de­ ngar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

َ َّ ً ِ ُ َ َ ً ِ َ‫ود َغريبا َك َما ب َدأ‬ ِ ْ‫ب َدأَ إ‬ ُ ‫ال ْس اَلم َغريبا ُثم ي ُع‬ َ‫ى‬ ْ َ َ​َ ُ َ َ ‫وب للغ َر َباء ق‬ ‫اء‬ ‫َف ُط‬ ِ ِ ِ ِ َّ‫ول ه‬ ْ ُ ُ ‫الل و َمن ْال ُغرب‬ َ ‫يل يا رس‬ َ َ ‫قال ا‬ ُ ‫ين ُيصلحون إذا فسد انل‬ ‫اس‬ ِ َّ‫َ َ لذ‬ َّ َ َ َ َ ِ َ ُ ِ ْ “Pertama kali muncul, Islam dianggap asing (gharib), kemudian dia akan dianggap asing lagi seperti awalnya. Maka, beruntunglah orang-orang terasing itu.” Ditanyakan: “Wahai Rasulullah siapakah ghuraba itu?” Beliau menjawab: “Orangorang yang melakukan perbaikan ketika manusia merusak.” (HR. Ahmad No. 16094. Ibnu Baththah, Ibanah Al Kubra No. 30, dari Abu Hurairah. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal, No. 1201. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1273 )

Apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam katakan ini telah menganulir pemahaman yang keliru tentang ghuraba. Memperbaiki masyarakat yang rusak tidak bisa menjauhi mereka, seorang dokter ha­ rus memeriksa langsung pasiennya, pema­ dam kebakaran tidak bisa menyiram di luar jangkauan pancaran airnya. Itu semu­a ti­ dak menyembuhkan penyakit dan tidak pula mampu memadamkan api. Ma­ ka, mendekatlah dan membaurlah de­ ngan ma­syarakat, dan bersabarlah dan bertahan­lah atas fitnah dan cobaan di tengah-tengah mereka. Jadilah cermin yang tertimpa air, bukan menjadi spons. Itulah ghuraba. Wallahu A’lam. 

Orang-orang terasing (ghuraba) bukan­lah orang yang lari dari kenyataan hidup, menyendiri di pegunungan dan tepi pantai. Itu bukan ghuraba,

melainkan gambaran orang-orang kalah...

15


Membangun Kembali Moralitas Bangsa

Seorang pemerhati masalah sosial dan pakar pendidikan nasional, Ratna Megawangi, beberapa tahun yang lalu pernah menyatakan penilaiaannya bahwa Indonesia kini sedang menuju lembah kehancuran akibat semakin terkikisnya karakter dan moral bangsa. "Keadaan carut marut yang melanda Indonesia saat ini sangat mungkin bermuara dari adanya krisis moral. Dan semua indikator mengenai kemungkinan hancurnya sebuah bangsa terkait erat dengan masalah karakter atau moral," ujar Megawangi yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation.

M

enurut dia, setelah lebih dari 50 tahun pembangunan pendidi­ kan nasional yang telihat hanya kehancuran moral dari perilaku semua la­ pis usia, tidak peduli remaja atau dewasa. Ia mengatakan, ada sepuluh tanda zaman yang harus diwaspadai sebagai pertanda sebuah bangsa menuju jurang kehancuran. Mengutip pendapat Thomas Lickona, se­­o­rang profesor pendidikan Cortland 16

Uni­versity, Megawangi mengungkapkan, semua tanda itu sudah ada dan berarti In­ donesia sedang menuju kehancuran. Ke­ sepuluh tanda zaman itu adalah; 1. Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja. 2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk. 3. Pengaruh kesetiaan kelompok remaja yang kuat dalam tindak kekerasan. Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


ijtima'iyyah 4. Meningkatnya prilaku merusak diri se­ perti narkoba, alkohol dan seks bebas. 5. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. 6. Menurunnya etos kerja. 7. Semakin rendahnya rasa tanggung ja­ wab sebagai individu dan bagian dari sebuah bangsa. 8. Semakin rendahnya rasa hormat kepa­ da guru dan orang tua. 9. Membudayanya ketidak jujuran. 10. Meningkatnya eskalasi saling curiga dan kebencian antar sesama. Apa yang diungkapkan Ratna Megawangi di atas patut menjadi bahan renungan ber­ sama, sehingga menumbuhkan kesadaran kita, bahwa selain masalah krisis ekonomi, masalah krisis moral pun seharusnya benar-benar menjadi fokus perhatian bang­sa ini. Karena moralitas merupakan landasan bagi tegaknya sebuah sistem. Ke­ tika moralitas sudah tidak lagi dipegang oleh manusia-manusia yang menjalankan sistem, kehancuran total pasti akan terjadi. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang, kemiskinan dan pengangguran, kebodohan, kriminalitas dan kerawanan sosial, konflik dan kekerasan, kerusakan etika dan budaya, semuanya akan tetap mewabah tanpa bisa dihindari lagi. Kesadaran membangun kembali morali­ tas harus menjadi kesadaran pertama dan utama bangsa ini. Sehingga terbangun keya­ kinan pada kita semua, bahwa jalan keluar pertama yang hakiki dari segala persoalan ini adalah menegakkan kembali pondasi dan pilar moralitas. Itu dilakukan dengan menghidupkan kembali moralitas agama di tengah-tengah masyarakat. Karena sumber moralitas yang hakiki dalam kehidupan umat manusia adalah AGAMA.

Pemimpin yang kuat

Salah satu langkah pembangunan mora­ li­tas bangsa yang harus diperjuangkan ada­­ lah memunculkan pemimpin yang kuat. Pemimpin yang beriman dan bertakwa yang mampu melakukan upaya tamkin

ad-diin, atau mengokohkan kembali nilai spiritual dan ajaran agama sebagai orienta­ si dan pedoman kehidupan semua warga masyarakat. “…orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj : 41) “Jikalau sekiranya penduduk negerinegeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf : 96)

Mengokohkan kembali ketahanan keluarga

Membangun kembali moralitas bang-sa juga harus dilakukan dengan cara mengo­ kohkan kembali ketahanan keluarga de­ ngan penghargaan terhadap peran dan fungsi ibu serta mengokohkan kembali jati diri wanita. Keluarga adalah lembaga terkecil di da­ lam masyarakat. Ia menjadi cikal bakal wu­ jud suatu masyarakat. Baiknya keluarga, baiknya masyarakat. Sebaliknya, buruknya keluarga pertanda buruknya masyarakat. Bahkan keluarga adalah miniatur sebuah negara. Oleh karena itu, mengokohkan kemba­ li ketahanan keluarga sebagai basis kehi­ dupan awal manusia Indonesia menjadi sangat penting. Moralitas, aturan, kebia­ saan dan etos hidup harus mampu diberi­ kan oleh keluarga. Sebagaimana juga keber­ samaan, kedekatan, cinta dan kasih sayang, kehangatan dan keharmonisan. Wanita adalah ibu bangsa. Ketika bangsa ini mengalami krisis eksistensi dan jati di-ri, maka pengokohan eksistensi dan jati diri wanita menjadi kunci pemecahan masalah.

Kesadaran membangun kembali morali­tas harus menjadi

kesadaran pertama dan utama bangsa ini

17


ijtima'iyyah Sebagai ibu bangsa, dengan jati dirinya yang kuat, wanita akan sangat mempenga­ ruhi dan membentuk orang-orang di seki­ tarnya menjadi manusia bermoral dan beradab. Lapangan pertama dan utama yang akan dibentuk oleh seorang wanita adalah keluarganya. Baru setelah itu ling­ kungan masyarakat, institusi-institusi ke­ masyarakatan dan kemudian negara atau pemerintahan. Disinilah, kita akan temukan keterkaitan erat antara wanita, keluarga, masyarakat dan Negara atau bangsa. Apa artinya se­ mua upaya membangun masyarakat dan bangsa, manakala wanita justru terhempas jati dirinya dan berada dalam posisi yang bahkan tak mampu membangun kebaikan apa pun di dalam keluarganya sendiri. Tentu saja ini bukan berarti tanggung jawab seluruhnya ada di pundak para ibu. Justru para Bapak harus sadar bahwa upaya pengokohan kembali ketahanan keluarga ini ada di bawah pengawasannya. Dialah kelak yang pertama kali akan diminta per­ tanggungjawabannya di akhirat. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)

Pembenahan dalam bidang pendidikan

Selanjutnya pembangunan moralitas bangsa juga sangat ditentukan oleh ke­seri­ usan pembenahan dalam bidang pendidi­ kan. Karena keunggulan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kemajuan dunia pen­didikan dan tingkat rata-rata pendi­ dikan masyarakatnya. Orientasi pendidikan ha­rus diarahkan pada pembentukan si­kap perilaku bermoral dan berbudaya, selain membangun pengetahuan dan keteram­ pilan yang berdaya saing tinggi. Redefinisi dan reformulasi

18

kurikulum, metode, pen­dekatan dan sarana dalam proses pendi­dikan menjadi keharusan yang men­de­sak.

Mencegah degradasi moral

Satu hal yang tak boleh dianggap remeh adalah keseriusan mencegah degradasi mo­ ral dan budaya serta faktor kebudayaan asing sekuler yang mempengaruhinya. Ha­ rus diakui bahwa sejak dua dasawarsa lalu, masuknya gelombang budaya asing sekuler begitu dahsyat. Di satu sisi, ini konsekuensi dari keterbukaan global yang tak bisa di­ hindari. Tapi pada sisi lain, tergambar je­ las bagaimana ketidakberdayaan budaya Indonesia yang cenderung relijius dan te­ rikat kuat dengan tata nilai adat dalam menghadapi gelombang serbuan budaya serba permisif. Media massa dan pariwisata menjadi sa­lu­ran paling efektif dalam mentransfer berbagai pola budaya dan gaya hidup asing sekuler tadi. Walaupun kita menemukan banyak hal positif dari budaya asing terse­ but, tetapi nampak jelas pengaruh nega­tif­ nya jauh lebih besar. Degradasi moral di kalangan generasi muda dan berubah­nya gaya hidup di hampir berbagai kala­ngan masyarakat kota, menunjukkan tercerabut­ nya akar budaya relijius Indonesia. Meram­ bahnya media massa ke pelosok desa, juga sudah mulai mengubah orientasi dan pre­ ferensi budaya desa kepada budaya kota sekuler tadi. Masalah ini tidak bisa diabaikan. Keter­ bukaan tidak berarti menyerah terhadap apa yang datang dari luar lingkungan kita. Tiga hal besar diperlukan untuk mengatasi ini. Pertama, kebijakan pemerintah yang tegas untuk menjaga kebaikan budaya ban­gsa dalam program media massa dan pariwisata. Kedua, penguatan pendidikan moral, khususnya pada anak-anak di ke­lu­­ ar­ga, sekolah dan lingkungan. Ketiga, pe­ num­buhan kemampuan respon sosial ma­ sya­rakat terhadap kebijakan dan prog­ram yang dipandang merugikan atau me­ng­an­ cam kepentingan umum masyarakat. 

Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


19


Urgensi Kekuasaan (Bagian Pertama)

Oleh: USTADZ KHOZIN ABU fAQIH, LC.

Kekuasaan dapat merealisir berbagai manfaat, juga dapat menghanyutkan pemegangnya ke lautan laknat. Tetapi, membenci kekuasaan mengantar umat pada kehinaan dan akhirnya dikuasai musuhnya. “Sesungguhnya Allah mencegah sesuatu dengan kekuasaan, yang tidak dapat dicegah dengan Al-Qur'an.” (Utsman bin Affan ra.) Kepemimpinan itu Niscaya

S

unnatullah menegaskan bah­wa setiap manusia tidak da­pat berdiri sendiri. Ia mesti membutuhkan lain­ nya untuk memenuhi ber­bagai kebutuhan. Oleh karena i­tu, seca­ra tabi’i manusia butuh berkum­pul de­ngan sesama dan bekerja sa­ ma un­tuk menga­rungi kehidupan. Setiap perkum­pulan membutuhkan pengendalian, pener­ti­ban, dan kepemimpinan yang menjadi rujukan dalam menyelesaikan perselisihan di antara mereka. Dengan demikian, ti­dak ada satu pun komunitas manusia di sepanjang seja­rah yang tidak mempunyai pemimpin. Islam yang membawa misi rahmatan lil alamin, menegaskan bahwa kepemimpinan

20

yang dapat mengusir segala hal yang tidak diinginkan, menolak kejahatan yang akan timbul, mengantisipasi munculnya halhal yang membahayakan, menyelesaikan pertikaian dengan sesama, menegakkan kemaslahatan, dan memayungi masyarakat, adalah sebuah keharusan. Sebagai­mana sabda Rasulullah saw.

َ َ ‫ال َث ٌة ىِف َس َف ٍر َف ْل ُيؤ ِّم ُروا أَ َح َد ُه ْم‬ َ ‫إِ َذا َخرج َث‬ َ

“Apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaklah mengangkat seorang dari mereka menjadi pemimpin.” (HR. Abu Daud dan Baihaqi dari Abu Sa’id AlKhudri ra.)

Dalam riwayat lain Rasulullah saw. ber­ sabda, Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


ُّ َ َ ْ ‫ال‬ َ ‫و‬ َ ‫ض َف‬ َ َ ‫ال حَيِل ثِل‬ ُ ‫ك‬ ُ ‫ال َث ِة َن َف ٍر ي‬ ِ ‫ون ِب َأر‬ َ ‫ون‬ َّ ِ‫ال ٍة إ‬ ‫أَ َّم ُروا َع َل ْي ِه ْم أَ َح َد ُه ْم‬

“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah lapang, kecuali mengangkat seorang dari mereka menjadi pemimpin.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amr ra.).

tatsqif Oleh karena itu, Allah swt. mengutus ra­ sul di setiap umat yang bertugas mem­bim­ bing manusia pada ajaran Pencipta manusia beserta jagad raya swt. Kemudian, silsilah kerasulan itu ditutup dengan terutusnya Nabi Muhammad saw. yang membawa tu­ gas penting, yaitu membimbing umat ma­ nusia pada kebenaran. Sebagaimana firman Allah swt.

Apabila Rasulullah saw. mewajibkan “Hai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu me­ngangkat seseorang menjadi pemim­ untuk jadi saksi, dan pembawa kabar pin dalam perkumpulan yang sedikit dan gembira dan pemberi peringatan, dan sementara, maka menegakkan kepemim­ untuk jadi penyeru kepada Agama Allah pinan yang wilayahnya lebih luas dan lebih dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya lama waktunya tentu lebih wajib. yang menerangi.” (Al-Ahzab: 45-46) Para shahabat r.a. memahami pentingnya menegakkan kepemimpinan, maka mereka Tugas ini dipertegas kembali oleh Allah menunda pengebumian jasad Rasulullah swt. dalam firman-Nya, saw. yang mulia, untuk menyelesaikan pe­ “Sesungguhnya Kami mengutus kamu nentuan pemimpin yang akan mengganti sebagai saksi, pembawa berita gembira dan beliau saw. Sehingga tidak ada kekosongan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian kepemimpinan dalam sebuah komunitas. beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Padahal, pengebumian mayit harus disege­ menguatkan (agama) Nya, membesarkanrakan, apalagi jasad Rasulullah saw. yang Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu mulia.

Aktivis Islam harus Merebut Kekuasaan

Penegakan kepemimpinan atau kekuasa­ an itu suatu keharusan, karena tanpa kepe­ mimpinan masyarakat akan kacau, kehidu­ pan akan semrawut, dan dunia akan han­ cur. Apabila kepemimpinan adalah pe­ nen­tu kebijakan, pembuat aturan, dan pe­ngendali masyarakat, maka mereka ha­ rus memiliki komitmen yang kuat yang sealur dengan aturan Pencipta jagad raya swt. Sebab, jika pemegang kekuasaan atau pembuat kebijakan tidak komitmen pada aturan-Nya, maka kebijakan yang dibuat akan menjauhkan masyarakat dari ajaran-Nya, aturan yang ditetapkan akan memarginalkan syari’at-Nya, dan masyara­ kat akan dikendalikan serta diarahkan me­ nu­ju kemungkaran.

pagi dan petang.” (Al-Fath: 8, 9)

Pelaksanaan tugas dalam ayat di atas ti­­ dak akan optimal dan kurang terasa penga­­ ruhnya di tengah masyarakat, jika ti­dak didukung oleh kekuatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, secara tegas Allah swt. me­ merintahkan Rasul-Nya agar menyampai­ kan dakwah ke pusat pengambil kebi­jakan, pusat kekuatan, atau kekuasaan. Allah swt. berfirman, “Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya.”(Al-An’am: 92)

Apabila kepemimpinan adalah pe­nen­tu kebijakan, pembuat aturan, dan pe­ngendali masyarakat, maka mereka ha­rus memiliki komitmen yang kuat yang

sealur dengan aturan Pencipta jagad raya swt. 21


Secara tegas ayat ini menyatakan bahwa (orang-orang terpandang) dan rataNabi Muhammad saw. diperintahkan me­ rata mereka tinggal di perkotaan yang nyam­paikan nilai-nilai Al-Qur'an kepada menjadi ibu kota negara.” Ummul Quraa. Arti asalnya adalah ibu Al-Alusi menyatakan dalam Ruhul Ma­ kota, namun para ahli tafsir menyebutkan ’ani Fi Tafsiril Qur’anil ‘Azhim Was Sab’il bahwa yang dimaksud adalah Makkah AlMatsani, Mukarramah, karena ia merupakan pusat kegiatan dan pusat kekuasaan Arab pada “Para rasul diutus di ibu kota karena saat itu. Asy-Syaukani menyatakan dalam penduduk di kota besar, pusat Fathul Qadir : pemerintahan, dan istana kerajaan, “Disebutkan Ummul Quraa, yaitu Makkah secara khusus, karena ia daerah yang terpenting, tempat baitullah pertama kali, qiblat umat ini, dan tempat bagi ibadah haji mereka. Oleh karena itu, memberi peringatan kepada mereka berarti memberi peringatan kepada seluruh penduduk bumi. Sedangkan, yang dimaksud dengan haulaha (sekitarnya) adalah seluruh penduduk bumi.”

Akan tetapi, dalam ayat lain makna Ummul Qura tidak terfokus pada makna ‘Makkah’, sebab di setiap umat terdapat rasul, dan setiap rasul diutus ke Ummul Qura. Oleh karena itu, kebanyakan para ulama mengartikan Ummul Qura menurut arti bahasa, yaitu ibu kota. sebagaimana firman Allah swt. “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman.” (Al-Qashash: 59)

Al-Qurthubi menyatakan dalam Al-Jami’ Liahkamil Qur’an, “Dikhususkan pada ibu kota, karena para rasul diutus kepada para bangsawan

22

rata-rata orang-orang cerdas dan cerdik. Dengan demikan mereka lebih kondusif menerima dakwah.”

Ibnul Jauzi menyatakan dalam Zadul Masir, “Dikhususkan ibu kota bagi tempat terutusnya para rasul, karena mereka diutus kepada para bangsawan. Para bangsawan adalah para raja dan pejabat. Dan, mereka tinggal di tempattempat yang menjadi induk bagi wilayah sekitarnya.”

Asy-Syaukani menyatakan dalam Fathul Qadir, “Tidak mungkin Allah swt. menghancurkan sebuah wilayah yang penduduknya kafir, hingga Dia mengutus di ibu kota wilayah tersebut, seorang Rasul untuk memberi peringatan dan membacakan ayat-ayat-Nya yang menjelaskan kewajiban mereka, serta menjelaskan janji-Nya bagi orang yang taat dan ancaman-Nya bagi orang yang durhaka. Makna Ummiha adalah daerah yang paling besar dan paling kuat. Selain itu, disebutkan secara khusus ibu kota sebagai tempat diutusnya Rasul, karena di dalamnya terdapat para bangsawan, orang-orang bijak, orang-orang cerdik, para raja dan para pembesar (pejabat). Oleh karena itu, daerah ini ibarat ibu

Al-Intima’ - Juli 2010 Al-Intima’No.007 No.007Juni Juni-Juli


tatsqif bagi daerah-daerah di sekitarnya.”

Dari beberapa pendapat yang telah diku­ tip di atas, dan juga pendapat-pendapat lainnya, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Fi Ummiha atau Ummul Quraa (ibu kota), adalah pusat pengambil kebija­ kan atau pusat kekuasaan, bukan se­kedar wilayah geografis. Dan, pusat peng­am­bil kebijakan atau pusat kekuasaan di seti­ap wilayah adalah pemerintahan yang berke­ dudukan di ibu kota. Jika wila­yah tersebut Negara, Ummiha adalah peme­rintahan yang berkedudukan di ibu kota Negara. Jika wilayah tersebut adalah propinsi, ma­ ka Ummiha adalah pemerinta­han yang berkedudukan di ibukota pro-pinsi dan seterusnya. Apabila para rasul sudah tiada dan kera­ sul­an sudah ditutup dengan diutusnya Na­ bi Muhammad saw., maka yang melakukan tugas kerasulan adalah para da’i dan para aktivis Islam. Oleh karena itu, mereka ha­ rus berupaya merebut pusat pengambil kebijakan di semua pusat pemerintahan, agar dapat mewarnai berbagai kebijakan dengan ayat-ayat Allah swt. dan dapat men­ce­gah laju perkembangan kezhaliman, sehingga kezhaliman tidak menjadi karak­ ter masyarakat. Sebab jika kezhaliman su­ dah menjadi karakter sebuah masyarakat, maka masyarakat itu akan dihancurkan o­leh Allah swt.

Kekuasaan Tulang Punggung Kehidupan

Sejarah membuktikan bahwa suatu masyarakat menjadi rusak dan kufur karena kekuasaan berada di tangan orang-orang durhaka, yang tidak beriman kepada Pen­ cip­ta. Sebagaimana yang pernah dialami oleh Bani Israil, saat dipimpin oleh Fir’aun. Allah swt. mengisyaratkan fenomena seperti itu dalam firman-Nya,

“Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (Muhammad: 22)

Sebaliknya, suatu kaum akan menjadi baik dan keshalihan nampak dalam kehidu­ p­an sehari-hari, ketika kekuasaan berada di tangan orang-orang shalih. Sebagaimana pengaruh kekuasaan yang dibangun oleh Nabi Daud as. yang diteruskan dan dikembangkan oleh Nabi Sulaiman as. Di mana, Nabi Sulaiman menyampaikan dakwah Islam melalui pendekatan kekua­ saan. Dengan pendekatan itu, Ratu Balkis dan kerajaan Saba’ pun masuk Islam. Allah swt. mengabadikan peristiwa terse­ but dalam Surat An-Naml, yang antara lain berbunyi, “Berkata ia (Balqis), ‘Hai pembesarpembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya, ‘Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian Berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri’.” (An-Naml: 29-31)

Maka tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa suatu masyarakat tidak akan men­ jadi ba­ik secara lebih luas, kecuali dengan kepe­mim­pinan yang baik, sebagaimana fisik ti­dak akan baik, kecuali dengan kepala yang baik pula. Oleh karena itu, jika orangorang yang baik tidak berupaya meraih dan merebut kekuasaan, maka berarti ia me­relakan kekuasaan buat orang-orang ja­hat yang akan menebar kejahatan dan menyuburkan kemungkaran. Umar bin Khathab ra. berkata,

23


ْ‫اس ل ْن َي َزالوا ير‬ َ ‫اعل ُموا أن انل‬ ‫ت‬ َ َ ‫اس َت َق‬ ْ ‫ب ٍ َما‬ ْ ‫ام‬ َ ِ‫ُ خ‬ َّ َّ َ َ ْ ْ‫ل ُه ْم ُوالت ُه ْم َوهدات ُهم‬ َ ُ َ ُ َُ “Ketahuilah, sesungguhnya manusia selalu dalam kebaikan selama para pemimpin dan pembimbingnya lurus.” (HR. Baihaqi)

Di samping itu, kalimat tauhid “Tiada tuhan yang berhak disembah, melainkan Allah swt.” menghendaki adanya peng­ham­ baan kepada Allah swt. semata dan peng­ ingkaran segenap penghambaan kepa­­da selain-Nya. Apabila pelaku kemungkaran diberi jalan untuk berkuasa, penyembah selain Allah swt. diberi keleluasaan untuk memimpin negeri, maka penghambaan ke­ pa­da selain Allah swt. akan semakin subur. Jika demikian, apa makna kalimat tauhid yang kita ikrarkan, jika kita tidak berupaya merebut kekuasaan untuk mengendalikan manusia kepada penghambaan kepada Allah swt. Semata?

Kekuasaan Penangkal Kerusakan

Di antara manusia ada yang mempunyai tabi’at merusak dan gemar berlaku zhalim kepada sesama. Sebagaimana tabi’at salah satu spesis ular berbisa, di mana jika dalam satu tahun ia tidak mematuk meski hanya sekali, maka ia akan mati. Tabi’at merusak ini digambar oleh Allah swt. dalam firman-Nya,

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanamtanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan, sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (AlBaqarah: 205-206)

Di sepanjang sejarah akan muncul orangorang seperti itu. Manusia yang memiliki sifat atau model seperti ini sulit disadarkan lewat nasihat lisan atau tulisan. Oleh karena itu jika tidak ada kekuatan yang menahan mereka, maka dunia ini akan mengalami 24

kerusakan. Di masa Dzul Qarnain, muncul modelmodel manusia yang pekerjaannya mem­ bu­­at kerusakan, sehingga meresahkan ma­ syarakat. Akan tetapi, masyarakat tidak ber­daya menghentikan keganasan mereka. Ketika Dzul Qarnain melewati daerah ter­ se­but, maka masyarakat memohon kepa­ da­nya agar menghentikan keganasan pa­ ra perusak tersebut. Maka, Dzul Qarna­in dengan kekuasaannya, mampu menghen­ tikan kebrutalan makhluk-makhluk peru­ sak tersebut. Allah swt. men­ce­ri­takan hal itu dalam firman-Nya, “Mereka berkata, ‘Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orangorang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah Kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara Kami dan mereka?’ Dzulkarnain berkata, ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka. Berilah aku potongan-potongan besi.’ Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain, ‘Tiuplah (api itu)’. Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata, ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu.’ Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya.” (Al-Kahfi: 94-97)

Sebagian manusia selalu dihiasi oleh ke­­ deng­kian terhadap orang lain, sehingga tidak pernah nyaman melihat orang lain mendapatkan nikmat dan tidak mau tinggal di­am ketika ada kebaikan hinggap pada selain diri, keluarga, atau kelompoknya. Kaum Yahudi memahami bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah swt., na­mun karena kedengkiannya, mereka menentang, memusuhi, menebar fitnah, dan menebar kerusakan. “Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


tatsqif kebenaran.” (Al-Baqarah: 109)

Akan tetapi, setelah Rasulullah saw. dan kaum muslimin mempunyai kekuasaan yang lebih mapan, kaum Yahudi tidak be­ ra­ni terang-terangan mengekspresikan ke­ deng­kian dan kekejiannya. Kebanyakan tokoh-tokoh Quraisy yang menentang dan menebar kebencian terha­ dap Islam, adalah karena kesombo­ngan, kedengkian, dan hasad. Sebagian da­ri mere­ka sulit dihentikan dengan nasihat lisan. Sebab secara subtantif mereka yakin dengan kebenaran yang dibawa oleh Ra­su­ lullah saw., namun mereka takut kehila­ ngan kekuasaannya. Oleh karena itu, mere­ ka menghasud manusia dan menyiksa orang-orang lemah yang tidak sependapat. Setidaknya kita dapat menangkap kesimpu­ lan itu dari ungkapan Abu Jahal, “Kami mengetahui bahwa Muhammad itu benar. Akan tetapi, jika Bani Hasyim mengatakan, ‘Kami mempunyai Nabi.’ Maka apa yang dapat kami katakan?” Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, tetapi orangorang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (Al-An’am: 33)

Orang-orang seperti itu biasanya sulit dibungkam, kecuali dengan pendekatan kekuasaan. Sebab kekuasaan dengan in­ ti­mi­dasinya dapat mengusir sesuatu yang tidak dapat diusir oleh Al-Qur'an de­ngan mengulang-ulang nasihat dan wejangan­ nya. Dalam sebuah riwayat dari Utsman bin Affan ra. disebutkan,

Hal ini desebabkan tabi’at manusia itu menentang dan susah untuk taat. Ibnul Mubarak mensenandungkan syairnya,

ْ ‫ ِب ُع ْر َو ِت ِه‬...‫اع َت ِص ُم ْوا‬ ِ ‫اع َة َحبل ا‬ َ ‫ال َم‬ ْ ‫هلل َف‬ َ ْ‫إِ َّن ج‬ ُ ‫اْ ُلو ْثق لِ َم ْن َد َانا‬ َ‫ى‬ ُّ ‫ك ْم َيدف ُع اهلل ب‬ ‫ يِف ِد ْي ِن َِنا‬... ‫ان َم ْظ َل َم ًة‬ ‫ط‬ ‫ل‬ ‫الس‬ ِ َ ْ ِ ُ َ ْ َ ْ َ َ ‫رحمْ َ ًة ِم ْن ُه و ِدي ًنا‬ ٌ َ ْ ‫ و اَك َن أَ ْض َع ُفنا‬... ‫ال الخْ َ ِل ْي َف ُة لَ ْم َت ْأ َم ْن لنَ َا ُس ُبل‬ َ ‫لَو‬ ًَ ‫ال ْق َو َانا‬ َ ِ ‫َنهبا‬ Jamaah adalah tali Allah swt., maka berpeganglah ... dengan tali-Nya yang kuat bagi orang beragama. Seringkali Allah mencegah kezhaliman dengan kekuasaan ... sebagai rahmat dalam urusan agama maupun urusan dunia. Andai tidak ada khalifah, maka jalan kami tidak aman ... dan yang lemah akan jadi mangsa yang kuat.

Muhammad bin Zayyad Al-A’rabi me­ nga­takan bahwa sebagian ahli hikmah me­ nga­takan: “Takutilah orang-orang beriman dengan Allah, takutilah orang-orang munafiq dengan kekuasaan, dan takutilah orangorang yang riyaa dengan manusia.”

(Bersambung) 

ُ َ​َ ُّ ُ َ َ‫ز‬ ْ ‫آن‬ ِ ‫اال يزع ِب ْال ُقر‬ ِ ‫إِ َّن اهلل لَيع ِبالس ْل َط‬ َ ‫ان َم‬

“Sesungguhnya dengan kekuasaan, Allah swt. mengendalikan (mencegah) sesuatu yang tidak dapat dikendalikan dengan AlQur'an.”

Abu Jahal: “Kami mengetahui bahwa Muhammad itu benar. Akan tetapi, jika Bani Hasyim mengatakan, ‘Kami mempunyai Nabi.’ Maka apa yang dapat kami katakan?” 25


Profil Muslimah Ideal Wahai ukhti muslimah, pernahkah terbersit dalam benakmu sebuah pertanyaan penting: Bagaimanakah karakteristik muslimah ideal itu?

J

ika kita telusuri lembaran sejarah para shahabiyah alum­nus madrasah kenabian: Asma binti Abu Bakar, Fatimah binti Khattab, Sumayyah, Asma binti Umais, Shafiyah binti Abdul Muthalib, Asy-Syifa binti Abdullah, Asma binti Yazid, dlsb., tentu akan kita temukan jawabannya. Madrasah kenabian telah melahirkan generasi unggul dalam hal akhlak, prestasi, dan kemulian. Para alumnusnya terbentuk menjadi manusia-manusia teladan sepanjang zaman, dengan karakternya yang unik. Mereka laksana bintang-bintang di angka­sa, mengukir dunia dengan keimanan, ketangguhan, sepak terjang, semangat, ilmu, dan pengabdiannya pada perjuangan Islam. Tentang mereka, Allah SWT berfirman: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran, 3: 110). Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah, 9: 71).

Diantara sifat dan keteladanan yang ditunjukkan para sha­habiyah yang harus kita contoh adalah: Kesabaran mereka dalam mendukung dakwah Kita tentu mengenal Asma binti Abu Bakar yang dijuluki Nabi sebagai dzaatun nithoqoin (sang pemilik dua ikat pinggang), kare­na ia telah membelah ikat pinggangnya 26

Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


nisaa menjadi dua bagian untuk membawa dan menyembunyikan makanan dan minuman yang akan diantarkannya kepada Rasulullah SAW bersama Abu Bakar ke gua Tsur pada hari hijrahnya. Asma juga pernah merasakan penyiksaan dari musuh Allah, Abu jahl, yang datang kepadanya untuk menanyakan tempat per­ sembunyian ayahnya. Namun Asma me­mi­ lih tutup mulut, sehingga hal ini membuat Abu Jahl marah, lalu menempe­lengnya dengan keras hingga anting-anting Asma terlempar dari telinganya. Selain itu, sejarah mencatat wanita mulia lainnya, Ummu Hakim . Ia rela menempuh perjalanan panjang dengan sedikit bekal, bermaksud menyusul suaminya Ikrimah bin Abu Jahl yang melarikan diri selepas futuh Makkah. Atas kehendak Allah, ia da­ pat bertemu suaminya yang saat itu sudah sampai di pantai dan bersiap-siap naik ka­ pal. Ummu Hakim mengajak suaminya agar berislam, ia jelaskan kesempurnaan Islam dan keluhuran budi Rasulullah SAW, sehingga tumbuhlah benih-benih kebaikan dalam jiwa Ikrimah. Anda tahu kisah Ummu Syarik? Sejak iman telah merasuk ke dalam hatinya dan menyadari kewajiban agamanya, dia pun mengisi hidupnya untuk me­nyebar­ kan dakwah Islam. Dia mulai dak­wah­ nya dengan mendatangi para wanita Quraisy secara sembunyi-sembunyi. Sete­ lah melakukan dakwah secara ber­gerilya beberapa lama, penduduk Makkah kemu­ dian menangkapnya dan menyerah­kan kepada keluarganya. Ummu Syarik kemu­ dian disiksa oleh keluarganya de­ngan cara dijemur di bawah terik ma­tahari selama tiga hari dan dipaksa mening­galkan Islam. Dalam kondisi payah, dimana piki­ran, pendengaran dan penglihatannya seolaholah telah hilang, ia hanya bisa men­jawab­ nya dengan isyarat jari ke langit sebagai ungkapan tauhid. Dalam kondisi se­perti itu

Allah menurunkan karamahnya, tiba-tiba Ummu Syarik melihat ada satu timba yang turun dari langit berisi air sejuk mengge­ lantung di hadapannya hingga ia bisa mi­ num sampai puas dan menyiram­kan air itu ke atas kepala, wajah, dan paka­iannya. Kesabaran menghadapi kesulitan hidup Sifat dan keteladanan dalam menghadapi kesulitan hidup ditunjukkan Asma bin­ti Abu Bakar yang sabar hidup serba kekura­ ngan bersama suaminya Abdullah bin Zubair. Ia rela membantu pekerjaan suami­ nya merawat kuda dan memasak. Ia biasa mengangkut kurma di atas kepalanya dari kebun yang jaraknya sejauh 2/3 farsakh da­ ri rumahnya (1 farsakh kurang lebih 8 km). Kesulitan hidup tidak menghalangi me­ reka untuk taat beribadah dan berjuang di jalan Allah. Mereka tetap istiqomah dalam Islam hingga akhir hayat dikandung badan. Memiliki Keterampilan Wanita-wanita alumnus madrasah ke­na­ bian, bukanlah wanita-wanita pasif. Me­re­ ka memiliki bidang keahlian atau kete­ram­ pilan hidup yang sesuai dengan zaman­nya. Ummu Kultsum memiliki keterampilan kebidanan. Shafiyah binti Abdul Muthalib dikenal sebagai wanita yang pan­dai bersya­ ir. Ia pun sering terlibat dalam pepe­rangan untuk mengobati pasukan yang ter­lu­ka ber­ sama muslimah lainnya seperti Asma binti Yazid, Ummu Sulaim, Ummu Haram, dll. Sementara Asy-Syifa binti Abdullah adalah wanita yang pandai menu­lis dan mampu mengajarkannya pada para muslimah lain. Hal ini hendaknya menjadi pelajaran ba­ gi para muslimah, khususnya para um­ma­ hat (ibu-ibu), untuk tetap memiliki se­ma­ ngat meningkatkan atau menambah kete­ rampilan. Terutama keterampilan-kete­ rampilan yang masih jarang dimiliki para muslimah aktivis dakwah (contoh: menulis, perawatan kesehatan keluarga, menjahit, dll).

Sifat dan keteladanan dalam menghadapi kesulitan hidup ditunjukkan Asma binti Abu Bakar

yang sabar hidup serba kekurangan bersama suaminya Abdullah bin Zubair. 27


Aktif terlibat dalam jihad fi sabilillah Pada masa Nabi, bukan hanya kaum pria saja yang terjun ke medan jihad. Para wanita pun turut andil di dalamnya. Shafiyah binti Abdul Muthalib turut serta dalam perang Uhud, Khandaq, dan Khaibar seba­gai pengobar semangat dan merawat pasukan yang terluka. Bahkan dalam Pe­ rang khandaq ia berhasil membunuh seo­ rang Yahudi yang mengintai dan me­ng­an­ cam keselamatan para wanita di Madinah. Hal ini dilakukannya setelah Hasan bin Tsabit, yang ditugaskan menjaga para mus­li­mah dan anak-anak, merasa enggan melakukannya. Masih ada lagi sederet daftar nama para wanita muslimah yang terlibat dalam jihad fi sabilillah: Asma binti Yazid terjun di pe­ rang Yarmuk dan berhasil membunuh 9 orang tentara Romawi. Ummu Haram bin­­ti Milhan turut dalam perang Cyprus dan gugur dalam perjalanan pulang. Um­ mu Hakim binti Al-Harits terlibat da­ lam pertempuran di Marjus Shafar dan berhasil membunuh 7 orang tentara Ro­­ma­­wi sebelum mati syahid. Ummu Umarah (Nasibah binti Ka’b) turut dalam perang Uhud dan mendapatkan 13 luka. Sedangkan dalam peperangan penumpasan Musailamah Al-Kadzab dan pengikutnya ia mendapatkan 12 luka. Allahu Akbar wa lillahil hamd! Dalam hal ini nampaknya bukan hanya Anda para muslimah yang ketinggalan. Ka­ mi pun kaum pria, belum ada apa-apanya dibandingkan mereka! Berilmu Aktivitas belajar mengajar adalah aktivi­ tas yang juga digemari para shahabiyah. Sehingga mereka menjadi orang-orang yang berilmu dan memiliki kompetensi. a. Pada masa-masa awal Islam dikisahkan bahwa Fathimah binti Khatab bersama suaminya Sa’id bin Zaid selalu belajar

Al-Qur’an kepada Khabbab bin ‘Arat. b. Asma binti Yazid adalah shahabiyah yang dikenal rajin menyimak haditshadits Nabi dan paling berani bertanya tentang masalah-masalah agama. Ia ju­ ga sering dijadikan jubir kaum wanita untuk bertanya pada Nabi. Diantara per­­ka­ra yang pernah ditanyakannya pa­da Nabi adalah masalah jihad bagi kaum wanita. c. Ummu Waraqah adalah penghafal qur­'an yang baik bacaannya. Karena itu ia diangkat Nabi menjadi imam bagi kaum wanita. d. Asy-Syifa binti Abdullah selain pandai menulis ia pun banyak belajar hadits dan sering diminta pendapat oleh Kha­ lifah Umar bin Khattab dalam berbagai persoalan. Bahkan pada masa ke­khali­ fahan Umar, Asy-Syifa binti Abdullah diangkat menjadi manajer pa­sar Madi­ nah. e. Rubayyi binti Muawwidz adalah adalah salah seorang muslimah yang menjadi rujukan para sahabat senior dalam ma­ sa­lah hadits-hadits Nabi. Wahai ukhti muslimah, mari kita belajar, belajar, dan terus belajar. Tidak ada alas­an untuk tidak belajar. Biar pun hidup su­sah, banyak anak, atau kesibukan yang meng­ gunung. Menjadi partner suami yang baik dalam rumah tangga Sebelumnya sudah disebutkan, bahwa Asma binti Abu bakar biasa turut mem­ ban­tu pekerjaan rumah tangga: membe­ri makan kuda, menumbuk kur­ma, meng­ ambil air, memasak roti, dan mengangkut kurma. Semuanya itu dilaku­kannnya de­ ngan sabar atas dasar keimanan dan keta­ atan pada Allah SWT. Ummu Sulaim mampu menjadi penye­ im­bang suaminya, Abu Thalhah, dalam meng­hadapi musibah. Kisahnya yang ter­

Pada masa Nabi, para wanita pun turut andil di dalam perang ... Shafiyah binti Abdul Muthalib turut

perang Uhud, Khandaq, dan Khaibar sebagai pengobar semangat dan merawat pasukan yang terluka. 28

Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


nisaa

Ummu Sulaim menghadapi kematian anaknya dengan sabar dan ridha. Ia kemudian meminta

kepada keluarganya untuk tidak memberitahukan terlebih dahulu berita kematian Abu Umair kepada Abu Thalhah yang sangat menyayanginya. ke­nal adalah ketika anak mereka yang ma­ sih balita, Abu Umair, meninggal dunia ka­rena sakit. Ummu Sulaim menghadapi kematian anaknya dengan sabar dan ridha. Ia kemudian meminta kepada keluarganya untuk tidak memberitahukan terlebih da­ hu­­lu berita kematian Abu Umair kepada Abu Thalhah yang sangat menyayanginya. Saat Abu Thalhah pulang dan bertanya keadaan Abu Umair, Ummu Sulaim menja­ wab: “Dia lebih tenang daripada sebelum­ nya.”. Abu Thalhah merasa gembira karena mengira anaknya sudah sembuh. Ummu Sulaim kemudian menghidangkan makan malam yang lezat, setelah itu ia bersolek melebihi biasanya dengan memakai pakai­ an, perhiasan, dan wangi-wangian yang ter­­ba­ik hingga Abu Thalhah tertarik dan mengajaknya berjima’. Ummu Sulaim melakukan itu karena ti­ dak ingin melihat suaminya bersedih. Dia ingin agar suaminya tidur nyenyak. Barulah di akhir malam ia bertanya pada suaminya: “Wahai Abu Thalhah, bagaimana penda­pat­­ mu bila suatu kaum meminjami sesuatu kepada suatu keluarga, lalu kaum itu me­ min­ta kembali pinjamannya. Bolehkah ke­l u­a rga tadi menahannya?” Abu Thalhah menjawab: “Tentu saja tidak bo­ leh.” Um­mu Sulaim bertanya lagi: “Apa pendapatmu jika keluarga itu sangat kebe­ ra­tan untuk dimintai mengembalikan pin­ ja­m­an terse­but setelah mereka keenakan memanfaatkannya.” Abu Thalhah ke­mu­­ dian ber­ka­ta: “Tidak, menahan separo­ nya pun ten­tu tidak boleh.” Ummu Sulaim berkata: “Se­sung­guhnya anakmu adalah titipan Allah dan kini Allah telah mengambilnya, maka relakanlah anakmu.” Dalam hal ini, Ummu Sulaim telah me­ ng­a­jar­­kan kepada setiap pasangan hidup, bah­wa sebagai suami istri hendaknya me­ reka saling menopang dan menguatkan

dalam menghadapi suka duka kehidupan. Jangan lupa, menjadi partner yang baik itu bukan hanya dalam hal pekerjaan ru­ mah tangga atau dalam hal menghadapi peris­tiwa-peristiwa penting dalam kehidu­ p­an keluarga. Dalam perkara ‘sepele’ sekali pun, misalnya dalam perkara jima’ (ber­hu­ bungan intim), kita harus berusaha mem­­ po­­si­sikan diri menjadi partner yang baik. Hal ini dicontohkan Asma bin­ti Umais yang pandai menyenangkan suami dalam menikmati kehidupan seksual, sehingga suaminya, Ali bin Abu Thalib, pernah ber­ka­ta: “Kalian keliru jika ber­anggapan bahwa ti­dak ada perempuan yang syahwat­ nya ber­ge­lora. Tidak ada perem­puan yang mem­punyai sifat demikian, selain Asma binti Umais.” Demikianlah kesabaran, dinamika hidup, dan ketangguhan mereka dalam me­nga­ ru­ngi kehidupan. Kunci kemulian mere­­ ka adalah keimanan yang menghujam dalam dada, serta orientasi hidup yang je­ las, semata-mata demi meraih keridhoan Allah Rabbul ‘alamin. Semoga kita dapat meneladani mereka. Amin…  Maraji: Nisaau haula rasul karya Mahmud Mahdi Istanbuli dan Musthafa Abu Nashr Asy-Syilbi

29


‫اهلل‬

Tauhid Asma wa Shifat Makna Tauhidul Asma Wa Shi­fat (mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya) adalah meyakini secara mantap bah­wa Allah swt menyandang seluruh si­fat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan dan bahwa Dia berbeda dengan seluruh makhluk-Nya.

C

aranya adalah dengan menga­ kui nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Dia sandangkan un­tuk Dirinya atau disandang­kan oleh Rasulul­ lah saw dengan tidak mela­ku­kan tahrif (pengubahan) lafadz atau mak­nanya, tidak ta’thil (pengabaian) yakni menyangkal se­ luruh atau sebagian nama dari sifat itu, tidak takyif (pengadaptasian) dengan me­ nentukan esensi dan kondisinya dan tidak tasybih (penyerupaan) dengan sifat-sifat makhluk. Dari definisi di atas, jelaslah bahwa Tau­ hi­dul Asma Was Shifat berdiri di atas tiga asas. Barang siapa menyimpang darinya, maka ia tidak termasuk orang yang menge­ sakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Ketiga asas itu adalah: 1. Menyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemiripan dengan makhluk dan dari segala kekurangan. 2. Mengimani seluruh nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah tanpa mengurangi atau menambahnya dan tanpa mengubah atau mengabaikannya. 30

3. Menutup keinginan untuk mengetahui kaifiyyah (kondisi) sifat-sifat itu.

Asas Pertama

Adapun asas yang pertama, yakni meyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemi­ripan dengan makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya, ini didasarkan pada firman Allah swt: “Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya. ” (QS, 112:4) “Maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah. ” (QS, 16:74)

Al-Qurtubi, saat menafsirkan firman Allah ”Tidak ada yang sama dengan-Nya sesuatu apapun”, mengatakan, ”Yang harus diyakini dalam bab ini adalah bahwa Allah swt, dalam hal keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan keindahan nama serta ketinggian sifatNya, tidak satupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya dan tidak pula dapat diserupakan dengan makhluk-Nya. Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


’aqidatuna Dan sifat yang oleh syariat disandangkan kepada Pencipta dan kepada makhluk, pada hakikatnya esensinya berbeda meskipun lafaznya sama. Sebab, sifat Allah Yang tidak berpemulaan (qadim) pasti berbeda dengan sifat makhluk-Nya.”

Al Wasithi mengatakan: ”Tidak ada Dzat yang sama dengan DzatNya; tidak ada nama yang sama dengan nama-Nya; tidak ada perbuatan yang sama dengan perbuatan-Nya, tidak ada sifat yang sama dengan sifat-Nya kecuali dari sisi lafaznya saja. Maha Suci Dzat Yang Qadim dari sifat-sifat makhluk. Sebagaimana adalah mustahil makhluk memiliki sifat-sifat Pen­cip­ta. Dan, inilah mazhab para pemegang kebenaran, yakni Alus Sunah Wal Jama’ah”.

Sayyid Qutb mengatakan, saat menaf­ sirkan ayat tersebut di atas, ”Fitrah pasti akan mengimani hal ini. Bahwa Pencipta segala sesuatu tidak akan dapat disamakan dalam hal sekecil apa pun oleh makhluk-Nya”.

Termasuk dalam asas pertama ini, me­ nyu­cikan Allah swt dari segala yang berten­ tangan dengan sifat yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau dengan sifat yang di­ san­dangkan oleh Rasulullah saw. Jadi me­ng­esakan Allah dalam hal sifat-sifatNya menuntut seseorang Muslim untuk meyakini bahwa Allah tidak mempunyai istri, teman, tandingan, pembantu, dan syafi’ (pemberi syafa’at), kecuali atas izinNya. Juga menuntut seorang Muslim untuk menyucikan Allah dari sifat tidur, lelah, lemah, mati, bodoh, zalim, lalai, lupa, kan­tuk, dan sifat-sifat kekurangan lainnya.

Asas Kedua

Adapun asas kedua, mewajibkan kita un­ tuk membatasi diri pada nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Nama-nama dan

sifat-sifat itu harus ditetapkan berdasarkan wahyu bukan berdasarkan logika. Jadi, tid­ak boleh menyandangkan sifat atau na­ma kepada Allah kecuali sejauh yang ditetapkan oleh Allah untuk Dirinya atau dite­tapkan oleh Rasulullah saw. Sebab Allah swt Maha Tahu tentang Dirinya, sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya. Ia berfir­man: “Katakanlah, kalian yang lebih tahu atau Allah?” (QS, 2:140)

Nah, bila Allah yang lebih mengetahui tentang Dirinya, dan para Rasul-Nya ada­ lah orang-orang jujur dan selalu membe­ narkan segala informasi dari-Nya, pasti me­reka tidak akan menyampaikan selain dari apa yang diwayukan oleh-Nya kepa­da mereka. Karenanya, dalam urusan mengu­ kuhkan atau menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah wajib merujuk kepada in­ for­masi dari Allah dan Rasul-Nya. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, ”Tidak boleh menyandangkan sifat kepada Allah selain dari apa yang disandangkan oleh Dirinya sendiri atau oleh Rasul-Nya; tidak boleh melangkahi Al Qur’an dan Al Hadist.”

Nu’aim bin Hammad, guru Imam AlBukhari, mengatakan, ”Barang siapa menyamakan Allah dengan makhluk, maka ia kafir. Barang siapa menolak sifat Allah yang disandangkanNya untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasul-Nya maka ia kafir. Dan dalam sifat-sifat Allah yang disandangkan oleh-Nya atau oleh Rasul saw tidak ada kesamaan atau kemiripan dengan sifatsifat makhluk-Nya.”

Asas Ketiga

Adapun asas yang ketiga menuntut ma­ nu­sia yang mukallaf untuk mengimani sifat-sifat dan nama-nama yang ditegaskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah tanpa ber­

Fitrah pasti akan mengimani hal ini. Bahwa Pencipta segala sesuatu tidak akan dapat disamakan dalam hal sekecil apa pun oleh makhluk-Nya. (Sayyid Qutb)

31


Barang siapa menyamakan Allah dengan makhluk, maka ia kafir. Barang siapa menolak

sifat Allah yang disandangkan-Nya untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasul-Nya maka ia kafir. Dan dalam sifat-sifat Allah yang disandangkan oleh-Nya atau oleh Rasul saw tidak ada kesamaan atau kemiripan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. (Nu'aim bin Hammad) tanya tentang kaifiyyah (kondisi)-Nya, dengan makhluk-Nya.” dan tidak pula tentang esensinya. Sebab, Dari penjelasan di atas, kita dapat me­ mengetahui kaifiyyah sifat hanya akan nge­tahui bahwa Tauhid Al Asma Washdica­pai manakala mengetahui kaifiyyah Shifat ini dapat rusak dengan beberapa hal Dzat. Karena sifat-sifat itu berbeda-beda, berikut: tergantung pada penyandang sifat-sifat Tasybih ter­se­but. Dan Dzat Allah tidak berhak Yakni menyerupakan sifat-sifat Allah dipertanyakan esensi dan kaifiyyah-Nya. dengan sifat-sifat makhluk. Seperti yang Maka, demikian pula sifat-sifat-Nya, tidak dilakukan orang-orang Nasrani yang me­ boleh dipertanyakan kaifiyyah-Nya. nye­rupakan Al Masih bin Maryam dengan Karenanya, ketika para ulama salaf dita­ Allah swt; orang Yahudi menyerupakan nya tentang kaifiyyah istiwa (cara Allah ‘Uzair dengan Allah; orang-orang musyrik bersemayam) mereka menjawab, ”Istiwa menyerupakan patung-patung mereka itu sudah dipahami, sedang cara-caranya dengan Allah; beberapa kelompok yang tidak diketahui; mengimaninya (istiwa) menyerupakan wajah Allah dengan wajah ada­lah wajib dan bertanya tentangnya makhluk, tangan Allah dengan tangan ada­lah bid’ah.” Jadi, kaum salaf sepakat makh­luk, pendengaran Allah dengan pen­ bah­wa kaifiyyah istiwa itu tidak diketahui de­ngaran makhluk, dan lain sebagainya. oleh manusia dan bertanya tentang hal itu adalah bid’ah. Tahrif Jika ada seseorang bertanya kepada kita, Artinya mengubah atau mengganti. ”Bagaimana cara Allah turun ke langit du­ Yak­ni mengubah lafadz nama Allah de­ nia?” Maka kita tanyakan kepadanya, “Ba­ ngan menambah atau mengurangi atau gaimana Dia?” Jika ia mengatakan, ”Sa­ mengubah harakah i’rabiyyah, atau mengu­ ya tidak tahu kaifiyyah Dia.” Maka kita bah artinya, yang oleh para ah­li bid’ah jawab, “Makanya kita tidak tahu kaifiyyah diklaim sebagai takwil, yaitu mema­hami Dia. Sebab untuk mengetahui kaifiyyah sifat satu lafadz dengan makna yang rusak dan ha­rus mengetahui terlebih dahulu kaifiyyah tidak sejalan dengan makna yang diguna­ Dzat yang disifati itu. Karena, sifat itu ada­ kan dalam bahasa Arab. Seperti pengu­ lah cabang dan mengikuti yang disifati. Jadi, ba­han kata dalam firman Allah: ”...wa bagaimana Anda menuntut kami un­tuk kalla­mallahu musa taklima” menjadi: menjelaskan cara Allah mendengar, melihat, ”..wa kallamallaha..”. Dengan demikian, berbicara, istiwa, padahal Anda tidak tahu mereka bermaksud menafikan sifat kalam bagaimana kaifiyyah Dzat-Nya. Maka, jika (berbicara) dari Allah swt. anda mengakui bahwa Allah adalah wujud Ta’thil yang hakiki yang pas­ti memiliki segala Yakni menampik sifat Allah dan me­ sifat kesempurnaan dan tidak ada yang nyang­kal keberadaannya pada Dzat Allah menandinginya, ma­ka mendengar, melihat, swt, semisal menampik kesempurnaanberbicara, dan tu­run­nya Allah tidak dapat Nya dengan cara membantah namadigambarkan dan tidak bisa disamakan nama dan sifat-sifat-Nya; tidak melakukan 32

Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


’aqidatuna ibadah kepada-Nya, atau menampik sesu­ atu sebagai ciptaan Allah swt, seperti orang yang mengatakan bahwa makhlukmakhluk ini qadim (tidak berpermulaan dan menyangkal bahwa Allah telah men­ ciptakan dan membuatnya). Takyif Yakni mempertanyakan bagaimana ben­ tuk, kondisi, dan esensi sifat Allah. Manhaj dalam memahami nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah tanpa melakukan tasybih, tahrif, ta’thil dan takyif ini merupakan maz­ hab salaf, yakni kalangan sahabat, se­mo­ga Allah meridhai mereka semua, tabi’­in, dan tabi’ut-tabi’in. Asy-Syaukani mengatakan: “Sesungguhnya, mazhab salaf, yakni kelangan sahabat, tabi’in, dan tabi’uttabi’in adalah memberlakukan dalil-dalil tentang sifat-sifat Allah sesuai dengan zahirnya tanpa melakukan tahrif, takwil yang dipaksakan, dan tidak pula ta’thil yang mengakibatkan terjadinya banyak ta’wil. Jika ditanya tentang sifat-sifat Allah meraka membacakan dalil lalu menahan diri dari mengatakan pendapat itu dan ini, seraya mengatakan, Allah mengatakan demikian dan kami tidak mengetahui lebih dari itu.”

Kami tidak akan memaksakan diri untuk

berbicara apa yang tidak kami ketahui dan apa yang tidak Allah izinkan untuk kami lampaui. Jika si penanya itu menginginkan penjelasan melebihi dari yang zahir, maka mereka segera melarangnya agar tidak me­ neng­­gelamkan dalam hal yang tidak ber­ gu­na dan mencegah dari mencari apa yang tidak mungkin mereka capai selain terjerumus dalam bid’ah dan dalam hal yang tidak diajarkan Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat dan tabi’in. Pada masa itu, pendapat tentang Asma Wa Shifat ada­ lah satu. Cara memahaminya juga sama. Kesibukan mereka saat itu adalah melak­ sanakan apa yang Allah perintahkan kepa­ da mereka untuk dilaksanakan. Yakni beri­ man kepada Allah, mendirikan sholat, menge­luarkan zakat dan pusa, haji, jihad, infaq, mencari ilmu yang bermanfaat, mem­bim­bing manusia kepada kebaikan, memerintah yang makruf dan mencegah yang munkar, dan sebagainya. Mereka ti­ dak menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak dibebankan kepada mereka atau de­ ngan hal-hal yang kalupun dilaksanakan tidaklah merupakan ibadah, seperti men­ cari hakikat nama-nama dan sifat-sifat itu. Karenanya, pada masa itu agama Islam ber­ sih dari debu-debu bid’ah.  Sumber: Madah Aqidah No. 1.1.4.03.073, Lembaga Kajian Manhaj Tarbiyah (LKMT)

33


thulaby

Ketika Pena Menari Mengenang Tradisi Islam yang Diabaikan Oleh: SYAMSUDIN KADIR

“Pikirkan tentang menulis satu halaman, hanya satu halaman, setiap hari. Di akhir 365 hari, di akhir satu tahun, kamu mempunyai 365 halaman. Dan tahukah kamu apa yang kamu punya? Kamu mempunyai sebuah buku lengkap.” (Jerome Weidman)

T

radisi membangun masyarakat (generasi) berilmu telah diproklamir­ kan Rasulullah Saw. semenjak ayatayat Al-Quran yang pertama turun. Pada periode awal-awal perkembangan Islam tradisi baca, tulis-menulis dan diskusi su­ dah mulai digalakkan, masih dalam ta­raf sederhana. Namun, pada periode beri­­kut­ nya, terutama pada masa-masa pem­buku­ aan hadits dan munculnya aliran pemiki­ ran dalam Islam, tradisi tersebut begitu hidup dan sangat masif; yang tentu tidak mengalahi substansi dan kualitas isi dari apa yang dibangun pada zaman Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Tiap ayat Al-Quran turun, Rasulullah Saw. memerintahkan kepada sahabat de­ kat­nya untuk menulis. Misalnya Zaid bin Tsabit ra., Ali bin Abi Thalib ra. dan lainlain. Rasulullah Saw. bahkan menugaskan Abdullah bin Said bin al-Ash ra. untuk mengajarkan tradisi tulis menulis di Madinah. Juga memberi mandat Ubadah bin as Shamit ra. mengajar­kan tradisi tulis menulis ketika itu. 34

Kita mungkin masih ingat de­ngan beberapa peristiwa yang unik berikut ini. Ubadah ra., per­ nah diberi hadiah panah dari sa­ lah seorang muridnya, sete­lah me­ ngajarkan tra­disi tulis menulis ke­ pada Ahli Shuffah. Tidak hanya itu, pe­ristiwa ini juga layak dijadikan sebagai ins­pirasi. Sa’ad bin Jubair, seorang yang sa­ngat terkenal serius dalam menuntut il­mu. Setiap kali meng­ikuti kuliah Ibnu Abbas beliau bi­ asa mencatat di lembar­an, namun ji­ka sudah penuh beliau menuliskannya di kulit sepatu, bahkan juga di tangannya. Dalam sejarah, walau tidak populer, beliau memang merupakan sa­lah satu keturunan keluarga yang sangat perhatian dengan ilmu, terutama dalam memanfaatkan sara­ na yang digunakan da­­lam memperoleh ilmu yang dimiliki. Bah­­kan di sela-sela kesempatan setelah be­liau (Sa’ad) pulang dari kuliah-kuliah yang diikutinya, ayah­ nya (Jubair) selalu mengingatkan agar il­ mu yang diperoleh dihafal dan kemudian Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


ditulis; bahkan keti­ka sampai di rumah Al-Haitsam Bapak ”optik” sekaligus mesti ditulis ulang. Ayah dan anak begitu penemu Kamera Analog. Al-Idrisi bapak semangat; sebuah fakta sejarah yang meng­ kartografi dari pulau Sisilia. Al-Biruni, a­gumkan. Ibnu Khaldun, dan tokoh-tokoh Islam Dalam sejarah kejayaan umat Islam lainnya. pada masa berikutnya, tulisan (menulis) Galileo yang terkenal dengan teleskop­ memiliki peran yang cukup signifikan. Pa­ nya ternyata kalah awal oleh ulama-ula­ma da waktu itu semua ulama adalah penulis di Bagdad yang telah lebih dahulu mencip­ ulung yang telah menghasilkan berbagai takan observatorium untuk mengamati macam karya dalam berbagai disiplin yang per­g e­r a­k an dan fenomena bintangsampai saat ini masih menjadi ruju­kan bintang. Al-kohol, al-kalin, sinus, kosinus, umat Islam sedunia. Bahkan, Barat yang tangent, azimuth, natir dan istilah-istilah kemajuannya hari ini telah jauh mening­ lain dalam berbagai disiplin ilmu lahir dari galkan dunia Islam ternyata pernah me­ rahim keilmuan kaum muslimin. Begitu nge­kor pada kemajuan umat Islam masa pula di bidang Fiqih, Hadits, Tafsir, Ilmu silam. Kalam, dan sebagainya. Imam Al-Ghozali Selanjutnya, kita juga tentu masih ingat yang menulis kitab Ihya ‘Ulumudin, Imam dengan pakar-pakar keilmauan; yang se­ Syafi’i menulis kitab Al-Umm dan Arbagian besarnya adalah para ulama. Risalah, Ibnu Khaldun menulis kitab Semu­­nya adalah penulis. Ada yang Al-Muqadimah, Al-Mawardi menulis me­nu­lis dalam bidang ke­dokteran, kitab Al-Ahkam As-Sulthoniyah, Imam geografi, op­tik, kartografi, farmasi, Bukhori menulis kitab shahihnya dan se­ kimia, astro­nomi, mate­matika, dan te­rus­nya. Ribuan halaman (lembar) dari yang lainnya. Ini ada­lah sebu­ah ke­ beratus-ratus kitab yang kita baca, kaji nyataan yang sangat berseja­rah. dan teliti pada masa sekarang adalah bukti Lebih lanjut, patut untuk di­ nyata bagi dunia, terutama kita sebagai bang­g akan, ketika Eropa di muslim, bahwa peradaban masa lalu di­ abad pertengahan hanya memi­ bangun di atas bangunan yang utuh; ilmu liki seorang jenius bernama pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, kita Leonardo da Vinci yang mum­ puni dalam beberapa bi­ juga tentu mengenal tokoh-tokoh be­sar dang ke­i l­m uan, ternyata Islam. Mereka sangat terkenal dan memi­ umat Islam memiliki puluhan liki daya pengaruh yang sangat dahsyat. tokoh yang me­mi­liki multiple Hasan Al-Banna, pendiri organsisasi intelligence. Sebagai contoh, ”Ikhwa­nul Muslimin” di Mesir menulis kejeniusan Ibnu Sina di bidang berbagai wasiatnya kepada umat Islam. kedokteran menghasilkan kar­ Tulisan-tulisan yang pada akhirnya dibu­ ya monumental Al-Qanun Fi kukan itu sanggup membangkitkan se­ Ath-Thibbi, Asy-Syifa dan yang ma­ngat dan gelora pergerakan Islam di lainnya. Ibnu Rusyd yang pa­ berbagai belahan penjuru dunia untuk ham dengan sangat baik filsafat bangkit mengejar ketertinggalan dengan Yunani, sehingga mampu mem­ tanpa melepaskan nilai-nilai Islam sebagai be­rikan koreksi dan catatan prinsip hidup yang konsepsional dan fun­ kaki atas kekeliruan yang ada di da­mental. Begitu juga Sayyid Quthb, Sa’id dalam buku mereka, ternyata juga Hawa, Sayyid Sabiq dan masih banyak seorang faqih yang dari tangannya tokoh-tokoh yang tentu memiliki pengaruh lahir Bidayah Al-Mujtahid, sebuah yang cukup dahsyat dalam perkembangan ruju­kan perbandingan madzhab da­ Islam saat ini dan ke depan. Kita juga tentu lam il­mu fiqih yang sampai sekarang mengenal buku-buku yang dikarang oleh tetap diperhi­tungkan. Belum lagi Al- penulis berkaliber dunia lainnya, seperti; Khawarizmi pen­cipta Al-Jabar (ilmu Yusuf Al-Qardhawy yang mengupas ber­ ukur/Matematika) yang fenomenal, bagai persoalan kekinian umat Islam. 35


Melalui tuli­san kita bisa menyebarkan kebena­ ran, mengajari, menyebarkan ide dan pemi­kiran, melontarkan gagasan, me­nyam­paikan kritikan ...

Atau dalam kontek Indonesia, kita tentu mengenal Hamka, M. Natsir dan tokohtokoh besar lainnya. Dalam kontek perkembangan peradaban, ada keunikan dan pesona tersendiri yang layak dijadikan sebagai inspirasi. Mereka adalah batu-bata peradaban besar yang beri­kutnya, sekaligus, menjadi inspirasi bagi generasi setelahnya. Lalu, mengapa mereka berhasil melakukan yang terbaik dan memperoleh hasil yang fenomenal? Karena mereka memegang teguh tradisi keilmuan, yaitu menulis di samping tradisi membaca dan berdiskusi pada sisi yang lain. Begitulah fakta sejarah menuturkan secara jujur keberhasilan manusia dalam membangun peradabannya; ketika pena menari, walau kini sering kita abaikan, ma­ ka semuanya akan menghasilkan sebuah peradaban yang sangat ideal.

Upaya Membangun Tradisi

Tulisan (menulis) merupakan salah sa­ tu sarana yang paling efektif dalam pro­ ses pematangan ilmu. Dalam Islam, menu­ lis merupakan saudara kembar membaca. Keduanya, di samping berdis­kusi, merupa­ kan bagian dari syarat mematang­kan il­ mu yang diperoleh. Menulis berarti me­ nyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media yang bisa diakses oleh siapa saja. Selain sebagai warisan para ula­ma, tulisan (menulis) merupakan salah satu sarana efektif dalam menyebarkan il­mu dan nilai-nila kebaikan. Melalui tuli­san (menulis) kita bisa menyebarkan kebena­ ran, mengajari, menyebarkan ide dan pemi­ kiran, melontarkan gagasan, menyam­pai­ kan kritikan atau hanya sekedar memberi tanggapan. Sebaliknya, dengan tulisan (menulis) sesorang juga bisa me­nye­barkan kebatilan, merusak moral, mem­provokasi, menghina, menghasut, mem­fit­nah, dan berbagai propaganda yang akan membawa kepada kehancuran lainnya. Dengan tulisan (menulis), kita bisa me­­rang­­­kai setiap gagasan mengenai ba­ 36

nyak hal; merancang dan merumuskan model ideal dunia yang kita inginkam serta impian atau mimpi ideal yang kita dambakan. Atau bisa menjadi referensi bagi generasi setelahnya dalam meningkatkan pemahaman keislaman dan sumber-sum­ ber­nya. Berbagai kemunduran umat Islam de­ wa­­sa ini salah satunya karena tradisi me­ nulis, setelah membaca dan diskusi yang pernah dibangun oleh para ulama di ma­ sa lalu, sadar atau tidak disadari, telah di­ tinggalkan; telah diabaikan. Umat Islam malas membaca dan menulis. Pada­hal de­ ngan keduanya apa yang disebut seba­gai peradaban islami akan bisa diraih. Menga­ pa? Karena dengan tulisan (menulis) fakta dan kebenaran bisa disampaikan secara terbuka; bahkan, yang terutama lagi adalah, dinamika keummatan akan lebih elok jika dikonstruk atas ilmu, sema­cam pustaka (tulisan) yang relevan, dari buku-buku yang kita baca atau yang kita tulis. Kompleksitas problematika yang dihada­ pi umat Islam bahkan manusia umumnya saat ini membutuhkan terobosan solusi yang relevan, semacam pustaka bagi ide-ide besar, opini publik, rasionalisasi cita-cita atau untuk tujuan-tujuan besar lainnya. Hal ini, terutama agar berbagai macam disiplin ilmu dan ide-ide besar yang dimiliki, bisa diketahui oleh banyak orang dan selanjutnya bisa diwariskan kepada generasi berikutnya.

Mari Menulis, Setiap Kita Bisa!

Mungkin setiap kita pernah istirahat sejenak dari rutinitas, merenungi semu­a yang terjadi dalam diri kita dan fenome­ na yang terjadi di sekeliling kita. Sekedar berbagi, suatu ketika saya sempat mengi­ gau, “Kalau saja setiap hari saya menulis 1 halaman, maka dalam 1 tahun saya mam­ pu mengumpulkan tulisan se­ba­nyak 365 halaman atau sebanyak 183 lembar. Luar biasakan? Itu baru 1 halaman dalam sehari. Lalu, bagaimana kalau saya menulis dalam Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010


thulaby 1 hari sebanyak 3 halaman? Silahkan hitung sendiri. Artinya, dalam 1 tahun saya mam­ pu menulis buku sebanyak 3 buku masingmasing setebal 183 lembar. Luar biasakan?” Banyak pertanyaan yang sering muncul dalam dunia kepenulisan; hal ini terutama bagi mereka-mereka yang baru merintis tradisi menulis. “Bagaimana memulai se­ bu­ah tulisan?”, “Apa yang mesti ditulis?”, “Apa saja strategi agar semangat menulis tetap terjaga?” dan seterusnya. Pertanyaanpertanyaan tersebut juga terkadang masih menghinggapi penulis-penulis terkenal. Saya mengusulkan agar kita membaca buku “Daripada Bete, Nulis Aja!” karya Caryn Mirriam-Goldberg yang diterbitkan oleh Penerbit Kaifa PT. Mizan Pustaka, Mengikat Makna Update karya Hernowo yang diterbitkan Kaifa PT. Mizan Pustaka, Dunia Kata karya Fauzil Adhim yang diter­ bitkan oleh PT. Dar! Mizan, Menjadi Power Full Da’i dengan Menulis Buku kar­ ya Bambang Trim yang diterbitkan oleh Kolbu dan seterusnya. Buku-buku tersebut bisa menjadi referensi dasar, di samping buku atau tulisan-tulisan yang tersebar di mana-mana. Atau kalau memungkinkan, silahkan mem­be­li dan baca buku Chicken Soup for the Writer’s Soul kumpulan tulisan Jack Canfield, Mark Victor Hansen dan Bud Gardner. Buku tersebut su­ dah diterjemah­kan ke dalam bahasa Indonesia, dan diterbit­kan oleh Pe­ ner­bit Gramedia Utama. Berikut adalah salah per­nyataan salah sa­ tu penulis sukses yang dikutip dalam bu­ku tersebut. “Menulis tel­ah men­ja­di caraku untuk me­nang­gapi dan menghadapi hal-hal yang ba­giku ter­la­­lu mengganggu, mene­kan, atau menyakitkan untuk ditangani dengan ca­ra lain. Menulis ada­ lah tem­pat per­lindunganku.

Aku ti­dak bersem­bu­nyi di balik katakatanya; aku menggunakan kata-kata itu un­tuk menemukan kebenaran. Menulis membuat­ku berhenti. Menulis membuatku men­ca­tat. Menulis memberiku semacam perlin­dungan yang tidak bisa kuperoleh dalam kehidupanku yang tergesa-gesa dan pe­nuh dengan kegi­a­tan. Kata-kata te­lah mem­beriku rasa memi­li­ki dan rasa aman. Menulis adalah satu-satunya tempat aku bisa menjadi diriku sendiri dan tidak meng­ hakimi. Dan aku senang berada di sana.” (Terry McMillan) Peradaban Islam yang mendunia yang terjadi pada masa lalu, sebagaimana yang kita rasakan saat ini, adalah peradaban tiga tradisi utama; membaca, menulis dan berdikusi. Saya percaya bahwa dunia ini dibangun di atas ketiga tradisi tersebut, tentu dengan berbagai macam bentuk dan warnanya masing-masing. Karena itu, ke­ ti­ga hal di atas sebetulnya lebih relevan disebut sebagai Tiga Tradisi Peradaban. Akhirnya, meminjam ungkapan Alex Haley, “Aku akan menjadi seorang penulis walau harus mati! Karena aku sangat ingin tulisanku diterbitkan dalam majalah itu, aku berspekulasi…. Sikapmu adalah sega­la­nya. Yakinlah kepada dirimu sendiri dan percayalah kepada materimu. Untuk menjadi penulis berhasil, me­nu­lis­lah setiap hari entah kau mengi­nginkannya atau ti­dak. Jangan pernah berputus asa, dan dunia akan memberimu anugerah yang melampaui impianmu yang pa­ling mus­ta­hil.” Selanjutnya, “Ikatlah ilmu dengan tulisan (menulis)!”, kata Ali bin Abi Tholib ra. kepada generasi awal umat ini. Lebih dari itu, kata Bud Gardner, “Ketika kamu bicara, kata-katamu hanya bergaung ke se­be­ rang ruangan atau di sepanjang kori­dor. Tapi ketika kamu menulis, kata-katamu bergaung sepanjang zaman.” 

Peradaban Islam yang mendunia yang terjadi pada masa lalu, sebagaimana yang kita rasakan saat ini, adalah peradaban tiga tradisi utama; membaca,

menulis dan berdikusi.

37


R

asulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ْ ََْ ‫ الْ ُمؤ ِم ُن‬ ‫الل‬ ‫ال َر ُس‬ ِ َّ‫ول ه‬ َ ‫ال َق‬ َ ‫َعن أَ يِب ُهرير َة َق‬ ُ ْ ُّ َ ٌ ْ‫ُّ ير‬ ‫الل ِم ْن الْ ُمؤ ِم ِن‬ ِ َّ‫ْال َق ِوي َخ وأَ َحب إِ ىَل ه‬ ْ ٌ ْ‫الضعيف َوف ك خير‬ َ ٍّ ُ‫َّ ِ ِ يِ ل‬

Dari Abu Hurairah, Dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Mu’min yang kuat adalah lebih baik dan lebih Allah cintai dibanding mu’min yang lemah, dalam segala kebaikannya.” (HR. Muslim, Juz. 13, Hal. 142, No. 4816. Ahmad, Juz. 18, Hal. 15, No. 8473. Al Maktabah Asy Syamilah)

Rasulullah SAW adalah sosok mujahid sejati. Beliau adalah figur pemberani yang telah dikaruniai oleh Allah SWT kekuatan fisik yang prima. Hal ini terbukti dengan keikutsertaanya dalam 28 peperangan yang dipimpin langsung oleh beliau da­ lam rentang waktu antara tahun 2–9 Hi­­ jrah (lihat: Shaidul Fawaid, hal. 105 -108). Artinya beliau terjun di medan ji­had fi sabilillah dalam rentang usia 52–59 tahun. Ini adalah usia mendekati masa-masa pensiun bagi para pekerja di negeri kita pada zaman ini, yang biasanya dianggap produktifitas dan kekuatan fisiknya mulai menurun. Sampai disini, saya mengajak Anda untuk merenungkan sejenak fakta sejarah ini, kira-kira ibrah, hikmah, atau kesimpulan apakah yang terbetik dalam benak Anda tentang qudwah dan uswah kita: Muhammad SAW? Menurut saya, salah satu kesimpulannya

adalah bahwa menjaga dan mempersiapkan kekuatan fisik merupakan sunnah Nabi. Ia juga adalah tuntutan agama yang ti­ dak boleh diremehkan sama sekali. Seba­ gaimana tersirat perintahnya dalam firman Allah SWT, “Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al-Anfal, 8: 60)

Ustadz Hasan Al-Banna dalam Risalatut Ta’aaliimi wal Usrah-nya saat mengulas tentang perbaikan individu, menyebutkan bahwa individu muslim yang diinginkan adalah individu yang memiliki muwashafat (karakter) sebagai berikut: ُّ ‫)قَو‬ Kuat fisiknya (‫ِي ا جِْل ْس ِم‬ Kokoh Akhlaknya (ِ‫ي اْ ُخللُق‬ ُ ْ‫) َمتِ ن‬ Luas wawasannya (ِ‫َف اْل ِف ْكر‬ ُ ‫) ُمَ�ثق‬ َ ‫)قَا ِد ًرا َعلَى ا‬ Mampu berpenghasilan (‫ْلك ْس ِب‬ Bersih aqidahnya (‫)سلِيْ ُم اْل َع ِقيْ َد ِة‬ َ Benar ibadahnya (‫)ص ِحيْ ُح اْل ِعبَا َد ِة‬ َ Bersungguh-sungguh menjaga dirinya ِ ‫)مجَُا ِه ًدا لَِ�نف‬ (‫ْس ِه‬ 8. Menjaga waktu (‫)ح ِريْ ًصا َعلَى َو ْقتِ ِه‬ َ 9. Rapi dalam urusannya (‫) ُمنَ َظ ًما يِف ُش ُؤ ْونِ ِه‬ 10. Bermanfaat bagi orang lain (‫)نَافِ ًعا لِ َغ رْيِ ِه‬ 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Perhatikanlah urutan 10 muwashafat ini!

Olah Raga, Yuk…!

38

Al-Intima’ - Juli 2010 Al-Intima’No.007 No.007Juni Juni-Juli


qowiyyul jismi Mengapa Ust. Hasan Al Banna menda­ hulukan qawiyyul jism sebelum yang lain­nya? Apakah qawiyyul jism itu lebih penting dari salimul aqidah, shahihul iba­ dah, atau matinul Khuluq? Secara tersirat, wallahu a’lam, dalam risa­lah­nya ini beliau sesungguhnya ingin mengingatkan kepada murid-muridnya dan juga kepada kaum muslimin seluruh­ nya, bahwa qawiyyul jismi sebagai bagian ajaran Islam, seringkali diremehkan oleh kaum muslimin termasuk oleh pa­ra akti­ vis dakwah, padahal meskipun tam­pak sepe­le ia sebenarnya merupakan salah satu penopang yang sangat penting bagi terlaksananya ajaran Islam secara sempur­ na, seperti menuntut ilmu, beribadah mah­ dhoh (shalat, puasa, haji), mencari nafkah, jihad, dlsb. Oleh karenanya, untuk jadi per­ ha­tian, qawiyyul jism disimpan di urutan pertama. Berolah raga secara rutin Salah satu cara menjaga kesehatan dan kekuatan fisik adalah dengan berolah raga secara rutin. Olah raga adalah su­atu kegiatan menggerakan seluruh anggota tubuh secara teratur, sehingga otot-otot menjadi kuat, persendian tidak kaku, dan aliran darah berjalan le­bih lancar ke se­ge­ nap jaringan dan organ-organ tubuh. Fungsi ali­ran darah pun akan sempurna. Membiasakan ber­olah raga secara ru­t in bagi mere­k a yang tidak biasa memang bukan perkara mudah. Beberapa studi

menun­jukkan bahwa 30 % dari mereka yang men­co­ba memulai berolah raga secara rutin, akan putus asa lalu berhenti. Tapi kita, dengan niat ibadah, tidak boleh menyerah dan berputus asa! Mulailah langkah-langkah berikut…bismillah! Pertama, tanamkan niat. Mantapkan keya­kinan bahwa kita memang ‘wajib’ ber­ o­lah raga secara rutin. Niat dan keyakinan yang kuat adalah pendorong semangat yang utama. Kedua, tentukanlah waktu yang tepat. Contohnya, ada yang lebih senang berolah raga pada pagi hari. Ada pula yang senang berolah raga sore atau petang hari. Setelah menentukan waktu, laksanakanlah keputu­ san itu secara konsekuen. Ketiga, mulailah berolah raga dengan sesua­tu yang kita senangi dan mudah dila­ ku­kan. Ada baiknya anda mencari teman yang memiliki niat yang sama agar dapat saling member semangat. Keempat, alasan besar yang menyebab­ kan orang berhenti berolah raga adalah tar­ get yang tidak realistis. Mulailah dengan sesuatu yang tidak menuntut, tetapi jangan juga terlalu kendur. Setelah itu secara ber­ ta­hap tingkatkanlah target kita. Jangan bu­ at target yang berlebihan, misalnya lari marathon 42 km, berenang sampai 40 keli­ ling, dan bulu tangkis 5 set sekaligus. Kelima, adakan variasi dalam kegiatan olah raga. Cari dan lakukanlah sesuatu yang berbeda, akan tetapi tetap menyenangkan. Cobalah hiking, berenang, bersepeda, lari lintas alam, dan sebagainya. Bukan hanya olah raga Perlu kita ingat, selain berolah raga, ada hal-hal lain yang perlu kita lakukan guna menjaga kesehatan dan kekuatan fisik, yai­ tu: berperilaku hidup bersih, makan dan minum yang halal dan bergizi, beristirahat secukupnya, bekerja sebatas kemampuan, menjaga jarak dengan penderita penyakit menular, segera berobat bila sakit, membi­ asakan shaum, dan lain sebagainya. Ayo jadikan kekuatan fisik kita prima! Tubuh kuat, ibadah dan dakwah lancar…. insya Allah… 

39


misykat

Wara' َ ُ ْ َ َ ٌ ِّ‫َ َ َ ين‬ ْ ٌ َّ ُ ُ َ َ ٌ ِّ‫َ ين‬ ‫اس َف َم ْن‬ ِ ‫انل‬ َّ ‫ات اَل ي ْع َلمهن َك ِثري ِمن‬ ٌ ‫إِ َّن الحْ َ اَل َل ب وإِ َّن الحْ َرام ب وبي َنه َما ُم ْش َت ِبه‬ َ َّ ‫اع َي ْر ىَع َح ْو َل‬ ‫اس َتبرْ َأَ لدِ ِ ي ِن ِه َو ِع ْر ِض ِه َو َم ْن َو َق َع يِف الش ُب َهات َوق َع ف ا َر‬ ‫اتق‬ ِ ‫الش ُبه‬ ْ ‫ات‬ ِ‫ام اَكلر ي‬ ُّ َ‫َّ ى‬ ُّ ِ َ ْ‫ِ َ يِ لح‬ ُ َ َ َ‫ى‬ ‫وش ُك أَ ْن ي ْر َتع ِفي ِه‬ ِ ‫الحْ ِ م ي‬ “Sesungguhnya yang halal telah jelas, dan yang haram telah jelas, dan di antara keduanya ada yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa yang menjaga dirinya dari syubuhat (samar) maka sesungguhnya dia telah menjaga agama dan harga dirinya. Barangsiapa yang jatuh pada yang syubuhat, maka dia akan terjatuh pada hal yang haram, seperti seorang gembala yang menggembalakan ternaknya di daerah terlarang, maka ia akan nyaris terperosok jatuh ke dalamnya.” (HR. Bukhari)

َ َ َّ‫ى‬ ُ ‫س به حذ ًرا لما به الأ‬ َ َ ُ ‫ل َي ْبل ُغ الع ْبد أن َيكون ِم ْن ال‬ ‫س‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫م‬ ِ ْ َ ْ‫ني َحت ي َدع َما اَل ب ْأ ِ ِ َ َ ِ َ ِ ِ ب‬ َ ُ ْ َ ُ َ ْ ُ َ‫ا‬ َ َّ ْ

“Seorang hamba tidaklah sampai derajat bertaqwa, sampai dia meninggalkan apa-apa yang dibolehkan, karena dia hati-hati jatuh kepada hal yang terlarang.” (HR. Tirmidzi)

َ ‫س َول ْم َيطمئ إله القل ُب‬ ُ ‫س َواطمأن إل ِه القل ُب َواإلث ُم مال ْم تسك ْن إل ِه انلف‬ ُ ‫ال ُّ ما سكنت إل ِه انلف‬ ‫–وإِ ْن‬ ْ َ ْ ِ ْ َ‫َ ْ َ نِ َّ ِ ي‬ ْ َّ ْ َ‫ْ ِ ْ َ َ َ ْ ُ ِ ي‬ ْ َ ْ ْ َ‫ْ َ َ َّ ِ ي‬ ْ َّ ْ َ‫برِ َ َ َ َ ْ ِ ي‬ ْ ُ ‫اك الْم ْف ُتو َن‬ َ ‫أَ ْف َت‬ "Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu." (Shahih al-Jami' no. 2881)

ْ ْ ْ ‫اال َي ْع ِن ْي ِه‬ َ ‫ال ِم الْ َمر ِء َتر ُك ُه َم‬ َ ‫ِمن ُح ْس ِن إِ ْس‬

"Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya." (HR. at-Tirmidzi no. 2318)

ُ ‫س َواطمأن إل ِه القل ُب َواإلث ُم مال ْم تسك ْن إل ِه انلف‬ ُ ‫ال ُّ ما سكنت إل ِه انلف‬ ‫س َول ْم َيطمئ‬ ْ َّ ْ َ‫ْ ِ ْ َ َ َ ْ ُ ِ ي‬ ْ َ ْ ْ َ‫ْ َ َ َّ ِ ي‬ ْ َّ ْ َ‫برِ َ َ َ َ ْ ِ ي‬ َّ ِ‫َ ْ َ ن‬ ُ َ ْ ُ ‫اك الْم ْف ُتو َن‬ َ ‫إِ يَ ْل ِه ْال َق ْلب –وإِ ْن أَ ْف َت‬ "Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu." (Shahih al-Jami' no. 2881)

40

Al-Intima’ No.007 Juni-Juli 2010




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.