ANTARA HAM DAN PEREMPUAN : BUNGA RAMPAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN AFIR

Page 1

ANTARA HAM DAN PEREMPUAN : BUNGA RAMPAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN AFIRMASI BAGI PEKERJA WANITA Duhita Pramesi Tyaskinasih, Shafinaz Rania Rachmat Universitas Airlangga

I.

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Ide eksistensi terhadap keadilan mengandung nilai moral universal yang merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia di seluruh dunia1. Keadilan sebagai nilai moral universal menjadi salah satu kajian moral, baik dalam bidang sosial, politik, hukum, dan lain-lain. John Rawls mengemukakan bahwa dalam teori keadilan terdapat pokok-pokok pikiran tentang keadilan yang merupakan salah satu nilai moral yang menjadi pandangan hidup atau filsafat negara yang baik2. Nilai moral universal ini telah tercermin dalam sila ke-lima Pancasila, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan demikian, sila ini adalah ikrar segenap bangsa Indonesia demi mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Negara Indonesia adalah negara hukum”, pernyataan tersebut digariskan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Selanjutnya pada Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Antonius Sujata (dalam Sudirman, 2007) mengemukakan bahwa penegakan hukum di manapun dan saat kapanpun memiliki cita-cita luhur yakni keadilan, kepastian, ketertiban serta manfaat. Rawls mengemukakan bahwa kedaulatan hukum jelas-jelas berkaitan erat dengan keadilan3. Menurutnya, sebuah sistem hukum adalah 1 Emmy

Latifah, “Eksistensi Prinsip-Prinsip Keadilan Dalam Sistem Hukum Perdagangan Internasional”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, Nomor 1, Tahun 2015, ISSN 2442-9325, hlm. 65 2 Fadhilah, “Refleksi Terhadap Makna Keadilan Sebagai Fairness Menurut John Rawls dalam Perspektif Keindonesiaan”, Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012, hlm. 26 3 Yustinus Suhardi Ruman, “Keadilan Hukum dan Penerapannya”, HUMANIORA, Vol. 3, No. 2, Oktober 2012: 345-353, hlm. 346


sebuah urutan aturan publik yang memaksa yang ditujukan pada orang-orang rasional dengan tujuan mengatur perilaku mereka dan memberikan kerangka kerja bagi kerja sama sosial4.

Keadilan merupakan suatu konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam perlakuan (justice or fair treatment)5. Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, menganut kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum. Hukum sebagai bagian dari negara demokrasi, memiliki makna negara hukum berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi manusia, dengan tidak membeda-bedakan berdasarkan latar belakangnya sehingga kedaulatan rakyat tercipta yang mengarah kepada kesejajaran di muka hukum . John Rawls berpendapat bahwa institusi sosial dikatakan adil jika diabdiakan untuk memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan6.

Hak asasi manusia merupakan sebuah hak dasar dan mutlak yang dimiliki oleh setiap orang. Hak asasi manusia mempunyai sifat universal, martabat manusia, kesetaraan, non diskriminasi, tidak dapat dicabut, tidak dapat dibagi, saling berkaitan dan bergantungan, dan tanggung jawab negara. Sifat ini saling mengikat satu sama lain, tanpa adanya melihat paling penting diantara sifatnya. Secara hakiki, berkaitan dengan arti hukum sebagai keadilan. Hal ini didukung lahirnya Konvensi PBB: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (“DUHAM”).

Mendukung pengakuan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan menjamin penegakkan hak asasi manusia di Indonesia, lahir kebijakan hukum yang mengatur terkait hak asasi manusia di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil untuk setiap warga negara Indonesia.

4 Ibid. 5 Agus

Budi Susilo, “Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Hermeneutika Hukum: Suatu Alternatif Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia”, Jurnal Perspektif, Volume XVI, Nomor 4, September 2011, hlm. 217 6 Damanhuri Fattah, “Teori Keadilan Menurut John Rawls” , Open Journal Systems UIN Raden Intan Lampung, Jurnal TAPIs, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2013, hlm. 32


Kesetaraan gender ditempatkan sebagai salah satu aspek dalam tujuan program pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals7) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”) yang ke-lima, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Dalam SDG poin kelima ini ditekankan untuk mengadaptasi dan memperkuat kebijakan-kebijakan dan regulasi yang dapat diimplementasikan untuk mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan dari segala lapisan sosial. Tiap-tiap perempuan mempunyai hak-hak yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang, dimana hak asasi perempuan mendapat tempat khusus dalam pengaturan jaminan perlindungan hak asasi manusia.

Hak asasi perempuan adalah hak yang melekat pada seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi manusia terdapat dalam pengaturan berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia8. Sistem hukum yang dimaksud adalah sistem hukum hak asasi manusia baik dalam ranah internasional dan nasional. Konvensi PBB “The Convention on the Elemenation of All Forms of Discriminations Against Women” (“CEDAW”) memerintahkan kepada masyarakat dunia untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Dasar hukum atas hak tersebut dalam instrumen internasional dapat ditemukan dalam Pasal 23 DUHAM, Pasal 6 ayat (1), 7 dan Pasal 8 ayat 1 butir (a) dan (b) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dimana didalamnya diatur hak-hak seseorang atas suatu profesi dan pekerjaan yang berlaku bagi semua orang. Dalam ranah nasional, dasar hukum mengenai hak perempuan di bidang kewarganegaraan dapat ditemukan dalam Pasal 47 UU HAM: “seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.” selain itu hak-hak perempuan diakomodir melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (“UU No. 7 Tahun 1984”), yang merupakan ratifikasi dari CEDAW. Dari pengaturan-pengaturan tersebut dapat disimpulkan bahwa asas yang mendasari hak

7 United

Nations’s The 2030 Agenda for Sustainable Development A/RES/70/1 Muzaqir, “Hak-Hak Perempuan” diakses dari http://akbarmuzaqir.blogspot.com/2013/04/hak-hakperempuan.html pada 20 Februari 2020 pukul 10.30 WIB 8 Akbar


bagi perempuan diantaranya: hak perspektif gender dan anti diskriminasi dalam artian bahwa perempuan memiliki hak yang seperti kaum laki-laki dalam bidang pembangunan, pendidikan, hukum, pekerjaan, politik, kewarganegaraan dan hak dalam perkawinan serta kewajibannya.

Dengan peran wanita sebagai agen pembangunan tersebut tidak lepas dari aspek ketenagakerjaan. Tenaga kerja sebagai salah satu aspek pembangunan, berperan sebagai pelaku atau subyek pembangunan, sekaligus sebagai tujuan atau objek pembangunan nasional. Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia modal pembangunan mempunyai peran dan kedudukan yang penting, yang akan menentukan, mengembangkan, serta meningkatkan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Dalam hukum Indonesia, terdapat jaminan yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan perlindungan yang layak bagi kemanusiaan.” menjamin terbukanya kesempatan kepada seluruh warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan, tidak terbatas baik kepada laki-laki maupun perempuan. Pernyataan ini didukung oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang menyatakan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Berangkat dari hal ini dapat diasumsikan bahwa keadilan dalam kesetaraan gender memiliki nilai dan berlaku secara universal, dengan berlandaskan asumsi ini tidak diperkenankannya diskriminasi baik secara ras, warna kulit, suku, gender, dan hal-hal lainnya. Selaras dengan hal ini, organisasi buruh internasional di bawah PBB, International Labour Organization (“ILO”), memiliki mandat untuk melindungi dan mensosialisasikan hak-hak tenaga kerja wanita ke dalam beberapa standar-standar konvensi yang diatur9. Angkat tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan di Indonesia masih tergolong rendah, berdasarkan data Sakernas, BPS pada Agustus 2016, terdapat kesenjangan angka tingkat partisipasi angkatan kerja antara laki-laki dan perempuan yaitu 81,9% dan 50,77%. Namun jika dilihat dari modal dan sumber daya manusia, perempuan dan laki-laki memiliki potensi berimbang. Di era globalisasi modern, peningkatan kesadaran akan pentingnya derajat perempuan membawa adanya posisi yang diduduki perempuan dalam berbagai sektor pekerjaan. Sebaliknya, dalam kehidupan bermasyarakat perjuangan kesetaraan belum menunjukan kemajuan yang signifikan. Isu-isu hak asasi manusia dan perempuan belum direspons secara serius oleh negara, 9 “ABC

of Women Workers’ Rights and Gender Equality”, International Labour Organization, 2007, hlm. 7


dan isu kekerasan sistematik berbasis gender, hak-hak politik, dan hak-hak atas pekerjaan kerap dilanggar10. Tindakan anti diskriminasi gender terhadap tenaga kerja perempuan telah diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja RI No.: SE-04/Men/88 tentang Pelaksanaan Larangan Diskriminasi Pekerja Wanita, namun perilaku tidak adil terhadap perempuan kerap dijumpai perilaku yang berakibat terjadinya perbedaan perlakuan mengenai hak dan kesempatan kaum laki-laki dan perempuan. Stigma mengenai perempuan di masyarakat sosial seperti anggapan perempuan sebagai sosok yang lemah lembut ataupun perempuan tidak mempunyai pengaruh baik secara sosial, ekonomi, hingga politik. Akibatnya, perempuan seringkali termarjinalkan dalam berbagai hal. Terdapat kesenjangan, diskriminasi, dan ketidakadilan pada perempuan baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat hingga dalam pekerjaan.

Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2019, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018 (naik dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466)11. Dengan banyaknya pengaduan kasus pelanggaran hak asasi perempuan ini, menjadi kesadaran bagi masyarakat akan pentingnya menindaklanjuti hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia yang dapat dijamin dan diakui perlindungannya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Tinjauan umum terhadap bentuk-bentuk upaya perlindungan hukum terhadap pelanggaran ketentuan afirmasi pekerja wanita 2.

Efektivitas dari bentuk-bentuk upaya perlindungan hukum terhadap pekerja wanita

3. Penegakan hukum terhadap pelanggaran ketentuan afirmasi pekerja wanita

10 Arbaiyah

Prantiasih, “Hak Asasi Manusia Bagi Perempuan�, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor 1, Februari 2012, hlm 14. 11 Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2019, diakses dari https://www.komnasperempuan.go.id/read-newslembar-fakta-dan-poin-kunci-catatan-tahunan-komnas-perempuan-tahun-2019 pada 19 Februari 2020 pukul 18.47 WIB


II.

ANALISIS

2.1 Tinjauan Umum terhadap Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Wanita

Tujuan perlindungan hukum bagi tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dari kesewenang-wenangan pengusaha dan untuk menciptakan suasana yang harmonis di perusahaan12. Berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional telah lahir demi memberikan penegakan, perlindungan, dan jaminan hak asasi manusia, khususnya tenaga kerja perempuan.

Peran organisasi internasional tidak lepas untuk menyikapi permasalahan hak-hak perempuan. Keterlibatan perempuan pada sektor ketenagakerjaan belum menunjukan perubahan atas status perempuan. UU No. 7 Tahun 1984 menjadi salah satu instrumen upaya penegakan hak asasi perempuan. Konvensi ini adalah penegasan prinsip kewajiban negara untuk membuat atau merubah hukum, menghapus stereotype dan kebiasaan yang diskriminatif, serta melakukan langkah khusus guna memastikan adanya persamaan de facto13.

UU HAM mengatur secara khusus mengenai hak-hak perempuan. Dengan demikian UU HAM mempertegas apa saja hak-hak yang dimiliki oleh perempuan dan bertujuan untuk menciptakannya kesetaraan, persamaan, dan keadilan antar gender. Dalam Pasal 41 ayat (2) UU HAM yang berbunyi “Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus”. Selaras dengan ini, konvensi dan rekomendasi ILO sebagian besar menerapkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Kemudian, beberapa konvensi secara khusus mengadopsi standar-standar internasional yang bertujuan untuk melindungi perempuan dari kondisi berat yang berasal dari pekerjaan dan sebagai

12 Mulyani

Djakaria, “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Wanita Untuk Memperoleh Hak-Hak Pekerja Dikaitkan Dengan Kesehatan Reproduksi”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 3, No. 1, September 2018, hlm.19 13 Dr. Ir. Adhi Santika, PhD., “Laporan Pengkajian Hukum Tentang Protokol CEDAW Terhadap Hukum Nasional Yang Berdampak Pada Pemberdayaan Perempuan”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Tahun 2017.


alat pendukung untuk menjaga hak-hak perempuan atas kesetaraan dalam pekerjaan dan juga kehidupan sosial.

Indonesia meratifikasi konvensi ILO melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Melalui UU Ketenagakerjaan mewujudkan sebuah perlindungan bagi pekerja maupun para pengusaha tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. UU Ketenagakerjaan merupakan bentuk dari perlindungan materiil bagi pekerja, kemudian pada perlindungan formil terdapat pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Di dalam UU Ketenagakerjaan mengatur secara khusus mengenai perlindungan bagi pekerja perempuan. Dengan kata lain, UU Ketenagakerjaan memberikan afirmasi terhadap pekerja perempuan. Afirmasi yang dimaksud adalah bentuk-bentuk afirmasi dan perhatian yang didasari oleh suatu kondisi tertentu. Perempuan mempunyai hak atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi reproduksinya sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) huruf f CEDAW bahwa hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi reproduksi. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri maupun bersama orang lain, serta berhak untuk dapat menghindari dampakdampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Pasal 49 ayat (2) UU HAM dijelaskan bahwa “Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan dan profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.� Ketentuan afirmasi terhadap pekerja perempuan ini dibentuk terkait dengan harkat dan martabat bagi perempuan. Perlindungan afirmasi diberikan karena terdapat suatu kondisi yang dapat menghambat suatu tujuan dan impian yang dimiliki dan bertujuan untuk membuka kesempatan bagi seorang perempuan untuk mendapat hak dan kehidupan secara adil. Afirmasi yang diberikan oleh UU Ketenagakerjaan kepada pekerja perempuan dalam bentuk waktu kerja, waktu istirahat dan cuti, dan tempat bekerja.

Pada Pasal 76 UU Ketenagakerjaan, mengatur mengenai waktu bekerja bagi perempuan, larangan memperkerjakan perempuan hamil yang dianggap berbahaya bagi kesehatan dan


keselamatan kandungannya, memberikan makanan dan minuman yang bergizi, menjaga kesusilaan dan keamanan, dan menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pulul 23.00 s/d pukul 05.00. Dalam Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja atau buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Selanjutnya Pasal 82 UU Ketenagakerjaan menjelaskan mengenai perolehan seorang pekerja wanita yang sebelum dan sesudah melahirkan anak atau berhak mendapatkan waktu istirahat bagi pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan. Pasal 83 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pekerja atau buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal tersebut harus dilakukan selama waktu kerja.

Adanya hubungan kerja, sesaat melakukan hubungan kerja, dan ketika hubungan kerja berakhir. Dengan perlakuan khusus ini, merupakan sebuah kebijakan diskriminasi yang positif. Karena adanya pasal tersebut, maka tindakan perlakuan khusus ini tidak boleh dikatakan sebagai bentuk dari diskriminasi. Dalam hal mendukung pengaturan ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur mengenai pengawas ketenagakerjaan melalui dinas ketenagakerjaan. Dinas ketenagakerjaan memiliki kedudukan setara di tingkat Provinsi. Adanya bentuk pengawas ketenagakerjaan ini diharapkan dapat mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan14.

2.2 Efektivitas dari Bentuk-bentuk Upaya Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Wanita Dengan berlaku efektifnya UU Ketenagakerjaan merupakan upaya pemerintah untuk melindungi dan mengakui hak-hak perempuan dalam dunia kerja. Undang-undang dalam hal ini memadai untuk mengurangi adanya pelanggaran terhadap hak-hak asasi perempuan, terutama di bidang ketenagakerjaaan. Meskipun telah diakomodir dengan peraturan oleh pemerintah, pengawasan terhadap tenaga kerja wanita di Indonesia dapat dikategorikan cenderung lemah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

14 Peraturan

Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan


2.2.1 Lemahnya pengawasan terhadap tenaga kerja Meskipun telah diakomodir oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan, pengawasan terhadap tenaga kerja wanita di Indonesia masih tergolong lemah. Menurut hemat penulis, hal ini disebabkan antara lain karena minimnya sumber daya pengawas dan kurang efektifnya regulasi yang mengatur mengenai pengawas ketenagakerjaan.

Kemenaker mencatat, pada akhir 2014 jumlah pengawas ketenagakerjaan sebanyak 1.776 orang yang bertugas mengawasi 265.509 perusahaan. Idealnya, dibutuhkan sebanyak 4.452 petugas pengawas ketenagakerjaan, sehingga berdasarkan data ini masih terdapat kekurangan 2.676 orang pengawas. Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, 155 kabupaten/kota belum memiliki pengawas ketenagakerjaan15.

Faktor kedua dari lemahnya pengawasan ketenagakerjaan ialah regulasi yang kurang berlaku efektif. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintahan Daerah baru (UU No. 23 Tahun 2014), terdapat perubahan regulasi mengenai kedudukan pengawas ketenagakerjaan yang semula berkedudukan di kabupaten/kota menjadi berkedudukan di provinsi. Hal ini Penulis rasa kurang efektif, karena menyebabkan sulitnya keterjangkauan pengawasan langsung ke daerahdaerah kabupaten/kota sehingga pengawasan praktis tidak tercapai. Di sisi lainnya hal ini menyebabkan anggaran pengawasan kurang memadai.

2.2.2 Minimnya advokasi hukum mengenai hak-hak tenaga kerja wanita yang diatur dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (“KPP-PA”) menerima banyak pengaduan tentang hak pekerja perempuan16. KPP-PA menyebutkan bahwa masih banyak ditemukan perusahaan tidak ramah terhadap para pekerja perempuan di Indonesia. Kementerian

Hukumonline, “Pengawas Ketenagakerjaan Setelah UU Pemda Baru”, ADY, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt550fc5bd931d7/pengawas-ketenagakerjaan-setelah-uu-pemda-baru/ pada 20 Februari 2020 pukul 22.49 WIB 16 detiknews, “Ini Pelanggaran yang Sering Terjadi pada Perempuan di Tempat Kerja”, Advertorial, diakses dari https://news.detik.com/adv-nhl-detikcom/d-3781912/ini-pelanggaran-yang-sering-terjadi-pada-perempuan-ditempat-kerja pada 20 Februari 2020 pukul 22.37 WIB 15


menilai pemberi kerja mengabaikan hak-hak pekerja perempuan17. Maraknya pelanggaran perusahaan terhadap hak-hak pekerja wanita, antara lain pelanggaran hak cuti melahirkan, hak memberi asi, hak cuti haid. Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa apabila mengalami rasa sakit saat masa haid dapat memberitahu kepada perusahaan, dan tidak diwajibkan untuk bekerja. Nyatanya, jarang sekali ada pelaporan mengenai hal itu dikarenakan rasa sakit yang tidak bisa dibuktikan sampai pemotongan upah apabila mengambil cuti haid. Masih banyak perusahaan belum memahami tentang hak reproduksi perempuan yang erat berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak.

2.3 Penegakan Pelanggaran Ketentuan Afirmasi Terhadap Pekerja Perempuan Berdasarkan Pasal 1 Angka 32 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi, “Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan” dan pada Pasal 176 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawasan ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen. Pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan dan pembinaan agar tidak melenceng dari peraturan perundang-undangan yang ada. Pengawasan merupakan salah satu upaya penegakan pelanggaran hak asasi manusia.

Dari pemeriksaan dan pembinaan tersebut, pegawai pengawas ketenagakerjaan menemukan 3 (tiga) hal penting yang menjadi ukuran bagi penilaian pengawasan ketenagakerjaan, yaitu: 1. Perusahaan sudah melaksanakan peraturan perundangan ketenagakerjaan. 2. Perusahaan hanya melaksanakan sebagian peraturan perundangan ketenagakerjaan. 3. Perusahaan tidak melaksanakan seluruh peraturan perundangan ketenagakerjaan.18

Salah satu cara agar mempengaruhi nilai kepatuhan masyarakat adalah dengan diberikannya sanksi terhadap suatu pelanggaran. Terdapat beberapa aturan mengenai cara 17 CNN

Indonesia, “Pemerintah Ingatkan Perusahaan Tak Pelit Kasih Cuti Haid”, Mesha Mediani, diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180420150643-20-292279/pemerintah-ingatkan-perusahaan-tak-pelitkasih-cuti-haid pada 20 Februari 2020 pukul 23.01 WIB 18 Syachradjat. 2015. „Sumbang Saran: Alternatif Pemeriksaan Ketenagakerjaan dalam Peralihan Lembaga pengawasan Ketenagakerjaan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi”. Informasi Hukum Volume XVII No. 1. (hlm 5455).


penegakan pelanggaran ketenagakerjaan: UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelisihan Hubungan Industrial yang memberi sanksi perdata, KUHAP dengan sanksi pidana, dan sanksi administrasi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawas Perburuhan.

III.

PENUTUP

3.1 Kesimpulan Hak asasi manusia merupakan sebuah hak dasar dan mutlak yang dimiliki oleh setiap orang. Dalam konteks perempuan, perempuan mempunyai perlakuan khusus yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang. Perlakuan khusus ini diberikan dengan tujuan untuk membuka kesempatan bagi seorang perempuan untuk mendapat hak dan kehidupan secara adil. Perlakuan khusus ini dapat dikatakan sebagai diskriminasi positif karena dengan tujuan untuk memberikan hak dan kehidupan secara adil. Perlindungan pekerja perempuan diatur secara khusus dalam UU Ketenagakerjaan yang merupakan upaya agar dilindunginya hak-hak perempuan. Namun, keterlibatan perempuan dalam bidang ketenagakerjaan masih butuh perhatian lebih. Perlindungan akan hak-hak pekerja perempuan belum dapat dipenuhi dikarenakan adanya faktor internal seperti kurangnya pengetahuan mengenai hak-hak pekerja perempuan dan faktor eksternal seperti tertanamnya streotype pada perempuan yang menyebabkan pola pikir partiarki.

Dapat kami simpulkan bahwa peraturan-peraturan tersebut telah berlaku efektif, namun dikarenakan edukasi hukum yang kurang maka sehingga dalam praktiknya masih ditemukan halhal yang menyimpang. Kemudian, pengawasan yang lemah juga menjadi faktor akan kurangnya perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Pelaporan pengawasan yang hanya ada di cakupan wilayah provinsi dan pusat, membuat sulit dijangkau bagi korban pelanggaran.

3.2 Saran Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana diatas, Penulis dapat menyarankan hal-hal sebagai berikut:


1. Peningkatan advokasi hukum dan promosi mengenai afirmasi dan hak-hak perempuan di lingkungan kerja yang diatur dalam peraturan-peraturan hukum ketenagakerjaan. 2. Penyediaan fasilitas-fasilitas penunjang hak-hak afirmasi perempuan. 3. Peningkatan

intensitas

dalam

pengawasan

langsung

ketenagakerjaan

meminimalisirkan tindak pelanggaran hak-hak perempuan di lingkungan kerja.

demi


DAFTAR PUSTAKA JURNAL Djakaria, Mulyani Djakaria. 2018. “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Wanita Untuk Memperoleh Hak-Hak Pekerja Dikaitkan Dengan Kesehatan Reproduksi”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 3, No. 1. (hlm.19) Fadhilah. 2012. “Refleksi Terhadap Makna Keadilan Sebagai Fairness Menurut John Rawls dalam Perspektif Keindonesiaan”, Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1. (hlm. 26) Fattah, Damanhuri. 2013. “Teori Keadilan Menurut John Rawls”. Open Journal Systems UIN Raden Intan Lampung. Jurnal TAPIs, Vol. 9, No. 2. (hlm. 32) International Labour Organization. “ABC of Women Workers’ Rights and Gender Equality”, International Labour Organization: 2007. (hlm. 7) Latifah, Emmy. 2015. “Eksistensi Prinsip-Prinsip Keadilan Dalam Sistem Hukum Perdagangan Internasional”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, Nomor 1, Tahun 2015 (hlm. 65) Prantiasih, Arbaiyah. 2012. “Hak Asasi Manusia Bagi Perempuan”. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor 1. ( hlm 14) Ruman, Yustinus Suhardi. 2012. “Keadilah Hukum dan Penerapannya”, HUMANIORA, Vol. 3, No. 2. (hlm. 346) Santika, Adhi. 2017 “Laporan Pengkajian Hukum Tentang Protocol CEDAW Terhadap Hukum Nasional Yang Berdampak Pada Pemberdayaan Perempuan”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM. Susilo, Agus Budi. 2011. “Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Hermeneutika Hukum: Suatu Alternatif Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia”. Jurnal Perspektif, Volume XVI, Nomor 4. (hlm. 217) Syachradjat. 2015. „Sumbang Saran: Alternatif Pemeriksaan Ketenagakerjaan dalam Peralihan Lembaga pengawasan Ketenagakerjaan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi”. Informasi Hukum Volume XVII No. 1. (hlm 54-55). United Nations’s The 2030 Agenda for Sustainable Development A/RES/70/1

UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA


Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 Tentang ratifikasi CEDAW Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Konvensi PBB “The Convention on the Elemenation of All Forms of Discriminations Against Women� (CEDAW). Konvensi International Labour Organization (ILO) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan SUMBER LAINNYA http://akbarmuzaqir.blogspot.com/2013/04/hak-hak-perempuan.html https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-lembar-fakta-dan-poin-kunci-catatantahunan-komnas-perempuan-tahun-2019 https://news.detik.com/adv-nhl-detikcom/d-3781912/ini-pelanggaran-yang-sering-terjadipada-perempuan-di-tempat-kerja https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt550fc5bd931d7/pengawas-ketenagakerjaansetelah-uu-pemda-baru/ https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180420150643-20-292279/pemerintahingatkan-perusahaan-tak-pelit-kasih-cuti-haid


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.