Compilation of ALSA Legal Review Competition

Page 1


INDONESIA DARURAT PELECEHAN SEKSUAL DALAM DUNIA KERJA: PERLUKAH MERATIFIKASI KONVENSI ILO NO. 190? Hanidar Surya Ningrum, Jessica Angela Atihuta, dan Nur Shafa Taufiqa

Universitas Airlangga

ABSTRAK Pelecehan seksual masa kini bukan merupakan sesuatu yang langka, tak terkecuali di dalam dunia kerja. Pelecehan seksual merupakan bentuk kejahatan yang melenceng dan menodai harkat serta martabat dalam aspek kemanusiaan. Bagi korban, pelecehan seksual dapat memberikan dampak seperti trauma, depresi, bunuh diri, hingga harus menghadapi stigma negatif dari masyarakat. Berdasarkan survei kuantitatif yang dilakukan Never Okay Project pada November hingga Desember 2018, 94% dari 1420 responden pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. 76% mengalami pelecehan lisan, 42% mengalami pelecehan isyarat, 26% lainnya mengalami pelecehan tertulis atau bergambar, 13% merasa berada di lingkungan kerja yang tidak bersahabat, 7% ditawari imbalan untuk melakukan sesuatu, 1% mendapat penyerangan seksual, dan 2% tidak memberikan keterangan spesifik. International Labour Organization pada tahun 2019 membuat suatu konvensi yang memiliki fokus pada perlindungan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual di dunia kerja bernama Konvensi ILO No. 190. Melalui penelitian ini, kami melakukan analisis mengenai keadaan Indonesia yang masih marak terjadi pelecehan seksual di dunia kerja menggunakan riset penelitian kualitatif, yaitu studi pustaka menggunakan Konvensi ILO No. 190 sebagai kata kunci dalam melakukan penelitian. Adapun sumber data yang digunakan adalah sumber data primer serta sumber data sekunder. Namun, pemerintah Indonesia belum melakukan upaya untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 190 ini sebagai bentuk mengatasi keadaan darurat pelecehan seksual di Indonesia. Oleh karena itu, harapan kami terhadap pemerintah Indonesia adalah dapat segera melakukan ratifikasi terhadap Konvensi ILO No. 190 dan nantinya, perlindungan terhadap pelecehan serta kekerasan seksual bagi serikat pekerja akan memiliki dasar hukum yang lebih kuat. Kata Kunci: Pelecehan Seksual, Dunia Kerja, Ratifikasi, Konvensi.


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pelecehan seksual saat ini marak terjadi di lingkungan dunia kerja, beberapa diantaranya seperti menyentuh lawan bicara tanpa consent, mengirimkan konten bernuansa seksual yang dapat menjadikan situasi di kantor kurang nyaman, menyentuh bagian tubuh yang tidak pantas, hingga pelecehan melalui verbal, seperti memberikan rayuan atau pujian bernuansa seksual ataupun tidak pantas, mempertanyakan kondisi seks pribadi, dan melakukan catcalling dengan tidak pantas. Di Indonesia, kasus pelecehan seksual di dunia kerja ternyata tidak jarang terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir kita mendengar bagaimana beberapa pekerja di Indonesia bersuara mengalami pelecehan seksual yang dialami mereka, baik dari industri film, pabrik, dan lain-lain. Berdasarkan survei yang dilakukan Never Okay Project pada 34 provinsi di Indonesia, 94% responden mengaku mengalami pelecehan seksual secara fisik. Dalam merespon pelecehan seksual yang dialami, walau beberapa korban berani angkat bicara, namun sebagian korban lainnya memutuskan untuk diam saja atas apa yang telah terjadi. Korban pelecehan seksual yang melaporkan kasus tersebut pun seringkali dijerat balik dengan UU ITE, UU Pornografi, atau pasal pencemaran nama baik. Belum ada payung hukum yang secara efektif dapat melindungi korban pelecehan seksual di negara ini. Maraknya pelecehan dan juga kekerasan seksual terutama di dunia kerja menunjukkan bahwa nilai-nilai Hak Asasi Manusia di zaman sekarang ini mulai luntur. Padahal, dalam kurun beberapa tahun terakhir, banyak sekali gerakan dan kampanye yang mempromosikan serta memperkenalkan pentingnya nilai-nilai HAM. Contohnya, dalam memperjuangkan hak kesetaraan gender, Komnas Perempuan berinisiasi untuk mengikuti kampanye internasional yang diprakarsai oleh Women’s Global Leadership Institute yaitu 16 Days of Activism Against Gender Violence atau yang lebih dikenal dengan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Untuk itu, ILO yang merupakan organisasi bentukan PBB membuat


sebuah konvensi tentang perlindungan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual terutama di lingkungan kerja dengan harapan terciptanya suatu lingkungan kerja yang aman dan bermartabat di seluruh penjuru dunia.

1.2 Rumusan Masalah 1. Mengapa Pemerintah Indonesia harus segera meratifikasi Konvensi ILO No. 190? 2. Apa saja faktor terjadinya pelecehan seksual di dunia kerja? 3. Bagaimana peran Konvensi ILO No. 190 terhadap kasus pelecehan seksual di Indonesia khususnya di dunia kerja?

1.3 Dasar Hukum 1. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, yang tentunya bertentangan dengan kasus pelecehan seksual. 2. Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. Dalam Pasal 10 dikatakan bahwa hak asasi manusia menjadi salah satu

isu

yang mendorong disahkannya

sebuah

perjanjian

internasional. 3. Pasal 35 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa pemberi kerja wajib memberikan perlindungan baik keselamatan, kesejahteraan, dan kesehatan fisik maupun mental tenaga kerjanya. 4. Permen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 Tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan Di Tempat Kerja yang menjadi sebuah inovasi program pemerintah dalam menjamin perlindungan terhadap pekerja perempuan di tempat kerja 5. CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), merupakan konvensi yang ditetapkan melalui sidang umum PBB pada 18 Desember 1979 yang


membahas tentang hak-hak perempuan dan penghapusan segala jenis diskriminasi bagi perempuan.


BAB II ANALISIS

2.1 Urgensi Untuk Meratifikasi Konvensi ILO No. 190 2.1.1 Kasus Pelecehan Seksual Dalam Dunia Kerja di Indonesia Pada September 2021, seorang pegawai KPI menceritakan kasus pelecehan seksual yang dialaminya ketika bekerja di kantor melalui media sosial. Korban berinisial MS mengaku telah mengalami perundungan dan pelecehan seksual oleh para seniornya sejak tahun 2015. Kemudian pada Agustus 2017, MS memutuskan untuk melapor ke Komnas HAM atas kejadian yang dialaminya. Setelah melapor, Komnas HAM memberi saran agar MS melapor ke polisi. Namun, saat melapor ke polisi, korban diarahkan untuk melapor ke atasan di kantor. Hasilnya, MS hanya dipindahkan ruang kerjanya, namun tidak ada sanksi tegas bagi pelaku. Namun, karena kembali mengalami perundungan, pada 2020, korban melapor untuk kedua kalinya pada Polsek Gambir. Sayangnya, petugas Polsek seakan meremehkan pelecehan yang dialami MS. Polisi baru mulai bertindak setelah viralnya kasus MS di media sosial, hingga Ketua KPI Pusat pun ikut angkat bicara. Pemeriksaan kemudian dilakukan oleh KPI, dimana 8 orang diduga terlibat1. Selain itu, pada tahun 2018, seorang karyawan BPJS Ketenagakerjaan mengaku mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. RA, yang adalah seorang

tenaga

kontrak

Asisten

Ahli

Dewan

Pengawas

BPJS

Ketenagakerjaan mengaku menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh pejabat BPJS. Pejabat BPJS yang dimaksud adalah seorang Dewan Pengawas bernama Syafri Adnan Baharuddin. Setelah keluarnya berita mengenai kasus ini, Syafri Adnan memutuskan untuk mundur dari jabatannya dengan alasan agar dapat fokus pada perkara. Namun, ia malah melapor balik

CNN Indonesia ‘Jejak Kasus Pelecehan Seksual KPI Hingga Ditangani Polisi’ (cnnindonesia.com, 2021) https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210903212754-12-689583/jejakkasus-pelecehan-seksual-kpi-hingga-ditangani-polisi accessed 17 Maret 2022 1


korban ke polisi. Perkara ini akhirnya diselesaikan dalam bentuk mediasi antara korban dan pelaku. Korban kemudian membuat pernyataan bahwa ia tak pernah mengalami perkosaan selama bekerja, dan pelaku pun mencabut laporannya2.

2.1.2 Relevansi Ratifikasi Konvensi ILO No. 190 Dengan Kasus yang Terjadi di Indonesia Konvensi ILO No. 190 menegaskan pentingnya perlindungan bagi korban pelecehan seksual di lingkungan kerja. Dalam pasal 4 ayat (2) huruf b, dikatakan bahwa setiap anggota, disesuaikan dengan kondisi dan hukum nasional, harus menjalankan beberapa hal dalam prosesnya, dimana salah satunya adalah memastikan akses penyembuhan dan dukungan bagi korban. Kemudian pada pasal 10, huruf b, tiap anggota harus mengambil langkah yang baik dalam memberikan akses yang mudah bagi korban untuk penyembuhan, prosedur investigasi yang sesuai, mekanisme penyelesaian masalah yang baik. Juga harus diberikan perlindungan terhadap pembalasan, atau laporan balik yang dituntut pada korban, serta dukungan legal, sosial, medis, dan administratif. Dari dua kasus yang telah dipaparkan di atas, dapat dilihat bagaimana salah satu isu dalam kasus pelecehan seksual di Indonesia adalah kurangnya keberpihakan pada korban. Korban yang tidak mendapat dukungan dan perlindungan yang tepat dari negara pun harus menerima stigma buruk dari masyarakat. Dengan meratifikasi Konvensi ILO No. 190, Indonesia dapat memberikan dasar hukum yang tepat, yang bisa menjadi pelindung bagi korban dalam menjalani proses hukum setelah melapor kasus pelecehan seksual. Berdasarkan laporan dan hasil survei yang dipublikasikan, dapat dilihat bahwa angka kasus pelecehan seksual dalam dunia kerja di Indonesia tidak

Tempo.co ‘Aduan Skandal Seks, Pejabat BPJS Ketenagakerjaan Dinonaktifkan’ (bisnis.tempo.co, 2018) https://bisnis.tempo.co/read/1159920/aduan-skandal-seks-pejabat-bpjsketenagakerjaan-dinonaktifkan/full&view=ok accessed 17 Maret 2022 2


dapat diabaikan lagi. Para korban pelecehan seksual membutuhkan payung hukum sebagai bentuk perlindungan bagi mereka dan sebagai dasar agar aparat hukum bisa bertindak lebih tegas dalam menangani kasus pelecehan seksual. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur mengenai pelecehan seksual di dunia kerja, dan RUU TPKS hingga kini belum kunjung disahkan oleh DPR. Indonesia segera meratifikasi Konvensi ILO No. 190 menjadi penting agar terdapat dasar hukum yang dapat mengadili kasus pelecehan seksual di dunia kerja. Konvensi ILO No. 190 sendiri sudah mencakup beberapa hal penting dalam menangani kasus pelecehan seksual di dunia kerja. Misalnya, pasal 4 membahas mengenai perlindungan dan langkah pencegahan dari kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Selain itu, di tengah pandemi dimana diberlakukan metode Work From Home bagi

para pekerja,

Konvensi

ILO

No. 190 tidak

mengesampingkan pelecehan yang terjadi diluar tempat kerja fisik. Pada Pasal 3 Article 3 diberikan definisi luas mengenai tempat kerja, termasuk komunikasi kerja yang dilakukan melalui teknologi. Dengan begitu, Konvensi ILO No. 190 ini dapat menjadi payung hukum yang tepat sebagai bentuk pencegahan kasus pelecehan seksual dalam dunia kerja di Indonesia.

2.2 Faktor Terjadinya Pelecehan Seksual di Dunia Kerja Pelecehan seksual merupakan segala tindakan seksual yang tidak diinginkan yang dilakukan secara lisan, fisik, maupun isyarat yang membuat seseorang merasa dipermalukan, terintimidasi, dan/atau tersinggung3. Pelecehan seksual merupakan bentuk kejahatan yang melenceng dan menodai harkat serta martabat dalam aspek kemanusiaan. Di dalam dunia kerja, pekerja perempuan lebih dominan menerima perlakuan tidak menyenangkan tersebut. Hal itu disebabkan oleh stigma yang telah tercipta dan tertanam pada masyarakat bahwa perempuan memiliki peran untuk mengurus rumah tangga, 3

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011


memastikan suami dan anaknya terpenuhi kebutuhannya. Namun, di zaman yang semakin berkembang ini, sudah merupakan hal yang biasa dan wajar melihat perempuan bekerja baik di perkantoran, perindustrian, dan tempat kerja lain selain di rumah. Hal itu merupakan salah satu dari sekian alasan perempuan lebih sering menerima perlakuan pelecehan seksual di lingkungan kerjanya. Selain itu, alasan lain korban menerima pelecehan seksual di dunia kerja karena perempuan dianggap lemah dan tidak kompeten dalam melakukan aktivitas di dunia kerja dibandingkan laki-laki. Pemikiranpemikiran lama dan tak bermartabat seperti ini yang membuat pekerja perempuan rentan menjadi objek utama dalam tindakan pelecehan serta kekerasan seksual di tempat kerja karena stigma “lemah” yang dimiliki setiap perempuan. Ada pula faktor kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku dan merasa bahwa karena jabatannya yang lebih tinggi, ia berhak untuk bertindak semaunya sendiri. Sejak Maret 2020, virus Covid-19 mulai menyebar di Indonesia dan menyebabkan

berbagai

sektor

pekerjaan

terpaksa

memberhentikan

kegiatannya karena harus menjalankan protokol kesehatan yaitu salah satunya menjaga jarak dengan orang lain. Oleh karena itu, kegiatan yang biasanya dilakukan dengan datang ke lingkungan kerja dan bertatap muka dengan rekan kerja lain harus berubah menjadi bekerja dari jarak jauh atau work from home. Dengan keadaan seperti ini, ternyata masih saja ada kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kerja meskipun telah menerapkan sistem work from home. Menurut survey yang dilakukan oleh Never Okay Project4 mengenai Situasi Pelecehan Seksual di Dunia Kerja selama Work from Home (WfH), terdapat beberapa bentuk pelecehan seksual yang paling sering dialami korban selama WfH, di antaranya: a. Menerima lelucon bertema seksual Never Okay Project ‘Laporan Survei Pelecehan Seksual Di Dunia Kerja Selama WFH’ (neverokayproject.org, 2020) https://neverokayproject.org/pusat-data/riset/wfh-rentan-pelecehan-seksualperusahaan-didesak-buat-protokol-anti-pelecehan-seksual/ accesed 16 Maret 2022. 4


b. Menerima kiriman foto, video, audio, teks, atau stiker seksual tanpa persetujuan c. Menerima komentar atau kritikan negatif mengenai bentuk fisik tubuh d. Menerima perlakuan oleh rekan kerja sebagai alat pemuas hasrat seksual e. Menerima rayuan seksual tanpa persetujuan, dll Perlakuan tak senonoh tersebut korban terima saat WfH melalui beberapa platform komunikasi yaitu messaging app (WhatsApp, Telegram, dll), Video Conference App (Zoom, Skype, dll), Social Media App (Instagram, Twitter, dll), Telepon, SMS, dan juga E-mail. Pada faktanya, pelecehan seksual terjadi di lingkungan kerja karena adanya normalisasi akan hal tersebut. Parahnya, normalisasi pelecehan seksual merupakan awal dari adanya budaya perkosaan, yaitu menganggap wajar, merendahkan, lalu menyerang korban.5

2.3 Peran Konvensi ILO No. 190 Terhadap Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia Khususnya di Dunia Kerja 2.3.1 Keadaan hukum di Indonesia saat ini dalam mengatur pelecehan seksual Sebuah kejahatan tidak hanya muncul akhir-akhir ini. Kejahatan telah ada sejak manusia diciptakan yang mengartikan bahwa kejahatan dan manusia tidak akan pernah terlepas karena kejahatan merupakan ulah yang diperbuat oleh manusia. Untuk mengatasi kejahatan inilah maka hukum tercipta agar terciptanya lingkungan yang aman dan tentram dari kejahatan. Kejahatan tidak hanya berpusat dan hanya terdiri dari pembunuhan, pencurian, penggelapan dana saja, melainkan pelecehan seksual juga termasuk salah satu kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia memiliki jumlah yang tidak sedikit. Akan tetapi, supremasi hukum atau perlindungan hukum mengenai 5

Herman, D. F. (1984). The rape culture. In Freeman, J. (Ed.), Women a feminist perspective (3rd ed., pp. 45-53). Mountain View, CA: Mayfield


pelecehan seksual di Indonesia sangat jauh dari kata sempurna. Hal tersebut dikarenakan regulasi hukum di Indonesia yaitu KUHP (Kitab UndangUndang Hukum Pidana) hanya mengatur mengenai tindak pidana pemerkosaan saja. Sedangkan, pelecehan seksual secara umum tidak hanya terdiri dari pemerkosaan saja. Komentar seksual tentang tubuh, ajakan seksual, hingga menampilkan konten seksual. Maka dari itu, kasus RUU PKS pernah menjadi trending topic di Indonesia karena Indonesia dinilai membutuhkan suatu instrumen hukum yang jelas untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para korban pelecehan seksual. Pelecehan seksual merupakan salah satu kasus yang sering terjadi di Indonesia. Pelecehan seksual ini juga termasuk ke dalam permasalahan yang menjadi perhatian dari pemerintah. Terkait dengan permasalahan ini, Indonesia secara umum mengatur pelecehan seksual dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan pada Pasal 281 sampai Pasal 303. Perbuatan mengenai pelecehan seksual yang diatur dalam KUHP ini diartikan sebagai perbuatan asusila yang dapat diartikan sebagai cabul. Dengan adanya pengaturan dalam KUHP ini, mencerminkan bahwa Indonesia tetap mengatur mengenai pelecehan seksual, walaupun secara khusus memang belum menyesuaikan secara khusus. Maka dari itu, Konvensi ILO No. 190 memiliki peran penting di dalam kondisi maraknya pelecehan seksual di Indonesia, seperti dengan menegaskan pentingnya perlindungan bagi korban pelecehan seksual di lingkungan kerja. Dalam pasal 4 ayat (2) huruf b, dikatakan bahwa setiap anggota, disesuaikan dengan kondisi dan hukum nasional, harus menjalankan beberapa hal dalam prosesnya, dimana salah satunya adalah memastikan akses penyembuhan dan dukungan bagi korban. Kemudian pada pasal 10, huruf b, tiap anggota harus mengambil langkah yang baik dalam memberikan akses yang mudah bagi korban untuk penyembuhan, prosedur investigasi yang sesuai, mekanisme penyelesaian masalah yang baik. Juga


harus diberikan perlindungan terhadap pembalasan, atau laporan balik yang dituntut pada korban, serta dukungan legal, sosial, medis, dan administratif. 2.3.2 Fakta yg terjadi di Indonesia meskipun telah ada dasar hukum yang mengatur Dengan adanya peraturan yang telah mengatur mengenai pelecehan seksual, tidak mengartikan bahwa Indonesia terbebas dari pelecehan seksual. Melansir dari CNN Indonesia6 (12/21) bahwa sepanjang 2021 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang mencatat sebanyak 8.800 kasus pelecehan seksual yang terjadi dari rentang Januari hingga November 2021. Beberapa contoh kasus pelecehan seksual yang marak terjadi di Indonesia adalah pelecehan yang sering dilakukan dosen terhadap mahasiswanya, salah satunya adalah mahasiswi Semarang yang dipaksa oleh dosennya untuk melakukan hubungan badan. Kasus tersebut merupakan salah satu contoh kecil bagaimana masyarakat di Indonesia yang masih sering melakukan pelecehan seksual walaupun sudah ada aturan yang mengatur.

BAB III PENUTUP

Pelecehan seksual merupakan segala tindakan seksual yang tidak diinginkan yang dilakukan secara lisan, fisik, maupun isyarat yang membuat seseorang merasa dipermalukan, terintimidasi, dan/atau tersinggung (Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011). Pelecehan seksual merupakan bentuk kejahatan yang melenceng dan menodai harkat serta martabat dalam aspek kemanusiaan. Di dalam dunia kerja, pekerja perempuan lebih dominan menerima perlakuan tidak menyenangkan tersebut. Hal itu disebabkan oleh stigma yang telah CNN Indonesia ‘Ministry of PPPA Survey Claims of Violence Against Women Decline in 2021’, (www.cnnindonesia.com, 2021) https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211227204557-20-739328/surveikementerian-pppa-klaim-kekerasan-pada-perempuan-menurun-di-2021 accesed 16 Maret 2021 6


tercipta dan tertanam pada masyarakat bahwa perempuan memiliki peran untuk mengurus rumah tangga, memastikan suami dan anaknya terpenuhi kebutuhannya. Namun, di zaman yang semakin berkembang ini, sudah merupakan hal yang biasa dan wajar melihat perempuan bekerja baik di perkantoran, perindustrian, dan tempat kerja lain selain di rumah. Hal itu merupakan salah satu dari sekian alasan perempuan lebih sering menerima perlakuan pelecehan seksual di lingkungan kerjanya. Pelecehan seksual tidak hanya berpusat pada pemerkosaan saja, melainkan memiliki banyak jenis, seperti menerima lelucon seksual dan menerima rayuan seksual tanpa persetujuan. Melihat hal ini, untuk mengatasi kejahatan inilah maka hukum tercipta agar terciptanya lingkungan yang aman dan tentram dari kejahatan. Kejahatan tidak hanya berpusat dan hanya terdiri dari pembunuhan, pencurian, penggelapan dana saja, melainkan pelecehan seksual juga termasuk salah satu kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Indonesia secara umum mengatur pelecehan seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan pada Pasal 281 sampai Pasal 303. Perbuatan mengenai pelecehan seksual yang diatur dalam KUHP ini diartikan sebagai perbuatan asusila yang dapat diartikan sebagai cabul. Dengan adanya pengaturan dalam KUHP ini, mencerminkan bahwa Indonesia tetap mengatur mengenai pelecehan seksual, walaupun secara khusus memang belum menyesuaikan secara khusus. Maka dari itu, Konvensi ILO No. 190 memiliki peran penting di dalam kondisi maraknya pelecehan seksual di Indonesia, seperti dengan menegaskan pentingnya perlindungan bagi korban pelecehan seksual di lingkungan kerja. Dalam pasal 4 ayat (2) huruf b, dikatakan bahwa setiap anggota, disesuaikan dengan kondisi dan hukum nasional, harus menjalankan beberapa hal dalam prosesnya, dimana salah satunya adalah memastikan akses penyembuhan dan dukungan bagi korban. Kemudian pada pasal 10, huruf b, tiap anggota harus mengambil langkah yang baik dalam memberikan akses yang mudah bagi korban untuk penyembuhan, prosedur investigasi yang sesuai, mekanisme penyelesaian masalah yang baik. Juga harus diberikan perlindungan terhadap pembalasan, atau laporan balik yang dituntut pada korban, serta dukungan legal, sosial, medis, dan administratif. Hal ini didasarkan


karena UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur secara khusus mengenai pelecehan di dunia kerja dan bahkan RUU TPKS hingga saat ini juga belum kunjung disahkan oleh DPR RI. Oleh karena itu, Konvensi ILO No. 190 sangat penting untuk segera diratifikasi karena Konvensi ILO No. 190 telah mencakup beberapa hal mengenai penanganan pelecehan seksual di dunia kerja, seperti pada Pasal 4 yang membahas mengenai perlindungan dan langkah pencegahan dari kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Selain itu, di tengah pandemi dimana diberlakukan metode Work From Home bagi para pekerja, Konvensi ILO No. 190 tidak mengesampingkan pelecehan yang terjadi diluar tempat kerja fisik. Pada Pasal 3 Article 3 diberikan definisi luas mengenai tempat kerja, termasuk komunikasi kerja yang dilakukan melalui teknologi. Dengan begitu, Konvensi ILO No. 190 ini dapat menjadi payung hukum yang tepat sebagai bentuk pencegahan kasus pelecehan seksual dalam dunia kerja di Indonesia.


PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN TERHADAP KEKERASAN STRUKTURAL AKIBAT KONFLIK PERTAMBANGAN: PRINSIP UJI TUNTAS DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN NASIONAL Apriska Widiangela dan Pradnya Wicaksana Universitas Airlangga Abstrak Peningkatan jumlah pertambangan di Indonesia rupanya masih belum dibarengi pula dengan rezim hukum yang memiliki kepekaan gender. Akibatnya, banyak konflik pertambangan acapkali berdampak lebih terhadap perempuan. Hal ini dikarenakan peran dan konstruksi gender menjadikan perempuan lebih memiliki ketergantungan terhadap akses dan kontrol terhadap sumber daya alam. Hilangnya itu akibat aktivitas pertambangan yang mendistorsi keberlangsungan hidup perempuan. Sehingga, mereka akan rentan untuk mengalami kekerasan struktural yang melanggar berbagai macam HAM perempuan. Sebagai bentuk amanat konstitusi, pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi HAM sehingga perlu ada langkah-langkah progresif yang dilakukan terhadap pelanggaran HAM perempuan akibat konflik. Salah satunya adalah mekanisme uji tuntas (due diligence) yang tertuang dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), dimana negara wajib untuk menimbang hukum, kebijakan, dan program-programnya secara holistik agar tidak terwujud kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Tulisan ini akan mengelaborasikan mekanisme uji tuntas dalam hukum internasional, serta mengkaji apakah rezim hukum pertambangan nasional dapat mendukung realisasi mekanisme tersebut. Kesimpulannya adalah masih terdapat norma-norma hukum pertambangan yang masih menjadi tantangan dalam realisasi mekanisme uji tuntas. Tulisan ini juga akan menghaturkan saran singkat bahwa negara harus mempromosikan hukum nasional yang selaras dengan prinsip HAM dan kepekaan gender dalam sektor pemanfaatan sumber daya alam. Kata Kunci: Perempuan, CEDAW, Uji Tuntas, Konflik, Pertambangan

Latar Belakang Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, terdapat peningkatan pesat dalam investasi di sektor sumber daya alam di Indonesia. Peningkatkan ini disebabkan oleh reformasi hukum pertambangan yang politik hukumnya kini selaras dengan elan globalisasi dan desentralisasi. Globalisasi dalam artian adalah hukum pertambangan diarahkan untuk mengakomodir pertumbuhan ekonomi berbasis


pasar yang transformatif dan efisien.1 Desentralisasi berarti bahwa hukum pertambangan menyesuaikan dengan prinsip otonomi daerah, di mana pemerintah daerah kini memiliki wewenang yang lebih luas untuk mengurusi urusan pertambangan di daerahnya, termasuk mengeluarkan izin.2 Namun, politik hukum desentralisasi tersebut kini lenyap pasca didoknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Disitu, semangat sentralisasi dalam urusan pertambangan kembali diadopsi, mereduksi wewenang pemerintah daerah di urusan pertambangan.3 Namun sayangnya, perkembangan pesat investasi tersebut tidak dibarengi dengan mekanisme yang menjamin perlindungan HAM. Padahal, aktivitas pertambangan hampir pasti akan memunculkan kerusakan lingkungan yang akan merugikan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, konflik pertambangan di Indonesia juga mengalami peningkatan pula. Apabila menilik data Jaringan Advokasi Tambang, tercatat 116 konflik pertambangan di Indonesia dalam periode 2014-2020, dengan luasan konflik sebesar 1.640.440 hektar.4 Kerusakan lingkungan yang dihasilkan mendistorsi, atau bahkan melenyapkan, akses masyarakat sekitar terhadap sumber daya alam. Padahal, mereka memiliki ketergantungan yang erat terhadap alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti pangan dan pekerjaan.

Herlambang P Wiratraman, “Neo-Liberalisme, Good Governance, Dan Hak Asasi Manusia” (2007) XV Jurnal Hukum Jentera, hlm. 25. 2 Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959), selanjutnya disebut UU Minerba 3 Indonesian Center for Environmental Law, “Beberapa Kritik Hukum Terhadap Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral Dan Batubara” (2020) <https://icel.or.id/wp-content/uploads/Seri-Analisis-ICEL-Minerba.rev1_-Beberapa-Kritik-Hukum .pdf> diakses 16 Maret 2022. 4 Jaringan Advokasi Tambang, “Siaran Pers: 2020 Adalah Tahun Panen Ijon Politik Tambang, Kriminalisasi Hingga Berujung Bencana” (JATAM, 25 Januari, 2021) <https://www.jatam.org/2020-adalah-tahun-panen-ijon-politik-tambang-kriminalisasi-hingga-beruj ung-bencana/> diakses 16 Maret 2022. (JATAM I) 1


Konflik pertambangan juga akan berdampak lebih parah terhadap perempuan. Peran dan konstruksi gender dalam keluarga dan masyarakat seringkali menempatkan perempuan pada posisi yang lebih bergantung pada akses sumber daya alam. Oleh karena itu, rusaknya akses tersebut berarti menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rentan terhadap kekerasan daripada laki-laki. Lanskap tersebut diperpetuasi oleh ketidakpekaan gender sejak tahap awal pertambangan, yakni sosialisasi atau permintaan izin terhadap masyarakat. Acapkali perempuan tidak diberikan ruang partisipasi yang bermakna, hanya perwakilan laki-laki saja yang diajak sosialisasi oleh pemerintah dan perusahaan.5 Dampak kerusakan akses sumber daya alam terhadap perempuan dapat dilihat melalui pola-pola kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM perempuan. Pola pertama adalah terlanggarnya hak perempuan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.6 Perlu dipahami bahwa perempuan memiliki peran rangkap tiga, yang semuanya bergantung erat pada akses terhadap sumber daya alam, seperti air dan tanah. Ketiga peran itu adalah peran reproduktif (haid, hamil, melahirkan, dan menyusui), peran produktif (mencari nafkah, lumrahnya bertani), dan peran mengelola komunitas (menjaga keluarga seperti menyiapkan makanan hingga menjaga kebersihan rumah).7 Dimisalkan kerusakan akses tersebut berupa pencemaran air, maka kemungkinan besar kondisi kesehatan perempuan akan terganggu. Ambil satu contoh adalah pencemaran air Teluk Buyat dengan merkuri, akibat aktivitas pertambangan emas PT. NMR di Sulawesi Utara. Perempuan di sekitar teluk banyak yang mengalami benjolan di daerah payudara, rusaknya

Jurnal Perempuan, Interview with Siti Maemunah, “Filosofi Tanah Sebagai Tubuh Perempuan: Krisis Lingkungan Akibat Tambang” (2014). 6 Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 7 Pradnya Wicaksana, “Antropolog UNAIR Soroti Kerusakan Lingkungan Dan Perlawanan Perempuan” (Unair News, 18 Februari, 2022) <http://news.unair.ac.id/2022/02/18/antropolog-unair-soroti-kerusakan-lingkungan-dan-perlawana n-perempuan/> diakses 16 Maret, 2022. 5


siklus menstruasi, dan hingga gejala kanker akibat terekspos dan mengonsumsi air yang tercemar.8 Pola kedua adalah pelanggaran hak perempuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya demi meningkatkan kualitas hidupnya.9 Terpojoknya masyarakat dari lingkungan sendiri akibat aktivitas pertambangan acapkali merusak mata pencaharian mereka, yang lumrahnya adalah bertani dan nelayan. Karena itu, perempuan kini mengemban beban ganda untuk menopang nafkah keluarganya, acapkali di luar persetujuan perempuan itu sendiri mengingat relasi kuasa. Mereka mengadu nasib menjadi buruh di kota (seringkali dengan minim perlindungan hukum), pekerja migran, dan bahkan jatuh ke liang prostitusi dimana perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual. Dampaknya adalah, perempuan terjauhkan dari sumber ekonomi yang stabil karena pertambangan.10 Contoh dari pola ini dapat ditilik dari konflik pertambangan semen di Kendeng, Jawa Tengah.11 Elaborasi pola-pola tersebut menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam konflik pertambangan tidak dapat dilihat secara kasuistik belaka. Melainkan kekerasan tersebut adalah produk dari sistem yang menindas perempuan, sehingga mereka berada dalam kondisi yang termiskinkan dan termarjinalkan.

Inilah

yang

dinamakan

kekerasan

struktural.12

Apabila

dikontekskan dengan HAM, tentu lanskap tersebut merupakan bentuk kegagalan 8

Sri Lestari Wahyuningroem, “Jalan Panjang Keadilan Transformatif: Kebijakan Negara Bagi Perlindungan HAM Perempuan Dalam Konflik Sumber Daya Alam” in Kania Mezariani Guzaimi, Wahyu Wagiman and Vita Rachim Yudhani (eds), Perspektif Gender dan Hak Anak dalam Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Perempuan dan Anak di Bawah Kuasa Korporasi di Indonesia (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat 2020). 301-302 9 Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 10 Komnas Perempuan, “Pencerabutan Sumber-Sumber Kehidupan: Pemetaan Perempuan Dan Pemiskinan Dalam Kerangka HAM” (Komnas Perempuan 2012), hlm. 19-31. 11 Komnas Perempuan, “Isu HAM Perempuan Dalam Konflik Pertambangan: Rencana/Pembangunan Pabrik Semen Di Pegunungan Kendeng Jawa Tengah” (Komnas Perempuan 2019), hlm. 35. 12 Paul Gready and others, “Transformative Justice -A Concept Note” (Worldwide Universities Network 2010) <https://wun.ac.uk/files/transformative_justice_-_concept_note_web_version.pdf>, hlm. 1-2.


pemerintah Indonesia dalam menegakkan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar NRI 1945 (UUD NRI 1945) di sektor pertambangan. Oleh karena itu, elan eradikasi kekerasan struktural terhadap perempuan hendaknya dimaknai untuk mengarahkan hukum pertambangan supaya memiliki kepekaan gender. Disinilah hadirnya prinsip uji tuntas (due diligence) guna melindungi HAM perempuan. Prinsip ini berarti mewajibkan negara untuk menimbang secara menyeluruh dalam sistem hukum serta implementasinya agar tidak menyebabkan pelanggaran HAM, yang dalam konteks ini adalah kekerasan struktural terhadap perempuan.13 Prinsip uji tuntas secara implisit sudah termaktubkan dalam Convention on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW), yang telah diratifikasi oleh Indonesia via Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Di situ negara diwajibkan untuk melakukan seluruh langkah yang tepat (appropriate measures) untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, terutama di aspek hukum yang melegalkan bentuk-bentuk diskriminasi.14 Pengertian diskriminasi terhadap perempuan dalam CEDAW mengalami perluasan via General Recommendation CEDAW Committee No. 19 Tahun 1992. Definisi diskriminasi terhadap perempuan kini juga menginklusikan kekerasan berbasis gender, suatu bentuk kekerasan yang ditujukan pada perempuan karena korbannya adalah perempuan, atau berdampak pada perempuan secara disproporsional. Pemberlakuan uji tuntas dalam sistem hukum kemudian dipertegas dasarnya melalui Declaration on the Elimination of Violence against Women (DEVAW), suatu resolusi non-legally binding untuk memperkuat implementasi CEDAW. Dalam Pasal 4(c) dan 4(g), dihaturkan bahwa negara harus melakukan uji tuntas untuk mencegah, menyelidiki, menghukum pelaku kekerasan berbasis gender, serta memberikan pemulihan bagi korban.

13

Ibid, 299. Pasal 2(e) dan 2(f) Convention on the Elimination of Discrimination against Women (terjemahan bebas), selanjutnya disebut CEDAW 14


Rumusan Masalah 1. Bagaimana realisasi prinsip uji tuntas dalam mekanisme hukum internasional? 2. Apakah sistem hukum di Indonesia sudah selaras dengan realisasi prinsip uji tuntas? Uji Tuntas dalam Hukum Internasional Realisasi prinsip uji tuntas untuk harus memenuhi empat elemen, yakni: pencegahan, perlindungan, penghukuman, dan pemulihan.15 Apabila dikontekskan dengan topik tulisan ini, tujuan realisasi prinsip tersebut adalah untuk mencegah secara efektif16 terjadinya konflik pertambangan yang melahirkan kekerasan struktural terhadap perempuan. ● Pencegahan Pengejawantahan elemen ini adalah, negara harus memformulasikan hukum dengan pendekatan untuk melindungi perempuan dari ancaman kekerasan. 17

Mengingat kekerasan terhadap perempuan di sektor pertambangan berjenis

struktural, politik hukum regulasi pertambangan harus diformulasikan supaya peka gender. Kepekaan tersebut hendaknya diselaraskan pada Pasal 5(a) CEDAW, dimana pola sosial dan budaya atas relasi laki-laki dan perempuan dimodifikasi dengan menghapus pandangan hirarkis dan stereotip terhadap perempuan. Relevansi modifikasi tersebut adalah agar perempuan memiliki ruang partisipasi yang bermakna dalam proses penerbitan amdal dan izin pertambangan. 15

Yakin Ertürk, “The Due Diligence Standard as a Tool for the Elimination of Violence against Woman” par. 38-55 (United Nations Commission on Human Rights 2006) <https://digitallibrary.un.org/record/565946?ln=en> diakses 17 Maret 2022. 16 Radhika Coomaraswamy, “Integration of the Human Rights of Women and Gender Perspective: Violence against Women” par. 53 (United Nations Commission on Human Rights 2000) <https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G00/113/34/PDF/G0011334.pdf?OpenElem ent> diakses 18 Maret 2022. 17 Pasal 4(f) Declaration on the Elimination of Violence against Women, selanjutnya disebut DEVAW


18

Pemberian ini akan berdampak pada pengeluaran kebijakan pertambangan oleh

pemerintah yang lebih peka gender, sehingga kekerasan struktural terhadap perempuan dapat dicegah. Namun perlu dipertegas pula bahwa fokusnya tidak sempit pada ruang partisipasi perempuan saja, melainkan adanya mekanisme hukum pencegah terjadinya potensi degradasi lingkungan.19 Agar menjamin implementasi hukum tersebut, kinerja institusi-institusi negara yang berkelindan di urusan pertambangan harus memiliki kepekaan gender. Oleh karena itu, negara harus aktif memberikan pelatihan terstruktur pada institusi-institusi tersebut.20 Harapannya adalah komitmen politik hukum yang koheren antar institusi untuk mencegah degradasi lingkungan, yang dapat merentankan perempuan menjadi korban kekerasan struktural.21 ● Perlindungan Perlindungan bagi hak perempuan di wilayah pertambangan dalam rangka uji tuntas HAM sebagaimana yang diamanatkan oleh CEDAW semestinya terkandung dalam instrumen negara. Perempuan dinilai memiliki kerentanan untuk mengalami kekerasan dan negara harus memastikan perlindungannya.22 Perlindungan dalam konteks ini kemudian dikukuhkan oleh prinsip-prinsip dalam United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). Bagaimana aspek perlindungan tersebut direalisasikan oleh negara melalui akses terhadap pemulihan yaitu mekanisme pengaduan yang efektif. Mekanisme pengaduan sendiri dapat melalui yudisial, administratif, legislatif, atau cara yang lain.23 Mekanisme pengaduan ada yang berbasis negara maupun tidak berbasis negara. Mekanisme berbasis negara disediakan oleh negara dan dapat dikelola 18

Pasal 8 jo. 14 ayat (2)(a) CEDAW jis. Prinsip 10 Rio Declaration Prinsip 15 Rio Declaration 20 Yakin Ertürk, Op.Cit. para. 44 21 Prinsip 8 United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights, selanjutnya disebut UNGPs 22 Yakin Ertürk, Op.Cit. para. 82 23 Prinsip 25 UNGPs 19


oleh cabang/lembaga negara atau badan independen, seperti lembaga hak asasi manusia nasional, Ombudsman.24 Terkait mekanisme pengaduan dalam konteks perlindungan, negara harus dapat melihat pada kenyataannya perempuan mengalami kerentanan berkali-kali lipat. Sehingga, negara dituntut mampu memastikan aspek legislasi supaya tidak diskriminatif. Lebih lanjut, aspek kebiasaan dan praktik oleh otoritas/lembaga yang berwenang harus memiliki kepekaan gender untuk mencapai perlindungan.25 Misalnya dalam hal pertambangan, perempuan di wilayah pertambangan cenderung akan kehilangan fungsi ekonominya untuk mencari mata pencaharian karena lahan yang digunakan beralih fungsi menjadi pertambangan, selain itu aspek kesehatan perempuan terutama reproduksi turut menjadi terancam, dalam hal ini negara harus dapat memperhatikan hal-hal tersebut dan memastikan hak perempuan atas kesejahteraan dan akses kesehatan yang baik.26 ● Penghukuman Penghukuman kasus kerusakan lingkungan yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan hendaknya harus adil dan efektif. Beberapa indikator dari hal tersebut

adalah jumlah kasus-kasus yang ditangani, dan sejauh mana

keputusan-keputusannya memberi keadilan bagi korban.27 Tentunya, sistem hukum pertambangan perlu memiliki mekanisme sanksi yang efektif baik di aspek administrasi, perdata, maupun pidana. Namun, penegakan sanksi tersebut harus disertai pula dengan kepekaan gender. Palang-palang ketidakpekaan gender harus dibuka oleh negara

melalui

langkah-langkah seperti

formulasi produk

perundang-undangan, serta peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan

Komentar Prinsip 25 UNGPs Yakin Ertürk, Op.Cit. para. 82. 26 Pasal 14 CEDAW 27 Sri Lestari Wahyuningroem, Op.Cit. hlm. 312. 24 25


sistem peradilan. Hal ini agar, elemen penghukuman dapat melahirkan rasa keadilan bagi korban.28 ● Pemulihan Perusahaan bisnis atas pertambangan yang rentan melakukan pelanggaran HAM memiliki tanggung jawab dalam hal penanganan dampaknya terhadap hak asasi manusia melalui proses pemulihan.29 Namun sayangnya, aspek pemulihan sendiri masih belum berkembang baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional.30 Pemulihan di sini berarti suatu proses dalam pemberdayaan korban kekerasan

terhadap perempuan

memperjuangkan

untuk dapat menentukan nasibnya dan

hak-haknya.31 Namun setidaknya aspek pemulihan ini

disinggung dalam UNGPs pada Bab III terkait akses pemulihan. Pemulihan itu sendiri dapat berupa permintaan maaf dari perusahaan terkait, restitusi, rehabilitasi masyarakat terdampak, kompensasi finansial atau non-finansial dan sanksi hukuman baik berupa pidana maupun administrasi serta pencegahan kerugian berupa pencegahan keberulangan.32 Pemulihan ini harus dilakukan secara prosedural dan substantif. Tujuannya supaya dapat memperbaiki suatu dampak dari pertambangan yang telah terjadi dan melanggar hak asasi manusia perempuan.33 Dampak aktual yang telah terjadi dan tidak dapat dicegah ini menjadi subjek pemulihan.34 Hal demikian apabila teridentifikasi sebagai akibat dari kegiatan pertambangan oleh perusahaan sehingga seharusnya Perusahaan memberikan proses pemulihan yang sah.35

28

Prinsip 26 UNGPs Prinsip 15 UNGPs 30 Yakin Ertürk, Op.Cit. para. 55 31 Komnas Perempuan, “13 Pertanyaan Kunci Tentang Pemulihan Makna Luas” (Komnas Perempuan 2007). 32 Komentar Prinsip 25 UNGPs 33 Komentar Prinsip 25 UNGPs 34 Komentar Prinsip 17 UNGPs 35 Prinsip 22 UNGPs 29


Uji Tuntas dalam Sistem Hukum Indonesia: Sudahkah Terejawantahkan? Sayangnya

hukum

pertambangan

di

Indonesia

masih

belum

mengejawantahkan prinsip uji tuntas untuk melindungi HAM perempuan. Kepekaan gender memiliki ruang gerak yang amat sempit, mengingat regulasi pertambangan masih dimotori oleh politik hukum ekstraktivisme. Eksploitasi sumber daya alam yang minim prioritas pada perlindungan lingkungan dan HAM masih dilanggengkan, dengan dalih kemudahan investasi dan pendapatan negara. Gelagat politik hukum tersebut teramplifikasi saat Dewan Perwakilan Rakyat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Perubahan UU Minerba), serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja).36 ● Pencegahan Seperti yang telah dielaborasikan, mencegah kekerasan struktural terhadap perempuan harus mengakomodir dua aspek, yaitu ruang partisipasi bermakna dan komitmen politik hukum peka gender melalui kinerja institusi. Namun, kedua aspek tersebut menjadi tereduksi akibat frasa penormaan yang degradatif dan politik hukum resentralisasi. Ambil contoh adalah Studi Kelayakan, sebuah kegiatan yang dilaksanakan pada tahap eksplorasi pertambangan, dimana ia harus memiliki analisis dampak lingkungan.37 Namun pasca disahkannya UU Cipta Kerja, penyusunan dokumen

36

Jaringan Advokasi Tambang, “Bergerilya Melawan Mesin Ekstraktivisme: Mutasi Kejahatan Negara-Korporasi Dan Babak Baru Jerat Oligarki Tambang” (Jaringan Advokasi Tambang 2020). hlm. 2 & 6-7. (JATAM II) 37 Pasal 1 angka 15, angka 16, dan Pasal 36 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Minerba (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525), selanjutnya disebut Perubahan UU Minerba jo. Pasal 22 ayat (1) dan 23 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059), selanjutnya disebut sebagai UU PPLH.


amdal kini tidak harus melibatkan elemen masyarakat yang terdampak secara tidak langsung dan pemerhati lingkungan, hanya sebatas masyarakat yang terkena dampak secara langsung saja.38 Penyempitan lingkup partisipasi tersebut jelas-jelas bertentangan dengan esensi amdal sebagai proses pengambilan keputusan publik.39 Maksud

dari

penyempitan

lingkup

elemen

tersebut

adalah

pengakomodiran kepentingan korporasi, dimana kesepakatan antara mereka dengan masyarakat dapat lebih mudah titik temunya. Masyarakat acapkali berpandangan

pragmatis

menunggangi pragmatisme

dengan

mengedepankan

kompensasi.40

Padahal

itu akan melahirkan peminggiran partisipasi

perempuan, mengingat sosialisasi mengenai pertambangan hanya melibatkan laki-laki saja. Sehingga, besar kemungkinan bahwa pengeluaran dokumen amdal akan luput mempertimbangkan hubungan perempuan dengan akses sumber daya alam. Bahkan, perempuan tak berdaya untuk mengajukan keberatan atas dokumen amdal, mengingat hak tersebut telah dihapus oleh UU Cipta Kerja.41 Politik hukum resentralisasi juga berdampak pada wewenang penilai amdal, dengan dihapuskannya Komisi Penilai Amdal yang dibentuk pemerintah daerah. Ia diganti dengan Lembaga Uji Kelayakan Lingkungan Hidup yang dibentuk oleh pemerintah pusat, dimana komposisi lembaga tersebut sama sekali tak 38

melibatkan

masyarakat.42

Pelucutan kewenangan masyarakat

untuk

Bandingkan Pasal 26 ayat (3) UU PPLH dengan Pasal 22 angka 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), selanjutnya disebut sebagai UU Cipta Kerja. 39 Hamnah Hasanah and Khairunissa Bella Dina, “Amdal Dalam UU Cipta Kerja: Reduksi Partisipasi Publik Dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” in Totok Dwi Antoro, Grita Anindarini W. and Marsya M Handayani (eds), Antologi Hak Akses Masyarakat dalam Perlindungan Lingkungan Hidup (Indonesian Center for Environmental Law 2021), hlm. 51. 40 Andi Abu Dzar Nuzul, “Eksistensi Asas Partisipatif Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasca Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja” in Totok Dwi Antoro, Grita Anindarini W and Marsya M Handayani (eds), Antologi Hak Akses Masyarakat dalam Perlindungan Lingkungan Hidup (Indonesian Center for Environmental Law 2021). hlm. 6 41 Pasal 26 ayat (4) UU PPLH jo. Pasal 22 angka 5 UU Cipta Kerja 42 Pasal 22 angka 3, angka 8, angka 9, dan angka 10 UU Cipta Kerja


menentukan kelayakan usaha pertambangan, tentu akan berdampak pada amplifikasi peminggiran kepentingan perempuan dalam sektor pertambangan. ● Perlindungan Elemen perlindungan bagi perempuan di wilayah pertambangan dengan kerentanan yang dialami juga kekerasan struktural, masih belum terjawab dalam sistem hukum nasional Indonesia. Aksesibilitas mekanisme pengaduan seharusnya menjadi hal yang mutlak dalam gerbang perlindungan terhadap perempuan. Namun pada Undang-Undang Perubahan Minerba rupanya justru mengalami perubahan yaitu sentralisasi kewenangan pertambangan.43 Hal ini tentu semakin menyulitkan akses perempuan wilayah pertambangan untuk memperjuangkan haknya kepada otoritas yang berwenang. Hal ini tentu tidak sesuai dengan kriteria mekanisme pengaduan yang efektif. ● Penghukuman Seperti yang sudah dijelaskan di atas, perlu ada mekanisme sanksi yang efektif disertai dengan penegakannya yang memiliki kepekaan gender. Namun, problematika dalam sistem hukum Indonesia malah justru terletak pada mekanisme sanksi yang memanjakan kepentingan korporasi, alih-alih rasa keadilan terhadap korban. Ambil contoh adalah kerancuan mekanisme strict liability (tanggung jawab mutlak) dalam mekanisme penyelesaian keperdataan lingkungan hidup akibat UU Cipta Kerja. Doktrin tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai sesuatu yang tidak relevan mutlak dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak.44 Hal ini berarti 43

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, “Menuju 2 Tahun UU Minerba: Puluhan Warga Dikriminalisasi, Jutaan Hektar Lahan Dijarah” (WALHI 9 Maret 2022) <https://www.walhi.or.id/index.php/menuju-2-tahun-uu-minerba-puluhan-warga-dikriminalisasi-ju taan-hektar-lahan-dijarah> diakses 20 Maret 2022. 44 Hario Danang Pambudhi and Ega Ramadayanti, “Menilai Kembali Politik Hukum Perlindungan Lingkungan Dalam Undang-Undang Cipta Kerja Untuk Mendukung Keberlanjutan Ekologis” (2021) 7 Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia hlm. 311.


bahwa dalam gugatan perbuatan melawan hukum, unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat45 melainkan pada pihak tergugat.46 Namun, frasa “tanpa pembuktian unsur kesalahan” dalam Pasal 88 UU PPLH dihapus dalam Pasal 22 angka 33 UU Cipta Kerja. Dalam Pasal 501 ayat (1) jo. Pasal 500 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur bahwa pemberlakuan strict liability dalam hukum perdata hanya saat apabila hasil kesimpulan laporan hasil pengawasan pejabat pengawas lingkungan hidup menyatakan pelaku usaha tidak taat. Kerancuan ini menggeser esensi doktrin pertanggungjawaban mutlak yang tidak perlu menggunakan pembuktian unsur kesalahan. Ia kini hanya dapat dilakukan jika pengawasan sudah menemukan adanya ketidaktaatan yang mana berarti perlu ada pembuktian unsur kesalahan.47 ● Pemulihan Aspek pemulihan terhadap hak perempuan di wilayah pertambangan dalam sistem hukum Indonesia rupanya masih belum mendapatkan sorotan perhatian yang berarti. Konsep pertambangan demikian jelas erat menghantarkan pada kerusakan lingkungan yang berdampak pada hak lingkungan yang sehat dan kesejahteraan terhadap perempuan tidak dibarengi dengan komitmen negara terhadap pemulihan hak-hak perempuan sekitar tambang bahkan aspek pemulihan masih belum diakomodir dalam hukum nasional. Cenderungnya dalam hukum nasional, pemulihan justru didiskreditkan dalam aspek penghukuman. Sehingga dalam konteks pemulihan, negara Indonesia masih belum mumpuni untuk menciptakan sistem pemberdayaan bagi perempuan korban kekerasan dalam pertambangan.

45

Penjelasan Pasal 88 UU PPLH Indonesian Center for Environmental Law, Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (1st edn., Indonesian Center for Environmental Law 2014) <https://icel.or.id/buku/10>, hlm. 213. 47 Hario Danang Pambudhi and Ega Ramadayanti, Op.cit. 46


Kesimpulan Perempuan memiliki kerentanan berkali-kali lipat dalam menghadapi dampak dari pertambangan daripada laki-laki. Hal ini tidak terlepas dari konstruksi dan peran gendernya sebagai perempuan yang berkaitan erat dengan fungsi lingkungan. Keadaan ini menghantarkan perempuan pada pola-pola kekerasan struktural yang tidak terelakkan di wilayah pertambangan. Untuk melindungi HAM perempuan semestinya negara dapat menggunakan prinsip uji tuntas (due diligence) sebagaimana yang telah diamanatkan secara tersirat dalam CEDAW. Prinsip uji tuntas ini setidaknya memuat empat elemen yang memastikan perlindungan HAM bagi perempuan dalam kebijakan negara antara lain adalah: 1) Pencegahan; 2) Perlindungan; 3) Penghukuman; dan 4) Pemulihan. Beberapa instrumen hukum internasional mengejawantahkan prinsip uji tuntas ini, antara lain dalam CEDAW, UNGPs, maupun Deklarasi Rio. Namun dari keempat aspek dalam prinsip uji tuntas, aspek pemulihan menjadi satu-satunya aspek yang kurang berkembang dengan baik. Sedangkan dalam sistem hukum nasional sendiri justru masih belum mampu untuk merealisasikan prinsip uji tuntas bagi perlindungan HAM perempuan. Masih ditemui beberapa dasar hukum masih bersifat problematik dalam Perubahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Alih-alih merealisasikan prinsip uji tuntas, sistem hukum nasional justru menggiring dan mendiskreditkan aspek-aspek yang ada dalam prinsip uji tuntas demi peningkatan pendapatan negara.


Daftar Pustaka Buku Handayani MM and Wongkar EELT, Kertas Kebijakan : Urgensi Peraturan Anti-SLAPP Di Indonesia : Pembelajaran Dari Beberapa Negara (1st edn., Indonesian Center for Environmental Law 2021) <https://icel.or.id/kertas-kebijakan/3> diakses 20 Maret 2022 Hasanah H and Dina KB, “Amdal Dalam UU Cipta Kerja: Reduksi Partisipasi Publik Dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” in Totok Dwi Antoro, Grita Anindarini W. and Marsya M Handayani (eds), Antologi Hak Akses Masyarakat dalam Perlindungan Lingkungan Hidup (Indonesian Center for Environmental Law 2021) Indonesian Center for Environmental Law, Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (1st edn., Indonesian Center for Environmental Law 2014) <https://icel.or.id/buku/10> Jaringan Advokasi Tambang, Oligarki Ekstraktif Dan Penurunan Kualitas Hidup Rakyat (JATAM 2018) Komnas Perempuan, “13 Pertanyaan Kunci Tentang Pemulihan Makna Luas” (Komnas Perempuan 2007)


Nuzul AAD, “Eksistensi Asas Partisipatif Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan

Lingkungan

Hidup

Pasca

Pengesahan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja” in Totok Dwi Antoro, Grita Anindarini W and Marsya M Handayani (eds), Antologi Hak Akses Masyarakat dalam Perlindungan Lingkungan Hidup (Indonesian Center for Environmental Law 2021)

Jurnal Jati

R,

“Partisipasi

Masyarakat

Dalam

Proses

Pembentukan

Undang-Undang Yang Responsif” (2012) 1 Jurnal Rechtsvinding Pambudhi HD and Ramadayanti E, “Menilai Kembali Politik Hukum Perlindungan Lingkungan Dalam Undang-Undang Cipta Kerja Untuk Mendukung Keberlanjutan Ekologis” (2021) 7 Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia 297 Wahyuningroem SL, “Jalan Panjang Keadilan Transformatif: Kebijakan Negara Bagi Perlindungan HAM Perempuan Dalam Konflik Sumber Daya Alam” in Kania Mezariani Guzaimi, Wahyu Wagiman and Vita Rachim Yudhani (eds), Perspektif Gender dan Hak Anak dalam Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Perempuan dan Anak di Bawah Kuasa Korporasi di Indonesia (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat 2020)


Wiratraman HP, “Neo-Liberalisme, Good Governance, Dan Hak Asasi Manusia” (2007) XV Jurnal Hukum Jentera 22

Internet Jaringan Advokasi Tambang, “Siaran Pers: 2020 Adalah Tahun Panen Ijon Politik Tambang, Kriminalisasi Hingga Berujung Bencana” (JATAM,

January

25,

2021)

<https://www.jatam.org/2020-adalah-tahun-panen-ijon-politik-tam bang-kriminalisasi-hingga-berujung-bencana/> diakses 16 Maret 2022 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, “Menuju 2 Tahun UU Minerba: Puluhan Warga Dikriminalisasi, Jutaan Hektar Lahan Dijarah” (WALHIMarch

9,

2022)

https://www.walhi.or.id/index.php/menuju-2-tahun-uu-minerba-pul uhan-warga-dikriminalisasi-jutaan-hektar-lahan-dijarah

diakses

pada 20 Maret 2022 ——, “Menyoal 4 Masalah UU Minerba Yang Merugikan Masyarakat Luas”

(August

23,

2021)

<https://www.walhi.or.id/menyoal-4-masalah-uu-minerba-yang-me rugikan-masyarakat-luas> diakses pada 20 Maret 2022 Wicaksana P, “Antropolog UNAIR Soroti Kerusakan Lingkungan Dan Perlawanan Perempuan” (Unair News, February 18, 2022)


<http://news.unair.ac.id/2022/02/18/antropolog-unair-soroti-kerusa kan-lingkungan-dan-perlawanan-perempuan/> diakses pada 16 Maret 2022

Laporan Coomaraswamy R, “Integration of the Human Rights of Women and Gender Perspective: Violence against Women” (United Nations Commission

on

Human

Rights

2000)

<https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G00/113/34/ PDF/G0011334.pdf?OpenElement>, diakses 18 Maret 2022 Ertürk Y, “The Due Diligence Standard as a Tool for the Elimination of Violence against Woman” (United Nations Commission on Human Rights 2006) <https://digitallibrary.un.org/record/565946?ln=en>, diakses 18 Maret 2022 Gready P and others, “Transformative Justice -A Concept Note” (Worldwide

Universities

Network

2010)

https://wun.ac.uk/files/transformative_justice_-_concept_note_web _version.pdf Indonesian Center for Environmental Law, “Beberapa Kritik Hukum Terhadap Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral Dan Batubara”

(2020)


<https://icel.or.id/wp-content/uploads/Seri-Analisis-ICEL-Minerba. rev1_-Beberapa-Kritik-Hukum.pdf> diakses 16 Maret 2022 Jaringan Advokasi Tambang, “Bergerilya Melawan Mesin Ekstraktivisme: Mutasi Kejahatan Negara-Korporasi Dan Babak Baru Jerat Oligarki Tambang” (Jaringan Advokasi Tambang 2020) Komnas

Perempuan,

“Pencerabutan

Sumber-Sumber

Kehidupan:

Pemetaan Perempuan Dan Pemiskinan Dalam Kerangka HAM” (Komnas Perempuan 2012) ——,

“Isu

HAM

Perempuan

Dalam

Konflik

Pertambangan:

Rencana/Pembangunan Pabrik Semen Di Pegunungan Kendeng Jawa Tengah” (Komnas Perempuan 2019)

Wawancara Jurnal Perempuan, Interview with Siti Maemunah, “Filosofi Tanah Sebagai Tubuh Perempuan: Krisis Lingkungan Akibat Tambang” (2014)


URGENSITAS RATIFIKASI CEDAW MELALUI UNDANGUNDANG NOMOR 7 TAHUN 1984 TERHADAP FEMALE GENITAL MUTILATION Fakhira Dyna Putri Maharani Iksir, Muhammad ‘Ilman Nur’Arif, dan Zevilla Tasyayu Hannana Universitas Airlangga ABSTRAK Adanya globalisasi dan modernisasi yang menyebabkan berkembanganya teknologi tidak ikut merubah pola pikir masyarakat yang sepatutnya semakin maju mengikuti perkembangan, khususnya dalam bidang kesehatan. Salah satu yang menjadi fokus per hatian kami yaitu mengenai seksualitas perempuan, yang mana masih ditemukan praktik Female Genital Mutilation tanpa didasari alasan medis. Female Genital Mutilation (FGM) atau yang bisa disebut sebagai Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) adalah prosedur di mana organ kelamin perempuan dilukai maupun diubah. FGM merupakan salah satu praktik yang sangat berbahaya karena memberikan dampak yang cukup serius seperti masalah kesehatan baik mental maupun fisik, bahkan dapat menyebabkan kematian pada wanita maupun pada anak perempuan. Adanya ratifikasi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) melalui UU No.7 Tahun 1984 dapat dijadikan pedoman pengaturan terhadap perlindungan hak asasi manusia khususnya pada perempuan terkait kekerasan seksual yang menyangkut dengan praktik FGM yang jelas melanggar hak hidup, hak keselamatan, dan hak mendapatkan jaminan kesehatan. Wanita dan anak-anak yang sepatutnya dijaga dan dilindungi tidak sepatutnya mendapatkan perlakuan seperti itu. Sehingga diharapkan pengaturan ini dapat memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan terkait dengan kekerasan seksual yang dialami. Kata

Kunci

:

FGM,

Ratifikasi,

CEDAW,

Kekerasan

Seksual


Pendahuluan I.

Latar Belakang Zaman yang semakin berkembang dan maju seperti sekarang ini pun

tidak menghapus segala bentuk tradisi yang diyakini dan dilestarikan oleh masyarakat. Tradisi yang mengakar kuat, mengaburkan batas-batas antara kekerasan dengan kultur yang dianut. Berbagai tradisi dilaksanakan demi mengikuti apa yang seharusnya dilakukan, sekalipun hal tersebut mengandung makna yang tidak dapat ditolerir oleh hak alamiah manusia. Menjadi sebuah kegelisahan apabila tradisi yang berkembang menjadi penyebab dari dilanggarnya hak hidup, hak keselamatan, dan hak mendapatkan jaminan kesehatan setiap manusia. Selain itu, adanya keterlibatan antara budaya dengan kekerasan terhadap perempuan tentu menjadi penanggungan yang harus dihilangkan. Salah satu kekerasan terhadap perempuan akibat dari tradisi kebudayaan adalah Female Genital Mutilation (FGM) atau yang biasa disebut sebagai sunat perempuan merupakan segala prosedur atau tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan ataupun mengubah seluruh atau sebagian organ genital wanita yang didasari pada alasan-alasan adat, budaya, tradisi, dan agama ataupun alasan di luar kesehatan maupun penyembuhan.1 Dengan definisi di atas dapat dilihat bahwa Female Genital Mutilation sangat rawan dampak negatif yang dirasakan oleh perempuan dan anak. Karena praktik tersebut tidak didasarkan pada medis serta hanya didasari pada alasan adat, budaya, tradisi dan agama. Secara praktik-pun, Female Genital Mutilation dilakukan oleh kalangan non-medis dan penggunaan alat tradisional yang dipertanyakan kehigienisannya. Tidak hanya itu, penangan pasca dilakukannya pemotongan organ genitalia juga tidak dilakukan secara benar menurut medis.

1

Debu Batara lubis: “Female Genital Mutilation: Penghilangan Hak Wanita Atas Tubuhnya” Dalam Sulistyowati Irianto, Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm.490.


Fenomena FGM yang terjadi di indonesia seringkali disebabkan karena adat istiadat dan kepercayaan. Dalam adat istiadat FGM dianggap sebagai suatu cara untuk menjaga martabat sebagai perempuan, alasan kebersihan, serta untuk melindungi martabat keluarga. Namun, dalam kepercayaan masih terdapat perbedaan terkait dengan pelaksanaan FGM ini. Ada beberapa kepercayaan yang menganggap FGM tidak wajib dilakukan, dan hanya diwajibkan apabila seorang perempuan tersebut berkehendak. Selain itu, juga terdapat kepercayaan yang menganggap FGM wajib dilakukan. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dilakukannya FGM terhadap perempuan, kegiatan tersebut termasuk dalam kegiatan yang ilegal. Beberapa negara melarang seseorang baik yang melakukan atau yang membantu untuk melakukan FGM akan mendapatkan sanksi pidana. Adapun bagi seseorang yang terbukti bersalah karena melakukan atau membantu melakukan FGM akan diancam pidana penjara selama 14 (empat belas) tahun penjara serta dikenakan denda.2 Hal tersebut tentunya untuk mencegah masyarakat agar tidak melakukan FGM, mengingat tindakan tersebut sangat berbahaya serta dapat mengancam kesehatan dan keselamatan bagi perempuan. Akibat dari dilakukannya FGM dapat menyebabkan pendarahan, nyeri pada bagian kewanitaan, kista, serta masalah dalam proses melahirkan yang berujung pada kematian. Selain itu, juga mengakibatkan masalah psikologis bagi korban FGM yang mana akan memberikan efek trauma yang berkepanjangan yang dapat menyakiti dirinya sendiri. Oleh karena itu melihat banyaknya masalah yang ditimbulkan dari fenomena FGM ini maka diperlukan payung hukum di indonesia untuk melindungi para perempuan indonesia melalui ratifikasi CEDAW. Female Genital Mutilation merupakan tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang berdasar

kebudayaan sehingga

menyebabkan hilangnya hak perempuan atas tubuhnya. Penerapan FGM 2

Williams Lea, “Informasi Selengkapnya Tentang FGM”, https://assets.nhs.uk/prod/documents/2905953-DH-FGM-Leaflet-Indonesian.pdf , diakses pada 17 Maret 2022.


yang berbahaya dan dipicu oleh alat-alat yang tidak higienis serta non medis, mengakibatkan PBB pada tahun 1970-an mengadakan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women atau CEDAW untuk menindaklanjuti dan menghilangkan kekerasan yang dihadapi

perempuan

serta menciptakan kesetaraan substantif bagi

perempuan yang merupakan salah satu perjanjian hak asasi paling pokok dalam sistem kesepakatan internasional PBB. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Sebagaimana diatur dalam pasal 2f yang menyatakan bahwa, “Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undangundang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturanperaturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap perempuan;”3 yang artinya, negara yang telah meratifikasi CEDAW wajib membuat peraturan yang melindungi perempuan dari adanya diskriminasi dan kekerasan seperti FGM. Serta dalam pasal 5a yang menyatakan bahwa, "Untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan;”4 dengan penjelasan penghapusan praktik yang berdasarkan inferioritas dan superioritas salah satu jenis kelamin. Konvensi ini merupakan tindakan untuk memperbaiki kondisi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan serta perlindungan kesehatan fungsi reproduksi perempuan. Dalam pasal 28 H ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan

3

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979. 4 ibid


keadilan.”5 perlakuan khusus yang dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah adanya ratifikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women atau CEDAW ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

II.

Rumusan Masalah 1. Bagaimana praktik Female Genital Mutilation (FGM) yang terjadi di Indonesia? 2. Apakah ratifikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women atau CEDAW diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi perempuan di indonesia?

C. Dasar Hukum 1. Convention

on

the

Elimination

of

all

Forms

of

Discrimination against Women (CEDAW) 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tanggal 24 Juli 1984,

tentang

Penghapusan

Pengesahan

Segala

Bentuk

Konvensi

Mengenai

Diskriminasi

Terhadap

Perempuan.

Analisis 1. Bagaimana praktik Female Genital Mutilation (FGM) di Indonesia? Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Tak heran, dengan luasnya bentang alam di Indonesia ini membuat kita semua hidup dalam keberagaman. Tak terkecuali terkait dengan adat istiadat. Banyak sekali adat istiadat dan tradisi di indonesia yang mana setiap adat istiadat ini mencerminkan ciri khas masing-masing daerahnya. Namun, tentunya tidak semua adat istiadat di Indonesia dapat menjamin 5

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945


keselamatan masyarakat Indonesia. Banyak sekali tradisi ekstrem yang dapat

mengancam

kesehatannya.

Salah satu

yang menjadi

topik

permasalahan dalam artikel ini adalah praktik Female Genital Mutilation atau singkatnya FGM. Pada kenyataannya FGM juga cukup banyak terjadi di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang melakukan praktik FGM antara lain provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Di Indonesia praktik FGM seringkali disebut sunat perempuan. Indonesia menempati urutan keempat dari 26 negara yang masih mempraktikkan sunat perempuan (FGM). Dalam praktiknya, fenomena sunat perempuan di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara dunia, khususnya Afrika yang mana praktik FGM paling banyak dan masif di dunia. Praktik sunat perempuan di Indonesia biasanya dilakukan pada seorang perempuan pada rentang usia 18 tahun atau tergantung pada adat istiadat masing-masing daerah. Bagi sebagian besar masyarakat, praktik sunat perempuan dilandasi oleh alasan budaya dan ekonomi. Ditinjau dari landasan budaya, latar belakang dilakukannya praktek sunat perempuan tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan di negara-negara lain. Beberapa alasan yang paling banyak dipaparkan adalah masalah kebersihan. Fenomena FGM seringkali dikaitkan dengan proses pembersihan bagi seorang perempuan. FGM dianggap sebagai cara untuk meningkatkan kesehatan dan kesuburan perempuan, yang mana hal tersebut akan berdampak pada saat akan melahirkan seorang anak. Namun demikian hal tersebut hanyalah kepercayaan masyarakat setempat saja, dimana masih belum dapat dibuktikan secara medis terkait hal tersebut. Selain itu, apabila ditinjau dari perspektif ekonomi, praktik sunat perempuan merupakan mata pencaharian bagi tenaga ahli yang melakukannya. Seperti contoh bagi bidan-bidan atau tenaga medis di rumah sakit. Dalam hal ini profesi sebagai tenaga kesehatan dalam sunat perempuan merupakan pekerjaan yang diwariskan

secara

turun

temurun

yang

berfungsi

sebagai

sarana

penghidupan. Apabila praktik sunat perempuan dihilangkan, maka akan


mematikan pendapatan ekonomi bagi orang-orang yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan dalam sunat perempuan. Praktik FGM di Indonesia umumnya dilakukan oleh non-medis atau biasa dikenal dengan dukun bayi. Dalam prosesnya, dukun bayi menggunakan pisau tajam untuk memotong ujung organ kelamin perempuan dan hanya diberikan ramuan herbal serta diiringi doa-doa. Hal ini masih diterapkan dan dilestarikan di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Kabupaten Serang. Menurut salah satu dukun di Serang, Ibu Minah. Sunat pada anak perempuan dilakukan agar organ kelamin tidak menonjol sehingga mengakibatkan kesusahan dalam melahirkan ataupun hanya untuk buang air kecil.6 Terdapat beberapa tipe FGM yang dilakukan, yakni a. Tipe 1, pemotongan klitoris perempuan sebagian atau seluruhnya; b. Tipe 2, pemotongan klitoris dan labia kecil sebagian atau seluruhnya; c. Tipe 3, pemotongan organ kelamin perempuan baik sebagian maupun seluruhnya serta menjahit kedua tepi hingga menyisakan lubang kecil; d. Tipe 4, semua tipe melukai lainnya (memotong, menggores, membakar, meregangkan, dan menusuk organ kelamin perempuan)7

2. Apakah

ratifikasi

CEDAW

diperlukan

untuk

memberikan

perlindungan hukum bagi perempuan di Indonesia? Hukum adalah alat yang sangat amat diandalkan dalam mengatur kehidupan manusia, khususnya terhadap perempuan. Cukup banyak kasus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dalam segala bentuk, baik verbal maupun fisik. Salah satu contohnya adalah Female Genital Mutilation atau FGM. FGM telah menjadi kegelisahan internasional, sehingga PBB melihat ini sebagai permasalah yang harus dituntaskan setiap 6

siti fauziyah, 'View Of Tradisi Sunat Perempuan Di Banten Dan Implikasinya Terhadap Gender, Seksualitas, Dan Kesehatan Reproduksi' (103.20.188.221, 2017) <http://103.20.188.221/index.php/tsaqofah/article/view/3381/2495> accessed 20 March 2022. 7 Williams Lea (Assets.nhs.uk, 2016) <https://assets.nhs.uk/prod/documents/2905953DH-FGM-Leaflet-Indonesian.pdf> accessed 20 March 2022.


negara dan keikutsertaan setiap negara dalam pencegahan diskriminasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Oleh karena itu, PBB membentuk sebuah konvensi internasional, yakni, CEDAW. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau yang biasa disebut sebagai CEDAW adalah konvensi internasional yang berfokus pada isu hak asasi perempuan, khususnya pada penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konsekuensi dari peratifikasian CEDAW bagi negara negara yang menandatangani adalah negara

anggota harus membuat laporan

pelaksanaan pencegahan diskriminasi terhadap perempuan kepada Komite CEDAW di PBB. Di Indonesia, ratifikasi CEDAW dibutuhkan untuk pertimbangan hakim dalam penanganan atau pembelaan perempuan di persidangan. Hal ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 24 Juli 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Sebagai Negara yang telah meratifikasi, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan seluruh hak asasi perempuan seperti yang tercantum dalam konvensi tersebut. Seperti yang telah diketahui, praktik FGM telah menimbulkan banyak kerugian di dunia, tak terkecuali bagi perempuan. Hal-hal yang mendasari mayoritas sebagai bentuk pembersihan dan penyucian terhadap perempuan. Yang menjadi persoalan adalah mengapa dalam hal ini yang menjadi objek pembersihan dan penyucian hanyalah perempuan saja. Tentunya hal tersebutlah yang menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan yang mana telah melanggar hak-haknya dalam mendapatkan kesehatan dan keselamatan. Mengingat praktik FGM tidak jarang menimbulkan kematian akibat komplikasi yang ditimbulkan, sehingga hal tersebut tentunya masih belum menjamin keselamatan perempuan. Perlindungan hukum atas kasus kekerasan terhadap perempuan belum mendapatkan perhatian yang maksimal baik dari pemerintah, masyarakat maupun aturan hukum yang ada. Maka dari itu, diperlukan sebuah payung


hukum yang dapat melindungi hak-hak perempuan dari sikap diskriminasi yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatannya. Dengan ratifikasi CEDAW, diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi perempuan indonesia bahwa perempuan berhak atas keselamatan hidup dan berhak untuk tidak diperlakukan secara diskriminasi. Sehingga dengan adanya CEDAW sebagai payung hukum dapat mencegah perempuan dari praktik FGM yang mana dapat mengancam kesehatannya. Selain itu, bagi perempuan yang terikat dengan adat istiadat untuk melakukan FGM, maka CEDAW diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk menjamin keselamatan agar tidak terjadi masalah kesehatan yang timbul akibat praktik ini.

Penutup Adat istiadat yang berkembang di Indonesia serta percampuran antara kebudayaan dan agama menghadirkan beberapa praktik yang relevan dengan tindakan diskriminasi dan kekerasan, terlebih untuk perempuan dan anak. Tentu hal tersebut telah melanggar hak-hak dasar yang dimiliki manusia dan warga negara. Dalam hal ini pemerintah ikut bertanggung jawab agar pemenuhan hak-hak warga negara dapat terjamin. Tindakan diskriminasi dan kekerasan tidak dapat dibenarkan meskipun hal tersebut sudah mengakar kuat, karena hal tersebut menyangkut hak hidup setiap manusia. Indonesia telah mengakui adanya hak-hak dasar setiap warga negara di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga diharapkan pemerintah menjadikan konstitusi tersebut menjadi acuan dalam pemenuhan hak-hak warga negara Indonesia. Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women atau CEDAW ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Meskipun sudah diratifikasi peraturan perundang-undangan yang ada masih perlu ditinjau kembali agar prinsip yang terkandung dalam CEDAW dapat diterapkan


secara penuh. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya praktik Female Genital Mutilation atu FGM di Indonesia, terlebih pengaturan serta pelarangan dari praktik FGM yang masih belum diatur dalam hukum nasional. Kekosongan dan ketidakpastian hukum yang mengatur FGM mengakibatkan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak menjadi kabur. Oleh karena itu, konstruksi hukum diperlukan agar hak-hak perempuan dan anak terjamin. Dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia membentuk peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan agama dan budaya serta dimuatnya pelarangan praktik FGM. Adanya Sanksi apabila praktik FGM dilakukan juga harus dicanangkan. Sosialisasi mengenai

praktik

FGM

kepada

masyarakat

untuk

meningkatkan

pengetahuan dan kesadaran dampak FGM agar tidak terjadi pemotongan genitalia tanpa dasar medis. Hal ini juga berlaku bagi tenaga kesehatan agar tidak melakukan pemotongan organ genital perempuan dan meningkatkan keilmuan

terkait

dampak

dari

FGM.


Daftar Pustaka

Buku Debu Batara lubis: “Female Genital Mutilation: Penghilangan Hak Wanita Atas Tubuhnya” Dalam Sulistyowati Irianto, Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm.490.

Artikel/Internet siti fauziyah, 'View Of Tradisi Sunat Perempuan Di Banten Dan Implikasinya Terhadap Gender, Seksualitas, Dan Kesehatan Reproduksi' (103.20.188.221, 2017)

Williams Lea (Assets.nhs.uk, 2016) <https://assets.nhs.uk/prod/documents/2905953-DH-FGM-LeafletIndonesian.pdf> accessed 20 March 2022.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979.


Efektivitas Perjanjian Internasional yang Telah Diratifikasi di Indonesia dalam Ranah Kekerasan Seksual Devita, Safira Aulia Pramudita, dan Gospel Bulo Pasulu (Universitas Airlangga) I.

Abstrak Tindak kekerasan seksual yang dialami oleh masyarakat di Indonesia menunjukan angka yang signifikan dari waktu ke waktu. Tindakan ini tidak pandang bulu baik korban, maupun pelakunya yang terdiri dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari usia anak-anak, dewasa, lansia, maupun dari tingkatan ekonomi rendah hingga tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh lapisan masyarakat memiliki potensi untuk mengalami tindakan ini jika tidak ada payung hukum yang kuat dalam melindungi prevensi atau represi dari tindakan tersebut. Payung hukum tersebut tidak hanya bersumber dari hukum nasional saja, perspektif perjanjian internasional juga memiliki andil yang masif untuk memenuhi kebutuhan prevensi dan represi dalam tindakan kekerasan seksual di Indonesia. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, KEPPRES No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak), dan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi HakHak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak merupakan beberapa perjanjian internasional yang berkenaan dengan kekerasan seksual yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun, seperti yang diketahui bersama, dominasi kekerasan seksual di Indonesia masih menjadi salah satu permasalahan utama dalam pelanggaran hak asasi manusia yang belum bisa ditangani secara maksimal. Maka dari itu, kami selaku penulis, bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan tersebut untuk mengetahui efektivitas dan evaluasi ketidakmaksimalan penerapan perjanjian internasional berbasis kekerasan seksual di Indonesia. Kata Kunci: Perjanjian Internasional, Kekerasan Seksual, Hak Asasi Manusia.

II.

Pendahuluan 1.1. Latar Belakang; WHO sebagai badan kesehatan dunia mendefinisikan kekerasan seksual sebagai segala perilaku atau tindakan yang dilakukan dengan sasaran seksualitas atau organ seksual seseorang dengan memuat unsur ancaman ataupun paksaan dan hal tersebut dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan orang yang dituju. Dalam menghadapi kasus tersebut, diperlukan adanya tindakan prevensi dan juga represi untuk mencegah ataupun menindaklanjuti adanya kasus kekerasan seksual tersebut. Tindakan tersebut, bisa bersumber dari penetapan regulasi yang kuat sebagai langkah yang tepat. Regulasi tersebut bisa bersumber dari internal


maupun eksternal Indonesia. Bentuk regulasi eksternal yang bisa diterapkan adalah perjanjian internasional. Perjanjian Internasional adalah satu dari sekian banyak sumber hukum nasional Indonesia. Dalam hal ini Indonesia perlu untuk meratifikasi perjanjian internasional sebelum disahkan dan digunakan sebagai basis dari hukum nasional sebagaimana diatur di dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Ratifikasi atau pengesahan merupakan penguatan suatu perjanjian internasional yang dilakukan oleh wakil negara yang turut serta dalam perundingan.1 Salah satu hal dalam perjanjian internasional yang disahkan oleh Undang- Undang adalah hak asasi manusia. Menurut hukum

internasional

kekerasan

seksual

merupakan

salah

satu

pelanggaran berat dari hak asasi manusia karena merupakan bentuk dari perusakan harkat kemanusiaan seseorang. Berdasarkan data-data yang dihimpun oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2018, dari tahun ke tahun kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat. Pada Tahun 2017 kekerasan seksual di Indonesia meningkat sebesar 73% dari tahun sebelumnya. Angka tersebut menginjak 348.446 dari tahun sebelumnya yang mencapai 259.150, hal ini menunjukkan semakin gawatnya kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Angka tersebut hanyalah hasil penghimpunan dari para korban kekerasan seksual yang melapor di luar sana masih banyak sekali korban yang tidak memiliki keberanian untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi kepada mereka. Penyumbang angka terbesar dalam kekerasan seksual berasal dari ranah komunitas yang kemudian diikuti oleh ranah personal dan ranah kekerasan seksual di tempat kerja.2 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (P.T. Alumni 2019. 2 Noviani, Utami Zahirah, Rifdah Arifah, Cecep, Sahadi Humaedi, "Mengatasi dan Mencegah Tindak Kekerasan Seksual pada Perempuan Dengan Pelatihan Asertif" (2018) Jurnal Penelitian& PPM. 1


Angka kekerasan seksual di masa pandemi pun masih stagnan dan tidak menunjukkan kurva yang melandai, namun aduan yang diterima Komnas Perempuan menurun dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini diprakarsai karena adanya kesulitan dalam mengakses laporan ke Komnas Perempuan dikarenakan penyesuaian sistem akibat pandemi, sehingga banyak informasi yang tidak tersampaikan dan menghambat pengetahuan korban untuk melapor. Ditambah dengan kemungkinan pelaku merupakan orang terdekat yang menyebabkan pelaku dan korban berada dalam satu lingkungan yang sama dan mobilitas terbatas karena adanya pandemi sehingga menyebabkan korban merasa terintimidasi untuk melaporkan perbuatan kekerasan seksual yang dialaminya. Tingginya tingkat kasus kekerasan seksual dan pelaku tindak kejahatan tersebut, tentu saja dilatar belakangi oleh banyak faktor yang berbeda-beda. Menurut hasil penelitian, riwayat kekerasan seksual di masa lalu, kelainan seksual, pengawasan orang tua korban yang kurang merupakan faktor-faktor penyebab pelaku melakukan kekerasan seksual. Pelaku juga terkadang melihat dari cara berpakaian korban untuk melakukan hal tersebut. Teknologi dan juga masifnya peredaran narkoba saat ini juga merupakan pemicu tambahan seseorang melakukan tindakan kekerasan seksual.3 Adapun faktor utama lain, rendahnya tingkat edukasi mengenai reproduksi dan seksual sehingga tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai hal tersebut, nutrisi fisik hormon dan psikologis yang menyebabkan tingginya dorongan seksual yang bisa disebabkan oleh mudahnya pengaksesan video pornografi, dan semacamnya, post trauma karena telah mengalami hal serupa di masa lampau, serta lingkungan mencontohkan maupun mendorong untuk melakukan hal serupa. Maka dari itu, untuk menekan tingginya tingkatan kekerasan seksual di

3

Faktor-Faktor Penyebab Melakukan Kekerasan Seksual Terhadap Korban Kekerasan Seksual Dampingan Pusat Layanan Informasi I dan Pengaduan Anak (PUSPA) di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan


Indonesia, diperlukan regulasi yang mengatur secara komprehensif terkait hal tersebut.

1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana peran pemerintah dalam hal mengimplementasikan hasil dari Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi di Indonesia dalam ranah kekerasan seksual? 2. Bagaimana dampak dari peratifikasian perjanjian internasional dalam ranah kekerasan seksual di Indonesia? 3. Bagaimana tingkat efektivitas perjanjian internasional dalam hal kekerasan seksual yang ada di Indonesia?

1.3. Dasar Hukum Penelitian menggunakan beberapa dasar hukum positif yang berlaku di Indonesia adapun diantaranya sebagai berikut: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 2. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child (Konvensi Tentang Hak Anak- Anak)

III. Analisis 3.1 Peran pemerintah dalam hal pengimplementasian hasil dari Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi di Indonesia dalam ranah kekerasan seksual Kekerasan seksual merupakan salah satu jenis kekerasan yang melanggar moral serta hukum bahkan dapat melukai secara fisik dan psikologis. Kekerasan ini sangat sering terjadi di kehidupan sehari- hari, baik di lingkungan pekerjaan, keluarga, maupun masyarakat yang tidak memandang gender, baik wanita maupun


pria, dapat menjadi korban dari tindak kekerasan seksual. Korban dari tindak pidana ini juga dapat terjadi kepada anak- anak, remaja, maupun orang dewasa. Pemerintah merupakan regulator utama dalam hukum di Indonesia yang sangat berpengaruh dalam proses penegakkan keadilan dan perlindungan hukum. Secara umum pemerintah mengatur hukuman pidana terhadap para pelaku kekerasan seksual di dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Namun, karena banyaknya jenis kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, pemerintah mengambil langkah untuk membentuk lembaga-lembaga khusus sebagai penunjang aturan umum yang ada. Salah satu mekanisme nasional khusus yang dibentuk untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang didirikan pada tahun 1998. Dalam misi penegakan hukum yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, lembaga ini menggunakkan beberapa konvensi atau perjanjian internasional sebagai pijakan kerja, yaitu: -

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).

-

CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) merupakan sebuah perangkat

Internasional yang telah diratifikasi oleh

Indonesia yang bertujuan untuk mengeliminasi seluruh bentuk diskriminasi yang terjadi kepada perempuan. -

Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi menentang Penyiksaan dan Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan lainnya (CAT).

-

Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.


-

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.

-

Konvensi Internasional Perlindungan Terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa.4 Selain itu, dengan diratifikasinya CEDAW melalui Undang-

Undang No. 7 Tahun 1984, Indonesia wajib mengimplementasikan CEDAWS’ General Recommendation No 19 yang diperbaharui oleh CEDAWS’

General

Recommendation

No

35.

General

Recommendation atau rekomendasi umum CEDAW yang dalam kata lain merupakan sebuah amanah wajib bagi pemerintah untuk melaksanakan langkah-langkah yang tertulis di dalamnya dalam mengatasi segala kekerasan berbasis gender secara tepat dan efektif5. Salah satu langkahnya dengan membuat sebuah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan serta penganiayaan, pemerkosaan, penyerangan atau pelecehan secara seksual dan bentuk-bentuk lain kekerasan berbasis gender disertai dengan perlindungan serta pelayanan dan pemulihan yang harus disediakan bagi korban. Komnas Perempuan juga mencatat sejumlah kemajuan dari bidang peraturan perundang- undangan yaitu dengan disahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa jumlah kekerasan di ranah personal mencatat bahwa

Sejarah Komnas Perempuan adalah Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan, 19-07-2020, https://komnasperempuan.go.id/sejarah (Diakses pada 13-03-2022). 5 Majni, Ferdian Ananda, 37 Tahun Ratifikasi Cedaw, Indonesia Wajib Penuhi Hak Korban Pemerkosaan, Media Indonesia, 23-07-2020, https://mediaindonesia.com/humaniora/420495/37-tahun-ratifikasi-cedawindonesia-wajib-penuhi-hak-korban-pemerkosaan (Diakses pada 14-03-2022). 4


Kekerasan Terhadap Istri (KTI) mencapai sejumlah 3.221 kasus atau 50% dari kasus yang ada. 6 Indonesia tidak hanya meratifikasi konvensi internasional mengenai segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau CEDAW, tetapi juga konvensi hak anak atau The World Convention on the Rights of the Child 1989 yang diratifikasi oleh Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child. Isi dari Konvensi tentang Hak- Hak Anak yang mengatur tentang hak setiap anak tanpa melihat jenis kelamin, asal usul bangsa dan negara, serta SARA, antara lain: -

Hak anak atas kelangsungan hidup atau survival rights, yang meliputi hak untuk mempertahankan hidup, hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan terbaik.

-

Hak anak untuk mendapatkan perlindungan yang terdiri atas perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, disktimanis atau ketidakadilan, kekerasan serta perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana.

-

Hak anak untuk berkembang yang terdiri atas hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, mendapat informasi, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak anak cacat atas pelayanan, perlakuan, pendidikan yang khusus, serta waktu luang.

-

Hak anak untuk berpartisipasi yang meliputi hak bebas untuk menyatakan pendapat yang berpengaruh terhadap dirinya, berkumpul, dan berserikat.

Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-19, CATAHU 2021: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020, (Jakarta: Maret 2021). 6


3.2 Dampak dari peratifikasian perjanjian internasional dalam ranah kekerasan seksual di Indonesia Kekerasan seksual merupakan kasus yang menjadi polemik dari waktu ke waktu, pasalnya kasus ini tidak pernah menunjukan kurva yang melandai maupun menurun, namun malah menunjukkan hal yang sebaliknya yaitu meningkat. Tentu saja, hal ini bisa menimbulkan dampak negatif untuk korban, baik dari segi kesehatan fisiologis, psikologis, sosial, maupun emosional. Adapun secara fisiologis bisa memberikan dampak berupa luka pada fisik, terjadinya kehamilan, penularan pernyakit seksual, dsb. Secara emosional juga bisa menimbulkan rasa malu terhadap diri sendiri, menyalahkan diri sendiri (bersalah), dsb. Ada dampak secara psikologis yaitu berupa post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi, kecemasan, penurunan self-esteem, simtom obsesifkompulsif, dan lain-lain.7 Serta dalam lingkungan sosial, bisa jadi korban disisihkan dan dipandang sebelah mata, hal ini terjadi karena minimnya edukasi mengenai hal tersebut, bahwa seharusnya korban mendapatkan

dukungan

dari

lingkungan

sekitarnya

untuk

memulihkan trauma yang ia dapatkan. Hal ini perlu ditelusuri lebih lanjut, apa yang menyebabkan pelaku bisa melakukan perbuatan kekerasan seksual terhadap korban. Ternyata ketika ditelusuri ada beberapa faktor, baik internal maupun

eksternal

dari

pelaku

sebagai

motif

yang

ia

melatarbelakangi mereka dalam tindakan kekerasan seksual seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang sebelumnya bahwa salah satu faktor utamanya adalah lemahnya regulasi yang mengatur terkait kekerasan seksual.

Essah Margaret Sesca & Hamidah, “Post Traumatic Growth pada Wanita Dewasa Awal Korban Kekerasan Seksual” (2018) Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. Vol. 7 No. 3. 7


Pemerintah sendiri telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional dan nasional yang di dalamnya mengandung unsur larangan terhadap tindakan kekerasan seksual, hal ini sebagai langkah pertama dan juga penunjang regulasi lainnya. Dalam hal ini dicontohkan bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mempidanakan dan mengklasifikasikan setiap bentuk aktivitas seksual yang dilakukan dengan seseorang sebagai tindak pidana ke pada anak yang dikategorikan sebagai seseorang yang berumur di bawah 18 tahun. Kemudian dampak dalam penerbitan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child (Konvensi Tentang Hak Anak- Anak) adalah hak anak-anak yang lebih terjamin dan dalam konteks ini di ranah seksualnya, walaupun tidak bisa memberantas angka kasusnya, namun dengan penetapan konvensi ini setidaknya mengatur kejelasan dalam topik terkait yaitu adalah hak anak. Hal inilah yang kemudian perlu untuk dilanjutkan oleh pemerintah, yaitu instrumen regulasi pendamping yang mendetail dalam setiap lini korban. Tindakan kekerasan seksual, semakin berkembang dalam perjalanannya. Yang awal mulanya hanya bisa dilakukan secara tatap muka (baik secara fisik maupun verbal) dan saat ini, pelaku bahkan bisa melakukan tindakan kekerasan seksual melalui platform digital, atau seringkali kita sebut dengan KBGO atau Kekerasan Berbasis Gender Online, contoh kasus: Ancaman seksual, porn revenge, dsb. Tentu saja hal ini sangat mengkhawatirkan karena dapat mempermudah akses pelaku dalam menjalankan aksinya. KBGO pun masih belum diatur mendetail dalam regulasi. Belum lagi saat ini Indonesia juga masih menggunakan KUHP sebagai salah satu pasal pidana tindak kekerasan seksual yang tertuang dalam Pasal 285 KUHP yaitu berupa perkosaan, dalam hal ini


KUHP hanya menyebutkan bahwa pemerkosaan merupakan kegiatan penetrasi dari penis ke vagina dengan kekerasan ataupun ancaman, dalam unsur kasus ini maka untuk hal di luar yang diatur semisal penetrasi tidak menggunakan penis atau tindakan kekerasan lainnya, maka tidak bisa ditindaklanjuti melalui pasal ini dan korban pun tidak bisa mendapatkan keadilan dan mengklaim haknya melalui pengadilan. Hal tersbut bertentangan dengan General Recommendation No. 33 CEDAW yang memberikan keadilan bagi korban dalam segi sosial, ekonomi maupun psikis, meskipun hal ini sifatnya adalah rekomendasi maka seharusnya bisa dipertimbangkan lebih lanjut untuk kemashalatan banyak orang. Pengaturan KBGO, dicanangkan akan tertuang dalam RUU PKS, sehingga hal inilah salah satu faktor sangat diperlukannya disahkannya instrumen hukum nasional baik yang bersumber dari internal yaitu dari pengesahan RUU PKS ataupun eksternal berupa ratifikasi ILO 190 yang memuat kepentingan dalam melindungi hak pekerja agar tidak dilecehkan ataupun mengalami kekerasan di dunia pekerjaan.

3.3 Tingkat efektivitas Perjanjian Internasional dalam hal kekerasan seksual yang ada di Indonesia Indonesia dalam hal kekerasan seksual telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional dalam hal kekerasan seksual yaitu: CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, KEPPRES No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak), dan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak- Hak Anak Mengenai Penjualan Anak,


Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Namun meskipun Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional di bidang kekerasan seksual tetapi dapat diketahui juga bahwasannya kekerasan seksual di lingkungan masyarakat saat ini masih sangat masif. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk meninjau tingkat efektivitas dari perjanjian Internasional di bidang kekerasan seksual yang ada di Indonesia. Dalam hal mengukur tingkat efektivitas suatu perjanjian internasional yang telah diratifikasi adalah mengetahui tingkat keberhasilan serta tingkat ketidakberhasilan dari peratifikasian suatu perjanjian internasional tersebut kemudian dapat dilakukan perbandingan

pada

keduanya

sehingga

kemudian

dapat

menyimpulkan apakah peratifikasian dari perjanjian internasional tersebut dapat dikatakan telah efektif atau tidak serta dapat memberikan rekomendasi mengenai langkah-langkah apa sajakah yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menangani kekerasan seksual yang ada. CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Perjanjian ini diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984. Ratifikasi Konvensi CEDAW di Indonesia terlihat dengan adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).8 Pada UU No. 7 Tahun 1984 tersebut menjelaskan mengenai prinsip kesetaraan gender atau asas persamaan antara pria dan wanita yang dalam konvensi ini masih perlu disesuaikan kembali dengan keadaan kehidupan masyarakat, budaya, adat, nilai-nilai, serta norma keagamaan yang berlaku di Indonesia. Hal positif yang perlu

8

Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, APIK, hlm. 19


diketahui dalam penerapan prinsip yang ada di UU No. 7 Tahun 1984 akibat peratifikasian Konvensi CEDAW adalah adanya penyamarataan pemenuhan hak di seluruh lapisan masyarakat yang ada baik Pria maupun Wanita. Berbicara mengenai tingkat keberhasilan dari peratifikasian Konvensi CEDAW terdapat beberapa salah satunya adalah adanya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ketentuanketentuan pengaturan dari tiap-tiap pasal CEDAW salah satu peraturan perundang-undangan tersebut adalah Keputusan Presiden 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang kemudian ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden No. 65 tahun 2005. Adapun Implementasi dari Konvensi CEDAW ialah mengatasi KDRT melalui Komnas Perempuan yang secara konkritnya hal ini dilakukan dengan berbagai cara seperti Perumusan UU PKDRT, menerbitkan Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan setiap tahunnya, meningkatkan mitra penyedia layanan seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Lembaga Advokasi dalam penanganan dan perlindungan korban KDRT, memberikan Laporan Independen kepada Komite CEDAW terkait pelaksanaan CEDAW di Indonesia. Komite CEDAW dapat memberikan rekomendasi terkait pelaksanaan CEDAW apabila diperlukan, dan lain sebagainya. Perlu diketahui dalam pengaturan UU PKDRT pasal 1, terdapat pengertian “kekerasan dalam rumah tangga”, yang dalam perumusannya juga telah mempertimbangkan ketentuan- ketentuan sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 CEDAW tentang “diskriminasi”, beserta rekomendasinya (Butir ke-6 Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993 tentang Kekerasan terhadap Perempuan), dengan jelas menunjukkan hubungan satu dengan yang lain saling berkaitan dalam menjabarkan bentuk kekerasan terhadap perempuan atau


kekerasan berbasis gender adalah tindakan diskriminasi. Dalam hal ini perumusan UU PKDRT tersebut merupakan bentuk dari implementasi CEDAW melalui Komnas perempuan. Berdasarkan perumusan tersebut adapun tujuan akhirnya adalah untuk memajukan perjuangan dalam melawan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta pemenuhan hak-hak perempuan korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Dibalik keberhasilan dari peratifikasian Konvensi CEDAW terdapat ketidakberhasilan yang cukup ironi yaitu masih maraknya kekerasan seksual di Indonesia hal ini ditunjukkan dengan adanya perolehan data akhir dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang mencatat sebanyak 8.800 kasus kekerasan seksual terjadi dari Januari hingga November 2021. Komnas Perempuan mencatat ada 4.500 aduan terkait kekerasan seksual yang masuk mulai dari periode Januari hingga Oktober 2021.9 Ketidakberhasilan Indonesia dalam pengimplementasian dari peratifikasian Konvensi CEDAW adalah tidak adanya seperangkat pengaturan yang mengatur secara spesifik berkenaan dengan kekerasan seksual padahal kondisi penegakan hukum dan juga pembelaan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Dapat diketahui juga pada Konvensi CEDAW memuat jaminan bagi perempuan melalui penghapusan segala bentuk kekerasan dan juga diskriminasi yang berbasis gender. Pengesahan RUU PKS inilah yang merupakan suatu langkah tepat bagi Indonesia untuk mengatasi permasalahan mengenai kekerasan seksual dan juga jaminan bagi perempuan, penghapusan segala bentuk kekerasan, serta diskriminasi berbasis gender karena

9

Marak Kekerasan Seksual Sepanjang 2021 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211223151929-20-737872/marakkekerasan-seksual-sepanjang-2021/2 (Diakses 10 Maret 2022)


didalamnya memuat hal tersebut. Namun dapat diketahui bahwasannya Pengesahan terkait RUU PKS masih belumlah sampai pada titik final yang mana dalam hal ini masih belum disahkan. Indonesia dapat dikatakan telah terikat komitmen untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, hal tersebut dikarenakan Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW. Komisioner Komisi Perempuan, Theresia Iswarini juga mengatakan bahwa sebagai konsekuensinya, Indonesia harus segera menerapkan hukum positif yang spesifik agar tidak dipermalukan oleh dunia Internasional, karena Indonesia juga akan dimintai pertanggungjawaban salam sesi sidang tersendiri oleh Panitia CEDAW.10 Pernyataan tersebut juga terkait dengan General Recommendation No. 35 CEDAW yang memperbaharui general recommendation No.19 CEDAW mengenai gender-based violence against women yang menyatakan bahwa Indonesia sudah seharusnya memiliki regulasi yang spesifik dan mendetail yang mengatur mengenai kekerasan terhadap perempuan. Maka dari itu, pengesahan RUU PKS dapat dikatakan sebagai

salah

satu

indikator

untuk

menilai

keberhasilan

pengimplementasian perjanjian internasional dan juga indikator tingkat efektivitas dari peratifikasian perjanjian internasional berbasis kekerasan seksual yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan penerapan perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia belum mencapai tingkat efektivitas yang diharapkan sebab Indonesia belum memiliki instrumen yang mengatur secara khusus mengenai kekerasan seksual yang dalam hal ini terdapat dalam RUU PKS.

10

Komnas Perempuan: Sahkan RUU PKS atau Risiko Dipermalukan di Dunia Internasional https://magdalene.co/story/komnas-perempuan-sahkan-ruupks-atau-risiko-dipermalukan-di-dunia-internasional accesed 12 Maret 2022


IV. Penutup Kekerasan seksual merupakan polemik yang berkepanjangan di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang memiliki tingkat kasus kekerasan seksual yang tinggi, telah melakukan berbagai upaya dalam menekan angka kasus tersebut, termasuk dalam membentuk lembaga independen sebagai pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi pemenuhan hak perempuan korban berupa Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pembentukan hukum nasional yang berasal dari baik internal maupun eksternal yang berupa peratifikasian perjanjian internasional berupa Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child, dan perjanjian penunjang lainnya, namun pada realitasnya seluruh upaya ini masih belum efektif untuk menekan angka kasus kekerasan seksual. Langkah efektif yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam menakan angka kasus kekerasan seksual dan juga mencegah terjadinya lebih banyak kekerasan seksual yang terjadi yaitu dengan melakukan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan ILO 190 sebagai penjunjang dari RUU PKS itu sendiri di dalam dunia pekerjaan, sehingga terdapat pengaturan yang rigid mengenai larangan terhadap terjadinya kekerasan seksual di seluruh kalangan, baik laki-laki maupun perempuan dan memberi payung hukum yang kuat terhadap korban.


V. Daftar Pustaka Buku: Katjasungkana Nursyahbani & Liza Hadiz, Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, (APIK), hal. 19. Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (P.T. Alumni 2019) hal. 130.

Makalah/Artikel: Aisyah, Poetri Azela, ‘Faktor-Faktor Penyebab Melakukan Kekerasan Seksual Terhadap Korban Kekerasan Seksual Dampingan Pusat Layanan Informasi I dan Pengaduan Anak (PUSPA) di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan’ (2017) Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara (RI-USU), hal. 2. Essah Margaret Sesca & Hamidah, ‘Post Traumatic Growth pada Wanita Dewasa Awal Korban Kekerasan Seksual’ (2018) Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. Vol. 7 No. 3. hal.7. Noviani, Utami Zahirah, dkk, "Mengatasi dan Mencegah Tindak Kekerasan Seksual pada Perempuan Dengan Pelatihan Asertif" (2018) Jurnal Penelitian & PPM. hal 49. Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-19, CATAHU 2021: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020, (Jakarta: Maret 2021), hal. 13.

Peraturan Perundang-Undangan: Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak)


Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak- Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Undang- Undang No. 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi menentang Penyiksaan dan Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan lainnya

Internet Majni, Ferdian Ananda, 37 Tahun Ratifikasi Cedaw, Indonesia Wajib Penuhi Hak Korban Pemerkosaan, Media Indonesia, 23-07-2020, https://mediaindonesia.com/humaniora/420495/37-tahun-ratifikasicedaw-indonesia-wajib-penuhi-hak-korban-pemerkosaan (Diakses pada 14-03-2022). Sejarah Komnas Perempuan adalah Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia, Komnas

Perempuan,

19-07-2020,

https://komnasperempuan.go.id/sejarah (Diakses pada 13-03-2022). Unicef, "Convention On The Rights of The Child", 15-03-2006, https://www.unicef.org/child-rights-convention/convention-text (Diakses pada 13-03-2022).


URGENSI PEMBENTUKAN PERATURAN KEKERASAN BERBASIS GENDER ONLINE (KBGO) DENGAN BERLANDASKAN PRINSIP-PRINSIP CEDAW GUNA MENCIPTAKAN RUANG SIBER YANG AMAN BAGI PEREMPUAN Kirani Bararah, Anik Setyawati, Krisna Angela Universitas Airlangga ABSTRAK Saat ini, isu kekerasan seksual masih hangat diperbincangkan di kalangan masyarakat. Mengingat kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Terlebih di tengah pesatnya arus globalisasi yang menyebabkan kekerasan seksual ini merambah hingga di dunia maya, sehingga mengancam hak asasi manusia. Hal ini didukung dengan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021 yang menyatakan bahwa pada masa pandemi, kasus Kekerasan Berbasis Gender Online ini meningkat tajam. Di sisi lain, Indonesia masih belum memiliki peraturan yang secara komprehensif melindungi masyarakat dari ancaman KBGO. Walaupun, Indonesia telah memiliki beberapa peraturan, seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang mengatur terkait permasalahan kekerasan berbasis gender, tetapi peraturan tersebut masih belum melindungi masyarakat sepenuhnya dari KBGO. Pada realitanya, Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, sehingga Indonesia berkewajiban untuk menyelaraskan amanat dari CEDAW ke dalam hukum nasional. Berdasarkan hal tersebut, penulis hendak menganalisis terkait perlindungan hukum KBGO di Indonesia serta implementasi nilai-nilai CEDAW ke dalam hukum nasional guna melindungi masyarakat terutama perempuan dari ancaman KBGO. Metode penelitian yang digunakan adalah metode normatif yuridis dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum memiliki payung hukum yang mampu menangani permasalahan KBGO, sehingga diperlukan pembentukan peraturan khusus yang mengatur terkait KBGO. Oleh karena itulah, Indonesia selaku negara yang meratifikasi CEDAW dapat mengimplementasikan nilai CEDAW ke dalam hukum nasional untuk melindungi masyarakat dari ancaman KBGO. Kata Kunci: KBGO, CEDAW, Hukum Nasional.


A. PENDAHULUAN I.

Latar Belakang Perkembangan teknologi yang terjadi telah membawa banyak manfaat bagi

kehidupan manusia. Dengan teknologi yang ada saat ini terbukti dapat memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas. Namun, perkembangan teknologi yang terjadi juga membawa dampak negatif bagi masyarakat. Salah satunya yaitu terkait ancaman kekerasan berbasis gender online (KBGO). Kekerasan berbasis gender online (KBGO) merupakan kekerasan berbasis gender yang mana dilakukan kepada seseorang dengan menggunakan fasilitas teknologi dan bertujuan untuk melecehkan korban berdasarkan gender. 1 Di tengah masa pandemi ini, pola kehidupan masyarakat turut berubah. Masyarakat lebih sering melakukan interaksi antara satu dengan yang lainnya menggunakan fasilitas teknologi. Ditambah lagi Indonesia kini memiliki berbagai fasilitas yang dapat memudahkan masyarakat untuk mengakses internet, sehingga masyarakat dapat dengan mudah berinteraksi melalui media sosial. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki pengguna media sosial sangat banyak, mencapai 170 juta orang.2 Maraknya penggunaan sosial media tentu memperbanyak peluang terjadinya kekerasan berbasis gender online (KBGO). Mengingat kekerasan berbasis gender online ini dilakukan melalui platform media sosial, seperti Twitter, Instagram, Facebook, Whatsapp, dan platform lainnya. Dampak dari KBGO ini dapat berupa dampak fisik, psikis, hingga sosial yang mana sangat merugikan korban. Pada hakikatnya, semua orang memiliki hak untuk mendapatkan rasa aman. Dengan maraknya peristiwa KBGO tentu dapat mempersempit ruang aman bagi masyarakat terutama perempuan. Dalam mengatasi hal tersebut tentu diperlukan suatu aksi yang nyata dalam memberantas KBGO itu sendiri. Selain itu, dibutuhkan instrumen-instrumen hukum yang mana dapat melindungi masyarakat terutama perempuan dari ancaman KBGO. Pada realitanya,

1 Restu Adya & Mustaghfiri Asror. “Krisis Pandemi dan Maraknya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)”.https://rhknowledge.ui.ac.id/id/articles/detail/krisis-pandemi-danmaraknya-kekerasan-berbasis-gender-online-kbgo-002f98. Diakses [10/03/2022]. 2 Nur Hayati. Media Sosial dan Kekerasan Berbasis Gender Online Selama Pandemi Covid19. Jurnal Humaya. Vol.1, No.1. 2021. Hlm.43-52.


Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai pelindung masyarakat terutama perempuan dari segala bentuk kekerasan terutama kekerasan berbasis gender. Hal ini seperti yang telah tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, dan lain-lain. Namun, aturan-aturan tersebut masih belum efektif dalam mencegah dan melindungi masyarakat terutama perempuan dari ancaman KBGO. Hal ini dibuktikan dengan kekerasan berbasis gender online (KBGO) ini terus terjadi. Bahkan pada tahun 2020, kasus kekerasan berbasis gender online mencapai 940 kasus.3 Angka tersebut menunjukkan adanya kenaikan yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya yang mencapai 241 kasus. Hal ini menandakan bahwa payung hukum yang ada di Indonesia masih belum maksimal dalam melindungi masyarakat terutama perempuan dari ancaman KBGO. Selain itu, kondisi pandemi seperti sekarang ini terdapat

banyak peluang bagi pihak-pihak yang tidak

bertanggung jawab untuk melakukan kekerasan berbasis gender online kepada seseorang. Indonesia merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi International Conventionon Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (ICEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Sebagai negara yang meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelaraskan hukum-hukum nasionalnya dengan nilai-nilai atau cita-cita dari CEDAW itu sendiri. Berdasarkan mandat rekomendasi umum Nomor 19 yang telah diperbarui dengan rekomendasi umum nomor 35 mengamanatkan bahwa pemerintah harus melaksanakan langkah-langkah yang tepat dalam mengatasi segala bentuk kekerasan berbasis gender, tak terkecuali kekerasan berbasis gender online.4 Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum kekerasan berbasis gender online di Indonesia dan implementasi prinsip-prinsip yang tertuang di dalam CEDAW ke dalam hukum 3

Ibid. Ferdian Ananda M. “37 Tahun Ratifikasi CEDAW, Indonesia Wajib Penuhi Hak Korban Pemerkosaan”.https://m.mediaindonesia.com/humaniora/420495/37-tahun-ratifikasi-cedawindonesia-wajib-penuhi-hak-korban-pemerkosaan. Diakses pada [10/03/2022]. 4


nasional yang bertujuan untuk melindungi masyarakat terutama perempuan dari ancaman KBGO. II.

Rumusan Masalah 1) Bagaimana pengaturan hukum terkait KBGO di Indonesia? 2) Bagaimana manifestasi CEDAW ke dalam Hukum Nasional Indonesia guna mencegah KBGO?

III.

Dasar Hukum Hukum Nasional 1) UUD NRI Tahun 1945 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 5) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 6) Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Hukum Internasional 1) Rekomendasi Umum No. 35 tentang Kekerasan Berbasis Gender. 2) Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women.

B. ANALISIS I.

Pengaturan Hukum Terkait KBGO di Indonesia

KBGO merupakan kekerasan berbasis gender online yang mana tentunya dilakukan menggunakan media non langsung. Berdasarkan data yang rangkum dari YLBH APIK Jakarta, ditemukan 9 (sembilan) bentuk kekerasan seksual berbasis online yang mana digunakan untuk mengancam korban agar mau mengikuti keinginan pelaku, di antaranya : 5 5 Sri Wiyanti Eddyono dan Fatkhurozi, ‘Kekerasan Seksual Berbasis Online dan Perlindungan Korban: Pentingnya Pengaturan Hukum yang Komprehensif dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual’ Kertas Kebijakan (YLBH APIK Jakarta atas dukungan Rutgers, 2021). [5 – 10].


1. Perekaman gambar (foto dan video) bermuatan kesusilaan tanpa seizin korban; 2. Ancaman penyebaran suara dan/atau gambar (foto dan video) korban yang bermuatan kesusilaan; 3. Ancaman penyebaran informasi dan dokumen elektronik korban yang bermuatan kesusilaan; 4. Modifikasi gambar (foto dan video) korban menjadi bermuatan pornografi; 5. Pelecehan seksual secara online (melalui suara, tulisan, foto, video, emoji, atau simbol lainnya yang bermuatan pornografi); 6. Distribusi dan penjualan gambar (foto dan video) korban yang bermuatan kesusilaan tanpa seizin korban; 7. Eksploitasi seksual berbasis online; 8. Perundungan seksual secara berulang melalui media elektronik yang mana ditujukan untuk mempermalukan, membalas dendam, menyampaikan rasa tidak suka, hingga menjerumuskan korban untuk melakukan tindakan seksual; 9. Penguntitan di dunia maya yang bernuansa seksual, sehingga menimbulkan rasa tidak aman, takut, dan terganggu pada diri korban. Nyatanya, konstitusi secara tegas telah mengatur terkait hak atas rasa aman dari ancaman dan mendapatkan perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dikuasainya sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 G ayat (1) UUD NRI 1945.6 Jaminan rasa aman dan perlindungan ini berkaitan dengan kasus KBGO yang merebak dan meresahkan kaum perempuan, sehingga menimbulkan rasa takut dan terancam bagi para korban. Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 9 ayat (2), Pasal 30, dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pun juga turut menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup aman, bahagia, damai, tentram, dan sejahtera lahir batin. 7 Rasa aman yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya secara fisik saja, tetapi juga

6

Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165). 7


secara psikologis. Mengingat KBGO ini bukan serta merta menyerang korban secara fisik, melainkan mengena psikis korban. Indikator terkait rasa aman ini sendiri dipengaruhi oleh adanya atau tidaknya rasa takut dan ancaman bagi korban. Penilaiannya pun memang terkesan subjektif yang mana hanya dapat diketahui oleh korban KBGO dan para ahli kejiwaan (psikolog atau psikiater). Berkaitan dengan kekerasan seksual berbasis online, Indonesia sendiri telah mengatur di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang mana dalam Pasal 1 angka 1 mengartikan pornografi sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya yang memuat pelanggaran atas kesusilaan dan seksualitas melalui berbagai media komunikasi dan/atau pertunjukkan. Bila merujuk pada hukum positif ini, fokus pada pihak yang menampakan secara eksplisit ketelanjangan dan alat kelamin, mengeksploitasi aktivitas seksual, atau menawarkan layanan seksual sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 jo. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. 8 Sisi positifnya, tiap kejahatan tersebut telah memiliki konsekuensi pidana masing-masing layaknya telah diatur dalam Pasal 29 – Pasal 38 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Akan tetapi, UU ini belum mengatur aspek penting dalam KBGO, yakni terkait penyebaran gambar (foto dan video) korban bermuatan kesusilaan, sehingga mengancam dan menimbulkan rasa takut pada korban. Mengingat aspek penting dari KBGO adalah media online yang mana meliputi pendistribusian, perundungan seksual, penguntitan atau spamming online, hingga eksploitasi seksual secara online. Selain itu, Indonesia juga melakukan transformasi terhadap UU ITE yang mana memuat substansi berkaitan dengan KBGO. Tepatnya dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini telah diatur terkait tindak pidana pendistribusian dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik bermuatan hal 8

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 181).


yang melanggar kesusilaan.9 Berdasarkan pasal tersebut, dapat diartikan bahwa pihak yang menyebarkan gambar (foto dan video) korban bermuatan kesusilaan akan digolongkan ke dalam tindak kejahatan, sehingga akan dikenakan pidana. Akan tetapi, pengaturan dalam UU ITE ini masih dalam lingkup luas atau umum. Di sisi lain, fokus utama dari KBGO ini adalah perempuan yang mana sering kali menjadi korban KBGO. Oleh karena UU ITE ini masih belum berperspektif gender, maka akan menimbulkan multitafsir yang menyebabkan kekaburan hukum. Hingga pada akhirnya, korban KBGO tidak dapat menegakkan haknya dan KBGO akan terus merajalela. Menghadapi hal tersebut, pemerintah Indonesia turut mengupayakan jalan lain melalui aturan yang masih tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU PKS ini resmi termasuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak akhir Maret 2021 silam. Dalam Pasal 12 dan Pasal 13 RUU PKS ini diatur terkait pelecehan seksual, baik secara fisik, maupun non-fisik, sehingga mengakibatkan korban merasa terhina, terintimidasi, direndahkan, malu, dan terancam agar korban mau menuruti keinginan untuk memenuhi hasrat pelaku. 10 RUU ini merupakan salah satu langkah baik dari pemerintah dalam melindungi dan menjamin hak korban KBGO. RUU ini juga telah memuat segala kebutuhan korban KBGO, seperti hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan korban sebagaimana diatur dalam Pasal 22 RUU PKS. Oleh karena RUU ini memiliki poin lebih karena mengatur secara khusus terkait pelecehan seksual, maka diperlukan adanya pendalaman dan penyempurnaan terkait aspek pelanggaran seksual secara onlinenya. II.

Manifestasi CEDAW ke dalam Hukum Nasional Guna Mencegah KBGO Pasal 17 CEDAW menyatakan bahwa untuk pelaksanaan Konvensi, perlu

dibentuk Komite CEDAW, yang mulai sekarang disebut sebagai Komite. 11 Komite

9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 251). 10 Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan 11 Pasal 17 Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women


Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melibatkan para ahli independen yang memantau pelaksanaan CEDAW. 12 Pada 14 Juli 2017 silam, Komite telah mengeluarkan Rekomendasi Umum No. 35 tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan, memperbarui Rekomendasi Umum No. 19 yang mengakui pelecehan dunia maya. Rekomendasi Umum No. 35 adalah kesadaran Komite CEDAW terhadap kejahatan di ruang siber. 13 Rekomendasi Umum Nomor 35 ini memperluas definisi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dengan menambahkan bahwa pelecehan seksual dapat terjadi di mana pun, seperti ruang publik, lingkungan pendidikan, layanan kesehatan, tempat kerja, politik, rekreasi, olahraga, hingga lingkungan bermediasi teknologi internet dan dunia maya sebagaimana tertuang dalam Pasal 20. Selain itu, untuk mencegah kasus-kasus yang berkaitan dengan pelecehan seksual, CEDAW mengakui kewajiban langsung negara pihak, negara pihak mana yang harus mengambil tindakan yang tepat. Tepatnya dalam Pasal 26 Rekomendasi Umum Nomor 35 yang menyatakan bahwa segala lapisan masyarakat berkewajiban untuk mencegah pelecehan seksual melalui penghapusan prasangka, stereotip, dan praktik yang menjadi akar dari pelecehan seksual terhadap perempuan. Menurut pasal ini, Negara Pihak harus membuat aturan tentang pelecehan dunia maya, karena sebagai perjanjian internasional, CEDAW tidak memiliki landasan hukum untuk menghukum para pelaku kejahatan. Langkah-langkah yang tepat dari Negara Pihak disediakan di tingkat legislatif, tingkat eksekutif, dan tingkat yudikatif untuk membuat unit hukuman. Komite juga menyarankan agar Negara Pihak mengambil langkah-langkah pencegahan, perlindungan, penuntutan, hukuman, dan ganti rugi untuk mempercepat penghapusan pelecehan dunia maya. Tujuan dari kewajiban ini adalah untuk melindungi perempuan dari pelecehan dunia maya. Selain membuat aturan tentang pelecehan dunia maya, Pasal 29 Rekomendasi Umum juga mengatur bahwa Negara Pihak harus memastikan aturan tersebut berjalan dengan benar. 14 Diskriminasi terhadap perempuan di semua

12 13 14

Ibid.

Ibid. Rekomendasi Umum No. 35 tentang Kekerasan Berbasis Gender


bidang, termasuk dunia maya, dikriminalisasi dan diperkenalkan tanpa henti dan memberikan hukuman hukum yang sepadan. Selain bagi korban dan penyintas pelecehan dunia maya, semua sistem hukum harus memastikan perlindungan mereka. Pasal 40 Rekomendasi Umum no 35 merupakan salah satu bentuk perlindungan bagi perempuan. 15 Dalam Pasal ini, perempuan dilindungi dan dibantu dalam pelapor dan saksi pelecehan dunia maya sebelum, selama, dan setelah proses pengadilan, termasuk: 1. Melindungi privasi dan keamanan Rekomendasi Umum No. 35 menyatakan bahwa Negara Pihak memastikan bahwa para korban, penyintas, dan saksi pelecehan dunia maya harus dilindungi dari privasi dan keamanan mereka.16 Perlindungan tersebut termasuk melalui prosedur dan tindakan pengadilan yang peka gender. 2. Memberikan perlindungan yang layak untuk mencegah potensi kekerasan Rekomendasi Umum ini menyatakan bahwa Negara Pihak memastikan perlindungan yang dapat diakses dari peralatan untuk mencegah potensi kekerasan bagi korban pelecehan dunia maya. Ini termasuk perlindungan segera yang melibatkan tindakan efektif jika sesuai, seperti pemantauan penggusuran, perlindungan korban, penahanan atau keadaan darurat korban, larangan perintah yang bertentangan dengan tersangka pelaku, termasuk hukuman yang memadai untuk ketidakpatuhan. 3. Memberikan bantuan hukum yang murah dan berkualitas tinggi Negara pihak menjamin akses bagi korban untuk mendapatkan bantuan hukum yang berkualitas tinggi dengan biaya yang murah. Hal ini untuk memudahkan korban melaporkan kasus pelecehan siber. Seperti yang kita ketahui, permasalahan dari kasus cyberbullying adalah minimnya pelaporan. Berdasarkan Rekomendasi Umum ini, negara pihak harus menyediakan sistem hukum terbaik untuk memberikan biaya rendah untuk proses hukum kasus pelecehan dunia maya. 17

15

Ibid. Ibid. 17 Ibid. 16


4. Menetapkan mekanisme rujukan multi-sektoral yang tepat Negara pihak harus menerapkan instrumen rekomendasi multisektoral yang tepat untuk memastikan akses yang memadai bagi perempuan yang selamat terhadap layanan inklusif. Ini juga memastikan kontribusi dengan organisasi non-pemerintah perempuan untuk memudahkan perempuan untuk melaporkan kasus mereka.

Semua perlindungan perempuan dalam Pasal ini yang harus dijamin oleh Negara Pihak. Kewajiban negara pihak CEDAW tidak hanya untuk memastikan hukum perempuan yang dilindungi bekerja dengan benar, tetapi juga memastikan bahwa perempuan bisa mendapatkan perlindungan sebelum, selama dan setelah proses hukum kasus pelecehan dunia maya. Pasal 44 Rekomendasi Umum No. 35 CEDAW juga mengatur perlindungan perempuan, di mana Negara Pihak menjamin akses yang memadai bagi para korban untuk membawa kasus mereka ke pengadilan dan tribunal. 18 Hal ini juga untuk memastikan kekuatan yang cukup untuk menanggapi kasus-kasus pelecehan dunia maya, termasuk penerapan hukum pidana dan hukum domestik oleh Negara Pihak. Apalagi membawa tersangka ke pengadilan secara adil, efisien, ekspedisi, tidak memihak, dan menjatuhkan hukuman yang setimpal. Rekomendasi umum No. 35 merupakan kesadaran Komite CEDAW terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ruang siber. Ini juga merupakan dampak buruk dari perkembangan teknologi. 19 Perlindungan CEDAW juga tertuang dalam Rekomendasi Umum No. 35.20 Dengan kata lain, Rekomendasi Umum No. 35 memberikan kewajiban kepada Negara Pihak untuk membuat regulasi tentang kekerasan berbasis gender, termasuk kasuskasus pelecehan dunia maya. Pengaturan ini menjadi kewenangan hukum domestik Negara Pihak itu sendiri, karena sebagai Traktat Internasional, CEDAW tidak dapat memberikan hukuman kepada pelakunya. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk

18

Ibid. Ibid. 20 Ibid. 19


mengurangi jumlah kasus pelecehan dunia maya terhadap perempuan. Seluruh ketentuan perlindungan dalam Rekomendasi Umum No. 35 merupakan bukti bahwa ia mengatur kasus-kasus pelecehan dunia maya. 21 Meskipun tidak ada pernyataan khusus dalam CEDAW yang mengacu pada pelecehan dunia maya, namun hal itu sudah tercantum dalam Rekomendasi Umum No. 35 tentang Kekerasan Berbasis Gender, yang memperbaharui Rekomendasi Umum No. 19.22 Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dalam Pasal 6 CEDAW mengatur tentang perlindungan perempuan dari pelecehan seksual yang harus dipenuhi oleh Negara Pihak.23 Perlindungan Negara Pihak akan diwujudkan dengan mengambil segala tindakan yang tepat, termasuk legislasi untuk menekan kasus mengenai pelecehan siber. Rekomendasi Umum No. 35 dalam Pasal 40 (e) telah menyatakan kewajiban negara pihak untuk membentuk dan menerapkan mekanisme rujukan multi-sektoral yang tepat untuk memastikan akses yang efektif bagi perempuan untuk melaporkan kasus-kasus tentang diskriminasi. Selain itu, berdasarkan perspektif CEDAW, diakui bahwa pelecehan dunia maya merupakan bagian dari pelanggaran terhadap perempuan. Perlindungan perempuan di Indonesia tidak bisa langsung melindungi dengan menggunakan CEDAW, karena sebagai Traktat internasional, CEDAW diartikan sebagai softlaw. Soft-law adalah hukum yang tidak ada ketentuan hukuman di dalamnya. Untuk melindungi hak perempuan, CEDAW membutuhkan Undang-undang lain. Di Indonesia, ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dapat digunakan untuk mengadili pelaku pelecehan siber, karena berdasarkan perspektif CEDAW; pelecehan dunia maya adalah kekerasan terhadap perempuan. Namun, tetap diperlukan suatu peraturan baru yang lebih komprehensif dalam mengatur dan melindungi masyarakat terutama perempuan dari ancaman KBGO.

21 22

Ibid. Ibid.


C. PENUTUP Kesimpulan Seiring dengan perkembangan teknologi yang kian masif, masyarakat kini dihantui dengan maraknya aksi KBGO yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang mana hal ini dapat mengusik hak atas rasa aman masyarakat dalam menggunakan teknologi. Pada realitanya, konstitusi secara tegas telah mengatur terkait hak atas rasa aman dari ancaman dan mendapatkan perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dikuasainya sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 G ayat (1) UUD NRI 1945. 24 Selain diatur di dalam konstitusi, hak atas rasa aman juga diatur di dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Terkait perlindungan kekerasan berbasis gender online, di Indonesia telah terdapat beberapa peraturan seperti Undang-Undang 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Namun, peraturan tersebut masih kurang melindungi masyarakat terutama dari ancaman KBGO itu sendiri. Untuk mencegah kasus-kasus yang berkaitan dengan pelecehan seksual, CEDAW memberikan kewajiban langsung kepada negara pihak guna mengambil tindakan yang tepat. Negara Pihak harus membuat aturan tentang pelecehan dunia maya guna melindungi masyarakat dari ancaman KBGO. Langkah-langkah yang tepat dari Negara Pihak disediakan di tingkat legislatif, tingkat eksekutif, dan tingkat yudikatif untuk membuat unit hukuman. Komite juga menyarankan agar Negara Pihak mengambil langkah-langkah pencegahan, perlindungan, penuntutan, hukuman, dan ganti rugi untuk mempercepat penghapusan pelecehan dunia maya. Tujuan dari kewajiban ini adalah untuk melindungi perempuan dari pelecehan dunia maya. Selain membuat aturan tentang pelecehan dunia maya, Pasal 29 Rekomendasi Umum juga mengatur bahwa Negara Pihak harus memastikan aturan tersebut berjalan dengan benar.

24

Pasal 28 G ayat (1) UUD NRI 1945


Rekomendasi Kasus Kekerasan Gender Berbasis Online merupakan salah satu kasus kekerasan yang kerap kali menimpa perempuan di dunia siber. Hal ini menyebabkan perempuan sulit untuk menemukan ruang aman bagi mereka. Dalam mengatasi hal tersebut diperlukan upaya yang konkret. Pemerintah dalam hal ini diharapkan dapat membuat regulasi yang mengatur dan melindungi masyarakat terutama perempuan dari ancaman KBGO. Sebagai negara yang meratifikasi CEDAW, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menaati nilai-nilai yang ada di dalam CEDAW. Salah satu amanat dari CEDAW yaitu setiap negara yang meratifikasi harus membuat peraturan yang dapat melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan berbasis gender online.


DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165). Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 181). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 251). Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Sumber Lainnya Ferdian Ananda M. “37 Tahun Ratifikasi CEDAW, Indonesia Wajib Penuhi Hak KorbanPemerkosaan”.https://m.mediaindonesia.com/humaniora/420495/3 7-tahun-ratifikasi-cedaw-indonesia-wajib-penuhi-hak-korbanpemerkosaan. Diakses pada [10/03/2022]. Nur Hayati. Media Sosial dan Kekerasan Berbasis Gender Online Selama Pandemi Covid-19. Jurnal Humaya. Vol.1, No.1. 2021. Hlm.43-52. Restu Adya & Mustaghfiri Asror. “Krisis Pandemi dan Maraknya Kekerasan Berbasis

Gender

Online

(KBGO)”.

https://rhknowledge.ui.ac.id/id/articles/detail/krisis-pandemi-danmaraknya-kekerasan-berbasis-gender-online-kbgo-002f98.

Diakses

[10/03/2022]. Sri Wiyanti Eddyono dan Fatkhurozi, ‘Kekerasan Seksual Berbasis Online dan Perlindungan Korban: Pentingnya Pengaturan Hukum yang Komprehensif dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual’ Kertas Kebijakan (YLBH APIK Jakarta atas dukungan Rutgers, 2021).


PERLINDUNGAN HUKUM PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK OLEH PELAKU SESAMA JENIS Nandira Ayu Nur Ittaza Fakultas Hukum Universitas Airlangga ABSTRAK Salah satu masalah yang dihadapi oleh anak saat ini ialah bagaimana harus membaurkan diri dengan lingkungan di sekitar nya yang nampak menjurus terhadap hal-hal yang negatif. Salah satunya ialah pelecehan seksual sesama jenis yang disalurkan atau dilakukan kepada anak dibawah umur terutama dilakukan oleh sesama jenis. Begitu maraknya pelecehan sesksual yang dialami anak yang menafsirkan bahwa kebebasan seksual sesama jenis merupakan hal yang wajar pelaku lakukan. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh berbagai perlindungan hukum terutama pelecehan seksual. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya perlindungan hukum yang dapat dilakukan korban anak-anak terhadap pelaku pelecehan seksual sesama jenis. Berbagai pelecehan seksual yang dialami oleh anak-anak seringkali dilakukan oleh orang dewasa yang menggangap dirinya memiliki power yang kemudian digunakan untuk melakukan pelecehan terhadap anak-anak yang dianggap lemah. Korban Pelecehan seksual Sebagian besar ialah anak-anak dan masih berstatus sebagai pelajar. Kondisi ini menunjukkan bahwa anak rentan menjadi korban pelecehan seksual dan dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap psikologis anak yang menyebabkan mereka cenderung menyendiri bahkan dikucilkan dalam pergaulan masyarakat dan menyalahkan dirinya sendiri serta trauma yang berkepanjangan. Oleh karena itu dalam penjatuhan hukuman sanksi kepada pelaku bisa memberikan efek jera tetapi tetap tidak melanggar hak-hak pelaku agar tercapainya tujuan dari hukum pidana itu sendiri. Kata kunci : Pelecehan Seksual, Anak, Sesama Jenis


BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pelecehan seksual pada anak merupakan masalah yang besar dan tidak dapat disepelekan. Untuk menciptakan rasa yang tentram, aman dan tertib maka dibuat sebuah aturan hukum yang harus ditaati oleh masyarakat luas. Dalam kasus-kasus yang sering terjadi dimasyarakat pelecehan sesksual marak terjadi tetapi bagaimana bila hal tersebut dilakukan oleh sesama jenis. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan pandangan orang terkait dengan bidang kehidupan seksual ditinjau dari segi pandangan manapun lebih tepat nya pada segi pandangan masyarakat setempat ataupun segi kebiasaan masyarakat. Secara umum bahwa anak yang menjadi korban pada tindakan pelecehan seksual tidak memandang oleh perbedaan jenis kelamin, perempuan ataupun laki-laki. Jika kita melihat semua ini pendidikan reproduksi dini berkaitan yang menjadi penyebab terjadinya pelecehan sesksual sesama jenis terhadap anak yang mengeyampingkan banyak hal.1 Perhatian kita sebagai warga negara Indonesia dan Negara ini terhadap anak dalam menagani permasalahan anak memang sudah jelas sebagaimana yang telah dituangkan dalam UUD 1945. Dalam Pendidikan nasional saat ini harus dapat menciptakan generasi penerus yang memiliki moral, jujur serta memiliki akhlak yang mulia. Masalah pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi pada masyarakat sejak dulu hingga sekarang terus menjadi pandangan khalayak umum. Di imbangi dengan kemajuan teknologi yang semakin meningkat membuat kita tau akan semua hal lewat media massa bahwa diketahui setiap hari kejahatan pelecehan seksual terhadap anak sesama jenis terjadi dengan berbagai bentuk kejahatanya. Begitu pula dengan pelaku nya yang pada hakikatnya siapa saja dapat melakukan tindakan pelecehan seksual sesama jenis terhadap anak tidak memandang jenis kelamin dan usia. Para pelaku ini akhirakhir ini meresahkan masyarakat. Pemerintah harus dapat memberikan perlindungan pada anak-anak untuk mengetahui dan memperhatikan fenomena 1

Dewa Fiska Simbolon, ‘Minimnya Pendidikan Reproduksi Dini Menjadi Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual Antar Anak’ (2018), 1 Soumatera Law Review. [2].


yang sekiranya relevan dan memamg memilki peran penting dalam persoalan terkait perlindungan anak. Ketika anak nantinya telah menjadi korban dalam pelecehan seksual sesama jenis berhak jika dirahasiakan karena mereka juga berhak mendapatkan bantuan hukum serta bantuan lainnya. Hampir seluruh masyarakat mempunyai pandangan bahwa perlu dibentuknya sebuah peraturan atau regulasi terhadap penyelenggaraan atau edukasi mengenai seks yang diikuti peraturanperaturan tertentu karena bila korban nya anak-anak akan memberikan kerugian yang sangat besar hingga bunuh diri. Anak sendiri merupakan tunas atau dapat dikatakan generasi penerus yang memiliki peran startegis dalam negeri ini dan mempunyai ciri untuk mengedepankan kelangsungan perkembangan bangsa kita serta negara yang akan datang.2 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan , legal review kami akan mengacu pada berbagai rumusan masalah yang akan dibahas , yaitu : 1.

Bagaimana Faktor dan bentuk pelecehan seksual yang dapat terjadi oleh pelaku kepada anak sesama jenis

2.

Perlindungan Hukum apa yang dapat diberikan oleh pemerintah terhadap korban anak dari pelaku pelecehan seksual sesama jenis

1.3 Dasar Hukum •

The Convention on the Rights of the Child

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

2

Ratna Sari, Soni Akhmad Nulhaqim, Maulana Irfan ‘Pelecehan Seksual Terhadap Anak’. (2015 ), 2 Prosiding KS : Riset &PKM. [14].


Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


BAB II ANALISIS 2.1 Faktor dan bentuk pelecehan seksual yang dapat terjadi oleh pelaku kepada anak sesama jenis Kebersamaan

keluarga

merupakan

lingkungan

utama

anak

dalam

pergaulanya dan menjadi yang pertama. Pelecehan seksual jika dilihat pada kaca mata individu memang sangatluas terjadi kepada siapapun termasuk anak-anak dan pada prinisp nya bahwa pelecehan seksual tidak hanya terkait dengan verbal saja tapi juga berupa sentuhan fisik, jika verbal melalui ucapan yang bernada cabul serta yang paling sering terjadi seperti bersiul atau mengedipkan mata juga termasuk dalam kategori pelecehan seksual. Anak memiliki peran yang utama atau strategis dalam artian negara ini harus menjamin anak pada setiap hak nya atas kelangsungan hidup, perkembangan dan tumbuh nya anak tersebut, dirinya dan juga perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.3 Jika kita melihat pada sudut pandang lain seperti menjadi pelaku kejahatan seksual, menurut Hari disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual pada anak dibagi menjadi dua yaitu faktor intern dan faktor ekstern.4 Pada hakikat nya faktor intern merupakan faktor yang datang dalam diri individu, dalam kaitannya juga dipengaruhi oleh faktor kejiawaan atau keadaan diri tidak normal da dapat mendorong seseorang melakukanya kejahatannya dan terkadang faktor biologis juga mengikuti karena pada kenyataannya manusia memang memiliki berbagai macam hal atau kebutuhan yang harus dipenuhi salah satu nya ialah kebutuhan seksual serta pada faktor external merupakan faktor yang muncul di luar diri si pelaku seperti diriingi oleh faktor ekonomi dan budaya serta minim akan kesadaran kolektif terhadap perlindungan anak yang berada dalam dunia Pendidikan dan paparan pornografi serta hal-hal lainnya diluar diri pelaku.5 Dalam pembahasan

3

Elvi Zahara Lubis, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual’ (2017), 2 Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial. [144]. 4 Wickman, Randel Easton, Janet West, Therapeutic Work with Sexually Abused Children Abused. (London : SAGE Publications 2002). [25]. 5 Kayus Kayowuan Lewoleba, Muhammad Helmi Fahrozi ‘Studi Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Kekerasan Seksual Pada Anak-Anak’ (2017), 2 Jurnal Esensi Hukum. [38-40].


kasus yang terjadi di Indonesia yaitu pada kasus 12 Bocah yang menjadi korban Pelecehan Seksual seorang Pria penyuka sesama jenis didaerah Tarakan. Tersangka merupakan seorang karyawan di salah satu perusahaan swasta di Tarakan, pada mulanya kasus ini tertutup dan tidak terungkap dapat dilihat bahwa korban nya sudah banyak tetapi kasus ini terungkap setelah ada dua korban bersama dengan kelurganya yang melaporkan pelecehan seksual tersebut, pelaku menggunakan foto palsu dalam media sosial nya untuk menarik korban dan meminta foto korbannya yang menunjukkan alat kelamin nya kemudian mengajak korban bertemu dan diancam untuk menyebarkan foto tersebut bila tidak mengikuti keinginan tersangka. Rata-rata korban yang ia dekati ialah usia 15 hingga 16 Tahun. Kemudian tersangka pun diancam dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencabulan pada pasal 82 ayat (1) KUHP dan pasal 76 E Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Perspektif lain dikatakan juga bahwa lemahnya penegakam hukum dan ancaman hukuman yang relatif ringan menyebabkan para pelaku melalui proses hukum yang ringan dan seorang korban yaitu anak perlu mental yang sangat tinggi dan juga kepada keluarga korban untuk menerima dan korban anak tersebut menghadapi proses yangs sangat Panjang. Kondisi seperti ini tidak boleh terus menerus berlangsung karena menyebabkan situasi seperti bertubi-tubi. Pelecehan seksual ranahnya sangat luas tidak menutup kemungkinan berhubungan dengan laki-laki dan perempuan tetapi antara laki-laki dan juga laki-laki ataupun sebaliknya yang disebut dengan sesama jenis. 2.2 Perlindungan Hukum Oleh Pemerintah Terhadap Korban Anak Dari Pelaku Pelecehan Seksual Sesama Jenis Perlindungan hukum hak setiap warga negara dalam kaitannya dengan perlindungan anak diperlukan peraturan yang dapat melindungi anak dari banyaknya bentuk sebuah kejahatan yang akan mempengaruhi perkembangan fisik


anak, mental dan rohaninya.6 Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak pasal 1 ayat (2) “Bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh , berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan , serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” Pada kenyataanya memang anak masih dalam cakupan tinggal orang tua atau wali asuh jadi kita tidak dapat memungkiri bahwa anak tersebut bisa saja menjadi korban Ditujukan dengan pemberitaan media massa yang sangat banyak dan memaparkan bagaimana pelecehan seksual terjadi pada anak dilakukan oleh orang yang memang mempunyai hubungan lebih dekat dengan anak tersebut dan bertempat tinggal dirumah yang sama.7 Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengupayakan semaksimal mungkin untuk perlindungan yang lebih khusus pada anak dalam situasi darurat karena nantinya anak tersebut pasti akan berhadapan dengan suatu hukum terlebih jika mereka datang dari kalangan minioritas yang tidak boleh mendapatkan perlakuan yang berbeda yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa perlindungan yang diberikan kepada anak terdapat pada pasal 65 yang pada hakikatnya anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dari apapun bentuk kegiatan seperti eksploitasi dan juga pelecehan seksual, perdagangan anak dan juga berbagai bentuk penyalahgunaan narkoba dan jenis lainnya.8 Dalam Article 19, Paragraph 2 The Convention On The Rights Of The Child menyebutkan bahwa dalam upaya pencegahan yang menekankan pada istilah perlindungan anak harus dimulailah pada pencegahan proaktif terhadap segala bentuk kekerasan ataupun secara tegas melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak. Pada hal ini dijelaskan juga bahwa Negara memilki kewajiban untuk mengadopsi semua berbagai tindakan yang sekiranya memang diperlukan untuk memastikan bahwasanya orang dewasa harus memiliki tanggung jawab atas

6

Elvi Zahara Lubis, Op.Cit. [143]. Melly Setyawati dan Supriyai Widodo Eddyono, Perlindungan Anak dalam Rancangan KUHP. (Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP 2007). [4]. 8 Elvi Zahara Lubis, Op.Cit. [144]. 7


pengasuhan dan bimbingan terhadap anak serta menghormati melindungi hak-hak anak. Berbagai Langkah-langkah yang harus dimulai agar dapat melihat akar penyebab kekerasan ditingkat anak , keluarga ataupun pelaku serta masyarakat. Tindakan pencegahan menawarkan keuntungan terbesar dalam jangka panjang namun beda hal nya dengan negara yang memiliki kewajiban untuk merespons kekerasan secara efektif ketika itu terjadi.9 Kegiatan yang mengarah kepada seksual amat memprihatnkan karena terkadang menjerumus pada tindakan kriminal lainnya yang secara hukum pidana dapat menyalahi ketentuan dalam undang-undang. Serta pada banyak kasus serupa terjadi pelaku pelecehan seksual itu rata-rata ialah orang dewasa atau pelakunya juga anak-anak usia remaja. Perlindungan anak merupakan hal yang sangatlah kompleks dan menyebabkan permasalahan yang terkadang menjadi lebih lanjut yang tidak dapat diatasi oleh hanya seseorang saja tapi harus membutuhkan bantuan orang lain dan menjadi tanggung jawab bersama. Dalam kaitannya dengan pelecehan seksual dalam ranah dan bentuk apapun seperti kekerasan ataupun ancaman dengan bermain tubuh dengan anak dibawah umur diatur dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada Pasal 82 terkait dengan ketentuan pidana yang memang dapat dikenakan serta hal tindak pidana itu memang dilakukan oleh orang tua nya atau wali dan tenaga kependidikan , maka memang pidana nya ditambah sepertiga dari ancaman pidana yang dimaksud pada ayat (1).10 Menurut jill peay, bahwa dalam menghukum orang telah melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum atau perbuatan tersebut menyimpang diakibatkan dari memang keadaan jiwa seseorang dan mentalnya yang tidak normal atau dapat dikatakan tidak stabil dalam hal tersebut mengutamakan bagaimana cara membuat seseorang atau melindunginya untuk menjadi lebih baik atau lebih utama dari pada membuat pelaku dijatuhkan yang sejalan dengan pasal 44 KUHP, perbuatan yang memang dilakukan oleh orang itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, dari Pihak Mahkamah Agung maupun pengadilan tinggi dan juga pengadilan negeri 9

Dewa Fiska Simbolon, Op.Cit. [45]. Elvi Zahara Lubis, Op.Cit. [143].

10


tidak dapatnya menjatuhkan sanksi pidanaya. Sebab pelaku juga harus ditempatkan secara baik pada rehabilitasi untuk dilindungi dan diperiksa. Terlibat itu semua tidak diberi sanksi pidana akan tetapi dapat direhabilitasi bagi pelaku saat itu untuk tindak pidana pelecehan seksual ini yang tidak normal pada kejiwaan dengan syarat harus dapat dibuktikan secara medis dan psikologis.


BAB III PENUTUP Kasus pelecehan seksual yang terjadi adalah cerminan bagaimana pemerintah harus bisa lebih mengutamakan perlindungan bagi para korban nya dalam hal preventif untuk memberikan edukasi se dini mungkin tentang seks dan dalam upaya lain agar dapat menaikan moralitas para generasi bangsa. Peran orangtua sangatlah dibutuhkan dan berpengaruh untuk menjaga anak supaya terhindar dari kejahatan seperti itu. Terlebih bila anak sudah menjadi korban maka kaitan erat nya hanyalah pada keluarga untuk dapat memberikan support agar bagi anak yang menjadi korban tersebut merasa bahwa dirinya tidaklah sendirian dalam menghadapi persoalannya dan perlahan dapat mengembalikan kepercayaan diri anak tersebut. Perlindungan, kenyamanan dan keamanan adalah hal yang amat sangat dibutuhkan korban anak dalam dunia lingkungan luar nya untuk ia dapat mencari jati diri dan mengeskpor dirinya lebih jauh lagi karena itu semua tergantung pada pihak-pihak terkait yang berada disekitarnya. Dalam segi pemerintah kinerja dari komnas perlindungan anak harus ditingkatkan agar menindak lanjutan kasus bisa lebih baik lagi. Dalam artian lain hak anak yang menjadi korban dapat sepenuhnya utuh Kembali serta terealisasi. Multi faktor merupakan tanda bahwa pelecehan seksual yang terjadi pada anak-anak makin meningkat karena disebabkan berbagai faktor dalam diri maupun luar diri pelaku. Terkait faktor dari luar diri atau external memang paling banyak karena dalam dunia luar seseorang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan tindak kejahatan tersebut. Faktor yang terlihat jelas dan terkadang menjadi sorotan ialah lemahnya faktor bentuk penegakan hukum serta ancaman hukum yang relatif lebih ringan yang membuat para pelaku memang tidak memiliki efek jera.


DAFTAR PUSTAKA Buku Setyawati Melly dan Supriyai Widodo Eddyono, Perlindungan Anak dalam Rancangan KUHP. (Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP 2007). Wickman, Randel Easton, Janet West, Therapeutic Work with Sexually Abused Children Abused. (London : SAGE Publications 2002).

Jurnal Simoblon Dewa Fiska, ‘Minimnya Pendidikan Reproduksi Dini Menjadi Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual Antar Anak’ (2018), 1 Soumatera Law Review. Sari Ratna, Soni Akhmad Nulhaqim, Maulana Irfan ‘Pelecehan Seksual Terhadap Anak’. (2015 ), 2 Prosiding KS : Riset &PKM. Lubis Elvi Zahara, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual’ (2017), 2 Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial. Lewoleba Kayus Kayowuan , Muhammad Helmi Fahrozi ‘Studi Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Kekerasan Seksual Pada Anak-Anak’ (2017), 2 Jurnal Esensi Hukum.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.