Legal Review Competition Compilation

Page 1


ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM DALAM ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN GUNA MENDUKUNG PENCAPAIAN SDGs DI INDONESIA Abetalita Candra Tri Rahayu dan Dean Rizqullah Risdaryanto Fakultas Hukum Universitas Airlangga

ABSTRAK Sustainable Development Goals atau yang biasa disingkat dengan SDGs adalah tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah ditentukan oleh Perserikatan Bangsa–Bangsa guna mencapai kehidupan manusia yang lebih baik. Dalam konteks pembangunan nasional dan daerah, SDGs menjadi salah satu acuan dalam menjalankan tahapan pembangunan seperti perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia untuk mencapai tujuan sebagaimana ditetapkan dalam SDGs adalah pemanfaatan lahan. Kebutuhan manusia yang semakin tidak terbatas, menyebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi semakin tak terhindarkan. Pemerintah tentu memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi pengalihan fungsi lahan sehingga terciptanya keberimbangan dalam mendukung pencapaian SDGs. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya perlindungan hukum yang dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk pengendalian alih fungsi lahan pertanian guna mendukung pencapaian SDGs di tahun 2030. Indonesia sebagai negara hukum, tentu memiliki kewajiban untuk melindungi, menghargai, dan memenuhi hak asasi manusia yang dimiliki oleh warga negaranya termasuk hak untuk memenuhi kebutuhan dasar demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Selain itu, Negara, dalam hal ini pemerintah, memiliki tugas untuk mengelola lahan sebagai implementasi dari hak menguasai negara atas tanah sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Instrumen pengendalian berupa izin dan perencanaan tata ruang wilayah menjadi penting sebagai bentuk perlindungan hukum preventif terhadap alih fungsi lahan pertanian yang dapat merugikan masyarakat. Kata Kunci: Sustainable Development Goals, Alih Fungsi Lahan Pertanian, Perlindungan Hukum .

1


BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Sustainable Development Goals atau yang biasa disingkat dengan SDGs adalah tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah ditentukan oleh Perserikatan BangsaBangsa guna mencapai kehidupan manusia yang lebih baik. SDGs membawa lima aspek yang menyeimbangkan dimensi sosial, ekonomi, lingkungan, dan hukum serta tata kelola, yaitu Manusia, Planet Bumi, Kemakmuran, Perdamaian, dan Kerjasama. Kelima aspek ini menjadi sasaran dalam menentukan tujuh belas tujuan dan 169 indikator. Dalam konteks pembangunan nasional dan daerah, SDGs menjadi salah satu acuan dalam menjalankan tahapan pembangunan seperti perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh SDGs adalah mengakhiri kemiskinan, mengakhiri kelaparan, membangun kota dan permukiman yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. Salah satu faktor yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap pencapaian SDGs adalah lahan. Lahan merupakan tempat untuk umat manusia sebagai sumber penghidupan.1 Tanah sebagai salah satu sumber daya agraria mempunyai peran yang sentral dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun dalam kehidupan berkelompok sebagai negara.2 Tak ayal bahwa ketersediaan lahan menjadi salah satu aspek penting dalam mendukung pencapaian SDGS guna menciptakan ketahanan pangan, kesejahteraan, dan penghidupan yang lebih baik. Akan tetapi terdapat permasalahan yang harus dihadapi pemerintah yaitu, alih fungsi lahan pertanian. Masifnya alih fungsi lahan pertanian sebagai dampak pembangunan dan perluasan wilayah perkotaan karena faktor kebutuhan penduduk yang semakin tak terbatas menjadi semakin tidak terhindarkan. Jika alih fungsi lahan tidak segera dikendalikan oleh pemerintah, maka ketersediaan lahan untuk menopang sektor pertanian sebagai faktor utama produksi pangan nasional akan menjadi sebuah ancaman terhadap ketahanan pangan di kemudian hari. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi tentu juga mengakibatkan hilangnya mata pencaharian mayoritas masyarakat sebagai petani. Hal ini dapat berimplikasi pada meningkatnya kemiskinan yang terjadi karena tingginya angka pengangguran. Pengangguran dan kemiskinan merupakan dua variabel penting dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Oleh karena itu

1 2

Muhammad Ilham Arisaputra, Reforma Agraria Indonesia (Sinar Grafika 2015). [55]. Sri Hajati et al, Buku Ajar Hukum Adat, (Prenada Media Group 2019). [109].

2


kegiatan alih fungsi lahan pertanian juga dapat memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup manusia dari aspek ekonomi sehingga menyebabkan banyak masalah dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sebab tidak hanya mengancam ketahanan pangan melainkan juga mengancam sumber penghidupan. Pemerintah tentu memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi pengalihan fungsi lahan melalui instrumen pengendalian yang dimilikinya. Guna menghindari kesewenang-wenangan oleh pemerintah, upaya perlindungan hukum sangat dibutuhkan guna terciptanya keberimbangan dalam mendukung pencapaian SDGs. 1.2.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, legal review kami akan mengacu pada berbagai rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu: 1.

Bagaimana pengaruh alih fungsi lahan terhadap pencapaian SDGs di Indonesia?

2.

Perlindungan hukum apa yang dapat diberikan oleh pemerintah sebagai bentuk pengendalian terhadap alih fungsi lahan pertanian guna mendukung pencapaian SDGs di Indonesia?

1.3.

Dasar Hukum ● Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ● Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; ● Undang-Undang Nomor 56 /Prp/ Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Maksimum dan Minimum Tanah Pertanian; ● Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; ● Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung; ● Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang; ● Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan; ● Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas ● Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. ● Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang; ● Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; ● Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan; 3


● Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria; ● Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah;

4


BAB II ANALISIS 2.1.

Pengaruh Alih Fungsi Lahan Terhadap Pencapaian SDGs di Indonesia SDGs di Indonesia telah diakui eksistensinya dan pengaturannya terdapat pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (selanjutnya disingkat Perpres SDGs). Secara umum, Tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa Indonesia tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) yaitu, menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif, dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagaimana tujuh belas tujuan dan 169 indikator hasil kesepakatan bersama dalam forum Perserikatan bangsa-bangsa dan tercantum dalam lampiran Perpres SDGs sebagai bagian yang tak terpisahkan, penulis beranggapan bahwa terdapat beberapa tujuan yang erat kaitannya dengan pengelolaan lahan seperti mengakhiri kemiskinan, mengakhiri kelaparan, membangun kota dan permukiman yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. Dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut, pengelolaan terhadap lahan menjadi hal mutlak yang diperlukan. Keterbatasan terhadap lahan tentu juga mengakibatkan alih fungsi lahan sangat berpengaruh terhadap pencapaian SDGs di Indonesia. Meskipun begitu, pelaksanaan alih fungsi lahan pertanian harus memperhatikan kondisi lingkungan yang ada guna menciptakan keseimbangan dalam melakukan pembangunan berkelanjutan dan pengalihan lahan pertanian sebagaimana yang ingin dicapai oleh SDGs. Penulis akan menjabarkan satu-persatu secara singkat terkait empat tujuan yang tercantum dalam SDGs yang erat kaitannya dengan alih fungsi lahan pertanian sebagai berikut:

2.1.1. Mengakhiri Kemiskinan Salah satu indikator yang hendak dicapai pada tahun 2030 adalah, menjamin bahwa semua laki-laki dan perempuan, khususnya masyarakat miskin dan rentan, memiliki hak yang sama terhadap sumber daya ekonomi berupa kepemilikan dan kontrol atas tanah serta bentuk kepemilikan lain. Beralihnya lahan pertanian menyebabkan petani kehilangan mata pencaharian sehingga mengalami kemiskinan. Padahal, meningkatnya akses penguasaan lahan menjadi salah satu pendekatan untuk

5


menyejahterakan petani dan keluar dari perangkap kemiskinan.3 Peningkatan kesejahteraan dapat berpengaruh juga terhadap tujuan SDGs lainnya seperti berkurangnya kesenjangan. 2.1.2. Mengakhiri Kelaparan Salah satu indikator yang hendak dicapai pada tahun 2030 adalah, menjamin sistem produksi pangan yang berkelanjutan dan menerapkan praktek pertanian tangguh yang meningkatkan produktivitas, serta secara progresif memperbaiki kualitas tanah dan lahan. Alih fungsi lahan pertanian dapat memberikan dampak berupa berkurangnya lahan pertanian, menurunnya produksi pangan nasional, mengancam keseimbangan ekosistem, sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai, buruh tani kehilangan pekerjaan, harga pangan semakin mahal, dan angka urbanisasi menjadi tinggi.4 Hal ini tentu saja kontraproduktif dengan tujuan yang hendak dicapai oleh SDGs. 2.1.3. Membangun Kota dan Permukiman yang berkelanjutan Salah satu indikator yang hendak dicapai pada tahun 2030 adalah, menjamin akses bagi semua terhadap perumahan yang layak, aman, terjangkau, termasuk penataan kawasan kumuh, serta akses terhadap pelayanan dasar perkotaan. Alih fungsi lahan pertanian terjadi karena adanya pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk yang terus meningkat serta membutuhkan lahan untuk melanjutkan kehidupannya, seperti tempat tinggal atau tempat usaha.5 Hal ini mengakibatkan alih fungsi lahan semakin tidak terhindarkan, akan tetapi memerlukan kontrol dari pemerintahan guna mendukung pencapaian SDGs. 2.1.4. Konsumsi dan Produksi yang bertanggung jawab Salah satu indikator yang hendak dicapai pada tahun 2030 adalah, mengurangi pencemaran bahan kimia dan limbah ke tanah untuk meminimalkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Alih fungsi lahan cenderung mengarah ke hal yang bersifat negatif bagi ekosistem lingkungan itu sendiri.6 Salah satunya alih fungsi lahan pertanian menjadi pabrik yang dapat menimbulkan pencemaran limbah ke lahan pertanian, oleh karena perubahan fungsi saluran irigasi menjadi tempat

Sri Hery Susilowati, dan Mohammad Maulana. ‘Luas lahan usaha tani dan kesejahteraan petani: eksistensi petani gurem dan urgensi kebijakan reforma agraria’ (2012), 10 Analisis Kebijakan Pertanian. [17]. 4 Isdiyana K. A. dan Benny K. H. ‘Perlindungan Hukum Terhadap Lahan Pertanian Akibat Terjadinya Alih Fungsi Lahan di Indonesia’ (2018), 2 Jurnal Ketahanan Pangan. [123]. 5 Ibid. [122]. 6 I Made Mahadi Dwipradnyana. ‘Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian Serta Dampak Terhadap Kesejahteraan Petani (studi kasus di subak jadi, kecamatan kediri, tabanan)’, (2014), Skripsi: Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. 3

6


pembuangan limbah pabrik.7 Hal ini tentu saja menjadi penghambat terhadap upaya pencapaian SDGs. 2.2.

Perlindungan Hukum Oleh Pemerintah Sebagai Bentuk Pengendalian Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian Guna Mendukung Pencapaian SDGs di Indonesia. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.8 Menurut hemat penulis, upaya perlindungan hukum baru dapat dilakukan setelah timbul kerugian hukum yang dirasakan oleh masyarakat atas sebuah tindakan pemerintahan. Oleh karenanya, penulis akan menguraikan terlebih dahulu berbagai tindakan pemerintahan yang menjadi instrumen pengendalian terhadap alih fungsi lahan pertanian guna mendukung pencapaian SDGs di Indonesia sebagai berikut:

2.2.1.

Instrumen Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Berbicara tentang instrumen pengendalian, tentu akan sangat erat kaitannya dengan hukum administrasi. Hal ini dikarenakan menurut Van Wijk-Konijnenbelt bahwa Hukum Administrasi merupakan instrumen yuridis bagi penguasa untuk secara aktif terlibat dengan masyarakat.9 Deskripsi tersebut menggambarkan bahwa hukum administrasi merupakan sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat.10 Pemerintah kerap menggunakan instrumen pengendalian yuridis dalam melaksanakan pengaruhnya kepada masyarakat umum. Instrumen pengendalian yuridis yang bersifat hukum publik antara lain adalah peraturan perundang-undangan, dan Keputusan Tata Usaha Negara.11 Instrumen pengendalian merupakan bentuk tindakan pemerintahan yang digunakan untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia milik warganya. Sejatinya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945) telah menjamin hak setiap orang untuk diperlakukan sama dihadapan hukum (Pasal 28D ayat (1)) dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28D ayat (3)). Dalam kaitannya dengan kepemilikan dan kontrol atas tanah, maka terdapat Hak bangsa Indonesia atas tanah

Bambang Rahmanto, Bambang Irawan, and Nur Khoiriyah Agustin. ‘Persepsi mengenai multifungsi lahan sawah dan implikasinya terhadap alih fungsi ke penggunaan non pertanian’ (2006), SOCA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. [22]. 8 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (PT. Citra Aditya Bakti 2000). [54]. 9 H. D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken Van Administratief Recht (5e druk Vuga 1984). [1]. 10 Philipus M. Hadjon, Pengantar hukum administrasi Indonesia (Gadjah Mada University Press 2005). [28]. 11 Ibid. [42]. 7

7


sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) - ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi, dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah.12 Akan tetapi, Hak bangsa Indonesia dalam Hukum Tanah Nasional adalah hak kepunyaan, yang memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama dengan hak milik oleh warga negara secara Individual.13 Dalam kaitannya dengan pencapaian SDGs di Indonesia, Hukum Tanah Nasional memberikan jaminan kepemilikan dan kontrol secara merata atas tanah sebagai sumber daya ekonomi bagi seluruh masyarakat yang tampak melalui Program Land Reform. Land Reform atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria. Seperti Pasal 10 UUPA yang secara implisit memberikan larangan pemilikan lahan pertanian secara absentee. Lahan tersebut harus dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya dan mencegah cara-cara bersifat pemerasan.14 Terdapat juga larangan kepemilikan lahan pertanian yang melampaui batas oleh satu orang atau orang-orang sekeluarga sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA. Batas maksimum kepemilikan lahan pertanian sebagaimana ditetapkan oleh UU No. 56/Prp/1960 adalah seluas 20 hektar dengan penambahan paling banyak seluas 5 hektar. Secara garis besar, lahan yang menjadi objek Reforma Agraria akan dibagikan ulang kepada petani, khususnya masyarakat miskin dan rentan, yang belum memiliki tanah.15 Menurut hemat penulis, program tersebut memiliki kaitan erat dengan alih fungsi lahan pertanian dengan bentuk pengelolaan kepemilikan dan kontrol atas tanah. Pendaftaran tanah bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum, meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak.16 12

Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif (Kencana 2012). [78]. Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan hukum tanah nasional dalam hubungannya dengan TAP MPR 2001 (Universitas Trisakti 2002). [ 43]. 14 Urip Santoso, Op. Cit, [218-219], (Absentee adalah pemilikan tanah pertanian yang letaknya di luar kecamatan tempat tinggal pemilik tanah). 15 Ibid, [209]. 16 Ibid, [278]. 13

8


Pendaftaran tanah menjadi salah satu instrumen pengendalian yang diberikan oleh negara kepada masyarakat sesuai dengan tujuannya agar lahan pertanian tidak mudah untuk di alih fungsikan. Salah satu hak atas tanah yang dapat diberikan oleh negara untuk menjamin bahwa pemanfaatan lahan tersebut untuk melaksanakan usaha pertanian, perikanan, dan/atau peternakan adalah Hak Guna Usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 27 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Instrumen pengendalian lain yang sering digunakan oleh pemerintah adalah rencana. Menurut Belinfante, rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari tata usaha negara untuk mengupayakan terlaksananya keadaan tertentu yang tertib (teratur).17 Suatu rencana menunjukkan kebijaksanaan apa yang dijalankan oleh suatu pemerintahan pada lapangan tertentu. Dalam kaitannya dengan alih fungsi lahan guna mencapai SDGs, rencana tata ruang memiliki peranan yang penting untuk mengendalikan alih fungsi lahan. Hal ini dikarenakan rencana tata ruang menjadi dasar untuk mewujudkan struktur dan pola ruang sebagai bentuk pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Dalam penyusunan rencana tata ruang, masyarakat memiliki berperan untuk menyampaikan masukan kepada pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Perizinan merupakan keputusan tata usaha negara dalam rangka ketentuanketentuan larangan dan/atau ketentuan-ketentuan perintah. Sistemnya adalah bahwa undang-undang melarang suatu tindakan tertentu, namun untuk dapat bertindak dan mengendalikan masyarakat dengan cara pemerintah mengeluarkan izin.18 Dalam kaitannya dengan alih fungsi lahan maka izin memiliki peranan penting sebagai instrumen pengendalian guna mencapai SDGs. Izin yang dimaksud adalah izin pemanfaatan ruang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan izin mendirikan bangunan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Selain itu terdapat penetapan yang dapat dilakukan untuk mencegah alih fungsi lahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah

17 18

August David Belinfante, Kort Begrip van het Administratief Recht, (Alphen aan den Rijn 1988). [81]. Philipus M. Hadjon et al, Op. Cit. [120].

9


Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Apabila berbagai instrumen pengendalian alih fungsi lahan tersebut tidak dipatuhi oleh masyarakat, yang mengakibatkan terhambatnya pencapaian SDGs, maka pemerintah dapat menetapkan berbagai macam sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pencabutan izin, pembongkaran bangunan, pemulihan fungsi lahan, hingga denda administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. 2.2.2. Upaya Perlindungan Hukum Tak jarang, berbagai tindakan pemerintahan sebagai instrumen pengendalian menimbulkan akibat hukum yang merugikan masyarakat. Oleh karenanya, warga negara memerlukan perlindungan hukum atas berbagai keputusan yang diambil oleh Pemerintah dalam rangka mengendalikan alih fungsi lahan guna mencapai SDGs. Menurut Hari Sugiharto dan Bagus Oktafian Abrianto, perlindungan hukum terbagi menjadi dua, yakni perlindungan hukum non yudisial dan perlindungan hukum yudisial. Pengawasan dan upaya administrasi merupakan ruang lingkup perlindungan hukum non yudisial, sedangkan perlindungan yudisial hanya dilakukan oleh lembaga peradilan.19 Menurut Henry Fayol pengawasan merupakan suatu tindakan menilai (menguji) apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.20 Hal ini menunjukkan

bahwa

pengawasan

dilakukan

untuk

mengetahui

terjadinya

penyimpangan terhadap rencana yang telah ditetapkan dalam melakukan tindakan pemerintahan. Pengawasan ini biasanya dilakukan oleh lembaga yang sama terhadap organ pelaksana atau oleh lembaga berwenang. Selain itu, adapun mekanisme upaya administratif terdiri dari keberatan (inspraak) dan banding administrasi. Sedangkan, ruang lingkup pengujian terhadap perlindungan hukum yudisial hanya sebatas aspek rechtmatigheid melalui sengketa di pengadilan tata usaha negara. Negara Indonesia dalam hal ini mengakui keberadaan upaya perlindungan hukum, baik yang yudisial maupun non yudisial, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali yang

Hari Sugiharto dan Bagus Oktafian Abrianto, ‘Perlindungan Hukum Non Yudisial Terhadap Perbuatan Hukum Publik Oleh Pemerintah’ (2018), 33 Yuridika. [45]. 20 Henry Fayol, General and Industrial Management (Ravenio Books 2016). [87]. 19

10


terakhir oleh Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

11


BAB III PENUTUP Indonesia telah mengakui SDGs sebagai tujuan yang hendak dicapai melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Oleh karenanya pemerintah memerlukan perhatian serius terhadap berbagai permasalahan seperti alih fungsi lahan pertanian yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap target pencapaian SDGs di Indonesia pada tahun 2030. Hal ini tampak pada beberapa indikator pencapaian tujuan yang memiliki kaitan erat dengan alih fungsi lahan yaitu, menjamin bahwa semua laki-laki dan perempuan, khususnya masyarakat miskin dan rentan, memiliki hak yang sama terhadap sumber daya ekonomi berupa kepemilikan dan kontrol atas tanah serta bentuk kepemilikan lain, menjamin sistem produksi pangan yang berkelanjutan dan menerapkan praktek pertanian tangguh yang meningkatkan produktivitas, serta secara progresif memperbaiki kualitas tanah dan lahan, menjamin akses bagi semua terhadap perumahan yang layak, aman, terjangkau, termasuk penataan kawasan kumuh, serta akses terhadap pelayanan dasar perkotaan, mengurangi pencemaran bahan kimia dan limbah ke tanah untuk meminimalkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Kondisi seperti ini membuat pemerintah dihadapkan pada dilema, bagai buah simalakama, oleh karena pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk membuat alih fungsi lahan menjadi semakin tidak terhindarkan. Dalam menghadapi kondisi tersebut, pemerintah dituntut untuk hadir dalam menggunakan kekuasaannya guna mengontrol alih fungsi lahan pertanian sehingga terciptanya keberimbangan. Salah satunya melalui upaya perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat dalam menghadapi instrumen pengendalian pemerintah. Instrumen pengendalian yang digunakan oleh pemerintah untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian seperti, program reforma agraria, pendaftaran tanah, perencanaan, dan penetapan berupa perizinan dengan ditunjang oleh keberadaan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, pencabutan izin, pembongkaran bangunan, pemulihan fungsi lahan, hingga denda administratif guna mewujudkan keberimbangan untuk menunjang pencapaian SDGs. Berbagai instrumen pengendalian tersebut tentu akan menimbulkan akibat hukum. Tak jarang, bahwa akibat hukum tersebut menimbulkan kerugian dari sisi masyarakat. Oleh karenanya diperlukan upaya perlindungan hukum untuk melindungi hak-hak masyarakat. Upaya perlindungan hukum yang dapat dilakukan masyarakat adalah perlindungan hukum non yudisial dan perlindungan hukum yudisial. Pengawasan dan upaya administrasi berupa banding serta keberatan merupakan bentuk perlindungan hukum non yudisial yang menekankan pada 12


partisipasi publik secara aktif. Sedangkan upaya hukum yudisial terdiri dari pengujian aspek rechtmatigheid dari instrumen pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang ditetapkan melalui sengketa di pengadilan tata usaha negara. Berbagai bentuk perlindungan hukum tersebut tentu memiliki kaitan erat terhadap pencapaian SDGs di Indonesia.

13


DAFTAR PUSTAKA Buku August David Belinfante, Kort Begrip van het Administratief Recht, (Alphen aan den Rijn 1988). Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan hukum tanah nasional dalam hubungannya dengan TAP MPR 2001 (Universitas Trisakti 2002). H. D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken Van Administratief Recht (5e druk Vuga 1984). Henry Fayol, General and Industrial Management (Ravenio Books 2016). Muhammad Ilham Arisaputra, Reforma Agraria Indonesia (Sinar Grafika 2015). Philipus M. Hadjon et al, Pengantar hukum administrasi Indonesia (Gadjah Mada University Press 2005). Sri Hajati et al, Buku Ajar Hukum Adat, (Prenadamedia Grup 2019). Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (PT. Citra Aditya Bakti 2000). Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif (Kencana 2012).

Jurnal Bambang Rahmanto, Bambang Irawan, and Nur Khoiriyah Agustin. ‘Persepsi mengenai multifungsi lahan sawah dan implikasinya terhadap alih fungsi ke penggunaan non pertanian’ (2006) SOCA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. I Made Mahadi Dwipradnyana. ‘Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian Serta Dampak Terhadap Kesejahteraan Petani (studi kasus di subak jadi, kecamatan kediri, tabanan)’ (2014) Skripsi: program pascasarjana universitas udayana denpasar. Isdiyana K. A. dan Benny K. H. ‘Perlindungan Hukum Terhadap Lahan Pertanian Akibat Terjadinya Alih Fungsi Lahan di Indonesia’ (2018) 2 Jurnal Ketahanan Pangan. Sri Hery Susilowati, dan Mohammad Maulana, ‘Luas lahan usaha tani dan kesejahteraan petani: eksistensi petani gurem dan urgensi kebijakan reforma agraria’ (2012) 10 Analisis Kebijakan Pertanian. Hari Sugiharto dan Bagus Oktafian Abrianto, ‘Perlindungan Hukum Non Yudisial Terhadap Perbuatan Hukum Publik Oleh Pemerintah’( 2018) 33 Yuridika.

14


AKIBAT HUKUM DIKELUARKANNYA FABA DARI DAFTAR LIMBAH B3 TERHADAP PERKEMBANGAN INVESTASI DAN LINGKUNGAN DI INDONESIA Zulfa Karin Sampurna Putri dan Annisaa Azzahra Fakultas Hukum Universitas Airlangga

ABSTRAK Proses pembakaran batubara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), boiler, maupun tungku industri akan menghasilkan satu limbah batubara yang berbentuk padat yang dinamakan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, limbah batubara masuk dalam kategori limbah B3, yaitu limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun sehingga dapat merusak lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Hal tersebut tidak berlaku lagi sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan aturan turunannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa FABA dikeluarkan dari kategori limbah B3, dan dikategorikan sebagai limbah non B3 terdaftar. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji manfaat yang dihasilkan FABA untuk menunjang investasi di Indonesia dan kerugian yang ditimbulkan FABA sebagai kategori limbah B3 sebelumnya. Hasilnya bahwa FABA memang seyogyanya dikategorikan sebagai limbah B3 karena dampak negatif yang ditimbulkan lebih besar daripada manfaat yang dihasilkan. Namun, Pemerintah Indonesia mencoba melihat hal ini dari sudut pandang lain, yakni sudut pandang yang memberi angin segar bagi laju investasi di Indonesia yang sejalan dengan tujuan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja untuk memberikan kemudahan berinvestasi. Salah satu langkahnya adalah dengan dikeluarkannya FABA dari kategori limbah B3. Kata Kunci: FABA, limbah B3, investasi.

15


BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara penganut civil law system dimana peraturan perundang-undangan menjadi sumber hukum utama oleh Hakim dalam menentukan suatu keputusan. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia menimbulkan tumpang tindih atau konflik norma antar peraturan perundang-undangan itu sendiri. Menurut pemerintah Indonesia, hal tersebut dapat diselesaikan dengan penggunaan konsep omnibus law yang lazimnya dianut oleh negara common law system. Omnibus law berfungsi untuk mengkonsolidir berbagai tema, materi, subjek dan peraturan perundang-undangan pada beberapa sektor yang berbeda agar menjadi satu produk hukum besar dan holistik.1 Tentunya omnibus law, yang sekarang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya ditulis UU Cipta Kerja) menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Menurut sebagian masyarakat, isi UU Cipta Kerja adalah hanya menguntungkan investor, sedangkan menurut sebagian yang lain bahwa isi UU Cipta Kerja adalah sebagai penggerak reformasi ekonomi negara. Pemerintah mencoba membuka pintu sebesarbesarnya pada investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dengan beberapa perubahan pada aturan yang telah berlaku. Sejalan dengan berlakunya UU Cipta Kerja, terbit beberapa aturan pelaksana setelahnya. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya ditulis PP 22/2021). Pada Pasal 459 huruf c PP 22/2021 dan penjelasannya, diketahui bahwa Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari hasil pembakaran batu bara pada PLTU telah dikeluarkan dari daftar limbah B3 dan dikategorikan sebagai limbah non B3 yang terdapat pada Lampiran XIV PP 22/2021. FABA sendiri merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit tenaga listrik.2 Padahal sebelumnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup memasukkan limbah batu bara dalam kategori limbah B3. Tentunya perubahan pengaturan tersebut menimbulkan persetujuan maupun penolakan dari berbagai pihak khususnya bagi mereka yang bekerja di bidang lingkungan, tekstil, dan Fitryantica, Agnes, ‘Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law’ (2019) 6 Gema Keadilan. [303]. 2 Afandi, A., Salimin, S., & Delly, J, ‘Pengaruh Pemanfaatan Faba (Fly Ash And Bottom Ash) terhadap Laju Perpindahan Panas Pada Tungku Arang’ (2018) 3 Enthalpy. [7]. 1

16


pertanian. Tujuan dari dikeluarkannya FABA dari daftar limbah B3 tidak lain untuk menunjang kegiatan investasi di Indonesia. Dipaparkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PLSB3) Rosa Vivien Ratnawati, bahwa FABA yang dikeluarkan dari daftar limbah B3 hanya jenis FABA yang melalui proses pembakaran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) saja, sebab pada PLTU telah memanfaatkan pulverize coal yang mana pembakarannya menggunakan temperatur tinggi sehingga karbon yang tak terbakar dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil.3 Oleh karenanya, pembakaran yang tidak menggunakan PLTU seperti pada tungku, masih harus dikategorikan sebagai limbah B3. Lain halnya menurut Edy, salah satu warga yang bermukim di dekat PLTU Suralaya, Banten, menyatakan bahwa setelah dibangun pabrik, banyak warga yang mengeluh terkait kondisi kesehatan, debu bertebaran di jalanan, hingga petani yang kesulitan.4 Memang pada beberapa negara juga telah mengeluarkan FABA dari limbah B3, seperti Amerika Serikat, Jepang, China, Australia, dan Eropa.5 Akan tetapi tetap tidak berarti bahwa pengeluaran FABA dari daftar limbah B3 adalah yang terbaik guna menunjang perekonomian Indonesia dalam hal investasi. Pada saat FABA masih dalam kategori limbah B3 saja, masih banyak industri swasta yang kurang memperhatikan ketentuan dan syarat dalam mengolahnya dan mengakibatkan banyaknya pencemaran lingkungan hingga memakan korban jiwa. Apalagi jika FABA dihapus dari daftar limbah B3, maka dimungkinkan industri swasta akan lebih mengabaikan dalam pengelolaan limbah yang baik dan benar. Sehingga dalam tulisan ini, diharapkan pro dan kontra pada permasalahan pengeluaran FABA dari daftar limbah B3 yang tercantum dalam Lampiran XIV PP 22/2021 sedikitnya memberikan pemahaman mengenai baik dan buruknya FABA dari segi lingkungan dan investasi di Indonesia, seperti bagaimana penempatan FABA, apakah masih dikategorikan limbah B3, atau layak dikeluarkan dari daftar limbah B3. Juga bagaimana pemanfaatan FABA guna menunjang perekonomian Indonesia dalam hal investasi.

Raja Eben Lumbanrau, ‘Pemerintah Klaim Abu Batu Bara Bukan Limbah B3 Sudah Berdasarkan ‘Kajian Ilmiah’, Warga Terdampak Abu PLTU: Debu Bukan Seperti Cabe Begitu Dimakan Langsung Pedas’ (BBC News, 2021) https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56324376 accessed 7 Mei 2021. 4 Ibid. 5 Irfan Kamil, ‘KPK Sebut Sejumlah Negara Keluarkan Limbah FABA dari Kategori B3’ (Kompas.com, 2021) https://nasional.kompas.com/read/2021/03/22/15264511/kpk-sebut-sejumlah-negara-keluarkan-limbah-fabadari-kategori-b3?page=all accessed 7 Mei 2021 3

17


1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah pengkategorian FABA dalam limbah non-B3 terdaftar telah tepat menurut karakteristiknya? 2. Adakah korelasi antara dikeluarkannya FABA dari limbah B3 dengan kemudahan berinvestasi di Indonesia?

1.3 Dasar Hukum •

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Lingkungan Hidup

18


BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengkategorian FABA sebagai limbah non B3 Bahan Berbahaya dan Beracun (selanjutnya ditulis B3) merupakan zat, energi dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup. dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.6 Lebih lanjut bahwa B3 dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) klasifikasi:7 a. B3 yang dapat dipergunakan, seperti pada amonia, asam asetat, asam klorida, asam sulfat, dan sebagainya; b. B3 yang dilarang dipergunakan, seperti pada Chlordane, DDT, Dieldrin, Endrin, Heptachlor, Mirex, dan sebagainya; dan c. B3 yang terbatas dipergunakan, seperti merkuri, Lindane, Parathion, dan sebagainya. Dapat dikatakan limbah B3 memiliki karakteristik infeksius yang bersifat reaktif, eksplosif, beracun, dan mudah terbakar.8 Sementara itu, yang dimaksud non B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan berupa sisa, skrap atau reja yang tidak termasuk dalam klasifikasi atau kategori limbah bahan berbahaya dan beracun.9 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa sejak diundangkannya PP 22/2021 fly ash dengan kode N106 dan bottom ash dengan kode N107 masuk dalam kategori limbah non B3 terdaftar dalam Lampiran XIV PP 22/2021. Perlu diketahui, limbah non B3 terdaftar ialah jenis limbah yang sudah tidak memiliki karakteristik B3 dan telah memenuhi ketentuan penggunaan minimal teknologi terbaik dan ramah lingkungan.10 FABA yang dikategorikan sebagai limbah non B3 terdaftar adalah FABA hasil dari proses pembakaran batubara pada fasilitas PLTU dari kegiatan selain menggunakan teknologi stoker boiler dan/atau tungku industri. Sedangkan bagi fly ash dengan kode limbah B409 dan bottom ash dengan kode limbah B410 tetap dikategorikan sebagai limbah B3 berdasarkan Lampiran 1X PP 6

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Ps. 1 angka 21 yang mengubah Ps. 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) 7 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Ps. 5 ayat (2). 8 Alvionita Ajeng Purwanti, ‘Pengelolaan Limbah Padat Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Rumah Sakit di RSUD Dr.Soetomo Surabaya’ (2018) 10 Kesehatan Lingkungan. [292]. 9 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), Ps. 1 angka 1. 10 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 450 ayat (1) huruf a.

19


22/2021. FABA ini merupakan hasil dari proses pembakaran batubara pada fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri. Sehingga, terdapat dua kategori limbah FABA yang dihasilkan oleh proses pembakaran batubara. Hal ini berbeda dengan pengaturan sebelumnya yang hanya mengkategorikan limbah FABA sebagai limbah B3, tidak terbatas pada proses pembakarannya.

2.1.1 Pro dan kontra dikategorikannya FABA sebagai limbah non B3 Perubahan kategori FABA ini memunculkan polemik di masyarakat. Banyak masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan akademisi yang mengkritisi persoalan dikeluarkannya FABA dari limbah B3. Salah satunya datang dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yang memberikan 4 catatan kritis terkait dikeluarkannya FABA, khususnya fly ash dari daftar limbah B3, diantaranya:11 1.

Luputnya pertimbangan biaya efisiensi limbah B3 terhadap adanya risiko pencemaran yang dihasilkan oleh abu batubara;

2.

Munculnya potensi risiko pencemaran abu batubara yang akan berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar;

3.

Hilangnya kewajiban pelaku usaha PLTU atas sistem tanggap darurat (sistem pengendalian keadaan darurat apabila terjadi kecelakaan atau pencemaran lingkungan) dalam melakukan pengelolaan batu bara, karena terhadap limbah non B3 tidak diwajibkan memiliki sistem tanggap darurat;

4.

Hilangnya sifat strict liability dan ancaman pidana bagi pelaku usaha PLTU yang melakukan pengelolaan abu batubara tidak sesuai standar, karena tidak termasuk kategori limbah B3. Walaupun FABA dari hasil pembakaran batu bara PLTU telah dikategorikan

sebagai limbah non B3 terdaftar, namun PP 22/2021 mengakomodir langkah-langkah pengelolaan limbah non B3 terdaftar tetap berwawasan lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan adanya larangan bagi setiap orang untuk:12 a.

Melakukan pembuangan (dumping) limbah non B3 tanpa persetujuan pemerintah pusat;

b.

Melakukan pembakaran secara terbuka (open burning);

Aji Prasetyo , ‘4 Catatan Kritis ICEL Soal Abu Batubara Bukan Lagi Limbah B3’ https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt604c113ab5a1b/4-catatan-kritis-icel-soal-abu-batubara-bukan-lagilimbah-b3?page=all accessed 8 Mei 2021 12 Peraturan Peraturan Pemerintah 22/2021 Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 453. 11

20


c.

Melakukan pencampuran limbah non B3 dengan limbah B3; dan

d.

Melakukan penimbunan limbah non B3 di fasilitas tempat pemrosesan akhir. Yang menarik adalah, Pembakaran limbah non B3 tetap harus memperhatikan

keadaan lingkungan sekitar. Adanya larangan pembakaran secara terbuka (open burning) dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat yang tinggal di sekitar tempat pembakaran agar tidak mencemaskan bahaya pencemaran udara yang disebabkan oleh pembakaran limbah non B3. Selain itu, terdapat kewajiban bagi setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup akibat limbah non B3 yang dihasilkannya, maka yang bersangkutan diwajibkan untuk melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, serta melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.13 Lebih lanjut, diperlukan pelaporan dalam hal pengelolaan limbah non B3 paling sedikit satu kali dalam setahun kepada pejabat yang berwenang.14

2.1.2 Pengaturan pengelolaan FABA sebagai limbah non B3 terdaftar Menengok PP 22/2021, pengaturan pengelolaan limbah B3 memerlukan persetujuan teknis. Hal ini diperlukan guna mendapatkan persetujuan lingkungan dalam melakukan pengumpulan limbah B3.15 Perlu diketahui, pengumpulan limbah B3 adalah salah satu rangkaian dari pengelolaan limbah B3 yang ditujukan bagi pihak yang tidak mampu menyimpan limbah B3 dalam jangka waktu tertentu, juga bagi pihak yang tidak memiliki kapasitas tempat penyimpanan limbah B3 yang memadai.16 Berbeda dengan pengaturan limbah B3, FABA yang dikategorikan sebagai limbah non B3 terdaftar tidak mempunyai persetujuan teknis dalam pengelolaannya. Sehingga, standar teknisnya mengacu pada persetujuan lingkungan.17 Persetujuan lingkungan ini wajib dimiliki oleh kegiatan yang memiliki dampak penting atau tidak penting terhadap lingkungan.18 FABA sendiri dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup karena sesuai dengan kriteria yang tercantum Pasal 8 huruf c PP 22/2021, yakni proses dan kegiatan yang potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, serta

13

Ibid., Ps. 468. Ibid., Ps. 469 ayat (1). 15 Ibid., Ps. 300 ayat (2). 16 Ibid., Ps. 298 ayat (1). 17 Ibid., Penjelasan Ps. 452 ayat (1). 18 Ibid., Ps. 3 ayat (1). 14

21


pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya. Oleh karenanya, FABA dikategorikan sebagai kegiatan berdampak penting bagi lingkungan hidup yang wajib memiliki analisis dampak lingkungan (amdal) sebagai standar teknis pengelolaan FABA dalam kategori limbah non B3 terdaftar. Dalam hal pengelolaan limbah non B3, terdapat serangkaian proses yang diatur dalam PP 22/2021. Namun, tidak seperti limbah B3 yang mewajibkan setiap orang untuk melakukan serangkaian tahapan pengelolaan limbah, pengelolaan limbah non B3 ini bersifat opsional karena adanya kata “dapat” dalam pasal terkait. Artinya, bukan merupakan suatu keharusan bagi pihak-pihak terkait untuk melakukan pengelolaan limbah non B3. Hal ini dapat berimplikasi pada munculnya potensi limbah non B3 yang tidak dikelola secara baik dan menimbulkan pencemaran lingkungan sebagai akibat dari adanya celah dari ketentuan hukum yang berlaku. FABA sebagai limbah non B3 terdaftar dapat dikelola dengan cara pengurangan limbah non B3, pemanfaatan limbah non B3, penimbunan limbah non B3, ekspor limbah non B3 dalam hal yang bersangkutan tidak mampu mengelola sendiri limbah B3.19 Kewajiban berupa penyimpanan limbah non B3 hanya berlaku bagi pengelola limbah non B3 hanya ditujukan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan pengelolaan limbah non B3 lebih lanjut.20

2.2

Korelasi dikeluarkannya FABA dari limbah B3 dengan kemudahan berinvestasi di Indonesia

2.2.1 Realisasi Investasi di Indonesia Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.21 Penanaman modal atau investasi terbagi menjadi 2 (dua)22, yakni: 1)

Investasi langsung (direct investment) merupakan suatu cara investasi dari penginvestasian benda bergerak tanpa secara aktual berinvestasi di suatu obyek kekayaan dengan cara surat berharga, dana, atau kekayaan pribadi;

19

Ibid., Ps 452 ayat (5). Ibid., Ps. 455 ayat (1). 21 Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Ps. 1 angka 1. 22 Rahmi Jened, Teori dan Kebijakan Hukum Investasi Langsung (Direct Investment) (Kencana 2016). [29-30]. 20

22


2)

Investasi tidak langsung (indirect investment) merupakan investasi yang dibuat untuk memperoleh manfaat jangka panjang dalam suatu pengoperasian perusahaan suatu ekonomi yang lain dari investor. Penanaman modal merupakan salah satu bentuk suatu negara dalam meningkatkan

laju pertumbuhan ekonominya. Selama perjalanannya, realisasi investasi di Indonesia mengalami pasang surut, terlebih lagi pada masa pandemi covid-19 yang melanda Indonesia saat ini. Tentunya, hal ini berdampak di

berbagai sektor khususnya

perekonomian. Adapun faktor yang mempengaruhi permintaan investasi di Indonesia adalah suku bunga dalam negeri dan pendapatan nasional (National Income) yang masih rendah.23 Penanaman Modal Asing langsung (selanjutnya ditulis PMA) yang masuk ke Indonesia dari tahun ke tahun tidak menentu dengan perhitungan:24 -

Tahun 2012 nilai realisasi PMA sebesar US$ 24.564 juta, dengan realisasi tertinggi pada kuartal keempat sebesar US$ 6.312 juta;

-

Tahun 2013 nilai realisasi PMA sebesar US$ 28.618 juta, dan;

-

Tahun 2014 nilai realisasi PMA di Indonesia turun menjadi US$ 28.530 juta. Selain itu sejak seluruh negara dilanda pandemi covid-19, investasi di Indonesia

mengalami penurunan dengan hanya mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,97% pada periode Triwulan I tahun 2020 lalu.25 Namun, investasi di Indonesia juga mengalami kenaikan selama akhir tahun 2020. Kepala BKPM Bahlil Lahadalia (yang saat ini menjabat sebagai Menteri Investasi/BKPM) menyatakan bahwa realisasi investasi sebesar Rp214,7 triliun pada triwulan IV (Oktober – Desember) Tahun 2020, naik 3,1% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2019 lalu dan capaian tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja bagi 294.780 Tenaga Kerja Indonesia (TKI).26

2.2.2 Manfaat FABA Menilik kenaikan angka investasi di Indonesia tahun 2020 tersebut, tentunya tidak lepas dari akibat pengesahan UU Ciptaker dan aturan turunannya yang memang bertujuan untuk menarik investor luar negeri sebanyak-banyaknya. Salah satunya dengan Pardamen Lubis dan Salman Bin Zulam, ‘Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Investasi di Indonesia’ (2016) 2 Perspektif Ekonomi Darussalam. [165]. 24 Siti Hodijah, ‘Analisis Penanaman Modal Asing di Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Nilai Tukar Rupiah’ (2015), 10 Paradigma Ekonomika. [352]. 25 BKPM, ‘BKPM Esekusi Investasi Mangkrak di Tengah Pandemi Covid-19’ (Publikasi 2020) https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/bkpm-eksekusi-investasi-mangkrak-di-tengah-pandemi-covid19 accessed 15 Mei 2021 26 BPKM, ‘Realisasi Investasi di Indonesia Sepanjang Tahun 2020’ (Siaran Pers 2021) https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/siaran-pers/readmore/2413001/68601 accessed 15 Mei 2021 23

23


dikategorikannya FABA sebagai limbah non B3 terdaftar untuk peningkatan investasi. Menurut Kepala Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI, Nurul Taufiqurochman, manfaat umum yang terkandung dalam FABA adalah silika yang baik untuk tanaman, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.27 Beberapa akademisi mengutarakan bahwa FABA memang memiliki kegunaan besar dalam hal pembangunan infrastruktur. Menteri Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Yohanes Surya, mendukung pemanfaatan FABA dalam hal konstruksi misalnya pada geopolimer, semen, mangrove, dan substrat karang.28 Selain itu FABA berpotensi digunakan sebagai bahan baku pembuatan refraktori cor, bahan penimbunan dalam kegiatan reklamasi tambang, bahan substitusi kapur untuk menetralkan air asam tambang serta bahan pembenah lahan untuk memperbaiki kondisi fisik tanah dan media tanam untuk revegetasi lahan bekas tambang. 29 Tak berhenti di situ, Peneliti Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Nurul Taufiqu Rochman juga menilai bahwa limbah batu bara dan sawit memang tidak berbahaya.30 Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini,

pembangunan

infrastruktur digalakkan guna memperlancar lalu lintas setiap daerah, meningkatkan pelayanan distribusi barang dan jasa, serta meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan.31 Dari pembangunan ini, tentunya pemanfaatan FABA sangat diperlukan. Melihat dari potensinya, FABA juga dapat dijadikan sebagai pupuk sehingga akan selaras jika dipadukan dalam sektor pertanian, yang mana menjadi satu-satunya sektor yang berhasil tumbuh positif di atas 6 persen pada kuartal I-2020 sebesar 9,46 persen, sehingga menjadi penyangga pertumbuhan ekonomi nasional.32 Selain itu pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja paling tinggi dan dipandang sebagai sektor yang memiliki kemampuan khusus dalam memadukan M. Reza Sulaiman, ‘FABA Dicabut dari Limbah B3, Peneliti LIPI Sambut Baik’ (Suara.com 2021) https://www.suara.com/news/2021/03/17/030500/faba-dicabut-dari-limbah-b3-peneliti-lipi-sambut-baik accessed 9 Mei 2021 28 Biro Komunikasi, ‘Bukan Lagi Kategori Limbah B3, Kemenko Marves Dorong Pemanfaatan FABA untuk Bahan Baku Konstruksi dan Sumber Material Mau’ (Kemenko Marves 2021) https://maritim.go.id/bukan-lagikategori-limbah-b3-kemenko-marves-dorong/ accessed 9 Mei 2021 29 Badan Litbang ESDM, ‘Abu Batubara (FABA) sebagai Bahan Bangunan, Pencegahan Air Asam Tambang dan Pupuk’ (Arsip Berita 2020) Badan Litbang ESDM accessed 22 Mei 2021 30 Ast, ‘Ini Manfaat Limbah Baru Bara untuk Mendongkrak Perekonomian di Sektor Lain’ (JPNN.com 2021) https://www.jpnn.com/news/ini-manfaat-limbah-batu-bara-untuk-mendongkrak-perekonomian-di-sektorlain?page=3 accessed 17 Mei 2021 31 https://bpjt.pu.go.id/konten/jalan-tol/tujuan-dan-manfaat accessed 17 Mei 2021 32 Dahiri & Hikmatul Fitri, ‘Sektor Pertanian: Berperan Besar, Realisasi Investasi Belum Optimal’ (2020) 5 Buletin APBN. [7]. 27

24


pertumbuhan dan pemerataan.33 Namun investasi asing pada sektor pertanian masih menunjukan tingkat realisasi yang rendah, yakni selama periode 2014-2018 bernilai USD2,0 miliar dan terus mengalami penurunan menjadi USD1,41 miliar selama 20182019.34 Memang dari uraian fakta diatas, pemanfaatan FABA telah cukup untuk menunjang kegiatan investasi guna meningkatkan pendapatan nasional, namun di sektor pertanian, investor masih belum memperlihatkan minatnya untuk menanamkan modal dalam sektor pertanian.

33 34

Ibid., 8. Ibid., 9.

25


BAB III PENUTUP Pengkategorian FABA sebagai limbah non B3 terdaftar berakibat pada longgarnya kewajiban pengelolaan FABA yang bersifat opsional karena adanya kata “dapat” dalam pasal terkait. Artinya, bukan merupakan suatu keharusan bagi pihak-pihak terkait untuk melakukan pengelolaan limbah non B3. Hal ini dapat memudahkan pengelolaan FABA untuk keperluan investasi guna menunjang pendapatan nasional. Seperti dalam hal konstruksi geopolimer, semen, mangrove, dan substrat karang, mengingat pada saat ini pembangunan infrastruktur lebih ditekankan. Selain itu FABA juga mengandung silika yang baik untuk tanaman dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, sehingga akan tepat jika investasi sektor pertanian lebih ditingkatkan. Kendatipun demikian, perlunya Pemerintah memberikan pengontrolan yang ketat dalam segi pengelolaan, pengkajian, sanksi terhadap pelaku usaha yang melanggar, hingga dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan FABA. Hal tersebut sejalan dengan hak seluruh rakyat Indonesia yang berhak atas lingkungan baik dan sehat sebagaimana isi pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

26


DAFTAR PUSTAKA Buku Rahmi Jened, Teori dan Kebijakan Hukum Investasi Langsung (Direct Investment) (Kencana 2016). Jurnal Afandi, A., Salimin, S., & Delly, J, ‘Pengaruh Pemanfaatan Faba (Fly Ash And Bottom Ash) terhadap Laju Perpindahan Panas Pada Tungku Arang’ (2018) 3 Enthalpy. Agnes Fitryantica, ‘Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law’ (2019) 6 Gema Keadilan. Alvionita Ajeng Purwanti, ‘Pengelolaan Limbah Padat Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Rumah Sakit di RSUD Dr.Soetomo Surabaya’ (2018) 10 Kesehatan Lingkungan. Dahiri & Hikmatul Fitri, ‘Sektor Pertanian: Berperan Besar, Realisasi Investasi Belum Optimal’ (2020) 5 Buletin APBN. Siti Hodijah, ‘ANALISIS PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH’ (2015), 10 Paradigma Ekonomika. Laman Aji Prasetyo, ‘4 Catatan Kritis ICEL Soal Abu Batubara Bukan Lagi Limbah B3’ https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt604c113ab5a1b/4-catatan-kritis-icel-soalabu-batubara-bukan-lagi-limbah-b3?page=all accessed 8 Mei 2021 Ast, ‘Ini Manfaat Limbah Baru Bara untuk Mendongkrak Perekonomian di Sektor Lain’ (JPNN.com 2021) https://www.jpnn.com/news/ini-manfaat-limbah-batu-bara-untukmendongkrak-perekonomian-di-sektor-lain?page=3 accessed 17 Mei 2021 Badan Litbang ESDM, ‘Abu Batubara (FABA) sebagai Bahan Bangunan, Pencegahan Air Asam Tambang dan Pupuk’ (Arsip Berita 2020) Badan Litbang ESDM accessed 22 Mei 2021 27


Biro Komunikasi, ‘Bukan Lagi Kategori Limbah B3, Kemenko Marves Dorong Pemanfaatan FABA untuk Bahan Baku Konstruksi dan Sumber Material Mau’ (Kemenko Marves 2021)

https://maritim.go.id/bukan-lagi-kategori-limbah-b3-kemenko-marves-dorong/

accessed 9 Mei 2021 BKPM, ‘BKPM Esekusi Investasi Mangkrak di Tengah Pandemi Covid-19’ (Publikasi 2020) https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/bkpm-eksekusi-investasi-mangkrakdi-tengah-pandemi-covid-19 accessed 15 Mei 2021 BPKM, ‘Realisasi Investasi di Indonesia Sepanjang Tahun 2020’ (Siaran Pers 2021) https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/siaran-pers/readmore/2413001/68601 accessed 15 Mei 2021 https://bpjt.pu.go.id/konten/jalan-tol/tujuan-dan-manfaat accessed 17 Mei 2021 Irfan Kamil, ‘KPK Sebut Sejumlah Negara Keluarkan Limbah FABA dari Kategori B3’ (Kompas.com,

2021)

https://nasional.kompas.com/read/2021/03/22/15264511/kpk-

sebut-sejumlah-negara-keluarkan-limbah-faba-dari-kategori-b3?page=all

accessed

7

Mei 2021 M. Reza Sulaiman, ‘FABA Dicabut dari Limbah B3, Peneliti LIPI Sambut Baik’ (Suara.com 2021)

https://www.suara.com/news/2021/03/17/030500/faba-dicabut-dari-limbah-b3-

peneliti-lipi-sambut-baik accessed 9 Mei 2021 Pardamen Lubis dan Salman Bin Zulam, ‘Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Investasi di Indonesia’ (2016) 2 Perspektif Ekonomi Darussalam. Raja Eben Lumbanrau, ‘Pemerintah Klaim Abu Batu Bara Bukan Limbah B3 Sudah Berdasarkan ‘Kajian Ilmiah’, Warga Terdampak Abu PLTU: Debu Bukan Seperti Cabe Begitu

Dimakan

Langsung

Pedas’

(BBC

News,

2021)

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56324376 accessed 7 Mei 2021. Peraturan perundang undangan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3).

28


Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4153). Peraturan Peraturan Pemerintah 22/2021 Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 2021 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6634). Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4724). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, (Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6573).

29


KEJAHATAN EKOSIDA DALAM PERSPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN SERTA PEMBERANTASAN IMPUNITAS KORPORASI DI INDONESIA Hidayatul Sabrina dan Rayfa Camelia Parameswari Fakultas Hukum Universitas Airlangga

ABSTRAK Ekosida pertama kali dikenalkan pada tahun 1986 oleh Arthur W.Galston. Istilah ekosida ini dimunculkan akibat adanya perang Vietnam, yang mana amerika menyerang tentara Vietkong dengan menyebarkan 19.000 ton bahan kimia di hutan-hutan persembunyian. Apabila diartikan menurut kata ‘genocide’ yang berasal dari kata genos = ras dan cide = pemusnahan, ekosida dapat diartikan sebagai pemusnahan lingkungan atau sumber daya alam. Ekosida erat kaitannya dengan kejahatan korporasi, ditandai dengan lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1976, UU 41 Tahun 1999, dan terbitnya HPH yang menjadi awal kekuasaan korporasi di Indonesia. Kuasa korporasi atau kekuatan investasi sangat erat kaitannya dengan demokrasi saat ini, tak dapat dipungkiri bahwa korporasi mempengaruhi kebijakan pemerintah, baik itu pusat maupun daerah, sehingga negara seolah-olah menjadi alat kapitalisme korporasi. Tujuan penulisan ini yaitu untuk mengetahui ekosida dalam perspektif hukum lingkungan di Indonesia dan upaya penghapusan ekosida yang dianggap sebagai kejahatan lingkungan. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah metode yuridis empiris. Diketahui bahwa dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, belum terdapat pengaturan lebih lanjut mengenai ekosida serta pengkategoriannya sebagai kejahatan lingkungan. Akibatnya penegakan hukum bagi korporasi yang telah melakukan kejahatan ekosida sulit dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus bagi isu ekosida sebagai kejahatan lingkungan guna memutus rantai impunitas kejahatan korporasi, mengingat bukti kerusakan lingkungan akibat aktivitas kapitalisme manusia sudah nyata dan tidak bisa lagi diabaikan. Kata kunci: ekosida, kejahatan korporasi, impunitas

30


BAB I PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG Isu lingkungan hidup mulai dipertimbangkan pada tahun 1930, dimulai dengan ditandatanganinya The 1993 London Convention Relative to the Preservation of Fauna and Flora in their Natural State yang mengatur mengenai isu lingkungan di Afrika, sebagai pionir pergerakan perlindungan yang nyata terhadap lingkungan hidup. Semenjak itu, banyak perjanjian-perjanjian yang dibangun atas dasar hal pembangunan negara terkait penanggulangan pencemaran, seperti The London Convention for the Preservation of the Pollution of the Sea by Oil, The Declaration on Air Pollution Control, The European Water Charter, dan berbagai perjanjian lingkungan lainnya. Adanya perbedaan kepentingan antara kelompok negara-negara maju dan kelompok negara-negara berkembang, terutama dalam hal penempatan prioritas, dimana ketika negara-negara maju telah mengalihkan prioritasnya kepada masalah perlindungan lingkungan hidup, negara berkembang masih harus memikirkan usaha-usaha untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan industrinya yang tentunya meminta “pengorbanan” di bidang-bidang lain, termasuk kepedulian terhadap lingkungan hidup.1 Menurut Greta Thunberg, seorang aktivis lingkungan, krisis global akan datang di seluruh penjuru dunia. Berbagai riset ilmiah telah menunjukkan indikasi bahwa bumi sedang berada di dalam ambang keruntuhan dikarenakan kegiatan pada biosfer mengakibatkan dampak yang kritis bagi lingkungan dan keseimbangan ekologis. Menurut Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), sebanyak satu juta spesies makhluk hidup telah punah. Menurut penelitian Intergovernmental Panel on Climate Change terjadi kenaikan suhu bumi diatas rata-rata. Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menyatakan bahwa semakin meningkatnya bencana di Indonesia yang menunjukkan situasi darurat ekologis. Bentuk-bentuk pencemaran lingkungan yang terjadi jika dibiarkan maka kehidupan di bumi akan terancam mengalami proses kematian masal atau yang disebut dengan ecocide atau ekosida.

1

M. Ridha Saleh, dkk., Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi (WALHI 2019).[15].

31


Pada 1970 di Konferensi Perang dan Tanggung Jawab Nasional, diusulkan dibuatnya suatu perjanjian internasional baru untuk mencegah kejahatan lingkungan hidup, yang secara eksplisit dikatakan sebagai suatu kejahatan ekosida, yang dimasukkan pada sebuah pasal di bawah “Kejahatan Perang” dalam Statuta Roma. Pada Resolusi Sidang Umum PBB No. 2657 tahun 1970, ditetapkan sebuah Panitia Persiapan untuk menyampaikan perhatian kepada usaha melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang sedang berkembang, seperti perencanaan pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, pengendalian pencemaran, dan berbagai isu lingkungan lainnya. Konferensi Stockholm 1972 sebagai “momen dasar lingkungan hidup dalam hukum internasional modern” mengesahkan Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia dan Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia, guna mengontrol dan mengoptimalkan berjalannya kegiatan usaha yang ada. Karena respon politik, apa yang menjadi harapan dari Konferensi Stockholm 1972 ternyata tidak terwujud sehingga PBB menyelenggarakan United Nations Conference on Environment and Development atau disebut dengan Earth Summit (KTT Bumi) 1992 di Brazil, untuk mengatasi kontradiksi antara upaya pengembangan pembangunan dengan pelestarian lingkungan. Korporasi sebagai penyumbang nomor satu kerusakan lingkungan di dunia memiliki kekebalan terhadap tanggung jawab dan jeratan hukum yang disebut dengan impunitas.2 Menurut kajian yang dilakukan oleh World Ecology, ditemukan bahwa 100 korporasi di dunia berperan atas tanggung jawab 70% emisi gas rumah kaca global sejak 1988. Di Indonesia, perusakan dan pencemaran yang diakibatkan korporasi mencapai 82,5% dalam hal industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan sawit yang menjadi predator puncak ekologis. Banyak kasus ekosida yang terjadi di Indonesia, antara lain yakni kasus Lumpur Lapindo, dan kasus karhutla di Kalimantan dan Sumatera. Banyaknya kasus ekosida yang terjadi menjadi sorotan tersendiri, bahwa secara administratif dan substansi suatu korporasi memang telah memenuhi syarat perizinan, akan tetapi adanya syarat-syarat tersebut tidak menjamin adanya perlindungan lingkungan hidup. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini masih belum mengakomodir kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi. Penegakan hukum berupa administrasi, perdata, ataupun mediasi seringkali tidak dilaksanakan oleh korporasi sehingga tidak efektif. Upaya terakhir berupa sanksi pidana

2

Ibid.[7].

32


sebagai upaya terakhir atau ultimum remedium hanya ditujukan bagi direksi ataupun pejabat korporasi, bukan korporasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembahasan mengenai ekosida sebagai kejahatan lingkungan di Indonesia sangat diperlukan. Pengembangan kesadaran akan lingkungan hidup menjadi kunci utama penegakan hukum lingkungan khususnya ekosida. Beranjak dari permasalahan tersebut, penulis merumuskan tentang penggolongan ekosida sebagai kejahatan lingkungan, impunitas korporasi di Indonesia, serta upaya penghapusannya. Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan wawasan baru mengenai ekosida dan impunitas korporasi yang memiliki hubungan kausalitas serta bagaimana upaya penegakan hukum yang seharusnya dilakukan demi menghapus impunitas korporasi.

1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Ekosida sebagai kejahatan lingkungan oleh korporasi 2. Impunitas korporasi ditinjau dari kebijakan hukum di Indonesia 3. Upaya penghapusan ekosida dan impunitas korporasi di Indonesia

1.3 DASAR HUKUM • Statuta Roma • UUD NRI 1945 • Undang-Undang Nomor 39. Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja • Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

33


BAB II ANALISIS

2.1.

EKOSIDA SEBAGAI KEJAHATAN LINGKUNGAN OLEH KORPORASI Ekosida berasal dari ecocide, sejenis dengan kata genocide yang berarti geno = ras, cide

= pemusnahan, maka ekosida dapat dikatakan sebagai pemusnahan terhadap lingkungan atau sumber daya alam. Menurut Polly Higgins, ekosida merupakan upaya perusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya ekosistem, akibat dari pelaku kejahatan lingkungan hidup dan pemusnahan ekologis. Pada Artikel II Draf Konvensi Ecocide, Richard A. Falk mendefinisikan ecocide sebagai salah satu tindakan berikut dengan niat mengganggu atau menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, ekosistem manusia:3 a) Penggunaan senjata pemusnah massal; b) Penggunaan herbisida kimia untuk penggundulan hutan dan penebangan hutan alam untuk tujuan militer; c) Penggunaan bom dan artileri dalam jumlah, kepadatan, atau ukuran sedemikian rupa sehingga dapat merusak kualitas tanah atau meningkatkan kemungkinan penyakit berbahaya bagi manusia, hewan, atau tanaman; d) Penggunaan peralatan bulldozing untuk menghancurkan hutan atau lahan pertanian yang luas untuk tujuan militer; e) Penggunaan teknik/rekayasa untuk menambah atau mengurangi curah hujan atau memodifikasi cuaca berbagai senjata perang; f) Pemindahan paksa manusia atau satwa dari habitatnya untuk mempercepat tercapainya tujuan militer atau industri. Selain itu, terdapat 3 unsur penting yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah sebuah tindakan kejahatan lingkungan termasuk sebagai ekosida menurut buku Ecocide: Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran HAM, yaitu:4 1) Suatu tindakan perusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang mengakibatkan kerusakan dalam jangka waktu sangat panjang terhadap suatu satuan dan fungsi kehidupan serta tidak dapat pulih kembali; 2) Tindakan yang mengakibatkan terdapatnya satuan dan fungsi yang musnah terhadap suatu rangkaian kehidupan dari kondisi semula; 3) Kerusakan yang mengakibatkan terdapatnya penyimpangan psikis dan fisik manusia. 3 4

M. Ridha Saleh, Menghijaukan HAM (Rayyana Komunikasindo 2020).[179] Ibid.[180].

34


Ekosida yang menjadi aktor utama dalam perusakan hingga pemusnahan kehidupan ekologis dan sumber daya alam, maka sudah sepatutnya ekosida diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa. Dilihat dari dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungan hidup, maka ekosida sepatutnya dimasukkan sebagai kejahatan luar biasa kelima dalam Bagian 2 Pasal 5 Statuta Roma mengikuti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi sebagai kejahatan luar biasa atau kejahatan internasional yang bisa diadili oleh International Criminal Court (ICC). Hal ini disarankan pula oleh Higgins pada tahun 2011 karena dampak yang diakibatkan oleh tindakan kejahatan ekosida ini memiliki konsep dan hakikat yang sama dengan genosida. Yang membedakan hanyalah objek dari yang mengalami pemusnahan dalam konteks ekosida adalah kehidupan ekologis atau sumber daya alam yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Kejahatan-kejahatan luar biasa yang disebutkan dalam Statuta Roma tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni untuk melindungi manusia. Sehingga, tindakan ekosida yang mengakibatkan pemusnahan lingkungan yang memiliki hubungan ketergantungan dan keterkaitan yang erat dengan manusia sebagai tempat berlangsungnya kehidupannya, sehingga perusakan atas lingkungan dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Berbagai hal telah diupayakan untuk mengklasifikasikan ekosida sebagai kejahatan luar biasa dalam hukum internasional. Salah satunya dalam Case Vanuatu dan Maladewa, telah dibentuk panel PBB terkait perumusan definisi ekosida sebagai kejahatan luar biasa yang bisa diadili dalam International Court of Justice (ICJ). Namun disisi lain, pengajuan revisi Statuta Roma untuk menambahkan ekosida sebagai kejahatan luar biasa juga tidaklah mudah. Oleh karena itu, upaya perumusan ekosida sebagai kejahatan lingkungan dapat dimulai dari hukum nasional masing-masing negara di dunia. Di Indonesia sendiri, ekosida sebagai kejahatan lingkungan belum diidentifikasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat. Menurut Pasal 28H Ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang mengkategorikan hak manusia atas lingkungan hidup sebagai fundamental rights atau hak dasar. Meskipun permasalahan lingkungan menjadi salah satu masalah terbesar, tetapi belum ada payung hukum untuk regulasi berbasis lingkungan di Indonesia. Selain itu, karena besarnya peran korporasi dalam perekonomian negara, menjadikan regulasi di Indonesia lebih mengedepankan kepentingan kapitalisme daripada pembangunan 35


berkelanjutan berbasis lingkungan. Melihat masalah tersebut, berbagai organisasi lingkungan melakukan riset, salah satunya WALHI yang melakukan riset kepada 1.000 responden di 7 (tujuh) provinsi terkait ekosida yang hasilnya lebih dari 85% responden sudah mengetahui adanya ekosida sebagai persoalan lingkungan hidup yang melibatkan korporasi yang berkaitan dengan kebijakan yang diberikan oleh pemerintah. Salah satu praktik nyata di Indonesia yaitu kasus Lumpur Lapindo yang mengakibatkan hilangnya 728 hektar lahan yang meliputi 12 desa dan 3 kecamatan, tewasnya 17 orang, serta kerugian harta benda senilai 45 triliun rupiah. Dalam putusan Komnas HAM dinyatakan bahwa tindakan Lapindo tersebut bukan merupakan ekosida sebagai pelanggaran berat HAM menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, akan tetapi merupakan akibat dari bencana alam. Dari hal ini dapat diketahui bahwa lemahnya hukum positif terkait penegakan pelestarian lingkungan dikarenakan terbenturnya kepentingan peningkatan ekonomi negara dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Belum diratifikasinya Statuta Roma oleh Indonesia menjadi penghalang masuknya ekosida dalam Pengadilan HAM di Indonesia. Jika mengacu pada Undang-Undang Pengadilan HAM yang mengatur tentang mekanisme kejahatan HAM berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 hanya meliputi kejahatan antara manusia dengan manusia, tetapi tidak meliputi kejahatan yang dilakukan manusia yang berdampak pada lingkungan hidup. Hal ini mengakibatkan lahirnya sebuah hambatan dalam penegakan hukum lingkungan bagi pelaku kejahatan ekosida itu sendiri.

2.2. IMPUNITAS KORPORASI DITINJAU DARI KEBIJAKAN HUKUM DI INDONESIA Lingkungan hidup menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.5 Peran lingkungan hidup yang sangat besar bagi keberlangsungan kehidupan manusia, mengakibatkan lingkungan hidup kerap kali menjadi salah satu permasalah pokok yang terjadi. Telah diketahui dalam Pasal 9 ayat (3) UU HAM bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Akan tetapi, diaturnya perlindungan

5

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140)

36


dan pengelolaan lingkungan hidup pada praktiknya kebanyakan tidak seperti tujuannya yang diatur dalam Pasal 3 UU PPLH. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korporasi merupakan aktor utama ekosida di Indonesia. Hal ini dimulai ketika lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Hak Pengusahaan Hutan, serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menjadi dasar pembangunan serta penguasaan sumber daya alam oleh korporasi. Sumber daya alam yang menjadi tulang punggung pembangunan nasional pada saat itu semakin eksploitasi dengan adanya UU Pertambangan serta Perpu perubahan UU Nomor 41 Tahun 1999 yang memberikan keistimewaan perusahaan pertambangan untuk beroperasi di kawasan hutan lindung. Dengan adanya peningkatan investasi terutama dari korporasi multinasional tentu saja berpengaruh terhadap pencemaran lingkungan. Terdapat beberapa kasus pencemaran lingkungan yang diakibatkan korporasi multinasional, diantaranya adalah kasus Teluk Buyat oleh PT. Newmont Minahasa Raya pada tahun 2004, kasus limbah merkuri di Nangroe Aceh Darussalam oleh PT. Exxon Mobil Oil Indonesia pada tahun 2005, kasus minyak montara di Laut Timor oleh PT. TEP Australia (Ashomre Cartier) di tahun 20096, dan juga tentunya kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. PT Freeport merupakan perusahaan di bidang pertambangan yang berpusat di Arizona, Amerika Serikat yang beroperasi berdasarkan Kontrak Karya sesuai Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam Kontrak Karya ini, PT Freeport memperoleh izin penambangan di wilayah seluas kurang lebih 1.000 hektar yang berlaku selama 30 tahun, yang kemudian diperpanjang lagi menjadi 30 tahun dengan opsi perpanjangan 2 kali masing-masing 10 tahun pada tahun 1991 dan berdasarkan perpanjangan tersebut luas penambangan PT.Freeport bertambah seluas 2,6 juta hektar. Padahal, sudah terjadi banyak sekali kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan usaha PT Freeport, seperti deforestasi, pembuangan limbah ke sungai menuju Laut Arafura, pencemaran drainase batu asam, peningkatan kadar tembaga pada fauna laut di sekitar tambang, dan berbagai pencemaran lingkungan lainnya. Negosiasi PT. Freeport dengan Indonesia dilakukan 2 kali pada tahun 2014 dan tahun 2017. Pada tahun 2017 dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, terdapat perubahan status konrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus. Namun sayangnya, dari 2 kali negosiasi tersebut, poin

Amelia Dwi Astuti, ‘Implikasi Kebijakan Indonesia Dalam Menangani Kasus Pencemaran Lingkungan oleh PT. Freeport Terhadap Keamanan Manusia Di Mimika Papua’ (2018) 4 Journal of International Relations UNDIP.[2]. 6

37


penyelesaian masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan sebelum berakhirnya kontrak sama sekali tidak dibahas. Dalam menanggulangi permasalahan lingkungan, Indonesia memiliki pengaturan terkait ketentuan dan ancaman pidana bagi pelaku kejahatan lingkungan diatur secara khusus dalam Bab IX Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 36 ayat (1) UU PPLH dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menyebutkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan, dan atas hal tersebut menurut Pasal 22 dan Pasal 23 UU tersebut, dengan adanya AMDAL, tidak serta merta menghilangkan perusakan lingkungan. Berjalannya kegiatan usaha tersebut dilakukan dibawah pengawasan pejabat yang berwenang.7 Dan apabila terjadi pelanggaran atas izin lingkungan yang dimilikinya, telah diatur juga terkait sanksi Pasal 76 hingga Pasal 81 UU PPLH, yakni berupa paksaan pemerintah, teguran, denda, pidana penjara, hak gugat administratif, hingga pencabutan izin lingkungan yang dimiliki oleh korporasi terkait. Hal serupa juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait pengawasan oleh pejabat pemerintahan (Pasal 494) dan ancaman serius maupun tindakan pemerintah (Pasal 499) yang dapat dilakukan apabila terjadi pelanggaran lingkungan oleh pelaksana kegiatan usaha. Kendati demikian, regulasi hukum yang dimiliki Indonesia untuk mengatur penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan masih cenderung tidak jelas dan kurang tegas. Kelemahan ditemukan dalam Pasal 49 ayat (6) huruf g angka 1 PP Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa sanksi administratif hanya diberlakukan ketika terdapat pelanggaran administratif. Sanksi tersebut dapat dicabut pula apabila pengusaha telah menaati kewajiban yang tercantum dalam sanksi administratif. Pemerintah yang mengutamakan kepentingan kapitalisme daripada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menyebabkan terjadinya ‘pembebasan’ bagi tindakan korporasi yang mencemari lingkungan, yang kemudian melahirkan impunitas korporasi yang semakin lama semakin banyak dijumpai dalam kegiatan usaha yang dilakukan. Penghapusan Pasal 26 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 38 serta Pasal 79 UU PPLH yang melindungi kepentingan masyarakat dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan yang dihapus oleh UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang dikenal sebagai Omnibus Law menjadi bukti nyata adanya pelemahan dalam perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. 7

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140)

38


2.3. UPAYA PENGHAPUSAN EKOSIDA DAN IMPUNITAS KORPORASI DI INDONESIA Kegiatan korporasi sebagai pelaku usaha yang semakin lama semakin menghancurkan ekosistem lingkungan yang ada sebagai bentuk dari kejahatan lingkungan ekosida harus segera dihentikan. Menurut WALHI, kegiatan usaha yang dilakukan oleh korporasi sebagai perwujudan kapitalisme merupakan akar masalah dari kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM yang ada di Indonesia.8 Kuatnya pengaruh korporasi terhadap pertumbuhan perekonomian negara menjadikan sukarnya penegakan hukum yang berlaku atas tindakan yang dilakukan korporasi, termasuk pelanggaran lingkungan. Impunitas korporasi yang lahir akibat perlakuan tersebut mengakibatkan korporasi bagaikan ‘tidak bisa disentuh’ bahkan atas pelanggaran parah yang mereka lakukan, penegakan hukum atas pertanggungjawaban korporasi atas kegiatan usaha yang melanggar kebijakan hukum yang ada mayoritas tidak pernah tuntas. Bahkan, negara seringkali memberikan legitimasi atas korporasi tersebut dibalik nama kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, kita sebagai masyarakat tidak bisa lagi membiarkan atau mengharapkan perlindungan lingkungan hidup dilindungi oleh kebijakan negara, terlebih lagi instrumen hukum di Indonesia belum mengakomodir ekosida sebagai kejahatan lingkungan hidup dan kemanusiaan. Demi menghentikan tindakan pelanggaran HAM oleh korporasi terutama dalam bidang lingkungan tersebut, beberapa pihak berusaha untuk menghentikan kegiatan tersebut, termasuk WALHI sebagai organisasi lingkungan hidup di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan WALHI demi menghentikan tindakan kejahatan lingkungan dilakukan secara politik maupun hukum, antara lain adalah dengan melakukan pergerakan advokasi dan menegakkan hukum yang ada. Hal ini dilakukan antara lain dengan menggugat kejahatan lingkungan hidup dengan hak gugat Citizen Law Suit melalui pengadilan.9 Selain itu, WALHI bersama Friends of the Earth International berusaha mengakhiri impunitas terhadap pelanggaran HAM dengan mendorong Komisi HAM PBB untuk mengadopsi korporasi transnasional dan korporasi bisnis lainnya sebagai aturan dalam hukum internasional. Dengan diaturnya aturan tersebut dalam hukum internasional, maka negara wajib melakukan tindakan yang diperlukan, termasuk mengadopsi aturan tersebut dalam produk legislasi, serta mengatur tanggung gugat hukum dari korporasi transnasional dan korporasi bisnis lainnya, baik dalam ranah administratif, perdata, maupun pidana. 8 9

M. Ridha Saleh, dkk., Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi (WALHI 2019).[56]. Ibid, [57].

39


BAB III PENUTUP

Tindakan korporasi yang berperan besar dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, tentunya juga memiliki efek negatif juga. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh korporasi seringkali mengakibatkan pencemaran lingkungan yang parah dan masif sehingga menghancurkan ekosistem lingkungan maupun makhluk hidup yang ada, atau biasa disebut sebagai ekosida. Kuatnya kontrol korporasi tersebut mengakibatkan susahnya penegakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan. Karena tidak dimungkinkannya untuk berlindung dibalik regulasi yang ada, maka upaya penghapusan impunitas korporasi ini diperjuangkan oleh berbagai Non-Governmental Organization (NGO) yang peduli terhadap lingkungan, salah satunya adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang terus bergerak menyuarakan advokasinya terkait penuntasan pertanggungjawaban korporasi, yang seakanakan kepentingan kapitalisme tersebut ‘dilindungi’ oleh negara demi aspek ekonomi semata. Mengingat lingkungan hidup sebagai bagian besar dari kehidupan manusia, sehingga perlindungan atas lingkungan hidup merupakan hak fundamental yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Pemerintah sebagai penegak hukum seharusnya menjalankan tugasnya untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan HAM yang ada, dengan berpartisipasi dan mendukung menghapuskan impunitas korporasi. Seharusnya pemerintah Indonesia dengan kesadaran sendiri yang turun tangan dalam mengatasi impunitas korporasi sebelum adanya desakan dari NGO seperti WALHI. Hal ini dapat diwujudkan dengan membuat kebijakan yang condong ke perlindungan lingkungan hidup, yang salah satunya dapat dilakukan melalui pengakuan ekosida dalam norma hukum yang berlaku di Indonesia, misalnya dengan ratifikasi atas Statuta Roma. Adanya ratifikasi atas Statuta Roma akan mempermudah pengakuan ekosida sebagai kejahatan lingkungan. Yang berdampak pada penormaan hukum yang berlaku di Indonesia, dengan mengklasifikasikan ekosida sebagai pelanggaran HAM berat dibawah Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, partisipasi pemerintah juga dapat dilakukan dengan mendukung WALHI sebagai organisasi lingkungan hidup dalam menumpas korporasi.

40


DAFTAR PUSTAKA Buku M. Ridha Saleh, dkk., Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi (2019), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. M. Ridha Saleh, dkk., Menghijaukan HAM (2020), Rayyana Komunikasindo.

Jurnal Tonny Samuel, ‘Penerapan Tindak Pidana Lingkungan Bagi Korporasi Dalam Penegakan Hukum Lingkungan’ (2016), 8 Socioscientia Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial. Amelia Dwi Astuti, ‘Implikasi Kebijakan Indonesia Dalam Menangani Kasus Pencemaran Lingkungan oleh PT. Freeport Terhadap Keamanan Manusia Di Mimika Papua’ (2018) 4 Journal of International Relations UNDIP. Anih Sri Suryani ‘Perizinan Lingkungan Dalam Undang-undang Cipta Kerja Dan Dampaknya Terhadap Kelestarian Lingkungan’ (2020), XII Info Singkat.

Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Ham (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245). Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 32).

41


GREEN ENERGY SEBAGAI WUJUD INDONESIA MENGATASI CLIMATE CHANGE DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Noering Ratu Fatheha Fauziah Sejati dan Nadilla Mayang Chahyani Fakultas Hukum Universitas Airlangga ABSTRAK Lingkungan hidup merupakan realitas yang harus dijaga, dirawat, dan dikembangkan guna menunjang kesuksesan hidup manusia, baik secara fisik maupun mental. Lingkungan yang baik dan sehat merupakan Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H UUD NRI 1945. Namun, ada kalanya lingkungan hidup mengalami kerusakan yang mana ditimbulkan oleh manusia atau secara alamiah terjadi. Salah satu problematika lingkungan hidup adalah perubahan iklim. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia memenuhi komitmen Internasional guna mengatasi climate change, sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Menurut laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada bulan September 2020 lalu Indonesia berada pada perubahan iklim yang ekstrim. Suhu udara rata-rata saat itu meningkat 0,6°C yang mencapai 27,2°C. Sehingga, Indonesia perlu mengupayakan penanganan perubahan iklim mengingat lambannya pemanfaatan green energy akibat terkendala kebijakan yang kurang mendukung. Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Penulisan ini bertujuan menelaah kebijakan green energy apa yang dilakukan pemerintah Indonesia guna mengatasi climate change dan keterkaitan kebijakan green energy terhadap HAM. Green energy diwujudkan dengan beberapa implementasi kebijakan seperti praktik green financing dan green constitution yang dilakukan pemerintah Indonesia. Oleh karenanya, penerapan kebijakan green energy penting diterapkan di seluruh sendi kehidupan. Kata Kunci: Climate Change, Green Energy, Hak Asasi Manusia.

42


BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Saat ini bahaya krisis iklim semakin menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan masyarakat dunia. Kondisi iklim yang terus memburuk diakibatkan dari pola perilaku manusia yang semakin konsumtif. Dimulai dari penggunaan bahan bakar fosil yang semakin tinggi, deforestasi yang masif, dan meningkatnya pengadaan lahan agrikultur menjadi penyebab terjadinya krisis iklim. Untuk itu, masyarakat global dituntut untuk mengambil langkah nyata untuk mengatasi persoalan lingkungan untuk mencegah kerusakan lingkungan yang semakin parah. Hal ini yang menyadari terbentuknya tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals). Salah satunya yaitu menjamin energi bersih dan terjangkau bagi seluruh masyarakat di dunia. Energi adalah komoditas strategis yang mempengaruhi keberlangsungan pembangunan dalam pengelolaannya memerlukan ketelitian dan kebijaksanaan. Di Indonesia penggunaan energi masih didominasi oleh penggunaan energi tak terbarukan yang berasal dari fosil, khususnya minyak bumi dan batu bara1, namun seiring berjalannya waktu, ketersediaan energi fosil semakin menipis sehingga untuk mengantisipasinya menggunakan energi baru terbarukan (Selanjutnya disebut EBT) yang merupakan alternatif terbaik.2 Di Indonesia EBT diharapkan tidak hanya sebagai upaya untuk mengurangi pemakaian energi fosil melainkan juga untuk mewujudkan energi bersih atau ramah lingkungan.3 EBT harus segera dikembangkan secara nasional karena apabila tetap bergantung pada energi terbarukan maka akan menimbulkan 3 (tiga) ancaman serius, yaitu (1) Menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui (bila tanpa temuan sumur minyak baru); (2) Kenaikan/atau ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak, dan: (3) Polusi gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil. Permasalahan energi di Indonesia salah satunya adalah dari emisi Gas Rumah Kaca (Selanjutnya disebut GRK) dengan dampak menimbulkannya peningkatan suhu global dan Muhammad Azhar, ‘The New Renewable Energy Consumption Policy of Rare Earth Metals to Build Indonesia's National Energy Security, Conference Guidelines The 1st Sriwijaya Internasional Conference on Environmental Issues. (2018). [86]. 2 Biro Komunikasi, ‘Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jurnal Energi : Program Strategis EBTKE dan Ketenagalistrikan’ (2018) Edisi 02. [9]. 3 Aan Jaelani, ‘Renewable Energy Policy in Indonesia: The Qur’anic Scientific Signals in Islamic Economics Perspective’ (2017) International Journal of Energy Economics and Policy. Vol.7 No.4, [193]. 1

43


perubahan iklim. Di Indonesia perubahan iklim sendiri mengakibatkan terjadinya iklim ekstrim yang memicu terjadinya bencana. Bencana yang sering terjadi di Indonesia akibat GRK adalah banjir, banjir pada tahun 2020 terjadi sebanyak 1.080 kasus, ada pula kekeringan sebanyak 29 kasus, tanah longsor 577 kasus, puting beliung 880 kasus, dan gelombang pasang atau abrasi sebanyak 36 kasus.4 Beberapa krisis lingkungan hidup yang mendunia seperti sekarang setidaknya terjadi dikarenakan beberapa hal, yaitu kegagalan kebijakan pemerintah, teknologi yang tidak efisien bahkan cenderung merusak, rendahnya komitmen politik, gagasan, dan ideologi yang menyebabkan kerugian lingkungan, adanya tingkah laku dan tindakan yang menyimpang dari penegak hukum, serta individu-individu yang tidak teredukasi dengan baik.5 Oleh karena itu, pada umumnya solusi yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan lingkungan adalah membuat kebijakan yang lebih baik, penggunaan teknologi baru yang berbeda, menciptakan gagasan dan teknologi baru yang prolingkungan, serta mengubah tingkah laku, pola kebudayaan, serta meningkatkan kesadaran tiap-tiap individu. Sehingga, Indonesia perlu mengupayakan penanganan perubahan iklim dengan menerapkan kebijakan yang ramah lingkungan yang diwujudkan dengan optimalisasi beberapa implementasi kebijakan yang telah ada maupun yang kebijakan baru. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Penerapan kebijakan green energy yang dilakukan oleh Indonesia. 2. Keterkaitan penerapan kebijakan green energy terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

III. DASAR HUKUM •

Undang-undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);

Raditya Jati, ‘Sebanyak 2925 Bencana Alam Terjadi pada 2020 di Tanah Air Bencana Hidrometeorologi Mendominasi 2020’. <https://www.bnpb.go.id/berita/sebanyak-2-925-bencana-alam-terjadi-pada-2020-di-tanahair-bencana-hidrometeorologi-mendominasi> accessed 15 Mei 2021. 5 Matthias Finger, ‘Which Governance for Sustainable Development? An Organizational and Institutional Perspective’, dalam Jacob Park, Ken Conca, dan Matthias Finger, editor, ‘The Crisis of Global Environmental Governance: Towards a New Political Economy of Sustainability’, (New York: Routledge Taylor & Francis Group 2006). [125]. 4

44


Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional;

Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.

45


BAB II ANALISIS

2.1 Penerapan Kebijakan Green Energy (Green financing dan green constitution) yang dilakukan oleh Indonesia Menurut istilah green energy sering digunakan untuk menyebut sumber energi yang ramah lingkungan atau energi bersih. Pemanfaatan green energy ini banyak menimbulkan keuntungan, yaitu pertama dapat digunakan untuk mengurangi perubahan iklim; kedua, pemakaian green energy tidak dapat mengurangi sumber daya alam dan tidak merusak lingkungan. Adapun sumber green energy, di Indonesia biasa disebut dengan EBT. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi (Selanjutnya disebut dengan UU Energi), sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain a. panas bumi, b.angin bioenergi, c. Sinar matahari, d. Aliran dan terjunan air. Serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. Banyaknya isu pemanasan global telah menyadarkan bahayanya penggunaan energi fosil yang telah mencemari udara dan penyebab terjadinya GRK. Karena masih banyaknya energi fosil yang digunakan di Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat energi fosil masih menjadi penyumbang utama pembangkit listrik di Indonesia. Sumbangan energi fosil dari seluruh pembangkit listrik Indonesia mencapai 60.485 MW setara 85,31 persen dari total kapasitas terpasang nasional. Sedangkan untuk kelompok EBT baru mencapai 10.426 setara 14,71 persen dari total kapasitas terpasang. Lebih rinci, penyumbang EBT adalah pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sebanyak 2.131 MW, lalu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 6.095 MW, dan sisa 2.200 MW gabungan dari berbagai EBT.6 Sehingga, hal tersebut mendorong pemerintah untuk meningkatkan peran EBT secara terus menerus sebagai bagian dalam menjaga ketahanan dan kemandirian energi. Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (selanjutnya disebut PP KEN), target dari energi baru dan terbarukan tahun 2025 paling sedikit sebesar 23% dan 31% pada tahun 2050. Tentunya Penerapan EBT di Indonesia harus sesuai dengan Asas Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Selanjutnya disebut UU Lingkungan Hidup). Asas-asas yang Tirto.id, ‘Energi Fosil Sumbang 85 Listrik per Mei 2020 Terbanyak’, <https://tirto.id/energi-fosil-sumbang-85listrik-ri-per-mei-2020-terbanyak-pltu-fU1K> accessed 20 Mei 2021. 6

46


dimaksud adalah asas kelestarian dan keberlangsungan yaitu bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan. Karena hal tersebut, maka EBT hadir untuk menyediakan Energi yang lebih ramah lingkungan dan dapat digunakan secara terus menerus sehingga keberadaan EBT masih terjaga hingga masa yang akan datang. Asas-asas yang lain adalah :7 1.

Asas keanekaragaman hayati, yaitu bahwa perlindungan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu guna mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber alam hewani yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem;

2.

Asas Ekorigon, yaitu bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal yang ada;

3.

Asas kemanfaatan, yaitu bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya;

4.

Asas keadilan, yaitu bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender;

5.

Asas tanggung jawab negara, yaitu bahwa pemanfaatan EBT merupakan upaya pemerintah dalam melaksanakan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang baik dan dapat dilaksanakan dengan cara: negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat; negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; dan negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Faisal, ‘Urgensi Pengaturan Pengembangan Energi Terbarukan Sebagai Wujud Mendukung Ketahanan Energi Nasional’, (2021), Ensiklopedia Social Review, 3 (1). [21]. 7

47


Untuk saat ini Pemerintah sedang berfokus untuk mengejar target terkait EBT yang targetnya sebesar 23% pada 2025 mendatang. Tentunya dalam mencapai target tersebut pemerintah telah membuat beberapa rencana di sektor kelistrikan. Oleh sebab itu, Pemerintah merumuskan Kebijakan Energi Nasional (selanjutnya disebut KEN) guna mengatasi permasalahan-permasalahan yang dituangkan dalam PP KEN8 yang kemudian dijabarkan lebih rinci dalam Rencana Umum Energi Nasional (Selanjutnya disebut RUEN) yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (selanjutnya disebut Perpres RUEN).9 Dalam konteks pemanfaatan EBT, beberapa kebijakan untuk mendukung EBT selain PP KEN telah banyak dikeluarkan, beberapa diantaranya yang menjadi bahasan adalah, UU. No. 30 Tahun 2007 tentang Energi; UU. No. 21/2014 tentang Panas Bumi; UU. No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan.; PP. RI No. 70/2009 tentang Konservasi Energi.; Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan; Peraturan Menteri ESDM No. 19 Tahun 2016 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari PLTS Fotovoltaik oleh PT. PLN (Persero); Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.10 Selain upaya tersebut, Pemerintah Indonesia juga membuat kebijakan terkait green financing. Green Financing di Indonesia didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.11 Green Financing terdiri dari dimensi: 1) Mencapai keunggulan industri, sosial dan ekonomi dalam rangka mengurangi ancaman pemanasan global dan pencegahan terhadap permasalahan lingkungan hidup dan sosial lainnya; 2) Memiliki tujuan untuk terjadinya pergeseran target menuju ekonomi rendah karbon yang kompetitif; 3) Secara strategis mempromosikan investasi ramah lingkungan hidup di berbagai sektor usaha/ekonomi; dan 4) Mendukung prinsip-prinsip pembangunan Indonesia sebagaimana tercantum dalam RPJM, yaitu 4P (pro-growth, projobs, pro-poor, dan pro-environment). Istilah Green Financing sebenarnya mulai mengemukan dalam satu dekade terakhir seiring dengan munculnya gerakan untuk mengurangi emisi dan polusi guna mempercepat pemulihan kondisi lingkungan dan

8

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. 10 Fikri Adzikri, ‘Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia’, [3]. 11 Tia Yuliawati, ‘Efektivitas Implementasi Green Financing Sebagai Alternatif Pembiayaan Berkelanjutan Bagi UMKM Sektor Industri Pengolahan Alas Kaki di Kota Bandung’, (2017). 9

48


menggalakkan gaya hidup yang ramah lingkungan. Dampak emisi gas karbon monoksida yang dihasilkan oleh industri menimbulkan efek GRK. Akhir-akhir ini dampak dari e semakin dirasakan oleh penduduk Bumi. Tanpa adanya pengurangan emisi dan polusi secara serius, diperkirakan dalam beberapa dekade ke depan Bumi menjadi semakin tidak seimbang. Hal ini bukan hanya akan menimbulkan bencana ekologi, tetapi juga bencana ekonomi.12 Terdapat pula upaya seperti implementasi konsep green constitution yang dapat menjadi solusi kebijakan pemerintah yang pro-lingkungan. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Green constitution adalah prinsip yang menerapkan konstitusionalitas norma hukum lingkungan ke dalam konstitusi dengan meningkatkan derajat norma lingkungan hidup ke tingkat konstitusi.13 Sehingga, dalam merumuskan segala kebijakan ataupun peraturan, diwajibkan untuk memperhatikan wawasan lingkungan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Selaras dengan UUD NRI 1945, konsep green constitution dirumuskan beberapa ketentuan yaitu Pertama, Pasal 28H ayat (1) yang pada intinya mencerminkan hak asasi manusia yang dimaksud adalah hak kolektif dan hak pembangunan, serta hak atas lingkungan hidup. Kedua, Pasal 33 ayat (4) yang mencerminkan pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan dinyatakan secara konstitusional. Ketiga, tercermin dalam Pasal 44 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UUPPLH) yang menghendaki konsep green constitution yang diimplementasikan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional maupun daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup, serta prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai amanat UUPPLH.14

2.2 Keterkaitan Penerapan Kebijakan Green Energy dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Pengaturan hak atas lingkungan hidup dalam hukum positif Indonesia tercantum di dalam konstitusi dan di beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Terutama dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang mengamanatkan pada hakikatnya sumber daya alam harus dipergunakan sebesar-

Eri Hariyanto dan Widyaiswara, ‘Green Financing, Sukuk Negara, dan Pembangunan Berkelanjutan’,<https://www.djppr.kemenkeu.go.id/page/load/2269> accessed 23 Mei 2021. 13 Jimly School Law and Government, ‘Green Constitution’, (2017), <https://www.jimlyschool.com/diklat/greenconstitution/> accessed 25 Mei 2021. 14 Yusa, I. G., & Hermanto, B,’ Implementasi Green Constitution di Indonesia: Jaminan Hak Konstitusional Pembangunan Lingkungan Hidup Berkelanjutan’, (2018), Jurnal Konstitusi, 15(2). [306-326]. 12

49


besarnya bagi kemakmuran rakyat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD NRI 1945. Selain itu, Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Terkait hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tercermin pula dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Selanjutnya disebut UU PT) terkait tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam ketentuan Pasal 74 dinyatakan secara khusus bahwa suatu perseroan dalam menjalankan kegiatan eksplorasi terhadap sumber daya alam, dibebani tanggung jawab sosial dan lingkungan yang bertujuan untuk “penyelamatan” sumber daya alam yang semakin masif mengalami kerusakan.15 Dari tanggung jawab itulah mendorong perseroan menerapkan beberapa kebijakan yang memuat persyaratan berbasis lingkungan yang diterapkan pula dalam perdagangan internasional seperti, eco-labelling, eco-efficiency, dan cleaner production. Dalam perspektif hak asasi manusia, pemenuhan hak atas ekonomi dan lingkungan hidup dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, khususnya dalam Pasal 22 yang menyatakan bahwa, “Setiap orang sebagai anggota masyarakat berhak atas jaminan sosial dan terwujudnya hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan perkembangan kepribadiannya dengan bebas, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, sesuai dengan pengaturan dan sumber daya yang ada pada setiap negara”. Tak hanya itu, pada konsideran “pada huruf a” UU PPLH disebutkan bahwa: “Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Pada Pasal 3 UUPPLH disebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk melindungi wilayah dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia, menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem serta menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Beberapa ketentuan tersebut menandakan bahwa lingkungan hidup merupakan hak asasi manusia yang dilindungi dan diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.16

Laurensius Arliman.’ Eksistensi Hukum Lingkungan dalam Membangun Lingkungan Sehat Di Indonesia’, (2018), Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, 5(1), [761-770]. 16 Ibid. 15

50


Selain diatur pula dalam hukum nasional, hak asasi atas lingkungan hidup termaktub dalam hukum internasional yang diakui oleh seluruh dunia. Sebab, konsep hak asasi manusia dalam wujud perlindungan lingkungan hidup merupakan hak dasar yang sifatnya universal. Dalam ketentuan Pasal 1 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR), keduanya menyatakan bahwa semua bangsa memiliki hak atas penentuan nasib sendiri, baik menentukan status politik maupun mengejar perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya. Serta, semua bangsa yang memiliki tujuan masing-masing, dapat secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban apapun yang muncul dari kerjasama internasional berdasarkan prinsip saling menguntungkan dalam hukum internasional.17 Sehingga dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak suatu bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri dan tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun. Kedua kovenan tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 terkait ICCPR dan Undangundang Nomor 11 Tahun 2005 terkait ICESCR.

Setyo Utomo,.’ Pengaruh pembangunan di era globalisasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat’, (2014), Jurnal Pembaharuan Hukum, , 1(3) [258-266]. 17

51


BAB III PENUTUP Kondisi iklim yang kian memburuk mengharuskan seluruh dunia untuk menemukan jalan keluar guna mengatasinya. Terlebih kondisi iklim yang buruk diakibatkan oleh pola perilaku manusia yang tidak memperhatikan lingkungan. Beberapa kegiatan yang memengaruhi kondisi iklim tersebut yaitu penggunaan bahan bakar fosil yang semakin tinggi, deforestasi yang masif, dan meningkatnya pengadaan lahan agrikultur menjadi penyebab terjadinya krisis iklim. Untuk itu, diperlukan upaya guna mengatasi hal terssebut, salah satunya dengan menerapkan green energy. Green Energy pada implementasinya telah termaktub dalam ketentuan Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 Tentang Energi dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Beberapa ketentuan tersebut mendorong pemerintah untuk meningkatkan peran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) secara terus menerus sebagai bagian dalam menjaga ketahanan dan kemandirian energi. Penerapan green energy yang dimaksud adalah melalui penggunaan energi baru dan terbarukan. Hal ini bertujuan untuk menjaga lingkungan hidup agar dapat lestari serta memperbaiki kualitas lingkungan dengan memerhatikan asas kelestarian dan asas keberlangsungan. Dalam menerapkan green energy, pemerintah perlu mengupayakan dukungan kebijakan untuk menyertainya yaitu dengan penerapan kebijakan green financing dan green constitution. Hal ini harus diupayakan dengan baik karena hak atas lingkungan hidup merupakan hak asasi manusia yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Tak hanya termaktub dalam hukum positif di Indonesia yaitu Pasal 28H UUD NRI 1945, melainkan tercantum dalam ketentuan hukum internaisonal yaitu ICCPR dan ICESCR.

52


DAFTAR PUSTAKA Jurnal Aan Jaelani, ‘Renewable Energy Policy in Indonesia: The Qur’anic Scientific Signals in Islamic Economics Perspective’ (2017) International Journal of Energy Economics and Policy. Vol.7 No.4, [193]. Biro Komunikasi, ‘Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jurnal Energi: Program Strategis EBTKE dan Ketenagalistrikan’ (2018) Edisi 02. [9]. Faisal, ‘Urgensi Pengaturan Pengembangan Energi Terbarukan Sebagai Wujud Mendukung Ketahanan Energi Nasional’, (2021), Ensiklopedia Social Review, 3 (1). [21]. Fikri Adzikri, ‘Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia’, [3]. Laurensius Arliman.’ Eksistensi Hukum Lingkungan dalam Membangun Lingkungan Sehat Di Indonesia’, (2018), Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, 5(1), [761-770]. Matthias Finger, ‘Which Governance for Sustainable Development? An Organizational and Institutional Perspective’, dalam Jacob Park, Ken Conca, dan Matthias Finger, editor, ‘The Crisis of Global Environmental Governance: Towards a New Political Economy of Sustainability’, (New York: Routledge Taylor & Francis Group 2006). [125]. Muhammad Azhar, ‘The New Renewable Energy Consumption Policy of Rare Earth Metals to Build Indonesia's National Energy Security, Conference Guidelines The 1st Sriwijaya Internasional Conference on Environmental Issues. (2018). [86]. Muhammad Azhar, ‘The New Renewable Energy Consumption Policy of Rare Earth Metals to Build Indonesia's National Energy Security, Conference Guidelines The 1st Sriwijaya Internasional Conference on Environmental Issues. (2018). [86]. Muhammad Aziz Ali Mutia, ‘Evaluasi Kebijakan Indonesia : Peningkatan Investasi Asing di Sektor Kelistrikan Berbasis Green Energy’, (2019), Oisaa Journal of Indonesia Emas, 2(1). [33]. Setyo Utomo,.’ Pengaruh pembangunan di era globalisasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat’, (2014), Jurnal Pembaharuan Hukum, , 1(3) [258-266]. Tia Yuliawati, ‘Efektivitas Implementasi Green Financing Sebagai Alternatif Pembiayaan Berkelanjutan Bagi UMKM Sektor Industri Pengolahan Alas Kaki di Kota Bandung’, (2017). Yusa, I. G., & Hermanto, B,’ Implementasi Green Constitution di Indonesia: Jaminan Hak Konstitusional Pembangunan Lingkungan Hidup Berkelanjutan’, (2018), Jurnal Konstitusi, 15(2). [306-326].

53


Internet CNBC Indonesia, ‘Demi Green Energy Pemerintah Bakal Pensiunkan Pitu Tua, <https://www.cnbcindonesia.com/news/20201124175217-4-204312/demi-greenenergy-pemerintah-bakal-pensiunkan-pltu-tua> accessed 18 Mei 2021. Eri Hariyanto dan Widyaiswara, ‘Green Financing, Sukuk Negara, dan Pembangunan Berkelanjutan’,<https://www.djppr.kemenkeu.go.id/page/load/2269> accessed 23 Mei 2021. Jimly

School Law and Government, ‘Green Constitution’, (2017), <https://www.jimlyschool.com/diklat/green-constitution/> accessed 25 Mei 2021.

Raditya Jati, ‘Sebanyak 2925 Bencana Alam Terjadi pada 2020 di Tanah Air Bencana Hidrometeorologi Mendominasi 2020’. <https://www.bnpb.go.id/berita/sebanyak-2925-bencana-alam-terjadi-pada-2020-di-tanah-air-bencana-hidrometeorologimendominasi> accessed 15 Mei 2021. Tirto.id, ‘Energi Fosil Sumbang 85 Listrik per Mei 2020 Terbanyak’, <https://tirto.id/energifosil-sumbang-85-listrik-ri-per-mei-2020-terbanyak-pltu-fU1K> accessed 20 Mei 2021. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756). Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.

54


PENGATURAN IZIN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA DALAM RANGKA PEMENUHAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA Amirah Zalfa Arindya dan Tazkia Nanini Fakultas Hukum Universitas Airlangga ABSTRAK Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi bagi setiap Warga Negara Indonesia yang dinyatakan dalam Pasal 28H (1) UUD NRI 1945. Dewasa ini, isu lingkungan menjadi perhatian karena banyaknya terjadi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tindakan manusia seperti meningkatnya sampah plastik yang berdampak pada tingginya angka emisi karbon, pencemaran lingkungan akibat limbah perusahaan, dan lain-lain. Selain tindakan pencemaran lingkungan secara riil, juga terdapat tindakan pemerintahan yang secara langsung memberikan dampak kerusakan lingkungan yaitu terkait Penerbitan Izin Usaha. Pada dasarnya, salah satu tujuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (UU PPLH) adalah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dalam hal ini, pemerintah bertindak sebagai bestuur yang mengatur terkait Izin dan sebagai pihak yang memberikan persetujuan pemberian Izin dengan berdasarkan pada norma Hukum Administrasi sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Perizinan merupakan instrumen yuridis dan preventif dalam Hukum Administrasi sebagai bentuk pelayanan publik dalam rangka mengatur, serta memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Sehingga pelaksanaan perizinan harus dilakukan dengan baik untuk mewujudkan good governance. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), telah mengubah maupun menghapus beberapa ketentuan dalam UU PPLH khususnya yang berkaitan dengan Penerbitan Izin Usaha. Penelitian ini berfokus pada perubahan pengaturan izin usaha dalam UU Cipta Kerja dan kaitannya dengan kewajiban pemerintah serta pemerintah daerah dalam memenuhi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kata Kunci: Izin Usaha, Perizinan, Lingkungan, Pembangunan Berkelanjutan, UU Cipta Kerja

55


BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia seperti pembabatan hutan1, pengolahan limbah industri yang buruk2, kebakaran hutan3, polusi udara oleh angkutan kendaraan berat4, dan lain sebagainya. Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut sebagai UUD NRI 1945) menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap orang. Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang baik dan sehat, pemerintah telah membuat sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (Selanjutnya disebut sebagai UU PPLH). Berkaitan dengan aktivitas perusahaan, UU PPLH mengatur mengenai izin lingkungan dan izin usaha. Pada dasarnya, Izin merupakan suatu persetujuan dari pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk keadaan tertentu yang menyimpang dari ketentuan larangan. Ditinjau dari hukum administrasi, pemerintah dalam memberikan izin harus memiliki legalitas izin yakni ditinjau dari wewenang, substansi, dan prosedur yang didasarkan pada dua norma hukum administrasi yakni Undang-Undang dan Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik (AUPB) yang diatur dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam hal izin usaha, berdasarkan pasal 22 ayat (1) Jo. Pasal 36 UU PPLH, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), selanjutnya setiap kegiatan usaha yang wajib AMDAL maka wajib memiliki izin lingkungan terlebih dahulu untuk mendapatkan izin usaha. Namun, Pada tanggal 2 November 2020 telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Selanjutnya disebut sebagai

Suara.com, ‘KLHK Tagih Perusahaan Pembabat Hutan Rp 16,2 Triliun’ (Suara.com, 2021), <https://www.suara.com/news/2018/09/11/091118/klhk-tagih-perusahaan-pembabat-hutan-rp-162triliun?page=all>, accessed 9 Mei 2021. 2 Kompas TV Kediri, ‘Limbah Pabrik Susu Cemari Sungai dan Sumur Warga’ (Kompas TV, 2020), <https://www.kompas.tv/article/64179/limbah-pabrik-susu-cemari-sungai-dan-sumur-warga>, accessed pada 9 Mei 2021. 3 BBC News, ‘Kebakaran hutan: Sejumlah perusahaan di balik karhutla 2015-2018 lolos dari sanksi serius‘, <https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49806272> (BBC News, 2019), accessed pada 9 Mei 2021. 4 Eka Hindrati, ‘Pabrik Semen Yang Merusak Lingkungan, Masyarakat Adat Yang Merawat Lingkungan’ (AMAN, 2019),<http://www.aman.or.id/2019/05/pabrik-semen-yang-merusak-lingkungan-masyarakat-adatyang-merawat-lingkungan/>, accessed pada 9 Mei 2021. 1

56


UU Cipta Kerja) maka UU Cipta Kerja mulai berlaku pada saat itu.5 Beberapa ketentuan di dalam UU Cipta Kerja mengubah ketentuan izin lingkungan serta izin usaha yang diatur dalam UU PPLH. Pasal 3 huruf i UU PPLH menyatakan bahwa salah satu tujuan dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Hal ini bukan klausul yang diubah di dalam UU Cipta Kerja, dengan demikian klausul ini masih berlaku. Yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan adalah segala upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Hal ini bersesuaian dengan Pasal 28H UUD NRI 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap orang. Dengan perubahan pengaturan mengenai izin usaha tentu saja berdampak pada proses mendapatkan izin usaha. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perubahan izin usaha yang diatur di dalam UU Cipta Kerja yang telah menghapus dan mengubah beberapa ketentuan yang ada di dalam UU PPLH telah sesuai dengan tujuan pengelolaan dan pelestarian Lingkungan hidup yakni pembangunan berkelanjutan yang merupakan upaya pemenuhan dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak konstitusional masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan diteliti dalam legal review ini, yakni sebagai berikut: 1.

Bagaimana pengaturan izin usaha dalam UU Cipta Kerja?

2.

Apakah pengaturan izin usaha dalam UU Cipta Kerja telah memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia?

1.3

Dasar Hukum Adapun dasar hukum yang digunakan penulis adalah sebagai berikut: •

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 56);

CNN Indonesia, ‘UU Cipta Kerja Resmi Berlaku Terhitung 2 November 2020’ (CNN Indonesia, 2020), <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201103153739-32-565384/uu-cipta-kerja-resmi-berlaku-terhitung2-november-2020>, accessed pada 8 Mei 2021. 5

57


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 nomor 245);

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140);

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292);

Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

58


BAB II ANALISIS 2.1. Pengaturan Izin Usaha Sebelum Dan Sesudah UU Cipta Kerja 2.1.1. Pengaturan Izin Usaha sebelum berlaku UU Cipta Kerja Izin adalah suatu persetujuan dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuanketentuan larangan perundang-undangan.6 Izin diterbitkan oleh pemerintah, oleh sebab itu berlaku asas legalitas sebagai prinsip utama dalam setiap negara hukum, yang memiliki arti bahwa setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi berupa kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dalam

Undang-Undang

Nomor

30

Tahun

2014

tentang

Administrasi

Pemerintahan, pada Pasal 1 angka 19 mengatur bahwa Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.7 Dalam hal ini, pemerintah bertindak sebagai bestuur yang mengatur terkait Izin dan sebagai pihak yang memberikan persetujuan pemberian izin dengan berdasarkan pada norma Hukum Administrasi sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Fungsi utama adanya Izin adalah sebagai sarana kepastian hukum bagi pemegang izin untuk melakukan aktivitas yang dilarang dalam suatu peraturan perundang undangan. Selain sebagai sarana kepastian hukum, izin digunakan sebagai sarana bagi pemerintah untuk mengendalikan aktivitas tertentu yang dapat mengganggu hak orang lain atau lingkungan.8 Izin merupakan suatu norma berhubungan yang disebut juga dalam istilah Belanda sebagai Ketting Vergunning, yang berarti izin berantai. Berdasarkan sifatnya, norma izin bersifat saling berkaitan dengan izin yang lainnya.9 Bahwa dalam penerbitan suatu izin, harus memenuhi beberapa norma-norma lain terlebih dahulu. Atau dalam hal ini sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa suatu Izin baru bisa dikeluarkan apabila memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Sama halnya dengan Izin Usaha, Izin Usaha merupakan salah satu bentuk izin yang saling berkaitan dengan izin 6

Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya: YURIDIKA, 1993, [2] Pasal 1 angka 19 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan 8 Tatik Sri Djatmiati, ‘Prinsip Izin Usaha industri di Indonesia’, Disertasi, (Program Pascasarjana Universitas Airlangga 2004), [1]. 9 Andri Gunawan Wibisana, ‘Pengelolaan Lingkungan Melalui Izin Terintegrasi Dan Berantai: Sebagai Perbandingan Atas Perizinan Lingkungan Di Berbagai Negara’ (2018) 2 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-48 7

59


yang lainnya. Kemudian apa yang dimaksud dengan Izin Usaha dan apa kaitannya dengan izin lainnya? Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan ketentuan mengenai Izin Usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengaturan Izin Usaha sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (yang selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) terlebih dahulu diatur dalam ketentuan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (yang selanjutnya disebut UU PPLH). Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.10 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 35 UU PPLH, diatur bahwa Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.11 Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa Izin Usaha berkaitan dengan izin lainnya yaitu dalam hal ini adalah Izin Lingkungan. Bahwa ketentuan dalam UU PPLH mengatur bahwa untuk dapat memperoleh Izin Usaha, terlebih dahulu harus dipenuhi persyaratan izin lingkungan. Hal tersebut dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 40 UU PPLH yang mengatur sebagai berikut: (1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. (2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. (3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.12 Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1 angka 35 jo. Pasal 40 (1) UU PPLH telah jelas bahwa prasyarat terbitnya izin usaha adalah dengan memenuhi izin lingkungan terlebih dahulu. Terkait tidak terpenuhinya Izin lingkungan pada Izin Usaha yang telah terbit, dalam UU PPLH dibuka peluang Gugatan Administratif, dan bahkan terdapat sanksi pidana terhadap tindakan tersebut. Berdasarkan Pasal 93 UU PPLH mengatur mengenai Gugatan Administratif:

10

Pasal 1 angka 36 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Ibid, Ps. 1 angka 35 UU PPLH 12 Ibid, Ps. 40 UU PPLH 11

60


(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila: a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal; b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. (2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.13 Kemudian dalam Pasal 111 (2) UU PPLH mengatur mengenai sanksi pidana: Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 14

2.1.2. Perubahan pengaturan Izin Usaha setelah berlakunya UU Cipta Kerja a.

Perubahan ketentuan AMDAL dalam UU Cipta Kerja Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa berdasarkan pasal 22 ayat (1) UU PPLH, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. Terdapat beberapa perubahan terkait AMDAL dalam UU CIPTA Kerja, yakni sebagai berikut: i.

Peran masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAL dipersempit Pasal 26 ayat (1) UU PPLH menyatakan bahwa dokumen AMDAL disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. Selanjutnya dalam pasal 26 ayat (3) dinyatakan bahwa masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

13 14

a)

masyarakat yang terkena dampak;

b)

pemerhati lingkungan hidup; dan/atau

Ibid, Ps. 93 UU PPLH Ibid, Ps. 111 (2) UU PPLH

61


c)

masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, pasal 26 ayat (2) diubah dengan

masyarakat yang dimaksud adalah hanya masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa peran pemerhati lingkungan dalam penyusunan dokumen AMDAL yang sebelumnya ada menjadi tidak ada. Selain itu, dalam UU Cipta Kerja masyarakat yang dilibatkan dalam penyusunan dokumen AMDAL hanya terbatas pada masyarakat yang terkena dampak, sedangkan dalam UU PPLH masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL juga dilibatkan dalam penyusunan dokumen AMDAL. Selanjutnya dalam pasal 26 ayat (2) UUPPLH menyatakan bahwa pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan kegiatan masyarakat. Ketentuan pasal 26 ayat (2) ini dihapus dalam UU Cipta Kerja. Dalam hal ini, berarti setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak pada lingkungan, dalam melakukan penyusunan dokumen AMDAL tidak perlu memberikan informasi yang transparan dan lengkap kepada masyarakat. ii.

Dihapusnya pengajuan keberatan masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAL Pasal 26 ayat (4) UU PPLH menyatakan bahwa masyarakat yang terlibat dalam penyusunan AMDAL dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL. Dalam UU Cipta Kerja, ketentuan pasal 26 ayat (4) tersebut dihapus. Dengan demikian, apabila masyarakat merasa keberatan atas dokumen AMDAL yang akan diterbitkan, masyarakat tidak memiliki dasar untuk mengajukan keberatan terhadap penyusunan dokumen AMDAL tersebut.

iii.

Perubahan penilaian AMDAL Pasal 29 ayat (1) UU PPLH menyatakan bahwa dokumen AMDAL dinilai oleh komisi penilai AMDAL yang dibentuk oleh Menteri, Gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Selanjutnya pasal 30 62


ayat (1) UU PPLH menyatakan siapa-siapa saja yang dimaksud dengan Komisi penilai AMDAL yakni sebagai berikut: a)

instansi lingkungan hidup;

b)

instansi teknis terkait;

c)

pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;

d)

pakar di bidang pengetahuan

e)

terkait dengan dampak yang timbul dari

f)

suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;

g)

wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak;

h)

dan organisasi lingkungan hidup. Dalam pasal 31 UU PPLH menyatakan bahwa Berdasarkan hasil

penilaian Komisi Penilai, Amdal, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya. Ketentuan pasal 29, pasal 30, dan pasal 31 UU PPLH dihapuskan dalam UU Cipta Kerja. Dengan demikian, UU Cipta Kerja menghapuskan Komisi Penilai AMDAL. UU Cipta Kerja menghapus Komisi Penilai AMDAL, namun mengatur mengenai Tim Uji Kelayakan dalam pasal 24 UU Cipta Kerja. Sebelumnya dalam pasal 24 UU PPLH hanya mengatur bahwa dokumen AMDAL merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Namun, UU Cipta Kerja mengubah pasal 24 menjadi pasal 24 ayat (1) jo pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa dokumen AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan, yang mana uji kelayakan tersebut dilakukan oleh tim uji kelayakan yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup Pemerintah Pusat. Selanjutnya dalam pasal 24 ayat (3) dinyatakan bahwa tim uji kelayakan lingkungan hidup tersebut terdiri atas unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat. Dalam hal ini tim uji kelayakan yang dimaksud tidak diatur secara spesifik seperti Komisi Penilai yang diatur dalam UU PPLH. Padahal terdapat poin penting yang ada dalam Komisi Penilai AMDAL yakni wakil dari masyarakat yang berpotensi terdampak. Hal ini seharusnya menjadi wadah untuk masyarakat turut menilai dokumen AMDAL, namun hal tersebut diubah dalam UU Cipta Kerja dengan Tim Uji 63


Kelayakan yang hanya meliputi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat tanpa adanya peran dari masyarakat. iv.

Dihapusnya ketentuan izin lingkungan Pasal 36 ayat (1) UU PPLH menyatakan bahwa setiap kegiatan usaha yang wajib AMDAL, wajib memiliki izin lingkungan terlebih dahulu untuk mendapatkan izin usaha. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa AMDAL menjadi tahapan yang harus dipenuhi untuk terbitnya izin usaha. Namun, ketentuan ini dihapus dalam UU Cipta Kerja Selanjutnya, pasal 40 UU PPLH menyatakan bahwa Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan ini juga dihapus di dalam UU Cipta Kerja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam UU Cipta Kerja izin lingkungan bukan merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin usaha berarti tidak adanya kepastian hukum terkait kedudukan AMDAL dalam UU Cipta Kerja. Dalam hal ini, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan untuk mendapatkan izin usaha dengan perizinan usaha berbasis risiko. Dalam UU Cipta Kerja, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perizinan berusaha berbasis risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. Selanjutnya pasal 7 ayat (7) menyatakan bahwa Tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi tiga yakni:

b.

a)

kegiatan usaha rendah;

b)

kegiatan usaha berisiko menengah; atau

c)

kegiatan usaha berisiko tinggi.

Upaya Hukum Pasal 93 (1) huruf c UUPPLH mengatur mengenai gugatan administratif yang pada dasarnya setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap KTUN (izin usaha) yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. Namun, ketentuan pasal 93 UU PPLH dihapus dalam UU Cipta Kerja. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi memiliki upaya hukum untuk melakukan gugatan administratif dalam penerbitan izin usaha. Selanjutnya pasal 111 UU PPLH bagi pejabat yang menerbitkan izin usaha tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan dapat dikenai sanksi pidana. Namun, ketentuan tersebut diubah dalam UU Cipta Kerja yang mengatur pengenaan sanksi pidana hanya dimungkinkan bagi pejabat pemberi persetujuan 64


lingkungan tanpa dilengkapi AMDAL atau UKL UPL dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak tiga miliar rupiah. 2.2. Pengaturan Izin Usaha Dalam UU CIPTA KERJA Dalam Rangka Pemenuhan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Pengelolaan lingkungan merupakan mata rantai (regulatory chain) yang meliputi: legislation, regulation, issuing permit, implementation, and enforcement. Dalam pengelolaan lingkungan, hukum selain berfungsi sebagai perlindungan dan kepastian bagi masyarakat (social control) juga sebagai sarana pembangunan (a tool of social engineering) dengan peran sebagai agent of development atau agent of change. Dalam fungsinya sebagai sarana pembangunan, hukum melegitimasi instrumen kebijaksanaan dalam pengelolaan lingkungan, yaitu Baku Mutu lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan perizinan lingkungan.15 Pengaturan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia berawal dari adanya ketentuan dalam Pasal 28 H (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan awal mula konsep Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Kemudian diatur lebih spesifik dalam UU PPLH dan masih berlaku pasca UU Cipta Kerja khususnya mengenai Tujuan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf i yaitu mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Negara Indonesia merupakan salah satu negara anggota Perserikatan BangsaBangsa yang berperan aktif dalam penentuan sasaran Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sebagaimana tertuang dalam dokumen Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. Oleh karenanya, sebagai komitmen pemerintah

dalam

pelaksanaan

pencapaian

Tujuan

Pembangunan

Berkelanjutan/Sustainable Development Goals, perlu adanya penyelarasan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, sehingga kemudian diatur pada Peraturan Presiden No 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan berdasarkan UU Cipta Kerja diartikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke 15

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Airlangga University Press 2003), Cetakan III. [430].

65


dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.16 Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (1990), pembangunan dapat diukur keberlanjutannya berdasarkan tiga kriteria yakni:17 a.

tidak ada pemborosan penggunaan sumber daya alam (SDA);

b.

tidak ada polusi dan dampak lingkungan lainnya;

c.

kegiatannya harus dapat meningkatkan useable resources atau replaceable resource (sumber daya yang dapat diperbarui). Dalam rangka pemenuhan Pembangunan Berkelanjutan, perlu pemahaman

mendasar bahwa pemanfaatan lingkungan perlu didasari oleh kebijakan dan upaya pengelolaan sumber daya alam yang rasional. Artinya, pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup harus seimbang dengan pelestariannya. SDA harus tetap terjaga kelestariannya karena kebutuhan akan pemenuhan SDA akan terus berlanjut. Dengan demikian, pada pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan SDA, perlu ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan.18 Setelah diketahui bahwa ketentuan izin lingkungan dalam UU Cipta Kerja bukan merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin usaha berarti tidak adanya kepastian hukum terkait kedudukan AMDAL dalam UU Cipta Kerja. Hal tersebut bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Dimana pemenuhan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan eksistensi Izin lingkungan merupakan satu bagian yang tak terpisahkan. Kondisi ini hanya akan menempatkan pembangunan dalam perspektif jangka pendek karena tidak mengaplikasikan lingkungan hidup dalam pembangunan ekonomi.19 Dengan demikian, berubahnya prasyarat mendapatkan Izin Usaha dengan tidak melibatkan Izin Lingkungan secara langsung berpengaruh pada tidak terpenuhinya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

16

Pasal 1 angka 3 Perubahan UU PPLH dalam UU Cipta Kerja Nur Arief Hapsoro dan Kresensia Bangun, ‘Perkembangan Pembangunan Berkelanjutan Dilihat Dari Aspek Ekonomi Di Indonesia’ (2020) Lakar 03.[89]. 18 AL Sentot Sudarwanto dan Dona Budi Karisma, ‘Omnibus Law dan Izin Lingkungan dalam konteks Pembangunan Berkelanjutan’ (2020) 9 Jurnal RechtsVinding. [7]. 19 Sudharto P Hadi, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan (Gadjah Mada University Press 2001).[2]. 17

66


BAB III PENUTUP Tujuan dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup salah satunya adalah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan demi menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Dalam dunia usaha, izin usaha merupakan instrumen penting karena tanpa adanya izin usaha maka pengusaha tidak dapat menjalankan usahanya. Dalam hal ini, Izin Lingkungan sebagai persyaratan untuk dapat memperoleh Izin Usaha memegang peran penting untuk mencegah kerusakan lingkungan yang dapat terjadi dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya, pengusaha perlu memenuhi AMDAL untuk mendapatkan izin lingkungan. Ketentuan izin usaha dalam UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan pembangunan berkelanjutan, dengan alasan sebagai berikut: a.

Peran masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAL dipersempit serta tidak adanya upaya hukum administrasi maupun keberatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat; dan

b.

Prasyarat mendapatkan Izin Usaha tidak lagi melibatkan Izin Lingkungan secara langsung.

67


DAFTAR PUSTAKA Buku Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya: YURIDIKA, 1993. Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Airlangga University Press 2003), Cetakan III. Sudharto P Hadi, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan (Gadjah Mada University Press 2001).

Makalah/artikel Tatik Sri Djatmiati, ‘Prinsip Izin Usaha industri di Indonesia’, Disertasi, (2004) Program Pascasarjana Universitas Airlangga.

Jurnal AL Sentot Sudarwanto dan Dona Budi Karisma, ‘Omnibus Law dan Izin Lingkungan dalam konteks Pembangunan Berkelanjutan’ (2020) 9 Jurnal RechtsVinding. Andri Gunawan Wibisana, ‘Pengelolaan Lingkungan Melalui Izin Terintegrasi Dan Berantai: Sebagai Perbandingan Atas Perizinan Lingkungan Di Berbagai Negara’ (2018) 2 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-48 Nur Arief Hapsoro dan Kresensia Bangun, ‘Perkembangan Pembangunan Berkelanjutan Dilihat Dari Aspek Ekonomi Di Indonesia’ (2020) Lakar 03. Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Airlangga University Press 2003), Cetakan III.

Internet BBC News, ‘Kebakaran hutan: Sejumlah perusahaan di balik karhutla 2015-2018 lolos dari sanksi serius‘, <https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49806272> (BBC News, 2019), accessed pada 9 Mei 2021. CNN Indonesia, ‘UU Cipta Kerja Resmi Berlaku Terhitung 2 November 2020’ (CNN Indonesia, 2020), <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201103153739-32565384/uu-cipta-kerja-resmi-berlaku-terhitung-2-november-2020>, accessed pada 8 Mei 2021. Eka Hindrati, ‘Pabrik Semen Yang Merusak Lingkungan, Masyarakat Adat Yang Merawat Lingkungan’ (AMAN, 2019),<http://www.aman.or.id/2019/05/pabrik-semen-yangmerusak-lingkungan-masyarakat-adat-yang-merawat-lingkungan/>, accessed pada 9 Mei 2021.

68


Kompas TV Kediri, ‘Limbah Pabrik Susu Cemari Sungai dan Sumur Warga’ (Kompas TV, 2020), <https://www.kompas.tv/article/64179/limbah-pabrik-susu-cemari-sungai-dansumur-warga>, accessed pada 9 Mei 2021. Suara.com, ‘KLHK Tagih Perusahaan Pembabat Hutan Rp 16,2 Triliun’ (Suara.com, 2021) <https://www.suara.com/news/2018/09/11/091118/klhk-tagih-perusahaan-pembabathutan-rp-162-triliun?page=all>, accessed 9 Mei 2021.

Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 56); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 nomor 245); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140); Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292); Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

69


IMPLIKASI LINGKUNGAN ATAS LARANGAN EKSPOR NIKEL PADA PERATURAN MENTERI ESDM NOMOR 11 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI ESDM NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Delvino Aldy Djiwandono dan Viena Yustia Fakultas Hukum Universitas Airlangga

ABSTRAK Berdasarkan data statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2018 Indonesia memiliki luas kawasan hutan yang cukup besar yaitu seluas 29.661.015,37 hektar. Dengan luasnya wilayah hutan hal tersebut memberikan keuntungan bagi Indonesia, yaitu menjadikan Indonesia sebagai paru-paru dunia dan dengan beragamnya flora dan iklim yang mendukung menciptakan keberagaman hasil mineral dan pertambangan yang terkandung di dalamnya tidak terkecuali nikel. Dengan berkembangnya tren penggunaan mobil listrik akhirakhir ini membuat komoditas nikel di Indonesia dilirik tidak hanya oleh Pemerintah tetapi juga oleh perusahaan multinasional. Hal tersebut dikarenakan nikel merupakan bahan baku dalam produksi baterai mobil listrik. Menyikapi hal tersebut Pemerintah membentuk Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara yang pada pokoknya mengatur pemberlakuan larangan ekspor nikel dan mendorong produksi nikel dalam negeri. Dengan meningkatnya produksi nikel, secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan implikasi lingkungan di sekitar wilayah pertambangan nikel maupun di sekitar smelter nikel. Dalam hal ini, apabila pemerintah hanya berfokus dalam hal kebijakan yang berkaitan untuk meningkatkan kuantitas produksi nikel tanpa memperhatikan dampak lingkungan pada lokasi pertambangan maupun lokasi smelter pengolahan nikel hal tersebut tentunya dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang cukup merugikan apabila dilakukan secara berkepanjangan. Kata Kunci: Ekspor, Nikel, Lingkungan

70


BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak tepat pada garis khatulistiwa. Dengan letak astronomis Indonesia yang berada pada 6o LU (Lintang Utara) - 11o LS (Lintang Selatan) dan 95o BT (Bujur Timur) - 141o BT (Bujur Timur) membuat Indonesia memiliki kekayaan baik kekayaan hayati maupun kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Dengan posisi Indonesia yang dilalui oleh garis khatulistiwa maka Indonesia memiliki jenis iklim berupa iklim tropis yang mana salah satu ciri dari kawasan beriklim tropis adalah adanya wilayah hutan hujan tropis yang cukup luas. tidak hanya itu, letak geografis Indonesia yang berada di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik membuat Indonesia dikelilingi wilayah lautan yang cukup luas. Indonesia sendiri memiliki total luas hutan tropis sebesar 94,1 juta hektar1 dan juga wilayah lautan sebesar 3,25 juta km2.2 Hutan dan lautan merupakan salah satu faktor terpenting yang berperan dalam pembentukan cadangan mineral Dalam dunia pertambangan. Hal tersebut dikarenakan proses pembentukan hampir sebagian besar bahan pertambangan berasal dari jasad hewan yang mati jutaan tahun lalu yang tertimbun cukup lama dan mengalami proses biokimia yang berasal dari tumbuhan pada hutan tropis. Dengan begitu luasnya hutan dan lautan di Indonesia maka tidak heran apabila Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang kaya dengan kandungan mineral yang sangat bermanfaat. Melimpahnya komoditas tambang di Indonesia menempatkan Indonesia sebagai produsen pertambangan terbesar di dunia. Dalam komoditas timah, Indonesia menempati posisi produsen terbesar kedua di dunia, posisi terbesar keempat untuk komoditas tembaga, posisi pertama untuk komoditas nikel, posisi terbesar ketujuh untuk komoditas emas, dan posisi kedelapan untuk komoditas batubara.3 Besarnya cadangan bahan-bahan tambang yang dimiliki Indonesia sepatutnya dapat digunakan sebaik mungkin. Perlu diperhatikan pula pengeksplorasian bahan tambang yang dilakukan harus memberikan kontribusi yang signifikan dalam segala

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ‘Hutan Dan Deforestasi Indonesia Tahun 2019’, (PPID, 2020), <http://ppid.menlhk.go.id>, accessed 18 Mei 2021. 2 Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, ‘Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia’, (KKP, 2020), <kkp.go.id>, accessed 18 Mei 2021. 3 Badan Pusat Staistik, ‘Produksi Tambang Mineral 2017-2019’, (BPS, 2019), <bps.go.id>., acceseed 18 Mei 2021 1

71


bidang baik dalam bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan bahkan dampak kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang sekalipun. Salah satu hasil tembang yang cukup bernilai tinggi akhir-akhir ini adalah nikel. Hal tersebut dikarenakan nikel yang menjadi bahan baku utama pembuatan baterai mobil listrik yang juga diiringi dengan tren penggunaan mobil listrik yang berkembang pesat belakangan ini. Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia yaitu sebanyak 21 juta ton.4 Itulah yang menjadi alasan utama dikeluarkannya peraturan menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 yang mengatur mengenai pelarangan ekspor nikel. Hal tersebut diharapkan Indonesia mampu mengolah hasil nikel menjadi baterai siap pakai sehingga dapat menambah nilai gunanya dibandingkan dengan melakukan ekspor nikel mentah. Dengan ambisi Indonesia yang ingin menjadi produsen baterai siap pakai terbesar, maka hal tersebut juga pastinya akan diikuti dengan pertambangan nikel yang cukup masif. Aktivitas pertambangan yang cukup masif seperti yang diketahui sudah pasti akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, diperlukan adanya peraturan atau sebuah landasan yang dapat mengakomodir tidak hanya beberapa komponen yang menjadi tujuan utama tetapi juga patut diperhatikan dampak atau implikasi dari cita-cita Indonesia dalam hal ini sebagai produsen baterai di dunia. 1.2. Rumusan Masalah 1.

Bagaimana dampak regulasi Peraturan Menteri ESDM nomor 11 Tahun 2019 terhadap peningkatan aktivitas pertambangan nikel di Indonesia?

2.

Bagaimana dampak tingginya aktivitas pertambangan nikel di Indonesia terhadap kondisi lingkungan di sekitar lokasi pertambangan?

3.

Bagaimana langkah yang dapat diambil oleh Pemerintah dalam mengantisipasi dampak lingkungan akan tingginya aktivitas pertambangan nikel di Indonesia?

1.3. Dasar Hukum •

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Anisatul Umah, ‘Bukan Main, Cadangan Nikel Indonesia Ranking 1 Dunia’, (CNBC, 2021), <cnbcindonesia.com>, accessed 24 Mei 2021. 4

72


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

73


BAB II PEMBAHASAN

2.1 Dampak Regulasi Peraturan Menteri ESDM nomor 11 Tahun 2019 Terhadap Peningkatan Aktivitas Pertambangan Nikel di Indonesia Nikel merupakan komoditas mineral strategis Indonesia di tengah kelesuan perekeonomian dunia. Saat ini cadangan nikel Indonesia mencapai 689 juta ton, selain itu juga masih terdapat 2,8 miliar ton yang masih memerlukan peningkatan faktor pengubah seperti kemudahan akses, perizinan lingkungan, dan harga untuk meningkatkan cadangan teknis menjadi terbukti, oleh karenanya pemerintah mengambil langkah antisipatif berupa pelarangan ekspor agar umur cadangan dapat memenuhi umur keekonomian smelter.5 Hal ini kemudian sejalan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang pada pokoknya mengatur tentang percepatan pelarangan ekspor nikel. Pada dasarnya tujuan dari larangan ekspor nikel tersebut yaitu memanfaatkan sumber daya nikel untuk kemakmuran negara melalui rantai pengolahan dalam negeri. Terlebih pemerintah melihat peluang besar dari berlimpahnya cadangan nikel yang dimiliki oleh Indonesia yang dapat digunakan sebagai bahan baku baterai. Namun, ambisi dan intensitas pertambangan nikel yang sedang dilaksanakan patut diperhatikan pula dampak lingkungannya. Banyaknya smelter yang ada di Indonesia menimbulkan produksi limbah yang sangat tinggi. Limbah tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan disekitar daerah smelter berada. Terlebih belum adanya regulasi terkait yang mengatur tentang limbah hasil pertambangan dari smelter selain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UU PPLH). Pertambangan dapat dilaksanakan selagi perusahaan pertambangan tersebut telah mengantongi izin sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU PPLH. Namun dalam hal ini larangan ekspor nikel yang sedang digencarkan oleh pemerintah telah membuka peluang bagi perusahaan pertambangan untuk melakukan proses produksi dengan intensitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan nikel dalam negeri yang diperuntukkan sebagai bahan baku baterai. Melihat permintaan yang sangat tinggi akan kebutuhan nikel sebagai bahan baku baterai yang menjadi energi Kementerian ESDM RI, ‘Bijih Nikel Tidak Boleh Diekspor Lagi per Januari 2020’, (Kementerian ESDM,2019), <esdm.go.id>, acceseed 24 Mei 2021 5

74


bagi mobil listrik, dalam dua tahun ke depan Indonesia berencana untuk menambah 30 smelter nikel baru dimana beberapa diantaranya khusus dirancang untuk menghasilkan nikel baterai.6 Pembuangan limbah hasil produksi smelter-smelter tersebut diyakini akan berjumlah milyaran ton yang berpotensi mencemari lingkungan. Saat ini kurang dari 20 tambang nikel di seluruh dunia yang membuang limbah mereka ke laut, tetapi kedepannya investasi industri peleburan (smelter) nikel di Indonesia menunjukkan bahwa proyek-proyek tersebut akan menjadi yang terbesar di dunia dalam hal produksi dan limbah.7 Limbah tersebut tidak seharusnya dibuang ke laut karena sangat berpotensi besar mencemari lingkungan perairan pada segitiga terumbu karang (coral triangle) yang menjadi rumah bagi keanekaragaman karang dan ikan karang tertinggi di dunia. Apabila coral triangle mengalami kerusakan hal tersebut sangat mengancam pelestarian karang yang menjadi rumah para biota laut yang juga berperan penting dalam proses ekosistem laut, terlebih Indonesia sendiri memiliki wilayah laut sangat luas pasti akan sangat merasakan dampak tersebut. Saat ini sudah berjalan empak proyek empak proyek smelter nikel skala besar untuk industri prekusor yang akan memproduksi bahan baku baterai. Pertama, terdapat dua smelter besar yang terletak di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, yaitu smelter Hauyeu bahadopi yang diperkirakan akan menghasilkan input 11 juta ton bijih nikel per tahun dan kapasitas output 60.000 ton Ni per tahun dan 7.800 ton kobalt dan smelter QMB Bahadopi dengan kapasitas input 5 juta ton bijih nikel per tahun serta kapasitas output 50.000 ton Ni per tahun dan 4.00 nton kobalt.8 Kemudian terdapat pula smelter PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM) dengan kapasitas input 8,3 juta wet ton bijih nikel per tahun dan kapasitas output 278.534 ton dan smelter PT Smelter Nikel Indonesia dengan kapasitas input 2,4 juta wet ton bijih nikel per tahun dan kapasitas output 76.500 ton.9

Ian Morse, ‘Saat Limbah Nikel Dikhawatirkan Bakal Jadi Ancaman Baru untuk Perairan dan Biota Laut’, (mongbay,2020), <mongbay.co.id>, acceseed 24 Mei 2021. 7 Ibid. 8 Ridwan Nanda Mulyana, ‘Setelah Larangan Ekspor Nikel, Bagaimana Nasib Mineral Mentah Lain?’, (Industri Kontan, 2019), <industri.kontan.co.id>, accseed 25 Mei 2021. 9 Ibid. 6

75


Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian ESDM

Meningkatnya tren penggunaan mobil listrik yang memanfaatkan nikel sebagai bahan baku pembentukan baterai berdampak pada peningkatan produksi nikel dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian ESDM mencatat produksi nikel pada 2019 mencapai 52,76 juta ton. Produksi tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik produksi bijih nikel yakni berada di angka 38,33 juta ton. Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa produksi nikel mengalami peningkatan dikarenakan permintaan pasar yang sangat besar dan dipengaruhi juga oleh ketentuan terkait dikeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

2.2. Dampak Tingginya Aktivitas Pertambangan Nikel di Indonesia terhadap Kondisi Lingkungan di Sekitar Lokasi Pertambangan Dengan berlimpahnya cadangan nikel di Indonesia yaitu lebih tepatnya sebanyak 21 juta ton maka dapat dipastikan banyaknya kegiatan pertambangan untuk mengambil sumber daya nikel tersebut. Di Indonesia sendiri lokasi pertambangan nikel terbesar terdapat pada Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua Barat. Untuk menjamin keberlangsungan proses pertambangan, pada prinsipnya telah diatur diatur di dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan 76


atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengatur bahwa setiap perusahaan yang ingin melakukan kegiatan pertambangan haruslah memiliki izin yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Tidak hanya sampai di situ, ketika perusahaan telah selesai dalam melakukan kegiatan pertambangannya atau izin pertambangan tersebut telah habis masa berlakunya maka perusahaan juga diwajibkan untuk melakukan kegiatan reklamasi pasca tambang hingga mencapai angka keberhasilan 100% sesuai yang diatur pada Pasal 123 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan dalam paragraf di atas, pada prinsipnya telah terdapat pengaturan dalam upayanya untuk meminimalisir dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Namun dalam kenyataannya banyak dampak lingkungan yang terjadi sebagai akibat dari adanya peningkatan aktivitas pertambangan khususnya pada sektor pertambangan nikel. beberapa dampak lingkungan yang paling menimbulkan kerugian bagi kehidupan warga sekitar seperti pencemaran sungai, pencemaran sungai, hingga pencemaran udara akibat debu nikel. hal tersebut juga dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada Desa Roraya, Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara yang merupakan salah satu daerah dengan cadangan nikel terbesar yang menyebutkan bahwa dari 28 sumber informan yang merupakan penduduk lokal sebanyak 89,3% informan mengkonfirmasi

adanya

kerusakan

lingkungan

akibat

dari

adanya

aktivitas

pertambangan nikel di sekitar lokasi pemukiman yang dilakukan oleh PT Ifishdeco.10 Apabila dilihat secara keseluruhan dalam skala nasional, maka kerusakan yang paling banyak terjadi akibat pertambangan itu sendiri adalah penyusutan luas hutan atau deforestasi. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya kebijakan yang memperbolehkan dilakukannya aktivitas pertambangan secara terbuka melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di dalam kebijakan tersebut perusahaan pertambangan diperbolehkan untuk melakukan aktivitas pertambangan pada kawasan hutan lindung yang pada hakikatnya merupakan kawasan konservasi.

Septianto Aldiansyah dan la Ode Nursalam, ‘Dampak Pertambangan Nikel PT.Ifishdeco terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Desa Roraya Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan’, (2019) 4 Jurnal Penelitian Pendidikan Geografi. [110] 10

77


Tabel 1. Data Penggunaan Hutan Lindung sebagai Kawasan Pertambangan

Sumber: Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan Dalam data yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan luas yang cukup luar biasa dalam hal penggunaan kawasan hutan sebagai kawasan pertambangan. Dalam hal ini nikel yang termasuk pada kategori mineral logam lain yang mana pada tahun 2013 saja telah mencakup 414.054, 74 hektar yang jika digabungkan dengan seluruh aktivitas komoditas tambang secara keseluruhan mencapai 2.930.323,10 hektar yang berarti luas hutan di Indonesia yang terancam mencapai 2.930.323,10 pada tahun 2013 yang mana jika tidak ada perubahan kebijakan maka angka tersebut dapat terus naik. Dari data di atas dapat diketahui bahwa aspek lingkungan yang paling terancam adalah kawasan hutan. Perlu ditelisik kembali bahwa fungsi hutan cukuplah penting. Sebagai salah satu negara yang dinobatkan sebagai paru-paru dunia, ketika luas hutan di Indonesia berkurang cukup drastis maka hal tersebut tidak hanya akan menjadi ancaman bagi negara Indonesia saja tapi juga dunia. Hal tersebut dirasa kurang tepat apabila ambisi untuk memproduksi baterai yang akan digunakan untuk sumber energi mobil listrik yang ramah lingkungan justru didapatkan dengan cara merusak alam yang sangat tidak ramah lingkungan.

78


2.3 Langkah yang Dapat Diambil oleh Pemerintah Dalam Mengantisipasi Dampak Lingkungan Akan Tingginya Aktivitas Pertambangan Nikel di Indonesia Pada hakikatnya telah ada beberapa regulasi yang mengatur dalam rangka mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan khususnya pertambangan nikel di Indonesia. Seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan lain sebagainya. Secara umum konsep mengenai usaha pemerintah dalam menjaga lingkungan tidak kecuali dalam hal lingkungan dalam kawasan pertambangan terdapat pada konsep AMDAL atau yang diartikan sebagai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. AMDAL sendiri bertujuan untuk melestarikan kemampuan lingkungan yang berupa sebuah analisis mengenai dampak lingkungan untuk menjaga kondisi lingkungan agar tetap pada derajat mutu tertentu demi menjamin kesinambungan pembangunan.11 Sedangkan dalam hal pengawasan lingkungan pada aspek kegiatan pertambangan dilakukan dengan cara pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan pasca tambang.12 Mengenai pengelolaan lingkungan hidup berkaitan dengan instrumen lingkungan yang meliputi Baku Mutu Lingkungan (BML), Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup (KBKL), Analisis Mengenai dampak Lingkungan atau UKL dan UPL serta izin lingkungan. Reklamasi dan pasca tambang berkaitan dengan pemulihan dan perbaikan kualitas lingkungan yang digunakan setelah kegiatan pertambangan.13 Secara garis besar, aspek yang kurang yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan adalah aspek pengawasan. sebaik apapun regulasi dan peraturan yang dibuat oleh legislator jika tidak diikuti dengan pengawasan yang baik maka akan menjadi sia-sia. Dalam hal ini peran pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dengan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan sudah seharusnya berkewajiban untuk melakukan dan pengawasan untuk menjamin dan memastikan bahwa penanggung jawab usaha atau kegiatan dari pertambangan tersebut telah mematuhi Peraturan Perundangundangan maupun regulasi terkait peraturan yang berlaku. Kemudian dalam hal

11

Siti Sundari Rangkuti, HUKUM LINGKUNGAN DAN KEBIJAKSANAAN LINGKUNGAN NASIONAL (Airlangga University Press 2015).[134] 12 Franky Butar Butar, ‘Penegakan Hukum Lingkungan di Bidang Pertambangan’, (2010) Vol.25 No.2 Yuridika. [164]. 13 Ibid.

79


pengelolaan lingkungan dijelaskan pula dalam Pasal 28H UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".14 Kurangnya pengawasan dalam hal pertambangan ilegal dapat terlihat dari data kepolisian yang diungkapkan oleh Tiyas Nurcahyani selaku Kepala Seksi Perlindungan Lingkungan Ditjen Minerba Kementerian ESDM yang menyatakan bahwa terhitung sejak tahun 2013 kepolisian telah melakukan penyidikan sebanyak 413 perkara pertambangan ilegal, dilanjutkan pada tahun 2014 sebanyak 317 perkara, 2015 sebanyak 173 perkara, 2016 sebanyak 251 perkara, dan data terakhir pada tahun 2017 sebanyak 240 kasus pertambangan ilegal.15

Sumber: CNBC Indonesia

Dari data yang disajikan dalam bagan menunjukkan bahwa pada umumnya tren pertambangan ilegal menurun. Tetapi perlu diingat data tersebut bersumber dari data kepolisian yang telah dilakukan penyidikan yang berarti masih dimungkinkan masih terdapat aktivitas penambangan ilegal di luar sana yang belum terungkap. Merujuk pada fakta yang berada di lapangan, bahwa penyebab kerusakan lingkungan di dunia pertambangan didominasi akibat banyaknya pertambangan ilegal. Pertambangan ilegal yang tidak berizin tentunya keberadaannya mengesampingkan dampak lingkungan yang akan terjadi akibat kegiatan pertambangan tersebut. Masih

14

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Anastasia Arvirianty, ‘Miris, 74 Tahun Merdeka Masih Marak Tambang Ilegal di RI’, (CNBC Indonesia,2019) <cnbcindonesia.com> accessed 25 September 2021 15

80


tingginya keberadaan pertambangan ilegal tentunya tak luput dari rendahnya pengawasan yang ada. Seharusnya hal tersebut dapat diminimalisir apabila adanya pengawasan secara periodik dan inspeksi serta kerja sama yang dilakukan bertahap dari lapisan terdekat yang memang benar-benar mengetahui kondisi daerah di wilayah sekitar pertambangan (warga masyarakat setempat) hingga pejabat terkait baik dalam lingkup daerah maupun nasional sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, harus diperhatikan juga tentang konsep pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan tentunya diikuti oleh penegakan hukum yang tegas, konsisten, dan tidak diskriminatif.

81


BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) memiliki tujuan yang baik yaitu melarang kegiatan ekspor nikel mentah agar dapat meningkatkan nilai jual nikel dengan cara mendorong produksi ore nikel yang telah diolah dan dijadikan bahan baku baterai dan menjadikan ambisi Indonesia sebagai penghasil bahan baku baterai untuk keperluan mobil listrik di masa yang akan datang. Dorongan produksi nikel juga secara otomatis mengakibatkan makin maraknya penggalian sumber daya alam nikel tersebut. Eksploitasi yang masif tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang mana kerusakan lingkungan yang paling parah adalah terjadinya penyusutan lahan hutan atau deforestasi hutan di Indonesia. Peraturan-peraturan dan regulasi yang ada sudah mengakomodir perlindungan dan pemulihan lingkungan saat sedang dilakukannya dan setelah dilakukannya kegiatan pertambangan. Namun yang menjadi persoalan adalah kurangnya pengawasan terhadap kegiatan pertambangan tersebut yang mengakibatkan kelalaian akan kondisi lingkungan yang dapat merugikan masyarakat. Sudah seharusnya pemerintah melakukan pengawasan yang lebih baik terhadap aktivitas peertambangan ilegal. Hal tersebut haruslah dilakukan melalui lapisan pegawai daerah yang dapat mengawasi secara kondisi di lapangan terkait kepatuhan perusahaan tambang sesuai dengan peraturan yang ada demi kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.

82


DAFTAR PUSTAKA

Buku Rangkuti, Siti Sundari. 2015. HUKUM LINGKUNGAN DAN KEBIJAKSANAAN LINGKUNGAN

NASIONAL. Surabaya; Airlangga Universisity Press.

Makalah/Artikel Ardiansyah, Sepatarianto dan Ia Ode Nursalam. 2019. “Dampak Pertambangan Nikel PT.Ifishdeco terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Desa Roraya Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan”. Jurnal Pendidikan Ilmu Geografi. 4:110 Butar, Franky Butar. 2010. “Penegakan Hukum Lingkungan di Bidang Pertambangan”. Yuridika. 25 (2):164.

Internet Anastasia Arvirianty, ‘Miris, 74 Tahun Merdeka Masih Marak Tambang Ilegal di RI’, (CNBC Indonesia,2019) <cnbcindonesia.com> accessed 25 September 2021. Anisatul Umah. ‘Bukan Main, Cadangan Nikel Indonesia Ranking 1 Dunia’, (CNBC, 2021), <cnbcindonesia.com>, accessed 24 Mei 2021. Badan Pusat Staistik, ‘Produksi Tambang Mineral 2017-2019’, (BPS, 2019), <bps.go.id>., acceseed 18 Mei 2021. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, ‘Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia’, (KKP, 2020), <kkp.go.id>, accessed 18 Mei 2021. Ian Morse, ‘Saat Limbah Nikel Dikhawatirkan Bakal Jadi Ancaman Baru untuk Perairan dan Biota Laut’, (mongbay,2020), <mongbay.co.id>, acceseed 24 Mei 2021. Kementerian ESDM RI, ‘Bijih Nikel Tidak Boleh Diekspeor Lagi per Januari 2020’, (Kementerian ESDM,2019), <esdm.go.id>, acceseed 24 Mei 2021. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ‘Hutan Dan Deforestasi Indonesia Tahun 2019’, (PPID, 2020), <http://ppid.menlhk.go.id>, accessed 18 Mei 2021. Ridwan Nanda Mulyana, ‘Setelah Larangan Ekspor Nikel, Bagaimana Nasib Mineral Mentah Lain?’, (Industri Kontan, 2019), <industri.kontan.co.id>, accseed 25 Mei 2021.

83


Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)

84


DETERIORASI KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP SEBAGAI IMPLIKASI PERUBAHAN KEBIJAKAN TERKAIT PERIZINAN Wella Mareta Nanda dan Nunung Widiyanti Fakultas Hukum Universitas Airlangga ABSTRAK Hukum merupakan suatu sistem pengaturan tatanan kehidupan manusia yang bersifat dinamis. Sifat hukum yang dinamis memungkinkan terjadinya transisi kebijakan dari lembaga yang berwenang dalam mengikuti perkembangan zaman. Namun tidak semua transisi kebijakan yang diberlakukan mencetuskan resultan yang positif. Seperti lahirnya Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Undang-Undang Cipta Kerja) yang dikemas menggunakan konsep omnibus law sebagai skema pengaturan masalah yang sebelumnya belum diatur sekaligus merevisi beberapa aturan hukum. Substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Cipta Kerja mendatangkan problematika tersendiri dalam ranah hukum lingkungan, salah satunya yakni pada penyederhanaan perizinan melalui penghapusan izin lingkungan yang bertentangan dengan rencana pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pengaturan di dalam Undang-Undang Cipta Kerja lebih mengarah kepada pembangunan perekonomian di bidang investasi, namun mengabaikan aspek terpenting di dalam ranah lingkungan hidup salah satunya berkaitan dengan perizinan. Perizinan merupakan instrumen esensial dalam pelaksanaan upaya perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup sehingga apabila diabaikan berpotensi mendatangkan kerugian bagi lingkungan hidup. Sehingga alasan penulisan ini yakni menganalisis deteriorasi kebijakan lingkungan hidup di dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur terkait perizinan lingkungan dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara pemberlakuan kebijakan perizinan lingkungan di dalam UndangUndang Cipta Kerja dan implikasinya. Penulisan ini menyimpulkan bahwa perizinan lingkungan melalui mekanisme yang diatur di dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup lebih menjamin kelestarian lingkungan hidup karena masyarakat turut berpartisipasi terkait perizinan lingkungan dibandingkan dengan pengaturan di dalam Undang-undang Cipta Kerja yang mengedepankan penyederhanaan mekanisme perizinan lingkungan. Kata Kunci: Omnibus Law, Perizinan, Lingkungan Hidup

85


BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Perizinan lingkungan telah menjadi pokok persoalan penting dan menjadi perdebatan antara para pakar hukum yang mengampu di bidang hukum lingkungan, dengan merujuk pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup. Saat ini Indonesia sedang berada dalam krisis reformasi perundang-undangan sejak di keluarkannya metode Omnibus Law yang melahirkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah menyederhanakan, merevisi, mencabut, menghapuskan, dan menambahkan ketentuan-ketentuan baru pada sekitar 70 (tujuh puluh) aturan yang berlaku. Perizinan lingkungan merupakan aspek penting dalam keberlanjutan pembangunan yang diatur pada peraturan perundang-undangan. Merujuk pada pendapat Siti Sundari Rangkuti yang mengatakan bahwa jenis perizinan yang umumnya mengenai kegiatankegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan dikenal dengan istilah izin lingkungan (environmental licence atau milieuvergunning).1 Terkait dengan Izin lingkungan dan persyaratannya harus dibuat berdasarkan ukuran-ukuran yuridis yang memperhitungkan keadaan individual kegiatan industri yang memiliki dampak pada langkah-langkah pengelolaan lingkungan hidup.2 Indonesia telah mengatur perihal lingkungan hidup pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesita Tahun 1945 tepatnya di pasal 28 H ayat (1) yang menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Pada faktanya saat ini pemerintah masih belum memberikan jaminan perlindungan lingkungan hidup bagi masyarakat dengan memadai dan layak di berbagai wilayah. Sepanjang tahun 2019 Negara Indonesia diterpa dengan banyak peristiwa kebakaran hutan seperti yang terjadi di Kalimantan, Riau, dan Sumatera. Peristiwa tersebut menjadi bukti bahwa meskipun perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang kemudian diimplementasikan ke dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

1

Rangkuti, S.S. Hukum Lingkungan dan Kebijkasanaan Lingkungan Nasional, Edisi Keempat, Surabaya Airlangga University Press (2005) 2 Wijoyo, S. Persyaratan Perizinan Lingkungan Dan Arti Pentingnya Bagi Upaya Pengelolaan Lingkungan Di Indonesa, Jurnal Yuridika. Vol 27 (2) (2012): 98

86


Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, pemerintah tidak mampu menjalankan amanat tersebut dengan baik dan tidak bertindak tegas untuk menuntaskan agar tidak terulang peristiwa terkait lingkungan yang merugikan negara. Peristiwa kebakaran hutan yang pernah terjadi di Indonesia tidak hanya berdampak di wilayah Indonesia, bahkan imbas kabut asap dari kebakaran hutan tersebut menjadi sengketa antara negara tetangga. Berdasarkan peristiwa tersebut, kerusakan lingkungan menjadi isu yang serius untuk ditangani. Salah satunya dengan mempertegas persyaratan kegiatan usaha yang berdampak buruk terhadap lingkungan salah satunya melalui kebijakan terkait izin lingkungan. Melihat pengaturan terkait izin lingkungan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, izin lingkungan adalah prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Izin usaha dan/atau kegiatan akan diberikan oleh pejabat yang berwenang apabila pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan usaha sudah memiliki izin lingkungan. Apabila izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. Ketentuan mengenai izin lingkungan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Konsep perizinan berusaha di bidang lingkungan hidup yang diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan menggunakan pendekatan berbasis izin (license approach) yang diubah menjadi penerapan standar dan berbaris risiko (risk-based approach) di dalam UndangUndang Cipta Kerja, hal ini berarti bahwa pemberian izin akan dilakukan oleh pemerintah pusat berdasarkan perhitungan nilai tingkat bahaya dan nilai potensi terjadi bahaya terhadap aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan dan/atau pemanfaatan sumber daya.3 Perizinan lingkungan telah menjadi bagian dalam reformasi perundangundangan yang termuat di dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat menggunakan konsep Omnibus Law. Pengertian Omnibus Law secara gramatikal yaitu kata omnibus memiliki arti: for all; containing two or more independent matters; Applied most commonly to a legislative bill which comprises more than one general subject (Black, 1990 :1087) (untuk semua/seluruhnya; mengandung dua atau lebih hal-hal yang berdiri sendiri seringkali digunakan dalam Rancangan Undang-Undang yang terdiri lebih dari satu subjek umum).4 3

Fitri Yanni Dewi Siregar Aspek Hukum Penyederhanaan Perizinan Badan Usaha di Bidang Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Cipta Kerja Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, (2020) : 7 (2) 4 Novianto Murti Hartono, Konsep Omnibus Law dan Tantangan Penerapannya, Jurnal Parliamentary Review Vol II No.1 (2020): 3.

87


Pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang paling menimbulkan kontroversi adalah bagaimana penyederhanaan perizinan lingkungan yang cenderung mengarah kepada resiko keselamatan dan jaminan perlindungan lingkungan hidup bagi masyarakat maupun habitat hewan yang berada disekitar lingkungan hidup tersebut. Tujuan dilakukan penyederhanan ini untuk menarik investasi dengan membuka lapangan kerja dan lain sebagainya. Pada prinsipnya jika perizinan usaha yang berkaittan dengan perizinan lingkungan hidup disederhanakan, maka akan menimbulkan resiko yang berpotensi mengancam keselamatan lingkungan hidup beserta hak masyarakat dan hak habibat hewan yang dijamin oleh hukum pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Potensi terjadinya bahaya dikelompokkan menjadi tidak pernah terjadi, jarang terjadi, pernah terjadi, sering terjadi. Hal ini berpotensi mengabaikan risiko-risiko yang belum atau tidak terindentifikasi sebelumnya. Sedangkan pengawasan terhadap kegiatan badan usaha dilakukan dengan intensitas pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

sehingga perlu dilakukan adanya

pengkajian mengenai kepentingan yang ingin dicapai, maupun terkait dengan dampak negatif pada pelaksanannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya yang mengatur tentang perizinan lingkungan.

1.2

Rumusan Masalah 1.

Bagaimana urgensi pengaturan perizinan kegiatan usaha dalam rangka menjamin keberlangsungan lingkungan hidup?

2.

Bagaimana implikasi perubahan kebijakan terkait perizinan di dalam Undangundang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja?

1.3

Dasar Hukum •

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945);

Undang- Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan;

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

88


89


BAB II ANALISIS 2.1

Urgensi Pengaturan Perizinan Bagi Kegiatan Usaha Demi Keberlangsungan Lingkungan Hidup Mengenai urgensi atau kepentingan perizinan lingkungan hidup, untuk melakukan kegiatan usahanya tidak terlepas dari pengaturan di dalam peraturan perundangundangan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaannya. Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan jaminan terkait pemenuhan lingkungan hidup yang baik dan sehat pada pasal 28 H ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin , bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Sebagaimana amanat konstitusi tersebut diimplementasikan ke dalam peraturan mengenai lingkungan hidup yaitu terkait pengaturan perizinan badan usaha dengan merujuk pada UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkugan Hidup. Aturan pelaksana dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkugan Hidup yaitu Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan yang memberikan definisi Perizinan, yakni berasal dari kata izin yang berarti pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya). Izin (vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undangundang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan

larangan

peraturan

perundang-undangan.

pada

pelaksaan

pemerintahan Indonesia telah mengeluarkan beberapa produk hukum berupa peraturan kebijakan (beleidregel, policy rule) yang memiliki karakteristik berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Merujuk pada pendapat ahli Nommy Horas Thombang Siahaan menjelaskan bahwa izin merupakan alat pemerintah yang bersifat yuridis preventif, dan digunakan sebagai instrumen administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, sifat suatu izin yakni preventif berarti tidak bisa dilepaskan dengan perintah dan kewajiban yang harus ditaati oleh pemegang izin.5 Pengaturan terkait perizinan diatur pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkugan Hidup yang dalam aturannya tepatnya pada Pasal 14 telah mengatur tentang instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang terdiri dari: Kajian Lingkungan Hidup Strategis

5

Siahaan, N.H.T .Hukum Lingkungan Pancuran Alam, (2009).

90


(KLHS), tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.6 Berdasarkan ketentuan di atas terdapat keterkaitan satu sama lain yang mana untuk kepengurusan perizinan diperlukan secara bertahap. Persyaratan terkait perolehan izin sudah dijelaskan pada saat pengurusan penerbitan izin lingkungan oleh badan usaha, yaitu AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Sehingga tanpa ketiga dokumen tersebut izin usaha tidak akan diberikan. Jika merujuk pada ketentuan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan terdapat kepentingan yang diatur mulai pada Pasal 42 mengenai permohonan izin lingkungan hingga pada pasal 47 mengenai penerbitan izin lingkungan, sebagaimana menyatakan bahwa permohonan Izin Lingkungan disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian AMDAL dan RKL-RPL atau pemeriksaan UKL-UPL kepada menteri, gubernur, atau bupati/walikota berdasarkan kewenangannya masing-masing. Hal ini menyebabkan setiap pelaku usaha harus bekerja keras untuk memenuhi berbagai prosedur yang dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Selain itu juga, setiap pelaku usaha juga harus menyiapkan dokumen penyusunan AMDAL serta siap mendanai segala bentuk pengeluaran yang diperlukan untuk penyusunan dokumen AMDAL demi kepentingan pendirian usahanya. Merujuk pada ketentuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai reformasi kebijakan yang memberikan penyederhanan mengenai perizinan lingkungan hidup, bagi pelaku usaha khususnya untuk menarik para investor dibidang perekonomian dalam rangka mendorong penciptaan lapangan kerja. Undang- Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah konsepsi kegiatan usaha dari berbasis izin menjadi penerapan standar dan berbasis risiko. Perizinan berusaha adalah pelaksanaan pengawasan yang merupakan instrumen pemerintah dalam rangka pengendalian kegiatan usaha agar berjalan dengan baik. Penerapan perizinan berusaha berbasis risiko sebagimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja dilakukan berdasarkan penetapan risiko kegiatan usaha. Apabila merujuk pada ketentuan pasal 8

6

Undang- Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup,

91


terdapat ketidakjelasan penentuan kriteria tingkat bahaya dan klasifikasi potensi terjadinya bahaya yang akan mengabaikan risiko-risiko yang belum atau tidak teridentifikasi. Beralih pada ketentuan Pasal 11 ayat (2) mengatakan bahwa Izin merupakan persetujuan Pemerintah Pusat untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usaha. Maka dari itu Pemerintah Daerah akan kehilangan kewenangannya dalam menerbitkan izin. Pasal 12 Undang-Undang Cipta Kerja mengatur tentang pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha yang dilakukan dengan intensitas pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha, padahal hal ini dapat berakibat pada pelanggaran-pelanggaran yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup.7

2.2 Implikasi Perubahan Kebijakan Terkait Perizinan di dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Tranformasi kebijakan dapat mendatangkan sikap pro maupun kontra dari berbagai kalangan akibat adanya kemajemukan pandangan. Salah satu Undang-Undang yang meskipun telah disahkan namun tetap mendatangkan kritikan dari masyarakat yakni Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketentuan di dalam Undang-Undang Cipta Kerja menghapus, mengubah dan menggabungkan beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu ketentuan yang berimplikasi pada terjadinya regresivitas pada keberlanjutan lingkungan hidup yakni terkait perizinan. Perubahan ketentuan terkait perizinan di dalam Undang-Undang Cipta Kerja yakni apabila sebelumnya menganut model perizinan berbasis izin biasa (license approach) diubah menjadi perizinan berbasis risiko (risk-based licensing) dengan tujuan menyederhanakan perizinan berusaha. Perizinan berbasis risiko membuat pemerintah dalam memberikan izin berusaha kepada pengusaha dengan mendasarkan pada tingkatan risiko dan ancaman bagi lingkungan akibat adanya kegiatan usaha. Konsekuensi dari pengaturan tersebut yakni pemerintah dalam hal ini telah memberikan kepercayaan kepada pengusaha dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan ketentuan standar risiko yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Apabila dikomparasikan dengan pemberlakuan pendekatan perizinan berbasis risiko di negara lain, yakni di Australia terdapat mekanisme yang perlu untuk diberlakukan di Indonesia. Australia dalam menerapkan pendekatan perizinan berbasis risiko oleh Environment Protection

7

Undang – Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

92


Authority (EPA) dengan mengeluarkan sebuah licencing guidelines untuk menentukan tingkat risiko beserta rekomendasi penggunaan izin.8 Namun tidak hanya berhenti pada prosedur tersebut, EPA mewajibkan bagi pemegang izin dalam pemenuhan standar kondisi yang telah ditetapkan yakni salah satunya dengan membuat laporan tahunan apabila terdapat insiden yang dinilai telah mengancam lingkungan. Sehingga dalam hal ini, terdapat dua mekanisme penting yang dijalankan yakni pemenuhan kondisi standar dan pelaksanaan evaluasi terhadap kegiatan usaha. Penerapan kondisi standar tersebut penting diberlakukan pula di Indonesia untuk meminimalisir risiko terjadinya pelanggaran dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh Pengusaha. Ketentuan mengenai perizinan berusaha berbasis risiko diatur di dalam Pasal 6-12 Undang-Undang Cipta Kerja. Penerapan perizinan berusaha berbasis risiko didasarkan pada penetapan tingkat risiko dari kegiatan usaha yang dijalankan yang terdiri dari kegiatan usaha yang memiliki risiko rendah, menengah dan tinggi. Kegiatan usaha yang termasuk kategori sisiko rendah hanya memerlukan adanya Nomor Izin Berusaha (NIB) sedangkan kategori kegiatan usaha dengan risiko menengah memerlukan NIB dan sertifikat standar. Kemudian untuk kegiatan usaha yang termasuk kategori risiko tinggi memerlukan NIB dan izin yang didapatkan atas persetujuan Pemerintah Pusat.9 Konsekuensi dari pengaturan demikian yakni untuk kegiatan usaha yang termasuk kategori rendah dan menengah tidak menyaratkan adanya ketentuan izin sebagaimana di dalam undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Meskipun pemenuhan terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) masih disyaratkan, namun ketentuan di dalam Pasal 22 angka 6 Undang-Undang Cipta Kerja cenderung menyederhanakan prosedur penyusunannya. Hal tersebut dapat dilihat dari minimnya kontribusi masyarakat dalam penyusunannya serta tidak didasarkannya pada prinsip pemberitahuan informasi secara transparan. Sehingga hal ini berkebalikan apabila menelaah ketentuan di dalam Pasal 26 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberikan amanat untuk melibatkan masyarakat utamanya pemerhati lingkungan hidup serta yang terdampak atas keputusan penyusunan AMDAL.

9

Pasal 6-12 Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

93


Selain itu, ketentuan yang sentralisir dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan Pemerintah Pusat terkait penetapan AMDAL serta Uji Kelayakan Lingkungan, dimana Pemerintah Daerah kewenangan hanya sebagai pelaksana. Hal ini tentunya dinilai tidak efektif dikarenakan Pemerintah Daerah yang lebih mengetahui keadaan di daerahnya akibat kemampuan Pemerintah Pusat yang tidak mampu menjangkau hingga elemen terkecil di suatu daerah.

94


BAB III PENUTUP 3.1

Kesimpulan Konsep perizinan di bidang usaha merujuk pada pada pasal 28 H ayat (1) UUD NRI 1945, sebagaimana mengatur adanya hak lingkungan hidup yang telah diimplementasikan secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 14. Pada dasarnya terdapat aturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan, sebagaimana pada Pasal 42 hingga Pasal 47 telah memberikan pedoman teknik cara melakukan perizinan lingkungan hidup bagi setiap pelaku usaha. Setelah adanya reformasi aturan perundang-undangan pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja, terdapat penyederhanaan bagi perizinan usaha yang berbasis risiko, akan tetapi pada dasarnya malah menimbulkan adanya pertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya karena dinilai lebih lebih mementingkan investasi dibandingkan potensi resiko yang terjadi pada lingkungan hidup, sebagimana telah jelas mulai pasal 8 hingga pasal 12 hanya menyederhanakan teknik saja, tetapi tidak memberikan kontribusi perlindungan akan resiko yang timbul bagi lingkungan hidup, dengan hanya melibatkan wewenang dari pemerintah pusat dan menghilangkan wewenang pemerintah daerah. Adanya transformasi kebijakan yang saat ini diberlakukan mendatangkan persoalan tersendiri bagi masyarakat yang terdampak dari adanya kegiatan usaha dan pemerhati lingkungan hidup. Hal tersebut dikarenakan pemberlakuan ketentuan seperti pelaksanaan pendekatan perizinan berbasis risiko maupun prosedur perolehan perizinan berusaha yang terkesan lebih sederhana mampu mendatangkan regresivitas keberlanjutan lingkungan hidup.

95


DAFTAR PUSTAKA

Rangkuti, S.S. Hukum Lingkungan dan Kebijkasanaan Lingkungan Nasional, Edisi Keempat, Surabaya Airlangga University Press (2005).

Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan Pancuran Alam, (2009).

Wijoyo, S. Persyaratan Perizinan Lingkungan Dan Arti Pentingnya Bagi Upaya Pengelolaan Lingkungan Di Indonesa, Jurnal Yuridika. Vol 27 (2) (2012): 98.

Fitri Yanni Dewi Siregar Aspek Hukum Penyederhanaan Perizinan Badan Usaha di Bidang Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Cipta Kerja Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, (2020): 7 (2).

Novianto Murti Hartono, Konsep Omnibus Law dan Tantangan Penerapannya, Jurnal Parliamentary Review Vol II No.1 (2020): 3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).

96


ANALISIS PERATURAN ENERGI DAN SUMBER MINERAL DALAM PERUMUSAN HUKUM PENCIPTAAN PEKERJAAN (OMNIBUS LAW)

Diqa Qothrunnadaa Amanda Nur Sella Fakultas Hukum Universitas Airlangga

ABSTRAK Penelitian ini merupakan analisis dan evaluasi terhadap Omnibus Law Cipta Kerja. UU Cipta Kerja dimaksudkan mengatur banyak sektor, dalam kajian ini dilakukan evaluasi dan analisis omnibus law di bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana diatur dan tertuang dalam ayat lima UU Cipta Kerja. Hal ini menimbulkan pro dan kontra dan menjadi persoalan hukum nasional. Metode omnibus law bukanlah hal baru di Indonesia. Substansi omnibus law telah digunakan dalam proses legislasi di Indonesia. Pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu bentuk omnibus law. Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang bersifat preskriptif dan terapan dengan tujuan mengevaluasi dan menganalisis regulasi sektor energi dan sumber daya mineral tentang pembentukan UU Cipta Kerja. Kata Kunci: Omnibus Law; Energi dan Sumber Daya Mineral; Undang-Undang Cipta Kerja.

97


BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Dalam situasi ketidakpastian masyarakat dan isu perang dagang antara Amerika Serikat dan China, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sulit mencapai targetnya. Pada periode pertama, ada beberapa aspek yang menjadi kendala utama, yaitu pertumbuhan ekonomi negara yang berada dalam keadaan stagnan. Salah satunya adalah rendahnya investasi masuk di Indonesia. Menurut laporan Indeks Kemudahan Berbisnis 2019 yang dibuat oleh bank dunia, peringkat Indonesia berada pada peringkat ke-73 (tujuh puluh tiga) dari 160 (seratus enam puluh) negara. Peringkat Indonesia jauh dibandingkan negara tetangga Thailand yang berada di peringkat 27 (dua puluh tujuh) dan Vietnam yang berada di peringkat 69 (enam puluh sembilan). Masalah berikutnya adalah dibutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk memulai dan mengurus izin usaha. Hal ini terlihat dari aspek memulai bisnis. Saat ini rata-rata pengurusan izin harus melalui 11 (sebelas) prosedur, dengan waktu sekitar 24 (dua puluh empat) hari dan biaya sebesar 2.780 juta rupiah. Target baru, pemerintah akan memangkas prosedur menjadi 9 (sembilan) prosedur, dengan lama pengerjaan 9 (sembilan) hari dan biaya 1,58 juta rupiah. Permasalahan pada 2 (dua) ayat tersebut merupakan salah satu dari beberapa alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah yang digunakan untuk membentuk Omnibus Law Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Job Creation Law). Apa itu Omnibus Law? Apa dampak Omnibus Law? Apakah wacana Omnibus Law diterapkan pada sektor energi dan sumber daya mineral? Itulah beberapa pertanyaan yang muncul di kalangan akademisi dan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini menganalisis dan mengevaluasi UU Cipta Kerja. Terbentuknya UU Cipta Kerja menuai pro dan kontra dan menjadi isu hukum nasional yang akan merumuskan permasalahan tersebut mulai dari pengertian omnibus law, kelemahan dan kekuatan omnibus law, apa yang harus dilakukan dan kesesuaian substansi omnibus law dengan kerangka pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang energi dan sumber daya mineral.

98


BAB II ANALISIS 2.1

Pengertian dan Konsep Omnibus Law Dalam Kamus Hukum Hitam Bryan A. Garner Edisi Kesembilan, pengertian omnibus adalah sebagai berikut: berkaitan dengan atau menangani banyak objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau mempunyai berbagai tujuan (berkaitan atau berurusan dengan berbagai benda atau barang sekaligus; termasuk banyak hal atau mempunyai berbagai tujuan. Jika digabungkan dengan kata Hukum dapat diartikan sebagai hukum untuk semua).1 Konsep Omnibus Law menawarkan solusi atas permasalahan yang diakibatkan oleh terlalu banyaknya regulasi dan tumpang tindih.2 Setidaknya ada sembilan negara lain yang telah menerapkan metode Omnibus Law sepanjang sejarah. Antara lain: Inggris, Australia, Jerman, Turki, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia dan Singapura. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memasukkan konsep Omnibus Law sebagai salah satu asas dalam pembentukan undang-undang. Namun, Omnibus Law tidak dilarang.3 Metode Omnibus Law bukanlah hal baru di Indonesia. Selain istilah, substansi Omnibus Law sudah digunakan dalam proses legislasi di Indonesia. Metode Omnibus law merupakan metode pembentukan undang-undang untuk mengubah dan memadukan pengaturan mengenai hal-hal tertentu yang berkaitan yang berasal dari beberapa Undang-Undang sekaligus. Dalam hal pembentukan dan regulasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) merupakan bentuk Omnibus Law. Pasal 409 UU Pemda mencabut pasal-pasal dalam undang-undang lain serta membatalkan beberapa undang-undang secara keseluruhan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya adalah yang sudah dicabut seluruhnya. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan

1

Agnes Fitryantica, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law, Jurnal Gema Keadilan, Volume 6, Edisi III, Oktober - November 2019, hal 302. 2 Antoni Putra, Penerapan Omnibus Law dalam Upaya Reformulasi Regulasi, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 17 Nomor 1-Maret 2020; pg. 2. 3 Firman Freaddy Busroh, Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan, Jurnal Arena Hukum Volume 10, Nomor 2, Agustus 2017, hal 242.

99


Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 2.2

Regulasi Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral dalam Omnibus Law, UU Cipta

Lapangan Kerja Sektor energi dan sumber daya mineral merupakan komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak dan memiliki potensi ekonomi yang strategis, diharapkan mempunyai kedaulatan usaha untuk dapat mengembangkan kapasitas potensi ekonomi nasional. Konsep makroekonomi demokratis dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah mewujudkan kemandirian ekonomi yang dilandasi nilai-nilai moral menempatkan asas joint venture berdasarkan asas kekeluargaan dimana komponen-komponen yang mengatur kehidupan banyak orang dikuasai oleh negara. dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip demokrasi ekonomi.4 Secara hukum, mengingat UU Cipta Kerja disebutkan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 UUD 1945. Pembahasan tentang hak menguasai negara atas permukaan tanah dan kandungan alam di bawahnya sebelumnya bermula dari perspektif negara. Artinya, pada awalnya negara menguasai segala sesuatu yang ada di wilayah kedaulatannya kemudian mengatur semua potensi dan kepentingan yang ada melalui mekanisme hukum. Prinsip utama dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka pengelolaan sumber daya alam nasional. Hal ini penting karena dengan berada di dalam konstitusi maka menjadi tanggung jawab negara.5 Pasal 38 Ayat 5 UU ESDM UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, khususnya Pelaku Usaha dalam memperoleh Izin Usaha di bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan beberapa peraturan baru, yang diatur dalam: UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 4

Indah Dwi Qurbani, Urgensi Pembentukan Peraturan Daerah tentang Pertambangan Mineral di Provinsi Jawa Timur, Arena Hukum, Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, hal. 219. 5

Indah Dwi Qurbani, The Extractive Industries and Society, https://doi.org/10.1016/j.exis.2020.11.017, hal. 6

100


Berdasarkan ungkapan untuk memudahkan masyarakat, khususnya pelaku usaha, dalam Pasal 38 UU Cipta Kerja di atas terlihat bahwa tujuan pembentukan UU Cipta Kerja lebih menitikberatkan pada pelaku usaha. Hal tersebut melanggar ketentuan konstitusi yang mengutamakan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 33 UUD 1945. UU Cipta Kerja tampaknya tidak berorientasi pada konsep negara sejahtera yang justru lebih mementingkan pelaku usaha dalam rangka meningkatkan investasi yang tentunya menjadi ancaman bagi masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan pertambangan ditetapkan untuk memastikan bahwa kegiatan pertambangan juga berupaya untuk mencapai kesejahteraan dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga perlu ditegaskan dalam UU Cipta Kerja dengan menggunakan konsep pendekatan negara kesejahteraan, sehingga tujuan kemudahan regulasi untuk percepatan perekonomian negara melalui investasi atau bisnis di berbagai sektor tetap dapat memperhatikan kondisi kesejahteraan masyarakat. masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar lokasi penambangan. Pasal 39 Ayat 5 Energi dan Sumber Daya Mineral UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa antara Pasal 128 dan 129 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut: (1) Pelaku usaha yang meningkatkan nilai tambah batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128. Pemberian perlakuan tertentu kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat dikenakan royalti sebesar 0% (nol persen). Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Frasa dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen) bagi pelaku usaha yang meningkatkan nilai tambah batu bara; Hal ini menunjukkan adanya proses eksploitasi dan “penjualan murah” batu bara. Hal ini juga dapat menjadi perhatian terkait Hak Penguasaan Negara yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan perlindungan lingkungan tidak hanya untuk eksploitasi sumber daya alam dan keuntungan bisnis. UU Cipta Kerja dibentuk dengan tujuan untuk menyederhanakan regulasi yang ada, namun substansi yang dirancang justru bersinggungan dengan prinsip-prinsip dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan 101


Peraturan Perundang-undangan. Substansi tersebut belum menunjukkan sinergi dengan kerangka pembangunan hukum Indonesia sebagai landasan utama dalam menjalankan amanat konstitusi negara, khususnya di bidang energi dan sumber daya mineral. Ketentuan terkait pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang juga memiliki ketentuan untuk evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan yang relevan dalam Naskah Akademik. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan menyelaraskan kompleksitas berbagai sektor, peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dan sejalan dengan undang-undang yang sedang disusun. Ada proses sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangundangan. Artinya bahkan dalam mekanisme pembentukan peraturan perundangundangan saat ini, apabila tahapan-tahapan pembentukannya mulai dari perencanaan sampai dengan diundangkannya dilaksanakan dan disahkan dengan baik akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik. Pasal 39 Ayat 5 Energi dan Sumber Daya Mineral UU Cipta Kerja juga menyatakan bahwa “Setiap orang yang menghalangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat atau SIPB telah memenuhi persyaratan sebagai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Penyelesaian antara masyarakat sekitar tambang dan pelaku usaha yang sarat dengan metode kriminalisasi dimana negara harus "hadir" untuk menyelesaikan konflik. Pasal 40 Ayat 5 UU ESDM juga mengatur bahwa: beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diubah, salah satunya ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Perminyakan. , Gas, dan Bumi dengan ketentuan sebagai berikut: Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan berdasarkan Izin Usaha dari Pemerintah Pusat. Ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan / atau Eksploitasi tanpa Izin Usaha atau Kontrak Kerja Sama dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). Perpres ini juga menimbulkan pertanyaan terkait pengelolaan migas di sektor hulu baik melalui kontrak kerja sama atau hanya dengan Izin Usaha, juga menunjukkan 102


kemudahan pengelolaan sektor hulu gas bumi melalui perizinan usaha dan penghapusan bahan bakar alam. monopoli yang semestinya dijalankan oleh negara sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945. Hal ini juga menunjukkan bahwa perumus UU Cipta Kerja tidak mengindahkan dan tidak mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi. Telah terjadi Ketidaktaatan Konstitusional dalam pengaturan ini. Pasal 41 Ayat 5 UU Energi dan Sumber Daya Mineral UU Cipta Kerja juga mengatur bahwa: beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi diubah, antara lain menyebutkan bahwa Penatausahaan Panas Bumi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan. norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Ini menunjukkan sentralisasi pengelolaan sumber daya alam, karena pengaturan ini juga digunakan untuk semua pengelolaan sumber daya alam lainnya. Sejak pembentukan UU Cipta Kerja telah terjadi perubahan yang mendasar terkait kewenangan Pemerintah Provinsi dan kewenangan Pemerintah Kabupaten / Kota. Sebagai bagian dari penyederhanaan regulasi terkait perizinan usaha di bidang energi dan sumber daya mineral, UU Cipta Kerja mengurangi kewenangan Pemerintah Provinsi dalam pemberian izin usaha dan kewenangan pemberian izin usaha menjadi "terpusat" kepada Pemerintah Pusat, dan hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan perwujudan UUD 1945 terkait otonomi daerah juga patut dipertanyakan. Pengaturan di bidang energi dan sumber daya mineral yang mempermudah pelaku usaha dalam UU Cipta Kerja menghilangkan pasal-pasal yang mengatur kewenangan Pemerintah Daerah dengan tujuan agar pelaku usaha lebih mudah melakukan kegiatan di bidang energi dan mineral, sektor sumber daya. Hal tersebut melanggar asas desentralisasi yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Pemerintah daerah sadar akan potensi daerahnya, sehingga dalam pembinaan dan pengawasannya dapat dilakukan sanksi dengan lebih baik. Pasal 42 Ayat 5 UU Cipta Kerja Energi dan Sumber Daya Mineral juga mengatur bahwa, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan diubah sebagai berikut: Izin Usaha diberikan kepada badan usaha untuk kegiatan: usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum penyediaan tenaga listrik. ketenagalistrikan untuk kepentingan sendiri, dan usaha jasa penunjang ketenagalistrikan, dalam upaya perizinan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan 103


umum, termasuk untuk kegiatan pembelian tenaga listrik lintas batas. Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri, dan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib memenuhi Izin Usaha. UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan sehingga diatur sebagai berikut: Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan setelah mendapat Izin Usaha. Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan juga diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: (1) Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, diberikan kepada badan usaha untuk kegiatan: usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri; dan usaha jasa penunjang tenaga listrik. (2) Perizinan penyelenggaraan kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk kegiatan perdagangan lintas batas. Pengaturan ini menunjukkan liberalisasi di bidang ketenagalistrikan yang idealnya dilakukan oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini juga menunjukkan bahwa para penyusun UU Hak Cipta lalai dan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Ketenagalistrikan. 2.3

Informasi Sumber Nuklir Pasal 43 Ayat 6 UU Cipta Sumber Daya Nuklir juga mengatur bahwa untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, khususnya Pelaku Usaha, dalam memperoleh Izin Usaha dari bidang Nuklir, diubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Tenaga Nuklir. Berdasarkan ungkapan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, khususnya pelaku usaha, terlihat bahwa tujuan lahirnya UU Cipta Kerja lebih menitikberatkan pada pelaku usaha. Bahwa demi keselamatan, keamanan, ketentraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta perlindungan lingkungan, pemanfaatan tenaga nuklir dilakukan secara tepat dan hati-hati serta ditujukan untuk tujuan damai dan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran. dari orang-orang. Ini adalah sesuatu yang perlu diperhatikan tentang tenaga nuklir. Lebih lanjut, UU Cipta Kerja juga menyebutkan bahwa di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pemerintah Pusat dapat menetapkan badan usaha yang melakukan kegiatan 104


penambangan untuk Bahan Ekstraksi Nuklir. Kegiatan penambangan dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Swasta. Badan usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Penambangan Mineral Nuklir termasuk penambangan yang menghasilkan produk sampingan radioaktif. Badan usaha yang terkait dengan pertambangan mineral dan batubara yang menghasilkan produk samping radioaktif wajib memiliki Izin Usaha dari Pemerintah Pusat. Dalam hal orang atau badan usaha menemukan produk samping radioaktif, pelaku wajib menyerahkannya kepada negara atau badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan

peraturan

perundang-undangan.

Ketentuan

lebih

lanjut

mengenai

pertambangan Mineral Nuklir dan mineral radioaktif diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan ini menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam regulasi ketenaganukliran. Tenaga nuklir menyangkut kehidupan dan keselamatan banyak orang; oleh karena itu harus dikuasai oleh negara yang pemanfaatannya untuk pembangunan nasional ditujukan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berkeadilan materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

105


BAB III PENUTUP 3.1

Kesimpulan Omnibus Law merupakan format pembentukan undang-undang yang bersifat komprehensif dengan membantu mengatur materi undang-undang lain yang saling terkait dengan substansi yang diatur dalam undang-undang yang diubah atau dibentuk. Pembentukan 1 (satu) Undang-Undang dilakukan dengan memperhatikan semua ketentuan material yang terkait langsung maupun tidak langsung yang diatur dalam berbagai Undang-undang lainnya secara bersamaan. Substansi pasal yang mengatur bidang energi dan sumber daya mineral dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas negara hukum yaitu sebagai sarana untuk mewujudkan Tujuan Kesejahteraan, bahwa hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokratis maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum (nomokrasi) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Adanya inkonsistensi pasal-pasal yang mengatur bidang energi dan sumber daya mineral pada Omnibus Law UU Cipta Kerja dengan arah pembangunan hukum nasional sebagai cita-cita bangsa Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, citacita bangsa Indonesia sebagai negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan segala tumpahan darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Negara hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai empat tujuan negara Indonesia.

3.2

Saran 1.

Sumber daya alam yang menjadi potensi strategis nasional dalam kehidupan sosial dan ekonomi berbangsa dan bernegara harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan menjadi milik bersama rakyat. Dalam konsepsi yang dikemukakan Mahkamah Konstitusi sebagai tafsir Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;

2.

Menolak ketentuan substantif dalam pasal-pasal yang telah dianalisis oleh para peneliti yang mengatur bidang energi dan sumber daya mineral, Omnibus Law.

3.

Adanya perbaikan proses pembentukan undang-undang yang meliputi pemenuhan prinsip-prinsip pembentukan perundang-undangan yang baik, materi hukum, 106


kelembagaan hukum, penegakan hukum dan pelayanan hukum serta kesadaran hukum masyarakat.

107


DAFTAR PUSTAKA Buku Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2018, Analisis dan Evaluasi Hukum Terhadap Ketenagalistrikan, Jakarta: Pusat Analisis dan Pelaporan Hukum Nasional. Bayu Dwi Anggon dalam Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2019, Kajian Reformasi Regulasi di Indonesia: Pokok Permasalahan dan Strategi Penanganannya, PSHK: Jakarta. Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, edisi revisi kedua, 2008. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006). Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 2001). Muhammad AS Hikam, Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-undang, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005. Ni Made Ari Yuliartini Griadhi dan Anak Agung Sri Utari, Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Jurnal Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005). Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2012. Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986).

Jurnal Agnes Fitryantica, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law, Jurnal Gema Keadilan, Volume 6, Edisi III, Oktober - November 2019. Antoni Putra, Penerapan Omnibus Law dalam Upaya Reformulasi Regulasi, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 17 Nomor 1-Maret 2020. Firman Freaddy Busroh, Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan, Jurnal Arena Hukum Volume 10, Nomor 2, Agustus 2017. Indah Dwi Qurbani, Raphael J. Hefron, Arial Thoriq, The Extractive Industries and Society, https://doi.org/10.1016/j.exis.2020.11.017. Indah Dwi Qurbani, Urgensi Pembentukan Peraturan Daerah tentang Pertambangan Mineral di Provinsi Jawa Timur, Arena Hukum, Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020. 108


Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585); Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052); Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.

109



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.