POLICY PAPER ALSA CARE & LEGAL COACHING CLINIC
"Nasib Pekerja Perempuan dalam Pusaran Kecarut - Marutan Pengarusutamaan Gender di Bidang Ketenagakerjaan"
alsalcunair.com
@alsalcunair
@alsaclcc.unair
SAMBUTAN PROJECT OFFICER CLCC Assalamualaikum Wr. Wb, Shalom, Om swastiastu, Namo Buddhaya. Pertama, mari kita panjatkan puji syukur terhadap Allah SWT karena dengan rahmat-Nya saya diberikan kesempatan oleh ALSA Local Chapter Universitas Airlangga untuk menjadi Project Officer ALSA Care and Legal Coaching Clinic 2021. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih terhadap keluarga, teman - teman, serta para pihak yang tidak dapat saya sebutkan semuanya dalam mempersiapkan acara ALSA Care and Legal Coaching Clinic 2021.
Tentu saja Policy Paper ini tidak akan berhasil tanpa narasumber - narasumber kami yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya untuk ikut serta dalam pembuatan kajian ini.
Pada kali ini, ALSA Care and Legal Coaching Clinic 2021 atau biasa disingkat menjadi CLCC mengangkat tema besar “Protecting The Rights of Women” dengan subtema yang kita ambil yaitu “Women’s Dignity : Respecting the Rights and Equality in Career Pursuing”. Subtema yang kita ambil bertujuan untuk mengulik secara lebih dalam mengenai permasalahan perempuan di dunia karir dan tujuan akhir kita adalah untuk menghapus stigma - stigma yang merendahkan perempuan kepada masyarakat umum khususnya para remaja yang berkedudukan di bangku sekolah.
Akhir kata, saya mewakili seluruh panitia ALSA Care and Legal Coaching Clinic 2021 memohon doa serta dukungannya dalam persiapan hingga pelaksanaan kegiatan ini agar dapat berjalan lancar. Terima kasih.
Salah satu rangkaian acara dari ALSA CLCC Unair 2021 adalah pembuatan Policy Paper kami yang berjudul “Nasib Perempuan Pekerja dalam Pusaran Kecarut Marutan Pengarusutamaan Gender di Bidang Ketenagakerjaan” yang disusun oleh Tim Researcher kami yang memiliki ketertarikan pada pengarusutamaan gender.
Daffa' Deta Prawira
Saya harap dengan pembuatan kajian atau riset ini, dapat memberikan dampak yang signifikan untuk seluruh masyarakat Indonesia dan mampu mengubah pola pikir masyarakat untuk lebih menghargai hak - hak perempuan.
Assalamualaikum Wr. Wb, Shalom, Om swastiastu, Namo Buddhaya. Bring in All the Best of ALSA, ALSA Always Be One!
RESEARCH TEAM
REGINA AURA FIRDANA Vice Project Officer HEAD SUPERVISOR
DANU KRISTIAN IRA WIDODO Coordinator of Policy Paper SUPERVISOR COMMITTEE
APRISKA WIDIANGELA Koordinator Komite Kajian Hak Perempuan, Anak, dan Keberagaman Gender Amnesty Unair LEAD RESEARCHER
FRANSISKUS JUNIANTO YESAYA Mahasiswa Psikologi Unair 2020 RESEARCHER
RAHARDIAN SATYA MANDALA ALSA LC Unair RESEARCHER
ELNI NAINGGOLAN Ketua Lingkat Studi Gender Mahasiswa Unair RESEARCHER
INTERVIEWEE
Dr. Lanny Ramli S.H. , M.Hum Dosen Fakultas Hukum Unair
Satyawanti Mashudi, MM Komisioner Komnas Perempuan
Drs. Dermawan, M.Si Asdep Pengarusutamaan Gender Bidang Politik dan Hukum KPPPA
Dr. Pinky Saptandari, Dra., MA Dosen Fakultas FISIP Unair
Zulfa Fauziah Founder Female In Action
Nasib Perempuan Pekerja dalam Pusaran Kecarut Marutan Pengarusutamaan Gender di Bidang Ketenagakerjaan
I.
Ringkasan Eksekutif Policy Paper ini menganalisis fenomena ketimpangan gender berdasarkan aspek sosiologi, kelembagaan, hukum, dan sumber daya manusia dalam bidang ketenagakerjaan. Analisis sosiologi membahas bagaimana konsep gender dan budaya patriarki juga turut berdampak pada perempuan di bidang ketenagakerjaan. Analisis kelembagaan membahas sistematika lembaga-lembaga yang berkaitan dengan implementasi upaya pengarusutamaan gender di bidang ketenagakerjaan. Analisis hukum membahas penyusunan dan pembentukan produk hukum sebagai upaya pengarusutamaan gender di bidang ketenagakerjaan. Analisis Sumber Daya Manusia membahas bagaimana kondisi dan upaya peningkatan kualitas SDM perempuan melalui pengarusutamaan gender di bidang ketenagakerjaan. Dari analisis lewat berbagai aspek
tersebut,
perempuan
Indonesia
masih
mengalami
ketimpangan di bidang ketenagakerjaan. Upaya pengarusutamaan gender membutuhkan penguatan dan pengawasan yang maksimal. Semua stakeholder mulai dari pemerintah hingga para pekerja diharapkan
mampu
merekonstruksi
bersinergi.
budaya
patriarki,
Pertama, edukasi
bersinergi
untuk
tentang
gender,
seksualitas, dan HAM sebagai bentuk upaya pengarusutamaan gender. Kedua, penegakan hukum dan penguatan regulasi untuk aspek yang belum terpenuhi. Terakhir, pengawasan implementasi dari program dan regulasi terkait pengarusutamaan gender untuk memastikan ketiadaan ketimpangan bagi perempuan pekerja di bidang ketenagakerjaan.
II.
Pendahuluan Kontribusi Perempuan dalam Pembangunan Nasional tidak dapat dianggap remeh. Perempuan bisa menjadi aktor strategis di dalam pembangunan. Tidak hanya pembangunan di desa-desa, tetapi juga pembangunan
secara
nasional
yang
dapat
mengubah
kehidupan
masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera (Kemenko PMK 2019). Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menteri PPN/ Bappenas) menyebutkan kaum perempuan adalah aset, potensi, dan investasi penting bagi Indonesia yang dapat
berkontribusi
secara
signifikan
sesuai
kapabilitas
dan
kemampuannya pada Forum Trading Development and Gender Equality Tahun 2019. Menanggapi hal tersebut, untuk mendorong terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia, pemerintah menuangkan itikad baiknya melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Namun dalam pengupayaannya, mengalami kendala fenomena ketimpangan gender yang berasal dari sistem yang dibentuk masyarakat itu sendiri. Di media cetak maupun non cetak, begitu banyak ditemui berita yang menayangkan mengenai adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam dunia ketenagakerjaan, padahal kita ketahui bersama bahwa adanya kesetaraan gender adalah salah satu langkah dalam mencapai suatu pembangunan nasional berkelanjutan yang ideal. Oleh karena itu, dalam Policy Paper oleh ALSA LC UNAIR, dianalisis terkait Nasib Perempuan Pekerja dalam Pusaran Kecarut Marutan Pengarusutamaan Gender di Bidang Ketenagakerjaan dari aspek Sosiologi / Aspek budaya Masyarakat, Kebijakan/Regulasi/Hukum, Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia. Bahwa urgensi dari eksistensi keberlakuan pengarusutamaan gender dalam dunia ketenagakerjaan adalah memastikan adanya akses dan kontrol yang baik antara laki-laki dan perempuan terhadap kondisi kerja,
misalnya terhadap kepastian pemenuhan hak yang telah dijamin dalam undang-undang.
III.
Metodologi Penelitian Policy Paper ini dibuat berdasarkan hasil kerja sama riset yang dilakukan oleh 4 orang mahasiswa. Mahasiswa yang melakukan riset pada Policy Paper ini berasal dari program studi Hukum, Sosiologi dan Psikologi. Menurut Abu Ahmadi, kerjasama adalah merupakan usaha bersama dari dua orang atau lebih untuk melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Tujuan kerja sama dalam pembuatan Policy Paper ini adalah untuk menganalisis konsep gender (sosiologi), Konsep Pengarusutamaan Gender dalam pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia (Psikologi), dan Penerapan dan Pengembangan hukum serta kebijakan terhadap pengarusutamaan gender (Hukum). Metode penelitian yang dilakukan pada pembuatan policy paper ini adalah kualitatif dan normatif yuridis. Konsep Metode Penelitian Kualitatif digunakan untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi social, untuk
mengembangkan teori, untuk memastikan
kebenaran data dan meneliti sejarah perkembangan. Lalu, penelitian Normatif Yuridis dilakukan dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
manusia
yang
dianggap
pantas.
Sedangkan,
teknik
pengumpulan data adalah studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka dilakukan dengan pencarian data dan informasi dengan menggunakan media informasi elektronik. Wawancara dilakukan secara bebas terpimpin kepada praktisi dan akademisi yang mumpuni dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang telah dijelaskan di awal.
IV.
Analisis (Umum ke Khusus) 4.1 Sosiologi 4.1.1 Pendahuluan Konsep gender lahir dari proses sosiologi dan budaya yang berkaitan dengan pembagian peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Menurut Jary dan Jary, dalam Dictionary of Sociology (1991) pengertian gender yang digagas oleh para sosiolog dan psikolog ialah bahwa gender lebih diartikan ke dalam pembagian ‘masculine‟ dan ‘feminine‟ melalui atribut-atribut yang melekat secara sosial dan psikologi sosial. Para antropolog seperti halnya psikolog dan sosiolog, turut sepakat bahwa gender bukan didefinisikan secara biologis tetapi secara sosial dan kultural. Gender dipandang secara kultural dan historis, seperti, makna, interpretasi, dan ekspresi dari kedua varian gender di antara berbagai kebudayaan. Faktor-faktor sosial, seperti kelas, usia, ras, dan etnisitas juga mempertajam makna khusus, ekspresi dan pengalaman gender. Hal tersebutlah yang memberikan fakta bahwa gender tidak dapat disamakan secara sederhana dengan jenis kelamin (seks) atau seksualitas (Soedarwo, 2016).
Sementara itu, ada juga yang kita kenal dengan budaya patriarki.
Di
negara-negara
dunia
ketiga, termasuk
Indonesia, budaya patriarki tersebut masih sangat kental dan
memberikan
kehidupan,
pengaruh
struktur
dalam
masyarakat
berbagai
serta
aspek
memperkuat
ketimpangan-ketimpangan gender. Patriarki sendiri adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial.
Budaya dan ideologi ini di bentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan terlebih dalam aspek sosial budaya, ketimpangan dan subordinasi terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti ini proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi dan berujung pada perempuan kehilangan otonomi atas dirinya. Eksploitasi serta kekerasan akhirnya terjadi terhadap perempuan, baik domestik maupun publik.
Konsep gender dan budaya patriarki ini juga turut memberikan pengaruh bagi nasib perempuan di bidang ketenagakerjaan.
Data
menujukkan
bahwa
tingkat
partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan di Indonesia selalu lebih rendah dari TPAK laki-laki, bahkan rentan angkanya cukup jauh dan tidak pernah mengerucut. Selain itu, angka TPAK perempuan mengalami stagnasi pada kisaran 50 persen selama lebih dari satu dekade terakhir (Septiawan, dkk, 2020). Mantra (2003) menjelaskan bahwa angka TPAK dapat digunakan untuk mengetahui penduduk yang
aktif
bekerja
ataupun
mencari
pekerjaan
(menganggur). TPAK perempuan menunjukkan berapa besarnya pasokan tenaga kerja perempuan yang tersedia dalam
suatu
perekonomian.
Semakin
tinggi
TPAK
perempuan maka semakin tinggi pula pasokan tenaga kerja perempuan. Pasokan tenaga kerja perempuan dalam pasar kerja merefleksikan peran dan keaktifan perempuan dalam kegiatan perekonomian.
Ketimpangan, stagnasi angka TPAK perempuan, hanyalah sebagian kecil dari banyaknya problematika yang diterpa perempuan di bidang ketenagakerjaan. Padahal, Dolar dan Gatti (1999) menyatakan kesetaraan gender akan efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dilain sisi, Indonesia memiliki berbagai program terkait pengarusutamaan gender di bidang ketenagakerjaan, namun melihat sedikit fakta tadi nampaknya dampak upaya pengarusutamaan gender masih
perlu
diselidiki lebih jauh. Dengan demikian,
permasalahan gender bukan suatu hal yang tak beresiko jika diabaikan. Khususnya di bidang ketenagakerjaan, peran perempuan akan turut serta memberikan sumbangsih dalam pembangunan sehingga
manusia
hingga
pertumbuhan
ekonomi,
sangat perlu untuk ditemukan solusi untuk
permasalahan ini.
4.1.2
Problematika
Perempuan
Pekerja
di
Bidang
Ketenagakerjaan
A. Ketimpangan Partisipasi Pada tahun 2010 United Nations Development Programme (UNDP) memperkenalkan Gender Inequality Index (GII) sebagai
ukuran
menggambarkan
ketimpangan sejauh
mana
gender.
GII
ini
ketidakoptimalan
pembangunan manusia dalam tiga aspek pembangunan (kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan partisipasi ekonomi) sebagai akibat adanya ketimpangan gender (UNDP, 2016). Sejalan dengan pengembangan pengukuran ketimpangan
gender
yang
dilakukan
UNDP,
BPS
melakukan penghitungan Indeks Ketimpangan Gender (UKG) untuk
tingkat
nasional dan daerah dengan
mengadopsi metodologi GII. Gambar : Indeks Ketimpangan Gender dan Komponen Penyusunnya, 2015-2019 Sumber : Kajian Penghitungan Indeks Ketimpangan Gender, BPS 2020
Berdasarkan hasil penghitungan data diatas, UKG Indonesia masih cukup tinggi, tetapi trennya mengalami penurunan dari 0,466 di tahun 2015 menjadi 0,421 di tahun 2019. Namun dapat dilihat di komponen TPAK, ketimpangan antara perempuan dan laki-laki sangatlah jauh. Dari tahun 2018 ke tahun 2019, TPAK laki-laki mengalami kenaikan sebesar 0,4 persen dari 82,7 persen ke 83,1 persen sedangkan angka TPAK perempuan stagnan di angka 51,9 persen. TPAK sendiri adalah proporsi angkatan kerja terhadap populasi usia kerja. Angkatan kerja terdiri dari individu yang saat ini sedang bekerja dan mereka yang belum bekerja namun secara aktif mencari pekerjaan. Sementara itu, definisi populasi usia kerja mencakup individu yang berusia antara 16 dan 64 tahun. Angkatan kerja mengecualikan populasi usia yang kerja tetapi tidak aktif mencari pekerjaan, sperti; (1) Pelajar; (2) Individu yang mengurus rumah tangga; (3) Individu yang sedang sakit menahun; (4) Pensiunan; (5) Pekerja putus asa (discouraged workers).
TPAK perempuan menunjukkan berapa besarnya pasokan tenaga kerja perempuan yang tersedia dalam suatu perekonomian. Dari angka diatas dapat jelas dilihat bahwa peran perempuan di dunia kerja masih kalah dibanding
laki-laki. Perempuan yang berstatus pekerja rumah tangga dan tidak
berbayar
berpengaruh signifikan terhadap
rendahnya TPAK perempuan, karena mereka tidak termasuk dari angkatan kerja dan tidak termasuk dalam pengukuran TPAK.
B. Sektor Pekerjaan Laki-laki dan perempuan juga memiliki perbedaan spesifik dalam hal bidang pekerjaan. Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan telah menerbitkan rilis terbaru terkait data ketenagakerjaan Indonesia. Di Indonesia sendiri, lapangan usaha yang diklasifikasikan ke dalam 17 (tujuh belas) sektor. Berdasarkan Buku Ketenagakerjaan Dalam Data (KDD) edisi ketiga, Penduduk Indonesia yang terbanyak urutan pertama yang bekerja berada pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yaitu sebanyak 38,22 juta orang atau sekitar 29,76 persen. Di urutan kedua adalah sektor perdagangan besar dan eceran; reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor sebanyak 24,70 juta orang atau sekitar 19,23 persen. Selanjutnya sektor industri pengolahan sebanyak 17,48 juta orang atau sekitar 13,61 persen. Dilihat dari jenis kelamin, penduduk yang bekerja yang berjenis kelamin laki-laki mendominasi hampir di semua jenis lapangan usaha (17 sektor), kecuali pada 5 (lima) sektor yaitu sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil dan sepeda; penyediaan akomodasi dan makan minum; jasa pendidikan; jasa kesehatan dan kegiatan sosial; dan jasa lainnya didominasi oleh mereka yang berjenis kelamin perempuan.
Gambar : Penduduk yang Bekerja menurut Status Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin Sumber : Sakernas, Agustus 2020 diolah Pusdatinaker
Selanjutnya, berdasarkan Sakernas Agustus 2020, penduduk yang bekerja sebagian besar yang dikategorikan sebagai buruh/ karyawan/ pegawai, yaitu sebanyak 46,72 juta orang atau sekitar 36,37 persen. Diikuti oleh penduduk yang berusaha sendiri sebanyak 26,17 juta orang atau 20,38 persen, dan berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap sebanyak 20,07 juta orang atau sekitar 15,63 persen. Berdasarkan data yang ada laki-laki mendominasi, kecuali pada status pekerjaan sebagai pekerja keluarga/ tidak dibayar didominasi oleh mereka yang berjenis kelamin perempuan. Perbandingan angka ini sektor ini sangat besar, penduduk perempuan pekerja keluarga/ tidak dibayar berjumlah 12,8 juta orang dan laki-laki hanya berjumlah 5,2 juta orang. Hal ini merupakan bentuk suatu ketimpangan dimana perempuan jauh lebih berpotensi bekerja di sektor pekerjaan dengan tanggungan yang besar, tanpa gaji, bahkan
tanpa penjaminan pemenuhan hak dan kebutuhan yang layak sesuai dengan pekerjaannya.
C. Kesenjangan Upah Problem pekerja perempuan tak sampai pada ranah sektor pekerjaan yang diambil saja, tetapi juga upah. Kesenjangan upah yang diterima laki-laki dan perempuan masih terjadi di Indonesia.
Masih terjadinya ketimpangan gender di
Indonesia khususnya di bidang ketenagakerjaan dapat ditunjukkan dengan lebih rendahnya akses perempuan terhadap pasar kerja dibandingkan dengan laki-laki dan kecenderungan perempuan bekerja mendapatkan upah yang lebih kecil dari pekerja laki-laki (Ari, 2017).
Gambar : Rata-rata Upah Per Bulan Buruh/Karyawan Berdasarkan Jenis Kelamin Sumber : Prakoswa, (2018)
Walaupun upah yang diterima oleh laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, tetapi upah pekerja laki-laki tetap lebih besar dibandingkan upah yang diterima pekerja perempuan. Perempuan dalam suatu pasar kerja menjadi korban struktur ekonomi. Perempuan harus masuk dalam sektor informal dengan upah
yang rendah, ketidakjelasan aturan kerja, penggajian yang tidak
proporsional,
jaminan kesehatan
yang kurang
memadai, dan hukum tidak menyentuh pada sektor informal (Sofiani, 2017).
D. Ketidakadilan Gender Ketidakadilan gender dapat diartikan sebagai segala bentuk pembatasan peran, pemikiran atau perbedaan perlakuan yang berakibat pada terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasi, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan bentuk-bentuk ketidakadilan gender diantaranya ialah; (1) subordinasi; (2) stereotip gender; (3) beban ganda; (4) marginalisasi; (5) kekerasan.
Dari semua bentuk ketidakadilan gender, terdapat beberapa bentuk ketidakadilan gender yang paling sering terjadi pada perempuan pekerja. Pertama, stereotype gender. Stereotype itu sendiri adalah pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Contohnya anggapan bahwa perempuan itu cengeng, suka digoda, perempuan tidak rasional, emosional, perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting, dst. Hal ini memberikan dampak pada perempuan pekerja yang kesempatannya menjadi lebih kecil untuk dapat berkembang secara kualitas dan posisi.
Gambar : Persentase Perusahaan dengan Manajer Menengah & Senior Perempuan berdasarkan Bidang Kerja Sumber : International Labour Organization (ILO), Juni 2020
Berdasarkan gambar diatas, dapat dilihat bahwa perempuan menduduki posisi manajer tingkat menengah dan senior di sejumlah perusahaan di Indonesia. Namun, menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), posisi tersebut lebih banyak pada bidang-bidang yang sifatnya pendukung. Misalnya,
sebanyak
59%
perusahaan
menempatkan
perempuan sebagai manajer di tingkat tersebut pada bidang keuangan dan administrasi, sumber daya manusia, bidang komunikasi dan publik.
Sementara itu, di bidang strategis
dan untuk berperan dalam pengambilan keputusan masih didominasi laki-laki. Hanya 17% perusahaan yang memiliki manajer menengah dan senior perempuan di bidang keuntungan dan kerugian, 18% riset dan pengembangan, serta 24% manajemen umum.
Kedua, ialah kekerasan di lingkungan kerja. Kekerasan disini artinya segala tindak kekerasan, baik fisik, non fisik, dan seksual yang dilakukan oleh seseorang atau sebuah
institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap orang lainnya. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 menunjukkan bahwa ada sebanyak 46.376 pekerja perempuan mengalami kekerasan di tempat kerja, 19.201 diantaranya berbentuk pelecehan. Ditambah lagi, sejak pandemi COVID-19, pekerjaan memberikan
dikerjaan ancaman
secara
virtual.
kekerasan
Perubahan
baru
ini
bagi pekerja
perempuan yakni KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Berbagai kekerasan yang terjadi di lingkungan kerja menjadi hantu bagi perempuan, dan memberikan dampak domino bagi fisik, psikis, sosial, hingga fungsional bagi para pekerja perempuan.
4.1.3 Sumber Problematika Perempuan Pekerja di Bidang Ketenagakerjaan
A. Miskonsepsi Gender dan Budaya Patriarki Konsep gender turut memberi pengaruh besar di bidang ketenagakerjaan.
Masyarakat
Indonesia
masih
beranggapan bahwa peran sosial perempuan berbeda dengan laki-laki. Perempuan bersifat pasif dan berperan di ranah privat, sedangkan laki-laki dianggap bersifat aktif dan berperan di ranah publik. Hal ini tidak terjadi secara alamiah, tetapi akibat adanya konstruksi budaya (Qori, 2017). Itulah yang kita sebut dengan perbedaan gender. Perbedaan gender terjadi melalui proses yang sangat panjang, dimulai dengan pembagian kerja secara seksual yang sudah berlangsung ribuan tahun berasal dari zaman purba. Kondisi biologis yang berbeda antara perempuan dan
laki-laki akhirnya membedakan peran dan pekerjaan perempuan dan laki-laki. (Soedarwo, 2016). Budaya patriarki dan norma yang berlaku pada sebagian besar masyarakat Indonesia inilah yang menjadi salah satu faktor menyebabkan
pekerja
perempuan
lebih
banyak
dipekerjakan di sektor domestik dibandingkan di sektor publik (KPPPA, 2018). Perempuan mempunyai beberapa hambatan untuk berpindah dari pasar kerja informal ke pasar
formal
yaitu
peran
dan
tanggung
jawab
kerumahtanggaan, status subordinat perempuan dalam relasi gender, dan sikap patriarki terhadap partisipasi perempuan dalam kehidupan ekonomi dan masyarakat (ILO, 2012).
Arief Budiman dalam bukunya Pembagian Kerja Secara Seksual (1985),
menyatakan
pembagian kerja yang
menempatkan perempuan pada ranah rumah tangga untuk memasak dan mengurus anak membuat perempuan tidak berkembang secara manusiawi. Mereka menjadi sangat kerdil sepanjang hidupnya karena ruang gerak yang sangat terbatas, sedangkan laki-laki memperoleh ruang dan kesempatan yang lebih untuk bergerak dalam kehidupan di luar rumah dan mengembangkan dirinya secara optimal.
Fenomena
ini berlangsung terus-menerus baik pada
masyarakat di negara Barat hingga di negara Timur. Pembagian kerja atau tugas antara laki-laki dan perempuan menjadi melekat pada gambaran fisik keduanya, misalnya atribut fisik feminin, kulit halus, hidung mungil, bulu mata panjang dan lentik, serta memperoleh tugas dan pekerjaan
yang membutuhkan ketelitian, halus dan tidak banyak tantangan atau risiko. Hal ini membawa perbedaan dengan tugas
dan
pekerjaan
bagi
laki-laki
karena
atribut
maskulinitas, seperti badan yang tegap, disiplin, kuat, dan memiliki kontrol diri. Pekerjaan laki-laki di luar rumah ini kemudian lazim disebut pekerjaan di sektor publik.
Kesalahan
akan
pemahaman
terkait
konsep
gender
seringkali muncul, ketika konsep gender disamakan dengan konsep sex. Hal ini ditegaskan oleh Asma Barlah (2007), yang mengatakan inti dari ketidaksetaraan gender adalah pencampur-adukan antara biologis (jenis kelamin) dan makna sosialnya (gender). Dalam bidang ketenagakerjaan sendiri, kesalahpahaman dan ketidaktahuan akan konsep gender yang sesungguhnya, berujung pada rendahnya angka TPAK
perempuan
dan perannya pada
sektor-sektor
pekerjaan publik dan bidang yang lebih strategis.
B. Akses dan Kualitas Perempuan Pekerja Perbedaan
antara
laki-laki
dan
perempuan
dalam
penggunaan waktu di rumah, perbedaan tingkat pendidikan dan keterampilan, pembatasan sosial-budaya, segregasi sektoral dan pekerjaan, migrasi laki-laki, dan akses ke input produktif, semuanya mengarah pada ketimpangan gender dalam partisipasi pekerjaan yang layak (Mehrotra & Sinha, 2017). Hal-hal tersebut memberikan pengaruh pada akses perempuan menuju ke ranah ketenagakerjaan. Miskonsepsi gender dan budaya patriarki menggiring perempuan pada keterbatasan akses yang terstruktur.
Gambar : Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2010-2019. Sumber : Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2020.
Akses perempuan menuju ke ruang-ruang pekerjaan dimulai dari pendidikan. Dari data diatas, angka RLS perempuan masih dibawah laki-laki. Pada tahun 2019, terdapat kesenjangan RLS dengan durasi hampir satu tahun antara
laki-laki
dan
perempuan.
Perempuan
lama
bersekolahnya lebih cepat hampir 1 tahun dibandingkan laki-laki. Rata-rata laki-laki sudah menikmati pendidikan selama 8,81 tahun atau hingga kelas VIII (setingkat kelas 2 SMP), sedangkan perempuan menikmati Pendidikan lebih cepat satu tahun yaitu selama 7,89 tahun atau kelas VII (setingkat kelas 1 SMP).
Tingkat pendidikan berpengaruh pada pekerja perempuan. Salah satu penyebab rendahnya upah yang diterima pekerja perempuan
adalah
karena
sebagian
besar
pekerja
perempuan hanya dapat mengisi lapangan kerja di sektor informal
yang tak
mengharuskan pendidikan tinggi
(Vibriyati, 2013). Hal ini berbanding lurus dengan data BPS
Persentase
Kesenjangan
Upah Antargender
Menurut
Tingkat Pendidikan (2020) yang melaporkan, kesenjangan upah antargender (gender wage gap) di tingkat pendidikan SD kebawah tertinggi di antara tingkat pendidikan lainnya, yaitu sebesar 39,41% pada 2020. Artinya, upah yang diterima pekerja laki-laki lulusan SD 39,41% lebih besar dibandingkan upah yang diterima perempuan.
Pendidikan menunjang kualitas perempuan baik secara keilmuan
dan
perdagangan
keterampilan.
dan
jasa
Saat
ini,
sektor
jasa
kemasyarakatan,
sosial
dan
perorangan merupakan lapangan kerja yang paling banyak terbuka
bagi
perempuan
(Hakim,
2011).
Kualitas
perempuan seharusnya dapat digali lebih jauh agar perempuan juga dapat siap menerima sektor pekerjaan lain yang
terbuka.
Kemajuan zaman menjadi tantangan
tersendiri bagi perempuan. Namun, peluang pasar tenaga kerja perempuan diera revolusi Industri 4.0 semakin mengkhawatirkan. Dengan semakin otomatisasi
yang
diterapkan oleh
tingginya sistem perusahaan,
akan
mengakibatkan hilangnya jenis pekerjaan yang bersifat administratif yang justru paling banyak diisi oleh pekerja perempuan. Di bidang sains, teknologi, teknik dan matematika
(science,
technology,
math/STEM)
yang
diperkirakan
pertumbuhan
sangat
pesat
dalam
engineering, akan
and
mengalami
beberapa
waktu
mendatang khususnya dibidang komputer dan matematika justru kurang dapat terwakili oleh pekerja perempuan. Tingkat partisipasi perempuan Indonesia di masa menjalani STEM sebenarnya tergolong tinggi, namun dalam dunia
kerja jumlah partisipasi perempuan yang bekerja di bidang STEM masih sedikit (Nuraeni, 2020).
C. Ketidaktahuan Perempuan Tentang Seksualitas Perempuan di bidang ketenagakerjaan selain menghadapi masalah struktural seperti yang dijelaskan diatas, juga mendapati
ancaman keamanan dan kenyamanan
di
lingkungan kerja. Masih rendahnya dan ketabuan akan pemahaman soal gender dan seksualitas bagi perempuan juga menjadi faktor utama akan banyaknya kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan pekerja. Dalam artikel yang diterbitkan Kompas.com, Srie Wulandari, CEO dan Coach HR Academy, mengatakan sebenarnya sudah banyak panduan dari Pemerintah maupun Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) untuk menekan praktik kekerasan gender di tempat kerja. Sayangnya, praktiknya masih memiliki dua kendala utama yakni ketidaktahuan korban dan komunikasi yang tidak transparan.
Seksualitas tidak hanya tentang hubungan seksual, tetapi juga mengenai segala aspek – aspek terhadap kehidupan manusia terkait faktor biologis, sosial, politik dan budaya, terkait
dengan
mempengaruhi
seks individu
dan
aktivitas
dalam
seksual
masyarakat.
yang Dengan
memahami seksualitas, para perempuan pekerja dapat lebih tanggap dalam mengenai indikasi-indikasi perilaku tindakan kekerasan seksual yang sangat rawan terjadi di dunia kerja. Tak sampai disana, minimnya pengetahuan tentang langkah prosedur yang harus diambil oleh perempuan pekerja juga menjadi kunci dari buruknya nasib perempuan pekerja di
Indonesia. Risiko pelaporan yang minim bukti dan tidak ada support dari tempat bekerja perempuan justru dapat menjadi bumerang yang berpotensi membuat pekerja perempuan kehilangan pekerjaannya. fenomena inilah yang kerap terjadi dan sulit dihentikan, sialnya lagi dampaknya hanya merugikan perempuan pekerja.
4.1.4 Pengarusutamaan Gender Sebagai Upaya Perbaikan Nasib Perempuan di Bidang Ketenagakerjaan Problematika dan nasib buruk yang dihadapi perempuan pekerja di bidang ketenagakerjaan bukanlah hal yang mudah untuk diselesaikan. Berbagai masalah yang dihadapi adalah buah dari konstruksi budaya yang berdiri tegak sejak berabad-abad. Bentuk-bentuk masalah yang dihadapi perempuan sejatinya adalah bentuk ketimpangan gender yang harus diselesaikan dengan melahirkan kesetaraan gender. Kesetaraan gender dimaknai sebagai keadaan dimana perempuan dan laki-laki memiliki kondisi yang setara untuk dapat merealisasikan haknya secara penuh sebagai manusia dan untuk dapat memberikan kontribusi, serta memperoleh manfaat dari pembangunan. Di bidang ketenagakerjaan
sendiri,
kesetaraan
gender
dapat
melahirkan dampak baik bagi perekonomian, seperti yang dikatakan Dolar dan Gatti (1999) bahwa kesetaraan gender akan efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Maka, tidak ada alasan yang dapat menunda upaya-upaya baik untuk mewujudkan kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan.
Dari sisi sosiologi, berbagai permasalahan yang menimpa perempuan di bidang ketenagakerjaan, lahir lewat miskonsepsi
gender dan budaya patriarki. Sehingga upaya yang paling tepat untuk menjadi solusi ialah pendidikan akan pemahaman tentang kesetaraan gender dan merekonstruksi budaya patriarki agar tidak lagi merugikan perempuan semata. Upaya mewujudkan solusi tersebut sebetulnya sudah dimulai sejak lama. Pada Konferensi Wanita Sedunia ke IV di Beijing, lahir istilah “Gender Mainstreaming” yang dicantumkan pada ”Beijing Platform of Action”. Semua negara peserta termasuk Indonesia dan organisasi yang hadir pada konferensi tersebut secara
eksplisit
menerima
mandat
untuk
mengimplementasikan ”Gender Mainstreaming” tersebut di negaranya masing-masing. Gender Mainstreaming atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan “Pengarusutamaan Gender”, disepakati menjadi salah satu upaya besar untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
Pengarusutamaan gender (PUG) merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Di Indonesia sendiri PUG sudah ada sejak terbitnya Panduan Pelaksanaan Inpres No 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan, yang diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Namun dalam implementasinya, PUG belum memberi dampak baik yang maksimal bagi nasib perempuan pekerja. Hal tersebut dibuktikan dengan sederet problem yang masih harus dihadapi oleh perempuan di bidang ketenagakerjaan.
Masih dalam kacamata sosiologi, pengarusutamaan gender harus dimulai dari hal yang paling mendasar yakni edukasi. Pendidikan tentang kesetaraan gender dan seksualitas harus menjadi asupan wajib bagi masyarakat. Penanaman edukasi tentang kesetaraan gender dan seksualitas bisa dimulai lewat pendidikan formal hingga non formal. Muatan-muatan seperti sejarah peradaban manusia yang menciptakan eksistensi perbedaan gender hingga proses kelanggengan budaya patriarki, akan dapat membantu generasi-generasi mendatang (tidak hanya perempuan, tetapi semuanya) lebih memahami mengapa
ketimpangan
gender
selama
ini
terjadi
di
masyarakat. Pendidikan ini dapat menyasar ke semua kalangan untuk menciptakan kesetaraan gender di semua kalangan pula. Dengan kesiapan ini pula, semua pekerja khususnya pekerja perempuan dapat lebih peka untuk mencegah dan menanggulangi apabila mereka mendapati kekerasan di lingkungan kerja.
Terkhusus untuk perempuan yang tergolong angkatan kerja, edukasi yang diperlukan tidak terbatas pada konsep gender, seksualitas, dan pemahaman akan budaya patriarki saja. Lebih jauh lagi, bagi perempuan secara umum dan perempuan yang tergolong angkatan kerja secara khusus, diperlukan pendidikan keterampilan yang lebih matang dan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Ketimpangan perempuan dan laki-laki di pendidikan formal masih dapat diatasi dengan pengadaan pendidikan non formal untuk menggali potensi perempuan, mengasah keterampilan perempuan, dan mempersiapkan perempuan untuk sektor lapangan kerja yang lebih luas lagi. Hal ini akan dapat mendorong angka TPAK dan meningkatkan
peluang kerja perempuan di sektor-sektor yang awalnya masih didominasi oleh laki-laki saja. Kesiapan secara kualitas dari perempuan tentu juga akan mendorong perempuan menempati posisi lebih tinggi dari rata-rata sebelumnya. Kembali lagi, tidak ada perbedaan biologis perempuan dan laki-laki yang secara terang benderang mempengaruhi kualitas perempuan dan laki-laki. Semua masih dapat digali dan dibentuk menjadi lebih baik.
Untuk mencapai ini semua perlu ada pengorganisasian yang baik. Khususnya dari sisi sosiologi, keterlibatan akademisi akan sangat diperlukan disini. Baik nantinya langkah ini akan diimplementasikan lewat berbagai produk hukum, kebijakan, dan program-program, peran akademisi akan sangat penting untuk tetap menggunakan perspektif gender dalam tiap langkah upaya-upaya yang diambil nantinya. Selanjutnya, dikarenakan kunci dari pengarusutamaan gender berawal dari pendidikan, Institusi Pendidikan nantinya dapat mengambil peran lebih dalam menjamin edukasi tentang kesetaraan gender, seksualitas, dan turut merekonstruksi budaya patriarki di lingkungannya.
4.2 Kelembagaan Pengarusutamaan Gender 4.2.1 Pendahuluan Permasalahan Hak Perempuan Pekerja dalam Implementasinya Berangkat pada bagaimana konsep kesetaraan gender menjadi penting bagi pembangunan, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk pengupayaan kesetaraan gender di Indonesia. Hal-hal tersebut tertuang pada pada banyak sekali regulasi beberapa di antaranya terkait upaya kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan adalah
Undang
Undang
Nomor
13
tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan, Undang Undang Nomor 11 tahun 2020
tentang
Cipta Kerja , Konvensi ILO , Convention on the Elimination of Discrimination Against Women ( CEDAW ), Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS ). Namun, upaya tersebut hanya dapat berlaku apabila terdapat sinergi dari berbagai elemen di dalamnya. Dalam siaran pers yang dirilis oleh Komnas Perempuan pada 1 Mei 2021, masih ditemukan berbagai problematika mendasar terkait ketidakadilan gender di tempat kerja, antara lain adalah terkait penerimaan kerja, kesempatan mengikuti
pelatihan
dan promosi, akses dalam pengambilan
keputusan, perbedaan pengupahan, penyediaan fasilitas, usia pensiun, dan keanggotaan serikat pekerja (Adiratna, 2010). Selain itu,dalam Siaran Pers Komnas Perempuan tersebut, masih banyak ditemukan pekerja perempuan yang mengalami pelanggaran hak maternitas antara lain pembatasan cuti hamil dan kelahiran, pengabaian cuti haid, kurangnya perhatian pada standar keselamatan dan kesehatan kerja. Hal demikian tidak jauh berbeda dengan nasib pekerja sektor informal yang masih belum mendapat perlindungan secara hukum (Komnas Perempuan, 2021). Dengan demikian, tidak mengherankan apabila kondisi ketimpangan gender tersebut dapat berujung pada kekerasan terhadap perempuan. Mengutip pada Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU) Komnas Perempuan pada kurun 2017-2020 masih mendapati banyak hak perempuan pekerja yang dilanggar, antara lain hak untuk bebas dari kekerasan, pelecehan dan diskriminasi. Sebanyak 64 pengaduan langsung terkait kasus kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja (Komnas Perempuan, 2021). Situasi demikian semakin miris ketika memasuki masa
pandemi, dengan ketidakstabilan kondisi perekonomian dan kesehatan yang terus menggerus nasib pekerja perempuan. Menghadapi
fenomena
demikian,
pemerintah
telah
mengupayakan suatu program untuk mendorong kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan melalui pengarusutamaan gender yang dituangkan ke dalam Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
Dalam pelaksanaannya, keberhasilan
pengarusutamaan gender tidaklah terlepas dari hasil sinergitas oleh berbagai faktor, salah satunya kelembagaan.
4.2.2 Implementasi Pengarusutamaan Gender Sejak terbitnya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan
Nasional, hak
perempuan seakan mendapatkan angin segar, bahwa pemerintah telah menggelontorkan itikad baiknya untuk mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia. Dalam buku petunjuk pelaksanaan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender untuk kementerian/lembaga, Pengarusutamaan gender merupakan strategi yang dibentuk untuk kesetaraan gender dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan. Pelaksanaan integrasi Pengarusutamaan Gender ke dalam siklus perencanaan dan penganggaran baik di tingkat pusat maupun daerah yang responsif gender, dan pengalokasiannya dapat lebih efektif, dapat dipertanggungjawabkan, dan
adil dalam memberikan manfaat
pembangunan bagi seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Bahwa diketahui bersama, pelaksanaan pengarusutamaan gender berpacu pada pemenuhan tujuh prasyaratnya antara lain adalah komitmen, kebijakan, kelembagaan, Sumber Daya (Manusia dan Dana), data terpilah, alat analisis, dan partisipasi masyarakat.
Mengingat urgensi Pengarusutamaan Gender ini, maka harus dipastikan prasyarat tersebut bekerja, sehingga dapat berkontribusi terhadap keadilan
dan kesetaraan gender sebagai hasil dari
pelaksanaan pengarusutamaan gender (Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan Bappenas, 2006).
4.2.3 Koordinasi Pelaksana Pengarusutamaan Gender Dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang menginstruksikan kepada : 1). Menteri; 2) Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; 3) Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; 4) Panglima Tentara Nasional Indonesia; 5) Kepala Kepolisian Republik Indonesia; 6) Jaksa Agung Republik Indonesia; 7) Gubernur; 8) Bupati/Walikota; Untuk melaksanakan pengarusutamaan
gender
guna
terselenggaranya
perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender juga diinstruksikan secara khusus untuk
memberikan bantuan teknis
kepada instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Pengarusutamaan gender dan melaporkan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender kepada Presiden. Dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender, maka dilakukan pemantauan dan evaluasi, hal ini merupakan tanggung jawab dari Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik Pusat maupun Daerah, yang mana hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan gender tersebut, oleh Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik Pusat dan Daerah kemudian akan dilaporkan kepada
Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Laporan pelaksanaan pengarusutamaan gender tersebut, setidaknya meliputi hambatan yang terjadi, upaya yang telah dilakukan dalam mengatasi hambatan tersebut, hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender. Melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan itu, hasil laporan pelaksanaan pengarusutamaan gender diserahkan secara berkala kepada presiden. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan juga memiliki unsur pembantu yang diampu oleh Deputi Pengarusutamaan Gender. Deputi Pengarusutamaan
Gender
memiliki
visi
untuk
mewujudkan
pelembagaan pengarusutamaan gender di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di seluruh bidang pembangunan. Visi itu dicapai dengan cara meningkatkan kesadaran dan komitmen para pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan dengan mengimplementasikan strategi pengarusutamaan gender.
4.2.4 Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Pemerintah
menggelontorkan
berbagai
kebijakan
demi
pelaksanaannya, melalui Surat Edaran Bersama (SEB) antara empat menteri yaitu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas No. 270/M.PPN/II/2012, Menteri Keuangan dengan No. Se.33/MK.02/2012, Menteri Dalam Negeri No. 050/4370A/SJ dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No 46/MPP-PA/III/2012 Pengarusutamaan
tentang
Gender
Strategi
(PUG)
Nasional
melalui
percepatan
Perencanaan
dan
Penganggaran Responsif Gender, yang mana pada intinya terdapat 4 Tim
Penggerak
PPRG,
yaitu:
Menteri
Negara
Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri. dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Dalam rangka pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di bidang Ketenagakerjaan
dan Transmigran, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak menggelontorkan kebijakan untuk pelaksanaannya di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian.
Pelaksanaan pengarusutamaan gender di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang difokuskan dalam evaluasi ini meliputi 5 aspek, yaitu (a) dukungan politik, (b) kebijakan, (c) kelembagaan, (d) sistem informasi, dan (e) sumber daya manusia (SDM). Meski Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi turut mengupayakan pelaksanaan pengarusutamaan gender melalui kebijakan equal employment opportunity (EEO) yang juga telah mendorong upaya pengarusutamaan gender dalam pasar kerja. Namun Pelaksanaan pengarusutamaan gender masih mengalami kendala dan hambatan, terdapat beberapa dimensi atau aspek yang masih belum berjalan maksimal
sehingga
hasil
evaluasi
menggambarkan
bahwa
ketidakadilan terhadap perempuan dalam dunia kerja masih terus berlanjut
bahkan
sejak
awal
rekrutmen
hingga penempatan
(Puspitosari & Putri Maharani, 2014).
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender harusnya dapat tergambar dalam proses penyusunan kebijakan perencanaan dan penganggaran
yang responsif gender. Hal ini tidak terlepas dari adanya urgensi dalam hal menekan angka diskriminasi terhadap perempuan dan laki-laki di bidang ketenagakerjaan, mendorong keterampilan perempuan dan laki-laki, perlindungan kelompok rakyat miskin. Untuk mencapai hal tersebut
maka penting diadakan pemberian pengetahuan dan
pemahaman bagi perencana untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip Anggaran Responsif Gender. Selain dapat mendorong perubahan dalam mengalokasikan anggaran yang efisien, efektif dan adil, hal demikian juga diharapkan mampu mengupayakan kesetaraan gender, sehingga posisi antara perempuan dan laki-laki menjadi seimbang, yang dapat dilihat dari kemiskinan struktural di berbagai daerah, kesenjangan gender di berbagai bidang, dan berbagai sistem dan struktur yang merugikan perempuan. Hal ini juga selaras sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.02/2010 yang juga mengamanatkan penerapan prinsip-prinsip ARG dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran di berbagai bidang pembangunan. Pembahasan mengenai Pengarusutamaan Gender pada Bab ini akan mengerucut membahas terkait pelaksanaan pengarusutamaan gender tersebut dari segi kelembagaan.
4.2.5 Kelembagaan Pengarusutamaan Gender Menurut Glosarium Perlindungan Perempuan, Kelembagaan pengarusutamaan gender adalah kelembagaan yang berfungsi secara efektif dalam satu sistem berkelanjutan dengan norma yang disepakati dalam pemenuhan hak-hak asasi perempuan dan laki-laki secara adil untuk mencapai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di seluruh
bidang pembangunan dan tingkatan pemerintahan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).
Indikator Kelembagaan Pengarusutamaan gender Indikator kelembagaan Pengarusutamaan Gender dapat dilihat dari beberapa komponen antara lain adalah : 1. Ketersediaan Peraturan Perundangan yang Responsif Gender 2. Ketersediaan
Lembaga-lembaga
yang
mendukung
proses
pelaksanaan Pengarusutamaan Gender termasuk data dan anggaran Indikator kelembagaan pengarusutamaan gender di provinsi adalah telah terbentuknya POKJA dengan SK Gubernur dan adanya focal point di masing-masing SKPD dengan SK Kepala SKPD, adanya rencana aksi provinsi tentang pengarusutamaan gender, dan adanya pertemuan-pertemuan rutin POKJA dalam membahas berbagai perkembangan dan masalah pelaksanaan pengarusutamaan gender (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). 3. Ketersediaan sumber daya manusia yang mendukung proses pelaksanaan Pengarusutamaan Gender 4. Ketersediaan dukungan masyarakat dan dunia usaha dalam proses pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (Bappenas 2012)
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di pusat Di
tingkat
nasional, pelaksanaan Pengarusutamaan Gender
dilaksanakan oleh kelembagaan pemerintah pusat sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang mana kementerian/lembaga tersebut diwajibkan menerapkan PRG dan ARG. Perencanaan Responsif Gender (PRG) ini yang nantinya akan menghasilkan Anggaran Responsif Gender (ARG), di mana kebijakan pengalokasian anggaran disusun demi pemenuhan kebutuhan yang
berbeda antara perempuan dan laki-laki. Terutama pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yakni membentuk kesetaraan bagi tenaga kerja dan transmigran, baik perempuan maupun laki-laki. Dokumen perencanaan meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Strategi Satuan Kerja, Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan Rencana Kerja Kementerian Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Kendala Namun
sayangnya,
menurut
narasumber,
masih
banyak
kementerian/lembaga khususnya kementerian ketenagakerjaan dan ketransmigrasian belum melaksanakan perencanaan dan penganggaran responsif
gender
demi
pelaksanaan
pengarusutamaan
gender
berdasarkan RPJMN.
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di daerah Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah diatur oleh Permendagri No. 67 Tahun 2011 sebagai perubahan dari Permendagri No. 15 tahun 2008. Permendagri tersebut telah mengatur sistem kelembagaan Pengarusutamaan Gender di daerah dan juga mengatur sistem
perencanaan
dan
penganggaran
dengan
menggunakan
instrumen Analisis Gender dengan menggunakan Gender Analysis Gender (GAP) dan Pernyataan Anggaran Gender/Gender Budget Statement (PAG/GBS) Pelaksanaan strategi Pengarusutamaan Gender di daerah juga mengacu pula pada Permendagri No, 54 tahun 2010 tentang pelaksanaan PP No. 08 tahun 2008 tentang Tahapan Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dan Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang 2 Pengelolaan Keuangan Daerah jo Permendagri No. 59 tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Kementerian Kelautan dan Perikanan).
Dalam Permendagri No. 67 Tahun 2011, mengamanatkan kepada setiap pemerintahan daerah untuk melaksanakan Pengarusutamaan Gender, kelembagaan Pengarusutamaan Gender di daerah dapat ditunjukkan dengan adanya Pokja (Kelompok kerja) di setiap pemerintahan daerah , Focal Point di tingkat instansi/lembaga dan Tim Teknis (Kementerian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak, 2018). Kelembagaan tersebut merupakan wadah konsultasi bagi pelaksana dan penggerak Pengarusutamaan Gender dari berbagai instansi/lembaga (Kementerian Kelautan dan Perikanan).
Adapun membangun kelembagaan Pengarusutamaan Gender dalam mendukung pelaksanaan strategi Pengarusutamaan Gender adalah mendorong terbentuknya Kelompok Kerja (POKJA) yang merupakan
forum
dialog
dan
pengambil
keputusan tentang
pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di provinsi dan terbentuknya focal point di masing-masing SKPD. Terkait unit kelembagaan tersebut, akan dipaparkan sebagai berikut : a. Pokja (Kelompok Kerja) Provinsi dan Kabupaten/Kota Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender yang selanjutnya disebut Pokja Pengarusutamaan Gender adalah wadah konsultasi bagi pelaksana dan penggerak pengarusutamaan gender dari berbagai instansi/lembaga di daerah. Pokja dibentuk di tingkat provinsi dan Kabupaten/kota dalam rangka upaya percepatan pelembagaan pengarusutamaan gender, anggota pokja sendiri dari seluruh kepala/pimpinan SKPD. Pokja menurut Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 memiliki tugas antara lain adalah : 1. Mempromosikan
dan
memfasilitasi
Pengarusutamaan
gender kepada masing-masing SKPD 2. melaksanakan sosialisasi dan advokasi pengarusutamaan gender kepada pemerintah kabupaten/kota
3. menyusun program kerja setiap tahun; 4. mendorong terwujudnya perencanaan dan penganggaran yang responsif gender; 5. menyusun rencana kerja Pokja pengarusutamaan gender setiap tahun 6. merumuskan rekomendasi kebijakan 7. menyusun Profil Gender 8. Melakukan pemantauan pelaksanaan pengarusutamaan gender di masing-masing instansi 9. menetapkan tim teknis untuk melakukan analisis terhadap anggaran daerah 10. menyusun
Rencana
Aksi
Daerah
(RANDA)
Pengarusutamaan Gender. 11. mendorong dilaksanakannya pemilihan dan penetapan focal point di masing-masing SKPD
Kendala Minimnya
eksistensi
terbentuknya
Kelompok
kerja
Pengarusutamaan Gender (Pokja) sebagaimana yang diatur oleh Permendagri No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah sebagian besar provinsi dan kabupaten/kota, sehingga Tupoksi Pokja Pengarusutamaan Gender belum dapat berfungsi sebagaimana diharapkan. Keterlibatan Tim Pakar Gender dari Perguruan Tinggi masih minim dalam Struktur Pokja Pengarusutamaan Gender dalam
rangka
membantu Pemerintah
Daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 33 PP No. 8 tahun 2008.
Posisi dan peran stakeholders belum diatur secara jelas dalam Permendagri No. 15 tahun 2008. Untuk itu perlu pasal khusus yang
mengatur
posisi
dan
peran
stakeholders
dalam
Pokja
Pengarusutamaan Gender (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016).
b. Focal Point Pengarusutamaan Gender di setiap SKPD di Provinsi dan Kabupaten/Kota Focal Point Pengarusutamaan Gender adalah aparatur SKPD
yang
mempunyai
kemampuan
untuk
melakukan
pengarusutamaan gender di unit kerjanya masing-masing, terdiri dari pejabat dan/atau staf yang membidangi tugas Pemberdayaan Perempuan dan Bidang lainnya. Focal Point Pengarusutamaan Gender dipilih dan ditetapkan oleh kepala/pimpinan SKPD. Focal Point Pengarusutamaan Gender mempunyai tugas : a. Mempromosikan pengarusutamaan gender pada unit kerja; b. memfasilitasi penyusunan rencana kerja dan penganggaran SKPD yang responsif gender; c. melaksanakan
pelatihan,
sosialisasi,
advokasi
pengarusutamaan gender kepada seluruh pejabat dan staf di lingkungan SKPD; d. melaporkan pelaksanaan Pengarusutamaan gender kepada pimpinan SKPD e. mendorong pelaksanaan analisis gender terhadap kebijakan, program, dan kegiatan pada unit kerja; dan f. memfasilitasi penyusunan data gender pada masing-masing SKPD;
Kendala Belum terjalin harmonisasi kerjasama antara Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja) dengan Focal Point Pengarusutamaan Gender, selain itu kapasitas Focal Point
Pengarusutamaan pelaksanaan
gender
masih
Pengarusutamaan
cenderung Gender
di
minim setiap
dalam SKPD.
(Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016).
c. Tim Teknis Provinsi dan Kabupaten/Kota Tim teknis beranggotakan aparatur yang sudah mengikuti pelatihan atau pendidikan dan memahami analisis anggaran yang responsif gender
Kendala Terjadi kesulitan dalam proses rekrutmen dikarenakan tidak ada peraturan
yang
secara
lugas
menyebutkan
unsur-unsurnya
(Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016).
Dengan analisis tersebut, ditemukan beberapa kendala yang dapat berimplikasi menghambat pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.
4.2.6
Kendala Kelembagaan
Pengarusutamaan
Gender di
Indonesia Meskipun demikian, dalam evaluasi pelaksanaanya, ditemukan beberapa isu terkait problematika kelembagaan. Antara lain adalah: a. Belum terjalinnya harmonisasi kerjasama dan komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal pelaksanaan kegiatan Pengarusutamaan Gender, sehingga masih ditemui
ketidakselarasan antara kebijakan Pengarusutamaan Gender di daerah dengan kebijakan pusat berujung pada b. Kurangnya para pengambil kebijakan, perencana, pelaku program untuk memperhatikan RPJMN, sehingga terjadi ketidaksesuaian perkembangan indikator kelembagaan pengarusutamaan gender dengan RPJMN. c. Masih terdapat beberapa daerah yang mengalami keterbatasan dana APBN melalui dana dekonsentrasi untuk menjalankan kegiatan Pengarusutamaan Gender. d. Rendahnya komitmen dan pemahaman tentang konsep gender dan Pengarusutamaan gender serta minimnya penggunaan analisis gender dalam perencanaan dan penganggaran pada para pengambil kebijakan, perencana, pelaku program sehingga berujung pada terbatasnya kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender (Bappenas 2012). e. Belum
optimalnya
perencanaan
penggunaan
kebijakan,
data terpilah
program
dan
pada
kegiatan
dalam
termasuk
penganggaran, sehingga berujung pada kebijakan/program/kegiatan yang belum responsif gender. f. Kondisi pendataan yang tidak memadai. Khusus untuk isu perlindungan kekerasan terhadap perempuan, tidak satupun dari ketiga provinsi yang dapat menyediakan data yang memadai, baik terkait ketersediaan layanan perlindungan, pelatihan aparat hukum, maupun bentuk partisipasi masyarakat.
4.2.7 Peran Komnas Perempuan sebagai Lembaga Nasional HAM dalam Perlindungan Perempuan Pekerja
a. Tentang Komnas Perempuan
Dalam Siaran Pers Komnas Perempuan Peringatan 36 Tahun Pengesahan
CEDAW,
dipaparkan
bahwa
di
samping
pada
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebagai eksekutif, sebagai pelaksana pengarusutamaan gender dalam pembangunan di Indonesia adapun Komnas Perempuan yang juga merupakan hasil dari konstitusi CEDAW yang berperan dalam pemantauan pelaksanaan CEDAW dan berfokus pada isu kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan, 2020). Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah lembaga negara yang independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005.
b. Upaya
untuk
mencegah
terjadinya
pelanggaran
hak
perempuan di Indonesia Bahwa sesungguhnya ada setidaknya 3 peran yang diampu oleh Komnas Perempuan dalam hal pencegahan kekerasan terhadap perempuan antara lain adalah : 1. Sebagai pusat pengetahuan tentang hak asasi perempuan melalui penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
Indonesia
dan
upaya-upaya
pencegahan
dan
penanggulangan, serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. 2. Sebagai pemantau perlindungan hak asasi perempuan melalui hukum positif melalui melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai instrumen
internasional yang
perlindungan hak-hak asasi perempuan;
relevan bagi
3. Selain pemantau, Komnas Perempuan juga sebagai pelapor dalam hal pencarian fakta dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan
dan
pelanggaran
HAM
perempuan,
serta
penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah
yang
mendorong
pertanggungjawaban dan
penanganan;
c. Upaya Penanggulangan Pelanggaran Hak Perempuan Pekerja Dalam
hal upaya penanggulangan kasus pelanggaran hak
perempuan pekerja maupun terjadi kekerasan terhadap perempuan pekerja, Komnas Perempuan berwenang dalam, a. Sebagai pemicu perubahan demi perlindungan hak asasi perempuan melalui pemberian saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi penyusunan
dan
masyarakat
pengesahan
guna
kerangka
mendorong hukum
dan
kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan
segala
bentuk
kekerasan
terhadap
perempuan, serta perlindungan HAM penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan; Menurut
Ibu
Satyawandi
Mashudi
selaku
Komisioner Komnas Perempuan sebagai narasumber kami, kewenangan ini dapat diwujudkan dengan melayangkan pernyataan sikap atau menyelenggarakan audiensi, atau dapat menjadi negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada pemenuhan tanggung jawab negara pada penegakan hak asasi manusia dan pada pemulihan hak-hak korban;
b. Membentuk sinergi dengan mengembangkan kerja sama regional dan internasional sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan
segala
bentuk
kekerasan
terhadap
perempuan Indonesia, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan. Sebagai contoh, Komnas Perempuan dapat bekerja sama dengan
LBH
Apik
dan
Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dalam hal menangani perempuan korban kekerasan di tempat kerja.
4.3 Hukum 4.3.1 Pendahuluan Pengenalan isu di bidang hukum Pengarusutamaan Gender merupakan sebuah strategi untuk mencapai keadilan dan kesetaraan Gender melalui kebijakan, program dan kegiatan yang memperhatikan pengalaman,aspirasi , kebutuhan serta permasalahan laki-laki dan perempuan dalam proses pemantauan serta evaluasi dari sebuah aspek kehidupan dan pembangunan. Apabila kita berbicara mengenai Pengarusutamaan Gender, maka tidak terlepas dari Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000, instruksi
presiden ini
dibuat
dalam rangka meningkatkan
kedudukan peran dan kualitas perempuan serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga , bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana telah dijelaskan di dalamnya. Terdapat empat bagian dalam Instruksi Presiden yaitu yag pertama berbicara mengenai tujuan dari pelaksanaan pengarusutamaan gender, kemudian dalam rangka
mewujudkan poin yang dijadikan keinginan dalam bagian pertama maka
selanjutnya
dijelaskan bahwa
memperhatikan secara
sungguh-sungguh Pedoman Pengarusutamaan Gender Definisi tenaga kerja menurut UU nomor 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat ( Pasal 1 ) Urgensi pengarusutamaan gender dalam ketenagakerjaan adalah diperlukan untuk menjamin tercapainya kesetaraan dan keadilan gender pada dunia kerja . Hal ini penting untuk dilakukan untuk memastikan akses yang sama oleh perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja dan bisa memperoleh manfaat yang sama ( upah, hak dalam pekerjaan dll) Pengarusutamaan Gender sejatinya merupakan salah satu langkah terbaik dalam rangka mewujudkan kondisi kerja yang ideal, namun sayangnya apabila menilik dari laporan Indeks Ketimpangan Gender ( IPG ) pada tahun 2020, Indonesia masih menempati peringkat 85 dari 153 negara . Hal ini menunjukkan bahwa
Indonesia
masih
belum
memprioritaskan
isu
Pengarusutamaan Gender dan dalam pelaksanaannya masih mengalami hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan yang ideal dari pengarusutamaan gender tersebut.
4.3.2 Pengaturan Hukum Pengaturan hukum atau konvensi yang mendukung Pengaturan
hukum
yang
mengatur
mengenai
ketenagakerjaan dan pengarusutamaan gender dapat kita temukan di dalam Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional dan Undang Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS ) ), Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 08 tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian. Beberapa daerah telah cukup
menerapkan instruksi
pengarusutamaan gender, hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa peraturan daerah yang telah mengatur hal tersebut, antara lain adalah Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Mas Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah, Peraturan Gubernur Kalimantan Utara Nomor 13 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Provinsi Kalimantan Utara, dan masih banyak lagi daerah lainnya. Pemerintah Indonesia dalam hal ini bisa dibilang telah memiliki komitmen yang baik mengenai pengarusutamaan gender dalam meratifikasi beberapa konvensi internasional diantaranya konvensi PBB mengenai Hak Politik dan Sipil atau yang biasa kita sebut dengan ICCPR yakni Undang Undang Nomor 68 tahun 1958. Kemudian Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ( CEDAW ) yakni Undang Undang Nomor 7 tahun 19884, Konvensi PBB tentang Kerangka Perubahan Iklim ( UNFCCC) pada tahun 1994, Protokol Kyoto ( 2004 ) , Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) ( 2005 ).
4.3.3 Peran Penting dan Perlunya Regulasi Peran secara preventif dan represif
Menurut Philipus
M. Hadjon,
preventif adalah perlindungan hukum
perlindungan hukum yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa sedangkan perlindungan hukum yang represif adalah perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Adapun, regulasi yang mengatur mengenai perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan dapat ditemukan didalam Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni dalam pasal 76,81,82,83 dan 153. Kemudian juga perlu diperhatikan bahwa Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 telah mengatur mengenai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 yang difungsikan untuk melakukan pengawasan atas adanya kemungkinan pelanggaran tenaga kerja oleh perusahaan. Telah terdapat regulasi mengenai sanksi yang akan diterapkan
apabila
perusahaan
melakukan
pelanggaran
pengarusutamaan gender dalam dunia kerja, diantaranya dapat ditemukan dalam ketentuan yang terdapat didalam pasal 187 Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 .
4.3.4 Hak Perempuan dan Pengarusutamaan Gender dalam Bidang Ketenagakerjaan Hak-hak khusus untuk perempuan dalam dunia kerja dan yang wajib dipenuhi oleh perusahaan dalam dunia kerja Pada dasarnya Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 27 ayat 2 telah mencantumkan bahwa “ tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”, sehingga dengan adanya pasal tersebut juga sekaligus menjelaskan bahwa baik laki-laki maupun
perempuan memiliki hak yang sama dalam adanya pekerjaan dan penghidupan yang layak. Hak khusus untuk perempuan dalam dunia kerja (Hak Cuti Haid, Hak Cuti Melahirkan, Hak Perlindungan dari Kekerasan Seksual, Hak Mendapatkan Perlakuan Khusus. Undang
Undang
Nomor
13
tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan pada dasarnya memang telah memberikan perlindungan terhadap hak yang dimiliki perempuan dalam dunia kerja sebagaimana dijabarkan sebagai berikut :
a. Pasal 76 ayat 1 Dalam
pasal
ini,
dijelaskan
bahwa
pekerja
perempuan yang berumur kurang dari 18 ( delapan belas) tahun dilarang untuk dipekerjakan larut malam ( 23.00 - 07.00 ).
Pasal 76 ayat 2 Dalam pasal ini, dijelaskan bahwa perusahaan tidak diperbolehkan perempuan
untuk
mempekerjakan
yang sedang
pekerja
hamil dan menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan apabila yang bersangkutan bekerja pada pukul 23.00-07.00
Kemudian juga diatur bahwa pekerja wanita mendapat perlindungan dalam hal jika masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha maka yang bersangkutan tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid. Kemudian
pekerja
perempuan
juga
berhak
memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum
saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Hak-hak berdasarkan pengaturan hukum atau konvensi yang berlaku Hak yang dimiliki oleh tenaga kerja berdasarkan dengan pengaturan hukum maupun konvensi internasional mengenai tenaga kerja adalah mendapatkan upah yang sama ( kesetaraan upah ), hak tidak didiskriminasi dalam pekerjaan,perlindungan kehamilan, hak reproduktif,hak perlindungan dari kekerasan seksual. Kita dapat mengambil contoh dalam Konvensi ILO No.111 , terdapat Rekomendasi ILO No.111 yang isinya berkaitan dengan pembahasan masalah berkaitan dengan penghapusan diskriminasi, hal ini penting dalam rangka pengarusutamaan gender di bidang ketenagakerjaan , adapun contohnya adalah adanya akses dan bimbingan jabatan serta pelayanan penempatan, peningkatan pengalaman kemampuan dan kepandaian yang disesuaikan dengan karakteristik individu, jaminan dalam pekerjaan, upah kerja dengan nilai yang sama , kondisi pekerjaan seperti jam kerja waktu istirahat liburan tahunan dan pemberian kebebasan dalam mendukung keanggotaan atau partisipasi dalam urusan, organisasi serikat pekerja.
4.3.5 Upaya Hukum dalam Pengarusutamaan Gender dalam Hal Perlindungan Hak Perempuan -
Upaya penegak hukum jika terjadi pelanggaran dalam dunia kerja
Terdapat pasal mengenai sanksi dalam Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 yaitu pada pasal 190 dimana pasal tersebut mengatur mengenai sanksi administratif yang dapat diberikan kepada pengusaha yang terbukti melakukan diskriminasi terhadap pekerja
Dalam hal ini, Menteri atau Pejabat terkait dapat memberikan : a. Teguran; b. Peringatan Tertulis; c. Pembatasan Kegiatan Usaha; d. Pembekuan Kegiatan Usaha; e. Pembatalan Persetujuan; f. Pembatalan Pendaftaran; g. Penghentian Sementara Sebagian atau Seluruh Alat Produksi h. Pencabutan Izin
Terdapat Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja yang mengatur mengenai larangan diskriminasi pekerja wanita yaitu SE Nomor 04 Menteri Tenaga Kerja Tahun 1998 tentang Pelaksanaan Larangan Diskriminasi Pekerja Wanita Kemudian juga kita dapat menilik Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja yaitu SE.60/MEN/SJ-HK/II/2006 tentang Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama Dalam Pekerjaan
di
Pemberdayaan
Indonesia, Perempuan
Peraturan dan
Menteri
Perlindungan
Negara Anak
Republik Indonesia Nomor 08 tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian. Sedangkan untuk
lingkup Internasional, kita bisa melihat International Labour Organization ( ILO ) yang memiliki Equal Employment Opportunity ( EEO ) yaitu berisi mengenai standar yang harus dipenuhi dalam upaya penghapusan diskriminasi di dunia kerja .
Equal Employment Opportunity ( EEO ) yang dimaksud mencakup: A. Perlakuan yang adil B. Berdasarkan Prestasi C. Instrumen untuk mencapai efisiensi D. Pengikutsertaan tenaga kerja secara aktif dan potensial E. Jalan Terbaik untuk merencanakan bisnis F. Berkaitan dengan Semua Aspek dalam Dunia Kerja
Maka sejatinya , sudah terdapat aturan yang cukup berkaitan
dengan
pengarusutamaan
gender
di
bidang
ketenagakerjaan. Hal ini diperkuat dengan sudah adanya aturan hukum yang ramah terhadap konsep pengarusutamaan gender dalam dunia kerja dan adanya ratifikasi konvensi internasional berkaitan dengan hal tersebut namun tentu diperlukan pengawasan yang optimal berkaitan dengan pelaksanaannya karena dalam lapangan masih terdapat banyak sekali kekurangan.
4.4 Sumber Daya Manusia 4.4.1 Pendahuluan ● Pengenalan isu SDM Sumber Daya Manusia merupakan satu-satunya sumber daya yang memiliki akal, perasaan, keinginan, keterampilan, pengetahuan, dorongan, daya dan karya (rasio, rasa, dan karsa). Semua potensi Sumber Daya Manusia berpengaruh terhadap upaya organisasi dalam mencapai tujuan. Betapapun majunya teknologi, perkembangan informasi, tersedianya modal dan memadainya bahan, jika tanpa SDM sulit bagi organisasi itu untuk mencapai tujuannya. Sumber Daya manusia berkualitas tinggi menurut Ndraha (1999) adalah sumber daya manusia yang mampu menciptakan bukan saja nilai komparatif
tetapi
juga
nilai
kompetitif-generatif-inovatif
dengan
menggunakan energi tertinggi seperti: Intelligence, Creativity dan imagination’ tidak lagi semata-mata menggunakan energi kasar, seperti bahan mentah, lahan, air, tenaga otot, dan sebagainya. Kondisi kualitas sumber daya manusia merupakan kelemahan mendasar
bagi
Negara-negara
berkembang
termasuk
Indonesia.
Pengalaman selama krisis ekonomi menunjukkan bahwa Negara-negara yang mempunyai kualitas sumber daya manusia yang lebih baik akan lebih cepat bangkit dari krisis yang melandanya. Dilansir dari Liputan 6.com (25 Mei 2021), “Seperti telah kita ketahui bersama bahwa daya saing sumber daya manusia masih tertinggal, berdasarkan global competitiveness pada tahun 2019 world economic forum peringkat daya saing Indonesia berada pada tingkat 50 dari 141 negara, masih sedikit di bawah Malaysia Thailand dan Singapura yang di peringkat pertama”. Jadi jelas, langsung atau tidak langsung kualitas sumber daya manusia itu mempunyai peran yang paling utama dan sangat menentukan dalam pembangunan ekonomi.
Pengembangan sumber daya perempuan merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan yang dihadapi di Indonesia adalah bagaimana memanfaatkan potensi sumber daya perempuan yang ada, sehingga dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja masa kini dan masa yang akan datang dengan tuntutan pembangunan. Oleh karena Itu, pengembangan sumber daya perempuan harus diupayakan secara menyeluruh dan berkelanjutan yang ditujukan pada peningkatan, pembentukan, pengembangan, dan pembinaan tenaga kerja yang bermutu, produktif, efektif, efisien dan berjiwa usaha sehingga mampu mengisi, menciptakan dan perluasan lapangan kerja serta kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan martabat manusia yang sejahtera.
4.4.2 Konsep Pengarusutamaan Gender dalam Pengembangan Kualitas SDM ● Apakah perempuan memiliki kesempatan dalam pengembangan kualitas dalam bidang tertentu? Dilihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, jumlah perempuan yang bekerja, jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, data per Agustus 2017, dari total jumlah pekerja Indonesia yang mencapai 121.022.423 orang, jumlah tersebut didominasi pekerja laki-laki yang mencapai 74.736.546. Sedangkan jumlah pekerja perempuan hanya sebanyak 46.285.877. Data ini menunjukkan bahwa akses perempuan terhadap lapangan pekerjaan jauh lebih kecil dari pada laki-laki. Meskipun pemerintah telah memiliki peraturan tentang upah yang sama untuk kerja yang sama (equal pay for equal work) dan melarang adanya diskriminasi pengupahan, namun praktek dilapangan menunjukkan bahwa di semua lapangan pekerjaan, upah pekerja perempuan lebih kecil daripada upah pekerja laki-laki. Selisih upah perempuan berkisar
antara 15 % – 33% lebih rendah dari upah laki-laki untuk pekerjaan di sektor yang sama. Seiring berjalannya waktu, perempuan mulai bangkit dan berhasil membuktikan bahwasanya keberadaan mereka layak untuk diperhitungkan. Kecerdasan
serta
kepiawaian
perempuan-perempuan
Indonesia,
khususnya, tidak bisa lagi dianggap remeh karena telah turut berkontribusi terhadap pembangunan Dilansir dari Liputan 6.com (11 Oktober 2021), Deputi Bidang Sumber Daya Manusia (SDM), Teknologi, dan Informasi Kementerian BUMN, Tedi Bharata menyebut, kehadiran perempuan sebagai pemimpin di perusahaan-perusahaan BUMN akan menghadirkan nuansa baru. Banyak aspek, banyak elemen yang bisa dilihat terkait dengan transformasi bisnis dan juga keberlanjutan bisnis itu sendiri apabila perusahaan mengambil keputusannya ini berasal dari latar belakang yang berbeda,
memiliki
background
dan
memiliki
kompetensi
yang
berbeda-beda. Itu akan menghasilkan keputusan yang lebih dinamis dan lebih baik daripada berasal dari satu gender,"
● Dukungan pengembangan SDM oleh perempuan dari berbagai sisi (Upaya-upaya) Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam pembangunan suatu bangsa. Dinamika pembangunan di Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang berusaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan cara meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan merupakan suatu metode untuk mengembangkan keterampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang lebih baik. Fokus pendidikan lebih diarahkan pada menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas pada berbagai disiplin ilmu. Dunia pendidikan juga memiliki peran besar untuk ikut berpartisipasi mengatasi
masalah ketenagakerjaan yang ada seperti masalah pengangguran. Pendidikan formal berperan menyumbang calon tenaga kerja yang berkualitas. Salah satu cara mengentaskan permasalahan pendidikan sebagai salah satu indikator peningkatan kualitas sumber daya perempuan di Indonesia oleh pemerintah adalah selain konsep pendidikan gratis, juga dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan khusus bagi perempuan tersebut. Selain itu, Menyadari pentingnya peran perempuan dalam pembangunan, pemerintah Indonesia membidik empat sektor utama yakni di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, serta terkait pencegahan kekerasan. Di samping itu, langkah strategis disiapkan untuk mengatasi isu pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender, sekaligus mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s), terutama tujuan kelima yaitu kesetaraan gender. 1. Bidang pertama telah dijelaskan sebelumnya terkait pendidikan, 2. Bidang yang kedua di sektor kesehatan, Indonesia fokus untuk memperbaiki akses dan kualitas pelayanan kesehatan untuk ibu, anak, dan remaja, mengakselerasi usaha perbaikan nutrisi, mengintegrasikan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pendidikan,
mendorong
pengetahuan
dan
keterampilan
berkeluarga, serta memperbaiki akses dan kualitas keluarga berencana. 3. Ketiga, di bidang ketenagakerjaan, pemerintah fokus untuk memperluas kesempatan kerja, mendorong fleksibilitas pasar tenaga kerja, menyesuaikan gaji dengan mekanisme pasar, memperbaiki keterampilan dan kapasitas tenaga kerja dengan pelatihan
untuk perempuan, dan menguatkan implementasi
kebijakan tenaga kerja yang mengakomodasi kesetaraan gender 4. Terakhir, yang keempat adalah terkait pencegahan kekerasan. Indonesia menargetkan peningkatan pemahaman atas definisi
kekerasan
dan
penyelundupan
perempuan,
menyediakan
perlindungan hukum bagi kasus kekerasan terhadap perempuan, dan meningkatkan efektivitas pelayanan bagi penyintas anak dan perempuan. Menurut Luhulima (1995), berbagai program yang bertujuan untuk meningkatkan peranan tenaga kerja wanita antara lain adalah: (a) program peningkatan produktivitas kerja tenaga kerja wanita melalui kesejahteraan terpadu; (b) perluasan kesempatan kerja melalui kelompok usaha-usaha bersama (kemudahan memperoleh modal melalui koperasi kredit kecil, dsb; (c) peningkatan perlindungan dan keselamatan kerja; (d) pembinaan sektor informal; (e) latihan kerja tenaga kerja wanita; (f) pengembangan kehidupan koperasi di kalangan wanita. ● Hambatan yang terjadi Kebijakan yang memihak pada kepentingan perempuan belum secara otomatis memberdayakan perempuan sehingga mempunyai posisi tawar yang setara dan adil dengan laki-laki di bidang pekerjaan (sektor publik). Kaum perempuan masih terperangkap ke dalam jenis pekerjaan yang berketerampilan dan berupah rendah. Pembagian kerja dan stereotip di dalam keluarga telah menyebabkan tidak saja beban berlebihan dan jam kerja panjang bagi perempuan, tapi juga ketergantungan perempuan secara ekonomi. Usaha mandiri dipandang dari satu sisi memungkinkan bagi wanita untuk memulai dan menghentikan kegiatan tersebut sesuai dengan kebutuhan keluarga. Tetapi disisi lain ini merupakan hambatan bagi perkembangan usaha dalam meningkatkan pendapatan. Pada umumnya wanita yang menggeluti sektor informal seperti berdagang, jasa dan sektor lain masih memiliki banyak kendala antara lain disebabkan keterbatasan atau tidak dimilikinya keterampilan khusus untuk mengelola pekerjaannya, di samping keterbatasan mobilitas fisik mereka dalam menjalankan aktivitas.
Rendahnya kualitas sumber daya perempuan di Indonesia antara lain disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan, tingkat kemiskinan yang masih tinggi, distribusi pendapatan yang tidak merata dan kurangnya kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan. Salah satu cara mengentaskan permasalahan pendidikan sebagai salah satu indikator peningkatan kualitas sumber daya perempuan di Indonesia oleh pemerintah adalah selain konsep pendidikan gratis, juga dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan khusus bagi perempuan tersebut. 4.4.3 Pengaruh Pengarusutamaan Gender dalam Aspek SDM di Dunia Kerja ● Ada tidaknya pengaruh dari konsep Pengarusutamaan Gender terhadap
SDM
dan
produktivitas
perusahaan
(khususnya
perempuan) Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam setiap tahap pembangunan, terutama dalam proses perencanaan dan perumusan kebijakan sangat diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar kepentingan perempuan dan laki-laki dapat tertampung, sehingga keduanya dapat menikmati hasil pembangunan secara berimbang. PUG bertujuan agar perempuan memiliki kesempatan dan akses terhadap proses dan hasil pembangunan. Pertumbuhan ekonomi meningkatkan kesempatan kerja tetapi tidak dapat dengan sendirinya mengurangi ketimpangan gender. Ketimpangan gender dalam bidang ketenagakerjaan masih merupakan isu dan permasalahan yang sering terjadi. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam penggunaan waktu di rumah, perbedaan tingkat pendidikan dan keterampilan, pembatasan sosial-budaya, segregasi sektoral dan pekerjaan, migrasi laki-laki, dan akses ke input produktif, semuanya mengarah pada ketimpangan gender dalam partisipasi pekerjaan yang layak (Mehrotra & Sinha, 2017).
Hak pekerja perempuan telah dijamin oleh berbagai peraturan, undang-undang maupun konvensi internasional, tetapi pada kenyataannya masih banyak hak pekerja perempuan yang belum dapat dipenuhi, hal ini disebabkan oleh faktor internal yaitu rendahnya tingkat pengetahuan dan pemahaman dari pekerja perempuan itu sendiri terhadap haknya, maupun faktor eksternal yang dapat berupa budaya patriarki, marginalisasi dalam bidang pekerjaan, konsep stereotip terhadap perempuan serta masih kurangnya sosialisasi (Sali, 2017). Peran pemerintah juga masih belum berjalan efektif dalam melakukan
implementasi
peraturan
perundang-undangan
terkait
perlindungan pekerja perempuan. Hal ini ditandai dengan belum kuatnya penerapan sanksi bagi pelanggar peraturan yang dilakukan oleh perusahaan terkait perlindungan hak-hak pekerja perempuan. Pemerintah melalui pengawas ketenagakerjaan harus melakukan usaha yang preventif dan represif, namun tindakan represif akan dilaksanakan secara tegas terhadap perusahaan yang secara sengaja melanggar atau perusahaan yang berkali-kali
mendapat
peringatan
(Manik,
2013).
Untuk
dapat
mengupayakan penegakan dan perlindungan hukum bagi pekerja perempuan pemerintah perlu meningkatkan kerja sama dengan pengusaha dan pekerja, serta melakukan pengawasan secara ketat terhadap pelaksanaan produk-produk hukum yang berlaku tentunya dengan tetap memperhatikan kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik dan kultur berlaku pada setiap lingkungan masyarakat ● Adakah batasan SDM perempuan dalam dunia kerja? Pada umumnya motivasi kerja kebanyakan tenaga kerja wanita adalah membantu menghidupi keluarga, akan tetapi mereka juga mempunyai makna khusus karena memungkinkannya memiliki otonomi keuangan, agar tidak selalu tergantung pada pendapatan suami. Hasil kajian Papanek (1979, dalam Sihite Romany,1995) bahwa wanita cenderung bekerja lebih lama dengan pendapatan yang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan pria. Tetapi bagaimanapun syaratnya beban kerja mereka dan kecilnya imbalan yang diperoleh, kegiatan ini tetap mereka tekuni karena mutlak perlu di samping membantu suami menambah pendapatan juga sangat berarti bagi mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Hal ini merupakan indikator betapa sentralnya posisi wanita dalam ekonomi rumah tangga. Kondisi ini merupakan dorongan penyadaran peran wanita untuk berkiprah di sektor publik. Dalam Pelaksanaanya masih banyak batasan-batasan bagi kaum perempuan dalam dunia kerja, seperti: 1. Perempuan dibelenggu secara sistematis karena dianggap lemah secara fisik dan intelektual sehingga tidak bisa menjadi pemimpin. Demikian pula mengenai peluang jabatan strategis yang terdapat di pasar kerja biasanya cenderung diperuntukkan bagi pekerja laki-laki. Jabatan bagi pekerja perempuan biasanya tersegmentasi pada jenis-jenis jabatan yang berkaitan dengan keadministrasian, keuangan, dan public relation. Sedangkan jabatan yang berkarakter teknis operasional biasanya diperuntukkan bagi pekerja laki-laki. Artinya perempuan hanya diposisikan pada jenis-jenis jabatan yang tidak memberikan keputusan final. Dengan demikian hal tersebut dapat dimaknai sebagai pembelengguan bagi pekerja perempuan secara sistematis. 2. Kodrat perempuan seperti haid, hamil, melahirkan kurang dipahami sehingga perempuan dianggap merepotkan. Dikaitkan dengan pekerjaan, kodrat reproduksi yang melekat pada kaum perempuan ternyata kurang dipahami secara komprehensif oleh pengusaha. Memang pada bidang-bidang pekerjaan tertentu baik secara teknis maupun kesehatan dan yang mempunyai pengaruh terhadap kelangsungan proses reproduksi perempuan perlu dilakukan proteksi terhadap pekerja perempuan
yang melakukan pekerjaan di bidang-bidang tertentu tersebut. Namun pada banyak bidang pekerjaan pada umumnya tidak berkaitan dengan kodrat perempuan. Ketika kodrat perempuan dimaknai dengan berbagai kepentingan terutama kepentingan akumulasi kapital, maka hal tersebut dapat menjadi pemicu untuk melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan, dimana pekerja perempuan dilakukan berbeda dalam dunia kerja. Contoh Konkrit dapat dilihat ketika sedang berlangsung proses rekrutmen pekerja.
Pengarusutamaan gender yang dilakukan melalui kegiatan tersebut meliputi kegiatan sejak rekrutmen sampai penempatan. Rekrutmen merupakan bagian dari proses mendapatkan calon pekerja yang akan ditempatkan. Dalam melakukan kegiatannya, petugas pengantar kerja melakukan sosialisasi dengan menghimbau kepada perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara dan instansi pemerintah agar tidak melakukan diskriminasi terhadap calon tenaga kerja laki-laki dan perempuan. Penekanan diberikan kepada para pengantar kerja agar selalu memperhatikan kesetaraan gender. Diskriminasi antara laki-laki dan perempuan benar-benar tidak boleh terjadi dalam proses ini. Kegiatan perekrutan dimulai melalui tahapan sebagai berikut: a. Rekrutmen tenaga kerja dimulai sejak adanya pengumuman lowongan di media massa. Pengumuman adanya lowongan secara jelas sudah disebutkan bahwa hendaknya tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki. Biasanya iklan lowongan pekerjaan yang ada hingga saat ini masih nampak membedakan jenis pekerjaan untuk laki-laki dan perempuan. b. Pendaftaran pencari kerja pada Bursa Kerja dimaksudkan untuk memberikan layanan antar kerja, melalui pengisian formulir AK 1. Pendaftaran pencari kerja harus menganut prinsip-prinsip:
(i) tanpa diskriminasi atau tidak membedakan suku, agama, golongan, atau kondisi tubuh pencari kerja; (ii) pendaftaran sesuai urutan kedatangan pencari kerja, artinya tidak membedakan laki-laki dan perempuan; dan (iii) sesuai dengan prosedur yang berlaku yang tidak bertentangan dengan prinsip gender. c. Wawancara kepada pencari kerja dalam rangka mendalami dan mengetahui minat, bakat, dan kemampuan pencari kerja yang mendaftarkan diri harus netral, dan tidak boleh memiliki persepsi bahwa kemampuan laki-laki lebih dari kemampuan perempuan. Dari ketiga hal tersebut, sangatlah jelas bahwa pengarusutamaan gender dalam proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan kegiatan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender belum dapat dikatakan maksimal dalam pelaksanaannya pada sektor ketenagakerjaan.
V.
Kesimpulan Problematika dan nasib buruk yang dihadapi perempuan pekerja di bidang
ketenagakerjaan bukanlah hal yang mudah untuk diselesaikan. Berbagai permasalahan yang menimpa perempuan di bidang ketenagakerjaan lahir lewat miskonsepsi gender dan budaya patriarki. Bentuk-bentuk masalah yang dihadapi
perempuan sejatinya adalah bentuk ketimpangan gender yang harus diselesaikan dengan melahirkan kesetaraan gender. Sehingga upaya yang paling tepat untuk menjadi solusi ialah penyadaran tentang gender dan merekonstruksi budaya patriarki agar tidak lagi merugikan perempuan semata. Upaya mewujudkan solusi tersebut sebetulnya sudah ada di Indonesia, ia
menjelma dalam nama Pengarusutamaan
Gender.
Indonesia mendorong upaya pengarusutamaan gender sebagai wujud pembangunan nasional, telah menuangkan itikad baiknya dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, kemudian ketentuan pelaksanaan dalam Permendagri No. 15 tahun 2008 sebagaimana yang telah diubah Permendagri Nomor 67 Tahun 2011. Namun dalam pelaksanaannya,
sarat pada sinergi antara kebijakan, kelembagaan dan sumber daya manusia yang memadai untuk keefektifannya, kenyataannya di lapangan, SDM masih belum memadai. Dibutuhkan pula sinergi antar kelembagaan pusat dan daerah untuk keberhasilannya. Permasalahan kesetaraan gender dalam bidang ketenagakerjaan masih banyak diperbincangkan di berbagai negara termasuk di Indonesia. Walaupun berbagai
perlindungan telah diupayakan melalui
produk-produk hukum
internasional maupun nasional namun latar belakang budaya di suatu negara akan tetap berperan penting dalam upaya mencapai kesetaraan gender dalam bidang ketenagakerjaan. Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender masih mengalami hambatan dan tantangan berupa minimnya komitmen para pemimpin jabatan, perencana, dan pelaku
program,
lemahnya
kelembagaan
pengarusutamaan
gender,
kebijakan/regulasi/produk hukum yang belum responsif gender, dan SDM yang masih mengalami . Oleh karena itu pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam berbagai dimensi pembangunan belum berjalan maksimal.
VI.
Implikasi dan Rekomendasi a. Kementerian Ketenagakerjaan Kementerian
Ketenagakerjaan
menyusun
perencanaan
dan
penganggaran yang responsif gender di bidang ketenagakerjaan melalui mendorong kesetaraan
upaya pengarusutamaan
yang
spesifik
kebijakan/regulasi/program
yang
gender tujuan
gender
responsif
melalui
gender,
dengan
menyesuaikan kebutuhan. Kementerian Ketenagakerjaan diharapkan dapat membangun sistem data base khususnya data terpilah jenis kelamin sehingga dapat membantu memastikan keseimbangan partisipasi dan keterlibatan
antara
ketenagakerjaan
perempuan
dan
laki-laki
di
bidang
b. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan
diharapkan dapat melakukan upaya penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender setelah melihat hasil evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan gender yang pada intinya memerlukan dilakukan capacity building bagi SDM pelaksana pengarusutamaan gender tersebut guna menjalankan tugas dan fungsi masing-masing kelembagaan. c. DPR RI DPR RI diharapkan menerapkan analisis gender dalam hal perancangan peraturan perundang-undangan demi terwujudnya responsif gender. d. Pemerintahan Daerah Pemerintah Daerah selaku pelaksana dan penanggung jawab dari pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah diharapkan dapat melakukan revitalisasi pokja setiap tahunnya, baik dari segi legalitas, keanggotaan dan keefektifan masing-masing pokja untuk capaian Pengarusutamaan Gender. Pemerintah
Daerah
Pengarusutamaan menyesuaikan
melalui
Gender dengan
revitalisasi
juga
diharapkan
kebijakan
terbaru
kelembagaan untuk dan
dapat
dinamika
perkembangan masyarakat. Pemerintah
Daerah diharapkan aktif mendorong penguatan
kelembagaan Pengarusutamaan khususnya lembaga penggerak Pengarusutamaan Gender provinsi maupun kabupaten/kota seperti Bappeda, BPPKB. Badan Keuangan serta Inspektorat agar PUG dapat berjalan dan terlaksana dengan baik di provinsi maupun kabupaten/kota lingkup provinsi tersebut.
Pemerintah Daerah diharapkan dapat membangun harmonisasi pola komunikasi dan kerja sama yang baik dengan Pemerintah Pusat supaya dalam melaksanakan Pengarusutamaan Gender dapat sesuai dengan apa yang telah dicanangkan di tingkat pusat, dengan memperhatikan RPJMN. e. Perusahaan Perusahaan diharapkan dapat menyelenggarakan pelatihan rutin bagi petinggi perusahaan dalam hal pemahaman konsep kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan. Selain itu, dengan adanya konsep pengarusutamaan gender, perusahaan diharapkan dapat memperlakukan seluruh staf dan jajaran secara adil dan dalam membuat dan mengambil keputusan tidak berat sebelah atau mengesampingkan hak-hak perempuan sebagaimana mestinya. f. Institusi Pendidikan Institusi
pendidikan diharapkan
dapat ambil peran dalam
merekonstruksi budaya patriarki melalui penanaman pemahaman kesetaraan gender dan seksualitas melalui pengakomodiran kurikulum dengan muatan materi yang komprehensif. Institusi pendidikan diharapkan dapat memberi wadah strategis untuk penggalian potensi, penguatan keterampilan dan kualitas siswa/mahasiswa
(khususnya
perempuan),
sehingga
dapat
melahirkan angkatan kerja yang lebih siap untuk menyongsong dunia kerja. Institusi Pendidikan diharapkan dapat terlibat sebagai Tim Pakar Gender dalam Struktur Pokja untuk pelaksanaan Pengarusutamaan Gender yang lebih maju. g. Pekerja Para Pekerja diharapkan dapat memahami peraturan dan kebijakan tentang ketenagakerjaan.
Para Pekerja diharapkan dapat memiliki pengetahuan tentang kesetaraan gender dan seksualitas sehingga dapat lebih peka saat ada indikasi perilaku tindakan ketidakadilan gender dan kekerasan. Para Pekerja diharapkan dapat memiliki pengetahuan tentang hak-hak nya sebagai pekerja, sehingga dapat lebih peka saat ada indikasi perilaku tindakan pelanggaran HAM baik pada dirinya pribadi maupun pada pekerja lainnya.
VII.
Daftar Pustaka a. Buku Budiman, Arief, (1981). Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Perempuan di Dalam Masyarakat,Jakarta: Gramedia.
Barlah, Asma. (2007). Cara Quran Membebaskan Perempuan. Yogyakarta.
b. Artikel Adiratna.
(2010).
Pengarusutamaan
Gender
Dalam
Perspektif
Perlindungan Pekerja Perempuan. Media Informasi Hukum Vol 3. Ari, Y. (2017). Tenaga Kerja Wanita Dalam Perspektif Gender Di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Al-Maiyyah, 10(1), 115–131. Jary, David dan Julia Jary. (1991). Dictionary of Sociology. Illinois: Dos Jones Irwin. Nuraeni, Y., & Suryono, I. L. (2020). Analisis Kesetaraan Gender dalam Bidang Ketenagakerjaan Di Indonesia. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 20(1), 68-79. Prakoswa, R. H. (2018). Para Perempuan, Ini Posisi Wanita dalam Ekonomi Indonesia.
Rahayu, Wewen Kusumi. (2016). Analisis Pengarusutamaan Gender dalam Kebijakan Publik. Jurnal Analisis Kebijakan Dan Pelayanan Publik. Volume 2, Nomor 1, Juni 2016 Puspitosari, H., & Putri Maharani, A. E. (2014). Pengarusutamaan Gender
di Bidang Ketenagakerjaan.
Jurnal Hukum
dan
Kebijakan, 3. Qori, K. (2017). Peran Ganda Perempuan pada Keluarga Masyarakat Petani: Kasus Istri Petani di kecamatan Merapi Selatan Kabupaten Lahat. Jurnal Kajian Gender Dan Anak, 12(2), 151–162. Septiawan, A., & Wijaya, S. H. (2020). DETERMINAN TINGKAT PARTISIPASI
ANGKATAN
KERJA
PEREMPUAN
DI
INDONESIA TAHUN 2015-2019 MENGGUNAKAN MODEL REGRESI DATA PANEL. In Seminar Nasional Official Statistics (Vol. 2020, No. 1, pp. 449-461). Soedarwo, V. S. D. (2016). Pengertian gender dan sosialisasi gender. Sofiani, T. (2010). Eksistensi Perempuan Pekerja Rumahan Dalam Konstelasi Relasi Gender. Muwazah, 2(1), 197–203. Vibriyati, D. (2013). Ketimpangan Gender Dalam Partisipasi Ekonomi : Analisis Data Sakernas 1980 - 2013. Jurnal Kependudukan Indonesia, 8(1), 1–16. Nuraeni, Yeni & Suryono, Ivan Lilin. (2021, 29 Juni). Analisis Kesetaraan Gender dalam Bidang Ketenagakerjaan di Indonesia. Vol. 20 No. 01 Tahun 2021 halaman 68-79 Martiany, Dina. (2012). IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN GENDER
(PUG)
SEBAGAI
STRATEGI
PENCAPAIAN
KESETARAAN GENDER (STUDI DI PROVINSI SUMATERA
UTARA DAN JAWA TENGAH). Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR-RI c. Surat Kabar Liputan 6.com. Santia, Tira. 2021, 25 Mei. Daya Saing SDM Indonesia di Peringkat 50 Dunia, Tertinggal dari Malaysia. Diakses
pada
tanggal:
14
Oktober
2021.
dari:https://www.liputan6.com/bisnis/read/4565813/daya-saing-s dm-indonesia-di-peringkat-50-dunia-tertinggal-dari-malaysia Liputan 6.com. 2021, 11 Oktober. Kehadiran Pemimpin Perempuan Dinilai Beri Nuansa Baru di BUMN. Diakses pada tanggal: 14 Oktober 2021. dari: https://www.liputan6.com/bisnis/read/4681143/kehadiran-pemimpi n-perempuan-dinilai-beri-nuansa-baru-di-bumn
d. Naskah Internet Badan Pusat Statistik. (2020, November 23). Kajian Indeks Penghitungan Ketimpangan Gender. Retrieved Oktober 10, 2021,
from
www.bps.go.id
https://www.bps.go.id/publication/download.html Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan Bappenas. (2006). Evaluasi Pengarusutamaan Gender di Sembilan Sektor Pembangunan.
Retrieved
September
21,
2021,
from
bappenas.go.id: https://www.bappenas.go.id/files/8813/8373/7789/evaluasi_PUG -9-sektor-2006.pdf Kementerian Kelautan dan Perikanan. (n.d.). Pemetaan Pelaksanaan PUG Daerah Sektor Kelautan dan Perikanan. Retrieved
Oktober
2,
2021,
from
jdih.kkp.go.id:
https://jdih.kkp.go.id/peraturan/1-draft-panduan-pemetaan-penga rusutamaan-gender-daerah-sektor-kp.pdf Kementerian Ketenagakerjaan. (2020, Desember 30). Ketenagakerjaan dalam Data Jilid 3. Retrieved Oktober 10, 2021, from :
https://satudata.kemnaker.go.id
https://satudata.kemnaker.go.id/files/Buku%20Kementerian%20 Dalam%20Data%202021%20Buat%20Web_1617259878.pdf Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2016, Februari 23). Hasil Rekomendasi Rakor PUG Tahun 2009. Retrieved Oktober 2, 2021, from kemenpppa.go.id: https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/239/hasilrekomendasi-rakor-pug-tahun-2009 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2018, April 12). Pengarusutamaan gender : Semua Dimulai Dari
Komitmen.
Retrieved
Oktober
1,
2021,
from
kemenpppa.go.id: https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/1748/pen garusutamaan-gender-semua-dimulai-dari-komitmen Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (n.d.). Final Draft Strategi Penguatan Pelaksanaan Kualitas Pengarusutamaan Gender di Provinsi. Retrieved September 23, 2021,
from
kemenpppa.go.id:
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/a6137-strategi-pel aksanaan-pug-di-provinsi.pdf Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (n.d.). Glosary Perlindungan Perempuan. Retrieved September
24,
2021,
from
kemenpppa.go.id:
https://kemenpppa.go.id/index.php/page/view/21 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2018, 23 Februari). KESETARAAN GENDER : PERLU SINERGI ANTAR KEMENTERIAN / LEMBAGA, PEMERINTAH DAERAH, DAN MASYARAKAT. Komnas Perempuan. (2020, Juli 24). Siaran Pers Komnas Perempuan Peringatan 36 Tahun Pengesahan CEDAW (24 Juli 2020). Retrieved Oktober 2, 2021, from komnasperempuan.go.id: https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-ko mnas-perempuan-peringatan-36-tahun-pengesahan-cedaw-24-jul i-2020 Komnas, P. (2021, May 1). Siaran Pers Komnas Perempuan Peringatan Hari Buruh Internasional 2021 (1 Mei 2021). Retrieved September 20, 2021, from komnasperempuan.go.id: https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-ko mnas-perempuan-peringatan-hari-buruh-internasional-2021-1-m ei-2021 Koalisi Perempuan Indonesia. (2018, 1 Mei). Akhiri Ketimpangan Gender dalam Kesempatan Kerja Layak. Perempuan, K. (2021, May 1). Siaran Pers Komnas Perempuan Peringatan Hari Buruh Internasional 2021 (1 Mei 2021). Retrieved September 20, 2021, from komnasperempuan.go.id: https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-ko mnas-perempuan-peringatan-hari-buruh-internasional-2021-1-m ei-2021
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (n.d.). Pengarusutamaan Gender : Semua dimulai dari Komitmen. Retrieved Oktober 2, 2021, from kemenpppa.go.id : https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/1748/pen garusutamaan-gender-semua-dimulai-dari-komitmen Kemenko
PMK.
Pembangunan.
Optimalisasi
Peran
Retrieved
Oktober
Perempuan 2,
Dalam
2021,
from
kemenkopmk.go.id
:
https://www.kemenkopmk.go.id/optimalisasi-peran-perempuandalam-pembangunan
g. Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Pengadilan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998 Peraturan
Menteri
Negara
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Permendagri No. 67 Tahun 2011 sebagai perubahan dari Permendagri No. 15 tahun 2008. Permendagri Peraturan
Menteri
Negara
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian
Permendagri No, 54 tahun 2010 tentang pelaksanaan PP No. 08 tahun 2008 tentang Tahapan Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Permendagri No. 59 tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Anggaran Dasar Komnas Perempuan
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja yaitu SE.60/MEN/SJ-HK/II/2006 tentang Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama Dalam Pekerjaan di Indonesia International Labour Organization ( ILO )