4 minute read

Dari Hobi ke Ridha Ilahi

Ketika dunia datang dengan penuh gemerlap dan hidayah datang menyapa, manakah yang akan dipilih? Inilah kisah tentang pergumulan batin yang hebat: antara mempertahankan dan merelakan.

• Awal mula hingga erat dengan bola

Advertisement

SEJAK masih duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah mengenal dunia sepak bola, latihan pun sudah menjadi rutinitas harianku. Alhasil, kampung halaman menjadi lapangan pertamaku untuk merumput dan berkembang. Alhamdulillah, di tahun kenaikan jenjang pendidikan, Allah mempermudah jalanku untuk terus mengejar hobi ini. Aku pun berhasil masuk ke dalam SSB di bawah asuhan Semen Padang. Mungkin karena sekolah ini mempunyai klub Divisi 1 di Liga Indonesia, maka tak berlebihan bila aku menyebutnya sebagai SSB yang cukup bergengsi. Untuk bisa mengikuti latihan rutin, aku harus menempuh jarak sekitar 2 jam perjalanan menggunakan sepeda motor. Dan kebiasaan ini kulakukan setiap hari selama kurang lebih 3 tahun. Ya, mungkin itu bagian dari proses serta lika-liku yang harus kuhadapi dalam menggapai sebuah mimpi, jarak yang tidak dekat tak menjadikanku layu dalam mewujudkan misi ini. Proses ini terus berlanjut hingga aku berhasil memasuki akademi jenjang SMA yang masih diasuh oleh Semen Padang. Sayangnya, hal itu hanya bergulir selama setahun karena ada permasalahan nasional pada tahun 2016. Singkat cerita, setelah beberapa lama, kota Malang akhirnya menjadi labuhanku selanjutnya. Keputusan ini kuambil setelah berbagai macam pertimbangan yang tak mudah. Salah satunya, karena di

sinilah mereka menawarkanku untuk ikut dalam akademi internasional, sebuah kesempatan emas yang sayang jika kulewatkan. Dengan harapan, semoga inilah jawaban atas perjuanganku untuk dapat meneruskan proses menuju tingkat yang lebih tinggi lagi. Tak hanya itu, ternyata di kota Malang pula aku dapat mengenal agama lebih dekat, bisa merasakan nikmatnya salat berjamaah, bahkan mengikuti kajian agama juga telah menjadi rutinitasku. Walau pada saat itu, aku belum terlalu paham apa sebenarnya hakikat sunah yang sering diperbincangkan. “Jika kau ingin menyerah, kenapa harus berusaha begitu lama?” sepatah motivasi inilah yang menjadikan hari-hariku terasa tak sia-sia. Karena aku menyadari bahwa keberadaanku di kota ini hanya sebatas ‘numpang’, hidup sendiri tanpa ada sobat kerabat yang kukenal. Tibalah tahun 2017, di mana pada tahun inilah aku bisa bertanding di Piala Soeratin. Serangkaian babak penyisihan kulakoni, hingga akhirnya kami bisa memasuki babak final. Walaupun harus terhenti di babak ini, atas izin Allah, beberapa para pembesar klub tertarik dengan permainanku. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA dan kembali ke kampung, akhirnya tawaran pun datang kepadaku. Yap, sebuah tawaran berharga dari salah satu club yang terkenal, Borneo FC. Namun setelah menerima tawaran tersebut, aku tak langsung bermain sebagai anggota baru. Ada berbagai tes serta uji coba yang harus kulalui terlebih dahulu.

• Hidayah datang tatkala karir bersinar

TATKALA aku merasa semakin matang di bidang ini, ketika aku telah dipromosikan ke tim utama Borneo FC. Dan yang lebih "gila" lagi, tatkala undangan dari Tim Nasional Indonesia U-23 juga dilayangkan atasku, Allah berkehendak lain. Di saat yang bersamaan, salah seorang ikhwan, semoga Allah merahmati beliau, mengajakku untuk mengikuti sebuah kajian. Katanya, kajian ini membahas permasalahan sesuai dengan landasan dan cara pandang agama Islam yang benar. Tak sampai di situ, beliau terus membimbingku hingga hidayah-Nya perlahan kurasakan melalui perantara beliau. Di sela-sela latihan, aku selalu merasakan hal yang berbeda. Kegundahan hati dan perdebatan batin selalu saja mengusikku, terlebih lagi saat mengingat hadits Nabi, bahwa dunia tak lebih berharga dibanding separuh sayap nyamuk di sisi Allah Ta’ala. Ditambah lagi persaingan yang tak seimbang dengan para pemain asing, yang notabenenya adalah nonmuslim. Ternyata, aku mendapati bahwa hal ini sudah Nabi kabarkan, tatkala beliau bersabda, “Dunia itu ibarat penjara bagi mukmin namun surga bagi orang kafir,” (H.R. Muslim, no. 7606). Mungkin itulah alasan terbesarku untuk mundur dari profesi ini. Satu alasan lagi, yaitu teman yang selalu membimbingku untuk terus belajar ilmu agama. Aku tak pernah berpikir tentang memperdalam ilmu agama, apalagi sampai menjadi seorang santri. Takdir ilahi telah merubah semua, melalui beragam adegan dan kejadian dalam kehidupan, mulai dari kajian abal-abalan hingga kajian berbobot ilmiyah, melalui pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam jiwa hingga terealisasikan dalam bentuk jawaban ilahiyah, semua ini tak terbesit sedikit pun dalam benak apalagi dipikirkan oleh akal. Singkat cerita, akhirnya aku mulai memahami hakikat Islam dan sunah. Pada saat itulah aku harus dihadapkan dengan dua pilihan, menetap atau meninggalkan. Hidayah Sang Kuasa terus-menerus kurasakan. Puncaknya adalah tatkala aku diajak untuk masuk ke salah satu pondok pesantren, tentunya ada banyak alasan yang tak mungkin kujelaskan disini. Dan sekarang, aku telah menjadi seorang santri di pesantren ini, tiada hal selain kenikmatan serta kenyamanan yang kurasakan disini. Atas izin-Nya pula hidupku kini mulai berubah dan terarah, Alhamdulillah bi ni’matihi tatimmu ash-sholihaat.

“Dunia itu ibarat penjara bagi mukmin namun surga bagi orang kafir.”

This article is from: