An1mage Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 1 Januari 2017

Page 1

www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

VOLUME II NOMOR 1 JANUARI 2017

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

i


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

ISSN: 2477-3492

VOLUME II NOMOR 1 JANUARI 2017

An1mage Direktur: Michael Sega Gumelar

Tatacara dan panduan naskah tersedia di link berikut: https://drive.google.com/file/d/0B3l84AXZlhgSZTVvM2xTc040 bk0/view?usp=sharing

Public Relation: Archana Universa

Copyright©2017 by an1mage and the authors. All rights reserved. An1mage holds the exclusive copyright of all the contents of this journal.

Designer: Wulan Ardhana Content Editor: Kevin Putranto Mega Oetama Text Editor: Aswin Chandra Dimas Satria Thomas Wijaya Reviewer: Dr. Michael Goddard, Lappeenranta University of Technology, Finland Prof. Hitoshi Tsumura, Tokushima University, Japan Prof. Khian Kwee, 2nd Research Institute of Ministry of Public Security, China Dr. Sophia Milancoci, Vasile Goldis Western University, Arad, Romania Prof. Tanja Swanepoel, NorthWest University, South Africa Dr. Natasha Bianca, Delcoure, Associate Dean and Director of Graduate Programs, University of St. Thomas, USA M.S. Gumelar M.A., Universitas Surya, Universitas Udayana, Perguruan Tinggi Keling Kumang, Indonesia.

In accordance with the national & international convention, no part of this journal may be reproduced or transmitted by any media or publishing organs (including various websites) without the written permission of the copyright holder. Otherwise, any conduct would be considered as the violation of the copyright. The contents of this journal are available for any citation. However, all the citations should be clearly indicated with the title of this journal, serial number and the name of the author. Pemesanan versi print, silakan kontak: an1mage @an1mage.org atau sms ke: 08888988005 atau click link berikut untuk pemesanan online via print on demand system: An1mage bekerja sama dengan Komunitas Studi Kultural Indonesia dan Serikat Dosen Indonesia. Naskah laporan penelitian dan korespondensi silakan kirim ke: an1mage@an1mage.org

KASTA KOMUNITAS STUDI KULTURAL INDONESIA

an1mage enlightening open mind generations

Serikat Dosen Indonesia

www.an1mage.org e: an1mage@an1mage.org

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

ii


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

ISSN: 2477-3492

VOLUME II NOMOR 1 JANUARI 2017

Daftar Isi 01

Industri Kreatif Ulos pada Masyarakat Pulau Samosir Mangihut Siregar

06

Motif dan Kelembagaan Konflik Supporter Sepakbola pada AREMANIA Yusuf Adam Hilman

12

History in Cultural Studies. War excesses in the former Dutch Indies Rodney Westerlaken

18Â Â

Wisata Militer Taebaek dari Drama Descendants of The Sun Korea Selatan Lidwina Hana

22

Mitos dalam Hak Cipta di Indonesia: Antara Idealisme dan Kenyataan Michael Sega Gumelar

28

Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya Pemuatan Laporan Penelitian di Jurnal yang Tidak Terindeks Scopus di Indonesia Michael Sega Gumelar

32

Story Waveform Model sebagai Alternatif lebih Baik dari Story Mountain Model agar Lebih Mudah dalam Mendesain Cerita Michael Sega Gumelar

43

Literasi Visual Tokoh Hanoman Bali dengan Pendekatan Augmented Reality I Made Marthana Yusa dan I Nyoman Agus Suarya Putra

48

Membongkar Mitos Jurnal Ber-ISSN Wajib Terakreditasi Dikti yang Hanya Mendapatkan Nilai Kumulatif bagi Dosen di Indonesia. Michael Sega Gumelar

53

Menyoal Risiko dan Kontingensi Pengetahuan dalam Masyarakat Pengetahuan Kontemporer Hendar Putranto

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

iii


Mangihut Siregar

Industri Kreatif Ulos pada Masyarakat Pulau Samosir

Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.1: 1-5

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Industri Kreatif Ulos pada Masyarakat Pulau Samosir Mangihut Siregar* Universitas Udayana

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Ulos identik dengan Orang Batak, di mana ada Orang Batak di situ ada ulos. Segala upacara adat selalu menggunakan perlengkapan ulos. Karena keperluannya yang sangat penting sehingga mereka berusaha menenun untuk keperluan masing-masing. Dulu hampir semua Orang Batak dapat menenun ulos.

Dikirim 7 Mei 2016 Direvisi 22 Oktober 2016 Diterima 11 November 2016 Kata Kunci: Industri

Masuknya modernisasi menggeser produksi ulos dengan tenunan tangan (tradisional) menjadi tenunan mesin. Ulos menjadi industri budaya, di mana komoditi ini diproduksi secara massal dan kegunaannya untuk dijual. Hasil tenunan mesin semakin kreatif dan lebih murah sehingga tradisi menenun secara tradisional semakin hilang.

Budaya Kreatif Ulos Batak

Produksi ulos yang dilakukan secara massal berimplikasi terhadap banyaknya ulos di pasaran dan menyebabkannya bukan lagi barang langka atau sakral. Dari segi pembuatannya memang tidak ada upacara khusus untuk menenun ulos, namun karena kegunaannya untuk keperluan ritual adat sehingga menjadikan benda ini menjadi benda sakral. Banyaknya ulos di pasaran menjadikan suatu peluang bagi Orang Batak untuk mengkreasikan ulos sebagai industri kreatif. Fungsi komoditi ulos semakin berkembang yang awalnya dimaknai sebagai penghangat badan lalu menjadi industri budaya. Dari industri budaya lalu dikembangkan menjadi industri kreatif. Hal ini mereka lakukan untuk menambah pendapatan dari segi ekonomi. © 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Ulos sangat identik dengan Suku Batak, di mana ada Orang Batak di situ ada ulos. Ulos menjadi sarana adat dalam dalihan na tolu yang mengikat hubungan kekerabatannya. Hampir semua upacara adat-istiadat yang terdapat pada Suku Batak harus mempergunakan ulos sehingga wujud adatistiadatnya ditunjukkan dalam ulos. Secara harfiah ulos mempunyai arti selimut atau kain yang dapat diselimutkan untuk menghangatkan badan. Kehangatan pada struktur kekerabatan (dalihan na tolu) di daerah asal sangat penting sebab di daerah mereka mempunyai suhu yang sangat dingin. Kehangatan yang diperoleh melalui ulos diyakini dapat menghangatkan jiwa. Kehangatan jiwa akan diperoleh setelah pihak yang lebih tinggi strukturnya dalam dalihan na tolu memberi ulos kepada seseorang [1]. Menurut pemahaman Orang Batak, sumber kehangatan (panas) terdiri dari tiga unsur atau elemen, yaitu matahari sebagai sumber kehangatan dalam kehidupan manusia dengan alam semesta.

∗ Peneliti koresponden: Universitas Udayana. Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali 80361 Mobile: +628568094162| E-mail:msiregar22@yahoo.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Api, yaitu sumber kehangatan dalam kehidupan tubuh jasmani; dan ulos sebagai sumber kehangatan dalam hubungan spiritual kekerabatan Batak yaitu dalihan na tolu. Ulos selalu dimunculkan dalam acara adat budaya dengan penuh makna [2]. 2. Lokasi Pembahasan Lokasi pembahasan ini berada di Pulau Samosir Kabupaten Samosir. Masyarakat masih mempertahankan produksi ulos sampai saat ini untuk keperluan upacara adat dan juga cinderamata bagi wisatawan. Wisatawan banyak yang berkunjung karena Pulau Samosir merupakan destinasi wisata bagi Provinsi Sumatera Utara khususnya dan Indonesia umumnya. Para pengrajin mendapat keuntungan dari wisatawan melalui penjualan hasil kerajinan yang mereka jual. Pada awalnya ulos dibuat hanya untuk keperluan sendiri, sehingga hampir setiap keluarga dapat menenun ulos. Dengan bahan yang ada di sekitarnya yaitu kapas atau benang rami, ulos ditenun dengan alat yang sangat sederhana yang digerakkan dengan kedua tangan dan kaki. Proses pembuatan ulos tidak mempunyai upacara khusus, tetapi karena kegunaannya yang bersifat sakral sehingga cara

1


Mangihut Siregar

pembuatannya ditentukan.

Â

terikat

dengan

tatacara

yang

Industri Kreatif Ulos pada Masyarakat Pulau Samosir

sudah

Untuk menghasilkan sebuah ulos dapat memerlukan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tergantung kesulitan ulos yang akan ditenun. Pekerjaan menenun memerlukan kesabaran, ketekunan, citrarasa seni, bahkan rasa pengabdian. Pertama-tama benang dikeraskan memakai alat sejenis lem/perekat dengan menggunakan alat yang dinamakan unggas dan pengunggasan. Sesudah selesai diunggas, kemudian benang dikeringkan lalu digulung. Proses selanjutnya adalah bertenun dalam bahasa daerah disebut martonun, yaitu dengan cara memasukkan benang ke dalam alat tenun yang terbuat dari kayu.

Citra 1. Proses membuat bahan perwarna ulos dari tumbuh-tumbuhan (Sumber: https://www.google.com/search?q=gambar+ulos+tenunan&client, diunduh, 28 April 2016)

Adapun jenis alat tenun yang digunakan: hasoli yaitu gulungan benang pada sebatang lidi sepanjang kira-kira 30 cm; turak yaitu alat untuk memasukkan benang dari celahcelah benang yang ditenun. Alat ini terbuat dari bambu kecil menyerupai seruling yang ke dalamnya dimasukkan hasoli; Hatudungan yaitu alat untuk mengendorkan tenunan agar turak bisa dimasukkan; baliga yaitu alat untuk merapatkan benang yang telah dimasukkan dengan cara menekan sampai beberapa kali, terbuat dari batang pohon enau yang telah dihaluskan; Pamunggung, yaitu alat yang berbentuk busur panah, pada sisi kanan dan kiri terdapat tali untuk ditarik-tarik saat menenun. Bagian-bagian dari alat tenun itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan selama proses menenun [3].

Citra 2. Benang dicelup untuk membuat warna bahan ulos (Sumber: https://www.google.com/search?q=gambar+ulos+tenunan&client, diunduh, 28 April 2016)

Sehelai ulos membutuhkan ribuan benang dengan aneka warna yang nantinya masing-masing benang telah digulung dalam hasoli. Hasoli-hasoli itu kemudian masuk ke dalam turak kemudian turak keluar masuk di antara benang-benang yang sudah direntangkan sebagai bakal ulos. Begitu terus-menerus proses mengerjakan ulos hingga rentangan benang-benang itu sedikit demi sedikit berubah menjadi kain. Selama masa bertenun tubuh si penenun terikat dengan peralatan tenun, sehingga tidak dapat bergerak dengan leluasa. Biasanya alat-alat tenun itu akan dilepaskan kalau si penenun hendak istirahat atau mau melakukan pekerjaan yang lain. Ketekunan seorang penenun menentukan lama-tidaknya sebuah ulos selesai dibuat. Di bawah ini merupakan sekilas gambaran proses membuat ulos.

Citra 3. Penenun sedang menenun ulos di halaman rumah secara gotong royong (Sumber: https://www.google.com/search?q=gambar+ulos+tenunan&client, diunduh, 28 April 2016)

3. Potensi Sosial Budaya Masyarakat Pulau Samosir Ulos sebagai penghangat badan fungsinya hampir sama dengan selimut. Fungsi ulos sebagai penghangat diganti oleh baju produksi mesin. Pada siang hari Suku Batak sudah menggunakan baju yang terbuat dari tekstil dan pada malam hari dengan selimut. Pergantian ini terjadi akibat globalisasi. Seperti yang dikatakan Piliang [4], proses globalisasi yang merambah

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

2


Mangihut Siregar

segala aspek kehidupan sehingga unsur budaya antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya semakin mirip secara kultural. Walaupun fungsi ulos sebagai penghangat digantikan oleh produksi modernisasi (baju dan selimut), ulos tidaklah secara otomatis hilang. Perkembangan selanjutnya fungsi ulos bertambah selain sebagai penghangat, ulos juga berfungsi sebagai wujud kasih sayang atau hadiah dari pihak hula-hula kepada pihak boru yang diekspresikan dalam setiap aktivitas ritual Adat Batak.

Â

Industri Kreatif Ulos pada Masyarakat Pulau Samosir

Model, ukuran dan warna-warni ulos sudah banyak variasinya. Proses pembuatannya semakin cepat karena dikerjakan dengan menggunakan mesin. Masyarakat menerima produksi yang dihasilkan oleh mesin karena massa tidak berdaya mempertahankan ideologinya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Adorno bahwa produk-produk kapitalis mendorong terjadinya konformitas dan kesepahaman yang menjamin adanya kepatuhan pada pihak yang berwenang maupun stabilitas sistem kapitalis [7]. Model, warna, ukuran dan lain-lain menjadi haknya kapitalis, hal ini dapat kita lihat seperti di bawah ini:

Kebutuhan akan ulos bagi Suku Batak dari hari ke hari semakin bertambah hal ini disebabkan segala ritual adatistiadat umumnya memerlukan sarana ulos. Melihat peluang ini, kapitalis memanfaatkan unsur budaya ini menjadi suatu industri yaitu industri ulos. Pembuatan ulos tidak perlu lagi menggunakan waktu yang lama, bahkan dalam satu hari mesin penenun dapat memproduksi ratusan ulos. Industri budaya seperti yang diutarakan Adorno yaitu kebudayaan yang diproduksi berdasarkan prinsip-prinsip dasar industri dan komoditi, untuk membedakannya dengan budaya massa, yang lebih bermakna umum.

Citra 4.Ulos diproduksi dengan menggunakan mesin (Sumber: https://www.google.com/search?q=gambar+ulos+tenunan&client, diunduh, 28 April 2016)

Lebih jauh menurut Adorno, industri budaya adalah kebudayaan massa yang diatur dan dikendalikan oleh sekelompok elit dari atas. Dengan demikian, industri budaya merupakan budaya massa dalam pengertian khusus dan sifatnya dikendalikan dari atas [4]. Produksi ulos dalam perkembangannya sesuai dengan keinginan kapitalis. Warna ulos yang awalnya hanya tiga macam yaitu merah, hitam, dan putih [2], pada masa sekarang warnanya sudah bervariasi sesuai dengan ciptaan kapitalis. Seperti yang dikatakan Adorno, industri budaya secara sengaja memadukan para konsumennya dari atas. Konsumen bukanlah raja, sebagaimana yang diyakinkan oleh industri budaya, konsumen bukan subjek melainkan sebagai objek [5]. Ulos yang awalnya merupakan budaya di mana individu mempunyai kebebasan dan kreativitas individu, berubah menjadi industri budaya. Dalam industri budaya seperti yang diutarakan Adorno, bahwa teknologi pada gilirannya mendorong kecenderungan untuk lebih memperlakukan manusia sebagai sarana atau menjadi suatu komoditas daripada sebagai tujuan [6]. Masyarakat yang menggunakan ulos menjadi suatu pasar yang menggiurkan bagi kaum kapitalis.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Citra 5.Ulos hasil produksi mesin (Sumber: https://www.google.com/search?q=gambar+ulos+tenunan&client, diunduh, 28 April 2016)

4. Industri Kreatif dalam Bentuk Ulos Setelah ulos diproduksi secara massal, komoditi ini menjadi suatu industri kreatif. Fungsi ulos yang awalnya sebagai penghangat, lalu berkembang menjadi hadiah pemberian dari pihak hula-hula ke pihak boru, kemudian menjadi suatu industri kreatif yang mempunyai banyak fungsi. Kreasi baru dari ulos berupa baju, tas, sepatu, dan lain-lain. Produksi ulos menjadi komodifikasi di mana fungsi utama dari ulos adalah penghangat yang diberikan pihak yang lebih tinggi ke pihak yang lebih rendah (pihak hula-hula ke pihak boru). Perkembangan selanjutnya, Ulos bukan hanya lambang kasih sayang melainkan menjadi komoditi. 3


Mangihut Siregar

Komoditi seperti yang dikatakan Piliang [4] adalah segala sesuatu yang diproduksi yang ditukar dengan yang lain biasanya dengan uang. Pertukaran itu dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang lebih banyak. Komoditi mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan komodifikasi. Produksi yang dikelola melalui proses pertukaran adalah komoditi. Komoditi diproduksi bukan hanya untuk keperluan produsen sendiri tetapi tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar. Dengan demikian komoditi lebih bermakna sebagai nilai tukar daripada nilai guna [8].

Â

Industri Kreatif Ulos pada Masyarakat Pulau Samosir

Semakin meluasnya proses komodifikasi Budaya Barat, sehingga hampir tidak ada lagi model budaya otentik atau budaya yang luhur yang tidak terkomodifikasi. Di bawah ini beberapa contoh industri kreatif yang bersumber dari komoditi ulos:

Komoditi adalah objek sedangkan komodifikasi merupakan proses dan menjadi salah satu indikator kapitalisme global. Komodifikasi merupakan proses transformasi dari hubungan yang awalnya bukan untuk dijual (komoditas) tetapi menjadi hal yang sifatnya komersil. Dalam kapitalisme, segala hasil produksi merupakan komoditi yaitu untuk dijual di pasar dengan maksud mendapatkan keuntungan. Produksi dilakukan bukan untuk mencari nilai guna melainkan mencari nilai lebih melalui nilai tukar. Menurut Adorno [9], menjadikan objek-objek menjadi sesuatu yang memiliki nilai tukar merupakan satu bentuk nyata pencerahan palsu kapitalisme. Pengertian komoditas dalam wilayah ekonomi kapitalis mempunyai arti yang sangat luas. Seperti yang dikatakan Fairclough [10], komoditas bukan hanya barang nyata tetapi juga termasuk barang yang tidak teraba: kursus pendidikan, liburan, asuransi kesehatan, dan masalah pemakaman. Pada masa sekarang segala sesuatu yang mendatangkan keuntungan sudah diperjualbelikan untuk umum dalam bentuk kemasan. Komodifikasi merupakan proses di mana domain-domain dan institusi-institusi sosial bukan hanya memerhatikan produksi komoditas yang akan dijual, tetapi juga memerhatikan dari segi produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas. Lebih lanjut dikatakan Fairclough, negara mempunyai andil yang sangat besar dalam hal komodifikasi. Negara meningkatkan campur tangannya berkaitan dengan peredaran, kontrol inflasi, pembatasan akan upah dan kapasitas serikat kerja untuk mengambil tindakan industrial, dan sebagainya. Komodifikasi sudah berlangsung dalam segala aspek kehidupan baik dalam ekonomi, sosial, agama, dan budaya. Menurut Barker [11], dalam komodifikasi budaya, industri budaya mengubah orang dan makna menjadi komoditas yang berguna dan mendapatkan keuntungan.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Citra 6. Perlengkapan yang terbuat dari bahan ulos (Sumber: https://www.google.com/search?q=gambar+ulos+tenunan&client, diunduh, 28 April 2016)

Citra 7. Hiasan dinding yang terbuat dari bahan ulos (Sumber: https://www.google.com/search?q=gambar+ulos+tenunan&client, diunduh, 28 April 2016)

Peluang dan Tantangan Industri Ulos Industri kreatif sangat penting untuk mendukung kesejahteraan masyarakat. Industri kreatif timbul melalui pemanfaatan serta keterampilan yang dimiliki setiap orang untuk menciptakan lapangan baru dan dapat menciptakan kesejahteraan masyarakatnya. 4


Mangihut Siregar

Berkaitan dengan peningkatan ekonomi, masyarakat Pulau Samosir mempunyai kreatifitas dalam ulos. Pada masa sekarang ulos menjadi suatu industri budaya. Komoditi ini diproduksi secara massal oleh kaum kapitalis dengan menggunakan tehnologi mesin. Mudahnya memproduksi ulos melalui mesin tenun dimanfaatkan masyarakat untuk menciptakan kreasi-kreasi baru yang sumbernya dari bahan ulos. Kreasi baru menghasilkan tas, baju, sepatu, hiasan, dan lain-lain yang bahan dasarnya dari ulos. Ulos yang sudah identik dengan Suku Batak berimplikasi terhadap turunan komoditi yang bersumber dari bahan ulos. Kreatifitas masyarakat Pulau Samosir menciptakan komoditi baru dari bahan ulos diminati Suku Batak dan juga orang lain yang berkunjung ke Pulau Samosir. Selain mempunyai peluang, industri ini juga mempunyai beberapa tantangan: (1). Keterpinggiran para penenun ulos tradisional. Mereka kalah bersaing dengan kaum kapitalis baik dari segi harga, kualitas dan juga waktu yang digunakan memproduksi ulos. Ulos yang diproduksi mesin lebih variatif dan lebih murah daripada hasil tenunan tangan sehingga masyarakat memilih ulos produksi mesin; (2). Hilangnya nilai kesakralan ulos. Komoditi ini sudah diproduksi secara massal sama dengan kain lainnya sehingga nilai kesakralan yang ada dalam ulos sudah hilang; (3). Terjadinya pergeseran makna ulos. Pada awalnya Suku Batak memaknai ulos sebagai penghangat yang diberikan hula-hula kepada pihak boru (posisi yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah) namun dalam industri kreatif fungsi itu sudah bergeser bukan lagi hanya keperluan ritual adat. 5. Konklusi Ulos merupakan benda yang sangat identik dengan Suku Batak, di mana ada Orang Batak di situ ada ulos. Segala upacara adat selalu mempergunakan sarana ulos sebagai simbol cinta kasih dari pihak yang lebih tinggi ke pihak yang lebih rendah (pihak hula-hula ke pihak boru). Fungsi ulos yang begitu penting dalam ritual adat sehingga hampir seluruh Orang Batak dapat menenun ulos.

Industri Kreatif Ulos pada Masyarakat Pulau Samosir

hasil tenun tangan sehingga masyarakat lebih memilih produksi mesin. Komoditi ulos yang diproduksi secara massal mengakibatkan komoditi ini menjadi industri budaya. Ulos bukan lagi barang langkah atau sakral tetapi sudah hampir sama dengan kain biasa. Namun demikian ulos tetap bertahan bahkan fungsinya semakin bertambah dari fungsi awalnya. Fungsi awal sebagai upacara adat namun pada saat sekarang ulos juga menjadi industri kreatif. Masyarakat menciptakan kreasi-kreasi baru yang sumbernya bahan ulos. Adanya industri kreatif melalui ulos secara langsung menambah pendapatan masyarakat. Selain menambah pendapatan, terjadinya industri budaya dan industri kreatif melalui ulos, berimplikasi keterpinggiran penenun tradisional; hilangnya nilai kesakralan ulos; dan terjadinya pergeseran makna ulos. Referensi [1]

Sinaga, Richard. 2012. Perkawinan Adat Dalihan na Tolu. Jakarta: Dian Utama. [2] Sitompul, R.H.P. 2009. Ulos Batak: Tempo Dulu – Masa Kini. Jakarta: Kerukunan Masyarakat Batak. [3] Sitanggang, Hilderia, 1990. Isi dan kelengkapan rumah tangga tradisional menurut tujuan, fungsi dan kegunaan suku bangsa Batak Toba, Daerah Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Jakarta: Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional. [4] Piliang, Yasraf Amin. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari. [5] Adorno, T. 1991. The Culture Industry. London: Routledge. [6] Peoples, Columba. 2013. “Theodor Adorno” dalam: Edkins, Jenny – Nick Vaughan Williams (ed). Teori-Teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. (Teguh Wahyu Utomo, Pentj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar. [7] Strinati, Dominic. 2016. Popular Culture. (Abdul Mukhid, Pentj.). Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea. [8] Soedjatmiko, Haryanto. 2008. Saya Berbelanja, Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris. Yogyakarta: Jalasutra. [9] Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika: Gaya, Kode dan Matinya Makna. Matahari: Bandung. [10] Fairclough, Norman. 2003. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi. (Indah RohmaniKomunitas Ambarawa Pentj.). Gresik: Boyan Publishing. [11] Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. (Hendar Putranto Pentj.). Yogyakarta: Kanisius.

Pada awalnya ulos ditenun secara manual sehingga proses pembuatannya sangat lama sampai menghabiskan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Masuknya modernisasi mengubah proses pembuatan ulos dengan tangan menjadi mempergunakan mesin, sehingga ulos menjadi industri budaya. Dalam satu hari, satu mesin tenun dapat memproduksi puluhan bahkan ratusan helai ulos. Selain produksinya cepat, produksi mesin tenun lebih variatif dan lebih murah dari Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

5


Yusuf Adam Hilman

Motif dan Kelembagaan Konflik Supporter sepakbola pada AREMANIA Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.1: 6-11

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org. An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Motif dan Kelembagaan Konflik Supporter Sepakbola pada AREMANIA Yusuf Adam Hilman Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP, Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 19 Mei 2016 Direvisi 20 Mei 2016 Diterima 08 Juni 2016 Kata Kunci: Motif Karakteristik Konflik Aremania Bonekmania

Abstrak Seharusnya sepakbola dapat memberikan tontonan yang mengasyikan, memberikan suguhan yang atraktif, menghibur, dan juga bisa memberikan kepuasan bagi para penikmatnya, akan tetapi sepakbola yang ada di Indonesia selama ini lebih cenderung menggambarkan kondisi yang tidak baik, karena berita sepakbola dihiasi dengan persoalan korupsi, dualisme, hingga perkelahian supporter, terkait hal tersebut, seharusnya kita bisa mencermati, kenapa hal tersebut dapat terjadi, khususnya persoalan yang terkait dengan rivalitas sepakbola, ataupun konflik antar supporter, yakni konflik AREMANIA dengan BONEKMANIA. Fenomena kekerasan suporter yang ada di Indonesia, hal ini jika kita pahami dengan asumsi konflik maka akan memiliki bentuk dan pola, sehingga kita dituntut untuk mengetahui dan memahami kondisi tersebut supaya dapat menyelesaikan persolan itu. Kondisi ini perlu dikaji secara kontekstual di mana fakta–fakta tersebut akan dikaji secara kualitatif, menggunakan pendekatan kepustakaan (library Research), hal ini penting mengingat konflik yang sedang terjadi tidak memungkinkan untuk dilakukan suatu penelitian yang sifatnya observasi, maka kami merasa sangat tertarik untuk mengkaji persoalan tersebut secara kritis. Dari hasil analisis kami dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa konflik yang sedang terjadi antara Aremania dan juga Bonekmania, bukan persoalan tentang perihal salah dan benar, akan tetapi bagaimana para supporter memaknai konflik tersebut, sebagai reaksi atas berbagai peristiwa terkait proporsi keadilan, mengingat pada hakikatnya supporter itu menginginkan kompetisi yang berkualitas, prestasi yang membanggakan dari klub sepakbolanya, sehingga perlu pendewasaan terhadap perilaku atau tindak tanduk supporter baik di dalam maupun di luar lapangan, akibat rasa kecintaan, loyalitas, terhadap klub kesayangannya. © 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Sepakbola merupakan salah satu olahraga, yang menekankan pada kerja kelompok, “rasa mendukung yang kuat”, dan juga kekompakan, akan tetapi terkadang dalam pertandingan sepakbola juga diwarnai dengan drama, intrik, serta rivalitas, yang membuat olahraga ini memiliki keistimewaan. Terkait rivalitas dalam sepakbola, penulis mengangkat perseteruan di antara dua kub besar yang ada di Provinsi Jawa Timur, yaitu: PERSEBAYA Surabaya dengan AREMA Indonesia, dalam suatu kajian kritis. Gresik, Aparat kepolisian Polres Gresik, menerjunkan tim melakukan pengejaran terhadap kawanan pelaku pengeroyok-kan Erik Setiawan (17) Bonekmania asal Gresik, hingga tewas dengan kondisi mengenaskan [1]. * Peneliti korespondeni: Universitas Muhammadiyah Ponorogo Jl. Budi Utomo No. 10 Ponorogo 63471 Jawa Timur / Indonesia. Telephone.085755090861/email.545471adamongis@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 1 Juni 2016 www.an1mage.org

Metrotvnews.com, Sragen, Korban tewas Eko Prasetyo dan 31 rombongan penumpang bus yang diserang oleh Bonekmania pendukung Surabaya United sedianya akan berwisata ke Candi Borobudur dan Pantai Parangtritis [2]. Pasuruan -- Polisi membekuk tiga pemuda pelaku pengeroyokan Karyawan Alfamart, Warga Desa Tamansari, Wonorejo, Pasuruan. Akibat pengeroyokan yang dilakukan 2 Desember 2014, korban yang saat itu memakai Kaos Jersey Klub Sepakbola Arema, tewas dalam perjalanan ke rumah sakit [3]. Fakta–fakta yang telah terjadi, menarik untuk dikaji, akan tetapi konflik yang ada menjadikan penelitian tidak bisa dilakukan secara observasi, sehingga, hanya dilakukan secara Library Research, dan dispesifikan terhadap motif dan kelembagaan konflik yang sedang terjadi, antara AREMANIA Versus BONEKMANIA.

6


Yusuf Adam Hilman

2. Telaah Pustaka

Konflik merupakan gejala serba hadir dalam masyarakat atau istilah lain dikenal dengan “everyday to life”, artinya seperti tidak ada individu atau masyarakat tanpa konflik. Konflik sudah menjadi bagian keseharian hidup manusia. Seiring dengan itu, pemikir Karl Marx dan Thomas Hobbes juga menekankan konflik-konflik secara mendasar melekat dalam sifat manusia [4]. Ada empat persyaratan agar dapat dikategorikan konflik dalam masyarakat,1).Terdapat dua atau lebih pihak (individu/kelompok) yang terlibat, 2). Mereka terlibat dalam tindakan yang saling memusuhi, 3). Mereka menggunakan perlakuan kekerasan yang bertujuan untuk menghancurkan, melukai, dan menghalang–halangi lawannya, dan 4). Reaksi pertentangan bersifat terbuka sehingga dapat dideteksi dengan mudah oleh orang lain[5]. Pate, Rotela dan Mc. Clenaghan [6] mendefinisikan suporter adalah orang yang fanatik menjadi “teman baik” apabila berpenampilan baik, dan menjadi “musuh paling jahat” apabila tidak tampil dengan baik. Pendapat Abu Ahmadi [7] bahwa Group adalah kumpulan dari beberapa orang yang memiliki norma tertentu, sehingga melahirkan ikatan kejiwaan dan persamaan tujuan”. Ahmadi menambahkan bahwa “Group ataupun massa memiliki kesamaan yaitu sekumpulan dari pada manusia dan mempunyai norma”. Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu yang positif atau yang negatif, pandangan mana tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga sulit diluruskan atau diubah [8]. Menurut Duning [9] mendefinisikan fanatisme sebagai bentuk kebudayaan baru yang menyediakan pilihan simbolisasi nilai–nilai kekuasaan, maskulinitas, konflik bahkan politik. Simbol–simbol tersebut kini tak lagi hadir dilapangan hijau namun menjadi keseharian masyarakat kota di tengah hiruk pikuk kehidupan kota. Fanatisme menjadi daya tarik bagi anak muda untuk berduyun–duyun ke stadiun, mengorbankan semua hal dan siap untuk berdarah membela panji kesebelasan [10]. Perayaan kemenangan, pesta alkohol, ataupun ejekan terhadap pendukung tim lawan adalah penyebab terjadinya kerusuhan yang membuat jatuhnya korban. Perilaku mereka menjadi tidak terkontrol. Potensi kerusuhan semakin besar ketika tim yang didukungnya menang [11].

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 1 Juni 2016 www.an1mage.org

Motif dan Kelembagaan Konflik Supporter sepakbola pada AREMANIA

Secara umum konflik merupakan aktualisasi dari perbedaan dan pertentangan antara dua pihak atau lebih sehingga wujud konflik dan kompetisi direpresentasikan tidak hanya oleh dua puluh dua orang di lapangan, tetapi juga melibatkan seluruh komponen tim, baik official ataupun suporter masing-masing [12]. 3. Metode Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu pengamatan, wawancara atau penelaahan dokumen. Data yang dikumpulkan berupa kata–kata tertulis atau lisan, gambar, dan bukan angka–angka sehingga tidak menggunakan perhitungan statistik dalam analisa datanya [13]. Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi model dan karakteristik konflik suporter dari buku-buku, makalah, atau artikel, majalah, jurnal, koran, web (internet), ataupun informasi lainnya yang berkaitan dengan judul penelitian berupa catatan, transkip, buku, yang memiliki keterkaitan dengan kajian tentang konflik suporter, model dan karakteristiknya. Metode analisis datanya dalam penelitian ini adalah, analisis data deskriptif. 4. Motif dan Karakteristik Konflik Tindak kekerasan, kerusuhan, dan jatuhnya korban baik luka, tewas, rusak dan terganggunya ketertiban merupakan, pranata sosial sampai prasarana umum merupakan citra buruk yang melekat pada Suporter Sepakbola Indonesia. Kerusuhan suporter yang terjadi di Indonesia sebenarnya bukan isu baru, karena sejak lama sebenarnya sudah sering terjadi [14]. Untuk penyebab utama terjadinya Konflik Bonekmania dengan Aremania dimulai dari terjadinya bentrokan saat ada konser musik metal di Stadion Gelora Sepuluh November yang melibatkan geng-geng dari masing-masing kota, Surabaya dan Malang [15]. Kemudian berlanjut pada terjadinya bentrokan yang melibatkan Bonek dengan Suporter Persema di Stadion Gajayana yang diawali dengan adanya psywar antara Pentolan Bonek yang kemudian dibalas oleh Walikota Malang [15]. Selain itu, ada juga karena rasa gengsi. Gengsi karena status daerah nomer satu dan nomer dua di Jatim. Kemudian iri dan cemburu karena pengakuan dan anggapan masyarakat umum bahwa Klub Asal Surabaya lebih hebat daripada Klub Asal Malang.Tidak berhenti sampai di situ saja, penyebab lainnya adalah rasa primordialisme [16].

7


Yusuf Adam Hilman

Motif dan Kelembagaan Konflik Supporter sepakbola pada AREMANIA

dipakai ketika bertemu suporter, salam itu juga masuk hingga ke dalam ruang ganti pemain. "Arema punya moto 'Salam Satu Jiwa'[17]. Simbol terakhir dalam Kelompok Bonekmania ialah berupa slogan. Slogan yang menjadi Identitas Bonekmania ialah slogan yang berbunyi “Sinyal Wani”. Kepanjangan dari sinyal wani ialah salam satu nyali wani. Slogan tersebut sering dikumandangkan oleh para Bonekmania saat mereka mendukung Persebaya di mana pun berada. Simbol tersebut berimplikasi terhadap Karakteristik Perilaku Bonekmania. Lambang keberanian yang secara simbolis digambarkan dalam slogan tersebut menjadi jiwa bagi Para Bonekmania untuk selalu bernyali berani dalam mendukung Persebaya dalam keadaan apapun[18].

Citra 1. Peristiwa di Sambung Macan Sragen, Peristiwa di Pasuruan, Peristiwa di Wringinanom Gresik Sumber: diolah dari http://www.google.com

Peristiwa tersebut, terjadi di mana saja tidak hanya di Wilayah Malang ataupun Surabaya, tetapi di mana pun tempat perjumpaan, kedua Supporter tersebut, bisa dijadikan sebagai tempat pertempuran, namun demikian Aremania dan Bonekmania, telah memiliki peta di mana mereka aman dan di mana daerah itu tidak aman, sehingga mereka paham dan bisa mengatasi gesekan dengan beberapa supporter lain yang mendukung atau membela rivalnya.

Citra 3 Jargon Aremania “Salam Satu Jiwa”, Jargon Bonekmania “Salam Satu Nyali” Sumber: diolah dari http://www.google.com

4.2 Psywar Perseteruan antara Aremania dengan Bonekmania tidak hanya terjadi di dunia nyata, di dunia maya pun, berbagai Psywar juga bertebaran, hal ini menandakan rivalitas kedua suporter telah merambah ke berbagai lini kehidupan. Citra 2 Rute Permusuhan Aremania dan Bonekmania Sumber: diolah dari adh22play.blogspot.com

4.1 Kekuatan Jargon atau Semboyan Masing-masing klub supporter yakni Aremania dan juga Bonekmania, dalam mengobarkan semangat fanatisme, mereka memiliki Jargon yang biasanya didengungkan sebagai simbol ataupun pemersatu antar anggota Supporter. Aremania memiliki jargon: “Salam Satu Jiwa”, dan Bonekmania memili jargon: “Salam Satu Nyali”. VIVA.co.id - Kesan tentang Arema Cronus menancap kuat di Benak Gelandang Persib Bandung, Firman Utina. Pemain yang kenyang memperkuat Timnas Indonesia itu merasakan suasana berbeda dampak dari slogan "Salam Satu Jiwa" yang tak pernah absen digunakan untuk menyapa Aremania, suporter Arema. Bukan hanya Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 1 Juni 2016 www.an1mage.org

Dari perspektif Ilmu Komunikasi, sebenarnya aksi teror bisa disejajarkan dengan konsep Psywar, perang urat-saraf (meski tidak selalu menggunakan kekerasan fisik) demi menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada pihak lain [19].

Citra 4 Bentuk Psywar Bonekmania terhadap Aremania, Bentuk Psywar Aremania terhadap Bonekmania Sumber: diolah dari http://www.google.com

8


Yusuf Adam Hilman

4.3 Chats Supports Melalui Lagu Salah satu media yang dapat digunakan supporter untuk meluapkan kecintaannya adalah melalui lagu yang dapat membangkitkan semangat dan juga motivasi dalam mendukung klub kesayangannya. Dua supporter ini memiliki banyak sekali lagu penyemangat yang sangat populer dan banyak diduplikasi oleh supporter lain, di antaranya sebagai berikut. Lagu Aremania dalam mendukung klub kesayangannya “di neraka gak ada Aremania, di neraka gak ada Aremanita, di neraka gak ada soto ayam babat, yang ada cambuk malaikat, di neraka gak ada Luna Maya, di neraka gak ada Arek - arek Malang, di neraka yang ada bo**k-bo**k ja**UK, di hukum cambuk malaikat.” Lagu Bonekmania dalam mendukung klub kesayangannya “Siapa bilang Indonesia Arema, Indonesia milik kita bersama, Siapa bilang Indonesia Arema, itu orang yang tak pernah sekolah OooOooO” Lagu–lagu tersebut mencerminkan selain semangat untuk mendukung klub sepakbola yang mereka sayangani, para supporter juga melakukan aksi meluapkan rivalitasnya dengan mengolok tim lawan. 5. Klub Sepakbola 5.1 Arema Malang PS Arema didirikan pada tanggal 11 Agustus 1987 oleh H. Acub Zaenal dan Ir. Lucky Zaenal. Dari awalnya Arema merupakan klub swasta. Pada waktu Arema berdiri Liga Indonesia dibagi dua: liga untuk klub semiprofesional bernama Galatama dan Liga Klub Perserikatan. Klub-klub perserikatan tergantung pada pemerintah daerah untuk dana. Sementara Klub Galatama tergantung pada sponsor swasta [20].

Motif dan Kelembagaan Konflik Supporter sepakbola pada AREMANIA

5.2 Persebaya Klub kesebelasan Persebaya didirikan pada 18 Juni 1927 dengan nama Soerabhaiasche Indonesische Voethal Bond (SIVB). Persebaya adalah salah satu klub sepak bola tertua di tanah air. Sejak saat itu, dengan sederet prestasi, Persebaya menjadi identitas “Kota Pahlawan”. Bahkan Persebaya pulalah yang membidangi lahirnya Persatuan Sepak bola Seluru Indonesia (PSSI) pada 19 April 1930 [22]. PSSI dibentuk dalam Pertemuan Societeit Hadiprojo, Jogjakarta, yang dihadiri beberapa klub lain. Setahun setelah itu, diputar kompetisi antar kota / perserikatan. Pada Masa Pendudukan Jepang, nama SIVB menjadi Persebaja (Persatuan Sepak Bola Indonesia Soerabaja). Pada 1960, Nama Persebaja diubah menjadi Persebaya (Persatuan Sepak Bola Surabaya) (Setyowati, 2014:35) [23].

Citra 6 Logo Klub sepakbola Persebaya Surabaya Sumber: diolah dari http://www.google.com

5.3 Kondisi Kekinian Arema dan Persebaya Tidak bisa dipungkiri, kondisi persepakbolaan tanah air juga memengaruhi eksistensi Arema Malang dan juga Persebaya, di mana kedua klub mengalami imbas dualisme, terkait adanya klub kloningan ataupun aspek legalitas yang bermasalah dari klub tersebut, sehingga bentuk dukungan mereka menjadi terpecah dan juga rawan konflik karena banyaknya provokasi dan kepentingan dari kelompok lainnya.

Pada tahun 1994 klub semi-profesional digabungkan dengan klub perserikatan untuk menjadi Ligina. Walaupun Arema belum pernah juara selama Zaman Ligina, Arema juara Galatama pada tahun 1993[21].

Citra 7 Logo Arema Indonesia, Logo Arema Cronus, Logo Persebaya 1927, Logo Surabaya United Sumber: diolah dari http://www.google.com

Citra 5 Logo Klub sepakbola Arema Indonesia Sumber: diolah dari http://www.google.com

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 1 Juni 2016 www.an1mage.org

6. Supporter Sepakbola 6.1Aremania Pada tahun 1988 Yayasan Arema Fans Club (AFC) Berdiri. Ketua pertamanya adalah Ir. Lucki Zainal. Pada 9


Yusuf Adam Hilman

awalnya ada 13 korwil, setiap korwil adalah pengurus hal Suporter Arema sebidang kampung atau daerah di Malang. Suporter Arema AFC itu sangat Individual yaitu berkaitan dengan hubungan dengan suporter lain[24].

Â

Motif dan Kelembagaan Konflik Supporter sepakbola pada AREMANIA

Persebaya atau Bonekmania lebih berani menekan tim lawan dengan berbagai atribut, seperti spanduk, bendera serta perilaku mereka, seperti yel dan teriakan keras [29].

Akibatnya AFC kesulitan dalam mendorong kerukunan suporter. AFC pernah dianggap sebagai yayasan yang terlalu ekslusif maupun kelas menengah untuk diterima oleh kebanyakan Suporter Arema. Akhirnya, sekitar tahun 1994 AFC dibubarkan[25]. Selain itu perubahan Suporter Malang didorong beberapa Tokoh Perintis Aremania. Diceritakan bahwa suporter didorong oleh tokoh seperti Ovan Tobing, Acub Zainal, Iwan Eko Subekti, dan Leo Kailolo untuk menjadi suporter bersatu dan suportif. Pasti mereka sadar bahwa suporter brutal akan merugikan PS Arema, dan kalau Klub Arema akan berusaha ke profesionalisme seharusnya suporter juga [26].

Citra 9 suporter Bonekmania, Aksi suporter Bonekmania Sumber: diolah dari http://www.google.com

7. Upaya dan Pesan Damai Upaya damai merupakan sesuatu hal yang sangat mungkin dilakukan dan juga diupayakan, namun demikian, upaya yang selama ini dilakukan oleh pemerintah, melalui: PSSI, Pihak Kepolisian, pejabat pemerintahan, akan percuma dan tidak bisa membawa perubahan dan perbaikan. Pada hubungan kedua supporter yang sedang bertikai, apalagi bagi sebagian atau keseluruhan elemen supporter beranggapan jika perseteruan itu abadi, sehingga diperlukan upaya yang lebih konkrit, yaitu dengan cara menggandeng, pihak–pihak yang terkait yaitu elemen supporter kedua belah pihak, yakni sesepuh atau yang dituakan dalam komunitas tersebut. Citra 8 Logo Aremania, Aksi Suporter Aremania Sumber: diolah dari http://www.google.com

6.2 Bonekmania Dimulai dari Sejarah Perjuangan Bung Tomo masa revolusi, saat terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, tidak lepas dari tekad perjuangan, semangat, keberanian dan pengorbanan Arek-arek Suroboyo. Dari pengamatan selama ini, hal tersebut seolah menjadi inspirasi mereka dalam berperilaku ketika mendukung Persebaya. Seolah Suporter Bonek adalah pahlawan seperti zaman 1945 dahulu kala [27]. Berita Majalah Tempo edisi 17 Maret 1990 menjelaskan bagaimana suatu tradisi dalam dunia Suporter Indonesia sudah dimulai dan diawali [28]. Dalam isinya Majalah Tempo melaporkan bagaimana Persebaya dan suporternya menjadi titik awal dari perubahan perilaku suporter yang ada di Indonesia, Suporter Persebaya juga dilaporkan lebih berani melakukan provokasi terhadap suporter lawan yang kala itu juga hadir didalam Stadion Senayan, bahkan Suporter Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 1 Juni 2016 www.an1mage.org

Perlu dingat bahwa mediator dan cara yang digunakan tidak boleh memaksakan, karena hasilnya juga akan percuma, sehingga upaya harus berawal dari grassroot atau akar rumput supaya perdamaian yang diinginkan bisa tercapai. Minimal dengan mengumpulkan para tetua, seperti Tokoh Aremania Yuli Sugianto (Sam Yuli) dan juga Hamim Gimbal (Cak Hamim), supaya bisa memulai perdamaian dan membawa pesan damai keseluruh elemen yang ada di komunitasnya masing. 8. Konklusi Perilaku konflik yang terjadi antara Aremania dengan Bonekmania, memiliki cerita yang panjang dan penuh lika liku, dengan berbagai macam bentuk konflik, oleh karena itu rivalitas tersebut harus dibentengi dengan pemahaman dan juga kesadaran kolektif yang sifatnya positif dari masing supporter agar tidak melakukan tindakan–tindakan konyol dan anarkis, terhadap rivalnya, terlebih lagi terhadap orang yang tidak tahu menahu terhadap persoalan yang sedang dialami. 10Â


Yusuf Adam Hilman

Upaya itu juga harus dilakukan secara berkesinambungan, dengan melibatkan semua pihak termasuk para sesepuh atau yang dituakan dalam komunitas tersebut, sehingga upaya– upaya damai tidak sia–sia. Konflik yang sedang terjadi antara Aremania dengan Bonekmania, bukan persoalan tentang perihal salah dan benar, akan tetapi bagaimana para supporter memaknai konflik tersebut, sebagai suatu reaksi atas berbagai peristiwa terkait proporsi keadilan. Mengingat pada hakikatnya supporter itu menginginkan kompetisi yang berkualitas, prestasi yang membanggakan dari klub sepakbolanya, sehingga perlu pendewasaan terhadap prilaku atau tindak tanduk supporter baik di dalam maupun di luar lapangan.

Motif dan Kelembagaan Konflik Supporter sepakbola pada AREMANIA

[3]

[4] [5]

[6] [7] [8] [9] [11]

[12]

[13]

[14]

[15]

[17]

[18] Citra 10 Tokoh & Dirigen Aremania (Yuli Sumpil), Tokoh & Dirigen Bonekmania (Hamim Gimbal), Upaya Perdamaian Melalui berbagai Poster, Upaya Perdamaian melalui Pesan – pesan media Sumber: diolah dari http://www.google.com

Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan nikmatnya, sehingga penulis dapat memahami hidup dan berfikir, sebagai seorang akademisi, selain itu saya juga mengucapkan pada Seluruh Civitas Akademisi Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Khususnya kepada Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP.

[19]

[20] [22]

[24]

Referensi [1] Diakses dari http://news.okezone.com/read/2013/03/09/521/773344/polisi -buru-aremania-pembunuh-bonek pada 14 Februari 2016, pukul 16.00 wib. [2] Diakses dari http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/12/20/461997/korb Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 1 Juni 2016 www.an1mage.org

[26] [27]

[28]

an-pengeroyokan-bonek-mengaku-ingin-berwisata-ke-yogya pada 14 Februari 2016, pukul 16.00 wib. Diakses pada http://news.detik.com/jawatimur/2784608/keroyokkaryawan-alfamart-hingga-tewas-3-pemuda-dibekuk-danburon?nd772204topcom pada 14 Februari 2016, pukul 16.00 wib. Budi Suryadi. 2007. Sosiologi Politik: Sejarah Definisi, dan Perkembangan Konsep. Yogyakarta: IRCisoD. hal. 76. Gurr Robert Ted (ed). 1980. Handbook of Political Conflict: Theory and Research. New York : The Free Press, A Division Of Macmillan Publishing. Co. Inc. Ridwan Syarif. 2013. Prilaku Suporter Sepakbola. Jurnal. Abu Ahmadi. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hal 180-181. Achmad Mubaraq. 2002. Al: Irsyad, Al – Nafs,i: Konseling agama, Teori dan Kasus. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Hal 147. Junaidi Fajar. 2012. Bonek Komunitas Suporter pertama dan Terbesar di Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera. Hal 136. Fikret Ramazanogludan Bilal Coban. 2005. Aggresiveness Behaviours of Soccer Spectators and Prevention of These Behaviours. (Firat Uneversity Journal of Sosial Science). Hal.283. Hinca Pandjaitan. 2008. “Mengapa Pak Wali Tidak Boleh Masuk Stadion”. Diakses dari http://www.mdo.com tanggal 20 Februari 2016, pukul 16.00 wib. Suroso. S.D.E. 2010. Ikatan Emosional Terhadap tim sepakbola dan Fanatisme Suporter sepakbola. Jurnal Penelitian Psikologi. Vol 01 Hal 34 – 45. Nofie Iman. 2007. “Sepakbola, emosi dan kerusuhan“. Hal. 38. Diakses dari http://www.google.com pada 20 Februari 2016, pukul 16.00 wib. Muhammad Yusuf Setyo Utomo. Akar Konflik Bonek Dengan Aremania (Studi Deskriptif Tentang Akar Permasalahan Konflik Bonek Vs Aremania). Jurnal Sosial Dan Politik. Surabaya: Departemen Sosiologi, Fakultas Imu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga. Diakses dari http://bola.viva.co.id/news/read/659276-ceritafirman-utina-soal--salam-satu-jiwa--arema pada 17 Maret 2016, pukul 16.00 wib. Diakses dari http://www.indosoccer.id/id/berita/perbedaansimbol-sebagai-pelestari-perseteruan-antara-aremaniadengan-bonek-mania-bagian-dua pada 17 maret 2016. Onong Uchjana Effendy, 1990. (dalam Victor Silaen. 2005). AS, Indonesia, dan Koalisi Global: Memerangi Jejaring Teroris Internasional Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 4 No. I September 2005: 28 – 48. Jhon Psilopatis. 2000. Aremania: Dari Latarbelakang Holiganisme ke para suporter sepakbola teladan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Hal1. Setyowati, Rr. Nanik. 2014. Perilaku Kekerasan Suporter Bonek dalam Perspektif Subkultur Kekerasan. Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: PPs Universitas Airlangga Surabaya. Hal 35. Bestari. 2001.”Aremania Junjung Suportivitas” Artikel, no 156. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Kompas. 2002. Aremania sebuah gerakan Rakyat. Setyowati, Rr. Nanik. 2014. Perilaku Kekerasan Suporter Bonek dalam Perspektif Subkultur Kekerasan. Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: PPs Universitas Airlangga Surabaya. Hal 35. Mochamad Alfa Hasym & Arif Affandi. 2015. Jaringan Sosial Bonek Malang Raya. Jurnal Paradigma. 11


Rodney Westerlaken

History in Cultural Studies. War excesses in the former Dutch Indies. Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.1: 12-17

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Research Report

History in Cultural Studies. War excesses in the former Dutch Indies Rodney Westerlaken* Stenden University Bali

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 11 Oktober 2016 Direvisi 18 Oktober 2016 Diterima 9 November 2016 Kata Kunci:

Abstrak Currently the excesses of the colonial war between The Netherlands and Indonesia in the former Dutch Indies are bein re-evaluated and interpreted in The Netherlands. More and more reports, photos and confessions appear showing a different truth than the one that is generally accepted in The Netherlands. Marx said that people make history, but never in conditions of their own making. This essay evaluates the perspective of cultural studies in a historical context.

The Netherlands Rawagede Excessennota War crimes History

1. Introduction On August 17, 1945, in the aftermath of the Second World War, the Dutch was confronted with the independence declaration by Sukarno and Hatta.

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Published by An1mage. All rights reserved.

The Dutch government decided to form an army to restore order and peace in Nederlandsch Indië. Since autumn 1944, when the south of the Netherlands was liberated from the Germans, soldiers were recruited to free Nederlandsch Indië from the Japanese and to restore order, and to impose another progressive form of decolonization [1,3,5,6,7]. When the Dutch soldiers arrived in Indonesia, a political solution seemed to be close. Under British pressure and mediating, an agreement (the agreement of Linggadjati) was signed between delegations of the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands for a gradual independence of Indonesia [1,8].

Figure 1: Sukarno declares the independence of Indonesia on the 17th of August 19451.

In September 1945, the British landed on Java and Sumatra to disarm the Japanese forces and to reinforce the Dutch governance in the colony. In independent Indonesia revolutionary forces stood up and wanted to defend their recently gained independence. After a battle by Surabaya (Java) between the British and the Indonesian revolutionary forces the British decided to accept the existence of the Republik Indonesia and to cooperate with its government [1,2,3,4,5].

∗ Peneliti koresponden: Stenden University, Bali. Email: rodneywesterlaken@gmail.com 1

http://gratisia.co.cc/wp-content/uploads/2009/02/proklamasi_indonesia.jpg

After a disagreement with the Dutch government about the implications of the agreement, it was terminated in July 1947. This resulted in a war. In the terminology of the Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) these were politional actions. [6,7,8].

Figure 2: Signing of the agreement of Linggadjati, on the photo Sutan Sjahrir (left) and W. Schermerhorn.2

2

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

http://www.geschiedenis.nl/art/uploads/image/st/scherm1.JPG

12


Rodney Westerlaken

History in Cultural Studies. War excesses in the former Dutch Indies.

Units of the royal navy and the Dutch Royal land forces, together with thousands of volunteers and ten thousand of conscripts of the Dutch started fighting against the army of the Republic Indonesia and other operating Indonesian forces.

On January 21, 1969, the chairman of the Dutch Lower House send an letter to the Prime Minister de Jong of the Netherlands wherein he requested to present a nota to the Lower House with all the known facts about possible misdeeds of Dutch soldiers in Indonesia [1,6,14].

The actions led to a guerrilla war wherein Indonesian forces were helped by the sympathizing civilians to create a situation that made it difficult to impossible to control the area by the Dutch army. This situation caused war excesses on both sides [1,6].

On January 29, 1969, Prime Minister de Jong answered positively and stated that misdeeds done by Dutch soldiers before the sovereignty transfer should be made clear as much as possible [1,2].

Dutch soldiers were already mentioning the guerrilla war in the letters that they send to their family and friends in the Netherlands, which led to the first debates in the Dutch parliament about war excesses in Indonesia [1,3]. In 1949, the Dutch military leadership started to recognize that this guerrilla war was impossible to win. On December 27, 1949, the sovereignty declaration was signed and Indonesia became independent (see figure 3). One of the parts of the sovereignty declaration was that there would be a mutual amnesty for all of those who committed war crimes [1,3,4].

Figure 3: Signing of the sovereignty declaration.3

2. Research After the return of the soldiers from Indonesia, almost nobody spoke about the war crimes committed by the Dutch in Indonesia until January 17, 1969. Psychologist and physiologist Dr. J.E. Hueting gave an interview in an opinion programme on television about torture of Indonesian citizens, murders of war prisoners and committed violence against the civilian population. Hueting was a conscript soldier send to Indonesia in 1947 [1,6,9,10,11]. This interview created a shock wave in the public opinion. Hueting was accused of lies by former comrades; other comrades confirmed his stories [1,12]. On the occasion of the interview with Hueting questions were asked in the Dutch Lower House by the leader of the opposition: J.M. den Uyl [14]. He asked for an overview of the government known facts of war crimes [1,6,14].

3

http://deoorlog.nps.nl/upload/overdracht.jpg Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

The research was entrusted to a steering group of secretarygenerals of the ministries of general affairs, defence, justice, foreign affairs, education and science and internal affairs. The President was Mr. A.J.M. van Nispen tot Pannerden, secretary-general of the ministry internal affairs. This steering group used the findings of an interdepartmental commission: the Coordinatiegroep Indonesië 1945-1950. President of this group was Mr. E.J. Korthals Altes; its secretary was a jurist and historian C. Fasseur [1,2]. In addition, the government asked Mr. N.S. Blom, former director of Justice in the Dutch Indies and former Secretary General of Foreign Affairs, to write a report about responsibilities and authority relationships. What orders did the military commanders gave, what was the view and attitude of the Dutch Indies government, what is reported to the government in The Hague, what were the indications of the government in The Hague to Batavia, and which orders were received by lower commanders was the thought behind this research [1,14]. The research was based on 49 official and private archives with an estimated length of 1814 meter. It was based on the departmental archives, court martial records, from private collections coming (in the State Archives) registered papers, press documentation, the archives of the board of mission of the Dutch Reformed Church, and information by individuals, in particular Dr. J.E. Hueting and Ds. H.A.C. Hildering. The archives of the military auditions could not be used, as Dutch officials destroyed them before they left Indonesia. Restricted collections with an individual embargo were considered not relevant for this research [1]. 3. The excessen nota For cases that proved to be important, a list was compiled. The list was divided in two groups: violence and looting. This list counted 500 á 600 cases. The other 10.000 investigated cases concern violations against discipline, traffic offenses, commune property offenses, so matters that are entirely outside the examination of the research. Save for a few exceptions the violence cases, 141 in total, were worse than the looting cases. On many occasions, which were leading to a verdict, the looting cases were, for example, taking an object with a small value, a piece of clothing or a

13


Rodney Westerlaken

small amount of money. Therefore, the cases of looting are not published in the excessen nota [1, 15]. Doorn and Hendrix, state in their book Het Nederlands / Indonesisch conflict, ontsporing van geweld that a total of 110 cases are listed for assault, murder, manslaughter and severe or mild abuse. They exclude here on 19 sex crimes, 11 cases of robbery and 5 cases where its motives are unclear, and then they kept about 75 cases, apparently relating to the military function. Here are 54 cases of murder or manslaughter. Over this we isolate 9 cases with mixed or personal reasons, and then we have 45 cases (60%) of homicide, with evidence showing the existence of police actions [16]. . There are six cases of deaths of prisoners due to a hearing. There are 12 cases of slain, and 3 cases of incitement of the slain, in all cases the violators were those who exercise direct power over their victims. In 8 cases prisoners were killed during monitoring. There are 9 cases where jurisdiction is unclear. Finally, there are 10 cases of deaths of civilians caused by 'trigger speed' or other weapon use. In the case of abuse they conclude that 11 cases of abuse took place during interrogations, while in 7 cases suspected to occur are made. In 1 of the 7 cases we speak of abuse of power [16]. The disclosure of the results of the research was questioned by the government. On one hand, a disclosure could give exposure for the positive actions of the Dutch forces and it will give a complete picture of the political relationships and responsibilities. The government preferred this, but the government also realised that this would cost years of meticulous historical research. The government decided that in the shortest period possible as much as closure should be given about possible war crimes [1]. 4. Results The research team presented the result of their research on June 2, 1969 to the Dutch Lower House. Their nota came with 15 appendices, a newspaper research done by the Rijksvoorlichtingsdienst4 and a reprint of a chronological overview of the development of the Indonesian issue in national and international political relationships in 1948 and 1949 [1]. After the excessennota was presented, it received three main points of critics: Dubiety about the completeness Discussion about the system of the violation excesses Applying of the concept war crimes The gouvernement of Minister President de Jong made a statement about the incompleteness: ‘uiteraard is het

4

Government Information Service Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

History in Cultural Studies. War excesses in the former Dutch Indies.

feitenmateriaal waarover thans nog kan worden beschikt onvolledig, doch een voldoende indruk over de aard en omvang van de excessen kan er wel uit worden verkregen5’ [1]. After the presentation of the excessen nota the Dutch government acknowledged that the Dutch military forces had surrendered themselves to violent excesses, but that those excesses should be understood in a situation of unregulated guerrilla, in which Indonesian ambushes and terror provoked acts of contra terror. The actions of the Dutch were sometimes degenerated, but there was no systematic campaign of violation excesses [1]. 5. Terminology In the discussion after January 1969, different words were used to the behavior of the Dutch soldiers in the former Dutch Indies [1,13]. The confusion started already when the research was about to be started; what should be researched? The response of the Dutch Lower House was that the researchers should think in the broadest sense of the words misdeeds and excesses [1]. Hueting used the word oorlogsmisdaden, war crimes. The Prime Minister spoke about excessen, excesses, while the Chairman of the Lower House spoke about wandaden, misdeeds. L de Jong, a well-known historian and author of the series Het koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog spoke about oorlogsmisdrijven, which in English has the same meaning as war crimes [1,14]. Prime Minister de Jong choose not to use the term war crimes in the end version of the excessennota. He stated that the term war crimes was related to the systematic and over a broad front convicted war crimes by Germany and Japan and that it had a huge emotional load. If the term was used, de Jong stated, it will immediately raise the question whether those who convicted the war crimes were yet punished. He chooses the word excess, because from his point of view, the war crimes were an exception to the rule of proper behaviour [1,14,17]. 6. Rawagede On December 9, 1947, the Dutch forces established a massacre in Rawagede. Due to a recent claim for compensation from the villagers of Rawagede to the Dutch government, the Dutch media regularly pick up this case.

5 "Of course, the evidence which is currently available may be incomplete, but an adequate impression of the nature and extent of the excesses may well be derived from it '

14


Rodney Westerlaken

In the excessennota the case of Rawagede is just one of the cases. In appendices 5 it is stated that: December 9, 1947 Rawagede (regency Krawang, West Java) Without any process executing 20 by the Dutch detained Indonesians. Two archives are used to investigate this excess: Archive of the ministry of Foreign Affairs Archive Attorney General After a complaint of the Republican state observers of the Commissie van Goede Diensten of the U.N. committed an on-site investigation. They came with a report on January 12, 1947 to the conclusion that in the area of Rawagede an underground movement was being established, with Rawagede as a center. The oriented action against Rawagede by the Dutch forces was called deliberate and ruthless in a report. At first sight the Dutch denied the massacre, but during the investigation, it was admitted that some prisoners were executed without any interrogation or process. During and after the actions no weapons were found in the kampong. According to the Dutch there were 150 Indonesian casualties. On the Dutch side there were no casualties. The Major, who had led the operation and enforcement of the execution, a total of twenty, was after consultations between the Army Commander and the Attorney General, not persecuted for reasons of expediency [1]. 7. Komite Utang Kehormatan Belanda Komite Utang Kehormatan Belanda was founded on May 5, 2005. K.U.K.B. exists in Indonesia and the Netherlands. On April 4, 2007, the committee became a foundation in the Netherlands. The foundation is non-subsidized and independent. K.U.K.B. represented the interests of the (Indonesian) civilian casualties under the Dutch colonial period, which have suffered the violence of war crimes committed by the Dutch military. A recognition and apology from the Dutch government to the Indonesian victims, recognition of the war damage, looting, restitution and the suffering that the people of Indonesia have undergone is the target of the foundation. The case of Rawagede has, as single massacre, a special section the website of K.U.K.B. In an article on their website facts are stated that can be compared with the facts in the excessennota. The findings are mainly based on a former secret folder, named folder 1304, which can be found in National Dutch Archives. This folder was composed of the research for the excessennota in 1969. The massacre was perpetrated by Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

History in Cultural Studies. War excesses in the former Dutch Indies.

conscripted foot soldiers. That was remarkable, because many other war crimes were the work of hardened professional soldiers of the Royal Dutch East Indies Army (KNIL) and the special units. The divisions of conscripts were named Tentara Susu, "the soft army”. They were friendly to the Indonesian people and more critical in relation to the colonial policy than other troops. In the war diary of the unit, found in folder 1304, that cleared Rawagede the action is mentioned briefly. The company used a cleansing operation against Rawahgede. On the enemy side were 150 deaths counted. 8 persons were imprisoned. It is said that the compound was found to be completely Republican, which turned out to red-white flags with which several houses were decorated and documents and articles found on the slain opponents. A memorandum, found in folder 1304, prepared by an employee of the Attorney General to the Supreme Court in Batavia stated that the mission of the company was 'Ruim weerstand Rawagede op’. It describes how the Dutch 8 or 9 times executed twelve men and just beyond the village another 7 to 10 persons. It is therefore 100 to 120 liquidations instead of 20 liquidations mentioned in the excessennota. Is there a cover-up? K.U.B.K claims that, based on their research in folder 1304, the hedge immediately began. They claim that the message in the war diary of the unit was written long after the killings, and that it was most likely misleading. A found document describes that the major who led the company was ordered from his commander to remain silent. He had to deny everything at an inquiry by the United Nations. The Netherlands denied the high death toll claimed by the Indonesians (more than 430 men) and stuck to his own 150 deaths. That would have fallen by shootings, was the suggestion. The Netherlands finally admitted that there were four prisoners of war executed. The liquidation of another seven was denied. The UN report from 1948, calls the action nevertheless "deliberate and ruthless' as is also mentioned in the excessennota. Harm Scholtens, the writer of a doctoral thesis at the University of Groningen about Rawagede claims that the number of 20 liquidations seems to be invented and that he does not know where this number comes from. His research emerges a picture of a cold mass extermination. Probably the unit was surprised by the finding of more than 100 men who they suspected that they were fighters who had thrown away their weapons.

15


Rodney Westerlaken

To take the men with them was too dangerous: they were more numerous than the Dutch and ambushes threatened them everywhere. Let them go possibly meant that they soon would be back, armed and well. Liquidation seemed to be the best option, the unit may have thought. This happened often, but it is not known at this scale [18]. The K.U.B.K. also claims, based on research on folder 1304, that there has been a correspondence between Army Commander Spoor, who was responsible for the prosecution of soldiers, and Attorney General Felderhof. Spoor doubts in this letter whether he should prosecute the responsible major or not. Felderhof recommends to Spoor to dismiss the matter as "any foreign interference and interest is gone." The UN after writing their report, in which is spoken of only 4 executions no longer interested in the massacre. Finally the K.U.B.K. states on her website that more evidence of a cover-up is, that the document on executions is based on an entire file on Rawagede that was sent by Army Commander Spoor to Attorney General Felderhof. That file is gone. Harm Scholtens searched many archives, indexes, even in the personal archives of the Army Commander Spoor. The K.U.B.K. Asks herself on its website: Is the (short) paper on the executions in folder 1304 overlooked in the destruction of evidence? 8. Recent developments In 1995 a documentary was broadcasted about Rawagede. The documentary makers spoke with survivors and relatives in the village of Rawagede. Especially the testimony of an old woman went through the bone. In a trembling voice she tells how she found her husband and son among the corpses and took them back. According to the documentary makers 431 men, from young to old, summarily were executed. There were questions in the Dutch Lower House by Blaauw (VVD), Hillen (CDA), Dijksma (PvdA) en Roethof (D66), because what about those 20 liquidations in the excessennota? Was that the truth? At the request of the Minister of Justice Winnie Sorgdrager the prosecutor in Arnhem did a preliminary investigation. According to the prosecution there were simply different interpretations of the events in Rawagede. Moreover, the perpetrators are not to be prosecuted, said the minister. War crimes do not expire, but the parliament made an exception for the Dutch troops in Indonesia between 1945 and 1950 [19]. As said before the case of Rawagede is covered in several articles in the media recently. Most articles bring the story of the massacre, which is similar to the history as covered by foundation K.U.K.B. The reason for the renewed attention

History in Cultural Studies. War excesses in the former Dutch Indies.

for Rawagede is the claim from the survivors for recognition, an apology and financial compensation from the Dutch state. The plaintiffs are seven widows, among them the daughter of one victim and the foundation K.U.K.B. who is protecting their interests. The tenth plaintiff, Sakam Bin Saih, was still a young man at the time of the massacre. He hid for the Dutch soldiers, but was found and transported and, with other men, lined up and shot from behind. Sakam were seriously injured, his father and brother were killed. The lawyer representing the relatives, Mr. Liesbeth Zegveld, says that the claim is not only about compensation. They want above all that the Netherlands will take responsibility for their suffering. On November 24, 2008 it came clear that the Dutch government is not willing to pay compensation to the plaintiffs. According to the Dutch state advocate the issue is barred. This appears from a letter from the state advocate to the lawyers of nine survivors and a survivor. Minister of Foreign Affairs Ben Bot and the Dutch ambassador van Dam expressed deep regret on behalf of the government about the painful and violent way in Indonesia’s struggle for independence. Het Parool stated on September 8, 2008, that because both the Indonesian and Dutch government argued that a discussion of compensation is not an issue. It was arranged earlier in 1966 in the Financial Agreement. This was the settlement of disputes over the separation of the Netherlands and Indonesia [20]. Finally, on December 5, 2011 the Dutch government decided to give formal excuses and a compensation of 20.000 euro per person to the victims of Rawagede [21].

Figure 4: Rawagede.6

9. The Perception of Cultural Studies The interpretation of historical facts in wartime is ambiguous. There are definitely two sides of a story, such as in the above described case of Rawagede. Survivors of war crimes in the former Dutch Indies want recognition, apology and financial compensation, as war crimes never expire.

6

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

https://history1978.files.wordpress.com/2011/12/rawagede.jpg

16


Rodney Westerlaken

Marx said that people make history, but never in conditions of their own making. He meant that the ability to create new stories, and with that to remake the world is always constrained and enabled by the specific political, economic, historic circumstances in which we were born [22]. Grossberg says that the beginnings of the stories we tell are always the endings of other stories that we have not bothered to tell. We always enter the conservation in mid-sentence [22]. Jrank.org says ‘if people make history—but within conditions not of their own devising—cultural studies explores the ways this process is enacted with and through cultural practices, and studies the place of such practices within specific historical formations. Cultural studies explore the historical possibilities of transforming people's lives by trying to understand the relationships of power within which individual realities are constructed. That is, it seeks to understand not only the organizations of power, but also the possibilities of survival, struggle, resistance, and change. It takes contestation for granted, not as a reality in every instance, but as an assumption necessary for the existence of critical work, political opposition, and even historical change’ [23].

History in Cultural Studies. War excesses in the former Dutch Indies.

[4] [5] [6] [7]

[8]

[9] [10]

[11]

[12]

Micheal Pickering argues that historical science and cultural studies should complement each other and that engaging with history should be a key aspect of doing cultural studies, and vice versa [24]. The case of Rawagede describes the historical possibilities that transformed people’s lives. Due to a very small male population in the village the villagers remained poor till recent days. Of course the horror of the war crimes in the village has left its trails. The relationships of power are changing, which makes this case very interesting in the perspective of cultural studies. The realm of power changed after the Dutch government finally agreed to pay war reparations and with that possibly made a precedent to other villages or persons affected by war crimes in Indonesia. We can conclude from what’s written above that the excessennota is far from complete and that unexpected claims might come up. The case of Rawagede might change history and raise awareness in The Netherlands as well in Indonesia for a history rewritten.

[13] [14] [15]

[16]

[17] [18]

[19] [20] [21] [22] [23] [24]

[3] Groen, P.M.H. 1991. Marsroutes en dwaalsporen. Dissertation Loebis, Aboe Bakar. 1995. Agresi Militer Belanda, Pusat Dokumentasi Politik, Jakarta Teitler G., Hoffenaar J. 1998. De Politionele Acties, De Bataafsche Leeuw, Amsterdam/Dieren Liempt, van A. 2003. Andere tijden, nieuwe inzichten in oude kwesties, Uitgeverij L.J. van Veen, Amsterdam/Antwerpen Teitler G., Hoffenaar J. 1998. De Politionele Acties, afwikkeling en verwerking, De Bataafsche Leeuw, Amsterdam/Dieren Oostindie G., Klinkers I. 2001. Knellende Koninkrijksbanden: Het Nederlandse dekolonisatiebeleid, Amsterdam University Press, Amsterdam Doel vd H.W. 1996. Het rijk van Insulinde, Uitgeverij Promotheus, Amsterdam. Gouda F. 1995. Dutch cultures overseas: praktik kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942, Dabar / Boekmakerij Luijten, Aalsmeer Malcontent P.A.M. 1998. Op kruistocht in de derde wereld, de reacties van de Nederlandse regering op ernstige en stelselmatige schendingen van mensenrechten in ontwikkelingslanden 1973-1982, Uitgeverij Verloren, Hilversum Knigge, V., Frei N.,Schweitzer A. 2002. Verbrechen erinnern. Die Auseinandersetzung mit Holocaust und Völkermord, Beck, München Born, vd Karin, et all. 2002. De excessennota, in: Andere tijden, nieuwe inzichten in oude kwesties. Veen, Amsterdam. Jong, de Louis. 1991. Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog SDU uitgeverij, Den Haag. Colombijn, F. and Lindblad, J.T. 2002. Roots of violence in Indonesia: contemporary violence in historical perspective, Institute of Southeast Asian Studies, Leiden. Doorn, van JAA and Hendrix W.J. 1985. Het Nederlands / Indonesisch conflict, ontsporing van geweld, De Bataafsche Leeuw, Amsterdam/Dieren http://www.volkskrant.nl Scholten, H.H. 2007. Rawahgede, 9 December 1947. Een nieuwe Nederlandse versie? Published under own administration. http://www.kukb.nl/new/detail.php?id=44 http://www.parool.nl/ http://nos.nl/artikel/319419-excuses-en-schadevergoedingrawagede.html Partner, N and Foot, S. 2013. The SAGE handbook of Historical Theory. Sage publishing, London http://science.jrank.org/pages/8911/Cultural-StudiesFormations-Cultural-Studies.html#ixzz4MkRhPxRg Pickering, M. 2008. Research Methods for Cultural Studies. Edingburgh University Press, Edingburgh

It is needed that, while eyewitnesses are still alive, further research is done the soonest, so history can be altered and can be done justice. References [1] [2]

Bank, Jan. 1995. De Excessennota, SDU uitgeverij, Den Haag Glissenaar, Jan. 1992. Terug naar Java, in het spoor van de poltionele acties, Dabar / Boekmakerij Luijten, Aalsmeer

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

17


Wisata Militer Taebaek dari Drama Descendats of The Sun Korea Selatan

Lidwina Hana

Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.1: 18–21

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Wisata Militer Taebaek dari Drama Descendants of The Sun Korea Selatan Lidwina Hana* An1mage/ Universitas Udayana

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 21 November 2016 Direvisi 29 November 2016 Diterima 3 Desember 2016 Kata Kunci: Wisata Drama Korea Selatan Descendants of The Sun Hallyu Korean Wave Budaya Pop

Abstrak Promosi pariwisata biasanya dilakukan dengan menonjolkan keindahan alam atau tradisi yang sifatnya turun-temurun dari lokasi yang dipasarkan. Namun berbeda dengan Korea Selatan, magnet wisata justru menarik wisatawan mancanegara lewat drama. Salah satu drama terpopuler tahun 2016 adalah Descendants of The Sun. Drama ini menceritakan kisah percintaan antara tentara Korea Selatan Selatan Yoo Shi Jin (Song Joong Ki) dan dokter Kang Mo Yeon(Song Hye Kyo) yang sama-sama terlibat dalam tugas kemanusiaan dalam perang fiksi di negara Uruk. Penelitian ini melihat drama sebagai media penyebaran informasi yang tidak netral. Drama Descendants of The Sun sebagai bagian dari budaya pop dipandang sebagai agen konstruksi yang menyelipkan nilainilai dan pencitraan dalam kontennya yang memberikan dampak yang signifikan bagi Hallyu atau Korean Wave yang kemudian mendongkrak kunjungan turis ke Korea Selatan.

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Sebelum adanya gelombang Hallyu, Korea Selatan bukanlah negara favorit untuk berwisata di Area Asia, apalagi jika mengingat perang antara Korea Utara dan Korea Selatan yang berlangsung 5 Juni 1950-27 Juli 1953.

Di Indonesia sendiri, Hallyu dimulai sekitar tahun 2002 yakni saat televisi lokal menayangkan “Winter Sonata” dan “Endless Love.” Hal ini tidak terlepas dari harga drama televisi Korea Selatan yang lebih murah dari drama produksi asal Jepang dan Hong Kong [3].

Tahun 1960-an Majalah Time menyatakan Korea Selatan lebih miskin dari Irak, Liberia, dan Zimbabwe. Mereka baru selesai perang dengan Korea Utara dan tidak punya sumber daya alam yang signifikan dan melimpah [1].

Drama merupakan produk budaya populer, di mana budaya pop adalah ”budaya massa”, budaya yang diproduksi massa untuk konsumsi massa.

Kini Korea Selatan telah menjelma menjadi salah satu negara industri maju. Salah satu industri Korea yang mampu menembus pasar internasional adalah industri hiburan, industri yang membuat Hallyu menjadi global. Hallyu atau Korean Wave adalah istilah yang diberikan atas tersebarnya budaya pop Korea secara global. Hallyu memicu banyak orang untuk mempelajari bahasa dan kebudayaan dari Korea. Istilah Korean Waves muncul pertengahan tahun 1999 oleh pers China yang terkejut dengan adanya gelombang kepopuleran produk budaya Korea Selatan di kalangan muda China. Pers China mengungkapkan bahwa ledakan “Korean Wave” dimulai pada saat drama korea memasuki China pada akhir tahun 1990-an [2]. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Seiring penyebaran budaya populer rasa ketertarikan penikmat Drama Korea terhadap Budaya Korea meningkat. Ketertarikan yang telah dibangun lewat industri hiburan kemudian dikemas dengan tema Hallyu Tourism yang merupakan pariwisata yang berkaitan erat dengan kontenkonten Hallyu. Misalnya kunjugan ke tempat-tempat yang dijadikan lokasi syuting drama di Korea. Salah satu drama dari Korea yang populer di tahun 2016 adalah Descendants of The Sun. Drama ini menceritakan kisah percintaan antara seorang kapten tentara dari Korea Selatan Selatan Yoo Shi Jin (Song Joong Ki) dan dokter Kang Mo Yeon (Song Hye Kyo) yang sama-sama terlibat dalam tugas kemanusiaan dalam perang fiksi di Negara Uruk.

18


Lidwina Hana

Seiring dengan kesuksesannya, tempat shooting drama ini menjadi dikenal, bahkan dicari oleh wisatawan domestik juga asing. Lantas bagaimana budaya pop, di sini Drama Descendants of The Sun dapat menghegemoni penggemarnya untuk berkunjung ke Korea Selatan dan menginginkan wisata ala militer? 2. Descendants of The Sun Descendants of The Sun tayang perdana di Korea Selatan pada 24 Februari 2016. Total episode drama ini berjumlah 16 dan berakhir pada Kamis 14 April 2016. Di Korea Selatan sendiri Descendants of The Sun berhasil meraih rating sebesar 38,8% untuk episode terakhirnya [4].

Wisata Militer Taebaek dari Drama Descendats of The Sun Korea Selatan

Di antaranya Inggris, Prancis, Italia, Jerman, Romania, Swedia, Spanyol, Polandia, Belgia, Belanda, Rusia, Austria, Finlandia, Turki, Saudi Arabia, United Emirat Arab, Iran, Taiwan, Hong Kong, Filipina, Myanmar, Vietnam, Kamboja, AS dan Singapura [6]. Juga telah diterjemahkan ke 32 bahasa dalam layanan situs video streaming AS Viki [7]. Sejak penayangan Descendants of The Sun, lokasi shooting drama seperti Hanbo Mine di Taebaek, Samtan Art Mine di Jeongseon, Perkemahan Militer di area Gyeonggi, hingga kafe dal.komm coffee mulai dikunjungi wisatawan.

Citra 2. Korea tawarkan paket wisata “Descendants of the Sun” Sumber : antaranews.com diakses Sabtu, 17 September 2016 [8]

Sebelumnya tidak banyak masyarakat yang tahu potensi wisata Taebaek. Namun setelah digunakan sebagai lokasi syuting drama, daerah ini dibanjiri wisatawan.

Citra 1. Poster Descendants of The Sun Sumber : asianwiki.com diakses Sabtu, 17 September 2016 [5]

Descendants of The Sun awalnya ditolak karena mengangkat tema perang dan bencana yang diperkirakan tidak akan menyerap banyak brand placement. Terlebih adanya lokasi syuting di luar Korea Selatan membuat ongkos produksi kian melambung. Sponsor yang minim, biaya produksi yang tinggi tentunya tidak begitu menarik bagi stasiun televisi. Namun siapa sangka, tema percintaan di antara perang dan bencana ternyata diminati penonton. Tidak hanya di Korea Selatan, Descendants of The Sun per Maret 2016 telah diekspor ke 27 negara.

Taebaek berjarak kurang lebih 271 km sebelah Timur dari Seoul. Bekas tambang ini dijadikan lokasi syuting pusat medis medicube dan pangkalan militer di negara fiktif Urk dalam drama. Setting-nya sudah dirobohkan begitu proses syuting selesai. Namun karena permintaan wisata ke daerah tersebut cukup tinggi, maka pemerintah melakukan renovasi. Melihat banyaknya wisatawan yang berkunjung, Walikota Taebaek berdiskusi dengan kementrian kebudayaan, pariwisata dan olahraga juga dengan Organisasi Wisata Korea untuk membenahi daerah tersebut sebagai objek wisata baru. Rencananya di tahun 2018, Kota Taebaek akan untuk menyuntikkan dana sebanyak 13,1 milyar won untuk membangun restoran, penyimpanan makanan fermentasi, replika fasilitas tambang, dan sebidang taman di sana [9].

∗ Peneliti koresponden: An1mage | Universitas Udayana. Kampus Bukit Jimbaran, BadungBali 80361 Mobile: +6285814894988 | E-mail: lidwinahana@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

19


Lidwina Hana

 Wisata Militer Taebaek dari Drama Descendats of The Sun Korea Selatan

Citra 3. Pangkalan Militer Taebaek dan Medicube “Descendants of the Sun� Sumber : zetizen.com diakses Sabtu, 17 September 2016 [10]

Citra 5. Gambar pengunjung yang tengah mencoba wisata militer Sumber : yonhapnews.co.kr diakses Sabtu, 17 September 2016 [12]

Namun berbeda dengan Korea Selatan yang menciptakan destinasi wisata melalui budaya pop, salah satunya melalui drama Descendants of The Sun. Sama seperti dramanya yang sempat diragukan akan menarik banyak minat pemirsa, banyak pihak tidak menyangka, drama bertema perang dan bencana, dapat menarik wisatawan ke lokasi syutingnya. Terbukti dengan pihak produksi yang meruntuhkan setting di lokasi setelah syuting selesai. Citra 4. Lebih dari 20.000 Orang Sudah Mengunjungi Set Descendants of the Sun Sumber : tempo.co Sabtu, 17 September 2016 [11]

Selama 11 hari, dimulai tanggal 1 Agustus 2016, sebanyak 7.810 turis mengunjungi Taebaek. Pada saat Taebaek dibuka secara resmi, jumlah kunjungan melonjak 66%, yakni 12.997. Sehingga pengunjung Taebaek selama bulan Agustus 2016 sudah lebih dari 20.000 orang.

Nuansa militer sendiri memang melekat di Korea Selatan. Wajib militer hingga sekarang diwajibkan untuk warga negara khususnya laki-laki yang berusia antara 18 dan 35 tahun dengan lama kurang lebih dua tahun. Demam drama dari Korea Selatan menjadi latar belakang Hallyu Tours di mana wisatawan dapat mengunjungi lokasilokasi syuting film.

Dalam wisata militer berbasis drama Descendants of The Sun, pengunjung dapat menjelajahi perkemahan militer, termasuk barak kesehatan Dokter Kang Mo Yeon dengan menggunakan seragam ala tentara di area pangkalan atau pakaian perawat relawan di medicube. Di sana juga terdapat berbagai properti seperti helm anti peluru, senjata, seragam tempur, bahkan kendaraan militer seperti truk dan helikopter.

Seperti yang dinyatakan Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966) menyebutkan media adalah agen konstruksi. Media tidak dilihat murni sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita. Media memilih realitas mana yang diambil dan mana yang tidak diambil. [13]

3. Diskusi Destinasi pariwisata biasanya mempromosikan keindahan alam lokasi yang bersangkutan, dapat juga wisata budaya yang sifatnya tradisi turun-temurun.

Pihak produksi drama dapat melakukan konstruksi realitas mengenai bagaimana konten dari drama yang dibuatnya. Mereka menentukan arah ke mana Citra Korea Selatan hendak dituju.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

20


Lidwina Hana

Drama Korea Selatan mampu membentu citra positif secara nasional baik dari segi politik, sosial, dan ekonomi. Melalui drama, Korea Selatan sebagai negara yang maju dan menarik, modis dan dinamis. Sehingga Drama Korea tidak dapat dipandang sebagai media penyebaran yang bersifa netral karena tidak menceritakan Korea Selatan apa adanya. Drama Korea dengan sengaja membentuk realitas tertentu mengenai Korea Selatan. Kemudian juga menjadi media pengenalan terhadap gaya hidup Korea secara global. Ujungnya, banyak orang yang ingin berwisata ke Korea Selatan karena kecintaan mereka pada program televisi juga hiburan yang dikonsumsi masyarakat di media online. Dengan demikian, Drama Korea turut berperan dalam mempromosikan pariwisata Negara Korea. Juga memberikan pemahaman mengenai Korea sendiri. Drama Korea terbukti mampu menciptakan tren. Selain berhasil memengaruhi minat masyarakat internasional untuk berwisata ke Korea, minat untuk mempelajari Bahasa dan Budaya Korea, juga minat penggunaan produk-produk dari Korea menjadi meningkat. Fenomena ini menunjukkan kekuatan media, di sini Drama Descendants of The Sun, dalam menghegemoni penikmatnya untuk memuja Korea Selatan.

 Wisata Militer Taebaek dari Drama Descendats of The Sun Korea Selatan

Referensi [1] Detik.com/inet/read/2014/07/16/095838/2638433/398/koreaselatan-dulu-lebih-miskin-dari-zimbabwe [2] Lee, S. (2011). The Korean Wave: The Seoul of Asia. The Elon Journal of Undergraduate Research in Communications Vol. 2, No. 13. [3] Lee, S (2003). ‘Seoul Survivor’ (ketahanan korea) Straits Times 8 April. [4] Solopos.com/2016/04/15/descendants-of-the-sun-wow-ratingepisode-terakhir-descendants-of-the-sun-pecahkan-rekor710687 [5] Asianwiki.com/Descendants_of_the_Sun [6] Tempo.co/read/news/2016/03/27/111757209/descendants-ofthe-sun-drama-korea-yang-laris-di-27-negara [7] Antaranews.com/berita/551654/drama-korsel-descendants-ofthe-sun-diekspor-ke-27-negara [8] Antaranews.com/berita/575481/korea-tawarkan-paket-wisatadescendants-of-the-sun [9] Korea.iyaa.com/article/2016/08/lokasi-syuting-descendantsof-the-sun-di-taebaek-telah-dibuka-sebagai-atraksi-wisata3476812.html [10] Zetizen.com [11] https://m.tempo.co/read/news/2016/08/29/243799936/kotataebek-descendants-of-the-sun-mendadak-banjir-turis [12] Yonhapnews.co.kr [13] Berger. Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise inthe Sociological of Knowledge. NY: Anchor Nooks.

Pihak Korea Selatan berada diposisi dominan sebagai pencipta dan penentu kiblat tren, sementara masyarakat penikmat drama sebagai kelompok subordinat mendukung apa yang ditentukan oleh Korea Selatan sebagai tren. 4. Konklusi Promosi wisata tidak hanya dapat dilakukan dengan cara konvensional, juga tidak hanya terpaku pada keindahan alam yang sifatnya alami atau berdasar budaya yang sifatnya tradisional. Secara postmodern, promosi pariwisata dapat dilakukan dengan penyebaran budaya pop seperti yang dilakukan Korea Selatan. Descendants of The Sun mampu menyulap area bekas tambang yang mungkin saja mulanya suram dan tidak menarik bagi wisatawan, menjadi salah satu destinasi wisata berbasis Hallyu Tour yang diminati, tidak hanya bagi turis di Korea Selatan, tapi juga turis internasional. Ucapan Terima Kasih Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada An1mage karena telah mengundang saya untuk menulis artikel ini. Juga kepada M.S. Gumelar yang banyak memberikan umpan balik sehingga lebih menyempurnakan artikel ini.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

21


Michael Sega Gumelar

Mitos-mitos dalam Hak Cipta di Indonesia…. Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.1: 22–27

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Mitos dalam Hak Cipta di Indonesia: Antara Idealisme dan Kenyataan Michael Sega Gumelar* An1mage/ Universitas Udayana/Universitas Surya/ Perguruan Tinggi Keling Kumang, Komunitas Studi Kultural, Serikat Dosen Indonesia, i-komik

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 27 November 2016 Direvisi 29 November 2016 Diterima 6 Desember 2016 Kata Kunci: Hak Cipta Authorship Copyright

Abstrak Hak cipta dipahami dengan banyak versi dan bahkan menjadi mitos-mitos yang membuat para pembuat karya menjadi ketakutan dan tidak mengerti apa sesungguhnya yang disebut hak cipta di Indonesia, sehingga hak cipta persepsi kenyataannya jauh berbeda dengan persepsi kebanyakan orang awam. Di sini akan dijelaskan apa hak cipta itu sesungguhnya serta kekeliruan apa yang terjadi di pemahaman masyarakat di Idnonesia tentang hak cipta sehingga tercipta mitos-mitos yang kini beredar dan dianggap sebagai kebenaran dan usulan dari penulis untuk membuat simbol baru bagi hak cipta (authorship) dengan hak copy (copyright).

Mitos

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Hak cipta menurut Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menyatakan “Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” [1]. Hak cipta yang dilindungi apa saja? Ciptaan yang dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang meliputi karya:  Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (interface/lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;  Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;  Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;  Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;  Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim;  Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;  Arsitektur; ∗ Peneliti koresponden: An1mage | Universitas Udayana | Universitas Surya | Perguruan Tinggi Keling Kumang Mobile: +62818966667 | E-mail: michael.sega.gumelar@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

    

Peta; Seni batik; Fotografi; Sinematografi; Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai dan karya lain dari hasil pengalih wujudan.

Kemudian suatu ciptaan karya (artwork) oleh penciptanya (author) di bidang tersebut di atas maka secara otomatis melekat pada penciptanya (author). Berdasar pada “Perlindungan terhadap suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut” [1]. “Perlindungan hak cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan, karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreatifitas atau keahlian, sehingga ciptaan itu dapat dilihat, dibaca atau didengar” [1]. Dasar Hukum Hak cipta di Indonesia dasar perlindungan hukumnya adalah Undang-undang Hak Cipta (UUHC)

22


Michael Sega Gumelar

pertama kali diatur dalam undang-undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Kemudian diubah dengan undang-undang No.7 Tahun 1987. Pada tahun 1997 diubah lagi dengan undang-undang No.12 Tahun 1997. Di tahun 2002, UUHC kembali mengalami perubahan dan diatur dalam Undang-undang No.19 Tahun 2002. Beberapa peraturan pelaksanaan di bidang hak cipta adalah sebagai berikut:  Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 1986 Jo Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1989 tentang Dewan Hak Cipta;  Peraturan Pemerintah RI No.1 Tahun 1989 tentang Penerjemahan dan/atau Perbanyak Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan;  Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1988 tentang Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman Suara antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropa;  Keputusan Presiden RI No.25 Tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat;  Keputusan Presiden RI No.38 Tahun 1993 tentang Pengesahan Pesetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Australia;  Keputusan Presiden RI No.56 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Inggris;  Keputusan Presiden RI No. 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention For The Protection Of Literary and Artistic Works;5/25/2016 Dasar Perlindungan Hak Cipta « Education DJKI http://119.252.161.174/dasar-perlindungan-hak-cipt a/ 2/2  Keputusan Presiden RI No. 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty;  Keputusan Presiden RI No.74 Tahun 2004 tentang Pengesahan WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT);  Peraturan Menteri Kehakiman RI No.M.01-HC.03.01 Tahun 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan;  Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.04.PW.07.03 Tahun 1988 tentang Penyidikan Hak Cipta;  Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No.M.01.PW.07.03 Tahun 1990 tentang Kewenangan Menyidik Tindak Pidana Hak Cipta;  Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No.M.02.HC.03.01 Tahun 1991 tentang kewajiban Melampirkan NPWP dalam Permohonan Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Mitos-mitos dalam Hak Cipta di Indonesia….

Pendaftaran Ciptaan dan Pencatatan Pemindahan Hak Cipta Terdaftar Mitos-mitos

yang

beredar

di

Masyarakat

Awam

Indonesia Dari penjelasan dasar hukum di atas kini penulis akan membahas beberapa mitos tentang hak cipta yang beredar di Masyarakat Awam Indonesia. Mitos-mitos tentang hak cipta tersebut adalah: 1.

Harus mendaftar ciptaanya agar terlindungi secara hukum. Sangat idealis bukan? Tetapi benarkah? Hal ini tidak benar, secara jelas tertulis dalam undang-undang tersebut bahwa tidak harus mendaftarkan hasil ciptaannya. Lalu bagaimana agar hasil ciptaan seseorang terlindungi? Sangat mudah, gunakan simbol hak copy (copy right) diikuti oleh tahun dan nama pemiliknya, atau dapat juga menggunakan email pemiliknya pada setiap karya yang dipublikasikan secara umum, seperti di internet dengan berbagai media sosial yang ada. Contohnya adalah ©2016: michael.sega.gumelar@gmail.com. Pemublikasian pertama kali merupakan acuan dari pemilik hak copy, ingat karya yang pertama kali terpublikasi adalah yang menang dalam pengadilan bila dituntut oleh orang yang mengaku karya tersebut adalah karyanya walaupun orang atau lembaga tersebut sudah mendaftarkan hak ciptanya, oleh karena itulah jangan takut memublikasikan karya dengan memberikan tanda hak copy (copy right). Namun bila Anda seorang dosen di mana bekerja di bidang pendidikan, penulis sarankan mendaftarkan hasil karyanya untuk mendapatkan sertifikat hak cipta dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen Haki). Karena hal ini akan menambah nilai yang berhubungan dengan akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).

2.

Nama yang Sama, Menjadi Tidak Boleh Digunakan. Sangat idealis bukan? Tetapi Benarkah? Tentu saja tidak benar, ada banyak nama yang sama, seperti nama Muhammad. Berapa banyak orang yang bernama Muhammad di dunia? Nama Michael juga banyak di planet ini. Nama Diana dan Haruka adakah? Tentu saja ada, di Bumi ini banyak sekali yang memiliki nama yang sama, apakah mereka akan dituntut oleh orang lainnya?

23


Michael Sega Gumelar

Mitos-mitos dalam Hak Cipta di Indonesia….

Maksudnya bukan nama orang pada umumnya, tetapi pada nama suatu karakter, apakah boleh? Tentu saja boleh, yang didaftarkan ke Dirjen Haki adalah berupa citra yang berupa gambar, foto atau teks dari karya tersebut. Jadi bila nama sama tetapi tampilan berbeda dari segi huruf, dari segi warna, dari segi bentuknya dan lain-lainnya yang membuatnya berbeda, maka boleh-boleh saja. Contoh Captain Marvel versi DC dengan Captain Marvel versi Marvel [2]. Kedua karakter memiliki nama yang sama, tetapi tulisan, logo, icon dan bentuk karakter berbeda, maka mereka tidak dapat saling menyerang dan menuntut ke pengadilan karena namanya sama. Citra 2. Karakter Superman, beserta logo text dan logo gram-nya. Sumber:http://static4.comicvine.com/uploads/scale_super/9/96648/27638 72-3804063_superman_annual_1234.jpg

Citra 1. Captain Marvel versi DC dan Captain Marvel versi Marvel. Nama sama tetapi tampilan berbeda. Captain Marvel versi DC: https://i.ytimg.com/vi/1SlhiHEz330/maxresdefault.jpg

Citra 3. Komodo sebagai satwa dan dalah satu karakter superhero bernama Komodo. Sumber: Komodo satwa: http://2.bp.blogspot.com/WXFwaKzfgNM/ViNIHzdy3CI/AAAAAAAAApU/Pc5cUQayAvw/s160 0/0B7TiISEvN597elBKVXZPVjc0YUk.jpg Sumber: Komodo Superhero: http://michaelgumelar.blogspot.co.id/2015/09/01-komodo-externalinstant-evolution-by.html

Nama superman juga adalah nama umum yang artinya orang super, sehingga dapat digunakan oleh orang awam untuk memberikan julukan pada karakter yang super. Tetapi bila namanya memiliki Logo Superman serta karakternya persis seperti milik DC kemudian seseorang gunakan tanpa mengutip (sitasi/ memberi info) bahwa itu milik mereka, maka tentu saja hal tersebut akan menjadi masalah bagi seseorang secara hukum, karena telah melanggar hak cipta (authorship) mereka dan hanya mereka yang memiliki hak copy (copyright) [3]. Contoh lain, Nama Komodo adalah nama umum untuk Naga Komodo dari Pulau Komodo. Tetapi Nama Komodo dapat digunakan nama karakter superhero seperti Superhero Komodo. Orang lain dan atau lembaga lain juga boleh menggunakan Nama Komodo selama tampilan dan bentuknya berbeda [4]. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

3.

Warna dan Topeng Mirip walaupun Nama Berbeda adalah Mencontek dan Melanggar Hak cipta Sangat idealis bukan? Tetapi benarkah? Warna sama dan tampilan “hampir” sama tetapi nama berbeda dan sebenarnya bila dilihat secara detil ternyata “ada keunikan” yang sebarnya berbeda, maka tentu saja berbeda. Contoh sederhana, bila suatu karakter tidak menggunakan topeng apa pun maka disebut mencontoh Superman bila karakter superheronya pria? Atau disebut Supergirl bila karakternya wanita? Tentu saja tidak bukan. Sebab tergantung kostum, nama, dan ciri khas lainnya yang lebih detil yang akan membedakannya. Bagaimana bila suatu karakter menggunakan topeng hanya sebagian saja di area wajah, terutama menutupi area matanya saja, ah itu pasti mencontek bukan? Juga belum tentu perhatikan Karakter Green Arrow, Karakter Hawk Eye, Karakter Green Lantern, Karakter Green Hornet, Karakter Robin, dan karakter-karakter lainnya yang mirip pada warna dan topengnya? 24


Michael Sega Gumelar

Mitos-mitos dalam Hak Cipta di Indonesia….

Tentu saja boleh dan jangan dengan mudahnya bilang “ah itu nyontek karakter ini dan itu” sebab memang berbeda karakter, terkadang topengnya saja yang mirip dan warnanya tidak [5]. Tetapi warna juga terkadang sama, pilihan warna memang sangat terbatas bukan? Warna cenderung berputar dari putih, hitam, merah, jingga (orange), hijau, kuning, biru, nila (ungu kebiruan), dan ungu serta gradasi di antara warna-warna tersebut cenderung ke terang atau ke gelapnya. Citra 6. Deadpool yang sangat mirip tampilannya dengan Spiderman. Deadpool juga tampilannya mirip dengan Deathstroke. Ghost Rider area kepalanya mirip dengan Atomic Skull, sedangkan Darkseid juga hampir mirip dengan Thanos, tetapi mereka berbeda dan semuanya dilindungi hukum hak cipta. Sumber: kompilasi dari Google images. https://s-media-cacheak0.pinimg.com/736x/41/43/63/414363fa08e5a8d1886ee7e510e01daf.jpg http://moviepilot.com/posts/2711631

Citra 4. Green Arrow, Green Lantern, Green Hornet, Nightwing, Robin dan Gazing yang menggunakan topeng mirip satu sama lainnya. Sumber: kompilasi dari Google images. Green Hornet oleh Dynamite Entertainment. Gazing sumber:http://michaelgumelar.blogspot.co.id/2014/09/gazing-vol-1gerak-lurus-beraturan.html

5.

Nightwing bila diubah warnanya dari ciri khas warna biru menjadi warna hijau, tidak membuat Nightwing langsung menjadi Green Lantern bukan? Sebab logo, kostum dan kekuatan Nightwing berbeda dengan Green Lantern.

Kekuatan yang Sama Pasti Mencontek. Sangat idealis bukan? Tetapi benarkah? Tentu saja tidak, seperti Aquaman dengan Namor, Cat Woman dengan Black Cat, The Flash dengan Quicksilver, Bhkan yang sama persis hanya beda warna yaitu Green Arrow dengan Hawk Eye pun ternyata dua-duanya dilindungi hukum [6].

Citra 7. Aquaman dan Namor, Catwoman dan Black Cat, Quicksilver dan The Flash, serta Green Arrow dan Hawk Eye, kekuatan sama tampilan warna dan kostum beda, keduanya dilindungi hukum. Sumber: http://9gag.com/gag/aKgv6R3/marvel-vs-dc-equivalentcharacters

Citra 5. Warna biru dari Nightwing menjadi warna hijau pun tidak serta merta Nighting mencontek Green Lantern. Sumber: https://s-media-cacheak0.pinimg.com/736x/45/4f/d5/454fd5051246cc1bfd6e98a33b376309.jpg

4.

Kostum Mirip Pasti Mencontek Sangat idealis bukan? Tetapi benarkah? Tentu saja tidak, ada banyak karakter yang tampilannya mirip, seperti Spiderman dengan Deadpool, Deadpool dengan Deathstroke, Aquaman dengan Namor, Ghost Rider dengan Atomic Skull, The Flash dengan Quicksilver. Catwoman dengan Black Cat, Darkseid dengan Thanos dan mungkin ada banyak lainnya, tetapi latar belakang cerita karakter tersebut berbeda dan warna berbeda, sehingga kenyataannya akan sangat sulit untuk disebut siapa mencontek siapa, tetapi keduanya adalah karakter yang dilindungi oleh hukum [5]. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

6. Terinspirasi Karya Seseorang Apakah mencontek? Sangat idealis bukan? Tetapi benarkah? Tentu saja tidak, seperti seseorang terinspirasi karya Leonardo da Vinci kemudian menerapkannya dengan “ide” baru atau bahkan mencontoh persis lukisan tersebut dengan membubuhkan tandatangannya atau menyebut bahwa karya tersebut miliknya dengan dibuktikan adanya karya tersebut oleh pembuatnya. Yang disebut melanggar hukum adalah membuat persis suatu karya seseorang, atau membuat yang baru dan mengklaim bahwa karya tersebut adalah karya si pembuat aslinya dengan adanya “kepentingan” agar karya tersebut memiliki “nilai yang sama” dengan aslinya. Jadi boleh seseorang terinspirasi, menggambar ulang beragam karakter orang lain sebagai tribut dengan tetap menyebut nama pembuatnya atau penerbitnya. 25


Michael Sega Gumelar

Mitos-mitos dalam Hak Cipta di Indonesia….

4.

5.

6. Citra 8. Monalisa dengan ragam karya yang terinspirasi dari karya Leonardo da Vinci tersebut. Sumber: dari Google di berbagai website.

Diskusi Kini setelah mengetahui mitos-mitos yang dipercaya oleh sebagian besar masyarakat awam di Indonesia. Kini penulis akan membawa pemahaman apa arti hak cipta dan hak copy. Kebanyakan pada masyarakat umum sangat rancu akan arti hak cipta dan hak copy, bahkan keduanya juga menjadi membingungkan bahkan bagi pemerintah, tidak hanya Pemerintah Indonesia tetapi juga pemerintah di banyak negara lain. Hak cipta disebut dengan nama authorship dan logo dari hak cipta ini memang belum ditemukan, sehingga masih rancu dan digabung dengan hak copy (copyright) yaitu dengan tanda huruf atau karakter “C” yang dilingkari oleh bulatan ©. Dalam penelitian ini penulis mengusulkan tanda baru sebagai tanda dari hak cipta atau padanan Bahasa Inggrisnya adalah authorship yaitu simbol A . Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara hak cipta dengan hak copy atau copyright ©.

7.

8.

Hak cipta (authorship) tidak dapat dipindahtangankan kepada orang lain, kelompok lain dan atau lembaga lain dalam bentuk apa pun; Hak cipta mendapatkan penggantian secara materi bila dikomersialkan oleh pihak lain; dan nama pembuatnya wajib disebutkan sebagai penciptanya; Hak cipta tidak mendapatkan penggantian apa pun bila tidak dikomersialkan; namun nama pembuatnya wajib disebutkan sebagai penciptanya; Pada saat suatu karya asli diperbanyak oleh pihak lain, akan muncul implikasi dari hak cipta yaitu hak copy (copyright). Hak copy (copyrigth) selanjutnya ditentukan sesuai dengan undang-undang copyright yang berlaku di negara tersebut berada.

Kini pemahaman kita arahkan ke hak copy (copyright). Copyright yang selama ini membuat rancu karena bersatu dengan simbol hak cipta yang juga menggunakan simbol yang sama yaitu huruf C dilingkari ©. Penulis sebutkan satu persatu implikasi (konsekuensi logis) apa yang terjadi pada gabungan hak cipta dengan hak copy pada satu simbol tersebut? 1. Tidak jelasnya antara hak cipta dengan hak copy (copyright). 2.

Bila seorang pencipta memublikasikan karyanya ke suatu penerbit, maka secara otomatis terjadi kekerasan ideologi pada pencipta tersebut oleh penerbit, yaitu dalam karyanya tercantum copyright pada penerbit. Padahal sesungguhnya penerbit tidak memiliki hak cipta tersebut, tetapi hanya hak copy saja. Maksud dari point ke dua ini adalah: hak copy ini mendapatkan konpensasi yang disebut dengan nama royalti yang diberikan dari pihak penerbit ke pencipta karya tersebut bila hasil penjualan karya yang telah diperbanyak (di copy) dari karya asli (master-nya) tadi mendapatkan keuntungan komersial.

Citra 8. Usulan simbol hak cipta.

Mengapa diperlukan simbol hak cipta tersebut? Ada ideologi yang melandasinya, penulis sebutkan satu demi satu yaitu: 1. Untuk membedakan antara hak cipta (authorship) dengan hak copy ©; 2. Hak cipta (authorship) dimiliki oleh pencipta secara perseorangan dan atau kelompok; 3. Hak cipta (authorship) melekat pada penciptanya sejak suatu karya diciptakan dan dipublikasikan.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Dan sesungguhnya juga hak cipta tetap pada pencipta, karyanya tersebut masih dapat diterbitkan di tempat lain hanya dengan mengubah cover dan lay out-nya, sebab isi atau content dari karya hak ciptanya tetap pada si pencipta. Dengan memisahkan simbol hak cipta dengan hak copy inilah diharapkan di masa depan tidak ada lagi kerancuan dan marjinalisasi pencipta karena komersialisasi oleh penerbit yang secara otomatis mengklaim hak cipta dan hak copy juga milik penerbit di masa lalu atau masa kini yang masih menggunakan pola pikir tersebut. 26


Michael Sega Gumelar

3.

Hak copy atau padanan katanya adalah copyright dengan simbol huruf “C” dilingkari yaitu simbol © selanjutnya hanya memiliki kekuatan hak memperbanyak saja dan tidak memiliki hak cipta dengan usulan simbol huruf “A” besar yang dilingkari A .

Konklusi Mitos yang terjadi pada hak cipta serta pemahaman seseorang akan hak cipta dan hak copy semakin menguat. Oleh karena itulah usulan-usulan penulis agar ditindak lanjuti oleh pemerintah dan komponen pemerintah lainnya yang peduli akan potensi Kekayaan Intelektual Masyarakat Indonesia yang luar biasa ini. 1.

Membuat undang-undang yang lebih spesifik dan detil tentang hak cipta dan hak copy agar mampu menjadi wadah, sesuai perkembangan zaman dan mengayomi kekayaan intelektual masyarakat di Indonesia dan dunia.

2.

Membuat usulan simbol hak cipta (authorship) menjadi penggunaan umum, populer dan lazim dipergunakan untuk menambahkan simbol hak copy (copyright) yang sudah ada agar mempertegas perbedaan hak cipta dengan hak copy.

3.

Menghindarkan terjadinya kekerasan ideologi terhadap pencipta oleh penerbit. Selama ini hak cipta penulis dirampas atas nama hak copy oleh penerbit, dan pencipta tidak tahu bahwa hak cipta sebenarnya masih melekat pada pencipta tersebut.

Mitos-mitos dalam Hak Cipta di Indonesia….

[5] [6] [7] [8]

[9]

Superhero from DC and Marvel: Image compilation sumber: www.google.com http://9gag.com/gag/aKgv6R3/marvel-vs-dc-equivalentcharacters Office, U.S. Copyright. 2008. Copyright Basics. Washington : www.copyright.gov, 2008. Sciences, National Academy of. 2013. Copyright in the digital era building evidence for policy. Washington, DC : National Academies, 2013. 978-0-309-27895-9. M.S. Gumelar. 2011. Comic Making. Indeks

4. Agar terobosan ini dimulai dari Bangsa Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia peduli pada hak kekayaan intelektual masyarakatnya. Referensi [1] Indonesia, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

[2]

[3]

[4]

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik. 2013. Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual. Tangerang : www.dgip.go.id, 2013. Captain Marvel versi DC: https://i.ytimg.com/vi/1SlhiHEz330/maxresdefault.jpg Captain Marvel versi Marvel: http://i2.wp.com/bitcast-asm.bitgravity.com/slashfilm/wp/wpcontent/images/ZZ379AC049.jpg Superman sumber: http://static4.comicvine.com/uploads/scale_super/9/96648/ 2763872-3804063_superman_annual_1234.jpg Komodo Superhero: http://michaelgumelar.blogspot.co.id/2015/09/01-komodoexternal-instant-evolution-by.html

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

27


Michael Sega Gumelar

Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya…. Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.1: 28–31

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya Pemuatan Laporan Penelitian di Jurnal yang Tidak Terindeks Scopus di Indonesia Michael Sega Gumelar* An1mage/ Universitas Udayana/Universitas Surya/ Perguruan Tinggi Keling Kumang

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel: Dikirim 29 November 2016 Direvisi 6 Desember 2016 Diterima 9 Desember 2016

Menyoroti, mengkritisi, mendekonstruksi keterpinggiran Jurnal Non Indeks Scopus dan bobot penelitian seorang peneliti apakah karena dapat masuk ke jurnal yang terindeks oleh Scopus? Ataukah karena bobot yang berkualitas karena penelitian itu sendiri walaupun tidak masuk ke jurnal yang tidak terindeks oleh Scopus?

Kata Kunci: Marjinalisasi Penelitian Tidak Terindeks

Industri budaya yang dibisniskan dalam laporan penelitian di bidang pendidikan, Indeks Scopus serta munculnya kontes prestige, keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam mendukung hegemoni tersebut yaitu dengan adanya program meraih gelar doktor sebagai salah satu syaratnya adalah laporan penelitian calon doktor tersebut masuk ke dalam jurnal yang memiliki Indeks Scopus saat studi ini dilaporkan.

Scopus

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Laporan penelitian dimuat dalam suatu jurnal (citra 1) merupakan hasil karya seorang peneliti tentu saja sangat berarti bagi peneliti tersebut. Sebab apa pun yang diteliti (citra 2) diharapkan dapat membuka pikiran orang lain serta yang paling penting adalah membagi dan memberikan sumbangsih hasil penelitian tersebut kepada peneliti lainnya dan masyarakat dunia pada umumnya.

Namun dengan adanya industri kebudayaan sebagai “pencerahan yang menipu” yang telah disoroti secara tajam oleh Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam artikel The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception dalam judul buku The Culture Industry [1].

Citra 2. Ilustrasi para peneliti yang sedang melakukan penelitian. http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/Peneliti-perempuan.jpg

Citra 1. Sampul Depan Salah Satu Jurnal. http://jurnalstudikultural.blogspot.co.id/ ∗ Peneliti koresponden: An1mage | Universitas Udayana | Universitas Surya | Perguruan Tinggi Keling Kumang Mobile: +62818966667 | E-mail: michael.sega.gumelar@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Industri sebagai kebudayaan (culture industry) sangat erat kaitannya dengan budaya manusia dalam segala hal. Bahkan di dalam industri kebudayaan akan muncul juga yang namanya budaya dalam industri yang disingkat

28


Michael Sega Gumelar

Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya….

menjadi budaya industri, yang di dalamnya muncul berbagai aturan dan kepentingan yang berlaku. Industri sebagai kebudayaan sudah disorot sebagai salah satu “pencerahan yang menipu” karena ternyata menjadi alat dalam mengambil keuntungan sebesar-besarnya oleh suatu lembaga dan atau segelintir pengusaha rakus dalam menguasai pasar dan ekonomi dengan mengagungagungkan nilai prestige guna mendominasi informasi dan menghegemoni melalui media informasi searah bagi orang yang mau mengikuti pemikiran tersebut (citra 3) dan prestige dihargai sebagai puncak keberhasilan.

Apa pun jurnalnya, sebenarnya bukan jurnal yang paling penting, tetapi laporan penelitian para peneliti itulah yang paling penting. Sebab dewasa ini para peneliti berlomba-lomba agar laporan penelitian mereka masuk ke jurnal yang dianggap semakin mahal semakin memiliki prestige, seperti jurnal yang terindeks oleh Scopus dan sejenisnya yang dibuat aturannya pula oleh Kopertis yang telah terhegemoni dunia industri yang cenderung kapitalis, apakah ada agen di Kopertis atau pemerintah yang diuntungkan secara ekonomi? Mengapa tidak terindeks oleh Portal Garuda? Akan lebih menyenangkan bila Portal Garuda dapat difungsikan lebih optimal. Dari analisis di atas, peneliti melihat fokus para peneliti bukan lagi pada tujuan utama penelitian yaitu hasil laporan penelitian yang memiliki tujuan mulia, dibaca oleh banyak orang dengan gratis dan mencerahkan. Laporan penelitian tidak mencapai tujuannya bila berakhir hanya dibaca oleh segelintir orang yang laporan penelitiannya masuk ke jurnal tersebut penelitinya harus membayar mahal bahkan mungkin mencapai puluhan, ratusan juta dan masih berpikir ini bergengsi. Di sisi lainnya, penerbit jurnal mendapatkan untung ganda, mendapatkan sejumlah keuntungan dari peneliti yang laporan penelitiannya dimuat dan juga mendapatkan keuntungan dari pengakses laporan penelitian tersebut yang juga berbayar.

Citra 3. Hegemoni cenderung melalui media yang hanya satu arah dan cenderung menggunakan budaya lisan yang menguntungkan pihak yang mempertahankan kepentingannya agar tidak terganggu oleh orang-orang yang kritis. http://citizensmedia.eu/wp-content/uploads/2015/06/media-spoonfeedingcartoon.jpg

Implikasi (konsekuensi logis) dari hal tersebut tentu saja dengan memarjinalkan orang lain yang tidak mau mengikuti hegemoni tersebut. Hegemoni ini bersifat sangat halus, sehingga mem-brainwash bahwa yang sebenarnya tidak baik tadi menjadi seolah-olah baik bahkan orang yang terhegemoni memperjuangkan secara sukarela keburukan yang dianggap baik tersebut. Industri Kebudayaan sebagai bagian dari kapitalisme, di mana kapitalisme merupakan sistem ekonomi atau perdagangan yang dikontrol oleh seseorang untuk keuntungan pribadi dan atau golongan semata dan mengabaikan implikasi buruknya yang terjadi pada manusia, kemanusiaan, alam dan lingkungan.

Penulis berfikir subjektif untuk tujuan objektif. Penulis memberikan teori sederhana yaitu “Lebih penting manakah laporan penelitian yang biasa tetapi masuk ke jurnal yang membayar mahal tetapi dianggap bergengsi ataukah penelitian yang benar-benar membuat perubahan tetapi muncul di jurnal yang tidak terindeks di mana pun?” Di masa lalu setiap penelitian yang membuat perubahan dalam pola pikir manusia tidak perlu masuk ke jurnal. Contoh karya tulis dari Nikolaus Copernicus dengan judul De revolutionibus orbium coelestium (On the Revolutions of the Celestial Spheres) [3] yang diterbitkan sebelum Copernicus meninggal pada tahun 1543 (citra 4)

2. Laporan Penelitian Wajib dimuat di Jurnal Terindeks oleh Scopus Satu hal yang sangat memprihatinkan adalah adanya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen yang dapat diakses di http://www.kopertis12.or.id/wpcontent/uploads/2015/10/00Petunjuk_Operasional_PAK-_updateJuni-2015.pdf Terutama pada butir 8. Jurnal internasional, subbutir g. yaitu “Terindeks oleh database internasional: Web of Science, Scopus, Microsoft Academic Search, dan/atau laman sesuai dengan pertimbangan Ditjen Dikti” [2]

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Citra 4. Nikolaus Copernicus dengan judul penelitiannya De revolutionibus orbium coelestium. By Unknown - http://www.frombork.art.pl/Ang10.htm, Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=113500 29


Michael Sega Gumelar

3. Penelitian yang Berkualitas ataukah Jurnal Bergengsi yang Populer? Pertanyaan ini sangat penting dalam menghasilkan penelitian yang berkualitas. Apakah suatu penelitian itu dijamin berkualitas karena masuk ke jurnal yang populer mahal dan bergengsi? Ataukah karena penelitiannya tersebut sudah berkualitas, sehingga tanpa masuk ke jurnal populer yang mahal dan bergengsi pun masih tetap dicari dan dapat diakses gratis secara online agar dapat dibaca oleh semua orang?

Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya‌.

Bila itu yang terjadi, maka sudah hancur dan tidak berguna para reviewer tersebut karena telah menghakimi dan tidak meloloskan karya laporan penelitian yang kemungkinan besar akan mengubah cara berpikir yang bodoh ke arah pemikiran yang lebih baik. 4. Open Journal System (OJS) yang tidak Open. Setelah mendekonstruksi pemikiran tentang keharusan termuatnya laporan penelitian ke jurnal yang terindeks salah satunya di Scopus. Kini penulis membawa permasalahan ke akses laporan penelitian secara terbuka yang disebut dengan nama Open Journal System (OJS). Sudah penulis singgung di paragraf sebelumnya yaitu tentang jurnal populer. Kenapa jurnalnya yang menjadi populer dan dibuat indeksnya? Bukankah seharusnya yang menjadi populer adalah penelitinya? Contohnya Copernicus dan Einstein, bukan masuk ke jurnal apa dan indeks jurnalnya berapa? Tetapi justru Copernicus dan Einstein-nya lah yang dikenal. Dengan mengindeks laporan penelitian karya seorang peneliti, maka berapa banyak laporan penelitian dan buku hasil karya seorang peneliti disitasi (dikutip), maka semakin terangkat indeks peneliti tersebut jadi bukan jurnalnya yang menjadi terangkat indeksnya. Agar indeks peneliti tersebut semakin terangkat dan dikenal karyanya karena berkualitas, maka diperlukan sistem online yang terbuka dan dapat diakses oleh semua orang bahkan bila memungkinkan dibuat gratis karena penelitian tersebut sangat berharga untuk mencerdaskan orang lain.

Citra 5. Albert Einstein dengan penelitiannya berjudul Relativity The Special And General Theory. http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTAHUxoLBjzEfLGrj5nOFbAZZoGZmCnr72zfQeiCiyKa15YEyC

Seorang cerdas bernama Albert Einstein menuliskan karya penelitiannya berjudul Relativity The Special and General Theory [4] pada tahun 1920 dan tidak memerlukan jurnal untuk menilai apakah karyanya berkualitas atau tidak, siapa yang berani menghakimi suatu penelitian itu tidak benar? (Citra 5). Sehingga layak dan tidak layak masuk ke suatu jurnal? Namun bila review hanya pada tata bahasa dan salah ketik memang sewajarnya untuk dilakukan. Bukankah Copernicus juga mengalami penolakan oleh orang-orang di masa lalu karena dinilai penelitiannya salah? Lalu apakah para reviewer jurnal itu tahu bahwa karya para peneliti itu salah sehingga tidak layak masuk ke suatu jurnal? Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Salah satu solusinya adalah adanya sistem yang disebut OJS. OJS ini memudahkan untuk menerima karya, mengedit dan me-review secara online dan tanpa kertas (paperless). Oleh karena itu jurnal yang memiliki versi print diwajibkan pula untuk membuat versi online-nya. Namun ternyata OJS tidak memiliki sistem terbuka walaupun namanya Open Journal System, sebab dengan menggunakan OJS, maka laporan hasil penelitian yang dibuat belum terdeteksi secara langsung oleh search engine seperti google, yahoo dan ataupun yang lainnya. Agar hasil laporan penelitian dapat diakses di search engine, maka dibuat link dan atau memuatnya di luar OJS tersebut, sehingga dua kali kerja agar dapat dideteksi. Hal ini menimbulkan pertanyaan, Open Journal System ataukah bertujuan membuat Closed Journal System agar hasil laporan penelitian para peneliti ini tidak terindeks? Dan tentu saja tidak dapat dicari dengan mudah di search engine? Apakah ada ketakutan para kapitalis penerbit jurnal populer untuk tersaingi dan sengaja membuat jurnal30


Michael Sega Gumelar

Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya‌.

jurnal lokal tidak bermunculan? Dan lagi-lagi pemerintah mendukungnya? Disatu sisi bila ingin dikenal, kenapa menggunakan jalur indeks scopus? Kenapa tidak menggunakan distribusi publikasi seperti amazon, play store, academia dan atau lainnya yang gratis dan populer, sehingga membuka kemungkinan lebih banyak agar buku dan atau laporan penelitiannya disitasi atau dijadikan referensi bagi banyak peneliti lainnya? Sebagai contoh Jurnal Studi Kultural untuk mencerahkan pemikiran banyak orang yang dapat diakses gratis di distribusi oleh salah satu distributor buku digital populer eBook oleh Play Store seperti citra 6 atau dapat menggunakan Amazon (citra 7).

5. Konklusi Setelah menganalisis beberapa temuan yang penulis ulas maka diharapkan pemerintah untuk tidak membebani peneliti dengan mewajibkan terbit dijurnal ini dan itu yang cenderung kapitalis dan tidak peduli dengan semangat intisari penyebaran hasil laporan penelitian. Diharapkan pemerintah dan para peneliti mulai sadar bahwa bukan masuk ke jurnal bergengsi yang terpenting, tetapi mulai perbanyak penelitian dan hidupkan suasana keterbukaan penelitian yang cerdas sehingga mendukung terjadinya penelitian baru yang membuka pemikiran manusia yang cenderung tidak bijaksana ini. Cara tersebut akan memudahkan file diakses serta didownload secara terbuka di Amazon, Play Store, Academia dan sejenisnya yang tidak berbayar dan mudah ditemukan di internet secara terbuka daripada secara OJS yang sulit untuk ditemukan file tersebut karena sistem aksesnya yang tertutup tidak serta merta terdeteksi oleh search engine. Reviewer diwajibkan hanya cenderung mengedit tata bahasa dan salah ketik saja dan tidak perlu menghakimi isi laporan penelitian yang ini salah dan yang itu benar, sebab kebenaran dalam dunia penelitian sangat relative dan terus berkembang. Mari berevolusi ke arah yang lebih baik, dan penulis pastikan secara subjektif bahwa saat ini dengan adanya jurnal yang cenderung kapitalis dan bersaing prestige dengan indeks Scopus merupakan arah evolusi yang salah dan harus dihentikan agar kita mengarah ke evolusi yang lebih baik lagi dalam segala hal pemikiran.

Citra 6. Distribusi jurnal menggunakan distribusi online yang populer yaitu Play Store. https://play.google.com/store/books/details?id=hFdHDAAAQBAJ

Â

Citra 7. Distribusi jurnal menggunakan distribusi online yang populer yaitu Amazon. https://www.amazon.com/An1mage-Jurnal-Studi-Kultural-Nomorebook/dp/B01GIE0U1U/ref=sr_1_6?s=magazines&ie=UTF8&qid=1482405278&sr =8-6&keywords=an1mage

Penulis tekankan agar sebaiknya meng-upload karya penelitian sekali saja seperti di Amazon, Play Store, Academia dan sejenisnya yang mudah diakses dan pasti terdeteksi lebih mudah oleh search engine seperti google, yahoo dan sejenisnya, atau menggunakan search engine apa pun pasti terdeteksi.

Referensi [1] Â Â Theodor Adorno, Max Horkheimer. 1944. The Culture [2]

[3] [4] [5]

Industry: Enlightenment as Mass Deception. 1-24. Kebudayaan, D. J. 2014. Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen. Dikti. Copernicus, N. 1543. De revolutionibus orbium coelestium (On the Revolutions of the Celestial Spheres) . Einstein, A. 1920. Relativity The Special And General Theory. M.S. Gumelar.2015. Creative and critical thinking: meredesain ulang semua pemikiran untuk kemanusiaan dan lingkungan. unpublish

Setelah itu tinggal dibuat link-nya saja di website pemilik jurnal seperti universitas dan lembaga profesi apa pun yang memiliki website agar impact factor versi google scholar dapat terdetek lebih mudah karena banyak yang menyitasi atau menjadikan laporan penelitian dan atau buku tersebut sebagai referensi yang memberi nilai lebih pada karya tersebut karena sangat diperlukan oleh peneliti lainnya. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

31


Michael Sega Gumelar

Story Waveform Model sebagai alternatif…. Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.1: 32–42

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Story Waveform Model sebagai Alternatif lebih Baik dari Story Mountain Model dalam Mendesain Cerita agar Lebih Mudah Michael Sega Gumelar* An1mage/ Universitas Udayana/Universitas Surya/ Perguruan Tinggi Keling Kumang, Komunitas Studi Kultural, Serikat Dosen Indonesia, i-novel, i-teks

Abstrak

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 1 Desember 2016 Direvisi 15 Desember 2016 Diterima 24 Desember 2016 Kata Kunci: Story Mountain Waveform Model Cerita

Tidak semua orang dapat membuat cerita. Namun, banyak orang dapat bercerita secara lisan. Untuk itu, penelitian ini akan memberikan tambahan dan pengayaan bagaimana cara membuat cerita dengan lebih mudah, studi ini juga menawarkan pendekatan model baru yang disebut Story Waveform Model. Pendekatan ini konsepnya berbeda dengan pendekatan penyusunan Story Mountain Model yang selama ini banyak digunakan. Story Waveform Model ini dapat menjadi acuan yang lebih mudah dalam menjelaskan suatu struktur cerita dan dalam membuat kerangka cerita atau plot, di mana plot tersebut da[at dijadikan bab atau subbab. © 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Research ini murni demi kemajuan dalam membuat atau mendesain cerita (story design). Tujuan dan manfaat studi ini: 1. Meluruskan persepsi yang salah bahwa membuat cerita adalah menulis, sebab menulis belum tentu membuat atau mendesain cerita. Di samping itu, menulis juga adalah suatu tindakan yang hanya mengarah pada suatu pekerjaan, yaitu menulis (writing). Padahal, membuat cerita tidak harus d ilakukan dengan menulis, membuat cerita dapat dilakukan dengan cara mengetik (typing) di kertas menggunakan mesin tik ataupun di komputer yang kemudian dapat di-print. 2. Memberi perbedaan yang lebih jelas antara membuat cerita (story making/storydesign) dengan membuat laporan (reporting). 3. Memberikan arahan mendesain cerita dengan lebih baik, dari awal sampai ending dengan pendekatan baru yaitu yaitu Story Waveform Model untuk menggantikan Story Mountain Model.

Cerita (story) secara umum adalah suatu urutan kejadian, namun kadang-kadang disebut juga narasi (narrative), yang kita tahu narasi lebih cenderung pada pengertian sebagai perbuatan yang sedang menceritakan suatu cerita dan lebih tepat disebut dengan storytelling. Story secara etimology dari Bahasa Inggris masa pertengahan yaitu kata storie, dari Anglo-French estoire, estorie, Dari Bahasa Latin yaitu kata historia yang kemudian menjadi kata lain yaitu kata history. "Story is a common term for a description of a sequence of incidents or events” [1] yang memiliki arti bahwa cerita adalah deskripsi dari urutan suatu kejadian”. Bila diterapkan dalam suatu karya seperti animasi, sinema ataupun video, lalu ada yang menceritakannya, maka itu yang disebut narator, itu berarti animasi, video, dan atau sinema tersebut diberi narasi. Citra 1 merupakan Story Mountain Model untuk membuat cerita agar lebih terarah dalam pembuatannya.

∗ Peneliti koresponden: An1mage | Universitas Udayana | Universitas Surya | Perguruan Tinggi Keling Kumang Mobile: +62818966667 | E-mail: michael.sega.gumelar@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

32


Michael Sega Gumelar

Story Waveform Model sebagai alternatif‌.

sebagai alternatif dari Story Mountain Model . Juga komparasi antara Story Mountain Model dengan Story Waveform Model dari keduanya untuk menghasilkan pendekatan mana yang lebih pas untuk digunakan dalam membuat cerita.

Citra 1. Story Mountain Model. Sumber: http://www.communication4all.co.uk/Screen%20Shot%20Images/smlge.png

Citra 2. Story mountain model dengan penjelasannya. Sumber: http://www.lexiseduasia.com/uploads/3/8/4/9/38499739/5970573.jpg?665

Citra 2 menerapkan cerita dalam Story Mountain Model Model dalam cerita yang dibuat. Tetapi, ada yang unik dalam cara tersebut, seharusnya hal-hal yang menyenangkan atau positif bergerak ke atas dan hal-hal negatif seharusnya bergerak ke arah bawah, dan hidup normal adalah yang ada di area tengah. Tetapi, di Story Mountain Model tersebut, konflik dan halhal negatif justru naik ke arah atas membentuk shape seperti gunung, lalu penyelesaian atau solusi justru pada saat hidupnya mulai normal lagi. Oleh karena itu, studi untuk menerapkan model baru yaitu Story Waveform Model.

2. Diskusi Dalam studi ini, metode yang digunakan adalah metode analisis, studi banding dan pencarian data sesuai kebutuhan serta tahapan-tahapannya yang relevan dan cenderung qualitative description. Proses dari ide sampai perwujudan cerita yang utuh menjadi analisis dan data sekaligus untuk mensupport temuan model baru dalam mendesain atau membuat cerita Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Membuat cerita ternyata memiliki elemen-elemen dan prinsip-prinsip tersendiri di dalamnya, elemen-elemen dan prinsip-prinsip tersebut penulis jabarkan lebih detail menjadi: A. Elemen-elemen membuat cerita: 1. Pembuat Cerita (the story designer): Suatu cerita pasti ada pembuatnya. 2. Ide (idea): suatu cerita pasti ada ide utamanya. 3. Alat dan peralatan (tools and Gadget): suatu cerita yang tertuang pada suatu media rekam pasti menggunakan suatu alat dan peralatan yang sesuai dengan zamannya. 4. Bahan (materials): bahan-bahan yang digunakan dalam mewujudkan cerita pada suatu media rekam memerlukan bahan-bahan. 4.1. Ruang (space): area atau ruang kosong untuk menuangkan idenya menjadi bentuk berupa tulisan dan suara. 4.2. Waktu (Time): tentu saja waktu untuk meluangkan membuat cerita dan waktu di dalam cerita yang dibuat itu sendiri yang disebut alur waktu (timeline) yang kemudian menjadi sejarah. 4.2.1. Masa Lalu (Past) 4.2.2. Masa Kini (Present) 4.2.3. Masa Depan (Future) 4.3. Budaya (Cultural): 4.3.1. Origin: asal dari mana? Dari Frekuensi mana? Dari Dimensi mana? Dari tata surya mana? Dari Planet mana? Dari negara mana? Dari provinsi mana? Dari kota mana? Dari desa mana? Dari jalan apa? 4.3.2. Lingkungan (Environment): lingkungan asal dan di mana kini si karakter berada akan memberi implikasi (konsekuensi logis) pada karakter tersebut. Di manakah dia? Di Frekuensi lain? Di dimensi lain? Di galaksi lain? Di tata surya lain? Di planet lain? Di bumi? Di negara mana? Di kota apa? Di desa apa? Di gurun pasir? Di kutub utara? 4.3.3. Economy system: sistem perekonomian memengaruhi budaya, tampilan dan sifat karakter. 4.3.4. Belief system: kepercayaan memengaruhi budaya, tampilan dan sifat karakter. 33


Michael Sega Gumelar

4.4. Karakter (character): atau pemeran utama (protagonist), rival pemeran utama (antagonist), dan karakter pendukung (supporting character) yang diperlukan sesuai keperluan. 4.4.1. Tampilan Karakter (appearance): 4.4.1.1. Sex: jenis kelamin yaitu pria (male), wanita (female), atau Hermaprodhite (memiliki dua kelamin secara berbarengan) 4.4.1.2. Gender:wanita, pria, prianya pria, wanitanya wanita, cross gender dan tidak melihat jenis kelaminnya. Seperti robot dapat melakukan berbagai pekerjaan tanpa harus ada jenis kelaminnya. 4.4.1.3. Job: pekerjaannya sebagai apa? 4.4.1.4. Species:spesiesnya apa? Manusia, Alien? Satwa? Mahluk Elemental? Robot? 4.4.1.5. Race: rasnya apa di dalam spesies tersebut? Memengaruhi mata, kulit dan rambut, bibir dan lainnya 4.4.1.5.1. Eye shapes: bentuk mata, apakah bulat belok, menyipit atau sedang saja? Warna mata biru, hijau, kuning, ungu, merah atau lainnya? Bermata satu, tidak punya mata? Dan lainnya sesuai keperluan. 4.4.1.5.2. Mouth & Lips Shapes: bentuk mulut dan bibir, apakah bertaring? Monyong? Berbibir tebal? Berbibir tipis? Dan lainnya sesuai keperluan. 4.4.1.5.3. Ear Shapes: bentuk daun telinga, apakah seperti manusia? Lancip? Atau tidak memiliki daun telinga seperti reptile? 4.4.1.5.4. Face Shapes: Bentuk wajah, apakah bulat, lonjong, kotak? Oval? Atau lainnya? 4.4.1.5.5. Hair: bila karakternya berbentuk manusia, apakah memiliki rambut? Bila iya, model rambutnya apa? Warnanya apa? Keriting, ikal ataulah berambut lurus? Ataukah botak tidak memiliki rambut? Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Story Waveform Model sebagai alternatif‌.

4.4.1.5.6. Skin: Kulit, apakah warnanya? Coklat, hitam, kuning, pink, ungu, biru? Apakah bersisik seperti ikan? Atau dari batu? Dari kayu? Dan lainnya sesuai keperluan. 4.4.1.5.7. Body Shapes: bentuk tubuh,apakah gemuk, kurus, berotot dan lainnya sesuai keperluan. 4.4.1.6. Tribe: sukunya apa dalam ras tersebut? 4.4.1.7. Cloth: suatu karakter dalam berpakaian. Apakah berpakaian sesuai dengan pekerjaannya? Ataukah menggunakan pakaian khas adat daerahnya? Atau membuat style tersendiri? Atau tidak berpakaian? 4.4.1.8. Arm: Senjata apa yang digunakan? Senjata tradisional? Senjata dengan peluru? Senjata laser? Ataukah tidak bersenjata? 4.4.1.9. Martial Arts: Apakah menggunakan bela diri Silat, Kungfu? Aikido? Atau beladiri lainnya? Apa perlu membuat jenis beladiri baru bila diperlukan? Atau tidak memerlukan beladiri karena sudah menggunakan senjata sinar? Atau memiliki kekuatan spesial tersendiri? 4.4.1.10. Special Power: Kekuatan tersembunyi apa yang dimilikinya? Apakah kecerdasannya? Super kuat? Karakternya mampu mengeluarkan tenaga dalam? Tembakan energi? Super cepat? Dan kekuatan lain-lainnya sesuai keperluan. 4.4.2. Sifat Karakter (Personality): 4.4.2.1. Good: Baik 4.4.2.2. Bad: Buruk 4.4.2.3. Neutral: netral, biasanya dalam game masuk dalam kategori non playable character (NPC) dan atau mahluk yang sudah sangat bijak, baik dan buruk hanya sebagai peran saja. 4.5. Alur Cerita (Storyline): setelah karakternya ada dapat dibuat alur ceritanya, atau alur ceritanya dibuat terlebih dahulu kemudian karakter dibuat kemudian, tidak ada rumus baku yang mana yang harus dibuat terlebih 34


Michael Sega Gumelar

dahulu, sesuaikan dengan keperluan. Alur cerita memiliki sub yaitu: 4.5.1. Jenis Cerita (genre): beragam jenis cerita yang dapat dibuat, jenis cerita secara detail ada dalam prinsip-prinsip membuat cerita. 4.5.2. Tema (theme): tema yang dapat digunakan setelah jenis cerita ditentukan, dapat memfokuskan dalam tema tertentu misalnya membuat jenis cerita (genre) horror dengan tema halloween. Atau membuat jenis cerita action dengan tema hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Jenis cerita dapat ditentukan setelah tema dibuat terlebih dahulu juga tidak masalah, yang penting berkarya, bukan urutannya. 4.5.3. Plot: poin-poin utama atau kerangka dalam suatu cerita, plot ini dapat menjadi bab-bab tersendiri, bahkan bila diperlukan plot yang sudah menjadi bab dapat dibuat subplot baru yang ada di dalam bab tersebut sehingga dapat disebut subbab. Kegunaan dari plot adalah membuat suatu alur cerita menjadi lebih terarah. 4.5.4. Anatomi cerita (story anatomy): yang terdiri dari cerita pembuka, isi dan penutup (conclusion). 4.5.4.1. Pendahuluan (Introduction): sebagai pembuka cerita, boleh langsung pada bagian yang seru agar langsung menarik perhatian penikmatnya. 4.5.4.2. Isi (content): isi utama dalam suatu cerita. 4.5.4.3. Konklusi (conclusion): akhir suatu cerita yang solusinya sudah dipersiapkan dan dibuat dengan baik. 4.5.4.3.1. Akhir yang Normal (Normal Ending): akhir suatu cerita yang membuat karakternya kembali ke kehidupan semula tanpa perubahan apa pun dari segi kesehatan, kekayaan, kekuasaan, kekuatan, keterampilan, percintaan, dan atau keberuntungan. 4.5.4.3.2. Akhir yang Gembira (Happy Ending): akhir suatu cerita yang membuat karakternya adanya perubahan yang lebih baik dari semula dari segi kesehatan, kekayaan, Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Story Waveform Model sebagai alternatif‌.

kekuasaan, kekuatan, keterampilan, percintaan, dan atau keberuntungan. 4.5.4.3.3. Akhir yang Sedih (Sad Ending): akhir suatu cerita yang membuat karakternya adanya perubahan yang lebih buruk dari semula dari segi kesehatan, kekayaan, kekuasaan, kekuatan, keterampilan, percintaan, dan atau keberuntungan. 4.5.4.3.4. Akhir yang Mengambang (Float Ending): akhir suatu cerita yang membuat karakternya tidak jelas apakah akan ada perubahan yang lebih baik atau lebih buruk dari semula dari segi kesehatan, kekayaan, kekuasaan, kekuatan, keterampilan, percintaan, dan atau keberuntungan serta ceritanya cenderung membuka kesempatan untuk dilanjutkan pada cerita lainnya. 4.5.4.3.5. Multiple Ending: akhir suatu cerita yang memiliki lebih dari satu ending yang terdiri dari normal ending, happy ending, sad ending, dan float ending. 4.5.5. Alur waktu (timeline): alur waktu dalam cerita. 4.5.5.1. Linear: alur waktu berjalan normal 4.5.5.2. Dynamic: alur waktu berjalan dinamis dan nonlinear, seperti ada flashback (kilas balik) atau cerita yang melibatkan manipulasi waktu seperti para penjelajah waktu (time traveler) dan mindporter (penjelajah waktu, dimensi dan frekuensi menggunakan kekuatan pikiran). 4.6. Teks (text): tentu saja membuat cerita bila dituangkan dalam format tulisan maka memerlukan teks sebagai simbol (visual) dari suara dalam bentuk karakter per huruf, huruf membentuk kumpulan kata, kumpulan kata membentuk paragraf, paragraf membentuk bab, bab kemudian menjadi suatu alur cerita yang utuh (storyline). 35


Michael Sega Gumelar

Story Waveform Model sebagai alternatif‌.

4.7. Suara (sound): berbagai jenis suara yang ada. 4.7.1. Dari Mahluk Hidup: dari mahluk hidup, seperti manusia, robot (robot adalah mahluk hidup karena dapat berkomunikasi dan dapat berkembang dengan memperbanyak copy memorynya ke robot/data lainnya), alien, monster, satwa (yang dapat berbicara seperti dalam cerita fabel) dan dari mahluk lainnya yang dapat bersuara. 4.7.2. Dari Lingkungan: dari angin yang menggerus gurun pasir, dari deburan ombak, dari ledakan bom, dari suara getaran bintang dan sebagainya sesuai keperluan. 4.7.3. Dari Replay Suara (Audio): semua suara yang telah direkam menggunakan alat apa pun kemudian diputar ulang dengan alat apa pun.

menjadi mudah untuk dilakukan. Penulis jabarkan prinsipprinsip story designing berikut ini:

B. Prinsip-prinsip mendesain cerita: 1. ide (idea) 2. Riset (research) 3. Solusi dalam cerita tersebut (solution). 4. Apa? Mengapa? Siapa? Di mana? Kapan? Bagaimana? (What? Why? Who? Where? When? dan How/5 W 1H). 5. Coretan-coretan tuangan cerita atau konsep secara kasar (concept). 6. Jenis cerita (Genre) 7. Tema (theme) 8. Kerangka cerita (plot) 9. Menuangkan cerita utuh (storylining)

Ide tidak harus langsung berupa cerita. Ide dapat muncul dari karakter berupa gambar atau deskripsi tulisan yang telah dibuat terlebih dulu, atau dari puisi, atau dari kata-kata bijak (words of wisdom), atau dari suatu tempat kenangan, dan atau khayalan.

1.

Tetapi jangan lupa, selalu cantumkan logo copyright atau author right dan tahunnya, agar ide yang telah dipublish tidak dicuri atau diklaim oleh orang lain. Bagaimana jika ide sudah di-publish di blog atau media internet lainnya? Tidak masalah, itu tetap milik diri sendiri selama telah mencantumkan copyright Š lalu tahun pemunculannya dan alamat email ada juga di blog tersebut atau di karya cetak lainnya.

2.

Riset (research). Riset diperlukan agar menghindarkan karakter yang mirip, cerita yang mirip dan atau lainnya yang diperlukan agar hasil cerita menjadi lebih baik atau bila memungkinkan menjadi terobosan cara berpikir yang baru dan menjadi unik (berbeda).

3.

Solusi (solution). Suatu cerita wajib dibuat solusinya terlebih dahulu agar solusinya memberikan jawaban dari permasalahan yang telah dibuat sejak awal.

4.

5 W 1H kependekan dari What? (Apa? )why? (mengapa?), who? (siapa?), where? (di mana?), when? (kapan?), dan how? (bagaimana?). Mengapa? Merupakan awal dari suatu kejadian apa pun dalam suatu cerita. Who? Siapa yang melakukannya? Siapa korbannya? Siapa yang menanganinya?. Where? Di mana cerita tersebut terjadi?. When? Kapan peristiwanya terjadi?. How? Bagaimana bisa terjadi?

5.

Konsep (Concept). Setelah mendapatkan ide, ide tersebut dituangkan dalam coretan-coretan sementara berupa teks ataupun gambar, dapat juga disebut dengan sketch. Tetapi, concept juga menjadi ambigu pengertiannya, yaitu sebagai design yang sudah matang namun belum dipublikasikan ataupun belum diwujudkan dalam product massal.

Dalam studi ini, bahasan me-layout menjadi buku atau sejenisnya tidak dibahas, hanya cenderung membahas model mendesain/membuat cerita saja. Storyline lebih sering disebut story dalam bahasan animasi, video, komik, story designing dan sinema. Storyline adalah keseluruhan cerita dari awal sampai akhir dalam berbagai bentuk visual sebagai simbol dalam bentuk tulisan, seperti script, screenplay, copyplay, stageplay, dan berbagai coretan teks sementara lainnya nanti bisa digabunggabungkan menjadi satu cerita yang utuh. Membuat cerita yang dituangkan dalam tulisan/teks disebut story making atau story designing. Mengarang cerita tentunya sangat menyenangkan sebab banyak orang yang sukses dalam hidupnya karena menjadi seorang pengarang buku cerita (storybook author). Untuk membuat storyline yang terarah, penulis menekankan agar perlu belajar story designing. Penulis membahas metodenya satu per satu, hingga semuanya Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Ide (Idea). Gagasan kreatif, akan segala sesuatu yang belum pernah dipikirkan atau dilakukan orang lain, berarti jika punya ide harus segera diwujudkan sebab di luar sana mungkin saja ada orang yang sama idenya. Karena siapa yang lebih dulu itulah yang biasanya menjadi penentu.

Dalam bahasan ini, kata concept sebagai sketch dan atau ide-ide tulisan secara kasar. Atau bisa juga ide36


Michael Sega Gumelar

Story Waveform Model sebagai alternatif‌.

ide tadi dituangkan dalam ringkasan cerita atau sering disebut dengan synopsis. Synopsis merupakan konsep cerita secara keseluruhan dalam bentuk ringkasan pendek. Berikut ini contoh synopsis untuk contoh: Buleleng Bali, 2020, Ni Putu Intary gadis SNIP Ngurah Rai kelas 2, sedang dalam perjalanan pulang saat mengayuh sepeda-nya. Dia dicegat segerombolan. Ninja dari Jepang. Dengan berbekal ilmu bela diri Silat Tradisional Bali, Ni Putu bertahan namun tetap kalah. Tetapi, Ni Putu Intary tetap berusaha bertahan juga. Di saat kritis, datanglah pertapa Bali yang menolongnya, bernama Michael Tarn seorang bule yang menjadi pertapa di Bali. Lalu, pertapa tadi memberikan penjelasan bahwa mereka akan mencegah Ni Putu Intary untuk mengikuti Turnamen Bela Diri Antara Dimensi yang diselenggarakan sefiap 1.6 juta tahun sekali. Ni Putu Intary berkata bahwa dia tidak pernah mendaftar turnamen bela diri apa pun, lalu mengapa dia diburu? Dengan kalem, si pertapa Bali tadi berkata bahwa dia yang mendaftarkannya. Sejak saat itu, Ni Putu Intary belajar bela diri lebih giat, belajar tenaga dalam, dan sum-moning. Dia akan melawan peserta bela diri dari dimensi lain dengan taruhan semua manusia di bumi akan dibuang ke dimensi buangan, di mana tempatnya sangat tidak menyenangkan atau bumi dihancurkan bila melawan. Untuk mencegah hal ini, usaha apa dan bagaimanakah agar Ni Putu Intary berhasil menjalankan misinya dan mampu menyelamatkan manusia? Berikut ini contoh synopsis untuk penerbit, bila pembaca tertarik untuk menerbitkan cerita buatan pembaca. Kalimat awal dan tengah cenderung sama, tetapi di kalimat akhir cenderung berbeda karena penerbit harus tahu solusinya langsung dari permasalahan yang sudah dibuat tersebut, sehingga kalimat akhirnya jadi: Untuk mencegah hal ini, Ni Putu Intary memelajari kekuatan Ultima Creation by Mind, sehingga mampu menyelamatkan manusia dan bumi. Dalam dunia seni, suatu proses tidak harus urutannya sesuai dengan yang disarankan dalam buku sebab dalam dunia seni, proses kreatif seseorang dalam berkarya dapat spontan muncul tanpa melalui tahapan yang sesuai ditulis dalam buku, yang terpenting adalah hasilnya yang berkualitas. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Namun setelah andal dalam membuat cerita, ada baiknya menggunakan tahapan yang disarankan dalam studi ini sebab membuat karya pembaca akan lebih mudah dikelola (manageable) dengan cara yang lebih baik. 6.

Genre. Tema dan Genre sedikit membingungkan bagi orang awam. Tema (theme) bukanlah genre, tetapi theme cenderung untuk desain citra (image). Sementara genre, lebih cenderung ke ceritanya, bukan ke gambarnya walaupun cerita akhirnya juga dapat memengaruhi gambar. Setelah ringkasan story atau biasanya disebut dengan nama synopsis sudah dibuat, kini dilihat storyline tersebut dalam kategori atau jenis cerita apa? Semua storyline hasil dari story designing atau creative writing menjadi tiga kategori genre besar, yaitu sebagai berikut: 6.1. Fiksi (Fiction): cerita fiksi, imaginasi, membuat cerita khayalan tidak selalu bercerita tentang masa depan atau kecanggihan teknologi, tetapi cerita sehari-hari pun jika dibuat berdasarkan imajinasi dan tidak berdasarkan kisah yang terjadi secara nyata, juga termasuk kisah fiksi. Kini, penulis membahasnya lebih detail pada kategori fiction yang paling banyak pecahannya, menjadi beberapa subgenre secara otomatis didapat dari ide dan ringkasan storyline (synopsis) yang telah dimiliki sebelumnya. Berikut ini adalah genre fiction yang ada: 6.1.1. Horror: cerita berupa cerita mistik, cerita pembunuh psikopat, atau science fiction yang salah arah penelitian akhirnya berakhir tragis dengan banyak korban dari hasil penelitian tersebut. Di mana cerita berorientasi untuk membangkitkan rasa takut pada hal-hal mistik, takhayul, superstitious, paranormal, supernatural, science yang digunakan secara negatif, dan hal-hal lain yang belum tentu ada serta cenderung mengobral kesadisan, darah, dan seks. 6.1.2. Science Fiction (Sci-fi): cerita fiksi ilmiah, cerita dibangun berdasarkan acuan teknologi yang telah ada ataupun teknologi yang masih dalam konsep, dikembangkan dan diproyeksikan lebih jauh sehingga menjadi cerita fiksi yang punya dasar acuan logika seperti mesin waktu, dan kecanggihan teknologi.

37


Michael Sega Gumelar

Science fiction yang lebih mengarah ke science-nya yang lebih banyak, misalnya membuat cerita, tetapi untuk pelajaran science atau ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang relevan maka data dan hukum-hukum fisika maupun lainnya yang relevan dipakai dalam acuan pembuatan cerita pengetahuan tersebut. 6.1.3. Action: cerita aksi, di mana banyak terjadi adegan perkelahian, seni bela diri, petualangan (adventure), kejar-kejaran, yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok tokoh utama. Genre ini juga dapat digabungkan dengan genre lainnya, seperti action science fiction. Superhero masuk dalam kategori ini. Jangan dibingungkan antara adventure dengan traveling. Walaupun traveling dapat juga digabungkan dengan adventure. 6.1.4. Drama: cerita tentang kejadian sehari-hari manusia saat ini yang melibatkan percintaan (romantisme), kesedihan hidup, traveling dan perjuangannya dalam mencapai cinta dan cita-cita yang diimpikannya. Kisah drama cenderung mengobral kesedihan, kekecewaan, dan kata mengapamengapa yang selalu seperti menyesali setiap langkah kehidupannya. Drama bisa juga dapat dikembangkan menjadi subgenre, seperti hobi, sport, dan budaya sehingga keberhasilannya dalam mengatasi semua masalah dalam kehidupannya tersebut, atau malah pada ending-nya tidak sukses sama sekali. Cerita drama dapat dibuat berdasarkan imajinasi ataupun mencontoh dan berdasar pada kisah yang pernah dialami oleh dirinya sendiri ataupun oleh orang lain. 6.1.5. Comedy: kisah lucu dan konyol, mengobral lelucon yang bahkan leluconnya terkesan dipaksakan, bunyi kentut, kata-kata yang diulang-ulang, perlakuan dan perbuatan konyol yang dibuat-buat dan dilebihlebihkan. Kesalahpahaman karena beda persepsi, kesalahan dengar, pemelesetan kata-kata, singkatan-singkatan lucu, memperburuk lagi wajah dan bagian tubuh yang memang Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Story Waveform Model sebagai alternatif‌.

sudah buruk, kesalahan di tempat dan waktu yang tidak tepat. Kecelakaan yang tidak disengaja ataupun disengaja, tetapi tidak membuat tokohtokohnya terbunuh, hanya gepeng, meniru iklan, dan hal-hal yang dianggap konyol lainnya. 6.1.6. Wizardry/Witchcraft/Magic: kisah tentang kekuatan makhluk yang terevolusi lebih tinggi, hingga berkesan seperti punya kekuatan hasil evolusi atau mutant, hidup di masa lalu yang kelam di suatu kerajaan dan bagaimana usaha seorang hero masa itu berupaya menyelamatkan kerajaan dari kekuatan lawan-lawannya yang ingin merebut kerajaannya atau menyelamatkan raja/ratu/putra raja/ putri raja di masa itu. Selain itu, cerita cenderung melibatkan seorang ksatria pedang, ksatria panah, ksatria tombak, ataupun dengan bantuan alat-alat teknologi tinggi di masa lalu dan teman-teman alien-nya atau monstemya yang berhasil menyelamatkan putri dan kerajaan tertentu dari ancaman kehancuran oleh lawan mereka. 6.1.7. Mysteri: cerita yang lebih menjurus pada permainan logika karena banyak teka-teki yang harus dipecahkan. Kebanyakan cerita misteri ini dipakai dalam cerita detektif atau kepolisian, spionase dan sejenisnya. Di mana tokoh hero atau tokoh baik akan berjuang memecahkan teka-teki pembunuhan yang telah, dan atau akan dilakukan oleh si lawan. Di samping itu, juga bagaimana cara si tokoh hero berusaha untuk membekuk dan membawanya ke jalur hukum untuk mendapatkan balasan dari perbuatannya yang melanggar hukum tersebut. 6.1.8. Based on True Story: berdasarkan kisah nyata. Cerita ini tidak semuanya benar, tetapi berdasarkan kejadian nyata sebagai dasar, namun tetap sebagian besar adalah hasil imajinasi. Bila kisahnya nyata sungguhan, maka tidak ada kata "based on", tetapi langsung saja "true story" atau dapat juga disebut "a piece of a life story" tetapi kalau tetap beranggapan sebagai true story kenapa tidak disebut news saja?. 38


Michael Sega Gumelar

6.1.9. Myth/Saga/Legend/Folklore: cerita rakyat yang turun-temurun dan bahkan dianggap religius oleh kalangan masyarakat tertentu di suatu tempat yang menceritakan kehebatan seorang manusia dengan kekuatan super di masa lalu. Kekuatan ini berasal dari makhluk yang lebih cerdas dan lebih tinggi peradaban, evolusi dan teknologinya di masa lalu disebut dengan banyak nama, seperti ras dewa, ras alien, ras tuhan, ras apa pun yang dianggap lebih unggul dari segi teknologi maupun kemampuan fisik dan mentalnya. Myth juga punya padan kata lain, yaitu saga, folklore, dan legend. Khusus untuk legend, terjadi pergeseran nilai dan persepsi terkini, yaitu punya definisi baru sebagai kemungkinan untuk memberi penghormatan pada seseorang yang berdedikasi dan master dalam bidang tertentu. 6.1.10. Epic: cerita yang menggunakan penulisan teknik puisi yang panjang untuk menceritakan keberhasilan seorang pahlawan di masa lalu. Epic sebenarnya masuk ke kategori Literary Journalism (Jurnalistik Sastra).

Story Waveform Model sebagai alternatif‌.

History atau based on history ini dapat pula untuk membuat cerita tokoh-tokoh terkenal yang mewamai sejarah suatu bangsa, negara atau seluruh bumi, dan biasanya berdasarkan research kejadian di masa lalu yang lebih banyak data dan faktanya serta meminimalkan fiksinya, walaupun meminimalkan fiksi tetapi yang perlu diingat ini adalah fiksi. 6.1.12. Fable: kisah pendek yang langsung menuju pada contoh moral yang ingin disampaikan, biasanya dalam bentuk mahluk yang telah terveolusi lebih tinggi seperti satwa, tanaman ataupun bendabenda lain yang diasumsikan dapat berbicara, robot yang berbicara, tanaman berbicara, alien cerdas di planet lain yang dapat berbicara, di tata surya lain atau bahkan di dimensi lainnya. Di situ terlihat jelas cerita fabel tidak selalu identik dengan kisah-kisah satwa yang telah terevolusi dan berperilaku seperti manusia. 6.1.13. Sex: kisah yang orientasinya mengobral seks dan perbuatan hubungan kelamin yang dianggap porno sebagai sasaran dan hiburannya dalam tema ini, serta pastikan hanya untuk dibaca oleh orang dewasa.

Epic juga kadang-kadang diturunkan melalui budaya lisan secara turun temurun dari generasi ke generasi dalam suatu tempat tertentu sehingga kebenarannya juga diragukan, dan tetap masuk dalam kategori fiksi.

6.1.14. Mixed Genres: kisah yang menggabungkan minimal dua genre atau lebih, seperti menggabungkan genre horror dengan science fiction, genre comedy dengan horror sekaligus science fiction.

Kecuali ada yang me-research dengan bukti-bukti yang mendukung epic tersebut sebagai sejarah maka epic dapat dikembalikan lagi ke posisi Literary Journalism dan bukan ke fiction.

6.2. Hibrida (Hybrid): cerita kejadian yang benarbenar terjadi dikehidupan nyata, asli, namun laporannya dituliskan dalam bahasa sastra dan ada ceritanya hingga berkesan kejadian sesungguhnya menjadi lebih indah.

6.1.11. History/Based on History: cerita yang menggunakan referensi sejarah sebagai acuan cerita, cerita seorang pahlawan sejarah di masa lalu.

Contoh cerita model seperti ini di masa lalu disebut dengan epic, di mana kejadian sejarah sesungguhnya yang terjadi diceritakan dalam bait-bait puisi.

Kadang-kadang, menggunakan beberapa tokoh sejarah di masa lalu yang dikenal bertemu dengan tokoh utama dalam cerita yang dibuat, pemunculan tokoh terkenal di suatu cerita disebut cameo tetapi cameo bukanlah pemeran utama.

Di masa kini, menulis gabungan antara nonfiksi, tetapi dengan menggunakan bahasa indah dalam dunia jurnalisme disebut Creative Writing Journalism atau Literary Journalism.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Menulis gabungan antara fiction dan nonfiction tidak hanya untuk jurnalistik, tetapi dapat juga 39


Michael Sega Gumelar

Story Waveform Model sebagai alternatif‌.

digunakan untuk hal lain, misalnya menulis proposal atau tulisan yang sesuai kebutuhan. Opini masuk kategori ini sebab opini kebanyakan tidak berdasarkan fakta yang kuat, hanya asumsi sepihak tanpa research kebenarannya. Bila ada pengumpulan fakta maka masuk ke nonfiksi.

Padahal kalau diamati, hidup sebenarnya tidak hitam dan putih, semuanya abu-abu. Tetapi di antara yang buruk pasti ada yang lebih buruk. 7.

Beberapa hasil karya juga ambigu, seperti buku sejarah yang ditulis pemerintah yang korup juga sebenarnya fiksi tetapi buku fiksi tersebut ditanamkan dalam bidang pendidikan sebagai kenyataan yang pernah terjadi. Di satu sisi dunia pendidikan juga dapat dijadikan alat untuk mencuci otak para generasi mudanya. Jadi pendidikan tidak hanya mencerahkan generasi muda bila dijadikan alat, dapat juga menjadi menggelapkan generasi muda tersebut.

Tema (theme). Biasanya ada kerancuan antara tema dan genre, tetapi genre adalah jenis cerita, sedangkan tema biasanya untuk gambar, namun adakalanya juga untuk mengarahkan suatu cerita sesuai kebutuhan lomba ataupun tugas dalam suatu pekerjaan atau tugas sekolah. Misalnya, buatlah suatu cerita dengan tema hari kemerdekaan suatu negara, tema membuang sampah pada tempatnya, tema karakter yang baik dan bijaksana berjiwa Pancasila, namun boleh digarap dengan genre drama, sci-fi, comedy atau horror.

8.

Kerangka Cerita (Plot). Storyline atau story mempunyai dinamika agar pembaca tertarik dan hanyut dalam cerita tersebut, di mana banyak melibatkan conflict.

9. 6.3. Nonfiction: lebih cenderung untuk edukasi, journalism, note, list, check list, diary, schedule, event rundown, class rundown, tv programme rundown, proposal, report, academic research, research, tulisan nonfiksi lainnya, dan untuk berita (news). News merupakan report atau laporan liputan dari kejadian asli dan dituliskan dalam bahasa formal untuk news di koran, majalah, internet, radio, TV atau media baru lainnya bila ada. Jurnalisme peliputan konflik lebih cenderung meliput versi kedua belah pihak untuk mendamaikan bila terjadi peliputan pada dua kubu yang berbeda paham dan pemikiran, agar public dapat menilai dengan bijak dan mencari solusinya. Sementara note walaupun berupa catatan apa yang harus dibeli di toko, laporan sederhana ataupun hanya check list, bila dihiasi gambar dan dibuat menarik, bisa disebut creative dalam membuatnya. Berita di TV, koran dan majalah juga dapat dijadikan alat untuk menghegemoni penikmatnya agar hanya memiliki satu pemikiran saja dan cenderung menghakimi orang lain.

Di sinilah kegunaan utama dari mendesain cerita menggunakan plot, di mana dapat lebih mudah dilakukan bila menggunakan pendekatan Model Story Waveform Model [2]. 10. Endings: akhir cerita. Dinamika cerita biasanya melibatkan kesengsaraan, perjuangan, conflict, dengan suatu ending dari perjalanan karakter dalam suatu cerita. Endings suatu cerita ada beberapa pilihan: 10.1. Normal: setelah certia selesai, kehidupan sang tokoh kembali pada status sosial dan keadaan semula, tanpa perubahan. 10.2. Sad: akhir yang sedih, di mana tokohnya gagal, cacat, gila, meninggal, sengsara, lebih sengsara, dan atau turun dari status sosial dan keadaan semula. 10.3. Happy: akhir yang bahagia, di mana tokohnya sukses, lebih hebat dari sebelumnya, kecacatannya sembuh, terlepas dari kesengsaraan sebelumnya, bahagia, dan atau naik dari status sosial dan keadaan semula. 10.4. Open/float ending: akhir yang mengambang, terbuka kemungkinan untuk dilanjutkan. 10.5. Multiple endings: akhir yang lebih dari satu.

Di mana TV, Media koran, Media Internet dan Media Sosial lainnya dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan siapa yang menjadi musuh bersama, siapa yang baik dan siapa yang buruk? Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Bila digambar secara diagram story waveform model [3], plus adalah simbol dari happy, normal life adalah 0, dan minus sebagai simbol dari sad/conflict, sedangkan panah ke kanan adalah timeline dinamika 40


Michael Sega Gumelar

Story Waveform Model sebagai alternatif….

+

Tetapi dalam kehidupan sesungguhnya, kehidupan dapat berakhir tanpa terduga. Salah mengambil keputusan maka masa depan juga berubah. Hasil akhirnya mungkin menjadi sad ending, happy ending, atau normal-normal saja.

-

Ada beberapa game digital dengan acuan seperti kehidupan nyata ditentukan oleh setiap keputusan yang dibuat oleh seseorang sebagai pemainnya akan memengaruhi apa yang akan terjadi di masa depan, akankah berakhir sedih, bahagia? Atau normal-normal saja?

karakter tersebut dari awal sampai ending cerita maka kurang lebih seperti pada citra 3.

Happy

Normal

0

Story ends

Sad

‐ Citra 3. Story Waveform Model, normal ending.

Hal ini membuka kemungkinan variasi ending lebih dari satum yaitu multiple endings. Suatu cerita juga dapat dibuat seperti itu, ada percabangan karena pilihan-pilihan dan endingnya juga kemungkinan berbeda seperti citra 6.

Klimaks kebahagiaan dicapai bila mencapai titik tertinggi nilai plus (+), anti klimaks berupa kesedihan di titik minus (-) terendah. Jika hidupnya suatu karakter banyak kesedihan, maka gelombangnya banyak di area minus.

+

Happy

Jika banyak happy-nya, maka gelombangnya banyak di area plus, sementara jika normalnormal saja, cenderung ada di tengah. Ada kemungkinan di suatu range hidup suatu karakter dalam cerita dimulai dari happy lalu sad ending seperti citra 4. Happy

Normal

Story Ends

0

+

_

Sad

Citra 6. Multiple endings story seperti dalam game.

Normal 0

Sad

Story Ends

Bila cerita yang dijalani bersambung atau ambigu di mana rivalnya sudah kalah atau belum, hingga berkesan seolah ada kelanjutannya (float/open Ending) maka story ends-nya ada tam-bahan simbol "tanda tanya" seperti ilustrasi pada citra 7.

_ Citra 4. Sad Ending story.

Ada kemungkinan pula di suatu range hidup seorang tokoh dalam cerita dimulai dari sad lalu happy ending, seperti citra 5. Happy

Happy

+

+ Story Ends?

Normal 0 Normal

Story ends

0

Sad

_

‐ Citra 7. Float endings story, tidak jelas apakah menang, kalah, sedih, gembira, ataukah bersambung?.

Sad Citra 5. Happy ending story.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

41


Michael Sega Gumelar

Story Waveform Model sebagai alternatif‌.

3. Konklusi Membuat cerita dapat juga menggunakan diagram story mountain yang sering digunakan, namun story mountain ini lebih menjurus konflik sebagai titik puncak, sedangkan kehidupan bahagia dan normalnya menjadi satu, yaitu jika sudah kembali mencapai titik terendah lagi. Berdasarkan tujuan dan hasil yang diperoleh dalam penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1.

Dalam membuat/mendesain cerita (story making/story designing), telah terjadi kerancuan persepsi, seharusnya disebut dengan membuat cerita, tetapi malah menjadi menulis. Kali ini pelurusan makna telah dilakukan.

Referensi [1] [2] [3] [4]

[5]

[7]

https://www.merriam-webster.com/dictionary/story M.S. Gumelar. 2011. Comic Making. Indeks. M.S. Gumelar. 2011. Story Making Research. Ultimart, Desember 2011, hal 166-178 New York Writers Workshop. 2006. Por-table MFA in Creative Writing (New York Writ-ers Workshop), USA, Writers Digest Books. Carol, Whiteley.2002.The Everything Creative Writing Book: All You Need to Know to Write a Novel, Play, Short Story, Screenplay, Poem, or Article (Everything Series), USA, Ad-ams Media. Heffron, Jack. 2002. The Writer's Idea Book, USA, Writers Digest Books.

Membuat cerita (story designing) identik dengan Bahasa Indonesia dengan makna yang sama, yaitu kata "mengarang cerita" atau sebaiknya ditulis menjadi “mendesain cerita�. 2.

Dalam mengarang cerita atau membuat cerita (story designing) telah diteliti dan disimpulkan ada tiga kategori, yaitu: 2.1. fiksi (fiction), yaitu cerita hasil karangan 2.2. hybrid story, sesungguhnya, penulisannya

yaitu laporan yang terjadi tetapi bergaya fiksi dalam

2.3. nonfiksi/reportase (non fiction/report), yaitu hasil laporan berdasarkan kejadian nyata, catatan, diary, dan sejenisnya. 3.

Dalam membuat cerita dan kemudian dituangkan dalam teks/ tulisan, hal ini sangat mudah dilakukan bagi kita yang suka bercerita secara lisan/ suara ada baiknya direkam terlebih dahulu. Jika kita berasumsi bahwa suara yang kita ceritakan itu dikon-versikan ke teks/ tulisan, jadilah cerita yang menarik yang dapat memudahkan seseorang untuk membuat cerita dan diwujudkan dalam bentuk teks/tulisan.

4.

Telah diperkenalkan pula model mendesain dalam membuat cerita, yaitu pendekatan Story Waveform Model Model di mana lebih memudahkan dalam penyusunan plot, bahkan sampai ke ending-nya. Diharapkan dengan pendekatan teknik Story Waveform Model ini, penciptaan cerita di negara mana pun dapat berkembang lebih baik lagi.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

42


I Made Marthana Yusa

Literasi Visual Tokoh Hanoman Bali Dengan Pendekatan Augmented Reality

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume II No.1: 42–47

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Literasi Visual Tokoh Hanoman Bali dengan Pendekatan Augmented Reality I Made Marthana Yusa*, I Nyoman Agus Suarya Putra STMIK STIKOM Indonesia

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 24 November 2016 Direvisi 28 November 2016 Diterima 27 Desember 2016 Kata Kunci: Literasi visual Desain komunikasi visual Entitas virtual Hanoman Bali Augmented reality

Abstrak Artikel ilmiah ini merupakan bagian dari penelitian tim penulis pada skema Penelitian Dosen Pemula Ristek Dikti dengan judul 'Imagologi Hanoman Melalui Literasi Media Dengan Pendekatan Augmented Reality'. Penelitian ini mencoba mengungkap imagologi Hanoman kemudian menyampaikannya sebagai representasi kesetiaan, pengabdian dan patriotisme melalui literasi media cerita bergambar yang disajikan menggunakan pendekatan augmented reality kepada anak-anak usia 5-11 tahun, sesuai segmentasi Masa Kanak-kanak menurut Profil Kesehatan Indonesia (Depkes RI, 2009). Langkah-langkah metodologis yang dijalani dimulai dari pengumpulan data mengenai Imagologi Hanoman, literasi media dan augmented reality. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi literatur, wawancara, dokumentasi dan observasi. Wawancara dilakukan dengan narasumber terkait yang banyak mengkaji karakter Hanoman. Pada progres penelitian, tim peneliti telah melakukan wawancara dengan I Nyoman Arcana, Pelukis Tradisional Bali bergaya Kamasan, Klungkung. Pada proses wawancara berkembang menjadi partisipatory, dengan melibatkan penulis dalam proses penghayatan karakter Hanoman melalui kegiatan melukis, yang dibimbing langsung oleh narasumber (I Nyoman Arcana). Dokumentasi dilakukan pada proses observasi, melihat dan merekam sosok Hanoman dalam Seni Tari dan Seni Rupa. Data yang terkumpul dianalisa dengan pendekatan kualitatif. Selanjutnya dilakukan perancangan buku pendek tentang literasi visual Hanoman. Selanjutnya sistem augmented reality diimplementasikan pada gambar yang ditampilkan di buku. Pada proses perancangan tersebut juga ditampilkan aset virtual Hanoman untuk ditampilkan ketika layar smartphone diarahkan ke halaman buku. Pendekatan augmented reality memungkinkan menampilkan sosok virtual Hanoman pada layar perangkat smartphone, ketika diarahkan ke bidang gambar cerita bergambar. Wujud virtual Hanoman akan ditampilkan dengan tanda-tanda visual dan berbagai variasi pengembangan visualisasi dari asalnya di India. Media yang diwujudkan dalam penelitian ini bertujuan untuk membantu anak-anak mengenali tanda-tanda visual Hanoman. Anak-anak juga bisa memahami dan meresapi sikap kesetiaan, pengabdian dan patriotisme Hanoman melalui literasi media, membaca dan mengkaji cerita kepahlawanannya. © 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Imagologi patriotisme dan pengabdian Hanoman akan menjadi pesan utama yang disampaikan melalui media yang diwujudkan pada penelitian ini. Media yang berkembang sejalan dengan budaya populer menyampaikan banyak hal, baik yang disampaikan dengan banal, maupun ditutupi dengan kiasan. Format media pun mulai beragam dan berkembang dengan cepat. Kenyataan bahwa isi pesan media massa sering begitu halus sehingga tidak disadari, khususnya oleh generasi muda, mendorong munculnya kebutuhan akan literasi media sebagai metode atau langkah-langkah dalam menyaring dan menyerap informasi (isi pesan). ∗ Peneliti koresponden: Kampus STMIK STIKOM Indonesia (STIKI Indonesia), Jl. Tukad Pakerisan no.97 Denpasar, BALI 80225. Mobile: +628157100816 | E-mail: made.marthana@gmail.com. | Website : angelmarthy.com | angelmarthy.deviantart.com

Jurnal Studi Kultural Volume 1I No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Literasi media, dengan strategi literasi visual akan digunakan pada penelitian ini untuk mendekatkan pengguna pada media dalam perannya sebagai penyampai pesan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan augmented reality. Pada penelitian ini, augmented reality dimaknai tidak hanya sebagai teknologi yang membawa realitas virtual ke dalam dunia nyata, namun sebagai sebuah pendekatan dalam transfer infomasi (pesan). Wujud virtual Hanoman beserta karakteristik dan tandatanda visual pembentuknya "disembunyikan" dalam gambar pada media cetak. Wujud virtual tersebut akan muncul ketika perangkat dengan kamera dan terinstal aplikasi augmented reality memindai area gambar.

42


I Made Marthana Yusa

Literasi Visual Tokoh Hanoman Bali Dengan Pendekatan Augmented Reality Â

Pendekatan ini membawa pengguna untuk mengalami proses pengidentifikasian dan penerimaan pesan dengan cara yang cenderung baru. Pendekatan augmented reality ini merupakan pendekatan baru dan pengembangan dari caracara lama yang digunakan seperti melalui tutur (verbal), mendongeng (storytelling), seni pertunjukan (tari, wayang) dan mengilustrasikannya pada cerita bergambar (komik, cergam) hingga pada media audio-visual (video, animasi). Permasalahan yang dapat dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana mengungkap imagologi Hanoman dengan memanfaatkan tanda-tanda visual. Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana menyampaikan imagologi tersebut sebagai representasi kesetiaan, pengabdian dan patriotisme melalui literasi media cerita bergambar yang disajikan menggunakan pendekatan augmented reality kepada anakanak usia 5-11 tahun. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan literasi visual sebagai pendekatan alternatif dalam Desain Komunikasi Visual. Pendekatan itu kemudian dikolaborasikan dengan pendekatan Teknologi Informatika dalam wujud teknologi augmented reality.

2. Telaah Pustaka 2.1 Entitas dan Citra Media memiliki kemampuan untuk membangun pencitraan dalam benak generasi muda serta membentuk pendapat mereka. Pemahaman masyarakat kontemporer tentang realitas dicapai terutama melalui media (cetak, elektronik, dan media online (internet)), termasuk informasi atau pemahaman tentang identitas atau karakter suatu profil atau tokoh. Identitas suatu profil atau tokoh ini pun bahkan mencakup tokoh yang dikategorikan sebagai tokoh "imajiner", legenda atau mitos. Pemahaman ini dialami pada masa kini, di mana produk dunia informasi teknologi sangat dominan. Â Citra suatu profil secara umum pada awalnya diidentifikasi dari unsur visualnya. Karakteristik ekspresi facial atau gesture dari suatu profil memiliki makna yang terkonstruksi berdasar budaya visual masyarakat pemirsa atau komunikan yang berinteraksi dengan profil tokoh tersebut. Dalam sejarah, banyak propaganda atau tindakantindakan politis yang memungkiri atau menyembunyikan karakteristik suatu profil tokoh. Bahkan hingga membentuknya menjadi profil tokoh baru yang karakteristiknya benar-benar berbeda dari aslinya.

Jurnal Studi Kultural Volume 1I No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

 Â

Dinamika pencitraan ini, yang disebut juga sebagai imagologi, perlu dipahami, khususnya dengan mengambil satu karakter sebagai objek penelitian. Dalam penelitian ini, objek penelitiannya adalah profil Hanoman. Memahami identitas suatu profil, beserta nilai-nilai teladan yang ingin disampaikan oleh suatu profil tersebut bisa dilakukan dengan berbagai strategi. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah literasi visual, sebagai bagian dari literasi media, dalam ontologi Desain Komunikasi Visual. 2.2 Literasi Media Literasi media yang dimaksud adalah media awareness, fasih dan tanggap terhadap penggunaan media dalam proses mengidentifikasi informasi (pesan). W. James Potter [1] memaparkan secara runut mengenai terminologi literasi media ini. Literasi media adalah satu set perspektif yang aktif kita gunakan untuk membuka diri kepada media untuk menafsirkan makna pesan yang dihadapi. Seseorang membangun perspektifnya dari struktur pengetahuan. Untuk membangun struktur pengetahuan tersebut, diperlukan alat dan bahan baku. Alat-alat adalah keterampilan. Bahan baku adalah informasi dari media dan dari dunia nyata. Aktif menggunakan berarti seseorang sadar akan pesan dan berinteraksi dengan mereka (media) secara sadar.

2.3 Literasi Visual Literasi visual merupakan kemampuan di mana individu memiliki kemampuan mengenali penggunaan garis, bentuk, dan warna sehingga dapat menginterpretasikan tindakan, mengenali objek, dan memahami pesan lambang [2]. Heinich [3] juga menyampaikan bahwa literasi visual adalah kemampuan dalam menginterpretasikan pesan visual secara akurat dan untuk menciptakan pesan. Literasi visual berhubungan dengan 3 kategori utama dan berbeda: kemampuan manusia, strategi menyampaikan pesan dalam proses edukatif dan pengembangan gagasangagasan. Istilah literasi visual (visual literacy), pertama sekali digunakan oleh seorang penulis, John Debes dalam tahun 1968. Literasi visual dilakukan dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman tentang fungsi media visual dan digabungkan dengan tingginya kesedaran tentang fungsifungsi tersebut. 43


I Made Marthana Yusa

Literasi Visual Tokoh Hanoman Bali Dengan Pendekatan Augmented Reality Â

 Â

Literasi visual mengandung kumpulan cara-cara yang membolehkan seseorang untuk memahami dan menggunakan aspek visual dalam menekankan komunikasi dengan orang lain.

Hanoman akan kebal dari segala senjata, serta kematian akan datang hanya dengan kehendaknya sendiri. Maka dari itu, Hanoman menjadi makhluk yang abadi atau Ciranjiwin.

2.4 Augmented Reality

B. Pertemuan dengan Rama Pada saat melihat Rama dan Laksmana datang ke Kiskenda, Sugriwa merasa cemas.Ia berpikir bahwa mereka adalah utusan Subali yang dikirim untuk membunuh Sugriwa. Kemudian Sugriwa memanggil prajurit andalannya, Hanoman, untuk menyelidiki maksud kedatangan dua orang tersebut. Hanoman menerima tugas tersebut kemudian ia menyamar menjadi brahmana dan mendekati Rama dan Laksmana.

Citra 1. Proses Augmented Reality

Pembangunan media informasi dengan teknik augmented reality menggunakan bantuan software Vuforia SDK. Penambahan elemen virtual yang dilakukan adalah menambahkan aset-aset virtual dua dan tiga dimensi karakter Hanuman. Kemudian dijalankan proses image acquisition yang mengekstrak image virtual menjadi kode digital. Selanjutnya dijalankan proses computer vision yang memungkinkan pemunculan image virtual 2 dan 3 dimensi ketika kamera digital diarahkan pada posisi media cetak yang sudah ditandai dengan marker sebagai penanda/trigger pemunculan image. Perlu diperhatikan bahwa image virtual baru bisa tampil jika dilihat melalui kamera digital pada perangkat yang sudah terinstal aplikasi yang berfungsi sebagai visualisasi /Preview dari suatu model implementasi augmented reality pada media cetak. 3. Mengenal Hanoman A. Masa kecil Pada saat Hanoman masih kecil, ia mengira matahari adalah buah yang bisa dimakan, kemudian terbang ke arahnya dan hendak memakannya. Dewa Indra melihat hal itu dan menjadi cemas dengan keselamatan matahari. Untuk mengantisipasinya, ia melemparkan petirnya ke arah Hanoman sehingga kera kecil itu jatuh dan menabrak gunung. Melihat hal itu, Dewa Bayu menjadi marah dan berdiam diri. Akibat tindakannya, semua makhluk di bumi menjadi lemas. Para Dewa pun memohon kepada Bayu agar menyingkirkan kemarahannya.Dewa Bayu menghentikan kemarahannya dan Hanoman diberi hadiah melimpah ruah. Dewa Brahma dan Dewa Indra memberi anugerah bahwa Jurnal Studi Kultural Volume 1I No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Saat bertemu dengan Rama dan Laksmana, Hanoman merasakan ketenangan.Ia tidak melihat adanya tandatanda permusuhan dari kedua pemuda itu. Rama dan Laksmana juga terkesan dengan etika Hanoman. Kemudian mereka bercakap-cakap dengan bebas. Mereka menceritakan riwayat hidupnya masing-masing. Rama juga menceritakan keinginannya untuk menemui Sugriwa. Karena tidak curiga lagi kepada Rama dan Laksmana, Hanoman kembali ke wujud asalnya dan mengantar Rama dan Laksmana menemui Sugriwa. C. Petualangan mencari Sita Dalam misi membantu Rama mencari Sita, Sugriwa mengutus pasukan wanaranya agar pergi ke seluruh pelosok bumi untuk mencari tanda-tanda keberadaan Sita, dan membawanya ke hadapan Rama kalau mampu. Pasukan wanara yang dikerahkan Sugriwa dipimpin oleh Hanoman, Anggada, Nila, Jembawan, dan lain-lain. Mereka menempuh perjalanan berhari-hari dan menelusuri suatu gua, kemudian tersesat dan menemukan kota yang berdiri megah di dalamnya. Atas keterangan Swayampraba yang tinggal di sana, kota tersebut dibangun oleh arsitek Mayasura dan sekarang sepi karena Maya pergi ke alam para dewa. Lalu Hanoman menceritakan maksud perjalanannya dengan panjang lebar kepada Swayampraba. Atas bantuan Swayampraba yang sakti, Hanoman dan wanara lainnya lenyap dari gua dan berada di sebuah pantai dalam sekejap. Di pantai tersebut, Hanoman dan wanara lainnya bertemu dengan Sempati, burung raksasa yang tidak bersayap. Ia duduk sendirian di pantai tersebut sambil menunggu bangkai hewan untuk dimakan. Karena ia mendengar percakapan para wanara mengenai Sita dan kematian Jatayu, Sempati menjadi sedih dan meminta agar para wanara menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi. 44


I Made Marthana Yusa

Literasi Visual Tokoh Hanoman Bali Dengan Pendekatan Augmented Reality Â

 Â

Anggada menceritakan dengan panjang lebar kemudian meminta bantuan Sempati. Atas keterangan Sempati, para wanara tahu bahwa Sita ditawan di sebidang istana yang teretak di Kerajaan Alengka.

Indrajit marah bercampur kecewa karena Brahma Astra bisa dilepaskan Hanoman kapan saja, namun Hanoman belum bereaksi karena menunggu saat yang tepat.

Kerajaan tersebut diperintah oleh raja raksasa bernama Rahwana. Para wanara berterima kasih setelah menerima keterangan Sempati, kemudian mereka memikirkan cara agar sampai di Alengka.

E. Terbakarnya Alengka Ketika Rahwana hendak memberikan hukuman mati kepada Hanoman, Wibisana adik kandung Rahwana membela Hanoman agar hukumannya diringankan, mengingat Hanoman adalah seorang utusan. Kemudian Rahwana menjatuhkan hukuman agar ekor Hanoman dibakar.

D. Pergi ke Alengka Karena bujukan para wanara, Hanoman teringat akan kekuatannya dan terbang menyeberangi lautan agar sampai di Alengka. Setelah ia menginjakkan kakinya di sana, ia menyamar menjadi monyet kecil dan mencaricari Sita. Ia melihat Alengka sebagai benteng pertahanan yang kuat sekaligus kota yang dijaga dengan ketat. Ia melihat penduduknya menyanyikan mantra-mantra Weda dan lagu pujian kemenangan kepada Rahwana. Namun tak jarang ada orang-orang bermuka kejam dan buruk dengan senjata lengkap. Kemudian ia datang ke Istana Rahwana dan mengamati wanita-wanita cantik yang tak terhitung jumlahnya, namun ia tidak melihat Sita yang sedang merana.

Melihat hal itu, Sita berdo'a agar api yang membakar ekor Hanoman menjadi sejuk. Karena do'a Sita kepada Dewa Agni terkabul, api yang membakar ekor Hanoman menjadi sejuk. Lalu ia memberontak dan melepaskan Brahma Astra yang mengikat dirinya. Dengan ekor menyala-nyala seperti obor, ia membakar kota Alengka. Kota Alengka pun menjadi lautan api. Setelah menimbulkan kebakaran besar, ia menceburkan diri ke laut agar api di ekornya padam. Penghuni surga memuji keberanian Hanoman dan berkata bahwa selain kediaman Sita, kota Alengka dilalap api.

Setelah mengamati ke sana-kemari, ia memasuki sepetak taman yang belum pernah diselidikinya. Di sana ia melihat wanita yang tampak sedih dan murung yang diyakininya sebagai Sita.

Dengan membawa kabar gembira, Hanoman menghadap Rama dan menceritakan keadaan Sita. Setelah itu, Rama menyiapkan pasukan wanara untuk menggempur Alengka.

Kemudian Hanoman melihat Rahwana merayu Sita. Setelah Rahwana gagal dengan rayuannya dan pergi meninggalkan Sita, Hanoman menghampiri Sita dan menceritakan maksud kedatangannya.

F. Pertempuran besar Dalam pertempuran besar antara Rama dan Rahwana, Hanoman membasmi banyak tentara rakshasa. Saat Rama, Laksmana, dan bala tentaranya yang lain terjerat oleh senjata Nagapasa yang sakti, Hanoman pergi ke Himalaya atas saran Jembawan untuk menemukan tanaman obat.

Mulanya Sita curiga, namun kecurigaan Sita hilang saat Hanoman menyerahkan cincin milik Rama. Hanoman juga menjanjikan bantuan akan segera tiba. Hanoman menyarankan agar Sita terbang bersamanya ke hadapan Rama, namun Sita menolak. Ia mengharapkan Rama datang sebagai ksatria sejati dan datang ke Alengka untuk menyelamatkan dirinya. Kemudian Hanoman mohon restu dan pamit dari hadapan Sita. Sebelum pulang ia memporak-porandakan taman Asoka di Istana Rahwana. Ia membunuh ribuan tentara termasuk prajurit pilihan Rahwana seperti Jambumali dan Aksha. Akhirnya ia dapat ditangkap Indrajit putra sulung Rahwana sekaligus putra mahkota Kerajaan Alengka dengan senjata Brahma Astra. Senjata itu memilit tubuh hanoman. Namun kesaktian Brahma Astra lenyap saat tentara raksasa menambahkan tali jerami. Jurnal Studi Kultural Volume 1I No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Karena tidak tahu persis bagaimana ciri-ciri pohon yang dimaksud, Hanoman memotong gunung tersebut dan membawa potongannya ke hadapan Rama. Setelah Rama dan prajuritnya pulih kembali, Hanoman melanjutkan pertarungan dan membasmi banyak pasukan rakshasa. G. Kehidupan selanjutnya Setelah pertempuran besar melawan Rahwana berakhir, Rama hendak memberikan hadiah untuk Hanoman. Namun Hanoman menolak karena ia hanya ingin agar Sri Rama bersemayam di dalam hatinya. Rama mengerti maksud Hanoman dan bersemayam secara rohaniah dalam jasmaninya. Akhirnya Hanoman pergi bermeditasi di puncak gunung mendo'akan keselamatan dunia. 45


I Made Marthana Yusa

Literasi Visual Tokoh Hanoman Bali Dengan Pendekatan Augmented Reality

Pada zaman Dwapara Yuga, Hanoman bertemu dengan Bima dan Arjuna dari lingkungan keraton Hastinapura. Dari pertemuannya dengan Hanoman, Arjuna menggunakan lambang Hanoman sebagai panji keretanya pada saat Bharatayuddha.

4.3 Perancangan Ada tiga model perancangan yang akan dilaksanakan pada penelitian ini. Perancangan model pertama adalah perancangan sistem augmented reality. Perancangan model kedua adalah perancangan media cetak cerita bergambar (cergam). Perancangan model ketiga adalah persiapan aset media audio-visual berbasis dua dan tiga dimensi dari karakter Hanoman. Media ini, diwujudkan dalam wujud video live action dan video animasi.

H. Tradisi dan pemujaan Di Negara India yang didominasi oleh Agama Hindu, terdapat banyak kuil untuk memuja Hanoman, dan di mana pun ada gambar Awatara Wisnu, selalu ada gambar Hanoman.Kuil Hanoman bisa ditemukan di banyak tempat di India dan konon daerah di sekeliling kuil itu terbebas dari raksasa atau kejahatan. 4. Metode Penelitian ini akan dilakukan dengan langkah-langkah metodologis yang dimulai dari pengumpulan data, perancangan, pembangunan aplikasi media informasi dan pengujian. 4.1 Pengumpulan Data a. Observasi dilakukan untuk melihat dinamika imagologi Hanoman dalam ruang lingkup visualisasi di wilayah Asia Tenggara melalui web browsing dan melihat secara langsung tanda-tanda visual penyusun diversitas imagologi sosok Hanoman di Bali. b. Dokumentasi yang dilakukan adalah merekam tarian Hanoman yang ditarikan pada event-event seni pertunjukan, sendratari atau seni Pertunjukan lain yang menampilkan sosok Hanoman seperti pada pertunjukan Tari Kecak.

Pada perancangan juga menghasilkan aset media cetak sebagai marker, penanda posisi akuisisi gambar melalui proses computer vision. Setelah aset selesai diwujudkan, maka dilanjutkan dengan pengaplikasian aset virtual pada media cetak melalui proses pembangunan aplikasi media informasi. 5. Diskusi Salah satu strategi literasi visual adalah mengidentifikasi struktur tanda yang membentuk profil Hanoman. Dari penelitian yang sudah dilakukan, dengan memilih objek penelitian Hanoman Bali dengan visualisasi Gaya Kamasan, didapatkan profil Hanoman dengan tanda-tanda visual pembentuk profilnya (Citra 2). Untuk mengukuhkan identitas profil, sebagai upaya melihat karakteristik visual khusus, dilakukan komparasi terhadap entitas serupa dengan visualisasi serupa (dalam satu kategori/ langgam gaya visual) (Citra 3).

Dokumentasi juga dilakukan untuk mengumpulkan gambar-gambar Hanoman yang diaplikasikan sebagai ilustrasi, wayang, costume player, seni tari dan yang diwujudkan menjadi bentuk animasi dan game. c. Wawancara dilakukan dengan narasumber yang mengetahui karakteristik Hanoman. Narasumber yang dimaksud bisa budayawan, pelaku seni, hingga pendidik/pengajar. Narasumber pada penelitian ini adalah I Nyoman Arcana, Pelukis Wayang Kamasan yang banyak melukis Tokoh Wayang Hanoman. d. Studi Literatur dilakukan dalam meneliti lebih jauh mengenai augmented reality, imagologi, Hanoman, literasi media dan desain komunikasi visual, khususnya mengenai teori, teknik dan berbagai kemungkinan penerapan dan pengembangannya. 4.2 Analisa Data Data-data yang terkumpul akan diungkap dengan pendekatan kualitatif. Data audio-visual Hanoman akan dianalisis dengan model kajian semiotika desain dengan pendekatan kajian budaya (cultural studies). Jurnal Studi Kultural Volume 1I No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Citra 2. Hanoman Gaya Kamasan dengan atribut pembentuk karakter profil sumber : dokumentasi penulis

46


I Made Marthana Yusa

Literasi Visual Tokoh Hanoman Bali Dengan Pendekatan Augmented Reality Â

Didapatkan bahwa unsur visual utama yang khas dari Hanoman yang membedakannya dengan Wanara lain adalah memiliki warna bulu putih, dan mengenakan kain bercorak kotak-kotak berwarna hitam- abu-abu -putih, atau yang di Bali dikenal sebagai mesaput poleng.

 Â

komunikan untuk membaca, memahami, membuat, dan menganalisa hal yang meyakinkan.

Referensi Cara seniman Kamasan membentuk karakter wayang dan mengidentifikasikannya dengan tanda-tanda khusus pada pakaian, seperti pada Hanoman, sesungguhnya adalah praktik literasi visual.

[1] [2]

[3]

Potter, W. J. 2015. Media Literacy, 8th edition. SAGE Publicaton Kaplan, E., dan Mifflin, J. 2007. Mind and Sight: Visual Literacy and the Archivist. Archives & Social Studies : A Journal of Interdisciplinary Research Vol. 1, No. 0 (March 2007) Heinich, dkk. 1996. Instructional Media and Technologies for Learning. New Jersey : Prentice-Hall

Citra 3. Komparasi Wanara Dari Kiri ke Kanan (Sudut Pandang Pengamat) : Subali/Sugriwa, Hanuman, Anggada sumber : dokumentasi penulis

5.1 Rancangan Buku Cergam Dari perancangan yang dilakukan, buku cergam yang dihasilkan menampilkan halaman yang menyimpan aset augmented reality (AR) ditandai dengan tampilan logo AR.

Citra 4. Bagian halaman dari buku cerita bergambar Hanoman berisi logo AR sumber : dokumentasi penulis

6. Konklusi Literasi visual dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu strategi dan bagian dari proses penyampaian pesan sangatlah penting. Literasi visual dapat tersampaikan dengan baik apabila desain dari suatu pesan masuk dalam kategori menarik perhatian. Syarat selanjutnya adalah aspek-aspek yang terdapat dalam suatu pesan mendukung untuk dipahami oleh banyak orang. Komunikator mendorong audien/ khalayak untuk berpikir visual dan memfokuskan perhatian khalayak pada aspek visual. Aspek visual sangat penting sehingga membantu Jurnal Studi Kultural Volume 1I No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

47


Michael Sega Gumelar

Membongkar Mitos Jurnal Ber-ISSN Wajib Terakreditasi…. Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.1: 48–52

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Membongkar Mitos Jurnal Ber-ISSN Wajib Terakreditasi Dikti yang Hanya Mendapatkan Nilai Kumulatif bagi Dosen di Indonesia Michael Sega Gumelar* An1mage/ Universitas Udayana/Universitas Surya/ Perguruan Tinggi Keling Kumang, Komunitas Studi Kultural, Serikat Dosen Indonesia, i-teks

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 29 November 2016 Direvisi 1 Desember 2016 Diterima 28 Desember 2016 Kata Kunci: Membongkar Mitos Jurnal ISSN Wajib Terakreditasi Dikti

Abstrak International Standard Serial Number (ISSN) yang berawal dari International Organization for Standardization (ISO) sebagai stndar internasional untuk penyusunan secara urut, pembuatan katalog, memudahkan peminjaman antar perpustakaan, dan hal-hal yang membuat mudah lainnya dalam literatur secara serial. Pertama kali diusulkan pada tahun 1971 kemudian diterbitkan sebagai ISO 3297 pada tahun 1975. ISSN digunakan secara luas untuk majalah, terbitan berseri lainnya dan jurnal. ISSN internasional berpusat di Paris dan memiliki website yang dapat diakses secara mudah di www.issn.org Indonesia seperti negara lainnya juga memiliki pelayanan ISSN ini yang dapat diakses di http://issn.lipi.go.id/ Dalam beberapa puluh tahun terakhir muncul mitos bahwa jurnal yang sudah memiliki ISSN tidak berharga karena tidak memiliki nilai dalam pengajuan jenjang jabatan akademik (JJA) dosen karena yang mendapatkan nilai kumulatif untuk pengurusan JJA tersebut hanya jurnal ber-ISSN yang sudah terakreditasi oleh pendidikan tinggi (Dikti) di Indonesia. Studi ini bertujuan membongkar, mendekonstruksi dan atau memecahkan mitos tersebut dan memberikan pencerahan agar para dosen tetap dapat terus berkarya dalam membuat laporan penelitian dengan nyaman tanpa dibebani apakah jurnal tersebut terakreditasi oleh Dikti atau tidak, sebab selama jurnal tersebut memiliki ISSN, maka sudah pasti mendapatkan nilai kumulatif tertentu yang disesuaikan dengan bidang ilmu para dosen tersebut.

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Budaya lisan, sama seperti kata pepatah lama “lidah tak bertulang” yang berarti suatu perkataan tidak dapat digunakan sebagai acuan karena tidak tertulis. Dalam pepatah Inggris “speak is silver and in text is golden” secara jelas terjadinya perbandingan nilai bahwa berkata-kata itu perak dan yang tertulis bernilai emas. Sayangnya banyak orang lebih kuat dalam budaya lisan sehingga informasi tertulis yang dapat dijadikan acuan lebih sering terlewatkan. Seandainya mau membaca, tetapi membaca kalimat yang pendek dan sederhana saja, seperti status di media sosial malah para pengikut budaya lisan ini sangat banyak jumlahnya dan cenderung membuat budaya pop yang remeh temeh menjadi cepat populer, sehingga muncul istilah “bodohlah maka kau akan terkenal”. ∗ Peneliti koresponden: An1mage | Universitas Udayana | Universitas Surya | Perguruan Tinggi Keling Kumang Mobile: +62818966667 | E-mail: michael.sega.gumelar@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Antinya adalah para orang cerdas yang mau membaca lebih detail dan menghindarkan diri dari budaya lisan dengan membuat istilah “jangan membuat orang bodoh terkenal”. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan suatu masyarakat di mana budaya lisan yang dituturkan melalui media seperti radio, TV dan internet menjadi sesuatu yang dianggap lebih mudah untuk dipahami bagi orang-orang yang kesulitan untuk memahami bahasa yang tertulis karena ketidakcukupan atau kekurangan nalar yang dimilikinya sehingga apa yang tertulis tidak serta merta dipahaminya. Padahal di zaman yang informasi ada di genggangan tangan dengan menggunakan smartphone, tinggal mengetikkan atau bahkan cukup menggunakan perintah suara “OK Google” kemudian mencari info yang diperlukan akan muncul bila ada yang menulisnya. Pengikut budaya lisan cenderung “sensitif pada pada hal-hal yang bersifat agama” karena kurangnya pemahaman karena

48


Michael Sega Gumelar

Membongkar Mitos Jurnal Ber-ISSN Wajib Terakreditasi….

tidak suka membaca informasi tertulis yang benar, sehingga mudah dimanipulasi.

seorang dosen mengecek secara mandiri apakah jurnal tersebut sudah legal dan memiliki ISSN?

Budaya lisan cenderung menghegemoni orang lain tetapi dengan membaca, hegemoni tersebut dapat dimentahkan dengan adanya “acuan yang tertuang dalam teks”. Dari sini terlihat bahwa “acuan yang tertuang dalam teks” lebih memiliki nilai atau power yang dapat dijadikan pegangan.

Dengan mengakses website dari pemerintah yang menyediakan layanan ISSN yaitu di http://issn.lipi.go.id/ [1] menggunakan akses internet dan browser apa pun yang ada di handphone, tablet, laptop, desktop dan atau alat komputer lainnya yang dapat mengakses internet seperti pada citra 1.

Namun tentu saja, tidak semua apa yang tertuang dalam teks adalah suatu pencerahan, ada kalanya apa yang tertuangan dalam teks juga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi tergelapkan cara berpikirnya karena “membaca” informasi yang tertuang dalam teks tersebut. Teks dalam studi ini yang dimaksud adalah teks sebagai simbol suara, bahasa dan maknanya yang dibatasi hanya dalam bentuk tuangan berupa tulisan. Bila seseorang yang kuat budaya lisannya, walaupun memiliki info yang terlihat jelas di depan matanya, dia tidak akan membacanya. Ini yang disebut dengan istilah “ignorant”. “Ignorant” istilah kata yang muncul karena seseorang atau sekelompok orang memiliki budaya lisan yang kuat sehingga seseorang cenderung tidak peduli dan malas untuk membaca, implikasi (konsekuensi logis) dari malas membaca adalah kekurangan pengetahuan, kekurangan ilmu pengetahuan, kekurangan teknologi, kekurangan keterampilan, dan akhirnya cenderung tidak tahu (naif). Serba kekurangan kekayaan pikiran dan keterampilan tersebut membuka peluangan untuk dibodohi dan dihegemoni oleh agen atau orang-orang tertentu yang bermaksud mengambil keuntungan dalam situasi tersebut.

Citra 1. Melihat dan mengecek jurnal yang sudah memiliki ISSN dengan cara click pada tulisan Daftar ISSN yang telah diterbitkan. Sumber: http://issn.lipi.go.id/

Setelah muncul halaman http://issn.lipi.go.id/ [2] tersebut, secara mandiri para dosen dan peneliti dapat melihat area bagian bawah dan mencari kata “Daftar ISSN yang telah diterbitkan”. Click pada tulisan tersebut yang ternyata berfungsi juga sebagai tombol dan memiliki link ke halaman lainnya di http://issn.pdii.lipi.go.id/issn.cgi seperti pada citra 2.

Kekurangan seseorang yang naif adalah memiliki pola pikir yang cenderung “informasi pertama yang didengarnya cenderung dianggap suatu kemutlakan dan kebenaran”. Seseorang atau sekelompok orang yang kuat budaya lisannya bila ada informasi kedua walaupun secara tertulis ataupun secara lisan yang dikatakan oleh orang yang menjadi agen pembebas sebagai bentuk pencerahan, maka uniknya tidak serta merta pikirannya terbuka, hal ini karena para pemegang budaya lisan telah memiliki kebiasaan “informasi pertama yang didengarnya cenderung dianggap sebagai suatu kemutlakan dan kebenaran”. Dalam mengatasi blunder (melingkar dan seakan tidak berujung) tersebut diperlukan studi banding dan pegangan berupa teks yang tertuang secara tulisan. Teks dalam suatu laporan penelitian yang menjadi artikel dalam suatu jurnal penelitian akan menjadi sah diakui oleh Pemerintah Indonesia dan negara lainnya di Planet Bumi ini bila jurnal tersebut memiliki ISSN. Bagaimana caranya Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Citra 2. Ketikkan penerbit jurnal yang diperlukan untuk mengecek apakah benar jurnal tersebut sudah resmi dari pemerintah? Bila sudah legal dan terbit, maka akan muncul hasil jurnal dan atau majalah dari penerbit tersebut yang muncul dalam daftar resmi nomor ISSN dari pemerintah. Sumber: http://issn.pdii.lipi.go.id/issn.cgi

Ketikkan penerbit “an1mage” sebagai contoh dalam kolom “kata kunci” lalu click tombol cari yang ada di sebelah kanannya. Akan bermunculan daftar jurnal, majalah dan atau terbitan berseri lainnya dari penerbit tersebut. Bila sudah muncul nomor ISSN dari jurnal yang dimaksud, misalnya yang dimaksud adalah “Jurnal Studi Kultural” 49


Michael Sega Gumelar

maka jurnal tersebut secara resmi dan sah secara hukum (legal) telah memiliki ISSN. Berhati-hati ada banyak jurnal yang tulisannya memiliki ISSN tetapi setelah dicek di www.issn.org atau di Indonesia di http://issn.lipi.go.id/ ternyata tidak muncul nomor ISSNnya, nomor ISSN tersebut menjadi penting dan berarti karena menjamin laporan penelitian para dosen dan para peneliti mendapatkan nilai kumulatif yang dapat dijadikan untuk menambah nilai jenjang jabatan akademik (JJA) di Dikti.

Membongkar Mitos Jurnal Ber-ISSN Wajib Terakreditasi….

mendapatkan nilai tinggi, dengan memarjinalkan laporan penelitian di jurnal ber-ISSN yang juga sudah resmi dan di mana mungkin saja secara nilai sosial dan kegunaannya bagi masyarakat dan sumbangsihnya penelitiannya lebih berguna daripada penelitian yang masuk di jurnal ber-ISSN terakreditasi Dikti.

2. Diskusi. Metode studi pustaka dan studi banding yang penulis lakukan untuk membongkar mitos munculnya wacana “hanya jurnal ber-ISSN wajib terakreditasi Dikti” yang mendapatkan nilai kumulatif bagi dosen tersebut timbul karena adanya kepentingan persaingan antar penerbit jurnal yang notabene di Indonesia suatu jurnal kebanyakan diterbitkan oleh pemilik suatu institusi pendidikan. Persaingan inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya “prestige” atau nilai gengsi yang berguna untuk mengangkat “jurnal” terbitan suatu universitas tersebutlah yang unggul karena telah mendapatkan akreditasi dari Dikti walaupun cuma mendapatkan nilai B, sebab tidak ada nilai C dalam kriteria penilaian tersebut. Nilai B saja sudah penting dan mudah mengalahkan jurnal universitas lainnya yang dianggap hanya memiliki ISSN yang “dianggap tidak penting” tersebut. Apalagi bila mendapatkan nilai akreditasi untuk jurnalnya mendapatkan nilai A, mungkinkah suatu universitas mendapatkan nilai akreditasi jurnal A untuk jurnal terbitannya yang murni dikelolanya sendiri? Akan penulis bahas kemudian di bagian akhir. Apalagi mitos semakin menguat dengan adanya budaya lisan tentang persyaratan pengajuan JJA dosen yang beredar juga secara mulut ke mulut sehingga acuan sebagai pegangan secara tertulis menjadi bias, dan akhirnya tercipta mitos tersebut.

Citra 3. Capture-an dari borang buku 3A akreditasi sarjana program studi versi 08-042010.

Di mana laporan penelitian yang menjadi artikel di jurnal ber-ISSN terakreditasi dikti belum tentu memberikan sumbangsih berguna bagi masyarakat, bagi pengetahuan, bagi ilmu pengetahuan, dan bagi teknologi, sepertinya ada permainan “ekonomi” dan “kuasa” yang dijalankan oleh Dikti? Sedangkan penulis mengacu pada pemerintah riset Dikti Kopertis sebagai studi banding seperti pada citra 4 dengan mengakses website: http://www.kopertis12.or.id/2011/09/22/kriteria-jurnalilmiah-yang-diakui-dikti-dalam-penilaian-angka-kreditdosen.html

Demikian juga pada persyaratan akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) di borang buku 3A borang akreditasi sarjana versi 08-04-2010 [3] untuk suatu program studi dan atau lembaga perguruan tinggi seperti untuk universitas, institut dan sejenisnya membuat mitos tersebut semakin menguat. Di dalam syarat pengadaan perpustakaannya bila ada jurnal terakreditasi Dikti dalam perpustakaannya maka nilai akreditasi “khusus untuk penilaian perpustakaan” saja tersebut akan mendapatkan nilai tinggi di program studi dan atau perguruan tinggi tersebut seperti pada citra 3. Terlihat jelas kepentingan Dikti terwadahi di sana, secara implisit “mewajibkan” jurnal terakreditasi dikti Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Citra 4. Acuan resmi kriteria jurnal wajib ber-ISSN untuk mendapatkan penilaian angka kredit (PAK) dosen dalam pengajuan JJA. Sumber: http://www.kopertis12.or.id/2011/09/22/kriteria-jurnal-ilmiah-yang-diakui-diktidalam-penilaian-angka-kredit-dosen.html 50


Michael Sega Gumelar

Membongkar Mitos Jurnal Ber-ISSN Wajib Terakreditasi….

Di website [4] tersebut jelas tertulis bahwa jurnal ilmiah yang diakui Dikti dalam Penilaian Angka Kredit (PAK) Dosen untuk dapat diajukan dalam pengajuan Jenjang Jabatan Akademik Dosen ada 3 (tiga) jenis jurnal yaitu: 1.

Jurnal Nasional tidak terakreditasi adalah jurnal lokal yang sudah memiliki ISSN namun belum terakreditasi Dikti.

2.

Jurnal Nasional teakteditasi adalah jurnal yang sudah memiliki ISSN dan terakreditasi Dikti.

3.

Jurnal International adalah jurnal yang sudah mendapat pengakuan para ilmuwan sedunia, untuk memublikasikan berbagai hasil pemikiran atau hasil penelitian dari para ilmuwan, akademisi dan praktisi dari berbagai disiplin ilmu.

Penulis meneliti juga tentang “Apakah jurnal yang diterbitkan oleh universitas secara mandiri memiliki potensi mendapatkan nilai A pada akreditasi jurnal oleh Dikti?” Bila suatu lembaga perguruan tinggi “mengikuti permainan” yang dilakukan Dikti yang sarat dengan hegemoni dan kepentingan agar “permainan tersebut berjalan” uniknya dalam buku resmi kemenristek dikti yang berjudul “Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah” Penerbit Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan [7] yang dapat juga diakses di http://arjuna.ristekdikti.go.id/ [8].

Pada poin satu terlihat jelas bahwa bila ada laporan penelitian seorang dosen dan atau peneliti yang masuk laporan penelitiannya sebagai artikel dalam jurnal yang sudah memiliki ISSN “pasti mendapatkan nilai” walaupun jurnal tersebut “belum diakreditasi dan terakreditasi Dikti”.

Citra 6. Acuan peringkat akreditasi jurnal oleh Dikti yang hanyaa ada B dan A.

Peringkat akreditasi jurnal dari Dikti hanya ada B dan A. Untuk mendapatkan peringkat A suatu universitas yang menerbitkan jurnal secara mandiri “sengaja dimarjinalkan” dan “dikhianati” oleh Dikti sendiri dan Dikti menjamin para universitas yang menerbitkan jurnal secara mandiri “tidak akan mendapatkan peringkat dengan nilai A”.

Kini penulis tambahkan lagi dalam persyaratan resmi buku panduan Penilaian Angka Kredit (PAK) Dosen untuk dapat diajukan dalam pengajuan Jenjang Jabatan Akademik (JJA) Dosen dalam Buku Petunjuk Operasional pada poin 5.2. Penelitian dan Penyebarluasan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS) [5] seperti pada citra 5.

Hal ini tertuang jelas dalam buku panduan akreditasi jurnal tersebut pada poin 2.2 Kelembagaan Penerbit pada subpoin a yaitu: a. Nilai tertinggi penerbitan terbitan berkala ilmiah oleh organisasi profesi ilmiah hanya diberikan kepada organisasi tingkat pusat (bukan cabang atau wilayah).

Citra 5. Capture-an tabel 5 di Buku Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen pada poin 5.2. Penelitian dan Penyebarluasan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS).

Jurnal nasional terakreditasi dalam tabel 5 buku tersebut ternyata laporan penelitian masuk ke jurnal ber-ISSN terakreditasi Dikti sebagai syarat yang “tidak wajib ada” hanya disarankan ada, terkecuali bila masuk ke jenjang doktor menjadi “wajib ada”, namun itu juga sudah penulis dekonstruksi dalam laporan penelitian penulis lainnya dengan judul “Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya Pemuatan Laporan Penelitian di Jurnal yang Tidak Terindeks Scopus” [6].

b. Nilai tertinggi penerbitan terbitan berkala ilmiah yang merupakan kerja sama perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan dengan organisasi profesi hanya diberikan kepada organisasi profesi tingkat pusat (bukan cabang atau wilayah). Pada poin a secara jelas universitas yang menerbitkan jurnal secara mandiri hanya akan mendapatkan nilai tertinggi hanya peringkat dengan nilai 3 (tiga) dan tertutup kemungkinan untuk mendapatkan nilai tertinggi 4 (empat), hal ini sejalan dengan tabel 2.2. Kelembagaan Penerbit.

Kini setelah jelas bahwa jurnal ISSN walaupun tanpa akreditasi pasti mendapatkan nilai untuk dapat diajukan sebagai JJA Dosen. Citra 7. Organisasi/komunitas profesi berpeluang kuat mendapatkan peringkat nilai A. Sedangkan perguruan tinggi peringkat maksimum penilaian hanya peringkat B saja.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

51


Michael Sega Gumelar

Membongkar Mitos Jurnal Ber-ISSN Wajib Terakreditasi….

Justru organisasi/komunitas profesi ilmiah murni misalnya sebagai contoh adalah organisasi seperti “Komunitas Studi Kultural Indonesia” yang dapat diakses di website: https://www.facebook.com/groups/StudiKulturalIndonesia/ Komunitas ini juga bergabung dengan Serikat Dosen Indonesia yang dapat diakses komunitasnya di facebook grup: https://www.facebook.com/groups/SerikatDosenIndonesia Para komunitas dan organisasi profesi murni yang berpeluang kuat mendapatkan peringkat nilai A. Jurnal Studi Kultural karena sejak awal bertujuan sebagai penyeimbang ketidakadilan dan bertujuan mulia membantu pada berbagai antipemarjinalan, tentu saja Jurnal Studi Kultural akan menjauh dan tidak menjadi bagian dalam praktik Dikti yang sudah menjadi salah satu bentuk permarjinalan tersebut. 3. Konklusi Telah terbukti bahwa demikian kuat mitos yang terjadi pada laporan penelitian seakan “wajib masuk dalam jurnal terakreditasi Dikti” di antara para dosen dan para peneliti yang memiliki budaya lisan yang kuat, namun apakah memang ada para pemilik budaya lisan yang menjadi peneliti? Kini telah jelas bahwa boleh dan legal secara hukum mengirimkan laporan penelitian di jurnal ber-ISSN saja tanpa terakreditasi Dikti. Telah penulis dekonstruksi dan bongkar dengan cara budaya tertuang secara tulisan bahwa mitos hanya jurnal ber-ISSN yang sekaligus terakreditasi Dikti sajalah yang mendapatkan nilai tersebut adalah salah. Mulai kini silakan mengirimkan laporan penelitian di Jurnal Ber-ISSN sesuai bidang ilmunya, bila termuat pasti artikelnya akan mendapatkan nilai kumulatif dosen untuk JJA.

menguak berbagai mitos dan pemarjinalan yang terjadi “tidak muncul” dan hilang begitu saja karena aturan “pemerintah” yang tidak bijak dan malah memarjinalkan para dosen dan para peneliti itu sendiri. 4.

Seseorang memiliki potensi untuk terjebak pada prestige karena “mampu membayar” pada jurnal yang terakreditasi Dikti dan sejenisnya padahal belum tentu meneliti, hanya sebagai penulis kedua, ketiga atau seterusnya yang kebanyakan menjadi “modus” menitipkan nama tetapi belum pernah meneliti dan membuat laporan tersendiri.

5.

Mengusulkan pada pemerintah agar berbagai pemikiran yang “kontra produktif”, memarjinalkan, memiliki potensi menyengsarakan, dan membodohkan masyarakat untuk dihilangkan di berbagai bidang.

Referensi [1] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.2016. [2] [3] [4]

[5] [6]

[7]

[8]

http://issn.lipi.go.id/ ISSN Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. http://issn.pdii.lipi.go.id/issn.cgi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT). 2010. Borang 3A Akreditasi Sarjana. BAN PT. Kopertis. http://www.kopertis12.or.id/2011/09/22/kriteriajurnal-ilmiah-yang-diakui-dikti-dalam-penilaian-angkakredit-dosen.html Dikti. 2014. Buku Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen. M.S. Gumelar.2016. Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya Pemuatan Laporan Penelitian di Jurnal yang Tidak Terindeks Scopus. Jurnal Studi Kultural. Dikti, Ditlitabmas. 2014.Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementrian riset Dikti. 2016. http://arjuna.ristekdikti.go.id/

Mitos yang terjadi pada laporan penelitian seakan “wajib masuk dalam jurnal terakreditasi Dikti” padahal hanya cukup ke jurnal ber-ISSN membuat para dosen dan para peneliti memiliki implikasi buruk pada seseorang dan atau kelompok bahkan merugikan bangsa dan negara yaitu: 1.

Menjadi kontra produktif karena meredam penelitian yang seharusnya muncul, malah didahului oleh peneliti/dosen dari lembaga lain hanya karena takut laporan penelitiannya tidak akan mendapatkan nilai JJA.

2.

Menjadi kontra produktif karena meredam penelitian yang seharusnya muncul, malah didahului oleh peneliti/dosen dari negara lain hanya karena takut laporan penelitiannya tidak akan mendapatkan nilai JJA.

3.

Menjadi kontra produktif karena penelitian yang berpotensi mengubah pola pikir yang salah dan Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

52


Hendar Putranto

Menyoal Risiko dan Kontingensi…. Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.1: 53–67

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Menyoal Risiko dan Kontingensi Pengetahuan dalam Masyarakat Pengetahuan Kontemporer Hendar Putranto* Universitas Multimedia Nusantara, Serikat Dosen Indonesia

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 9 Desember 2016 Direvisi 24 Desember 2016 Diterima 29 Desember 2016 Kata Kunci: Serikat Dosen Guru Pahlawan Jasa

Abstrak “Guru (dosen) adalah pengabdi masyarakat tanpa tanda jasa”, maka tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa ada pihak lain yang akan memerhatikan, apalagi memperjuangkannya secara konkret, dalam bentuk pelbagai kebijakan (politis, ekonomis) yang tujuannya untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan para guru dan dosen. Selain itu, sebenarnyalah dosen merupakan sumber daya manusia yang diadakan untuk menjalankan sistem kerja lembaga pendidikan tinggi, yang meliputi universitas, institut, akademi dan sekolah tinggi. Dosen merupakan pelaksana kerja yang harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas kerjanya, moralitas, kedisiplinan serta tingkat kesejahteraannya, yang kelak menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman dalam bekerja, sehingga pada gilirannya setiap dosen mempunyai rasa memiliki, menyayangi dan persaudaraan antar sesama dosen, dengan menyadari betapa pentingnya proses produksi pengetahuan yang diharapkan mampu mewujudkan lembaga pendidikan tinggi tingkat dunia (world-class university) berdasarkan kebijakan kualitas (quality policy) sebagai salah satu pendukung pencerdasan kehidupan bangsa. © 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

Pendahuluan Pembicaraan tentang masyarakat hampir pasti melibatkan sejumlah asumsi teoretis yang berkaitan dengan dunia sosial. Mengetahui dunia sosial dengan segala bentuk dan dinamikanya mengandaikan pengamatan yang cermat, metodologi yang tepat, serta analisis yang tajam guna mengabstrakkan bongkah-bongkah fenomena, pengalaman, kejadian, peristiwa, menjadi seperangkat hipotesis yang melahirkan teori-teori sosial yang baru. Teori-teori sosial lama yang diwariskan era pencerahan dan terus berlanjut dalam era modern seperti ide kemajuan (progress), diferensiasi fungsional (functional differentiation), spesialisasi (specialization), dan rasionalisasi (rationalization) dapat dikatakan sebagai tulang punggung atau roh penggerak dari teori-teori sosial sejak abad ke-18. Masih terkait dengan teori-teori sosial tersebut, konsepsi masyarakat juga mengalami perkembangan, mulai dari kesadaran kolektif (Durkheim), kehendak umum (Rousseau), Sittlichkeit (Hegel), masyarakat borjuis dan proletar (Marx), hingga negara-bangsa (Ernest Gellner, Anthony Giddens). ∗ Peneliti koresponden: Universitas Multimedia Nusantara, Ketua Serikat Dosen Indonesia, Penulis Berbagai buku Kajian Budaya Mobile: +6287882434074 | E-mail: hendarumn@gmail.com. Laporan penelitian pernah muncul sebagai Skripsi Program Sarjana Filsafat di STF Driyarkara, 2004 dengan judul “Masyarakat Modern Sebagai Masyarakat Pengetahuan Menurut Nico Stehr”.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Secara lugas namun kritis, Nico Stehri mempertanyakan semua asumsi teoretis di atas dengan mengkonfrontasikannya dengan kenyataan sejarah yang terus berubah, yang tidak selalu tunduk pada pengarahan teori-teori dan tindakan-tindakan manusia sebagai aktor historis (subjek pelaku tindakan sejarah) yang tidak bisa diramalkan dan selalu penuh kejutan. Dalam hal ini, Stehr menempatkan dirinya dalam arus perdebatan atau diskursus ilmu-ilmu sosial sebagai pemikir yang memberikan ruang atau porsi analisis pada manusia sebagai subjek pelaku tindakan (agent, human agency) sekaligus menolak paham determinisme, entah itu determinisme material maupun teknologis. Pandangan Stehr tentang Modernisasi dan Pengetahuan Tesis pokok Stehr berkenaan dengan modernisasi dipahami sebagai sebuah proses yang lebih terbuka, tidak segaris (unilinear) atau berdimensi satu (one-dimensional), bahkan bisa berbalik arah (reversible), sebuah gerakan menuju perluasan tindakan sosial. Dengan kata lain, proses modernisasi adalah seproses perluasan (extension) atau penataan ulang (reconfiguration). Pada gilirannya, proses modernisasi yang dipahami sebagai proses ekstensi atau rekonfigurasi menuju perluasan tindakan sosial membutuhkan aktor-

53


Hendar Putranto

aktor yang mempunyai kadar pengetahuan atau kecakapan yang memadai. Pada pokok ini, Stehr menggarisbawahi pengetahuan sebagai mekanisme penentu identitas yang konstitutif dari masyarakat modern. Pengetahuan berdimensi individual sekaligus sosial. Dimensi sosial dari pengetahuan menjadi lebih jelas ketika pengetahuan diproduksi, didistribusikan dan direproduksi. Pengetahuan juga bukan benda mati (a black box) yang bersifat ahistoris dan abstrak-universal. Pengetahuan pada hakikatnya bersifat tertanam (embedded, situated) dan selalu dapat diakarkan pada insitusi-insitusi sosial yang memproduksinya, dalam proses-proses kultural, dan dalam relasinya dengan kekuasaan, kepentingan, serta variabelvariabel lain yang memengaruhinya. Pengetahuan berbeda dari informasi. Informasi adalah bahan mentah yang tersedia secara umum, mudah diperoleh, dimiliki dan berguna, serta bersifat cukup-diri (self-sufficient). Sementara pengetahuan selalu mengandaikan dan menuntut sejumlah kecakapan penafsiran dan penguasaan atas situasi dan kondisi tertentu. Pengetahuan membutuhkan subjek aktif (an active actor) untuk membuatnya mampu menggerakkan sesuatu. Dengan kata lain, pengetahuan bergerak dari kapasitas atau potensial menuju perwujudan atau aktualisasinya. Dengan masuknya pengetahuan sebagai faktor konstitutif dari masyarakat modern, tatanan sosial pun tidak lagi memadai bila diperiksa atau dianalisis melulu dalam konsep dan kerangka hak milik (property) maupun tenaga kerja (labor). Munculnya masyarakat pengetahuan dapat diasalkan pada transformasi struktur ekonomi yang di dalamnya prosesproses ekonomi (proses produksi dan distribusi) yang tadinya ditentukan oleh input material (seperti mineral, batu bara, dan sebagainya) sekarang lebih banyak ditentukan oleh input simbolis atau input yang berbasispada pengetahuan. Perkembangan dunia usaha dan pertambahan jumlah orang yang berprofesi dengan berbasis pengetahuan seperti penasihat, guru dan akademisi, periset dan tenaga-tenaga ahli (expert) di bidang pengolahan dan penyimpanan informasi (seperti internet, media massa seperti televisi dan surat kabar) menjadi bukti empiris kuat yang mengukuhkan masyarakat modern sebagai masyarakat pengetahuan. Menggarisbawahi tesis pokoknya yaitu bahwa pengetahuan didefinisikan sebagai kapasitas untuk tindakan, Stehr mengakui bahwa dalam masyarakat modern, pengetahuan teknis-ilmiah mempunyai tempat yang terhormat. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Menyoal Risiko dan Kontingensi‌.

Pengetahuan teknis-ilmiah tidak hanya dianggap sebagai kunci untuk memecahkan misteri alam dan persoalan klasik manusia dalam relasinya dengan alam, namun juga karena pengetahuan teknis-ilmiah memampukan manusia untuk memperluas kapasitasnya untuk bertindak. Akan tetapi keunggulan pengetahuan teknis-ilmiah bukannya tanpa keterbatasan. Institusi ilmiah sering menjadi perpanjangan tangan pihak yang berkuasa yang memakainya untuk merepresi individu-individu atau kelompok-kelompok yang menawarkan alternatif cara berpikir. Pada poin inilah Stehr masuk ke dalam kritik eksternal atau kontekstual dari gerakan kritik terhadap rasionalitas sains. Ia melihat bahwa pengetahuan ilmiah pun merupakan bentukan sosial (social construction), sehingga pertanyaan kritis yang relevan diajukan padanya adalah bagaimana faktor-faktor institusional dan kultural yang memengaruhi produksi pengetahuan dalam sains juga memengaruhi implementasi dari pengetahuan itu sebagai kapasitas untuk bertindak dalam kondisi-kondisi konkret dan praktis (sehari-hari). Dari persoalan pengetahuan dan aspek-aspek sosiologispraktisnya, Stehr kemudian bergerak lebih jauh ke wilayah kemungkinan penerapan pengetahuan sekaligus pembatasan atau regulasi dari (klaim-klaim) pengetahuan itu sendiri di dalam masyarakat pengetahuan. Dalam masyarakat pengetahuan, seiring dengan memudarnya batas dan otoritas negara-bangsa, kemampuan individu-individu (atau warga negara) untuk berpartisipasi dalam politik semakin besar. Hal ini tentu tidak terlepas dari penguasaan pengetahuan serta kecakapan politik praktis yang dimiliki oleh baik individu maupun kelompok-kelompok kecil yang tadinya termarginalisasi dalam bingkai kekuasaan politik yang lama. Dengan kata lain, dalam masyarakat pengetahuan, semakin sulitlah bagi negara untuk memerintah secara efektif. Akan tetapi, yang menjadi pokok keprihatinan Stehr bukanlah pada krisis legitimasi yang dialami aparat pemerintah untuk bertindak atau untuk memaksakan kehendak dan aturan-aturan yang dibuatnya kepada setiap warga negara. Stehr melihat bahwa merosotnya otoritas dan kemampuan negara untuk memerintah secara efektif di satu sisi akan membuka peluang bagi warga negara baik individu maupun kelompok untuk memainkan peranan yang lebih besar dalam mengatur dirinya sendiri (lalu muncullah civil society menggantikan state-oriented society), atau untuk menentukan kriteria-kriteria kebijakan sosial, politik, ekonomi yang dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan praktis mereka. 54


Hendar Putranto

Menyoal Risiko dan Kontingensi‌.

Semakin besar atau luasnya kapasitas warga negara untuk bertindak ini bukan muncul secara tiba-tiba. Ada sejumlah elemen yang menambah perluasan kapasitas dari individuindividu atau kelompok-kelompok untuk melakukan tindakan politis yang berarti.

Persoalan-persoalan baru ini lantas memunculkan sejenis kebutuhan baru, yaitu kebutuhan untuk mengatur klaimklaim pengetahuan yang baru, yang pada gilirannya akan melahirkan segerak aktivitas baru di bidang politik yaitu politik pengetahuan (knowledge politics).

Sebagai contoh tersebarnya pendidikan atau akses untuk memperoleh pendidikan yang layak, diseminasi informasi secara massal oleh media massa seperti televisi dan surat kabar (juga Internet) dan semakin diakuinya profesiprofesi yang berbasiskan pengetahuan (knowledge-based occupations / professions).

Persoalan-persoalan yang tadinya dipandang sebagai sesuatu yang mustahil berada di bawah kendali manusia, misalnya soal manipulasi genetis, sekarang menjadi subjek dari kontrol dan manipulasi. Oleh karena itulah diperlukan seperangkat tata aturan baru yang dapat mengatur persoalan-persoalan baru di bidang pengetahuan ini.

Akan tetapi, benarkah dengan semakin meningkatnya kadar pengetahuan individu (knowledgeability), dengan serta merta membuat semakin luasnya akses individu dan subsistem-subsistem dalam masyarakat terhadap sumbersumber informasi (seperti perpustakaan, internet, dan lainlain) sekaligus semakin tersebarnya pengetahuan ke segala lapisan masyarakat, dapat menjamin terwujudnya suatu masyarakat yang setara dan berakhirnya era ketidaksetaraan dan kebodohan?

Sayangnya, penciptaan tata aturan ini tidak bisa lagi diserahkan begitu saja pada institusi sains dan teknis--sebab sudah dibuktikan bahwa pengetahuan ilmiah yang diproduksi oleh institusi sains adalah satu di antara sejumlah bentuk aktivitas sosial manusia yang terbatas secara sosial dan kultural---melainkan harus mengundang partisipan-partisipan dari ranah politik, moral dan kultural.

Rupanya tidak demikian. Stehr berargumen bahwa bentukbentuk baru ketidaksetaraan sosial akan bangkit seiring dengan pertumbuhan, perkembangan dan penyebaran pengetahuan. Dominasi dan ekspansi pasar dengan logika ekonomi dan keuntungan materiilnya dalam sejumlah besar aspek kehidupan masyarakat, seperti terlihat nyata dalam bidang pendidikan, politik, sains, dan budaya, telah menjadi ancaman yang perlu diwaspadai dalam masyarakat pengetahuan. Ancaman itu bisa berupa homogenisasi hidup sosial dan penyeragaman (uniformity) bentuk-bentuk kehidupan sekaligus cara-cara menghayati kehidupan itu sendiri. Singkatnya, seiring dengan ekspansi pasar dalam masyarakat massa, Stehr mengakui adanya kemungkinan ketimpangan sosial yang diwariskan (a hereditary form of social inequality). Pada sisi yang lain, globalisasi di bidang kultur, politik, ekonomi, pengetahuan---meskipun fenomen ini tidak bisa diidentikkan dengan imperialisme atau bentuk penjajahan yang baru dari satu kultur tertentu atas kultur lainnya--perlu memicu kesadaran kritis para konsumen, warga negara dan subjek pelaku tindakan yang berpengetahuan atas kompleksitas dan interdependensi jaringan relasi hidup manusia satu dengan yang lainnya. Selain persoalan di atas, munculnya masyarakat pengetahuan juga memunculkan sejumlah isu baru dalam hidup bermasyarakat seperti privacy, hak cipta (copy right) dan pelestarian lingkungan.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Singkatnya, ada dua arus pandangan yang dideskripsikan Stehr. Yang pertama adanya upaya-upaya untuk mencegah intervensi negara atau lembaga-lembaga politis lainnya dalam mengatur (bisa juga diartikan sebagai ‘menyetir arah’) pengetahuan demi melindungi kebebasan dan objektivitas ilmu pengetahuan (sains salah satunya). Sementara yang satunya adalah upaya-upaya untuk mendorong, atau setidaknya mengundang campur tangan lembaga-lembaga, pelaku-pelaku di luar komunitas ilmuwan untuk ikut memikirkan dan peduli terhadap dampak-dampak dari begitu beragamnya klaim-klaim pengetahuan yang bermunculan dewasa ini, guna menghindari kebingungan publik dan sekaligus membuat pengetahuan itu menjadi lebih efektif dan berdaya guna aplikasinya. Emansipasi dan Pengetahuan: Kembalinya Risiko, Ketidakpastian dan Kontingensi dalam Diskursus Seputar Pengetahuan Dalam masyarakat pengetahuan, fungsi pengetahuan tidak hanya menjadi sumber daya atau kekuasaan, namun ia juga menjadi sumber sengketa dan ketidakpastian. Benarkah pandangan yang menyatakan bahwa diskursus pengetahuan dewasa ini memang menempatkan pengetahuan sebagai entitas yang berisiko, tidak pasti, dan kontingen? Bagaimana wujud pengetahuan yang berciri seperti di atas tadi? Faktor-faktor apa yang memungkinkannya? Apakah dengan ciri-ciri tersebut, pengetahuan masih dapat mengemban misi emansipatorisnya? Di manakah letak konvergensi dari sekian banyak klaimklaim atas pengetahuan di dalam masyarakat pengetahuan?

55


Hendar Putranto

Sejumlah pertanyaan di atas merupakan pokok-pokok yang akan penulis jawab dengan menggunakan kerangka berpikir Stehr dalam bukunya. Penyebaran (Diseminasi) Pengetahuan dan Dampakdampaknya Salah satu motif dasar dari Era Pencerahan adalah keyakinan bahwa diseminasi pengetahuan dan kecakapan (skills) akan membawa pembebasan. Namun, pada kenyataannya dan dalam rentang perjalanan sejarah, pengetahuan dipersepsi dan dipraktikkan bukan sebagai kapasitas untuk bertindak, melainkan bersifat melumpuhkan (incapacitating); bukan memampukan, namun membatasi. Bahkan, dalam analisis selanjutnya, pengetahuan dikatakan sebagai daya penindas atau manipulasi yang paling utama. Di sisi lain, diskusi tentang distribusi sosial dari pengetahuan memberi tekanan pada ketidakberdayaan dari individu-individu pelaku tindakan yang diperparah oleh kekuatan kontrol lembaga-lembaga besar seperti media atasnya. Bagaimana menganalisis dan menyikapi hal semacam ini? Matriks Pengetahuan/Kekuasaan Rakyat jelata umumnya dipersepsi sebagai pihak yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang didasarkan pada olah pengetahuan yang memadai sehingga mereka cenderung mengandalkan jasa para pakar. Ketidakmerataan distribusi sosial dari pengetahuan cenderung membuat elit semakin menguasai dan memonopoli pengetahuan dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh darinya, khususnya dalam hal penggunaan inovasi teknik. Namun demikian, dalam masyarakat pengetahuan, lembaga-lembaga besar dan otoritas dalam pengetahuan semakin merasakan bahwa pengetahuan yang mereka miliki pelan-pelan terkikis. Pengetahuan lantas menjadi momok yang menakutkan bagi mereka. Contohnya, menjelang pergantian abad ke-20 menuju abad ke-21 (atau milenium ke-2), ada ketakutan yang menyebar di antara para ‘pengguna komputer’ [baca: pemilik, pengakses dan pengguna aktif pengetahuan canggih di bidang teknologi informasi] di seluruh dunia, menyangkut kemungkinan aktifnya virus komputer bernama millenium bugii pada detik-detik pergantian tahun, persisnya dari 1999 ke 2000. Dalam masyarakat yang semakin tergantung pada kecanggihan teknologi, gangguan seperti ini bisa dipandang sebagai ancaman terhadap pengetahuan teknis yang (dipandang) semakin berkembang.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

Michel Crozier (1922-2013), seorang sosiolog kenamaan asal Perancis, mencoba mencari penjelasan psikologis atas fenomena ini dengan mengatakan bahwa “Pengetahuan secara tersirat mengandung risiko perubahan. Pengetahuan menghantam orang tanpa memedulikan kekurangan atau kebutuhan mereka. Ia melemparkan kaum intelektual yang sudah mapan dan dunia sosial ke dalam kekacauan.” iii [1] Klaim bahwa kemajuan pengetahuan mengandung dan mengundang risiko terhadap pola-pola stabilitas sosial yang sudah mapan atau mengancam sistem kepercayaan yang sudah ada biasanya dikaitkan dengan keyakinan dan ekspektasi bahwa pengetahuan ilmiah-teknis bersifat amat subversif terhadap status quo dan paling efektif dalam mengguncang tradisi. Klaim tersebut merupakan pelengkap dari klaim yang mengatakan bahwa pengetahuan mempunyai kecenderungan alamiah untuk mengalir ke pihak yang berkuasa, dan bahwa ia mempunyai konsekuensikonsekuensi untuk menyimpan dan mempertahankan (conserving) bila dipandang dari sudut pandang penguasa dan berdampak men-destabil-kan (destabilize) mereka yang tidak berkuasa. Michel Foucault [2], filsuf pasca strukturalis dan sejarawan ide terkemuka asal Perancis, juga menyoroti problematika relasi kekuasaan dan pengetahuan ini dalam karyanya Discipline and Punish: The Birth of Prison (1975). Foucault membeberkan kerumitan pengetahuan di dalam mendisiplinkan dan merepresi subjek. Pengetahuan dan kekuasaan digambarkan seperti kembar siam. “Kekuasaan menghasilkan pengetahuan; … pengetahuan dan kekuasaan saling mengimplikasi secara langsung; … tidak ada relasi kekuasaan tanpa konstitusi ranah pengetahuan yang berhubungan dengannya. Juga tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan dan membangun relasi-relasi kekuasaan pada saat yang bersamaan” [1]. Lebih jauh lagi, analisis Foucault menempatkan pengetahuan praktis atau politis, sebagaimana kekuasaan, sebagai fenomena yang konteks-spesifik. Dengan kata lain, pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari praktek-praktek sosial-politis yang di dalamnya ia tertancap. Walau demikian, kekuasaan yang bergandengan-tangan dengan pengetahuan dan diterapkan oleh negara modern untuk mengecap, menutupi, menyensor, memisahkan, melarang, menormalkan, mengawasi, dan menindas subjek-subjek yang berada di bawahnya tidak bersifat total. Ia juga memampukan. Meskipun sangat efisien dalam melakukan hal-hal tersebut di atas, matra pengetahuan/kekuasaan lebih kompleks daripada itu dan ia masih memberi ruang untuk memberdayakan mereka yang tertindas. Dengan kata lain, pengetahuan dapat memampukan kelompok-kelompok 56


Hendar Putranto

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

yang selama ini dimarjinalkan pemegang kekuasaan untuk mengemansipasi diri mereka sendiri.

kritik yang muncul dari komunitas ilmiah itu sendiri atas ide “kemajuan.”v

Berkaitan dengan penguasaan, aplikasi pengetahuan, serta dampak-dampaknya dalam masyarakat, sosiolog kontemporer asal Jerman, Ulrich Beck dalam bukunya Risk Society: Towards a New Modernity (1992) menggambarkan masyarakat sekarang sebagai masyarakat risiko [1].

Refleksi tentang peran sosial dari pengetahuan biasanya jarang mengangkat dan mengupas secara mendalam tradisi pencerahan yang memandang pengetahuan sebagai daya pendobrak bagi upaya pembebasan individu, warga negara, pekerja, perempuan dan laki-laki.

Secara cermat Beck dapat menguraikan pandangannya bahwa risiko yang terkandung dalam penguasaan pengetahuan adalah sesuatu yang niscaya terjadi dalam masyarakat industri maju [3]. Akan tetapi, risiko-risiko ini, seperti penemuan dan pengembangan tenaga nuklir, punahnya spesies tumbuhan dan binatang tertentu, perubahan iklim global, polusi kimiawi, dan sejenisnya, dapat diantisipasi oleh komunitas ilmiah dalam dua matra pengertian. Pertama, risiko-risiko itu sendiri diasosiasikan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah dan teknis; Kedua, risiko penggunaan ditemukan oleh sains.

dikonstruksi

atau

Salah satu konsekuensi dari mengadopsi dua matra pengertian ini adalah bahwa isu kesadaran ekologis yang tadinya kurang mendapat tempat dalam diskursus sosialpolitis di masa lampau, sekarang menjadi sebuah keniscayaan. Meskipun demikian, betapa pun majunya kesadaran baru ini, tetap perlu ditandaskan bahwa sains dan teknologi--entah secara langsung maupun tidak---merupakan pencipta dari risiko-risiko ini. Ada dilema yang dihadapi oleh komunitas ilmiah di sini. Di satu sisi mereka mengantisipasi risiko yang lahir dari penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi; di sisi lain merekalah yang menciptakan risiko-risiko tersebut iv [1][3]. Risiko-risiko Baru dari Pengetahuan Stehr melihat adanya risiko lain yaitu risiko bahwa pengetahuan dalam masyarakat pengetahuan mempunyai potensi dan kapasitas emansipatoris. Disebut risiko terutama jika dipandang dari sudut lembagalembaga pengetahuan yang sudah mapan (seperti sains) dengan otoritasnya yang sedikit demi sedikit ditandingi oleh kemampuan individu atau kelompok-kelompok kecil untuk mengorganisasi kapasitas kognitifnya dalam memecahkan suatu persoalan. Hal ini sejalan dengan semakin memudarnya pesona ide “kemajuan” dalam masyarakat pengetahuan. Demistifikasi ide “kemajuan” tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Bahkan, seorang ilmuwan dan filsuf sains sekaliber Karl Popper [4] sendiri cenderung skeptis terhadap keuntungankeuntungan yang (mungkin) diperoleh umat manusia dari kemajuan sains. Menurutnya, “Kontribusi dari kemajuan sains membuat hidup manusia menjadi lebih panjang dan kaya; namun kemajuan ini juga menggiring manusia untuk menjalani hidup di bawah ancaman perang atom, dan amatlah meragukan apakah kemajuan ini lantas memberikan sumbangan bagi bertambahnya kebahagiaan manusia” [1]. Padahal, simetri kausal antara kemajuan sains dengan meningkatnya kebahagiaan manusia dikarenakan semakin banyak persoalan hidup manusia yang bisa diselesaikan dengan menggunakan metode dan temuan sains, sebenarnya tidak ada. Menjodohkan pengetahuan dengan emansipasi bukan pertama-tama tergantung pada peningkatan objektivitas dari klaim-klaim pengetahuan. Akan tetapi, yang lebih menentukan adalah bahwa dekonstruksi mitos-mitos pengetahuan ilmiah pada gilirannya akan membantu perluasan aplikasi pengetahuan ilmiah tersebut dalam konteks sosial di luar komunitas ilmiah. Seiring dengan gambaran sains dan ilmuwan sebagai motor penggerak keberlangsungan aktivitas sains sebagai otoritas kunci penentu pengetahuan semakin memudar, dalam arti mereka tidak lagi selalu dijadikan referensi untuk bertindak, maka semakin bertambahlah jumlah individu dan kelompok yang menggali, mengolah, dan memanfaatkan pengetahuan untuk bertindakvi [1]. Apabila hal ini terus berlanjut, distribusi sosial dari pengetahuan akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang lebih serius bagi masyarakat, misalnya dalam hal dunia kerja, pendidikan, proses politik, dan sejenisnya. Pertumbuhan lapangan pekerjaan yang berdasarkan pengetahuan (knowledge-based work, knowledge-intensive work) dan kenaikan jumlah tenaga kerja yang semakin mempunyai kecakapan kognitif, alih-alih teknis, merupakan dua contoh nyata dari semakin signifikannya pengetahuan dan kemampuan emansipatorisnya dalam masyarakat pengetahuan. Meski demikian, Stehr menegaskan bahwa perluasan kapasitas individu dan kelompok-kelompok kecil untuk bertindak sama sekali tidak berimplikasi pada hilangnya 57


Hendar Putranto

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

kecemasan, risiko, situasi-kondisi yang tak terduga, konsekuensi-konsekuensi yang tidak diantisipasi dari tindakan sadar, atau keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam setiap putusan, juga tindakan yang dilakukan oleh subjek pelaku tindakan [1].

Sejauh aktivitas kognitif menjadi karakteristik primer dari gerakan sosial, maka sumber-sumber pengetahuan dan strategi penggunaannya (misalnya bagaimana pengetahuan digandengkan dengan minat dan tujuan politik) menjadi bernilai lebih penting.

Untuk memberikan ruang analisis bagi dinamika tindakan dari subjek-subjek pelaku tindakan dalam masyarakat pengetahuan, Stehr juga membahas soal fenomena gerakan sosial modern (baru) berikut ini.

Stehr kemudian menyimpulkan bahwa GSB mencerminkan tipe dan gaya representasi politis yang berbeda dari (pola) tradisional, yang partisipasinya sering didominasi elit.

Gerakan-gerakan Sosial Modern Apa definisi terkini tentang gerakan sosial (social movements)? Belum ada kesepakatan soal ini. Yang jelas bahwa gerakan sosial merupakan anak kandung dari masyarakat industri maju. Gerakan sosial belum dikenal dalam era Industri (klasik).

GSB berperan dalam mengorganisasi kegiatan-kegiatan yang di dalamnya nilai individu, kapasitas kognitif, dan kecakapan politisnya memainkan peranan yang lebih penting bagi keanggotaannya sekaligus bisa selaras dan menunjang tujuan-tujuan dari GSB tersebut [1].

Gerakan sosial yang baru (GSB) adalah hasil dari perubahan struktur sosial dan juga perubahan nilai-nilai dalam masyarakat modern. Gerakan sosial berbeda dari kelas atau angkatan sosial, meskipun secara struktural ada sedikit kemiripan. Posisi kelas (class position) adalah fakta objektif, namun kesadaran kelas (class consciousness) tidak serta merta mengiringinya. Bagi Stehr, gerakan-gerakan sosial paling baik digambarkan sebagai “gugus kegiatan yang terorganisasi, yang pembentukannya tergantung dari perubahan sosial yang cepat, yang keanggotaannya bersifat sementara, dan yang pembentukannya sama longgarnya dengan pembentukan kelas-kelas atau angkatan-angkatan sosial, yang mengejar tujuan-tujuan yang kurang lebih bisa diidentifikasi dan bisa diperdebatkan, dan (tujuan-tujuan) ini melampaui status quo” vii [1]. Dalam kerangka definisi tersebut, gerakan-gerakan sosial merupakan fenomona struktural dan kultural. Ada tiga dimensi pilar di dalamnya, yaitu: (1) apa yang orang lakukan saat terlibat konflik dengan orang lain; (2) apa yang mereka ketahui tentang bagaimana melakukan sesuatu; (3) apa yang orang lain harapkan untuk mereka lakukan. Yang membuat GSB menjadi berarti adalah pada hakikat dan volume aktivitas kognitif dan keterampilan yang ditemukan dalam organisasi sosial [1]. Kecakapan kognitif inilah yang membuat gerakan sosial berkontribusi penting dalam mengkonstruksi dunia sosial, yaitu dengan memengaruhi kebijakan publik, dengan mengolah dan mempergunakan semaksimal mungkin sumber-sumber pengetahuan yang tersedia, serta ikut berkontribusi menentukan agenda pembangunan. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Bukan hanya “sekadar” organisasi yang menampilkan dan memperjuangkan tujuan-tujuan universal sekaligus partikular yang majemuk, GSB juga mempunyai keragaman struktur organisasi dan pola-pola jenjang karir. GSB turut mendesain konteks sosial yang di dalamnya sumber daya pengetahuan diperoleh, ditafsirkan, disebarkan dan ditransformasi menjadi pengetahuan praktis-politis. Mengetahui dan Risiko Apa bedanya ‘risiko’ dan ‘bahaya’? Definisi di bawah ini kiranya dapat dijadikan titik berangkat pemahaman. “Risiko adalah situasi-situasi di mana kemungkinan kerusakan atau kehancuran di masa depan bisa dilekatkan pada keputusan individu itu sendiri, sementara bahaya berkaitan dengan kerusakan dan gangguan yang berasal dari kekuatan luar atau eksternal di mana si individu terkait tidak mempunyai kontrol apapun atasnya viii [1]. Sayangnya, betapa pun definisi risiko dan bahaya dari Niklas Luhmann [1], salah seorang teoretikus sosial paling penting abad ke-20, di atas cukup mudah dimengerti, pada kenyataannya belum ada konsep risiko yang bersifat objektif atau tertancap (embedded). Dengan kata lain, belum ada definisi ‘risiko’ yang diterima secara universal dan secara radikal berbeda dari penggunaan sehari-hari kata ‘risiko’. Risiko dilihat sebagai suatu konstruksi sosial yang mempunyai signifikansi beraneka ragam dan yang hanya bisa dipahami bila dikaitkan dengan konteks dan tujuan sosial tertentu. Di lain pihak, komunikasi tentang risiko telah menciptakan lapisan dan struktur konflik sosial yang baru dalam masyarakat modern yang bisa jadi lebih eksplosif daripada yang pernah dialami dalam periode negara kesejahteraan (welfare state). 58


Hendar Putranto

Sejalan dengan dua kecenderungan di atas, ada gerak kembalinya ketidakpastian dalam masyarakat dan pelaku yang memproduksi ketidakpastian tersebut adalah komunitas ilmiah. Pada saat bersamaan, ada semacam kesepakatan bahwa sains dan sistem politik yang ada sekarang harus berani menghadapi, menanggung, sekaligus mencarikan jalan keluar atas ketidakpastian yang diproduksi oleh klaimklaim pengetahuan ilmiah. Sekarang penulis sampai pada distingsi antara risiko subjektif dan risiko objektif. Risiko subjektif didefinisikan sebagai risiko yang dipandang oleh orang per orang (individuals). Sementara itu, risiko objektif adalah risiko sebagaimana ditentukan oleh sains dan dikalkulasi seturut dengan prinsip-prinsip formal. Distingsi antara risiko subjektif dengan risiko objektif ini naik ke arena perdebatan para ahli terutama bila dikaitkan dengan penentuan formula risiko, yang dapat dijadikan standar pengukuran yang valid secara universal. Ada dua kesimpulan yang bisa didapat dari penelitian tentang risiko, yaitu (1) Mustahil untuk mengembangkan konsep formal dan seragam tentang risiko; (2) Logika dari rumus R = P x D ix [1], yang dipinjam dari diskursus komersial, tidak memadai bila diterapkan untuk ‘risiko’ di ruang publik. Bila menengok kembali definisi awal dari risiko dan bahaya di atas, disepakati tiga alasan pokok yang digunakan Stehr. Meminjam terminologi Luhmann, untuk menjelaskan mengapa bahaya teknologi dan ekologis oleh sebagian orang dipandang sebagai risiko, oleh sebagian lagi dipandang sebagai bahaya: Pertama, Kalkulasi untung-rugi (a cost-benefit calculation) tidak lagi memadai untuk memasok informasi yang relevan sebelum keputusan diambil; Kedua, ada keterpisahan mendasar antara ‘hal-hal yang dianggap sebagai risiko hasil dari keputusankeputusan’ dan ‘mereka yang dipengaruhi oleh risiko-risiko tersebut’; Ketiga, gangguan atau bencana teknologi dan ekologi adalah risiko societal atau kolektif. Dihadapkan pada situasi ini, para pelaku tindakan hanya mempunyai pilihan atau lari dari bahaya, atau menghadapinya, atau memprotesnya. Sementara itu, saat menyoal tentang ‘kembalinya ketidakpastian dalam masyarakat’ [1], bisa ditanyakan lebih jauh, ‘seandainya ketidakpastian memang sudah datang dan tinggal di tengah-tengah masyarakat, apa kiranya peran publik dari ketidakpastian?’ Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

Sekurang-kurangnya, ada tiga pokok yang bisa dijadikan pegangan untuk menilai persoalan ini, yaitu bahwa: (1) Karakteristik dari teknologi canggih adalah bahwa kontrol total atasnya tidak mungkin (contoh: virus komputer, atau gangguan komputer lainnya; atau sistem keamanan jaringan yang bisa kacau semuanya bila salah satu komponennya dibobol / di-hack); (2) Karena poin nomor satu di atas, semakin lebarlah jurang yang terbentang antara intensi dan konsekuensi dari tindakan-tindakan teknologis. Contohnya: manipulasi genetis (genetic engineering). Maksud awal dari projek manipulasi genetis memang baik, misalnya dapat mengontrol arah proses evolusi manusia serta mengurangi kemungkinan penyakit turunan, dan sejenisnya. Akan tetapi, sampai batas mana? Bagaimana dengan konsekuensi-konsekuensi etisnya? Misalnya, bagaimana mendefinisikan awal dan akhir kehidupan? (3) Terjadinya perubahan ekologis berjangkapanjang akibat tindakan dan pengambilan keputusan yang berlangsung sehari-hari, yang meskipun tidak spektakuler, namun berdampak jauh. Misalnya: penggunaan AC, hair spray, parfum, obat nyamuk, dan sejenisnya, akan melubangi ozon dalam jangka panjang. Benang merah dari ketiga proposisi di atas adalah bahwa tidak ada seorangpun yang bisa meramalkan dengan pasti betapa besar kemungkinan bahaya yang akan datang [1]. Pengambilan Keputusan dalam konteks pengetahuan yang rapuh mengandung risiko yang tidak kecil. Maksudnya, pengetahuan tentang risiko adalah sebuah entitas yang kurang seimbang dan rapuh karena ia mendasarkan dirinya pada pendekatan hipotetis. Proses-proses uji-coba (trial and error processes) dalam banyak hal digantikan oleh perencanaan jangka-panjang yang dikembangkan secara ilmiah dan analisis risiko yang menggunakan statistik, yang kesemuanya ini hanya mampu merumuskan asumsi-asumsi teoretis dan gambaran kasar tentang realitasx [1]. Bagaimanapun juga, teori-teori risiko modern harus menghadapi persoalan bagaimana mengorganisasikan proses-proses pembelajaran dalam situasi ketidakpastian yang mendasar seperti sekarang ini, sekaligus bagaimana mengambil keputusan-keputusan di bawah payung ketidakpastian dalam sistem-sistem sosial yang terorganisasi secara rapi. 59


Hendar Putranto

Bertambahnya pengetahuan tidak menjamin terjadinya pergeseran dari risiko menuju keamanan. Sebaliknya, “semakin banyak sesorang tahu, semakin seseorang mengetahui dengan baik bahwa seseorang tersebut tidak tahu, dan semakin ruwet jadinya kesadaran seseaorang tentang risiko. Semakin rasional seseorang mengkalkulasi dan semakin kompleks kalkulasi itu jadinya, semakin banyak aspek yang masuk dalam pertimbangan seseorang termasuk ketidakpastian di masa mendatang, yaitu risiko,” [1] demikian ditegaskan Luhmann. Inilah paradoks yang dialami masyarakat pengetahuan: bertambah pentingnya pengetahuan secara sosial, politis dan ekonomis sejalan dengan menurunnya kemampuan masyarakat untuk ikut campur dalam urusan hidup seharihari yang bertujuan untuk mengurangi, memindahkan kontingensi, kondisi yang tidak diinginkan, kejutan, kesialan, dan sejenisnya [1]. Pengetahuan, Ketidakpastian dan Kontingensi Pengetahuan di masa mendatang kemungkinan besar akan disertai tidak hanya kepedulian terhadap ancaman dari masa lalu dan masa kini yang tetap bergeming sebagai ketakutan-ketakutan, namun juga menurunnya otoritas para pakar dan skeptisisme yang makin meningkat terhadap kemungkinan adanya keahlian/kepakaran yang netral, tidak memihak. Akan tetapi, di sisi lain, kadar ketergantungan terhadap pengetahuan juga semakin bertambah. Tantangannya adalah untuk berhadapan secara langsung dengan kontingensi. Lebih daripada periode sebelumnya dalam sejarah umat manusia, pengetahuan di pelbagai sektor masyarakat modern telah menjadi dasar dan batu pondasi bagi tindakan sosial. Pengamatan dan analisis Stehr atas potensi maupun keberadaan berbagai masyarakat pengetahuan merupakan sebuah respons terhadap pengamatan bahwa sains dewasa ini tidak hanya kunci yang membuka ruang misteri dunia, namun juga kemenjadian dunia itu sendiri (the becoming of the world). Dalam masyarakat pengetahuan, kapasitas individuindividu utuk melepaskan diri mereka dari tekanan lembaga-lembaga dan gugus kolektif lainnya (tradisi, hukum, dan sejenisnya.) juga bertumbuh pesat. Pertambahan level pengetahuan ini tidak lantas berarti kesamaan umum (a general levelling), justru sebaliknya yang terjadi. Bentuk-bentuk baru ketidaksetaraan sosial yang berdasar pada pengetahuan juga semakin menyeruak. Persoalan Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

akses ke Internet (yang di dalamnya menyimpan sumber kekayaan informasi dan pengetahuan yang luar biasa). Misalnya, menjadi salah satu isu ketidakadilan yang paling sering diangkat dalam diskursus sosial, ekonomi, dan politik kontemporerxi namun sekaligus sumber daya untuk mengkampanyekan isu-isu ketidakadilan yang terjadi di belahan-belahan dunia terpencil yang luput dari liputan konglomerasi media.xii Bertambahnya kerapuhan dari masyarakat modern juga memunculkan sejumlah pertanyaan moral baru, misalnya pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut hakikat dan dasar-dasar dari pondasi etis masyarakat modern, sekaligus tanggungjawab politis tidak hanya dari kaum elit politik namun juga dari warga-negara. Kelesuan (resesi) ekonomi yang dialami negara maju seperti Jerman (dan juga Amerika Serikat pasca krisis subprime mortgage Desember 2007-Juni 2009) bisa saja kesalahannya ditimpakan ke negara dan aparat-aparatnya yang tidak becus dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi di tengah arus perubahan globalisasi sekarang. Kalimat penutup dari buku Stehr, “We are only able to rely on not being able to rely on the future” [1]. seolah-olah semakin menegaskan suasana ketidakpastian pada masa depan. Bagaimana masyarakat yang dirundung ketidakpastian mampu bertahan? Bukan lagi optimisme era Pencerahan atau pesimisme filosofis ala filsuf Schopenhauer yang dapat diandalkan. Ketidakpastian, kontingensi dan kerapuhan dari pengetahuan, dari masyarakat dan entitas-entitas penyusunnya, bisa dilihat (dan digunakan) baik sebagai sumber daya (yang artinya “memampukan”), tapi bisa juga sebagai sesuatu yang melumpuhkan (paralyzing). Pandangan Nico Stehr tentang pengetahuan dan kapasitas emansipatoris yang dibawanya sudah merupakan cita-cita peradaban sejak lama, paling tidak sejak fajar Era Pencerahan menyingsing. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah, ternyata pengetahuan bisa juga disalahgunakan untuk menindas dan memanipulasi objek-objek yang ditelitinya. Hal ini memunculkan persoalan risiko dalam masyarakat modern. Risiko dibedakan dari bahaya. Posisi manusia sebagai subjek pelaku tindakan (agent), dengan daya-daya rasionalnya, memegang peranan penting dalam mengkalkulasi dan mengantisipasi kemungkinankemungkinan yang terjadi, yang kelak disebut risiko. Namun itu saja belum mencukupi. Bertambahnya pengetahuan dan diseminasinya dalam masyarakat bukan semata-mata dianalisis sebagai sebuah kemajuan dan 60


Hendar Putranto

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

perkembangan rasionalitas dalam masyarakat (berlawanan dengan paham modernitas).

dalam terma efisiensi dan efektivitas dikesampingkan atau bahkan ditinggalkan.

“Kemajuan” di bidang sains dan teknologi memunculkan sejumlah persoalan dan paradoksnya sendiri yaitu bertambahnya risiko, dan kembalinya kontingensi dan ketidakpastian dalam diskursus seputar pengetahuan.

Contohnya: pengetahuan estetis dan filosofis tidak begitu mudah diterangkan dalam terma performance, sementara pengetahuan atau informasi di bidang keuangan dan managemen dapat dengan mudah dinilai berdasarkan kriteria kegunaan.

Tanggapan dan Kritik atas ide Nico Stehr tentang Masyarakat Pengetahuan Setelah merangkumkan analisis Nico Stehr di atas, sekarang penulis akan mengkaji sejumlah kekurangan dari teori yang diajukan Nico Stehr berkaitan dengan masyarakat pengetahuan.

(2) Perkembangan pengetahuan lantas bergeser dari universitas atau perguruan tinggi (di mana tadinya di dalamnya sejumlah elit akademisi merasa mengemban amanah untuk mencari ‘kebenaran’) menuju lembaga-lembaga pemikir independen (think tanks).

Kritik Internal, terkait dengan konsepsi pengetahuan itu sendiri. Meskipun tidak mengklaim dirinya sebagai pemikir pasca modernis, konsepsi pengetahuan yang diajukan Stehr dalam bukunya ini cukup dekat dengan definisi informasi dan pengetahuan yang digagas oleh salah seorang pemikir terkemuka soal pasca modern yaitu Jean-François Lyotard [5] dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979).

Seksi riset dan pengembangan dari korporasi privat dan gugus lembaga lainnya yang mengumpulkan, mengolah dan memanfaatkan informasi/ pengetahuan demi alasan efisiensi dan efektivitas.

Menurut Stehr, pengetahuan dimengerti sebagai (1) kapasitas untuk (melakukan) tindakan, (2) sifatnya yang kontekstual (socially and historically situated or embedded), dan (3) membutuhkan subjek aktif (an active actor) untuk membuatnya mampu menggerakkan sesuatu. Sementara itu Lyotard, dalam pandangan sosiolog Inggris terkemuka, Frank Webster (kelahiran 1950), berargumen bahwa pengetahuan dan informasi secara mendalam berubah dalam dua macam cara yang saling berkaitan [6]. Pertama, Pengetahuan dan informasi diproduksi hanya jika mereka bisa dinilai (dijustifikasi) berdasarkan efisiensi dan efektivitas atau dalam terminologi khas Lyotard, prinsip performativitas (a principle of performativity). Hal ini berarti informasi dikumpulkan, dianalisis dan dihasilkan kembali (direproduksi) hanya jika mereka bisa dinilai berdasarkan kriteria kegunaannya (utility). Kedua, pengetahuan/informasi sebagai komoditas.

semakin

diperlakukan

Informasi semakin menjadi suatu fenomena yang bisa diperdagangkan, menjadi subjek dari mekanisme pasar yang mempunyai kuasa menentukan performativitas sesuatu. Konsekuensi dari dua cara di atas adalah tampilnya kondisi pasca modern (a postmodern condition) yang berupa: (1) Jika prinsip performativitas diterapkan, maka informasi/pengetahuan yang tidak bisa dinilai Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

akan

Sebagai konsekuensinya, seluruh konsep pendidikan mesti digagas ulang. Pendidikan harus dibuat ‘lebih relevan’ untuk menjawab tantangan dan kebutuhan ‘dunia kerja yang nyata’ dengan cara meningkatkan ‘kompetensi’ dan ‘kecakapan praktis’ siswa-siswi hingga mereka kelak dapat menjadi pekerja-pekerja yang lebih efisien dan efektif. (3) Sebagai konsekuensi dari Redefinisi dari pendidikan ini, konsep ‘kebenaran’ yang sudah mapan dirongrong, dan proses komodifikasi menggiring seseorang untuk mendefinisikan kebenaran dalam terma kegunaan (praktis). Kebenaran bukan lagi fakta yang tak terbantahkan dan (buah dari) aspirasi atau penemuan akademisi yang bekerja di universitas. Kebenaran-kebenaran (truths) didefinisikan oleh permintaan-permintaan praktis yang akan dijawab oleh institusi yang bersangkutan. (4) Akhirnya, kriteria performativitas yang diterapkan pada informasi/pengetahuan mengubah ide-ide tentang apa artinya menjadi seseorang yang terdidik. Sudah cukup lama masyarakat menerima anggapan bahwa menjadi orang terdidik berarti memiliki pengetahuan tertentu. Dengan diciptakannya komputer, dan era komputerisasi terus berlangsung sejak itu, yang lebih berarti adalah bagaimana seseorang bisa mengakses bank data yang cocok daripada memiliki (dalam arti menyimpan) pengetahuan di dalam kepalanya.

61


Hendar Putranto

Pada era pascamodern, persoalan ‘bagaimana menggunakan komputer’ lebih penting daripada pengetahuan yang dimiliki pribadi (personal knowledge). Meskipun keempat kondisi pasca modern seperti digambarkan Lyotard di atas tidak semuanya identik dengan teori Stehr tentang masyarakat pengetahuan, namun bisa menemukan sejumlah kemiripan, misalnya: (1) kemiripan dalam menentukan kriteria apa yang dianggap sebagai pengetahuan dan informasi yaitu apa yang berguna secara praktis (‘prinsip performativitas’ dalam terminologi Lyotard; ‘kapasitas untuk bertindak’ dalam terminologi Stehr); (2) pergeseran sentral-sentral pengetahuan dari universitas (Lyotard) dan lembaga-lembaga besar seperti sains yang tadinya dianggap otoritatif dalam pengetahuan (Stehr) menjadi kelompok-kelompok independen (think tanks, pressure groups, lembagalembaga riset dan pengembangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan sejenisnya) yang menantang otoritas tradisional di bidang pengetahuan; (3) Semakin dihargai dan bernilainya profesi yang berdasarkan pengolahan data, informasi dan pengetahuan. Dalam hal ini Lyotard menunjukkan bahwa mereka yang cakap menggunakan komputer dan mempunyai akses ke jaringan komputer akan lebih memenuhi permintaan pasar dan kriteria performativitas. Sementara Stehr menunjukkan bahwa dalam masyarakat pengetahuan pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan pengetahuan (knowledge-based occupations) seperti experts, counselors dan advisers menjadi indikator penting bahwa masyarakat modern telah bertransformasi menjadi masyarakat pengetahuan [1].

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

praktek dan kebijakan-kebijakan mana yang lebih bisa diandalkan, atau, dengan kata lain, yang kadar trustworthy dan reliability-nya lebih tinggi?” Bisa juga dirumuskan seperti ini, “dari sekian banyak klaim-klaim pengetahuan dalam masyarakat pengetahuan, bagaimana dapat ditentukan standar epistemis untuk menilai kebenaran dari masing-masing klaim?” Apakah model situasi percakapan yang ideal (the ideal speech situation) dari Jürgen Habermas dapat dipakai sebagai kriteria kebenaran yang transendental? Alvin I. Goldman dalam Knowledge in a Social World xiii menangkis enam argumen yang biasa dilancarkan untuk merelatifkan dimensi kebenaran dari pengetahuan. Salah satu argumen tersebut berbunyi: “Tidak ada yang namanya kebenaran transenden. Yang masyarakat sebut ‘kebenaran’ sederhananya adalah yang masyarakat sepakati. Kebenaran-kebenaran atau fakta hanyalah sekumpulan gugus kepercayaan yang sudah dinegosiasikan, produk dari konstruksi dan fabrikasi sosial, bukan ciri-ciri ‘objektif’ ataupun ‘eksternal’ dari kenyataan” [7]. Pokok argumen dari Goldman untuk menanggapi ‘serangan terhadap kebenaran’ adalah bahwa baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di arena-arena khusus seperti sains, hukum, dan pendidikan, nilai lebih diletakkan pada memiliki kepercayaan-kepercayaan yang benar (having true beliefs) alih-alih kepercayaan yang keliru atau ketidakpastian (uncertainty). Tipe nilai ini disebut "veritistic value". Pendekatan veritistic dalam epistemologi sosial bermaksud lebih daripada sekadar deskriptif atau eksplanatoris. Ia bertujuan mengevaluasi atau menentukan standar normatif. Pendekatan ini mencari cara untuk mengevaluasi praktekpraktek entah yang sudah terjadi (aktual) maupun yang masih bersifat kemungkinan (prospektif) dan dampakdampak dari praktek-praktek tersebut atas kepercayaan yang benar maupun salah.

Bagaimana ia bisa menjustifikasi ‘kebenaran’ dari klaim pengetahuan itu sendiri? Jika pandangan ini diiyakan, tidakkah yang tersisa sekarang adalah pengetahuan-pengetahuan, dengan kebenarankebenarannya sendiri? Tidakkah ini menjadi semacam relativisme kebenaran yang justru ditolak oleh pengetahuan?

Meskipun kebenaran tidak banyak memainkan peranan sebagai penjelas (eksplanatoris) dalam kajian sosial atas pengetahuan, ia dapat memainakn peranan regulatif. Di sinilah pentingnya pendekatan veritistic dalam mengatur (me-regulasi) klaim-klaim pengetahuan dalam masyarakat pengetahuan.

Menurut penulis, ada faktor yang kurang dielaborasi oleh Stehr dalam analisis sosiologisnya, yaitu soal veritistic dimension of (social) knowledge. Pengetahuan tidak bisa direduksi menjadi gugus potensi saja.

Namun, tetap bisa dipertanyakan, bagaimanakah persisnya kebenaran dapat memainkan peranan regulatifnya kecuali kalau seseorang sudah mempunyai cara-cara untuk menentukan yang mana yang benar atau apa itu kebenaran?

Kalaupun kebenaran dari pengetahuan-pengetahuan itu tergantung dari konteksnya, seseorang masih bisa bertanya lebih jauh, “konteks-konteks semacam apa atau praktek-

Bagaimana caranya seorang epistemolog sosial dapat menegaskan kadar kebenaran dari sebuah praktek kecuali

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

62


Hendar Putranto

kalau ia mempunyai metode untuk menentukan apakah kepercayaan-kepercayaan yang disebabkan oleh praktekpraktek tersebut adalah benar atau salah? Kalaupun ia sudah mempunyai metode penentuan tersebut, untuk apa ada epistemologi sosial? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tidaklah sia-sia menggunakan cara perhitungan matematis bahwa praktek tertentu mempunyai kandungan kebenaran tertentu. Misalnya, Goldman menunjukkan bahwa praktek inferensi Bayesian punya kecenderungan umum, atau rata-rata mampu meningkatkan ‘kandungan kebenaran’ (veritistic properties) dari kepercayaan seseorang [7]. Hal serupa juga bisa ditunjukkan secara matematis misalnya dengan cara menggabungkan (amalgamating) pendapat-pendapat dari para pakar dalam sebuah kelompok sehingga dapat menghasilkan keakuratan kelompok yang lebih tinggi daripada bentuk-bentuk penggabungan lainnya [7]. Dikarenakan keterbatasan ruang pengungkapan, penulis mencukupkan diri untuk tidak masuk ke dalam detil penjelasan dari kedua cara di atas. Akhirnya, suatu aksi praktek terkadang bisa dinilai tidak memuaskan secara veritistis bila evidensi yang muncul kemudian bisa menunjukkan bahwa prinsip pedoman yang dijadikan acuan sebelumnya itu salah. Contohnya, praktek ‘pencarian kebenaran’ pada Abad Pertengahan yaitu praktek pengadilan dengan cara penyiksaan (Medieval trial by ordeal)xiv sudah banyak ditinggalkan sebab proses penyiksaan itu sendiri lebih banyak menghasilkan penilaian bersalah atau tidak yang tidak akurat.

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

Dalam hitungan detik, peristiwa aksi teror berupa peledakan bom bunuh diri di kawasan Thamrin Jakarta pada Kamis, 14 Januari 2016 yang lalu bisa dengan cepat dan mendetil masyarakat ketahui, berkat kemajuan teknologi informasi. Namun, demikian tilikan kritisnya, apakah kecepatan atau percepatan arus informasi ini juga menambah sesuatu pada pengetahuan? Ataukah, analoginya, masyarakat seolah-olah terengahengah berlari di pacuan informasi tanpa tahu untuk apa masyarakat berlari? Di sini dimunculkan soal makna atau meaning. Pertumbuhan dan pertambahan volume informasi tidak serta merta menghasilkan kedalaman makna atau mengubah kualitas hidup manusia yang mengasupnya. Bisa saja orang memiliki banyak informasi di kepalanya. Namun apa artinya itu? Gugus pemaknaan hidup tidak bisa digantungkan melulu pada besarnya atau banyaknya informasi yang seseorang asup, namun pada bagaimana seseorang mampu menciptakan filter yang mampu menyaring banjir informasi tersebut sehingga tersisalah informasi-informasi yang seseorang butuhkan untuk menambah pengetahuan. Sudah barang tentu pola semacam ini juga memiliki kelemahannya sendiri yaitu bahwa pola makna ini mengandaikan adanya suatu piramid hirarki: data, informasi, pengetahuan dan kebijaksanaan.xv Semakin ke atas semakin tinggi kadar maknanya. Soal makna dari tindakan sosial ini tentu tidak bisa dilepaskan dari bingkai pemaknaan kultural yang melingkupi subjek penafsir makna tersebut.

Kritik eksternal, yang menyangkut pandangan tentang pengetahuan sebagai kultur (knowledge as culture). Artinya pengetahuan yang digagas dalam gugus pembingkaian nilai, makna dan kepercayaan. Hal ini tampaknya kurang dielaborasi oleh Stehr dalam bukunya [1].

Di sinilah sosialitas dari makna mendapatkan tempatnya. Bukan bahwa makna yang dipercaya atau dijunjung tinggi oleh individu itu terpisah dari lingkungan sosialnya, namun bahwa makna itu diperkuat atau diperlemah bila ditempatkan dalam bingkai pemaknaan sosial yang lebih luas.

Penulis ambil saja contoh pengetahuan di era globalisasi. Pertanyaan pokoknya bisa dirumuskan sebagai berikut: Fenomena globalisasi---dengan ciri khasnya yaitu kemajuan dan perkembangan di bidang teknologi informasi---apakah mendukung atau menghambat produksi, reproduksi, distribusi dan diseminasi pengetahuan?

Untuk memperkuat argumentasi ini, penulis akan mengutip sejumlah gagasan dari tulisan McCarthy, Knowledge as Culture: The New Sociology of Knowledge.xvi

Misalnya: media massa yang tayangannya tidak lagi terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Informasi yang dibawa dan disiarkan televisi atau internet, misalnya, hampir tidak mengenal restriksi ruang atau waktu.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Dalam bukunya tersebut, McCarthy berargumen bahwa “Dewasa ini, pengetahuan paling baik digagas dan dipelajari sebagai budaya, dan beraneka ragam pengetahuan sosial mengkomunikasikan dan menandai makna-makna sosial, seperti makna tentang kekuasaan dan kenikmatan, keindahan dan kematian, kebaikan dan bahaya.

63


Hendar Putranto

Sebagai corak budaya yang kuat, pengetahuan juga menyusun makna dan menciptakan objek-objek serta praktek-praktek sosial yang seluruhnya baru.” Budaya (culture) di sini oleh McCarthy dipahami sebagai “the changing, tenuous, and thoroughly human and contingent ground of experience and knowledge” [8]. Konsep budaya seperti diajukan McCarthy di atas lebih memberi perhatian pada dimensi plural, kontingen, dan lokal dari eksistensi masyarakat, lebih terbuka terhadap perbedaan daripada kesatuan, dan bahkan membuka pintu lebar-lebar untuk ide konstruksi daripada esensi [8]. Salah satu contoh dari konsep pengetahuan yang digagas sebagai budaya adalah pengetahuan yang bergender (engendered knowledge) yang diusulkan oleh sejumlah tokoh feminis untuk mengkritik pengetahuan ilmiah (sains). Di antaranya terbilang nama-nama intelektual seperti Donna Haraway (“pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang berangkat dari dan kembali untuk menjawab situasi khas tertentu: a situated knowledge”), Helen E. Longino (‘sains adalah pengetahuan sosial di mana nilai-nilai sosial memainkan peran aktif dan niscaya dalam perkembangan pengetahuan itu’). Sandra Harding (‘ilmu pengetahuan sosial yang berciri kritis dan self-reflective seharusnya menjadi model bagi semua jenis sains lainnya dan bahwa ilmu pengetahuan alam paling tepat dianalisa sebagai bagian dari ilmu pengetahuan sosial’). Ruth Bleier (‘sains adalah pengetahuan yang diproduksi secara sosial sekaligus institusi budaya’), Hilary Rose (‘etos ilmiah adalah contoh penting dari pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam masyarakat’), dan Dorothy Smith (‘sains sosial dan pengetahuan psikiatris adalah bagian vital dari strategi yang kompleks untuk mengatur, me-manage, dan mengelola hidup perempuan’) [8]. Benang merah yang bisa ditarik dari gugus kritik feminis ini adalah bahwa pengetahuan (ilmiah) itu merupakan konstruksi sosial dan dalam kenyataan sejarah terbukti dipakai untuk melestarikan paradigma atau budaya patriarkal, androsentris dan maskulin (putih, borjuis). Pengetahuan yang seperti itu pada gilirannya bukanlah pengetahuan yang membebaskan (seluruh) umat manusia, melainkan pengetahuan yang diskriminatif. “Nasib” Agen Pengetahuan dalam Tatanan Masyarakat Pengetahuan: Kontekstualisasi Gagasan Di manakah kontribusi guru dan dosen sebagai agen pengetahuan dalam konstelasi masyarakat pengetahuan sebagaimana digagas Nico Stehr?

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

Apakah secara umum pasca rezim otoriter Orde Baru 1998, terjadi penguatan dan perluasan kapasitas serta kapabilitas mereka atau justru para guru dan dosen malah terhisap dalam hegemoni kekuasaan (baru) dan domestifikasi kekuatan? Jika diletakkan dalam konteks sosial politik ke-Indonesiaan pasca Gerakan Reformasi, maka apakah dosen-dosen di Indonesia sudah menubuhkan prinsip-prinsip masyarakat pengetahuan seperti diuraikan oleh Stehr di atas? Atau justru sebaliknya, semakin tergilas dan terlibas oleh kapitalisasi dan privatisasi pengetahuan? Pertama-tama perlu dipahami bahwa pembentukan SDI merupakan bagian dari Gerakan Sosial Baru (GSB) yang tidak ketat terafiliasi pada entitas kolektif Marxis seperti klas, ataupun nasionalisme. Meskipun secara objektif profesi guru dan dosen sudah selalu meletak dalam ‘posisi klas’ (class position) tertentu, tegasnya, klas menengah ke bawah, akan tetapi tidak serta merta kehadiran dalam posisi klas itu bereskalasi menjadi “kesadaran klas” yang merupakan jalan penting bagi terwujudnya solidaritas klas. Kesadaran palsu (false consciousness) tentang guru dan dosen yang diproduksi, direproduksi, dan dilembagakan oleh the ruling class yaitu negara dengan aparatnya selama era Orde Baru. Adagium “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” sudah sedemikian mengakar dalam lubuk kesadaran para guru dan (calon) guru di seluruh negeri, sehingga penguasaan pengetahuan yang dianggap dimiliki oleh para guru dan dosen tidak serta merta selaras dengan terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, peningkatan kesejahteraan secara bertahap, apalagi kemakmuran material. Jika bukan guru dan dosen itu sendiri yang berjuang untuk mengafirmasi relasi pengetahuan dan kekuasaan, untuk mengemansipasi diri dari situasi ketertindasan yang sistematis, dari bentuk-bentuk ketidaksetaraan sosial yang berlindung di balik alasan saleh nan manipulatif. “Guru (dosen) adalah pengabdi masyarakat tanpa tanda jasa”, maka tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa ada pihak lain yang akan memerhatikan, apalagi memperjuangkannya secara konkret, dalam bentuk pelbagai kebijakan (politis, ekonomis) yang tujuannya untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan para guru dan dosen. Oleh karena itu, dalam Pembukaan Anggaran Dasar Serikat Dosen Indonesia [9] yang sudah disahkan oleh notaris pada 28 Oktober 2014 yang lalu, kristalisasi dari kesadaran klas dan solidaritas kelas para dosen yang sudah ‘tercerahkan’ ini dinyatakan sebagai berikut:

64


Hendar Putranto

“Bahwa sesungguhnya dosen merupakan salah satu pilar utama eksistensi lembaga pendidikan tinggi dalam menjalankan proses penciptaan, penyebaran, dan pembaruan pengetahuan yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi terkait dengan amanah UUD 1945 yaitu ‘pencerdasan kehidupan bangsa.’ Serikat Dosen Indonesia, disingkat SDI, merupakan bagian integral dari civitas academica nasional yang mendukung terlaksananya pembangunan nasional serta tercapainya kesejahteraan sosial yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, sebenarnyalah dosen merupakan sumber daya manusia yang diadakan untuk menjalankan sistem kerja lembaga pendidikan tinggi, yang meliputi universitas, institut, akademi dan sekolah tinggi. Dosen merupakan pelaksana kerja yang harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas kerjanya, moralitas, kedisiplinan serta tingkat kesejahteraannya, yang kelak menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman dalam bekerja, sehingga pada gilirannya setiap dosen mempunyai rasa memiliki, menyayangi dan persaudaraan antar sesama dosen, dengan menyadari betapa pentingnya proses produksi pengetahuan yang diharapkan mampu mewujudkan lembaga pendidikan tinggi tingkat dunia (world-class university) berdasarkan kebijakan kualitas (quality policy) sebagai salah satu pendukung pencerdasan kehidupan bangsa.

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

dan Dosen No. 14/2005, Undang-undang Pendidikan Tinggi No. 12/2012, dan undang-undang lainnya yang relevan serta prinsip keadilan sosial dan kepentingan nasional. Maka dengan rahmat Yang Mahakuasa, kami para dosen yang mengabdikan diri sesuai keilmuan kami dalam batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyatakan diri untuk bersatu dalam SDI dengan Anggaran Dasar sebagai berikut…” Nasib para agen pengetahuan (di antaranya adalah para guru dan dosen) dalam masyarakat pengetahuan tidak boleh berhenti pada pepatah ‘bak tikus mati di lumbung padi’. Karakter emansipatoris pengetahuan yang dianggap dimiliki secara cukup oleh para guru dan dosen, sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing dan jenjang pengajaran spesifik yang diampunya, perlu memberdayakan bukan hanya para peserta didik yang dipercayakan kepadanya, melainkan juga untuk menguasakan dirinya (guru dan dosen) dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tanpa harus mengemis dan hutang sana-sini. Dalam arti inilah karakter sosiologis pengetahuan yang emansipatoris bertemu dengan nilai etis self-respect (kemanusiaan dalam arti yang konkret) dan selfempowerment. Referensi

Bahwa untuk menerapkan kebijakan kualitas dan meningkatkan produktivitas pengetahuan yang dihasilkan lembaga pendidikan tinggi secara optimal, para dosen memerlukan wadah perkumpulan berupa serikat pekerja, beserta sarana dan prasarana yang memadai sebagai media untuk berkomunikasi, berperan serta, juga menggalang solidaritas agar mampu melindungi, mendidik dan meningkatkan harkat dan penghidupan yang layak dari dosen.

[1]

[5]

Lyotard, Jean-François. 1979. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979).

Keberadaan wadah tersebut ikut mendorong terciptanya kondisi dan situasi bekerja yang harmonis dan seimbang antara manajemen (direksi) perguruan tinggi dan himpunan dosen. Wadah yang dibentuk para dosen ini bercirikan mandiri, kuat, berwibawa, dibangun dan didirikan oleh, dari, dan untuk dosen secara kolektif, bebas dan demokratis.

[6]

Webster, F. 1995. Theories of the Information Society. London: Routledge. ISBN 0-4151-0574-9 Goldman, A. I. 1999. Knowledge in A Social World. Oxford: Clarendon Press. ISBN 9-7801-9823-8201 McCarthy, E. D. 1996. Knowledge as Culture: The New Sociology of Knowledge. London: Routledge. ISBN 978-04150-6497-2 Serikat Dosen Indonesia. 2014. Anggaran Dasar Serikat

Selain itu, keberadaan SDI diharapkan mampu berperan aktif mengelola aspirasi dan keluhan yang berangkat dari persoalan nyata yang dihadapi para dosen, yang timbul dalam situasi dan kondisi saat ini dan masa depan, dengan berpegang pada ketentuan Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21/2000, Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13/2003, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, Undang-undang Guru Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

[2] [3] [4]

[7] [8]

[9]

Nico Stehr.2001. The Fragility of Modern Societies: Knowledge and Risk in the Information Age. Foucault, M. 1977. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Random House. Beck, U. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity. London: SAGE Publishing. ISBN 9-7808-0398-3465 Popper, K. R. [1961] 1992. In Search of a Better World: Lectures and Essays from Thirty Years. London: Routledge. ISBN 978-0-4151-3548-1

Dosen Indonesia. Catatan Akhir

i

Nico Stehr (kelahiran 19 Maret 1942) adalah seorang sosiolog Jerman kontemporer kenamaan. Beliau menjabat sebagai Karl Mannheim Professor untuk Ilmu Kajian Budaya di Zeppelin University, Friedrichshafen (Jerman) 65


Hendar Putranto

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

sekaligus Pendiri dan Direktur dari European Center for Sustainability Research. Beliau juga pernah menjabat sebagai Profesor Sosiologi di Universitas Alberta (Kanada) serta menjadi anggota kehormatan dari the Center for Advanced Cultural Studies di Essen, Jerman.

berasal-muasal dari tahapan Rasionalisme dan diterapkan pada perkembangan Sains klasik, tidak bisa diterapkan (atau dijadikan standar pengukuran) begitu saja, in the same way or in the same sense, baik dalam tahapan Nalar (Reason) maupun tahapan Rasionalisasi.

Minat dan kompetensi akademis Stehr lebih terfokus pada bidang Sosiologi Pengetahuan dan ekonomi yang berbasiskan pada analisis pengetahuan (Knowledge-based Economy).

vi

Karya-karyanya terbentang sejak tahun 1984 lewat buku yang disusunnya bersama Volker Meja yaitu Society and Knowledge: Contemporary Perspectives on the Sociology of Knowledge, dilanjutkan dengan periode produktifnya pada tahun 1990-an yang menghasilkan sejumlah buku yang akan mendasari perkembangan intelektualitasnya yaitu Practical Knowledge: Applying the Social Sciences (1992), dan Knowledge Societies (1994).

Lengkapnya berbunyi sebagai berikut, “The need continually to reappropriate knowledge leaves its mark on knowledge, too, and it impacts on the agents engaged in reappropriation. As actors acquire ever greater skills in reappropriating knowledge, they also acquire a greater capacity to act.” vii

Lengkapnya berbunyi sebagai berikut, “Perhaps social movements are best described as organized activities that rely for their formation on accelerated social change, a transitory membership that is as loosely constituted as are social classes or generations, and that pursues more or less clearly identifiable contentious objectives that transcend the status quo.”

Beliau juga rajin memublikasikan sejumlah esei ilmiah yang dimuat di sejumlah jurnal sosiologi dan ekonomi berskala internasional, seperti Canadian Review of Sociology and Anthropology, Society, Sociétés, Vorgänge, European Journal of Social Theory, sehingga pada awal abad ke-21.

viii Lengkapnya berbunyi sebagai berikut, “Risks are situations where possible future damage can be attributed to an individual’s own decision, while dangers relate to damage and hazards from external sources over which the affected individual has no control whatsoever.”

Namanya semakin mencuat sebagai seorang pakar sosiologi di bidang pengetahuan dan ekonomi. Salah satu buku yang ditulisnya, The Fragility of Modern Societies: Knowledge and Risk in the Information Age (2001) merupakan acuan pokok penulis dalam menyusun artikel ini.

ix

ii

Lih. https://www.britannica.com/technology/Y2K-bug. Bdk. Hyatt, M. S. 1998. The Millennium Bug: How to Survive the Coming Chaos. Regnery Publishing iii

Stehr mengutip bagian ini dari karya Crozier, M. ([1979] 1982), Strategies for Change: The Future of French Society, Cambridge, Massachusetts: MIT Press, hlm. 126. iv

Pada bagian awal dari bab 7 bukunya, “Science Beyond Truth and Enlightenment” (hlm. 155 dst), Beck mengatakan bahwa “sains adalah salah satu penyebab, medium definisi dan sumber dari solusi atas (persoalan) risiko, dan karena fakta tersebutlah sains membuka pasar baru scientization untuk dirinya sendiri.” Pada bagian berikutnya (hlm. 163), ia menyimpulkan sebagai berikut: “One can therefore state that science is involved in the origin and deepening of risks situations in civilization and a corresponding threefold crisis consciousness. Not only does the industrial utilization of scientific results create problems; science also provides the means – the categories and the cognitive equipment – to recognize and present the problems as problems at all, or just not to do so. Finally, science also provides the prerequisites for ‘overcoming’ the threats for which it is responsible itself.” v

Bdk. Harry Redner (1987), “Progress as Rationality”, dalam The Ends of Science: An Essay in Scientific Authority, hlm. 5159. Pertama-tama Redner mendistingsikan pertumbuhan rasionalitas sepanjang sejarah ilmu pengetahuan di Barat menjadi tiga tahapan (tiga epos) di mana masing-masing tahapan digerakkan oleh tiga bentuk dasar dari rasionalitas yang dominan.

Formula ini dipinjam dari istilah asuransi, di mana Risiko [R] didefinisikan sebagai produk probabilitas [P] dikali dengan skala kehancuran [D]. Formula ini hanya bisa diterapkan jika kemungkinan bencana bisa dinyatakan secara jelas dan (skala) kehancuran bisa ditentukan dalam terma-terma kuantitatif. Formula R = P x D dipandang sebagai model pengambilan keputusan secara rasional sebab formula ini mampu melihat hubungan antara sejumlah aktivitas yang berbeda-beda dan potensial kehancuran. x

Dalam pengamatan Rifkin (2000), salah satu risiko dari Dunia Pengetahuan yang semakin berkembang dalam bentuknya reproduksi dan distribusi pengetahuan, sebagaimana juga komodifikasi kultur ke dalam dunia komersial adalah hilangnya nilai dan makna yang tadinya terkait amat erat dengan konteks dan proses muncul, tumbuh dan berkembangnya kultur itu sendiri. Ekspresi lahiriah dari kultur---yang di sini berarti “ekspresi manusiawi komunitas tertentu atas nilai-nilai atau makna-makna dari kehidupan yang mereka jalani secara kolektif”---seperti musik, tari, makanan, kerajinan tangan, dan sejenisnya. Gamelan dari Jawa dan Bali, musik raï dari Aljazair, salsa dari Brazil, dan sejumlah ekspresi musikal lokal-kultural lainnya masyarakat saksikan sendiri semakin diambil alih (diadopsi) bentuknya dan lalu direproduksi, disebarkan secara global. Namun sayangnya ekspresi kultural-lokal di atas ini tidak diindahkan maknanya atau nilai spiritual-religius yang melekat padanya. Contoh lainnya, dalam Laporan Kultur Dunia tahun 1998 yang disampaikan UNESCO.

Kedua, Rasionalisme dominan dalam sains Newton yaitu sains klasik.

Ditengarai ada ketegangan yang semakin menaik antara kebudayaan (culture) dan komersial (commerce) sebagai berikut: “The cultural values which identify and link local, regional or national communities seem in danger of being overwhelmed by the relentless forces of the global marketplace. In these circumstances, questions are raised as to how societies can manage the impacts of globalization such that local or national cultures, and the creativity that sustains them, are not damaged but rather are preserved or enhanced.”

Ketiga, Rasionalisasi dominan dalam sains Dunia (World science). Lebih jauh lagi, menurutnya, konsep “kemajuan” yang

Akan tetapi, menurut hemat penulis, tegangan semacam ini juga sekaligus menjadi peluang bagi pelaku tindakan sosial untuk

Pertama, Nalar (Reason) dominan antara periode klasik Aristoteles hingga Abad Pertengahan.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

66


Hendar Putranto

Menyoal Risiko dan Kontingensi….

menyampaikan pengetahuan.

xiv

aspirasinya

dan

terlibat

dalam

kontestasi

Lih. https://web.cn.edu/kwheeler/trial_ordeal.html

Sebagai pembanding lainnya, bisa mengambil deskripsi contoh dari Ulrich Beck (1992) menyangkut kegagalan rasionalitas ilmiah-teknis untuk menjelaskan (apalagi menyelesaikan) bertambahnya risiko dan ancaman dari peradaban yang dibangunnya: “My thesis is that the origin of the critique of science and technology lies not in the ‘irrationality’ of the critics, but in the failure of techno-scientific rationality in the face of growing risks and threats from civilization. This failure is not merely past, but acute present and threatening future.”

xv

Contohnya risiko keberadaan dan operasi pembangkit nuklir bagi penduduk sekitarnya (contoh ekstrem dari kasus ini adalah ledakan Pembangkit Nuklir Chernobyl di Uni Soviet tahun 1984 yang menimbulkan aneka macam penyakit yang kompleks pada warga yang tinggal dalam radius tertentu dari pembangkit nuklir tersebut akibat menghirup debu radioaktif.

Ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa konfigurasi lain yang mungkin dapat dipakai untuk menggambarkan relasi antara “data”, “informasi”, “pengetahuan” dan “kebijaksanaan” adalah sebuah model yang diorganisasi seturut kedalaman makna.

Korban tidak hanya terbatas pada satu generasi, namun bahkan bergenerasi-generasi.) Kemungkinan bencana diperhalus dengan penggunaan warning yang disisipi humor. Keradikalan hasil penemuan atau pencapaian teknologi tinggi ini membuat tersadar atas betapa lemah posisi seseorang di hadapan lembaga-lembaga sains dan kecanggihan riset mereka. Sementara itu kerap kali risiko dari hasil penelitian ‘disembunyikan’ dari mata masyarakat sebab yang menjadi prioritas dari industri yang didukung oleh temuan-temuan sains dan teknologi adalah meningkatkan produktivitas, dan bukan menanggulangi atau mengantisipasi risiko-risiko yang mungkin lahir daripadanya.

Bdk. Darius Mahdjoubi (1997), “ARCHITECTURE OF KNOWLEDGE” yang bisa diakses di http://www.gslis.utexas.edu/~darius/arc_know/arc_know.html.

Mengutip pandangan Russell Ackoof tentang pengetahuan, “A pound of ‘data’ is worth an once of ‘information’; A pound of ‘information’ is worth an once of ‘knowledge’; A pound of ‘knowledge’ is worth an once of ‘understanding’; A pound of ‘understanding’ is worth an once of ‘wisdom’”

Di mana data dipandang sebagai elemen-elemen yang tersebar, informasi sebagai data yang berpola, pengetahuan sebagai tuntunan sah untuk bertindak (a validated platform for action) dan kebijaksanaan sebagai mengetahui secara implisit bagaimana untuk melahirkan, mengakses dan mengintegrasikan gugus pengetahuan. xvi

McCarthy, E. D. 1996. Knowledge as Culture: The New Sociology of Knowledge. London and New York: Routledge. E. Doyle McCarthy adalah seorang profesor sosiologi dari Fordham University (USA). Kajian penelitian dan minatnya meliputi sosiologi pengetahuan dan kebudayaan, teori sosial dan emotion studies.

Yang lebih mengenaskan lagi dialami oleh sejumlah orang tua di Jerman. Mereka bergabung dan lalu menuntut pada pemerintah dan industri untuk mengurangi kadar sulfur dioksida dalam udara yang mereka hirup sebab itu mengakibatkan anak-anak mereka batuk-batuk berkepanjangan terutama di malam hari (König, Der Stern, April 1985). Hal semacam ini, yang oleh kaum ilmuwan hanya disebut sebagai efek samping yang sudah laten (‘laten side effects’), tidak bisa dipandang sebelah mata oleh para orangtua, sebab bagi mereka, ‘efek samping’ ini menampakkan suara, wajah, mata, dan tangis (yang hadir dalam diri anak-anak mereka yang menderita). xi

Bdk. Andrew Calcutt (1999), White Noise: An A-Z of the Contradictions in Cyberculture, London: MacMillan Press Ltd. Calcutt mencoba memetakan paradoks atau kontradiksikontradiksi yang terkandung dalam Budaya Cyber. Misalnya, menyangkut Kesetaraan><Elitisme, ia mengatakan bahwa “In some quarters the information superhighway is billed as the direct route to equality. But others regard it as a terrain upon which a new elitism is already emerging.”

xii

Bdk. Jim Walch (1999), In The Net, London & New York: Zed Books, yang berbicara tentang strategi penggunaan kemajuan teknologi informasi (dalam hal ini Internet) untuk mengkampanyekan secara global isu-isu ketidakadilan sosial (seperti di Bosnia, Timor-Timur, Papua Barat, BelgradeYugoslavia, Vellakulam di India Selatan, dan sejenisnya.) xiii

Bagian ini merupakan pembacaan dan pemahaman penulis tentang soal Epistemologi Sosial yang rujukan primernya mengacu pada Stanford Encyclopedia of Philosophy (http://plato.stanford.edu/cgibin/encyclopedia/archinfo.cgi?entry=epistemology-social), © Alvin Goldman, 2001, dilengkapi dengan pembacaan penulis terhadap buku Alvin I. Goldman (1999), Knowledge in A Social World, Oxford: Clarendon Press, hlm. 1-100. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

67


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

VOLUME II NOMOR 1 JANUARI 2017

enlightening open mind generations

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 1 Januari 2017 www.an1mage.org

iv


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.