An1mage Jurnal Studi Kultural Volume I Nomor 2 Juni 2016

Page 1

www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

VOLUME I NOMOR 2 JUNI 2016

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

i


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

ISSN: 2477-3492

VOLUME I NOMOR 2 JUNI 2016 An1mage Direktur: M ichael Sega Gumelar

Tatacara dan panduan naskah tersedia di: https://drive.google.com/file/d/0B3l84AXZlhgSZTVvM 2xTc04 0bk0/view?usp=sharing

Public Relation: Archana Universa

CopyrightŠ2015 by an1mage and the authors. All rights reserved. An1mage holds the exclusive copyright of all the contents of this journal.

Designer: Wulan Ardhana Content Editor: Kevin Putranto M ega Oetama Text Editor: Aswin Chandra Dimas Satria Thomas Wijaya Reviewer: Derrick Walton Tarn Christine S. Richards M ichi Koji Shuy Trang M ichael Goddard M .S. Gumelar

An1mage bekerja sama dengan Komunitas Studi Kultural Indonesia. Naskah laporan penelitian dan korespondensi silakan kirim ke: an1mage@an1mage.org

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

In accordance with the national & international convention, no part of this journal may be reproduced or transmitted by any media or publishing organs (including various websites) without the written permission of the copyright holder. Otherwise, any conduct would be considered as the violation of the copyright. The contents of this journal are available for any citation. However, all the citations should be clearly indicated with the title of this journal, serial number and the name of the author. Pemesanan versi print, silakan kontak: an1mage @an1mage.org atau sms ke: 08888988005

an1mage enlightening crowdsourcing www.an1mage.org an1mage@an1mage.org

ii


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

ISSN: 2477-3492

VOLUME I NOMOR 2 JUNI 2016

Daftar Isi 70 Upside down Building: Suatu Karya Dekonstruksi Desain Arsitektur I Made Marthana Yusa 75

Napak Tilas Marjinalisasi Berbagai Etnis di Indonesia dalam Hubungannya dengan Bhinneka Tunggal Ika Michael Sega Gumelar

84

Teori “Gado-gado� Pierre-Felix Bourdieu Mangihut Siregar

88

Komunikasi dalam Konteks Protokol Bisnis Multikultural Mutria Farhaeni

94

The Use of Green Turtles in Bali, When Conservation Meets Culture Rodney Westerlaken

99

Upacara Adat Lepa Bura pada Masyarakat Lamaholot di Desa Sulengwaseng, Kecamatan Solor Selatan, Flores Timur Benediktus Belang Niron

106

Tato dalam Seni dan Pariwisata di Bali I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan

110

Wisata Melukat: Perspektif Air Pada Era Kontemporer I Made Gede Anadhi

115

Komodifikasi Penjor sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu Ketut Hery Sony Pratama, Saortua Marbun

121

Pengaruh Modernisasi Terhadap Perkembangan Komodifikasi Mukena Noni Mirantika, Saortua Marbun

129

Kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan Yuyun dalam Kacamata Kultur Patriarki Lidwina Hana

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

iii


I Made Marthana Yusa

Upside down Building: Suatu Karya Dekonstruksi Desain Arsitektur Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2: 70-74

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org. An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Upside down Building: Suatu Karya Dekonstruksi Desain Arsitektur I Made Marthana Yusa* STMIK STIKOM Indonesia

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 14 Februari 2016 Direvisi 20 Maret 2016 Diterima 27 Maret 2016 Kata Kunci: dekonstruksi desain arsitektur upside down

Abstrak Pengoreksian International Style yang diprakarsai oleh Wolfgang Weingart (1960-an) disebabkan oleh prinsip desain modern dengan universalisme dan singularitas kebenarannya telah membatasi paradigma berpikir desainer sehingga karya yang dihasilkan desainer pada periode tersebut terlihat identik dan tipikal. Dekonstruksi hadir dengan latar-belakang posmodernisme yang berdasarkan pemikiran filsafat bahwa susunan pemikiran yang begitu terpadu, yang tersusun rapi, kini dipilah-pilah sampai ke dasar-dasarnya. Kehadiran dekonstruksi dilihat sebagai bagian dari posmodernisme yang secara epistemologi atau filsafat pengetahuan, harus menerima suatu kenyataan bahwa manusia tidak boleh terpaku pada suatu sistim pemikiran yang begitu ketat dan kaku. Dekonstruksi Derrida menawarkan perbedaan dan penangguhan kebenaran makna atau disebut diffÊrance. Menghasilkan karya desain yang aneh, ganjil, maupun modern yang keluar dari aturan baku hendaknya bukan tujuan utama bagi desainer. Lebih dari itu, desainer wajib untuk bisa melihat dan merasakan perubahan budaya sehingga karya yang dihasilkan bisa adaptif terhadap dialektika sosial yang terjadi. Tulisan ini mencoba membaca teks penerapan dekonstruksi pada karya Desain, pada bahasan khusus menghadirkan upside down building atau "gedung yang terbalik" (literraly) sebagai studi kasus. Š 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Desain arsitektur mengalami dinamika yang menarik untuk dicermati. Motivasi dan aspek kebutuhan bangun ruang yang melandasi terbangunnya suatu wujud hunian dan lingkungan binaan (built environtment) mulai berkembang tidak hanya sebagai pemenuh kebutuhan fisik, dan mental/psikis, namun mulai melampaui itu sehingga menciptakan desain yang penuh kejutan (sensasi) yang hadir melawan batas-batas atau kaidah umum. Ciri yang mudah dikenali adalah karakteristiknya berbeda dengan prinsip desain modern yang selalu diajarkan di kampus maupun akademi desain konvensional. Modernisme dalam desain, yang muncul pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di Belahan Barat, merupakan arus utama dan tonggak penting dalam keilmuan desain. Pada masa inilah prinsip dasar estetis dan metode berpikir sistematis mulai diajarkan oleh Institusi Akademik Bauhauss (1919-1933) di Jerman. Karya-karya yang dihasilkan mencerminkan rasionalitas, minimalis, struktur yang ketat, serius, dan obyektif. Apa yang kemudian terjadi dalam konstelasi desain, yakni penolakan konsensus dan aturan baku seperti prinsip-prinsip desain, secara epistemologis dapat dihubungkan dengan apa yang terjadi di filsafat posmodern.

Ada satu pemikiran penting dalam posmodern yang dampaknya begitu besar memengaruhi berbagai wilayah keilmuan seperti linguistik, bahasa, sastra, dan seni yaitu dekonstruksi. Dekonstruksi benar-benar memutarbalikkan pemahaman semula tentang suatu struktur berpikir―yang pada tulisan ini bahasan khususnya adalah desain arsitektur, kemudian dalam proses berkaryanya berhasil mewujudkan sebidang bangunan yang benar-benar "terbalik". Bangunan ini kemudian dikenal sebagai 'Upside Down Building'. 2. Memahami Dekonstruksi Derrida Dekonstruksi merupakan reaksi terhadap modernisme dalam perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan filsafat. Modernisme dalam perkembangan filsafat ilmu berdasar pada rasio, logos dalam intelektual manusia. Dekonstruksi hadir dengan latar-belakang posmodernisme yang berdasarkan pemikiran filsafat bahwa susunan pemikiran yang begitu terpadu, yang tersusun rapi, kini dipilah-pilah sampai ke dasar-dasarnya. Kehadiran dekonstruksi dilihat sebagai bagian dari posmodernisme yang secara epistemologi atau filsafat pengetahuan, harus menerima suatu kenyataan bahwa manusia tidak boleh terpaku pada suatu sistim pemikiran yang begitu ketat dan kaku.

∗ Peneliti koresponden: Kampus STMIK STIKOM Indonesia (STIKI Indonesia), Jl. Tukad Pakerisan no.97 Denpasar, BALI 80225. Mobile: +628157100816 | E-mail: made.marthana@gmail.com. | Website : angelmarthy.com | angelmarthy.deviantart.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

70


I Made Marthana Yusa

Filsafat dalam sejarah perkembangannya membuat suatu rumusan yang jelas dan tepat mengenai apa yang ada di dunia ini. Dalam perumusan ini, hal-hal yang kabur, pengalaman-pengalaman pribadi harus dibersihkan, yang dalam istilah filsafat disebut sebagai di-abstraksi-kan; sehingga dapat dicapai suatu bentuk yang benar-benar jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan logis. Sedangkan dalam sikap dekonstruksi, suatu tatanan yang begitu teratur, yang telah diusahakan oleh modernisme, ingin dikembalikan ke dasar-dasar yang begitu jamak. Apabila ada sesuatu yang tertutup (closed) harus ada yang terbuka (disclosed), sehingga menjadi majemuk, kembali ke dasar. Dalam kaitan ini, dekonstruksi ingin memilah atau memecahkannya [1]. Dekonstruksi sebagai suatu konsep pemikiran dipopulerkan oleh Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis, melalui tulisan dalam bukunya yang berjudul Of Grammatology. Buku tersebut diterbitkan di Perancis pada tahun 1967 dan baru diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada tahun 1976 oleh Gayatri Spivak. Buku tersebut merupakan yang paling penting merekam pemikiran Derrida karena di sana Ia memulai proyek filsafat dekonstruksi sebagai bentuk resistensinya terhadap dominasi logosentrisme atau metafisika kehadiran (metaphysics of presence) dalam Filsafat Barat [2]. Koreksi terhadap International Style seperti yang diprakarsai oleh Wolfgang Weingart pada akhir tahun 1960-an dan diteruskan oleh Katherine McCoy serta beberapa desainer sesudahnya, merupakan sebuah refleksi terhadap arus utama yang prinsip desain dan filsafat estetiknya menjadi panutan dari tahun 1920-an sampai saat ini. Widagdo [3], merangkum bahwa koreksi tersebut terjadi karena prinsip desain modern (International Style) dengan universalisme dan singularitas kebenarannya dianggap stagnan, jumud, tidak aspiratif terhadap kenyataan budaya yang berubah serta tidak lagi adaptif terhadap dialektika sosial yang ada. Atas dasar latar belakang yang demikian inilah para desainer yang terpengaruh falsalah posmodernisme merasa jengah. Jengah karena International Style telah dianggap sebagai patron yang dilegalisasi oleh institusi akademik dan wajib diikuti seluruh desainer jika ingin aman berada pada arus utama. Tata aturan tersebut akhirnya membatasi paradigma berpikir desainer sehingga karya desain yang dihasilkan terlihat identik dan tipikal karena tolok ukurnya hanya berasal dari satu perspektif (singularitas kebenaran). Selama ini banyak karya desain arsitektur terbatas menggali kapasitas tersebut melalui komposisi tradisional seperti struktur rigid bangunan, simetri, keterukuran, unity/kesatuan, Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Upside down Building: Suatu Karya Dekonstruksi Desain Arsitektur

keutuhan dan kestabilan. Sementara kapasitas lainnya seperti unsur-unsur kontradiksi dan oposisi tidak terangkum. Di sinilah tugas dekonstruksi mempertanyakan adanya kemapanan, netralitas, ketunggalan dan kebakuan definisi. Pertanyaan dekonstruksi mengajak orang untuk memperhitungkan hal-hal yang semula nampak marjinal dan tak terkatakan, antara lain yang berada diantara dua posisi yang kontradiktif dan oposisional. Dekonstruksi menghidupkan wacana segala yang di antara dan bergerak di antara dua posisi tersebut. Maka keragaman makna menjadi penting dibandingkan konvensi untuk memegang pemahaman tunggal. Apa yang ditawarkan oleh dekonstruksi Derrida dalam ranah desain adalah perbedaan dan penangguhan kebenaran makna atau diffÊrance. Melalui konsep ini suatu karya desain tidak diikat oleh sebentuk petanda (makna dan arti) secara permanen, melainkan dibiarkan multi tafsir. Situasi tersebut membawa karya desain, sebagai kumpulan bahasa verbal dan visual, berada pada diseminasi makna, yakni kondisi ketiadaan atau kehampaan makna yang disebabkan telah dibongkarnya petanda dari relasinya dengan penanda [4]. Diseminasi makna mengakibatkan karya desain arsitektur sebagai wujud fisik hunian dilucuti dari tanggung jawab sosialnya sebagai penyampai pesan. Menerapkan dekonstruksi sebagai metode penciptaan (encoding) akan menghasilkan keragaman, pluralisme karya serta eksplorasi ide dan teknik tanpa batas. Hasil akhir karya desain dengan metode ini seringkali memperlihatkan anomali, disharmoni bahkan anti estetik karena perbedaan paradigma desain yang dimiliki oleh desainernya. 3. Metode Metode kajian yang digunakan dalam menganalisis Upside Down Building mengadaptasi model Dekonstruksi Derrida. Tahap pertama, yaitu tahap verbal, adalah tahap yang sama dengan pembacaan kritis dengan pencarian paradoks dan kontradiksi dalam teks. Pembacaan ini mencoba melawan teks sehingga dimungkinkan melahirkan makna baru teks. Tahap ini juga dapat membedakan apa yang dinyatakan pada teks dan apa yang tidak dinyatakan. Tahap kedua, yaitu tahap yang mencoba mencari makna yang lebih dalam pada keseluruhan teks. Selain itu, Lubis (2014) [5] dengan merujuk pendapat Peter Barry, menjelaskan beberapa hal yang lazim dilakukan oleh seorang dekonstruksionis, yakni sebagai berikut. 1. Pembaca/penafsir teks membaca teks dengan tujuan melawan teks itu sendiri untuk menunjukkan apa yang dianggap sebagai ’ketidaksadaran tekstual’. Cara ini dapat menunjukkan bahwa makna yang diungkapkan 71


I Made Marthana Yusa

2.

3. 4.

(eksplisit atau makna permukaan teks) mungkin saja berbanding terbalik dengan makna implisitnya (makna yang terdalam atau yang tidak dinyatakan. Pembaca dekonstruktif memilih ciri-ciri permukaan dari kata-kata persamaan bunyi, akar makna kata, metafora yang sudah mati, namun mengedepankan itu sehingga berdampak krusial bagi makna teks secara keseluruhan. Pembaca dekonstrtuktif berupaya membuktikan bahwa teks bersifat kurang padu dan kurang koinsisten. Pembaca dekonstrtuktif berkonsentrasi pada fragmen tertentu dengan menganalisisnya secara intensif, sehingga menghasilkan monovokalitas, tetapi juga melahirkan multivokalitas makna.

Upside down Building: Suatu Karya Dekonstruksi Desain Arsitektur

Falsafah estetik setiap era dan kebudayaan tentu berbeda. Apa yang didoktrin sebagai keindahan oleh para modernis faktanya justru berlawanan dengan para posmodernis. Kurang tepat jika dekonstruksi kemudian hanya dianggap sebagai tren sehingga para desainer berlomba-lomba membuat karya desain dengan tampilan yang anti estetis. Semangat untuk selalu kritis terhadap hal yang baku dan final dengan menekankan untuk selalu bereksplorasi secara bebas adalah benang merah dari Dekonstruksi Derrida pada ranah desain. 4. Pembacaan Dekonstruksi Karya Upside Down Building

Pembaca dekonstruktif mencari berbagai jenis pergeseran dan patahan di dalam teks, dan memandangnya sebagai satu bentuk represi, atau yang sengaja dihapus atau sengaja dilewati oleh teks. Semua bentuk ketidaksinambungan ini yang disebut �patahan� yang membuktikan adanya aktivitas dan gerakan sebelumnya. Untuk menerapkan dekonstruksi sebagai sebuah metode penciptaan, menurut Sugiharto [6] setidaknya ada tiga langkah yang harus dilakukan. Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisi biner pada suatu teks sehingga diperoleh istilah mana yang dianggap superior dan subordinat, misalnya wujud bangunan publik atau wujud hunian individu atau keluarga, atau hirarki struktur bangunan dengan implementasi konsep kaki-tubuh-kepala. Kedua, oposisi tersebut dibalik, misalnya dengan mengusulkan pembalikan hirarki struktur bangunan menjadi kepala-badan-kaki. Hal ini yang nampak (di permukaan) pada visualisasi Upside Down Building. Ketiga, memperkenalkan istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi yang lama. Penerapan Dekonstruksi Derrida sebagai sebuah metode penciptaan menimbulkan konsekuensi tersendiri. Seperti dijelaskan sebelumnya, untuk menghindari pemaknaan tunggal, dekonstruksi memberikan apresiasi terhadap keragaman, eksplorasi ide dan teknik tanpa aturan sehingga unsur kebaruan mudah diperoleh. Namun konsekuensinya, aspek komunikasi menjadi kurang tercapai karena komunikasi membutuhkan kesamaan tafsir atas makna agar pesan mudah dipahami. Sebagai solusi, Dekonstruksi Derrida dilakukan secara parsial agar unsur kebaruan serta aspek komunikatif bisa tercapai sekaligus. Jika kemudian ada anggapan bahwa penerapan dekonstruksi pasti akan menghasilkan karya yang anti estetis, sebenarnya hal itu merupakan perbedaan dalam memahami definisi estetika.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Citra 1. The Other Upside Down House di Jerman Sumber : http://www.odditycentral.com/pics/the-other-upside-down-house.html

Kita bisa melihat visualisasi rumah yang "terbalik" pada Citra 1 dan 2. Rumah ini diberi nama 'The Other Upside Down House' kata 'the other' di depan kata 'upside down house' menandakan bahwa ada rumah terbalik lain yang pernah dibuat di dunia. Rumah yang terlihat pada citra 1, adalah rumah yang berada di Jerman.

Citra 2. Proses Konstruksi The Other Upside Down House di Jerman Sumber : http://www.odditycentral.com/pics/the-other-upside-down-house.html

Rumah yang dibangun secara sengaja ini memang "terbalik", dengan hirarki struktur bangunan yang terbalik juga. Hirarki struktur bangunan yang biasanya mengikuti pondasi kakitubuh-kepala, diputarbalikkan menjadi hirarki kepala-tubuhkaki. Itu seperti membalikkan badan manusia. Kita bisa melihat ilustrasinya pada Citra 3, yang memperlihatkan bagaimana seandainya Struktur Candi Siwa di Prambanan terbalik, maka hirarki struktur bangunannya pun terbalik. 72


I Made Marthana Yusa

Upside down Building: Suatu Karya Dekonstruksi Desain Arsitektur

Pengunjung yang memasuki rumah ini merasakan pusing, terdisorientasi, atau bahkan ter-alienasi. Jika kita melihat interior bangunan terbalik ini pada Citra 4, 5 dan 6, kita akan mengerti kesan yang disampaikan pengunjung tadi.

Citra 4. Interior Rumah Terbalik (1) Sumber : http://www.odditycentral.com/pics/the-other-upside-down-house.html

Pengalihfungsian bangunan rumah tinggal menjadi karya seni monumental merupakan cara-cara umum yang dilakukan pada masa kontemporer melalui mazhab posmodern. Hal ini bisa kita lihat pada kajian atas bangunan terbalik ini.

Citra 3. Ilustrasi keterbalikan hirarki struktur bangunan candi Siwa Reproduksi dari sumber : https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/99/Prambanan_Cross_Secti on_Shiva.svg/2000px-Prambanan_Cross_Section_Shiva.svg.png

Citra 5. Interior Rumah Terbalik (2) Sumber : http://www.odditycentral.com/pics/the-other-upside-down-house.html

Dibangun pada tahun 2008, untuk eksibisi seni, bangunan ini (Citra 1 dan 2) berlokasi di Usedom, sebidang pulau di Sebelah Utara Jerman. Projek ini dibiayai dan dibangun oleh Arsitek Polandia bernama Klausdiusz Golos dan Sebastian Mikiciuk, yang motivasi awalnya untuk membuat sesuatu yang berbeda. Pada kenyataannya, rumah dengan model yang sama juga dibangun di negara asal mereka di Polandia dan Rusia. Sang Arsitek mengatakan mereka terinspirasi dari struktur serupa yang sudah ada di Amerika maupun Spanyol, yang terlihat terbalik dari luar (eksterior), tetapi tetap normal (tidak terbalik) di dalam ruangan rumah (interior).

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Citra 6. Interior Rumah Terbalik (3) Sumber : http://www.odditycentral.com/pics/the-other-upside-down-house.html

73


I Made Marthana Yusa

8. Konklusi Karya desain yang dirancang dengan prinsip-prinsip posmodern, meski menjadi minoritas karena tidak mengikuti arus utama, ternyata diterima pasar karena unsur kebaruannya sangat tinggi. Meski aspek komunikatifnya masih diperdebatkan namun apresiasi Dekonstruksi Derrida terhadap perbedaan dalam segi gaya desain, prinsip desain, tujuan perancangan maupun filsafat estetik yang mendasarinya memberi sumbangan teori yang sangat berarti. Menerapkan dekonstruksi sebagai sebuah metode penciptaan (encoding) dapat membuat eksplorasi karya tidak terbatas oleh aturan apapun. Namun karya tersebut akan kurang atau bahkan tidak komunikatif karena ada pemaknaan yang multitafsir sebagai dampak langsung dari penerapan dekonstruksi. Menghasilkan karya desain yang ganjil, aneh, maupun modern minimalis hendaknya bukan menjadi tujuan utama bagi desainer ketika berkarya. Desainer wajib untuk bisa melihat dan merasakan perubahan budaya sehingga karya yang dihasilkan bisa adaptif terhadap dialektika sosial yang berkembang. Untuk bisa melakukan itu ia membutuhkan bekal teori, teknis serta attitude positif dan bertanggung jawab sebagai seorang desainer, dalam hal ini arsitek.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Upside down Building: Suatu Karya Dekonstruksi Desain Arsitektur

Berdekonstruksi dalam praktik desain bukanlah semata-mata menunjukan bahwa desain adalah permainan elemen-elemen desain yang bersandar pada bentuk-bentuk standar, nilainilai estetika yang baku saja, tetapi berdekonstruksi dalam desain adalah mendesain dengan menggunakan dekonstruksi sebagai metoda atau strategi penanganan desain. Kehadiran dekonstruksi dalam Desain Arsitektural diarahkan agar dapat memiliki makna yang lebih kaya; dapat menjadikan Desain Arsitektural lebih komunikatif dan menawarkan makna-makna yang lebih beragam dan variatif. Referensi [1]

[2] [3] [4]

[5]

[6]

Istanto, Freddy H. 2003. Dekonstruksi Dalam Desain Komunikasi Visual: Sebuah Penjelajahan Kemungkinan,Studi Kasus Desain Iklan Rokok A-mild. NIRMANA Vol. 5, No.1, Januari 2003: 48-71 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra. http://puslit.petra.ac.id/journals/design/ Fayyadl, M.A. 2012. Derrida. Yogyakarta: LkiS Widagdo. 2005. Desain dan Kebudayaan. Bandung: Penerbit ITB. Kusumandyoko, Tri Cahyo. 2014. Jejak Dekonstruksi Derrida Dalam Desain. URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 3,No.1 (Maret 2014): 43-54 Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Teori dan Meodologi Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya Kontemporer. Jakarta : Rajawali Press Sugiharto, I.B. 1996. Posmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

74


Michael Sega Gumelar

Napak Tilas Marjinalisasi Berbagai Etnis di Indonesia…. Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2: 75-83

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Napak Tilas Marjinalisasi Berbagai Etnis di Indonesia dalam Hubungannya dengan Bhinneka Tunggal Ika Michael Sega Gumelar* Universitas Surya, Universitas Udayana

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel: Dikirim 19 Februari 2016 Direvisi 6 Maret 2016 Diterima 19 Maret 2016 Kata Kunci: Marjinalisasi Etnis

Marjinalisasi salah satu Etnis Indonesia yang telah terjadi tidak hanya sekali, tetapi sering terjadi, salah satunya muncul dan menguat sampai terjadinya perkosaan massal dikerusuhan Mei 1998. Studi ini menitikberatkan pada upaya eliminasi marjinalisasi etnis dan bagaimana cara memahaminya, dan tidak membahas secara khusus apa penyebab terjadinya beberapa kerusuhan pada beberapa etnis tersebut di masa lalu, namun studi berupa napak tilas melihat pada fakta sejarah secara umum pendekatan studi kultural ini diharapkan dapat memberi dampak agar meminimalkan bahkan mengeliminasi terjadinya marjinalisasi etnis tersebut serta menegaskan untuk mencari solusi sebagai awal untuk memulai diskusi agar tidak terulang lagi di masa depan dengan pemahaman “Bhinneka Tunggal Ika”.

Warga Tionghoa Kemanusiaan

© 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Kata etnis berasal dari Bahasa Yunani yaitu ethnos atau ethnikos yang memiliki arti orang atau sekelompok orang (komunitas/rakyat) tradisional (folk). Namun penggunaan kata etnis dalam perkembangannya banyak juga digunakan untuk sekelompok orang-orang tertentu yang terjadi karena perbedaan area tinggal, perbedaan kebudayaan, perbedaan bahasa, perbedaan kepercayaan, bahkan perbedaan tampilan fisik dalam suatu ras manusia yang sama. Ada banyak etnis atau suku tertentu bahkan dari suku tersebut masih memilah lagi menjadi subsuku di Negara Indonesia ini. Sehingga dalam Negara Indonesia ini banyak sekali suku yang bermacam-macam, adat istiadat yang beragam, agama dan kepercayaan yang berbeda dan bahkan ras yang multikultur, sehingga tidak hanya suku asli Nusantara saja yang tinggal di Negara Indonesia ini tetapi juga banyak ras lain, seperti ras kaukasian dan ras lainnya.

∗ Peneliti koresponden: Program Studi Digital Communication, www.surya.ac.id, Bumi Jati Elok Blok A5 Nomor 2 Jalan Raya Parung Panjang, Legok, Tangerang, Banten, Indonesia-16826 Mobile: +62818966667 E-mail:.michael.gumelar@gmail.com.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Citra 1. Negara China. Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/China

75


Michael Sega Gumelar

Guna mengetahui Suku Asli Nusantara yang dulunya sebelum memproklamasikan kemandiriannya pada 17 Agustus 1945 dan kini dikenal dengan Negara Republik Indonesia. Banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil yang bertebaran di Seluruh Nusantara ini. Maka dibutuhkan telaah lebih jauh ke masa lalu melalui beberapa makalah dan sumbersumber yang diperlukan agar mendekati definisi siapakah suku Asli Nusantara tersebut. Taiwan dulunya disebut dengan nama Formosa, merupakan suatu area di bawah lingkup Republik Rakyat China (RRC) atau People Republic of China (PRC) informasi ini dari website dengan link https://en.wikipedia.org/wiki/China. Warga di sana mayoritas penduduk RRC adalah Suku Bangsa Han sebanyak 91, 5%, citra 1. Kemudian suku-suku lainnya yang beragam seperti Suku Zhuang, Suku Manchu, Suku Uyghur, Suku Hui, Suku Miao, Suku Yi, Suku Tujia, Suku Mongol, Suku Tibetan, Suku Buyei, dan lainnya, tercatat sebanyak 55 suku di dalam Negara Republik Rakyat China ini. Dalam Negara yang bernama RRC tidak ada yang namanya Suku China atau di negara kita Indonesia, menyebutnya dengan nama Warga Tionghoa. Tionghoa berasal dari kata Tiongkok merujuk dari kata Tiongkok Kuno di masa Dinasti Qing atau Dinasti Manchu merujuk informasinya dari website populer yang ada di salah satu Website Internet Wikipedia https://en.wikipedia.org/wiki/Qing_dynasty Marjinalisasi definisi warga etnis yang berasal dari RRC sebagai Warga China atau lebih populer dengan nama Warga Tionghoa dengan hasil hegemoni divide and conquer dimulai di masa lalu saat Pemerintahan Belanda sehingga berbenturan dengan Warga Nusantara “asli”. Kini membahas kata hegemoni yang memiliki arti pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dan sebagainya suatu negara atas negara lain dan orangorangnya secara langsung atau tidak, sehingga menjadi pemikiran umum bahwa memang begitu seharusnya dan mereka yang terhegemoni menjalankan pengaruh tersebut bahkan tanpa disadarinya bahwa dia telah terhegemoni. Kini membahas istilah kata Warga China atau Warga Tionghoa membuat rancu bagi etnis “Warga Tionghoa” itu sendiri yang ternyata juga menerima keadaan dan hegemoni tersebut.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Napak Tilas Marjinalisasi Berbagai Etnis di Indonesia….

Pemberian istilah ini juga membuat rancu bagi etnis “Warga Indonesia”, sebab “Warga Indonesia” berpikir etnis yang dianggap sebagai Warga Tionghoa seharusnya tinggal di dalam negara yang bernama Tionghoa, dan “Warga Indonesia” pasti hidup di dalam Negara Indonesia. Setelah kita ketahui dibahasan sebelumnya bahwa tidak ada yang namanya Etnis China atau Etnis Tionghoa di negara asalnya, yang ada Etnis Han sebagai mayoritas dan etnis-etnis lainnya, tetapi tidak ada yang bernama Etnis China di negara RRC atau dapat disebut juga Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tersebut. Kini muncul pertanyaaan lain siapakah sesungguhnya Warga Indonesia itu? Untuk memahaminya, ada dua pendekatan yaitu pendekatan secara rumpun dan kemiripan bahasa yang digunakan dan melalui pendekatan genetik. Tetapi karena pendekatan bahasa akan membawa bias informasi yang diperlukan, sebab ada kemungkinan terbuka adanya orang yang tinggal di negara kita baru beberapa bulan dan tahun saja dapat Berbahasa Indonesia walaupun orang tersebut dari negara lain. Oleh karena itu penulis menentukan untuk melakukan studi melalui garis keturunan secara genetik akan lebih mendukung dalam studi siapakah “Warga Indonesia” asli ini sebagai awal acuan dan acuan rumpun bahasa akan digunakan kemudian. Penulis mengutip dari Journal of Human Genetics (2013) dengan judul laporan penelitian “The Indonesian archipelago: an ancient genetic highway linking Asia and the Pacific”. Dalam laporan penelitian oleh Meryanne K Tumonggor, Tatiana M Karafet, Brian Hallmark, J Stephen Lansing1, Herawati Sudoyo, Michael F. Hammer dan Murray P. Cox yang diterbitkan online pada 24 January 2013. Mereka menyarankan bahwa “Indeed, the only mtDNA lineage found across all Indonesian island groups is M7c3c, but this haplogroup, while also present in Taiwan and the Philippines…”, menunjukkan adanya kemungkinan besar perpindahan dari garis keturunan secara kode genetik M7c3c sebagian besar ada koneksi dengan orang Taiwan dan Filipina [1]. 2. Warga Negara Indonesia Dalam pendahuluan telah menyinggung Warga Formosa atau Taiwan sesuai garis keturunan (lineage). Oleh karena itu penulis tidak akan membahas Pithecanthropus Erectus atau Homo Erectus yang dianggap sebagai penghuni awal di Nusantara. 76


Michael Sega Gumelar

Napak Tilas Marjinalisasi Berbagai Etnis di Indonesia….

Dan ternyata dalam hasil laporan penelitian secara genetis bahwa sebagian besar “Warga Indonesia” secara genetis terkoneksi dengan orang-orang Filipina dan juga dari Taiwan. Orang-orang dari Area Filipina sekarang merupakan satu rumpun garis keturunan dari Suku Hunan (Hun) atau Suku Yunan yang berhasil menyeberang ke Taiwan, dan dalam perjalanan tersebut beberapa Kelompok Suku Hun ada yang berhenti di Taiwan kemudian ada juga yang melanjutkan perjalanannya ke Area Filipina. Dalam perjalanan tersebut ada juga Etnis Hun yang tetap melakukan perjalanan melanjutkan ke area nusantara di masa lalu, hal ini sangat memungkinkan karena letak Filipina tepat di atas Pulau Dayak atau Pulau Kalimantan (Borneo) seperti citra 2. Wajah Orang-orang Filipina sangat mirip dengan wajah “Warga Indonesia” pada umumnya saat penelitian ini dibuat.

Citra 4. Penyebaran Suku Hun. Sumber: http://www.enchantedlearning.com/history/asia/huns/map.GIF

Orang terkenal yang muncul dari Suku Hun ini bernama Atilla, sering disebut dengan nama Atilla The Hun seperti pada citra 3. Dan area penyebaran Suku Hun pada citra 4. Ada kemungkinan Orang Taiwan juga campuran dari Suku Hun. Suku Hun adalah salah satu nenek moyang beberapa bangsa di Asia ini, termasuk Bangsa Indonesia, namun dengan kemiripan di ciri khas wajah yang ada hal ini membuka adanya garis genetik secara langsung dan atau tidak langsung. Kini penulis lanjutkan mengenai Taiwan (Formosa), ada contoh foto orang “Warga RRC” atau “Warga Tionghoa” atau “Warga RRT” di Wilayah Taiwan pada citra 5. Terlihat foto tersebut sudah lama dan adanya kemiripan hiasan di area kepala yaitu bulu burung dan tenunan ala Suku Batak yang dikenakan seorang pria dari Taiwan tersebut.

Citra 2. Warga senior Filipina. Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b2/Banaue_Philippines_IfugaoTribesman-01.jpg

Kini bagaimana dengan Taiwan (Formosa), Area Taiwan tepat berada di atas Negara Filipina. Bagaimanakah bentuk wajah “Warga Republik Rakyat Tionghoa” ini? Sebelum membahas lebih jauh tentang Taiwan. Di masa lalu sekitar abad 1 sampai 7 hidup suku nomaden dengan nama Suku Hunan (Hun) atau Suku Yunan. Suku ini bentuk wajahnya mirip sekali dengan wajah sebagian besar “Warga Indonesia” dan juga “Warga Filipina”.

Citra 3. Atilla the Hun. Sumber: http://ancienthistory.about.com/od/attilathehun/ig/Attila-the-Hun/ Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Citra 5. Salah satu suku di Taiwan dengan pakaian adatnya. Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/ca/Tsou_youth_of_Taiwan_%2 8pre-1945%29.jpg

77


Michael Sega Gumelar

Kemudian pada citra 6. Terlihat sekumpulan “Warga Tionghoa” di Negara RRC. Ada ciri khas bulu burung, kemudian penutup rambut ala Suku Hun dan atau Suku Yunan muncul sebagai ciri khas kebudayaan area mereka dan juga tenunan unik serta bagi prianya tidak mengenakan baju area atas mirip seperti Suku Dayak.

Napak Tilas Marjinalisasi Berbagai Etnis di Indonesia….

Beberapa wajah gadis-gadis Suku Dayak tersebut ada beberapa dari mereka yang masih mirip dengan wajah orang-orang yang berada di Taiwan (Formosa).

Tetapi yang paling penting selain pakaian dan aksesoris yang digunakan adalah bentuk wajah yang sangat familiar dan mirip dengan wajah-wajah “Warga Filipina” dan juga mirip dengan wajah sebagian besar “Warga Indonesia”. Juga pada citra 7. Di mana sekumpulan wanita ada yang telah senior maupun yang masih muda terlihat mereka banyak menggunakan hiasan bulu burung yang mirip dengan Suku Dayak dan pakaian tenun yang mirip dengan Suku Batak dan Suku Toraja dalam salah satu acara perayaan di area mereka.

Citra 8. Wajah wanita salah satu Suku Dayak di masa lalu dengan pakaian tradisional mereka. Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/e2/Sea_dayak_women_corset_r ings.jpg

Untuk pakaian tenun “Warga Filipinna” dan juga “Warga Tionghoa” juga dapat diperhatikan adanya kemiripan dengan tenunan dari Suku Batak yang ada di Negara Indonesia seperti pada citra 8 dan citra 10. Kemudian bila diperhatikan pula bahwa dari etnis atau suku dari Wilayah Negara Indonesia wajah-wajah khas sukusuku lainnya selain Suku Dayak, Suku Batak dan Suku Toraja yaitu seperti Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Bali, Suku Madura dan beberapa suku lainnya di Negara Indonesia memiliki ciri khas yang kurang lebih sama secara genetik dengan wajah-wajah orang-orang dari Negara Filipina dan dari Negara RRT.

Citra 6. Beberapa orang Taiwan berpose. Sumber: http://academic.ksu.edu.tw/sites/academic.ksu.edu.tw.tica/files/userfiles/1-4.jpg

3. Migrasi ke Nusantara Sebelum Negara Indonesia memiliki nama Republik Indonesia yang dimulai sejarahnya pada tahun 1945. Di Nusantara ini di masa lalu memiliki banyak kerajaankerajaan besar dan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini dimulai ada pada area di Pulau Dayak atau Pulau Kalimantan hal ini diperkirakan pada 2000 tahun sebelum Masehi, terjadi migrasi oleh Penutur Bahasa Austronesia (Etnis Hun) dari Taiwan ke Filipina, kemudian ke Selatan dan Indonesia, dan ke Timur ke Area Pasifik.

Citra 7. Salah satu suku di Taiwan sedang melakukan salah satu perayaan. Sumber: http://www.amoeba.com/dynamicimages/blog/Eric_B/TaiwaneseAborigines.jpeg

Mereka adalah nenek moyang suku-suku di wilayah nusantara. Hal ini sangat didukung oleh temuan secara garis keturunan genetik, ternyata mencari koneksi menggunakan kemiripan penggunaan bahasa juga menghasilkan temuan yang sama.

Kini perhatikan pada citra ke 8 ada beberapa wajah dari foto yang sudah senior usianya, di mana Sekelompok Wanita Muda Suku Dayak berpose bersama untuk diambil fotonya.

Berdasarkan Matroji (2000) cikal bakal “Warga Indonesia” dimulai pada kedatangan gelombang pertama Suku Hun dengan istilah Proto Melayu (istilah ini sengaja penulis

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

78


Michael Sega Gumelar

Napak Tilas Marjinalisasi Berbagai Etnis di Indonesia….

ganti agar tidak rancu dengan sejarah terjadinya sebutan Suku Melayu dan Suku Dayak, penulis jadikan istilah Proto Nusantara) dan kemudian Gelombang kedua yang diberi nama Deutero Melayu (Deutero Nusantara) [2]. 1.

Proto Nusantara. Gelombang migrasi yang terjadi sekitar 2000 SM, penduduk dan Ras Austronesia dan Teluk Tonkin bermigrasi ke kepulauan nusantara. Mereka disebut Proto Nusantara atau Etnis Nusantara Tua.

Citra 9. Suku Dayak dalam salah satu acara. Sumber: https://36.media.tumblr.com/tumblr_m4xtc8Tk1c1qcc171o1_500.jpg

Kedatangan mereka itu mendesak penduduk dan Ras Austromelaneoid (Suku di Ambon dan Suku Papua/ Irian Jaya) ke pedalaman, bahkan ke Nusantara bagian Timur. Ada kemungkinan juga terjadinya perkawinan silang antara pendatang dengan yang terlebih dahulu menghuni area tersebut. Penduduk Ras Austromelaneoid itu menjadi Nenek Moyang Penduduk Papua sekarang. Memasuki Kepulauan Nusantara, Proto Nusantara menempuh dua jalur, sesuai dengan jenis kebudayaan yang dibawa. 1.1. Jalur pertama menyebar ke Sulawesi, Maluku, dan Papua. Masyarakat Proto Nusantara yang menempuh jalur ini membawa kebudayaan Neolithikum berupa kapak lonjong. Itulah sebabnya, di Bagian Timur Indonesia banyak ditemukan artefak Neohithikum berupa kapak lonjong. Keturunan Proto Nusantara yang menempuh jalur ini antara lain Masyarakat Toraja. 1.2. Jalur kedua menyebar ke Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Masyarakat Proto Nusantara yang menempuh jalur ini membawa kebudayaan Neolithikum berupa beliung persegi. Itulah sebabnya, di Bagian Barat Indonesia banyak ditemukan artefak Neolithikum berupa beliung persegi. Keturunan Proto Nusantara yang menempuh jalur ini antara lain masyarakat Nias, Dayak (citra 9), Batak (citra 10), dan Sasak.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Citra 10. Suku Batak dalam salah satu acara budaya. Sumber: https://raymondsitorus.files.wordpress.com/2012/02/batak.jpg

2.

Deutero Nusantara Gelombang migrasi yang terjadi sekitar 500 SM, datang lagi gelombang migrasi penduduk dan Ras Austronesia (Hun) dari Teluk Tonkin ke kepulauan nusantara. Mereka disebut Deutero Nusantara atau Nusantara Muda. Kedatangan mereka mendesak penduduk keturunan Proto Nusantara yang telah terlebih dahulu menetap. Memasuki kepulauan nusantara, Masyarakat Deutero Nusantara menyebar ke sepanjang pesisir. Ada juga di antara mereka yang masuk ke pedalaman. Keturunan Deutero Nusantara antara lain Suku Minang, Jawa, dan Bugis. Masyarakat Deutero Nusantara membawa kebudayaan perunggu, yang dikenal dengan sebutan Kebudayaan Dong Son. Dong Son adalah tempat di Teluk Tonkin tempat asal kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Artefak perunggu yang ditemukan di nusantara serupa dengan artefak perunggu dari Dong Son. Dari situ telah jelas bahwa “Warga Indonesia” ternyata yang disebut warga asli juga menjadi bias, karena jauh sebelum pendatang gelombang awal dari Hunan ke Taiwan ke Filipina dan akhirnya menyebar ke pulau-pulau yang ada di nusantara di masa lalu bukanlah penduduk “Asli Nusantara”.

79


Michael Sega Gumelar

Terlebih lagi bila membahas Pithecanthropus Erectus atau Homo Erectus sebagai Penduduk Asli Nusantara, sebab hal ini membuka kemungkinan pemikiran dan penelitian baru yang terbuka lebar. Karena ada kemungkinan justru dari Nusantara lalu menyebar ke Area Belahan Bumi Lainnya atau juga adanya kemungkinan terjadi perkawinan silang antara Homo Erectus dengan pendatang dari Luar Nusantara di masa lalu. Atau justru juga percampuran antara Suku Hun (Area RRC kini) dengan Ras Austromelaneoid menghasilkan Suku-suku Nusantara di masa lalu, yaitu menghasilkan suku seperti Suku Dayak, Suku Batak, Suku Jawa, Suku Bali dan lainnya. Hal ini juga memberi peluang alternatif pemikiran dan penelitian yang dapat diperdalam. Kini kembali ke pembahasan semula. Yaitu Deutero Nusantara, sebagai penduduk pendatang baru, mereka mulai membaur dengan penduduk lokal sebelumnya, karena selain mereka beradaptasi dan berevolusi pada bentuk mata, wajah dan warna kulit. Hal ini juga membuka adanya asimilasi atau percampuran genetik dengan penduduk asli sebelumnya salah satunya adalah Ras Austromelaneoid yaitu Suku Ambon, Suku Flores, Suku Papua dan suku-suku lainnya yang masuk ke dalam kelompok Ras Austromelaneoid, citra 11.

Napak Tilas Marjinalisasi Berbagai Etnis di Indonesia….

Bila dipikirkan dengan pemahaman pemikiran yang jernih. Tidak ada istilah “Warga Amerika” demikian juga “Warga Inggris” “Warga Belanda” dari keturunan-keturunan Ras Kaukasian dari Negaranegara Eropa dan Amerika Serikat atau dari negaranegara lainnya selain dari RRC yang lahir di Indonesia dan telah menjadi “Warga Indonesia”. Dan belum tentu Suku yang bermata sipit dan berkulit kuning terang juga pasti merupakan migrasi dari RRC, sebab ada kemungkinan juga dari Korea, Jepang, Vietnam dan sebagainya yang memiliki ciri khas mata sipit dan kulit kuning cerah. Tetapi mengapa mereka tidak disebut dengan nama “Warga Jepang”, “Warga Korea”, dan “Warga Vietnam”? 4. Divide and Conquer Politik memecah belah untuk menguasai sepertinya merupakan warisan sejak zaman dahulu dalam peperangan, penjajahan dan politik diberbagai negara, dimulai sejak Zaman Yunani dengan kata πολιτικός politikos, yang artinya di masa itu adalah segala hal yang berhubungan dengan warga negara. Dan negara kita karena merupakan juga merupakan lanjutan dari bentukan beberapa negara yang sudah unggul seperti Inggris, Belanda dan Jepang yang merupakan andal dalam peperangan, penjajahan, strategi dan politik, maka ada beberapa hegemoni politik yang dilanjutkan. Salah satunya adalah politik memecah belah antar suku dan agama yang ada dan juga dengan pendatang yang terlambat untuk bermigrasi setelahnya ke Area Kepulauan Nusantara di masa itu. Karena banyak politikus yang serakah dan haus kekuasaan pasti tahu bahwa dengan menggunakan suku, ras, dan agama sebagai alat adalah senjata yang sangat efektif untuk menguasai dan memecah belah.

Citra 11. Salah satu Warga Asli Indonesia, Etnis Austromelaneoid yang ada di Papua (Irian Jaya). Sumber: http://i.ytimg.com/vi/XkAD68Z72o4/maxresdefault.jpg

Gelombang kedatangan “teman-teman yang terlambat” dari RRC di gelombang-gelombang berikutnya mulai kesulitan untuk menjalin terjadinya percampuran genetik dalam perkawinan. Hal ini memicu hegemoni istilah “Warga Pribumi” atau “Warga Indonesia” dengan warga pendatang dari gelombang migrasi yang terlambat sehingga masih disebut dengan istilah “Warga Tionghoa”. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Para politikus yang serakah dan haus kekuasaan ini mampu “mengendalikan warga yang sebagian besar bodoh dan tidak memiliki kebijakan tinggi ini menjadi alat yang luar biasa untuk merusak bila dibutuhkan” Sehingga muncullah istilah “Warga Pribumi” di masa Belanda saat itu dengan “Warga Non Pribumi” dan yang dimaksud “Warga Non Pribumi” ini spesifik sangat lekat dengan etnis yang berasal dari RRC yang sebenarnya tidak tepat disebut dengan nama “Etnis China” ataupun “Etnis Tionghoa” sebab mereka yang sudah menjadi “Warga”, kenapa Orang Belanda itu sendiri tidak disebut dengan nama “Warga Belanda?”.

80


Michael Sega Gumelar

Apa pun kebangsaan mereka sebelumnya setelah mereka menjadi warga di Negara Indonesia, maka wajib di sebut dengan nama “Warga Indonesia”. Berikut penulis merangkum beberapa konflik yang terjadi pada saudara kita yang dianggap terlambat datangnya dari area yang sekarang menjadi bagian negara RRC tersebut. Dalam laporan penelitian oleh Lilie Suratminto pada abad ke 17 tentang “Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740 Dampak Konflik Golongan “Prinsgezinden” (yaitu masyarakat yang pro pada Kerajaan Belanda) dan “Staatsgezinden” (yaitu yang pro pada orang pribumi nusantara di saat Kolonialisme Belanda)” (2014) [3]. Juga pada abad 18 di masa lalu Area Jawa. Yang dinyatakan oleh Sri Margana dalam laporan penelitiannya “Di bawah para penguasa C[h]ina, banyak pemimpin lokal Jawa mengalami kemunduran dan diganti oleh orangorang C(h)ina. Dominasi ini terus berlanjut hingga terjadi perselisihan berdarah yang menyebabkan tewasnya tuan tanah C[h]ina Han Tik Ko, dan beberapa Pejabat Eropa pada tahun 1813” (Sri, Margana, 2012: 277) [4]. Berdasarkan catatan Prof Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie, Guru Besar Sosiologi Universitas Tanjungpura (Untan), konflik etnis di Kalbar sudah terjadi 12 kali. Sepuluh kali melibatkan Dayak dengan Madura, yakni pada tahun 1962, 1963, 1968, 1972, 1977, 1979, 1983, 1996, 1997 dan 1999. Sekali antara Dayak dengan Tionghoa (China), yakni 1967. Kemudian dua kali Melayu dengan Madura, yakni tahun 1999 dan 2000. Data didapat dari link berikut: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/12/19/0052.h tml [5]. Juga Nuril Endi Rahman pada laporan penelitian tentang “Konflik dan Kecemburuan Sosial di Masyarakat Pandhalungan di Daerah Besuki – Situbondo” [6] menyatakan: “Puncaknya ketika kerusuhan dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa meletus pada tahun 1967 dan 1998. Dimana akibat dari terjadinya konflik manifest tersebut menimbulkan luka yang mendalam bagi orang-orang peranakan C[h]ina sebagai kelompok minoritas yang tertindas”. Dari latar belakang yang panjang sering terjadinya konflik etnis tersebut, sehingga muncul juga pada saat era terjadinya reformasi pada tahun 1998.

Dan mengutip dari http://www.tionghoa.info/kerusuhanmei-1998-harga-yang-harus-dibayar-oleh-etnis-tionghoa/ menyatakan “Tetapi sungguh ironis, Pemerintah Komunis Republik Rakyat Tiongkok (China) malah mengambil sikap Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Napak Tilas Marjinalisasi Berbagai Etnis di Indonesia….

tidak melaporkan, tidak mengecam dan tidak mencampuri segala urusan dalam Negeri Indonesia. Menurut Pemerintah China pada saat itu mengatakan, orang Tionghoa di Indonesia telah menjadi Warga Negara Indonesia, maka apa yang terjadi di Indonesia segalanya adalah urusan dalam Negeri Indonesia. Padahal jika dilihat dari sisi keterikatan emosional dan kedekatan suku bangsa, Negara China lah yang seharusnya menjadi pembela nomor satu. Namun telah penulis bahas sebelumnya bahwa memang benar tidak ada “Warga Tionghoa” di Indonesia kecuali memang sedang berkungjung dan menjadi turis yang berasal dari negara RRT, sebab bila telah lahir dan syah secara hukum telah menjadi Warga Indonesia, maka tentunya semuanya sudah menjadi “Warga Indonesia”. Karena sudah menjadi Warga Indonesia, maka mereka memiliki hak dilindungi dan wajib dijamin keselamatannya oleh Negara Indonesia, dan sikap Negara RRT yang memberikan pemahaman mengambil jalur diplomasi seperti itu sudah benar sebab “Warga Indonesia” bukanlah “Warga Tionghoa”, terkecuali “Warga Indonesia” dari suku apa pun kemudian mencari suaka (asylum) kemungkinan besar akan diterima oleh negara mana pun, termasuk juga oleh Negara RRT. Dan juga tidak perlu marah bila disebut dengan kata Cina menggunakan kata China, sebab memang penulisannya menggunakan huruf sisipan “H” ditulisan China. Kenapa tidak perlu marah? Sebab sudah menjadi “Warga Indonesia” dan bukan “Warga Tionghoa” atau “Warga China”, bila marah, maka sudah menjadi korban hegemoni. 5. Tragedi Mei 1998 Jangan Terulang Lagi Dewi Anggraeni dalam buku yang ditulisnya berjudul “Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan” (2014) [7]. Mengungkapkan beberapa runutan kejadian memprihatinkan dan mencoreng wajah kita sebagai Bangsa Indonesia dengan terjadinya perlakuan buruk terhadap salah satu etnis di Negara Indonesia yang seharusnya semua etnis wajib dilindungi dengan falsafah hidup “Bhinneka Tunggal Ika”. Bahkan ada artikel yang dimuat di salah satu website menggunakan kalimat bergaya “cultural studies” dalam artikel yang dimuat Kompasiana dengan judul “Perkosaan Massal di Kerusuhan Mei 1998 Itu Memang Ada (Tinjauan Buku)” oleh Daniel H.T. yang di-publish pada 10 Mei 2014 20:41:52 dan telah dibaca sebanyak 12,791 kali pada 27 September 2015 pukul 02:39 dini hari [8].

81


Michael Sega Gumelar

Hasil laporan tim gabungan pencari fakta dapat diakses di link: https://id.wikisource.org/wiki/Laporan_Tim_Gabungan_Pe ncari_Fakta_(TGPF)_Peristiwa_Tanggal_13-15_Mei_1998 [9] atau dapat juga diakses di: http://semanggipeduli.com/tgpf/laporan.html [10].

6. Konklusi Hegemoni politik memecah belah yang dilanjutkan secara sengaja atau tidak sengaja oleh sebagian besar penduduk yang tinggal di Negara Indonesia warisan dari masa lalu Zaman Kolonialisasi Belanda. Di mana hegemoni tersebut demikian kuat sehingga sangat mudah untuk tersulut bila tidak memahami asal mula siapa sesungguhnya Warga Nusantara yang asli, sebab dalam suatu negara yang isinya beragam suku dan ras telah menentukan dirinya dan sepakat menjadi satu bangsa.

Napak Tilas Marjinalisasi Berbagai Etnis di Indonesia….

Diharapkan ke depannya lagi, kita semua manusia dapat lebih melihat jauh ke masa yang akan datang, bahwa di Bumi ini kita sesungguhnya sudah menjadi satu koloni besar. Sudah saatnya tidak ada batas negara, bangsa, ras, suku dan agama sebab hal itu semua terlalu kecil untuk mewadahi keberagaman manusia, agar kita sesama manusia, sesama suku, sesama ras, bahkan pada species lain (speciesity) kita semua harus saling peduli dan melindungi. Agar menjadi damai seperti semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti beragam etnis yaitu misalnya Suku Madura (citra 12), Suku Bali (citra 13), Suku Jawa (citra 14) dan etnis lainnya serta semua budaya menjadi satu itu disebut persatuan, bila dari satu kemudian menjadi banyak, itu disebut runtuh dalam pemahaman persatuan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Dalam satu bangsa yang tentu saja di dalamnya bisa lebih dari satu suku dan juga dapat lebih dari satu ras yang asalnya kemungkinan besar berasal dari negara lain atau area luar lainnya di situlah makna kata “Bhinneka Tunggal Ika” tersebut menjadi sangat berarti sebagai pemersatu. Bila diasumsikan ada Seorang Pria Suku Jawa yang lahir dan menjadi Warga Indonesia setelah besar kemudian bekerja di negara lain, misalnya Negara Inggris. Setelah di sana beberapa puluh tahun kemudian menikah dengan Warga Inggris yang ada di sana, maka dia disebut “Warga Inggris” dan bukannya “Warga Indonesia” sebab dia sudah menjadi Bangsa Inggris.

Citra 12. Suku Madura dalam salah satu acara adat. Sumber: https://rooneyfirst.files.wordpress.com/2010/09/img_1133.jpg

Dengan konsep itulah mulai kini sebaiknya “Warga Tionghoa” yang lahir dan sudah menjadi Warga Indonesia juga mulai menghilangkan hegemoninya sendiri dan pemikiran bahwa secara individu dia bukanlah Orang China atau Tionghoa sebab tidak tinggal di Wilayah Negara RRC dan ada kemungkinan besar juga tidak dapat berbahasa Mandarin. Demikian juga “Warga Indonesia” yang merasa asli yang sebenarnya juga pendatang tetapi terlebih dahulu datang, hilangkan hegemoni warisan pikiran lama yang memecah belah kerukunan antar suku dan ras yang ada, maka sudah saatnya memanggil saudara kita kepada yang dianggap keturunan dari Area Taiwan (Formosa). Keturunan di masa lalu ataupun yang menyusul kemudian selama sudah secara hukum syah telah menjadi Warga Negara Indonesia bukan lagi disebut dengan istilah “Warga Tionghoa” tetapi sebut mereka dengan istilah yang seharusnya yaitu “Warga Indonesia”. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Citra 13. Orang Bali tengah menari. Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/3/36/Tari_Pendet.jpg

82


Michael Sega Gumelar

Napak Tilas Marjinalisasi Berbagai Etnis di Indonesia….

Citra 14. Suku Jawa dalam salah satu acara adat. Sumber: http://www.trenggalekkab.go.id/photo/f1ea9e28fd56e87ee6b5e47b1a2703a0Gebyar %20Suro%20Di%20Kecamatan%20Dongko.JPG

Referensi [1]

Tumonggor, M.K., Karafet, T.M., Hallmark, b., Lansing, J. S., Sudoyo, H., Hammer, M.F., Cox, M.P. 2013. Journal of Human Genetics: The Indonesian archipelago: an ancient genetic highway linking Asia and the Pacific. [2] Matroji. (2000). IPS Sejarah: 26-29. [3] Suratminto, Lilie. 2014. Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740 Dampak Konflik Golongan “Prinsgezinden” dan “Staatsgezinden” di Belanda” Wacana 6(1):1-26. [4] Sri, Margana. 2012. Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan. Pustaka Ifada. [5] http://www.library.ohiou.edu/indopubs/ diakses pukul 19.22 WIB 14 Oktober 2015. [6] Endi Rahman, Nuril.2013. Konflik dan Kecemburuan Sosial di Masyarakat Pandhalungan di Daerah Besuki – Situbondo. Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: Ethnicity and Globalization. 173-183. [7] Anggraeni, Dewi. 2014. Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan. [8] H.T, Daniel. 2014. Perkosaan Massal di Kerusuhan Mei 1998 Itu Memang Ada (Tinjauan Buku)” online published pada 10 Mei 2014 20:41:52 dan telah dibaca sebanyak 12,791 kali pada 27 September 2015 pukul 02:39 dini hari. [9] Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998. 1998.https://id.wikisource.org/wiki/Laporan_Tim_Gabunga n_Pencari_Fakta_%28TGPF%29_Peristiwa_Tanggal_1315_Mei_1998 [10] Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998. 1998. http://semanggipeduli.com/tgpf/laporan.html

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

83


Teori “Gado-gado” Pierre-Felix Bourdieu

Mangihut Siregar Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2: 84-87

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Teori “Gado-gado” Pierre-Felix Bourdieu Mangihut Siregar* Universitas Udayana

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Bourdieu merupakan salah satu tokoh yang masuk ke dalam postmodernism. Pemikirannya dilatarbelakangi pertentangan yang tajam antara dua kubu yang berseteru yaitu strukturalisme dan eksistensialisme. Bertitik tolak dari pemikiran kedua aliran ini, Bourdieu membuat teori campuran atau teori “gado-gado” yaitu struktural konstruktif atau sering juga disebut teori praktik sosial. Konsep penting dalam teori praktik Bourdieu yaitu, habitus, arena/ranah/medan (field), kekerasan simbolik (symbolic violence), modal (capital), dan strategi (strategy).

Dikirim 29 Maret 2016 Direvisi 7 April 2016 Diterima 13 April 2016 Kata Kunci: Bourdieu Agen Struktur Gado-gado Marxis

Teori “gado-gado” Bourdieu mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam ilmu-ilmu sosial umumnya terlebih dalam Ilmu Kajian Budaya. Menurut Bourdieu, subjek atau agen bertindak dalam kehidupannya sehari-hari dipengaruhi oleh struktur atau aturan yang ada dalam masyarakat. Namun agen dalam tindakannya bukan seperti boneka yang bergerak sesuai dengan aturan yang menggerakkan. Sebaliknya, agen dalam tindakannya bukan bertindak sesuka hatinya tanpa diatur oleh rambu-rambu dalam hal ini aturan atau budaya. Agen dalam tindakannya sangat dipengaruhi oleh aturan yang berlaku dalam masyarakat. Individu sebagai agen dipengaruhi oleh habitus, di sisi yang lain individu adalah agen yang aktif untuk membentuk habitus. Agen dibentuk dan membentuk habitus melalui modal yang dipertaruhkan di dalam ranah. Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus dan ranah dengan melibatkan modal di dalamnya.

© 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Bourdieu merupakan salah seorang tokoh sosiologi kultural. Bourdieu juga disebut sebagai sosiolog, antropolog, etnolog. Pemikirannya banyak dipengaruhi para pemikir: Aristoteles, Thomas Aquinas, Hegel, Marx, Durkheim, Max Weber, Picasso, Franz Fanon, Jeane Paul Sartre, Huserl, Sausure, Levi Strauss, Wittgenstein, Martin Heidegger, Michel Foucault, dan lain-lain. Dari pendapat para tokoh ini, Bourdieu meramu menjadi suatu pemikiran baru yang disebut dengan metode strukturalisme-konstruktif. Melalui metode ini, Bourdieu menyintesiskan antara teori yang terlalu menekankan struktur dan objektifitas dengan teori yang menekankan peran aktor dan subjektifitas [1]. Pemikiran Bourdieu sangat berpengaruh dalam bidang ilmu sosial, terlebih dalam kajian budaya. Teori yang dikemukakan oleh Bourdieu dikenal dengan istilah teori tentang praktik.

Teori ini merupakan perpaduan atau campuran dari teori yang berpusat pada agen atau aktor dengan teori yang berpusat dengan struktur dalam membentuk kehidupan sosial. Teorinya menjadi suatu teori “gado-gado” yang memberikan rasa atau pandangan baru dalam ilmu sosial. 2. Diskusi Teori struktural konstruktif lahir dari perpaduan antara dua teori yang saling bertentangan yaitu teori struktural dan teori eksistensialisme. Kedua teori ini mempunyai pandangan yang sangat berbeda bahkan boleh dikatakan bertentangan. Bourdieu tidak setuju akan Aliran Strukturalisme Saussure, Levi-Strauss, dan Strukturalisme Marxis, alasannya aliran strukturalis berfokus pada struktur-struktur objektif dan mengabaikan proses konstruksi sosial. Ketidaksetujuannya juga akan pandangan strukturalisme yang mengabaikan agensi, sehingga Bourdieu berusaha untuk mengembalikan aktor-aktor kehidupan nyata yang tidak diperhatikan oleh aliran strukturalis [2].

∗ Peneliti koresponden: Universitas Udayana. Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali 80361 Mobile: +628568094162| E-mail:msiregar22@yahoo.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

84


Mangihut Siregar

Bourdieu bukan menghilangkan sama sekali struktur namun dia menganut strukturalis yang berbeda dengan pendahulunya Saussure, Levi-Strauss dan sturkturalisme Marxis. Menurut Bourdieu, struktur juga terdapat dalam dunia sosial dan struktur objektif merupakan hal yang independen dari kesadaran dan kehendak agensi yang mampu menuntun atau membimbing praktik dan representasinya. Pemikiran ini diadopsi Bourdieu menjadi pemikiran konstruktifis untuk menjelaskan asal usul skema persepsi, pemikiran, dan tindakan serta struktur-struktur sosial [2]. Untuk mengetahui lebih jauh apa yang melatarbelakangi pemikiran Bourdieu, dalam tulisan ini akan diutarakan pemikiran aliran struktural yang diwakili oleh Levi-Srauss, dan teori eksistensialisme oleh Jean Paul Sartre. Kedua tokoh ini menjadi tokoh yang sangat sentral dalam pemikiran Bourdieu sehingga melahirkan teori srukturalisme konstruktif. Dalam teori ini ada perkawinan antara aliran strukturalisme dan konstruktifisme. Levi-Strauss merupakan Bapak Strukturalisme karena dialah yang pertama sekali menggunakan pendekatan linguistik struktural dalam kajiannya. Bagi Levi-Strauss budaya adalah bahasa. Dasar pemikirannya bahwa aturan-aturan yang berlaku dalam setiap masyarakat merupakan suatu sistem. Sistem berjalan dengan baik apabila masing-masing unsur di dalamnya berfungsi dengan baik. Segala yang terjadi diatur oleh sistem dan apa pun yang akan terjadi sudah dapat diprediksi sebelumnya. Menurut pandangan Levi-Strauss, manusia dalam melaksanakan aktifitasnya ditentukan oleh struktur atau aturan. Kebudayaan merupakan struktur yang sudah ada dari sananya. Kebudayaan merupakan sebuah abstraksi yang dapat bertahan lama atau tetap eksis tanpa intervensi para pelaku [3]. Dalam pengertian ini kebudayaan hanya satu tidak akan berubah karena sudah menjadi struktur bertindak. Kebudayaan bentuknya given atau pemberian bukan konstruksi. Subjek atau aktor bergerak sesuai dengan struktur yang sudah baku. Manusia bukan sebagai subjek atau aktor atau agen tetapi menjadi objek yang hanya bergerak dalam bingkai struktur yang ada. Individu yang bergerak di luar struktur menjadi suatu penyimpangan. Teori strukturalisme muncul sebagai reaksi humanisme Perancis terutama terhadap eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Menurut Sartre apa yang dilakukan setiap orang ditentukan oleh orang itu sendiri, bukan oleh hukum sosial atau struktur sosial [4]. Menurut Sartre manusia itu merupakan individu yang bebas, bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Teori “Gado-gado� Pierre-Felix Bourdiue

Struktur atau aturan tidak berpengaruh bahkan tidak berarti bagi setiap orang karena masing-masing bertindak untuk dirinya sendiri. Sartre mengkritik pemikiran Marxis struktural yang terlalu menekankan peran dan tempat struktur sosial [4]. Manusia menurut Sartre menggenggam takdirnya dengan tangannya sendiri [5]. Pengaruh luar atau struktur kurang diperhatikan oleh Sartre melainkan hanya determinisme subjek semata. Bertolak dari kedua pemikiran ini (strukturalisme dan eksistensialime) Bourdieu mengawinkan kedua aliran yang berseteru. Eksistensialisme terlalu menekankan kebebasan individu (agen) dalam berperilaku dan mengabaikan pengaruh dari struktur (norma atau aturan). Sebaliknya strukturalisme terlalu menekankan determinisme struktur, sehingga mematikan peran subjek. Bourdieu mengawinkan kedua teori menjadi teori baru dengan strukturalisme konstruktif. Menurut teorinya, ada hubungan yang saling memengaruhi antara subjektifitas dan objektifitas, antara agen dan struktur [1]. Teori yang dikemukakan oleh Pierre-Felix Bourdieu disebut teori struktural konstruktif atau sering juga disebut teori praktik sosial. Konsep penting dalam teori praktik Bourdieu yaitu, habitus, arena/ranah/medan (field), kekerasan simbolik (symbolic violence), modal (capital), dan strategi (strategy) [1]. 2.1. Habitus Konsep habitus merupakan kunci dalam sintesa teoretis Bourdieu. Menurut Bourdieu habitus merupakan suatu sistem melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal, disposisi yang berlangsung lama dan berubahubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktikpraktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif [1]. Habitus merupakan pembatinan nilai-nilai sosial budaya yang beragam dan rasa permainan (feel for the game) yang melahirkan bermacam gerakan yang disesuaikan dengan permainan yang sedang dilakukan. Habitus adalah hasil internalisasi struktur dunia sosial, atau struktur sosial yang dibatinkan [6]. Habitus merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Habitus bukan bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat. Proses pembelajarannya sangat halus, tak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar [7]. Individu bukanlah agen yang sepenuhnya bebas, dan juga bukan produk pasif dari struktur sosial [8]. Habitus berkaitan erat dengan field, karena praktik-praktik atau

85


Mangihut Siregar

tindakan agen merupakan habitus yang dibentuk oleh field, sehingga habitus dipahami sebagai aksi budaya. Field dalam konsep Bourdieu yaitu medan, arena atau ranah merupakan ruang sebagai tempat para aktor/agen sosial saling bersaing untuk mendapatkan berbagai sumber daya material ataupun kekuatan (power) simbolis. Persaingan dalam ranah bertujuan untuk memastikan perbedaan dan juga status aktor sosial yang digunakan sebagai sumber kekuasaan simbolis [1]. Pendekatan teoretis yang dilakukan Bourdieu adalah untuk menggambarkan bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan seseorang dalam kehidupannya pada dasarnya adalah sesuatu yang lain dari keinginannya atau hanya sekedar dari struktur sosial dan struktur material. Individu dalam tindakannya dipengaruhi oleh struktur atau yang kolektif/sosial. Struktur-struktur yang ada dalam masyarakat diinternalisasi oleh aktor-aktor sosial sehingga berfungsi secara efektif. Internalisasi berlangsung melalui pengasuhan, aktifitas bermain, dan juga pendidikan dalam masyarakat baik secara sadar maupun tidak sadar. Sepintas habitus seolah-olah sesuatu yang alami atau pemberian akan tetapi dia adalah konstruksi [9]. Aktor atau agen dalam bertindak bukanlah seperti boneka atau mesin yang bergerak apabila ada yang memerintah. Agen adalah individu yang bebas bergerak seturut dengan keinginannya. Di satu sisi agen merupakan individu yang terikat dalam struktur atau kolektif/sosial namun di sisi yang lain agen adalah individu yang bebas bertindak. Sintesis dan dialektika antara struktur objektif dengan fenomena subjektif inilah yang disebut sebagai habitus. Hasil hubungan dialektika antara struktur dan agen terlihat dalam praktik. Praktik tidak ditentukan secara objektif dan juga bukan kemauan bebas [4]. Habitus yang ada pada suatu waktu tertentu merupakan hasil dari kehidupan kolektif yang berlangsung lama. Habitus dapat bertahan lama namun dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial, artinya habitus sebagai struktur yang menstruktur sosial dan juga habitus sebagai struktur yang terstruktur [4]. Dengan demikian Bourdieu memberi defenisi habitus sebagai suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif [10].

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Teori “Gado-gado� Pierre-Felix Bourdiue

2.2. Modal Habitus berkaitan dengan modal sebab sebagian habitus berperan sebagai pengganda modal secara khusus modal simbolik. Modal dalam pengertian Bourdieu sangatlah luas karena mencakup: modal ekonomi, modal budaya, dan modal simbolik digunakan untuk merebut dan mempertahankan perbedaan dan dominasi [10]. Modal harus ada dalam setiap ranah, agar ranah mempunyai arti. Legitimasi aktor dalam tindakan sosial dipengaruhi oleh modal yang dimiliki. Modal dapat dipertukarkan antara modal yang satu dengan modal yang lainnya, modal juga dapat diakumulasi antara modal yang satu dengan yang lain. Akumulasi modal merupakan hal yang sangat penting di dalam ranah [10]. Contoh ini dapat dilihat di Negara Indonesia dari kecenderungan para pengusaha menjadi terjun di bidang politik. Pengusaha yang mempunyai modal ekonomi berlomba untuk merebut kursi di legislatif maupun di eksekutif. Modal ekonomi yang dimiliki para pengusaha ditukar menjadi modal sosial (untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan dalam arti luas). Selain dipertukarkan, juga terjadi pengakumulasian modal sebab seorang pengusaha yang sudah memiliki modal ekonomi bertambah lagi dengan modal sosial karena dia berhasil sebagai pejabat publik. Pengusaha yang awalnya mempunyai satu macam modal, menjadi mempunyai lebih dari satu macam modal sekaligus yaitu modal ekonomi, modal sosial dan juga modal simbolis. 2.3. Ranah Konsep ranah atau arena atau medan (field) merupakan ruang atau semesta sosial tertentu sebagai tempat para agen/aktor sosial saling bersaing. Di dalam ranah/arena para agen bersaing untuk mendapatkan berbagai sumber maupun kekuatan simbolis. Persaingan bertujuan untuk mendapat sumber yang lebih banyak sehingga terjadi perbedaan antara agen yang satu dengan agen yang lain. Semakin banyak sumber yang dimiliki semakin tinggi struktur yang dimiliki. Perbedaan itu memberi struktur hierarki sosial dan mendapat legitimasi seakan-akan menjadi suatu proses yang alamiah [1]. Ranah merupakan kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan di dalamnya berlangsung perjuangan posisiposisi. Posisi-posisi itu ditentukan oleh pembagian modal. Di dalam ranah, para agen/aktor bersaing untuk mendapatkan berbagai bentuk sumber daya materil maupun simbolik. Tujuannya adalah untuk memastikan perbedaan yang akan menjamin status aktor sosial.

86


Teori “Gado-gado” Pierre-Felix Bourdiue

Mangihut Siregar

Dengan adanya perbedaan tersebut si aktor mendapat sumber kekuasaan simbolis dan kekuasaan simbolis akan digunakan untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut [9]. 3. Konklusi Teori praktik yang dikumandangkan oleh Pierre-Felix Bourdieu sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu sosial. Dalam teorinya Bourdieu menempatkan tiga kata kunci yang berlaku dalam praktik kehidupan masing-masing aktor yaitu, habitus, modal dan ranah. Komposisi praktik sosial dari Bourdieu dapat dinyatakan dengan persamaan: (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik [10]. Rumus generatif ini dapat dilihat dari peran aktor/agen dalam struktur dengan relasi antara habitus yang melibatkan modal dan ranah. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktifitas bermain, pendidikan. Secara singkat bahwa habitus adalah hasil internalisasi struktur dunia sosial, atau struktur sosial yang dibatinkan. Habitus merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Habitus bukan bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat. Proses pembelajarannya sangat halus, tak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar. Di dalam habitus, individu bukanlah agen yang sepenuhnya bebas, dan juga bukan produk pasif dari struktur sosial. Individu sebagai agen dipengaruhi oleh habitus, di sisi yang lain individu adalah agen yang aktif untuk membentuk habitus. Agen dibentuk dan membentuk habitus melalui modal yang dipertaruhkan di dalam ranah. Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus dan ranah dengan melibatkan modal di dalamnya.

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Referensi Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers. [2] Wirawan, I.B. 2012. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Defenisi Sosial, & Perilaku Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. [3] Kristanto, H. Dwi. 2005. Strukturalisme Levi-Strauss dalam Kajian Budaya. Dalam: Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. [4] Ritzer, George – Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Modern. (Alimandan, Pentj.). Jakarta: Kencana Prenada Group. [5] Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. (Muhammad Taufik, Pentj.). Yogyakarta: Kreasi Wacana. [6] Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Boudieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra. [7] Takwin, Bagus. 2009. Proyek Intelektual Pierre Bourdieu: Melacak Asal-usul Masyarakat, Melampaui Oposisi Biner dalam Ilmu Sosial. Dalam: Harker, Richard, dkk. (ed.). (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra. [8] Saifuddin, Achmad Fedyani. 2014. Membaca Teori Pierre Bourdieu Suatu Catatan Pengantar. Dalam: Fashri, Fauzi. Pierre Boudieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra. [9] Jackson, Peter. 2013. Pierre Boudieu. Dalam: Edkins, Jenny – Nick Vaughan Williams (ed.). Teori-teori Kristis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. (Teguh Wahyu Utomo, Pentj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. [10] Harker, Richard, dkk. (ed.). 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. (Pipit Maizier Pentj.). Yogyakarta: Jalasutra. [1]

.

87


Komunikasi dalam Konteks Protokol Bisnis Multikultural

Mutria Farhaeni

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2: 88-93

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org. An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Komunikasi dalam Konteks Protokol Bisnis Multikultural Mutria Farhaeni* STIE BIITM Kuta Badung

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh dan mengkaji informasi tentang komunikasi dalam konteks protokol bisnis multikultural.

Dikirim 17 April 2016 Direvisi 15 Mei 2016 Diterima 17 Mei 2016 Kata Kunci: Komunikasi Protokol Bisnis Multikultural Sapaan

Multikultural bukanlah sesuatu yang akan hilang pada waktu mendatang, yang memungkinkan merencanakan strategi berdasarkan asumsi saling memahami. Asumsi itu sendiri merupakan suatu fenomena dengan kekayaannya sendiri, eksplorasi yang dapat menghasilkan keuntungan yang tak terhitung bagi kita, baik dari segi visi yang lebih luas maupun kebijakan dan kegiatan yang lebih menguntungkan. Protokol bisnis melibatkan bentuk perayaan, etiket, dan kode perilaku yang benar, penting untuk mengerti peraturan tersebut dalam transaksi bisnis. Bagaimanapun, seperti aturan perilaku pada umumnya, “peraturan” bisnis berkaitan dengan budaya. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode deskriptif dengan pendekatan kepustakaan. Hasil kajian ini kemudian dideskripsikan, dinarasi serta diinterpretasi dan disusun dalam bentuk makalah. Dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa protokol bisnis ini melibatkan bentuk perayaan, etiket, dan kode perilaku yang benar. Beberapa variasi protokol bisnis perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan komunikasi bisnis multikultural ini. Variasi tersebut seperti hubungan awal, cara menyapa, penampilan pribadi, pemberian hadiah, dan topik percakapan yang tabu. © 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Multikultural bukanlah sesuatu yang akan hilang pada waktu mendatang, yang memungkinkan merencanakan strategi berdasarkan asumsi saling memahami. Asumsi itu sendiri merupakan suatu fenomena dengan kekayaannya sendiri, eksplorasi yang dapat menghasilkan keuntungan yang tak terhitung bagi kita, baik dari segi visi yang lebih luas maupun kebijakan dan kegiatan yang lebih menguntungkan. Orang-orang dari budaya yang berbeda konsep dasar, tetapi memandang konsep tersebut dari sudut dan perspektif yang lain, yang menyebabkan mereka berperilaku dalam suatu cara yang mungkin kita anggap irassional atau bahkan bertentangan langsung dengan apa yang kita anggap sebagai perbedaan budaya [1]. Perilaku orang-orang dengan budaya yang berbeda bukanlah sesuatu yang kacau balau. Ada kecenderungan, urutan, dan tradisi yang jelas. Reaksi yang serupa dari Orang Amerika, Eropa, dan Asia dapat diramalkan, biasanya dibenarkan, dan pada umumnya diatur. ∗ Peneliti koresponden: riafarhaeni@gmail.com, Jl. Buluh Indah No. 95 Denpasar Barat Telp. +085101474353

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Protokol bisnis melibatkan bentuk perayaan, etiket, dan kode perilaku yang benar, penting untuk mengerti peraturan tersebut dalam transaksi bisnis. Bagaimanapun, seperti aturan perilaku pada umumnya, “peraturan” bisnis berkaitan dengan budaya. Dapat dilihat perbedaan “regulasi” antarbudaya dalam halhal yang sederhana seperti stiker pada bumper mobil di Amerika Serikat yang bertuliskan “Rules Are for Fools” (Peraturan hanya untuk orang bodoh). Walaupun stiker ini mungkin menyatakan nilai individulalisme, ketergantungan, dan perbedaan, bahwa pandangan ini tidak dimiliki oleh semua budaya. Sebenarnya, hampir semua bagian dunia, secara protokol yang benar secara budaya diharapkan dan dihormati [2]. Dari uraian di atas akan dikaji yaitu beberapa variasi protokol yang akan dibahas (1) hubungan awal; (2) sapaan; (3) penampilan pribadi; (4) memberi hadiah; dan (5) hal-hal tabu. Dengan demikian penulis ingin mengkaji komunikasi dalam konteks protokol bisnis multikutural. 88


Komunikasi dalam Konteks Protokol Bisnis Multikultural

Mutria Farhaeni

2. Metode

Metode deskriptif dengan pendekatan kepustakaan seperti buku, jurnal, dan artikel. Hasil kajian ini kemudian dideskripsikan, dinarasi serta diinterpretasi dan disusun dalam bentuk makalah. 3. Telaah Pustaka

3.1 Komunikasi Komunikasi atau communicaton berasal dari bahasa Latin communis yang berarti 'sama' [3]. Communico, communicatio atau communicare yang berarti membuat sama (make to common) [3]. Secara sederhana komunikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan [4]. Oleh sebab itu, komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu dengan yang lainnya (communication depends on our ability to understand one another) [5]. Pada awalnya, komunikasi digunakan untuk mengungkapkan kebutuhan organisi [6]. Sinyal-sinyal kimiawi pada organisme awal digunakan untuk reproduksi. Seiring dengan evolusi kehidupan, maka sinyal-sinyal kimiawi primitif yang digunakan dalam berkomunikasi juga ikut berevolusi dan membuka peluang terjadinya perilaku yang lebih rumit seperti tarian kawin pada ikan [6]. Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman [3]. Bentuk umum komunikasi manusia termasuk bahasa sinyal, bicara, tulisan, gerakan, dan penyiaran. Komunikasi dapat berupa interaktif, komunikasi transaktif, komunikasi bertujuan, atau komunikasi tak bertujuan. Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut. Walaupun komunikasi sudah dipelajari sejak lama dan termasuk “barang antik�, topik ini menjadi penting khususnya pada abad dua puluh karena pertumbuhan komunikasi digambarkan sebagai “penemuan yang revolusioner�, hal ini dikarenakan peningkatan teknologi komunikasi yang pesat seperti radio. Televisi, telepon, satelit dan jaringan komputer seiring dengan industrialisasi bidang usaha yang besar dan politik yang mendunia. Komunikasi dalam tingkat akademi mungkin telah memiliki departemen sendiri di mana komunikasi dibagibagi menjadi komunikasi massa, komunikasi bagi pembawa acara, humas dan lainnya, namun subyeknya Jurnal Studi Kultural Volume 1 No.2 Juni 2016 www.an1mage.org

akan tetap. Pekerjaan dalam komunikasi mencerminkan keberagaman komunikasi itu sendiri. Dengan demikian secara ringkas komunikasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal [7]. 3.2 Protokol Bisnis Multikultural Budaya masyarakat akan mempengaruhi bagaimana seseorang mengirim dan menerima pesan. Ketika seseorang berkomunikasi, mereka cenderung menggunakan asumsi budayanya sendiri, di mana mengangap orang lain mempunyai budaya, bahasa, dan persepsi seperti dirinya. Dengan demikian kita memperlakukann orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Namun demikian, apabila yang diajak berkomunikasi tersebut kebetulan orang yang berbeda budaya dengan sender, maka audience akan menerima pesan seperti persepsinya sendiri. Sehingga memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan tidaklah cukup. Pemahaman ini memunculkan cara pandang baru dalam berhubungan dengan audience, sender perlu memahami budaya audience dan memperlakukan sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Untuk itu sender perlu meningkatkan pemahaman budaya asing tersebut dari beberapa aspek Protokol bisnis ini melibatkan bentuk perayaan, etiket, dan kode perilaku yang benar. Beberapa variasi protokol bisnis perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan komunikasi bisnis multikultural ini. Variasi tersebut seperti hubungan awal, cara menyapa, penampilan pribadi, pemberian hadiah, dan topik percakapan yang tabu. 4. Diskusi

Beberapa variasi protokol bisnis perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan komunikasi bisnis multikultural ini. Variasi tersebut seperti hubungan awal, cara menyapa, penampilan pribadi, pemberian hadiah, dan topik percakapan yang tabu. 4.1 Hubungan Awal Ketika terlibat dalam bisnis internasional, cara di mana ditetapkan hubungan awal dapat meliputi dari 89


Mutria Farhaeni

mengirimkan e-mail, membuat panggilan telepon, menulis surat formal atau menggunakan seorang perantara. Di mana prosedur ini berkaitan dengan budaya orang yang berhubungan dengan Anda. Jika Anda gagal mengikuti protokol yang benar dan melanggar peraturan budaya tersebut, Anda tidak akan dapat memasuki suatu organisasi. Beberapa contoh akan menolong Anda memahami masalah ini. 4.1.1 Amerika Serikat Budaya Bisnis Amerika terbiasa dengan apa yang dinamakan cold call , yaitu membuka hubungan bisnis dengan menelepon calon pelanggan yang tidak dikenal. Cold call langsung kepada topik pembicaraan yaitu bisnis tanpa ada basa basi terlebih dahulu. Budaya ini sesuai dengan tipikal dasar orang Amerika yang tidak suka bertele-tele dan mengutamakan efisiensi. 4.1.2 Afrika Berbeda dengan Afrika yang hubungan awal dalam suatu bisnis memerlukan perantara. Perantara ini dapat membukakan pintu, memastikan kunjungan diterima dengan hangat, serta menilai prospek proposal yang akan diajukan [2].

Komunikasi dalam Konteks Protokol Bisnis Multikultural

Di Amerika Serikat, baik laki-laki maupun perempuan berjabat tangan ketika bertemu dan berpisah. Nama pertama biasanya digunakan ketika memanggil orang yang lebih senior atau dalam situasi formal. Saling memberikan kartu nama merupakan hal yang umum dalam konteks bisnis, namun jarang terjadi dalam perkumpulan sosial. Cara menyapa yang baru saja disebutkan merupakan hal yang khas pada orang Amerika dan Kanada, namun tidak umum dalam banyak budaya lainnya [2]. 4.2.2 Jepang Ritual sapaan yang umum di Jepang adalah membungkuk. Seperti yang dinyatakan oleh Ferraro, “Membungkuk menunjukkan informasi sosial di Jepang” [9]. Selain perhatian terhadap kebiasaan berbisnis, suatu pemahaman juga harus diperhatikan seperti dengan kompleksnya tindakan membungkuk. Orang Jepang sadar hal itu susah dimengerti orang asing, sehingga mereka tidak mengharapkan orang asing untuk membungkuk [2]. Protokol penting yang lain dalam menyapa pebisnis Jepang adalah saling menukarkan kartu nama. Sama halnya dengan komunikasi manusia, tindakan sederhana dari saling bertukar kartu nama berakar dalam Nilai Jepang.

Citra 1. Perbedaan Bisnis antara orang Amerika dengan orang Afrika Sumber : https://www.google.com.my/search_melakukan+negosiasi

4.2 Cara Menyapa Variasi kedua yang perlu diperhatikan dalam protokol bisnis adalah cara menyapa. Cara menyapa yang berbeda-beda juga harus diperhatikan seperti apakah budaya yang akan dihadapi terbiasa dengan membungkukkan badan, berpelukan, berciuman pipi, tatapan mata, anggukan, ataupun sapaan yang biasa dilakukan.

4.2.3 India Di India dan di Budaya Hindu lainnya, sapaan sosial yang umum adalah nameste, [10] di mana seseorang menekan kedua belah tangan ke dada, seperti ketika berdoa, dan sedikit membungkuk ke arah orang lain. Karena India sangat menghargai nilai hubungan, jarak hubungan juga bagian dari perilaku. Misalnya, Kumar dan Sethi menyatakan bahwa interpersonal “jarak bertambah ketika seseorang berbicara dengan atasan atau ketika berhubungan dengan orang yang berasal dari hierarki yang lebih rendah.

4.2.1 Amerika Serikat Ketika suatu pertemuan ditentukan, penting untuk membiasakan diri untuk menggunakan cara menyapa dalam budaya tuan rumah. Orang Amerika cenderung informal dan bersahabat. Sebenarnya, “Orang dari budaya lain terkejut dengan ketidakformalan bangsa Amerika Serikat yang sering mengatakan “Hi” kepada orang asing. Dalam banyak negara di dunia, mengatakan “Hi” pada orang asing tidak biasa terjadi” [8]. Jurnal Studi Kultural Volume 1 No.2 Juni 2016 www.an1mage.org

Citra 2. Cara Menyapa Sumber : https://www.google.com.my/search?cara_menyapa 90


Mutria Farhaeni

4.3 Penampilan Pribadi Variasi berikutnya adalah penampilan diri. Penampilan dalam berbisnis mempunyai caranya masing-masing dan mempunyai batas toleransi yang bermacam-macam dalam setiap budaya. Dalam hal penampilan ini, Amerika mempunyai budaya yang lebih informal dalam berbisnis sedangkan Jepang mempunyai budaya yang lebih formal dalam berbisnis [2]. 4.3.1 Amerika Serikat Amerika Serikat merupakan budaya yang informal. Ketidakformalan direfleksikan oleh kebijaksanaan “Casual Friday” yang digunakan organisasi di Amerika Serikat untuk mengizinkan karyawan berpakaian santai. Organisasi “dot-com” di Lembah Silikon dikenal dengan gaya berpakaian yang sangat informal dan pebisnis muda kadang berbisnis hanya dengan menggunakan kaos polo dan celana jin. Di banyak kampus, dapat ditemukan profesor yang berpakaian seperti muridnya. 4.3.2 Jepang Budaya Jepang lebih formal, dan perilaku formalitas berkembang ke penampilan pribadi seseorang, terutama dalam interaksi bisnis. Di Jepang setelan hitam merupakan seragam standar bagi karyawan di Jepang. Berpakaian untuk membedakan seseorang tidak dengan mudah diterima.

Komunikasi dalam Konteks Protokol Bisnis Multikultural

kesempatan ini, kesan pertama yang ada mungkin tidak positif.

Citra 5. Penampilan Pribadi Sumber : https://www.google.com.my/search?penampilan _pribadi

4.4 Pemberian Hadiah Variasi selanjutnya adalah mengenai pemberian hadiah. Urusan pemberian hadiah ini perlu mendapat perhatian dalam berbisnis lintas budaya. Pemberian hadiah yang tidak memerhatikan kebiasaan dan peraturan yang berlaku bisa menjadi masalah yang sangat serius dalam berbisnis. Ada pepatah lama yang mengatakan, “Hati-hati dengan orang Yunani yang membawa hadiah”. Namun, di antara banyak budaya pemberian hadiah merupakan hal yang umum dan menjadi bagian dari protokol bisnis. Selain pandangan tentang apa itu hadiah, perlu diperhatikan juga peraturan yang berlaku, waktu pemberian, bentuk hadiah, dan cara memberikan. Martin dan Chaney memperkenalkan kebiasaan bisnis yang penting ini dalam paragraf berikut:

Walaupun generasi yang lebih muda di Jepang telah mulai mengenakan pakaian yang warna dan gayanya berbeda, gaya pakaian konservatif masih menjadi norma di antara manager level tinggi dan kaum eksekutif.

“Praktik pemberian hadiah sangat bervariasi di seluruh dunia. Dalam negara yang berorientasi pada agama, pemberian hadiah dilakukan selama perayaan keagamaan; dalam negara non-religius, ada waktu-waktu tertentu yang ditujukan untuk memberi hadiah.

Sama halnya di Jepang, di Banyak Negara Asia kaum eksekutif berpakaian sesuai dengan mode dan mengharapkan rekannya untuk mewujudkan aura sukses yang sama. Seperti dinyatakan oleh Schmidt dan rekannya, “Pakaian profesional penting dalam acara perkumpulan bisnis formal di Negara-negara Asia [2].

Peristiwa-peristiwa tertentu, seperti kesimpulan dalam kontrak bisnis, mengharuskan pemberian hadiah. Karena pemberian hadiah merupakan bagian integral dari membangun hubungan global, Anda perlu mengerti seluk beluk seni memberi hadiah” [11].

Pebisnis Wanita Barat yang bekerja dalam Negara Islam atau dengan Rekan Muslim, harus berpakaian secara konservatif dan sederhana dengan garis leher yang tinggi, lengan panjang, dan rok melewati lutut. Celana tidak dianjurkan untuk dipakai.

4.4.1 Amerika Serikat Bertukar hadiah dalam konteks bisnis membutuhkan sejumlah protokol yang dinyatakan atau tidak dinyatakan. Suatu masalah adalah Budaya Barat yang individualistis terutama Amerika Serikat, kadang menganggap memberi dan membayar uang sebelumnya sebagai bentuk penyuapan.

Mudah untuk membayangkan konsekuensinya jika seorang pebisnis dari Amerika Serikat, bercelana pantalon dan mengenakan kaos polo yang berwarna, bertemu untuk rapat dengan rekannya dari Jerman yang mengenakan setelan berwarna gelap dan dasi. Dalam

Kutukan Amerika Serikat terhadap penyuapan begitu kuat, sehingga dilarang oleh Foreign Corrupt Practice Act yang “menetapkan bahwa menyuap pemerintahan asing untuk memperoleh atau mempertahankan bisnis melanggar hukum” [2].

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No.2 Juni 2016 www.an1mage.org

91


Komunikasi dalam Konteks Protokol Bisnis Multikultural

Mutria Farhaeni

tatapan mata, anggukan, ataupun sapaan yang biasa dilakukan.

4.4.2 China China juga telah membentuk undang-undang yang menetapkan bahwa hadiah yang lebih dari 180 dolar AS sebagai suapan [2]. Terlepas dari larangan ini, pertukaran hadiah tetap menjadi protokol bisnis yang umum, namun perwakilan bisnis internasional harus dapat membedakan antara apa yang dianggap hadiah apa yang dianggap suap.

3. Penampilan Pribadi Variasi berikutnya adalah penampilan diri. Penampilan dalam berbisnis mempunyai caranya masing-masing dan mempunyai batas toleransi yang bermacam-macam dalam setiap budaya. Dalam hal penampilan ini, Amerika mempunyai budaya yang lebih informal dalam berbisnis sedangkan Jepang mempunyai budaya yang lebih formal dalam berbisnis.

Di China, hadiah merupakan bagian dari hubungan bisnis. Dalam hubungannya dengan China, Cellich dan Jain menuliskan, “di China, protokol yang diikuti selama proses negosiasi harus melibatkan pemberian hadiah yang kecil dan tidak mahal. [2]

4. Pemberian Hadiah Variasi selanjutnya adalah mengenai pemberian hadiah. Urusan pemberian hadiah ini perlu mendapat perhatian dalam berbisnis lintas budaya. Pemberian hadiah yang tidak memerhatikan kebiasaan dan peraturan yang berlaku bisa menjadi masalah yang sangat serius dalam berbisnis.

4.5 Topik Percakapan yang Tabu Variasi terakhir yang harus diperhatikan adalah topiktopik pembicaraan apa saja yang dianggap tabu. Pemillihan topik pembicaraan harus mengikuti peraturan budaya. Aturan ini menuntun dalam mempelajari topik apa yang dapat diterima dalam budaya relasi bisnis yang dihadapi. Topik basa-basi yang paling populer adalah masalah cuaca atau komentar seputar lingkungan fisik sekitar, seperti pengaturan ruangan rapat atau beberapa aspek dari suatu bangunan. Suatu topik yang tabu membuat proses bisnis menjadi sangat terganggu. Pebisnis Chili, Argentina dan Venezuela menganggap topik politik menjadi hal tabu dalam perbincangan bisnis. Pebisnis Amerika menganggap perbincangan tentang keluarga adalah suatu hal lumrah dalam bisnis, namun tidak begitu dengan Arab Saudi yang menganggap hal tersebut sebagai tabu. 5.Konklusi 5.1 Simpulan Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hubungan Awal Ketika terlibat dalam bisnis internasional, cara di mana ditetapkan hubungan awal dapat meliputi dari mengirimkan e-mail, membuat panggilan telepon, menulis surat formal atau menggunakan seorang perantara.

5. Topik Percakapan yang Tabu Variasi terakhir yang harus diperhatikan adalah topiktopik pembicaraan apa saja yang dianggap tabu. Pemillihan topik pembicaraan harus mengikuti peraturan budaya. Aturan ini menuntun dalam mempelajari topik apa yang dapat diterima dalam budaya relasi bisnis yang dihadapi. 5.2 Saran Sangat diperlukan pemahaman budaya lain sebelum melakukan bisnis agar tidak terjadi kesalahpahaman. Karena setiap negara memiliki budaya yang berbeda. Ucapan Terima Kasih Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Michael Sega Gumelar selaku Ketua Redaksi yang telah memberikan kesempatan dan partisipasi dalam menulis di Jurnal Studi Kultural ini. Referensi [1] [2] [3 [4] [5]

2. Cara Menyapa Variasi kedua yang perlu diperhatikan dalam protokol bisnis adalah cara menyapa. Cara menyapa yang berbeda-beda juga harus diperhatikan seperti apakah budaya yang akan dihadapi terbiasa dengan membungkukkan badan, berpelukan, berciuman pipi,

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No.2 Juni 2016 www.an1mage.org

[6]

[7]

Richard D. Lewis. 2005. Komunikasi Bisnis Lintas Budaya. PT Remaja Rosdakarya, Bandung Larry A. Samovar, Richard E. Porter, Edwin R, McDaniel (2010). Komunikasi Lintas Budaya. Salemba Humanika, Jakarta ]Mulyana, Deddy Prof. 2007. Imu Komunikasi Suatu Pengantar. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Rohim,Syaiful.2009. Teori Komunikasi: Perspektif,Ragam, & Aplikasi. Rineka Cipta, Jakarta West, Richard & Lynn H. Turner. 2007. Introducing Communication Theory. Third Edition. The McGrow Hill companies, Singapore Larry Gonick. 1993. Kartun (non) Komunikasi, guna dan salah guna informasi dalam dunia modern. Kepustakaan Populer Gramedia, Juli 2007. (diterjemahkan dari Guide to (non) Communication HarperClollins Publisher, Inc copyright. https://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi diunduh tanggal 16 April 2016 92


Mutria Farhaeni

Komunikasi dalam Konteks Protokol Bisnis Multikultural

[8]

Handbook for Teaching Korean American Students. 1992. Sacramento, CA: California Department of Education [9] Kim, M. 1992. A Comparative Analysis of Nonverbal Expression as Portrayed by Korean and American PrintMedia Advertising. Howard Journal of Communication [10] Berry, J.W., Y.H. Poortinga, M.H. Segall, dan P.R. Dasen. (1992). Crosscultural Psyhology: Research and Application. Cambridge University, New York [11] Gardiner, H.W. dan C. Kosmitzki. (2008). Lives Acros Cultures: Cross-Cultural Human Development. Allyn and Bacon, Boston

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No.2 Juni 2016 www.an1mage.org

93


The Use of Green Turtles on Bali, When Conservation Meets Culture

Rodney Westerlaken

Jurnal Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2: 94–98

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

The Use of Green Turtles in Bali, When Conservation Meets Culture Rodney Westerlaken* Stenden University

Article Info Article history: Received 18 April 2016 Received in revised form

Abstract The use of green turtles in ceremonies, as delicacy or for the use of the shell has been a vast problem in history and recent years on Bali. The number of turtles living in the waters surrounding Bali is decreasing and the illegal trade is vivid.

Accepted Keywords: Bali Conservation Green turtles Ceremonies

Several projects are fighting for conservation of turtles and the Parisada Hindu Dharma Indonesia (the highest Hindu council) issued a decree against the use of turtles in ceremonies, but illegal trade remains. On April 7, 2016 40 green seaturtles (Chelonia mydas) were captured by KAPOLDA (kepolisian daerah, regional police). They were on a ship for 7 days without any water, there flippers tied together prohibiting them to move. On April 14, 2016 31 turtles were released on Kuta beach after given medical care. Four turtles died, three are currently still under medical care and three are kept as evidence.

Conservation

The green turtle is listed as an endangered species on the IUCN red list [1] and should be protected. Conservation and culture meet eachother at the struggle for the green turtle. © 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Published by An1mage. All rights reserved.

1. Introduction

Balinese call their island ‘the navel of the world’. The island is seen as the center of the universe that rests on the back of a turtle named Bedawang Nala. This Bedawang Nala floats on the world ocean [2]. In the catur yoga, an ancient manuscript, the world is seen as strapped to Bedawang Nala’s back by a pair of crested serpents, or naga. In the description you can read a warning that when the snakes are allowed to lose their grip, for whatever reason, earthquakes will take place with devastating consequences [2]. Bäckström [3] notes that the turtle symbolizes the foundation supporting the earth and all its life. In the same article she also notes that the world turtle, Bedawang Nala, is believed to dwell in the underworld, where it carries the world on its back. According to the worldview of the Balinese the sea has demonic qualities whereas the mountains are seen as the seats of the gods. The goal in the life of the Balinese is to create a balance between good and evil. Unbalanced situations need to be corrected by ceremonies.

∗ Corresponding a u t h o r : info@rodneywesterlaken.nl p/a Stenden University Bali, Jl Kubu Gunung, Tegal Jaya, Dalung, Badung, Bali.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Figure 1. Bedawang Nala in a temple in Kerobokan (Photo: Collection Tropenmuseum Amsterdam).

In this way you can see the sea as the host of demons. But looking at the sea by itself the sea holds divine and demonic forces at the same time. 94


Rodney Westerlaken

The sea is also seen as the purifier of everything that comes from the island. A good example is the final phase of the cremation ceremony of a deceased. The ashes will be strewed in the sea in order to purify the soul [4]. To dedicate themselves to reconciliation and harmony between high and low, day and night, good and evil, life and death the Balinese, among other things, give food and flowers to the gods. It’s a sacrifice of special gifts. The most potent and expensive has always been the green turtle [2]. Turtles are used in Manusa Yadnya, the core human rituals. These rites occur in the highlights and lows of life, for example when a child reaches the age of three months, teeth filling, marriage and cremation [2,5,6].

The Use of Green Turtles on Bali, When Conservation Meets Culture

2. Turtles in Indonesia

Turtles have existed over 100 million years in the oceans of the world. Those reptiles exhibit extraordinary powers of navigation that they use intensly while migrating thousands of kilometers between their feeding and breeding areas [6]. Indonesia is the green turtle’s prehistoric home [2]. Indonesia (with a latitude along 81.000 km and consisting of more than 17.000 islands) is nowadays the residence of six of the eight known sea turtle species in the world. Species identified to live in Indonesia are: Green turtle (Chelonia mydas) Hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata) Olive turtle (Lepidochelys olivacea) Loggerhead turtles (Caretta caretta) Leatherback turtle (Dermochelys coriacea) Flatback turtle (Natator depressus) [7, 8] 3. How Turtles are Hunted?

While laying eggs: Turtles are an easy target when they come ashore to lay their eggs. As turtles are slow movers they can easily be caught. Smart hunters wait till the turtle laid her eggs so they can catch the turtle and the eggs [6]. Harpooning: Harpooning is used for the least of turtle killings. The most turtles are caught by net. While harpooning a sharp tip breaks trough the shell of the turtle lies flat, so the turtle flesh will not damage.

Figure 2. A turtle used as offering in a cremation ceremony (Photo: Boy Lawson, 1971)

Lindsay notes [2] that mass turtle slaughter seems to be an ancient custom in Bali, but this is not the case. The turtle slaughter has developed over the last 100 years. The meat has become a luxury item to guests of honor.

Firgure 3. A Balinese man slaughters a green turtle (photo: occupy for animals) Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

After the impact, the point falls free from the shaft and the harpooner retrieves the turtle with the connected rope. After the turtle is harpooned the hunters will keep them under water. This means the hunters have to bring turtles above the sea level to prevent drowning [2].

Figure 4. Harpooning of turtles (photo: charleslindsay.com)

95


Rodney Westerlaken

By nets: Most effective is the turtle hunt by net. The hunters use a net strechted between two horizontal ropes. The mazes of the net are big. The turtle swims in to the net and gets entangled in it. Possibly, the turtle will be harpooned or tied with a rope after this. The nets are set up behind the reefs and must be checked every hour to prevent the drowning of the new catch. During the high tide the nets will be positioned inside the reef [2].

The Use of Green Turtles on Bali, When Conservation Meets Culture

5. Finding a Solution

For decades NGO’s are trying to find a solution for the illegal trade and poaching of the green turtle. Wellknown NGO’s that make a clenched fist are WWF and Greenpeace, but also local NGO’s like ProFauna, JAAN and soul surf project Bali are fighting for the wellbeing of this magnificent animal. Greenpeace had a famous campaign in the nineties called ‘slaughter in paradise’ that was more or less the launch of the attention of NGO’s for the green turtle [3,9] 6. Timeline

1953 Lindsay [2] notes that a friend of him, Bapa Kerig, in 1958 witnessed a variation of the nula bulalin ceremony, the ceremony held when a child reaches the age of three months. The father of the child had read in ‘obscure religious text’ that children should ride live turtles three times around Jaganatha temple in Denpasar.

Figure 5. Turtles are brought on land after being catched (photo: charleslindsay.com)

4. The Slaughterhouse

Traditionally the turtle slaughterhouses are to be found in Tanjung Benoa, Serangan, Denpasar and some other places among the south coast of Bali. Nowadays the black market for turtles and turtle meat is still located in Tanjung Benoa [9,10]. The hunters that bring their turtles to the harbor of Tanjung Benoa are mixed crews from Sulawesi, the Moluccas, Madura, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, Tanimbar and Irian Jaya. The hunters get an advance promise or telegram to arrange turtle deliveries on important Hindu days [2]. The turtles are killed without any care for the wellbeing of the turtle itself.

The man rented the live turtles and returned them. An elderly priest confirmed that in the old days turtles were set free as a part of the ritual [2,5] Regarding to this matter Backhaus (Backhaus 1988, p 174) notes that a member of a traditional society often has great difficulty breaking with his tradition, regardless whether this society is using natural resources in a sustainable way or not. 1979-1999 WWF has been actively campaigning to stop the turtle trade. Enormous international pressure was put on the Indonesian government during the Conference on the International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Between 1978 and 1996 most turtles were gradually given a protected status under national Indonesian law [3] In 1990 the governor of Bali set a quota (Governor decree 22/90) for turtle slaughter of 5000 green turtles per year. Hunting at that time was still permitted under national law. Tanjung Benoa (South Bali) was set as the only port for turtles to handle the turtle trade.

Figure 6. Inside the slaughter house (photo: occupy for animals) Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Also the sale of turtle meat in public places and the sale of turtle souvenirs was forbidden under this decree. According to Ir. Ketut Sukada it wasn’t a realistic plan given that the 96


Rodney Westerlaken

The Use of Green Turtles on Bali, When Conservation Meets Culture

people that formerly lived from turtle trade now had no other source of income.

will be a solution to the problem of illegal turtle trade and poaching [11].

One year after this decree Greenpeace investigated the situation and did find out the decree only had a little impact.

2009 - Recent Some Balinese were not satisfied with the decree of the Hindu Dharma Council. Since 2009 it is possible again to buy green turtles legally.

Turtle meat was still sold in restaurants in the tourist zone (Kuta, Legian) and turtle shell jewelry and stuffed turtles where still for sale, even in the duty free zone of the International Airport. Greenpeace estimated that in 1990 at least 21.000 sea turtles were killed [3,6]. On 12 June 2000 the Governor issued a decree (243/1999) to withdraw the former decree because it was in conflict with the Government Regulation No 7/1999 and the quota for green turtle use stopped.

People or temples that want to use a turtle in a ceremony can buy them in the Serangan Turtle Conservation Centre. In this legal way those people or temples need an official letter from environmental organizations and religious authority. With those letters they can buy a turtle smaller than 20 cm in diameter for Rp 500.000,- [9,12].

In 1999 the green turtle became a protected wild life animal under article 21 of Act No.5/1999, which legislates to protect and conserve natural resources and ecosystems. According to this law the catching, storing, transporting and trading of all turtle species, turtle products and turtle eggs is prohibited. Illegal trade continued because there was still a market [3]. 2004-2005 Ida Pedanda Gede Ngurah Kaleran, a high priest of southern Denpasar said in 2004 that he believes it’s not necessary to use turtles in religious ceremonies. ‘Nowhere in the holy book of Veda is stated that we should eat turtle’, he said. He proposes the use of a symbol instead of the real animal to complete the ceremony. Many others disagree with him [3]. It has been estimated that ‘only’ 300 turtles a year are needed for ritual purposes in Bali each year [3]. The problem of the extinction of the green turtle could be solved by a decree from the Hindu Dharma council of Indonesia, a Bhisama. On 31 august 2005 a Bhisama was issued in Denpasar that says the presence of endangered species, such as turtle, tiger, eagle, or any other near extinct animal in Hindu sacrifices could be substituted with a drawing, cake, or other animal. Alternatively, the council agreed that endangered species can be used in the ritual provided that it will not be killed and will be released in the wild once the ritual has ended. With this Bhisama WWF expects that there will be a reduction of the use of turtles as a sacrificial offering and Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Figure 7. Protests against illegal turtle trade by ProFauna (photo: ProFauna)

WWF thinks that the new law cannot be accepted. But while many questions raise on the effectiveness of the implementation of this Law by Indonesian management authority, at the same time WWF tries to stop people catching productive wild-turtles, to allow these breeding sizes reproduce accordingly. When the use of turtle for particular purposes cannot be stopped for any reason, and assuming that strict control can be done adequately, sacrificing few turtle nests to be hatched and reared to a certain size, is much better for turtle conservation than allowing people to catch wild and productive turtles for their ceremonial activities [13]. Illegal trade remains, with the last case of 40 green turtles being captured by KAPOLDA on April 7, 2016. Thirty one turtles could be released on April 14, 2016 on Kuta beach. The flippers of the turtles were punctured and tied together by rope and the turtles were on the ship already for seven days. Four out of fourty turtles died, Three turtles are still in medical care and three turtles are kept as evidence (April 18, 2016). 97


Rodney Westerlaken

The Use of Green Turtles on Bali, When Conservation Meets Culture

The Madurese crew of the ship can face up until five years in jail for the crimes committed under the UU KSDA (Indonesian Law on Biological Resources and Ecosystems) according to Irjen KAPOLDA (inspector) Sugeng Priyanto [13].

Figure 8. Turtles being released at Kuta Beach, April 14. 2016 (photo: foundation soul surf project Bali)

References [1] [2] [3]

[4]

[5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14]

http://www.iucnredlist.org/details/4615/0 Charles, Lindsay. 1996. Turtle islands, Balinese ritual and the green turtle, Takarajima Books Inc., New York Bäckström, Jenny H. 2004. Turtle satay? Attitudes towards turtle consumption are changing in Bali, in: Inside Indonesia (October-December 2004) Backhaus, Norman. 1998. Globalisation and marine resource use in Bali, in: Environmental challenges in South-East Asia by Victor E. King. University of Oslo Bakker, Frek. 2001. Balinees Hindoeisme, Uitgeverij Kok, Kampen Daly, Trevor. 1991. Seaturtles in trouble in Indonesia, in: Inside Indonesia (October 1991) ProFauna report: Hawksbill Trade in Indonesia, 2003 ProFauna report: Sea turtle trade in Java, 2005 I Wayan Wiradnyana in interview ProFauna report: Sea Turtle Exploitation in the Name of Conservation in Bali, 2008 Acmad, Mubriq. 2005. WWF welcomes ‘Bhisama’ on marine turtle protection, WWF Indonesia Staff TCEC (Turtle Conservation and Education Centre) Serangan in interview Dr. Windia Andyana (WWF) in interview http://beritabali.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

98


Benediktus Belang Niron

Upacara Adat Lepa Bura pada Masyarakat Lamaholot…. Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2: 99-105

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Upacara Adat Lepa Bura pada Masyarakat Lamaholot di Desa Sulengwaseng, Kecamatan Solor Selatan, Flores Timur Benediktus Belang Niron* Badan Diklat Provinsi NTT

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Penelitian ini merupakan suatu kajian terhadap kearifan lokal yang dimiliki oleh Masyarakat Etnik Lamaholot di Desa Sulengwaseng, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur yang berjudul Upacara Adat Lepa Bura (UALB) yang dikaji dalam perspektif budaya. Permasalahan yang dimunculkan pada penelitian ini meliputi tiga aspek, yaitu aspek (1) bentuk, (2) fungsi, dan (3) makna UALB.

Dikirim 28 April 2016 Direvisi 29 April 2016 Diterima 16 Mei 2016 Kata Kunci: Upacara Adat Lepa Bura Etnik Lamaholot Flores Timur

Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mengkaji Kearifan-kearifan Lokal Masyarakat Desa Sulengwaseng sebagai suatu kekuatan budaya lokal untuk mempertahankan ataupun melestarikan Budaya Masyarakat Etnik Lamaholot yang ada di Desa Sulengwaseng secara aktif, selektif, dan adaptif. Dalam konteks ini, UALB mengandung kearifan lokal seperti media integrasi antar warga dengan warga, warga dengan lingkungan alam, warga dengan roh leluhur dan maha pencipta. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) teori Religi, (2) teori Konflik, (3) teori Fungsional Struktural, (4) teori Simbol. © 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Upacara adat adalah bagian dari wujud kearifan lokal yang diartikan menurut Hobsbown (1983) sebagai perangkat praktik yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang diterima secara jelas atau samar-samar maupun suatu ritual atau sifat simbolik yang ingin menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan, yang secara otomatis mengimplikasikan adanya kesinambungan dengan masa lalu (Purna, 2004:1). Kearifan lokal pada dasarnya adalah bagian dari kebudayaan yang berperan penting dalam kebudayaankebudayaan nusantara. Dalam sistem dan kebudayaan Indonesia yang multi etnis, dijumpai keragaman upacara adat yang hingga kini masih berakar kuat dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Salah satu upacara adat yang masih tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya adalah Upacara Adat Lepa bura (selanjutnya akan ditulis UALB) yang ada pada masyarakat di Desa Sulengwaseng, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur. ∗ Peneliti koresponden: Stikes Nusantara Kupang. Jl. Eltari No. 21 Kupang NTT Mobile: +6281338649262 Email: benediktusniron@yahoo.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Kearifan budaya lokal hendaknya dapat menjadikan bangsa Indonesia pada setiap lokal dan regional menyadari lebih mendalam peran identitas budaya lokal, regional, nasional dan global dalam kehidupan kemajemukkan, yang menghayati persatuan dan kemanusiaan (Laporan Hasil Temu Regional kebudayaan-http:/www.google/pdf, 28-29 2002:14). Kelompok Etnis Lamaholot pada umumnya dan Masyarakat Sulengwaseng khususnya, sampai abad ke-16 menganut kepercayaan tradisi berupa pemujaan terhadap ‘Wujud Tertinggi’ yaitu ‘Lera Wulan Tana Ekan’ dan penghormatan kepada para leluhur (kewokot). Lera Wulan Tana Ekan (lera’matahari’; wulan ‘bulan’; tana ‘tanah’; ekan ‘alam semesta’) dimaknai sebagai ‘Tuhan Langit dan Bumi’ dan kewokot diyakini sebagai pengantara ketika manusia melakukan hubungan secara transedental kepada Lera Wulan Tana Ekan (Vatter, 1984:101). Setelah pertengahan abad ke-16, Masyarakat Etnis Lamaholot umumnya dan Masyarakat Sulengwaseng khususnya, menganut kepercayaan baru berupa agama agama modern, yaitu Agama Katolik (Vatter, 1984:24).

99


Benediktus Belang Niron

Upacara Adat Lepa Bura pada Masyarakat Lamaholot….

Masuknya Agama Katolik menyebabkan perubahan dan menimbulkan konflik. Perubahan pada tataran ide (yang bersifat ideologis) berupa keyakinan bukanlah hal yang secara mudah terjadi.

kebenaran yang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain (NonKatolik) adalah kebenaran yang tidak benar, seperti percaya akan kebenaran Batu Mezba (nuba nara), dan kepercayaan akan adanya leluhur (kewokot).

Karena itu, perubahan seperti ini, diwarnai konflik karena penerima tidak hanya belum siap, bahkan tidak siap menerima perubahan keyakinannya yang sungguhsungguh sudah berakar.

Dalam tataran praktis, sesuai dengan kasus pengelompokan Masyarakat Etnik Lamaholot di Desa Sulengwaseng yang menganut dua keyakinan yaitu Agama Katolik (gereja) dan agama tradisi (adat), pihak gereja bersikap toleransi dalam artian membiarkan adat tersebut berkembang, tetapi secara iman ada masalah karena gereja membiarkan manusia atau umatnya untuk menjauh dari Kristus. Satu kepala dua agama, dalam ajaran agama Katolik tidak mengakuinya.

Konflik yang tampak pada Msyarakat Desa Sulengwaseng berwujud pada munculnya kelompok masyarakat pascamasuknya agama, yaitu (1) kelompok orang yang menerima Agama Katolik dan meninggalkan adat, (2) kelompok orang yang menerima Agama Katolik tetapi tidak meninggalkan adat, (3) kelompok orang yang menolak agama Katolik dan tetap memegang teguh adat sebagai keyakinan lokal atau keyakinan tradisi. Pada awal perubahan itu terjadi, kelompok yang menolak Agama Katolik dan tetap memegang teguh pada adat (kelompok ketiga) dipandang sebagai kelompok “konservatif“ dan dianggap kafir oleh institusi keagamaan. Sebaliknya, kelompok yang menerima Agama Katolik dan meninggalkan adat (kelompok pertama) dianggap tidak beradat ( dalam Bahasa Lamaholot ; adate take; ‘tidak ada adat/ tidak tahu adat ). Berdasarkan hasil wawancara yang kami peroleh dari informan kunci (P.Laurensius Useng, SVD) sebagai seorang pastor senior atau Rohaniwan Agama Katolik menjelaskan bahwa, sebelum Konsili Vatikan II, gereja berpendapat ‘Extra Exclesiam Nula Salus’ yang berarti bahwa tidak ada keselamatan juga bagi para penganut agama primitif. Oleh sebab itu para nabi atau Pewarta Agama Katolik pada saat itu bersikap dan bertindak sangat destruktif terhadap keberadaan penganut agama tradisi atau agama lokal. Situasi ini berlangsung lebih 300 tahun, khususnya di Indonesia Bagian Timur. Hal ini membawa dampak negatif kepada keberadaan agama primitif antara lain gereja dengan sengaja melenyapkan tradisi upacara adat, membolehkan hubungan perkawinan dalam suku di atas empat lapis kekerabatan dengan dasar hukum gereja yaitu hukum cinta kasih. Dengan melihat kondisi seperti ini, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa kehadiran agama Katolik (gereja) dianggap sebagai penjajah kultural karena meruntuhkan budaya-budaya lokal yang ada dalam kehidupan masyarakat dan membangun Budaya-budaya Kristen.

Dalam refleksi para teolog moderat bahwa dalam upacara adat, masyarakat juga mengakui adanya Tuhan, tetapi hal tersebut hanyalah sebuah tafsiran semu dan pihak gereja tidak mengakui akan hal tersebut. 2. Diskusi UALB merupakan suatu peristiwa sakral. Pelaksanaannya selama tiga hari, dan melalui beberapa tahap yaitu (1) tahap pembukaan (Upacara Adat Eka mi’in, Bua lamak, dan Upacara Adat Bao lolon), (2) tahap inti (Upacara Adat Tarian Lepa bura, (3) tahap penutup (Upacara Adat Reka uwa). Pada tahap awal, ditandai dengan kegiatan masa pantangan (Eka mi;in) yang dijalankan oleh peseta penari (kebarek raen) yang merupakan reperesentatif dari semua suku dan keluarga yang ada di Desa Sulengwaseng. Masa pantangan dimulai sejak turun hujan pertama kalinya di bumi dan akan berakhir pada pelaksanaan UALB dalam rangkaian upacara adat makan siri (Reka Uwa). Dalam upacara adat makan bersama (Bua Lamak), ditandai dengan makan makanan dari hasil panen yang baru. Sebelum Upacara Adat Bua Lamak dilaksanakan, didahului dengan Upacara Adat Bao Lolon yaitu memberi sesajian kepada Lera Wulan Tana Ekan dan kewokot sebagai tanda mengintensifkan rasa solidaritas dengan wujud tertinggi. Pada tahap inti terdiri dari tiga komponen upacara yaitu (1) awal, (2) puncak, dan (3) akhir. Pada komponen awal diadakan upacara Leta Nenan. Upacara Leta Nenan memiliki maksud untuk meminta kekuatan dari Lera Wulan Tana Ekan dan kewokot agar pelaksanaan Upacara Tarian Lepa Bura dan upacara lainnya dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam refleksi gereja bahwa kebenaran yang dimilikinya adalah kebenaran satu-satunya atau tunggal, sedangkan Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

100


Benediktus Belang Niron

Pada komponen puncak diadakan kegiatan Tarian Lepa bura yang dimulai jam 07.00 pagi sampai dengan jam 07.00 besok pagi (24 jam). Dalam upacara ini diceritakan tentang kisah perjalanan para leluhur Suku Krowin dari Kabupaten Sikka Paga menuju kabupaten Flores Timur-Desa Sulengwaseng dan Kisah Kehidupan Para kebarek raen baik suka maupun duka yang dialami selama hidupnya dan pada komponen akhir diadakan Upacara Puji Plewan. Upacara Puji Plewan memiliki maksud memanjatkan upacara syukuran kepada Lera Wulan Tana Ekan dan kewokot atas penyertaan dalam acara Tarian Lepa Bura. Tahap penutup (Upacara Adat Reka Uwa) ditandai dengan perjamuan makan penutup sebagai simbol berakhirnya masa pantangan bagi peserta kaberek raen. 3.Sistem Kepercayaan Kristianitas, khususnya Katolik sudah dikenal Penduduk Masyarakat Desa Sulengwaseng sejak pertengahan abad 16. Tahun 1556 Bangsa Portugis tiba pertama kali di Pulau Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat Misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Sejak itulah kebanyakan penduduk di Pulau Solor mulai mengenal Kristianitas Agama Katolik. Meskipun kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, namun dalam sikap, perilaku, dan mental masih tampak pemikiran yang bersifat mistis. Pemikiran yang bersifat mistis adalah sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau dewa kesuburan seperti yang dipentaskan dalam mitologi (Tukan, 2000:84). Pola atau cara berpikir yang mistis tersebut menunjukkan sifat sederhana yang masih cukup kental dalam kehidupan masyarakat. Sifat sederhana tersebut berupa melakukan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan kekuatan supranatural/adikodrati yang harus dihormati. Pengakuan terhadap kekuatan supernatural/adikodrati berwujud pada penyerahan diri secara total kepada kekuatan supernatural tersebut. Koentjaraningrat (1997:144) berpendapat bahwa religi merupakan bagian dari kebudayaan dan mempunyai empat komponen yaitu (1) emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersifat religius, (2) sistem keyakinan yang mengandung keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supernatural) serta segala norma, nilai, dan ajaran religi yang bersangkutan, (3) sistem ritus dan upacara merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan tuhan, dewa, atau makhluk halus yang mendiami alam gaib, dan (4) umat Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Upacara Adat Lepa Bura pada Masyarakat Lamaholot‌.

atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan ritus tersebut. Kepercayaan yang dianut oleh Masyarakat Lamaholot dan Masyarakat Desa Sulengwaseng pada khususnya, berbeda dengan agama. Kepercayaan yang dianut itu juga merupakan bagian dari budaya masyarakat yang melekat dengan adat istiadat masyarakat setempat. Kepercayaan lokal atau kepercayaan tradisi dalam Masyarakat Lamaholot umumnya dan Masyarakat Desa Sulengwaseng khususnya, mempunyai beberapa variasi namun dapat ditemukan persamaannya. Kaum ilmuwan dalam Bidang Biologi yang mendalami evolusi, para evolusionis umumnya memandang animisme sebagai prototipe atau cikal bakal munculnya agama. Animisme, sebagaimana digunakan dan dimengerti E. B. Tylor adalah suatu sistem kepercayaan dalam artian manusia religius beranggapan bahwa manusia, semua makhluk hidup dan benda mati memiliki jiwa (Dhavamony, 1995: 66). Sebagai suatu bentuk religi awal, yang untuk sebagian besar tampaknya masih dihayati oleh kelompok-kelompok etnis di berbagai belahan dunia, adalah kepercayaan dan praktik berkenaan dengan leluhur, termasuk pada Kelompok Masyarakat Lamholot yang ada di Desa Sulengwaseng. Bentuk pemujaan leluhur ini mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal, khususnya dalam hubungan kekeluargaan, sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif dan bisa ikut campur tangan dalam kehidupan manusia (Dhavamony, 1995: 79). Dengan demikian, manusia perlu mengenangkan atau mengembangkan kesejahteraan leluhur yang telah meninggal. Manusia tradisional pada umumnya melaksanakan kegiatan-kegiatan kultisnya dengan maksud mencapai suatu tujuan tertentu atau berpamrih. Mereka senantiasa memiliki alasan untuk pembenaran suatu pemujaan, misalnya untuk mencegah kemandulan wanita, menjamin kesuburan ladang, memastikan hujan yang cukup, dan sebagainya (Dhavamony, 1995: 54). Inilah bentuk ibadah magi. Sementara itu, bentuk-bentuk sejati dari agama dapat terjadi tanpa suatu keharusan untuk bersama dengan magi. Adapun kepercayaan lokal atau kepercayaan tradisi tersebut adalah sebagai berikut. (1) Lera Wulan Tana Ekan Masyarakat Desa Sulengwaseng secara tradisional tidak mengenal istilah Tuhan atau Allah. Walaupun tidak 101


Benediktus Belang Niron

mengenal istilah istilah tersebut tidak berarti Masyarakat Desa Sulengwaseng tidak mengenal atau tidak percaya pada tuhan. Tuhan sebagai suatu ‘Wujud Tertinggi’ yang menunjukkan kebesaran dan kemahakuasaan-Nya disapa dengan Lera Wulan Tana Ekan. Terjemahan secara harafiahnya adalah ‘matahari bulan-tanah lingkungan/bumi’ (lera ‘matahari’, wulan ‘bulan’, tana ‘tanah’ ekan ‘lingkungan/bumi). Bila diterjemahkan secara bebas Lera Wulan Tana Ekan berarti ‘langit dan bumi’.

Upacara Adat Lepa Bura pada Masyarakat Lamaholot….

(4) Lewotana Lewotana atau kampung halaman bagi Masyarakat Lamaholot, khususnya di Desa Sulengwaseng dianggap mempunyai kekuatan sakti dan ampuh. Kekuatan lewotana itu berasal dari kekuatan nenek moyang/para leluhur dan kekuatan alami yang secara bersama-sama menjadi suatu kekuatan yang ampuh yang disebut dengan ike kwa at. Oleh sebab itu, setiap lewotana dianggap noon ike kwa at (ada kekuatan sakti).

Tuhan yang mempunyai kebesaran dan kekuasaan-Nya tak terhingga itu tidak disebutkan namanya tetapi hanya disebut hasil ciptaannya yaitu Lera Wulan Tana Ekan atau langit dan bumi. (2) Kewokot Kekuatan supernatural yang lain adalah kewokot. Kewokot adalah jiwa-jiwa leluhur yang sudah meninggal. Para leluhur atau roh suci orang yang telah meninggal dunia sebenarnya hanya berpindah tempat, mereka tetap berada di dekat orang-orang yang masih hidup dan selalu menyertai setiap gerak langkah hidup mereka. Kewokot juga bertindak sebagai pengantara manusia pada waktu manusia ingin berkomunikasi secara transedental dengan Lera Wulan Tana Ekan. Di samping itu juga sebagai penjaga aturan adat yang ada, memberikan berkat, serta rezeki kepada orang yang ditinggalkannya. Oleh sebab itu, setiap hari raya atau upacara adat para kewokot selalu diberi makan atau minuman terlebih dahulu (Bao lolon) (Arndt, 2003:97). Masyarakat Sulengwaseng selalu meminta pertolongan dan menghormati mereka dengan persembahan, agar dapat memperoleh hasil ladang, keberuntungan pada saat berburu dan menangkap ikan. Kewokot yang diminta bantuan waktu berburu, ialah mereka yang dalam hidupnya adalah pemburu-pemburu yang tangkas. (3) Nitun Nitun merupakan makhluk halus yang menguasai laut, daratan, hutan. Biasanya Nitun ini bertempat tinggal di pohon-pohon yang besar atau batu-batu yang besar sebagai penunggu atau penjaganya. Roh-roh halus diyakini ikut menentukan hidup manusia di alam semesta ini sehingga dalam upacara adat para Nitun juga disebut dan diberikan sesajian agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Nitun dalam pandangan masyarakat Sulengwaseng, memiliki rupa seperti manusia, tetapi memiliki enam jari tangan dan enam jari kaki, dan memiliki ekor yang panjang seperti binatang kera. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Citra 1. Para Penari (Kebarek Raen) sedang berdoa kepada LeraWulan Tana Ekan dan Kewokot atas rahmat dan penyertaaan yang mereka peroleh

Tahapan Upacara Awal - Upacara Leta nenan Yang dimaksudkan dengan Upacara Leta Nenan adalah upacara memohon penyertaan dan kekuatan dari Lera Wulan Tana Ekan dan kewokot. Upacara ini dilakukan di dalam koke bale dan biasanya dipandu oleh kabelen suku ekan Krowin (Ketua Suku Krowin). Adapun tujuan dari Upacara Leta Nenan tersebut yaitu untuk memohon penyertaan dari Lera Wulan Tana Ekan dan kewokot agar mereka terbebas dari segala macam rintangan dalam pelaksanaan upacara tarian Lepa bura tersebut. Sarana Upacara Sementara peserta upacara yang lainnya menyiapkan semua sarana upacara, seperti, menyiapkan makanan untuk peserta Penari (kebarek raen) menyiapkan tempat Sirih Pinang (b’wayak) untuk setiap peserta kebarek raen, dan menyiapkan tangga jalan untuk mempersilakan para kebarek raen keluar dari Rumah Aadat (koke bale).

102


Benediktus Belang Niron

Selesai acara penumpangan tangan, peserta kebarek raen dipersilakan makan agar mendapatkan kekuatan fisik secara baik. Setelah itu peserta kebarek raen keluar dari koke bale dan menuju ke lokasi upacara tarian lepa bura yaitu namang.

Upacara Adat Lepa Bura pada Masyarakat Lamaholot‌.

Tahap Penutup Upacara Reka uwa Penyelenggaraan Upacara Reka Uwa sebagai tanda berakhirnya masa pantangan (Eka mi’in) yang dimulai sejak turunnya hujan pertama kali di bumi pada masa satu kesatuan dimulainya acara tersebut.

Puncak-Tarian Lepa Bura Setibanya di Namang, Upacara Tarian Lepa Bura pun dilangsungkan. Upacara Tarian Lepa Bura dilaksanakan pada Hari Selasa jam 07.00 pagi dan berakhir besok pagi hari Rabu jam 07.00 pagi (24 jam).

Seperti yang telah digambarkan pada bagian terdahulu bahwa para penari sebelum pelaksanaan UALB, mereka harus menjalani beberapa tahap persiapan pantangan.

Dalam pelaksanaan upacara ini, Semua Warga Masyarakat Sulengwaseng ikut terlibat langsung secara aktif di dalamnya.

Upacara ini juga sebagai sarana mengucapkan syukur kepada Lera Wulan Tana Ekan dan kewokot atas curahan hujan yang cukup dan hasil panen yang memuaskan.

Keterlibatan secara langsung tersebut diwujudnyatakan dalam bentuk kegiatan partisipasi yaitu menyiapkan segala sesuatu yang berkenaan dengan Upacara Tarian Lepa Bura seperti menyiapkan perahu (tena), menyiapkan gong dan gendang sebagai sarana musik, memperbaiki susunan batu yang ada di nuba nara untuk tempat sesajian, dan jenis kegiatan yang lainnya. Untuk menempatkan Tarian Lepa Bura dengan mengacu pada klasifikasi mengenai tarian khusus dan umum, serta formal dan informal di atas, dapat ditempatkan sebagai tarian khusus atau umum atau formal dan informal, tergantung dalam situasi dan konteks mana Tarian Lepa Bura dipertunjukkan. Ketika dipertunjukkan dalam konteks ritual atau pesta menjelang dan sesudah panen, maka dapat ditempatkan/diklasifikasikan ke dalam tarian khusus, sebaliknya jika tarian Lepa Bura dipentaskan dalam konteks festival seni, hiburan, atau bahkan dipertontonkan ke luar negeri, berarti tarian Lepa Bura menjadi tarian popular yang bersifat hiburan dan sekaligus menjadi identitas Etnis Masyarakat Lamaholot di Desa Sulengwaseng. Seni pertunjukan melibatkan banyak elemen yang masing-masing memiliki peran yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya serta sangat menentukan sebagai keutuhan seni pertunjukan. Elemen atau aspek itu antara lain peserta penari (kebarek raen), lokasi upacara, sarana, gerak tari dan tuturan ritual.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Fungsi Upacara Adat Lepa Bura Fungsi Permohonan Fungsi permohonan berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan dan panen (Taum, 2004:17). Fungsi permohonan dalam UALB, khususnya pada peristiwa Upacara Reka Uwa sebagaimana yang dimaksudkan dalam studi ini, terfokus pada keinginan Masyarakat Desa Sulengwaseng akan curah hujan dan hasil panen yang memuaskan dari Lera Wulan Tana Ekan dan leluhur sebagai kekuatan supernatural yang mengatur kehidupan manusia. Fungsi Solidaritas Kebudayaan Masyarakat Etnis Lamaholot umumnya dan yang ada di Sulengwaseng khususnya, adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari interpretasi manusia pendukungnya dalam menjawab persoalan-persoalan kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, tata hubungan manusia dengan sesama manusia, dan tata hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Masyarakat Etnis Lamaholot yang ada di Desa Sulengwaseng meyakini bahwa tuhan itu ada. Dia yang menciptakan alam semesta dan seisinya, baik yang terindera maupun yang tidak terindera. Semuanya ini dilengkapinya dengan kerangka eksistensi saling ketergantungan antara berbagai jenis, corak, ragam, jenis, ukuran, tingkat, bentuk dan rupa, sifat dan watak ciptaannya itu, sehinngga keseluruhan eksistensi di alam semesta ini berbentuk menjadi

103


Benediktus Belang Niron

Upacara Adat Lepa Bura pada Masyarakat Lamaholot‌.

dinamika relasi saling butuh, yang merupakan energi penggerak bagi terjadinya interaksi saling memberi.

maka muncullah budaya pertanian yang selalu dibuat dalam bentuk upacara-upacara adat.

Oleh karena itu tuhan-lah pusat segalanya. Kesadaran inilah yang menjadi dasar Filosofis Kebudayaan Manusia Lamaholot yang ada di Desa Sulengwaseng yang holistik dan integralistik.

Dalam proses bertani masyarakat masih tetap memerhatikan kegiatan upacara adat yang harus dilakukan.

Fungsi Keagamaan Dalam pelaksanaan UALB terdapat sejumlah fenomena kebudayaan yang menggambarkan pemahaman mengenai Keagamaan Asli Masyarakat Desa Sulengwaseng tentang eksistensi Lera Wulan Tana Ekan dan roh leluhur. Eksistensi tentang Lera Wulan Tanah Ekan dan roh leluhur (kewokot) diwujudkan dalam bentuk verbal dan nonverbal. Persembahan yang diwujudkan dalam bentuk verbal, sebagai sebuah bentuk tindakan keagamaan dapat dilihat secara jelas dalam upacara Bao lolon yaitu pada saat proses memberi makan kepada Lera Wula Tana Ekan dan leluhur (kewokot) dengan bahan persembahan berupa nasi, ikan atau daging, tuak, arak, dan sirih pinang. Selain persembahan diberikan kepada Lera Wulan Tana Ekan dan leluhur (kewokot), juga dipersembahkan kepada makhluk halus (nitun pudu) yang diyakini ikut berperan dalam kehidupan manusia. Semuanya dilakukan oleh manusia agar apa yang diinginkan seperti ketenteraman hidup, dan kerukunan hidup dapat terwujud dengan baik.

4. Konklusi Makna Upacara Adat Lepa Bura Makna Kesuburan Masyarakat Etnik Lamaholot di Desa Sulengwaseng sebagian besar menjadi petani karena lingkungannya memang memberikan peluang untuk hidup dengan cara mengolah tanah menjadi pertanian. Model budaya yang sangat kuat adalah model budaya pertanian selalu dihubungkan dengan budaya mereka. Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa lingkungan alam memberikan pengaruh kuat terhadap sikap, perilaku dan pola pikir masyarakat di Desa Sulengwaseng.

Dari kegiatan upacara adat tersebut, memiliki maknamakna tertentu dalam kehidupan masyarakat. Setiap kegiatan pertanian biasanya dilakukan dengan ritual atau upacara adat yang selalu diawali dengan doa menurut kepercayaan tradisional masyarakat. Makna Religio-Magis Agama membentuk suatu perspektif bagi manusia untuk menafsirkan seluruh kejadian yang dialami setiap saat. Manusia yang mempercayai dan menghayati ajaran suatu agama akan memperoleh kerangka acuan untuk memberi makna kejadian yang dialami sepanjang hidupnya. Agama juga memberikan makna tentang hakikat kenyataan, sekaligus dorongan manusia untuk berbuat ke arah yang seharusnya dilakukan. Dalam UALB terdapat sejumlah fenomena kebudayaan yang menggambarkan pemahaman mengenai Kepercayaan Lokal Masyarakat Desa Sulengwaseng tentang eksistensi Lera Wulan Tana Ekan, dan roh leluhur. Persembahan yang diwujudkan dalam bentuk material berupa persembahan arak, tuak, sirih pinang sebagai makanan persembahan dalam upacara Bao lolon sebelum dimulainya Upacara Bua Lamak, merupakan wujud pemujaan terhadap Lera Wulan Tana Ekan dan penghormatan terhadap leluhur. Masyarakat Sulengwaeng selalu merasa dekat dengan Lera Wulan Tana Ekan dan leluhurnya karena mereka percaya akan mendapatkan perlindungan dan berkat yang berlimpah dalam kehidupannya. Hal ini merupakan inti ajaran yang membingkai bentuk iman dan keyakinan tradisional masyarakat di Desa Sulengwaseng. Leluhur bagi Masyarakat Sulengwaseng merupakan media penghubung dalam berkomunikasi secara transedental (doa) antara manusia dengan Lera Wulan Tana Ekan.

Keadaan alam (tanah) di Desa Sulengwaseng yang tidak subur ikut memengaruhi/membentuk sikap, perilaku, dan pola pikir masyarakat. Dengan demikian Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

104


Benediktus Belang Niron

Upacara Adat Lepa Bura pada Masyarakat Lamaholot….

Citra 2. Masyarakat Lamaholot dalam suatu acara.

Makna Harmoni Kehidupan Dalam konteks penelitian ini, makna harmoni kehidupan mengacuh pada nilai-nilai budaya yang merupakan pedoman, pengajaran, dan falsafah dalam menata pola laku masyarakat, sehingga pada akhirnya keharmonisan kehidupan dapat tercapai. UALB sebagai suatu warisan leluhur ditanggapi sebagai sesuatu yang bermakna pencapaian keharmonisan kehidupan dalam Masyarakat Desa Sulengwaseng pada umumnya baik secara material maupun spiritual. Kaum perempuan dapat meneladani apa yang dilakukan para pendahulunya baik dalam hal religi, historis, adat, sosiologis. Lebih jauh sebagai makna harmoni kehidupan manusia belajar mengenal diri sendiri. Referensi [1] [2]

[3] [4] [5]

[6]

[7] [8]

Liliweri, A.2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: pustaka Pelajar Tantra, D. Komang. 2003. Filsafat Fenomenologis Dalam Penelitian Kualitatif. Makalah Matrikulasi S2 Kajian Budaya .Denpasar: Universitas Udayana. Taum. Y.Y. 2010. Rasa Religiositas Orang Flores. Makalah Sarasehan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta. Available from : http/www.google.com. …………….2012. Tradisi Fua :Ritus dan Mitos Agraris Masyarakat Dawan Di Timor. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta. Available From: http/www.google.com/pdf. Sangga, F. 2010. Kearifan Dan Budaya Lokal Sebagai Pilar Pembangunan Otonomi daerah (Sebuah Konsep Menuju Desain Monumen-Budaya Etnis Lamaholot Sebagai Pedoman Pembangunan Otonomi Daerah Di Flores Timur). Makalah Pertemuan Forum Keluarga Lamaholot-Flores Timur, Kupang, April 2010 Ola,S.S. 2004. Tuturan Ritual Dalam Konteks Perubahan Budaya Kelompok Etnik Lamaholot Di Pulau Adonara Timur (disertase).Denpasar :Universitas Udayana Peursen, C. A. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius Ritzer, G. 2000. Sosiologi Ilmu Pengetahuan beerparadigma Ganda. Jakarta :PT Grafino.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

105


I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan

Tato dalam Seni dan Pariwisata di Bali Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2: 106-109

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Tato dalam Seni dan Pariwisata di Bali I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan* STMIK STIKOM Indonesia

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 13 Mei 2016 Direvisi 15 Mei 2016 Diterima 21 Mei 2016 Kata Kunci: Tato Seni

Abstrak Pariwisata di Bali sangat mengandalkan sajian seni dan budaya selain dari pada wisata alam serta wisata spiritual, dalam hal ini seni memiliki tempat dan pasar tersendiri bagi Pariwisata Bali. Pengemasannya, seni dan pariwisata di Bali kebanyakan lebih mengarah pada seni pertunjukan, seni lukis, patung serta seni kerajinannya dan sejenisnya. Pada sisi lain, dalam globalisasi saat ini, seni tato juga dapat dikatakan sebagai satu daya tarik dalam pariwisata. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya studio-studio tato di sekitar tempat-tempat pariwisata yang strategis. Selain dari pada Budaya asli Indonesia, tato juga masuk sebagai mata pencaharian yang sangat menjanjikan dalam pariwisata. Banyak pemberitaan yang menjelaskan bahwa tato di Bali menjadi incaran wisatawan-wisatawan asing yang berkunjung ke Bali.

Pariwisata Budaya Bali

Sisi lainnya masih saja ada stigma negatif tentang tato, walau tato itu dapat memberikan penghasilan yang lumayan dalam usaha terkait pariwisata. Dalam beberapa kesempatan, seniman tato yang memiliki wilayah strategis dalam pasar pariwisata menyebutkan penggemar tato dari manca negara bahkan rela datang hanya untuk bertato. Mungkin hal ini perlu untuk di kaji lebih dalam, tentang fenomena yang menyelimuti tato dalam kaitan seni dan pariwisata di Bali Š 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Pariwisata di Bali sangat erat hubungannya dengan budaya, dan budaya itu sendiri berhubungan erat pula dengan perkembangan seni. Hal tersebut bisa dikatakan bahwa pariwisata di Bali masih sangat mengandalkan unsur-unsur seni budaya selain menawarkan keindahan alam Bali dalam menarik wisatawan. Perkembangan pariwisata saat ini dan kedatangan waisatawan yang silih berganti, Bali secara tidak langsung diperkenalkan juga budaya negara lain oleh masyarakat dunia yang berkunjung ke Bali dan budaya tersebut membaur dengan budaya lokal. Pembauran budaya ini pun berpengaruh pada kemasan seni yang diciptakan untuk sajian pariwisata.

Begitu pula dengan seni lukis pada gallery-gallery seni yang tersebar pada daerah tersebut, memiliki tempat dan pasar tersendiri dalam pariwisata. Pada sisi lain, ada salah satu bentuk seni, memiliki pasar serta penggemar fanatik yang tidak kalah dengan fenomena seni yang lainnya. Seni tato adalah bagian budaya yang kini bisa dikatakan sebagai budaya urban saat ini. Pada belahan dunia ini, beberapa negara memiliki budaya tato dengan ke khasannya masing masing seperti Jepang, Selandia Baru, Hawai, Thailand, beberapa di Afrika dan Kepulauan Pasifik. Hal Ini menunjukkan bahwa tato sudah ada sejak lama dan diwariskan secara turun temurun. Indonesia juga memiliki budaya tato seperti Tato Khas Dayak dan Mentawai yang kesohor dan masih dapat kita lihat eksistensinya walau dalam ancaman kepunahan.

Seni dan pariwisata di Bali pada umumnya masih mengandalkan seni pertujukkan sebagai ikon dan andalan. Banyak sekali tempat-tempat wisata yang memberikan suguhan tersebut misalnya di sepanjang Desa Batubulan, Ubud dan sekitarnya, dengan pertujukan Tari Kecak, Legong, Sanghyang, Barong dan sebagainya.

∗ Peneliti koresponden: anomdesign@gmail.com, Jl. Dewi Sri No. 7 Batubulan, Gianyar Telp. +6281999237169

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Citra 1: Proses tato Mentawai dan motif tato Dayak. Sumber: antara-sumbar.com

106


Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali

I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan

Kalau kita renungkan bersama, ini merupakan Warisan Budaya Asli Indonesia. Ini dapat dijadikan daya tarik wisata dalam hal seni budaya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya studio-studio tato di daerah-daerah pariwisata seperti Kuta, Ubud, Batubulan dan daerah pariwisata lainnya yang strategis. Tidak hanya tato yang bersifat permanen, tapi juga yang bersifat temporary juga sangat diminati. Tato temporary di Bali sampai saat ini masih terlihat tidak se-ekslusif tato permanen dengan peralatan yang lebih sederhana. Ini banyak kita bisa lihat pada daerah-daerah untuk wisata alam seperti di Kintamani, Pantai Kuta, Tanah Lot dan banyak lagi tempat-tempat lain, karena tato jenis ini tidak memerlukan tempat khusus sehingga bisa dilakukan prosesnya untuk wisatawan di mana saja. Tato yang bersifat temporar ini sering tidak memerhatikan sterilitas dan resiko berkelanjutan.

Citra 2 : Tato permanen dan temporary Sumber : antarafoto.com

Eksistensi tato dalam pariwisata didukung pula oleh media cetak dan elektronik. Media cetak yang memublikasikan tato sebagai topiknya mudah didapatkan saat ini. Khususnya di Bali, Magic Ink adalah satu majalah yang mengkhususkan topik tato sebagai publikasinya sehingga informasi tentang tato di Bali dibahas banyak sebagai topiknya.

Tato dalam perjalanan yang rumit, dari hanya sekedar lambing status sosial, gaya hidup hingga saat ini menjadi penyumbang perkembangan budaya dalam pariwisata dan sekaligus sebagai mata pencaharian para seniman, . sepatutnya kita berpikir lebih positif serta bijak dalam menilai dan menerima seni tato dalam masyarakat. Kita tidak bisa memungkiri bahwa kita memiliki banyak sekali seni budaya yang dapat kita andalkan termasuk seni tato. Tergantung cara kita sebagai insan seni pada khususnya untuk melestarikan kekayaan budaya bangsa ini. 2. Telaah Pustaka

Menurut Dwi Marianto & Syamsul Barry (2000:2) kata tato dari kata tattoo, atinya adalah goresan, desain, gambar, atau lambang yang dibuat pada kulit secara permanen. Pembuatan gambar permanen pada tubuh secara garis besar yaitu: 1) retas tubuh, yaitu menggores permukaan kulit dengan benda tajam, sehingga menimbulkan luka dan ketika luka ini sembuh akan terbentuklah tonjolan pada permukaan kulit; 2) melubangi permukaan kulit dengan benda yang runcing sesuai dengan gambar yang diinginkan, lalu dari lubang itulah tinta dimasukkan kedalam permukaan kulit‌.[2] Ade Deni Setiawan yang mengamati tato di sejumlah orang yang punya tato di Yogyakarta berkesimpulan bahwa memang ada orang-orang yang membuat tato untuk memenuhi selera keindahan, namun kebanyakan tato dibuat semata mata untuk berhias, tapi banyak orang memakai medium tato untuk merealisasikan suatu ide tertentu pada tubuh mereka secara visual, sehingga konsep dibalik ide bisa diingat dengan mudah‌.[2]. Berdasarkan kutipan sebelumnya, tato merupakan proses melukai atau meretas tubuh yang merupakan suatu proses dalam mewujudkan ide dengan cara menyisipkan tinta pada kulit. Menurut Djelantik pada umumnya apa yang disebut indah dalam jiwa kita dapat menimbulkan rasa senang, rasa puas, rasa aman, rasa nyaman dan bahagia. Bila perasaan itu tambah kuat, terpaku, terharu, terpesona serta timbul keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu walaupun sudah dinikmati berkali-kali‌.[1].

Citra 3 : Majalah tato lokal yang didestribusikan secara gratis. Sumber : Majalah Magic Ink

Televisi nasional pun ikut berperan menayangkan tato sebagai pemberitaannya. Bahkan salah satu tayangan berita dengan jelas menyebutkan bahwa tato di Bali menjadi incaran wisatawan manca negara. Adanya hal tersebut, tato bisa digolongkan bagian dari sajian atau fasilitas pariwisata dan memiliki peran tersendiri.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Kalau di bahas lebih jauh, kutipan sebelumnya merupakan bisa dijadikan landasan untuk mengungkap keindahan tato, serta hal ini juga dapat memungkinkan berpengaruh pada para wisatawan dalam pengalamannya mendalami pengalaman estetis mereka pada saat melakukan perjalanannya. Keindahan juga harus didukung dengan makna-makna yang mengiringinya atau dengan kata lain karya yang indah harus 107


I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan

didukung nilai-nilai semiotik dibalik karya tersebut, karena menurut Sumbo Tinarbuko bahwa tanda sebagai unsur dasar dalam semiotika dan komunikasi adalah sesuatu yang mengandung makna. Keberadaannya melalui dua unsur yaitu penanda (bentuk) dan petanda (makna). Karya yang dijadikan obyek kajian setelah ditafsirkan dengan tanda verbal dan tanda visual, maka diklasifikasikan berdasarkan kombinasi antara tanda, kode dan makna….[4]. Keindahan yang menjadi elemen dalam tato, memiliki kandungan fenomena dalam pariwisata terkait seni. Perkembangan pola pikir masyarakat saat ini tentang penilaian negatif tato, mulai pudar sedikit demi sedikit. Hasil pengamatan penulis, saat ini tato lebih cenderung mengarah ke tren gaya hidup. Perkembangan ini dapat dilihat dari menjamurnya studiostudio tato di kawasan pariwisata. Faktor lain yang mendukung adalah mulai munculnya keberanian kaum hawa untuk meng-ekspresikan diri dengan tato dari berbagai jenis gaya tato sampai pada penempatannya. Bahkan banyak juga muncul jasa tato untuk kecantikan contohnya adalah tato alis, bibir dan lainnya yang mendukung penampilan. Estetika atau keindahan wujud tato sangat tergantung dari desain tato itu sendiri dan penempatannya selain hal penting seperti makna dari tato yang diaplikasikan tersebut. Tinjauan sumber yang lain dari Liputan6 segmen gaya hidup yang diunggah tanggal 22 Agustus 2010 memberitakan tentang kontes tato di Kuta, mendatangkan seniman tato dari dalam negeri. Segmen ini mengungkap apresiasi dan adu kreativitas seni tato ini dapat memberikan daya tarik bagi pariwisata lokal dan mengurangi stigma negatif dari tato itu sendiri. Dari Liputan6 pagi, memberitakan bahwa “Meski harganya mahal, seni menggambar tubuh bergaya Bali banyak diminati wisatawan asing. Bagi turis, tato bergambar barong atau boma merupakan cinderamata abadi setelah berlibur ke Bali”.…[5]

Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali

3. Metode Guna memperoleh data, maka pengumpulan berdasarkan wawancara pada beberapa seniman tato, Redaksi Majalah Magic Ink, sumber pustaka terkait dan dokumentasi menjadi . bagian penting terkait dengan topik. Data-data awal sebagai landasan teori dipergunakan untuk menganalisa data-data yang diperoleh berdasarkan informasi dari berbagai sumber yang ditemui untuk mendapatkan kesimpulan  Observasi dilakukan guna mengenal, memahami dan mengekplorasi dari segi tempat dan sumber data yaitu informan yang akan dihadapi.  Penelitian kepustakaan dilakukan untuk menganalisa dan mempelajari teori yang berkaitan dengan tato dalam Pariwisata Bali.  Data audio dan visual dikumpulkan dengan intrumentasi yang tepat, efektif dan efisien, lalu dikumpulkan dan diinventariskan sebagai dokumen digital. 4. Diskusi Kata memuja keindahan yang kadangkala diucapkan bila melihat sesuatu yang menakjubkan. Saat berhadapan dengan karya seni yang cukup memukau. Seni tato belakangan ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan jamannya dari rancangan serta fungsinya, tidak sekedar menjadi identitas dari kolektornya, juga sebagai fashion dan gaya hidup bahkan seni tato itu sendiri mulai bertransformasi menjadi sebentuk karya wisata di mana tanda status sosial atau ada juga yang menghubungkan dengan hal-hal ritual religius mulai terpisah. Tetapi di balik itu semua, seni tato memiliki masa-masa kelam di mana penilaian masyarakat tentang tato sangatlah negatif, seperti urakan, pemberontak, suatu ketidak beraturan dan erat hubungannya dengan premanisme serta kriminalitas. Tidak bisa dipungkiri semua opini tersebut sebagian besar memang benar adanya bila hal tersebut dilihat dari kacamata orang awam, namun dalam perkembangannya saat ini penilaian tersebut sudah mulai pudar yang mungkin dipengaruhi oleh perubahan pola pikir, kebiasaan dan keadaan masyarakat saat ini. Perubahan pola pikir inilah yang sangat berpengaruh pada transformasi budaya di mana tato mulai bisa diterima dalam masyarakat, bukan sebagai kaum residifis atau hal negatif lainnya, tetapi lebih kepada penikmat atau penggemar seni tato itu sendiri.

Gambar 4 : Beberapa tato bernuansa Bali Sumber : http://beautifulltattoz.blogspot.com Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Terlepas dari itu arti sebuah tato memiliki makna yang dalam baik dari pemakainya maupun dari senimannya dan karya tato khususnya di Bali berfungsi sebagai mata pencaharian yang menjanjikan. Hal ini bisa terlihat dari 108


Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali

I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan

menjamurnya studio-studio tato di Daerah Wisata Kuta, Ubud, Batubulan dan sekitarnya. Dari pengamatan penulis, banyak dari seniman tato di Bali menerima konsumen asing yang memiliki rekomendasi dari sesama pencinta tato lainnya di negara bersangkutan untuk bertato di Bali dan ada juga yang memang memiliki tujuan utama ke Bali untuk bertato di Bali selain menikmati budaya dan alam Bali. Hal ini, secara tidak langsung tato di Bali merupakan wujud atau jenis karya seni wisata dan hal ini perlu kita cermati dan dikaji bersama dalam pengaruhnya dalam seni dan pariwisata. Tentang halnya tato, penilaiannya masih beraneka ragam. Pada umumnya masyarakat masih menilai tato menyeramkan karena erat hubungannya dengan tindakan kriminalitas. Padahal, tato itu lebih awal dikenal sebagai nilai seni dan kecantikan atau simbol ritual, kepercayaan, ketimbang sebagai simbol kriminal. Nilai buruk dalam praktek tato di sebut sebagai pelaku kriminal di Eropa dan Jepang di masa lalu‌. [4] Namun dalam perkembangan tato saat ini, tato berubah sebagai pelengkap gaya hidup baik itu tato yang bersifat temporary atau permanen seumur hidup yang merupakan karya abadi. Fenomena lain tentang tato, pada era 80-an banyak yang ketakutan dan menghindari tato karena pengaruh kondisi keamanan Negara, kejadian ini dikenal sebagai “PETRUS (penembakan misterius)â€?‌.[4] Berbeda dengan saat ini, penikmat tato bukan saja dari kaum laki laki namun juga dari kaum perempuan. Dari beberapa wawancara penulis ke beberapa seniman dan penikmat atau pemakai tato, bahkan kaum hawa ini lebih cepat kecanduan dan lebih tahan terhadap proses tato itu sendiri akan tetapi hal itu masih ditutupi. Pengartian tersebut bisa dikatakan perubahan pola pikir negatif masyarakat tentang tato.

5. Konklusi Seni tato merupakan salah satu cabang seni yang dapat diandalkan sebagai bagian dalam industri pariwisata selain daripada sughan seni pariwisata yang lain.

.

Seni tato dalam hal ini memberikan suatu daya tarik yang unik dalam proses pengalaman estetis. Eksistensi dari seni tato mulai terlihat dan berkembang atas dukungan dari media-media publikasi lokal maupun internasional. Khususnya media lokal yang memfokuskan diri pada topik tato serta pemberitaan pada berita nasional, memberikan peranan penting dalam pengenalan serta mensosialisasikan kembali seni tato pada masyarakat sebagai bagian dari budaya. Selain mengurangi stigma negatif tentang tato, hal ini juga memberikan informasi tentang eksistensi tato di Bali secara luas. Peranan dari media publikasi tentang tato yang bervariatif, mengangkat seni tato dalam Pariwisata Bali sehingga saat ini wisatawan mulai mengenal tentang Tato Bali beserta motif dan ornamennya. Berdasarkan beberapa sumber pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa Tato Bali bahkan menjadi incaran turis. Walau harga yang cukup mahal untuk beberapa centimeter saja tetapi tetap masih menjadi incaran. Ini juga membuktikan bahwa seni tato mempunyai pasar dan penikmat fanatik terutama dari wisatawan. Penilaian tentang seni tato merupakan keputusan yang relatif, tetapi tato merupakan salah satu warisan budaya dan juga merupakan bagian dari seni budaya yang merupakan andalan pariwisata. Untuk mengurangi stigma negatif, perlu dijelaskan dengan pendapat pendapat positif yang membuat eksistensi seni tato bagi penikmatnya masih bisa terwujud terutama penikmat seni tato dalam skala internasional sebagai Aset Pariwisata Bali khususnya. Referensi [1] [2] [3] [4] [5]

Djelantik, A. A. M. 2008. Estetika Sebuah Pengantar, MSPI, Jakarta. Marianto, Dwi & Syamsul Barry. 2000. Tato, Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Olong, Hatib Abdul Kadir. 2006. Tato, LKiS, Yogyakarta. Sumbo Tinarbuko. 2009. Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra, Yogyakarta. http://tv.liputan6.com, tanggal 22 Agustus 2010.

Gambar 5: Salah satu hasil karya tato seniman Bali. Sumber: AK Studio tattoo Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

109


I Made Gede Anadhi

Wisata Melukat: Perspketif Air Pada Era Kontemporer

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2: 110-114

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Wisata Melukat: Perspektif Air Pada Era Kontemporer I Made Gede Anadhi∗ Universitas Udayana

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 15 Mei 2016 Direvisi 19 Mei 2016 Diterima 25 Mei 2016

Kata Kunci: Wisata Melukat Perspektif Air Kontemporer

Abstrak Melukat yang sudah menjadi Gaya Hidup Masyarakat Bali Tradisional rupanya kembali dilirik sebagai gaya hidup baru bagi kaum metropolis. Kegiatan berbau spiritual ini rupanya dipandang mampu menjawab kedahagaan Masyarakat Kontemporer Bali akan kebutuhan hakiki hidup mereka. Ramainya kedatangan mereka pada sentra-sentra air suci berupa pancuran untuk melukat atau sekedar berekreasi ditangkap sebagai sebuah peluang usaha baru bagi desa-desa yang memiliki potensi air tersebut. Wisata melukat-pun kemudian menjadi ikon yang dipromosikan lewat berbagai media dan berproses dalam berbagai bentuk sebagai wujud komodifikasi air. Perspektif Masyarakat Bali era tradisional yang sangat mensakralkan air sebagai bagian dari setiap jenjang kehidupannya. Bahkan disetiap upacara keagamaan keberadaan air selalu menyertai sebagai suatu komponen utama yang harus ada. Zaman bergerak terus, globalisasi tidak terbendung memengaruhi berbagai Sendi Kehidupan Masyarakat Bali termasuk sisi ritual keagamaannya. Perubahan epistemologi sosial ini rupanya telah menggeser Kognitif Masyarakat Bali dari perspektif sakral menjadi profan. Air dengan segala komponen ikutannya kemudian dipandang sebagai objek yang potensial untuk dikelola sebagai komoditi. Ritual yang melibatkan air pun kemudian tidak luput dari komodifikasi. © 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved

1. Pendahuluan Air sebagai anugerah pertama dan utama dalam Pandangan Hindu mendapat tempat dan penghormatan istimewa dalam kehidupan Umat Hindu di Bali. Agama Hindu oleh Masyarakat Bali bahkan pernah disebut sebagai Agama Tirtha atau Agama Air (Paruman Pandita, 16-19 Nopember 1949) [1]; karena hampir tidak ada satu pun ritual yang diselesaikan tanpa kehadiran air, keberadaan air dipandang sangat penting dalam siklus kehidupan sekala „jasmani‟ maupun niskala „rohani‟. Teologi Hindu memandang air sangat istimewa, Wisnu merupakan salah satu Dewa Tri Murti yang menggunakan air sebagai simbol, selain api adalah Simbol Dewa Brahma dan angin adalah Simbol Dewa Siwa. Tidak ada upacara keagamaan Hindu Bali yang dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa partisipasi air dalam wujud tirtha (air suci).

Dalam Perspektif Religius Orang Bali tertanam keyakinan bahwa memelihara siklus air berarti menjaga kemakmuran kehidupan, memelihara kedamaianan hati, dan ketenteraman pikiran, sehingga air disebut tirtha panglukatan (air sebagai pembersihan), dan tirtha amrta sanjiwani (air sebagai sumber kemakmuran). Air juga sangat penting sebagai pengantar menuju kehidupan di alam setelah kematian melalui perantara tirha pengentas (air sebagai jalan menuju akhirat). Sementara itu, perkembangan zaman telah membawa paradigma baru terhadap keberadaan air. Fungsi dan makna air mengalami perubahan inheren dalam perkembangan pengetahuan dan kebutuhan manusia. Modernitas menempatkan air sebagai sumber daya alam semata, sumber daya yang wajar dieksploitasi untuk seluasluasnya bagi kebutuhan kesejahteraan hidup manusia secara langsung maupun tidak langsung. Air adalah komoditi layaknya barang dagangan yang layak jual, didistribusikan untuk dikonsumsi masyarakat.

∗ Peneliti koresponden: Program Studi Kultural, Perum. Unud No. 41, Batubulan, Gianyar, Bali, Indonesia 80582 Mobile: +6285737043377 E-mail: anadhi_jay@yahoo.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

110


I Made Gede Anadhi

Air yang semula dipahami sebagai sumber kehidupan yang sarat makna keramat sebagaimana Orang Bali memahaminya dalam bentuk tirtha dalam berbagai fungsinya, kemudian bergeser ke wilayah profan. Sekularisasi semacam ini mendorong munculnya kecenderungan perubahan Pengetahuan Orang Bali tentang air, bahwa air yang masih diyakini Masyarakat Bali bernilai keramat/suci (penglukatan, sanjiwani, pengentas dan lainlain). Air sebagai media penyembuhan atau pengobatan gangguan sakit lahir dan bathin (pelebur mala, papa, pataka, lara, rogha, dosa, leteh, letuh, wigna), ataupun fungsi kehidupan lainnya, dapat dijadikan sumber pendapatan riil, dengan menggandengkan predikat suci maupun menyehatkan yang melekat pada kata air tersebut dengan istilah profan seperti kata wisata. Gabungan kedua kata ini kemudian menjadi “wisata tirtha“ atau “wisata melukat“. Fenomena pergeseran tentang Pengetahuan dan Perlakuan Orang Bali terhadap air ini dalam Perspektif Hindu merupakan fakta yang layak ditelusuri dan diungkapkan menjadi wacana akademik, kandungan nilai paradoks dalam diskursus “wisata melukat” layak dikaji melalui pendekatan culture studies. 2. Telaah Pustaka Salah satu sub judul karya tulis I Wayan Budi Utama (2013) [2] yang berjudul Air pada Era Kontemporer: Sekularisasi Alam Batin Orang Bali, dalam buku Agama dalam Praksis Budaya, dijadikan acuan dalam penelitian ini karena dapat memberikan data sekunder untuk memperdalam jenis dan bentuk komodifikasi air sesuai dengan perkembangan Alam Batin Masyarakat Bali dan mempertajam analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini. Persamaannya, sama-sama membahas eksistensi air dalam Perspektif Masyarakat Bali sejak era tradisional sampai kontemporer. Perbedaannya, pustaka tersebut membahas dengan penekanannya dari sisi perubahan alam batin. Adapun penelitian yang penulis lakukan ini memfokuskan pada pemanfaatan air sebagai komoditas berupa wisata melukat. I Gusti Ngurah Nala (1991) dalam bukunya Usada Bali [3], mengungkapkan peran penting air dalam Agama Hindu sebagai sarana pengobatan sakit psikis dan fisik. Buku ini memberikan sumbangan pemikiran yang bersifat sekunder untuk memperdalam kajian penelitian ini. Persamaannya dengan penelitian ini adalah sama-sama mengungkap peran penting air yang diyakini sebagai sarana penyembuhan terkait dengan kegiatan melukat.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Wisata Melukat: Perspketif Air Pada Era Kontemporer

Perbedaannya terdapat pada fokus penulisan buku Usada Bali tersebut merupakan ulasan yang sangat luas terkait dengan Sistem Pengobatan Hindu, sedangkan penelitian yang penulis lakukan hanya terbatas pada kegiatan melukat yang akhirnya dilirik untuk komersilkan dalam bentuk wisata melukat. Nyoman S. Pendit (2007) dalam bukunya Filsafat Hindu Dharma, Sad Darsana, Enam Aliran Astika (Ortodoks) [4], dapat memberikan gambaran Filsafat Hindu khususnya pada sudut pandang terhadap air yang akan berguna dalam menganalisis eksistensi air pada era tradisional dan perkembangannya pada era kontemporer. Persamaannya, sama-sama mengungkap eksistensi dan perspektif air dalam Ideologi Masyarakat Hindu. Perbedaannya terdapat pada penekanan penulisan, yakni buku tersebut mengungkap secara mendalam Enam Sistem Filsafat Hindu, sedangkan penelitian ini, fokus pada perkembangan Persepsi Masyarakat Bali terhadap air yang telah dipengaruhi globalisasi. 3. Metode Penelitian ini menggunakan metode observation study atau observasi lapangan ke lokasi sumber air (suci) berupa pancoran „air pancuran‟, kelebutan „mata air‟, campuan ‘pertemuan beberapa sungai‟, dan lain-lain yang dikomodifikasi sebagai objek wisata melukat yang ada di Kabupaten Bangli. Penelitian ini temasuk qualitative study „penelitian kualitatif‟, dengan pendekatan teori komodifikasi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumen. Seluruh data diolah dengan teknik analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif. 4. Diskusi Air yang semula dipahami sebagai sumber kehidupan yang sarat makna keramat oleh Orang Bali, kini telah dilirik juga sebagai sumber ekonomi atau komoditi. Perspektif ini dapat dilihat dari eksistensi air pada era tradisioanl dan era kontemporer. 4.1 Air Era Tradisional Unsur pembentuk kehidupan ini dalam Ajaran Hindu diyakini, tersusun atas lima unsur dasar yang disebut panca maha bhuta. Penggabungan kelima unsur dasar yang terdiri dari unsur pertiwi „padat‟, apah „air‟, teja „sinar‟, bayu „angin‟, dan akasa „ruang‟, membentuk segala benda alam dan mahluk di bumi ini. Hal inilah yang kemudian mengembangkan keyakinan bahwa manusia sebagai buana alit „mikrokosmos‟ memiliki unsur yang sama dengan buana agung „makrokosmos‟.

111


I Made Gede Anadhi

Hal tersebut secara mendalam diulas dalam sistem filsafat Hindu, khusus tentang eksistensi air, pada sistem Sankhya dan Yoga menjelaskan bahwa air adalah salah satu unsur panca maha bhuta, sebagai azas bendani pembentuk alam semesta beserta isinya.

Wisata Melukat: Perspketif Air Pada Era Kontemporer

4.2 Air Era Kontemporer Kehidupan sosial modern tidak memberikan kesempatan untuk itu, sehingga apa yang dipandang baik dan benar dalam masyarakat tradisional, perlahan-lahan tetapi pasti juga mengalami pergeseran.

Demikian juga sistem Nyaya dan Waisesika menyatakan hal yang sama, bahwa air adalah salah satu unsur atom dari substansi jasmani pembentuk alam semesta (Pendit, 2007) [4]. Bhagawad Gita (VII:4) menyebutkan bahwa air merupakan salah satu unsur ciptaan Tuhan: “Tanah, air, api, udara, ether, pikiran, bhudi, dan ego merupakan delapan unsur alam-Ku yang terpisah�. Ayur Weda sebagai kitab tentang pengetahuan kesehatan Hindu, menempatkan keseimbangan antara unsur airangin-api (kapha-vata-pitta) sebagai petunjuk kondisi kesehatan tubuh yang kuat dan sehat sempurna dan ketidakseimbangan ketiga unsur tersebut sebagai pertanda tubuh dalam kondisi terganggu (Nala, 1991) [3]. Mircea Eliade menyatakan air itu kudus karena merupakan sumber dan asal semua eksistensi, juga melambangkan kematian dan kelahiran kembali (Susanto, 1987:51) [5]. Faktanya air memiliki sifat mengalir, meresap, melarutkan, dan menyehatkan. Di sini air diorientasikan kepada kebutuhan hidup dan kelangsungan eksistensi manusia yang diekspresikan melalui berbagai cara pengolahan dan pengelolaannya. Dalam kebudayaan tradisional, air adalah unsur alam yang dihormati dan dihargai karena menjadi tumpuan kehidupan dan simbolik kesucian jiwa masyarakat. Penghormatan kepada alam dan kandungannya menurut Soemardjo (2002) dilakukan dalam masyarakat tradisional karena ibu alam menyusui mereka agar mampu bertahan dalam ganasnya belantara kehidupan [6]. Air itulah yang menjaga dan memelihara serta menjamin kebertahanan alam, agar tetap menjadi sumber penghidupan bagi penghuninya. Kemuliaan tertinggi bagi masyarakat tradisional adalah hidup selaras dengan alam sehingga dalam bathinnya tertanam bahwa air berfungsi untuk memelihara hutan agar tetap rimba, demikian juga air yang menjaga kesuburan lahan pertanian dan perkebunan sehingga memberikan hasil panen yang berlimpah. Hasil panen yang berlimpah ini tanda-tanda kemakmuran karena bagi mereka kecukupan pangan merupakan dasar komitmen dan tujuan kehidupan (Utama, 2013: 56) [2].

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Citra 1. Permandian Suci Bali 1925 Sumber : Bali1912 by Gregor Crause [7]

Moderitas sebagai pewaris pemikiran pencerahan lebih menempatkan rasionalitas sebagai ukuran kebenaran, sehingga yang benar adalah yang rasional dan masuk akal, sedangkan yang irasional atau tidak masuk akal adalah salah. Akibatnya ukuran-ukuran moral juga mengalami pergeseran, yaitu apa yang benar itulah yang baik, bukan seperti ukuran moral yang berlaku dalam masyarakat tradisional, yaitu apa yang baik itulah yang benar. Jadi dalam masyarakat modern, kebaikan tidak dapat mendahului kebenaran, sebaliknya dalam masyarakat tradisional, kebenaran tidak dapat mendahului kebaikan. Perubahan epistemologis sosial ini secara signifikan berpengaruh terhadap ideologi dan pandangan masyarakat tentang objek-objek dan lingkungannya. Misalnya, terjadi pergeseran kognitif tentang yang sakral dan profan. Lingkungan fisikal misalnya, bukan lagi dipandang sebagai objek yang menakutkan sekaligus memesona, melainkan semata-mata hanya berupa kepadatan dan kekosongan. Pada gilirannya alam dipahami sebagai objek yang nilainya tidak lebih dari sekedar instrumen pemuas nafsu belaka. Oleh karena itu masuk akal dan rasional bila potensi alam dieksploitasi untuk alasan kesejahteraan dan kemakmuran serta demi kecemerlangan masa depan umat manusia. Di sini moralitas, sebagaimana yang diafirmasi masyarakat tradisional sungguh-sungguh termarginalkan, karena itu juga makna hidup mulia selaras dengan alam, hilang dalam dunia sosial. 112


I Made Gede Anadhi

Wisata Melukat: Perspketif Air Pada Era Kontemporer

Pada gilirannya, juga pandangan mereka terhadap air mengalami perubahan, oleh karena itu air yang semula religius kemudian tidak lebih dari sekedar pemuas dahaga. Air dalam bentuknya sebagai kelebutan „mata air, pancoran „pancuran‟, tukad „sungai‟, loloan „muara‟ dan lainnya, kemudian dipandang sebagai sumber daya alam yang potensial, dan akan tetap potensial atau tidak berguna jika tidak dilakukan eksplotasi. Kegiatan eksploitasi terhadap air pun mulai dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Eksploitasi air sebagai bentuk komodifikasi secara langsung dilakukan dengan pemanfaatan air sebagai modal dasar atau bahan baku utama sebuah usaha, misalnya komodifikasi air oleh pemerintah melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Pemanfaatan air bawah tanah dengan sumur dalam (bor) dalam industri wisata, industri air kemasan dalam botol dan galon, perdagangan air isi ulang oleh pengusaha, dan sebagainya. Komodifikasi air juga dapat dilakukan secara tidak langsung, misalnya dengan menjual keindahan panorama air terjun atau pancuran, dan pemanfaatan aliran air sungai melalui usaha rafting „arung sungai‟. Komodifikasi air pada sumber air suci, juga dilakukan dengan tawaran kemujisatan atau energi penyembuhan air yang masih diyakini Masyarakat Bali, melalui media air kelebutan, pancoran, loloan, panasnya (yeh panes) dan lainnya dalam bentuk usaha wisata melukat. Wisata melukat yang ditemukan di desa Guliang Kangin misalnya menawarkan kegiatan pembersihan dan penyucian dengan sarana mata air suci Pancoran Solas yang memiliki aliran air dari Arah Barat. Pancoran dari arah Barat diyakini mengandung energi penyembuhan sakit menahun, sakit kena ilmu hitam, penghapus pengaruh mimpi buruk, ruwatan karena pengaruh hari lahir, dan sebagainya. Mata air ini merupakan tempat dilaksanakan ritual penyucian dewata yang berstana di Pura Dalem Dimade. Mata air yang juga disebut beji ini juga tempat penyucian arca Pura Khayangan Tiga (Goris, 2012;Yudha, 2011: 29). [8, 9] Wisata Melukat ini dikelola oleh Desa Guliang Kangin secara swakelola. Pengelola memiliki struktur organisasi, ketentuan jam kerja, dan mendapat upah kerja sesuai kesepakatan perarem adat. Distribusi pemasaran dilakukan dari mulut ke mulut, pemanfaatan media sosial (facebook), dan pemasangan papan nama di pinggir jalan raya.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

Citra 2. Melukat sebagai produk wisata. Dokumen I Made Gede Anadhi, 2015

Paparan tersebut menunjukkan fenomena wisata melukat, rupanya sudah jauh memasuki wilayah desa terpencil yang ditengarai masih sangat kental dengan ketradisionalan, sarat dengan nilai etika religius masyarakatnya. Penjajagan yang dilakukan pada warga pengelola wisata melukat di Desa Guliang Kangin. Menunjukkan gambaran permukaan yang mencengangkan, rupanya sudah terjadi pergeseran paradigma pengetahuan yang bermuara pada perubahan perilaku masyarakat yang memandang air suci (tempat penglukatan) dapat dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan desa (komoditi) seiring semakin banyak masyarakat yang datang untuk melukat. Tumbuh juga warung-warung makan, penjual tempat air jerigen, penyewaan kain mandi, kamar ganti/toilet, dan sebagainya yang dipandang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat seiring semakin dikonsumsinya usaha wisata melukat oleh masyarakat luas. Rupanya pengaruh globalisasi sudah masuk jauh ke dalam ranah masyarakat tradisional di desa-desa. Ardika, (2005) menyatakan globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global [10]. Sistem nilai lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan pola laku tidak jarang mengalami transformasi. Proses globalisasi juga telah merambah wilayah kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler yang dapat menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. 5. Konklusi Paparan di atas menunjukkan sudah terjadi pergeseran paradigma pengetahuan yang bermuara pada perubahan perilaku masyarakat desa yang memandang air suci (tempat penglukatan) dapat dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan desa (komoditi) seiring semakin banyaknya 113


I Made Gede Anadhi

Wisata Melukat: Perspketif Air Pada Era Kontemporer

masyarakat yang “mengonsumsinya� sebagai tempat untuk melukat. Bentuk komodifikasi air ini dapat berupa paket melukat, atau bersifat langsung, yakni: penyewaan kain mandi, tempat penitipan barang, kamar ganti, kamar mandi, warung canang/pejati dan makanan, ataupun penjualan jerigen. Bentuk kedua adalah bersifat tidak langsung, yakni: penjualan keindahan panorama, pemanfaatan aliran sungai, tawaran kemujisatan dan sebagainya. Penelitian ini menunjukkan sudah terjadinya perubahan epistemologi sosial yang berpengaruh pada pergeseran ideologi yang bersifat kognitif pada Pola Pikir Masyarakat Bali, yakni pandangan tentang yang sakral dan profan yang tidak dapat lepas dari dampak globalisasi. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si. Rektor Institut Hindu Dharma Denpasar, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Kajian Budaya, Universitas Udayana Denpasar. Referensi [1] [2]

Agama Air (Paruman Pandita, 16-19 Nopember 1949) Utama, I Wayan Budi. 2013. Air pada Era Kontemporer: Sekularisasi Alam Batin Orang Bali, dalam Agama dalam Praksis Budaya. Denpasar: Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia Denpasar. [3] Nala, I Gusti Ngurah. 1991. Usada Bali. Denpasar: Upada Sastra. [4] Pendit, Nyoman S. 2007. Filsafat Hindu Dharma, Sad Darsana, Enam Aliran Astika (Ortodoks). Denpasar: Pustaka Bali Post. [5] Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mirsea Eliade. Yogyakarta: Kanisius [6] Soemardjo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta: Qalam. [7] Krause, Gregor. 2001. Bali 1912 (revised edition). Singapore: PepperPublications Pte Ltd. [8] Goris,R. 2012. Sifat Religius Masyarakat Pedesaan Di Bali. Denpasar. Udayana Univesity Press [9] Yuda Triguna, I B G. 2011. Mengapa Bali Unik ?Jakarta. Pustaka Jurnal Keluarga [10] Ardika, I Wayan. 2005. Strategi Bali Mempertahankan Kearifan Lokal di Era Global, dalam Kompetensi Budaya Dalam Globalisasi, Kusumanjali untuk Prof. Dr. Tjok. Rai Sudharta, MA. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

114


Ketut Hery Sony Pratama, Saortua Marbun

Komodifikasi Penjor Sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2:115-120

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org. An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Komodifikasi Penjor sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu Ketut Hery Sony Pratama, Saortua Marbun* Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma Mulya

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Menurut Ajaran Agama Hindu di Bali, penjor dimaknai sebagai pemberian persembahan atau sebagai ungkapan terimakasih kepada bumi atau pertiwi yang sudah memberikan tempat hidup dan kesejahteraan manusia, mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan manusia untuk mencapai kemenangan dharma melawan adharma. Penjor dibuat dari bahan-bahan alam yakni sebatang bambu yang ujungnya melengkung lalu dihiasi dengan berbagai jenis reringkitan, variasi dari daun janur atau daun enau yang masih muda. Seiring dengan berjalannya waktu, penjor pun mengalami pergeseran makna bagi Masyarakat Hindu dikarenakan semakin banyak generasi muda yang tidak memahami makna penjor yang sebenarnya.

Dikirim 14 Maret 2016 Direvisi 20 April 2016 Diterima 24 Mei 2016 Kata Kunci: Komodifikasi Penjor Hindu Galungan Bali

Di sisi lain, penjor telah diperjualbelikan beserta dengan kelengkapan-kelengkapannya. Komodifikasi penjor membuat masyarakat merasa dimudahkan mengingat bahan-bahan pembuatan penjor seperti janur, bambu, dan bahan lainnya saat ini sudah mulai langka di daerah perkotaan. Bertambahnya penjual penjor di Kawasan Denpasar membuat masyarakat cenderung memilih membeli perlengkapan penjor atau pun penjor yang sudah jadi. Š 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Penjor merupakan salah satu budaya yang berkembang di masyarakat khususnya di Bali, seiring dengan berjalannya waktu, penjor pun mulai berubah maknanya bagi Masyarakat Hindu itu dikarenakan semakin banyak generasi muda yang tidak tahu menahu tentang makna penjor yang sebenarnya. Penjor saat ini sudah cenderung hanya sebagai hiasan rumah saat Galungan sehingga masyarakat berlomba-lomba dalam membuat hiasan penjor yang sedemikian rupa. Sama halnya seperti canang, penjor pun mulai dilirik dalam dunia usaha, karena di zaman sekarang ini orang sudah lebih mementingkan kegiatan duniawinya atau kegiatan mereka di kantor atau lebih mementingkan pekerjaannya dari pada membuat penjor dari kebiasaan tersebut banyak masyarakat yang mencari keuntungan lewat berjualan penjor.

Jawaban tersebut dibutuhkan banyak orang agar memahami arti dari penjor menurut Agama Hindu, dan untuk mengetahui penyebab penjor dikomodifikasi. 2. Diskusi Galungan merupakan salah satu acara besar di Bali walaupun belum diakui sebagai hari libur nasional. Dalam perayaannya Galungan sangat identik dengan dipasangnya penjor di depan rumah tepatnya di sebelah kanan pintu gerbang rumah atau di depan Sanggah Lebuh. Penjor dibuat dari bahan-bahan alam yakni bambu yang ujungnya melengkung lalu dihiasi dengan berbagai jenis reringkitan atau variasi dari daun janur atau daun enau yang masih muda.

Gejala ini memunculkan masalah-masalah seperti, Pertama, bagaimana pandangan Agama Hindu tentang penjor? Kedua, apa makna penjor yang sebenarnya? Ketiga mengapa penjor itu dikomodifikasi? Keempat, bagaimana pandangan manajemen bisnis terhadap komodifikasi penjor? Jawaban dari masalah-masalah tersebut sangat dibutuhkan guna menambah wawasan tentang penjor dan maknanya serta peluang bisnisnya. ∗Peneliti koresponden: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma Mulya, Jl. Kubu Gunung Tegal Jaya Dalung Kuta Utara Badung, Bali 80361. Mobile: +628123643289 | Email:saortuam@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Citra 1. Penjor. Sumber: Magnificient Bali, 2014 https://magnificientbali.files.wordpress.com/2014/05/penjor.jpg?w=300&h=200 115


Ketut Hery Sony Pratama, Saortua Marbun

Komodifikasi Penjor Sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu

Setelah itu penjor dilengkapi dengan gantung-gantungan yang digantung pada bagian atas bambu tepatnya di bagian lengkungannya. Gantung-gantungan yang dipasang antara lain pala bungkah (umbi-umbian), pala wija (jagung, padi, dan sejenisnya), pala gantung (kelapa, mentimun, pisang, dan buah lainnya, kain putih dan kuning, serta jajan. Adapun gantungan yang diletakkan pada ujung bambu yaitu sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga dan untuk bagian bawahnya berisi Sanggah Ardha Candra atau sanggah dengan bentuk persegi empat dengan bentuk atas yang melengkung setengah lingkaran menyerupai bulan sabit atau ada juga yang membuat berbentuk segitiga dan lengkap dengan sajennya. Adapun makna penjor menurut Ajaran Agama Hindu di Bali yaitu untuk memberikan persembahan atau sebagai ungkapan terimakasih kepada bumi atau pertiwi karena sudah memberikan tempat hidup dan kesejahteraan manusia serta agar dapat mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan manusia untuk mencapai kemenangan dharma melawan adharma. Pertiwi itu lantas digambarkan sebagai dua ekor naga yaitu Naga Basuki dan Naga Ananta Bhoga. Selain itu penjor juga dimaknai sebagai simbol gunung yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Seiring dengan perkembangan zaman banyak orang lebih mengedepankan unsur seni daripada unsur sakralnya sehingga muncul 2 jenis penjor yaitu Penjor Sakral dan Penjor Hiasan atau sering disebut dengan pepenjoran. Penjor sakral dibuat pada saat ada Upacara Dewa Yadnya (odalan di Pura) pada penjor sakral berisikan sanggah dan gantung-gantungan seperti sampyan, pala bungkah, pala gantung, pala wija dan diisikan banten penjor serta diupacarai seperti halnya Hari Raya Galungan penjor diupacarai pada saat penampahan Galungan atau sehari sebelum Galungan. Penjor hias dibuat pada saat ada acara Manusa Yadnya dan Pitra Yadnya (Nganten, Metatah, Ngaben) pada penjor hiasan tidak berisikan sanggah dan perlengkapan seperti Ppla wija, pala gantung, pala bungkah, karena lebih mengedepankan unsur seni dari penjor itu. Penjor hias mulai marak karena sering diadakannya perlombaan membuat penjor, jadi masyarakat berlombalomba menghias penjornya sedemikian rupa yang dulunya hanya memakai satu gelungan sekarang sudah memakai lebih, ada yang membuat sampyan penjor seperti manusia, ada yang menambahkan ornamen barong, naga serta ornament lainnya. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Citra 2. Penjor. Sumber: Moris Teruna Blahbatuh, 2016 https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1097638040288975&set=a.478426268876 825.126826.100001283694664&type=3&theater

Bahkan saat ini pemakaian mute dan styrofoam sudah marak karena membuat penjor menjadi lebih bagus. Penjor hias ini pun mulai dipandang masyarakat sebagai penjor sakral karena kurangnya pengetahuan tentang makna penjor yang sesungguhnya. Seperti gambar penjor di bawah ini, penjornya dibuat dengan hiasan barong yang sudah tampil bagus atau sudah penuh dengan nilai seni tapi menyimpang dengan makna penjor yang sebenarnya. 3. Mengapa Penjor Dikomodifikasi Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkatan kompleksitasnya. Pada tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Pada tingkat meso terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi. Sementara pada tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh, bekas, dan jiplakan masa lalu serta bibit potensi untuk masa depan. Sifat berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab akibat dengan fase kini dan fase kini merupakan prasyarat sebab akibat yang menentukan fase berikutnya (Sztompka, 2005) [1]. Oleh karena itu muncul istilah kapitalisme atau sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. Dalam perekonomian kapitalisme setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk 116


Ketut Hery Sony Pratama, Saortua Marbun

memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas malakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara. Berbicara tentang kapitalisme adapun istilah yang juga sering muncul yaitu komodifikasi atau cara mendeskripsikan cara kapitalisme untuk melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital, atau menyadari transformasi nilai guna menjadi nilai tukar.

Komodifikasi Penjor Sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu

agama yang dianggap sakral sekalipun ternyata tidak dapat lepas dari tarikan komersialisasi dan komodifikasi�. Perpaduan antara pasar dan konsumerisme melahirkan, membentuk, memelihara dan melanggengkan komodifikasi agama. Gejala komodifikasi seperti ini tidak saja terjadi pada Agama Hindu, tetapi juga agama-agama lain.

Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal yang memiliki hubungan objek dan proses, dan menjadi salah satu indikator kapitalisme global yang kini tengah terjadi. Dalam ekonomi politik media komodifikasi adalah salah satu bentuk penguasaan media selain strukturasi dan spasialisasi. Komodifikasi menurut Vincent Mosco digambarkan sebagai cara kapitalis dengan membawa akumulasi tujuan kapitalnya atau mudahnya dapat digambarkan sebagai suatu perubahan nilai fungsi atau guna menjadi suatu nilai tukar [2]. Dan sekarang ini telah sangat banyak sekali bentuk komodifikasi yang muncul dalam perkembangan kehidupan manusia. Sedangkan komodifikasi penjor merupakan penjor yang awalnya dibuat sendiri oleh masyarakat dari proses penebangan bambu, pemetikan bambu atau daun enau yang masih muda dan mencari perlengkapan lainnya sendiri sampai proses pembuatan penjornya. Namun seiring berkembangnya zaman daerah perkotaan pun sudah mulai sulit untuk mencari perlengkapan penjor sehingga banyak yang melihat peluang bisnis ini dan sampai saat ini sudah lebih banyak yang membeli penjor yang sudah jadi dari pada membuat sendiri. Adapun ciri-ciri komodifikasi agama [3], yaitu pertama, barang atau jasa yang ditawarkan adalah simbol agama. Gagasan ini berlaku, mengingat bahwa penjor adalah simbol Agama Hindu di Hari Raya Galungan. Kedua, komodifikasi agama memiliki motif mencari laba.[3] Gagasan ini dapat diterapkan pada kasus komodifikasi penjor, mengingat bahwa penjor sudah diperjualbelikan pastinya memiliki motif untuk mencari laba atau keuntungan. Dengan demikian komodifikasi penjor pada Masyarakat Bali tidak saja mengacu kepada aktivitas jual beli penjor, melainkan dapat bermakna lebih dalam lagi. Komodifikasi agama pada dasarnya berkaitan erat dengan pasar dan konsumerisme. Karena pasar menyediakan beraneka barang konsumsi sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat atau diinginkan oleh konsumen [4]. Kejayaan pasar mengakibatkan masyarakat mengalami perilaku komersialisasi atau suka berbelanja. Dengan adanya pernyataan ini tidak mengherankan jika “simbol-simbol Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Citra 3. Hiasan Penjor. Sumber: Gung Indi, 2016 http://www.nusabali.com/article_images/2416/pedagang-perlengkapan-penjor-ramaijelang-galungan-800-2016-02-03-033614_0.jpg

Maraknya penjualan bahan-bahan penjor dan penjor yang sudah jadi di Kawasan Denpasar. Hal itu Nampak dari perayaan Hari Raya Galungan saat ini, hal itu dikarenakan di daerah perkotaan sudah mulai kehilangan kawasan hijaunya sebab sudah banyak terdapat bangunan-bangunan besar seperti di Daerah Denpasar. Sekalipun terdapat kawasan hijau di Denpasar kawasan itu hanya berisi pohon-pohon biasa dan sawah yang membuat Masyarakat Denpasar sangat sulit untuk menemukan bahanbahan membuat penjor. Melihat dari kejadian tersebut pedagang bahan-bahan penjor pun mulai berdatangan ke Kawasan Denpasar guna menjual bahan-bahan dan perlengkapan untuk membuat penjor. Menurut penuturan dari salah satu pemasok penjor di Kawasan Denpasar, dia mendapat bahan daun enau dari Luar Bali tepatnya dari Daerah Madura sedangkan perlengkapan lainnya didatangkan dari Wilayah Gianyar dan Mengwi. Menurut penuturannya bisnis ini banyak dikerjakan oleh kasta pekerja dan yang sangat disayangkan yaitu saat ini sudah banyak pedagang dari Non Hindu yang mulai berjualan penjor itu berarti lahan bisnis Orang Bali sudah mulai berkurang karena Sifat Masyarakat Bali yang lebih suka menjadi konsumen dan jarang mau menjadi produsen, sifat ini muncul karena ajaran orang tua dulu yang sering melarang anaknya untuk berbisnis karena takut gagal sehingga sifat itu diwariskan secara turun temurun. Tidak sekedar menjual bahan-bahan penjor pedagang pun mulai menyediakan berbagai hiasan penjor hasil kreasi sedemikian rupa seperti hiasan gelungan bola, hiasan pada 117


Ketut Hery Sony Pratama, Saortua Marbun

tali sampyan dan hiasan lainnya yang sudah dibuat beragam untuk menarik minat pembeli. Permasalahan di Daerah Denpasar tidak hanya kesulitan mencari bahan-bahan kelengkapan penjor tetapi masalah kedua yang dihadapi adalah masalah waktu yang diperlukan untuk membuat penjor. Masyarakat perkotaan di zaman sekarang sudah mulai mengesampingkan aktivitas kerohanian daripada pekerjaan mereka itu karena sekarang sudah banyak yang lebih menjungjung kebenaran ilmu pengetahuan daripada harus percaya pada ajaran agama yang tidak pasti. Untuk itu dengan adanya pedagang penjor ini masyarakat yang sibuk dengan pekerjaannya lebih mudah untuk langsung membeli bahan penjor bahkan ada yang langsung membeli penjor yang sudah jadi. Bahan-bahan penjor yang banyak dijual saat ini hampir sebagian besar terbuat dari daun lontar atau pun janur yang berasal dari Sulawesi bahkan menggunakan material gabus atau styrofoam serta hiasan mute berwarna-warni sehingga penjor yang dulunya dibuat dari bahan-bahan alami sekarang sudah mulai bercampur dengan material dari pabrik. Menurut Made Santi salah satu guru Agama Hindu di SMP Negeri 4 Banjar, “jika dilihat dari makna penjor yang sebenarnya perlengkapan yang berasal dari pabrik ini tidak dibenarkan oleh Agama Hindu dan sangat bertentangan dengan makna dan tujuan penjor yang sebenarnya sebab penjor itu harus dibuat dari bahan atau hasil alam bukan buatan pabrik.� Awalnya pernak-pernik dari pabrik ini dijual untuk keperluan penjor hias bukan penjor sakral, tetapi seiring dengan berkembangnya trend penjor hias dan kurangnya pengetahuan tentang makna penjor, masyarakat pun mulai memakai pernak-pernik untuk penjor sakral supaya penjor mereka terlihat menarik. 4. Pandangan Manajemen Bisnis Terhadap Komodifikasi Penjor Globalisasi tampaknya melahirkan peluang dan kekayaan yang sangat luar biasa bagi segelintir orang, dan menjerumuskan sebagian besar lainnya dalam kemiskinan dan kesengsaraan yang memilukan. Globalisme yaitu ideologi pasar bebas, globalisme merupakan ideologi politik dominan saat ini, dalam dua dekade terakhir, konsep “globalisasi� menjadi metafora baru bagi kelompok pendukung utopia pasar untuk pandangan neoliberal mereka [4]. Terdapat banyak pengertian manajemen/bisnis yang diketahui masyarakat, walaupun semuanya mengarah pada Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Komodifikasi Penjor Sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu

satu inti yakni manajemen adalah sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pengoordinasian dan pengendalian atau kontrol sumber daya dalam mencapai sasaran dengan efisien dan efektif. Adapun beberapa pengertian manajemen menurut beberapa ahli sebagai berikut: 1. Menurut Drs. Oey Liang Lee mengartikan manajemen adalah ilmu dalam perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan pengawasan dari manusia untuk menentukan capaian tujuan sebagaimana yang telah ditetapkan. 2. Pengertian manajemen menurut James A.F. Stoner adalah proses perencanaan, pengorganisasian dan penggunaan terhadap sumberdaya organisasi lainnya supaya tujuan organisasi dapat tercapai sesuai dengan yang ditetapkan. 3. Pengertian manajemen menurut R. Terry adalah suatu proses khas terdiri tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengontrolan yang dilakukan dalam menentukan serta mencapai target yang sudah ditetapkan lewat pemanfaatan sumberdaya manusia dan lainnya. 4. Pengertian manajemen menurut Lawrence A. Appley adalah suatu seni untuk mencapai tujuan tertentu lewat usaha yang dilakukan oleh orang lain 5. Pengertian manajemen menurut Horold Koont dan Cyril O’Donnel adalah suatu usaha untuk mencapai tujuan lewat kegiatan orang lain. 6. Pengertian manajemen menurut Stoner adalah suatu proses dalam membuat perencanaan, pengorganisasian, mengendalikan dan memimpin segala macam usaha daripada anggota organisasi dan menggunakan segala sumber daya organisasi dalam mencapai sasaran. 7. Pengertian manajemen menurut Wilson Bangun adalah suatu rangkaian aktivitas yang dikerjakan oleh para anggota organisasi agar tujuan dapat tercapai dengan rangkaian yang teratur dan tersusun baik.[5] Dalam komodifikasi penjor ilmu manajemen sangat dibutuhkan sebab ilmu sangat berperan dalam semua komodifikasi atau bisnis misalkan dalam pembuatan penjor akan lebih efektif jika kita mengetahui bagaimana cara mengatur pembelian bahan dan bagaimana caranya menggunakan bahan itu sehingga banyak mendapat untung. Dalam bisnis penjor hubungan antara produsen, penjual dan konsumen sangat berhubungan dalam komodifikasi penjor ini. Menurut data Indonesian Institute for Corporate and Directorship (IICD, 2010), di dalam Simanjuntak (2010:1) [6] lebih dari 95 persen bisnis di Indonesia merupakan perusahaan yang dimiliki maupun dikendalikan oleh keluarga. 118


Ketut Hery Sony Pratama, Saortua Marbun

Itu berarti bahwa kegiatan bisnis keluarga telah lama memberi sumbangsih terbesar terhadap pembangunan ekonomi nasional [6]. Bahkan, saat krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan 2008, bisnis keluarga terus menunjukkan eksistensinya sebagai penopang sekaligus sebagai modal kekuatan dalam pemulihan ekonomi nasional. Sebagai bisnis yang dimiliki dan dikendalikan oleh keluarga maka manajemen maupun kinerja perusahaan, baik yang berskala kecil maupun besar, banyak dipengaruhi oleh visi maupun misi keluarga. Namun, bisnis keluarga tentu tidak luput dari ragam persoalan yang kadang-kadang sulit dipecahkan [6]. Misalnya; adanya distrust atau ketidakpercayaan di antara sesama anggota keluarga, konflik dalam suksesi kepemimpinan, konflik dalam pengambilan keputusan, isu putra mahkota, generasi penerus usaha, perbedaan pola pikir antara generasi pertama dan generasi berikutnya. Akibatnya, tidak jarang bisnis keluarga mengalami kemerosotan, bahkan terpaksa tutup, akibat konflik yang berkepanjangan di internal keluarga. Jadi, tiga isu utama yang sering muncul dalam bisnis keluarga ialah kepemimpinan (leadership), kepemilikan (ownership), dan prinsip pengelolaan (manajemen), baik pada generasi pertama maupun generasi berikutnya [6]. Isu ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan isu bisnis pada umumnya yang keanggotaannya tidak ada hubungan keluarga (non family business). Sehingga tiga isu tersebut telah diatasi atau diantisipasi oleh pembuat undang-undang dengan membuat penggolongan tiga jenis badan usaha utama yang bisa dipakai para pebisnis, yaitu: Firma (Fa), Commanditaire Vennootshap (CV), dan Perseroan Terbatas (PT). Ketiga badan usaha ini memiliki prinsip-prinsip yang berbeda sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) [6].

Komodifikasi Penjor Sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu

Pembuatannya juga beragam ada yang memakai jasa pembuatan penjor bahkan ada yang merangkai sendiri. Menurut penuturan dari salah satu pedagang, trend pernakpernik penjor berkembang sangat pesat dari tahun 2005. Pada tahun-tahun sebelumnya, yang banyak dijual di pasaran adalah jenis gelungan penjor yang sederhana, serta kain putih kuning. Kini, kreasi gelungan semakin indah, sehingga membuat penampilan penjor terkesan megah. Begitu pula menyangkut sampiyannya, dari yang sederhana, kini mulai banyak yang menggunakan sampiyan tangga. “Sekarang banyak masyarakat yang membeli material dasarnya saja, seperti gabus maupun daun lontar. Karena mereka ingin merangkai sendiri di rumahnya. Namun banyak pula masyarakat yang membeli perlengkapan yang sudah jadi agar lebih praktis” ujar Putu Adi, salah seorang pedagang di Pasar Batu Kandik. Sementara itu, salah seorang konsumen, Putu Subawa mengaku tertarik membeli hiasan penjor karena terpengaruh tetangga di kiri kanannya yang telah membuat lebih dulu. “Ternyata praktis dan penjor terlihat lebih indah dan hias,” ujarnya memberi alasan. Adapun warga lainnya yang memberi alasan sederhana yaitu, terkait sulitnya mendapatkan janur di daerah perkotaan seperti di Denpasar dan juga terkendala oleh kesibukan dalam pekerjaan. “Pohon kelapa sih banyak, tapi yang disuruh memanjat tidak ada. Dari pada repot-repot, lebih baik beli gelungan penjor yang sudah jadi” katanya. Dari hasil Pantauan di lapangan, warung-warung yang menjual pernak-pernik penjor pun bermunculan di manamana, dengan menawarkan harga yang beragam. Di toko Pak Adi, harga gelungan motif tertentu, Rp. 70.000Rp. 80.000 per bungkus. Sampiyan tangga Rp. 10.000-Rp. 35.000, tali sampiyan Rp. 25.000-Rp. 35.000, untaian padi Rp. 20.000,- per bungkus, janur biasa Rp. 20.000 sedangkan janur yang bagus dihargai dari Rp. 60.000 sampai jutaan rupiah, dan sanggah penjor seharga Rp. 20.000-Rp. 35.000.

Bisnis keluarga ini bisa kita lihat dari komodifikasi penjor di Bali yang banyak membangun bisnis ini bersama keluarganya. Seperti Pak Adi yang berbisnis dengan keluarganya yakni kakak pertama dan keduanya dan juga anaknya ikut dalam membangun bisnis penjor ini.

Melihat peluang bisnis penjor dan perlengkapannya ke depannya kemungkinan akan bertambah pesat itu dikarenakan masyarakat sudah mulai merasa dimudahkan dengan adanya penjual penjor.

Seiring pesatnya perkembangan seni merangkai janur, trend penjor pun mulai melanda Denpasar, itu bisa dilihat dari penjor-penjor yang dipasang di depan rumah mereka, hampir semua penjor itu dihiasi dengan sedemikian rupa ada yang memakai gelungan biasa, ada yang memakai hiasan naga, dan ada yang hiasannya sangat rumit untuk dibuat yang masing-masing kalau dihitung harganya bisa sampai jutaan bahkan puluhan juta untuk membuat penjor seperti itu.

Tidak hanya itu jika dilihat dari bahan-bahan pembuatan penjor seperti janur, bambu, dan bahan lainnya yang saat ini sudah mulai sulit dijumpai apalagi di daerah perkotaan, dengan bertambahnya penjual penjor yang ada di Kawasan Denpasar itu akan membuat Masyarakat Denpasar menjadi lebih memilih membeli langsung daripada membuat penjor sendiri sehingga mereka lebih cendrung membeli perlengkapan penjor ataupun penjor yang sudah jadi.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

119


Ketut Hery Sony Pratama, Saortua Marbun

Adapun pernyataan dari salah satu pedagang di Kawasan Denpasar bahwa omzet mereka naik setiap tahunnya dari awal dia menjual penjor. 5. Konklusi Penjor merupakan salah satu sarana yang dipakai Umat Hindu dalam merayakan Hari Raya Galungan.[7] Penjor dibuat dari bahan-bahan alam yakni Bambu yang ujungnya melengkung lalu dihiasi dengan berbagai jenis reringkitan atau variasi dari daun janur atau daun enau yang masih muda. Setelah itu penjor dilengkapi dengan gantung-gantungan yang digantung pada bagian atas bambu tepatnya di bagian lengkungannya.

Komodifikasi Penjor Sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu

Dengan komodifikasi penjor ini masyarakat sangat terbantu karena dapat mempermudah mereka dalam membuat penjor dan tidak hanya itu hiasannya pun pasti akan mengalami perkembangan yang sangat berbeda dengan yang ada saat ini. Saran Seiring dengan perkembangan zaman, seharusnya lembagalembaga agama atau organisasi lebih sering melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang makna penjor yang sebenarnya supaya masyarakat tidak salah dalam membuat penjor, dan juga penjor yang diperjualbelikan harusnya sesuai dengan Ajaran Agama Hindu dan tidak menggunakan bahan-bahan dari hasil pabrik. Referensi

Adapun gantungan yang diletakkan pada ujung bambu yaitu Sampyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga dan untuk bagian bawahnya berisi Sanggah Ardha Candra atau sanggah dengan bentuk persegi empat dengan bentuk atas yang melengkung setengah lingkaran menyerupai bulan sabit atau ada juga yang membuat berbentuk segitiga dan lengkap dengan sajennya. Seiring dengan perkembangan zaman penjor dibagi lagi menjadi 2 yaitu penjor sakral dan penjor hias atau sering disebut “pepenjoran” [7]. Saat ini pembuatan penjor sudah tidak lagi dibuat sendiri melainkan membeli dari pedagang penjor di sekitar mereka sehingga menimbulkan Komodifikasi Penjor [8]. Kegiatan itu berubah karena sulitnya mencari bahan penjor dan ada juga yang “malas” dalam membuatnya. Sudah dipastikan bahwa kegiatan membeli ini akan terus dilakukan oleh masyarakat perkotaan seperti Denpasar dan membuat komodifikasi ini memiliki prospek bagus kedepannya [3].

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

[1]

Wianti, N.I., Dharmawan, A.H. and Kinseng, R., 2012. KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO. Sodality:: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(1). [2] Iyan Setiawan. (2013). Komodifikasi, Spasialisasi Dan Strukturasi Dalam Program “Indonesia Mencari Bakat Musim 3”. https://iyansetione.wordpress.com/ [3] Nengah Bawa Atmadja dan Tuty Maryati, 2014. Geria Pusat Industri Banten Ngaben Di Bali Perspektif Sosiologi Komodifikasi Agama Jurnal Kawistara Vol 4, No 2. [4] Azhari, S.K., 2007. Globalisme (Bangkitnya Ideologi Pasar). Jurnal Sosioteknologi, 6(11), pp.273-275. [5] Pengertian Manajemen Menurut Para Ahli | Informasiana". 2015. Informasiana. Diakses 4 Mei 2016. http://informasiana.com/ [6] Simanjuntak, A., 2011. Prinsip-prinsip manajemen bisnis keluarga (family business) dikaitkan dengan kedudukan mandiri perseroan terbatas (PT). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan (Journal of Management and Entrepreneurship), 12(2), pp.pp-113. [7] Winanti, N.P., 2012. Penjor Galungan Dalam Kehidupan Umat Hindu Di Bali Kajian Bentuk Fungsi Dan Makna. Sphatika, 7(2). [8] Imadewira.com. (2016). Penjor Galungan di Bali | imadewira.com. [online] Available at: http://imadewira.com/penjor-galungan-di-bali/. Diakses 23 May 2016].

120


Noni Mirantika, Saortua Marbun

Pengaruh Modernisasi Terhadap Perkembangan Komodifikasi Mukena

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2: 121-128

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org. An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Pengaruh Modernisasi Terhadap Perkembangan Komodifikasi Mukena Noni Mirantika, Saortua Marbun* Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma Mulya

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Pada abad ke-14 Walisongo memperkenalkan mukena seiring dengan penyiaran Agama Islam di Jawa. Saat itu mukena digunakan untuk menutupi Bagian Tubuh Wanita Jawa yang hanya memakai kemben. Komodifikasi mukena terjadi setelah abad ke-20. Kondisi ini disebabkan oleh karakteristik mukena sebagai barang ekonomi, semakin banyak wanita muslimah yang mengggunakan mukena dan meluasnya ideologi pasar sehingga seseorang merasa lebih nyaman membeli mukena dari pada membuatnya secara swadaya.

Dikirim 14 Februari 2016 Direvisi 20 Maret 2016 Diterima 27 Mei 2016 Kata Kunci: Komodifikasi Mukena Perlengkapan Salat Ideologi Pasar

Kondisi ini memberikan peluang bagi penjahit atau produsen untuk mengembangkan industri penjualan perlengkapan salat. Hal ini terkait pula dengan ideologi yang berlaku pada industri pembuat mukena, yakni ideologi pasar sehingga mereka melihat mukena sebagai sumber keuntungan. Posisi produsen lebih kuat daripada konsumen mukena karena produsen menguasai aneka modal, yaitu modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik secara bersinergi. Gejala ini tercermin pada semakin berkembangnya produk dan pasar mukena. Š 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Mukena adalah busana perlengkapan salat untuk perempuan muslim khas Indonesia Sebenarnya dalam Islam tidak ada kaidah terperinci perihal pakaian seperti apa yang seyogyanya digunakan untuk salat, yang ada hanyalah prinsip-prinsip umum bahwa busana untuk salat hendaknya menutupi aurat dan bersih dari noda atau kotoran. Mukena adalah komoditas budaya khas Indonesia, konon merupakan hasil penyesuaian yang dilakukan oleh para wali zaman dahulu sesuai dengan prinsip dalam Agama Islam. Prinsip Agama Islam menerangkan bahwa seorang wanita muslimah harus berpakaian bersih, rapi, wajar, tidak berlebihan, tidak menyerupai pakaian wanita kafir, tidak menyerupai laki-laki, kainnya harus tebal, tidak diberi wewangian dan menutupi aurat. Ketika itu cara berbusana Perempuan Indonesia adalah mengenakan kemben yang memperlihatkan dada bagian atas hingga kepala, untuk menyelaraskan dengan cara berpakaian yang diatur dalam Islam maka diciptakanlah mukena yang lugas untuk menutupi seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangan. Berdasarkan hal tersebut banyak kalangan ingin membuat usaha mukena. ∗Peneliti koresponden: Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma Mulya, Jl. Kubu Gunung Tegal Jaya Kuta Utara Badung, Bali 80361. Mobile: +628123643289 | E-mail:saortuam@gmail.com |

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Usaha mukena mulai menjamur di kalangan wanita muslimah. Mukena tersedia pula untuk anak-anak dengan berbagai model. Hal ini terjadi untuk memenuhi kebutuhan mukena yang meningkat secara signifikan terutama pada Bulan Ramadhan, menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Dewasa ini mukena digunakan bukan sekedar penutup aurat wanita, mukena dikenakan sebagai busana untuk mempercantik diri, agar tampil modis dan menarik. Mukena semakin laris dan dijual di pusat-pusat perbelanjaan. Usaha mukena ini adalah salah satu usaha yang memiliki kemungkinan rugi yang sangat kecil karena mukena merupakan produk yang tidak mudah rusak dan tidak bisa basi. Segmen pasar dari usaha mukena cukup besar karena mayoritas penduduk di Indonesia adalah Islam. Seiring berkembangnya zaman motif, warna dan model mukena juga semakin bervariasi, mulai dari jenis mukena one piece (terusan), abaya dan two piece. Selain itu, mukena dengan tema gambar kartun juga tersedia bagi anak-anak sehingga anak-anak akan lebih termorivasi dalam menjalankan salatnya. Keadaan yang menguntungkan berbagai pihak juga dapat menimbulkan masalah yaitu pertama, mengapa mukena saat ini dikomodifikasi?

121


Noni Mirantika, Saortua Marbun

Kedua, bagaimana pandangan agama mengenai komodifikasi dari mukena? Dan ketiga, bagaimana pandangan manajemen mengenai perubahan atau komodifikasi untuk mendapatkan keuntungan tersebut? Jawaban atas pertanyaan ini amat penting, tidak saja untuk memahami alasan utama konsumen membeli mukena sebagai perlengkapan salat, tetapi diharapkan pula memberikan sumbangan bagi pengembangan sosiologi komodifikasi agama. Selain itu dapat pula digunakan untuk mengetahui penyebab dari komodifikasi mukena, memahami pandangan agama mengenai mukena, dan mengetahui pandangan dari segi manajemen mengenai komodifikasi mukena. Adapun manfaat dari laporan penelitian mengenai komodifikasi mukena ini adalah bagi masyarakat adalah agar digunakan sebagai petunjuk dan tambahan pengetahuan dalam usaha menjalankan bisnis mukena. Dan bagi pemerintah digunakan sebagai tolok ukur pemerintah terhadap masyarakat dalam meningkatkan jiwa kewirausahaan, baik usaha kecil, menengah, maupun usaha dalam skala besar. 2. Komodifikasi Mukena Sebelum membahas mengenai komodifikasi mukena haruslah diketahui apa itu komodifikasi, mengutip dari Greg Fealy (2008) istilah komodifikasi berasal dari commodity, yang antara lain berarti benda komersial atau objek perdagangan [1]. Jadi komodifikasi Agama Islam adalah komersialisasi Agama Islam atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan. Selanjutnya dalam analisis masyarakat konsumsi menurut Baulldriad (1998) masyarakat yang terkomodifikasi adalah sebuah masyarakat di mana segala sesuatu mengalami komodifikasi dalam artian segala sesuatunya berubah menjadi komoditas [2]. Suatu masyarakat di mana tidak ada sesuatu pun yang tidak dapat dipertukarkan termasuk di dalamnya hal-hal non material yang sebelumnya dianggap bukan untuk diperjualbelikan seperti ilmu pengetahuan dan seni. Mukena merupakan sarana wajib yang digunakan oleh Wanita Muslim Indonesia ketika ia hendak melakukan ibadah. Dewasa ini mukena bukan saja sebagai simbol keimanan karena sudah menjadi produk atau komoditas yang dapat dijual atau dibeli di pasar. Saat ini mukena sudah dikomodifikasi untuk beberapa alasan. Wanita saat ini sudah tidak memiliki waktu yang cukup untuk membuat sendiri mukena yang akan digunakan, Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Pengaruh Modernisasi Terhadap Perkembangan Komodifikasi Mukena

pembuatan mukena acap kali dianggap sebagai beban bagi sebagian muslimah. Saat ini banyak wanita muslimah yang lebih memilih berkarir dalam dunia kerja daripada berdiam diri di rumah. Selain itu, tidak semua wanita memiliki keterampilan menjahit yang baik. Tidak saja karena banyak menguras tenaga dan waktu, tetapi pula menguras modal finansial (modal ekonomi). Kondisi ini memerlukan cara untuk memecahkannya. Pada konteks inilah muncul solusi, yaitu membeli mukena sehingga komodifikasi mukena menjadi tidak terhindarkan. Dengan adanya komodifikasi mukena akan sangat membantu baik dari produsen maupun konsumen jika dilihat dari produsen, pendapatan akan bertambah apabila mukena yang ditawarkan terjual. Dan apabila dilihat dari segi konsumen, maka konsumen tidak akan sibuk karena harus membuat terlebih dahulu mukena yang akan digunakan nanti. Pembuatan mukena adalah simbol tradisionalitas, sedangkan komodifikasi mukena adalah simbol modernitas. Akibatnya, Orang Islam yang memosisikan dirinya sebagai manusia modern lebih suka membeli mukena daripada membuat mukena dengan cara membuat sendiri karena terkait dengan modernitas. 3. Pandangan Agama Mengenai Mukena Mukena merupakan salah satu perlengkapan yang digunakan oleh wanita muslimah ketika hendak salat, tetapi penggunaan mukena hanya digunakan oleh wanita muslimah di Indonesia. Pada dasarnya disunahkan bagi wanita muslimah mengenakan baju kurung dan kerudung pada saat melaksanakan salat. Berkenaan dengan hal ini terdapat suatu riwayat dari Umar bin Khotob dan putranya, Abdullah bin Umar serta Aisyah r.a. Imam Ay-syafiâ€&#x;i juga memiliki pandangan, yaitu bahwa wanita muslimah harus menutupi auratnya (bagian tubuh yang harus ditutupi) secara baik dan benar pada saat menjalankan ibadah salat, yang mana busana yang dipakainya pada saat rukuâ€&#x; atau sujud tidak menunjukkan bentuk tubuh dan pinggulnya serta bagian-bagian aurat yang sensitif. Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa ia pernah mengerjakan salat dengan mengenakan empat lapis pakaian, yang demikian itu merupakan perbuatan yang disunahkan (apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak mendapat dosa) dan jika di luar kemampuannya ada bagian yang terbuka, maka diberikan maaf baginya. Imam Ahmad menyebutkan bahwa: “Secara umum para ulamaâ€&#x; bermusyawarah mengenai busana yang dikenakan 122


Noni Mirantika, Saortua Marbun

untuk salat (baju kurung dan kerudung). Sedangkan yang menggunakan lebih dari baju kurung dan kerudung akan lebih baik dan lebih menutupi.

Pengaruh Modernisasi Terhadap Perkembangan Komodifikasi Mukena

dengan berbagai warna yang mencolok. pandangan Islam mengenai persoalan ini?

Bagaimana

Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda, “Hal ini diperkuat oleh hadist dari Ummu salamah, ketika ia bertanya: “Wahai Rasulullah (Nabi Muhammad SAW), apakah wanita muslimah boleh mengerjakan salat dengan baju kurung dan kerudung? Nabi menjawab: Boleh, asal baju kurung itu sempurna dan menutupi bagian punggung dan kedua kaki.” (HR. Abu Dawud). Demikian juga yang diriwayatkan dari Aisyah, Maimunah dan Ummu salamah, yang semuanya adalah istri Nabi Muhammad SAW: “Bahwa mereka (Aisyah, Maimunah, Ummu salamah) memperlihatkan salat dengan mengenakan baju kurung dan kerudung.” (dikisahkan oleh Ibnu Mundzir). Pendapat-pendapat di atas dapat diasumsikan bahwa seorang muslimah harus menggunakan kerudung dan baju kurung ketika salat dan diusahakan agar busana tersebut cukup tebal agar tidak menunjukkan bagian-bagian tubuh yang sensitif ketika ia ruku‟ atau sujud. Selain itu juga baju kurung pun diupayakan panjang supaya bagian kedua telapak kaki tidak akan terlihat ketika salat. Pemakaian kerudung dan baju kurung bisa diganti dengan memakai mukena ketika salat karena mukena memiliki fungsi yang sama dengan pemakaian baju kurung dan kurung. Perihal wajah, wanita muslimah boleh membukanya dalam salat, di mana tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini. Sedangkan mengenai kedua telapak tangan, ada dua pendapat: Pertama, diperbolehkan membukanya. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Imam As-syafi‟i, yang didasarkan pada riwayat dari Ibnu Abbas dan Aisyah mengenai maksud dari firman Allah SWT yang artinya. “Yaitu, wajah dan kedua telapak tangan. Selain itu, terdapat larangan untuk menutup wajah dengan cadar. Akan tetapi, terkadang menutup telapak tangan dan wajah itu dibutuhkan pada saat berjual beli (dengan lawan jenis). Kedua, mengenai telapak tangan, dan wajah, di mana keduanya dianggap sebagai aurat sebagaimana sabda Nabi: “Wanita adalah aurat.” (HR. At-tirmidzi). Lebih lanjut Imam At-tirmidzi mengatakan, bahwa hadist ini berstatus hasan shahih. Adapun yang dimaksud oleh hadist ini mencakup seluruh anggota tubuh wanita kecuali wajah.

“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memberinya pakaian hina pada hari kiamat.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan An Nasai dalam Sunan Al Kubra, hasan) Meskipun ada ancaman bagi seseorang yang mengenakan pakaian syuhrah (setiap busana yang dipakai dengan tujuan mendapat reputasi baik di depan orang banyak), akan tetapi salat tetap sah selama pakaian tersebut menutup aurat dan suci, serta terpenuhinya syarat dan rukun salat yang lain. Hal ini dikarenakan syarat sah salat berkaitan dengan pakaian cukup dengan tertutupnya aurat dan sucinya pakaian tersebut. Sedangkan mengenai warna, bahan, model, dan jenis pakaian bukan merupakan syarat sah salat. Sehingga pada dasarnya seorang muslimah tetap sah salatnya jika salat tanpa mukena, asalkan pakaiannya sudah menutupi aurat. Berkenaan dengan hadits pakaian syuhrah tersebut, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai hukumnya: 1. Niat/iktikad. Pakaian syuhrah dikenakan karena memang oleh pemakainya diniatkan untuk mencari ketenaran di antara orang lain. Sehingga seseorang yang mengenakan pakaian yang wajar, tetapi diniatkan untuk pakaian syuhrah, maka ia juga dikenai ancaman sesuai hadits di atas. 2. Kultur (tradisi atau ‘urf). Jenis dan model pakaian merupakan produk budaya di mana di satu tempat berbeda dengan di tempat lain. Sehingga, dalam pakaian laki-laki, kita melihat banyak perbedaan model pakaian yang dipakai oleh kaum muslimin dari berbagai belahan dunia. 3. Corak/warna. Berdasarkan penjelasan mengenai tradisi atau ‘urf, pakaian syuhrah juga bisa berbeda-beda hukumnya berdasarkan kebiasaan setempat. Sebagai contoh, muslimah di Wilayah Afrika Tengah kebanyakan mengenakan pakaian salat berwarna-warna, muslimah di Timur Tengah kebanyakan mengenakan pakaian salat berwarna hitam, dan muslimah di Asia Tenggara kebanyakan mengenakan pakaian salat berwarna putih. Hal ini dikuatkan dengan beberapa hadits tentang warna pakaian. Dalam Shahih Al Bukhari, nomor 5375 disebutkan:

Sementara menurut kesepakatan, selain wajah, kedua telapak tangan dan kaki wanita dikatagorikan sebagai aurat. Era ini banyak dijumpai wanita muslimah yang memakai mukena Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

123


Noni Mirantika, Saortua Marbun

Pengaruh Modernisasi Terhadap Perkembangan Komodifikasi Mukena

Dibawakan kepada nabi secarik kain yang di dalamnya ada pakaian kecil yang berwarna hitam. Maka beliau bersabda, “Menurut kalian siapa yang pantas kita pakaikan baju ini?” Maka para sahabat diam. Beliau bersabda, “Bawa Ummu Khalid ke sini,” maka Ummu Khalid pun dibawa kepada beliau, lalu beliau mengambil baju tersebut dan memakaikannya. Lalu beliau bersabda, “Semoga tahan lama hingga Allah menggantinya dengan yang baru.” Pada pakaian tersebut ada corak yang berwarna hijau atau kuning, dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, ini sanah, sanah.” Sanah adalah perkataan Bahasa Habasyah yang berarti bagus.” Masih dari Shahih Al Bukhari, dari Atha‟ dia berkata:

“Dan aku bersama „Ubaid bin „Umair pernah menemui „Aisyah Radhiyallahu „Anha yang sedang berada di sisi Gunung Tsabir. Aku (Ibnu Juraij) bertanya: “Hijabnya apa?” Ia menjawab: “Dia berada di dalam sebidang tenda kecil. Tenda itu memiliki penutup dan tidak ada pembatas antara kami dan beliau selain penutup itu, dan aku melihat beliau mengenakan gamis berwarna mawar.” Dari ‟Ikrimah, disebutkan: ‫ظ‬

‫ز‬

‫ز‬

‫ط ق‬

‫إ‬ ‫ع‬

‫ع‬ ‫ت‬

‫ؤ‬

Bahwasanya Rifa‟ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh ‟Abdurrahman bin Az Zubair Al Quradhi. ‟Aisyah berkata: ”Dia memakai khimar yang berwarna hijau, akan tetapi ia mengeluh sambil memperlihatkan warna hijau pada kulitnya”. Ketika Rasulullah Shallallaahu ‟Alaihi wa Sallam tiba-dan para wanita menolong satu kepada yang lainnya-maka ‟Aisyah berkata: ”Aku tidak pernah melihat kondisi yang terjadi pada wanita-wanita beriman, warna kulit mereka lebih hijau daripada bajunya (karena kelunturan).” (HR Al Bukhari no. 5487) Dalam riwayat Bukhari secara mu‟allaq (mengaitkansesuatu atau menjadikan sesuatu tergantung): ‫ع‬

‫ع‬

‫ض‬

“Aisyah Radhiyallahu ‟Anha memakai pakaian yang berwarna kuning ketika sedang ihram.”

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Dalam Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, ‫أل‬ ‫ز ج‬

‫ص‬

‫ع‬ ‫ف‬

‫ع‬

‫إ‬

“Dari Ibrahim (An Nakha‟i) bahwasannya ia bersama ‟Alqamah dan Al Aswad masuk menemui istri-istri Nabi Shalallaahu „Alaihi wa Sallam. Maka ia melihat mereka mengenakan mantel berwarna merah.” Dari Ummu Salamah Radhiyallahu „Anha ia berkata, ‫أل‬

‫ج‬

‫ز‬ ‫أل‬

: ‫ؤ‬

Ketika turun ayat “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS Al Ahzaab: 59), maka keluarlah wanita-wanita Anshar (dari rumah mereka) di mana seakan-akan di atas kepala mereka terdapat burung gagak dari pakaian (warna hitam) yang mereka kenakan.” (HR Abu Dawud, nomor 4101, shahih) Berdasarkan hadist-hadist yang disebutkan di atas, pada dasarnya mengenakan busana dengan berbagai macam warna atau corak hukumnya boleh. Akan tetapi pakaianpakaian tertentu dapat menjadi pakaian syuhrah jika bertentangan dengan adat istiadat di wilayah tersebut. Maka, bagi muslimah di Indonesia, mencukupkan diri dengan mukena berwarna putih lebih utama, karena akan terhindar dari pakaian syuhrah. 4. Pandangan Manajemen Terhadap Komodifikasi Mukena Saat ini komodifikasi agama sudah menjadi suatu trend dalam kehidupan masyarakat. Semua barang maupun jasa yang bisa diperjualbelikan telah digunakan masyarakat untuk memperoleh keuntungan guna pemenuhan kebutuhan. Tidak terkecuali komodifikasi terhadap apa yang bisa dipergunakan oleh seseorang dalam menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa. Komodifikasi mukena pada dasarnya berkaitan erat dengan konsumerisme, globalisme yakni ideologi pasar bebas. Konsep “globalisasi” menjadi metafora baru bagi kelompok pendukung utopia pasar untuk pandangan neoliberal mereka. Pasar menyediakan aneka barang konsumsi sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan atau diinginkan oleh konsumen. Kejayaan pasar mengakibatkan manusia mengalami komersialisasi dan komodifikasi yang mencakup keseluruhan aspek kehidupannya (Morison, 2012).[3] Dengan adanya fakta ini tidak membingungkan jika “... simbol-simbol yang bernuansa agama yang dianggap sakral sekalipun ternyata tidak dapat lepas dari tarikan komersialisasi dan komodifikasi” (Ibrahim, 2007:162)[4]. 124


Noni Mirantika, Saortua Marbun

Perpaduan antara pasar dan konsumerisme melahirkan, memelihara, membentuk dan melanggengkan komodifikasi agama (Kirtiasa, 2013)[5]. Gejala seperti ini tidak saja berlaku pada Agama Islam, tetapi juga agama-agama lain, misalnya Hindu. Gagasan ini menjadi lebih kuat, jika dikaitkan dengan pendapat Kitiarsa (2013)[5] tentang ciri-ciri komodifikasi agama, yaitu pertama, barang yang dijual adalah simbol agama. Gagasan ini berlaku, mengingat bahwa mukena adalah simbol Agama Islam. Kedua, komodifikasi agama terikat pada motif mencari laba. Gagasan ini dapat diterapkan pada kasus komodifikasi mukena, mengingat bahwa penjualan mukena sebagai suatu kegiatan bisnis dapat dipastikan terarah pada tujuan mencari keuntungan. Apalagi dalam kegiatan industri mukena mempekerjakan tenaga upahan di suatu tempat usaha pekerjakan tenaga upahan. Ketiga, komodifikasi agama bersifat terselubung. Gagasan ini berlaku pada komodifikasi mukena, yakni Pasar Badung sebagai penjual mukena. Kondisi yang terjadi saat ini diperkuat pula oleh ideologi pasar atau agama pasar yang semakin melembaga pada masyarakat Bali (Maguire, 2004)[6]. Ideologi pasar bertalian dengan berbagai paham lain, misalnya konsumerisme yang antara lain ditandai oleh adanya kenyataan bahwa segala tujuan, aktivitas atau hubungan didominasi oleh jual beli. (Ritzer, 2012).[7] Betapa pentingnya pasar bagi kehidupan umat manusia dapat dicermati pendapat Kitiarsa (2013:990-991) yang menyatakan bahwa pasar tengah menjadi agama dunia yang pertama bagi umat manusia [5]. Begitu pula Maguire (2004:19)[6] mengemukakan jika “... Uang adalah nama tuhan yang diberikan orang pada agama ini sehingga sekarang bernama moneytheisme�. Kondisi ini berlaku pada Masyarakat Bali, terbukti dari kenyataan bahwa Orang Bali sangat sibuk bekerja agar mendapatkan uang. Di desa berkembang turunannya, yaitu toko serba ada (toserda) dan warung serba ada (waserda) sebagai tempat orang desa membelanjakan uangnya. Penguatan ideologi pasar mengakibatkan modal sosial yang menekankan pada resiprositas dan solidaritas sosial-berbasis ideologi kolektivisme menjadi melemah, sebaliknya individualisme menjadi semakin menguat pada orang Islam. Akibatnya, bekerja sama yang berbasiskan kolektivisme tidak lagi dianggap sebagai kebajikan sosial dalam konteks saling berinvestasi modal sosial, tetapi dianggap sebagai beban sosial dan ekonomi yang menghambat kemajuan. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Pengaruh Modernisasi Terhadap Perkembangan Komodifikasi Mukena

Dengan demikian banyak informan berpendapat bahwa kegiatan membeli mukena adalah berkah karena beban sosial berbentuk kerja sama menjadi mengecil sehingga penyaluran tenaga dan waktu untuk kepentingan yang bernilai ekonomis menjadi lebih besar-uang pun dapat mengalir ke dalam sistem ekonomi keluarga. 5. Metode Metode yang digunakan dalam pembuatan artikel ini menggunakan metode wawancara dengan narasumber yang berada di Pasar Kumbasari atau Pasar Badung. Dikarenakan penjual mukena di Daerah Bali yang mencakup banyak penjual berada di daerah tersebut. Selain itu informasi yang penulis dapatkan akan lebih terpecaya apabila langsung mendapatkan informasi dari penjual/supplier. Banyaknya mukena yang mereka pesan juga membuat penulis semakin yakin memilih Pasar Kumbasari sebagai tempat penelitian. Penulis memilih beberapa penjual mukena yang ada di Pasar Kumbasari sebagai narasumber serta merangkum berbagai pendapat yang telah disampaikan oleh narasumber tersebut. Adapun nama narasumber yang penulis jadikan panutan dalam pembuatan artikel ini adalah Ibu Dewi dan Ibu Siti. Dengan pendapat yang telah disampaikan oleh narasumber maka penulis akan membahas hasil penelitian penulis pada bagian selanjutnya. 6. Diskusi Mukena digunakan sebagai sarana perlengkapan bagi seorang muslimah untuk mendekatkan diri kepada PenciptaNya, maka tidak ada salahnya bila kita mengusahakan untuk mengenakan pakaian yang terbaik. Mukena merupakan salah satu perlengkapan salat bagi wanita, dari zaman dahulu hingga sekarang yang telah berkembang di negara kita Indonesia ini, memang di dalam Islam tidak ada peraturan terperinci mengenai busana macam apa yang selayaknya dipakai untuk salat, yang ada hanyalah prinsip-prinsip umum bahwa busana untuk salat hendaknya menutupi aurat dan bersih dari noda/kotoran. Mukena di Indonesia ini sudah mengalami banyak perkembangan saat ini, bila dulu warna mukena sudah dapat dipastikan pasti berwarna putih polos, sekarang dilihat dari warnanya pun sudah sangat bervariatif. Dengan kombinasi warna yang menarik, serta bahan yang nyaman tentunya. Kini mukena hadir dalam berbagai motif, warna dan corak seni yang terbaik, sehingga hati menjadi senang saat menggunakannya, beribadah semakin bersemangat dan khusyuk tentunya.

125


Noni Mirantika, Saortua Marbun

Semakin tingginya kebutuhan masyarakat akan mukena sebagai sarana perlengkapan ketika salat. Semakin baik pula produk atau mutu produk yang akan hasilkan seperti berkualitas tinggi dan dapat memuaskan konsumen serta beraneka ragam bentuk dan ukurannya dengan style yang modis sesuai perkembangan zaman. Sebagai kebutuhan sehari-hari mukena yang ditawarkan oleh penjual mukena memiliki beberapa keistimewaan yaitu harga terjangkau oleh kemampuan konsumen, kualitas produk terjamin dan sesuai dengan selera masyarakat. Ruang lingkup usaha ini seluruh masyarakat yang ingin membeli mukena meskipun tempatnya berada di pasar, tetapi tempat ini terbilang cukup nyaman. Dengan lokasi yang berada di tempat strategis cukup mudah untuk mencapai Pasar Kumbasari. Berbagai model dan variasi mukena yang dijual di Pasar Kumbasari cukup beragam jadi apabila membeli mukena di Pasar Kumbasari maka terdapat banyak pilihan. Ada berbagai macam bahan mukena, tidak hanya memberikan tampilan yang menawan namun bahan mukena juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Mukena sebaiknya mudah dibawa ke mana pun namun juga harus mudah dijaga kebersihannya untuk menjaga kesucian mukena. Berikut adalah pilihan berbagai bahan mukena yang bisa dipilih sesuai dengan keunggulan dan kebutuhan yang ditawarkan. 6.1. Mukena Sutra Sutra dikenal sebagai bahan kain yang sangat kuat dan elastis, sehingga ketika dipakai saat salat tidak mengganggu penggunanya. Selain itu, kain sutra tidak panas di kulit dan juga tidak ikut dingin saat udara di luar sedang dingin, sehingga sangat nyaman untuk digunakan. Bahan sutra memberikan bentuk yang berkilau sehingga memberikan kesan yang luks dan tampak tidak hanya bersih namun juga bersinar. Mengingat bahwa harganya yang tidak murah dan kualitas terbaik yang diberikan, mukena sutra paling cocok untuk digunakan saat Salat Ied di hari yang Fitri, dan perayaan besar lainnya. Hanya sedikit produsen yang menjual mukena dengan bahan sutra dikarenakan harga pokok tinggi juga akan menyebabkan harga jual yang tinggi pula. Dengan sebab demikian penjual/produsen tidak ingin mengambil resiko menderita kerugian apabila mukena sutra tidak laku dipasaran.

Pengaruh Modernisasi Terhadap Perkembangan Komodifikasi Mukena

katun memiliki tekstur yang kuat dan halus. Katun juga terkenal sebagai bahan kain yang nyaman karena bisa menyerap keringat dan dingin saat dipakai. Bahan katun tidak kaku dan lentur sehingga ketika dikenakan untuk salat tidak mengganggu konsentrasi penggunanya. Tetapi katun tidak cocok digunakan ketika bepergian karena katun cukup berat dan ketika dilipat akan cepat kusut. 6.3. Mukena Parasut/Satin Mukena yang terbuat dari bahan parasut memberikan rasa sejuk dan nyaman saat dikenakan. Sangat cocok untuk dibawa bepergian, karena kain parasut mempunyai beberapa kelebihan yaitu dapat dilipat dan dimasukkan dalam tas kecil. Bahannya sangat ringan, teksturnya memang kusut sehingga tidak perlu takut terlihat lebih kusut lagi setelah dilipat-lipat dan bahan kain parasut cepat kering jika dicuci sehingga kebersihan mukena selama di perjalanan dapat terus terjaga. Selain bahan yang berbeda pada pembuatan mukena, ada beberapa model yang terdapat di pasaran termasuk yang ada di Pasar Kumbasari. Berikut adalah model mukena yang ada di Pasar Kumbasari. 6.4. Mukena one piece (terusan) Merupakan mukena yang paling sederhana karena pemakaiannya langsung masuk menutupi seluruh badan dengan tali kepala karet dan tanpa memiliki bawahan.

Citra 1. Mukena Bordir, 2013 http://www.bordirkudus.com/wp-content/uploads/2013/09/kmp045Tmukena-bordir-terusan-Hanifa-pink.jpg

6.5. Mukena Abaya

Abaya adalah pakaian muslim yang berbentuk long dress, pakaian sederhana atau tradisional, pakaian terusan longgar, pada dassarnya gaun seperti jubah. Mukena abaya umumnya digunakan oleh perempuan di beberapa bagian Dunia Islam seperti Turki, Afrika Utara, dan Semenanjung Arab.

6.2. Mukena Katun Katun sangat sesuai untuk dikenakan untuk sehari-hari ketika berada di rumah bahan ini sangat sesuai karena Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

126


Noni Mirantika, Saortua Marbun

Pengaruh Modernisasi Terhadap Perkembangan Komodifikasi Mukena

mukena guna menjalankan ibadah tarawih (salat sunnah di bulan puasa Ramadhan), Salat Idul Fitri dan Salat Idul Adha. Menurut narasumber meningkatnya penjualan pada saat itu bisa mencapai hingga 75% dari biasanya. Tentu hal ini akan memberikan keuntungan yang cukup besar dan hari-hari besar tersebut sangat dinantikan oleh penjual. Citra 2. Mukena Abaya, 2015 https://mukenamurahbaliku.wordpress.com/2015/02/23/mukena-abaya-hoodieasli-bali/

6.6. Mukena two piece (atas bawah) Mukena two piece merupakan mukena yang terdiri dari dua bagian yaitu atasan dan bawahan. Saat ini mukena two piece merupakan model mukena yang paling banyak dijumpai dalam pemakaiannya di masyarakat.

Citra 3. Mukena Kanaya, 2016 http://www.imgrum.net/media/1073699684394049787_2189799199

Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari kedua narasumber, mukena yang paling banyak diminati konsumen adalah Mukena Bali. Mukena Bali adalah mukena two piece yang memiliki ciri khas pada motifnya. Mukena Bali memiliki bahan yang nyaman ketika digunakan tidak panas dan tidak licin ketika dipakai salat. Mengenai harga yang ditawarkan oleh penjual cukup terjangkau bagi masyarakat, untuk mukena one piece (terusan) adalah Rp. 55.000-Rp. 120.000, harga yang mukena one piece tergantung dari bahan apa yang digunakan dan motif mukenanya. Untuk mukena abaya sebesar Rp 75.000-Rp.100.000, dan untuk mukena two piece sebesar Rp 85.000-Rp 210.000, serta harga untuk mukena Bali sebesar Rp 65.000-Rp 120.000. Untuk harga grosir mukena anak mulai dari Rp 80.000-Rp 100.000; 1 set sarung anak Rp 55.000-Rp 65.000; sajadah anak Rp 45.000 dan busana muslim anak antara Rp 65.000 hingga Rp 85.000. Penjualan akan meningkat secara signifikan ketika memasuki Bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha (hari raya kurban). Wanita muslim akan membeli Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Betapa kuatnya pengaruh ideologi pasar tercermin pula pada pertimbangan bahwa membuat mukena dengan cara membuat sendiri dianggap tidak praktis, tidak efisien, dan tidak efektif atau secara umum disebut merepotkan. Dengan mengacu kepada Villarino (2011:19) globalisasi yang berintikan pada ideologi pasar yang menyatu dengan konsumerisme tidak saja mengakibatkan manusia terikat pada jual beli dalam memenuhi kebutuhannya, tetapi melahirkan pula kebiasaan, yaitu “apa yang dimiliki dipamerkan secara terbuka, bahkan dibanggakan� [8]. Karakteristik manusia pada era masyarakat konsumen, tidak saja terjebak pada jual beli dan nilai simbolik, tetapi menganut pula budaya tontonan. Dengan demikian timbul manusia yang menganut budaya tontonan sehingga apa yang mereka miliki tidak hanya bernilai guna, tetapi juga bernilai simbolik atau nilai tanda, yaitu berguna untuk menunjukkan gengsi seseorang dalam masyarakat (Atmadja, 2010) [9]. Dengan adanya gagasan ini, maka komodifikasi mukena tidak hanya karena dorongan nilai agama, tetapi nilai simbolik atau nilai tanda. 7. Konklusi Pelaksanaan salat lima waktu merupakan kewajiban mutlak bagi Umat Islam. Bagi Umat Islam salat adalah tiang agama yang harus di bangun dengan kokoh. Dalam menjalankan ibadah salat seorang wanita muslimah terutama di Asia Tenggara membutuhkan mukena sebagai perlengkapan dalam menjalankan salat. Pembuatan mukena tidak lagi dengan cara individualis, tetapi dengan cara membeli sehingga timbul komodifikasi mukena atau bisa disebut komodifikasi agama. Dalam perspektif konsumen komodifikasi mukena disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu salat sebagai kewajiban yang harus dijalankan terikat mutlak pada mukena sebagai perlengkapannya (untuk wanita muslim). Mukena sulit dibuat dengan cara individual, karena pengaruh ideologi pasar mengakibatkan orang berpikir praktis, efektif, efesian, cepat atau tidak merepotkan dalam penyelenggaraan ibadah, diskontinuitas (keterbatasan) 127


Noni Mirantika, Saortua Marbun

pengetahuan pembuatan mukena sehingga pembuatan mukena yang rumit menjadi sulit dibuat. Terjadinya diferensiasisi sosial pada masyarakat desa sehingga orang sulit diajak kerjasama untuk membuat mukena, dan penggunaan mukena sebagai simbol status sosial sehingga membeli mukena tidak saja dinilai dari segi nilai agama, tetapi terkait pula dengan gengsi. Kondisi ini memberikan peluang bagi produsen untuk mengembangkan industri penjualan mukena. Hal ini tidak hanya karena produsen terjebak pada ideologi pasar-mencari uang guna memenuhi kebutuhan, tetapi juga karena produsen memiliki aneka modal, yaitu modal budaya, simbolik, sosial, dan ekonomi. Modal ini dipadukan dengan modal kerjasama, yaitu mendapatkan partner/supplier yang mampu memenuhi pesanan mukena, sehingga mukena siap dijual kepada konsumen. Aneka modal ini bersinergi dalam konteks memunculkan komodifikasi mukena. Hubungan antara wanita muslimah sebagai konsumen mukena dan penjual mukena di Pasar Kumbasari sebagai produsen mukena adalah berdimensi kekuasaan yang berbasiskan pada agama sebagai ideologi sehingga muncul kekuasaan yang hegemonik. Pola kekuasaan seperti ini memiliki potensi munculnya kekerasan, berupa kekerasan simbolik yang dilakukan oleh penjual terhadap konsumennya. Penjualan mukena tidak saja bermakna komodifikasi mukena, tetapi dapat pula bermakna komodifikasi agama. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa mukena adalah simbol perempuan muslim dalam menjalankan salat, penjualan mukena terkait dengan motif mencari untung.

Pengaruh Modernisasi Terhadap Perkembangan Komodifikasi Mukena

Referensi [1]

Fealy, G. (2008). Consuming Islam: Commodified religion and aspirational pietism in contemporary Indonesia. Expressing Islam: Religious life and politics in Indonesia.

[2]

Fealy, G., & White, S. (Eds.). (2008). Expressing Islam: Religious life and politics in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies.

[3]

"Hukum Memakai Mukena Potong Tengah Dalam Shalat | Kumpulan Artikel Dan Makalah". 2014. Caritugasakademik.Blogspot.Co.Id. Diakses 19 Mei 2016. http://caritugasakademik.blogspot.co.id/2014/09/hukummemakai-mukena-potong-tengah.html.

[4]

Ibrahim. 2007. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung : Sinar Baru

[5]

Kitiarsa, P. 2010. “Menuju Sosiologi Komodifikasi Agama�, dalam B. S. Turner eds. 2010. The New Blackwell Companion to the Sociology of Religion. Terjemahan Daryatmo, 2013. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[6]

Marguire, D. C. 2000. Sacred Energies. Fortress Press. Terjemahan Ali Noer Zaman, 2004. Energi Suci Kerja Sama Agama-agama untuk Menyelematkan Masa Depan Manusia dan Dunia. Jakarta: Pohon Sukma.

[7]

Ritzer, G. 2011. Sociology Theory. Eight Edition. Publisher by McGrow-Hill. Terjemahan Alimandan. 2012. Teori Soiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmoder. Jakarta: Prenada Media.

[8]

Villarino, R. R.. 2011. Learning to Live: Consumerism. Original Edition. Nova Galicia Edicions. Terjemahan Septina Yuda P. 2011. Konsumerisme. Jakarta: PT Bhuwana Ilmu Populer.

[9]

Atmadja, N.B., 2010. Ajeg Bali: gerakan, identitas kultural, dan globalisasi. Penerbit & distribusi, LKiS.

Saran Dengan adanya komodifikasi mukena diharapkan dapat meningkatkan pendapatan penjual mukena yang ada di Pasar Kumbasari. Inovasi pada mukena juga sangat diperlukan guna meningkatkan harga jual mukena kepada konsumen. Meningkatkan iklan penjualan, meskipun pasar Kumbasari telah diketahui oleh masyarakat luas tetapi meningkatkan iklan penjualan juga merupakan solusi yang baik. Misalkan iklan melalui sosial media yang saat ini sedang trend.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

128


Lidwina Hana

Kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan Yuyun dalam Kacamata Kultur Patriarki

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2:129-133

Jurnal Studi Kultural www.an1mage.org. An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan Yuyun dalam Kacamata Kultur Patriarki Lidwina Hana* An1mage. Universitas Udayana

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Kasus pemerkosaan yang berujung dengan tindakan pembunuhan seringkali menimpa Perempuan Indonesia. Pemerkosaan merupakan tindakan subordinasi perempuan, suatu simbol di mana kedudukan perempuan dengan laki-laki belum setara dalam kultur patriarki.

Dikirim 14 Maret 2016 Direvisi 22 April 2016 Diterima 24 Mei 2016 Kata Kunci:

Yuyun usia empat belas tahun, siswi kelas VII SMPN 5 Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejanglebong, menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan oleh empat belas pelaku pada 2 April 2016 saat perjalanan pulang sekolah.

Perkosaan Pembunuhan Perempuan Wanita Patriarki

Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa menilai bahwa perbuatan asusila yang berujung pada hilangnya nyawa ini merupakan akibat dari pengaruh minuman keras (miras) dan video porno sehingga beliau mendorong penutupan situs pornografi juga larangan peredaran minuman keras secara bebas, serta menyiapkan regulasi khusus mengenai proteksi perempuan dan anak-anak Š 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

Penelitian ini akan menyoroti kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun dalam hubungannya dengan budaya patriarki.

1. Pendahuluan Tahun ini, bertepatan dengan hari pendidikan nasional, media massa dihebohkan dengan berita pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi pada seorang pelajar SMP di Bengkulu. Yuyun, diperkosa empat belas pemuda saat pulang sekolah. #NyalaUntukYuyun menandai aksi solidaritas netizen terhadap aksi kekerasan seksual oleh pemuda kepada anak di bawah umur ini.

Kejadian pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun berlangsung saat ia dalam perjalanan pulang sekolah. Para pelaku yang sebelumnya menenggak minuman keras, mencegat Yuyun di jalanan dekat kebun karet milik salah seorang warga. Korban diperkosa secara bergantian. Bagian kepala korban dipukul oleh pelaku dengan kayu, dari empat belas pelaku, tujuh diantara pelakunya masih di bawah umur. Dua hari setelahnya, Yuyun ditemukan tewas di dalam jurang. Kondisi jenazah korban pun dalam keadaan membusuk. Korban ditemukan dalam keadaan nyaris tanpa busana dengan kaki dan tangan terikat, Senin (4/4/2016). [1] Banyak pihak yang menyoroti peredaran pornografi dan minuman keras sebagai penyebab aksi kejahatan ini. Kemajuan teknologi dan globalisasi juga dituding membuat akses terhadap konten pornografi semakin mudah.

Citra 1. #NyalaUntukYuyun Sumber : www.kompas.com, Selasa, 3 Mei 2016, diunduh 8 Mei 2016 [1]

Bahkan ada juga yang menebar stigma bahwa kekerasan seksual terjadi disebabkan karena kesalahan korban, bukan pelaku. Misalnya mengapa korban pulang sendirian melewati area kebun yang sepi, atau mempertanyakan pakaian korban.

∗ Peneliti koresponden: An1mage | Universitas Udayana. Kampus Bukit Jimbaran, BadungBali 80361 Mobile: +6285814894988 | E-mail: lidwinahana@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

129


Lidwina Hana

Kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan Yuyun dalam Kacamata Kultur Patriarki

Dalam banyak kasus pemerkosaan sebelum-sebelumnya, ada masyarakat yang cenderung menyalahkan korban. Jarang sekali ada masyarakat yang mempertanyakan tindakan kriminal pelaku. Menjadikan minuman keras, pornografi, dan globalisasi sebagai kambing hitam, bukannya mempermasalahkan tindak kejahatan pelaku. Berdasar latar belakang tersebut peneliti mempertanyakan apakah penyebab tragedi Yuyun ada kaitannya dengan pandangan yang didasarkan pada kultur patriarki. 2. Telaah Pustaka Berita yang akan dikaji dalam penelitian ini berasal dari www.antaranews.com. Judul berita tersebut adalah “Khofifah: Pemerkosa Yuyun terpengaruh video porno” yang terbit pada tanggal Jumat, 6 Mei 2016. Pada berita “Khofifah: Pemerkosa Yuyun terpengaruh video porno” dijelaskan bahwa pelaku ada dibawah pengaruh minuman keras dan juga gemar mengakses video porno melalui ponsel.

Citra 3. “Khofifah: Pemerkosa Yuyun terpengaruh video porno”. Sumber : www.antaranews.com, Jumat, 6 Mei 2016, diunduh 8 Mei 2016 [2]

Kutipan selanjutnya, yang berhubungan dengan kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, Khofifah menyatakan kebutuhan akan proteksi terutama pada perempuan dan anak-anak.

Citra 4. “Khofifah: Pemerkosa Yuyun terpengaruh video porno”. Sumber : www.antaranews.com, Jumat, 6 Mei 2016, diunduh 8 Mei 2016 [2]

3.Metode Menggunakan metode analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/CDA). Pandangan kritis mengkritik konstruktivis karena dirasa mengabaikan faktor historis dan konstelasi kekuasaan yang melingkupi dan memengaruhi proses produksi maupun reproduksi makna [3].

Citra 2. “Khofifah: Pemerkosa Yuyun terpengaruh video porno”. Sumber : www.antaranews.com, Jumat, 6 Mei 2016, diunduh 8 Mei 2016 [2]

Pandangan kritis menganggap individu tidak bisa berdiri netral dalam proses produksi maupun penafsiran sesuai dengan pikirannya, melainkan secara signifikan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial yang ada di sekitarnya, meskipun tidak disadari oleh individu itu sendiri [4].

Terkait dengan kasus ini, Khofifah menyatakan bahwa situs pornografi dan minuman keras dapat memengaruhi orang berbuat kejahatan. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

130


Lidwina Hana

Kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan Yuyun dalam Kacamata Kultur Patriarki

4. Diskusi Perkosaan adalah konspirasi politik patriarkis. Sistem patriarki menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Posisi perempuan sebagai subordinat bermula dari konsep dikotomik atau oposisi biner. Griffin menyatakan perkosaan merupakan bentuk ekspresi tertinggi dari subordinasi perempuan, karena perkosaan merupakan perilaku agresi yang di dalamnya perempuan sebagai korban diabaikan determinasi dirinya sendiri [5]. Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan lakilaki sebagai sosok otoritas sentral dalam organisasi sosial. Pria dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan dan dipandang pantas memegang kontrol. Sementara perempuan diposisikan sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender [6]. Dalam perkosaan, persoalan paling pertama adalah bukan soal hasrat menyetubuhi, tetapi hasrat untuk menguasai. Penguasaan ini erat kaitannya sebagai penanda utama dominasi [7].

Citra 5. “Blame it on the alcohol? Maybe not, study suggests”. Sumber : bodyodd.nbcnews.com, Kamis, 22 September 2011, diunduh 9 Mei 2016 [9]

Dalam artikel “Blame it on the alcohol? Maybe not, study suggests”, alkohol bukanlah alasan untuk mengelak, bahwa seseorang tidak tahu apa yang dilakukannya. Seolah-olah orang yang mabuk melakukan tindak kejahatan karena tidak menyadari “dan dianggap menjadi lupa” atas perilaku mereka, tetapi alkohol membuat mereka menjadi lebih sedikit mencemaskan implikasi atau konsekuensi dari tindakan mereka dari pada saat berada dalam kondisi normal.

Selain itu citra perempuan sebagai kaum yang lemah dan sebagai korban dalam kehidupan telah ditempa sejak ratusan tahun silam [8]. Pandangan bahwa perempuan makhluk lemah yang harus dilindungi bersumber dari kultur patriarki. Pemerkosaan dan pembunuhan dijadikan alat untuk mendisiplinkan tubuh wanita. Perempuan tidak boleh berpakaian sesuai keinginannya karena dapat mengundang nafsu pria. Perempuan didiskriminasi dengan disarankan untuk tidak berjalan sendirian di tempat sepi atau harus ditemani pasangannya. Perempuan dipandang sebagai objek sekaligus subjek cenderung sebagai “calon” korban perkosaan dilarang melakukan hal-hal yang boleh dilakukan pria. Kemudian dari sisi pria, yang ditekankan masalah konsumsi minuman keras dan pornografi. Baik pornografi atau minuman keras sebenarnya bukan akar dari permasalahan pemerkosasan dan pembunuhan. Permasalahan harus lebih difokuskan pada tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki di mana budaya patriarki memberi legitimasi pada tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Citra 6. “Alcohol is Never an Excuse for Bad Behavior”. Sumber : www.soberforever.net, Kamis, 22 September 2011, diunduh 9 Mei 2016 [10]

Tulisan “Alcohol is Never an Excuse for Bad Behavior” juga menemukan bahwa ketika orang dibuat percaya bahwa mereka telah mengonsumsi alkohol, mereka cenderung bertindak seperti orang mabuk. Ketika orang dibuat percaya bahwa mereka belum mengkonsumsi alkohol, mereka cenderung tidak bertindak seperti orang mabuk. Karena alkohol tidak menyebabkan perilaku buruk, tidak menjadi alasan untuk memperbolehkan seseorang berbuat kejahatan. 131


Lidwina Hana

Kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan Yuyun dalam Kacamata Kultur Patriarki

Penelitian Kutchinsky dari Institute of Criminal Science, University of Copenhagen, Denmark dilakukan di empat negara yakni Amerika Serikat, Denmark, Swedia dan Jerman Barat pada rentang tahun 1964-1984. Dalam periode tersebut, tingkat ketersediaan konten pornografi dalam berbagai bentuk seperti majalah, movie baik yang ditampilkan di rumah atau bioskop meningkat dibanding pada masa sebelumnya. Apabila pornografi menyebabkan pemerkosaan, semestinya dengan peningkatan jumlah konten pornografi, maka jumlah pemerkosaan juga akan meningkat. Angka pemerkosaan juga tidak diharapkan tetap stabil pada periode tersebut yang mana saat itu juga diketahui bahwa sebagian besar kejahatan lainnya meningkat pesat. Citra 7. “What is the influence of pornography on rape?” Sumber : www.calcasa.org, 19 Maret 2010, diunduh 9 Mei 2016 [11]

Artikel “What is the influence of pornography on rape?” menyatakan bukti mengenai hubungan kausal antara paparan pornografi dan agresi seksual sangat tipis dan mungkin, pada waktu tertentu, telah dibesar-besarkan oleh politisi, pressure groups dan beberapa ilmuwan sosial. Beberapa perdebatan telah difokuskan pada pornografi kekerasan, tapi bukti efek negatif tidak konsisten, dan pornografi kekerasan relatif jarang terjadi di dunia nyata. Tingkat korban pemerkosaan di Amerika Serikat menunjukkan hubungan terbalik antara konsumsi pornografi dan tingkat pemerkosaan. Data dari negara-negara lain telah menunjukkan hubungan sejenis. Data tersebut menjadi bukti yang lemah untuk mendukung hipotesis bahwa pornografi berhubungan dengan agresi seksual. Dapat disimpulkan bahwa sudah waktunya untuk membuang hipotesis bahwa pornografi berkontribusi untuk meningkatkan perilaku kekerasan seksual.

Dari data tingkat perkosaan dibandingkan dengan pelanggaran kekerasan non-seksual dan pelanggaran seksual tanpa kekerasan, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak satu pun dari negara-negara yang diteliti tindak pemerkosaannya lebih meningkat dari kejahatan kekerasan non seksual. Temuan ini tampaknya cukup untuk membuang hipotesis bahwa pornografi menyebabkan pemerkosaan. 5. Konklusi Pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan dilatarbelakangi kultur patriarki di mana kultur ini sudah mengakar di masyarakat dan sangat sulit untuk dihilangkan karena masyarakat sendiri secara sadar atau tidak sadar memeliharanya. Pengkambinghitaman minuman keras dan pornografi tidak dapat membenarkan tindak kejahatan pemerkosaan dan pembunuhan yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Begitupula dengan wacana yang bertujuan untuk mendisiplinkan tubuh perempuan seperti larangan menggunakan pakaian tertentu dan pandangan perempuan sebagai makhluk lemah yang hendaknya tidak berpergian sendiri, sebab problem sesungguhnya ada di pola pikir pemikiran masyarakatnya. Usaha perlindungan perempuan merupakan kebijakan dari pemikiran yang lahir dari kultur patriarki. Perempuan diposisikan sebagai makhluk lemah, subordinat dari pada pria. Ketika kejahatan terjadi, yang harus dibatasi ruang geraknya bukanlah korban, di sini perempuanlah yang diatur. Tapi pihak yang berbuat kejahatanlah yang semestinya diamankan.

Citra 8. “Pornography and rape: theory and practice? Evidence from crime data in four countries where pornography is easily available”. Sumber : www.ncbi.nlm.nih.gov, 1991, diunduh 9 Mei 2016 [12] Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

132


Lidwina Hana

Kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan Yuyun dalam Kacamata Kultur Patriarki

6. Pengajuan Solusi Pemerkosaan dan pembunuhan perempuan dapat ditekan dengan mengubah pola pikir yang condong ke patriarki menuju kesetaraan gender (gender equality). Pemerintah harus membuat regulasi untuk memberikan efek jera kepada pelaku serta memberikan rasa aman bagi perempuan. Bukan perempuan yang harus dibatasi ruang geraknya, namun moral dari para pelaku kejahatanlah yang harus dibenahi. Memupuk moral tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan. Seseorang yang memiliki moral yang baik adalah mereka yang mematuhi paturan dan melaksanakan pandangan hidup berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan secara sukarela. Ucapan Terima Kasih Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada An1mage juga kepada M.S. Gumelar yang banyak memberikan umpan balik sehingga lebih menyempurnakan artikel ini. Referensi [1] [2]

http://regional.kompas.com/read/2016/05/02/20474131 http://www.antaranews.com/berita/559253/khofifahpemerkosa-yuyun-terpengaruh-videoporno?utm_source=related_news&utm_medium=related&ut m_campaign=news [3] Eriyanto. 2006. Analisis wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yokyakarta: LKIS. [4] Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London & New York: Longman. [5] http://nasional.kompas.com/read/ [6] Faturochman. 2002. Keadilan: Perspektif Psikologi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta [7] http://www.jurnalperempuan.org/blog/dewi-candraningrumkarier-patriarki [8] http://e-journal.uajy.ac.id/2373/ [9] http://bodyodd.nbcnews.com/_news/2011/09/22/7885500blame-it-on-the-alcohol-maybe-not-study-suggests [10] http://www.soberforever.net/addictionblog/index.php/ [11] http://www.calcasa.org/2010/03/what-is-the-influence-ofpornography-on-rape/ [12] www.ncbi.nlm.nih.gov. 1991. Diunduh 9 Mei 2016

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

133


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

VOLUME I NOMOR 2 JUNI 2016

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juni 2016 www.an1mage.org

iv


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.