An1mage Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 2 juli 2017

Page 1

www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

VOLUME II NOMOR 2 JULI 2017

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

i


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

ISSN: 2477-3492

VOLUME II NOMOR 2 JULI 2017

An1mage Direktur: Michael Sega Gumelar

Format MS Word. doc: https://drive.google.com/drive/folders/0B3l84AXZlhgSZU9MNnJ 5Tko3Xzg

Public Relation: Archana Universa

Format PDF: https://drive.google.com/drive/folders/0B3l84AXZlhgSZU9MNnJ 5Tko3Xzg

Designer: Wulan Ardhana Content Editor: Kevin Putranto Mega Oetama Text Editor: Aswin Chandra Dimas Satria Thomas Wijaya Reviewers: Dr. Michael Goddard, Lappeenranta University of Technology, Finland Prof. Hitoshi Tsumura, Tokushima University, Japan Prof. Khian Kwee, 2nd Research Institute of Ministry of Public Security, China Dr. Sophia Milancoci, Vasile Goldis Western University, Arad, Romania Prof. Tanja Swanepoel, NorthWest, University, South Africa Dr. Natasha Bianca, Delcoure, Associate Dean and Director of Graduate Programs, University of St. Thomas, USA M.S. Gumelar M.A., Universitas Surya, Universitas Udayana, Institut Teknologi Keling Kumang, Indonesia.

an1mage

CopyrightŠ2017 by an1mage and the authors. All rights reserved. An1mage holds the exclusive copyright of all the contents of this journal. In accordance with the national & international convention, no part of this journal may be reproduced or transmitted by any media or publishing organs (including various websites) without the written permission of the copyright holder. Otherwise, any conduct would be considered as the violation of the copyright. The contents of this journal are available for any citation. However, all the citations should be clearly indicated with the title of this journal, serial number and the name of the author. Pemesanan versi print, silakan kontak: an1mage @an1mage.org atau sms ke: 08888988005 atau click link berikut untuk pemesanan online via print on demand system http://www.an1mage.org/p/jurnal-studi-kultural.html An1mage bekerja sama dengan Komunitas Studi Kultural Indonesia dan Serikat Dosen Indonesia. Naskah laporan penelitian dan korespondensi silakan kirim ke: an1mage@an1mage.org

KASTA KOMUNITAS STUDI KULTURAL INDONESIA

enlightening open mind generations

www.an1mage.org e: an1mage@an1mage.org

Tatacara dan panduan naskah tersedia di link berikut: Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Serikat Dosen Indonesia ii


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

ISSN: 2477-3492

VOLUME II NOMOR 2 JULI 2017

Daftar Isi 68

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup I Made Marthana Yusa

76

Singer sebagai Ujud Tertib Hidup, Damai, dan Keseimbangan di Kalangan Etnis Dayak Ngaju Suriansyah Murhaini

80

Proyeksi Kritis: Kesetaraan Gender di Masa Depan Michael Sega Gumelar

85

Dialektika Budaya Dayak: Inkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan Kristianus

91

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Masa Depan Dayak Michael Sega Gumelar

102

Memahami Ritual Aci Keburan Melalui Sajian Multimedia (Studi Kasus: Desa Pakraman Kelusa) Kadek Ayu Ariningsih, I Nyoman Widhi Adnyana

106

Teori: G-Engine dengan Super Magnet dan Magnet Shielding System Michael Sega Gumelar

110

Dayak Ngaju dalam Pusaran Kehadiran Agama-agama Wilson

114

Journal Indexing: Pemarginalan Terstruktur dari Pemerintah kepada Dosen di Indonesia Michael Sega Gumelar

120

Perdagangan Emisi: Solusi Kapitalis atas Global Warming Lidwina Hana

123

Perempuan dan Kejahatan Cyber: Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Perempuan di Media Sosial Nurul Setyorini

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

iii


I Made Marthana Yusa

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II Nomor 2: 68 – 75

Jurnal Studi Kultural http://www.an1mage.org/p/jurnal-studi-kultural.html

Laporan Riset

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup I Made Marthana Yusa* STMIK STIKOM Indonesia

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Studi ini meninjau aspek-aspek dalam konteks desain dan gaya hidup mengenai pelaksanaan ritual kematian yang dikonstruksi dalam terminologi perayaan kematian. Sepanjang peradaban manusia telah ditemukan peninggalan berupa artefak, kebudayaan dan sastra yang berhubungan dengan cara manusia memaknai kematian. Kematian sebagai bagian dari kehidupan dimaknai dengan berbagai cara. Pada studi ini, penulis mengungkap bagaimana manusia—secara khususnya masyarakat di Indonesia —merayakan kematian dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut berhubungan dengan kepercayaan dan pola perayaan kematian.

Dikirim 24 April 2017 Direvisi 7 Mei 2017 Diterima 9 Mei 2017

Kata Kunci: Perayaan Kematian Gaya Obituary Homology

Perayaan kematian yang dipengaruhi hasrat untuk hadir, dikenali, dihormati, dan memosisikan diri atau golongan tertentu pada suatu tataran sosial budaya tertentu akhirnya memiliki kecenderungan untuk membentuk suatu kebiasaan yang mengarah pada suatu gaya hidup. Penulis mengkaji perayaan kematian dari berbagai filsafat kematian menurut berbagai pemikiran filsuf, psikologi kematian, perayaan kematian dalam sudut pandang kepercayaan/agama, dan studi kasus tentang peringatan kematian seperti pada prosesi mengantar roh orang mati (atman) menuju alam baka pada tradisi di Bali (ngaben), berita kematian pada surat kabar (obituary), hingga homology instrumentasi pendukung ”perayaan kematian” seperti atribut dan busana.

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Semua siklus kehidupan manusia dengan penandaan ritual pada momen-momen tertentu tidaklah lepas dari peranan manusia lainnya atau lingkungannya. Manusia menciptakan suatu penandaan atau prasasti untuk momen-momen tertentu seperti kelahiran yang merupakan peristiwa di mana manusia ”hadir” dan juga penandaan dimulainya kehidupan seorang manusia dalam suatu lingkungan masyarakat. Momen akil balig (peristiwa inisiasi), di mana manusia mendapat status di dalam masyarakat tadi. Kemudian, pernikahan dapat menjadi momen penting dalam masyarakat. Pernikahan merupakan saat di mana manusia akan melakukan proses regenerasi untuk meneruskan keturunannya.

∗ Peneliti koresponden: Kampus STMIK STIKOM Indonesia (STIKI Indonesia), Jl. Tukad Pakerisan no.97 Denpasar, BALI 80225. E-mail: made.marthana@gmail.com made.marthana@stiki-indonesia.ac.id, angelmarthy.com | angelmarthy.deviantart.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Sedangkan yang terakhir adalah kematian atau akhir dari proses kehidupan. Penandaan pada momen tersebut kemudian menjadi suatu kebiasaan manusia dan kemudian karena kebiasaan tersebut dipercayai oleh masyarakat menjadi suatu hal yang sakral, maka kebiasaan itu berkembang dan menjadi suatu tradisi dalam masyarakat. Suatu tradisi akan berkembang lagi dan menjadi ”hukum” atau kode etik di dalam masyarakat. Di dalam suatu kepercayaan masyarakat terhadap ”hukum” atau kode etik tadi maka kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat tersebut akan dilakukan bahkan dilaksanakan. Jikalau ada bagian dari masyarakat yang tidak mematuhinya, maka ia, sebagai bagian dari masyarakat tersebut, akan mendapat ”sanksi atau hukuman” dari lingkungannya.

68


I Made Marthana Yusa

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

Namun karena tidak adanya sanksi atau hukuman untuk seseorang yang dianggap melanggar kode etik atau norma tadi, maka lingkungannya pamali atau tidak boleh dilanggar, atau yang biasa disebut tabu. Hal tersebut menimbulkan suatu mitos atau legenda di dalam suatu komunitas masyarakat tertentu. Menurut Alan Tomlinson dalam Piliang (2008) [1] dikatakan: Lifestyle is about what we believe and think, what we arrive at our beliefs, what we do, and how our action express particular belief or value. Manusia merespon kematian dalam kognisinya terhadap berbagai kepercayaan dan pengalaman. Penulis mengkaji dengan metode cultural reading: semiotics dan hermeneutics tentang bagaimana manusia “merayakan kematian” dalam berbagai aktivitas yang berpola, kemudian menjadikannya sebagai way of life yang menuju kepada penerapan lifestyle secara sadar ataupun tidak sadar. 2.

Telaah Pustaka 2.1. Kematian Sebagai Manusia

siap, pasti akan kita tinggalkan dan tidak ada bekal yang berharga bagi kelanjutan perjalanan hidup kita kecuali amal kebaikan yang telah terekam dalam memori ruhani yang nantinya akan di-printout di akhirat kelak. Yang menarik, keyakinan semacam ini tidak saja ditemukan di kalangan agamawan melainkan juga di kalangan filsuf serta memperoleh dukungan ilmiah seperti yang secara panjang lebar dikemukakan oleh Frank J.Tipler dalam bukunya The Physics of Immortality (1994). Mengutip kata orang bijak, tersenyumlah engkau ketika malaikat maut menjemputmu meskipun keluarga yang engkau tinggalkan akan menangis. Sebaliknya, alangkah malangnya jika engkau hadapi kehadiran maut dengan tangis penuh ketakutan sementara orang-orang di sekitarmu tersenyum gembira karena merasa risih akan keberadaanmu di tengah mereka [3].

“Bagian Dari Kehidupan”

Tanpa kita sadari, keyakinan bahwa setiap saat kita bisa dijemput kematian memiliki pengaruh yang amat besar bagi kehidupan seseorang. Begitu pun keyakinan adanya kelanjutan hidup setelah kematian. Dengan harapan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak, maka Raja-raja Mesir Kuno membangun piramid dengan puncaknya yang runcing dan menjulang ke langit agar memudahkan perjalanan arwahnya menuju surga. Sementara Raja-raja Tiongkok ketika meninggal dan jasadnya dikubur, berbagai perhiasan yang paling disukai disertakannya ke dalam suatu bangunan yang kokoh dan megah karena yakin bahwa kematian adalah suatu transisi untuk memasuki kehidupan baru yang lebih agung dan abadi. Dalam pada itu Islam secara tegas mengajarkan bahwa tiada seseorang pun yang bisa menemani dan menolong perjalanan arwah kecuali akumulasi dari amal kebaikan kita sendiri [2]. Doktrin Islam tersebut secara ekspresif dan dramatis diperagakan dalam seremoni ibadah haji yang semuanya mengenakan kain ihram. Rangkaian ibadah haji tersebut memberikan pesan kuat pada seluruh manusia bahwa pada akhirnya dunia ini suatu saat, mau tidak mau, siap tidak Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Citra 1. Kain Ihram sebagai simbol kesahajaan dan kesetaraan manusia di hadapan Tuhan. Sumber Gambar : dari berbagai sumber

Maka tidak aneh jika filsuf J. Paul Sartre sendiri pun bergumam: “kematian merupakan peristiwa yang tidak terpahami. Fenomena kematian adalah kenyataan yang menyergap secara tiba-tiba dan membuta, sehingga manusia tidak mampu mengontrolnya. Kedatangannya tidak bisa diperhitungkan dan sangat mengejutkan manusia yang sedang merencanakan hidupnya dan berusaha mewujudkannya.” Kematian adalah keniscayaan, hal ini pasti disadari setiap insan. Kendati demikian, manusia pada umumnya tidak suka, bahkan sangat takut pada kematian. Bagi sebagian orang, kematian sangat menakutkan. Mereka membayangkan kematian sebagai peristiwa yang amat tragis dan mengerikan.

69


I Made Marthana Yusa

Imam Ghazali juga Komaruddin Hidayat dalam Psikologi Kematian [3], menjelaskan beberapa alasan mengapa manusia takut terhadap kematian. Pertama, karena ia ingin bersenang-senang dan menikmati hidup ini lebih lama lagi. Kedua, ia tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah. Ketiga, karena ia tidak tahu keadaan mati nanti seperti apa. Keempat, karena ia takut pada dosa-dosa yang ia lakukan selama di dunia ini. Kematian kerapkali menjadi dramatis, apalagi kalau peristiwa itu melibatkan diri kita, orang yang kita cintai, orang yang sangat kita butuhkan, orang yang memengaruhi atau menentukan jalur hidup kita. Akibatnya, meskipun kita (manusia) hidup di alam di mana semua makhluk lahir, tumbuh dan mengalami kematian, tidak begitu mudah menerima kematian itu sendiri, atau menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Manusia takut karena ia tidak pernah ingat kematian dan tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam menyambut kehadirannya. Manusia, kata Ghazali, biasanya ingat kematian hanya kalau tiba-tiba ada jenazah lewat di depannya. Seketika itu, ia membaca istirja’: ”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Namun, istirja’ yang dibaca itu hanyalah di mulut saja, karena ia tidak secara benar-benar ingin kembali kepada Allah dengan ibadah dan amal saleh. 2.2 Perayaan Kematian Para filsuf memiliki dua pandangan yang bertolak belakang tentang hidup. Ada yang pesimis sehingga memandang hidup ini sebagai sesuatu yang berat, penuh kesedihan dan kesulitan lalu berakhir dengan maut yang berarti kepunahan. Ada juga yang optimis menilai hidup sebagai penghormatan dan tanggung jawab yang dapat berakhir dengan kebahagiaan dan kekekalan yang baru diperoleh melalui maut [4]. Ada berbagai cara dan ekspresi manusia dalam memaknai kematian. Ada kecenderungan bagi orangorang untuk menunjukkan eksistensi, prestasi dan ”posisi” diri ataupun kerabat dekat di sekelilingnya bahkan hingga kematian tiba. Ada keinginan untuk ”memberitahu dunia” tentang berita kematiannya. Hal tersebut berkaitan dengan ontologi citra dan psikologi citra. Ada yang menganggap peristiwa kematian sebagai suatu perayaan yang penuh suka cita dan layak untuk dirayakan bersama. Berbagai cara dalam mengekspresikan perayaan kematian tersebut bisa berbentuk suatu peringatan dan pengabadian peristiwa kematian dalam Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

nisan, monumen, obituary, dokumentasi multi-media dan sebagainya atau bisa dengan perayaan upacara seperti penghormatan terakhir dalam prosesi kemiliteran, atau upacara tradisional seperti Ngaben dalam tradisi masyarakat Bali [5]. 3. Metode Penulis mengkaji perayaan kematian dengan tiga metode. Pertama, metode studi literatur, dengan melihat fenomena perayaan kematian dan mengkajinya dengan sudut pandang berbagai filsafat kematian menurut berbagai pemikiran filsuf, psikologi kematian, dan perayaan kematian dalam sudut pandang kepercayaan/agama. Kedua, observasi. observasi dilakukan dengan mengamati perayaan kematian pada studi kasus ritual kematian seperti pada prosesi mengantar roh orang mati (atman) menuju alam baka pada tradisi di Bali (ngaben), berita kematian pada surat kabar (obituary), hingga mengamati homology instrumentasi pendukung ”perayaan kematian” seperti atribut dan busana. Observasi yang dilakukan menggunakan pendekatan semiotika visual. Tanda-tanda yang didokumentasikan sebagai hasil observasi dikaitkan antara penanda dan petanda dengan korelasi yang logis dan benar. Hasil pengorelasian dirangkum dalam kesimpulan. Ketiga, analisis yang digunakan adalah tinjauan desain dan gaya hidup dengan membingkai permasalahan dalam ruang lingkup desain dan gaya hidup, kemudian melihat implementasi teori-teori desain dan gaya hidup yang ada pada objek penelitian. 4. Pembahasan 4.1 Pelebon Agung Keluarga Kerajaan Di Puri Agung Ubud, Gianyar, Bali

Tradisi masyarakat di Bali dengan kepercayaan Hindu Bali, tubuh seseorang hanyalah wadah bagi jiwanya. Saat seseorang meninggal dipercayai bahwa atman atau jiwa tetap di sekitar tubuh. Tubuh kasar (sthula sarira) yang terdiri dari unsur api (panas), udara (gas), air (cair), bumi (padat), dan ruang hampa harus kembali ke alam semesta, dan jiwa yang telah disucikan (atman), sebagai badan halus (suksma sarira) menyatu dengan Sang Pencipta. Inilah hakekat dan tujuan ngaben. Kematian sejatinya bukan akhir, tetapi awal. Lebih penting lagi cara hidup seseorang dan bagaimana harapan sangat kuat keluarga almarhum setelah kematian datang. Itulah yang jelas tertangkap dari cara sanak keluarga, rekan, dan warga melaksanakan ngaben atau pelebon. 70


I Made Marthana Yusa

Nyaris tidak ada tangis, tapi wajah-wajah bersemangat, penuh harapan bagi yang telah meninggal, maupun yang ditinggalkan.

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

Dalam hal ini (ngaben), penulis melihat adanya hubungan perayaan ngaben dengan konsep capital dalam hubungannya dengan Lifestyle (dapat dilihat pada bagan di citra 3). Posisi keluarga kerajaan yang tinggi dalam tatanan masyarakat sosial di Ubud (cultural and symbolic capital), direpresentasikan dalam berbagai istrumentasi ngaben yang megah dan menghabiskan banyak uang (Economic Capital), namun mampu memberikan keuntungan berupa keringanan biaya bagi masyarakat karena penyelenggaraannya secara massal (social capital) (dapat dilihat pada bagan di citra 4).

ECONOMIC CAPITAL

Citra 2 Patung lembu dan bade atau tempat jenazah diarak dari Puri Agung Ubud menuju Setra Dalam Puri Agung Ubud, Gianyar, Bali, Selasa (15/7/2008). Puncak upacara kremasi keluarga kerajaan (pelebon) yang dituakan, Tjokorda Gde Agung Suyasa, Tjokorda Gede Raka, serta Desak Raka (Gung Niang Raka), itu disaksikan ribuan warga Bali dan wisatawan. Sumber gambar : http://cetak.kompas.com

LIFE STYLE

SYMBOLIC CAPITAL

Tiga orang yang dikremasi itu tergolong dituakan dan terpandang. Mereka adalah Tjokorda Gde Agung Suyasa, kepala keluarga Puri Agung Ubud dan ketua komunitas tradisional di Ubud sejak 1976; Tjokorda Gede Raka, seorang pensiunan di Kepolisian Kota Besar Denpasar; dan Gung Niang Raka. Turut pula dikremasi 68 jenazah dari empat banjar desa adat sekitar Puri Agung Ubud: Banjar Sambahan, Ubud Tengah, Ubud Kelod Peken, dan Ubud Kaja [6].

SOCIAL CAPITAL

CULTURAL CAPITAL

Citra 3. Bagan Hubungan Capital & Lifestyle FIELD OF PRODUCTION

lic bo

l ita ap C

Ec

on om

ic

Setidaknya 68 desa adat di Bali secara gotong royong membantu upacara ini. ”Pelebon bukanlah suatu acara duka, tetapi diyakini sebagai cara menghibur jiwa-jiwa yang telah meninggal dan menjaga agar jiwa mereka tidak terganggu oleh tangisan yang ditinggal [6]. Di sisi lain, pelebon merupakan bentuk gotong royong seluruh anggota keluarga dan masyarakat untuk mengurangi beban biaya,” kata Kerthyasa, Jumat lalu. Menurut Kerthyasa, berapa pun besarnya biaya upacara keagamaan—biaya fisik dalam seluruh ritual kremasi di Puri Agung Ubud kali ini sekitar Rp 3 miliar—upacara itu tidak dapat berhenti di tengah jalan. ”Dalam ngaben niri (sendiri) biaya bisa di atas Rp 50 juta dari kantong pribadi, tapi dalam ngaben massal biaya bisa ditekan jadi Rp 5 juta,” kata Ni Nyoman Rented, menantu almarhumah Ni Wayan Genjong, salah satu petani penggarap yang jenazahnya ikut dalam ngaben massal ini [6]. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Ca pi ta l

LIFE STYLE C ul tu ra l

C ap ita l

al ci So

l ita ap C

FIELD OF DISSEMINTION

Juru bicara Puri Ubud, Tjokorda Raka Kerthyasa, menjelaskan ngaben kali ini adalah pertama terbesar sejak 1979 saat ngaben seniman masyhur dari Ubud yang juga keturunan puri, Cokorda Gde Agung Sukawati. Mengingat fungsi puri/kerajaan dianggap penting dari sisi penegak moral dan ritual keagamaan, dukungan masyarakat di Bali pun sedemikian besar.

FIELD OF EXPRESSION

m Sy

FIELD OF APPRECIATION

Citra 4. Bagan Fields of Lifestyle

Pada upacara tersebut, seluruh jenazah ditempatkan di suatu bade (menara untuk jenazah dan yang tertinggi kali ini 28,5 meter dengan berat 11 ton) diarak ribuan warga di Bali. Prosesi juga diikuti patung lembu penuh hiasan megah dan disucikan Masyarakat Hindu serta Patung Nagabanda. Patung naga hanya muncul pada kremasi keluarga puri yang dituakan. Lembu adalah simbolisasi dari Lembu Nandini, Wahana Dewa Siva, penguasa dunia kematian [6]. Saat dikremasi, jenazah ditempatkan di atas menara sebagai simbol antara bumi dan langit. Suatu bhoma (topeng bermuka seram) ditempatkan di belakang menara untuk menakuti roh jahat dan topeng garuda ditempatkan di depan menara.

71


I Made Marthana Yusa

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

beranggapan perajin krans (karangan) bunga duka cita nggege mangsa (mendahului kehendak Tuhan).

Citra 5. Kiri: Replika Lembu Hitam, sombol dari Lembu Nandini, wahana dewa Siwa, sebagai pemralina (penguasa dunia akhir kehidupan). Tengah : Bhoma, topeng pengusir bala (hal negatif). Kanan : bade (wadah jenazah) dengan tumpang (atap) sembilan, sebagai lambang alam bhurloka (alam roh). Ada pemanfaatan objek simbol (use of object) berkaitan dengan pola gaya hidup. sumber : http://cetak.kompas.com

4.2 Fenomena Kematian Soeharto, Presiden ke-2 NKRI Kematian tokoh yang sangat populer sangat mempengaruhi masyarakat. Ada keinginan untuk ikut larut dalam seremoni itu yang berhubungan dengan fenomena ‘histeria massa’, yang dikendalikan oleh mekanisme citra. Kita bisa melihat hal tersebut pada “perayaan kematian” Soeharto, mantan presiden Indonesia. Sebagai masyarakat Indonesia yang pernah “dekat” dengan kepemimpinan Soeharto, janggal rasanya jika tidak ikut terlarut dalam “perayaan kematian” Soeharto. Ada suatu self moral punishment, Panopticon: the social relation of observation, surveillance, discipline and efficiency (Michel Foucault, Discpline and Punish), walaupun Soeharto tidak sempurna dan dikecam banyak orang di Indonesia karena pemerintahan yang korup. Pemerintah Indonesia saat itu mengeluarkan kebijaksanaan untuk menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang untuk menghormati Soeharto yang telah menjadi presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun lamanya [7]. Senin siang, 28 Januari 2008 itu, di kawasan Astana Giribangun, Metasih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah―kompleks pemakaman keluarga Cendana, diterjang panas menyengat. Tak banyak orang yang memperhatikan, saat pemakaman Soeharto ternyata disyukuri para tukang ojek karena mereka memperoleh rezeki nomplok. Saat penguburan jenderal besar itu mereka memperoleh penghasilan melebihi hari-hari biasa [7]. Pada hari biasa pendapatan menarik ojek paling banyak Rp 15.000 hingga Rp 20.000, pada saat pemakaman Penguasa Orde Baru itu, Senin siang, para pengojek mengantongi Rp 200.000. Bahkan, sejumlah menteri tak segan mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk menggunakan jasa ojek menuju Astana Giribangun [7].

Sejak presiden terlama berkuasa di Indonesia itu dirawat di RSPP dan dinyatakan kondisinya kritis, pesanan membanjiri kios bunga milik Dwi Santo yang terletak di jantung Kota Solo. Dwi Santo mengaku usaha pembuatan karangan bunga miliknya yang sudah empat generasi menjadi langganan keluarga Cendana [7]. Saat Siti Hartinah atau Ibu Tien, istri Soeharto, meninggal beberapa tahun lalu, pihaknya juga kebanjiran pesanan krans bunga. Hingga Minggu (27/1/2008) pagi kios bunga milik Dwi Santo telah menyiapkan 300 papan krans karangan bunga duka cita yang telah dipesan pelanggan. Permintaan tulisan di krans bunga duka cita pun beragam. "Biasanya mereka minta ditulis singkat, tapi minta dibesarkan nama instansi atau nama pemesannya. Ini kan menandakan si pengirim karangan bunga duka cita tidak tulus mencampaikan ucapan belasungkawa," ujarnya [7]. Dari fenomena tersebut, seperti fenomena pada perayaan ngaben, terdapat hubungan perayaan kematian Presiden Soeharto saat itu dengan konsep capital dalam hubungannya dengan Lifestyle. Dalam hal ini social dan economic capital. Terdapat fenomena menarik tentang pemujaan citra (fetishism of image ) dan ontologi citra Soeharto beserta keluarga Cendana (Keluarga Besar Soeharto) dalam mempertahankan posisi citra (existence of images) yang menggiring pada ontologi citraan (ontology of images) dan posisi pada “masyarakat kelas atas”. Soeharto dan keluarganya “meminjam” image Astana Giri Bangun sebagai tempat peristirahatan terakhir (baca:makam) dalam transposisi image untuk menunjukkan kelas priayi Keluarga Besar Soeharto. Karena, Astana Giri Bangun mewakili image tempat pemakaman para priayi agung keluarga besar Keraton Mangkunagaran (Citra 7).

Citra 6. Astana Giri Bangun, Metasih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah―kompleks pemakaman keluarga Cendana dengan image-nya sebagai makam keluarga priayi. Sumber Gambar: dari berbagai sumber

Penjual jasa lain yang memetik untung dari kematian Soeharto adalah para penjual bunga. Banyak orang

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

72


I Made Marthana Yusa

Keluarga Besar Soeharto

Status Sosial Tinggi

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

Borrowing

Transposition

Astana Giri Bangun

Makam Keluarga Priayi Mangkunegaran

Citra 7. Transposisi Image antara Keluarga Besar Soeharto dan Astana Giri Bangun.

4.3 Obituary sebagai Ontologi Citraan Obituary merupakan wujud ekspresi dari kecenderungan orang-orang untuk menunjukkan eksistensi, prestasi dan ”posisi” diri ataupun kerabat dekat di sekelilingnya bahkan hingga kematian tiba. Ada keinginan untuk ”memberitahu dunia” tentang berita kematiannya. Hal tersebut berkaitan dengan Ontologi Citra dan Psikologi Citra. Jonathan Rutherford dalam karya tulisnya, Identity: Community, Culture, Difference, (1990) [1] mengatakan : “Pada tingkat individual, identitas memberikan seseorang suatu ‘lokasi personal’ (personal location) sebagai ‘titik pusat individualitas’ yang stabil dan mantap.” Terdapat suatu upaya dalam mengukuhkan eksistensi diri dan memperlihatkan lokasi personal antara desain obituary yang satu dengan yang lain. Seperti yang bisa dilihat pada analisa penulis tentang obituary.

Citra 8. Image tag atau banner obituari pada Klasifikasi Iklan (Klasika) KOMPAS dengan gaya Romantisme-nostalgia, menyesuaikan dengan citra positif kematian yang meninggalkan kenangan dan memori terhadap almarhum.Sumber Gambar : Klasika Harian KOMPAS

Citra 9. Obituary 01 Sumber Gambar : Dari berbagai edisi KLASIKA Harian Kompas

Space (ruang/bidang) penempatan obituari dalam media surat kabar mendapat tempat di bagian yang sama dengan iklan. Karena itu banyak yang menempatkan nama yang bersifat komersil dalam obituary. Bisa nama toko atau perusahaan asal atau milik almarhum atau pihak terkait yang ingin diakui eksistensinya atau keterlibatannya dengan almarhum. Seakan-akan, seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali juga Komaruddin Hidayat dalam psikologi kematian, si almarhum tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah. Dalam obituary dicantumkan jabatan semasa almarhum hidup beserta perusahaan-perusahaan yang dimiliki dan rekan kerja yang dijalin semasa hidup.

4.4 Homology Obituary Penulis melihat adanya homology dalam struktur desain obituary. Pertama, dibuat berbingkai, berbentuk pemberitahuan dengan kop obituary menunjukkan bahwa obituary mengabarkan berita kematian. Biasanya tulisan yang tertera pada kop obituary adalah berita duka cita, atau rest in peace. Kemudian waktu kematian, dan identitas almarhum yang disampaikan dengan foto wajah yang terbaik (belum tentu foto terakhir) menurut keluarga almarhum, beserta nama dengan ukuran yang mencolok dan umur almarhum. Masyarakat keturunan Tionghoa menyertakan nama Tionghoa-nya. Kemudian dilanjutkan informasi seputar penyemayaman jenazah dan nama-nama keluarga dan kerabat almarhum. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Citra 10. Obituary 02 Sumber Gambar : Dari berbagai edisi KLASIKA Harian Kompas 73


I Made Marthana Yusa

Ada juga obituary yang menampilkan prestasi gemilang almarhum semasa hidupnya. Kegemilangan prestasi almarhum tentu saja akan membawa kebanggaan juga bagi keluarga yang ditinggalkan.Biasanya untuk memperlihatkan kegemilangan prestasi tersebut, sang almarhum diperlihatkan dengan kostum atau atribut kebesarannya. Yang berprestasi di dunia militer, foto almarhum memperlihatkan atribut militer. Yang berprestasi dalam dunia pendidikan, diperlihatkan prestasi tersebut dengan toga dan atributnya. Seperti yang bisa dilihat pada citra 11 obituary 03.

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

Semua di-setting dalam suasana duka. Untuk acara nyekar, aturan dalam berpakaian lebih tidak terikat, tapi tetap dalam batasan-batasan yang telah disepakati bersama dalam lingkungan tertentu. Ada keinginan juga yang secara sadar atau tidak sadar untuk memperlihatkan status sosial dari cara berpakaian dan nilai pakaian dalam seremoni kematian. Semakin mahal dan semakin terkenal rancangan busana, semakin tinggi status sosial dan capital-nya.

Citra 12 Kiri : Gaya berpakaian nyekar yang lebih santai dengan baju batik. Tengah dan Kanan: Gaya berpakaian untuk melayat yang didominasi warna hitam dan putih atau kombinasi warna lain yang menimbulkan kesan duka dan menunjukkan simpati dan empati. Sumbe : Berbagai sumber

Dalam tradisi militer, ”perayaan” kematian diselenggarakan dengan upacara kemiliteran dengan berbagai atribut militer dan rentetan upacara-nya.

Citra 11. Obituary 03 Sumber Gambar : Dari berbagai edisi KLASIKA Harian Kompas

Tentu saja dibutuhkan biaya untuk memasang obituary pada media. Semakin besar ukurannya, maka semakin besar-lah uang yang harus dibayar. Peluang tersebut dipergunakan juga untuk menunjukkan posisi dan difference untuk membedakan dari yang lain sehingga memperlihatkan strata sosial dan eksistensi almarhum dan keluarga dengan jelas.

Citra 13. Rentetan Upacara ”Perayaan Kematian” Militer. Penuh dengan perangkat kemiliteran dan tembakan penghormatan dengan instrumen simbol disposisi bunga dan karangan bunga yang lekat dengan perayaan kematian. Sumber: Berbagai sumber

Pada Citra 14 dapat dibandingkan instrumentasi dalam "perayaan kematian".

disposisi

Dalam hubungan ”perayaan” kematian dalam kelompok masyarakat, terjalin adanya kontak sosial, kepedulian terhadap manusia lain yang meninggal dunia. Muncullah Praktik nyekar, melayat dengan cara yang terkait dengan disposisi yang telah disepakati sebelumnya dalam masyarakat dalam rangka ”perayaan” kematian itu. Disposisi itu biasanya berupa atribut,simbol dan berbagai instrumentasi. Misalnya pada pakaian. Kebanyakan warna pakaian untuk menghadiri acara resmi yang berhubungan dengan kematian di Indonesia biasanya adalah warna hitam atau putih yang melambangkan kedukaan dan kesucian. Warna-warna cerah pada umumnya dianggap tabu karena kontras dan cenderung bermakna kegembiraan. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Citra 14. Disposisi instrumentasi dalam perayaan kematian. Sumber: Rangkuman gambar oleh penulis

74


I Made Marthana Yusa

5. Konklusi Manusia memaknai kematian sebagai bagian dari kehidupan dengan berbagai cara. Pertama, ada yang takut dengan kematian itu, kemudian sebagai respon akan rasa panik tersebut, timbul paranoia, sehingga akhirnya dengan tekun mempelajari agama secara mendalam. Yang ingin mencapai pencerahan secara instan, biasanya mencari pengalaman dengan mengikuti aliran-aliran kepercayaan alternatif seperti sufisme, taoisme, dan lain-lainnya.

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

Profil Penulis I Made Marthana Yusa, S.Ds., M.Ds menyelesaikan pendidikan program Sarjana Desain dan Magister Desain pada Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Penulis saat ini tercatat sebagai mahasiswa Program Doktoral Kajian Budaya Universitas Udayana, Bali. Homebase Penulis adalah pada konsentrasi Desain Grafis dan Multimedia, Teknik Informatika, STMIK STIKOM Indonesia, Denpasar-Bali. Beberapa publikasi penulis dapat dilihat pada : Google Scholar : https://scholar.google.co.id/citations?hl=en&imq=I+Made+Marthana+Yusa &user=AYrv2xQAAAAJ Orcid : orcid.org/0000-0001-7642-8837

Ada yang memperingati kematian dalam perspektif menghargai kehidupan dan bertindak sebaik-baiknya, menghargai penggunaan waktu dan tempat seefektif dan seefisien mungkin. Ada yang tidak peduli dengan kematian dan memanfaatkan masa hidup dengan bersenang-senang dengan alasan waktu hidup singkat. Kaum ini adalah kaum hedonis. Masyarakat memiliki pola khusus dalam merayakan kematian. Ada pemanfaatan objek (use of object), ruang dan waktu ketika manusia berhadapan dengan perayaan kematian. Penulis mengambil contoh perayaan ngaben, fenomena kematian tokoh populer, ontologi citra melalui obituary dan disposisi instrumentasi perayaan kematian dalam membahas “perayaan” kematian dalam tinjauan desain dan gaya hidup. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ada berbagai konsep gaya hidup yang diterapkan dalam konteks “perayaan” kematian manusia, seperti concept of capital, the use of object, ontologi citra,disposisi -transposisi image, dan homology. Referensi [1]

Piliang, Yasraf Amir. 2008. Materi Kuliah Desain dan Gaya Hidup. Bandung : Institut Teknologi Bandung

[2]

Al Ghazali. 2008. Metode Menjemput Kematian. Bandung : JABAL

[3]

Hidayat, Komaruddin. 2005. Psikologi Kematian-Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Jakarta : Mizan.

[4]

Christiawan, Johanes. 2002. Ketika Aku Melihat Kematianku. Studio Seni Grafis. Bandung : ITB.

[5]

2017. Kebermaknaan Kematian Menurut John Hick. http://nelkaonline.wordpress.com/2007/11/21/kebermaknaankematian-menurut-john-hick/)

[6]

Koestanto, Benny Dwi. 2008. Ngaben Massal - Seribu Harapan di Setra Dalam Ubud. http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/16/01434040/seri bu.harapan.di.setra.dalam.ubud.

[7]

Soetopo, Eddy J.2008. ‘Berkah’ Kematian Soeharto. VHR Media./

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

75


Suriansyah Murhaini

Singer sebagai Ujud Tertib Hidup, Damai, dan Keseimbangan di Kalangan Etnis Dayak Ngaju Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.2: 76-79

Jurnal Studi Kultural http://www.an1mage.org/p/jurnal-studi-kultural.html

Laporan Riset

Singer sebagai Ujud Tertib Hidup, Damai, dan Keseimbangan di Kalangan Etnis Dayak Ngaju Suriansyah Murhaini* Universitas Palangka Raya

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Setiap hukum, peraturan, juga norma-norma moral lahir dari konteks sosial suatu komunitas/etnis tertentu. Demikian pula halnya dengan singer merupakan produk yang mencerminkan tertib hidup, damai, dan keseimbangan di kalangan etnis Dayak Ngaju, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Singer ialah denda adat. Artikel ini membahas singer dalam konteks hukum keseimbangan sosial.

Dikirim 07 April 2017 Direvisi 7 Juni 2017 Diterima 19 Juni 2017 Kata Kunci: Singer Tertib Damai Dayak Ngaju

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Singer sebagai suatu entitas “fakta sosial” tidaklah berdiri sendiri, berada di ruang hampa, tanpa konteks sosial-budaya suatu masyarakat, dalam hal ini masyarakat Ngaju, Kalimantan Tengah. Apakah “singer” secara sederhana, singer dapat dimengerti sebagai “Denda adat yang dikenakan bagi pelanggar ketentuan adat.” Tentu saja, dalam hal ini, denda adat yang berlaku di kalangan masyarakat Ngaju, Kalimantan Tengah. Seiring perubahan sosial dan zaman, singer dari hari ke hari juga berubah, baik jumlah dendanya maupun konteksnya. Akan tetapi, ada yang tidak berubah, yakni esensinya. Sejak para utusan dari 400 kelompok Suku Dayak di seluruh Kalimantan berkumpul di Desa Tumbang Anoi, Kahayan Hulu Utara, Kalimantan Tengah, pada 22 Mei - 24 Juli 1894, suatu keputusan besar untuk menghentikan semua pertikaian yang sudah beratus-ratus tahun berlangsung di antara mereka pun berakhir.

∗ Peneliti koresponden: Universitas Palangka Raya, Kampus Tunjung Nyaho, Jalan Yos Sudarso, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, e-mail: suriansyah802@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Pertikaian yang berlumuran adat kebiasaan lama yang sudah terlanjur membudaya, berurat berakar warisan negatif dalam bentuk asang-maasang (perang suku), bunu habunu (saling membunuh), kayau mangayau (saling penggal kepala), dan jipen-hajipen (saling mendenda), berganti menjadi suasana yang penuh getaran semangat pembaruan dan persaudaraan yang kental. Sebelumnya, pertikaian sepertinya sudah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dari Suku Dayak. Hampir dalam setiap babak hidup Suku Dayak tak pernah terpisahkan dengan kisah-kisah penuh keberanian yang terkadang kebablasan. Untuk menyelesaikan kasus ringan maupun kasus berat, hampir selalu menggunakan jalur kekerasan dengan saling balas terhadap tindakan yang diambil satu pihak pada pihak lain. Suasana penuh kekerasan ini sebelumnya tumbuh subur ketika Perang Banjar pecah pada tahun 1859. Perang ini meluas hampir ke seluruh bagian yang saat ini menjadi wilayah Kalimantan Tengah. Perang Pulau Petak, Palingkau, Palangkai Telo/Basarang Kanamit misalnya melanda Sungai Kahayan di Bukit Rawi. Perang Lentang Tamuan/Juragan Bangkusin melanda Tewang Pajangan. 76


Suriansyah Murhaini

Singer sebagai Ujud Tertib Hidup, Damai, dan Keseimbangan di Kalangan Etnis Dayak Ngaju

Hal yang sama juga terjadi di Tumbang Kurun sebagai akibat dari perang Nuhuda Lampung, di Tewah pada tahun 1885 akibat Perang Patangan (Perang Tewah), di sepanjang sungai Barito, Mambaroh (Kalimantan Barat). Bersamaan dengan itu, perang suku di Datah Nalau daerah Barito Hulu/Mahakam Hulu, Kalimantan Timur, juga pecah. Keresahan yang timbul akibat perang antar-suku, perang Banjar dan perang-perang lainnya melawan Belanda yang berlangsung lebih dari 35 tahun, mengakibatkan keresahan yang mendalam bagi suku Dayak. Para Damang yang dalam struktur masyarakat Dayak memiliki posisi penting dan strategis, prihatin dengan keadaan ini. Mereka yang semula menjadi pusat dan pendukung para prajurit yang terlibat penuh di berbagai medan perang (Barandar), dengan kesadaran tinggi kemudian mengalihkan dukungan itu kepada proses perdamaian. Bersama komponen masyarakat lainnya, mereka menerima tawaran damai dari Belanda, tetapi dengan syarat status kedamangan tetap tegak dan lembaga keadatan lainnya tetap berdaulat. Pokok-pokok perdamaian tersebut mengandung arti kedua belah pihak berdamai atas dasar persamaan derajat; pengalihan strategi perjuangan jangka panjang melalui proses. pembaruan yang tidak rapuh; mengalihkan tugas para prajurit Barandar menjadi misi konsultasi ke segala penjuru demi penyeragaman strategi perjuangan; menuju sasaran membangun persiapan untuk pemantapan yang berkesinambungan. Tuan rumah pertemuan, Damang Batu, Singa Rontang, Singa Duta, Tamanggung Panji dan kawan-kawan berhasil menggelar pertemuan besar di Tumbang Anoi yang berlangsung selama 60 hari itu. Berbondong-bondong seluruh utusan berdatangan menuju Desa Tumbang Anoi yang berada di tengah-tengah searea pulau itu. Semua itu mereka lakukan bukan karena perintah dan bentuk berserah diri pada kolonial Belanda, tapi karena ajakan para Damang yang berpengaruh itu. Rapat Tumbang Anoi itu berisikan delapan poin penting. Pertama, perang antara kolonial Belanda dan pasukan Barandar dilakukan tanpa penuntutan ganti kerugian masingmasing. Kedua, mengakui kewenangan pemerintah untuk memajukan dan membangun daerah Dayak yang diimbangi dengan pengakuan pada kedaulatan dan status lembaga adat/Kedamangan. Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Ketiga, semua pihak sepakat menghentikan kegiatan asang maasang (perang antar suku). Keempat, dihentikannya kegiatan bunu habunu (saling bunuh) yang seringkali dilakukan dengan latar belakang dendam. Kelima, menghentikan kegiatan kayau mengayau (kebiasaan memburu manusia, memotong kepala untuk koleksi pribadi dan bukti kepahlawanan). Keenam, menghentikan kebiasaan jipen hajipen dan hajual hapili jipen (perbudakan dan jual beli budak). Ketujuh, menyempurnakan warisan turun temurun yang dipangku para Damang di samping ketentuan-ketentuan yang dijalankan pemerintah. Kedelapan, memberi kesempatan untuk berbagai pihak mengemukakan masalah yang dihadapi masing-masing dan dicarikan penyelesaiannya. 2. Diskusi

Hukum adat yang dihasilkan Perdamaian Tumbang Anoi inilah dipegang oleh masyarakat Dayak guna dijadikan sebagai pedoman hidup bermasyarakat serta menjadi pegangan tokoh-tokoh adat dalam menjalankan tugasnya di Kalimantan Tengah. Sebagai satu produk hukum adat, singer sebagai sanksi berkembang dari suatu kesadaran untuk menciptakan kehidupan bersama yang teratur, tertib dan bisa memberikan rasa damai. Hal yang sama juga terjadi pada berbagai hukum adat yang ada di Indonesia. Menurut Ter Haar [1], di seluruh kepulauan di Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir batin. Golongangolongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan itu pun masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, yaitu sudah diatur oleh kodrat alam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut, kata Ter Haar, mempunyai harta benda milik keduniaan dan milik gaib. Untuk mengawasi pelaksanaan tata aturan adat agar ditaati seluruh anggota masyarakatnya maka dibentuklah organisasi sosial dan bagi masyarakat adat itu disebut sebagai lembaga adat. Di dalamnya terdapat tokoh-tokoh adat yang dipercaya masyarakatnya berhimpun untuk memecahkan masalah dan kepentingan bersama termasuk mengawasi pelaksanaan tata aturan adatnya. 77


Suriansyah Murhaini

Singer sebagai Ujud Tertib Hidup, Damai, dan Keseimbangan di Kalangan Etnis Dayak Ngaju

Menurut Malinowski [2] lembaga (pranata) sosial dapat didefinisikan sebagai kelompok orang-orang yang bersatu (dan karena itu terorganisir) untuk tujuan tertentu dengan memiliki sarana kebendaan dan teknis untuk mencapai tujuan tersebut atau paling tidak melakukan usaha-usaha yang masuk akal, diarahkan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya.

Penundukan dan pengakuan secara sukarela dari beberapa kelompok masyarakatadat yang berdekatan (desa/kampung/ dukuh/kelurahan) kepada Kedamangan yang bersangkutan dan menjadi harapan meminta keadilan atau penyelesaian masalah adat berupa Singer dengan Jipen sebagai sanksinya, membuat posisi Damang menjadi sah di hadapan rakyat yang dipimpinnya.

Arahan mencapai tujuan tersebut mendukung sistem nilai tertentu, etika dan. kepercayaan-kepercayaan yang memberikan pembenaran kepada tujuan.

Karena salah satu fungsinya adalah mengawal pelaksanaan hukum adat, maka Damang Kepala Adat biasanya dibantu beberapa staf, Majelis Adat (Kerapatan Adat Kedamangan) yang beranggotakan para Mantir (tokoh adat yang duduk dalam majelis).

Dalam rangka mencapai tujuan itu, berulangkali melakukan jenis-jenis perbuatan yang sedikit banyak dapat diramalkan. Dengan penggolongan ini, semua kegiatan manusia dapat ditinjau sebagai melembaga atau bersifat acak. Walaupun tidak selalu semua pihak merasa diterima baik dalam lembaga itu. Namun, karena memiliki kekuatan sanksi lembaga yang sah karena menjadi produk sosial masyarakat. Dalam masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, lembaga adat yang memegang kendali legitimasi hukum adat adalah lembaga Kedamangan. Keberadaan lembaga ini silih berganti diatur di berbagai instrumen hukum yang dikeluarkan pemerintah, baik lokal maupun pusat. Dalam tataran lokal misalnya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 1998 yang di dalamnya menyatakan bahwa Kedamangan adalah kesatuan masyarakat adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah yang terdiri dari himpunan beberapa desa/kelurahan/kecamatan yang mempunyai wilayah tertentu yang tidak dapat dipisahpisahkan. Lembaga Adat yang beranggotakan para tetuha dan Damang ini adalah organisasi kemasyarakatan baik yang disengaja maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat Dayak, dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut. Lembaga ini dan orang-orang di dalamnya berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berhubungan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Wilayah Kedamangan ini ditetapkan dan terbentuk berdasarkan keeratan hubungan sosial daerah yang berdekatan menggunakan tata aturan adat dan adat istiadat yang sama. Masyarakat hukum adat di Kedamangan di Kalimantan Tengah tidak hanya terbentuk berdasarkan hubungan genealogis, melainkan juga teritorial. Mereka tidak terdiri dari keturunan-keturunan yang memiliki hubungan darah, tapi juga adalah mereka yang tunduk dan hidup menetap di wilayah Kedamangan tersebut. Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Damang Kepala Adat juga memiliki perpanjangan tangan di tingkat desa/kampung yang terdiri dari tokoh-tokoh adat (led adat) yang diketuai kepala kampung atau kepala desa di dalam wadah Kerapatan Adat Desa/Kampung. Tokoh-tokoh adat inilah yang melaksanakan tugas di bidang adat baik dalam usaha memelihara tata aturan adat maupun menyelesaikan perselisihan antar warganya melalui sidang kerapatan adat/kampung, dan bila tidak dapat diselesaikan baru kemudian keputusannya diserahkan kepada Damang Kepala Adat. Tokoh-tokoh adat kampung/desa berhak memilih dan dipilih masyarakatnya menjadi Kepala Kampung/Desa. Begitu pula Kepala Kampung/Desa memiliki hak dipilih dan memilih menjadi Damang Kepala Adat, bila memenuhi persyaratan misalnya cakap, memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dan mendalam tentang tata aturan adat Suku Dayak. Tata aturan adat Suku Dayak Ngaju tertuang dalam Hukum adat (HA) menjadi acuan berbagai peraturan yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat. Sumber hukum adat ini berasal dari berbagai kebiasaan di masyarakat yang kemudian dikodifikasikan dan ditaati keberadaannya. Lembaga adat menjadi bagian tak terpisahkan dengan hukum adat, karena itu menjadi medium penegakan semua aturan yang ada. Dalam lembaga itu terdapat individu-individu yang dipilih dan didukung untuk mengatur kehidupan masyarakat sekaligus menjaga semua tatanan masyarakat. Perilaku warga masyarakat dalam hubungan sosialnya masingmasing diklasifikasikan sebagai perilaku yang sesuai dan menyimpang dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum adat. Perubahan sosial terjadi karena pengaruh keberagaman kepentingan dan kebutuhan dalam masyarakat. Ketika kepentingan dan kebutuhan dalam masyarakat kian meningkat maka perubahan sosial pun akan berlangsung lebih cepat. Perubahan sosial merupakan struktur dan fungsi sosial yang meliputi perubahan perilaku dan interaksi sosial. Karena itu, 78


Suriansyah Murhaini

Singer sebagai Ujud Tertib Hidup, Damai, dan Keseimbangan di Kalangan Etnis Dayak Ngaju

perubahan sosial berpengaruh terhadap interaksi sosial dan perilaku warga masyarakat. Perilaku warga masyarakat tidak dapat dipisahkan dari hubungan sosial. Melalui hubungan sosial yang terjadi, muncul situasi-situasi yang memengaruhi perilaku warga masyarakat. Dalam situasi perubahan sosial maka peran hukum adat semakin penting yaitu sebagai pengatur dan pengendali hubungan sosial di antara warga masyarakat. Makna dapat diungkap dengan cara penafsiran dan pemahaman dari simbol-simbol, norma-norma dan ekspresiekspresi yang muncul dalam hubungan sosial, eksistensi lembaga adat, para tokoh adat dan perilaku warga masyarakat. Kerangka konseptual ini dituangkan dalam satu model berbentuk citra 1 berikut ini:

3. Konklusi Sebagai kelompok etnik, Dayak Ngaju merupakan kelompok sosial, memiliki ikatan-ikatan yang erat ditandai dengan pentingnya relasi sosial melalui interaksi-interaksi kebersamaan, yang diatur oleh norma-norma sebagai pengendali tingkah laku warga masyarakatnya. Melalui pengalaman berkelompok, orang menghayati norma-norma kebudayaan, serta bersama-sama memiliki nilai-nilai, tujuan, perasaan dan banyak hal yang membedakan manusia dengan jenis hewan. Dalam konteks itulah singer bukan hanya mengatur soal bagaimana seseorang menjaga laku dalam lingkup adat, tapi juga menjadi medium penyelesaian secara damai terhadap pelanggaran yang terjadi. Hal ini dimaksudkan agar pelanggaran itu tidak terjadi lagi dalam masyarakat. Ke-13 hukum keseimbangan tersebut, dituangkan dalam Hukum Adat yang terdiri atas 98 pasal. Referensi

Citra 1. Kerangka konseptual singer dan tujuannya.

Dalam citra tampak bahwa “masyarakat seimbang� menjadi tujuan singer. Oleh karena itu, setiap warga dalam konteks sosial kemasyarakatan etnis Dayak Ngaju dituntut menjaga keseimbangan tersebut. Jika disarikan, keseimbangan mencakup 13 aspek sebagai berikut: 1) perkawinan, 2) perzinahan, 3) etika dan moral, 4) keyakinan dan kepercayaan, 5) tanggung jawab sosial, 5) perjanjian, 7) tanggung jawab terhadap lingkungan alam, 8) pengangkatan saudara, 9) harta benda, 10) tuduhan, 11) pencurian, 12) perkelahian, dan 13) pembunuhan.

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

[1]

Ter Haar, Barend J. 1962. Adat Law in Indonesia/ Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht. Bhratara

[2]

Malinowski, Bronislaw. 1944. A Scientific Theory of Culture and Other Essays. Chapel Hill: The University of North Carolina Press.

[3]

Abdurrahman. 2005. Lembaga Kedamangan di Kalimantan Tengah. Jakarta.

[4]

Adimihardja, Kusnaka. 1983. Kerangka Studi Antropologi Sosial Dalam Pembangunan. Bandung: Penerbit Tarsito.

[5]

Alfian. 1986. Transformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta : Universitas Indonesia.

[6]

Anonim. 2004. Sejarah Kalimantan Tengah. Palangka Raya: Kerja sama Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah

[7]

Baier, Martin, 1977. Adatbubsrecht der Ngaju Dajak (Salilah Kocex) Disertation Tubingen Universiteit.

[8]

Black, Jame A. Champion Dean J. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung : PT Eresco.

[9]

Fakultas Hukum Unlam. 1987. Hukum Adat dan Lembaga Hukum Adat Kalimantan Tengah. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman.

[10] Friady, Johnly, 1979. Catatan Sejarah Perdamaian Tumbang Anoi dan Peranan Damang Batu. Palangkaraya: Universitas Palangkaraya.

79


Michael Sega Gumelar

Proyeksi Kritis: Kesetaraan Gender di Masa Depan Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No. 2: 80–84

Jurnal Studi Kultural http://www.an1mage.org/p/jurnal-studi-kultural.html

Laporan Riset

Proyeksi Kritis: Kesetaraan Gender di Masa Depan Michael Sega Gumelar* An1mage Research Division, Komunitas Studi Kultural, Serikat Dosen Indonesia

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 6 Januari 2017 Direvisi 9 April 2017 Diterima 19 Mei 2017 Kata Kunci: Proyeksi Kesetaraan Gender Ketidaksetaraan Inequality

Abstrak Proyeksi Gender dan implikasi yang akan terjadi di masa depan. Pada dasarnya cita-cita kesetaraan gender menjadi acuan dewasa ini, namun transformasi dari pemikiran religius, serta kebudayaan suatu area ke pemikiran kesetaraan gender memberikan celah pemikiran yang berbeda tentang kesetaraan gender yang dimaksud, sehingga pengejaran kesetaraan gender malah dimanipulasi oleh golongan yang dianggap sebagai “korban’ dari ketidaksetaraan gender sebelumnya yaitu para wanita. Para wanita ditengah transformasi pemikiran kesetaraan gender tersebut malah ada yang salah persepsi sehingga para wanita dengan ketidakmengertiaanya tersebut malah secara sengaja atau tidak menjadi membalik dan memarjinalkan para pria yang mulai menerima “apa arti kesetaraan gender tersebut”, tetapi para pria malah terjebak dengan keadaan merugikan mereka yang tidak pernah dipikirkannya akan terjadi sebelumnya. Di sini dibahas proyeksi apa saja yang akan menjadi isu dan potensi konflik kemungkinankemungkinan dari implikasi kesetaraan gender ke depannya serta usulan solusinya yang memungkinkan. © 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Kesetaraan gender (gender equality) lahir dari ketidaksetaraan gender (gender inequality) yaitu permarginalan perempuan di segala bidang pada area yang masih kuat memegang teguh adat patriarki.

Dan secara jelas wanita diposisikan sebagai subordinat dalam sistem patriarki/patrilineal ini secara tersurat (eksplisit) atau secara tersirat (implisit) dengan berbagai variannya, yaitu perempuan adalah lemah dan tidak berdaya, sedangkan pria kuat dan melindungi.

Patriarki adalah sistem sosial di mana pria menjadi pusat pemegang kekuasaan dalam organisasi sosial terkecil pun seperti keluarga. Lelaki karena faktor biologi dan kebudayaan dari zaman perburuan masa primitif, kemudian masa pertanian dan perkebunan, masa invasi ke area lain dalam budaya peperangan di masa lalu sampai kini masih dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan.

Hal ini membawa implikasi (konsekuensi logis) yang pada akhirnya, pada budaya ini para wanita melihat para pria yang diperlukan dalam kepentingannya dianggap kuat dan melindungi, seiring dengan perkembangan zaman, maka kekuatan ini berubah pemaknaan, kekuatan di masa ini dalam bentuk materi dan uang.

Para pria dipandang pantas memegang kontrol, hal ini juga tersurat secara jelas dalam agama-agama yang dianut sebagian besar umat manusia, pria sebagai imam bagi wanita.

Oleh karena kekuatan pria tidak lagi pada kekuatan secara fisik saja, tetapi seorang pria yang dianggap memiliki banyak harta, kekayaan dan uang adalah simbol “kekuatan dan perlindungan” baru bagi para wanita dalam pemikiran ekonomi kapitalis dewasa ini.

Bahkan wanita yang terhegenomi oleh kebudayaan berupa agama pun menjadi terbiasa dan sewajarnya jika seorang wanita berkata “aku ingin kau (pria) menjadi imamku” atau dengan variasi “aku sedang mencari imam untuk aku dan calon keturunanku” dalam kehidupan wanita-wanita yang religius, memarginalkan pria yang tidak religius, seolah pria yang tidak religius tidak baik. ∗ Peneliti koresponden: An1mage | Universitas Udayana | Universitas Surya | Institut Teknologi Keling Kumang Mobile: +62818966667 | E-mail: michael.sega.gumelar@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Di masa primitif dalam sistem patriarki bila seorang pria mampu melindungi seorang wanita, maka si wanita akan “menyerahkan dirinya” untuk menjadi pasangannya. Dengan menyerahkan dirinya inilah si pria akhirnya memiliki konsekuensi logis harus memberi wanita tersebut perlindungan berupa tempat tinggal di gua, memberi kewajiban bagi pria tersebut berburu agar mereka dapat makan, dan si wanita memiliki kewajiban untuk memasak hasil buruan dan memelihara anak-anak mereka bila ada keturunan nantinya. 80


Michael Sega Gumelar

Budaya primitif ini ternyata dibawa secara genetis oleh manusia, sehingga memang sangat kesulitan bagi manusia untuk mengubahnya secara langsung, karena di sisi lainnya kondisi dari masyarakat yaitu berupa adat pun melakukan hal yang sama, yaitu ada yang berbudaya patriarki. Namun sering perjalanan kebudayaan manusia dan kompleksnya kehidupan dewasa ini. Beberapa pekerjaan wanita pun mulai digeser oleh pria, contohnya adalah pekerjaan memasak di restoran. Keterampilan wanita dalam memasak ternyata pria juga mulai melakukannya dan hasilnya juga tidak kalah dengan wanita, bahkan kebanyakan chef terkemuka adalah para pria. Isu kesetaraan gender semakin menguat di masa ini. Kini apa sih arti dari kata gender tersebut? Gender adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan segala identitas serta fungsi yang dapat dilakukan oleh manusia tanpa dibedakan oleh jenis kelaminnya. Hal ini semakin terbukti dari contoh pekerjaan membuat masakan oleh wanita yang dapat digantikan oleh pria, dan ini membuka pikiran lain bahwa wanita pun dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh pria. Muncul adanya wanita yang menjadi petinju, ada juga wanita binaraga, dan mungkin banyak lainnya.

Proyeksi Kritis Kesetaraan Gender di Masa Depan

Diskusi Dalam pemahaman ketidaksetaraan gender (gender inequality) yang mulai terjadinya transformasi mengarah kesetaraan gender (gender equality) membawa implikasi yang terjadi pada para pria dan wanita. Penulis memproyeksikan beberapa implikasi (konsekuensi logis) dari transformasi tersebut yaitu: 1. Uangmu Uangku; Uangku Uangku Dalam berumah tangga, dan si pria adalah penganut sistem patriarki tetapi juga mulai mengerti nilai-nilai kesetaraan gender. Para pria ini mulai menyadari adanya ketidaksetaraan gender karena masih adanya tarik menarik sistem patriarki dengan sistem kesetaraan gender. Uang si pria menjadi milik si wanita semuanya, sedangkan wanita yang diberi kebebasan dan waktu untuk mencari uang, hasil uangnya tetap milik di wanita, dan si wanita tidak sedikit pun membantu suaminya untuk menafkahi keluarganya. Para pria dalam posisi seperti ini menjadi tertekan dan melihat bahwa lebih baik sistem patriarki, di mana wanita mengurus rumah saja, sebab saat si wanita sebagai pasangannya diberi kebebasan dan waktu untuk bekerja pun ternyata uangnya tidak digunakan untuk membantu keluarga. Semua biaya rumah tangga, makan, minum dan pendidikan anak, kebutuhan tersebut tetap suami yang menanggung, sedangkan uang istri tetap utuh, atau bahkan habis untuk kepentingannya sendiri saja dan tidak membantu sedikit pun untuk keuangan keluarga.

Citra 1. Wanita petinju sedang bertarung. Sumber: http://img.thesun.co.uk/aidemitlum/archive/00866/womenBoxing-682_866328a.jpg

Sehingga muncul istilah “uangmu (uang si pria) adalah uangku (menjadi milik si pasangan wanita); uangku (uang si wanita) uangku (tetap menjadi milik si wanita) dan terserah si wanita mau menggunakan uangnya untuk kepentingan dan digunakan apa saja si suami tidak berhak melarangnya. 2. Pria adalah Kantong Uang Transisi budaya patriarki ke budaya kesetaraan gender masih membebani transisi ini. banyak dari para wanita masih menggunakan “hegemoni� bahwa seharusnya pria yang membayar makanan dan atau minuman berada saat di restoran, keduanya bahkan bukan pasangan hanya teman satu kantor saja.

Citra 2. Wanita yang berkecimpung di binaraga. Sumber: https://i.ytimg.com/vi/tfZfg0P5N4k/maxresdefault.jpg

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Ada kemungkinan wanita yang ditraktir salary-nya lebih besar, hanya karena budaya bahwa pria yang dianggap kantong uang, maka si pria secara tidak langsung menjadi korban kekerasan ideologi.

81


Michael Sega Gumelar

Proyeksi Kritis Kesetaraan Gender di Masa Depan

3. Hutang Budi Bayar Body Hal tersebut muncul karena pemikiran bawaan dari sistem patriarki dan tetap dilanjutkan dalam masa transisi ini. Para wanita banyak yang rancu bahwa bila mereka berhutang budi pada seorang pria, solusi ekstrem yang muncul adalah hutang budi bayar body.

5. Memberi Ruang Kepada Para Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT) Gender equality yang secara jelas menerangkan bahwa segala identitas serta fungsi yang dapat dilakukan oleh manusia tanpa dibedakan oleh jenis kelaminnya semakin mendapatkan tempatnya.

Di mana seorang wanita yang telah berhutang budi pada seseorang secara ekonomi dan tidak mampu membayarnya kemudian dengan memberikan tubuhnya maka semua hutangnya impas.

Implikasinya adalah ruang yang lebih kepada para LGBT ini, karena secara penelitian, ada kemungkinan secara genetik seorang pria memiliki gen gay, atau lesbian bila diperluas untuk wanita (Rahman, 2015).

Hal ini juga terjadi pada pasangan yang belum menikah tetapi sudah melakukan hubungan seksual. Ada potensi kemungkinan si wanita berpikir “aku memberikan tubuhku untuk kamu, maka kamu harus memenuhi kebutuhan ekonomiku”.

Bahkan dikepercayaan Agama Hindu dalam kisah Mahabharata versi India, ada seorang karakter bernama Srikandi dalam satu versi menyebutkan bahwa dia wanita yang berganti kelamin menjadi pria. Sebenarnya kejadian seperti ini tidak hanya menjadi pemikiran di masa ini, tetapi di masa lalu pun sudah menjadi ide sehingga menjadi suatu cerita yang menarik. Hal ini membuka peluang bahwa ilmu pengetahuan ada yang sejalan dengan pemikiran agama.

Padahal sesungguhnya si wanita pun mendapatkan “kesenangan secara gratis” dari pria pasangannya, yang seharusnya konversinya bukan masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi (uang lagi), karena sudah sama-sama saling “memuaskan” secara biologis. Hutang budi bayar body ini masih melekat dan dijadikan alat bagi wanita untuk “menghegemoni” pria pasangannya. 4.

Hamil, Gantian Dong Pada saat ditemukannya teknologi di mana bayi tabung, transplantasi rahim, operasi sesar, dan kloning mulai menjadi nyata. Ada potensi kemungkinan pria dapat hamil, dan melahirkan dengan cara operasi sesar. Bagaimana bila suatu saat proyeksi di masa depan di mana wanita sebagai pasangan pria merasa bahwa anak pertama dia yang hamil, kemudian anak berikutnya dia berkata kepada pria pasangannya “gantian dong kamu yang hamil” apakah wanita memiliki hak seperti itu bila dikaitkan dengan gender equality?

6. Adanya Poliandri sebagai Tandingan dari Poligami Dipemikiran patriarki ada poligami, di mana seorang pria yang diharapkan mampu secara kepemimpian dan ekonomi boleh menikah lebih dari satu wanita. Lalu dikesetaraan gender juga akan ada implikasi poliandri, di mana wanita menikah lebih dari satu pria. Bisakah? Tentu saja bisa, dengan teknologi tes DNA dapat diketahui siapa bapaknya. Permasalahannya bagaimana syarat seorang wanita dianggap mampu berpoliandri? Akan menjadi menarik untuk penelitian lebih lanjut bukan? 7.

Adanya Intersex (hermaphrodite) Adanya manusia yang lahir memiliki kelamin ganda tidak hanya terjadi dalam tahun-tahun belakangan saja, tetapi sudah sejak zaman dahulu bahkan mungkin lebih tua lagi, sehingga pemilik dua kelamin ini mendapatkan julukan sebagai hermaphrodite dari kata Hermaphroditus (Ἑρμαϕρόδιτος), anak dari Dewa Hermes dan Aphrodite dari Mitologi Yunani. Intersex ini memungkinkan untuk memilih salah satu kelamin, dan atau memutuskan untuk tetap memiliki keduanya, bayangkan potensinya bila sesorang memiliki dua kelamin, kemungkinan berkurangnya pemerkosaan dan potensi kesetaraan gender akan terjadi.

Citra 3. Kemajuan teknologi membuat pria memungkinkan untuk hamil. Sumber: http://media.gettyimages.com/photos/collect-picture-of-thomas-beatie-pregnantat-35-weeks-aged-34-in-2008-picture-id110960856

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Konklusi Dari diskusi yang penulis sebutkan yaitu “uangmu uangku; uangku uangku” membuka kemungkinan solusi pemikiran kesetaraan gender yang sesungguhnya.

82


Michael Sega Gumelar

Solusi tersebut adalah dengan membuka rekening bersama untuk keluarga, dan dibagi si pria memberikan berapa persen untuk rekening keluarga tersebut, demikian juga si wanita pasangannya memberikan berapa persen. Kata kesetaraan gender (gender equality) seolah-olah menyarankan pembagian yang seimbang yaitu 50:50 tetapi tentu saja dapat diatur sesuai dengan income masing-masing pasangan agar keduanya merasa pas dipembagian berapa persen untuk kepentingan rekening keluarga tersebut, sehingga biaya keluarga ditanggung oleh kedua pasangan secara pas. Untuk para wanita yang masih menganggap pria adalah kantong uang saat berada di tempat pembelian makanan, sehingga secara tidak langsung seolah pria walaupun baru pacaran sudah wajib mentraktir wanita pasangannya.

Proyeksi Kritis Kesetaraan Gender di Masa Depan

Pada bahasan hamil gantian dong, membuka kesempatan baru yang pada saat ini bagi kalangan agamis menganggapnya masih tabu. Tetapi di masa depan hal ini bisa jadi merupakan bentuk dan hak seorang wanita untuk meminta pria pasangannya agar hamil secara bergantian. LGBT pada gender equality menjadi acuan mencari identitas seseorang secara genetis atau bahkan dapat mengklaim secara memory bahwa sejak kecil dia sebenarnya wanita tetapi berada di tubuh pria dan sejak kecil dia sudah jatuh cinta pada sesama jenis. Penulis menyebut hal ini sebagai Sindrom Srikandi (Srikandi Syndrome) di mana seorang wanita yang memiliki memory seorang pria. Kepercayaan pada reinkarnasi akan memberi jalan kepada pemahaman ini.

Segera ubah pola pikirnya, bahwa hubungan tersebut masih dalam tahap pacaran, sebaiknya bergantian atau saling urunan sehingga tidak memberatkan pria, apalagi bila keduanya belum bekerja, masih pelajar misalnya, maka hal ini tentu memberatkan para pria.

Pada bahasan poliandri, tentu saja di masa depan bila gender equality ini diproyeksikan, maka implikasi tersebut dapat terjadi. Namun dengan syarat si wanita pun sangat mandiri yaitu si wanita mampu memimpin, mampu secara ekonomi sejak mulai pertama kali bertemu dengan pria yang pertama dan berikutnya, sama seperti pria melakukan poligami.

Dan bila tidak ada hubungan pacar sama sekali, maka tentu saja tidak nyaman bila si wanita tetap memiliki pola pikir bahwa pria temannya harus membayarnya. Dari sini terlihat bahwa pria malah cenderung yang menjadi korban ideologi.

Bisakah seorang wanita yang awalnya memiliki pasangan pria tetapi pria tersebut ikut andil dalam proses suksesnya si wanita kemudian setelah si wanita sukses lalu si wanita memutuskan menikah lagi?

Pada bahasan hutang budi bayar body, hal ini sering terjadi pada pasangan yang telah melakukan hubungan seksual, sehingga seolah si wanita memberikan tubuhnya kepada si pasangan prianya. Padahal kedua pasangan sama-sama memberikan tubuhnya untuk saling memuaskan pasangannya.

Hal tersebut juga dialami oleh para pria yang melakukan poligami, di mana si pria belum sukses dan dibantu oleh si wanita pasangannya sehingga menjadi sukses, lalu kemudian setelah sukses si pria menikah lagi?

Sehingga si wanita dalam pemikiran ekstrem merasa bahwa pasangan prianya “wajib” memberikan “penggantian servis tubuhnya” berupa “pemenuhan kebutuhan hidupnya secara ekonomi” sehingga muncul istilah “ada uang abang disayang, tidak ada uang abang ditendang” demikian melekat di kalangan para pria yang menjadi korban sistem ini. Dari sistem patriarki yang seperti itulah yang membuat prostitusi wanita berjalan lancar dan tetap hidup sampai sekarang. Karena dengan memberikan tubuhnya, seorang wanita merasa pria tersebut wajib menggantinya dengan uang jasa. Implikasi lain yang muncul dari sistem kesetaraan gender ini akhirnya muncul para pria yang juga mencari korban berupa wanita kaya tetapi kesepian, dengan asumsi bila wanita dapat menjual tubuhnya, maka pria pun dapat melakukannya. Banyak sekali pria seperti ini potensinya di masa depan. Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Sebagai solusinya ada kemungkinan membagi terlebih dulu harta yang didapatkan oleh pasangan tersebut. Setelah harta dibagi sesuai perjuangan dan jasanya masing-masing, kemudian apakah mereka mau meneruskan pernikahan atau berhenti? Bila keduanya memilih meneruskan pernikahan, maka harta suami dan istri sudah sendiri-sendiri dan si istri yang melakukan poliandri wajib memberi nafkah kepada para suaminya tanpa boleh mengambil harta para suaminya. Masalah akan lebih mudah bila si istri sejak awal sudah sukses, banyak modal dan kekayaan, maka tinggal berapa pria yang akan dijadikan pasangan hidupnya mau dalam poliandri tersebut terserah wanita tersebut selama wanita tersebut mampu melakukannya. Demikianlah beberapa proyeksi implikasi dari kesetaraan gender. Semoga studi ini memberikan solusi yang memungkinkan bila beberapa implikasi dari kesetaraan gender ini benar-benar terjadi di masa depan.

83


Michael Sega Gumelar

Proyeksi Kritis Kesetaraan Gender di Masa Depan

Referensi [1]

Linda C. McClain, Joanna L. Grossman. 2009. Gender Equality-Dimensions of Women’s Equal Citizenship. Edinburgh : Cambridge University Press, 2009. 978-0-52176647-0.

[2]

Rahman, Qazi. 2015. Gay genes: science is on the right track were born this way lets deal with it. The Guardian. 2015.

[3]

Stallard, Brian. 2014. Homosexuality is Genetic: Strongest Evidence Yet. nature world news. 2014.

[4]

Stephen A. Merrill, William J. Raduchel. 2001. Copyright In The Digital Era Building Evidence for Policy. Washington, DC : National Academy of Sciences, 2001. 978-0-30927895-9.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

84


Kristianus

Dialektika Budaya Dayak: Inkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan

Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.2: 85-91

Jurnal Studi Kultural http://www.an1mage.org/p/jurnal-studi-kultural.html

Laporan Riset

Dialektika Budaya Dayak: Inkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan Kristianus* Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Orang Dayak Kayaan mengikuti liturgi misa dalam Bahasa Kayaan sudah selama tiga dekade. Penulis mengkaji pengaruh inkulturasi ini terhadap Budaya Dayak Kayaan dalam hal sistem kepercayaannya. Penelitian ini menggunakan metode ethnografi, data diambil melalui wawancara yang mendalam dan tinggal bersama responden. Temuan penelitian ini adalah bahwa terjadinya inkulturasi pada Budaya Dayak Kayaan telah mengubah ritual Adat Kayaan. Ritual Adat Kayaan saat ini menyerupai ritual dalam Agama Katolik. Studi ini juga memperlihatkan bahwa proses inkulturasi ini telah menghilangkan Agama Kayaan (agama asli), yang tersisa hanyalah sebutan Tanangaan untuk sebutan Tuhan dalam bahasa asli.

Dikirim 14 Mei 2017 Direvisi 9 Juni 2017 Diterima 22 Juni 2017 Kata Kunci Budaya, Dayak Kayaan Agama Katolik Inkulturasi

Penggunaan Bahasa Kayaan yang sebelumnya terbatas pada acara-acara tertentu saja sekarang mewarnai proses liturgi . Yang paling menarik dari proses inkulturasi ini adalah adat dan sastranya menggunakan padanan kata yang berbunyi mirip dalam doa-doa di Katolik. Pesta Budaya Dange walaupun menyajikan sesajian Dayak Kayaan tetapi doa-doa yang disampaikan bermuatan ajaan Agama Katolik. Jadi dialektika inkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Kayaan, Ibarat kontestasi yang tidak seimbang, kemenangan berada dalam Gereja Katolik. Reproduksi nilai dasar Katolisisme dalam bidang pendidikan dan pembangunan sosial, sudah merembet ke bidang yang sangat mendasar yakni agama tradisional. Bahkan Agama Kayaan sudah hilang. Penelitian ini perlu dilanjutkan mengingat aspek inkulturasi itu luas dan telah menampilkan orang Kayaan yang baru. © 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Suku Dayak Kayaan merupakan salah satu subsuku bangsa Dayak yang bermukim di Kabupaten Kapuas Hulu. Dayak Kayaan sering kali menggunakan identifikasi yang lebih spesifik yaitu Dayak Kayaan Mendalam , karena mereka bermukim di daerah aliran sungai Mendalam[3]. Identifikasi tersebut digunakan untuk menyatukan tiga kelompok sub-subsuku bangsa Umaa’ Pagung, Umaa’ Suling, Umaa’ Aging. Orang Dayak Kayaan mengaku berbeda dengan Dayak Apo Kayan[4]. Kabupaten Kapuas Hulu merupakan salah satu daerah otonom yang ada di Provinsi Kalimantan Barat. Terletak di ujung paling Timur dengan jarak dari Pontianak sejauh ± 657 km jalan darat atau ± 842 km melalui Sungai Kapuas. ∗ Peneliti koresponden: Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak | Mobile: +6281345309051 | E-mail: kristianusatok@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Kabupaten Kapuas Hulu merupakan kabupaten terjauh dari Ibukota Provinsi Kalimantan Barat tersebut. Secara geografis terletak diantara 0008’ LU sampai 1036’LU dan 111032’ sampai 114009’ BT. Orang Kayaan di Kalimantan Barat sebagian besar mendiami daerah sekitar aliran Sungai Mendalam. Sedangkan di Sarawak mendiami Daerah Aliran Sungai (DAS) Rajang Telaang Usaan, Tubau dan Baram. Daerah asal mereka sebelumnya adalah hulu Sungai Kayan di Kalimantan Timur. Karena suatu sebab mereka berimigrasi ke arah barat sampai wilayah Kapuas Hulu bagian Timur sekarang. Suku ini cukup besar. Dalam grupnya ada berbagai subKayaan, antara lain Punan, Kenyah dan Kayaan sendiri. Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendalam berada di posisi pertengahan wilayah Taman Nasional Betung Kerihun 85


Dialektika Budaya Dayak: Inkulturasi Agama Katolik dengan budaya Dayak Kayaan

Kristianus

(TNBK) tepatnya di Kabupaten Kapuas Hulu yang terletak pada titik kordinat 1110 32’ sampai 1140 09’ BT- 00 08’ sampai dengan 10 36’ LU dengan luasanya 29,842 KM2 (20,33% dari luas Provinsi Kalimantan Barat)[14]. Di sepanjang DAS ini berdiam empat kelompok subetnis yaitu Etnis Melayu Sambus yang berdiam di bagian hilir sungai Mendalam, kemudian Etnis Taman Semangkok (Ariung Mandalam) dilanjutkan oleh Etnis Kayaan yang relatif lebih banyak penduduknya kemudian sebagai Etnis yang paling jauh perkampungannya adalah Etnis Bukat dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit. Sebagaimana catatan sejarah seperti yang dituturkan oleh beberapa orang tokoh adat di DAS Mendalam bahwa suku tertua yang mendiami DAS Mendalam adalah Suku Taman dan dapat dibuktikan dengan masih adanya sisa peninggalan nenek moyang mereka di dekat Kampung Suku Bukat juga di daerah Suku Kayaan seperti tiang besar dengan corak Suku Taman namun pada saat ini kita berfokus pada Suku Kayaan Mendalam .

Tanjung Kuda, Uma Suling, Uma Belua, dan Pagung yang tergabung dalam Ketemengungan Kayan Mendalam dengan sebutan Hengkung Kayaan Mendalam dan kesemuanya itu terbagi dalam 2 desa yaitu Desa Padua Mendalam dan Desa Datah Diaan Kecamatan Putussibau Utara dengan jumlah penduduk 1622 jiwa (BPS/Data Kecamatan 2015) dengan luas wilayah 4.122.00 km2. Adapun infrastruktur yang dimiliki berupa Gedung SD, Gereja, Gedung SMP dan Puskesman Pembantu dengan tenaga mantri 1 orang. Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan hari-hari Masyarakat Kayaan berladang, menoreh getah, berkebun kopi, berkebun coklat (Desa Padua), memungut hasil hutan, berburu, mengambil kayu di hutan, beternak (sapi, ayam dan babi), menjala dan memancing ikan. di Masyarakat Kayaan masih kental dengan Adat atau tradisi ”Dange” ini selalu dilakukan Suku Kayaan dan menjadi kalender tahunan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mensyukuri kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen. Dalam kegiatan ini akan terlihat representasi kebudayaan mereka dalam bentuk khas seperti: tarian, khasanah sastra lisan, keindahan motif perisai/karawit dan tato, aksesoris pakaian adat, keunikan motif topeng ”Hudo” dan prosesi upacara adat yang sarat dengan makna kehidupan . Perbincangan antara agama dan budaya, khususnya proses inkulturasi agama dan budaya selalu saja menarik [5]. Fenomena ini akan “dibaca” (dipersepsikan) seolah-olah proses inkulturasi antara agama dan budaya adalah sesuatu yang mudah dan harus terjadi [6].

Citra 1. Lokasi penelitian.

Menurut sejarah Suku Kayaan merupakan suku yang berasal dari keturunan Indocina yang menetap di Apo Kayaan di hulu Sungai Kayaan provinsi Kalimantan Timur kemudian sekitar 500 tahun yang lalu terjadi perpecahan antar mereka sehingga sebagian melakukan perpindahan keberbagai tempat, ada yang di Batang Rajang Serawak Malaysia, sebagian lagi di Beram Malaysia Timur, ada juga yang di Sungai Mahakam Kalimantan Timur dan sebagian di Sungai Mendalam Kalimantan Barat (citra 1). Yang kita kenal sekarang dengan sebutan Kayaan Mendalam dengan bahasa yang digunakan yaitu Kayaan yang terbagi dalam dua bahasa sebelah hulu tepatnya di Desa Datah Dian Dusun Pagung mengunakan Bahasa Pagung dan sedangkan sebelah hilir tepatnya Dusun Uma Suling, Tanjung Kuda, Padua, Teluk Telaga, Sui Ting, dan Tanjung Karang mengunakan bahasa yang disebut Bahasa Uma Aging.

Hal demikian, terdapat pada komunitas Dayak Kayaan di Kapuas Hulu. Informasi awal yang diperoleh peneliti, bahwa inkulturasi dimulai oleh pastor A.J. Ding Ngo, SMM yang pernah bertugas di tengah komunitas Dayak Kayaan hingga beliau meninggal dan dimakamkan di perkampungan tersebut. Semasa hidupnya, beliau melakukan inkulturasi Agama Katolik dan budaya serta dianggap berhasil. Berhasil sebagaimana yang dikatakan Geertz [7]. Kini, keberhasilan tersebut dipersepsikan sebagai salah satu identitas bagi Komunitas Dayak Kayaan di Kecamatan Putussibau Selatan, Kota Putussibau, Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang dialektika budaya: inkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan. Asumsi peneliti, proses inkulturasi agama dalam budaya yang dilakukan oleh suatu komunitas, bertujuan mempertegas identitas komunitas tersebut. Tetapi hal ini diingatkan oleh Mayang Sari [8] bahwa masalah inkulturasi merupakan masalah luas dan besar. Proses inkulturasi memang tidak mudah dilaksanakan, tetapi hal itu bukan tidak mungkin.

Kayan mendalam ini memiliki delapan kampung meliputi dari Hilir Sui Ting, Tanjung Karang, Padua, Teluk Telaga, Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

86


Kristianus

Dialektika Budaya Dayak: Inkulturasi Agama Katolik dengan budaya Dayak Kayaan

Itulah sebabnya diperlukan terus menerus diskusi yang sifatnya luas, mendalam dan interdisipliner untuk semakin menemukan arahnya yang jelas. Sehingga, meneliti inkulturasi agama ke dalam budaya lokal (Budaya Dayak) di Kabupaten Kapuas Hulu terjauh dari wilayah Provinsi Kalimantan Barat ini, menjadi sangat menarik untuk diteliti. Inkulturasi tersebut, bahkan telah mempertegas identitas Budaya Dayak Kayaan Mendalam. Penelitian ini berangkat dari fakta empirik bahwa selama ini ada beberapa pandangan umum tentang inkulturasi budaya dan agama, antara lain: (1) Orang sering memikirkan inkulturasi hanya dalam konteks entah soal pakaian, musik, tata ruang saja. Padahal masalah inkulturasi itu juga bisa menyangkut berbagai ranah kehidupan bersama dalam kehidupan beragama. (2) Masalah makna inkulturasi itu sendiri. Kebanyakan orang menggambarkan inkulturasi sebatas pada “kulitnya” saja. Bila orang sudah menggunakan musik tradisional dalam beribadah, memakai pakaian adat, orang sudah menganggap: “Inilah inkulturasi”. Padahal inkulturasi bermakna lebih luas dan lebih dalam lagi. Inkulturasi itu meliputi seluruh pengungkapan, penghayatan dan perwujudan iman itu sendiri dalam seluruh kehidupan kita. (3) Banyak orang yang mengharapkan agar segala unsur budaya setempat bisa dimasukkan ke dalam khazanah kehidupan iman gereja. Pandangan-pandangan umum itu tentu saja bias dalam artian mengabaikan pandangan warga masyarakat setempat (native’s point of view), fakta-fakta empirik lapangan dan sejarah lokalitas. Berdasarkan kesadaran di atas, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah mengenai proses inkulturasi agama dan budaya untuk eksis dan dinamikanya sebagai satu entitas agama, dan sosial-budaya. Sehubungan dengan itu, maka rumusan permasalahan penelitian adalah: Bagaimana perubahan budaya masyarakat sebagai dampak dari inkulturasi yang sudah terjadi sejak 30 tahun lalu pada Budaya Dayak Kayaan di Paroki Padua Mendalam. Rumusan ini diperinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana dialektika inkulturasi Agama Katolik pada Budaya Dayak Kayaan di Padua Mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perubahan Budaya Dayak Kayaan sebagai dampak dari inkulturasi dengan Agama Katolik. Secara khusus penelitian ini ingin mengetahui bagaimana perubahan ritual Budaya Dayak Kayaan. Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk mengisi kelangkaan kajian tentang Agama Suku Dayak yang dikenal Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

dengan Agama Kaharingan namun tidak bisa eksis dengan kehadiran agama global. 2. Telaah Pustaka

Budaya dalam pemahaman sederhana merupakan kebiasaan turun temurun yang menjadi suatu tradisi dalam suatu peradaban, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung kepercayaan, adat istiadat, hukum, pengetahuan, kesenian, moral dan kemampuan lainnya yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat [9]. Dari pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa seni merupakan bagian dari kebudayaan yang sampai saat ini tetap dipertahankan sebagai cara untuk memperkenalkan atau menunjukan suatu golongan suku, agama, ras dan lainya yang tergolong dalam identifikasi budaya pada umumnya. 3. Metode Penelitian ini melingkupi penelitian pustaka dan penelitian lapangan. Penelitian dimulai dengan pengumpulan data-data sekunder yaitu dengan melakukan penelitian pustaka yang dilakukan di perpustakaan, pusat-pusat penelitian atau tempat-tempat yang menyimpan buku-buku, artikel-artikel, tulisan-tulisan akademik, laporan-laporan penelitian dan sebagainya., yang relevan dengan penelitian [10]. Sebagai penelitian kualitatif, instrumen utama dalam penelitian ini adalah diri penulis sendiri. Hal ini mengandung makna bahwa sebagai seorang peneliti kualitatif penulis harus melakukan kerja lapangan secara langsung untuk mengumpulkan data dengan metode pengamatan dan wawancara [11]. Dengan melakukan pengamatan terlibat (Participant observation, atau ethnographic fieldwork) yang adalah fondasi dari antropologi budaya, berarti menggunakan teknik pengumpulan data yang menjadi sentral dari proses etnografi [12]. Bahwa mendefinisikan pengamatan terlibat sebagai “a research “strategy that simultaneously combines document analysis, interviewing of respondents and informants, direct participation and observation, and introspection”. Dalam proses ini dikenal istilah “pembenaman diri” (immerson) dalam rangka mendapatkan data emic si peneliti masuk ke dalam cara hidup, cara bicara, cara berlaku, dan cara berfikir masyarakat yang ditelitinya [13]. Wawancara mendalam (in-depth interview) pertama-tama ditujukan secara khusus kepada “informan kunci” dari para tokoh dan petugas gereja saat ini. Dengan cara ini, pemikiran mereka, fokus perhatian, dan aktivitas-aktivitas mereka dapat dieksplorasi secara mendetail.

87


Kristianus

Dialektika Budaya Dayak: Inkulturasi Agama Katolik dengan budaya Dayak Kayaan

Teknik life history akan dipergunakan untuk melacak balik sejarah dan pengalaman pribadi para anggota dan elite komunitas Dayak Kayaan.

Yang mampu untuk melaksanakan tugas perantara itu adalah nenek moyang yang memiliki kata-kata yang berkenan pada tuhan.

Wawancara mendalam juga ditujukan kepada informan kedua yang mungkin tidak mengalami langsung namun mendapat cerita dari para tokoh terdahulu.

Keenam, dalam Agama Katolik, struktur doa seperti ini juga ada. Dibedakan dengan tegas liturgi ekaristi dan bukan ekaristi. Dalam liturgi ekaristi, Kristuslah satu-satunya perantara kepada Allah Bapa. Tetapi dalam devosi khusus kepada Bunda Maria (Ibu Yesus) dan para kudus yang diakui Gereja Katolik, mereka juga dilihat sebagai perantara.

Pengamatan dilakukan untuk mengamati peralatan yang digunakan untuk melaksanakan upacara dalam tradisi Kayaan Mendalam. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan unsur-unsur inkulturasi. 4. Diskusi Unsur Katolisisme dalam Sistem Kepercayaan Dayak Kayaan (SKDK): analisis struktur doa dalam Liturgi. Kalau memerhatikan doa SKDK memohon keturunan yang banyak, maka struktur doanya mirip dengan apa yang dilakukan dalam Agama Katolik. Hubungan antara manusia dan Allah bersifat tidak langsung. Pertama, hubungan antara orang hidup dan orang mati (roh) digambar dalam struktur horizontal, untuk memerlihatkan sistem kepercayaan Orang Kayaan yang menganggap bahwa ada dua dunia kehidupan dengan komunitasnya sendirisendiri yakni komunitas orang hidup dan komunitas orang mati yang tinggal di seberang sana (Telaangjulaan). Kedua, dalam struktur itu, Tanangaan tidak dapat didekati secara langsung, kecuali melalui perantara yakni nenek moyang orang yang bersangkutan. Terjemahannya: supaya kalian nenek moyanglah yang menjembatani kami dengan Allah Bapa. Kalianlah yang mewakili kami menghadap Allah Bapa Pencipta, supaya kami tinggalkan kesendirian (tidak punya keturunan), dan mengharapkan banyak keturunan. Ketiga, Tanangaan itu adalah Allah Bapa seperti yang terdapat dalam ajaran Agama Katolik yang dianutnya, dengan karakteristiknya sebagai pencipta. Menurut penulis, doa ini mempunyai struktur SKDK tetapi isinya Katolik. Keempat, yang tidak sesuai dengan ajaran Agama Katolik adalah fungsi korban binatang. Dalam pandangan SKDK, permohonannya dikabulkan lewat tanda yang diberikan tuhan pada organ binatang yang disembelih. Hingga saat ini, Gereja Katolik Paroki Padua Mendalam membiarkan praktek SKDK berjalan tanpa suatu penjelasan resmi. Kelima, untuk interaksi sosial yang menyangkut urusanurusan penting, Orang Kayaan selalu menggunakan perantara yang disebut dayung (penyambung lidah). Atau orang yang berkepentingan dalam doa itu menilai dirinya tidak mampu untuk berbicara langsung dengan Allah Bapa.

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Bunda Maria dipercayai sebagai perantara antara pendoa dan Yesus. Sedangkan para kudus dipercayai karena doa mereka di surga didengar oleh Allah Bapa. Orang Katolik percaya bahwa perantaraan Bunda Maria dan para orang kudus kepada Allah dapat meningkatkan keyakinan orang akan terkabulnya permohonan. Nampaknya dalam konteks inilah peran nenek moyang itu ditempatkan. Unsur Katolisisme dalam SKDK: analisis struktur doa Dayung Struktur doa SKDK seperti yang dilakukan oleh dayung Umaa Aging untuk Upacara Dange. Doa mereka ditujukan kepada nenek moyang, sedangkan Tuhan Maha Kuasa (Tanangaan) disebut belakangan. Namun demikian, penulis tidak berani untuk mengatakan bahwa Tuhan tidak utama dalam struktur doa ini. Penjelasan penulis sebagai berikut: Pertama, awal doa dimulai dengan seruan minta perhatian dan perkenanan “................. Terjemahan bebasnya: dengarkanlah kami, hai nenek moyang sekalian. Setelah itu baru dikemukakan alasan mengapa mereka melakukan upacara kurban ini. Kedua, sengaja ne’.... tidak diterjemahkan. Menurut Umaa Aging Ne’ itu adalah mata air, yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Dia mengatakan bahwa manusia itu dikandung dalam air, seperti yang terlihat dalam mimpi menimba air. Tidak ada penjelasan yang menghubungkan Ne’.... dengan Tuhan Maha Kuasa itu. Tetapi jelas dalam doa itu, Ne’.... adalah sesuatu yang mengatur rejeki dalam kehidupan. Kegagalan usaha bertani disebabkan karena Ne’.... tidak dihormati. Ketiga, kegagalan memperoleh hasil tani juga disebabkan oleh kelalaian manusia untuk memuji dan mensyukuri Tuhan Maha Kuasa (Tanangaan). Dalam rumusan ini jelas Ne’... bukan Tuhan. Tetapi bagaimana hubungannya belum jelas. Intinya kedua mahluk ini pengaruh terhadap usaha tani. Keempat, Apiu juga menjelaskan bahwa Ne’... adalah nenek moyang asal yang memberikan kita kehidupan. 88


Kristianus

Dialektika Budaya Dayak: Inkulturasi Agama Katolik dengan budaya Dayak Kayaan

Kalau penjelasannya seperti itu, maka ada kemungkinan bahwa struktur doa menurut Apiu sama dengan struktur doa Katolik. Struktur doa untuk keselamatan dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, semua arwah disebut, diundang untuk datang berpesta bersama mereka yang masih hidup. Keluarga masing-masing mengundang juga para leluhurnya, dan secara bersama dalam kampung semua leluhur yang ada di kubur dan juga di mata air datang menikmati hidangan pesta.

Struktur doa Upacara Dange, dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, kesuksesan acara tergantung pada perlindungan nenek moyang, tuhan maha kuasa, mata air, kampung halaman, rumah, dan tikar dan tentu saja orang yang bertanggungjawab pada acara ini sendiri. Kedua, tidak dijelaskan secara sistematis oleh informan, tempat tuhan dalam struktur doa itu. Sangatlah sulit dibayangkan kalau tuhan itu disamakan begitu saja dengan pelindung-pelindung lainnya.

Kedua, bagan itu digambar dalam bentuk horizontal hanya untuk menggambarkan adanya dunia sini (komunitas yang masih hidup) dan dunia sana (Telaangjulaan). Melalui korban kedua komunitas itu disatukan.

Dampak Inkulturasi pada Budaya Dayak Kayaan Proses inkulturasi seperti pada paparan terdahulu telah berdampak pada kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan ritual kehidupan. Penulis menggambarkannya sebagai berikut:

Dalam upacara tolak bala (menolak bala kebakaran total rumah dalam satu kampung), struktur doa sama dengan struktur doa tahun baru, tetapi di dalamnya ditambah dengan tuhan. Dengan tambahan ini strukturnya menjadi lain.

Sikap Ritual SKDK Kemampuan untuk membacakan dan membawakan doa SKDK pada suatu upacara ritual, tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Orang yang mampu membawakan acara ritual seperti ini disebut panyangahatn (harafiah: orang yang mampu membawakan doa SKDK). Pada umumnya setiap kampung memiliki satu atau lebih iman.

Struktur doa untuk keselamatan dan penolakan mara bahaya dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, doa tetap dialamatkan ke nenek moyang, sesudah itu baru mereka menyapa tuhan. Begini doanya: Dengarkanlah kami sekalian nenek moyang. Dengarkanlah kami tuhan yang maha kuasa, yang menciptakan langit dan bumi. Kami sudah memperoleh biaya untuk pelaksanaan upacara menolak bala kebakaran. Kedua, strukturnya digambar dalam bentuk horizontal, karena sebelum babi dipotong, ada upacara khusus untuk mengundang semua arwah dari kubur komunitas dan penjaga mata air (tetap tidak jelas, apakah nenek moyang atau ada mahluk/roh khusus). Malah dalam upacara itu ada dialog antara orang hidup dan orang mati (yang diwakili oleh kelompok tertentu. Unsur Katolisisme dalam SKDK: analisis struktur doa dalam pesta dange Struktur doa menurut Umaa Aging sedikit lain. Dalam Upacara Dange, alamat doa atau seruannya ditujukan secara berturut-turut ke nenek moyang, mula-mula seruan awalnya dialamatkan ke nenek moyang, tuhan, mata air, kampung, rumah, keluarga, dan tikar. Begini doanya. Terjemahan bebas: Datanglah hai sekalian nenek moyang... Dengarkanlah pula tuhan pencipta alam semesta, begitu pula mata air, kampung halaman, rumah, keluarga, dan tikar.

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Sebelum upacara dilangsungkan harus melakukan persiapan batin/hati dengan baik. Inti dari persiapan itu adalah supaya dia tidak berkata salah, tidak bersikap salah, memohon bimbingan dari roh nenek moyang yang dalam hal ini secara khusus roh semangat, supaya mampu melaksanakan tugas itu dengan baik. Pada saat membawakan doa, tidak boleh ada kata-kata yang ketinggalan. Urutan harus jelas, dan harus berakhir dengan penutupan yang standar. Sehubungan dengan ini, si pelaksana sering meminum alkohol (brem) terlebih dahulu untuk menghilangkan rasa canggung, malu dan meningkatkan percaya diri saat melantunkan alunan kata-kata doa itu. Pada saat upacara ritual dilaksanakan semua orang-orang penting dalam kampung itu harus duduk bersila di sekelilingnya. Mereka harus diam, dan pada saat tertentu dapat berpartisipasi sejauh menyangkut dirinya. Pengaruh Katolisisme dalam SKDK Pertama, proses mengubah struktur SKDK menjadi lebih akomodatif terhadap ajaran-ajaran Agama Katolik masuk akal dan tidak dapat dihindari lagi. Dalam doa yang dikemukakan narasumber, hampir seluruhnya sudah disesuaikan dengan ajaran Agama Katolik. Dalam kasus yang dikemukakan seperti 89


Kristianus

Dialektika Budaya Dayak: Inkulturasi Agama Katolik dengan budaya Dayak Kayaan

Upacara Dange penyesuaian itu tidak terlalu banyak. Malah ada yang tidak menyebut tuhan sama sekali. Kedua, tuhan yang dimaksudkan pasti menunjuk pada tuhan yang diajarkan dalam Agama Katolik. Pastor Ding menyebutnya dengan konsep eksplisit sebagai Allah Bapa, namun di balik konsep tuhan itu, pribadi Yesus sebagai bagian dari Allah Tritunggal masuk dalam kategori berpikir mereka. Ketiga, walaupun penyesuaian itu sudah terjadi pada SKDK untuk hal yang sangat mendasar, kedua sistem religi itu tetap otonom. Hingga saat ini sebagaian besar Orang Kayaan masih menggunakan doa-doa SKDK itu, terutama untuk keselamatan orang mati, walaupun sesudah itu diadakan perayaan ekaristi untuk peristirahatan jiwa (misa requiem). Keempat, dalam proses penyesuaian itu tetap ada unsurunsur asli yang masih kelihatan yakni hubungan antara manusia dan nenek moyangnya yang selalu menjadi awal suatu doa: dengarkanlah hai kalian nenek moyang. Unsur ini tetap mengganggu pikiran penulis tentang adanya Agama Asli Kayaan sebagai agama nenek moyang. Kecenderungan Umum Pengaruh SKDK dalam Agama Katolik Pertama, yang paling menonjol adalah penggunaan Bahasa Kayaan yang terbatas pada acara-acara tertentu saja. Yang paling menarik bagi Orang Kayaan yang mengenal adat dan sastranya adalah penggunaan padanan kata yang berbunyi mirip dalam doa-doa. Para ahli liturgi melihat hal ini sebagai variasi belaka yang membuat doa dan liturgi itu menjadi lebih menarik. Kedua, penulis tidak melihat adanya inkulturasi dalam pengembangan doa-doa dalam Bahasa Kayaan. Malah sebaliknya, pengaruh Agama Katolik begitu besar sehingga semua peristiwa penting dalam Tradisi Kayaan dikatolikkan. Ketiga, doa-doa dalam SKDK yang berhubungan dengan tahun baru, pesta dan tolak bala, karena sudah sangat Katolik, lebih utuh dalam pengungkapannya sehingga mungkin lebih kena dalam perasaan beragama Katolik Orang Kayaan. Saling Terima Yang Tidak Seimbang Kalau A adalah SKDK dan B adalah Agama Katolik maka yang terjadi sekarang setelah keduanya bertemu menghasilkan B yang semakin hidup dan mendominasi A, walaupun keduanya tetap mandiri. Jadi dalam formulanya A + B tetap menjadi A + B. Salah satu inti perbedaan keduanya adalah korban persembahan binatang (babi, ayam). Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Tentang hewan korban ini nampaknya Gereja Katolik Kayaan tidak bisa tawar menawar, tetapi juga tidak mencegah berjalannya upacara SKDK yang campur aduk tidak karuan dengan unsur-unsur penting (seperti Tipang Tanangaan) dalam Agama Katolik. 5. Konklusi Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa terjadinya inkulturasi pada Budaya Dayak Kayaan telah mengubah jantung Budaya Dayak Kayaan yaitu ritual Adat Kayaan. Ritual Adat Kayaan saat ini menyerupai ritual dalam Agama Katolik. Studi ini juga memerlihatkan bahwa proses inkulturasi ini telah menghilangkan Agama Kayaan (agama asli), yang tersisa hanyalah sebutan Tanangaan untuk sebutan untuk tuhan dalam bahasa asli . Penggunaan Bahasa Kayaan yang sebelumnya terbatas pada acara-acara tertentu saja sekarang mewarnai proses liturgi . Yang paling menarik dari proses inkulturasi ini adalah adat dan sastranya menggunakan padanan kata yang berbunyi mirip dalam doa-doa di Agama Katolik. Pesta Budaya Dange walaupun menyajikan sesajian Dayak Kayaan tetapi doadoa yang disampaikan bermuatan ajaan Agama Katolik. Jadi dialektika inkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Kayaan, Ibarat kontestasi yang tidak seimbang, kemenangan berada dalam Gereja Katolik. Reproduksi nilai dasar Katolisisme dalam bidang pendidikan dan pembangunan sosial, sudah merembet ke bidang yang sangat mendasar yakni agama tradisional. Bahkan Agama Kayaan sudah hilang Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Bimas Katolik Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah mendanai penelitian ini pada tahun anggaran 2015 melalui Sekolah Tinggi Pastoral Santo Agustinus Keuskupan Agung Pontianak. Referensi [1]

S. B. Bevans. 1996. “Inculturation of Theology in Asia (The Federation of Asian Bishops’ Conferences, 19701995),” Stud. Mission. Stud. Mission., vol. 45, pp. 1–23.

[2]

M. I. (Universitas T. Jumarang, M. (Universitas Tanjungpura), N. S. (Institut T. B. Ningsih, and S. (Institut T. B. Hadi. 2012. “Perubahan Dasar Perairan Estuari Sungai Kapuas Kalimantan Barat (Studi Kasus: Bulan Januari s.d. April),” SIMETRI, vol. 1, no. D, pp. 42–46.

[3]

R. L. Wadley and M. Eilenberg. 2005. “Autonomy, Identity, and ‘Illegal’ Logging in the Borderland of West Kalimantan, Indonesia,” Asia Pacific J. Anthropol., vol. 6, no. 1, pp. 19–34.

[4]

J. Rousseau.1979. “Kayan stratification,” Man, vol. 14, no. 2, pp. 215–236. 90


Dialektika Budaya Dayak: Inkulturasi Agama Katolik dengan budaya Dayak Kayaan

Kristianus

[5]

C. F. Starkloff. 1994. “Inculturation and cultural systems (Part 2),” Theol. Stud., vol. 55, no. 2, p. 274.

[6]

M. Poplawska. 2008. “Christian music and inculturation in Indonesia,”.

[7]

C. Geertz.1993. Religion as a cultural system, vol. 6862608, no. 6.

[8]

Sriti Mayang Sari. 2007. “Wujud Budaya Jawa Sebagai Unsur Inkulturasi Interior Gereja Katolik,” Dimens. Inter., vol. 5, no. 1, p. pp.44-53.

[9]

M. A. Luardini.2016. “Socio-Cultural Values of Traditional Communities: A Case Study of the Dayak in Kalimantan,” Asian Cult. Hist., vol. 8, no. 2, p. 1.

[10]

Sugiyono. 2011. “Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D,” Bandung Alf., p. 90.

[11]

L. Moleong.2006. Sasial, pp. 31–44.

[12]

M. McMullen. 1998. “The Religious Construction of a Global Identity : An Ethnographic Look at the Atlanta Bahai Community,” in Contemporary American Religion : An Ethnographic Reader, pp. 221–243.

[13]

A. Belanger-Vincent. 2011. “Multisited Ethnography. Theory, Praxis, and Locality in Contemporary Research,” Anthropologica, vol. 53, no. 1, pp. 181–182.

[14]

B. Shantiko, E. Fripp, T. Taufiqoh, T. Heri, and Y. Laumonier. 2013. “Socio-economic considerations for landuse planning; The case of Kapuas Hulu, West Kalimantan,” CIFOR Work. Pap. 120, p. 63.

“Metodologi penelitian,” Kualitalif

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

91


Michael Sega Gumelar

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Masa Depan Dayak Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.2: 91-101

Jurnal Studi Kultural http://www.an1mage.org/p/jurnal-studi-kultural.html

Laporan Riset

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Masa Depan Dayak Michael Sega Gumelar* Dayak Jangkang, Sanggau, Kalimantan Barat, www.an1mage.org, Institut Teknologi Keling Kumang, Universitas Udayana, Universitas Surya

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 19 Februari 2017 Direvisi 7 Maret 2017 Diterima 9 Mei 2017

Abstract Cultural is a construction runs on an ongoing basis from a bad to a better direction from and for humans in an environment to achieve prosperity, happiness and peace of all people in an area. Clash of cultural is a necessity that is inevitable in the era of information and globalization. There is a strong cultural dominance in globalization to imply a false consciousness to the younger generation and its hegemonic. Even some people being hegemony information slaves (hegeformaslaves) by cultural and sadly they do not even realised it.

Kata Kunci: Cultural Design Bali Dayak Proyeksi

There is a cultural resistance, adaptation, and acculturation occur. When thinking about the need for a strong cultural identity, the need for redigging, reshaping, and finding again the ancestral identity and used as construction of new cultural identities as a unifying with the goal of unity, prosperity, happiness and peace in a community. This globalization era required a local merger with global thought that does not cancel each other out, but belong together and complete it. Thinking "local go global" resulting in a mix of local and global (Locglo). Instead of thinking global-local (Glocal), global tends to intimidate and repress local in the sense that the main priority is global and not local. Locglo is thought that promotes local equivalent to the global. Dayak in the need of reconstructing a better cultural identity requiring comparative studies with people on the island of Bali that measures future construction design thinking this culture can be projected and used as a cultural construction for the Dayak's new better culture based on humanity and speciesity in achieving the noble values of the ancestors of togetherness, welfare, and peace for Dayak locally and globally. Š 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Budaya berasal dari kata cultural di Bahasa Inggris dari akar kata culturae dari Bahasa Latin. Budaya (cultural) adalah kata sifat, bila dijadikan kata benda maka menjadi kebudayaan (culture). Budaya merupakan induk dari semua yang dilakukan manusia. Budaya melingkupi pengetahuan (knowledge), ilmu pengetahuan atau sains (science), dan teknologi (technology). Pengetahuan (knowledge) artinya tahu adanya sesuatu dan ada kemungkinan mampu menggunakannya. Sebagai contoh tahu adanya mobil, komputer dan lainnya serta mampu untuk menggunakannya, tetapi hanya sebatas sebagai tahu saja tidak mengerti bagaimana cara membuatnya. Ilmu pengetahuan jauh lebih maju dari sekedar tahu. Ilmu pengetahuan (science) artinya tahu, mampu menggunakannya dan mampu membuatnya. Seperti contoh seseorang suku Dayak mengetahui ada mobil, mampu mengemudikan mobil, dan mampu membuat mobil. ∗

Teknologi (technology) adalah hasil nyata dari ilmu pengetahuan, yaitu karya berupa mobil, smartphone, komputer, buku, internet dan hasil karya manusia lainnya yang tidak hanya menjadi ide di pikiran saja tetapi sudah tertuang menjadi materi (tangible) [1]. Budaya gobal yang sekarang menjadi tren utama di berbagai area dan masuk ke ranah budaya lokal relatif memengaruhi secara sedikit dan atau banyak. Budaya global yang berasal dari negara lain yang memiliki cakupan informasi yang lebih luas dan mudah diakses ini memiliki potensi membentuk kesadaran palsu yang sangat kuat (false consciousness) [2]. Jangan heran bila melihat generasi baru di Indonesia karena kesadaran palsu yang didapat dari negara lain karena arus globalisasi menyebabkan mereka menjadi lebih mengenal budaya Jepang, budaya Korea, budaya U.S.A, budaya dari negara-negara Eropa dan budaya lainnya yang kuat mendominasi informasi dan pikiran generasi muda, sehingga mereka hanya tahu itulah budaya mereka.

Peneliti koresponden: www.an1mage.org An1mage Education Division dari Dayak Djongkang, Jangkang, Sanggau, Kalimantan Barat Mobile: +62818966667 E-mail: michael.sega.gumelar@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

91


Michael Sega Gumelar

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Manusia Dayak ke Masa Depan

Kesadaran asli budaya mereka sendiri menjadi terkubur dan mereka merasa itu adalah hal yang wajar yang seharusnya terjadi dan bahkan membenarkan budaya tersebut, hal ini disebut dengan nama telah terhegemoni [3].

Budaya Bali yang dikenal mampu bertahan dari globalisasi oleh masyarakat nasional di Indonesia dan Bali bahkan memiliki program menguatkan dirinya dengan adagium Ajeg Bali yang berarti Bali yang mempertahankan budayanya.

Budaya adalah konstruksi yang berjalan secara berkelanjutan dari yang buruk dan harapannya ke arah yang lebih baik bagi manusia dalam suatu lingkungan untuk berusaha mencapai kesejahteraan, kebahagiaan dan perdamaian seluruh manusia di suatu area.

Karakter yang Baik Karakter masyarakat di Bali terbagi menjadi dua subbagian yaitu: sifat (personality) dan penampilan (appearance). Secara sifat, masyarakat di Bali dikenal memiliki dasar pemikiran umum yaitu karmaphala. Karmaphala dari kata karma yang artinya perbuatan dan dari kata phala yang artinya buah atau hasil. Karmaphala memiliki arti hasil perbuatan [4].

Benturan budaya merupakan keniscayaan yang tidak terelakkan di era informasi dan globalisasi ini. Ada budaya dominasinya kuat dalam globalisasi sehingga mampu memberikan implikasi kesadaran palsu kepada generasi muda dan kesadaran palsu ini menghegemoni. Ada budaya resisten sehingga mampu beradaptasi dan terjadi akulturasi budaya. Tetapi bila diperlukannya pemikiran tentang identitas budaya yang kuat maka diperlukannya menggali ulang. Membongkar yang buruk dan membentuk ulang, meredesign dan menemukan lagi jati diri leluhur dan dijadikan konstruksi identitas budaya baru sebagai pemersatu dengan tujuan identitas, kebersamaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan perdamaian di suatu komunitas. Era globalisasi ini diperlukan pemikiran penggabungan lokal dengan global yang tidak saling menghilangkan, tetapi saling menyatu dan melengkapinya. Pemikiran “local go global” sehingga terjadi perpaduan local-global (Locglo). Bukan pemikiran global-local (Glocal) yang cenderung global mengintimidasi dan menindas local karena pemikiran yang diutamakan adalah globalnya dan bukan lokalnya. Locglo adalah pemikiran yang mengutamakan local yang menguat dan mampu setara dengan global. Dayak dalam rangka mengontruksi identitas yang lebih baik memerlukan studi banding dengan masyarakat di Pulau Bali agar langkah-langkah ke depannya desain konstruksi pemikiran budaya ini dapat diproyeksikan dan dijadikan konstruksi budaya untuk Dayak yang baru dalam mencapai nilai-nilai luhur para leluhur untuk identitas, kebersamaan, kesejahteraan, dan perdamaian seeluruh Dayak secara lokal yang menglobal. 2. Diskusi

Studi banding ini tidak bertujuan mengubah Dayak menjadi seperti Bali. Studi banding ini terdapat usulan solusi sebagai bagian dalam penelitian. Studi ini menekankan pada elemen karakter (character), perbuatan (action), lingkungan (environment) dan sistem budaya (cultural system) untuk mengontruksi budaya yang akan dijadikan acuan sebagai proyeksi desain budaya untuk Dayak. Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Karmaphala ini berlaku pada perbuatan baik dan buruk, bila berbuat baik maka hasilnya baik dan bila berbuat buruk maka hasilnya buruk, atau lebih sederhananya disebut “sebab akibat”, bila ada sebab maka akan ada akibat, kata yang lebih teknik adalah aksi reaksi. Sifat umum masyarakat budaya di Bali yang masih memegang kuat budaya karmaphala secara turun-temurun inilah yang merupakan pondasi kuat secara mental masyarakat di Bali, sehingga menghindarkan mereka dari perbuatan mencuri, merampok, merugikan orang lain, membunuh, dan sebagainya karena takut kepada akibatnya yang buruk pada diri sendiri dan orang lain. Sifat (personality) yang baik inilah yang perlu digali untuk diterapkan untuk masyarakat di Dayak. Karmaphala dalam bahasa Dayak jangkang disebut dengan nama “asel korija” namun perlu diteliti lebih jauh untuk disepakati menjadi konsensus secara meluas, diproyeksikan untuk dikonstruksikan agar budaya yang mirip dengan karmaphala ini dapat dikuati dan menjadi mental utama masyarakat di Dayak. Asel korija dikonstruksi menjadi kata sakral seperti yang dipercaya oleh masyarakat di Bali sehingga mampu mencegah perbuatan buruk, sehingga perbuatan buruk hanya berhenti di pemikiran saja, kalau perlu dipikirkan di pikiran saja juga tidak terjadi. Mengapa dikonstruksi? Agama adalah budaya, hasil konstruksi sosial yang dijadikan budaya yang dilakukan oleh agen sebelumnya. Agen dengan untuk kepentingan tertentu untuk diterapkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Saatnya diperlukan konstruksi “asel korija” atau kata setara dalam bahasa Dayak Iban misalnya “laban aksi” atau bahasa Dayak lainnya bila diperlukan untuk menjadi warisan budaya sakral generasi baru yang lahir di Dayak. Tujuannya agar generasi Dayak berikutnya memegang teguh dan bersikap baik karena bila berbuat buruk akan berakibat buruk dari perbuatan yang dilakukannya. 92


Michael Sega Gumelar

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Manusia Dayak ke Masa Depan

Perbuatan baik maka hasilnya akan baik di masa depannya, tetapi tidak perlu mengharapkan perbuatan baik tersebut dibalas dengan kebaikan, sebab dalam kenyataanya perbuatan baik tidak selalu mendapatkan respon atau hasil yang baik. Pelaksanaan dalam penerapan desain budaya secara proyeksi ini memerlukan keterlibatan aktif dan kepercayaan seluruh masyarakat di Dayak yang sangat patuh pada ayah ibunya. Leluhur merupakan kekuatan penting dalam budaya di Dayak, oleh karena itulah perlu dikontruksi agar kata “asel korija� menjadi memiliki kekuatan sakral karena bila dilanggar maka pelanggar yang melakukan perbuatan buruk akan terkena tuah leluhur.

Salah satu pakaian adat masyarakat di Bali pada masa lalu. sumber: http://luk.staff.ugm.ac.id/itd/Bali/PKL01_86-111-025_W.jpg

Penampilan (appearance) masyarakat di Bali tentu saja tidak terlepas dari akulturasi. Akulturasi dalam penampilan tidak hanya terjadi di Bali, tetapi juga hampir di seluruh wilayah nusantara yang kini disebut Indonesia. Menengok dokumen di masa lalu seperti foto-foto di Jawa, Bali dan Pulau Dayak yang cenderung hampir sama, mereka bukan berarti mereka tidak memiliki uang untuk menutup dada, menutup dada dengan selembar kain adalah hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi dada terbuka adalah budaya lumrah di masa itu, hal ini masih berlangsung juga di area Papua Barat yang juga merupakan kelumrahan.

Salah satu pakaian adat masyarakat di Dayak pada masa lalu. sumber:https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/e2/Sea_dayak_ women_corset_rings.jpg

Salah satu pakaian adat masyarakat di Papua Barat. Sumber: http://3.bp.blogspot.com/4k9D6Hqkns0/TkzxZZIsodI/AAAAAAAAAC8/aRAm7cr3XXo/s1600/Irian Choir.jpg

Salah satu pakaian adat masyarakat di Jawa pada masa lalu. sumber: http://4.bp.blogspot.com/vjZI7A6bVoM/TZrKvr_rVNI/AAAAAAAAAN4/F0q5FM1Qyc0/s1600/gad is+priangan+1890.jpg

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Kini Bali memiliki budaya baru hasil akulturasi dengan budaya lainnya. Tidak akan lagi ditemukan penari wanita dengan pakaian dada yang terbuka, karena kain telah ditutupkan sampai ke area dada, di mana di masa lalu kain tersebut menjadi budaya lumrah tidak menutup area dada. Masyarakat di Bali menerima budaya akulturasi sebagai budaya baru yang dijadikan standar bagi masyarakat di Bali untuk saat ini.

93


Michael Sega Gumelar

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Manusia Dayak ke Masa Depan

Pernari Bali masa kini dengan kostum yang telah terjadi akulturasi, kain ditutupkan sampai ke area dada. Sumber: https://susisofa77.files.wordpress.com/2011/03/tari2bpendet2b2528blogspot 2bcom2529.jpg

Namun akulturasi globalisasi ini terjadi tidak hanya pada kostum saat untuk pentas kesenian saja, tetapi juga terjadi pada cara berpakaian adat sehari-hari masyarakat di Bali. Pakaian adat sehari-hari di Bali berubah melibatkan t-shirt atau kaos tanpa kerah.

Pakaian adat sehari-hari berganti dengan t-shirt akulturasi dengan udeng dan sarung khas Bali. Sumber: http://www.balitaksu.com/waroeng/e/bajusafari/baju-safari-bali-2.jpg

Globalisasi terjadi dominasi penuh di beberapa suku Dayak tanpa terjadi akulturasi, penggunaan t-shirt, kemeja dan pakaian tidak ala Dayak menjadi pemandangan umum di rumah betang, terjadinya kesadaran palsu. Sumber: http://us.images.detik.com/content/2010/10/19/1001/detik_IMG_0233800.jpg

Perlu adanya kebangkitan pemikiran suku Dayak untuk bersatu padu mengontruksi pakaian adat sehari-hari, demikian juga untuk pakaian adat acara khusus dan pakaian kesenian lainnya yang disesuaikan dengan keperluan dan adat di setiap acara suku Dayak. Hal ini mencetuskan ide adanya musium berbasis komunitas untuk kegiatan turisme yang dapat diterapkan di rumah betang agar terpelihara budayanya salah satunya adalah pakaian adat suku Dayak. Turis datang dengan dipandu oleh pemandu dari Dayak dan diperkenalkan budaya Dayak dengan segala keagungan nilai dan filosofinya akan menjadi daya tarik utama sebagai potensi income ekonomi untuk rumah betang yang telah menjadi musium berbasis komunitas, sehingga kedatangan turis dapat disambut dengan tarian dan juga ada rumah betang khusus turis dapat dibuat dan turis yang berkunjung wajib menggunakan pakaian adat sehari-hari suku Dayak agar turis membaur dan menjadi kebanggaan turis itu sendiri.

Penampilan pakaian adat sehari-hari yang telah berubah karena akulturasi ini karena benturan budaya globalisasi yang kuat dari penggunaan t-shirt dan kemeja berlengan lainnya, hal ini bila dibenturkan dengan menggali lagi identitas budaya asli dengan tujuan Ajeg Bali sepertinya telah terjadi paradoks atau pertentangan. Studi banding di Bali untuk Dayak ini diperlukan salah satunya untuk menggali pakaian adat di Dayak dengan ragam sukunya. Dayak Jangkang akan mencari ciri khas pakaian adatnya sendiri dengan menggali kekayaan pakaian adat leluhur di Jangkang misalnya pakaian dari kulit kayu dengan terobosan akulturasi masa kini agar ada pakaian adat seharihari yang menjadi ciri khas identitas Dayak dari Jangkang. Tujuan dari pakaian adat ini diperuntukkan bagi yang tinggal di rumah betang yang merupakan rumah tinggal budaya yang diharapkan masih asli menggunakan adat budaya Dayak, sehingga tidak diketemukan orang yang tinggal di rumah betang menggunakan t-shirt atau kemeja tanpa akulturasi seperti yang di Bali. Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Tarian merupakan cara unik untuk menyambut tamu dan merayakan acara adat suku Dayak di rumah betang. Sumber: http://1.bp.blogspot.com/G0fH6FdVud0/Uc3jT6B6bsI/AAAAAAAABOQ/ugtX53P8uIQ/s1600/IMG _6259.JPG

Perbuatan Perbuatan merupakan elemen yang dilakukan oleh masyarakat di Bali. Masyarakat di Bali demikian patuh pada adat istiadat dari karakter umum dalam sifat yaitu karmaphala dan diwujudkannya sehari-hari. Hal ini membuat masyarakat di Bali dikenal dengan kejujuran dan 94


Michael Sega Gumelar

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Manusia Dayak ke Masa Depan

integritasnya yaitu sama antara perkataan dan perbuatan. Bahkan ada adagium bila memilih pegawai bagian keuangan, maka jadikan orang Bali sebagai pemegang bagian keuangannya. Orang Bali demikian lekat dengan keramahtamahannya karena karmaphala cenderung ada di benak mereka dalam setiap perbuatan yang dilakukannya. Karmaphala merupakan acuan umum dalam setiap kegiatan dan perbuatan masyarakat di Bali. Dayak perlu meniru perbuatan masyarakat di Bali dengan selalu mengingat karmaphala ala Dayak di benak masyakarat Dayak dalam perbuatan sehari-hari untuk menciptakan perbuatan yang sama antara perkataan dan perbuatan sehingga akan lahir generasi yang dapat dipercaya dan andal. Kejahatan cenderung kecil terjadi yang dilakukan oleh masyarakat di Bali, kemungkinan besar pelaku kejahatan adalah pendatang yang belum menyelami dan mengamalkan sebab akibat atau karmaphala dalam bahasa Bali, karmaphala yang merupakan karakter mental utama orangorang di Bali. Masyarakat Pulau Bali menggunakan bahasa Bali yang merupakan akulturasi dan modifikasi dari bahasa Bali awal dengan bahasa Jawa di era Majapahit. Bahasa Bali merupakan pemersatu seluruh masyarakat di Bali [5]. Bahasa Bali digunakan dalam kegiatan ibadah dan menjadi ritual sehari-hari masyarakat di Bali. Ritual yang paling banyak didengar adalah Nyepi, Ngaben, Galungan, Kuningan dan Pager wesi. Bahasa Bali sebagai doa dapat didengar saat dikumandangkan dalam bentuk doa yang menggunakan sound system di pura-pura Bali sebanyak tiga waktu yaitu sekitar pagi hari, siang hari dan sore hari. Bahasa persatuan diperlukan untuk membuat penyamaan istilah dan agar mudah dipahami secara luas. Bahasa persatuan Dayak disarankan dibentuk dan dikonstruksi, inisiasi bahasa Dayak dapat dimulai dengan memilih salah satu bahasa Dayak yang penggunanya paling banyak untuk dijadikan bahasa persatuan untuk Dayak dan sepakat disebut dengan nama bahasa Dayak, kemudian dibuat kamus, tata bahasanya disusun dan diajarkan menjadi bahasa wajib di seluruh Pulau Dayak. Konstruksi sosial yang memojokkan masyarakat Dayak dengan istilah “ngayau” harus diperbaiki dengan mengarahkan kata tersebut ke hal yang lebih pada kegiatan positif dalam mencari penghidupan yang layak dan tidak merugikan orang lain. Diperlukan kelanjutan dari perjanjian yang dilakukan di kampung Dayak “Tumbang Anoi” pada tahun 1894 yang melahirkan “kesepakatan menghentikan perang antar suku, Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

kebiasaan adat mengayau atau memenggal kepala, adat perbudakan dan balas dendam antar keluarga, dan diperlukan penyeragaman hukum adat antar suku” [6]. Penulis mengusulkan untuk membuat kesepakatan lanjutan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kesepakatan Tumbang Anoi sebelumnya, suatu kesepakatan tambahan yang dihadiri oleh semua suku Dayak untuk: (1) membuat bahasa persatuan identitas Dayak; (2) menjaga satwa, tanaman, dan alam warisan leluhur; (3) menguati dan mengembangkan warisan budaya leluhur yang baik dan menghilangkan yang buruk; (4) menyatukan seluruh Dayak di Pulau Dayak, (5) Dayak yang peduli kepada sesama manusia untuk kebersamaan, kenyamanan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan perdamaian bagi seluruh masyarakat yang ada di Pulau Dayak. Lingkungan Lingkungan (Environment) di Bali sangat indah karena perpaduan pantai dan gunung yang tidak memerlukan waktu lama untuk melakukan perjalanan dari pantai ke gunung dan dari gunung pantai. Intinya seluruh pulau Bali berpotensi menjadi area yang dapat dijadikan penarik minat wisatawan, karena seluruh pulau dikelilingi pantai yang indah. Gunung dengan teksturnya yang menghiasi memberikan suasana segar saat di siang dan malam hari dengan pemandangan pegunungan yang tidak kalah uniknya dengan area pantai. Ada area yang bahkan seseorang dapat melihat gunung dan pantai pada saat bersamaan. Keindahan alam ini tentu menjadi incaran para pendatang dari luar pulau, mereka datang dari pulau lain di Indonesia atau bahkan dari negara lain. Area yang dikenal di Bali adalah Pantai Kuta, Pantai Sanur, Tanah Lot, Danau Beratan di Bedugul, Gunung Kintamani, dan masih banyak lagi lainnya. Tidak hanya lingkungan alam saja yang menarik para turis tetapi juga hasil karya masyarakat di Bali yang terkumpul di suatu area seperti barang-barang seni dan suvenir khas Bali yang dapat diperoleh di pasar seni di Lodtunduh Ubud, bangunan candi di Candi Dasa, perkampungan rapi dan unik di Penglipuran, dan yang terpenting lagi adalah adanya pura di mana-mana sehingga Bali disebut juga dengan istilah pulau seribu pura. Budaya masyarakat dari Bali juga dibawa ke area lain bila mereka ke luar dari Bali dan bermukim di lain pulau, 95


Michael Sega Gumelar

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Manusia Dayak ke Masa Depan

sehingga bila orang-orang Bali berkumpul di luar Pulau Bali, maka area tersebut diberi nama kampung Bali, identitas suku Bali ini demikian kuat bahkan saat di luar Pulau Bali sekalipun. Bali sebagai acuan studi banding bukan berarti acuan yang sempurna. Turis yang berdatangan pada awalnya cenderung hanya berkunjung kemudian berubah menjadi mengincar tanah-tanah di Bali dan dibeli, kini orang Bali banyak yang tidak memiliki tanah lagi di Bali. Menjual tanah di Bali mendadak membuat orang Bali kaya raya, namun setelah kekayaan tersebut habis. Orang Bali yang menjual tanahnya tadi bahkan tidak mampu untuk membeli tanah yang potensial untuk berjualan dan berkarya. Kini banyak tanah di Bali dimiliki oleh orang asing dari luar Bali, seperti dari negara U.S.A, negara-negara Eropa, Jepang, China, Korea, dan negara lainnya yang memiliki perekonomian kuat sehingga akan sangat murah bagi pembeli tanah yang berasal dari negara-neghara dengan ekonomi kuat tersebut. Banyak tanah di Candi Dasa, Kuta, Sanur, Ubud, dan area wisata lainnya di Bali yang beralih fungsi menjadi restoran, tempat penginapan, tempat hiburan, toko-toko suvenir, tempat pijat, dan tempat fungsi turisme lainnya di mana masyarakat Bali secara umum tidak mendapatkan manfaat ekonomi tersebut dan tidak mengubah menjadi hidup masyarakat di Bali menjadi lebih baik. Turisme atau pariwisata adalah salah satu bentuk invasi penjajahan terbaru dalam era globalisasi ini yang berpotensi pemindahan tanah pemilik lokal ke tangan para turis sebagai pendatang. Perusakan lingkungan karena ada turis yang memiliki potensi tidak peduli dengan alam area turisme, dan juga bentrokan budaya yang berpotensi kuat terjadi dari invasi budaya global yang berpotensi mengeliminasi budaya lokal [7]. Ada beberapa area cagar budaya bahkan menjadi warisan budaya oleh PBB di Bali kini malah menjadi lebih rusak dibanding sebelum dijadikan area cagar budaya. Area cagar budaya adalah tujuannya untuk melindungi area terentu agar tidak rusak dan bukan untuk pariwisata. Sepertinya ada agen yang sengaja menjadikan gelar cagar budaya sebagai “alat’ untuk kepentingan tertentu. Implikasi turisme adalah menarik pendatang dari luar pulau, dari negara lain yang tertarik bekerja di tempat tersebut, kemudian mencari tempat tinggal di tempat tersebut, bila turis tersebut adalah orang kaya, maka orang kaya tersebut akan tertarik dan membeli lokasi di area tersebut dan berbisnis di tempat tersebut.

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Kedatangan turis mengakibatkan sampah yang berserakan di Pantai Kuta, Sanur, sungai-sungai yang mulai keruh dan tidak bersih lagi. Kedatangan para turis ternyata membuat petugas kebersihan di Bali menjadi kewalahan dan overload dengan tugasnya, sehingga pengangkutan sampah dan tempat pembuangan akhir bagi sampah pun menjadi kendala tersendiri, sehingga penulis saat ke area Sarangan akan tercium bau sampah busuk yang sangat kuat bahkan bau busuknya sampai ke jalanan utama by pass Ngurah Rai. Bisnis turisme ini diminati juga oleh pemerintah daerah yang sudah mulai menerapkan otonomi daerah. Sebagai contoh Tanah Lot dan beberapa area wisata lainnya pengelola organisasi area wisata adalah penduduk area wisata tersebut. Penulis mengamati ternyata ada pemerintah daerah mendapatkan bagian keuntungan dari pengelolaan yang dilakukan oleh penduduk area wisata tersebut, bagi hasil ini bervariasi, bahkan ada yang membagi hasilnya 50:50 di mana pengelola area wisata yang merupakan organisasi komunitas penduduk mendapatkan 50% dan pemerintah daerah mendapatkan 50% dari keuntungan. Penulis melihat pembagian sampai 50:50 pada hasil keuntungan suatu area wisata ini, temuan ini tidak sesuai dengan semangat turisme berbasis komunitas, sebab seharusnya pemerintah daerah telah cukup dengan mendapatkan pendapatan dari pajak yang dikenakan pada turis yaitu 10% saja. Implikasi turisme lainnya adalah adanya harga tanah dan bangunan yang menjadi melambung karena inflasi lokal pariwisata ini. Harga tanah dan bangunan menjadi dikendalikan sepenuhnya dengan harga semaunya oleh pemilik tanah dan bangunan dengan asumsi keuntungan bagi yang membuka usaha ditempat tersebut dipastikan untung karena membanjirnya para turis dari dalam dan luar negeri. Setelah dijalani untuk berbisnis oleh pebisnisnya malah harga sewa tanah dan bangunan melebihi dari pendapatan bersih malah cenderung merugikan bagi penyewa dalam jangka waktu tersebut saat sewa tanah atau bangunan berakhir. Hal ini menyebabkan silih bergantinya penyewa yang cenderung selalu tertipu oleh pemilik lahan. Implikasi lainnya membuat inflasi dengan mahalnya harga makanan, suvenir, hiburan, penginapan dan lainnya bagi orang lokal tetapi upah lapangan kerja sangat kecil dan tidak mencukupi bagi orang lokal. Studi banding di Bali tersebut hal yang baik dapat diterapkan di Pulau Dayak tetapi dengan modifikasi yang lebih baik agar tidak mengulangi kejadian buruk yang sama di tempat pariwisata lainnya. Proyeksi rencana budaya ini menjadi 96


Michael Sega Gumelar

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Manusia Dayak ke Masa Depan

sangat penting untuk mengantisipasi jauh-jauh hari apa yang telah terjadi di area wisata lainnya tersebut. Hal pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah di Pulau Dayak adalah mengidentifikasi potensi elemen pariwisata yang meliputi: (1) tempat wisata; (2) penginapan untuk pariwisata; (3) seni dan budaya untuk pariwisata; (4) travel agency untuk pariwisata; (5) dokumentasi dan publikasi wisata. 1)

Tempat pariwisata merupakan kekayaan yang dapat diperoleh dari alam dan atau dapat diperoleh dengan membuat suatu area menjadi tempat wisata buatan, seperti taman, kampung wisata, agrowisata dan sejenisnya. Lahan dan bangunan di area wisata wajib diproteksi minimal oleh masyarakat komunitas adat Dayak di sekitarnya agar tidak dijual, tetapi hanya disewakan saja, bila diperlukan dibuat larangan dan siapa yang melanggar dengan menjual tanah adat atau warisan tanah leluhur akan mendapatkan tulah dari leluhur. Bila perlu pemerintah daerah juga melakukan proteksi yang sama, namun dengan imbalan diberikan sejenis remunerasi (imbal jasa) karena warga Dayak di area tersebut tidak menjual tanahnya kepada pendatang, terutama untuk lahan-lahan kosong, taman, dan hutan yang ada di sana. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi berpindahnya kepemilikan lahan dan bangunan ke tangan para turis seperti yang telah terjadi di Bali. Di satu sisi pemilik lahan juga tetap berpegang teguh pada harga tanah dan sewa yang sesungguhnya dan tidak melakukan membuat “harga sendiri” yang akan membuat inflasi lokal dengan implikasi mahalnya harga makanan, suvenir, hiburan, penginapan dan lainnya bagi orang lokal tetapi upah lapangan kerja sangat kecil dan tidak mencukupi bagi orang lokal di area tersebut.

2)

Penginapan untuk pariwisata, penginapan yang didesain untuk turis dengan kenyamanan dan layanan yang terkini tingkat bintang lima tetapi dengan bentuk penginapan yang berciri khas bangunan suku Dayak. Turis ingin sekali melihat bangunan ala Dayak dan tinggal di dalamnya, bila diperlukan dibuat perkampungan Dayak seperti rumah betang akulturasi dengan desain minimalis terkini yang dikhususkan untuk turis dan atau turis dapat tinggal di rumah penduduk Dayak seperti home stay dengan pelayanan tingkat internasional bila diperlukan.

3)

Seni dan Budaya, seperti makanan khas untuk pariwisata, atau kuliner khas Dayak wajib digali lagi warisan kuliner leluhur dan bila perlu dilakukan desain

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

ulang (redesign) dari segi bahan, bentuk, rasa dan warna agar mampu menarik perhatian turis yang kemungkinan besar baru pertama kali melihat makanan tersebut dan tertarik untuk mencicipi dan merasakan makanan khas dari Dayak. Pakaian khas Dayak untuk pariwisata, turis juga dapat membeli pakaian khas Dayak untuk mereka gunakan di perkampungan Dayak yang mewajibkan menggunakan pakaian khas Dayak di suatu tempat perkampungan Dayak area tertentu. Tarian Dayak untuk pariwisata, di mana turis dapat terlibat ikut menari dalam satu sesi tertentu agar mereka dapat terlibat aktif dalam tarian tersebut. Diperlukan tarian baru dan dapat dikonstruksi sebagai desain tarian khas Dayak yang dapat dijadikan sakral dan hanya ditarikan pada saat-saat tertentu dan di area tertentu. Suvenir dan kerajinan suku Dayak yang khas dapat dijadikan suvenir dalam bentuk normal dan atau ukuran yang lebih kecil seperti minatur, biasanya berbahan dari alam yang dapat diperbaharui, seperti biji-bijian untuk dibuat kalung, batuan alam seperti giok atau lainnya, hiasan-hiasan dari rotan, tetapi hindarkan suvenir berbahan satwa yang sulit untuk diperbaharui seperti tanaman yang mudah tumbuh kembali. Penggunakan suvenir dari satwa akan membunuh lingkungan dan kekayaan Dayak itu sendiri, hindarkan benar-benar dan bila perlu seluruh masyarakat adat Dayak mengeluarkan larangan secara adat dan juga pemerintah mengeluarkan larangan untuk menggunakan satwa sebagai suvenir. Budaya dan acara suku Dayak seperti gawai Dayak dapat menjadi kekuatan menarik wisatawan. Namun budaya “menghanguskan lahan” perlu diwaspadai karena memiliki potensi untuk dijadikan “alat” menyudutkan masyarakat Dayak secara keseluruhan karena terjadinya kebakaran hutan beberapa puluh tahun terakhir ini dan masyarakat Dayak menjadi “sasaran empuk” untuk disalahkan. Diperlukan sistem budaya baru oleh masyarakat Dayak untuk memelihara alam dan menghindarkan terjadinya “penghangusan lahan” sebagai bagian dari menghilangkan budaya Dayak yang cenderung berpotensi konflik. Diperlukan izin secara adat dan juga kepada pemerintah bila diperlukan agar “penghangusan lahan” memang benar-benar diperlukan dan dapat dimonitor dan dikendalikan agar tidak dijadikan “alat” oleh orangorang tertentu untuk menyudutkan masyarakat Dayak secara keseluruhan. 97


Michael Sega Gumelar

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Manusia Dayak ke Masa Depan

4) Travel agency diperlukan untuk mengantar turis ke area tujuan wisata, travel dapat menggunakan pemandu wisata bagi turis asing dari berbagai negara. Potensi travel dalam membuka mengalirnya turis dari luar daerah secara nasional dan dari luar negeri juga sangat kuat. 5) Dokumentasi dan publikasi untuk berbagai media gambar, foto, audio dan video. Foto-foto dan merekamnya menjadi video saat di area wisata yang dilakukan para turis sangat diperlukan untuk didukung oleh semua pihak, oleh karena itu semua potensi pariwisata harus siap membantu menjadi fotografer dadakan yang menggunakan smartphone atau alat perekam foto dan video sejenisnya.

yang paling sederhana adalah canang sari yang diletakkan di area tertentu sebanyak tiga waktu yaitu pagi, siang, dan sore. Peletakkan canang sari juga berdasarkan warna bunga sesuai arah seperti bunga berwarna putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara, bunga berwarna merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma, bunga berwarna kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa, bunga berwarna biru atau hijau disusun di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu, sedangkan bunga rampai disusun ditengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata [8].

Travel, hotel, area, seni, budaya, semua elemen dan masyarakat Dayak agar pariwisatanya menguat perlu bekerja sama dengan penerbit berbasis digital untuk memublikasikan area wisata yang ada dan menarik wisatawan untuk datang kea area wisata. Kekuatan publikasi melalui media digital dan media penerbit berbasis digital akan membuat berbagai elemen pariwisata menjadi menggugah calon turis untuk datang dan melihat daya tarik pariwisata secara langsung. Para turis cenderung menyiarkan area yang mereka anggap unik dan menakjubkan, penginapan yang berkesan, makanan yang mereka anggap unik dan enak, seni dan budaya yang unik, serta perjalanan yang unik dalam suatu wahana oleh agen perjalanan wisata. Sistem Budaya Setiap budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat di area tertentu pasti memiliki sistem, entah sistem tersebut berjalan dengan baik atau tidak. Sistem budaya masyarakat di Bali adalah sistem patriarki dan keagamaan. Hal ini tercermin dari diutamakannya para pria dalam setiap kegiatan di Bali. Keagamaan di Bali juga sudah menjadi budaya, sehingga berbagai kegiatan di Bali sebagian besar erat kaitannya dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan di Bali seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, Banyupinaruh, Siwaratri dan Nyepi. Kemudian banyak upacara keagamaan seperti otonan, upacara potong gigi, ngaben, melasti, melukat, dan lainnya, upacara seharihari di pura, di area lingkungan rumah, jalan, dan tempat kerja lainnya sebanyak tiga waktu dalam sehari yaitu pagi, siang, dan sore. Kegiatan masyakarat dikarenakan adanya sistem tersebut menjadi sangat aktif dan tertanam kuat dalam keseharian masyarakat di Bali. Kegiatan keagamaan masyarakat di Bali sehari-harinya menggunakan media persembahan (banten) salah satunya Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Canang sari yang digunakan sehari-hari dalam kegiatan keagamaan masyarakat di Bali. sumber: http://inputbali.com/wpcontent/uploads/2015/04/mmexport1430026711819.jpg

Penggunaan canang sari saat tanaman dan perkebunan di Bali masih banyak dan kehidupan masyarakat di Bali saat masih menggantungkan keseharian hidupnya dari bertani, bercocok tanam, berkebun, dan beternak adalah hal yang sederhana dan cenderung tidak memerlukan biaya. Seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang terkena implikasi pariwisata telah banyak mengubah cara hidup masyarakat di Bali. Canang sari dan banten lainnya yang dulunya tinggal mengambil di kebun berubah drastis menjadi “bebanâ€? keseharian masyarakat di Bali yang masih kuat menganut sistem budaya yang menjadi bagian dari keagamaan mereka. Inflasi lokal implikasi pariwisata membuat lahan kosong, lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan berubah menjadi restoran, cafĂŠ, warung, toko suvenir, tempat hiburan, hotel, dan gedung-gedung keperluan lainnya untuk pariwisata. Hal ini secara bertahap membuat bunga, tanaman kelapa, lontar dan sejenisnya yang diperlukan untuk membuat canang sari dan banten lainnya menjadi sulit disediakan dan didapatkan dari dalam Pulau Bali sendiri.

98


Michael Sega Gumelar

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Manusia Dayak ke Masa Depan

Membuat canang sari dan banten lainnya yang dudtangkan dari area luar Bali menjadi melonjak mahal dan memerlukan biaya untuk membelinya. Beban inflasi lokal turisme terhadap harga yang melambung untuk makanan, minuman, dan kebutuhan keseharian masyarakat di Bali termasuk canang sari dan benten lainnya menjadi melonjak melebihi upah yang menjadi income pendapatan mereka sehari-hari. Harga canang sari dan banten lainnya yang melambung sedangkan canang sari diperlukan sebanyak tiga waktu yaitu pagi, siang, dan sore serta untuk beberapa arah mata angin, terlebih lagi untuk di jalan, dan area yang dianggap strategis lainnya menurut keagamaan orang di Bali, disertai banyaknya hari besar keagamaan bagi masyarakat yang memegang kuat budaya keagamaannya merupakan beban yang luar biasa berat dari bidang ekonomi keluarga. Bercermin dari yang terjadi di Bali, diperlukan konstruksi membuat hari perayaan bersama namun tidak banyak jumlahnya agar tidak menjadi beban bagi masa depan generasi baru Dayak, cukup dua hari besar dalam setahun untuk seluruh masyarakat Dayak, misalnya hari besar Gawai dan hari besar berterima kasih pada leluhur dengan diberi nama sesuai kesepakatan. Kepercayaan masyarakat Dayak sangat kuat pada leluhur dan memandang pria dan wanita adalah setara atau gender equality yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Dayak. Hal ini kekuatan warisan leluhur yang sudah bagus wajib dilanjutkan, sehingga Dayak tidak mengenal sistem patriarki dan matriarki. Tinggal mencari jenis upacara keseharian dan caranya yang perlu diciptakan dan dikonstruksikan sebagai ucapan terima kasih sehari-hari pada leluhur, maksimum dua waktu yaitu pagi dan sore. Di desain pula saat upacara kostum apa minimal yang digunakan. Upacara keseharian ini diperlukan dalam rangka “mencuci otak� diri sendiri agar terjadi kepatuhan pada generasi baru Dayak dalam memperkuat pengamalan adat Dayak yang telah dikonstruksi oleh leluhur Dayak sebelumnya, hal itu juga yang menguatkan masyarakat di Bali dalam kesehariannya. Kostum upacara adat keseharian masyarakat di Bali untuk wanita yaitu endek sejenis kebaya ala Bali dan selendang sebagai ikat pinggangnya, namun hal tersebut bukan harga baku, minimal dapat menggunakan selendang saja pernah penulis lihat saat observasi dalam penelitian ini. Dapat diadopsi dan dibuat kostum sejenisnya ala Dayak untuk upacara keseharian selama dua waktu yaitu pagi dan sore untuk wanita dan pria Dayak.

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

Kostum standar upacara keseharian wanita di Bali menggunakan endek dan selendang. Sumber: http://1.bp.blogspot.com/wbPJj8Pr3nk/UrZcx5mirLI/AAAAAAAAAHc/sQpixNFzvto/s1600/foto717758.JPG

Kegiatan keseharian yang merupakan sistem budaya yang menyatu dalam sistem keagamaan ini yang menarik turis mancanegara selain kekayaan alam, seni, dan budaya di Bali. Menciptakan dan mengonstruksi budaya adat di Dayak tidak perlu mengadopsi sistem keagamaan di Bali. diperlukan intisarinya saja yaitu sistem kepercayaan agama di Bali diadopsi menjadi sistem kepercayaan leluhur yang telah berakar kuat di masyarakat Dayak. Apakah masyarakat Dayak memerlukan Agama Dayak? Sepertinya tidak perlu, agama adalah konstruksi budaya yang telah menyebabkan peperangan, kebencian yang diturunkan melalui kitab yang dibuatnya tanpa melihat, mengetahui, dan mengenal secara langsung pada pemarginalan yang dilakukan kitab suci agama tertentu pada seseorang, sekelompok orang, suku, banggsa, agama, dan ras apakah benar-benar jahat? Karena sudah dimarginalkan dalam satu kitab suci tersebut apakah pasti benar demikian adanya? Bagaimana bila ternyata yang jahat adalah yang telah membuat kitab suci tersebut? Banyak agama hasil konstruksi agen di masa sebelumnya yang akhirnya agama hanya digunakan sebagai alat untuk mendapatkan pengaruh, setelah mendapatkan pengaruh akan mendapatkan pengikut, setelah mendapatkan pengikut akan mendapatkan kekuasaan, setelah mendapatkan kekuasaan akhirnya mendapatkan kekuatan, setelah mendapatkan kekuatan akhirnya mendapatkan kekayaan dan wanita. 99


Michael Sega Gumelar

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Manusia Dayak ke Masa Depan

Agama dijadikan alat untuk mencuci otak pengikutnya. Bahkan ada pengikut yang telah terhegemoni secara buruk sehingga memberikan banyak santunan, padahal di rumahnya sendiri kesulitan makanan, minuman, dan tidak memiliki tempat tinggal. Tuhan dalam agama-agama tersebut pada umumnya kebanyakan hanya peduli pada masalah seks dan tidak peduli dengan masalah kelaparan dan bagaimana mengatasi kemiskinan, kemiskinan diidentikkan dengan pengemis, padahal pengemis adalah profesi dan belum tentu pengemis adalah seorang yang miskin. Dayak memerlukan kepercayaan adat yang kuat pada leluhur tetapi bukan agama. Diperlukan inisiasi secara bersama seluruh masyarakat Dayak untuk mengonstruksi kepercayaan adat yang baik. Kepercayaan adat Dayak yang berlandaskan: 1) menguati dan mengembangkan warisan budaya leluhur yang baik dan menghilangkan yang buruk;

4.

Membuat sistem budaya secara adat dan didukung oleh pemerintah dalam memelihara kekayaan leluhur seperti satwa, tanaman, alam, dan segala kandungan di dalamnya.

5.

Menguati dan mengembangkan warisan budaya leluhur yang sudah baik dan memperbaiki yang belum baik.

6.

Membentuk masyarakat Dayak yang mandiri dengan memudahkan masyarakat Dayak dalam mendapatkan pendapatan sehari-hari dengan kembali pada budaya leluhur yaitu bertani, berkebun, dan menghilangkan budaya berburu diganti dengan budaya beternak agar satwa tidak habis diburu. Tidak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan makanan, makanan dengan mudah didapat dari alam sekitarnya.

7.

Lahan kosong, lahan pertanian, lahan perkebunan, tanah adat, dan lahan adat benar-benar dijaga dan dimanfaatkan secara baik, sehingga masyarakat adat mendapatkan pendapatan (income), melarang penjualan tanah adat dengan alasan apa pun kepada pendatang.

8.

Mengembangkan potensi pariwisata yang menjaga budaya yang melingkupi seni, kerajinan, travel, keterampilan, makanan, tempat, hiburan dengan tetap menjaga kebersihan dan keamanan, tetap melindungi satwa, tanaman, alam, dan lingkungan untuk meningkatkan income di segala elemen pariwisata bagi masyarakat Dayak.

9.

Mengembangkan sistem kepercayaan adat leluhur Dayak bagi generasi muda di masa depan agar generasi Dayak yang lahir adalah generasi muda Dayak yang memiliki integritas, kreatif, inovatif, mandiri, pendamaian, tangguh, dan teguh menjaga kepercayaan dari leluhurnya.

2) menjaga satwa, tanaman, dan alam warisan leluhur 3) serta bersandar pada nilai-nilai peduli sesama manusia untuk kebersamaan, kenyamanan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan perdamaian bagi seluruh masyarakat yang ada di Pulau Dayak. Kepercayaan Dayak di Jangkang dan seluruh masyarakat Dayak di pulau Dayak meliputi semua hal tersebut. 3. Konklusi.

Diperlukan kebersamaan dan kebulatan tekad membentuk persatuan bagi seluruh masyarakat Dayak. Kebulatan tekad yang telah bersatu diarahkan atau diproyeksikan membentuk generasi muda Dayak di masa depan yang lebih baik. Studi banding secara kritis ini memberikan konklusi penting yang dapat diterapkan agar generasi Dayak di masa depan sangat andal, kreatif, mandiri, memiliki integritas yang kuat, dan pendamai. Diperlukan inisiasi dan langkah nyata dalam memujudkan desain budaya agar proyeksi bagi generasi baru dapat terlaksana dalam daftar berikut: 1.

Menentukan bahasa persatuan bagi seluruh Dayak, tetapi tidak menghilangkan bahasa Dayak ibu masingmasing subsuku Dayak, hal ini untuk menjaga kelestarian kekayaan bahasa.

2.

Menyatukan seluruh Dayak di Pulau Dayak, dan juga tidak ada batas-batas wilayah, pemikiran, ideologi, dan adat untuk persatuan satu Dayak.

3.

Membuat sistem budaya secara adat yang melindungi sesama manusia agar Dayak setara, rukun, berdampingan, dan damai dengan suku, ras, bangsa lainnya.

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

10. Mengembangkan sistem organisasi kerakyatan yang dapat membagi secara income secara fair bagi anggota komunitas, pengurus dan lainnya sesuai kebutuhan. Basis sistem ekonomi kerakyatan dalam lembaga badan usaha milik rakyat Dayak (BUMRD). 11. Membuat landasan filosofi Dayak yang peduli kepada sesama manusia untuk kebersamaan, kenyamanan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan perdamaian secara berkelanjutan bagi seluruh masyarakat yang ada di Pulau Dayak. 12. Menerapkan secara berkelanjutan melalui semua tingkat pendidikan tentang kepercayaan adat Dayak, filosofi, dan nilai-nilai Dayak, pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan teknologi terkini untuk tujuan yang baik agar benar-benar semua generasi mengerti, memahami, mengamalkan dan memberikan inovasi 100


Michael Sega Gumelar

Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Manusia Dayak ke Masa Depan

yang lebih baik dari waktu ke waktu untuk masyarakat Dayak. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kepada R. Masri Sareb Putra dan Bapak Sareb di Jangkang, Sanggau, Kalimantan Barat yang telah menginspirasi penulis untuk memberikan sumbangsih pemikiran dan studi banding secara kritis ini agar menjadi acuan bersama bagi seluruh masyarakat Dayak yang peduli tentang generasi muda Dayak di masa depan. Terima kasih pula kepada Dr. I Gede Mudana, M. Si dari Politeknik Negeri Bali, Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A., Prof. Dr. Drs A.A. Bagus Wirawan, S.U., Prof. Dr. I Wayan Ardika, dan semua teman yang ada di Universitas Udayana. Prof. Yohanes Surya dan semua teman yang ada di Universitas Surya. Terima kasih kepada Hendar Putranto, Arya Kresna dan semua teman yang ada di Serikat dosen Indonesia. Terima kasih kepada S. Masiun, R. Musa Narang, Munaldus Narang, Yohanes RJ, Adilbertus Aco, Referensi [1]

Gumelar, M.S. 2016. “Dekonstruksi Pemikiran Mistis Fritjof Capra dalam Buku Titik Balik Peradaban”. Jurnal Studi Kultural Volume 1 Nomor 2: 9-12.

[2]

Torr, Donna.1968. Marx-Engels Correspondence 1893 “Engels to Franz Mehring”. International Publishers.

[3]

Gramsci, Antonio. 1926. Prison notebook.

[4]

Suhardana, Komang. 2010. Karmaphala. Paramita, Surabaya.

[5]

Dharma Putra, I Nyoman. 2010. Tonggak Baru Bali Sastra Modern. Pustaka Larasan.

[6]

Manurung, Jaya Wirawana. 2014.” Tokoh Dayakberkumpul peringati Tumbang Anoi". Antaranews. Selasa, 30 September 2014 13:15 WIB dapat diakses di http://www.antaranews.com/berita/456157/tokoh-dayakberkumpul-peringati-tumbang-anoi

[7]

Cohen, Erik.1978. “The impact of tourism on the physical environment”. Annals of Tourism Research Volume 5, Issue 2, April–June 1978, Pages 215-237.

[8]

Raras, Niken Tambang.2006. Mejejahitan dan Metanding Edisi 1. Paramita.

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

101


Kadek Ayu Ariningsih

Memahami Ritual Aci Keburan Melalui Sajian Multimedia (Studi Kasus: Desa Pakraman Kelusa) Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.2: 102-105

Jurnal Studi Kultural http://www.an1mage.org/p/jurnal-studi-kultural.html

Laporan Riset

Memahami Ritual Aci Keburan Melalui Sajian Multimedia (Studi Kasus: Desa Pakraman Kelusa) Kadek Ayu Ariningsih *, I Nyoman Widhi Adnyana STMIK STIKOM Indonesia 1, STMIK STIKOM Indonesia 2

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Keberadaan teknologi memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia. Masyarakat tidak bisa lepas dari penggunaan teknologi dan membawa manusia kepada era modern. Mayarakat Desa Pakraman Kelusa ikut dibawa dalam pengaruh gencarnya perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi saat ini yang berpengaruh besar dalam tatanan hidup masyarakatnya. Masyarakat Desa Pakraman Kelusa banyak yang mengalami pengaburan makna tentang makna pelaksanaan ritual Aci Keburan di Pura Hyang Api . Makna Ritual Aci Keburan disampaikan kembali dengan menggunakan teknologi dalam sajian multimedia. Dipilihnya multimedia mengingat sifat dari sajian multimedia adalah mengatasi keterbatasan ruang dan daya indera. Sehingga diharapkan masyarakat Desa Pakraman Kelusa memahami kembali makna pelaksanaan ritual Aci Keburan yang sebenarnya.

Dikirim 13 Mei 2017 Direvisi 22 Mei 2017 Diterima 18 Juni 2017 Kata Kunci: Ritual Aci Keburan Multimedia Pemahaman Makna

Š 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

Khasanah kekayaan Hindu Bali memiliki cakupan luas serta karakteristik yang unik. Ritual sebagai bagian dari khasanah kekayaan Hindu Bali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Hindu di Bali.

Perkembangan teknologi seharusnya dapat dimanfaatkan untuk membantu memahami setiap kandungan makna dalam setiap aktivitas ritual. Manusia modern berdampingan dengan teknologi, sehingga membawa manusia menuju era baru sehingga terjadi perubahan pola hidup serta pola pikir manusia.

Sebagai bagian dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, ritual sendiri mencakup dua bagian lainnya dari Tri Kerangka Dasar yakni tattwa, susila dan upakara/yadnya. Yang mana dimaksudkan bahwa dalam sebuah ritual terkandung tattwa, tata cara pelaksanaan (etika/susila) dan persembahan yang dilaksanakan dengan ikhlas.

Masyarakat modern memiliki kepercayaan yang kuat terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi meminimalisasi kesulitan akses ide dalam proses pembuatan karya baru [1].

1. Pendahuluan

Bagaikan sebutir telur, ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kompleksitas ritual membentuk konstruksi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Hal tersebut kemudian membuat masyarakat Hindu Bali sendiri mengalami kesulitan dalam pemahaman makna aktualisasi dari setiap proses ritual Hindu di Bali yang ada dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak terlepas dari pengaruh berbagai perkembangan, salah satunya adalah perkembangan teknologi.

∗

Di sisi lain manusia mulai kehilangan kepekaan sosial, menjadi individualis dan ketergantungan teknologi. Kehidupan tradisional mulai mengabur dan ditinggalkan perlahan. Hal ini dapat berdampak pada berkurangnya pemahaman nilai-nilai ritual dalam hal ini ritual Hindu. Banyak pergeseran makna ritual yang terjadi salah satunya adanya anggapan masyarakat bahwa ritual Aci Keburan dianggap sebagai sebuah ajang perjudian sabung ayam. Tradisi Ritual Aci Keburan dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pakraman Kelusa, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar. Aci Keburan sendiri adalah sebuah ritual pertarungan ayam jantan yang prosesinya bertempat di Pura Hyang Api Desa Pakraman Kelusa.

Peneliti koresponden: STMIK STIKOM Indonesia, Jl. Tukad Pakerisan No. 97 Denpasar 80225. Mobile: +6281805520321 E-mail: ayuari@stiki-indonesia.ac.id

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

102


Kadek Ayu Ariningsih

Memahami Ritual Aci Keburan Melalui Sajian Multimedia (Studi Kasus: Desa Pakraman Kelusa)

Disebut sebagai Aci Keburan dikarenakan para pemedek selain membawa banten juga membawa ayam jantan untuk saling dipertarungkan sehingga terjadi keburan atau keberan (sabung ayam). Aci keburan merupakan ritual persembahan pembayar janji yang berhubungan dengan kesehatan semua hewan peliharaan. Aci keburan dilaksanakan setiap enam bulan sekali yang jatuh pada hari Tumpek Kuningan, berlangsung selama 35 hari penuh yakni berakhir pada hari Tumpek Krulut. Akan tetapi yang terjadi adalah banyak masyarakat awam bahkan masyarakat Desa Pakraman Kelusa tidak mengetahui makna ritual aci keburan. Masih banyak anggapan bahwa aci keburan adalah tabuh rah, Upacara persembahan kepada Bhuta Kala dan perjudian. Hal itu diperkuat dari hasil kuesioner yang telah disebar di Desa Pakraman Kelusa, di mana 67% dari 100% responden menyatakan Desa Pakraman Keluasa tidak mengetahui tentang tradisi aci keburan. Dari 67 % responden tersebut yang tidak mengetahui tradisi aci keburan sebanyak 48% responden dengan rentang usia 30 tahun ke bawah dan 19% sisanya adalah rentang usia 30 tahun ke atas. Banyak dari responden yang beranggapan bahwa tradisi aci keburan adalah sabung ayam (tajen). Hanya beberapa responden yang mengetahui tradisi aci keburan secara jelas, yaitu sebesar 33% responden. 25% dari 33% responden tersebut yang mengetahui tradisi aci keburan memiliki rentang usia 30 tahun ke atas. Sisanya memiliki rentang usia 30 tahun ke bawah. Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan usaha preventif untuk menanggulangi permasalah tersebut. Ada sebuah ide guna memudahkan masyarakat Hindu Bali pada umumnya dan masyarakat Desa Pakraman Kelusa pada khususnya untuk memahami ritual aci keburan melalui sajian multimedia. Mengingat bahwa manusia saat ini tidak dapat terlepas dari pengaruh dan penggunaan teknologi. Sajian multimedia menjadi media sosialisasi dalam pemahaman makna ritual aci keburan. 2. Telaah Pustaka

Sajian Multimedia interaktif digunakan sebagai sebuah media pendidikan untuk menampilkan nilai-nilai dari Aci Keburan. Dalam pengertian teknologi pendidikan, media atau bahkan sumber ajar merupakan komponen dari sistem instruksional di samping pesan, orang, teknik latar dan peralataan. Media atau bahan adalah perangkat lunak (software) berisi pesan atau informasi pendidikan yang biasanya disajikan denan menggunakan peralatan. Kegunaan media pendidikan dalam proses pembelajaran secara umum adalah memperjelas Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

penyajian pesan. Hal tersebut adalah untuk mengindari agar penyajian pesan tidak terlalu besifat verbalistis serta mampu, mengatasi keterbatasan ruang dan daya indera [2]. Secara umum bidang yang membutuhkan multimedia dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu; 1) perdagangan; 2) pemerintahan; 3) hiburan; 4) penyiaran; dan 5) pendidikan. Pendidikan adalah suatu bidang yang saling sering menggunakan multimedia untuk berinteraksi dalam proses pembelajaran sehingga proses pembelajaran dan pengajaran lebih menarik dan lebih cepat dicerna oleh siswa [3]. Secara sederhana mengartikan multimedia sebagai lebih dari satu media. Ia bisa berupa kombinasi antara teks, grafik, animasi, suara, dan video. Definisi sederhana ini telah pula mencakup salah satu jenis kombinasi, misalnya kombinasi slide dan tipe audio. Namun, pada bagian ini perpaduan dan kombinasi dua atau lebih jenis media ditekankan kepada kendali komputer sebagai penggerak keseluruhan media itu. Arti multimedia yang umumnya dikenal saat ini adalah berbagai macam kombinasi grafik, teks, suara, video, dan animasi. Penggabungan ini merupakan suatu kesatuan yang secara bersama-sama menampilkan informasi, pesan atau isi pelajaran. Konsep penggabungan ini dengan sendirinya memerlukan beberapa jenis peralatan perangkat keras yang masingmasing tetap menjalankan fungsi utamanya sebagaimana biasanya, dan komputer merupakan pengendali seluruh peralatan itu. Jenis peralatan itu adalah komputer, video kamera, video cassette recorder (VCR), overhead projector, multivision (atau sejenisnya), CD player, compact disc. Keseluruhan peralatan tersebut harus dapat bekerja sama dalam menyampaikan informasi kepada pengguna [4]. Kata ritual berkenaan dengan ritus; hal ihwal ritus. Kata ritus berarti tata cara dalam upacara keagamaan [5]. Di dalam rangkaian sebuah ritual telah terkandung pula nilai tattwa dan etika. Ritual dalam agama Hindu juga disebut dengan upacara. Kata upacara dalam bahasa sansekerta berarti mendekati. Dalam kegiatan upacara agama diharapkan terjadinya suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada pitara maupun Rsi. Pendekatan itu diwujudkan dengan berbagai bentuk persembahan maupun tata pelaksanaan sebagaimana telah diatur dalam ajaran Agama Hindu [6]. Pada saat Hari Raya Kuningan, masyarakat Desa Pakraman Kelusa menggelar ritual Aci Keburan berlokasi di Pura Hyang Api. Pura Hyang Api yang terletak di Desa Pakraman Kelusa ini adalah salah satu pura kuno di Bali, yang diperkirakan telah ada sejak abad ke-8 Masehi pada era Maharsi Markandeya. 103


Kadek Ayu Ariningsih

Memahami Ritual Aci Keburan Melalui Sajian Multimedia (Studi Kasus: Desa Pakraman Kelusa)

Aci Keburan merupakan persembahan terhadap Dewa Agni yang bertempat di Pura Hyang Api yang bukan merupakan sebuah perjudian (Tabuh Rah) dan juga bukan merupakan persembahan kepada Bhuta Kala. Aci Keburan merupakan pembayaran sesangi/sesaudan yang berhubungan dengan kewarasan dan kelanusan wewalungan. Pelaksanaan Aci Keburan di Pura Hyang Api sangat berbeda dengan sabung ayam (tajen) pada umumnya yang bermotifkan judi. Pelaksanaan Aci Keburan berbeda. Setiap pamedek menggunakan pakaian adat madya. Dalam Aci Keburan, tidak ada saya kemong (juri) yang menentukan kalah atau menang pada setiap pertarungan pasangan ayam. 3. Metode Penggalian data dan informasi maka pengumpulan data untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat Desa Pakraman Kelusa mengenai pelaksanaan ritual Aci Keburan serta pemilihan media informasi yang tepat, maka dilakukan cara yang nantinya dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan. •

Observasi digunakan untuk dapat lebih mengenal lingkungan fisik seperti tata letak ruangan serta peralatan dan formulir yang digunakan Wawancara yakni dilakukakan dengan purposive sampling untuk mendapatkan informasi lanjutan untuk dikembangkan pada metode selanjutnya.

Dokumentasi yakni digunakan untuk merekam data secara keseluruhan baik dari hasil observasi maupun wawancara.

Kuesioner atau angket kepada responden dengan harapan memberikan respon atas daftar pertanyaan tersebut.

Kepustakaan adalah untuk untuk menggali teori-teori serta konsep-konsep sebelumnya yang sifatnya dapat menunjang.

4. Diskusi Teknologi saat ini berkembang secara pesat. Kehidupan masyarakat di segala lapisan tidak dapat terlepas dari penggunaan teknologi. Mampu menimbulkan pengaruh yang sangat besar dalam peradaban manusia. Pengembangan teknologi tidak pernah terhenti, selalu ada inovasi-inovasi baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan kondisi sosiografis masyarakatnya.

difokuskan untuk dapat mencapai tujuan-tujuan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan. Masyarakat Desa Pakraman Kelusa adalah salah satu masyarakat yang dalam perkembangan generasi barunya mulai mengalami gambaran buram tentang pelaksanaan adat dan tradisi. Adat dan tradisi oleh generasi baru mulai dikaburkan maknanya yang mana salah satunya adalah pelaksanaan ritual aci keburan. Pemahaman makna pelaksanaan Ritual Aci Keburan sekarang hanya diketahui secara benar oleh orang-orang tertentu. Hal tersebut didukung oleh hasil dari penyebaran angket pada responden. Di dalam kuesioner ini terdapat beberapa pertanyaan mengenai pengetahuan masyarakat tentang tradisi Aci Keburan, perlunya tradisi ini diperkenalkan dan media yang dipergunakan untuk memperkenalkan tradisi tersebut. Upaya preventif untuk mengatasi perihal dilakukan dengan memanfaatkan teknologi multimedia berupa video dokumenter. Pembuatan video dokumenter dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan praproduksi seperti persiapan bahan, persiapan bidang kerja, menyusun storyboard dan penentuan teknik motion. Tahapan kedua yakni tahap produksi meliputi tahapan shooting, pembuatan narasi, pengaturan audio. Untuk tahapan ketiga yakni proses editing video dokumenter meliputi persiapan gambar, memulai project baru, setting new project, import file, memberi effect pada video, memotong video, export video. Tahapan terakhir adalah tahapan proses pembuatan pengemasan multimedia dan distribusi multimedia melalui saluran online. Berikut ini adalah beberapa tampilan screen shoot gambar dari sajian video aci keburan.

Citra 1. Tampilan awal tayangan video aci keburan. Photo oleh Kadek Ayu Ariningsih

Manusia dalam memanfaatkan teknologi bertitik tumpu pada tujuan dan kepentingan-kepentingan mendasar yang fokusnya adalah mengembangkan teknologi baru atau menciptakan teknologi baru. Lagi-lagi hal tersebut Citra 2. Ilustrasi dalam sajian multimedia yang menggambarkan tentang proses berlangsungnya aci keburan. Photo oleh Kadek Ayu Ariningsih Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

104


Kadek Ayu Ariningsih

Memahami Ritual Aci Keburan Melalui Sajian Multimedia (Studi Kasus: Desa Pakraman Kelusa)

khususnya juga mendapat pengetahuan tentang bahwa tradisi masih ada dan dipertahankan keberadaannya sampai saat ini. Tradisi tetap dipertahankan di tengah gerusan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di tengah bergesernya maknamakna tradisi dan nilai ada. Hal tersebut menunjukkan bahwa tradisi dapat berjalan searah dan beriringan dengan teknologi. Citra 3. Ilustrasi dalam sajian multimedia yang menggambarkan tentang proses berlangsungnya Aci Keburan. Photo oleh Kadek Ayu Ariningsih

Melalui sajian multimedia berupa video dokumenter pemahaman akan ritual Aci Keburan dapat sampai kepada masyarakat Desa Pakraman Kelusa. Video dokumenter menampilkan prosesi ritual aci keburan secara menyeluruh disertai dengan penayangan makna Aci Keburan oleh tokohtokoh penglingsir. Didukung dengan interface yang dirancang sedemikian rupa, makna ritual Aci Keburan dapat diterima dan dipahami dengan lebih mudah oleh masyarakat Desa Pakraman Kelusa. Tidak hanya masyakat Desa Pakraman Kelusa, masyarakat secara umum pun dapat menyaksikan ritual Aci Keburan tersebut. Hal tersebut mengingat bahwa sifat dari sajian multimedia adalah mengatasi keterbatasan ruang dan daya indera. Dengan multimedia sajian akan lebih menarik minat masyarakat karena mampu menampilkan teks, animasi, audio serta video secara bersamaan. Selain itu sajian multimedia akan memberikan kemudahan bagi pengguna aplikasi karena dapat dibawa kemana saja dan diakses kapan saja. Sajian multimedia berupa video dokumentasi mampu menjadi media sosialisasi yang efektif dan efisien dalam memberikan pemahaman makna yang terkandung dalam ritual Aci Keburan. Ritual Aci Keburan bukanlah suatu ajang perjudian, bukan tabuh rah, apalagi ritual persembahan kepada Bhuta Kala. Ritual Aci Keburan adalah ritual persembahan pembayar janji yang berhubungan dengan kesehatan semua hewan peliharaan.

Dengan memanfaatkan teknologi, memperkenalkan kekayaan budaya dan tradisi melalui teknologi. Hal tersebut tidak lain adalah untuk menumbuhkan optimisme generasi muda terhadap kebertahanan Budaya Bali dapat terwujud. Referensi [1]

Soemardjan, Selo & Soelaeman, S. 2004. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga FE-UI.

[2]

Sadiman, S., Rahardjo, R., Haryono, A., & Rahadjito. 2007. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

[3]

Adnyana, Widhi I Nyoman,. Suharsono, Naswan., & Warpala, Sukra I Wayan. 2017. Pengembangan Multimedia Interaktif Berbasis Self Regulated Learning Untuk Mata Kuliah Videografi dan Broadcasting di STMIK STIKOM Indonesia. e-jurnal Pascasarjana UNDIKSHA. Terdapat dalam http://pasca.undiksha.ac.id/e-journal/

[4]

Arsyad, Azhar. 2009. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers

[5]

Departemen Pendidikan Nasional. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

[6]

Ngurah, I Gusti Made, 1999. Buku Pendekatan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, Surabaya : Paramitha.

Penulis 1 : Lahir di Bajera pada tanggal 29 September 1989. Menempuh Pendidikan S1 Program Studi Pendidikan Agama Hindu di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar tahun 2008-2012 dan Pendidikan S2 Program Studi Pendidikan Agama Hindu di Universitas Hindu Indonesia tahun 20122014. Penulis 2 : Lahir di Kukuh Kerambitan pada tanggal 17 September 1988. Menempuh pendidikan S1 Progrm Studi Teknik Informatika di STMIK STIKOM Indonesia tahun 2009-2013 dan Pendidikan S2 Program Studi Teknologi Pembelajaran di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja tahun 2015-2017. Saat ini berstatus tenaga pengajar di STMIK STIKOM Indonesia.

5. Konklusi Sajian multimedia sebagai usaha preventif berusaha menjawab tantangan era global tentang bagaimana cara dan kemampuan umat manusia dalam penggunaan teknologi yang tepat guna. Masyarakat melalui teknologi dapat menerima makna ritual Aci Keburan dengan lebih mudah. Selain makna yang disampaikan masyarakat Hindu pada umumnya dan masyarakat Desa Pakraman Kelusa pada Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

105


Michael Sega Gumelar

Teori: G-Engine dengan Super Magnet dan Magnet Shielding System Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No. 2: 106–109

Jurnal Studi Kultural http://www.an1mage.org/p/jurnal-studi-kultural.html

Laporan Riset

Teori: G-Engine dengan Super Magnet dan Magnet Shielding System Michael Sega Gumelar* An1mage Research Division

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

G-Engine dari kata generator dan engine. Menggabungkan kata generator yang tujuannya menghasilkan listrik dan engine yang berarti mesin atau motor yang berotasi. Teori mesin yang menggunakan material super magnet dan material magnet shielding sytem.

Dikirim 19 Februari 2017 Direvisi 29 Februari 2017 Diterima 19 Juni 2017 Kata Kunci: Super Magnet Shielding System G-Engine

Teori mesin ini diharapkan terwujud pada saat penulis mendapatkan dana penelitian selanjutnya. Harapan adanya G-Engine ini akan membuat perubahan pada keperluan energi yang terjangkau dan dapat digunakan diberbagai tempat karena dapat dibuat portable (mudah dibawa) dengan skala ukuran tertentu sesuai keperluan. Dalam teori G-Engine ini penulis tidak akan membahas hitungan secara matematika dan fisika, tetapi penguatan pada ide dasar dan logikanya sebagai satu kesatuan sistem yang diperlukan dalam memahami mesin tersebut. © 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Teori G-engine ini diperlukan pemahaman sangat dasar pada kata teori, magnet, super magnet, magnet shielding, dan motor. Tetapi diperlukan pemahaman permesinan listrik arus DC dari dinamo dan listrik arus AC dari alternator yang sangat kuat dan teori ini bukan untuk pemula guna memahaminya. Oleh karena teori ini juga berlandaskan dari temuan yang sudah ada, maka penulis tidak perlu menjabarkan lebih detil bagaimana menghubungkan satu alat atau bagian dengan bagian lainnya. Teori dari kata theory dalam Bahasa Inggris, Bahasa Inggris mengadopsi dari kata theoria, θεωρία dalam Bahasa Yunani yang memiliki arti speculation atau spekulasi, yaitu pendapat yang tidak berdasarkan kenyataan/dugaan. Teori menurut kbbi.web.id adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Menurut wikipedia.org teori adalah renungan dan kebulatan pikiran secara rasional dari pemikiran abstrak atau generalisasi, atau hasil pemikiran semacam itu. Teori secara konstan direvisi dari waktu ke waktu sebagai suatu “pengetahuan” atau “knowledge” yang terus dikembangkan melalui penelitian di bidang apa pun dalam mencapai terobosan baru sehingga menjadi dasar dari pengembangan “ilmu pengetahuan” atau “science” yang baru. ∗

Peneliti koresponden: An1mage Research Division | Mobile: +62818966667 | E-mail: michael.sega.gumelar@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Langkah dari sains seperti kata Albert Einstein “imagination is more important than science” yang artinya imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan muncul dari imajinasi yang berasal dari spekulasi. Urutan temuan teori menurut penulis sebagai berikut: 1) Teori secara speculative: berusaha menjelaskan imajinasi yang sudah ada dan atau menemukan imajinasi baru kemudian berusaha menjelaskan imajinasi tersebut. 2) Teori secara descriptive: menjabarkan dan menggambarkannya secara jelas melalui kata-kata, menjadi data deskriptif, bila hal tersebut suatu kejadian maka menjelaskan kejadian tersebut dalam kata-kata yang dapat berupa teks, audio, video, dan atau gabungan teks, audio, dan video. 3) Teori secara constructive: mengonstruksi teori tersebut menjadi jabaran dengan urutan logika yang memungkinkan, menyusunnya pada landasan teoriteori karya peneliti lainnya yang sesuai bila ada, bila tidak ada maka peneliti tersebut harus membuat teorinya sendiri, dan teori sendiri tersebut dijadikan dasar untuk teori berikutnya yang lain sehingga menjadi konstruksi yang utuh.

106


Michael Sega Gumelar

Teori: G-Engine dengan Super Magnet dan Magnet Shielding System

4) Teori secara deconstructive: membongkar teori yang belum sesuai setelah penelitian lanjutan dijalankan dan menyusun teori baru bila diperlukan maka penyesuaian dengan perkembangan penelitian yang dilakukan oleh peneliti itu sendiri dan atau dilanjutkan oleh peneliti lainnya.

4.

Theory-theory-research-analysis-theory: teori-teoripenelitian-analisis-teori, di mana mengembangkan dan membuktikan teori yang ada, ternyata teori tersebut tidak sesuai sehingga penelitinya menghasilkan teori baru, kemudian diadakan penelitian, dianalisis, dan teori baru tersebut lebih baik dari teori sebelumnya.

5) Don’t give up on your new theory, even though it just looks alike to others researcher’s theory in the same field: Teori Baru yang seolah sama, jangan mundur, penemuan baru terkadang dibuat bingung oleh peneliti lainnya yang mengasumsikan penelitiannya sama, dan kadang juga dengan cara yang berbeda, seolah-oleh teorinya sama dan membicaraan yang hal yang sama padahal berbeda.

5.

Theory-theory-practice-analysis-theory: teori-teoripenelitian-praktik/terapan-analisis-teori, di mana mengembangkan dan membuktikan teori yang ada, ternyata teori tersebut tidak sesuai sehingga pelakunya menghasilkan teori baru, kemudian pelakunya menganalisis, menerapkan dan memastikan teorinya lebih baik dari teori sebelumnya.

Perbedaan ini akan diketahui setelah beberapa generasi peneliti penerus berikutnya, hal ini terjadi pada percobaan Luigi Galvani yang menemukan bioelectricity dengan Allesandro Volta yang menemukan electrochemistry yang sama-sama menyelidiki listrik. Yang sering terjadi adalah para pengikut mereka akan saling serang seolah tahu apa yang telah ditemukan keduanya, bila hal ini terjadi jangan mundur dan menyerah pada teori yang sedang dibuat, maju terus pantang mundur, dan suarakan pada publikasi jurnal, teori yang diungkapkan bukan untuk generasi kini, tetapi generasi kemudian yang memahaminya. Perlu pembaca pahami adalah urutan satu sampai lima di atas semuanya disebut teori.

Hasil dari teori hanya ada tiga yaitu: 1. Mendukung teori yang sudah ada dengan cara, alat, dan bahan yang sama. 2.

Mendukung teori yang sudah ada dengan cara, alat, dan bahan yang berbeda.

3.

Menolak teori tersebut dan memberikan teori baru yang lebih sesuai karena keadaan yang berbeda, waktu yang berbeda, ruang yang berbeda, kemungkinan pemahaman pengetahuan, ilmu pengetahuan, teknologi yang berbeda, dan batasan-batasan lain yang mungkin muncul.

Setelah memahami apa yang penulis maksud dengan kata teori, kini penulis akan menjelaskan apa arti kata magnet. Magnet dari kata μαγνήτις λίθος magnḗtis líthos, "Magnesian stone” artinya batu magnet yang menghasilkan medan magnet (magnetic field). Apa itu medan magnet yang disebabkan oleh magnet, seperti citra 1.

Bila dijabarkan maka proses terjadinya teori menurut penulis menjadi: 1. Theory-practice-analysis-theory: teori-praktik/terapananalisis-teori, di mana terjadi membuat teori terlebih dahulu, dibuat praktik atau diterapkan, kemudian terjadi update setelah ada kendala saat penerapannya, menganalisis, perbaikan menjadi teori baru, dan atau tetap bila ternyata teorinya sesuai. 2.

Practice-analysis-theory: Praktik/terapan-analisis-teori, di mana dari praktik atau terapan kemudian pelakunya menganalisis, menghasilkan teori baru karena keandalan dan mengerti praktik dengan benar dalam bidang tersebut. Citra 1. Ilustrasi medan magnet yang disebabkan oleh suatu magnet.

3.

Research-anayisis-theory: Penelitian-analisis-teori, di mana dari penelitian kemudian penelitinya menganalisis, menghasilkan teori baru karena keandalan dan mengerti benar dalam bidang tersebut.

Jurnal Studi Kultural Volume I2 Juli 2017 www.an1mage.org

Namun medan magnet tidak hanya disebabkan oleh magnet, dapat juga disebabkan oleh aliran listrik (electric current). Penulis tidak akan membahas magnet buatan dengan cara ferromagnetism dan juga tidak membahas magnet alami seperti lodestone. 107


Michael Sega Gumelar

Super magnet lebih sering disebut dengan nama rare-earth magnets atau permanent magnet, saat ini permanent magnet yang kuat adalah neodymium magnet, penulis berharap ada lagi magnet yang layak disebut dengan nama super magnet suatu saat, kekuatannya di atas magnet permanent magnet yang sudah ada, hal ini diperlukan untuk gaya tolak menolak yang super kuat yang penulis perlukan untuk membuat GEngine ini tidak hanya sekedar teori dan menjadi kenyataan di masa depannya. Magnet shielding adalah cara untuk membuat medan magnet dibatasi pengaruhnya dengan menggunakan bahan tertentu. Hal ini membuat medan magnet tidak menembus ke area yang tidak diperlukan, gambaran mudah magnet shielding prosesnya seperti pada citra 2, perhatikan medan magnet yang tertahan oleh suatu bahan yang mampu menjadi pelindung agar medan magnet tidak menembus ke sisi lainnya [1].

Citra 2. Ilustrasi medan magnet yang tertahan disebabkan oleh suatu bahan yang mampu menahan medan magnet ke sisi lainnya.

Kemudian diperlukan magnet shielding yang juga sangat kuat untuk melindungi sisi belakang dan sisi samping setiap super magnet yang dibentuk seperti baling-baling kipas angin. Magnet shielding saat ini yang kemungkinan besar sesuai untuk G-Engine ini adalah berbentuk film yang lentur dan dapat dibentuk mengikuti bentuk super magnet yang berbentuk baling-baling kipas. Penulis asumsikan magnet shielding film dengan merek dagang giron [2] menjadi salah satu kandidat bahan magnet shielding yang diperlukan. Motor adalah mesin yang berputar untuk menghasilkan listrik pada umumnya mesin penghasil listrik disebut dengan nama generator yang tentunya berputar dalam frekuensi (putaran berapa kali per detik) yang disebut dengan nama motor. Turbin yang berputar sebenarnya generator yang digerakkan oleh tenaga dari aliran air, angin, perbedaan suhu, dan atau oleh gas, lalu tenaga putaran dari turbin memutar dynamo untuk aliran listrik direct current (DC) atau untuk memutar alternator untuk menghasilkan aliran listrik Alternating Current (AC). Jurnal Studi Kultural Volume I2 Juli 2017 www.an1mage.org

Teori: G-Engine dengan Super Magnet dan Magnet Shielding System

Teori G-Engine yang penulis uraikan ini adalah versi DC sehingga memiliki nama yang G-Engine DC untuk menghasilkan aliran listrik DC, guna membuat aliran listrik skala kecil agar mudah dibawa ke mana-mana atau portabel walaupun di masa depannya penulis akan meneliti untuk GEngine yang menghasilkan aliran listrik AC [3]. Hal ini penulis lakukan karena pemikiran lebih baik membuat skala kecil dan miniatur terlebih dahulu untuk memudahkan dalam penelitian selanjutnya karena keadaan kendala waktu dan pendanaannya. Diskusi Desain dari G-Engine DC ini sangat sederhana yaitu berbentuk kipas angin seperti citra 3 yang memiliki balingbaling dari magnet dengan pelindung magnet shielding di belakang dan sisi di setiap baling-baling super magnet yang dibuat.

Citra 3. Ilustrasi super magnet yang dibentuk seperti baling-baling dan area poros tengahnya bukan magnet, setiap baling-baling dilindungi magnet shielding dibelakang dan di sisi sampingnya.

Perhatikan detil magnet shielding di citra 4 yang ada di setiap baling-baling dari super magnet yang kemudian disusun menjadi seperti kipas angin, super magnet di sisi kutub atasnya harus sama, bila di bagian bawah adalah kutub utara, maka bagian atasnya harus kutub selatan semuanya, demikian juga sebaliknya.

Super magnet yang dibentuk balingbaling dan salah satu kutubnya harus sama untuk seluruh balingbaling yang ada Magnet Shielding film diletakkan di belakang dan sisi super magnet Citra 4. Ilustrasi super magnet yang dibentuk seperti baling-baling, setiap balingbaling dilindungi magnet shielding dibelakang dan di sisi sampingnya.

Diperlukan dinamo untuk menghasilkan arus listrik DC seperti citra 5. Hubungkan tengah baling-baling kipas angin 108


Michael Sega Gumelar

Teori: G-Engine dengan Super Magnet dan Magnet Shielding System

super magnet yang telah diberi magnet shielding dengan rotor satu unit dinamo untuk menghasilkan arus listrik DC. Rotor diletakkan ditengah poros baling-baling super magnet yang memiliki magnet shielding. Dinamo diperlukan untul menghasilkan arus listrik DC Citra 6. Posisikan sedemikian rupa agar pas saling berhadapan dua unit kipas super magnet yang memiliki magnet shielding disetiap baling-balingnya agar energi tolak menolaknya memutar rotor dinamo DC untuk menghasilkan arus listrik DC.

Citra 5. Ilustrasi dinamo penghasil arus listrik DC, di mana rotornya dihubungkan dengan titik poros baling-baling super magnet yang memiliki magnet shielding di belakang dan setiap sisinya.

Kemudian buat satu lagi baling-baling super magnet dengan magnet shielding di setiap baling-baling yang seperti berbentuk kipas angin dengan ukuran yang sama dan tempatkan berhadapan dalam jarak tertentu sehingga kedua kipas angin bergerak karena gaya tolak menolak seperti pada citra 6 dan lebih tepatnya seperti citra 7. Satu unit G-engine terdiri dari dua unit mesin kipas berbaling-baling super magnet dan memiliki magnet shielding di tiap baling-balingnya. Hasil perputaran kedua kipas ini menjadi arus listrik DC karena menggunakan dinamo dan agar tahan lama energi listrik disimpan dalam baterai. Untuk memahami hal ini, diperlukan praktik dan pemahaman tentang menghubungkan poros kipas super magnet yang telah diberi magnet shielding di setiap sisi belakang dan samping baling-baling ke rotor dinamo untuk menghasilkan arus listrik DC. Equation yang diterapkan satu unit G-Engine adalah sama dengan gabungan dua energi dari tiap unit mesin kipas berbaling-baling super magnet yang memiliki magnet shielding di tiap baling-balingnya. Total energi yang dihasilkan oleh satu unit G-Engine disimbolkan dengan Etotal sedangkan unit pertama mesin kipas berbaling-baling super magnet dan memiliki magnet shielding di tiap balingbalingnya disebut dengan E1 dan yang ke dua dengan simbol E 2.

Citra 7. Posisikan tepatnya tersebut adalah saling berhadapan dalam jarak tertentu agar terjadi energi dari tolak menolak untuk G-Engine yang dimaksud.

Konklusi Seperti kata pepatah, suatu teori seperti berdiri dan berpijak pada pundak raksasa teori lainnya. Tentu saja teori GEngine DC dan atau G-Engine AC ini masih dalam tahap awal teori yaitu spekulasi dan dipastikan memerlukan penelitian lebih lanjut, waktu, dan dana untuk mewujudkannya menjadi prototipe. Dalam hal ini penulis membuka peluang bagi para pendonor sukarela untuk memberikan kontribusi pendanaan penelitian ini di masa depan. Diharapkan penelitian ini paling tidak memberikan ide bahwa ada kemungkinan membuat energi dari super magnet dengan penggabungan magnet shielding agar energi tolak menolakmya lebih terarah atau di-redirect-kan di mana akan ada potensi “energi� dalam suatu magnet permanen yang membuka potensi “energi� tersebut dapat dimanfaatkan, tidak hanya sebagai magnet permanen, tetapi sebagai energi yang permanen pula. Referensi [1]

Magnet Shielding. Data penulis akses pada pukul 09:19 Tanggal 6 Februari 2017. https://www.kjmagnetics.com/blog.asp?p=shieldingmaterials

[2]

Giron. Magnet Shielding. Data penulis akses pada pukul 19:23 Tanggal 9 Februari 2017 https://www.lessemf.com/mag-shld.html#273. https://www.youtube.com/watch?v=1iWwCIO_y9Y

[3]

Still, Alfred, b. 1916. Principles of electrical design;D.C and A.C. generators. New York, McGraw-Hill

[4]

K.H.J.Buschow, F.R.de Boer. 2003. Physics of Magnetism and Magnetic Materials. Kluwer Academic/Plenum Publishers New York.

Etotal=E1+E2 Untuk G-Engine ukuran skala besar, dinamo dapat digantikan oleh alternator untuk menghasilkan arus listrik AC, sehingga diberi nama G-Engine AC.

Jurnal Studi Kultural Volume I2 Juli 2017 www.an1mage.org

109


Wilson

Dayak Ngaju dalam Pusaran Kehadiran Agama-agama Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.2: 110-114

Jurnal Studi Kultural http://www.an1mage.org/p/jurnal-studi-kultural.html

Laporan Riset

Dayak Ngaju dalam Pusaran Kehadiran Agama-agama Wilson* Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Palangka Raya

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Ngaju adalah salah satu Subsuku Dayak yang banyak tinggal dan berada di Kalimantan Tengah. Hasil akhir dari pusaran kehadiran agama-agama baru ini sangat ditentukan oleh kesejatian Dayak Ngaju itu sendiri, yang terpantul dari karakteristik keterbukaan terhadap pengaruh luar, penghargaan pada harkat dan martabat manusia, toleransi pada keberagaman etnik, agama, dan ras. Dalam pusaran perubahan sosial tersebut, Dayak Ngaju tetap berusaha mempertahankan identitas etnik.

Dikirim 2 Juni 2017 Direvisi 19 Juni 2017 Diterima 23 Juni 2017 Kata Kunci Dayak Ngaju Kaharingan Agama Identitas Perubahan

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Keberagaman agamanya ternyata mampu mengubah Dayak Ngaju, yang oleh banyak ahli sering dikonotasikan sebagai “orang hulu” dan “orang gunung”. Hinduisme dan Buddhisme mewariskan agama dengan terminologi “Hindu Kaharingan”.

Di satu sisi, Suku Dayak berusaha mempertahankan adatistiadat, budaya, filosofi, dan kekeluargaan, serta kearifan lokal. Di sisi lain, Dayak Ngaju menghadapi tantangan luar biasa dalam proses menjadi masyarakat terbuka tetapi yang sekaligus tetap ingin mempertahankan identitas etnik.

Kekristenan (Kristen dan Katolik) mewariskan bahwa “Dayak identik” dengan keduanya, bahkan “Gereja Dayak” (dibaca = Gereja Kalimantan Evangelis) adalah bukti betapa Dayak Ngaju telah mengalami transformasi kepercayaan yang mengejutkan.

2. Diskusi Dayak Ngaju khususnya di Kota Palangka Raya (tempat yang suci dan mulia) dengan keragaman agamanya menjadi bukti bahwa menempatkan Suku Dayak sebagai subordinat dari suatu agama, ternyata tidak benar.

Kehadiran Islam membuat Dayak Ngaju dan Kaharingan terperanjat tentang kebaikan aqidah, fiqh, dan akhlak yang tak dapat ditolak. Islam lahir dari rahim Suku Dayak Ngaju, merambat di tepian aliran sungai, membelah gunung dan menukik di lembah untuk menyuarakan “rahmatan lil alamin”.

Buktinya, Dayak Ngaju tidak hanya dikenal dengan satu agama, tetapi keberagaman kepercayaan, yakni Kaharingan (Agama Helu), Hindu Kaharingan, Kristen, Katolik, dan Islam. Islam, hadir di tengah-tengah Dayak Ngaju Kota Palangka Raya menjadi pembuktian bahwa Dayak beragama Islam adalah Dayak dengan semua atributnya.

Hasilnya, Dayak Ngaju dan Agama Kaharingan berada pada pusaran perkembangan agama-agama baru, Hindu, Budda, Kristen, dan Islam.

Interaksi dan berelaborasi dengan nilai-nilai dalam Dayak Ngaju Kota Palangka Raya yang mencakup aqidah, syari’ah, nilai-nilai inklusif Islam seperti, kemanusiaan kemajemukan, dan toleransi.

∗ Peneliti koresponden: Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Palangka Raya Jl. Tampung Penyang KM.6, Menteng, Palangka Raya, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah e-mail: apaituaidesa@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

110


Wilson

Dayak Ngaju dalam Pusaran Kehadiran Agama-Agama

Aqidah Islam dan Dayak Ngaju Aqidah secara etimologi berasal dari kata ‫( عقد‬aqidah) yang berarti ikatan. Penggunaan istilah ini merujuk pada keyakinan hati atas sesuatu. Aqidah Islam adalah: 1) sesuatu yang bersifat tauqifi. Artinya suatu ajaran yang hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Sumber ajaran aqidah Islam adalah terbatas pada al-Quran dan Sunnah saja. 2) Aspek utama dalam ajaran Islam adalah aqidah atau pengakuan iman sebagai orang yang beragama Islam. Pengakuan iman ini lebih dikenal dengan nama Syahadat dan dalam Agama Islam itu sendiri diyakini sebagai pintu gerbang masuk ke dalam Islam. Syahadat sendiri merupakan (1) intisari dari ajaran Islam; (2) dasar perubahan total, baik pribadi maupun masyarakat; (3) hakikat da’wah Nabi Muhammad; (4) memiliki keutamaan yang besar. Syahadat dalam Islam memiliki arti penting sehubungan dengan iman seseorang terhadap Allah. Hal itu mengingat dalam syahadat seorang beragama Islam membuat suatu pernyataan, sumpah dan janji terhadap Allah dan Nabi Muhammad. Persoalan hubungan atau interaksi serius dapat terjadi antara perbedaan aqidah dalam Islam dengan kepercayaan (Kristen, Katolik, dan Kaharingan) Dayak Ngaju di Kota Palangka Raya. Islam memiliki aqidah atau “claim truth” yang tidak mungkin dapat dikompromikan dengan keyakinan Agama Dayak Ngaju lainnya, seperti Kristen, Katolik, dan Hindu Kaharingan, demikian pula sebaliknya. Namun, dalam interaksi Islam dengan Dayak Ngaju, perbedaan aqidah: a) dipahami sebagai kodrat dari Tuhan (“sunnahtullah”). Karena itu, yang diperlukan bukan mempertajam perbedaan tetapi mencari titik temu (kalimatun sawa) dan koeksistensi (alta’amul al-silmi) dalam penghayatan ajaran agama; sebagai kesempatan untuk saling menghargai dan menghormati; b) berbeda itu pasti dan indah; c)

berbeda keyakinan dan pengakuan iman suatu yang lumrah, tidak masalah (dia masalah), karena sudah takdir;

d) berbeda karena agama adalah pilihan setiap individu; Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

e)

aqidah agama-agama dikompromikan.

tidak

mungkin

Berdasarkan berbagai fakta di atas tentang hubungan atau interaksi dan elaborasi antara orang yang beragama Islam dengan Dayak Ngaju tergambar suatu kondisi bahwa diyakini perbedaan aqidah itu ada. Namun, perbedaan aqidah bukan sesuatu yang menghalangi pemeluk agama Islam dan anggota Dayak Ngaju dengan agamanya masingmasing untuk saling menghargai dan menghormati. Justru perbedaan aqidah diyakini sebagai keniscayaan dari tuhan yang melegitimasi kebenaran adanya tuhan yang satu dan menghendaki umatnya berbeda dalam ekspresi keyakinan akan diri tuhannya. Perbedaan juga suatu realitas untuk membangun interaksi dan elaborasi yang kuat bagi kemaslahatan Masyarakat Kota Palangka Raya. Hal yang menjadi pandangan Islam tentang interaksi dan elaborasi di atas merujuk pada Kitab Suci Al-Qur’an, untuk menegaskan bahwa setiap umat atau golongan manusia pernah dibangkitkan atau diutus kepada mereka (setiap umat) seorang utusan tuhan, dengan tugas menyerukan kepada umatnya agar menyembah kepada tuhan saja, dalam pengertian paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang murni. Syari’ah Islam dengan Dayak Ngaju Syari’ah berasal dari kata syari’a, berarti mengambil jalan yang memberikan akses pada sumber. Istilah syari’ah juga berarti jalan hidup atau cara hidup. Syari’ah juga mencakup aturan dari praktik-praktik ibadah ritual, teologi, etik dan juga kesehatan personal dan tatakrama yang baik dalam Islam. Tujuan adanya syari’ah adalah bagaimana nilai-nilai dalam Islam dapat ditunjukkan dalam aturan atau cara hidup umat Islam secara intern dan ekstern, yakni dalam hubungan umat Islam dengan pemeluk agama lain. Syari’ah dalam Islam diimplementasikan dengan tujuan memuliakan peradaban manusia. Syari’ah dipandang sebagai anugerah tuhan yang dijadikan tuntutan atau aturan bagi kehidupan manusia, maka manusia hanya bertugas mewujudkannya dan menerima hak itu secara maksimal. Secara normatif, dalam Islam, syari’ah merupakan hukum dari tuhan yang dengan prinsip-prinsipnya mengatur semua aspek hubungan antar manusia, dari ekonomi sampai politik, serta dari kehidupan batin sampai pertalian suami dan istri. Dengan demikian, aspek hubungan antarmanusia dibatasi dengan berbagai hukum seperti masalah hukum halal dan haram di banyak aspek, boleh atau tidak melakukan 111


Wilson

transaksi ekonomi dengan nonmuslim, halal atau haram dipimpin oleh nonmuslim, diperbolehkannya kaum lelaki memiliki istri lebih dari satu orang. Kelompok konservatif Islam menganggap bahwa syari’ah merupakan hukum Tuhan yang bersifat final. Sementara kelompok moderat Islam menafsirkan syari’ah sebagai produk pemahaman manusia terhadap sumber-sumber ajaran Islam dalam konteks sejarah yang terus berkembang. Paham ini beranggapan bahwa syari’ah tidak bersifat final, dan karenanya tidak mengakui kebenaran tunggal dalam Islam, sehingga visi syari’ah adalah berlakunya moralitas dan tertibnya penegakan hukum. Oleh karena itu, formalisasi syari’ah menjadi konstitusi negara Islam tapi tanpa moralitas dan penegakan hukum sama artinya dengan politisasi syari’ah demi kepentingan negara atau golongan tertentu, yakni Islam. Modus untuk mewujudkan visi syari’ah, perlu dibedakan antara syari’ah pada level normatif dan syari’ah yang bersifat historis. Syari’ah normatif adalah aturan keagamaan yang sudah baku, seperti shalat, zakat, puasa, percaya kepada hari akhir, dan iman kepada Allah dan nabi. Dalam Syari’ah normatif ini juga terkandung nilai-nilai perennial Islam seperti keadilan, persamaan, dan kejujuran. Sementara sifat historisitas syari’ah dapat dijumpai pada aturan sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan sebagainya. Bila yang pertama merupakan ketentuan baku, maka yang kedua membutuhkan ijtihad dengan mendayagunakan kreativitas akal, perkembangan ilmu pengetahuan, dan situasi zaman yang tentu didasarkan pada rekonstruksi penafsiran Al-Quran. Selanjutnya, Islam juga meyakini bahwa syari’ah memiliki beberapa prinsip penting dalam pelaksanaannya. Hal tersebut sebagai dijelaskan oleh Juhaya S. Praja berikut: (a) tidak mempersulit (‘Adam al-Haraj; (b) mengurangi beban (Taqlil al-Taklif); (c) penetapan hukum secara periodik(tasryi’); (d) sejalan dengan kemaslahatan universal; (e) persamaan dan keadilan (al-Musawah wa al-Adalah). Interaksi dan elaborasi syari’ah Islam di atas dalam kehadirannya di tengah-tengah Dayak Ngaju dipahami secara beragam baik oleh Islam maupun anggota Dayak Ngaju. Pemahaman yang beragam tersebut terkait beberapa bentuk implementasi syari’ah seperti hukum halal dan haram, kepemimpinan nonmuslim, dan poligami. Dalam Islam, terdapat kelompok yang menganggap haram mengonsumsi makanan yang disediakan oleh nonmuslim, Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Dayak Ngaju dalam Pusaran Kehadiran Agama-Agama

yang dalam konteks ini adalah Kristen, Hindu Kaharingan, dan agama lainnya. Haram bagi Islam dipimpin oleh orang nonmuslim, dan kaum laki-laki halal beristri lebih dari satu. Bagi Dayak Ngaju dan Suku Dayak lain, makanan yang pantas dimakan tidak ada yang haram. Terkait soal kepemimpinan, siapa pun boleh tanpa menyoalkan agamanya; tetapi laki-laki beristri lebih dari satu adalah pelanggaran terhadap adat-istiadat Dayak Ngaju yang sudah berlaku sejak zaman dulu sampai sekarang. Tetapi, soal hukum halal dan haram terkait pernikahan dan makanan tidak didapatkan titik temu antara Islam dengan Dayak Ngaju. Dengan demikian, dapat direduksi bahwa dominan hukum Islam yang kurang dapat beradaptasi dengan adat-istiadat Dayak Ngaju. Berdasarkan fakta di atas didapati bahwa hubungan atau relasi antara Islam dengan Dayak Ngaju secara umum sudah terjalin baik. Hukum haram dan halal tidak menjadikan penghambat hubungan interaksi dan kekeluargaan. Persoalan siapa yang menjadi pemimpin, tidak didudukkan pada masalah keyakinan para pemimpin, tetapi pada rakyat dan kompetensi. Sementara persoalan poligami dalam Islam yang berbeda tajam dengan prinsip Kristiani dan Hindu Kaharingan, serta adat-istiadat Dayak Ngaju (yang hanya mengenal monogami dalam pernikahan) tidak menjadi persoalan yang diperdebatkan dalam masyarakat, karena masing-masing aturannya telah jelas. Meski demikian, soal hukum tentang halal dan haramnya makanan, pihak Islam berdasarkan ajaran Al-Quran tetap mempertahankan prinsip haram mengonsumsi makanan yang tidak disembelih dengan cara Islam, dan haram mengonsumsi makanan yang diharamkan. Justru pihak Dayak Ngaju yang menyesuaikan diri dengan hukum halal dan haram berdasarkan Agama Islam. Realitasnya, Syari’ah oleh Umat Islam diyakini sebagai hukum tuhan: (1) cenderung dianggap sebagai hukum yang bersumber dari Islam saja; (2) dipahami sebagai hukum yang diturunkan kepada kelompok tertentu dalam intraagama; (3) dipahami sebagai hukum yang misoginis (merendahkan perempuan). Karena itu, perlu reinterpretasi (pencerahan) dengan menempatkan hukum tuhan sebagai hukum yang memiliki: 1) prinsip tauhid. Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah; 112


Wilson

2) prinsip beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur; 3) prinsip keadilan. Keadilan dalam bahasa Arab adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan dan moderasi); 4) prinsip amar makruf nahi mungkar (QS. AlImran:110). Prinsip hukum Islam ini digerakkan pada yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah; 5) prinsip kebebasan atau kemerdekaan. Prinsip kebebasan dalam hukum dalam Islam menghendaki agar agama atau hukum dalam Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demonstrasi, argumentasi; 6) prinsip persamaan atau egaliter. Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam yang menentang perbudakan dan perlakuan tidak adil atau diskriminatif dari manusia atas manusia yang lain; 7) prinsip At-Taawun. Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketaqwaan sesama manusia. Dengan demikian, prinsip ini relevan dipraktikkan dalam masyarakat majemuk, baik dalam segi etnik, ras, dan agama; 8) prinsip toleransi. Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya, tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan umat Islam. 3. Konklusi Kesadaran bahwa hukum tuhan tidak inklusif ada pada agama Islam perlu dikembangkan dalam interaksi bermasyarakat dan beragama. Karena itu, dalam hubungan atau interaksi orang yang beragama Islam dengan Dayak Ngaju, klaim tentang hukum tuhan sebagai satu-satunya hukum yang mengatur hubungan lebih didudukkan pada paham bahwa di agama lain pun (Kristen dan Hindu Kaharingan) terdapat hukum tuhan. Paham ini paling tidak bermuara pada: 1) kesadaran tentang hukum Tuhan secara subtansial berdasarkan Al-Quran adalah turunan dari hukumJurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Dayak Ngaju dalam Pusaran Kehadiran Agama-Agama

hukum tuhan yang pernah ada dalam agama sebelumnya (Yahudi dan Kristen); 2) kesadaran bahwa Islam berada di tengah-tengah Dayak Ngaju yang memiliki agama yang beragam dan adatistiadat yang tetap dijunjung tinggi, serta menempatkan semua manusia memiliki harkat dan martabat yang sama di mata tuhan. Referensi [1]

Ali, Maulana Muhammad. 1950. The Religion of Islam: A Comprehensive Discussion of Its Sources, Principles and Practice, Lahore-Pakistan: Ripon Printing Press.

[2]

Abdullah, M. Amin. 2000. Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung: Mizan.

[3]

Abdullah,Yusri Abdul Ghani. 2004. Historiografi Islam: Dari Klasik Hingga Modern, Jakarta: Rajagrafindo.

[4]

Wahid, Abdurrahman. 1981. Pergumulan, Jakarta: Lappenas.

[5]

Achadiyat, Anto. 1989.Hubungan Antar Golongan Etnik di Indonesia: suatu Studi Kasus di Kalimantan, dalam: Interaksi Antar Etnik Di Beberapa Propinsi di Indonesia, Dirjen Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Proyek IPNB, Jakarta: Depdikbud.

[6]

Adiprasetya, Joas. Mencari Dasar Bersama (Etik Blobal dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama, cetakan ke -2, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

[7]

Akbar, Rizal (dkk).2005. Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat, Pekanbaru: LPNU Press, 2005

[8]

al-Attas, Syed Muhammad Naguib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Bandung: Mizan, t.t.

[9]

Alcorn, Janis. B, Reliensi Ekologis Pelajaran dari Masyarakat Adat Dayak (Sebuah Pengantar), Dalam, Nico Andasputra (Ed), Pelajaran dari Masyarakat Dayak, Gerakan Sosial dan Reliensi Ekologis di Kalbar, Pontianak: WWF-The Biodiversity Support Program (DSP) Washington DC, USA bekerja sama dengan IDRD.

[10]

al-Faruqi, Ismail Raji (ed.). 1994. Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen, Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya: Pustaka Progressif.

[11]

___________ “The Role of Islam in Global Interreligious Dependence” dalam Toward a Global Conggress of the World a Religions, ed. Waren Lewis, (New York: Bary Town, Univication Theological Seminary, n.d.

[12]

___________.1994. Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen, Islam, Cet. I, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya: Pustaka Progressif.

Muslim

di

Tengah

113


Wilson

Dayak Ngaju dalam Pusaran Kehadiran Agama-Agama

[28] [13]

[14]

[15]

[16]

[17]

[18]

[19]

[20]

[21]

[22]

Fisher,H.TH. 1983. "The Origin of the Name Dayak", dalam Borneo Research Bulletin, 15/2 (September 1983). Fowler, H. W. and F. G. Fowler, The Concise Oxford Dictionary of Current English, Fourth Edition, London: Oxford University Press, Amen House, n.d.

Al-Furagi, Ismail Raji dan Lois Lamya al-Furagi. 1988. Atlas Islam, Bandung: Mizan.

[29]

Ali, A. Mukti. 1970. “Dialog between Muslims and Christians in Indonesia and its Problems” dalam AlJami’ah, No. 4 Th. XI Djuli 1970.

[30]

Gaus, Ahmad.1998. (ed.andito,Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah.

[31]

Gazalba, Sidi. 1978. Azas Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

[32]

Gordon, Matthew S. 1991. World Religions Islam, Fourth Edition, Philadelphia: Chelsea House Publisher.

[33]

Harnawisastra, Dahlan. 2009. Lc, Agama Islam (Islam Religion), Bandung: Politeknik Telkom Bandung.

Ali, H. M. Sayuthi. 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif, Jakarta: Prestasi Pustaka.

[34]

Al-Husaini, Al-Hamid. 2009. Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw, Cetakan ke-XIII, Bandung: Pustaka Hidayah.

Harrisson, Tom. 1984. "The Prehistory of Borneo", dalam Pieter van de Velde (ed.), Prehistoric Indonesia a Reader (Dordrecht-Holland: Foris Publications.

[35]

Hasjmy, A. 1993. Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang.

Andito (ed.). 1998. Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah.

[36]

Hendrijani, A. et al.,2006. Dayak dan Indonesia – Belajar dari Tjilik Riwut. Yogyakarta, Indonesia: Galangpress.

An-Nahlawi, Abdurahman.1989. Prinsip-Prinsip dan Pendidikan dalam Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1989

[37]

Hick, John. 1985. Problem of Religious Pluralism, London: The Macmillan Press.

[38]

Hidayat, Komaruddin. 1999. Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999

[39]

King, Victor. T. 1993. The People of Borneo, Camridge: Blackwell Publishers.

[40]

Kobong. 2008. Injil dan Tongkonan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

[41]

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia,1994.

[42]

____________. 2007. Sejarah Teori Antropologi, Edisi Revisi. Jakarta, Indonesia: Penerbit Universitas Indonesia.

____________. 1992. “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, Jakarta: INIS. ____________. 1986. Butir-Butir Manusia Ditinjau dari Segi Agama, dalam Darmanto JT dan Sudharto PH, Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Anto, Achadiyat. 1989. Hubungan Antar Golongan Etnik di Indonesia: suatu Studi Kasus di Kalimantan, dalam: Interaksi Antar Etnik Di Beberapa Propinsi di Indonesia, Dirjen Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Proyek IPNB, Jakarta: Depdikbud. Azra, Azumardi.1999. “Bingkai Teologi Kerukunan: Perspektif Islam” dalam Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina.

[23]

Bruinessen, Maartin van. 1995. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Tradisi=Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.

[24]

Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.). 1992. Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, Jakarta: INIS, 1992. [43]

[25]

Caputo, John D. 2003. On Religion (edisi bahasa Indonesia, Agama Cinta, Agama Masa Depan), Bandung: Mizan.

Lontaan, J.U. 1975. Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Jakarta: Offset Bumirestu.

[44]

Maunati, Yekti. 2001. Identitas Dayak. Jakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Coomans, Mikhail.1987. Manusia Dayak: Sekarang, dan Masa Depan, Jakarta: Gramedia.

[45]

Nasution, Harun. 1982. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.

[46]

Riwut, Tjilik, (Nila Riwut, ed). 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur, Jogyakarta: Pusakalima.

[26]

[27]

Dahulu,

Danandjaja, James. 1975. Kebudayaan Kalimantan Tengah, Dalam Koentjaraningrat(ed) “Kebudayaan Indonesia”, PT. Pembangunan, Jakarta.

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

114


Michael Sega Gumelar

Journal Indexing: Pemarginalan Terstruktur dari Pemerintah kepada Dosen di Indonesia Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No. 2: 114–119

Jurnal Studi Kultural http://www.an1mage.org/p/jurnal-studi-kultural.html

Laporan Riset

Journal Indexing: Pemarginalan Terstruktur dari Pemerintah kepada Dosen di Indonesia Michael Sega Gumelar* An1mage Research Division

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Journal indexing atau pengindeksan jurnal telah menjadi kendala bagi para dosen untuk menjadi aktif menulis dan secara sadar atau tidak sadar malah berbalik mengurangi maraknya manuscript atau laporan penelitian di Indonesia yang seharusnya malah banyak bermunculan. Pengindeksan jurnal saat laporan penelitian ini dibuat telah menjadi bumerang dan sedihnya lagi laporan penelitian bagi calon doktor dan profesor wajib masuk ke dalam jurnal yang diindeks oleh beberapa penerbit besar di Bumi yang awal tujuan untuk mengindeks terbitan jurnal penerbit itu sendiri. Kini para penerbit besar di Bumi tersebut telah melakukan komodifikasi negatif dengan mengkomersialkan journal indexing mereka dengan mengkonstruksi bahwa jurnal yang baik adalah jurnal yang berada di dalam indeks sistem mereka.

Dikirim 19 Februari 2017 Direvisi 29 Februari 2017 Diterima 19 Juni 2017 Kata Kunci: Super Magnet Shielding System G-Engine

Konstruksi tersebut menguat karena para penerbit besar tersebut memiliki media siar berupa media cetak kertas sebelumnya dan kini media digital dengan sistem journal indexing secara website. Para penerbit besar di Bumi tersebut menyebarkan informasi mereka melintasi negara lainnya melalui dominasi media cetak dan media digital yang mengakibatkan negara-negara yang kurang maju dan terbelakang cara berpikirnya menjadi korban ideologi dari komodifikasi journal indexing tersebut, ini yang disebut dengan nama hegemoni di masa ini. Korban ini terjadi karena orang-orang di negara terbelakang merasa inferior, tidak percaya diri, dan merasa tertertinggal, oleh karenanya timbul keinginan yaitu bila dapat bergabung dalam jurnal indexing tersebut maka negara-negara berkembang ini “merasa” menjadi setara dengan negara yang sudah maju. Orang-orang di negara terbelakang ini menjadi budak informasi dan hegemoni dari dominasi informasi negara-negara maju, penulis menyebut hal ini dengan istilah hegemony information slaves dan penulis singkat menjadi hegeformaslave untuk kata sifatnya, untuk kata kerjanya menjadi hegeformaslaving, dan pelakunya disebut dengan nama hegeformaslaver untuk satu orang, menjadi hegeformaslavers untuk pelaku lebih dari satu orang, sedangkan korbannya disebut dengan nama hegeformaslave untuk penyebutan satu orang kemudian hegeformaslaves untuk penyebutan lebih dari satu orang, sistemnya disebut dengan nama hegeformaslavery.

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Di pemerintahan Indonesia juga bermunculan para budak hegemoni informasi atau penulis menyebutnya dengan singkatan hegeformaslaves dari kata hegemony information slaves. Secara sadar dan atau tidak sadar hegeformaslaves ini yang berada di pemerintahan Indonesia dan menjadi salah satu pengambil kebijakan dan merasa bangga telah melakukannya. Mereka sadar dan atau tidak sadar hal tersebut merupakan keputusan yang salah karena memarginalkan dosen yang berimplikasi (konsekuensi logis) memperlambat inovasi pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang muncul dari dalam Indonesia itu sendiri.

Apa yang didapat dari hegeformaslaves ini dari hegeformaslavers-nya. Ada beberapa potensi proyeksi yang muncul dalam analisis penulis yaitu: 1. Share: Hegeformaslaves mendapatkan “share” atau bagian keuntungan secara ekonomi makro, mikro, dan personal saat sejumlah penelitian masuk dalam journal indexing penerbit besar tertentu di Bumi. 2.

Politik: Hegeformaslaves mendapatkan keuntungan guna kepentingan kekuasaan, jabatan, dan kekuatan politik saat sejumlah penelitian masuk dalam journal indexing penerbit besar tertentu di Bumi.

∗ Peneliti koresponden: An1mage Research Division | Mobile: +62818966667 | E-mail: michael.sega.gumelar@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

114


Michael Sega Gumelar

3.

Journal Indexing: Pemarginalan Terstruktur dari Pemerintah kepada Dosen di Indonesia

Kenaifan: Hegeformaslaves tidak mendapatkan apa pun karena benar-benar ketidaktahuan semata.

Pihak hegeformaslavers tentu saja memiliki kepentingan berupa kepentingan profit dan dominasinya menggunakan journal indexing sebagai alat untuk mendapatkan: 1. Share: Hegeformaslaver mendapatkan “share” atau bagian keuntungan (profit) lebih besar secara ekonomi makro, mikro, dan personal saat sejumlah penelitian dari negara-negara Hegeformaslaves-nya masuk dalam journal indexing Hegeformaslaver tersebut. 2.

Politik: Hegeformaslaver mendapatkan keuntungan guna kepentingan kekuasaan, jabatan, dan kekuatan politik saat sejumlah penelitian dari negara-negara Hegeformaslaves-nya masuk dalam journal indexing Hegeformaslaver tersebut.

Diskusi Laporan penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian penulis sebelumnya yang berjudul “Membongkar Mitos Jurnal Ber-ISSN Wajib Terakreditasi Dikti yang Hanya Mendapatkan Nilai Kumulatif bagi Dosen di Indonesia” terbitkan oleh An1mage Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 1: 48–52 tahun 2017 [1].

Mengenai poin kelima tentang publikasi, perlu ditekankan bahwa Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015 mengatur secara khusus tentang kewajiban publikasi mahasiswa program Magister, Doktor, dan Doktor Terapan sebagai berikut: a. Mahasiswa Program Magister wajib menerbitkan makalah (karya ilmiah penelitian) di jurnal ilmiah terakreditasi atau diterima di jurnal internasional; b.

Mahasiswa Program Doktor wajib menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi;

c.

Mahasiswa Program Doktor Terapan wajib menerbitkan makalah di jurnal nasional terakreditasi atau diterima di jurnal internasional atau; karya yang dipresentasikan atau dipamerkan dalam forum internasional.

Apa yang dimaksud oleh pemerintah dalam hal ini kemenristekdikti sebagai “jurnal ilmiah terakreditasi”, “jurnal internasional”, dan “jurnal internasional bereputasi”. Jurnal ilmiah terakdreditasi dalam konteks ini adalah jurnal yang diterbitkan oleh lembaga apa pun yang telah memiliki International Standard Serial Number (ISSN) dan kemudian diakreditasi oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).

Di mana telah penulis jabarkan pemarginalan terstruktur dan berimplikasi masif dan meluas kepada dosen dari pemerintah berbentuk tertulis dalam persyaratan resmi buku panduan Penilaian Angka Kredit (PAK) Dosen untuk dapat diajukan dalam pengajuan Jenjang Jabatan Akademik (JJA) Dosen dalam Buku Petunjuk Operasional pada poin 5.2. Penelitian dan Penyebarluasan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS) [2] seperti pada citra 1.

Setelah penulis teliti “jurnal ilmiah terakreditasi” dalam tabel 5 di Buku Petunjuk Operasional pada poin 5.2. Penelitian dan Penyebarluasan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS) [2] seperti pada citra 1 disebutkan laporan penelitian masuk ke jurnal ber-ISSN terakreditasi Dikti sebagai syarat yang “tidak wajib ada” hanya disarankan ada.

Citra 1. Capture-an tabel 5 di Buku Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen pada poin 5.2. Penelitian dan Penyebarluasan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS).

Terkecuali bila masuk ke jenjang magister dan atau doktor menjadi “wajib ada” sesuai surat edaran Nomor: 444/B/Se/2016, namun itu juga sudah penulis dekonstruksi dengan pemikiran acuan asas kemanusian dalam laporan penelitian penulis lainnya dengan judul “Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya Pemuatan Laporan Penelitian di Jurnal yang Tidak Terindeks Scopus” An1mage Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 1: 28–31 tahun 2017 [4].

Pemarginalan terstrukstur oleh pemerintah juga tertuang pada Surat Edaran pada Desember 2016 Nomor: 444/B/Se/2016 dengan judul “Implementasi SN Dikti Pada Program Magister, Doktor dan Doktor Terapan” [3] tertuang seperti berikut: 1. Penerapan sistem satuan kredit semester; 2. Lama masa studi; 3. Kualifikasi pembimbing dan promotor; 4. Jumlah bimbingan tesis atau disertasi per dosen pembimbing; 5. Publikasi. Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Penulis telah mendekonstruksi pada penelitian tersebut di mana jelas bahwa jurnal ISSN walaupun tanpa akreditasi dari Dikti pasti mendapatkan nilai kumulatif untuk dapat diajukan sebagai Jenjang Jabatan Akademis (JJA) Dosen. Jurnal internasional menurut buku “Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen” terbitan 2014 pada poin 8 halaman 26 yang dapat diakses di website link berikut: http://pak.ristekdikti.go.id/portal?download=322

115


Michael Sega Gumelar

Journal Indexing: Pemarginalan Terstruktur dari Pemerintah kepada Dosen di Indonesia

Jurnal internasional secara lebih lanjut dijelaskan secara lebih detail dengan kriteria sebagai berikut: a. Karya ilmiah yang diterbitkan ditulis dengan memenuhi kaidah ilmiah dan etika keilmuan. b. Memiliki ISSN. c. Ditulis dengan menggunakan bahasa resmi PBB (Arab, Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol dan Tiongkok). d. Memiliki terbitan versi online. e. Dewan Redaksi (Editorial Board) adalah pakar di bidangnya paling sedikit berasal dari 4 (empat) negara. Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen 26 f. Artikel ilmiah yang diterbitkan dalam 1 (satu) nomor terbitan paling sedikit penulisnya berasal dari 2 (dua) negara. g. Terindeks oleh database internasional: Web of Science, Scopus, Microsoft Academic Search, dan/atau laman sesuai dengan pertimbangan Ditjen Dikti.

jurnal mereka pun tetap menggunakan Bahasa Jepang dan hasil laporan penelitian mereka masuk dalam kualitas yang tinggi, terbukti banyak produk dengan teknologi tinggi mengalir dari Jepang ke Indonesia. Jadi tidak perlu menggunakan aturan poin c ini, Gunakan saja Bahasa Indonesia.

Penulis mendekonstruksi untuk poin c yaitu “Ditulis dengan menggunakan bahasa resmi PBB (Arab, Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol dan Tiongkok)”. Di mana hal tersebut terlihat wajar karena dengan alasan empat dari enam adalah bahasa resmi negara pemenang Perang Dunia Kedua yang mendapatkan hak menjadi anggota tetap Dewan Keamanan kelima negara tersebut adalah the United States, the Soviet Union, China, the United Kingdom, dan France.

Indonesia saat ini masih menempati posisi ke tujuh informasi dari website di link berikut: http://www.scimagojr.com/countryrank.php yang dimiliki oleh Elsevier pemilik Scopus, dan tentu saja data tersebut ada kepentingan dan digunakan sebagai alat untuk melanggengkan diri sebagai hegeformaslaver, tetapi seperti kata pepatah “suatu senjata dapat digunakan untuk melawan tuannya sendiri” sehingga muncul pepatah lebih pendek “senjata makan tuan”

Penulis juga mendekonstruksi pada poin g “Terindeks oleh database internasional: Web of Science, Scopus, Microsoft Academic Search, dan/atau laman sesuai dengan pertimbangan Ditjen Dikti”. Terlihat jelas bahwa hegeformaslaves di Indonesia telah membuat pemarginalan terstruktur bahkan melegalkannya dalam aturan-aturan yang tertulis kepada para peneliti dan dosen di Indonesia, secara langsung dan atau tidak langsung berimplikasi “mereduksi” dan memarginalkan laporan penelitian yang ada.

Lalu dari manakah muncul Arab dan Spanyol? Kenapa tidak India dan atau Bahasa Indonesia? Di mana pengguna Bahasa Indonesia adalah keempat terbesar di Bumi karena populasinya menurut: https://www.infoplease.com/world/populationstatistics/worlds-50-most-populous-countries-2016

Citra 2. Capture-an pada link http://www.scimagojr.com/countryrank.php tentang ranking laporan penelitian dan jumlahnya di suatu negara

Jurnal internasional bereputasi menurut Dikti sesuai dalam link berikut http://pak.dikti.go.id/portal/?p=115 seperti pada citra 3 terlihat jelas terjadinya sistem hegeformaslavery yang berjalan tanpa disadari atau tidak.

Banyaknya pengguna bahasa ternyata tidak identik dengan banyaknya dominasi informasi pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang beredar. Lalu mengapa Dikti menempatkan Arab dan Spanyol menjadi bahasa resmi PBB? Karena berdasarkan link berikut: http://www.un.org/en/sections/about-un/official-languages Citra 3. Capture-an pada link http://pak.dikti.go.id/portal/?p=115

Namun tentu saja PBB juga tidak terlepas dari konstruksi dan kepentingan, dan PBB ada potensi dijadikan alat untuk kepentingan tertentu. Sebab Bahasa Jepang walaupun tidak masuk dalam bahasa resmi PBB, tetapi orang-orang di pemerintahan Jepang bukanlah hegeformaslaves, sehingga Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Di sana tertuang kata-kata sebagai informasi, Kami sampaikan beberapa laman yang sering diacu oleh jurnal ilmiah: 116


Michael Sega Gumelar

Journal Indexing: Pemarginalan Terstruktur dari Pemerintah kepada Dosen di Indonesia

1. ISI Knowledge -Thomson Reuter (USA ) 2. SCOPUS (Netherland), http://www.scimagojr.com Terdokumentasi juga di buku “Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen” terbitan 2014 pada poin 9 halaman 26 yang dapat diakses di website link. Di sana tertuang “Jurnal internasional bereputasi adalah jurnal yang memenuhi kriteria jurnal internasional sebagaimana butir 8 huruf a sampai f, dengan kriteria tambahan terindeks pada Web of Science dan/atau Scopus serta mempunyai faktor dampak (impact factor) dari ISI Web of Science (Thomson Reuters) atau mempunyai faktor dampak (impact factor) dari Scimago Journal Rank (SJR) sampai dengan tahun 2013 dan di atas 0,100 setelah tahun 2013 dinilai paling tinggi 40.” Penelitian yang berkualitas ataukah jurnal bergengsi yang populer? Pertanyaan ini sudah penulis tuangkan pada laporan penelitian terdahulu “Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya Pemuatan Laporan Penelitian di Jurnal yang Tidak Terindeks Scopus” An1mage Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 1: 28–31 tahun 2017 [4]. Di mana sangat penting dalam menghasilkan penelitian yang berkualitas. Apakah suatu penelitian itu dijamin berkualitas karena masuk ke jurnal yang populer mahal dan bergengsi? Ataukah karena penelitiannya tersebut sudah berkualitas, sehingga tanpa masuk ke jurnal populer yang mahal dan bergengsi pun masih tetap dicari dan dapat diakses gratis secara online agar dapat dibaca oleh semua orang?

1920 (citra 4) dan tidak memerlukan jurnal untuk menilai apakah karyanya berkualitas atau tidak, siapa yang berani menghakimi suatu penelitian itu tidak benar? [4]. Sehingga suatu laporan penelitian menjadi layak dan tidak layak masuk ke suatu jurnal? Namun bila review hanya pada tata bahasa dan salah ketik memang sewajarnya untuk dilakukan. Bukankah Copernicus juga mengalami penolakan oleh orang-orang di masa lalu karena dinilai penelitiannya salah? Lalu apakah para reviewer jurnal itu tahu bahwa karya para peneliti itu salah sehingga tidak layak masuk ke suatu jurnal? Bila itu yang terjadi, maka sudah hancur dan tidak berguna para reviewer tersebut karena telah menghakimi dan tidak meloloskan karya laporan penelitian yang kemungkinan besar akan mengubah cara berpikir yang bodoh ke arah pemikiran yang lebih baik [4]. Apakah format jurnal juga memengaruhi baik dan buruknya suatu laporan penelitian? Bukankah format jurnal berfungsi sebagai layout-nya saja, dan terserah penerbitnya mau membuat layout apa pun sesuai keperluan mereka sendiri dan tidak perlu diatur-atur oleh pemerintah bagaimana bentuk layout-nya? Bagaimana bila ternyata laporan penelitian itu tidak masuk ke jurnal dan dijadikan buku? Bukankah lebih banyak buku berkualitas yang mengubah pemikiran orang? Dan bukannya kompilasi laporan penelitian dari para peneliti yang disebut jurnal, walaupun secara arti jurnal juga sebenarnya buku. Terlebih lagi, orang cenderung menjadikan buku sebagai referensi atau sitasi daripada mengutip laporan penelitian yang ada di suatu publikasi jurnal, bukankah Einstein, Copernicus, Darwin, Nietzsche, Newton, Derida dan orangorang besar lainnya mengubah dunia melalui buku bukan melalui jurnal. Kenapa tidak berlomba-lomba membuat buku yang berkualitas saja? Ini juga bagian dari hegeformaslavery sehingga membuat orang-orang yang terkungkung, terpenjara dalam pikirannya, orang yang menjadi hegeformaslaves tidak dapat berpikir bahwa sebenarnya ada jalan keluar dan solusinya dari sistem jurnal ini.

Citra 4. Albert Einstein dengan penelitiannya berjudul Relativity the Special and General Theory. http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTAHUxoLBjzEfLGrj5nOFbAZZoGZmCnr72zfQeiCiyKa15YEyC

Penulis kutipkan lagi yaitu seorang yang cerdas bernama Albert Einstein menuliskan karya penelitiannya berjudul “Relativity the Special and General Theory” pada tahun Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Journal Indexing dan Kontes Gengsi. Kini setelah semakin jelas duduk persoalannya, penulis akan membawa ke permasalahan utama. Journal indexing adalah alat perang dalam era kini guna kepentingan ekonomi, kekuasaan, dominasi, dan politik dari para penerbit di Bumi dari suatu negara (hegeformaslavers) dalam membuat budak-budak hegemoni informasi (hegeformaslaves) yang ada di setiap negara. Dalam mencapai tujuannya hegeformaslavers menanamkan kontes gengsi kepada hegeformaslaves bahwa bila laporan 117


Michael Sega Gumelar

Journal Indexing: Pemarginalan Terstruktur dari Pemerintah kepada Dosen di Indonesia

penelitannya hegeformaslaves masuk ke journal indexing para hegeformaslavers maka penelitiannya hegeformaslaves sudah sekualitas para peneliti hegeformaslavers-nya. Hegeformaslavers dengan cerdiknya menohok dan mampu memainkan salah satu sifat dasar emosi (primitive emotion) manusia sehingga melihat potensi adanya komodifikasi negatif untuk komersial semata yaitu gengsi. Apakah benar demikian? Kembali lagi ke semula, kualitas suatu penelitian tidak dinilai dari masuk jurnal di populer dan mahal, tetapi orang akan mencari penelitian tersebut walaupun tidak masuk ke suatu jurnal. Tentu saja solusi selain jurnal dalam hal ini berbentuk buku dan atau buku elektronik (eBook) dan komodifikasi positif untuk menerbitkan jurnal secara nonprofit dapat terjadi, di mana dapat diakses secara gratis dan berguna untuk semua orang. Copernicus, Newton, dan orang-orang hebat lainnya tidak dikenal sebelumnya karena laporan penelitian mereka masuk dalam suatu jurnal, sebab di masa lalu budaya jurnal belum ada modifikasi dan dikomodifikasi secara komersial. Bahkan nama-nama mereka tidak dikenal meluas sebelum menerbitkan buku. Perang journal indexing ini terjadi di antara Hegeformaslavers dalam hal ini para penerbit jurnal dan atau jasa journal indexing lainnya dengan kepentingan tertentu. Sedangkan Hegeformaslaves yang kebetulan menjadi orang pemerintahan hanya budak hegemoni informasi yang belum mencapai titik pencerahan karena kenaifannya dan atau memang sadar dan telah mendapatkan keuntungan dalam bentuk apa pun dari sistem Hegeformaslavery tersebut.

Journal indexing adalah kepentingan penerbit, bukan kepentingan dosen dan atau peneliti. Karena bukan tanggung jawab seorang dosen dan atau peneliti melihat jurnal itu diindeks di mana, sebab yang paling penting adalah penelitiannya terbit di jurnal yang sudah terindeks secara ISSN sudah cukup. Mengutip penelitian penulis sebelumnya “Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya Pemuatan Laporan Penelitian di Jurnal yang Tidak Terindeks Scopus” An1mage Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 1: 28–31 tahun 2017. Aturan oleh pemerintah telah memarginalkan dosen dan peneliti serta berimplikasi merugikan negara dengan alasan [4]. 1.

Menjadi kontra produktif karena meredam penelitian yang seharusnya muncul, malah didahului oleh peneliti/dosen dari lembaga lain hanya karena takut laporan penelitiannya tidak akan mendapatkan nilai JJA.

2.

Menjadi kontra produktif karena meredam penelitian yang seharusnya muncul, malah didahului oleh peneliti/dosen dari negara lain hanya karena takut laporan penelitiannya tidak akan mendapatkan nilai JJA.

3.

Menjadi kontra produktif karena penelitian yang berpotensi mengubah pola pikir yang salah dan menguak berbagai mitos dan pemarginalan yang terjadi “tidak muncul” dan hilang begitu saja karena aturan “pemerintah” yang tidak bijak dan malah memarginalkan para dosen dan para peneliti itu sendiri.

4.

Seseorang memiliki potensi untuk terjebak pada prestige karena “mampu membayar” pada jurnal yang terakreditasi Dikti dan sejenisnya padahal belum tentu meneliti, hanya sebagai penulis pertama, kedua, ketiga atau seterusnya yang kebanyakan menjadi “modus” menitipkan nama tetapi belum pernah meneliti dan membuat laporan tersendiri.

Para dosen dan atau peneliti adalah korban berikutnya karena menjadi subordinasi dari Hegeformaslaves yang berada di pemerintahan, dan Hegeformaslaves ini membuat pemarginalan terstruktur, dan menjadi aturan resmi secara teks yang sulit untuk dilawan oleh para dosen dan atau peneliti yang mau tidak mau wajib mengikuti aturan pemarginalan terstruktur tersebut. Para subordinasi tidak dapat melawan balik itu yang ditanamkan oleh Hegeformaslavers tersebut, padahal dosen dan atau peneliti dapat melawan balik dengan format teks dan data yang dapat digunakan untuk mencerahkan dalam bentuk laporan penelitian yang dimuat di jurnal dan terlindungi oleh mimbar akademis atau dalam format buku cetak dan atau buku elektronik (eBook).

Ada potensi pula karena laporan penelitiannya dilakukan dan disusun oleh Ghost Researcher (peneliti yang meneliti karena kebutuhan uang dan tidak tertarik untuk namanya tertera di sana). 5.

Mengusulkan pada pemerintah agar berbagai pemikiran yang “kontra produktif”, memarginalkan, memiliki potensi menyengsarakan, dan membodohkan masyarakat untuk dihilangkan di berbagai bidang.

Kini kedudukan Journal Indexing suatu jurnal terhadap laporan penelitian seorang dosen dan atau peneliti di mana? Tidak ada hubungannya sama sekali bukan? Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 2 Juli 2017 www.an1mage.org

118


Michael Sega Gumelar

Journal Indexing: Pemarginalan Terstruktur dari Pemerintah kepada Dosen di Indonesia

Konklusi Ada kepentingan apa? Apa yang didapat dari hegeformaslaves dari hegeformaslavers-nya? Ataukah kenaifan semata? Bila kenaifan semata maka dapat segera sadar dan menghentikannya. Tetapi bila hegeformaslaves mendapatkan keuntungan secara share dan politik, maka penulis mengusulkan pula untuk dihentikan karena pemarginalan terstruktur dari pemerintah kepada dosen dan peneliti berimplikasi menghambat kreatifitas, kualitas dan kuantitas penelitian di Indonesia sendiri.

2.

Menghapus kewajiban kepada penerbit jurnal agar jurnalnya diakreditasi oleh pemerintah dalam lembaga apa pun yang dibentuk oleh pemerintah dan atau oleh lembaga akreditasi apa pun di dalam dan luar negeri.

3.

Menghapus kewajiban penggunaan bahasa resmi PBB dalam terbitan jurnal internasional dari Indonesia, agar Bahasa Indonesia memiliki kesetaraan dengan bahasa hegeformaslavers.

4.

Mengusulkan pada pemerintah agar menghilangkan berbagai pemikiran karena merasa “inferior”. Karena telah menjadi hegeformaslaves selama ini merupakan sesuatu hal yang kontra produktif.

Diskusi tersebut menjadi acuan sebagai konklusi dan solusi yang memungkinkan untuk diambil oleh pemerintah untuk kepentingan negara.

Sistem hegeformaslavery berimplikasi memarginalkan bangsa sendiri, menyengsarakan bangsa sendiri, dan membodohkan bangsa sendiri. Setiap individu bangsa Indonesia harus mandiri (merdeka) dan terbebas dari sistem hegeformaslavery di berbagai bidang.

Pemerintah dalam kurun waktu dapat berganti yang disebut dengan nama rezim pemerintah, sedangkan negara cenderung tetap dari waktu ke waktu. Mengusulkan suatu usulan yang baik untuk negara dapat “dianggap” melawan pemerintah yang sedang berkuasa, pemerintah yang berkuasa dapat menggunakan kekuatan politik dan informasinya untuk membuat “pahlawan negara” menjadi “pemberontak bagi pemerintah”. Hal ini terjadi pada pemerintahan yang berkuasa di mana Nelson Mandela melawan sistem apartheid yang dilakukan oleh pemerintahannya. Nelson Mandela melakukan apa yang menurutnya baik bagi “negara” tetapi “pemerintah” sebagai rezim yang berkuasa saat itu memenjarakannya sebagai pemberontak, tetapi pada akhirnya perjuangan suci Nelson Mandela untuk “negara” menghantarkannya pada kursi kepresidenan di Afrika Selatan. Solusi yang penulis berikan sebagai usulan kepada pemerintah untuk negara sebagai berikut: 1.

Menghapus kewajiban kepada dosen dan atau peneliti di mana laporan penelitiannya wajib masuk ke jurnal yang masuk ke sistem journal indexing apa pun.

Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Referensi [1]

Gumelar, M.S. 2017. Membongkar Mitos Jurnal Ber-ISSN Wajib Terakreditasi Dikti yang Hanya Mendapatkan Nilai Kumulatif bagi Dosen di Indonesia.An1mage Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 1: 48–52 tahun 2017.

[2]

Kebudayaan, D. J. 2014. Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen. Dikti.

[3]

Surat Edaran pada Desember 2016 Nomor: 444/B/Se/2016. “Implementasi SN Dikti Pada Program Magister, Doktor dan Doktor Terapan”.

[4]

M.S. Gumelar.2016. Industri Budaya dan Kontes Prestige: Terpinggirnya Pemuatan Laporan Penelitian di Jurnal yang Tidak Terindeks Scopus. Jurnal Studi Kultural.

[5]

Einstein, A. 1920. Relativity The Special And General Theory.

[6]

Gumelar, M.S. 2015. Creative and Critical Thinking: Speciesity, meredesain ulang semua pemikiran untuk asas kemanusiaan, spesies, dan lingkungan. unpublish

119


Lidwina Hana

Perdagangan Emisi: Solusi Kapitalis atas Global Warming Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No. 2: 120–122

Jurnal Studi Kultural http://www.an1mage.org/p/jurnal-studi-kultural.html

Laporan Riset

Perdagangan Emisi: Solusi Kapitalis atas Global Warming Lidwina Hana* An1mage Research Division

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Pemanasan global (Global Warming), perubahan iklim (Climate Change), dan pencemaran lingkungan yang diakibatkan gas rumah kaca (Green house Gases) mendorong terbentuknya perdagangan emisi yang konon bertujuan memperlambat laju pemanasan Bumi.

Dikirim 21 Juni 2017 Direvisi 23 Juni 2017 Diterima 25 Juni 2017 Kata Kunci: Perdagangan Emisi Kapitalisme Bumi Komodifikasi

Perdagangan emisi memungkinkan negara industri membeli Certified Emission Reduction (CER) dari negara berkembang. Sementara negara berkembang diharapkan menjaga hutannya dari uang yang dihasilkan melalui CER. Meskipun seolah terjadi kerja sama antara negara industri dengan negara berkembang, namun kesepakatan ini belum menunjukkan hasil signifikan atas pemanasan global. Oleh karenanya penelitian ini menguji sistem pasar berdasarkan ideologi kapitalis dari perdagangan emisi yang digunakan untuk permasalahan yang berhubungan dengan alam dan memberi solusi atas permasalahan yang ditemukan.

Š 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Global Warming yang disebabkan emisi memiliki berbagai impak. Mulai dari perubahan cuaca dan iklim menjadi ekstrim, kenaikan permukaan laut, hingga pengaruh buruk terhadap kesehatan manusia, tumbuhan, dan hewan. Keadaan inilah yang mendorong diadakannya Deklarasi Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Manusia Konferensi PBB di Stockholm pada 5-16 Juni 1972 mengenai Lingkungan Manusia. Tahun 1992, United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Rio De Janeiro, Brazil sepakat melakukan penurunan jumlah emisi gas rumah kaca di masing-masing negara. Hal ini untuk mencegah dampak perubahan iklim yang lebih parah. Adapun gas rumah kaca di antaranya adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitroksida (N2O), sulfur heksafluorida (SF6), hidroflouorokarbon (HFC), dan perfluorokarbon (PFC). ∗

Peneliti koresponden: An1mage Research Division | Mobile: +6285814894988 | E-mail: lidwinahana@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Kemudian Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change, pada Desember 1997 [1], berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% yang merugikan lingkungan hidup dan membahayakan kesehatan manusia. Dalam Kyoto Protocol termuat carbon trading atau perdagangan karbon. Perdagangan emisi merupakan mekanisme untuk menjual dan membeli izin untuk melakukan pencemaran (emission permit) atau melakukan perdagangan karbon. Mekanisme perdagangan karbon dapat dilakukan melalui International Emission Trading (IET), Joint Implementation (JI), dan Clean Development Mechanism (CDM). [2] Mekanisme JI dan IET dilakukan antara negara maju dengan negara maju lainnya, sedangkan yang pertama (CDM) adalah antara negara maju dengan negara berkembang. [3] International Emission Trading adalah keadaan di mana jika negara maju mengemisikan gas rumah kaca di bawah jatah yang diizinkan, maka negara tersebut dapat menjual volume 120


Lidwina Hana

gas rumah kaca yang tidak diemisikannya kepada negara maju lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Joint Implementation adalah suatu mekanisme untuk melakukan investasi proyek pengurangan emisi di suatu negara industri oleh suatu negara industri lainnya. Kredit pengurangan emisi yang diperoleh dari pelaksanaan proyek tersebut akan diberikan kepada negara yang melakukan investasi. Clean Development Mechanism merupakan mekanisme Protokol Kyoto yang memungkinkan negara industri dan negara berkembang bekerja sama untuk melakukan “pembangunan bersih”. Negara industri dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisinya dengan melakukan proyek “pengurangan emisi” di suatu negara berkembang dan si negara berkembang akan mendapatkan kompensasi finansial dan teknologi dari kerjasama tersebut. Dalam perdagangan karbon melalui CDM setiap penurunan satu ton karbon akan mendapatkan selembar sertifikat Certified Emission Reduction (CER). [4] KTT Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP 21) UNFCCC yang digelar selama 13 hari di Le Bourget, Paris, pada 30 November hingga 13 Desember 2015 [5] menghasilkan lima poin penting, yakni. Pertama, perlu dilakukan upaya mitigasi dengan mengurangi emisi karbon dengan cepat, untuk menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius (2C) dan berupaya menekan hingga 1,5 C. Kedua, sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi harus dilakukan secara transparan. Ketiga, upaya adaptasi harus dilakukan dengan memperkuat kemampuan-kemampuan negara-negara di dunia untuk mengatasi impak perubahan iklim. Keempat, memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim, dari kerusakan. Kelima bantuan, termasuk pendanaan bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan. [6]

Diskusi Keputusan untuk melakukan perdagangan emisi tidak terlepas dari pola pikir kapitalis, bahwa alam dapat dikomodifikasikan untuk tujuan komersial semata. Isu perubahan iklim menjadi ajang untuk mendapatkan modal. Ada dua pandangan yang mengenai perdagangan emisi. Pertama muncul dari negara industri yang menganggap Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Perdagangan Emisi: Solusi Kapitalis atas Global Warming

bahwa peningkatan emisi karbon dan gas rumah kaca merupakan tanggungjawab semua negara, karena itu setiap negara di dunia mesti mempunyai target penurunan emisi karbon. Sementara negara berkembang beranggapan peningkatan emisi terjadi sejak revolusi industri pada abad 18 dan terjadi di negara-negara industri oleh karenanya penurunan emisi harus dimulai dari negara maju. Meski memiliki semangat yang baik seperti pernyataan perang terhadap deforestasi, perdagangan emisi menjadi semacam lisensi bagi negara industri untuk tetap mengotori atmosfer. Perdagangan karbon membuat negara industri membeli jatah emisi tanpa harus menurunkan emisi di areanya maupun menurunkan kegiatan produksi yang menghasilkan gas rumah kaca. Sementara negara berkembang harus menjaga hutannya untuk menyerap karbon dan mendapat sedikit keuntungan finansial yang belum tentu tersalur dengan baik untuk menjaga kekayaan alamnya. Negara industri penghasil polusi terkesan cuci tangan soal upaya penurunan emisi. Upaya “cuci dosa” dari negara industri membuat mereka seperti malaikat dengan memberi bantuan keuangan pada negara-negara berkembang. Tentunya nilai itu tidak sebanding dengan kerusakan alam yang ditimbulkan. Penolakan penurunan emisi dengan pembelian emisi dari negara berkembang terjadi karena dengan menurunkan kapasitas industri, berarti akan ada perubahan ekonomi dalam negara industri yang memungkinkan terjadinya peningkatan pengangguran bahkan krisis ekonomi. Negara industri juga kebanyakan sudah tidak memiliki hutan untuk menyerap karbon. Upaya rehabilitasi kawasan tentunya akan memerlukan dana besar. Oleh karenanya, sesuai ideology pasar, lebih murah bagi negara industri untuk membeli emisi dari negara berkembang. Perdagangan karbon dikhawatirkan tidak saja menimbulkan penjajahan baru,” CO2-lonialism”, tetapi juga akan menjauhkan kita dari upaya serius mencegah pemanasan global. [7] 2 Juni 2017, Presiden Donald Trump sudah mengumumkan Amerikat Serikat mundur dari kesepakatan iklim Paris 2015. Trump menggambarkan kesepakatan Paris sebagai perjanjian yang ditujukan untuk memincangkan, merugikan, dan memiskinkan Amerika Serikat. Amerika Serikat menyumbang sekitar 15% emisi karbon global namun juga merupakan sumber keuangan dan teknologi yang penting bagi negara-negara berkembang dalam upaya mengatasi peningkatan temperatur. [8] 121


Lidwina Hana

Dengan perpecahan yang terjadi ini tentu target untuk menurunkan tingkat emisi makin sulit untuk diraih. Terlepas dari keluarnya AS sebagai salah satu penghasil emisi terbesar sekaligus sumber keuangan pada perdagangan karbon, menjadikan karbon sebagai komodifikasi untuk komersial bukanlah jalan keluar yang tepat bagi perbaikan lingkungan.

Konklusi Perdagangan karbon tidak dapat menurunkan emisi secara signigifikan. Hal ini terjadi karena negara industri memilih untuk membebankan kewajiban penurunan emisinya pada negara berkembang. Dengan melakukan pembayaran emisi, negara industri merasa memiliki hak untuk menghasilkan emisi dari aktifitasnya secara legal. Meski terkesan terjadi kerja sama antara negara industri dengan negara berkembang, sebenarnya yang terjadi adalah marginalisasi. Bila target penurunan emisi tidak tercapai, negara berkembanglah yang disalahkan karena tidak mampu menjaga hutannya meski sudah diberi dana untuk penanganan emisi dari negara industri.

Perdagangan Emisi: Solusi Kapitalis atas Global Warming

[4]

S. Siregar, Barliana. Indonesia Produsen Emisi Karbon Dunia. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. www.bappebti.go.id/id/edu/articles/detail/2997.html diakses pada 20 Juni 2017.

[5]

ditjenppi.menlhk.go.id/program/liputan-khusus-cop-212015/kesepakatan-cop21-paris.html diakses pada 20 Juni 2017.

[6]

nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/inilah-5-poinpenting-hasil-konferensi-perubahan-iklim diakses pada 20 Juni 2017.

[7]

Perdagangan Karbon dan Perangkap Komodifikasi oleh Andri G Wibisana. print.kompas.com/baca/2014/01/23/Perdagangan-Karbondan-Perangkap-Komodifikasi diakses pada 20 Juni 2017.

[8]

www.bbc.com/indonesia/dunia-40126676 diakses pada 20 Juni 2017.

Solusi untuk mengatasi permasalahan alam, mestinya dengan mengambil tanggung jawab pada alam langsung, tanpa mengonversikan segalanya pada sistem pasar terlebih dulu. Sebagai sesama penduduk Bumi, hendaknya peningkatan emisi menjadi tanggung jawab bersama. Seluruh negara, baik negara industri maupun negara berkembang sama-sama harus mengupayakan solusi hijau sehingga tindak menggantungkan hutan dari negara berkembang semata. Dalam hal ini perlu dibangun pengertian dan kesadaran bersama akan pentingnya masa depan alam yang erat kaitannya dengan masa depan manusia. Selain itu, perlu diintensifkan pembangunan green technology sehingga kegiatan industri dan pengembangan teknologi tetap dapat berjalan tanpa harus mengorbankan alam. Referensi [1]

www.kyotoprotocol.com diakses pada 20 Juni 2017.

[2]

unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php diakses pada 20 Juni 2017.

[3]

Sukardi, Doddy. 2012. Kerjasama antara Kementrian Kehutanan, DNPI dan UNREDD Indonesia. www.unredd.net/index.php?option=com_docman&task=do c_download&gid=8850&Itemid=53 diakses pada 20 Juni 2017.

Jurnal Studi Kultural Volume II Nomor 2 Juli 2017 www.an1mage.org

122


Nurul Setyorini

Perempuan dan Kejahatan Cyber: Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Perempuan di Media Sosial

Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.2: 123-129

Journal Studi Kultural www.an1mage.org. An1mage Journals - Magazines: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Perempuan dan Kejahatan Cyber: Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Perempuan di Media Sosial Nurul Setyorini Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/ Universitas Muhammadiyah Purworejo

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) kejahatan cyber dalam pemberitaan perempuan di media sosial, (2) praktik wacana pemberitaan perempuan di media sosial, dan (3) praktik sosial wacana pemberitaan perempuan di media sosial. wacana pemberitaan perempuan di media sosial.

Dikirim 14 Mei 2017 Direvisi 9 Juni 2017 Diterima 23 Juni 2017 Kata Kunci: Perempuan Kejahatan Wacana Kritis Pemberitaan

Teori yang digunakan adalah teori Fairclough tentang Analisis Wacana Kritis. Metode penelitian yang digunakan menggunakan metode tiga dimensi Fairclough yang terdiri dari deskripsi, interprestasi, dan eksplanasi. Hasil penelitian ini terdiri dari tiga bahasan, yaitu (1) kekerasan cyber dalam media sosial, (2) praktik wacana, dan (3) praktik sosial. (1) Kekerasan cyber dalam media sosial berupa komentar kasar, komentar seks, argumen yang memberikan stigma tentang perempuan, memarginalkan perempuan dan penyebaran kebencian. (2) Praktik wacana menyoal tentang media berita online melihat perempuan sebagai masyarakat paling banyak menggunakan media sosial. Selanjutnya, media sosial, pada saat ini bukan sebuah konsumsi bagi masyarakat menengah ke atas, tetapi semua kalangan dapat menikmatinya. (3) Sosial praktik menyoal kehidupan masyarakat yang mempunyai perspektif bahwa perempuan adalah objek menarik untuk dieksploitasi. Dengan demikian, masyarakat yang patriaki ini diimplementasikan dalam wujud berita online sehingga argumen pembaca mengarahkan pada kasus-kasus perempuan. Š 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Sejak zaman patriarki perempuan secara umum telah dipaksa untuk menempati tempat kedua di dunia dalam hubungannya dengan laki-laki. Hal ini mengakibatkan kegagalan umum yang dialami perempuan untuk mengambil tempat dalam bereksistensi secara bebas dan mandiri ketika berhubungan dengan laki-laki di bidang kesetaraan intelektual dan profesional. Menurut Ray (dalam Resen dan Ikma, 2012: 2009), menjelaskan bahwa masyarakat patriarki mempertahankan ideologi peran keibuan yang membatasi ruang gerak perempuan dan membebankan mereka dengan tanggung jawab untuk merawat dan membesarkan anak-anak. Faktor biologis untuk merawat anak dikaitkan dengan posisi sosial dari kewajiban perempuan sebagai ibu yaitu merawat, mendidik serta membesarkan anak-anak dengan mengabdikan diri mereka kepada keluarga. ∗

Peneliti koresponden: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purworejo, www. pbsi. umpwr.ac.id, Jl. K.H.A. Dahlan no 3, Purworejo, 085786746009, surel: nurulsetyorini32@gmail.com.

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Patriarki telah mengaburkan pembedaan antara seks dan gender dan menganggap bahwa semua pembedaan sosial, ekonomi, dan politik antara laki-laki dan perempuan berakar pada biologi atau anatomi. Kebudayaan yang tampak di sekitar kita, secara umum masih memperlihatkan dengan jelas pengutamaan kepada kaum laki-laki. Kebudayaan Jawa menempatkan perempuan sebagai the second sex. Hal ini tercermin dalam istilah Jawa, misalnya swarga nunut neraka katut artinya kebahagiaan atau penderitaan istri tergantung pada suami. Dalam budaya Indonesia, seperti juga di banyak negara dunia ketiga lain, budaya patriarki masih sangat kental. Kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan, asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti itu proses memarginalkan terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan kehilangan otonomi atas dirinya. 123


Nurul Setyorini

Perempuan dan Kejahatan Cyber: Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Perempuan di Media Sosial

Kaum perempuan di Indonesia saat ini hidup dalam kondisi yang menempatkan mereka pada posisi paradoks. Satu sisi gaung dari kesetaraan gender telah membebaskan ruang gerak perempuan. Sisi lain, akar tradisi masih mengikat pola pikir dalam masyarakat yang cenderung mensubordinat posisi perempuan dalam masyarakat. Pandangan tentang subordinasi perempuan mulai dari pandangan perbedaan biologis. Perempuan dilihat dari segi fisiologis dan dari fungsi reproduksinya lebih dekat dengan alam, seperti air, tanah, bercocok tanam, haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sementara itu, laki-laki hidupnya di luar seperti berburu dan menangkap ikan (Murniati, 2004: 256-257). Ada kesan dan anggapan yang berkembang dalam masyarakat bahwa perempuan menduduki posisi subordinat atau menempati kelas kedua setelah laki-laki dalam tatanan suatu masyarakat. Oleh karena itu, perempuan harus siap untuk jadi pelayan bagi laki-laki setiap saat dan tidak berlaku sebaliknya. Perbedaan tersebut dipandang sebagai hal yang alamiah. Itu sebabnya ketimpangan yang melahirkan subordinasi perempuan juga dipandang sebagai hal yang alamiah pula. Oleh karena itu, dalam konteks masyarakat di mana kontrol atau dominasi laki-laki lebih tinggi dibandingkan kaum perempuan, maka ketidakadilan gender akan terus berlangsung. Artinya, patriarki dalam bentuknya yang demikian akan melanggengkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dalam berbagai lini kehidupan. Perempuan dianggap konco wingking yang hanya dibatasi pada empat dinding rumah, yaitu di dapur, sumur, dan kasur. Adapun tugas wanita hanyalah memasak, bersolek, dan melahirkan. Anggapan yang demikian rendahnya terhadap Masyarakat Perempuan Jawa, bahwa belajar ke jenjang perguruan tinggi bagi perempuan bukanlah hal yang penting. Perempuan dianggap tidak perlu sekolah karena perempuan hanya akan kembali menjadi ibu rumah tangga yang mengurusi anak dan urusan domestik (Setiyanto, 2016: 58). Berdasarkan hal tersebut, perempuan menjadi objek yang sering mengalami kekerasan, seperti pelecehan seksual, penganiayaan, intimidasi, pemerkosaan, dan pembunuhan. Berbagai aturan dan peraturan telah dibuat untuk meminimalkan tentang kekerasan terhadap kaum perempuan. Namun, kekerasan perempuan masih banyak terjadi, baik secara fisik maupun psikis. Mahluk tuhan yang berjenis kelamin perempuan bisa dikatakan rentan terhadap kekerasan karena posisinya lemah (sengaja diposisikan Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

lemah) baik secara ekonomi, sosial, dan politik ( Subkhan, 2004:5). Semua kepentingan perempuan berada di bawah dominasi laki-laki, dan perempuan harus mengikuti apa yang diinginkan oleh laki-laki. Jadi, setiap keputusan berada di tangan laki-laki, perempuan sebagai pengikut yang harus mematuhi aturan dari laki-laki. Perempuan dianggap sebagai warga kelas kedua yang eksistensinya tidak dianggap, sehingga perempuan pun mempunyai keterbatasan dalam berperan (Setyorini, 2014:3). Kekerasan terhadap kaum perempuan terekam pada catatan Tahunan 2017 Komnas Perempuan. Komnas Perempuan mendokumentasikan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama 2016. Hasilnya, terdapat 259.150 jumlah kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 Provinsi. Di ranah personal, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati peringkat pertama dengan 5.784 kasus. Disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus. Dalam kekerasan seksual di KDRT, perkosaan menempati posisi tertinggi dengan 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebayak 1.266 kasus. Perkosaan dalam perkawinan juga banyak terjadi dengan 135 kasus. Tidak hanya ranah personal, kekerasan di ranah komunitas juga banyak terjadi dengan 3.092 kasus yang terbagi dalam perkosaan dan pencabulan. Pemberitaan di media pun, kasus kekerasaan terhadap kaum perempuan juga banyak diberitakan. Banyak judul-judul artikel maupun berita tentang kekerasan perempuan banyak yang muncul, seperti berita di sindonews.com muncul judul berita “Mabuk, Nelayan Setubuhi Anak Kandung Sebanyak Lima Kali” pada Kamis, 27 April 2017, Detiknews muncul judul berita “Cinta Tak Direstui, Pria di Palembang Ini Tikam Pacar Hingga Tewas” pada Selasa, 02 Mei 2017. Republika. co.id muncul judul berita “Komnas Perempuan 259.150 Kasus Kekerasan Sepanjang 2016” pada Selasa, 02 Mei 2017, liputan6.com muncul judul berita “Nenek Pengidap Gangguan Jiwa Diperkosa 2 Pemuda di Lapangan Bola” pada 28 April 2017, tempo.com muncul judul “Keterlaluan, Suami Potong Telinga Istrinya Karena Curiga”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hampir setiap hari terjadi kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap kaum perempuan, tidak hanya terjadi pada usia remaja dan dewasa, tetapi usia lanjut pun kerap terjadi. Kekerasan tersebut, macam-macam wujudnya baik pemukulan, 124


Nurul Setyorini

Perempuan dan Kejahatan Cyber: Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Perempuan di Media Sosial

pemerkosaan, dan pembunuhan. Dalam beberapa media, sering memberitakan tentang perempuan sebagai objek lemah sering mengalami penindasan. Media massa juga mempunyai potensi sebagai pemicu munculnya bentuk-bentuk realitas ketimpangan hubungan sosial (social relationships abuse (baca: kekerasan)) dalam kehidupan bermasyarakat. Sosok wanita oleh media massa, baik melalui iklan atau beritanya, selalu dideskripsikan secara negatif dan sangat tipikal, yaitu tempatnya wanita ada di rumah, berperan tunggal sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh. Eksistensi wanita tidak terwakili pula secara proporsional di media massa, entah dalam industri media hiburan atau dalam industri media berita (Wolf dalam Sunarto, 2009: 4). Kejahatan terhadap perempuan masih sering terjadi dalam bentuk yang cukup variatif. Di era cyber ini telah berkembang kekerasan terhadap kaum perempuan dengan memanfaatkan akses teknologi atau kerap dikenal sebagai cyber crime. Kekerasan dalam dunia maya itu beragam mulai dari pembunuhan karakter, prostitusi online, hingga pelecehan seksual. Juju dan Feri (2010: 73) menjelaskan kejahatan selain di dunia nyata ada pula di dunia maya atau disebut cyber crime. Kejahatan jenis ini mengacu pada aktivitas dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat, seperti penipuan lelang, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit, confidence fraud, penipuan identitas, pronografi anak, prostitusi online, dan masih banyak lagi. Catatan akhir tahun Komnas Perempuan pun juga terungkap kejahatan berbasis cyber sebagai salah satu bentuk kekerasan yang sering diterima perempuan sepanjang tahun 2016. Sementara itu, survei yang dilakukan oleh Kaspersky Lab dan B2B International menemukan fakta bahwa perempuan sering mengabaikan keamananya saat berselancar di internet. Dari survey tersebut dipaparkan, hanya 19 % perempuan yang memercayai kalau mereka bisa jadi korban di dunia maya. Sementara itu, satu dari empat pria menyatakan kejahatan cyber mungkin terjadi menimpa mereka dengan persentase sebesar 25 persen. Artinya kaum wanita banyak menjadi target operasi nakal peretas. Selain itu, survei juga menemukan bahwa para wanita ini pada umumnya hanya sedikit mengetahui tentang ancaman cyber, bila dibandingkan pria. Dengan demikian, 27 persen pria dan 38 persen wanita tidak menyadari ransomware, 23 persen pria dan 34 persen wanita sedikit mengetahui tentang malware ponsel, dan 21 persen pria dan 34 persen wanita memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai apa itu eksploitasi. Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Negara Indonesia, banyak pemerkosaan yang terjadi akibat cyber. Di Bangladesh sendiri ada sekitar 73 persen perempuan pengguna internet menjadi objek cyber-bulying atau bentuk lain dari kejahatan cyber. Di Malaysia kejahatan cyber dikenal dengan istilah asmara cyber dengan target perempuan. Begitu pula, di Singapura banyak kejahatan cyber dengan target perempuan jomblo dengan menjadi pacar palsunya. Kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan sangat rentan dalam penyalahgunaan teknologi. Perempuan masih belum menyadari akan ancaman dari kejahatan cyber. Perempuan banyak yang memamerkan kejahatan, kekayaan baik melalui penyebaran foto dan video di beberapa media sosial. Hal inilah, yang memicu kejahatan cyber yang mereka alami. Penelitian ini memiliki tiga tujuan, antara lain: (1) mendeskripsikan bentuk bentuk kejahatan cyber terhadap perempuan dalam pemberitaan perempuan di media sosial, (2) mendeskripsikan discourse practice dalam pemberitaan perempuan di media sosial, dan (3) dan mendeskripsikan sociocultural practice pemberitaan perempuan di media sosial. 2. Telaah Pustaka

Telaah teoretis mengenai analisis wacana dan contoh teks ditulis Windianingsih yang berjudul “Marginalisasi Perempuan dalam Pemberitaan Harian Jawa Pos Tentang Pekerja Migran Perempuan (Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough pada Pemberitaan Harian Jawa Pos tentang Pekerja Migran Perempuan Indonesia 2009)�. Hasil penelitianya ada tiga, antara lain: (1) pemberitaan Jawa Pos tentang PMPI di dominasi berita yang memarginalkan perempuan dengan penggunaan kata dihajar, janda, dan penggunaan kalimat yang menunjukkan PMPI pasif menerima siksaan dari majikan, (2) sistem produksi berita di harian Jawa Pos di lingkungan kerja didominasi laki-laki, dan (3) budaya patriarki masih cukup kental di masyarakat Jawa Timur. Wacana yang akan dianalisis adalah berbicara masalah kejahatan cyber tidak lepas dari permasalahan keamanan jaringan komputer atau keamanan internet dalam era global ini., apalagi jika dikaitkan dengan persoalan informasi sebagai komoditi. Informasi sebagai komoditi memerlukan keandalan pelayanan agar apa yang disajikan tidak mengecewakan pelanggannya. Menurut kepolisisan Inggris, kejahatan cyber adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal/atau kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital (Wahid dan Muhammad, 2005 :40). 125


Nurul Setyorini

Perempuan dan Kejahatan Cyber: Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Perempuan di Media Sosial

Kejahatan cyber terhadap perempuan menjadi topik baru dalam kajian Analisis Wacana Kritis dengan topik gender. Analisis wacana adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam komunikasi (Darma, 2009:15). Stubbs (dalam Darma, 2009:15) mengatakan bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik lisan maupun tulis, misalnya pemakaian bahasa komunikasi sehari-hari. Analisis wacana menekankan pada penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya penggunaan bahasa antar penutur. Analisis wacana kritis (AWK) mempelajari tentang dominasi serta praktik ketidakadilan dan dioperasikan melalui wacana. Fairclough mengemukakan bahwa AWK melihat wacana sebagai bentuk dan praktik sosial (dalam Darma, 2009:56). Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial meyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana menampilkan ideologi. Fairclough menghasilkan kerangka tiga dimensional dalam memahami dan menghasilkan wacana, yaitu dimensi wacana sebagai teks, wacana sebagai praktik diskursif, dan wacana sebagai praktik sosial (Yuwono, 2008:2). Fairclough menyatakan bahwa critical discourse anaylsis (CDA) memperlihatkan keterpaduan (a) analisis teks, (b) analisis proses produksi, konsumsi, dan distribusi teks, dan (c) analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana itu (Hamid, 2004: :35). Ideologi yang nampak pada suatu wacana cyber adalah ideologi gender. Sesungguhnya istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh Ann Oakley dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum. (Mosse, 2002: 23). Menurut Fakih (2012:12), ketidakadilan gender merupakan sistem atau struktur baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. 3. Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah model tiga dimensi Fairclough yang digambarkan sebagai berikut (Fairclugh dalam Arwanto, 2015: 98-99).

Keterangan: (1) Deskripsi (analisis teks) merupakan analisis bentuk dan isi teks. Analisis tersebut adalah analisis fonologi, grammar, kosakata, semantik, juga aspek suprasentential organisasi tekstual, seperti kohesi, pengambilan giliran dalam bercakap-cakap. (2) Interpretasi (praktik wacana) merupakan hubungan antara teks dan praktik sosial. Praktik wacana berkaitan dengan aspek kognitif sosial produksi dan interpretasi teks. (3) Eksplanasi (praktik sosial) berhubungan dengan berbagai tataran organisasi sosial yang berbeda-beda: situasi, konteks institusional, konteks sosial atau kelompok yang lebih luas; dalam hal ini, permasalahan kekuasaan menjadi tema pokok. 4. Diskusi Bentuk bentuk Kejahatan Cyber Terhadap Perempuan dalam Media Sosial Tahap awal dilakukan dengan menganalisis teks secara linguistik dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat. Analisis pada bagian ini digunakan untuk mengetahui seperti apa bentuk-bentuk kejahatan cyber terhadap perempuan yang ada dalam media sosial. Representasi kekerasan cyber terhadap perempuan ditunjukkan atas beberapa bentuk kejahatan cyber, seperti apa hubungan partisipan dalam media ditampilkan, serta bagaimana teks dalam media sosial tersebut menampilkan identitas penutur dan petutur terkait masalah kejahatan cyber yang menjadi bahasan dalam penelitian ini. Kasus pertama dalam kekerasan cyber adalah komentar kasar. Melalui media sosial baik facebook, instagram, dan youtube banyak pemberitaan perempuan yang mendapat komentar kasar. Dalam media sosial facebook peneliti menemukan beberapa kasus kejahatan cyber berupa komentar kasar dalam pemberitaan perempuan. Dalam akun Berita Kriminal yang memberitakan tentang “Foto Gadis Ini Viral di Facebook, Bikin Ngakak Saat Tahu Sebabnya” terdapat beberapa komentar kasar seperti : sukurin, kuapokmu kapan, dan malika si kedelai hitam. Dalam akun Info Indonesia yang memberitakan tentang “Menteri Puan Minta Orang Miskin Diet dan Tak Banyak Makan” terdapat beberapa komentar kasar seperti: wong goblog iso dadi menteri...kinerja nyata selama menjabat jadi menteri itu apa?, wong edan, jadi menteri otak ditaruh di dengkul ya ambruladul tatanan negeri Indonesia. Dalam media sosial instagram peneliti juga menemukan komentar kasar dalam pemberitaan perempuan. Dalam akun Liputan6 yang memberitakan tentang “Sejumlah Wanita Ikut

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

126


Nurul Setyorini

Perempuan dan Kejahatan Cyber: Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Perempuan di Media Sosial

Aksi Bela Islam 55” terdapat komentar kasar seperti: pikiran sumbu pendek mulai bikin gaduh lagi. Dalam akun Beritapolitik yang memberitakan tentang “Dinilai Lecehkan Jokowi dan Budaya Maluku, Perempuan ini Panen Hujatan Netizen” terdapat beberapa komentar kasar seperti : nggak ada otaknya itu suruh tinggal di planet name aja dia, ben kapok, bajingan, dan ayu-ayu pekok. Dalam Obrolan Politik yang memberitakan tentang Aduh! Wanita ini masukkan singkong berbalut kondom ke anunya” terdapat komentar kasar seperti: edan, gila, begoknya nggak nanggung, orang edan, sange tingkat dewa,idiot, dah nggak waras kaliye, dan geblek. Dalam Kompas TV yang memberitakan tentang "Perempuan dan Tato” terdapat beberapa komentar kasar seperti: laknat, dan amit-amit. Dalam akun youtube ditemukan pula beberapa komentar kasar terhadap berita perempuan. Dalam berita “Ahok Kalah Megawati Sedih Anies Sandi Menang” terdapat beberapa komentar kasar yang mengarah kepada Megawati seperti: bentar lagi si nenek Stroke jantung modyar, Nenek banteng mati saja kau iblis, dan mampus lo PDIP mak benteng mewek bae. Dalam berita “Hamil 8 Bulan, Remaja Nekat Aborsi” terdapat beberapa komentar kasar seperti bego. Dalam berita “Bidan dan Perawat Tertidur, Ibu Melahirkan Kehilangan Bayi” terdapat komentar kasar seperti: bidan gemblong kerjanya pada jelong-jelong dan selfi, ini lagi pekok lah, dan docter lonte bingit. Dalam berita “Hendak Ditilang Perempuan Pengemudi Ini Ngamuk dan Cakar Polisi” terdapat beberapa komentar kasar seperti: tu emak-emak ngomong ke polisinya nggak punya otak dan tolol. Komentar kasar yang nampak pada pemberitaan perempuan pada akun media sosial, hal tersebut dipicu oleh beberapa faktor antara lain: argumen yang membuat berita, kesalahan tokoh yang diberitakan, maupun ketidaksukaan para komentator. Kasus kedua dalam kejahatan cyber adalah komentar pelecehan seksual. Komentar pelecehan yang nampak pada berita di media sosial ini, rata-rata lebih ke arah ungkapanungkapan yang menggoda, dan ungkapan menyerang ke arah seksual. Dalam akun facebook nampak pelecehan seksual yang ditulis dalam komentar pembaca akan sebuah pemberitaan. Melalui Berita Kriminal yang memberitakan tentang “Ramai Soal Polisi Gendong Biduan Sambil Joget. Akhirnya seperti ini” nampak beberapa komentar nakal yang diarahkan kepada hal seksual seperti: waduh tuh serabinya nempel deh, positif thinking aja mungkin pak polisinya sedang membantu seorang biduan yang gatel banget, udah kebelet ya pak jangan digendong aja yang lain juga dong, dan aku juga mau. Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Melalui Berita Kriminal yang memberitakan tentang “Bahayanya Tren Operasi Bibir Krachap, Namun Banyak Wanita Rela Bayar Belasan Juta” nampak beberapa komentar nakal yang diarahkan kepada hal seksual seperti: cocok buat nyepong tuh, pasti rasa coklat tuh bibir, cuma buat nyepong aja tuh, dan uch kecup. Melalui akun instagram juga ditemukan pelecehan seksual yang ditulis dalam komentar pembaca. Melalui Tribun Timur Dot Com yang memberitakan “Seorang siwa menulis pada Baju Siswi Tepat di Dada Tepat Saat Perayaan siswa SMA dan SMK di Semarang Jawa Tengah” nampak komentar nakal yang diarahkan kepada hal seksual seperti geli bang. Kasus ketiga adalah stigma perempuan. Stigma perempuan adalah adalah label yang diberikan kepada perempuan. Dalam masyarakat, perempuan banyak mendapatkan stigma negatif sehingga perempuan direndahkan derajatnya. Melalui pemberitaan di media sosial, stigma terhadap perempuan banyak diungkapkan oleh penulis berita dalam suatu argumen. Dalam pemberitaan di Instagram dalam akun Berita Kriminal banyak digunakan argumen yang menyebutkan bahwa perempuan itu cantik. Dalam pemberitaan “Meninggal Tragis Akibat Kecelakaan, Natasya Sempat Berkomentar Aneh di Media Sosial” terdapat argumen kata cantik, yaitu kecelakaan maut telah merengut presenter televisi cantik. Dalam pemberitaan “Polwan Cantik yang Pernah Heboh Dianiaya Perwira ini Kini Kabarnya Mengkhawatirkan” terdapat argumen kata cantik, yaitu polwan yang sempat menghebohkan dunia maya karena wajah cantiknya itu kini kabarnya mengkhawatirkan. Dalam pemberitaan “Dibilang Murahan dan Jual Diri, Artis ini Membalasnya dengan Katakata yang Menohok”, terdapat argumen kata cantik, yaitu salah satunya adalah artis cantik Melica Grace. Selain stigma cantik, perempuan sering mendapat stigma sering menjadi korban pemerkosaan dan hamil. Melalui pemberitaan pada situs facebook terdapat kata-kata rudapaksa (baca: perkosa) sebagai istilah lain pemerkosaan. Dalam pemberitaan “Miris, TKI Pulang dalam Keadaan Hamil besar dan Meminta Maaf pada Orang Tuanya”, terdapat argumen rudapaksa, yaitu pada kalimat bukan karena ia tak membawa uang banyak sepulang kerja di Oman, namun karena ia tengah mengandung akibat rudapaksa yang dilakukan oleh majikan. Dalam pemberitaan “Miris Banget, Ito Tega Merudapaksa Nenek Stroke Hingga Pingsan”, terdapat argumen rudapaksa pada kalimat miris banget, Ito tega merudapaksa nenek stroke hingga pingsan. Dalam pemberitaan “Korban 127


Nurul Setyorini

Perempuan dan Kejahatan Cyber: Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Perempuan di Media Sosial

Rudapaksa Melawan Pelaku, Sakit Om Dinda Masih Kecil” terdapat argumen rudapaksa, yaitu pada kalimat ia melakukan rudapaksa pada APP seorang bocah perempuan berusia 12 tahun. Kasus keempat adalah pemarginalan perempuan. Ideologi yang ada dalam masyarakat tentang perempuan adalah bahwa perempuan mahluk yang lemah sehingga perempuan itu pantasnya ada di rumah. Dengan demikian, banyak kasus perempuan yang dibatasi eksistensinya di ranah publik. Dalam akun instagram peneliti menemukan pemarginalan dalam pemberitaan perempuan. Dalam akun Liputan6 yang memberitakan tentang “Sejumlah Wanita Ikut Aksi Bela Islam 55” terdapat komentar yang memarginalkan perempuan seperti: Aneh-aneh aja mbok di rumah masak ngurus anak-anak. Kasus keenam adalah penyebaran kebencian terhadap kaum perempuan. Melalui akun media sosial banyak ditemukan kasus penyebaran kebencian atau dikenal dengan istilah bullying. Penyebaran kebencian itu, diakibatkan karena adanya ketidaksukaan terhadap perilaku, ketidaksukaan terhadap gerak gerik perilaku, dan kebencian terhadap isu yang mengantarkan perilaku. Dalam Berita Kriminal pada situs instagram yang memberitakan tentang “Tragis, Artis Sheila Marcia Tabrakan, Mobil Terbalik, Kepala Berdarah Masuk ICU”, terdapat beberapa komentar yang menunjukkan adanya penyebaran kebencian, antara lain: pelot-pelot aja sana, kapok, mungkin keberatan tato, dan mabuk sabu-sabu tuh. Dalam Berita Kriminal yang memberitakan “Foto Gadis Inoi, Viral di Facebook, Bikin Ngakak Saat tahu Facebook”, terdapat beberapa komentar yang menunjukkan adanya penyebaran kebencian, antara lain: sakitnya 1%, malunya itu 99%, cantik kali muka cewek ini jadinya seperti artis korengan, maklampir dadakan, salahe dewe, sumpah ngakak kali aku bah, sokoriiin, cumi-cumi, kapokmu kapan, haha koplak, dan pas kali kaya dukocan. Dalam berita “Bahayanya Tren Operasi Bibir Krachap, namun Banyak Wanita yang Rela Bayar Belasan Juta”, terdapat beberapa komentar yang menunjukkan adanya penyebaran kebencian, antara lain: cocok buat nyepong tu, pakai sengat tabuan lagi cepat, hiii ngeri, gilani, dan apa bagusnya jelek lagi. Discourse Practice dalam Media Sosial Sistim media berita online di lingkungan kerja di dominasi laki-laki. Media berita online melihat perempuan sebagai masyarakat paling banyak menggunakan media sosial. Melalui situs apa pun perempuan banyak diberitakan, baik karir, pendidikan, politik, dan kriminalitas. Media sosial Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

menjadikan perempuan sebagai dieksploitasi dalam pemberitaan.

objek

yang

dapat

Media sosial, pada saat ini bukan suatu konsumsi bagi masyarakat menengah ke atas, tetapi semua kalangan dapat menikmatinya. Dengan demikian, pemberitaan melalui media sosial kerap dijadikan media efektif dalam menyampaikan berita. Social Practice dalam Media Sosial Sosial praktik terjadi karena adanya ruang dan waktu. Suatu hasil perumusan habitus, modal dan ranah yang menghasilkan suatu praktik sosial. Pemberitaan media sosial menunjukkan adanya prespektif bahwa perempuan adalah objek menarik untuk dieksploitasi. Dengan demikian, masyarakat yang patrial ini diimplementasikan dalam wujud berita online sehingga argumen pembaca mengarahkan pada kasus-kasus perempuan. Isu perempuan dalam berita online, juga mengajak para pembaca untuk memberi komentar yang berfungsi untuk meningkatkan arus pemberitaan tersebut. 5. Konkluksi Analisis wacana kritis dalam media sosial dengan pendekatan Faulcoult terdiri dari tiga bahasan, yaitu (1) kekerasan cyber dalam media sosial, (2) praktik wacana, dan (3) praktik sosial. (1) Kekerasan cyber dalam media sosial berupa komentar kasar, komentar seks, argumen yang memberikan stigma tentang perempuan, marginalisasi perempuan dan penyebaran kebencian. (2) Praktik wacana menyoal tentang media berita online melihat perempuan sebagai masyarakat paling banyak menggunakan media sosial. Selanjutnya, media sosial, pada saat ini bukan suatu konsumsi bagi masyarakat menengah ke atas, tetapi semua kalangan dapat menikmatinya. (3) Sosial praktik menyoal kehidupan masyarakat yang mempunyai perspektif bahwa perempuan adalah objek menarik untuk dieksploitasi. Dengan demikian, masyarakat yang patrial ini diimplementasikan dalam wujud berita online sehingga argumen pembaca mengarahkan pada kasuskasus perempuan. Mengingat kekerasan cyber banyak dihadapi oleh perempuan di media sosial. Maka sebaiknya sebagai pengguna cyber harus berhati-hati dalam posting status, foto, dan video sehingga sebagai pengguna media sosial tidak mengalami kekerasan, baik berupa komentar kasar, seksual, bullying, dan lain-lain.

128


Nurul Setyorini

Perempuan dan Kejahatan Cyber: Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Perempuan di Media Sosial

Referensi [1] [2]

Arwanto, Joko. 2015. “Ideologi dalam Teks Facebook : Kajian Analisis Wacana Kritis.”. Tarbawiyah, 12(1), 81-95. Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.

[3]

Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[4]

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa. Jakarta : Granit.

[5]

Juju, Dominikus dan Feri Sulianta. 2010. Hitam Putih Facebook. Jakarta: PT Elex MediaKomputindo.

[6]

Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender. Magelang: Yayasan Indonesia Tea.

[7]

Mosse, 2002, Gender dan PembangunanPustaka Pelajar, Yogyakarta.

[8]

Resen, Putu Titah Kwartidan Ikma Citra Ranteallo. 2012. “Dowry Murder: Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan Di India.”Sosiologi Reflektif, 7(1), 21-34

[9]

Setiyanto, Danu Aris. 2016. Desain Wanita Karier Menggapai Keluarga Sakinah. Yogyakarta: Depublis Publisher.

[10]

Subkhan, Zaitunah. 2004. kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

[11]

Sunarto. (009. Televisi, Kekerasan & Perempuan (Cetakan Pertama). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

[12]

Setyorini, 2014. "Kajian Gender dan Nilai Pendidikan Karakter Novel Geni Jora dan Mata Raisa Karya Abidah ElKhaileqy". Tesis tidak Diterbitkan. UNS.

[13]

Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. 2005. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Jakarta: PT. Rafika Aditama.

[14]

Windianingsih. 2012. “Marginalisasi Perempuan dalam Pemberitaan Harian Jawa Pos Tentang Pekeraja Migran Perempuan (Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough pada Pemberitaan Harian Jawa Pos tentang Pekerja Migran Perempuan Indonesia 2009)”. Acta Diurn A., 8 (1), 31-38.

[15]

Yuwono, Untung. 2008. “Ketika Perempuan Lantang Menentang Poligami (Sebagai Analisis Wacana Kritis Tentang Wacana Antipoligami”. Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya,2008,1-29.

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

129


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

Michael Sega Gumelar 53 Menyoal Hendar Putranto

Risiko dan Kontingensi Pengetahuan dalam Masyarakat Pengetahuan Kontemporer

VOLUME II NOMOR 2 JULI 2017

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

iv


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.