an1mage jurnal studi kultural vol 1 no 1 2016

Page 1

www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

i


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

ISSN: 2477-3492

An1mage Direktur: Michael Sega Gumelar Public Relation: Archana Universa Designer: Axtro Galaksi Content Editor: Cosmica Text Editor: Gabriel Mega Utama

VOLUME I NOMOR 1 JANUARI 2016 Redaktur Internasional: Rodney Westerlaken Redaktur: Naniek Kohdrata I Made Marthana Yusa I Made Artayasa Ni Nyoman Rahmawati Ni Luh Putu Suastini Mutria Farhaeni Reviewer: Derrick Walton Tarn Christine S. Richards Naskah laporan penelitian dan korespondensi silakan kirim ke: an1mage@an1mage.org

Tim Komunitas Studi Kultural Indonesia Ketua: Saortua Marbun Sekretaris: Ni Made Emmi Nutrisia Dewi Bendahara: Sri Martini Ni Luh Putu Suastini Tim Konferensi: I Made Gede Anadhi Mangihut Siregar I Nyoman Jayanegara B. Parmadie I Wayan Gede Wisnu I Nyoman Anom Fajaraditya I Wayan Juliatmika Niron Benediktus Dewan Redaksi Jurnal Studi Kultural Redaktur Pelaksana : M.S. Gumelar

Tatacara dan panduan naskah tersedia di: https://drive.google.com/file/d/0B3l84AXZlhgSNnYyT0dDYXl OM2s/view?usp=sharing CopyrightŠ2015 by an1mage and the authors. All rights reserved. An1mage holds the exclusive copyright of all the contents of this journal. In accordance with the national & international convention, no part of this journal may be reproduced or transmitted by any media or publishing organs (including various websites) without the written permission of the copyright holder. Otherwise, any conduct would be considered as the violation of the copyright. The contents of this journal are available for any citation. However, all the citations should be clearly indicated with the title of this journal, serial number and the name of the author. Pemesanan versi print, silakan kirim pre-order ke: an1mage @an1mage.org atau sms ke: 08888988005

an1mage enlightening crowdsourcing www.an1mage.org an1mage@an1mage.org

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

ii


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

ISSN: 2477-3492

VOLUME I NOMOR 1 JANUARI 2016 Editorial An1mage Jurnal Studi Kultural ini bertujuan untuk memberikan ruang dan kesempatan bagi peneliti untuk mengkritisi, berfikir kritis (critical thinking) guna mendekonstruksi segala hal yang merugikan bagi kehidupan masyarakat secara umum dan khusus, serta merekontruksinya menjadi lebih baik lagi diberbagai bidang secara berkelanjutan. Sasaran An1mage Jurnal Studi Kultural ini adalah hal-hal yang bersifat dominasi, hegemoni, mitos dan konstruksi negatif oleh suatu entitas dalam bentuk pemerintahan, masyarakat, komunitas dan berbagai lembaga dan atau individu yang merugikan entitas lainnya dalam jumlah sedikit atau banyak yang akhirnya menjadikan entitas lainnya termarjinalkan dan dirugikan dalam berbagai bentuk. Dengan semangat tersebut itulah maka An1mage Jurnal Studi Kultural menjadi barometer dari temuan-temuan budaya dan kebudayaan yang ternyata kita tidak sadar bahwa temuan dari para peneliti itu ternyata merugikan entitas lainnya. Syarat untuk laporan penelitiannya masuk di An1mage Jurnal Studi Kultural sangat mudah, kirimkan dalam format yang Anda ketahui terlebih dulu ke: an1mage@an1mage.org Kemudian kami akan memberikan inputan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dan struktur format versi An1mage Jurnal Studi Kultural, serta kami juga akan memberikan template agar desain dan tampilannya seragam. Pastikan tidak melebihi tujuh lembar halaman sesuai ukuran template tersebut. Kami tunggu karya hebat Anda untuk membangun dunia yang lebih baik.

M.S. Gumelar Redaktur Pelaksana

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

iii


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

ISSN: 2477-3492

VOLUME I NOMOR 1 JANUARI 2016

Daftar Isi 1

Imagologi Mbok Jamu Sebagai Representasi Wanita Etnis Jawa Tradisional dalam Diskursus Stereotype Citra I Made Marthana Yusa

7

Dekontruksi Pemikiran Mistis Fritjof Capra dalam Buku “Titik Balik Peradaban� Michael Sega Gumelar

12

Reduksi Peran Institusi Pendidikan Universitas Udayana Fakultas Sastra dan Budaya Program Studi Sastra Inggris sebagai Perpanjangan Tangan Kaum Kapitalis Lidwina Hana

16

Jilbab(isasi) dengan Kekuasaan sebagai Wacana Multikulturalisme di Kota Bukittinggi Sumatera Barat)

yang

Diperebutkan

(Suatu

Kajian

Mangihut Siregar 20

Komodifikasi Buah Mangrove untuk Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung Bali Mutria Farhaeni

26

Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan, I Nyoman Jayanegara

33

Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders for Cultural Heritage Management at a Prehistoric Site in North Bali Rodney Westerlaken

44

Komodifikasi Arsitektur Bade di Kota Denpasar I Made Gede Anadhi

48

Cultural Studies: Sudut Pandang Ruang Budaya Pop B. Parmadie

55

Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender (Kajian Budaya, Tradisi, dan Agama Hindu) Ni Nyoman Rahmawati

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

iv


Imagologi Mbok Jamu Sebagai Representasi Wanita Etnis Jawa Tradisional… .

I Made Marthana Yusa

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I Nomor 1: 1–6

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Imagologi Mbok Jamu Sebagai Representasi Wanita Etnis Jawa Tradisional dalam Diskursus Stereotype Citra I Made Marthana Yusa* STMIK STIKOM Indonesia

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel: Dikirim 13 Oktober 2015 Direvisi 15 Oktober 2015 Diterima 19 Oktober 2015 Kata Kunci: Mbok

Makalah ini mengungkap imagologi yang terjadi pada sosok karakter mbok jamu yang lekat dengan sosio-kultur Masyarakat Jawa. Penyampaian makalah diawali dengan mengungkap fenomena-fenomena menarik pada pendahuluan, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan mengenai Imagologi. Pembahasan mengenai 'Wanita Jawa dalam Balutan Citra mbok jamu' menjadi pembahasan yang memiliki porsi khusus. Setelah itu diungkap juga stereotip jamu sebagai indeks tradisional dan kuno, Mbok jamu dalam budaya populer hingga komodifikasi imagologi mbok jamu dalam produk desain.

Jamu Imagologi Komodifikasi Stereotype

© 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Eksistensi mbok jamu dan dinamikanya menarik untuk dikaji, baik dalam diskusi sosial atau budaya, maupun dalam berbagai bingkai diskursus. Dalam tulisan ini mbok jamu diungkap dalam diskursus stereotype citra. Banyak jargon yang menempatkan citra mbok jamu baik dalam citra visual maupun imaji abstrak dalam representasi stereotype positif, maupun stereotype negatif. Jargon seperti "Katanya orang-orang sih, kalau penjual jamu itu, jika ingin mengetahui status janda atau bukan, bisa dilihat dari jumlah botol jamu yang digendongnya. Kalau genap, itu tandanya dia sudah bersuami, kalau ganjil itu tandanya dia janda." Jargon seperti itu menempatkan sosok mbok jamu sebagai objek fantasi seksual pria (citra 1). Menebak status pernikahan si mbok jamu bisa berarti melihat kesempatan untuk menjalin hubungan asmara dengan si mbok jamu. Citra negatif mbok jamu yang menjajakan lebih dari sekedar jamu juga beredar di masyarakat. Banyak sekali cerpen vulgar yang ditulis pada blogs yang beredar di internet ketika kita ketik kata kunci 'cerpen mbok jamu' pada mesin pencari Google. Banyak juga yang mengibaratkan mbok jamu ini sebagai simbol pahlawan karena melestarikan jamu sebagai warisan herbal nusantara.

∗ Peneliti koresponden: Kampus STMIK STIKOM Indonesia (STIKI Indonesia), Jl. Tukad Pakerisan Nomor 97 Denpasar, Bali 80225. Mobile: +628157100816 | E-mail: made.marthana@gmail.com. | Website : angelmarthy.com | angelmarthy.deviantart.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Citra 1. Mbok Jamu sebagai simbol fantasi seksual kaum lelaki © Aries Hariyanto. Sumber : http://www.fotoblur.com/images/468944

Salah satu artikel yang mendukung adalah tulisan tentang Nyonya Meneer, pelopor industri jamu―atau yang kemudian dimaknai sebagai produk herbal―sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di Ensiklopedi Tokoh Indonesia (tokohindonesia.com) [1]. 1


I Made Marthana Yusa

Selain itu, sistem tanda yang membentuk tampilan mbok jamu dengan bakul gendong dan kebaya Tradisional Jawa-nya merepresentasikan mbok jamu sebagai agen budaya dan Tradisi Jawa. Namun tidak sedikit juga yang membangun konotasi mbok jamu sebagai simbol pembangkit gairah seksual (contoh gambar 1). Hal tersebut disebabkan karena banyak produk jamu yang dijual diperuntukkan untuk meningkatkan kemampuan seksual pria, atau memperbaiki mutu sensualitas alat reproduksi wanita (salah satu contoh produknya : Galian Rapet).

Imagologi Mbok Jamu Sebagai Representasi Wanita Etnis Jawa Tradisional‌ .

mencapai 3,49 saat diwisuda. Sutri memutuskan mengisi waktu luangnya dengan membantu ibunya berjualan jamu. Ibu Sutriyani, Tukilah, sudah 10 tahun berjualan jamu. Namun karena usia, belakangan ia sering merasa kelelahan bila harus bersepeda jauh untuk menjajakan jamu buatannya. "Dari zaman sekolah, Sutri yang bantu bikin jamu, kadang kulakan juga," timpal sang ibu di kesempatan yang sama [3].

Kata 'mbok' pada mbok jamu, bisa merepresentasikan Etnis Jawa, karena kata 'mbok' ini berasal dari Bahasa Daerah Jawa sebagai sebutan untuk Wanita Dewasa Jawa. Menilik kesejarahan jamu pun, walau berasal dari Negeri China, namun sangat identik dengan Budaya Jawa. Ternyata profesi mbok jamu ini tidak hanya digeluti oleh wanita paruh baya. Banyak juga wanita dewasa muda yang berprofesi sebagai mbok jamu dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Salah satu yang menarik adalah yang diungkap Uyung Pramudiarja pada artikelnya yang berjudul 'Kalau Mbok Jamunya Secantik Ini, Yakin Masih Tak Suka Minum Jamu?' di detikHealth [2]. Uyung menampilkan wujud mbok jamu dalam karakter Wanita Muslimah Jawa bernama Citra Wahidahtul Janah (Citra 2). Selain berjualan jamu gendong, perempuan berusia 21 tahun ini juga tercatat sebagai mahasiswi semester 5 jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo. Tak terlalu mengherankan jika ia bercita-cita ingin menjadi seorang pengajar. Citra mengaku tidak setiap hari berkeliling menjajakan jamu gendong. Untuk berjualan, penggemar jamu kunyit asam seduhan jamu pegal linu ini hanya memanfaatkan waktu luang saat tidak ada jadwal kuliah.

Citra 3. Sutri saat menjajakan jamunya (Foto : Lila/detikHealth) Sumber : http://health.detik.com/read/2015/04/10/103023/2883430/763/tak-sembaranganmbok-jamu-yang-satu-ini-seorang-sarjana-lho

Makna konotasi 'mbok' pada mbok jamu ini kemudian mengalami dinamika yang menarik. Kecenderungan citra mbok jamu sebagai Wanita Jawa yang penuh dengan kesahajaan lambat laun bertransformasi menjadi wanita mandiri, tangguh, stereotype Wanita Jawa dan representasi kaum feminis. 2. Metode Pendekatan pengumpulan data yang digunakan pada riset ini adalah pendekatan fenomenologi, dengan melihat gelaja-gejala dan fenomena sosok mbok jamu yang ada di lapangan. Pengumpulan data fenomena mbok jamu disempurnakan dengan studi pustaka pada artikel-artikel yang ditulis pada jurnal ilmiah cetak maupun digital. Fenomena tentang mbok Jamu juga dibaca dan dipelajari dari berita-berita di internet, dan isu-isu yang beredar di media sosial. Kemudian tanda-tanda budaya dilihat dari tanda visual dan maknamakna yang terkandung, kemudian dianalisa dengan semiotika Charles Sanders Peirce. Tanda-tanda budaya kemudian diungkap secara deskriptif, lalu dibahas dengan gaya pemikiran kritis model cultural studies.

Citra 2. Citra Wahidahtul Janah (Foto:detikNews) Sumber : http://health.detik.com/read/2015/01/07/195824/2796942/775/kalau-mbok-jamunyasecantik-ini-yakin-masih-tak-suka-minum-jamu

Lain lagi cerita Wanita Jawa lainnya bernama Sutriyani, gadis asal Dusun Samen RT 01 Sumbermulyo Bambanglipuro Bantul (Citra 3). Sekilas tak ada yang istimewa dengannya, namun ternyata dia bukanlah sembarang penjual jamu. Sebab penjual jamu yang satu ini mengantongi ijazah sarjana. Gadis yang akrab disapa Sutri itu adalah lulusan FKIP, Jurusan Pendidikan Fisika, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta. Bahkan ia berhasil menyelesaikan kuliahnya hanya dalam kurun 3,5 tahun dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

3. Imagologi Dewasa ini, dikenal istilah imagologi untuk mengungkapkan fase dan tindak lanjut atas usaha untuk memperkenalkan atau membangun pencitraan. Imagologi (imago berarti imaji atau citra dan logos berarti ilmu atau kebenaran) adalah istilah sentral yang digunakan untuk menjelaskan ilmu tentang citra atau imaji di dalam masyarakat informasi serta peran sentral teknologi informasi dalam membentuk citra tersebut. Dari perkembangan teknologi pencitraan mutakhir, imagologi terus bergaung sebagaimana keinginan agar sampai pada hasrat yang dituju, seperti radio, televisi, video, internet, surveillance, satelit, dan realitas virtual yang menciptakan suatu dunia yang di dalamnya aspek kehidupan setiap orang sangat bergantung pada dunia citraan. Penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan 2


I Made Marthana Yusa

imaji tentang realitas yang pada titik tertentu dianggap merupakan realitas itu sendiri merupakan sasaran dari imagologi. Padahal, semuanya tak lebih dari sebuah fatamorgana dan fantasmagoria [4] 4. Wanita Jawa dalam Balutan Citra Mbok Jamu Pelopor jamu, Nyonya Meneer, kelahiran Sidoarjo tahun 1895 terlahir sebagai Lauw Ping Nio. Seperti Warga China pada saat itu, ke-Jawa-annya sangat kental, menutupi Etnisitas Cina-nya. Tampilan portrait-nya sebagai merk dagang Produk Jamu Nyonya Meneer terlihat "sangat Jawa." Pada portrait itu (Citra 4) terlihat Nyonya Meneer menggunakan sanggul dan Kebaya Khas Jawa (sesungguhnya Kebaya Jawa ini pada awalnya berasal dari China).

Imagologi Mbok Jamu Sebagai Representasi Wanita Etnis Jawa Tradisional‌ .

Tidak sekali-dua bisa disimak bersama via media massa (cetak maupun elektronik) ada wanita sebagai bandar judi, pengedar narkoba, penjaja seks komersial (PSK), bahkan sekaligus menjadi germonya, bintang film porno yang mengundang prokontra secara meluas di dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan tulisan ini, ditemukan ada mbok jamu yang menjajakan seks juga. Penjaja seks berbalut seragam mbok jamu. Disadari bersama bahwa berkat sifat-sifat, keyakinan, dan semangatnya, Sosok Kartini telah ditampilkan sebagai potret wanita ideal yang patut dicontoh, baik sifat maupun perilakunya. Apalagi ia kini telah diangkat sebagai pahlawan nasional. Selain itu, Kartini menggambarkan Sosok Wanita Jawa yang telah menampilkan dirinya sebagai wanita yang berkepribadian agung (a woman with a great personality). Lagi-lagi, ini seolah menjungkirbalikkan anggapan selama ini bahwa di kalangan Masyarakat Jawa pada umumnya, wanita (anak perempuan) adalah satru mungguh ing cangklakan, musuh dalam selimut. Kartini membuktikan bahwa ia tidak pernah merugikan keluarganya, tetapi justru tampil bak seorang pahlawan bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Citra 4. Portret Nyonya Meneer pada merk dagang produk Jamu-nya sumber : http://mungkopas.blogspot.co.id/2012/12/nyonya-meneer-pengusaha-jamu-jawa.html

Dewasa ini, kalau diamati tentang sepak terjang Wanita Jawa sungguh tidak mudah untuk mencapai pengertian yang bulat mengenai bagaimana sebenarnya pribadi Wanita Jawa pada masa kini. Mengapa demikian? Adalah suatu kenyataan bahwa sejak tahun 70-an, Wanita Jawa telah menampilkan dirinya dengan berbagai cara. Dalam mengisi berbagai kegiatan di arena sosial, mereka menunjukkan berbagai sifat dan sikap terhadap problematik yang dihadapi, di antaranya peran sebagai ibu, isteri, wanita karir mbok jamu termasuk dalam kategori ini, dan sebagai warga masyarakat. Tidak jarang, berbagai kegiatan yang dilakukan wanita mengundang komentar dari banyak pihak: “Kartini tentu sangat bangga bila ia melihat apa yang telah dicapai oleh Wanita Indonesia pada masa kini�. Tentu tidak menutup mata realita yang ada menunjukkan betapa hebatnya prestasi yang berhasil diraih dan diukir oleh para wanita di negeri tercinta ini. Mulai dari keberhasilan/kesuksesan di dunia enterpreneur (wirausaha), karyawati sebuah perusahaan top dengan penghasilan yang begitu menggiurkan, artis, selebritis, atlet di tingkat dunia yang mengharumkan nama bangsa dan negara seperti Susi Susanti, eksekutif, birokrat, menteri, bahkan sampai jabatan tertinggi di republik ini (presiden) juga diamanahkan oleh seluruh rakyat Indonesia kepada seorang wanita, yakni Ibu Megawati Soekarnoputri. Sebaliknya, Kartini pun akan sedih dan merana andai saja sempat menyaksikan kiprah segelintir kaum wanita yang melanggar adat kesopanan dan nilai-nilai atau norma-norma yang telah kita sepakati bersama dalam pergaulan hidup di masyarakat.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Stereotip Wanita Jawa yang mempunyai sifat-sifat nrimo, sabar, pasrah, halus, setia dan berbakti ternyata masih merupakan gambaran ideal mengenai Wanita Jawa pada umumnya. Secara obyektif, bagi Wanita Jawa masa kini, gambaran tersebut rasanya tidak sesuai lagi dengan cara mereka sekarang menampilkan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Dalam berbagai peran yang diisinya, Wanita Jawa dapat menunjukkan sikap yang tegas, berinisiatif, malahan tidak kalah tangkas dari kaum pria. Ia pun berani menolak sesuatu bila tidak sesuai dengan pandangannya (tidak nrimo dan pasrah lagi). Ia juga tidak segan-segan mengutarakan pendapatnya bilamana dipandang perlu [5]. Sampai sekarang pun, secara implisit masih ada tuntutan agar wanita senantiasa menggunakan tutur kata (bahasa) yang halus, dan bersikap lemah lembut karena sikap yang kasar lebih pantas bagi anak laki-laki (kaum pria). Kita bisa melihat tingkah polah laku ini pada kebanyakan mbok jamu yang tetap memperhatikan kehalusan tutur kata. Memang dalam Keluarga Jawa pada umumnya lebih protektif pada anak perempuan daripada anak laki-laki, bahkan seakan tidak memberi peluang anak perempuan untuk berdikari. Ini membuktikan bahwa dalam diri seorang wanita sejak semula memang sudah ditanamkan pengertian agar ia mau menunjukkan sikap conform terhadap aturan-aturan yang berlaku. Adalah pantang bagi seorang gadis bepergian sendiri, tanpa ada laki-laki yang mengawalnya. Ketentuan ini pun harus dimaknai kembali, dan memang harus dilihat dan disesuaikan dengan situasi kondisi yang ada. Harus diingat bahwa mobilitas kaum wanita sekarang ini tidak kalah dengan kaum pria, baik pelajar, karyawan, maupun mereka yang berwirausaha, semuanya dituntut serba praktis.

3


I Made Marthana Yusa

Imagologi Mbok Jamu Sebagai Representasi Wanita Etnis Jawa Tradisional‌ .

Mbok jamu adalah anomali dari adat tersebut. Dalam kebersahajaannya, mbok jamu sebenarnya tampil sebagai sosok feminis yang tanpa takut bepergian sendiri, tanpa ditemani lakilaki dalam menjajakan jamunya, namun tetap merepresentasikan Tradisi Jawa dalam setelan pakaian dan caranya bertutur menjajakan jamunya.

Namun Sido Muncul tidak lantas diam dengan anggapan tersebut. Jamu yang pertama kali diproduksi skala pabrik di tahun 1951 itu mengalami transformasi sedemikian rupa. Jamu yang awalnya berbentuk tablet bulat hitam, berubah menjadi serbuk. Kemudian dikembangkan lagi dalam bentuk cair seperti yang biasa kita konsumsi sekarang ini[1].

Tidak dapat dipungkiri bahwa di kalangan Keluarga Jawa, terutama dalam diri seorang wanita, semenjak usia yang relatif muda sudah mulai dikembangkan dasar-dasar sifat agar ia setia dan berbakti kepada orangtua, juga terhadap suami dan keluarga ketika wanita sudah kawin. Ada ungkapan yang lazim didengar, yakni wanita diposisikan sebagai konco wingking. Ini pun perlu diredifinisi dan reinterpretasi supaya tidak menimbulkan salah penafsiran. Sesungguhnya bagi kaum pria, wanita (istri) merupakan partner, bersama-sama menjalani pahit getirnya hidup berumah tangga.

Usaha menaikkan level jamu dilakukan juga melalui perubahan strategi komunikasi pemasaran dengan target market menengah ke atas. Melalui jargon 'Orang Pintar Minum Tolak Angin' juga endorser dari kalangan selebritis yang mewakili target market tersebut Tolak Angin berhasil membawa nama jamu naik kelas.

Bisa jadi konco wingking di sini lebih pas kalau dikonotasikan sebagai mitra karena istri adalah ratu rumah tangga, dialah yang mengatur ekonomi keluarga. Sosok mbok jamu merupakan metafora ratu rumah tangga ini. Kisah mbok jamu bernama Sutri [3] merepresentasikan pahlawan ekonomi bagi keluarganya. Budayawan dan penyair mbeling, Emha Ainun Najib bahkan pernah melontarkan statement secara berkelakar mengenai keunggulan wanita atas pria. Secara etimologis, perempuan berasal dari kata empu, wanita (wani noto), artinya berani menata atau mengatur. Jelas dari sini bahwa sesungguhnya wanita punya kedudukan sosial yang luhur. Di mata Emha, perempuan jauh lebih hebat dan perkasa daripada laki-laki, sehingga Tuhan menakdirkan wanita untuk bersakit-sakit mengandung dan melahirkan anak. Akan tetapi, dengan kehalusannya, dengan kepintarannya, perempuan memilih bersembunyi di balik kesombongan dan kepongahan laki-laki[3]. Ada satu ciri yang membedakan Wanita Jawa masa kini, dari era Kartini, mereka ingin, bersedia, boleh, bahkan diharapkan dapat mengisi dua peranan (roles). Di dalam rumah sebagai ibu dan istri, sedangkan peranan lain di luar rumah.

Beberapa artis dan tokoh yang pernah menjadi endorser Tolak Angin adalah Lula Kamal, Agnes Monica, Rhenald Kasali, Sophia Latjuba, Soebroto Laras, Anggito Abimanyu, hingga menteri BUMN, Dahlan Iskan juga tak luput dari strategi pemasaran Tolak Angin. Di sisi lain, Tolak Angin juga mengedukasi beralih ke obat herbal melalui tampilan TVC hasil uji ilmiah Tolak Angin untuk dapat akademisi. Selain itu, pendekatan lain juga seminar dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

masyarakat untuk yang menonjolkan masuk ke logika dilakukan melalui

6. Mbok Jamu dalam Budaya Populer Citra mbok jamu sebagai representasi icon feminis sering tampil dalam ruang diskusi dan ruang media massa dengan berbagai wacana yang diperbincangkan. Mbok jamu juga representasi budaya Populer Jawa karena keotentikan identitas khas yang dapat dilihat dari setelan pakaiannya, ataupun khasiat jamu yang dijajakannya sangat dekat dengan keseharian masyarakat, khususnya Masyarakat Jawa. Dinamika representasi mbok jamu menarik untuk dicermati, baik dalam sosok (bisa wanita muda hingga wanita paruh baya), tampilan (dari Wanita Tradisional Jawa, Wanita Muslimah Jawa) hingga representasi Wanita Jawa modern dengan berbagai atribut jamu modern-nya (Citra 5).

Permasalahan muncul ketika wanita mulai mengisi peran ganda tersebut mengingat setiap peranan membawa tanggungjawab dan kewajiban tertentu. Jelas bahwa ini menimbulkan suatu loyalitas ganda, terhadap suami dan keluarganya, di pihak lain loyal terhadap tugas/pekerjaan yang dipilihnya (biasanya di luar rumah). Idealnya, kedua loyalitas tersebut saling sambung (mendukung). Namun, dalam kenyataannya tidak selalu demikian adanya. 5. Stereotype Jamu Sebagai Indeks Tradisional dan Kuno, Serta Dinamikanya Jika dilihat dari tipe tanda Charles S. Peirce, jamu merupakan indeks dari terminologi tradisional dan kuno. Konsumen jamu sendiri kebanyakan dari masyarakat yang sudah berumur, bukan dari kaum muda yang memiliki kecenderungan membutuhkan gaya hidup yang dekat dengan hal-hal yang serba praktis atau lebih modern. Salah satu brand jamu ternama di Indonesia, Tolak Angin, pernah melakukan riset atas citra jamu di mata masyarakat Indonesia. Hasil riset yang dilakukan pada awal tahun 1980-an, brand jamu yang berada di bawah Bendera Sido Muncul ini masih dipandang sebagai produk jamu kesehatan yang tradisional, kuno dan ada kesan kampungan di dalamnya. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Citra 5. Mbok Jamu tanpa gendongan jamu tradisional Š Hinarto sumber : http://kfk.kompas.com/kfk/view/81962-jamu-kuat-mas

Representasi mbok jamu sebagai sosok yang dekat dengan golongan masyarakat kelas ekonomi menengah ternyata menarik juga untuk hadir dalam kontestasi politik di negeri ini. 4


I Made Marthana Yusa

Imagologi Mbok Jamu Sebagai Representasi Wanita Etnis Jawa Tradisional‌ .

Pada Citra 6 dapat dilihat bagaimana citra mbok jamu dihadirkan untuk mendukung Jokowi-JK pada Pemilu Presiden Indonesia lalu.

Citra 6. Representasi mbok jamu sebagai masyarakat golongan kelas ekonomi menengah Sumber : http://foto.tempo.co/read/beritafoto/17569/Mbok-Jamu-Gendong-Gelar-Aksi-DukungJokowi-JK/6

Citra 8. Seni Patung Mbok Jamu karya Irine Lui Sumber : http://annual.cofa.unsw.edu.au/2012/graduates/1027/irine-lui/10594?category=ceramics

Citra mbok jamu juga kerap hadir sebagai karakter yang menginspirasi anak muda untuk mewujudkannya dalam ilustrasi, gambar, dan komik. Pada Citra 7 dapat dilihat hasil karya ilustrasi sosok mbok jamu dalam sudut pandang budaya populer hasil cipta karya anak muda.

Citra 9. Sandal dengan bentuk mbok jamu gendong Sumber : http://sandal-trendy2011.blogspot.co.id/2011/01/sandal-karakter.html

Citra 7. Implementasi gambar karakter mbok jamu pada T-Shirt sumber : http://www.distrokdri.com/product/mbok-jamu

7. Komodifikasi Citra Mbok Jamu dalam Produk Desain Citra mbok jamu yang lekat dengan masyarakat juga memberi ruang bagi komodifikasi. Beberapa produk dihasilkan, dari bentuk sederhana dengan harga puluhan ribu, hingga Adi Busana dengan harga jutaan rupiah.

Citra 10. Patung keramik Mbok Jamu Jogjakarta Sumber : http://laraswati.com/2011/04/12/mirota-yogyakarta/dscf2382/

Irine Lui, Master of Design, pada karya semasa kuliahnya dulu di Australia mewujudkan karya keramik (Citra 8) dari bahan porselen khas Australia Selatan (Australian southern ice porcelain) dikombinasikan dengan kain tekstil Batik Indonesia dengan eksplorasi citra mbok Jamu. Pada citra 9 ditampilkan karya sandal dengan bentuk karakter khas mbok jamu gendong. Eksplorasi karya desain lain tampak pada karya patung keramik khas Jogjakarta (Citra 10) dan patung kayu (Citra 11). Tampilan tukang jamu memang terlihat sederhana dan simpel. Cukup menggunakan kebaya dan dipadu kain panjang cekak atau semata kaki. Namun, kesan itu berubah ketika melihat desain busana ala mbokmbok jamu karya tujuh Siswa Pison Art and Fashion Foundation (PAFF) di Surabaya Townsquare (Sutos), 10 April 2013. Mengusung tema Wanita Indonesia, Laura Leovieta, Nuru Aina, Priska Henata, Shierly Ha, Zein Han, Marcella dan Indy menampilkan kebaya tukang jamu yang cocok untuk kawula muda (Citra 12).

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Citra 11. Patung Kayu Mbok Jamu Sumber : http://olx.co.id/iklan/patung-antik-mbok-jamu-gendong-asli-kayu-jati-jeparaID7OGh4.html

“Alasannya ya satu, anak muda dan mbok jamu itu suka yang simpel-simpel,� cetus Nuru Aina di sela-sela pertunjukan fashion. Tak heran pula jika para desainer muda ini tak begitu banyak menampilkan payet-payet atau pernak pernik pada kebaya modern ini. Model eksplorasi desain hingga mencapai karya adi busana ini perlu dimaknai sebagai pencapaian yang melampui sekedar komodifikasi. Ada apresiasi yang terkandung dalam memposisikan mbok jamu dalam kebudayaan dan peradaban Indonesia [6].

5


I Made Marthana Yusa

Imagologi Mbok Jamu Sebagai Representasi Wanita Etnis Jawa Tradisional… .

terbuka bagi Wanita Jawa jelas berdampak pada proses perubahan tersebut. Adapun bagaimana ia akan berubah pasti ditentukan oleh kaum Wanita Jawa sendiri maupun oleh perkembangan lingkungan sosial kita. Perubahan yang mulai sekarang sudah dapat diamati berhubungan dengan perilaku Wanita Jawa yang ingin mengisi peran ganda (atas pilihan sendiri ataupun terpaksa) fenomenanya makin bertambah banyak, yang utama dipaparkan pada tulisan ini adalah sosok mbok jamu. Memang kalau diamati interaksi yang terjadi dalam masyarakat pedesaan maupun perkotaan di Jawa memberi kesan bahwa saat ini Orang Jawa memang sedang bergerak dengan akselerasi yang begitu hebat menyongsong arus peradaban (konstelasi) dunia masa kini. Akan tetapi, orientasi nilai budaya, sikap mental, dan gaya hidup Priyayi Jawa sungguh merupakan kendala utama.

Citra 12. Desain busana terinspirasi dari citra mbok jamu © Radar Surabaya sumber : http://radarjatim.com/fashion-simple-ala-mbok-jamu-di-surabaya-townsquare/

8. Konklusi Sifat khas Wanita Jawa masa kini menunjukkan adanya kombinasi antara sifat-sifat Wanita Jawa tempo dulu dan sifat-sifat lain yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman pendidikan dan tersedianya berbagai kesempatan baginya dalam masyarakat sekarang ini. Artinya, ia tidak hanya setia, bakti/bekti, sabar, tetapi juga cerdas dan kritis, berinisiatif, dan kreatif. Selain memiliki aspirasi bagi dirinya sendiri, ia masih cenderung untuk bersikap conform terhadap harapan-harapan orang lain. Sementara dalam menghadapi situasi konflik yang menyangkut hubungannya dengan orang lain, khususnya dengan siapa ia mempunyai ikatan efeksional, Wanita Jawa cenderung untuk bersikap mengalah demi memelihara hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang bersangkutan. Bagi Wanita Jawa masa kini, pasrah berarti memilih dengan sadar untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang harus ia hadapi dengan tetap berusaha untuk memperbaiki keadaan seoptimal mungkin. Oleh sebab pasrah atau menyesuaikan diri di sini adalah pilihan yang telah dipertimbangkannya secara matang maka mungkin justru di sinilah letak kunci dari keseimbangan diri Wanita Jawa. Artinya, dalam menghadapi berbagai situasi yang penuh konflik baginya, ia masih dapat berfungsi dan menampilkan diri secara baik, sesuai dengan harapan lingkungannya. Pelan tapi pasti, seiring dengan perjalanan waktu, di tahun-tahun mendatang, gambaran stereotip Wanita Jawa tampaknya makin menjadi tidak relevan lagi. Kontribusi pendidikan yang kian

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Sehubungan dengan itu, Koentjaraningrat mengemukakan hipotesisinya sebagai berikut ”…apabila suatu kebudayaan (sub-kebudayaan) pada kelas tertentu dalam suatu masyarakat memiliki tradisi turun temurun yang sudah mantap sehingga memiliki kepentingan untuk mempertahankan tradisi yang panjang itu maka akan ada kecenderungan munculnya sikap penolakan yang lebih intensif terhadap perubahan kebudayaan daripada dalam kebudayaan (sub-kebudayaan) yang tidak mempunyai tradisi yang panjang…”[7] Fenomena mbok jamu, dari representasinya sebagai wanita Etnis Jawa dengan segala simbol, tradisi dan makna yang meliputinya hingga komodifikasi atas citra yang melekat memposisikan mbok jamu pada diskursus stereotip citra yang menarik. Cara-cara pengkajian fenomena budaya beserta kontradiksinya menjadi gaya yang umum dilakukan dalam cultural studies. Mbok jamu, Quo Vadis? Referensi [1]

Anonim.(2012). Pengusaha Jamu Jawa Pertama di Indonesia. Ensiklopedi Tokoh Indonesia: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3501pengusaha-jamu-jawa-pertama-di-indonesia# [2] Pramudiarja, Uyung. (2015). Kalau Mbok Jamunya Secantik Ini, Yakin Masih Tak Suka Minum Jamu? detikHealth: http://health.detik.com/read/2015/01/07/195824/2796942/775/kalaumbok-jamunya-secantik-ini-yakin-masih-tak-suka-minum-jamu . Diunggah: 07 Januari 2015 [3] Sativa, Rahma Lillahi. (2015). Tak Sembarangan, Mbok Jamu yang Satu Ini Seorang Sarjana Lho. detikHealth : http://health.detik.com/read/2015/04/10/103023/2883430/763/taksembarangan-mbok-jamu-yang-satu-ini-seorang-sarjana-lho Diunggah : 10 April 2015 [4] Hasbi, Ikhsan. (2015). Imagologi Politik. Aceh: Serambi Indonesia. http://aceh.tribunnews.com/2015/03/18/imagologi-politik [5] Adrianto, Ambar. (2006). Wanita Jawa, Quo Vadis? Yogyakarta: Jentara, Jurnal Sejarah dan Budaya :Volume 1, No. 2 [6] Surabaya, Radar (2013). Fashion Simple Ala Mbok Jamu Di Surabaya Townsquare. Radar Jatim: http://radarjatim.com/fashion-simple-alambok-jamu-di-surabaya-townsquare/ Diunggah : 11 April 2013 [7] Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Seri Etnografi Indonesia Nomor 2. Cetakan kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

6


Dekonstruksi Pemikiran Mistis Fritjop Capra… .

Michael Sega Gumelar Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.1: 7–11

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Dekonstruksi Pemikiran Mistis Fritjof Capra dalam Buku “Titik Balik Peradaban” Michael Sega Gumelar* Universitas Surya, Universitas Udayana

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel: Dikirim 14 Oktober 2015 Direvisi 9 November 2015 Diterima 18 November 2015 Kata Kunci: Dekonstruksi

Mendekonstruksi pemikiran mistis ala Friftjof Capra dalam bukunya berjudul “Titik Balik Peradaban – Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan” yang diterjemahkan oleh M.Thoyibi dan diterbitkan Bentang Pustaka cetakan pertama tahun 1997 sampai cetakan keenam 2004. Dekonstruksi ini diperlukan dalam mengungkap pemikiran mistis Friftjof Capra yang terjebak kembali ke pola pikir lama yaitu “when you don't know anything about anything god knows” yaitu “bila kita tidak mengetahui sesuatu tuhan tahu semuanya”.

Fritjop Capra Mistis Intuisi

© 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Fritjof Capra dalam bukunya berjudul “Titik Balik Peradaban – Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan” yang diterjemahkan oleh M.Thoyibi dan diterbitkan oleh Bentang Pustaka dalam bab satu dengan bahasan “Gelombang yang Berbalik” memberikan gambaran betapa kacaunya ilmu pengetahuan yang mengakibatkan terjadinya potensi perang nuklir dan musnahnya manusia karena pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Fritjof Capra dalam bukunya tersebut membahas perlunya manusia kembali melihat potensi bahaya ilmu pengetahuan yang cenderung dianggap membuat kacau tersebut agar kita bijaksana, buku tersebut mengajak pembaca melihat solusi dari sisi mistis, bahkan menyarankan menggunakan salah satu pemikiran dari negeri China yaitu Yin dan Yang. Namun Fritjof Capra menempatkan pemahaman Yin dan Yang menurut versinya sendiri. Fritjof Capra menempatkan Yang sebagai pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat yang cenderung mengutamakan logika dan sangat patriarki sedangkan Yin yang seharusnya diwujudkan pula sebagai penyeimbang, ternyata digunakan sebagai alat bukan sebagai ilmu pengetahuan dari Timur tetapi menjadi wujud berupa pemahaman mistis. Hal ini terlihat sangat jelas pada bahasan “Gelombang yang Berbalik” di halaman ke 37 di paragraph ke dua tertulis: Namun demikian, pada abad kedua puluh fisika telah melewati beberapa revolusi konseptual yang jelas mengungkapkan batas-batas pandangan dunia mekanistik dan menuju ke arah pandangan dunia ekologis organik yang menunjukkan banyak kesamaan dengan pandangan mistik sepanjang zaman dan dalam semua tradisi.

Alam semesta tidak lagi dipandang sebagai sebuah mesin, yang tersusun atas sekumpulan objek yang terpisah, melainkan sebagai sebuah keseluruhan yang harmonis yang tidak bisa dipisah-pisahkan; suatu jaringan hubungan dinamis yang meliputi manusia pengamat dan kesadarannya dengan cara yang sangat esensial. Kenyataan bahwa fisika modern, manifestasi dari spesialisasi ekstrem dari pikiran rasional, kini tengah berhubungan dengan mistisisme, esensi dari agama dan manifestasi dari spesialisasi ekstrem pikiran intuitif, dengan begitu indahnya menunjukkan hakikat modus kesadaran rasional dan intuitif yang merupakan kesatuan dan saling melengkapi.

Dari hasil karya pemikiran Fritjof Capra berupa informasi yang tertulis secara eksplisit sekaligus implisit bahwa kita harus kembali kepada mistis yang sudah jelas dibawa oleh ajaran agama yang mengutamakan Tuhan sebagai jawaban dari segalanya dalam buku “Titik Balik Peradaban-Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan” yang diterjemahkan oleh M.Thoyibi Gelombang yang Berbalik” tersebut justru akan membawa manusia kembali ke zaman masa lalu yaitu kembali pada kepercayaan mistis [1]. 2. Dekonstruksi Ada tiga kalimat kunci dari pernyataan Fritjof Capra dalam kalimat tersebut yaitu kata “mistis”, “mistisisme” dan “intuitif”. Mari kita amati dan cermati apa arti dari kata “mistis” sesungguhnya. Kata mistis merupakan kata sifat dari mistik. Mistis artinya bersifat mistik. Kini arti mistik itu apa? “Mistik” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dapat diakses secara online di http://kbbi.web.id. Mistik adalah subsistem yang ada dalam hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan; tasawuf; suluk [2].

∗ Peneliti koresponden: Program Studi Digital Communication, www.surya.ac.id, Bumi Jati Elok Blok A5 Nomor 2 Jalan Raya Parung Panjang, Legok, Tangerang, Banten, Indonesia 16826 Mobile: +62818966667 E-mail: ms.gumelar@gmail.com.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

7


Michael Sega Gumelar

Kemudian menurut Kamus Merriam Webster yang dapat diakses secara online juga di http://www.merriam-webster.com/. Mystic: spiritual knowledge through prayer and deep thought: someone who practices mysticism. Yang berarti “pengetahuan spiritual melalui doa dan pemikiran mendalam sesorang yang mempraktekkan kepercayaan mistis” [3]. Menurut Dictionary Reference yang dapat juga diakses online di http://dictionary.reference.com. Mystic: believes in the possibility of attaining, insight into mysteries transcending ordinary human knowledge, as by direct communication with the divine or immediate intuition in a state of spiritual ecstasy. Yang berarti “kepercayaan dalam kemungkinan mencapai, memandang ke dalam suatu misteri melebihi pengetahuan manusia, melalui komunikasi langsung dengan Sang Agung atau intuisi langsung saat mengalami kesurupan (trance)” [4]. Kemudian dari penjelasan tersebut di atas kita mengarah pada kata “mistisme” yang berarti mengarah pada kepercayaan dan ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia karena terbatas kemampuannya, tentang Tuhan dan ketuhanan. Kini kata berikutnya adalah “intuitif”. Intuitif memiliki arti bersifat (secara) intuisi, berdasar bisikan (gerak) hati. Kini apa itu intuisi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) http://kbbi.web.id/. Intuisi adalah daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati [2]. Menurut kamus merriam-webster http://www.merriamwebster.com/. Intuition: a natural ability or power that makes it possible to know something without any proof or evidence: a feeling that guides a person to act a certain way without fully understanding why: something that is known or understood without proof or evidence. Yang artinya intuisi adalah kemampuan alami yang memungkinkan seseorang mengetahui tanpa bukti: suatu perasaan yang membimbing seseorang tanpa melakukan sesuatu tanpa mengerti benar mengapa: sesuatu yang diketahui tanpa bukti [3]. 3. Diskusi Dari pemahaman yang umum dan cara berpikir umum menggunakan kamus umum dan bukan kamus yang spesifik dari ilmu tertentu. Pemahaman Fritjof Capra tentang diperlukannya kepercayaan mistik dalam pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah dapat dimentahkan dan didekonstruksi. Dalam cara berpikir untuk menghasilkan suatu pemikiran muncul kata yang disebut dengan nama logis (logic). Logis artinya sesuai dengan logika (logical). Apa itu logika? Logika dari Bahasa Yunani λογική, logike yaitu cabang filosofi yang membahas penggunaan dan pembelajaran alasan secara runut dan tidak dapat dibantah (valid reason) [5]. Logika berhubungan dengan pengetahuan. Pengetahuan dari kata Bahasa Yunani γνώση, gnósi yang diserap menjadi knowledge dalam Bahasa Inggris. Knowledge artinya mengetahui tentang sesuatu dan menjadi kata benda pengetahuan [5]. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Dekonstruksi Pemikiran Mistis Fritjop Capra… .

Memiliki pengetahuan (knowledge) belum tentu memiliki ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam Bahasa Inggris-nya adalah science, diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi sains. Science dalam Bahasa Yunani-nya adalah επιστήμη, epistími. Ilmu pengetahuan artinya menurut KBBI adalah pengetahuan sistematis yang diperoleh dari sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya. Jadi ilmu pengetahuan adalah mengetahui secara detil di dalam suatu bidang ilmu secara spesifik [2]. Penulis memberikan contoh yaitu bila seorang manusia mengetahui adanya komputer, maka mengetahui adanya komputer itu disebut sebagai pengetahuan. Tetapi bisakah manusia tersebut membuat komputer? Bila manusia tersebut sampai mampu membuat komputer, “mampu membuat” komputer ini disebut sebagai ilmu pengetahuan. Kini kita bahas secara logika apa itu mistis? Dari penjelasan penulis di bahasan dua yaitu “dekonstruksi”. Definisi kata dari berbagai kamus secara eksplisit menyatakan bahwa mistis adalah segala hal yang berkaitan dengan mistik. Mistik itu sendiri akhirnya penulis rangkum dan definisikan sendiri. Mistik adalah sebagai segala hal perbuatan untuk dibaktikan, memuja, memperjuangkan segala sesuatu untuk dan atas nama Tuhan bagi pelakunya untuk mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan dalam kepercayaan tersebut. Dalam hal ini cenderung semua kepercayaan bagi pemeluknya imbalannya adalah surga (kesenangan abadi) dan kalau bisa tidak masuk neraka (siksa abadi), imbalannya yang baik bagi berbagai agama kurang lebih setara dengan surga, demikian juga imbalan yang buruknya setara dengan neraka dengan berbagai versinya. Sistem kepercayaan, ajaran dan pemikiran melakukan mistik secara individu dan atau kelompok disebut mistisisme. Mari kita lihat hasil dari pemikiran mistik adalah mencakup agama (sistem kepercayaan), Tuhan dan takwa (ritual) yaitu praktek penyembahan (upacara). Mari kita lihat hasil dari kepercayaan yaitu agama. Agama adalah satu penyebab peperangan. Berbeda agama, maka konflik dapat terjadi dan dapat menyulut peperangan sehingga mengakibatkan banyak korban di kalangan pemeluk agama yang berperang di dalamnya, sejarah banyak mencatat beragam peperangan karena faktor agama ini. Agama menjadi faktor peperangan karena terjadinya perbedaan Tuhan yang disembah, bahkan nama Tuhannya juga berbeda. Seandainya nama Tuhannya sama, tetapi orang sebagai penerima kitab suci juga orang yang berbeda maka bila seseorang tidak mengikuti pembawa kitab suci yang tersebut, maka orang tersebut tidak akan terselamatkan, demikian juga pengikut kitab suci lainnya melakukan hal yang sama. Jadi peperangan terus berlanjut. Kini penulis bahas apa itu intuisi. Menurut KBBI, Intuisi adalah daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati [2]. Bagaimana 8


Dekonstruksi Pemikiran Mistis Fritjop Capra… .

Michael Sega Gumelar

mengetahui sesuatu tanpa dipikirkan? Bisikan hati? Apakah hati dapat berbisik seperti manusia? Menurut kamus KBBI pula, hati adalah organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu [2]. Dari situ kita semua tahu hati bukanlah tempat menyimpan pengalaman dan direkam sebagai memory yang dapat disimpan di otak, dan karena hati bukanlah otak, maka hati tidak dapat menghasilkan pikiran seperti otak. Jadi jelas, hati tidak dapat berpikir dan atau dalam bahasa semiotics (simbol) dengan kata “berbisik”. Kemudian intuisi versi kamus berikut merriam-webster http://www.merriam-webster.com/. Intuition: a natural ability or power that makes it possible to know something without any proof or evidence: a feeling that guides a person to act a certain way without fully understanding why: something that is known or understood without proof or evidence. Yang artinya “Intuisi adalah kemampuan alami yang memungkinkan seseorang mengetahui tanpa bukti: suatu perasaan yang membimbing seseorang tanpa melakukan sesuatu tanpa mengerti benar mengapa: sesuatu yang diketahui tanpa bukti” [3]. Bagaimana mengetahui sesuatu tanpa bukti? Bila seseorang tidak melakukan tindak korupsi lalu dijebloskan ke penjara karena ada intuisi bahwa dia telah melakukan korupsi? Apakah itu tidak disebut dengan nama fitnah? Bila memang begitu, apakah semua orang yang menggunakan intuisinya sama dengan tukang fitnah yang sangat mahir? Intuisi menjadi sama saja dengan mengacaukan semuanya bukan? Lalu apa yang dapat dipegang dari intuisi? Penulis membawa pembaca ke masa lalu. Yaitu pada saat kita suci dalam suatu agama memahami alam ini sangat geosentris yaitu berkenaan dengan pemikiran bahwa bumi dianggap sebagai pusat alam semesta dan berbentuk datar (flat); hal ini terjadi di masa hidupnya Nicolaus Copernicus [5]. Kemudian Copernicus melakukan penelitian dan membuktikan bahwa Matahari bukan mengelilingi Bumi tetapi sebaliknya Bumi yang mengelilingi Matahari (heliosentris). Heliosentris teori yang menyatakan bahwa Bumi ini berbentuk bulat serta berputar sesuai porosnya, beserta planet lainnya beredar mengelilingi Matahari. Dari situ dapat disimpulkan bahwa ada orang (agen) yang berintuisi lalu membuat geosentris seolah dari Tuhan dan muncullah agama tertentu. Tetapi yang terjadi? Kenyataannya masih banyak orang-orang di masa kini yang masih mempercayai yang sudah jelas terbantahnya pemahaman geosentris yang katanya ilmu dari Tuhan yang tertulis di kitab suci tersebut sebagai suatu kebenaran bukan? Jadi di masa kini pun orang-orang yang percaya kekuatan mistik dan instuisi masih banyak. Kepercayaan terhadap hal-hal mistik selalu menguat kembali dan terjadi pada saat manusia menemukan titik pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dianggap mulai melambat dalam Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

terobosan dan pencerahannya sehingga sedikit banyak menjadi berdampak buruk pada masyarakatnya, stagnan (tidak berjalan maju) dan tidak menemukan jalan untuk keluar dari konsekuensi logis (implikasi) yang telah diambilnya. Sehingga orang-orang yang mempercayai hal-hal mistik kemudian seakan menemukan pencerahan dan kemudian dijadikan pembenaran. Kata-kata umum dan klasik tersebut adalah “when you don't know anything about anything god knows” yang artinya “saat kamu tidak tahu tentang segala sesuatu Tuhan tahu”. Salah satu yang mempercayai hal tersebut adalah Fritjof Capra, yaitu dengan pemahaman mistik dan intuisinya. Di dalam pemikirannya yang dituangkan dibukunya sangat menekankan bahwa manusia dengan teknologinya menjadi rakus, buruk, jahat dan dapat memusnahkan manusia. Padahal itu semua hanya alat, tetapi sebenarnya yang buruk, jahat dan tidak pedulian adalah orangnya yang mempercayai suatu kepercayaan, misalnya percaya pada hal mistik dan intuisi. Kini sebelum membahasa lebih jauh lagi, penulis mengutip lirik “Imagine” hasil karya penyanyi terkenal yaitu John Lennon. "Imagine" Imagine there's no heaven It's easy if you try No hell below us Above us only sky Imagine all the people Living for today... Imagine there’s no country It isn't hard to do Nothing to kill or die for And no religion too Imagine all the people Living life in peace... You may say I'm a dreamer But I'm not the only one I hope someday you'll join us And the world will be as one Imagine no possessions I wonder if you can No need for greed or hunger A brotherhood of man Imagine all the people Sharing all the world... You may say I'm a dreamer But I'm not the only one I hope someday you'll join us And the world will live as one [6]

Dari kutipan tersebut bila dikaitkan dengan saran Fritjof Capra agar kita kembali ke mistik dan intuisi. Apakah Fritjof Capra tidak sadar bahwa mistik yang melahirkan Tuhan dan agama juga sebenarnya penyebab adanya perlombaan senjata? Kekuatiran terhadap dominasi agama lain salah satunya karena manusia yang percaya mistik yang akhirnya ada potensi menggunakan senjata nuklir.

9


Michael Sega Gumelar

Dekonstruksi Pemikiran Mistis Fritjop Capra… .

Perlombaan segala sesuatu yang berkualitas disukai oleh Tuhan juga muncul dari agama, masih ingatkah kita dengan persembahan kepada Tuhan yang dilakukan oleh dua karakter dalam salah satu versi agama? Persembahan yang dilakukan oleh dua orang manusia, sesuatu yang berkualitaslah yang diterima Tuhan, bukankah begitu? Apakah dari peristiwa tentang kualitas tersebutlah kemudian muncul pemikiran sebagai titik awal gengsi (prestige)? Di sisi lainnya versi agama yang berasal dari Timur juga sangat patriarki, yaitu mengutamakan sistem pemikiran yang berdasarkan kekuasaan, kekuatan dan tatanan masyarakat berdasarkan laki-laki, bukan pada wanita, hal ini menjadi pertentangan (paradoks) di dalam tulisan Fritjof Capra itu sendiri yang sepertinya berpihak pada feminisme. Demikian juga di pemikiran Orang Timur, kekuatan patriarki juga sangat kuat, konstruksi Fritjof Capra pada keseimbangan yin dan yang dalam bukunya tentang wanita disetarakan di Area Timur tersebut terbantahkan dengan merananya “Ibu Kartini” di Koloni Negara Belanda (Dutch East Indies) di masa lalu kini masuk Wilayah Negara Indonesia, Ibu Kartini (citra 1) jelas-jelas berada di Area Timur dan bukannya Barat.

Citra 2. “God is dead” Friedrich Nietzsche. sumber: http://www.azquotes.com/picture-quotes/quotegod-is-dead-god-remains-dead-and-we-have-killed-him-friedrich-nietzsche-45-46-33.jpg

Sesungguhnya apa yang membuat manusia menggunakan teknologi yang sebenarnya hanya sekedar alat kemudian menjadi ancaman dan menakutkan bagi lainnya? Karena yang mengendalikan itu adalah orang-orang yang belum siap memegang kekuatan sebegitu hebat tetapi ternyata kekuatan hebat itu sudah berada digenggamannya, hal ini memungkinkan potensi yang mengancam keberlangsungan manusia itu sendiri dan entitas lainnya. Diharapkan manusia menaikkan lagi pemahamannya bahwa ada beberapa implikasi (konsekuensi logis) yang membuat kita semua menjadi rakus, tamak, dengki, dan lainnya karena bagi manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri maka pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya menjadi alat bagi mereka untuk semakin memperkuat keburukan yang ada di dalam diri mereka tersebut. Salah satu jawaban dari permasalahan yang diperlukan manusia saat ini adalah adanya sentuhan peduli kepada yang lain, salah satunya kemanusiaan (humanity) yang wajib lebih diperkuat lagi. Kemudian di bidang ekonomi adalah kita harus segera menghentikan fokus pada perekonomian yang menguntungkan kepentingan perseorangan dan atau kelompok tertentu.

Citra 1. Ibu Kartini yang hidup pada Masa Koloni Belanda (Dutch East Indies) yang kini menjadi Wilayah Negara Indonesia. Sumber: "COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van Raden Ajeng Kartini TMnr 10018776" by Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures.

4. Konklusi Fritjof Capra membuat konstruksi dan ilusi bahwa dunia memerlukan kembali kepercayaan mistik dan intuisi. Bukankah bila apa yang disarankan Fritjop Capra ini bila dilakukan juga akan membawa manusia ini kembali ke masa lalu yang kelam karena peperangan yang banyak disebabkan oleh kepercayaan mistik dan intuisi? Apakah ada keinginan Fritjof Capra dibalik itu dalam memperjuangkan kepercayaan terhadap Tuhannya dan keinginan kuatnya untuk mendapatkan surga? Bila mengambil statement dari Friedrich Nietzsche yaitu “God is dead” [7] yang menekankan bahwa semua tuhan buatan manusia sudah mati. Dan di dalam ilmu pengetahuan eksakta bahkan tidak dikenal istilah tuhan. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Tetapi kita memerlukan perekonomian dengan tingkatan pemahaman baru yang berfokus pada keharmonisan dan keberlangsungan seluruh manusia, alam, tumbuhan, dan satwa sebagai satu keseimbangan ekosistem di Bumi, di tata surya kita, di galaksi kita, di jagat raya kita dan di frekuensi (dimensi) mana pun agar kita semua saling menjaga, memberi kedamaian dan berkecukupan secara bersama. Akhirnya penulis mencapai satu titik kesimpulan bahwa tidak diperlukan kembali kepemikiran mistis yang disarankan oleh Fritjop Capra. Tetapi solusi dari keadaan saat ini yang seolah stagnan sebenarnya memerlukan sentuhan peduli kepada sesama manusia yang semakin diperkuat (humanity) dan juga mulai diterapkan pada alam, tanaman, satwa dan lainnya bila ada yang penulis sebut dengan nama peduli pada semua species (speciesity). Pengetahuan, ilmu pengetahuan, teknologi serta sistem ekonomi yang didasari pada kepedulian pada sesama manusia (humanity), serta peduli pada alam, tumbuhan, satwa pada ini semua species (speciesity) ini yang akan membawa titik baru sebagai solusi yang wajib diterapkan dalam waktu sesegera mungkin.

10


Michael Sega Gumelar

Dekonstruksi Pemikiran Mistis Fritjop Capra… .

Referensi [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]

Capra, Fritjof. (1997). Titik Balik Peradaban – Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. KBBI. http://kbbi.web.id. Webster, Merriam. http://www.merriam-webster.com Dictionary Reference. http://dictionary.reference.com. Wikipedia. https://en.wikipedia.org/ Lennon, John. (1971). Imagine. Nietzsche, Friedrich. (1882). Die fröhliche Wissenschaft. 108 (New Struggles), 125 (The Madman), Ultima, Angel. (2005). Angel Michael’s Ultima Dream.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

11


Reduksi Peran Institusi Pendidikan… .

Lidwina Hana Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.1: 12–15

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Reduksi Peran Institusi Pendidikan Universitas Udayana Fakultas Sastra dan Budaya Program Studi Sastra Inggris sebagai Perpanjangan Tangan Kaum Kapitalis Lidwina Hana* An1mage/ Universitas Udayana

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 22 Oktober 2015 Direvisi 11 November 2015

Abstrak Studi tur menjadi polemik di antara pihak universitas, mahasiswa, dan wali mahasiswa. Berbagai anggapan muncul menuding studi tur sudah tidak menonjolkan sisi pembelajaran daripada sisi rekreasi. Mahasiswa bahkan diwajibkan untuk mengikuti studi tur dengan alasan sebagai syarat pembuatan skripsi.

Diterima 15 November 2015 Kata Kunci: Reduksi Institusi Pendidikan Universitas Udayana Studi Tur Kapitalis

21 Oktober 2015, Universitas Udayana menjadi headline dari surat kabar Tribun Bali terkait masalah mahasiswa program studi Sastra Inggris tingkat akhir yang gagal melaksanakan studi tur ke Singapura dikarenakan dana studi tur yang telah di bayarkan ke travel agent Bali Chresna Cahaya Tour (BCCT) dibawa lari. Meski banyak pihak yang menempatkan BCCT sebagai pihak yang harus disalahkan karena melarikan uang dan melakukan pembatalan secara sepihak namun penelitian ini akan lebih menyoroti kebijakan Universitas Udayana, khususnya Fakultas Sastra dan Budaya Program Studi Sastra Inggris terkait kebijakannya mengenai studi tur yakni untuk membongkar apakah kebijakan tersebut memang benar-benar sesuai dengan ideologi pendidikan atau justru lebih condong ke ideologi kapitalisme.

© 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Studi tur pada dasarnya merupakan pembelajaran yang dilakukan di luar kelas dengan masih memperhatikan hubungannya dengan bahan pelajaran. Namun yang kerap kali terjadi adalah sisi rekreasinya yang lebih ditonjolkan. Penentuan area studi tur juga sering kali didasarkan pada prestige bukan ke tempat yang sesuai dengan tujuan studi tur. Dalam banyak kasus mahasiswa tidak mengunjungi tempat-tempat yang sesuai dengan semangat pendidikan. Studi tur yang seharusnya memiliki esensi utama sebagai pembelajaran malah mengalami pergeseran menjadi kegiatan rekreasi belaka. Yang lebih menyedihkannya lagi, studi tur yang acap kali berbiaya mahal, bahkan melebihi Uang Kuliah Tunggal (UKT) ini dipaksakan pada mahasiswa, di masukkan dalam Satuan Kredit Semester (SKS) bahkan dicanangkan menjadi prasyarat untuk skripsi seperti yang dialami Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas Udayana Program Studi Sastra Inggris. Menurut Ni Luh Ketut Mas Indrawati, Ketua Program Studi (Kaprodi) Sastra Inggris Universita Udayana (Unud), studi tur merupakan agenda program studi (Prodi) karena tidak ada kebijakan resmi dari pihak universitas maupun fakultas sastra dan budaya yang mengharuskan adanya studi tur itu sebagai prasyarat untuk menempuh program skripsi.

∗ Peneliti koresponden: An1mage | Universitas Udayana. Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali 80361 Mobile: +6285814894988 | E-mail: lidwinahana@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Program studi tur dicanangkan, dan sebagai syarat untuk persiapan skripsi. Program ini kami siapkan untuk angkatan 2012 yang akan segera menempuh skripsi. Menurut Mas, tujuan studi tur ini positif, yakni untuk memberi pengalaman pada para mahasiswa jurusan Sastra Inggris dan berguna juga dalam mempertahankan akreditasi jurusan [1]. Oleh karenanya penelitian ini mempertanyakan apakah studi tur memang sesuai dengan ideologi tridharma perguruan tinggi dan mengacu pada standar nasional pendidikan, atau sudah beralih fungsi dan dimotori oleh ideologi lain? 2. Telaah Pustaka Ada dua berita yang akan dikaji dalam penelitian ini berasal dari Tribun Bali. Judul berita tersebut adalah “Tur ke Singapura Itu Sebagai Prasyarat Skripsi” yang terbit pada tanggal 21 Oktober 2015 dan “Dituntut Kembalikan Uang Mahasiswa, Ini Jawaban Kaprodi Sastra Inggris Unud” yang terbit pada tanggal 22 Oktober 2015. Pada berita “Tur ke Singapura Itu Sebagai Prasyarat Skripsi” dijelaskan bahwa program studi tur ini baru dicanangkan, dan sebagai syarat untuk persiapan skripsi. Program ini disiapkan untuk angkatan 2012 yang akan segera menempuh skripsi. Studi tur merupakan agenda prodi karena tidak ada kebijakan resmi dari pihak universitas maupun Fakultas Sastra dan Budaya yang mengharuskan adanya studi tur itu sebagai prasyarat untuk menempuh program skripsi. 12


Lidwina Hana

Reduksi Peran Institusi Pendidikan… .

Dalam potongan berita selanjutnya, tertuang bahwa studi tur yang direncanakan Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris Unud ini lebih banyak mengunjungi tempat wisata dari pada mengunjungi universitas lain. 3. Metode Menggunakan Metode Analisis Wacana Kritis, analisis difokuskan pada aspek kebahasaan dan konteks-konteks yang terkait dengan aspek tersebut. Konteks disini dapat berarti bahwa aspek kebahasaan tersebut digunakan untuk tujuan dan praktik tertentu.

Citra 1. “Tur ke Singapura Itu Sebagai Prasyarat Skripsi”. Sumber : Tribun Bali Kamis, 21 Oktober 2015, diunduh 22 Oktober 2015 [1].

Beralih ke berita “Dituntut Kembalikan Uang Mahasiswa, Ini Jawaban Kaprodi Sastra Inggris Unud” disinggung bahwa program studi dimaksudkan agar mahasiswa prodi sastra inggris Unud dapat mengenal dunia luar, juga karena bahasa di Singapura adalah Bahasa Inggris. Disisi lain, dosen pendamping, sekaligus pembina mahasiswa, yakni I Gusti Ayu Gede Sosiowati menyatakan kalau SD dan SMP saja sudah pergi ke Singapura.

Studi Wacana Faucault memeriksa pernyataan-pernyataan yang membangun pengetahuan tentang sesuatu hal, tatanan yang menentukan apa yang bisa dikatakan atau dipikirkan tentang hal-hal tertentu, subjek yang biasa digunakan sebagai contoh dalam wacana tersebut, proses yang dilalui untuk mendapatkan otoritas/kebenaran tentang hal tersebut, praktik-praktik/kegiatan yang dilakukan oleh lembaga tentang hal tersebut [3]. 4. Diskusi Ni Luh Ketut Mas Indrawati, Ketua Program Studi (Kaprodi) Sastra Inggris Unud mengatakan studi tur mahasiswanya ke Singapura berguna dalam mempertahankan akreditasi jurusan. Berbicara mengenai akreditasi, tentunya penelitian ini tidak dapat terlepas dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BANPT). Akreditasi merupakan bentuk akuntabilitas kepada publik yang dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.

Citra 2. Potongan berita Dituntut Kembalikan Uang Mahasiswa, Ini Jawaban Kaprodi Sastra Inggris Unud. Sumber : Tribun Bali Kamis, 22 Oktober 2015 [2].

Menurut BUKU II STANDAR DAN PROSEDUR AKREDITASI PROGRAM STUDI SARJANA [4], standar akreditasi program studi sarjana mencakup komitmen program studi sarjana untuk memberikan layanan prima dan efektivitas pendidikan yang terdiri atas tujuh standar seperti berikut : Standar 1. Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, serta Strategi Pencapaian Standar 2. Tata pamong, Kepemimpinan, Sistem Pengelolaan, dan Penjaminan mutu Standar 3. Mahasiswa dan Lulusan Standar 4. Sumber daya manusia Standar 5. Kurikulum, Pembelajaran, dan Suasana Akademik Standar 6. Pembiayaan, Sarana dan Prasarana, serta Sistem Informasi Standar 7. Penelitian, Pelayanan/Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama Dalam standar kelima disebutkan bahwa suasana akademik adalah kondisi yang dibangun untuk menumbuh-kembangkan semangat dan interaksi akademik antar mahasiswa-dosen-tenaga kependidikan, maupun dengan pihak luar untuk meningkatkan mutu kegiatan akademik, di dalam maupun di luar kelas.

Citra 3. Potongan berita Dituntut Kembalikan Uang Mahasiswa, Ini Jawaban Kaprodi Sastra Inggris Unud. Sumber : Tribun Bali Kamis, 22 Oktober 2015 [2].

Jurnal Studi Kultural Volume I No. Januari 2016 www.an1mage.org

Kegiatan pembelajaran adalah pengalaman belajar yang diperoleh pembelajar dari kegiatan belajar, seperti perkuliahan (tatap muka atau jarak jauh), praktikum atau praktek, magang, pelatihan, diskusi, lokakarya, seminar, dan tugas-tugas pembelajaran lainnya.

13


Lidwina Hana

Sementara pada STANDAR 7 MENGENAI PENELITIAN, PELAYANAN/ PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT, DAN KERJASAMA, disebutkan Program studi memiliki akses untuk menggunakan sumber daya guna mendukung kegiatan penelitian, pelayanan/pengabdian kepada masyarakat, dan kerjasama (Kegiatan kerjasama dengan institusi di dalam dan di luar negeri dalam tiga tahun terakhir).

Reduksi Peran Institusi Pendidikan… .

Singapura. Universal Studios Singapore adalah taman rekreasi bertema (themed park) yang lokasinya di dalam Area Resort World Sentosa dengan tiket masuk sekitar 70 SGD.

Program studi berperan aktif dalam perencanaan, implementasi, pengembangan program kerjasama oleh institusi. Kerjasama dilakukan dalam rangka memanfaatkan serta meningkatkan kepakaran dosen, mahasiswa, dan sumber daya lain yang dimiliki institusi secara saling menguntungkan dengan masyarakat dalam melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Sesuai dengan Standar dan Prosedur Akreditasi Program Studi Sarjana yang dirumuskan oleh BAN-PT, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan memang tidak dibatasi hanya dalam kelas saja. Kegiatan di luar kelas bahkan hingga ke luar negeri sebenarnya tidak dibatasi selama kegiatan tersebut memang ditujukan untuk praktek keilmuan ataupun sesuai dengan tugas-tugas pembelajaran. Kemudian terkait alasan pemilihan Lasale sebagai tujuan kunjungan karena tempat itu juga memiliki jurusan seni dan bahasa. Juga sepertinya kurang tepat karena tidak ada Program Sastra Inggris. Menurut website www.lasalle.edu.sg, universitas ini merupakan universitas yang berfokus pada seni.

Citra 5. Bahasa yang digunakan di Singapura Sumber: www.yourSingapura.com/id_id/about-Singapura/traveller-information/Singapura-traveldetails.html, diunduh pada Kamis, 22 Oktober 2015 [6].

Garden By the Way merupakan kawasan taman kota. Kemudian Merlion Park terdapat patung kepala singa yang menjadi maskot bagi Negara Singapura. Bugis Street terkenal sebagai salah satu pusat perbelanjaan murah di Singapura. Demikian dapat disimpulkan bahwa lebih banyak kegiatan berbelanja dalam Jadwal Studi Tur Prodi Sastra Inggris Unud sehingga mengacu pada konsumerisme dan kapitalisme sehingga tidak sesuai dengan ideologi pendidikan. 5.Konklusi Pemilihan Singapura sebagai Destinasi Studi Tur Mahasiswa Sastra Inggris Unud dititikberatkan pada prestige (gengsi). Dari jadwal studi tur dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini lebih banyak ditujukan untuk mengunjungi tempat-tempat rekreasi. Kunjungan ke universitas yang tidak memiliki program studi yang sama yakni Sastra Inggris semakin menguatkan bukti bahwa Rencana Studi Tur Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris Unud tidak relevan dengan bidang keilmuannya apalagi jika alasannya untuk mempertahankan akreditasi jurusan.

Citra 4. Daftar Program Bachelor dari Lesalle. Sumber : www.lasalle.edu.sg, diunduh pada Kamis, 22 Oktober 2015 [5].

Singapura kenyataannya juga bukan negara yang seluruh penduduknya berbahasa Inggris. Pemerintah Singapura mengakui empat bahasa resmi: Inggris, Melayu, Mandarin, dan Tamil. Bahasa Inggris Singapore juga terkenal dengan sebutan “Singlish”, sementara Bahasa Inggris yang diajarkan seringkali mengadopsi pembelajaran dari UK atau US bukannya Singapore. Melihat jawaban dosen pendamping, sekaligus pembina mahasiswa, yakni I Gusti Ayu Gede Sosiowati bahwa, “Sekarang aja SD, SMP sudah ke sana.” mengindikasikan adanya faktor prestige dalam pemilihan Singapura sebagai negara tujuan studi tur. Apalagi bila dilihat dari tempat-tempat yang akan dikunjungi menunjukkan bahwa Studi Tur Prodi Sastra Inggris Unud memang lebih fokus pada rekreasi. Chinatown memiliki People's Park di mana terdapat pusat perbelanjaan dan barang yang ditawarkan harganya sangat murah. Orchad Road merupakan merupakan pusat retail dan hiburan di Jurnal Studi Kultural Volume I No. Januari 2016 www.an1mage.org

Dalam penilaian BAN-PT juga tidak disebutkan bahwa studi tur merupakan salah satu aspek penilaian dalam akreditasi. Hal yang berdampak pada akreditasi adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Hal-hal yang sarat akan rekreasi tanpa ada hubungannya dengan keilmuwan mahasiswa tentunya tidak relevan dengan alasan yang dikemukakan oleh Ketua Program Studi (Kaprodi) Sastra Inggris Unud. Institusi pendidikan tidak seratus persen sebagai tempat pembelajaran. Pergeseran peran institusi pendidikan yang seharusnya berkewajiban mencerdaskan murid, kini telah menjadi perantara dari produk industri. Mekanisme semacam ini tentunya telah mereduksi institusi pendidikan sebagai perpanjangan tangan kaum kapitalis, tanpa disadari juga turut andil dalam memasung otonomi murid [7]. 6. Pengajuan Solusi Studi tur diadakan agar mahasiswa dapat lebih mengerti dan menerapkan hal yang telah dipelajari di institusi pendidikannya. Apabila memang kegiatan yang dicanangkan lebih banyak berpusat pada tempat-tempat rekreasi semata, maka ada baiknya disebut sebagai tur (tanpa kata studi). 14


Lidwina Hana

Reduksi Peran Institusi Pendidikan‌ .

Program Studi Sastra Inggris Unud sebaiknya tidak memasukkan studi tur sebagai prasyarat skripsi karena tidak ada hubungannya dengan ideologi pendidikan. Studi tur lebih condong ke ideologi kapitalis. Sebaiknya kegiatan studi tur diganti menjadi kegiatan pengabdian masyarakat yang sesuai dengan tridharma perguruan tinggi. Ucapan Terima Kasih Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada An1mage karena telah mengundang saya untuk menulis artikel ini. Juga kepada M.S. Gumelar yang banyak memberikan umpan balik sehingga lebih menyempurnakan artikel ini. Referensi [1] [2] [3] [4] [5] [6]

bali.tribunnews.com/2015/10/22/dituntut-kembalikan-uangmahasiswa-ini-jawaban-kaprodi-sastra-inggris-unud bali.tribunnews.com/2015/10/21/tur-ke-singapura-itu-sebagaiprasyarat skripsi Chris, Barker. (2000). Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage. ban-pt.kemdiknas.go.id/download-program-studi www.lasalle.edu.sg www.yourSingapura.com/id_id/about-Singapura/travellerinformation/Singapura-travel-details.html

Jurnal Studi Kultural Volume I No. Januari 2016 www.an1mage.org

15


Reduksi Peran Institusi Pendidikan… .

Lidwina Hana Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.1: 12–15

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Reduksi Peran Institusi Pendidikan Universitas Udayana Fakultas Sastra dan Budaya Program Studi Sastra Inggris sebagai Perpanjangan Tangan Kaum Kapitalis Lidwina Hana* An1mage/ Universitas Udayana

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 22 Oktober 2015 Direvisi 11 November 2015

Abstrak Studi tur menjadi polemik di antara pihak universitas, mahasiswa, dan wali mahasiswa. Berbagai anggapan muncul menuding studi tur sudah tidak menonjolkan sisi pembelajaran daripada sisi rekreasi. Mahasiswa bahkan diwajibkan untuk mengikuti studi tur dengan alasan sebagai syarat pembuatan skripsi.

Diterima 15 November 2015 Kata Kunci: Reduksi Institusi Pendidikan Universitas Udayana Studi Tur Kapitalis

21 Oktober 2015, Universitas Udayana menjadi headline dari surat kabar Tribun Bali terkait masalah mahasiswa program studi Sastra Inggris tingkat akhir yang gagal melaksanakan studi tur ke Singapura dikarenakan dana studi tur yang telah di bayarkan ke travel agent Bali Chresna Cahaya Tour (BCCT) dibawa lari. Meski banyak pihak yang menempatkan BCCT sebagai pihak yang harus disalahkan karena melarikan uang dan melakukan pembatalan secara sepihak namun penelitian ini akan lebih menyoroti kebijakan Universitas Udayana, khususnya Fakultas Sastra dan Budaya Program Studi Sastra Inggris terkait kebijakannya mengenai studi tur yakni untuk membongkar apakah kebijakan tersebut memang benar-benar sesuai dengan ideologi pendidikan atau justru lebih condong ke ideologi kapitalisme.

© 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Studi tur pada dasarnya merupakan pembelajaran yang dilakukan di luar kelas dengan masih memperhatikan hubungannya dengan bahan pelajaran. Namun yang kerap kali terjadi adalah sisi rekreasinya yang lebih ditonjolkan. Penentuan area studi tur juga sering kali didasarkan pada prestige bukan ke tempat yang sesuai dengan tujuan studi tur. Dalam banyak kasus mahasiswa tidak mengunjungi tempat-tempat yang sesuai dengan semangat pendidikan. Studi tur yang seharusnya memiliki esensi utama sebagai pembelajaran malah mengalami pergeseran menjadi kegiatan rekreasi belaka. Yang lebih menyedihkannya lagi, studi tur yang acap kali berbiaya mahal, bahkan melebihi Uang Kuliah Tunggal (UKT) ini dipaksakan pada mahasiswa, di masukkan dalam Satuan Kredit Semester (SKS) bahkan dicanangkan menjadi prasyarat untuk skripsi seperti yang dialami Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas Udayana Program Studi Sastra Inggris. Menurut Ni Luh Ketut Mas Indrawati, Ketua Program Studi (Kaprodi) Sastra Inggris Universita Udayana (Unud), studi tur merupakan agenda program studi (Prodi) karena tidak ada kebijakan resmi dari pihak universitas maupun fakultas sastra dan budaya yang mengharuskan adanya studi tur itu sebagai prasyarat untuk menempuh program skripsi.

∗ Peneliti koresponden: An1mage | Universitas Udayana. Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali 80361 Mobile: +6285814894988 | E-mail: lidwinahana@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Program studi tur dicanangkan, dan sebagai syarat untuk persiapan skripsi. Program ini kami siapkan untuk angkatan 2012 yang akan segera menempuh skripsi. Menurut Mas, tujuan studi tur ini positif, yakni untuk memberi pengalaman pada para mahasiswa jurusan Sastra Inggris dan berguna juga dalam mempertahankan akreditasi jurusan [1]. Oleh karenanya penelitian ini mempertanyakan apakah studi tur memang sesuai dengan ideologi tridharma perguruan tinggi dan mengacu pada standar nasional pendidikan, atau sudah beralih fungsi dan dimotori oleh ideologi lain? 2. Telaah Pustaka Ada dua berita yang akan dikaji dalam penelitian ini berasal dari Tribun Bali. Judul berita tersebut adalah “Tur ke Singapura Itu Sebagai Prasyarat Skripsi” yang terbit pada tanggal 21 Oktober 2015 dan “Dituntut Kembalikan Uang Mahasiswa, Ini Jawaban Kaprodi Sastra Inggris Unud” yang terbit pada tanggal 22 Oktober 2015. Pada berita “Tur ke Singapura Itu Sebagai Prasyarat Skripsi” dijelaskan bahwa program studi tur ini baru dicanangkan, dan sebagai syarat untuk persiapan skripsi. Program ini disiapkan untuk angkatan 2012 yang akan segera menempuh skripsi. Studi tur merupakan agenda prodi karena tidak ada kebijakan resmi dari pihak universitas maupun Fakultas Sastra dan Budaya yang mengharuskan adanya studi tur itu sebagai prasyarat untuk menempuh program skripsi. 12


Lidwina Hana

Reduksi Peran Institusi Pendidikan… .

Dalam potongan berita selanjutnya, tertuang bahwa studi tur yang direncanakan Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris Unud ini lebih banyak mengunjungi tempat wisata dari pada mengunjungi universitas lain. 3. Metode Menggunakan Metode Analisis Wacana Kritis, analisis difokuskan pada aspek kebahasaan dan konteks-konteks yang terkait dengan aspek tersebut. Konteks disini dapat berarti bahwa aspek kebahasaan tersebut digunakan untuk tujuan dan praktik tertentu.

Citra 1. “Tur ke Singapura Itu Sebagai Prasyarat Skripsi”. Sumber : Tribun Bali Kamis, 21 Oktober 2015, diunduh 22 Oktober 2015 [1].

Beralih ke berita “Dituntut Kembalikan Uang Mahasiswa, Ini Jawaban Kaprodi Sastra Inggris Unud” disinggung bahwa program studi dimaksudkan agar mahasiswa prodi sastra inggris Unud dapat mengenal dunia luar, juga karena bahasa di Singapura adalah Bahasa Inggris. Disisi lain, dosen pendamping, sekaligus pembina mahasiswa, yakni I Gusti Ayu Gede Sosiowati menyatakan kalau SD dan SMP saja sudah pergi ke Singapura.

Studi Wacana Faucault memeriksa pernyataan-pernyataan yang membangun pengetahuan tentang sesuatu hal, tatanan yang menentukan apa yang bisa dikatakan atau dipikirkan tentang hal-hal tertentu, subjek yang biasa digunakan sebagai contoh dalam wacana tersebut, proses yang dilalui untuk mendapatkan otoritas/kebenaran tentang hal tersebut, praktik-praktik/kegiatan yang dilakukan oleh lembaga tentang hal tersebut [3]. 4. Diskusi Ni Luh Ketut Mas Indrawati, Ketua Program Studi (Kaprodi) Sastra Inggris Unud mengatakan studi tur mahasiswanya ke Singapura berguna dalam mempertahankan akreditasi jurusan. Berbicara mengenai akreditasi, tentunya penelitian ini tidak dapat terlepas dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BANPT). Akreditasi merupakan bentuk akuntabilitas kepada publik yang dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.

Citra 2. Potongan berita Dituntut Kembalikan Uang Mahasiswa, Ini Jawaban Kaprodi Sastra Inggris Unud. Sumber : Tribun Bali Kamis, 22 Oktober 2015 [2].

Menurut BUKU II STANDAR DAN PROSEDUR AKREDITASI PROGRAM STUDI SARJANA [4], standar akreditasi program studi sarjana mencakup komitmen program studi sarjana untuk memberikan layanan prima dan efektivitas pendidikan yang terdiri atas tujuh standar seperti berikut : Standar 1. Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, serta Strategi Pencapaian Standar 2. Tata pamong, Kepemimpinan, Sistem Pengelolaan, dan Penjaminan mutu Standar 3. Mahasiswa dan Lulusan Standar 4. Sumber daya manusia Standar 5. Kurikulum, Pembelajaran, dan Suasana Akademik Standar 6. Pembiayaan, Sarana dan Prasarana, serta Sistem Informasi Standar 7. Penelitian, Pelayanan/Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama Dalam standar kelima disebutkan bahwa suasana akademik adalah kondisi yang dibangun untuk menumbuh-kembangkan semangat dan interaksi akademik antar mahasiswa-dosen-tenaga kependidikan, maupun dengan pihak luar untuk meningkatkan mutu kegiatan akademik, di dalam maupun di luar kelas.

Citra 3. Potongan berita Dituntut Kembalikan Uang Mahasiswa, Ini Jawaban Kaprodi Sastra Inggris Unud. Sumber : Tribun Bali Kamis, 22 Oktober 2015 [2].

Jurnal Studi Kultural Volume I No. Januari 2016 www.an1mage.org

Kegiatan pembelajaran adalah pengalaman belajar yang diperoleh pembelajar dari kegiatan belajar, seperti perkuliahan (tatap muka atau jarak jauh), praktikum atau praktek, magang, pelatihan, diskusi, lokakarya, seminar, dan tugas-tugas pembelajaran lainnya.

13


Lidwina Hana

Sementara pada STANDAR 7 MENGENAI PENELITIAN, PELAYANAN/ PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT, DAN KERJASAMA, disebutkan Program studi memiliki akses untuk menggunakan sumber daya guna mendukung kegiatan penelitian, pelayanan/pengabdian kepada masyarakat, dan kerjasama (Kegiatan kerjasama dengan institusi di dalam dan di luar negeri dalam tiga tahun terakhir).

Reduksi Peran Institusi Pendidikan… .

Singapura. Universal Studios Singapore adalah taman rekreasi bertema (themed park) yang lokasinya di dalam Area Resort World Sentosa dengan tiket masuk sekitar 70 SGD.

Program studi berperan aktif dalam perencanaan, implementasi, pengembangan program kerjasama oleh institusi. Kerjasama dilakukan dalam rangka memanfaatkan serta meningkatkan kepakaran dosen, mahasiswa, dan sumber daya lain yang dimiliki institusi secara saling menguntungkan dengan masyarakat dalam melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Sesuai dengan Standar dan Prosedur Akreditasi Program Studi Sarjana yang dirumuskan oleh BAN-PT, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan memang tidak dibatasi hanya dalam kelas saja. Kegiatan di luar kelas bahkan hingga ke luar negeri sebenarnya tidak dibatasi selama kegiatan tersebut memang ditujukan untuk praktek keilmuan ataupun sesuai dengan tugas-tugas pembelajaran. Kemudian terkait alasan pemilihan Lasale sebagai tujuan kunjungan karena tempat itu juga memiliki jurusan seni dan bahasa. Juga sepertinya kurang tepat karena tidak ada Program Sastra Inggris. Menurut website www.lasalle.edu.sg, universitas ini merupakan universitas yang berfokus pada seni.

Citra 5. Bahasa yang digunakan di Singapura Sumber: www.yourSingapura.com/id_id/about-Singapura/traveller-information/Singapura-traveldetails.html, diunduh pada Kamis, 22 Oktober 2015 [6].

Garden By the Way merupakan kawasan taman kota. Kemudian Merlion Park terdapat patung kepala singa yang menjadi maskot bagi Negara Singapura. Bugis Street terkenal sebagai salah satu pusat perbelanjaan murah di Singapura. Demikian dapat disimpulkan bahwa lebih banyak kegiatan berbelanja dalam Jadwal Studi Tur Prodi Sastra Inggris Unud sehingga mengacu pada konsumerisme dan kapitalisme sehingga tidak sesuai dengan ideologi pendidikan. 5.Konklusi Pemilihan Singapura sebagai Destinasi Studi Tur Mahasiswa Sastra Inggris Unud dititikberatkan pada prestige (gengsi). Dari jadwal studi tur dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini lebih banyak ditujukan untuk mengunjungi tempat-tempat rekreasi. Kunjungan ke universitas yang tidak memiliki program studi yang sama yakni Sastra Inggris semakin menguatkan bukti bahwa Rencana Studi Tur Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris Unud tidak relevan dengan bidang keilmuannya apalagi jika alasannya untuk mempertahankan akreditasi jurusan.

Citra 4. Daftar Program Bachelor dari Lesalle. Sumber : www.lasalle.edu.sg, diunduh pada Kamis, 22 Oktober 2015 [5].

Singapura kenyataannya juga bukan negara yang seluruh penduduknya berbahasa Inggris. Pemerintah Singapura mengakui empat bahasa resmi: Inggris, Melayu, Mandarin, dan Tamil. Bahasa Inggris Singapore juga terkenal dengan sebutan “Singlish”, sementara Bahasa Inggris yang diajarkan seringkali mengadopsi pembelajaran dari UK atau US bukannya Singapore. Melihat jawaban dosen pendamping, sekaligus pembina mahasiswa, yakni I Gusti Ayu Gede Sosiowati bahwa, “Sekarang aja SD, SMP sudah ke sana.” mengindikasikan adanya faktor prestige dalam pemilihan Singapura sebagai negara tujuan studi tur. Apalagi bila dilihat dari tempat-tempat yang akan dikunjungi menunjukkan bahwa Studi Tur Prodi Sastra Inggris Unud memang lebih fokus pada rekreasi. Chinatown memiliki People's Park di mana terdapat pusat perbelanjaan dan barang yang ditawarkan harganya sangat murah. Orchad Road merupakan merupakan pusat retail dan hiburan di Jurnal Studi Kultural Volume I No. Januari 2016 www.an1mage.org

Dalam penilaian BAN-PT juga tidak disebutkan bahwa studi tur merupakan salah satu aspek penilaian dalam akreditasi. Hal yang berdampak pada akreditasi adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Hal-hal yang sarat akan rekreasi tanpa ada hubungannya dengan keilmuwan mahasiswa tentunya tidak relevan dengan alasan yang dikemukakan oleh Ketua Program Studi (Kaprodi) Sastra Inggris Unud. Institusi pendidikan tidak seratus persen sebagai tempat pembelajaran. Pergeseran peran institusi pendidikan yang seharusnya berkewajiban mencerdaskan murid, kini telah menjadi perantara dari produk industri. Mekanisme semacam ini tentunya telah mereduksi institusi pendidikan sebagai perpanjangan tangan kaum kapitalis, tanpa disadari juga turut andil dalam memasung otonomi murid [7]. 6. Pengajuan Solusi Studi tur diadakan agar mahasiswa dapat lebih mengerti dan menerapkan hal yang telah dipelajari di institusi pendidikannya. Apabila memang kegiatan yang dicanangkan lebih banyak berpusat pada tempat-tempat rekreasi semata, maka ada baiknya disebut sebagai tur (tanpa kata studi). 14


Lidwina Hana

Reduksi Peran Institusi Pendidikan‌ .

Program Studi Sastra Inggris Unud sebaiknya tidak memasukkan studi tur sebagai prasyarat skripsi karena tidak ada hubungannya dengan ideologi pendidikan. Studi tur lebih condong ke ideologi kapitalis. Sebaiknya kegiatan studi tur diganti menjadi kegiatan pengabdian masyarakat yang sesuai dengan tridharma perguruan tinggi. Ucapan Terima Kasih Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada An1mage karena telah mengundang saya untuk menulis artikel ini. Juga kepada M.S. Gumelar yang banyak memberikan umpan balik sehingga lebih menyempurnakan artikel ini. Referensi [1] [2] [3] [4] [5] [6]

bali.tribunnews.com/2015/10/22/dituntut-kembalikan-uangmahasiswa-ini-jawaban-kaprodi-sastra-inggris-unud bali.tribunnews.com/2015/10/21/tur-ke-singapura-itu-sebagaiprasyarat skripsi Chris, Barker. (2000). Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage. ban-pt.kemdiknas.go.id/download-program-studi www.lasalle.edu.sg www.yourSingapura.com/id_id/about-Singapura/travellerinformation/Singapura-travel-details.html

Jurnal Studi Kultural Volume I No. Januari 2016 www.an1mage.org

15


Jilbab(isasi) dengan Kekuasaan sebagai Wacana yang Diperebutkan‌ .

Mangihut Siregar

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.1: 16–19

(Kajia

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Jilbab(isasi) dengan Kekuasaan sebagai Wacana yang Diperebutkan (Suatu Kajian Multikulturalisme di Kota Bukittinggi Sumatera Barat) Mangihut Siregar* Universitas Udayana

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Multikulturalisme merupakan hal yang sangat sulit ditemukan di Indonesia. Perbedaan dipahami sebatas beraneka macam belum sampai saling menghargai apalagi untuk dirayakan. Perbedaan harus dihindari bila perlu harus dihancurkan sehingga tidak jarang dijumpai konflik antara suku, agama, dan golongan.

Dikirim 13 Oktober 2015 Direvisi 10 November 2015 Diterima 17 November 2015 Kata Kunci: Multikulturalisme Wacana

Perbedaan yang terdapat di tengah masyarakat sering digunakan elit untuk mencapai hasratnya yaitu kekuasaan. Pada kelompok tertentu perbedaan diproduksi dan dipertentangkan untuk mengambil simpati masyarakat yang dominan sedangkan di sisi yang lain para elit mensyukuri perbedaan malah merangkul kaum minoritas. Sikap yang berbeda ini diperankan para elit untuk mendapatkan dukungan suara dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Legislatif (Pileg).

Hegemoni Identitas

Jilbabisasi merupakan salah satu contoh yang dipraktekkan para elit sebagai wacana yang diperebutkan. Wajib jilbab semakin popular menjelang Pilkada dan Pileg. Istilah wajib jilbab disosialisasikan para guru di bangku sekolah baik secara hegemoni maupun dengan cara dominasi. Menjadi suatu hal yang biasa dan wajar bagi orang yang bukan beragama Islam menggunakan jilbab dalam aktifitas sehari-hari. Mereka yang bukan Islam menerima wajib jilbab menjadi suatu keharusan padahal dari segi aturan tidak mempunyai dasar hukum. Implikasi wajib jilbab yang berlaku di Kota bukittinggi mengakibatkan identitasnya semakin kabur. Jilbab yang menjadi identitas Islam secara umum mengalami pergeseran karena jilbab bukan lagi identitas Islam. Jilbab sudah masuk ke gereja dan juga vihara. Wacana wajib jilbab mengakibatkan kekacauan identitas. Š 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Negara Indonesia mengakui bahwa seluruh agama, suku, budaya yang berbagai macam yang ada di negeri tercinta ini merupakan suatu anugerah yang harus disyukuri. Hal ini dapat dilihat dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mempunyai arti berbedabeda tetapi tetap satu. Semboyan ini mempunyai makna yang sangat dalam karena ada pengakuan yang berbeda-beda dari berbagai macam tetapi diikat satu kesatuan dan persatuan di mana satu sama lain saling menghargai, saling menerima antara kekhasan masing-masing identitas (baik suku, agama, ras dan golongan). Dalam perkembangannya, perbedaan-perbedaan yang seharusnya dirayakan namun dalam perjalanannya sering menjadi masalah (api dalam sekam) dan menjadi alat komodifikasi oleh agen baik secara pribadi maupun kelompok. Para agen menggunakan perbedaan untuk tujuannya tanpa mengindahkan dampak terhadap orang lain. Terlebih setelah Negara Indonesia menganut sistem desentralisasi di mana kekuasaan itu bukan hanya berpusat di pemerintahan pusat tetapi sudah dibagi ke daerah-daerah sehingga di masing-masing daerah timbul raja-raja baru (kecil) yang sering berperilaku menjadi saingan pemerintah pusat. Para raja-raja daerah ini tidak takut membuat aturan-aturan yang bertentangan dengan yang di atasnya baik yang tertulis ataupun tidak tertulis demi suatu tujuan yaitu kekuasaan. ∗ Peneliti koresponden: Universitas Udayana. Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali 80361 Mobile: +628568094162| E-mail:msiregar22@yahoo.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Demi kekuasaan perbedaan identitas, etnisitas selalu diproduksi. Perbedaan identitas dan etnisitas merupakan hal yang sangat seksi untuk diwacanakan sehingga masing-masing kelompok mempererat hubungannya untuk berhadapan dengan kelompok lain. Pengelompokan didasarkan atas berbagai macam baik berdasarkan suku, agama, penduduk asli dan pendatang, minoritas dan mayoritas dan lain-lain, dampaknya masing-masing kelompok saling curiga antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Perbedaan menjadi suatu hal yang perlu dipermasalahkan dan pada kesempatan yang lain pribadi/kelompok yang mempermasalahkannya mewacanakan sanggup menyelesaikannya bahkan merayakannya demi satu tujuan yaitu kekuasaan. 2. Diskusi 2.1. Pengertian Multikulturalisme Multikulturalisme berbeda dengan pluralisme kultur. Pluralisme merupakan keberagaman sosial-budaya umat manusia. Keberagaman itu merupakan suatu realitas yang sudah lama ada dan tidak mungkin dihilangkan. Perbedaan itu dipercaya ada dan bukan untuk dirayakan tetapi sebatas dibedakan. Meminjam defenisi yang diutarakan Lawrence Blum, professor filasafat dari Universitas Massachusetts, Boston, Amerika Serikat dan penulis buku Antiracism, Multiculturalism, and Interracial Community: Three Educational Values For a Multicultural Society, menyatakan, multikulturalisme 16


Mangihut Siregar

Jilbab(isasi) dengan Kekuasaan sebagai Wacana yang Diperebutkan‌ .

merupakan sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain [1].

Selain tujuan wisata yang ada di Bukittinggi, di daerah sekitarnya juga mempunyai destinasi yang mendukung Kota Bukittinggi sebagai kota wisata.

Dari pengertian ini terlihat bahwa kondisi realitas sosial budaya yang beragam seperti yang dimaksud pluralisme, namun multikulturalisme itu di samping mengakui keberagaman juga diikuti oleh penghargaan dan perayaan atas keberagaman itu sendiri.

Kota Bukittinggi juga menjadi kota perdagangan bagi kota-kota yang ada di Sumatera. Pasar Aur Kuning dan Pasar Atas menjadi pusat perdagangan tekstil yang sangat terkenal. Harga yang kompetitif dan sangat lengkap mengakibatkan para pedagang dari kota yang lain datang untuk membeli barang dagangan dari Kota Bukittinggi.

Multikulturalisme merupakan sebuah sudut pandang untuk melihat kehidupan manusia yang penuh dengan keberagaman dan bagaimana merespon keberagaman tersebut. Dalam multikulturalisme, keanekaragaman bukan sebagai ancaman, bukan kerugian, dan bukan juga sebagai rintangan tetapi sebagai suatu kekayaan, berkah, sebagai mozaik yang memperindah kehidupan. Perbedaan-perbedaan baik agama, ras, etnis, suku, golongan, dan lain-lain semua ditempatkan dalam posisi yang setara dan mempunyai hak yang sama. Seperti yang diutarakan Lubis, [1], dalam multikulturalisme ditekankan penghargaan dan penghormatan atas hak-hak minoritas yang dilihat dari segi etnis, agama, ras, sexual preference atau warna kulit. Perbedaan diamsalkan sebagai jenis-jenis bunga yang mekar yang berada dalam taman dan kehadiran bunga yang bermacam-macam semakin memperindah dan mengasrikan taman dan bukan sebaliknya. Perbedaan-perbedaan yang ada bukan untuk dipermasalahkan melainkan sebagai kekayaan yang memperindah kehidupan. Perbedaan bukan untuk disingkirkan atau dihanguskan melainkan untuk dirawat, tidak dikerangkeng melainkan diberikan ruang. Yang berbeda atau “yang lain� sebagai “yang lain� tidak harus disamakan atau diseragamkan atau dileburkan melainkan harus diamini. Masing-masing harus menghormati perbedaan dan memberikan ruang-ruang bagi yang berbeda demi pemenuhan hak-hak kaum minoritas. 2.2. Gambaran Umum Kota Bukittinggi Kota Bukittinggi berada di Propinsi Sumatera Barat. Kota ini pernah menjadi Pusat Pemerintahan Republik Indonesia setelah Yogyakarta diduduki Belanda mulai bulan Desember 1948 sampai bulan Juni 1949. Letaknya yang sangat strategis ditambah cuaca yang sangat sejuk, kota ini mendapat banyak sebutan di antaranya, kota wisata, kota pendidikan, kota perdagangan, dan kota kesehatan [2]. Sebagai kota wisata, daerah ini memiliki beberapa destinasi di antaranya, Jam Gadang, Ngarai Sihanok, Lobang Jepang, Pasar Bawah, Aur Kuning, Kebun Binatang, For De Kock, dan lain-lain. Banyaknya destinasi alam ditambah cuaca yang sejuk menjadikan kota ini menjadi tujuan wisatawan yang berkunjung ke Sumatera Barat.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Selain itu Kota Bukittinggi juga disebut sebagai kota kesehatan dan juga kota pendidikan. Dengan julukan tersebut (kota wisata, kota perdagangan, kota pendidikan, kota kesehatan) menjadikan kota ini selalu banyak dikunjungi orang luar baik dari dalam satu propinsi dan juga dari propinsi lain. Dari penampilannya sepintas kota ini sangat terbuka dengan masyarakat pendatang. 2.3. Wajib Jilbab bagi Anak Sekolah Merupakan suatu hal yang sudah biasa bagi anak sekolah mulai dari anak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta menggunakan jilbab bagi anak perempuan di Kota Bukittinggi. Secara umum jilbab merupakan suatu identitas bagi perempuan yang beragama Islam. Identitas dalam hal ini yaitu soal konstruksi kultural karena sumber-sumber wacana yang membentuk pondasi material bagi formasi identitas bersifat kultural [3]. Dengan pengertian ini seseorang menjadi individu melalui proses sosial atau dengan akulturasi sehingga menjadi sesuatu pribadi yang sebenarnya. Melalui akulturasi atau proses-proses lain si subjek (individu) mengkonstruksi atau mengidentifikasikan dirinya kepada pribadi lain menjadi identitasnya. Identitas menjadi ciri khas satu kelompok yang dikonstruksi untuk membedakan kelompoknya dengan kelompok lain. Masing-masing kelompok mempunyai identitas tersendiri dan tidak dimiliki kelompok lain. Tidak ada satu identitas dimiliki oleh dua kelompok yang berbeda. Merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji tentang wajib jilbab bagi semua anak sekolah (baik islam atau non islam) di Kota Bukittinggi. Jilbab dikonstruksi sebagai suatu pakaian resmi atau sopan bagi perempuan yang beragama islam sehingga jilbab menjadi suatu identitas. Namun demikian, penggunaan jilbab di Kota Bukittinggi bukan lagi sebagai identitas islam karena yang non islam juga diwajibkan memakai jilbab. Identitas yang ditunjukkan melalui jilbab menjadi kabur akibat dominasi dan hegemoni yang dipraktekkan dalam jilbab. Wajib jilbab tidak diketahui dari mana asal-muasalnya dan apa dasar hukumnya, namun wacana ini selalu diproduksi. Meminjam pendapat Foucault tentang analisis arkeologis (mencari arche: asal mula) sangat penting untuk menyingkap apa yang terdapat di balik yang tersembunyi dalam memunculkan berbagai wacana [4]. 17


Mangihut Siregar

Jilbab(isasi) dengan Kekuasaan sebagai Wacana yang Diperebutkan‌ .

Merupakan suatu hal yang sangat perlu untuk menemukan landasan pengetahuan apa dan kuasa apa dalam wacana wajib jilbab di sekolah. Dari sudut undang-undang atau Perda misalnya, tidak ada satu pasal pun yang mewajibkan anak sekolah yang non Muslim wajib memakai jilbab namun dalam praktiknya menjadi suatu keharusan.

yang menentang wajib jilbab juga diproduksi oleh orang yang sama.

Wajib jilbab dan juga simbol-simbol Agama Islam lainnya selalu diwacanakan setiap menghadapi Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) dan juga Pemilihan Legislatif (Pileg) Kota Bukittinggi.

Meminjam pendapat Barker [3], bahwa bahasa tidaklah secara akurat mencerminkan dunia tetapi bahasa itu digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan.

Simbol-simbol agama digunakan para petarung untuk mengambil perhatian para pemilih. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa petarung merupakan orang yang agamais, orang yang setia menegakkan Syariat Islam. Hal ini perlu diperebutkan untuk mengambil simpati masyarakat yang dominan Agama Islam. Dalam kampanye politiknya para petarung selalu mendengungkan akan menegakkan Syariat Islam di Bumi Bukittinggi, tidak membiarkan orang lain menodai kemurnian Ajaran Islam. Di sisi yang lain para petarung juga mendekati masyarakat yang non muslim. Wacana yang diproduksi orang yang sama tentang wajib jilbab dan simbol-simbol muslim diganti menjadi orang yang sangat toleran, orang yang akan memperjuangkan keberagaman dan saling menghormati yang minoritas. Bahasa yang dipergunakan yaitu, “kita tinggal di Negara Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, kita bukan negara agama tetapi negara beragama yang bebas memeluk agamanya sesuai dengan kepercayaannya�, dan juga pernyataanpernyataan lain yang sifatnya sangat multikulturalis. Meminjam argumentasi Foucault tentang wacana, bahwa wacana tidak hanya mengatur apa yang bisa dikatakan dalam kondisi-kondisi sosial serta kultural tertentu, namun juga siapa yang dapat bicara, kapan dan di mana [2]. Orang yang sama membuat wacana yang berbeda dalam ruang yang berbeda. Hal yang demikian perlu dilakukan sebagai suatu strategi demi satu tujuan yaitu kekuasaan. Para petarung mengesampingkan wacana yang akan menegakkan Syariat Islam di kelompok muslim diganti dengan wacana yang memperjuangkan hak-hak minoritas di kelompok non-muslim. Wacana yang diproduksi berganti-ganti bertujuan untuk menunjukkan bahwa petarung akan memperjuangkan kelompok yang dikunjungi. Dengan demikian setiap kelompok merasa menjadi satu kelompok dengan petarung sehingga mempercayai kebenaran yang diwacanakan oleh para petarung. Seperti yang diutarakan Foucault [4] bahwa kekuasaan adalah soal praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu, di mana ruang lingkup tersebut ada banyak posisi yang strategis berkaitan dan senantiasa mengalami pergeseran. Wacana wajib jilbab dan simbol-simbol Agama Islam dalam situasi tertentu selalu diproduksi dan di sisi yang lain wacana Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Pergeseran-pergeseran wacana ini sangat strategis dilakukan dan agen yang mewacanakan hal demikian dapat diterima dengan baik oleh kelompok yang berbeda.

Bahasa yang digunakan para agen (dalam hal ini petarung) bermacam-macam makna bahkan mempunyai makna yang berlawanan di tempat yang berbeda untuk mencapai tujuannya. Makna yang berlawanan diproduksi para agen dengan memperhatikan kapan wacana itu dikatakan, di mana dikatakan, dan kepada siapa dikatakan. Hal ini sangat diperlukan sehingga tujuan yang akan dicapai melalui wacana tercapai dengan baik. Menurut Foucault ada empat domain yang membahayakan dalam hal diskursus: pertama politik (kekuasaan), kedua hasrat (seksualitas), ketiga kegilaan, dan keempat palsu atau benar dalam istilah Nietzsche kehendak untuk berkuasa [5]. Kekuasaan tidak datang dari luar, tetapi dengan menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan dari dalam; dan memungkinkan semua itu terjadi. Kekuasaan berkaitan dengan pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan. Wacana wajib jilbab di satu sisi dan wacana tidak wajib jilbab di sisi yang lain berimplikasi kepada intoleransi masyarakat. Masyarakat yang mayoritas menindas masyarakat minoritas dan masyarakat minoritas hanya pasrah menerima keadaan yang menimpa dirinya. Masyarakat menjadi bingung dan menganggap kelompoknya yang paling benar. Anggapan tersebut timbul diakibatkan oleh pengetahuan yang diberikan orang yang mempunyai kuasa. 2.4. Wajib Jilbab sebagai Suatu Hegemoni Istilah hegemoni dicetuskan oleh Antonio Gramsci yang merupakan eksponen abad ke-20. Hegemoni merupakan kesepakatan sementara dan serangkaian aliansi-aliansi yang terbentuk antar kelompok-kelompok sosial yang dimenangkan dan bukan merupakan pemberian [3]. Hegemoni menjadi suatu cara atau metode yang dilakukan sekelompok orang kepada kelompok lain sehingga suatu permasalahan dianggap menjadi hal yang wajar. Hegemoni harus terus diciptakan dan dimenangkan kembali [5]. Menurut Gramsci, untuk mempertahankan kekuasaan ada dua cara yaitu, dominasi dan hegemoni [6]. Dominasi bersifat pemaksaan dan kekerasan (coercive) sedangkan hegemoni bersifat halus dan non fisik melalui kepatuhan dan kesadaran para elemen masyarakat. Kedua cara ini dilakukan para guru di sekolah di Kota Bukittinggi terhadap anak didiknya. Para anak didik akan mendapat tekanan oleh guru di sekolah apabila tidak menggunakan jilbab. 18


Jilbab(isasi) dengan Kekuasaan sebagai Wacana yang Diperebutkan… .

Mangihut Siregar

Anak didik yang memakai jilbab secara tidak benar apalagi tidak memakainya sama sekali akan diganjar dengan sebutan anak yang tidak sopan, tidak tahu aturan, bahkan dipulangkan dari sekolah. Ganjaran yang demikian menyebabkan anak sekolah dengan terpaksa memakai jilbab menjadi suatu identitas. Selain berbentuk dominasi, wajib jilbab lebih dipraktikkan dengan cara hegemonik. Para guru mengajarkan kepada anak didik filosofi Minangkabau yang berbunyi, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijungjung” yang mempunyai arti, di mana kita tinggal wajib hukumnya untuk mengikuti aturan di daerah tersebut. Dilanjutkan lagi dengan filosofi yang lain, “adat bersandi sy’ara, sya’ra bersandi kitabullah”. Yang mempunyai arti, adat berdasarkan agama, dan agama berdasarkan Alquran. Kedua istilah/filosofi ini mau mengatakan bahwa setiap orang yang tinggal di Kota Bukittinggi wajib mengikuti adat yang berlaku di kota tersebut yaitu berazaskan Agama Islam. Wajib jilbab diwacanakan oleh para petarung politik dan disosialisasikan para guru di bangku sekolah sebagai lembaga formal. Wajib jilbab dilakukan secara hegemonik sehingga orang yang seharusnya tidak layak menggunakan jilbab menjadi suatu hal yang wajar untuk menggunakannya. Seperti yang diutarakan Gramsci, dengan metode hegemoni suatu permasalahan menjadi kelajiman (kewajaran) dan tidak perlu lagi dipermasalahkan [5]. Kelompok yang berkuasa harus memperjuangkan legitimasi kelompoknya, dengan demikian kelompok lain menerima prinsip-prinsip, ide-ide, dan norma-norma atau nilainya menjadi milik mereka juga [7].

Pada saat mereka mau belajar agama di rumah ibadah masingmasing para anak didik tetap menggunakan jilbab sehingga jilbab masuk ke dalam gereja dan vihara. 3. Konklusi Multikulturalisme merupakan masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini di Negara Indonesia. Wajib jilbab yang terjadi di Kota Bukittinggi merupakan salah satu contoh dari perbedaan agama, suku, ras yang sering digunakan untuk mencapai tujuan yaitu kekuasaan. Perbedaan belum bisa diterima apalagi dirayakan melainkan harus dihindari dan dihanguskan. Wajib jilbab dan juga simbol-simbol Agama Islam merupakan wacana yang diproduksi oleh para petarung politik baik untuk memenangi Pilkada maupun Pileg. Wacana ini disosialisasikan oleh para pengajar di tingkat PAUD sampai perguruan tinggi di bangku sekolah. Wajib jilbab dilakukan dengan dominasi dan hegemoni. Dominasi dilakukan para pendidik dengan ganjaran kepada anak didiknya sebagai anak tidak sopan, tidak tahu aturan, bahkan dipulangkan dari sekolah. Bentuk hegemoni dilakukan dengan mengajarkan orang pendatang harus ikut kepada adat setempat, yang minoritas harus mengikuti yang mayoritas. Implikasi dari wajib jilbab yang dilakukan secara hegemonik mengakibatkan kekacauan identitas. Jilbab bukan lagi sebagai identitas muslim sebab jilbab sudah masuk ke gereja dan vihara. Masuknya jilbab ke gereja dan vihara akibat anak sekolah yang non muslim memakai jilbabnya sewaktu belajar agama di rumah ibadah. Jilbab(isasi) menjadi wacana yang diperebutkan demi kekuasaan sehingga identitas menjadi kacau. Referensi [1]

Masyarakat non muslim menganggap penggunaan wajib jilbab di sekolah merupakan hal yang wajar karena Kota Bukittinggi merupakan daerah yang mayoritas muslim. Masyarakat minoritas wajib mengikuti mayoritas yaitu budaya Minangkabau dan Agama Islam. Implikasi dari wajib jilbab bagi non muslim mengakibatkan kekacauan identitas. Jilbab bukan lagi hanya identitas yang beragama Islam tetapi jilbab sudah masuk ke tempat ibadah yang non muslim. Merupakan hal yang biasa dijumpai di Kota Bukittinggi bagi anak sekolah menggunakan jilbab ke gereja dan vihara.

[2] [3] [4] [5] [6] [7]

Lubis, Akhyar Yusuf. 2015. Pemikiran Kritis Kontemporer dari Teori Kristis, Cultural Studies, Feminisme, Postkolonial Hingga Multikulturalisme. Jakarta: Raja Grafindo Persada. https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bukittinggi Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. (Terjemahan B. Hendar Putranto) Yogyakarta: Kanisius. Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori & Praktik. (Terjemahan Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta. Santoso, Listiyono dkk. 2012. Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Sugiono, Muhadi. 2006. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hal ini terjadi disebabkan di sekolah-sekolah negeri yang ada di Kota Bukittinggi tidak menyediakan guru agama untuk mengajar mata pelajaran agama selain Agama Islam. Akibatnya anak didik yang beragama Katolik, Kristen, Hindu dan Buddha belajar agama di rumah ibadah masing-masing.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

19


Komodifikasi Buah Mangrove untuk Pemberdayaan Masyarakat‌ .

Mutria Farhaeni

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.1: 20–25

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Komodifikasi Buah Mangrove untuk Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung Bali Mutria Farhaeni* STIE BIITM Kuta Badung

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 21 Oktober 2015 Direvisi 24 Oktober 2015 Diterima 20 November 2015 Kata Kunci: Komodifikasi Buah mangrove Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh dan mengkaji informasi tentang komodifikasi buah mangrove di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung Bali. Kemudian dikaitkan dengan pemberdayaan masyarakat di sekitarnya. Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan mangrove akan terus berlangsung karena masyarakat sangat merasakan manfaatnya sehingga muncullah adat istiadat budaya lokal yang sering disebut kearifan tradisional untuk melestarikan mangrove secara turun-temurun. Permasalahan yang dikaji pertama adalah jenis-jenis buah mangrove apa saja yang dapat dimanfaatkan sebagai produk baik untuk makanan, minuman, sabun, dan kosmetik. Permasalahan kedua adalah pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar pesisir kawasan mangrove khususnya dan secara umum untuk masyarakat luas. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara kepada Kelompok Pengolah dan Pemasaran (Poklahsar) Wana Lestari Tuban dan pengambilan dokumentasi dengan alat kamera. Penelitian ini juga dilakukan dengan metode deskriptif dengan pendekatan kepustakaan. Hasil kajian ini kemudian dideskripsikan, dinarasi serta diinterpretasi dan disusun dalam bentuk makalah. Dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa terdapat lima jenis buah mangrove yang terdapat di areal kawasan Tahura Ngurah Rai Tuban dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai produk olahan buah mangrove yaitu jenis api-api (Avicennia sp), lindur atau bako (Bruguiera gymnorrhiza), Nyirih (Xylocarpus granatum), pidada (Sonneratia caseolaris), nipah (Nypa fruticans) dan pemanfaatan jenis-jenis mangrove ini perlu dikembangkan dan disosialisasikan agar dapat meningkatkan kehidupan dan perekonomian masyarakat disekitarnya. Š 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Kepulauan Indonesia memiliki luas hutan mangrove terbesar di Asia. Diperkirakan luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 2,5 juta dengan lebih kurang 20 jenis dari 44 jenis mangrove yang khas yang ada di dunia[1]. Jenis mangrove yang khas ini adalah jenis mangrove yang sering dijumpai pada habitat mangrove yang biasanya tumbuh pada daerah pesisir yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut, dan pada daerah pantai yang berteluk dengan gelombang air laut yang tenang. Habitat ini dapat di katakan memiliki kondisi tingkat kadar garam yang tinggi dan kandungan Oxygen pada substrat tempat mereka tumbuh sangat sedikit. Pada kondisi seperti ini mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan sifat-sifat atau karakteristik masingmasing spesies mangrove [2]. Potensi mangrove yang tersebar di sepanjang pantai Kepulauan Indonesia yang berteluk dengan gelombang laut yang tenang memungkinkan mangrove akan hidup subur dan berkembang apabila tidak dirusak oleh adanya usaha-usaha atau kegiatan manusia.

∗ Peneliti koresponden: riafarhaeni@gmail.com, Jl. Buluh Indah No. 95 Denpasar Barat Telp. +085101474353

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Potensi mangrove di Indonesia bila dibandingkan dengan potensi mangrove di Negara-negara Asia terlihat memiliki potensi terbesar di Asia. Ekosistem mangrove tidak hanya memiliki manfaat ekologi bagi daratan dan lautan, antara lain, sebagai penahan abrasi, namun dikenal juga mempunyai manfaat ekonomi bagi masyarakat di kawasan pesisir. Pemanfaatan mangrove sebagai bahan makanan, minuman, kosmetik, obat dan sabun sebenarnya telah berkembang sejak dulu dan merupakan salah satu kearifan tradisional masyarakat sekitar ekosistem mangrove. Namun dalam perkembangannya, pemanfaatan mangrove tersebut sudah banyak dilupakan dan hanya beberapa daerah saja yang masih melakukannya. Dari uraian di atas ada dua permasalahan yang akan dikaji yaitu pertama adalah jenis-jenis buah mangrove apa saja yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi sebagai produk baik untuk makanan, minuman, sabun, dan kosmetik. Kedua adalah pemberdayaan dan peningkatan perekonomian masyarakat di sekitar pesisir kawasan mangrove khususnya dan secara umum untuk masyarakat luas.

20


Mutria Farhaeni

Dengan demikian penulis ingin mengkaji manfaat ekonomis buah mangrove untuk pemberdayaan masyarakat pesisir di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung Bali 2. Metode Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara yang terstruktur kepada kelompok Nelayan Wanasari Tuban dan pengambilan dokumentasi dengan alat kamera. Penelitian ini juga dilakukan dengan metode deskriptif dengan pendekatan kepustakaan seperti leaflet, brosur, buku panduan mangrove di Indonesia dan informasi singkat hasil hutan bukan kayu hutan mangrove dari Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) wilayah I tentang pemanfaatan mangrove [3]. Hasil kajian ini kemudian dideskripsikan, dinarasi serta diinterpretasi dan disusun dalam bentuk makalah. 3. Telaah Pustaka 3.1 Mangrove Menurut Mac Nae (1968), pada mulanya hutan mangrove hanya dikenal secara terbatas oleh kawasan ahli lingkungan, terutama lingkungan laut. Mula-mula kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan payau) karena sifat habitatnya yang payau. Berdasarkan dominasi jenis pohonnya, yaitu bakau, maka kawasan mangrove juga disebut hutan bakau. Kata mangrove merupakan kombinasi antara kata Mangue (Bahasa Portugis) yang berarti tumbuhan dan Grove (Bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil Arief (2003).

Komodifikasi Buah Mangrove untuk Pemberdayaan Masyarakat… .

ekologis dan sosial ekonomis yang memiliki berbagai manfaat (Farimansyah, 2005). Adapun tumbuhan yang dominan hidup di daerah hutan mangrove adalah bakau. Bakau merupakan jenis pohon yang tumbuh di daerah perairan dangkal dan daerah intertidal yaitu daerah batas antara darat dan laut pengaruh pasang surut masih terjadi. Hutan bakau tumbuh didaerah tropis dan subtropics, yang berfungsi sebagai pelindung pantai dari terjangan gelombang secara langsung. Oleh karena itu daerah hutan bakau dicirikan oleh adanya lapisan lumpur dan sedimen halus. Hutan bakau juga menjadi tempat hidup bagi habitat liar dan memberikan perlindungan alami terhadap angin yang kuat, gelombang yang dibangkitkan oleh angin (siklon atau badai), dan juga gelombang tsunami. Menurut Marsoedi dan Samlawi (1997), hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di daerah pantai dan di sekitar muara sungai, yang selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi pasang surut. Vegetasi hutan mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tanaman bakau, api-api, prepat, dan tunjang. Areal mangrove tidak hanya sebagai koleksi tanaman, tetapi merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Hutan mangrove juga berperan sebagai tempat hidup jenis udang dan ikan yang bernilai komersial.

Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasangsurut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.

Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.

Sedangkan dalam Bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Anonim, 2003).

Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove [4].

Mangrove juga dapat digunakan untuk menyebut populasi tumbuh-tumbuhan dari beberapa spesies yang mempunyai perakaran Pneumatophores (akar nafas) dan tumbuh di antara garis pasang surut (Steenis, 1978).

3.2 Pemberdayaan Kata “empowerment” dan “empower” diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi pemberdayaan dan memberdayakan, menurut Merriam Webster dan Oxfort English Dictionery (dalam Prijono dan Pranarka, 1996:3) mengandung dua pengertian yaitu : pengertian pertama adalah to give power or authority to, dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable.

Sehingga hutan mangrove juga disebut “hutan pasang”. Berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No. 60/Kpts/Dj/I/1978, hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut (Arief, 2003). Keberadaan hutan mangrove dalam ekosistem pantai merupakan suatu persekutuan hidup alam hayati dan alam lingkungannya yang terdapat di daerah pantai dan disekitar muara sungai pada kawasan hutan tropika, yaitu kawasan hutan yang khas dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan merupakan jalur hijau daerah pantai yang mempunyai fungsi Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedang dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan. Konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi dan lain-lain. 21


Mutria Farhaeni

Memberdayakan masyarakat menurut Kartasasmita (1996: 144) adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable”. Gagasan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat perlu untuk dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. Perubahan struktur yang sangat diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan dan harus dapat dinikmati bersama. Begitu pula sebaliknya, yang menikmati haruslah yang menghasilkan. Proses ini diarahkan agar setiap upaya pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui penciptaan akumulasi modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan, yang mana pada gilirannya nanti dapat pula menciptakan pendapatan yang akhirnya dinikmati oleh seluruh rakyat. Dan proses transformasi ini harus dapat digerakan sendiri oleh masyarakat. Menurut Sumodiningrat (1999), mengatakan bahwa kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat dipilah dalam tiga kelompok yaitu : Pertama, kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Kedua, kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. Ketiga, kebijaksanaan khusus yang menjangkau masyarakat miskin melalui upaya khusus. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, menurut Kartasasmita (1996), harus dilakukan melalui beberapa kegiatan : pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi.

Komodifikasi Buah Mangrove untuk Pemberdayaan Masyarakat… .

4. Diskusi 4.1 Pemanfaatan Jenis-Jenis Mangrove di Desa Tuban Pemanfaatan mangrove sebagai bahan makanan, minuman, kosmetik, obat dan sabun sebenarnya telah berkembang sejak dulu dan merupakan salah satu kearifan tradisional masyarakat sekitar ekosistem mangrove. Namun dalam perkembangannya, pemanfaatan mangrove dilupakan begitu saja dan hanya beberapa daerah saja yang masih melakukan pemanfaatan mangrove secara intensif [6]. Oleh sebab itu perlu didorong pemanfaatan mangrove sebagai bahan makanan, minuman dan lain-lain dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem mangrove itu sendiri, karena peranan ekosistem mangrove dalam keseimbangan ekosistem pesisir sangat penting. Beberapa produk dari jenis-jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) mangrove dapat dimanfaatkan antara lain: makanan, minuman, sabun, dan kosmetik [7].

4.1.1 Api-api (Avicennia sp) Deskripsi Umum Pohon perdu tinggi capai 12 m. akar nafas seperti pensil. Susunan daun tunggal elips bersilangan, ujung daun runcing hingga membundar, panjang daun 5-1 cm, memiliki kelenjar garam, permukaan bawah daun berwarna putih hingga kelabu. Kulit kayu halus, kelabu, hijau loreng (mengelupas pada bercak). Bunga Umumnya berbunga pada bulan Juli-Pebruari. Rangkaian bunga 8-14, berduri rapat, panjang 1-2cm, diujung atau diketiak daun pada pucuk. Bermahkota 4, kuning hingga oranye, 5 helai kelopak, 4 benang sari 0,4-0,5 cm. Buah Panjang 1,5 – 2,5 cm dan lebar 1,5 – 2 cm, berwarna hijau, bagian dalamnya berwarna hijau hingga kekuningan (coklat muda), permukaan buah berambut halus, buah melingkar atau memiliki sebuah paruh pendek.

Di sinilah letak titik tolaknya yaitu bahwa pengenalan setiap manusia, setiap anggota masyarakat, memiliki suatu potensi yang selalu dapat terus dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tidak berdaya, karena kalau demikian akan mudah punah. Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti dengan tetap memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Dalam rangka itu pula diperlukan langkah-langkah yang lebih positif selain dari menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta membuka akses kepada berbagai peluang (upportunities) yang nantinya dapat membuat masyarakat menjadi semakin berdaya.[5] Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Citra 1. Pohon dan buah Api-api Sumber : BPHM Wilayah I, 2007

Manfaat Kulit dan akar (resin yang dihasilkan) untuk obat vitalitas. Kulit batang untuk obat penyakit kulit. Daun untuk pakan ternak dan sumber tannin. Buah untuk tepung bahan dasar 22


Komodifikasi Buah Mangrove untuk Pemberdayaan Masyarakat‌ .

Mutria Farhaeni

makanan yang diperoleh melalui proses pengolahan terlebih dahulu.

makanan sebagai berikut: Kue Kering Lindur, Serabi Lindur, Cake Lindur, Keripik.[3]

Buah Api-api dapat diolah menjadi makanan harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Setelah menjadi tepung baru dapat diolah sebagai bahan baku untuk pembuatan makanan sebagai berikut : kue talam Api-api, wajit Api-api, Bubur Api-api, Donat Api-api, Puding Api-api, Bola Apiapi, Krupuk Api-api.[3]

Citra 2. Tepung Api-api sebagai bahan pembuatan aneka kue dari buah Api-api Sumber : BPHM Wikayah I, 2007

4.1.2 Lindur atau Bako (Bruguiera gymnorrhiza) Deskripsi Umum Pohon tinggi capai 20 m, berakar lutut berbanir kecil, susunan daun simple berlawanan, elips, bersilangan, ujung daun 8-15 cm, permukaan bawah daun berwarna hijau kekuningan. Daun licin dan tebal, tanpa ujung yang kasar dan ramping. Kulit kayu abu-abu gelap, kasar, memiliki mulut kulit kayu.

Citra 4. Beras, kue dan tepung dari buah Lindur Sumber : BPHM Wikayah I, 2007

4.1.3 Nyirih (Xylocarpus granatum) Deskripsi Umum Pohon tinggi capai 8 m. Akar papan dan berbanir. Susunan daun majemuk berseling, anak daun terdiri dari 2 pasang, elips sampai bulat telur sungsang, ujung daun membundar, panjang 7-12 cm. Tipe biji normal. Kulit kayu merah kecoklatan, halus, pucat, berbintik kehijauan atau kekuningan, mengelupas dengan pola acak.

Bunga Berbunga sepanjang tahun, bunga lebar, tunggal, ketiak daun, besar, berwarna merah, panjang 3-5 cm, kelopak 1014 helai, mahkota putih hingga coklat, ujung tiap mahkota berbentuk runcing terdiri dari 3 tangkai benang sari.

Bunga Diameter 1-1,2 cm, berkelamin tunggal, terdapat 8-20 bunga, di ketiak daun, panjang 6 cm. bermahkota 4, krem sampai putih kehijauan, kelopak 4 helai hiau kekuningan, benangsari menyatu dengan pembuluh (tube) berwarna krem putih.

Buah Berbentuk silinder, licin, diameter 1,7-2,0 cm, panjang 2030 cm, hijau gelap hingga ungu dengan bercak coklat. Kelopak menyatu saat buah jatuh, dapat mengapung, penyebaran oleh air, masa buah terutama pada bulan JuliAgustus.

Buah Diameter 15-20 cm, berwarna coklat kekuningan, permukaan kasar, buah tergolong berat 1-2 kg, bulat seperti melon, terdiri dari 6-16 biji, dapat mengapung, berbuah sepanjang tahun terutama pada bulan Juli-Agustus & November-Desember.

Citra 3. Pohon dan Buah Lindur Sumber : BPHM Wikayah I, 2007

Manfaat Kecambah dan daun bisa jadi sayuran. Kulit kayu sebagai obat malaria dan diare. Akar dan daun untuk obat luka bakar. Sumber bahan tannin. Buah Lindur mengandung Air 74%, Lemak 1,2%, Protein 1,1%, Karbohidrat 23,5% dan Abu 0,3%. Buah Lindur dapat diolah menjadi makanan harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Setalah menjadi tepung baru dapat diolah sebagai bahan baku untuk pembuatan

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Citra 5. Pohon dan buah Nyirih Sumber : BPHM Wikayah I, 2007

Manfaat Biji buah Nyirih dapat dimanfaatkan untuk bedak lulur. Minyak dan bijinya bisa untuk minyak rambut. Bijinya juga bermanfaat sebagai obat gatal, obat luka dan pereda demam. Kulit kayu untuk obat sakit perut. Sebagai sumber tannin [3].

23


Komodifikasi Buah Mangrove untuk Pemberdayaan Masyarakat‌ .

Mutria Farhaeni

Citra 6. Bedak lulur dari buah Nyirih Sumber : BPHM Wikayah I, 2007

4.1.4 Pidada (Sonneratia caseolaris) Deskripsi Umum Pohon perdu tinggi capai 16 m. Berakar nafas bentuk kerucut. Susunan daun tunggal bersilangan, oblong sampai bulat telur sungsang, ujung membundar sampai berlekuk, panjang 5-10 cm, permukaan bawah dan atas daun hampir sama. Tipe biji normal. Kulit kayu halus, letak searah longitudinal, warna krem sampai coklat. Berbunga sepanjang tahun antara 3-4 bln.

Citra 8. Sirup, dodol, selai dari buah Pidada Sumber : BPHM Wikayah I, 2007

Bunga Panjang 25 cm, bunga betina berbentuk bola, bunga jantan bergerombol rapat, warna merah bata hingga kekuningan. Buah Panjang buah yang berbentuk bola hingga 45 cm, berwarna coklat gelap atau merah bata berbentuk bola sama seperti pandan.

Bunga Rangkaian 1 sampai beberapa bersusun diujug cabang atau dahan, mahkota putih, kelopak 6-8 helai merah dan hijau, benangsari banyak putih, diameter 5-8 cm, bungasari (ephemeral) terbuka malam hari banyak madu pada pembuluh kelopak. Buah Diameter 3,5-4,5 cm, hijau, permukaan halus, kelopak berbentuk cawan menutupi dasar buah, helai kelopak menyebar atau melengkung berisi 150-200 biji. Berbuah bulan Mei-Juni dan Oktober-November. Pembuahan sampai masak 2-3 bulan.

Citra 9. Pohon dan pengolahan Nipah Sumber : BPHM Wikayah I, 2007

Manfaat Air Nira sebagai bahan baku alkohol, cuka, gula merah. Daun sebagai bahan baku anyaman atap dan dinding. Buah yang muda dapat dimakan, dibuat permen, kolak dan manisan. Buah juga dapat dibuat tepung roti [3].

Citra 7. Pohon, bunga dan buah Pidada Sumber : BPHM Wikayah I, 2007

Manfaat Buahnya dapat dimakan seperti rujak, bahan baku sirup, pudding, sabun, dodol dan selai. Akar Pidada dapat digunakan untuk bahan penutup botol, shuttlecock dan sebagai sumber tannin [3]. 4.1.5 Nipah (Nypa fruticans) Deskripsi Umum Palem tinggi capai 4-9 m. tidak ada akar udara. Daun palem lanset (anak daun) ujung meruncing panjang unit daun 4-9 m. daun menyirip tanpa duri banyak helai. Tipe biji kriptovivipari. Ciri khusus palem mangrove tumbuh berdekatan dan seringkali membentuk komunitas murni di sepanjang tepi sungai Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Citra 10. Air Nira, cuka, gula merah dari buah Nipah Sumber : BPHM Wikayah I, 2007

4.2 Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Desa Tuban Minimnya minat masyarakat untuk menjaga lingkungan mangrove sekitarnya bisa disebabkan kurangnya pengetahuan atas fungsi dan manfaat hutan. Hal inilah yang membuat Kadek Surasmini, seorang perempuan Bali yang tinggal di kawasan dekat hutan mangrove, melakukan sebuah aksi nyata, melalui Pokhlasar (Kelompok Pengolahan dan Pemasaran) Wanalestari Tuban Bali yang diketuainya. Kadek mengajak masyarakat di sekitarnya untuk memanfaatkan buah-buah mangrove yang ada di sekitar dapat memberikan nilai ekonomi sehingga masyarakat antusias 24


Komodifikasi Buah Mangrove untuk Pemberdayaan Masyarakat‌ .

Mutria Farhaeni

untuk melestarikan upaya penanaman mangrove dengan melakukan upaya penanaman mangrove di tempat-tempat kosong.

(Bruguiera gymnorrhiza), nyirih (Xylocarpus granatum), pidada (Sonneratia caseolaris), nipah (Nypa fruticans). 2. Pemanfaatan jenis-jenis mangrove ini perlu disebarluaskan dan disosialisasikan untuk pemberdayaan dan peningkatan kehidupan dan perekonomian masyarakat disekitarnya.

Awalnya, di daerah Tuban terdapat Kelompok Nelayan Wanasari Tuban yang beranggotakan para nelayan. Para kepala rumah tangga inilah yang mencari ikan dan beternak kepiting di area sekitar mangrove. Kelompok nelayan ini juga melakukan pemeliharaan hutan mangrove untuk kepentingan ekowisata. Sebagai seorang perempuan yang sudah lama tinggal di wilayah pesisir, Kadek paham bahwa keberadaan mangrove bermanfaat untuk mencegah abrasi. Ia juga mengetahui bahwa nenek moyangnya dahulu mengkonsumsi buah mangrove sebagai makanan alternatif. Berangkat dari rasa penasaran, Kadek bertanya pada mertuanya mengenai pemanfaatan mangrove sebagai bahan makanan. Ternyata, buah mangrove dapat dikonsumsi sebagai makanan pengganti nasi. Sementara buah Pidada (Sonneratia caseolaris), bisa dipakai sebagai pengganti asam untuk menghilangkan bau amis saat memasak ikan. Niatnya untuk memanfaatkan buah mangrove pun kian terbuka tatkala mendapatkan pelatihan dari pihak swasta. Pengetahuan tentang pemanfaatan mangrove bertambah setelah mendapat kunjungan dari seorang pakar mangrove yaitu Lulut Sri Yuliani, yang menjelaskan dan meneliti kelayakan buah mangrove di Desa Wanasari. Dari hasil penelitian itu terungkap bahwa buah mangrove dari Desa Wanasari layak untuk diolah dan tidak tercemar limbah karena buah yang akan dimanfaatkan adalah buah yang masak di pohon. Semua ilmu yang diperoleh Kadek diajarkan kepada Ibu-ibu Anggota Pokhlasar Wanasari. Produk olahan dari buah mangrove ini dipasarkan di Kampoeng Kepiting Wanasari. Tidak ada eksploitasi atau penebangan mangrove artinya hanya memanfaatkan buah yang sudah masak di pohon. Dapat dikatakan bahwa hanya memanfaatkan buah-buah mangrove dan air nira yang diperoleh dari tumbuhan Nipah. Kelompok Poklahsar Wanalestari tetap memperhatikan aspek konservasi dan kelestarian hutan mangrove.

5.2 Saran 1. Sangat diperlukan pelatihan untuk mengembangkan dan memasarkan produk buah mangrove. 2. Bantuan pendanaan baik dari pemerintah maupun pihak swasta dan kepedulian masyarakat disekitar kawasan hutan mangrove untuk ikut serta mempertahankan dan melestarikan hutan mangrove. Ucapan Terima Kasih Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Michael Sega Gumelar Selaku Ketua Redaksi Pelaksana yang telah memberikan kesempatan dan partisipasi dalam menulis di Journal Studi Kultural ini. Referensi [1]

Ardhana. IPG. (2000). Pengelolaan Lingkungan Pesisir Dalam Rangka Konservasi Sumberdaya Mangrove di Wilayah Bali. Konferensi BKPSL ke XV di Bandung. [2] Ardhana, IPG. (2011). Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bahan Matrikulasi Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Udayana, Denpasar [3] BPHM. (2012). Informasi Singkat Hasil Hutan Bukan Kayu “Manfaat Buah Mangrove.� BPHM Wilayah I, Denpasar [4] www.repository.usu.ac.id diunggah 18 Oktober 2015 [5] www.teoripemberdayaan.blogspot.co.id18 Oktober 2015 [6] Shozo Kitamura, Chairil Anwar, Amalyos Chaniago, Shigeyuki Baba. 1997. Buku Panduan Mangrove di Indonesia-Bali & Lombok. Dephut and JICA [7] BPHM Wilayah I. (2007). Leaflet Pengenalan Jenis Mangrove. BPHM I Denpasar [8] Nyoto Santoso, Bayu Catur Nurcahya, Ahmad Siregar, Ida Farida. (2005). Resep Makanan Berbahan Baku Mangrove dan Pemanfaatan Nipah 2005. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Jakarta [9] BPHM. (2007). Leaflet Manfaat Buah Mangrove. BPHM Wilayah I, Denpasar [10] www.print.kompas.com diunggah 18 Oktober 2015

Kelompok ini berharap usaha yang dilakukan dapat berkembang dan menjadi tambahan penghasilan anggotaanggotanya. Dengan mengolah buah yang ada dan mendapatkan manfaat ekonomis, masyarakat sekitar khususnya Anggota Poklahsar Wanalestari akan semakin antusias menjaga hutan mangrove, melakukan penanaman kembali, dan menjaga lingkungan mangrove sehingga tidak ada lagi lingkungan mangrove yang rusak dan terbengkalai [10]. 5 Konklusi 5.1 Simpulan Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Buah mangrove yang dapat diolah dan dimanfaatkan secara ekonomis baik untuk makanan, minuman, sabun dan kosmetik adalah jenis api-api (Avicennia sp), lindur atau bako Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

25


Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali

I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.1: 26–32

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan*, I Nyoman Jayanegara STMIK STIKOM Indonesia, STMIK STIKOM Indonesia

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 17 November 2015 Direvisi 19 November 2015

Abstrak Seni tato saat ini sangat berkembang dalam perjalanannya, dari wujud atau bentuk dan pemaknaan. Tidak hanya sekedar peniruan dari tato yang sudah ada sebelumnya, tapi juga mengalami modifikasi dalam bentuk. Tidak dapat dipungkiri, tato dalam hal gaya visual banyak terpengaruh dari motif tradisional dan ini terfokus pada Tato Motif Rangda.

Diterima 21 November 2015 Kata Kunci: Kajian Rangda Motivaasi Budaya Bali

Wujud Tato Motif Rangda sebenarnya dihindari oleh Masyarakat Bali, dikarenakan wujud tersebut secara nyata dihubungkan dengan nilai sakral. Namun dibalik fenomena yang ada, beberapa Orang Bali saat ini mengaplikasikan Tato Motif Rangda ke dalam tato mereka. Dari hanya sekedar sebagai hiasan pada tubuh sampai dengan memaknainya lebih dari sekedar motif belaka. Dengan mendeskripsikan secara kualitatif, Tato Motif Rangda dari pemakainya memang sangat beragam. Hasil pengamatan beragam motif dari pemakai tato dapat disimpulkan bahwa, tato dengan Motif Rangda merupakan sarana komunikasi menjunjung budaya lokal yaitu Budaya Bali. Atas dasar motivasi yang ada, hal ini akan mengungkap lebih dalam tentang Tato Rangda pada Orang Bali dari sudut pandang motivasi dalam berkesenian. Š 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Tato adalah salah satu wujud budaya di bumi ini. Tato merupakan suatu perpaduan seni di dalamnya. Budaya tato telah ada ribuan tahun dan menjadi suatu visualisasi dengan maksud tertentu, di berbagai belahan atau negara di dunia. Salah satunya adalah Indonesia, yang terkenal akan Motif Tato Suku Dayak Kalimantan dan Suku Mentawai di Sumatra serta bagian Nusa Tenggara Timur.

Walau demikian, wujud tato masih dapat terdeteksi eksistensinya saat ini. Sebelumnya seolah-olah bergerak di bawah tanah, tersembunyi, kini semakin jelas bangkit dan dengan mudah dilihat atau ditemukan. Perubahan pola pikir atau perspektif masyarakat, membuat tato menjadi hal yang biasa dipamerkan. Bahkan beberapa kalangan penggemar, tato dijadikan sebagai suatu kebutuhan bagi diri mereka.

Sifat dan motif kesukuan tersebut, kaku dan hitam putih, kini berkembang menjadi lebih berwarna. Hal ini dikarenakan kombinasi, maksud dan tujuan serta pemahaman tentang tato pada masyarakat saat ini. Wujud visual selain memperkaya motif tato dalam khasanah dunia pentatoan, pengaruh akan budaya setempat juga sangat berperan dalam pengembangan dan pengayaan motifmotif tersebut.

Seperti halnya sebuah lukisan atau bentuk seni yang lain, tato juga memiliki aliran gaya visual dan pemakai fanatik. Tribal, black and gray, oldschool, newschool, biomechanical, fantasy dan masih banyak lagi gaya yang lain, ini diminati berbagai lapisan dan kelas masyarakat. Hal ini tidak menutup kemungkinan menjadi bagian dari pemikiran posmo mewujudkan pesan visual melalui tato.

Perkembangan tato yang begitu rumit, selalu diiringi oleh paradigma yang meliputi tato itu sendiri. Sekilas tentang anggapan masyarakat terkait dengan kenegatifan tato, yakni fenomena sosial yang terjadi kebetulan dalam lingkup dunia tato. Hal tersebut seperti adanya peraturan pemerintah akan larangan tato serta kejadian kriminal yang dikaitkan dengan tato. Secara tidak langsung hal demikian seakan membangun dogma negatif tato secara menyeluruh. Ini semua merupakan bagian dari suatu fondasi tentang pencitraan tato menjadi sesuatu yang menakutkan, mengerikan dan patut dihindari. Bahkan jika hal ini terus berkelanjutan, akan berakibat fatal seperti sirnanya sebuah wujud seni budaya yang mengiringi sejarah peradaban manusia. ∗ Peneliti koresponden: anomdesign@gmail.com, Jl. Dewi Sri No. 7 Batubulan, Gianyar Telp. +6281999237169

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan berbagai macam suku, ras dan agama, tentunya bermacam macam pula budaya yang terkandung. Khususnya di Bali, seni budaya memang sangat lekat dibenak masyarakatnya. Sehingga memancarkan vibrasi magnetik pada wisatawan lokal maupun mancanegara. Jika dibahas lebih spesifik, yaitu dari kajian yang dilakukan, Unsur Budaya Bali sering menjadi bagian elemen desain pada aplikasi tato. Ilustrasi Lokal Bali yang memang kaya akan motif, menjadi primadona tersendiri bagi wisatawan. Ungkapan makna tentunya menjadi berbeda bagi mereka yang cenderung menganggap hal tersebut sebagai wujud kenangan atau souvenir semata. Terlepas dari pemaparan di atas, pendapat tentang perwujudan tato dengan Nuansa Bali, sungguh bertolak belakang pada Orang Bali sendiri. 26


I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan

Orang Bali yang mengerti tentang wujud Motif Bali, baik itu pemakai ataupun bukan, akan menghubungkan dengan hal-hal yang bersifat magis. Hal tersebut dianggap memiliki suatu konsekuensi tertentu yang bersifat kurang baik kedepannya. Pendapat ini juga menjadi lebih buruk jika bersentuhan langsung dengan orang-orang yang anti tatoisme. Secara sederhana bisa dikatakan, Motif-motif Bali yang ada, sangat tidak tepat dan perlu dihindari atau mencari alternatifcitra tato yang lain untuk diaplikasikan. Pada sisi yang berbeda, kenyataannya ada segelintir Orang Bali yang mengaplikasikan motif-motif tersebut. Hal inipun tidak serta merta tanpa alasan, malah memiliki pemaknaan yang beragam dan mendalam dari setiap individu pemakainya. Sehubungan dengan banyaknya motif dan adanya fakta tentang fenomena tato bernuansakan Bali pada Orang Bali sendiri, maka pembahasan kajian penelitian ini difokuskan pada satu jenis yaitu khusus pada jenis Tato Rangda. Adapun cakupan wilayah penelitian bertempat di Denpasar. Kajian tentang hal ini tentunya dengan pertimbangan fakta yang ada dan memang dianggap sangat menarik untuk diungkap serta diteliti. Fokus kajian Rangda pada tato, menurut pengamatan, memiliki suatu kontradiksi pendapat. Kontradiksi ini didasarkan atas wujud, sifat, makna dan hal-hal lain yang dikaitkan dengan Rangda itu sendiri.Hal-hal tersebut digali dari pelaku tato, pemakai tato, narasumber dan sumber-sumber lain yang dirasa penting dalam pengembangan penelitian.Sehingga pendekripsian tentang Tato Motif Rangda pada Orang Bali dapat terjawab dengan maksimal. Tentunya, ini dikaji berdasarkan kacamata seni dan desain, secara estetis, semiotis, serta motifasi sebagai unsur-unsur pembedah fenomena yang ada. Adapun garis besar tujuan penelitian, selain daripada mengkaji tato dalam lingkup seni ataupun desain, serta mencoba memberikan suatu pemahaman tentang Tato Rangda. Pemahaman dengan pendekatan diatas, diharapkan dapat memberikan suatu penyadaran penilaian paradigma tato khususnya pada Orang Bali, baik bagi yang awam maupun orang-orang yang terlibat di dalamnya. 2. Telaah Pustaka 2.1 Istilah Tato Tato dalam topik kajian ini merupakan suatu istilah yang sampai saat ini masih belum pasti kemunculannya. Istilah tato sendiri, yang diukap dari beberapa sumber memiliki kesamaan yaitu,…Kata tato adalah pengindonesiaan dari kata tattoo, artinya adalah goresan, desain, citra, atau lambang yang dibuat pada kulit secara permanen. ...Dalam The American Heritage Desk Dictionary ditulis bahwa kata tato berasal dari Polinesia. Lebih detail lagi, dalam The Art of the New Zealand, Anne Nicholas menulis bahwa tattoo berasal dari bahasa Tahiti tatau. …Namun dari mana tato sesungguhnya berasal belum dapat diketahui secara pasti…[1]. Pendapat lain menyebutkan …Secara kebahasaan, tato mempunyai istilah yang nyaris sama digunakan di berbagai belahan dunia. Beberapa diantaranya adalah tatoage, tatouage, tatowier, tatauggio, tatauar, tatuaje, tattoos, tattueringar, tattoos, dan tatu. Tato yang merupakan bagian dari body painting adalah suatu produk dari kegiatan membuat citra pada kulit tubuh Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali

dengan menggunakan alat sejenis jarum atau benda dipertajam yang terbuat dari flora… . Amy Krakov mengungkapkan secara teknis bahwa tato adalah pewarnaan permanen pada tubuh dengan cara diresapkan. dengan benda tajam ke dalam kulit (dermis). …Dalam Bahasa Jawa, tato mempunyai makna yang nyaris sama meskipun berbeda, yakni dari kata “tatu” yang memiliki kesejajaran makna “luka” atau “bekas luka”,…[2]. Pemaparan pendapat di atas, dapat dirumuskan bahwa istilah tato di berbagai belahan dunia, bahkan di Indonesia memiliki kemiripan. Istilah tato sendiri merupakan sebuah proses melukai kulit dengan benda tajam dan menyisipkan suatu cairan tinta ke dalamnya. Proses melukai dan menyisipkan tinta tersebut mengikuti pola yang sudah direncanakan, alhasil adalah sebuah lukisan pada tubuh. Saat ini, pola atau motif dari tato sangatlah beragam yang dihasilkan dari seniman dan keinginan pemakai tato. 2.2 Tato dalam Kehidupan Masyarakat Bertato Bagi masyarakat yang memiliki budaya tato … Tato pada awalnya dipercaya untuk kebutuhan ritual, untuk itulah biasanya dipilih orang-orang yang punya kecakapan khusus untuk melakukannya. …Orang-orang yang khusus yang terpilih sebagai penato karena keterampilan motoriknya untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan artistik, serta punya kepekaan akan keindahan. Makanya dalam setiap konteks budaya yang memiliki sub-kultur selalu saja ada orang yang terpilih sebagai penato. Dengan kemampuan itu, orang itu bisa dianggap sebagai seniman, yaitu orang yang mempunyai kemampuan dan keterampilan artistik dan estetis yang lebih untuk menangani apa yang diserahkan kepadanya untuk dikerjakan, dalm konteks ini pekerjaan menato. Pendapat lain menyebutkan bahwa, tato adalah salah satu wilayah olah seni… dan umurnya sebatas sisa hidup dari penyandangnya. …Makanya tato berbeda dari lukisan, patung atau karya arsitektur yang punya rentang waktu hidup yang lebih lama. Sebab karya tato seseorang tidak dapat diwariskan sebagaimana objek biasa… [1]. Petikan oleh Henk Sciffmacher dari karya Cristopher Scott mengenai tato yang komprehensif yaitu bukunya yang berjudul Skin deep, Art, Sex and Symbol. (1) penyamaran dalam berburu, (2) alasan religious, (3) mengatasi periode-periode sulit, (4) sebagai sarana inisiasi, (5) keperluan medis, (6) sarana komunikasi, (7) mengikuti orang lain, (8) protes atau perlawanan, (9) rasa erotik, (10) sebagai kenangan, (11) mengidentifikasi diri, (12) mencari nafkah, (13) informasi medis, (14) memberi stigma individu atau kelompok, (15) dan kosmetik [1]. Tato dalam kehidupan sosial masyarakat di maknai dan memiliki beragam alasan. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa tato memiliki tempat tersendiri bagi pemakainya atau yang memanfaatkannya. 27


Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali

I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan

Diungkapkan bahwa tato memiliki andil dalam seni dan perkembangan budaya dalam masyarakat. Hal ini menjadi penting untuk sumber data dalam kajian yang akan dilakukan.

Relevansi tentang pendapat di atas merupakan hubungan filosofis tentang Rangda. Ini akan terkait dengan motivasi yang menyelimuti mengenai topik yang akan dibahas dalam penelitian ini.

2.3 Tato dalam Masyarakat Bali Entah sejak kapan tato mulai dikenal di Indonesia khususnya di Bali. Tidak ada satupun sumber yang dapat menjelaskan hal tersebut.

.

Namun keberadaan tato di Bali dapat dilihat dengan jelas eksistensinya saat ini. Hal tersebut diungkapkan pula pada tato dalam masyarakat Bali kekinian yaitu …solidaritas komunal mereka membuat tato… mulai mengalami perkembangan dikarenakan membanjirnya kunjungan wisatawan. …Bali kini dilanda tato sekular. Tato pada awalnya merupakan media pertalian dengan suatu yang transenden, kini lebih mengarah pada hubungan horizontal. Kecenderungan Warga Bali meninggalkan desain lokalnya karena adanya kekhawatiran menanggung resiko jika citra lokal yang ditempatkan, tidak sesuai dengan nilai transendentalnya. …tumbuh suburnya jasa membuat tato di Dunia Pariwisata Bali merupakan respon reaktif terhadap wisatawan… [2].

3. Metode 3.1 Rancangan Penelitian Untuk memperoleh data yang sesuai dengan tujuan penelitian, penulis melakukan studi lapangan (survey), studi pustaka yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan topik. Data-data awal sebagai landasan teori dipergunakan untuk menganalisa data-data yang diperoleh dari lapangan untuk mendapatkan kesimpulan data. Kesimpulan data dianalisis untuk memperoleh kesimpulan umum dan kesimpulan khusus penelitian yang menjawab pertanyaan penelitian yang berupa asumsi dan mencapai tujuan penelitian. Berikut adalah poin penting dari rancangan penelitian: 

Penelitian langsung di lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer dan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder. Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap bahan-bahan bacaan dalam bentuk buku, majalah, bahan seminar, koran, majalah, katalog dan sumber tertulis lainnya yang terkait dan relevan dengan landasan teori.

Pemaparan di atas bahwa, tato telah melakukan keterlibatannya dalam kehidupan Orang Bali. Hal ini juga didukung oleh perkembangan Pariwisata Bali sehingga tato menjadi suatu primadona dalam bisnis pariwisata. Namun dalam perkembangan pariwisata ini, Warga Bali mulai meninggalkan desain lokalnya dan mengalihkan ke desain dari luar. Fenomena ini timbul dengan alasan permasalahan nilai yang ada dalam desain tersebut. Pada sisi yang berbeda dan mendukung topik adalah penggunaan simbol nasional yaitu …simbol garuda dalam seni tato sebagai identitas diri merupakan media politik identitas dalam zaman postmodern ini tentu menarik untuk dibahas…Rasa nasionalisme dan fanatisme terhadap Lambang Garuda Pancasila menjadi identitas dirinya…sebagai seorang yang pancasilais [7]. 2.4 Sekilas Tentang Rangda Rangda dari sisi Wujud dan bentuk dianggap raksasa perempuan yang menyeramkan bertaring panjang, mata melotot, lidah yang menjulur dan berhiaskan api. Rangda juga dianggap pemimpin kegelapan dan segala praktek ilmu hitam [5]. Dalam seni pertunjukan, Rangda sering ditarikan dalam Cerita Calonarang dan pertunjukan untuk pariwisata. Rangda dalam kehidupan religi di Bali, khususnya dalam agama Hindu cenderung dikaitkan dengan Dewi Durga serta dihubungkan dengan kemagisan dan kesakralan. Dalam Titib dijelaskan bahwa, Durga adalah dewi dan ibu alam semesta. Durga memiliki beraneka wujud dan aspek. Parwati yang merupakan Sakti Dewa Siwa adalah salah satu wujud Durga …Dalam mitologi Hindu, Durga dikenal sebagai dewi yang menyeramkan, yang dianggap sebagai penjelmaan Uma atau Parwati dalam bentuk krodha. Dalam bentuknya yang menyeramkan Durga dianggap sebagai manifestasi dari Kali [6].

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Sumber-sumber audio-visual dari wawancara dengan seniman tato dan pemakai tato juga dikumpulkan untuk menyempurnakan dan melengkapi data. 

Pencarian sumber-sumber data mempergunakan metode purposive sampling. Data-data tersebut akan diinterpretasikan dan dideskripsikan secara komperatif.

3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah elemen penting dalam pengumpulan data. Mengingat keterbatasan waktu serta data yang ada maka difokuskan pada lokasi tertentu. Adapun lokasi penelitian Wilayah Bali adalah Wilayah Denpasar Timur, dalam wilayah ini peneliti mencari data-data baik berupa informasi, citra, wawancara dan sebagainya. Dengan kata lain pencarian data pada Wilayah Denpasar Timur di asumsikan mewakili Wilayah Bali. Namun dalam prediksi peneliti, akan terjadi kesulitan yang cukup berarti dari lokasi tersebut. Maka pencarian data atas dasar metode purposive sampling menitik beratkan pada pelaku tato baik dari pencipta dan pemakai tato.

3.3 Jenis dan Sumber Data Metode penelitian yang dipilih dengan penggunaanya dalam penelitian, dimulai dengan langkah-langkah;  Mengidentifikasi makna dan arti dari tato dan Rangda sehingga diperoleh kesimpulan tentang pengertiannya.  Melakukan proses analisis berdasarkan data-data yang didapatkan dengan pendekatan teori yang dipilih.  Membuat kesimpulan mengenai analisa di atas dengan objek penelitian. 28


I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan

Adapun jenis data, dengan pendekatan metode yang digunakan meliputi :  Pendekatan Kualitatif Pendekatan kualitatif dalam hal pengumpulan data merujuk pada purposive sampling dan mendeskripsikan informasi yang didapat secara komprehensif dengan datadata yang objektif.  Metode komperatif Metode komperatif yang digunakan bertujuan menarik kesimpulan kualitatif interpretatif dari hal-hal yang bersifat khusus menjadi bersifat umum.  Penulisan Deskriptif Penulisan deskriptif yang dilakukan adalah mengurai fakta-fakta tentang Tato Rangda dalam implementasinya pada Orang Bali untuk ditemukan hubungannya. Dalam penelitian kualitatif sumber data adalah dari informan yang dikategorikan menjadi informan kunci dan informan pelengkap. Yang merupakan informan kunci dalam penelitian ini adalah Para Pemakai Tato Rangda.

Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali

3.7 Penyajian Hasil Analisis Data Data primer maupun data sekunder ditabulasikan dan dicitrakan menurut pokok permasalahan yang dibahas. Selanjutnya data tersebut dianalisis dan hasil penelitian tersebut kemudian disesuaikan dengan permasalahan yang ada dan diarahkan untuk. mencapai tujuan. 4. Diskusi 4.1 Lokasi Informan di Denpasar Timur Lokasi informan yang dimaksud adalah domisili masingmasing informan yang tersebar di Denpasar Timur. Berdasarkan lokasi tersebut, peneliti melakukan wawancara pada masing-masing berdasarkan kaitan-kaitan fenomena pada topik yang diangkat. Hasil wawancara informan pada masingmasing lokasi secara langsung dilakukan. Adapun nama informan dan lokasi tempat atau domisili informan adalah citra 1:

Sedangkan informan pelengkap adalah para seniman tato yang pernah mengaplikasikan karyanya berupa Tato Rangda. Kedua jenis sumber data ini terfokus pada Orang Bali yang beragama Hindu. 3.4 Instrumen Penelitian Mengingat ini adalah penelitian kualitatif, maka intrumen penelitiannya adalah peneliti sendiri. Peneliti melakukan segala sesuatunya dari perencanaan penelitian yang dilakukan, pelaksanaan pengumpulan data, melakukan analisis, penafsiran data sampai dengan pelaporan hasil penelitian. Analisis dan penapsiran dilakukan berdasarkan berbagai hal, dari data-data yang didapatkan, kajian pustaka dan pendekatan teoritis yang tepat. 3.5 Teknik Pengumpulan Data  Observasi dilakukan guna mengenal, memahami dan mengekplorasi dari segi tempat dan sumber data yaitu informan yang akan dihadapi.  Wawancara dilakukan dengan narasumber yang berkompeten dan berpengalaman dalam bidang yang terkait yaitu tato seperti seniman tato dan Pemakai Tato Rangda  Penelitian kepustakaan dilakukan untuk menganalisa dan mempelajari teori yang berkaitan dengan Tato Rangda.  Data audio dan visual dikumpulkan dengan intrumentasi yang tepat, efektif dan efisien, lalu dikumpulkan dan diinventariskan sebagai dokumen digital dengan duplikasi yang wajar untuk mencegah raibnya data. 3.6 Analisis Data Analisis data terfokus pada Tato Rangda pada Orang Bali di Denpasar Timur untuk dikembangkan dalam ranah pengetahuan kosmologi seni dan budaya. Berikut adalah tahapan analisis data yang dilakukan :  Mengidentifikasi citra atau Tato Rangda yang ada dengan pendekatan pemahaman nilai simbolik yang berasal dari Bali.  Mencari motivasi setiap Individu Pemakai Tato Rangda menjadi suatu yang dapat dipertanggung jawabkan. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Citra 1. Peta domisili seluruh informan. (Sumber: www.map.google.com(2012) & www.denpasarkota.go.id (2013))

Citra 2. Winarta asal Kesiman. (Sumber: Foto Anom, 2012)

29


Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali

I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan

(1)

Winarta seorang usahawan berumur 30 tahun berdomisili di Kesiman, tepatnya di Jl. Sekar Sari No. 19, Kertalangu memiliki Tato Rangda pada kaki kiri seperi dilihat pada citra 2. (2) Gilang berumur 30 tahun berdomisili di Kesiman, tepatnya di Jl. Sekar No. 10, Kebonkuri, Kesiman, Denpasar memiliki Tato Rangda pada punggung bagian kanan seperti dapat dilihat pada citra 3.

(9)

Informan umur 18 tahun bernama Pramana memiliki Tato Rangda pada bagian dada sebelah kiri. Domisili informan di Kesiman tepatnya di Jl Menuri II, No. 5 Kertalangu, Kesiman. (10) Informan Wirawan umur 30 tahun asal Kesiman. Kertalangu, informan yang berprofesi sebagai seniman tato berdomisili di Jl. Soka No. 93, Kertalangu. Secara keseluruhan disajikan pada citra 4.

Citra 4. informan Denpasar Timur bertato Rangda.. (Sumber: Foto Anom)

4.2 Motivasi Tato Rangda Pada penjelasan awal pada pembahasan tentang landasan teori. Landasan teori dalam penelitian sangatlah penting adanya, karena landasan teori sebagai bagian instrumen guna mengungkap permasalahan dalam penelitian. Citra 3. Gilang asal Kesiman. (Sumber: Foto Anom, 2012)

3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

Berikutnya adalah Purnayasa berumur 23 tahun, tepatnya berdomisili di Jl. Akasia No. 23 Denpasar memiliki Tato Rangda pada bagian punggung kiri. Informan berikutnya Giri berumur 23 tahun, asal Kesiman tepatnya Jl. Kejanti, No. 18, Kertalangu, Kesiman. Giri memiliki Tato Rangda pada bagian kaki kanan sisi kanan hampir memenuhi punggung pada sisi kanan. Mangku Alit adalah nama alias dari seorang juru parkir umur 40 tahun asal Kesiman. Tepatnya berdomisili di Jl. Waribang, Gg. Sakura No. 3, Kesiman, memiliki Tato Rangda pada tangan sebelah kanan. Informan selanjutnya bernama Sudarsana berumur 39 tahun asal Kesiman. Tepatnya berdomisili di Jl. Kejanti, No. 12, Kesiman Kertalangu dengan Tato Rangda terletak pada punggung sebelah kanan. Rusna umur 33 tahun memiliki Tato Rangda pada posisi bidang dada sebelah kiri seperti dilihat pada citra 5.8. Domisili informan di Jl. Siulan, No. 180, Br. Laplap Tengah, Penatih. Gung Aji (alias) memiliki Tato Rangda yang terletak pada tengah-tengah bidang dada informan. Domisili informan di seputaran Jl. Drupadi, Kelandis.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori motivasi. Motivasi, dari pengertiannya menurut Frence dan Reven‌motivasi adalah suatu yang mendorong seseorang untuk menunjukkan perilaku tertentu [3]. Menurut Hisbuan, motivasi (motif) sering kali disamakan dengan dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat, sehingga motif tersebut menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan perbuatan itu mempunyai tujuan tertentu. Pendapat tersebut didukung oleh Jones, mengatakan motivasi mempunyai kaitan dengan suatu proses yang membangun dan memelihara perilaku kearah suatu tujuan [4]. Dapat dirumuskan bahwa kaitannya adalah dorongan berdasarkan tujuan dalam berperilaku. Kaitannya dalam Tato Rangda, perwujudan visual secara nyata, dalam Lingkungan Masyarakat Bali memiliki nuansa menyeramkan. Jenis visual yakni Rangda dalam tato sangatlah dihindari oleh Orang Bali sendiri yang dikarenakan kesan tersebut. Namun kenyataannya, para informan berdasarkan pengumpulan data justru mengaplikasikan Rangda dalam tato mereka. Hal ini 30


I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan

dapat dikatakan bahwa Rangda bagi para informan memiliki arti tersendiri bagi mereka. Seperti yang dikatakan oleh Rusna pada wawancara tanggal 18 Mei 2011 mengatakan bahwa tidak ada hal yang perlu ditakutkan, ini didasari atas apa yang dia percayai. Tato Rangda yang diaplikasikannya ke kulit menurut Rusna merupakan bagian dari pelestarian budaya tradisi. Segala bentuk yang terkait dengan kenegatifan tato di mata masyarakat adalah hal yang terlalu berlebihan dan samasekali tidak berhubungan dengan kelakuan. Pada kesempatan ini Rusna dengan percaya diri mengatakan bahwa bangga akan tato yang dibuat yakni Tato Rangda. Hal yang mirip juga dikatakan oleh Purna pada wawancara tanggal 28 Pebruari 2012, dikatakan bahwa ia sanggup berkorban badan dalam hal ini adalah tato demi kelangsungan seni tradisi. Dikatakan pula bahwa hal ini akan menjadi satu dokumentasi hidup bagi anak cucunya kelak. Dorongan ini timbul diawali dengan raut wajah yang dimiliki Purna seperti orang asing, namun dengan adanya tato yang berakar dari seni tradisi memberikan suatu penekanan identitas ke-Bali-annya dan ini adalah suatu hal yang menarik. Purna melihat dari sudut pandang penekanan identitas sehingga mendorong dirinya untuk bertato Rangda. Teori motivasi yang dikembangkan oleh Maslow mengemukakan bahwa, kebutuhan manusia itu dapat diklasifikasikan ke dalam lima hirarki kebutuhan. (1) kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup, (2) kebutuhan rasa aman, kebutuhan ini akan dirasa mendesak setelah kebutuhan pertama terpenuhi, (3) kebutuhan hubungan sosial yaitu kebutuhan hidup bersama dengan orang lain, (4) kebutuhan pengakuan, bahwa setiap orang yang normal membutuhkan adanya penghargaan diri dan penghargaan prestise diri dari lingkungannya, (5) kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan puncak di mana seseorang bertindak bukan atas dorongan orang lain, tetapi karena kesadaran dan keinginan diri sendiri [4]. Jika dikaitkan dengan Tato Rangda, teori ini dapat dirumuskan bahwa ada relevansi dorongan berdasarkan hirarki, namun mungkin saja hal tersebut perlu lebih didalami kaitannya bagi masing-masing informan. Dua informan sebelumnya mengatakan bahwa, bertato Rangda memiliki misi dalam pelestarian seni budaya tradisi. Berbeda halnya dengan informan berikutnya yaitu Winarta dalam wawancara pada tanggal 22 Mei 2011. Winarta mengatakan bahwa Tato Rangda yang diaplikasikan dalam tubuhnya hanyalah sekedar citra belaka, pemilihannya pun karena factor identitas. Pada Citra Tato Rangda milik Winarta ada keunikan yakni telah mengalami stilirisasi yakni kombinasi bentuk dengan nuansa tribal. Jadi dengan adanya kesan seram pada Rangda secara nyata tidak perlu dikhawatirkan. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali

Keinginan awal ia memilih Rangda dalam tatonya, selain daripada terkait identitas juga terkait dengan model tato yang lebih modern sehingga interaksinya lebih dinamis. Pada informan berikutnya memiliki keterkaitan dengan apa yang dikatakan Winarta, yakni Mangku Alit (alias) pada wawancara. tanggal 24 Mei 2011. Mangku Alit mengatakan bahwa tatonya yakni Tato Rangda, hendaknya jangan terlalu remeh untuk menilai. Ia bertato Rangda justru melihat dari sudut pandang positif yaitu adanya unsur visual yang memiliki makna dalam. Citra pun diciptakan lebih minimalis sehingga jelas terlihat selain daripada posisi yang letaknya di tangan. Mangku Alit berharap bahwa, dengan tato yang dimilikinya, dapat menjadi suatu hal yang patut untuk dihargai. Kemiripan dari Winarta justru dari hal lain yakni perwujudan yang diinginkan dalam penyederhanaan bentuk visual. Pada wawancara tanggal 27 Agustus 2011 dengan Giri mengatakan bahwa citra yang diimplementasikan dalam wujud tato merupakan citra belaka seperti halnya citra-citra tato yang lainnya. Namun adanya keinginan bertato Rangda dikarenakan pemilihan citra tato dengan Nuansa Bali yakni Rangda. Memang pada dasarnya sekujur tubuh dan tato yang ia miliki mengarah ke Motif Mitologi Tato Jepang. Wawancara pada Gung Aji (alias) yang dilakukan pada tanggal 15 Desember 2012 mengatakan bahwa, Citra Rangda pada tatonya adalah sebuah simbol aura positif baginya. Rangda diangap sebagai simbol pertiwi dan ibu dalam pemikirannya, serta hal inilah dorongan yang terbesar dalam niat pemakai yakni Gung Aji untuk mentato Rangda pada tubuhnya. Pada wawancara dengan Sudarsana pada tanggal 3 Juni 2013 menyatakan bahwa, Tato Rangda baginya memiliki filosofi dalam kehidupannya. Dalam pengaplikasian tato yang dilakukan oleh Sudarsana adalah mengagungkan wujud di balik Rangda pada Orang Bali. Dia yakin dengan adanya Tato Rangda ini dianggap bagian dari pencerahan jalan kehidupannya dan memberikan suatu keberuntungan. Hal yang mirip juga dinyatakan oleh Gilang pada wawancara tanggal 17 Januari 2012 menyebutkan bahwa dirinya sangat mengidolakan Rangda serta sebagai penekanan identitas pula. Sehingga Gilang terdorong untuk mewujudkan tato yang tidak umum dan bernuansakan Bali. Pada tanggal 22 Mei 2011, dalam kesempatan bertemu dengan salah satu seniman tato asal Desa Kesiman yakni Wirawan menyatakan bahwa, pada umumnya para kolektor atau pemakai tato secara umum memiliki dorongan tertentu untuk membuat tato. Terkait dengan Tato Rangda menurutnya para kolektor lebih cenderung memilih citra untuk tato mereka selain untuk tujuan arti. Setelah citra disepakati ada beberapa prosedur yang perlu dilakukan, salah satunya adalah meyakinkan kolektor dan melakukan tato setelahnya.

31


Kajian Motivasi Tato Rangda pada Orang Bali

I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan

5. Konklusi Pada hasil konklusi ini akan dideskripsikan segala hal terkait dengan hasil wawancara yang telah dilakukan, lalu kaitan tersebut dijelaskan berdasarkan asumsi awal. Berdasarkan asumsi penelitian dikatakan bahwa, asumsi yang dapat ditarik kajian ini adalah pola atau motif dari tato sangatlah beragam baik dari yang dihasilkan senimannya atau menurut keinginan pemakai tato. Karena banyaknya motif maka data yang diperlukan mengarah pada Orang Bali yang bertato Rangda. Tato dalam kehidupan masyarakat memiliki beragam alasan. Tato memiliki tempat tersendiri bagi pemakainya atau yang memanfaatkannya. Diungkapkan bahwa tato memiliki andil dalam seni dan perkembangan budaya dalam masyarakat. Perkembangan Pariwisata Bali memberikan pengaruh dalam berkembangnya tato di Bali. Namun dalam perkembangan pariwisata ini, memicu juga ditinggalkannya motif bernuansa lokal. Fenomena ini juga terpengaruh hubungan kepercayaan Masyarakat Bali akan wujud nuansa tradisi, dalam hal ini adalah Rangda. Rangda sendiri memiliki tempat khusus pada Orang Bali khususnya dalam Hindu Bali. Wujud Rangda yang menyeramkan dan diselimuti filosofis dari Rangda sendiri membuat hanya segelintir orang yang mewujudkannya dalam tato. Hal ini diasumsikan tidak sembarang orang yang memakai Wujud Rangda dalam pengaplikasian tato.

Sedangkan pada Informan Purna dan Rusna lebih mengarah pada pelestarian budaya yakni indikasi adanya pengaruh motif luar sehingga kedua informan ini memilih mewujudkan tato dengan . Motif Bali yakni Rangda. Terkait dengan penekanan identitas dan Citra Nuansa Bali dapat dirasakan pada semua informan dengan pernyataan yakni bentuk wujud visual pada Bentuk Rangda secara nyata, bentuk mengarah pada Ornament Bali dan seolah olah memberikan pesan ke-Baliannya. Hal lainnya adalah termotivasi karena berdasarkan factor keinginan dari diri sendiri/personal, selain dari pengaruh yang telah dijelaskan sebelumnya. Referensi Marianto, Dwi& Syamsul Barry. (2000). Tato, Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. [2] Olong, Hatib Abdul Kadir. (2006). Tato, LKiS, Yogyakarta. [3] Sule, Ernie Tisnawati & Kurniawan Saefullah. (2006), Pengantar Manajemen, Prenada Media, Jakarta. [4] Sutrisno, Edy. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia, Prenada Media, Jakarta. [5] Star, Black & Willard A. Hanna. (1995). Insight Guides Bali, APA Publication, Hongkong. [6] Titib, I Made. (2001). Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu, Paramita, Surabaya. [7] Udiana N. P., Tjok. (2011). Garuda di Bali Perspektif Cultural Studies, FSRD ISI, Denpasar-Bali. [1]

Fenomena ini tentu saja perlu dikaji keberadaannya, maka landasan teorilah yang bekerja dalam proses mengungkap fenomena ini secara mendalam. Secara global, tentunya akan diungkap dari berbagai sudut pandang, baik sudut kajian tato dengan fenomena yang meliputi, ungkapan pendapat dari pelaku dan dianalisa berdasarkan motivasi pemakai tato. Tentunya akan memberikan suatu hal yang menarik dalam kajian seni dari fenomena yang selalu mengalami pro dan kontra tentang eksistensi topik kajian. Analisa yang dapat ditarik berdasarkan hasil wawancara adanya kemiripan alasan yang dapat memotivasi informan memilih Citra Rangda dalam tato yang mereka miliki. Jika kita kaitkan berdasarkan kutipan Frence dan Reven dengan wawancara yang dilakukan yakni adanya kedekatan alasan terkait yakni keinginan penuh dari pemakai tato yakni pada kolektornya. Bukti ini pada wawancara yang dilakukan pada Purna, Rusna, Sudarsana dan Gilang dengan pernyataan sama termotivasi pelestarian sebagai penekanan pada perilaku pelestarian. Selanjutnya berdasarkan Teori Maslow dalam hirarki kebutuhan semua informan terarah pada motivasi beberapa kebutuhan yakni kebutuhan akan Citra Nuansa Bali, pelestarian budaya, penekanan identitas dan penghormatan. Masing-masing dijabarkan sebagai berikut. Sudarsana, Gilang, Mangku Alit dan Gung Aji berdasarkan wawancara menyebutkan adanya bentuk penghormatan yang merujuk pada penilaian positivistic terhadap bentuk dan Filosofi Rangda. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

32


Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders… .

Rodney Westerlaken Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.1: 33–43

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders for Cultural Heritage Management at a Prehistoric Site in North Bali Rodney Westerlaken B.Ed. M.A. * Stenden University Bali

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel: Dikirim 20 November 2015 Direvisi 25 November 2015 Diterima 28 November 2015 Kata Kunci: Bali Laba

Cultural Heritage Management (CHM) defines how stakeholders should deal with their inheritance, wether coming directly from their bloodline, or give by ancestors 2000 years ago. To be able to understand the implications of cultural heritage management one must identify the different stakeholders. In this article a description is given of this process of identifying and all the issues that may rise while identifying stakeholders. Values, beliefs and traditions of different stakeholders and subsequently with different interests get mixed with emotions. This subsequently leads to a loss of scientific research and a just interpretation of what has been found, as in the described case study of Banjar Laba Nangga.

Heritage Nangga Prehistoric

1. Introduction Excavations find place all over Indonesia on a regular basis as Indonesia‟s soil is still thought to be full with (pre)historic artefacts. Fortunately cultural resource management is gaining importance in Indonesia. For instance in 1996 a convention was held in Yogyakarta focussing on tourism and heritage management [1]. Also, in the book Archaeology: Indonesian perspective as many as four different scholars (Edy Sedyawati, Jesus T. Peralta, Bambang Sulistyanto and Novida Abbas) wrote articles about cultural resource management [2]. Several scholars specialized in Bali‟s prehistoric artefacts, as I Wayan Ardika, Hauser Schäublin and Soejono, wrote extensively about their archaeological excavations in Bali. Nonetheless, none of these experts considered the implications of their discoveries for the community. What is the perception of the indigenous communities? How do they experience the impact of the discoveries? How has the Indonesian law on cultural heritage been implemented? In this article I wish to propose answers to these questions. I focus on an excavation in banjar Laba Nangga, where four sarcophagi and a number of interesting grave goods were found. I will discuss the values and stakeholders, the implications of the Indonesian law on cultural heritage, and the perception of the indigenous communities. ∗ Corresponding a u t ho r : info@rodneywesterlaken.nl p/a Stenden University Bali, Jl Kubu Gunung, Tegal Jaya, Dalung, Badung, Bali.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

© 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Published by An1mage. All rights reserved.

Finally, I will suggest an archaeological approach that will, in my opinion, work best for all stakeholders. This archaeological approach, that of indigenous archaeology, starts from the assumption that the recent findings, and also the artefacts that might be still waiting to be discovered, will be maintained and taken care of to the satisfaction of most stakeholders. 2. Excavation Site In 2009, I first visited the excavation site of four sarcophagi in banjar Laba Nangga, Pangkung Paruk, Buleleng, Bali. When I visited the site, it became clear to me that the owner of the land, Wayan Sudiarjana, did not want to share his findings with a museum or research institute. This was caused by an earlier disagreement with the local institution for the archaeology of Bali, Balai Arkeologi in Denpasar, after the first discovery of two sarcophagi and grave goods. This awakened my interest for the rights of the indigenous people of Bali in this matter. When he found the first sarcophagus and realized that he had found something special, Wayan Sudiarjana notified Balai Arkeologi. The staff of Balai Arkeologi came to the site instantly, but the owner of the land did not allow the staff of Balai Arkeologi to take any artefacts. I received access to the site because I knew people from the neighbouring village, people who Wayan Sudiarjana trusted. Therefore, I got full cooperation of Wayan Sudiarjana to do research on the actual site. This site became the case study for this MA thesis, on which this article is based. The site is considered prehistoric, because sarcophagi were found there, remnants that are considered typical for prehistoric times. 33


Rodney Westerlaken

Many authors who have written about prehistorical Indonesia, have documented and analysed various prehistoric artefacts [3,4,5,6,7,8] but none of them has discussed any legal aspects or archaeological methods related to these prehistoric finds. Abbas, an Indonesian archaeologist, states that stakeholders can be divided into three main groups, namely private sectors, community and government [2]. In the case of banjar, Laba Nangga the private sector plays a minor role, which makes the community and the government the major stakeholders. Important stakeholders in the community are Wayan Sudiarjana and Wayan Sineare, inhabitants of banjar Laba Nangga, who both found archaeological artefacts on their land. Other important community based stakeholders are the inhabitants of banjar Laba Nangga and Balinese people from Chinese descent who consider the artefacts to be objects of worship. Besides the Republic of Indonesia and the Ministry of Culture and Tourism, as parties responsible for the law on cultural heritage, there are two other stakeholders that need further introduction, namely Balai Arkeologi and Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, abbreviated to PusLit ArkeNas is the implementer of the Indonesian law on cultural heritage. Its headquarters are in Jakarta. Balai Arkeologi is a branch office of Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. One of its branch offices is located in Denpasar. This office is responsible for all matters related to archaeology in the provinces of Bali, Nusa Tenggara Barat and Nusa Tenggara Timur. It is the responsibility of Balai Arkeologi to explore, assess, and present the cultural treasures of the past for the benefit of the society. Balai Arkeologi states that empowerment of material culture is not just for the sake of pure science in the formal institutions of archaeology, but it is expected to contribute to community life. 3. Discoveries in Banjar Laba Nangga 3.1. Banjar Laba Nangga, the first discovery Banjar Laba Nangga is one of the five districts of Pangkung Paruk. It has 334-kepala keluarga and 1.110 registered inhabitants. Pangkung Paruk has 1.927-kepala keluarga and 6.454 registered inhabitants. Pangkung Paruk is located on plain land about two kilometres from the seaside. The land is fertile and it has volcanic soil, which is very suitable for agriculture [9].

Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders‌ .

His wife had seen in her dreams a man, dressed in an oldfashioned way, pointing with a keris at a certain spot on their property. Wayan Sudiarjana decided thereupon, caused by curiosity upon hearing of the dreaming of his wife, to dig a hole for his septic tank on that spot. Then his spade stuck something hard. When he realized what he had found, he notified the local Balinese institution for archaeology, Balai Arkeologi in Denpasar, who came to the site instantly. The research team of Balai Arkeologi consisted of the head of Balai Arkeologi Drs. I Wayan Suantika, Drs. I Dewa Kompiang Gede, Drs. Citha Yuliati, Ketut Puja, Nyoman Suwena and two members of staff of Balai Arkeologi [9]. The excavation started with a process to secure the archaeological site by digging a wider trench than the one that was made by Wayan Sudiarjana. The trench was dug in a northsouth orientation with a size of 180 x 200 cm. At first, a burial without sarcophagus was investigated. This burial was found northwest from the first sarcophagus discovered by Wayan Sudiarjana. The grave contained human remains, a pot, some pottery fragments, and an incense pot [9]. Wayan Sudiarjana had taken the bones from the grave, so it was not excavated professionally. The staff of Balai Arkeologi investigated the bones after their arrival on the excavation site. Consequently, the gender of the human remains could not be identified [9]. After the excavation of the grave, one sarcophagus was made free of soil, investigated and lifted from the trench. According to I Dewa Kompiang Gede [9] it contained various beads and one bronze mirror.

Figure 1. One of the findings in the second (illegal) „excavationâ€&#x;; one of the four ear ornaments, possibly of Indian origin (Photo Rodney Westerlaken January 13, 2010)

Since the people can only get water throughout the rainy season, dry field agriculture is the only kind of agriculture possible [9]. The fertility of the land and its strategic location near the shore could explain why this place was inhabited already a long time ago. Archaeological artefacts found in the area prove this. According to Balai Arkeologi, it is very likely that there are more archaeological artefacts to be found in the surroundings of this site. Wayan Sudiarjana discovered two sarcophagi while he was digging for a septic tank on April 5, 2009.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Figure 2. Lifting of the sarcophagus out of the trench (Photo: Balai Arkeologi April 6, 2009)

34


Rodney Westerlaken

Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders… .

which made him believe that it were his ancestors who were buried there. For that reason, Wayan Sudiarjana did not want the findings to be removed from his property.

Figure 3. Mirror suggested to be from the Xin dynasty (Photo Rodney Westerlaken January 13, 2010)

Next step was the excavation of a second sarcophagus for which purpose the trench needed to be enlarged. This trench was now 190x240 cm and 105 cm deep when the cover of the sarcophagus was found. To uncover the sarcophagus, the trench needed to be dug 216 cm deep. It was located 90 cm from the sarcophagus that already had been excavated. This sarcophagus contained a human body with the legs bent like a baby in the womb with the head towards the hillside (Southeast) and the feet towards the sea (Northwest). It contained a brass body with cones meant as headwear, one miniature nekara and various beads. Fragments of pottery were found in the direct surrounding of the sarcophagus [9]. Forty centimetres south of the second sarcophagus, another burial was found. The skeleton was found in the same position as the skeleton inside the sarcophagus: the head towards the hillside, the feet towards the seaside, with the legs bent, and the hands folded on the chest [9]. The grave contained a bronze spiral and various beads [9]. Research of the forehead and the hip lead to the conclusion that these remain belonged to a woman [9]. I Dewa Kompiang Gede states that she must have been of a high status in her society, as it was very difficult to find materials to make bronze in those times [9]. In between the second sarcophagus and the burial a pestle and mortar were found [9]. The sarcophagi‟s model is simple. I Dewa Kompiang Gede describe them as „when face up like a boat or facedown like a turtle‟. The sarcophagi do not have any inscription. There is one bulge on the front side and two bulges on the narrower backside. The bulges have round shapes [9]. In his report I Dewa Kompiang Gede informs us that the research ended on April 5, 2010, because terbatasnya waktu, restricted time [9]. Therefore, Balai Arkeologi asked permission from Wayan Sudiarjana, the owner of the land, to take the artefacts to the office in Denpasar for further investigation. Wayan Sudiarjana did not permit this, due to the fact that his wife had dreamed about those findings before the excavation, Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

3.2. Banjar Laba Nangga, The Second Discovery A few weeks after the excavation by Balai Arkeologi, the wife of Wayan Sudiarjana started dreaming again of a man who was pointing at a certain spot on their land with a keris. Wayan Sudiarjana started digging on that spot and found a third and a fourth sarcophagus. Due to the earlier disagreement with Balai Arkeologi, he chooses not to report his findings. No listings are made of this second (illegal) „excavation‟. Based upon the notes of I Dewa Kompiang Gede [9] and the findings that are still on the site now, I compiled a list of findings from the third and fourth sarcophagus. Unfortunately, for obvious reasons, I could not differentiate between findings of the third and the fourth sarcophagus. The third and the fourth sarcophagus have the same model as the two earlier found sarcophagi, and are found approximately five meters east from the earlier dig. Wayan Sudiarjana stated that in total six skeletons have been found, so the later two sarcophagi did not have graves without sarcophagi in their surroundings. The third and the fourth sarcophagus contained one bronze wrist protector, eight bronze mirror fragments (one with Chinese inscriptions, two bronze gentar, one fragment of a nekara, four bronze bracelets, one iron lance, two sets of golden ear ornaments, various beads, br ss body with cone shape as headwear, one iron dagger and potsherds. At present, Wayan Sudiarjana states that he found the second set of sarcophagi in May 2010. This cannot be true, as on my first visit on 16 august 2009 there were already four sarcophagi. In May 2010 there was an investigation led by Agustiyanto and A.A. Fadhila from Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Jakarta), the national archaeological service of which Balai Arkeologi is the representative in Bali. According to Wayan Sudiarjana, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional made a complete registration of all the findings and noted May 2010 as the date of finding. This is consistent with the information of A.A. Gede Oka Astawa from Balai Arkeologi. 3.3. Condition and Background I Dewa Kompiang Gede states that the burial gifts in banjar Laba Nangga, (both in the sarcophagi as in the burials without sarcophagi) are in good condition and are good examples of techniques that were already used approximately 2000 years ago. The variety of colours shapes and materials tell us that the people that were buried in the sarcophagi must have had a high status and high social level in their society. I Dewa Kompiang Gede describes that it must have been very difficult in those times to make a sarcophagus. Therefore, the people who were buried in the sarcophagi must have been highly respected and may have been leaders (and the families of those leaders) of a tribe [9]. 35


Rodney Westerlaken

Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders… .

The artefacts tell us that banjar Laba Nangga and its surroundings must have been in contact with places outside Bali and even outside present day Indonesia. Extremely interesting in this case is that some of the grave goods in banjar Laba Nangga are of Chinese origin.

Zimmerman also describes the complexity of being or becoming a stakeholder. The commitment of the stakeholder to „win‟ an issue over other issues is very important to be considered when an archaeologist is making an inventory of stakeholders [10, 12].

The mirror, found in the first sarcophagus, is suggested to come from the Xin dynasty (King Wang Mang (8-23 AD)), which was a very short lasting dynasty between Western Han and Eastern Han (25AD). Found ear ornaments are of possibly Indian origin. In addition, the bronze artefacts (spiral, headwear, and beads) show us that there must have been trade with places outside Bali, as there is no copper or tin found on the island of Bali [9].

Mason [13] states that the widening of the circle of stakeholders involved in an archaeological project, improves both the process and the outcome. Therefore, the identification of stakeholders is an important task. In addition, cooperation with stakeholders can give archaeologists vital information about locations and the use of found artefacts [10, 12].

I Dewa Kompiang Gede write in his report that burial gifts were only given to the dead as a safeguard for the journey of their soul to afterlife. There was a correlation between the wealth of the family and the size of the grave [9]. Until today, five sarcophagi have been found in banjar Laba Nangga. Four on the land of Wayan Sudiarjana and one on the land of Wayan Sineare in 1996 [9] . 3.4. Current Situation The management of the cultural resources in banjar Laba Nangga is not yet carried out well. The condition of the sarcophagi deteriorates. The colour is fading; cracks are appearing or getting bigger. People with Chinese background are praying on the site and placing candles on the sarcophagi bulges. This results in suet covering the bulges. The artefacts and human remains are stored in a room that is especially built for the artefacts, but in this room, the artefacts are mainly placed on top of each other. The golden objects are kept separately after an earlier burglary, but can be seen upon request. One artefact, an iron lance, is kept under very harmful conditions. It stands for 1/3 (from the point) in a pot with holy water. A.A. Gede Oka Astawa and I Dewa Kompiang Gede of Balai Arkeologi were not aware of this current situation, but, being both Balinese, could appreciate the actions of Wayan Sudiarjana in terms of Balinese ancestor cult. 4. Stakeholders and Values More and more archaeologists are beginning to realize that a found object is not just an archaeological artefact having value for them but that the artefact also has values for other stakeholders [10]. It is even said that cultural resource management is more about managing people than about managing sites [11]. I realized that the findings in banjar Laba Nangga were unlocking emotions among various stakeholders. These emotions are connected to the values this heritage has for each group of different stakeholders. In this chapter, I will explain more about those values in relation to stakeholders. 4.1. Stakeholders and Values in a Global Context Zimmerman, an anthropological expert, give a clear description of what a stakeholder is: a stakeholder is a group or individual with an interest or „stake‟ in an archaeological record [10].

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

An archaeological artefact can have multiple stakeholders who are all contending for its ownership. This ownership can be merely the possession of the artefacts, control for the very nature of the past or how stories about it are told [10]. Each stakeholder has a different stake, and no case is the same. A good example is the case of the Elgin marbles, which are displayed in the British Museum and cause disturbance on high political level between the British government who sees itself as rightful owner and the government of Greece who equally sees itself as rightful owner [10]. In addition, private citizens have a stake. Found artefacts show evidence of their heritage and can be seen as proof of ancestral narratives. In several countries, like in the U.S.A. artefacts found on private land (except human remains) are considered property of the landowner. [10]. Furthermore, the private sector also has its stake. Antiquities dealers, collectors and looters are stakeholders. Some of them even make their living directly from the acquisition and the sales of artefacts. Finally, museums and other archaeological organizations have concerns about what happens to archaeological artefacts and the interpretations of them [10]. The recognition by archaeologists of the rights of stakeholders and the complexities of the past has taken decades [10]. The pressure for the recognition of the rights of stakeholders came primarily from indigenous people and started with the demands of the return of human remains and sacred objects. Some of the demands of „indigenous people‟ or „descendent communities‟ even became government regulations [10]. This recognition of the rights of indigenous people was seen as a threat by a number of scholars in the U.S.A. In the early 1980‟s it led so far that some archaeologists even went to court to stake their claims [10]. Initially, local state and provincial governments in the U.S.A. responded to demands of indigenous people. In 1989 the first national laws on this topic were enacted in the U.S.A. The Native American Graves Protection and Repatriation Act (NAGPRA) required the inventory of all the human remains of native Americans, grave goods and sacred objects, notification of those remains to possible genetic or cultural descendants, and repatriation where possible for all federal agencies and any organization that received federal funds or permits [10,14,15]. 36


Rodney Westerlaken

The NAGPRA act empowered the community as stakeholder in archaeology. Such movements are also clearly seen in Australia and Canada [10, 14, and 15]. Nowadays cultural resource management is a developing field of studies that is finding its ways into the thinking pattern of archaeologists. More and more archaeologists become aware of the positive effects of consulting all stakeholders. A good recent example of including stakeholders into archaeological research is the work of Professor Ian Hodder from Stanford University in Çatalhöyük, Turkey. He received a honory doctorate from the University of Leiden for his work on February 8th, 2011. The university praised Hodder because he closely involved the public in his excavation work. In Hodder‟s work both archaeologists and the local communities have the opportunity to be part of the interpretation process. Stakeholders claim their stake because a found object or location has a certain value to them. Heritage values can be diverse. Values need to be kept in mind by archaeologists when they investigate the stakeholders at a site or for a particular object. Values give certain objects cultural significance over others. A heritage value is a token of appreciation, interest, respect or price given by each stakeholder to a piece or site of cultural heritage. In other words, an assigned value is the appreciation, interest, respect or price that unlocks emotions by the various stakeholders. Values attributed to cultural heritage, give these objects of cultural heritage a cultural significance that sets them apart from other objects. As the values of indigenous people are incorporated into the structure of heritage management, a different picture of cultural resource management is established. Where the original Western mode of archaeology is predicated on ideas of the public trust, the indigenous stewardship is more often concerned with the care of living history [12]. Assigning custody of heritage based on indigenous values respects the "traditionally, or historically, legitimate cultural or spiritual responsibility for the cultural property at hand" and infuses stewardship with a duty of familial or communal care. The differences between the "public trust" school of archaeological thought, and the "cultural legacy" perspective of Indigenous thought have cognitive implications: the former isolates history, failing to link it with other people, places or times, while the latter binds the studied past with the present and future. The distinction can be as simple a matter as considering an archaeological skeletal specimen as object or ancestor [12, 16]. To distinguish this skeletal specimen as an historical object or the heritage of ancestor values of all stakeholders need to be examined. There is no standard list including all heritage Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders… .

values. The Getty Conservation Institute published a research report on heritage values that can be seen as a guideline. It states that in the field of cultural heritage conservation, values are critical to decide what to conserve. In the report, different values are mentioned, namely: artistic and aesthetic values; cultural values; economical values; historical values, personal values; social values and scientific values. The identification and ordering of values is important for the decisions to be made about what is the best way to preserve heritage values in the physical conservation of the object or location. The typologies of different scholars and disciplines vary; no specific charts of values are present. For example, T. Williams determined eleven typologies of values during a guest lecture at Leiden University on October 11, 2010 based on Riegl [17], English Heritage [18], Lipe [19], Frey [20], Burra charter, Mason and Avarami [13]. Heritage is valued in myriad and sometimes conflicting ways. These different means of attributing value influence negotiations among various stakeholders and thus those values are an important factor influencing discussions about decision making in the field of heritage management. According to the Burra Charter, conservation must integrate the assessment of these values in its work and more effectively facilitate such negotiations in order for cultural heritage conservation to play a productive role in civil society. 4.2. Stakeholders and Values in Indonesian Perspective Not much is written about cultural resource management in Indonesia. Abbas [21] wrote an article named „Partnership in cultural resource management: Empowering the stakeholders‟ in 2006 which gives a good survey of cultural resource management in contemporary Indonesia. Indonesia has around 6.000 registered sites of cultural heritage. This large number suggests a relatively large potential of cultural resources. Abba states that only 28% of these sites are managed well. She states that if those resources were managed soundly and appropriately, they certainly would initiate benefits for the stakeholders and ultimately extend the age of the heritage itself, making sustainable use possible [21]. Abbas states that in Indonesia, there is a widespread view that government attention, control and maintenance towards cultural resources is weak. This weak positioning causes damage to cultural heritage or even lets it vanish away [21]. In order to overcome this situation concerned parties have applauded partnership to strengthen the management of cultural sites and resources [21]. Different stakeholders with different values, or, as Abbas states, different parties with different objectives, should be involved in the management simultaneously. It is expected that through this approach, which wishes to consult and involve stakeholders, problems and challenges 37


Rodney Westerlaken

facing the efforts to manage cultural sites and resources can be resolved and addressed, hence conflicts do not necessarily appear and effective management can be achieved [21]. Abbas [21] states that in Indonesia there are three major stakeholders in archaeological sites: the government, the community and private sectors. This corresponds to similar distinctions of cultural resource management in its global context. Abbas gives a model, which shows the relationship of these major stakeholders to come to a sustainable use of cultural resources [21]. Sustainable use of cultural resources is best achieved when all relevant stakeholders are actively involved. Abbas has grouped the stakeholders under three headings. Under private sector Abbas groups culture activities developers and tourism developers. Under community she groups public (particulary those linked or directly affected by cultural resource management related activities), NGO‟s, professional organizations, academia and universities and other public. Finally, under government she groups ministries and national centres for research in archaeology [21]. To achieve sustainable use of cultural resources, involvement of these stakeholders is necessary.

Figure 4. Partnership framework for achieving sustainable use of cultural resources through cultural resource management. Based on a figure by Abbas (Simanjuntak et al.2006: 589)

Chapter 5 of the Indonesian law on cultural heritage guarantees this by stating that management of cultural heritage objects and sites is the responsibility of the government and those communities, groups, or individuals are able to participate in the management of cultural heritage objects and sites [22]. When the main stakeholders are identified, the degree of involvement has to be defined. This is done in the Indonesian law on cultural heritage. The law states that cultural heritage can be used for religious, social, and cultural purposes and for tourism, education and science. It is not allowed to use cultural heritage solely for personal gain and/or the gain of a group [22]. Abbas states that in any case, irrespective of purpose, the utilization of cultural resources must benefit all and ultimately lead to their sustainability [21]. Abbas states that the partnership of stakeholders refers to the concept of „people working together to achieve goals that are meaningful to them‟ [21]. These partnerships are arrangements that are voluntary, mutually and beneficial. [21].

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders… .

Sustainable use of cultural resources has two functions. On the one hand, to unite all stakeholders to collaborate in managing cultural resources. On the other hand, to impose a binding common platform which will enable each stakeholder to consider other stakeholders when negotiating roles and responsibilities in partnership [21]. That cultural resource management can be very difficult in Indonesia and especially in Bali, like in the case study of this article appears from an article by Schoenfelder and Bacus [23]. They experienced that a young leader of an irrigation society told them that old bracelets were found in the forest. According to the account of the irrigation society leader those who wore these bracelets became sick if they neglected to pray, and therefore they returned the bracelets to the forest. At least one bracelet wearer was said to have lost his or her life. The discovery of the bracelets involved trance, though it is unclear whether that was a precondition or an effect of the discovery. As these bracelets were brought back to the forest there has not been an opportunity to investigate the findings. 4.3. Stakeholders in banjar Laba Nangga I divided the stakeholders for banjar Laba Nangga in the earlier mentioned tripartite division: government, community and private sectors. The government is the most influential stakeholder. Bambang Sulistyanto states that the huge influence of government regulations on the management of cultural heritage makes management of the cultural heritage for other stakeholders difficult [24]. In the governmental group I include the Republic of Indonesia as legal owner and the Ministry of Culture and Tourism as promoter of the law on cultural heritage. Archaeological research centres are responsible for the implementation of the Indonesian law on cultural heritage and museums are displaying artefacts that are similar to those found in banjar Laba Nangga. Archaeological research centres and museums are the implementers of the law on cultural heritage. In the community part I include the discoverer and owner of the land on which the sarcophagi were found and the discoverer and owner of the other plot of land where another sarcophagus was found in 1996. They believe that the graves belong to their ancestors. As Balinese usually do not move from their ancestral land also the community of banjar Laba Nangga is included as an important stakeholder. The Balinese in general may see the discoveries as Balinese heritage and as a chance to get more information about ancient Bali. Another group of stakeholders is Balinese with Chinese background. Due to a misunderstanding about the grave goods during the excavation, a Chinese community nearby got the impression that those who were buried there were Chinese. Weekly they come to pray near the sarcophagi. To conclude, I also include the Balinese Udayana University among this group of stakeholders. It wishes to conduct research in cooperation with Balai Arkeologi. 38


Rodney Westerlaken

Finally, there is a small private sector consisting of tourism developers, who might be interested in the findings, as tourism in the North of Bali is developing and art dealers are willing to trade the found artefacts. 5. The Government as Stakeholder Laws in Indonesia can only be established by the People's Representative Council or DPR.The President can propose a bill to the DPR. During the process of establishing a bill into a law, the DPR will create a small taskforce to discuss the bill with the corresponding ministries. When a joined agreement has been reached, the President will endorse a bill into a law. When an agreement cannot be reached to enact a bill into law, the bill cannot be proposed again during the current term of the legislative members [25]. The Indonesian law Undang Undang Republik Indonesia nomor 5, tahun 1992, tentang benda cagar budaya deals with the mastery, ownership, discovery, search, protection, maintenance, management, utilization and oversight of the objects of cultural heritage in Indonesia. The law is endorsed by the President and approved by the DPR (5). The Indonesian law on cultural heritage is based on the Monumenten Ordonnantie, a former Dutch colonial law. It was enacted, especially upon request of the Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-IndiĂŤ, who encountered problems in their work because there was no legal protection for the execution of their duty at that time [26]. The Monumenten Ordonnantie was, however, not the first token of interest from the Dutch colonizers in Indonesian cultural heritage. Already in 1656, Rijcklof van Goens, who became Governor General in 1678, visited the kraton of Mataram and noted a treasure of gold. In the 17th century, the Dutch noted the Pejeng moon, a large kettledrum in Pejeng, near Ubud [26]. At the time of commencement of the current law on cultural heritage (Undang Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya) in 1992, the monumenten ordonnantie no. 19 Year 1931 (Staatsblad75 year 1931 number 238), as amended with monumenten ordonnantie no. 21 of 1934 (Staatsblad year 1934 no. 515), were both declared invalid. 5.1. The Republik Indonesia and The Ministry of Culture and Tourism as Stakeholder As the implementation of the law on cultural heritage is laid down by the Ministry of Culture and Tourism and approved by the DPR, the Ministry of Culture and Tourism is an important stakeholder. Based on the provisions of law number 5 of 1992 on cultural heritage, objects of cultural heritage are stated to be owned by the State [22]. This makes the Republic of Indonesia also another important stakeholder. Those two bodies, the Ministry of Culture and Tourism and the government of the Republic of Indonesia, are strongly connected to each other and speak through one voice, namely law number 5 of 1992 on cultural heritage.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders‌ .

The law on cultural heritage gives a precise view on how the Indonesian state and the Ministry of Culture and Tourism, as stakeholder, think cultural heritage should be treated. At the start of the enactment of this law the Minister of Culture had this responsibility, but in an update of this law (which can be read in Direktorat Peninggalan Purbakala 2009: 99-111) this responsibility has been partly transferred to the DirectorGeneral of Culture. The law on cultural heritage became effective on the date of promulgation, March 21, 1992 [22]. The purpose of the law on cultural heritage is to protect objects of cultural heritage, sites (within the borders of the Republic of Indonesia), objects that are suspected to be cultural heritage and valuable objects with an unknown owner. With this law on cultural heritage the Indonesian government aims to regulate arrangements for the ownership, registration, transfer, protection, preservation, discovery, search, utilization, management, licensing and supervision [22]. In the law on cultural heritage, it is stated that objects of cultural heritage form the wealth of the Indonesian culture, which is important for the understanding and development of knowledge of history, science, and culture. Therefore, cultural heritage needs to be protected and preserved for the sake of the nation and its identity [22]. The Indonesian law on cultural heritage provides us with information about the values attributed to cultural heritage through the eyes of the government as stakeholder. It considers cultural, historical and scientific values as most important values of cultural heritage. To understand the implications of the law on cultural heritage better, the law provides some definitions that are used in the law and which are useful to reproduce here. Objects of cultural heritage are: a man-made objects, movable or immovable, in the form of an entity or a group, or the parts or the remains, which are at least 50 years old, or represent a distinctive style or at least represent a style of at least 50 years old, and is deemed to have significant value for history, science and culture; b natural objects, which have significant value for history, science and culture [22]. The site: The site is the location that contains or reportedly contains objects of cultural heritage including its environment that is necessary for the security of possible unfound cultural heritage [22]. Responsibility: The Minster of Culture and Education and the Director General of Culture decide who is entitled to bear responsibility for a particular piece of cultural heritage. The Director General holds a list with the entire cultural heritage of Indonesia. In the law on cultural heritage, the Republic of Indonesia clearly claims its stake. It states that all objects of cultural heritage are held by the State, but that everyone can bear 39


Rodney Westerlaken

responsibility of a particular object of cultural heritage considering its social function. The Director General of Culture appoints those who may bear responsibility over a particular piece of cultural heritage. Although ownership of cultural objects is a civil right, the Indonesian law states that, in the transfer of responsibility or control to another person, the former owner must keep heed to the provisions in the Indonesian law about objects of cultural heritage and other applicable laws. If those objects of cultural heritage held by individuals are not being preserved well the State will take over the responsibility and take control over those objects. Citizens of the Republic of Indonesia can only own objects of cultural heritage if these objects are owned or controlled by a hereditary or an inheritance. Another possibility is that if an object of cultural heritage already exists in various examples and some of those are already owned by the State. Any person that has cultural heritage under his or her responsibility has to report this to the government [22]. If the implementation of the utilization of objects of cultural heritage are found to be not in accordance with permissions granted, contrary to safeguard objects of cultural heritage or are used for seeking personal gain the Ministry of Culture and Tourism may stop the utilization of these objects [22]. As the government sees itself as legal owner of cultural heritage, and through this ownership claims its stake, the government also claims that every person has to report to the government if an object of cultural heritage is missing and / or damaged not later than fourteen days from the loss or damage to the Indonesian national police or the nearest agency responsible for the protection of cultural heritage. If the item is missing for more than 6 years it will be taken off the lists of cultural heritage [22]. As owner of cultural heritage the Republic of Indonesia provides strict rules for every person who bears responsibility for cultural heritage. Those who bear responsibility are required to protect and safeguard the objects and preserve their historical value and authenticity. Objects of cultural heritage should be protected against damage due to natural factors and/or due to human activities, transfer of ownership and bearing of responsibility by people who are not eligible, changes in the authenticity and historical value. When those obligations are not carried out well the government will give a warning. If within 90 days since the warning is issued, no good protection efforts are carried out by the people who are responsible for the object(s) of cultural heritage, the government can take over the obligation to protect the object(s) [22]. The government decided that public participation in the conservation or management of objects of cultural heritage is possible by individuals or legal entities, foundations, associations, clubs, or other similar bodies. They may use Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders… .

lectures, seminars, gathering funds, and other activities to spread information and find possibilities for protection and maintenance of objects of cultural heritage [22]. 6. The Community as Stakeholder Ethnological field research in banjar Laba Nangga is a difficult task. The banjar consists of 334-kepala keluarga, but illiteracy is high. After a meeting with Nyoman Windra, kepala dusun of banjar Laba Nangga, we concluded that, due to the illiteracy in the community, a result of 100 completed questionnaires was reachable. I was not permitted to do the interviews myself. Nyoman Windra asked me to make a questionnaire that he distributed under those kepala keluarga who are able to write and read. People that were not from the same region never did ethnological fieldwork in banjar Laba Nangga. Nyoman Windra assured me that if he distributed and coordinated the fieldwork the outcome would be more objective and reliable. The field research was conducted from 13 till 20 January 2011. On the question if the community is aware that they live on soil that was inhabited already 2000 years ago, 53% of the respondents answered yes, 47% answered no. I asked the people who answered „yes‟ how they knew that this place was inhabited already for such a long time. For 75% of the people that answered „yes‟ the archaeological findings in the community are convincing them that this area was inhabited 2000 years ago. 15% of the respondents are convinced by the archaeological findings as well as by ancestral stories. 10% of the people are only convinced by ancestral stories. The main argument for those who said „no‟ was that they do not believe their land was inhabited 2000 years ago because their ancestors said that in earlier times the place where their community is located nowadays was forest. The archaeological discoveries in the community do not convince them that the village was inhabited 2000 years ago. I asked the villagers whether the findings should be seen from a scientific or from what I call ´mystical‟ point of view. 44% of the community refers to the findings as scientific. 6% of the community sees the findings of the sarcophagi as ´mystical‟. 18% of the community sees the findings both scientific and ´mystical‟. 32% of the respondents did not have an opinion. On the question whether the findings should remain in banjar Laba Nangga or can be stored and displayed in an archaeological institute or museum, 85% of the respondents stated that they wanted to keep the findings in the village. 11% of the community stated that the findings were better to be kept in a museum. The most frequently heard argument for this opinion was that the community does not know how to preserve the objects. 4% of the community prefers to leave the decision to the government .12.5% of the 85% members of the community who stated that the findings should remain in the village came up with the idea to build a museum in the community. It may be concluded that the community of banjar Laba Nangga attributes cultural, historical, social and scientific values to this cultural heritage. 40


Rodney Westerlaken

6.1. Udayana University and Balinese People or People of Balinese Descent as Stakeholder Archaeology is one of the departments in the Faculty of Letters of Udayana University, Bali. The university describes archaeology “as a science that studies the results of human culture from the past and the modern emphasis on the relationship of all cultural objects with human behaviour at all times and places. On that basis there are a number of objectives to be achieved in archaeological studies, including reconstructing the cultural history, reconstructing the ways of human life and reconstructing the cultural processes”. Eighty-four important values that Udayana University, as stakeholder, attaches to cultural heritage are historical and scientific values. Professor I Wayan Ardika states that Balai Arkeologi works too individually on sites and constantly is overtaken by events caused by late reports and circumstances. Although he thinks that the Indonesian law of 1992 is implemented well in Bali, he says that the implementation can be done better. He states that local people should get more knowledge about archaeological heritage and that excavations should be planned better. Also it takes too long before Balai Arkeologi or the Archaeological museum in Bedulu conduct research. A solution for this matter will be to strive for a stronger cooperation between Udayana University, Balai Arkeologi in Denpasar and Museum Gedung Arca in Bedulu, cooperation between a government stakeholder and a community stakeholder. According to I Wayan Ardika, the Udayana University welcomes such cooperation. On the one hand, knowledge from local people is important and helps the process of excavating. Locals can describe earlier findings that were not registered, can tell narratives from their ancestors. When locals are involved in the excavation process, they can tribute to their own heritage values during the excavation process. On the other hand, local people can be a danger to cultural heritage due to a lack of knowledge how to treat objects of cultural heritage. I Wayan Ardika states that locals should have more knowledge about their cultural heritage, especially those who are living on soil that is suspected to contain cultural heritage. A good example of this lack of knowledge by local people is the site in Keramas. Due to a lack of knowledge of local people, two sarcophagi have been destroyed there and the site is not investigated properly. The excavation spot in Keramas is littered with prehistoric pottery, 11th-century Song Dynasty ceramic shards and later shards from the Ming Dynasty. 6.2. Minor Community Groups as a Stakeholder As discoverer and owner of the excavation spot Wayan Sudiarjana bears responsibility for the found objects of cultural heritage. When the report and the investigation are finished, he may ask for permission to bear the responsibility. Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders… .

In the case of the half sarcophagus found fifteen years ago responsibility has not been an issue, as the sarcophagus was found empty and it still lays on the land where it was found and nobody has problems with this. Nobody really claimed the stake of owning the sarcophagus. Wayan Sudiarjana and Wayan Sineare both think that the graves belong to their ancestors. Ancestor cult is extremely important in Balinese culture. The ancestors play an important role in the cosmos, together with gods and spirits. The general belief is that the living are closely tied to the deceased ancestors; they can help their descendants, or fail to help them and even hinder them if they do not honour their ancestors [27]. Boon describes ancestor cult as not just a simple ideological instrument for social integration, it can also aggravate rifts as well unify factions [28]. To give a practical example: Balinese usually do not move from their ancestral land and during a marriage the bride asks her ancestors for permission to leave her clan before joining that of her future husband [29]. Relics that are seen as holy or ´mystical‟ by Balinese inhabitants, like the ancestral findings of Wayan Sudiarjana, give the Balinese people kesaktian which according to Wiener can be translated as “efficacy or the ability to achieve goals, most usually those goals that are beyond human capacities” [30]. It can be seen as some kind of magic power or strength. Those relics form a connection between a person and the invisible world of Gods, spirits and ancestors. Each artefact can be seen as potential or actual vehicle of the Gods and their followers [31]. According to Hildred Geertz, “kasaktian” cannot properly be translated as „power‟. It cannot be used to take control over other peoples actions. Sakti is used to ensure safety around oneself and those who are near [31]. Wayan Sudiarjana does not want the findings to be removed from his property. Important values which Wayan Sudiarjana and Wayan Sineare attach to the „relics‟ on their land are cultural, historical, personal and social values. Another group of stakeholders are Balinese people with a Chinese background. Due to a misunderstanding about the grave goods during the excavation, a Chinese community nearby got the impression that those who were buried there were Chinese. Weekly they come to the graves to pray. 7. Conclusion There is no doubt that the discovery in banjar Laba Nangga is of great scientific value. The grave goods are of great beauty and some of the found artefacts are not exhibited in museums in Bali or in Museum Nasional in Jakarta. Balai Arkeologi declares that the soil of banjar Laba Nangg is still thought to bear prehistoric artefacts. With my article, I did not intend to give an interpretation of the discoveries in banjar Laba Nangga in its archaeological context. I 41


Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders… .

Rodney Westerlaken

did not search for answers who the people in the sarcophagi where or with whom they traded. Abbas [21] said that, in Indonesia, there are three major groups of stakeholders, all with their own values. If those stakeholders, namely private sectors, community and government, are working together in a proper way, this cooperation can lead to sustainable use of cultural resources. In the case of banjar Laba Nangga the group of private stakeholders is very small. The community and government groups play the major roles in the development to a sustainable use of the cultural resources of banjar Laba Nangga. The community group consists of the discoverers of the artefacts, the members of the community of banjar Laba Nangga and its surroundings, Balinese in general, Balinese with a Chinese background and Universitas Udayana.

It is questionable how far archaeological education for the indigenous should go. On the one hand the indigenous can become „too smart‟ as stated by I Wayan Ardika. On the other hand it is questionable to what extend archaeological education should be given to the community... to get the indigenous people toe the line? References [1] [2] [3]

[4]

[5]

The government group consists of the Republic of Indonesia, the Indonesian ministry of culture and education, archaeological research centres and museums. To distinguish the values of those groups I used seven value groups, namely artistic and aesthetic values, cultural values, economical values, historical values, personal values, social values and scientific values. One of the conclusions of my research is that the two major stakeholders in my case, the community and the government, have three common values: cultural, historical and scientific values. The community has one extra value: social values. The frictions between the government and the community are caused by this social value. These frictions need to be solved before a sustainable use of cultural resources is possible. I hope that this friction is solved before new artefacts will be unearthed. The Indonesian law on cultural heritage deals, among other things, with the sustainable use of cultural heritage. It gives explanations on definitions as cultural heritage, site and responsibility. The law distinguishes values in history, science and culture of the Indonesian nation.

[6] [7]

[8]. [9]

[10] [11]

[12]

[13]

[14] [15] [16]

The law also gives definitions about ownership, maintenance, discovery, trading and moving of cultural heritage. I compared the definitions given in the law with the reality of my case study and came to the conclusion that the law was not carried out as it was intended.

[17]

This has led to frictions on both sides: the community and the government. The second excavation was carried out illegally because of earlier friction between the community and the government. The community did not get any guidance for protection procedures, maintenance and utilization of the artefacts by Balai Arkeologi.

[20]

By searching for objects of cultural heritage by way of excavation without the permission of the government and by not reporting the discovery of the second discovery, the discoverer risks a punishment of respectively five years of imprisonment and/or a fine of 50.000.000 rupiah for illegal excavating and one year imprisonment and/or a fine of 10.000.000 rupiah for not reporting a discovery.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

[18]

[19]

[21]

[22]

[23]

[24]

Nuryanti, Wiendu (1997). Tourism and Heritage Management, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Simanjuntak, Hisyam, Prasetyo, Nastiti. (2006). Archaeology: Indonesian perspective; R.P. Soejono‟s festschrift, LIPI, Jakarta Soejono, R.P. (1977). Sistim-sistim penguburan pada akhir masa prasejarah di Bali 1 Jilid 1 teks, Jilid 2 ilustrasi Disertasi pada Universitas Indonesia, Jakarta. Soejono, R.P. (1977). Sarkofagus Bali dan Nekropolis Gilimanuk, Proyek Pelita Pengembangan Media Kebudayan Departemen P&K, Jakarta. Geria, I Made (2006). Dampak perkembangan permukiman terhadap lingkungan pesisir situs Gilimanuk. Balai Arkeologi, Denpasar. Sutaba, I Made. (1974). Newly discovered sarcophagi in Bali, Archipel volume 7. Yuliati, C. (2000). Hubungan antar situs prasejarah di depanjang pantai Bali utara, tinjauan bentuk dan pola hias gerabah, Balai Arkeologi, Denpasar. Yuliati, C. (2000). Status Sosial Masyarakat Prasejarah Ditinjau dari Sistem Penguburan, Balai Arkeologi, Denpasar. Gede, I Dewa Kompiang. (2009). Laporan penelitian arkeologi, ekskavasi penyelamatan desa Pangkung Paruk, kecematan Seririt, Kabupaten Buleleng, Balai Arkeologi, Denpasar. Zimmerman, Larry J.. (2006). ‘Consulting stakeholders’ in Balme and Paterson, Archeology in practice. Blackwell publishing, Oxford. McNiven, Ian and Russel, Lynette, (2005). Appropriated pasts: indigenous peoples and the colonial culture of archeology, AltaMira Press, Lanham. Smith, Claire and Burke, Heather (2007). „In the spirit of the code’, in Larry J. Zimmerman et al: Ethical issues in Archeology, AltaMira press, Walnut Creek. Mason, R & Avarami E. (2008). Assessing values in conservation planning: Methodigical issues and choices’ in Graham Fariclough et al, The Heritage Reader, Routlegde, London. Fine-Dare (2002). Grave injustice. University of Nebreska, Nebreska. Richman, Jennifer and Forsyth Marion (2004). Legal perspectives on Cultural resources, AltaMira Press, Walnut Creek. Meskell, Lynn (2002). Intersection of identity and politics in archeology, Annual review of Anthropology. Riegl, A. (1902). The modern cult of monuments, its characters and origins, in Oppositions, page 621-651. English Heritage. (1997). Sustaining the Historic Environment: New perspectives on the future, English Heritage discussion document, London. Lipe, W.(1984). Value and meaning in cultural resources, Cambridge University Press, New York. Frey, B. (1997). The evaluation of cultural heritage, Macmillan, London.. Abbas, Novida (2006). „Partnership in cultural resources: Empowering the stakeholders’ in Simanjuntak, Hisyam, Prasetyo, Nastiti (eds), Acheology: Indonesian perspective; RP Soejono‟s festschrift. LIPI, Jakarta. Departemen pendidikan dan kebudayaan. (1995). Undang-undang republik Indonesia nomor 5 tahun 1992 tentang banda cagar budaya dan peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang Undang nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya. Departemen pendidikan dan kebudayaan, Jakarta Schoenfelder, Jhn W. and Bacus Elisabeth A.. (2006). Motivation and materialization: power, kesaktian, and the Balinese archeological record’ in Simanjuntak, Hisyam, Prasetyo, Nastiti (eds), Acheology: Indonesian perspective; RP Soejono‟s festschrift. LIPI, Jakarta. Sulistyanto, Bambang (2006). ‘The pattern of conflict of benefitting from cultural heritage in Indonesia’ record‟ in Simanjuntak, Hisyam, 42


Rodney Westerlaken

[25]

[26]

[27] [28] [29]

[30] [31]

Banjar Laba Nangga, Identifying Stakeholders… .

Prasetyo, Nastiti (eds), Acheology: Indonesian perspective; RP Soejono‟s festschrift. LIPI, Jakarta. Dampriyanto. (2009). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam satu naskah, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo. Haryati Soebadio. (1987). Monumenten ordonnantie en de monumentenzorg in Indonesië, Kongres study Belanda di Indonesia, unknown Barth, Frederik (1993). Balinese worlds. Chicago University Press. Boon, James A. (1997). The archeological romance of Bali, New York, Cambridge University Press. Hauser – Schaüblin, B & I Wayan Ardika. (2008). Burials, Texts and Rituals, Ethno archaeological investigations in North Bali, Indonesia, Universitätsverlag Göttingen. Wiener, Margeret J. (1995). Visible and invisible realms, power, magic and colonial conquest in Bali, Universit of Chicago, Chicago Geertz, Hildred. (2004). The life of a Balinese temple: Artistry, Imaginiation and Histroy in a peasant village, University of Hawai‟i press, Honolulu.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

43


I Made Gede Anadhi

Komodifikasi Arsitektur Bade... .

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.1: 44–47

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Komodifikasi Arsitektur Bade di Kota Denpasar I Made Gede Anadhi∗ Universitas Udayana

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Komodifikasi pada era kesejagatan ini rupanya telah merambah sampai ke ranah sarana upacara keagamaan. Ketersediaan sarana upacara siap saji menjadi pilihan bagi masyarakat yang telah mengalami perubahan mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa, terutama di perkotaan. Masyarakat Kota Denpasar kini lebih memilih untuk membeli sarana ritual mereka di sentra-sentra perajin upakara, lebih-lebih untuk sarana upacara pengabenan yang cenderung harus cepat dilakukan, dan pengerjaannya membutuhkan keterampilan khusus, seperti pembuatan sarana pengusung jenasah berupa Arsitekur Bade.

Dikirim 1 November 2015 Direvisi 27 November 2015 Dierima 1 Desember 2015

Kata Kunci: Komodifikasi Arsitektur Bade Produksi Distribusi Konsumsi

Para perajin melihat hal ini sebagai peluang usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berupacara, sehingga jadilah Arsitektur Bade sebagai sebuah komoditi. Arsitektur Bade ditawarkan layaknya barang dagangan pada umumnya. Ia diproduksi lalu didistribusikan untuk dikonsumsi oleh masyarakat pengguna dalam upayanya melaksanakan upacara ngaben. Dampak komodifikasi Arsitektur Bade tidak dapat dilepaskan dari kaidah-kaidah komodifikasi tersebut, seperti budaya massa, tersandar, berbagai modifikasi proses dan patokan harga tertentu. Di sisi lain, komodifikasi Arsitektur Bade dapat dimaknai sebagai bentuk desakralisasi budaya, peningkatan kreatifitas dan inovasi seniman bangunan dan seniman ukir (undagi-sangging), dan juga bermakna kesejahteraan bagi para pengusaha dan karyawan pada sentra-sentra produksi arsitektur bade. © 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Perubahan mata pencaharian masyarakat dari agraris ke industri telah membuat masyarakat lebih sibuk bekerja dan sangat kurang ada waktu untuk kegiatan sosial, sehingga mereka lebih banyak mengkomodifikasi sarana ritualnya dari griya sulinggih, pemangku, pedagang banten, pengusaha bade „menara jenasah‟, dan sentra industri upakara „sarana upacara‟ lainnya. Gejala inilah yang direspon oleh para pengusaha Arsitektur Bade yang sejalan dengan Pemikiran Mazhab Frankfrut tentang budaya populer atau budaya massa yang memang diciptakan oleh kapitalis melalui industri budayanya dengan tujuan untuk stabilitas dan mempertahankan kesinambungan kapitalisme yang oleh Althuser dan Gramsci disebut sebagai salah satu bentuk idiologi dominan (Sunardi dalam Strinati, 2007: xvi) [1], berupa konsumsi budaya populer dalam kehidupan sehari-hari (Storey, 2004: 21) [2]. Gejala pengkomodifikasian Arsitektur Bade berhubungan dengan usaha dan upaya yang dilakukan oleh beberapa pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menjadikan karya Arsitektur Bade sebagai sebuah komoditas. Gejala tersebut mulai tampak sekitar tahun 1970-an yang ditandai oleh munculnya beberapa sekeha „kelompok seprofesi‟ pembuatan bade yang berorientasi keuntungan. ∗ Peneliti koresponden: Program Studi Kultural, Perum. Unud No. 41, Batubulan, Gianyar, Bali, Indonesia 16826 Mobile: +6285737043377 E-mail: madegedeanadhi@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Walaupun usaha tersebut belum dijadikan mata pencaharian pokok pada saat awalnya, namun kemudian berkembang menjadi usaha serius seiring meningkatnya permintaan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pemikiran Karl Marx dan George Simnel (dalam Turner, 2003: 132) [3] terkait ekonomi uang yang berdasarkan pada semangat menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya. Paradigma komodifikasi yang terjadi pada Ranah Arsitektur Bade akan menarik jika dikaji dari sudut pandang kajian budaya sehingga dapat diungkap aspek-aspek komodifikasi yang menyangkut produksi, distribusi dan konsumsi Arsitektur Bade sebagai sebuah komoditi. Bagaimana bentuk komodifikasi yang terjadi? Bagaimana proses, serta dampak dan makna komodifikasi Arsitektur Bade tersebut? Ulasan dalam penelitian ini akan mencoba memberi jawaban atas segala pertanyaan tersebut. 2. Telaah Pustaka Satu kajian yang terkait dengan Arsitektur Bade adalah karya Sulistyawati. Sulistyawati (2008) [4] dalam tulisannya yang berjudul “Arsitektur Orang Mati di Bali” merupakan sub judul dalam buku Pustaka Arsitektur Bali, menguraikan beberapa jenis arsitektur „bangunan‟ terkait dengan Upacara Kematian Umat Hindu di Bali. Tulisan tersebut bersifat kajian pustaka, dengan penekanan kajian arsitektonis terhadap upakara „sarana upacara‟ ngaben, khususnya

44


I Made Gede Anadhi

terkait dengan bangunan atau arsitektur ngaben sesuai dengan Strata Sosial Masyarakat Tradisional Bali. Sulistiyawati, dalam pustaka tersebut membagi Arsitektur Pemereman menjadi lima bagian sesuai kedudukan sesorang dalam Strata Tradisional Masyarakat Bali sebagai berikut: Arsitektur Pemereman untuk Warga Brahmana, untuk raja penguasa tunggal (kaum ksatria), untuk raja di bawah penguasa tunggal, untuk warga wesia, dan untuk warga jaba. Sumbangan buku ini dapat memberikan data sekunder untuk memperdalam jenis dan bentuk Arsitektur Bade sesuai dengan Strata Sosial Masyarakat Tradisional Bali dan mempertajam analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini. Persamaannya, sama-sama membahas bangunan atau karya arsitektur untuk orang meninggal khususnya bade. Perbedaannya, pustaka tersebut membahas dengan penekanannya dari sisi bentuk arsitektural. Adapun penelitian yang penulis lakukan ini memfokuskan pada komodifikasi dalam Arsitektur Bade. Tesis yang berjudul “Komodifikasi Bentuk Pepalihan dan Ragam Hias Wadah Karya Ida Bagus Nyoman Parta di Desa Angantaka, Kabupaten Badungâ€? karya tulis I Gusti Ngurah Agung Jaya CK (2011) [5] mengungkapkan komodifikasi bentuk pepalihan dan ragam hias wadah karya IBNP akibat gesekan antara budaya lokal dengan budaya globalisasi. Telah terjadi perubahan pakem dalam pembuatan pepalihan yang tidak lagi mengikuti pakem dalam lontar Yama Tattwa, dengan pertimbangan kebutuhan komodifikasi, yakni mempercepat produksi, praktis, dan ekonomis. Sumbangan pustaka ini memberikan data sekunder untuk memperdalam dan mempertajam fokus analisis yang dilakukan oleh penulis, dan pemahaman tentang konsep komodifikasi dalam Arsitektur Bade. Perbedaan Tulisan Jaya CK terletak pada fokus penelitiannya di mana ia membahas tentang komodifikasi bentuk pepalihan dan ragam hias wadah karya IBNP yang dilihat dari aspek produksi, distribusi, dan konsumsi. Sedangkan penelitian penulis membahas mengenai komodifikasi Arsitektur Bade. Persamaan penelitian yang penulis lakukan dengan Tulisan Jaya CK terdapat pada sama-sama membahas tentang bentuk bade atau wadah yang pada dasarnya dibentuk oleh susunan pepalihan dan ragam hias. Relevansi Tulisan Jaya CK dengan penelitian yang penulis lakukan adalah memberikan wawasan dan pemahaman mengenai bentuk, makna dan dampak komodifikasi wadah atau bade di masyarakat, disamping itu Tulisan Jaya CK digunakan juga sebagai acuan untuk mendapatkan konsep, teori dan teknik. 3. Metode Penelitian ini menggunakan metode observation study atau observasi lapangan ke sentra-sentra perajin arsitektur bade yang ada di Kota Denpasar. Penelitian ini temasuk qualitative study „penelitian kualitatifâ€&#x;, dengan pendekatan teori komodifikasi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumen. Seluruh data diolah dengan teknik analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Komodifikasi Arsitektur Bade... .

4. Diskusi Komodifikasi seperti yang disampaikan oleh Faireclough adalah suatu konsep yang sangat luas, tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian yang sempit tentang barangbarang yang diperjualbelikan, akan tetapi bagaimana barang tersebut diorganisasikan dan dikonseptualisasikan dari segi produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas (Faireclough, 1995: 207) [6]. Komodifikasi tidak saja terjadi pada barang-barang kebutuhan konsumtif, akan tetapi telah merambat pada bidang seni dan kebudayaan pada umumnya (Piliang, 2003: 34) [7]. Kata arsitektur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan, jembatan dan sebagainya. Juga diartikan metode dan gaya rancangan suatu konstruksi bangunan (Alwi dkk, 2005:66) [8]. Adapun dalam judul penulisan ini kata arsitektur dikaitkan dengan konstruksi bangunan bade sebagai salah satu bentuk bangunan atau Arsitektur Kematian Umat Hindu di Bali. Kata bade diartikan juga sebagai tempat besar dan tinggi untuk mengusung jenazah yang akan dibakar di kuburan (Anandakusuma, 1986:14) [9]. Bade sebagai salah satu pemereman dari segi arsitektonis adalah suatu Jenis/Bentuk Bangunan Tradisional Bali yang bersifat sementara dan ringan berbentuk bebaturan dan pepalihan, di atasnya berdiri balai-balai, dirancang khusus untuk tempat jenazah pada waktu akan diusung dari rumah duka menuju ke kuburan (Sulistyawati, 2008:102) [4]. Bade terdiri atas pepalihan bacem, pepalihan gunung gelut, pepalihan lelengen, pepalihan sancah, pepalihan taman, pepalihan padma, pepalihan bada dara, pepalihan rongan dan pepalihan tumpang. Jaya CK (2011:19) [5] menyatakan di tiap-tiap bagian pepalihan yang terdapat pada Arsitektur Bade, terdiri atas susunan pepalihan yang berukuran besar, sedang, dan kecil, diantaranya: (a) pepalihan wayah adalah pundan berundak tiga seperti anak tangga yang jumlahnya tiga dan mempunyai nama yang diurut dari bawah, yaitu weton, pai, dan ganggong. (b) pelok adalah pembatas tiap-tiap pepalihan wayah. (c) padma terdiri atas undakan yang berjumlah lima. (d) peneteh adalah pembatas yang ukurannya dua senti meter. (e) amenlima adalah bidang datar yang persegi empat panjang yang berada di tiap-tiap dinding bangunan wadah. (f) lelengen adalah ruang segi empat berada di tiap sudut wadah. (g) gulesebungkul atau cakepgule adalah dua undak digabung menjadi satu dengan pinggiran menyerupai sudut segi tiga. (h) amenliman adalah bidang datar yang persegi empat panjang yang berada di masing-masing dinding bade/wadah. Pemaparan di atas mengarahkan pengertian Arsitektur Bade dalam penelitian ini adalah rancang bangun menara pengusung janasah pada Upacara Kematian Umat Hindu di Bali, dari bentuknya yang paling sederhana sampai yang ornamennya rumit/komplek. Jadi, judul penelitian ini mengacu pada fenomena komodifikasi yang terjadi pada Arsitektur Bade di Kota Denpasar, yakni: bentuk komodifikasinya, proses komodifikasinya, serta dampak dan makna komodifikasi Arsitektur Bade tersebut dari perspektif kajian budaya. 45


I Made Gede Anadhi

4.1 Bentuk Komodifikasi Arsitektur Bade Arsitektur Bade sebagai komoditas „barang produksi‟ yang diproduksi kemudian didistribusi untuk dikonsumsi oleh konsumen, yakni masyarakat yang memakai Arsitektur Bade pada penyelenggaraan upacara pengabenan. Arsitektur Bade sebagai sebuah komoditi, ditawarkan selayaknya benda profan lainnya, dibuatkan daftar harga per unit sesuai type/jenis, harga paket dengan sanan „pemikul‟, termasuk biaya transport ke lokasi pemesanan (Citra 1). Bentuk pepalihan dan ragam hias yang membentuk arsitektur bade yang sudah baku didekonstruksi dan direkonstruksi sesuai tuntutan ranah komodifikasi yakni: penyederhanaan bentuk, standarisasi bentuk, pola, ukuran, dan susunan warna. Hal ini dengan pertimbangan efektifitas bahan baku dan efisiensi waktu serta pemanfaatan tenaga kerja. Hal ini akan mempercepat proses produksi, sehingga segera bisa didistribusikan untuk dikomsumsi oleh masyarakat konsumen di Bali maupun luar Bali.

Komodifikasi Arsitektur Bade... .

4.3 Dampak dan Makna Komodifikasi Arsitektur Bade Dampak perubahan pada Arsitektur Bade sebelum dijadikan komoditi dan yang telah menjadi komoditi, jika ditabulasikan dapat dilihat seperti tabel di bawah ini (citra 2): No. 1. 2. 3. 4. 5.

Arsitektur Bade Non Komoditi Hanya dibuat jika ada orang meninggal Sifat keindahan: sakral, magis, religius Budaya tinggi (kelompok elit) Kaya nilai dan makna filosofis Bentuk terikat makna religius

6. Terikat kaidah material dan alat 7. Terikat proses kerja 8. Disain asli, unik 9. Ngayah „sebuah persembahan‟

Arsitektur Bade Sebagai Komoditi Selalu dibuat sebagai persediaan Sifat keindahan: profan, sekuler Budaya massa (masyarakat umum) Miskin nilai dan makna filosofis Bentuk terikat makna materi Bebas kaidah material dan alat Modifikasi proses kerja Reproduksi, terstandar Mayah „sesuai pembayaran‟

Citra 2. Dampak Perubahan dalam Arsitektur Bade. Sumber: Suyoga, 2015: 202 [10].

Dampak komodifikasi Arsitektur Bade adalah pada struktur bentuk pepalihan dan ragam hias yang telah mengalami puncak keemasannya akan didekonstruksi dan direkonstruksi sesuai tuntutan budaya global, juga perilaku seniman dan masyarakat pemakai yang akan mengikuti arus modernisasi untuk memuaskan keinginan-keinginan insan individu, estetika modern dan kepraktisan serta keefisienan aspek produksi dan distribusi komoditi.

Citra 1. Proses Distribusi Arsitektur Bade untuk Dikonsumsi oleh Masyarakat Photo oleh I M.G.Anadhi, 2015.

4.2 Proses Komodifikasi Arsitektur Bade Masyarakat yang membutuhkan sarana upacara ngaben biasanya datang langsung ke sentra kerajinan Arsitektur Bade. Mereka yang datang akan menyampaikan maksudnya untuk memesan jenis Arsitektur Bade tertentu sesuai klannya dengan kelengkapan lainnya. Kelengkapan tersebut antara lain: petulangan ‟tempat kremasi jasad‟, sanan „pemikul‟, bale basmian „tempat meletakkan petulangan saat dibakar, dan lainnya. Harga bade akan berbedabeda sesuai dengan jenisnya dan banyak sedikitnya kelengkapan yang dipesan konsumen. Undagi „seniman bangunan‟ dan sangging „seniman ukir‟ selaku Produsen Arsitektur Bade akan memberikan mandat atau arahan kepada tukang dan para pengrajin untuk merancang dan membuat konstruksi bade, kemudian setelah selesai, Arsitektur Bade akan didistribusikan kepada konsumen dengan sarana angkut ke alamat tempat tujuan untuk memenuhi pola konsumsi masyarakat (Umat Hindu untuk upacara pengabenan dan umat lain untuk kebutuhan museum atau lainnya). Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Komodifikasi Arsitektur Bade dapat dimaknai sebagai bentuk desakralisasi budaya. Modifikasi untuk mencapai efektif efisien disamping mempengaruhi bentuk Arsitektur Bade, bahan dan alat kerja, juga telah mempengaruhi proses pembuatannya yakni dengan pengurangan beberapa tahap kerja termasuk ritual yang seharusnya menyertainya. Komodifikasi ini juga bermakna peningkatan kreatifitas dan inovasi seniman bangunan dan seniman ukir (undagi-sangging) dalam menginterpretasi pakem Asta Kosala Kosali, dan Yama Tattwa untuk mendapatkan bentuk-bentuk baru, pola dan ukuran terstandar, sehingga bisa diaplikasikan dengan bantuan software komputerisasi dalam mengukir atau menatah ragam hias, dan peralatan berteknologi modern dalam pengerjaan Arsitektur Bade. Komodifikasi Arsitektur Bade juga dapat bermakna kesejahteraan bagi para pengusaha dan karyawan pada sentrasentra produksi Arsitektur Bade dalam melayani masyarakat pengguna produksi “konsumen” Arsitektur Bade, yang telah larut dalam budaya konsumerisme.

5. Konklusi Bentuk komodifikasi Arsitektur Bade yang tersusun atas pepalihan dan ornamen, dapat berupa: penyederhanaan bentuk, standarisasi bentuk, pola, ukuran, dan susunan warna yang baku, dengan pertimbangan efektifitas bahan baku dan efisiensi waktu serta 46


I Made Gede Anadhi

Komodifikasi Arsitektur Bade... .

pemanfaatan tenaga kerja. Arsitektur Bade ditawarkan dalam bentuk unit dan paket harga. Proses komodifikasi Arsitektur Bade terkait dengan kebutuhan masyarakat selaku konsumen dengan perajin arsitektur bade selaku produsen dalam menawarkan komoditinya. Jadi ada proses pemesanan, produksi, dan distribusi untuk dikonsumsi oleh masyarakat pengguna. Penelitian ini menunjukkan paling tidak terdapat sembilan point yang menjadi dampak komodifikasi Arsitektur Bade yang tidak dapat dilepaskan dari kaidah-kaidah komodifikasi tersebut. Komodifikasi Arsitektur Bade dapat dimaknai sebagai bentuk desakralisasi budaya, peningkatan kreatifitas dan inovasi seniman bangunan dan seniman ukir (undagi-sangging), dan juga bermakna kesejahteraan bagi para pengusaha dan karyawan pada sentra-sentra produksi Arsitektur Bade. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si. Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar dan Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K) serta Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Kajian Budaya, Universitas Udayana Denpasar. Referensi [1]

Strinati, Dominic. (2007). Popular Cultural: Pengantar Menuju Budaya Popular. Terjem. Yogyakarta: Jejak. [2] Storey, Jhon. (2004). Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Landskap Konseptual Cultural Studies. Terjem. Yogyakarta: CV. Qalam. [3] Turner, Bryan. (2003). Teori-Teori Sosiologi Moderintas Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. [4] Sulistyawati. (2008). Arsitektur Orang Mati di Bali. Pustaka Arsitektur Bali. Denpasar: Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali. [5] Jaya CK, I Gusti Ngurah Agung. (2011). “Komodifikasi Bentuk Pepalihan dan Ragam Hias Wadah Karya Ida Bagus Nyoman Parta di Desa Angantaka, Kabupaten Badung�. Tesis (tidak diterbitkan). Denpasar: Universitas Udayana Denpasar. [6] Faireclough, N. (1995). Discourse and Sosial Change. Cambridge: Polity Press. [7] Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. [8] Alwi, Hasan dkk. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3. Cet. III. Jakarta: Balai Pustaka. [9] Anandakusuma, Sri Reshi. (1986). Kamus Bahasa Bali. Denpasar: CV. Kayumas Agung. [10] Suyoga, I P.G. (2015). Transformasi Konsep pada Arsitektur Bade. Gianyar: Kryastaguna.

Jurnal Studi Kultural Volume I No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

47


Cultural Studies: Sudut Pandang Ruang… .

B. Parmadie Jurnal Studi Kultural (2015) Volume II No.1:48–54

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Cultural Studies: Sudut Pandang Ruang Budaya Pop B. Parmadie Program Doktoral Kajian Budaya Universitas Udayana Bali

Info Artikel Sejarah artikel: Dikirim 13 Oktober 2015 Direvisi 18 November 2015 Diterima 11 Desember 2015

Abstrak Budaya dalam Cultural studies lebih didefinisikan secara politis ketimbang secara estetis. Objek kajian dalam cultural studies (CS) bukanlah budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sempit, yaitu sebagai objek keadiluhungan estetis („seni tinggi‟); juga bukan budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sama-sama sempit, yaitu sebagai sebuah proses perkembangan estetis, intelektual, dan spiritual; melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari.

Kata Kunci: Cultural Studies Budaya pop Televisi Fiksi Film Musik

Lebih jauh menghadirkan sederetan teori dan metode yang telah digunakan dalam cultural studies untuk melihat dan mengkaji budaya pop kontemporer.Pada tulisan ini lebih memfokuskan pada fenomena-fenomena alat disekitar kita seperti; televisi, fiksi, film, musik pop dan konsumsi masyarakat saat ini.Fokus tulisan ini sudut pandang dan ruang kajian budaya (Cultural Studies) pada budaya pop ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya pop. Perlu penkajian lebih mendalam tentang; Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan.Kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan.Ketiga, bentukbentuk produksi, termasuk segala manifestasinya.Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya.Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu. Dan keenam, cara pengorganisasiannya. ©2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia.Diterbitkan oleh An1mage.All rights reserved.

1.

Pendahuluan

Tulisan ini memiliki tujuan ganda: pertama, mengantarkan pembaca yang tertarik pada kajian budaya pop kontemporer; kedua, mengusulkan peta perkembangan cultural studies melalui suatu pembahasan serangkaian teori dan metode untuk mengkaji budaya pop. Cultural studies bukanlah sekumpulan teori dan metode yang monolitik. Cultural studies senatiasa merupakan wacana yang membentang, yang merespons kondisi politik dan historis yang berubah dan selalu ditandai dengan perdebatan, ketidaksetujuan, dan intervensi Budaya dalam cultural studies lebih didefinisikan secara politis ketimbang secara estetis. Objek kajian dalam cultural studies bukanlah budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sempit, yaitu sebagai objek keadiluhungan estetis („seni tinggi‟); juga bukan budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang samasama sempit, yaitu sebagai sebuah prosesperkembangan estetis, intelektual, dan spiritual; melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Cultural studies juga menganggap budaya itu bersifat politis dalam pengertian yang sangat spesifik, yaitu sebagai ranah konflik dan pergumulan. Cultural studies dilihat sebagai situs penting bagi produksi dan reproduksi hubungan sosial dalam kehidupan seharihari.

Cultural studies didasarkan pada Marxisme[1]. Marxisme menerangkan Cultural studies dalam dua cara fundamental. Pertama, untuk memahami makna dari teks atau praktik budaya, kita harus menganalisisnya dalam konteks sosial dan historis produksi dan konsumsinya. Namun, walau terbentuk oleh struktur sosial tertentu dengan sejarah tertentu, budaya tidak dikaji sebagai refleksi dari struktur dan sejarah ini.Sejarah dan budaya bukanlah entitas yang terpisah. Asumsi kedua yang diambil dari Marxisme adalah pengenalan masyarakat industrial kapitalis adalah masyarakat yang disekatsekat secara tidak adil menurut misalnya saja garis etnis, gender, keturunan, dan kelas. Cultural studies juga menegaskan bahwa penciptaan budaya pop („praktik produksi‟) dapat menentang pemahaman dominan terhadap dunia serta menjadi pemberdayaan bagi mereka yang subordinat. Namun, bukan berarti bahwa budaya pop selamanya memberdayakan dan menentang. Lebih jauh menghadirkan sederetan teori dan metode yang telah digunakan dalam cultural studies untuk melihat dan mengkaji budaya pop kontemporer. 1.1. Televisi Televisi adalah suatu bentuk budaya pop akhir abad kedua puluh.Televisi merupakan aktivitas paling populer di dunia.Wacana televisual memiliki tiga momen yang berbeda.

∗Peneliti koresponden: PGSD FKIP Universitas Bengkulu, Jl. WR. Supratman Kandang Limun – BENGKULU 38123. Mobile: +6281927373777| E-mail: bepevanbencoeleen@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

48


B. Parmadie

Cultural Studies: Sudut Pandang Ruang… . .

melontarkan penilaian estetik berkenaan dengan preferensi orang lain.

Citra 1.Ilustrasi televisi. Sumber: http://static.portaleducacao.com.br/arquivos/imagens_artigos/21112012211446tv.jpg

Pertama-tama, para professional media memakai wacana televisual dengan khusus mereka tentang misalnya saja, sebuah peristiwa sosial yang „mentah‟.Kedua, segera sesudah makna dan pesan berada pada wacana yang bermakna, yaitu sesudah makna dan pesan itu mengambil bentuk wacana televisual, aturan formal bahasa dan wacana „bebas dikendalikan‟. Pada momen ketiga, momen decoding yang dilakukan khalayak, serangkaian cara lain dalam melihat dunia „bisa dengan bebas dilakukan‟. Seorang khalayak tidak dihadapkan dengan peristiwa sosial „mentah‟ melainkan dengan terjemahan diskursif dari suatu peristiwa. Dengan kata lain, makna dan pesan tidak sekedar ditransmisikan, keduanya senatiasa diproduksi: pertama oleh sang pelaku encoding dari bahan „mentah‟ kehidupan sehari-hari; kedua, oleh khalayak dalam kaitannya dengan lokasinya pada wacanawacana lainnya.Klarifikasi pemahaman tentang encoding/decoding menurut: 1)

Produksi pesan penuh makna dalam wacana TV senatiasa merupakan „pekerjaan‟ problematis.

2)

Pesan dalam komunikasi sosial selalu bersifat kompleks dalam hal struktur dan bentuk.

3)

Aktivitas „pemetik makna‟ dari pesan juga merupakan sebuah praktik yang problematis, betapapun transparan dan „natural‟ tampaknya aktivitas itu.

1.1.1. Televisi dan Ideologi Budaya Massa Serial TV Dallas merupakan „opera sabun jam tayang utama‟ prime time Amerika yang sukses dan ditonton lebih dari sembilan puluh negara di dunia pada awal 1980-an. Budaya pop merupakan produk dari produksi komoditas kapitalis dan karenanya merupakan subjek bagi hukum ekonomi pasar kapitalis. Dalam serial TV tersebut, ada penggemar, ada pula yang membenci.Para Pembenci Dallas menyitir ideology dengan sangat jelas. Mereka mempergunakannya dalam dua cara: menempatkan program secara negative sebagai contoh „budaya massa‟, dan sebagai salah satu cara mempertanggungjawabkan serta mendukung ketidaksukaan mereka terhadap program tersebut. Ideologi populisme adalah ideology tentang kepercayaan bahwa selera seseorang punya nilai yang setara dengan orang lain. Ideologi populisme menegaskan bahwa karena selera adalah sebuah kategori otonom, yang terbuka secara terusmenerus bagi infleksi individu, sungguh tidak bermakna jika Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Cultural studies, terutama cultural studies feminis, mesti memutuskan hubungan dengan ideologi budaya massa. Cultural studies feminis harus berjuang keras melawan „paternalisme budaya massa … [yang di situ] kaum perempuan … dilihat sebagai korban pasif dari pesan-pesan opera sabun yang memperdayakan … kesenangan [mereka] … sama sekali dikesampingkan‟. Kesenangan tidak seharusnya dikutuk sebagai kendala bagi tujuan feminis membebaskan kaum perempuan. 1.1.2. Dua Ekonomi Televisi John Fiske (1987) dalam Edgar, Andrew and Peter Sedgwick [2] berpendapat bahwa komoditas budaya – termasuk televisi – yang dari situ budaya massa tersebar dalam dua ekonomi sekaligus: ekonomi finansial dan ekonomi kultural. Ekonomi finansial terutama menaruh perhatian pada nilai tukar, sedangkan ekonomi kultural terutama berfokus pada nilai guna – „makna, kesenangan, dan identitas sosial‟. Fiske menegaskan „bahwa kekuatan khalayak sebagai produsen dalam ekonomi kultural amatlah menentukan‟. Kekuatan khalayak „berasal dari fakta bahwa makna tidak beredar dalam ekonomi kultural dengan cara yang sama dimana kekayaan beredar dalam ekonomi finansial‟. Dua ekonomi Fiske beroperasi demi kepentingan pihak petarung yang saling berlawanan: ekonomi finansial cenderung mendukung kekuatan kerja sama dan homogenisasi, sementara ekonomi kultural cenderung mendukung kekuatan perlawanan dan perbedaan. Pendekatan Fiske terhadap budaya pop – termasuk televisi – adalah pendekatan yang mengakui budaya pop sebagai „sebuah medan pertarungan‟ dan walaupun mengakui „kekuasaan terhadap kekuatan dominasi‟, justru memilih mengarahkan perhatiannya pada „taktik-taktik populer yang dengan itu kekuatan-kekuatan ini diatasi, dihindarkan, atau dilawan‟. Dengan kata lain, pendekatan ini lebih memilih untuk meneliti vitalitas dan kreativitas populer yang menggabungkan kebutuhan tetap tersebut. 1.2. Fiksi Dalam Culture and Environment, Paula Saukko. (2003) [3] menyalahkan fiksi populer karena menawarkan bentukbentukdiktif berupa „kompensasi‟ dan „distraksi‟. Bentuk kompensasi ini merupakan kebalikan dari reaksi itu sendiri, karena ia cenderung pada penolakan untuk menghadapi realitas. Ada tiga pendekatan penting terhadap studi fiksi populer dalam cultural studies: pembacaan simptomatik, bentuk-bentuk pembacaan, dan pembacaan roman.

49


B. Parmadie

Cultural Studies: Sudut Pandang Ruang… . .

dan yang kedua meskipun menerima kemungkinan pembacaan yang bervariasi, sebaliknya bersikeras bahwa pendekatan ini merupakan pembacaan yang bervariasi terhadap teks yang sama. Bennet dan Woollacott [5] berpendapat bahwa teks maupun pembaca “senantiasa telah diaktifkan secara cultural” sampai pada tingkat di mana perbedaan antara subjek dan objek terus menerus kabur.

Citra 2.Karya fiksi. Sumber: https://www.staticsrc.com/wcsstore/Indraprastha/images/catalog/full/grazera_grazera-dongeng-cinta-budaya-bywatiek-ideo-dan-fitri-kurniawan-buku-fiksi_full01.jpg

1.2.1. Ideologi dan Pembacaan Simptomatik Menurut Y.A. Piliang (2010) [4], wacana ideologis adalah sebuah sistem yang tertutup. Wacana ideologis hanya bisa menyelesaikan sendiri problem-problem itu sejauh ia bisa menjawab. Supaya tetap aman di dalam batas-batas yang ditentukannya sendiri, wacana ideologis harus tetap diam terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengancamnya untuk keluar dari batas-batas ini.Althusser mencirikan metode pembacaan Karl Max atas karya Adam Smith sebagai „simptomatik‟ karena Pembacaan itu menguak peristiwa yang tak pernah terkuak di dalam teks yang dibacanya dan dengan cara yang sama menghubungkannya pada suatu teks yang berbeda, yang hadir sebagai ketidakhadiran yang diperlukan pertama kali. Seperti pembacaan pertamanya, pembacaan kedua Marx mengandaikan eksistensi dua teks, dan pengukuran yang pertama terhadap yang kedua. Namun apa yang membedakan pembacaan ini dari pembacaan klasik adalah fakta bahwa pada pembacaan yang baru teks kedua diartikulasikan dengan perubahan dalam teks pertama. Melalui pembacaan simptomatik atas Smith, Marx mampu mengukur „problematika yang awalnya tak tampak yang terkandung dalam paradoks sebuah jawaban yang tidak sesuai dengan setiap pertanyaan yang diajukan‟. Oleh karena itu, membaca sebuah teks simptomatis berarti melakukan pembacaan ganda: membaca teks manifes terlebih dahulu, kemudian menghasilkan dan membaca teks yang laten, yaitu problematik. 1.2.2. Bentuk-bentuk Pembacaan Teks-teks fiksi populer tak lebih dari sekedar wadah-wadah ideologi, sebuah alat yang menyenangkan senatiasa berhasil mentransmisikan ideologi dominan dari industri-industri budaya kepada massa yang dikorbankan dan termanipulasi. Bennet dan Woollacott menolak padangan bahwa teks menentukan pembacanya sendiri maupun pandangan yang jelas bertentangan bahwa pembacalah yang menghasilkan makna teks. Mereka menyalahkan kedua pendekatan tentang bekerja dengan “pandangan metafisik terhadap teks”, karena klaim pertama bahwa makna teks mendahului kondisi pembacanya, Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Dengan kata lain, teks dan konteks bukanlah momen-momen terpisah yang tersediabagi analisis pada waktu yang berbeda. Teks dan konteks merupakan bagian dari proses yang sama – keduanya tak bisa dipisahkan: seseorang tak bisa memiliki teks tanpa sebuah konteks, atau konteks tanpa teks. 1.2.3. Membaca Fiksi Romantis Narasi feminin cenderung mengambil salah satu dari tiga kemungkinan posisi: penghinaan; kebencian; atau olok-olok yang sembrono.Bangkitnya feminisme hampir paralel dengan pesatmya pertumbuhan popularitas fiksi romantis. Menurut Smithton, roman ideal adalah sesuatu di mana perempuan cerdasdan independen dengan cita rasa humor yang bagus diluapi, sesudah banyak rasa curiga dan ketidakpercayaan, dan sejumlah kekejaman dan kekerasan, oleh cinta terhadap pria yang cerdas, lembut, pandai bercanda. Yang selama hubungan mereka terjalin berubah dari seseorang yang pra-terpelajar dan emosional menjadi seseorang yang bisa peduli padanya dan memeliharanya dengan cara yang secara tradisional kita akan mengharap hanya dari seorang perempuan kepada laki-laki. Pemecahan terhadap roman yang ideal memberikan kepuasan segitiga yang sempurna: “perlindungan kebapakan, kepedulian ibu, dan cinta dewasa yang bergairah”. 1.2.4. Surat Kabar dan Majalah Pers Populer Untuk memahami pers populer sebagai budaya pop, kita harus belajar dari kritikus Norwegia Jostein Gripsrud (1992), ‟melampaui moralisme tidak berguna yang kerap kali hadir dalam kritik-kritik terhadap pers populer‟. Tujuan rersmi jurnalisme adalah menyajikan informasi perihal dunia dengan dan dengan demikian merupakan sebuah komitmen terhadap moda analitis.Kendati demikian, pada praktiknya, moda penuturan ceritalah yang paling sering dimainkan. Perbedaan penting antara pers populer dan apa yang disebut sebagai pers „berkualitas‟ adalah pengerahan (oleh pers populer) “yang personal” sebagai kerangka kerja yang bersifat menjelaskan.Budaya pop itu secara potensial dan kerap secara aktual, progresif (meski bukan radikal). Perbedaan antara progresif dan radikal adalah: teks populer boleh jadi bersifal progresif lantaran teks-teks itu bisa mendorong produksi makna yang bekerja untuk mengubah atau mendestabilisasi tatanan sosial, namun teks-teks tersebut tidak pernah bisa radikal dalam pengertian bahwa teks-teks itu tidak pernah bisa menentang atau menggulingkan tatanan tersebut. 50


B. Parmadie

Pers populer di satu sisi, dan pers pemerintah di sisi lain, dari pers alternatif.Pers populer dipandang paling rendah dari pers dua pers lainnya.Pers populer beroperasi pada garis batas antara yang public dan yang privat: gayanya yang sensasional, terkadang skeptic, tidak jarang bersungguh-sungguh secara moralistis; ungkapannya populis; kelonggaran bentuknya menampik perberdaan stilistik antara fiksi dan documenter, antara berita dan hiburan. Bagi pers, populer atau yang lainnya, untuk menjadi budaya pop ia harus diterima oleh rakyat‟; ia harus memprovokasi percakapan dan memasuki sirkulasi dan resirkulasi oral. Majalah perempuan menarik pembacanya dengan memaknai kombinasi antara hiburan dan sarana yang berguna.Daya tarik ini ditata melalui serangkaian fiksi. Apa yang sungguh-sungguh dijual dalam fiksi-fiksi majalah perempuan merupakan femininitas yang sukses dan karenanya menyenangkan. Majalah perempuan juga mengonstruksi „kolektivitas fiksional‟ perempuan. 1.2.5. Membaca Budaya Visual Karya awal Barthes mengenai budaya pop menaruh perhatian pada proses “pemaknaan”, suatu cara yang dengan itu maknamakna dihasilkan dan disirkulasikan. Pada level pemaknaan sekunder atau konotasilah apa yang disebut “mitos” itu dihasilkan dan tersedia bagi konsumsi. Melalui mitos, ideologi yang dipahami sebagai sekumpulan gagasan dan praktik yang mempertahankan secara aktif mempromosikan pelbagai nilai dan kepentingan kelompok dominan dalam masyarakat. Ada tiga keungkinan posisi pembacaan yang dari ketiganya citra bisa dibaca.Yang pertama semata-mata melihat tentara kulit hitam yang memberi hormat pada bendera sebagai “contoh”Imperialisme Perancis, sebuah simbol bagi imperialisme.Yang kedua melihat citra sebagai “alibi” imperialisme Perancis.Posisi pembacaan terakhir adalah posisi pembacaan „pembaca mitos‟. 1.3. Film Studi film telah membangkitkan sebentangan teori dan metode. Film dipelajari dari segi potensinya sebagai „seni‟, sejarahnya yang dituturkan sebagai momen dalam „tradisi yang hebat‟, film-film, bintang, dan sutradara yang paling berarti; film dianalisis berdasarkanperubahan teknologi produksi film; film dikutuk sebagai industri budaya; dan film didiskusikan sebagai situs penting bagi produksi subjektivitas individu dan identitas nasional.

Citra 3.Poster movie. Sumber: http://pbs.twimg.com/media/Bq-gxmcCcAIYEn7.jpg:large

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Cultural Studies: Sudut Pandang Ruang… . .

1.3.1. Strukturalisme dan Film Pop Pada 1970-an, ada pembagian yang jelas dalam cultural studies antara studi “teks” dan studi budaya yang diekspresikan dalam kehidupan seseorang. Jika objek studinya adalah teks, metode analisisnya adalah strukturalisme. Strukturalisme merupakan metode teoretis yang berasal dari karya ahli bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure (1974) [6].Saussure membagi bahasa dalam dua komponen, yang bersama-sama menghasilkan yang ketiga. Saussure menyebut yang pertama “penanda” dan yang kedua “penanda”.Bersama-sama keduanya membentuk „tanda‟.Saussure juga berpendapat bahwa makna bukanlah hasil dari kesesuaian esensial penanda dan petanda, melainkan hasil dari perbedaan hubungan. Selanjutnya, menurut Saussure, makna dihasilkan melalui proses kombinasi dan seleksi. Fungsi bahasa adalah mengorganisir dan mengonstruksi akses kita terhadap realitas, ketimbang merefleksikan realitas yang telah ada. Oleh karena itu, bahasa yang berbeda akan mengorganisir dan mengonstruksi dunia secara berbeda. Saussure membuat pembedaan lain yang telah terbukti sangat mendasar bagi perkembangan strukturalisme, pembagian bahasa menjadi “langue” dan “parole”. Langue mengacu pada sistem bahasa, aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang mengaturnya.Ini adalah bahasa sebagai institusi sosial.Parole mengacu pada pengucapan individu, penggunaan bahasa oleh individu. Strukturalisme sebagai sebuah mode analisis sosial, mengambil dua ide dasar dari karya Saussure.Pertama, perhatian pada relasi pokok antara teks dan praktik kultural – „tata bahasa‟ yang memungkinkan makna. Kedua, pandangan bahwa makna senantiasamerupakan hasil dari aksi resiprokal dan hubungan antara seleksi dan kombinasi yang dimungkinkan melalui struktur pokok. Dengan kata lain, teks dan praktik kultural dipelajari sebagai analogi terhadap bahasa. 1.3.2. Post Strukturalisme dan Film Pop Para posstrukturalis menolak gagasan ihwal struktur pokok yang pada akhirnya menentukan makna teks atau praktik budaya. Bagi para possrukturalis, makna senatiasa dalam proses, berhenti sejenak dalam aliran kemungkinan yang tiada henti. Mulvey mengemukakan bahwa kesenangan terhadap sinema pop harus dihancurkan guna membebaskan perempuan dari eksploitasi dan penindasan karena dijadikan bahan mentah bagi tatapan lelaki. Pengaruh Mulvey sangat banyak. Namun beberapa feminis dan orang lain yang menggeluti dunia film dan cultural studies mulai meragukan „validitas universal‟ – Nya, yang mempertanyakan apakah „tatapan senantiasa bersifat kalilaki‟, atau apalah tatapan mata itu “semata-mata bersifat dominan” itu diantara sederetan cara melihat yang berbeda, termasuk tatapan perempuan. 51


Cultural Studies: Sudut Pandang Ruang… . .

B. Parmadie

1.3.3. Cultural Studies dan Film Pop Cristine Gledhil mencatat adanya „pembaruan mutakhir minat feminis dalam budaya pop mainstream‟. Gledhil menganjurkan sebuah pemahaman mengenai hubungan antara penonton dan teks film sebagai salah satu negosiasi. Negosiasi ini bisa dianalisis pada tiga level berbeda: khalayak, teks, institusi.Penerimaan „merupakan momen yang paling radikal, sebab yang paling bervariasi dan tidak dapat diprediksi‟. Situasi menonton atau membaca mempengaruhi makna dan kesenangan akan sebuah karya dengan mengajukan serangkaian determinasi ke dalam pertukaran kultural. 1.4. Musik Pop Musik pop ada dimana-mana.Ia telah kian menjadi bagian yang tidak terelakkan dalam kehidupan kita. Saat ini, nilai penting musik pop, yang tentu saja bersifat kultural dan ekonomi, telah membawanya menjadi fokus sentral dalam cultural studies. 1.4.1. Ekonomi Politik Musik Pop Menurut Simon Frith (1983), karya Theodor Adorno [7], anggota terkemuka Mazhab Frankurt mempresentasikan “analisis paling sistematis dan paling membakar terhadap budaya massa serta paling menantang siapa pun yang mengklaim bahkan sejumput nilai atas produk industri music yang diproduksi dalam jumlah besar”. Pada 1941 Adorno memublikasikan sebuah esai yang sangat berpengaruh “On Popular Music”.Esai itu membuat tiga pernyataan spesifik mengenai music pop, iamenyatakan bahwa music pop itu “distandarisasikan”. Pernyataan kedua Adorno adalah bahwa musik pop mendorong pendengaran pasif.Yang ketiga adalah klaim bahwa musik pop beroperasi seperti “semen sosial”. Ekonomi politik budaya kebanyakan punya cara yang sama dengan pendekatan Adorno. Pendekatan ekonomi politik budaya memantapkan tatapannya hampir semata-mata pada kekuatan musik industri. Tidak disangsikan lagi bahwa industri musik punya kekuatan ekonomi dan budaya yang sangat besar.Penting kiranya membedakan antara kekuatan budaya industri dan kekuatan pengaruhnya. Terlalu sering keduanya dicampuradukkan, padahal keduanya tidak selamanya sama. 1.4.2. Kaum Muda dan Musik Pop Kajian cultural studies berkenaan dengan budaya musik pop lebih tepat dimulai dengan karya Stuart Hall dan Paddy Whannel. Sebagaimana mereka tegaskan, „potret anak muda sebagai orang lugu yang dieksploitasi‟ oleh industry musik pop „terlalu disederhanakan‟.

Citra 4.Ilustrasi music pop. Sumber: http://www.sgbeatbox.com/wpcontent/uploads/2013/03/Pop-Music-originated.jpg

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Musik pop mempertontonkan „realisme emosional‟; lelaki dan perempuan muda „mengidentifikasi diri mereka sendiri dengan representasi kolektif ini dan … menggunakannya sebagai fiksi-fiksi penuntun. Fiksi simbolik tersebut adalah cerita rakyat yang dengan cara itu anak usia belasan, sebagian, membentuk dan menyusun pandangan dunianya‟. 1.4.3. Subkultur, Etnografi, dan Homologi Struktural Kegunaan subkultural musik adalah konsumsi musik dalam bentuknya yang paling aktif.Konsumsi musik merupakan salah satu bagi sebuah subkultur untuk memalsukan identitasnya dan memproduksi dirinya sendiri secara kultural dengan menandai pembedaan dan perbedaannya dari anggota masyarakat lainnya. Kegunaan subkultur musik menaruh perhatian pada bagaimana khalayak musik pop bisa dibagi dalam dua kelompok; (1) Kelompok mayoritasyang menerima gambaran dewasa tentang anak muda secara agak tidak kritis, (2) Kelompok minoritas yang disitu beberapa tema pemberontakan sosial terangkum. Jadi mengonsumsi musik tertentu menjadi sebuah cara mengada (way of being) di dunia. Konsumsi musik digunakan sebagai tanda yang dengannya kaum muda menilai dan dinilai oleh orang lain. Dalam Profane Culture bahwa „etnografi terbaik melakuakn sesuatu yang tidak dilakukan oleh teori dan komentar: etnografi menghadirkan pengalaman manusia tanpa meremehkannya, dan tanpa menjadikannya sebagai refleks pasif dari struktur sosial dan kondisi sosial‟. 1.4.4.

Kata-Kata dan Musik: Membuat Kata-kata Sederhana Jadi Enak Didengar Kata-kata adalah bunyi yang bisa kita rasakan lebih dahulu sebelum menjadi pernyataan-pernyataan untuk dipahami dahulu sebelum menjadi pernyataan-pernyataan untuk dipahami. Lirik ditulis untuk dimainkan.Lirik hanya akan benar-benar hidup dalam penampilan seorang penyanyi.Bunyi yang timbul disekitar kata-kata merupakan tanda emosi dan kesungguhan yang nyata. Kritik terhadap dugaan kedangkalan lirik-lirik musik pop tidak dimaksudkan sebagai sajak. Musik pop meminjam bahasa sehari-hari dan mementaskannya dalam sebuah permainan suara dan peforma yang efektif. 1.4.5. Politik dan Musik Pop Politik memasuki momen yang berbeda dalam menciptakan musik pop, adalah: produksi, distribusi, performa, konsumsi, dan lain-lainnya. Pada level “akal sehat”, pop politik benarbenar pop yakni bersifat politik – musik pop yang memuat komentar politik secara terbuka tentang dunia. Politik itu berkenaan besar dengan kekuasaan, dan musik pop bisa punya kekuatan besar.Musik pop bisa bersifat politis jika para musisi berkata demikian.Komunitas-komunitas yang punya selera tertentu bisa menjadi konstituensi politik.

52


B. Parmadie

Cultural Studies: Sudut Pandang Ruang… . .

Industri musik punya definisi musik pop politiknya sendiri: pop politik sebagai kategori penjualan. Beberapa musik pop dipasarkan karena bersifat politik. Definisi lain mengenai musik pop politik adalah musik pop yang diorganisasi secara politik. Menyebut musik pop bersifat politik berarti membawanya memainkan keragaman maknanya. Musik pop bisa bersifat politis secara simultan dengan banyak cara yang berbeda. 2. Konsumsi dalam Kehidupan Sehari-hari Konsumsi muncul sebagai sebuah perhatian budaya pada akhir 1950-an dan awal 1960-an dalam perdebatan mengenai perkembangan „masyarakat konsumen‟. Baru-baru ini, konsumsi bisa ditemukan dalam pelbagai studi mengenai budaya penggemar dan dalam pelbagai studi tentang belanja sebagai bentuk budaya pop. 2.1. Teori-teori Konsumsi Analisis budaya perihal konsumsi bermula dari perhatian politik Marxisme.Herbert Marcuse mengembangkan deretan argumen untuk menunjukkan bahwa ideologi konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan bahwa kebutuhan ini bekerja sebagai satu bentuk kontrol sosial. Psikoanalisis postkulturalis Jaques Lacan juga menawarkan sebuah model pemikiran kritis mengenai konsumsi. Ideologi konsumerisme bekerja dengan cara seperti “ideologi roman”. Ideologi roman adalah sebuah narasi yang terbangun diseputar satu pencarian: “cinta” adalah solusi bagi semua problem, “cinta” membuat kita lengkap, “cinta” membuat kita penuh, “cinta” membuat kita utuh. Ideologi konsumerisme bisa dilihat sebagai salah satu strategi pengalihan; salah satu contoh mengenai pencarian yang tiada akhir, pergerakan hasrat metonimik yang tak ada habisnya. Pierre Bourdieu (1984) dalam Wolff [8] menggeser argument itu dari apa yang dilakukan konsumsi terhadap kita menjadi bagaimana kita menggunakan konsumsi untuk tujuan pembedaan sosial. Menggunakan konsumsi untuk pembedaan dan pembedaan bukanlah hal yang baru. 2.2. Konsumsi Subkultural Subkultur-subkultur kaum muda berkomunikasi melalui tindakan konsumsi.Seperti ditegaskan Hebdige, subkultur-subkultur kaum muda „menaruh perhatian pertama dan terutama pada konsumsi‟ (Hebdige 1979: 94-5 dalam Wolff) [9]. Konsumsi subkultural adalah konsumsi yang pada tahapnya yang paling diskriminatif. Melalui suatu „proses perakitan‟, subkultursubkultur mengambil pelbagai komoditas yang secara komersial tersedia untuk tujuan dan makna subkultur itu sendiri. Analisis kultural selalu cenderung merayakan yang luar biasa sebagai bertentangan dengan yang biasa. Subkultur-subkultur menghubungkan kaum muda dengan perlawanan, yang secara aktif menolak menyesuaikan diri pada selera komersial pasif mayoritas kaum muda.

2.3. Budaya Penggemar Penggemar adalah bagian paling tampak dari khalayak teks dan praktik budaya pop.Kelompok penggemar berada di bawah tatapan kritis cultural studies. Dulunya, penggemar diperlakukan dengan dua cara: ditertawakan atau dipatologikan. Penggemar selalu dicirikan sebagai suatu kefanatikan yang potensial. Penggemar dipahami sebagai korban-korban pasif dan patologis media massa. Dengan kata lain, kelompok penggemar merupakan suatu symptom yang tampak dari kemungkinan runtuhnya budaya, moral, dan sosial yang tak terelakkan lagi mengikuti transisi dari masyarakat pedesaandan agrikultural menuju masyarakat industrial dan urban. Kelompok penggemar adalah apa yang orang lain lakukan, “kita” selalu mengejar kepentingan-kepentingan memamerkan selera dan preferensi. Menurut Jenkins, ada tiga ciri utama yang menandai mode pemberian (makna) budaya penggemar dalam teks-teks media : (1) Cara penggemar menarik teks mendekati ranah pengalaman hidup mereka, (2) Peran yang dimainkan melalui pembacaan kembali dalam budaya penggemar, (3) Proses yang dengannya informasi program dimasukkan ke dalam interaksi sosial yang terus-menerus. Komunitas-komunitas penggemar bukan hanya kumpulan pembaca yang antusias.Budaya penggemar juga berkenaan dengan produksi budaya. 2.4. Berbelanja sebagai Budaya Pop Berbelanja adalah suatu aktivitas yang kompleks.Konsumsi selalu lebih dari sekedar aktivitas ekonomi – mengonsumsi produk atau menggunakan komoditas untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan material. Konsumsi juga berhubungan dengan mimpi dan hasrat, identitas, dan komunikasi.Pendek kata, berbelanja telah menjadi budaya pop. Konklusi Fokus tulisan ini sudut pandang dan ruang kajian budaya (CS) pada budaya pop ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapatdilihat dalam budaya pop. Mengacu fenomena diatas dalam tradisi kajian budaya di Inggris, menilai konsep budaya atau "culture" (dalam Bahasa Inggris) merupakan hal yang paling rumit diartikan sehingga bagi mereka konsep tersebut disebut sebuah alat bantu yang kurang lebih memiliki nilai guna. Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan universal, yaitu konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna ini terpusat pada makna sehari-hari: nilai, bendabenda material/simbolis, norma. Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik, dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka (Barker, 2005: 50-55) [10]. Kebudayaan yang didefinisikan oleh Williams lebih dekat „budaya' sebagai keseluruhan cara hidup. Sebab ia menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam beberapa term. Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

53


B. Parmadie

Cultural Studies: Sudut Pandang Ruang… . .

kebudayaan. Kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan. Ketiga, bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya.Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya. Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu. Dan keenam, cara pengorganisasiannya. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kepada Allah SWT selalu memberikan berkah dan kelapangan pemikiran, Dr. I Gede Mudana dalam memberi masukan dan bimbingan, Mr. M.S. Gumelar. Teman-teman S3 Kajian Budaya Universitas Udayana angkatan 2015, keluarga besar MPAC PGSD FKIP Universitas Bengkulu, AN1MAGE, terkhusus isteri dan anak-anak penulis (A-SIX Parmadie), yang telah menbantu penulis dalam segala hal sehingga bisa nyelesaikan tulisan ini. Terima kasih…..amin ya robbal alamin. Referensi [1]

Grossberg, Lawrence. (1992). “Cultural studies: An Introduction" dalam Lawrence Grossberg, Cary Nelson, Paula Treichler (eds), Cultural studies, Routledge, New York. [2] Edgar, Andrew and Peter Sedgwick (ed.) (1999). “Cultural Theory The Key Concepts, Routledge”. [3] Paula Saukko. (2003). Doing Research in Cultural studies, Sage Publication, California. [4] Yasraf Amir Piliang (2010). “Semiotika dan Hypersemiotika”. Matahari: Bandung [5] Bennet, Tony. (1980). "Popular Culture: A Teaching Object, Screen Education" yang dikutip dalam buku Keith Tester, Media, Budaya dan Moralitas, terj. Muhammad Syukri, Kreasi Wacana dan Juxtapose, 2003. [6] Ferdinand de Saussure (1974). “Doing Research”. Sage Publication, California, [7] Theodor Adorno. 1999. “The Complete Correspondence”. Cambridge England: Polity Press. [8] Wolff, Janet. (1992). "Excess and Inhibition: Interdisiplinarity in the Study of Art" dalam Lawrence Grossberg, Cary Nelson, Paula Treichler (eds.), Cultural Studies, Routledge, New York. [10] Barker, Chris. (2005). Cultural studies: Teori dan Praktik.Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

54


Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender… .

Ni Nyoman Rahmawati

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.1: 55–60

(

Journal Studi Kultural www.an1mage.org An1mage Journals: Jurnal Studi Kultural

Laporan Riset

Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender (Kajian Budaya, Tradisi, dan Agama Hindu) Ni Nyoman Rahmawati* Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Gender merupakan interaksi sosial masyarakat yang membedakan perilaku antara laki-laki dan perempuan secara proporsional menyakut moral etika dan budaya Kekeliruan dalam merefleksikan konsep purusa dan pradana dalam wujud laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial di masyarakat telah menimbulkan adanya ketimpangan dan ketidak adilan terhadap perempuan di Bali, yang memadang laki-laki memiliki kedudukan yang lebih istimewa dari pada perempuan.

Dikirim 14 Oktober 2015 Direvisi 9 November 2015 Diterima 12 Desember 2015 Kata Kunci: Dekonstruksi Fritjop Capra Mistis

Hal ini tercermin dari pemberlakuan hukum adat yang masih belum memiliki kesetaraan gender walaupun dari hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa Kaum Perempuan Bali tidak merasa mengalami ketidakadilan gender karena memaknai setiap perannya sebagai sebuah kewajiban, walaupun sebenarnya Perempuan Bali merasakan beban kerja akibat ketimpangan peran yang diterimanya. Hal ini kontradiktif dengan Pandangan Hindu yang memuliakan kaum perempuan sebagai kekuatan sakti, yang memiliki peran yang penting dalam penciptaan alam semesta .

Intuisi

© 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan Gender sudah menjadi pembicaraan yang diperbincangkan baik di dunia pendidikan, perpolitikan, ekonomi, bahkan menjadi wacana dalam pembahasan serius maupun perbincangan ringan di tengahtengah masyarakat. Sebagaimana diketahui wacana gender muncul sebagai dekonstruksi terhadap budaya patriarki yang telah menghegemoni paradigma masyarakat sekurang-kurangnya tiga ribu tahun lamanya. Bahkan Fritjof Capra mengatakan, selama tiga ribu tahun terakhir Peradaban Barat dan pendahulu-pendahulunya, dan kebudayaankebudayaan lainnya, telah didasarkan atas sistem filsafat, sosial, dan politik di mana ”laki-laki dengan kekuatan, tekanan langsung, atau melalui ritual, tradisi, hukum dan bahasa, adat kebiasaan, etiket, pendidikan, dan pembagian kerja menentukan peran apa yang boleh dan tidak dimainkan oleh perempuan di mana perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki” (Capra; 14) [1]. Budaya patriarkhi, yang telah mempengaruhi pemikiran-pemikiran mendasar seluruh masyarakat dunia tentang hakekat manusia dan hubungannya dengan alam dalam pandangan budaya “patriarkhi,” dengan dokrin-dokrinnya diterima secara universal sehingga seakanakan tampak sebagai hukum alam, apalagi dogma-dogma ini diperkuat oleh dokrin-dokrin agama yang mau tidak mau bagi masyarakat awam hingga kini masih terpatri oleh pemikiranpemikiran yang lebih mendewakan laki-laki daripada kaum perempuan yang notebennya sama-sama manusia ciptaan Tuhan.

* Peneliti koresponden: Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya. Jl. G.Obos X Palangka Raya. Mobile: 085705375598 E-mail: ninyomanrahmawati0202@gmail.com

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Ironis memang sebagai umat beragama kita selalu dicekoki oleh dogma-dogma “Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Adil” jika itu benar haruskah ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Haruskah ada sekat-sekat yang menjadikan perempuan lebih rendah dari pada laki-laki? Patut diakui pernyataan-peryataan seperti itu penuh dengan kontradiksi yang patut untuk direnungkan kembali. Sebagaimana halnya hegemoni budaya patriarkhi terhadap pemikiran dunia. Budaya patriarkhi juga mewarnai adat budaya yang ada di Bali, sebagaimana yang disampaikan oleh Holleman dan Koentharaningrat dalam Sudarta, bahwa Kebudayaan Bali identik dengan sistem kekerabatan patrilineal. (Sudarta, 2006) [2]. Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan pandangan Agama Hindu sebagai ajaran yang diyakini kebenarannya secara dominan oleh Masyarakat Bali, yang dalam ajarannya sangat memuliakan perempuan, bahkan perempuan dianggap sebagai “sakti” (kekuatan) bagi laki-laki. Bahkan menurut Saiva Siddhanta sakti bukanlah “maya” , tetapi faktor abadi yang penting, yang bekerja sama dengan “Siva” di mana tanpa ada kerja sama dengan-Nya, Siva tidak memiliki daya dan tak mampu menghasilkan keberadaan alam semesta yang tersembunyi dalam diri-Nya (Maswinara;2006,292) [3]. Perempuan dalam Hindu dipuja sebagai Dewi. Sebagaimana diceritakan dalam Kitab Purana-purana Hindu “Brahman” dalam manifestasi beliau sebagai “Tri Murti” selalu dihadirkan berpasangan dengan “sakti” seperti Dewa Brahma dengan saktinya Dewi Saraswati dalam melakukan tugas beliau sebagai pencipta, 55


Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender… .

Ni Nyoman Rahmawati

Dewa Wisnu dengan saktinya Dewi Laksemi sebagai pemelihara, dan Dewa Siwa dengan Saktinya Dewi Parwati sebagai pelebur.

( Pandangan Hindu yang memuliakan perempuan sangat kontradiktif dengan tradisi dan hukum adat yang ada di Bali. Di mana dalam tradisi dan Hukum Adat Bali belum mencerminkan ketidak kesetaraan gender. Hal ini dapat dilihat dalam hal kedudukan lakilaki dan perempuan dalam perkawinan, pewarisan dan perannya dalam kehidupan sosial di masyarakat. Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Bali dan juga dalam perananya di Masyarakat Laki-laki Bali memiliki kedudukan dan peranan yang diistimewakan. Hal ini dapat dilihat dalam mengambil keputusan penting di masyarakat hanya laki-laki yang berhak untuk memutuskan sedangkan perempuan hanya menerima yang diputuskan oleh laki-laki. Demikian juga dalam hal pewarisan hanya anak-laki-laki yang berhak mewarisi, sedangkan perempuan hanya sebagai penikmat tanpa punya hak atas warisan. Hal yang sama juga terhadap status kepemilikan anak semuanya jatuh pada pihak laki-laki. Hal ini tentunya sangat berlawanan dengan prinsip kesamaan yang dianut oleh kesetaraan gender. Padahal salah satu kitab suci Hindu, yaitu dalam Seloka I.32 Manawa Dharmasastra [4] menyatakan bahwa:

Handayani dan Sugiarti (2008) [5] dalam pandanganya mengatakan gender adalah sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam artian memilih atau memisahkan) peran laki-laki dan perempuan, bersifat dapat dipertukarkan, tidak ditentukan oleh perbedaan biologis atau kodrat melainkan dibedakan atau dipilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan Gender adalah suatu konsep kultural yang merujuk pada karakteristik yang membedakan antara wanita dan pria baik secara biologis, perilaku, mentalitas, dan sosial budaya. Pria dan wanita secara sexual memang berbeda, begitu pula secara perilaku dan mentalitas. Namun perannya di masyarakat dapat disejajarkan dengan batasan-batasan tertentu. Pengertian gender didefinisikan sebagai aturan atau normal perilaku yang berhubungan dengan jenis kelamin dalam suatu sistem masyarakat. Gender merupakan interaksi sosial masyarakat yang membedakan perilaku antara laki-laki dan perempuan secara proporsional menyakut moral etika dan budaya. Bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan berperan dan bertindak sesuai dengan ketentuan sosial, moral, etika dan budaya dimana mereka berada.

„DwidhaDwidha krtwatmano deham Ardhena puruso‟bhawat, ardhena Nari tasyam sa wirayama smrjat prabhuh

Menurut Ajaran Hindu gender bukan merupakan perbedaan perlakuan sosial antara laki-laki dengan perempuan, tapi mempertimbangkan pada hal-hal mana yang pantas dilakukan oleh laki-laki dan mana yang pantas dilakukan oleh perempuan.

Artinya: Dengan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan perempuan (ardha nariswari) Ia ciptakan wiraja dari perempuan itu.

Dalam hal ini Hindu lebih memandang gender dari kewajiban yang mesti dilakukan oleh masing-masing individu sebagaimana dikodratkan oleh Tuhan (Brahman). Sebagaimana yang termuat dalam kitab Manawa Dharmasastra [6] bab IX seloka 96 menyatakan bahwa:

Seloka di atas menjelaskan bahwa Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa) dengan membagi diri beliau menjadi dua yaitu sebagian lakilaki dan sebagian perempuan maka diciptakanlah laki-laki dan perempuan. Jadi laki-laki dan perempuan dalam Pandangan Hindu sama-sama diciptakan oleh Tuhan, sehingga seharusnya memiliki kedudukan yang sama dalam kehidupan sosial di masyarakat. Dengan melihat hasil-hasil penelitian ilmiah terdahulu dan mengaitkannya dengan keadaan yang teramati secara tidak langsung di lapangan, tulisan ini mencoba untuk mengangkat permasalahan mendasar yang dihadapi keluarga yang tidak memiliki keturunan laki-laki dan perempuan di Bali dalam memperjuangkan kesetaraan gender di bawah kungkungan budaya patriarki. Menginggat mereka juga punya hak untuk meneruskan keturunan dan menjaga kelestariannya keturunannya. 1.1 Konsep Gender dalam Pandangan Hindu Kesetaraan gender dengan sex selama ini telah menimbulkan kesalah pahaman akan identitas laki-laki dan perempuan dalam menjalankan perannya dalam kehidupan di dunia sosial. Berbicara mengenai sex merujuk pada perbedaan antara pria dan wanita berdasar pada jenis kelamin yang ditandai oleh perbedaan anatomi tubuh dan genetiknya. Perbedaan seperti ini lebih sering disebut sebagai perbedaan secara biologis atau bersifat kodrati (given), dalam artian sudah melekat pada masing-masing individu semenjak lahir. Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

”Prajanartha striyah srstah Samtnartham ca manawah Tasmat sadharanu dharmah Crutau patnya sahadita”. Artinya: “Untuk menjadi ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki diciptakan upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Weda untuk dilakukan oleh suami bersama istrinya Dalam seloka ini dijelaskan bahwa dalam setiap kelahiran manusia memiliki peran dan kewajibannya masing-masing. Peran dan kewajibannya ini sesuai dengan guna karma yang dimilikinya, namun dalam menjalankan perannya diharapkan antara laki-laki dan perempuan saling menjalin kerja sama yang harmonis dan seimbang. Tidak ada manusia baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dalam kesempurnaan. Kesempurnaan itu tercapai hanya jika terjalinnya kerjasama yang baik satu dengan yang lainya. Dalam Hindu antara perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, saling mendukung, dan saling melengkapai satu dengan yang lain. Dari konsepsi penciptaan ini sudah tergambar bahwa laki dan perempuan secara azasi harkat dan martabat serta gendernya adalah sejajar. 56


Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender… .

Ni Nyoman Rahmawati

Perbedaan laki dan perempuan itu adalah perbedaan yang komplementatif artinya perbedaan yang saling lengkap melengkapi. Perempuan tanpa laki-laki tidak lengkap. Demikian juga sebaliknya laki-laki tanpa kehadiran perempuan juga tidak lengkap. Tidak ada perbedaan perlakuan sosial kehidupan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tuhan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk saling mengisi dan membantu dalam menciptakan kesejahteraan dunia. Dengan demikian laki-laki dan perempuan sama-sama punya peranan penting dalam mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaan demi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin. Menurut Pandangan Hindu kedudukan laki-laki dan perempuan sama-sama terhormat, yang membedakan adalah tugas dan tanggungjawabnya sebagai kodrat manusia (guna karma). Sebagai kodrat manusia laki-laki dan perempuan memang berbeda, hal ini dikarenakan manusia lahir tidak dapat menghindari hukum rwabhineda, dua hal yang berbeda ada lakilaki dan perempuan, baik buruk, suka dan duka, gagal dan berhasil. Sejak Awal Peradaban Agama Hindu yaitu dari Zaman Veda hingga dewasa ini perempuan senantiasa memegang peranan penting dalam kehidupan. Hal ini tidak mengherankan bila ditinjau dari konsepsi Ajaran Agama Hindu dalam Siwa Tattwa, yang mengatakan bahwa adanya keberlangsungan kehidupan di dunia karena perpaduan antara unsur suklanita dan swanita. Tanpa swanita tak mungkin ada dunia yang harmonis. Bahkan menurut kitab Manawadharmasastra disebutkan bahwa antara perempuan dan laki-laki diumpamakan sebagai tangan kanan dan tangan kiri yang tidak dapat dipisahkan dalam menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan. Mereka mempunyai kedudukan yang sama namun fungsi dan tugas serta kewajiban yang berbeda sesuai dengan guna karma (kodarat) dan swadharmanya masin-masing. Sebagaimana dinyatakan dalam kitab Manawa Dharmasastra [6] Bab IX seloka 33 sebagai berikut: ”Ksetrabhuta smrtha nari Bijabhutah smrtah puman, Ksetrabija samayogat Sambhawah sarwadehinam”. Artinya : ”Menurut smrti wanita dinyatakan sebagai tanah, laki-laki dinyatakan sebagai benih (bibit), hasil terjadinya jazad badaniah yang hidup terjadi karena hubungan antara tanah dengan benih (bibit)”. Sebagaimana dinyatakan dalam sloka di atas, di mana berlangsungnya keturunan dikarenakan adanya kerja sama antara laki-laki dan perempuan. Tanpa adanya perempuan dan juga tanpa adanya laki-laki maka proses keberlangsungan kehidupan di dunia ini tidak akan pernah ada. Hal ini menandakan bahwa dalam melakoni kegiatan antara Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

perempuan dan laki-laki harus saling mendukung sehingga mampu mencapai hasil yang diinginkan.

( Dalam Rgveda laki dan perempuan yang sudah menjadi suami istri disebut dengan satu istilah yaitu “Dampati” artinya tidak dapat dipisahkan. Dalam Bahasa Bali disebut ”dempet”. Begitu juga dalam Manawa Dharmasastra [14] IX.45 dinyatakan bahwa suami istri itu adalah tunggal, sehingga kalau orang disebut istri sudah termasuk di dalamnya pengertian suami.

Kalau ada perempuan yang sudah disebut sebagai istri sudah dapat dipastikan ada suaminya. Karena kalau ada perempuan yang belum bersuami tidak mungkin dia disebut istri. Begitu juga kalau ada laki-laki disebut sebagai suami sudah dapat dipastikan ada istrinya. Tidak ada laki-laki yang bujangan disebut suami. Mereka disebut suami dan istri karena mereka sejajar tetapi beda fungsi dalam rumah tangga. Kata suami dalam Bahasa Sansekerta artinya master, lord, dominion atau pemimpin. Sedangkan kata istri berasal dari Bahasa Sanskerta dari akar kata ”str” artinya pengikat kasih. Istri berasal dari wanita. Kata wanita juga berasal dari Bahasa Bahasa Sansekerta dari asal kata ”van” artinya to be love (yang dikasihi), karena itu dikatakan bahwa wanita setelah menjadi istri kewajibannya menjadi tali pengikat kasih seluruh keluarga. Memperhatikan seloka-seloka di atas dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender sangat diakui dalam Ajaran Hindu, dengan memberikan ruang yang sama antara wanita dan pria dalam mengapresiasikan dirinya dalam kehidupan sosial di masyarakat. Hal ini tentunya dapat dilihat dari pentingnya peran perempuan dalam segala aspek kehidupan masyarakat maupun dalam kegiatan-kegiatan upacara keagamaan, sehingga dalam membina kehidupan keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa kedua-duanya hendaknya saling mengisi secara seimbang dan serasi. Peranan wanita dalam segala aspek kehidupan baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa amat penting, disamping peran pokoknya sebagai ibu rumah tangga dan sekaligus sebagai pendidik dalam keluarga. Manawa Dharmasastra juga menyebutkan wanita dinyatakan sebagai sumber kebahagiaan dan kesejahteraan. Hal ini tertuang dalam Bab III sloka 55 dan 57 sebagai berikut: Sloka 55 : ”Pitrobhir bhatrbhic Caitah patibhir dewaraistatha, Pujia bhusayita wyacca Bahu kalyanmipsubhih”. Artinya : ”Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayahayahnya, kakak-kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri”. 57


Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender… .

Ni Nyoman Rahmawati

Berdasarkan seloka ini kedudukan wanita di dalam Hukum Hindu sangat diistimewakan dan harus dihormati, mempunyai arti wajib hukumnya bagi orang tuanya, saudara lakinya, suaminya, anaknya untuk tetap menghormati dan melindungi wanita itu, yang menghendaki kesejahteraan sendiri yaitu untuk kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga sendiri di mana wanita itu tinggal. Begitu juga Sloka 57 mengatakan bahwa: ”Cosanthi jamayo yatrah Winacyatyacu tatkulam, Na cocanti tu yatraita Wardhate taddhi sarwada Artinya : ”Di mana warga wanita hidup dalam kesedihan keluarga itu cepat akan hancur, tetapi di mana wanita tidak menderita keluarga itu akan selalu bahagia”. Dari penjelasan seloka di atas, menyatakan bahwa perempuan merupakan cerminan dari kebahagian dalam setiap keluarga. 1.2. Konsep kesetaraan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali Merujuk pada pemahaman kesetaraan gender di atas yaitu yang berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Pemahaman keadilan gender sebagai keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam mengisi dan menikmati hasil pembanguan, dipandang berbeda oleh Perempuan Bali yang sudah terbiasa dengan budaya partiarkhi, di mana Perempuan Bali memandang kerja sebagai persembahan (yadnya) sehingga harus dilakukan secara tulus ihklas tanpa Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

memandang adanya ketidak seimbangan antara laki-laki dan perempuan.

( Di samping itu Perempuan Bali berangapan bahwa kerja merupakan suatu kewajiban sebagaimana swadharma-nya sebagai seorang istri terhadap suami. Hal ini terlihat dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Ni Made Diksa Widayani dan Sri Hartati dalam jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014 [7], tentang “Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali: Studi Fenomenologis terhadap Penulis Perempuan Bali”. Dari hasil penelitian dinyatakan bahwa subyek 3 dari penelitian ini menyatakan bahwa Kaum Perempuan Bali tidak merasa mengalami ketidakadilan gender karena memaknai setiap perannya sebagai sebuah kewajiban. Walaupun sebenarnya Perempuan Bali merasakan beban kerja akibat ketimpangan peran yang diterimanya. Persepsi dan pemahaman yang dimiliki oleh Perempuan Bali terhadap KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender) berbeda sesuai dengan adanya perbedaan pengalaman dan adanya penyesuaian diri dan dukungan sosial yang membentuk konsep diri individu. Pada dasarnya persepsi Perempuan Bali terhadap kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dipengaruhi oleh faktor ekternal dan faktor internal. Faktor ekternal yaitu faktor yang berasal dari luar individu atau disebut juga dengan faktor situasional. Faktor ini terdiri dari Kebudayaan Bali, pendidikan, dan pola asuh. Faktor internal merupakan faktor dari dalam individu atau disebut juga faktor personal, yang meliputi persepsi, sikap, penilaian, kebutuhan, resistensi, penyesuaian diri. Hal ini tentunya sangat ditentukan oleh sejauh mana Perempuan Bali mampu merefleksikan pengetahuan yang dimilikinya sebagai kontrol dalam membangun pemahaman terhadap kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan sosial di masyarakat. 1.3 Ketidaksetaraan Gender dalam Adat Patriarki di Bali Sebagaimana yang dikatakan Surpha (2006) [8] bahwa Masyarakat Bali memiliki pandangan hidup yang sangat dipengaruhi dan dijiwai oleh Kebudayaan Bali dan Agama Hindu. Pandangan hidup tersebut mengandung kosep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan dan pikiran-pikiran mendalam mengenai wujud kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat. Namun dalam kenyataanya khususnya dalam penerapan hukum adat di Bali masih sangat kontras dengan ketidak setaraan gender. Hukum adat di Bali sangat kental dipengaruhi oleh budaya partiharki, dimana di dalam Hukum Adat Bali kedudukan laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan. Budaya patriarki masih memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki. Terutama dalam hal perkawinan adanya konsep purusa predana yang dianut oleh Masyarakat Bali sebagai refleksi dari ajaran Agama Hindu tentang jiwa (purusa) yang identik dengan laki-laki dan material (predana) yang identik dengan perempuan. 58


Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender… .

Ni Nyoman Rahmawati

Di mana dalam Konsep Hindu jiwa melambangkan keabadian, materi sebagai sesuatu yag tidak kekal.

( Kalau dilihat dari Filsafat Sankhya maka purusa (jiwa) sebagai spirit, roh atau rohani, dan Predana disebut sebagai prakerti (materi/ kebendaan) yang mana kedua unsur (asas) inilah yang membentuk dunia ini (bhuwana agung). Tetapi akan sangat keliru jika kemudian konsep predana dan prakerti ini diidentikkan dengan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial. Karena pada kenyataannya setiap manusia dalam Pandangan Hindu disebut bhuwana alit memiliki kedua asas tersebut. Kekeliruan dalam merefleksikan pemahaman akan konsep purusa dan pradana dalam wujud laki-laki dan perempuan telah menimbulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan di Bali, terutama dalam adat perkawinan di mana perempuan (predana) dianggap lebih rendah kedudukannya dari pada laki-laki (purusa), sehingga Perempuan Hindu di Bali sering dikatakan sebagai “Pewaris tanpa warisan”. Hal ini tentunya sangat terkait dengan pemberlakuan adat istiadat yang mengatur kehidupan Masyarakat Bali yang masih belum mencerminkan kesetaraan gender. Di mana Perempuan Bali jika sudah menikah dia sepenuhnya menjadi hak milik laki-laki yang menikahinya dan keluarga pihak lakilaki, tanpa adanya banyak perdebatan. Bahkan semasih kecil Perempuan Bali sudah dibentuk dan dipersiapkan untuk menjadi milik keluarga lain. Begitu juga dalam hal pembagian waris bagi siperempuan yang sudah menikah keluar, tentunya namanya pun dihapuskan dari calon penerima warisan di rumahnya sendiri. Dan dalam bayangan akan mendapatkan warisan dari pihak keluarga laki-laki sesuai hak yang dimiliki suaminya. Tapi dalam kenyataan warisan dari pihak laki-laki adalah sepenuhnya menjadi miliki suami yang nantinya akan diwariskan kembali kepada anak laki-laki dalam keluarga itu. Ketimpangan atau diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di Bali juga tercermin dari kata-kata yang dipakai pada saat seorang laki-laki meminang si perempuan yaitu dengan mengunakan kata “ngayahin” yang diartikan sebagai “melayani”. Akan beda artinya jika laki-laki pada saat meminang perempuan dengan menggunakan kata-kata “mendampingi” yang mencerminkan kedudukan yang setara antara suami dan istri. Hal ini senada dengan ciri-ciri sistem kekerabatan patrilineal yang disampaikan oleh Holleman dan Koentjaraningrat dalam Sudarta, 2006 [2] sebagai berikut: (1) Hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui garis keturunan ayah, anak-anak menjadi hak ayah; (2) Harta keluarga atau kekayaan orang tua diwariskan melalui garis pria; (3) Pengantin baru hidup menetap pada pusat kediaman kerabat suami (adat patrilokal); (4) Pria mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat, dengan perkataan lain perempuan yang telah kawin (menikah) dianggap memutuskan hubungan dengan keluarganya sendiri, tanpa hak berpindah ke dalam keluarga suaminya dan tidak akan memiliki hak-hak dan harta benda. Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Hal ini tentunya tidak jadi masalah jika si perempuan memiliki bekal kemandirian secara finansial, karena dia tidak akan pusing dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tapi jika si perempuan sendiri tidak memiliki skill yang cukup maka di sana akan menjadi masalah sehingga besar kemungkinan akan terjadinya marjinalisasi terhadap si perempuan dari keluarga laki-laki apalagi didukung oleh ketiadaan keberpihakkan suami terhadap istrinya. Tidak hanya sampai di situ dalam perkembangan zaman yang semakin modern ternyata belum mampu mengubah paradigma berpikir Masyarakat Bali secara signifikan, sehingga saat ini banyak keluarga yang hanya memiliki anak perempuan terancam putung (tidak memiliki penerus keturunan), hal ini terjadi karena sulitnya bagi laki-laki baik dari dirinya maupun dukungan keluarga yang mau nyentana/ nyeburin (laki-laki setelah menikah menjadi milik keluarga perempuan). Karena dalam pandangan Masyarakat Bali yang merupakan bagian dari budaya partiharki dengan menikah nyeburin (nyentana) laki-laki kehilangan haknya menjadi kepala keluarga (kedudukannya dalam keluarga dianggap lebih rendah dari perempuan). Budaya Patrilineal khususnya yang memengaruhi Hukum Adat Bali menjadi faktor terjadinya diskriminasi terhadap kaum perempuan di Bali, di mana tidak semua orang tua mau memberikan kesempatan kepada anak perempuannya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dengan argumen bahwa nantinya anak perempuannya akan menjadi milik orang lain. Hal ini tentunya memicu terjadinya kesenjangan dalam kehidupan sosial di masyarakat, di mana perempuan selalu menjadi sosok yang didominasi oleh pihak laki-laki. Keadaan ini sangat kontradiktif dengan semangat kesetaraan gender yang menginginkan kebersamaan dan kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Konklusi Budaya Patrilineal khususnya yang memengaruhi Hukum Adat Bali menjadi faktor terjadinya diskriminasi terhadap kaum perempuan di Bali. Kekeliruan dalam merefleksikan pemahaman akan konsep purusa dan pradana dalam wujud laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial di masyarakat telah menimbulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan di Bali, terutama dalam adat perkawinan. Dimana perempuan (predana) dianggap lebih rendah kedudukannya dari pada laki-laki (purusa). Perempuan Bali memandang kerja sebagai sebuah persembahan (yadnya) sehingga harus dilakukan secara tulus ihklas tanpa memandang adanya ketidakseimbangan peran antara laki-laki dan Perempuan. Perempuan Bali tidak merasa mengalami ketidakadilan gender karena memaknai setiap perannya sebagai sebuah kewajiban, walaupun sebenarnya Perempuan Bali merasakan beban kerja akibat ketimpangan peran yang diterimanya 59


Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender… .

Ni Nyoman Rahmawati

Referensi: [1]

Capra.Fritjof. (2004). Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta:PT Bentang Pustaka. [2] Sudarta.W. (2006). Pola Pengambilan Keputusan Suami Istri Rumah Tangga Petani Pada Berbagai Bidang Kehidupan. Kembang Rampai Perempuan Bali, 65-83. [3] Maswinara. I Wayan. (2006). Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya:Paramita. [4] Pudja Gede. (1977/1978), Manawa Dharma Sastra, Jakarta: Dep. Agama R.I. [5] Handayani.T. & Sugiarti. (2008). Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press. [6] Pudja Gede. (1977/1978), Manawa Dharma Sastra, Jakarta: Dep. Agama R.I. [7] Wiyani. Diska. Ni Made & Hartati Sri. (2014). Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali: Studi Fenomenologis Terhadap Penulis Perempuan Bali. Jurnal Psikologi Undip Vol 13 No. 2 Oktober, 149-162. [8] Surpha.I.W.(2006).Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali.Denpasar: Pustaka Bali Post. [9] Abdulah Irwan. (1997), Sangkan Paran Gender, Pusat Penelitian [10] Acee Suryadi. Aceep Idris.( 2004). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Genesindo. [11] Achmad. Muthia’in. (2001). Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: UMS. [12] Elfi Muawanah. (2009). Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: TERAS. [13] Fakih Mansour. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta:Pustaka Pelajar. [14] Giddens. Anthony.(1994). Masyarakat Post-Tradisional, Yogyakarta; IRCiSoD. [15] Moh. Roqib. (2003). Pendidikan Perempuan. Yogyakarta: Gama Media. [16] Pandit., I Nyoman. (1993), Saracamuscaya., Jakarta;Hanuman Sakti. [17] Pudja. SH MA. I Gede. (1988), Bhagawadgita. Jakarta: Hanuman Sakti. [18] Sri Awati. Ni Made. (1993). Swadharma Ibu Dalam Keluarga Hundu, Denpasar: Upada Sastra [19] Sudibya I Gde.(1997).Hindu Budaya Bali Bunga Rampai Pemikiran” Denpasar: PT BP. [20] Titib. I, Made. (1996). Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan.

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

(

60


www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural Volume 1 No. 1 Januari 2016 www.an1mage.org

Jurnal Studi Kultural

v


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.