dukuh cikelet
memelihara santun 2008
Sekitar 150 km dari kota Bandung, kampung Dukuh terletak di desa Cikelet, kecamatan Pameungpeuk, kabupaten Garut. Pencapaian kampung ini melalui jalan batu yang terus menanjak sepanjang 8 km dari Cikelet. Hamparan luasnya Samudera Hindia menjadi pemandangan di tengah perjalanan menanjak; saat menoleh ke belakang. Puncak punggungan bukit pun mengakhiri tanjakan, dan terlihat sekelompok massa bangunan dengan khas arsitektur Sunda di lembah sebelah timur jalan.
Dengan bernafaskan Islam, Kampung Dukuh merupakan kampung adat; yang memegang erat kebudayaan leluhurnya. Kampung ini terbagi menjadi dua bagian; yakni kampung Dukuh di dalam pagar dan kampung Dukuh di luar pagar. Kampung Dukuh Dalam diyakini sebagai tanah keramat atau tanah Karomah (berkah); sebagaimana berbagai aturan wajib dipatuhi di dalam area tersebut. Berbeda namun tetap mengormati adat istiadat, Kampung Dukuh Luar hadir sebagai perkembangan permukiman Kampung Dukuh Dalam. Pola hidup yang relatif lebih modern; menerima perkembangan teknologi dan material, membedakan Kampung Dukuh Luar dengan Dukuh Dalam
Di bagian paling utara dari kampung, terdapat makam leluhur (pendiri kampung) yang mana untuk berziarah; tidak boleh pada waktu yang sembarangan serta diharuskan mengikuti aturan yang berlaku. Sabtu dan hari-hari besar Muslim menjadi hari kunjungan ziarah. Makam ini dapat ditemukan di dalam hutan keramat di sebelah utara kampung. Masih di bagian utara, terletak rumah Kuncen, orang yang paling di-tua-kan di kampung ini. Di selatan rumah tersebut, bertebaran massa-massa rumah yang beraksis barat-timur, ini lah kumpulan massa rumah Kampung Dukuh Dalam. Sementara Dukuh Luar, terletak di selatan Dukuh Dalam. Selain menggunakan arah utara-selatan, runutan hierarki penataan area ini pun dapat digambarkan menggunakan ketinggian permukaan tanah. Hutan keramat dengan makam pendiri di dalamnya, berada pada posisi tertinggi, setelah itu rumah Kuncen, lalu Kampung Dukuh Dalam, dan pada level terendah; Kampung Dukuh Luar.
Dukuh Dalam tidak menerima teknologi modern; tidak memperbolehkan aliran listrik masuk, tidak juga penerangan dengan petromaks. Semua material diharuskan menggunakan material alami, hingga peralatan makan pun terbuat dari batu atau tanah liat. Demikian pula dengan material bangunan. Warga Dukuh Dalam menghindari pengerjaan material yang menggunakan mesin. Penggunaan mesin diyakini warga Dukuh Dalam sebagai perbuatan merusak alam. Warga pun melarang penggunaan kaca untuk jendela dan genteng untuk atap. Pondasi bangunan yang digunakan merupakan pondasi khas Sunda yang diletakkan begitu saja di atas batu. Untuk konstruksi lantai, digunakan kayu sebagai balok, lalu bambu diletakkan melintang di atasnya, setelah itu di bentangkan palupuh (tikar dari bambu) sebagai penutup lantai. Untuk plafon, dahulu dibuat sama seperti pada lantai, namun untuk alasan ekonomis diganti menggunakan bilik. Sedangkan konstruksi pada atap digunakan kayu dengan penutup atap eurih (alang-alang) yang kemudian dilapisi kembali dengan ijuk. Pembangunan dan perbaikan rumah dikerjakan secara bergotong royong pada hari yang telah ditentukan. Pengerjaannya berlangsung hanya dua sampai lima hari. Dimulai dari pemasangan kayu utama di atas umpak, kemudian palupuh, kudakuda, dinding, serta penutup atap. Biasanya dilakukan dua tahun sekali, pada saat penutup atap rumah memerlukan perbaikan
Yang menarik perhatian dari massa-massa yang terdapat di kampung Dukuh Dalam, adalah bentuknya yang setipe dan merupakan tipikal bangunan Sunda yang masih asli, terutama pada penempatan ruang dalam rumah. Dalam satu rumah terdapat dua pembagian ruang; yaitu tengah imah (ruang keluarga) dan dapur. Pada tengah imah biasanya dibuat ruang kamar yang tidak permanen sesuai kebutuhan keluarga tersebut. Sedangkan pada bagian bagian dapurnya terdapat tungku untuk memasak yang terbuat dari tanah dan tapas (bekas beras).
Kampung dengan warga mayoritas Muslim ini, meyakini adat yang mengatakan bahwa kaum pria mempunyai kedudukan dan peran yang lebih besar dalam segala hal dibandingkan kaum wanitanya. Pada acara-acara tertentu dalam rumah, kaum pria masuk melalui pintu depan dan diam di ruang tengah. Ibu dan anak-anak harus lewat pintu belakang dan diam di dapur. Pria identik dengan bagian depan rumah dan wanita identik dengan bagian belakang rumah; yakni dapur.
Massa-massa bangunan Dukuh Dalam nampak serupa satu sama lain dan secara gamblang mengukuhkan karakter Dukuh. Mulai dari bentuk bangunan, material bahan bangunan, hingga penataan ruang dalamnya. Bahkan peristiwa kebakaran yang me-rata-hangus-kan Dukuh Dalam di tahun ‌., tidak membuat Dukuh serta merta berganti rupa. Semua bangunan kembali dibangun pada posisi yang sama, material yg sama, dengan bentuk yang sama. Mereka berusaha mengembalikan Dukuh seperti semula adanya. Menjaga Dukuh tetap lestari, walau sempat luluh lantak.
Hidup sederhana. Mungkin pendirian ini lah yang membuat mereka bertahan hingga saat ini dengan rasa bangga. Adat mengharuskan mereka untuk tetap pada jalan yang sudah ada. Namun, kebebasan pribadi untuk menentukan nasibnya sendiri, juga berlaku di wilayah ini. Setiap orang berhak menentukan apakah ia akan tetap di Kampung Dukuh Dalam dengan segala kesederhanaannya, atau mengadu nasib ke luar kampung. Hal ini dipertanggunjawabkan secara moral pada masing-masing pribadi.
Kampung Dukuh Dalam seakan menyerukan; bahwa perilaku santun, tidak hanya berhenti pada karakter dan keyakinan, namun mewujud secara fisik, terbangun dan tertata dalam lingkungan binaan mereka bersama. Bukan hanya budi bahasa dan tingkah laku, namun juga tata ruang dan tata bangunan. Sudah sepatutnya, moral berujung pada tindakan. Tindakan membuahkan karya. Karya, tak bisa lepas dari akal budi. Satu lingkungan binaan bersama, satu karya bersama. Lahir dari semangat yang sama. Menata dan mencipta.. Dari roh menjadi raga.. Santun itu.. cenderung tidak egosentris.. tidak bombastis, namun tidak apatis.. Apakah masih perlu, mengartikulasikan 'santun' dalam bentukan fisik; arsitektur? Sebagai 'bendera' kebanggaan bersama? Sebagai 'cermin' yang merefleksikan budaya penghuninya? Atau sebagai 'rupa jiwa' ; bagian dari jati diri yang senantiasa melekat..?