Pancar Pendar Nusantara
Proposal
01
Sonaf Tamkesi, Timor - NTT
03
Kasao - Kampung Nage, Bejawa - NTT
05
Kampung Nage, Bejawa - NTT
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, hadir dalam bentuk untaian pulau-pulau besar maupun kecil di antara samudera Hindia dan samudera Pasifik. Terdiri dari ribuan pulau, Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik dan 737 sub bahasa. Keragaman telah menjadi identitas bangsa. Walau antar pulau berbeda-beda dan terpisah-pisah oleh lautan, Indonesia tetap satu bangsa. Satu bangsa yang terdiri dari beragam wajah dan budaya. Keragaman ini nampak begitu jelas ketika kami menjelajah pelosok pulau-pulau di Indonesia. Tidak seperti wajah perkotaan yang relatif serupa satu sama lainnya, setiap pelosok yang kami kunjungi memiliki daya tarik tersendiri dan kebanggaan akan citra dirinya masing-masing, baik secara fisik maupun mental. Peradaban lokal yang telah berlangsung dari sekian puluh bahkan ratus tahun sebelumnya, hingga kini masih terus dijalani oleh warga. Kebudayaan lokal ini diharapkan tetap lestari dengan kaum muda sebagai penerusnya. Namun, arus modernisasi dan globalisasi membuat mereka dalam kondisi di persimpangan. Apakah kelokalan ini akan berkembang atau berubah? Apakah yang sebenarnya disebut modern? Apa yang menjadi standar kehidupan yang lebih baik? Disisi lain, apakah kearifan lokal masih relevan hingga saat ini? Apa yang sesungguhnya layak untuk diperjuangkan dan dilestarikan? Ataukah satu-satunya masa depan bagi ‘tradisional’ adalah di-museum-kan?
06
07
Tanah Petak Daye, Lombok - NTB
Fenomena Indonesia kini, arsitektur dan peradaban tradisional mulai tersingkirkan karena tuduhan primitif. Pada kenyataannya, arsitektur yang tumbuh di masyarakat secara turun temurun ini telah teruji selama berabad-abad mampu mengharmonisasikan dirinya dengan lingkungannya. Namun, belum semua kekayaan tersebut telah dipelajari dan diaplikasikan dalam dunia arsitektur kekinian karena belum tergali dan terdokumentasi secara optimal. Hal ini menjadi sebuah tantangan bagi masyarakat Indonesia bahwa masih banyak tentang kekayaan arsitektur nusantara yang bahkan belum sempat terjamah oleh media. Arsitektur tradisional bukan lagi sekedar benda usang yang tak mampu berkata-kata tetapi tetap menjadi kekayaan adiluhung bangsa jika kita mampu menyingkap tabir rahasianya serta mengenali, melestarikan dan mengembangkannya
08
09
Kampung Tambera, Sumba Barat - NTB
Buku ini menceritakan beberapa kampung tradisional di pelosok Nusantara, yang menjadi tujuan Ekspedisi Arsitektur Tradisional bagi anggota Arsitektur Hijau dalam rentang tahun 1986 hingga tahun 2011. Melalui buku ini kami mencoba untuk mengangkat keunikan arsitektur dan ragam budaya masingmasing kampung melalui dokumentasi foto perjalanan didukung narasi singkat. Kami berusaha menempatkan arsitektur tradisional pada ruang dan waktunya sendiri, yakni dari sudut pandang pelaku dan konteks yang melingkupinya, bukan dari perspektif kekinian. Dengan tidak terjebak dalam kekinian sebagai tolok ukur acuan, kita bisa membaca kewajaran demi kewajaran yang terjadi yang merupakan penyikapan yang lahir sebagai hasil hubungan sebab-akibat. Kita akan bisa memahami norma sebagai bentuk penghargaan antar manusia yang berimplikasi terhadap tata ruang, semuanya itu terekam dengan jelas dan dengan mudah dipahami sebagai ‘kearifan lokal’. Mengingat bahwa arsitektur dan kebudayaan tradisional pada dasarnya bukan lah sesuatu yang beku, melainkan sebuah hasil dari proses perkembangan yang berlangsung selama ratusan hingga ribuan tahun, maka perlu disadari bahwa hingga kini pun mereka masih berproses dan bertransformasi. Terkait isu modernisasi, ternyata masyarakat yang terkait pun telah memilih dan memutuskan dalam bersikap untuk menerima atau menolak unsur-unsur baru yang masuk. Sebenarnya mereka melakukan hal itu setiap saat, berusaha mengintegrasikan unsur-unsur baru ke dalam struktur yang sudah ada. Tetap membina tradisi, memberi nafas bagi arsitektur tradisional..
10
Kampung Air Sena, Kep.Riau
sumatra airsena mentawai gedong
kalimantan
ensaid panjang
Desa Tiop & Surausau,kep.Mentawai
Kampung Naga,Jawa Barat
jawa
dukuh naga Kampung Dukuh,Jawa Barat
Rumah Panjang Ensaid, Kalbar
lombok lombok
tanah petak daye
Kampung Bena, Flores,NTT
Tanah Petak daye, Lombok ,NTB
DesaTepal, Sumbawa, NTB
Kampung Tambera, Sumbawa ,NTB
nusa tenggara bena nage tambera tepal sonaf tamkesi
Sonaf Tamkesi, Timor, NTT
13
14
15
Tanah Petak Daye, Lombok - NTB
Tujuan Mengangkat kekayaan ragam muka arsitektur dan budaya di pelosok Nusantara yang relatif terpinggirkan. Menyadari bahwa arsitektur tradisional Indonesia masih bernafas bahkan menggeliat dalam keutuhan maknanya, bukan sebagai sesuatu yang beku dan mati.
Sasaran Pembaca Pembaca diharapkan tidak terlalu spesifik pada satu komunitas tertentu melainkan dapat dinikmati oleh berbagi kalangan seperti budayawan, Akademisi, Fotografer, traveler, dan lain-lain. Namun sasaran yang paling utama bagi kami adalah masyarakat umum yang tadinya tidak mengenal kekayaan arsitektur tradisional indonesia, kami perkenalkan betapa kaya dan beragamnya arsitektur tradisional indonesia yang tidak melulu arsitektur bali atau rumah gadang.
16
17
Arsitektur Hijau
Sekilas tentang Arsitektur Hijau Arsitektur Hijau ( ARJAU ) merupakan salah satu wadah minat dalam Himpunan Mahasiswa Jurusan Arsitektur Hijau Universitas Katolik Parahyangan. ARJAU yang telah berdiri sejak tahun 1985 ini telah melakukan banyak perjalanan ke pelosok negeri dengan tujuan untuk melakukan pendataan dan penelitian setiap tempat yang dikunjungi. Penilitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran berupa pendataan, analisa, dan petunjuk operasional yang disesuaikan dengan kondisi aktual dari masyarakat. Arsitektur Hijau juga mempelajari penghayatan sistem nilai dan perilaku sosial budaya masyarakat serta perpaduannya dengan alam tempat merka hidup yang melahirkan sebuah wujud lingkungan binaan.
Selama ini data-data tersebut hanya dimiati oleh beberapa komunitas kalangan akademisi saja. Kami sebagai penulis yang merupakan anggota ARJAU mencoba mengemas sebagian data-data hasil penelitian dengan cara yang lebih ringan, santai sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat umum. Dengan adanya buku ini kami berharap pembaca dapat lebih mengetahui betapa beragam dan bernilai arsitektur nusantara kita ini.
18
Pancar Pendar Nusantara Sneak Preview
TANAH PETAK DAYE
TANAH PETAK DAYE, LOMBOK Di pegunungan Lombok Utara, Tanah Petak Daye terletak di sebuah puncak bukit, dalam bentuk sebaran beberapa kelompok massa bangunan. Masing-masing kelompok massa tersebut dilingkungi oleh pagar alami. Terbuat dari kayu, bambu, pepohonan, dan tanaman perdu, selain menegaskan batas area, pagar ini pun memperkuat kehadiran kelompok-kelompok massa di tengah alam lingkungnya. Masyarakat Sasak , penghuni Tanah Petak Daye, memandang alam sebagai acuan pedoman, baik dalam menandai kehadiran sebuah area, maupun dalam memaknai kehadiran mereka di dunia. Nenek moyang orang Sasak diyakini berasal dari suami-istri Bathara Indra dan Dewi Anjani yang bertempat tinggal di gunung Rinjani. Cerita turun-temurun ini, meyakinkan penghuni Tanah Petak Daye bahwa gunung Rinjani adalah pusat kehidupan,tempat bersemayam para leluhur dan dewa-dewi. Posisi gunung Rinjani yang di sebelah selatan Tanah Petak Daye, memberikan keyakinan bagi penghuni Tanah Petak Daye bahwa perlindungan datang dari arah selatan. Pintu masuk hunian, termasuk pelataran, ditata menghadap utara, sedangkan ruang dalam hunian di sebelah selatan. Tercipta semacam hierarki penataan ruang dari selatan ke utara, disertai pengaturan ketinggian lantai dengan posisi tertinggi di sisi selatan. Rasa keterikatan dengan Gunung Rinjani, juga muncul dalam keseharian adat penghuni Tanah Petak Daye. Hadirnya pemangku adat, yang diyakini sebagai perantara arwah leluhur dan penjaga relasi dengan alam semesta, memberikan rasa aman kepada penghuni Tanah Petak Daye. Meskipun Tanah Petak Daye telah membuka diri terhadap perkembangan teknologi, praktik adat tetap menjadi suatu keharusan, yang diyakini penghuni Tanah Petak Daye agar mereka terhindar dari malapetaka yang tak diinginkan. Keyakinan tersebut membuat mereka tetap mempertahankan satu dari sekian banyak kelompok massa, sebagai sebuah area yang mereka sakralkan untuk kepentingan keberlangsungan adat. Area ini mereka sebut dengan Tanah Adat. Sebuah area yang dibekukan sedemikian rupa mengikuti peradaban di masa lampau, tanpa tercemar perkembangan teknologi saat ini. Eksistensi dan keberlangsungan Tanah Adat ini, memberikan ketentraman bagi penghuni Tanah Petak Daye, yang bermukim di area Tanah Biasa.
AIRSENA
AIRSENA Kampung Airsena terletak di Pulau Mata, berupa kumpulan tatanan rumah panggung yang berdiri di atas permukaan air laut di sepanjang garis pantai . Secara administratif Kampung Airsena terletak di Desa Air Asuk, kecamatan Pal Matak, Kabupaten Natuna, Propinsi Riau (3Ëš16' LU dan 106Ëš17' BT) Pada mulanya daerah ini sepi tak berpenghuni, sampai tahun 1800-an datanglah para penjelajah berlabuh di tepian pulau ini. Mereka datang secara berkelompok dan mulai mendiami kawasan ini pada daerah yang terpisah menurut kelompoknya masing-masing. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal penduduk Airsena. Kelompok yang terdiri dari suku Tionghoa mendiami kawasan bagian Utara, suku Laut menempati bagian Tengah, sedangkan suku Dayak menempati bagian Selatan. Lambat laun, ketiga kelompok ini mulai berbaur dan mulai terjalin ikatan persaudaraan diantara mereka. Sekitar tahun 1980 an terjadi perubahan mata pencaharian di Airsena, dari semula sebagai nelayan pencari ikan menjadi nelayan pemelihara ikan. Jenis ikan yang dipelihara ialah ikan Napoleon yang menjadi daya tarik bagi para pedagang dari mancanegara seperti nelayannelayan gelap dari Singapura dan negara-negara sekitar sehingga ikan ini memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Perubahan ini meningkatkan perekonomian penduduk Airsena. Maka mulailah bermunculan tempat-tempat pemeliharaan ikan. Kamp ikan ini bisa terletak dekat dengan rumah pemilik, ada pula yang terpisah dan dihubungkan dengan pelantar kayu ( jalur sirkulasi yang terbuat dari kayu yang ditanam di dasar laut).