mentok 2001
Menumbuhkembangkan Laras Selaras dan harmonis. Kota Mentok mewujud dalam perpaduan tiga budaya besar; Tionghoa, Melayu, dan Belanda. Kota kecil yang berada di bagian barat Pulau Bangka ini, diberkati dengan posisinya yang merupakan titik akhir dari Jalur Timah Asia Tenggara. Pada saat itu, VOC menggencarkan pertambangan timah, dan mendatangkan tenaga kerja etnis Tionghoa. Mayoritas berasal dari daerah Fujian dan adalah orang Hakka.
Orang-orang Hakka ini mulai membentuk permukimannya di tengah-tengah permukiman penduduk asli, yang mayoritas etnis Melayu dan Bugis. Kawasan permukiman ini berkembang menjadi yang disebut banyak orang dengan istilah Pecinan. Pecinan ini mudah dikenali dengan hadirnya pusat ibadah Kelenteng, rumah-rumah berlanggam Cina, dan ragam hiasnya
Tiga etnis, tiga budaya, tiga latar belakang yang berbeda, namun bersama-sama mengemban tanggung jawab yang serupa; mengolah kekayaan timah di pulau Bangka. Mentok menjadi pusat permukiman ketiga kelompok masyarakat ini. Walau tata kota kolonial menetapkan pembagian kampung antar etnis, alih-alih terjadi jarak dan perselisihan, ketiga golongan masyarakat ini malah membaur menjadi satu dalam membangun kota Mentok Saling menghormati bahkan membantu satu sama lain, menyukseskan Mentok sebagai pusat pertambangan timah dan pusat perekonomian Bangka. Mentok adalah kota tertua di Bangka yang dinilai cukup modern saat itu. Ditetapkan sebagai kota pelabuhan sejak tahun 1700-an. Hingga kini, kota Mentok menjadi Ibu Kota Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Tanpa harus bertentangan atau pun menjaga jarak dengan etnis lain, Kelenteng Guang Fu Miao di Pecinan kampung Mentok, hadir berdampingdampingan dengan Masjid utama, yakni Masjid Jami. Kedua pusat ibadah ini sama-sama menghadap alun-alun kota. Kelenteng dan Masjid diletakkan dalam kesejajaran satu sama lain, dalam posisi yang sama-sama terhormat,di depan lambang kedaulatan rakyat; alun-alun kota. Kelenteng Guang Fu Miau dibangun sekitar tahun 1790, merupakan kelenteng yang tertua di Bangka. Selang 83 tahun kemudian, didirikan Masjid Jami yang juga adalah masjid tertua di Bangka. Sebagai pusat kota di Bangka, pusat ibadah Muslim menjadi suatu kebutuhan. Maka, atas prakarsa para ulama dan tokoh masyarakat saat itu, Masjid Jami dibangun dengan lokasi berdampingan dengan kelenteng Guang Fu Miau. Pembangunan masjid selain dilakukan oleh warga etnis Melayu, juga dibantu oleh warga etnis Tionghoa non-Muslim.
Mayor etnis Tionghoa, pemimpin pertambangan timah saat itu, juga turut menyumbangkan batu pualam untuk pembangunan masjid. Konon, perancang masjid juga merupakan keturunan Tionghoa. Hal ini menjadi kisah menarik dibalik perpaduan ragam hias Cina dalam langgam masjid, terutama dekoratif yang terdapat pada atap. Menguap sudah, segala pengkotak-kotakan atas nama etnis, budaya, dan agama. Batas antar etnis menjadi kabur. Kehadiran Masjid Jami dan Kelenteng Guang Fu Miao yang saling berdampingan kerap menjadi simbol dan teladan untuk kerukunan antar umat beragama, maupun antar suku dan budaya. Hingga kini, satu abad lebih berlalu, kerukunan dan kekompakan itu tetap membudaya.
Perpaduan langgam bangunan antara Cina dan Belanda juga menonjol di kawasan Pecinan ini. Ragam hias Cina berpadu dengan kokohnya gaya kolonial. Deretan rumah-rumah yang berjejer satu sama lain ala kolonial, dapat diterima oleh budaya shop house ala Cina dengan bentuknya yang pipih.
Menjaga keselarasan, sesungguhnya bukan hanya mengenai wajah kota dan perpaduan langgam di dalamnya. Namun bagaimana menanggapi setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam kota. Pusat pasar kota Mentok, yang dahulu berada di dekat alun-alun kota dan berdampingan dengan terminal kota, mengalami kebakaran sekitar tahun 1970-an. Peristiwa ini mengakibatkan perpindahan lokasi pusat pasar menjadi di sebelah Selatan Pecinan. Hal ini mengakibatkan untuk mencapai pusat pasar, setiap orang yang baru pulang bepergiandari terminal, harus melewati Pecinan terlebih dahulu. Kondisi ini memicu kawasan Pecinan untuk berkembang dan merespon. Jalan yang ramai dan padat dilalui orang, membuka banyak kesempatan untuk berdagang. Maka Pecinan beralih dari permukiman satu lantai, menjadi dua lantai dengan fungsi komersial (toko) di area depan rumah.
Perubahan demi perubahan bergulir. Fasad bangunan dengan teras dan bukaan jendelajendelanya, berganti menjadi satu bukaan lebar untuk pintu geser metal ala ruko. Fungsi toko menjadi lebih dominan dibandingkan dengan fungsi huniannya. Pedagang kaki lima turut bermunculan meramaikan situasi. Jalan yang tadinya bersifat privat dalam suatu kawasan permukiman, sekarang menjadi ruang publik bersama. Kawasan Pecinan tidak lagi identik dengan etnis Tionghoa, namun justru sebagai arena bertemunya berbagai macam warga. Sepenggal ruang kota milik bersama.
Fleksibel. Mengaburkan garis antara, 'kami' dan 'kalian'.., 'kita' dan 'mereka'.. Berkembang. Bertumbuh bebas, lepas dari kekangan batas. Menggeliat dan mengkreasi Meluaskan diri, tanpa sia-sia terhimpit membela batas nisbi..