sonaf tamkesi 2011
SONAF TAMKESI Kampung Tamkesi merupakan salah satu dari sedikit kampung adat asli di daratan Timor. Tamkesi terletak di Kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timor. Berjarak sekitar 260 km dari Ibukota Kupang. Uniknya, sekilas, sulit menemukan di mana keberadaan kampung Tamkesi. Lokasinya tersembunyi di balik rapatnya hutan di tengah padang sabana yang mendominasi daerah sekitarnya. Selain lokasinya yang sulit ditemui, kampung ini dikelilingi oleh tanaman penyebab gatal (jika daun dan batangnya tersentuh) bernama kese yang melengkapi jajaran bebatuan alami, seakan menjadi benteng alami yang melindunginya dari serangan musuh di masa lampau. Menurut tutur tradisi lokal, pada awalnya masyarakat Kerajaan Biboki adalah nomaden, berpindah-pindah mulai dari sekitar daerah pantai Oepuah hingga akhirnya menetap di Tamkesi. Di sinilah, timbangan besi nais yang disakralkan menemukan titik imbangnya. Karena itulah, maka lokasi ini dinamakan Tamkesi yang berarti kokoh dan tidak tergoyahkan. Pada kisaran tahun 1865, didirikanlah perkampungan ini di bukit yang diapit dua buah gunung batu kembar, Oepuah dan Tapenpah. Oepuah simbol kesuburan dan kesejahteraan serta Tapenpah simbol kekuasaan dan kekuatan. Untuk memperingati proses pengembaraan panjang itu, didirikanlah lurai, tonggak kayu yang berdiri di atas susunan batu. Untuk memasuki daerah Sonaf ( istana) Tamkesi, ada tiga jalan masuk. Dua jalan untuk suku-suku dibawah Amaf Bersikone dan Paisananu. Satu jalan khusus diperuntukan untuk para Usif (bangsawan) dan keturunan Raja. Ketika masuk, pengunjung disambut jalan batuan menanjak kurang lebih 50 meter. Setelah melewati tanjakan batuan tersebut, maka kita akan sampai di dalam kompleks sonaf. Sambutan ramah dan hangat warga yang biasanya berbahasa Dawan menyapa ketika masuk perkampungan ini. Terdapat tujuh undakan dari batu yang sengaja disusun oleh masyarakat Tamkesi pada jaman dahulu. Rumah-rumah bulat beratap alang-alang menghiasi setiap undaknya. Semakin tinggi tingkatan, maka semakin tinggi pula strata sosialnya. Di puncak tertingginya, tegaklah sonaf Paon Le'u tempat Tinggal Kaiser, Raja Biboki,yang sekarang dalam masa rekonstruksi.
Tidak jauh dari Paun Le'u, terdapatlah batu pipih berdiameter 60 cm berbentuk hati. Di sanalah, orang yang berperkara diadili. Orang-orang yang terlibat dalam suatu perkara akan berdiri mengelilingi batu tersebut. Setelah didoakan oleh tetua adat, seekor ayam dipotong lehernya, kemudian diletakkan diatas batu tersebut. Konon, sebelum mati, ayam menggelepar dan berhenti di depan orang yang bersalah. Melalui ini, diharapkan hati nurani setiap orang yang berkara dapat terketuk dan menemukan solusi dari setiap permasalahannya. Umumnya, bangunan didominasi dua tipe rumah yakni lopo dan ume kbubu. Keduanya berpasangan. Masingmasing dianggap mewakili sifat maskulin dan feminim. Kebiasaan di tamkesi, kaum wanita dan anak-anak tinggal di ume kbubu sedangkan kaum pria tidur di lopo untuk melindungi keluarga dan harta benda. Denah keduanya berbentuk lingkaran atau elips. Lopo adalah semacam gazebo berfungsi sebagai tempat menerima tamu, musyawarah, beraktivitas sehari hari seperti menenun atau menumbuk jagung dan bagian lotengnya berfungsi sebagai lumbung. Ume kbubu adalah rumah tinggal tanpa jendela, berpintu rendah sehingga ke untuk masuk orang harus menunduk bahkan merangkak sebagai simbol penghormatan terhadap si empunya rumah. Fungsinya tempat untuk tidur dan memasak. di dalamnya,terdapat dua tiang agung yang selain menopang struktur bangunan juga menjadi tempat menggantung benda keramat misalnya tanasak (tempat sirih pinang) nenek moyang untuk meminta berkat dan menghormati leluhur. Rumah tidak sekedar mewadahi aktivitas manusia saja tapi juga dimaknai agar hidup selalu terkait dengan alam dan Penciptanya. Ada dua jenis pintu yakni pintu keluar masuk untuk sirkulasi sehari-hari dan pintu khusus orang mati yang dibuka sewaktu waktu. Pintu utama biasanya menghadap loro sae (timur) yang dianggap berhubungan dengan kesakralan. Di sisi timur ume kbubu, biasanya terdapat bahaneuf. Tiang berupa kayu bercabang tiga yang di atasnya diletakan plat batu untuk sedekah persembahan pada Uis Neno, sebutan Tuhan dalam tradisi Dawan.
Material bangunan yang dipakai dalam membangun haruslah berasal dari alam seperti alang-alang, ijuk, dan kayu. Teknik konstruksi tanpa paku, melainkan menggunakan ikat nonok (tali hutan dari akar pohon). Finishing bangunan pun tidak dicat dan ditampilkan seperti aslinya. Hal ini ditaati oleh warga dan dipercaya jika melanggarnya akan berakibat buruk tidak hanya pada pelanggarnya tetapi juga bagi seluruh warga kampung. Pengambilan material di waktu yang tepat dipercaya menjadikan bangunan lebih awet. Selain itu, asap dapur yang selalu mengepul pun berfungsi mengawetkan bangunan. Hal itu terbukti pada jagung yang tetap awet berbulan-bulan hanya dengan mengasapinya di dekat tungku. Biasanya, bangunan mampu bertahan sampai 20 tahun. Jika ada bangunan rusak, warga memperbaikinya secara bergotong royong. Masyarakat Tamkesi masih menghidupi budaya asli Atoin Meto. Setiap bulan November, digelar tradisi tatamamaus yakni penyerahan upeti tahunan seperti jagung, padi, dan uang kepada Kaiser. Di satu sisi menghidupi istana sehari-hari, disisi lain juga dimaknai sebagai persembahan syukur dan memohon berkat kepada Uis Neno serta leluhur. Dalam upacara ini juga, tujuh orang keturunan suku Usboko memanjat Gunung Tapenpah untuk mempersembahkan ternak seperti kambing dan ayam di lempeng batu besar yang berfungsi sebagai mezbah Allah. Pada tahun 2005 dibentuklah desa Adat Tamkesi oleh pemerintah setempat untuk mengembangkan Komunitas Adat Tertinggal (KAT). Salah satunya adalah dengan membangun rumah di luar kompleks Tamkesi oleh Dinas Sosial. Tujuannya untuk memberi kesempatan warga mengembangkan diri mengikuti perkembangan zaman sekaligus melestarikan adat yang dimilikinya. Sayangnya, bentuk bangunan yang didirikan tidak menyikapi bentuk yang ada di Tamkesi sehingga menimbulkan kesan sosok yang teralienasi dengan sekitarnya. Tamkesi adalah contoh kampung eksotik tersisa yang kuat memegang adatnya. Akankah dia teguh bertahan ditengah gempuran arus modernisme?