tambera 2000
Membisikkan Kepercayaan Berjarak delapan kilometer dari Waikabubak, ibukota kabupaten Sumba Barat provinsi NTT, kampung Tambera terhampar di punggung salah satu bukit. Jalan setapak menanjak berupa susunan batu karang harus ditempuh sebelum berhasil menjejakkan kaki di Tambera. Tiba di atas bukit, sebuah dataran dengan deretan rumah adatnya, menyambut riuh redam. Diawali oleh sebuah 'gerbang' batu, deretan massa ini seakan siap untuk mengungkap pesona kehidupan di dalamnya. Batu ini bernama Bina Tama, penjaga kampung di bagian Utara. Layaknya manusia yang berpasangan, pintu keluar masuk kampung di bagian Selatan pun dijaga oleh 'gerbang' batu yang disebut Bina Lousa oleh warga. Kepercayaan Marapu yang sekaligus adat istiadat warisan nenek moyang, merupakan alasan kehadiran kedua batu penjaga tersebut. Meski letak kampung sulit dicapai, gangguan bersifat spiritual dipercaya masih dapat mengancam keamanan warga. Kedua batu diyakini sebagai penjelmaan Marapu. Marapu Bina Tama dan Marapu Bina Lousa.
Lepas dari 'gerbang' batu, Tambera nampak jelas dengan deretan massa rumahnya yang beratap perisai tinggi-seperti menara, serta kubur-kubur batunya. Berpola linier, tatanan Tambera tersusun oleh dua baris massa rumah yang memanjang dari Utara ke Selatan. Dari Marapu Bina Tama hingga Marapu Bina Lousa. Layaknya pola kampung secara umum di Sumba, Tambera memiliki ruang lapang yang dikelilingi batu-batu nisan megalith, yang diapit oleh dua barisan massa rumah. Konsep berpasangan menjadikan rumah-rumah saling berhadapan satu sama lain menghadirkan ruang terbuka di bagian tengah kampung. Suatu kesatuan yang lengkap. Sebuah konsep tata masyarakat. Satu kepercayaan. Ruang terbuka ini selain sebagai tempat kuburkubur batu, merupakan tempat berlangsungnya upacara-upacara adat. Termasuk upacara Wulla Po Du, upacara adat kampung Sumba satu tahun sekali pada bulan Oktober hingga November. Upacara ini dipimpin oleh Rato Rumata; pemimpin kampung dan pelaksana upacara adat, di halaman depan Uma Rumata, yang dinamakan Natara Po Du (lihat peta kampung). Natara Po Du dipercaya warga sebagai tempat yang sakral. Hanya Rato Rumata saja yang boleh melalui Natara Po Du, warga tidak boleh sembarangan lewat atau beraktivitas di dalamnya. Dalam hal ini, Natara Po Du mempengaruhi tata ruang dan orientasi pada kampung Tambera.
Setiap pintu masuk rumah ditata agar tidak membelakangi Natara Po Du, pintu-pintu tersebut diharuskan menghadap ke arah ruang terbuka kampung; yang sekaligus menjadi ruang bersama dan pusat aktivitas warga. Mulai dari upacara adat hingga tempat bermain anak-anak, ruang terbuka ini menjadi jalur sirkulasi utama kampung. Bersama-sama menghadap ruang terbuka, menjadikan penghuni antar rumah saling mengetahui apa yang terjadi dengan penghuni rumah yang lain. Kontinuitas visual sepanjang ruang terbuka ini, merangkul setiap penghuni rumah hingga merasa seperti satu keluarga besar yang saling memiliki. Ruang bersama bagi Tambera.
Dalam kepercayaan Marapu, lebih dari sekedar tempat tinggal, rumah berfungsi sebagai semacam tempat kebaktian (kuil), pertemuan antara manusia dengan dewanya atau arwah nenek moyang, dan Marapu. Dengan demikian, dalil-dalil yang diterapkan dalam membangun sebuah rumah pun cukup berbeda dari rumah-rumah tinggal pada umumnya. Tambera memiliki tiga jenis bentukan rumah; tujuh buah rumah dengan menara tinggi yang berfungsi sebagai 'rumah induk' (Uma Kalada), tiga buah rumah dengan menara tinggi yang berfungsi sebagai 'rumah anak' (Kabubuh), dan empat buah rumah tanpa menara yang berfungsi sebagai 'rumah anak' (Kabelulu). Perbedaan tiap-tiap jenis terletak pada menara dan jumlah tiang utama dalam rumah. Uma Kalada dan Kabubuh memiliki menara yang didukung empat tiang utama, sedangkan Kabelulu tidak memiliki menara dan hanya didukung dua tiang utama.
Rumah induk merupakan rumah pertama yang dibangun, maka memiliki kedudukan yang lebih tinggi di mata warga. Jika kebutuhan ruang dalam rumah induk sudah tidak mencukupi, baru lah rumah anak dibangun. Pembangunan rumah anak diharuskan menggunakan bahan-bahan sisa dari rumah induk. Hal ini melambangkan hubungan kekerabatan ibu dan anak. Selain itu, rumah induk pun berpasangan, lambang pria atau wanita dilihat dari Kadu Uma atau tanduk rumah. Bentuk atap yang seperti menara, melambangkan gunung atau bukit yang tinggi. Hal ini juga terkait dengan kepercayaan Marapu yang mengatakan bahwa tempat arwah nenek moyang dan tempat pemujaan arwah nenek moyang, selalu berhubungan dengan bukit atau gunung. Oleh sebab itu, bentukan atap menara menjadi hal yang perlu diperhatikan bagi warga karena mengartikulasikan kepercayaan setempat.
Warga Tambera percaya bahwa tempat tertinggi dalam rumah merupakan tempat bersemayamnya arwah nenek moyang dan Marapu. Marapu diyakini sebagai perantara manusia dan Tuhan, sehingga diposisikan di atas tempat tinggal manusia dan di bawah langit. Maka, benda-benda pusaka leluhur diletakkan di menara; bagian paling atas dari rumah. Menara ini dianggap keramat sehingga tidak sembarangan orang boleh memasukinya. Kepercayaan ini mewujud dalam proporsi bentukan rumah Tambera, yang mana bagian kepala atau atap rumah menjadi jauh lebih tinggi daripada badan dan khaki bangunan
Pembagian ruang dalam rumah pun terkait dengan kepercayaan. Warga mengenal adanya sistem gender tertentu. Antara pria dan wanita, memiliki pintu dan pintu pagarnya masing-masing. Binna Kabani untuk pria di sebelah kanan, Binna Kawai untuk wanita di sebelah kiri. Pembagian pintu pagar terlihat dengan adanya perbedaan ketinggian pada masing-masing pintu. Pintu pagar wanita lebih pendek ketimbang pria, dengan pertimbangan kaum wanita menggunakan kain sehingga tidak bisa melangkah dengan bebas. Selain pintu, ruang tidur pun dibedakan, ruang tidur pria di bagian atas dengan menggunakan sekat pendek, sedangkan ruang tidur wanita tidak menggunakan sekat. Jelas, gender mempengaruhi tata ruang dalam rumah Tambera. Wanita dan pria memiliki area masing-masing dalam rumah. Di bagian tengah rumah, di antara area wanita dan pria, terdapat area netral dalam arti tidak ada batasan untuk pria atau wanita. Semua anggota keluarga bebas melakukan aktivitas bersama-sama di area ini. Oleh sebab itu, perapian diletakkan di bagian tengah rumah.
Selain untuk memenuhi kebutuhan ruang, rumah Tambera digunakan untuk pemujaan terhadap Marapu. Setiap rumah memiliki zona sakral di dalamnya. Contohnya Koro Marapu yang menyerupai segitiga di sudut ruangan, dipercaya menjadi penjaga yang berfungsi menyeleksi tamu yang datang berkunjung ke rumah. Koro Marapu diletakkan dekat pintu pria. Perletakan keempat tiang utama (Pagori Urata, Pagori Pale, Liwura, Kekamanu) juga menciptakan tata ruang tertentu. Bagian tengah rumah, dilingkungi keempat tiang utama, dianggap paling sakral. Lingkaran kedua sebagai tempat melakukan aktivitas sehari-hari. Bagian terluar merupakan tempat tidur. Perapian, di antara keempat tiang utama, merupakan inti rumah. Pusat kegiatan, dari memasak, makan bersama, dan menghangatkan tubuh dari udara dingin, tempat berkumpul seluruh keluarga. Api, sebagai pusat kehidupan. Suasana ruang dalam rumah Tambera nampak gelap. Warga percaya bahwa bila sinar matahari masuk ke dalam rumah maka penghuninya akan merana. Seperti halnya beberapa kebudayaan yang menghendaki rumah yang gelap untuk tujuan pemujaan, demikian halnya rumah Tambera sebagai tempat bersemayam Marapu. Kegelapan menimbulkan suasana magis dan sakral untuk memuja Marapu dalam rumah. Hal ini menunjukkan bahwa konsep kenyamanan dalam rumah tidak hanya sebatas hal-hal yang sifatnya fisik, namun juga psikologis dalam hal 'ekspresi kebutuhan' akan kenyamanan itu sendiri.
Membangun Uma, berarti seseorang melahirkan kekerabatan yang baru, dan memberi dirinya sebuah prestis yang abadi. Dalam rumah itu, dia akan dihormati sebagai Marapu oleh turunannya dalam garis patrilineal. Tidak jarang bila penghuni Uma hanya lah penjaga Uma, hanya seorang wanita tua atau satu dari tetua-tetua dalam satu kerabat. Bukan hal yang mengherankan bila menemukan sebuah rumah tua dalam keadaan roboh tanpa apa-apa, kecuali beberapa batu atau balok, hanya untuk menandai kehadirannya di masa lampau. Rumah secara fisik mungkin lenyap, namun Uma bertahan sebagai keberadaan kelompok kekerabatan. Kepercayaan Marapu dan kampung Tambera. Dua hal yang tak terpisah, roh dan raga. Kepercayaan, yang kasat mata, sebagai landasan tata masyarakat dalam segala aspek, terpampang jelas di Tambera. Hanya dimulai dari keyakinan.., menumbuhkan pendirian.., mempengaruhi pola pikir.., membuahkan keputusan.., dan akhirnya mencitra nyata.. dalam laku dan buah karya..
Keberadaan Tidak harus nyata mewujud dalam bentuk Ketiadaan Pun tidak harus lenyap tanpa wujud Kepercayaan. Keyakinan. Prinsip hidup Pada akhirnya, inilah yang tak lapuk dimakan jaman Bukan kayu.. Bukan batu..