ensaid panjang “berbagi ruang� 2006
Masyarakat Ensaid Panjang Suku Dayak utama di Kalimantan Barat terdiri dari 4 suku besar dengan 405 sub suku Dayak yang tersebar di seluruh kabupaten Kalimantan Barat. Keempat suku besar tersebut adalah Suku Dayak Darat, Dayak Mulavic, Suku Dayak Iban, serta Suku Dayak Taman. Masyarakat Ensaid Panjang merupakan bagian dari Suku Dayak Iban. Masyarakat ini adalah masyarakat agraris. Mereka menggantungkan hidupnya dari alam. Hutan dan sungai lah yang memberi makanan bagi mereka. Rumah dan perlengkapan hidup mereka menggunakan material dari alam. Mereka membuka ladang dan membuat sawah untuk memperoleh padi kemudian mengolahnya menjadi beras dengan cara-cara tradisional. Sumber penghasilan utama mereka adalah karet. Hasil menoreh karet ini cukup untuk menghidupi mereka, membeli kebutuhan hidup sehari-hari, hingga membiayai sekolah anak-anak. Beberapa dari mereka mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi.
Rumah Betang Pada jaman dahulu, suku-suku Dayak saling bersaing untuk memperoleh tempat, dan binatang buruan. Ketika itu, dikenal budaya mengayau, yaitu budaya memenggal kepala sebagai syarat bagi seorang pria untuk dapat menikah. Maka wajar bila saat itu sering terjadi perang antar suku di Kalimantan Barat. Persaingan inilah yang memberikan alasan bagi mereka untuk membentuk rumah bersama yang juga merupakan rumah pertahanan. Menurut cerita, ketinggian lantai rumah betang ketika itu mencapai 8-10 meter dari tanah dengan tangga masuk hanya dibatasi dari dua sisi guna mengantisipasi serangan dari suku lain.
Dahulu, kedua tangga masuk tersebut dibedakan menurut jenis kelamin. Tangga yang di sisi depan untuk pria, sedangkan yang belakang untuk wanita. Perbedaan gender ini juga nampak secara fisik pada ukiran tangga tersebut, yakni pada tangga pria terlihat jelas ukiran bentuk kelamin pria. Saat ini, tangga masuk menuju rumah betang tidak hanya lagi terdapat pada dua sisi namun juga beberapa di sisi depan (sisi panjang). Lantai bangunan pun hanya berjarak 1,5 meter dari tanah.
Rumah betang memiliki sebuah ruang bersama yang terletak di depan yang disebut ruai dengan 28 bilik yang berderet rapi menghadap ruai. Bilik terdiri dari kamar, ruang tamu dan tungku mun (dapur). Di antara bilik dan ruai terdapat area dengan ketinggian yang lebih rendah disebut teluk. Keseluruhan bagian dari rumah betang menggunakan bahan kayu belian digunakan sebagai tiang utama penyangga lantai. Pondasi yang digunakan struktur tiang tongkat, dengan hanya menanamkan kayu ke tanah dengan batu sebagai alasnya.
Rumah betang ini menaungi seluruh masyarakat Ensaid Panjang, maka aktivitas yang sama dalam waktu yang sama pun kerap terjadi di dalam rumah ini. Ruang bersama di depan bilik-bilik menjadi pusat kegiatan bersama, seperti yang dilakukan para ibu di pagi hari, yakni memisahkan bulir-bulir padi dari tangkainya dengan cara menumbuknya. Deretan ibu-ibu menumbuk beserta bunyi dentuman tumbukan yang susul menyusul, menjadi 'sarapan' yang khas di rumah betang. Selain menumbuk padi, kegiatan menenun kain juga merupakan pemandangan yang khas di rumah betang. Hampir setiap bilik memiliki alat tenun masing-masing di depan biliknya. Selain alat tenun, alat pancing ikan ('serempa' bagi pria, 'bubu' bagi wanita) juga disimpan di depan bilik masingmasing. Masyarakat Ensaid Panjang memiliki kebiasaan menangkap ikan dengan istilah 'nuba ikan', yakni menangkap ikan menggunakan cairan tuba. Kegiatan 'nuba ikan' adalah kegiatan bersama sekaligus hiburan seluruh penghuni rumah betang, dari orang tua sampai anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Para pria pun kerap melakukan potong-memotong kayu di ruang bersama tersebut. Kayu-kayu ini dipotong untuk bahan bakar memasak, maka kegiatan potong-memotong ini terjadi di ruang bersama ketika persediaan kayu bakar mulai menipis.
Saat ini, rumah betang telah banyak mengalami perubahan, baik dari segi fisik maupun pemahaman kosmologis dari sebuah rumah. Namun, rasa keterikatan yang kuat dan budaya saling berbagi tetap dipertahankan. Rumah betang bukanlah sekedar bangunan fisik namun merupakan 'sosok' dari jiwa yang lekat terhadap nilai kebersamaan.
Rumah bersama di tengah alam milik bersama. Demikian lah rupanya Rumah Betang di tengah alam Kalimantan. Satu rumah untuk bersama. Satu alam untuk bersama. Tanpa konsepsi yang jelas dalam menata hidup bersama dan bermasyarakat, jelas keutuhan dan kebersamaan ini tidak akan bertahan sedemikian lama. Masyarakat Ensaid Panjang jelas pandai dalam berbagi dan bertoleransi. Setidaknya, mereka saling berbagi ruang, baik dengan sesamanya maupun dengan alamsumber penghidupan mereka. Maka pemikiran egois untuk membagi bahkan menguasai, bisa jadi tidak ada dalam benak mereka. Yang ada hanya; satu untuk semua.
Bumi kita hanya ada satu. Namun, apakah kita telah memperlakukannya sebagai 'satu'? Bumi yang terlalu besar, kerap disederhanakan menjadi benua, benua menjadi negara, negara menjadi negara bagian, negara bagian menjadi kota, dan seterusnya. Garis-garis imajiner kerap membagi-bagi dunia ini, menjadi dua, tiga, empat, dan seterusnya. Realitanya, bumi telah tercacahcacah, dibatasi oleh pemikiran sempit dan egois atas nama kapitalisme.. Garis imajiner akan selalu ada. Namun biarlah garis itu tidak menjadi pembatas, namun penghubung..