Journey 2007 Tanah Petak Daye

Page 1

petak daye

Berugaq: Jembatan Dua Masa 2007



Terletak di area pegunungan Lombok Utara, Tanah Petak Daye mewujud dalam rupa sebaran beberapa kelompok massa bangunan di sebuah puncak bukit. Walau saling berdekatan satu sama lain, kelompok-kelompok massa ini dapat dirasakan kehadirannya dengan adanya pagar alami yang membatasi satu sama lain. Pagar ini tidak benar-benar memisahkan, namun justru memperkuat kehadiran masing-masing kelompok massa. Kayu, bambu, pohon, dan tanaman perdu lah yang memagari dan menghadirkan area kelompok-kelompok massa tersebut.



Masyarakat Sasak penghuni Tanah Petak Daye, memandang alam sebagai acuan pedoman, untuk memaknai kehadiran sebuah area atau domain. Hal ini pun seirama dengan kepercayaan tentang asal usul masyarakat mereka. Nenek moyang orang Sasak, diyakini berasal dari sepasang suami-istri Bathara Indra dan Dewi Anjani yang tinggal di gunung Rinjani. Cerita turun temurun ini memberikan keyakinan bagi masyarakat mereka bahwa pusat kehidupan masyarakat Sasak berada di gunung Rinjani. Di gunung ini lah, dipercaya sebagai tempat bersemayam para leluhur dan dewa-dewi. Posisi gunung Rinjani di sebelah selatan Tanah Petak Daye, memberikan keyakinan bagi masyarakat bahwa perlindungan datang dari arah selatan. Pintu masuk hunian, termasuk pelataran, ditata menghadap utara, sedangkan ruang dalam hunian di sebelah selatan. Dengan demikian, dianut semacam hierarki dari selatan ke utara, dengan level lantai tertinggi diposisikan pada sebelah selatan. Relasi antara gunung Rinjani dan permukiman Tanah Petak Daye, selain nampak dalam tata adat penataan area, juga melebur dalam keseharian mereka sebagai sebuah gaya hidup. Hal ini nampak dari sikap masyarakat Tanah Petak Daye, yang tetap menghormati dan merasa ternaungi oleh hadirnya pemangku adat- penjaga keselarasan relasi tersebut. Kebutuhan akan rasa aman ini tetap bersangkar dalam hati masyarakat, meski telah membuka diri dan menikmati perkembangan jaman dan teknologi.


Walau keseharian masyarakat Tanah Petak Daye sudah tidak lagi sarat akan aturan adat, mereka tetap menyisakan dan mempertahankan satu dari sekian banyak kelompok massa, sebagai sebuah area yang mereka sebut dengan Tanah Adat. Disakralkan sedemikian rupa supaya tidak tercemar oleh ragam perkembangan teknologi. Sebuah area yang membekukan suatu masa peradaban- yang sebenarnya sudah berlalu. Eksistensi Tanah Adat diyakini memberikan ketentraman bagi masyarakat Tanah Petak Daye yang bermukim di luar Tanah Adat, yakni Tanah Biasa. Terletak dalam suatu area yang dilingkungi pagar kayu, kelompok massa Tanah Adat terbentuk berdasarkan garis keturunan dan jabatan. Hanya keturunan pemangku dan pengurus adat saja yang boleh menghuni Tanah Adat, yakni Perumbak, Pembekel, dan Amaloka. Perumbak adalah sebutan bagi dukun desa yang dianggap memiliki spiritual tertinggi. Pembekel merupakan pemimpin adatorang yang mengatur keberlangsungan adat, sedangkan Amaloka adalah pembantu dari Perumbak. Dengan demikian, jumlah massa bangunan di Tanah Adat relatif sedikit, hanya terdapat tiga pangkuan (hunian), dua berugaq agung (tempat berkumpul), dua geleng (lumbung), dan satu dapur khusus.



Pada dasarnya, perletakan massa bangunan di Tanah Adat, masih mengacu pada posisi gunung Rinjani. Massa-massa pangkuan terletak sejajar dengan sumbu Utara-Selatan, termasuk perletakan berugaq agung (tempat berkumpul). Sumbu ini pun menghadirkan semacam hierarki dalam penataan area, yakni secara berurutan dari Selatan ke Utaramassa hunian Perumbak, lalu Pembekel dan Amaloka, baru setelahnya hunian rakyat -yang terletak di Tanah Biasa. Tiga massa pangkuan yang berada di Tanah Adat, memiliki bentuk yang relatif sama, namun berbeda dengan massa pangkuan di Tanah Biasa. Massa bangunan ini nampak pilotis, diangkat sekitar 80cm dari tanah dengan struktur tiang panggung. Namun tetap terkesan 'berat' dengan skala proporsi atap yang monumental. Puncak atap bisa mencapai sekitar tiga sampai empat kali tinggi manusia, dengan tepi atap yang lebih rendah daripada level pandang manusia. Hal ini menyebabkan 'badan' bangunan hampir tidak nampak sama sekali, atap ijuk terlihat sangat mendominasi. Proporsi demikian jarang ditemui lagi di Tanah Biasa.



Ruang dalam massa pangkuan terdiri dari lima area, yaitu dua pelataran pada bagian depan, dua kamar tidur, dan satu dapur yang letaknya di tengah-tengah dengan level tertinggi. Kamar tidur mengapit di kanan dan kiri dapur, pada level yang lebih rendah dari dapur. Pelataran, pada level terendah, terletak di depan masing-masing kamar tidur. Terdapat semacam potongan gelondong kayu utuh pada sisi depan masing-masing pelataran, sebagai tangga untuk akses menuju ruang dalam. Selain massa pangkuan, terdapat juga berugaq agung yang difungsikan sebagai tempat berkumpulnya para pemuka adat. Nampak seperti 'bale-bale', berugaq biasanya diletakkan di depan hunian. Material yang digunakan tidak berbeda dari hunian, yakni kayu busur, bambu, dan atap rei. Hanya saja berugaq tidaklah berdinding, namun terbuka dengan atap yang menaungi. Pada awalnya, berugaq dimaksudkan sebagai tempat berkumpul dan melakukan musyawarah untuk menyelesaikan masalah. Dahulu, kegiatan ini dilakukan hanya oleh kaum pria saja. Oleh sebab itu berugaq menjadi area khusus bagi pria. Pemahaman ini tetap berlaku hingga sekarang di Tanah Adat, namun lain halnya di Tanah Biasa.




Keseharian di area Tanah Adat selalu terikat pada aturan-aturan adat yang berlaku. Satu hal yang paling mencolok dibandingkan penghuni Tanah Biasa adalah cara berpakaian. Tanah Adat hanya boleh dimasuki dengan menggunakan pakaian adat. Pria mengenakan sehelai kain tenun dengan kain pengikat pinggang, serta ikat kepala. Wanita mengenakan kemben dan kain tenun. Baik keduanya tidak diperbolehkan mengenakan pakaian dalam. Khusus wanita yang sedang datang bulan, tidak diperkenankan untuk masuk ke daerah ini. Dengan menolak masuknya perkembangan teknologi, kebutuhan seperti memasak dan penerangan dipenuhi dengan menggunakan kayu, buah pohon jarak, serta kapas. Minyak tanah dan listrik tidak diperbolehkan. Tanpa penerangan buatan, aktivitas masyarakat di Tanah Adat berakhir relatif lebih cepat dibandingkan di Tanah Biasa. Pekatnya malam, segera datang melatari kebisuan Tanah Adat. Hanya bulan dan bintang yang bicara.



Lain halnya di Tanah Biasa, berada di luar area sakral, masyarakat bebas untuk mengikuti perkembangan teknologi. Menyelaraskan diri dengan kekinian tanpa diharuskan terikat pada aturan adat tertentu. Tanah Biasa, yang luasnya mencapai lima kali luas Tanah Adat, menjadi nampak lebih beragam dalam peralihannya dari Tanah Adat- sebagai pola awal yang sudah berlalu. Tanah biasa pun terdiri dari banyak kelompok massa yang dilingkungi pagar, seperti halnya di Tanah Adat. Berbeda dengan Tanah Adat-yang membatasi kelompok massa berdasarkan jabatan, Tanah Biasa menggunakan hubungan kekerabatan dalam membentuk kelompok-kelompok massa. Pada umumnya, orang-orang yang tinggal dalam suatu kelompok massa masih memiliki hubungan darah ataupun masih kerabat dekat. Tanah Biasa dan Tanah Adat terletak tidak jauh berdampingan satu sama lain, namun secara fisik dan visual nampak layaknya dua 'dunia' yang berbeda. Dua area, antara dua masa yang berbeda. Uniknya, hadir dalam satu lini masa yang sama. Meski kesenjangan dan segala perbedaan melanda, masih terlihat benang merah yang menyatukan Tanah Adat dan Tanah Biasa menjadi satu kesatuan Tanah Petak Daye. Selain kelompok-kelompok massa yang dipagari, ada satu elemen yang masih terus hidup dari masa ke masa, yakni berugaq.



Kebiasaan berkumpul masyarakat Sasak diyakini berhasil menembus masa. Berugaq sebagai tempat berkumpul sehari-hari di Tanah Biasa, diletakkan di tengah-tengah hunian, menjadi orientasi bagi massa-massa pangkuan Tanah Biasa. Hal ini berbeda dengan penataan massa pangkuan di Tanah Adat. Namun, kepercayaan bahwa berugaq harus berorientasi ke arah Gunung Rinjani, tetap ditaati di Tanah Biasa. Berugaq di Tanah Biasa, meski kadang hadir dalam bentuk dan material yang berbeda, tetap terletak di depan hunian. Namun berugaq tidak lagi sebagai area kekuasaan pria, wanita dan anak-anak pun bebas menggunakannya. Berugaq tetap menjadi pusat tempat berkumpul dan berinteraksi antar warga. Aktivitas tenun, bertamu, berbincang, bahkan bersantai di berugaq menjadi kesenangan tersendiri bagi masyarakat Tanah Petak Daye. Bahkan kebanyakan pria pun tidak tidur dalam hunian, namun di berugaq. Uniknya, keseharian masyarakat baik pria maupun wanita lebih dominan di berugaq dibandingkan dalam hunian. Perbandingan antara jumlah berugaq dan hunian dalam satu kelompok massa dapat digunakan untuk menilai kondisi ekonomi kelompok massa tersebut. Jika jumlah tersebut berbanding 1:1 maka semakin baiklah kondisi ekonomi kelompok massa tersebut. Bagi masyarakat Tanah Petak Daye, adalah suatu kebanggaan untuk memiliki berugaq di depan hunian mereka masing-masing



Tanah Adat dan Tanah Biasa. Jelas ada alasan dan maksud di balik pembagian tanah tersebut, baik secara fisik maupun spiritual. Tidak banyak yang sanggup untuk hidup selayaknya di Tanah Adat, apalagi di jaman sekarang ini. Nilai-nilai berubah, kebutuhan berubah, pola hidup pun berubah. Namun, Tanah Petak Daye tetap memperjuangkan keberadaan Tanah Adat ini. Mengapa? Jelas, karena Tanah Biasa masih merasa terikat dengan Tanah Adat. Terlepas dari keyakinan masyarakat Petak Daye mengenai kekuatan spiritual, keberadaan Tanah Adat memanusiakan masyarakat Petak Daye dengan senantiasa mengingatkan mereka akan jati diri dan asal mereka. Manusia tidak pernah tenang tidak memiliki masa lalu. Masyarakat Petak Daye tidak ingin menjadi amnesia dan sekedar lalu melanjutkan peradaban dengan mengimpor peradaban 'orang lain'. Karena masyarakat Petak Daye bukan 'orang lain'. Mereka memilih setia memberi ruang untuk tetap hadirnya berugaq; jembatan bagi jiwa yang selalu rindu untuk kembali... Masa lalu dan masa kini. Dua kutub yang bertolak belakang. Harus hadir dalam satu masa yang sama? Bukankah masa lalu sungguh sudah berlalu? Bukankah masa lalu hanya untuk dikenang? Mengapa tidak untuk dilupakan? Mengapa masa lalu kerap membayangi masa kini? Mengapa melihat ke belakang sementara harus menatap ke depan? Karena 'siapa kamu' menentukan langkahmu ke depan..


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.