tepal Memadu Patah 2009
Desa Tepal terletak di pulau Sumbawa bagian barat, sekitar 56 kilometer dari kota Sumbawa Besar. Berbeda dengan cuaca dan udara panas yang secara umum menjadi kondisi sehari-hari di pulau Sumbawa, desa yang dikelilingi gununggunung ini dialiri hawa sejuk setiap harinya. Berada di tengah pegunungan, membuat rute pencapaian berkelok-kelok menyusuri jurang. Kondisi jalan yang lebih sesuai untuk arena offroad, membuat warga tidak dapat pergi ke kota Sumbawa Besar setiap harinya. Perjalanan bisa memakan waktu hingga setengah hari menggunakan kendaraan sejenis hardtop. Ketika musim hujan, jalanan sangat licin dan berlumpur, sehingga tidak memungkinkan untuk jalan di malam hari. Meski keberadaannya di pelosok Sumbawa nampak terisolir, desa Tepal menghadapi sebuah pertanyaan besar di tengah era perkembangan zaman dan globalisasi ini, bertahan atau berubah. Sikap menerima terhadap sesuatu yang sifatnya baru, pada dasarnya tertanam di hati warga Tepal. Di tengah keinginan mereka untuk berkembang, teknologi dan pengaruh asing yang masuk ke Tepal disaring oleh adat dan tradisi lokal. Maka, lahirlah perubahan dari perpaduan-perpaduan yang dirasa bermanfaat bagi mereka.
Awal mulanya ada 4 suku yang mendiami wilayah ini, diantaranya suku Romate, suku Malempe, suku Teba Jarak, dan suku Malengke. Dari keempat suku ini, tiga suku bergabung menjadi satu, sedangkan suku yang lain memilih untuk berkelana. Ketiga suku yang menetap, yakni suku Malempe, suku Teba jarak, dan suku Malengke. Ketiga suku ini menamakan area wilayah mereka sebagai Kepal, yang berarti rangkulan atau pelukan. Setelah agama Islam mulai masuk Sumbawa pada abad ke-16, nama Kepal berubah menjadi Tepal yang berarti masih suci. Dikelilingi gunung-gunung, Tepal hadir dalam rupa tatanan rumah-rumah dengan sistem grid, yang membagi desa menjadi blok-blok yang lebih kecil. Satu blok terdiri dari dua sampai dua belas massa rumah tinggal. Arah hadap bangunan pun disesuaikan dengan jalan. Penataan sistem grid di tengah pegunungan ini, merupakan hasil dari program pemerintah yang mulai masuk tahun 1996. Program ABRI masuk desa memberikan pengaruh yang cukup besar pada sistem pemerintahan desa dan juga tatanan bangunan. Walau demikian, program ini tidak serta merta melenyapkan karakter Tepal.
Tepal memiliki jalan utama yang memisahkan desa menjadi dua bagian, yaitu karang bawah di sebelah timur (bagian bawah-level lebih rendah), dan karang bau/karang baru di sebelah barat desa (bagian atas-level lebih tinggi). Pertambahan jumlah penduduk, memaksa desa ini untuk terus berkembang dan menambah jumlah rumah. Berdasarkan kepercayaan, pemekaran tersebut harus bergerak ke arah level lebih tinggi, yakni karang baru yang terletak di dataran yang lebih tinggi. Tatanan dengan teras-teras rumah yang saling berhadapan satu sama lain, membentuk ruang jalan yang ramah. Ruang ini menjadi wadah bagi karakter warga Tepal yang saling menyapa dan peduli antar tetangga. Teras depan yang dimiliki rumah-rumah Tepal, disebut peladang, menjadi tempat pemilik rumah duduk menghadap ke jalan, dan berinteraksi dengan tetangga maupun orang yang lewat.
Rumah Tepal merupakan rumah panggung, sehingga untuk mencapai peladang dan memasuki rumah Tepal, harus melalui tangga. Ukiran-ukiran kerap menghiasi bagian kepala pegangan tangga ini. Ragam hias ukiran ini lahir dari keinginan warga untuk berkreasi dan tidak memiliki makna atau simbol tertentu. Ragam hias ini juga ditemui pada bagian nok atap dan bagian ambang bawah atap. Bila peladang berada di depan rumah, maka ruang di samping rumah disebut juga tambing. Kedua ruang luar ini digunakan sebagai tempat menjemur kopi. Peladang maupun tambing diberi pagar, sehingga terdapat pagar antar rumah yang membentuk semacam gang. Pagar ini dipercaya untuk menghindari jangkauan makhluk halus. Pagar juga dibuat mengelilingi masing-masing karang (karang bawah dan karang bau) serta lapisan paling luar mengelilingi satu desa.
Ruang dalam rumah Tepal pada dasarnya terbagi menjadi tiga area. Ruang tamu yang berada di sebelah dalam peladang, setelah itu ruang tengah, dan paling belakang snapur (dapur). Berbeda dengan rumah-rumah pada umumnya, snapur yang merupakan area servis, dijadikan ruang yang paling penting oleh warga Tepal. Ruang snapur menjadi relatif lebih sering digunakan dibandingkan dengan ruang yang lainnya dengan adanya tungku yang menghangatkan. Hampir semua aktivitas di dalam rumah Tepal dilakukan disini, mulai dari berkumpul keluarga, memasak, dan menerima tamu. Hangatnya ruang snapur menjadi alasan mengapa kamar anak bayi lebih dekat posisinya dengan ruang snapur.
Antara karang baru dan karang bawah, area baru dan area lama, tidak terlihat perbedaan yang signifikan. Mereka bersama-sama berubah, namun bersama-sama pula bertahan. Mereka bergulir perlahan bersama-sama, meregang masa lalu merengkuh masa depan, berdialog dengan masa kini. Demikian, lama dan baru menjadi kabur dan lebur jadi satu. Perubahan yang terjadi hanya seputar pergantian material penutup atap, dinding, serta jendela. Sementara bentukan fisik rumah panggung dan konfigurasi ruang dalam tetap dipertahankan, termasuk keberadaan dua tiang guru di tengah rumah yang diyakini berpasangan; pria dan wanita.
Setiap rumah yang didirikan, harus melibatkan pemimpin adat - seorang keturunan dari dan dibesarkan oleh pemimpin adat sebelumnya, yang mengenal selukbeluk adat istiadat warga Tepal. Mulai dari pemilihan bahan material bangunan, tata cara pembangunan rumah, posisi peletakan tiang, penataan ruang dalam, hingga yang detildimensi pengukuran rumah. Dimensi pengukuran masing-masing rumah ditentukan menurut ukuran anggota tubuh dari kepala keluarga rumah yang akan dibangun. Layaknya, Primbon Jawa dan Fengshui, warga Tepal mengenal kebijaksanaan tersendiri yang mereka percayai akan berdampak pada kesejahteraan hidup mereka. Di tengah watak warga Tepal yang selalu membuka diri terhadap perubahan, mereka menjunjung tinggi adat istiadat dalam setiap segi kehidupan mereka. Dalam setahun mereka mengenal semacam pengaturan jadwal bersama setiap warga, mengenai kapan melaksanakan upacara pernikahan, membangun rumah, ritual berladang. Ritual di atas biasanya dilaksanakan pada bulan Agustus setiap tahunnya; yakni masa setelah panen-saat semua warga ada di desa, kecuali ritual kelahiran, kematian atau ritual lain yang berhubungan dengan hari besar keagamaan. menaungi hati.
Siapa yang menyangka, ketika menginjakkan kaki di desa Tepal, kebanyakan orang mungkin mengira ini hanyalah sebuah desa terpencil yang jauh dari perhatian, pengetahuan, dan pendidikan, namun tidak begitu pada kenyataannya, di tengah kondisi yang terpencil dan tanpa listrik, warga Tepal bertahan dengan semangat menuju arah yang lebih baik, tanpa melupakan tradisi dan adat yang mereka miliki. Bahkan mereka memiliki cita-cita untuk mengabadikan bentukan arsitektur dan budaya asli mereka lewat sebuah rencana taman budaya. Perkembangan teknologi dan globalisasi mereka tanggapi dengan filter bernama tradisi dan adat istiadat. Bukan sebagai penghalang, namun sebagai rekan-menuju perkembangan peradaban. Tetap merangkul nilai-nilai lokal, masyarakat Tepal terus menatap ke depan, menjalankan misi untuk terus maju, tumbuh, dan berkembang.
Bertanya 'bertahan atau berubah?' sama saja dengan bertanya 'benar atau salah?' Apakah 'bertahan' yang benar? Atau kah 'berubah'? Atau kedua-duanya salah? Walau bertanya setiap harinya, masyarakat Tepal melanjutkan hidup dengan tidak menjawab pertanyaan tersebut. Mereka merangkul keduanya. Mereka.. memadu patah. Meniti tepi. Menembus cakrawala. Mengoyak tabir masa depan‌