Petani 1

Page 1

01

Maret 2010

Topik Utama

Swasembada Daging Sapi 2014 Jendela Dunia Ternak Puyuh Tak Biasa Tapi Menguntungkan

Ternak

Untuk Pertanian

Berkelanjutan


Maret 2010

Terbit setiap Maret, Juni, September, dan Desember. Merupakan kerja sama Aliansi Organis Indonesia dengan Yayasan ILEIA Belanda. Sumber Dana DGIS-Belanda

Redaksi Shintia Dian Arwida, Ni Made Budi Utami, Sri Nuryati Desain Grafis Andiko Distribusi dan Pelanggan Raden Ai Lutfi Hidayat Alamat Jl Kamper Blok M No. 1 – Kompleks Budi Agung Bogor - Indonesia Ph: +62 251 8316294 Fax : +62 251 8316294 E-mail: majalahpetani@gmail.com Website : www.greentrust.com/petani Rekening Bank Bank OCBC NISP Cabang Kedung Badak, Bogor a/n Aliansi Organis Indonesia No Rekening: 048.800.00074.6

Foto Sampul: Ternak, merupakan komponen penting dalam pertanian organik. Karena kotoran ternak bisa menjadi sumber bahan penyubur tanah. Foto: Shintia Dian Arwida ISSN 0216 – 7883

Edisi Global Farming Matters Magazine Kontak : Wilma Roem E-mail : ileia@ileia.nl Edisi Regional LEISA Reista de Agroecologia (Peru) Kontak: Teresa Gianella-Estrems E-mail: base-leisa@etcandes.com.pe LEISA India Kontak : K.V.S. Prasad E-mail : amebang@giasbg01.vsnl.net.in AGRIDAPE (Senegal) Kontak : Awa Faly ba E-mail : agridape@sentoo.sn Agriculturas (Brazil) Kontak : Paulo Petersen E-mail: paulo@aspta.org.br LEISA China Kontak : Ren Jian E-mail : renjian@cbik.ac.cn KILIMO (Kenya) Kontak : James Nguo E-mail : admin@alin.or.ke Redaksi mempersilakan pembaca untuk memperbanyak dan mengedarkan artikel yang dimuat dalam majalah, untuk keperluan non komersial dengan mencantumkan Majalah PETANI sebagai bahan acuan serta memberitahukan kepada kami mengenai penggunaan artikel tersebut.


LAPORAN UTAMA

9

Swasembada Daging Sapi 2014

PENGALAMAN “Tanam Sapi di Kebun”: Peningkatan Populasi dan Kualitas Sapi Bali di Timor

9

18 JENDELA DUNIA Membangun Usaha Ternak Petani Kecil: dari Teknis Sampai Pasar

INFO & TEKNOLOGI

18 BIJAK DI RUMAH Menu Daging dan Sayur: Harus Berimbang

22 26

Perguruan Tinggi Membangun Desa: Kampung Mandiri Energi Berbasis Biogas

PERTANIAN DALAM BERITA Bencana Banjir Habiskan Sawah Petani: Perlunya Asuransi Pertanian

30

32

ADVOKASI Pengalihan Subsisi Pupuk Kimia untuk Pusat Pembuatan Pupuk Organik Desa

34

34

SUARA PETANI Kebun Campuran Lebih Janjikan Masa Depan

40


DARI REDAKSI

Ternak

untuk Pertanian Berkelanjutan

T

ernak adalah bagian tak terpisahkan dalam praktik pertanian organik yang berkelanjutan. Dari sisi budi daya, ternak—khususnya kerbau dan sapi— menyediakan tenaga kerja. Ternak juga menyediakan bahan penyubur tanah yang baik, lewat kotoran atau urine yang diolah menjadi pupuk kandang/ cair. Proses pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk sesungguhnya juga berperan mengurangi pemanasan global. Sebab, kotoran yang diolah menjadi pupuk dan dibenamkan ke tanah akan mengurangi gas metana dan karbon yang lepas ke udara. Memakai pupuk kotoran ternak berarti juga menambahkan bahan organik ke dalam tanah. Bahan organik ini akan menjadi makanan mikroorganisme yang hidup dalam tanah. Pada akhirnya, proses ini akan menjaga kesuburan tanah. Ternak juga bisa membantu memerbaiki asupan protein bagi keluarga petani lewat telur atau susu. Bahkan sebenarnya ada potensi lain yang belum terlalu digarap, yaitu kemampuan ternak menyediakan sumber energi alternatif. Kotoran ternak yang diolah lewat unit biogas akan menghasilkan gas yang bisa dipakai 4

Maret 2010

untuk memasak dan penerangan. Usaha ternak rakyat di Indonesia juga erat kaitannya dengan aspek sosial budaya di masyarakat. Sejak dulu, ternak berfungsi sebagai “tabungan” bagi petani jika tiba-tiba membutuhkan uang tunai. Misalnya untuk biaya sekolah anak atau keperluan adat. Jumlah ternak yang dimiliki juga bisa menentukan status sosial seseorang. Makin banyak ternak dimiliki, status sosialnya makin tinggi.

Tantangan Integrasi Ternak dan Pertanian

Sayangnya, banyak kendala dan tantangan—khususnya bagi petani skala kecil—untuk mengintegrasikan ternak dan pertanian. Harga ternak dan bibit ternak yang relatif mahal sulit terjangkau petani skala kecil. Bantuan pemerintah/lembaga swadaya masyarakat berupa bibit ternak atau dana bergulir untuk membeli bibit (biasanya sapi) seringkali juga tidak diberikan dengan pertimbangan matang. Selain soal daya dukung lahan, harusnya bantuan ternak juga memerhitungkan aspek budaya. Jika secara budaya petani tidak memiliki kebiasaan memelihara

Majalah PETANI adalah bentuk baru dari penggabungan Majalah SALAM dan ORGANIS. Untuk edisi perdana ini Majalah PETANI memuat sejumlah tulisan yang menggambarkan ragam pendekatan petani skala kecil dalam mengelola ternak dan pertaniannya dari seluruh Indonesia. Di bagian info dan teknologi bisa disimak cara pembuatan biogas dan kisah sukses dari Kampung Belenung, Cianjur. Ada juga cerita petani/peternak dari Peru yang mengembangkan pasar ternak dan peternakan burung puyuh di Kamerun. Rubrik Bijak di Rumah mencoba memberikan pemahaman bahwa makan daging tak selalu lebih sehat dari makan sayur. Sementara rubrik Advokasi mencoba menunjukkan pentingnya memperjuangkan pengalihan subsidi pupuk kimia untuk pengembangan pusat pupuk organik pedesaan. Semoga Anda suka dengan apa yang kami sajikan. Selamat membaca!

ternak, maka ternak yang diberikan kecil kemungkinannya akan berkembang dengan baik. Bahkan bisa jadi, bantuan ternak itu langsung dijual atau disembelih. Masalah penyediaan pakan seringkali juga luput dari perhitungan. Padahal dengan kepemilikan lahan pertanian yang makin sempit (khususnya petani di Jawa) dan alih fungsi lahan dari ruang terbuka hijau menjadi area terbangun, agak sulit bagi petani untuk menanam sendiri pakan ternak atau mencari di hutan/tanah lapang. Jadi, bantuan yang harus diberikan pemerintah untuk mengembangkan usaha peternakan di Indonesia tidak bisa hanya memberikan bibit ternak dan selesai. Lebih dari itu, pemerintah juga harus menyediakan cara pemenuhan pakan dan menjalankan fungsi layanan seperti mantri kesehatan ternak, petugas inseminasi buatan, dan penyuluh lapangan.

Waspadai Penyakit

Tantangan lain yang dihadapi oleh petani dalam mengembangkan usaha ternak rakyat adalah penyakit. Biasanya ini disebabkan oleh praktik pemeliharaan


yang tak sehat. Dalam beberapa kasus— seperti flu burung—penyakit ternak juga berbahaya bagi manusia dan bisa menyebabkan kematian. Penyakit ternak juga bisa disebabkan oleh praktik pemberian pakan yang menyalahi kodrat alam. Misalnya sapi diberi pakan olahan yang mengandung daging sampai menimbulkan penyakit sapi gila (yang juga menular ke manusia). Pemberian hormon dan pakan buatan yang memakai bahan mengandung GMO (hasil rekayasa genetika) pada ternak juga perlu diwaspadai sebagai ancaman bagi kesehatan manusia.

Tetap Berpeluang

Meski menghadapi sejumlah tantangan, sebenarnya usaha ternak rakyat di Indonesia memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Jika dilakukan upaya pemuliaan jenis-jenis ternak lokal secara baik, maka penyediaan bibit ternak akan bisa dipenuhi dari dalam negeri. Sapi bali, sapi madura, dan ayam cemani misalnya, memiliki galur genetika yang menjanjikan untuk dijadikan bibit unggul asli Indonesia. Karakter peternakan di Indonesia yang tergolong peternakan rakyat skala kecil juga perlu diperhitungkan

pemerintah untuk program pengembangan peternakan. Selain itu, perlu dipikirkan masalah pemenuhan pakan. Ada banyak material yang sebenarnya memiliki potensi diolah menjadi pakan ternak. Perlu kerja sama antara universitas/peneliti dengan pemerintah untuk mengembangkan sumber pakan alternatif. Karena dari data Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), sekitar 50 persen bahan baku utama produksi pakan ternak Indonesia masih diimpor. Ini tentu berpengaruh pada mahalnya pakan ternak dan ujungnya beban biaya produksi bagi petani/peternak.

Di akhir tahun ’70-an Indonesia sudah mencanangkan gerakan Revolusi Peternakan dengan fokus utama pada ternak unggas. Program ini berhasil membawa Indonesia kepada swasembada ayam dan telur. Dengan semakin membaiknya rata-rata tingkat ekonomi penduduk Indonesia terjadi perubahan gaya hidup yang menyebabkan naiknya permintaan konsumsi daging sapi. Karena selama ini usaha ternak sapi di Indonesia kurang berkembang, maka naiknya permintaan tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri. Karena itu, dari tahun ke tahun, angka impor daging sapi Indonesia makin meningkat. Hal ini disikapi oleh pemerintah dengan mencanangkan program Swasembada Daging Sapi 2005. Sayangnya, karena tidak dilengkapi dengan data-data perhitungan yang akurat dan roadmap program yang jelas, program ini gagal dan diundur ke 2010. Masih mengulang kesalahan yang sama, target 2010 pun tak teraih dan program diundur ke 2014. Bagaimana peluang tercapainya swasembada daging sapi di tahun 2014? Simak Laporan Utama kami yang coba mengkritisi program “Swasembada Daging Sapi 2014” dari berbagai sisi.

Maret 2010

5


TANYA JAWAB Silakan kirimkan pertanyaan Anda seputar pertanian, peternakan, dan perikanan ke redaksi Majalah PETANI melalui email majalahpetani@gmail.com, surat tertulis ke alamat redaksi, atau telepon dan SMS ke nomor 087860500078. Redaksi ahli kami akan membantu menjawab pertanyaan Anda.

Tanya Bagaimana cara melakukan fermentasi biji kakao yang baik? Kalau bisa yang tekniknya sederhana dan biayanya murah. (Ursula Gego, Flores, urs_gego@ya...)

Jawab Ibu Ursula, fermentasi biji kakao secara sederhana bisa dilakukan dengan tahapan sebagai berikut. Siapkan wadah sebanyak yang diperlukan untuk menampung panen Anda plus ekstra satu wadah. Misalnya untuk menampung seluruh panen, Anda butuh sepuluh wadah, maka total wadah yang harus disiapkan adalah sebelas. Wadah bisa berupa keranjang bambu/rotan yang dilapis daun atau kotak kayu. Bagian dasar wadah harus memiliki lubang-lubang kecil untuk pembuangan air (hasil fermentasi) dan mengalirkan udara. Ganjal wadah di sisi kiri dan kanannya dengan bata/kayu agar bagian dasarnya tidak bersentuhan langsung dengan tanah/lantai. Masukkan biji kakao yang masih berselimut daging buah ke dalam wadah tetapi jangan sampai penuh. Sisakan ruang kosong kira-kira setinggi 10 cm dari pinggiran wadah. Tutup bagian atas wadah dengan daun pisang. Tujuannya untuk menahan panas dan mencegah biji mengering. Lakukan fermentasi selama 2—6 hari. Jangan lupa, biji kakao dalam wadah perlu dibalik tiap hari dengan cara memindahkannya ke wadah lain. Inilah perlunya satu wadah ekstra, untuk mempermudah proses pembalikan biji.

6

Maret 2010

Tanya Saya ingin memulai usaha ternak lele kecil-kecilan untuk menambah pendapatan keluarga. Mohon masukannya untuk membuat kolam pemeliharaan yang baik dan memilih bibit lele yang baik. Terima kasih. (Udeng, Sukabumi, melalui telepon)

Jawab Pak Udeng, untuk membuat kolam pemeliharaan lele ada beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti: Lokasi yang dipilih sebaiknya dekat sumber air dan jauh dari jalan raya. Posisi kolam sebaiknya di tempat yang teduh tetapi tidak di bawah pohon. Ini karena permukaan kolam tidak boleh tertutup sampah daun yang rontok atau tanaman air seperti eceng gondok. Kemudian jenis tanah tempat kolam berada sebaiknya berupa tanah liat/lempung, berlumpur, subur dan tidak poros (mudah melalukan air). Jika kolam ditembok maka harus “didinginkan” dulu. Caranya kolam diisi air dan batang pisang selama 7—10 hari untuk menyerap sisa racun dari semen atau kapur. Kemudian kolam dikuras, diisi air bersih, dan didiamkan lagi selama 7—10 hari. Setelah itu kolam bisa digunakan. Saat pertama menebar bibit, ketinggian air dalam kolam cukup 30 cm. Selanjutnya penambahan air dilakukan hingga mencapai 80 cm, secara bertahap setiap bulannya. Dalam sebulan air perlu ditambah 15—20 cm. Untuk menghindari mati di awal tebar, pilih bibit ukuran 7—8 cm dan terlihat sehat. Ada baiknya, Anda langsung datang ke tempat pembibitan dan pilih bibit yang dikembangkan dalam kondisi yang mirip dengan kolam Anda. Alasannya, jika pembibitan dilakukan di akuarium tentu bibit lele kurang tahan jika Anda lepaskan di kolam terbuka.


Redaksi Ahli Tanya Saya baru memulai usaha kebun belimbing. Sudah dua kali ini panen belimbing saya kurang sukses. Banyak belimbing yang rontok sebelum masak dan buah yang dipanen juga banyak yang busuk. Kira-kira apa penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya? (Wardiman, Kediri, melalui SMS)

Sabirin

Tanaman Tahunan

Jawab Pak Wardiman, kemungkinan besar belimbing Bapak terserang lalat buah. Untuk mengatasinya lakukan pembungkusan pada buah yang hampir masak. Bahan pembungkus sebaiknya dipilih yang tidak mudah rusak, berwarna gelap, dan mampu membantu menjaga kelembaban dalam bungkusan. Bapak bisa memanfaatkan kertas karbon, plastik hitam, daun pisang, daun jati, atau kain perca. Lalat buah tertarik pada warna kuning dan aroma buah dan bunga belimbing. Jadi membungkus buah sedini mungkin bisa efektif mengurangi serangan lalat buah. Pembungkusan buah sebaiknya dibarengi pengasapan. Pengasapan akan mengusir lalat buah dari kebun. Caranya dengan membakar daun kering atau jerami sampai menjadi bara yang cukup besar. Kemudian di atas bara ditaruh potongan kayu yang masih basah. Pengasapan di sekitar pohon dapat mengusir lalat buah dan efektif selama tiga hari. Pengasapan selama 13 jam bisa mematikan lalat buah yang tidak sempat menghindar. Kebersihan kebun juga menentukan tingkat serangan lalat buah. Lantai kebun harus bersih dari buah-buah yang rontok. Buah yang berisi telur dan larva lalat buah ini dikumpulkan lalu dibakar atau dibenamkan ke dalam tanah. Semak dan gulma juga bisa menjadi tempat bertelur lalat. Karena itu semak-semak dalam radius 1,5— 3 kilometer dari areal kebun harus dibersihkan. Anda juga bisa “menjebak� lalat menggunakan minyak atisiri dari tanaman selasih/kemangi. Teteskan minyak sebanyak 0,25 ml pada gumpalan kapas, kemudian kapas ditempatkan di dalam perangkap yang terbuat dari botol bekas air mineral volume 600 ml. Botol-botol ini digantungkan pada pohon setinggi 2 m di atas permukaan tanah dan ditempatkan secara acak.

Toto Himawan

Agung Prawoto

YP Sudaryanto

Agus Kardinan

Hama dan Penyakit Tanaman

Sayuran Organik

Standar dan SertiďŹ kasi

Pestisida Nabati

Daniel Supriyono Diah Setyorini Padi Organik

Kesuburan Tanah

Maret 2010

7


SURAT PEMBACA

TEGUH BOEDIYANA Ketua Asosiasi Peternak Sapi dan Feedlot Indonesia, Jakarta “Selamat untuk terbitnya Majalah Petani. Majalah ini harus sampai di tangan para pembuat kebijakan bidang pertanian, politisi, anggota dewan, agar mereka memperoleh informasi yang tepat soal pertanian. Dengan begitu, mereka bisa memiliki pertimbangan yang benar dalam mengambil keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan petani kecil.”

SAUR TUMIUR SITUMORANG Anggota DPA AOI, Medan Woow…Majalah Petani yang merupakan perkawinan “Organis” dan “Salam” tampilannya semakin sempurna. Selamat atas terbitnya “Petani”, semoga informasi yang disajikan semakin meningkatkan motivasi para petani, dan konsumen organik serta menggugah para pengambil kebijakan untuk memberi perlindungan pada petani-petani organik di tingkat lokal. 8

Maret 2010

BUSTANUL ARIFIN Ekonom Senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance Indonesia), Jakarta “Selamat dan sukses atas terbitnya Majalah Petani.”

SABASTIAN ELIYAS SARAGIH Presiden Aliansi Organis Indonesia, Yogyakarta “Selamat atas terbitnya Majalah Petani. Semoga tetap hidup karena roh petani. Roh hidup harmonis, organis, dan tidak egois.”

HERMAS E PRABOWO Wartawan Pertanian Harian KOMPAS Di tengah kegelisahan dunia bahwa media cetak sebentar lagi bakal punah, Green Trust petani hadir di tengah-tengah kita. Tentu saja sikap melawan arus para penggagasnya patut diapresiasi. Tidak saja karena mereka telah berani bertaruh melawan zaman, tetapi lebih dari itu karena mereka telah melakukan dan akan terus melakukan hal yang sangat positif bagi pembangunan sektor pertanian Indonesia yang berkelanjutan. Muaranya apalagi kalau tidak untuk meningkatkan pendapatan petani, memenuhi kebutuhan pangan dan hidup masyarakat dengan tetap menjaga keseimbangan alam. Tantangan arus zaman menuju kepunahan itu hanya akan sanggup dilawan bila media ini ke depan mampu konsisten menghadirkan isu-isu pertanian yang orisinal, memberikan solusi atas berbagai persoalan kehidupan pertanian, menjadi panduan dalam berkehidupan bagi petani dan masyarakat luas, serta memiliki arah dan tujuan yang jelas.

HIRA JHAMTANI Peneliti pembangunan berkelanjutan, Gianyar, Bali. “Menerbitkan Majalah Petani adalah inovasi yang amat baik. Sudah terlalu lama tidak ada media yang berpihak pada petani. Harapan saya inilah dia. Rubrik suara petani perlu dibuat lebih banyak, agar suara mengenai inovasi dan masalah petani jadi perhatian. Bahasa juga perlu dibuat lebih mudah agar petani lebih mudah mengerti. Foto sudah keren. Semoga sukses, berkelanjutan dan memfasilitasi petani mendapatkan informasi yang tepat”


LAPORAN UTAMA

SWASEMBADA DAGING SAPI 2014:

Belajar dari Kegagalan Gagal sampai dua kali, tahun 2005 dan 2010. Ada apa sebenarnya dengan program Swasembada Daging Sapi yang dicanangkan pemerintah? Benarkah kita mampu mencapai impian swasembada itu? FOTO: CIA

Maret 2010

9


LAPORAN UTAMA

K

emandirian—termasuk dalam hal pangan—adalah harga diri bangsa. Karena itu, selepas terpilih menjadi presiden, Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan program Swasembada Daging Sapi 2005. Hitung-hitungan dan pelaksanaannya dilakukan Departemen Pertanian (Deptan). Target tahun 2005 gagal dicapai, sehingga diundur sampai tahun 2010. Namun kembali swasembada akan gagal dicapai, sehingga pada tahun 2009, sudah dicanangkan program “baru” Swasembada Daging Sapi 2014. Program Swasembada Daging Sapi sebenarnya sangat baik. Melepaskan ketergantungan dari negara lain untuk masalah pangan, penting dicapai. Apalagi ketidakmampuan usaha peternakan dalam negeri untuk mencukupi permintaan daging sapi sudah dimulai sejak tahun ’80-an. Ini terjadi seiring membaiknya rata-rata tingkat ekonomi penduduk Indonesia sehingga terjadi perubahan gaya hidup yang menyebabkan naiknya permintaan konsumsi daging sapi. Jadi riwayat ketergantungan ini sebenarnya sudah cukup lama dan sudah sewajarnya untuk diakhiri.

Mengapa Gagal?

Mengapa Program Swasembada Daging Sapi sampai gagal dua kali? Teguh Boediyana, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia yang ditemui di kantor APFINDO (Asosiasi Peternak dan Feedlot Indonesia)-gedung Deptan mengatakan, dari awal pencanangan, program ini memiliki dua kelemahan. Yang pertama dan mendasar adalah ketepatan data-data yang dipakai sebagai dasar perhitungan oleh Deptan. Salah satunya yang sangat penting adalah populasi sapi. Studi yang dibuat Fakultas Peternakan UGM di sejumlah sentra sapi (Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat) menemukan fakta

bahwa data populasi sapi umumnya dinaikkan sekitar 30 persen dari kenyataan. Kedua, perhitungan dan road map yang disusun Deptan kebanyakan didasarkan pada asumsi-asumsi yang belum pasti. Misalnya alokasi budget dari APBN untuk program ini, yang tidak dipastikan lebih dulu kepada DPR yang memiliki hak budget dan Menteri Keuangan sebagai pemegang otoritas keuangan di Indonesia. Contoh lain adalah asumsi dari sisi teknis, seperti bakalan sapi akan dibeli dari mana dan pakan ternak akan dicukupi dengan cara apa. Ketiga, tidak ada proses monitoring dan evaluasi yang jelas tentang kemajuan atau perkembangan Program Swasembada Daging Sapi ini sudah sejauh apa. Padahal data ini penting untuk menilai apakah pendekatan dan strategi yang diambil sudah tepat, kesalahan apa saja yang harus diperbaiki, dan keberhasilan mana yang bisa dijadikan contoh di tempat lain.

Tidak Dalam Waktu Singkat

Teguh Boediyana, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia mengatakan untuk melaksanakan Program Swasembada Daging, Deptan tidak mungkin bekerja sendiri. Harus ada kerja sama dengan Departemen Dalam Negeri. FOTO: BUD

10

Maret 2010

Sementara itu, Bustanul Arifin, ekonom senior Indef (Institute for Development of Economics and Finance) yang ditemui di sela-sela persiapan seminar di Auditorium Deptan mengatakan bahwa swasembada daging sapi bisa dicapai namun tidak dalam waktu singkat. “Swasembada adalah perjuangan jangka panjang,” tuturnya. Selain menyebutkan kelemahan dari sisi teknis (utamanya soal penyediaan bibit dan pakan), Bustanul coba mencermati dari aspek-aspek lain.


LAPORAN UTAMA Dari aspek budaya, tidak semua daerah di Indonesia akrab dengan usaha ternak sapi. Karena itu harus dipetakan dengan baik di awal, daerah-daerah mana saja yang berpotensi untuk diarahkan menjadi sentra ternak sapi. Selanjutnya program pengembangan usaha ternak harus disusun secara spesifik, sesuai karakter setiap daerah. Tidak ada satu resep yang bisa berlaku secara nasional, mengingat keragaman yang ada di Indonesia. Teguh Boediyana juga menyebutkan hal senada,”Harus ada perbedaan pendekatan dalam mengembangkan usaha peternakan di Jawa dan luar Jawa. Di Jawa mungkin lebih pada teknologi tepat guna, karena sumber daya sudah terbatas. Sementara di luar Jawa mungkin lebih ke penguatan teknis dasar, karena sumber dayanya masih banyak.” Selain itu Bustanul menyebutkan, karakter usaha ternak rakyat yang berupa peternakan skala kecil juga harus diperhitungkan. Karena pendekatan industri yang berskala besar dan memakai teknologi canggih bisa jadi tak sesuai untuk peternak kita. Baik dari sisi modal maupun sumber daya manusia. Namun, kelemahan ini bukan berarti usaha ternak untuk mencapai swasembada daging sapi 2014 harus diserahkan kepada investor/swasta 100 persen. Sebaliknya, peternak kita harus diberdayakan agar mampu

“Swasembada adalah perjuangan jangka panjang,” mengembangkan usaha ternaknya sampai ke tingkat produksi yang diharapkan. Dari aspek politis, pencanangan swasembada daging sesungguhnya merupakan keputusan politis yang strategis. Dalam pelaksanaannya di lapangan, harus melibatkan sebanyak mungkin pelaku-pelaku di daerah (seperti kelompok peternak, asosiasi pengusaha ternak, dan dinas pertanian/peternakan di daerah). Libatkan mereka sebagai mitra setara, bukan “bawahan” yang menjalankan program dari pusat. Sebab, merekalah yang paling tahu kelebihan dan kekurangan di daerahnya. Masih seputar masalah kerja sama ini, Teguh mengatakan bahwa dalam melaksanakan Program Swasembada Daging, Deptan tidak mungkin bekerja sendiri. Harus ada kerja sama dengan Departemen Dalam Negeri, karena Departemen ini masih memiliki staf sampai ke tingkat desa. Dengan begitu pendelegasian, pelaksanaan, dan pengawasan program

dari pusat sampai desa bisa berlangsung dan terkoordinasi dengan baik. Terakhir adalah aspek dukungan penelitian/teknologi. Untuk menemukan pendekatan yang paling pas bagi daerah-daerah yang mengembangkan usaha peternakan, universitas dan lembaga penelitian di daerah tersebut sebaiknya dilibatkan secara aktif. Perlu ditumbuhkan kepedulian dari lembagalembaga tersebut untuk mulai menggali potensi lokal dan menyumbangkan sesuatu bagi kemajuan daerahnya.

Road Map yang Jelas

Baik Teguh maupun Bustanul samasama menyarankan agar pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan) membuat road map yang baik untuk Program Swasembada Daging Sapi. Tetapkan tahapan-tahapan yang harus dilewati, lengkap dengan target terukur untuk tiap tahapan dan proses monitoring dan evaluasi yang jelas. Dan tahapan pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan populasi ternak sapi di Indonesia sebagai modal awal mencapai swasembada. Dengan cara ini, penggunaan uang negara untuk Program Swasembada Daging Sapi 2014 juga seharusnya bisa dikawal dengan baik. Selain itu perlu diperhitungkan bahwa pemberian label “2014” sedikit banyak juga menyebabkan hambatan psikologis. Karena tak mungkin swasembada tercapai dalam waktu singkat. Sebaiknya program swasembada menjadi “agenda bersambung” yang secara konsisten dilanjutkan dari tahun ke tahun, siapapun pemerintahnya. Apalagi mengingat pengembangan usaha ternak ini bukanlah hitung-hitungan satu tambah satu sama dengan dua. Bukan pula sekadar menaikkan tingkat produksi. Ada banyak faktor eksternal yang kompleks dan memengaruhi berhasil tidaknya program ini. Agar swasembada tercapai, road map yang dibuat harus fleksibel dan responsif terhadap faktor eksternal yang pasti akan berubah secara dinamis ini.

WWW.SXC.HU

Maret 2010

11


LAPORAN UTAMA

Peternakan Tradisional:

dari Padang ke Kandang

B

ustanul Arifin menyebutkan bahwa usaha peternakan sapi rakyat yang dikelola secara tradisional tidak bisa tumbuh dengan cepat untuk mengejar kebutuhan daging sapi yang terus meningkat. Yang dimaksud tradisional di sini adalah pola penggembalaan dengan melepas ternak di padang rumput. “Perlu adanya perubahan cara merawat yang lebih intensif untuk meningkatkan hasil ternak, yaitu dengan pemeliharaan di kandang.” Selain memerbaiki kualitas perawatan, pemeliharaan di kandang sebenarnya juga lebih ramah lingkungan. Misalnya, kotoran sapi bisa dikelola dengan lebih baik dan tidak berserakan sehingga menimbulkan polusi/ pencemaran. Contoh lain, dengan mengandangkan sapi bisa dicegah rusaknya kebun/ladang tetangga karena dirambah sapi yang mencari makanan. Namun, perubahan dari padang ke kandang ini tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konsekuensi yang harus diperhatikan. Contohnya adalah masalah pangan dan tenaga kerja.

Pakan: Masalah Serius

Pemenuhan pakan adalah masalah utama yang harus diselesaikan pemerintah jika ingin swasembada pangan bisa tercapai. Perubahan dari cara pemeliharaan padang ke kandang

12

Maret 2010

Bustanul Ari�n, ekonom senior Indef (Institute for Development of Economics and Finance) mengatakan bahwa swasembada daging sapi bisa dicapai namun tidak dalam waktu singkat. “Swasembada adalah perjuangan jangka panjang,” tuturnya. FOTO: BUD

berarti juga perubahan pola makan sapi. Masalah ketersediaan hijauan pakan ternak menjadi pertanyaan besar. Dengan makin sempitnya lahan pertanian (khususnya di Jawa), tak mungkin peternak (yang biasanya juga sekaligus bertani) membagi lahan untuk pakan ternak dan untuk pangan. Perubahan ruang terbuka hijau menjadi area

terbangun juga mempersempit tempat mencari hijauan. Fakta ini jugalah yang menjadi alasan mengapa pemeliharaan sapi secara intensif juga membutuhkan pakan tambahan yang biasanya berupa konsentrat. Dengan munculnya kebutuhan menyediakan pakan konsentrat ini, timbul pertanyaan baru. Apakah peternak


LAPORAN UTAMA kita sudah mampu memenuhi kebutuhan ini? Apakah petani membuat sendiri pakan konsentrat ini atau membeli? Jika membeli maka ada biaya yang harus dikeluarkan. Data Gabungan Perusahaan Makanan Ternak menyebutkan, sekitar 50 persen bahan baku utama produksi pakan ternak Indonesia masih diimpor. Ini tentu berpengaruh pada mahalnya pakan ternak dan ujungnya beban biaya produksi bagi petani/peternak. Isu ketersediaan pakan ini mau tak mau akhirnya akan menyentuh masalah reforma agraria (terkait isu distribusi ulang lahan) dan pengaturan laju perubahan alih fungsi lahan. Dua hal yang sampai saat ini belum dilaksanakan secara tegas dan sepenuh hati oleh pemerintah.

Inovasi

Teguh Boediyana mengusulkan pembuatan pusat produksi pakan terpadu untuk mengatasi masalah ketersediaan pakan. Pemerintah harus memulai hal ini jika ingin swasembada daging sapi tercapai dan memutus ketergantungan akan bahan pakan impor. Idealnya, petani dilibatkan dalam menanam bahan baku pakan seperti rumput, kedelai, dan jagung. Panen mereka dibeli oleh pemerintah dan diolah di pusat produksi pakan. Di sini pihak universitas/lembaga penelitian bisa dilibatkan untuk mendukung dari sisi teknologinya. Selanjutnya, pakan jadi didistribusikan kepada peternak dengan harga terjangkau. “Jika perlu subsidi agar harganya murah, dana APBN untuk Program Swasembada Daging Sapi 2014-

lah yang harus digunakan,” kata Teguh. Sebenarnya ada juga program pemerintah seperti PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri dan PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) yang bisa digabungkan dengan ide pusat pembuatan pakan ini. Cara seperti ini, menurut Teguh akan menciptakan lapangan kerja di pedesaan dan bisa memutar roda perekonomian di desa. Sementara itu Bustanul mengatakan bahwa sebenarnya ada banyak penelitian di perguruan tinggi tentang pemanfaatan limbah organik (seperti kulit kakao, bungkil kelapa sawit, dan kulit kopi) untuk pakan ternak. Namun semuanya masih di tataran laboratorium. Perlu dibuat uji coba di lapangan untuk melihat apakah peluang ini bisa dilaksanakan.

Tenaga Kerja

Perubahan pola perawatan dari padang ke kandang juga menyentuh masalah tenaga kerja. Cara rawat intensif di kandang membutuhkan lebih banyak tenaga kerja karena ada pekerjaan tambahan seperti membersihkan kandang dan mencari hijauan pakan. Padahal, ketersediaan pekerja di desa sudah semakin berkurang. Kaum muda lebih suka bekerja ke kota menjadi buruh atau bahkan ke luar negeri menjadi TKI. Untuk mengatasi hal ini, bisa didorongkan agar petani/ peternak membentuk kelompok. Dengan berkelompok, peternak bisa bekerja sama mencari pakan, atau membuat jadwal piket untuk membersihkan

“Jika perlu subsidi agar harganya murah, dana APBN untuk Program Swasembada Daging Sapi 2014-lah yang harus digunakan,” kandang. Prinsip kerjanya menyerupai arisan tenaga kerja. Cerita kelompok peternak di Bantul (rubrik Advokasi) yang mengelola pusat peternakan secara bersama-sama bisa menjadi inspirasi.

Dukungan Pemerintah

Untuk mendukung peralihan cara beternak dari padang ke kandang— yang menjadi salah satu syarat untuk mengembangkan usaha ternak dalam negeri—pemerintah harus menjalankan fungsi “servis” atau pelayanan. Misalnya dalam hal penyediaan petugas inseminasi buatan dan bahan semennya, layanan mantri kesehatan ternak, dan penyediaan modal/kredit lunak untuk peternak. Selain itu, pemerintah juga bisa berperan dalam penyediaan bibit/ anakan sapi. Pemerintah bisa membeli sapi betina produktif dalam jumlah besar (baik jenis lokal maupun impor) kemudian mengembangbiakkannya. Selanjutnya, anak-anak sapi yang lahir didistribusikan kepada petani dengan harga yang murah. Jika dukungan-dukungan ini secara konsisten diberikan, maka tak mustahil usaha ternak rakyat bisa berkembang sampai tingkat produksi yang diharapkan. Karena layananlayanan ini benar-benar menyentuh kebutuhan dari peternak. Dana yang dialokasikan pemerintah untuk Program Swasembada Daging Sapi 2014 sebaiknya dimanfaatkan terutama untuk menjalankan fungsi layanan ini. Maret 2010

13


LAPORAN UTAMA

Sapi Dalam Negeri:

Tak Kalah Unggul

K

etika ditanya mengenai peluang menjadikan sapi dalam negeri menjadi sapi unggul, Teguh Boediyana dengan semangat menjawab,â€?Siapa bilang sapi dalam negeri kalah unggul dari sapi impor?â€? Menurutnya, sapi bali (Bos sondaicus) adalah salah satu kandidat yang pantas dijagokan menjadi bibit unggul. Selain itu, ada banteng ujung kulon, sapi madura, sapi aceh yang juga memiliki galur genetika bagus dan potensial untuk dimuliakan menjadi bibit sapi unggul asli Indonesia. Keunggulan dari sapi lokal ini terutama adalah kemampuan adaptasi terhadap kondisi Indonesia yang sudah teruji, dibanding bibit/bakalan sapi dari luar negeri. Selain itu, memakai sapi lokal berarti juga turut menjaga keanekaragaman hayati asli Indonesia. Keanekaragaman hayati sangat penting dilestarikan, utamanya untuk tujuan pemuliaan dan pembibitan. Sayangnya, belum ada upaya serius dari pihak universitas, lembaga penelitian, maupun pemerintah untuk memuliakan jenis sapi lokal ini. Padahal jika dilakukan, ini bisa mendukung penyediaan pembibitan sapi. Memakai bibit sapi lokal berarti menciptakan eďŹ siensi dari sisi waktu

14

Maret 2010

dan biaya. Karena lebih murah dan tak perlu menunggu waktu untuk pengiriman. Selain itu, bisa mencegah ancaman penularan penyakit ternak sapi (utamanya penyakit mulut dan kuku-PMK) bila sapi bibit/bakalan diimpor belum bebas PMK. Indonesia sendiri sudah bebas PMK sejak tahun 1990.

Bustanul AriďŹ n menyebutkan, untuk mendorong usaha penggemukan dan pembibitan ternak di daerah-daerah, perlu dihitung berapa skala usaha ternak yang optimal di daerah tersebut. Data inilah yang selanjutnya menjadi dasar program pengembangan peternakan yang sesuai dengan potensi, kondisi, dan budaya daerah itu.


LAPORAN UTAMA

Daerah Mana Potensial untuk Usaha Ternak? Nusa Tenggara (timur dan barat) sering disebut-sebut sebagai daerah yang potensial untuk pengembangan usaha peternakan. Benarkah demikian? Baik Bustanul AriďŹ n maupun Teguh Boediyana sama-sama mengatakan bahwa keunggulan yang disebut-sebut ini masih sebatas wacana dengan hanya melihat pada kondisi alamnya yang memiliki banyak padang rumput. Faktor-faktor lain seperti sumber daya manusia dan infrastuktur sebenarnya masih kurang mendukung. Selain itu perlu diperhitungkan aspek budaya yang berlaku di sana. Karena faktor inilah yang sebenarnya sangat menentukan berhasil tidaknya pengembangan usaha ternak di daerah itu. Kalau orang-orang di sana tidak terbiasa merawat ternak secara intensif, maka kecil kemungkinannya usaha ternak bisa berkembang. Selain Nusa Tenggara, daerah lain yang disebut memiliki potensi untuk usaha peternakan adalah Madura, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Kedua daerah ini memiliki sumber daya alam (lahan dan populasi sapi) yang cukup potensial serta adanya budaya merawat ternak dan penghargaan terhadap ternak yang tinggi di masyarakatnya. Jawa Tengah juga disebut sebagai daerah yang potensial untuk pengembangan usaha ternak sapi. Utamanya dari sisi sumber daya manusianya. Karena petani/peternak di Jawa Tengah dari dulu sudah terbiasa dengan ternak sapi secara intensif. Namun, bagaimanapun potensialnya suatu daerah untuk pengembangan usaha ternak, Bustanul memperingatkan bahwa rasio keuntungan usaha harus dihitung dengan cermat di awal. Apakah usaha ternak sapi model ini bisa efektif dan eďŹ sien sehingga harga jual bisa kompetitif. Kita harus belajar dari pengalaman kasus kedelai. Karena ongkos produksi yang mahal, harga jual kedelai menjadi tinggi. Alhasil, konsumen lebih memilih kedelai impor yang berharga murah. Alhasil petani tetap saja dirugikan. Jangan sampai kejadian ini berulang pada usaha ternak sapi.

Maret 2010

15


LAPORAN UTAMA

Beternak Sapi Secara Organik D

engan agenda meningkatkan produksi daging sapi, usaha ternak jadi diarahkan kepada model peternakan intensif. Ketika sejumlah besar sapi diletakkan dalam satu kandang, risiko munculnya dan penularan penyakit menjadi lebih besar (dibanding sapi yang dilepas di padang). Karena itu, salah satu ciri peternakan intensif adalah penggunaan antibiotik untuk menyembuhkan dan menekan penularan penyakit. Sementara itu, contoh penggunaan hormon/bahan pemacu pertumbuhan (BHG-Bovine Growth Hormone) pada ternak sapi adalah yang dilakukan Australia terhadap sapi bibit/bakalan yang diekspor ke Indonesia. Australia telah lama menggunakan hormon pemacu pertumbuhan pada sapi bakalan ekspornya. Pemerintah kita sudah mensyaratkan bahwa 100 hari sebelum pengapalan, penggunaan hormon pertumbuhan tersebut harus dihentikan. Tujuannya agar cukup waktu untuk menghilangkan residu hormon pertumbuhan dalam tubuh sapi bakalan impor tersebut. Pemberian hormon ini bertujuan mendorong pertambahan berat sapi dengan pemberian pakan yang seefisien mungkin.

Pemakaian antibiotik dan hormon pertumbuhan ini memang harus dikritisi, karena residunya bisa “dilanjutkan” ke tubuh manusia. Residu antibiotik pada tubuh manusia dikhawatirkan akan menimbulkan resistensi bakteri yang mengganggu kesehatan. Sementara itu, residu hormon percepatan pertumbuhan diduga memicu menstruasi dan menopause dini pada perempuan. Selain pemakaian hormon dan antibiotik, ada praktik modifikasi pakan sapi untuk mempercepat pertumbuhan. Sapi yang secara alami adalah herbivora dan biasa makan rumput diganti pakannya dengan meat bone meal (MBM). MBM adalah pakan sapi kaya protein berbahan dasar limbah dagingtulang-jerohan dari rumah potong hewan dari rumah potong hewan. Inilah cikal bakal terbentuknya “prion”, protein asing/mutan dalam tubuh sapi pencetus penyakit sapi gila (mad cow). Parahnya, penyakit sapi gila ini bisa menular ke manusia.

Organik Lebih Baik

Menimbang ancaman kesehatan yang bisa ditimbulkan, rasanya lebih bijaksana jika peternakan sapi diusahakan tanpa hormon atau antibiotik atau pakan yang

Pakan sapi harus berasal dari bahan-bahan organik dan bebas dari GMO. FOTO: WWW.EQUITYENERGYRESOURCES.COM

menyalahi kodrat alami. Istilahnya, sapi diternakkan secara organik. Pertanyaannya sekarang, mungkinkah hal ini dilakukan? Jawabannya mungkin. Memang usaha peternakan sapi intensif yang dikelola secara organik belum banyak di Indonesia. Tetapi kita bisa belajar dari pengalaman di luar negeri dan melakukan penyesuaian agar pas dengan kondisi di Indonesia. Beberapa acuan seperti standar IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements), Natural Farming (dari Korea), pengetahuan peternakan tradisional dari India, dan teknik Biodinamik (dari Perancis) bisa menjadi acuan untuk menimba ilmu soal peternakan organik. Bahan-bahan ini bisa didapat dengan mudah melalui internet. Berikut Redaksi kami mencoba menyarikan beberapa poin penting.

Kandang yang Sehat

Hal pertama yang harus dilakukan untuk memulai peternakan sapi organik adalah memastikan bahwa kandang dikelola dengan baik agar sehat dan bersih. Dengan kondisi kandang yang baik, maka ternak diharapkan tetap sehat. Pastikan bahwa kandang memiliki

Salah satu prinsip peternakan sapi organik adalah sapi tidak boleh terus menerus dikurung di dalam kandang. FOTO: WWW.LOWERHURSTFARM.CO.UK/NEWSLETTER.HTM

16

Maret 2010


LAPORAN UTAMA ketinggian atap yang memadai untuk memastikan sirkulasi udara yang baik dan masuknya sinar matahari. Sinar matahari dan sirkulasi udara yang cukup mengurangi kondisi lembab dalam kandang. Kondisi lembab adalah salah satu pemicu munculnya penyakit. Kandang juga sebaiknya dilengkapi dengan sistem pembuangan kotoran dan urine ternak. Di Eropa, rata-rata peternakan sapi memiliki lantai yang berlubang-lubang. Tujuannya untuk mengalirkan kotoran dan urine ke penampungan. Selanjutnya kotoran dan urine diolah sampai menjadi pupuk organik yang akan dipakai memupuk rumput di padang penggembalaan. Pengolahan semacam ini juga mengurangi pelepasan gas metana ke udara. Lantai kandang biasanya juga dilapisi oleh jerami yang membantu menyerap bau dari kotoran sapi. Jerami bercampur kotoran ini selanjutnya bisa diolah menjadi kompos untuk lahan pertanian. Metode Natural Farming yang juga mengedepankan prinsip organik, bahkan mengklaim bahwa dengan membiakkan mikroorganisme di tanah yang menjadi lantai kandang mereka bisa membuat kandang sapi bebas bau. Jumlah sapi per kandang tidak boleh terlalu padat. Tujuannya agar sapi bebas bergerak. Sebagai contoh, di Eropa, kepadatan populasi sapi perah di kandang ditetapkan 6 m2 per ekor dan 4,5 m2 per ekor di area merumput. Sapi yang akan melahirkan dan menyapih harus dipisahkan dari kawanannya dan disediakan kandang-kandang khusus seluas 4 m x 6 m.

Pakan dan Obat-Obatan

Selanjutnya pakan ternak harus berasal dari bahan-bahan organik. Misalnya rumput dan jagung yang ditanam tanpa bibit GMO (bibit yang dihasilkan dari rekayasa genetika), pupuk dan pestisida kimia. Pemberian pakan di luar pakan alami sapi juga dihindari. Sapi adalah hewan herbivora yang pakan alaminya adalah hijauan dan bijibijian serealia. Jadi pemberian pakan seperti tepung ikan/tepung tulang/tepung daging tidak diajurkan. Air minum juga harus dipastikan selalu tersedia sesuai kebutuhan sapi. Jika sapi terserang penyakit, obatobatan yang digunakan adalah obat herbal. Ada banyak pengetahuan tradisional di kalangan peternak di

seluruh Indonesia tentang herbal/ tanaman apa saja yang memiliki khasiat obat untuk ternak. Pengetahuan seperti ini seharusnya mendapat dukungan dari universitas/lembaga penelitian. Utamanya dengan membuktikan secara ilmiah obat-obat tradisional itu. Dan agar tidak punah, pengetahuan seperti ini seharusnya didokumentasikan dengan baik.

Peternakan yang sudah terlanjur dikelola dengan cara nonorganik dan ingin beralih ke organik membutuhkan waktu transisi sebelum bisa menyebut dirinya “organik”. Menurut IFOAM, waktu transisi yang dibutuhkan untuk peternakan penghasil daging sapi adalah satu tahun, untuk peternakan sapi perah selama 3 bulan.

Standar Peternakan Organik IFOAM adalah organisasi tingkat internasional yang mendukung gerakan pertanian organik. Dalam situsnya IFOAM memberikan rekomendasi untuk peternak yang ingin mengelola peternakannya secara organik: • menyediakan pakan ternak organik yang bermutu baik. • mengelola jumlah populasi ternak ideal (tidak terlalu padat) dan rotasi ternak untuk memungkinkan ternak tetap memiliki pola perilaku alami sekaligus menjaga kualitas lingkungan dan sumber daya alam di lingkungan peternakan. • mempraktikkan model pemeliharaan yang mengurangi stress, menjaga kesehatan ternak, mencegah timbulnya penyakit dan parasit, dan tidak menggunakan obat-obatan kimia atau hormon. • menerapkan managemen peternakan yang memperhatikan pemanfaatan tanah dan air secara lestari. Sementara itu Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk peternakan organik menyebutkan batasan untuk peternakan organik seperti berikut. 1. Hewan ternak yang dipelihara untuk produksi organik harus menjadi bagian integral dari unit usaha tani organik dan harus dikelola sesuai kaidah-kaidah organik. 2. Peternakan punya kontribusi yang sangat penting pada sistem usaha tani organik, yakni dengan cara: • memerbaiki dan menjaga kesuburan tanah, • memerbaiki pengelolaan sumberdaya hayati, • meningkatkan keanekaragaman hayati, dan • meningkatkan diversifikasi sistem usaha tani. • menyediakan pakan ternak organik yang bermutu baik. • mengelola jumlah populasi ternak ideal (tidak terlalu padat) dan rotasi ternak untuk memungkinkan ternak tetap memiliki pola perilaku alami sekaligus menjaga kualitas lingkungan dan sumber daya alam di lingkungan peternakan. • mempraktikkan model pemeliharaan yang mengurangi stress, menjaga kesehatan ternak, mencegah timbulnya penyakit dan parasit, dan tidak menggunakan obat-obatan kimia atau hormon. • menerapkan managemen peternakan yang memperhatikan pemanfaatan tanah dan air secara lestari. 3. Produksi peternakan merupakan aktivitas yang berkaitan dengan lahan. Ternak pemakan rumput harus punya akses ke padang rumput sedangkan hewan lainnya harus punya akses ke lapangan terbuka. 4. Jumlah ternak dalam areal peternakan harus dijaga dengan mempertimbangkan kapasitas produksi pakan, kesehatan ternak, keseimbangan nutrisi, dan dampak lingkungannya. 5. Pengelolaan peternakan organik harus dilakukan dengan menggunakan metode pembibitan (breeding) yang alami, meminimalkan stres, mencegah penyakit, secara progresif menghindari penggunaan obat-obatan hewan (termasuk antibiotik), alopati kimia (chemical allopathic), mengurangi pakan ternak yang berasal dari binatang (misalnya tepung daging) serta menjaga kesehatan dan kesejahteraannya. Maret 2010

17


PENGALAMAN

“Tanam Sapi di Kebun”

Peningkatan Populasi dan Kualitas Sapi Bali di Timor Oleh: Yosef Sumu

Meski sapi Bali (Bos sondaicus) menjadi ternak primadona masyarakat Pulau Timor, NTT, populasi dan kualitasnya terus menurun dari tahun ke tahun. Menyempitnya padang penggembalaan, penjualan, perkawinan sedarah dalam satu kawanan ternak (inbreeding), dan pemotongan sapi betina secara tidak terkendali menjadi penyebabnya. Bagaimana upaya petani mengatasi masalah ini?

B

agi sebagian besar masyarakat tani/ternak di Pulau Timor, sapi merupakan sumber uang tunai terbesar yang dapat menyokong berbagai kebutuhan rumah tangga. Pendapatan dari penjualan sapi dimanfaatkan untuk pendidikan, perumahan, adat istiadat, pangan, dan sandang. Kepemilikan sapi juga menjadi simbol kekayaan/status sosial. Sapi dipandang sebagai satu-satunya komoditas yang dapat memenuhi dan menyelamatkan keluarga petani dari berbagai tuntutan kebutuhan hidup. Sapi berfungsi sebagai cadangan/tabungan ketika menghadapi situasi sulit seperti paceklik, sakit berat yang membutuhkan biaya pengobatan tinggi, kematian anggota keluarga, dan berbagai urusan mendadak lainnya. Demikian pentingnya arti sapi bagi masyarakat Timor, pemerintah daerah pun mengembangkan sistem kredit sapi yang dananya disalurkan melalui bank, koperasi, dan Dinas Peternakan tingkat Kabupaten. Tujuannya untuk mengembalikan populasi sapi Bali di Timor. Tahun ‘70-an, populasi sapi cukup tinggi dan hampir semua masyarakat memilikinya. Kondisi sekarang sangat berlawanan. Populasi sapi terus menurun dan hanya dimiliki orang-orang tertentu. Di Kabupaten TTU misalnya, tahun 1998 populasi sapi 105.741 ekor dan tahun 18

Maret 2010

2008 populasi 43.095 ekor. Artinya, terjadi penurunan populasi hingga 59 persen (62.646 ekor).

Kecukupan Pupuk

Petani/peternak setempat juga berupaya untuk bisa memperoleh dan memelihara ternak ini dengan baik. Salah satunya dengan “tanam sapi di kebun”. Ini adalah sistem pemeliharaan sapi untuk pengembangbiakan dan/atau penggemukan secara intesif di kebun. Hubungan antara sapi dan kebun cukup erat dan bersifat mutualisme.

Kebun dapat menyediakan pakan dari tanaman semusim maupun tanaman umur panjang. Sementara ternak dapat menyediakan pupuk untuk meningkatkan kesuburan tanah di kebun. Sebastianus Sako, anggota Kelompok Tani Amnautob Desa Fafinesu A bercerita, “Saya mengembangkan kebun tetap seluas 78 are sejak tahun 2007. Kebun saya tanami kacang tanah, jagung, dan mete. Saya bangga karena di kebun selalu tersedia pakan ternak. Tidak perlu lagi pergi ke hutan mencari pakan pada musim kemarau seperti tahun-tahun sebelumnya. Saya


telah sukses mengembangkan teknologi konservasi tanah dan air di kebun. Untuk pemenuhan pakan, setiap teras saya tanami tiga jenis penguat teras, seperti gamal/lamtoro, rumput raja (king grass) dan rumput gajah, serta setiap 10 meter saya tanami pohon turi. Dengan sistem tersebut saya memiliki 3.000 meter tanaman larikan dan 100 pohon turi sebagai sumber pakan potensial. Saya pun mampu menyediakan pakan bagi dua ekor sapi jantan dewasa.” Dua ekor sapi yang dipelihara Sebastianus di kebun menghasilkan 4 kg pupuk kadang per hari. Ditambah pupuk hijau dari daun gamal dan lamtoro yang dipanen di musim hujan, Sebastianus mampu memupuk kebunnya seluas 78 are (7800 m2). Dengan pemberian pupuk organik secara intensif panen jagung meningkat hingga 1.352 kg pada tahun 2009. Ini karena kebun menjadi lebih subur dan terhindar dari erosi. Padahal tahun 2007 produksinya hanya 936 kg.

Sapi Terseleksi: Indukan Potensial

Lain lagi cerita Yustinus Nesi (48 tahun), seorang petani dan peternak anggota Kelompok Tunas Harapan Desa Fatuneno. Ia mendapatkan sapi dari pinjaman bergulir yang difasilitasi Yayasan Mitra Tani Mandiri, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah

Utara. “Tahun 2006 saya mendapatkan satu sapi induk yang diseleksi. Sapi itu saya pelihara di kebun. Tiap pagi saya menyiapkan pakan yang diambil dari kebun, membersihkan kandang, dan mengangkut pupuk kandang untuk disebarkan di kebun. Ini pekerjaan yang ringan bila dibandingkan dengan mengambil pakan dari hutan. Aktivitas seperti ini selalu selesai jam 06.00 Wita dan dilanjutan dengan pengelolaan usaha tani atau kegiatan lainnya,” papar Yustinus Nesi. Yustinus memelihara sapinya dengan serius. Pakan selalu tersedia, baik siang maupun sore hari, dan diberi minum secara teratur. Karena merupakan sapi induk terseleksi, tahun 2007 tanda-tanda birahi sapi sudah nampak. Yustinus Nesi lalu mendekati tetangga yang memiliki penjantan terseleksi untuk dikawinkan dengan sapi betinanya. Proses kawin dilakukan dengan cara sapi betina diikat sedangkan sapi jantan dilepas. Jika berhasil kawin, biasanya tidak diberi minum atau diberikan batang pisang sebagai pakan

selama tiga minggu untuk menghindari keguguran. Perawatan sapi yang sedang bunting dilakukan dengan mengurangi aktivitas ternak dan memberikan pakan yang secukupnya. Menjelang beranak, sapi induk harus dijaga secara intensif untuk menghindari serangan anjing. “Dengan teknik tersebut, sapi induk yang saya pelihara beranak setiap tahun. Keturunannya sehat, tinggi, bertulang besar, kulit mengkilap, dan tanduknya terbuka. Saat ini saya telah memelihara 3 ekor sapi,” ungkapnya dengan bersemangat. Selain memerbaiki genetika sapi, membantu petani skala kecil dengan pendapatan rendah untuk memiliki sapi sendiri merupakan upaya jitu dalam meningkatkan populasi sapi. “Tanam sapi dalam kebun” merupakan pilihan model peternakan rakyat yang dapat meningkatkan populasi, memperbaiki kualitas fisik/ genetika sapi, sekaligus menjamin keberlanjutan sistem pertanian yang ramah lingkungan karena terjaminnya ketersediaan pupuk, tanpa perlu mengeluarkan uang.

YOSEF SUMU Koordinator Yayasan Mitra Tani Mandiri-Timor Tengah Utara Jl. Basuki Rachmat, Kefamenanu, Timor Tengah Utara, NTT P.O. Box 129, Kefamenanu 85601, NTT Telp: 0388- 31999, 08133931840, Faks: 0388- 31760 E-mail: yosefsumu.ymtm@gmail.com, ymtm-ttu@telkom.net

Maret 2010

19


PENGALAMAN

Menggenjot Populasi Sapi Potong dengan Sistem Bergulir Oleh: Kuntoro Boga Andri dan Dini Hardini

S

wasembada daging sapi tahun 2014 adalah tantangan besar yang dihadapi peternak dan pemerintah kita. Ini karena, konsumen daging dan peternak penggemuk masih dan makin tergantung pada impor. Daging sapi sebagian besar didatangkan dari Amerika Serikat dan Brazil. Sapi bakalan masih tergantung dari suplai Australia dan Selandia Baru. Pemerintah secara rutin berupaya mengatasi permasalahan ini melalui peningkatan populasi sapi potong dan program peningkatan produktivitas ternak (genetika, pakan, dan manajemen pemeliharaan). Ada juga pemberian subsidi bunga Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) skala kecil dengan sasaran 200.000 ekor sapi bibit, yang dimulai tahun 2009. Selain itu juga ada bantuan ternak (hibah bergulir) melalui Dinas Peternakan Kabupaten. Di sisi lain, untuk memperkuat dan meningkatkan skala usaha peternak, pemerintah menerapkan kebijakan larangan serta pengawasan pemotongan sapi betina induk produktif dan memperbanyak populasi sapi induk betina produktif.

Perbanyakan Populasi Sapi di Jawa Timur

Di Jawa Timur, pemerintah mencoba sistem perguliran sapi potong. Sapi diberikan kepada masyarakat melalui BLM (Bantuan Langsung Masyarakat)

20

Maret 2010

dari Dinas Peternakan, Dinas Pertanian Kabupaten dan Dirjen Pembibitan Departemen Pertanian. Salah satu penerima BLM ini adalah sekelompok peternak Desa Plumbangan, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, yang merupakan binaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur dalam program Prima Tani. Sebanyak 25 ekor sapi bantuan dari Dinas Pertanian Kabupaten Blitar dari dana APBD diberikan kepada Gapoktan Sido Makmur pada tahun 2007. Tahun pertama, atas kesepakatan kelompok, ternak dibagikan merata kepada 25 orang peternak yang berminat dan telah diseleksi. Kriteria seleksi adalah: anggota kelompok aktif, memiliki kandang dan pakan ternak, mempunyai pengalaman beternak dan mau mengikuti peraturan yang berlaku. Sebelum ternak sapi dibagikan, ternak dinilai harganya per ekor. Nilai ditaksir dengan harga pasaran yang berlaku oleh tim penilai harga yang telah ditunjuk dan disepakati semua anggota kelompok. Tim penilai harga terdiri dari anggota kelompok itu sendiri dan pedagang ternak. Harga hasil kesepakatan dicatat petugas administrasi yang juga mencatat semua proses tersebut. Setiap ternak yang telah dinilai harganya diberikan pada anggota kelompok dilengkapi dengan berita acara serah terima. Sapi yang diberikan adalah sapi unggul lokal (PO) dengan harapan

mempertahankan kekayaan/keragaman hayati Indonesia. Keuntungan lain adalah sapi bisa membantu kerja di sawah, mengingat mayoritas peternak di desa ini juga menjadi petani. Peternak memenuhi kebutuhan pakan hijauan dengan mencari di sekitar areal pertanian. Mereka biasa memetik daun-daunan dari jenis lamtoro, Gleresidae, Albazia, atau dedaunan pohon lainnya. Beberapa peternak bahkan sudah menyediakan lahan khusus untuk budi daya rumput sebagai stok pakan untuk sapi mereka. Biasanya jenis rumput-rumputan yang dibudidayakan untuk pakan adalah jenis rumput gajah dan rumput raja (king grass).

Perguliran Sapi Potong

Sistem pengembalian ternak di Desa Plumbangan adalah dengan digulirkan kepada teman anggota kelompok lainnya secara mencicil. Besarnya Rp 1 juta setiap 6 bulan sekali sampai harga taksiran ternak awal terpenuhi. Misalnya, ternak yang diberikan dinilai harganya Rp 8 juta. Maka penerima bantuan harus mengembalikan modal senilai Rp 1 juta tiap 6 bulan sekali selama 4 tahun. Dalam jangka waktu tersebut, anak sapi yang dilahirkan menjadi hak pemelihara ternak. Jika peternak tidak berminat memelihara bisa dijual kepada anggota kelompok lainnya, dengan harga kesepakatan kelompok.


Sapi potong petani Desa Plumbangan, Doko, Blitar. Sementara itu, proses perguliran yang terjadi di Gapoktan, akan terkumpul dana sejumlah (25 ekor x Rp 1 juta atau Rp 25 juta) selama 6 bulan dari hasil iuran seluruh penerima bantuan. Uang tersebut dibelikan ternak sapi induk kembali (jika harga per ekor sapi induk Rp 8 juta, maka dapat diperoleh 3 ekor). Sisa Rp 1 juta dimasukkan dalam kas kelompok. Selanjutnya, indukan baru diberikan kepada anggota kelompok yang belum menerima bantuan ternak, demikian seterusnya. Melalui sistem ini populasi ternak milik kelompok sangat cepat perkembangannya. Model ini juga cepat mewujudkan pemerataan kepemilikan ternak pada anggota kelompok, karena pengurus menerima pemasukan berupa uang tunai secara periodik yang bisa dijadikan modal.

FOTO: PENULIS

Kelemahan sistem ini, penerima bantuan/penggaduh harus memiliki pendapatan dari usaha lainnya agar dapat mengangsur bantuan ternaknya tepat waktu. Bagi petani sendiri, beternak sapi dianggap seperti menabung, keuntungannya didapat dalam jangka panjang.

Kuntoro Boga Andri, PhD. Peneliti Kebijakan Pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km. 4, Malang- Jawa Timur E-mail: kuntoro_boga@yahoo.com Dr. Dini Hardini Peneliti Produksi Ternak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km. 4, Malang, Jawa Timur E-mail: dhardinie@yahoo.com

Maret 2010

21


JENDELA DUNIA

Membangun Usaha Ternak Petani Kecil:

dari Teknis Sampai Pasar Oleh: Armando Fernández Luna

A

ccha, adalah distrik yang terletak di Provinsi Paruro, Cusco, Amerika Selatan. Accha tergolong daerah miskin. Mata pencaharian utama penduduknya adalah bertani dan beternak. Rata-rata petani memiliki lahan beririgasi seluas 3.500 m2. Mereka menjalankan usaha ternaknya masih dengan cara tradisional, yaitu dengan melepaskan ternak—terutama sapi dan domba—di padang rumput. Masalah yang dihadapi oleh petani di sana adalah kurangnya pengetahuan teknis soal pengelolaan usaha ternak, makin sedikit pakan ternak tersedia karena rusaknya padang rumput, dan tidak adanya pasar tetap untuk menjual hasil ternak.

Lahirnya Tablada Ganadera

Tahun 2003, sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama CEDEP Ayllu datang ke Accha untuk melaksanakan program “Pengembangan Pertanian dan Peternakan di Komunitas Pedesaan”. Kegiatan yang dilaksanakan adalah: pelatihan bagi petani untuk meningkatkan kemampuan mengelola peternakan, memperkenalkan budi daya rumput untuk pakan ternak, dan mengembangkan pasar ternak di tingkat lokal.

Kaum wanita lebih terlibat dalam usaha peternakan dan perdagangan di Accha. FOTO: CEDEP AYLLU

Untuk mengembangkan pasar ternak lokal ternyata perlu disediakan satu lahan khusus. Akhirnya pada Juli 2004, petanipetani kecil yang didampingi CEDEP Ayllu sepakat menyisihkan satu lahan untuk kegiatan jual-beli ternak. Lahan itu dinamai “Tablada Ganadera”. Kegiatan jual-beli ternak pun digelar pada Jumat terakhir setiap bulan.

Petani-petani lain yang bukan dampingan CEDEP Ayllu juga didorong untuk ikut dalam jual-beli ternak ini. Menurut laporan panitia penyelenggara pasar ternak yang pertama, kegiatan tersebut berhasil memperdagangkan sapi, domba, dan kuda, dengan nilai transaksi 30 ribu nuevos soles (sekitar Rp 97 juta). Ini menumbuhkan motivasi awal yang kuat untuk mengembangan perdagangan ternak di daerah tersebut.

Tabel 1. Perbandingan indikator teknis dan ekonomis sebelum dan sesudah adanya Pasar Tablada Ganadera. Indikator

22

Rata-rata ternak yang digemukkan 1 petani/tahun Sistem penggemukan Pemasukan rata-rata setiap sapi terjual Maret 2010

Sebelum ada Pasar Tablada Ganadera

Setelah ada Pasar Tablada Ganadera

2

4

Tradisional, dilepas di padang

semi kandang

50 – 100 soles

150 – 250 soles


Kelangsungan Pasar Ternak

Pasar ternak Tablada Ganadera menjawab kebutuhan para petani kecil di Accha untuk memasarkan produk ternaknya. Berjalannya pasar ternak ini tak lepas dari komitmen para petani kecil yang menjadi pelaku utama perdagangan di sana. Para petani memiliki komitmen tinggi karena aktivitas pasar ternak menjadi sumber pemasukan utama keluarga-keluarga petani dan pemutar roda perekonomian di Accha. Para petani sangat berharap pasar ternak ini terus ada di masa mendatang. Hal ini direspon baik oleh pemerintah Distrik Accha. Melalui Departemen Pengembangan Ekonomi Lokal, pemerintah membantu investasi di Pasar Tablada Ganadera sebesar rata-rata 50 ribu nuevos soles (sekitar Rp 162 juta) per tahun. Strategi lain yang dilakukan untuk memastikan keberlanjutan pasar ternak Tablada Ganadera adalah melibatkan sebanyak mungkin partisipasi dari petani, pedagang, pengangkut, dan pembeli. Ini untuk menumbuhkan rasa memiliki para pelaku ekonomi tersebut terhadap pasar ternak Tablada Ganadera. Tujuannya adalah, apabila pemerintah lokal atau CEDEP Ayllu sudah habis masa kerjanya, pasar ternak Tablada Ganadera bisa terus berkembang secara normal. Harapan ini tidak berlebihan, karena saat ini, rata-rata nilai transaksi yang diperoleh seorang petani di pasar ternak Tablada Ganadera sudah mencapai 142 soles/bulan (sekitar Rp 460 ribu).

Nilai Keberhasilan Lain

Pengembangan pasar Tablada Ganadera di Accha tak hanya berhasil dari sisi berjalannya aktivitas jual beli ternak. Lebih dari itu, pengembangan ini juga memiliki nilai keberhasilan lain sebagai berikut. • Pengembangan pasar ternak ini memperkuat institusi lokal di tingkat desa sehingga mampu menjadi agen perubahan. • Lewat pelatihan teknis pengelolaan usaha peternakan (dengan teknik semi kandang), petani kecil diajak terlibat dalam pemulihan ekosistem asli setempat (padang rumput),

suasana jual beli ternak di Tablada Ganadera. FOTO: CEDEP AYLLU

perbaikan kesuburan tanah, dan konservasi air. • Dengan pengetahuan teknis pengelolaan usaha peternakan petani mampu mengelola usahanya secara efisien dan lebih bernilai ekonomis. • Pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk di ladang rumput/kebun/ sawah. Ini membantu mengurangi gas emisi (metana) yang lepas ke udara. • Kaum wanita menjadi lebih banyak terlibat dalam usaha peternakan dan perdagangan.

• Meningkatnya taraf ekonomi di desa karena pendapatan dari penjualan pupuk kandang, rumput pakan ternak, dan ternak.

Armando Fernández Luna CEDEP Ayllu Calle Vigil 246, Písac- Cusco. Telepon/Fax: (51-84) 203007/203006 E-mail: postmast@ayllu.org.pe cedepayllu@wayna.rcp.net.pe

Mengapa Pasar Tablada Berhasil? Pasar ternak Tablada Ganadera bisa berjalan baik karena sejumlah alasan berikut. • Pengembangan pasar ternak didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat setempat. • Petani kecil sebagai pelaku ekonomi utama di pasar ternak diberi pelatihan teknis pengelolaan ternak guna meningkatkan produktivitasnya. • Pengembangan pasar ternak ditujukan untuk memutar roda perekonomian di tingkat lokal dan melibatkan semua pelaku ekonomi di tingkat lokal. • Dukungan nyata pemerintah di tingkat lokal berupa bantuan investasi. • Memastikan bahwa pakan ternak (sebagai syarat mutlak pengembangan usaha ternak) tersedia melalui budi daya rumput pakan. • Rencana pengembangan pasar ternak Tablada Ganadera dibicarakan dan dilakukan secara bersama-sama, oleh seluruh komunitas setempat yang berkepentingan. Bukan diputuskan oleh sedikit orang saja.

Maret 2010

23


JENDELA DUNIA

Ternak Burung Puyuh:

Tak Biasa Tetapi

Menguntungkan Burung puyuh bukan jenis ternak konvensional. Tapi penggemukan dan telur burung puyuh ternyata bisa menjadi usaha skala kecil dengan biaya murah dan efisiensi produksi tinggi. Keuntungan lain, bisa meningkatkan asupan protein untuk keluarga petani.

24

Maret 2010

A

rtikel ini bertujuan menjelaskan potensi nilai ekonomi dari usaha ternak burung puyuh yang dikembangkan di Kamerun, Afrika. Awal tahun 2009, peneliti dari Kementerian Industri Peternakan dan Perikanan, lembaga swadaya masyarakat yang menjalankan proyek “Dukungan Untuk Ternak Nonkonvensional”, dan Institut Penelitian untuk Pengembangan Pertanian mengembangkan buku panduan dan pelatihan usaha ternak burung puyuh. Ini adalah bagian dari program pengembangan peternakan untuk memperbaiki taraf kehidupan di pedesaan Kamerun. Salah satu desa yang berpartisipasi menjadi desa percontohan adalah Desa Soppo Besar. Di desa ini ada kelompok remaja bernama “Link-Up Afric” yang dipimpin Chesi Andreas. Kelompok ini memulai usaha ternak burung puyuh mulai April 2009. Modal awalnya adalah 50 ekor burung puyuh jantan, 150 betina, dan sebuah mesin tetas dengan kapasitas 1000 butir dan konsumsi daya 100 watt. Untuk menampung burung-burung puyuh itu, kelompok ini membangun kandang kayu berukuran: lebar 1 meter, panjang 2 meter, dan tinggi 2 meter. Di dalamnya diberi 3 sekat dan dindingnya terbuat dari kawat ayam. Satu ruang untuk indukan pembibitan, satu ruang untuk indukan petelur, dan satu lagi untuk anak-anak puyuh. Agar hasil maksimal, kepadatan di dalam kandang harus dijaga sekitar 40— 80 ekor per meter persegi. Suhu kandang juga sebaiknya tidak lebih rendah dari 150C. Pada minggu ke empat kelompok remaja ini berhasil memanen 876 butir telur yang selanjutnya ditetaskan. Lamanya waktu penetasan adalah 16— 20 hari.

Belajar dari Proses

Saat melakukan penetasan, kelompok remaja ini belajar bahwa telur yang dibuahi secara baik oleh pejantan memiliki peluang menetas lebih besar, sekitar 80—95%. Selain itu, telur yang dihasilkan dari perkawinan sedarah atau kesalahan pengoperasian mesin tetas bisa menyebabkan cacat fisik pada anak puyuh (peluangnya sekitar 10—20%). Untuk memperoleh hasil tetas yang baik, telur butuh disinari 16—18 jam sehari. Lingkungan sekitar dan perlakuan pada burung puyuh juga harus dijaga agar kondusif. Misalnya kandang dan burung tidak boleh dipindahkan terlalu sering, lokasi kandang sebaiknya jauh dari sumber kebisingan, jangan terlalu sering membuka dan menengok kandang, serta jadwal pemberian pakan yang teratur. Untuk pakan puyuh, kelompok remaja ini membuat sendiri dengan bahan-bahan yang tersedia di desa mereka. Misalnya remukan jagung, ampas kedelai, dan tulang ikan serta tulang. Mereka juga belajar bahwa ada perbedaan komposisi pakan untuk burung puyuh pedaging dan petelur. Untuk pedaging, komposisi protein dalam pakannya adalah 15—20%, sementara untuk petelur harus mencapai 25—30%.

Keberhasilan dan Keuntungan

Pada Desember 2009 pengecekan rutin menunjukkan bahwa kelompok ini berhasil menetaskan 3862 ekor anak puyuh. Persentase keberhasilannya adalah 30,5%. Tren produksi mereka terus meningkat, dan kelompok ini optimis, bahwa pada populasi 2000 ekor burung puyuh, mereka akan mencapai target panen telur 300 butir per hari.


Burung puyuh di dalam kandang, 2 bulan setelah ditetaskan. Foto: Awudu Ngutte Seluruh keuntungan yang didapat oleh kelompok remaja ini, 70% dipakai untuk menambah modal dan 30% dibagikan sebagai pendapatan bagi anggota. Setelah menyelesaikan fase pertama dari proyek ini, dilakukan evaluasi. Saat itu diketahui, bahwa kelompok ini menghadapi kesulitan membagi telur puyuh untuk ditetaskan dan permintaan pembelian dari masyarakat. Sekitar 1750 butir telur dijual untuk konsumsi selama fase pertama proyek berlangsung. Tingginya permintaan masyarakat disebabkan oleh nilai gizi dari telur mungil ini. Telur puyuh memiliki kadar zat besi, kalsium, dan kalium lima kali lipat lebih tinggi, vitamin B6 enam kali lipat lebih tinggi, dan vitamin B2 lima belas kali lebih tinggi dari telur ayam. Oleh masyarakat, telur puyuh banyak dimakan mentah untuk pengobatan homeopati.

Puyuh Pedaging: Perlu Dikembangkan

Sementara itu, permintaan untuk puyuh pedaging justru tidak terlalu tinggi, sekitar 15% dari total konsumsi daging masyarakat. Dalam proses penelitian diketahui, bahwa makan daging burung puyuh tidak biasa dilakukan oleh masyarakat. Karena itu diperlukan adanya pendidikan konsumen. Selain itu, harga puyuh pedaging delapan kali lipat lebih mahal dari telur puyuh, sehingga memperkecil volume pembelian karena masyarakat masih sensitif harga.

Kandang tiga sekat yang dibangun oleh kelompok Life-Up Afric. Foto: Awudu Ngutte

Di samping memberikan penghasilan berupa uang, keluarga dari anggota kelompok juga membaik asupan proteinnya melalui konsumsi daging burung puyuh. Tingkat kesehatan mereka juga meningkat karena konsumsi telur puyuh mentah. Selain itu, desa mereka perlahan-lahan menjadi terkenal karena banyak dikunjungi oleh peneliti, penyuluh, dokter hewan, dan masyarakat umum yang tertarik dan ingin belajar soal ternak burung puyuh. Desa ini bahkan menyisihkan lahan seluas 30 m2 untuk membangun pusat informasi. Ketika ditanya perasaannya terhadap usaha ternak yang dijalani kelompoknya, Chesi berkata,”Capaian kami boleh dibanggakan. Kami telah membangun kandang, menyediakan pakan, dan melaksanakan pelatihan untuk 22 orang yang tertarik memulai usaha ternak burung puyuh, baik di dalam maupun luar desa.” Tantangan yang dihadapi oleh kelompok ini untuk memajukan usaha ternaknya adalah membangun jaringan dan meningkatkan efisiensi produksi agar

bisa menurunkan harga jual (khususnya untuk daging burung puyuh). Semuanya itu bisa dilakukan bila mereka aktif mencari rekanan usaha dan meneruskan kerja sama dengan peneliti lokal untuk menemukan teknik beternak yang bisa meningkatkan efisiensi usaha. Kelompok ini membuat target memiliki jaringan beranggotakan lima ribu peternak burung puyuh agar mampu memenuhi permintaan dua ribu butir telur per bulan dari masyarakat.

Awudu Ngutte Project Technician/Research Support Services Institute for Agro Pastoral Activities, INAPA c/o MINEPIA PMB 14 Buea. Cameroon Telepon: +237 76 04 01 32 E-mail: awudungutte@yahoo.com

Burung puyuh termasuk jenis unggas dan masih saudara dengan burung “ayam-ayaman”. Nama latinnya adalah Cotunix cotunix. Berat rata-rata seekor burung puyuh dewasa berkisar antara 150—300 gr. Burung puyuh betina memiliki bulu dada yang berwarna lebih terang dan berbintik-bintik. Ukuran tubuhnya juga sedikit lebih besar dari burung jantan. Burung puyuh jantan memiliki bulu berwarna coklat gelap (mirip warna caramel) di bagian leher. Burung puyuh mencapai usia layak konsumsi (daging) ketika sudah berumur 8 minggu untuk jantan dan 6 minggu untuk betina. Untuk petelur, burung puyuh betina mulai bertelur pada usia 6 minggu. Seekor betina mampu menghasilkan 180—200 butir telur per tahun.

Maret 2010

25


INFO & TEKNOLOGI

Perguruan Tinggi Membangun Desa:

Kampung Mandiri Energi Berbasis Biogas Oleh: Cecep Firmansyah

”Ya... bener biogas bisa ngahurungkeun genset (betul biogas bisa menyalakan genset),” ungkap Karman kegirangan. Ketika sore hari instalasi listrik biogas dioperasikan, seluruh penduduk spontan berteriak, ”Caang euy.... (terang euy).”

T

eriakan warga yang heran sekaligus gembira memeriahkan terangnya malam Kampung Belenung. Terisolirnya kampung di pesisir pantai selatan Cianjur, Jawa Barat ini membuat warganya tidak terlayani listrik dari PLN. Karman, warga Kampung Belenung, selama ini memakai minyak tanah dan kayu bakar untuk kebutuhan dapur dan listrik tenaga surya. Awal sosialisasi biogas, ia tidak percaya kotoran sapi bisa jadi sumber energi. ”Masak kotoran sapi bisa jadi listrik,” ujar Karman tidak percaya. Namun, ia tetap mengikuti kegiatan pengembangan biogas di kampungnya dengan harapan dapat menggunakan listrik dari kotoran sapi. Ternyata, setelah seluruh instalasi terbangun dan dipelihara, tabung gas makin hari makin kembung berisi gas.

(rakit dari bambu). Karena lokasinya, kampung ini tidak mendapatkan layanan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Selama ini penerangan memakai tenaga surya. Namun tak semua warga mampu beli. Ada yang masih memakai lampu minyak tanah. Mata pencaharian sebagian besar warga Belenung adalah beternak sapi, bercocok tanam padi dan palawija. Sapi potong dipelihara ekstensif. Setiap

hari peternak menggembalakan sapinya di hutan-hutan dengan jarak tempuh puluhan kilometer. Aktivitas serupa juga dilakukan Karman. Kegiatan peternakan merupakan tulang punggung ekonomi rumah tangganya, selain menanam padi. Dua belas ekor sapi potong yang dipeliharanya adalah milik pribadi yang berasal dari pembelian dan hasil keturunan dari sapi-sapi betina yang dipelihara sebelumnya.

Kampung Peternak Kaya Energi Belenung terletak di Desa Mekarsari, Kecamatan Agabinta, Kabupaten Cianjur. Akses menuju kampung ini cukup sulit. Hanya dapat dijangkau dengan sepeda motor menyusuri tepi pantai atau menyeberang menggunakan eretan

Instalasi biogas plastik dan rumah gas di Kampung Belenung, Desa Mekarsari , Kecamatan Agrabinta, Cianjur, Jawa Barat FOTO: LIBEC

26

Maret 2010


FOTO: CECEP FIRMANSYAH

Unit Biogas di depan Kampung Belenung. Kotoran ternak selama ini tidak dimanfaatkan dan terbuang percuma di lokasi-lokasi penggembalaan. Melihat potensi kampung ini, pada 15 November 2009, Livestock Bioenergy Conversion Program (LiBEC) Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (Unpad), bekerja sama dengan PLN mengajak warga—khususnya peternak—untuk memanfaatkan kotoran ternak yang tersia-siakan. Dengan dampingan dari pelaksana LiBEC, para peternak mengolah kotoran ternak menjadi biogas. Sebelumnya, LiBEC sudah mengembangkan biogas di desa lain di Jawa Barat, yaitu Desa Haurngombong di Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, dan Kampung Cihurang, Desa Cijayana, Kecamatan Mekarmukti, Kabupaten Garut. Biogas ini dimanfaatkan warga di tiga desa itu untuk menyalakan kompor dan penerangan rumah, kampung serta kandang ternak. Kini 90 persen rumah penduduk Kampung Belenung sudah diterangi listrik biogas.

Biogas: Sumber Energi Melimpah yang Ramah Lingkungan

Pengembangan biogas membawa berkah kehidupan masyarakat yang lebih

baik. Telah tercipta peternakan ramah lingkungan, berkurangnya penebangan pohon untuk kayu bakar, meningkatnya sanitasi lingkungan, berkurangnya cemaran air oleh bakteri E. Coli, dan kehidupan ekonomi masyarakat yang lebih efisien. Pengembangan biogas juga mengurangi efek gas rumah kaca melalui dua sisi, yaitu berkurangnya penggunaan minyak tanah dan penebangan kayu, serta berubahnya metana dari limbah ternak menjadi karbondioksida dan air. Pengaruh metana terhadap efek gas rumah kaca lebih besar 20—23 kali lipat lebih tinggi dibandingkan karbondioksida. Secara keuangan, biogas menghemat biaya rumah tangga untuk bahan bakar. Pemanfaatan biogas kotoran ternak untuk sumber energi sepantasnya menjadi pilihan di tengah krisis energi yang terjadi kini. Berdasarkan pengamatan lapangan yang berhasil

diidentifikasi, 2 ekor sapi perah dewasa (yang masing-masing berbobot hidup 1.000 pon atau 453, 6 kg, yang artinya sama dengan dengan 1 satuan ternak) mampu menghasilkan 4,14 m3 biogas per hari atau setara dengan 2,57 liter minyak tanah. Satu meter kubik biogas setara dengan 0.62 liter minyak tanah. Dengan asumsi harga minyak tanah tanpa subsidi Rp 8.000 per liter, maka nilai yang dihasilkan sebesar Rp 20.560 per hari. Besarnya nilai potensi ini harus menjadi perhatian semua pihak, karena ada potensi energi lokal di tingkat masyarakat dengan nilai yang sangat besar terbuang tanpa atau kurang disadari. Implementasi pemanfaatan kotoran ternak sebagai biogas secara massal dalam konteks makro akan mampu menyediakan energi baru dan terbarukan dalam jumlah yang besar serta murah untuk masyarakat.

CECEP FIRMANSYAH Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, JL. Raya Bandung Sumedang Km. 21 Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat Telp: 08156143144 E-mail: cepfirmansyah@gmail.com

Maret 2010

27


TIP PERTANIAN

Rempah-Rempah Tingkatkan Kualitas Pakan Ayam Di kalangan peternak, pemanfaatan ramuan tradisional dari rempah-rempah untuk hewan umum dipraktikkan. Rempah digunakan baik sebagai bahan obat maupun zat pemacu pertumbuhan ternak. Pemberian ramuan tradisional ke dalam pakan ternak dapat saja dilakukan sepanjang mampu meningkatkan produksi, terjangkau secara ekonomis, dan mudah diterapkan terlebih jika sudah melalui tahapan penelitian. Berikut pemanfaatan beberapa rempah untuk peningkatan kualitas ayam pedaging.

1. Kunyit (Curcuma domestica Val)

Secara spesiďŹ k tanaman kunyit dipakai menangkal bau kotoran ayam. Caranya dengan memeras air kunyit dan dicampur ke dalam pakan. Banyaknya perasan kunyit adalah 3 persen dari berat badan ayam. Alternatif lain dengan menggiling kunyit dan hasilnya dicampur ke dalam pakan ayam. Selain menghilangkan bau tak sedap, kunyit berfungsi juga sebagai obat cacing.

2. Lempuyang (Zingiber aromatica Val)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lempuyang dapat memperbaiki kualitas pengikatan oksigen dalam darah ayam. Jika kualitas darah membaik, kondisi ayam pun meningkat. Hal positif lainnya, ramuan ini dapat meningkatkan bobot ayam. Cara pemakaian, haluskan 5 gram lempuyang, kemudian ditambah 100 ml air serta garam secukupnya, lalu direbus. Setelah mendidih, larutannya disaring dan diberikan kepada ayam.

3. Jahe (Zingiber ofďŹ cale Rosch)

Pemberiannya pada ayam dapat dilakukan dengan mencampurkan ke dalam pakan atau air minum. Untuk pemberian melalui air minum, dilakukan dengan menambahkan 1—3 ml ekstrak jahe ke dalam 1000 ml air minum. Berbagai studi menyimpulkan bahwa kandungan minyak atsiri membantu proses pencernaan dan meningkatkan nafsu makan ayam, sehingga bobot ayam bertambah. Dengan mengetahui manfaat rempah untuk ternak lewat bukti hasil penelitian, diharapkan tanaman rempah semakin serius diperhatikan dan dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan sektor peternakan. Apalagi tanaman ini merupakan bahan alami yang mudah diperoleh dari alam, sudah dikenal masyarakat, harganya relatif murah, dan prosedur pembuatannya yang sederhana.

Kiriman: Freddy Pattiselanno, Staf Pengajar pada Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Manokwari. Jl. Gunung Salju Amban, Manokwari 98314, Papua/Kotak Pos 153 Manokwari, Papua, e-mail: fpattiselanno@yahoo.com

Pupuk dan Pestisida dari Sekam Padi untuk Kedelai Pembuatan pupuk dari sekam padi

Sekam padi yang telah dibakar menjadi abu, dicampur dengan kotoran dan air seni ternak. Perbandingannya adalah 85 persen sekam padi dan 15 persen campuran kotoran dan air seni ternak. Bahan-bahan ini dicampur dalam sebuah wadah (tanpa penutup) di areal terbuka agar selalu lembab dan tidak kering (basah). Selanjutnya pupuk ini siap ditaburkan ke lahan tempat penanaman kedelai.

Pembuatan pestisida nabati dari sekam padi

Sekam padi yang telah dibakar menjadi abu, langsung ditaburkan ke tanaman kedelai. Sesuai pengalaman kami, dilakukan tiga kali penaburan sejak berumur 7 hari sampai siap panen. Penaburan pertama sebanyak 50 kg, kedua sebanyak 70 kg, dan terakhir sebanyak 80 kg.

28

Maret 2010

Kiriman Edi Gunawan, Kelompok Tani Hutan Ligat Tani. Alamat: Jl. Mns. Blang No. 09 Kabupaten Pidie 24173, Nanggroe Aceh Darussalam)


Tanggap Flu Burung bagi Peternak Unggas Komersial Sebagai peternak unggas, Anda harus menjadi bagian dari upaya pencegahan penularan virus flu burung. Pastikan hanya unggas sehat yang Anda jual atau terima.Unggas sehat juga berarti menjaga kesehatan Anda, kesehatan pasar, dan konsumen Anda. Lakukan petunjuk berikut secara konsisten agar usaha ternak unggas Anda terhindari dari kerugian akibat flu burung. 1. Batasi akses masuk kendaraan, orang, dan peralatan ke kandang unggas. a. Jangan izinkan orang yang tidak diperlukan dalam produksi unggas untuk masuk ke wilayah peternakan. b. Peralatan dan alat angkut yang dipakai membawa unggas dan barang terkait—seperti sepatu, mobil, sepeda motor, dan keramba—dapat membawa virus tidak terlihat, yang dapat menginfeksi unggas sehat. Jaga selalu kebersihannya. c. Buatlah tanda dan batasan di sekitar kandang agar tidak sembarang orang bisa masuk. Lengkapi kandang dengan pintu yang bias dikunci. d. Bersikaplah konsisten untuk tidak membiarkan orang memasuki wilayah yang dilarang (termasuk pemasok, pelanggan setia, dan karyawan dari peternakan lainnya). 2. Laporkan segera kematian unggas mendadak dalam jumlah banyak ke RT/RW, lurah, kepala desa, dan mantri hewan. Dengan melapor berarti Anda membantu menghentikan penyebaran penyakit. 3. Hanya menjual, membeli, dan menyembelih unggas sehat. Pastikan unggas yang Anda terima dan jual sehat dan tidak pernah berkumpul dengan unggas yang sakit.

4. Kubur ayam mati dengan baik. Jangan dibuang ke sungai atau kolam, karena virus bisa menyebar lewat air. Kuburkan unggas mati dengan kedalaman tanah uruk setinggi lutut orang dewasa. Tanah uruk diukur dari atas bangkai hingga permukaan lubang.

Dikutip dari Buku Masyarakat Tanggap Flu Burung dengan Perilaku Aksi 100 % Bersih, diterbitkan Community Based Avian Influenza Control Project CBAIC

Obat Alami Pembasmi Tikus di Lahan Bahan-bahan:

• Jengkol 1 kg • Umbi gadung 3 kg • Brotowali 1 kg

Proses pembuatan:

• Semua bahan diparut. • Campurkan dalam 1 liter air dan diperas. • Saring air hasil perasan.

Pemakaian di lahan:

• Cairan yang sudah disaring bisa diencerkan menjadi 10 tangki semprot • Karena pestisida nabati ini tidak tahan lama, sebaiknya langsung disemprot ke lahan setiap 3 hari sekali

Kiriman Sinar, petani. Alamat: RT 09/III Dusun Krajan, Desa Jajag, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur

Maret 2010

29


PERTANIAN DALAM BERITA

Ayam Cemani: Tahan Flu Burung

Ternyata bukan ayam ras jenis unggul yang paling tahan serangan flu burung. Justru ayam cemani, ayam lokal Indonesia yang paling jagoan. Inilah salah satu bukti pentingnya menjaga keanekaragaman hayati yang kita miliki. Flu burung adalah ancaman paling menakutkan bagi peternak unggas belakangan ini. Alasannya karena penyakit ini cepat dan mudah menular serta dapat menimbulkan kematian massal. Untuk mencari solusi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) meneliti sejumlah ayam lokal Indonesia. Hasil penelitian Sri Sulandari dan M. Syamsul Arifin Zein, peneliti genetika zoologi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, menunjukkan bahwa ayam cemani ternyata paling tahan terhadap serangan virus flu burung. Ayam cemani menunjukkan persentase hasil paling tinggi (0,89) dibanding 15 jenis ayam lokal dan ayam kampung yang diteliti. Menurut Zein, keunggulan daya tahan terhadap flu burung ini dapat dimanfaatkan dalam program pemuliaan ternak dan penyediaan bibit ternak ayam yang tahan flu burung.

30

Maret 2010

Pemerintah Kucurkan Kredit Sapi Rp 145 Miliar/Tahun Sehubungan dengan ambisi mencapai swasembada daging sapi 2014, pemerintah akan memberikan Kredit Usaha Pemilikan Sapi (KUPS) sebesar Rp 145 miliar setiap tahunnya. Program ini diharapkan bisa mempercepat perkembangan industri peternakan sapi di tanah air. Menurut Dirjen Peternakan Departemen Pertanian Tjeppy D Soedjana, bantuan untuk para peternak sapi berupa KUPS sudah dimulai sejak 1,5 tahun silam. Bulan Desember 2009 lalu program ini kembali diluncurkan untuk program kredit 2010. ”Akan ada subsidi bunga, petani cukup membayar bunga 5 persen. Sisanya dibayar pemerintah. Dari Rp 145 miliar, diperkirakan bisa didapat 200.000 ekor induk sapi. Diharapkan, 20 persennya sapi perah dan sisanya sapi potong,” terang Tjeppy. Untuk pengucuran kredit, pemerintah bekerja sama dengan pihak perbankan di antaranya, BRI, Bukopin, BNI, Mandiri, serta beberapa BPR. Harapannya, dengan kredit ini, di tahun 2014, minimal peternak bisa memenuhi sendiri bibit ternak sapinya, terutama jenis sapi potong atau pedaging. Sebagai catatan, para peternak tidak bisa mengakses KUPS secara individu. Mereka harus mendaftar sebagai koperasi, usaha bermitra, atau kelompok peternak. Ini adalah kesempatan yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para petani/peternak skala kecil. Dengan pinjaman ini, mereka bisa mulai mengembangkan usaha peternakan sapi. Ternak sapi juga bermanfaat untuk mendukung model pertanian berkelanjutan karena menjadi sumber pupuk organik. Petani harus sigap mengorganisasi diri untuk mengakes kredit dari pemerintah ini. Selain itu, kelompok tani juga bisa dimanfaatkan untuk menjalankan usaha pembibitan atau penggemukan sapi. Jangan sampai fasilitas kredit ini justru dimanfaatkan oleh perusahaan atau pengusaha peternakan dan bukannya memberikan manfaat bagi petani skala kecil.


Bencana Banjir Habiskan Sawah Petani: Perlunya Asuransi Pertanian Curah hujan yang amat tinggi belakangan ini menyebabkan puluhan ribu hektar tanaman padi puso. Bahkan di Jawa Barat, diperkirakan akan terjadi kehilangan produksi padi hingga 19.272 ton (Kompas, 24 Februari 2010). Usaha pertanian, sejatinya adalah usaha yang paling terpengaruh oleh kondisi iklim dan cuaca. Berhasil atau gagalnya panen banyak ditentukan oleh curah hujan yang terjadi dalam setahun. Faktor iklim ini semakin penting untuk lahan pertanian non irigasi yang mengandalkan pengairan sepenuhnya pada hujan. Bencana alam seperti banjir dan kekeringan yang tak jarang terjadi tiba-tiba bisa menyebabkan kegagalan panen yang ujung-ujungnya berimbas pada ketahanan pangan, kelaparan, petani kehilangan hak kepemilikan lahan, meningkatnya laju urbanisasi, imigrasi menjadi TKI, dan pertumbuhan ekonomi yang negatif.

Ketidakadilan

Sebagai sebuah bisnis yang memiliki tingkat risiko tinggi, sebenarnya usaha pertanian termasuk layak diasuransikan. Layak, karena sektor pertanian memiliki peran penting dalam menyediakan pangan bagi bangsa ini. Asuransi juga diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan yang cukup stabil di sektor pertanian. Terutama karena 41,23% tenaga kerja produktif di Indonesia bekerja di sektor pertanian (ProďŹ l Negara Indonesia untuk G20, Edisi 2009). Masalahnya, tidak ada bank di Indonesia yang mau memberikan jaminan pada usaha pertanian. Alasannya jelas, untung yang diperoleh tidak besar. Di sinilah perlunya peran pemerintah sebagai lembaga penjamin yang mendukung dan melindungi usaha pertanian khususnya yang berskala kecil. Apalagi petani skala kecil memproduksi hampir 70% pangan nasional. Di sini tampak jelas ketidakadilannya. Petani kecil menanggung risiko kegagalan panen dan kerugian yang besar, untuk menghasilkan pangan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Seharusnya jerih payah ini mendapatkan penghargaan yang semestinya.

Libatkan Banyak Pihak

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa bekerja sama dalam berbagi beban klaim asuransi. Misalnya

dengan rasio: 2 bagian untuk pemerintah pusat dan 1 bagian untuk pemerintah daerah. Bahkan, pemerintah lewat kewenangannya bisa melibatkan lembaga donor, sektor perbankan, atau pemain skala besar (industri) di sektor pertanian dalam skema asuransi pertanian ini. Indonesia bisa belajar dari negara berkembang lain seperti India dan Guyana. Bahkan Guyana pada 7—9 Desember 2009 lalu baru menggelar Simposium Risiko dan Asuransi Pertanian. Asuransi pertanian seharusnya mengganti kerugian panen yang gagal akibat cuaca, serangan hama, atau penyebab lain, dalam batasan-batasan yang sudah diatur dan disepakati sebelumnya. Asuransi juga bisa disediakan untuk perlindungan terhadap usaha ternak dan perikanan. Kompensasi bisa diberikan atas dasar perkiraan total panen yang didapat seorang petani (bukan dihitung per komoditas). Sementara besarnya kompensasi dihitung dengan membandingkan panen sebenarnya dengan ratarata panen di daerah tersebut dan rata-rata harga penjualan tiap komoditas (dengan kualitas normal) yang didapat petani. Meski tidak bisa mengganti semua kerugian, dengan perlindungan asuransi, paling tidak petani masih punya modal untuk menanam ulang jika terjadi kegagalan pada saat tanam. Dengan adanya asuransi, petani memiliki “sedikit kepastian� dalam menjalankan usaha taninya. Pada akhirnya, ini bisa menjadi insentif agar petani tidak meninggalkan pertanian dan pindah bekerja di sektor lain. Dan dengan ancaman krisis pangan serta perubahan iklim yang sudah terasa dampaknya, kebutuhan akan asuransi pertanian kian mendesak untuk diwujudkan.

Maret 2010

31


BIJAK DI RUMAH

Menu Daging dan Sayur:

Harus Berimbang Oleh: Bibong Widyarti

Jika kita lihat di televisi, banyak iklan menawarkan produk daging olahan. Salah satunya bahkan menyatakan, jika ingin anak sehat dan tinggi harus makan lebih banyak daging. Benarkah anjuran ini?

T

antangan terberat bagi pola makan sebagian besar orang adalah bagaimana menciptakan keseimbangan konsumsi produk hewani dan nabati untuk tujuan kesehatan. Haruskah kita makan lebih banyak daging? Ataukah hanya mengonsumsi sayuran semata dengan memilih menjadi vegetarian? Semua pilihan ada di tangan Anda. Konsumsi produk daging atau hewani diperlukan untuk mencukupi protein dan zat besi, sedangkan sayuran dibutuhkan karena kandungan beragam vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Produk daging dan sayuran yang sehat dibutuhkan secara seimbang untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta membantu memelihara kesehatan secara keseluruhan. Jadi, konsumsi lebih

Jika ingin mengonsumsi daging, sebaiknya: • • •

Pilih daging yang segar, sebaiknya dari ternak yang dipelihara dengan cara yang alami/organik Pilih daging yang kandungan lemaknya sedikit, Pilih daging unggas yang dipelihara dengan cara alami/ organik

banyak daging tidak berarti lebih sehat. Kita tetap perlu mengonsumsi sayuran untuk menjaga kesehatan, karena tubuh juga perlu vitamin dan mineral. Faktor Kesehatan dan Keamanan Sebenarnya tubuh manusia tergantung pada kualitas makanan yang disantapnya. Ingat pepatah Hipocrates yang mengatakan “Anda adalah apa yang Anda makan (You are what you eat)”. Karena itu, selain masalah keseimbangan, faktor kesehatan dan keamanan juga perlu diperhatikan. Contohnya, apakah hewan ternak yang dikonsumsi sudah aman dan sehat? Apakah proses pemeliharaannya bebas dari antibiotika, hormon pertumbuhan, dan zat kimia lain? Bagi banyak konsumen, info-info semacam ini perlu diketahui, namun tak banyak tersedia. Dengan mulainya kembali cara-cara pemeliharaan ternak secara alami/ organik, konsumen sebenarnya memiliki pilihan untuk produk hewani yang aman dan sehat.

Bibong Widyarti E-mail: rumahorganik@gmail.com

32

Maret 2010


Tips Bagi Anda • Untuk meningkatkan konsumsi sayuran, Anda bisa mencoba menu tradisional seperti Karedok (khas Jawa Barat), Pecel, Gado-gado, dan Serombotan (khas Bali) yang bahan utamanya adalah sayuran. Kebiasaan menyantap lalap sayuran disertai sambal, selain nikmat juga sehat. Anda juga bisa mencoba salad ala Barat yang bahan utamanya sayuran segar. • Usahakan mengonsumsi buah dan sayuran lokal segar yang sesedikit mungkin diolah/dimasak. • Cara termudah untuk memastikan keragaman konsumsi sayur dan buah adalah dengan melihat warnanya. Penuhi piring Anda dengan sayuran dan buah yang berwarna-warni. Selain menggugah selera juga mengandung berbagai zat gizi yang saling melengkapi. Sayuran warna merah banyak mengandung lycopene. Warna oranye atau kuning berarti banyak mengandung vitamin A yang baik untuk kesehatan mata dan kulit. Sayuran warna hijau banyak mengandung lutein, asam folat, dan vitamin B. Sayuran warna biru atau ungu banyak mengandung antioksidan yang melidungi kerusakan sel dan mengurangi risiko kanker. • Pilih buah dan kacang-kacangan lokal untuk camilan. Ini lebih baik dari makanan ringan olahan (snack yang banyak dijual di warung) yang sudah mengalami beberapa proses dan ada tambahan pengawet. • Hindari makanan yang menggunakan pemanis buatan, minuman bersoda, ataupun makanan yang melalui proses pengolahan yang panjang. Yakinlah bahwa mengubah kebiasaan makanan tidak sesulit yang kita sangka dan pikirkan. Karena ada banyak sekali kombinasi atau variasi makanan yang dapat kita pilih. Jangan mengonsumsi daging secara berlebihan. Makananlah dengan seimbang karena tubuh kita adalah organ yang cerdas, setiap ada sesuatu yang tidak seimbang dia akan memberitahu masalah apakah kita mengenali tanda-tanda alamiah yang diberikannya. BIBONG WIDYARTI

Tahun 2007, Badan Penelitian Kanker Dunia (World Cancer Research Fund) menyatakan bahwa daging merah dan daging sapi olahan adalah penyebab kanker usus besar. Ini karena, selama proses pemasakan akan muncul zat karsinogen (zat pemicu munculnya kanker). Badan Dunia ini menyarankan mengonsumsi daging merah maksimal hanya 300—500 gram per minggu dan sesedikit mungkin daging sapi olahan. Departemen Kesehatan Publik Universitas Harvard juga menyatakan kandungan lemak jenuh dalam daging merah sangat tinggi karenanya tidak boleh terlalu sering dikonsumsi dalam jumlah banyak. Lemak jenuh menyebabkan penyakit jantung dan stroke. Selain itu, penyakit anthrax dan sapi gila masih mengancam manusia, yang penularannya melalui kulit, udara/pernafasan, dan bagian usus/pencernaan sapi akibat proses pemasakan yang tidak sempurna.

Maret 2010

33


ADVOKASI

Pengalihan Subsisi Pupuk Kimia

untuk Pusat Pembuatan Pupuk Organik Desa Oleh: Sabastian Eliyas Saragih

K

eputusan penting diambil DPR RI periode 2004—2009 di akhir masa jabatannya. Subsidi pupuk yang sejak zaman Orde Baru diberikan kepada pabrik pupuk, disetujui sebesar 35,4 persen atau Rp 6,2 triliun didistribusikan langsung kepada petani. Bentuknya berupa alat pengolahan pupuk organik, pengadaan sapi, dan bantuan langsung. Subsidi langsung ini untuk tahun anggaran 2010 akan dialokasikan di 10.000 dari 70.000 desa yang terdapat di Indonesia. Deptan menyebutkan, setiap desa pengelola pupuk organik akan mendapatkan 35 ekor sapi yang kotorannya akan menjadi bahan baku pupuk. Sayangnya ketika Presiden RI mengumumkan APBN Tahun 2010 di akhir masa jabatannya, pengalihan subsidi ini dimaknai sebagai pengurangan subsidi pupuk. Itu berarti tidak ada dana yang bisa dialihkan untuk mengembangkan pusat pembuatan pupuk organik desa. Tulisan ini bertujuan menggerakkan para penggiat pembangunan pedesaan untuk mengadvokasi kembalinya anggaran subisidi untuk pengembangan pusat pembuatan pupuk organik desa.

Pengalihan subsidi: penguatan dan kedaulatan petani Keputusan mengalihkan subsidi pupuk kimia untuk mengembangkan pusat pembuatan pupuk organik desa adalah langkah strategis luar biasa. Strategis karena: (1) subsidi langsung diberikan kepada petani dan (2) yang dikembangkan adalah industri yang menjamin kelestarian alam serta kedaulatan petani. Belum pernah sepanjang sejarah pemberian subsidi pupuk di Indonesia, subsidi secara langsung diberikan kepada petani. Subsidi selama ini selalu diberikan kepada pabrik pupuk. Pemerintah membayar kepada perusahaan pupuk sebagian dari harga pupuk yang ditetapkan perusahaan. Misalnya di tahun 2008 pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 1.000 untuk setiap kg pupuk organik yang dijual PT PUSRI ke pasar. Jika harga pasar yang ditetapkan PT. PUSRI adalah Rp 1.500 maka petani dapat membeli pupuk di pasar seharga Rp 500. Pengembangan pusat pengelolaan pupuk organik di desa secara langsung juga akan mendorong berkembangnya

sektor peternakan dan pertanian yang berkelanjutan. Petani tidak perlu susah lagi menyediakan pupuk bagi lahan pertaniannya dan petani yang tidak memiliki tanah bisa membangun penghidupannya dari ternak yang diberikan pemerintah. Jalan ini akan menjamin kecukupan pangan bagi penduduk desa dan juga ketersediaan pangan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Skema pengalihan subsidi pupuk kimia

Skema yang dipresentasikan Deptan ketika mengusulkan pengalihan subsisi pupuk kimia adalah, setiap pusat pengelolaan pupuk organik desa akan didukung dengan penyediaan 35 ekor sapi, alat pengolah dan bantuan langsung. Sapi-sapi tersebut akan menghasilkan produk yang bisa langsung dijual (susu, daging), produk olahan susu dan daging, dan tentu saja pupuk organik (kompos dari kotoran sapi). Skema pengalihan pupuk kimia menjadi pupuk organik akan meningkatkan produksi pertanian karena (1) menjamin selalu tersedianya pupuk di desa, (2) manfaatnya memperbaiki mutu tanah (yang sudah rusak karena

Tabel 1. Skenario Pertumbuhan Jumlah Ternak, Pusat Pengelolaan Pupuk Organik Desa, Jumlah Kotoran Ternak, dan Potensi Lahan Berkecukupan Pupuk Organik. Parameter

2010

Jumlah Sapi

350.000

1.050.000

2.450.000

5.250.000

Jumlah Desa

10.000

20.000

30.000

40.000

Jumlah Pusat Pengolahan Pupuk Organik Desa

10.000 1.3 juta

30.000

70.000

150.000

3.8 juta

9 juta

0.8 juta 127.750

2.3 juta 383.250

5.4 juta 894.250

Jumlah Kotoran Sapi Diproduksi (ton)* Jumlah Kompos Diproduksi (ton)** Potensi Lahan Tercukupi Pupuk Organik (Ha)***

2011

* 1 ekor sapi rata-rata menghasilkan kotoran 10 kg per hari ** 1 kg kotoran sapi basah diperkirakan bisa menghasilkan 0.6 kg kompos *** Rata-rata kebutuhan pupuk organik per hektar adalah 6 ton per hektar 34

Maret 2010

2012

2013

2014

2015

2016

10.850.000

22.050.000

44.450.000

50.000

60.000

70.000

310.000

630.000

1.270.000

19.2 juta

39.6 juta

80.5 juta

162.3 juta

11.5 juta 1.916.250

23.8 juta 3.960.250

48.3 juta 8.048.250

97.4 juta 16.224.250


ADVOKASI

Pengalihan Subsidi Pupuk Kimia

untuk Pusat Pembuatan Pupuk Organik Desa Oleh: Sabastian Eliyas Saragih

K

eputusan penting diambil DPR RI periode 2004—2009 di akhir masa jabatannya. Subsidi pupuk yang sejak zaman Orde Baru diberikan kepada pabrik pupuk, disetujui sebesar 35,4 persen atau Rp 6,2 triliun didistribusikan langsung kepada petani. Bentuknya berupa alat pengolahan pupuk organik, pengadaan sapi, dan bantuan langsung. Subsidi langsung ini untuk tahun anggaran 2010 akan dialokasikan di 10.000 dari 70.000 desa yang terdapat di Indonesia. Deptan menyebutkan, setiap desa pengelola pupuk organik akan mendapatkan 35 ekor sapi yang kotorannya akan menjadi bahan baku pupuk. Sayangnya ketika Presiden RI mengumumkan APBN Tahun 2010 di akhir masa jabatannya, pengalihan subsidi ini dimaknai sebagai pengurangan subsidi pupuk. Itu berarti tidak ada dana yang bisa dialihkan untuk mengembangkan pusat pembuatan pupuk organik desa. Tulisan ini bertujuan menggerakkan para penggiat pembangunan pedesaan untuk mengadvokasi kembalinya anggaran subisidi untuk pengembangan pusat pembuatan pupuk organik desa.

Pengalihan subsidi: penguatan dan kedaulatan petani

Keputusan mengalihkan subsidi pupuk kimia untuk mengembangkan pusat pembuatan pupuk organik desa adalah langkah strategis luar biasa. Strategis karena: (1) subsidi langsung diberikan kepada petani dan (2) yang dikembangkan adalah industri yang menjamin kelestarian alam serta kedaulatan petani. Belum pernah sepanjang sejarah pemberian subsidi pupuk di Indonesia, subsidi secara langsung diberikan kepada petani. Subsidi selama ini selalu diberikan kepada pabrik pupuk. Pemerintah membayar kepada perusahaan pupuk sebagian dari harga pupuk yang ditetapkan perusahaan. Misalnya di tahun 2008 pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 1.000 untuk setiap kg pupuk organik yang dijual PT PUSRI ke pasar. Jika harga pasar yang ditetapkan PT. PUSRI adalah Rp 1.500 maka petani dapat membeli pupuk di pasar seharga Rp 500. Pengembangan pusat pengelolaan pupuk organik di desa secara langsung juga akan mendorong berkembangnya

sektor peternakan dan pertanian yang berkelanjutan. Petani tidak perlu susah lagi menyediakan pupuk bagi lahan pertaniannya dan petani yang tidak memiliki tanah bisa membangun penghidupannya dari ternak yang diberikan pemerintah. Jalan ini akan menjamin kecukupan pangan bagi penduduk desa dan juga ketersediaan pangan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Skema pengalihan subsidi pupuk kimia

Skema yang dipresentasikan Deptan ketika mengusulkan pengalihan subsisi pupuk kimia adalah, setiap pusat pengelolaan pupuk organik desa akan didukung dengan penyediaan 35 ekor sapi, alat pengolah dan bantuan langsung. Sapi-sapi tersebut akan menghasilkan produk yang bisa langsung dijual (susu, daging), produk olahan susu dan daging, dan tentu saja pupuk organik (kompos dari kotoran sapi). Skema pengalihan pupuk kimia menjadi pupuk organik akan meningkatkan produksi pertanian karena (1) menjamin selalu tersedianya pupuk di desa, (2) manfaatnya memperbaiki mutu tanah (yang sudah rusak karena

Tabel 1. Skenario Pertumbuhan Jumlah Ternak, Pusat Pengelolaan Pupuk Organik Desa, Jumlah Kotoran Ternak, dan Potensi Lahan Berkecukupan Pupuk Organik. Parameter

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

Jumlah Sapi

350.000

1.050.000

2.450.000

5.250.000

10.850.000

22.050.000

44.450.000

Jumlah Desa

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

Jumlah Pusat Pengolahan Pupuk Organik Desa

10.000 1.3 juta

30.000

70.000

150.000

310.000

630.000

1.270.000

3.8 juta

9 juta

19.2 juta

39.6 juta

80.5 juta

162.3 juta

0.8 juta 127.750

2.3 juta 383.250

5.4 juta 894.250

11.5 juta 1.916.250

23.8 juta 3.960.250

48.3 juta 8.048.250

97.4 juta 16.224.250

Jumlah Kotoran Sapi Diproduksi (ton)* Jumlah Kompos Diproduksi (ton)** Potensi Lahan Tercukupi Pupuk Organik (Ha)***

* 1 ekor sapi rata-rata menghasilkan kotoran 10 kg per hari ** 1 kg kotoran sapi basah diperkirakan bisa menghasilkan 0.6 kg kompos *** Rata-rata kebutuhan pupuk organik per hektar adalah 6 ton per hektar 34

Maret 2010


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.