BOULEVARD/KHALILAN
BOULEVARD 74 FEBRUARI 2013 visi
Berbelit-belit Hingga Terbelit...5
LAPORAN UTAMA “Kami Merasa Dizalimi”
Kisah PKL Dayang
Saya adalah PKL yang selama puluhan Sumbi tahun berjualan di tempat ini. NaBerbagai upaya telah mun, kenapa sekarang kami digusur dilakukan untuk menemudengan paksa seperti ini?...18 kan titik cerah bagi konflik Infografis: Kronologi Penertiban ini. Jadi, bagaimanakah akhir kisah PKL Dayang PKL Dayang Sumbi...21 Sumbi?...22
Dilematika Kami, Mahasiswa
“Menurut saya semua yang ada di sini butuh pengorbanan. Bahkan posisi kita serba salah.”...24
Bukan Mau Menzalimi, Tapi...
Keberadaan PKL yang menetap membuat kota tampak kumuh dan semrawut. Seharusnya tidak ada toleransi lagi dan harus dibongkar...26
BOULEVARD/DINDA
KILAS Membangun Infrastruktur Sanitasi melalui Desa Mitra...7 ITB Tuan Rumah IVED 2013...7 Sumpah Pelupa yang Membuat Lupa Waktu...8 Gaung Bandung: Semangat Konservasi...9
Surat pembaca...10 Karikatur...11 Galeri...12
...8
...9
KAMPUS Sistem Pemira Berubah, Massa Kampus Gerah...29 Nymphea Membelah Diri...30 FSRD Bukan Hanya KMSR...32 Utamakan Kualitas, ITB Tiadakan Seleksi Mandiri...34 Mahasiswa Asing di ITB..36 Lab. Dopping: Proyek Kemenpora di Kampus Ganesha ...38 “...ITB ingin menerima mahasiswa yang memang minat dan memprioritaskan ITB,”
Beton-beton raksasa perlahan mulai menggantikan posisi lahan yang semula merupakan area parkir GKU Timur. Gedung Laboratorium Uji Doping, begitulah nama bangunan itu...38
ITB Sebagai Saksi Ahli
ITB kerap kali diminta untuk memberikan bantuannya terhadap masalah yang terjadi di bangsa ini. Salah satunya yaitu sebagai saksi ahli...40
-Mindriany Syafila...30 ...43
Pintar tapi Tak Beradab?...41
GELITIK Kereta Kencana ITB...43 Protokoler ITB: Ibarat Garam di Sayuran...47
KENCAN Pawang Hujan ITB: Dari Belajar Silat Hingga Menjadi Dukun Mentawai...45 (1998) Bambang Rudito bersama orang-orang Mentawai ketika setelah upacara dan akan pergi berburu...45
Buku: Sepotong Hati yang Baru...50 Film: Demi Ucok...50 Life of Pie...51 Musik: The Triangle...52 Mumford and Sons: “Babel”...54
COVER STORY
Mengurai benang kusut. Cover Boulevard #74 menampilkan ilustrasi yang menggambarkan kemelut penggusuran pedagang kaki lima Dayang Sumbi. Buruknya komunikasi antar pihak-pihak yang terkait coba Boulevard telusuri pada edisi kali ini. Ilustrasi cover: Adinda R. L. & Pandu Hutagalung
DOK. BAMBANG RUDIANTO, BOULEVARD/DINDA, AMRI
RESENSI
visi
Berbelit-Belit Hingga Terbelit Gerbang utara ITB kini tampak berbeda. Tak terlihat lagi pemandangan warung-warung pedagang yang selama bertahuntahun sangat akrab bagi para mahasiswa. Mungkin, mereka yang ketika liburan masih berkegiatan di kampus menyaksikan, atau paling tidak mendengar, peristiwa pengrobohan warung-warung pedagang kaki lima di Jalan Dayang Sumbi secara paksa yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung. Kamis itu, dengan mudahnya, buldoser menghancurkan segalanya, atap-atap yang usang, dan dinding-dinding yang rapuh. Di saat para PKL merasa panik dan berusaha menghalangi petugas menghancurkan tempat mereka meraup rejeki, para ‘penonton’ yang disinyalir pegawai ITB malah bertepuktangan kegirangan, ironis memang. PKL hanya bisa meratapi puing-puing penyisaan dari warung yang susah payah mereka dirikan. Kemelut penggusuran PKL Dayang Sumbi yang melibatkan banyak pihak mulai dari PKL itu sendiri, mahasiswa, ITB, Komite Peduli Jawa Barat, Satpol PP, Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, hingga Wakil Wali Kota Bandung tak kunjung usai. Meski telah tiga pekan lebih sejak hari eksekusi itu terjadi, solusi yang jelas mengenai nasib relokasi PKL Dayang Sumbi belum juga mencapai kesepakatan. Pelemparan tanggung jawab, miskomunikasi, dan ego masing-masing pihak semakin memperkeruh konflik ini. ITB sebagai pihak yang mengajukan permohonan penggusuran kepada Pemkot Bandung hanya berpangku tangan. Meski penggusuran ini merupakan bagian dari pendukung rencana pembangunan, ITB tetap ‘ngotot’ pada batasan tanggung jawab antara di dalam dan di luar pagar mereka. Pemkot sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam penataan dan pembinaan PKL malah kembali menyerahkan relokasi PKL kepada ITB. PKL sebagai pihak yang paling dirugikan dalam konflik ini pun sakit hati. Mereka tetap bersikukuh pada pendirian mereka terlebih karena telah mendapatkan dukungan dari Komite Peduli Jawa Barat. Sementara pihak mahasiswa berusaha menjadi penengah yang dapat memediasi semua pihak untuk duduk bersama.
BOULEVARD/DINDA
Tapi sayang, alangkah sayang, tali penghubung antar masingmasing pihak telah telanjur berbelit, rumit, dan kusut, bahkan mungkin saja terputus dan membuat dirinya terbelit. Belitanbelitan inilah yang membuat komunikasi dan pendekatan antar satu pihak dan pihak lainnya begitu buruk. Usaha yang lebih dibutuhkan untuk menguraikan kembali tali-tali yang kusut tersebut. Serta, dengan menurunkan ego dari masing-masing pihak dan mau mendengarkan, maka tak selayaknya konflik ini didiamkan berlarut begitu saja. []
5
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
Pemimpin Umum Rasmita Yulia Mutiarasari Pemimpin Redaksi Yulia Rahmawati Staf Redaksi Affina Musliha, Ahmad Z. Ihsan, Aisya Putri, Anisah, Annida Ferani Ramadhiani, Annisa Ferina Ramadhiani, Arsy Karima Zahra, Azifa Risalati, Dian Puspita Utami, Hasna Alfitra Rizki, Idham P. Mahatma, Inas Nabilah R., Intan Ganura, Ivanie Destila, Kharisma Ryan, Lathifah Z.J. Maryam Zakkiyyah, Meri Handayani, Pipit Uky Vivitasari, Rahmasari Noor Hidayah Raisa Zuhria Savitri, Rizqa Amelia Zunaedi, Rohmah Nasada Tuita, Siti Fatima, Sosiana Dwi Ningsih, Teguh Yassi Akasyah P., Warda Marisha Fithri, Windi Anarta Draniswari, Wivia Octarena Redaktur Artistik Adinda Restu Larasati Staf Artistik Afifah Husnul Amaliah, Agita Ratna, Ahmad Faiz I., Amri Ramadhan, Anas Zakaria, Arum Adiningtyas, Khalilan Lambangsari, Pandu Hutgalung
Staf Perusahaan Ali, Akhmad Syaifullah Faiz, Khalid Adil, Moza Adidharma, Rizky Rahmany, Sylvanita Fitriana, Winda Intan Sari Gedung Eks UPT Olahraga Lt. 2 Jalan Ganeca 10 Bandung 40132 Email mail@boulevarditb.com Website http://www.boulevarditb.com Twitter: @boulevarditb Untuk iklan: Dita (081807861571) ISSN 08546703
BOULEVARD/GALUNG
Pemimpin Perusahaan Annisa Anindita
kilas
Membangun Infrastuktur Sanitasi Melalui Desa Mitra Tanggal 22 dan 23 Desember 2012 lalu, Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) ITB menyelenggarakan acara puncak sekaligus penutupan dari rangkaian acara Desa Mitra 2012 yang telah berjalan sejak Juni 2012. Program Desa Mitra tersebut diadakan di RW 2 dan RW 3 Desa Kidang Pananjung, Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Kegiatan yang diikuti oleh lebih dari 200 massa HMTL ini merupakan yang kedua kalinya setelah kegiatan ini pertama dilaksanakan pada tahun 2010 di lokasi yang sama. Program Desa Mitra merupakan bentuk pengabdian langsung dari mahasiswa Teknik Lingkungan ke desa-desa melalui pembangunan infrastruktur-infrastruktur sanitasi dan penyuluhan serta sosialisasi tentang hal-hal mengenai lingkungan. “Tujuannya yaitu untuk memberi manfaat kepada warga desa sekaligus memberi manfaat kepada massa HMTL juga,” tutur Tito Ariwibowo (TL’10), selaku ketua Desa Mitra 2012. “Untuk massa himpunan manfaatnya bisa berupa terbukanya jiwa kepengmasan dari tiap-tiap mahasiswa,” tambahnya.
Pada Desa Mitra 2012 ini, hal-hal yang dilakukan antara lain membangun fasilitas MCK umum bagi masyarakat sekitar, membuat tempat penampungan air dengan tujuan agar warga tidak kehabisan pasokan air saat musim kemarau tiba, serta melakukan penyuluhan-penyuluhan tentang permasalahan lingkungan kepada warga sekitar dan sosialisasi mengenai cara-cara perawatan dan pemeliharaan infrastruktur sanitasi yang telah dibangun. Kegiatan Desa Mitra 2012 ini mulai berjalan sejak Juni 2012, sedangkan pembangunan infrastruktur sanitasinya sendiri baru dimulai November 2012 dan akhirnya rampung pada 23 Desember 2012. [annisa]
DOK. DESA MITRA/MAHESA GILANG
ITB TUAN RUMAH IVED 2013 Pada 11-16 Januri 2013, kompetisi debat English nasional paling akbar di Indonesia, IVED (Varsities English Debate) berlangsung di ITB. Kegiatan ini diselenggarakan oleh unit debat mahasiswa Student English Forum (SEF) ITB. Kali ini merupakan yang ketiga kalinya ITB ditunjuk menjadi tuan rumah IVED. Tidak ada yang unik dalam pelaksanaan IVED kali ini, semua peraturan dan sistematikanya masih sama seperti pelaksanaan IVED sebelumnya. Hanya saja fasilitas yang disediakan telah diupgrade, mulai hiburan, bintang tamu, pelayanan hingga hotel yang lumayan berkelas, dan tentunya diimbangi oleh biaya yang sesuai bagi para peserta. “Tidak ada yang unik memang dalam IVED ini, cuma diupgrade. Acaranya dipastikan on time. Selain itu, hotel yang disediakan cukup membuat peserta bilang ‘wah’, ya pokoknya lumayan lah, selain itu kita juga berusaha menampilkan kesan keramahan
kota Bandung bagi peserta,” tutur Andika Nugraha, Ketua Panitia IVED. IVED kali ini diikuti oleh 66 tim utama dan pemula dari berbagai universitas di Indonesia. Masingmasing tim beranggotakan tiga orang. Tidak ada tema umum dalam acara ini. Topik debat ditentukan oleh juri beberapa saat sebelum pelaksanaan debat. Baik tim utama maupun pemula semuanya dipertemukan dalam babak penyisihan. Pada tiap ronde ada satu tim pro dan satu tim kontra yang berdebat. Setelah diseleksi, para finalis dikelompokkan dalam tim utama dan knockouts pemula. Pada akhir acara IVED ini, tim dari Binus Internasional yang terdiri atas Andrew Sadeli, Invi Atmanegara dan Jaran Walia keluar sebagai juara tim utama. Untuk kategori pemula dimenangkan FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
7
kilas
oleh tim dari Universitas Binus, terdiri atas Junario Wibawa, Kelvin Wongso, dan Maulana Nofrimurti. Tim juri diketuai oleh Kirana Kania mahasiswi ITB yang pernah menjadi juara IVED tahun 2010 dengan anggotanya Boby Andika (UI), Cindy Fransisca (Atma Jaya) and Edward Sutanto (Undip) yang semuanya juga pernah berpengalaman dalam IVED. Dalam kompetisi ini, ITB berhasil meraih juara dua untuk kategori pemula yang terdiri atas Ginani Hening Utami, Dara Indira, dan Hafidz Adi. Mereka semua adalah mahasiswa TPB, angkatan 2012. Hasil ini memang kurang memuaskan dibandingkan prestasi yang pernah diraih ITB saat menjadi tuan rumah IVED pada tahun 2010. Namun, yang cukup membanggakan adalah kesuksesan pelaksanaan even ini di ITB. Panitia berhasil mengundang Reggy Hasibuan seorang debater terkenal sebagai pembicara dalam kegiatan ini. []
Sumpah Pelupa yang Membuat Lupa Waktu “Awal masuk lima lima juta. Tiap semester bayar lima juta. Tapi sayang fasilitasnya. Tiap malam toilet tutup semua”
Itulah salah satu penggalan pantun yang mampu meramaikan seisi ruangan Aula Barat pada malam 30 November 2012. Acara yang digelar malam itu merupakan “Maen Gedhe Loedroek ITB” kedua di tahun 2012. Pagelaran kali ini mengusung judul “Sumpah Pelupa” yang terinspirasi dari kisah Kerajaan Majapahit. Ada beberapa rangkaian acara pembuka sebelum dimulainya acara puncak, yaitu kuis interaktif dan penampilan dharma wanita loedroek ITB.
8
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
Puncak acara dari pagelaran ini adalah “Sumpah Pelupa” yang dimulai pukul 21.37. terlihat banyak penonton yang tidak bergeming untuk pulang meskipun hari sudah malam. “Maen Gedhe Loedroek ITB” mampu menghipnotis seluruh penonton dengan penampilan dan guyonan terbaik mereka. Di akhir acara, sekitar pukul 23.30, kemeriahan semakin bertambah dengan sambutan tepuk tangan dari penonton. [winda]
kilas
Gaung Bandung Gaung Bandung merupakan rangkaian yang diselenggarakan Ikatan Mahasiswa Arsitektur Gunadharma (IMA-G) dalam rangka ulang tahun yang ke-61. Menurut Praditta Pursadin, Ketua Gaung Bandung, tema Dies kali ini adalah kota, sehingga difokuskan pada konservasi. Rangkaian acara Gaung Bandung terbagi dalam 3 tahap yaitu tahap pengenalan dan pembekalan, tahap perencanaan, dan tahap selebrasi. Sesi pertama dari acara ini adalah jelajah heritage. Pada jelajah heritage, peserta diajak berkeliling di Braga dan sekitarnya untuk mengenal bangunan bangunan tua yang ada disertai penjelasan singkat mengenai bangunan tersebut. Acara selanjutnya adalah workshop pengukuran. Gedung yang diukur beberapa titik, dan menerangkan trivia tentang adalah Gedung Gas Negara yang merupakan salah titik-titik tersebut. Acara selanjutnya adalah satu bangunan heritage di Kota Bandung. workshop redesign. Peserta workshop diminta untuk mengubah bangunan lama Gedung Gas Negara agar Workshop pengukuran ini terdiri dari survey dan menjadi lebih baik dari segi fungsi tanpa mengubah pengukuran, pencarian data (sejarah), wawancara muka bangunan. dengan warga sekitar, dan dokumentasi foto yang outputnya berupa sketsa tangan, gambar 3D, foto, Hasil dari workhop ini juga di pamerkan pada dan tulisan yang akan dipamerkan pada pameran pameran karya. Pameran karya diadakan di Gedung karya dan diterbitkan menjadi sebuah buku. Gas Negara pada tanggal 12–18 November 2012. Pameran karya yang berjudul Bandung Ngab(a)raga Pameran ini berisi hasil workshop pengukuran juga dilakukan di Gedung Gas Negara. dan redesign, lukisan lukisan, foto foto, juga instalasi karya mahasiswa FSRD ITB. Pameran karya Acara Ketiga adalah speaking building. Speaking ini dikemas dengan menarik, sehingga banyak building adalah acara jalan-jalan di mengelilingi dikunjungi oleh warga sekitar dan masyarakat ITB, yang dipandu dengan suara. Suara tersebut umum yang sedang mengunjungi Braga. [agita] akan membawa peserta untuk berhenti pada
Untuk berita kilas lainnya seperti: GMTT Dies PSM Dan lainnya bisa dilihat di www.boulevarditb.com
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
9
surat pembaca
LATAH Tak ada yang salah dengan pengabdian masyarakat yang dilakulan peserta kaderisasi himpunan mahasiswa jurusan yang monoton, tidak tepat sasaran atau terkesan gagahgagahan saja. Niatnya baik. Menolong orang yang sedang susah dan meningkatkan sense of humanity mereka. Tak ada yang salah dengan rebut-ribut penggusuran PKL gerbang belakang. Tidak ada yang salah dengan pro-kontra pembatasan parkir bagi kendaraan mahasiswa. Semua hanya masalah perbedaan sudut pandang dan nilai-nilai yang dianut masing masing pihak. Yang salah adalah kita begitu latah atas apaapa yang terjadi khususnya disekitar kampus. Latah ikut-ikutan membuat pengabdian masyarakat ketika himpunan sebelah mengadakan hal serupa. Latah bersuara saat ada PKL digusur atau latah saat ibu-ibu renta terjatuh pingsan lalu memberi komentarkomentar iba. Latah mengomentari Farhat Abass atau Roma Irama yang ingin menjadi calon presiden. Latah mencaci Roy Suryo yang menjadi Menpora. Latah dalam artian kini kita tak lagi berfikir kenapa ini begini dan kenapa itu begitu. Tak lagi memikirkan akibat dari sikap atau komentar mereka. Lebih jauh, kita juga lupa berfikir landasan atau rasionalisasi sikap atau komentar kita. Latah dalam artian kita ingin ikut-ikutan. Latah menolak karena kita ingin dibilang berbeda. Latah karena ingin dibilang keren saja. Latah tanpa tahu alasan dibalik semua itu. Bahkan, latah tanpa tahu mengapa kita begitu.
Alvaryan Maulana 15410054
KETERBATASAN DAN KETIDAKMAMPUANKU Aku datang dengan istilah calon pemimpin bangsa. Sebuah sebutan yang belum pernah terpikirkan olehku yang notabene lulusan dari sebuah SMA kecil di Jawa Tengah. Jangankan calon pemimpin bangsa, calon pemimpin daerah asal pun belum pernah BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
terpikirkan olehku. Di kampung, banyak orang di sekelilingku yang menaruh harapan pada bakal calon ini kelak. Dengan ikhlas, mereka berdoa agar kelak aku menjadi ‘orang’. Tujuh semester telah aku lalui dengan penuh cerita di kampus ini. Cerita dengan berbagai label calon-calon lainnya yang tak pernah ketinggalan jaman. Dari calon menteri sampai pemimpin global. Dari calon manager hingga calon direktur utama. Dari calon konsultan hingga manantu idaman. Segalanya indah, seperti seakang tinggal ku pilih label calon itu seperti aku mampu menggantikan mereka. Namun kini aku menyadari benar jika aku hanya beruntung bisa di sini. Apakah pantas seorang dengan label beruntung mengemban label calon-calon itu? Tak terhitung jumlah orang yang berkata Tri Dharma di depanku tuk menjejalkan paham calon-calon padaku. Demikian pun aku, aku melakukan hal itu pada orang yang lebih muda satu, dua, tiga, bahkan empat tahun di bawahku, sementara aku tahu benar baik mereka atau pun aku hanya mengikuti sebuah kungkungan budaya tanpa tahu betapa beratnya beban calon-calon itu. Kini aku ingin jujur, aku ingin bertanya. Apa aku mampu menjadi calon-calon itu? Sementara akademikku pas-pasan dan cenderung kelas bawah. Dengan jumlah SKS yang hampir aku penuhi di tahapan sarjana ini pun aku belum mampu melakukan apa-apa di daerah asalku, keluargaku, pihak yang seharusnya memetik manfaat terbesar dari kepergianku di tanah ganesha. Aku malu melihat diriku yang berapi-api ketika mengkritik, berkomentar, dan berkoar-koar di ranah keidealan sistem bangsa dari sudut pandang segala idealisme ala mahasiswa, sementara tak ada jaminan sedikit pun yang aku punya tuk bisa menggantikan mereka lebih baik. Aku malu pada tangis ayahku ketika menyetrika jamalku di bulan Juli 2009. Sungguh ku malu akan segala ketidakmampuanku tuk menjadi insan yang bermanfaat. Mengapa aku kuliah di sini? Mengapa kau pilih orang dengan keterbatasan seperti aku tuk mengemban kata calon ini? Akan jadi apa aku kelak? Aku terlalu malu jika hidupku kelak tak mampu berguna tuk bangsa dan negara ini. Luhur Setyo Pambudi 13309008
ILUSTRASI: AFIFAH H.A.
karikatur
“Horeee, Paket A! Untung belum penuh.”
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
galeri
High Jump Swimmer. Irfan Muhammad sebagai perwakilan TERRA dalam pertandingannya pada renang gaya kupu nomer 50 meter. Foto oleh: Khalilan Lambangsari
galeri
The Struggle. Lomba atletik putra pada cabang lari sprint 100 meter ini diikuti oleh 20 himpunan. Setelah melewati babak penyisihan, Gilang Fikriano dari HMS akhirnya mampu mencapai garis finish dengan perolehan waktu 12.47 detik Foto oleh: Khalilan Lambangsari
Kondisi lapak PKL Dayang Sumbi seminggu setelah penertiban yang dilakukan pada tanggal 10 Januari 2013 Foto oleh: Khalilan Lambangsari
INTR LAPU
RO UT
laporan utama
BOULEVARDITB/IVANIE
laporan utama
“ Kami Merasa Dizalimi” Oleh Ivanie Destila Sari
Saya adalah Dede Muad, salah satu pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini berjualan di gerbang utara ITB, atau biasa disebut PKL Dayang Sumbi. Selama puluhan tahun, saya dan istri saya, meraup rejeki untuk makan kami di tempat ini. Tetapi kini, dengan kejam orang-orang tanpa hati nurani itu menghancurkan tempat kami berjualan. Saya masih ingat, dulu sepulang sekolah, saya biasa bermain bersama teman-teman saya disini. Ya, ITB ibarat surga tempat bermain bagi kami, anak pedagang kantin. Kami biasa mencari kenari yang buahnya tak seberapa, tapi itu adalah hal yang sangat mengasyikan. Apalagi setelah lelah bermain, kami tinggal menghampiri orang tua kami, minta makan karena lapar. Tapi tak jarang pula saya harus membantu orang tua terebih dahulu sebelum dibolehkan bermain. Sejak tahun 1967 orang tua saya berjualan di kantin ITB tepatnya di Geologi, pernah pula si sekitar Seni Rupa, dimana-mana, berpindah-pindah. Suatu hari di tahun 1983 sebuah kebijakan pejabat
ITB mengubah hidup kami. Ya, tidak boleh ada pedagang di lingkungan dalam kampus ITB. Dengan kata lain, orang tua saya ‘diminta’ keluar. Seluruh hidup kami berubah. Orang tua saya tidak memiliki keterampilan lain selain menjadi pedagang, kami tidak punya uang. Orang tua saya mencoba tetap menghidupi saya dan keluarga. Ayah saya menjadi kuli bangunan. Namun menjadi kuli tidak bisa setiap hari, hanya saat ada pekerjaan saja. Nasib kami tidak jelas, untuk makan saja orang tua harus menjual pakaian terlebih dahulu, menjual apapun yang kami punya. Hingga keputusan paling berat namun harus saya terima dengan lapang dada adalah saya harus putus sekolah. Dua tahun setelahnya, tahun 1985, orang tua saya mencoba peruntungan nasib dengan berjualan di luar kampus ITB tepatnya di gerbang utara, Jalan Dayang SUmbi. Waktu itu ada sekitar 12 orang yang berjualan di gerbang utara ITB. Orang tua saya berjualan bakso dan es. Karena putus sekolah, saya membantu orang tua berjualan. Tingga tahun 1987, saat saya mulai besar, saya diberi tempat berjualan oleh orang tua saya. Saya diberi lapak bakso, kakak FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
19
laporan utama
Kehidupan saya terus berjalan hingga akhirnya saya menikah dan memiliki anak. Dengan demikian, beban hidup semakin makin berat. Saya memutuskan untuk mencoba menjadi kenek angkot Caheum-Ledeng. Saya meminta izin untuk latihan menyupir walau tidak dibayar. Yang terpenting bagi saya adalah mempunyai keahlian yang suatu saat mungkin dapat berguna. Sementara itu, istri saya terus berjualan es di Dayang Sumbi. Tidak hanya itu di tahun 1999, saya mencoba peruntungan dengan membuka usaha kolam ikan di Cirata. Namun baru satu tahun berjalan, saya mendapat cobaan. Semua ikan saya mati karena cuaca yang buruk. Saya menelan kerugian yang amat sangat banyak. Saya memutuskan untuk menjual kolam ikan tersebut dan mencari tempat usaha lain, namun ternyata tidak dapat. selepas itu saya menganggur. Saya tidak tahu mau kemana. Mungkinkah rejeki saya memang hanya ada di Dayang Sumbi? Akhirnya, saya memutuskan untuk kembali. Dari modal sisa dan hasil tabungan selama ini dan dengan tekad meningkatkan taraf hidup, saya membuka lapak tambal ban. Setelah sebelumnya juga pernah belajar cara menambal ban, saya pun yakin dan mantap untuk membuka lapak tambal ban. Awalnya saya menawarkan jasa dengan gerobak dorong namun beberapa kali gerobak itu ambruk di perjalanan dari rumah di Siliwangi tepat di depan gerbang ITB. Akhirnya, saya memutuskan untuk menetap. Saya membuka lapak tambal ban tepat di samping gerbang. Namun cobaan kembali datang, ditahun 2002 gerbang tersebut ditutup. Pengguna jasa saya berkurang, tapi saya percaya pasti ada saja nanti orang yang membutuhkan jasa ini, mungkin orang yang kebetulan lewat. Saya pun tetap melanjutkan usaha ini.
20
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
Sebenarnya menjadi PKL bukan keinginan saya. Saya pun ingin meningatkan taraf hidup saya. Hanya dengan menjadi PKL, saya gagal menamatkan sekolah anak saya. Saya sedih karena dia harus bernasib sama dengan saya. Hingga akhirnya peristiwa itu terjadi. Tanggal 10 Januari 2013, kendaraan berat menghancurkan sumber penghidupan saya dan PKL lainnya. Lapak yang saya gunakan untuk mencari nafkah sejak awal hancur rata dengan tanah. Tidak ada barang tersisa termasuk piring dan gelas. Saya tidak pernah menyangka akan diperlakukan seperti ini. Kerugian yang saya alami sangat besar, hampir 20 juta Rupiah. Saya merasa dizalimi. Sementara itu, tidak ada yang membela saya dan pedagang lainnya. Saya tidak tahu kemana perginya mahasiswa. Padahal dahulu, mahasiswa ITB selalu lah menjadi yang terdepan. Saya juga bertanya-tanya kenapa tidak pernah ada sosialisasi terkait hal ini, terutama dari pihak ITB? Apakah pihak ITB merasa jijik pada kami? Padahal saya masih ingat dulu di tahun 90an, kami, PKL Dayang Sumbi, diperlakukan dengan baik oleh mereka dan juga para mahasiswa. Bahkan, mereka sempat beberapa kali memberikan pendidikan kepada kami mengenai penyuluhan kebersihan berjualan. Kami diajari cara memasak, dibina tentang bagaimana cara melayani tamu, dan menyajikan gelas pada pembeli, bahkan kami dibimbing untuk tidak merokok sambil berjualan. Tapi itu dulu, sekarang mungkin kami tidak berarti apa-apa lagi. Padahal mungkin pejabat tinggi ITB sekarang ini dulunya pernah makan disini. Saya yang diamanahi sebagai wakil ketua PKL Dayang Sumbi tidak tahu lagi harus kemana. Isu bahwa kami sepakat untuk direlokasi ke saraga itu tidak benar. Sementara itu kami tetap butuh makan. Dari mana kami mendapat uang untuk beli makan? Yang tersisa hanya tabungan kami yang tidak seberapa. []
BOULEVARDITB/IVANIE
saya diberi lapak es, sementara orang tua membuka lapak rumah makan padang.
PENERTIBAN PKL D AYA N G S U M B I
KRONOLOGI
INFOGRAFIS: DINDA
laporan utama
Kisah PKL Dayang Sumbi Oleh Rizky Rahmany
Peringatan mengenai penggusuran PKL tersebut memang bukan hal yang baru bagi para PKL Dayang Sumbi tersebut. Sudah sejak awal mereka berdiri memang selalu ada peringatan akan keberadaan mereka yang dianggap mengganggu kelancaran lalu lintas. Tepatnya pada 25 Juli 2012, awal panasnya isu penggusuran ketika keluar surat undangan sosialisasi kepada PKL dari Pemda. Keluarnya surat tersebut merupakan peringatan bahwa kawasan Dayang Sumbi merupakan kawasan yang termasuk zona merah (zona tidak diperbolehkannya aktivitas berdagang). Diklaim oleh pihak Pemda bahwa keberadaan PKL Dayang Sumbi merupakan sumber pemicu kemacetan karena dengan demikian menyebabkan menyempitnya lahan berlalu lintas. Pihak PKL menyatakan bahwa sumber utama kemacetan bukan berasal dari keberadaan PKL, padahal PKL sudah menyiapkan lahan untuk parkir motor para mahasiswa dengan memberikan tali pembatas untuk lahan parkir namun terdapat tukang parkir liar yang seenaknya memberi ke-legal-an untuk
22
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
parkir di daerah yang menyebabkan alur lalu lintas terganggu. Titik panas terjadi ketika Surat Peringatan 1 (SP 1) terbit, pada tanggal 26 November 2012, yang menghimbau akan adanya penggusuran secepatnya terhadap PKL Dayang Sumbi. Tak jelas latar belakang keluarnya SP 1 tersebut hingga pihak PKL mencari tahu ke berbagai pihak dari mulai Lembaga Kemahasiswaan ITB, kantor kecamatan, hingga Pemda, namun tak ada jawaban yang menjelasakan dan alasan yang sah. Banyak keganjilan yang terjadi sesaat sebelum terjadinya penggusuran pada tanggal 10 Januari 2013, dari mulai keluarnya SP 1 hingga tiga buah SP yang menyusulnya sebelum penggusuran terjadi. Pada fase itu didapati berbagai peristiwa seperti terjadinya penodongan pistol terhadap tukang batagor oleh sorang asing yang keluar dari mobil plat B. Ada pula ‘permainan’ dari orang dalam PKL yang dicurigai sebagai agen bayaran dari rencana penggusuran tersebut dan banyak lagi kejadiankejadian yang dianggap sebagai peristiwa tidak rasional. Setelah hari penggusuran terjadi, PKL dan Komite Peduli Jawa Barat (KPJB) mencoba mencari kebijakan dan keadailan dari pihak-pihak yang terkait peristiwa tersebut. Sudah dilaksanakannya
BOULEVARDITB/KHALILAN
PKL Dayang Sumbi merupakan PKL yang telah berdiri lebih dari 30 tahun dan memiliki banyak sejarah dan romantisme tersendiri bagi para pelanggannya yang kebanyakan merupakan mahasiswa ITB. Hingga tiba hari ketika semua sejarah yang terukir antar pedagang dan mahasiswa sirna diberantas oleh kendaraan liar satpol PP pada 10 Januari 2013 lalu.
laporan utama
sekitar 3 kali sosialisasi bersama pihak Pemda dan camat, namun tetap tak ada solusi kongkrit terhadap PKL. Alokasi yang diwacanakan pun hanya sekedar wacana. Hingga tiba suatu hasil penelusuran bahwa rancangan penggusuran tersebut merupakan rencana yang digagas pihak rektorat ITB. Pihak rektorat hingga kini tak ingin ambil pusing terhadap nasib para PKL meskipun KM-ITB dan beberapa pihak terkait telah mencoba untuk mengadvokasikannya.
Ia juga menolak tegas bahwa tutupnya gerbang utara ITB bukan dimaksudkan untuk menghalangi pasar PKL. “Gerbang utara ditutup dimaksudkan untuk pembangunan gedung baru agar jalan di belakang kampus menjadi lebih kondusif. Kalaupun itu terjadi, itu cuma efek sampingnya,” ujar Allis.
Upaya duduk bersama telah coba dilakukan, antara pemkot, PKL, ITB, ataupun mahasiswa. Berbagai solusi, termasuk yang diusulkan oleh KM-ITB, telah dicanangkan seperti relokasi ke dalam ITB, ke Saraga, hingga ke Gelap Nyawang. Dari solusi tersebut, belum ada satu pun yang disepakati oleh semua pihak. Ketika sudah ada rencana untuk pemindahan ke Saraga dan telah disepakati oleh pemkot serta ITB, PKL malah tidak dapat menerimanya karena menurut mereka di Saraga pasar mereka akan turun drastis. Hingga artikel ini diturunkan, belum ada kesepakatan yang jelas tetang bagaimana nasib PKL ini ke depannya. Menurut PKL, yang diwakili oleh Dede Muad, mereka tidak akan bersedia direlokasi sebelum kejelasan tentang relokasi itu ada. “Bagaimana kami mau pindah jika tidak jelas dipindahkan kemana, belum ada tempatnya. Kami sudah kehilangan banyak dari penggusuran ini,” ujar Dede. Menurut Dede, PKL Dayang Sumbi akan tetap berjualan di gerbang utara ITB hingga ada rencana relokasi yang benar-benar jelas. Terlebih, menurut Dede, Wakil Wali Kota Bandung sekaligus Ketua Satgas Khusus Penataan dan Pembinaan PKL telah
mempersilahkan PKL Dayang Sumbi jika ingin berjualan. Kini, PKL telah membangun bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat mereka berjualan kembali di tempat yang sama.
Pembangunan kembali tempat berjualan PKL diusungkan oleh mahasiswa Seni Rupa ITB. Tak hanya menyumbang desain, mereka juga membantu PKL dalam membangun tempat berjualan tersebut. Bagi Bhatara (Seni Rupa 2010), ia mengaku sudah terlanjur sayang pada PKL dan ingin mendirikan lagi keadailan di depan spanduk bertuliskan “Bandung Bermartabat” yang terletak tepat di depan jalan Dayang Sumbi. Bhatara akan terus memperjuangkan hak PKL walau nasib akademisnya terancam, dan dia mengaku muak dengan anak-anak ITB yang hanya besar di bicara dan tidak pernah menggunakan hatinya dalam mengambil keputusan. Bagi Bhatara, apa yang ia nilai benar akan diperjuangkan hingga tetes keringat terkahirnya. Sementara dari pihak ITB, Allis Nurdini, Kasubdit Program Direktorat Pengembangan ITB, menuturkan bahwa untuk saat ini ITB tidak akan melakukan apaapa terkait masalah PKL Dayang Sumbi. Menurutnya, masalah ini seharusnya menjadi wewenang Pemkot. Ia juga menolak tegas bahwa tutupnya gerbang utara ITB bukan dimaksudkan untuk menghalangi pasar PKL. “Gerbang utara ditutup dimaksudkan untuk pembangunan gedung baru agar jalan di belakang kampus menjadi lebih kondusif. Kalaupun itu terjadi, itu cuma efek sampingnya,” ujar Allis. Meski demikian, kita tidak dapat memprediksikan apa yang akan terjadi kedepannya, dan tulisan ini merupakan saksi sebuah dilematika antara hukum dan keadilan, khususnya di negeri ita ini. []
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
23
laporan utama
Dilematika Kami, Mahasiswa Oleh Yulia Rahmawati
Sebagai mahasiswa ITB, terlebih mahasiswa bagian belakang, tentunya kalian pernah merasakan makan di PKL Dayang Sumbi. Pedagang-pedagang yang senantiasa memenuhi kebutuhan makan mahasiswa ITB selama puluhan tahun dengan harga yang sangat terjangkau. Kini mereka terlantar, berharap mahasiswa bisa menjadi garda terdepan yang membela mereka. Lalu, apa yang dilakukan mahasiswa?
PKL bersikukuh mempertahankan tempat mereka berjualan dan baru bersedia dipindah jika semua rencana relokasi sudah jelas. Oleh karena itu, Kabinet KM-ITB berusaha untuk memperjuangkan kejelasan dari rencana penggusuran dan nasib PKL ke depannya. “Kita udah ngehubungi dari ITB, dari Pemkotnya,
24
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
Satpol PP, Distarcip, KUKM. Ketika kita minta informasi dari pihak tadi, nggak ada yang merasa bertanggung jawab untuk memberikan sosialisasi mengenai pemindahan,” ujar Ridzki Januar Akbar (PL’08), Menteri Kebijakan Daerah Kabinet KM-ITB. Beranjak bulan Desember 2012, PKL Dayang Sumbi menerima Surat Peringatan ke-3. Saat itu, Kabinet KM-ITB langsung mengumpulkan para ketua himpunan untuk membicarakan mengenai sikap KM-ITB. Pada forum yang di adakan di HMP Pangripta Loka tersebut, sosialisasi mengenai kondisi terkini mengenai kasus PKL Dayang Sumbi dilakukan. Semua sepakat bahwa masing-masing pihak memiliki porsi kesalahan dalam kasus ini. “Kita nggak ingin membela siapapun, tapi kita berusaha mencari win-win solution,” tambah Ridzki.
BOULEVARDITB/DINDA
Isu mengenai penggusuran PKL Dayang Sumbi, gerbang utara ITB, telah terdengar sejak November 2012. Kabinet KM-ITB mendapatkan informasi bahwa PKL Dayang Sumbi telah mendapatkan Surat Peringatan penertiban PKL. Kala itu, Surat Peringatan (SP) yang turun baru lah yang pertama sehingga PKL masih diberikan kesempatan untuk membongkar tempat mereka jualan sendiri tanpa bantuan Satpol PP. Setelah melakukan komunikasi dengan Kongres, Kabinet KM-ITB sepakat untuk mendampingi PKL Dayang Sumbi.
laporan utama KM-ITB berusaha mengundang pihak ITB, Pemkot, dan PKL untuk duduk bersama dan menjelaskan rencana dan ekspektasi masingmasing pihak, sebelum dilakukan penggusuran. KM-ITB juga menuntut kepada ITB dan Pemkot untuk mengadakan sosialisasi terlebih dahulu kepada PKL. Namun, pihak ITB dan Pemkot menolak mengadakan sosialisasi karena merasa tidak memiliki kewenangan untuk itu. Kedua pihak ini saling tunjuk dan melempar tanggung jawab. Ketika diawal bulan Januari 2013 muncul kabar bahwa pembongkaran akan dilakukan 10 Januari 2013, Kabinet KM-ITB mengkonfirmasi isu tersebut kepada Wakil Wali Kota yang sekaligus Ketua Satgasus Penataan dan Pembinaan PKL, kemudian Satpol PP dan Distarcip (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya). Terdapat kesimpang siuran informasi terutama dengan PKL yang pada saat itu didampingi oleh LSM Komite Peduli Jawa Barat (KPJB). Mereka mengaku telah meminta penangguhan penggusuran dan dikabulkan oleh Wakil Wali Kota.
karena nggak ada pihak bertanggung jawab, komunikasi nggak ada, solusi adanya setelah penggusuran. Sebenernya nggak ada solusi dari awal, adanya usulan dari kita yang dijadikan solusi oleh Pemkot. Yang ke saraga dengan bentuk demikian. Itu usulan dari kita, dan harapannya ada beberapa solusi. Ternyata cuma itu saja yang dijadikan solusi,” ujar Maundri Prihanggodo (GD’08), Menteri Pengabdian Masyarakat Kabinet KM-ITB.
“Sebenernya dari awal menurut kita ini salah karena nggak ada pihak bertanggung jawab, komunikasi nggak ada, solusi adanya setelah penggusuran. Sebenernya nggak ada solusi dari awal, adanya usulan dari kita yang dijadikan solusi oleh Pemkot. Yang ke saraga dengan bentuk demikian. Itu usulan dari kita, dan harapannya ada beberapa solusi. Ternyata cuma itu saja yang dijadikan solusi,”
Pada kenyataannya, pembongkaran secara paksa tetap terjadi pada tanggal 10 Januari 2013. Beberapa kegiatan audiensi dan duduk bersama dilakukan antara pihak Pemkot, PKL, dan turut serta pula KMITB. Secara sepihak KM-ITB diminta untuk membantu memberikan solusi. Solusi yang ditawarkan oleh KM-ITB yakni tempat yang diusulkan untuk relokasi adalah Jalan Gelap Nyawang atau parkir mobil di depan Sabuga dengan bentuk dan desain bangunan pada tempat yang diusulkan. Usulan KM-ITB tersebut begitu saja dijadikan solusi oleh Pemkot. “Sebenernya dari awal menurut kita ini salah
Solusi untuk pindah ke parkir Sabuga sebenarnya tidak bermasalah dan sesuai dengan usulan ketiga yang diajukan oleh PKL, yaitu relokasi ke wilayah sekitar ITB. Ketika KM-ITB mengkonfirmasi usulan tersebut, Bappeda menyatakan bahwa hal tersebut tidak masalah. ITB pun yang diwakilkan oleh Kadarsyah Suryadi menyatakan tidak akan mempermasalah jika dipindah ke Sabuga, namun ITB tidak bisa membantu lebih jauh lagi. Ketika solusi sudah hampir siap, KMITB sangat menyayangkan sikap Pemkot yang tidak mau turun langsung kepada PKL untuk menympaikan solusi ini.
PKL belum setuju untuk dipindah meski sudah dipersilahkan untuk pindah ke parkir Sabuga. Hal tersebut disebabkan Pemkot tidak memfasilitasi pemindahan mereka, seperti tidak disediakan bangunan, karena memang tidak ada dananya. PKL sudah terlanjur sakit hati sementara Pemkot seakan ‘ya udahlah pindah aja’. Pendekatan yang buruk ini membuat solusi tak kunjung menemukan titik temu. “Kesulitannya adalah posisi mahasiswa. Kalau kita jadi jembatan pengubung (antar Pemkot dan PKL-red) , kesulitannya kita hanya akan jadi pihak yang terbebani, dan masalah ini gak FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
25
laporan utama ada selesainya. Lebih baik kalau kita tekan si pemkotnya supaya terjun langsung. Menurut saya belum ada solusinya, yang ke parkir Sabuga itu belum di terima,” jelas Maundri. Menurut Maundri, masalah ini adalah masalah yang didiamkan karena semua pihak ingin masalah ini selesai tapi tidak dengan cara yang baik-baik. Hingga kini belum ada lagi pergerakan yang dilakukan Pemkot terkait PKL Dayang Sumbi. “Untuk menekan Pemkot, kita lagi cari alternatif. Kita juga lagi cari cara mengkomunikasikannya ke massa kampus karena masih ada beda suara. Ada yang coba pendekatan ke pemkot, ada juga yang internal kampus sendiri,” ujar Maundri. Maundri menambahkan bahwa isu horizontal ini merupakan isu yang rumi. Pada awalnya Kabinet KM-TB terlalu fokus tentang PKL Ganesha, namun untuk yang di Ganesha sudah berjalan baik karena sudah ada sosialisasi dari pemerintah sebanyak empat kali. Kasus PKL Dayang Sumbi memang tidak diprediksi akan serumit ini. Kerumitan ini disebabkan oleh tidak adanya komunikasi yang baik antar pihak yang terkait, solusi tentang relokasi PKL baru ada setelah penggusuran, serta media yang membuat opini yang berbeda antar PKL dan mahasiswa. PKL Kecewa Terhadap Mahasiswa Dari hasil pemantauan Boulevard, PKL mengaku kecewa terhadap mahasiswa ITB yang seakan bermuka dua, berbeda ketika berbicara di depan dan di belakang mereka. Hal itu PKL tunjukkan kepada Boulevard melalui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Anjar Dimara Sakti, Presiden KMITB, kepada media. PKL sebenarnya berharap jika mahasiswa ITB bisa berani seperti jaman dahulu, bisa membela PKL. Mahasiswa ITB dinilai terlalu bayak diskusi, tanpa melakukan bantuan yang dinilai kongkret. “Mungkin takut di DO,” ujar Dede Muad, Wakil PKL Dayang Sumbi. Mengenai pemberitaan media, Maundri menjelaskan, “Terkait yang di media, sebenarnya itu udah jelas. Kalau saya baca juga, Anjar berkata emang ada desain. Di
26
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
paragraf berikutnya tiba-tiba ada tulisan PKL sudah menyetujui ada relokasi ke Parkir Sabuga. Kita juga bingung PKL bisa setuju, (padahal-red) kita belum mendiskusikan itu. PKL juga kaget, tiba-tiba ada gitu di koran.” Berdasarkan hasil kesepakatan yang telah dibicarakan bersama massa kampus, tidak akan ada kegiatan apapun yang mengatasnamakan KM-ITB, tetapi bantuan yang diberikan ketika turun langsung kepada PKL adalah atas nama pribadi. Namun, banyak terjadi kesimpangsiuran pengatasnamaan, hingga membawa bermacam embel-embel. “Dan itu memang yang bikin nggak cuma kita yang bingung, tapi pihak lain juga bingung,” tambah Maundri. Menurut Ridzki, apabila KM-ITB diminta untuk membantu PKL secara kongkret seperti membantu membangun kembali tempat berjualan di tempat yang sama, hal itu hanya akan memperumit dan mengulang masalah. “Kalau kita membuat desain lagi, itu akan jadi sama lagi persoalannya, karena mereka akan dipindah lagi, karena itu bukan area untuk berjualan. Istilahnya kita nggak mau memberikan harapan yang nggak pasti jelas, kalau di sana takutnya satu atau dua bulan digusur lagi. Kasihan juga merekanya,” jelas Ridzki. Terkait kekecewaan, Maundri menyatakan bahwa di sini memang dibutuhkan pengorbanan. Posisi KM-ITB memang serba salah, sehingga dari awal kasus PKL Ganesha ataupun Dayang Sumbi, KM-ITB hanya berusaha mencari titik temu. Dari awal tujuan yang ingin dicapai adalah peran mahasiswa untuk memediasi pihak yang terlibat untuk berdiskusi satu sama lain. “Semua keputusan ada di ranah Pemkot, dan ranah kita adalah usulan. Ranah teknisnya, ya mau nggak mau Pemkot harus nyiapain dananya, lahanya gimana. Kalau kita turun sekarang, sulit gitu. Kunci masalah ini sebenarnya PKL sudah terlanjur sakit hati.” “Saya sebenernya salut sama temen-temen yang berani ngambil keputusan ‘saya bantu PKL’. Saya salut sebenernya. Kesulitannya, kita memang sulit menentukan posisi dan sikap,” tambah Maundri. []
laporan utama
BOULEVARDITB/IVANIE
Bukan Menzalimi, Tapi... Keberadaan pedagang kaki lima di Dayang Sumbi telah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Penggusuran yang baru saja terjadi ini menuai banyak pendapat dan pandangan dari berbagai pihak. Ada yang setuju, ada yang tidak setuju, dan ada yang tidak tahu. Di satu sisi, orang yang berjuang dan matimatian membela PKL mengandalkan hati nuraninya dalam menolong yang lemah. Di lain sisi, orang yang mengerti dan tahu betul mengenai kebijakan dan aturan yang ada membenarkan hal tersebut dilakukan. Sebenarnya, apakah keberadaan PKL tersebut mengganggu? “Pada saat menyebut PKL, kita tidak bisa menyamaratakan semua pedagang sebagai PKL. Pedagang yang menetap dan mendirikan bangunan itu yang melangggar dan mengganggu, sedangkan
bedagang PKL yang mobile dengan gerobak dan pikulan tidak mengganggu,� ujar Achmad D. Tardiyana atau yang akrab disapa Apep, Dosen Program Studi Arsitektur ITB. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung No.4 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan PKL Pasal 11, pedagang kaki lima (PKL) adalah pedagang yang melakukan usaha perdagangan disektor informal yang menggunakan fasilitas umum baik di lahan terbuka dan/atau tertutup dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak. Menurut Apep, ada kesalahan penafsiran keliru terhadap Perda tersebut baik yang dilakukan oleh masyarakat, ataupun pedagang itu sendiri. FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
27
kampus Penafsiran salah tersebut adalah pandangan bahwa PKL berhak berdagang secara menetap. Padahal, PKL yang menetap dan mendirikan bangunan itu melanggar peraturan. Pedagang yang menetap telah mengambil ruang publik secara sepihak dengan membuat bangunan permanen dan dipergunakan secara kontinu. Selain itu, banyak pedagang dan penyedia jasa foto kopi, bengkel, dan kegiatan komersial lain dalam ukuran yang besar dengan profit penjualan yang besar diatas UMR. Dengan berjualan permanen, penguasa jalanan (preman) dan oknum birokrasi mendapatkan keuntungan besar dari pemberian izin lokasi dan pengutipan iuran bulanan ilegal. Pedagang menetap telah merebut hak warga kota seperti pejalan kaki yang seharusnya menjadi pengguna ruang dimana mereka mendirikan bangunannya. Keberadaan bangunan tempat berdagang menetap membuat kota tampak kumuh dan semrawut. Untuk kasuskasus PKL menetap seperti itu seharusnya tidak ada toleransi dan harus dibongkar. Apep menuturkan bahwa pada kasus PKL Dayang Sumbi, PKL menganggap berdagang secara menetap adalah hak dan apabila dilakukan pembongkaran dianggap telah tercabut hak berdagang mereka. Persepsi ini muncul juga di kalangan mahasiswa yang berusaha untuk menengahi. Menurut Iwan Kustiawan, Kaprodi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB yang sekaligus Tim Data Surveyor untuk Peraturan Wali Kota, Jalan Dayang Sumbi merupakan kawasan zona merah bagi PKL. Pada Perwal yang mengacu pada Perda tentang Penataan dan Pemibinaa PKL, zonasi itu terdiri atas zona merah yang tidak boleh ditempati PKL, kuning masih boleh ditempati PKL dengan waktu tertentu, dan hijau yang merupakan lokasi aman berjualan.
Ketika ditanya mengenai usulan-usulan relokasi yang telah dicanangkan akhir-akhir, Apep mempertegas, “Relokasi merupakan istilah yang keliru karena mengimplkasikan PKL boleh punya lokasi yang tetap. Pedagang yang menetap itu telah menyalah gunakan penggunaan ruang dengan mengakuisisi secara sepihak ruang publik. Menggusur mereka bukan tindakan yang tidak adil, karena sesunguhnya mereka masih boleh berdagang sebagai PKL yang sesungguhnya.� Apep merekomendasikan untuk mengembalikan PKL pada fitrahnya yaitu batasi omsetnya, batasi ukuran gerobak jualannya, dan harus bergerak. Jangan pernah biarkan PKL menetap. Dengan pembatasan diatas PKL tidak perlu diatur mengenai lokasi makro berdagangnya.Terbukti peraturan zona merah, kuning dan hjau saat ini tidak efektif. Hal yang perlu diatur adalah posisi berdagangnya di ruang publik (trotoar, taman, dsb), bukan lokasi menetapnya. Pihak yang memiliki kewenangan seharusnya menyediakan zona khusus bagi PKL di area-area tertentu dengan ukuran yang lebih besar dengan konsep time-sharing. Seperti tempat parkir yang malam hari tidak dipergunakan (contoh: Taman Lalu lintas), jalur jalan di kawasan yang sepi pada malam hari (contoh: Jalan Cibadak), Jalan sekitar Pasar Baru pada malam hari yang sepi bisa dijadikan pusat kuliner yang diisi PKL. ITB bisa saja menyediakan suatu tempat yang terbatas bagi PKL, akibat dari ruang di kampus sudah sempit, tetapi tetap jam 6 sore mereka harus bubar. Persoalannya adalah bagaimana ITB menyeleksi pedagang yang pasti sangat banyak. []
TREKLENS.COM/ANDRE SALVADOR
Iwan menambahkan bahwa sebetulnya PKL Dayang Sumbi sudah direncanakan untuk dipindah ke Gelap Nyawang, bahkan PKL
juga sudah mau pindah tanpa digusur paksa. “Nggak tau nih atas dasar apa, kok PKL-nya nggak mau. Oh, rupanya mungkin karena sakit hati sama ITB sama mahasiswa,� ujar Iwan.
28
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
kampus
SISTEM PEMIRA BERUBAH, MASSA KAMPUS GERAH 0leh Idham P. Mahatma dan Maryam Zakkiyyah
PEMIRA KM-ITB 2012 telah berakhir hampir satu tahun lalu. Namun, segenap tanya masih mengambang di permukaan. Sampai saat ini, massa kampus masih merasa ada yang harus dibenahi dari sistem PEMIRA sebelumnya. Seharusnya, evaluasi wajib diadakan sebelum PEMIRA selanjutnya datang. Mengacu pada pembahasan mengenai sistem pemilu di dunia, diungkapkan oleh Harisma Andikagumi (TA’08) atau yang akrab disapa Gumi selaku Ketua Kongres KM-ITB, bahwa terdapat setidaknya tiga sistem pemilihan, yakni sistem distrik, sistem proporsional, dan sistem campuran. Namun, untuk pelaksanaannya pada PEMIRA KM-ITB, kongres menyetujui dipilihnya sistem distrik. Alasannya adalah untuk meningkatkan keikutsertaan massa kampus dalam keberjalanan PEMIRA KM-ITB dan peran aktif dalam pengawasan kelangsungannya. Alih punya alih, massa kampus ternyata bereaksi. “Sebenarnya, pada saat pembahasan mengenai sistem PEMIRA yang baru, kami sudah mengingatkan tentang adanya sistem distrik dan sistem proporsional. Namun, mereka (red-massa kampus) kurang menanggapi. Barulah setelah sistem disepakati, massa kampus mulai ‘panas’,” terang Gumi.
untuk masing-masing HMJ dan fakultas. Apabila tidak terpenuhi, maka akan ada referendum yang dikembalikan ke massa. Alternatif lain, demi memenuhi target pencerdasan, maka diutuslah lembaga yang bersangkutan untuk mengadakan acara hearing calon atau kampanye secara mandiri. Hal ini semata untuk meningkatkan keterlibatan lembaga-lembaga serta massa kampus. Sanksi ini dirasa sedikit memberatkan, karena sedikit memaksa keterlibatan aktif massa kampus. Namun, dengan adanya sanksi yang sudah jelas ini, diharapkan massa kampus memiliki kedewasaan serta kesadaran yang mumpuni akan pentingnya PEMIRA KM-ITB untuk kemahasiswaan. “Padahal, masih ada isu-isu lain yang lebih panas untuk dibahas, dibandingkan terus terjebak pada perumusan sistem ini. Misalnya saja ITB multi kampus, pembangunan ITB yang besar-besaran, juga yang lain,” pungkas Gumi. Setelah ada pembicaraan dan kajian lebih lanjut yang dilakukan Kongres KM-ITB, akhirnya PEMIRA KM-ITB 2013 akan sama dengan PEMIRA sebelumnya yaitu menggunakan sistem proporsional langsung. Namun, pada PEMIRA kali ini akan dilakukan perbaikan pelaksanaan melalu aturan yang menekankan pentingnya pernah lembaga atau himpunan dalam keberlangsungan perhelatan akbar ini.
“Sebenarnya, pada
Kronologi di lapangan, ketika telah ada putusan sistem distrik yang diambil, 21 Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) meminta peninjauan ulang. Sedangkan 5 HMJ lain menyatakan sistem distrik agar segera dijalankan. Sebenarnya, sistem PEMIRA yang baru bukanlah murni sistem distrik, melainkan leburan antara sistem distrik dan sistem proporsional. Di dalamnya, juga terdapat modifikasi pada sektorsektor tertentu. Sebagai contoh, di luar acara pemungutan suara, misalnya hearing calon atau kampanye, diberlakukan sistem kuorum ½n+1, di mana ½n+1 yang dimaksud adalah kuorum
saat pembahasan mengenai sistem PEMIRA yang baru, kami sudah mengingatkan tentang adanya sistem distrik dan sistem proporsional. Namun, mereka (red-massa kampus) kurang menanggapi. Barulah setelah sistem disepakati, massa kampus mulai ‘panas’,
”
Yang penjadi pertanyaan setelah kembalinya penggunaan sistem proporsional ini adalah apakah massa kampus siap untuk ‘ikut capek’ dalam PEMIRA KM-ITB 2013 dengan memberikan perhatian lebih pada aturan-aturan yang mengikat seperti kewajiban datang hearing dan partisipasi dalam pemilihan? []
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
29
kampus
Nymphaea Membelah Diri Oleh Kharisma Ryan
HIMASITH Nymphaea akan dipecah menjadi beberapa himpunan baru. Pasalnya pembentukan satu himpunan yang mencakup beberapa program studi ini tidak mendapat persetujuan dari pihak dekanat SITH. Program studi yang sekarang tercakup dalam Nymphaea adalah Biologi, Mikrobiologi, dan Rekayasa Hayati. “Dari dekanat memang sudah memerintahkan membuat satu himpunan untuk masing masing prodi, tapi dari Nymphaea sendiri untuk prodi Mikrobiologi, kami merasa belum siap. Apalagi ditambah prodi baru yaitu Rekayasa Hayati,” ujar Fadi Adli Sandika, Kepala Departemen Pengembangan Sumber Daya Anggota (PSDA) Nymphaea. Nymphaea memang sudah mendapat banyak sindiran dari dekanat yang tidak setuju dengan dibentuknya satu himpunan untuk semua prodi yang ada di SITH. Salah satu bentuk sindiran adalah pemberian pengumuman tertempel untuk Nymphaea telah dibedakan untuk masing-masing masa himpunan mahasiswa Biologi, Mikrobiologi, dan Rekayasa Hayati. Selain itu, proposal-proposal kegiatan yang diajukan Nymphaea kepada dekanat tidak akan mendapat persetujuan jika tidak menyertakan tanda tangan dari ketiga ketua untuk masing-masing himpunan tersebut. Belum ada kepastian kapan himpunan ini akan dipecah namun pemecahan maksimal akan dilakukan bulan maret. Pada tanggal 1 maret, yang bertepatan dengan ulang tahun Nymphaea, kepengurusan himpunan akan berganti dan himpunan baru harus sudah ada. Pada saat tersebut Nymphaea harus benar-benar terpecah menjadi beberapa himpunan baru. Berdasarkan kajian-kajian yang telah dilakukan, sistem pemecahan himpunan menyisakan dua
30
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
pilihan. Pertama, akan dibentuk himpunan pusat Keluarga Mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (KMSITH) yang mengepalai tiga himpunuan untuk masing-masing prodi di SITH. Nama Nymphaea akan digunakan oleh himpunan Biologi, sedangkan dua himpunan lainnya akan memakai nama baru. Sampai awal bulan Desember, masih belum ditentukan dua nama resmi untuk himpunan Mikrobiologi dan Rekayasa Hayati. Dangan dibentuknya KMSITH, ketiga himpunan akan terkoordinasi dan akan ada kegiatan yang dilakukan bersama seperti kaderisasi dan wisuda. Pilihan kedua untuk pecahnya Nymphaea adalah himpunan akan benar-benar dipecah menjadi tiga himpunan mandiri yang masing-masing berdiri sendiri yaitu himpunan Biologi, Mikrobiologi dan Rekayasa Hayati. Fadi menjelaskan bahwa sebenarnya Nymphaea cenderung untuk mengambil pilihan pertama. Meskipun demikian, hal ini belum resmi dan masih melalui kajian lebih lanjut. Masalah yang dihadapi sekarang adalah adanya ketidakjelasan dari pihak dekanat terkait dengan prodi baru yaitu Rekayasa Pertanian dan Kehutanan. “Kami belum mengkaji lebih dalam tentang himpunan Rekayasa Pertanian dan Kehutanan, karena memang dekanat belum memberikan kejelasan. Namun, kami sudah mempersiapkannya jikalau diinginkan ada lima himpunan,” jelas Fadi. Untuk rencana sementara, prodi Rekayasa Pertanian dan Kehutanan akan digabung ke dalam himpunan Rekayasa Hayati. Jika pilihan pertama benar-benar akan dilakukan, KMSITH sebagai himpunan pusat, berfungsi sebagai perantara yang menghubungkan ketiga himpunan secara keseluruhan dengan KMITB. Namun, untuk kegiatan masing-masing himpunan dilakukan secara
kampus terpisah dengan menggunakan nama himpunan masing-masing. Kegiatan-kegiatan masing-masing himpunan tentunya tetap dalam pengawasan dari KMSITH. Untuk kaderisasi himpunan akan digunakan sistem serempak untuk semua angkatan baru secara terpusat oleh KMSITH. Kemudian dalam rangkaian acaranya akan ada masing-masing sesi yang berbeda untuk ketiga himpunan yaitu Biologi, Mikrobiologi dan Rekayasa Hayati. Terkait adanya sistem multi kampus ITB yang menempatkan mahasiswa jurusan Rekayasa Hayati di kampus baru Jatinangor, pemecahan himpunan dirasa perlu karena sering terjadi kendala waktu dan tempat yang memenyulitkan komunikasi antara mahasiswa jurusan Rekayasa Hayati dengan mahasiswa lainnya. Semenjak dipindahnya mahasiswa prodi Rekayasa Hayati ke kampus Jatinangor, sebenarnya telah dibentuk sebuah badan semacam himpunan semu atau cabang Nymphaea Jatinangor. Badan ini dikepalai oleh Hanan, mahasiswa Rekayasa Hayati angkatan 2010, sebagai penanggung jawab semua kegiatan yang dilakukan oleh masa himpunan di kampus Jatinangor. Seperti halnya suatu himpunan yang mandiri, badan ini memiliki struktur yang hampir sama dengan Nymphaea yang ada di kampus Ganesha lengkap beserta departemennya. Menurut Hanan, tujuan dibentuknya badan semu ini adalah sebagai penyelenggara kegiatan-kegiatan himpunan yang dirasa perlu dilakukan oleh masa himpunan di Jatinangor. Diantaranya kegiatankegiatan tersebut adalah kunjungan, kajian, dan keprofesian. Beberapa kegiatan tersebut juga diadakan bersama mahasiswa Unpad Jatinangor. Harapannya kegiatan-kegiatan yang dilakukan bisa menjaga eksistensi mahasiswa Rekayasa Hayati di Jatinangor. Selain itu, dengan adanya badan ini, komunikasi antara masa himpunan kampus Jatinangor dengan kampus Ganesha bisa lebih terjaga. “Setidaknya kami ingin menunjukkan bahwa kami, mahasiswa Rekayasa Hayati, itu ada di Jatinangor.” tegas Hanan. Adanya badan himpunan semu atau cabang Nymphaea di Jatinangor menjadi sebuah langkah persiapan sebelum nantinya Nymphaea dipecah.
Dengan tetap melalui kontrol dari Nymphaea pusat di kampus Ganesha, badan tersebut nantinya akan lebih mandiri dan siap untuk menjadi himpunan baru. Fadi mengutarakan bahwa memang sejak awal prodi Rekayasa Hayati dipindahkan ke Jatinangor, badan tersebut telah disiapkan dalam pemecahan Nymphaea ini. “Dengan adanya badan tersebut, kami berharap masa himpunan disana bisa lebih mandiri dan terbiasa dengan kepengurusan yang sistemnya sama persis dengan Nymphaea saat ini. Jika nanti Nymphaea dipecah mereka tidak akan merasa kaget.” kata Fadi. Sementara Hanan menyampaikan pentingnya pembentukan badan ini yaitu sebagai wadah kegiatan-kegiatan di Jatinangor. “Semenjak saya dipilih menjadi penanggung jawab, saya sudah berpikir bahwa perlu dibuat suatu badan sendiri di Jatinangor. Akhirnya dengan izin dari Nymphaea pusat dibentuklah badan ini seperti himpunan kecil tapi bukan merupakan himpunan. Meskipun kegiatan yang dilakukan tidak sebanyak kegiatan di Ganesha, tapi kemi tetap bisa melakukan kegiatan-kegiatan tersebut secara mandiri dengan tetap melalui monitoring Nymphaea pusat.” Menurut Hanan selain karena perbedaan tempat, kampus Jatinangor dan Ganesha, pemecahan Nymphaea dilakukan akibat koordinasi untuk prodi yang berbeda-beda di Nymphaea juga sudah semakin sulit. Sifat keprofesian yang berbeda-beda yang menjadi hal utama semakin sulitnya koordinasi tersebut. “Memang keprofesian untuk Nymphaea saat ini menjadi semakin susah diatur. Selain itu, ada masalah jarak antar kampus,” ujarnya. Kajian demi kajian terus dilakukan untuk membahas rencana pemecahan Nymphaea ini. Kendalakendala lain juga bermunculan. Namun dengan rencana pemecahan ini akan memberikan sejarah tersendiri bagi Nymphaea. Akan ada sistem-sistem baru yang mungkin diterapkan dalam kepengurusan tahun berikutnya. Kini hanya tinggal menunggu waktu saja, apakah sistem-sistem tersebut sudah sesuai dan bisa berjalan dengan baik. []
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
31
kampus
Bintang Lain KMSR Oleh Anas Zakaria dan Khalid Adil
Jika selama ini kalian hanya mengetahui KMSR sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa yang ada di FSRD, maka jawaban kalian kurang tepat. Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB memiliki berbagai macam program studi (prodi) dalam kapasitasnya sebagai salah satu fakultas di ITB. Sedikit penjelasan, di FSRD terdapat lima program studi yakni prodi Desain Interior, prodi Desain Produk, prodi Desain Komunikasi Visual , prodi Kriya dan prodi Seni Rupa. Prodi Kriya dibagi menjadi dua subprodi yakni Kriya Tekstil dan Kriya Keramik, sedangkan prodi Seni Rupa dibagi menjadi lima subprodi yaitu Seni Lukis, Seni Grafis, Seni Patung, Seni Keramik, dan Intermedia. Sebagai akibat dari adanya prodi-prodi di FSRD maka diperlukan suatu wadah organisasi keprofesian bagi mahasiswa masing-masing program studi untuk mengakomodasi kegiatan akademik. Maka dibentuklah berbagai organisasi keprofesian atau lebih tepatnya disebut kelompok studio. Jika dikalkulasikan, terdapat sepuluh kelompok
30
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
keprofesian atau kelompok studio yang terdapat di FSRD. Untuk prodi Desain Produk memiliki kelompok keprofesian yang bernama INDDES (Industrial Design Student Society) yang memiliki anggota 4045 mahasiswa per tahunnya. Menurut Mifta Farid (DP’09), anggota INDDES terbagi menjadi dua yakni anggota aktif dan anggota pasif. Yang mana anggota pasif adalah mereka yang tidak mau ikut himpunan namun tetap mengikuti berbagai acara himpunan. Selayaknya himpunan keprofesian yang ada di beberapa jurusan lain, INDDES pun memiliki struktur organisasi yang baku, agenda tahunan, kaderisasi bagi anggota baru, pameran karya mahasiswa Desain Produk, serta kegiatan-kegiatan yang sifatnya pengabdian masyarakat. Contohnya adalah “DESA.IN�, sebuah kegiatan pendayagunaan kreativitas masyarakat suatu desa untuk mengolah sumber daya alam yang ada di desa tersebut. Kelompok keprofesian bagi mahasiswa Desain
kampus Interior adalah Ikatan Mahasiswa Desain Interior (IMDI) ITB. Jumlah mahasiswa yang tergabung dalam IMDI per tahunnya kisaran 45-47 orang. Selain berbagai pengurus inti selayaknya himpunan yang ada, di dalam himpunan IMDI terdapat suatu badan khusus yakni Biro Konsultan IMDI ITB yang bertindak sebagai jasa konsultan dalam merencanakan desain interior suatu gedung atau bangunan. Menurut Anugrah (DI’09), badan yang bersifat komersil ini memberdayakan kreativitas yang dimiliki mahasiswa Desain Interior ITB untuk dapat diaplikasikan secara langsung di lapangan. Program studi Desain Komunikasi Visual (DKV) memiliki kelompok keprofesian yang bernama Ikatan Pemuda Pemudi Desain Grafis (IPPDIG). Pada mulanya, IPPDIG merupakan sarana bagi mahasiswa desain grafis untuk bersosialisasi, seruseruan dan kumpul-kumpul saja, sebagaimana disampaikan Muhammad Fajrur Rahmat (DKV’09). Kepengurusan yang ada pun tidak terlalu baku, setiap tahunnya dapat berubah-ubah sesuai sesuai dengan kebutuhan yang ada. Jumlah anggota dari IPPDIG untuk per tahunnya sekitar 40 orang. IPPDIG memiliki acara rutin tahunan berupa pameran dengan tema ‘Natamorta’ yang diadakan setiap dua tahun sekali. Subprodi Kriya Keramik memiliki kelompok keprofesian yang bernama IKAT (Ikatan Mahasiswa Kriya Tekstil). Menurut Mega Safira (Kriya Tekstil ‘09), IKAT bukanlah sebuah kelompok keprofesian melainkan organisasi yang dibentuk untuk mengurusi berbagai acara yang diselenggarakan oleh mahasiswa Kriya Tekstil. Sehingga, IKAT tidak memiliki memiliki struktur yang organisasi baku selayaknya organisasi keprofesian yang ada. Struktur organisasi yang ada dalam IKAT cenderung disesuaikan dengan pengurus yang dibutuhkan dalam event-event yang diselenggarakan oleh mahasiswa kriya tekstil. Berikutnya adalah “Teman-Teman Bikin Karya Kriya Keramik” atau biasa disingkat TEMBIKAR. Salah satu kelompok studio yang mewadahi mahasiswa subprodi Kriya Keramik FSRD ITB. Jumlah anggota yang aktif untuk saat ini adalah 21 orang yang berasal dari tahun 2008 hingga 2011. TEMBIKAR memiliki berbagai kegiatan seperti pameran maupun workshop yang diadakan untuk umum. Menurut Argya Dhyaksa (Kriya Keramik 2009), workshop yang dilakukan ditujukan tak hanya untuk dewasa tetapi juga anak-anak. Mahasiswa Kriya Keramik dan Kriya Tekstil setiap semesternya mengadakan suatu pameran bersama yang menampilkan karyakarya dari mahasiswa Kriya.
Mahasiswa Seni patung memiliki kelompok studio yang dinamakan STUPA (Studio Patung). STUPA merupakan kelompok studio dengan jumlah anggota yang paling sedikit jika dibandingkan dengan seluruh kelompok studio yang ada di FSRD ITB yaitu sebanyak 11 orang mahasiswa yang terdiri dari lima angkatan (angkatan 2007-2011). Mahasiswa yang tergabung dalam STUPA memiliki spesialisasi dalam membuat berbagai macam patung dengan berbagai media, sepak terjang mereka telah diakui oleh para pelaku seni di seluruh Indonesia. Sering kali mahasiswa Seni Patung ITB diminta untuk membuat karya-karya monumental baik di ITB sendiri maupun di luar ITB. Selanjutnya kelompok studio subprodi Seni Grafis yang bernama KGB (Keluarga Grafis Berseni). Setiap tahunnya mahasiswa subprodi Seni Desain berkisar antara 13-15 orang mahasiswa. Jumlah ini merupakan jumlah yang terbanyak jika dibandingkan dengan subprodi-subprodi lain di prodi Seni Rupa. KGB memiliki struktur organisasi yang cenderung sederhana, terdiri dari ketua, sekretaris, dan badan rumah tangga. Salah satu acara yang pernah diselenggarakan oleh KGB adalah Festival Grafis Berseni yang dihelat pada tahun 2011 dan akan digelar kembali di tahun ini. Seni Intermedia ITB memiliki kelompok studio bernama Interakta. Jumlah anggota Interakta setiap tahunnya berkisar antara 8-10 orang. Salah satu prestasi yang pernah dicapai oleh Interakta salah satunya adalah sebagai pelopor video mapping di Bandung. Tidak tanggung-tanggung, tempat mereka mengadakan acara itu bertempat di Gedung Merdeka, salah satu gedung bersejarah bagi bangsa Indonesia. IPPPPPOT, singkatan dari Ikatan Pemuda Pemudi Pecinta dan Pembuat Pot, adalah kelompok studio dari mahasiswa Seni Keramik ITB. Untuk saat ini anggota IPPPPPOT berjumlah 6 orang mahasiswa. Sebagai salah satu kelompok studio, IPPPPPOT memiliki berbagai acara yang diselenggarakan tiap tahunnya. Untuk tahun ini, IPPPPPOT rencananya akan menyelenggarakan study tour ke Negeri Sakura, Jepang, demikian dituturkan Siti Nur Fauziana (Seni Keramik 2009). Terakhir adalah kelompok studio dari subprodi Seni Lukis yang bernama GALI. Berbagai kelompok studio yang ada di FSRD ini seringkali berkolaborasi dengan berbagai prodi di luar FSRD. Salah satunya contohnya adalah kolaborasi antara mahasiswa Seni Keramik dengan mahasiswa dari prodi Material. []
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
31
kampus
UTAMAKAN KUALITAS, ITB TIADAKAN SELEKSI MANDIRI oleh Siti Fatima dan Azifa Risalati
“Denger-denger ITB hanya akan membuka jalur undangan, ada yang bilang juga pake nilai UN untuk penerimaan mahasiswa baru tahun depan.�, Ungkap Puji Fitria siswi SMKN 13 Bandung. Akhir-akhir ini
Ada yang mengatakan bahwa ITB hanya akan menerima mahasiswa melalui SNMPTN jalur undangan. Ada yang mengatakan bahwa penerimaan mahasiswa baru menggunakan nilai UN. Ada pula versi lain yang mengatakan bahwa ITB akan mengadakan USM. Sebenarnya bagaimana sistem Penerimaan Mahasiswa Baru ITB 2013? Pada sosialisasi SNMPTN 2013 yang dilaksanakan pada Desember 2012, Mindriany Syafila, Direktur Pendidikan ITB, selaku anggota Tim Ad Hoc dalam kepanitian PMB Nasional, menjelaskan bahwa sistem penerimaan mahasiswa baru tahun 2013 akan terdiri dari tiga jalur, yaitu SNMPTN, SBMPTN dan Seleksi Mandiri PTN.
32
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) 2013 memiliki sistem yang hampir sama dengan SNMPTN Undangan tahun 2012, hanya saja ada beberapa persyaratan tambahan, misalnya nilai rapor yang digunakan adalah nilai rapor semester 1-5. Sedangkan untuk program studi seni dan olahraga diperlukan entry hasil karya dan prestasi yang diadakan oleh sekolah. Biaya pendaftaran untuk SNMPTN 2013 juga akan digratiskan, hal ini karena pemerintah sudah menyediakan anggaran untuk mensubsidi biaya pendaftaran peserta. SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) merupakan seleksi ujian tulis yang dilakukan serentak oleh seluruh PTN di Indonesia.
infopendidikan.com
berita tentang penerimaan mahasiswa baru 2013, terutama di ITB, memang sedang hangat dibicarakan. Tidak hanya dunia nyata yang sedang ramai membicarakan topik ini, dunia maya pun seperti di Facebook dan Twitter, juga tak kalah heboh.
“
kampus
Seleksi mandiri kan diadakan terakhir, jadi kemungkinan sudah sisa dari SNMPTN dan SBMPTN. ITB ingin menerima mahasiswa yang memang minat dan memprioritaskan ITB,
”
Jalur ini sama dengan SNMPTN tulis pada tahun 2012. Peserta yang akan mendaftar SBMPTN akan dikenakan biaya dengan jumlah akan ditentukan kemudian. Jalur terakhir adalah Seleksi Mandiri. Jalur ini sepenuhnya menjadi kebijakan masing-masing PTN. Pada kesempatan yang sama, Mindry menjelaskan bahwa ITB hanya akan menerima mahasiswa baru melalui 2 jalur, yakni SNMPTN dan SBMPTN. “Seleksi mandiri kan diadakan terakhir, jadi kemungkinan sudah sisa dari SNMPTN dan SBMPTN. ITB ingin menerima mahasiswa yang memang minat dan memprioritaskan ITB,” tutur Mindri saat ditanya alasan ITB hanya membuka dua jalur saja. Menurut Mindri, ITB akan tetap mengutamakan kualitas mahasiswanya sehingga tidak akan mengadakan seleksi mandiri. Dari kuota yang diberikan oleh Pemerintah yaitu minimal 50% dari SNMPTN dan minimal 30% dari SBMPTN, ITB mengambil titik tengahnya yaitu 60% dari SNMPTN dan 40% dari SBMPTN. Mindri juga berpesan kepada mahasiswa untuk mensosialisasikan sistem PMB yang baru ini kepada SMA asal agar sekolah mendaftarkan dan merekomendasikan siswa-siswi terbaiknya ke ITB. Dengan demikian ITB akan mendapatkan mahasiswa-mahasiswa baru yang terbaik dan siap menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Mahasiswa Jalur Undangan dan Jalur Tulis Isu tentang kualitas mahasiswa ITB yang diterima melalui jalur undangan ataupun tulis memang menjadi polemik tersendiri. Seorang mahasiswi Desain Produk, Elinda
Oktavia, mengungkapkan bahwa ada isu FSRD menolak untuk menerima mahasiswa dari jalur undangan. Sebab pihak FSRD meragukan mahasiswa baru yang tersaring dari jalur undangan dan khawatir mereka kurang berbakat dalam seni sehingga menyebabkan turunnya kualitas mahasiswa FSRD. Tak hanya FSRD, menurut beberapa mahasiswa ada isu juga mengenai kekurangsetujuan para dosen pada awal dibukanya jalur undangan. Namun, menurut Ahmad Nuruddin, kepala Lembaga Tahap Persiapan Bersama (LTPB), kualitas mahasiswa jalur undangan dan jalur tulis tidak terlalu jauh berbeda. Hal ini didukung oleh data dari LTPB yang menyatakan bahwa pada angkatan 2011, nilai IP rata-rata mahasiswa undangan adalah 3,04. Sementara IP rata-rata mahasiswa tulis adalah 2,99. Namun, Ahmad menegaskan bahwa kualitas mahasiswa sebenarnya tidak bisa disimpulkan hanya dari nilai akdemik saja. “Kalau kita bicara kualitas, kualitas secara keseluruhan tidak bisa dilihat hanya dari akademik saja. Nilai akademik hanya merupakan salah satu parameter,” ujar Ahmad. Selain itu, dalam sosialisasi PMB 2013 juga dijelaskan bahwa seleksi SNMPTN untuk fakultas seni sudah diupgrade. Siswa-siswi calon mahasiswa baru yang berminat pada jurusan seni diwajibkan untuk membuat karya seni seperti lukisan, foto dan sejenisnya untuk diupload pada web SNMPTN 2013. Hasil karya seni tersebut nantinya akan diverifikasi dengan diadakan tes langsung oleh masing-masing PTN. Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan mahasiswa yang terseleksi memang benar-benar mahasiswa terbaik. Buka Program Studi Baru Pada tahun 2013, ITB kembali akan membuka program studi baru. Jika tahun lalu ada dua prodi yang ditambahakan yaitu Rekayasa Pertanian dan Rekayasa Kehutanan pada SITH, maka pada tahun 2013 akan ada tiga program studi baru yaitu Teknik & Pengelolaan Sumber Daya Air, dan Rekayasa Infrastruktur Lingkungan untuk FTSL serta program studi Kewirausahaan untuk SBM. Prodi-prodi baru ini akan masuk dalam program beasiswa peminatan di ITB. Sehingga untuk tahun 2013 akan ada delapan prodi dalam program peminatan dengan lima prodi yang sama seperti tahun lalu. Program peminatan ini tidak akan dikenakan biaya subsidi BPPM. []
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
33
kampus
Mahasiswa Asing di ITB Oleh Annida Ferani Ramadhiani dan Hasna Alfitra Rizki
Menurut data dari International Relation Office (IRO) ITB, pada tahun 2012 terdapat sekitar 100 mahasiswa internasional baru baik dari jenjang S1, S2, dan S3, serta pertukaran pelajar dan double degree. Jumlah ini meningkat setiap tahun. Totalnya, masih pada tahun yang sama, terdapat kurang lebih 270 mahasiswa internasional. Faktanya, jumlah mahasiswa internasional yang cukup banyak berbanding terbalik dengan minimnya interaksi dengan mahasiswa reguler. Coba tanyakan pada diri Anda sendiri, apakah Anda mengenali satu saja mahasiswa internasional? Apakah teman Anda punya kenalan mahasiswa internasional? Dari banyak mahasiswa yang reporter Boulevard temui,
36
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
hanya segelintir, bahkan hanya bisa dihitung dengan jari, yang menjawab iya. Faktor bahasa mungkin menjadi dalang utama dibalik minimnya interaksi ini meskipun kenyataannya sebagian besar mahasiswa internasional berasal dari Malaysia, yang bahasa ibunya tidak jauh berbeda dengan Bahasa Indonesia. Selain itu, tentunya sebagian besar mahasiswa ITB mampu berbicara dalam Bahasa Inggris, sehingga bahasa seharusnya tidak dijadikan alasan kurangnya interaksi antara mahasiswa internasional dan mahasiswa pribumi. Nyatanya, bahasa hanya menjadi masalah pada kegiatan belajar mengajar, khususnya bagi mahasiswa internasional yang tidak mengambil kelas internasional, seperti yang diamini oleh Souphaline Soulyavong, mahasiswa S2 bioteknologi dari Laos. Ia mengaku tidak ada masalah dalam percakapan sehari-hari meskipun tidak menguasai Bahasa Indonesia dengan baik, namun penjelasan dosen yang menggunakan Bahasa Indonesia membuat Souphaline sulit untuk menangkap materi. Ironisnya, ketakutan berbahasalah yang sering mencegah mahasiswa reguler untuk memulai percakapan dengan mahasiswa internasional. “Takut salah Bu, Bahasa Inggris saya kan jelek,� begitu kutip Ayi Rohayati, Kepala Informasi Akademik di IRO ITB, dari curhatan mahasiswanya.
BOULEVARD/DINDA
Sebagai kampus yang sering disebut-sebut sebagai Institut terbaik bangsa, ITB tidak hanya diminati oleh pemuda-pemudi Indonesia saja. Banyak pemuda asal luar negeri, mulai dari negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia atau Vietnam, hingga negara Eropa seperti Jerman dan Ceko, yang juga tertarik untuk menimba ilmu di kampus ganesha ini. Bukan suatu pemandangan yang janggal jika sering melihat mahasiswa internasional, atau mahasiswa yang berkewarganegaraan asing, berlalu-lalang di kampus dan melakukan aktivitas sebagaimana mahasiswa pada umumnya. Namun di balik semua itu, keberadaan mereka hampir terasa misterius. Jarang sekali mahasiswa asal indonesia atau mahasiswa pribumi mengenal mereka secara personal.
kampus Interaksi antara mahasiswa internasional dengan mahasiswa reguler sebenarnya dapat dibangun melalui kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang terdapat di kampus. Misalnya saja melalui organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti himpunan mahasiswa jurusan (HMJ) atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Namun, sejauh mana mahasiswa internasional mengikuti kegiatankegiatan kemahasiswaan tersebut? Menurut ketua Himpunan Mahasiswa Farmasi (HMF) ITB, Yayang Luthfiana Rizwan (STF ‘10), sebagian besar mahasiswa internasional yang ada di Sekolah Farmasi (SF) menjadi anggota biasa pasif HMF. Hal tersebut dikarenakan para mahasiswa internasional hanya mengikuti kegiatan kaderisasi sampai tahap inisiasi. Sedangkan untuk menjadi anggota aktif himpunan, calon anggota harus mengikuti kegiatan kaderisasi lebih lanjut terlebih dahulu. “Biasanya, saat pelaksanaan osjur, mereka (red-para mahasiswa internasional) sudah pulang ke negaranya,” tutur Yayang. Ia juga mengatakan bahwa mahasiswa internasional turut berpartisipasi dalam kegiatankegiatan internal yang ada di himpunan, seperti dies natalis atau pun home tournament. Menurut Ayi, pihak ITB sendiri selalu mendorong para mahasiswa intermasional untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di kampus. Tetapi, banyak mahasiswa internasional yang belum mengikuti kegiatan tersebut. “Mungkin karena terlalu sibuk dengan kegiatan akademiknya,” tutur Ayi. “Saya berharap mereka mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (red-UKM), UKM juga sebaiknya membuka pintu lebar-lebar untuk mahasiswa internasional yang ingin turut berpartisipasi. Diharapkan nantinya ada cultural exchange,” tambahnya. Namun ada pula mahasiswa internasional yang mengikuti himpunan, seperti Lakeswaran Batmanathan (TM ‘11) yang berkewarganegaraan Malaysia. Seperti mahasiswa reguler pada umumnya, ia mengikuti kegiatan kaderisasi hingga menjadi anggota biasa HMTM PATRA. Ia juga mengaku pernah mengikuti unit Tae Kwon Do saat masih di semester pertama, namun karena kegiatan akademik dan jadwal yang sering bertabrakan, ia terpaksa berhenti. Sejalan dengan pendapat Ayi mengenai sibuknya kegiatan akademik, Adiibah binti Haji Moddin, seorang pertukaran pelajar dari Brunei yang kini mengambil Interior Arsitektur di FSRD, berkata bahwa ia memang tidak ingin mengikuti unit karena ingin fokus pada kuliahnya. “Saya sudah jauh-
jauh kuliah ke ITB, jadi sayang waktu kalau tidak dipergunakan untuk belajar,” ujarnya. Lain halnya dengan Adiibah, Souphaline justru ingin mengikuti unit. Ia mengaku tertarik untuk masuk U-Green karena bidangnya berhubungan dengan lingkungan. Namun, ia mendengar bahwa mahasiswa S2 tidak diperbolehkan mengikuti unit, karena itu ia tidak mendaftar. Sebenarnya, tidak ada peraturan tertulis mengenai hal ini, namun karena jarangnya mahasiswa internasional S1 aktif di unit, terlebih jenjang S2, peraturan ini dianggap bersikap mengekang. Yang patut disesalkan adalah tidak adanya organisasi yang mewadahi mahasiswa Internasional di ITB sebagaimana unit-unit kedaerahan untuk menjawab keinginan mahasiswa internasional yang ingin aktif berorganisasi seperti Souphaline. Sebenarnya, sampai dua tahun lalu, masih ada International Student Forum, sebuah forum dari IRO tempat mahasiswa internasional dan mahasiswa reguler saling bertemu. Harapannya, terjadi pertukaran budaya di forum ini dan jarak antara kedua belah pihak dapat dipangkas. Namun karena banyak alasan, seperti di antaranya tiadanya biaya dan sukarelawan, forum ini terpaksa ditangguhkan. Lalu, bagaimana dengan interaksi antar mahasiswa internasional dengan mahasiswa reguler dalam kehidupan sehari-hari? Menurut Yayang, masih sangat terasa ada jarak antara mahasiswa internasional dengan mahasiswa reguler. “Yang saling berkomunikasi baru segelintir orang, itu pun bertegur sapa atau sekedar say hi’,” ujarnya. Hal ini disebabkan karena kendala bahasa, kepribadian setiap orang, serta jadwal akademik yang berbeda. Namun, beberapa mahasiswa internasional, seperti Lakeswaran dan Souphaline, berpendapat bahwa mahasiswa Indonesia bersikap ramah terhadap mereka. Souphaline juga mengatakan bahwa kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa Indonesia sudah cukup baik. “I think their ability in English, err... almost all of them can speak in English,” tuturnya. Kian banyaknya mahasiswa asing yang berdatangan ke kampus ganesha sedikit banyak membawa dampak positif, seperti adanya cultural exchange. Namun, hal tersebut akan bisa dirasakan jika saling berkomunikasi dan bersosialisasi. Komunikasi tidak dapat terjalin hanya dengan mengerti bahasa satu sama lain, tapi juga harus ada keterbukaan antar kedua belah pihak, baik dari mahasiswa asing maupun mahasiswa Indonesia. []
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
37
kampus
Lab Doping: Proyek Kemenpora di Kampus Ganesha Oleh Affina Musliha dan Pipit Uky Vivitasari
Sebagaimana namanya, gedung yang disebutsebut sebagai gedung ‘titipan’ Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) tersebut ditujukan sebagai laboratorium pengujian kadar zat doping pada tubuh atlet. Pengujian tersebut merupakan pengujian yang selalu dilakukan oleh atlet sebelum melakoni pertandingan dan hasil tes tersebut akan menentukan kelayakan seorang atlet
38
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
untuk mengikuti pertandingan. Ironisnya, selama ini sampel biologis atlet Indonesia masih harus dikirim ke luar negeri untuk melalui rangkaian uji doping. Tak ayal, pembangunan Laboratorium Uji Doping tersebut menjadi sangat istimewa karena kelahirannya adalah yang pertama di Indonesia. Di sisi lain pemilihan ITB, yang notabene merupakan kawasan akademik, sebagai lokasi pembangunan lab doping tentu menimbulkan tanda tanya. Belum lagi waktu pembangunan yang terkesan mendadak dan terburu-buru, seolah-olah kampus ITB mau menerima kedatangan ‘gedung baru’ tanpa mempertimbangkan waktu. Suara bising pengecoran dan kegiatan pembangunan lain tentu berisiko mengganggu dosen dan mahasiswa saat kuliah.
BOULEVARD/AMRI, DINDA
Suara bising mesin las kerap terdengar di sebelah selatan Gedung Kuliah Umum Timur (GKU Timur) beberapa bulan terakhir. Beton-beton raksasa perlahan mulai menggantikan posisi lahan yang semula merupakan area parkir gedung tersebut. Gedung Laboratorium Uji Doping, begitulah nama bangunan empat lantai yang tak urung menyita pandangan mahasiswa yang melintas.
kampus
Immanuel Sugiyono, pengawas di perusahaan kontaktor PT. Sasmito sebagai pelaksana pembangunan, menuturkan bahwa ITB dipilih sebagai tempat pembangunan proyek mengingat posisi ITB yang strategis yakni berada di Jawa Barat sehingga mudah dijangkau dari daerah Timur (Bali, Papua, Sulawesi) maupun dari Barat(Sumatera, Kalimantan). Sedangkan Daryono Hadi Tjahjono, Dekan Sekolah Farmasi ITB selaku pihak yang ditunjuk ITB sebagai koordinator penyelenggaran proyek, membantah bahwa pembangunan Lab Doping terkesan mendadak. Pihaknya mengaku telah menggodok proyek ini sejak lama, bahkan telah melakukan kunjungan ke Lab Doping swasta di Jepang dan Universitas Teknologi Malaysia (UTM) sebagai perbandingan. Pembangunan Lab Doping tersebut sejatinya tidak direncanakan untuk dilaksanakan di kampus Ganesha. Namun mengingat persyaratan pembangunan lab doping seperti sumber daya manusia (SDM) terlatih serta perkembangan riset yang memadai maka pembangunan lab yang sempat akan dibangun di Jatinangor ini beralih ke kampus Ganesha. Kekhawatiran penyelewengan dana tentu terbersit apalagi pihak Kemenpora kini tengah disorot akibat tersandung kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet Hambalang. Namun Daryono menolak tegas adanya penelikungan dana pada proyek yang menelan biaya hingga 20 miliar rupiah ini. “Mereka (red-pihak Kemenpora) bahkan sampai bingung, ITB kok dikasih duit susah banget,� ujarnya. Hal ini tak lain karena ITB sudah menyerahkan audit keuangannya pada akuntan publik. Hal ini harus dilakukan, karena menurut penuturan Daryono, audit keuangan yang akuntabel menjadi syarat penerimaan dana bantuan atau hibah dari luar negeri. Sementara pihak Direktorat Sarana Prasarana yang menaungi persetujuan gedung tersebut dengan Kemenpora belum memberikan respon ketika dihubungi Boulevard. Selama pembangunan, kepemilikan gedung tersebut memang masih dipegang oleh Kemenpora. Namun setelah gedung tersebut selesai dibangun dan fasilitas di dalamnya sudah lengkap, gedung tersebut langsung diamanahkan kepada ITB dengan Direktorat Sarana Prasarana sebagai pengelola. Serah terima secara resmi dari Kemenpora kepada ITB dilangsungkan pada Senin, (28/1). Sedangkan, biaya maintenance atau perawatan akan tetap ditanggung oleh Kemenpora. []
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
39
kampus
ITB SEBAGAI SAKSI AHLI Oleh Annisa Ferani Ramadhiani Sebagai salah satu institusi pendidikan yang cukup dipercaya di negeri ini ITB kerap kali diminta untuk memberikan bantuannya terhadap masalah yang terjadi di bangsa ini. Salah satunya yaitu turut menyelesaikan kasuskasus kriminal yang terjadi di Indonesia sebagai saksi ahli.
Salah satu staf ITB yang cukup sering dimintai bantuan untuk menjadi saksi ahli yaitu Joko Sarwono, Dosen Teknik Fisika ITB. Sesuai dengan keahliannya, ia seringkali diminta untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan akustik. Biasanya ia diminta untuk mengidentifikasi rekaman percakapan yang digunakan sebagai barang bukti pada kasus-kasus kriminal. Hingga saat ini Joko telah menangani lebih dari lima puluh kasus sebagai saksi ahli. Kasus-kasus yang sempat ditanganinya di antaranya adalah kasus korupsi pembangunan wisma atlet, kasus penyuapan hakim Pengadilan Hubungan Industrial, kasus suap Sekretaris Menpora, dan kasus dugaan korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Pada kasus-kasus tersebut, Joko diminta untuk memberi kesaksian berdasarkan hasil identifikasinya mengenai siapa pemilik suara dari rekaman percakapan yang dihadirkan sebagai barang bukti.
“
Pada awalnya, permintaan untuk menjadi saksi ahli biasa dilayangkan dari pihak pengusut kasus ke ITB. Setelah itu ITB memilih staf-stafnya yang berkompeten untuk membantu kasus tersebut. Jika permintaan saksi ahli itu berkaitan dengan masalah-masalah akustik, ITB sering menunjuk Joko untuk dijadikan saksi ahli.
40
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
Ketika ditanya mengenai ketakutan terhadap ancaman atau intimidasi dari pihak luar, Joko mengaku tidak mengkhawatirkan hal tersebut. Menurutnya, tugas saksi ahli hanyalah menyelesaikan tugas yang diberikan sesuai dengan keahlian yang dimiliki bukan menetukan mana pihak yang bersalah dan mana yang tidak. “Jadi kalau saya ditugasi untuk mengidentifikasi pemilik suara yang ada dalam rekaman percakapan, ya tugas saya hanya mengidentifikasi rekaman tersebut,” jelas Joko. Meskipun merasa tidak nyaman ketika berkalikali harus duduk di ‘kursi panas’ pengadilan, Joko merasa puas dan lega apabila tugas yang diberikan kepadanya tuntas dan dapat membantu mendapatkan titik terang pada kasus tersebut. Mengapa ITB cukup sering menjadi saksi ahli? Jika melibatkan aspek-aspek teknis, ITB memang sering diminta bantuan sebagai saksi ahli karena dinilai ahli dalam urusan teknik. Jika memang memiliki kemampuan untuk membantu memecahkan suatu kasus berdasarkan keahlian yang dimiliki, tidak ada salahnya bagi ITB untuk ikut membantu. “Tetapi jika permasalahannya bukan mengenai aspek teknis, ya tidak akan minta bantuan ke ITB,” ujar Joko. Umumnya, saksi ahli berasal dari institusi-institusi pendidikan, seperti contohnya perguruan tinggi. Institusi pendidikan dianggap memiliki sifat netral, sehingga dapat memperkecil kemungkinan untuk memihak pada saat memberikan kesaksian. Selain itu, institusi pendidikan umumnya memiliki orang-orang yang berkompeten di suatu bidang tertentu. []
Meskipun merasa tidak nyaman ketika berkali-kali harus duduk di ‘kursi panas’ pengadilan, Joko merasa puas dan lega....
”
lppm.itb.ac.id
Cukup banyak kasus kriminal yang melibatkan ITB sebagai saksi ahli, yang terbaru adalah kasus korupsi simulator SIM yang belakangan ini banyak diperbincangkan orang. Dalam kasus ini, ITB bertindak sebagai saksi ahli untuk hal teknis komponen simulator SIM. Selain itu masih ada pula kasus-kasus lainnya, mulai dari kasus robohnya bangunan baru di Pasar Metro Tanah Abang Jakarta Pusat hingga kasus-kasus korupsi yang sering melanda negeri ini.
kampus
Awas Pelanggaran! Oleh Rohmah Nasada Seorang mahasiswa TPB membuka buku peraturan ITB yang baru saja ia peroleh ketika mendaftar ulang sebagai mahasiswa baru. Sekilas, ia melihat satu bagian dari buku itu yang bercerita mengenai pelanggaran-pelanggaran, mulai dari mencontek hingga perbuatan kriminal. “Ah, anak ITB kan pinter-pinter, IQ tinggi. Pasti kelakuannya gak mungkin macem-macem.” Tak sedikit orang yang berpikir demikian, baik orang-orang dalam ITB maupun orang-orang di luar sana. Penjaringan mahasiswa baru di ITB yang begitu sulit dinilai menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang berkualitas tinggi, baik secara inteligensi maupun emosional. Pada kenyataannya, menurut data Komisi Penegakan Norma Akademik dan Kemahasiswaan (KPNK) ITB atau yang akrab disebut Komisi Disiplin, setiap tahunnya, ada sekitar enam sampai sepuluh kasus pelanggaran norma akademik ataupun norma kemahasiswaan yang ditangani lembaga ini. Memang, jumlah kasus yang ditangani ini terbilang sangat sedikit jika dibandingkan dengan realita pelanggaran yang terjadi di lapangan. Hal tersebut disebabkan penanganan suatu pelanggaran hanya terjadi jika ada laporan resmi kepada Komisi Disiplin. Jadi, kalau tidak dilaporkan, maka tidak akan dikenakan sanksi? Hal tersebut bukanlah sebuah pembenaran untuk melakukan sebuah pelanggaran norma. Sanksi yang diberikan pun tidak main-main, mulai dari pemotongan SKS, skorsing, bahkan hingga drop out. Beberapa contoh kasus yang ditangani Komisi Disiplin akhir-akhir ini adalah pencontekan, plagiarisme, tindakan asusila, dan perusakan fasilitas kampus. Pada tahun 2009, ITB dihebohkan dengan kasus joki SNMPTN yang dilakukan oleh mahasiswanya. Kasus yang ramai dibicarakan berbagai media tersebut berakhir dengan pencabutan status kemahasiswaan 12 orang mahasiswa, sementara dua mahasiswa lainnya diskorsing. Pada tahun 2010, ITB kembali heboh dengan kasus pelecehan berbau SARA yang dilakukan oleh seeorang mahasiswa melalui akun jejaring sosialnya. Kasus tersebut berakhir dengan skorsing bagi pelanggar. Menurut Nanang T. Puspito, Ketua KPNK, sanksi terhadap pelanggaran�������������������������� -������������������������� pelanggaran norma kemahasiswaan terdiri dari dua jenis, yaitu sanksi perorangan dan sanksi organisasi. Tingkatan paling ringan untuk kedua jenis sanksi ini adalah peringatan
keras secara tertulis, sedangkan sanksi yang paling berat adalah pencabutan status sebagai mahasiswa atau pembubaran organisasi kemahasiswaan. Berdasarkan pengalaman Nanang dalam mengintrogasi, banyak pelanggar tidak mengetahui peraturan norma akademik dan kemahasiswaan yang dimiliki ITB. Padahal setiap mahasiswa baru yang masuk ITB telah dibekalkan buku peraturan akademik dan kemahasiswaan. Euforia rasa senang karena masuk ITB membuat mahasiswa tidak memperdulikan buku peraturan akademik dan kemahasiswaan. Buku peraturan tersebut mungkin saja sudah berdebu di rak buku masing- masing sampai saat ini atau bahkan hilang. Jadi masih mengaku sebagai anak ITB yang pintar dan beradab? “Saya sering kasihan sama orang tuanya (redorang tua mahasiswa pelanggar). Hanya tahu kalau anaknya itu anak baik-baik, tapi tau-tau diberikan kenyataan seperti ini,” ujar Nanang. []
Sanksi Pelanggaran Norma Akademik Jenis Pelanggaran Mencontek
Sanksi Pelanggaran pertama Skorsing
Pelanggaran kedua Drop out
Memalsukan Drop out dokumen penting
-
Menyediakan sarana untuk kecurangan
Skorsing
Drop out
Plagiarisme
Sanksi akan ditentukan dalam aturan sendiri
Penyogokan
Skorsing
Drop out
Perjokian
Drop out
-
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
41
kampus
Sanksi Pelanggaran Norma Kemahasiswaan Pasal yang dilanggar
Sanksi maksimum Perorangan
42
Organisasi
Berkelahi
Skorsing
Pembekuan sementara
Menimbulkan keributan di kampus
Skorsing
Pembekuan sementara
Melakukan kegiatan yang mengarah pada pelanggaran peraturan ITB
Skorsing
Pembekuan sementara
Melakukan kegiatan tanpa ijin
Skorsing
Pembekuan sementara
Melakukan intimidasi
Skorsing
Pembekuan sementara
Melakukan pemalsuan
Drop out
Pembekuan sementara
Pembunuhan
Drop out
-
Penghinaan terhadap civitas akademik lain
Drop out
Pembekuan sementara
Pencemaran nama baik ITB
Drop out
Pembubaran organisasi
Penganiayaan
Drop out
Pembubaran organisasi
Penghinaan yang bernuansa SARA
Drop out
Pembubaran organisasi
Melakukan kekerasan fisik dan psikologis
Drop out
Pembubaran organisasi
Melakukan perlawanan terhadap peraturan di ITB
Drop out
Pembekuan sementara
Melanggar perjanjian dengan ITB yang telah ditandatangani
Drop out
Pembubaran organisasi
Melindungi pihak yang melanggar peraturan
Drop out
Pembubaran organisasi
Mencuri
Drop out
-
Mengganggu jalannya kegiatan resmi ITB
Drop out
Pembubaran organisasi
Menggunakan waktu kegiatan kemahasiswaan di luar batas kewajaran
Drop out
Pembekuan sementara
Menghasut/mengadu domba
Drop out
Pembubaran organisasi
Menyalahgunakan fasilitas kampus
Drop out
Pembekuan sementara
Merusak fasilitas di ITB
Drop out
Pembubaran organisasi
Terbukti melakukan pelanggaran hukum NKRI
Drop out
-
Terlibat kegiatan miras, narkotika, perjudian, penyalahgunaan senjata dan bahan peledak, serta pelecehan seksual
Drop out
Pembubaran organisasi
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
gelitik
J
ika kalian sering masuk ITB melalui gerbang depan, kemungkinan besar kalian pernah melihat ambulan yang sedang terparkir di depan Jam Gadang. Sesekali kalau mata kalian awas, kalian akan sadar bahwa yang terparkir disana tidak hanya ambulan melainkan juga mobil pemadam kebakaran (damkar). Bahkan kalau diperhatikan lebih jauh, belakangan ini muncul mobil golf yang sering hilir mudik keliling kampus dan lagi-lagi diparkir di depan Jam Gadang. Sebenarnya mobil-mobil itu untuk apa sih?
Kereta Kencana ITB Oleh Lathifah Zahratul Jannah dan Arsy Karima Zahra
Menurut komandan satpam gerbang depan, ITB memiliki beberapa kendaraan umum yang dipegang oleh satpam gerbang depan. Kendaraan tersebut adalah ambulan, ambulan jenazah, damkar, dan mobil golf. Pengguna kendaraannya pun cukup bervariasi mulai dari mahasiswa, pegawai, dosen, hingga keluarga �������������������������������� dosen/pegawai������������������� . Kendaraan ini memang disediakan untuk keperluan darurat 24 jam jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Mahasiswa menjadi prioritas utama dalam hal pemakaian kendaraan tersebut, namun tetap harus melewati prosedur tertentu. Prosedur yang harus dilakukan yaitu menghubungi UPT K3L sebelum melakukan peminjaman. Tidak ada biaya yang dikenakan dalam peminjaman kendaraan tersebut karena segala perawatan sudah ditangani oleh pihak ITB. Dengan kisaran umur 3-5 tahun, kendaraan-kendaraan tersebut telah berjasa mendampingi banyak kegiatan seperti OSKM, kegiatan unit, pertolongan dalam keadaan darurat, maupun kebutuhan warga sekitar. Adanya supir yang berjumlah 9 orang seharusnya membuat kendaraan diatas selalu tersedia ketika kita membutuhkan.
BOULEVARD/ANAS
Selain satpam, ada satu ba������������������������ g����������������������� ian lain yang juga mengurusi kendaraan-kendaraan ITB yaitu, pool kendaraan ITB. Pool ����������������������������� k���������������������������� endaraan ini membawahi kendaraan seperti bus, truk, mobil dinas, dan pick-up dilengkapi dengan supirnya. Bagian ini berada di bawah naungan sarana dan prasarana ITB. Menurut Yayat Supriatna, yang tidak lain adalah kepala pool kendaraan, beberapa program studi pernah meminjam kendaraan ini untuk keperluan kegiatan akademik. Selain itu, kendaraan ini juga digunakan untuk kegiatan unit di luar, dan dinas pegawai. Jumlah bus yang tersedia saat ini berjumlah lima buah dengan rincian dua buah bus AC dan tiga buah bus non-AC. Tiga diantara bus tersebut merupakan sumbangan dari ������������������������������� Kementerian Perhubungan RI����� . Se���
mentara truk dan pick-up masing-masing berjumlah tiga buah. Biasanya truk dan pick-up ini digunakan untuk memindahkan barang-barang. Karena kendaraan ini dipergunakan untuk mendukung kelancaran segala kegiatan yang ada di ITB, maka kendaraan-kendaraan ini dapat dipinjam oleh mahasiswa. Namun peminjamannya sendiri ada teknis dan perizinan yang dilakukan terlebih dahulu. Jadwal pemakaiannya pun bersistem ‘tagtag-an’. Ada papan tulis besar di pool kendaraan ini yang disediakan untuk peminjaman kendaraan. Peminjaman ini tidak gratis karena ada beberapa biaya yang harus ditanggung dan sudah ditetapkan tarifnya oleh pool kendaraan. Penambahan armada kendaraan terus dilakukan untuk menunjang kegiatan civitas akademik ITB, sehingga diharapkan akan timbul rasa kebanggaan tersendiri menggunakan kendaraan berlambangkan ITB melintas di jalanan. Harapan kedepannya, ‘Kereta Kencana ITB’����������������������������� ini������������������������� dapat ������������������ bertambah jumlahnya dan semakin baik performasinya. []
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
43
kencan
Pawang Hujan ITB: Dari Belajar Silat Hingga Menjadi Dukun Mentawai Oleh Dian Puspita Triani, Aisya Putri, Inas Nabilah Ridhoha dan Rasmita Yulia M. Waktu itu hari Jumat sekitar pukul 09.15 WIB, langit sedikit gelap dan hujan rintik-rintik. Cuaca memang sedang kurang bersahabat akhir-akhir ini. Sesuai janji wawancara, kami mendatangi Gedung SBM ITB, tepat di sebelah gedung MKOR di mana sekretariat Boulevard ada di sana. Setelah bertanya kepada resepsionist, kami menuju lantai tiga dan mencari-cari ruangan nomor 309 dengan nama BAMBANG RUDITO. “Oh silahkan masuk, kalian ini tahu saya darimana?” demikian beliau menyapa kami dengan suara tegas namun ramah dan menyunggingkan senyum ketika kami sampai di ruangannya.
Bambang Rudito, namanya memang kurang familiar di kalangan mahasiswa. Namun dosen SBM ITB ini mempunyai kemampuan spesial untuk menolak hujan. Penampilannya memang layaknya dosen, rapi, berkacamata dengan kemeja kotak-kotak. Tidak ada satupun identitas yang menandakan bahwa ia ini seorang pawang hujan yang kita ketahui sering memakai atribut-atribut khusus. Kebetulan, hari itu ia sedang tidak mengajar. “Orang secara harfiah menerjemahkan pawang itu yang mengatur hujan gitu ya, sebetulnya itu salah besar. Yang bisa dilakukan adalah memindahkannya, karena hujan itu memang harus jatuh. Cuma jatuhnya di mana, itu biasanya ada yang melakukan,” jawab BR, begitu sapaannya, ketika ditanya mengenai profesinya sebagai pawang hujan.
Ia bercerita bahwa sering sekali seorang pawang hujan menggunakan bunga sebagai syarat untuk menangkal hujan. Syarat-syarat itu dipakai untuk memberikan identitas bahwa seseorang itu dinilai pawang hujan atau bukan. Dengan semangat, ia menjelaskan kepada kami, “Sebetulnya itu adalah permainan energi. Eh, bukan permainan ya, terlalu kasar. Tapi itu adalah olahanolahan energi. Banyak kan sekarang orang buka praktek, yang ada plangnya atau tiang itu, Terus ada orang datang ke sana, nah, itu dia menggunakan energi supaya orang lebih yakin, yang dikeluarkan energi panas, terasanya panas di badan pasien. Tapi itu adalah suatu kesalahan sebetulnya, karena dia bermain dengan marabahaya.” BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
BOULEVARD/MITA
Menurutnya, apa yang ia lakukan adalah mengirimkan energi. Semua yang berada di alam ini ada energinya, hujan pun punya energi, dan energi tersebut dapat dibelokkan. Orang sering salah kaprah dalam menilai hal ini. “Ini sesuatu yang wajar, tapi orang akan menyangka ‘oh ini pasti gara-gara dia’, padahal sih bukan gitu ya.”
kencan Seorang doktor di bidang Antropologi ini tidak ingin menjadikan pawang hujan sebagai profesi utamanya. Awalnya ia kebetulan bisa menjadi perantara penyembuhan seorang mahasiswa asing (Swiss) yang sedang kuliah lapangan di Ciwidey, Bandung Selatan, dan terkena serangan jantung, mahasiswa tersebut memang seorang pengidap sakit jantung. Salah seorang mahasiswanya meminta sarannya untuk mengatasinya. Lalu ia mencoba memberikan energi jarak jauh, karena saat itu ia sedang berada di kampus. Ternyata mahasiswa tersebut sembuh, dan setelah dibawa ke Rumah Sakit Borromeus, lalu diperiksa dokter, jantungnya tidak apa-apa. Mahasiswa asing tersebut bertanya kepadanya, apa yang ia lakukan terhadap dirinya untuk mengobati. Setelah kejadian itu, ia sering dimintai tolong untuk menyembuhkan penyakit natural, dan bahkan supranatural atau kesurupan yang menimpa mahasiswa di kampus maupun di tempat kost, dan juga karyawan di fakultas sampai kepada keluarga karyawan. Ia kerap kali mengirimkan energi hanya dari rumahnya. Selain itu ia juga sering dimintai tolong untuk mencarikan barang yang hilang, seperti dompet, laptop, motor, dan sebagainya. Sekitar 8 tahun yang lalu, ada orang tua mahasiswa yang meminta tolong kepadanya untuk menjaga agar tempat anaknya beraktivitas ketika itu di daerah Tamansari tidak terganggu karena hujan. Kenyataannya pada saat itu seluruh Kota Bandung hujan dan hanya di Tamansari, tempat mahasiswa tersebut beraktivitas, yang tidak hujan. Mulai dari situlah ia kerap dimintai tolong sebagai pawang hujan. Melihat sosoknya lebih jauh, ternyata ‘ilmu’ untuk memindahkan hujan diperoleh secara tidak sengaja. Ia bercerita bahwa dulu Ibunya sakitsakitan, komplikasi. Akhirnya ia niatkan belajar sesuatu saat muda untuk menyembuhkan ibunya sekitar tahun 1985. “Itu saya lakukan untuk menyembuhkan ibu saya. Sehingga saya tidak terfokus untuk jadi pawang hujan, tetapi terfokus pada bagaimana menyalurkan energi tenaga dalam saya untuk membantu orang lain.” “Pertama saya belajar dari Betawi asli, diajarin berantem, silat gitu, terus yang kedua saya belajar di Cibinong. Ada seorang sakti, saya datangi. Kebetulan lagi penelitian tanaman, gimana bercocok tanam. Saya datang ke rumah itu. Orang itu bilang keliatannya kamu ini ada bakat. Terus saya disuruh merem (menutup mata-red), tahutahu ada sesuatu, lalu saya bisa nangkis-nangkis. Ternyata saya diajari, nggak melihat tapi bisa tahu,” kenangnya dengan pandangan yang dalam. Bambang Rudito adalah seorang doktor di bidang Antropologi dari Universitas Indonesia tahun
2005, memeroleh gelar Magister tahun 1995 di Universitas Gajah Mada di bidang Demografi dan Social Sciences dari Tasmania University. Gelar Sarjana Antropologinya diperoleh di Universitas Indonesia tahun 1984. Ia juga sering ke pelosokpelosok untuk menangani konflik daerah, seperti di Lampung, Kalimantan, dan Madura. Ada cerita menarik ketika ia sedang melakukan penelitian di Mentawai, Sumatera Barat sekitar tahun 1988-1990. “Ketika saya melakukan penelitian, saya belajar juga sama orang Suku Mentawai di Sumatra Barat. Orang asli sana yang masih pake cawat. Saya belajar budaya Mentawai sampai saya tertarik menjadi kepala suku atau dukun mereka, namanya Sikerei (Dukun Mentawai-red). Belajar mengobati orang, saya dalami. Kemudian saya diangkat sekerabat, ada potong ayam segala macem. Kemudian saya pelajari budayanya. Sehingga persoalan di sana, saya lebih tau dari orang Mentawai sendiri gitu lho. Nah, akhirnya saya diangkat kepala sub suku, kayak klan gitu,” ujarnya sambil tertawa. Bapak yang memiliki lima orang anak ini memang bukan warga asli Mentawai, namun ia piawai dalam bergaul dengan orang asli daerah sana. Ia pun sempat belajar Reiki. Reiki merupakan ilmu yang mengalihkan tenaga. Reiki berangkat dari apa yang dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu. Menurutnya, reiki itu menguasai energi dari luar. “Orang meninggal itu masih punya energi. Energi itu lah yang dimanfaatkan. Mau anjing, kuda mati, itu juga punya energi. Itu yang kita kumpulkan,” ujarnya dengan santai dan selalu diakhiri dengan nada yang ramah. Pengalaman-pengalaman itulah sampai sekarang banyak orang termasuk ITB sendiri yang memanfaatkan jasa kemampuannya memindahkan hujan, seperti acara wisuda, kegiatan mahasiswa di alam terbuka, beragam pertunjukan dan kegiatan lainnya di dalam maupun luar ITB. Salah satu pengalaman berharganya yaitu ketika ia menjadi Penasihat acara pengembangan masyarakat ‘Satoe Indonesia’ oleh mahasiswa SBM ITB, di Ciwidey. “Waktu itu saya sebagai penasihat, katanya Presiden SBY mau datang, kan saya kaget. Di sana mendung banget walaupun ada tenda. Dosen-dosen juga ke sana. Ya udah saya pindahin ujannya sedikit. Lalu Pak SBY bisa jalan-jalan, liat-liat, nyapa masyarakat lalu pidato. Terus waktu dia masuk ke rumah pintar gitu, hujan lagi. Karena Pak SBY di dalem, biarin dulu sampai gerimis, dia keluar ga hujan lagi,” terangnya sambil tersenyum dan kedua tangannya memperagakan ‘menurunkan hujan’. FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
45
kencan “Waktu itu saya masih tolong saya, oke di situ. Karena saya ayo berdoa samasedang merokok, jadi saya sama. Ketika anda sendirian.Yang lain pada minta tolong saya, ngobrol, foto-foto sama Pak maka sudah melepas SBY. Eh ujug-ujug Pak SBY semua persoalan nyamperin saya, lalu ngobrol dan beban. Jadi itu sama saya. Lah yang lain, eh sebenernya doa kita. lu bacain apa tuh, gitu. Jadi Kalau semuanya ada persepsi jelek gitu kan pengen tidak hujan, ya. Iya, itu kejadian yang insya Allah pasti tidak sangat luar biasa bagi saya. hujan. Tapi niatnya Presiden dateng gitu ke kan belum tentu. Nah, saya. Mungkin dia liat saya kalo niatnya udah sendirian kasian, ditemenin, satu, energinya akan mungkin ,” kenangnya (2012) Bambang, saat di Suku Bangasa Mentawai Pulau Siberut keluar. Nah, sekarang Kep. Mentawai. sambil bercanda. kenapa di ka’bah itu dianggap sebagai suatu “Beliau bilang apa yang bisa dibantu. Saya bilang, pusat kan, orang yang disana niat mau pergi haji dan bantulah kami supaya ini (acara pengabdian muter seperti pusaran air, nah itu energi, energinya masyarakat-red) bisa berjalan lancar. Kemudian Pak keluar. Itu bisa dijelaskan dengan akal. Bukan nihil Presiden manggil M.Nuh (Menteri Pendidikan-red). sama sekali. Semua bisa melakukan, dan semua Tolong M.Nuh ini. Terus dikasih 10 komputer itu punya,” jelasnya ketika ditanyai mengenai syarat desa. Saya nyesel kenapa nggak minta mobil. Mobil yang harus dipenuhi ketika akan memindahkan buat ngangkutin hasil bumi orang kampung. Emang hujan.” kalo komputer mencerdaskan, tapi kan nggak buat semua. Mungkin karena ini acara pendidikan ya,” “Nggak ada itu jimat-jimat. Itu cuma buat lanjutnya disambung dengan gelak tawa. Kami pun memunculkan identitas aja. Gue nih pawang, masa larut dalam wawancara yang cair ini. saya harus pake baju item-item, pake kalung juga kan,” tambahnya. Ditanya mengenai kegagalan memindahkan hujan dalam sebuah acara, ia mengaku pernah, “Kalo Rahasianya menjadi seorang pawang hujan cukup gagal ya pernah juga, yang paling sering gagal itu dengan berdoa dan jujur dengan apa yang dirasa kalau misalnya pada waktu musim kawin kan,” dan diucapkan serta diperbuat.
“Ya kadang ada juga gagalnya, paling ya cuma gerimis gitu. Tapi mahasiswa udah bilang makasih pak. Ya bukan sama saya lah, makasih sama Tuhan dan diri anda sendiri gitu lho. Jadi kadang kita suka salah kaprah. Kadang-kadang juga saya mainmainin aja,” guraunya. Menurutnya, hujan bisa dikontrol karena itu semua kehendak Tuhan. Syaratnya hanya berdoa kepada Tuhan agar kegiatannya berjalan baik, tentu suksesnya apabila tidak hujan. Ia juga berdoa dan menyalurkan energi. Tidak ada keterlibatan panitia. “Syaratnya, kita berdoa bersama-sama. Misalnya anda panitia nih, kan bingung, semoga ga hujan. Tapi pemikirannya bingung, kalo hujan gimana. Jadi nggak konsentrasi kan. Sehingga kalian minta
46
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
“ Mungkin jujur, itu aja. Kan kalau bohong dibawa terus, kalau jujur kan udah lepas tanggung jawab. Jujur itu filosofi yang paling utama. Karena jujur itu membawa energi positif lho. Apa yang kita ucapkan itu energi. Kalau bohong kan energinya negatif. Kalo terus-terusan kan mukanya jadi jelek, kusam,” Boulevard tertarik mewawancarai Bambang Rudito karena penasaran dengan profesinya yang dosen sekaligus ‘pemindah hujan’. Sekitar dua jam lebih kami berbincang dengannya. Lebih jauh kami menemukan bahwa ia memang sangat menjunjung tinggi integritas dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. “Saya tidak ingin orang-orang menganggap bahwa keberhasilan suatu kegiatan, apabila tidak hujan itu karena pawang hujan. Tetapi keberhasilan tersebut adalah karena doa yang dikabulkan oleh Allah,” Dirasa sudah cukup, kami berpamitan undur diri. Tepat keluar dari gedung SBM, ternyata hujan sudah tidak turun lagi. Langit sangat cerah siang itu. []
DOK. BAMBANG RUDITO
Ketika musim perkawinan orang-orang menggunakan jasa pawang hujan sehingga frekuensi pemindahan hujan kerap terjadi. Kadang menjadi sulit diperkirakan. Yang paling sering menyewa ‘jasa’nya untuk memantau hujan adalah ITB, terutama ketika banyak kegiatan, baik fakultas maupun mahasiswa.
gelitik
Protokoler ITB : “Ibarat Garam di Sayuran” Oleh Wivia Octarena Nugroho
Di hari wisuda kakak senior, teman, sahabat, bahkan kekasih, langkah kita hanya terhenti pada gerbang luar sabuga. Saat mata kita menelisik masuk ke dalam Sabuga, dari kejauhan tampaklah beberapa orang mengenakan pakaian formal rapi, lengkap dengan sebuah pin di dadanya yang terlihat sibuk mengurusi berbagai hal, mereka adalah Tim Protokoler ITB. Banyak dari kita yang mungkin tidak terlalu sadar secara menyeluruh mengenai keberadaan mereka. “ITB itu sangat peduli dengan ketertiban acara dan sangat perhatian kepada kerapihan acara. Oleh karena itu, tim protokoler itu ada,” demikian yang diutarakan Anis Sussieyani, Kepala Sub Direktorat Protokol dan Dokumentasi ITB. Anis menjelaskan bahwa tugas tim protokoler adalah bertanggung jawab atas semua kegiatan-kegiatan resmi ITB seperti Wisuda, Dies ITB, Penerimaan Mahasiswa Baru, dan Peringatan Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia. “Wisuda itu harus khidmat, nah itu yang dijaga oleh protokoler,” terang Dhyan Kusuma Ayuningtyas (FKK’09) yang ikut bergabung dalam Tim Protokoler ITB. Terkadang tim protokoler juga diminta oleh salah
satu fakultas atau sekolah untuk membantu menyelenggarakan seminar atau acara acara lainnya. Selain itu, tim protokoler juga bertugas sebagai Information Desk di Pusat Informasi Kampus. Menurut Anis, kegiatan protokoler itu sebenarnya sudah ada sejak dahulu pada saat beliau masuk ITB tahun 1995. Pada saat itu, Tim Protokoler ITB terdiri dari karyawan dan beberapa mahasiswa yang sudah terlibat menjadi MC, namun memang belum ada bentuk secara formal/resminya. Baru pada tahun 2004, mulailah terpikir untuk mencari lebih banyak mahasiswa dengan pertimbangan karyawan mempunyai tugas rutinnya sendiri. Maka, pada tahun 2005, recruitment tim protokoler mahasiswa mulai dilakukan secara resmi. Pada tahun inilah angkatan pertama protokoler untuk mahasiswa terbentuk. “Segala sesuatunya menjadi lebih tertib,” jelas Anis. Untuk menjadi anggota tim protokoler, seorang mahasiswa dapat mengirimkan CV terlebih dahulu. Syaratnya lainnya adalah sudah lulus TPB dan tidak pernah mendapat IP satu koma. Hal ini disebabkan akademik merupakan concern utama. “Kami tidak FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
47
mau kegiatan-kegiatan yang nanti mereka lakukan itu mengganggu perkuliahan. Kuliah itu numero uno, nomor satu!” tegas Anis. Bahkan, Anis tidak pernah memberikan ijin untuk tidak kuliah dengan alasan bertugas sebagai tim protokoler. “Seperti kasus saat wisuda kemarin ada beberapa pembawa acara tidak bisa tugas karena sedang kuliah, ya saya carikan yang lain,” terangnya.
“Wisuda misalnya, kalo sudah selesai menerima tamu, sebagian orang mungkin berpikir ngapain berdiri-berdiri aja? Padahal sebenarnya, masih banyak yang harus dilakukan. Barangkali ada orang yang ingin bertanya, ada orang yang ingin ke toilet, ada orang yang sakit minta diantar ke tempat kesehatan,dsb. Jadi kita memang betul-betul melihat minat mereka,” tambah Anis.
Setelah proses administrasi dilewati, masuk tahapan wawancara untuk melihat minat dan kondisi peserta. “Ditanya tentang pengalaman, organisasi, manajemen waktu, prioritasnya, juga bahasa inggris. Jadi, protokoler itu harus bisa bahasa inggris,” cerita Dhyan.
Bagi peserta yang lulus psikotes, diberikan pelatihan selama 4 kali pertemuan. “Materinya macam-macam, seperti komunikasi, wawasan tentang ITB, dasar2 protokoler, public speaking, dan lainnya,” jelas Dhyan kembali. Dalam pelatihan itu kembali dilihat kehadiran dan keaktifan, dua hal ini lah yang membuat Dhyan dipilih menjadi peringkat atas penilaian selama pelatihan pada proses recruitment Protokoler angkatan 2012. Dari segi jumlah sendiri, CV yang masuk pada proses recruitment Protokoler angkatan 2012 berjumlah 135 dan dari 135 tersebut, sebanyak 78 orang diterima menjadi Tim Protokoler 2012.
Setelah tes wawancara, tahap selanjutnya seleksi protokoler adalah psikotes. Sebenarnya, pada proses recruitment protokoler sebelumnya, psikotes dilaksanakan terlebih dahulu lalu tes wawancara, namun kebijakan baru mendahulukan tes wawancara. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan ingin menilai peserta secara langsung dan ingin melihat minat sesungguhnya dari peserta karena pada dasarnya kegiatan-kegiatan protokoler kalau orangnya tidak suka, itu sangat membosankan.
48
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
Bagi Protokoler yang berminat menjadi MC, akan dilakukan tes lebih lanjut. “Pembawa acara tidak bisa sekedar dia berani, namun ada kriteria khusus
BOULEVARD/MITA
gelitik
gelitik
“
Setiap saya bertugas dalam acara apapun, saya harus terus mencari solusinya dari setiap masalah yang muncul, disitulah pengalaman yang paling penting yang saya dapatkan. Disini toleransinya sangat kecil bahkan tidak ada, jadi kamu harus terus dituntut mencari solusi yang pas.
”
yang kita minta untuk menjadi pembawa acara,” terang Anis. Dari 78 orang tersebut, ada kisaran 20 orang lebih berminat menjadi pembawa acara di ITB. Dalam menugaskan protokoler untuk suatu acara, terdapat koordinator/penanggung jawab umum dari protokoler dan terdapat koordinator fakultas yang keduanya bertugas selama masa kerja 6 bulan Ketika ada satu acara, Anis akan menghubungi koordinator umum, yang saat ini dipegang oleh Faisal (MRI’09), untuk mencari yang dapat bertugas sesuai kebutuhan. Koordinator umum ini yang akan menghubungi koordinator di tiap fakultas. Selanjutnya daftar anggota protokoler yang bersedia beserta nomor teleponnya akan disampaikan ke Kasubdit Protokoler. Kordinator Umum dan Kordinator Fakultas sangat berperan penting dalam mencari siapa yang beretugas, sehingga semua anggota protokoler dapat bertugas secara merata. “Nanti Faisal yang menghubungi saya dan koordinator fakultas lainnya butuh berapa orang dari fakultas kami, lalu kami, koordinator fakultas, akan menjarkom, mencari kebutuhan orang tersebut. Bagi orang yang bertugas akan kami checklist agar tugas selanjutnya dapat kami berikan kepada yang belum bertugas untuk pemerataan tugas,” jelas Dhyan yang juga merupakan Koordinator SF.
segala media social, baik milis, grup Facebook, YM, Twitter, dan lain-lain demi kemudahan informasi. “Jadi kadang kalau saya ingin menghubungi seseorang ternyata lewat handphone susah, saya coba lewat yang lain,” terangnya. Dhyan sebagai Koordinator Fakultas selain melakukan tugas diatas, juga bertugas untuk membuat database protokoler di Fakultasnya kembali. Beberapa kendala yang terkadang ditemui adalah bila acara dilaksanakan di hari-hari efektif kuliah, seperti contohnya hari Rabu. Pada hari efektif kuliah, mencari orang lebih susah karena lebih banyak protokoler yang tidak bisa karena ada kuliah. Bahkan terkadang bukan tidak mungkin bila saat mencari orang yang bertugas didapati kuota untuk protokoler wanita sudah penuh, sedangkan untuk laki-laki masih kurang. Selain itu, kendala lain yang mungkin dialami adalah masalah pendataan protokoler yang sudah lulus yang harus direkap kembali untuk dilihat manakah protokoler yang masih aktif dan yang tidak aktif. Sejuta Pengalaman “Protokoler itu ibarat garam di sayuran, dibutuhkan namun tidak pernah dipuji,” ujar Yusuf Bachtiar (SI’09) yang juga bergabung menjadi anggota Tim Protokoler ITB saat ditanya mengenai pengalaman menjadi protokoler. Bukan suatu hal yang mustahil saat menjadi protokoler harus menghadapi orang tua wisudawan yang memaki-maki. Bahkan, kontak fisik itu sangat mungkin terjadi. “Itu salah satu cara untuk mengasah keberanian dan rasa percaya diri Anda,” komentar Anis menanggapi hal tersebut secara positif. “Walaupun wisuda itu acara rutin namun wisuda itu acara paling hectic dan paling banyak pengalaman. Yang dihadapi pasti beda-beda,” tambahnya. Bagaimana dengan reward? ITB sebagai instansi sangat menghargai kerja keras anggota protokolernya. Untuk semua kerja keras itu, ITB memberikan reward yang sesuai. Yang lebih penting adalah mereka mendapatkan pengalaman yang sangat berharga dan semua ini merupakan pelatihan soft skill. “Setiap saya bertugas dalam acara apapun, saya harus terus mencari solusinya dari setiap masalah yang muncul, disitulah pengalaman yang paling penting yang saya dapatkan. Disini toleransinya sangat kecil bahkan tidak ada, jadi kamu harus terus dituntut mencari solusi yang pas. Itu ngasih pelajaran banget buat saya,” akui Dhyan menutup perbincangan. []
Selain itu, Anis juga sangat terbuka terhadap
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
49
resensi
Sepotong Hati yang Baru Oleh Windi Anarta Draniswari
Kumpulan cerpen yang memuat 8 cerpen ini dikemas sedemikian menarik sehingga tidak akan membuat pembacanya merasa bosan. Tere Liye pandai meramu cerita yang berbeda satu sama lain dengan tetap fokus pada esensi kumpulan cerita secara umum tentang pemahaman tentang masalah hati. Mulai dari latarnya saja, ada yang mengambil latar daerah perkotaan dengan kehidupan ala remaja sekarang, kehidupan zaman Belanda yang lengkap dengan pemakaian ejaan bahasa zaman dulu bahkan sampai latar pewayangan Rama-Shinta pun termuat disini. Buku ini tidak menyihir pun tidak mendoktrin tapi membawa kita memahami hal-hal yang berkaitan dengan perasaan, membawa kita mengenang dan bahkan merasa bodoh lalu memunculkan pemahaman baru. Buku ini membawa kita berpikir lebih rasional tentang perasaan, menggabungkan perasaan dan logika. Hari gini masih sering galau? Masih sering menjadi korban perasaan? Sepertinya buku ini patut untuk dicoba. []
JUDUL : SEPOTONG HATI YANG BARU
Demi Ucok
PENULIS : TERE LIYE
Oleh Adinda Restu Larasati
PENERBIT : MAHAKA PUBLISHING CETAKAN I, OKTOBER 2012 Bicara masalah perasaan memang tak ada matinya. Apalagi di jaman sekarang, makin banyak remaja terbelenggu dalam masalah hati, yang dalam bahasa sehari-hari kita sering menyebutnya sebagai ‘galau’. Bahkan mungkin kini ini menjadi tren tersendiri. ‘Nggak keren kalau nggak galau’. “Sepotong Hati yang Baru”. Judulnya saja sudah menjurus ke satu titik. Melihat tulisan ini di sampul buku berwarna pink tersebut rasanya seperti menemukan buku khayalan yang penuh anganangan. Cerita boleh fiksi namun sejatinya judul itu merepresentasikan apa yang penulis novel ini, Tere Liye, harapkan pada pembacanya. Ringan namun penuh esensi, Tere Liye berusaha menghadirkan pemahaman mendasar mengenai bagaimana mengelola hati. Pemahaman ini dikemas secara baik, membawa pembaca merefleksikan diri dari kisah-kisah soal hati, mulai dari penyakit ringan seperti kegeeran, cemburu, sampai cinta yang penuh pengorbanan dan intrik di dalamnya. Tak hanya realistis dan menyentuh hati, buku ini juga memiliki sisi humor ala Tere Liye. Humor ringan yang kalau kita pikir lagi akan berujung pada pemikiran ‘wah, kita banget’.
50
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
SUTRADARA: SAMMARIA SIMANJUNTAK DURASI: 75 MENIT GENRE: DRAMA, KOMEDI. PEMAIN: GERALDINE SIANTURI, LINA MARPAUNG, SAIRA JIHAN, SUNNY SOON Setelah menghasilkan film pertamanya yang berjudul Cin(T)a, Sammaria Simanjuntak dengan gemilang menggarap film berdana rendah keduanya. Tak tanggung-tanggung penghargaan seperti Film Terbaik versi Majalah Tempo 2012, Nominasi FFI 2012 Film Terbaik, dan Best Supporting Actress
resensi 2012 untuk Mak Gondut di FFi berhasil disabet film ini. Demi Ucok mengisahkan perjalanan gadis Batak bernama Gloria, seorang sutradara amatir. Glo yang tidak punya biaya untuk memproduksi filmkeduanya, diiming-imingi duit 1 Milyar oleh Mak Gondut, ibunya, dengan syarat Glo mau menikah dengan lelaki Batak. Kejadian-kejadian lucu terjadi dalam proses pencarian jodoh untuk Glo. Mak Gondut menjadi potret seorang Ibu yang ingin melihat anaknya bahagia. Sayangnya kebahagiaan ala Mak Gondut berbeda dengan kebahagiaan yang dimaksud sang putri, Glo. Glo tidak ingin langsung kawin, lantas lupa mimpi. Karakter Gloria yang grumpy dan selalu rengatrengut didukung oleh side kick yang berkarakter khas dan lucu yang menambah unsur komedi dalam film. Akting natural Mak Gondut, yang juga merupakan Ibu kandung dari sang sutradara, membuat penonton merasa akrab dengannya. Terasa ada sedikit kekurangan pada proses pengeditan Demi Ucok. Pengadegan yang berlangsung ringkas, mungkin disebabkan oleh keterbatasan dana dalam pembuatan film. Cukup nikmati film ini dengan jujur dan larut dalam dialog jenaka antara Glo dan Mak Gondut yang mungkin terselip dalam percakapan antara kita dan makmak kita sehari-hari. Pesan moral dalam film ini tidak disebutkan secara eksplisit seperti kebanyakan film yang marak beredar. Sammaria yang juga merupakan alumni Arsitektur ITB 2001 ini mengajak kita untuk menemukan sendiri pelajaran dari setiap adeganadegan yang ada dalam film.
Life of Pi Oleh Warda Marisa SUTRADARA : ANG LEE DURASI: 127 MENIT GENRE: DRAMA, PETUALANGAN PEMAIN: SURAJ SHARMA, IRFAN KHAN, ADIL HUSSAIN
Life of Pi merupakan film layar lebar yang digarap oleh sutradara jawara Academy Award, Ang Lee. Film ini diangkat dari sebuah novel karangan Yann Martel dengan judul yang sama. Life of Pi bercerita tentang petualangan seorang anak lelaki keturunan India bernama Piscine Patel dengan nama panggilan, Pi, dalam bertahan hidup terapung di tengah samudera Pasifik. Petualangan Pi dimulai ketika kapal yang ditumpangi Pi dan keluarganya untuk bermigrasi ke Kanada karam diterjang badai ganas. Pi yang masih bertahan hidup terjebak bersama seekor harimau Bengal bernama Richard Parker. Menyadari dirinya harus memberi makan atau dirinya yang menjadi santapan harimau itu, Pi mulai mencari ikan di laut dan mengumpulkan air hujan untuk diminum. Pi mencoba melatih Richard Parker untuk menerimanya untuk bertahan hidup. Dalam film garapannya, terlihat sutradara Ang Lee mempersembahkan film Life of Pi dengan detail kehidupan satwa laut dengan luar biasa dan begitu hidup. Bahkan dengan mudah, penonton dapat percaya seluruh satwa tersebut adalah satwa terlatih bukannya produk CGI (computer–generated imagery). Salah satu prestasi termegah Lee adalah proyeksi visual Pi tentang apa yang Richard Parker lihat saat ia menatap ke kedalaman laut, yaitu mikrokosmos yang menakjubkan dari kedalaman laut yang menjadi alegori dan plot film. Dengan menonton film ini, penonton juga diajak untuk melihat berbagai macam kehidupan laut yang penuh dengan detail yang kaya, mulai dari bioluminescence yang gemerlapan hingga paus yang melompat dengan indah dari dalam laut. []
FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
51
resensi
The Triangle Oleh Ahmad Z. Ihsan
Setelah ramai diperbincangkan di ARTIST: THE TRIANGLE akan mengerti tentang kita.” skena musik lokal karena mengisi JUDUL: -SELF-TITLEDOne-sided Affair, adalah sebuah original soundtrack untuk film WAKTU RILIS: NOVEMBER 2012 sebuah pengakuan yang berskala nasional, Perahu Kertas, maka teramat mendalam hingga pada bulan November lalu band yang PRODUKSI: LUCKY ME MUSIC keikhlasan untuk mengakhiri dibesut Riko Prayitno (bass), Fikri GENRE: INDIE ROCK sebuah kisah yang bertepuk Hadiansyah (gitar), dan Cil Hardianto sebelah tangan ini. Beranjak HARGA:RP 35.000,00 S. (vokal, keyboard), The Triangle, menuju How Could You?, lagu menelurkan sebuah full album yang berisikan 10 lagu dengan corak yang berbeda-beda. yang menjadi ost. Perahu Kertas. Lalu Tranquility of Solitude yang menjadi lagu instrumentalis dan Dipenuhi dengan nuansa gloomy nan melodius, juga menjadi pengakhir di album ini. Permainan mereka menghipnotis para pendengarnya untuk apik The Triangle terlihat dengan bagaimana terus ‘lagi dan lagi’ mendengarkan album ini. mereka memunculkan suasana gloomy dan nadaDiawali oleh ‘Great Below’, kalimat yang menarik nada yang menenangkandi sepanjang lagunya. dari Cil dan terucap berulang-ulang kali adalah Secara keseluruhan apa yang mereka suguhkan “Everything must run its course”. Sebuah gambaran di album ini adalah sebuah perjalanan kehidupan realitas kehidupan terpapar di lagu ini ditemani yang pernah dialami oleh setiap orang. Mereka juga oleh rapat ritmik gitar dan drum dan diakhiri koor mengemas kesemuanya itu dengan barisan metafor dari ramainya nada-nada yang hangat. ‘Moving On’ kata-kata yang tidak hilang makna ditambah adalah lagu selanjutnya yang terdapat di album pembawa suasana dari aransemen musiknya pada ini. Verse lagu ini mengingatkan pendengar kepada tiap-tiap lagu yang mereka libatkan ke dalam band rock legendaris asal Irlandia, U2 dengan album ini. Nilai lebih pada album ini adalah racikan dari tersendiri dari The Triangle. Teruntuk garapan sampul dan artwork yang dipenuhi dengan muda-mudi ‘galau’, tampaknya lagu ini sangat tanda tanya, membuat kita semakin penasaran cocok untuk menjadi pemantik semangat mereka untuk menelaah pesan-pesan terselubung sambil untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Keep menikmati album ini. moving on yaw! Lagu ‘Tentang Kita’ yang diilhami dari lagu Dewi Lestari, ‘Malaikat Juga Tahu’, dan juga berhasil menjadi lagu berbahasa Indonesia pertama di album ini. Irama yang murung sudah terdengar dari awal lagu hingga akhirnya riuh, lambat laun menghilang. Juga potongan bait yang menggambarkan bagaimana semesta dan bergejolaknya suatu hubungan saling berkaitan, “Mereka semua tak
52
BOULEVARD 74|FEBRUARI 2013
Tetapi di sini yang harus diperhatikan adalah dosis gloomy ambience mereka yang melebihi batas cukup. Hal tersebut dapat saja membuat jenuh suatu saat para pendengarnya dan untuk menambah cita rasa dari masing-masing lagu. Sebenarnya eksplorasi dari nuansa-nuansa masih bisa digali lebih dalam lagi. []
resensi
Mumford and Sons: “Babel” Oleh Ahmad Z. Ihsan single mereka yang berjudul ‘Lover of the Light’, romantisme yang ditawarkan oleh Mumford and Sons di lagu ini memang sedikit berandai tetapi dengan berandai-andailah mereka dapat menciptakan susasan kehangatan suatu hubungan.
ARTIST: MUMFORD AND SONS JUDUL: BABEL WAKTU RILIS: 21 SEPTEMBER 2012 GENRE: INDIE FOLK Mumford and Sons, band yang telah sukses meraih banyak penghargaan platinum dari beberapa negara berkat penjulan album pertama mereka, Sigh No More, sekarang giliran full album mereka yang kedua bertajuk Babel yang mereka ciptakan. Band yang digawangi oleh para intrumentalis Marcus Mumford, Ben Lovett, Winston Marshall, dan Ted Dwane ini mengaku bahwasannya di album terbarunya ini banyak melakukan eksperimen di beberapa departemen musiknya, penambahan brass section di sana-sini, sehingga musik mereka tidak terkesan menuturkan sesuatu yang mentah, tetapi lebih terkesan penuturan yang tertata rapi dan megah.
Dengan total 15 lagu di album ini, Mumford and Sons menyuguhkan tema-tema yang berbeda di setiap lagunya. Ada kalanya Mumford menjelma menjadi penceramah dengan tonal yang khas, tuturan pertanyaaan seputar peliknya kehidupan yang ia jawab dengan beberapa bagian yang melodius di lagu tersebut dan kisah percintaan yang banyak yang mengisi tema di album ini. Bagi pendengar yang mengharapkan album ini akan sama ataupun memiliki sedikit perbedaan dengan Sigh no More, maka bersiaplah untuk kecewa dan memasuki babak yang baru. Mungkin ketika pertama kali mendengarkan album ini, sedikit rasa kecewa akan menyelubungi pendengar. Memang sangat berat bagi band ini untuk mengulang kesuksesan album terdahulunya. Tetapi dari kematangan band ini dalam meramu musik mereka, bukan tidak mungkin band ini akan mengulang kesuksesan tersebut lebih-lebih melampauinya. []
‘Babel’, lagu pertama di track list mereka, diawali dengan bunyi gitar yang cepat dan disambut dengan beberapa instrumen keyboard, banjo, bass, dan drum secara bersamaan memberikan hook yang tepat untuk membangkitkan selera untuk mendengarkan track selanjutnya. Lalu ada ‘Whisper in the Dark’, reffrain lagu yang sangat menarik ini ditemani oleh ritmik suara banjo yang berlarian di telinga pendengarnya, juga penjaga tempo bass drum yang diketuk bersamaan dengan ritmik tersebut. Beberapa lagu anthemic di album ini yang patut untuk didengar adalah ‘I Will Wait’. Lalu lagu FEBRUARI 2013|BOULEVARD 74
53
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT