Boulevard ITB Edisi Khusus - Cerita dari yang Lalu

Page 1

mempersembahkan

Cerita Dari Yang Lalu

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB



d1

Persembahan

Editor & Artistik

Teruntuk para pendahulu kami:

Anas Zakaria

Lisa Santika Onggrid

Satjiptjo Raharjo Purwandono Gombang Bokir Ivan Elvi Akbar Bongek Goce

Pandu Hutagalung

Arsy Karima Zahra

Huda Al Hakim

Dzikra Yuhasra

dan kawan-kawan lainnya yang tidak bisa disebutkan satupersatu di sini.

Nadia Maghfira

Johan Iswara Ibaddurahman M. Bahrul Ilmi Nurina Maretha R.

Razky Rahadian Sugiarto Effie Farida Nurmala Nurani Istiqomah Rizki Nur Fitriansyah

Adinda Yuwono

Margareta Vania

Alma Cantika

Arum Adiningtyas

Yola Kamalita

Brigitta Merylla

1 #ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Daftar Isi kemahasiswaan Pasca SPB No.4

Sekapur sirih B

LEMBAga sentral mahasiswa - 1994

Student Government - 1994 Ketua LBH Bandung:

Tidak Ada Alasan Menolak LSM

eragam artikel yang kami sajikan pada edisi kali ini merupakan kumpulan artikel dari media 90-an. Mengulas hal-hal yang memiliki keterkaitan yang erat dengan dunia kemahasiswaan ITB di saat ini, dua dekade setelah artikel-artikel tersebut dimuat.

Lembaga Sentral Mahasiswa

Mengutip perkataan seorang Bung besar peletak dasar negara, “Janganlah sekali-kali kalian melupakan sejarah.” –Soekarno, seolah menjadi alasan kami dalam menghadirkan edisi ini.

MPM di Persimpangan

Meneruskan informasi agar tidak tertinggal begitu saja di belakang. Melakukan edukasi agar massa kampus dapat mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang telah lalu. Hal ini semata-mata agar kita tidak lagi terjatuh di lubang yang sama, karena tidak mau melihat dan mengambil pelajaran dari sejarah kemahasiswaan di kampus ini. Mungkin beragam kondisi membuat banyak sekali perbedaan antara kemahasiswaan dulu dan sekarang. Beragam penyegaran memang perlu dilakukan. tapi esensi dari kemahasiswaan sendiri harus dapat terus kita pertahankan. Lalu apa esensi dari kemahasiswaan? Hanya diri kita sendiri yang bisa menjawabnya. Akhir kata, selamat menikmati edisi khusus dari Boulevard ITB!

SEBUAH KEBUTUHAN YANG MENDESAK Siap-siap, SMPT datang ! Kasak-kusuk Reformasi Kemahasiswaan MUNDUR SETAHUN BERSAMA KM-ITB Aksi Untuk Buruh: Peduli atau Trendy Aksi mahasiswa di mata mahasiswa

Antara Hasil dan Proses

Mahasiswa Bergantung pada Ide-Ide yang Abstrak dan Sesaat “Anak SC” Digugat SC Tidak Satu Dimensi Peristiwa Buku Putih 1978 Refleksi Kekritisan Dan Perlawanan Mahasiswa

Peran dan Gerakan Mahasiswa Pasca NKK/BKK Purwandono (Ipung), anggota HMS

Mengapa Kita Turun ke Jalan ? MAHASISWA, BERDAYAKAN RAKYAT

3

2 #ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Bagian

1 Kemahasiswaan Terpusat

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


D

i penghujung dua minggu yang sangat sibuk dan penuh ketegangan itulah ketua-ketua him­ punan mengeluarkan surat pernya­taannya. Surat pernyataan keempat ini, setelah tiga surat pernyataan se­ belumnya dianggap sepi, berisi pengunduran diri ketua himpunan mahasiswa jurusan ITB.

sangat tidak sehat aki­ bat sikap pimpinan ITB yang sangat anti sikap intelektual. Karena itu, “Mundurnya ketua himpunan me­rupakan mosi tidak percaya maha­siswa terhadap kebijaksanaan pim­ pinan ITB dalam menangani masa­lah kemahasiswaan pada khususnya dan pendidikan pada umumnya,” demikian ungkap Santo, mantan ketua HMTG GEA. Pendapat sena­ da diungkapkan pula oleh mantan ketua himpunan lain seperti Pur­ wandono dari HMS dan Ervan dari HMTM `PATRA’. Secara khu­sus, mantan ketua HMT, Rudi, mengungkapkan bahwa langkah itu juga untuk meningkatkan bargaining position. Sedangkan Endra, mantan ketua HMTL, berkata, “Se­lama ini kita boleh berorganisasi te­tapi tidak boleh bertanggung jawab. Artinya kita boleh beraktivitas tetapi tidak diberi kepercayaan untuk me­ lakukan itu.” Hal yang dimaksud Endra adalah mahasiswa tidak di­percaya untuk mengadakan kegiatan yang murni ide mahasiswa.

Mundurnya para ketua him­ punan tidak mengakibatkan pembe­ laan mahasiswa terhadap Yos dan Mey jadi mandek. Aksi malah ma­ kin berkembang menjadi aksi massal. Melihat gelagat bahwa rektor tak akan bergeming oleh desakan mahasiswa, langkah lain diambil. Maka pada pagi hari tanggal 10 Fe­bruari 1994, beberapa orang ang­ gota Satgas ITB mendatangi ge­ dung DPR RI untuk menyampaikan permasalahan kasus sanksi tersebut. Sekarang, bagaimanakah strategi kemahasiswaan ITB selanjutnya?

Mosi tidak percaya yang di­ lontarkan beberapa ketua himpunan dalarn pandangan Dody, presiden KMSR, hanya merupakan mosi tidak percaya pribadi ketua himpunan. Tapi pada kenyataannya mun­ durnya ketua-ketua himpunan diteri­ ma oleh rapat anggota masing-ma­ sing hirnpunan, bahkan setelah kemunduran itu sebagian besar him­punan tidak melakukan konsolidasi untuk memilih ketua baru.

SPB No.04/FKHJ/11/1994

kemahasiswaan Pasca SPB No.4

lembaga sentral mahasiwa Ketua himpunan boleh mundur. tapi aksi jalan terus. Semangat ini nampaknva sungguh-sungguh dihayati oleh mahasiswa-mahasiswa ITB dalam pembelaan mereka terhadap nasib Meylana dan Yosalfa*. Waktu-waktu terakhir ini mereka padati dengan aksi solidaritas, poster-poster, dan pernyataan sikap. Yang menarik ternyata pers nasional juga ikut meresonansi kegelisahan di kampus ini. Ditambah lagi dengan mengalirnya pernyataan dukungan dari kampus-­kampus lain bahkan anggota DPR RI Sri Bintang Pamungkas menyempatkan diri datang ke ITB untuk menyampaikan suratnya kepada Rektor ITB. Isinya, tak tanggungtanggung, meminta Prof. Wiranto Arismunandar untuk mundur. Selang beberapa hari kemudian giliran beberapa orang alumni ITB datang ke kampus Ganesha. Mereka nampaknya tak mau ketinggalan untuk meramaikan “banjir pernyataan itu”. Hebatnya, kalau Sri Bintang hanya sekedar meminta, maka para alumni yang jumlahnya sekitar empat puluhan ini menuntut sang rektor untuk turun dari jabatannya. Tak pelak lagi tragedi Mey dan Yos telah menjadi isu nasional.

Lewat Surat Pernyataan Bersama No.04/FKHJ/11/1994, enam belas ketua himpunan mengundur­kan diri dari jabatannya. Sebagai konsekuensinya maka mereka tidak lagi duduk di FKHJ (Forum Ketua Hirnpunan Jurusan). Untuk meng­antisipasi hal ini maka MPA (Maje­ lis Perwakilan Anggota) atau BPA (Badan Perwakilan Anggota) maju sebagai ujung tombak yang akan meneruskan kebijaksanaan-kebijak­sanaan perjuangan membela Mey­ lana dan Yosalfa. FKHJ pun beru­bah menjadi Forum Komunikasi Himpunan Jurusan. Memang dalam hal ini masih dijumpai beberapa kendala karena ternyata tidak semua himpunan mempunyai MPA/BPA. Walaupun demikian, usaha­-usaha untuk menyatukan MPA/BPA baik dalam pandangan mau­ pun kerjasama operasional masih terus dilakukan dan sepertinya mu­lai menunjukkan titik terang.

Pembantu Dekan III FTSP (sekarang FTSL dan SAPPK –red), Prijono Soemidjan, mengatakan bahwa ini hanyalah akal-akalan mahasiswa, dan dalam hal ini be­liau tidak melihat kerugian di pihak institut, “Mahasiswanya sendiri yang rugi bila tidetelah mundurmana sagainak ada ketua himpunan.” Lebih lanjut Prijono mengatakan. “Kita kan menyediakan fasilitas (himpunan dan unit -red), kalau mahasiswanya sendiri tidak mau itu terserah mahasiswa.” Beliau menekankan bahwa mahasiswa kesini untuk sekolah (kuliah -red) dan beraktivitas hanyalah suatu pilihan.

Mosi Tidak Percaya Menurut Hansen, mantan ketua IMA-G, kondisi kemahasis­ waan sudah

7

6 #ceritadariyanglalu

Institut Tidak Rugi

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


juga memiliki fungsi untuk memberikan legitimasi kekuasa­ an organisasi terhadap berbagai aktivitas kemahasiswaan. Sejak Dewan Mahasiswa dibubarkan, mahasiswa ITB tidak la­ gi memiliki sebuah badan eksekutif pu­sat yang mempunyai kapasitas tinggi dan representatif bagi mahasiswa. Sega­la macam komando, kegiatan, dan pembinaan dikembalikan ke kantongkantong himpunan. Pengkonsentrasian ba­sis himpunan dalam kurun waktu yang cukup panjang telah membentuk bah­ kan kadang-kadang menonjolkan karak­ ter masing-masing himpunan.

Sementara itu, ketika dijum­ pai Boulevard pada kesempatan yang berbeda, Pembantu Dekan III FTM (sekarang FTMD –red), Rizal Astrawinata, dalarn me­ nanggapi mundurnya ketuaketua himpunan mengatakan, “Menurut hemat saya, para ketua himpunan tersebut telah sengaja menafsirkan secara keliru makna dan hakikat ke­ hidupan masyarakat ilmiah semata­-mata untuk pembenaran tindakan pengunduran diri mereka.” Dari tanggapan yang terungkap dapat di­ lihat adanya pandangan yang ber­ beda antara mahasiswa dan pihak institusi. Mahasiswa memandang bahwa beraktivitas merupakan suatu bentuk pendidikan, baik itu aktivitas fisik (olahraga) ataupun aktivitas kesenian dan kebudayaan, se­dang menurut PD III FTSP berakti­v itas hanyalah suatu pilihan.

Memang dengan terbentuknya Forum Ketua Himpunan Jurusan, bebe­ rapa masalah dapat diantisipasi walau­pun hasilnya belum optimal. Masih ada keinginan serta usaha untuk mempertemukan himpunan-himpunan (melalui ketuanya) dalam satu meja. Bagaimana­ pun, ketuaketua himpunan yang duduk di forum ini secara langsung memikul beban ganda. Ke luar, mereka dituntut untuk menyelesaikan masalah-masalah kemahasiswaan sekaligus sebagai deci­ sion maker. Sementara ke dalam, me­reka dituntut untuk menangani persoal­an internal himpunan yang memang men­jadi tanggung jawabnya. Beberapa hal-­hal teknis lain yang menjadi kendala ba­gi mekanisme FKHJ tidak bisa dibiar­ kan berlarut-larut. Untuk mengefektif­ kan kembali “mesin kemahasiswaan” mutlak diperlukan sebuah mekanisme yang bisa menjamin terciptanya kondisi kemahasiswaan yang lebih dinamis.

Lembaga Sentral Mahasiswa (LSM) Perkembangan paling mutakhir dari kasus sanksi ini telah rnenam­pilkan legislatif himpunan sebagai legitimator setiap aksi pembelaan yang dilakukan mahasiswa. Tapi adalah suatu hal yang sia-sia jika tampilnya badan legislatif hanya berhenti pada langkah penanganan kasus Mey dan Yos, karena apa yang dilakukan oleh ba­dan eksekutif merupakan pengorbanan yang cukup besar bagi dunia kemahasis­ waan di ITB. Dengan demikian mereka (sebagai badan legislatif) bisa me­ ngembangkan sebuah bentuk kepemim­ pinan mahasiswa yang lebih aspiratif dan kondusif. Bukan tidak mungkin dengan pengunduran ketua-ketua him­punan akan menjadi momentum terben­ tuknya sebuah lembaga sentral mahasis­wa (LSM).

Cikal Bakal Lembaga Sentral “Dengan turunnya ketuaketua eksekutif himpunan maka yang sekarang muncul adalah ketuaketua legislatif yang sifatnya lebih meng’anggota’, ini merupakan perwujudan aspirasi anggota dan kemahasiswaan ITB akan dibangun dengan struktur dasar semacam ini,” demikian pendapat Hansen. Selain itu harapan terbentuknya LSM dalam waktu dekat dirasakan pula oleh (mantan) ketua-ketua himpunan lain. “Mudah-mudah­an ini bisa menjadi cikal bakal lembaga sentral,” tandas Santo. Lebih

Sistem organisasi yang disebut LSM mempunyai koordinasi dan legiti­masi seluruh mahasiswa yang lebih je­las. Aktivitas LSM memberikan kesem­ patan yang lebih besar untuk mengem­ bangkan potensi individu. LSM meru­ pakan upaya yang lebih riil dalam me­ nyelenggarakan mekanisme kepemim­pinan seluruh mahasiswa ITB. Selain berfungsi sebagai media untuk mengembangkan potensi aktivitas kemaha­ siswaan, LSM

Hanya saja benarkah FKHJ dan BKSK sudah merupakan bentuk lembaga sentral yang dlinginkan mahasiswa seperti yang diungkapkan Prijono? Bila kita melihat struktur organisasinya FKHJ dan BKSK hanya merupakan lembaga komunikasi antar lembaga, karena didalamnya tidak terdapat pernbagian kewenangan yang jelas (baca: tidak punya struktur organisasi), walaupun pada FKHJ periode yang lampau pernah dibentuk Badan Pekerja untuk membagi wewenang, tetapi BP itu sendiri tidak jalan. Selain itu mahasiswa menganggap FKHJ terialu lamban untuk bertindak dan kurang jeli membaca persoalanpersoalan kemahasiswaan, apalagi persoalan kemasyarakatan. (tor/bokir/ ivan/rps/dolf)

Infrastruktur Belum Siap Walaupun nada optimis terdengar disana-sini ada pula pendapat yang kurang begitu yakin. “Bagus sekali! Itu me­mang sudah disepakati waktu Muker FKHJ dan Unit-unit (September 1993), dan kalau sekarang kita ingin membentuk lembaga sentral, kita mesti me­nahan diri dulu karena kasus ini (Mey dan Yos, red.) harus diselesaikan dulu. Jangan sampai kita buru-buru membentuk lembaga sentral hanya untuk mengejar legitimasi, sedangkan struktur dalamnya sendiri ma­sih rapuh,” ungkap Ervan. Na­da serupa juga dilontarkan oleh Endra, “Itu betul (pendapat Mulya; red), tetapi infrastruktur kita juga belum siap, artinya belum begitu merata, walaupun beberapa kelembagaan infras­ trukturnya cukup baik, tetapi beberapa kelembagaan lain belum optimal. Sehingga agak be­ rat kalau kita katakan bahwa lembaga sentral sudah tinggal gongnya.” Walaupun demikian Endra sependapat bahwa kon­ disi kemahasiswaan sudah membaik terutama dengan terli­batnya unit-unit secara aktif da­lam memecahkan masalah-ma­salah kemahasiswaan.

*)Meylana adalah dan Yosalfa adalah ketua panitia ospek dan ketua himpunan HMFT, keduanya dikenai sanksi skorsing sebanyak tiga semester dari rektorat dikarenakan kegiatan orientasi jurusan yang diselenggarakan HMFT dianggap melanggar ketentuan ITB.

Lain dengan pendapat mahasiswa, Prijono Soemidjan berpendapat bahwa sebenarnya lembaga sentral itu sudah ada, “Kita dialog dengan FKHJ itu kan sudah merupakan SMPT, cuma mahasiswa saja yang tidak terima bentuk itu.” Dan kalau mahasiswa menginginkan bentuk lain terutama dalam hal posisi mahasiswa terhadap rektorat, beliau menganggap itu melanggar ketentuan yang berlaku. “Aspirasi dari mahasiswa boleh saja, tetapi kan tetap atas yang menentukan.” Dalam pandangannya lembaga sentral mahasiswa (baca: SMPT), sesuai

edisi 11 - IV Februari 1994

9

8 #ceritadariyanglalu

dengan keputusan menteri merupakan lembaga normatif mahasiswa. Dalam PP No. 30 tahun 1990, disebutkan bahwa SMPT merupakan kelengkapan non struktural lembaga perguruan tinggi dan bertanggung jawab kepada pimpinan perguruan tinggi.

ekstrim, Mulya, mantan ketua IMG, sangat yakin akan terbentuknya LSM dalam waktu tidak lama lagi, “Saya pikir lembaga kemahasiswaan sekarang (LSM; red) tidak perlu lagi legitimasi dari atas, melainkan yang lebih penting dukungan/legitimasi dari maha­ siswa, dan prospeknya saya rasa kita tinggal menunggu ‘gong’-nya!”, tandasnya.

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Dewan Mahasiswa ITB

Mahasiswa (MPM), sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dalam DM ITB dan Badan Pekerja DM ITB. Tetapi selain itu, DM ITB juga mengenal Senat Mahasiswa Departemen sebagai organ tertinggi di tingkat departemen dan Himpunan Jurusan sebagai organ tertinggi di tingkat jurusan.

P

Student Government Kemahasiswaan ITB telah menempuh perjalanan waktu yang sangat panjang. Selama rentang waktu itu pula berbagai peristiwa telah ikut mewarnai lembaranlembaran sejarah kampus ini. Di antara sekian banyak faktor yang telah ikut ambil bagian dalam menentukan arah bergulirnya roda sejarah kemahasiswaan di kampus ini adalah terbentuknya organisasi-organisasi kemahasiswaan dengan keseluruhan stuktur dan mekanismenya.

ada tanggal 13 April 1954 telah terbentuk Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Bandung (SMFTB) sebagai bagian dari Dewan Mahasiswa Universiteit Indonesia Bandung (DMUIB). DMUIB sendiri dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1952. SMFTB ini lahir setelah sebelumnya mahasiswa membentuk himpunan mahasiswa di jurusannya masingmasing, yaitu Himpunan Mahasiswa Bangunan Mesin pada bulan Desember 1948, Himpunan Mahasiswa Elektroteknik (HME) tanggal 10 Oktober 1951, Himpunan Mahasiswa Teknologi Kimia tanggal 26 September 1952, Himpunan Mahasiswa Sipil (HMS) tanggal 30 Mei 1954 dan Himpunan Mahasiswa Fisika Teknik (HMFT) pada tanggal 1 Januari 1954. Pada bulan November 1957 dimulailah perundingan antara Badan Pekerja Senat Mahasiswa Fakultas Teknik (SMFT) dan Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (SMFIPIA) tentang pembentukan Dewan Mahasiswa. Untuk pertama kalinya, pada tanggal 2 maret 1959, Dewan Mahasiswa ITB sebagai Lembaga Sentral Organisasi Mahasiswa ITB mengawali langkahnya, Lembaga Eksekutif yang pertama ini dipimpin oleh suatu presidium yang terdiri dari para pimpinan senat masingmasing departemen. Lembaga legislatif yang disebut dengan Sidang Dewan Mahasiswa, terbentuk kemudian yaitu setelah tercapai kesepakatan tentang jumlah wakil-wakil senator pada lembaga tersebut. Setelah kesepakatan tentang lembaga eksekutif, legislatif dan Anggaran Dasar berhasil dicapai, maka pada tanggal 29 November 1960, hampir dua tahun setelah ITB diresmikan, Dewan Mahasiswa ITB resmi dibentuk. Dalam naskah pelantikan DM ITB tersebut, yang juga ditanda tangani oleh Presiden ITB (sekarang Rektor), dicantumkan bahwa dalam hal-hal dan peraturan mengenai kemahasiswaan atau yang langsung mengenai ma-hasiswa, Pimpinan ITB mendengarkan pendapat dan saran dari DM ITB. Ketika pertama kali dibentuk, badan perlengkapan DM ITB terdiri dari Sidang DM ITB, yang di kemudian hari menjadi Majelis Permusyawaratan

Memasuki tahun 1966 rupanya semakin dirasakan bahwa anggaran dasar dan struktur DM ITB sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi yang ada. Ditambah lagi sejak dibubarkannya Sidang DM sehingga praktis tidak ada lagi lembaga legislatif tertinggi di dalam dunia kemahasiswaan ITB. Maka setelah melalui serangkaian rapat, muker dan sidang-sidang, akhirnya pada tanggal 12 Nopember 1966 Keluarga Mahasiswa ITB (KM ITB) diresmikan sebagai penyempurnaan dari DM ITB dengan badan perlengkapan yang terdiri dari: Majelis Permusyawaratan Mahasiswa ITB (MPM ITB) yang merupakan perwakilan mahasiswa ITB, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kemahasiswaan ITB, Dewan Mahasiswa ITB (DM ITB) sebagai badan eksekutif dan bertanggung jawab kepada MPM ITB, Badan Pertimbangan Mahasiswa ITB (BPM ITB) sebagai lembaga yang membantu DM ITB dalam memberikan saran-saran dan pertimbangan yang mengikat. Himpunan Mahasiswa Jurusan sebagai badan yang menghimpun mahasiswa jurusan di ITB dan berotonomi luas. Persoalan-persoalan yang menjadi garapan KM ITB yang baru ini sangatlah luas mulai dari masalah di seputar kehidupan akademik seperti peraturan kuliah dan ujian, Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), sampai kepada persoalan-persoalan politik nasional seperti kritik terhadap DPR, pernyataan sika[ menyangkut masalah korupsi, kenaikan harga, kasus Taman Mini Indonesia indah, penanaman modal asing (yang akhirnya meletupkan apa yang dikenal sebagai peristiwa “Malapetaka

11

10 #ceritadariyanglalu

Keluarga Mahasiswa ITB

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


ITB dan bersamaan dengan itu DM ITB mengeluarkan secara resmi Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978.

Lima Belas Januari� atau MALARI) dan penindasan hak-hak sipil oleh militer. Pada bulan Nopember 1976 diadakanlah Musyawarah Kerja Penataan Kembali Struktur KM ITB. Dalam muker ini disepakati rumusan bagan sruktural KM ITB seperti pada gambar 1.

Normalisasi Kehidupan Kampus Gerakan mahasiswa yang menghebat di sepanjang tahun 1977-1978 ditanggapi oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 19 April 1978 No. 0156/11/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Konsep NKK ini mendapat

Aksi-aksi mahasiswa yang berusaha mengungkapkan keprihatinan rakyat terus bergulir, maka pada tanggal 16 Januari 1978 DM ITB mengadakan apel siaga, yang dihadiri kurang lebih 3000 mahasiswa ITB, yang diisi dengan pembacaan Pernyataan Sikap Mahasiswa

#ceritadariyanglalu

12

Keberatan dan penentangan terhadap Konsep NKK datang hampir dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia waktu itu, sampai akhirnya pada tanggal 9 Februari 1980, dengan mengambil tempat di Kampus Ul Salemba, ditandatanganilah Proklamasi dan Tuntutan Mahasiswa Indonesia oleh 44 perguruan tinggi dalam sebuah pertemuan besar DM/SM se Jawa. Tuntutan mahasiswa pada waktu itu antara lain pengembalian peri kehidupan kampus sesuai tridharma perguruan tinggi dan pemberhentian Daoed Joesoef sebagai Mendikbud.

tentangan yang keras dari mahasiswa. Dalam sebuah surat pernyataannya, DM ITB menilai NKK sebagai sebuah produk politis buatan Mendikbud, waktu itu Prof. Daoed Joesoef, yang dengan dalih meningkatkan “daya nalar individual�, bertujuan untuk membentuk struktur organisasi kemahasiswaan intra kampus tanpa sedikitpun mengindahkan konsep yang dibuat oleh mahasiswa. Bagi DM ITB, NKK adalah konsep yang akan meracuni dan mempersempit arti pendidikan di perguruan tinggi demikian bunyi pernyataan DM ITB yang disampaikan kepada pimpinan ITB. Kurang Iebih setahun setelah pemberlakuan NKK dikeluarkanlah SK No. 229/SKTITB/ Pers/1979 yang isinya pada intinya tidak mengakui adanya DM ITB atau MPM ITB atau badan lain yang sejenis dengan ini dan tidak membenarkan adanya kegiatan badan-badan tersebut di lingkungan ITB. Daftar cekal bagi organisasi kemahasiswaan ini di kemudian hari ternyata bertambah dengan dikeluarkannya SK Rek-tor ITB Nomor : 037/SKJPT07.H3/01/1989, tanggal 14 Agustus 1989 yang juga tidak membenarkan adanya kegiatan Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM) dan Badan Koordinasi Mahasiswa seBandung (BAKOR) di lingkup ITB.

SMPT Pada tahun 1990, dengan merujuk kepada Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, Mendikbud, waktu itu Prof Dr. Fuad Hasan, menandatangani SK Mendikbud No.0457/U/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di

13 Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Perguruan tinggi. Melalui surat keputusan ini, untuk kesekian kalinya, organisasi kemahasiswaan mengalami “bongkar pasang”. Dengan surat ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan di tingkat perguruan tinggi terdiri dari Senat Mahasiswa Perguruan Tringgi (SMPT) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) serta di tingkat fak-ultas terdiri dari Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF), Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Meskipun dalarn surat keputusan tersebut SMPT, SMF dan HMJ, dalam tingkatannya masing-masing, dinyatakan sebagai kelengkapan nonstruktural, akan tetapi kepengurusan lembaga-lembaga tersebut disahkan dan bertanggung jawab kepada pimpinan struktur perguruan tinggi yang setingkat dengannya.

kemasyarakatan. Struktur Lembaga Sentral yang pada musyawarah kerja tersebut disepakati untuk dicapai adalah seperti pada gambar 3

Ketua LBH Bandung:

Tidak Ada Alasan Menolak LSM

Konsep lembaga sentral inilah yang akan dikembangkan lebih lanjut oleh sebuah panitia yang disebut Panitia Persiapan Lembaga Sentral Mahasiswa (PPLSM-ITB).[rps]

Quote: “…bersamaan dengan itu Dewan Mahasiswa ITB mengeluarkan secara resmi Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978.”

edisi 11 - IV Februari 1994

FKHJ ITB Keputusan menteri ini, yang kemudian dikenal sebagai konsep SMPT, sampai saat ini tidak pernah diterima dan dipakai secara resmi oleh ITB. dalam mengelola kehidupan kemahasiswaannya. Di ITB sendiri, sejak bekunya Dewan Mahasiswa, lembaga kemahasiswaan yang masih diakui keberadaannya, paling tidak oleh mahasiswa adalah Forum Ketua Himpunan Jurusan ITB (FKHJ-ITB). Dalam musyawarah kerja FKHJITB di bulan Mei 1992, diajukanlah konsep Lembaga Transisi menuiu Lembaga Sentral karena SMPT dinilai tidak memberikan iklim yang baik bagi kemahasiswaan ITB. Adapun struktur lembaga transisi tersebut adalah seperti pada gambar 2.

O

Secara khusus Boy Fidro, alumni Fisika angkatan 80,menyoroti bahwa referendum ini merupakan terobosan besar dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia. Melani, SH., Direktur LBH Bandung, yang hadir sebagai saksi, memuji tindakan yang diambil mahasiswa sebagai tindakan yang positif. Senada dengan Boy, Deni Agus Dwiyanto, alunmi Sipil ‘88, mengatakan bahwa referendum adalah sesuatu yang baru. “Mahasiswa ITB memberi contoh kepada kelompok masyarakat lain bagaimana menyelesaikan atau memperjuangkan masalah dengan demokratis,” demikian menurut mahasiswa yang tiga bulan lalu mengundurkan diri dari ITB ini.

Lebih dari seminggu kampus ITB diramaikan dengan banyaknya kotak berwarna putih “berjalan” untuk diisi dengan kertas suara. Selama waktu itulah mahasiswa ITB .terlibat dalam salah satu bentuk perwujudan demokrasi. Hanya patut disayangkan bahwa usaha sosialisasi yang dilakukan panitia, dalam hal ini KKLSM, kurang optimal. Hearing yang digelar dua kali di lapangan basket, satu di antaranya diselingi musik sore, ternyata kurang mendapat sambutan dari mahasiswa. Tetapi pada dasarnya usaha sosialisasi tidak hanya menjadi tanggung jawab KKLSM, melainkan juga menjadi tanggung jawab himpunan-

Seperti di negara-negara demokrasi liberal, referendurn seringkali dilakukan untuk mengambil keputusan yang menyangkut langsung kehidupan warga negaranya. Demikian juga di kampus ITB, kegiatan referendum diadakan karena adanya kebutuhan sebuah organisasi kemahasiswaan terpusat. Dan ini dilakukan bukan karena ingin sok liberal atau meniru Barat tapi merupakan salah satu bentuk manifestasi dari Pasal 28 UUD 45 yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat.

Lembaga Sentral Mahasiswa ITB Lembaga transisi ini menjadi solusi terhadap kesenjangan yang cukup jauh antara FKHJ dengan Lembaga Sentral berupa student government, yang dinilai sebagai infrastruktur yang akan mampu memberikan kontribusi nyata kepada nilai-nilai kemahasiswaan dan

15

4 #ceritadariyanglalu

Terobosan baru

bsesi yang terpendam selama lebih dari satu dekade yang lalu mulai terwujud. Obsesi yang telah “mengorbankan” banyak angkatan dan generasi. Obsesi untuk merealisasikan sebuah lembaga terpusat yang aspiratif dan bisa menampung serta mengakomodir kebutuhan mahasiswa, Sebuah Lembaga Sentral Mahasiswa. Kenyataan itu mulai bersinar ketika pada hari Sabtu (14/5/1994) yang lalu, diadakan perhitungan terakhir Referendum Raya Mahasiswa ITB. Dan hasil yang diperoleh menguatkan hal itu. Kuorum suara yang dibutuhkan, yaitu 2/3 dari jumlah mahasiswa, terlampaui. Hasil selengkapnya dari 5901 mahasiswa yang menggunakan hak pilihnya, 5117 (86,7%) menyatakan setuju atas pembentukan Lembaga Sentral Mahasiswa (LSM), 560 (9,48%) menyatakan tidak. Sebanyak 119 (2%) mahasiswa memililih untuk tidak memilih alias abstain dan 107 (1,8%) suara dinyatakan tidak sah.

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


memberikan respon yang positif. Di kalangan mahasiswa sendiri tidak tampak kegairahan menyambut LSM. Ini bisa dilihat pada saat perhitungan suara terakhir di lapangan basket. Yang sedikit, bahkan ada yang sudah

himpunan dan unit-unit kegiatan. Toh anggotanya juga yang akan memberikan suara dalam re ferendum. Akibatnya sebagian mahasiswa merasa asing terhadap kegiatan ini. Bahkan tak jarang dilakukan “mentoring” singkat pada beberapa mahasiswa yang akan diambil suaranya. Tidak sedikit pula mahasiswa yang asal-asalan mengisi, bahkan menghindari panitia referendum.

Lembaga Sentral Mahasiswa

meninggalkan tempat sebelum acara selesai. Tapi ini mungkin bisa dipahami mengingat kurang optimalnya usaha sosialisasi seperti disebutkan di atas.

SEBUAH KEBUTUHAN YANG MENDESAK

Dari pihak rektorat sendiri nyata-nyata menolak referendum, baik pelaksanaan maupun hasilnya. Rektor ITB, Prof. Ir. Wiranto Arismunandar, mengatakan, “Referendum itu tidak sah, tidak ada aturannya (di ITB, red). Mana aturannya?”

Rekayasa Tidak heran kalalu ada mahasiswa yang menuduh bahwa referendum yang dilakukan sebenarnya direkayasa. Demikian pendapat M. Iqbal, MTI ‘92. Alasannya, “Referendum tidak melibatkan seluruh mahasiswa ITB karena dilakukan di himpunan. Otomatis yang nonhimpunan tidak bisa memasukkan suaranya.” Lain lagi pendapat Ismail Fahmi, HME ‘92, “Pelaksanannya masih kurang bagus, ada yang memilih lebih dari satu kali dan kesannya dipaksakan.” Tapi sebenamya mereka mengatakan demikian karena tidak mengetahui seluruh mekanisme pelaksanaan referendurn ini. Pada kenyataannya pemungutan suara tidak hanya diIakukan di himpunan-himpunan, tetapi juga di kelas-kelas, pintu-pintu masuk, dan di kantin, baik pusat maupun GKU Lama. Sedangkan kasak-kusuk mengenai kelebihan suara ternyata tidak benar. Menurut keterangan panitia, setiap pemilih selalu dicek di daftar nama yang telah dibuat panitia berdasarkan sumber dari BAAK. Jadi jika seorang mahasiswa memilih lebih dari sekali maka jumlah suara terbanyak dalam satu kotak akan dikurangi sesuai dengan jumlah kelebihan suara. Narnun secara keseluruhan, baik Iqbal maupun Fahmi mengakui bahwa tujuan referendum itu baik.

“Kalau tidak ada aturannya apa berarti tidak boleh?” dernikian tanggapan Deni atas penolakan tersebut. Sedangkan Amartiwi Saleh, SH dari Ikadin Jawa Barat menanggapi dengan nada kecaman, “Orang tua jangan maunya sendiri. Yang muda-muda harus diberi kesempatan untuk mandiri. Citranya harus berkembang. Jangan ditekan terus, dong! Lebih lanjut Deni mengatakan bahwa pelaksanaan referendum dijamin oleh UUD 15 dan hanya negara komunis yang menolak referendum. Terlepas dari sernua permasalahan di atas, sudah sewajarnya kalau kita harus mempersiapkan diri kita dalarn menghadapi babak baru kemahasiswaan ITB. Gong telah berbunyi. Langkah sudah diayunkan. Dukungan mahasiswa sudah jelas. Jadi, tidak ada alasan menolak LSM,” demikian tandas Melani. Bahwa rektor sudah menyatakan penolakannya, itu bukan harga mati. Kita masih bisa memperjuangkannya. Yang jelas, jangan biarkan begitu saja bibit yang sudah kita semaikan. Pelihara dan siramilah agar tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga mampu memayungi dan mengayomi dunia kernahasiswaan kita, ITB. (tm)

Referendum tidak sah? Walaupun referendum memberikan hasil yang menggembirakan terhadap pembentukan LSM, tidak semua pihak

edisi 13 - I tahun II Mei 1994

D

engan melihat hasil referendum yang telah diadakan selama lebih dari satu minggu, maka hampir dapat dipastikan bahwa dalam waktu dekat ITB akan memiliki sebuah Lembaga Sentral Mahasiswa. Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa kebutuhan akan adanya sebuah lembaga terpusat yang mampu mengelola kegiatan mahasiswa ITB secara akomodatif dan aspiratif sudah seringkali dibicarakan. Namun pembicaraan tinggal pembicaraan. Tidak ada langkah yang lebih kongkrit bisa ditempuh untuk mewujudkannya. Pembubaran Dewan Mahasiswa (DM) cukup memukul bagi mahasiswa Indonesia termasuk ITB apalagi disusul dengan dikeluarkannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus –red). Ditambah adanya tekanan-tekanan dari negara melalui institut pada usaha-usaha terbentuknya konsolidasi mahasiswa.

Kondisi yang dibuat negara melalui peraturan-peraturan tersebut menjadikan begitiu banyak hal yang dikorbankan pada proses pendidikan di perguruan tinggi, terutama proses pendidikan demokrasi. Demokrasi yang tidak hanya berimplikasi politis melainkan juga pada semua sendi kehidupan kampus termasuk keilmiahan. “Tidak adanya

Ketakutan negara terhadap terbentuknya organisasi mahasiswa skala kampus lebih kepada ketakutan terhadap guncangnya sistem negara.

17

16 #ceritadariyanglalu

Padahal organisasi mahasiswa skala kampus bukan merupakan alat untuk mengguncang sistem, tetapi merupakan salah satu sarana pembentukan dan penyaluran kreativitas serta pendidikan bersikap. Seperti .yang dikatakan salah seorang alumni ITB, Boy Fidro (FI ‘80), “ Alumni-alumni ITB sekarang tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap yang ia perbuat. Penelitian-penelitian yang dilakukan di Serpong (Puspiptek Serpong –red) itu lebih banyak karena duit, bukan satu idealisme tanggung jawab berkembangnya teknologi. Mengapa hal ini terjadi, karena di dalam perkuliahan kita tidak pernah diajarkan dan dididik mengambil sikap. Berdirinya Lembaga Sentral dapat dijadikan salah satu sarana pendidikan mengambil sikap

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


yang menyatakan bagian dari sebuah negara merdeka. Selanjutnya Deni mengatakan, “Jika dengan unit terkecil saja tidak diakui, maka apa yang pernah diproklamasikan oleh Soekamo-Hatta dulu menjadi omong kosong.” Karena, “Hakekat dari kemerdekaan adalah berserikat dan menyatakan pendapat,” lanjutnya.

kontrol moral menghasilkan sarjana ITB adalah sarjana foto copy. Coba saja lihat, laporan praktikum sudah ada sebelum praktikum dilakukan. Inikan sudah nggak bener, siapa yang mau kontrol. Analisa yang dilakukan mahasiswa juga lebih banyak mencari kambing hitam dengan argumen kesalahan pengukuran, kesalahan alat, kesalahan paralaks dan sebagainya. Tidak ada yang berani bilang teorinya yang salah. Dalam masyarakat ilmiah seharusnyakan data empiris yang lebih valid dibandingkan dengan teori. Lembaga Sentral Mahasiswa bisa mengisi sisi tanggung jawab dalam bersikap, dan belajar menjadi masyarakat demokratis,” tandas Boy lebih lanjut.

Terhadap pembentukan LSM (Lembaga Sentral Mahasiswa) ada kekhawatiran mahasiswa, jika LSM ini terbentuk hanya akan menjadi alat politik beberapa gelintir mahasiswa. Banyak dari mahasiswa mempertanyakan hal ini saat referendum berlangsung. Sebagian besar mahasiswa peserta referendum menginginkan LSM yang terbentuk dapat menyalurkan semua kreativitas dan aspirasi mahasiswa. “Karena itu LSM harus dapat membaca dan menangkap tema-tema zaman, sehingga selalu sesuai dengan kondisi kemahasiswaan,”lanjut Boy lagi. Hal ini penting karena sebagai organisasi harus secepatnya dapat mengakomodir kegiatan yang aspiratif dari mahasiswa. Jika tidak maka percuma saja dibentuk LSM.

Selain itu, banyak kegiatan mahasiswa jadi tidak bernuansa dan tidak adanya keberanian mahasiswa untuk berargumen secara terbuka dalam forum yang lebih besar di luar himpunan dan unit. Kondisi ini berlanjut menghasilkan kondisi kemahasiswaan yang seperti sekarang ini. Pada event ilmiah pun, seperti PIMNAS, ITB tidak menghasilkan karya-karya kreatif yang unggul sebagai perwujudan jargon “Perguruan Tinggi Terbaik”. Menurut Boy lagi, hal ini iuga ditimbulkan karena tidak adanya kesejajaran berpikir antara mahasiswa dan dosen (institut). Adanya anggapan bahwa rnahasiswa sebagai sistem kecil dari ITB yang seharusnya “mengabdi” sistem yang lebih besar (ITB lalu negara) menjadikan tidak berkembangnya kreativitas dan sikapsikap intelektual yang demokratis. Sebuah organisasi terpusat dapat memperjuangkan hal ini yang kemudian mengimplikasikannya pada sektor-sektor yang lainnya.

Sementara itu, ada pendapat mahasiswa yang beranggapan bahwa LSM ini harus memiliki wama dan arah tertentu sebelum terbentuk secara mapan. Pendapat ini ditentang oleh Deni dan mengatakan, “Nggak bisa seperti itu dong, inikan lembaga sentral, mungkin ini bisa dimulai oleh beberapa orang tetapi lalu harus diusulkan pada orang banyak, kalau semuanya mengatakan ya, bisa terus, jika tidak, ya berhenti. Inikan demokrasi.” Senada dengan Deni, Boy juga berpendapat sebaiknya wama dan arah ini ditentukan bersama-sama dalam proses memapankan LSM. Terutama sekali karena lembaga ini milik semua mahasiswa, jadi segalanya mesti terbuka dan transparan.

Hak Semua Orang Sistem Lembaga Sentral

Dalam kaitannya dengan pengorganisasian, Deni Agus Dwiyanto, alumni Teknik Sipil ‘88 mengatakan bahwa itu adalah hak bagi semua orang

Selama pelaksanaan referendum, masih banyak yang bertanya-tanya mengenai apa

Hansen mengatakan, “Saya meragukan apakah mereka betul ingin beraktivitas di ITB atau sekedar menjalani pendidikan akademis. Jadi para senator yang akan duduk di MPM harus mendapat dukungan dari minirnal seratus orang mahasiswa dengan syarat mahasiswa pendukungnya tidak boleh dari satu himpunan, unit dan satu angkatan. Di samping itu setiap mahasiswa hanya boleh memberikan suaranya (memilih) satu orang calon senator. Tentu saja, menurut Deni, “Setiap senator harus menawarkan program kerja yang jelas dan bermanfaat untuk mencari dukungan.” Dan konsekwensi logisnya, “Dia (senator, red) harus memperjuangkan dan mempertanggungjawabkan programnya tersebut.”

Mungkin hanya ITB yang tid a k m e m i l i k i l e m b a g a k e m a h a s i s waan secara terpusat. “Pengembalian kekuasaan” dan sistem kaderisasi kepada kantong-kantong himpunan sejak DM dibubarkan lebih dari satu dekade yang lalu telah memberikan ciri dan karakter kepada masingmasing himpunan. Dengan kondisi seperti ini akan sulit terjadi perubahan secara mendadak dalam membangun dunia kemahasiswaan yang baru, sebagaimana disebutkan oleh Vitex Grandis, mantan Ketua BP FKHJ 1992-1993, “Secara proses sudah baik, tetapi ini terlalu cepat untuk dilakukan dalam waktu satu bulan,” kata mahasiswa yang juga anggota IMG ‘88 ini. Untuk mengantisipasi hal tersebut, akan diterapkan LSM transisi yang dilengkapi dengan berbagai parameter uji sampai ada kesepakatan untuk menerapkan LSM ideal.

Tetapi menurat Roy, sistem seperti ini mempunyai kekurangan. Dia berargumentasi bahwa bila seorang senator mendapat dukungan dari massa dengan tidak dibatasi lembaga maka akan terjadi kerancuan, seperti kepentingan siapa yang ia perjuangkan? Karena menurut Roy, “Bila ia berbasis di himpunan atau unit jelas kepentingan hirnpunan atau unit itu yang diperjuangkan. Di samping itu, mekanisme kontrol yang diterapkan pada senator itu akan lebih mudah bila menggunakan basis himpunan.

Basis Massa

Dalam kesempatan terpisah, Hansen menjelaskan bahwa senator-senator mengampanyekan program yang akan diperjuangkannya. Pemilih akan menilai program calon senator, baru kemudian menentukan pilihan. Mekanisme kontrol yang diterapkan adalah bila orang yang menjadi pendukung senator melihat bahwa program yang diajukan hanya omong kosong saja maka dalam pemilihan berikutnya ia

Perbedaan LSM transisi dengan LSM ideal terletak pada keanggotan MPM (Majelis Perwakilan Mahasiswa). Anggota MPM yang selanjutnya disebut “senator” pada dasarnya dipilih oleh mahasiswa. Namun dalarn masa transisi, keanggotaan MPM akan diisi oleh ketuaketua lembaga kemahasiswaan (himpunan

19

18 #ceritadariyanglalu

dan unit). Nanti pada saat LSM ideal diterapkan, keanggotaan MPM akan betulbetul berbasis massa (mahasiswa ITB). Massa mahasiswa yang di- maksud di sini adalah mahasiswa yang menjadi anggota himpunan dan/atau unit. Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang tidak tergabung dalam lembaga kemahasiswaan, baik unit maupun himpunan?

dan bagaimana Lembaga Sentral Mahasiswa. Bahkan keadaan ini sempat membuat ketegangan ketika sebuah harian umum Pikiran Rakyat memberitakan bahwa KKLSM (Komite Khusus Lembaga Sentral Mahasiswa) tidak mampu menggalang suara dari Jurusan Teknik Geologi. Padahal, menurut Hansen, Ketua KKLSM, “Yang terjadi hanya kesalahpahaman belaka. Beberapa orang anggota HMT ‘ GEA’ beranggapan bahwa referendum dilaksanakan sampai ke tingkat bentuk dan struktur LSM. Tapi pada kenyataannya hanya menguji apakah LSM benar-benar dibutuhkan oleh mahasiswa ITB atau tidak. Sedangkan bentuk dan strukturnya sendiri masih akan dipresentasikan oleh Tim Materi KKLSM di hadapan para himpunan dan unit.

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


dapat menarik dukungan yang dulu pernah diberikan.

Lembaga Sentral = Centralv Committe = PKI? Tidak semua pihak setuju terhadap pembentukan LSM. Ini bisa dilihat dari hasil perhitungan terakhir referendum (lihat: Tidak Ada Alasan Menolak LSM). Rektor ITB sendiri, Prof Ir. Wiranto Arismunandar, secara serampangan menyebut LSM seperti Central Committee PKI hanya karena ada kata “sentral” di LSM. “Apalagi dengan capnya yang merah,” tambah Wiranto. Yang menjadi pertanyaan, apakah semua yang menggunakan kata “sentral” otomatis PKI? Bagaimana dengan Sentral Otomatif Telepon, Bank Central Asia, Central Intelligence Agency?

Walaupun memang kurang jelas apa maksud Wiranto mengatakan hal itu, tetap tercatat sebagai statement resmi yang dikeluarkan di depan para wartawan. Kita sebagai mahasiswa tidak perlu apriori apalagi mematahkan semangat untuk meneruskan langkah yang sudah diayunkan. Hansen sendiri menanggapinya dengan cukup bijak. “Mungkin pengalaman pribadi Pak Wiranto sendiri terhadap hal tersebut agak sensitif,” katanya. Sedangkan Amartiwi Saleh, SH. Dari Ikadin Jabar yang bertindak sebagai saksi dalam perhitungan suara terakhir, menanggapi dengan pedas, “ Orang-orang yang menuduh orang lain komunis, justru melakukan apa yang biasa dilakukan orang komunis. Itu orang yang tidak mau berpikir, tidak mau dialog.”

“Sebenarnya ada kekhawatiran berlebihan dari pihak rektorat,” kata Hansen. Terhadap statement Wirant, Deni memberikan tanggapan lain. “Sebuah organisasi bisa dinilai komunis dilihat dari ideologinya. Betulkah LSM menggunakan paham komunis sebagai landasan? Kalau masih Pancasila dan UUD 45, ya jalan terus.” Katanya. Masih menurut Deni, orang tidak boleh melarang karena dia tidak tahu apa-apa. Apalagi kalau dia tidak terlibat dalam proses pemikirannya. “Baru tahu kulitnya terus main larang. Kan enggak fair. Harus ada dialog, berargumentasi, kenapa harus dilarang,” tambah Deni.

MPM di Persimpangan

Bagaimanapun kita telah melangkahkan kaki. Dan tentu KKLSM sendiri tidak akan berhenti sampai di sini. Tidak selayaknya mahasiswa yang telah memberikan dukungannya dikecewakan. Belum lagi dukungan dari luar. Maman misalnya, Sekjen SEMA UNTAG Jakarta ini menyebut langkah mahasiswa ITB sebagai sebuah prestasi karena, “pelaksanaan referendum ini berjalan di bawah suasan represif.” Menyambung pernyataan rekannya, Barita, Ketua Divisi Luar SEMA ISTN, mengatakan bahwa LSM ini merupakan lembaga mahasiswa yang otonom. Dari,oleh dan untuk mahasiswa. Tapi satu hal yang perlu dicamkan,”Jangan sampai ini hanya menjadi batu loncatan untuk menjadi menteri,” demikian pesan Amartiwi Saleh. (tm)

edisi I tahun II Mei 1994

Tapi terlepas dari semua permasalahan di atas, tampak jelas bahwa pihak rektorat tidak menyukai apa yang dilakukan mahasiswa. Tindakan mahasiswa selalu dinegasi walau dengan alasan tidak masuk akal sekalipun. Apalagi tidak bisa dipungkiri bahwa pembentukan LSM akan menggalang opini, kekuatan dan usaha konsolidasi mahasiswa ITB.

Akhir-akhir ini kampus ITB diramaikan oleh berbagai poster, spanduk, dan selebaran yang bernadakan keinginan akan terbentuknya sebuah Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM). Maraknya isu MPM ini menarik untuk disimak, mengingat selama ini, sejak Dewan Mahasiswa (DM) dibubarkan, ITB praktis tidak memiliki suatu badan terpusat yang dapat menyebut dirinya sebagai wakil seluruh mahasiswa ITB, yang dapat menyuarakan aspirasi mahasiswa ITB ke dunia luar.

K

Sekitar bulan Februari 1993 dilakukan serangkaian sarasehan untuk merumuskan bentuk lembaga seperti apa yang diinginkan dan dirasa tepat oleh mahasisiwa. Pada tahun 1994, sebuah komite yang diberi nama Komite Khusus Lembaga Sentral Mahasiswa mengadakan referendum yang diikuti oleh hampir seluruh mahasiswa ITB dan memberikan hasil 86,68% menginginkan adanya sebuah LSM (lihat boks). Hasil referendum ini memperoleh reaksi negatif dari rektor ITB Wiranto Arismunandar, dengan menyatakan bahwa LSM mengindikasikan “komunis”

21

20 #ceritadariyanglalu

seringkali tampak tidak saling berkaitan.

ebutuhan akan adanya sebuah lembaga sentral yang mewakili seluruh rnahasiswa ITB telah lama dirasakan, seiring dengan makin terasanya hambatan-hambatan yang ditemui karena ketiadaan lembaga terpusat, dan adanya kesadaran bahwa yang dilakukan mahasiswa ITB dapat lebih banyak banyak dan lebih besar daripada yang dapat dilakukan oleh mahasiswa per himpunan. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mewujudkan keinginan tersebut. Dalam dua tahun terakhir ini saja telah ada beberapa kegiatan yang menuju ke arah pembentukan lembaga sentral, walaupun antara satu kegiatan dan kegiatan lainnya

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


struktur lembaga sentral. Perkembangan inilah yang harus selalu diawasi dan disiasati dengan cermat.

karena memakai kata “sentral”. Akan tetapi karena waktu yang diberikan kepada KKLSM hanya satu bulan, komite ini tidak berhasil mencapai target berikutnva yaitu pembentukan MPM yang akan membentuk LSM, dan akhirnya proklamasi LSM.

Pada bulan Maret-April 1995 ini ada usaha untuk melanjutkan kerja KKLSM dengan membentuk MPM yang akan terdiri dari wakil-wakil lembaga kemahasiswaan (himpunan dan unit) yang di sebut “senator”. Badan ini diharapkan menjadi sebuah lembaga sementara yang menampung aspirasi mahasiswa dalam masa transisi sebelum dibentuknya sebuah lembaga terpusat. Bentuk lembaga ini nantinya tergantung aspirasi mahasiswa, baik itu berbentuk Dema, LSM, ataupun SMPT. MPM diharapkan berperan menjadi badan legislatif transisi yang akan tnenyusun sebuah badan eksekutif. Menurut Ketua Satgas MPM, Sugeng (GD 92), nama MPM sengaja dipilih karena berdasarkan pengalarnan bila badan ini memakai nama “lembaga transisi” tidak akan inenghasilkan apa-apa. Selain itu MPM juga dapat menangani penerimaan mahasiswa baru dalam bentuk Orientasi Studi (0S) sehirigga komite penyelenggara

OS tidak perlu berada di bawah FKHJ. Karena dengan adanya MPM maka fungsi ketua himpunan dikembalikan sebagai eksekutif himpunan, sementara penanganan masalah kemahasiswaan ITB secara umum akan dilakukan oleh MPM. Di kalangan pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan MPM ini masih tampak adanya ketidaksesuaian pendapat tentang peran dan tugas MPM ini. Sebagian pihak berpendapat sama dengan yang dikemukakan Sugeng, bahwa MPM ini sesungguhnya adalah sebuah lembaga transisi, dan nama MPM yang dipilih sebenarnya hanyalah sebuah cara mengemas isu. Sementara di lain pihak ada yang berpendapat bahwa MPM adalah lembaga legislatif tertinggi yang harus segera memiliki sebuah badan eksekutif. Bahkan ada kekhawatiran jika MPM tidak segera membentuk sebuah lembaga eksekutif maka ia akan dengan mudah diselewengkan menjadi SMPT. Ketua KKLSM, Hansen. (AR ‘89), melihat bahwa ketidaksesuaian pendapat ini diakibatkan oleh ketidaktegasan para pembentuk MPM dalam menentukan bentuk dan peran MPM, karena para ketua lembaga pun memiliki keinginan yang berbeda-beda. Tetapi bila MPM kali ini hanyalah sebuah badan transisi, pada proses selanjutnya pasti akan berkembang menjadi lembaga legislatif tertinggi dalam

Perbedaan juga terlihat pada cara masing-masing lembaga kemahasiswaan memberikan reaksi terhadap pembentukan MPM ini. Ada lembaga-lembaga yang menerima isu MPM dengan antusias dan segera memilih senator-senatornya, akan tetapi ada pula lembaga yang memilih untuk menunggu. Mekanisme pemilihan senator pun beragam. Ada lembaga yang mengadakan kampanye, hearing dan pemilu sebagaimana halnya pemilu ketua lembaga, ada yang langsung menunjuk senator yang mewakili lembaga tersebut, bahkan ada yang belum berniat memilih ataupun menunjuk senatornya. Mengenai hal ini, Sugeng menyatakan bahwa pemilihan senator memang diserahkan ke lembaga masing-masing, dan dari 62 orang senator yang akan duduk di MPM, baru terpilih sekitar 20 orang. Sernentara tanggapan sebagian besar mahasiswa ITB terhadap MPM yang cukup apatis ini mengundang sebagian orang untuk menunjuk sosialisasi yang kurang persuasif dan gencar sebagai biang keladinya, walaupun sebenarnya Satgas MPM telah melakukan usaha-usaha yang cukup berarti. Namun beberapa pihak memilih optimis dan menganggap hal ini sebagai hal yang normal. Menurut Bang Aldi Anwar, alumni FT 56 yang terlibat sepanjang perjalanan Dewan Mahasiswa, ketidakpedulian ini diakibatkan karena organisasi mahasiswa tidak Iagi membela kepentingan mahasiswa, yaitu kelancaran belajar. Bila di masa Dema organisasi mahasiswa aktif membela mahasiswa yang memperoleh masalah akademis, saat ini hal tersebut kurang memperoleh perhatian dari organisasi-organisasi mahasiswa. Menurutnya, bila mahasiswa merasa telah dibela oleh organisasi kemahasiswaan, maka ia akan dengan mudah tergerak untuk membela pihak .yang membutuhkan ketika diperlukan, dan selama organisasi kemahasiswaan tidak membela ke, pentingan mahasiswa, maka selama itu pula mahasiswa tidak akan peduli terhadap organisasi tersebut.

Senator-senator mulai dipilih, MPM diharapkan segera dibentuk dan menjalankan tugasnya dan semoga usaha ini akan terus berlanjut, sehingga ungkapan sinis bahwa “siklus kondisi kampus ITB adalah : menghangat di tengah semester, lalu membeku ketika masa ujian akhir, dan di awal semester baru isu lama terlupakan sehingga terpaksa mencari isu baru” tidak akan berlaku. Dan hal itu sangat tergantung pada partisipasi kita, seluruh mahasiswa ITB.

edisi IV April 1995

23

22 #ceritadariyanglalu

Berbagai bentuk kegiatan ditawarkan untuk memperoleh perhatian dan legitimasi mahasiswa. KKLSM mengusulkan dilaksanakannya sebuah kegiatan yang melibatkan seluruh mahasiswa, misal-nya Pekan Budaya Mahasiswa yang meliputi bidang, kesenian, olah raga, keilmuan, dan politik ke-masyarakatan. Yusrizki, senator dari MTI, melihat perlunya keterlibatan organisasi mahasiswa dalam pengelolaan “daerah kekuasaan” mahasiswa, antara lain pengelolaan Student Centre, perpustakaan, atau pengadaan beasiswa. Pada dasarnya semua usulan tersebut mengingatkan perlunya organisasi kemahasiswaan kembali ke akar tujuannya, yaitu mencapai kepentingan bersama seluruh mahasiswa anggotanya. Untuk itu perhatian organisasi kemahasiswaan tidak boleh hanya diarahkan ke halhal yang bersifat politis, tetapi harus lebih diarahkan ke hal-hal yang populis, yang dekat dengan realitas kehidupan mahasiswa. Sehingga dengan demikian dapat dihilangkan pandangan negatif dan kekhawatiran yang sering muncul bahwa lembaga sentral hanya akan dijadikan alat oleh sebagian kecil mahasiswa ITB untuk kegiatan-kegiatan politis. Oleh karena itu, senator-senator dalam MPM harus dapat menjadi orang-orang yang “populer”, artinya dikenal oleh mahasiswa dan dipercaya akan senantiasa menyuarakan aspirasi mahasiswa, demikian ditegaskan oleh Sigit, senator dari SEF.

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


M

Siap-siap, SMPT datang ! Dunia kemahasiswaan ITB menanggung beban kian berat. Baru saja jatuh tersandung kasus DO, sekarang ditimpa oleh SMPT. Sejak bulan Maret lalu rektorat melancarkan serangkaian aksi untuk membentuk SMPT. Upaya pembentukan SMPT pasti akan memberi pukulan bagi dunia kemahasiswaan. Untuk itu kita harus menentukan sikap karena upaya ini menyangkut kepentingan kita bersama. Penyikapan ini pada gilirannya akan menentukan seberapa telak pukulan yang dilancarkan rektorat.

ahasiswa ITB saat ini memang ibarat sansak tinju. Baru saja dihajar dengan kasus DO sekarang disodok dengan SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi). Terhitung sejak tanggal 12 Maret 1996 ITB berupaya secara resmi mendirikan SMPT di ITB Iewat surat edaran PR (Pembantu Rektor, sekarang dikenal dengan wakil rektor -red) III yang dikirim kepada unit dan himpunan. Dalam surat bernomor 360/PT07.H3/O/1996 tersebut dituliskan bahwa rektorat bermaksud mendirikan SMPT di ITB dan rektorat menginginkan agar SMPT tersebut sudah terbentuk pada akhir April 1996. Pada perkembangan selanjutnya, upaya pembentukan dimobilisasi ditingkat unit dan fakultas. Di tingkat unit, pada tanggal 30 Maret 1996, perwakilan unit-unit pendidikan dikumpulkan oleh pembimbing unit pendidikan dan kesenian, Rudi Sayoga, untuk membicarakan pembentukan SMPT. Sementara itu pada hari yang sama, ketua-ketua Himpunan dari FTM bertemu dengan PD III FTM, Rizal C. Astrawinata, juga untuk membahas pembentukan SMPT. Undangan pertemuan dikirim kepada ketua himpunan FTM tanggal 27 Maret 1996. Selain undangan juga disertakan enarn buah lampiran yang terdiri dari tiga buah peraturan yang melandasi pembentukan SMPT. UU No.2 tahun 1989, P.P No.30 tahun 1990 dan Keputusan Mendikbud R.I 0457/0/1990, laporan rapat Dirmawa, statuta ITB dan butir-butir arahan PR III tentang upaya pembentukan SMPT (sebagai catatan, butir arahan ini ditulis tangan). Dalam undangan yang dikirim ke ketua unit dan himpunan, ITB “menghimbau” agar ketua unit/himpunan sudah dapat mengajukan usulan dua nama yang akan membawakan suara/ aspirasi rnahasiswa sebagai wakil mahasiswa yang akan duduk pada keIompok kerja (pokja) persiapan pembentukan Senat Mahasiswa (SM) ITB. Dari isi surat tersebut dapat disimpulkan bahwa agenda pertemuan antara perwakilan unit/himpunan dengan pihak ITB sudah sampai tahap upaya perealisasian SMPT secara konkret, tidak lagi pada dataran abstrak seperti pembahasan konsep atau

filosofi organisasi. Upaya pembentukan pokja mendapat sambutan “hangat” dari mahasiswa. Kehangatan yang ada bervariasi, mulai dari hangat yang optimis sampai hangat yang pesimis. Qoyum (TI ‘93), ketua MTI, berpendapat bahwa dalam menanggapi masalah SMPT mahasiswa perlu bersikap bijaksana. Untuk itu mahasiswa dan rektorat perlu sharing, berdialog mengenai permasalahan masing-masing. Dari sini dia mengharapkan ada solusi yang menguntungkan kedua belah pihak karena menurutnya baik rektorat maupun mahasiswa sama-sama tidak diuntungkan dengan kondisi yang ada sekarang. Pendapat senada juga dilontarkan oleh Luky (GD `90), mantan koordinator Kongres, “Mahasiswa berpikir positif dulu dalam arti kita coba mengerti apa kehendak mereka (rektorat) secara jernih dan secara dewasa,” katanya. Luky melihat adanya kemungkinan pokja yang akan dibentuk bisa “dioptimalkan” dalam arti pokja tersebut dapat mcnjadi sarana bagi mahasiswa untuk mengutarakan keinginannya mulai dari filosofi, mekanisme hingga bentuk organisasi. “Kalau memang yang diinginkan PR III seperti itu dalam arti masih membuka ruang untuk berdialog kenapa tidak?,” tandasnya. Namun disisi lain Tori (TL’92), Ketua ESC (Energy Study Club), ragu bila forum dialog bermanfaat bagi mahasiswa. Dari pengalaman-pengalaman dialog dengan lndra Djati itu bukan dialog yang fair. Dia lebih banyak menekan daripada tidak menekannya,” katanya. Sementara itu beberapa mahasiswa sudah menyatakan komentarnya mengenai SMPT. Hilman (AR`95), Ketua TPB Games menyatakan menolak SMPT dengan alasan SMPT tidak independen. Dalam kesempatan terpisah Mual (FT’95) bahkan berpendapat SMPT merupakan pembodohan terhadap rnahasiswa karena menurutnya mekanisme pertanggungjawaban dalam SMPT membatasi kreativitas dan kekritisan mahasiswa.

25 #ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


SMPT sekedar nama?

Komentar berbeda datang dari Komandan Batalyon Menwa, Rifki Muhida (FI’90), “Saya menghargai niat baik dari PR III untuk merealisasikan SMPT,” katanya. Alasan dia menerima pokja SMPT adalah karena lembaga kemahasiswaan apapun yang ditawarkan oleh mahasiswa ITB, dia menyebutkan FKHJ dan SC, akan menempatkan Menwa (Resimen Mahasiswa) marjinal, diluar sistem. “Menurut saya kalau sudah nggak bersahabat, kita sulit juga mau nerima. Saya juga bilang terus terang, saya udah beberapa kali diusir dari rapat,” ungkapnya. Selain itu dia berpendapat kemahasiswaan ITB saat ini berada dalam keadaan status quo sehingga perlu adanya lembaga sentral yang bisa menembus status quo tersebut. “Saya terpanggil untuk menyelamatkan kemahasiswaan ITB,” ujarnya mengungkapkan keprihatinan terhadap kondisi yang ada. Mengenai posisi mahasiswa dalam SMPT, Rifki mengatakan,“Lembaga Sentral apapun yang ditawarkan oleh rektorat, saya melihat ada peluang bagi kita untuk berkreativitas di sana”.

Sejauh ini rektorat belum mengungkapkan secara eksplisit alasan konkret pembentukan SMPT. Alasan yang dikemukakan masih terbatas pada hal-hal yang bersifat abstrak. Dalam surat edaran PR III yang dikirim ke unit dan himpunan tertulis : “ Dengan tidak adanya SM-ITB, telah timbul berbagai kerugian atau inefisiensi di dalarn melakukan proses pendidikan, khususnya yang menyangkut pembinaan kegiatan ekstrakurikuler. Keadaan seperti ini tidak dapat terus didiamkan, apalagi tantangan global dan era persaingan bebas telah diambang mata kita. Para mahasiswa harus disiapkan secara sistematis (bukan kebetulan) untuk menghadapi tantangan bangsa dimasa depan.“Alasan senada juga tercantum dalam butirbutir arahan PR III yang dikirim PD III FTM kepada ketua himpunan di FTM. Disitu disebutkan (butir ke 5): “Demi kepentingan sistem pendidikan di ITB dan mengingat tantangan zaman keberadaan SM-ITB menjadi sangat Penting”. Baik surat edaran maupun butir-butir arahan tidak mengatakan secara cksplisit apa yang dimaksud dengan kepentingan sistem pendidikan dan tantangan zaman. BOULEVARD sempat berusaha mewawancarai PR III: Indra Djati Sidi, untuk memperoleh penjelasan namun ditolak.

Selain Menwa, LFM, PMK dan unit Pramuka juga menyetujui pembentukan pokja. Namun kalau perkembangan selanjutnya pokja hanya didukung oleh beberapa lembaga saja dan dapat menimbulkan kekacauan, Tryharjono (Si’93), Ketua Pramuka, menyatakan, hal itu terserah kepada pemimpin yang baru, karena kepengurusannya akan berakhir dua minggu lagi. Pada kesempatan yang sama,Try juga mengakui belum mempelajari aturan-aturan tentang SMPT.

Terlepas dari apapun alasan (motif) rektorat, yang pasti rcktorat menginginkan adanva suatu lembaga mahasiswa terpusat bernama SMPT di ITB. Hal ini jelas terlihat dari butir-butir arahan PR III. Butir ketiga menyebutkan (dikutip komplit sesuai berkas asli) : Nama lembaga di tingkat pusat harus: Senat Mahasiswa ITB, disingkat SMITB. Tidak bisa lain! Butir keempat menyebutkan (dikutip komplit sesuai berkas asli) : Pendirian SM-ITB ini “tidak dinegosiasikan”, hrs dilaksanakan sesuai dgn ketentuan yg berlaku jika mhs ITB ingin berada dalam sistem ITB. Dari kedua butir tersebut tidak perlu disangsikan lagi bahwa hanya SMPT yang dikehendaki rektorat sebagai lembaga mahasiswa tcrpusat. Keseriusan rektorat

Berbagai komentar yang dilontarkan terhadap pokja dan SMPT memang belum dapat memberikan gambaran sejauh mana SMPT akan berpengaruh terhadap dunia kemahasiswaan ITB. Untuk memperoleh gambaran mengenai SMPT kita perlu mencermati dua masalah utama. Pertama: alasan rektorat membentuk SMPT. Kedua: aspek-aspek yang terkait dengan SMPT sebagairnana tertulis dalam SK 0457.

untuk membentuk SMPT juga terlihat dari fasilitas menggiurkan yang ditawarkan. Dalam butir arahan ke-9 tertulis : Dana ditanggung ITB.

Seperti yang dikatakan Oyo. SMPT merupakan bentuk lanjut dari NKK/ BKK. NKK/BKK merupakan produk perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Mendikbud waktu itu: Daoed Joesoef. Bisa dibilang NKK/BKK lahir akibat aksi perlawanan besar-besaran yang dikenal dengan peristiwa Buku Putih (baca BOULEVARD No. 24) pada tahun 1978. Aksi tersebut vang populer dengan salah satu pernyataannya: “Tidak mempercayai dan tidak menginginkan Soeharto kembali menjadi Presiden RI”, membuat pemerintah blingsatan. Dari situ pemerintah belajar bahwa mahasiswa harus dibungkam secara sistematis agar tidak mampu menggalang perlawanan terhadap pemerintah. Lewat NKK/BKK, pemerintah menohok titik sentral dari gerakan mahasiswa yaitu organisasi. Sejak 1978, mahasiswa dilarang mendirikan Dewan Mahasiswa.

Sepintas dari segi nama, SMPT tampak tidak masalah sebab. mengutip kata Shakespeare. apalah arti sebuah nama? Persoalannya sekarang apakah SMPT memang sekedar sebuah nama, tidak ada makna apapun dibalik nama tersebut? Pertanyaan ini penting untuk dijawab agar kita tidak terjebak dalam swarasionalisasi (pembenaran diri) yang pada akhirnya berujung pada berbagai macam pengandaian dan kata “semoga”. Untuk itu kita perlu melihat kondisi yang melatar belakangi lahirnya SMPT serta berbagai aspek yang terkait dengan SMPT.

SMPT independen dan aspiratif? Sekjen FKHJ Adhi Purboyo (Oyo) berpendapat kelahiran SMPT lewat SK 0457 tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politis pcmerintah tcrhadap mahasiswa pasca 1978. Menurut Oyo, pasca 1978 pemerintah melakukan pemberangusan kegiatan mahasiswa yang kemudian dibakukan dengan peraturan NKK/ BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Koordinisi Kegiatan). Lebih jauh dia berpendapat SK 0457 yang dikeluarkan Fuad Hasan mcrupakan bentuk lanjut dari NKK/ BKK.

SK 0457 sebagai keturunan NKK/ BKK pada dasamya memiliki sifat yang sama dcngan induknya: represif. Muatan SMPT yang dikandung oleh SK 0457 sangat efektif sebagai sarana “pengontrolan” (pembungkaman) terhadap mahasiswa. Kekuatan utama SMPT dalam melakukan fungsi pengontrolan terletak dalam mekanisme pengesahan dan pertanggungjawaban ketua dalam SMPT. Dalam SK No.0457/0/1990 pasal 8 ayat 5 disebutkan: “Kepengurusan SMPT disahkan oleh pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutari”. Pasal 8 ayat 6: “Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, pengurus SMPT bertanggung jawab kepada pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan”. Ditingkat fakultas dan himpunan juga terdapat mekanisme serupa. Ketua Senat Fakultas/Himpunan Mahasiswa Jurusan masing¬masing bertanggung jawab dan disahkan oleh dekan/ketua jurusan.

Dengan latar belakang kepentingan politis seperti yang dikatakan Oyo, posisi struktural rektorat sebagai perangkat birokrasi di negara ini harus ditinjau. Rektorat merupakan perangkat pemerintah dalam menjalankan kebijaksanaan pendidikan. Sebagai perangkat birokrasi, rektorat harus tunduk terhadap instruksi dari hierarki birokrasi yang lebih tinggi. Upaya pembentukan SMPT merupakan contoh nyata dari hal tersebut karena pemerintah memang menetapkan SMPT sebagai satu-satunya bentuk lembaga mahasiswa terpusat di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Dilihat dari kaitan kepentingan politis dam posisi struktural rektorat maka sekarang kita harus mcnelaah secara lebih

Mekanisme pengesahan dan per-tanggungjawaban seperti ini jelas sangat memihak rektorat. SK 0457 melegalkan otoritas rektorat vang sangat besar terhadap mahasiswa. Mahasiswa

27

26 #ceritadariyanglalu

mendetail kepentingan politis pemerintah dengan adanva SMPT.

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


dihadapkan langsung dengan rektorat yang notabene merupakan perangkat birokrasi negara. Berhadapan secara langsung seperti ini praktis sangat mempersempit, kalau tidak bisa dikatakan menutup, ruang gcrak mahasiswa untuk menyuarakan kepentingan yang oleh pemerintah dirasa tidak sesuai dengan kepentingannya. Di tingkat operasional mekanisme pertanggunawaban praktis membuat mahasiswa sangat tergantung pada kebaikan hati pimpinan perguruan tinggi. Hal ini mengandung resiko besar karena kebaikan hati saat ini merupakan barang langka yang sukar didapat. Apalagi sebagai birokrat, rektorat harus tunduk pada hierarki kekuasaan diatasnya. Tori berpendapat mekanisme pertanggungjawaban dalam SMPT memungkinkan rektorat semena-mena karena dia bisa mencabut jabatan ketua semau dia. “Misalnya gue dipilih jadi ketua, terus dia (rektorat) nggak setuju gue yang naik terus gue dicopot aja. “ katanya. Lebih jauh Tori menyatakan mekanisme pertanggungjawaban melanggar falsafah kepemimpinan. “Masak pemimpin bertanggung jawab pada orang lain di luar massanya. Enak banget,” tandasnya. Akibat dari otoritas berlebihan vang dilegalkan oleh undang-undang, terjadi ketimpangan posisi tawar antara mahasiswa dan rektorat. Rektorat sangat kuat sedangkan mahasiswa sangat lemah. Timpangnya kekuatan pada akhirnya memberi kans yang minim bagi mahasis. wa untuk merealisasikan kepentingannya. “Di Unpad, ketika ketua Senat tidak bisa kerja, BPM tidak bisa mencabut mandatnya karena disahkan oleh rektorat sehingga yang nyabut harus rektorat. Ketua senatnya memang nggak bisa berbuat banyak karena dia memang disahkan oleh rektorat jadinya nggak ada kepemimpinan mahasiswa. Kalau ini terjadi kan berbahaya, bagaimana mahasiswa bisa menjalankan aspirasinya. Selain itu gerak mahasiswa sendiri nantinya akan sangat terbatas,” tutur Ali Nurdin (Pl’92), senator HMP, menanggapi masalah pertanggungjawaban dalam SMPT.

Intervensi rektorat, lanjut Ali, tidak hanya terbatas pada hak kepemimpinan namun juga pada program kerja. “Pada kasus SMPT di Unpad, ketika ada program mau tidak mau harus disetujui rektorat dan kalau tidak disetujui dana tidak keluar. Padahal sudah jadi hak mahasiswa untuk mendapatkan dana tersebut. Contoh lain yang terjadi di Unpad, ketika mahasiswa mengajukan program ditolak, malah diganti oleh program dari rektorat. Dari sini kan jelas tidak ada independensi dari mahasiswa. Bagaimana mahasiswa bisa mengembangkan aspirasinya?,” ujarnya. Dari sekelumit uraian diatas dapat disimpulkan bahwa SMPT secara inheren tidak demokratis. Kondisi seperti ini lebih jauh mengakibatkan mahasiswa harus siap menanggung akibat bila pimpinan perguruan tinggi memiliki karakter otoriter dan represif. “Dampaknya mahasiswa tidak akan punya kewenangan apapun, dia harus nurut sama rektorat. Ngelaksanain kegiatan yang tanpa resiko. Nantinya kegiatan akan bersifat hura-hura, kegiatan yang mendewasakan mahasiswa dalam bidang politik, misalnya, tidak akan diijinkan,” kata Ali. Selain melanggar prinsip independensi dan aspiratif sebenarnya SMPT sendiri kontradiktif terhadap peraturan yang melandasi pembentukannya. Dalam salah satu peraturan yang melandasi pembentukan SMPT yaitu P.P No.30 1990 Bab X pasal 108 ayat 2 menyebutkan organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan dari, oleh dan untuk mahasiswa. Dilihat dari struktur organisasi, di tingkat strategis dan operasional SMPT memang masih bisa diutak-atik. Sebagai contoh, mengutip kata Luky, SMPT di UGM memiliki BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Di UI diadakan Pemilu Raya untuk pemilihan ketua yang memberlakukan sistem one man one vote. Rektorat sendiri dalam butir-butir arahannya menawarkan empat bentuk

varian; tiga bentuk dwi kombinasi antara FKHJ, UKM, Senator dan satu, bentuk FKHJ tunggal. Namun apakah modifikasi di tingkat strategis dan operasional mampu memberikan efek yang benarbenar positif bagi mahasiswa? “Ada varian’ seperti apapun tetapi selama masih bertanggung jawab kepada rektorat sama saja,” kata Ali.

SMPT tidak elitis? Oyo berpendapat, selain masalah independensi, SMPT memiliki kelemahan dari segi organisasi. SMPT memiliki kerancuan dalam hal organisasi, badan kelengkapan dan masalah keanggotaan. Dilihat dari struktur organisasi seperti yang tertera dalam SK 0457, SMPT memang tidak ubahnya seperti FKHJ saat ini. SM di tingkat pusat tidak memiliki badan kelengkapan eksekutif dan legislatif yang terpisah. Hal ini membuka ruang yang sangat lebar terhadap segala bentuk penyalahgunaan dalam tubuh SMPT. Sebab bagaimana mungkin fungsi pelaksanaan dan pengawasan dijalankan oleh orang yang sama.

”Memilih mempertahankan SMPT adalah naïf. Mempertahankan SMPT ibarat memelihara anak macan, penuh resiko, kapan saja siap menerkam laju demokratisasi dan memporakporandakan persatuan mahasiswa,” papar Archam di tulisan tersebut.

SMPT setelah DO, kebetulan? Selain membahas berbagai aspek yang dalam SMPT, hal lain yang patut dicermati adalah timing pembentukan SMPT. Momen pembentukan SMPT mepet dengan kasus DO. Apakah ini suatu kebetulan atau kesengajaan?

Dalam tulisan yang dibuat untuk menyambut berdirinya Dema UGM yang dimuat di BOULEVARD No.19 (Februari 1995), seorang rekan mahasiswa Fisipol UGM, Archam Effendi, mengutarakan tiga kelemahan mendasar SMPT karena struktur organisasi yang dimilikinya. Pertama, SMPT memberi kesan otonomi penuh ditingkat fakultas, sehingga gerakan menjadi sepotong-potong tidak serempak dan isu menjadi sangat beragam sesuai kebutuhan tiap kelompok. Hal tersebut menurutnya menggeser gerakan moral menjadi perjuangan kepentingan kelompok mahasiswa dan lebih jauh gerakan mahasiswa menjadi praktek politik praktis elit mahasiswa. Kedua, tidak ada mekanisme kontrol yang efektif terhadap Ketua Senat sehingga membuka kcsempatan otoriterisme dan tindakan yang tidak terkendali, serta memudahkan penyusupan oknum-

28 #ceritadariyanglalu

oknum tertentu. Ketiga, muncul sikap dualisme yang menghinggapi anggota senat akibat pengaburan-pengaburan batas posisi/ peran senator antara tingkat fakultas dan universitas. sehingga mempermudah munculnya sektarianisme yang menghinggapi aktivis mahasiswa dan bermuara pada kepentingan antar kelompok maupun individu dalam lingkup lembaga mahasiswa. Hal ini terjadi karena dalam SMPT tidak ada pusat koordinasi kegiatan mahasiswa sebagai tempat konsolidasi kekuatan dan integrasi. Akibat dari tiga kelemahan mendasar tadi, mahasiswa secara mikro maupun makro menjadi sporadis dan tidak mempunyai posisi tawar yang kuat.

Sebenarnva sejak tanggal 30 Januari yang lalu telah ada indikasi bahwa ITB bermaksud membentuk SMPT. Hari itu, pada kesempatan terpisah (baca BOULEVARD No.24), anggota Komisi IX: Marsetio D., PR III ITB dan Mendikbud Wardiman mengaitkan terjadinya kasus di ITB dengan tidak adanya SMPT di ITB. Tiga orang berbeda berposisi kuat, dalam hari yang sama mengeluarkan pernyataan senada dalam kesempatan terpisah! Kebetulan? Sejak tahun 1990 —saat keluarnya SK Mendikbud No.0457— mahasiswa 1TB tidak sekalipun pernah menerima SMPT dan rektorat tidak mempermasalahkan hal tersebut. Selama

29 Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


9 Maret 1996, 14 ketua himpunan sudah menegaskan sikapnya menolak SMPT dengan alasan latar belakang politis yang melandasi pembentukan SMPT dan tidak independennya SMPT. Pada perkembangan terakhir, 22 himpunan dan 20 unit menandatangani surat pemyataan yang berisi penolakan terhadap Pokja yang mengacu pada SK 0457 dan permintaan agar rektorat terlebih dahulu menyelesaikan kasus DO sebelum mcmbicarakan masalah lembaga sentral.

enam tahun, rektorat tidak pernah mengungkit-ungkit keberadaan FKHJ, satu-satunya lembaga mahasiswa terpusat yang ada di ITB. “Saga nggak tahu”, kata Danyon Menwa menjawab pertanyaan akan kemungkinan keterkaitan DO dengan SMPT. Di sisi lain Ali dengan tegas menyatakan bahwa momen pembentukan SMPT saat ini berkaitan dengan kasus DO. “Jadi rancu ketika kita sedang mengalami masalah DO dan rektorat menyodorkan masalah SMPT. Ada permainan untuk membesarkan medan perang,” ujarnya. Komentar senada juga diungkapkan oleh Tori. Mcnurutnya kasus DO yang baru saja terjadi merupakan semacam test case dari rektorat untuk mengukur kemampuan melawan mahasiswa dan SMPT merupakan isu yang digunakan untuk memperluas medan konflik.

Menanggapi pertanyaan antisipasi apa yang harus dilakukan untuk mcnghadapi kemungkinan pemaksaan rektorat dalam membentuk SMPT, Oyo menyatakan bahwa mahasiswa ITB harus menentukan penyikapan bersama¬sama. “Kalau sikap ketua himpunan didukung oleh massa, dia akan sangat yakin dengan bargaining yang dia punya. Sekarang ada kelemahan bahwa mahasiswa tidak menyadari betul kenapa SMPT kita ujarnya. Pentingnya penyikapan bcrsama juga dikatakan olch Luky, Ali dan Tori, masing-masing dalam kesempatan terpisah.

Rektorat tentu sudah mengantisipasi berbagai kemungkinan yang timbul manakala SMPT diluncurkan. Resiko terburuk yang harus dihadapi rektorat adalah jika mahasiswa bisa mengadakan perlawanan secara terorganisir dan massal. Ali berpendapat dari kasus DO kemarin Indra Djati melihat mahasiswa tampak kocar-kacir dan menggunakan kesempatan tersebut untuk menekan mahasiswa. “Aku melihat ada semacam permainan yang sifatnya politis yang dibuat agar mahasiswa ITB sibuk di dalam tahun ini dengan berbagai macam PR yang diberikan pada mahasiswa. Dampaknya ketika kasus DO belum selesai dan dia (rektorat) sudah menyodorkan SMPT mau tidak mau kita terjebak pada permainan yang disodorkan oleh rektorat sehingga isu yang muncul di ITB adalah isu intern sehingga kita akan sibuk di dalam terus, “ tuturnya.

Kita percaya bahwa manusia adalah sama dan sederajat. Oleh karena itu kita percaya bahwa tidak seorangpun berhak mengatur orang lain semata-mata bcrdasarkan kepentingan si pengatur. Mekanisme pengaturan dalam masyarakat hanya sah bila dijalankan berdasarkan aturan yang disepakati bersama. Maka walaupun rektorat mengumandangkan kalimat: “....sesuai peraturan”, tidak berarti yang dilakukan rektorat benar. Sejarah bangsa kitapun menunjukkan bahwa Negara Republik Indonesia tidak

(ts/lx)

Deklarasi Keluarga mahasiswa ITB pada tanggal 20 Januari 1996 yang lalu sebenarnya secara tidak langsung telah menjadi penentu bagi kita untuk menolak SMPT. Deklarasi tersebut merupakan langkah awal kemahasiswaan ITB dalam mewujudkan cita-cita untuk membentuk suatu student goverment seperti Zaman Dewan Mahasiswa (Dema) dulu. Mencitacitakan sesuatu seperti dimasa lalu bukan karena kita ingin memuaskan hasrat romantisme. Kebutuhan kita sejak dulu hingga sekarang adalah mengembangkan potensi mahasiswa, terutama potensi kekritisan dan potensi kreativitas, secara optimal. Untuk mewujudkannya kita membutuhkan alat yang sesuai. Sesuai yang dimaksud adalah selaras dengan kebutuhan; tidak berbalik menjadi bumerang yang bisa menghantam si pemakai. Inilah yang menjadi alasan kenapa kita membutuhkan lembaga seperti Dema. Yang kita inginkan bukan sekedar nama Dewan Mahasiswa tetapi esensi dari Dema sebagai lembaga yang dilandaskan pada prinsip independen dan aspiratif.

SMPT, Yes or No? Setelah meninjau berbagai aspek dalam SMPT, langkah selanjutnya adalah menentukan penyikapan secara tegas terhadap SMPT. Sekjen FKHJ, Oyo, menyatakan bahwa pada rapat tanggal 2

30 #ceritadariyanglalu

akan berdiri bila tidak ada orang yang berani melawan aturan. Para pejuang sadar bahwa tindakan mereka melanggar peraturan pemerintah Belanda namun mereka rela untuk terus berjuang walaupun harus menanggung resiko diintimidasi, disiksa hingga dihukum mati. Bila kita membandingkan tindak tanduk penjajah dengan tindak tanduk rektorat sclama ini yang hobby menekan, memaksa hingga mengintimidasi lewat ancaman sanksi akademis, bisa disimpulkan bahwa rektorat selama ini tidak ada bedanya dengan pcnjajah.

Independen tidak berarti mahasiswa tidak mempertimbangkan kepentingan lain diluar dirinya .(rektorat). Sebab kalau ini terjadi mahasiswa menjadi tidak ubahnya seperti rektorat saat ini: penindas. Yang kita inginkan adalah suatu cara pandang yang menempatkan mahasiswa sebagai manusia yang memiliki keinginan dan perasaan, bukan ternak yang bisa digiring kemanapun oleh sang penggembala.

31 Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Kasak-kusuk Reformasi Kemahasiswaan Beberapa waktu terakhir kemahasiswaan ITB dihangatkan kembali oleh masalah klasik; Lembaga Sentral Mahasiswa (LSM). Klasik karena sudah sejak tahun 1993 topik itu mengedepan, namun hingga hari masih tetap berupa kata.

B

egitu pentingnya topik ini, hingga tak hanya mahasiswa saja yang membicarakannya, kalangan dosen pun tak ketinggalan menyingsingkan lengan untuk membahasnya, dalam apa yang dinamakan Tim Reformasi Kemahasiswaan. Dengan awak seperti ini, akankah ITB berhasil memiliki sebuah konsep kemahasiswaan yang paripurna untuk diterapkan?

Iebih berarti. Kesadaran ini menjadi pendorong dilaksanakannya berbagai upaya untuk mewujudkan lembaga terpusat itu. Deklarasi KM ITB, 20 Januari 1996, merupakan salah satu usaha yang pernah dilakukan. Re-strukturisasi dan pembentukan kabinet mahasiswa merupakan dua agenda yang ingin diselesaikan berikutnya. Sayang, situasi pada waktu itu tidak memungkinkan. Kemahasiswaan ITB harus berhadapan dengan induknya sendiri, institusi ITB, dalam kasus pemecatan Budi dan Ridjal. Sehingga kasus ini kemudian dijadikan titik awal penghancuran kemahasiswaan ITB (yang sekian lama bertahan untuk tidak menerima organisasi kemahasiswaan ala orde baru) oleh rektorat yang berkeinginan sebaliknya. Tekanantekanan dari rektorat, seperti pencabutan berbagai fasililas dan pemaksaan bentuk SMPT, membuat rencana itu kian terpuruk.

Jatuh bangun Sejak dibubarkannya Dewan Mahasiswa akhir tahun 70-an lalu, ITB tidak punya lembaga kemahasiswaan terpusat. Padahal, hadir di tengah masyarakat dengan mengusung satu nama: mahasiswa ITB, akan memberikan makna yang lebih dalam daripada terpecah-pecah. Selain itu, lembaga terpusat juga memungkinkan terjalinnya komunikasi dan koordinasi yang lebih baik di antara semua elemen yang ada di kampus, sehingga mahasiswa ITB bisa menjalankan perannya di tengah masyarakat, kecil maupun besar, secara

Konsep mengenai organisasi terpusat mulai dibicarakan ketika rektorat

mempunyai inisiatif untuk membentuk Pokja SMPT, dalam apa yang disebut “Forum BPI” (dinamai sesuai tempat pelaksanaan pertemuan, Balai Pertemuan Ilmiah -BPI ITB-red). Para ketua himpunan, ketua unit, dan pihak rektorat sendiri menjadi pesertanya. Usaha ini pun gagal, berakhir dalam deadlock. Biangnya adalah pemaksaan rektorat untuk nama yang dipakai: SMPT. September 1997, PR III ITB, Dr. Isnuwardianto, mengajak kembali para ketua himpunan dan ketua unit untuk membicarakan masalah organisasi terpusat. Pemaksaan dilakukan dengan memberlakukan mekanisme registrasi terhadap organisasi mahasiswa yang ingin diakui keberadaannya di institut ini. Kemahasiswaan pun terpecah karena forum baru itu, “Forum TVST” (sesuai tempat pertemuan-red) hanya melibatkan himpunan dan unit yang registrasi. Karena legitimasi massa mahasiswa tak mampu diperoleh, persetujuan (tanda tangan) dari rektorat tidak banyak berarti. Hempasan gelombang reformasi yang tidak meluputkan ITB kemudian menggagalkan forum ini. Perhatian semua pihak terfokus pada upaya penyingkapan masalah krisis dan tuntutan reformasi. Agenda lembaga terpusat pun keteteran.

Aji mumpung “Kondisi sekarang merupakan kondisi yang baik untuk mewujudkan LSM, karena aturan-aturan yang dulu menghambat, salah satunya SK Mendikbud 0457 dan PP 30, bisa dicabut dan kita bisa minta otonomi dan indepedensi .” demikian diungkapkan salah seorang anggota tim LS, Dayat (FA’93), kepada Boulevard ketika ditanya seputar persiapan LSM yang tengah dilakukannya. Senada dengan itu, Dr. Priyono Eko Sanyoto, sekretaris Jurusan Mesin bidang kemahasiswaan (sekjurmawa), berpendapat saat ini merupakan saat yang sangat baik bagi perguruan tinggi untuk melakukan tawar menawar

Tim LSM Bila forum TVST hanya melibatkan himpunan-himpunan dan unitunit yang registrasi, persiapan lembaga terpusat sekarang dilaksanakan oleh tim khusus, bernama Tim LSM, bersama FKHJ dan BKSK. Secara formal forum pembentukan LSM ini belum diketahui PR III, karena menurut mereka (Tim LSM), masalah ini akan diselesaikan pada level mahasiswa dahulu. “Tim LSM membicarakan persoalan implementasi lembaga terpusat, supaya tugas FKHJ tidak terlalu berat” jelas Dayat. Menurutnya, tim yang dibentuk FKHJ ini diberi wewenang dan mengkaji tiga konsep, yaitu konsep KM, BPI, dan Forum TVST. “Kalau bisa Tim ini sampai implementasi, bukan hanya sampai sintesa dan rekomendasi.” tambahnya. “Bentuk yang jadi sekarang konsepsinya berasal dari kebutuhan mahasiswa, jadi organisasi ini dibentuk karena kebutuhan mahasiswa dan untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa.” ungkap Dayat mengenai konsep LSM yang sedang dirancang itu. “Kebutuhan mahasiswa yang scope-nya Iebih besar akan dijabarkan dalam program-program. Kebutuhan untuk sekelompok orang mungkin bisa diselesaikan oleh kelompok orang tersebut.” jelas Dayat panjang lebar, ketika ditanya mengenai fungsi

33

32 #ceritadariyanglalu

dengan mahasiswa seputar masalah kemahasiswaan, termasuk masalah lembaga terpusat. Menurutnya, dulu ITB mendapat tekanan begitu kuat dari atas (pemerintah-red), sehingga sulit untuk menerima usulan mahasiswa. “Dengan keadaan seperti sekarang, di mana pressing dari atas lebih longgar, kompromi akan lebih mudah untuk diperoleh.” demikian Priyono menjelaskan. Kondisi yang dimaksudkan adalah pergantian presiden RI. Beberapa gebrakan yang sempat dilakukan orang-orang di kabinet Habibie, terutama Mendikbud yang berhubungan langsung dengan institusi ini, tampaknya dijadikan sebagai alasan yang memperkuat penilaian kondisi sekarang memang menjanjikan.

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


lni jugalah yang barangkali menjadi pertim­ bangan utama pembentukan Tim Reformasi Kemahasiswaan yang diprakarsai oleh PR III ITB. Langkahlangkah ke arah ini telah dijalankan seperti pertemuan rutin antara PR III dengan semua sekretaris jurusan bidang kemahasiswaan dan pertemuan “besar” (melibatkan rektor, para pembantu rektor, komisi disiplin, para sekjurmawa, dll) hari Senin, 29 Mei 1998 kemarin di gedung BPI.

LSM. Agung (TI ‘95), Sekjen FKHJ mengatakan,” LSM diharapkan benarbenar jadi suatu proses pembelajaran bagi mahasiswa, baik dari segi politik, manajerial, nilai-nilai kemasyarakatan dan kepemimpinan, sehingga pada waktunya memang dapat menghasilkan figurfigur pemimpin nantinya. Selain itu juga memfasilitasi fungsi kontrol mahasiswa agar tetap dijaga terus.” Agung kemudian menambahkan “Lembaga sentral yang dipersiapkan ini adalah lembaga sentral yang independen dan otonom”. Independen disini maksudnya: kita tidak terikat dan mengacu pada kepentingan siapapun, yang kita perjuangkan adalah kepentingan rakyat dan masyarakat, dan apa yang dilakukan mahasiswa adalah gerakan moral, tanpa ada tujuan tendensi politik tertentu, dan otonom disini berarti lembaga ini punya kekuatan dan wewenang sendiri untuk menentukan yang menjadi garis kebijakan, bertanggung jawab pada mahasiswa itu sendiri, dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa serta masyarakat. Sementara, Andi (AR ‘95), Ketua IMA-G yang juga sebagai Komisi LSM mengatakan,” LSM ini berfungsi sebagai penentu sikap ITB dan untuk melaksanakan kegiatankegiatan yang sifatnya membawa aspirasi mahasiswa yang terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu.

Bila mahasiswa ITB selama ini menyerukan reformasi politik dan ekonomi, sekarang kita juga harus menyerukan reformasi di kemahasiswaan ITB sendiri. Suasana reformasi ini digunakan oleh berbagai pihak untuk berbenah diri. PR III yang mengaku, “Saya Reformis dari dulu”, ini telah menginstruksikan kepada jurusan-jurusan untuk membentuk Pokja yang terdiri dari para dosen dan mahasiswa. Pokja ini dibentuk dalam rangka implementasi reformasi kemahasiswaan untuk membahas keinginan dan kebutuhan mahasiswa. Adanya tanggapan dari rektorat untuk mengadakan berbagai perubahan, mungkin akan membuka jalan bagi kita untuk mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis bagi kemaha­ siswaan ITB. Kepada Boulevard, I s n u mengatakan “Lembaga pendidikan ini harus bisa memfasilitasi peran mahasiswa sebagai insan akademik, insan sosial budaya, dan insan sosial politik. Di dalam bidang akademik akan terjadi interaksi belajar masyarakat ilmiah. Kebenaran ilmiah yang didapat dari adu argumentasi secara sehat dan logislah yang menjadi raja dari segenap perdebatan yang terjadi. Tak pernah kita berhadapan dengan hierarki kekuasaan apalagi jabatan dalam membicarakanya. Kata-kata manis ini dapat ditagih kepada Isnu bila memang terjadi pernbahasan Iebih lanjut tentang LSM dengan rektorat.

Tim reformasi kemahasiswaan Seperti dituliskan di bagian awal, pihak rektorat pun sedang mempersiapkan diri untuk membenahi masalah kemahasiswaan mahasiswa sendiri, kata Dumaria Tampubolon, Msc kepada Boulevard. Menurut sekretaris jurusan Matematika bidang kemahasiswaan ini, ITB hanya bisa memberikan muatan akademis saja dan itu tidak cukup agi mahasiswa untuk menjadi manusia seutuhnya. Kemampuan berkomunikasi yang baik, memimpin dan bekerja dalam tim merupakan persyaratan lain yang harus dipenuhi untuk bisa survive di tengah masyarakat. “Ini hanya bisa didapatkan melalui organisasi mahasiswa,” tegasnya.

Masyarakat ilmiah Berbicara mengenai kampus, akan mengi­ngatkan kita akan kehidupan ilmiah yang menjadi ciri utamanya. Kebebasan berpikir dan berpen­ dapat, kreativitas, argumentatif, dan melihat jauh ke depan, merupakan sebagian dari nilai-nilai yang berlaku dan diterima dalam suatu masyarakat ilmiah.

Tantangan ke Depan Bila dibagian awal tulisan FKHJ berbicara mengenai bagaimana agar fungsi kontrol mahasiswa tetap terus dijaga, lembaga sentral mahasiswa memang harus di-institusionalkan. Sebelum kita berkutat dengan masalah organisasi terpusat, karena melihat adanya angin segar sesuai pernyataan Mendikbud Juwono untuk merevisi kernahasiswaan di kampus, kita masih dihadapkan pada tantangan besar yang melanda negeri ini. Seperti ditulis Kompas 1/7/98, perhatian mahasiswa di Ibukota lebih terfokus pada agendaagenda reformasi. Sehingga, di beberapa kampus sambutan untuk reformasi kemahasiswaan disambut dingin.

Kasak kusuk seputar dunia kemahasiswaan dan lembaga kemahasiswaan terpusat yang tengah dilakukan sekarang, sewajarnya menerapkan nilai-nilai ini. Tidak hanya karena fenomena ini terjadi di dalam kampus, yang idealnya merupakan suatu komunitas ilmiah, tapi juga karena orang-orang yang ada di dalanmya adalah orang-orang yang sehari-hari harus bergelut dengan kerasionalan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seharusnya pola hidup seperti ini diterapkan dalam sisi lain kehidupan kita. Tak usah jauh-jauh, masalah menjunjung tinggi nilai-nilai ini bisa diterapkan saat ini, di saat mahasiswa dan rektorat sama-sama berpikir tentang organisasi kemahasiswaan di institusi sendiri.

Dengan situasi kemahasiwaan ITB seperti sekarang, akan sulit bagi kita untuk menghadapi dan menyikapi keadaan dan tantangan di sekitar kita yang semakin besar. Yang lebih mendasar adalah bahwa mahasiswa membuat lembaga terpusat tersebut karena yakin akan keampuhannya sebagai alat perjuangan. Apa yang ingin dicapai dan diperjuangkan mahasiswa ITB dengan lembaga ini? Visi kita tentang kemahasiswaan harus jelas. (Elvi)

Rektorat, seperti yang diungkapkan oleh PR III kepada Boulevard, menginginkan sebuah bentuk kemahasiswaan dengan visi di mana mahasiswa, para dosen, dan elemenelemen lain yang ada di ITB adalah satu keluarga. Sementara, mahasiswa juga punya keinginan untuk membentuk dunia kemahasiwaan seperti yang telah diungkapkan di atas. Apa yang dikatakan oleh PR III ini tentang bentuk kemahasiswaan di atas, terdengar indah bila memang benar-benar ingin diwujudkan. Pada kondisi sekarang, disaat tekanan dari atas lebih longgar, kita bisa menerapkan nilai-nilai tersebut yang seharusnya kita dapatkan dalam kampus sebagai masyarakat ilmiah. Dan

35

34 #ceritadariyanglalu

membangun visi kemahasiswaan sebagai alat perjuangan mahasiswanya.

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


P

melibatkan langsung mahasiswa, dengan mengadakan rekrutmen terbuka.

endirian KM-ITB sudah cacat dari awalnya. Ini dimulal dari kesalahan PPLSM yang melakukan sosialisasi pada masa liburan semester, sosialisasi yang tidak mengakar, dan tidak adanya irisan kepentingan bersama untuk pendirian lembaga terpusat.

Isu Nasional Kurangnya dukungan terhadap kabinet ini bisa menjadi masalah besar bagi pelaksanaan program kabinet, terutama menyangkut isu nasional. Dalam masalah ini, Vijaya mengatakan akan menggarap masalah pemilu, meliputi pemantauan dan pengawasan pemilu, voter education, dan penanggulangan ekses pemilu. Program seperti ini tentu saja memerlukan tidak hanya elit mahasiswa, tetapi juga mahasiswa pada umumnya. Tetapi, seperti yang diakui sendiri oleh Vijaya, perhatian mahasiswa ITB sendiri terhadap masalah ini masih kurang. Mungkin juga tidak persis begitu. Mungkin mereka cuma tidak menyadari kehadiran kabinet. Seperti yang dikatakan Diah (PN’97), “Saya lihat kok nggak ada suaranya, kabinet. Maksudnya sama gerakan KM, kalau sama demodemo ke luar kok nggak ada nyambungnya. Jadi saya harap lebih kelihatan. Kan itu kayak pemerintahan di ITB gitu. Jadi mustinya itu lebih kelihatan.” Atau mungkin mereka menganggap kabinet belum berbuat banyak. “Kasih bukti nyata pada masyarakat, jangan ngomong doang,” begitu ujar Rini (GM’97).

Sebenarnya, dari proses pendirian KMITB ini bisa dikatakan bahwa yang mendirikan KM-ITB hanya segelintir mahasiswa. Dilihat dari proses pendirian itu, partisipasi aktif mahasiswa “biasa” rendah. Pemilu KM, walaupun memang diikuti oleh mayoritas mahasiswa ITB, hanya diikuti oleh 57 persen. Ini menunjukkan dari awal dukungan terhadap kabinet sangat rendah. Bagaimana keadaan sekarang, 4 bulan setelah kabinet terbentuk? Tampaknya situasinya tidak jauh lebih baik. Ini terlihat dari sikap acuh tak acuh mahasiswa ITB yang dijumpai Boulevard. Mereka semua mengaku tidak tahu persis apa yang sudah dilakukan kabinet, atau apa programnya. Rio, (TA’97) malah mengatakan “Nggak ada harapan untuk kabinet. Cuek aja.”

MUNDUR SETAHUN BERSAMA KM-ITB Keluarga mahasiswa ITB telah berdiri, dan kabinet sudah bekerja lebih dari empat bulan. Namun belum ada tindakan-tindakan yang nyata kelihatan oleh mahasiswa, terutama partisipasinya dalam mengatasi krisis.

Masalah dukungan ini seharusnya dapat diatasi dengan diakomodasinya aspirasi dan kepentingan mahasiswa. Fandi Wijaya, Ketua Kongres (GD’94) mengatakan bahwa senatorlah yang seharusnya turun ke distriknya masingmasing untuk menyerap aspirasi mahasiswa, namun hal ini sangat sulit mengingat distrik sebagai basis massa belum terbangun. “Jadi masalahnya sekarang ini basis massa masih berada di setiap himpunan dan unit,” demikian kata Fandi. Karena itu untuk sementara himpunan masih digunakan sebagai sumber¬sumber aspirasi sebelum distrik sebagai basis massa terbangun. “Cuma pada akhirnya karena kongres tidak punya hubungan langsung dengan himpunan untuk fungsi ini kita serahkan kepada kabinet, karena kabinetlah yang mempunyai hubungan koordinasi dengan himpunan dan unit.”

Keadaan kampus sekarang memang sepi-sepi saja. Keadaan ini memang tak sepenuhnya bisa disalahkan kepada kabinet, karena organisasi terpusat baru ini memerlukan waktu untuk konsolidasi. Namun ini bukan alasan untuk Kabinet membiarkan keadaan mundur sampai begitu jauh. Setidaknya, kita tidak perlu sampai mundur sampai masa sebelum Suharto. Ingat, sekarang ini keadaan darurat. Kita tidak bisa bersikap business as usual. Paling tidak, seperti kata Anugrah (EL’97), “Kabinet bisa ngidupin ITB. Soalnya di zaman reformasi kayaknya kita diem aja.” Nah, bagaimana Saudara Presiden?

Selain itu kabinet juga berusaha mengatasi keadaan ini dengan membuat kegiatan-kegiatan yang diadakan kabinet

36 #ceritadariyanglalu

37 Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Bagian

2 Gerakan Kemahasiswaan

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Aksi Untuk Buruh: Peduli atau Trendy S

etelah setahun yang lalu ITB diramaikan aksi pembelaan Yosalfa dan Meylana, akibat kasus OS. Awal tahun ini sebuah aksi mahasiswa mulai bergelut dengan isu di luar kampus yang menyangkut rakyat kecil, yaitu buruh. 200-an mahasiswa memadati lapangan basket ITB pada hari Selasa 17 januari 1995, minggu kemarin, melakukan aksi solidaritas untuk buruh PT Jersindo yang menginap di kantor Depnaker Bandung, menuntut hak-haknya yang belum dipenuhi setelah pabriknya ditutup 7 bulan yang lalu. Bagaimana kelanjutan trend ini? Boulevard berusaha menangkap gejala ini.

POSTER AKSI MAHASISWA UNTUK BURUH— Lapangan Basket ITB, pada tanggal 17 Januari yang lalu kembali diramaikan oleh 200 mahasiswa yang melakukan aksi solidaritas untuk buruh PT. Jersindo. Nampak poster aksi yang digunakan. Apakah ini pertanda awal kembalinya kepedulian mahasiswa terhadap buruh, tani, dan nelayan?

mahasiswa akan cepat mencapai “atas”. Aksi yang berkutat dengan isu intern yang menghantam langsung rektorat, belum efektif karena tidak membuahkan hasil. Pada dasarnya ia beranggapan mahasiswa lebih peduli dengan pendidikan di kampus. Namun ia optimis dengan perkembangan terbaru ini. Sementara Rheza dari HMTM Patra berpendapat hal ini sebagai awal yang bagus karena sebenarnya kaderisasi di himpunan telah gagal membangun kepedulian mahasiswa terhadap rakyat kecil. Meski secara kuantitas masih kurang, ia berharap aksi tidak padam dan mati seperti tahun 1989.

Trend baru ini ditanggapi dengan biasabiasa saja oleh Rizal (EL93) yang menyatakan mahasiswa sudah bosan dengan aksi intern. Apalagi “bungkusnya” kurang menarik. Lagipula sebagai kelas menengah ia berpendapat suara

Mengenai gerakannya sendiri, Yusrizki TI’91 menyatakan aksi ini sebagai solidaritas atas gerakan buruh yang sudah ada diluar. Dengan harapan dapat menjadi pressure group yang berarti

Aksi untuk buruh ini, sebagai awal memang kurang memuaskan dengan melihat gagalnya kaderisasi himpunan mengajak mahasiswa peduli rakyat kecil. Namun seberkas optimisme muncul bahwa aksi ini dapat menjadi pemicu pergerakan mahasiswa yang lebih intens dan pada akhimya akan dapat juga menjadi media pendidikan politik. Kita harapkan demikian. (akbar)

Meski aksi ini didorong aksi buruh yang telah terorganisasi lebih dulu, Bisman senada dengan Yusrizki, menekankan perlu menjaga jarak agar aksi mahasiswa tidak merusak rencana yang telah disiapkan buruh. Berkaitan dengan kegagalan kaderisasi himpunan, Ringgas HMFT’89 menyatakan aksi ini dapat menjadi media pendidikan politik mahasiswa dan membangkitkan kesadaran nilai-nilai kemanusiaan. Kelanjutan trend ini paling tidak mahasiswa akan terlibat, minimal dalam diskusi. Selain itu bukan hanya kasus buruh, tapi selama ada konflik mahasiswa akan peduli. Meski SDM paspasan ia berharap himpunan memperbaiki

edisi 18 - IV Januari 1995

41

40 #ceritadariyanglalu

kaderisasinya.

bagi pemberdayaan masyarakat. Ia mencontohkan aksi yang lebih merakyat yaitu aksi pertanahan yang marak di tahun 80-an.

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Aksi mahasiswa di mata mahasiswa

Antara Hasil dan Proses M

pernah memperhatikan sehingga secara umum pandangannya biasa-biasa saja. Sedangkan Arif (PL’91) menilai bahwa aksi-aksi yang ada tidak memandang permasalahan secara keseluruhan. “Bila ada bentrok, mahasiswa langsung menduga bahwa pemerintah nggak baik. Bukannya saya pro pemerintah, tapi pemerintah itu harus bisa mengakomodasi berbagai kepentingan,” ujarnya.

akin hari aksi-aksi di lapangan basket makin sepi pendukung. Benarkah demikian? Bagaimana sebenamya pandangan umum mahasiswa ITB tentang aksi mahasiswa ? Dengan nada pesimis seorang pembicara pada aksi buruh Jersindo di lapangan basket akhir Januari lalu. menyatakan sangsi apakah sampai lima puluh orang mahasiswa yang datang ke sana. Namun di sisi yang lain, dengan berbesar hati, mahasiswa lainnya yang hadir bergumam”… ah nggak. kita ada lebih dari lima puluh...” Sebenarnya bukan jumlah 50 yang menjadi masalah. Tapi kecenderungan yang jelas terlihat yaitu menurunnya jumlah pendukung aksi-aksi mahasiswa. Apa yang salah dengan aksi-aksi tersebut hingga berkesan tidak berhasil menarik pendukung?

Apakah pendapatpendapat di atas menggambarkan keantipati-an mahasiswa terhadap aksi? Menanggapi pertanyaan ini, Jonathan (TL’92) mengatakan, “Saya melihat kecenderungan mahasiswa untuk antipati.” Lebih lanjut menurutnya, “Mungkin ini karena mahasiswa selalu mengharapkan hasil akhir. Saya pikir tidak mesti begitu karena ini adalah rentetan proses yang nggak langsung kelihatan hasilnya.”

Aksi, reaktif ?

Menanggapi pertanyaan yang sama, beberapa mahasiswa mengajukan tanggapan yang mencoba untuk mengungkap akar permasalahan. Hari Mukti (EL ‘90) mengungkapkan bahwa aksi-aksi sekarang tidak dikoordinasikan dengan baik karena tidak ada kelanjutannya. Menurutnya aksi cuma sekedar perwujudan emosi mahasiswa untuk membuktikan bahwa mereka masih ada. Hal ini didukung oleh Sirod (KI ‘94). Katanya, “Yang penting bukan hanya menggelar aksi tapi aksi setelah aksi! Apa peran kita setelah aksi? Percuma saja kita menarik perhatian orang, yang penting kita

Nyoman Oka (TF ‘91) mengaku tidak tertarik untuk datang aksi walaupun publikasinya sudah terlihat di mana-mana. Mengenai aksi dia berkata, “Saya nggak ngerasa itu berguna!” Lanjutnya, “Saya bukannya kontra ya..., tapi aksi-aksi itu nggak-pernah menghasilkan output yang diinginkan. Cuma sampai di situ terus selesai, gak ada follow up-nya!” Dalam kesempatan lain Paminu (MS ‘92) juga menyatakan komentar senada, “Hasilnya memang nggak ada.” Selain itu dia mengaku tidak

Sementara itu Hansen mengungkapkan bahwa adalah salah bila aksi dianggap sebagai tujuan akhir. “Aksi itu bukan tujuan tetapi alat.” Lanjutnya, “Mungkin nggak semua tuntutan tercapai tapi ada porsi-porsi yang tercapai dan bisa kita raih..” Dia pun berpendapat bahwa sebuah gerakan harus dirasakan sebagai milik semua mahasiswa ITB. “Isu-isu yang harus diangkat memang isu-isu yang dekat dengan mahasiswa ITB, Apakah kasus jilbab di KTM, SPP, yang seperti itu bila diproses berkali-kali massa akan merasa bahwa hak-haknya diperjuangkan. Bahwa apa yang dilakukan dalam membangun kampus adalah bagian dari dia. Beberapa kali belakangan ini yang seperti itu tuh nggak muncul!

Mungkinkah kesan menurunnya minat mahasiswa pada aksiaksi karena faktor luar selain aksi itu sendiri? Menurut Wisnu ada banyak faktor, seperti SKS dipadatkan, skorsing lebih ketat dan dari mahasiswanya sendiri juga banyak. “Sekarang mahasiswa kesannya lebih borju, nggak memasyarakat lagi. Waktu di SMA sering main-main, di ITB ngapain juga ikut-ikutan aksi.” ujarnya.

Mulya pun setuju bahwa isu yang diangkat harus kena ke seluruh mahasiswa ITB.. “Aksi Yos dan Mey itu menyentuh kepentingan seluruh mahasiswa, ketika kebebasan pendidikan kita diusik oleh rektorat. Mahasiswa Sulawesi Selatan banyak yang turun ke jalan kalau masalah buruh. Itu karena mahasiswanya banyak yang sampingannya buruh. sehingga mereka benar-benar bisa merasakan bagaimana menjadi buruh. Mahasisiwa ITB kan nggak! Bagaimana mau aksi kalau kita sendiri tidak merasakan penderitaan mereka ?”

BOULEVARD juga mewawancarai Tengku Mulya (GD ‘90), Ketua IMG, dan Hansen (AR ‘89), mantan Ketua IMA “Gunadharma” tentang masalah ini. Menurut Mulya, “Sebenarnya bukan persoalan mendukung atau tidak mendukung, tapi bahwa mahasiswa harus berjuang untuk bisa survive dalam suatu keadaan untuk bisa membela idealismenya, seperti kemasyarakatan. Dan mahasiswa itu sebagai pengharapan dari rakyat. Sehingga mahasiswa harus terus mengadakan aksi walaupun aksi itu tinggal seorang saja!”

Demikianlah beberapa pandangan tentang aksi mahasiswa ITB dan kondisi obyektifnya sekarang ini. Tampaknya kondisi kesadaran mahasiswa memang sudah turun sampai tahap yang demikian rendahnya sehingga kekritisan harus mulai dibangun dari masalah-masalah kccil yang ada pada diri mahasiswa sendiri. Benarkah demikian?. “...Kusampaikan salam-salam perjuangan, kita semua cinta-cinta Indonesia..” . Akankah bait-bait lagu tersebut masih tetap bersemayam di kampus ITB dan sekaligus menjadi jiwa dari perjuangan mahasiswa ITB? (bongek)

Sementara itu Hansen, yang juga mantan ketua KKLSM mengatakan bahwa aktivitas yang terjadi sekarang di kemahasiswaan bukanlah merupakan sebuah gerakan. “Ia hanya bersifat responsif dan tidak pernah digarap secara serius.” tandasnya. “Aksi itu butuh kurikulum isu. pengkondisian massa, pembentukan opini, baru bisa sampai pada suatu titik dimana orang secara sadar datang dan menyatakan sikapnya. Inilah akhir-akhir ini yang tidak pernah digarap serius.” -begitu dia menerangkan. Menanggapi suara-suara bahwa aksi-aksi itu tidak ada hasilnya, Mulya berpendapat, aksi yang pernah terbukti berhasil adalah di tahun ‘66.

edisi 20 - IV April 1995

43

42 #ceritadariyanglalu

setelah itu belum pernah berhasil.

berusaha merealisasikannya.” Mayoritas pendapat di atas mengisyaratkan keinginan mahasiswa ITB akan suatu follow up aksi. Berkaitan dengan hal ini Jonathan menyatakan bahwa ada kendala berupa waktu yang harus diperhitungkan. Pendapat ini terungkap dari pernyataannya, “Konyol untuk mengharapkan solusi dalam jangka waktu yang pendek.” (Baca juga boks: Apa kata mereka?)

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Mahasiswa Bergantung pada Ide-Ide yang Abstrak dan Sesaat BOULEVARD: Mengapa mahasiswa yang peduli terhadap politik sekarang makin sedikit? Dari beberapa pendapat yang herhasil dihimpun(lihat: Aksi Mahasiswa: Antara Proses dan Hasil), sebagian besar mengindikasikan keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap aksi mahasiswa. Keraguan dan ketidakpercayaan ini pada gilirannya tentu akan menimbulkan sejumlah pertanyaan terhadap aksi mahasiswa. Jika ditilik lebih jauh, pertanyaan tadi tidak bisa tidak akan membawa kita masuk ke dalam pembicaraan tentang “gerakan mahasiswa” karena bagaimanapun aksi merupakan salah satu bentuk dari gerakan mahasiswa.

H

endardi : Ada sejumlah faktor yang menimbulkan keadaan seperti itu. Pertama, penguasa Orde Baru telah berhasil menciptakan ketakutan-ketakutan politik bukan saja terhadap mahasiswa tapi kepada semua warga negara masyarakat Indonesia sehingga bicara politik seperti hidup di sebuah ruangan yang menakutkan. Apa yang ditampilkan Deni ketika menentang otoriterisme ITB menunjukkan hal itu. Dia telah memunculkan istilah `takut’: takut dipecat. takut ditangkap, takut disiksa, dan takut dipenjara bertahun-tahun. Kedua, dampak ketakutan ini dikawinkan dengan politik

Disini akan disorot gerakan mahasiswa dengan beberapa aspeknya. Sorotan yang kami tampilkan adalah wawancara dengan Hendardi dengan pokok tema “gerakan mahasiswa” dimana BOULEVARD diwakili oleh Suryadi AR, staf LBH Bandung.

‘massa mengambang’. Akibatnya. orang yang aktif menciptakan kemajuan politik rakyat begitu langka. Apalagi oposisi dilarang. Ketiga, implikasi dari pelarangan berorganisasi. seperti DM/MPM adalah sudah begitu mencengkeramnya kaki tangan aparat negara (state apparatus) ke kampus-kampus. Hal yang sama terjadi diluar kampus. Upaya mahasiswa ITB melaksanakan referendum LSM (Lembaga Sentral Mahasiswa) mencapai kemenangan namun upaya selanjutnya justru terbentur oleh penguasa kampus (rektorat). Tapi setidak-tidaknya, mahasiswa ITB tidak lagi ‘buta huruf’

Sekilas mengenainya: Hendrardi adalah alumni ITB jurusan Teknik Sipil angkatan ‘78. Tahun 1978-1981 menjabat Ketua KPM (Komite pembelaan Mahasiswa) DM ITB - organisasi yang bertugas menangani kasus pengadilan mahasiswa ITB yang terlibat gerakan 1978. Tahun 1981 Hendrardi mengambilalih jabatan ketua terpilih DM ITB yang mengundurkan diri. Sekarang dia menjabat Direktur Komunikasi dan Program Khusus Yayasan LBH Indonesia di Jakarta

DM/MPM : Dewan Mahasiswa/Majelis Perwakilan Mahasiswa #ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

45

Boulevard ITB


terhadap kata referendum. Keempat, mahasiswa ITB sekarang relatif lebih makmur dibanding pada masa saya jadi mahasiswa. Faktor ekonomi seperti ini telah mempengaruhi minat mahasiswa akan politik. Dengan kemakmuran, mereka bisa berbuat banyak hal tanpa dipusingkan oleh penindasan-penindasan politik. Mereka bisa menyalurkan hobinya ke olahraga dan hiburan. Kelima. faktor SKS juga berpengaruh. SKS yang makin ketat memang mendorong mahasiswa untuk memikirkan kepentingan pribadinya untuk menggondol gelar sarjana. Tapi SKS bukanlah faktor utama. Menurut saya, represi politik itulah faktor utamanya.

Tapi mengapa masih banyak protesprotes-politik yang dilancarkan mahasiswa? Secara ideologis, mahasiswa dihidupkan oleh mitos-mitos peranan. Sampai sekarang mahasiswa masih terus dijulangkan sebagai ‘hero’ bagi masyarakat yang tertindas. Mahasiswa merasa bahwa mereka bertanggung jawab untuk memprotes penindasan politik yang terus dijalankan penguasa termasuk penguasa kampus. Gerakan mahasiwa baru muncul di Indonesia tahun 1965-1966. Berhubung mereka sukses menumbangkan rezim Soekarno dan menjadi pendukung yang memuluskan jalan bagi Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan negara, timbul istilah gerakan mahasiswa. Sebelum masa itu ada banyak gerakan. Misalnya. gerakan buruh, petani. oposisi dan gerakan pemuda. Selama Orba, gerakan-gerakan ini dilenyapkan dan tampil gerakan mahasiswa. Kalau diperiksa lebih seksama, kemenangan tahun 1965 telah berada di tangan Angkatan Darat. Sementara mahasiswa anti-komunis dimobilisasi untuk segera mempercepat pencopotan Soekarno. Jadi, mahasiswa ‘66 bergerak atas dasar mitos seolah-olah mereka yang punya andil besar menumbangkan Soekarno dan membalas dendam terhadap golongan kiri dan simpatisannya.

Alasan yang lebih mendasar, mahasiswa belum masuk dalam hubungan kerja upahan atau gajian sehingga mahasiswa sering terbawa mitos maupun ideologi dominan. Mereka belum masuk dalam dunia karir atau profesi. Sementara dalam struktur ekoriomi, negara (state) menempati posisi dan peran yang dominan. Karenanya negara mendominasi universitas .

Kalau begitu, dimana posisi dari gerakan mahasiswa di Indonesia? Posisi mahasiswa tidak jelas, karena belum masuk dalam dunia hubungan kerja atau profesi sehingga mereka tidak membawakan kepentingan ekonomi (struktural) diri mereka. Mereka menggantungkan diri pada gagasan seperti hak asasi, kebebasan dan demokrasi atau keadilan sosial. Sebagai gerakan, menggantungkan pada gagasan—bukan kepentingan ekonomi—tentu saja lemah.

Mengapa menggantungkan pada gagasan demokrasi dan keadilan sosial dianggap lemah? Karena mereka tidak menganalisa kondisi obyektif ekonomipolitik. Akibatnya tidak punya pegangan ilmiah yang kuat. Gerakan mahasiswa tidak digabung kedalam gerakan ilmiah. Berbeda dengan negara lain. Misalnya. mahasiswa Korea Selatan justru menggabungkan dirinya ke dalam

gerakan ilmiah. Mereka menyerap ilmiah untuk menganalisa ekonomi-politik serta kekuatan-kekuatan sosial yang beroperasi di negaranya. Sementara mahasiswa kita hanya menggantungkan pada ide-ide yang abstrak dan sesaat.

Mengapa harus digabungkan dengan gerakan ilmiah?

mahasiswa

tidak

47

46 #ceritadariyanglalu

Karena

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Apakah ada perkembangan atau kemajuan dalam pola aksi mahasiswa?

punya basis kepentingan ekonomi. Mereka berbeda dengan buruh, petani, pengusaha atau profesi seperti guru. Golongan-golongan sosial tadi membawa kepentingan ekonomi, tapi mahasiswa tidak. Mereka cenderung jadi resi, intelektual tukang protes tapi mandul dalam politik karenanya menjadi elitis dan eksklusif. Kegagalan gerakan mahasiswa 1974 dan 1978 bisa dipahami dari cara mereka bergerak yang mirip resi dan elitis.

Aksi-aksi mahasiswa akhir 80an dan 90-an memang berbeda dibanding tahun 70-an. Tanpa sengaja telah menyeret mereka untuk menjulangkan isu-isu penggusuran penduduk dari tanah garapan seperti Badega, Kacapiring, Cimacan dan Kedungombo. Pada tingkat ini mahasiswa mulai melihat perannya dengan kepentingan ekonomi penduduk (petani) yang tergusur. Hal ini menaikkan mitos mahasiswa sebagai `pejuang rakyat’. Dengan mitos ini, mahasiswa tetap saja terpisah dengan petani. Mahasiswa terus dipengaruhi oleh obsesi borjuis kecil.

Apa akibatnya jika gerakan mahasiswa tanpa gerakan ilmiah? Mereka cenderung berilusi. Mereka seolah-olah merasa kuat, tapi begitu dipukul ketahuan lemahnya.

Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan gerakan ilmiah?

Apa alternatif yang harus dilakukan mahasiswa?

Apa kelemahan mendasar gerakan mahasiswa terletak pada organisasinya?

Perlu dicamkan, saya tidak lagi berposisi sebagai mahasiswa. Saya tidak ingin menggurui. Alternatif itu harus dilakukan mahasiswa sendiri. Misalnya, mereka harus mempertimbangkan atau meninjau kembali basis massa gerakannya baik di dalam maupun di luar kampus. Mereka harus lebih jeli menggarap organisasi dan menyiapkan rencana jangka panjang.

Itu betul. Organisasi adalah

sesuatu yang vital bagi sebuah gerakan. Tapi organisasi yang efektif tidak akan ada tanpa ditunjang oleh pengetahuan yang efektif tentang organisasi dan gerakannya.

edisi 20 - IV April 1995

Apa pola mobilisasi maupun isu tanah tidak tepat?

Untuk menghasilkan gerakan

yang efektif, mahasiswa harus ditunjang oleh ilmu pengetahuan. Tidak ada demokrasi tanpa kesadaran demokratik. Untuk sampai pada kesadaran demokratik, mahasiswa harus membekali kesadarannya untuk mengetahui apa demokrasi itu, mengapa sekarang belum ada dan bagaimana upaya untuk mencapainya. Tapi sebagian besar mahasiswa masih saja melayang sebagai `massa mengambang’.

Secara kebetulan, itu tepat saja. Yang tidak tepat adalah perencanaannya. Mahasiswa selalu menggarapnya secara sesaat. Umumnya. mereka membentuk komite dan menjalin komunikasi dengan penduduk yang tegusur, lalu memobilisasi aksi.

Apakah perencanaan itu mengandung arti jangka panjang?

Apa kehidupan ilmiah di Indonesia sudah berkembang?

Tepat sekali. Berorganisasi itu tidak cuma sekedar aksi-aksian. Dalam perencanaan harus digarap upaya memperbanyak aktivis karena tidak ada kemajuan kalau jumlah aktivis tidak bertambah. Dalam posisi mahasiswa yang lemah, aksi harus diasumsikan sebagai sarana latihan berorganisasi. Mobilisasi massa dalam situasi ‘massa mengambang’ hanya akan efektif kalau pesan yang disampaikan bersifat konkret.

Belum. Kita tidak dididik untuk berdebat, berdiskusi, atau berdialog dengan suatu argumentasi yang kuat. Forum-forum seminar dan diskusi, tidak sedikit yang dilarang. Para aktivispun tidak banyak menghimpun energinya untuk belajar dan secara kreatif mendidik dirinya untuk dibekali pengetahuan yang tajam. Artinya, mereka nggak mau menggarap pikirannva untuk menimbulkan kekuatan spiritual yang tangguh dan unggul. Ironisnya, mereka berada dalam suatu –‘masyarakat iimiah’

49

48 #ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Tudingan bahkan kecaman terhadap mereka yang “anak SC” bukan merupakan barang baru di ITB. Gerak-gerik mereka kerap disorot. Hal tersebut pada saat ini lebih merupakan cermin dari tidak adanya komunikasi yang sehat di kalangan mahasiswa ITB. Untuk membentuk iklim civitas academica yang sehat, kesenjangan komunikasi tadi harus dijembatani. Karena kalau tidak jangan harap ada wujud nyata dari slogan “ITB Bersatu”.

“Anak SC” Digugat

B

Namun pudar bukan berarti hilang. Bertahannya julukan ini dalam percaturan kosa kata di ITB menunjukkan bahwa ada sesuatu yang membuat keberadaannya tidak punah. Bisa jadi ini disebabkan karena aktivitas anak SC punya warna sendiri yang begitu kentara bedanya dibandingkan dengan yang lain. Dan seperti lazimnya masyarakan dimanapun, orang tentu akan cenderung membicarakan sesuatu yang berbeda, di luar kebiasaan. Dari sini bisa dimengerti mengapa julukan anak SC tetap lestari. Orang membicarakannya karena dirinya mengundang untuk dibicarakan.

icara mengenai ITB, orang umumya akan beranggapan mahasiswa ITB selain memiliki kelebihan dalam hal intelejensia juga dalam hal kekritisan dan kevokalan. Anggapan terakhir bagi sebagian besar orang dilandasi pada aktivitas mahasiswa ITB yang bertema politis dan kerakyatan. Peristiwa Buku Putih tahun 1978, Badega tahun 1988. Kacapiring dan kasus 5 Agustus tahun 1989 merupakan contoh nyata dari akivitas serupa. Hingga sekarang mahasiswa ITB masih menunjukkan niat terhadap hal-hal bertema politis dan kerakyatan terbukti dari digelarnya aksi (antara lain) Harmoko dan Cibeurum baru-baru ini. Aktivitas tersebut kalau dicermati tidak terjadi begitu saja. Apa yang tersaji di hadapan publik ITB dan non-ITB sebenarnya merupakan hasil dari proses pengorganisasian dan pengkaderan. Kegiatan yang melibatkan massa dalam jumlah besar seperti demonstrasi ataupun dalam jumlah yang lebih kecil seperti diskusi, mustahil bisa terjadi tanpa kedua proses tersebut.

Demonstrasi Anak SC berarti demonstrasi. Pendapat ini sudah sedemikian melekat pada mereka yang disebut anak SC. Kenyataan di lapangan memang menunjukkan demikian. Demo dianggap sebagai cara yang tidak mungkin dilewatkan dalam sosialisasi permasalahan. Anggapan ini dimungkinkan karena sifat dari demo itu sendiri. Demo merupakan ajang komunikasi yang bebas, ekspresif bahkan kadang heroik. Apapun bisa dipersoalkan, dipertanyakan, digugat bahkan dikecam. Selain itu unsur massa merupakan nilai lebih yang menyebabkan demo menjadi favorit.

Berkaitan dengan kedua proses tadi, maka pembicaraan tidak bisa lepas dari sekelompok mahasiswa yang disebut “anak SC”. Merekalah orang yang selama ini ada di belakang layar. Sebutan “anak SC”, menurut sejarahnya timbul karena markas PPLK dan unit kegiatan lain yang dulu merupakan motor penggerak aktivitas bertema politik dan kerakyatan terletak di Student Center Timur (Komplek SC dirobohkan kemudian diganti menjadi gedung Campus Center –red). Sejak itu mahasiswa yang sering nongkrong di Student Center Timur ataupun terlibat dalam aktivitas politis dan kerakyatan dijuluki “anak SC”Kini setelah warna politis dan kerakyatan sudah tidak sekental dulu dan basis dan aktivitas sejenis relatif lebih menyebar, sebutan anak SC memudar kepopulerannya.

Nilai lebih di satu sisi belum tentu berlaku pada sisi yang lain. Sifat demo yang ekspresif dan massal ternyata justru bisa menjadi cacat bila dilihat dari sisi yang lain. Cacat semacam ini timbul karena nilai lebih tadi bukannya dieksplorasi malah dieksploitasi. Keduanya menjadi sekadar atribut tanpa arti yang dipakai tanpa henti. Maka tidak aneh bila muncul komentar seperti yang dikatakan Tiana (BI’94), aktivis Karisma, “Anak SC sukanya yang

51 #ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


adalah cara penggalangan demo yang reaktif. “Kasus Cibereum itu sudah lama, tapi waktu koran ramai memberitakan, baru kita bikin aksi,” katanya.

heboh-heboh, kayak asal ngegerombol aja.” Kesan bahwa demo lebih merupakan acara rame-rame yang sifatnya kagetan lebih jauh membawa dampak yang menggerogoti citra demo itu sendiri. Demo dipandang dengan sebelah mata, efektivitasnya disangsikan. Apa yang bisa dihasilkan dari demo merupakan pertanyaan yang sering terlontar dari seorang mahasiswa manakala membicarakan demo. Dari sini dapat dinyatakan bahwa demo sendiri dipertanyakan bahkan dipersoalkan.

Selain reaktif, Bayu menilai penanganan isu selalu tidak kontinu, melompat dari satu isu ke isu yang lama sehingga tidak jelas akhirnya. Untuk itu dia mengajukan demo kasus Harga Patokan Semen (HPS) sebagai salah satu contoh, “Saat itu massa sudah terkondisi tapi malah pindah ke isu lain,” ujarnya. Melongok sedikit ke belakang, dia mempertanyakan kelanjutan kasus Yosalfa dan Meylana, “Kenapa sekarang tidak ada berita lagi mengenai mereka?”

“Demo itu kurang efektif, kesannya ngambang,” kata Tiana. Hal tersebut menurutnya karena demo selama ini tidak disertai dengan adanya follow-up. Akibatnya, dia menambahkan, “Demo lebih terkesan sebagai kegiatan yang sifatnya insidentil, direspon saat kejadian namun setelah itu langsung hilang, habis.”

Idealisme Selain demo, idealisme merupakan hal lain yang lumayan disorot oleh mahasiswa ITB. Hal ini wajar karena nuansa penuh kritikan terhadap pemerintah dan terkadang birokrat kampus dalam isu yang digarap oleh anak SC membawa orang pada pertanyaan akan perilaku anak SC sendiri.

Seorang mahasiswa lain bahkan yakin kalau demo tidak ada gunanya, percuma. Mahasiswa tadi, Septano (KI’92), berpendapat bahwa demo tidak menyelesaikan masalah. “Pihak luar sudah siap mengantisipasi,” tandasnya. Septano lebih percaya pada metode dialog sebagai alternatif penyelesaian masalah. Lamanya waktu yang dibutuhkan tidak menjadi soal baginya karena “Ibarat batu ditetesin air, lama-lama bisa hancur,” demikian ujarnya.

“Anak SC itu idealismenya karbitan,” kata Septano. “Begitu masuk ITB didoktrin/ dicekoki faham-faham. Akibatnya jadi aktif. Tapi begitu keluar dari ITB, masuk sistem, idealismenya hilang,” paparnya. Lebih jauh dia berkesimpulan, “Jadi banyak yang ikutan doang.”

Walaupun kegunaan demo dipersoalkan fungsinya sebagai sarana sosialisasi, tetapi tetap relevan untuk dibicarakan. Karena, mengutip pendapat Reza (EL’93), paling tidak demo bisa mengangkat masalah agar diketahui orang. Sekaitan dengan itu, isu memainkan peranan yang teramat penting sebab dia merupakan faktor dominan yang menentukan respon dari mahasiswa. Dari respon yang muncul bisa disimpulkan apakah suatu demo mendapat simpati massa atau tidak. Dengan kata lain, apakah fungsi minimalnya sebagai sarana sosialisasi bisa terpenuhi.

Tudingan keikutsertaan tanpa dilandasi motivasi yang jelas memang tidak sukar dicari dalam kamus mahasiswa ITB. Keikutsertaan anak SC sering dinilai hanya karena emosi belaka, sekadar karena merasa dirinya mahasiswa yang tugasnya protes. Seperti yang diungkapkan Heru, Desain ‘89, “Saya melihat ada beberapa orang yang latah di SC. Beberapa orang ngomong politik tanpa ngerti secara mendalam.”

Beberapa mahasiswa menilai bahwa isu yang digarap selama ini kurang proporsional, tidak strategis untuk dibicarakan. Seperti yang dikatakan oleh Widodo (EL’91), “Isu-isu yang diangkat cenderung politis, berat ke atas, tidak membumi.” Lebih lanjut dia memaparkan, “Misalnya soal Harmoko kemarin, kok ITB ngerusuhin masalah itu. Masih banyak masalah lain yang bisa kita ributin.”

Selain komentar-komentar beridentitas yang sudah disebutkan di atas, berseliweran suarasuara minor dari mahasiswa-mahasiswa lain yang enggan diungkapkan jati dirinya. Komentar-komentar ini umumnya lebih keras, tajam, dan pedas. Perkataan anak SC bisanya cuma debat kusir, pamer retorika, tukang berkoar, dan sekadar cari popularitas menempati peringkat atas dalam jenjang kepopuleran komentar.

Hal senada dinyatakan oleh Bayu (TI’91) yang pernah ikut terlibat dalam penggarapan aksi kasus Yos dan Mey, “Isu yang diangkat sebaiknya lebih dekat dengan dunia mahasiswa, jangan isu yang terlalu ngawang-ngawang,” katanya menyarankan. Hal lain yang dia kritik

Namun untuk yang terakhir, anak SC cari popularitas, masih ada yang bersedia secara terang-terangan mengatakannya. Widodo berpendapat bahwa ada kecenderungan untuk

menampilkan diri pada anak SC. “Ada keinginan pribadi untuk muncul agar bisa seperti angkatan ‘66 yang sekarang jadi pejabat,” katanya. Orang mungkin bakal mengernyitkan kening atau mencibir tatkala membahas tentang hal barusan, kepentingan pribadi. Tapi boleh jadi hal tersebut tidak berlaku bagi Bayu. Dia menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. “Memang seperti itu dan wajar karena lingkungannya membuat begitu,” ucapnya ketika ditanya mengenai kepentingan pribadi anak SC. Namun tidak ketinggalan dia menyatakan hal yang cukup melegakan. “Masih ada orang yang cukup bersih niatnya, murni untuk penetingan orang lain,” katanya. Hal yang lebih disorot Bayu adalah iklim SC yang tidak kondusif, penuh dengan benturan kepentingan. “Pengelompokkan sangat terasa di SC, arogansi himpunan dibawa-bawa, hingga cenderung ngotot mempertahankan kepentingan kelompok atau himpunan masing-masing,” tuturnya.

Setelah membaca gugusan kritik terhadap masalah sosialisasi, ada baiknya kita membaca sebuah ramalan dari seorang mahasiswa TM ‘91 tentang SC “Gue rasa bentar lagi SC hancur karena kurangnya sosialisasi,” tuturnya dengan nada pesimis. Akhir kata, sebuah pertanyaan diajukan. Sederhana saja, “Bagaimana anak SC merespon semua ini?” (pop/lx/no/fit/ts)

edisi 22 - II Oktober 1995

Dalam alur yang sama namun penekanan berbeda, dia juga menyatakan bahwa anak SC umumnya sangat politis. Lebih jauh tampaknya karakter ini yang melatarbelakangi sepak terjang sebagian anak SC. “ Beberapa bahkan tidak segan-segan politicking untuk kepentingan pribadi,” tandasnya.

Sosialisasi Bila demo dan idealisme dilepaskan dari kamus pembicaraan tentang anak SC ternyata masih ada masalah lain yang tetap mencuat. Banyak mahasiswa yang merasakan adanya ganjalan terhadap cara kerja anak SC dalam hal sosialisasi permasalahan. R (TM ‘93) mengatakan bahwa kegiatan anak SC sebenarnya ada gunanya. Hanya kurang tersosialisasi, sehingga terkesan eksklusif. Lebih jauh, kurangnya sosialisasi mengakibatkan pemborosan dalam hal material dan non material. Biaya dan tenaga yang dikeluarkan menjadi sia-sia tatkala suatu permasalahan tidak mencapai target yang diharapkan. Semuanya diakibatkan permasalahan tidak sampai pada mahasiswa. Mahasiswa sendiri tidak bisa disalahkan karena porsi mereka memang sebagai partisipan. “Bagamana mau membela kalau tidak tahu masalah sebenarnya. Selama ini kurang sosialisasi,” tutur Widodo. Efek dari kurangnya sosialisasi bisa lebih buruk daripada sekadar kurang termasyarakatkannya permasalahan. Hal tersebut bisa menimbulkan kesan bahwa anak SC main klaim terhadap

53

52 #ceritadariyanglalu

tindakannya sendiri. “Selama ini tindakan anak SC kan lebih atas kesepakatan mereka sendiri tapi mengatasnamakan mahasiswa ITB,” kata Eka (BI’93), aktivis An-Nisa, sembari menambahkan, “Padahal yang ngerti paling cuma 25%, yang lainnya nggak.” Soal main klaim, seorang mahasiswa lain, MI (TM ‘93) terang-terangan menuding anak SC, “Suara anak SC bukan suara ITB, hanya segelintir orang tetapi berusaha mengklaim sebagai suara ITB.”

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


SC dulu dan sekarang.

S

ebenarnya pembahasan mengenai anak SC dan non SC merupakan hal yang sulit dilakukan. Hal ini disebabkan karena tidak ada sosok yang bisa dengan tegas disebut sebagai anak SC atau non SC. Dari sini tentu akan timbul pertanyaan, “siapa sebenarnya yang dimaksud anak SC?� Untuk menjawabnya, ada baiknya kita menengok sedikit kebelakang.

SC Tidak Satu Dimensi

Pada saat awal kemuculan istilah ini, kesulitan tersebut tidak terjadi. Dulu, jelas bahwa yang disebut anak SC adalah anggota Satgas FKHJ. Organisasi yang bermarkas di Student Center timur ini dibentuk tahun 1986 dengan tujuan untuk menangani berbagai macam isu, khususnya masalah sosial, politik, kemasyarakatan juga isu yang berkaitan erat dengan kepentingan mahasiswa, dalam skala kampus. Setelah peristiwa 5 Agusutus 1989, pranata kemahasiswaan di tingkat ITB porakporanda, tidak terkecuali Satgas FKHJ. Namun porak-porandanya organisasi tidak menghentikan minat sebagian mahasiswa ITB di kemudian hari untuk tetap membicarakan isu-isu politik, sosial, kemasyarakatan dan halhal yang berkaitan dengan kepentingan mahasiswa. Dalam tingkat praktis minat ini diwujudkan lewat diskusi, demonstrasi, pendampingan masyarakat, mentoring dan program-program pembinaan. Kegiatan-kegiatan ini diorganisir oleh berbagai kelompok kepentingan yang ada di kampus. Kelompok kepentingan di sini adalah kelompok mahasiswa yang meletakkan landasan pemikirannya pada orientasi sosial, politik (bukan politik praktis), kemasyarakatan dan kemahasiswaan dalam skala ITB. Basis organisasinya saat ini relatif menyebar, tidak dalam satu komando seperti pada masa adanya Satgas FKHJ.

Menyambung pemberitaan mengenai anak SC (Student Center) pada Boulevard No.22, topik utama masih berkisar seputar SC. Pembahasan lebih lanjut dirasa perlu karena harus ada kesempatan bagi kedua belah pihak untuk mengutarakan pendapatnya. Untuk itu topik ini disajikan dalam dua pembahasan. Yang pertama berkisar pada tanggapan anak SC terhadap komentar mengenai mereka. Yang kedua adalah pembahasan mengenai fenomena SC non SC (Baca juga: Kemahasiswaan Adalah Milik Semua Mahasiswa ITB).

Dari sini bisa dilihat bahwa ada pergeseran pada pelaku-pelaku aksi yang bertema politik,sosial dan kemasyarakatan. Namun pergeseran ini tidak diikuti secara paralel oleh pergeseran istilah anak SC. Corak kegiatan dan tempat nongkrong Satgas, terutama pada awal pasca ‘89, masih dijadikan ukuran dalam

55 #ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


mekanisme yang memungkinkan dialog antara keduabelah-pihak. Pernyataan ini akan menggiring kita pada kenyataan bahwa mekanisme seperti itu sulit dijumpai. Kalaupun ada, mekanisme ini tidak menjamin bahwa kedua belah pihak punya kans fifty-fifty dalam merealisasikan kepentingannya, bahkan dalam tingkat yang minimal sekalipun berupa perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak. Kans seperti ini hanya mungkin ada bila kedua belah pihak memiliki posisi tawar yang seimbang. Maka bila diinginkan suatu dialog yang seimbang, pihak yang lemah mutlak berupaya menaikkan posisi tawar. Posisi tawar bisa ditingkatkan dengan berbagai cara salah satunya adalah demo. Demo mampu membuka celah karena dia mempunyai satu kekuatan yaitu massa.

mengidentifikasi seorang mahasiswa sebagai SC atau non-SC. Di sinilah letak kesulitannya. Ukuran lama tetap digunakan sebagai landasan, sementara situasi sudah berubah sama sekali. Hal ini mengakibatkan bias dalam makna sebutan anak SC. Sebab, tidak ada sosok baru yang identik dengan fungsi masa lalu. Akibatnya siapapun bisa dijuluki anak SC selama orang itu melakukan kegiatan berorientasi sosial, kemayarakatan, sosial juga kemahasiswaan. Namun kesulitan ini bisa direduksi bila kita berpegang pada kategorisasi yang sekarang berlaku. Walaupun kategorisasi ini sebenarnya tidak relevan lagi, pembahasan tentang anak SC masih relevan. Sebab yang hendak dibicarakan bukanlah mengenai ada atau tidaknya anak SC, tetapi lebih pada efek dari pandangan terhadap anak SC bagi kehidupan kemahasiswaan ITB secara keseluruhan. Dalam kerangka inilah pembahasan dikedepankan. Kritik-kritik terhadap kegiatan, kinerja dan hal yang bersifat personal pada diri anak SC merupakan cermin iklim kehidupan di kampus. Secara lebih eksplisit bisa dikatakan bahwa bila ada semacam sinisme di kalangan mahasiswa, hal tersebut merupakan wujud dari ketidakpercayaan terhadap kegiatan dan pribadi anak SC.

Dalam skala kampus rasanya terlalu muluk bila demo diletakkan dalam kerangka sebagai unsur pemaksa yang mampu mengubah suatu kebijaksanaan. Bila kerangka ini dipakai, menjadi benar bila dikatakan bahwa demo tidak efektif. Maka kembali pada pertanyaan semula, buat apa demo? Untuk menjawabnya perlu disadari bahwa anak SC memiliki keterbatasan. Dalam kondisi seharihari anak SC pun harus memenuhi berbagai tuntutan akademis seperti kuliah, praktikum, ujian, sama seperti mahasiswa ITB lainnya. Selain kendala eksternal, secara internalpun harus diakui kemampuannya masih terbatas. Anak SC, mahasiswa Indonesia bahkan, belum seperti mahasiswa Korea Selatan atau mahasiswa Thailand yang kemampuan berorganisasinya sudah tinggi. Dalam kondisi serba minim, eksplorasi maksimal yang masih bisa dicapai dengan demo adalah sosialisasi. Fungsi demo sebagai sarana sosialisasi tidak perlu disangsikan. Dalam demo, interaksi dengan publik terjadi secara langsung dan massal. Hal ini memungkinkan terjadinya iklim yang dialogis, ekspresif dan spontan. Dua sifat terakhir merupakan kekuatan utama dari demo.

Sinisme dan kritik yang ada ditanggapi oleh rekan-rekan SC secara beragam. Dari tanggapan-tanggapan ini terungkap satu hal yang selama ini agaknya tidak diketahui oleh anak non SC. Anak SC bukanlah sosok satu dimensi. Ada berbagai karakter dan permasalahan pada diri mereka.

Keterbatasan Seperti telah disebutkan diatas, ada beragam kritik yang dilontarkan terhadap anak SC. Dalam hal kegiatan, demo kerap digugat. Demo sering dinilai tidak lebih dari sekedar arena keramaian yang tidak jelas fungsinya. Sebagai media kritikpun demo dianggap tidak efektif. Oleh karena itu buat apa bikin demo? Sebenarnya, mengutip komentar Syawal (GEA’90), demo tidak perlu dilakukan bila ada

Pembicaraan mengenai demo tidak berhenti sampai di sini. Karena, walaupun diletakkan dalam target minimal,

Dalam soal menggarap demo, anak SC dinilai reaktif, tidak tuntas sekaligus melompat-lompat. Menurut Wendy (GD’ 92) penggarapan yang melompat-lompat tidak bisa dilepaskan dari keterbatasan yang ada pada diri mahasiswa yang menggarap demo. “Ini keterbatasan kita sebagai mahasiswa. Kita nggak bisa misalnya dalam kasus semen menggarap habis-habisan,” katanya. Selain itu menurutnya penilaian melompat-lornpat ini harus diletakkan pada target yang mau dicapai dari demo. Dalam konteks ini, seperti telah disebutkan di atas, target paling mungkin adalah sosialisasi. Dalam kerangka sosialisasi, penilaian bahwa penggarapan demo melompatlompat agaknya tidak bisa dihindari. Sebab, seperti dikatakan Lucky (GD’90), di sekitar kita memang terdapat beragam

Berkaitan dengan beragamnya interest yang ada dikampus ada sorotan lain yang berhubungan dengan hal tersebut.

57

56 #ceritadariyanglalu

permasalahan. Permasalahan yang beragam ini ditanggapi secara beragam pula oleh berbagai kelompok kepentingan yang ada. Tanggapan yang diberikan tergantung dari orientasi kelompok tersebut. Kelompok yang orientasinya condong pada permasalahan kampus tentu akan lebih memprioritaskan, misalnya, masalah SPP dibanding kelompok yang orientasinya condong ke masalah kemasyarakatan. “Kita harus sadar bahwa di kampus ini ada kelompok-kelompok kepentingan, diskusi atau interest orang,” demikian kata Rara (BI-94). “Kalau misalnya, dia melanjutkan, yang satu ngangkat Cibeureum, yang lain ngangkat SPP kan nggak nyambung.” Lebih jauh dia menegaskan bahwa hal ini merupakan cermin dari keterbatasan anak SC secara makro. “Jadi bisa lompat-lompat gitu terutama karena banyaknya kelompok kepentingan yang kurang kompeten buat sama-sama membangun kampus,” tandasnya.

sosialisasi, masih ada serangkaian permasalahan yang menanti manakala fungsi ini hendak dijalankan. Hal ini erat kaitannya dengan cara kerja anak SC dalam menggarap demo.

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Pengelompokan di SC dinilai sangat kuat dan juga ada kecenderungan masing-masing kelompok untuk ngotot mempertahankan kepentingan masingmasing. Menanggapi pengelompokan yang terjadi di SC, Tori (TL ’92) berpendapat hal itu itu wajar-wajar saja. “Isi kepala orang khan macemmacem,” katanya. Senada dengan Tori, Titis (TI ‘91) berpendapat hal tersebut merupakan kewajaran yang tidak perlu disembunyikan. “Perbedaan dialektik itu harus diketahui,” ucapnya. Lebih lanjut dia menjelaskan, “Pengelompokan itu memang ada. Masalahnya gimana supaya kita sadar bahwa itu hanyalah perbedaan dialektik. Kalau ada yang memimpikan satu suara, itu malah tidak sehat, tidak ada dialektika.” Pengelompokan memang hal yang wajar, malah harus ada. Dengan adannya kelompok, iklim yang kompetitif dapat tercipta. lklim seperti ini membuka ruang yang sangat lebar bagi masing-masing kelompok untuk saling mengkoreksi. Masalahnya adalah bagaimana menciptakan iklim kompetitif yang fair dimana masing-masing kelompok tunduk pada satu etika yang disepakati. Hal ini sangat diperlukan agar tercipta kompetensi pada masing-masing kelompok.

Motivasi Ada anggapan di kalangan anak non SC bahwa anak SC punya idealisme cuma selama jadi mahasiswa. Anggapan ini dilandasi pada penilaian bahwa proses pada diri anak SC sifatnya karbitan. Proses yang karbitan ini muncul akibat pencekokan berbagai nilai dan membuahkan sikap yang tidak lebih dari sekedar ikut-ikutan. Menurut Lucky apa yang dinilai sebagai karbitan merupakan tahap awal pemihakan. Proses ini terjadi pada saat awal pembinaan, misalnya OS, dimana terjadi transfer nilai. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa tahap ini tidak berhenti sampai di situ, masih ada sederet pembinaan yang harus dijalani. Senada dengan Lucky, Syawal menegaskan hal tersebut. “Nggak bisa kita bilang itu karbitan belum masak, terus belum boleh. lni kan jalan panjang yang terus

kita ikuti.” Apa yang dikatakan karbitan mungkin ada benarnya selama istilah ini dibatasi pada proses yang terjadi pada tahap awal keterlibatan. Merupakan hal yang wajar bila keterlibatan seseorang pada mulanya sekedar ikut-ikutan. Yang tidak benar adalah bila orang tersebut hingga seterusnya tetap ikut-ikutan, tidak mampu membentuk Iandasan pemikiran mengapa dan untuk apa dia melakukan suatu tindakan.

Pertanyaan tentang motivasi orang sampai kapanpun memang tidak akan terjawab secara eksak. Sama seperti kita mempertanyakan apa motivasi mahasiswa ITB dalam belajar. Bisa dikatakan bahwa motivasinya adalah sekedar untuk mencari nilai agar IP-nya bagus atau memang mencari ilmu. Mana yang benar, wallahu a’lam.

Beranjak dari proses yang dibilang karbitan, terdapat tudingan bahwa keberpihakan anak SC tidak langgeng, luntur setelah tidak menjadi mahasiswa. Menanggapi hal tersebut, Iwa (MS ‘88) berpendapat bahwa hal terse-but berpulang pada pribadi masing-masing orang. “Ada orang yang mengalami proses di SC dan setelah keluar, kerja di industri. tidak memikirkan lagi masalah-masalah rakyat, demokrasi, keadilan,” ungkapnya. Namun di sisi lain. “Banyak yang kerja di LSM, terus mencoba konsisten pada pilihan yang dia dapet dari kampus ini.

(pp/fit/nn/bm/ll/ts)

edisi 23 - IV November 1995

Satu hal lain yang kerap disorot seputar personal anak SC adalah kecurigaan bahwa motivasi anak SC dalam berkegiatan didorong untuk mencari popularitas. Kiprah di SC dianggap sebagai sarana memperoleh curriculum vitae yang bisa menolong untuk memperoleh posisi nyaman selepas mahasiswa nanti seperti misalnya beberapa orang eksponen ‘66. Menanggapi tudingan ini Titis berpendapat, “Hal-hal seperti itu tidak bisa kita hindari karena kita tidak pernah tahu apa yang ada di kepala orang. Sulit sekali mencari orang seperti itu, bisa jadi semua atau tidak ada sama sekali.” Untuk itu menurutnya yang bisa dilakukan adalah meminimalkan kemungkinan tersebut. “Yang penting sistemnya tidak mengakomodir orang seperti itu untuk memanipulasi gerakan untuk kepentingan sendiri,” katanya. Di sisi lain Iwa justru mempertanyakan orang yang melontarkan komentar seperti ini. Menurutnya untuk mengeluarkan komentar seperti ini orang seharusnya benar-benar tahu apa yang terjadi. Sehingga menjadi pertanyaan baginya bila seseorang bisa menilai tanpa orang tersebut tahu siapa dan dengan cara seperti

58 #ceritadariyanglalu

apa orang mencari popularitas. Terlepas dari itu semua dia mengakui bahwa anak SC memang relatif lebilt dikenal di luar. “Gue lihat orang-orang di SC itu memang akhirnya banyak dikenal, mungkin lewat kegiata-kegiatan, aksi mereka. Namun tidak ketinggala dia berkata, “kalau dari situ orang ngambil kesimpulan kalau anak SC cari popularitas, gue pikir terlalu naif.”

59 Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Peristiwa Buku Putih

1978

Refleksi Kekritisan Dan Perlawanan Mahasiswa

M

ungkin Om-Om atau Tante kita yang pernah merasakan kuliah di ITB masih ingat. Mungkin juga kalau kita tanyakan pada dosen-dosen kita, akan terbayang kembali dengan jelas dibenak mereka bagaimana militer menduduki dan menguasai kampus ITB ini di tahun 1978. Saat itu memang PANGKOPKAMTIB (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Soedomo mengerahkan kekuatan militer untuk menyerbu dan menduduki kampus-kampus yang dianggap sabagai basis kakuatan gerakan mahasiswa diikuti penangkapan para pemimpin mahasiswa secara besarbesaran. Semua mahasiswa dan juga dosen digiring ke lapangan, diperiksa satu per satu identitasnya, dan apablia di antara mereka ada yang masuk dalam daftar yang harus “diamankan” maka mereka langsung diangkut ke rumah tahanan militer. Setelah kampus ITB, kampus UGM pun menyusul mengalami nasib serupa. Mahasiswa Yogyakarta yang saat itu sedang mengadakan mimbar bebas di kampus UGM dikepung oleh tentara. Kelompok mahasiswa itu kemudiaan kocar-kacir menyusul serangan tentara yang membabi buta. Sebuah operasi militer yang serius dengan senjata lengkap dan bayonet terhunus.

ARTIKEL

peringatan keras kepada empat jenderal (A H. Nasution, Ali Sadikin, H.R. Dharsona, dan Kemal Idris) dan pemecatan Sekjen Ascan H.R. Dharsono. Pada tahun-tahun ‘77 dan ’78 itu suasana kampus di Indonesia memang sangat semarak. Ada“gairah” yang terpancar dari kepedulian mahasiswa terhadap penderitaan masyarakat dan kondisi obyektif Indonesia saat itu. Mahasiswa turun ke jalan melakukan “polling pendapat” masyarakat untuk mendapatkan masukan mengenai masalah angkutan umum dan mobil-mobil dinas pejabat. Diskusi-diskusi mahasiswa berlangsung kontinyu dan intensif, berupaya mencari solusi atas penyebab semua masalah tersebut. Gerakan diskusi berantai itu kemudian mereka namakan Gerakan Anti Kebodohan. Gerakan tersebut mengharapkan agar materimateri yang menjadi topik pemikiran mereka menjadi bahan masukan bagi para kontestan Pemilu dalam rangka penyusunan GBHN tahun 1978-1982. Mereka mensinyalir seakan-akan rakyat selama ini “dibodohi” saja dengan sloganslogan pembangunan yang ternyata justru meminta pengorbanan rakyat kecil terIalu banyak.

Mungkin sebagian dari kita akan bertanya-tanya apa penyebab terjadinya serangan tentara ke kampuskampus itu. Apa penyebab hal-hal yang juga menyusul kejadian tersebut, seperti penangkapan besar-besaran para pemimpin mahasiswa, pelarangan terbitnya delapan koran di Indonesia,

Konsolidasi Kekuatan Pada awalnya gerakan mahasiswa masih benar-benar sporadis. Di tiap daerah, para mahasiswa melakukan aktivitas sendiri-sendiri. Kemudian timbul gagasan dari mahasiswa Bandung untuk

61 #ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Mahasiswa”, yang menurut keterangan mereka dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada masyarakat luas mengapa mahasiswa harus berjuang dan apa yang harus diperjuangkan.

menyatukan gerakan mahasiswa secara simultan, nasional, dan terpadu. Semua masalah yang diperjuangkan mahasiswa berakar pada hal yang sama, maka mahasiswa merasa perlu berkumpul, menyatukan pandangan dan bergerak bersama. Pertemuan mahasiswa nasional pun diselenggarakan pada Oktober

Isi Buku Putih bukan hanya membahas tentang terjadinya kasuskasus negatif akibat kesalahan-kesasahan pelaksanaan, tetapi lebih ditekankan pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dianggap salah. Kesalahan kepemimpinan dan sistem telah terjadi di semua bidang: politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan bidang-bidang pembangunan lainnya. Semua itu menimbulkan rasa tertekan dalam masyarakat.

1977 di kampus ITB, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Pertemuan nasional ini menghasilkan Ikrar Mahasiswa lndonesia yang salah satu poinnya menyatakan “… agar MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban pimpinan nasional/Presiden RI tentang penyelewengan-penyelewengan dalam pelaksanaan UUD’45 dan Pancasila” Peringatan Sumpah Pemuda ‘77 diadakan di halaman gerbang masuk kampus ITB, dihadiri oleh seluruh peserta pertemuan mahasiswa se-Indonesia, masyarakat sekeliling kampus, dan juga tidak terkecuali Rektor ITB Prof. Iskandar Alisjahbana ikut apel dan memotretmotret, mendokumentasikan peristiwa langka itu menurut gayanya sendiri. Waktu itu kalangan akademisi memang masih murni berada di pihak nilainilai kebenaran ilmiah, belum banyak bersentuhan dengan struktur kekuasaan negara.

Sistem politik yang ada selama itu dinilai mahasiswa akan terus mengakibatkan berlangsungnya kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah tanpa adannya “koreksi-koreksi yang berarti” dari parpol dan Golkar yang disebut sebagai kekuatan politik resmi. DPR sampai saat itu dinilai oleh mahasiswa belum mencerminkan lembaga penyalur aspirasi rakyat dan lembaga kontrol yang efektif. DPR hanya menjadi penonton atas segala ketidakberesan di kalangan eksekutif, mengadakan dengar pendapat dan menganggap persoaalannya selesai. Gerakan mahasiswa juga menyatakan bahwa MPR 1977 tidak konstitusional. Menurut pasal 2 UUD’45, kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Tetapi kenyataannya 61% anggota MPR’77 bukan berasal dari wakil rakyat hasil Pemilu. Mahkamah Agung sebagal badan yudikatif dalam sistem pemerintahan ternyata berada di bawah kekuasaan Presiden.

ITB Bergolak Puncak gerakan mahasiswa ini terjadi di Bandung pada tanggal 14 Januari 1978. Dewan Mahasiswa ITB mengeluarkan pernyataan “Tidak mempercayai dan tidak menginginkan Soeharto kembali sebagai Presiden RI”. Pernyataan itu merupakan hasil dari musayawarah yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa ITB yang ditandatangani oleh Heri Akhmadi sebagai ketua DMITB. Sebuah sikap yang dinilai oleh para pengamat sangat berani. Selain mengeluarkan pernyataan sikap di atas, Dewan Mahasiswa ITB juga menyertakan “Buku Putih Perjuangan

Kebijakan ekonomi yang dijalankan dinilai tanpa mempedulikan lagi prinsip keadilan sosial, harga diri, dan budaya nasional. Perhatian besar yang seharusnya diberikan pada pengusaha kecil ternyata tidak diberikan. Prosentasi kredit yang diberikan pada pengusaha lemah tidak ada artinya dibandingkan dengan ratusan milyar kredit yang diberikan pada kelompok pengusaha nonpribumi.

Terhadap semua kekurangan diatas, gerakan mahasiswa mengeluarkan tuduhan bahwa semua situasi nasional yang terjadi saat itu disebabkan oleh dua faktor utama yaitu Kepemimpinan Nasional dan Strategi Pembangunan. Pernyataan Dewan Mahasiswa ITB dan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa yang dikeluarkannya itu menjadi legitimasi bagi militer untuk menyerang kampus dan mengobrak-abrik semua yang ada di dalamnya. Trauma pada militer ini berlangsung terus, apalagi kemudian Kaskopkamtib membekukan kegiatan Dewan Mahasiswa semua Universitas/ Perguruan Tinggi. Surat Keputusan Kaskopkamtib itu disusul Surat Keputusan Menteri P dan K Dr. Daoed Joesoef tentang Normalisisi Kehidupan Kampus (NKK), yang isinya antara lain menugaskan para rektor perguruan tinggi sebagai penanggung jawab tertinggi di kampusnya masing-masing. Di bawah konsep NKK, mahasiswa tidak diperkenankan untuk membentuk organisasi kemahasiswaan (student government) sebagai sarana penggalangan solidaritas dan publikasi mahasiswa.

edisi 24 - III Maret 1996

Ending Sekarang (artikel ini diterbitkan tahun 1996) delapan belas tahun telah berlalu. Deklarasi mahasiswa tanggal 20 Januari 1996 yang lalu telah mencairkan kembali Keluarga Mahasiswa ITB. Satu langkah besar untuk menghidupkan kembali student government telah dicanangkan. Masihkah semangat mahasiswa tetap seperti dulu? Masihkah kita berdasar pada gerakan moral dan nilai-nilai kebenaran murni?

62 #ceritadariyanglalu

Ataukah kini mahasiswa ITB malah berakrab-akrab dengan militer dalam Pameran Teknologi Hankam beberapa bulan yang lalu di GSG. Apakah kita sudah yakin bahwa militer sendiri telah mengalami perubahan selama delapan belas tahun ini? Masih samakah garis perjuangan mahasiswa sekarang? Tampaknya sebuah pekerjaan rumah tambahan bagi “pemimpin-pemimpin” mahasiswa masa kini: Untuk kembali meninjau sejarah, meninjau kondisi obyektif saat ini, dan mengambil posisi yang tegas! Bagaimanapun. dengan beban sejarah yang demikian berat, kita tidak boleh melakukan suatu langkah hanya sekadar demi mengenang kejayaan masa talu dan memuaskan hasrat romantisme. (bong/bach)

Budaya “ambil muka” dianggap telah merasuk dalam unsurunsur kelembagaan rakyat. Sistem politik di Indonesia dinilai tidak akomodatif terhadap aspirasi rakyat. Keputusankeputusan nasional diambil tanpa mempedulikan kepentingan rakyat. Poiitik merupakan barang mewah dan eksklusif. Konsumsinya terbatas pada pejabat negara.

63 Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Peran dan Gerakan Mahasiswa Pasca NKK/BKK Purwandono (Ipung), anggota HMS Era 80-an bagi mahasiswa merupakan masa titik balik dari perannya. Peran yang telah dilakoni sebelum Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kegiatan (NKK/BKK) dipaksakan oleh pemerintah. Saat itu keadaan kampus berbeda sekali dengan keadaan yang sekarang dihadapi oleh sebagian besar mahasiswa. Terlepas dari kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya pembangunan, dan memantapkan stabilitas politik sebagai konsekuensi dari terlaksananya pembangunan, kebijakan tersebut ternyata sangat berpengaruh bagi mahasiswa. Jika kita melihat kecenderungan mahasiswa di kampus ITB, kita dapat melihat bahwa peran dan fungsi yang terbayang adalah fungsi mereka sebagai teknokrat yang profesional di bidang masing-masing.

Pengawasan Pemerintah

K

ebijakan kampus yang mengintegrasikan institusi pendidikan ke dalam sistem ekonomi merupakan suatu instrumen pembangunan dan upaya modernisasi sehingga program pendidikan mampu menyelaraskan diri dengan kebutuhan dunia industri. Untuk itu rezim sangat berkepentingan untuk mengontrol kebijakan-kebijakan tersebut agar terlaksana dengan lancar. Hal ini terlihatdengan begitu ketatnya pengawasan pemerintah terhadap institusi pendidikan tinggi. Dua langkah penting yang dapat kita amati dari kebijakan rezim ini untuk menghadapi gerakan kampus yang dianggap membahayakan kebijakan dasar nasional (menurut kaca mata rezim), ialah pertama, dengan melakukan intervensi baik ke dalam unsur birokrasi maupun unsurunsur politik di dalam kampus. Salah satu wujudnya adalah dengan membubarkan Dewan Mahasiswa (DM) dan melarang kampus dipergunakan untuk kegiatan politik praktis. Kedua, proses campur tangan rezim penguasa juga terlihat dalam mekanisme penerimaan mahasiswa, staf dosen, penentuan kurikulum, pengalokasian dana serta dalam hal penentuan siapa yang harus memimpin suatu institusi. Di ITB sendiri pernah terjadi dimana calon rektor dengan suara terbanyak tidak terpilih tetapi rivalnya yang menempati peringkat kedua dapat duduk di singgasana rektor ITB.

DM Sebagai Penggerak ITB sebagai kekuatan pelopor dalam gerakan era 70-an merupakan salah satu kampus yang merasakan dampak yang kuat dari kebijakan pemerintah mengenai NKK/BKK. Sebenarnya gerakan yang dilakukan merupakan gerakan korektif atas penyimpangan yang terjadi dalam aspek kehidupan bermasyarakat yang diemban oleh pihak legislatif. Selain itu mereka juga berperan dalam proses penyadaran masyarakat atas problem yang dihadapi dan menumbuhkan kesadaran untuk menerima alternatif yang didukung oleh mahasiswa tersebut, sehinggga berubah ke arah kemajuan (pendampingan daerah kasus Kacapiring, Badega, dsb). Salah satu dampak yang terlihat dari diterapkannya kebijakan NKK/BKK di kampus Ganesha adalah hancurnya infrastruktur kemahasiswaan, dimana pengakuan birokrat kampus terhadap organisasi intrakampus terbatas pada tingkat himpunan mahasiswa jurusan. Dewan Mahasiswa sebagai motor penggerak kegiatan mahasiswa dibubarkan, sehingga tak ada lagi lembaga terpusat yang mampu mengakomodir kepentingan mahasiswa. Dampak terbesar kebijakan tersebut adalah merosotnya mentalitas mahasiswa. Begitu kuatnya intervensi pihak elit negara pada kehidupan kampus, menghancurkan kemandirian mahasiswa. Setiap kegiatan

harus melalui birokrasi perijinan yang panjang dan runyam. Berlangsung tidaknya suatu kegiatan tidak lagi bergantung pada nilai-nilai ilmiah tetapi lebih pada penekanan stabilitas. Misalnya dalam pengambilan keputusan untuk kegiatan yang diperkirakan dapat menyinggung stabilitas elit kekuasaan, kegiatan tersebut hanya bisa dilaksanakan jika sudah ada ijin dari pihak Kaditsospol. Hal seperti inilah yang menyebabkan mahasiswa takut membuat kesalahan sehingga pada akhirnya mahasiswa memilih tidak melakukan apapun. Yang lebih parah, mahasiswa merasa takut salah dalam berbicara sehingga cenderung diam jika ada sesuatu yang salah pada sistem. Akibat dari berhasilnya rezim penguasa menstabilkan kehidupan kampus, fungsi kontrol yang berbasis moral dan merupakan ciri gerakan mahasiswa, kini hilang dan lenyap sesuai dengan perubahan peran yang memang diinginkan oleh rezim penguasa. Dampaknya, calon pemimpin masa depan ialah manusia yang profesional di bidangnya tetapi berwawasan sempit, serta kurang berpengalaman dalam berorganisasi dan berpolitik. Dengan kondisi seperti itu, sulit diharapkan lahir generasi pemimpin yang mampu menghadapi permasalahan yang semakin kompleks dimasa depan. Memang kita melihat ada perbedaan kepentingan antara mahasiswa dengan rezim yang berkuasa. Rezim selalu berkeinginan mempertahankan kekuasaan sedangkan mahasiswa dengan kekritisannya cenderung untuk mengoreksi hal-hal serta keadaan yang menurut penilaian mereka tidak semestinya. Sikap inilah yang sengaja dimatikan dengan cara menekan seluruh potensi yang merupakan sarana bagi mahasiswa untuk mengembalikan kekuatan dan kepercayaan dirinya. Dalam kondisi kemahasiswaan seperti sekarang ini, tugas para aktivis kemahasiswaan sangat berat, mereka harus membangun kembali kepercayaan diri mahasiswa. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membangun kepecayaan tadi adalah dengan mengembangkan media diskusi dan organisasi di luar kampus. Dengan cara ini mahasiswa dapat bersentuhan secara langsung dengan realita keseharian masyarakat. Selain itu, lewat aktivitas yang berorientasi langsung pada masyarakat, berarti mahasiswa meletakkan

dirinya sebagai elemen fungsional yang konkret bagi masyarakat.

Masyarakat Elemen Perubahan Dibandingkan dengan gerakan buruh, gerakan mahasiswa sekarang belum mempunyai bentuk yang jelas, platform gerakan mereka masih meraba-raba dan selalu bertindak dengan keadaan yang selalu berubah. Gerakan mahasiswa masih mengikuti perkembangan keadaan, mereka belum berpikir untuk melakukan gerakan yang mengubah keadaan. Hal ini dapat kita lihat dari pilihan isu yang digarap. Umumnya isu yang mereka bawa sebagai tema gerakan masih isu yang berkembang di masyarakat luas, bukan bermain dengan isu yang mereka buat sendiri. Mungkin sudah saatnya kita bermain dengan isu yang kita angkat sendiri walaupun kecil dan tidak mempunyai nilai politis. Dalam kondisi seperti sekarang ini sulit bagi masyarakat jika terlalu berharap akan adanya suatu perubahan yang dimotori oleh gerakan mahasiswa. Perubahan tidak hanya harus dimulai dari kampus, dan warga kampus seharusnya sadar bahwa gerakan mereka sebenarnya hanya satu elemen kecil dalam perubahan masyarakat. Elemen terbesamya adalah masyarakat luar kampus. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kesempatan lebih dalam mempertajam sisi aktualnya mempunyai tanggung jawab untuk turut mencerdaskan unsur masyarakat lainnya. Kalau kita coba melihat pola gerakan mahasiswa era 80-an kita menemukan pola baru dimana kampus tidak lagi menjadi basis. Keterlibatan mahasiswa dalam isu masyarakat berangkat dari suatu kesadaran bahwa mahasiswa sudah tidak mungkin lagi menjadi ujung tombak. Tidak dapat dipungkiri bahwa maraknya gerakan kaum buruh tidak terlepas dari peran mahasiswa dalam proses penyadaran kawankawan buruh. Membangun sesuatu yang dapat berfungsi sebagai sarana kontrol, penggalangan kekuatan di luar kampus, memang bukan pekerjaan mudah yang bisa dilakukan dalam waktu singkat, tetapi paling tidak kita telah mencoba untuk tetap melaksanakan apa yang menjadi tanggungjawab kita sebagai bagian dari masyarakat.

edisi 25 - III April 1996

65 #ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Mengapa Kita Turun ke Jalan ?

U

njuk rasa mahasiswa ini ada yang masih dilakukan di dalam kampus, namun di beberapa tempat mahasiswa sudah mulai mencoba keluar. Di Universitas Lampung (Unila), UNS Solo dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta bahkan terjadi bentrokan dengan aparat keamanan. Di ITB sendiri turun ke jalan tidak begitu sering dilakukan. Aksi turun ke jalan terakhir dilakukan hari Kamis (6/4) minggu lalu. Dalam aksi Kamis kemarin kelihatannya massa ITB cukup banyak yang ikut turun ke jalan, sampai-sampai mereka tidak mau bubar walaupun aparat yang turun cukup banyak (lebih dari 4 truk polisi dan tentara). Namun kelihatannya hal itu terjadi karena massa sudah emosional. Masalah turun ke jalan ini sebenarnya masih menjadi pertanyaan di sebagian mahasiswa ITB. Pendapat tentang hal ini masih berbedabeda. Ada yang tidak setuju dengan alasan akan memancing kerusuhan, seperti Febi (bukan nama sebenarnya) mahasiswa Farmasi ’97. Farid EL’95 (juga bukan nama sebenarnya), juga tidak setuju dengan cara tersebut, tapi dengan alasan yang berbeda. “Kita tidak akan didukung ABRI seperti dulu (1966-red). Lagi

Krisis moneter dan ekonomi yang berkembang menjadi krisis kepercayaan akhir-akhir ini telah ditanggapi dengan seruan untuk melakukan reformasi ekonomi dan politik dari berbagai pihak. Tuntutan yang sama juga datang dari berbagai kampus. Kata reformasi menjadi semboyan dalam unjuk rasa yang dilakukan di kampus-kampus tersebut.

pula dengan turun ke jalan apakah ada hasilnya?” Farid mempertanyakan. Selain itu juga ada keraguan-keraguan lain seperti kemungkinan ‘penunggangan’. Dalam sebuah wawancara dengan Boulevard PR III ITB juga tidak setuju jika demonstrasi keluar kampus.

Turun ke jalan perlu Sebaliknya beberapa mahasiswa yang lain menganggap turun ke jalan perlu dilakukan sekarang. “Dengan turun ke jalan masyarakat bisa tahu kalau mahasiswa tidak ngomong saja, kata Dema GL ’97. Senada dengan itu Gandi TK’95 berpendapat bahwa turun ke jalan penting karena kita perlu menyebarkan opini di masyarakat dan menguji militansi mahasiswa. Rajawali SI’93, juga sependapat bahwa kita perlu menunjukkan pendapat pada masyarakat. Tapi, “turun ke jalan hanyalah salah satu pilihan aksi. Kalau masyarakatnya tidak disiapkan maka mereka akan nonton aja.”. Ia juga menambahkan bahwa turun ke jalan perlu dilakukan karena, “itu salah satu test case. Mampu nggak turun ke jalan?” Sekjen Satgas KM Widdi (PL’95) ketika ditemui Boulevard di sekretariat Satgas sendiri berpendapat bahwa masalah turun ke jalan atau tidak .Menurut dia yang

melihat memang masih ada yang mengira bahwa turun ke jalan akan bentrok dengan polisi, sehingga menimbulkan ketakutan.

terpenting pada saat ini adalah bagaimana memasyarakatkan hal gerakan ini sampai tingkat bawah (masyarakat--- red). Raja menyebutkan bahwa turun ke jalan adalah

Dalam kenyatannya memang hal itu sudah

dalam kerangka besar mempertemukan

terjadi. Namun ia sendiri melihat bahwa

mahasiswa dengan masyarakat, karena

hal itu dapat dicegah dengan meningkatkan

mahasiswa adalah bagian dari masyarakat.

penawaran massa. Sesudah itu kita harus memiliki perangkat teknik lapangan (Teklap) yang qualified. Lalu menurut dia, “kita harus memiliki ikatan moral, ikatan batin yang bilang kita ini bergerak atas nama hati nurani, atas nama sesuatu yang kita perjuangkan. Dengan kita menyadari itu adalah perbuatan benar maka proses yang kita yakini harus yang benar. Kita jangan lempar-lemparan dong.”. Menanggapi kemungkinan terjadinya kerusuhan yang disebabkan oleh masyarakat, Raja menyatakan bahwa jika pendidikan politik dalam masyarakat selesai, turun ke jalan tak akan jadi masalah. Ia sendiri menekankan bahwa pendidikan politik dalam masyarakat adalah hal yang penting untuk dilakukan

Efektifkah turun ke jalan? Dalam banyak negara yang demokratis, demonstrasi digunakan sebagai cara untuk menyatakan tuntutan pada pemerintahnya. Kita tentu sudah tahu demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat Amerika Serikat yang menuntut pemerintahnya menghentikan perang Vietnam. Namun mampukah demonstrasi demikian menekan pemerintah Indonesia untuk melakukan perubahan sehingga tercapai misalnya, demokratisasi dan clena government? Syaiful (MA’94) berpendapat bahwa turun ke jalan yang dilakukan di kota-kota di luar Jakarta tidak signifikan pada perubahan. Tentang hal ini, Raja mengatakan ‘mungkin ada benarnya juga. Tapi tak berarti tak ada artinya. Mungkin kota lain cuma sumbang isu dan sumbang keberanian.”

Demonstasi, baik itu turun ke jalan maupun di dalam kampus adalah bentukbentuk pernyataan pendapat. Dalam suatu negara yang berkedaulatan rakyat setiap saluran untuk menyatakan pendapat harus dibuka selebar-lebarnya. Di negara-negara demokratis, parlemen dan pemilihan umum menjadi saluran formal. Walaupun begitu, cara-cara tidak resmi seperti demonstrasi di jalan pun masih diakomodasi. Karena itu, seharusnya kita tidak ragu-ragu menggunakan cara turun ke jalan untuk menyatakan pendapat kita, jika itu dirasa perlu. Ekses-ekses yang mungkin timbul dapat diminimalkan jika aksinya sudah dipersiapkan dengan baik. (gombang)

Widdi berpendapat bahwa turun ke jalan mungkni tidak efektif kecuali dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun menurutnya, “Bentuk apalagi yang bisa memperlihatkan keinginan masyarakat Indonesia untuk melakukan perubahan?” (masyarakat dalam hal ini adalah mahasiswa ----- red).

Turun ke jalan x kerusuhan Namun masalah lain harus dijawab, misalnya ketakutan bahwa aksi turun ke

edisi 32 - April 1998

jalan dapat memancing kerusuhan. Widdi

67 #ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


MAHASISWA, BERDAYAKAN RAKYAT

“Kita tidak bisa membiarkan rakyat kelaparan...” kata seorang aktivis mahasiswa. Maka bergeraklah gelombang demi gelombang demonstrasi mahasiswa. Demonstrasi-demonstrasi ini akhirnya memang menggoyang bangunan Orde Baru. Usaha-usaha perbaikan keadaan rakyat oleh mahasiswa selama ini cenderung mengambil metode menekan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang memihak rakyat banyak. Salah satu kritik yang sering dialamatkan kepada mahasiswa adalah bahwa aksi-aksi mahasiswa tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik turun langsung ke masyarakat, dengan cara bagi-bagi sembako. Memang bisa dijawab bahwa bagi-bagi sembako tidak akanmenyelesaikan masalah, namun sebenarnya hal lain yang tersirat dari kritik itu adalah mahasiswa tidak banyak bersentuhan dengan rakyat secara langsung. Walaupun sebenarnya struktur ekonomi dan politik juga harus dirombak, namun mahasiswa sering melupakan hal yang satu ini untuk memperbaiki keadaan rakyat— pengabdian masyarakat. Mahasiswa—dan perguruan tinggi pada umumnya—dari dulu sudah mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat. Kegiatan yang ada selama ini cenderung pembangunan sarana dan prasarana fisik, misalnya pembangunan jalan dan jembatan. Namun unsur pemberdayaan sering belum diperhatikan, walupun sebenarnya istilah tersebut telah mulai populer.

“Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” (Lord Acton) “... melihat lemahnya posisi masyarakat bawah (secara ekonomi dan politis) dalam pembangunan. Kurangnya peran mahasiswa (potensi dan kemampuannya) dalam kelompok masyarakat tersebut. Pembangunan formal kurang mampu menyentuh masyarakat informal dan bawah, tidak tersedianya akses dari masyarakat kepada sumber daya modal dan pemerintah sebagai pengendali regulasi dan penanggung jawab pelaksanaan pembangunan,dan sebagai usaha untuk memperbanyak peran pemberdaya masyarakat untuk mewujudkansuatu pembangunan demokratis dengan masyarakat madaninya, yang merata dan berdaya.” (Warta Praksis)

Pengertian pemberdayaan Apa itu pemberdayaan? Konsep pemberdayaan sebenarnya adalah pinjaman dari konsep empowerment. Pemberdayaan bisa dilihat dalam konteks ekonomi dan konteks politik. Sebelumnya harus dilihat dulu mengapa diperlukan pemberdayaan, yaitu ketidakberdayaan. Seseorang dikatakan tidak berdaya secara politik apabila dia tidak mampu mengungkapkan aspirasinya dalam struktur politiknya. Analog dengan pengertian ketidakberdayaan politik tersebut, seseorang dapat dikatakan tidak berdaya secara ekonomi apabila minimnya potensi diri dan keadaan infrastruktur di sekelilingnya membuat usaha untuk memenuhi kebutuhannya terhambat. Jika ia takdapat mengatasi hambatan struktural itu, kita dapat mengatakan ia miskin. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa ketidakberdayaan

69 #ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


“Arti pemberdayaan di sini adalah mereka (buruh -red) bisa menyelesaikan sendiri masalahnya secara bersama-sama, secara kolektif. Jadi nggak sendiri-sendiri. Dan penyelesaiannya secara struktur.” Sedangkan pemberdayaan menurut Ade (TK’95) adalah penyadaran hak-hak politik masyarakat, untuk kemudian dia melakukan perebutan-perebutan akan hak-hak politik masyarakat.

ekonomi masyarakat sangat berpeluang untuk mengakibatkan kemiskinan. Ketidakberdayaan juga bisa dilihat sebagai tiadanya kekuasaan (power) yang dimiliki oleh suatu golongan. lni bisa saja karena power itu dimiliki oleh golongan lain. Jika power itu dimiliki oleh sekelompok kecil orang bisa dibayangkan bahwa yang terjadi adalah ketidakberdayaan seluruh bangsa. Jadi bisa dilihat betapa pentingnya masyarakat berdaya.

Mengapa mahasiswa?

Beberapa kelompok mahasiswa di ITB sudah memulai gerakan yang bertujuan memberdayakan masyarakat. Contohnya Satuan Tugas Keluarga Mahasiswa ITB (Satgas KM-ITB) lewat Gerakan Lumbung Kotanya, Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Perubahan ITB (GMIP-ITB), Workshop Pengabdian Masyarakat (WPM) dan Praksis. Selain itu ITB melakukannya hal yang serupa melalui LPM.

Agenda pemberdayaan ini sebenarnya sudah menjadi agenda banyak LSM. Pemerintah juga seharusnya membangkitkan masyarakat dari ketidakberdayaannya. Dan meskipun mungkin ada yang berpikir bahwa hal itu bukan tugas mahasiswa, kini kelompok-kelompok mahasiswa juga turut mengerjakannya dengan berbagai alasan. Diantaranya adalah faktor kondisi objektif mahasiswa yang memang - menguntungkan. “Siapa-siapa saja kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mendapat hakhak politiknya. Kelompok-kelompok tertindas, yaitu pekerja, petani , pedagang kecil. Sebuah perjuangan tidak hanya bisa dibangun oleh salah satu kelompok, irisanirisan kepentingan dari kelompok-kelompok tersebut. Kebetulan mahasiswa punya dua kelebihan unik. Pertama informasinya lebih banyak. Dua, belum terpengaruh dengan usaha mencari uang. Waktunya relatif lebih banyak,” ujar Ade. Namun kelihatannya masalah simpati dan idealisme memegang peranan besar. Seperti jawaban Widi, “Lebih ke panggilan warga negara saja. Sekarang banyak orang berharap pada mahasiswa. Masak kita bilang nggak mau mikirin itu. Sementara tiap hari ke ruangan ini (ruang Satgas —red) lebih dari 10 orang bicara seperti itu, orang-orang yang makannya 1 kali sehari. Akhirnya karena

Walaupun begitu mereka memiliki konsep pemberdayaan yang agak berbeda. Menurut Widdi Aswindi (PL’95), presidium Satgas KM-ITB, pemberdayaan secara harfiah adalah membuat menjadi berdaya. Dalam prakteknya adalah peningkatan potensi masyarakat. “Lumbung secara denotatif kan diartikan sebagai mengumpulkan beras atau macam-macam. Artinya beras itu kan potensi. Lumbung dalam pengertian Gerakan Iumbung kota di sini lumbung mengumpulkan semua potensi.” Menurut Widdi potensi itu semua diarahkan pada distribusi, subsidi dan modal. WPM memiliki pengertian yang agak berbeda dengan Satgas KM-ITB tentang apa itu pemberdayaan. Retno (FT’96) memberi batasan pengertian pemberdayaan menurut organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan buruh ini. “Pemberdayaan itu bisa saja Gua kasih modal, Gua kasih pendidikan tentang manajemen sedikit dan meningkatkan taraf hidup dia.” Menurutnya,

prihatin saja.” Juga sebenarnya masalah idealisme memegang peranan penting dalam gerakan yang dilakukan oleh WPM dan GMIP. Walaupun mahasiswa memiliki keuntungan terhadap golongan masyarakat lainnya, sebenarnya bisa saja kita diam dan membiarkan golongan masyarakat lainnya yang bergerak. Nantinya mahasiswa yang lulus itu “mengubah dari dalam”. Tapi ini tidak dipilih. Sengsu (TM’95) dari WPM menambahkan mahasiswa sebagai kelas menengah, sebagaimana juga kelas menengah lainnya mempunyai tanggung jawab sosial untuk memberdayakan masyarakat bawah. Kenyataannya di Indonesia kelas menengah secara umum, jangankan melakukan pemberdayaan, pemihakan terhadap masyarakat bawah saja kurang. Sengsu mengatakan hal ini terjadi karena rezim Orde Baru menciptakan sekat-sekat antar golongan.

Dengan kata lain, tujuan mereka semua adalah mewujudkan kedaulatan rakyat. Jika rakyat yang benar-benar berkuasa di lndonesia ini, tak disangsikan lagi bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah akan memihak rakyat. Jika kita menyetujui bahwa memang rakyat banyaklah yang harus berkuasa secara sebenar-benarnya di lndonesia ini, dan kita mempunyai kemampuan untuk membantu mewujudkan hal itu, mengapa hal itu tidak kita lakukan? Pada akhirnya jawabannya terpulang pada diri kita sendiri...(goce)

Tujuan akhir: kedaulatan rakyat Meskipun apa yang dimaksud dengan pemberdayaan oleh berbagai kelompok mahasiswa itu bermacam-macam, namun ada kemiripan dalam tujuan akhir pemberdayaan. “Tujuan kita kan mewujudkan Indonesia yang demokratis. Demokrasi itu dibangun oleh dua hal : sistem yang demokratis dan budaya yang demokratis.” Perwujudan sistem yang demokratis diupayakan dengan gerakan struktural mahasiswa. Caranya dengan demonstrasi dan sejenisnya. Sedangkan budaya demokratis berakar pada kemandirian rakyat. Ketika semua orang sadar akan hak dan kewajibannya, ketika setiap orang mandiri dan bisa memutuskan secara bebas mana pilihan hidupnya. Itu yang ingin kita kejar.” Satgas memulai dengan indikator yang paling terlihat, ekonomi.

edisi 34 - IV September 1998

Ketika ditanya kenapa masyarakat harus

71

70 #ceritadariyanglalu

berdaya, dengan mengingat kembali bahwa pemberdayaan adalah penyadaran hak-hak politik masyarakat, Ade menjawab bahwa kita harus kembali ke konsep masyarakat yang berkedaulatan rakyat, bahwa yang menjadi penguasa tertinggi adalah rakyat. Itujuga berarti setiap keputusan harus dimengerti oleh rakyat. “Kalau rakyatnya tak mengerti apa-apa, akhirnya jadi mainan elit juga, kan ?” kata Ade yang mengurus Biro Pusat Data di GMIP ini. Tujuan akhirnya adalah masyarakat benar-benar berkuasa.

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


1993-2015

22

tahun

#ceritadariyanglalu

Boulevard ITB


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.