Buletin Kinasih #4

Page 1

Masa Depan Bangsa di Tangan Perempuan

Edisi IV | 24 Halaman


LENSA KINASIH Habis Gelap, Terbitlah Terang Sesudah Terang, Lalu? Salam Budaya! Setelah vakum selama hampir tiga tahun, kini BuKin hadir lagi meramaikan Kampus Tercinta. Kampus Pemimpin Umum/Penanggung Jawab: yang menjadi ladang tempat kami ada dan berkarya. Ayni Robaitun Tempat kami berproses, dan mengelola kegelisahan menjadi kematangan berpikir. Pemimpin Redaksi: Sherly Febrina Kami mengangkat tema Masa Depan Bangsa di Tangan Perempuan, karena di bulan April ini kita Editor: memperingati Hari Kartini. Peringatan bahwa akhirnya Maria Natasha, Ridwan kaum perempuan dapat merasakan pendidikan Sobar, Dian Ihsan Siregar seperti kaum laki-laki. Staf Redaksi: Berkat jasa Raden Ajeng Kartini, kini sudah banyak Nurcahyo Triatmojo, perempuan Indonesia yang dapat merasakan Ayudia Putri, Egy AS, Adpendidikan. Lalu timbul pertanyaan, setelah kaum dis Nadira, Muhammad perempuan mendapatkan kesempatan yang Guntur, Nanda Fitri sama dalam mendapatkan pendidikan, apa yang Fotografer: bisa dilakukan dengan pendidikan yang sudah Alika Khanza didapat?Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Kawan BuKin bisa membaca ulasannya di rubrik Tata Letak: Klimaks. Lalu ada liputan kemeriahan ulang tahun Bayu Adji P Teater Kinasih ke-18 di rubrik Halaman Foto. Serta bagaimana kita belajar melihat sesuatu dari kedua sisi Alamat Redaksi: di rubrik Spotlight. Tak ketinggalan ada Mbah Jarwo Jl. Raya Lenteng Agung yang mengomentari tentang Pembentukan Satgas No. 32, Jakarta Selatan Anti-Pornografi di rubrik Angkringan. Pendidikan penting untuk kemajuan sebuah bangsa. Terlebih perempuan sebagai orang pertama yang mendidik generasi penerus bangsa. “Perempuan tidak lain dari makhluk hidup yang berfungsi untuk melahirkan, tidak lebih. Namun laki-laki sendiri adalah Anak yang dilahirkan perempuan, tidak lebih,� (Nitzhe). (RED)

E-mail: buletin.kinasih@yahoo. com


KLIMAKS

Masa Depan Bangsa di Tangan Perempuan

Perayaan Hari Kartini, adalah peringatan terhadap hak perempuan memiliki pendidikan seperti kaum laki-laki. Pada zamannya, perjuangan Kartini mengupayakan pendidikan untuk kaum perempuan membuahkan hasil, sekolah wanita bernama Sekolah Kartini.


KLIMAKS

Sekolah Kartini berdiri atas dasar pemikiran Kartini tentang posisi perempuan di dalam sistem patriarkis Jawa yang dianggapnya menghambat kemajuan perempuan. Kartini mempertanyakan kenapa perempuan Jawa harus dipingit, tidak boleh bersekolah, dinikahkan dengan lakilaki yang tidak dikenal, bahkan harus bersedia dimadu. Hal itu bagi Kartini memiliki akar permasalahan pada agama, mengapa kitab suci hanya dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami? Dalam pemikiran Kartini muda, agama hanya digunakan sebagai pembenaran bagi laki-laki untuk berpoligami. Sekali waktu, Kartini menuangkan buah pikirannya tentang pendidikan bagi perempuan Indonesia, “Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya�. Demikian bunyi suratnya kepada Nyonya Van

Kool, Agustus 1901. Sepatah kalimat ini mewakili kegelisahan perempuan dan membawa pengaruh besar bagi generasi penerus Kartini. Hari ini, perempuan dan lakilaki memiliki hak yang setara untuk mengenyam pendidikan. Perempuan bebas berkesempatan mengaktualisasi dirinya, menjajaki jenjang pendidikan setinggi yang ia mau tanpa berbenturan dengan adat dan tradisi, untuk kemajuan dan kemandirian dirinya. Namun perempuan tetap memiliki kodrat. Hamil, melahirkan dan menyusui adalah kodrat perempuan. Segala apa yang dipelajari perempuan di bangku sekolah, mempersiapkan perempuan untuk menjalani kodratnya sebagai ibu yang membesarkan anaknya dan yang pertama kali menanamkan nilai-nilai kehidupan pada bibit-bibit generasi penerus. Maka di situlah perempuan sungguh-sungguh memanifestasikan proses hidupnya, termasuk proses pendidikannya. (BuKin/MNR)


VOKAL Perempuan, Pornografi, dan Kesenian

Pornografi dalam perkembangannya memiliki pengertian segala muatan berupa teks, suara, gambar, dan aksi yang mengungkapkan secara eksplisit bentuk dan kegiatan seksual dan/atau yang dapat membangkitkan hasrat seks, yang umumnya terjadi pada perempuan. Hal ini berkat peran media dan industri yang dengan jelas menjadikan perempuan sebagai obyek eksploitasi. Dan ironisnya, terkadang perempuan pun bangga dengan itu.


VOKAL Pornografi dan kesenian selalu hingar diperdebatkan. Sebagian menganggap bentuk kesenian yang memperlihatkan unsur pornografi adalah bentuk eksploitasi. Sebagian lagi menganggap seni adalah wadah kebebasan berekspresi dimana tidak ada dinding/belenggu untuk berekspresi. Sebenarnya pengertian pornografi pun berubah – ubah seiring berkembangnya jaman, yang menimbulkan polemik dan ambiguitas, sehingga nilai – nilai yang ada mulai dipertanyakan. Bagaimana menonton perempuan penari modern (modern dance) yang berbusana minim hingga memperlihatkan lekuk – lekuk tubuhnya, lalu bagaimana dengan menonton perempuan penari tradisional yang memakai busana atasan bahu dan pundak terlihat dan bawahan panjang sampai mata kaki namun ketat hingga pinggul menyembul? Bagaimana melihat gambar atau foto yang memperlihatkan sosok perempuan dengan busana minim atau telanjang berpose erotis yang bisa dibilang sarat seksual, dan bagaimana dengan gambar relief – relief perempuan pada candi – candi yang mengisahkan hubungan persenggamaan? Kesenian adalah keindahan. Keindahan yang dirasakan oleh pelaku dan penikmat seni. Juga murni, seperti air bening yang jernih sehingga siapapun dapat melihat sampai dasar dalam air. Berekspresi sebebas – bebasnya jika tidak memiliki keindahan dan kemurnian, tidak bisa juga disebut kesenian. Semua kembali pada dari sudut pandang mana melihatnya, banyak kacamata yang bisa digunakan. Apakah perempuan terjebak dalam seni yang menjadikannya obyek eksploitasi atau kesenian memancarkan keindahan dan kemurnian pada pribadi perempuan? (Bukin/NTA)


SPOTLIGHT

Manusia Akal Budi Berpikir. Disadari atau tidak, selalu dilakukan manusia setiap waktu. Dalam ilmu teater, olah pikir termasuk salah satu modal awal aktor untuk menjadi pemain yang baik. Adalah sebuah keharusan aktor dapat memahami, menyerap, menyajikan, dan menyimpulkan bagaimana sifat/karakter suatu peran yang dimainkannya. Karena seni peran yang baik tidak hanya meniru tapi juga meyakinkan. Mendalami suatu peran berarti menajamkan pikir pada detail – detail karakter demi membangun peran secara menyeluruh. Olah pikir, terasa juga manfaatnya untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Pikir yang sudah terolah akan dapat lebih peka merangsang suatu hal, membuat manusia dapat berpikir menggunakan dua sumber pengelolaan data dalam dirinya, yaitu otak dan nurani. Serta dapat dengan jelas membedakan mana yang subyektif (nurani, karena menyangkut perasaan) mana yang obyektif (otak, berdasarkan logika) dan mengklasifikasi penggunaannya. Kepekaan dan ketajaman itu menjadikan manusia tidak hanya melihat dari satu sisi tapi juga dari berbagai sisi. Melalui sudut pandang yang berbeda manusia akan melihat sisi yang sebelumnya tidak dapat dia lihat, dengan begitu membuat manusia akan lebih bijak menyikapi suatu hal. Jika dalam kehidupan bermasyarakat, lingkungan mempunyai individu – individu yang memiliki pola pikir yang berbeda- beda. Pikir yang selalu diasah akan dapat mendengar pendapat – pendapat dengan baik dan menyerapnya, kemudian menganalisis dan memahami lingkungan sekitarnya. Teater melatih manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Berpikir bijaksana, mampu mengontrol ego, memiliki kekuatan memaafkan, dll. Sebenarnya tidak sulit, hanya saja kadang manusia terlalu beku pikirannya, karena itu perlu diolah. Dunia ini panggung besar, terbuka dan terbentang luas untuk pikiran manusia. (BuKin/NTA)


SOSOK

Si Binatang Jalang� yang Ingin Hidup Sampai Seribu Tahun

Chairil Anwar, penyair angkatan 1945. lahir di Medan pada tanggal 26 Juli 1922, Chairil merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha. Karena ayahnya merupakan orang terpandang di daerahnya, Chairil mampu merasakan pendidikan hingga MULO walau tidak sampai lulus.


SOSOK

Meskipun pendidikannya tidak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman. Dengan kemampuannya itu Chairil mengisi jam-jamnya dengan membaca Ernest Hemingway, Nietzche, Edgar du Peron, dan banyak lagi. Chairil menghabiskan usianya dengan puisi dan tidak punya pekerjaan tetap. Ketika ia mengajukan sajaknya kepada redaksi Pandji Poestaka, ia ditolak karena sajak-sajaknya dinilai terlalu individualis dan kiasankiasannya terlalu mem-barat. Maka ia sering kekurangan uang dan bersama sastrawan seperjuangannya Asrul Sani, Chairil muda sering mencuri buku. Sajak Chairil sering disalahartikan oleh masyarakat Indonesia. Sajak “Aku” yang ditulisnya tahun 1943 sesungguhnya merupakan gambaran individualismenya sering dianggap sebagai sajak perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Demikian halnya dengan sajak “Diponegoro” yang sering dikira sajak perjuangan. Sebenarnya sajak itu adalah interpretasi Chairil akan semangat hidup Pangeran Diponegoro saat jiwanya amat diresahkan oleh kematian dan absurditas. Namun keberhasilan terbesar Chairil bagi persajakan Indonesia khususnya, dan bahasa Indonesia pada umumnya, adalah kepeloporannya untuk membebaskan bahasa Indonesia dari aturan-aturan lama yang waktu itu cukup mengekang (baca: Poedjangga Baroe), menjadi bahasa yang membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai alat pernyataan yang sempurna. Vitalitas sajak Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang semakin lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Keinginannya untuk hidup sampai seribu tahun lagi pupus karena Chairil Anwar meninggal di usia menjelang 27 tahun karena penyakit TBC. Hari meninggalnya, 28 April diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Ia meninggalkan warisan berupa 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Dan seperti memenuhi pesan profetik dalam salah satu bait puisinya, “Yang Terempas dan yang Putus”: “di karet, di karet sampai juga / deru angin”, Chairil dimakamkan di Pemakaman Karet. (BuKin/SF/dari berbagai sumber)


PANGGUNG Nabi Darurat, Rasul Ad-Hoc

Pementasan diawali dengan monolog Emha Ainun Nadjib membaca surat wasiat kepada anak–cucunya, di depan panggung secara bersimpuh. Isinya tentang pesan untuk menjaga alam di dunia ini. Ruwat Sengkolo dalam kurungan putihnya secara terus menerus berbicara tidak karuan (meracau) mengenai soal kiamat, dunia yang sudah semakin tidak teratur, dan bangsa kian terpuruk. “Aku, Ruwat Sengkolo, bersabda para peneliti kita menyatakan bahwa kiamat akan terjadi pada tahun 2060, para peneropong jagad raya mengatakan pada tahun 2040, para pengamat dan


PANGGUNG

penelusur waktu mengatakan pada tahun 2012. Aku, Ruwat Sengkolo, dengan ini menyatakan apa bedanya kiamat besok – besok dengan sekarang. Sudah tidak ada tanda–tanda kehidupan, peradaban sudah mentok, nilai–nilai hakiki susah dicari. Sesungguhnya kiamat itu sudah berlangsung. Penduduk Bumi sekarang butuh nabi atau rasul. Kalau tidak ada nabi beneran, ya nabi darurat. Kalau tidak ada rasul, ya rasul ad-hoc lah.” Kutipan tersebut diambil dari dialog Ruwat Sengkolo ketika memainkan lakon pementasan Nabi Darurat Rasul Adhoc. Kondisi tiba-tiba menjadi gempar. Ruwat Sengkolo (Joko Kamto) yang tinggal bersama kakeknya (Tertib Ruratmo) di pelosok sebuah desa menjadi pusat perhatian. Ruwat mengaku nabi, sehingga Pak Lurah Sangkan (Fajar Suharno) dengan cemas datang ke rumah Ruwat bersama petugas keamanan memberi peringatan atas tindakannya yang meresahkan. Alex Sarpin, yang sangat menjiwai profesinya sebagai mahasiswa, tergelitik untuk menganalisa kejadian ini berdasarkan logika dan ensiklopedia yang selalu dibawanya. Keribetan ini sampai ke telinga orang tua Ruwat, Bapak Jangkep (Nevi Budianto) yang membuatnya pulang dari perantauannya di Jakarta untuk membela martabat anak dan keluarganya. Para anak band yang kost di sebelah rumah Ruwat (personil Letto dan Doni Kiai Kanjeng) pun ikut sibuk berdiskusi tentang sabda–sabda yang Ruwat lontarkan. Bahkan guru Ruwat, Ki Janggan (Bambang Susiawan) muncul untuk mengingatkan muridnya. Seiring racauan sabda Ruwat, muncul Brah Abadon (Noe Letto) bersosok sepasang mata pada layar belakang, yang menyebut dirinya utusan Malaikat Isrofil. Mempertanyakan kepada Ruwat identitas hakiki dan perannya sebagai manusia. Ruwat terlepas dari pernyataannya mengaku nabi, sebenarnya hanyalah manusia yang terlampau sedih atas berlangsungnya kehidupan di dunia ini. Dia menilai kehidupan sekarang sudah semakin kacau, ganjil, rusak dan hancur, sehingga diperlukan sosok pemimpin kebenaran. Pementasan berlangsung 3 jam, bukan waktu yang nyaman untuk mementaskan lakon dengan tema berat dan dialog yang sama beratnya. Namun para pemain, aktor senior Teater Perdikan dan personil Letto, dapat mengemasnya dengan baik melalui dialog – dialog jenaka dan bersahaja, serta bersifat kekinian. Musik pun digarap dengan romantis oleh Letto dan Doni Kiai Kanjeng, memainkan lagu – lagu Letto di panggung yang sama dalam beberapa bagian sepanjang pementasan. Ketika di tanyakan secara rinci mengenai pementasan, Cak Nun demikian sapaan Emha sebagai penulis naskah dengan gamblang menggambarkan, bahwa melalui para pelakonnya dunia sudah benar – benar kehilangan nilai – nilai kehidupan. Manusia sebagai khalifah di Bumi diharapkan dapat memperbaikinya tidak lepas dari keberimanan kepada Tuhan, dan alam pun nantinya pasti akan menjawab. (BuKin/NTA)


HALAMAN FOTO

Teater Kinasih 18 Tahun Berkarya

Usia delapan belas tahun bukanlah rentang waktu yang singkat bagi sebuah komunitas teater. Berproses, bekerja, dan bertumbuh bersama-sama dalam sebuah komunitas bernama Teater Kinasih menorehkan kebersamaan yang mendalam bagi setiap anggotanya. Maka momen perayaan ulang tahun Teater Kinasih kali ini dipersembahkan kepada Kawan BuKin.


HALAMAN FOTO

Para anggota aktif pegiat Teater Kinasih Kampus Tercinta selalu memiliki cara yang khas dalam menunjukkan kebersamannya. Sesuai tradisi, pendiri Teater Kinasih Maria Khomaris diberi kehormatan untuk memotong Kue Ulang Tahun Kinasih dan membagikannya kepada seluruh anggota, tanpa satu pun ketinggalan.


NASKAH

Dilarang Melarang Dilarang melarang! Berapa kali kusaksikan mobil mewah itu menerobos lampu merah dengan nomor plat rahasia. Melesat bagai angin. Semua orang melongo saja melihatnya. Bahkan polisi-polisi lalu lintas di pos polisi lampu merah itu tidak berkutik dibuatnya. Semua bungkam. Ia berlari dengan kepongahannya. Warnanya mengkilap bagai sambar petir mencengkeram semua yang memandangnya. Kubiarkan saja pandanganku. Kali pertama menyaksikannya, aku merasa biasa-biasa saja. Tapi setiap kali menyaksikannya, kenapa sesuatu tiba-tiba muncul dalam diriku. Seperti ada getaran aneh yang mengusik. Menggoda bahkan menggerogoti jiwaku. Mungkin aku iri, mungkin aku ingin memilikinya, mungkin saja aku ingin menumpang di belakanngnya, atau mungkin ia sengaja memamerkan padaku karena aku naik bajaj yang terseok-seok yang serak bunyinya itu. Tidak mungkin! Dilarang melarang! Berapa kali kusaksikan mobil mewah menerobos lampu merah itu. Semua orang tidak ada yang memrotesnya. Bahkan polisi-polisi lalu lintas di pos polisi lampu merah itu tidak melarangnya. Semua membungkam. Maka aku memutuskan: aku harus mencari tahu. Dan kuputuskan: akan memprotes polisi-polisi loyo yang lalai dan tidak adil itu. Mulailah aku sibuk mencari cara tepat untuk bertindak. Mulailah bayangan-bayangan mobil mewah menerobos lampu merah itu hadir dalam kehidupanku. Mau pagi, mau siang, mau sore. apalagi malam. Bahkan sering kali aku mengigau tentang mobil mewah menerobos lampu merah itu. Dan suatu malam aku dibangunkan ibu karena mendengar aku mengigau. Ketika mengigau aku sering


NASKAH

menyebut-nyebut “dasar mobil mewah sialan!” berulang kali aku membentaknya begitu. Dan hari ini kusaksikan lagi mobil mewah menerobos lampu merah itu. Sengaja aku naik bus kota hari ini bersama penumpang-penumpang yang berdesak-desakkan itu, Karena aku ingin mencari tau kenapa mobil mewah menerobos lampu merah itu dibiarkan. Dan setiap kali pertayaanku terlontar dan setiap itu pula kudapatkan jawaban-jawaban yang sama pula. “Kenapa polisi-polisi lalu lintas di pos polisi lampu merah membiarkan mobil mewah menerobos lampu merah itu?” tanyaku pada penumpang-penumpang dalam bus kota itu. “Dilarang melarang!” “Apa alasannya?” “Dilarang melarang!” itulah jawaban-jawaban yang kudapatkan dari kebanyakan penumpang dalam bus kota itu. Aneh. benar-benar aneh. Kenapa semua orang bungkam Bahkan polisi-polisi lalu lintas di pos polisi lampu merah itu tidak berkutik dibuatnya. Mobil mewah menerobos lampu merah itu benar-benar hadir dalam kehidupanku. Bayangkan saja, karena membayangkannya, kadang seringkali aku kelewat begitu jauh dari kampusku hingga beratus-ratus meter jaraknya Membuat aku harus putar balik dengan sopir bajaj yang dengan senyumnya seolah senang karena dengan begitu ia bisa meminta ongkos tambahan padaku. Benarbenar keterlaluan mobil mewah yang menerobos lampu merah itu. Ini tak bisa dibiarkan lagi. Aku akan membuat perhitungan dengannya. Bersambung... (BuKin/MG)


NASKAH

Bukan Malam Pengantin OLEH: GUNTUR

Adam-hawa menari Dari cinta matahari senggama Muncul seperti kelelawar Mengalahkan rintihan embun Lalu pelukan bara Memoles mata air perawan Seiris bibir dalam dekapan dunia Menggosoknya dengan sikat gigi Memagut pulau-pulau dada Petinggi bukit rawa Hanya sekibas layar,membekas Sepanjang sungai ini Sudah dibius peristiwa penyerbukan Rasakan tulang-belulang Membasahi dengan air mani adam Tapi bukan malam pengantin Menanam ketimun Mangkukpun retak,tergores Darah memerah tanpa bicara Berteduh di bukit barisan Berdayung dengan bulu Layar robek menyala Malam ini Jamuan girang Memasuki pelabuhan Menyentuh pantai semak beton Berenang,menggoyangkan pikiran Membawa gelombang di bumi Gempa mengguncang kembang lelap Tetesan darah perawan menelanjangi Membasahi leher, sampai matapun Bercerita tentang sejarah kelamin


TENTANG RUPA

Kelas Pagi Bersama Anton Ismael “Kamu dan saya, simetris dan sejajar dengan lensa. Kelas rakyat siapa pun boleh bergabung tanpa syarat atau baju seragam, tanpa uang pangkal atau uang gedung,� kutipan tersebut merupakan slogan dari kelas pagi yang dicetus oleh Anton Ismael seorang fotografer professional pada tahun 2006. Kelas pagi yang didirikan oleh Anton Ismael merupakan perkumpulan belajar karya seni fotografi dari berbagai mediasi yang ada, untuk lebih di kembangkan menjadi karya seni. Untuk menjadi salah satu anggotanya, siapa pun boleh bergabung tanpa ada syarat apa pun. Kelas pagi pada dasarnya adalah perkumpulan belajar karya seni fotografi berbagai mediasi yang ada untuk dikembangkan menjadi karya seni. Dari kelas pagi sendiri kita akan mendapatkan berbagai ilmu fotografi yang digabungkan dengan karya visual dan tradisional. Kelas pagi ini berada di sisi jalan Panglima Polim, dan tempatnya bernama Gudan yang beberapa tahun belakangan ini mengadakan pameran karya seni visual. Ada salah satu contoh pameran yang diselenggarakan kelompok kelas pagi, dengan mengangkat tema “Media Campuran.� Media campuran mengacu pada sebuah karya seni visual yang menggabungkan berbagai media secara tradisional seni visual. Karya fotografi mereka disajikan pada kanvas yang menggabungkan antara cat tinta dan kolase. Pameran yang di selenggarakan merupakan tugas besar dan termasuk salah satu syarat kelulusan dalam sistem akademik kelas pagi. Selain sebagai syarat kelulusan, pameran di selenggarakan sebagai wujud ketertarikan tersendiri terhadap ilmu fotografi yang semakin pesat perkembangannya. Saat di temui pada sesi kelas pagi. Azizah Hanum (21) salah seorang murid kelas pagi, dia menjelaskan bahwa kelas pagi banyak sekali ilmu yang di dapatkan. Sebagai contoh ilmu fotografi, seni gambar modern dan tradisional. Dia juga mengatakan bahwa sekarang tidak hanya elektronik modern saja yang dapat merubah design sebuah karya seni, tetapi alat tradisional juga dapat menghasilkan karya seni fotografi yang mempunyai nilai arti lebih. (BuKin/EAS)


GAYA HIDUP

Stand Up Comedy: Menertawakan Kita

Stand up comedy, salah satu seni komedi yang dikenal di Amerika dan Eropa sejak abad ke- 18, mulai berkembang di Indonesia. Stand up comedy adalah monolog dari pengalaman atau pengamatan dari keseharian si pelaku (comic) dalam bentuk komedi sambil berdiri langsung didepan penonton. Para comic mempunyai karakter dan ciri masing-masing. Ada juga comic yang muncul dengan karakter yang berdekatan dengan pribadi comic. Karakter ini disebut persona. Berbagai persona ditampilkan oleh para comic. Bisa sinis, pesimistik, peniruan karakter, dan lain sebagainya. Persona semakin terbentuk dengan semakin sering naik panggung. Materi stand up comedy tidak jauh dari keseharian orang-orang kebanyakan. Mulai dari cinta, gaya hidup hingga politik dan kritik


GAYA HIDUP terhadap penguasa. Sepertinya stand-up comedy menjadi salah satu cara untuk menumpahkan kegelisahan permasalahan hidup dengan cara yang ringan namun bukan tanpa bobot. Indro Warkop pernah berkata “Stand-up comedy itu komedi yang serius, seperti skripsi. Ada analisa, ada pemikiran.” Diksi adalah elemen penting dalam materi stand up comedy. Diksi adalah pemilihan kata dan penyusunan kata dalam suatu naskah. Materi dari stand-up comedy boleh jadi sudah lucu tapi diksi membuatnya lebih tajam. Biasanya para comic menggunakan diksi populer, bahkan nyeleneh dan kontroversial. Ketajaman diksi akan diperkuat dengan tone suara si comic. Keunikan stand up comedy adalah memungkinkan interaksi dengan penonton yang justru bisa menggali tawa. Ini disebut riffing. Riffing bisa spontan, tapi bisa juga dipersiapkan sebelumnya. Contoh riffing misalnya, “’Comic: ‘Lo aslinya darimana?’ | Penonton: ‘Dari Garut.’ |Comic: ‘Pantesan muke lu kaya dodol..’” Hebohnya stand-up comedy membuat seorang seniman teater, Butet Kertaradjasa yang sering menyentil pemerintah menyatukan standup comedy dan teater dalam lakon “Koper”. Ini bukti bahwa stand-up comedy di Indonesia sudah menjadi media pengelolaan kegelisahan terhadap pemerintah negara ini. Selain cinta, materi tentang politik juga paling mengundang tawa terbahak-bahak dari penonton seolah mereka tidak perduli lagi solusi. Stand up comedy dengan dinamis bisa beradaptasi dengan berbagai macam kebudayaan yang berbeda. Dengan menikmati stand up comedy, kita melatih kepekaan akan berbagai hal yang mungkin luput dari keseharian kita, yang sebenarnya bisa ditertawakan dalam keindahan keragaman perbedaan. (BuKin/AN)


NUSANTARA

Sejuta Budaya, Sejuta Rasa!

Halo teman-teman Buletin Kinasih (Bukin)! Pasti pernah merasakan menu masakan Padang? Aku yakin jawaban kita sama, yaitu pernah. Nah, pernah tidak terfikir dalam hati temanteman, kenapa sih masakan Padang itu identik dengan pedas dan santan? Oleh karena itu, rubrik Nusantara kali ini akan coba mengupas sedikit fakta tentang masakan Nusantara. Awalnya aku fikir masakan Nusantara itu kaya akan rasa, karena faktor geografis kita yang berbeda-beda. Setelah di teliti, ternyata memang


NUSANTARA faktor geografis cukup mempengaruhi dan menentukan cita rasa sebuah masakan, akan tetapi dari faktor itu semua, faktor yang paling utama adalah budaya. Masih ingat tidak bahwa Indonesia pernah menjadi salah satu pusat perdagangan rempah-rempah dunia? Saat itu tanpa disadari telah terjadi pertukaran budaya. Loh kok bisa? Jatuhnya kota Konstantinopel ke tangan Turki membuat suplai rempah-rempah untuk bangsa nonmuslim terputus,. sehingga mereka harus berlayar sendiri mencari penghasil rempah-rempah lain sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Pada saat tiba di Indonesia mereka tidak langsung membeli rempah-rempah yang kemudian pulang, biasanya mereka akan menetap 1 sampai 2 bulan untuk mempelajari bahasa Melayu. Karena sudah menjadi rahasia umum, pembeli akan mendapatkan harga lebih murah apabila melakukan transaksi jual beli menggunakan bahasa melayu. Ketika menetap di Indonesia itulah mereka mulai mengenalkan kebudayaannya, mulai dari musik, tarian bahkan makanan. Sebagai contoh cabai, teman-teman tahu tidak kalau cabai itu bukan berasal dari Indonesia ? Bumbu pedas yang hampir selalu ada di setiap rumah ini berasal dari Amerika. Pedagang Spanyol yang telah memperkenalkannya saat singgah sejenak ke Indonesia. Bukan hanya cabai, tapi rempahrempah lain seperti lada hitam, kunyit, sereh, bawang merah, kayu manis, kemiri, dan ketumbar yang sebenarnya berasal dari India. Maka tidak heran apabila banyak masakan mancanegara yang mirip dengan masakan Nusantara. Misalnya, masakan Kari dari India yang mirip dengan masakan Padang. Kedua masakan ini sama-sama menggunakan berbagai rempah-rempah, cabai dan santan. Untuk perbedaannya sendiri hanya dari beberapa banyak kapulaga atau sejenis rempah-rempah yang digunakan. Masakan Kari India menggunakan kapulaga yag lebih banyak dari masakan Padang. Sedangkan contoh lainnya seperti nasi goreng, makanan yang sudah sangat akrab dengan lidah masyarakat Indonesia ini nyatanya berasal dari Thailand, dan juga masakan bakso yang dalam bahasa Hokkien artinya daging babi giling. Jadi bagaimana sekarang? Apakah teman-teman dan pembaca buletin kinasih pasti tahu dong kenapa masakan Indonesia itu kaya akan ragam cita rasa?. (BuKin/NF)


ANGKRINGAN

Satu Porno, Semua Parno

Nama saya Sujarwo Wijiatmoyo asal dari Purwokerto, tapi bisa dipanggil Mbah Jarwo. Saya biasanya dimintai petuah atau wejangan oleh masyarakat agar sukses, padahal hidup saya sendiri ndak sukses. Hehehe..dasar wong ndeso! Kalau mau sukses ya usaha! Sabtu kemarin, saya pergi ke Jakarta dalam rangka memenuhi panggilan untuk menjadi hakim dalam sidang kasus korupsi Angie. “wah, lumayan bisa mejeng muka di TV..” dalam pikiran saya. Sampai di Jakarta, kawan kawan aktivis justru sedang heboh mendiskusikan satgas anti pornografi atau apapun lah itu namanya. Saya pun bingung, memang benar-benar bingung mau bicara apa. “Apa saya salah denger waktu dipanggil ke Jakarta? Perasaan, suruh ngurusi kasus Angie, ini kok malah pornografi?” hati kecil saya berbisik. Tapi, kemudian saya larut dalam diskusi yang cukup


ANGKRINGAN panas itu. Porno itu kan subjektif, terus bagaimana cara memberantasnya? Wong yang jelas-jelas objektif seperti korupsi saja ndak pernah tuntas. Saya jadi teringat pada suatu ketika, di Jakarta pernah ada juga (mungkin sampai sekarang masih berlaku) aturan untuk tidak merokok di tempat umum. Kalau ada yang melanggar peraturan ini akan disidang di tempat. Algojonya itu Satpol PP. Tapi pada kenyataannya sang algojo yang mulia malah ikutan ngerokok, itu sangat payah. Kembali lagi ke kasus satgas pornografi. Kasus? Lah memangnya mereka salah apa? Oh, saya keliru, maksud saya kembali lagi ke calon kasus satgas anti pornografi. Saya yakin kalau sebenarnya orang-orang yang membuat rencana ini bermaksud baik, untuk melindungi kita semua dari tindakan pelecehan seksual atau bahasa kerennya digerepe-gerepe. Namun, karena rakyat Indonesia ini sudah pintar semua, maka salah memaknai sedikit, masalah bisa jadi rumit. Teman saya, Sal, menilai kalau aturan ini melanggar hak asasi manusia (HAM) untuk memamerkan pahanya.

Suatu hari, ada teman cucu saya yang cantik,Tantekul, pergi ke kampus dengan memakai rok mini. Saat pulang kuliah, di dalam angdes (angkutan desa), pepek dan teteknya diremes-remes sama si Suman, supir angdes yang sudah seharian belum dapat setoran. Kalau sudah digerepe-gerepe, baru Popskii melapor ke petugas kalau paha ini hanya untuk dilihat tidak untuk disentuh. Tantekul bilang “dasar pikiran kotor! Baru liat paha aja langsung nepsong..� Suman berkilah “maaf tadi saya khilaf�. Yah, bagaimana orang saya seharian saja belum dapat setoran, gimana pikirannya tidak khilaf? Logikanya, orang yang laper akan susah berpikir benar, kelakuannya ngawur cenderung kurang ajar, ..wong laper kok suruh membela kebenaran! Jadi yang salah itu membuka pameran paha atau yang punya pikiran kotor? Saya jadi merasa ngeri sendiri kalau nanti bertemu cucu di tempat umum, saya peluk dia, akan ditangkap karena dianggap adegan porno. Lebih kasihan lagi, orang-orang yang kamar mandinya terpisah dari rumahnya, sehabis mandi jalan ke rumah pakai handuk doang, malahan ditangkap karena dianggap menggoda si Iman. Wah, saya lupa harus ngurusi mbak Angie di ruang sidang... (BuKin/BAP)


RESENSI

Ngawur Karena Benar memberantas virus kemunafikkan yang sedang merajalela di Indonesia. Virus kemunafikan ini bisa diberantas dengan cara yang urakan. Tapi, urakan itu berbeda dengan kurang ajar. Urakan adalah melanggar aturan termasuk aturan berpikir demi mengikuti hati nurani. Sedangkan kurang ajar itu melanggar aturan hanya untuk melanggar. Buku ini akan menuntun kita untuk menemukan cinta sejati. Dimana kita menemukan cinta yang benar-benar cinta tanpa alasan, karena jika alasan itu muncul di dalam cinta, maka cinta itu berubah menjadi kalkulasi.

Kata “berani karena benar” sudah tidak lagi spesial, sekarang istilah “ngawur karena benar” sepertinya lebih tepat untuk memberantas kepalsuan di balik kesopanan. “Ngawur karena benar” adalah jurus terakhir yang digunakan ketika kesopanan dan tata krama itu hanya untuk menutupi kepalsuan. Dalam buku merumuskan

Buku yang berisi 37 naskah/artikel karya Sujiwo Tejo yang telah dimuat di berbagai media massa ini diharapkan bisa mengubah perilaku manusia yang menjaga norma kesopanan demi kepalsuan dan bisa memberikan pelajaran agar bangsa ini tidak menjadi bangsa yang munafik. Tapi, jika salah diartikan, maka manusia-manusia kurang ajar akan semakin merajalela.

Sujiwo Tejo sendiri berharap buku ini bisa dibaca oleh ibu Negara Ani Yudhoyono dan oleh pengguna jalan raya. ini Sujiwo Tejo (BuKin/BAP) cara untuk


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.