Edisi VII | 24 Halaman
i r e Neg ? s i r a r g A
LENSA KINASIH
Bertindak, Berkarya, Agrariskan Negeri! Salam budaya! Berkarya dalam berkesenian selalu saja lekat dengan isu hangat yang terjadi di sekitar kita. Pada kesempatan ini Buletin Kinasih bermaksud mengangkat isu bidang pertanian, mengingat kontradisi negara kita yang terkenal dengan sebutan negara agraris, namun untuk makan tempe saja sudah mulai susah. Ada apa dengan kedelai? ada apa dengan tanah? Ada apa dengan petani? Ada apa dengan pemerintah? Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya menjadi negara yang memberi makan dunia, tapi pada kenyataannya Indonesia belum mampu untuk mewujudkannya bahkan di negrinya sendiri. Padahal kemampuan suatu negara untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi warganya merupakan faktor kritis yang menentukan apakah suatu negara dapat menegakkan kedaulatannya khususnya kedaulatan pangan. Sektor pertanian sepertinya sudah kehilangan gairah sehingga mahasiswa di bidang pertanian ketika lulus kuliah lebih memilih bekerja di bank, menjadi sineas, wartawan bahkan lebih memilih menjadi politikus. Kelangkaan hasil bumi lokal terlihat jelas, di mana kita akan lebih mudah menemukan apel washington dan apel fuji dibanding apel malang. Lalu kita sebagai pekerja seni, mahasiswa dan masyarakat, apa yang bisa kita lakukan? Tak perlu revolusioner seperti membangun partai politik atau mencalonkan diri jadi presiden. Lakukan hal kecil namun berarti, seperti yang dilakukan Bang Idin di kali Pesanggrahan. Berkaryalah dengan kesadaran lingkungan yang tinggi dan bermanfaat, jangan hanya bertanya dan protes, cari solusi dan lakukan. (Eka Kartika)
Pemimpin Umum/ Penanggung Jawab: Nurcahyo Triatmojo
Pemimpin Redaksi: Eka Kartika
Editor: Maria Natasha, Ridwan Sobar, Dian Ihsan Siregar
Staf Redaksi: Sherly Febrina, Nanda Fitri
Tata Letak: Bayu Adji P
Alamat Redaksi: Jl. Raya Lenteng Agung No. 32, Jakarta Selatan
E-mail: buletin.kinasih@yahoo.com
Blog:
bulletinkinasih.blogspot.com
Twitter:
@TeaterKinasih
KLIMAKS
Buah dari Pohon Beton
"..cangkul, cangkul, cangkul yang dalam.. menanam jagung di kebun kita.." Seperti itulah lirik lagu Menanam Jagung karya Ibu Sud, yang menunjukkan semangat kegembiraan anak-anak bermain di ladang. Budaya menanam sebenarnya telah diajarkan sejak masa kanak-kanak oleh para orang tua. Secara implisit, lagu tersebut mengatakan bahwa tanam-menanam adalah budaya bangsa Indonesia. Jika ditelusuri secara historis, Indonesia memang merupakan negara agraris. Negara yang diberikan karunia melimpah dalam bumi maupun lautnya. Nenek moyang bangsa ini adalah petani dan pelaut, yang memperoleh makanan dengan memanfaatkan kekayaan alam tanah air nusantara. Hampir seluruh tanah di Indonesia dapat ditanami padi, jagung, ubi, dan bahan pangan lainnya. Hal tersebut membuktikan bahwa negeri ini memiliki tanah yang subur.
KLIMAKS Pada umumnya, negeri yang memiliki tanah subur dapat memenuhi bahan pangan untuk penduduknya. Namun di Indonesia, hal tersebut tak lagi berlaku. Jangankan mengekspor bahan pangan, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja tak mampu. Terlihat jelas kontradiksi yang terjadi dalam keadaan bangsa Indonesia saat ini. Tanah yang kaya dan subur, bahkan sempat dijuluki “surga dunia”, telah menjelma menjadi ladang industri penguasa. Bangsa yang besar karena sumber daya alam yang berlimpah telah berubah menjadi bangsa yang menghasilkan asap pekat dari setiap kota. Asap pekat yeng semakin hari semakin membuat negeri menjadi kelabu. Cerita-cerita orang tua selalu mengatakan bahwa tanah kita adalah “tanah surga”, hanyalah tinggal cerita. “Tanah surga” tak lagi dapat dirasakan saat ini. Tanah yang digunakan untuk menanam pohon beralih fungsi untuk menanam beton, lahan pertanian menjadi kering. Sementara impor bahan pangan terus dilakukan dan perlahan mematikan para petani lokal. Indonesia saat ini dikuasai oleh kaum kapitalis, yang hanya memikirkan keuntungan semata. Ladang pertanian terus tergerus oleh pabrikpabrik industri yang menghasilkan uang lebih menjanjikan. Para petani lokal semakin teralienasi akibat produk-produk impor yang merajalela di pasaran, belum lagi harga pupuk dan benih semakin terasa mencekik. Mereka seperti tak dihargai, atau mungkin dianggap tak dibutuhkan oleh masyarakat kelas atas. Kehidupan para petani sudah tak dipedulikan lagi. Akhirnya, petani menjadi profesi yang tak lagi populer. Imbasnya, tak ada pemuda yang ingin menjadi petani. Mereka lebih senang menjadi domba-domba industri yang lebih menjajikan uang, jaminan kesehatan, bahkan sampai dana pensiun. Berbanding terbalik dengan kondisi para petani yang semakin hari semakin menderita. Sudah tak ada lagi orang yang mau pergi ke ladang untuk menanam padi. Bahan pangan impor yang kian menjelajah pasar dalam negeri menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa konsumtif. Bangsa ini telah kehilangan kemampuan untuk mencipta. Hingga pada saatnya tiba, Indonesia hanya tinggal sebuah nama. (BuKin/BAP)
SOSOK
Jawara Lingkungan dari Tanah Betawi
“Alam ini bukan warisan nenek moyang. Tetapi, titipan untuk anak cucu kita.� Ungkapan itu ada di sebuah plang yang ditancapkan di sebatang pohon di tengah jalan masuk menuju Pos 1, salah satu pos pengawasan Sungai Pesanggrahan, Jakarta Barat. Di kawasan itulah kita bisa menemui Haji Chaerudin alias Bang Idin. Bang Idin telah lama aktif merevitalisasi Kali Pesanggrahan dan menghijaukan kawasan sekitarnya. Berawal dari kenangan masa kecilnya ketika ia dengan mudahnya memancing ikan di Kali Pesanggrahan, ditemani dengan kicauan burung dan suara aneka satwa lain. Ia menemukan bahwa kondisi di akhir 1980-an sangatlah jauh berbeda. Sampah bertebaran sepanjang bantaran yang tandus dengan air kali yang kehitaman. Di tahun 1989 ia mencoba mencari tahu apa saja yang masih tersisa di sepanjang aliran kali. Hasilnya adalah sebuah tekad yang sederhana namun sekeras goloknya. “Mengembalikan Kali Pesanggrahan menjadi seperti dulu lagi�. Tekadnya memang sederhana, namun menyimpan hal besar yang tak mudah dilakukan. Langkah ini ternyata tidak mudah. Berkali-kali ia bersitegang dengan orang-orang yang sering
SOSOK membuang sampah sembarangan. Terutama pemilik rumah yang membangun tembok tinggi di bantaran. Namun ia tak lantas menggunakan kekerasan untuk menyadarkan “orang gedongan” yang beranggapan bahwa mereka telah membeli tanah hingga ke tepi sungai. Lelaki kelahiran 13 April 1956 ini pun mengumpulkan sampah-sampah ke dalam kantong plastik lalu digantungkan di pagar depan rumah orang-orang itu. Bang Idin lalu mengajak tetangganya untuk turut serta. Petani yang berjumlah 17 orang kemudian membentuk kelompok Bambu Kuning (KLTH Sangga Buana) dan ikut serta dalam barisan Bang Idin untuk berjuang. Lambat laun, kesadaran juraganjuragan tanah yang membangun pagar beton tinggi hingga ke bantaran kali mulai tumbuh. Mereka menyadari juga perlunya penghijauan di bantaran. Maka sejak tahun 1998, secara bertahap mereka merelakan pagar-pagar mereka dibongkar. Kini area seluas 40 hektar, membentang sepanjang tepian Kali Pesanggrahan, menjadi hijau. Bahkan burung cakakak yang bersarang di tanah dan sudah jarang ditemui di wilayah lain di Jakarta, kini juga bisa ditemukan. Secara berkala, KTLH Sangga Buana melepaskan bibit-bibit ikan yang dibudidayakan di tambak-tambak ke dalam kali Pesanggrahan. Upaya yang dilakukan telah berhasil mengangkat kesejahteraan petani di sekitar kali pesanggrahan. Mereka bisa memasarkan hasil kebun sayuran maupun pohon-pohon produktif lainnya. Kini, bantaran kali Pesanggrahan menjadi hutan wisata gratis yang boleh dikunjungi setiap orang. Uniknya, setiap pengunjung akan diajak menanam pohon atau menebar benih ikan di kali. Mereka tidak dilarang memancing atau mengambil hasil hutan, asalkan tidak merusaknya. Beberapa rombongan expatriate dari Jerman, Inggris, Perancis, Australia, Belanda hingga Jepang pun ikut merasakan keasrian daerah ini. Tercatat sekitar 4000 orang datang berkunjung tiap tahunnya. Berbagai penghargaan telah diperoleh Bang Idin dan kelompoknya. Seperti: Kalpataru pada tahun 2010, Penghargaan Penyelamatan Air Sedunia di tahun 2002, dan banyak lagi piagam penghargaan dari Abu Dhabi, pemerintah Jerman, dan pemerintah Belanda. Saat ini, Bang Idin sedang menularkan ilmunya di bantaran kali Ciliwung. Diharapkan pola yang sama bisa digunakan untuk “memerdekakan” bantaran-bantaran sungai yang lain di ibukota dari “penjajahan” sampah maupun kerusakan lingkungan, akibat kelalaian manusia. Meski hanya mengenyam pendidikan hingga kelas dua SMP, namun aktifitas bang Idin akan sanggup membuat malu orang-orang berpendidikan tinggi, bahkan aktifis anggota perhimpunan mahasiswa pecinta alam sekalipun. (BuKin/SFI)
VOKAL
Tanaman Semakin Layu
Budaya menanam adalah identitas bangsa Indonesia. Dikaruniai tanah yang subur, dengan air dan mineral yang melimpah, membuat tanah Indonesia bisa ditanami hampir seluruh jenis tanaman yang berguna bagi manusia. Sosok yang berjasa memaksimalkan hal itu tidak lain adalah petani.
Dari zaman kerajaan di Indonesia, tanah dan laut menjadi prioritas utama dalam kemakmuran kerajaannya. Sejarah mencatat, dari situlah tercipta barometer kemakmuran bangsa. Bukannya ingin terus berkaca pada masa lalu tetapi itulah fakta kekayaan Indonesia. Lebih dari semuanya, identitas itu melahirkan karakter bangsa yang bersemangat, sabar, santun, dan cinta alam. Menanam tidak semata–mata pekerjaan demi menghidupi keluarga tetapi juga membangun pribadi yang arif dan bersahaja. Hidup di dunia memang ditentukan oleh pelaku hidup itu sendiri. Berkembangnya zaman membuat terlahirnya hal–hal baru dan menggeser hal–hal lama yang menjadi dasar. Industri disukai masyarakat karena memudahkan dan menguntungkan mereka. Materialisme berperan penting dalam mengikis semangat kerja agraris. Masyarakat berlomba menaikkan kelas sosial dan membuat citra dengan hal modern. Mengkontaminasi identitas yang kini berprioritas pada lembaran bernominal. Semuanya serba instan dan mudah, memanjakan bangsa karena menuhankan benda fisik yang sifatnya sementara. Nilai–nilai kearifan yang sudah ditanam dengan subur oleh para pendahulu menjadi kering dan layu. Kemana perginya semangat yang bersahaja? (BuKin/NTA)
SPOTLIGHT
Bercerita dalam Tulisan
Menulis adalah karya budaya manusia. Baik itu karya sastra atau karya ilmiah. Apalagi sebagai akademisi yang objeknya karya tulis (khususnya jurusan jurnalistik), menulis adalah makanan sehari–hari. Dalam ilmu teater pun karya tulis merupakan satu kesatuan dalam pementasan, yang terdapat dalam naskah drama. Penulisan naskah drama memang sesuatu yang kompleks karena isinya merupakan refleksi dari kehidupan manusia. Tetapi, dari situ pula kita bisa tahu darimana dan bagaimana menulis dan terus berlatih menulis. Ada hal dasar yang perlu diperhatikan dalam menulis naskah drama. Pertama adalah tema. Kedua adalah tokoh yang biasanya terdiri dari tokoh-tokoh berkarakter baik dan buruk, karena kehidupan manusia tidak lepas dari hubungan sebab–akibat. Dari hal–hal dasar tersebut lahir kemudian jalan cerita, alur, latar tempat, waktu, dan hal pendukung lainnya. Membuat karya tulis dapat juga diaplikasikan dengan cara mengambil satu tema besar yang ingin kita jadikan permasalahan, ditambah pendapat para narasumber yang pro dan kontra pada permasalahan tersebut, lalu disusun menjadi sebuah kronologi peristiwa didukung penjabaran fakta. Dilihat dari sudut pandang sastra naskah drama, hukum Apa, Siapa, Dimana, Kapan, Mengapa dan Bagaimana atau lebih terkenal dengan istilah What, Who, Where, When, Why, How (5W+1H) mengalami pengembangan. Antara lain what menjadi alur, who menjadi karakter, where menjadi latar, when menjadi kronologi adegan, why menjadi motif, dan how menjadi narasi. Naskah drama pada dasarnya sama dengan karya tulis ilmiah atau laporan jurnalistik, “curhatan” sehari–hari buku harian atau bahkan coretan rumus matematika. Bahkan metode penulisan naskah drama dapat membantu bentuk dan isi tulisan kita lebih mendalam. Maka, goreskan pena dan berceritalah. (BuKin/NTA)
NASKAH
Lambaian Tangan Seorang Menteri Oleh: Ridwan Sobar Hari yang terik seolah membakar kota yang sedang dilanda bencana. Warga mendirikan tenda-tenda darurat yang menampung isteri-isteri dan anak-anak mereka, juga sanak famili yang senasib sepenanggungan. Rumah-rumah mereka tenggelam oleh air yang berwarna abu-abu, kental, kadangkadang muncul gelembung dan bau tengik. Bencana ini sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Hingga akhirnya sang Raja, yang sedikit terusik pemberitaan di media massa, menitahkan seorang menterinya untuk mengunjungi daerah tersebut. Si menteri datang menaiki mobil MercedesBenz C-Class warna hitam metalik dikawal oleh seorang ajudan. Setibanya di sebuah desa yang masih merupakan bagian dari kota yang sedang dilanda bencana, si Menteri disambut dengan haru biru oleh warga. “Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara sekalian.” Si Menteri membuka pidatonya di atas mimbar yang dirubung ratusan orang. “Saya diutus langsung oleh Baginda Raja untuk mengetahui kondisi disini. Saya ingin terjun langsung dan ikut merasaka apa yang kalian rasakan. Mengetahui seberapa besar penderitaan yang kalian alami. Dan setelah saya melihatnya, nurani saya tergugah, Saudara-saudara. Saya berjanji akan mengerahkan seluruh kemampuan saya untuk membantu kalian. Saya berjanji akan melakukan apa saja demi kalian. Sementara itu kalian berdoa dan bersabarlah.” demikian pidato si Menteri dalam setiap kesempatan kunjungan. “Untunglah Baginda Raja mengutus menteri ini ya.” kata seorang. “Iya, tapi kenapa Baginda tidak datang langsung kemari?” sahut yang lain. “Namanya juga Raja, pasti sibuk bukan main.” sahut lainnya lagi. “Ya, untung menteri ini paham betul penderitaan kita.” “Kalau ada pemilu, aku pasti coblos dia.” “Aku juga!” “Aku juga ah.”
NASKAH “Idem, aku ikut.” Mendengar percakapan orang-orang itu, si Menteri yang kupingnya bisa mendengar sampai radius dua kilometer itu langsung mendatanginya.
juga teratasi. Orang-orang terbuai oleh kata-kata si Menteri. Sementara itu di sebuah tenda darurat seorang bocah menangis tersedaksedak. Sudah tiga hari ini ayahnya hilang. Menurut berita yang beredar, dia menghilang sejak mengunjungi tanggul yang dulu merupakan lokasi rumahnya.
“Yah, sebenarnya Baginda Raja tidak benar-benar sibuk. Apalagi ini masalah yang genting. Tabiat Raja memang sedikit pemalas.” tukas si Menteri. “O... jadi begitu.” cerocos mereka “Pake... pulang, Pake....” tangis anak itu. serentak. “Cup-cup-cup... udah jangan nangis. Bapakmu pasti ditemuin, Pak Menteri “Ya, begitu. Saya ini orang yang mudah pasti membantu.” tersentuh. Apalagi melihat rakyat sengsara, saya paling tidak tahan.” Sementara itu, si Menteri sedang sambungnya. makan malam di sebuah restoran mewah. Dia makan begitu lahap. Semua “Tuh kan, Pak Menteri ini memang yang dihidangkan ludes. Perutnya orang yang baik.” bisik seorang pada menggelembung kekenyangan. Seakan semuanya. dia lupa pada penderitaan warga yang sedang tertimpa musibah. Seakan dia “Sejujurnya saya ingin melakukan lupa akan janji manisnya. tindakan secepatnya. Supaya kalian tidak lama-lama begini. Tapi...” “Pak, bagaimana tindakan kita “Tapi kenapa, Pak?” tanya warga selanjutnya?” pertanyaan ajudan itu penasaran. mengagetkan menteri yang sedang lehaleha. “Ya begitu. Saya ini kan hanya menteri. “Tindakan apa?” Setiap tindakan harus menunggu “Itu lho mengenai warga yang kotanya keputusan Raja. Coba kalau saya jadi tenggelam.” Rajanya, pasti akan bisa menolong kalian secepatnya.” “Ya saya ini mesti bagaimana. Saya kan hanya ditugaskan untuk berkunjung dan “Tenang saja,Pak. Besok kalau Bapak lapor saja. Selebihnya urusan nanti. Yang dicalonkan jadi Raja, kami pasti memilih penting mereka suka sama saya.” Bapak.” Percakapan berakhir. Menteri itu tidur “Benar?” tanya menteri meyakinkan. pulas karena kekenyangan. Begitu pula “Pasti, Pak.” jawab warga serentak. ajudannya. Dan besok masih ada satu desa lagi yang harus dikunjungi, diberi Setelah pembicaraan selesai, Pak Menteri pidato, dinasihati, digombali, dan diminta pamit untuk melanjutkan perjalanan ke berdoa dan bersabar. desa lain yang masih bagian dari kota yang sedang dilanda bencana. Nama si Pagi-pagi sekali Pak Menteri sudah Menteri kian tenar. Pidatonya merajalela, rapi. Mengenakan jarik yang paling janjinya kian manis, dan bencana belum bagus. Dadanya terbuka tanpa busana.
NASKAH Kepalanya dihiasi jamangan tropong. Keris ditaruhnya di belakang. Kemudian Mercedes-Benz C-Class melesat ke tujuan terakhir. “Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara sekalian.” Si Menteri membuka pidatonya di atas mimbar yang dirubung ratusan orang. Seperti pidato-pidato sebelumnya, setelah dia menyampaikan maksud dan tujuan, lalu memberi janji masin, diakhiri dengan nasihat supaya warga berdoa dan bersabar. Pada sebuah kesempatan setelah turun dari mimbar, seorang bocah berlari ke arah Pak Menteri sambil terisak. Dia menceritakan kejadian yang menimpa bapaknya. Ketika ditanya ciriciri terakhir dari bapaknya, bocah itu menjawab,”Bapak pakai baju putih, peci hitam dan celana warna coklat, Pak Menteri...”
“Jo...Jo.. coba kamu lihat!” teriak si Menteri antusias. “Ada apa pak?” “Lihat itu, sebelah kanan.”
Terlihat seorang laki-laki memakai baju putih, berpeci hitam dan mengenakan celana coklat. Dia berada di tengah-tengah tanggul yang berisi air berwarna abu-abu, kental, kadang-kadang muncul gelembung dan bau tengik. Hanya sebagian tangan dari orang itu yang terlihat. Dia berusaha Setelah memberi iming-iming akan segera menggerak-gerakkan tangannya. Sesekali mengirim tim khusus untuk mencari bapak kepalanya muncul lalu masuk lagi ke dari anak tersebut akhirnya Pak Menteri dalam genangan. pamit untuk kembali ke kerajaan. Tak lupa dia menyampaikan terima kasih atas Sambil membuka jendela, Pak Menteri sambutan warga yang begitu hangat. melambai pada orang itu sambil berteriak mengucap terima kasih. Mercedes-Benz C-Class berjalan pelan “Benar kan,Jo. Orang-orang disini baik menyusuri titian tanggul raksasa dan ramah. Tuh lihat. Dibela-belain yang terbentang dari ujung ke ujung. sampai begitu hanya untuk melepas Sepanjang jalan orang-orang mengantar kepergianku.” kepergian Menteri dengan melambailambaikan tangan sambil meneriakkan Sambil melambaikan tangannya kembali, namanya. Barisan manusia-manusia si Menteri berteriak,” Terima kasih. itu kian lama kian sedikit. Sedikit dan Kapan-kapan saya tamasya lagi kemari. akhirnya menghilang. Saya sangat tersanjung. Sampai jumpa lagi kawan. Sampai jumpa dilain waktu.” Di dalam mobilnya yang serba mewah itu si Menteri bernafas lega. Dia memandang Kaca jendelapun ditutup rapat-rapat. ke arah luar jendela. Menertawakan Mercedes-Benz C-Class melesat cepat. kebodohan warga yang mau saja dijadikan Secepat kilat yang tak mampu ditangkap kambing congek. oleh penegak hukum.
HALAMAN FOTO
Matahari 1/2 Mati
Sebuah keluarga yang tidak memiliki sosok pemimpin yang dapat dijadikan panutan. Keadaan rumah pun tak lagi kondusif. Kardi (Nurcahyo Tri Atmojo), sebagai yang paling dituakan sepeninggal ayahnya, hanya bisa melantunkan tembang setiap hari tanpa sanggup berbuat sesuatu yang nyata.
Kondisi Warti (Nanda Fitri) semakin lama semakin menjadi tidak waras, sementara Narko (Bayu Adji) kerjaannya hanya berkelahi di sekolah. Kehidupan keluaga tersebut tak kunjung membaik. Sampai pada akhirnya konflik terjadi saat Narko mengalami kecelakaan setelah kabur dari rumah. Semua kacau. Masing-masing anggota keluarga tak ada yang mau disalahkan, sehingga keributan pun tak dapat dihindarkan.
HALAMAN FOTO
Lakon ini dibawakan oleh Teater Kinasih sebagai pementasan cikal. Kritik sosial ditujukan terhadap kondisi negeri ini yang semakin tak terarah. Seperti kapal besar dan membawa banyak harta, namun tak memiliki seorang nahkoda yang dapat menentukan arah. Sehingga bila dibiarkan kapal akan tenggelam menabrak karang atau mungkin dibajak oleh kapal asing.
TENTANG RUPA
Membaca Prasasti
Para pelaku sejarah, khususnya pada zaman kerajaan, banyak mengajarkan cara untuk bertahan hidup kepada bangsa ini melalui ilmunya yang tertulis dalam prasasti. Prasasti bukan hanya sekedar pajangan dalam museum yang tampak berantakan. Dalam prasasti terdapat pengetahuan sejarah tentang kondisi bangsa ini.
Prasasti ialah rekaman rangkaian peristiwa yang terukir pada bebatuan maupun logam. Merupakan peninggalan dari zaman kerajaan. Secara umum, prasasti lebih banyak membahas masalah politik dari pemerintahan yang sedang berlangsung. Pun demikian, ada beberapa prasasti yang secara samar-samar atau gamblang menggambarkan kondisi tanah nusantara yang subur dan sektor pertaniannya yang maju. Dalam Prasasti Kamalagi (821 M) menyebutkan bahwa pemerintahan kerajaan Majapahit membebaskan pajak ladang pertanian. Dalam Prasasti Kamalagyan (1115 M) Raja Airlangga memerintahkan agar sungai Brantas dikendalikan agar tidak meluap ketika musim hujan datang. Lain halnya yang tertulis dalam Prasasti Jiwu (1486), yang mengatur perairan Majapahit secara terorganisir. Hal tersebut cukup menegaskan bahwa sektor pertanian mendapat perhatian besar dari pemerintah. Namun yang terjadi saat ini, ketika tanah nusantara telah merdeka, pajak adalah momok yang menakutkan bagi para petani. Belum lagi harga bibit dan pupuk yang semakin tak masuk akal. Ketika sejarah mengatakan kerajaan Majapahit menjadi besar karena mengandalkan sektor pertanian sebagai kekuatan ekonominya, namun saat ini sektor pertanian hanya dipandang sebelah mata. Tak heran bila kita harus mengimpor bahan-bahan pangan seperti beras dan kedelai dari negara lain. Sungguh ironis, tanah yang dahulu terkenal kuat dari sektor pertanian, saat ini harus membeli bahan-bahan pangan dari negara lain. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya? (BuKin/BAP)
GAYA HIDUP
Nasi Tak Sendirian Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, nasi merupakan makanan pokok yang wajib dikonsumsi setiap hari. Bahkan ada yang bilang kalau belum makan nasi namanya belum makan. Maka tak heran, selalu tak lengkap rasanya makan tanpa nasi. Tapi tahukah kamu kalau makanan pokok lain yang kandungan karbohidratnya tak kalah dengan nasi? Sebagai negara subur yang tanahnya dapat ditumbuhi berbagai macam tanaman pastilah memiliki tanaman yang dapat dijadikan makanan pokok. Namun belum semua rakyat Indonesia mengetahui tanaman apa saja selain nasi yang dapat dijadikan makanan pokok.
Ubi Jalar Dalam beberapa tahun terakhir ini ada gerakan kecil untuk mengenalkan ubi jalar sebagai pilihan makanan pokok selain beras. Setidaknya dapat dikonsumsi sebagai selingan agar tidak hanya mengandalkan beras. Secara nilai kecukupan gizi, karbohidrat pada ubi jalar dapat menggantikan beras. Selain itu juga mengandung sejumlah vitamin dan DHEA (Dihydroepiandrosterone) yang dipercayai sebagai induk hormon yang penting.
GAYA HIDUP Indonesia memiliki beberapa jenis ubi jalar. Semuanya memiliki kandungan gizi yang sama. Kelebihan ubi jalar adalah harganya relatif rendah dibanding beras, lebih mudah dibudidayakan dan cepat panen. Manfaat lain ubi jalar adalah kandungan seratnya yang tinggi. Daunnya pun dapat diolah menjadi sayur. Kejelian pemerintah untuk mengajak masyarakat memilih ubi jalar sebagai makanan pokok alternatif mengurangi resiko kekurangan bahan pangan dan gizi. Hendaknya sejumlah kelebihan tanaman yang bernama ipomoea batatas ini bisa lebih dimasyarakatkan. Sebagai negara maju Jepang telah banyak memanfaatkan ubi jalar sebagai bahan makanan yang bernilai gizi tinggi dan ekonomis.
Namun ternyata pohon sagu tidak melulu hidup di tanah Papua atau Maluku. Pohon yang mirip enau ini dapat kita jumpai di daerah lain di Indonesia. Ia berpotensi sebagai diversifikasi pangan. Sagu adalah tepung yang diperoleh dari pemrosesan teras batang rumbia atau pohon sagu (Metroxylon sago). Tepung sagu memiliki karakteristik fisik yang mirip dengan tepung tapioka. Dalam resep masakan, tepung sagu yang relatif sulit diperoleh sering diganti dengan tepung tapioka sehingga namanya acap kali dipertukarkan, meskipun kedua tepung ini berbeda.
Sagu dapat diolah menjadi papeda, semacam bubur, atau dalam bentukbentuk lain. Sagu sendiri dijual sebagai tepung curah maupun yang Jagung dipadatkan dan dikemas dengan daun Tanaman yang memiliki nama latin pisang. Selain itu, saat ini tepung sagu Zea Mays ini mengandung anti- juga diolah menjadi mie dan mutiara. oksidan dan kaya akan betacaroten yang merupakan pembentuk vitamin Sebagai sumber karbohidrat, sagu A. Harganya relatif lebih murah memiliki keunikan karena tumbuh dibandingkan dengan beras, namun di daerah rawa-rawa (habitat alami nilai gizinya tak kalah baik. Selain rumbia). Kondisi ini memiliki itu jagung merupakan sumber asam keuntungan ekologis tersendiri, lemak esensial linolenat yang penting walaupun secara ekonomis kurang untuk pertumbuhan dan kesehatan menguntungkan yaitu menyulitkan kulit serta kaya akan serat. Saat ini distribusi. jagung menjadi makanan pokok warga Madura dan Nusa Tenggara. Itulah beberapa tanaman lain yang dapat dikonsumsi sebagai makanan Sagu pokok selain nasi. (BuKin/SFI/Dari Kita mengenal sagu adalah makanan berbagai sumber) pokok orang Maluku dan Papua.
NUSANTARA
Syukuran Panen ala Suku Sunda
Indonesia terkenal dengan beragam budaya yang dipunya. Hal ini dikarenakan maraknya faham animisme dan dinamisme pada masa pra-Hindu. Faham-faham tersebut melekat secara turun-temurun menjadi tradisi. Sebagai bukti, banyak upacara adat dilakukan sebagai bentuk syukur terhadap Sang Pencipta dan para dewa-dewi. Salah satu upacara adat yang masih bertahan hingga sekarang adalah upacara syukuran atas hasil panen yang baik dan melimpah. Di Jawa Barat, tepatnya suku Sunda,
syukuran atas hasil panen disebut Seren Taun. Seren taun berasal dari bahasa sunda, seren berarti menyerahkan dan taun berarti tahun. Makna dari seren taun adalah bersyukur kepada Tuhan YME atas keberkahan hasil panen padi selama satu tahun dan berharap hasil panen yang lebih baik tahun depan. Upacara seren taun terbagi menjadi dua. Perayaan yang dilaksanakan setiap tahun disebut Seren Taun Guru Bumi dan yang dilaksanakan setiap sewindu disebut Seren Taun Tutug
NUSANTARA Galur. Upacara ini ditujukan kepada Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepecayaan Sunda Kuno.
angka 22 yang merupakan gabungan dari angka 20 dan 2 memiliki arti jumlah padi yang akan ditumbuk yaitu 22 kwintal. 20 kwintal untuk dibagikan Kegiatan seren taun berlangsung kepada masyarakat dan 2 kwintal sejak masa Kerajaan Pajajaran untuk disimpan sebagai benih. Selain dan sempat terhenti pada 1970. itu, angka 20 juga melambangkan Kemudian di tahun 2006 Desa Adat unsur anatomi manusia. 20 unsur Sindang Barang Pasir Eurih, Bogor anatomi tersebut adalah darah, menghidupkan kembali tradisi ini daging, bulu, kuku, rambut, kulit, urat, sebagai upaya melestarikan budaya otak, paru, hati, limpa, mamaras atau Sunda. maras, empedu, tulang, sumsum, lemak, lambung, usus, ginjal dan Masyarakat Sunda melaksanakan jantung. ritual tersebut pada tanggal 18 sampai tanggal 22 Rayagung yaitu bulan Kesenian-kesenian daerah turut terakhir pada penanggalan Sunda. meramaikan upacara seren taun Diawali dengan upacara ngajayak tersebut. Gelaran budaya Damar yang berarti menjemput padi lalu Sewu, tari Buyung, Pesta Dadung, diakhiri dengan upacara penumbukan upacara Ngamemerokeun, kesenian padi di tanggal 22. Pemilihan angka Tarawangsa, tari spiritual Pwah Aci, 18 dan 22 bukan tanpa alasan. Dalam merupakan serangkaian kegiatan bahasa sunda 18 diucapkan “dalapan dalam ritual itu. Akhirnya Syukuran welas� yang berarti welas asih dan panen ala suku Sunda ditutup dengan cinta kasih Tuhan YME terhadap kesenian Seribu Kentongan. (BuKin/ seluruh makhluknya. Sedangkan NFS)
ANGKRINGAN
Negeri Agraris yang Mulai Habis Kenalkan. Namaku Suman. Imigran dari New Yorkarto Hadiningrat (dibaca: Yogyakarta) yang hijrah ke ibukota sejak lima tahun silam. Mengikuti tradisi migrasi lebaran yang entah dimulai sejak era presiden siapa, tahun ini saya pun pulang kampung. Alasannya klise, kangen kampung halaman. Barangkali alasan serupa juga dipakai sebagian besar pemudik. Mungkin sekali alasan itu hanya dibikin-bikin. Karena kalau mau jujur, sebenarnya kita sudah muak bin jengah dengan suasana Jakarta yang makin amburadul. Selama di kampung halaman, saya mengunjungi para tetangga. Dan selama itu pula, setelah acara ramah tamah dan basa-basi, saya hanya diperdengarkan cerita yang isinya keluh kesah semua. Mayoritas warga kampung saya adalah petani. Keluhannya pun tidak jauh-jauh dari harga bibit dan pupuk yang meroket, air irigasi yang tercemar limbah buangan pabrik, sampai yang membuat saya mengelus dada adalah makin menciutnya area pertanian karena dibangun mall-mall bertingkat, pusat pertokoan dan apartemen. Niat pulang kampung mau refreshing, e.... ketemu masalah serupa seperti yang terjadi di Jakarta. Wedus! Kalau dulu ada istilah ABRI masuk desa, barangkali sekarang jadi beton merambah desa. Jalan-jalan diaspal, lahan pertanian beralih fungsi menjadi
ANGKRINGAN mall-mall pencakar langit, tanah semua dicor, hutan digunduli. Kalau sudah banjir baru main salah-salahan. Iya tho! Mampir ke rumah Mbah Jarwo, sesepuh kampung, saya cuma bisa geleng-geleng waktu diperlihatkan data yang menunjukkan bahwa area pertanian di pulau Jawa hanya tersisa 3,5 juta ha. Dengan kata lain, dalam tiga tahun terakhir luas lahan pertanian yang beralih fungsi ke non-pertanian di wilayah Pulau Jawa mencapai 600.000 hektar, atau ratarata 200.000 hektar setiap tahunnya. Hutan Indonesia juga rusak 3,8 juta hektar setiap tahunnya.
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta naik kereta, tiba-tiba lamunanku terusik mendengar Popskii, keponakanku, menyanyikan lagu Lihat Kebunku yang dipelesetkan liriknya menjadi: Lihat negeriku Penuh dengan beton Ada yang dicor dan juga diaspal Setiap hari Diperluas terus Tanah dan hutan semuanya ludes “Kok liriknya diganti gitu tho, Pop?” tanyaku kesal.
”Yaah si Om. Sekarang faktanya kan gitu. Kita kan harus realistis dan “Kalau keadaannya begini terus, 10 ngikutin perkembangan zaman.” tahun lagi bisa-bisa lahan tani sudah jawabnya enteng. ludes, area terbuka ndak ada lagi. Tanah ndak lagi dihormati sebagai Setiap lagu tentu ada maknanya sumber kehidupan.” Tutur Simbah sendiri. Yang secara tidak langsung sinis. menyampaikan pesan bagi pendengarnya. Dalam salah satu bait Lain lagi komentar Sal, teman lagu Indonesia Raya tertulis dengan saya yang bekerja di BPN (Badan sangat jelas, “Hiduplah tanahku Pertanahan Nasional), ”Nih ya, dulu / Hiduplah negeriku / Bangsaku Indonesia terkenal sebagai negara Rakyatku semuanya...” agraris, sekarang bullshit semua. Semua kebutuhan pokok bakal impor. Bukankah itu merupakan petunjuk Kalau kita liat rencana pembangunan yang nyata bagi negeri ini. Bila Indonesia kedepan bisa-bisa nantinya tanahnya hidup, maka hidup pula area yang nggak tertutup aspal dan negerinya, bangsanya, juga rakyatnya. cor cuma kuburan doang. Udah gitu (BuKin/RAS) sewa tanah kuburannya mahal gila.”
RUANG TAMU
Having Sex With You di Abad 21 Oleh Pry S Pry
Lupakan demokrasi. Buang jauh-jauh dulu itu definisi globalisasi, terminologi hukum internasional, kesenjangan Dunia Ketiga, serta tetek bengek lipstik ideologi dunia berserta kemajuan teknologi mutakhir yang terus memesonakan kita. Karena apa yang tertulis di sini jauh mundur melampaui itu semua. Rahasia peradaban yang menggerakkan semua orangtua di segala zaman untuk menikah, berketurunan dan melahirkan. Rahasia yang juga menjadi penyebab sekaligus alasan kita mengada, hidup dan tumbuh dewasa seperti sekarang. Rahasia S E K S
RUANG TAMU Foreplay Kegiatan seksual sudah terjadi sejak manusia prasejarah belum mengenal apa yang disebut diferensiasi seksual, hingga di abad teknologi informasi belakangan ini manusia pasca modern.
kelamin, mereka melakukannya sesama jenis. Bahkan beberapa spesies primitif diduga juga mencoba berkelamin dengan batu, pohon, jamur dan spesies lain yang dijumpainya.
Tapi, itu semua tidak efektif. Karena jelas bahwa hanya mereka yang Seks bahkan menjadi ritual jauh diwarisi ketajaman penginderaan, sebelum agama menciptakan konsep naluri dan kecerdasan genetika saja pernikahan dan monogami, seks juga yang bisa survive. dipercaya mampu membangkitkan jalan mencapai Tuhan; Oidos; Spirit; Mereka mulai menggunakan Sang Transenden; atau dalam simbol ketajaman inderanya untuk mencari matematika tak berhingga (~) sebagai pasangan kawin, salah satunya lewat Dia Yang Tidak Diketahui. penciuman. Proses ini membuat kita paham ada makna indah di baliknya; Oral hubungan seks di masa primitif Agak lama berselang setelahnya, kisah itu membuat manusia prasejarah kehidupan awal di bumi pun sedikit berhasil selamat dari seleksi alam dan lebih tinggi sampai keanekaragaman kepunahan, untuk kemudian berubah hayati pertama bersel satu merebak lagi seturut waktu dan mewariskan dan bakteri mulai melimpah ruah. gen yang lebih sempurna bagi anak cucunya kelak. Lewat proses yang kompleks, dari mata rantai perubahan seturut waktu Menuju Orgasme memungkinkan klimaks itu datang Semuanya ini baru spekulasi. Kita sektar satu juta tahun yang lalu: cikal belum punya banyak data yang bakal manusia lahir, yakni manusia mampu melaporkan secara akurat prasejarah paling campin menyebar bagaimana kegiatan seks terjadi di dan lolos dari seleksi kekuatan alam masa prasejarah. (bukan lewat kesadaran, karena rasio belum muncul saat itu) dari segala Sebab di bagian inilah kita mulai bentuk kehidupan pada masanya. mengira-ngira kemunculan mahluk berpikir pertama (Homo Sapiens?) Intercourse yang banyak disebut-sebut dalam Hubungan seks merupakan dorongan kitab suci sebagai Adam; ialah alamiah untuk bisa survive, yang manusia prasejarah yang menjelma dilakukan secara acak. Ketika mereka jadi manusia modern sejak ‘memakan belum mampu membedakan jenis buah pengetahuan’ dan terlempar
RUANG TAMU
menyadari eksistensinya di dunia untuk pertama kalinya. Orgasme Perkembangan sains telah sampai pada spekulasi bahwa kegiatan seksual manusia prasejarah dilakukan bukan atas dasar motif tertentu si pelakunya. Kegiatan seksual pada masa itu lebih didasari motif penggandaan genetika bukan demi kemanusiaan, tapi demi kepentingan gen itu sendiri: menggandakan diri sebanyak mungkin. Manusia primitif dengan gen yang berhasil mengatasi ganasnya alam, dan campin menggandakan diri akan mampu bertahan, sementara mahluk lain yang tak mampu beradaptasi akan punah begitu saja. Orgasme Kedua Kita tak bisa memungkiri bahwa Adam sebagai mahluk berpikir pertama telah melakukan hubungan seksnya (bersama Hawa?). Sejak saat itu pula Adam dan Hawa menghasilkan banyak keturunan lelaki dengan sperma yang kecil, serta banyak keturunan perempuan dengan sel telur. Afterplay Inilah hebatnya manusia modern yang tak hanya memaknai seks sebagai wahana penganda paling efektif, tapi juga sebagai cara manusia meningkatkan kualitas hidup, menemukan cinta di binar mata pasangannya, sambil merancang agenda bersama di masa depan.
RESENSI
Tanah Surga …Katanya Bukan lautan hanya kolam susu katanya/Tapi kata kakekku hanya orang kaya yang minum susu/Tiada badai tiada topan yang kautemui/ kail dan jala cukup menghidupimu/Tapi kata kakekku ikannya diambil negara asing/ ikan dan udang menghampiri dirimu ..katanya/Tapi kata kakek ku “hussh.. ada udang di balik batu”/ Orang bilang tanah kita tanah surga ..katanya/Tapi kata dokter Intel yang punya surga hanya pejabat-pejabat…
(Ence Bagus), yang memilih menjadi warga negara Malaysia atau tetap bertahan bersama kakeknya, Hasyim (Fuad Idris), di tanah kelahirannya dalam kondisi apapun.
“Tanah Surga …katanya” menggambarkan realita yang terjadi di perbatasan Kalimantan dan Serawak. Film yang disutradarai oleh Herwin Novianto memang penuh dengan kritik sosial. Diharapkan film ini dapat membangkitkan rasa nasionalisme dan Penggalan puisi di atas adalah sebuah membuka mata para pemimpin dengan pesan dari film besutan Herwin realita yang ada. (BuKin/BAP) Novianto dan diproduseri oleh Deddy Mizwar bersama Gatot Brajamusti yang berjudul “Tanah Surga … katanya”. Deddy Mizwar mengakui film tersebut terinspirasi dari salah satu lagu Koes Plus yang berjudul Kolam Susu. Deddy mengatakan bahwa di perbatasan, Kalimantan Barat dan Serawak, Malaysia, lagu Koes Plus tersebut seperti lagu wajib masyarakat di sana. Sebaliknya, lagu kebangsaan Indonesia Raya nyaris tidak dikenal. Dari situlah film ini muncul. Ini cerita tentang anak-anak bangsa yang hidup di “Tanah Surga”, tetapi tetap miskin terlantar. Di saat itulah konflik muncul. Terjadi perasaan dilema dalam diri Salman antara mengikuti jejak ayahnya, Harris