Edisi VI | 24 Halaman
LENSA KINASIH
Berbagi Kasih dengan Anak-Anak Salam Budaya! Anak sebagai generasi penerus, jantung dunia dan harapan bangsa hendaknya diberi perhatian khusus mengenai kesejahteraan, pendidikan dan tumbuh kembangnya. Apakah kita yang telah meninggalkan masa kanak-kanak masih perduli dengan masa depan anak negeri? peduli dengan anakanak yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengan kita? Sikap apa yang harus diambil ketika bertemu dengan anak-anak yang dibesarkan tanpa asuhan orang tua? anak-anak yang harus bekerja dan mengorbankan usia sekolahnya demi mencari sesuap nasi, anak jalanan yang terbuang bahkan menjadi brutal karena kondisi ketidak tahuan mereka tentang bagaimana seharusnya berlaku dan bersikap. Memberi uang recehan betul-betul bukan solusi untuk masa depan anak-anak yang terbuang, menunjukan rasa iba dan kasihan dengan lembar-lembar uang justru menunjukan ketidakperdulian akan nasib mereka dan menciptakan generasi malas peminta-minta . Mereka akan tambah malas dan menjamur bahkan menjadi bahan eksploitasi oknum-oknum tertentu yang mengambil keuntungan. Siapapun kita, berikanlah yang terbaik untuk mereka. Seni yang baik, budaya yang baik, pelajaran yang baik, hiburan yang baik, emosi yang baik, lingkungan yang baik, apapun yang kita punya berikanlah yang terbaik ntuk anak-anak bangsa, generasi penerus. Selamat Hari anak sedunia! (Eka Kartika)
Pemimpin Umum/ Penanggung Jawab: Nurcahyo Triatmojo
Pemimpin Redaksi: Eka Kartika
Editor: Maria Natasha, Ridwan Sobar, Dian Ihsan Siregar
Staf Redaksi: Sherly Febrina, Nanda Fitri
Tata Letak: Bayu Adji P
Alamat Redaksi: Jl. Raya Lenteng Agung No. 32, Jakarta Selatan
E-mail: buletin.kinasih@yahoo.com
Blog:
bulletinkinasih.blogspot.com
Twitter:
@TeaterKinasih
KLIMAKS
Generasi Prihatin
"Anak-anak adalah sumber daya dunia yang paling bernilai, dan mereka harapan terbaik untuk masa depan." John F Kennedy, Presiden Amerika ke-35 (19171963). Sejenak merenungkan kutipan tersebut, muncul keprihatinan pada pergaulan anak zaman sekarang. Mengingat 10 tahun silam, kebahagiaan tersirat lewat tawa di raut muka anak-anak yang sedang sibuk bermain di terik matahari yang mengintip dari balik dedaunan pohon sawo yang lebat. Biasanya mereka main permainan singkong, petak umpet, petak jongkok, asin, dan lain sebagainya, tergantung permainan apa yang sedang trend saat itu. Menjelang senja, mereka pun bergegas ke lapangan, tepatnya lahan kosong tak terpakai untuk bermain sepak bola, layang-layang, atau sekedar bercanda dengan teman yang lainnya. Lalu saat malam menjelang libur sekolah tiba, mereka cabut pohon singkong dan mebakar umbinya lalu
KLIMAKS dinikmati bersama, dengan kehangatan persahabatan dan senda gurau. Lalu kita lihat pergaulan anak zaman sekarang, mereka menjalaninya dibayangi oleh teknologi tinggi seperti internet. Dampak dari kemajuan teknologi positif dan negatifnya memang sangat merubah perilaku setiap manusia, tak terkecuali mereka yang masih belia. Kemajuan teknologi tak dapat dijadikan kambing hitam dalam persoalan hilangnya kebudayaan bangsa. Setiap manusia perlu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi agar tidak tertinggal. Namun budaya interaksi di dunia maya seakan telah membuat generasi saat ini menjadi anti sosial di dunia nyata. Hal yang membuat keprihatinan muncul terhadap generasi sekarang adalah mereka sudah tidak punya lagi arena bermain yang nyata. Jika kita telaah penyebab anak usia belia kecanduan dunia maya adalah karena kurangnya lahan untuk menjadi tempat mereka bermain di dunia nyata. Lahan kosong yang dahulu menjadi tempat bermain, kini telah menjadi sejejer rumah kontrakan yang lebih menjanjikan uang. Saat ini banyak taman bermain yang telah dibuat oleh pemerintah tetapi tidak dirawat oleh warga sekitar. Sehingga banyak pihak yang menjadikan arena bermain untuk anak atau taman-taman sebagai tempat “mesum� atau menjadi tempat nongkrong preman-preman pasar. Dengan keadaan yang seperti ini, anak-anak pun lebih memilih warnet dan rental Play Station (PS) sebagai arena bermain mereka daripada harus bermain di taman. Dalam posisi seperti ini, anak-anak memang tak punya pilihan untuk bermain. Tidak sama seperti Jakarta 10-15 tahun yang lalu. Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghargai sejarahnya, tetapi juga bangsa yang memperhatikan generasi mendatang. Secara mitos, manusia yang masa kecilnya tidak bahagia atau kurang bermain, maka saat dewasa dia akan cenderung lebih suka bermain-main dalam melakukan pekerjaannya. Jika demikian suatu saat bangsa ini akan dipimpin dengan main-main oleh manusia yang masa kecilnya tidak bahagia. Kita sebagai orang yang pernah mengalami masa kecil yang indah seharusnya dapat mewariskan masa indah itu pada generasi anak-anak saat ini. Dengan cara apapun, tugas kita saat ini adalah membuat dan mempertahankan generasi yang peduli akan budaya bangsa yang perlahan menghilang ditindas zaman. (BuKin/BAP)
SOSOK
Sang Kreator Legendaris
Di balik beskap hitam, blangkon dan kumis tebalnya, Suyadi, seniman pecinta anak-anak yang lahir di Puger, Jember 28 November 1932 , adalah pendongeng sejati. Pada 1980 hingga 1991, anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini pernah terlibat langsung dalam serial Si Unyil. Dari tangannyalah karakter boneka dari konsep cerita yang ditulis Kurnain Suhardiman(alm) itu melegenda dan terus dicintai hingga saat ini. Mereka berdualah pemberi “nyawa� sehingga Unyil
SOSOK dan kawan-kawannya masih hidup dan dicintai hingga saat ini. Selain menjadi art director, Suyadi menciptakan model bonekanya dan memasukan sejumlah karakter baru seperti Pak Raden, Pak Ogah, Bu Bariah dan lain sebagainya. Pada masa jayanya, serial Si Unyil telah mencapai lebih dari 603 seri film boneka, dan menjadi teman pemirsanya di seluruh Nusantara di setiap Minggu pagi. Suyadi menyelesaikan studi di Fakultas Seni Rupa ITB Bandung (1952-1960) lalu meneruskan belajar animasi di Prancis (1961-1963). Sejak masih menjadi mahasiswa Suyadi sudah menghasilkan sejumlah karya berupa buku cerita anak bergambar dan film pendek animasi. Keistimewaan Suyadi tidak hanya membuat ilustrasi, tapi juga mempunyai kemampuan menulis ceritanya sendiri. Sebagai pendongeng, Suyadi punya ciri khas mendongeng sambil menggambar. Boleh dibilang, dialah pendongeng pertama di Indonesia, atau bahkan di Asia, yang menuturkan kisah dongeng sambil menggambar. Diserang rasa ngilu encoknya yang sering kambuh, Suyadi berkata, “Kalau jarum jam diputar kembali, saya ingin tetap menjadi Suyadi. Tapi pinginnya Suyadi dengan karya yang lebih baik, Suyadi yang bisa lebih banyak berbuat untuk dunia anak-anak, Suyadi yang punya kondisi keuangan yang lebih baik…” katanya berseloroh. Bahkan di usia senjanya kini, Suyadi tetap berkarya. “Tiap hari selalu orat-oret …” candanya suatu hari. Ironisnya, Suyadi saat ini terbentur konflik dengan Perum Produksi Film Negara (PPFN) terkait hak cipta Si Unyil. Hak cipta boneka Unyil adalah masih milik PPFN hingga ia tidak dapat menggunakan karakter-karakter ciptaannya tanpa seijin PPFN. Pihak PPFN yang bersikukuh sebagai pendana dalam penciptaan dan pemublikasi tokoh Unyil dan teman-temannya tidak mencantumkan masa berlaku dalam perjanjian antara Suyadi dengan PPFN pada penandatanganan perjanjian penyerahan pengurusan hak cipta atas boneka Unyil pada 1995. Sehingga secara hukum, perjanjian itu berlangsung selamanya. PPFN pun telah mendaftarkan hak cipta Unyil kepada Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek Departemen Kehakiman. Hal ini juga berarti, Suyadi tidak menerima sepeser pun royalti dar penggunaan karakter Unyil dan temantemannya. Suyadi mengaku memutuskan untuk menyerahkan hak cipta Unyil kepada PPFN dengan alasan pihak PPFN mau menertibkan iklan-iklan yang memakai karakter Unyil. Sutradara Riri Riza menyayangkan kealpaan pemerintah dalam apresiasi terhadap peran budayawan. Sebagaimana disarikan dari tempo.co, ia berujar “Dari kasus itu (konflik Suyadi vs PPFN, red), harusnya ada kesadaran tanggung jawab lebih besar pemerintah untuk membantu seniman dan budayawan yang di masa tuanya berada dalam kondisi tak memadai. Penghargaan itu nantinya menjadi ‘paspor’ agar beliau dapat pelayanan hidup memadai seperti kesehatan atau jaminan pensiun sehingga tak perlu polemik ini terjadi”. (BuKin/SFI)
PANGGUNG
Pojok Onani Dalam Imaji “Berjalan menapaki lorong waktu dalam hujan dan pekatnya sang surya, tanpa adanya penyesalan dalam perjalanan, mereka telah melihat lorong tersebut berdiri dalam pilar yang indah”, begitulah serangkaian kalimat puitis yang mengiringi perjalanan berkarya TeaterI tem ISTN selama 22 tahun berdiri. Judul pementasan teater yang di usung oleh Teater Item kali ini adalah “Pojok Onani Dalam Imaji”, mengibaratkan sebuah bangsa yang dilucuti. Dolar demi dolar telah menutup mata para penguasa dan anakbangsa yang terlena akan janji-janji. Pewaris bangsa seakan ditelanjangi dan tidak dipandang akan nama besarmereka. Saat ini Nusantara telah berubah menjadi bangsa yang tidak menentu, kejayaan masa lalu hanya membuat rakyat terbuai tanpa dapat meneruskan dan melestarikan warisan leluhur. Di panggung nampak seorang kakek tua, yang dahulu berjuang melawan Belanda danJepang untuk merebut kemerdekaan, sampai detik ini dia tetap mencintai bangsa ini dengan setulus hati. Lalu di sekitarnya muncul para pemuda yang lebih bersikap apatis. Mereka hanya bisa mengeluh dan menyesali keadaan yang terjadi dan berharap Negara ini akan kembali seperti sedia kala. Namun akhirnya mereka menyadari bahwa nyatanya Indonesia belum merdeka dari kemiskinan, kelaparan, pembodohan dan perbudakan budaya asing. Puisi-puisi pun dilontarkan para pemuda tersebut, semua berbicara tentang penafsiran yang salahdari kata merdeka. Bahwa sesungguhnya kemerdekaaan jugaberarti bebas untuk belajar segala budaya dari luar, bebas untuk melupakan apa arti Indonesia, bebas merusak warisan bangsa. Sementara itu, karena penafsiran yang salah dari kemerdekaan tersebut, budaya asing terus masuk dan budaya kita perlahan hilang bahkan diambil orang. Harga diri bangsa terusdi injak-injak, tetapi mereka para pemuda hanya diam dan tak peduli, bahkan semakin bangga dengan pembodohan yang ditanamkan kaum kapitalis, semua direlakan hanya untuk dibilang “modern”. Pada intinya, konflik-konflik tersebut yang dipentaskan dalam lakon Pojok Onani Dalam Imaji mengkritisi anak-anak generasi masa kini yang lebih bangga pada budaya luar dari pada budaya bangsa sendiri, terpengaruh untuk mengikuti trend tanpa melestarikan budaya bangsa. Dialog yang digunakan dalam pementasan ini memang seperti puisi-pisi yang saling bersahut-sahutan. Puisi-puisi yang sangat relevan dengan kehidupan bangsa Indonesia, yang telah kehilangan jati dirinya. (BuKin/BAP)
VOKAL
Jalannya Anak, Anak Jalanan
Mereka hidup beratapkan langit. rumah. Mengakhiri hari dengan Rumahnya kolong jembatan. kelelahan melawan kapitalisme. Eksistensinya berada di kolong hati. Berselimutkan dingin malam dan kardus sebagai kasur empuknya. Terjaga mereka dari tidur, bukan karena kicauan burung atau sinar matahari Hak dan kewajiban mereka dirampas hangat, tapi karena kebisingan keadaan. Pendidikan formal berjalan kendaraan bermotor atau genderang di arah berlawanan jalan mereka. lambung atau bahkan pukulan yang Diskriminasi adalah makanan mereka. membuat bekas pada tubuh mereka Keamanan, musuh mereka. Kurusnya untuk mengingatkan setoran hari ini mereka, perut buncitnya para harus lebih baik dari kemarin. pejabat. Terngiang kutipan lagu ”Anak Jalanan” Berjalan mereka di sisi, menunggu dari Alm. Chrisye; “Tiada tempat untuk lampu tiga mata menyalakan mata mengadu. Tempat mencurahkan isi merahnya di persimpangan, dari kalbu. Cinta kasih dari ayah dan ibu. warung makan kaki lima ke warung Hanyalah peri yang palsu.” makan kaki lima lainnya, dari angkutan perkotaan ke bus ke kereta ke mana Mereka anak–anak jalanan yang saja. Berbekal alat musik ciptaan terpinggirkan. UUD yang berbunyi sendiri, memainkan nada – nada “Fakir miskin dan anak–anak terlantar nyanyian demi hidup hari ini, besok, dipelihara oleh negara” terdengar entah sampai kapan. nyaring tanpa isi. Siapa lagi manusia yang peduli terhadap mereka? Dijemput mereka oleh malam, pulang (Bukin/NTA) ke rumah yang tidak bisa disebut
SPOTLIGHT
Teater untuk Anak
Jujur. Polos. Selalu ingin tahu. Itulah karakteristik anak– anak. Mereka juga suka melihat hal–hal baru disekitarnya, kemudin ditiru. Sifat alamiah ini membuat anak memiliki potensi berkesenian, salah satunya teater. Kebanyakan orang melihat teater sebagai suatu pertunjukkan saja, padahal, proses berteater juga banyak memberikan manfaat kepada penggiatnya. Kreativitas, disiplin, tanggung jawab, kepekaan, kerja sama, semuanya terasah yang berujung pada peningkatan kualitas diri. Hal seperti itulah yang manusia butuhkan untuk menjadi manusia yang baik, dan alangkah bijaknya jika hal tersebut ditanamkan sejak usia dini. Bagi anak, bermain teater banyak memberikan manfaat. Anak yang tidak berani berbicara di depan kelas, diasah kemampuannya agar di atas panggung berani disaksikan banyak penonton. Rasa percaya diri ini akan meresap ke dalam pribadi anak dan membawa pengaruh positif dalam kehidupan sehari–harinya. Bermain
SPOTLIGHT teater juga menumbuhkembangkan kemampuan anak dalam bergaul, berimajinasi, daya pikir, daya empati, daya apresiasi, sehingga membuat anak sadar dan peka akan situasi sosial, nilai kebersamaan, nilai tenggang rasa, dan lain sebagainya. Anak juga akan belajar mengambil hikmah dari peran dan lakon yang dimainkannya dengan mengenal sisi baik dan buruknya. Pendekatan seperti ini akan lebih mudah bagi anak untuk memahami karena ia mengalami sendiri melalui perannya. Dari sini anak akan belajar bagaimana hidup sebagai manusia dengan manusia lain secara manusiawi dan dapat hidup seimbang dengan alam. Hal ini yang dimaksud dengan seni teater dapat digunakan mengembangkan “kecerdasan halus” anak. Tetapi, jangan lupa bahwa rasa bahagia adalah hal terpenting dalam proses teater. Seperti yang diungkapkan oleh Jose Rizal Manua, pendiri teater anak Teater Tanah Air, “Saya selalu mencoba menghindari intervensi dalam mengeluarkan potensi anak – anak. Tidak ada yang disuruh. Inti bermain teater adalah supaya kepribadian mereka muncul dan terbentuk saat akting”. Bagi orangtua, dan anak yang akan menjadi orangtua, anggapan minor bahwa teater adalah kumpulan anak muda gondrong, perokok, tukang begadang, akan berubah jika teater bisa menunjukkan kualitasnya. Teater adalah tempat belajar, tanpa kurikulum, mengenai kehidupan. Teater itu menyenangkan. (Bukin/NTA)
NASKAH
Tujuh Burung Gagak Oleh: Brothers Grimm
Dahulu, ada seorang laki-laki yang memiliki tujuh orang anak laki-laki, dan laki-laki tersebut belum memiliki anak perempuan yang lama diidam-idamkannya. Seriiring dengan berjalannya waktu, istrinya akhirnya melahirkan seorang anak perempuan. Laki-laki tersebut sangat gembira, tetapi anak perempuan yang baru lahir itu sangat kecil dan sering sakit-sakitan. Seorang tabib memberitahu laki-laki tersebut agar mengambil air yang ada pada suatu sumur dan memandikan anak perempuannya yang sakit-sakitan dengan air dari sumur itu agar anak tersebut memperoleh berkah dan kesehatan yang baik. Sang ayah lalu menyuruh salah seorang anak laki-lakinya untuk mengambil air dari sumur tersebut. Enam orang anak laki-laki lainnya ingin ikut untuk mengambil air dan masingmasing anak laki-laki itu sangat ingin untuk mendapatkan air tersebut terlebih dahulu karena rasa sayangnya terhadap adik perempuan satu-satunya. Ketika mereka tiba di sumur dan semua berusaha untuk mengisi kendi yang diberikan kepada mereka, kendi tersebut jatuh ke dalam sumur. Ketujuh anak laki-laki tersebut hanya terdiam dan tidak tahu harus melakukan apa untuk mengambil kendi yang jatuh, dan tak satupun dari mereka berani untuk pulang kerumahnya. Ayahnya yang menunggu di rumah akhirnya hilang kesabarannya dan berkata, “Mereka pasti lupa karena bermain-main, anak nakal!� Karena takut anak perempuannya bertambah sakit, dia lalu berteriak marah, “Saya berharap anak laki-lakiku semua berubah menjadi burung gagak.� Saat kata itu keluar dari mulutnya, dia mendengar kepakan sayap yang terbang di udara, sang
NASKAH Ayah lalu keluar dan melihat tujuh ekor burung gagak hitam terbang menjauh. Sang Ayah menjadi sangat menyesal karena mengeluarkan kata-kata kutukan dan tidak tahu bagaimana membatalkan kutukan itu. Tetapi walaupun kehilangan tujuh orang anak laki-lakinya, sang Ayah dan Ibu masih mendapatkan penghiburan karena kesehatan anak perempuannya berangsur-angsur membaik dan akhirnya anak perempuan tersebut tumbuh menjadi gadis yang cantik. Gadis itu tidak pernah mengetahui bahwa dia mempunyai tujuh orang kakak laki-laki karena orangtuanya tidak pernah memberitahu dia, sampai suatu hari secara tidak sengaja gadis tersebut mendengar percakapan beberapa orang, “Gadis tersebut memang sangat cantik, tetapi gadis tersebut harus disalahkan karena mengakibatkan nasib buruk pada ketujuh saudaranya.” Gadis tersebut menjadi sangat sedih dan bertanya kepada orangtuanya tentang ketujuh saudaranya. Akhirnya orangtuanya menceritakan semua kejadian yang menimpa ketujuh saudara gadis itu. Sang Gadis menjadi sangat sedih dan bertekad untuk mencari ketujuh saudaranya secara diam-diam. Dia tidak membawa apapun kecuali sebuah cincin kecil milik orangtuanya, sebuah roti untuk menahan lapar dan sedikit air untuk menahan haus. Gadis tersebut berjalan terus, terus sampai ke ujung dunia. Dia menemui matahari, tetapi matahari terlalu panas, lalu dia kemudian menemui bulan, tetapi bulan terlalu dingin, lalu dia menemui bintang-bintang yang ramah kepadanya. Saat bintang fajar muncul, bintang tersebut memberikan dia sebuah tulang ayam dan berkata, “Kamu harus menggunakan tulang ini sebagai kunci untuk membuka gunung yang terbuat dari gelas, disana kamu akan dapat menemukan saudara-saudaramu. Gadis tersebut kemudian mengambil tulang tersebut, menyimpannya dengan hati-hati di pakaiannya dan pergi ke arah gunung yang di tunjuk oleh bintang fajar. Ketika dia telah tiba di gunung tersebut, dia baru sadar bahwa tulang untuk membuka kunci gerbang gunung telah hilang. Karena dia berharap untuk menolong ketujuh saudaranya, maka sang Gadis lalu mengambil sebilah pisau, memotong jari kelingkingnya dan meletakkannya di depan pintu gerbang. Pintu tersebut kemudian terbuka dan sang Gadis dapat masuk kedalam, dimana seorang kerdil menemuinya dan bertanya kepadanya, “Anakku, apa yang kamu cari?” “Saya mencari tujuh saudaraku, tujuh burung gagak,” balas sang Gadis. Orang kerdil tersebut lalu berkata, “Tuanku belum pulang ke rumah, jika kamu ingin menemuinya, silahkan masuk dan kamu boleh menunggunya di sini.” Lalu orang kerdil tersebut menyiapkan makan siang pada tujuh piring kecil untuk ketujuh saudara laki-laki sang Gadis yang telah menjadi burung gagak. Karena lapar, sang Gadis mengambil dan memakan sedikit makanan yang ada pada tiap-tiap piring dan minum sedikit dari tiap-tiap gelas kecil yang ada. Tetapi pada gelas yang terakhir, dia menjatuhkan cincin milik orangtuanya yang dibawa bersamanya. Tiba-tiba dia mendengar kepakan sayap burung di udara, dan saat itu orang kerdil itu berkata, “Sekarang tuanku sudah datang.” Saat ketujuh burung gagak akan mulai makan, mereka menyadari bahwa seseorang telah memakan sedikit makanan dari piring mereka. “Siapa yang telah memakan-makananku, dan meminum minumanku?” kata salah satunya. Saat burung gagak yang terakhir minum dari gelasnya, sebuah cincin masuk ke mulutnya dan ketika burung tersebut memperhatikan cincin tersebut, burung gagak tersebut berkata, “Diberkatilah kita, saudara perempuan kita yang tersayang mungkin ada disini, inilah saatnya kita bisa terbebas dari kutukan.” Sang Gadis yang berdiri di belakang pintu mendengar perkataan mereka, akhirnya maju kedepan dan saat itu pula, ketujuh burung gagak berubah kembali menjadi manusia. Mereka akhirnya berpelukan dan pulang bersama ke rumah mereka dengan bahagia. (Bukin/EK) Sumber: http://www.ceritakecil.com/cerita-dan-dongeng/Tujuh-Burung-Gagak-41
HALAMAN FOTO
Tembang Dolanan
Nini Atih Ninintih, ninintih Gawekna klambi putih Tak uruni lawe putih
Blarak-Blarak Sempal Blarak-blarak sempae Dinciki mendal-mendal Keplere jenange tape Sandhung jekluk jenang dodol Titigung Titigung, titigung Kodhok ngorek, banyu agung Titigung, titigung Kodhok ngorek , benyu agung Saya mentah, saya monte Mangan kupat karo sate Titigung, titigung Dara muluk dhawur panggung Keplokana, sing ngeploki dara menggung Tak makothok Reta montor mlaku dewe
TENTANG RUPA
Ilir-Ilir: Ilustrasi Tembang Dolanan Anak Jawa
Permainan anak-anak tradisional dari masa ke masa selalu berubah sejalan dengan perkembangan zamannya. Dahulu, republik ini sangat kaya akan permainan anak-anak. Setiap daerah memiliki ciri khas permainannya sendiri-sendiri. Namun, saat ini keberadaannya sudah sangat jarang ditemukan. Pengaruh modernisme telah membuat segala hal yang berbau tradisional terkesan kuno, sehingga masyarakat tidak memiliki minat lagi, dan akhirnya ditinggalkan oleh bangsanya sendiri. Sungguh sangat memprihatinkan, padalah itu merupakan warisan kebudayaan yang harus kita lestarikan.
TENTANG RUPA Dalam rangka melestarikan permainan anak tradisional yang saat ini semakin terkikis, Bentara Budaya Yogyakarta mengadakan Pameran Ilustrasi Tembang Dolanan Anak Jawa di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Jakarta Barat, 30 Mei – 3 Juni 2012. Acara itu memamerkan lukisan dan buku ilustrasi tembang dolanan karya seorang seniman dari Bentara Budaya Yogyakarta bernama Hermanu. Bentara Budaya Yogyakarta juga mengumpulkan data-data tentang permainan anak yang berupa ilustrasi dan teks tembang dolanan anak dari berbagai sumber, lalu lalu menyusunnya dalam sebuah buku sebagai kelengkapan pameran. Ilir-ilir dipilih sebagai judul pameran, karena tembang ini sangat unik dibandingkan dengan tembang yang lain. Di antara sekian banyak tembang dolanan anak, ilir-ilir mudah dinyanyikan, sudah memasyarakat, namun juga mempunyai makna yang sangat dalam pada dunia spiritual. Selain itu, tembang ini juga dinyanyikan untuk permainan anak-anak yang berbau magis seperti Sintren, Nini Thowok, dan Lahis yang saat ini sudah langka, bahkan hampir tak ada yang memainkannya lagi. Nilai budaya di sekitar kesosialan dan kebersamaan yang terdapat pada permainan tradisional nampaknya tidak ada dalam games yang dimainkan anak-anak sekarang. Permainan tradisional selalu terjadi dalam kebarsamaan. Anak-anak saling berinteraksi satu sama lain. Namun, games pada saat sekarang ini cenderung dapat dimainkan secara idividual. Hal itu tentu saja akan ikut membentuk kultu,r yang kemudian membuat manusia menjadi individualis bahkan terkesan egois dan sinis terhadap kesosialan serta kebersamaan. Saat ini sulit bagi kita menghayati llagi diri kita sebagai homo ludens (makhluk bermain) yang khas bagi kebudayaan kita. Kita terlalu sibuk untuk menjadi homo economicus (manusia ekonomi) yang selalu mendewakan harta atau keuntungan semata. Mungkin di sinilah letak jawaban, mengapa di zaman global ini kita merasa kehilangan identitas kita sendiri. Pameran Ilustrasi Tembang Dolanan bukan sekedar noltalgia dengan masa lampau. Lebih dari itu, pameran ini mengajak kita untuk kembali melestarikan permainan yang khas kebudayaan kita. (BuKin/BAP)
GAYA HIDUP
Lingkaran Setan pada Anak Oleh: Gilang Ramadhan
“Saya pingin gambar tegar close up! Saya pingin suara tegar! Saya pingin kamu dapat wawancara dia eksklusif!� Saya masih ingat sekali instruksi seorang produser program berita mendalam di salah satu stasiun televisi swasta kepada saya, reporternya ketika itu. Endi Tegar, bocah berusia 8 tahun korban penganiayaan berat asal Madiun, Jawa Timur. Kaki kanannya dibuntungi ayahnya sendiri dengan melindaskannya pada kaki besi kereta lokomotif yang sedang berjalan. Sebagai bawahan tentu saya harus mengikuti perintah atasan, namun sebagai jurnalis saya menyadari akan kode etik dimana “haram hukumya� jika seorang anak berusia dibawah 16 tahun dieksploitasi untuk kepentingan berita (diwawancara, diambil gambarnya, dipublikasikan identitasnya). Lebih jauh sebagai manusia, ada yang menyayat di hati saya ketika memaksa anak sekecil itu kembali mengingat peristiwa naas menyangkut dirinya itu. Idealisme adalah idealisme, pekerjaan adalah pekeraan, dan industri tetaplah industri. Berita tentang perkembangan Tegar si anak malang mendapat simpati tinggi dari masyarakat, meningkatkan share program, melebarkan senyum bangga sang produser. Semua liputan mengenai kekerasan pada anak memang dapat dilihat sebagai perbuatan mulia untuk memperlihatkan nasib miris segelintir anak akibat kebiadaban orangtuanya -dan penonton diharapkan dapat memetik pelajaran- Namun kenyataan lain jika
GAYA HIDUP keuntungan yang terbesar bukanlah kepada nasib anak-anak melainkan lebih demi melicinkan perputaran uang dalam roda usaha si pemilik media merupakan kenaifan yang hina yang perlu disadari! Di dalam televisi mereka dibuat bernyanyi-nyanyi seperti Dewi Persik bernyanyi, berkhotbah-khotbah seperti Ustad Solmed berkhotbah, bersaing-saing seperti para pecundang dewasa bersaing. Kepentingan bisnis yang merupakan ‘dunianya’ orang dewasa jelas lebih bermain disini dibandingkan dengan memberikan kealamian ‘dunia anak-anak’ itu sendiri. Maka jikapun selamat dari ribuan kasus kekerasan yang terjadi, sesungguhnya anakanak belum juga terlepas dari belenggu penghisapannya oleh kepentingan orang dewasa. Lingkaran setan pada anak belum berhenti disini, seperti yang ditulis Kahlil Gibran “anakmu bukanlah anakmu ia adalah putra-putri kehidupan… engkau boleh saja berusaha mengikuti alam mereka tapi jangan harap mereka dapat mengikuti alammu” Alih-alih ‘sayang anak’ orang tua kerap memaksakan pendiriannya, memberikan ketakutannya menjadi ketakutan anaknya. Menginjak fase sekolah anak-anak dikepung, mereka dicetak, dipaksa mentaati tatanan simbol-simbol yang dijadikan sendi kehidupan masa kini, yang orang tua merekapun masih setengah gagap menjalaninya. Semua itu dipaksakan dengan harapan menaikan standar hidup atau ‘kelas’ mereka nantinya dimasyarakat, yang sesungguhnya semua itu adalah standar hidup pilihan si orang tua, belum tentu menjadi pilihan hidup si anak nantinya. Sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, kata Marx. Setiap perjuangan yang dilakukan seseorang sebenarnya hanyalah perjuangan untuk hidup di kelas yang lebih tinggi dari sebelumnya, dari yang lainnya. Dari dorongan itulah mereka bersikap, bekerja dan menyusun cita-cita. Dan masa depan dunia pastilah ada di tangan anakanak, persoalan kritis mengenai peperangan dan ketidakadilan adalah penyakit kronis yang menggerogoti dunia dari zaman ke zaman. Apa yang dilakukan kebanyakan orang dewasa terbukti tidak merubah ini semua. Dunia merindukan generasi baru yang penuh cinta dan intuisi. Anak lebih terbuka untuk menyerap semua informasi karena kekagumannya akan kehidupan, anak lebih ingin percaya karena akalnya terbebas dari gagasan awal (prinsip), anak lebih mempunyai rasa yang tinggi terhadap keramahan dan kedamaian karena dia belum mengenal kebencian. Sayang sekali sifat-sifat ini hanya dibiarkan lewat pada waktunya. Dan pendidikan anak malah menjauhi ini semua.
NUSANTARA Gala Jamban Yang Semakin Terlupa Gala Jamban merupakan permainan asli dari Betawi yang sudah ada sekitar zaman pendudukan Jepang namun menghilang sekitar tahun 1950. Pada dasarnya permainan Gala Jamban ini tidak jauh berbeda dengan permainan Galah Asin.
Permainan ini bisa dimainkan oleh anak laki-laki ataupun perempuan. Jumlah pemain dalam permainan ini adalah 5 orang, terdiri dari 1 orang penjaga dan 4 orang lawan. Gala Jamban dimainkan di ruang terbuka atau tanah lapang. Pertama-tama kita membuat denah arena permainan dengan kapur tulis, batu atau ranting pada bidang lapangan, berupa 4 bagian persegi dengan lingkaran di tengahnya. Kemudian menentukan siapa yang akan menjadi penjaga dengan cara gambreng. Apabila ada satu tangan yang telungkup atau terlentang maka ia dinyatakan bebas jaga, begitu seterusnya hingga tersisa dua orang pemain. Lalu apabila hanya tinggal tersisa dua orang, maka mereka suit hingga ada satu pihak yang kalah. Pihak yang kalah kemudian harus berjaga di dalam lingkaran. Empat orang pemain yang dinyatakan bebas jaga harus berlari mengitari 4 ruang persegi itu tanpa tersentuh oleh penjaga ditengah. Apabila salah satu pemain tersentuh, maka ia dinyatakan kalah dan harus berganti jaga. Begitu seterusnya. Tujuan dari permainan ini adalah melatih kekompakan, kecepatan, ketelitian, kreatifitas dan ketangkasan serta sportifitas. Dalam permainan ini secara sadar atau tidak, anak-anak dilatih untuk dapat menyusun strategi dan melihat peluang yang ada di depannya. Kalah menang dalam sebuah permainan adalah hal yang biasa dan disini anak-anak diajarkan untuk dapat menerima kekalahan dengan lapang dada tanpa perlu marah apalagi kecewa. Anak-anak juga dapat bersosialisasi dengan lingkungan dan memperbanyak teman. Kelebihan permainan-permainan tradisional yang dimainkan secara kolektif adalah dapat mengasah kecerdasan kognitif, afektif dan psikomotorik. Berbeda dengan gadget games, yang dimainkan secara individual dan nonfisik. Tetapi sayangnya permainan ini mulai tergusur zaman. Tidak banyak yang tahu tentang permainan ini. Dan sekalipun ada yang tahu, sudah tidak banyak anak yang mau memainkannya. Seiring dengan berkembangnya
NUSANTARA
teknologi, ditambah lagi sulitnya menemukan tanah lapang untuk bermain membuat permainan-permainan tradisional mulai ditinggalkan. “Paling kita seringnya main bola, tapi itu juga suka diusir soalnya takut kena kaca” ungkap Aufa seorang siswa kelas 5 SD. Sedangkan menurut salah satu siswi SD lainnya yang bernama Fitri, dia lebih suka menghabiskan waktu dirumah. “Pulang sekolah seringnya dirumah, ngerjain PR ama main game” ungkapnya. Presiden Children International Summer Village (CISV) Indonesia, Dharmesti Shindunatha mengatakan berbagai permainan tradisional yang ada di berbagai daerah patut untuk tetap kita jaga. Menurutnya, permainan tradisional memiliki nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokal yang berakar. Menurut Dharmesti, kalau sebuah permainan daerah betulbetul dikuasai sesuai dengan jenis dan batas usia, akan berdampak positif terhadap pertumbuhan anak. Selain itu, permainannya juga tidak kalah seru dibanding berbagai mainan yang disuguhkan oleh gadget. (BuKin/NFS)
RUANG TAMU
Drama Kecil di Senayan Oleh: Nosa Normanda
Kepala saya sakit dan pandangan saya pusing ketika saya berjalan pulang dari Senayan City menuju Halte Busway Ratu Plaza malam tadi. Jalanan begitu ramai dengan pejalan kaki yang pulang kantor menunggu bus. Di perjalanan, belok kiri setelah 7 Eleven, saya melihat ada keributan. Segerombolan orang berkumpul. Seorang kernek bus Patas berlari dari seberang jalan sambil berteriak, "Jangan dipukul lagi! Itu anak kecil!" Massa sedikit berpencar dari kerumunan , air hujan membentuk kubangan berlumpur, seorang anak lelaki berambut merah merintih kesakitan memegangi perut dan kepalanya. Dalam keadaan basah, ia berteriak-teriak sambil menangis, mengumpat dua orang lelaki dewasa, yang satu tukang parkir dan yang satu lagi lelaki berkemeja coklat muda dan berkalung emas. Setiap dia mengumpat, kedua lelaki itu kembali menghantamnya. Yang satu memukul kepalanya, yang satu menendang perutnya. "Makanya jangan suka nimpuk-nimpuk orang! Bahaya orang naik motor ditimpuk-timpuk!" si lelaki berkalung emas kembali menendang . Saya dan
RUANG TAMU kernek serta seorang perjalan kaki menahannya. Tapi lalu si tukang parkir memukul si anak. "Udah dibilangin jangan suka nongkrong di sini!" Si anak dalam kesakitannya masih melawan dan mengumpat. Tukang parkir menyeretnya ke trotoar bukan untuk menyelamatkannya tapi untuk membuangnya. Si kecil itu terjerembab lagi, kali ini ke trotoar. "Jangan ngalangin orang!" Kata si tukang parkir, sambil melemparnya lalu memukul kepalanya lagi. Saya dan si mas pejalan kaki kembali berusaha menghalangi supaya anak itu tidak dipukul, sementara si kernek kembali ke bus patas yang sudah berjalan. Lalu perlahan saya bicara pada si anak yang terus berteriak kesakitan dan memaki-maki, agar ia sabar. "Sabar… sabar. Ntar lo tambah digebukin, sabar…" Kata saya. Si anak lalu bilang, "Abis saya nggak tahu apa-apa diusir, bang. Lagi duduk ditendangtendang." Tiba-tiba si pria berkalung emas menerjang hendak menendang, tapi saya halangi dengan punggung saya, ia menghentikan tendangannya. "Ngadu lagi lo! Anjing!" katanya. "Udah, bang!" Teriak si pejalan kaki. "Anak kecil nggak usah didengerin. “Udah!" kata saya menimpali.
30-an bergaya rambut tentara. Saya bawa si anak yang masih merintih kesakitan. Ketika cukup jauh dari pandangan si tukang parkir dan si pria berkalung emas, beberapa anak kecil lusuh, satu berbaju biru muda dan satu berbaju kuning datang menghampiri. Mereka nampaknya kawan si anak babak belur ini yang kabur ketika keributan dimulai. Saya dudukkan si anak di dekat penjual minuman, dan saya meminta air. Si pejalan kaki mengambilkan sebotol air mineral. Saya bukakan botol air untuk anak itu dan ia meminumnya sambil terisak-isak. Ia terus memegang dada kirinya, ketika sudah tenang, si anak yang babak belur itu mulai tidak bisa berkata apa-apa, hanya menangis terisak. Mungkin karena tidak ada yang mengancamnya lagi, atau mungkin karena ia kesakitan. Semua hinaan yang keluar dari mulutnya hanya cara ia membela diri, karena tubuhnya terlalu kecil untuk melawan.
Saya jongkok untuk melihat wajahnya yang sudah mulai membiru, lalu saya bilang padanya, "Lo tuh idup di jalanan, jangan suka ngelawan kalo lo belom bisa ngelawan. Lo jadi kuat dong, jangan sembarangan ye, lo masih lama idup, jangan mati dulu, masih panjang umur lo." Dia hanya Saya lalu membopong si anak agak terisak. jauh dari tempat itu. Si pejalan kaki masih menemani saya tanpa bicara Seorang kawannya yang berbaju banyak. Ia adalah pria usia sekitar kuning nyeletuk memarahi si anak
RUANG TAMU babak belur, "Lo sih nyolot. Nih gue juga tadi kena gebuk nih." Lalu si anak berbaju biru muda bilang, "Kan dia [menunjuk tukang parkir] yang salah. Dia yang salah bang, kita lagi duduk diusir, ditendang-tendang. Ya udah, kita timpuk aja." Lalu saya bilang, "Yau dah elo-nya jangan ngelawan, lain kali pindah aja. Kasihan kan kalo ada yang ketangkep gini." Setelah bilang itu, saya berdiri dan terasa kembali pusing dan sakit kepala saya. Saya belum begitu pulih dari Hepatitis A, dan ternyata berjalan kaki cukup jauh cukup berpengaruh untuk saya. Saya melihat isak si anak sudah mulai mereda jadi saya mohon diri secepatnya. Tidak lucu kalau saya duduk. Perlahan sakit kepala dan pingsan habis menolong orang. pusing saya hilang dan saya mulai berpikir tentang anak tadi. Saya mengeluarkan uang untuk membayar Air mineral, tapi si pejalan Entah sudah berapa kali saya kaki yang dari tadi memperhatikan mengajak makan pengamen jalanan bilang tidak usah. Dia sudah membayar cilik. Saya ajak ngobrol, dan mereka Air itu. Ia sedang menghisap rokok dan bercerita tentang hidup mereka. Di seakan acuh tak acuh. Tapi saya tahu notes-notes lain, saya pernah menulis ia  sangat peduli. Mungkin kalau saya tentang mereka. Tapi ini pertama tidak membopong anak itu duluan, kali saya benar-benar berhadapan dia yang akan membopongnya. Saya dengan kekerasan di jalan. Kekerasan ucapkan terima kasih dan saya bilang, yang sangat tidak adil: dua tubuh "Mari pak, saya duluan."  Ia hanya besar, melawan tubuh kecil tanpa mengangguk. tenaga kecuali mulut dengan katakata pisau. Saya berjalan agak tergopoh-gopoh menuju halte Busway Ratu Plaza, Seandainya saya tidak sakit, saya membeli karcis dan langsung naik pasti mengajak mereka (tiga anak bus yang baru sampai. Saya mengatur kecil tadi) makan malam dulu. Dan nafas pelan-pelan dan di perhentian saya menyesal tidak melakukan itu. berikutnya saya mendapat tempat
RESENSI
Mama, Jangan Pukul Aku... Sebuah kisah nyata mengharukan yang dialami oleh penulis, Regina Clarinda, dalam menghadapi brutalnya penganiayaan (child abuse) oleh ibu kandungnya sendiri. Sejak berusia empat tahun ia disiksa, namun Regina tetap mempertahankan nyawa di tengah gencarnya ancaman pembunuhan dari ibu kandungnya sendiri. Rasa tertolak dan tidak dikasihi membuat Regina tumbuh menjadi seorang wanita dengan sisi emosi yang tak terkontrol. Sehingga ia sempat mengalami depresi berat yang berkepanjangan sampai terobsesi untuk mati. Di tengah itu semua, Regina berusaha untuk bangkit. Buku ini memaparkan langkahlangkah efektif untuk membebaskan kita dari jeratan depresi. Penulis ingin berbagi untuk memberikan bimbingan bagi kita semua melalui pengalaman pribadinya sebagai seorang anak yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga secara brutal. Regina Clarinda adalah seorang pengajar dan motivational speaker yang memiliki kerinduan untuk menolong orang-orang mengatasi kerusakan emosional dan luka batin mereka. Regina telah berpengalaman sebagai konselor pembimbing para penderita depresi untuk kesembuhan jiwa
mereka, selama lebih dari sepuluh tahun. Pengalaman pahitnya semasa kecil membawanya menjadi seorang yang kehilangan arah dan tujuan. Namun, dengan kegigihan hatinya, Regina masih dapat berbagi kepada sesama dalam hal gangguan kejiwaan. Buku ini berguna juga untuk para orang tua dalam mendidik anak agar anaknya dapat tumbuh menjadi seseorang yang memiliki sisi emosional yang matang. (BuKin/BAP)