Edisi XII | November/2013 | Terbit 24 Halaman
h Musu at k a r a Masy
DUA
LENSA KINASIH
Mencari Musuh Bersama “Monolog ada sebelum dialog, namun saat dialog tak lagi dua arah kita pun kembali bermonolog. Dan ketika semua pihak saling bermonolog, kesunyian dan kehancuranlah yang menunggu di balik pintu.” Begitulah I. Yudhi Soenarto membuat dasar pemikiran pertunjukan Multi‐monolog Selingkuh. Sudah lebih dari 15 tahun bangsa ini reformasi. Zaman yang membelenggu mulut kita telah runtuh dimakan tanah. Musuh bersama yang selama 32 tahun ditentang mendadak hilang. Jika dulu kita ketakutan untuk mengungkap kebenaran, sekarang justru kita kebablasan berbicara dan perlahan indera pendengar kita tak lagi berfungsi dengan semestinya. Sekarang sudah sedikit orang yang mau diam mendengar. Semua mau didengar. Pola komunikasi pun menjadi berantakan. Jurnalisme, yang terlalu heboh dengan isu‐isu tidak penting, juga terus mengalihkan perhatian. Lewat serba cepat, menghilang tak kalah cepat. Isu yang penting, tentang kemanusiaan, justru semakin tenggelam dalam tumpukan berita singkat. Kita menjadi tak lagi dapat membedakan realitas dan ilusi. Saat ini, musuh sekaligus hambatan utama ada di dalam diri kita sendiri, diri yang terlalu apatis terhadap pandangan yang berbeda. Mencari musuh bersama merupakan tema yang tepat untuk mengikis arogasi dalam jiwa kita untuk mendengar jeritan yang tak kasat mata. Buletin Kinasih adalah media tentang sosial dan budaya yang berada di bawah naungan Teater Kinasih. Keberadaan buletin ini kemudian menjadi tolak ukur tersendiri, di mana kesenian tidak hanya berbicara tentang absurditas, surealitas, ataupun realitas di atas panggung, di atas kanvas, atau di kedalaman sastrawi tertentu. Namun juga memiliki kemampuan untuk menjelma kata menjadi senjata untuk mengungkap fakta.
Redaksi menerima naskah berupa kritik/saran, esai, prosa, puisi, liputan kesenian atau cerpen. Tulisan yang dikirimkan tidak mengandung SARA. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah isi. TeaterKinasih Buletin Kinasih buletin.kinasih@yahoo.com www.buletin.teaterkinasih.org
KLIMAKS
TIGA
Realitas dalam Sastra Oleh: Bayu Adji P
ilustrasi Setyo Priyo Nugroho
Meminjam kata‐kata buku kumpulan esai, Ketika Jurnalisme Dibungkam
Sastra Harus Bicara, milik Seno Gumira Ajidarma, jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku Sastra bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesustraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tak tertahankan. Jurnalisme sudah bebas dari agen pembredelan yang telah runtuh bersama jatuhnya kekuasaan yang telah berdiri 32 tahun. Reformasi membuat media massa yang tadinya tunduk berubah menjadi bingung. Bingung mencari musuh bersama yang dapat dilawan secara diam‐diam. Musuh tak pernah datang, dan perlahan, media menjadi ladang industri yang subur. Yang dahulu dipaksa bungkam, sekarang justru sengaja bungkam. Saat ini, dalam era yang selalu dibanjiri oleh informasi serba cepat seperti saat ini, kita terus tenggelam dalam tumpukan kata demi kata yang semakin lama semakin tak
EMPAT
KLIMAKS
terarah. Setiap menit, muncul berita demi
menciptakan
medianya
sendiri.
berita yang kurang memikat. Para
Merebaknya situs‐situs independen yang
pewarta terus‐menerus membuat tanda
masih bersih dari tuntutan ‘menampilkan
demi terpenuhinya dapur keluarga. Di
berita pesanan’, adalah angin segar dalam
tengah gempuran informasi dangkal tak
kehidupan di bangsa yang melulu kacau
mendalam, kita semua hampir tak sempat
ini. Isu humanisme mulai terangkat
lagi meluangkan waktu untuk mengalisa
kembali melalui berbagai teks. Penulis‐
informasi yang lewat dengan serba cepat
penulis amatir mulai menggandrungi isu
tersebut.
humanisme yang terlihat lebih seksi
Tak hanya itu, berita‐berita yang
ketimbang curhatan cengeng ala remaja
disajikan lebih memilih isu tentang dunia
urban. Dengan analisis seadanya, mereka
yang rumit, yang kita pun tak bisa berbuat
mencoba mengangkat sesuatu yang tak
banyak
seharusnya terlupakan. Isu kemanusiaan.
untuk
merubahnya.
Teks
kacangan, yang hanya berpedoman pada
Bolehlah kita sedikit tersenyum
struktur 5W + 1H, terus ditampilkan
melihat fenomena yang sedang terjadi.
hingga pada saatnya kita tak lagi bisa
Tapi tunggu. Berapa banyak masyarakat
melihat kemanusiaan dalam tumpukan
kita
yang
membaca
situs‐situs
kata yang tersedia. Semuanya melulu
independen? Mungkin yang membaca
masalah yang berat dan menghilang
hanyalah
secara cepat, mungkin yang bisa sedikit
sepaham, paling banter temannya teman
bertahan hanyalah gosip‐gosip selebriti,
kita. Ya, masih bekutat di lingkaran kecil.
pun hanya di kalangan antar‐pagar rumah
Media dalam bentuk berbeda –berani
teman‐teman
kita
yang
tangga. Tak telihat lagi adanya isu
melawan arus yang semakin memberikan
humanisme yang terangkat secara jelas.
kenyataan palsu‐ mutlak diperlukan
Pun muncul kisah yang humanis, bisa
sebagai penyebaran isu humanisme
diperkirakan bahwa hal itu merupakan
kepada lingkaran yang lebih besar.
setingan realitas, yang lebih kita kenal dengan reality show.
Seno Gumira Ajidarma, sebagai orang yang pernah hidup dalam bayangan teror
utama
Orde Baru, tak berhenti melawan melalui
merupakan sebuah teriakan yang sia‐sia.
karya‐karyanya. Kumpulan cerpennya
Dalam kebobrokan industri media yang
yang dibukukan menjadi Saksi Mata, lebih
semakin merajalela, beruntunglah masih
dipercaya sebagai kebenaran –mengenai
ada segelintir manusia yang berusaha
pembantaian di Santa Cruz pada tahun
Mengutuk
media
arus
KLIMAKS
LIMA
apapun yang tidak penting. Melalui
teater,
Ia
mencoba
menuangkan fakta‐fakta yang tak sempat terbit di media massa, secara jujur. Itu adalah cara Seno Ilustrasi: Istimewa
untuk
meneruskan
profesinya
sebagai wartawan. Pertunjukkan teater, sadar atau tidak, adalah usaha menyampaikan pernyataan kepada
penonton,
layaknya
berkomunikasi. 1991‐ daripada naskah‐naskah berita
Lewat naskah, lakon dan pementasan
yang diterbitkan oleh media‐media
teater, kemanusiaan dapat kembali
Palmerah, yang satu suara kala itu.
terangkat ke lingkaran yang lebih besar.
“Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra
Syukur‐syukur bisa diliput oleh media arus
Harus Bicara,” begitu pikirnya, yang juga
utama dan akhirnya muncul juga di media
menjadi judul buku yang menutup
yang tersebar masyarakat luas –pun kecil
rangkaian Trilogi Insiden.
kemungkinan menjadi headline.
Tak berhenti lewat sastra, Seno juga
Dengan
kesempatan
u n t u k
memanfaatkan panggung pertunjukan
menyampaikan
sebagai cara untuk mengangkat isu
pementasan,
humanisme. Saat media yang diasuhnya
meninggalkan esensinya sebagai hiburan.
pesan
teater
m e l a l u i
tak
harus
dimatikan oleh agen pembredelan, Seno
Seperti itulah kerja teater, menyampaikan
mengubah kantor media yang kosong
pesan
sebagai tempat latihan teater. Ia telah
menghibur. Memaksa sutradara, pemain,
kehilangan harapan untuk menyampaikan
tim produksi dan bahkan penonton untuk
isu kemanusiaan melalui media arus
berpikir, berusaha untuk jujur dengan
utama. Menurut Seno, headline di media
menertawakan diri sendiri, menangis
tentang
manusia
secara
massa seharusnya diisi oleh masalah
dalam canda, marah kepada angkasa.
kemanusiaan, tentang para korban yang
Karena teater, selain menjadi sebuah
hilang, bukan tentang perilaku badut‐
hiburan,
badut politik di Senayan dan sekitarnya
manusia.
atau
peristiwa
sensasional
tentang
merupakan
ilmu
tentang
ENAM
NUSANTARA
Angklung, Potongan Bambu Penuh Makna Oleh: Nanda Fitri Supriani Ilustrasi: Istimewa
Angklung adalah alat musik tradisional yang berkembang di daerah Jawa Barat. Alat musik ini terbuat dari potongan‐ potongan
bambu
yang
disatukan oleh palang gantung sehingga menciptakan nada‐ nada yang indah. Uniknya, satu angklung hanya menghasilkan satu
nada.
S e h i n g g a
dibutuhkan banyak angklung dengan berbagai ukuran untuk menghasilkan sebuah harmoni. Sampai saat ini belum ada data pasti
kapan
petama
kali
angklung ditemukan dan siapa penciptanya. Namun catatan sejarah menduga angklung muncul pada awal kerajaan Sunda sekitar
kebudayaan PBB, UNESCO, menyatakan
abad ke‐12.
angklung sebagai warisan dunia dari
Pada awalnya angklung dimainkan
Indonesia, semakin banyak orang yang
sebagai bentuk persembahan kepada
tertarik untuk mempelajari angklung, baik
Nyai Sri Pohaci, sebagai Dewi Padi, agar
dari dalam maupun luar negeri.
memberikan kemurahan hatinya sehingga
Salah satu komunitas yang secara
proses tanam hingga panen padi lancar.
konsisten menjaga angklung adalah Saung
waktu,
Angklung Udjo yang berlokasi di Bandung.
angklung tidak hanya dimainkan pada
Sanggar ini didirikan sejak tahun 1966
upacara‐upacara
sudah
oleh Udjo Ngalagena yang merupakan
menjadi sarana hiburan. Apalagi setelah
murid dari maestro angklung Daeng
organisasi keilmuan, pendidikan dan
Soetigna. Sanggar ini tidak hanya
Namun
seiring
berjalannya adat
tetapi
NUSANTARA
Ilustrasi: Istimewa
menampilkan
TUJUH
pertunjukan
angklung atau kesenian Jawa Barat lainnya, namun juga menyajikan sebuah acara yang
disebut
Interaktif
yaitu
Angklung masing‐
masing penonton diberikan angklung dan diajarkan cara memainkannya
sehingga
menghasilkan
s e b u a h
intrumen. Hal ini dilakukan demi menumbuhkan rasa cinta
kepada
angklung
sehingga kesenian angklung tidak mati dimakan zaman. Selain menghasilkan nada‐ nada
indah,
ternyata
angklung juga menyimpan sebuah filosofi yang menarik. Menurut Karuhun Urang Sunda, tabung angklung
mengibaratkan
memetik hasil yang pantas.
kehidupan
Dan yang terakhir nada‐nada penuh
manusia. Angklung hanya akan menjadi
harmoni yang tercipta dari beberapa
bambu biasa apabila terdiri dari satu
angklung
tabung. Begitu pula manusia yang tidak
menggambarkan bahwa manusia juga
akan menjadi apa‐apa jika hanya
bisa hidup rukun menciptakan harmoni
sendirian,
yang
karena
pada
hakekatnya
manusia merupakan makhluk sosial. Selanjutnya bagian tabung angklung
indah
yang
d i m a i n k a n
ditengah
kehidupan
angklung,
potongan‐
bermasyarakat. Begitulah
yang kecil disebelah kiri kemudian di
potongan bambu ini terlihat begitu
sebelah kanan terdapat tabung angklung
sederhana namum penuh makna. Sama
yang lebih besar menggambarkan proses
halnya seperti sebuah perubahan dapat
hidup manusia dalam menggapai cita‐cita
tercipta dari hal‐hal sederhana yang
dari sebuah perjuangan hingga akhirnya
saling berkesinambungan.
DELAPAN
PANGGUNG
Eksperimen Seni Peran dari Dunia yang Penuh Monolog Oleh: Maria Natasha
Pada era sekarang, orang‐orang hanya berbicara dan tidak mendengar. Dialog‐dialog sebenarnya hanyalah komunikasi satu arah. Kondisi inilah yang coba dipanggungkan oleh Teater Sastra UI dalam pementasan multi‐monolog. Bukan hanya monolog, tapi multi‐monolog, yang para tokohnya saling terkait dalam satu permasalahan, perselingkuhan. Pementasan ini menggambarkan betapa sebuah perselingkuhan berakar pada permasalahan yang rumit, sangat pribadi dan individual. “Di jaman individualistis seperti sekarang ini, banyak dialog‐dialog satu arah. Termasuk di dalam rumah tangga. Ada relasi‐kuasa yang membuat seseorang memaksakan kehendaknya pada orang lain. Maka sengaja ditampilkan bahwa dunia kita sekarang memang penuh dengan monolog.” Kata I. Yudhi Soenarto, sutradara pementasan ini yang juga dosen mata kuliah Drama di jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya UI saat ditemui usai geladi resik, Jumat (24/10/13). Tujuh aktor dalam pementasan ini dikelompokkan menjadi dua. Kelompok yang pertama, yang pada awal cerita muncul duluan dengan tuturan bertempo cepat, terdiri dari paranormal Ki Pujo Asmoro, diperankan oleh Rezha Marchelo, pengacara Fahry Asbun diperankan oleh M. Iqbal Fahreza, aktivis feminism Rita Subroto, diperankan oleh Ariane Meida dan produser film mainstream Vijay Benggali, diperankan oleh Nosa Normanda. Mereka masing‐masing bercerita tentang sebuah kondisi aktual negeri ini dari perspektif profesinya masing‐masing.
PANGGUNG
Kelompok kedua, adalah mereka yang terlibat dalam cinta segitiga dan hubungan sadomasokistis. Tokoh Hendrik Panggabean yang diperankan oleh Yoga Mohamad, adalah seorang pemuda asal Tarutung, Sumatera Utara yang merantau ke Jakarta dan menjadi seorang “pengusaha” yang ditakuti bahkan oleh pengacara sekalipun, tapi takut pada Mamaknya yang memaksanya untuk segera kawin. Hendrik Panggabean bukan seseorang yang mudah menemukan cinta. Banyak perempuan yang datang dan pergi, tapi tak seorangpun ‘ngetem’ di hatinya, kecuali Ida. Tapi sayang, saat mereka bertemu, Ida keburu menjadi istri orang. Ida, diperankan oleh Nety Riana, adalah seorang perempuan mandiri yang berasal dari keluarga Jawa, yang membesarkannya menjadi perempuan yang patuh dan penurut. Dari kecil ibunya mengajari bagaimana seorang perempuan harus bersikap, bagi suami dan keluarga. Pesan ibunya, “Nduk, perempuan itu pemegang rahasia keluarga.” Ketika dewasa, Ida pun didorong‐ dorong untuk segera menikah oleh kedua orang tuanya, karena umurnya yang sudah lewat dua puluh lima. Akhirnya, Ida menerima lamaran seorang lelaki yang memperlakukannya sebagai seorang partner seks masokistis. Lelaki itu adalah Ahmad Zakaria, atau Zaki. Zaki, diperankan oleh Rachman
SEMBILAN
Muchlas, melewati masa kecil sebagai seorang anak yang hiperaktif hingga ayahnya kerap memukulinya. Zaki tumbuh menjadi seorang yang ringan tangan memukul siapapun. Perangai ini terbawa hingga pada kehidupan seksualnya. Zaki merasa memperoleh kenikmatan jika pasangannya mau disiksa saat berhubungan seks. Sebagai istri, Ida menuruti semua perlakuan sadis Zaki. Ketika Zaki menampar, memukul, mengikat tangan, kaki bahkan lehernya dengan borgol dan tali, melelehkan lilin pada kulitnya, menggores tubuhnya dengan benda tajam, Ida hanya mendesis dan mengerang tanpa perlawanan. Ida bahkan orgasme. Maka Zaki pikir, Ida menikmati perlakuan itu. Selama enam tahun perkawinan, Zaki makin menjadi‐jadi. Ia membangun ‘dunia’ tempat mereka berdua melakukan apa yang Zaki sebut dengan ‘upacara rasa sakit’. Berbicara mengenai perempuan, ada isu feminis yang radikal, karena mengeksplorasi relasi kuasa perempuan dan laki‐laki secara seksualitas. Tokoh Ida jelas mewakili tubuh perempuan sebagai objek penindasan, karena Zaki, seperti dikatakan Ida, “Tidak berbicara denganku, tapi berbicara pada tubuhku.” Zaki dan Ida sama‐sama memiliki pengalaman masa kecil yang membentuk mereka hingga dewasa. Ini adalah konstruksi
SEPULUH
Foto: Maria Natasha
sosial mengenai peran gender yang diturunkan melalui komunikasi dalam keluarga. S e l a m a h a m p i r s e l u r u h pertunjukan, ketujuh pemainnya bermonolog sambil duduk di kursi yang mewakili karakter mereka. Kecuali Ida, yang duduk di ranjang serba putih dilengkapi dengan kelambu dan alat‐alat bantu seks. Set panggung minim properti diakali dengan ilustrasi video art sebagai latar belakang Ida, Zaki dan Hendrik. Bentuk adegan yang minim gerak ini adalah hasil eksperimen dari sutradara. Menurutnya, ketika gestur diminimalkan, para aktor akan lebih fokus untuk menghidupkan kata‐ kata. Hal ini juga membantu penyampaian adegan‐adegan ranjang yang vulgar dan sadis, seperti ketika Zaki mendeskripsikan perlakuan sadisnya pada Ida. Yudhi mengaku pada awalnya para aktor kesulitan ketika saat latihan, mereka dilarang untuk bergerak selama berbicara. “Dalam seni peran, setiap gerak, satu tolehan kepala, ada maknanya. Seringkali aktor tidak mengerti kenapa harus bergerak. Permainan lebih ke bahasa verbal, karena banyak yang ingin disampaikan, bisa rusak kalau terlalu banyak gerak. Saya ingin aktor tampil wajar. Ini berbeda dengan kebanyakan permainan teater di
PANGGUNG
Indonesia yang sangat ‘fisik’. Gerakan dan ciri‐ciri karakter seharusnya ditemukan saat eksplorasi keaktoran sehingga menjadi wajar dan tidak dibuat‐buat. Ini yang namanya acting from the inside.” Ia menambahkan, “Bahasa teater kita dijajah oleh gerakan‐gerakan dan akting yang tidak mendalam. Makanya, (pementasan ini) sengaja saya buat minim gerak. Ini juga memberi alternatif pada penonton bahwa kemungkinan teater bukan hanya seperti yang selama ini ada. Resikonya penonton bisa saja bosan, tapi nonton pementasan lain pun juga bisa saja bosan”. Para aktor baru berdiri ketika cerita menuju klimaks. Hendrik menyambangi
PANGGUNG
SEBELAS
Foto: Maria Natasha rumah Zaki untuk ‘membalas’ perlakuannya pada Ida. Lampu merah berkedip‐kedip dari sisi‐sisi panggung menandakan akan ada darah yang tertumpah. Zaki mati di tangan Hendrik. Tidak selesai sampai di situ, Ida yang baru pulang kerja menemukan ruang tamu rumahnya dibanjiri darah Zaki lalu balas menikam Hendrik, kemudian menggantung kepalanya di tali yang biasa mereka gunakan dalam ‘upacara rasa sakit’. Lakon tragedi ini ditutup dengan tuturan, tapi bukan konklusi, dari tokoh paranormal, aktivis feminis, pengacara dan produser yang mencari keuntungan dari kasus yang baru saja terjadi. Tokoh paranormal, dikatakan oleh Yudhi, “Melambangkan bawah sadar orang Indonesia. Dibalik rasionalitas wajah kita, masih ada irasionalitas. Makanya sekarang banyak paranormal yang mengomersialisasikan jasanya.” Tokoh pengacara dalam pementasan ini digambarkan sebagai seorang oportunis yang meminta dukungan untuk dirinya dengan memanfaatkan kasus ini. Setelah menyampaikan analisa yang ngalor‐ngidul sesuai dengan nama karakternya, Fahri Asbun, ia bilang, “Makanya dukung saya dong.” Tokoh aktivis feminis tampil dengan mencampuradukkan niatan untuk membela ketertindasan perempuan dengan kepentingan pribadinya. Dalih keterbatasan dana dari pemerintah membuat LSM‐nya bergantung dengan bantuan pihak asing. Menurut sutradara, ini adalah ciri khas LSM Indonesia. Muncul pertanyaan penuh retorika dari sang sutradara, “Apakah perjuangan mereka
DUA BELAS
Penonton seharusnya cerdas, maka kesimpulan ada di tangan penonton. Tugas saya hanya memberi stimulus.” Penonton yang mengharapkan akan bisa menonton pementasan ini sebagai hiburan mungkin akan kecewa. Pertunjukan ini memang serius dan minim lawakan. Seluruh adegan dengan padat dan ketat membangun klimaks. Pementasan ini menyasar penonton intelektual, yang mau berpikir dan menyimpulkan sendiri apa yang bisa diambil sebagai makna atau bahkan amanat cerita. Poster pementasan menampilkan label 17+ karena adanya unsur seksualitas pada pementasan ini. Yudhi mengaku mengangkat tema seksualitas sebagai upaya untuk mencari tema yang selalu aktual dan menyentuh orang banyak. “Seksualitas dan sadomasokis cukup Foto: Maria Natasha
harus memikirkan faktor sumbangan? Perjuangan mereka murni atau menjadi mata pencaharian? Kalau begitu berarti mereka harus berterima kasih pada konflik, karena kalau tidak ada konflik, mereka tidak dapat uang.” Yang tampil terakhir dan menutup cerita adalah tokoh produser. Dengan naluri industrialnya, hendak mengangkat kisah tragedi Ida menjadi trilogi yang akan meledak di pasaran, sebagai kisah gadis desa yang akhirnya mati gantung diri dan jadi kuntilanak. Ada wacana industri budaya mainstream melalui media audio visual populer, televisi dan film. Tokoh produser menceritakan bagaimana sinetron diproduksi secara seragam dari sisi alur cerita, yang mengandalkan formula KISS, Keep It Simple and Stupid. Ini membentuk fetisisme di masyarakat yang seragam dan terstandardisasi. Si tokoh produser ini jelas menelanjangi industri sebagai pembodohan massal karena tidak berkontribusi pada peningkatan kualitas intelektual audiensnya. Tidak ada amanat atau kesimpulan yang gamblang disampaikan dalam cerita ini. Karena menurut sutradara, “Penonton Indonesia lebih suka hiburan ringan, seperti televisi yang memberi hiburan, komedi fisik yang sama sekali tidak cerdas. Tapi ini teater yang seharusnya memberi alternatif.
PANGGUNG
PANGGUNG
TIGA BELAS
Foto: Maria Natasha
menarik buat banyak orang. Dalam hubungan suami istri, saat satu pihak lebih berkuasa, kecenderungannya adalah penyiksaan. Dalam hubungan Ahmad dan Ida, pihak luar bisa melihat ini adalah penyiksaan. Tapi buat Ida, itu adalah ekspresi cinta suaminya. Ini kan pemikiran yang terbalik,” ucap Yudhi, yang memperoleh gelar Master Seni Murni Teater di State University of New York ini. Tapi menurut Zaki, hubungan antar manusia sangat rentan dengan sakit menyakiti. Dalam keseharian, disadari atau tidak, selalu ada pihak yang sadis dan yang masokis. Pihak sadis menggunakan akalnya untuk meraih apa yang diinginkannya dan melanggengkan k e k u a s a a n n y a . P i h a k m a s o k i s membenarkan ketertindasannya sebagai defense mechanism agar dirinya tetap
pada posisi aman. Seperti tokoh Ida yang memilih diam dan menerima, karena tidak mau rahasianya terbongkar. Sebelum melingkarkan tali gantungan di lehernya, sebagai istri terhadap suaminya Ida bilang, “Swargo nunut, neraka katut”. Dengan caranya sendiri, teater sebagai media komunikasi sekali lagi telah menyampaikan bahan refleksi dari ideologi dan konstruksi realitas yang melingkupi dan mengembalikan kita pada pertanyaan mendasar. Pertanyaan‐ pertanyaan yang menyadarkan kemanusiaan kita sebagai individu yang saling berhubungan. Pertanyaan‐ pertanyaan yang membuktikan bahwa kita benar manusia, bukan hanya sekumpulan massa, yang hanya dilihat sebagai audiens monolitik, konsumen, apalagi robot.
EMPAT BELAS
TENTANG NADA
Suasana kampus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta menjadi lebih cepat sepi. Tak seperti biasa, para keamanan kampus tidak harus memaksa para mahasiswa keluar agar kampus sepi. Sepertinya, mahasiswa yang biasanya diusir paksa, malam itu dengan sukarela meninggalkan kampus menuju tempat di mana semua akan berjumpa. Jalan Raya Lenteng Agung, TB Simatupang, Ampera, sampai Cipete, cukup ramai malam itu. Jakarta kala Sabtu malam memang selalu punya cerita tentang jalan raya. Merupakan sesuatu yang biasa bila tulisan ini membahas jalan‐jalan di Jakarta yang semakin membuat gila. Namun ada yang tidak biasa, kembali digelarnya acara Disini Kita Berjumpa (DKB). Dalam perjalanannya, DKB telah menjaga konsistensi acara ini hingga bisa disematkan embel‐embel #5. Daftar penampil yang tercantum pun sudah tak asing lagi oleh masyarakat kampus, yang memang produk lokal dalam kampus dan sekitarnya. Adalah Forbidden Zone, Nation Ska, Error X, KWA!, Gamelanoink, Scarabaeus Saccer, Ratman, Rastamanis dan The Khe‐Q, yang masuk dalam daftar pengisi acara. Memang terciptanya acara ini merupakan sebuah ajang apresiasi bagi para pecinta musik di lingkungan kampus –yang katanya‐ “tercinta” IISIP Jakarta.
Foto: Denny ‘Bewok’ Firmansyah (Buletin Berisik)
Disini Kita Berjumpa, Oleh: Bayu Adji P Bukan di Kampus Tercinta
TENTANG NADA
LIMA BELAS
Kurang lebih pukul tujuh malam, saat
Semakin padu lirik ‘Anarchy in The UK’
kalender menunjuk tanggal 26 Oktober,
dinyanyikan, semakin terasa ada sesuatu
acara dimulai. Tepat di samping Taman
yang salah di lingkungan kita yang harus
Pemakaman Umum Jeruk Purut, tempat
dihancurkan. I wanna be an anarchy/ And
di mana Borneo Beer House berdiri, tak
I wanna be an anarchy//
lantas
membuat
suasana
menjadi
Tak henti sampai Sex Pistols, alunan
menyeramkan. Yang terdengar adalah
new wave a la The Clash pun ikut
riuh rendah suara manusia‐manusia
mengiringi lirik lagu ‘Rock The Casbah’
bernyanyi, bergoyang dan berbahagia,
yang tercanpar dalam layar putih. ‘Rock
dalam
Dalam
The Casbah’ merupakan anekdot tentang
bangunan sederhana berlantai dua dan
sebuah tempat di Timur Tengah, di mana
penuh
sang
bangunan dengan
tersebut. asap
rokok
yang
raja
melarang
penduduknya
mengepul, satu per satu penampil
memainkan atau mendengar musik rock.
menunjukkan kebolehannya.
Sang raja memerintahkan para pilot
Tak
ada
batasan
genre
yang
pesawat tempur untuk yang menghabisi melanggar
dengan
memisahkan. Mulai dari reggae, ska,
mereka
punk, balada, pop, post rock, sampai
menjatuhkan bom. Namun para pilot
yang
memanaskan
justru mendengarkan musik rock di kokpit
panggung yang tak terlihat sakral.
mereka dan mengabaikan perintah sang
Penonton dengan bebas merebut mic
raja. Ironis, ketika ada kabar bahwa lagu
yang dipegang oleh sang vokalis untuk
ini menjadi soundtrack awak tank
ikut bernyanyi. Tak ada jarak tercipta,
Amerika saat menggempur Irak. Sharif
sesuai slogan yang tercetak di pamflet
don't like it/ Rockin’ the Casbah/ Rock the
yang beredar, “Datang :: Main ::
Casbah//
metal,
silih
berganti
Gembira.”
DKB #5 akhirnya benar‐benar berhenti adalah
ketika semua telah puas meneriakkan lirik
santapan penutup dari pegelaran DKB #5.
tembang ‘First of The Gang to Die’ milik
Dengan iringan musik punk a la Sex Pistols
Morrissey. Where Hector was the first of
Akhirnya,
berkaraoke‐ria
yang keluar lewat sound dan lirik ‘Anarchy
the gang with a gun in his hand/ And the
in The UK’ dalam tembakkan proyektor,
first to do time/ the first of the gang to
semua bernyanyi seakan mereka menjadi
die/ Oh my// ...He stole all hearts away/
John Lydon yang menentang kekuasaan
He stole all hearts away//
monarki yang semakin mengekang.
DKB, sebagai sebuah acara musik yang
ENAM BELAS
TENTANG NADA
Foto: Denny ‘Bewok’ Firmansyah (Buletin Berisik) berawal dari tongkrongan Tikungan Maut (Tikma) IISIP, telah sukses membuat semua bernyanyi dalam satu irama, musik. Terselenggaranya DKB #5 adalah peran dari mereka yang menamakan diri sebagai Lovely Crew dan Tikma Crew serta dukungan UKM Kremmasi, Kampung Segart dan Obtai. Ada kontradiksi yang terjadi. Tikma sering disebut sebagai tempat yang paling menyeramkan di lingkungan kampus IISIP. Bukan karena di tempat itu banyak kejadian gaib, melainkan yang berdiam di tempat tersebut adalah para angkatan tua dan bahkan alumni yang sesekali datang, yang membuat banyak mahasiswa menunduk bila melewatinya. Sementara kesan DKB yang berawal dari Tikma, jauh dari kesan yang menyeramkan, di mana semua bebas berekspesi tanpa mengenal angkatan. Imej sebagai tempat angker tersebut, mungkin yang ingin dihilangkan melalui DKB. DKB memang sengaja digelar di luar area kampus. Menurut Kadol, salah satu pencetus pertama acara tersebut, suasana di luar itu menjadikan kita menjadi lebih leluasa dan tak ada rasa kaku. “Kampus itu identik dengan belajar. Kalau di luar kita udah punya waktu luang satu sama lain antara alumni dan mahasiswa, dan dari situ timbul rasa saling memperhatikan,” jelas Kadol sesaat setelah berkaraoke‐ria. Dengan diadakan di luar kampus, pemberian nama ‘Disini Kita Berjumpa’ pun terasa
TENTANG NADA
TUJUH BELAS
untuk
m e m b u a t
apresiasi,” paparnya. Sebagai alumni yang pernah terlibat dalam kepanitiaan Kredit foto: Adisti Daramutia (http://krilianeh.wordpress.com/ )
Bobby
DKB, j u g a
menambahkan
kalau
acara di kampus itu selalu terbatas oleh waktu. “Anak‐anak itu maunya full, dari sore sampai malam. Kalau di kampus gak bisa,” ucap Bobby sambil mengingat
masa
kepanitiaannya di DKB saat digelar di Magical Cafe, Depok. Mungkin
anggapan
bahwa DKB adalah acara
yang
diperuntukkan
hanya bagi
angkatan tua dan para cocok karena perjumpaan antara alumni
alumni masih beredar di kalangan
dan mahasiswa tak melulu berada di
mahasiswa pada umumnya. Banyak yang
kampus, yang terkenal dengan istilah
masih sungkan untuk terlibat atau
“ribet”‐nya.
sekedar datang. Namun Bobby kembali
Junaidi Bobby, sebagai salah satu
mengeluarkan petuahnya, “Coba aja dulu
penampil yang memeriahkan acara
dateng, di sini kita bisa ketemu dengan
tersebut, juga menyatakan hal senada.
orang‐orang yang belum dikenal. Kalau
“IISIP kan bukan kampus musik, jadi
enak ya terus, kalau enggak yaudah,”
apresiasi yang diberikan itu minim. Sering
tutup Bobby dengan tawa.
‐sering aja sih, gak harus nunggu DKB
DELAPAN BELAS
TENTANG RUPA
Aroma Jawa Barat di Pameran Foto Kaphac 32 Oleh: Ahmad Alfian Foto: Dokumentasi Kaphac 32 Sore itu, suasana tampak tak biasa di area food court Depok Town Square (Detos). Terlihat beberapa orang mengenakan blangkon di kepala atau selendang batik di pinggangnya, sibuk berlalu‐lalang. Untuk beberapa saat, Detos terasa begitu kental dengan kebudayaan Jawa Barat. Adalah Kaphac 32, sebuah unit kegiatan mahasiswa Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, dalang dari penyulapan sebuah mall, yang identik dengan gaya hidup kekinian, menjadi kental dengan budaya lokal. Suasana kemeriahan dari panggung sederhana di antara meja‐meja makan, menggambarkan pembukaan pameran foto Kaphac 32 yang digelar pada 18 Oktober yang lalu. Pameran yang berlangsung pada 18‐25 oktober 2013 ini, menyuguhkan berbagai foto yang diambil dari 13 daerah di Jawa Barat. Acara ini dibuka oleh penampilan dari Kremmasi dengan memainkan musik sampah, di mana alat yang digunakan adalah barang‐barang bekas. Dilanjutkan dengan penampilan dari Teater Kinasih yang menambah heboh suasana pembukaan pameran dengan pertunjukan parodinya. Ada pula sekelompok penari yang membawakan tarian Jaipong dengan gemulainya. Dosen IISIP Jakarta Rachman Achdiat, yang akrab dipanggil
TENTANG RUPA
SEMBILAN BELAS
suling merupakan salah satu kesenian musik dari Foto: Dokumentasi Kaphac 32
Cirebon yang mengusung aliran dangdut. Tarling sering
d i a n g g a p
masayarakat luas kurang etis
karena
goyangan
penyanyinya yang seronok. Jawa Barat pun sering dkaitkan dengan Tarling, yang dianggap tidak etis. bang Boim, juga ikut membuka acara
Namun Kaphac 32 memamerkan sisi
tersebut. Tidak lupa sang kurator
lain Jawa Barat yang jauh dari isu seronok
pameran, Feri Latief, photo contributor
khas Pantura. Pameran yang memasang
National Geographic Indonesia, ikut
foto para petani sedang membawa gabah
memberikan sekapur sirihnya di hadapan
sebagai masterpiece ini seakan mengajak
para pengunjung.
para pengunjung masuk ke dunia yang
Ketua umum Kaphac 32 Singgih
dekat namun perlahan terlupakan. Foto‐
Wahyu Febriat Moko, yang lebih familiar
foto yang dipamerkan seakan berkata
dengan
menjelaskan,
bahwa masih banyak kebudayaan Jawa
“Kenapa kita mengusung tema Jawa
Barat selain Tarling. Salah satunya adu
Barat, karena Jawa Barat punya budaya
domba khas Garut. Dalam salah satu foto,
nema
Pakde,
yang tidak kalah hebat dibanding budaya
terlihat ada dua domba yang sedang
lain di Indonesia. Persiapan kita kurang
beradu kepala, menunjukkan betapa adu
lebih setahun, dan hunting di 13 daerah di
domba merupakan kebudayaan kita yang
Jawa Barat. Salah satunya Garut.”
sudah mengakar.
Jawa Barat memiliki budaya sangat
“Setiap foto punya karakter yang kuat.
menarik. Keseniannya yang sering kita
Ditambah lagi dengan adanya penjelasan
jumpai diantaranya adalah Wayang Golek,
isi foto yang nambah wawasan tentang
Jaipong, Angklung, Batik, dan banyak lagi.
Jawa Barat. Pokoknya aroma Jawa barat
Selain kesenian tersebut, Jawa Barat juga
banget deh,” ucap Mega, salah seorang
memiliki kesenian yang tidak kalah
pengunjung yang hadir malam itu.
menariknya. Adalah Tarling atau gitar
DUA PULUH
WAWANCARA
SEBUAH PERGERAKAN BERNAMA NGAMEN SASTRA Oleh: Bayu Adji P Bila Kampus Tercinta punya Disini Kita Berjumpa (DKB), Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia punya Ngamen Sastra. Tentu saja, Ngamen Sastra digelar di dalam kampusnya sendiri, sedangkan DKB, dari namanya kita sudah dapat mengambil pesan tersirat, bukan di kampus kita berjumpa. Bila UI selalu sedia 24 jam untuk mahasiswa, namun Kampus Tercinta, buka jam 6 pagi tutup jam 8 malam, layaknya memperlakukan anak sekolah seragam. Mendengar hal itu, Ngamen Sastra pun ikut komentar, “Mahasiswa itu masa puncak‐puncaknya beraktifitas dan bersosialisasi sesama. Kalau dibatasin gimana jadinya, bro?” Melalui sosial media, kami bertemu dan memulai wawancara. Ngamen Sastra itu apa sih? Ngamen Sastra merupakan konsep acara music for charity, juga sebagai mekanisme ruang interaksi sosial dan budaya masyarakat kampus di kantin yang representatif kepada pemain, pemerhati serta penikmat. Konsep acara ini adalah sebagai sarana berekspresi dan berapresiasi menuangkan keterampilannya dalam berkesenian (musik, puisi, teater, dll). Konsep acara music for charity itu apa maksudnya? Jadi, karena konsep “Ngamen”, di setiap sesi acara ada panitia untuk berkeliling mebawa kardus untuk "ngecrek" sebagai ciri "otentik" dari acara ini, sejumlah uang kepada penonton yang hadir di acara ini. Uangnya yang terkumpul akan kita sumbangkan kepada yang membutuhkan. Itu konsep Charity dari "Ngamen" Sastra. Kalau berkesenianya apa aja bisa ditampilkan di acara ini, baik puisi, seni rupa, musik, dll. Bisa diceritain awal terbentuknya? Bermula dari "tongkrongan" di Kantin Sastra (Kansas) Fakultas Sastra UI, paska reformasi 1998, Ngamen Kansas digelar dengan bermodalkan alat‐alat musik minimalis berupa sound system dari Gedung 5 (Laboratorium Bahasa), tiga mic, dua gitar kopong serta galon air mineral sebagai gendang. Sebuah cara berkesenian di kantin yang freak, nyentrik, tapi asyik, saat itu. Ngamen Kansas sebagai wujud kebudayaan baru di Kansas, mendapatkan suasana kondusif untuk perkembangan berkesenian di kampus. Antusias dan partisipasi mesyarakat kampus untuk terlibat dalam acara hingga pada tahun 1999, "tongkrongan" itu mendirikan komunitas bernama Sastra Kid's Production sebagai penyelenggara Ngamen Kansas secara profesional. Pernah ada band IISIP main di sini, sekitar tahun 1999.
WAWANCARA
DUA PULUH SATU
Perubahan nama menjadi Ngamen Sastra dilakukan atas dasar Fakultas Sastra berumbah nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada tahun 2002. Sebuah acara berkesenian di Kantin Sastra dalam format panggung terbuka, yang diselenggarakan tiap semester perkuliahan. Perjalanan kegiatan acara ini sudah berlangsung ke tujuh kalinya di tahun 2002 hingga acara akbar yaitu Ngamen Sastra n Gelar Sastra Raya FSUI sebagai acara puncak kegiatan, lalu vakum semenjak itu. Pada 2011, Ngamen Sastra akhirnya diselenggarakan kembali di FIB UI dibawah naungan Senar Budaya FIB UI, sebuah format baru sebagai media silahturahmi dan berkesenian untuk mahasiswa, alumni, dosen, karyawan, satpam dan pedagang serta koleganya. Nama Ngamen Sastra dipergunakan kembali pada acara berikutnya; Pro Event Ngamen Sastra, April 2012 dan Ngamen Sastra Tribute to Dekun, Mei 2012. Ngamen Sastra menjadi kegiatan berkesenian, acara yang telah mengakar di FIB UI. Kenapa menamakan diri sebagai sastra, bukan karya,yang lebih universal, misalnya? Karena konsep berkesenian ini lahir di FSUI, sekarang menjadi FIB UI, sebuah keterputusan rangkaian angkatan se‐fakultas, karena itu Ngamen Sastra ada. Kalian menganggap Ngamen Sastra ini sebagai apa? Ngamen Sastra sebagai aktivitas kebudayaan dalam berkesenian, membangun kerjasama yang di antara berbagai komunitas kesenian yang ada di lingkungan kampus FIB UI pun luar dan masyarakat lainnya untuk menciptakan networking berkesenian bersama yang kuat, mandiri dan berkarakter. Terlebih menjadikan berkesenian adalah kebutuhan mentalitas budaya (Frof. Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, 1987) bagi seluruh civitas akademika FIB UI. Sampai kapan Ngamen Sastra bakal tetap ada? Harapanya ini acara jadi "sindikasi" pergerakan. maunya selama‐lamanya.. Aamiin!
DUA PULUH DUA
ANGKRINGAN
Konsumsi Tanpa Arah Oleh: Maria Natasha Ilustrasi: Ridwan Sobar Sudah beberapa bulan terakhir ini, saya, Sal, berhenti menonton televisi. Awalnya sih gara‐gara tv saya rusak. Layarnya gelap segelap masa mudanya Mbah Jarwo. Maklum, tv murah. Waktu mempertimbangkan beli dulu, saya mau ikut‐ikutan warteg gang seberang, asal ada tv‐nya. Jadi ya saya beli tv yang mereknya tidak terkenal. Setelah rusak pun ternyata saya nggak mau repot‐repot membetulkan. Pelanggan warteg saya ada yang mengeluh, nggak bisa makan sambil nonton tv. Padahal saya pikir, ada bagusnya juga kalo nggak ada tv, orang‐orang yang datang ke warteg saya akan lebih banyak mengobrol. Mungkin awalnya hanya basa‐basi ngobrolin cuaca hari ini, lalu bisa berlanjut ke diskusi menyelesaikan masalah bangsa. Ngobrol kan bisa memancing opini‐opini, biarpun nggak terdengar ke bapak‐bapak dewan, yang penting masyarakat kita ini berpikir. Nggak terus‐terusan mengonsumsi informasi yang kadang bikin malas mikir. Eh ternyata pelanggan warteg saya lebih memilih untuk mencet‐mencet gadgetnya daripada menyapa kanan‐kiri. Ternyata, setelah beberapa waktu lamanya tidak menonton televisi, hidup saya kok
ANGKRINGAN
DUA PULUH TIGA
rasanya jadi lebih tenang. Kalau saya lagi
Karena beragamnya informasi di
begadang meracik bumbu‐bumbu untuk
internet, sulit bagi saya untuk memilah,
hidangan warteg saya, nggak ada berita‐
mana yang penting untuk saya konsumsi,
berita kriminal yang biasanya jadi
dan mana yang tidak. Ketika saya mulai
headline berita tengah malam. Kalau saya
bosan sama model dan warna rambut
lagi nunggu suami saya mengantar barang
saya, saya mulai gugling tren rambut
dagangan ke luar kota, nggak ada berita
2013. Ketika semua tetangga saya demam
kecelakaan yang bikin pikiran nggak
belanja online, dari baju sampai double
tenang. Kalau sore‐sore, biasanya ada
pan, saya jadi ikut‐ikutan cuci mata di
berita investigasi tentang ayam tiren dan
web belanja. Untung akhirnya saya sadar,
tahu formalin, bikin saya takut dicurigai
harga barang yang sama di itese tentu
jualan yang begituan.
bisa lebih murah.
Mungkin benar, televisi bukan lagi kanal
terpopuler
mencari
deintelektualisasi, bisa juga demikian
informasi, sejak ada internet. Tapi
halnya dengan internet. Kalau ada yang
benarkah internet adalah tempat kita
bilang, televisi bisa menyetir persepsi dan
mencari informasi? Sekarang hampir
menjerumuskan pemahaman, internet
semua mahasiswa adalah pengguna aktif
bisa lebih parah lagi. Seorang teman yang
sosial media. Kenyataannya, mereka
belum pernah makan di warteg saya
mulai kesulitan memisahkan apa yang
pernah bilang, “Justru dengan hadirnya
nyata
Buktinya,
internet, toh kendali media ada di tangan
kebanyakan mahasiswa yang datang ke
kita yang terserah mau ngeklik mousenya
warteg saya obrolannya kurang lebih
kemana atau close browser tab‐nya.”
dan
yang
untuk
Kalau ada yang bilang, televisi adalah
maya.
begini, “Eh, lo udah gue mention nih.”
Luasnya ruang lingkup internet yang
Dan balasannya kira‐kira begini, “Oke,
dipuja‐puja sebagai ruang kebebasan
nanti pasti gue follback.” Setelah itu
berekspresi justru bisa menjadi bumerang
biasanya, “Mana postingan foto kita lagi
dan mempersempit dunia, kalau tidak
makan di warteg? Tag‐in ke gue dong!”
siap menggunakannya atau tidak bisa
Informasi apa yang kita cari di internet? Informasi apa yang sebenarnya kita butuhkan?
menentukan tujuan, untuk apa kita mengonsumsi internet. Tapi toh warteg saya belum pasang HotSpot wifi.