Media Aesculapius Surat Kabar
Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970
No. 04 l XLIX l September-Oktober 2018 ISSN No. 0216-4966 Artikel Bebas
Konsultasi
Semakin Canggih, Semakin Kecanduan
Mencermati Fenomena Babyled Weaning dari Kacamata WHO halaman 3
Rubrik Daerah Pengabdian di Kabupaten Kepulauan
halaman 6
Kontak Kami @MedAesculapius beranisehat.com 0896-70-2255-62
halaman 11
Pembatasan Layanan BPJS: Siapa yang Diuntungkan? Peraturan baru BPJS Kesehatan disambut dengan kritik dari banyak pihak. Kembali, hak sehat masyarakat berhadapan dengan terbatasnya dana negara.
B
adan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merumuskan tiga kebijakan yang membatasi pelayanan kesehatan. Pembatasan tersebut mencakup pembiayaan bayi lahir sehat, penggunaan kriteria visus dalam operasi katarak, dan pembatasan pembiayaan rehabilitasi medis menjadi dua kali per minggu. Selain menurunkan angka defisit BPJS Kesehatan, kebijakan ini juga diharapkan dapat meningkatkan mutu layanan. Namun, peluncuran kebijakan ini menimbulkan kontroversi di masyarakat dan kalangan tenaga kesehatan. Masyarakat merasa dirugikan akan pembatasan ini karena tingginya biaya dari ketiga pelayanan tersebut. Tenaga kesehatan yang menjalankan kebijakan tersebut juga merasa terbebani karena kinerjanya semakin dibatasi oleh biaya.
menjamin biaya persalinan bayi lahir sehat dengan metode normal maupun bedah caesar yang ditanggung satu paket dengan ibu. Namun, klaim pembayaran bayi yang membutuhkan pelayanan khusus akan ditagihkan di luar paket ibu. Perdirjampelkes Nomor 5 Tahun 2018 menjelaskan bahwa frekuensi maksimal untuk menjalani rehabilitasi medis adalah dua kali seminggu dan delapan kali dalam sebulan. Pembuatan dan perubahan peraturan ini sudah didiskusikan
Demi Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan Dikutip dari laman resmi BPJS, Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohammad Arief, menjelaskan bahwa BPJS tetap menanggung ketiga pelayanan tersebut. “Apabila ada yang menyebut BPJS Kesehatan mencabut tiga layanan kesehatan tersebut, berita itu adalah hoax,” ujar Budi. Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) Nomor 2 Tahun 2018 menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan menjamin pasien katarak dengan kriteria visus atau lapang pandang penglihatan tertentu apabila disertai indikasi medis dan perlu mendapatkan operasi. Sementara itu, Perdirjampelkes Nomor 3 Tahun 2018
bersama dengan perhimpunan profesi terkait, seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (PERDOSRI). BPJS Kesehatan mengklaim bahwa perubahan peraturan ini merupakan amanah undang-undang yang mewajibkan pengembangan sistem pembayaran menjadi semakin efektif dan efisien. Kepala Humas BPJS Kesehatan, Muhammad Iqbal, menjelaskan bahwa ketiga peraturan tersebut diubah untuk memperjelas kriteria-kriteria pasien katarak, persalinan, dan rehabilitasi medis yang mendapat jaminan. “Muara
perubahan aturan ini tidak hanya sekadar efisiensi, tetapi juga peningkatan mutu pelayanan kesehatan di lapangan,” ujar Iqbal. Mengenai tidak setujunya Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), BPJS Kesehatan saat ini sedang berkoordinasi dengan pihak terkait untuk mengatasi pertentangan ini. “Hal yang lebih esensial adalah jaminan kesehatan itu dibutuhkan oleh masyarakat,” terangnya. Masyarakat Merasa Dirugikan Di sisi lain, pihak IDI menyatakan bahwa peraturan baru yang telah dikeluarkan oleh pihak BPJS Kesehatan akan merugikan fiona/MA masyarakat. Perubahan peraturan ini dinilai dapat membatasi dokter dalam menangani pasien dan menurunkan standar operasional dokter dalam berpraktik. Pihak IDI juga sangat menyayangkan bahwa kebijakan baru BPJS hanya memandang efisiensi tanpa mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat. Pembatasan operasi katarak berdasarkan nilai visus diprediksi akan menyebabkan pasien dengan visus rendah memiliki kualitas hidup yang buruk. Selain itu, katarak
yang tidak segera ditangani juga akan bertambah parah hingga mengakibatkan kebutaan. Sementara itu, peraturan mengenai pembatasan bayi lahir yang ditanggung BPJS dapat memicu penurunan kualitas pelayanan perinatal dan maternal di Indonesia yang berujung pada peningkatan angka kematian ibu serta anak yang hingga saat ini masih tinggi di Indonesia. Reduksi penanggungan biaya rehabilitasi medis dinilai dapat meningkatkan lama rawat inap pasien. Kondisi ini dipikirkan justru akan menambah beban tanggungan BPJS Kesehatan dan berbuah stagnansi kualitas pelayanan rawat inap di rumah sakit. Evaluasi Bersama Menaikkan Tingkat Keberhasilan Kebijakan Kebijakan ini awalnya adalah sebuah hasil evaluasi bersama antara BPJS Kesehatan dengan pihak-pihak terkait seperti Kementerian Kesehatan dan IDI mengenai peraturan yang selama ini telah berjalan. Pembuatan kebijakan ini diharapkan mampu membenahi sistem lama sehingga bukan hanya menyelamatkan kondisi keuangan BPJS Kesehatan, melainkan juga membuat pelayanan kesehatan lebih merata. Polemik perubahan aturan seperti ini akan terus terjadi karena sulitnya integrasi tujuan BPJS Kesehatan dan tenaga kesehatan sebagai eksekutor. Di satu sisi, BPJS Kesehatan menginginkan efisiensi biaya dengan penambahan kriteria pasien yang ditanggung. Sementara itu, tenaga kesehatan menginginkan pelayanan terbaik untuk pasien yang tentunya membutuhkan biaya bersambung ke halaman 11
Menilik Pembuatan Kebijakan oleh BPJS Kesehatan
SKMA untuk Anda
Bukan sekadar kebijakan, tapi sebuah penyelesaian masalah. Tidak cukup hanya bermaksud baik, tetapi juga adil di mata semua pihak terkait.
Mari bersama membuat SKMA menjadi lebih baik.
D
alam membuat sebuah kebijakan, tentunya terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum disepakati dan diluncurkan. Tahapan tersebut antara lain mengidentifikasi masalah yang ada, merumuskan kebijakan, mengimplementasikan kebijakan tersebut, dan mengevaluasi dampak sementara dari implementasinya. Ide kebijakan harus muncul dari masalah yang tampak jelas di masyarakat. Setelah itu, kebijakan akan disusun bersama dengan pihak-pihak pemegang kekuasaan terkait untuk mencari solusi yang sesuai bagi masalah tersebut. Misalnya saja pada kebijakan mengenai pembiayaan bayi lahir sehat, pihak-pihak
yang akan ikut membahas kebijakan tersebut adalah mereka yang berkecimpung di bidang ini, salah satunya Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Dengan diikutsertakannya pihak-pihak tersebut, seharusnya keputusan pembuatan peraturan baru sudah disetujui bersama. Jika dilihat dari teori pembuatan kebijakan, model sinopsis atau rasionalis menjelaskan bahwa para pembuat kebijakan yang menghadapi sebuah permasalahan tersebut akan melihat tujuan dan sasaran dari solusi yang dibuat. Kemudian, beberapa alternatif akan dipertimbangkan hingga akhirnya terpilih satu alternatif yang paling sesuai. Ketika rumusan kebijakan sudah tersusun, harus dilakukan pemaparan
kepada anggota-anggota yang akan menjalankannya. Kesepakatan yang didapat dari sini menjadi dasar peluncuran peraturan ke masyarakat. “Dalam pembuatan kebijakan, seharusnya dilibatkan lebih banyak pihak dan lebih banyak kesempatan timbal balik untuk evaluasi sebelum kebijakan diluncurkan,” terang Dr. dr. Herqutanto MPH, MARS. Sikap tersebut bertujuan agar kebijakan lebih diterima oleh banyak pihak, termasuk para pasien pengguna jaminan kesehatan. Evaluasi juga wajib dilakukan saat kebijakan telah dijalankan untuk melihat sejauh mana implementasi kebijakan tersebut bermanfaat bagi masyarakat. farah, ilham, dina
1. Apakah konten SKMA bermanfaat/ relevan dengan kondisi kesehatan saat ini? 2. Apakah anda masih membutuhkan SKMA edisi selanjutnya?
!
Jawab dengan format: Nama-Umur_Kota/Kabupaten_Unit Kerja_Jawaban 1_Jawaban 2
Contoh: Rudiyanto_43_Jakarta Pusat_RSCM_Ya_ Ya Kirim melalui WhatsApp/SMS ke 0822 229 229 362 atau mengisi formulir pada bit.ly/surveyskma Lima orang pengisi survei yang beruntung akan mendapatkan cenderamata dari Media Aesculapius
2
JULI
SEPTEMBER - OKTOBER 2018
DARI KAMI Mengingat berbagai kejadian gempa bumi, tsunami, dan banjir di Palu, Lombok, serta Sumatera maupun jatuhnya pesawat Lion Air JT610, Media Aesculapius mengucapkan turut berduka cita atas kehilangan sanak saudara dan teman sejawat kita. Semoga amal dan ibadah saudara-saudara kita diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan semua yang ditinggalkan diberikan ketegaran dalam menghadapi situasi ini. Dalam edisi ini, Surat Kabar Media Aesculapius mengangkat topik utama mengenai polemik perubahan tiga peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pelaksanaan jaminan saat ini masih sering mengalami keributan, perubahan peraturan tersebut dipikirkan dapat memperparah masalah yang ada. Apakah benar demikian? Simak ulasan para ahli mengenai hal ini dalam Headline. Merawat bayi merupakan tantangan besar bagi para orang tua. Tak jarang kemudian mereka meniru metode mendidik bayi yang terbilang populer, baby-led weaning misalnya. Bagaimana pendapat ahli nutrisi anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo terkait metode ini? Ikuti uraiannya dalam artikel Konsultasi. Seperti apa rasanya hidup berkarya di daerah perbatasan atau daerah konflik? Pasti akan menegangkan. Dr. Rangi Wirantika Sudrajat, anggota Médecins Sans Frontièrs, akan membagikan suka duka bertugas di daerah konflik yang telah digelutinya sejak 2015 dalam Suka Duka. Tidak hanya itu, masih banyak artikel menarik lain yang dapat memperluas pandangan pembaca sekalian. Selamat membaca!
Veronika Renny Pemimpin Redaksi
MA FOKUS
Kesehatan Universal: Sebuah Cermin Manusia Kesehatan Sudah digembar-gemborkan bahwa Indonesia memasang target mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada tahun 2019. Janji ini kini semakin dekat mengingat tahun 2018 sudah mencapai akhirnya. Upaya utama yang dikejar adalah peningkatan partisipasi terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), baik sebagai peserta maupun penyedia fasilitas kesehatan. Guna mengukur sudah sampai manakah UHC terlaksana, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pengawasan perlu dilakukan rutin. Komponen yang dinilai meliputi cakupan intervensi medis dan adanya perlindungan terhadap risiko masalah keuangan. Cakupan intervensi di Indonesia tampak secara kasar melalui persentase jumlah peserta JKN, yakni mencapai 75% seluruh penduduk dengan peningkatan kunjungan kesehatan dari 62,3 juta pada 2014 menjadi 219,6 juta di tahun 2017. Jumlah kerja sama antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan fasilitas kesehatan tingkat primer juga meningkat sebesar 18%, sementara dengan tingkat lanjut meningkat 36%. Apakah angka ini merepresentasikan keberhasilan BPJS? Nyatanya, UHC tidak hanya melulu masalah penyediaan biaya untuk membayari kesehatan rakyat, tetapi juga menyangkut sistem penyaluran pelayanan, kualitas layanan dan fasilitas, sistem komunikasi dan informasi, sampai adanya hukum dan perlindungan terkait kesehatan. UHC juga berarti penanganan suatu masalah secara komprehensif, bukan hanya menyangkut kesehatan pasien secara individual, melainkan manusia sebagai bagian dari masyarakat, contohnya pada upaya pemberantasan jentik nyamuk di suatu desa. Meskipun begitu luas, UHC tidak mengharuskan negara membiayai semua beban kesehatan berapa pun harganya. Negara membantu, tetapi tentu memiliki prioritas pengeluaran kesehatan yang harus ditanggung. Maka dari itulah, harus disadari memang BPJS membatasi pengeluaran pada daftar penyakit dan kepentingan yang telah dibuat saja. Banyak orang lantas menyerukan kesemuan jaminan ini, bahwa ternyata BPJS tak menepati janji dalam membayar ongkos pengobatan. Jika memang demikian sistemnya, di sinilah pentingnya publikasi luas. Omongan “berobat gratis” tampaknya tak bisa begitu saja diucapkan, penyampaiannya pun harus hati-hati. Dalam hal ini, tenaga kesehatan berada di tengah-tengah, menghadapi keluhan pasien langsung sekaligus wajib memenuhi tegaknya sistem BPJS. Sebagian mungkin mendukung, sebagian lainnya tidak sependapat. Bagaimana pun, cita-cita yang diperjuangkan sama, yaitu mewujudkan kesehatan bagi semua orang. Sepakat dengan cita-cita itu, setiap pribadi memiliki peran penting yang bisa jadi berbeda-beda. Mereka yang menjadi pengambil keputusan hendaknya sadar bahwa UHC menyangkut kesejahteraan banyak orang, termasuk teman-teman sejawatnya sendiri sehingga diharapkan selalu terbuka, komunikatif, dan bijak. Mereka yang berpraktik dalam pelayanan sehari-hari selayaknya sadar bahwa kualitas diri dan sistem layanan juga penting di samping sekadar terbayarnya biaya perawatan pasien. Maka dari itu, mari mulai berefleksi masing-masing apa kontribusi yang mampu kita berikan untuk mewujudkan layanan yang sungguh-sungguh universal.
KLINIK
MEDIA
AESCULAPIUS
MA KLINIK
Cerdas Memilih Modalitas Radiologis pada Nyeri Kepala Ketika nyeri kepala menjadi serius, bolehlah terpikir pemeriksaan radiologis.
N
yeri kepala (headache atau cephalalgia) menurut International Classification of Headache Disorder (ICHD) terbagi menjadi tiga jenis utama: nyeri kepala primer (migrain, tension-type headache, trigeminal autonomic cephalgia), sekunder (disebabkan trauma, luka, gangguan intrakranial, vaskular, infeksi, atau penyebab lainnya), dan nyeri kepala yang disebabkan neuropati, gangguan saraf kranial, dan yang lainnya. Nyeri kepala memiliki manifestasi yang bermacammacam, tetapi yang harus diperhatikan adalah karakteristik nyeri (durasi, tipe, berat, dan perjalanan nyeri seiring waktu), gejala lain yang menyertai, serta defisit neurologis. ICHD telah menjadi alat bantu untuk menegakkan diagnosis pada kondisi klinis dan beberapa kriteria diagnosis yang memerlukan pemeriksaan terput/MA radiologis. WHO memperkirakan prevalensi nyeri kepala simtomatik adalah sekitar 50%. Dari seluruh nyeri kepala, 30% diantaranya adalah migrain. Sekitar 1,7-4% dari seluruh penduduk di dunia mengalami nyeri kepala yang bertahan lebih dari lima belas hari. Nyeri kepala bahkan bisa menjadi tanda awal terjadinya tumor otak. Berdasarkan studi prospektif pada 279 pasien dengan tumor otak, 58,7% pasien mengeluhkan nyeri kepala dan setengah diantaranya menyatakan nyeri kepala sebagai gejala awal. Kapankah Radiologi Digunakan dalam Nyeri Kepala? Terdapat dua jenis pertimbangan dalam menggunakan modalitas radiologi, yakni karakteristik klinis dan diagnosis yang masih dicurigai. Karakteristik yang memerlukan pemeriksaan radiologis antara lain nyeri kepala kronik berulang (tidak membaik dalam dua minggu terapi) atau nyeri kepala akut yang berat (terdapat defisit neurologis atau penurunan kesadaran). Tidak ada patokan skala nyeri yang pasti guna menentukan indikasi terhadap pemeriksaan radiologis sehingga kriteria hanya berdasar pada durasi dan adanya gangguan neurologis. Adapun kecurigaan yang perlu bantuan pencitraan untuk penegakan diagnosis adalah trauma kepala, dugaan tumor otak, stroke, adanya lesi isi ruang (space occupying lesion), gangguan perkembangan (delayed development) pada anak yang mengarah pada gangguan sistem saraf, penurunan fungsi kognitif (curiga demensia), dan infeksi. Apa Modalitas Radiologis yang Digunakan? Pada kasus stroke, CT dapat digunakan untuk
MEDIA AESCULAPIUS
Narasumber: dr. Reyhan Eddy Yunus, Sp.Rad, M.Sc. Staf Divisi Neuroradiologi Departemen Radiologi RSCM FKUI
menentukan area infark dan menilai adanya perdarahan (stroke hemoragik atau iskemik). Pada nyeri mendadak dan penurunan kesadaran, CT dapat menilai letak lesi isi ruang, karakteristik lesi (cair atau padat, juga menilai dugaan perdarahan), dan tanda-tanda herniasi apabila memungkinkan. Pada kasus-kasus tersebut, diharapkan topis lesi dapat ditentukan segera agar dapat dilakukan intervensi darurat sesuai. MRI digunakan apabila pasien sudah lebih stabil dan terkontrol atau hasil CT inkonklusif (terlihat gambaran radiologis normal, tetapi pada gambaran klinis terlihat defisit neurologis). Hal ini dikarenakan MRI mampu melihat jaringan lebih baik dibandingkan CT sehingga pada kasus stroke dan tumor dapat dilakukan evaluasi kerusakan jaringan yang lebih akurat. Modalitas CT dan MRI dapat digabung. CT scan menggunakan zat kontras berupa iodium untuk menilai gambaran vaskular otak, sedangkan kontras gadolinium MRI digunakan untuk evaluasi jaringan (terutama pada dugaan tumor dan infeksi intrakranial). Apa yang Harus Dilakukan oleh Dokter Umum? Interpretasi radiologis pada dasarnya tetap menjadi kompetensi spesialis radiologi, tetapi dokter umum diharapkan mengetahui beberapa karakteristik dasar dari evaluasi radiologis, yakni evaluasi perdarahan, lesi infark (pada stroke), dan lesi isi ruang. Lesi isi ruang yang ditemukan dapat bermacam-macam, baik tumor padat, malformasi vaskular (antara lain arteriovenous malformation dan carotid-cavernous fistula). Dokter umum diharapkan mampu menentukan pemeriksaan yang harus dilakukan, meliputi jenis pemeriksaan (CT/MRI), daerah pemeriksaan (evaluasi otak atau seluruh kepala), dan keperluan penggunaan kontras. Terdapat beberapa kesalahan berulang (pitfalls) yang sering dijumpai pada permintaan pemeriksaan radiologis, yakni pemeriksaan yang terbalik dan permintaan kontras terutama pada kasus tumor otak dan infeksi. Acuan dalam memilih modalitas pada tumor adalah pertimbangan defisit neurologis. Pada pasien dengan dugaan tumor otak tanpa gejala akut berat dapat dilakukan pemeriksaan MRI, sedangkan gangguan neurologis memerlukan CT. Pada infeksi, CT dipesan pada pasien dengan temuan suspek infeksi (antara lain meningitis atau ensefalitis) ditandai adanya kaku kuduk atau penurunan kesadaran dan selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan MRI. Kontras dapat digunakan pada pasien dengan tumor, stroke, dan infeksi intrakranial jika memungkinkan.
Pelindung: Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis M. Met. (Rektor UI), Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP (Dekan FKUI) Penasihat: Dr. Arman Nefi, S.H., M.M. (Direktur Kemahasiswaan UI), dr. Affan Priyambodo Permana, SpBS(K) (Koordinator Kemahasiswaan FKUI) Staf Ahli: Seluruh Kepala Bagian FKUI/RSUPNCM, Prof. Dr. Ma’rifin Husein (CHS), dr. Muki Reksoprodjo, dr. Boen Setiawan, dr. Sudarso, dr. E. Oswari, DPH, Prof. Dr. Arjatmo Tjokronegoro, PhD, dr. Hapsara, DPH (Kemenkes RI), dr. Fahmi Alatas, Prof. dr. Marwali Harahap, SpKK, Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi, MPH Pembantu Khusus: Seluruh Alumni Aesculapius dan Media Aesculapius
Pemimpin Umum: Maria Isabella. PSDM: Dewi Anggraeni, Reyza Tratama, Yusuf Ananda, Teresia Putri. Pemimpin Produksi: Shafira Chairunnisa. Tata Letak dan Cetak: Idzhar Arrizal. Ilustrasi dan Fotografi: Kristian Kurniawan. Staf Produksi: Kania Indriani, Fiona Muskananfola, Devi Elora, Nathaniel Aditya, Anthonius Yongko, Irfan Kresnadi, Teresia Putri, Hansel T. Widjaja, Itsna Arifatuz Z., Kelvin Gotama, Skolastika Mitzy, Meutia Naflah G., Dewi Anggraeni, Bagus Radityo Amien, Arlinda Eraria Hemasari, Robby Hertanto, Anyta Pinasthika, Gabriella Juli Lonardy, Herlien Widjaja, Dinda Nisapratama. Pemimpin Redaksi: Veronika Renny Kurniawati. Wakil Pemimpin Redaksi: Levina Putri Siswidiani. Redaktur Senior: Rifka Fadhilah, Shierly Novitawati, Irma Annisa, Hiradipta Ardining, Tommy Toar, Farah Vidiast, Phebe Anggita Gultom, Clara Gunawan. Redaktur Desk Headline: Reyza Tratama. Redaktur Desk Klinik: Renata Tamara. Redaktur Desk Ilmiah Populer: Tiffany Rosa. Redaktur Desk Opini & Humaniora: Vannessa Karenina. Redaktur Desk Liputan: Aisyah Rifani. Reporter Senior: Puspalydia Pangestu, Salma Suka Kyana Nareswari, Camilla Sophi Ramadhanti. Reporter Junior: Joanna Erin, Fadlika Harinda, Abdillah Y Wicaksono, Maria Isabella, Nadhira Najma, Stefanus Sutopo, Nur Afiahuddin, Dina Fitriana, Farah Qurrota, Afiyatul M., Nathalia Isabella, Rayhan Farandy, Yuli Maulidiya, M. Ilham Dhiya, Filbert Liwang, Alexander Kelvyn. Pemimpin Direksi: Trienty Batari. Finansial, Sirkulasi, dan Promosi: Angela Kimberly, Koe Stella Asadinia, Tiara Grevillea, Felix Kurniawan, Elizabeth Melina, Faya Nuralda Sitompul, Jevi Septyani Latief, Heriyanto Khiputra, Tania Graciana, Novitasari Suryaning Jati, Rahma Maulidina Sari, Aisyah Aminy Maulidina, Ainanur Aurora, Yusuf Ananda, Agassi Antoniman, Alice Tamara, Safira Amelia, Syafira Nurlaila, Lowilius Wiyono, Jeremy Rafael, Iskandar Geraldi. Buku: Reganedgary Jonlean, Husain Muhammad Fajar Surasno, Nadira Prajnasari Sanjaya, Roberto Bagaskara, Tiroy Junita, Indah Fitriani, Sabrina Tan, Gilbert Mayer C, Marie Christabelle, Andi Gunawan K., Bunga Cecilia. Alamat: Media Aesculapius BEM IKM FKUI. Gedung C lantai 4, Rumpun Ilmu Kesehatan, Kampus UI Depok. E-mail: medaesculapius@gmail.com, Rek. 157-0004895661 Bank Mandiri Cabang UI Depok, website: beranisehat.com Alamat Redaksi/Sirkulasi: Media Aesculapius PO BOX 4201, Jakarta 10042, Harga Langganan: Rp18.000,00 per enam edisi gratis satu edisi (untuk seluruh wilayah Indonesia, ditambah biaya kirim Rp. 5.000,00 untuk luar Jawa), fotokopi bukti pembayaran wesel pos atau fotokopi bukti transfer via Bank Mandiri dapat dikirim ke alamat sirkulasi. MA menerima kiriman naskah dari pembaca untuk rubrik MA Klinik (khusus untuk dokter dan staf pengajar), Asuhan Keperawatan (khusus untuk perawat dan mahasiswa keperawatan) Sepuki, Suma, Suduk, Kolum, Arbeb, Kesmas, Seremonia, dan Konsultasi (berupa pertanyaan). Kirimkan email permohonan penulisan ke redaksima@yahoo.co.id dan kami akan mengirimkan spesifikasi rubrik yang Anda minati.
Kirimkan kritik dan saran Anda:
redaksima@yahoo.co.id
Website Media Aesculapius
beranisehat.com
Dapatkan info terbaru kami: @MedAesculapius
MEDIA
KLINIK
AESCULAPIUS
JULI
SEPTEMBER - OKTOBER 2018
3
KONSULTASI
Mencermati Fenomena Baby-led Weaning dari Kacamata WHO Narasumber: dr. Klara Yuliarti, SpA(K) Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
“Ketika bayi bebas menentukan makanannya sendiri� Pertanyaan: Fenomena baby-led weaning sedang marak di kalangan orang tua milenial. Bagaimana sisi kedokteran memandang fenomena ini? Bagaimana peran dokter umum dalam memberi penyuluhan tentang pemenuhan gizi bayi dan balita? – dr. Avian Andika
B
aby-led Weaning (BLW) adalah metode yang memberikan kebebasan pada bayi untuk memilih makanan menggunakan tangannya sendiri tanpa bantuan. Penerapan BLW diharapkan mampu memberikan bayi kebebasan dalam menentukan variasi makanan dan mengatur rasa kenyang sehingga kemandirian dan pola hidup sehat dalam mencegah
hansel/
MA
obesitas dapat ditanamkan sejak dini. Sejumlah pro dan kontra muncul menyikapi semakin maraknya pengaplikasian metode ini di Indonesia. Berdasarkan pedoman dari WHO Global Strategy of Infant and Young Child Feeding, dokter umum dapat mengacu pada empat syarat dasar dalam memberikan makanan pendamping ASI (MPASI). Syarat pertama adalah tepat waktu. WHO menganjurkan pemberian MPASI dilakukan pada usia enam bulan dengan tiga alasan utama, salah satunya perkembangan motorik bayi. Pada usia tersebut, bayi sudah mampu menegakkan kepala dan duduk dengan bertumpu sehingga makanan bertekstur lumat dapat mudah ditelan. Pada metode BLW, bayi diharuskan mengambil makanan secara mandiri dan dimasukkan ke dalam mulut, padahal keterampilan tersebut masih sulit dilakukan oleh bayi berumur enam bulan. Oleh karena itu, metode BLW tidak cocok untuk diaplikasikan. Penelitian di Inggris menemukan bahwa kelompok bayi dengan metode BLW cenderung mengalami berat badan kurang dibandingkan kelompok bayi dengan pemberian MPASI konvensional. Kemampuan mengambil dan memasukkan makanan sendiri ke mulut umumnya dicapai saat bayi berusia delapan bulan. Maka dari itu, WHO menganjurkan pelatihan makan mandiri bisa diberikan saat bayi berusia lebih dari delapan bulan dengan tetap memerhatikan jenis, tekstur, dan ukuran potongan yang sesuai dengan genggaman
bayi. Syarat kedua adalah asupan nutrisi yang cukup. Salah satu risiko metode BLW adalah asupan nutrisi yang kurang. Penelitian di New Zealand berhasil membandingkan asupan nutrisi yang diperoleh kelompok bayi dengan metode MPASI BLW dan konvensional. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok bayi BLW mengalami defisiensi sejumlah mikronutrien, seperti lemak jenuh, besi, seng, dan vitamin B12. Kondisi ini erat kaitannya dengan kebebasan bayi dalam menentukan variasi makanan sehingga pemenuhan beberapa nutrisi tidak terkontrol dengan baik. Syarat ketiga adalah metode pemberian yang aman. Metode BLW memiliki risiko lebih tinggi tersedak potongan makanan. Potongan yang terlalu besar dengan tekstur keras bisa masuk ke dalam saluran napas dan menutup akses keluar masuknya udara. Kondisi ini membuat bayi tampak kebiruan, tidak bisa bersuara, dan pucat. Untuk itu, orang tua yang menjalankan metode BLW harus jeli dengan beberapa kondisi penolakan makanan oleh bayi dan tanda-tanda tersedak. Syarat terakhir yang harus dipenuhi adalah pemberian MPASI secara responsif (responsive feeding). Orang tua dianjurkan untuk membangun interaksi dengan bayi saat makan. Interaksi yang terbentuk dapat menambah pengetahuan orang tua tentang kondisi dan respons bayi ketika lapar atau kenyang. Metode BLW memang dirancang
untuk mencegah masalah makan anak, seperti fussy eater dan picky eater saat balita. Tujuan ini pun telah terbukti secara ilmiah berdasarkan penelitian bahwa angka balita dengan masalah makan lebih rendah pada kelompok BLW dibandingkan kelompok konvensional. Namun, ketika dibandingkan dengan gaya pemberian makanan ibu-anak (responsive feeding), tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Meskipun terjadi peningkatan minat orang tua dalam menerapkan metode BLW, belum banyak bukti ilmiah yang mampu mengevaluasi pemenuhan nutrisi bayi dengan BLW terhadap pertumbuhannya. Studi mengenai efek jangka panjang BLW dalam menurukan risiko obesitas dan gangguan makan hingga saat ini juga belum ada. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan metode tepat untuk dapat merekomendasikan BLW sebagai pengganti metode konvensional maka WHO masih merekomendasikan pemberian MPASI dengan peningkatan tekstur makanan bertahap (lumat, lembek, makanan keluarga) yang diberikan secara responsif, termasuk di dalamnya memberikan bayi kesempatan untuk makan sendiri, baik dengan finger food maupun memegang sendok. afiahuddin Kirimkan pertanyaan Anda seputar medis ke redaksima@yahoo.co.id. Pertanyaan Anda akan dijawab oleh narasumber spesialis terpercaya.
TIPS DAN TRIK
Menambah Kelekatan dan Kehangatan dengan Perawatan Metode Kanguru
P
Perawatan Metode Kanguru diperlukan untuk kesehatan bayi prematur. Bagaimana cara melakukannya?
erawatan Metode Kanguru (PMK) adalah metode merawat bayi prematur atau bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan cara meningkatkan intensitas penempelan antara kulit ibu dengan kulit bayi. Metode ini dapat dilaksanakan di rumah sakit dan dilanjutkan di rumah. Penelitian menunjukkan bahwa metode ini sama seperti metode inkubasi dalam hal keamanan dan terjaganya suhu tubuh bayi sehingga dapat menurunkan mortalitas bayi. Penelitian lain juga
kania/MA
menunjukkan bawa metode ini dapat meningkatkan ikatan batin antara ibu dan bayi. Manfaat tersebut bisa didapatkan apabila kontak ibu dan anak dilaksanakan secara dini, berkelanjutan, dan lama. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam PMK. Pertama, minta ibu untuk menggunakan pakaian yang santai dan longgar. Gunakan ruangan yang hangat demi kenyamanan bayi. Ibu boleh meminta suami untuk menemani apabila dibutuhkan. Hal ini dilakukan agar suami bisa memberikan dukungan dan keamanan kepada sang ibu. Kedua, lepaskan seluruh baju bayi dan baju atas ibu. Letakkan bayi di antara payudara ibu dengan posisi berdiri dan dada bayi kontak dengan dada ibu. Kepala bayi diarahkan ke salah satu arah, kiri atau kanan, dalam keadaan sedikit ekstensi. Kepala yang sedikit ekstensi akan membuka jalur napas dan membuat posisi saling kontak mata antara ibu dan bayi. Hindari fleksi dan ekstensi yang berlebihan pada kepala bayi. Panggul bayi harus diekstensikan dan lutut bayi harus difleksikan seperti bentuk posisi katak. Tangan bayi juga harus difleksikan. Ketiga, selimuti bayi
menggunakan selimut dengan batas tepat di bawah telinga bayi. Selimut bayi harus diikat dengan cukup kencang agar bayi tidak terjatuh saat ibu berdiri. Apabila ibu ingin menggerakkan bayinya, letakkan satu tangan di belakang leher atau punggung bayi dan letakkan tangan yang lain pada bokong bayi. Hal ini dilakukan agar bayi tidak sakit dan tidak terjatuh saat digerakkan masuk dan keluar dari selimut. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan PMK. Pertama adalah durasi PMK. Sesi kurang dari satu jam harus dihindari karena akan menyebabkan stres kepada bayi. Hal kedua yang harus diperhatikan adalah kondisi bayi, seperti suhu dan pola pernapasan. Suhu yang normal berkisar antara 36,5 - 37°C. Suhu yang normal bisa didapat apabila pola asuh PMK dilaksanakan secara tepat. Untuk pola pernapasan, frekuensi pernapasan bayi prematur sekitar 30-60 kali per menit dengan beberapa episode apnea. Apabila bayi bernapas sekitar 20 kali per menit, bibir dan muka bayi menjadi biru (sianosis), denyut nadi menjadi turun (bradikardi), dan tidak ada napas, segera temui dokter untuk menghindari masalah lebih lanjut. Oleh karena itu, para ibu disarankan melakukan PMK dengan tepat agar bayinya dapat bertumbuh dan berkembang optimal. rayhan
JASA PEMBUATAN BUKU Media Aesculapius menyediakan jasa penyusunan buku yang sangat fleksibel baik dalam hal desain cover dan isi, ukuran dan tebal buku, maupun gaya penulisan termasuk menyunting tulisan anda. Tak terbatas hingga penyusunan saja, kami siap melayani distribusi buku anda. Adapun buku yang pernah kami buat: buku biografi tokoh, buku pemeriksaan fisik berbagai departemen, buku jurnal, dan Kapita Selekta Kedokteran.
Hubungi Hotline MA: 0896-70-2255-62 (SMS/WhatsApp)
JULI
4
SEPTEMBER - OKTOBER 2018
KLINIK
MEDIA
AESCULAPIUS
MA INFO
Tidak Panik Menghadapi Kejang yang Tak Berhenti Apa yang harus dilakukan jika kejang tidak kunjung berhenti?
S
tatus epileptikus (SE) merupakan kegawatdaruratan neurologis yang sangat penting untuk ditangani sejak dini. Penatalaksanaan yang tepat dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh SE. Jumlah kejadian SE episode pertama mencapai 42 kasus per 100.000 penduduk dengan kategori umur berbentuk bimodal (dekade pertama dan >60 tahun). Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2015, terdapat dua jenis SE berdasarkan manifestasinya yaitu dengan gejala motor prominen atau tanpa gejala motor prominen. Terdapat dua dimensi waktu untuk menetapkan SE. Pertama adalah kemungkinan durasi bangkitan dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang, seperti kerusakan neuronal, perubahan sinaptik, dan defisit fungsi. Kedua, kemungkinan durasi bangkitan akan berkepanjangan dan tidak akan berhenti spontan. Durasi pertama adalah selama tiga puluh menit, tetapi penatalaksanaan SE didasarkan pada durasi kedua, yaitu apabila selama lima menit kejang tidak berhenti, harus dilakukan tata laksana segera. Durasi tersebut berlaku pada SE dengan manifestasi tonik-klonik. Apabila SE fokal, dimensi yang berlaku adalah lebih dari enam puluh menit
mengamankan jalan napas, pernapasan, dan sepuluh menit. sirkulasi, serta disabilitas neurologis. Panduan dari American Epilepsy Langkah-langkah lain yang dapat dilakukan Society tahun 2016 tidak membedakan seperti evaluasi oksigenasi, monitor penatalaksanaan dewasa dan anak-anak ekokardiografi, pemeriksaan kadar gula karena kesamaan dasar patofisiologi darah, dan pemasangan akses vena. yang menyebabkan SE serta efek obat Apabila bangkitan melewati menit antikonvulsan yang bekerja sama untuk ke-5, fase terapi inisial harus segera segala tahapan usia. Tujuan manajemen dilaksanakan. Benzodiazepin merupakan adalah menghentikan obat lini pertama dengan tiga pilihan kejadian bangkitan sesegera yaitu midazolam IM, lorazepam IV, mungkin, mengidentifikasi dan diazepam IV. Namun, pilihan di kemungkinan etiologi, dan Indonesia saat ini hanya midazolam mengatasi komplikasi. Syarat dengan dosis 10 mg untuk berat obat dapat digunakan badan >40 kg dan 5 mg untuk sebagai lini awal adalah berat badan 13-40 kg serta rute pemberian obat diazepam 0,15-0,2 mg/kgBB mudah diakses serta dengan maksimal 10 mg per cepat mencapai kadar dosis, dosis dapat diulangi sekali. terapeutik. Tata laksana Jika obat pilihan pertama sedini mungkin akan tidak tersedia di fasilitas meningkatkan kesehatan, pilihan lain kemungkinan adalah fenobarbital IV (15 terminasi idzhar/MA mg/kgBB/dosis, dosis bangkitan. tunggal) atau diazepam rektal (0,2-0,5 mg/ Tata laksana dapat dibagi menjadi kgBB/dosis, dosis tunggal). Pilihan lainnya beberapa fase yaitu fase stabilisasi dan tiga berdasarkan panduan adalah midazolam fase terapi. Fase stabilisasi berlangsung dengan pemberian secara intranasal atau pada lima menit pertama onset kejang intrabukal yang tidak tersedia di Indonesia. dengan memberikan pertolongan pertama Terapi lini kedua dilakukan ketika durasi pada kejang. Stabilisasi pasien dengan
kejang telah melewati dua puluh menit. Pilihan obat adalah fosfenitoin IV, asam valproat IV, dan leviterasetam IV. Sayangnya, sediaan ketiga obat tersebut tidak ada di Indonesia sehingga fenitoin dapat digunakan sebagai alternatif fosfenitoin. Fenitoin IV diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, kecepatan pemberian 50 mg/menit dengan dosis tunggal. Pengulangan pemberian fenitoin dapat dilakukan sebanyak 5-10 mg/ kgBB. Bila tidak tersedia, dapat diberikan fenobarbital IV dengan dosis 15 mg/kgBB. Lini ketiga terapi dilakukan apabila waktu kejang melebihi empat puluh menit. Pada level ini, tidak ada bukti yang mencukupi untuk mendukung salah satu jenis terapi. Opsi yang dapat dilakukan adalah mengulang terapi lini kedua atau memberikan obat lain seperti tiopental, midazolam, pentobarbital, dan propofol dengan pemantauan elektroensefalogram (EEG). Tata laksana segera bagi SE dapat memberi prognosis yang baik bagi kesembuhan pasien. Sangat penting bagi dokter umum mengetahui penatalaksanaan awal serta pengendalian kondisi darurat SE. filbert
ASUHAN KESEHATAN
Penanganan Pasien Ulkus Dekubitus: Jangan Deg-Degan! Ulkus dekubitus dapat timbul pada pasien tirah baring lama. Segera tangani dengan tepat untuk cegah komplikasinya!
M
enurut European Pressure Ulcer Advisory Panel, luka tekan atau ulkus dekubitus merupakan kerusakan pada kulit dan jaringan di bawahnya akibat tekanan atau gesekan. Faktor risiko terjadinya ulkus dekubitus antara lain usia tua, imobilitas, penyakit vaskular, malnutrisi, dehidrasi, dan riwayat ulkus sebelumnya. Peristiwa ini cukup sering ditemukan pada pasien tirah baring lama karena adanya gangguan aliran darah ke jaringan yang tertekan sehingga terjadi iskemia jaringan dan berakhir dengan nekrosis. Pada umumnya, lokasi luka terdapat pada area dengan tekanan besar (sekitar penonjolan tulang), seperti tulang ekor dan tumit. Selain itu, gesekan karena pasien merosot akibat posisi yang kurang tepat dapat menyebabkan terjadinya ulkus dekubitus. Luka yang timbul tentu membuat pasien tidak nyaman karena nyeri. Namun, pada pasien dengan gangguan sensorik, misalnya akibat diabetes melitus, ulkus sulit terdeteksi akibat nyeri yang tidak dapat dirasakan. Perawat dapat berperan dalam mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami luka tekan dan mengimplementasikan strategi pencegahan.
Caranya yaitu mengoptimalkan nutrisi dan hidrasi pasien, memeriksa kondisi kulit, meminimalkan tekanan dengan mengganti posisi pasien setiap dua jam, menjaga kulit pasien tetap kering dan lembab (misalnya mengaplikasikan krim atau baby oil), dan menyediakan tempat tidur khusus bagi klien yang berisiko mengalami ulkus dekubitus. Apabila ulkus sudah terbentuk, ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat. Pertama, mengobservasi tanda vital
JASA TERJEMAHAN Kabar Gembira! Media Aesculapius menyediakan jasa terjemahan IndonesiaInggris dan Inggris-Indonesia dengan waktu pengerjaan singkat (3 x 24 jam) serta hasil terjamin. Tidak hanya jasa
devi/MA
terjemahan, kami juga menyediakan jasa pembuatan slide presentasi dan poster ilmiah sesuai kebutuhan Anda. Lailiyatul Munawaroh Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Profesi Ners
(perhatikan apakah ada demam sebagai tanda infeksi) dan luka (ukuran, warna, kedalaman, jaringan nekrotik, dan jaringan sekitarnya). Kedua, merawat luka dan mencegah infeksinya dengan membalut luka sesuai prinsip steril. Umumnya balutan yang digunakan untuk luka tekan adalah balutan basah kering yang diganti berkala. Ketiga, memastikan pasien mendapatkan nutrisi (protein, vitamin C, A, B1, B2, dan zinc) dan cairan yang cukup.
Pasien diusahakan mengonsumsi 2.500 mL air per hari jika tidak ada kontraindikasi. Konsultasi dengan ahli gizi bertujuan untuk menentukan diet yang tepat bagi penyembuhan luka. Keempat, melakukan gerakan sesuai kemampuan pasien, baik pasif maupun aktif, untuk memelihara otot dan memungkinkan mobilisasi pasien. Perlu diingat bahwa peran keluarga sangatlah penting selama proses ini. Oleh karena itu, perawat perlu menjalin hubungan saling percaya dengan keluarga. Dengan demikian, keluarga dapat mengungkapkan perasaannya, beradaptasi dengan keadaan pasien, memberi dukungan bagi pasien, hingga terlibat dalam rencana perawatan lebih lanjut.
Hubungi Hotline MA: 0896-70-2255-62 (SMS/Whatsapp)
MEDIA
Ilmiah Populer JULI
SEPTEMBER - OKTOBER 2018
AESCULAPIUS
5
KESMAS
Sudahkah Kamu Mengenali Makananmu? Di tengah persoalan gizi di Indonesia, Kementerian Kesehatan mengeluarkan slogan “Isi Piringku” sebagai paradigma baru kesehatan gizi Indonesia.
S
aat ini, Indonesia sedang menghadapi permasalahan besar mengenai gizi. Indonesia termasuk dalam salah satu negara dengan beban ganda malnutrisi berupa gizi kurang dan gizi berlebih atau obesitas. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan karena dampak malnutrisi berbahaya, terutama bila terjadi pada anak-anak. Masalah terkait malnutrisi adalah peningkatan angka mortalitas anak, peningkatan morbiditas penyakit pada seluruh kategori usia, penurunan produktivitas kerja, hingga penurunan pendapatan negara dan pembebanan terhadap sistem layanan kesehatan karena banyaknya penyakit terkait nutrisi yang dapat dialami. Persoalan nutrisi terutama terlihat jelas pada balita di Indonesia. Menurut data tahun 2014, Indonesia memiliki tiga masalah nutrisi sekaligus, yaitu stunting, wasting, dan overweight. Selain balita, masalah gizi juga terjadi pada kelompok lain, misalnya anemia pada wanita usia reproduksi dan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif yang dipengaruhi konsumsi gizi tidak seimbang seperti diabetes melitus dan hipertensi pada dewasa. Sejak dulu, masalah gizi di Indonesia sudah berusaha ditangani dengan kampanye “4 Sehat 5 Sempurna” yang diprakarsai
Prof. Poerwo Soedarmo pada tahun 1950an. Kampanye tersebut menyatakan bahwa susu merupakan penyempurna dalam pola makan sehari-hari. Akan tetapi, walaupun sudah diketahui sejak tahun 1990an bahwa komposisi dalam “4 Sehat 5 Sempurna” belum memenuhi kebutuhan nutrisi harian, kampanye tersebut tetaplah populer di kalangan masyarakat hingga saat ini. Salah satu permasalahan utama dari penerapan kampanye tersebut adalah porsi makanan yang tidak disinggung sama sekali. Oleh karena itu, kini masyarakat Indonesia juga dihadapkan dengan masalah obesitas di samping malnutrisi. Di tengah berbagai masalah tersebut, Kementerian Kesehatan pada Oktober 2017 meluncurkan kampanye baru,
yaitu “Isi Piringku.” Kampanye tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran bahwa bukan hanya konten, melainkan porsi masing-masing bahan pangan juga harus dipertimbangkan saat menyusun suatu menu. Menurut kampanye “Isi Piringku”, piring makan yang digunakan dibagi menjadi dua. Setengah bagian piring terdiri dari sayur dan buah, sementara setengah sisanya berupa makanan pokok dan laukirunMA pauk. Konsumsi makanan pokok sebesar dua per tiga dari setengah piring tersebut. Karbohidrat yang dikonsumsi dapat disesuaikan dengan keadaan, budaya setempat, serta kearifan lokal. Sementara itu, lauk-pauk merupakan sumber protein hewani dan nabati.
Selain mengatur porsi, kampanye tersebut juga membahas pentingnya pembatasan konsumsi garam, gula, dan lemak sehari-hari. Dalam sehari, sebaiknya konsumsi garam dibatasi sebanyak satu sendok teh saja. Kemudian, batas konsumsi gula adalah empat sendok makan, sementara minyak goreng sebanyak lima sendok makan. Kampanye “Isi Piringku” merupakan bagian dari sosialisasi Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) sehingga tidak hanya asupan nutrisi saja yang penting untuk dijaga. Terdapat pelaksanaan empat hal pokok, yaitu menjaga pola gizi seimbang, minum air putih yang mencukupi sebanyak delapan gelas sehari, melakukan aktivitas fisik selama minimal tiga puluh menit setiap harinya, dan terus memantau berat badan untuk memastikan tidak ada kelebihan atau kekurangan. Aktivitas fisik dapat bersifat ringan atau sedang dan bisa dilakukan di semua lokasi, seperti rumah, tempat kerja, maupun tempat umum sambil mengisi waktu senggang. Keseluruhan kampanye ini ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sadar dan turut berpartisipasi dalam perilaku sehat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. filbert
INFO OBAT
Bersama Fluoksetin Mengatasi Depresi Terapi psikologis saja belum tentu cukup untuk memperbaiki suasana hati dan pikiran penderita depresi
D
epresi merupakan salah satu gangguan mental yang sudah tidak asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pada 2016 diperkirakan sekitar 35 juta penduduk Indonesia mengalami depresi. Pengaruh yang dapat timbul seperti penurunan kognisi, perubahan afek drastis, hingga gangguan fisik, menjadikan depresi sebagai gangguan psikologis dengan mortalitas tertinggi. Keinginan bunuh diri yang kerap kali muncul di benak penderita depresi menjadi perhatian utama tenaga medis dalam memberikan penanganan tepat dan segera. Selain terapi psikologis, penanganan juga mencakup terapi farmakologis. Sinergisme antara dua metode tata laksana diharapkan mampu membawa angin segar bagi penderita depresi untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik. Ditinjau dari aspek neurokimia, penderita depresi mengalami penurunan kadar dan aktivitas beberapa jenis neurotransmiter utama deviMA di otak, salah satunya serotonin. Serotonin diketahui mampu memodulasi mood dan perilaku seseorang melalui kinerjanya pada saraf otak. Selain itu, fungsi kognitif, eksekutif, dan memori juga
terkait erat dengan senyawa kimia turunan asam amino triptofan ini. Berdasarkan perannya yang krusial tersebut, terdapat golongan antidepresan yang secara khusus mengintervensi aktivitas serotonin, yaitu golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Salah satu obat golongan SSRI yang paling sering digunakan adalah fluoksetin. Fluoksetin (Prozac) bekerja dengan cara menghambat transporter spesifik serotonin yaitu SERT (serotonin transporter) sehingga serotonin pada celah sinaps dapat dikembalikan menuju terminal saraf presinaps. Pada dosis terapeutik, 80% SERT mampu diinhibisi oleh fluoksetin. Dengan demikian, terjadi peningkatan kadar dan aktivitas serotonin di permukaan saraf postsinaps. Peningkatan kadar tersebut kemudian merangsang pembentukan reseptor spesifik serotonin (5-HT) yang dapat meregulasi aktivitas neurogenik serotonin dan pelepasannya. Stabilisasi suasana hati dan emosi melalui peningkatan serotonin menjadi tujuan utama pengobatan jenis ini. Secara umum, SSRI khususnya fluoksetin diabsorpsi dengan baik di saluran cerna
sehingga dapat diberikan secara oral. Fluoksetin mengalami metabolisme ekstensif di hati menjadi norfluoksetin. Metabolit aktif tersebut diketahui memiliki konsentrasi plasma yang sangat tinggi dibandingkan fluoksetin. Obat ini memiliki waktu paruh yang cukup panjang sehingga pemberiannya cukup sehari sekali dengan dosis 20-60 mg/ hari. Di samping itu, fluoksetin cenderung berinteraksi dengan monoamine oxidase inhibitors (MAOI) jika diresepkan bersama. Interaksi keduanya menyebabkan sindrom serotonin, meliputi gejala hipertermia, kejang, kaku otot, dan gangguan perilaku. Sebagai penghambat utama protein CYP2D6 di hati, interaksi fluoksetin bersama obat yang dimetabolisme enzim tersebut juga sering terjadi. Berbeda halnya dengan antidepresan lain seperti trisiklik dan serotoninnorepinephrine reuptake inhibitors (SNRI), fluoksetin diketahui mampu memengaruhi neurotransmiter lainnya yaitu β-adrenoseptor dan norepinefrin transporter. Tidak hanya itu, fluoksetin juga dapat menghambat kinerja sistem dopaminergik ketika berikatan dengan transporter serotonin. SSRI jenis ini umumnya diresepkan pada terapi awal pasien depresi (major depressive disorder) dengan memerhatikan kondisi klinis lain atau komorbid yang ada. Selain memberi efek terapeutik yang baik pada pasien depresi, fluoksetin juga diindikasikan untuk gangguan psikologis lain seperti gangguan kecemasan, serangan panik, gangguan obsesif-kompulsif, post-traumatic stress disorder (PTSD), dan bulimia. Kinerja fluoksetin yang menstimulasi serotonin terhadap reseptor spesifiknya secara berlebih ternyata mencetuskan beberapa efek samping, seperti insomnia, mual, kecemasan, penurunan libido, dan
disfungsi ereksi. Pemberian fluoksetin dan golongan SSRI lainnya tidak dianjurkan pada pasien epilepsi tidak terkontrol, pasien anak, pasien dengan gangguan hati dan ginjal, serta ibu hamil dan menyusui. Pada kehamilan, fluoksetin diketahui mampu mencetuskan malformasi mayor pada proses embriogenesis. Pasien usia tua sebaiknya mendapatkan evaluasi berkala selama mengonsumsi obat ini mengingat adanya risiko penurunan fungsi hati dan ginjal yang lebih besar. Konsumsi fluoksetin tidak dapat dihentikan secara mendadak karena dapat memicu sindrom penarikan antidepresan, meliputi pusing dan parestesia. Untuk itu, pemutusan pengobatan harus didahului penurunan dosis secara berkala. afiahuddin
Nama generik : Fluoksetin Indikasi : Depresi, gangguan kecemasan, serangan panik, gangguan obsesif-kompulsif, posttraumatic stress disorder (PTSD), bulimia Interaksi : Monoamine oxidase inhibitors (MAOI), obat metabolisme CYP2D6 Efek Samping : Insomnia, mual, kecemasan, penurunan libido, disfungsi ereksi, sindrom penarikan antidepresan Kontraindikasi : Pasien epilepsi tidak terkontrol, pasien anak, gangguan hati, gangguan ginjal, ibu hamil Cara pemberian : 20-60 mg/hari Sediaan : Tablet
6
I
JULI lmiah
SEPTEMBER - OKTOBER 2018
Populer
MEDIA
AESCULAPIUS
ARTIKEL BEBAS
Semakin Canggih, Semakin Kecanduan Meluasnya peredaran informasi dan pesatnya perkembangan teknologi dapat menjerumuskan pengguna ke dalam berbagai hal negatif
penghujung hari itu tidak lupa kami diberikan penjelasan mengenai tugas sebagai peserta orientasi. Seusai acara, aku bergegas pulang untuk mengerjakan berbagai tugas yang cukup banyak dan harus selesai besok. Karena kepribadianku yang sangat pemalu, aku mengerjakan tugasku sendirian dan tidak berkenalan dengan satu orang pun saat acara. Untungnya, aku kenal dengan salah satu kakak kelas dari SMA yang sama, meskipun ia tidak menjadi panitia. Aku menanyakan berbagai hal kepadanya, seperti bagaimana mengerjakan tugas dengan sitasi dan menghindari amarah senior. Berkat jawaban dan tips darinya, aku dapat menyelesaikan tugas-tugas yang ada tepat waktu. Aku pun mulai penasaran, mata acara apa saja yang akan mahasiswa baru lewati? Kakak kelasku mengatakan bahwa seluruh kegiatan telah dirancang agar membantu adaptasi mahasiswa baru. “Ada acara menarik yang paling berkesan juga lho, menguji keberanian,” ujarnya. Lantas aku pun bertanya, “Acaranya seperti apa Kak? Aku sangat penasaran.” Lalu kakak kelasku pun menjawab, “Nanti kalian A
H
alo! Perkenalkan, namaku Siti Kumaila, biasa dipanggil Siku. Setelah sekian lama bersekolah, akhirnya kini dokter menjadi profesiku. Aku diberi amanah menjadi koordinator kemahasiswaan di suatu fakultas kedokteran perguruan tinggi dan akan berbicara di depan mahasiswa baru pada pembukaan Pengenalan Sistem Akademik Fakultas (PSAF). Ketika mempersiapkan pidato inspiratif untuk pembukaan ini, aku teringat akan masa lalu saat diterima sebagai mahasiswa baru di fakultas kedokteran pada tahun 1998. Menjadi dokter merupakan citacitaku dari kecil dan rasa senang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata saat aku resmi menjadi mahasiswa kedokteran. Dengan semangat membara, aku sudah tidak sabar menunggu hari pertama masuk kuliah. Pada hari pertama masa orientasi, seluruh mahasiswa baru, termasuk diriku, diminta berbaris dengan rapi oleh para senior. Kemudian, kami masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas. Salah satu kalimat yang masih kuingat hingga sekarang adalah suara lantang para senior yang mengatakan, “Dipercepat jalannya ya dek!” Acara puncak masa orientasi ini akan berlangsung dua hari lagi. Sambil menghela napas dan mengelus dada, aku menyemangati diriku sendiri, “Sabar, sabar, ini memang rangkaian yang semua orang harus jalani.” Kegiatan dimulai dengan sambutan pihak dekanat dan ketua acara. Di
adit/MA
tidur, gangguan kecemasan, dan depresi. Fenomena ini kemudian mendasari munculnya istilah internet addiction disorder (IAD). Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh Dr. Kimberly Young pada tahun 1996 dan dikenal oleh publik sejak tahun 2000. Namun, IAD belum dapat dikategorikan sebagai gangguan mental karena kurangnya kriteria diagnostik baku. IAD dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor sosial budaya, kerentanan biologis, dan kerentanan psikologis. Faktor sosial budaya meliputi wilayah demografi, akses, dan ketersediaan internet, sementara kerentanan biologis mencakup faktor genetik dan abnormalitas proses neurokimia. Seseorang dengan jumlah serotonin dan dopamin yang lebih sedikit berisiko lebih tinggi terhadap perilaku adiksi. Kerentanan
psikologis mencakup karakteristik kepribadian dan pengaruh negatif. Perilaku kompulsif penggunaan internet juga sering dijumpai pada orang dengan gejala depresi dan gangguan kecemasan. Terdapat perdebatan saat merumuskan klasifikasi IAD. Selain mempertimbangkan durasi, perilaku adiksi ini juga dinilai dengan mengamati perubahan suasana hati, ketidakmampuan mengontrol waktu penggunaan, peningkatan kebutuhan akan waktu atau permainan baru untuk mencapai suasana hati yang diinginkan, gejala penarikan ketika tidak menggunakan, dan konsekuensi yang timbul, seperti konflik keluarga, berkurangnya kehidupan sosial, masalah pekerjaan, dan akademis. Sampai saat ini, belum terdapat kepastian mengenai pengelompokan perilaku penggunaan internet secara berlebihan sebagai gangguan mental. Meskipun demikian, orang-orang dengan masalah penggunaan internet umumnya mulai mencari pengobatan. Meluasnya akses teknologi dan informasi dapat mempermudah hidup manusia. Namun, layaknya pedang bermata dua, penggunaan yang berlebihan dapat mengarah kepada berbagai hal negatif. Oleh sebab itu, diperlukan penggunaan internet dengan bijak. Gunakanlah internet hanya pada waktu yang dibutuhkan dan kurangi intensitas pemakaian yang berlebihan. Selain itu, perbanyak interaksi dan kegiatan di dunia nyata untuk mengurangi aktivitas di dunia maya. fiya
Panik dan Tertipu
on/M
SEGAR
situs jejaring sosial, video games, surat elektronik, pesan instan, dan sebagainya menstimulasi pusat kesenangan dengan cara yang bervariasi dan tidak dapat diprediksi. Saat pusat kesenangan diaktifkan, pelepasan dopamin, opioid, dan neurotransmiter lainnya meningkat. Seiring berjalannya waktu, dapat terjadi peningkatan toleransi pada reseptor yang terlibat sehingga kebutuhan untuk stimulasi pusat kesenangan bertambah. Perubahan ini dapat menimbulkan pola perilaku berlebihan dan gejala penarikan apabila stimulus tidak diperoleh. Berdasarkan hasil sebuah penelitian, penggunaan internet dan gawai secara berlebihan dapat memengaruhi perilaku dan kesehatan. Studi menemukan bahwa penggunaan gawai dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan risiko stres, gangguan
anth
S
eiring berjalannya waktu, kepemilikan berbagai macam gawai meliputi komputer, tablet, ponsel, iPod, dan sebagainya menjadi hal yang lazim. Hal tersebut memfasilitasi akses internet di mana saja dan kapan saja bagi siapa pun. Tidak hanya terbatas pada remaja, melainkan juga mencakup berbagai generasi. Kemudahan mengakses internet, baik melalui data seluler maupun wi-fi, kian meningkatkan waktu penggunaan gawai. Publik dapat menghabiskan waktu untuk menggunakan gawai dan internet sejak bangun hingga waktu tidur. Global Web Index Q4 2015 melaporkan bahwa Indonesia menghabiskan rata-rata 4 jam 42 menit menggunakan personal computer (PC), 3 jam 33 menit menggunakan ponsel, dan 2 jam 51 menit dalam sehari untuk mengakses media sosial. Durasi komunikasi melalui jejaring sosial mulai meningkat dibanding interaksi interpersonal. Semakin banyak orang yang menggunakan ponsel, bermain video games, dan menonton televisi sepanjang hari. Tidak hanya itu, bagi sebagian besar orang, akses internet melalui gawai turut berperan sebagai sumber informasi. Gawai dan internet telah menjadi bagian esensial dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa gawai dan internet telah menjadi candu bagi sejumlah orang. Munculnya perilaku candu tersebut disebabkan oleh aktivasi berbagai wilayah bervariasi di otak yang terkait dengan pusat kesenangan. Berbagai aplikasi seperti
harus masuk ke kamar jenazah yang gelap!” Aku pun langsung terkejut dan memberi tahu kedua orang tuaku. Anehnya, orang tuaku hanya tertawa dan mengatakan, “Sudah, kamu ikuti saja ya semua rangkaiannya.” Sejujurnya, komentar itu sama sekali tidak menenangkan rasa takutku. Hari puncak masa orientasi pun tiba. Karena kurang tidur dan bangun terlambat, salah satu tugasku tertinggal di rumah. Namun, hal itu tidak membuatku khawatir sama sekali karena aku masih memikirkan berbagai skenario yang dapat terjadi di kamar jenazah. Antisipasi akan mata acara “berkesan” menimbulkan rasa takut dan tegang yang menyertaiku sepanjang seluruh mata acara. Tiba-tiba para senior datang dengan keadaan marah-marah dan mereka meminta para mahasiswa baru untuk berbaris di depan pintu ruangan. Kami pun berjalan menuju suatu ruangan yang tidak pernah kami lewati sebelumnya dan berhenti di depan sebuah pintu ruangan.
Di benakku saat itu, “Pasti ini acara yang dimaksud kakak kelasku.” Kami diminta untuk menutup mata dan memegang tangan senior. Jantungku berdegup kencang saat memasuki ruangan yang berbau zat kimia menyengat. Aku dihentikan di suatu tempat dan senior tersebut langsung melepas tanganku. Aku diminta diam di tempat. Keheningan berlangsung selama lima menit. Namun, sayup-sayup kudengar beberapa mahasiswa lain mulai masuk ruangan dan berada di sekitarku. Kemudian, seorang senior mengagetkanku, “Di depan kamu ada kadaver tuh. Kamu lupa membawa salah satu tugas kan? Sekarang kamu pegang kadavernya,” bisiknya. Aku mulai menangis dan memohon agar jangan sampai memegangnya. Namun, ia tetap memaksa dan mengarahkan tanganku hingga menyentuh sesuatu. Benda tersebut terasa lembek dan basah, tetapi entah mengapa untuk sekilas teksturnya terasa familiar. Dengan air mata bercucuran, aku berteriak minta maaf, “Maaf Kak, maaf Kak, lain kali tugasku tidak akan tertinggal lagi!” Sesaat kemudian, tanganku akhirnya dilepaskan. Setelah beberapa mahasiswa baru berteriak-teriak kaget dan mulai menangis, para senior menyudahi kegiatan ini dan meminta kami membuka mata. Ternyata, yang kami pegang sebetulnya sebuah spons untuk mencuci. rayhan
MEDIA
Ilmiah Populer JULI
SEPTEMBER - OKTOBER 2018
AESCULAPIUS
JOURNAL READING
IPTEK
MRI Payudara: Opsi Diagnosis Kanker Payudara?
B
MRI payudara jarang dilakukan, layakkah disebut sebagai modalitas diagnostik kanker payudara? kristian/MA
reast Cancer Awareness Month diselenggarakan setiap bulan Oktober di seluruh dunia. Perayaan ini menjadi pusat perhatian karena kanker payudara merupakan kanker yang paling banyak dialami oleh wanita. Perayaan ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pencegahan, deteksi dini, hingga diagnosis kanker payudara. Modalitas diagnostik radiologis yang umum digunakan untuk mendeteksi dini kanker payudara adalah mammografi dan ultrasound payudara. Karena sensitivitas dan spesifisitasnya, modalitas tersebut tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis kanker payudara dan perlu dikombinasikan dengan biopsi yang dipandu dengan pencitraan (image-guided biopsy). Biopsi adalah tindakan pengambilan dan pemeriksaan jaringan tubuh yang merupakan baku emas diagnosis kanker payudara. Salah satu teknik pencitraan yang dapat membantu proses biopsi adalah pencitraan resonansi magnetik atau magnetic resonance imaging (MRI) payudara. Selain membantu biopsi, MRI payudara ini juga dapat digunakan sendiri sebagai modalitas diagnostik noninvasif. MRI yang paling sering digunakan saat ini adalah 3T MRI yang memiliki high-field strength.
Dibandingkan dengan modalitas diagnostik lainnya, MRI payudara ini disebutsebut sebagai alat pemecahan masalah dalam diagnosis kanker payudara. Selain mendeteksi kanker payudara, MRI juga dapat digunakan dalam situasi-situasi khusus seperti mendeteksi karsinoma lobular invasif, menilai respons pasien terhadap pemberian kemoterapi neoadjuvant, atau menilai keberadaan metastasis pada nodus limfa atau daerah tubuh lainnya. MRI payudara juga dinilai bermanfaat untuk skrining kanker payudara bagi pasien dengan risiko tinggi seperti pasien dengan dugaan mutasi gen BRCA. Meskipun begitu, penggunaan MRI payudara cukup jarang. Selain itu, ketepatan MRI payudara masih dipertanyakan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
ditemukan bahwa MRI payudara merupakan modalitas diagnostik yang aman digunakan untuk memecahkan masalah bagi kasuskasus yang tidak meyakinkan. MRI payudara juga dapat mendeteksi lebih banyak dibandingkan dengan mammografi atau ultrasound payudara. Selain itu, pemeriksaan menggunakan MRI payudara hanya membutuhkan waktu yang singkat dengan pemeriksaan untuk empat pasien yang dapat dilakukan dalam waktu satu jam. Interpretasi dan pelaporan hasil pencitraan juga hanya membutuhkan waktu beberapa menit. MRI memiliki sensitivitas dan nilai prediktif negatif tinggi, terutama pada lesi payudara nonkalsifikasi. Ditemukan bahwa sensitivitas MRI payudara jauh lebih tinggi dibandingkan modalitas-modalitas lainnya, meskipun spesifisitasnya rendah. Penggunaan MRI payudara ini juga dapat membantu pasien yang cemas dengan proses diagnosis tambahan seperti biopsi. Selain kecemasan, MRI juga mampu mengurangi biaya pemeriksaan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan pasien. Meskipun banyak sekali keunggulan dari MRI payudara, penggunaan MRI payudara tidak dapat disamaratakan untuk seluruh kasus dugaan kanker payudara. MRI payudara dapat menjadi alat pemecahan masalah bagi kasus-kasus rujukan dengan lesi yang sulit untuk dilokalisir. nathalia
ADVERTORIAL
Kompresi Dada Mekanik: Menggantikan Tangan dalam Resusitasi Jantung Paru
R
7
Perlukah tenaga manusia kini digantikan oleh mesin kompresi karena dianggap terbatas?
esusitasi jantung paru (RJP) adalah komponen penting penanganan kasus henti jantung. American Heart Association (AHA) telah menyatakan bahwa RJP berkualitas termasuk dalam rantai keselamatan pasien henti jantung, bersama dengan defibrilasi cepat, pelayanan medis dasar, dan bantuan hidup lanjut pascahenti jantung. Untuk memaksimalkan RJP, terdapat peralatan mechanical chest compression (kompresi dada mekanik), atau disebut juga mechanical CPR, yang berfungsi untuk menggantikan pemberian tekanan secara manual pada dada saat pemberian RJP. Penggunaannya dikatakan sesuai untuk kejadian henti jantung baik yang terjadi di luar maupun dalam rumah sakit. RJP yang berkualitas harus memiliki laju kompresi 100-120 kali per menit dengan kedalaman 5-6 cm tiap kompresinya. Tidak lupa petugas harus memastikan adanya recoil antarkompresi (dinding dada kembali ke posisi semula sebelum diberikan kompresi selanjutnya) dan meminimalkan interupsi. Namun, pada RJP dengan kompresi manual, hal ini tidak mudah dicapai karena beberapa faktor, seperti tenaga medis yang kelelahan saat memberikan RJP (provider fatigue), kekakuan dinding dada pasien, dan ikut tertekannya alas di bawah tubuh pasien sehingga kompresi pada dada tidak maksimal. Pada analisis lebih dari 9.000 pasien yang menerima RJP di luar rumah sakit, hanya 45% yang mendapat RJP sesuai panduan. Padahal, RJP yang benar merupakan pertolongan
utama ketika seseorang mengalami henti valid cukup sulit diambil karena kualitas jantung di mana pun. Sementara itu, RJP RJP manual sebagai grup kontrol tidak mekanik tidak dipengaruhi kelelahan dan tercatat dengan baik. Banyak juga studi memberikan kompresi konstan dengan yang membandingkan efektivitas klinis RJP jarak antarkompresi selalu sama sehingga mekanik, tetapi tidak melakukan pencatatan kualitas kompresi dada yang diberikan lebih terkait komplikasi yang terjadi. Ditambah konsisten dibandingkan RJP manual. lagi penelitian oleh Koster dkk pada tahun Mesin ini cocok terutama untuk 2017 membuktikan bahwa risiko komplikasi membantu RJP selama proses transfer pasien tidak dapat disingkirkan secara pasti. menuju rumah sakit. RJP yang dilakukan di Lantas, bagaimana efektivitas dalam kendaraan berpotensi membahayakan penggunaan kompresi mekanik untuk pasien sekaligus petugas medis. Selain itu, membantu pemberian RJP bila dibandingkan percepatan kendaraan dengan teknik standar? Pada tahun 2010, membuat upaya ini AHA menyatakan bahwa penggunaan alat tidak optimal karena mekanik sebagai pengganti tangan harus memengaruhi gerakan dalam supervisi petugas yang kompeten semua benda yang dan dapat digunakan pada kondisi sulit ada di dalamnya. untuk menerapkan resusitasi manual, Berikut cara seperti henti jantung saat memberikan RJP prosedur diagnostik atau dengan kompresi dada mekanik. intervensi. Sejak 2015, Pertama-tama, petugas memasangkan alat AHA menetapkan kompresi manual yang melingkari dada bahwa penelitian pasien. Selanjutnya, alat diaktifkan melalui yang ada tidak dua cara, yaitu menggunakan piston yang menunjukkan keuntungan akan menekan dada pasien atau memakai penggunaan sistem akis/MA sabuk yang melingkari punggung serta mekanik dibandingkan dada pasien. Kemudian, akan terjadi tangan sehingga kompresi manual tarikan oleh mesin di atas dada agar terjadi tetap menjadi standar penanganan RJP. kompresi. Akan tetapi, AHA memberikan beberapa Terdengar praktis, penggunaan kompresi contoh indikasi penggunaan alat ini, seperti manual tidak menjamin bahwa komplikasi RJP yang lama (prolonged CPR), RJP dengan tidak akan ditemui. Risiko seperti fraktur gagal jantung hipotermik, atau kondisi iga, sternum, pneumotoraks, dan kerusakan yang menyulitkan seperti proses transfer organ beberapa kali dilaporkan, tetapi pada menggunakan ambulans atau intraprosedur interpretasi studi kohort kesimpulan yang angiografi. kelvyn
Penggunaan Pankreas Artifisial untuk Kontrol Glikemik pada Pasien Diabetes Nonkritis
D
iabetes merupakan penyakit yang kian meningkat jumlahnya di dunia. Lebih dari seperempat pasien di Amerika Serikat dan negara maju lain menderita diabetes serta menjalani rawat inap di rumah sakit. Hingga saat ini, telah diketahui bahwa penggunaan terapi insulin konvensional untuk diabetes dapat meningkatkan risiko hipoglikemia yang berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan durasi rawat inap. Oleh sebab itu, sebuah penelitian dilakukan pada dua rumah sakit di Inggris dan Switzerland untuk mengetahui perbandingan penggunaan pankreas artifisial dan terapi insulin konvensional bagi pasien diabetes tipe 2 nonkritis yang menjalani rawat inap. Dari kedua rumah sakit, sebanyak 70 pasien dewasa bersedia menerima insulin melalui pankreas artifisial dan 66 orang mendapatkan insulin yang diinjeksikan secara subkutan. Pankreas artifisial merupakan sebuah sistem dengan model kontrol algoritma prediktif otomatis yang ditanamkan pada alat kontrol algoritma (Dell Latitude 10 tanlet, Dell). Alat tersebut terhubung dengan receiver monitor glukosa melalui kabel USB. Insulin akan dilepaskan secara kontinu ke dalam tubuh pasien sesuai dosis dan waktu yang telah diatur. Pasien dipantau selama maksimal lima belas hari atau hingga pasien tidak lagi menjalani rawat inap. Kadar glukosa dipantau menggunakan monitor glukosa secara berkelanjutan (Freestyle Navigator II, Abbott Diabetes Care). Sensor glukosa dimasukkan secara subkutan ke abdomen atau lengan atas dan dikalibrasi sesuai panduan penggunaan alat. Hasil utama yang diharapkan berupa persentase waktu hingga tercapai kadar glukosa yang diinginkan yakni 100-180 mg/dl (5,6â&#x20AC;&#x201C;10,0 mmol/l). Hasil penelitian menunjukkan persentase rerata waktu deteksi kadar glukosa pada kelompok pankreas artifisial sebesar 65,8 Âą 16,8% dan 41,5 Âą 16,9% pada kelompok terapi insulin konvensional. Terdapat perbedaan antara kedua kelompok sebesar 24,3 Âą 2,9% (CI=95%, 18,6-30; P<0,001). Rata-rata kadar glukosa pada kelompok terapi pankreas artifisial sebesar 154 mg/dl, sementara pada kelompok terapi insulin konvensional sebesar 188 mg/dl. Tidak ada perbedaan jumlah insulin yang diberikan pada setiap kelompok. Ditemukan kadar kontrol glukosa yang lebih baik pada pasien dengan terapi pankreas artifisial dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi insulin konvensional. Hal ini dapat dilihat dari persentase durasi pencapaian kadar glukosa darah target yang lebih tinggi pada kelompok pankreas artifisial dibanding kelompok terapi insulin konvensional. Selain itu, diperoleh rata-rata kadar glukosa lebih baik pada kelompok terapi pankreas artifisial tanpa meningkatkan risiko hipoglikemia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan terapi pankreas artifisial pada pasien diabetes tipe 2 nonkritis yang menjalani rawat inap lebih superior daripada terapi insulin konvensional. yulimaulidiya Referensi: Bally L, Thabit H, Hartnell S, Andereggen E, Ruan Y, Wilinska ME, et al. Closed-loop insulin delivery for glycemic control in noncritical care. N Engl J Med. 2018 Jun; 379:547-56.
8
O
JULIPINI
SEPTEMBER - OKTOBER 2018
& HUMANIORA
MEDIA
AESCULAPIUS
SUARA MAHASISWA
ADHA: Jauhi Penyakitnya, Bukan Anaknya Bisakah kalian bayangkan, seorang anak yang baru lahir dan belum mengerti apapun tentang kehidupan sudah memiliki HIV di dalam tubuhnya?
H
IV/AIDS bisa menyerang siapa saja, tak terkecuali ibu rumah tangga, seorang mahasiswa, atau bahkan anak-anak. Penderita HIV/AIDS yang masih berusia di bawah 18 tahun sering disebut sebagai anak dengan HIV/AIDS (ADHA). Sering kali, ADHA telah kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya karena penyakit yang sama. Virus yang ada di tubuh ADHA biasanya juga membuat mereka lebih sulit untuk hidup bahagia seperti anak-anak yang sehat. Berusaha belajar sambil mengukir senyum dan tawa di saat sedang menjalani terapi antiretroviral (ARV) tentu bukanlah hal yang mudah. Apalagi mereka juga sering menghadapi tindakan diskriminatif di masa kanak-kanaknya. Melihat fakta bahwa tidak mudah bagi ADHA untuk melawan dan mempertahankan diri dari penyakitnya, diperlukan peran dari seluruh golongan untuk mewujudkan hidup yang layak bagi mereka. Lantas, sudah sejauh mana langkah yang sudah kita tempuh untuk menjaga kualitas hidup ADHA dan mencegah HIV/ AIDS terjadi pada anak? Bila ditinjau dari usaha pemerintah, diketahui bahwa saat ini telah diberlakukan Permenkes No. 21 Tahun 2013 yang mengatur tentang kewajiban ibu hamil untuk melakukan tes HIV/AIDS di awal kehamilan. Bila seorang ibu hamil terdiagnosis HIV/ AIDS, tindakan pencegahan penularan penyakit ini kepada janinnya dapat segera dilakukan. Di samping itu, rencana tata laksana pascapersalinan pun dapat dirancang sedini mungkin sehingga memungkinkan bayi tersebut tumbuh menjadi anak normal
salah satu contoh yayasan yang tanpa tertular. berkecimpung dalam menampung ADHA, Kendati demikian, pemerintah masih terutama para pasien yang ditelantarkan perlu memasukkan penjaminan kualitas atau tidak diurus oleh keluarga maupun hidup ADHA ke dalam prioritas. Saat ini kerabatnya. Di yayasan yang sudah masih banyak ADHA yang pengobatan, berdiri sejak lama ini, banyak sekali cerita bahkan hidupnya, ditemukan terlantar tentang seorang anak dengan HIV/AIDS karena keluarga tidak sanggup membiayai yang ditinggalkan serta diasingkan oleh kebutuhan mereka. Oleh karena itu, bantuan keluarganya sendiri. pemerintah berupa sarana akomodasi, biaya Terakhir, namun tetap yang terpenting, operasional, biaya terapi, ataupun biaya adalah peran masyarakat. Masyarakat sudah hidup lainnya tentu akan sangat membantu sepatutnya mulai belajar dan berpikiran anak-anak ini. Bagaimana pun ADHA juga terbuka akan masalah HIV/AIDS anak bangsa yang mempunyai hak ini. Dengan menggalakkan voluntary sama dengan anak-anak lainnya. counseling and testing (VCT), Tak hanya pemerintah, masyarakat sudah berperan pihak swasta dan yayasan penting dalam memutus yang memang berkecimpung rantai penularan HIV dalam bidang HIV/AIDS yang terkadang juga memiliki peran tidak disadari penting dalam menjaga pengidapnya. kualitas hidup mereka. Selain itu, bila Selain menggalakkan menemukan sosialisasi terkait HIV/ kasus HIV/ AIDS di masyarakat, AIDS, terutama sudah saatnya untuk pada anak-anak, melakukan sebuah masyarakat kerja nyata yang sebaiknya segera bisa memberikan melapor kepada ADHA hak untuk dinas terkait hidup. Kontribusi di daerahnya. tersebut dapat Bukannya ikut direalisasikan memberi stigma, misalnya dengan masyarakat memberikan sarana adit/MA seharusnya lebih fokus untuk dan prasarana penunjang. mencegah penyebaran penyakit sambil tetap Bantuan ini kemudian dapat disumbangkan memberikan dukungan bagi mereka yang kepada yayasan terkait. sudah terlanjur tertular. Yayasan Rumah Lentera merupakan
Aryo Bimanto Local Officer on Sexual and Reproductive Health including HIV/AIDS CIMSA Universitas Sebelas Maret 2017/2018 Sekarang saatnya kita melawan HIV/AIDS bersama dengan para pasien tersebut. Memang tidak mudah membuang stigma atau rasa tidak nyaman dalam diri masyarakat mengingat kondisi sosial dan pola pikir yang telah berkembang sejak lama. Namun, kita harus selalu ingat bahwa ADHA juga merupakan anak pada umumnya yang ingin hidupnya â&#x20AC;&#x153;normalâ&#x20AC;?. Kebanyakan dari mereka tidak memilih untuk tertular sejak lahir. Para penderita ini juga merupakan insan yang patut dan sewajibnya mempunyai hak untuk hidup dengan bahagia.
KOLUM
Sebuah Kenangan di Antara Pertemuan dan Perpisahan
P
ertemuan dan perpisahan adalah dua istilah yang sering kita dengar. Dua hal yang sering kita alami. Keduanya memang seakan-akan membentuk sebuah siklus yang tidak terputus. Bagi sebagian orang, perpisahan merupakan sebuah hal yang menyedihkan. Bagi sebagian yang lain, pertemuan merupakan sebuah hal yang menegangkan. Setiap orang memiliki cara pandangnya sendiri mengenai arti dari sebuah pertemuan dan perpisahan, begitu pula dengan dirinya. Dalam hidup ini, entah sudah berapa kali ia bertemu atau ditinggalkan oleh orang-orang. Entah sudah berapa kali ia mendapatkan teman baru atau kehilangan teman lama. Baginya, hal utama yang menjadi permasalahan dari sebuah pertemuan dan perpisahan adalah kenangan. Saat bertemu orang yang baru mungkin tidak akan terbayang bagaimana kenangan akan terbentuk. Namun, saat berpisah barulah segala jenis kenangan itu menari-nari dalam lamunan mereka yang ditinggalkan. Dia tidak ingin memunculkan kenangan yang berasal dari sebuah pertemuan. Pun dia tak mau mempunyai memori ketika berpisah dengan orang tersayang. Caranya? Dia menganggap semua hal adalah sesuatu yang biasa saja, tidak ada yang spesial. Meskipun
Ketika kenangan tidak ingin diciptakan dari siklus pertemuan dan perpisahan tidak melulu memberikan kemuraman, ia tak mau menanggung kesedihan dari kenangan yang pahit. Namun, sampai sesakit itukah hingga perlu menyalahkan kenangan yang secara spontan muncul dari alam bawah sadarnya? Dia menjalani harinya sebagaimana orang kebanyakan, termasuk dalam hal perasaan. Dia bersedih, berbahagia, dan merasakan kekecewaan. Ia sama seperti kebanyakan orang, tapi berbeda saat berbicara mengenai kenangan.
Ia berbeda saat menghadapi sebuah pertemuan dan perpisahan. Ia selalu mempersiapkan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi dari setiap pertemuan. Ia tidak pernah bisa menikmati arti dari sebuah pertemuan karena terlalu fokus pada kemungkinan buruk yang mungkin ia temui. Lantas, untuk apa membuat diri mati rasa kalau akhirnya malah berujung gelisah? Di masa lalu, dia menikmati hidupnya. Dia membiarkan berbagai jenis kenangan tercipta. Dia selalu menikmati sebuah pertemuan dan tidak pernah
mengkhawatirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Namun, di suatu masa ia pernah mengalami sebuah perpisahan yang menyakitkan dan tak terduga. Sebuah perpisahan yang kemudian mengubah hidup dan cara pandangnya. Bertahun-tahun ia menjalani kehidupan sambil berusaha keras untuk tidak menciptakan kenangan. Apakah usahanya berhasil? Berdasarkan beberapa parameter abstrak yang diciptakannya, usahanya berhasil. Namun, apakah ia bahagia setelah berhasil? Dan di situlah ia berhenti. Cermin imajiner itu kemudian muncul di hadapannya. Memantulkan bayangan seorang pengecut yang takut akan kenangan. Seorang pengecut yang merelakan sejuta kesempatan untuk bahagia demi terhindar dari satu kemungkinan tersakiti. Sebenarnya, ia merasa keputusan ini tak akan mengancam kelangsungan hidupnya. Namun sekali lagi ia berpikir, memilih mati rasa daripada harus mengalami duka? Apa yang ia dapatkan dari semua itu? Kemungkinan hanya kehampaan dan kesuraman, sesuatu yang lebih mengerikan daripada kesedihan. Ia pun kembali tersentak ke realita. Kini ia sadar bahwa tidak ada yang salah dari menciptakan kenangan. Setidaknya, dengan kenangan seseorang dapat belajar banyak hal atau mempersiapkan sejumlah rencana
Yuli Maulidiya Shufiyani Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tingkat III brilian atau malah menghindarkan diri dari kesalahan fatal yang pernah menyakitkannya. Pertemuan dan perpisahan tentu merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Tapi keduanya adalah proses alamiah yang dialami siapa saja. Jika kita merasa tidak nyaman, mungkin yang perlu dikoreksi adalah cara pandang kita. Sebab hidup hanya sekali, tak ada salahnya kita menikmati kenangan dan emosi yang tercipta dari interaksi bersama orangorang terkasih di sekitar kita.
MEDIA
JULI OPINI & HUMANIORA
SEPTEMBER - OKTOBER 2018
AESCULAPIUS
9
SUKA DUKA
dr. Rangi Wirantika Sudrajat: Pekerja Kemanusiaan di Daerah Konflik Ingatlah kembali bahwa dengan menjadi dokter, akses kita terhadap mereka yang membutuhkan menjadi lebih mudah.
dr. Rangi Wirantika Sudrajat Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Angkatan 2005
T
erinspirasi dari Perang Kosovo yang beritanya sempat ia tonton, dr. Rangi Wirantika Sudrajat ternyata sudah memutuskan bekerja untuk kemanusiaan sejak SMA. Pada saat itu, dokter yang akrab disapa Rangi ini bahkan sudah mengetahui keberadaan Médecins Sans Frontièrs (MSF), organisasi nonpemerintah yang mengirimkan tenaga-tenaga medis ke daerah-daerah konflik seperti lokasi perang, bencana, kelaparan, dan sebagainya. Karena saat itu ia mengira hanya dokter yang dapat menjadi bagian dari organisasi tersebut, Rangi pun mendaftarkan dirinya ke Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti pada tahun 2005. Rangi akhirnya resmi
diterima menjadi anggota MSF pada tahun 2015. Selama menjadi anggota MSF, Rangi sudah pernah dikirim ke berbagai daerah konflik. Ia pernah bertugas di Pakistan selama 10 bulan, di Yaman selama 6 bulan, di Bangladesh selama 3 bulan, dan di Sudan Selatan selama 2 bulan. Salah satu pengalaman yang menarik baginya adalah saat ditugaskan di Yaman. Saat itu, waktu yang harus ia dan tim medis lainnya tempuh dari bandara hingga ke ibukota Yaman adalah delapan jam. Di tengah perjalanan, mobil yang mereka naiki sempat diberhentikan oleh seorang tentara bersenjata. Saat sedang ditanyatanyai, tiba-tiba tentara itu menembakkan senjatanya ke seberang jalan. Pada momen itulah Rangi menyadari bahwa pekerjaannya sangat berisiko sehingga ingin segera dipulangkan. Meskipun demikian, pemimpin MSF menyarankan untuk melihat-lihat dulu keadaan rumah sakit di Yaman. Sesampainya di rumah sakit bagian anak, Rangi benar-benar menyaksikan keadaan yang sangat minim tenaga medis. Melihat situasi yang menyedihkan itu, ia pun memutuskan untuk tinggal beberapa saat. Selama di sanalah ia mengalami kejadian yang sangat menyentuh hatinya. Seorang pasien anak di Yaman mengalami malnutrisi dan glaukoma kongenital. Anak ini awalnya enggan untuk dirawat dalam kurun waktu yang lama karena merasa bosan. Oleh karena itu, Rangi berjanji pada anak itu untuk melakukan kunjungan setiap hari. Namun, suatu hari, ia merasa sangat kelelahan sehingga tertidur dan lupa mengunjungi anak tersebut. Ia pun langsung mendapat panggilan dari rumah sakit untuk segera datang ke sana. Rupanya anak tersebut sedang marah dan menangis karena ia tidak menepati janji. Selain belajar
pentingnya menepati janji, dari peristiwa ini Rangi juga menyadari betapa berpengaruhnya kehadiran dokter bagi kenyamanan pasien selama dirawat. Pengalaman menarik lainnya datang dari Bangladesh. Bersamaan dengan maraknya kasus Rohingya, keadaan di Bangladesh saat itu ternyata cukup memprihatinkan. Rumah-rumah yang terdiri dari bambu dan plastik membuat tempat itu menjadi sangat panas ketika cuaca panas dan sangat dingin ketika cuaca dingin. Belum lagi akses untuk mendapatkan air juga sangat sulit. Rangi pernah kedatangan seorang anak perempuan yang awalnya hanya mengalami luka kecil di kaki akibat gigitan binatang. Meskipun penanganannya tidak sulit, akses air yang sangat terbatas membuat pasien tersebut jarang datang ke dokter. Akhirnya, luka tersebut berkembang menjadi parah, bahkan cukup membahayakan nyawa. Rangi pun langsung memberikan pengertian kepada ayah pasien agar membawa anaknya ke rumah sakit untuk mendapat pembersihan luka setiap hari. Setelah tiga minggu perawatan, luka sudah mulai pulih. Pasien sudah bisa berlari-lari dan tersenyum kembali. Beberapa hari sebelum Rangi pulang ke Indonesia, pasien tersebut bersama ayahnya bahkan ikut serta hadir untuk mengucapkan selamat tinggal.
Di akhir wawancara, Rangi menitipkan pesan kepada seluruh calon dokter agar senantiasa mengingat kembali motivasi kemanusiaan saat mulai bercita-cita dahulu. Menjadi dokter tidak selalu identik dengan bekerja di rumah sakit kota besar. Dengan menjadi relawan atau pekerja kemanusiaan di daerah konflik, kita juga bisa mendapatkan pengalaman berharga yang tidak akan bisa didapatkan apabila hanya menjadi dokter yang bekerja di rumah sakit. rayhan
irun/MA
RESENSI
Being Mortal : Hidup Baik, Mati pun Baik Semua yang bernyawa pasti akan mati. Lantas, bagaimana kita menghadapi kematian di era modern ini?
“B
dokumen penerbit
Judul Penulis
: Being Mortal: Illness, Medicine, and What Matters in the End : Atul Gawande
Penerbit
: Profile Books
Jumlah halaman : xix + 218 halaman
eing Mortal” adalah sebuah buku yang ditulis oleh Atul Gawande, seorang ahli bedah Amerika Serikat. Dinilai sangat baik dalam membahas fase akhir kehidupan manusia, tak heran bila buku ini mendulang banyak penghargaan, salah satunya adalah British Medical Association Council Chair’s Choice pada tahun 2015. “Being Mortal” dimulai dengan pemberian gambaran mengenai dunia kedokteran saat ini. Ilmu kedokteran modern yang saat ini diterapkan hampir di seluruh dunia membuat semua masalah kesehatan tampak dapat diatasi. Dengan perkembangan ilmu yang pesat, kita mampu memperpanjang usia pasien dan sampai pada titik ketika kita merasa tak terkalahkan. Di balik kemilau ilmu kedokteran modern tersebut, buku ini justru mengingatkan kita bahwa masih ada sisi kelam yang diabaikan. Hasrat yang tinggi untuk memperpanjang usia membuat semakin banyak lansia maupun pasien kasus terminal harus meninggal di rumah sakit, menjalani hidup di hari-hari terakhirnya dengan penuh penderitaan, dan dikelilingi oleh orang-orang yang mungkin tak bermakna baginya: dokter, perawat, dan pasien lain. Buku ini juga membawa kita ke beberapa dekade lalu, ketika proses kematian tergolong singkat dan masa-masa terakhir tidak disertai penderitaan seperti sekarang. Tidak ada obat dengan segunung efek samping, apalagi intervensi invasif yang menyiksa. Mereka
umumnya meninggal pada usia yang tidak terlalu tua sehingga masih bisa menjalani hidup seperti biasa hingga kematiannya. Mereka masih hidup bersama dengan anakanaknya sehingga perawatan dan kasih sayang masih dapat dirasakan ketika sakit. Kematian terjadi di kamar tidur sendiri, bukan di bangsal rumah sakit. Apakah kita ditakdirkan untuk mati seperti ini? Seharusnya tidak. Penulis mengelilingi negerinya, menunjukkan kepada pembaca bahwa masa akhir kita tidak harus berakhir secara kaku, impersonal, dan penuh derita. Panti jompo yang berusaha mewujudkan hal ini mulai bermunculan. Masing-masing memiliki caranya sendiri: ada yang menjamin privasi penghuninya atau menjadikan suasana lebih hidup dengan adanya hewan peliharaan. Selain panti, hal lain yang tak kalah penting adalah pelayanan (hospice). Pasien penyakit terminal mendapat pelayanan yang mengedepankan kenyamanan paliatif, bukannya mimpi-mimpi kuratif yang hanya membuat hidup tak layak dijalani. Konsep-konsep dalam buku yang tidak terlalu tebal ini disampaikan oleh penulis dengan sangat baik. Ide-ide mengalir dengan alur yang jelas dan tidak ditemukan istilah sulit. Sentuhan-sentuhan personal Atul Gawande juga mewarnai buku ini: bagaimana penulis menceritakan pengalamannya bersama pasien, mertua, bahkan ayahnya sendiri. Sayangnya, buku ini belum tersedia dalam versi Bahasa Indonesia. abdillah
JASA PEMBUATAN SYMPOSIUM HIGHLIGHT Media Aesculapius menyediakan jasa pembuatan Symposium Highlight. Symposium highlight adalah peliputan sebuah seminar atau simposium, yang kemudian hasilnya akan dicetak dalam sebuah buletin, untuk dibagikan pada peserta seminar. Simposium yang telah kami kerjakan antara lain PIT POGI 2010, ASMIHA 2011, ASMIHA 2016, ASMIHA 2017, JiFESS 2016, JiFESS 2017, dan lain-lain. Hubungi Hotline MA: 0896-70-2255-62 (SMS/Whatsapp)
10
JULI
SEPTEMBER - OKTOBER 2018
Liputan
MEDIA
AESCULAPIUS
RUBRIK DAERAH
Secuil Pengalaman Internship di Bojonegoro Tetap tepat mendiagnosis, kapan pun, di mana pun
S
ebagai lulusan dokter umum yang telah menyelesaikan pendidikan profesi dan mengucap sumpah, saya mengikuti program wajib dari pemerintah yakni internship. Bojonegoro menjadi wahana yang saya pilih untuk menjalani internship pada periode Februari 2017 lalu. Saya tidak terbayang di mana letak Bojonegoro, apalagi karakteristik penduduknya. Saya hanya berbekal informasi dari senior yang sebelumnya menjalani internship di sana. Dalam benak saya, selama masih di Jawa, karakteristik masyarakatnya tidak akan jauh berbeda dengan orang-orang saya temui sehari-hari. Di Bojonegoro, saya ditempatkan di Rumah Sakit Aisyiyah dan Puskesmas Ngasem serta Ngambon. Selama delapan bulan saya menjalani masa internship di RS Aisyiyah, empat bulan pertama saya lalui di IGD dan poli umum dan empat bulan berikutnya rotasi di ruang ICU dan bangsal rawat. Saya sempat merasa grogi luar biasa ketika awal-awal bertindak sebagai dokter jaga IGD. Empat bulan terakhir, saya berpindah rotasi ke Puskesmas Kecamatan Ngasem dan Ngambon. Kedua puskesmas tersebut berlokasi cukup jauh dari kota, yaitu sekitar 30 km dan 40 km. Sungguh kesempatan yang sangat langka ketika harus menempuh jalan menuju puskesmas yang terjal dan berlubang, terlebih saat terik matahari menyengat. Di sana saya belajar
menjadi dokter mandiri, dengan fasilitas yang sangat terbatas dan tanpa bantuan konsultasi dari dokter spesialis. Kami dituntut untuk lebih menekankan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tajam. Salah satu pengalaman yang paling berharga saya dapatkan di Puskesmas Ngambon adalah pada suatu siang ketika sedang jaga di poli
fifi/MA
umum, seorang pasien laki-laki usia paruh baya datang ke IGD puskesmas dengan keluhan nyeri dada hebat. Pasien merasakan nyeri sekitar dua jam sebelum datang ke puskesmas, nyeri terus-menerus, dan menjalar ke bahu hingga lengan kiri, disertai keringat dingin. Setelah melakukan pemeriksaan ABC, didapatkan bradikardi dan hipotensi. Namun, di puskesmas tidak tersedia alat EKG sehingga saya hanya bisa menduga bahwa pasien mengalami serangan jantung dan curiga telah mengalami syok kardiogenik. Akhirnya pasien diberikan terapi aspilet loading 4 tablet (satu-satunya antiplatelet yang tersedia), dipasang infus tetes pelan, dan bolus sulfas atropin, serta drip dopamin. Setelah memberikan edukasi kepada keluarga pasien tentang kemungkinan penyakit dan tata laksana yang diperlukan, keluarga setuju untuk merujuk pasien ke RSUD Kabupaten Bojonegoro. Singkat cerita, kebetulan dokter jantung yang menangani pasien di RSUD adalah dokter jantung yang juga bekerja di RS Aisyiyah. Melalui informasi dari beliau, akhirnya saya tahu bahwa pasien ini betul mengalami infark miokard akut dan telah dilakukan tindakan primary percutaneous coronary intervention (PCI). Sungguh suatu kepuasan tersendiri untuk saya. Internship bagi saya adalah suatu kesempatan untuk memantapkan kita
dr. Fahmi Adnan Musthofa Dokter Umum di RS Aisyiyah, Bojonegoro Jalan Hasyim Asyari No. 17, Kauman, Bojonegoro, 62113 musthofa.fahmi@gmail.com menjadi dokter yang nantinya siap bekerja di layanan primer. Banyak kesempatan yang bisa kita ambil untuk belajar, sekaligus menebar manfaat selama program internship berlangsung. Oleh karena itu, bagi temanteman yang hendak/sedang menjalani internship, selamat menikmati proses ini. Semoga secuil kisah dari saya ini bermanfaat.
SEPUTAR KITA
Kenali Berbagai Gangguan Mental Emosional Menjadi penolong dengan mengamati keadaan teman sebaya
M
enjalani kehidupan sebagai mahasiswa kedokteran memang tidak mudah. Sering kali muncul berbagai macam permasalahan. Permasalahan yang muncul dapat berupa permasalahan adaptasi, akademik, maupun kehidupan sosial. Agar dapat menjalani kehidupan sebagai mahasiswa kedokteran yang baik tentunya diperlukan kondisi fisik dan mental yang sehat. Fisik yang sehat tanpa mental yang kuat tidak cukup untuk menunjang kehidupan, begitu pun sebaliknya. Dalam rangka meningkatkan
Feranindhya Agiananda, Sp.KJ. Eda, sapaan akrab beliau, mengawali presentasinya dengan menjelaskan bahwa gangguan mental emosional dapat menimbulkan berbagai gejala. Eda menekankan pentingnya mengenali gejala yang ada agar tujuan adanya konselor sebaya ini dapat tercapai. “Kita perlu mengenali apa yang sedang dialami oleh temanteman kita karena kan tujuannya kita mau membantu mereka,” ujarnya. Presentasi kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai apa itu depresi, bagaimana gejalanya, dan apa yang bisa dilakukan konselor sebaya saat menghadapi teman yang sedang depresi. Gejala yang timbul dari orang yang mengalami depresi tidak hanya berupa perubahan dokumen penulis perilaku, tetapi juga perasaan, pikiran, dan fisik. Eda menyampaikan bahwa orang support system bagi mahasiswa kedokteran, dengan depresi umumnya terisolasi dari khususnya mahasiswa kedokteran lingkungannya. Orang yang terisolasi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia lingkungan adalah mereka yang tidak (FKUI), pada tanggal 15 September 2018 memiliki hubungan interpersonal yang erat. dilaksanakan Seminar Konselor Sebaya. Setelah menjelaskan mengenai depresi, Seminar ini diadakan oleh Departemen Eda melanjutkan presentasinya dengan Kesejahteraan Mahasiswa BEM IKM FKUI memberi penjelasan mengenai kecemasan. 2018 di Ruang Kuliah Gedung Rumpun Kecemasan dapat menjadi hal yang normal, Ilmu Kesehatan UI, Depok. dapat pula merupakan bentuk gangguan Salah satu topik yang diangkat dalam psikologis. Cemas yang normal contohnya seminar tersebut adalah “Mengenali adalah cemas saat akan menghadapi ujian. Gangguan Mental Emosional dan Bunuh Cemas tersebut dapat memacu seseorang Diri”. Topik tersebut dibawakan oleh dr.
untuk belajar lebih keras. Setelah ujian selesai, cemas yang ada dapat hilang. Berbeda dengan bentuk yang normal, kecemasan yang berupa gangguan psikologis tidak memberikan efek baik bagi kehidupan seseorang. Kecemasan akan hal-hal yang belum terjadi dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat memberi pengaruh buruk bagi kehidupan seseorang. Dalam presentasinya, Eda juga memberi penjelasan mengenai manik. Manik dapat dikatakan sebagai lawan dari depresi. Seseorang yang mengalami manik umumnya memiliki perasaan senang yang berlebihan. Perasaan senang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baik. Akan tetapi, jika rasa senang tersebut berlebih, tentunya tidak baik pula bagi seseorang. Orang yang mengalami manik seakan-akan memiliki banyak energi untuk beraktivitas. Namun sekali lagi, aktivitas yang dilakukan secara berlebihan tersebut tidak akan membawa dampak baik bagi kesehatan. Materi terakhir yang dibawakan adalah mengenai bunuh diri. “Penyebab orang melakukan bunuh diri tidak selalu depresi atau keinginan untuk mengakhiri hidup,” jelas Eda. Bunuh diri memang dapat disebabkan oleh depresi. Akan tetapi, bunuh diri juga dapat diakibatkan oleh gangguan psikotik seperti adanya suara-suara yang menyuruh seseorang untuk mengakhiri hidupnya. yulimaulidiya
MEDIA
Liputan
AESCULAPIUS
JULI
SEPTEMBER - OKTOBER 2018
11
SEPUTAR KITA
Etika Kesehatan Global di Indonesia Etika tidak hanya dibutuhkan dalam hubungan antarindividu, tetapi juga secara global.
G
lobal Health Ethics adalah istilah baru yang digunakan untuk menggambarkan konsep tentang proses penerapan nilai moral untuk masalah kesehatan yang memiliki dampak tingkat global atau memerlukan tindakan terkoordinasi pada tingkat global. Untuk dapat mengidentifikasi potensi masalah etika, seseorang harus terlebih dahulu mengeksplorasi ruang lingkup fenomenal kesehatan global. Setelah tercapai, seseorang dapat mengembangkan argumen moral yang mendukung atau menentang suatu tindakan. Proses inilah yang dianggap sebagai etika kesehatan global. Meski sekilas terlihat sederhana, etika kesehatan global berperan sebagai pedoman untuk sistem kesehatan di suatu negara. “Hal yang terpenting dalam etika kesehatan adalah tidak hanya sekedar memahami etikanya, tetapi juga sebagai pedoman kita melakukan pelayanan kesehatan,” ucap Dr. dr. Trihono, M.Sc dalam seminar “Global Health Ethics” yang diselenggarakan oleh Global Health Initiative Indonesia di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Materi bertopik “Global Health Ethics in the Context of Indonesia” yang dibawakan Trihono pada tanggal 31 Agustus 2018 ini tidak hanya membahas permasalahan kesehatan di dunia, tetapi juga secara spesifik di Indonesia. Indonesia sebagai negara
berkembang memiliki berbagai kasus yang berkaitan dengan etika kesehatan global. Beberapa contoh kasus tersebut meliputi permasalahan vaksinasi dan imunisasi. Beberapa waktu yang lalu Indonesia digemparkan dengan berita vaksin haram dan berbahaya yang membuat sebagian besar orang menolak untuk diberikan vaksin. Di sisi lain, Indonesia belum mempunyai solusi alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini pun menjadi salah satu fenomena yang menimbulkan masalah etika. Selain permasalahan vaksinasi dan imunisasi, pendataan penderita HIV/AIDS juga menjadi masalah etika kesehatan global di Indonesia. Indonesia belum mempunyai data yang berkaitan dengan penderita HIV/AIDS. Padahal, penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit menular seksual. Tidak adanya data tersebut tentu membuat penyebaran penyakit tidak dapat diketahui dan diprediksi. Tidak hanya itu, Indonesia juga masih belum berfokus pada pelayanan publik. Pendekatan masalah kesehatan yang dilakukan masih belum bersifat proaktif. Hal ini akhirnya menimbulkan masalah kesehatan masyarakat dan etika yang mana tenaga kesehatan lebih memilih untuk menunggu munculnya penyakit dibandingkan melakukan pencegahan. Menurut Trihono, wilayah Indonesia yang luas dengan demografi juga sosial-
dokumentasi panitia
budaya beragam menyebabkan sulitnya pembuatan kebijakan yang meliputi aspek etika. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan nilai adat dan moral. Selain itu, Indonesia tidak memiliki lembaga khusus yang berperan untuk menangani masalah tersebut sehingga kebijakan pemerintah sering kali tidak sesuai dengan aspek etika yang ada. “Jika kita dapat mengembangkan lembaga tersebut, kita dapat memberikan masukan kepada Kementerian Kesehatan untuk memerhatikan aspek tersebut dalam
pembuatan kebijakan,” tegasnya. Di akhir seminar, Trihono mengatakan bahwa untuk dapat menyelesaikan permasalahan etika kesehatan global diperlukan peran aktif dari seluruh masyarakat. “Peran Anda sebenarnya besar sekali, hanya saja Anda belum bisa melihatnya saat ini,” ucap Trihono kepada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. fiya
RUBRIK DAERAH
Pengabdian di Kabupaten Kepulauan Lebih dekat mendengar dan merasakan keluhan masyarakat kepulauan
dr. Harsya Pradana Loeis Dokter Umum di UPTD Puskesmas Kayoa harsyaloeis@gmail.com
T
ahun ini merupakan kali kedua saya menjadi dokter PTT di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, sebuah kabupaten yang memiliki ratusan pulau beragam baik bentuk maupun topografinya. Keseharian saya disibukkan dengan bertugas di Puskesmas Kayoa. Puskesmas ini memiliki beban wilayah kerja sebanyak tujuh desa yang tersebar di empat pulau berbeda dengan jumlah penduduk mencapai enam ribu jiwa. Namun, sejak enam bulan terakhir pasien yang datang tidak terbatas dari wilayah kerja Puskesmas Kayoa saja mengingat adanya tiga puskesmas lain yang tidak memiliki satu pun tenaga kedokteran akibat minimnya jumlah dokter di Kabupaten
Halmahera Selatan. Menjadi seorang dokter di daerah menuntut saya untuk memahami seluruh kondisi kesehatan masyarakat. Suatu waktu, Camat dari kecamatan sebelah meminta tolong langsung kepada saya untuk menemui pasien yang dikucilkan masyarakat. Pasien tersebut diduga menerima kutukan setelah mengonsumsi daging babi. Badannya seketika rusak dan tidak kuat ketika terkena terik matahari. Masyarakat memilih untuk menjauhinya karena takut ikut terkena imbas kutukan yang sama. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien positif terdiagnosis SLE. Dalam kasus ini, saya sebagai dokter dituntut untuk tak sebatas merencanakan pengobatan yang sesuai, tetapi juga mengedukasi masyarakat terkait penyakit tersebut sehingga bersedia untuk menerima pasien kembali. Masalah lain yang menghampiri adalah keengganan masyarakat untuk dirujuk ke rumah sakit lantaran jarak puskesmas menuju rumah sakit memakan waktu enam jam menggunakan kapal dengan biaya yang tidak murah. Sebagai satu-satunya dokter di wilayah ini, keadaan memaksa saya untuk harus menguasai seluruh jenis keilmuan mulai dari kesehatan anak, dewasa, kebidanan, trauma, psikiatri, hingga medikolegal. Kondisi ini juga membiasakan saya untuk bekerja di luar zona nyaman. Dengan segala keterbatasan fasilitas yang ada, saya juga dituntut untuk mampu
mengambil keputusan dengan cepat dan tepat di balik semua dilema yang dihadapi. Pengalaman berharga ketika suatu malam di pulau yang jaraknya 40 menit dari Puskesmas Kayoa terdapat pasien dengan retensio plasenta. Kondisi cuaca yang tidak mendukung dengan modal transportasi yang tersedia hanya sebuah katinting (perahu kayu) membuat pasien tidak mungkin dibawa menuju puskesmas, sementara obat-obatan dari puskesmas juga tidak memungkinkan untuk /MA dibawa menuju lokasi. Di kania desa tersebut hanya tersedia
oksitosin yang telah sebulan kedaluwarsa. Pilihan yang sangat sulit antara melakukan manual plasenta tanpa oksitosin atau tetap menggunakan oksitosin, meskipun telah kedaluwarsa. Teringat ketika masih menjalani pendidikan dulu, dosen-dosen senior selalu mendorong mahasiswanya untuk pergi sejauh mungkin meninggalkan gemerlap kota menuju pelosok Indonesia. Dua bulan pertama saya menjalani tugas PTT, saya merasa bahwa ilmu saya tidak berkembang mengingat kasus yang saya hadapi seharihari tidak jauh dari batuk pilek, pusing, dan tidak enak badan. Akan tetapi, lambat laun saya menyadari bahwa hal utama yang saya dapatkan adalah kerendahan hati dan jiwa untuk senantiasa mengabdi. Pelajaran berharga ini tidak akan pernah didapatkan, kecuali kita sendiri berdiri di tengah masyarakat dan merasakan apa yang mereka rasakan.
Pembatasan Layanan...
sambungan dari halaman 1
lebih banyak. Perubahan peraturan dan kebijakan harus dapat disertai perubahan sistem timbal balik serta evaluasi yang efektif guna menjaga agar implementasi peraturan tersebut dapat berjalan baik dan masyarakat luas dapat merasakan manfaatnya. Di samping itu, Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dr. dr. Herqutanto, MPH, MARS., menambahkan bahwa selain sistem timbal balik dan evaluasi, sosialisasi menyeluruh juga dibutuhkan. Kebijakan yang disosialisasikan dengan baik akan menghasilkan luaran yang baik pula bagi pembuat kebijakan, pelayan kesehatan yang melaksanakan, dan masyarakat. “Kebijakan ini sudah baik, tetapi memerlukan sosialisasi yang lebih optimal untuk mencapai efisiensi dan kualitas pelayanan yang sesuai harapan,” jelas Herqutanto mengingat praktik nyata di lapangan tidak selalu sesuai dengan apa yang dituliskan dalam peraturan. Dengan demikian, memang dibutuhkan peningkatan transparansi serta koordinasi yang baik dari berbagai pihak. Setiap komponen seharusnya sudah memahami kepentingan satu sama lain jika sebuah peraturan telah diluncurkan. farah, ilham, dina
12
JULI
SEPTEMBER - OKTOBER 2018
Liputan
MEDIA
AESCULAPIUS
SEREMONIA
CIMSA X AIESEC UI:
Peringatan Hari Ozon Sedunia
dokumen penulis
M
inggu, 16 September 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mengadakan acara bertajuk “Hari Ozon Sedunia: Lapisan Ozon Melindungi Bumi Pertiwi” di kawasan car-free day Bundaran HI. Acara yang ber-tagline “Keep Cool and
Carry On” ini terdiri dari long march dengan bola dunia raksasa, senam bersama, lomba karya infografis, serta deklarasi komitmen bersama. Tujuannya adalah meyakinkan warga mengenai pentingnya menjaga lapisan ozon dan usaha yang dapat dilakukan untuk menjaganya. abdillah
Jakarta Health Care Project
P
eserta terjun langsung di berbagai pos kesehatan melakukan pemeriksaan asam urat dan tekanan darah dalam acara “Jakarta Health Care Project” di Desa Depok Kita tanggal 30 Agustus 2018. Kegiatan ini dilaksanakan oleh AIESEC UI berkolaborasi dengan Standing Committee
dokumen penulis
on Public Health Center for Indonesian Medical Student’s Activities (SCOPH CIMSA) UI. Sebelumnya, pada 19 Agustus 2018, CIMSA UI melatih peserta yang berasal dari berbagai negara terkait pencegahan penyakit kardiovaskular dan metode skrining kesehatan. nathalia
SENGGANG
Menikmati Rasa Kehidupan dengan Memasak “Senang melihat masakan kita dinikmati, bahkan bisa membangkitkan memori masa lalu.”
S
osoknya yang tinggi besar tampaknya lebih sesuai untuk dikaitkan dengan dunia olahraga. Namun jangan salah, keuletannya dalam mengolah masakan juga tepat untuk menggambarkan sosok dokter satu ini. Sejak kecil Dr. dr. Ali Sungkar, Sp.OG(K) sudah dikenalkan pada dunia memasak oleh ibunya. Awalnya hanya sebatas ikut berbelanja ke pasar atau ikut mengulek bumbu. Seiring waktu Ali pun merasa tertarik untuk mencoba membuat masakan sederhana, seperti nasi goreng. Keahlian tersebut terus diolah hingga akhirnya pada saat menginjak bangku kuliah, dirinya cukup dikenal akibat kegemaran memasaknya. “Di FKUI Fair saat itu ada lomba bakiak dan saya juara 1, lomba memasak juga juara 1, hingga lomba gebuk bantal,” katanya sambil tertawa mengenang masa lalu. Menjadi konsulen tidak menyurutkan minatnya terhadap memasak. Profesinya sebagai konsultan fetomaternal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta menyebabkan dirinya sering harus melakukan operasi pada dini hari. Setelah itu, ia menyempatkan diri untuk berbelanja ke pasar mencari bahan-bahan masakan. Ali bahkan berkunjung menuju tempat pelelangan ikan untuk membeli bahan makanan yang segar, seperti cumi-cumi dan udang. Saat ditanya manfaat hobinya untuk kehidupan, Ali menjawab bahwa memasak digunakannya sebagai pengisi waktu luang dan mencegah stres. Sebenarnya hobinya
tidak hanya memasak, pekerjaan tangan kecil juga dapat dilakukannya untuk sarana melepas penat. “Saya menyempatkan waktu saat libur untuk memasak,” ujar Ali.
Memutuskan masakan apa juga tidak perlu perencanaan dari jauh-jauh hari. “Lagi jalan-jalan kalau melihat makanan bisa diputuskan on the spot untuk memasak itu,” jelasnya. Memasak juga dapat membantu Ali menjalin relasi dengan rekan kerjanya di rumah sakit. Ia kerap kali membawakan masakan kepada tim kamar bersalin atau tim kamar operasi yang bertugas bersamanya. Namun, terkadang hobi ini tidak berjalan sesuai harapan. Walau sudah mencari bahan masakan sendiri, kadang yang ditemukan tidaklah sesuai keinginan, misalnya ia mengharapkan daging segar, tetapi mendapatkan daging yang telah diawetkan. Meskipun demikian, justru ia terdorong untuk menjadi lebih kreatif dengan memodifikasi makanan supaya tetap sesuai selera. Menjadi kesenangan tersendiri ketika melihat dokumen penulis orang-orang dapat menikmati makanan yang telah ia masak. Dia sering mengundang teman-teman, keluarga, rekan kerja, bahkan mahasiswa
bimbingannya untuk berkunjung ke rumah dan merasakan sajian makanan yang ia siapkan sendiri. Bahkan di keluarga Ali, memasak telah menjadi suatu kegiatan yang sering kali dilakukan bersama-sama, walaupun memang biasanya acara ini muncul secara spontan akibat kesibukan masing-masing anggota keluarga. Kebiasaan memasak yang dimiliki Ali telah ditularkan kepada istri dan anak-anaknya. Istrinya gemar membuat kue, sementara anaknya suka membaca buku atau menonton acara memasak. Ali tidak memiliki makanan favorit untuk dimasak karena semua makanan dirasa menyenangkan untuk dibuat. Namun, keluarga dan teman dekatnya paling sering memintanya untuk memasak nasi kebuli. Di samping kesibukan praktik dan mengajar, rupanya ada impian yang tersimpan di balik hobi ini. “Saya berencana membuat buku mengenai ANC dan memasak,” ujarnya. filbert
Nama Lengkap Dr. dr. Ali Sungkar, Sp.OG(K) Jabatan • Koordinator Administrasi dan Keuangan Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI-RSCM • Staf Divisi Fetomaternal Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI-RSCM