23 minute read
Klorokuin, Hidroksiklorokuin, dan Azitromisin pada Pengobatan
from Serba Serbi Covid-19
by Berani Sehat
Gilbert Lazarus 1 , Azis Muhammad Putera 1 , William Nathaniel 1 , Aruni Cahya Irfannadhira 1 , Vincentius Juan Aryaputra 1 , Hansel Tengara Widjaja 1
Advertisement
1 Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, Indonesia
A. Abstrak
Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan pandemi global yang menyebabkan sindrom pernapasan akut berat. Hingga kini, berbagai penelitian telah dan sedang dilakukan untuk mencari pengobatan dan vaksin spesifik untuk COVID-19, beberapa diantaranya adalah klorokuin, hidroksiklorokuin, azitromisin, dan masih banyak lagi. Namun, potensi kegunaan obat-obatan tersebut telah memunculkan berbagai spekulasi di masyarakat yang dapat memperburuk keadaan kesehatan dan ekonomi negara serta dunia. Artikel ini bertujuan untuk mengulas literatur-literatur yang meneliti kegunaan obat-obatan tersebut terhadap COVID-19 sehingga dapat menarik kesimpulan mengenai manfaat klinis dan keamanan obat-obat tersebut. Pencarian literatur dilakukan menggunakan berbagai database, mulai dari PubMed, Scopus, Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL), Google Scholar, hingga mesin-mesin pencarian dan situs-situs terpercaya yang menampilkan isu-isu relevan. Berdasarkan pencarian literatur, baik klorokuin, hidroksiklorokuin, maupun azitromisinmemiliki potensi terhadap COVID-19 yang cukup baik. Klorokuin dan hidroksiklorokuin telah digunakan secara luas di beberapa negara, sementara azitromisin masih relatif minim diteliti, namun telah menunjukkan potensi yang baik apabila dikombinasikan dengan hidroksiklorokuin, ditunjukkan dengan laju konversi negatif virus yang lebih cepat apabila dibandingkan dengan hidroksiklorokuin sendiri maupun terapi konvensional. Meskipun penggunaan obat-obatan tersebut relatif aman dan telah mengantongi izin peredaran dari U.S. Food and Drug Administration, obat-obatan tersebut
memiliki potensi efek samping yang cukup fatal, khususnya pemanjangan durasi interval QT yang berpotensi menyebabkan henti jantung. Oleh karena itu, penggunaan obatobatan tersebut harus dimonitor secara ketat dan tidak selayaknya diedarkan secara bebas dan luas di masyarakat. Penelitian-penelitian lebih lanjut dengan bukti ilmiah yang lebih kuat dibutuhkan untuk mengonfirmasi temuantemuan yang ada. Kata kunci: COVID-19, klorokuin, hidroksiklorokuin, azitromisin
B. Pendahuluan
Coronavirus disease 2019 merupakan penyakit infeksi saluran napas akut yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penyakit ini merupakan salah satu isu kesehatan global mengingat bahwa World Health Organization (WHO) telah mendeklarasikan penyakit ini sebagai pandemi global. (Yuen et al, 2020) Seiring dengan munculnya penyakit ini, berbagai institusi kesehatan dan negara telah berlomba-lomba untuk mencari obat dan vaksin spesifik terhadap virus ini. Tidak hanya itu, berbagai kalangan masyarakat juga melakukan spekulasi-spekulasi terhadap pengobatan dan pencegahan virus ini, yang seringkali menimbulkan keresahan masyarakat dan menimbulkan panic buying. Hal ini dibuktikan dengan melambungnya harga beberapa komoditas seperti rempahrempah dan suplemen yang dispekulasikan dapat mencegah/mengobati virus ini, hingga perlengkapan medis (contoh alat pelindung diri dan obat-obatan). (Parkinson & GauthierVillars, 2020) Hingga kini, berbagai penelitian untuk mencari regimen terapi optimal bagi COVID-19 telah dilakukan. Di antaranya, berbagai jenis obat muncul ke permukaan, seperti klorokuin, hidroksiklorokuin, azitromisin, oseltamivir, lopinavir/ritonavir, dan masih banyak lagi. (Centers for Disease Control and Prevention, 2020) Hal ini menimbulkan spekulasi di masyarakat yang berujung pada pembelian obat-obatan tersebut secara bebas sehingga menimbulkan masalah kesehatan dan ekonomi yang lebih parah. Artikel ini bertujuan untuk mengulas studi-studi yang telah meneliti aspek klinis dan farmakologis obat-obatan tersebut untuk mengetahui dan menyimpulkan potensi obat-obat tersebut dalam menangani COVID-19. Pencarian literatur dilakukan melalui berbagai database ilmiah seperti PubMed, Scopus, Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL), dan Google Scholar, hingga literatur-literatur lainnya via mesin pencarian Google (https://www.google. com/), situs-situs terpercaya (U.S. Food and Drug Administration, https://www.fda.gov/; Centers for Disease Control and Prevention, https://www.cdc.gov/; Badan Pengawas Obat dan Makanan, https://www.pom.go.id/; World Health Organization, https://www.who.int/; dll.), dan portal berita online terpercaya.
C. Pembahasan
Klorokuin
Klorokuin merupakan salah satu lini terapi malaria sejak puluhan tahun lalu. Belakangan ini, pandemi COVID-19 membuat obat ini menjadi populer karena studi-studi awal menunjukkan potensi klorokuin terhadap COVID-19 memiliki kegunaan yang signifikan secara klinis. Beberapa tenaga medis mengatakan bahwa kedua obat ini dapat digunakan untuk menangani pasien COVID-19 dengan prinsip bahwa mencoba alternatif pengobatan lebih baik daripada tidak mengobati.
1. Indikasi, Dosis, dan Aspek Klinis
Bagian ini akan membahas mengenai indikasi dan dosis penggunaan klorokuin sebagai lini pengobatan terhadap COVID-19. Terdapat studi in vitro efek klorokuin menggunakan sel Vero E6 yang terinfeksi SARS-CoV-2 yang menunjukan klorokuin sangat efektif dalam mengurangi replikasi virus dengan (EC) 90 senilai 6.90 μM. Klorokuin sangat mudah menembus jaringan termasuk paru sehingga sangatlah mundah mencapai nilai
konsentrasi median efektif 90% (EC 90 ) tersebut dengan dosis standar.(Cortegiani et al., 2020)
Di Tiongkok, sebuah studi oleh Gao et al (2020) menyebutkan klorokuin fosfat dapat menghambat eksaserbasi pneumonia, meningkatkan prognosis temuan radiologis paru, mempromosikan konversi negatif virus, dan mempersingkat durasi penyakit lebih baik daripada terapi konvensional. Terlebih lagi, pada studi tersebut, tidak ditemukan efek samping berat pada penggunaan klorokuin fosfat terhadap populasi tersebut. Temuan tersebut membuahkan kesimpulan bahwa klorokuin fosfat memiliki aktivitas yang poten terhadap COVID-19. Konsensus ahli yang berasal dari the Department of Science and Technology of Guangdong Province beserta Health Commission of Guangdong Province merekomendasikan penggunaan tablet klorokuin fosfat 500 mg dua kali sehari selama 10 hari. Konsesus tersebut juga mengatakan perlu dilakukan pemeriksaan klinis berupa anamnesis, dan penunjang berupa pemeriksaan hematologi rutin dan elektrokardiografi untuk memantau progresi penyakit dan kondisi pasien. Konsesus tersebut juga merekomendasi pelarangan penggunaan obat yang memperpanjang durasi interval QT bersamaan dengan klorokuin. (Cortegiani et al., 2020)
Konsensus tenaga medis di Korea Selatan merekomendasikan penggunaan klorokuin 500 mg dua kali sehari atau kombinasi lopinavir 400 mg/ritonavir 100 mg dua kali sehari pada pasien lanjut usia, pasien dengan komorbiditas, atau pasien kritis. Namun, penggunaan terapi antiviral tidak direkomendasikan pada populasi muda dengan gejala ringan dan tanpa penyakit komorbid. Apabila klorokuin tidak tersedia, mereka merekomendasikan penggunaan hidroksiklorokuin 400 mg sekali sehari per oral. (Smith & Prosser, 2020)
Di Italia, Italian Society of Infectious and Tropical Disease merekomendasikan penggunaan klorokuin 500 mg dua kali sehari atau hidroksiklorokuin 200 mg/hari selama 10 hari sebagai pengobatan untuk pasien dengan COVID-19, meskipun durasi pengobatan dapat bervariasi dari 5-20 hari tergantung pada berat ringannya kondisi klinis. Konsensus ini merekomendasikan penggunaan obat tersebut baik pada populasi pasien gejala ringan dengan komorbiditas hingga pasien dengan gagal pernapasan berat.
Sementara itu, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan klorokuin untuk pasien dengan infeksi berat yang membutuhkan perawatan di unit perawatan intensif dan memerlukan terapi oksigen. Regimen pengobatan dimulai dengan basa klorokuin 600 mg dan dilanjutkan dengan basa klorokuin 300 mg setelah 12 jam. Kemudian, pada hari ke-2 sampai hari ke-5, pasien diberikan klorokuin 300 mg dua kali sehari per oral. CDC juga menyarankan untuk: (1) memberhentikan pengobatan pada hari kelima untuk mengurangi efek samping mengingat waktu paruh obat yang panjang (30 jam), dan (2) membedakan basa klorokuin dan klorokuin fosfat, yang mana basa klorokuin 300 mg ekuivalen dengan klorokuin fosfat 500 mg. (Cortegiani et al., 2020)
Penggunaan klorokuin sebagai regimen terapeutik COVID-19 telah direkomendasikan oleh berbagai negara berdasarkan bukti studi in vitro, pengalaman klinis, dan studi non-acak. Belum terdapat studi acak yang membuktikan kegunaan klinis klorokuin menandakan bahwa perlu dilakukannya studi mendalam dengan bukti ilmiah yang lebih kuat untuk menunjang temuan dari studi-studi sebelumnya.
2. Efek Samping dan Kontraindikasi
Penggunaan klorokuin pada dosis yang tepat jarang menimbulkan efek samping. Klorokuin tergolong obat keras yang berpotensi menimbulkan efek samping yang fatal apabila digunakan secara tidak rasional. Efek samping berat pada penggunaan klorokuin meliputi toksisitas ginjal, penurunan fungsi penglihatan (hingga kebutaan), diplopia, serta efek samping psikiatri seperti paranoid, halusinasi, dan munculnya ide bunuh diri. Selain itu, klorokuin juga dapat menyebabkan
manifestasi pada kulit seperti pruritus dan fotosensitivitas, retinopati, dan neuropati (seperti kejang). (Goel & Gerriets, 2019) Perlu ditekankan, obat ini juga menyebabkan efek samping pada sistem kardiovaskular, khususnya pemanjangan durasi interval QT, abnormalitas pada gelombang T, dan kardiomiopati. (CDC, 2020)
Klorokuin telah terbukti aman digunakan untuk ibu hamil dan anak-anak. Namun, obat ini tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada pasien dengan epilepsi atau myasthenia gravis dan harus digunakan secara hati-hati untuk pasien yang memiliki kelainan hematologi, neurologi, penyakit hati stadium lanjut, maupun penyakit gastrointestinal berat. Kontra indikasi absolut penggunaan klorokuin adalah riwayat alergi terhadap hidroksiklorokuin dan gangguan fungsi penglihatan/retina. (Goel & Gerriets, 2019) Penggunaan klorokuin pada pasien dengan porfiria kutanea tarda juga menunjukkan toksisitas yang signifikan, ditandai dengan adanya laporan kasus kematian akibat penggunaan obat ini. (Vinetz, 2018).
3. Regulasi
Hingga kini, baik WHO, Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dan U.S. Food and Drug Administration (FDA), belum ada pengobatan atau vaksin yang terbukti efektif dalam mengobati atau mencegah COVID-19, termasuk klorokuin. (Smith & Prosser, 2020)
4. Kesimpulan dan Rekomendasi
Klorokuin telah digunakan sebagai salah satu lini terapi utama pada COVID-19 di banyak negara seperti Italia, Korea Selatan, dan Tiongkok, meskipun dengan bukti ilmiah yang masih minim. Konsensus di ketiga negara tersebut menyebutkan bahwa klorokuin memiliki kegunaan klinis yang signifikan terhadap pasien COVID-19. Namun, hingga kini, klorokuin belum disetujui oleh FDA untuk pengobatan spesifik COVID-19, sehingga penelitian-penelitian terbaru dengan bukti ilmiah yang lebih kuat sangat dibutuhkan untuk menunjang data-data yang ada. Perlu diingat, penggunaan klorokuin perlu disertai dengan monitor pasien secara intensif, dan klorokuin tidak direkomendasikan untuk dijual secara bebas dan/atau digunakan secara luas oleh masyarakat untuk pencegahan/pengobatan COVID-19 mengingat risiko munculnya resistensi dan efek samping yang berat.
Hidroksiklorokuin
Hidroksiklorokuin (HCQ) merupakan senyawa ekuivalen klorokuin. Perbedaan antara HCQ dan klorokuin adalah β-hidroksilasi pada gugus N-etil klorokuin. (Vinetz, 2018) Modifikasi gugus ini menyebabkan HCQ bersifat lebih mudah larut dibandingkan klorokuin. (Sahraei, 2020)
Hidroksiklorokuin merupakan senyawa yang bersifat basa lemah, sehingga obat ini dapat masuk dan terkonsentrasi di dalam sel dalam bentuk tidak terionisasi (non-ionized). Obat HCQ dapat sedikit meningkatkan pH dalam lisosom makrofag, sehingga dapat menyebabkan perubahan pada pemrosesan antigen peptida serta mengurangi presentasi antigen tersebut ke permukaan sel sehingga interaksi antara makrofag dan sel T-helper berkurang. Hal inilah yang menjadi rasionalisasi penggunaan makrofag sebagai disease-modifying antirheumatic drugs, sebab penggunaan obat ini dapat menurunkan respons inflamasi. Selain itu, HCQ juga mengurangi aktivasi sel dendritik sebagai sel pemajan antigen dengaan menyekat reseptor sel T pada permukaan sel dendritik. (Waller & Sampson, 2018)
Dari sudut pandang farmakokinetik, dengan pemberian per oral, bioavailabilitas HCQ berkisar antara 67-91%. Waktu paruh HCQ sangat panjang hingga mencapai 1056 jam (kisaran 624-1512 jam). Sekitar 27% HCQ akan diekskresikan lewat urine. Utamanya, HCQ dimetabolisme di hepar. (Vinetz, 2018)
1. Indikasi, Dosis, dan Aspek Klinis
Penelitian sebelumnya telah membuktikan aktivitas hidroksiklorokuin terhadap SARS
CoV-1. Baik HCQ maupun klorokuin dapat digolongkan sebagai obat imunomodulator. Hidroksiklorokuin dapat meningkatkan pH intraselular, menghambat aktivitas lisosom pada sel pemajan antigen (antigen presenting cells [APC] termasuk sel dendritik plasmasitoid dan sel B sehingga dapat mencegah pemrosesan (auto)antigen dan presentasi antigen oleh MHC-kelas II; hal ini akan menyebabkan penurunan aktivasi sel T, diferensiasi, dan ekspresi protein kostimulator serta sitokin yang diproduksi oleh sel T dan sel B seperti IL1, IL-6, dan TNF. HCQ juga mampu menyupresi jaras persinyalan tolllike receptor (TLR) melalui perubahan pH endosome serta gangguan ikatan antara TLR dengan ligan DNA/RNA-nya. Di sitoplasma, HCQ juga menghambat interaksi antara DNA sitosolik dengan sensor asam nuklear cGAMP sintase (cGAS). Akibat hambatan pada jaras persinyalan TLR dan jaras persinyalan STING (stimulasi gen-gen interferon oleh cGAS), persinyalan pro-inflamasi dan produksi sitokin seperti interferon tipe 1, IL-1, dan TNF mengalami atenuasi. Inilah yang mendasari hipotesis bahwa HCQ dapat menyupresi cytokineresponse syndrome (CRS) atau badai sitokin (cytokine storm) yang distimulasi oleh infeksi SARS-CoV 2. (Zhou, Dai and Tong, 2020)
Selain memerankan peranan dalam modulasi sistem imun, baik HCQ maupun klorokuin dapat menghambat ikatan reseptor dan fusi membran yang memfasilitasi masuknya Coronavirus. Baik HCQ maupun klorokuin akan terkonsentrasi dalam organel dengan pH rendah seperti endosome, lisosom, dan vesikel golgi. Virus membutuhkan endosom sebagai perantara agar dapat masuk ke dalam sel, sehingga peningatan pH endosome akibat klorokuin dapat memberikanpengaruh negatif terhadap proses fusi virus dan endosom. Karena HCQ memiliki mekanisme molekuler yang serupa dengan klorokuin, kemungkinan besar HCQ juga akan memiliki efek serupa dengan klorokuin . Meski demikian, hal ini membutuhkan penelitian in vitro dan in vivo yang lebih lanjut. (Zhou, Dai, & Tong, 2020). Gambar 1 menggambarkan peran klorokuin dan hidroksiklorokuin terhadap COVID-19:
Gambar 1 . Mekanisme kerja klorokuin (CQ) dan hidroksiklorokuin (HCQ) pada SARS-CoV-2 (Zhou, Dai and Tong, 2020).
Hingga artikel ini ditulis, penulis menemukan 7 penelitian klinis acak yang terdaftar di https://clinicaltrials.gov/. (ClinicalTrials.gov, 2020) Memang, beberapa kepustakaan telah menunjukkan potensi HCQ sebagai agen terapi potensial untuk COVID-19. Sebagai contoh, penelitian in vitro dengan menggunakan sel Vero dari monyet hijau Afrika menunjukkan bahwa baik klorokuin maupun HCQ memiliki aktivitas antivirus yang baik. Dalam penelitian ini, konsentrasi median efektif 50% (EC 50 ) untuk HCQ (EC 50 = 0,72 μM) lebih kecil dibanding klorokuin (EC 50 = 5,47 μM, sehingga HCQ memiliki aktivitas antivirus yang lebih baik dibandingkan klorokuin. Hasil ini kemudian dilanjutkan dengan pemodelan physiologically-based pharmacokinetic models (PBPK) dengan 5 regimen dosis sehingga didapat hasil akhir rekomendasi pemberian dosis muat (loading dose) HCQ 400 mg 2 kali sehari diikuti dengan maintenance dose 200 mg diberikan 2 kali sehari seama 4 hari direkomendasikan untuk infeksi SARS-CoV-2. (Yao et al., 2020)
Penulis menemukan satu penelitian studi pilot uji klinis acak yang dilakukan di Shanghai Public Health Clinical Center dengan melibatkan 30 pasien COVID-19 yang dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan, yakni kelompok intervensi yang diberikan terapi konvensional + HCQ 400 mg per hari selama lima hari dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya diberikan terapi konvensional. Setelah dilakukan pemeriksaan asam nukleat pada hari ketujuh perlakuan, hasil swab tenggorok menunjukkan hasil negatif pada 86,7% kasus pasien yang diberikan HCQ (13 pasien) serta pada 93,3% kasus pasien dengan terapi konvensional saja (14 pasien), dengan hasil yang secara statistik tidak signifikan (p>0,05). (Jun et al., 2020)
Adapun satu penelitian uji klinis non-acak (non-randomized) yang sempat menghebohkan masyarakat, yakni penelitian yang dilakukan di Prancis oleh Gautret et al. Penelitian ini dilakukan pada pasien yang sudah terkonfirmasi COVID-19, berusia di atas 12 tahun, dan hasil PCR SARS-CoV-2 positif terlepas dari status klinis pasien. Pasien dengan alergi atau kontraindikasi lain terhadap HCQ maupun klorokuin, ibu menyusui, dan ibu yang sedang hamil dieksklusi dari penelitian. Penelitian dilakukan dengan memberikan HCQ pada 26 pasien dan 16 pasien bertindak sebagai kontrol. Dalam perjalanan penelitian, 6 pasien dari kelompok perlakuan HCQ tidak masuk dalam proses follow-up karena penghentian dini terapi (1 orang pasien masuk ke ICU pada hari kedua pasca-inklusi, 1 orang pasien masuk ke ICU pada hari ketiga pasca-inklusi, 1 orang pasien masuk ke ICU pada hari keempat pasca-inklusi, 1 orang pasien meninggal pada hari ketiga pasca-inklusi, 1 orang pasien menghentikan pengobatan pada hari ketiga pasca-inklusi akibat mual, serta 1 orang pasien memutuskan meninggalkan rumah sakit pada hari ketiga pasca-inklusi). (Gautret et al., 2020)
Kelompok dengan perlakuan HCQ diberikan HCQ oral 200 mg 3 kali sehari selama 10 hari. Enam orang pasien dari kelompok perlakuan HCQ juga mendapatkan azitromisin 500 mg pada hari pertama diikuti 250 mg per hari selama 4 hari berikutnya untuk mencegah superinfeksi bakteri. Hasilnya, pada hari ke-6 pasca-inklusi, 70% pasien sembuh secara virologis dibandingkan 12,5% pada kelompok kontrol (p=0,001). Semua pasien yang mendapatkan kombinasi HCQ dan azitromisin secara virologis dinyatakan sembuh pada hari ke-6 pasca inklusi dibandingkan dengan 57,1% pasien yang hanya diberikan HCQ dan 12,5% pasien kontrol. Meski demikian, perlu dipertimbangkan adanya 6 pasien loss-tofollow up pada kelompok perlakuan HCQ. Keterbatasan dari penelitian ini ialah jumlah sampel yang kecil, follow-up keluaran jangka panjang yang terbatas, serta 6 pasien yang dropout dari penelitian. (Gautret et al., 2020)
Hingga saat artikel ini ditulis, belum terdapat uji klinis acak (randomized clinical trial [RCTs]) skala besar yang dapat memberikan pedoman terkait penggunan, dosis, serta durasi pemberian HCQ sebagai profilaksis maupun pengobatan untuk SARS-CoV-2. Di Amerika, beberapa klinisi secara anekdotal
telah melaporkan penggunan HCQ untuk terapi SARS-CoV-2 dalam dosis yang berbedabeda, seperti 400 mg dua kali sehari pada hari pertama kemudian dilanjutkan dengan pemberian per hari selama 5 hari; 400 mg dua kali sehari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 200 mg dua kali sehari selama 4 hari, serta 600 mg dua kali sehari pada hari pertama dilanjutkan dengan 400 mg per hari pada hari ke-2 hingga ke-5. (CDC, 2020)
Pedoman yang dikeluarkan oleh Surviving Sepsis Campaign (SSC) tidak merekomendasikan penggunaan hidroksiklorokuin, sebab belum ada bukti ilmiah yang cukup kuat hingga saat ini untuk mendukung penggunaan hidroksiklorokuin sebagai terapi COVID-19. (SSC, 2020) Lembaga Therapeutic Good Administration (TGA) dari Departemen Kesehatan Australia juga telah mengeluarkan pernyataan yang tidak mendukung (discourage) penggunaan HCQ selain dari indikasi yang telah disepakati saat ini, yakni untuk pengobatan malaria dan beberapa penyakit autoimun seperti rheumatoid artritis, kecuali dalam konteks uji klinis atau dalam terapi pasien penyakit berat di rumah sakit dalam lingkungan yang terkontrol. TGA juga menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada obat yang disetujui untuk terapi COVID-19, sehingga peresepan obat-obatan untuk terapi COVID-19 dapat dikategorikan sebagai penggunaan off-label. (Therapeutic Goods Administration, 2020)
2. Efek Samping dan Kontraindikasi
Efek samping dari HCQ adalah nyeri kepala, mual, muntah, pusing, urtikaria, nyeri abdomen, urtikaria, dan pruritus. Pemberian harian HCQ dalam dosis tinggi (>250 mg) dengan total dosis kumulatif >1g/kg dapat menyebabkan retinopati ireversibel dan ototoksisitas (Vinetz, 2018). Toksisitas obat ini terhadap retina merupakan suatu masalah, sebab HCQ akan berikatan secara selektif pada sel fotoreseptor di makula serta mengganggu fungsi lisosom. Dalam dosis terapi normal, kejadian ini jarang terjadi; namun pemeriksaan mata dianjurkan sebelum terapi dengan HCQ serta saat terapi dengan obat ini apabila terjadi perubahan visus atau keluhan penglihatan kabur pada pasien. Pemeriksaan mata juga dianjurkan apabila penggunaan obat ini berlanjut hingga lebih dari 5 tahun. (Waller & Sampson, 2018) Dibandingkan dengan klorokuin, HCQ memiliki toksisitas okular yang lebih rendah (Sahraei, 2020). Efek samping lain dari pemberian HCQ adalah kardiotoksisitas yang ditandai dengan pemanjangan durasi interval QT pada penggunaan berkepanjangan untuk pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal. (CDC, 2020)
HCQ aman untuk diberikan pada anak-anak dan ibu hamil. Obat ini dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan retina atau perubahan lapang pandang, dan hipersensitivitas terhadap senyawa 4-aminokuinolin. Obat ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati. (Vinetz, 2018)
3. Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa penelitian telah menunjukkan efektivitas HCQ secara anekdotal. Dalam pertimbangan profesional, HCQ dapat diberikan sebagai terapi COVID-19, namun temuan ilmiah yang ada harus ditunjang dengan penelitian-penelitian lebih lanjut yang memiliki bukti ilmiah yang lebih baik, mengingat bahwa hingga kini belum ada uji klinis acak skala besar yang menilai kegunaan HCQ pada COVID-19.
Azitromisin
Azitromisin merupakan obat yang tergolong jenis antibiotik makrolid berupa turunan semisintetik dari eritromisin. Antibiotik makrolid banyak digunakan sebagai pengobatan infeksi traktus respiratorius yang disebabkan oleh patogen umum penyebab community-acquired pneumonia (CAP). Antibiotik makrolid termasuk agen bakteriostatik yang menginhibisi sintesis protein dengan cara berikatan dengan subunit ribosom 50S mikroorganisme.
dengan bioavailibilitas 30%-40% dan terdistribusi secara luas di tubuh kecuali otak dan CSF. Azitromisin intravena memproduksi konsentrasi plasma sebesar 3-4 μg/mL setelah infus 500 mg dalam satu jam. Aspek farmakokinetik yang unik dari azitromisin adalah persebaran obat pada jaringan yang ekstensif dan konsentrasi obat yang tinggi dalam sel termasuk sel fagosit yang menyebabkan konsentrasi obat jauh lebih besar dalam jaringan atau sekresi dibandingkan konsentrasi serum. Hal ini juga menyebabkan eliminasi atau waktu paruh memanjang yaitu 40-68 jam. Metabolisme terjadi di hepar dengan rute eliminasi terbanyak melewati ekskresi bilier. Selain itu, hanya 12% obat yang tereksresikan lewat urin.
1. Indikasi, Dosis, dan Aspek Klinis
Azitromisin umumnya digunakan sebagai terapi pada infeksi saluran napas atas dan bawah yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan patogen atipikal, khususnya Chlamydia sp. Azitromisin digunakan dengan dosis awal 500 mg pada hari pertama, lalu dilanjutkan dengan 250 mg per hari pada hari ke-2 hingga hari ke-5 untuk pengobatan CAP, faringitis, maupun sinusitis. Penggunaan azitromisin sebagai regimen terapi pada penanganan COVID-19 belum banyak diteliti. Sebuah serial kasus oleh Wang et al (2020) menyebutkan bahwa penggunaan azitromisin sebagai regimen terapeutik terhadap 25 (18,1%) pasien COVID-19. Angka ini berada jauh di bawah obat-obatan lain seperti oseltamivir (124; 89,9%), moxifloxacin (89; 64,4%), glukokortikoid (62; 44,9%), maupun ceftriaxone (34; 24,6%). Hingga artikel ini ditulis, hanya terdapat satu penelitian yang membahas kegunaan azitromisin terhadap COVID-19. Penelitian tersebut, yaitu uji klinis non-acak open-label oleh Gautret et al (2020), menemukan bahwa kombinasi antara azitromisin dengan hidroklorokuin memberikan efek sinergis sebagai terapi pada pasien COVID-19 (Gambar 2). Dosis azitromisin yang diberikan yaitu sebanyak 500 mg pada hari pertama diikuti 250 mg per hari selama 4 hari berikutnya. Penelitian dibutuhkan lebih lanjut mengenai penggunaan kombinasi azitromisin dengan hidroklorokuin mengingat bahwa studi ini dilakukan hanya dengan 36 sampel. Selain itu, kombinasi ini berpotensi berperan sebagai terapi antivirus terhadap SARS-CoV-2 dan mencegah superinfeksi bakteri. Hal ini membuktikan bahwa azitromisinmungkin dapat diberikan pada kondisi klinis untuk mengobati pasien COVID-19, dengan catatan bahwa masih banyak regimen pengobatan lain yang telah diteliti secara lebih ekstensif dengan bukti ilmiah yang lebih konkret. Terlebih lagi, penggunaan azitromisinhanya direkomendasikan untuk digunakan pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan apabila adanya infeksi bakteri tidak dapat dieksklusi. (Jin et al, 2020)
Gambar 2. Presentasi pasien sampel nasofaring PCR positif sejak inklusi hingga 6 hari setelahnya yang diberikan terapi tunggal, kombinasi, dan kontrol.
Selain penelitian di atas, hingga kini, terdapat dua penelitian ongoing (NCT04322123 dan NCT04321278; https://clinicaltrials. gov/) yang mengevaluasi kegunaan azitromisin terhadap COVID-19, dan keduanya menggunakan azitromisinsebagai kombinasi terhadap hidroksiklorokuin.
2. Efek Samping dan Kontraindikasi
Efek samping yang paling sering dilaporkan pada penggunaan azitromisin adalah gejala gastrointestinal ringan hingga sedang seperti mual, muntah, dan diare. Selain itu, azitromisinjuga diketahui dapat menyebabkan sakit kepala, insomnia, ruam, dan perubahan fungsi hati transien secara laboratorium, meskipun pada azitromisin ditemukanrisiko kejadian efek samping yang lebih sedikit dibanding amoksilin atau amoksiklav dengan RR 0.76 (95% CI 0.57-1.00, p=0,05). Perlu ditekankan, azitromisindapat menyebabkan toksisitas pada organ jantung dengan menyebabkan pemanjangan durasi interval QT. Efek samping ini dimediasi oleh efek azitromisinterhadap kanal ion kalium. Pada kondisi berat, pemanjangan durasi interval QT dapat menyebabkan aritmia torsades de pointes sehingga meningkatkan risiko henti jantung.
Karena potensi efek samping berat pada penggunaan azitromisin, obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan saluran GI dan kardiovaskular. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), azitromisinjuga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal fungsi hati.
3. Regulasi
Azitromisinsudah terdaftar dalam BPOM dengan ketentuan dosis sesuai indikasi dan kontraindikasi. Akan tetapi, hingga kini, belum terdapat regulasi mengenai penggunaan azitromisinsebagai
terapi COVID-19. Menurut CDC, kombinasi hydroxychloroquine dan azitromisinberkaitan dengan perpanjangan interval QT dan harus berhati-hati ketika diberikan pada pasien dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal dan gangguan fungsi hati serta sedang menerima pengobatan lain yang dapat saling berinteraksi dan menyebabkan aritmia.
4. Kesimpulan dan Rekomendasi
Sejauh yang ditemukan penulis, hingga kini, belum terdapat penelitian mengenai penggunaan azitromisin sebagai monoterapi untuk mengobati infeksi SARS-CoV-2. Penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan azitromisinsebagai adjuvan terapi COVID-19 yang dikombinasikan dengan hidroksiklorokuin perlu dilakukan. Hal ini mengingat azitromisin dapat meningkatkan efektivitas obat dalam mengatasi infeksi virus tersebut dan sebagai pencegahan terjadinya superinfeksi bakteri pada saluran pernapasan. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan azitromisin harus disertai dengan monitor ketat, mengingat bahwa obat ini memiliki berbagai efek samping yang berat, seperti pemanjangan interval QT.
D. Kesimpulan
Baik klorokuin, hidroksiklorokuin, maupun azitromisin telah menunjukkan potensi yang baik terhadap COVID-19. Klorokuin dan hidroksiklorokuin telah digunakan secara ekstensif di berbagai negara dalam menangani pasien dengan COVID-19, khususnya pasien lanjut usia, pasien dengan komorbiditas, dan pasien dengan gejala berat hingga kritis. Di lain pihak, azitromisinbelum banyak digunakan, namun menunjukkan potensi yang baik sebagai terapi adjuvan pada hidroksiklorokuin. Ketiga obat tersebut memiliki efek samping yang secara umum dapat ditolerir, mengingat bahwa ketiga obat tersebut telah mengantongi izin dari FDA terhadap indikasinya masing-masing. Namun, penelitian lebih lanjut mengenai efek samping dan toksisitas ketiga obat tersebut pada penggunaan terhadap COVID-19 perlu dilakukan. Penggunaan ketiga obat tersebut juga tidak dianjurkan secara bebas dan luas di masyarakat, mengingat bahwa ketiga obat tersebut memiliki efek samping yang cukup berat, khususnya pemanjangan durasi interval QT yang dapat menyebabkan henti jantung.
Kami merekomendasikan pemerintah dan institusi serta organisasi terkait untuk melaksanakan penelitian guna memastikan aplikabilitas temuan-temuan ilmiah yang telah ada terhadap populasi Indonesia, serta memberlakukan kebijakan ketat untuk mengontrol peredaran obat-obatan tersebut di kalangan masyarakat agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan ataupun ekonomi masyarakat.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13. Centers for Disease Control and Prevention. 2020. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). [online] Available at: <https://www.cdc. gov/coronavirus/2019-ncov/hcp/therapeutic-options.html#r6> [Accessed 26 March 2020]. Centers for Disease Control and Prevention. 2020. Information for clinicians on therapeutic options for COVID-19 patients. [online] Available at: <https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/hcp/ therapeutic-options.html> [Accessed 2020 Mar 26]. Clinicaltrials.gov. 2020. Home - Clinicaltrials.gov. [online] Available at: <https://clinicaltrials.gov/> [Accessed 26 March 2020]. Cortegiani, A. et al. 2020. A systematic review on the efficacy and safety of chloroquine for the treatment of COVID-19, Journal of Critical Care. Esicm.org. 2020. [online] Available at: <https://www.esicm.org/ wp-content/uploads/2020/03/SSC-COVID19-GUIDELINES.pdf> [Accessed 26 March 2020]. Gao, J., Tian, Z., & Yang, X. 2020. Breakthrough: chloroquine phosphate has shown apparent efficacy in treatment of COVID-19 associated pneumonia in clinical studies. BioScience Trends. Gautret, P., Lagier, J., Parola, P., Hoang, V., Meddeb, L., Mailhe, M., Doudier, B., Courjon, J., Giordanengo, V., Vieira, V., Dupont, H., Honoré, S., Colson, P., Chabrière, E., La Scola, B., Rolain, J., Brouqui, P. and Raoult, D., 2020. Hydroxychloroquine and azithromycin as a treatment of COVID-19: results of an open-label non-randomized clinical trial. International Journal of Antimicrobial Agents, p.105949 Goel, P., Gerriets, V. 2019. Chloroquine. [online] StatPearls. Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551512/> [Accessed 2020 Mar 26]. Jin, Y., Cai, L., Cheng, Z., Cheng, H., Deng, T., Fan, Y., Fang, C., Huang, D., Huang, L., Huang, Q., Han, Y., Hu, B., Hu, F., Li, B., Li, Y., Liang, K., Lin, L., Luo, L., Ma, J., Ma, L., Peng, Z., Pan, Y., Pan, Z., Ren, X., Sun, H., Wang, Y., Wang, Y., Weng, H., Wei, C., Wu, D., Xia, J., Xiong, Y., Xu, H., Yao, X., Yuan, Y., Ye, T., Zhang, X., Zhang, Y., Zhang, Y., Zhang, H., Zhao, Y., Zhao, M., Zi, H., Zeng, X., Wang, Y. & Wang, X., 2020. A rapid advice guideline for the diagnosis and treatment of 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) infected pneumonia (standard version). Military Medical Research, 7(1). Jun C, Danping L, Li L, Ping L, Qingnian X, Lu X, et al. 2020. A pilot study of hydrochloroquine in treatment of patients with common coronavirus disease 19. Journal of ZheJiang University Katzung, B. 2018. Basic and clinical pharmacology. 14th ed. New York: McGraw Hill Education, p.820. Laopaiboon, M., Panpanich, R. and Swa Mya, K., 2015. Azithromycin for acute lower respiratory tract infections. Cochrane Database of Systematic Reviews Parkinson, J., Gauthier-Villars, D. 2020. Trump claim that malaria
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24. drugs treat coronavirus sparks warnings, shortages [online]. New York: Wall Street Journal. Available at: <https://www.wsj.com/ articles/trump-claim-that-malaria-drugs-treat-coronavirus-sparkswarnings-shortages-11584981897> [Accessed 2020 Mar 26] Pionas.pom.go.id. 2020. AZITROMISIN | PIO Nas. [online] Available at: <http://pionas.pom.go.id/monografi/azitromisin> [Accessed 26 March 2020]. Sahraei, Z., Shabani, M., Shokouhi, S. and Saffaei, A., 2020. Aminoquinolines against Coronavirus disease 2019 (COVID-19): chloroquine or hydroxycloroquine. International Journal of Antimicrobial Agents, p.105945. Smith, P., Prosser, T. 2020. COVID-19 drug therapy – potential options. [online] Elsevier, Inc. Available at: <https://www.elsevier. com/__data/assets/pdf_file/0007/988648/COVID-19-DrugTherapy_Mar-2020.pdf> [updated 2020 Mar 25; accessed 2020 Mar 26] Therapeutic Goods Administration. 2020. New restrictions on prescribing hydroxychloroquine for COVID-19. [online] Available at: https://www.tga.gov.au/alert/new-restrictions-prescribinghydroxychloroquine-covid-19 [Accessed 26 March 2020]. U.S. Food and Drug Administration. 2020. azithromycin (zithromax or zmax) and the risk of potentially fatal.... [online] Available at: <https://www.fda.gov/drugs/drug-safety-and-availability/fda-drugsafety-communication-azithromycin-zithromax-or-zmax-and-riskpotentially-fatal-heart> [Accessed 26 March 2020]. Vinetz JM. 2018. Chemotherapy of malaria. In Brunton LL, Dandan RH, Knollman BC (eds). Goodman and Gilman Pharmacological Basis of Therapeutics. 13th ed. USA, McGraw-Hill Education. pp. 969-86 Waller DG, Sampson AP. 2018. Medical pharmacology and therapeutics. 5th ed. China, Elsevier; p 375 Wang, D., Hu, B., Hu, C., Zhu, F., Liu, X., Zhang, J., Wang, B., Xiang, H., Cheng, Z., Xiong, Y., Zhao, Y., Li, Y., Wang, X. & Peng, Z., 2020. Clinical characteristics of 138 hospitalized patients with 2019 novel coronavirus–infected pneumonia in Wuhan, China. JAMA, 323(11), p.1061. Yao, X., Ye, F., Zhang, M., Cui, C., Huang, B., Niu, P., Liu, X., Zhao, L., Dong, E., Song, C., Zhan, S., Lu, R., Li, H., Tan, W. and Liu, D., 2020. In vitro antiviral activity and projection of optimized dosing design of hydroxychloroquine for the treatment of severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Clinical Infectious Diseases. Yuen, K-S., Ye, Z-W., Fung, S-Y., Chan, C-P., & Jin, D-Y. 2020. SARSCoV-2 and COVID-19: the most important research questions. Cell Bioscience Zhou, D., Dai, S. & Tong, Q. 2020. COVID-19: a recommendation to examine the effect of hydroxychloroquine in preventing infection and progression. Journal of Antimicrobial Chemotherapy