17 minute read
Pemenang Nobel: COVID-19 akan Segera Usai, Benar atau Salah?
from Serba Serbi Covid-19
by Berani Sehat
Bari Ahmad Adhyasta 1 , Mutiara Auliya F 1 , Aldithya Fakhri 1 , Nathaniel Gilbert Dyson 1 , Teshalonica Mellyfera Irania 1 , Hansel Tengara Widjaja 1
1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Advertisement
A. Abstrak
Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah sebuah penyakit yang mengakibatkan sebuah sindrom pernapasan dan merupakan sebuah pandemi global pada tahun 2020 ini. Puluhan negara sudah mengalami kasus terkonfirmasi dan sedang mengalami pertumbuhan kasus COVID-19 secara eksponensial. Banyak peneliti beranggapan bahwa jumlah kasus baru COVID-19 ini baru akan mengalami pengurangan dan mencapai titik stabil pada beberapa bulan, bahkan tahun yang akan datang. Berbeda dengan anggapan yang umum saat ini, seorang peraih penghargaan nobel di bidang kimia beranggapan berbeda, bahwa COVID-19 akan segera tuntas dalam hitungan minggu atau beberapa bulan yang akan datang. Hal tersebut didasari oleh bagaimana sebuah penyakit akan mengalami model perubahan pertumbuhan dari model eksponensial menuju model logistik. Artikel ini akan membahas mengenai prediksi Levitt serta kondisi COVID-19 untuk mengevaluasi apakah prediksi Levitt ini benar atau tidak, dan apakah prediksi ini dapat berlaku di Indonesia. Metode yang digunakan untuk menguji hipotesis Levitt adalah dengan cara membaca literatur-literatur yang ada, data-data kependuduan negara-negara, dan melihat data pertumbuhan kasus COVID-19 pada beberapa negara tertentu. Berdasarkan hasil pencarian literatur dan data, diketahui bahwa pada beberapa negara, kasus COVID mulai mengalami penurunan jumlah pertumbuhan kasus baru dan hipotesis Levitt mengenai laju mortalitas dan kasus baru dipengaruhi oleh jumlah populasi usia tertentu dan interaksi antar penduduk cukup sesuai dengan data persebaran COVID-19. Mengenai kasus COVID-19 di Indonesia, Indonesia memiliki kepadatan penduduk urban yang lebih tinggi dibandingkan contoh-contoh negara yang ada serta kebijakan yang diambil juga terdapat perbedaan, sehingga sulit untuk dikatakan apakah kasus COVID-19 di Indonesia akan segera usai seperti yang diprediksikan Levitt.
Kata kunci: COVID-19, Levitt, laju pertumbuhan
Selama dua dekade terakhir, penduduk dunia telah dibuat resah dengan kemunculan infeksi akibat virus Corona sebanyak tiga kali. Kemunculan kasus pertama yaitu Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2003 dilanjutkan dengan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) pada tahun 2012, dan yang paling baru dan sedang hangat diperbincangkan saat ini adalah COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2. Berdasarkan data, infeksi akibat SARS-CoV-2 telah mencapai angka yang yang jauh lebih tinggi dibandingkan kedua penyakit yang serupa sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa virus SARS-CoV-2 lebih efektif dalam hal penularannya. Beberapa jurnal dan penelitian bahkan memprediksi bahwa angka penularan yang disebabkan virus ini meningkat menurut deret eksponensial. Pernyataan tersebut didukung oleh fakta bahwa virus ini memiliki Ro antara 2 hingga 3.5 yang berarti laju penularan penyakit ini yaitu dari satu orang terinfeksi kepada 2 hingga 3 orang yang sehat (Guarner, 2020).
Namun, beberapa waktu lalu, dalam sebuah kesempatan, Michael Levitt, seorang professor Biologi dari Stanford University, sekaligus penerima hadiah Nobel 2019 bidang Kimia, menyampaikan sebuah prediksi yang kontradiktif. Sebelumnya, beliau pernah menyampaikan bahwa menurut hasil penelitiannya, Tiongkok diprediksi akan mengalami dan mampu bertahan dalam krisis infeksi COVID-19 terburuknya. Beberapa saat setelahnya, prediksi Levitt terbukti benar dan Tiongkok pun dapat bertahan dari infeksi tersebut. Selanjutnya, Levitt juga sempat memprediksi bahwa jumlah kasus infeksi COVID-19 di Amerika Serikat akan mengalami penurunan dalam waktu dekat. Hal ini bertentangan dengan prediksi dari para peneliti dan organisasi kesehatan lainnya yang menyatakan bahwa penyakit ini akan bertambah buruk dan bahkan akan bertahan selama beberapa bulan dan bahkan tahun. Levitt menyampaikan dua alasan yang mendukung pernyataannya tersebut.(Coronavirus: Nobel Prize winner predicts US will get through crisis sooner than expected | The Independent, no date)
Pertama, prediksi bahwa laju penularan akan meningkat secara eksponensial dapat dibantahkan karena asumsi tersebut hanya berlaku apabila seorang yang terinfeksi selalu bertemu dengan seorang yang sehat setiap harinya. Faktanya, Levitt menjelaskan bahwa sebagian besar orang dalam lingkaran interaksi sosialnya akan bertemu dengan orang yang sama setiap hari.
Kedua, Levitt juga menyampaikan bahwa meskipun belum terbukti secara klinis, namun beberapa hasil analisis data yang ia lakukan menunjukkan bahwa kemungkinan ada sekelompok orang yang secara alami memiliki imunitas tertentu terhadap penyakit ini. Sebagai contoh, kasus COVID-19 yang terjadi di Wuhan, Tiongkok, sebagai lokasi sumber penyebaran virus, hanya menginfeksi sekitar 3% dari keseluruhan populasi. Contoh lainnya, yaitu pada kasus Diamond Princess, sebuah kapal pesiar yang beberapa penumpangnya telah terindikasi COVID-19 memiliki angka infeksi yang relatif rendah, tidak mencapai 20%.
Berdasarkan hasil analisis Levitt, kasus infeksi ini akan segera berakhir sehingga yang kita perlukan saat ini adalah mengendalikan kepanikan di masyarakat dan mengikuti setiap anjuran, termasuk social distancing dengan baik dan taat. Namun, sebenarnya bagaimanakah model penyebaran yang diperoleh Levitt? Apakah ada yang bisa kita pelajari dari kasus serupa yang telah terjadi di masa lalu untuk membantu mengatasi kasus infeksi COVID-19? Dalam makalah ini akan dibahas mengenai model penyebaran infeksi COVID-19, khususnya di Tiongkok, termasuk perbandingannya dengan beberapa kasus akibat virus serupa yang pernah terjadi sebelumnya.
C. Pembahasan 1. Prediksi Levitt, Model Penelitian, dan Evaluasinya
Mengapa Levitt memprediksikan bahwa Amerika Serikat akan melewati krisis pandemi yang terjadi lebih cepat dibandingkan perkiraan yang telah ada sebelumnya? Untuk menjawab terkait hal ini ada baiknya kita menganalisis terlebih dahulu bagaimana prediksi algoritma matematis dari suatu penyakit infeksius diperkirakan. Secara epidemiologi, sebuah penyebaran penyakit pada tahap awal akan mengalami sebuah pertumbuhan jumlah kasus. Pertumbuhan ini pada umumnya mengikuti kurva pertumbuhan eksponensial dimana jumlah kasus dapat mengalami kelipatan setiap waktu tertentu. Tetapi pada suatu titik, kurva pertambahan kasus akan mengalami suatu pelandaian dan tidak lagi mengikuti kurva pertumbuhan eksponen dikarenakan faktor-faktor tertentu.
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan COVID-19 pada beberapa negara di Eropa
Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa pada awal-awal masa infeksi, suatu penyakit akan mengalami pertambahan jumlah kasus yang sangat signfikan. Setelah penyakit mencapai titik tertentu maka jumlah pertumbuhan kasus baru akan mulai menurun. Negara-negara seperti Jerman, Spanyol, Perancis, dan Belanda pada masa awal kasus infeksi memiliki jumlah pertumbuhan kasus baru sebesar 35% dan dua minggu sebelum 25 Maret mulai menunjukkan penurunan jumlah pertambahan kasus baru, yaitu mulai mendekati grafik pertumbuhan sebesar 22%. Pertanggal 25 Maret, Perancis dan Spanyol kembali mengalami penurunan dalam pertambahan kasus baru yaitu 13%. Dari perlambatan kasus-kasus baru ini, pada durasi waktu tertentu sebuah penyakit akan mengalami perubahan kurva pertumbuhan dari model eksponensial menjadi model logistik.
Pada beberapa negara, kasus COVID–19 dapat diprediksikan
menggunakan Logistic Model yang secara umum digunakan dalam memprediksikan epidemiologi suatu penyakit infeksius di suatu daerah. Logistic Model umumnya digunakan untuk mengeksplorasi faktor risiko suatu penyakit tertentu dan memprediksikan probabilitas kejadian penyakit berdasarkan faktor risikonya. Secara kasar, kita dapat memprediksikan perkembangan dan pola transmisi penyakit melalui analisis regresi logistic model.
Qt adalah kasus kumulatif terkonfirmasi (kematian), a adalah jumlah maksimum terprediksi dari kasus terkonfirmasi (kematian), b dan c adalah koefisien. t adalah jumlah hari sejak kemunculan kasus pertama. t0 adalah waktu ketika kasus pertama terjadi.
Berdasarkan hasil analisis statistik insidensi kasus COVID-19 yang terjadi di Wuhan, ditemukan bahwa jumlah kasus yang terjadi akan mengalami penurunan insidensi seiring dengan bertambahnya waktu. Penurunan insidensi kasus ini terprediksi oleh Logistic Model yang digunakan untuk memprediksi kasus epidemiologi ini.
Model Logistic menunjukkan prediksi yang akurat terkait penurunan insidensi kasus COVID–19 perharinya. Logistic Model inilah yang menjadi dasar prediksi adanya penurunan insidensi COVID – 19 pada suatu daerah. Pada dasarnya, memang benar pandemi ini akan mangalami penurunan insidensi infeksi dalam jangka waktu tertentu, namun laju infeksi dan waktu titik infleksi grafik epidemiologi (puncak tertinggi apocalypse yang dipengaruhi oleh laju infeksi) akan berbeda pada daerah satu dengan daerah lainnya. Laju infeksi akan berkaitan pula dengan durasi pandemi di suatu daerah. Menurut Levitt, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor interaksi sosial, dan imunitas yang dimiliki oleh populasi terjangkit.
Lalu, hal apa yang menyebabkan perubahan model dari eksponensial menjadi model logistik? Mengapa Levitt tidak sepakat dengan prediksi penyebaran COVID-19 saat ini? Menurut Levitt, kesalahan prediksi jangka waktu prevalensi COVID-19 ini terjadi ketika individu dalam suatu populasi diasumsikan melakukan interaksi dengan orang yang baru setiap hari. Apabila seorang individu terjangkit kasus melakukan interaksi dengan orang baru setiap harinya, tentunya akan terjadi peningkatan laju infeksi secara signifikan dan berpengaruh terhadap tinggi titik infleksi grafik. Namun, apabila seorang individu membatasi interaksinya dengan individu lain dalam suatu populasi, tentunya laju infeksi tidak akan meningkat secara tajam.
2. Model Penyebaran COVID-19
Sejak pertama kali dilaporkan terjadi di Kota Wuhan pada pertengahan Desember 2019, kasus infeksi COVID-19 telah mengalami tiga fase penyebaran: local outbreak, community transmission, dan large-scale transmission. Fase pertama, yaitu local outbreak merupakan fase saat penularan virus SARS-CoV-2 didapatkan dari paparan langsung host yang diduga terdapat di pasar seafood di Kota Wuhan, Tiongkok. Fase kedua adalah pada saat penularan mulai terjadi pada antarkelompok masyarakat sehingga tidak lagi membutuhkan paparan langsung dengan hewan host. Fase ketiga adalah ketika penyebaran infeksi melewati batas wilayah dan bahkan batas negara karena mobilitas yang tinggi dari orang yang telah terinfeksi.(Jia et al., 2020)
Berdasarkan data yang tercatat, pada awal kemunculan infeksi, jumlah pasien yang terdeteksi menderita COVID-19 di Kota Wuhan mengalami peningkatan yang sangat drastis. Pada Gambar 1, terlihat bahwa jumlah kasus infeksi COVID-19 pada kisaran bulan Januari hingga Februari mengalami pertumbuhan yang sangat cepat.
Gambar 1 . Grafik menunjukkan jumlah kasus infeksi COVID-19 di berbagai provinsi di Tiongkok (per 20 Februari 2020)
Namun, seperti yang kita ketahui, pemerintah Tiongkok mengambil langkah tegas dan sigap dengan cara melakukan lockdown penuh di Kota Wuhan terhitung sejak tanggal 23 Januari 2020. Apabila kita melihat data lain, Gambar 2, mengenai jumlah pertambahan kasus baru, terjadi tren penurunan jumlah kasus baru sejak tanggal 5 Februari 2020. Tidak hanya di Kota Wuhan, tren yang hampir sama juga terjadi di beberapa kota lain di Tiongkok yang awalnya memiliki laju penularan yang tinggi.
Gambar 2. Grafik menunjukkan jumlah pertambahan kasus baru per hari mulai 23 Januari 2020 hingga 20 Februari 2020
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa dalam kurung waktu sekitar 14 hari (satu periode inkubasi) sejak pemerintah memberlakukan kebijakan lockdown, jumlah pertambahan kasus baru infeksi COVID-19 cenderung mengalami penurunan. Bahkan, dalam kurung waktu sekitar 28 hari (dua kali periode inkubasi), jumlah pertambahan kasus baru mengalami penurunan drastis menjadi satu digit saja.
Berdasarkan hasil kajian diatas, dapat kita simpulkan bahwa pemerintah Tiongkok telah berhasil mengendalikan penyebaran virus SARS-CoV-2 dengan kebijakan lockdown. Dengan berlakunya kebijakan tersebut, semua fasilitas transportasi publik dihentikan, seluruh kota dikarantina dan diawasi secara ketat. Setelah percobaan lockdown di Kota Wuhan membuahkan hasil, pemerintah juga memberlakukan kebijakan ini untuk beberapa kota lainnya di Provinsi Hubei, yakni kota-kota yang berdekatan dengan Kota Wuhan.(Lin et al., 2020)
Italia mengalami kasus pertamanya pada tanggal 15 Febuari 2020 dengan jumlah kasus sebanyak 3 kasus terkonfirmasi. Dalam waktu tujuh hari dari kasus pertama, Italia melaporkan jumlah terkonfirmasi sebanyak 79 kasus, dalam waktu 14 hari kasus terkonfirmasi mencapai angka 1,128 kasus. Model pertumbuhan kasus COVID-19 di Italia masih mengikuti model eksponensial meskipun jumlah pertumbuhannya mengalami penurunan. Per tanggal 15 Maret, jumlah kasus
terkonfirmasi diprediksi akan mengalami kelipatan setiap empat hari sekali. Pada tanggal 9 Maret 2020, pemerintah Italia memberlakukan lockdown skala nasional untuk memerangi COVID-19, dapat dilihat bahwa empat belas hari dari tanggal 9 Maret, yaitu pada tanggal 23 Maret, mengikuti model pada Wuhan, kasus baru di Italia mengalami penurunan. Merujuk pada grafik pada Gambar 1, ada kemungkinan bahwa dalam beberapa minggu kedepan Italia akan mengalami puncak kasus yang terkonfirmasi sebelum mengalami penurunan jumlah kasus.
3. Penerapan Model Prediksi Levitt bagi Kasus
COVID-19 di Indonesia
Secara umum, prediksi Michael Levitt menunjukan ada dua parameter penting yang perlu ditinjau dalam upaya menurunkan jumlah penyebaran dan laju mortalitas pasien yang terinfeksi virus corona, yaitu presentase orang lanjut usia dan dinamika kebudayaan setempat yang memungkinkan adanya interaksi antarmanusia yang tinggi (Coronavirus: Nobel Prize winner predicts US will get through crisis sooner than expected | The Independent, no date). Jika ditinjau dari angka harapan hidup, angka harapan hidup yang dimiliki oleh Italia adalah 81,9 tahun untuk pria dan 86,0 tahun untuk wanita, sedangkan untuk angka harapan hidup di Tiongkok adalah 75,4 tahun untuk pria dam 79,7 tahun untuk wanita. Sekilas jika dilihat memang angka harapan hidup di Italia lebih tinggi dibandingkan di Tiongkok yang memungkinkan presentase orang lanjut usia di Italia akan lebih tinggi dibandingkan di Tiongkok. Jumlah mortalitas pasien COVID-19 di Italia sampai tanggal 26 Maret 2020 mencapai 7.503 jiwa dari 74.386 kasus, sedangkan di Tiongkok mencapai 3.287 jiwa dari 81.285 kasus. Pada data ini, dapat dilihat bahwa Italia, dengan jumlah kasus yang lebih sedikit dibandingkan Tiongkok, memiliki jumlah mortalitas yang lebih tinggi. Hal bisa dikaitkan dengan presentase orang lanjut usia yang lebih tinggi di Italia dibandingkan di Tiongkok. Indonesia memiliki angka harapan hidup yang lebih rendah dibandingkan Tiongkok dan Italia, yaitu sebesar 70,1 pada pria dan 74,6 pada wanita. Ketiga
negara ini memiliki angka harapan hidup yang meningkat dari tahuntahun sebelumnya, tetapi dapat menjadi gambaran bahwa setiap negara memiliki persentase jumlah orang dalam kelompok lanjut usia sehingga hal ini dapat menjadi pembeda mengenai tingkat mortalitas pada ketiga negara.(China Demographics 2020 (Population, Age, Sex, Trends) - Worldometer, no date; Italy Demographics 2020 (Population, Age, Sex, Trends) - Worldometer, no date)
Interaksi antar penduduk di masing-masing negara juga akan mempengaruhi besarnya laju penyebaran virus corona karena kepadatan penduduk yang tinggi akan meningkatkan kemungkinan untuk satu orang dengan orang lainnya berinteraksi. Jika ditinjau dari kepadatan penduduk, Italia memiliki kepadatan penduduk sebesar 206 warga per km 2 , sedangkan Tiongkok memiliki kepadatan penduduk sebesar 153 warga per km 2 . Selain itu untuk mengetahui persebaran penduduk keduanya, 69,5% populasi Italia masuk dalam kategori penduduk urban sedangkan Tiongkok memiliki 60,8% penduduk yang masuk dalam kategori urban. Meskipun demikian, jumlah populasi Tiongkok yang masuk dalam kategori urban adalah 875 juta jiwa sedangkan Italia hanya sebesar 42 juta jiwa, hal ini belum tentu menggambarkan kondisi kepadatan penduduk urbannya. Tetapi apabila membandingkan daerah terpadat Tiongkok dengan Italia, kepadatan penduduk tertinggi di Tiongkok adalah daerah Heilongjiang dengan kepadatan sebesar 5,476 jiwa per tiap kilometer persegi, sedangkan daerah Milan saja memiliki kepadatan penduduk sebesar 7,551 jiwa per tiap kilometer persegi. Sejauh ini perbandingan Italia dengan Tiongkok sesuai dengan prediksi Levitt dimana jumlah penduduk tua yang lebih banyak serta interaksi antarmanusia mempengaruhi laju pertumbuhan kasus serta laju mortalitas.
Berikut ini disajikan grafik jumlah kasus infeksi virus corona di Italia dan Tiongkok.(Italy Coronavirus: 74,386 Cases and 7,503 Deaths - Worldometer, no date; Coronavirus Update (Live): 492,034 Cases and 22,175 Deaths from COVID-19 Virus Outbreak - Worldometer, no date)
Grafik 1 . Jumlah kasus infeksi coronavirus terhadap tanggal
Keterangan: Grafik pada negara Italia (kiri) dan Tiongkok (kanan)
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memiliki kepadatan penduduk sebesar 151 warga per km 2 . 56,4% dari total penduduk Indonesia masuk dalam kategori penduduk daerah urban, yaitu 154 juta jiwa. Angka ini tentu lebih rendah dibandingkan dengan Italia dan Tiongkok, akan tetapi berbeda dengan Italia dan Tiongkok, daerah paling padat di Indonesia yaitu Daerah Khusus Ibukota dan Jawa Barat kepadatan penduduk yang sangat tinggi yaitu 14,464 jiwa per tiap kilometer persegi untuk daerah Jakarta dan sekitarnya, dua kali lipat dari kepadatan penduduk tertinggi daerah di Tiongkok ataupun Italia, sehingga memungkinkan sebuah kasus dimana Indonesia mungkin saja tidak akan sesuai dengan model atau prediksi Levitt bahwa COVID-19 akan segera usai dalam hitungan minggu. (China Demographics 2020 (Population, Age, Sex, Trends) - Worldometer, no date; Italy Demographics 2020 (Population, Age, Sex, Trends) - Worldometer, no date)
Menurut Levitt, keputusan Italia dan Tiongkok untuk memberlakukan lockdown merupakan hal yang sangat tepat untuk mengurangi penyebaran virus corona ini. Namun, hal ini dimungkinkan bagi kedua negara tersebut, dengan menimbang nilai Produk Domestik Bruto (PDB/GDP) per kapita mereka yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Italia dan Tiongkok memiliki nilai PDB per kapita mencapai $32,038 dan $8,612 berturut-turut, sedangkan Indonesia meiliki nilai PDB per kapita sebesar $3,837 yang dapat memengaruhi stabiltas ekonomi, penghidupan serta kehidupan jutaan penduduk Indonesia apabila diberlakukan lockdown. Apabila lockdown akan diberlakukan, perlu dilakukan pertimbangan dari segi ekonomi dan sosial juga. (Gross Domestic Product (GDP) - Worldometer, no date)
4. Perbandingan Penyebaran SARS 2003 dan COVID-19
4.1. Perbandingan profil kasus
Kajian yang akan dibandingkan adalah jumlah kasus terinfeksi dan persentase fatalitasnya. Terdapat 1.072 kasus SARS yang dilaporkan pada tahun 2003 dengan perbandingan pasien pria dan wanita 1:1,26; tingkat mortalitas mencapai 4,01%, sedangkan pada kasus COVID-19 terdapat laporan sebanyak 346 kasus dengan rasio pria dan wanita 1:1,07; tingkat mortalitas 0,29%.
Berdasarkan data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa jumlah kasus infeksi COVID-19 yang terjadi di Kota Guangzhou lebih rendah dibandingkan infeksi SARS tahun 2003, dengan tingkat mortalitas yang jauh lebih rendah. Namun, dalam hal ini terdapat kemungkinan kesalahan yang disebabkan tidak seimbangnya perbandingan jumlah kasus infeksi antara keduanya di kota tersebut. Meskipun demikian, data mortalitas dapat menjadi salah satu acuan yang menunjukkan bahwa tingkat fatalitas akibat infeksi COVID-19 lebih rendah dibandingkan akibat infeksi SARS.
4.2. Perbandingan karakteristik virus
Kasus SARS pertama yang dilaporkan di Kota Guangzhou terjadi pada tanggal 2 Januari 2003 dan mencapai puncak peningkatan dalam hal jumlah kasus infeksinya pada hari ke37, dimana terdapat 41 kasus baru pada hari tersebut (8 Februari 2003). Namun, setelah itu, kasus tersebut menunjukkan penurunan dan mencapai angka 0 kasus pada hari ke-129 (11 Mei 2003). Di sisi lain, kasus infeksi COVID-19 pertama di Kota Guangzhou terjadi pada tanggal 21 Januari 2020 dan mencapai puncak peningkatan jumlah pasien terinfeksi pada hari ke-11 (1 Februari 2020) dengan jumlah kasus baru sebanyak 38 kasus. Pada hari ke-35 (25 Februari 2020), kasus infeksi ini telah mencapai titik 0 kasus baru.
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa durasi penyebaran infeksi COVID-19 di Kota Guangzhou lebih singkat dibandingkan infeksi SARS pada tahun 2003. Hal ini dapat diduga sebagai akibat dari kebijakan pemerintah Tiongkok yang melakukan lockdown pada Kota Wuhan dan beberapa kota di sekitarnya sehingga menekan jumlah penambahan kasus baru dalam jangka
4.3. Perbandingan karakteristik usia
Laporan kasus infeksi SARS pada tahun 2003 di kota Guangzhou menunjukkan bahwa ratarata usia pasien yang terinfeksi adalah 38 tahun dengan median 35 tahun. Komposisi terbesar berada dalam rentang usia 20-39 tahun (sekitar 56,72%). Di sisi lain, rata-rata usia pasien yang terinfeksi COVID-19 adalah 46 tahun dengan median 48 tahun.
Berdasarkan kajian perbandingan yang telah dibahas di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus infeksi COVID-19 sebenarnya telah mendapat penanganan dan kontrol yang jauh lebih baik daripada SARS 2003. Hal ini terbukti dari berbagai aspek yang menunjukkan bahwa, baik dalam hal jangka waktu penyebaran, maupun jumlah infeksi, COVID-19 memerlukan waktu yang lebih singkat dan jumlah infeksi yang lebih sedikit. Dengan demikian, Tiongkok, sebagai negara yang telah berhasil melawan virus Corona ini, dapat menjadi contoh bagi negara-negara lainnya yang saat ini masih berjuang keras melawan penyebaran infeksi ini.
D. Kesimpulan
Prediksi Levitt mengenai kasus COVID-19 yang akan segera usai masih belum dapat dipastikan karena masih banyak variabel yang dapat mempengaruhi pertumbuhan COVID-19, tetapi sejauh ini secara global pertumbuhan jumlah kasus baru mengalami penurunan atau perubahan model dari model eksponensial menjadi model logistik pada negara-negara dengan jumlah kasus yang sudah cukup besar. Selain itu, faktor persentase populasi lanjut usia dan tingkatan interaksi antar penduduk yang dinilai dari kepadatan penduduk, cukup menggambarkan kondisi dari laju mortalitas dan laju pertumbuhan kasus baru COVID-19, dengan salah satu bentuk pembatasan interaksi yaitu lockdown, terbukti mengakibatkan pengurangan kasus COVID-19 baru. Indonesia, terutama daerah Jakarta dan Jawa Barat yang memiliki kepadatan penduduk sangat tinggi apabila dibandingkan dengan kasus yang ada (Tiongkok dan Italia), serta perbedaan pengambilan kebijakan oleh pemerintah, masih akan sulit untuk diprediksi kapan jumlah pertambahan kasus akan mencapai titik puncaknya. Saat ini Indonesia masih dalam tahap model pertumbuhan eksponensial, dengan perbedaan-perbedaan tadi dapat dikatakan bahwa permasalahan COVID-19 di Indonesia masih jauh dari titik akhirnya. Belum akan mengalami penyelesaian dalam beberapa minggu atau bulan, seperti yang diprediksikan oleh Levitt. Belajar dari kasus yang sudah ada, baru melihat hanya dari kondisi kepadatan penduduk, belum dari aspek kemampuan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan ketahanan kesehatan nasional, perlu segera diambil kebijakan atau langkahlangkah yang lebih berdampak apabila kasus COVID-19 ini ingin segera dituntaskan.
1. China Demographics 2020 (Population, Age, Sex, Trends) - Worldometer (no date). Available at: https://www. worldometers.info/demographics/china-demographics/ (Accessed: 26 March 2020). 2. Coronavirus: Nobel Prize winner predicts US will get through crisis sooner than expected | The Independent (no date).
Available at: https://www.independent.co.uk/news/world/ americas/coronavirus-michael-levitt-china-italy-a9422986. html (Accessed: 26 March 2020). 3. Coronavirus Update (Live): 492,034 Cases and 22,175 Deaths from COVID-19 Virus Outbreak - Worldometer (no date).
Available at: https://www.worldometers.info/coronavirus/ (Accessed: 26 March 2020). 4. Gross Domestic Product (GDP) - Worldometer (no date).
Available at: https://www.worldometers.info/gdp/ (Accessed: 26 March 2020). 5. Guarner, J. (2020) ‘Three Emerging Coronaviruses in Two
Decades’, American Journal of Clinical Pathology, pp. 420–421. doi: 10.1093/ajcp/aqaa029. 6. Italy Coronavirus: 74,386 Cases and 7,503 Deaths - Worldometer (no date). Available at: https://www. worldometers.info/coronavirus/country/italy/ (Accessed: 26
March 2020). 7. Italy Demographics 2020 (Population, Age, Sex, Trends) - Worldometer (no date). Available at: https://www. worldometers.info/demographics/italy-demographics/ (Accessed: 26 March 2020). 8. Jia, L. et al. (2020) ‘Prediction and analysis of Coronavirus
Disease 2019’, (December). Available at: http://arxiv.org/ abs/2003.05447. 9. Li, X. Q. et al. (2020) ‘Comparison of epidemic characteristics between SARS in2003 and COVID-19 in 2020 in Guangzhou’,
Zhonghua liu xing bing xue za zhi = Zhonghua liuxingbingxue zazhi. doi: 10.3760/cma.j.cn112338-20200228-00209. 10. Lin, B. et al. (2020) ‘Epidemiological Trends of
Coronavirus Disease 2019 in China’, medRxiv, 2019, p. 2020.03.13.20035642. doi: 10.1101/2020.03.13.20035642. 11. Yuan DF, Ying LY, Dong CZ. Research progress on epidemic early warning model. Zhejiang Preventive Medicine. 2012;8:20-24. China University of Geoscience. Beijing: 2019.