Newsletter equator 8 Januari - Maret 2015

Page 1

ISSN: 9772442302004

THE EQUATOR Volume 3 Nomor 1 Januari - Maret 2015 Terbitan triwulan | GRATIS

NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

YANG BERTENTANGAN, YANG BERKUMPUL


2

PENGANTAR REDAKSI Pembaca yang budiman, Memasuki tahun 2015, Yayasan Biennale Yogyakarta(YBY) mulai bergegas. Waktu semakin kasif. Penyelenggaraan Biennale Jogja XIII sisa menghitung bulan. Begitupun redaksi The Equator, dituntut untuk bisa mengikuti alur kerja tim-tang Biennale Jogja XIII dan menyuguhkan wacana yang lebih 'membumi'. Semakin dekat waktu perhelatannya, tuntutan untuk menyuguhkan bacaan yang lebih 'enak' dan merangkul semua kalangan–dalam arti bukan hanya kawula seni rupa–juga semakin tinggi. Ada dua poin besar yang hendak kami suarakan lewat edisi ini. Pertama, soal Simposium Khatulistiwa yang di bulan November 2014 kemarin dihelat oleh YBY. Bersama dengan itu, akan turut pula disertakan laporan Residensi Khatulistiwa yang berlangsung di Bangalor, Madagaskar, dan Yogyakarta. Kedua, soal perjalanan periset dan Kurator Biennale Jogja XIII selama sebulan di Nigeria. Sebagai tambahan, kami turut menyertakan sebuah tulisan, anggap saja oleh-oleh, dari kolega baru kami di Nigeria. Penulis pertama, Yustina Neni (Direktur YBY), membagikan hasil refleksinya terkait penyelenggaraan Simposium dan Residensi Khatulistiwa YBY. Ada tiga hal yang dimuat dalam tulisan itu; soal residensi dua seniman Indonesia di Bangalore dan Madagaskar serta seorang arsitek Madagaskar di Jogja, komentar beberapa seniman tentang program residensi, dan refleksi penyelenggaraan Simposium Khatulistiwa 2014. Penulis kedua, Lisistrata Lusandiana (Peneliti YBY) menyuguhkan laporan perjalanannya bersama Kurator Biennale Jogja XIII ke Nigeria. Tulisan ini sekaligus mengoreksi beberapa asumsi yang muncul pada laporan perjalanan tim Biennale pertama ke Nigeria. Penulis ketiga, Aderinsola Ajao (penggiat/kritikus film di Lagos), memberikan wacana dan informasi berharga soal Nollywood. Ini juga menjadi bahan koreksi untuk tulisan yang ditulis Umi Lestari di edisi ke 6 Newsletter ini. Nollywood akan diulas tidak lagi dari perspektif outsider. Terakhir, sekaligus sebagai kancing pengikat edisi ini, akan disuguhkan ulasan singkat Wok The Rock (Kurator Biennale Jogja XIII) tentang orientasi tematik penyelenggaraan Biennale XIII mendatang. “Seni yang menerabas!” begitu kira-kira kesan yang muncul di tulisan Wok The Rock. Dia hendak membagikan kegelisahannya kepada kita semua; menemukan harmoni dalam ketakberaturan, chaos. Harmoni dan chaos dipandang sebagai dua hal yang saling mengandaikan. Di dalam sesuatu yang dianggap telah mapan, teratur, terstruktur, ada chaos. Begitu juga sebaliknya, dalam chaos ada harmoni. Demikian halnya dengan sesuatu yang disebut sebagai 'kesatuan'–tak lain dan tak bukan tersusun dari serangkaian 'oposisi-oposisi'. Hal ini ditemukan Wok The Rock saat bertandang ke Nigeria dan mengilhami dia untuk mengangkatnya sebagai ide dasar dalam pembentukan tema kuratorialnya. Karena itu juga, sebagai corong YBY, pada edisi kali ini kami mencoba merumuskan tema yang tidak jauh berbeda dengan gagasan kuratorial Wok The Rock. Edisi ini kami beri tema “Yang Bertentangan, Yang Berkumpul”. Selamat membaca! Salam, Redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org. Redaksi menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 800 - 1000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa.

Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta Misi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan

konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail: theequator@biennalejogja.org. Februari 2015, 1000 exp Penanggung jawab: Yustina Yeni Redaktur Pelaksana: Arham Rahman Kontributor: Yustina Neni,


3

DAFTAR ISI Residensi Khatulistiwa 4| Merajut Mutiara Khatulistiwa Oleh. Yustina Neni

Sisi Lain Nollywood 20| Oleh. Aderinsola Ajao

8| Apa Kata Mereka Konflik 26| Meminang Meretas Harmoni Oleh. Wok The Rock Orang-orang 10| Orang, dan Peristiwa yang dekat Oleh. Yustina Neni

dari 14| Catatan Perjalanan Lanjutan Oleh. Lisistrata Lusandiana

Sampul depan: Foto oleh Lisistrata Lusandiana Sampul belakang: Foto oleh Budi N.D. Dharmawan

Lisistrata Lusandianan, Aderinsola Ajao, Wok The Rock Fotografi: Arsip YBY Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta: Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil

Jawa Barat: , Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, IFI, Cemeti Art House, Via Via Cafe, LKiS, Sangkring Art Space, Ark Gallerie, Ruang Kelas SD, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM Semarang: Kolektif Hysteria

Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Makasar: Rumata Artspace Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615

Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

RESIDENSI KHATULISTIWA 2014 MERAJUT MUTIARA KHATULISTIWA Oleh Yustina Neni

Ferial Afif Antananarivo, Madagaskar November - Desember 2014

Sedari awal, saat mengajukan lamaran untuk mengikuti Program Residensi Khatulistiwa YBY ke Madagaskar, Ferial sudah membayangkan petualangan seru ke sebuah negeri antahberantah. Hal lain yang terkenal dan muncul seketika di kepalanya adalah kecoa raksasa (Hishing Cockroach). Bayangannya terpengaruh kartun “Madagascar” (DreamWorks, 2005). Sebelum berangkat dia melakukan penelusuran di internet yang menampilkan keanekaragaman hayatinya, juga info yang menyatakan bahwa orang-orang Indonesialah yang pertama kali datang ke sana. Orang-orang Malagasy, penduduk asli Madagaskar, sangat mirip dengan perawakan orang Indonesia. Sudah menjadi pengetahuan umum bagi orang Malagasy bahwa leluhur mereka adalah penjelajah dari Nusantara. Ditambah keadaan alam yang sangat mirip dengan Indonesia maka Madagaskar seperti salah satu pulau Nusantara yang terlempar sejauh 9000 km ke barat di Samudera Hindia. Atau Madagaskar seperti Indonesia kecil di Afrika. Sombongnya begitu. Residensi Khatulistiwa di Magadagaskar adalah usaha menyapa kembali saudara jauh. Perjalanan ke Madagaskar bukan perjalanan pertama Ferial ke luar negeri. Ferial adalah satu dari sedikit seniman 'performance' Indonesia yang progesif dan produktif. Dia sudah berkali-kali melakukan 'kerja-kerja seni' di luar negeri seperti ke Bangladesh, Thailand, Jepang, Jerman, dan lain-lain. Namun saat ke Madagaskar, dia merasa deg-degan bercampur bangga. “Baru kali ini dibayari negara. Berasa jadi duta bangsa gitu deh”, katanya sambil cengar-cengir dalam presentasinya di Kedai Kebun Forum pada 15 Desember 2014. Ferial membuat lokakarya tentang 'berkenalan' di 2 kota, yaitu


5

Antananarivo dan Toamasina. “Dalam perjalanan menuju negara pulau di Samudera Hindia itu, saya membayangkan bertemu orang-orang, menyerap sebanyak-banyaknya pengalaman, dan menyelami situasi nyata kehidupan mereka. Saya kurang yakin dapat memproduksi sesuatu bersama dalam waktu yang sedemikian singkat,� katanya lagi. Orang-orang pertama yang mengajaknya masuk ke dalam lingkungan warga Madagaskar adalah Cecile dan Tahina. Mereka sepasang suami-istri pemilik Is-Art Galerie, satu-satunya galeri seni kontemporer di Madagaskar, mitra Residensi Khatulistiwa YBY. Hari-hari pertama di Antananarivo, beberapa kali dia diajak oleh Cecile dan Tahina ke Gereja. Di sana, Gerejalah yang menjadi ruang bagi masyarakat untuk berkumpul dan melakukan berbagai macam perayaan. Hal ini membuat Ferial berasumsi bahwa keluarga besar merupakan lingkungan yang berarti dan mempunyai peranan penting bagi setiap orang, seperti yang umumnya terjadi di Indonesia. Lokakarya 'berkenalan' adalah proyek seni Ferial di Madagaskar yang dikerjakan secara intens melalui 3 tahapan, yaitu: reflection, expedition, dan expresion. Dia membuat 3 kelompok yang bekerja dengan media gambar dan tulisan. Salah satunya adalah menggambar bentuk-bentuk binatang, benda-benda, buahbuahan, tumbuhan, hingga wujud-wujud mitologis sebagai medium untuk menceritakan dirinya. Ferial juga mengalami kendala bahasa pada salah satu kelompok yang hanya berbahasa Prancis dan Malagasy. Kendalakendala itu ia ungkapkan dalam karya dengan medium video. Pada akhir masa residensinya Ferial memamerkan seluruh hasil workshop di sebuah ruang bekas penatu yang tidak dipakai lagi. Ruang itu dipinjamkan oleh pemiliknya kepada Is'Art Galerie untuk studio kerja para seniman di Antananarivo. Ferial juga tidak lupa bercerita bahwa ia diundang makan malam oleh 'bos Indomie' yang baru tiba dari Surabaya. Produk Indomie ternyata sangat terkenal di Madagaskar. Namun sayang, sampai hari terakhir di sana, Ferial tidak sempat mengunjungi lokasi-lokasi di mana kehidupan flora-fauna endemik Madagaskar berada.

Program Residensi Khatulistiwa terselenggara atas kerja sama antara Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Disbud DIY). Inisiatif ini berupa kerjasama kebudayaan dengan negara-negara dalam lingkup Khatulistiwa yang menjadi bagian dari konsep Biennale Jogja seri Khatulistiwa. Biennale Jogja seri Khatulistiwa yang dirancang sejak 2011 terus menerus dikaji, dikawal, dan dikembangkan penyelenggaraannya hingga tahun 2021 nanti. Kerjasama antara YBY dan Disbud DIY tersebut adalah pertukaran program residensi antara seniman/kurator/aktivis penyelenggara kesenian Yogyakarta dengan Lembaga Seni di Bangalore (India) dan jaringan kerja aktivis kesenian di Antananarivo (Madagaskar). Program yang dibuka pada tahun 2014 ini sedianya juga meliputi Mesir, tapi karena suatu hal, residensi di Mesir untuk sementara ditunda. YBY pada 2014 terlebih dahulu membuka kesempatan untuk 1 seniman seni rupa di masing-masing negara tujuan. Seniman seni rupa yang dimaksud adalah semua seniman yang berkarya dalam lingkup pemikiran kerja kreatif seni rupa, meliputi disiplin media seni lukis-patung-grafis, video, instalasi, drawing, animasi, performance dan multimedia dalam lingkup seni rupa. Beberapa syarat bagi seniman peminat adalah berumur antara 24 50 tahun, aktif berkarya, membangun karier keseniannya selama tiga tahun terakhir ini dalam lingkup domisili di Propinsi DIY, dan aktif berkomunikasi dalam bahasa Inggris (dan atau Prancis untuk residensi di Madagaskar). Melalui lamaran terbuka itu, terpilih Ade Dimas Ajisaka ke India dan Ferial Afiff ke Madagaskar. Selain mereka berdua, YBY juga mengundang Hajaniriana Andriambololontsiarovana, seorang arsitek muda dari Madagaskar untuk mengikuti program residensi di Yogyakarta. Lain kisah Ferial di Madagaskar, lain pula pengalaman Dimas di India, yang merupakan negara mitra Biennale Jogja seri Khatulistiwa pertama di tahun 2011. Dimas melakukan residensi di ruang gagas seniman 1 Shanthi


6

Road, Bangalore, pada bulan September 2014. Di sana dia melakukan lokakarya topeng kertas bersama komunitas seni setempat yang hasilnya kemudian dipamerkan di 1 Shanthi Road dan Independent Art Management (IAM) Yogyakarta. Pada kesempatan diskusi di IAM pada 10 Desember 2014, Dimas bercerita panjang lebar tentang pengalamannya di Bangalore, yang juga merupakan pengalaman pertamanya ke luar negeri. Bangalore terletak di India bagian selatan, berudara sejuk, serta dikenal sebagai 'silicon valey'-nya India dan kota pendidikan. Luasnya kira-kira 4 kali kota Yogyakarta. Bangalore adalah kota yang kurang komersial dibanding dengan Mumbai dan Delhi, demikian juga dengan kehidupan keseniannya. Kehidupan seni Bangalore lebih bersifat gerakan penguatan dan penyadaran masyarakat. Menurut Dimas, dibanding Yogyakarta, galeri seni di Bangalore itu sedikit. 1 ShanthiRoad adalah milik Suresh Jayaram, seorang dosen, ahli sejarah seni rupa modern India, seniman senior, dan saat ini sedang menjabat sebagai salah seorang anggota Panitia Pengarah Kochi Biennale. Menurut Dimas, karena merupakan tokoh penting, banyak orang datang menemui Suresh di 1 ShanthiRoad untuk mencari informasi tentang seni di India. Oleh sebab itu, lokakarya dan presentasi yang digelar Dimas selalu dihadiri banyak peserta dengan beragam latar belakang atau usia. Dimas juga melakukan presentasi dan berdiskusi tentang dinamika seni di Yogyakarta dan karya-karyanya dengan mahasiswa-mahasiswa dari Collage of Fine Arts Karnataka Citrakala Parishath. Selain mengerjakan proyek seninya, Dimas juga

memanfaatkan waktu untuk melancong ke berbagai kota. Beruntung bagi Dimas, sebab selama berada di sana, tengah berlangung berbagai perayaan keagamaan, yaitu: 'Navratri' perayaan umat Hindu, 'Visakha Puja' perayaan umat Budha, dan perayaan umat Islam, 'Idul Adha', sehingga dia mengalami kehidupan masyarakat India di Bangalore yang majemuk dan berwarna. Dimas juga bercerita tentang orang India yang gemar makan kari. Kami sempat bertaruh pada hari ke berapa Dimas akan mencari masakan Cina. Melalui Facebook Dimas menulis tentang enaknya kari dan dia yakin akan gemar makan kari dan minum yoghurt setiap hari. Saya bertaruh pada hari ke 7 dia akan 'gugur', tapi ternyata pada hari ke 6 dia sudah 'gugur' hahaha... Dimas mencari masakan Cina. Namun selanjutnya dia makan apa saja di sana. Dari sisi kelembagaan, program-program 'tatap muka' antar-praktisi seni di wilayah Khatulistiwa yang diinisiasi YBY–baik itu perhelatan Biennale Jogja, Simposium Khatulistiwa, dan Residensi Khatulistiwa–merupakan bentuk keseriusan untuk memberi kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru. Praktisi seni di wilayah Khatulistiwa yang masih cenderung berkiblat pada Eropa atau Amerika sudah perlu menyadari segala potensinya. Warga di wilayah khatulistiwa harus mengembangkan rasa percaya diri agar bisa memberi kontribusi lebih dengan pengetahuan khas yang dimilikinya. Pencapaian-pencapaian para


7

praktisi seni dan budaya di wilayah ini perlu dipublikasikan secara lebih lantang. Dari sisi seniman dan kekaryaannya, mengikuti program residensi menjadi kesempatan untuk bertemu dengan jejaring baru dan melihat kemungkinan untuk mengembangkan eksplorasi artistiknya. Saat Ferial melakukan ekplorasi seninya di Madagaskar, di waktu yang sama, Hajaniriana Andriambololontsiarovana atau akrab disapa Haja, melangsungkan eksplorasi kebudayaan di Yogyakarta selama 25 hari. Haja adalah arsitek muda yang bekerja di Kementrian Perencanaan Tata Ruang Madagaskar. Tujuan YBY mengundang Haja adalah untuk melakukan kajian perbandingan (comparative studies) tentang inisiatif anak muda menyikapi perubahan kota dalam kaitannya dengan urbanisasi. Linda Octaviani, penyusun program untuk Haja selama di Yogya, mempertemukan dia dengan Arkom Jogja. Arkom (Arsitek Komunitas) Jogja dalam situsnya www.arkom.or.id adalah platform non-formal terbuka bagi arsitek, para-arsitek, dan profesional lain yang bekerja dengan komunitas/kampung untuk diskusi, tukar informasi, dan koordinasi kerja komunitas. Haja mengunjungi bale-bale bambu yang diinisiasi oleh Arkom. Bale-bale itu dibangun dan didesain bersama warga sebagai ruang pertemuan antar-warga dari beberapa kampung di Yogyakarta. Berdasarkan catatan Meiffi Oscar (asisten Haja selama residensi yang juga seorang arsitek), sewaktu mereka melakukan kunjungan ke bale-bale bambu

Hajaniriana, Presentasi pada 28 November 2014 Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

buatan Arkom, Haja menilai bahwa perencanaan partisipatif yang melibatkan warga kampung dengan organisasi semacam Arkom merupakan contoh bagus yang patut ditiru masyarakat 'kampung' di Antananarivo. Kebetulan saat itu di bale-bale Arkom di Pakuncen, warga sedang melakukan pengukuran luas tanah untuk kepentingan pembuatan talud. Keterlibatan kaum wanita menjadi menarik sebab tidak terjadi ketidakadilan gender dalam proses berkomunitas. Berbeda dengan situasi di Antananarivo, dalam penilaian Haja, masyarakat 'kampung' urban di sana belum memiliki inisiatif untuk menata kampungnya menjadi lebih baik. Masyarakat seakan sudah pasrah dengan situasi lingkungan maupun komunitas yang ada. Namun, beberapa tahun belakangan ini mulai ada gerakan-gerakan impulsif dari anakanak muda untuk membangun lingkungan kampung menjadi lebih baik. Sebuah contoh awal yang bagus sehingga perlu didorong oleh otoritas setempat. Inisiatif anak muda lainnya juga dikenali Haja ketika mengikuti Simposium Khatulistiwa 2014 pada 17-19 November. “I saw and knew so many things in Jogja that it's difficult to say that I'm not satisfied by the program. Actually, I learn so many things that it will take me a little bit time to digest everything. I'm totally satisfied by the program. It is varied and is not only about architecture. It's a very interesting program�, begitu tulis Haja dalam laporannya. (Penulis adalah Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta)

Hajaniriana, Balai Bambu Tegalan Asri, Kricak, Tegal Rejo, Yogyakarta


8

APA KATA MEREKA? “Residensi adalah program tinggal sementara di lokasi tertentu baik di dalam maupun di luar negeri. Seniman dari segala bidang memanfaatkan kesempatan untuk mengikuti program ini dengan berbagai alasan. Saat ini, informasi mengenai program residensi sangat mudah diperoleh melalui internet. Berikut ini beberapa kutipan pendapat dari beberapa seniman dan aktivis seni budaya yang pernah mengikuti program residensi”

“Residensi itu mempertemukan seniman dengan situasi sosial dan kultural yang berbeda, asing, dan baru. Karena itu kita akan membandingkan atau berkomentar”. (Wimo Ambala Bayang, Yogyakarta, seniman dengan media fotografi, terakhir residensi pada 2009 di Melbourne, Australia)

“Menurutku residensi itu kesempatan untuk bertemu dengan jejaring baru, beradaptasi, dan kemungkinan melakukan eksplorasi. Memperkaya perspektif dan pengalaman sebagai bekal melakukan proses selanjutnya”. (Ahmad Khairudin, aktivis ruang gagas seniman Hysteria Semarang, terakhir residensi pada 2013 di Wiesbaden, Jerman)

“Berdasar pengalaman mengenai residensi, yang sangat menarik untuk saya adalah bagaimana interaksi antarseniman dan lingkungan sekitar, baik itu mengenai budaya dan aktivitas yang sangat berbeda bisa saling memahami (estetika berkesenian)”. (Rolly (love hate), seniman jalanan, terakhir residensi pada 2013 di Berlin, Jerman)


9

“Bagi saya, perbedaan rutinitas berkesenian yang pada akhirnya juga turut mempengaruhi pola berkarya menjadi tantangan terbesar bagi seniman yang melakukan residensi. Manfaatnya reflektif dan menambah perspektif baru”. (Rudi “Atjeh” Darmawan, seniman grafis, terakhir residensi pada 2014 di Vietnam selama 6 bulan)

“Salah satu bentuk atau metode seniman untuk menguji diri sendiri bekerja di luar situasi biasanya yang membuatnya bekerja lebih peka pada hal-hal yang ditemuinya”. (Elia Nurvista, sedang bekerja dengan makanan sebagai medium, pada 2014 lalu mengikuti 3 program residensi: di Delfina Foundation-London-UK, Footscray Community Arts Center-Melbourne-Australia, dan di Taipei Artist Village-Taipei-Taiwan)

“Residensi adalah pertemuan multi-konteks menjadi konteks baru. Artist tidak hanya menampilkan karya modernis yg sama dibawa ke mana saja, namun artist sesuai latar belakang dan kekhususannya, akan mempelajari suatu tempat baru dan masyarakatnya, sebelum datang dan berbuat sesuatu”. (Iwan Wijono, seniman aksi lintas budaya, terakhir residensi tahun 2012 di Brisbane, Australia dan Parangtritis, Yogyakarta)


10

ORANG, ORANG-ORANG DAN PERISTIWA YANG DEKAT Oleh Yustina Neni

Simposium Khatulistiwa 2014 (SK 2014) yang digelar Yayasan Biennale Yogyakarta pada 17 - 19 November 2014 lalu, di Sekolah Pascasarjana UGM dan Hotel Inna Garuda Yogyakarta, mencatat banyak cerita tentang individu, kumpulan, dan peran individu dalam kumpulan. Dalam dua hari di UGM, pada tiga forum yang berjalan secara paralel, 300-an peserta menyimak diskusi-diskusi tentang rekayasa kebudayaan dan juga refleksi kritis dari pertemuan 'antar-orang' itu. Suka Hardjana mengingatkan bahwa keriuhan gotong-royong yang sering diagung-agungkan itu berpotensi menghambat pencapaian individu. Suka Hardjana membuka ikatan sapu lidi dan melemparnya ke arah peserta simposium lalu berujar, “sekarang bukan lagi sapu, tapi lidi-lidi. Lidilidi yang penting�. Menurutnya, dalam sudut pandang global, manusia Indonesia, dalam ketidaksendiriannya, hanya akan mampu bersaing bila keniscayaan potensi individunya bisa dibuka dan dikembangkan seluas-luasnya. Prof. Rudolf Mrazek (University of Michigan, AS), ahli sejarah dan politik kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, memberikan kuliah umum tentang Ingatan, Imajinasi, dan Bangsa berdasarkan penelitiannya yang tersaji dalam buku: A Certain Age: Colonial Jakarta through the Memories of Its Intellectuals (2010). Mrazek membandingkan Jakarta dulu dan sekarang yang lebih cepat. Karena dilihat lebih cepat kita menjadi kehilangan detail dalam mengamati dan menjadi miskin dalam pengalaman.


11

Desa Jatiwangi di Jatisura Jawa Barat sebelumnya adalah desa penghasil genteng yang biasa saja tanpa peristiwa penting.Arief Yudi seniman asal Jatiwangi memutuskan untuk kembali ke desanya setelah beberapa tahun tinggal dan bekerja di Bandung. Di desanya Arief Yudi membuat beberapa kegiatan seni yang berskala kampung yang melibatkan penduduk sekitar tempat tinggalnya dan mengundang seniman dari luar Jatiwangi. Lama-kelamaan skala kegiatan kesenian kampungnya meluas, melibatkan seluruh penduduk desa termasuk perangkat desa. Jatiwangi bahkan memiliki Mars Jatiwangi yang dikarang orang-orang desa, diiringi dengan musik genteng dan dinyanyikan pada saat upacara. Arief Yudi juga membuat program residensi di desa Jatiwangi yang diikuti oleh seniman-seniman dari dalam dan luar negeri. Nirwan Arsuka berkisah tentang perjalanan dengan menunggangi kuda di Jawa Barat. Nirwan berkuda sambil membuat catatan tentang tempat-tempat yang dilaluinya. Simposium Khatulistiwa 2014 juga menghadirkan Lian Gogali dari Poso. Lian membagi pengalamannya dalam mengelola Sekolah Perempuan yang didirikannya di Wosintowu. ST Sunardi dosen kajian budaya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam ceramahnya menyampaikan refleksi kritisnya sebagai pendidik dan pengelola lembaga pendidikan tinggi. Menurutnya, pendidikan tinggi saat ini dirongrong oleh (apa yang ia sebut sebagai) manajerialisme baru. Efeknya, pendidikan tinggi saat ini terlalu sibuk mengurusi laporan-laporan birokrasi dan dirasa sudah seperti benalu yang membelit. Pendidikan tinggi dituntut untuk memenuhi kualifikasi tertentu yang tidak sepenuhnya relevan dengan kependidikan itu sendiri. Apapun idealismenya harus bisa diterjemahkan ke dalam kerangka kualifikasi nasional. Manajerialisme baru dianggap bertumpu pada ideologi pasar bebas. Pemberian 'award-award' juga termasuk di dalamnya. Tiga hasil yang mencolok adalah homogenisasi berpikir, beban kerja yang meningkat, dan biaya pendidikan yang tinggi. Selain mereka, SK 2014 juga menghadirkan pembicara-pembicara lain dari Indonesia, Hongkong, India, dan Amerika. Enin Supriyanto selaku Petugas Pelaksana Simposium Khatulistiwa dalam pidato penutupan SK 2014 tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena selama 2 hari pelaksanaan di UGM, antusiasme peserta tidak menyurut meskipun jadwal diskusi dan presentasi sangat padat sejak pukul 09.00 s.d 17.00. Jumlah peserta sebanyak 300-an orang memisahkan diri menuju forumforum diskusi yang mereka sukai. Diskusi dan presentasi dalam forum A, B, dan C memang berlangsung secara paralel, sehingga peserta harus memilih salah satunya. Simposium Khatulistiwa 2014 didukung oleh Dinas Kebudayaan DIY dan merupakan langkah pertama menuju Konferensi Praktisi dan Pemikir Seni dan Budaya se-Khatulistiwa pada 2022 yang akan datang. (Penulis adalah Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta)


12


13


14

CATATAN DARI PERJALANAN LANJUTAN Lisistrata Lusandiana

Selama sebulan, saya dan kurator BJ XIII, Wok The Rock, berkesempatan mempelajari Nigeria, tepatnya dari tanggal 5 November hingga 5 Desember 2014. Pulang dari Nigeria tentu tidak sertamerta membuat kami menjadi 'pakar' atau 'ahli' tentang negara itu. Namun pengalaman merasakan hidup di sana mampu menjadi energi sekaligus jalan masuk untuk mempelajari Nigeria lebih lanjut. Barangkali, kesempatan sebulan itu lebih tepat disebut sebagai perjalanan observasional daripada perjalanan riset, mengingat keberadaan tema yang masih bergulir dalam proses. Jika dalam penelitian lapangan, peneliti membekali diri dengan metode dan rumusan masalah yang mengandaikan kejelasan tema, perjalanan kali ini juga berangkat dengan bekal meski sedikit berbeda, yakni bekal catatan perjalanan singkat pertama yang sudah dilakukan Arham Rahman, Rain Rosidi dan Yustina Neni. Selain bekal di atas, tentunya kami juga memiliki minat serta pandangan pribadi yang tidak bisa dilepaskan dalam proses pencarian, yang bahkan mempengaruhi alur pencarian.


15

Melampaui Stereotype Seperti yang dituliskan dalam catatan perjalanannya, salah satu bekal yang dibawa dalam perjalanan tim pertama adalah bayangan atau imajinasi orang kebanyakan ketika membicarakan Nigeria. Bayangan tersebut tidak jauh-jauh dari apa yang dikabarkan media secara masif, seperti berita pengeboman yang dilakukan Boko Haram, penyebaran virus Ebola, serta persoalan Narkoba yang sering kali diberitakan melibatkan warga Nigeria. Dalam laporan perjalanannya, hal-hal itu kemudian disebut sebagai “Gosip dan Mitos”. Ebola yang dibesar-besarkan media sudah ditangkis dengan temuan lapangan yang menunjukkan adanya antisipasi yang tegas dari pemerintah serta masyarakat Nigeria. Di lapangan, tim riset pertama mengalami beberapa lapis pemeriksaan suhu tubuh di tempat-tempat umum. Tim keduapun menemukan kondisi serupa. Masyarakat memang nampak sudah sadar dengan bahaya penyebaran Ebola ini. Sementara mengenai Boko Haram, catatan riset pertama menunjukkan bahwa fenomena ini kurang lebih merupakan warisan kolonial. Sejak dulu, pemerintah kolonial dengan sengaja membuat perbedaan serta jarak antara masyarakat Nigeria yang berada di wilayah Utara dan Selatan. Keterlibatan masyarakat sipil sangat dibatasi dalam politik lokal di wilayah Utara. Hanya orang-orang lokal patuh yang diberikan pekerjaan administrasi dalam pemerintah kolonial. Sementara daerah yang tidak mau patuh, ditundukkan dengan kekuatan militer setelah diplomasi buntu. Lain halnya dengan wilayah selatan. Di sana, pemerintah kolonial mendukung berkembangnya elit terdidik dengan sekolah gaya Eropa. Dari temuan tim riset pertama, jarak dan bahkan kebencian antara Utara-Selatan yang ada di Nigeria justru dipelihara untuk kepentingan kolonial. Jika dilihat secara lebih global maka fenomena Boko Haram ini lebih dijadikan sebagai isu strategis bagi negara

penjajah (atau yang sekarang sering disebut sebagai negara dunia pertama) untuk mempertahankan posisinya di hadapan negara di luar negara “pertama”. Hal ini terkait dengan wacana besar yang sering kita dengar dari media arus utama, yakni wacana “perang melawan teror”. Dengan adanya fenomena Boko Haram ini, wacana perang melawan teror semakin mendapatkan pembenaran. Dari catatan di atas, saya sepakat untuk melanjutkan semangat dari tim pertama untuk mematahkan stereotype yang dibangun, terutama oleh media, kemudian melampauinya dengan data-data yang tidak jarang analitis dalam melihat suatu peristiwa. Mengenai persoalan Ebola, saya menemukan sebuah kolom yang dimuat di harian Leadership, Nigeria tertanggal 10 November 2014. Kolom opini ini ditulis oleh Robtel Pailey, dengan judul “Nigeria, Ebola and The Myth of White Saviours”. Lewat opininya itu, Pailey menulis bahwa dalam persoalan Ebola ini, orang-orang kulit putih seolah muncul sebagai penyelamat yang datang ke negeri Afrika untuk memberangus Ebola. Kesan yang kemudian berkembang menjadi mitos tersebut ia rasakan sendiri, mengingat kebanyakan ahli yang berbicara tentang Ebola didominasi oleh orang kulit putih. Padahal selama tiga bulan, Nigeria menangani kasus Ebola tanpa campur tangan asing. Setidaknya terdapat tiga institusi yang menjadi penanggung jawab, yakni Nigerian Center for Disease Control, the Nigerian Field Epidemiology Training Program, dan Lagos State Ministry of Health. Pailey menyebutkan bahwa ketiga institusi tersebut secara cepat merespon penyebaran virus ini dengan melakukan karantina pada pasien yang diduga menderita, lalu menelusuri dengan detail jejak-jejak kontak dari pasien yang sudah dinyatakan positif terinfeksi. Selain itu, di ranah publik juga dilakukan kampanye besar-besaran sebagai upaya pencegahan. Di penghujung tahun 2014, Nigeria dinyatakan terbebas dari Ebola. Akan tetapi, bukan pemerintah ataupun masyarakat setempat yang diapresiasi, melainkan institusi besar


16

semacam WHO dan US Centers for Disease Control yang dianggap punya peran besar. Seorang Novelis dari Nigeria bernama Adichi tidak ragu mengatakan hal ini sebagai kebohongan. Dengan terbuka, kritikan ia tujukan secara langsung pada The Washington Post dan New York Times yang telah menyebarkan kebohongan di publik dunia. Kabar Ebola tentu bukan kabar yang kita dengar puluhan tahun silam. Bahkan saya tidak yakin berita ini benar-benar ditutup. Dari kabar itu pula, mata kita seolah dibuka lebarlebar untuk menyaksikan sebuah upaya dominasi ala kolonial yang terjadi hari ini, bukan di masa lalu. Pelajaran inilah yang kemudian kami bawa pulang ke Indonesia, untuk dijadikan bahan pelajaran bersama. Dari fenomena ini kita bisa belajar bahwa kolonialisme tidaklah selesai, tetapi muncul di ruang yang sering kali subtil. Sekilas, masalah penyebaran virus merupakan persoalan kesehatan semata yang hampir jauh dari kepentingan politik kolonial. Namun ternyata, dalam persoalan kesehatan terdapat kepentingan yang tidak ringan, kepentingan status quo dalam memelihara kuasanya melalui politik wacana. Menurut saya, di sinilah perjumpaan Indonesia dan Nigeria menemui urgensinya; sebagai negara yang sama-sama memiliki luka atas pengalaman menjadi negeri terjajah. Membayangkan Kelas Menengah Nigeria Pembahasan dan pembacaan yang dilakukan atas dua persoalan tersebut merupakan pembacaan menarik yang tentunya dipertahankan dalam catatan riset kedua ini. Selain itu, tim riset pertama juga mengemukakan asumsi terkait dengan dinamika masyarakat Nigeria. Tim pertama mengatakan bahwa Nigeria merupakan negara yang hampir tidak ada kelas menengahnya. Mengenai kelas menengah ini, ukurannya memang perlu diketahui secara lebih rigid melalui hitung-hitungan statistik. Akan tetapi, dari perjalanan riset yang dilakukan tim kedua, kelas menengah banyak ditemui, terutama di kalangan seniman dan terpelajar yang banyak

menjadi narasumber penelitian. Dalam beberapa kesempatan, wawancara dilakukan di rumah tinggal maupun studio seniman. Dari situlah tim menemui gambaran mengenai kelas menengah yang tidak ditemui tim riset pertama. Beberapa seniman ditemui di apartemen sempitnya yang berada di tengah kota Lagos. Tim bahkan sempat tinggal selama kurang lebih tiga hari di apartemen salah satu seniman tari yang berada di tengah perkampungan warga. Waktu itu kebetulan merupakan hari pertama tim menginjakkan kaki di Lagos. Dengan bekal referensi minim atas penginapan maka tawaran dari seorang seniman tari untuk menyewa kamar di apartemennya kami iyakan. Selama tiga hari pertama di Lagos, kami langsung merasakan serangan suara yang datang dari berbagai penjuru. Kami sempat mencicipi bagaimana rasanya menjadi kelas menengah di tengah kota Lagos. Akses menuju ke pusat kota, yang konon menjadi pusat seni dan budaya Nigeria, memang tidak jauh. Hanya perlu sekitar lima belas menit dengan menggunakan angkutan umum. Kami biasa menggunakan angkutan umum beroda tiga yang sering disebut dengan 'bajaj' di Jakarta jika jarak tidak terlalu jauh. Jika jarak agak jauh maka angkot pun menjadi pilihan yang menarik, karena mudah dan murah. Jika jarak lebih jauh lagi maka apa boleh buat, taksi menjadi pilihan terakhir, karena bagaimanapun juga secara fisik, kami terlihat seperti 'orang asing' di Nigeria. Meski ada sisi 'asing' dari tubuh kami yang tidak bisa dihindari, dengan menempatkan tubuh kami di tengah masyarakat, kami membayangkan keberadaan kami sebagai kelas menengah. Bayangan kami, kondisi kelas menengah masyarakat Nigeria tidak jauh-jauh dari beberapa narasumber yang kami temui di Lagos, yang hidup di rumah ataupun apartemen biasa dan di tengah pemukiman padat penduduk, yang tiap harinya sangat akrab dengan suara berisik generator. Masyarakat kelas menengah yang setiap harinya juga harus berjuang mengelola keuangan supaya di akhir bulan bisa tetap


17

bertahan di tengah harga barang dan makanan yang bisa dibilang tidak murah di satu sisi, tetapi tetap bisa berkomunikasi dengan teman dan saudara menggunakan smartphone di sisi lain. Persoalan kelas sosial masyarakat Nigeria ini juga merupakan pekerjaan rumah dari tim riset BJ XIII. Sebagai PR, pengumpulan dan pengolahan data mengenai kelas sosial masyarakat ini akan terus berjalan meski masa penelitian lapangan berakhir, supaya ketika menyebut kelas menengah sudah tidak membayangkan lagi, tetapi juga menyajikan data. Ruang Seni dan Persoalan Sosial Mengenai keberadaan ruang seni yang tidak hanya berputar pada persoalan wisata serta seni yang tidak sebatas komoditas, menjadi salah satu fokus dalam pencarian tim kedua. Sebelumnya, tim pertama tidak banyak menemukan ruang seni yang dimaksud, praktik seni dengan spirit alternatif. Dengan perjalanan riset yang dilakukan selama satu minggu di Abuja dan Lagos, tim kedua maklum jika tim pertama belum mampu menjangkau ruang-ruang yang berupaya menjadi ruang alternatif. Barangkali karena acuan riset yang digunakan atau jaringan seni yang ditemui di lapangan, tim kedua banyak menemui

seniman serta aktivis budaya yang bermain di ruang-ruang alternatif. Yang perlu kita ingat ketika membicarakan ruang seni di sini, terbatas pada ruang-ruang yang kami temui, terutama di Lagos. Dan berbicara tentang Lagos, berarti berbicara tentang ruang kota yang pembangunannya seperti sengaja membiarkan jarak atau disparitas sosial dan ekonomi begitu menganga. Lagos terdiri dari Mainland dan Island. Sekilas sudah jelas bahwa bangunan megah yang ada di Island sengaja dipisahkan dari Mainland. Jembatan yang menjadi penghubung antar-pulau ini justru terasa memisahkan. Disparitas sosial ini juga sangat nampak dalam ranah seni. Galeri-galeri yang dikatakan komersil banyak terdapat di Island, kadang juga terdapat dalam hotel mewah ataupun sejajar dengan pertokoan dan butik elit. Sementara beberapa galeri di Mainland merupakan ruang pamer yang terlihat lebih sederhana dan tentu saja bukan di hotel. Salah satu ruang seni yang berusaha keluar dari dominasi lingkaran pasar, dan memang tidak kebetulan terletak di Mainland ialah CCA, Center for Contemporary Art. Melalui penyebaran ilmu seni mutakhir dan eksplorasi praktik berkesenian seluas-luasnya, CCA mendukung muncul atau tumbuhnya praktik seni yang tidak bisa steril dari persoalan sosial dan politik. Selain CCA, terdapat Osh Gallery, sebuah galeri yang mendorong seniman


18

bereksplorasi dengan medium yang tak terbatas. Galeri ini diinisiasi oleh Folakunle Oshun yang juga banyak belajar dari CCA. Sebagai inisiator sekaligus seniman, Fola mencita-citakan proses berkesenian yang bebas, terutama bebas dari tekanan pasar. Peta seni Lagos kurang lebih nampak dari gambaran singkat di atas. Nampaknya, seni menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat atau persoalan sosial. Selain dari sisi infrastruktur, persoalan sosial juga banyak muncul sebagai tema karya ataupun rangkaian karya. Dari beberapa seniman yang kami temui, banyak di antaranya yang mengeksplorasi persoalan krisis energi yang terjadi di Nigeria. Krisis energi akut yang sehari-hari muncul melalui pemadaman listrik ini banyak dibahas dalam karya beberapa seniman. Selain itu, tema lingkungan juga banyak diminati. Terlalu sering bahkan. Sehingga muncul kecurigaan adanya pengulangan tema dan menjadi klise. Mengenai pengulangan ini, salah seorang seniman penting, Kainebi Osahenye, yang juga sering mengeksplorasi tema lingkungan berpendapat bahwa terdapat dua hal dari pengulangan ini; yang pertama ialah bahwa memang isu ini perlu untuk diulang karena kerusakan lingkungan memang di depan mata, kedua ia tidak mengingkari adanya pengulangan yang berujung pada klise. Berbicara tentang persoalan sosial dan seni

tentu tidak ada habisnya. Tema merupakan jembatan termudah dan paling eksplisit yang mampu menghubungkan seni dan persoalan sosial. Selebihnya, dibutuhkan pendekatan yang agak kaya dan ulasan yang lebih serius dalam mengolah persoalan ini, yang tentu tidak bisa dilakukan dalam catatan singkat dari perjalanan lanjutan ini. Indonesia dan Nigeria dalam cerita Ankara Berbicara tentang masyarakat dan ruangnya, tentu memiliki ribuan wajah, bergantung dari cara baca dan cara kita mendekatinya. Lagos sebagai ruang tentu memiliki banyak wajah, dan yang paling menonjol ialah kekayaan warnanya. Warna di sini bukan hadir sebagai metafor. Kekayaan warna yang dimiliki Lagos, salah satunya bisa dilihat dari bahan pakaian khasnya, yang oleh warga Nigeria disebut Ankara. Banyak yang menyebutkan bahwa Ankara ini merupakan “kain Afrika�. Beberapa orang bahkan dengan sengaja mengenakan pakaian berbahan Ankara untuk menunjukkan identitasnya sebagai warga Afrika. Di Nigeria, kain ini banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pakaian. Selain karena harganya yang terjangkau, kain ini dirasa cocok dengan iklim tropis, sebab konon 100% berbahan kapas. Menariknya, Ankara yang dijadikan simbol identitas Afrika ini pada mulanya tidak


19

diproduksi di Nigeria maupun Afrika. Ankara merupakan kain yang awalnya diproduksi oleh beberapa perusahaan kain di Belanda sebagai tiruan dari kain Batik Indonesia. Konon, perusahaan-perusahaan Belanda tersebut juga berniat memasarkan produknya di Indonesia. Sebagai 'batik tiruan' yang diproduksi secara massal, Ankara berupaya menggeser batik dengan cara memasarkan 'kain semacam batik'. Harganya jauh lebih murah dibanding batik, di mana pada masa itu produksi batik hanya dikerjakan secara manual. Rupanya niat tersebut tidak berjalan mulus, karena motif Ankara dirasa tidak begitu cocok dengan selera orang Indonesia. Produsen yang sudah terlanjur memproduksi banyak kain, bagaimanapun juga, memerlukan 'pasar' baru. Akhir cerita, sampailah Ankara tersebar di beberapa wilayah di Afrika termasuk Nigeria. Melalui sejarah Ankara ini, saya ingin mengatakan bahwa hubungan antar-negara dalam rezim pasar global seperti saat ini nampak menjadi sesuatu yang niscaya. Di sini, Indonesia dan Nigeria sama-sama menempati posisi sebagai pasar, tempat dibuangnya barang-barang produksi Eropa atau katakanlah 'negara dunia pertama'. Kecurigaan pun tentu bisa dilanjutkan, “jangan-jangan tidak hanya barang yang disebarluaskan dengan logika demikian, tetapi ide, nilai ataupun hal-hal abstrak lain yang tidak kasat mata juga turut disebarkan�. Saya pikir, kecurigaan ini layak

untuk diteruskan. Cerita tentang Ankara bisa kita gunakan sebagai cara atau alat bantu dalam menggali hubungan antara Indonesia dan Nigeria ketika berhadapan dengan kuasa global, yang tentu tidak hanya berada pada ranah produksi kain, tetapi juga minyak sawit atau bahkan ide dan logika. Secara khusus, cerita Ankara ini bahkan menguatkan asumsi bahwa hubungan antara Indonesia dan Nigeria bukanlah sesuatu yang mengada-ada atau dibuat-buat. Selain hubungan formal yang bisa dilacak dalam catatan sejarah KAA, Indonesia dan Nigeria memiliki hubungan yang tidak langsung. Semangat perjumpaan yang digaungkan dalam Biennale seri Equator adalah perjumpaan yang menghasilkan ilmu pengetahuan. Menghasilkan pengetahuan, bagi saya, bukanlah persoalan main-main, yang sejauh proses ini belum mampu saya bayangkan langkahnya. Akan tetapi setidaknya, dari cerita tentang Ankara, kita mendapat bayangan bagaimana perjumpaan Indonesia dan Nigeria menjadi perjumpaan yang produkif untuk menggali pelajaran bersama dengan dosis yang disesuaikan. Dengan kata lain, meski bersama dan memiliki beberapa kesamaan konteks, persoalan di masing-masing negara tentu memiliki kebutuhan yang berbeda. (Penulis adalah Peneliti Yayasan Biennale Yogyakarta)


20

SISI LAIN NOLLYWOOD Oleh Aderinsola Ajao Penerjemah: Lisistrata Lusandiana

Banyak hal yang bisa dibahas ketika membicarakan Nollywood saat ini. Meski perkembangan Nollywood melesat, masa depan film Nigeria justru nampak agak suram. Jalan yang ditempuh Nollywood memang tidak mulus setelah dua puluh tahun lebih keberadaannya diterima masyarakat. Harapannya, hal itu dilakukan untuk kemajuan industri film lokal secara umum. Jalan Berliku Nollywood Mengapa perlu dibedakan antara film Nollywood dan Nigeria? Jauh sebelum Kenneth Nnebue dan Alade Aromire membuat gebrakan dengan 'Nollywood'nya, para pembuat film seperti Hubert Ogunde, Moses Adejumo dan Adeyemi Afolayan (Ade-Love) serta Ola Balogun telah memproduksi sekaligus menampilkan karya-karya mereka di bioskop berskala nasional sejak tahun 1960 hingga pertengahan tahun 80an. Jika dilihat dari kualitasnya pada saat itu, tidak diragukan lagi, film Nigeria sedang menuju masa kejayaannya.


21

Meski demikian, jalan masih berliku, terlebih lagi karena kebijakan keuangan yang tidak tepat, yang dikeluarkan oleh rezim militer, tidak memberi ruang bagi masyarakat untuk menikmati kemakmuran yang seharusnya menjadi hak mereka atas oil boom. Kerasnya hidup tidak hanya dihadapi oleh para produsen ataupun pembuat film, tetapi juga masyarakat, yang sekaligus adalah penonton. Para cinema goer lebih memilih untuk menghindari bioskop karena persoalan keamanan. Banyak rumah produksi yang gulung tikar karena semakin mahalnya harga pita seluloid serta tidak murahnya ongkos produksi. Meski di sisi lain, dunia hiburan tidak pernah sepi. Tak lama kemudian, Nollywood membanjiri seluruh negeri. Adegan diambil dengan video kamera digital yang lebih terjangkau, bukan dengan pita, film-film 'Nollywood' beredar melalui video (yang kini berupa VCD dan DVD), langsung ke tangan masyarakat. Masyarakat pun tidak lagi perlu menggadaikan resiko keamanannya untuk menikmati film di tempat umum. Living in a Bondage, digemborkan sebagai film Nollywood pertama, yang terdiri dari dua seri film bergenre thriller dan disutradarai oleh Chris Obi Rapu serta ditulis oleh Okechukwu Ogunjiofor (yang juga membintangi film tersebut). Diluncurkan pada tahun 1992, film tersebut diproduseri dan proses penulisannya juga dibantu oleh Kenneth Nnebue dari NEK Ventures yang secara kebetulan memiliki setumpuk video tape yang sudah tidak terpakai di tokonya. Dengan disalin ke dalam video tape tersebut, film juga di-dubbing dengan banyak bahasa. Dengan demikian, film tersebut bisa menjadi pembicaraan di tingkat nasional, meski diproduksi dalam bahasa Igbo, bahasa lokal dari masyarakat Nigeria di bagian tenggara. Sudah cukup diketahui publik bahwa film pertama yang diproduksi secara digital ialah film berjudul Ekun (Tiger) yang diproduksi oleh sutradara Yoruba, Alade Aromire, yang telah meninggal. Meski diproduksi pada tahun 1986,

film tersebut baru diluncurkan di tahun 1989, setelah para sutradara muda dikabarkan bermasalah dengan para pembuat film tradisional yang berkarya menggunakan pita seluloid. Setelah menyaksikan kesuksesan yang diraih oleh Living in Bondage, banyak yang kemudian berlomba-lomba menirunya, industri film pun menjamur. Meski pada saat itu, sub-sektor dari film Nigeria yang berkembang pesat ini belum ada nama spesifiknya, kebanyakan sudah cukup familiar dengan sifat dan karakternya: yakni dengan dana dan kru yang minim, serta penggunaan alat yang minim, dan yang terpenting ialah waktu produksi yang juga sangat minim. Beberapa film Nollywood bahkan dikabarkan hanya diproduksi selama lebih dari dua hari dan kebanyakan sutradara juga meromantisasi singkatnya waktu, apa yang mereka bisa lakukan dalam waktu yang singkat tersebut sembari mempertanyakan proses produksi yang dilakukan lebih dari enam bulan untuk satu film saja. Setelah beberapa film bertema pembunuhan diproduksi dengan alur yang kurang lebih serupa dengan Living in Bondage (kisah seorang lelaki muda yang membunuh istrinya untuk kepentingan ritual demi mendatangkan uang, yang kemudian dihantui oleh arwah istri yang dibunuhnya tersebut), barangkali orang akan bisa menilai bahwa cerita semacam itu sudah sedemikian berlebihan. Hal ini kemudian berpengaruh pada pergeseran tren cerita, mengarah ke cerita yang sepenuhnya berisi kejahatan; hikayat kepahlawanan; drama romantis dan komedi-komedi slapstick (komedi fisik, mengandalkan gerak ketimbang dialog atau monolog pemainnya). Hampir tidak ada perubahan yang terjadi terkait dengan tema, akan tetapi terdapat perbedaan pada cara penyampaian. Kini, kita bisa menemukan para penulis naskah dan sutradara yang cukup cakap dalam Nollywood. Akan tetapi apakah mereka tidak keberatan dengan istilah Nollywood?


22

Bukan Nollywood Yang menjadi alasan lain untuk melakukan pemisahan antara Nollywood dengan industri film lain adalah karena adanya bayang-bayang sektor film berbahasa daerah, terutama dari bahasa Hausa (Kannywood yang berbasis di Kano, Nigeria bagian Utara) dan pembuat film Yoruba (belum diberi nama tetapi sering disebut dengan Yoruwood, Yorywood atau Yollywood). Meski Living in Bondage diproduksi dalam bahasa Igbo, film ini banyak mempengaruhi film-film yang diproduksi dalam bahasa Inggris, yang pada akhirnya menunjukkan perbedaan kuantitas antara film yang berbahasa Igbo, Hausa dan Yoruba. Industri-industri yang belakangan ini muncul juga menganggap bahwa produksi mereka lebih profesional daripada produksi Nollywood, serta banyak diproduksi dalam bahasa Inggris. Pernyataan yang sebenarnya bisa dimengerti, mengingat narasi-narasi serta kecenderungan akting dalam Nollywood. Akan tetapi, jika dicermati lagi, adanya proses editing yang tidak maksimal, kualitas suara yang buruk, dan terdapat banyak teks terjemahan yang tidak tepat, menjadikannya tidak beda dengan Nollywood. Cerita-cerita yang diangkat pun mirip, hal itu barangkali dikarenakan kebanyakan penonton lebih memprioritaskan kisah atau cerita yang diangkat dalam film, bukan pada detail proses pengerjaannya sehingga kebanyakan pembuat film Nollywood juga tidak terlalu ambil pusing dengan cara penyampaian cerita yang indah atau teknik pembuatan film yang maju. Dengan nada serupa, tidak semua pembuat film yang memproduksi karyanya dalam bahasa Inggris sepakat dengan label Nollywood. Orang-orang seperti Mahmood AliAblogun, Tunde Kelani dan Kunle Afolayan (Kelani dan Afolayanlah yang telah melalui dunia film Inggris dan Yoruba) sudah sejak lama tidak sepakat dengan label tersebut. Mereka tidak sepakat karena merasa telah berusaha melampaui standar Nollywood yang proses editing dan aktingnya dianggap buruk, ketiadaan fokus direktorial, kostum yang tidak

sesuai, serta pencahayaan yang tidak tepat, serta kekurangan aspek sinematik lain. Skeptisisme ini bisa saja berkurang. Banyak pemirsa Nollywood–termasuk para peneliti pemula–tidak menyadari atau bahkan menolak adanya perbedaan pada bahasa dan kualitas produksi. Dengan standar mereka, semua film Nigeria bisa diklasifikasi atau dilabeli dengan 'Nollywood'. Bahkan mereka yang tadinya menolak akhirnya menerima label tersebut, alasannya ialah untuk kebaikan industri secara keseluruhan: jika istilah yang berkonotasi negatif tersebut mampu memancing rasa penasaran, mengapa harus ditolak? Tentu saja, hanya sedikit yang tahu, mengapa film Half of A Yellow Sun yang diproduksi dalam situasi yang sudah tertebak, dengan dana internasional serta kru dan pemain dari Hollywood, dengan bangga menyandang label Nollywood, yang justru dirasa memalukan oleh kebanyakan orang. Jika dimungkinkan maka di sisi lain, keriuhan juga akan muncul karena perubahan nama Nollywood menjadi istilah yang tidak dikenal. Sementara di sisi lain, terdapat sekelompok orang yang memilih untuk 'memadatkan' beberapa industri film Nigeria yang berbeda satu sama lain (seperti film berbahasa adat, film religi, serta industri yang disebut dengan industri film Nigeria baru), supaya bisa berdiri sendiri secara independen dan saling bergantung satu sama lain di bawah bendera Nollywood yang sudah cukup dikenal dan mengesampingkan apa yang sudah terjadi. Pendapat tersebut sudah muncul dalam berbagai cara, respon atasnya pun juga beragam. Hal ini sangatlah mungkin. Meski para seniman mendefinisikan keberadaan mereka dalam konsep New Nollywood, Off-Nollywood, Neo Nollywood atau bahkan Sinema Nigeria Baru tidak berencana untuk turun dari panggung dalam waktu dekat, ataupun lebur dalam industri dengan karakter tertentu yang ingin mereka hindari. Yang dimaksud di sini ialah bahwa Nollywood


23

bisa kehilangan momennya untuk memajukan film Nigeria melalui cara-cara populis (dengan wajah-wajah populer, strategi distribusi yang efektif, serta perhatian internasional). Hal ini hanya akan membuat Nollywood menjadi kenangan yang sering kali diromantisasi: barangkali namanya akan tetap hidup, akan tetapi sebagai label, berpotensi digunakan secara tidak tepat, terutama oleh pembuat film tingkat pemula yang tiap hari muncul di dalam dunia perfilman Nigeria. Oke, barangkali tidak demikian, karena Nollywood sendiri juga secara bertahap melakukan perombakan diri. Satu hal yang menandai adanya perubahan dari film-film pasca-Nollywood ini sangat terlihat dari kemajuan kualitas produksi, mengingat kebanyakan film-film Nigeria yang muncul akhir-akhir ini berangkat dari keseharian. Meski film-film ini sekilas terlihat lebih baik, beberapa di antaranya masih mengangkat cerita ala Nollywood, yang kebanyakan datang dari sudut pandang pebisnis, bukannya seniman. Hal itu bisa dilihat misalnya dari fokus tematiknya, dikembangkan dari kisah-kisah cinta monoton berbasis kelas, drama sajarah, dan hal-hal yang mempertontonkan kekuatan egosentris, serta kisah-kisah fetis yang tidak realistis hingga horor psikologis; sejenis genre horor Hollywood; komedi romantis (seperti Phone Swap-nya Kunle Afolayan dan Flower Girl-nya Michelle Bello) dan tema-tema eksperimental lain. Meski tidak bisa disangkal bahwa kebanyakan alur ceritanya masih tertebak dan akhir ceritanya buruk. Film thriller seperti Ojuju-nya C.J. Obasi dan Secret Room-nya Eneaji Chris mampu menahan para penonton untuk mengikutinya sampai akhir. Kekerasan terhadap anak-anak serta kekerasan dalam rumah tangga juga merupakan tema yang dikerjakan dengan sangat bagus dalam Silence-nya Alex MouthHelmed. Meski bukan berarti tanpa cacat, penyutradaraan dan teknik pencahayaan Mouth membuka harapan baru bagi industri. Small Boy merupakan karya pertama dari Michelle Bello yang sulit untuk dikategorikan

sebagai Nollywood. Selain itu ada B for Boy, dibuat oleh Anadu yang juga sulit dikatakan sebagai Nollywood karena teknik dan sentuhan yang ada pada film ini. Meski demikian, film ini masih mengangkat isu yang sangat sering diangkat dalam Nollywood, yakni persoalan kemandulan dan anggapan masyarakat yang mengidentikkannya sebagai kesalahan perempuan. Selain persoalan tema, para sineas di Nigeria–terlepas dari generasi dan pendidikannya–masih menghadapi persoalan dana dan distribusi serta pembajakan. Ketiadaan struktur distribusi yang kokoh, membuat film bajakan menjadi produk yang digemari dan tersebar ke seluruh penjuru negeri. Film-film bajakan yang tersedia tersebut kini jarang disesali para sineas. Para pembuat film komersil seperti Ememlsong telah belajar untuk memanipulasi struktur pasar demi meraih keuntungan. Tak jarang, mereka juga melakukan dua kali pengambilan gambar secara bersamaan, dengan produksi yang dibiayai distributor ataupun kolektif seniman. Dengan tersedianya uang pra-produksi dan uang hasil penjualan DVD, tidak mengherankan, jika ia bisa menghasilkan minimal dua film bioskop serta beberapa film lain yang tersebar melalui DVD setiap tahunnya. Sedangkan beberapa sineas artistik masih mengedepankan etika dalam proses produksinya, yang pada akhirnya membuat para produser dan sutradara harus terjerat hutang ataupun dilanda kebangkrutan. Selain menginvestasikan tabungan pribadi mereka, para sineas ini telah mengganti rute penempatan produk, dengan sponsor perusahaan dan merekomendasikan produk dari perusahaan tersebut dalam film. Hal ini kadang tidak terlalu menyenangkan bagi para penonton, yang kadang tidak paham mengapa ketika mereka menonton film terdapat iklan, dan ketika menonton iklan, terdapat beberapa cuplikan film. Sementara itu, para sineas lain mendapatkan dukungan finansial dari individu dan perusahaan swasta, seperti film Invasion 1897


24

yang diproduksi oleh Lancelot Imasuen (tentang serangan Inggris terhadap kerajaan Benin pada abad 19). Saat ini banyak produksi yang dikerjakan secara internasional, karena banyak sineas muda yang berkesempatan belajar di luar negeri untuk melanjutkan eksperimen Nollywood. Film Confusion Na Wa yang dibuat oleh Kenneth Gyang, sampai saat ini masih melakukan perjalanan di sirkuit festival dan melakukan pemutaran film spesial secara global. Sementara B For Boy-nya Anadu juga telah menerima penghargaan karena upayanya dalam mengusahakan terobosan baru. Penghargaan tersebut didapat dari lembagalembaga film, baik dari Inggris dan Amerika. Hal-hal tersebut bisa diraih karena adanya dana internasional serta kolaborasi yang pernah dilakukan jauh-jauh hari sebelum masa Nollywood. Anadu dan Gyang merupakan alumni dari Berlin Talent Campus, suatu platform dan jaringan pendidikan global bagi praktisi dan peminat film. Anadu juga pernah berpartisipasi dalam residensi yang dibiayai Cannes, yang mendampinginya menyelesaikan naskah B For Boy. Kesempatan-kesempatan semacam itu cukup langka bagi para sineas Nollywood klasik. Meski menarik, karya-karya mereka belum memenuhi standard sinematik. Meski, kesempatan ke luar negeri bukan satu-satunya yang diharapkan. Dukungan lokal lainnya juga didapat dari dana pemerintah. Para sineas menerima jumlah yang beragam hingga 10 juta Naira untuk menyelesaikan produksi yang sebelumnya telah mereka anggarkan tidak kurang dari 20 film Nollywood. Saat ini, jalan menguntungkan yang bisa ditempuh oleh film Nigeria ialah melalui penyebaran di bioskop–kembali ke masa praNollywood. Munculnya kembali bioskop pada tahun 2004, serta DCP yang akomodatif, membuat para sineas Nollywood terjebak dalam hiruk-pikuk karpet merah dan mulai bergairah dalam mengorganisasi pertunjukan film perdana. Pertunjukan-pertunjukan tidak

terbatas dilakukan pada ruang bioskop, tetapi juga di tengah-tengah peristiwa publik serta hotel, karena pada mulanya tidak banyak bioskop yang tertarik dengan Nollywood. Mengingat pertunjukan perdana dari sebuah film merupakan faktor penting untuk kepentingan pemasaran, beberapa sutradara kemudian 'memperpanjang karpet merah'. Meski hal ini terbatas karena bentuknya, perpanjangannya juga tidak sampai ke isi, seperti yang disebutkan sebelumnya. Selain mengenai hal-hal yang ada di permukaan, film-film seperti The Meeting yang dibuat oleh Mildred Okwo dan Silence seperti disebutkan sebelumnya cukup mengejutkan. Dalam The Meeting, Rita Dominic berperan sebagai pegawai negeri yang korup–cukup berbeda dari peran biasanya sebagai perempuan cantik dalam melodrama Nollywood. Di film Silence yang berbahasa Inggris, Iyabo Ojo, aktris dari industri film Yoruba, berperan menjadi ibu rumah tangga yang menyembunyikan ingatannya atas kekerasan yang dialami pada masa kecilnya, melalui air mukanya yang dingin dan keras. Baik Dominic maupun Ojo keluar dari peran yang biasa ia mainkan untuk menunjukkan kemampuan mereka ketika menghadapi naskah yang berbeda. Karya lain ialah Misfit, sebuah thriller psikologis yang dibuat oleh Daniel Oriahi. Karakter utama perempuan tanpa nama dalam film ini diperankan oleh Ijeoma Agu, yang diculik dan disiksa dalam penyekapan yang menyedihkan. Ketidakmungkinan memasukkan daya tarik dalam peran ini disadari oleh Agu dan Oriahi. Imajinasi ulang atas film ini sebagai standar Nollywood, mungkin dilakukan, dengan menempatkan film ini sebagai film horor. Film-film ini telah membuktikan keberadaannya yang berbeda satu sama lain. Seni dalam bermain peran kini lebih dibuat sederhana meski kadang sedikit berlebihan. Proses edit, pencahayaan dan suara kini dikerjakan secara lebih profesional dan soundtrack orisinil sekarang sudah bisa


25

ditemukan dari film Nigeria. Hal ini lain berbeda dengan kebiasaan sebelumnya, memasukkan lagu yang sedang banyak didengarkan orang ke dalam film.

obrolan umum. Jurnalisme film–online dan cetak–sedang menanjak, perusahaan media pun sudah lebih menyadari peran mereka dalam kemajuan industri tersebut.

Sementara kebanyakan film masih menaruh perhatian untuk memberi tontonan kosong pada penonton, film lainnya sudah lebih memiliki nuansa, dan memperhatikan detail lebih kecil yang filmic dan luar biasa. Linearitas yang ada pada Nollywood kini bukan lagi sebuah dongeng.

Berdasarkan peristiwa-peristiwa pseudoseismik ini, sangatlah mungkin membayangkan peran Nollywood dalam perfilman Nigeria di masa mendatang. Nollywood lebih dari industri, Nollywood ialah sebuah pengaruh, genre sekaligus fase, yang meluas melampaui akarnya. Seperti yang ditemukan dalam proses pembuatan film beberapa tahun lalu, Nollywood telah merajut jalan untuk era baru kreativitas pasca-Nollywood yang telah melewati masa di mana film DVD dan film bioskop dipisahkan, yang butuh beberapa tahun untuk dilewati.

Jika ingin melihat kejutan, film A Mile from Home yang dibuat oleh Eric Aghimien dan Onye Ozi (the Messenger) yang dibuat oleh Emelonye, merupakan film yang tidak pernah muncul di bioskop, tetapi bisa langsung ditemukan dalam DVD, seperti kebanyakan film Nollywood lain. Dengan kemunculan 40 film di tiap minggunya, ruang yang terdapat dalam bioskop 21 Nigeria hampir tidak ada. Akan tetapi jika ada film yang masuk sebagai film bioskop, film-film box office seperti October 1, Ije, 30 Days in Atlanta, dan Return of Jenifa menunjukkan bahwa film-film lokal bisa lebih baik dari pada film blockbuster Hollywood yang tengah tayang di bioskop Nigeria. Selain perlu dana dalam mengembangkan kreativitas, campur tangan dalam distribusi dan pertunjukan film Nigeria baik di dalam maupun di luar negeri perlu dilakukan, supaya para sineas bisa mendapatkan keuntungan dari hak kekayaan intelektual mereka. Melangkah ke depan Selama sepuluh tahun ke belakang, industri film Nigeria telah mengalami perubahan berarti. Para praktisi film dan pemerintah di semua level telah mencurahkan kapasitas, kemampuan serta dukungannya. Organisasiorganisasi seperti Afrinolly, Goethe-Institut dan Unilever secara terus menerus menyediakan platform dalam kolaborasi kreatif dan pendanaan. Wacana seputar film Nigeria tersebar luas dan dapat ditemukan dari konferensi akademis dan workshopworkshop pembentukan kebijakan hingga

Barangkali, perhatian dunia saat ini, bukan diarahkan pada pertimbangan yang salah, tetapi karena Nollywood (dengan ribuan manifestasinya) layak bersanding dengan Hollywood dan Bollywood. Para sineas Nigeria yang kini tersebar di Inggris, Amerika dan ke pelosok Eropa, kini telah menciptakan karya mereka sendiri, film-film yang terinspirasi oleh Nollywood. Pengaruhnya pada alur dan gaya terlihat jelas di beberapa film yang tersebar antar-benua. Nollywood bisa berlanjut sebagai sebuah 'genre' yang semoga saja terus berkembang, yang berputar dalam rantai film instan. Atau bisa juga menjadi era di mana film Nigeria pernah disebut atau juga dikatakan sebagai era yang sedang berlangsung, atau 'mediocrity'. Atau mungkin, hanya mungkin, segala macam ekspresi yang terdapat pada film Nigeria–baik secara lokal maupun internasional–tidak dipusingkan lagi ataupun tidak menumbulkan kontroversi dengan memikul label tersebut dan menghidupinya. Kisah cerita yang bahagia pada akhir hayat juga nampaknya menjadi alur yang ideal bagi Nollywood. (Penulis adalah Programme Officer Goethe Institut LagosNigeria, Kritikus Film dan Seorang Jurnalis)


26

MEMINANG KONFLIK, MERETAS HARMONI Wok The Rock

Ardi Gunawan, "A Proposal for A Permanent Fixture at Ark Galerie in Two Editions: Superlight", 2013, Ark Galerie

“Kekacauan adalah teman sejati Demokrasi� -William Blake Nukilan di atas saya ucapkan saat mempresentasikan rancangan kasar (draft) tema kuratorial saya untuk program Pameran Utama Biennale Jogja XIII di sebuah diskusi tertutup yang diselenggarakan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta pada tanggal 23 Desember 2014. Nukilan tersebut saya lontarkan setelah memaparkan teori agonisme untuk memberikan gambaran sederhana atas rumusan tema yang masih berantakan. Beberapa saat setelah menukil kalimat itu, saya sadar telah keliru. Meski begitu, saya tak buru-buru membetulkannya. Bagi orang yang mempelajari karya-karya William Blake secara mendalam, pasti tahu bahwa nukilan di atas keliru. Tulisan yang benar adalah "opposition is true friendship" atau oposisi adalah pertemanan yang sejati. Kesalahan ini terjadi karena tiga hal: saya lupa teks aslinya, penerjemahan


27

sumber: http://www.kaskus.co.id/post/52e8adde0e8b 468c2c00005f

yang keliru, dan grogi karena di tengah presentasi diburu oleh ibu direktur untuk segera masuk ke sistem kuratorial. Meskipun nukilannya keliru, para hadirin bisa memahami konsep tema yang saya ajukan dan memicu munculnya diskusi yang sangat inspiratif. Setidaknya, pemahaman saya atas teori agonisme pada tema yang sedang saya kembangkan tidak salah, bahkan saya mempraktekannya meski secara tidak sadar. Lantas apa itu agonisme dan setan apa pula yang menautkannya dengan wacana hubungan antara Indonesia dan Nigeria? Perjalanan saya bersama Lisistrata Lusandiana (peneliti Yayasan Biennale Jogja) di Nigeria selama 30 hari lalu (5 November - 5 Desember 2014) bertujuan untuk memeriksa lebih dalam hasil riset pertama dari kunjungan sebelumnya oleh Yustina Neni (Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta), Rain Rosidi (Direktur Artistik) dan Arham Rahman (Redaktur Newsletter The Equator). Selain itu, saya juga tertarik untuk melihat lebih jauh tentang intervensi artistik di Nigeria. Kami pun berbagi tugas. Saya akan meneliti tentang dinamika seni dan budaya, sedangkan Lisis mempelajari wajah atau karakter sosial, budaya, ekonomi dan politik Nigeria secara luas yang kemudian saya elaborasi untuk menentukan tema. Tim BJ XIII memutuskan untuk membangun sebuah tema yang tidak sekadar mencari

persamaan antara Indonesia dan Nigeria, tetapi juga mencari narasi-narasi yang sedang dialami atau sedang dibicarakan oleh kedua negara tersebut. Untuk itu, hal utama yang kami lakukan dalam penelitian itu adalah mencoba merasakan dan mengalami secara langsung dinamika kehidupan di Nigeria. Ada 4 daerah yang kami kunjungi, yaitu Abuja ibukota pemerintahan, Lagos -kota terbesar, Abeokuta, sebuah kota kecil tempat kelahiran Fela Kuti dan Wole Soyinka yang tak jauh dari Lagos dan selama 2 hari sempat numpang di rumah seorang seniman yang juga kepala adat di sebuah desa kecil di Osogbo. Namun, kami menghabiskan lebih banyak waktu di Lagos karena geliat seni kontemporernya yang lebih dinamis. Rekomendasi yang kami dapatkan, mengantarkan kami ke hal-hal yang lebih luas sehingga membuat kami menjadi cukup sibuk selama sebulan. Kami mengunjungi semuanya secara langsung tanpa asisten. Kami mencoba makan apa yang mereka makan, mengendarai berbagai macam angkutan umum, bernegosiasi harga, berpindah-pindah tempat tinggal dan ngobrol dengan siapapun mulai dari tokoh budaya, seniman, aktivis, sopir bus, anak kecil, pengusaha, musisi, pegawai hotel, pedagang kaki lima hingga tentara. Dalam perjalanan itu, ada dua kata yang sering kami temui, yaitu republic dan yang cukup mengejutkan adalah kata intervention, karena sebelumnya saya memang ingin meneliti soal


28

itu di Nigeria. Kata republic digunakan baik oleh musisi-aktivis Fela Kuti (Kalakuta Republic, rumah kolektifnya yang sekarang menjadi museum), maupun nama penerbit buku alternatif Cassava Republic, toko hp Cellular Republic hingga rumah makan cepat saji Chicken Republic. Sedang kata intervention sering digunakan oleh seniman, budayawan, sastrawan dan penulis dalam karya-karyanya. Kami lalu sepakat untuk menjadikan 2 kata tersebut sebagai acuan observasi. Melalui serangkaian pembacaan literatur dan wawancara, kami juga akhirnya memutuskan untuk menelusuri hal-hal yang mendasari mengapa dua kata tersebut demikian “populer” di sana lewat pengalaman tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat. Indonesia dan Nigeria adalah negara bekas jajahan yang baru benar-benar lepas dari rezim otoriter di akhir tahun 90-an. Bila berakhirnya rezim otoriter di Indonesia disebabkan oleh pelengseran rezim Orde Baru pada tahun 1998 melalui serangkaian aksi massa (protes masyarakat) maka di Nigeria situasinya lebih unik. Rezim otoriter Nigeria yang dikendalikan oleh kalangan militer justru diakhiri oleh pihak militer itu sendiri. Pergantian rezim tersebut pertama-tama dimotivasi oleh meninggalnya pemimpin tertinggi Nigeria saat itu, Jendral Sani Abacha, karena serangan jantung di tahun 1998. Seorang perwira militer yang juga merupakan Menteri Pertahanan Nigeria di era Abacha, Mayor Jendral Abdulsalami Abubakar, mengambil alih kekuasaan dan mengakhiri rezim militer dengan menggelar Pemilu. Pasca-keruntuhan otoritarianisme tersebut, negara dan rakyat sama-sama melakukan eksperimen atas sistem demokrasi. Mereka mencari rumusan demokrasi yang ideal dan otonom menurut pemahaman atau kehendaknya masing-masing. Hal ini menciptakan sebuah kesenjangan infrastrukur sosial dan budaya. Situasi ini menjadi semakin kacau dengan adanya pemahaman sebagai bangsa besar (terdiri atas berbagai macam suku, tradisi dan bahasa) yang memiliki sumber daya alam melimpah sehingga

berusaha untuk mengejar ketertinggalan dan harapan menjadi negara adidaya yang demokratis. Dalam praktiknya, kebebasan individu untuk menyatakan pendapat–bagi sebuah bangsa yang terdiri dari beragam suku dan bahasa–adalah ladang subur untuk memanen oposisi. Kebebasan dan kesatuan dalam keberagaman, ibarat bensin dan air yang jika tidak diolah secara cerdik, akan menjadi “racun mematikan” bagi sebuah keselarasan hidup. Konflik-konflik yang muncul seringkali dilihat sebagai momok menakutkan yang harus diberantas atau bahkan dihindari. Tanpa disadari, hal ini justru menciptakan masyarakat yang moralis dan melupakan keberagamannya–tepatnya (sebut saja) sebuah masyarakat yang simetris, kalimat bernada ironi dari desain kaos DGTMB (Daging Tumbuh). Dari sinilah saya kemudian tertarik dengan teori agonisme. Dalam teori ini, konflik harus selalu dilihat secara positif. Perlu dipinang dan dipahami dalam kehadirannya yang mutlak. Sebagai hal penting yang musti dikelola sehingga menciptakan sebuah keharmonisan yang tak terduga. Meski agonisme merupakan sebuah teori politik, saya ingin melihatnya secara luas, yaitu berdasar pada sendi-sendi kehidupan yang dialami oleh masyarakat saat ini. Demokrasi tak melulu berada pada tataran politik, tetapi perlu dipahami sebagai cara hidup bersama dalam berbagai macam perbedaan dan karutmarut infrastruktur ekonomi, sosial dan teknologi. Pada ranah teknologi, kesenjangan dalam hal pendistribusian dan sifatnya yang asimetris, mendorong lahirnya inovasi baru yang penuh intrik; sebuah inovasi palsu dengan nilai yang unik. Inovasi-inovasi ini tidak diciptakan oleh pencarian atas hal-hal yang belum ada, tetapi lahir dari keterbatasan dan kesalah-kaprahan. Dalam sebuah kerja bersama atau kolaborasi—sistem kerja yang sedang digemari karena menawarkan semangat kebersamaan—kesalahpahaman terhadap sebuah gagasan justru seringkali menghasilkan karya yang secara artistik tidak terduga. Ia


29

“1hr 2be Oth3rs� Exhibition Exploring Vacuum I, 2003 Foto milik Rumah Seni Cemeti

memiliki nilai kebaruan karena sifatnya yang unik. Peluang atau celah muncul karena adanya bentuk yang tidak terstruktur dengan rapi. Proses penciptaan kemudian dikerjakan berdasarkan peretasan yang penuh improvisasi. Karena itu, dibutuhkan strategi yang taktis tapi spekulatif untuk meretas konflik menjadi pola asimetris yang simetrik (atau harmoni dalam chaos). Hal ini patut dicoba dengan membedah dan menghadirkan biji-biji pahit konflik dan kekacauan melalui kerja senibudaya yang imajinatif, terbuka dan dinamis untuk kemudian dinikmati, dipikirkan dan diretas bersama-sama. Pada Program Pameran Utama Biennale Jogja XIII nanti saya akan mengundang para pelaku seni, budaya dan berbagai bidang terkait lainnya untuk berkolaborasi bersama saya, menciptakan sebuah platform kerja berupa ruang aktivitas, baik dalam bentuk fisik maupun non-fisik. Ruang ini terdiri atas ruang pajang, studio kerja, kelas belajar, panggung tontonan dan pusat informasi yang simulatif. Melalui ruang tersebut, di bulan November yang cuacanya biasanya tak menentu itu, kami mengajak masyarakat untuk bermain, belajar dan bekerja secara bersama-sama untuk bereksperimen dengan konflik. Selamat datang di republik asimetris yang elok. (Penulis adalah Kurator Biennale Jogja XIII)


30

Sumber foto: Indonesian Visual Art Archive (IVAA)

Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) sebagai lembaga publik berusaha tetap kritis dalam menjalankan program-programnya. Penguatan terhadap program-programnya dilakukan oleh YBY salah satunya dengan berpartisipasi dan memberi kontribusi pemikiran dalam diskusi-diskusi antar komunitas seni dan budaya yang membicarakan kebijakan-kebijakan publik yang diterbitkan oleh Negara. Pada 15 Januari 2015, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, YBY bersama 100-an peserta lain dari beragam komunitas seni dan budaya, mendiskusikan 'Bakal Cetak Biru Pembangunan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Diskusi menghadirkan Drs. Umar Priyono, M.Pd (Kepala Dinas Kebudayaan DIY) dan Dr. Bambang Sunaryo (Ketua Tim Penyusun Cetak Biru Pembangunan Kebudayaan DIY). Diskusi yang membahas secara kritis draft cetak biru setebal 244 halaman tersebut juga menghadirkan panelis yaitu: Agung Kurniawan (Kedai Kebun Forum), Kurniawan Adi (Rumah Sinema), Faruk HT (PKKH UGM), Anas Luthfi (Etnohistori) serta Hairus Salim (Lkis) sebagai moderator. Diskusi itu berujung pada kesimpulan bahwa draft Cetak Biru Pembangunan Kebudayaan DIY tersebut mempunyai masalah yang sangat mendasar pada aspek prosedur penyusunan dan substansi yang dikandungnya. Pada aspek prosedur, penyusunan draft Cetak Biru Pembangunan Kebudayaan DIY tersebut dilakukan secara terburu-buru dan tidak melibatkan para pemangku kepentingan kebudayaan di DIY. Pada aspek substansi, draft tersebut tidak mencerminkan kenyataan kebudayaan yang pernah dan tengah terjadi di DIY serta mempunyai cara pandang yang keliru terhadap kebudayaan. Forum menolak draft tersebut. Penolakan terhadap draft cetak biru dan dilanjutkan dengan mengirim secara resmi 'Pernyataan Sikap Masyarakat Seni dan Budaya Yogyakarta – Menolak Draft Cetak Biru Pembangunan Kebudayaan DIY' kepada Gubernur DIY, pada 29 Januari 2015. Yayasan Biennale Yogyakarta berharap draft cetak biru itu segera diperbaiki sehingga bisa digunakan sebagai acuan perancangan program-programnya.


31

BIENNALE JOGJA Selama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi sangat penting untuk mengukur kemajuan seni rupa Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya untuk menjadikan BJ sebagai rangkuman dari seluruh potensi kreativitas budaya dalam bidang seni rupa Indonesia, Asia maupun dunia. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai rangkaian pameran dengan agenda jangka panjang yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian biennale ini akan mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ akan bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan senimanseniman, kelompok-kelompok, organisasiorganisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta.

Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu Yayasan Biennale Yogyakarta yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021), dan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022. Mengapa 'Khatulistiwa'? Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik berangkat untuk mengejawantahkan berbagai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk 'membaca kembali' dunia. Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru.


Nigeria bukan hanya yang liyan, atau cermin kita untuk melihat diri, tapi adalah kawan perjalanan kita untuk menafsir persoalan dan membaca kembali dunia. Kebingungan dan kekacauan selama perjalanan, justru menjadi sumber artistik yang hendak digali untuk menjadi sebuah perayaan bersama melihat identitas kita hari ini sebagai bangsa bekas terjajah di masa lalu. (Rain Rosidi)

YAYASAN

YOGYAKARTA

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

Kiri - Kanan: Alia Swastika (Direktur Biennale Jogja XIII), Rain Rosidi (Direktur Artistik Biennale Jogja XIII), Wok The Rock (Kurator Biennale Jogja XIII)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.