NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

Page 1

ISSN: 9772442302066

THE EQUATOR Volume 4 Nomor 2 April - Juni 2016 Terbitan triwulan | GRATIS

NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

YANG MUDA, YANG BERBAHAYA


2

PENGANTAR REDAKSI Salam hangat! Sepanjang dua bulan ini, Yogyakarta gegap gempita dengan agenda seninya. Lebih dari 50 acara dihelat di kantung-kantung seni sampai ruang publik. Bulan Ramadhan pun tak menyurutkan antusiasme warga untuk hadir dan menyemarakkan. Tak ketinggalan, The Equator Newsletter hadir kembali di tengah pembaca dengan sajian khusus. Edisi ini menjadi terbitan pertama untuk mengawal isu-isu terkait Simposium Khatulistiwa, November 2016 nanti. Simposium Khatulistiwa merupakan salah satu program YBY. Dimulai pada tahun 2014 yang diselenggarakan berselang dengan perhelatan Biennale Jogja hingga 2022 nanti. Rangkaian simposium ini akan bermuara pada Konferensi Khatulistiwa 2022 sebagai ajang pertemuan strategis untuk berbagi konsep dan idealisme yang digarap bersama antara YBY dengan organisasi seni dan budaya lain. Simposium Khatulistiwa adalah implementasi misi YBY yaitu: menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan cetak biru kebudayaan kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Acara ini untuk berbagi informasi dan pengetahuan, bertukar pikiran dan pendapat sebagai upaya membangun pemahaman kritis atas berbagai praktik seni rupa kontemporer dalam kaitannya dengan dinamika sosial, budaya, dan politik di kawasan khatulistiwa. Program ini hadir dengan semangat mempertemukan sebanyak mungkin praktik dan kerja jenius lokal dari seluruh khatulistiwa. Hal-hal kecil yang terjadi di sana-sini yang menjadi pemicu untuk beragam perubahan perlu dikumpulkan dan disuarakan keberadaannya untuk terus menyegarkan pikiran dan menginspirasi kita. Kecerdikan mereka menghadapi kerumitan masing-masing negara di sepanjang ekuator adalah apa yang menjadi ketertarikan Simposium Khatulistiwa. Edisi kali ini memuat latar pemikiran dan catatan proses (FGD) menuju Simposium Khatulistiwa yang akan berlangsung. Simak juga laporan perjalanan Tim Kerja Simposium Khatulistiwa dalam salah satu program “The Time is Out of Joint� yang diselenggarakan di Sharjah, UAE, Maret lalu. Hal ini menjadi satu pencapaian tersendiri yang menunjukkan bahwa semangat ini telah disepakati dan ada agen-agen lain yang juga membuat praktik serupa. Tim redaksi juga menyuguhkan sejumlah tulisan menarik sebagai contoh kerja jenius lokal, yakni; pemikiran Vandana Shiva bertajuk Prinsip-Prinsip Demokrasi Bumi yang memberikan perspektif lain dalam praktik demokrasi yang ia galakan pada level akar rumput di India, kedua adalah tulisan Saleh Abdullah (INSIST) yang memaparkan pengalamannya melakukan riset dan pendampingan di daerah Indonesia timur. Saleh juga 'membenturkan' kebudayaan tradisional masyarakat di wilayah sana dengan mekanisme Masyarakat Ekonomi Asean. Sebagai sebuah peristiwa, Konferensi Bandung 1955 telah berhasil menjadi pijakan bagi banyak negara untuk menentukan posisi dan daya tawar dalam konstelasi politik global. Pidato Zhou Enlai (mantan perdana menteri Cina) sedikit banyak telah menggugah kesadaran dan memecah sikap sentimentil kita terhadap paham komunisme Cina. Tak lupa juga kami menghadirkan sejumlah upaya dan kerja yang juga melandaskan diri pada Konferensi Bandung 1955 bahwa upaya yang kita lakukan ini juga telah dipikirkan oleh pihak lain. Kami berharap apa yang disuguhkan dalam edisi ini dapat menjadi bermanfaat. Kami percaya bahwa gagasangagasan yang tertuang dalam tulisan-tulisan ini mampu menggelitik kita dalam menyikapi kondisi maupun praktik demokrasi dewasa ini. Selamat membaca! Redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa.

Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang

berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Telp: +62 274 587712 E-mail:

the-equator@biennalejogja.org April - Juni 2016, 1000 exp Penanggung jawab: Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Redaktur Pelaksana: Hamada Adzani Mahaswara Kontributor: Enin Supriyanto, Grace Samboh, Vandhana Shiva, Saleh Abdullah, Hamada Mahaswara


3

DAFTAR ISI 6|

9|

LATAR BELAKANG SIIMPOSIUM KHTULISTIWA Enin Supriyanto (Pejabat Pelaksana Simposium Khatulistiwa)

SERBA-SERBI BIENNALE JOGJA Seleksi Kurator Biennale Jogja XIV Equator #4 - 2-017

11|

PIUS SIGIT KUNCORO Kurator terpilih Biennale Jogja XIV Equator #4 - 2017 Wawancara oleh Hamada Mahaswara

MENUJU SIMPOSIUM KHATULISTIWA 2016 Grace Samboh (Pengelola Program Simposium Khatulistiwa)

PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI BUMI Vandana Shiva (Pendiri Gerakan Navdanya)

|17

BAT BATANG NUHU FITROA FITNANGAN Saleh Abdullah (INSIST-Indonesian Society for Social Transformation)

30|

|13

|22

ORANG ASIA AFRIKA HARUS BERSATU: MENILIK PIDATO ZHOU ENLAI DALAM KAA 1955 Hamada Mahaswara (Pimpinan Redaksi Newsletter the Equator)

35|

SERBA-SERBI REFERENSI Konferensi Bandung 1955: Sosok atau Momok?

Fotografi: Penulis, Arsip YBY, sumber sumber Internet, Budi ND Dharmawan Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala,

Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM,

Angkringan Mojok Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Rumata Artspace, Colliq Puji’e

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

SKEMA KERJA SIMPOSIUM KHATULISTIWA MENUJU KONFERENSI KHATULISTIWA 2022


5

PERTEMUAN YOGYAKARTA DI SHARJAH, UNI ARAB EMIRAT

Taneli Kukkonen (Professor Filsafat di New York University – Abu Dhabi), Hilmar Farid (Direktur Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia), dan Enin Supriyanto (Pejabat Pelaksana Simposium Khatulistiwa) dalam sesi “Equator Conference 2022 in Yogyakarta Held in Sharjah, March 2016” (Konferensi Khatulistiwa 2022 di Yogyakarta Diadakan di Sharjah, Maret 2016)

Program-program kerjasama antara Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) baik dengan individu maupun lembaga yang terjalin melalui perhelatan Biennale Jogja (BJ) dan Simposium Khatulistiwa (SK) sejak 2011, dikembangkan terus-menerus. Pada awal Maret 2016 lalu, YBY bersama Sharjah Art Foundation, mitra YBY pada Biennale Jogja 2013, menginisiasi pertemuan internasional di Sharjah, UAE. Pertemuan bertajuk “The Time is Out of Joint” (Waktu yang Tidak Berkelindan) adalah gagasan Tarek Abou El Fetouh (kurator, Mesir/Belgia yang sangat terpengaruh pemikiran jangka panjang YBY yang ingin membentuk peta baru seni dunia yaitu Khatulistiwa. Pertemuan di Sharjah ini merupakan potongan pemikirannya yang akan dia sampaikan pada Konferensi Khatulistiwa 2022 di Yogyakarta. Konferensi Khatulistiwa 2022 adalah penutup putaran Seri Khatulistiwa 2011-2021. Berangkat dari konsepsi filsuf Andalusia Ibn Arabi, “Waktu adalah tempat yang cair dan tempat sebagai waktu yang beku,”, “The Time is Out of Joint” memberlakukan kembali dua peristiwa penting dan satu peristiwa yang belum berlangsung, yaitu “Arab Arts Biennale” di Baghdad (1974) dan “China/AvantGarde” di Beijing (1989), dan “Konferensi Khatulistiwa” di Yogyakarta (2022). Pada waktu yang bersamaan, proyek ini sedang memilih (sekaligus mengambil posisi) untuk menyatakan bahwa ketiga peristiwa ini adalah titik tolak bagi perkembangan wacana dan sejarah seni di dunia kita hari ini. Proyek ini menjalankan premis yang sama dengan dengan SK, yaitu mempertemukan akademisi serta praktisi seni dan budaya dalam sebuah pelantar yang sama untuk mencerminkan kesetaraan antara pengetahuan berbasis pembelajaran formal dan pengalaman.


6

LATAR PEMIKIRAN SIMPOSIUM KHATULISTIWA Enin Supriyanto (Pejabat Pelaksana Simposium Khatulistiwa)

Biennale Jogja mencoba untuk memandang ke depan, mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Wacana seni kontemporer sangatlah dinamis, namun dikotomi sentral/pusat dan periferi/pinggiran agaknya masih sangat nyata. Ada kebutuhan untuk mencari peluang baru dalam memberikan makna lebih atas event ini. Diangankan untuk mereka suatu common platform yang sekaligus mampu memberikan provokasi atas munculnya berbagai keragaman dalam perspektif untuk menghadirkan alternatif-alternatif baru atas wacana yang hegemonik. – Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Simposium Khatulistiwa dan Biennale Jogja merupakan dua komponen program Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) yang tidak bisa dikurangi nilainya atau diperbandingkan. Pada pehelatannya, Biennale Jogja seri khatulistiwa ini selalu bekerja dengan sedikit negara dan pada kesempatan berikutnya akan selalu meninggalkan mitra sebelumnya sehingga kesempatan mengembangkan pemikiran bersama menjadi berkurang, kalau bukan hilang sama sekali. Oleh karena pola kerja ini juga, Biennale Jogja akan selalu kehilangan kesempatan untuk berdialog dengan pemikiran-pemikiran jenius dari individu-

individu lain di luar negara mitranya. Simposium Khatulistiwa ingin menjadi penghubung antara sebanyak mungkin jenius lokal dari seputar khatulistiwa. Hal-hal kecil yang terjadi di sana-sini yang menjadi pemicu untuk beragam perubahan perlu dikumpulkan dan disuarakan keberadaannya untuk terus menyegarkan pikiran kita dan terus menginspirasi kita. Kecerdikan mereka menghadapi kerumitan masing-masing negara di sepanjang khatulistiwa adalah apa yang menjadi ketertarikan Simposium Khatulistiwa. Kami percaya bahwa bersama kita bisa memberi dunia alasan untuk berubah! Melalui Simposium Khatulistiwa, YBY memosisikan diri sebagai agen penghubung dan juga titik penyebaran untuk ide-ide terkini, perkembangan, dan pertumbuhan dari seluruh negara-negara di wilayah khatulistwa. Apapun yang berhubungan dengan pembuatan wacana di seputar khatulistiwa terbuka untuk dinegosiasikan. Simposium Khatulistiwa menyandarkan semangat penyelenggaraannya pada pidato presiden RI pertama Ir. Sukarno ketika membuka Konferensi Asia-Afrika, 18 April 1955, “Apa yang dapat kita lakukan? Kita bisa melakukan banyak hal! Kita bisa menyuntikkan berbagai alasan ke urusanurusan dunia. Kita bisa menggerakan segala kekuatan spiritual, moral, dan politis Asia dan Afrika untuk kedamaian!� Apa yang berlangsung di Indonesia pascareformasi ini


7

seringkali kami sederhanakan sebagai “defisit perubahan” (meminjam istilah dari Dr. ST Sunardi). Untuk itu, kami merasa perlu menginspirasi diri kami sendiri, orang-orang di sekitar kami, dan juga masyarakat Indonesia secara umum bahwa kita bisa berubah. Kita bisa melakukan perubahan. Yang menarik dari penjelasan resmi YBY tadi adalah bahwa sesungguhnya pilihan wilayah dan agenda politis tadi menggemakan persoalan-persoalan sosial-politik-kebudayaan yang pernah membawa Indonesia sampai pada posisi penting dalam peta pergaulan antarbangsa, sekaligus suatu prestasi khusus dalam perjalanan sejarah Indonesia modern. Inisiatif dan agenda kerja YBY adalah juga gaung yang terdengar dari masa lalu, dari suatu peristiwa pertemuan “bangsa-bangsa di sabuk Khatulistiwa”, di pertengahan abad ke20, dengan Indonesia sebagai salah satu inisiator utama, sekaligus penyelenggara dan tuan rumah. Risalah ringkas ini memanfaatkan peristiwa bersejarah tersebut sebagai titik awal menghubungkan negara-negara ada dalam wilayah sabuk Khatulistiwa—antara 23.27° LU dan 23.27° LS. Mereka adalah bagian terbesar dari 29 negara (baru merdeka, bekas wilayah jajahan kolonialis Barat) peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA), Bandung, 1955¹. Lebih jauh lagi, jika kita terima bahwa Gerakan Negaranegara Non-Blok (GNB) adalah kelanjutan dari KAA, maka hampir semua negara yang sudah dan akan jadi rekanan BJ adalah juga adalah anggota GNB². Kami beranggapan bahwa pelajaran dari—dan refleksi terhadap—KAA dapat memberi bekal pada kita untuk lebih memahami persoalan kita hari ini, dan juga tantangan-tantangannya. Upaya ini akan dapat memberi sejumlah bekal bagi kita untuk memasuki wilayah persoalan dan tantangan yang segera akan dihadapi juga oleh Biennale Jogja jika sungguh-sungguh ingin menjalankan

agenda politiknya di medan seni rupa kontemporer global. Sejumlah catatan penting tentang KAA dapat memberikan gambaran pada kita mengenai pemikiran yang pernah berkembang di negara-negara Asia–Afrika saat para pemimpin dan intelektualnya mulai sungguhsungguh memikirkan posisi dan sikap mereka berhadapan dengan imperium yang menata dan menguasai hirarki hubungan negarabangsa setelah berakhirnya kolonialisme, seusai Perang Dunia II, dan menjelang ketegangan global Perang Dingin. Dalam konteks sejarah yang khusus inilah kita bisa memahami mengapa Soekarno, Presiden Indonesia ketika itu, dalam pidato sambutannya berani dengan lantang mendaku bahwa KAA adalah “konferensi antarbenua yang pertama dari bangsa-bangsa kulit berwarna sepanjang sejarah umat manusia! ³” Sementara Richard Wright (19081960)—penulis/jurnalis/aktivis gerakan sipil kulit hitam AS yang kemudian pindah ke Paris dan jadi warga Perancis—demikian bersemangat datang ke Bandung atas inisiatif dan biaya sendiri hanya4 untuk menyaksikan langsung peristiwa KAA . “Dari hari ke hari kerumunan orang berdiri di bawah terik matahari tropis, memandang, menyimak, bersorak; ini kali pertama dalam pengalaman hidup mereka yang terhinakan mereka menyaksikan orang-orang hebat dari bangsa, ras dan warna kulit yang serupa dengan mereka tampil berkuasa, bangsa mereka sendiri mengatur ketertiban, Asia dan Afrika mereka5 yang sedang mengatur nasibnya sendiri .” YBY adalah apa yang disebut Wright sebagai 'upaya mengatur nasibnya sendiri' karena ia lahir dari kebutuhan sekumpulan praktisi seni rupa kontemporer yang membutuhkan sejumlah kesepakatan tertentu dalam


8

penyelenggaraan Biennale Jogja agar ada standar, sehingga bisa terus-menerus bisa dikembangkan dan dalam realitas macam itu jugalah kritik dapat hadir dengan masuk akal. Oleh karena itu, Simposium Khatulistiwa adalah sebuah forum internasional yang dirancang sebagai arena pertemuan ahli, pemikir, praktisi, peneliti dari berbagai bidang ilmu. Ini adalah acara untuk berbagi informasi dan pengetahuan, bertukar pikiran dan pendapat sebagai upaya membangun pemahaman kritis atas berbagai praktik seni rupa kontemporer dalam kaitannya dengan dinamika sosial, budaya, dan politik di kawasan khatulistiwa. Dengan ini, praktik dan wacana seni kontemporer membutuhkan sebuah ruang yang terbuka, inklusif dan siap akan beragam studi kritis dari berbagai disiplin yang relevan. Simposium Khatulistiwa juga akan berfungsi sebagai upaya untuk mengembangkan jejaring antara berbagai perorangan dan lembaga yang bisa mengaktivasikan peran para ahli dan praktisi seni kontemporer Indonesia ke dalam sebuah forum internasional.

Keterangan: ¹ 29 negara peserta KAA, Bandung 1955: Afghanistan, Indonesia, Pakistan, Burma/Myanmar, Iran, Filipina, Kamboja, Irak, Iran, Arab Saudi, Ceylon (Sri Lanka), Jepang, Sudan, Republik Rakyat Cina, Yordania, Suriah, Laos, Thailand, Mesir, Lebanon, Turki, Ethiopia, Liberia, Vietnam (Utara), Vietnam (Selatan), Pantai Emas (Gold Coast, sekarang Ghana), Libya, India, Nepal, Yaman. ² Wilayah gerak Biennale Jogja seri Khatulistiwa dibingkai dalam batas garis balik utara (tropic 23'27'') dan garis balik selatan (tropic 23'27''). YBY mempertemukan Indonesia dengan negara-negara (wilayah): India (2011), Negara-negara Arab (2013), Afrika (2015), Amerika Selatan (2017), Negaranegara di Kepulauan Pasifik dan Australia (2019) – Karena kekhasan cakupan wilayah ini, acara BJ tahun 2019 juga disebut sebagai 'Bienal Laut' (Ocean Biennale), dan kemudian Asia Tenggara (2021). Seluruh rangkaian acara ini kemudian akan diakhiri dengan penyelenggaran Konferensi Equator di tahun 2022.

³ Sampai naskah ini tersusun, kami belum mendapatkan naskah pidato dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan dalam buku: Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru! Pidato P.J.M. Presiden Soekarno pada pembukaan Konferensi AsiaAfrika, tanggal 18 April 1955, (Terdjemahan dari bahasa Ingris oleh Intojo), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 1955. Untuk keperluan kali ini, kami gunakan terjemahan bebas ke Bahasa Indonesia, berdasarkan naskah Bahasa Inggris yang justeru banyak tersebar di sejumlah situs internet. Naskah Bahasa Inggris: Let a New Asia and New Africa Be Born, http://www.bandungspirit.org 4

Catatan dan ulasannya tentang KAA 1955 langsung dipublikasikan di AS dalam bentuk buku kecil setahun setelah konferensi: Richard Wright, The Color Curtain, A Report on Bandung Conference, World Publishing Company, N.Y., 1956. Dalam esai ini, kami merujuk pada terbitan baru, buku yang memuat 3 naskah sekaligus, yakni: Richard Wright,Black Power, Three Books from Exile: Black Power; The Color Curtain; and White Man, Listen!, Harper Perennial Modern Classics, N.Y., 2008.—pp. 429-629.

5

Richard Wright, 2008, p. 536.


9

SERBA-SERBI BIENNALE JOGJA Yayasan Biennale Yogyakarta membuat undangan terbuka pada publik untuk turut berpartisipasi dengan mendaftarkan diri sebagai calon kurator Biennale Jogja XIV Equator #4. Pada Kamis, 2 Juni 2016 , dilaksanakan sesi wawancara calon kurator di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Lima calon yang terpilih mempresentasikan gagasan dan rancangan proyeknya di hadapan tim juri yang beranggotakan Akiq AW, Kris Budiman, Mella Jaarsma, Nindityo Adipurnomo, dan ST Sunardi serta panel umum.

Atas ke bawah: 1. Proses presentasi dan tanya jawab calon kurator 2. Anggota panel umum 3. Kris Budiman dan Mella Jaarsma juri pada sesi wawancara calon kurator 4. Rapat finalisasi calon kurator


10

Atas ke bawah: 1. Pius Sigit Kuncoro 2. Bosman Batubara, Andre Barahamin, Perdana Putri, Saut Situmorang 3. Citra Aryandari 4. Heru Hikayat dan Yudi Yudhoyoko 5. Roy Voragen


11

PIUS SIGIT KUNCORO Kurator Terpilih Biennale Jogja XIV Equator #4 - 2017

Kurator Biennale Jogja XIV Equator #4 - 2017 telah terpilih yaitu Pius Sigit Kuncoro dari Yogyakarta. Proses seleksi kurator BJ XIV dilaksanakan dalam dua tahap yaitu: pertama oleh Dewan Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) dan kedua berupa sesi wawancara dalam forum semi terbuka yang dilaksanakan pada 2 Juni 2016. Forum terdiri dari Panel Juri beranggotakan lima orang dan Panel Umum yang terdiri dari 23 orang yang kepesertaannya dilakukan dengan mendaftar terlebih dahulu. Anggota Panel Juri adalah ST Sunardi, Kris Budiman, Akiq AW, Mella Jaarsma, dan Nindityo Adi Purnomo. Selain mereka, YBY juga membentuk Tim Pengamat yang bertugas menilai kualitas jalannya sesi wawancara dan memberi rekomendasi untuk proses seleksi kurator pada tahun-tahun yang akan datang. Seniman kelahiran Jember 17 April 1974. Menyelesaikan studinya di Jurusan Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta dan kini menetap di Yogyakarta. Sigit memiliki ketertarikan pada presentasi karya visual yang sederhana, mudah dipahami dan mampu menciptakan pengalaman bersama dalam kehidupan sehari-hari. Ia kerap melibatkan orang-orang untuk lebur dalam proses penciptaan karyanya. Paradoks hubungan manusia dengan lingkungan menjadi bagian yang paling menantang. Penolakan dari realitas mereka yang harus dihadapi selalu menggoda untuk kritik baginya. Copyright Budi ND Dharmawan


12

Siang begitu terik, padahal sudah dua pekan terakhir Yogyakarta diguyur hujan. Sosok pria itu sudah menanti di sudut ruangan kantor Yayasan Biennale Yogyakarta. Hari itu saya berjanji mewawancarainya untuk dimuat dalam salah satu rubrik di newsletter ini. Pius Sigit Kuncoro berusaha mengusir rasa gerah dengan mengipaskan kertas seadanya ke arah dada. Sigit terpilih menjadi kurator Biennale Jogja XIV #Equator 4 berdasarkan hasil wawancara dan seleksi yang dilakukan oleh jajaran board Yayasan Biennale Yogyakarta. Sigit mulai bercerita tentang keterlibatannya dengan Biennale Jogja pada 2009 dan Biennale Jogja XII Equator #2 2013. Menurut Sigit, Yogyakarta memiliki tradisi kuat untuk menggelar pameran yang besar dan rutin. Kehadiran acara ini membuat produksi karya seniman muncul dan meningkat. “Dapat dikatakan mesin produksinya besar, sehingga Biennale Jogja sebagai salah satu agenda penting, tidak boleh berhenti. Ibarat motor, kalau berhenti pasti ada yang macet,” ungkap Sigit. Dalam Biennale Jogja XIV Equator #4, ia ingin menghadirkan pameran dengan dramaturgi penyajian yang baik. “Ibarat pengunjung menonton film, nonton pameran harus membuat pengunjung mengalami suatu peristiwa yang mampu mengubah kesadaran kita,” cerita Sigit membocorkan. Idealnya pengunjung dapat merasa terhibur, teredukasi dan memiliki memori melekat. “Ketika orang masuk ruang pamer, seyogyanya mereka lupa dengan masalah yang dialami sebelumnya. Oleh karena itu, menjadi penting untuk 'menaklukan pengunjung',” terang Sigit. Membicarakan gagasan kuratorial Sigit juga tak kalah menariknya. Dalam persinggungan Biennale Jogja XIV Equator #4 dengan Amerika Tengah, Sigit menyuguhkan konsep tentang 'Negara Ketiga'. Ia memulai konsepnya dengan satu pernyataan menarik, “Sejauh ini saya tidak menemukan penerbangan langsung dari

Indonesia menuju negara-negara di kawasan Amerika tengah. Hampir semua penerbangan harus melewati negara ketiga seperti; Singapura, Uni Emirat, Qatar, Prancis, Belanda, Amerika Serikat, China, Korea, Jepang, ataupun Australia. Ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara Indonesia dengan negaranegara di kawasan Amerika Tengah yang tidak melibatkan kepentingan dari negara-negara ketiga”. Sigit membalik logika kita dengan menyebutkan; Indonesia merupakan negara pertama, Amerika Tengah sebagai negara kedua dan negara-negara yang selama ini kita anggap sebagai negara dunia pertama duposisikan sebagai negara ketiga. “Titik permasalahannya justru adalah negara ketiga ini yang menghubungkan dan memengaruhi Indonesia dan Amerika Tengah. Ini mengubah cara pandang kita terhadap dunia,” katanya. Lebih lanjut, hubungan tidak langsung antara Indonesia dan Amerika Tengah akan memberikan keuntungan yang besar pada negara-negara ketiga. Selain biaya finansial, Biennale Jogja juga harus membayar ongkos lebih untuk penggunaan bahasa ketiga sebagai jembatan untuk mengatasi perbedaan bahasa. 'Bagaimana bila Biennale Jogja dapat mengambil keuntungan balik dari negara-negara ketiga itu?' menjadi pertanyaan kritis yang dilontarkan Sigit. Konflik kepentingan antar negara-negara tersebut telah menciptakan perbedaan cara pandang atas kesamaan-kesamaan yang ada di antara Indonesia dan negara-negara di kawasan Amerika Tengah. “Saya akan melakukan negosiasi-negosiasi reflektif dengan mitra kerja di Amerika Tengah untuk menemukan kesamaan cara pandang terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi,” ungkapnya. Setidaknya ada tiga hal penting yang dapat dimunculkan dalam gagasan kuratorial ini; cara pandang baru terhadap negara-negara ketiga, penemuan kembali potensi yang hilang di IndonesiaAmerika Tengah, dan terakhir kemungkinan lahirnya gagasan-gagasan baru.


13

MENUJU SIMPOSIUM KHATULISTIWA 2016; Sebuah Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) Minggu, 21 Februari 2016, di Kedai Kebun Forum Dirangkum oleh Grace Samboh (Pengelola Program Simposium Khatulistiwa)

Peserta FGD 1) Dr Melani Budianta (Jakarta) adalah seorang akademisi, intelektual publik, dan aktivis. Ia merupakan guru besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dengan kepakaran di bidang kajian gender dan poskolonialisme, sastra bandingan, dan kajian budaya. 2) Indah Widiastuti (Bandung) adalah seorang akademisi Fakultas Arsitektur Institut Teknologi Bandung dan juga salah satu penggerak Simposium Artepolis yang memberi perhatian pada kualitas hidup dan sifat kolaboratif komunitas kreatif di perkotaan dan di pedesaan. 3) Heni Matalang (Yogyakarta) adalah seorang pembuat film dokumenter. Pada 2002, ia mendirikan festival tahunan yaitu Festival Film Dokumenter (FFD). FFD adalah festival film pertama di Asia Tenggara. 4) Saleh Abdullah (Yogyakarta) adalah salah satu peneliti di Indonesian Society for Social Transformation atau INSIST—sebuah organisasi yang mengembangkan wacana kritis, pandangan alternatif dan gagasan-gagasan baru dalam kehidupan sosial manusia semenjak 1997. 5) Helly Minarti (Jakarta) adalah seorang penulis dan kurator tari. Setelah menyelesaikan doktoratnya di Univeritas Roehampton (Inggris, 2013), ia menjadi Ketua bagian Program Dewan Kesenian

Jakarta (2013-2015). Helly juga bagian dari panitia Indonesian Dance Festival. 6) Hariyadi (Purwokerto) adalah pengajar dan peneliti di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jendral Soedirman. Salah satu pemrasaran di Simposium Khatulistiwa 2014 dengan perhatian pada citra muslim pada film layar lebar Indonesia. 7) Kusen Alipah Hadi (Yogyakarta) adalah seorang aktor dan ketua Yayasan Umar Kayam (YUK)—ruang kajian budaya dan seni yang mengedepankan ketajaman rasa dan pikir. Bersama lembaga-lembaga kesenian lainnya, YUK juga mendorong perbaikan infrastruktur kesenian di Indonesia. 8) Hendra Himawan (Solo) adalah staf pengajar di Jurusan Patung Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Seni Indonesia – Surakarta. Pada Simposium Khatulistiwa 2014, ia menjadi pemrasaran mengenai Parallel Event Biennale Jogja. Saat ini ia terlibat dalam penciptaan model kegiatan seni berbasis komunitas di Universitas Malaka. 9) Wira Adhyaksa 'Lekir' (Yogyakarta) adalah pemilik NOKn Bag—sebuah merek tas modular. Berdiri sejak 2012, NOKn populer di kalangan anak muda dengan penjualan dalam jejaring yang terhitung sukses. Ia berminat pada pengembangan kajian dan praktik usaha mandiri yang kreatif. Moderator


14

10) Joned Suryatmoko (Yogyakarta) adalah seorang seniman dan pendiri Teater Gardanala yang berfokus pada pengembangan kerja-kerja teater berbasis pengengetahuan sejarah dan berorientasi pada kerja lintas disiplin. Tim Simposium Khatulistiwa 11) Yustina Neni adalah Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta. Pada 1996, bersama Agung Kurniawan, ia mendirikan Kedai Kebun Forum (KKF). KKF adalah sebuah rumah makan sekaligus ruang seni yang mendukung dialog serta pencarian artistik dan estetik praktisi seni dari beragam generasi. 12) Enin Supriyanto adalah Pejabat Pelaksana Simposium Khatulistiwa. Semenjak 1994, ia dikenal sebagai kurator seni rupa dengan perhatian khusus pada kelindan antara seni dan kondisi sosial-politik. Pada 2015, ia memutuskan menyudahi periode kerja kuratorialnya dan menyokong produksi artistik dalam beragam bentuk lain yang ia anggap perlu. 13) Grace Samboh adalah Pengelola Program Simposium Khatulistiwa dan seorang kurator seni rupa. Pada 2012, bersama sejumlah rekan, ia mendirikan Hyphen yang berupaya membaca ulang sekaligus membangun konteks sejarah praktik seni rupa kontemporer. 14) Ratna Mufida adalah Pengelola Operasional Simposium Khatulistiwa. Handal di bidang agitasi dan propaganda, ia kerap bekerja dengan beragam kegiatan seni di Yogyakarta. Saat ini, ia tergabung dalam sebuah inisiatif mandiri pencalonan walikota Yogyakarta, JOINT (Jogja Independent). SK selalu bercita-cita untuk memperluas diri, terhubung dengan lebih banyak orang dan lembaga lain yang memiliki cara pandang terhadap dunia yang sejalan, yaitu: Mencari, mengartikulasikan dan menguji-coba

demokrasi dalam kerangka berpikir yang aktual serta merdeka dari kungkungan segala macam teori poskolonial. Sejumlah kawan yang kami ajak untuk bertatap muka, duduk bersama, dan sama-sama untuk membicarakan pencapaian, kegagalan, dan langkah-langkah yang telah serta akan mereka mereka tempuh. Pada waktu yang bersamaan, SK ingin menciptakan kesempatan bagi sejumlah kawan (beserta cita-citanya sebagai pribadi maupun lembaga) ini untuk bisa bertemu atau berkelindan pada suatu masa. Berikut ini adalah catatan singkat dari pertemuan tsb. · Seperti juga rekan-rekan yang hadir, SK & BJ memilih untuk membuat peta dunia baru ketimbang berhadap-hadapan dengan musuh dengan pernyataan oposisional seperti, “Kita tidak seperti mereka!” atau “Kita anti Barat!”. Kami menilai bahwa apa yang berlangsung di sekitar sekarang ini memang sudah tidak lagi mempunyai masalah inferioritas secara umum. Namun, ditengarai bahwa kita masih cukup sering tidak yakin dengan kemampuan kita sendiri. Penyebabnya bermacam-macam, tetapi yang paling utama adalah absennya lembaga negara sebagai titik temu yang memayungi beragam peristiwa dan pemikiran progresif dari warganya. · Salah satu langkah yang secara tidak langsung disepakati (sebab semua yang hadir melakukan pencarian dan artikulasinya) adalah terus menemukan kemajuan dalam praktik 'seni tradisi' atau 'inovasi budaya dalam kehidupan seharihari' yang kekinian. Pada waktu yang bersamaan, kami percaya bahwa kami tidak boleh membuat serta-merta kagum dan merasa perlu memfasilitasi hal-hal menarik tsb. Yang justru harus kami lakukan adalah artikulasi, literasi, kritik, serta (sebisa mungkin) refleksi pada waktu yang bersamaan.


15

·

·

·

·

·

Yang akan selalu kita butuhkan adalah hadirnya para intelektual yang mengenal lingkungan sekitarnya, menulis, dan menyebar-luaskan pengetahuannya supaya semua orang bisa punya akses terhadap apa yang terjadi dan bisa membangun pengetahuan dengannya. Walaupun ditengarai sulit menemukan aktor-aktor baru yang menarik dalam lingkungan universitas, SK ingin mempertahankan harapan bahwa universitas bisa diandalkan. SK bekerja dengan (paling tidak) dua standar: Menghubungi pihak universitas untuk rekomendasi akademisi muda sekaligus menghubungi langsung teman/rekan yang ada di universitas tsb melalui jalur pribadi. SK mempunyai peluang menjadi kanal untuk pengetahuan sehari-hari oleh 'orang biasa'—dalam artian bukan akademisi atau seniman atau profesional (dalam kerangka kerja industri) tetapi orang yang menekuni sebuah bidang dengan semangat berkembang dan menjadi ahli. Setelah mencairkan istilah-istilah atau ragam terminologi (yang cenderung membuat orang merasa dirinya adalah 'orang biasa' sebab ia tak kenal istilah Barat padahal laku terma itu sudah dikerjakannya setiap hari hampir seumur hidupnya), tantangan besar SK adalah merekonstruksi apa yang sudah semenjak awal 'menjadi domain semua orang' yaitu pengetahuan terhadap lingkungan hidupnya. Pertanyaan besar kami semua adalah: Apakah benar tulisan masih jadi moda penyebaran (dan pertukaran) pengetahuan yang 'tertinggi'? Apakah semua orang harus bisa menulis baru laku atau hidupnya 'sah' menjadi sumber pengetahuan bagi orang lain? Kami menyadari bahwa disiplin itu jelasjelas membatasi ruang gerak masingmasing intelektual maupun praktisi—juga

lahirnya istilah inter/multi/antar-disiplin yang makin membuatnya seolah semakin sulit dan bertingkat. Adalah sebuah kelebihan bahwa SK berangkat dari disiplin seni rupa sebab kami percaya wilayah garapan disiplin ini sangatlah fleksibel. Kami harus bisa mendaya-gunakan kesempatan ini untuk mengaktivasi akses via intelektual dari disiplin lain untuk bisa menghadirkan (kembali) kompleksitas kebudayaan. Sejumlah pemikiran kunci yang mengawali diskusi menuju SK 2016 dan kami sepakati sejauh ini adalah: ·

·

Agustus 2015 lalu, tim SK mulai membicarakan perluasan perhelatan SK. Salah satunya adalah dengan menambah sebuah pameran tematik bersama Hammad Nasar (Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Arsip, Asia Art Archive) dan Suman Gopinath (kurator independen). Tujuan utama pameran ini adalah mengartikulasikan kembali perumusan modernitas (dan modernisme) di kawasan Asia Selatan (Pakistan, Bangladesh, Burma, India, Indonesia, dst). Neni mengajukan rencana judul pameran Etalase Monumen Merekonstruksi Solidaritas. Monumen di sini bukan dalam artian bangunan berdiri tegak sebagai penanda wilayah, tetapi sesuatu yang dibangun bersama. Walaupun pada akhirnya pameran ini mesti diundur karena ketidak-siapan dana, gagasan monumen(tal) dalam kerangka solidaritas masyarakat kontemporer ini akan kami hadirkan dalam forum-forum SK. Latar belakang kondisi terkini yang kami pilih untuk amati secara dekat adalah berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) beserta segala implikasi sosialpolitiknya. Di luar persetujuan oleh negara-negara ASEAN, perjanjian ini juga ditandatangani oleh sejumlah negara lain


16

¡

dengan beragam bentuk-bentuk perjanjian yang berbeda. Negara-negara tersebut adalah Australia dan Selandia Baru (dalam AANZFTA); serta Cina, Jepang, Korea, dan India (sering disebut ASEAN +1). Sebagai pilar utama konsep SK kali ini, yang ingin kami ajukan adalah perihal ekologi. Terma ekologi bukan serta-merta berarti lingkungan dalam arti penanganan sampah, eksploitasi sumber daya, dst; tetapi, seperti dalam ilmu biologi, ekologi adalah hubungan makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya. Bagaimana lingkungan hidup (kita secara fisik) dihargai dan dijaga keberlangsungannya? Siapa sudah melakukan apa bagi lingkungan hidupnya? Bagaimana perihal lingkungan hidup ini dipikirkan secara strategis dan visioner? Dalam hubungan dengan lingkungan hidup yang praktis (kalau bukan pragmatis), sejumlah pertanyaan yang muncul adalah: Apakah jika kita berbicara mengenai lingkungan maka pembangunan kota (kawasan urban) serta-merta menjadi musuhnya? Bagaimana dikotomi kota-desa ini dibangun? Apakah dikotomi ini masih relevan bagi masyarakat hari ini?

Catatan kaki, sempalan diskusi: ¡ Dengan maraknya kerja-kerja lintas disiplin ini, seringkali kami menengarai bahwa perupa banyak sekali mengambil kepentingan dari kerja-kerja dengan disiplin lain ini dan segera menghadirkan hasilnya dalam bentuk karya seni (rupa). Pertanyaannya: Apakah orang-orang dari disiplin lain yang bekerja bersama perupaperupa tsb berhasil mengambil kepentingan yang sama, mengartikulasikan dalam disiplinya? Apakah kerja sama-kerja sama macam ini juga memajukan disiplin mereka? ¡ Apa artinya kemandirian atau kata “independenâ€? yang kerap disematkan

sebelum judul-judul profesi atau bahkan tak jarang menjadi klaim semua lembaga? Tak ada percakapan langsung mengenai ini dalam FGD kami, namun kelihatan bahwa semua yang hadir paham bahwa kemandirian artinya adalah kesetaraan dan bukan semata-mata kemampuan membiayai diri sendiri. Kesetaraan dalam arti yang paling sederhana adalah yang paling sulit. Misalnya, selaku warga negara yang membayar pajak, apabila kita menilai pemerintah tidak melakukan perannya, sudah sewajar dan sepantasnya kita menuntut pemerintah dengan berbagai cara yang produktif.


17

BAT BATANG NUHU MET FITROA FITNANGAN Saleh Abdullah (INSIST-Indonesian Society for Social Transformation)

Ketua Kewang Haruku, Eliza Kissya

Sangat mungkin terjadi, setelah panen padi sepetak sawah usai, ada saja buliran-buliran padi pada sebuah batang padi yang tertinggal. Apalagi bila pemotongan padi masih menggunakan ani-ani. Sisa buliran-buliran padi itu, bagi sebagian orang bisa jadi sepele dan bisa ditinggal begitu saja di petak sawah yang sudah dipanen. Tapi tidak bagi orang Tompu. Orang Tompu yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan padi, yang kebetulan melihat sisa buliran padi tersebut, akan dengan lembut dan hati-hati (bahkan dengan haru dan kadang menangis) memetiknya, membawanya pulang dan meletakkannya di Gampiri (lumbung padi orang Tompu), bersama padi-padi lainnya. Orang Tompu yang menganggap padi juga sebagai sesuatu yang hidup, mempunyai jiwa dan perasaan laiknya manusia dan karenanya menghargainya bahkan lebih tinggi dari emas, akan merasa bersalah bila melihat padi yang tertinggal tadi, sendirian ketika saudari-saudaranya sudah dipetik. Sebagaimana tersirat di dalam penggalan syair voja orang Tompu berikut:


18

Bandera imposarara iya no bandera Noilimo uwe mata uwe mata nolintomo Kudungga nte uwe mata Saudaraku yang menyembul seperti bendera Air matanya sudah mengalir Air matanya sudah tergenang Akan kujemput dengan air mata Padi, tanah, tumbuhan, binatang, bahkan para roh halus adalah subyek yang harus dikenal dan disebut dengan pengucapan yang benar. Kepada tanah yang akan ditanami, orang Tompu harus minta izin (permisi) lebih dahulu, dengan menyebut nama tanah itu dengan benar. Kesalahan penyebutan, dipercaya akan membawa celaka. Begitupun perlakuan manusia terhadap padi. Orang Tompu percaya, penyakitpenyakit yang dialami manusia, disebabkan karena perlakuan salah mereka terhadap padi. Begitu kuatnya relasi orang Tompu terhadap alam, khususnya padi, membuat mereka tidak akan sembarangan memperlakukan tanah dan padi. Karena mereka mempunyai sistem kepercayaan di mana semua unsur-unsur utama di alam ini saling terkait dan menentukan. Ane le ria pae, le ria ada (kalau tidak ada padi, maka tidak ada adat lagi). Mulai dari menyiapkan lahan, menanam, merawat, hingga panen padi, semua dilewati dengan ritual yang tidak boleh dilanggar. Ritual-ritual yang dipercaya harus mendapat restu dari Anitu ri tana (para penguasa dunia bawah yang menjaga tanaman, hutan, dan mata air) dan Anitu nanuru (Anitu dunia atas yang mengendalikan pergerakan bulan, bintang, matahari, musim hujan dan kemarau). Mulai dari kepercayaan akan asal-muasal terbentuknya, hingga bagaimana mereka memperlakukan tanah dan hidup di atasnya, orang Tompu mempunyai sistem kepercayaan yang terus mereka pegang dan jalani. Sistem kepercayaan itu pula yang kemudian melahirkan ritual-ritual yang menggunakan media seni seperti dondi dan raego. Walaupun menggunakan media seni, syair dan gerak, dondi dan raego bukanlah seni pertunjukan yang membutuhkan penonton. Dalam dondi dan

raego, yang dilakukan pada waktu tertentu saja pada malam hari, siapapun bisa berpartisipasi sepanjang tidak mengganggung proses ritual. Dalam dondi, peserta akan duduk melingkari tiang vunja melantunkan syair dan lagu dalam nada minor dengan tempo lambat. Setelah dondi partisipan akan berdiri dan melakukan raego, berdiri melingkari tiang vunja sambil saling berpegangan tangan, bergerak melingkar searah jarum jam sambil melafalkan syiar yang iramanya lebih cepat. Syair dondi: Le mabunto kita rabuntoina, Mabunto tana bo langi ta mabunto kita, Mokoroase maliuntinuvu Mau melui kayu mpeleliu maliupa nava mbalosu langi. Kita tidak akan durhaka Meski tanah dan langit akan durhaka, kita tak akan durhaka Kita akan sekuat besi, sehat dan panjang umur Jiwa kita melampaui pohon yang tinggi, menjangkau langit. Syair raego: Tupu ntana tumo mepakadua Anitu ntana panaumo komiu Mentako mai tonji mentako mai Kavamo mai, Yamamore. Tupu ntana, jangan lagi sakiti kami Anitu ntana, turun dan datanglah ke sini Pengunjung sekalian, datanglah ke sini Datanglah ke sini, Yamamore Selain ritual dondi dan raego, juga ada ritual pengobatan tradisional (balia), di mana seorang peniup lalove (suling yang dibuat dari bambu dengan diameter sekitar 4-5 cm, dan panjang sekitar 1 meter) yang akan mengundang roh halus untuk mengobati seseorang yang sedang sakit. Tidak hanya di Sulawesi Tengah, di kawasan lain Indonesia nilai-nilai tradisi untuk menjaga keseimbangan alam, masih dipercaya dan efektif berlaku dalam kehidupan hari-hari masyarakat.


19

Maluku, khususnya Maluku Tenggara, adalah wilayah di mana adat masih dipegang kuat dan berfungsi menjadi rujukan kehidupan. Salah satunya adalah sasi. Syair kuno Nuhu Evav di bawah ini menjelaskan bagaimana pentingnya menjaga keseimbangan alam di darat dan di laut, yang juga berarti menjaga kehidupan. Bat batang nuhu met fitroa fitnangan vu'ut er is war ar medar ersai roan kawai u kadir rir wai doktub menjaga nuhu evav dan meti di laut di darat ikan-ikan mematuk akar-akar kusu-kusu memakan daun-daun rumah ulat dan cacing-cacing. Sasi, yang secara adat pada dasarnya untuk mengatur keseimbangan sumberdaya alam, kemudian menjadi wacana dan kode sosial masyarakat Maluku. Di desa Watlaar, Kei Besar, Maluku Tenggara, ketika penulis kebetulan ingin menggunakan kole-kole (perahu dayung kecil), Raja Maur Ohoivut JP. Rahail berkata: “lihat saja di pantai, cari kole-kole yang tidak ada daun kelapanya, nah, pakai itu sudah. Kalau ada daun kelapanya tidak bisa dipakai. Itu tanda ada orang lain yang sudah akan memakai kole-kole itu.� Di negeri Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, pada sekisar bulan Oktober setiap tahun, kepala Kewang (pemangku adat penjaga lingkungan) Eliza Kissya akan memimpin ritual buka sasi ikan Lompa (sejenis ikan sardin kecil), yang dimulai senja hingga pagi hari ketika fajar mulai menyingsing. Dengan tarian yang diiringi tifa dan kenong, pada puncaknya, kepala Kewang akan membakar lobe (daun kelapa kering yang digulung jadi satu setinggi 3 meteran) di tepi muara sungai Learisa Kayeli untuk memanggil ratusan ribu, atau lebih, ikan Lompa memasuki sungai. Begitu melihat cahaya api dari lobe yang menjulang memecah remang pagi, dari tengah laut, rombongan ikan Lompa tak terhitung akan berduyun-duyun

Kiri Rumah ladang orang-orang Tompu Kanan Seorang pria peniup lalove (suling bambu khas Sulawesi Tengah). Dalam ritual pengobatan tradisional (balia) alunan suaranya akan mengundang roh halus untuk mengobati orang sakit.


20

memasuki sungai Learisa Kayeli. Setelah diperkirakan semua ikan, atau sebagian besarnya, sudah masuk ke sungai, biasanya sekisar jam 7-8 pagi, para Kewang akan menutup pintu muara dengan jala panjang. Lalu kepala Kewang akan melakukan ritual untuk menyatakan buka sasi, dan ribuan orang akan turun ke sungai untuk menangkap ikan Lompa. Sampai menjelang tengah hari, berton-ton ikan Lompa yang ditangkap secara manual dengan jaring, jala, serokan, atau juga dengan tangan telanjang saja akan diperoleh warga. Nanti sekisar awal-awal tahun, kepala Kewang akan kembali menerapkan sasi Lompa, agar ikan-ikan tersebut dapat bereproduksi kembali, untuk kemudian dipanen lagi pada bulan Oktober. Di wilayah-wilayah ini dan juga beberapa di tempat lain di Indonesia alam, kebudayaan, dan kehidupan manusia berkelindan di dalam sebuah sistem saling tergantung dan mendukung. Bahkan ketika institusi negara tak hadir. Atau, kalaupun hadir, hanya secara sangat samarsamar dan terbatas. Kehadiran negara dalam mendukung, apalagi melindungi, hal-hal baik yang ada dan hidup di masyarakat ini yang saat ini dianggap kurang. Tingkat konversi lahan pertanian produktif secara nasional saja, menurut data tahun 2014, sudah mengkhawatirkan: 100 ribu hektar perPara Kewang (pemangku adat dan penjaga lingkungan) di Negeri Haruku, Kabupaten Maluku Tengah dalam ritual "Buka Sasi" mencari ikan lompa

tahun! Lebih mengkhawatirkan lagi karena pengalihan fungsi lahan produktif tersebut menjadi lahan untuk perumahan dan bangunan industri. Barang tentu, perubahan tersebut juga berakibat pada perubahan semangat kolektif dan nilai-nilai yang dianut bersama menjadi serba individualistik. Saat ini, Masyarat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah berlaku di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. “Regionalisasi� ekonomi ini, dari segi gagasan, mungkin bukan sesuatu yang sama sekali baru. Dimulai dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 yang melahirkan Gerakan Non Blok (GNB), lalu disusul dengan gagasan Mahathir untuk membentuk East Asia Economic Caucus (EAEC) pada tahun 1990, dan karena Amerika mungkin kuatir dengan gagasan Mahathir, lalu bersama Australia dan Jepang melansir perlunya dibentuk APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada tahun 1989. Di tingkat duniapun muncul Masyarakat Uni Eropa, yang bahkan sudah menerapkan mata uang tunggal. Sangat bisa jadi semua latar belakang itu menjadi pemicu bagi lahirnya MEA. Tapi pertanyaan besarnya: di mana atau bagaimana letak komunitas-komunitas tradisional seperti di atas tadi dalam konteks MEA? MEA adalah wacana yang diusung oleh elit politik masyarakat modern perkotaan. Tujuan dan pendekatan kebijakannyapun sangat bias


21

kota. Ekonomi yang kompetitif menjadi salah satu mantranya. Dan dalam frasa kompetisi, kita hanya mengenal “yang kalah” dan “yang menang.” Dan kota, di mana mayoritas elit politik itu tinggal, dari sejarah pembentukan hingga kenyataannya hari ini, adalah wilayah di mana kontestasi kekuasaan berlangsung secara terus-menerus. Wilayah subur bagi manusianya untuk bisa dengan mudah menjadi terasing (alianated). Kisah-kisah pertarungan hidup yang berujung pada kalah dan menang, terjadi setiap saat. Dan sebagai pusat-pusat kekuasaan (politik dan ekonomi) yang terus-menerus beradaptasi (secara politik, ekonomi, dan budaya) terhadap perkembangan kapitalisme. Di mana dalam adaptasi itu, yang tradisional silahkan menyingkir atau dicaplok dan dipermak ulang sesuai selera kapitalisme. Karena para elit pasti akan memaksakan kultur mereka ke masyarakat. Bahkan tata ruang kota, dari segi kewilayahan dan arsitektur, harus dibuat sedemikian rupa, sehingga jelas kasat mata dan kasat badan mana wilayah dan bangunan-bangunan elit, mana yang terbelit (susah hidup). Pendek kata, kita tidak akan sulit dan tidak butuh waktu lama untuk bisa segera melihat bagaimana ketimpangan dan ketidakadilan di dalam sebuah kota. Yang penting untuk diwaspadai juga apakah negara-negara maju seperti Amerika dan slagordenya, setelah tidak begitu berhasil dengan APEC-nya, akan rela dan diam berpangku tangan menonton dinamika MEA? Apalagi banyak negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, adalah penghutang besar. Politik hutang tak mungkin sepi dari intervensi negara penghutang. Kebudayaan akan terus berkembang, karena di dalamnya manusia juga terus bergerak mengurus kehidupan. Mencegah dinamika kebudayaan sama seperti mencegah orang untuk berfikir. Mustahil. Soalnya adalah, dalam dinamika kebudayaan itu, apakah perlu menyingkirkan nilai-nilai dan hal-hal baik, kendati tradisional dan “tidak modern?” Ane le ria pae, le ria ada, kata orang Tompu. Tidak ada padi, tidak akan ada adat. Dan bila adat sudah tiada, bisakah sebuah kebudayaan bertahan?

Kiri Ritual yang dilakukan sebelum prosesi "Buka Sasi” Kanan Masyarakat berlomba menangkap ikan lompa


22

PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI BUMI Vandana Shiva (Pendiri Gerakan Navdanya, narasumber ‘The Time is Out of Joint’, Sharjah Art Foundation, UAE)

Vandana Shiva dalam sesi acara The Time is Out of Joint, Sharjah Art Foundation, UAE. Sumber: Sharjah Art Foundation

“We are either going to have a future where women lead the way to make peace with earth we are not going to have a human future at all.”


23

¹Vandana Shiva adalah doktor dan aktivis lingkungan asal India. Ia banyak berbicara mengenai dampak globalisasi dan menjadi pelopor gerakan “Navdanya”—sebuah gerakan yang mengupayakan proteksi keanekaragaman sumber daya alam. Buah pemikiran dan aktivitas terbaru mengenai Vandana Shiva dapat diakses melalui situs www.vandanashiva.com. Gagasan demokrasi bumi berasal dari salah satu pemikiran India kuno. Gagasan ini mirip seperti yang dikatakan oleh Kepala Suku Seattle tentang jaringan di bumi. Di India hal ini dikenal dengan istilah vasudhaiva kutumbkam, yang berarti keluarga bumi. Kosmologi orang India tak pernah memisahkan manusia dari non-manusia. “Kami merupakan rangkaian kesatuan,” tegas Shiva. Ketika isu tentang pematenan kehidupan muncul, misalnya, ada dua bentuk respon dari mereka yang menolak praktik pematenan tersebut di India. Level pertama berupa perlawanan: “Pematenan ini adalah tindakan amoral. Hidup bukanlah sebuah ciptaan,” ungkapnya. Kehidupan tidak boleh dimonopoli. Kalian (korporasi, -red) tak bisa menjual kepada kami bahan-bahan yang juga kalian curi dari sisi kami, dan kalian tak dapat memberi kepada kami sejumlah royalti untuk produk-produk kearifan alam kami,” pungkasnya dalam sejumlah wawancara mengenai ide awal konsepsi demokrasi bumi digagas. Level kedua adalah merebut kembali demokrasi. Rakyat merebut hak-hak untuk menjaga biodiversitas dan menggunakannya secara berkelanjutan. Ini merupakan hasil dari diskusi di kalangan gerakan yang sedang dibangun di level akar rumput. “Saya teringat kepada sebuah pertemuan 200 penduduk desa yang terlibat dalam menyimpan dan membagi benih dengan Navdanya, sebuah perserikatan yang saya dirikan untuk menyimpan benih dan mempromosikan

pertanian organik,” ujarnya. 200 penduduk desa ini berkumpul pada Hari Lingkungan Hidup pada tahun 1998 dan mendeklarasikan kedaulatan terhadap biodiversitas mereka—bukan kedaulatan untuk memperkosa dan merusak, tetapi kedaulatan untuk mengkonservasi alam. Mereka bertemu di sebuah pedesaan di pegunungan tinggi dekat anak sungai Gangga, dan mendeklarasikan pernyataan Kami telah memperoleh tumbuh-tumbuhan obat, benih-benih, hutan-hutan dari alam melalui nenek moyang kami; kami berhutang kepada alam untuk memeliharanya demi masa depan. Kami berjanji kami tidak akan pernah membiarkan erosi pencurian terhadap alam. Kami berjanji kami tidak akan pernah menerima pematenan, modifikasi genetis, atau membiarkan biodiversitas kami dicemari dalam segala bentuknya, dan kami berjanji bahwa kami akan berlaku sebagai manusiamanusia dalam biodiversitas tersebut. Diskusi di desa-desa seluruh India ini, dengan beragam bahasa, berujung pada aksi yang memukau. Beberapa kelompok menulis surat kepada Mike Moore, direktur jenderal WTO dengan mengatakan, “Kami perhatikan anda telah meloloskan sebuah hukum yang bernama 'Trade-Related Intellectual Property Rights.' Kami juga perhatikan bahwa di bawah undang-undang ini anda ingin memonopoli seluruh kehidupan. Sayangnya, sumbersumber daya ini berada di luar wilayah hukum anda, dan anda telah bertindak melampaui batas.” Surat serupa disampaikan kepada Perdana Menteri India: “Anda adalah Perdana menteri di negeri ini, tetapi kamilah penjaga biodiversitas. Ini bukan wilayah hukum ada. Anda tak bisa menjual kekayaan alam ini,” ungkap Shiva. Komunitas-komunitas ini dalam beberapa tahun yang lalu telah mulai dengan menyimpan benih-benih tanaman lokal dan memelihara biodiversitas. Sekarang mereka


24

mencoba untuk melakukan swakelola terhadap sistem pangan, sistem air, dan sistem biodiversitas. Jika anda melihat fakta bahwa korporasi globalisasi adalah berkaitan dengan privatisasi agresif terhadap air, biodiversitas, dan sistem pangan di Bumi, maka ketika komunitas-komunitas ini mendeklarasikan kedaulatan dan bertindak atas kedaulatan itu, berarti mereka telah membangun sebuah respon yang tangguh terhadap globalisasi. Demokrasi hidup adalah demokrasi yang memelihara kekayaan kehidupan dimana manusia bergantung terhadapnya. Dalam rangka melawan globalisasi, kita harus mengupayakan kebangkitan kembali sebuah pemikiran yang berporos pada perlindungan terhadap kehidupan, merayakan kehidupan, menikmati kehidupan baik sebagai kewajiban tertinggi kita, maupun sebagai bentuk perlawanan terhadap kekerasan dan kebrutalan sistem yang mengglobal yang tidak hanya berupa perdagangan, tetapi juga berupa fasisme, yang mengingkari kemerdekaan sipil dan kebebasan. Tidak ada satu bahasa yang terkoordinasi dalam gerakan ini, dan justru itulah indahnya gerakan ini. Peristiwa WTO di Seattle memberikan pengalaman pertama bagi politik pelangi ini—sebuah politik pluralistik yang sukses, tanpa adanya penggagas utama (mastermind), tetapi berasal dari kebebasan berpikir. Dalam era politik baru, orang memiliki beragam cara untuk berbicara, tapi saya kira intinya adalah demokrasi kehidupan dan ekonomi kehidupan, dan hal itu mencakup baik tanggung jawab personal untuk melakukan perubahan maupun menjadi bagian dari gerakan perubahan dalam skala nasional dan internasional. Di jalan-jalan Seattle dan Cancun, di rumahrumah dan ladang-ladang di seluruh dunia, masa depan lain dari manusia sedang dilahirkan. Masa depan yang didasarkan pada

inklusi, bukan eksklusi; pada non-kekerasan, bukan kekerasan; pada perebutan kembali milik bersama, bukan mengungkungnya; pada berbagi sumber daya bumi secara bebas, bukan memonopoli dan menswastakannya. Bukannya dibentuk oleh pikiran-pikiran tertutup di balik pintu-pintu tertutup, sebagaimana terjadi pada Project for the New American Century (1997–2006) yang sayap kanan agresif, projek khalayak muncul di dalam atmosfer dialog dan keragaman, pluralisme dan rekanan, serta berbagi dan setia kawan. Saya menyebut projek ini Demokrasi Bumi. Berdasarkan pada kapasitas swaorganisasi kita, identitas-identitas Bumi kita, serta kejamakan dan keragaman kita, keberhasilan Demokrasi Bumi menyangkut tidak hanya nasib dan kesejahteraan seluruh manusia, namun juga segala makhluk di Bumi. Demokrasi Bumi bukan hanya tentang protes selanjutnya atau World Social Forum ini tentang apa yang kita lakukan di antaranya. Ini mengenai yang global di dalam kehidupan sehari-hari kita, kenyataan sehari-hari kita, dan menciptakan perubahan secara global dengan membuat perubahan secara lokal. Perubahan-perubahannya barangkali tampak kecil, namun dampaknya menjangkau jauh—mereka menyangkut evolusi alam dan potensi kita sebagai manusia; tentang bergeser dari daur kekerasan yang kejam yang di dalamnya budaya bunuh diri, ekonomi bunuh diri, dan politik bunuh diri memangsa satu sama lain menjadi daur kebajikan yang non-kekerasan kreatif yang di dalamnya budaya kehidupan melahirkan demokrasi kehidupan dan ekonomi kehidupan. Demokrasi Bumi bukanlah konsep semata, melainkan dibentuk oleh praktik yang jamak dan beragam orang-orang merebut kembali hak-hak bersama mereka, sumber daya mereka, penghidupan mereka, kebebasan mereka, martabat mereka, identitas mereka, dan kedamaian mereka. Sementara praktik,


25

gerakan, dan tindakan ini banyak aspeknya dan jamak, saya telah mencoba mengidentifikasi kelompok-kelompok yang menunjukkan gagasan dan contoh demokrasi kehidupan, kebudayaan kehidupan, dan ekonomi kehidupan yang bersama-sama membangun Demokrasi Bumi. Ekonomi, politik, kebudayaan tidaklah saling terpisahkan. Ekonomi yang melaluinya kita memproduksi serta bertukar barang dan jasa dibentuk oleh nilai-nilai kebudayaan dan penyusunan kekuasaan di dalam masyarakat. Kemunculan ekonomi kehidupan, kebudayaan kehidupan, dan demokrasi kehidupan kemudian merupakan proses yang saling mendukung satu sama lain. Ekonomi kehidupan adalah proses-proses dan ruang-ruang tempat sumber-sumber daya Bumi dibagi secara adil untuk menyediakan kebutuhan makanan dan air kita, serta untuk menciptakan penghidupan yang bermakna. Demokrasi Bumi berevolusi dari kesadaran, bahwa sementara kita berakar lokal, kita juga terhubung dengan dunia secara keseluruhan dan, nyatanya, dengan seluruh alam semesta.

Kita mendasarkan globalisasi kita pada proses-proses ekologis serta ikatan-ikatan kepedulian dan solidaritas, bukan pergerakan modal dan uang, atau pergerakan yang tidak perlu dari barang dan jasa. Sebuah ekonomi global yang memperhitungkan batas-batas ekologis perlu melokalkan produksi untuk mengurangi pemborosan, baik sumbersumber daya alam dan manusia. Dan hanya ekonomi yang dibangun di atas landasan ekologis dapat menjadi ekonomi kehidupan yang memastikan keberlanjutan dan kesejahteraan bagi semua. Ekonomi kita tidaklah dihitung di dalam jangka pendek balik modal perusahaan perkwartal, atau cara pandang politisi empat-lima tahunan. Kita mempertimbangkan potensi evolusioner semua kehidupan di Bumi dan melekatkan kembali kesejahteraan manusia di rumah kita, komunitas kita, dan keluarga Bumi. Keamanan ekologis adalah keamanan paling mendasar kita; identitas ekologis adalah identitas terutama kita. Kita adalah makanan yang kita makan, air yang kita minum, udara yang kita hirup. Dan merebut kembali kendali demokratis atas makanan dan air kita serta

Sejumlah nahasiswa mengikuti presentasi mengenai keanekaragaman biji di Navdanya, Biodiversity and Conservation Farm, India


26

keselamatan ekologis kita merupakan projek yang perlu untuk kebebasan kita. Demokrasi kehidupan merupakan ruang untuk merebut kembali kebebasan utama kita, membela hak-hak mendasar kita, serta menjalankan tanggungjawab dan tugas bersama kita untuk melindungi kehidupan di Bumi, mempertahankan kedamaian, dan mendukung keadilan. Globalisasi perusahaan besar menjanjikan bahwa pasar bebas akan mendukung demokrasi. Sebaliknya, pasar bebas perusahaan-perusahaan besar global telah menghancurkan demokrasi pada semua tataran. Pada tataran yang paling mendasar, globalisasi perusahaan besar menghancurkan demokrasi akar-rumput dengan pengungkungan hak-hak bersama. Aturan utama globalisasi, baik yang dipaksakan oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) atau Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), telah disusun secara tidak demokratis, tanpa keikutsertaan negara-negara dan komunitas-komunitas yang paling terdampak. Globalisasi perusahaan besar mengecilkan dan menjatuhkan proses demokratis kebangsaan dengan mengambil keputusankeputusan ekonomi di luar jangkauan dewan perwakilan dan warga negara. Pemerintah mana pun yang terpilih, dia terkunci di dalam serangkaian kebijakan-kebijakan reformasi neo-liberal. Globalisasi perusahaan besar adalah, di dalam praktiknya, kematian demokrasi ekonomi. Dia menimbulkan kendali korporat dan kediktatoran ekonomi.

Saat kediktatoran ekonomi dicangkokkan pada demokrasi keterwakilan berdasarkan pemilu, hasilnya adalah perkembangan fundamentalisme keagamaan dan ekstremisme sayap kanan yang beracun.

Dengan demikian, globalisasi perusahaan besar mengawali tidak hanya kematian demokrasi, namun juga demokrasi kematian, yang di dalamnya pengucilan, kebencian, dan ketakutan menjadi alat politis untuk menggerakkan suara dan kuasa. Demokrasi Bumi memampukan kita untuk membayangkan dan menciptakan demokrasi kehidupan. Demokrasi kehidupan memampukan keikutsertaan demokratis di dalam segala urusan hidup dan mati—makanan yang kita makan atau yang tidak bisa kita dapatkan; air yang kita minum atau yang terlarang bagi kita lantaran penswastaan atau pencemaran; udara yang kita hirup atau yang meracuni kita. Demokrasi kehidupan didasarkan pada nilai hakiki semua spesies, semua khalayak, semua kebudayaan; saling berbagi sumber-sumber daya terpenting bumi secara adil dan setara; serta saling berbagi keputusan tentang pemanfaatan sumber-sumber daya bumi. Kebudayaan kehidupan adalah ruang yang di dalamnya kita membentuk dan menghidupi nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, perilakuperilaku, dan adat-adat kita yang beragam, sementara sepenuhnya merangkul kemanusiaan kita yang sesama dan sesemesta serta kesesamaan kita dengan spesies lain melalui tanah, air, dan udara. Kebudayaan kehidupan didasarkan pada non-kekerasan dan kepedulian, keragaman dan kemajemukan, kesetaraan dan keadilan, serta penghargaan untuk kehidupan di dalam segala keragamannya. Kebudayaan kehidupan yang tumbuh dari ekonomi kehidupan memiliki ruang untuk spesies, kepercayaan, jenis kelamin, dan kelompok suku yang beragam. Kebudayaan kehidupan tumbuh dari Bumi, muncul dari tempat dan ruang tertentu sementara pada saat yang sama menghubungkan seluruh umat manusia di dalam kesadaran keplanetan sebagai anggota


27

dari keluarga Bumi kita. Kebudayaan kehidupan didasarkan pada identitas-identitas yang jamak dan beragam. Mereka didasarkan pada identitas Bumi, baik secara kenyataan konkret kehidupan sehari-hari kita—di mana kita bekerja, bermain; tidur, makan; tertawa atau menangis—dan proses-proses yang menghubungkan kita secara global.

Demokrasi Bumi, di dalam konteks kekinian, mencerminkan nilai-nilai, pandangan-pandangan dunia, dan aksi-aksi gerakan beragam yang bekerja untuk perdamaian, keadilan, dan keterbaruan. Kita hidup pada masa ketika campuran demokrasi keterwakilan dan globalisasi ekonomi telah menghasilkan ketakutanketakutan baru, kegamangankegamangan baru, fundamentalismefundamentalisme baru, dan kekerasan baru. Pemilihan umum 2004, baik di India dan di Amerika Serikat, menunjukkan bagaimana di hadapan kehilangan pekerjaan dan kehancuran penghidupan, wacana keagamaan fundamentalis mengisi ruang. Wacana ini mengutubkan masyarakat dan membuat perbedaan-perbedaan kebudayaan dipakai sebagai pasak untuk memecah-belah khalayak dari perkara-perkara yang menyatukan mereka—pekerjaan mereka, lingkungan, hak asasi manusia, dan satu kemanusiaan umum bersama.

Demokrasi Bumi membuat kita dapat merebut kembali kemanusiaan bersama kita dan kesatuan kita dengan semua kehidupan. Demokrasi Bumi menempatkan kembali kesucian kehidupan di dalam semua makhluk dan semua orang, tanpa memperhatikan klas, jenis kelamin, agama, atau kasta. Dan dia memaknai ulang 'mempertahankan nilai-nilai keluarga' dengan menghormati batasanbatasan pada ketamakan dan kekerasan yang ditentukan dengan menjadi milik keluarga Bumi. Demokrasi Bumi melindungi prosesproses ekologis yang mempertahankan kehidupan dan hak asasi manusia terpenting yang menjadi dasar hak atas kehidupan, termasuk hak atas air, hak atas makanan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, serta hak atas pekerjaan dan penghidupan. Demokrasi Bumi didasarkan pada pengakuan dan penghormatan terhadap kehidupan semua spesies dan semua orang. Selama tiga dasawarsa terakhir, pemikiran saya tentang Demokrasi Bumi telah mewujud melalui keterlibatan saya dengan gerakangerakan yang beragam. Gerakan-gerakan lingkungan, gerakan-gerakan pelestarian, dan gerakan-gerakan hak binatang telah mendasarkan perjuangan mereka pada nilai hakiki semua spesies. Gerakan-gerakan hak asasi manusia telah berakar di dalam pengakuan hak asasi manusia umum semua khalayak. Demokrasi Bumi menghubungkan kita melalui pembaruan dan regenerasi kehidupan yang berlangsung—dari kehidupan kita sehari-hari ke kehidupan semesta. Dia adalah harapan pada waktu tanpa pengharapan, dia membawa kedamaian pada waktu peperangan tanpa akhir dan dia mendorong kita untuk mencintai kehidupan dengan sangat penuh hasrat dan perasaan pada waktu para pimpinan dan media mengembangbiakkan kebencian dan ketakutan.


28

Prinsip-prinsip Demokrasi Bumi: 1. Demokrasi untuk seluruh aspek kehidupan Kita semua anggota komunitas bumi. Kita semua memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan semua spesies dan semua orang. Tidak ada manusia yang memiliki hak untuk melanggar batas ruang ekologis spesies lain dan orang lain, atau memperlakukan mereka dengan kekejaman dan kekerasan. 2. Seluruh mahkluk hidup dan kebudayaan memiliki nilai intrinsik Semua spesies, manusia dan budaya memiliki nilai intrinsik. Mereka adalah subyek, bukan obyek dari manipulasi atau kepemilikan. Tidak ada manusia memiliki hak untuk memiliki spesies lain, orang lain atau pengetahuan tentang budaya lain melalui paten dan hak kekayaan intelektual lainnya. 3. Keanekaragaman di Alam dan Budaya Membela keanekaragaman hayati dan budaya adalah tugas semua orang. Keragaman adalah tujuan itu sendiri, nilai, sumber kekayaan baik material dan budaya. 4. Hak untuk mencari penghidupan dari alam Manusia memiliki hak untuk memperoleh penghidupan yang layak; makanan dan air, habitat yang aman dan bersih dan keamanan ruang ekologi. Hak-hak ini adalah hak alami, yang dapat diambil dari bumi. Mereka tidak diberikan oleh negara-negara atau perusahaan.. 5. Demokrasi bumi berasal dari demokrasi ekonomi dan ekonimi kehidupan Demokrasi bumi berdasarkan demokrasi ekonomi. Sistem ekonomi melindungi ekosistem dan integritas mereka, melindungi mata pencaharian masyarakat dan menyediakan kebutuhan dasar untuk semua. Dalam ekonomi bumi tidak ada spesies pakai atau dibuang atau orang-orang. Ekonomi bumi adalah ekonomi hidup. Hal ini

didasarkan pada sistem keberkelanjutan, dan sistem pluralistik yang melindungi alam dan orang, yang dipilih oleh rakyat, untuk kepentingan umum. 6. Ekonomi kehidupan yang dibangun di atas ekonomi lokal Lokalisasi ekonomi adalah hal yang penting dalam lingkungan kita. Demokrasi bumi didasarkan pada hidup, ekonomi lokal tangguh, yang mendukung ekonomi nasional dan global. Ekonomi global tidak menghancurkan dan menghancurkan ekonomi lokal. 7. Hidup Demokrasi Demokrasi bumi didasarkan pada demokrasi lokal, hidup dengan masyarakat lokal, yang diselenggarakan pada prinsip-prinsip inklusi dan keragaman serta tanggung jawab ekologis dan sosial. Demokrasi bumi memiliki otoritas tertinggi pada keputusan yang berkaitan dengan lingkungan dan sumber daya alam kehidupan masyarakat. Otoritas didelegasikan ke tingkat yang lebih jauh dari pemerintahan pada prinsip subsidiaritas. Demokrasi Bumi, demokrasi hidup. 8. Hidup pengetahuan Demokrasi bumi berpusat bumi dan sistem pengetahuan berpusat masyarakat. Pengetahuan telah mempertahankan dan memperbaharui proses hidup dan memberikan kontribusi untuk kesehatan planet dan manusia. Semua manusia memiliki kewajiban untuk berbagi pengetahuan. Tidak ada orang atau perusahaan memiliki hak untuk menyertakan memonopoli paten atau secara eksklusif sendiri sebagai pengetahuan hidup atau kekayaan intelektual. 9. Persamaan hak dan tanggung jawab Dalam demokrasi bumi, hak seimbang dengan tanggung jawab. Mereka yang menanggung konsekuensi dari keputusan dan tindakan.


29

Vandana Shiva bersama gerakan perempuan perduli biji di Nigeria. Sumber www.seedfreedom.in

10. Globalisasi perdamaian, perawatan dan kasih sayang Demokrasi bumi menghubungkan orang, saling merawat, bekerjasama dan memberi kasih sayang bukannya membagi mereka melalui kompetisi dan konflik.

Keterangan: Naskah asli diterjemahkan oleh Budi ND Dharmawan Dinarasikan ulang oleh Hamada Mahaswara


30

Orang Asia-Afrika Harus Bersatu: Menilik Pidato Zhou Enlai dalam KAA 1955 Hamada Mahaswara (Pimpinan Redaksi Newsletter the Equator)

“We shall use peaceful means and we shall not permit any other kind of method” – Zhou Enlai (Mantan Perdana Menteri Cina)


31

Jika Zhou Enlai tak terserang usus buntu pada April 1955, mungkin Konferensi Asia Afrika (KAA) akan memiliki cerita lain. Penyakit yang menyerang perdana menteri Cina kala itu membuatnya batal menaiki Kashmir Prince—pesawat kiriman Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru yang meledak di atas kepulauan Natuna pada 11 April 1955. Seyogyanya pesawat itulah yang akan mengangkut Perdana Menteri Zhou Enlai bersama seluruh delegasi Cina untuk menghadiri KAA. Investigasi terhadap insiden tersebut menunjukkan pesawat itu sengaja diledakkan mata-mata CIA, yang tak menginginkan Cina hadir dalam KAA. Zhou Enlai kemudian mengganti jadwal keberangkatannya dan mendarat di Jakarta pada 16 April 1955 yang disambut kerumunan besar. Keesokan harinya ia bergabung dengan delegasi 29 negara yang menghadiri KAA di Bandung. Anti Cina dan komunisme rupanya, tak semua delegasi menghendaki kehadirannya. Di hari kedua penyelenggaraan KAA (19 April 1955), delegasi tiap negara melanjutkan paparan pidatonya. Tak terkecuali Irak yang diwakili perdana menterinya, Muhammad Fadhel Jammal. Fadhel sebagaimana mengutip Majalah Detik (edisi 177, 2015) menyatakan adanya kekuatan ketiga, di luar kolonialisme dan zionisme yang menyebabkan pergolakan di dunia, yakni “imperialisme komunis”. “Kupikir kalian semua sangat menyadari ini, yaitu komunisme!” ungkapnya seraya mengacungkan jari telunjuknya ke depan. “Komunisme adalah bentuk kolonialisme baru yang lebih berbahaya daripada penjajahan model kuno” lanjutnya. Ia menyebut komunisme sebagai agama yang subversif. “Komunisme menimbulkan permusuhan di antara golongan kelas dan rakyat,” katanya di podium. Selain Fadhel, ketua delegasi dari Filipina, Jepang, Vietnam Selatan, Sri Lanka dan Pakistan juga menyuarakan sikap antikomunis. Secara silih berganti mereka

menyerang isu kebebasan beragama di Cina serta kegiatan subversif Cina di luar negeri. Kehadiran Zhou Enlai dan delegasi Cina sebetulnya memang tak diharapkan oleh sebagian peserta konferensi. Perdana Menteri Pakistan, Mohammad Ali dan Sri Lanka, Sir John Kotelawala termasuk yang menentang keras rencana keikutsertaan Cina. Mereka khawatir, negara-negara yang telah bergabung dengan Blok Barat, seperti Thailand, Filipina, dan negaranegara Arab, akan menolak datang jika Cina disertakan. Sebab, pada masa itu, Cina disinyalir mendanai kegiatan subversif dan ilegal di sejumlah negara, termasuk penyusupan ideologi komunisme di kawasan Asia dan Afrika. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri dan Koordinator Pelaksana Teknis KAA Roeslan Abdulgani dalam buku The Bandung Connection, usulan mengundang Cina pertama kali disampaikan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pertemuan di Istana Bogor setahun sebelum KAA digelar. Perdana Menteri Burma, U Nu termasuk yang menyokong usulan ini. Bagi Nehru dan U Nu, corak partai komunis di Asia berbeda dengan komunis internasional di Barat. Nehru menegaskan, keikutsertaan Cina justru akan memperluas pergaulan dan cakrawala Negeri Tirai Bambu. Waktu itu Rusia dipandang agresif dan terangterangan memusuhi negara-negara yang menolak bekerja sama dengan Rusia. Menurut buku yang terbit tahun 1981 itu, Nehru optimistis negara-negara Asia dan Afrika akan mampu menekan Cina dalam KAA agar menghormati janjinya sendiri dalam menjaga hidup berdampingan secara damai, menghindari agresi, menghindari campur tangan dalam urusan dalam negeri negara-negara lain, dan menghormati integritas teritorial negara lain. Sementara itu, U Nu tegas menyebut Cina sebagai kunci untuk perdamaian di Asia karena geopolitik dan kekuatannya. Ketika Pakistan dan


32

Depan Zhou Enlai (mantan PM Cina), Soekarno (presiden pertama RI) dan Gammal Abdul Nasser (Mantan presiden Mesir) dalam jamuan makan malam di Konferensi Asia Afrika, Bandung 1955

Sri Lanka berkeras menolak, U Nu pun mengancam mundur dari KAA. Akhirnya kedua negara itu setuju. Di pihak lain, Indonesia sebagai salah satu pemrakarsa dan tuan rumah meyakinkan negara-negara Barat bahwa KAA tak akan menjadi panggung bagi blok komunis.

Kiri Zhou Enlai dan Soekarno dalam perjalanan menuju Gedung Konferensi Asia Afrika

Melawan belenggu kolonialisme Tim redaksi, mencoba menarasikan pidato Zhou Enlai yang dinantikan dalam KAA tersebut dengan menyarikannya dari beragam sumber. Mulanya Enlai tak akan berpidato pada hari kedua itu. Didampingi seorang penerjemah, Enlai naik ke podium dan memulai pidatonya dalam bahasa cina, menanggapi berbagai tudingan yang dialamatkan padanya. “Niat delegasi Cina datang ke Bandung, yaitu, untuk mencari persatuan, bukan menciptakan perbedaan. Cina datang tanpa usulan apapun ke KAA dan ingin menjalin saling pengertian, menghormati, bersimpati, dan membantu negara lain,” ungkap Zhou Enlai, mengutip Buku Zhou Enlai, Potret Seorang Intelektual Revolusioner karangan Han Su Yin (Hasta Mitra, 2008)

Kanan Zhou Enlai sumber: www.berdikarionline.net

Zhou Enlai memulai pidatonya terkait perbedaan pandangan ideologi dan sistem sosial. Enlai mengatakan ada pihak yang tidak senang dengan 600 juta rakyat Cina yang bebas dari penjajahan dan memilih sistem sosialisme di bawah partai komunis. “Tetapi, apakah perbedaan ideologi dan pilihan tentang sistem politik itu harus saling kucil-mengucilkan kita satu sama lain?” ungkapnya. “Delegasi Cina datang dengan tujuan mencari persatuan. Tidak ada gunanya menyodorkan ideologi atau perbedaan di antara kita. kita datang kemari untuk menemukan persamaan pandangan.” Enlai kemudian mengemukakan pernyataan tentang kebebasan beragama. “Kami kaum komunis adalah ateis, tetapi kami


33

menghormati semua yang beragama. Kami berharap pula mereka yang beragama akan menghormati pendirian kami yang tidak beragama ini.� Ia menambahkan bahwa, di Cina selain hidup 7 juta orang komunis, juga hidup puluhan juta umat Islam, Budha, Kristen dan Katolik. “Kenyataan itu bukan penghalang bagi persatuan Cina. Kenapa tidak akan mungkin dalam kesatuan masyarakat Asia-Afrika,� ujarnya. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah bahwa begitu banyak negara di Asia dan Afrika telah berkumpul bersama-sama untuk mengadakan sebuah konferensi. Di dua benua ini hidup lebih dari setengah dari populasi dunia. Bangsa Asia dan Afrika menciptakan peradaban kuno brilian dan membuat luar biasa kontribusi bagi umat manusia. Tapi, sejak zaman modern sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika di berbagai tingkat telah mengalami penjarahan kolonial dan penindasan, dan dengan demikian telah dipaksa untuk tetap dalam keadaan stagnan dari kemiskinan dan keterbelakangan. Suara kami telah ditekan, aspirasi kami hancur, dan nasib kita ditempatkan di tangan orang lain. Dengan demikian, kita tidak punya pilihan selain untuk bangkit melawan kolonialisme. Penderitaan dari penyebab yang sama dan berjuang untuk tujuan yang sama, kita bangsa-bangsa Asia dan Afrika telah lebih lama memiliki simpati dan keprihatinan mendalam satu sama lain. Sekarang wajah Asia Afrika telah mengalami perubahan radikal. Semakin banyak negara telah membuang atau casting off belenggu kolonialisme. Kekuasaan kolonial tidak bisa lagi menggunakan metode masa lalu untuk terus menjarah dan menindas kita. Asia

dan Afrika saat ini tidak lagi Asia dan Afrika kemarin. Banyak negara di wilayah ini telah mengambil nasib mereka ke tangan mereka sendiri. (Zhou Enlai, diterjemahkan dari www.digitalarchive.wilsoncenter.org) Menurut Enlai, tidak sedikit di antara mereka yang masih menjalani kehidupan perbudakan kolonial. Tidak sedikit pula dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika masih mengalami diskriminasi ras. Upaya yang telah diambil dalam memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan mungkin berbeda, tetapi kehendak untuk menang dan mempertahankan kebebasan serta kemerdekaan adalah sama. “Kami adalah negara-negara independen tanpa campur tangan luar dan sesuai dengan kehendak rakyat,� ujarnya meyakinkan. Bangsa Asia dan Afrika telah lama menderita agresi dan perang. Banyak dari mereka telah dipaksa oleh para penjajah untuk menjadi umpan meriam dalam perang agresif. Oleh karena itu, masyarakat dua benua ini tidak dapat memiliki apa-apa kecuali kebencian yang kuat dari perang agresif. Itulah sebabnya Asia dan Afrika masyarakat semua harus lebih mengupayakan perdamaian dunia dan kemerdekaan nasional. Menggalang persatuan Terlepas dari ras atau warna semua harus menikmati hak-hak asasi manusia. Tidak ada penganiayaan dan diskriminasi. Namun, kami tidak bisa menutup mata bahwa Tunisia, Maroko, Aljazair dan masyarakat lainnya tengah berjuang mencapai kemerdekaan dan tidak pernah berhenti ditekan dengan kekerasan. Diskriminasi ras dan penganiayaan di bawah rasialisme di Uni Afrika Selatan dan tempat-tempat lain belum teratasi. Masalah pengungsi Arab Palestina juga masih harus diselesaikan.


34

Perdamaian hanya bisa dijaga dengan saling menghormati kedaulatan teritorial masing-masing. Kami negaranegara Asia dan Afrika harus bekerja sama di bidang ekonomi dan budaya untuk menghapus keterbelakangan yang disebabkan oleh periode panjang eksploitasi kolonial. Kerjasama ini didasarkan pada kesetaraan dan saling menguntungkan. Kami Asia dan negara-negara Afrika harus menghormati satu sama lain, dan menghilangkan kecurigaan dan ketakutan yang mungkin ada di antara kami. Kami percaya bahwa jika kami bertekad untuk melestarikan perdamaian dunia, tidak ada yang bisa menyeret kita ke dalam perang; jika kita bertekad untuk berjuang untuk dan menjaga kemerdekaan nasional kita, tidak ada yang bisa terus memperbudak kita; jika kita bertekad untuk masuk ke ranah kerjasama, tidak ada yang bisa memisahkan kita. Apa yang kita negara-negara Asia dan Afrika inginkan adalah perdamaian dan kemerdekaan. Hal ini tidak kami niat untuk membuat negara-negara Asia dan Afrika menjadi antagonis ke negara-negara di wilayah lain. Kami ingin juga menjadi inisiator hubungan damai dan kooperasi dengan negara-negara di wilayah lain. Pertemuan kita ini memang tidak mudah dibawa. Konferensi ini seharusnya mencerminkan ekspresi keinginan kita bersama dan membuat halaman berharga dalam sejarah Asia dan Afrika. Pada saat yang sama, kita harus tetap bekerjasama agar kita dapat membuat kontribusi yang lebih besar bagi perdamaian dunia. Oleh karena itu, kami orang Asia dan Afrika harus bersatu! Pidato Zhou Enlai selama 25 menit itu sontak menuai tepuk tangan seluruh delegasi. Ia dianggap mampu memecah

rasa kaku dan kekhawatiran yang diduga akan ditimbulkan karena pengaruh komunisme Cina. Lewat Pidato Enlai, tulis Han Su Yin, Bandung merupakan kemenangan besar pribadinya (Zhou Enlai) dan merupakan terobosan internasional bagi Cina. Mereka yang semula tak bersahabat, berubah sikap. Zhou Enlai menggelar pertemuan lanjutan dan mengundang mereka melihat langsung kondisi Cina. “Datang dan lihatlah sendiri. semua orang akan kami sambut dengan baik,� tutupnya. Referensi: Abdulgani, Roeslan. 1981. The Bandung Connection: Konperensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Jakarta: Gunung Agung. Suyin, Han. 2008. Zhou Enlai, Potret Seorang Intelektual Revolusioner. Jakarta: Hasta Mitra April 19, 1955 Main Speech by Premier Zhou Enlai, Head of the Delegation of the People's Republic of China, Distributed at the Plenary Session of the Asian-African Conference from http://digitalarchive.wilsoncenter.org/document/121623.pdf?v=e1cd063 84e2e67bdff11f809ead78849.pdf Majalah Detik Edisi 177 tahun 2015 http://majalah.detik.com/cb/80ecfc42df53d7d05fd4f88d50ef9172/2015 /20150420_MajalahDetik_177.pdf https://m.tempo.co/read/news/2015/04/14/115657585/pidatopmcinas oalkomunismeyangdinantidikaa1955


35

SERBA-SERBI SIMPOSIUM KHATULISTIWA KONFERENSI BANDUNG 1955: SOSOK ATAU MOMOK Hampir satu dekade lalu, enam seniman Indonesia beserta sejumlah peneliti sejarah mengajukan sebuah pertanyaan romantik yang optimistik dalam wujud pameran: “Masa lalu, masa lupa?” Perintah yang tak henti-hentinya diserukan bak kebenaran tunggal di jalanan dan media-media sosial belakangan adalah, “Menolak lupa!” Pertanyaannya: Benarkah kita ingat? Apa yang kita ingat? Apa yang perlu kita ingat? Apakah orang lain harus percaya pada ingatan kita dan sebaliknya? Apakah yang kita ingat itu sebuah kebenaran dan bukan rangkaian kejadian yang kita pilih untuk ingat? SK jelas-jelas menyatakan bahwa landasan kerja dan kinerja yang diacunya adalah semangat perdamaian dan kemajuan dunia yang dikumandangkan oleh Konferensi Bandung 1955—juga disebut Konferensi Asia Afrika (KAA). Apakah kami sekadar mengagumi masa lalu yang begitu megah? Apakah kami (secara tidak langsung) sedang menyatakan bahwa setelah lebih dari 60 tahun KAA, gagasan dan pemikirannya tidak berubah—kalau bukan tidak berkembang? Di zaman di mana bahkan seorang seniman pun menganggap harian Pos Kota lebih dramatis, atraktif, performatif, dan inspiratif daripada pameran (seni rupa), kami merasa perlu berupaya untuk terus menjadi kritis terhadap diri sendiri. Dalam rubrik ini, kami hadirkan sejumlah esai, proyek seni, diskusi, seminar, atau perhelatan apapun yang berupaya membaca ulang, memberi nilai baru, sekaligus menjadi kritis terhadap KAA. www.dailymaverick.co.za www.thebrenthurstfoundation.org Greg Mills, A new Bandung Consensus? What Africa and Indonesia can learn from each other (Sebuah Konsensus Bandung baru? Apa yang bisa Afrika dan Indonesia pelajari dari satu sama lainnya), Daily Maverick, 22 Juni 2016. Dr. Greg Mills adalah direktur Brenthurst Foundation yang mengampu program kajian infrastruktur Indonesia dalam Foundation's Future of African Cities Project (Landasan Masa Depan untuk

Proyek Kota-kota di Afrika) www.dutchartinstitute.eu Tirdad Zolghadr & Sarah Pierce, Location, Location, Location (Lokasi, Lokasi, Lokasi), seri kuliah bagian dari Roaming Academy – Dutch Art Institute, 2015-2016. Sebagian dari kuliah ini berlangsung di Jakarta dan Bandung, November 2015 lalu, dengan dosen tamu Mirwan Andan (ruangrupa) dan Hilmar Farid (Universitas Indonesia). Kuliah ini berspekulasi bahwa lokasi (tempat, situs), dengan segala konteks keruangan dan kehidupan yang berlangsung di sana, bisa membentuk—kalau bukan menciptakan—sebuah metode. Salah satu kelas mereka berfokus pada KAA dengan argumen bahwa di sanalah angan-angan internasionalisme diawali, disepakati, segera ditindak-lanjuti, dan menghasilkan sejumlah efek yang masih berlangsung sampai hari ini. www.beyondbandung.ugm.ac.id Institute of International Studies (IIS), Beyond Bandung: Rethinking International Order, Identity, Security, and Justice in a Post-Western World (Melampaui Bandung: Memikirkan Ulang Orde Internasional, Identitas, Keamanan, dan Keadilan dalam Dunia Pasca-Barat), Yogyakarta, 8-9 April 2015 Salah satu lembaga penelitian di bawah naungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang secara khusus mengaji perihal hubungan internasional mengadakan sebuah konferensi yang berupaya mengadvokasi para pembuat kebijakan mengenai orde internasionalisme dengan titik berangkat KAA. www.frombandungtoberlin.com Google Cultural Institute, From Bandung to Berlin (Dari Bandung ke Berlin). Dinisiasi oleh Brigitta Isabella (peneliti KUNCI Cultural Studies Center), kerja dan kinerja proyek ini bisa diakses dalam


36

situs web interaktif. Bersama sejumlah seniman dan peneliti dari Indonesia, Cina, Malaysia, Singapura, dan Filipina, Brigitta memilih subyek utama bagi masing-masing perhelatan yang berlangsung dalam pelantar ini berkelindan di antara tempat, ruang, dan waktu di mana KAA berlangsung sampai dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 1989. SOROTAN www.2016.nextwave.org.au Brigitta Isabella, 1955, 1961, 1964, 1965, 1970, 1973, 1976, 1979, 1983, 1986, 1989, 1992, 1993, 1995, 1998, 2015, . . ., Wormhole, Next Wave 2016. Sebanyak 29 negara berkumpul di KAA untuk membahas kemungkinan pemerdekaan dari penjajahan dengan penolakan untuk bersekutu, baik dengan blok Timur maupun Barat. Istilah “Dunia Ketiga” lahir dalam konteks tersebut. Pidato presiden pertama Indonesia Sukarno menggambarkan dunia kala itu sebagai masa yang menyeramkan, “Ya, kita ini hidup di dalam dunia penuh rasa takut. Kehidupan manusia hari ini jadi berkarat dan pahit oleh rasa takut. Ketakutan soal masa depan, bom hidrogen, dan ideologi-ideologi. Barangkali ketakutan ini adalah bahaya yang lebih besar daripada bahaya itu sendiri, karena ketakutanlah yang mendorong orang-orang untuk bertindak ceroboh, tanpa pikir panjang, dan berbahaya....” Rasa takut yang digambarkan Sukarno di dalam pidatonya ini merupakan ketakutan terhadap keberagaman. Ini adalah ketakutan terhadap arwah-arwah antipenjajahan yang mengancam, yang digerakkan dengan mimpi-mimpi menuju kolektivisme dan hubungan-hubungan sosial jenis baru yang melampaui ideologi komunisme Soviet maupun kapitalisme Barat. KAA menawarkan cara pandang untuk memahami sejarah sebagai adu pendapat di antara yang terjajah dan si penjajah, di antara yang tertekan dan si penekan. Perdana Menteri India

Jawaharlal Nehru berkata bahwa di dalam masa perselisihan ideologis Perang Dingin dan di bawah ancaman perang nuklir, “Dunia telah berhasil mencegahnya. Tapi, saya tidak bisa bicara tentang masa depan.” Bagi blokblok berkekuatan besar, masa depan akan ditentukan oleh pemenang Perang Dingin. Ini jelas merupakan pandangan militeristik dalam kemajuan sejarah. Di sisi lain, konferensi yang juga dikenal sebagai KAA ini membayangkan masa depan sebagai cakrawala tidak terbatas di mana semua orang dipersilahkan menentukan masa depannya masingmasing. Pertemuan kedua KAA yang direncanakan untuk diadakan di Aljazair pada 1965 tidak pernah terjadi akibat berbagai campur tangan dan perang proksi yang memengaruhi perseteruan lokal dan kewilayahan pasca-1955. Keterlibatan aktif Cina di dalam KAA telah membuat Blok Barat mencurigai kedudukan non-blok KAA akan bergeser ke arah yang kekiri-kirian. Perpecahan Cina-Soviet pada 1960-an juga memengaruhi secara langsung upaya yang gagal untuk menyelenggarakan KAA yang kedua. Gagasan “hidup berdampingan dengan damai” yang diimpikan KAA jelas tidak mudah untuk diwujudkan. Semangat KAA masih hidup seperti yang bisa kita lihat dalam tiruan yang dibuatbuat oleh pemerintah, seperti perayaan Ultah KAA ke-60 (2015) lalu. Namun, romantisme keagungan KAA malah membuat warisannya tidak bergaung besar. Pernyataan antipenjajahan yang mendasarinya telah pudar. Untuk menyegarkan kembali pentingnya KAA dan menjauhkannya dari nostalgia, kita mesti menerima fakta bahwa semangat KAA telah mati di dalam bara Perang Dingin. Hingga sekarang, arwah KAA masih menghantui kita dalam hal kemerdekaan dari perspektif pascapenjajahan dan penolakan akan keseragaman waktu di bawah satu bentuk sejarah yang berkuasa.


37

YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA MENGUCAPKAN

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1437 H MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN


38


BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolaholah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


YAYASAN

YOGYAKARTA

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.