Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

Page 1

ISSN: 9772442302035

THE EQUATOR Volume 3 Nomor 3 Juli - September 2015 Terbitan triwulan | GRATIS

NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA


2

PENGANTAR REDAKSI Pembaca yang budiman, Membicarakan hubungan dua kebudayaan, Indonesia dan kawasan Afrika, tidak pernah bisa lepas dari tema-tema poskolonialitas. Di beberapa edisi sebelumnya, newsletter The Equator telah banyak mengulas tema-tema tersebut sambil mengaitkannya dengan peristiwa penting yang selalu perlu dilihat ulang dan direfleksikan. Pada edisi kali ini, The Equator menyuguhkan wacana yang berupaya mendekatkan publik pada penyelenggaraan Biennale XIII yang bertema “Hacking Conflict”. Salah satu pembicaraan yang tidak bisa dihindari dalam “Hacking Conflict” ini ialah kedekatan antara seni dan politik. Dalam kaitannya dengan estetika, politik bisa kita maknai secara luas maupun sempit. Politik dalam konteks praktik ketatanegaraan dan pengaturan, serta politik dalam konteks keseharian sebagai masyarakat yang berbudaya dan berbahasa. Penulis pertama, Muhidin M. Dahlan (salah satu peneliti Biennale Jogja XIII), menyuguhkan hasil pengamatannya atas keterlibatan seni dan politik dalam dinamika masyarakat dan praktik berkesenian di Jogja, sejak awal kemerdekaan hingga kini. Penulis kedua, Antariksa (peneliti Kunci Cultural Studies), membagikan sebagian dari penelitian yang sedang dilakukannya seputar perkembangan Seni Rupa pada masa penjajahan Jepang. Dalam tulisan ini ia mengungkap kerumitan hubungan seni dan propaganda di Jaman Jepang. Penulis ketiga, Hendra Himawan (tim artistik PE dan FE BJXIII), mengabstraksikan kerja-kerja seni komunitas yang sedang dilakukan bersama tim dan komunitas yang berpartisipasi. Melalui tulisannya, Hendra Himawan juga berupaya merefleksikan kerja seni komunitas, keterlibatan masyarakat hingga orientasi tematik dari seluruh rangkaian kerja PE dan FE dalam kerangka “Hacking Conflict.” Selain menghadirkan serangkaian wacana yang dihimpun dalam tema seni dan politik, The Equator edisi kali ini juga menyuguhkan perbincangan dengan salah seorang seniman yang terlibat di pameran BJXIII, Maryanto. Maryanto berbagi pandangan seputar peran seni di tengah persoalan sosial. Selain Maryanto, Irwan Ahmett juga membagikan gagasan yang melatarbelakangi karya yang sedang dipersiapkan dalam pameran BJXIII. Hadirnya edisi The Equator di bulan Agustus ini tentu tidak kita lewatkan begitu saja tanpa mengingatkan, betapa makna kemerdekaan itu tidak sekedar pesta dan upacara bendera, namun juga kerja! 70 tahun Indonesia Merdeka. Salam, Redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org. Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa.

Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta(YBY) Misi YBY)adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota

yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Telp: +62 274 587712 E-mail: the-

equator@biennalejogja.org Juli- September2015, 1000 exp Penanggung jawab: Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Redaktur Pelaksana: Lisistrata Lusandiana Kontributor: Muhidin M. Dahlan, Antariksa, Hendra Himawan, Irwan Ahmett


3

DAFTAR ISI DAN POLITIK: 4| SENI YOGYAKARTA SEBAGAI ARENA Muhidin M Dahlan (Peneliti BJXIII Hacking Conflict!)

SENI DAN PROPAGANDA PADA ZAMAN JEPANG

|16

Antariksa, peneliti pada KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta. Karya terbarunya Art Collectivism in the Japanese-Occupied Indonesia akan terbit tahun depan (Fukuoka: Kyushu University Press, musim panas 2016).

MELIHAT INTERVENSI 23| DALAM KERJA SENI PARTISIPATORIS CATATAN AWAL DARI PROGRAM PARALLEL EVENT BJ XIII HACKING CONFLICT! 2015 Hendra Himawan (Tim Artistik PE dan FE BJ XIII)

MEMBISIK BUMI MEWARNAI LANGIT

|31

Irwan Ahmett (Seniman BJXIII Hacking Conflict!)

KITA PERLU KOTA RAMAH MANUSIA, 36| BUKAN RAMAH MODAL: WAWANCARA DENGAN MARYANTO Lisistrata Lusandiana

Sampul depan: Takashi Kono “Kerdja! Oentoek Mentjapai Asia Raja, 1943” (Takashi Kono, My Momentum 1928-1983, Riyuko-sha, 1983)

Fotografi: Arsip YBY, sumbersumber internet Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: , Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27

Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O

Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Rumata Artspace

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

SENI DAN POLITIK: YOGYAKARTA SEBAGAI ARENA

Muhidin M Dahlan (Peneliti BJXIII Hacking Conflict!)

“Poster Boeng”, Sumber, Affandi (1907-1990) Maestro Seni Lukis Indonesia


5

“1000 kali seniman tak berpolitik, 1000 kali pula politik mencampuri seni dan seniman” - Amir Pasaribu Kutipan dari komposer musik legendaris Indonesia itu saya temukan dari kliping koran tua Harian Rakjat edisi 13 April 1957. Kutipan itu berumur 57 tahun jika diukur dari masa saat Glenn Fredly, Bimbim Slank, dkk “mengorganisasi” musisi untuk menjadi relawan politik riil Indonesia di Pemilu Indonesia ke-12. Seniman-seniman itu secara terbuka mendukung kandidat presiden Joko Widodo dan kandidat wakil presiden Jusuf Kalla. Peristiwa panggung musik politik 5 Juli 2014 di Gelora Bung Karno Jakarta itu saya baca sebagai kembalinya spirit Amir Pasaribu dalam bermusik yang tak alergi dengan keterlibatan politik langsung dan terbuka. Politik bukan iblis yang mesti dihindari, melainkan dirawat bersama dalam kepemimpinan rakyat. Dan pada pemilu ke-12 ini muncul keterlibatan lain yang berbeda dengan dua model keterlibatan sebelumnya, yakni keterlibatan yang cair dan tanpa bayaran. Keterlibatan yang bersifat sukarela ini bersifat ad hoc, sementara, tanpa ada iming-iming uang, kecuali panggilan untuk menjadi peserta dan bukan penonton politik. Dalam sejarah pemilu, jumlah keterlibatan relawan seni, terutama dimotori musisi yang memiliki lapisan pengikut yang luas, adalah terbesar dan tiada tanding setelah Pemilu 1955. Mereka tak diikat oleh organisasi yang

bersifat partisan, melainkan jaringan teknologi komunikasi. Walau bukan pendukung partai politik tertentu, mereka hadir menyuarakan apa yang disebut Amir Pasaribu sebagai cara “memikirkan nasib kemadjuan bangsanja dalam pemikiran semua segi hidupnja”. Sukwan/wati seni itu terlibat dalam kompetisi yang sengit lewat jalur telinga dan mata. Di lajur kompetisi telinga, beraneka bunyi-bunyian kreatif ditanam dan ditautkan di mesin penyimpan maya seperti soundcloud. Dari semua genre ada: dari rock hingga dangdut. Sementara di lajur mata, pelbagai poster, komik, meme/mim diproduksi, di laman web, dan disebarkan secara masif lewat media sosial. Adapun partisipasi kreatif sukwan/wati di lajur campuran antara matatelinga (audio-visual) terdokumentasi dengan baik di laman youtube. Munculnya seniman di politik riil itu tentu bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Sejarah panjang seni di Indonesia, terutama seni rupa, memberikan konfirmasi bagaimana pergulatan politik dan seni dalam berkarya dan bagaimana seni dan politik hidup berdampingan menyuarakan aspirasi dukungan maupun protes terhadap kekuasaan. Esai ini menjelajahi wajah seni dan politik, terutama sekali yang terjadi di Yogyakarta.


6

Harian Rakjat, PKI menang di Djokja (akubuku.blogspot.com)

Kota yang berkali-kali diterjang chaos, berkali-kali pula menyeimbangkannya. Mulai dari Perang Diponegoro, agresi militer Belanda setelah 19 hari Republik Indonesia diproklamasikan, pawai “sejuta massa” pada masa genting 1998, hingga warga kota ini bergegas bangkit dari reruntuhan guncangan bumi 27 Mei 2006. Kota Yogyakarta menjadi “Kota Revolusi” tatkala pemerintahan Soekarno-Hatta pada 4 Januari 1946 memilih memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta. Di masa inilah Yogyakarta nyata menjadi pusat peradaban yang lebih kompleks. Jalan Malioboro berubah menjadi ekologi simbolik baru bagi kota Yogyakarta, yaitu menjadi arena persebaran makna dan gagasan serta citra baru pada masa revolusi di lingkungan kota Yogyakarta. Yogyakarta sendiri sebenarnya sudah cukup siap untuk dijadikan, tidak hanya pusat kebudayaan Jawa, melainkan menjadi tempat di mana revolusi dan perlawanan atas kolonialisme bisa berlangsung dengan sengit, tidak hanya di medan pertempuran senjata, tetapi juga di medan kebudayaan. Seni rupa adalah salah satu palagan revolusi dan politik itu. Seni yang Terlibat: Genealogi Persekutuan Politik Praktis dan Seni Rupa 1955 adalah tahun sibuk untuk sebuah negara-bangsa yang baru satu dekade merdeka. Dimulai dari kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah bagi perhelatan akbar yang melibatkan negaranegara Asia dan Afrika. Konferensi Asia Afrika di Bandung itu, bukan saja melahirkan pernyataan politik radikal atas relasi bangsa-bangsa yang terprentah dan diprentah – meminjam istilah Tirto Adhi Soerjo tahun 1907 – tapi juga sikap sinis dan nyinyir dalam negeri. Terutama lawan (kawan?) politik Sukarno semacam pengikut Sjahrir dan Hatta. Dua nama itu bukan saja absen dalam KAA, tapi juga koran-koran yang diterbitkan kelompok “soska” ini menyambut dingin konferensi yang ditutup tepat ketika hari pertama umat Islam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Kesuksesan penyelenggaraan KAA itu menerbitkan wuwungan optimisme bahwa Indonesia pasti bisa menyelenggarakan pemilu yang demokratis; suatu percobaan politik demokratis pertama


7

yang sangat menentukan. Di Pemilu inilah kita menemukan satu fase bagaimana seni diuji di lapangan politik praktis di “masa damai”. Di masa liberalisme politik 50-an, perupa bukanlah penonton, tapi terlibat aktif di dalamnya.

keterlibatan itu. “Seni yang terlibat” adalah seni yang memiliki garis lurus yang tegas antara karya dan laku. Bukan “seni yang terlibat” bila karyanya saja yang politis, tapi kehidupan praktis sehari-hari seniman justru apolitis.

Perupa-perupa yang turut membidani lahirnya Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), Seniman Indonesia Muda (SIM), dan Pelukis Rakjat di Yogyakarta, misalnya, menjadi salah satu tulang punggung kemenangan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Kota Yogyakarta. Pemilu 1955 adalah pintu masuk bagi perupa Soedjojono dan Affandi untuk masuk dalam politik praktis. Keduanya adalah dua dan 10 wakil PKI yang berasal dari seniman dan budayawan yang lolos menjadi anggota DPR. (Harian Rakjat, 17 September 1955)

Nyaris sepanjang dekade revolusi, seni rupa bertendens yang dipundaki perupa-perupa avant garde dari Yogyakarta dipandang sebagai antitesis dari gaya lukis Mooi Indie yang sangat terkenal sebelum kemerdekaan dengan seniman-seniman garda depannya seperti Raden Saleh, Abdullah Sr. (ayah Basuki Abdullah). Abdullah, misalnya, selalu menggambarkan alam Hindia Belanda yang serba indah. Gunung-gunung biru yang melatarbelakangi sawah dengan padi menguning, rumpun bambu dan pohon nyiur di pinggirnya. Jika ada tiang telepon atau rel kereta api atau gardu-gardu pekerja berdiri di pinggir segera dihilangkan.

Kehadiran seniman-seniman ini di arena politik praktis bukan tiba-tiba. Tempaan revolusi fisik membajakan keyakinan mereka bahwa seni dan politik bukan sesuatu yang bermusuhan. Mazhab realisme kerakyatan dalam seni rupa yang diusung pentolan SIM Soedjodjono dan pentolan Pelukis Rakjat Hendra Gunawan membawa pada sebuah simpul bahwa seni adalah keluarga politik, di mana seniman adalah subjek penentu jalannya revolusi. Meminjam kata-kata Soedjojono: “Namakanlah saya bukan seniman; saya lebih baik jadi manusia daripada 'seniman' zonder politik, daripada 'seniman' zonder rasa tanggungjawab atas nasib manusia yang ada kebetulan di sudut dunia ini, yang orang katakan bangsa Indonesia. Saya turut revolusi. Saya tidak turut saja, tetapi juga turut menetapkan revolusi itu harus kemana.” (Soedjojono, 2013)

Apa seni rupa baru antitesis Mooi Indie itu? Soedjojono memberikan penegasan: “Seni loekis jang tidak mempropagandakan kebagoesan, akan tetapi mempropagandakan kebenaran pada tiaptiap orang…. Kebagoesan jang disebabkan oleh warna-warna tjantik dan garis-garis jang berkembang-kembang (sierlijk) sadja sebagai sebagai lagak radja djin bangsawan, belum tentoe kebagoesan jang benar, sebab biasanja kebagoesan jang demikian hanja hendak menoetoepi kekosongan batinnja sadja… Peloekispeloekis kita jang terbanjak hanja verfbedienden dari toeris-toeris jang datang makan angin kesini sadja. Dan poeblik misih maoe dihipnotis oleh kebagoesan bombasme, bluf dan lagak radja djin bangsawan sadja…” (Soedjojono, 1946)

Seni yang terlibat di arena politik riil, bisa kita lihat dari keterlibatan seniman-seniman yang menopang revolusi dalam pelbagai front. Terutama seksi propaganda kemerdekaan. Narasi sejarah lahirnya poster “Ajo Bung!” menjadi tonggak klasik

Lebih lanjut Soedjojono menolak apa yang disebut “romantisch priangan” yang merupakan peristilahan yang lain dari Mooi Indie dan sekaligus menunjuk kawasan di mana gaya melukis ini sangat kuat: “Kita haroes tidak bisa hormat kepada seorang


8

Teks: "Didjiwai oleh semangat Rakjat seniman2 Djokja dibawah pimpinan pelukis2 Affandi, Sudjojono, dan Hendra Gunawan tlah berhasil mentjiptakan podium jang indah dan megah buat rapat raksasa PKI tgl. 11 September jbl. Perhatikan artja jang tingginja 5 meter, paluarit 10 meter, umbul2 mendjulang tinggi dan indah. Disebelah kanan podium tampak gambar Bung Karno dan disebelah kiri gabar Bung Aidit, Sekretaris Djendral CCPKI. Dengan demikian seniman2 dan PKI didjiwai dan mendjiwai Rakjat untuk berdjuang terus, untuk menang dalam pemilihan umum jad.” Sumber: akubuku.blogspot.com

seniman peloekis jang enak-enak sadja menggambar lembahlembah dan goenoeng tinggi mentjapai awan dan mimpi sorga doenia berkata: ,,O, romantisch Priangan”, tetapi ta' maoe mendengarkan dibelakang dekat dia pak tani mengeloeh, merintih, menangis, sebab kakinja kena patjoel, berdarah, loeka parah. Gambarnja tadi barangkali bagoes, tetapi hati kemanoesiaannja ta' ada, barangkali tergantoeng diawan soedah habis dipatoek elang atau dihantam petir melajang.” (Soedjojono, Ibid.) Ketika J Hopman menulis sebuah esei di majalah Uitzicht pada 1948, Soedjojono menanggapinya sangat sengit dan keras. Hopman menulis bahwa seni lukis Indonesia itu tidak ada. Kalaupun ada ia membebek saja dengan seni di Barat. Menurut Soedjojono, Hopman mengalami kesalahan besar. Realisme yang dikembangkan oleh mazhab Yogya (baca Indonesia) tidak boleh dikatakan sebagai kepunyaan Barat belaka. Realisme adalah kepunyaan tiap-tiap manusia. “Kalau da Vinci, Durrer, Cazanne, kebetulan orang-orang Barat, ini bukan soal. Tiap-tiap anak Tuhan, meski dia di Betlehem (Kristus), meski di Mekkah (Muhammad), meski di Tiongkok (Laotz, Confusius, Li Tai Po), meski di India (Buddha), meskipun di Mesir (Ichnaton), di Amerika (Louis Amstrong, negro) atau di Eropa (Socrates, berlage, Cazanne) tidak berhak mengepak dan memonopoli teori-teori mereka kalau memang teori-teori tadi suatu kebenaran yang


9

nyata dan baik untuk dunia.” (Soedjojono, Ibid.) Kita bisa memahami reaksi sengit Soedjojono. Tak hanya karena masa itu adalah masa konfrontasi bersenjata dengan Belanda, tapi juga pencarian yang keras kekhasan seni lukis modern Indonesia zonder gaya Mooi Indie (baca: Belanda) yang dicekokannya kepada seniman Indonesia. Karena itulah, Soedjojono berpandangan, saatnya seniman-seniman Indonesia mencari arahnya sendiri atau dalam kalimat Soedjojono: “kami sudah tahu bagaimana dan ke mana kami akan bawa seni lukis kami”. Dan Soedjojono, Hendra, Affandi, dan sederet pelukis-pelukis Yogyakarta yang tergabung dalam sanggar SIM dan Pelukis Rakjat membawa seni lukis mereka ke tendensi sosial yang kuat. Tendensi sosial itu bukan hanya berada dalam konsepsi, tapi juga cara hidup dan metode cara bagaimana lukisan itu diciptakan. Untuk membuat sketsa dan melukis, para seniman yang tergabung dalam Pelukis Rakjat dan SIM kerap pergi keluar sendiri atau tergabung dalam kelompok-kelompok kecil dan mendapatkan diri mereka di ladang-ladang, di pinggir kali, di kota, di salah satu sudut jalan atau di pasar. Kerap juga mereka melakukan perjalanan ke pantai-pantai yang jauh atau daerah bergunung yang jauh dari kota untuk menangkap senyatanya kehidupan Rakyat. Dari usaha itu kemudian kita mengetahui siapa “Rakyat” menurut Soedjojono dan Hendra, misalnya. Bagi Soedjojono yang berpandangan marxis, rakyat adalah kelompok sosial kelas bawah yang tertindas, seperti tergambar dalam lukisan berjudul Potret seorang Tetangga, Mengungsi, dan Sekko. Dengan realisme yang menjadi jiwa di lukisan-lukisan itu, Soedjojono menandaskan bahwa ia bisa menggambarkan dengan jelas "realitet nasi" yang dimengerti oleh rakyat yang oleh generasi baru Lekra di era tahun 1960-an, realisme sosial Soedjojono itu dinaikkan

statusnya menjadi realisme revolusioner dan progresif. (Burhan, 2002) Sementara bagi Hendra, rakyat adalah wanita-wanita yang memundaki muatan berat yang diikatkan pada punggungpunggung mereka yang membongkok, penjaja makanan di pinggir jalan serta para pelanggan mereka, pada wanita dan kanakkanak. Para wanita yang dibebani yang berjalan dengan susah payah sepanjang jalan-jalan Jawa Tengah ke dan dari pasar telah menjadi lambang yang ada di manamana dari kemelaratan dan kemerosotan pada banyak lukisan Pelukis Rakjat. (Holt, 2000) Dari deretan fakta itu, bukan suatu keheranan bila perupa-perupa macam Soedjojono, Hendra Gunawan, Affandi, hingga Basuki Resobowo berada dalam satu ayunan politik praktis dan berada di pusaran pemilu 1955. Keterlibatan penuh itu menandaskan bahwa dalam sejarah seni rupa kita, seniman dan politik bukanlah air dan minyak yang saling bertolakan. Setidaknya, partai macam PKI adalah partai yang paling yakin bahwa kehadiran seniman dalam politik menyegarkan masa depan politik yang tak melulu berbicara kekuasaan dengan segala negosiasi pragmatisnya. Inilah satu-satunya partai yang menempatkan budayawan dan perupa paling banyak dalam susunan sebagai calon legislatornya ketimbang partai-partai lain. Bahkan dibandingkan partai yang selalu mendaku diri sebagai partai intelektuil macam PSI yang dipimpin Sjahrir. Belajar Nakal (Lagi): Keluar dari Ketertiban “Politik Keluarga” Rupanya, usia “kemenangan” seni yang terlibat itu hanya bertahan satu dekade jika kita menghitung tonggaknya dari Pemilu 1955. Sepanjang 1955 hingga 1965 kejayaan seni sebagai ujung tombak propaganda politik dengan barisan panjang jargon yang diciptakan untuk mengomunikasikannya terjungkat dalam sebuah katasrofa yang mengerikan. Gestapu, Gestok, atau apa pun sebutan


10

malam jahanam 1 Oktober 1965 itu bukan saja menjadi tapal kejatuhan Sukarno, kehancuran PKI, dan para pemanggul ideologi kiri revolusioner, tapi juga mengubur mazhab “seni kerakyatan”. Seni propaganda yang sifatnya kolektif selama satu dekade menguasai wacana perupaan berganti wajah dengan seni propaganda yang lain. Sebut saja “seni individuil” dengan stabilitas pembangunan menjadi pengikatnya. Berkesenian boleh, tapi tak diperkenankan menyerempet ke dalam politik praktis dan mengusik stabilitas pembangunan. Proyek-proyek pembangunan patung monumental yang sudah berlangsung di era Sukarno tetap dilanjutkan, namun mengikuti tatanan wacana baru; pemurnian Pancasila yang dijaga tentara. Patung tentara dibikin. Bukan saja patung Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dibangun dengan gagah, semangat yang sama juga disebarluaskan di semua pelosok desa di seluruh Indonesia. Artefak keseragaman seni propaganda ala Garuda Pancasila ini masih bisa kita telisik dari pencarian Nanang R Hidayat di Museum Garuda, Yogyakarta (Hidayat, 2008). Si Tuan Besar yang tergambar dalam novel George Orwell 1984 bersembunyi di belakang kepakan sayap terbuka garuda untuk mengawasi seluruh keluarga di Indonesia. Keluarga? Ya, sasaran utamanya adalah kontrol pada keluarga. Maka dari itu, gapura “Garuda” di 80 ribu kampung sejak era 80-an selalu bersanding dengan “prasasti” 10 Program PKK dan patung KB (Shiraishi, 1997; Suryakusuma, 2013). Sementara itu sekitar 2 juta pegawai negeri dan aparatus birokrasi sejak 4 Juli 1978 diwajibkan ikut penataran hasil Sidang Umum MPR 1978 menyangkut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Situasi politik seperti itu yang menyuburkan lagi berkembangnya seni abstrak yang pernah hilang sebelum katasrofa berdarah 1965 meletus. Situasi semacam itu pula yang melahirkan “fenomena baru” kelahiran museum atau ruang seni yang bersandar

pada individu seperti Museum Affandi. Tepat di situasi yang “tenang”, “stabil”, dan “keluarga” sudah “dilindungi” ini pula lahir letupan-letupan kecil dalam kelambu tidur seni rupa Indonesia. Sebut saja Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1974 yang dikenal juga dengan “Desember Hitam” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Isu pameran yang diinisiasi mahasiswa-mahasiswa dari Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI Yogyakarta, Sekolah Tinggi Seni Indonesia ITB, dan LPKJ Jakarta itu awalnya merupakan respons keras dari penjurian “lomba” seni lukis yang “itu-itu saja” dan “biasa-biasa saja”. Isu "Desember Hitam" menjadi besar lantaran yang menampik seni eksperimental adalah mereka yang memegang kekuasaan kesenian dan yang punya hak memegang kendali. Harapan pernyataan “Desember Hitam”, sebagaimana termaktub dalam lima butir, adalah diberi ruang bagi munculnya kreativitas-kreativitas baru. Sebab mereka melihat bahwa yang menghambat perkembangan seni lukis Indonesia selama ini adalah “konsep-konsep usang, yang masih dianut establishment, pengusahapengusaha seni budaya dan senimanseniman yang sudah mapan.” Karena itu “Desember Hitam” datang ingin menegur dengan mempurnawirawankan kaum establish seni rupa. (Supangkat, 1979) Tiga tahun berselang, apa yang terjadi di Jakarta itu merembet ke Yogyakarta; kota yang pernah jadi ruang penangkaran “seni yang terlibat” dan “seni bertendens” yang terkubur tahun 1965. Pameran Pipa pada 1 Spetember 1977 adalah nota protes telanjang terhadap prinsip kesenian dalam pola yang mapan. Mereka menamakannya "pameran proses" karena yang dipamerkan serba tak siap. Ke-17 mahasiswa ASRI yang terlibat merasa bosan dengan bentuk yang sudah siap. Kita tahu bahwa pada periode ini pencarian bentuk-bentuk seni rupa yang dianggap secara paling tepat mewakili representasii indentitas keindonesiaan secara budaya maupun politik sudah demikian “stabil”,


MAKNA MERDEKA DIANTARA KITA..

11

Bulan Agustus selalu disambut dengan gegap gempita oleh banyak kalangan di Indonesia. 70 tahun kemerdekaan RI menjadi tema di banyak acara, mulai dari acara televisi sampai perlombaan di tingkat kampung. Sekilas kita bisa melihat perayaan ada di sekitar kita, namun beberapa pernyataan di bawah ini menunjukkan, bahwa merdeka tidak sebatas perayaan dan upacara. Veri Cahyono, wiraswasta

Herlambang, Satpam Kampus USD Mrican

“Makna kemerdekaan bagi saya adalah meneruskan perjuangan para pejuang yang membela tanah air.” (Veri Cahyono, wiraswasta) “Kemerdekaan itu untuk pemerintah, bukan untuk kita. Itu pendapat saya. Kemerdekaan yang ada saat ini, ibarat bus, tapi sopirnya tidak bisa mengendalikan bus.” (Herlambang, Satpam kampus USD Mrican)

Sri Pegiat Agraria

Reni Dwi Jayanti Ibu Rumah Tangga

“Merdeka adalah momentum merawat harapan di tengah keputusasaan, mengupayakan lagi kemerdekaan manusia dari dehumanisasi tanpa perlu proklamasi.” (Sri, Pegiat Agraria) “Merdeka itu jika kebutuhan pokok tidak naik harga, sehingga masih punya sisa uang belanja untuk merawat diri dan shoppingshopping.” (Reni Dwi Jayanti, Ibu Rumah Tangga) “Kemerdekaan adalah belajar!” (Davian, siswa kelas 2 SD Timuran)

Davian, Siswa Kelas 2 SD Timuran

Tiara Putri Saraswati Pelajar SMK Piri

“Makna Kemerdekaan adalah menjadi diri sendiri dan tidak mengambil hak orang lain.” (Tiara Putri Saraswati pelajar SMK Piri)


12

“teratur”, “tertata”. Gaung perdebatan di masa sebelumnya yang mempertanyakan apakah "seni lukis Indonesia ada", segera diikuti oleh pencarian keras kepala para pelukis yang ingin menempatkan corak tertentu dalam seni lukis di Indonesia sebagai salah satu gaya dan corak visual utama dan gaya seni lukis dekoratiflah yang cukup subur berkembang di Yogyakarta. Representasi gaya ini bahkan berhasil memunculkan langgam khas yang dianggap sebagai salah satu puncaknya, populer dengan istilah "dekora magis". Pengkanonan seni lukis di lingkungan akademis inilah yang telah memicu munculnya semangat pembangkangan kelompok "Pipa". (Wiyanto, 1979)

terpingit dan dijepit kekuasaan “keluarga baik-baik”. Dalam konteks hampir sama dengan kemunculan GSRB '74 pula kita memosisikan parade protes Binal Jogja '94. Peristiwa seni yang dikelola antara lain Dadang Christanto dengan salah satu bintangnya paling bersinar Heri Dono, merupakan kritik keras ekspresi seni dua dimensi yang “direstui” dalam acara dua tahunan peristiwa seni rupa di Yogyakarta. Praktik seni instalasi yang masih “dalam proses” saat pameran Pipa '77 dan '79 termatangkan dengan hadirnya perayaan protes Binal '94 yang sekaligus mengaburkan medium seni konvensional dan menjadi jalan masuk bagi lahirnya medium baru jelang alaf baru tiba.

Memasuki tahun 1980-an atau masa konsolidasi kekuasaan sedang mengalami massifikasi dengan penyeragaman ideologi negara, letupan-letupan seni rupa hanya bekerja di ranah melakukan kritik dalam lingkup seni rupa itu sendiri. Perayaan seni dan politik berlangsung secara sporadis di luar kampus; namun lebih dominan bergerak dalam lingkup kampus. Efek menihilkan politik dalam kampus lewat program agung “NKK/BKK” tahun 1978 sampai di titik ini sukses. Pembangkanganpembangkangan ekspresi berkesenian, biarpun muncul, sedapat mungkin dilokalisasi dalam kampus. Jika pun sampai keluar, biarlah Angkatan Darat yang “mengurusnya”. Moelyono yang merupakan “alumni” dari Pipa '77 dan '79 mencoba melebarkan eksperimen berkeseniannya ke luar kampus dengan membawa bendera “seni rupa penyadaran”. Ia mencoba sekuat yang bisa dilakukan untuk menyatakan bahwa “seni yang terlibat” adalah menyatunya seniman dan masyarakat dalam sebuah kerja bersama. Apa yang dilakukan Moelyono sedikit demi sedikit mengeluarkan seni rupa dari dinding kampus ke lingkup pedesaan. Walau atas nama kerja individu dan bukan kolektif, sikap berkesenian Moelyono itu bisa kita catat sebagai sebuah pernyataan penting bahwa mesti berani mengatakan “tidak” pada kehidupan berkesenian yang

Kembalinya Seni Pamflet: Dua Jalan di Tembok Kota Seni rupa kerakyatan memang tak pernah kehabisan peminat di Yogyakarta. Bukan saja karena di kota ini pertama kali genre seni ini diproklamasikan dan diekspresikan sedemikian keras kepalanya S. Soedjojono dkk sejak medio dasawarsa 1930-an, melainkan juga imajinasi tentang seni berbasis publik diujicobakan berkali-kali dengan beragam artikulasinya di masa ketika seni kontemporer menguasai jagat berkesenian Yogyakarta. Mulai dari “kiritengah” seperti yang dipraksiskan Samuel Indratma dengan proyek Jogja Mural Forum (JMF) yang mengusungi jargon politik dengan riang gembira: “revolusi kulonuwun” hingga “kiri-dalam/progresif” seperti yang dipraksiskan Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi dengan tangan terkepal meninju langit yang bersemangat “revolusi belum selesai” sebagaimana dipraktikkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) puluhan tahun sebelumnya. Imaji tentang posisi gerak seni Taring Padi yang bersandar pada kerja Lekra itu sudah tercium sejak pertama kali dideklarasikan pada 2 Desember 1998 di LBH Yogyakarta oleh Yustoni Volunteero dkk, sejak dalam proses menamai manifesto politik berkeseniannya dengan “Mukadimah” dan judul selebaran propaganda tentang siapa


13

musuh yang harus ditonjok: “Lima Iblis Budaya”. Dalam genealogi sejarah seni rupa kritis pasca Orde Baru, tak bisa dibantah bahwa Taring Padi adalah “pewaris sah” imajinasi seni rupa seniman Lembaga seni Rupa (Lesrupa/Lekra) yang terakhir kalinya mengadakan sidang pleno pada Juli 1965 dan semua program-program seni kerakyatannya sungsang oleh prahara “Gestok”. Taring Padi dalam posisi ini tak boleh dicibir sebagai “cah nakal” ISI lantaran kemunculan mereka dengan posisi tegas dan imajinasi sejarah yang juga tak kalah tegasnya. Heidi Arbuckle (2010) dalam kajian antropologisnya dengan sangat baik membantu kita melihat detail-detail sikap berkesenian Taring Padi pada tiga tahun awal berdirinya. Bahkan hingga pada amatan kehidupan sehari-hari aktivisnya: “di bekas kampus ASRI, Gampingan, Yogyakarta… mereka berbagi tugas-tugas harian seperti memasak, mencuci, dan merawat kebun sayur swadaya”. Menurut Doktor lulusan Universitas Melbourne Australia ini dalam pengorganisasian seninya, Taring Padi tak sementereng Lekra, dan bahkan jika dibandingkan dengan Sanggar Bumi Tarung sekalipun. Ini disebabkan karena Taring Padi sama sekali tak memiliki akses atau patron negara dan partai seperti yang dimiliki pendahulunya. Untuk mempraktikkan produksi seni ber”komitmen sosial”, Taring Padi hanya mengandalkan jejaring budaya kiri-progresif yang terpecah-pecah.

Tanda tangan desember hitam gerakgeraksenirupa.wordpress.com


14

“Pernyataan Desember” hitamgerakgeraksenirupa.wordpress .com

Kepada jaringan nirnegara dan partai politik itulah Taring Padi mendesakkan praksis berkeseniannya yang berangkat pada “kesadaran populer” dan pentingnya “berpihak kepada rakyat” (bandingkan dengan kata “rakyat” yang dipakai Taring Padi, sementara Apotik Komik dan JMF yang justru lebih “nyaman dan baik-baik saja” memakai kata “publik”). Taring Padi sangat sadar bahwa “seni untuk rakyat” adalah gabungan yang konsisten antara karya yang politis dan tindakan yang politis. Yang diutamakan dari teori progresif anutan Taring Padi ini adalah implikasi politik, bukan implikasi estetiknya. Lantaran itu kita menemukan teknik memproduksi karya Taring Padi sebangun dengan sikapsikap itu. Selain mengabaikan penonjolan individu, kebanyakan karya rupa Taring Padi berupa baliho atau spanduk, poster cukil-kayu, figur-figur wayang, dan selebaran populer Terompet Rakyat yang terbit berkesinambungan di mana kerja-kerja itu lebih menonjolkan kerja kolektivitas dan propaganda yang “berimplikasi politik”. Turba atau “turun ke bawah” kemudian menjadi kata kunci berkarya. Turba yang ditafsir Taring Padi adalah menggelar aksi-aksi bersama. Bukan hanya bersama organisasi mahasiswa dalam kasus pembakaran patung Soeharto 1998 dan aksi keranda kematian bagi Soeharto-HabibieWiranto 1999; berbaur dengan kelompok musik marjinal dalam aksi “Proklamasi Kemanusiaan”, bareng LSM internasional dalam Konferensi Asia Pasifik; melainkan juga menggelar Festival Memedi Sawah di areal persawahan petani Delanggu dan aksi protes


15

penggunaan pestisida petani Magelang dan Boyolali atau yang paling mutakhir bergabung dengan rakyat Gunung Kidul memprotes penambangan pasir besi. Dalam aksi-aksi itu, poster dan baliho Taring Padi menjadi demikian menonjol. Tak hanya besarnya ukuran, massalnya produksi, tapi juga kata-kata sarkas yang meninju. Bahkan, salah satu karya para perupa Taring Padi yang saya kira bisa menjadi ikon seni rupa adalah baliho berukuran raksasa petani berdiri berjajar-jajar yang menjadi latar pertemuan Konferensi Asia Pasifik pada 1999. Usai pagelaran kelompok anti imperialisme dari pelbagai ornop itu, karya ini dipotong-potong dan dibagikan kepada peserta asing yang mengikuti konferensi itu. Ritus upacara “pelenyapan karya politis untuk tindakan politis” atas karya itu sikap luar biasa, dan bahkan tak setara jika dibandingkan dengan perupa Tisna Sanjaya misalnya yang pada penutupan tahun 2009 membakar karyanya sendiri untuk dilarung di pantai Klungkung Bali. Memang, ada pergeseran prinsip kemudian saat Taring Padi mengarungi politik liberal sejak Bapak Soeharto tumbang. Mulanya, Taring Padi meneguhkan pendirian bahwa mereka menentang secara muka-muka dengan galeri-galeri komersil seperti Cemeti Art House dan kelompok Apotik Komik. Taring Padi juga berpendirian bahwa karya-karya “asli” mereka seperti baliho dan wayang sama sekali tak boleh dijual. Yang boleh dijual—itu pun secara loakan dan bukan distro mapan dan resik—hanyalah karya yang mudah direproduksi seperti cukil berbentuk poster, stiker, pin, kaos, dan semua-mua yang bersifat cinderamata. Tapi politik liberalisme yang membuai membuat Taring Padi melonggarkan prinsip-prinsip yang dibuatnya. Para pendirinya (sudah) boleh berpameran di galeri-galeri yang dikutuknya. Juga (sudah) si setan imperialisme yang berzirah Ford Foundation boleh menjadi sponsor buku sejarah lengkap yang memuat perjalanan panjang berkesenian Taring Padi. Pada saat posisi Taring Padi bergeser, posisi seni yang dipundaki Jogja Mural Forum dan Apotik Komik mendapat tempat di dinding-dinding kota. Makin membesarnya pewacanaan street art memiliki persinggungan dengan semangat yang dibangun JMF; bukan saja merebut ruang publik (baca: tembok kota), namun juga membangun simpul-simpul komunitas yang memiliki komitmen yang sama lewat anugerah media sosial pemberian abad 21. Sebagaimana di era liberalisme pertama (50-an), sejak 2014 hubungan seni(man) dan politik melentur dan bahkan berada dalam satu meja jamuan makan dengan tertawa sebebasnya. Hubungannya tak lagi semerunduk di era ketika politik “keluarga baik-baik berkuasa” atau menjaga “jarak” sebelum lonceng perhelatan Pemilu 2014 dibunyikan Komisi Pemilihan Umum (KPU).


16

SENI DAN PROPAGANDA PADA ZAMAN JEPANG Antariksa, peneliti pada KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta. Karya terbarunya Art Collectivism in the Japanese-Occupied Indonesia akan terbit tahun depan (Fukuoka: Kyushu University Press, musim panas 2016).

Saseo Ono “Barisan Propaganda Bekerdja�, 1945 (Koempolan Gambar-Gambar Ono Saseodalam Mengikoeti Perang di Djawa. Sendenbu & Djawa Shimbun Sha, 1945).

Selama Perang Asia Pasifik (1937-1945) pemerintah Jepang menjalankan beragam taktik guna memobilisasi manusia dan sumber daya material bagi kampanye militer dalam skala yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Jepang. Organisasi-organisasi kedaerahan, asosiasi profesi, dan unitunit baru yang memungkinkan mobilisasi bantuan dan keterlibatan warga dalam perang didirikan. Seni juga dilibatkan dalam proyek ini. Organisasi-organisasi seni di Jepang, yang merupakan alat penting dalam memenuhi kepentingan seniman dan menghidupkan dunia seni, kini menjadi alat penting dalam melayani proyek negara, dan pada saat yang sama organisasi-organisasi seni baru yang bersifat patriotik juga tumbuh menjawab keadaan darurat negara yang diciptakan oleh militer. Situasi yang sama juga terjadi di negara-negara yang dikuasi Jepang. Di Indonesia, kedatangan Jepang berlangsung relatif


17

damai dan disambut orang Indonesia dengan suka cita, karena ada anggapan umum bahwa Jepang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Segera setelah berhasil menguasai Sumatera dan Jawa pada bulan Februari dan Maret 1942, Jepang meluncurkan proyek propagandanya yang pertama (Tiga A: Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia) dan membentuk Departemen Propaganda (Sendenbu). Organisasi-organisasi propaganda lebih khusus yang bergerak melalui radio, film, surat kabar, dan seni menyusul dibentuk, beberapa di antaranya adalah Jawa Hōsō Kanrikoru (Biro Pengawas Siaran Jawa), Jawa Shinbunkai (Perusahaan Surat Kabar Jawa), Nihon Eigasha Nichi'ei (Perusahaan Film Jepang), dan Jawa Engeki Kyōkai (Perserikatan Usaha Sandiwara Jawa). Dua organisasi lain dengan skala mobilisasi yang lebih luas dibentuk pada 1943: PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dan Keimin Bunka Shidōsho (Institut Pemandu Pendidikan dan Budaya Rakyat, atau disebut juga Pusat Kebudayaan). Para ahli, penulis, dan seniman terkemuka Indonesia terlibat di dalam organisasiorganisasi tersebut, misalnya Affandi, Sudjojono, Agus Djajasoentara, Oto Djajasoeminta, Barli, Hendra Gunawan, Emiria Soenasa, Basuki Abdullah, Oetojo, dan Armijn Pane (dokumen Jawa Gunseikanbu [Departemen Pemerintahan Militer Jepang di Jawa] menyebut 26 nama seniman terkemuka yang terlibat dalam proyek perang Jepang di Jawa). Mereka ini bekerja bersama lebih dari 100 orang ahli dan profesional terkemuka dari Jepang yang dikirim untuk tinggal dan bekerja di Indonesia, misalnyaTakashi Kono (desainer grafis), Rintaro Takeda (sastrawan), Seizen Minami (pelukis), Saseo Ono (karikaturis), Sōichi Ōya (penulis, wartawan), Eitarō Hinatsu (sutradara film), Miyamoto Saburo

(pelukis), dan Ryōhei Koiso (pelukis). Ada beberapa alasan mengapa senimanseniman terkemuka ini terlibat dalam proyek propaganda perang Jepang. Di Indonesia, keberhasilan Jepang bernegosiasi dengan Sukarno, dan kemudian melibatkan Sukarno serta tokoh politik kunci Indonesia lainnya dalam organisasi-organisasi propaganda Jepang, tampaknya merupakan salah satu alasan bergabungnya para seniman dalam proyek perang Jepang. Paksaan dan ancaman bukannya sama sekali tidak digunakan. Contohnya, Di Jepang dua tokoh surealis Jepang Takiguchi Shūzō and Fukuzawa Ichirō ditangkap pemerintah pada 1941 dengan tuduhan terlibat komunisme. Tekanan terhadap organisasi yang mereka pimpin, Bijutsu Bunka Kyōkai (Perkumpulan Seni Rupa dan Budaya), baru mereda ketika para anggotanya menyatakan akan mengubah panduan artistik mereka dan akan bertindak lebih aktif dalam programprogram kerjasama dengan pemerintah. Studi Sakouchi Yūji tentang material seni pada masa perang yang dimuat di jurnal Kindai gasetsu (No. 13, Februari 2004) juga memberikan penjelasan baru soal keterlibatan para seniman pada proyek perang. Masa paling berat bagi para seniman di Jepang adalah pada 1941, yaitu ketika material seni sedemikian terbatas, disebabkan oleh sanksi ekonomi atas Jepang dijatuhkan Amerika Serikat dan sekutunya. Sejak 1941, para pelukis cat minyak atau yōga (lukisan gaya Barat) hanya bisa mendapatkan kanvas dan cat minyak berkualitas rendah, sementara pelukis gaya tradisional Jepang atau Nihonga juga menderita lantaran keterbatasan pasokan kain sutra, emas dan pigmen mineral. Dalam situasi tidak menentu ini, keterlibatan dalam proyek perang menjadi salah satu alat paling menjanjikan bagi para seniman untuk bisa mendapatkan meterial seni. Dalam


18

Mural karya Saseo Ono di Serang, Banten, 1942 (arsip koleksi Kosei Ono).

upayanya mendapatkan pasokan material seni dari pemerintah, para seniman terlibat dalam tawar-menawar kolektif, menunjukkan dukungan mereka pada perang melalui penyelenggaraan pameran-pameran patriotis dan menyumbangkan karya seni kepada intitusi-institusi militer. Di Indonesia, Jepang menyediakan cat minyak, kanvas, studio, dan bahkan model secara cuma-cuma bagi seniman Indonesia yang bergabung dengan proyek Jepang. Kursus-kursus melukis bersama guru-guru Jepang dan pelukis terkemuka Indonesia diselenggarakan di berbagai kota. Begitu juga pameran, lomba, dan pemberian penghargaan. Semua keistimewaan dan kemewahan itu, yang selama masa pendudukan Belanda hanya bisa dinikmati oleh seniman dan kelompok teratas dalam masyarakat, kini bisa diperoleh cuma-cuma. Tidak mengherankan bahwa selama periode singkat pendudukan Jepang, terjadi ledakan jumlah seniman di Indonesia. Dari para seniman Jepang, seniman Indonesia juga mempelajari banyak gaya dan teknik baru dalam membuat karya seni. Saseo Ono umpamanya, memperkenalkan mural kepada seniman-seniman Indonesia. Pada bulan Maret 1942, tiga hari setelah mendarat di Jawa, dia membuat mural “Bersatulah Bangsa Asia� di Serang, Banten. Saseo juga


19

mendorong seniman-seniman Indonesia untuk belajar membuat sketsa cepat di luar ruangan, memperkenalkan teknik animasi stop motion (misalnya dalam film berita tentang propaganda menabung, 1943) dan juga teknik pembuatan film boneka (Pak Kromo, 1943). Contoh lainnya adalah Takashi Kono. Selain menjadi pengarah desain untuk sejumlah media massa di Indonesia, dia juga memperkenalkan teknik kolase dan montase pada desain dan fotografi kepada seniman-seniman Indonesia.

Saburo Miyamoto “Surprise Attack of Naval Paratroops at Manado� 1943, cat minyak di atas kanvas, 189 x 297 cm (National Museum of Modern Art, Tokyo).

Di luar alasan-alasan itu, cukup banyak pula profesional dan seniman yang bergabung dengan proyek perang Jepang secara sukarela, yaitu kelompok yang percaya kepada cita-cita perang: menyatukan dan memodernkan Asia adalah tugas mulia Jepang yang harus dicapai. Tidak jarang mereka membiayai sendiri perjalanan mereka ke negara-negara dudukan Jepang, dan memilih menetap bahkan ketika Jepang telah menyerah. Contohnya Mabuchi Itsuo dan EitarĹ? Hinatsu. Mabuchi adalah salah satu figur penting dalam propaganda perang Jepang. Dia anggota pasukan intelejen Jepang di China. Sejak 1937 dia mengendalikan propaganda sipil dan militer Jepang di China, dan sejak 1938 dia juga bekerja sebagai penulis dan wartawan. Pada akhir perang dia dikirim ke


20

Indonesia untuk membantu merancang aktivitas propaganda. Ketika Jepang menyerah, Mabuchi memilih menetap di Indonesia dan bekerja bersama tentara Indonesia dalam perang melawan pasukan Sekutu. EitarĹ? Hinatsu juga memilih menetap di Indonesia setelah Jepang menyerah. Dia tetap berkarya sebagai sutradara film dan drama, dan menggunakan nama Indonesia Dr. Huyung. Dia menetap di Yogyakarta, mendirikan Cine Drama Institut pada 1948 dan Stichting Hiburan Mataram pada 1949. Beragamnya alasan keterlibatan seniman pada proyek perang menunjukkan kerumitan hubungan seni dan propaganda, berbeda dengan pemahaman Barat yang cenderung menyederhanakan, melihat negatif hubungan propaganda dan seni, dan cenderung melihatnya sebagai mesin yang bergerak satu arah: yang pertama mengendalikan yang kedua, propaganda perang menguasai seni sepenuhnya. Pemahaman negatif atas hubungan seni dan propaganda yang sebenarnya baru terbentuk sejak dimulainya Perang Dunia II itu—yang terutama dibentuk oleh militer Amerika Serikat—gagal melihat kerumitan, tegangan, dan pasang-surut hubungan seni dan propaganda Jepang. Meskipun militer Amerika Serikat menyadari kemampuan luar biasa Jepang dalam memobilisasi warganya dan warga negara-negara yang didudukinya (khususnya mereka mengagumi sedikitnya penggunaan teror dan paksaan), tetapi mereka tidak berhasil memahami jiwa dan cara kerja propaganda Jepang. Kajiankajian Amerika atas propaganda Jepang pada awal 1940-an terpusat pada stereotip sifat masyarakat Jepang dan kebudayaan Timur sebagai masyarakat bermental budak yang sepenuhnya mengabdikan hidupnya kepada raja. Dalam konteks sejarah Jepang, besarnya pengaruh Kekaisaran ShĹ?wa (dimulai sejak 1926) memang perlu diperhatikan. Begitu juga besarnya pengaruh para pemimpin nasionalis pada 1940-an di

Indonesia. Akan tetapi hal itu tidak perlu dibesar-besarkan dan mesti diletakkan pada konteksnya. Propaganda Jepang bisa bekerja secara efektif bukan saja karena ia bisa menyampaikan pesan yang tepat kepada masyarakat, melainkan juga seringkali propaganda itu berasal dari masyarakat (dalam teori propaganda Jepang, sifat ini disebut minshin haaku, propaganda yang bisa merengkuh hati dan jiwa masyarakat). Di Jepang, pada masa perang, proposal dan saran untuk meningkatkan mutu produk propaganda datang dari segala penjuru negeri, dan dari segala jenis organisasi. Agen-agen periklanan dan rumah produksi swasta menghujani pemerintah dan militer dengan proposal untuk membantu mereka membuat propaganda yang lebih baik dan menaikkan tingkat mobilisasi massa. Tanpa mengesampingkan adanya gerakan-gerakan bawah tanah perlawanan terhadap Jepang di Indonesia, inisiatif propaganda yang berasal dari masyarakat juga merebak di seluruh penjuru negeri. Seni dan propaganda pada masa pendudukan Jepang di Indonesia bisa dikatakan berada dalam hubungan yang saling membutuhkan. Jepang melihat para seniman sebagai sarana untuk memobilisasi dukungan rakyat Indonesia bagi tujuan perangnya, sehingga kesepakatan-kesepakatan tertentu dengan mereka harus dibuat agar mereka tetap dalam barisan pendukung. Sementara bagi para seniman Indonesia, organisasi-organisasi propaganda Jepang merupakan sarana untuk menyebarkan dan mengintensifkan ide-ide nasionalis dan kemerdekaan kepada masyarakat, mendapatkan akses material, fasilitas, dan pengatahuan seni baru, serta menyadarkan mereka pada kekuatan seni dan kolektivitas dalam dunia politik—suatu kesadaran yang kelak menjadi lakon utama dalam babak sejarah seni di Indonesia selama dua dasawarsa berikutnya.


21

NGOPI BERSAMA DIREKTUR ARTISTIK

Rapat panitia Fe, dengan tim Yogyatorium persiapan koalisi cakrawala

Di bulan Juli, jelang hari Raya Idul Fitri hingga beberapa hari setelahnya, warga kota Jogja disibukkan dengan tradisi dan ritual yang dilakukan bersama keluarga dan teman terdekat. Selama beberapa hari tersebut, aktivitas kerja juga mendapatkan jedanya, tak terkecuali tim kerja Biennale Jogja XIII. Di sela-sela aktivitasnya dalam menjalani tradisi ini, Rain Rosidi (Direktur Artistik BJ XIII) sempat berbagi cerita seputar persiapan Festival Equator yang dilakukan bersama tim. Dengan ditemani kopi dan sore jelang senja, Rain Rosidi menjelaskan bahwa Festival Equator merupakan aktivitas kesenian yang tersebar di beberapa lokasi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival ini diselenggarakan dengan memberikan bentuk inovasi dan sentuhan baru terhadap apa yang sudah dilakukan oleh warga, termasuk festival rakyat dan aksi seni komunitas. Festival yang akan dihelat pertama diberi tajuk “Festival Literasi Selatan.� Fokus utama dari festival ini dirumuskan dalam tema “Emansipasi dalam Kebudayaan dan Ritus sebagai Pengetahuan.� Dua hal yang coba dirayakan dalam festival ini, yang pertama ialah memberi ruang bagi praktik-praktik literasi yang mandiri dari berbagai latar identitas tertentu. Yang kedua adalah memanggungkan praktik-praktik ritual yang ada dalam masyarakat sebagai bagian dari praktik literasi warga. Selain itu acara juga akan mengakomodasi isu Asia dan Afrika melalui kajian sastra dan film. Acara ini akan diselenggarakan di Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul, bekerja sama dengan Radiobuku. Radiobuku sendiri merupakan sebuah media dan ruang kerja yang berbasis pada literasi dan dokumentasi, meliputi bidang perbukuan, sejarah dan sastra. Radiobuku kemudian membukakan pintu untuk bekerja sama dengan komunitas dan warga yang berada di sekitar lokasi Radiobuku. Dalam Festival Literasi Selatan ini, tim


22

Kunjungan tim FE ke Desa Giri Peni, dalam mempersiapkan pelaksanaan Festival Tanah bersama komunitas setempat

FE juga bekerja sama dengan komunitas dan perseorangan seperti Bunda Kata, Kesenian Dukuh Geneng, Yantra, Kelompok Kretek, Kine Klub, Pojok Budaya, RKSD, Isrol Media Legal, dan Genmorion Pemuda Jogoripon. Acara ini akan diselenggarakan pada tanggal 1 sampai tanggal 3 Oktober 2015. Festival kedua yang bertajuk Festival Tanah, berlokasi di Desa Giripeni, Kecamatan Wates, Kabupaten, Kulonprogo. Desa dengan kultur bertani yang kental ini memiliki tradisi wiwitan atau festival rakyat sebagai perayaan pasca panen. Acara ini akan dimaksimalkan dengan memberi sentuhan berbeda melalui kerja kolektif antara warga (kelompok tani) dengan kelompok seniman dan aktivis lingkungan. Yang menjadi sasaran dari tema ini ialah persoalan kontekstual masyarakat dalam memaknai tanah, melalui model kerja estetik yang dipahami bersama warga. Ragam acara yang sudah dipersiapkan berupa pementasan, perakitan karya di tengah persawahan serta ritual bersama. Kelompok Kesinian, sebuah kelompok kesenian yang berbasis di Kulon Progo akan menjadi motor penggerak dari acara ini. Acara yang akan diselenggarakan di tengah kawasan persawahan yang menjadi salah satu basis lumbung padi di Yogyakarta ini akan berlangsung di bulan Oktober 2015. Festival Ketiga dinamai dengan Koalisi Cakrawala. Festival ini melihat budaya populer yang ada di masyarakat sebagai salah satu agen penting dalam membangun identitas konsumen, pengguna, audience atau kolektornya. Fokus dari perayaan ini akan diletakkan pada para konsumen dan praktik budayanya. Festival yang akan diselenggarakan di Yogyatorium ini akan melibatkan komunitas pengguna produk disain, fans musik, kolektor tato, kolektor mainan, dan sebagainya. Beberapa komunitas yang terlibat adalah kelompok disain, kelompok urban toys, street artist, musisi, dan sebagainya. Acara ini akan diselenggarakan pada tanggal 7 November 2015. Sementara festival lain yang akan berfokus pada dinamika perkembangan seni rupa, termasuk perkembangan estetika dan pendidikan seni, akan diadakan dalam bentuk pameran dan pementasan. Penyelenggaraan acara ini akan bekerja sama dengan lembaga pendidikan seni di Yogyakarta.


23

MELIHAT INTERVENSI DALAM KERJA SENI PARTISIPATORIS CATATAN AWAL DARI PROGRAM PARALLEL EVENT BJ XIII HACKING CONFLICT! 2015 Hendra Himawan (Tim Artistik PE dan FE BJ XIII)

Bukan sekedar pengiring pameran utama, program Parallel Event (PE) Biennale Jogja XIII penting keberadaannya untuk melihat keragaman dinamika praktik dan wacana seni kota berikut pelakunya. Program ini sekaligus merangkul peran aktif pelaku seni lokal dalam menangkap gagasan dan wacana besar dari Biennale Yogyakarta seri Ekuator. PE BJXIII adalah sebuah program penciptaan proyek seni yang dilakukan secara berdikari, yang menekankan gagasan dan praktiknya pada kerja seni berbasis komunitas. Tentu yang menjadi tantangan bukan sekedar mengolah isu menjadi karya seni, pelibatan publik, atau bekerja lintas disiplin, namun bagaimana setiap proyek seni yang diajukan mampu menyodorkan bentuk intervensi - interupsi dengan menyasar ruang-ruang sosial secara langsung serta memunculkan pertanyaanpertanyaan kritis terkait kondisi sosial yang melekat. Proyek Seni Komunitas: Dari Kerja Partisipatoris Menuju Intervensi Proyek Seni Komunitas dipilih sebagai sebuah kerangka kerja tafsir dari tajuk utama Biennale Jogja XIII – Hacking Conflict! Program ini bertujuan untuk merangkul seniman dan akademisi dalam menciptakan aktivitas seni berbasis komunitas dengan pelibatan publik yang lebih luas. Sementara Bertolak X

Bersanding menjadi kata kunci turunan yang digunakan dalam memilih objek kajian dan merumuskan modus perancangan kegiatan. Melalui tema ini juga diharapkan muncul beragam praktik penciptaan aktivitas seni sebagai praktik sosial, atau lebih tajam: sebuah gerakan sosial. Masalah mendasar dari 'praktik seni sebagai praktik sosial' berkutat pada bagaimana membaca dan merumuskan persoalan, memanggungkannya serta bagaimana proses itu akan dilakukan. Sepintas dari gagasan tersebut bisa kita katakan bahwa praktik ini bisa dirujuk pada aksi-aksi kerja seni yang sifatnya partisipatoris. Claire Bishop dalam Artificial Hells: Participatory Art and The Politic of Spectatorship, 2012, sudah memberi penjelasan panjang terkait dengan bagaimana seni partisipatoris ini mendefinisikan kecenderungannya; yang pertama ialah mensyaratkan pelibatan publik, kedua meluruhkan dominasi seniman sebagai pencipta tunggal, membangun paradigma seni nonhierarkis, sekaligus membangun kembali 'ikatan sosial' masyarakat. Di wilayah ini kemudian platform awal pelaksanaan Proyek Seni Komunitas menemui bentuk aksinya. Namun Bishop juga mengingatkan bahwa banyak kerja seni partisipatoris yang semata-mata merangkul publik, namun kehilangan sisi


24

politis dan daya provokasi. Karena melibatkan banyak orang, tak jarang menjadi abai dengan persoalan estetikartistik dan kehilangan kekuatan untuk menarik perhatian media. Persoalanpersoalan politis yang melingkupi praktik seni itu sendiri pun sumir. Sementara seni dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, sebab ada dimensi estetika dalam politik dan dimensi politik dalam seni. Praktik artistik memainkan peran dalam pembentukan dan pemeliharaan tatanan simbolik tertentu, atau untuk menantang tatatan simbolik tersebut. Dan inilah kenapa kerja seni partisipatoris memiliki dimensi politik yang penting. Maka dalam Proyek Seni Komunitas ini isu sesungguhnya adalah memunculkan tawaran cara dan bentuk seni yang kritis berikut praktik artistik yang beragam, yang mengarah pada sikap mempertanyakan hegemoni yang dominan. Memahami lebih mendalam gagasan Hacking Conflict! sebagai aras utama BJ XIII, kami melihat bahwa praktik kerja seni partisipatoris semata belumlah cukup untuk merujuk pada gagasan politis yang dimaksudkan. Mendasarkan pada gagasan Bishop, prinsip kerja partisipatoris memang mampu membawa kerja seni sebagai praktik sosial. Namun praktik kerja seni ini mempunyai wilayah rentan untuk terjebak dalam praktik nostalgia kerja komunal dan pretensi moralistik. Maka dalam hemat penulis, pandangan Bishop masih belum mencukupi untuk memahami alasan lebih besar di balik eksplorasi tersebut. Untuk mengisi lubang pemahaman praktik seni sebagai praktik sosial ini, kami menambahkan pandangan Chantal Mouffe yang dituangkan dalam artikelnya Artistic Activism and Agonistic Spaces, 2007. Gagasan Mouffe berpijak dari pemahaman bahwa arena sosial

merupakan situs untuk melakukan intervensi artistik. Ia berpandangan bahwa untuk memahami karakter politis dari beragam aktivitas seni tersebut kita harus melihatnya sebagai sebuah intervensi konter-hegemoni yang tujuannya untuk menguasai ruang publik dalam rangka melawan imaji dan ilusi yang ditanamkan secara halus oleh kekuatan kapitalis, dengan mengedepankan karakter represifnya. Ia menjelaskan bahwa, “Intervensi dalam ruang sosial diperlukan untuk merusak ruang imajinasi yang menumbuhkembangkan kapitalisme (baru), sekaligus sebagai bentuk oposisi terhadap sistem kapitalis yang dominan berikut gejala-gejala eksploitasi yang muncul. Dengan mengakui dimensi politiknya, intervensi seni semacam itu akan terlepas dari pemikiran bahwa aksi seni harus sepenuhnya lepas dari kekuasaan.� (Mouffe, 2008:1) Dengan mengikuti pemahaman Mouffe di atas, seniman hari ini tidak bisa lagi berpura-pura menciptakan karya avantgarde yang menawarkan kritik radikal. Mereka masih bisa memainkan peran penting untuk melawan kuasa hegemoni dengan cara menumbangkan kekuasaan tersebut serta membentuk subjektivitas baru. Pada kenyataannya, hal itu memang sudah menjadi tugas mereka, namun kita justru percaya yang sebaliknya akibat ilusi-ilusi yang dihembuskan mengenai posisi istimewa seniman di masyarakat. Dan jika ilusi tersebut diabaikan, kita akan bisa melihat bagaimana praktik seni kritis sesungguhnya mewakili dimensi penting dari demokrasi politik. Meskipun demikian, sebagaimana dipercayai oleh banyak orang, proses transformasi tersebut tidak dapat diwujudkan sendiri untuk nantinya menciptakan dasar bagi pembentukan hegemoni baru. Lebih


25

lanjut ia menyatakan dalam buku yang ditulis bersama suaminya, Ernesto Laclau yang berjudul Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics (2001), bahwa sebuah demokrasi politik yang radikal akan membutuhkan artikulasi dari berbagai tingkat perjuangan untuk menciptakan rantai keseimbangan diantara mereka. Agar 'posisi perang' tersebut bisa berhasil, maka hubungan dengan bentuk-bentuk intervensi politik tradisional seperti partai dan organisasiorganisasi lainnya tidak bisa dihindari. Dan pada akhirnya, akan menjadi satu anggapan yang salah ketika ada yang meyakini bahwa seniman aktivis dapat bergerak sendiri untuk mengakhiri hegemoni kuasa neo liberal! Landasan inilah yang kemudian diharapkan bisa menggiring gagasan dan praktik kerja dalam Proyek Seni Komunitas ini, dimana setiap proyek seni yang ada di dalamnya mampu mengarah pada bentuk praktik intervensi artistik di ruang publik, yang berakar dari kritisisme atas ruang sosial kehidupan sehari-hari. Sehingga aksi-aksi seni dalam program PE tidak lagi semata-mata tentang 'melibatkan publik', atau gagasan-gagasan nonhierarkis, melainkan bagaimana memanggungkan timpangnya sistem sosial dengan melakukan kerja-kerja seni melalui mode partisipatif dan kritik sosial, apapun bentuknya. Bertolak : Dari Sosialisasi Hingga Tawaran Gagasan dalam Proposal Dalam tujuan mengomunikasikan wacana yang digagas BJXIII Hacking Conflict! Pertemuan Indonesia dengan Nigeria, serangkaian sosialisasi program dilakukan oleh Tim Artistik beserta Tim Riset BJXIII ke beberapa kantong kesenian, institusi pendidikan, kampus seni dan umum. Sebagaimana yang digagas dari pertama kali penyelenggaraan Biennale Jogja Ekuator sebagai landasan praksis

kerjanya, PE hadir untuk menyisir beragam pandangan dari para pelaku seni di Yogyakarta sekaligus dinamika seni yang berlangsung di kota Yogyakarta. Program ini hadir menjadi ruang dialog untuk setiap lontaran gagasan mereka atas Biennale sekaligus merangkul mereka untuk ambil bagian di dalamnya dengan menjadi peserta dalam program Parallel Event ini. Selain komunitas seni, calon peserta program ini juga mengarah pada kelompok studi mahasiswa dan sivitas akademika. Keterlibatan kampus menjadi penting untuk membangun pemahaman bahwa seni bisa dilihat sebagai satu produksi pengetahuan yang tidak hanya 'terpusat' pada satu titik tertentu. Selain itu, hal ini penting sebagai sarana untuk membangun jejaring seni yang memiliki simpangan dengan produksi pengetahuan lainnya. Dari serangkaian sosialisasi yang dilakukan, tim kurator PE BJ XIII menerima respon yang memuaskan dengan masuknya 27 proposal dari komunitas seni, mahasiswa, dan organisasi swadaya masyarakat. Untuk melihat pemahaman, keterkaitan tema, dan kedalaman isu yang diangkat, maka para pelamar tersebut diundang untuk melakukan presentasi di hadapan tim kurator dan tim riset BJXIII. Poin penting yang digarisbawahi sekaligus yang menjadi dasar penilaian adalah rasionalisasi rancangan kegiatan dan potensi pengembangannya ke bentuk intervensi seni di wilayah publik. Tawaran Gagasan: Spektrum Tema dan Sebaran Isu Sebaran tema dan gagasan dari para pelamar sebagai penerjemahan tema sangat beragam. Hal-hal tersebut muncul sesuai dengan identitas dan potensi yang mereka miliki. Adapun tema dan gagasan yang mengemuka pada PE BJXIII adalah sebagai berikut :


26

1.

Praktik seni publik sebagai media penyadaran atas identitas kampung serta bagaimana menciptakan sebuah ruang untuk rekonsiliasi konflik antara mahasiswa pendatang yang tinggal di asrama daerah dengan warga lokal.

masyarakat dengan cara mengembalikan kampung sebagai 'mimbar' bagi setiap suara warga dan ruang resolusi konflik yang muncul di dalamnya. Dari sebaran tema dan rancangan proyek seni yang akan dilakukan, dapat dikatakan bahwa seluruh peserta menggunakan pendekatan kerja seni partisipatoris sebagaimana rambu-rambu dari PE BJXIII ini. Berangkat dari hal tersebut, yang menjadi catatan adalah bagaimana proses kerja ini akan dilakukan serta potensi pengembangan yang mengarah pada praktik intervensi publik. Untuk itu meski kerja dan aksi partisipatoris yang akan dilakukan menggunakan pendekatan simbolik, namun interaksi sosial menjadi bagian penting yang tidak bisa dilewatkan dari tawaran tema ini. Dengan menekankan pada interaksi antara pelaku seni dengan masyarakat yang terlibat, maka karya seni yang dihasilkan tidaklah semata menjadi kerja simbolik namun juga tindakan simbolik. Tindakan simbolik adalah tindakan yang lebih menekankan aspek komunikasi, atau aktivitas seni dalam arti yang sebenarnya. Ringkasnya, interaksi sosial menempati bagian tengah dan tak terpisahkan dari setiap karya seni yang terlibat secara sosial, dimana dengan itu dapat dilihat model dan bentuk intervensi yang akan dimunculkan.

2.

Isu sampah dan limbah dari kota yang merusak kawasan pertanian dan lahan produktif.

3.

Rancangan proyek seni sejarah perumahan sebagai upaya membangkitkan memori kultural masyarakat setempat.

4.

Gagasan untuk 'merebut' kawasan kota di sekitar hotel untuk dijadikan lahan pertanian kembali. Hal tersebut muncul sebagai respons atas hilangnya lahan produktif akibat pembangunan gedung untuk kepentingan usaha komersial dan lahan pertanian sebagai objek wisata.

5.

Membangkitkan memori masyarakat atas beragam konflik horizontal di kampung melalui penciptaan karya seni grafis dengan melibatkan masyarakat.

6.

Revitalisasi potensi kreatif masyarakat lokal dengan seni batik sebagai alternatif sumber ekonomi sebagai respon terhadap penambangan liar.

7.

Konservasi air bersih di kawasan Daerah Aliran Sungai Code ditengah ramainya isu lingkungan dan buruknya kualitas air tanah di kawasan kota.

Maka disinilah urgensi riset dari komunitas-komunitas yang akan terlibat dalam PE, pun terhadap rekam jejak riset yang mereka lakukan, atau meminjam istilah Bishop – dokumentasi dari tindakan yang telah dilakukan untuk menunjukkan bagaimana 'strukur' kerja seni ini berlaku. Tak kalah pentingnya adalah pendalaman atas akar persoalan yang ingin digali dari partisipan yang 'dilibatkan' dalam pembuatan karya.

8.

Festival kampung untuk mendekonstruksi cara berfikir kita tentang konflik di

Setelah melihat sebaran tema dan rancangan proyek seni yang akan dilakukan, maka rumusan sementara yang


27

menjadi garis praksis kerja Proyek Seni Komunitas - PE BJXIII adalah sebagai berikut; 1.

Setiap peserta akan menciptakan ruang untuk menjalankan proses dan aktivitas kerja seni mereka. Ruang yang dimaksudkan bisa berarti ruang fisik ataupun aktivitas komunal yang mengintervensi ruang sosial publik.

2.

Karya yang diciptakan meliputi seluruh kerja seni yang akan dilakukan, mulai dari penelitian, perancangan model kerja dan pelaksanaan proses kreatif bersama dengan partisipan. Praktiknya meliputi workshop kunjungan, pembuatan dokumentasi, hingga presentasi karya dalam wujud pameran. Karya mereka nantinya berupa segala hal atau setiap mekanisme yang memungkinkan proses eksplorasi kreatif dan refleksi ini dijalankan.

3.

Gagasan dan karya yang dilontarkan mempunyai daya politis yang mampu memprovokasi pemikiran dan menunjukkan model-model intervensi artistik di ruang sosial masyarakat sehari-hari.

Poin-poin di atas ini sekaligus menjadi acuan dalam penyusunan model pendampingan yang akan dilakukan oleh Tim Artistik dan Tim Riset BJXIII pada peserta PE ketika proyek mereka dijalankan. Bersanding : Membayangkan Pendampingan Sesuai dengan rancangan awal program ini, setiap komunitas akan memulai proses kerjanya dengan merumuskan

kembali isu dan visi dari kerja seni yang akan dilakukan bersama dengan tim kurator. Pendalaman materi dan penajaman isu akan dilaksanakan dengan serangkaian FGD dan workshop dengan beberapa praktisi seni yang banyak melakukan aksi seni berbasis komunitas. Dalam workshop ini nantinya akan dirumuskan serangkaian strategi pendekatan dan model intervensi artistik kepada publik. Kemudian setelah itu para peserta akan mulai menjalankan proyek seni di lokasi yang sudah dipilih. Setelah proses berjalan mereka akan melakukan presentasi awal (progres report) di kampung atau di kawasan yang sudah dipilih dengan menampilkan karya-karya yang sudah dibuat atau yang masih dalam proses (work in progress), dilanjutkan untuk presentasi terbuka di ruang akademis. Hal ini dilakukan selain untuk melihat jalannya proses, juga untuk evaluasi–evaluasi awal dari proyek seni yang sudah dilakukan. Selain itu juga untuk membangun dialog lintas disiplin pengetahuan, agar setiap kerja seni yang dilakukan tidak berhenti sebagai karya namun juga menawarkan wacana pemikiran baru. Setelah proses ini, hasil akhir seluruh rangkaian proses pelaksanaan proyek seni akan dipamerkan dalam satu ruang bersama untuk melihat bagaimana tema besar Biennale ini mampu diterjemahkan dalam beragam bentuk praktik kerja penciptaan seni. Kerja seni berbasis komunitas, mode kerja partisipatoris, hingga strategi dan bentuk intervensi artistik kepada publik adalah rambu-rambu yang digunakan sebagai haluan dalam merancang penyelenggaran program Parallel Event BJ XIII kali ini. Intervensi artistik menjadi jangkar dari penerjemahan tema besar Hacking Conflict! Selayaknya yang digarisbawahi oleh Mouffe, “.. meski kekuatan artistik yang besar tak bisa dielakkan namun kerja kritis artistik secara individu


28

tidak akan pernah bisa mengakhiri kapitalisme yang sudah berakar di masyarakat. Dibutuhkan kerja bersama yang mampu menggugah kesadaran kolektif di masyarakat bahwa perubahan adalah sebuah proyek besar yang niscaya tidak akan pernah selesai tanpa campur tangan mereka.�(Mouffe, 2007:5 ) Oleh karena itu, PE BJ XIII bukanlah sebuah proyek seni yang akan selesai pasca pertanggungjawaban karya di lingkungan masing-masing dilakukan. Lebih jauh lagi, kerja bersama ini justru menjadi inisiasi dari munculnya sebuah 'jalan tengah' bagi kerja seni: bahwa masyarakat juga punya suara dan 'ruang' besar yang harus dipertimbangkan bagi keberlangsungan seni kritis ini! Program PE mengarahkan praktik kerja dengan mengambil lokasi kampungkampung di Yogyakarta. Salah satu landasan pemikiran mengenai pemilihan kampung tersebut adalah karya Guinnes yang berjudul 'Harmony and Hierarchy in A Javanese Kampung'. Ia menyatakan bahwa kampung di Yogyakarta pada tahun 1980-an merupakn perwujudan'desa urban'yang menyimpan kekuatan sosial, yang mampu menjadi roda penggerak demokrasi, ekonomi, bahkan politik di akar rumput (Guinnes 1986:7). Hal tersebut ternyata masih sangat relevan dengan keadaan saat ini, di mana kampung merupakan satu pembeda situasi urban di kota-kota di Indonesia dengan negara lainnya. Kampung adalah wadah bagi setiap individu untuk membangun toleransi terhadap perbedaan, menjadi sasana untuk berlatih menghadapi kejutankejutan sosial. Tawaran kerja yang dipilih dalam PE juga menyasar pada persoalanpersoalan yang menjadi sumbu konflik dalam pembangunan kota di Yogyakarta yang cenderung kapitalistik. Perebutan

ruang publik, isu tanah dan air, konflik warga di tengah budaya perpindahan, budaya urban yang tentunya berbeda dengan budaya 'desa urban', dan beragam efek modernitas yang tidak diantisipasi oleh warga merupakan beberapa dari sedikit isu yang diharapkan bisa diatasi dengan kerja seni. Dalam hal ini, seni muncul sebagai 'jalan tengah' untuk menjembatani konflik dan tegangan yang muncul. Penyelesaian konflik tentunya tidak akan bisa hadir begitu saja, mengingat kerja seni bukanlah kerja instan. Meskipun demikian, output yang diharapkan hadir di tengah upaya menyandingkan konflik tersebut adalah penyadaran kepada warga bahwa ada hak yang harus diperjuangkan tanpa harus melawan dengan frontal. Karena upaya peretasan akan lebih berhasil ketika dilakukan secara diplomatis dengan bersama-sama. Sumber : Bishop, Claire. 2012. Artificial Hells: Participatory Art and The Politic of Spectatorship. Verso Guinness, Patrick. 1986. Harmony and Hierarchy in A Javanese Kampung. Australia: Oxford University Press Laclau, Ernesto, & Mouffe, Chantal. 2001. Hegemony and socialist strategy: Towards a radical democratic politics. Verso. Mouffe, Chantal. 2007. “Artistic Activism and Agonistic Spaces�. Art & Research Vol.1 No.2 Summer2007 _________________ . 2008. Art and democracy: Art as agonistic intervention in public space. Open 14: Art as a public issue. Pamflet Sosialisasi Program Parrallel Event Biennale Jogja XIII - Proyek Seni Komunitas, 2015


29

BERKUNJUNG, BERKUMPUL, MERAMU Waktu tidak pernah bisa menunggu. Perhelatan Biennale Jogja tinggal beberapa bulan ke depan. Tim kerja Pameran, Festival Equator dan Parallel Event yang sudah dipersiapkan mulai bergegas. Dari sosialisasi, rapat persiapan, pematangan gagasan, penjaringan komunitas partisipan, hingga kunjungan ke lokasi penyelenggaraan acara dilakukan secara intensif oleh masing-masing tim, guna meramu acara yang akan digelar di penghujung tahun 2015.

Maryanto dan Anggun saat berdiskusi dengan Jude Arogwih (ko-kurator BJ XII) dan seniman partisipan di Nigeria

Tustina Neni, Wok the Rock dan Alia Swastika ketika melakukan sosialisasi program BJ XIII Hacking Conflict! di Jakarta


30

Sosialisasi di Taman Budaya Solo

Sosialisasi di Taman Budaya Solo

Proses penjaringan komunitas persiapan program Parallel Event BJ XIII di Radio Boekoe, Bantul

Proses penjaringan komunitas persiapan program Parallel Event BJ XIII di Radio Buku, Bantul

Forum offline 1 seniman pameran BJ XIII di Jogja National Museum

Forum offline 1 seniman pameran BJ XIII di Jogja National Museum


31

MEMBISIK BUMI MEWARNAI LANGIT Irwan Ahmett (Seniman BJXIII Hacking Conflict!)

Langit yang Berwarna dan Teman Kecil yang Tersingkir 1982. Ketika itu saya masih kelas 2 SD, tinggal di kota kecil yang nyaman. Keluarga saya berasal dari kalangan pedagang sehingga memilih lokasi tempat tinggal strategis dekat pasar, kawasan pusat pertokoan dan ruang-ruang transaksi yang umumnya ditempati oleh komunitas Tionghoa dan komunitas kecil Arab. Walau sudah tinggal lebih dari 3 generasi tetapi ada hal-hal yang mewarnai interaksi kami sebagai kawan sepermainan yang harmonis dan menyenangkan. Seakan langit penuh dengan warna menghiasi masa kecil kami setiap hari. Suatu malam rumah kami terus menerus bergetar, suara langit-langit berderit semakin keras dan semua lampu gantung bergoyang teratur namun menakutkan karena bumi ternyata berguncang Saya tidak bisa tidur semalaman. Ayah beserta orang rumah tampak berbicara serius. Saya kurang paham apa yang sedang

terjadi, tapi sepertinya bumi tidak lagi nyaman untuk dipijaki. Pagi hari ketika membuka jendela, saya baru tersadar langit tidak lagi berwarna biru tetapi gelap kelabu kemerahan seperti sedang terbakar. Orang berlarian dengan lampu senter di tangan karena siang bukannya semakin benderang tapi semakin menggelap. Jalanan menebal tertutup hujan abu, setiap langkah meninggalkan jejak membuat saya tergetar ketika menyadari seluruh permukaan kota berubah warna menjadi abu-abu tertutup butiran debu. Pengeras suara masjid tidak lagi mengumandangkan suara adzan tapi berisi peringatan-peringatan. Volume radio di meja kerja ayah saya diputar 2 tingkat lebih keras dari biasanya agar kami sekeluarga mendapatkan informasi akurat dan terkini, apa yang sedang terjadi, untuk segera menentukan apa yang harus kami lakukan. Saya semakin kalut, inikah kiamat akhir dari seluruh kehidupan di bumi yang sering disebutkan oleh guru ngaji? Bergegas saya naik ke puncak


32

genteng ingin melihat langit dan bumi yang tampak semrawut hari itu. Di kejauhan terlihat awan bergulung-gulung seperti cendawan raksasa, terdengar dentuman suara menggelegar yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Kilatan petir dan pijar api membuat saya tergetar antara kagum dan ngeri. Galunggung meletus! Di kemudian hari saya baru tahu bahwa letusan Galunggung yang ketiga kalinya ini- terhitung sejak tahun 1822termasuk salah satu yang paling besar dalam sejarah manusia modern. Selama 9 bulan saya harus berhadapan dengan segala persoalan akibat bencana ini. Sekolah ditutup, setiap keluar rumah harus memakai masker, transaksi ekonomi terhenti, kegiatan pasar terganggu, raut panik tampak dimana-mana khawatir kondisi sanak famili yang tinggal jauh di desa dan mobilisasi ribuan pengungsi menjadi berita sehari-hari. Setelah letusan mereda, curahan lahar dan tumpukan pasir telah mengubah peta wilayah, akibat sungai yang terputus dan lapisan lahar serta pasir yang mengubur desa-desa di sekitarnya. Hampir setiap ada kesempatan saya selalu kembali naik ke atas genteng, namun kali ini sepertinya saya sedang kurang beruntung, permukaan lantai tempat saya berpijak yang hanya berukuran kurang dari 15 cm tertutup pasir licin. Saya tergelincir dan jatuh dari ketinggian 4 meter, pingsan dan kehilangan kemampuan berbicara untuk beberapa saat. Galunggung bukan hanya membuat kota saya mati suri, tapi saya benar-benar KO oleh 'pukulannya'. Alam dengan mudah dapat memukul kehidupan manusia dengan sangat keras. Walau bagi bumi, letusan gunung berapi hanyalah sebuah bisikan kecil yang keluar dari 'mulutnya'. Setelah beranjak dewasa, sekitar tahun 1998-1999-dalam situasi kehancuran ekonomi Indonesia akibat krisis moneter-

rumah keluarga kami telah pindah lokasi tepat di depan sebuah gereja, tempat teman-teman kecil saya yang sudah beranjak dewasa beribadah setiap Minggu dengan penuh rasa khawatir terutama ketika terjadi konflik antar agama dan rasial yang berujung pada kekerasan hingga pengeboman gerejagereja di beberapa lokasi di Indonesia. Memori keceriaan masa kecil yang masih saya ingat dari wajah mereka berganti dengan pandangan kosong dan raut ketidakpastian penuh ketegangan. Bagai peta yang berubah tersingkir kekuatan letusan, apabila gejolak politik terus bergerak tak terkendali, teman-teman sejak masih kecil saya ini pun akan mudah disingkirkan dari negara ini. Lempeng Bumi yang Bergerak dan Ideologi yang Bertumbukan Seiring beranjak dewasa, sepertinya pemandangan langit yang memerah baik karena bencana alam atau gerakan sosial terus mewarnai kehidupan saya di negara ini. Seperti pada aksi pembakaran dan penjarahan selama kerusuhan Mei – yang membuat beberapa teman Tionghoa masa kecil saya pindah ke luar negeritelah memerahkan langit Jakarta dan melumpuhkan ibukota. Belum lagi setelah mengetahui letak geografis bumi Indonesia tempat saya berpijak. Ternyata ratusan kilometer dibawahnya kerap terjadi tumbukan lempeng-lempeng raksasa tektonik purba yang terus menerus bergerak. Semenjak waktu mulai berdetak, tumbukan ini telah membangun monster yang berupa barisan gunung berapi, bagaikan permainan Roulette siap meledak kapan saja. Dalam posisi-posisi tertentu lempeng di tengah samudra bisa bergesar secara ekstrim memicu gempa bumi berskala tinggi di dasar laut dan memicu gelombang mega tsunami mematikan. Seperti gempa Aceh dengan


33

kekuatan 9,2 SR merupakan terbesar ketiga yang pernah tercatat di seismograf dan memiliki durasi terlama sepanjang sejarah, yaitu sekitar 8,3 sampai 10 menit. Gempa tersebut mengakibatkan seluruh planet bumi bergeser 1 sentimeter dan menciptakan beberapa gempa lainnya sampai ke wilayah Alaska. Episentrumnya berada di antara Simeulue dan daratan Sumatera, telah memicu terjadinya gelombang tsunami yang puncak tertingginya mencapai 30 meter ini menewaskan lebih dari 230.000 orang di 14 negara dan menenggelamkan banyak pemukiman tepi pantai. Ini merupakan salah satu bencana alam paling mematikan sepanjang sejarah. Indonesia adalah negara yang terkena dampak paling besar, diikuti Sri Lanka, India dan Thailand. Fakta yang membuat saya merasa bahwa sebenarnya peradaban itu ternyata sangatlah rentan. Siang tahun 2000, lalu lintas di Jakarta Pusat tampak lebih lengang dari biasanya. Angin yang berhembus pelan seakan tak kuasa menyapu awan polusi yang menebal menaungi langit ibukota. Sepeda motor yang saya kendarai memasuki kawasan Jalan Kuningan/HR. Rasuna Said lalu menanjak dengan kecepatan sedang sehingga sudut pandang dari ketinggian jalan layang membuat mata saya mampu menyapu garis horizon kota Jakarta yang tampak artistik dengan kontrasnya latar belakang pencakar langit dan rumahrumah beratap genteng. Pemandangan ini membuat saya terkenang kembali kebiasaan sewaktu kecil, menaiki atap rumah untuk melihat seluruh sudut kota. Namun kali ini mata saya berhenti berkedip, kecepatan sepeda motor melambat namun denyut jantung saya semakin cepat. Kembali terlihat semburat kemerahan di langit diselingi asap halus. Semakin mendekat ke arah sumber cahaya semakin mengerikan, lalu lintas terhenti, wajah pengendara pucat pasi,

pohon-pohon hijau sepanjang jalan menjadi tinggal ranting karena seluruh daunnya rontok ke jalan. Di tengah kekalutan saya melihat sosok-sosok manusia digotong dengan badan bersimbah darah dan baju mereka terkoyak kekuatan dahsyat. Tercium bau terbakar seperti mesiu. Untuk pertama kalinya saya melihat bagaimana dampak sebuah bom yang meledak. Orang lari berhamburan karena takut bom susulan, saya memacu sepeda motor dengan pandangan kosong. Sampai rumah baru saya ketahui kalau sebuah bom mobil telah membuat dua orang tewas dan 21 orang terluka. Peledakan di kedutaan Filipina ini disinyalir terkait aksi balas dendam, karena pemerintah Filipina melakukan penyerangan terhadap kelompok garis keras Islam di Moro. Aksi mereka dicurigai sebagai pengeboman pertama dari awal gelombang teror bom yang meledak sebanyak 28 pengeboman berlangsung dari tahun 2000-2009 di Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut sebanyak 322 orang tewas. Bagi pelakunya, barangkali tindakan ini adalah sebuah jalan suci seperti 'vibrasi' dan intervensi terhadap ideologi yang sudah dianggap mati. Perpisahan dengan Negara dan Perjumpaan dengan Seni Pada saat tulisan ini dibuat saya sedang mengalami kegelisahan hebat terkait status saya sebagai bangsa dan warga negara Republik Indonesia. Saya tidak ragu tentang gagasan kebangsaan dan demokrasi, namun ide untuk mendeklarasikan sebuah negara tanpa komitmen jelas dari aparaturnya dan konsekuensi setengah-setengah dari bangsanya membuat ide luhur nasionalisme berubah menjadi perayaan rutin tahunan membosankan dan ideologi hafalan yang usang. Secara perlahan serpihan-serpihan rekonstruksi sejarah


34

yang dijejalkan selama saya lahir dan tumbuh di era Orde Baru menguap tersapu perubahan. Namun setelah era reformasi ternyata tidak banyak perubahan yang berarti, semakin hari baik negara ataupun dunia seni cenderung menjauh dari apa yang saya bayangkan sebelumnya. Saya merasa waktu perpisahan antara saya dan negara semakin mendekat, kegelisahan ini semakin memuncak dalam dua tahun terakhir tatkala saya mengerjakan karya baru terkait peristiwa politik yang terjadi di tahun 1965-1966, pada saat terjadi benturan ideologi paling kejam sepanjang sejarah Indonesia yang dipengaruhi tarik menarik dua kekuatan besar di dunia saat itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Situasi yang mendorong bangsa Indonesia bergeser kearah lain. Tragisnya rakyat kembali menjadi korban, setengah juta jiwa melayang. Ideologi kembali menjadi pembenaran atas pemusnahan suatu golongan. Menyedihkan selama 32 tahun berikutnya kita diajarkan untuk menjadi pembenci sejati. Lalu sejarah baru dibangun namun si pelaku tidak menyadari bahwa sejarah yang tidak mungkin direproduksi tersebut kembali ingin dipertontonkan kepada publik. Monumen-monumen berselera buruk dengan bahan beton dan perunggu yang menjulang tinggi ke langit didirikan dengan megah di ruang publik. Namun apa yang terjadi setelah sang penguasa tersungkur? Monumen menjadi kehilangan makna, ada secara fisik namun sudah tidak dianggap berfungsi, bahkan secara estetis sulit untuk dinikmati karena rakyat melihat sejarah yang terdistorsi. Monumen Mandala (mengenang perebutan Irian Barat) di Makasar semakin sepi karena warga lebih senang mengunjungi pantai Losari. Ternyata sejarah pun sangatlah labil, terus bergeser dan berubah seiring perkembangan sejarah itu sendiri.

Perjumpaan saya dengan kesenian menjadi penting. Setidaknya, saya merasa cara pandang sebagai seniman terhadap persoalan mampu membangkitkan imajinasi radikal tanpa batas sehingga kerap merefleksikan gambaran dunia dengan apa adanya. Saat ini saya mengamati dua arus besar dunia seni Indonesia. Seni pasar dan intelektual. Seni pasar sama sekali tidak menarik minat saya karena sejak kecil saya tumbuh dekat pasar, di mana omong kosong, jual beli dan negosiasi menjadi pemandangan sehari-hari lengkap dengan drama kaya mendadak dan simbol-simbol kesuksesan yang dipertontonkan dalam keseharian. Situasi seni yang saya jalani saat ini telah menciptakan perjumpaan-perjumpaan yang lebih eksplosif dari hanya sekedar ruang 'steril' galeri. Karena ada kecenderungan infrastruktur seni di Indonesia saat ini tumbuh seperti di Barat, memuseumkan, membendakan. Padahal ketika memasuki museum seni kontemporer, saya merasa sering dikerdilkan ketika berada di dalamnya. Pembacaan geopolitik yang selama ini saya pelajari ternyata semakin melebar sepanjang garis peta politik di permukaan bumi. Tarik menarik dan benturan ideologi terus terjadi sementara ancaman gunung berapi dan gempa bumi terjadi setiap hari (saat ini setidaknya terdapat 76 gunung berapi yang aktif di Indonesia), ditambah dengan potensi 'letupan' gerakan yang terus bergerilya di Timur bumi pertiwi. Rakyat Papua memanggul busur, panah dan senjata memperjuangkan kemerdekaan atas pendudukan Indonesia. Konflik dan ketegangan mewarnai kekayaan alam mereka yang terus dieksploitasi dengan brutal. Negara kembali melakukan kesalahan fatal dengan menerjunkan militer ke Tanah Papua, ceritanya tentu akan berbeda apabila lebih banyak mengirimkan seniman untuk bekerja disana.


35

Tempat Paling Mematikan di Bumi dan Langit yang Berwarna Pelangi Dengan getir saya harus mengakui bahwa ternyata kawasan yang saya tinggali merupakan salah satu tempat paling mematikan di bumi. Karena dampak dari tumbukan ideologi dan bergesernya lempeng tektonik telah mengakibatkan begitu banyak tragedi kemanusiaan dan luka sejarah kelam. Ring of Fire, garis kerentanan yang membentang di sekitar lingkar Pasifik, selain menjanjikan sumber daya alam dan potensi ekonomi yang strategis, kawasan ini penuh gejolak baik secara geografis maupun politis yang terbentang dari masa perang dunia ke 2, perang dingin hingga era globalisasi saat ini. Di garis Asia Timur saja terdapat berbagai potensi konflik yang setiap saat mudah tersulut dan meledak. Ketegangan perbatasan wilayah di Laut Cina Selatan melibatkan perdebatan lebih dari 8 negara, konflik bangsa bersaudara antara Korea Utara dan Korea Selatan, segregasi yang kian melebar antara pekerja migran dengan warga setempat di ruang-ruang publik Taiwan, raksasa Cina yang telah membuat semua mata dunia melirik bukan hanya pada gemerlap ekonominya namun kebijakan politiknya yang agresif dan provokatif. Sementara diam-diam reaktor nuklir Fukushima bocor mencemari Samudera Pasifik. Semuanya terasa rumit seperti dulu waktu saya melihat seluruh kota yang tertutup abu. Untuk memulai langkah sepertinya saya harus kembali menggunakan faktor penting dalam peradaban yang sering dilupakan, yakni kekuatan kebudayaan. Setiap teriakan menginginkan perubahan semakin keras sehingga menjadi tidak lagi terdengar dengan jelas. Saya ingat cerita seorang teman yang percaya kekuatan sebuah 'bisikan', masuk ke dalam telinga secara perlahan lalu diterima oleh hati tanpa paksaan untuk membuat sebuah perubahan. Bisa jadi ini semua hanyalah utopia saya saja yang berambisi mengintervensi garis 'Cincin Api'. Ditengah kegalauan membuat karya baru untuk Jogja Biennale kali ini justru saya merasakan bahwa 'operating system' geopolitik Equator tidak 'user friendly' karena membuat saya sulit untuk memahami relasi Indonesia-Nigeria yang saya percaya bukan hanya sekedar saling menawarkan Indomie. Sambil terus bekerja saya bermimpi suatu hari tidak lagi melihat semburat merah yang penuh misteri diatas langit tetapi warna pelangi yang indah dan mendamaikan hati.


36

KITA PERLU KOTA RAMAH MANUSIA, BUKAN RAMAH MODAL: WAWANCARA DENGAN MARYANTO Lisistrata Lusandiana

Sebelum berangkat ke Nigeria, Maryanto sempat saya temui untuk membincangkan perkembangan riset serta berbagi pandangan seputar tema yang sedang dibahas dalam Equator edisi ini, yakni seni dan politik. Maryanto merupakan salah satu seniman yang mengikuti program residensi selama dua minggu di Nigeria, bersama dengan seorang seniman lainnya, Anggun Priambodo. Pada kesempatan ini, Maryanto menceritakan proses risetnya seputar politik minyak dengan studi kasus pertambangan minyak di Bojonegoro, sebagai salah satu bagian dalam mempersiapkan karya yang akan ditampilkan dalam BJXIII. Selain membicarakan persoalan politik minyak, Maryanto juga menyampaikan pandangan reflektifnya seputar peran seniman di tengah persoalan sosial. Bisa diceritakan arah riset tentang politik minyak yang sedang dilakukan? Aku ingin mengurai kompleksitas persoalan dalam pengelolaan minyak di Indonesia, dengan mengambil studi kasus di Bojonegoro. Membicarakan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan privatisasi, regulasi hingga persoalan distribusi Sumber Daya Alam di masyarakat. Salah satu keresahan yang menjadi latar belakang dalam riset ini ialah sejauh mana minyak yang berasal dari perut bumi ini hasilnya bisa didistribusikan dan dirasakan oleh masyarakat. Dari situlah aku mencari tau sistem pengelolaan minyak. Awalnya kita percaya sistem pertambangan dikelola oleh negara, namun negarapun menyerahkan pengelolaan dilakukan oleh korporasi besar. Aku tidak yakin keuntungannya dirasakan oleh masyarakat. Meski kita hidup di atas tanah yang kaya, aku yakin kita tidak bisa menikmati kekayaan tersebut. kompleksitas persoalan itulah yang coba diurai dalam penelitian ini. Apa saja unsur-unsur yang membuatnya jadi kompleks? Persoalan privatisasi, pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran hingga perubahan sosial dalam masyarakat. Membicarakan pengelolaan tentu kita tidak bisa mengabaikan persoalan privatisasi. Dalam konteks privatisasi, masyarakat berada pada posisi paling rendah, karena persoalan ketrampilan. Semisal Exxon menambang di suatu tempat di tengah masyarakat, karena skill masyarakat yang terbatas, maka pekerja terampil tidak diserap dari masyarakat. Ketika ditanya tentang infrastruktur, banyak yang mengeluh pembangunannya tidak tepat sasaran, karena pembangunan banyak dikelola oleh broker atau LSM yang tidak paham kebutuhan masyarakat. Bahkan menurut cerita Pak Kades, perubahan sosial masyarakat setelah pertambangan masuk tidak terlalu menyenangkan pada tataran pola konsumsi dan mental. Perubahan dari masyarakat agraris menjadi pertambangan membuat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Banyaknya warga yang kaya mendadak meningkatkan pola konsumsi gadget, motor bahkan prostitusi. Yang jadi masalah di sini ialah bahwa pembangunan yang terjadi bukanlah pembangunan manusia, tetapi hanya pembangunan fisik. Memang jalanan


37

menjadi lebih halus, warga tidak kesulitan mencari air, tetapi pembangunan manusianya menjadi luput dari perhatian. Bagaimana persoalan ini dibahas dengan menyandingkan persoalan yang ada di Nigeria? Harus dicari persamaan dan perbedaannya. Bagaimanapun juga persoalan dan keresahannya tetap sama, yakni soal bagaimana potensi minyak dikelola dan diatur dan bagaimana masyarakat menikmati hasil buminya. Itu saja pertanyaan gampangnya. Lalu di Nigeria kita cari tau bagaimana posisi masyarakat menghadapi potensi alamnya. Bagaimana awal warga memulai penambangan? Bagaimana sistem penambangan minyak rumah tangga beroperasi dan apa saja masalahnya? Berdasar cerita warga, penambangan dimulai dengan proses ritual. Untuk memulai pengeboran, diperlukan sekitar 900 juta rupiah. Oleh karena itu mereka mengundang investor. Investor tersebut kemudian mengambil keuntungan bagi hasil. Proses pengelolaan yang dilakukan warga hanya sampai sebatas minyak mentah. Warga tidak boleh langsung menjual hasil jadi, tetapi beberapa tetap menjualnya secara sembunyisembunyi. Meski di masyarakat juga sudah berkembang wacana bahwa hasil olahan warga tidak bagus untuk mesin. Soal proses ritual, warga menjalankan ritual khusus untuk sumur, karena dianggap sebagai sumber rejeki. Kenaikan ekonomi warga di sekitar situs penambangan memang sangat drastis. Investasi awal yang memerlukan 900 juta rupiah itu akan balik modal dengan cepat. Walaupun sebenarnya minyak yang mengalir akan cepat berhenti. Beberapa sumur bahkan sudah berhenti mengalirkan minyak. Yang jadi masalah ialah; warga memang banyak mendapatkan keuntungan ekonomi, akan tetapi percekcokan rumah tangga semakin tinggi. Tingkat pendidikan juga rendah. Pemahaman mereka tentang lingkungan itu aji mumpung. Sejak kapan banyak mengeksplorasi persoalan SDA dan bagaimana awalnya? Aku sebenarnya selalu tertarik dengan tema-tema lingkungan. Karyaku sebelumnya kan tentang lingkungan urban, seperti yang kubahas dalam Rawalelatu, itu tentang perubahan dari rawa ke wilayah urban dan industri. Kehidupan warga di pinggiran kota sudah menjadi pemandanganku sejak kecil. Aku ingat bagaimana listrik baru masuk ke kampungku pada tahun 1985. Kemudian ada pabrik tekstil. Yang tadinya kampung lalu berubah menjadi apartemen. Logika awalnya sih mau membicarakan bagaimana kampung berubah menjadi apartemen. Yang jadi soal ialah karena pembangunan hanya berpusat pada pembangunan ekonomi, bukan pembangunan masyarakat dan manusianya. Hanya pendapatan negara yang menjadi perhatian. Arah pembangunan kota juga harus direncanakan dengan melibatkan masyarakat. Kita bisa membandingkan apa yang terjadi di kota ini dengan pola hidup komunitas, semisal komunitas Ciptagelar. Mereka mengelola semua kebutuhan komunitasnya secara bersama-sama. Dari urusan dasar manusia, yakni kebutuhan untuk makan hingga pendidikan dan kesenian. Sementara masyarakat industri yang ada saat ini barangkali bisa mencukupi kebutuhan dasarnya, tetapi kebutuhan dalam pengembangan diri tidak bisa mereka penuhi. Seperti yang bisa kita lihat dari masyarakat yang bekerja di pertambangan itu. Tidak ada kesempatan untuk mengartikulasikan diri, sementara arah pembangunan kota tidak berorientasi pada manusia dan nilai humanistis. Kita perlu kota yang ramah manusia, bukan ramah modal.


38

Pergeseran eksplorasi tema dari urban ke agraris, bisa diceritakan? Ketika membicarakan Rawalelatu dalam konteks perubahan sosial, pasti ada yang rusak, ada menjadi korban. Perubahan dari agraris ke industri, pasti ada sawah yang dirusak dan pohon-pohon hutan yang ditebang. Pada saat itu, sewaktu masih banyak drawing, aku penasaran untuk mencari tau seluk-beluk industri kertas. Aku penasaran dengan proses produksi kertas, lalu aku menemukan kasus kerusakan alam yang dilakukan oleh APP (Asia Pulp and Paper). Sebagai perusahaan terbesar se Asia Tenggara, perusahaan ini menghancurkan hutan namun berdalih punya standar perkebunan. Untuk mendapat standar ramah lingkungan pun mereka memesannya dari lembaga sertifikasi, namun lembaga tersebut justru menemukan lebih banyak kerusakan. Pada dasarnya, ketertarikan ini bermula karena aku banyak menggunakan media kertas untuk drawing. Lama-lama aku jadi lebih tertarik untuk mengetahui kasus perusakannya. Yang lebih pelik lagi ketika membicarakan kerusakan yang diakibatkan Freeport di Papua. Aku juga banyak berbincang dengan teman yang sudah melakukan penelitian terkait dengan kerusakan yang diakibatkan Freeport. Dari sisi sejarah, berdirinya Freeport juga berpengaruh terhadap regulasi dan keberadaan industri pertambangan. Ketika membicarakan tema-tema yang terkait dengan orde baru, bagaimana kamu melihat penggunaannya dalam berkesenian sampai hari ini? Menurutku tergantung sudut pandangnya. Yang menarik ialah bahwa sejarah itu akan selalu tergantung pada keberpihakan. Berbicara tentang Suharto, sebenarnya masih banyak yang berpihak pada Suharto. Namun membicarakan Orde Baru yang berlangsung sangat lama tidak serta merta bisa dilupakan. Dilihat dari sisi eksploitasi industri, Orde Baru merupakan momen yang sangat signifikan dalam membuat kerusakan lingkungan. Eksploitasi alam yang berlangsung masif sampai hari ini itu merupakan akibat dari Orde Baru. Orde Barulah yang membuat pondasi buruk. Bagaimana posisi seniman dalam mengambil perannya di masyarakat? Posisi seniman harus ditanggapi sebagai posisi yang paling unik sebenarnya. Bukan paling aman. Karena kita bukan praktisi yang bisa ngasih solusi. Kalau solusipun sifatnya artistik, yang biasanya aneh-aneh dan nyeleneh. Nah, kebebasan inilah yang harusnya dimanfaatkan oleh seniman untuk berkarya. Walaupun karya itu tidak menciptakan perubahan sosial secara langsung, setidaknya bisa menggambarkan atau menginspirasi. Menarik lagi ketika membicarakan keberpihakan. Membicarakan keberpihakan bagiku tidak semata memilih satu dari dua pilihan, tapi harus ada pilihan ketiga. Posisi seniman tu harus seperti itu. Ketika membicarakan kerusakan alam, peran seniman saat ini banyak banget. Bahkan seniman dadakanpun banyak yang tiba-tiba ngomongin politik. Artinya ini bukan hanya peran seniman, tapi media kreatif. Karena perubahan yang dibicarakan tidak semata perubahan fisik, tapi kan perubahan mental, pola pikir. Kita seniman tidak bisa membuat satu sistem atau satu struktur, tapi melihat sesuatu dari kaca mata khusus yang mungkin tidak terlalu banyak dipikirkan oleh orang kebanyakan. Di situlah sisi politis seorang seniman. Bukan hanya peran seniman sih, tapi peran suatu kreatifitas, yang tidak perlu terbelenggu oleh peran seniman, tapi siapa aja, dan tidak hanya akses galeri.


39

BIENNALE JOGJA Selama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi sangat penting untuk mengukur kemajuan seni rupa Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya untuk menjadikan BJ sebagai rangkuman dari seluruh potensi kreativitas budaya dalam bidang seni rupa Indonesia, Asia maupun dunia. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai rangkaian pameran dengan agenda jangka panjang yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian biennale ini akan mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ akan bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan senimanseniman, kelompok-kelompok, organisasiorganisasi seni dan budaya Indonesia di

Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu Yayasan Biennale Yogyakarta yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021), dan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022. Mengapa 'Khatulistiwa'? Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik berangkat untuk mengejawantahkan berbagai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk 'membaca kembali' dunia. Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru.


SELAMAT DATANG di PEMBUKAAN BIENNALE JOGJA XIII EQUATOR #3 MINGGU, 1 NOVEMBER 2015

YAYASAN

YOGYAKARTA

Atas: Anggun dan Maryanto saat Residensi di Lagos, Nigeria, bersama dengan ko-kurator dan seniman partisipan BJXIII dari Nigeria. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

Bawah: Jude Anogwih (ko-kurator BJXIII), Maryanto, Aderemi Adegbite, dan Anggun Priambodo di Indonesian Trade Promotion Centre (ex KBRI Lagos)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.