ISSN: 9772442302042
THE EQUAt Hacking ConflicTOR Volume 3 Nomor 4 Oktober - Desember 2015 Terbitan triwulan | GRATIS
NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA
2
PENGANTAR REDAKSI Pembaca yang budiman, Butuh waktu hampir 2 tahun untuk mempersiapkan perhelatan Biennale Jogja Equator #3. Masih sangat terasa, tepat setahun yang lalu kami masih meraba-raba dan bertanya-tanya seperti apa gerangan praktik artistik yang bakal disuguhkan. Evaluasi dan diskusi digelar demi mendapatkan sudut pandang awal perihal Nigeria, negara mitra kerja Biennale Jogja Equator #3. Sekiranya kami membuka kembali catatan-catatan diskusi itu, barangkali kami akan tersenyum-senyum, entah karena pembicaraan kami saat itu masih terlalu spekulatif atau sekadar menemukan sesuatu yang diperdebatkan secara sengit tetapi toh tidak digunakan. Newsletter The Equator edisi kali ini akan menunjukkan betapa kompleks dan dinamisnya proses yang dilalui tim Biennale Jogja XIII. Karena itu, pada edisi tim redaksi the Equator secara khusus meminta 'tim inti' perhelatan BJ Equator #3 untuk berbagi dan bercerita perihal pengalaman mereka dalam bekerja. Pertama, tulisan Yustina Neni, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). Dalam tulisannya, Yustina Neni tidak sekadar menguraikan bagaimana sehingga perhelatan BJ bisa dikatakan mandiri, tetapi juga memberi paparan menarik soal pengalaman kerja sama antara (YBY) dengan pemerintah dalam menyelenggarakan event BJ. Kedua, Alia Swastika selaku Direktur Biennale Jogja XIII. Alia mendedahkan strategi kerja dalam menyiapkan perhelatan BJ. Lebih jauh, Alia memaparkan masalah-masalah manajerial yang dijalankan BJ, terutama dalam membangun hubungan dengan negara mitra. Ketiga, Wok the Rock, kurator BJ Equator #3. Wok memberi paparan perihal praktik kuratorial yang ia lakukan. Wok the Rock memposisikan dirinya sebagai kolaborator bagi para seniman-senimannya, begitu juga sebaliknya. Metode kerja, kendala, pilihan seniman, dan apa yang akan disuguhkan terangkum dalam tulisannya pada edisi ini. Sebagai tambahan, turut disuguhkan dua tulisan lain yang melengkapi edisi ini; Victor, seniman serba-bisa asal Nigeria, dan Greg Wuryanto, seorang arsitek dan tenaga pengajar di Universitas Kristen Duta Wacana. Tulisan Victor kembali mengingatkan kita pada edisi-edisi sebelumnya, soal seni dan politik, tetapi dalam konteks Nigeria. Sedang tulisan Greg Wuryanto akan menjadi pembanding bagi tiga tulisan 'internal BJ'. Pada akhirnya, kami berharap edisi ini akan memunculkan aneka respon kritis, baik dari apa yang diurai oleh para penulis maupun terhadap perhelatan BJ itu sendiri. Newsletter ini boleh dikata selalu mendua; di satu sisi menjadi corong bagi YBY, di sisi berbeda bisa menjadi ruang kritik bagi YBY itu sendiri. Selamat membaca! Salam, Redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org. Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa.
Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta(YBY) Misi YBY)adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota
yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Telp: +62 274 587712 E-mail:
the-equator@biennalejogja.org Juli- September2015, 1500 exp Penanggung jawab: Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Redaktur Pelaksana: Arham Rahman Kontributor: Greg Wuryanto, Wok the Rock, Alia Swastika, Victor Ehikhamenor & Anna Kovie Parker, Yustina Neni
3
DAFTAR ISI DAN POLITIK: 4| SENI YOGYAKARTA SEBAGAI ARENA Greg Wuryanto (Arsitek, Kaprodi Tekhnik Arsitektur UKDW)
15| MANAJEMEN DARI BAWAH
Alia Swastika (Direktur Biennale Jogja XIII)
SENI POLITIS DAN POLITIK SENI NIGERIA
|20
Victor Ehikhamenor, (Perupa, fotografer sekaligus penulis yang tinggal di Lagos, Nigeria. Salah satu seniman BJXIII, Indonesia bertemu Nigeria yang sedang melakukan residensi di Jogja). Anna Kovie Parker (Kritikus dan Peneliti Seni, tinggal di Lagos, Nigeria)
27| BIENNALE JOGJA SUDAH MANDIRI?
Yustina Neni (Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta)
ASIA AFRIKA DAN KEINDAHAN LAINYA WAWANCARA DENGAN JUDE ANOGWIH
|32
Lisistrata Lusandiana (Peneliti Yayasan Biennale Yogyakarta) Forum offline seniman Biennale Jogja XIII, Kedai Kebun Forum, Yogyakarta. Fotografer: Dhomi Idra Marfasa
Fotografi: Arsip YBY, sumbersumber internet Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: , Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27
Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O
Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Rumata Artspace Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615
Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000
4
PRAKTIK SENI DALAM NARASI KONTESTASI, KONFLIK, DAN NEGOSIASI RUANG KOTA Greg Wuryanto, Arsitek,Kaprodi Tekhnik Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana
“Mural Jogja Asat”. Sumber: IVAA
5
Kecerdasan mengenali ruang adalah salah satu prasyarat bagi manusia urban untuk bisa mendudukkan dirinya di dalam kerangka kontestasi spasial yang melibatkan banyak agen (aktor) dan kepentingan. Ruang adalah realitas produk sosial yang menjadi representasi kehadiran berbagai peran dalam hierarkhi kekuasaan. A. Kuasa dan Ruang Henri Lefebvre menyatakan bahwa ruang sebagai produk sosial dibentuk oleh peran orang-orang (agen) yang memiliki kontrol atasnya (2007). Sementara itu, dalam perspektif Michel Foucault, diskusi tentang ruang mengerucut pada hal paling mendasar dari praktik-praktik kekuasaan (1984). Berangkat dari kedua diskursus di atas, relasi kuasa dan ruang akan dicoba untuk ditelusuri melalui identifikasi kehadiran peran dan praktikpraktik kekuasaan yang memproduksi ruang. Habraken (2000) mendefinisikan kontrol atas ruang sebagai relasi operasional antara manusia dan segala hal/perkara yang terkait atau menjadi bagian dari lingkungan (environment). Dalam pemahaman ini kontrol adalah kunci dari kemampuan persepsional manusia terhadap lingkungan yang akhirnya membentuk kemampuan atau kuasa untuk mengubah lingkungan tersebut. Persepsi ruang sebagai bentuk kontrol dan kuasa atas ruang menjadi pijakan analisis kritis bagi pembacaan wacana tentang kuasa dan ruang.
Sementara itu, dalam pandangan humanis Karl Marx, komoditi bukan lain adalah sebentuk materialisasi dari tenaga kerja buruh. Di titik ini terjadi apa yang disebut dengan istilah abstraksi dari sesuatu yang konkret karena di dalam komoditi inilah serangkaian proses produksi yang melibatkan waktu dan peran tenaga buruh direpresentasikan dalam bentuk material. Berangkat dari tradisi humanis pemikiran Marxist tersebut, Lefebvre kemudian mendudukkan perspektif gagasannya tentang ruang. Bagi Lefebvre, ruang adalah sesuatu yang konkret yang kemudian teralienasi menjadi sesuatu yang abstrak. Konsep-konsep ruang abstrak terlahir sebagai representasi gagasan elitis yang mengendalikan persepsi publik melalui representasirepresentasi ruang. Representasi ruang merujuk pada representasi dalam berbagai image dan konseptualisasi sehingga sesuatu disebut sebagai ruang. Dimensi ruang dalam konsepsi representasi ruang (representation of space) memiliki karakter sebagai conceived space, yaitu ruang yang dipahami dan dimengerti oleh pikiran. Dimensi ini mendasari
6
pemahaman mengenai ruang sebagai konsep yang merupakan produksi pengetahuan (tentang ruang). Ruang abstrak diproduksi sebagai konsepsikonsepsi representasi ruang seperti halnya konsepsi struktur ruang kota atau tata ruang yang terdapat pada sebuah masterplan kota. Ruang dikendalikan oleh gagasan arsitek, urban planner ataupun otoritas lain yang memegang kontrol atas konsepsi tata ruang dan produksi ruang kota. Ruang-ruang ini telah mengalami politisasi dan birokratisasi; sekaligus memproduksi dan mendorong terbentuknya homogenitas sosial. Lefebvre mengemukakan perspektif baru untuk mengubah masyarakat yang didominasi oleh ruang abstrak dengan memproduksi konsep yang disebutnya sebagai ruang sosial. Ruang ini merupakan hasil dari serangkaian relasi dan praktik ekonomi, politik, teknologi dan budaya. Relasi ini kemudian mewujud dalam praktik-praktik spasial (spatial practices). Konsep praktik spasial merujuk pada dimensi berbagai praktik dan aktivitas serta relasi sosial. Praktik spasial berisi berbagai jaringan interaksi, komunikasi serta berbagai proses produksi dan pertukaran dalam masyarakat yang tumbuh dalam kehidupan sehari-hari. Everyday life menjadi setting struktur bagi terjadinya kontinuitas produksi ruang yang tidak lagi bersifat elitis melainkan tersebar pada rutinitas manusia seharihari. Dalam perspektif ini keterlibatan persepsi individu sebagai bentuk kontrol atas ruang menemukan hegemoni kekuasaannya di dalam produksi ruang melalui berbagai bentuk praktik-praktik spasial. Dimensi praktik spasial sendiri memiliki karakter sebagai perceived
space, dengan pemahaman bahwa setiap ruang memiliki aspek perseptif dalam arti ia bisa diakses oleh panca indera sehingga memungkinkan terjadinya praktik sosial. Praktik spasial menjadi gejala yang menunjukkan munculnya tafsiran-tafsiran baru atas ruang di dalam konteks realitasnya. Ruang kota akan menjadi medan interpretasi yang memproduksi beragam kosakata spasial bentukan bebas dari persepsi individual maupun komunal atas konsepsi “ruang-ruang abstrak� yang diciptakan oleh penguasa. Singkapan jaringan relasi dan struktur sosial maupun persepsi kultural yang terajut dalam praktik-praktik spasial pada ruang kota menjadi temuan penting dari proses ekskavasi pengetahuan dan data tentang konstruksi kuasa dan ruang. Identifikasi kepentingan agen-agen dominan dan pengabaikan hak atas ruang kota dari mereka yang menjadi sub-ordinat dalam relasi kuasa dan ruang ini akan menjelaskan peta dominasi peran maupun konflik kepentingan yang (mungkin) terjadi. B. Kontestasi Kuasa dan Konflik Ruang Ruang kota merajut beragam motif kepentingan; merepresentasikan kontestasi berbagai gagasan dan persepsi; merayakan konflik sebagai realitas. Gagasan elitis tentang keteraturan struktur ruang kota dengan produksi “ruang-ruang abstrak� sebagai representasi kekuasaan sekaligus fungsi kontrol terhadap ruang akan berhadapan dengan spontanitas praktik spasial dari agen-agen yang menghidupi ruang kota dengan persepsi keseharian mereka. Kontrol ruang oleh konsep kognisi akan beradu kekuasaan dengan persepsi publik yang mewujud dalam praktik spasial.
7
Atas: “Joyo nyegat moge” Foto oleh Suryo Wobowo, warga Yogyakarta Bawah: “JogjaOra Didol” Sumber: http://m.kaskus.co.id/thread/52 591a98a4cb175c49000002/sede ret-mall-baru-siap-berdiriyogyakarta-dalam-masalah/
Akuisisi ruang publik kota oleh aktivitas sektor informal menjadi contoh ilustrasi umum wajah kontestasi kekuasaan formal dan informal kota. Gejala ruang ini tampak pada praktik spasial pedagang kaki lima yang menguasai hampir semua jaringan jalur pedestrian kota. Praktik spasial pada arena ini lebih dikendalikan oleh kekuasaan tak nampak (invisible power) yang bertransaksi dalam kesepakatan informal. Kaki lima adalah kekuatan luar biasa yang mengkooptasi porsi besar pada celah-celah spontanitas untuk menduduki ruang-ruang publik kota. Mereka mewujud sebagai jaringan lunak (urban tissue) yang mengepung dan menduduki teritori publik demi kepentingan pribadi untuk mengais keuntungan ekonomi.
8
Ruang yang semestinya diperuntukkan bagi kenyamanan bersama. Sikap perlawanan pada dominasi hierarki kepentingan modal yang memegang kontrol formal atas ruang kota ini digerakkan oleh desakan kepentingan dan hak hidup yang sama untuk mempertahankan diri dalam kontestasi. Kekalahan posisi modal dalam kontestasi di setting kapitalisme ini, menjadikan kelompok bermodal terbatas ini tidak mampu berpijak kokoh untuk menegaskan posisi kedudukannya secara formal. Kota cenderung dikelola dalam kerangka konsepsi yang menghasilkan organisasi produksi ruang yang dikontrol negara maupun kepentingan modal demi terbentuknya aglomerasi ekonomi. Dalam tata kelola ruang formal, prasyarat kekuatan ekonomi menjadikan hierarki organisasi ruang terbentuk secara logis berdasarkan tingkatan kemampuan modal. Namun, kehadiran jaringan informal kota yang menyusup di antara konstruksi formal ini menjadi fenomena kota yang menunjukkan realitas perlawanan. Konsepsi ruang abstrak bisa dianggap gagal membingkai realitas dalam memberikan konsep kesetaraan hak pada peran-peran subjek di dalam kota. Ketimpangan pemberian hak hidup ini menjadi ladang subur bagi penyemaian benih-benih konflik. Wajah Kota Jogja yang akhir-akhir ini didominasi oleh fenomena maraknya pertumbuhan hotel dan apartemen mewah yang menyusup di tengah-tengah perkampungan kota maupun lokasi-lokasi strategis dengan nilai komersial tinggi. Blokade visual kota yang dipenuhi papanpapan periklanan komersial dengan skala gigantis telah mendominasi image kota
dengan orkestrasi gaya hidup konsumtif yang seolah tiada batas. Ruang publik dikepung dan digelontor informasi komersial tanpa memberikan kesempatan pada publik mendapatkan celah kelegaan bagi kenyamanan visual. Stress kota dibebani lagi dengan polutan visual yang mengingkari hak publik atas estetika ruang kota. Ruang kota tidak lagi dimaknai sebagai ruang hidup bersama yang manusiawi, melainkan disikapi secara pragmatis oleh manajemen kontrol yang dikendalikan oleh instrumen pajak demi akumulasi pendapatan. Mereka yang berpajak tinggi otomatis akan menduduki ruang-ruang utama yang membingkai sentra konsentrasi aktivitas sosial ekonomi kota. Kedua kekuasaan baik formal maupun informal dalam contoh tersebut di atas, ternyata telah mengingkari hak-hak publik. Mereka bertarung dalam kontestasi yang melulu dikendalikan oleh format motivasi ekonomi. Keduanya adalah aktor penindas ruang yang berebut dominasi kekuasaan dengan motivasi profit ekonomi sebesar-besarnya untuk investasi yang sudah ditanam; ataupun sebaliknya kelompok sub-ordinat dengan pembenaran tuntutan hak atas ruang kota demi kelangsungan hidup yang digerakkan oleh pemenuhan kebutuhan ekonomi. Pada situasi ini, pemenuhan hak publik atas ruang kota sebagai ruang hidup bersama yang manusiawi dan bermartabat masih berada di dalam bentangan jarak pencapaian yang cukup berarti.
9
C. Praktik Seni dan Negosiasi Ruang Publik
melalui penciptaan ruang simbolik yang bisa dialami secara langsung.
Representational space atau ruang representasi adalah dimensi ketiga dari gagasan ruang dalam perspektif Lefebvrian. Dimensi ketiga ini disebut oleh Lefebvre sebagai pembalikan dari representasi ruang yang merupakan konsep kognitif. Ruang Representasi berisi dimensi simbolik dari ruang. Dalam perspektif ini ruang tidak dimaknai dalam konsep kognitif melainkan ruang yang dialami (lived space) sebagai realitas pengalaman hidup sehari-hari. Dimensi produksi ruang ini merupakan dimensi imajinatif yang menghubungkan ruang dengan simbol-simbol dan makna. Lefebvre beranggapan bahwa kehidupan dan pengalaman manusia tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh analisis teoritis. Ruang selalu akan memuat segala hal yang belum diketahui sampai akhirnya pemaknaan dihadirkan. Ada bagian dari ruang yang hanya bisa diekspresikan melalui bentuk-bentuk artistik.
Praktik seni yang mencoba melakukan intervensi ruang publik akan berada pada situasi terbuka terhadap persepsi dan tafsir publik. Mendudukkan diri pada kerangka kerja simbolik akan membawa peran spasial bagi praktik seni yang mampu menghadirkan ruang representasi artistik. Sementara itu, praktik seni yang sekaligus menjadi praktik spasial tentu akan diperhadapkan pada tuntutan pemahaman terhadap konteks ruang. Absennya konteks dalam karya hanya akan membuatnya teralienasi dari kerangka gagasan ruang yang melibatkan persepsi publik. Negosiasi spasial di ruang publik mensyaratkan sebuah kerangka gagasan yang mampu memberikan kontribusi bagi upaya menegakkan kembali hak kolektif atas ruang kota melalui pengayaan persepsi ruang yang cerdas. Kota bisa tumbuh dalam apresiasi tertingginya untuk menyelenggarakan hidup dan pengalaman bersama warganya.
Pada kerangka kerja simbolik dan artistik inilah, praktik seni hadir sebagai bagian dari kontestasi ruang kota. “JOGJA ORA DIDOL! JOGJA ASAT! JOGJA ISTIMEWA, HOTELNYA!� adalah beberapa teriakan dalam ekspresi verbal dari mural-mural spontan yang tersebar pada dinding kota Jogja. Mural-mural ini seolah membingkai kota dengan dinding-dinding satire kegelisahan, kekecewaan, amarah, juga kesedihan. Lepas dari kualitas artistiknya, kehadiran mural-mural ini sukses menampilkan intervensi spasial di ruang publik sebagai sebuah gagasan simbolik yang berangkat dari pembacaan konteks sosial kota; menghadirkan ruang representasi artistik dari situasi kritis; dan menghidupkan kesadaran medan konflik
Referensi - Habraken, N.J. (2000). The Structure of the Ordinary: Form and Control in the Built Environment. Cambridge, Massachussetts: The MIT Press. - Lefebvre, H. (1984), Everyday Life in the Modern World, transt. Sacha Rabinovitch; new ed. with introduction by Phillip Wander. New Brunswick, NJ: Transaction - Lefebvre, H. (2007). The Production of Space. Translated by Donald Nicholson – Smith. 350 Main Street, Malden, MA 02148-5020, USA: Blackwell Publishing.
10
MERETAS HACKING CONFLICT Wok The Rock, Kurator Jogja Biennale Equator #3
Pameran Utama Biennale Jogja XIII diselenggarakan pada tanggal 1 November sampai dengan 10 Desember 2015. Pameran ini untuk pertama kalinya dalam seri Equator dikuratori oleh seorang seniman. Saya bekerjasama dengan rekan kurator yang juga seniman asal Nigeria, Jude Anogwih dan peneliti Biennale Jogja Lisistrata Lusandiana dalam mewujudkan program Pameran Utama. Selepas penelitian selama 1 bulan di Nigeria, saya tertarik untuk membahas permasalahan aktual yang sedang dihadapi oleh Nigeria dan Indonesia pasca-keruntuhan rezim militer di kedua Negara. Pembahasan pada hal yang aktual diharapkan mampu menepis potensi munculnya pandangan-pandangan atau wacana yang sifatnya stereotipikal tentang kedua negara tersebut. Kritik atas praktik demokrasi yang labil kemudian menjadi acuan utama dalam mengembangkan tema. Melalui pameran seni ini, kurator dan seniman mengajak masyarakat bereksperimen dalam mendayagunakan konflik, ketidakteraturan, kesalahpahaman dan perbedaan karena keberadaannya yang mutlak dalam sistem demokrasi. Konflik selalu dilihat sebagai sebuah momok yang harus diberantas demi kehidupan yang
harmonis. Kenyataannya, konflik akan selalu hadir dalam kehidupan demokratis karena semua orang berhak mengemukakan pendapatnya. Untuk itu, konflik harus dilihat secara positif, sebagai sumber daya penting untuk dikelola sehingga menciptakan sebuah keharmonisan yang tak terduga. Berdasar pada tema tersebut, saya merancang bentuk pameran yang berupa ruang aktivitas. Ruang tersebut diciptakan bersama partisipan pameran dari beragam disiplin ilmu melalui proses kolaborasi yang cair dan terbuka. Ruang aktivitas dibuat untuk menciptakan sebuah kondisi di mana karya seni yang ditampilkan berinteraksi secara langsung dengan publik sehingga wacana yang dipaparkan dipikirkan dan dikerjakan secara bersama. Partisipan pameran sengaja dipilih dari ragam profesi yang berbeda (seniman visual, teater, musik, jurnalis, editor buku, praktisi iklan, tari) demi memunculkan negosiasi artistik yang dianut masing-masing dan untuk menumbuhkan eksperimentasi dalam penciptaan karya. Sistem kolaborasi antar-partisipan i ditujukan untuk memicu munculnya konflik agar tema kuratorial tak hanya
11
Disain Situs Biennale Jogja XIII Equator #3, leh Iswanto Hartono. Lokasi, Jogja Nastional Museum, Jl. Amri Yahya No.1 Yogyakarta
12
Disain Situs Biennale Jogja XIII Equator #3, leh Iswanto Hartono. Lokasi, Jogja Nastional Museum, Jl. Amri Yahya No.1 Yogyakarta
13
sekedar sebuah narasi atau tema karya, melainkan juga menjadi metode kerja. Untuk itu sebuah forum diskusi intensif diselenggarakan setiap bulan untuk menggagas proyek-proyek seni secara bersama. Pameran ini nantinya diharapkan mampu menciptakan ruangruang yang mengintervensi publik secara artistik untuk berpartisipasi aktif sehingga membentuk opini-opini publik. Dengan begitu, karya seni membuka peluang atas inisiatif, aspirasi dan distribusi wacana yang luas. Pameran Utama ini diikuti oleh 23 partisipan dari Indonesia dan 11 dari Nigeria. Mereka adalah Ace House Collective, Aderemi Adegbite, Agan Harahap, Amarachi Okafor, Anggun Priambodo, Anti Tank, Ardi Gunawan, Arief Yudi, Dodo Hartoko, Elia Nurvista, Emeka Ogboh, Emeka Udemba, Fitri Setyaningsih, Joned Suryatmoko, Kainebi Osahenye, ketjilbergerak, Lifepatch, Maryanto, Ndidi Dike, Olanrewaju Tejuoso, Punkasila, Rully Shabara, Segun Adefila, Serrum, Tarlen Handayani, Temitayo Ogunbinyi, Uche Okpa Iroha, Victor Ehikhamenor, Wukir Suryadi, Yudi Ahmad Tajudin, Yazied Syafa'at, Yustoni Volunteero dan Yusuf Ismail. Forum diskusi partisipan telah mulai diselenggarakan pada bulan Mei, Juni dan Juli di Yogyakarta, Jakarta dan Lagos baik melalui pertemuan langsung (Forum Offline) maupun via Facebook Group. Forum ini akan diselenggarakan hingga bulan Desember 2015. Pada bulan Juli lalu, 2 seniman Indonesia: Anggun Priambodo dan Maryanto melakukan residensi selama 2 minggu di Lagos, Nigeria untuk observasi dan produksi karya mereka. Selanjutnya 6
seniman Nigeria melakukan residensi selama 1 bulan di Yogyakarta pada bulan Oktober sampai dengan November 2015. Situs Pameran Utama menggunakan Pendopo Ajiyasa, Plaza JNM dan Plaza Kriya di Jogja National Museum. Ruang pameran yang bersifat semi-terbuka ini dirancang oleh kurator bersama seorang seniman/arsitek Iswanto Hartono. Format pameran yang berupa ruang aktivitas dan bersifat terbuka ini memungkinkan karyakarya yang dihasilkan bekerja bersama masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di lingkungan sekitarnya. Selama 40 hari, situs ini akan menjadi ruang interaksi aktif dengan berbagai macam kegiatan, pertunjukan dan peristiwa seni setiap minggunya. Dari 34 partisipan tercipta 32 karya. Jumlah yang cukup banyak untuk sebuah projek yang dibangun secara kolektif. Ada beberapa hal yang mempengaruhinya. Faktor yang paling besar adalah jarak dan waktu. Partisipan tinggal dan bekerja di tempat yang berbeda-beda. Meskipun dibantu dengan alat komunikasi lintasbatas, dialog yang terjadi tidak terlalu intensif. Tidak semua partisipan aktif atau familiar menggunakan gadget atau aplikasi digital/internet. Hal ini juga dipengaruhi oleh waktu yang dimiliki oleh partisipan. Dalam kurun waktu 6 bulan, beberapa partisipan telah memiliki kegiatan lain baik lokal maupun internasional. Perbedaan waktu 6 jam dengan Nigeria membuat komunikasi mengalami “delay�. Untuk itu, tim kurator memperbanyak pertemuan dan percakapan langsung dengan masingmasing partisipan untuk menjembatani dan memperdalam hal-hal yang luput diperbincangkan di forum online dan offline.
14
Perbedaan gaya atau metode berkarya menghadapkan kami (kurator dan partisipan) pada sistem kolaborasi yang menantang. Jumlah partisipan yang cukup banyak membuat bentuk penciptaan karya kolektif menjadi hal yang utopis. Partisipan terbiasa membuat karya sendiri-sendiri. 'Saya diundang pameran maka saya bikin sebuah karya'. Atas hal ini, pada forum diskusi, kedua partisipan mengajukan ide karyanya masing-masing dan membuka peluang kerjasama dengan partisipan lainnya. Keterbukaan seperti ini saya rasa tidak membuahkan kerja bersama secara langsung karena terlalu cair. Landasan karya yang diajukan harus memiliki peluang atau ruang yang mampu mengakomodir atau membutuhkan disiplin ilmu lain untuk terlibat. Kondisi ini kemudian mendorong saya dan tim kurator bertindak tegas dalam memilih kolaborator yang tepat dan menelaah dengan lebih dalam tiap gagasan yang diajukan untuk menautkannya secara sinergis satu sama lain. Forum diskusi partisipan sangat membantu karena gagasan-gagasan yang muncul dibicarakan bersama sehingga masing-masing partisipan menyumbangkan ide dan memberikan masukan ke partisipan lain meski tidak ikut bekerja secara langsung. Dalam forum tersebut saya juga meleburkan diri sebagai seniman partisipan dan bertindak sebagai kolaborator dalam proyek-proyek mereka. Hasilnya, ada partisipan yang membuat karya sendiri tetapi memiliki medan distribusi yang sama, ada partisipan yang membuat karya sendiri tetapi juga ikut bekerja dengan projek dari partisipan lainnya, ada projek mandiri yang merupakan buah elaborasi dari projek partisipan lainnya, dan ada projek yang digagas dan dikerjakan secara bersama. 32 karya yang muncul ini kemudian ditata secara berjejaring di ruang pameran.
Durasi waktu persiapan selama 6 bulan untuk karya-karya baru berbasis proses tentunya menjadi tantangan bagi tim produksi pameran dan tim publikasi karena tidak semua hal bisa dipersiapkan terlebih dahulu. Kerja menjadi lebih keras, taktis dan improvisatif. Dalam konteks tema, hal ini bisa kita sebut sebagai sebuah kerja yang dinamis. Pameran Utama Biennale Jogja kali ini menawarkan cara menonton atau mengapresiasi karya seni dengan mengalaminya. Seluruh indera tubuh yang kita miliki akan bekerja. Anda berada dalam ruang yang memberikan pengalaman melihat, mendengar, menyentuh, mengendus dan menjilat. Rangasangan indera ini nantinya mendorong anda untuk berpikir, bertindak dan membayangkan sesuatu. Sebagian besar karya yang ditampilkan menawarkan interaksi dan partisipasi pengunjung. Model karya seperti ini tanpa ditunjang oleh sistem interaktif yang tepat akan berujung menjadi objek pasif. Tim kurator dan seniman partisipan bekerjasama dengan 70 sukarelawan. Sukarelawan ini mengikuti lokakarya selama 1 bulan untuk memahami konsep dan metode kerja karya-karya yang ditampilkan. Bersama mereka, kami akan memandu dan menyentil pengunjung untuk terlibat aktif. Sebuah buku panduan pameran berisi informasi karya dan jadwal kegiatan juga akan mendampingi anda. Persiapkan diri anda untuk mengalami dinamika pameran seni Biennale Jogja dalam ruang semi-terbuka di bulan yang memiliki curah hujan yang tinggi. Kini, kami tak lagi bekerja sendirian, jadi mari meretas kondisi yang tidak nyaman ini bersama-sama!
15
MANAJEMEN DARI BAWAH Alia Swastika (Direktur Biennale Jogja XIII)
Alia Swastika, Direktur Biennale Jogja XIII dalam Lokakarya Seni Menulis bersama para penulis magang
Keterlibatan saya dengan Biennale Jogja Ekuator, tak terasa, telah menunjukkan angka hampir lima tahun. Saya mengikuti dan mengagumi, bagaimana di bawah kepemimpinan Yustina, Yayasan Biennale Yogyakarta telah menjadi sebuah lembaga yang rapi, bervisi dan mampu membangun jejaring yang luas dengan masyarakat seni, baik di lingkungan lokal, nasional maupun dalam pergaulan antar-bangsa. Biennale Jogja Ekuator telah dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam kurun enam tahun, sementara pada tahun-tahun di antaranya dilakukan pula beberapa program residensi dan simposium khatulistiwa. Sungguh membanggakan memiliki lembaga yang bervisi kuat dengan keberlanjutan program, di tengah infrastruktur seni kita yang lebih banyak dilandaskan pada gerakangerakan spontan dan sporadis. Pada Biennale Ekuator #1: Shadow Lines: Indonesia Meets India, saya bekerja sebagai kurator Pameran utama bersama Suman Gopinath dari India. Persiapan kami berlangsung
16
hanya enam bulan, sehingga gagasan kolaborasi yang diimpikan melalui program-program pertukaran seni semacam ini terasa sangat samar. Dana yang kami miliki sebagai modal kerja juga sangat minim, sehingga terasa bahwa kami bekerja dalam situasi serba terbatas. Para seniman India memang datang ke Yogyakarta, membuat karya di sini dan meskipun minimal, mencoba membangun interaksi dengan seniman-seniman lokal. Akan tetapi, setiap penyelenggaraan adalah sebuah proses belajar, sehingga pada proses evaluasi, kami membuat banyak catatan sebagai modal untuk membangun keorganisasian yang lebih baik pada penyelenggaraan berikutnya. Dengan penekanan pada gagasan pertukaran dan perpindahan, Biennale Ekuator #2: Not A Dead End (2013), yang dikuratori oleh Agung Hujatnika Jennong dan Sarah Rifky (Mesir) mempertemukan seniman-seniman Indonesia dengan seniman dari kawasan Arab. Pada pelaksanaan kali ini, gagasan pertukaran menjadi lebih intensif dengan dilaksanakannya program residensi yang lebih memadai, mengundang seniman Arab untuk datang, melakukan penelitian dan berkarya di Yogyakarta, tetapi, juga sebaliknya, YBY mengirimkan senimanseniman Indonesia untuk melakukan residensi ke Uni Emirat Arab dan Mesir. Pendekatan ini, dalam pandangan saya, merupakan sebuah langkah yang sangat progresif: dalam situasi-situasi di mana menunjuk ke Barat (Amerika atau Eropa) dianggap sebagai langkah cepat menuju pergaulan internasional, programprogram residensi yang mempertemukan seniman-seniman dari kawasan dengan latar belakang sejarah yang sama kompleksnya, dan dengan relasi politik
yang menarik, merupakan sebuah pernyataan penting. Pada Biennale Jogja XIII, saya kembali bergabung menjadi Direktur, sebuah posisi yang dihindari banyak orang karena kompleksitasnya, dan apalagi kali ini kami bekerja dengan negara yang infrastruktur seninya sama terbatasnya, sehingga agak sulit mendapatkan dukungan penyelenggaraan dari pihak negara mitra. Kurator Pameran Utama Biennale Jogja XIII, Wok the Rock, memaparkan proposal Hacking Conflict yang menarik, dan mencoba membawa gagasan kolaborasi menjadi bentuk dan proses yang lebih ideal. Dengan “konflik� sebagai landasan bagi bingkai kerja kuratorial yang tidak saja menjadi tema, tetapi terutama sebagai pendekatan maka Wok juga mengajukan kolaborasi sebagai metode kerja antara dirinya dan seniman-seniman yang terlibat. Posisi kurator pun digeser menjadi mitra kolaborator bagi para seniman. Artinya, ia membuka peluang bagi para seniman Indonesia untuk membuat karya bersama-sama dengan seniman Nigeria, dan juga sebaliknya. Hasilnya akan kita saksikan bersama pada pameran ini. Melanjutkan tradisi residensi, pada penyelenggaraan ini, seniman-seniman Indonesia pergi ke Nigeria lebih untuk melakukan riset ketimbang melakukan program residensi pembuatan karya. Dua seniman, Anggun Priambodo dan Maryanto, selama dua minggu melakukan perjalanan ke Nigeria untuk melihat langsung situasi-situasi di kota Lagos, bertemu dengan kurator mitra, Jude Anogwih, serta seniman-seniman Nigeria yang menjadi peserta Biennale Jogja XIII. Pada bulan Oktober, kurator Nigeria dan
17
seniman Nigeria melakukan residensi di Yogyakarta selama satu bulan. Dengan tiga kali penyelenggaraan, tradisi untuk mengundang seniman tinggal dan berkarya di Yogyakarta, serta menjadikan biennale sebagai sebuah ruang bagi seniman untuk mencipta maka arah dan visi internasional yang berbasis pada pertukaran, saya kira, sedikit banyak telah terpenuhi. Bekerja dalam gagasan internasional yang sesungguhnya bersifat lebih 'bilateral', di mana kita berfokus pada satu negara, memang memungkinkan kita untuk mempelajari berbagai situasi yang berlangsung dalam negara tersebut. Mau tidak mau, kami belajar banyak tentang sejarah Nigeria, dan juga bagaimana dinamika seni budaya di sana. Selama persiapan acara, kami harus selalu melakukan pengecekan ulang terhadap berita-berita media massa yang tersebar, sehingga kami tidak terlalu khawatir menanggapi beberapa rumor. Sebelum berangkat ke tanah Afrika, para delegasi selalu diingatkan pentingnya pemeriksaan kesehatan sebagai syarat untuk mendapatkan visa, dan ini tidak perlu dilakukan untuk kunjungan ke benua-
benua lain. Dalam hal diplomasi kebudayaan, dapat dikatakan upaya yang dilakukan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta untuk bekerja sama dengan kawasan Afrika, dan dalam hal ini Nigeria, menempatkan kami dalam posisi pelopor. Staff di Kedutaan Nigeria di Jakarta sendiri mengatakan bahwa pihak mereka bahkan sama sekali buta tentang seni kontemporer Nigeria. Mereka sangat terkejut (sekaligus bangga, saya kira) bahwa ada sebuah organisasi di Indonesia, di Yogyakarta, yang tertarik pada dinamika seni di negara mereka. Selama ini, kasus-kasus yang mereka tangani sebagian besar berkisar pada masalah tenaga kerja, perdagangan, olahraga, atau, yang justru cukup populer adalah penyelundupan obat-obatan terlarang. Karena itu, ketika kami bermaksud mengundang 7 orang warga Nigeria, kantor Kedutaan Besar Indonesia di Abuja pun cukup kelabakan. Beberapa kali kami harus berkomunikasi melalui telepon untuk menjelaskan apa itu Biennale Jogja dan mengapa kami tertarik bekerja sama dengan Nigeria. Kami juga diminta untuk menunjukkan beberapa bukti bahwa individu-individu yang
Forum Offline seniman Nigeria di StudioKainebi Osahenye, Lagos, Nigeria
18
diundang memang berprofesi sebagai seniman, dan bukan abal-abal yang dikhawatirkan nantinya justru membawa obat-obatan ke Indonesia. Pengalamanpengalaman seperti ini cukup menarik untuk melihat bagaimana gagasan tentang identitas dan batas bekerja dengan cakupan dan modus yang sangat berbeda di kalangan pemerintah (birokrasi) dan di kalangan masyarakat sendiri. Barangkali, karena birokrasi berorientasi pada sistem, maka saat bekerja dalam wilayah yang lebih luas, punya kecenderungan melakukan generalisasi, kalau tidak penguatan stereotipe. Sementara itu, proyek-proyek kebudayaan antar-warga seperti ini justru punya kemungkinan untuk mempertemukan individu-individu secara langsung, dan karenanya, dalam proses kerja seperti ini, tindak pembentukan steoreotipe terus-menerus diuji atau bahkan, ditolak. Berkomunikasi dengan para seniman Nigeria tidaklah terlalu menjadi masalah dalam hal bahasa. Sebagian besar dari mereka berbahasa Inggris dengan baik, dan bahkan beberapa di antara mereka sempat tinggal di Inggris atau beberapa negara lain di Eropa/Amerika untuk jangka waktu yang lama. Sebagaimana seniman-seniman lain di kawasan Afrika, ada banyak seniman diaspora, dan ini menjadi salah satu kekuatan penting dalam munculnya seni Afrika sebagai wacana dalam kajian seni rupa kontemporer. Mobilitas yang cukup tinggi di kalangan seniman Afrika, terutama ke wilayah-wilayah Eropa/Amerika, menjadi awal bagi terbukanya lalu lintas pergeseran pengetahuan dan praktik seni dari dua wilayah tersebut. Kurator mitra kami, Jude Anogwih, merupakan bagian dari generasi kurator dan pelaku
kebudayaan Nigeria yang cukup aktif terlibat dalam peristiwa-peristiwa seni internasional, terutama berbasis video dan fotografi. Begitupun beberapa seniman yang menandai pentingnya posisi seniman-seniman Afrika dalam pergerakan seni rupa global. Kami sangat merasa bangga menjadi pelopor dalam relasi Asia Tenggara dan Afrika ini. Tentu saja kami tidak sendirian melakukan usaha ini. Rekan kami, Zoe Butt, melalui lembaga San Art di Ho Chi Minh City, Vietnam, belakangan juga sangat aktif melakukan kerja kolaborasi dengan kawasan Afrika. Ketertarikan ini saya kira tidak hanya dilatarbelakangi keinginan untuk menjejak lagi sejarah relasi antara dua benua yang pernah terjalin sebelumnya melalui Konferensi Asia Afrika, tetapi juga keinginan untuk melihat jauh ke masa depan di mana negara-negara di kawasan khatulistiwa, termasuk di dalamnya Asia dan Afrika, akan menjadi kontributor penting bagi perkembangan dunia, sebagaimana yang sempat disebut Presiden Jokowi dalam pidato perayaan 60 tahun KAA di Bandung, April 2015 lalu. Inisiatif-inisiatif yang dikerjakan oleh lembaga-lembaga skala kecil seperti Yayasan Biennale Yogyakarta maupun San Art, merupakan bagian yang sangat berarti dalam langkah membangun narasi baru di masa depan, terutama karena pada pertemuanpertemuan macam inilah stereotipe dipertanyakan dan ditolak, serta kolaborasi-kolaborasi dicoba dicari titik temunya. Berbagai kesulitan yang menghadang sebagai konsekuensi dari lembaga kecil sedikit demi sedikit kami urai, dan kami berharap ada pengetahuan yang bisa disemai dari sana. Kami menyebut kerja-kerja ini sebagai: manajemen dari bawah.
19
“NIKMATNYA BERPROSES DI BJXIII INI”
Luthfi Rahman
Lala Perdanawati
Ery Kristiana
Inas Sita Zalikha
Deasy fathmasari
Erni Maria Anggraeini
Perhelatan BJXIII tinggal menghitung hari. Ritme kerja seluruh tim persiapan semakin ditingkatkan. Seluruh tim persiapan termasuk para relawan sudah kian bergegas. Namun di tengah dinamika kerja dan proses dalam mewujudkan perhelatan, terdapat kenikmatan yang dirasakan para relawan BJXIII, yang kebanyakan merupakan mahasiswa dan anak muda. Kenikmatan berjejaring dan belajar bersama, seperti yang dilontarkan berikut ini; Luthfi Rahman “Sejauh ini sangat menarik atmosphere teamworknya. Karena didukung dengan rekan-rekan yang kompeten dan saling mengerti kelemahan dan kelebihan rekan lainnya, dan terimakasih untuk kakak-kakak dari YBY yang sabar menjelaskan dan membimbing kami para LO.” Lala Perdanawati “Senang. Karena saya mendapat pengalaman baru di dunia seni. Sebelumnya saya hanya melihat pameranpameran seni saja, dengan menjadi volunteer di Biennale saya jadi tahu bagaimana proses sebuah perhelatan seni.” Ery Kristiana “Suasana kekeluargaan yang dekat, bekerja dalam teamwork yang menyenangkan, ilmu dan wawasan yang luar biasa, itulah nikmatnya berproses di BJXIII ini ”. Inas Sita Zalikha “Seneng nambah kenalan baru, terus bisa belajar dr seniman- seniman yang didatangi. Capek, tapi dapat pengalaman baru.” Deasy fathmasari “Senang sekali bisa terlibat dalam biennale dan mendapat kudapan baru wacana tentang seni.” Erni Maria Anggraeini “Di Biennale Jogja saya berkenalan dengan seni rupa. Perkenalan yang mengesankan.”
20
SENI POLITIS DAN POLITIK SENI NIGERIA Victor Ehikhamenor and Anna Kovie Parker
Sumber: http://africacartoons.com/akinola-lasebikan-nigerian-business-presitage/
Tidak berlebihan jika seni disebut sebagai ekspresi atau pengejawantahan dorongan kreatif dan imajinatif manusia yang dengan mudah kita lihat dalam bentuk-bentuk visual seperti lukisan dan patung. Terkait dengan kegiatan ber-Bangsa dan ber-Negara, proses penciptaan dan penikmatan seni selalu politis. Dengan makna seni yang luas ini, mari kita fokus pada kekuatan emosional seni–kemampuannya membangkitkan, meyakinkan dan mempengaruhi. Ini bisa kita lihat terutama pada ranah politik praktis di mana seni dan budaya berfungsi sebagai pemandu kepekaan sosial dan transformasi politik di jalan menuju masyarakat yang ideal.
21
Pada dasarnya, seni selalu merupakan sebuah tanggapan atas kejadian-kejadian terkini dengan dimensi sosial-politiknya. Seni di titik tersebut menjadi instrumen perubahan sosial-politik, mempertanyakan norma yang ada dan membongkar batas-batasnya sekaligus menjadikan dirinya sendiri sebagai sebuah kontroversi. Karenanya seni selalu merupakan oposisi dari status quo. Dilihat dari sisi ini, seni selalu bersifat politis. Seberapapun abstraknya sebuah karya, ia selalu berangkat dari sebuah nilai dan meletakkannya di hadapan status quo– entah melawan maupun menyokong. Para seniman hampir selalu memunculkan karyanya dengan strategi tertentu agar dapat merengkuh penikmatnya untuk melihat secara kritis isu-isu yang ada dan menandai momen-momen penting. Di masa tertentu, pertautan antara seni dan politik bisa tampak sangat kentara. Di momen-momen krusial dalam sejarah seperti Gerakan Anti-Perang, Gerakan Hak Azasi Manusia, Gerakan Feminis dan beberapa gerakan yang lain, seni–representasi visual dan ekspresi artistik–jelas memiliki peran. Bahkan, dapat dikatakan, seni yang menyetel iklim politik secara keseluruhan di sebuah masyarakat. Singkatnya, jika kita melihat sejarah, selama berabad-abad, seni selalu berbicara di ranah politik. Dengan kata lain, seni memainkan peran penting dalam wacana dan partisipasi masyarakat di ranah politik. Sebagai contoh, bukan rahasia umum bahwa seniman-seniman sebelum abad ke-19 disokong oleh Gereja, Negara, kelas penguasa atau bentuk-bentuk kekuasaan lain untuk mencipta karya sesuai dengan imaji yang disediakan si penyokong dana. Para seniman ini mengerti benar posisi mereka dan posisi pemesan dan mereka
bekerja dengan fokus di lingkup tersebut. Kejadiannya berbeda ketika mereka memproduksi karya tanpa sokongan dari bentuk kekuasaan apapun. Mereka biasanya dapat mengambil jarak dan dapat dengan kritis melihat kelas penguasa – mempertanyakan kondisi penindasan dan mengkritik “perang yang tak penting”. Tujuan seni menurut Gustave Courbet, tokoh penting di realisme abad ke-19, adalah untuk mengganggu kelas borjuis. Seringkali hal tersebut berujung pada penyingkiran dan pemiskinan si seniman bahkan pembuangan dan hukuman mati di beberapa kasus luar biasa. Seniman kontemporer sudah tak lagi merasakan 'hukuman' semacam itu karena memanfaatkan karyanya untuk mendorong perubahan sosial, tetapi seni dan budaya secara umum tetap menjadi katalis bagi perubahan dan transformasi sosial. Dengan menunjuk dan menyingkap penyakit sosial-politik dalam masyarakat, pada dasarnya kegiatan-kegiatan kesenian dan kebudayaan berusaha memberi gambaran atas dunia ideal versi mereka. Lebih jauh, mereka menunjukkan norma dan perilaku umum (ide, kebiasaan dan perilaku sosial) yang harus diikuti masyarakat atas nama harmoni dan tatanan sosial karena ide dan kebisaan itu yang mengatur hubungan sosial dan mendasari sistem politik yang ada. Budaya Populer sesungguhnya juga dibentuk oleh kesenian: musik, film, puisi dan segala bentuk tulisan, graffiti, dan bentuk-bentuk ekspresi artistik lainnya. Artinya, mengingkari peran budaya populer sama dengan mengingkari salah satu cara memahami konflik-konflik yang ada sebagai bahan bakar kegiatan politik. Ada banyak contoh dimana karya seni
22
Kiri: http://africacartoons.com/ak inola-lasekan-unitednigeria/ Kanan: http://asukwo.blogspot.co.i d/2011/07/blog-post.html (politician ayam)
memberi pengaruh pada ranah sosial-politik. Sebut saja Guernica karya Pablo Picasso yang bercerita tentang pemboman kota Basque pada tahun 1937 oleh pesawat Jerman. Karya ini dikenal sebagai salah satu karya seni antiperang yang paling menyentuh dan menarik perhatian dunia ke Perang Saudara Spanyol. Selain Guernica ada “Simfoni ke Sembilan� karya Beethoven. Kedua ada di level yang sama sebagai ikon kultural yang tidak hanya menyuarakan suara anti-perang, tetapi juga harapan dan kedamaian. Sebagaimana yang kini kita mengerti, seni tidak dapat dilepaskan dari latar kebudayaan dan kejadian-kejadian sosioekonomik dan politik di sekitarnya. Begitu juga kondisinya di Nigeria. Seni di Nigeria memiliki peran di naik-turunnya perpolitikan Nigeria. Berikut adalah cerita lebih lanjutnya. KARTUN Kartun sebagai sebuah bentuk kesenian merupakan representasi visual atas sebuah kejadian dan/atau ide yang seringkali dilengkapi dengan isyarat-isyarat verbal dengan tujuan menggelitik penikmatnya. Itu terlihat dengan jelas di panel-panel kartun satir politik. Saat kebanyakan ekspresi artistik kekinian dimanfaatkan untuk mempromosikan konsep dan nilai liberal, kartun politik masih merupakan media kuat untuk menyoroti dan juga mengkritisi ide-ide politik. Di luar fungsinya sebagai tolok ukur kemajuan sosial, kartun juga dapat difungsikan sebagai dokumen historis mengenai iklim politik masa tertentu. Kartun politik, atau biasa juga disebut sebagai kartun editorial, telah ada di terbitan jurnalistik Barat sejak abad ke-18. Di Nigeria, kartun politik baru muncul tahun 1940-an, yaitu ketika Akinola Lasekan – seorang seniman dan
23
perupa komersil – dipekerjakan oleh West African Pilot. Hal tersebut kemudian diikuti oleh banyak koran. Kartun editorial di Nigeria merupakan ilustrasi visual untuk kejadian-kejadian menarik, kondisi sosial-politik yang gawat, tema-tema ekonomi politik, permasalahan sosial atau isu-isu yang menyangkut nasib sebuah negara. Dan kini budaya kartun di jurnalisme telah mapan. Hampir tak ada koran yang tak memiliki kartun editorial. Di Nigeria, kartun telah menjadi salah satu alat paling berpengaruh untuk menyebarkan dan memperkenalkan warisan budaya. Dilihat dari sejarahnya, editorial kartun di Nigeria memiliki posisi unik sebagai jendela untuk melihat sekaligus memahami politik daerah dan nasional. Dengan memanfaatkan metafora, simbol dan perangkat retorika lainnya, para kartunis memaknai situasi politik tertentu secara visual dengan nada menghibur sekaligus provokatif. Di masanya Lasekan, melalui karya-karyanya, berbicara tentang kehidupan masa penjajahan sekaligus perjuangan kebangsaan yang kemudian berakhir bahagia dengan kemerdekaan Nigeria. Visi tersebut kemudian berlanjut di diri kartunis-kartunis setelahnya seperti Dele Jegede, Akin Onipede, Boye Gbenro, Josy Ajibode dan Victor Ekpuk. Para kartunis tersebut menyoroti kemerosotan Nigeria sebagai sebuah negara dan bangsa karena para pemimpin yang korup. Tidak berhenti sampai di sana, di masa kepemimpinan militer (1983-1999), kartun politik memiliki peran yang krusial. Masa ini adalah masa yang penuh dengan kejadian yang menjadi jejak-jejak proses demokratisasi Nigeria. Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pihak militer yang berkuasa adalah ciri utamanya. Dalam kondisi tersebut, setiap pergerakan
(perubahan) memicu reaksi dari rakyat Nigeria dan mengilhami para kartunis. Sebagai hasilnya, kini kita dapat melihat runutan kejadian masa tersebut dalam bentuk ilustrasi satiris. Di masa pasca-kekuasaan militer, pemanfaatan kartun politik sebagai kaca realitas sosial-politik tak berubah. Karya para kartunis di masa ini berperan sebagai media informasi yang menginformasikan tentang hak pilih, berjalannya pemerintahan, pentingnya transparansi dan pentingnya pemilihan umum yang demokratis. Karya-karya tersebut juga menunjukkan ke khalayak umum lubanglubang di Pemerintah dengan cara yang humoris. Salah satu yang paling saya sukai adalah karya-karya kartunis Mike Asukwo di koran Business Day. Karya-karyanya benar-benar menunjukkan bagaimana kartun politik memiliki peran yang menentukan sekaligus kritis dalam proses demokratisasi Nigeria. Karya-karya yang berisi kritik sosial tersebut berlaku bak corong bagi suara rakyat dan perpanjangan tangan rakyat untuk mengkritisi kebijakan Pemerintah. MUSIK Musik dan politik memiliki sejarah persinggungan yang panjang. Dapat dikatakan musik selalu berguna secara politis. Hal tersebut telah dibuktikan di berbagai masa – mulai dari masa Alexander Agung hingga masa ketika agama adalah pusat semua kegiatan manusia bahkan hingga masa Hip-hop dan demokrasi modern. Di berbagai konteks tersebut, para musisi dan penulis lagu telah mengabdikan bakat dan kemampuannya untuk melayani isu sosial dan menyuarakan mereka yang tertindas. Musik di sini adalah jembatan penghubung antara kata-kata dan isu-isu hak sipil. Musik adalah sebentuk
24
kebebasan dan ekspresi yang bertindak sebagai advokat, juru kampanye sekaligus inspirator bagi keadilan sosial. Di Amerika Serikat tahun 1960-an, kita melihat bagaimana istilah 'lagu protes' diciptakan dan dimaknai lewat kehadiran Bob Dylan dan banyak musisi lainnya yang memprotes Perang Vietnam. Di Nigeria, banyak musisi yang juga memainkan peranan penting dalam mempengaruhi iklim sosial-politik bangsa ini. Fela Anikulapo Kuti dengan Afro-beatnya adalah figur utama oposisi ritmis terutama setelah Republik Ketiga (Third republic). Dan seiring dengan melonjaknya karir bermusiknya, melonjak pula pengaruh politisnya. Melalui sorotan tajamnya atas betapa korupnya kelas penguasa, ia memicu hasrat untuk perubahan di diri para pendengarnya. Pengaruh ideologi Fela benar-benar harus dipertimbangkan. Lewat karya-karyanya, ia menggugah kesadaran berbasis latar budaya kekinian untuk mempengaruhi masyarakat secara praktis (partisipatif) dan wacanawi untuk berpolitik. Musisi-musisi muda lainnya seperti Lagbaja, Tuface Idibia, Wasiu Ayinde, African China, Sound Sultan dan Eedris Abdulkarim dengan karya-karyanya adalah contoh lain seniman yang memanfaatkan oposisi ritmis dalam musik untuk mendorong perubahan sosialpolitik. Sastra Sastra juga memiliki bagian yang tidak kecil dalam hal pengangkatan penyakit sosial-politik sebuah bangsa. Sastrawansastrawan Nigeria seperti Okigbo, novelists Chinua Achebe, Wole Soyinka, Abubakar Gimba, Festus Iyayi, dan Ola Rotimi telah lama memperlakukan karyanya sebagai kendaraan untuk
mengolok-olok permainan kotor politik di masanya. Nigeria juga memiliki penyairpenyair pasca-kolonial, yang disebut sebagai penyair ratapan, yang meratapi pengkhianatan elit politik dan keretakan Nigeria sebagai sebuah bangsa. Beberapa penyair yang masuk dalam golongan ini diantaranya Niyi Osundare, Tanure Ojaide, Olu Oguibe, Harry Garuba, Odia Ofeimun, Femi Oyebode, Uche Nduka, Nnimmo Bassey, Remi Raji, Usman Shehu, Afam Akeh dan Ogaga Ifowodo. Di sisi drama, di tahun 1970-an para dramawan menghasilkan karya yang memang secara khusus menyoroti dampak sosial dan moral kediktatoran. Bode Sowande, sebagai contoh, mendalami tema korupsi dan eksploitasi di karyanya Afamoko – The Workhorse (1978) dan Flamingoes (1982). Contoh lain adalah Babatunde Osofisan yang medalami dampak-dampak alienasi Brechtian, pembacaan cerita dan permainan peran untuk mengangkat potensi revolusioner yang ada. Hal tersebut terlihat di karya-karyanya seperti The Chattering and the Song (1977) dan Esu and the Vagabond Minstrels (1991). Femi Osofisan lewat karyanya Once Upon Four Robbers (1980) juga berusaha menyoroti kebijakan pemerintah eksekusi publik para perampok bersenjata. Satu lagi yang tak boleh terlewat adalah usaha menyindir diktatordiktator Afrika oleh Wole Soyinka lewat A Play of Giants-nya (1984). Selayaknya budaya tulis-menulis di banyak daerah, di Nigeria perkembangan sosialpolitik menjadi sumber inspirasi bagi para sastrawan. Kini seiring dengan proses demiliterisasi (demokratisasi), ada semacam euforia di wilayah sastra yang
25
ditandai dengan tradisi linguistik yang terang-terangan ketika berbicara tentang realitas sosial-politik. Hal tersebut cukup berbeda dengan para pendahulu mereka yang harus menghadapi sensor dan tekanan dari pihak militer yang berkuasa.
http://asukwo.blogspot.co.i d/2011/07/blog-post.html (cartoon 20 June 2011Asukwo)
CONTOH LAIN Di ranah seni rupa kontemporer, berbeda dengan fenomena di ranah-ranah sebelumnya, cukup sulit untuk merunut karyakarya yang memang dengan gamblang bermotif politik. Namun tidaklah sulit jika kita sedikit menengok ke belakang ke perupa-perupa sebelumnya seperti Uche Okeke, Demas Nwoko dan Obiora Udechukwu. Di karya-karya mereka, jelas tampak bekas dan trauma masyarakat Nigeria terkait dengan Perang Sipil Nigeria (Perang Biafra). Okeke pada masa itu banyak membuat poster 'perang' dengan pesan jelas: “Ulurkan tangan anda pada pengungsi Biafra” dan “Kasihanilah baik yang muda maupun yang tua”. Cukup sulit untuk menikmati
26
Sumber: http://asukwo.blogspot.co.id/ (CartOCT 011c tragic stories)
karya Okeke dari masa itu tanpa menitikkan air mata. Selama masa transisi ke demokrasi, bangsa ini juga menyaksikan banyak kampanye artistik yang tak hanya memprosmosikan hak memilih namun juga perdamaian selama masa pemilu. Mulai dari konser musik sampai ekspresi visual, kampanye-kampanye visual di atas telah berkontribusi pada meningkatnya kepekaan pemilih terkait dengan haknya, persatuan dan kedamaian. Sebagai contoh di Pemilu 2015 yang baru saja dilewati, saya ikut serta dalam sebuah kampanye politik bertajuk “Tinta bukan Darah� (Ink not Blood). Di sana tujuannya jelas: menggunakan seni untuk menyebarkan pesan kedamaian selama masa tersebut dan seterusnya. Dengan memproduksi, lalu kemudian menyebarkan karya-karya – dalam bentuk lukisan, coretan, meme, ilustrasi dan kartun - yang mengedepankan persatuan dan kedamaian, kampanye ini mengangkat narasi tentang tanggung jawab sipil dan pemilihan demokratis tanpa pertumpahan darah yang sia-sia.
Aktivisme politik harus dapat melampaui dari sekedar muncul di saat pemilu atau memastikan pemilih memilih dengan damai. Bahkan dapat dikatakan pendekatan tersebut adalah pendekatan yang pasif dan kurang efektif. Para aktivis harus menyadari kekuatan pikiran karenanya mereka harus menguatkan dari dalam dan menanamkan hasrat untuk perubahan tanpa terkecoh oleh omong kosong para politikus, pemerintah maupun organisasi multinasional. Seni memiliki kekuatan untuk menanamkan keinginan untuk berubah di sisi terhalus manusia dan membangkitkan kesadaran sesuai pesan yang diinginkan para seniman. Dengan menanamkan ideologi semacam itu, seniman dapat memastikan perubahan di pola pikir masyarakat yang merupakan situs perubahan sesungguhnya. Dan sekali harus saya katakan, kita tak dapat begitu saja mengabaikan pengaruh budaya populer sebagai sebuah alat karena itu sama artinya dengan mengabaikan konflik aspirasi yang berperan besar dalam politik.
27
BIENNALE JOGJA SUDAH MANDIRI? Yustina Neni, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Sejarah Biennale Jogja dimulai pada tahun 1988 dengan penyelenggaraan Pameran Besar Seni Lukis Yogyakarta. Pendanaan Biennale Jogja sejak 1988 hingga sekarang, berasal dari APBD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Biennale Jogja adalah program Taman Budaya Yogyakarta (TBY) yang sejak tahun 2011, secara resmi dikelola penyelenggaraannya secara mandiri oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). Lho, dikelola mandiri kok masih mendapat pendanaan dari Pemerintah? Jumlah anggarannya juga meningkat. Jadi, mandirinya di mana? Sejarah berdirinya YBY berangkat dari kegelisahan para seniman Yogyakarta yang sering tertimpa “abu hangat� TBY setiap menjelang pelaksanaan Biennale Jogja. Pola kerja TBY yang selalu mendadak membentuk kepanitiaan mengakibatkan pelaksanaan Biennale Jogja tidak pernah maksimal. Oleh sebab itu kemudian dibentuklah lembaga pengelola Biennale Jogja, yaitu YBY dengan tujuan agar Biennale Jogja berlangsung secara maksimal. Tugas-tugas pengelolaan ini meliputi persiapan dan promosi, yaitu menyiapkan biennale yang akan datang dan mempromosikan biennale yang berlangsung sebelumnya dalam kurun waktu yang secukup-cukupnya (minimal 2 tahun). YBY membuat program penguat
Biennale Jogja, yaitu simposium yang diselenggarakan berselang tahun dengan Biennale Jogja. Simposium ini adalah sebuah forum internasional yang dirancang sebagai arena pertemuan ahli, pemikir, praktisi, peneliti di bidang seni rupa dan kebudayaan. Maka skema yang akan terjadi adalah BJ-S-BJ-S-BJ dan seterusnya. Skema ini akan ditutup dengan Konferensi pada tahun 2022. Pada saat masih diselenggarakan oleh TBY, Biennale Jogja diperlakukan sebagai even rutin semata dengan persiapan seadanya. TBY tidak melihat even ini sebagai program strategis dan sebagai media diseminasi gagasan artistik dan medan pertukaran pengetahuan antarpara praktisi seni, akademisi, dan masyarakat di Yogyakarta dengan praktisi seni, akademisi, dan masyarakat di luar Yogyakarta, baik tingkat nasional maupun internasional. Pola pelaksanaan yang rutin tanpa ada upaya pengembangan apapun itu maka usulan pembentukan lembaga resmi pengelolaan Biennale Jogja disampaikan ke Gubernur DIY pada awal tahun 2010. Misi yang dibawa ke Gubernur adalah (1) Biennale Jogja menjadi mandiri dalam pengelolaan dan (2) Meminta kenaikan anggaran penyelengaraan Biennale Jogja. Usulan ini disampaikan dalam beberapa pertemuan yang difasilitasi oleh TBY dengan Dinas
28
Kebudayaan DIY, DPRD, dan Gubernur DIY. Akhirnya usulan pembentukan lembaga resmi pengelola Biennale Jogja disetujui oleh Gubernur. Yayasan adalah bentuk badan hukum yang dipilih. Pemda DIY juga menaikkan anggaran penyelenggaraan Biennale Jogja, dari Rp. 100.000.000,- pada tahun 2009, menjadi Rp. 349.975.000 untuk tahun 2011, menjadi Rp. 590.000.000,pada tahun 2013, menjadi Rp. 1.926.190.000,- pada tahun 2014, dan tahun 2015 ini anggaran Biennale Jogja adalah Rp. 1.573.074.700,-. Semua dana berasal dari APBD DIY dan tetap dikelola oleh Taman Budaya Yogyakarta sebagai pemilik program. Pembiayaan dijalankan oleh YBY dengan aturan-aturan pemerintah yang berlaku umum. Bukan itu saja, dalam perencanaan penganggaran Biennale Jogja, TBY juga mengajak YBY, sehingga semua penjadwalan pembayaran mulai dari tahap persiapan hingga even selesai berlangsung lancar. Dari tahap penganggaran hingga pelaksanaan selalu berada dalam koordinasi dengan Dinas Kebudayaan DIY karena TBY adalah Unit Pelaksana Teknis di bawah Dinas Kebudayaan. YBY juga memiliki keleluasaan mencari dana tambahan dari sponsor, baik itu dari perusahaan, lembaga donor, maupun sumbangan pribadi. Sebagai lembaga publik yang menjalankan program pemerintah, YBY juga menjalin kerjasama program, baik di dalam maupun di luar negeri. Kerjasamakerjasama yang dijalin itu bertujuan untuk mempromosikan Yogyakarta sebagai wilayah penting dan harus diperhitungkan dalam perkembangan peta seni rupa dunia. Biennale Jogja saat ini dijalankan tidak lagi sekadar rutinitas dua-tahunan,
tetapi telah dikelola dengan visi jangka panjang. Model pengelolaan Biennale Jogja diapresiasi secara positif oleh berbagai kalangan sebagai keberhasilan dialog antara masyarakat dengan negara, dalam hal ini Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemda DIY telah membuka diri dan menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan mengakomodasi dinamika masyarakatnya. Pemda DIY menunjukan sikap yang baik. Negara yang mengakui keberadaan warganya dan mengakomodasi pilihan-pilihan warganya yang ingin membangun gagasan kesenian tersendiri. Model pengelolaan program secara mandiri semacam ini sangat diinginkan juga oleh bidang seni lainnya di Yogyakarta. Saya rasa kerjasama antara pemerintah dan seniman seperti yang terjadi dengan Biennale Jogja harus dilanjutkan pada program-program lain. Jadi apakah Biennale Jogja telah mandiri? Ya, sebagai program Pemda DIY pengelolaan Biennale Jogja sangat mandiri. Program ini dijalankan oleh publik bersama-sama dengan negara. Keduanya, publik dan negara, duduk dan mendiskusikan cara bekerja secara bersama. Para praktisi seni rupa berani menyatakan pilihannya, berani menyatakan gagasannya, dan berani mengajak Pemda untuk bersama-sama mencari solusi, sehingga Biennale Jogja bisa bergerak lentur mengakomodasi dinamika seni di masyarakat dan percaya diri menghadapi perubahan dan perkembangan jaman. Dalam hal ini Jogja memang istimewa. Bagaimana dengan kebijakan publik lainnya? Apakah juga istimewa?
29
BERANI DAN PERCAYA DIRI MENGELILINGI PLANET BUMI Bekerjasama mengeksplorasi, mempromosikan, dan berbagi pengetahuan tentang Khatulistiwa keseluruh dunia. Terimakasih kepada lembaga dan perusahaan pendukung dibawah ini dan para dermawan yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu
WASH
30
WARNA WARNI BJXIII INDONESIA BERTEMU NIGERIA
31
32
AFRIKA DAN KEINDAHAN LAINYA
WAWANCARA DENGAN JUDE ANOGWIH Lisistrata Lusandiana (Peneliti Yasasan Biennale Yogyakarta)
Foto oleh Alejandro Moloniewicz
33
Sejauh ini bagaimana kesanmu selama berada di Indonesia? Bagiku, pengalaman tinggal di Indonesia ini sangat sangat menyenangkan. Karena Indonesia merupakan negara yang sangat luas, lebih tepat jika kukatakan sangat menyenangkan berada di Jogja. Aku juga sempat singgah di Jakarta dan juga Solo. Kini aku tinggal untuk sementara waktu di Jogja. Pengalaman ini sangat menarik. Menariknya lagi, aku tidak melihat banyak perbedaan. cuacanya kurang lebih mirip dengan cuaca di Nigeria dan makanannya pun tidak jauh beda. Makanan pokoknya nasi dengan sayur, salad dan lauk, jadi aku tidak ada masalah beradaptasi dengan makanan. Rasa bumbu dan rempahnya pun mirip. Banyak makanan Indonesia yang pedas, di Nigeria juga banyak. Suasana tinggal di Jogja ini sangat menyenangkan. Satu-satunya persoalan hanyalah bahasa. Jauh lebih mudah membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia, tetapi mendengarkannya sungguh sulit. Ketika kita mendengarnya, ternyata berbeda dari apa yang ditulis. Tetapi aku cukup senang karena sudah mengikuti kelas belajar Bahasa Indonesia. Dengan mempelajari bahasa aku yakin bisa lebih banyak menghargai budaya dan kebiasaan orang Indonesia. Tentunya aku juga akan lebih bisa bersikap sopan di tengah masyarakat Indonesia jika mengerti bahasanya. Jogja ialah kota yang sangat menyenangkan, kota kosmopolitan, terdapat banyak motor, terdapat beragam manusia, institusi, seperti kampuskampus, ruang-ruang seni, museum dan galeri. Dalam beberapa hal terdapat kesamaan yang bisa dibandingkan dengan apa yang ada di Lagos Nigeria. Dan sejauh
iin aku juga bertemu dengan orang-orang yang sangat ramah. Sungguh aku merasa sangat beruntung aku sudah menjumpai orang-orang Indonesia seperti Neni, Rain, Arham, Wok, sebelum aku tiba di Indonesia. Aku sudah mulai berkomunikasi dengan teman-teman dari Indonesia. Dan dari situlah aku merasa sudah terhubung dengan kota ini. Selama di Nigeria aku sudah berkomunikasi banyak melalui skype, whatsapp, facebook, sebelum tiba di Jogja. Sehingga aku bahkan merasa pernah ke kota ini sebelumnya. Dan juga karena kemiripan yang aku temui di kota ini. Bisa disebutkan kemiripan yang dimaksud? Ya, banyak sebetulnya. Terutama kemiripan arsitektur. Di jaman globalisasi ini pembangunan kotanya kurang lebih sama. Ketika aku mengunjungi suatu tempat, aku sering kali merasakan kedekatan dengan kota yang baru saja kudatangi. “wah, tempat ini terasa familiar�. Akan tetapi itu bisa saja ilusi yang diakibatkan oleh keramahan yang diberikan oleh orang-orang yang kutemui, seperti orang-orang yang kutemui di beberapa ruang seni, seperti Kunci, Ace house collective, Mes 56, dan di Solo aku juga telah menemui dan berbincang dengan beberapa orang yang memiliki kreativitas. Dengan orang-orang tersebut aku dapat banyak tambahan pengetahuan soal pandangan orang Indonesia melihat hidup. Bagiku itu sangat menarik dan sangat membantu prosesku dalam beradaptasi dan memahami kapasitas dan pekerjaan yang aku lakukan di kota ini.
34
Forum offline seniman Nigeria dan seniman Indonesia, Residensi di Lagos, Nigeria Foto: Victor Ehikhamenor
Apa yang paling kamu sukai dari Indonesia? Ya, favoritku sejauh ini adalah melihat dan mendengar kicauan burung. Mereka terdengar sangat merdu. Bukan hanya karena suara dan keindahan bulunya, tetapi yang lebih menarik ialah karena di hampir setiap rumah terdapat burung. Memang burung-burung tersebut berada di dalam sangkar, akan tetapi cara orang Indonesia memaknai burung itu sangat menarik. Burung di Indonesia tidak hanya dinikmati secara vidual maupun suaranya, namun ada makna-makna kultural lainnya. Selain itu aku juga sangat senang bepergian dengan kereta api. Perjalanan ke Solo yang kulakukan dengan beberapa orang dari Cemeti itu sangat tepat, aku senang sekali melakukannya. Selama di kereta aku bisa melihat keindahan alam, bertemu banyak orang yang jauh dari perkotaan, jauh dari pusat kota Jogja. Dan bagiku, Jogja ialah kota yang sangat indah. Aku tidak bisa menyebutkan satu hal yang paling kusuka selama di Indonesia. Aku menyukai banyak hal yang telah kutemui di Indonesia. Aku juga menemui pengalaman yang sangat mengesankan selama di Jogja. Aku juga telah menemui banyak seniman, terlibat dalam perbincangan hangat dan menyenangkan. Aku pikir sangat penting kita menjaga koneksi yang sudah terbangun ini dan bagiku keterhubungan ini akan selalu ada.
35
Bagaimana kesanmu sejauh ini selama bekerja dengan orang-orang Indonesia dalam mempersiapkan Biennale Jogja XIII ini? Oke seperti yang telah kusebutkan tadi, ketika Neni, Rain dan Arham datang ke Nigeria, aku langsung berpikir bahwa mereka tidak hanya datang untuk berkunjung saja, mereka datang untuk membuat koneksi, mereka juga membuat koneksi secara personal. Aku mendapat kesan yang sangat bagus dari kedatangan mereka. Ketika aku tiba di Jogja, ekspektasiku terpenuhi. Para seniman dan orang-orang yang bekerja dalam Biennale ini sama menariknya dengan yang aku bayangkan selama di Nigeria. Di Lagos, aku hanya bisa menebak-nebak dan membayangkan apa yang dilakukan oleh tim Biennale. Aku juga membayangkan kemudian bagaimana orang Indonesia menerima kedatangan orang asing. Lalu ketika Wowok dan Lisis datang, aku menjadi terhubung dengan generasi yang lebih muda. Momen itu juga sangat menarik untukku, karena aku banyak berbincang dengan mereka, saling berbagi ide. Kemudian datang Maryanto dan Anggun untuk residensi. Aku merasa terlibat dalam tiga hubungan dimensi, yakni dengan para praktisi seni, manager seni dan kurator, yang semuanya memiliki kepribadian yang menarik dan unik. Aku sangat senang dengan kedatanganku di kota ini serta dengan cara tim bekerja denganku. Itulah yang membuatku lebih yakin bahwa aku terlibat dalam proyek seni yang sangat menarik. Ya, ketika aku ke kantor Biennale, aku bertemu banyak staf yang sangat membantu, cukup jelas dalam memberi arahan pekerjaan. Para staf Biennale ini
juga dengan mudahnya memberi bantuan, kapan saja, meski di malam hari. Dan satu hal yang bisa menandai orang Indonesia, yakni senyum mereka. Mereka akan selalu senyum dan menunjukkan gestur penerimaan ketika melihatku. Barang kali itu masalah kompleksitas dalam diriku mengapa aku senang diperlakukan demikian. Namun ketika kita merasakan penerimaan dari masyarakat, itu tetap menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan bagiku. Coba bayangkan jika kita datang ke suatu tempat, lalu semua orang tidak ada yang menunjukkan sikap penerimaan dan mereka hanya berjalan di depanmu seolah kamu tidak ada, itu juga tidak menyenangkan. Yang jelas itu tadi, senyum orang Indonesia itu tidak akan terlupakan. Tidak hanya orang muda yang bersikap ramah, namun segala usia. Dan aku tidak hanya membicarakan Jogja, di tempat lain, Solo, aku juga menemui keramah-tamahan yang serupa. Dan ketika membicarakan kesanku pada tim kerja Biennale, terutama tim kuratorial, para seniman, aku berharap bahwa suatu hari nanti aku bisa kembali lagi datang ke Indonesia. Semoga. Jika kamu pulang lagi ke Nigeria, hal-hal apa dari Indonesia yang ingin kamu bagikan ke Nigeria? Jika ingin bicara jujur, sesungguhnya sangat banyak yang ingin kubagi dengan para seniman dan praktisi seni di Nigeria, yakni pengalamanku selama menjadi seniman sekaligus kurator. Karena sejauh ini Biennale sangat memperkuat potensiku dalam berinteraksi secara artistik. Ketika pulang ke Nigeria itulah yang bisa kubagi dengan para seniman
36
Jude Anogwih (kurator rekanan BJXIII dari Nigeria) dan Wok the Rock (Kurator BJXIII) Foto: dok BJXIII
Nigeria, yakni interaksi artistik yang bertambah kuat selama berada di Jogja. Karena sejauh ini aku merasa mendapatkan banyak pengalaman dari Biennale dan aku juga masih mencari jalan yang paling tepat di mana aku meletakkan kontribusiku, baik sebagai kurator maupun seniman yang bekerja juga dengan seniman. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana tambahan ilmu yang kudapat di Indonesia ini akan kugunakan untuk kerja-kerja kesenian selama di Nigeria, terutama pada caraku mengembangkan ide, eksplorasi material yang bisa kulakukan dalam praktik artistikku juga pada bagaimana caraku berhubungan dan berinteraksi dengan orang, serta hubungan dan jejaringku dengan komunitas seni yang ada di Nigeria. Pengalaman ini sangatlah menarik terkait dengan pencapaian pribadi yang kudapat dengan komunitas seni di Jogja ini. Dan yang jauh lebih penting ialah melanjutkan keterhubungan antara Nigeria dan Indonesia ini. Secara kultural kita juga terhubung di dimensi lain, melalui Lokakarya seni Video, kerja sama Van Lagos, yang nantinya juga akan diputar di Jogja dan Lagos.
37
Lokakarya Seni Video yang bekerja sama dengan Mes 56? Ya. Menariknya dalam kolaborasi ini, selain kolaborasi antara Indonesia dan Nigeria, juga terdapat elemen ketiga yakni penyandang dana dari Jerman. Dari kolaborasi ini kita bisa melihat bagaimana, Asia, Afrika dan Eropa bekolaborasi, hubungan ketiganya. Kita bisa mengamati koneksi menarik yang terdapat diantaranya, antara negara-negara selatan dan barat. Aku terutama sangat senang dengan hubungan yang terjalin antara Indonesia dan Nigeria. Aku sangat senang dengan perkembangan sejauh ini. Berbicara tentang keterkaitan antara Asia dan Afrika, di sektor mana yang perlu dan bisa kita perkuat lagi?
Presentasi Jude Anogwih, Ark Gallery Sumber://www.facebook.com /biennalejogja
Hubungan antara Asia dan Afrika, seperti kita tahu, tentu sudah lama terjalin. Negara-negara di Asia dan Afrika memiliki keterkaitan dalam hal ekonomi, politik dan kekuasaan. Namun jika berbicara tentang Indonesia dan Nigeria, kita bisa pertanyakan lagi, sejauh mana pertukaran budaya dan
38
pendidikan sejauh ini terjalin. Bagiku, Indonesia dan Nigeria memiliki keterkaitan dalam hal politik, dan kita jika memiliki kesamaan nasib. Kerjasama perdagangan juga sudah terjalin, akan tetapi jika dilihat lebih jauh lagi, berapa banyak orang Indonesia yang terlibat dalam praktik seni dan terlibat dalam penyelenggaraan pameran seni di Nigeria. Sektor kreatif tidak terlalu kuat dalam menghubungkan Indonesia dan Nigeria. Pertukaran artistik itulah yang kurang dan harus kita kuatkan. Bagiku bekerja dalam Biennale Jogja XIII ini sangatlah menarik dan aku juga sangat bangga menjadi bagian dari proyek ini. Menariknya lagi, tema yang disodorkan “Hacking Conflict� juga memberikan jalan bagi ruang-ruang artistik untuk mengisi sisi dan dimensi yang belum penuh dari pertukaran serta dinamika kedua kebudayaan. Kita samasama sedang mencari potensi dan aspek positif dari retasan. Kita meretas yang mapan. Kita menciptakan kreatifitas-kreatifitas yang memancing interaksi dan sudut pandang lain dalam bermasyarakat. Aspek-aspek inilah yang sudah kutunggu. Dalam hal ini aku merasa sangat bangga bisa terlibat di dalamnya. Oke, sekarang kita membicarakan sesuatu yang lebih ringan. Bagaimana kamu memaknai keindahan? Keindahan apa saja yang sudah kamu temui di Indonesia? Ya. Aku menemui banyak hal menyenangkan, seperti wine lokal yang terbuat dari buah salak, karena lembut dan tidak terlalu agresif. Rasanya enak
dan organik, terbuat dari buah dan terasa vitaminnya. Orang-orangnya juga sangat menarik, penuh kehangatan dan menyenangkan. Aku juga sangat menikmati makanan Indonesia yang pedas. Banyak juga perempuan menarik yang saya temui selama di Indonesia. Adakah perbedaan standar kecantikan di Indonesia dan Nigeria? Ya tentu saja. Namun bagiku yang cantik tidak hanya diukur dari kecantikan visual saja, aku lebih melihat kecantikan dari kecerdasan, kebaikan dan keramahannya. Dan terutama ketika membicarakan perempuan Indonesia, ialah cara mereka berkendaraan. Mereka cantik dan terlihat lebih keren ketika berkendara. Di Lagos juga terdapat banyak pengemudi yang keren. Mereka juga terlihat keren ketika mengemudi di jalan. Barangkali karena tidak terdapat banyak motor di Lagos. Ya, menarik sekali melihat perempuan Indonesia bermotor. Mungkin menarik jika suatu saat membuat proyek seni soal ini.
39
BIENNALE JOGJA Selama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi sangat penting untuk mengukur kemajuan seni rupa Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya untuk menjadikan BJ sebagai rangkuman dari seluruh potensi kreativitas budaya dalam bidang seni rupa Indonesia, Asia maupun dunia. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai rangkaian pameran dengan agenda jangka panjang yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian biennale ini akan mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ akan bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan senimanseniman, kelompok-kelompok, organisasiorganisasi seni dan budaya Indonesia di
Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu Yayasan Biennale Yogyakarta yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021), dan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022. Mengapa 'Khatulistiwa'? Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik berangkat untuk mengejawantahkan berbagai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk 'membaca kembali' dunia. Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru.
YAYASAN
YOGYAKARTA
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan