Newsletter 1jan - mar 2016

Page 1

ISSN: 9772442302059

THE EQUATOR Volume 4 Nomor 1 Januari - Maret 2016 Terbitan triwulan | GRATIS

NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

YANG MUDA, YANG BERBAHAYA


2

PENGANTAR REDAKSI Pembaca yang budiman, Edisi ini akan memulai lembaran baru pasca-perhelatan Biennale Jogja seri Equator #3 pada November-Desember tahun lalu. Kami pun merasa perlu untuk mengangkat isu-isu terbaru yang tidak lagi menyentil perhelatan yang sudah lewat. Pada kesempatan kali ini, kita akan membicarakan berbagai isu soal anak muda dan gerakan kaum muda terkini. Untuk itu, berbagai topik akan dieksplorasi, melihat berbagai corak dan kemungkinan yang ada atau muncul belakangan ini. Isu atau kegelisahan itu kami coba ikat dalam satu tema besar; “Yang Muda, Yang Berbahaya!” Edisi ini “dimulai” dengan provokasi dari Tia Pamungkas yang tampak gelisah dengan lesunya inisiatif kaum muda dari kalangan mahasiswa dalam merespon beragam persoalan penting dan mendesak. Singkatnya, Tia melihat bahwa para penggerak perubahan di Kota Yogyakarta justru berasal dari anak muda yang ada di Karangtaruna, komunitas-komunitas sub-kultur, dan seniman-seniman muda. Gerakan mahasiswa justru dipandang lesu dan kurang mampu menjadi inisiator gerakan. Tulisan kedua dan ketiga–Hamada dan Irham Nur Anshari–boleh dibilang saling terkait satu sama lain. Keduanya berusaha menyoroti fenomena terkini di kalangan anak muda. Hamada menguraikan fenomena budaya produksi anak muda, khususnya Yogyakarta; “hacking”, yang menjiwai budaya produksi alternatif. Do It Yourself–Do It With Other bukan sekadar jargon, tetapi mewakili sebuah prilaku produksi yang mencoba melawan budaya produksi-konsumsi dominan. Bila Hamada berfokus pada budaya produksi anak muda, maka Irham sebaliknya, menilik aspek konsumsinya. Dalam hal ini, Irham memilih untuk membahas budaya menonton di kalangan anak muda Yogyakarta sebagaimana ia amati dan cermati. Perkembangan teknologi informasi memberi pengaruh pada budaya menonton; pergeseran ruang tontonan dari ruang keluarga (atau bioskop dalam konteks yang lebih besar) ke layar laptop yang lebih privat. Tulisan keempat adalah sebuah ulasan kritis dari Maria Puspitasari Munthe, menyoroti dan memeriksa ulang posisi politis dari budaya populer sebagaimana sempat disuarakan teoritikus Kajian Budaya. Diskursus itu menempatkan budaya populer sebagai bagian dari “aksi politis” (red.). Lewat tulisannya, Pita tidak hanya memeriksa asas-asas teoritisnya, tetapi juga gerakan-gerakan tertentu yang menggunakan budaya populer sebagai atribut strategis untuk menggalang kesadaran politis tertentu. Tulisan terakhir di edisi ini adalah tulisan dari Aquino Wreddya Hayunta yang mengangkat masalah kebebasan berekspresi dalam seni. Isu itu menjadi krusial atau penting karena kita memang butuh sebuah definisi perihal apa itu “kebebasan berekspresi”, khususnya dalam ranah seni terkini. Sedang ia menjadi sensitif karena seringkali dikonotasikan sebagai salah satu bentuk mutakhir dari praktik liberalisme, terutama oleh kaum agamis yang puritan atau negara bila itu terkait isu tertentu. Buah pikiran dari kelima penulis di atas tentu sangat berharga bagi kita semua. Di samping itu, kritik dan perdebatan gagasan selalu terbuka bila membincang salah satu dari lima topik yang kami suguhkan pada kesempatan ini. Akhir kata, selamat membaca! Redaksi The Equator

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa.

Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang

berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Telp: +62 274 587712 E-mail:

the-equator@biennalejogja.org Januari - Maret 2016, 1000 exp Penanggung jawab: Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Redaktur Pelaksana: Arham Rahman Kontributor: Arie Setyaningrum Pamungkas, Hamada Adzani Mahaswara, Irham Nur Anshari, Maria Puspitasari Munthe, Aquino Hayunta Fotografi: Penulis, Arsip YBY, sumber-


3

DAFTAR ISI PEMUDA TRANSFORMER 4| DICARI (KAUM MUDA SEBAGAI PENGGERAK SOSIAL) Arie Setyaingrum Pamungkas (staf pengajar di Departemen Sosiologi, UGM aktivis budaya dan pengamat seni rupa)

DO IT YOUR SELF DAN DO IT WITH OTHERS PRAKTIK PRODUKSI ANAK MUDA YOGYAKARTA

|12

Hamada Adzani Mahaswar (Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM)

TONTONAN PASCA-ORBA 19| BUDAYA Irham Nur Anshari, Peneliti SOAP (Study on Art Practice)

MENJADI POLITIS LEWAT YANG POPULER

|27

Maria Puspitasari Munthe, Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

POSISI KESENIAN DALAM 27| KEBEBASAN BEREKSPRESI Aquino Hayunta (Koalisi Seni Indonesia)

Punkasila pada Biennale Jogja XIII, 2015

sumber internet Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande

Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM, Angkringan Mojok

Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Rumata Artspace, Colliq Puji’e

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

“DICARI PEMUDA TRANSFORMER!” (KAUM MUDA SEBAGAI PENGGERAK PERUBAHAN SOSIAL) Arie Setyaningrum Pamungkas Staf pengajar di Departemen Sosiologi, UGM, aktivis budaya dan pengamat seni rupa


5

Pengantar

Ketjil Bergerak, Pasar Tiban, Biennale Jogja XIII 2015 (Arsip Tia Pamungkas).

Bagi sebagian besar kaum muda penggemar film-film science fiction Hollywood, film 'Transformer' pastinya tidak asing. Di film ini digambarkan bagaimana anak-anak muda yang dikenal dengan jiwa pemberontakannya mengubah dan menyelamatkan dunia dari ancaman kehancuran. Awalnya adalah sebuah usaha coba-coba dan keisengan yang dilakukan secara kreatif, di mana ilmu pengetahuan yang didapatkan dari sekolah justru langsung dipraktekkan menjadi sesuatu yang baru dan menyenangkan ketika mereka sedang bermain (berada di luar sekolah). Dalam film ini, kaum muda mengkreasi sesuatu yang menantang di mana manusia yang berperan menjadi 'majikan' bagi para robot yang akan menghancurkan planet bumi, dan bukan sebaliknya. Sementara itu, mungkin hanya sedikit pemuda masa kini yang suka membaca buku, meskipun hanya sebuah novel. Misalnya, novel karangan George Orwel yang terkenal, 1984, yang mengisahkan sebuah masyarakat di bawah kepemimpinan diktator dengan partai politik oligarkis, di mana warganya diperintah seperti robot dan tidak ada ruang untuk berpendapat apalagi menjadi iseng atau usil. Keadaan yang digambarkan di dalam novel itu sungguh mengenaskan, sehingga kaum mudanya, seperti tokoh utama novel ini, mempertaruhkan nyawa demi menentang kekuasaan politik yang dijalankan secara oligarkis–semacam negara yang dipimpin oleh para preman. Kedua ilustrasi di atas menggambarkan kisah yang berlawanan. Di satu sisi, keadaan yang memungkinkan kebebasan seakan-akan adalah suatu anugerah yang tanpa disadari memiliki ancaman, sebagaimana bumi yang kita huni ini berisi banyak ancaman pula. Di sisi lain, keadaan yang serba tertekan di mana kebebasan itu utopis. Meski konteksnya berbeda, kedua ilustrasi tersebut memiliki kesamaan pada penekanan peran pemuda sebagai agen perubahan. Konteks itu pula yang pernah dan sedang kita alami sebagai bangsa Indonesia. Dalam sejarah berbangsa dan bernegara, kita pernah mengalami masa di mana kemerdekaan berpendapat dan berkreasi dibatasi, kaum muda dimanipulasi dan diperintah oleh kekuasaan otoriter yang akhirnya runtuh di tahun 1998. Selepas masa itu, keadaan kita seperti di dalam film 'Transformer'. Kaum muda dari berbegai kelas sosial seolah 'merdeka' dan memiliki banyak ruang untuk mengekspresikan 'keisengan' atau kreativitasnya. Namun, benarkah demikian? Tak disangkal lagi, kaum muda adalah bagian dari kelompok masyarakat yang paling bisa diandalkan untuk menjadi agen perubahan sosial. Hal ini karena kaum muda memiliki begitu banyak energi, vitalitas, dan gerak atau mobilitas yang lebih cepat ketimbang generasi yang usianya sudah lanjut. Sejarah membuktikan, gerakan sosial yang bersifat revolusioner tidak akan pernah berhasil tanpa peran atau sokongan kaum muda. Persoalannya, mengapa justru


6

kaum muda di masa ini, khususnya mahasiswa yang relatif memiliki 'kemerdekaan' ketimbang di masa Orde Baru, semakin terkikis peranannya sebagai agen perubahan sosial?; Apakah itu hanya akan menjadi mitos sejarah?; Atau barangkali ada sesuatu yang masih bisa kita harapkan di tengah kehidupan kita saat ini–di mana potensi ancamannya tidak lagi represif seperti yang digambarkan dalam novel 1984, melainkan suatu perubahan dari siklus kehidupan sehari-hari yang mengancam keseimbangan ekosistem, solidaritas sosial, dan menjauhkan kita dari kesadaran untuk berbagi? Pemuda (Mahasiswa) sebagai Agen Perubahan Sosial: Mitos atau Fakta? Beragam narasi sejarah selalu diwarnai oleh narasi tentang peranan kaum muda. Meski demikian, kini tantangan yang dihadapi oleh para pemuda, khususnya mahasiswa, menjadi jauh lebih kompleks ketimbang sebelumnya. Pertama, perubahan konteks ekonomi-politik global yang tidak hanya berdampak pada cara-cara produksi, tetapi juga pada pola konsumsi massa, sehingga turut mempengaruhi sistem reproduksi sosial dan kultural secara lokal. Perubahan inilah yang menimbulkan gangguan ekosistem sebagai akibat dari sistem ekonomi neoliberal yang mengabaikan keseimbangan alam (eksploitasi atas ruang secara spatial yang mengakibatkan kerusakan alam, perubahan iklim, menyempitnya ruang hijau, dan ketiadaan ruang publik yang mampu mempertemukan beragam kelas sosial). Kedua, pertumbuhan jumlah penduduk usia muda atau bonus demografi yang semata-mata dihitung sebagai potensi perluasan pasar dari sistem ekonomi neo-kapitalis yang mengandalkan pertambahan keuntungan (profit making) melalui praktek konsumsi massa. Akibatnya, ruang yang tersedia bagi kaum muda, khususnya melalui lembaga pendidikan, diarahkan (dikondisikan) secara sistemik untuk mempersiapkan mereka menjadi angkatan kerja produktif yang cenderung

mengabaikan unsur kreativitas dan kemandirian, apalagi berpikir secara kritis. Ketiga, mulai lunturnya konstruksi nasionalisme atau rasa kebangsaan sebagai pengikat solidaritas kaum muda. Nasionalisme sebagai konstruksi budaya sekaligus politik memperoleh tantangan karena merebaknya politik identitas yang primordialis. Hal ini misalnya muncul dalam gerakan sosial yang menggunakan sentimen keagamaan–yang menganjurkan jalan kekerasan dan gandrung pada persoalan ketidakadilan global, tetapi abai pada kondisi lokal yang juga timpang. Kaum muda diajak untuk mengimajinasikan sebuah peradaban yang dianggap baru dengan mengabaikan sejarah lokal mereka sendiri. Ketiga tantangan itulah yang kini menyeruak dan menjadikan pemuda sebagai sasaran empuk bagi suatu sistem yang terus menciptakan ketimpangan sosial. Dalam sistem yang demikian, kaum muda tidak ditempatkan sebagai subjek yang mampu menafsirkan kehendaknya sendiri dan memiliki daya untuk memobilisasi segala potensinya sebagai manusia. Kondisi inilah yang kita hadapi saat ini. Kondisi yang menjadikan para pemuda hanya sebagai objek strategis bagi sistem ekonomi-politik yang melanggengkan ketidakadilan dan sistem sosial yang segregatif (terkotak-kotak). Proses kultural yang demikian menjauhkan subjek dari sikap inklusif (pluralis) dan tampak condong menyuburkan kebudayaan yang bersifat ekslusif. Kondisi yang bersifat antagonis di atas sangat dimungkinkan karena perubahan sosiokultural juga menyangkut perubahan tata ruang dan kependudukan (demografi). Pada tahun 2015 saja, Indonesia memperoleh 'bonus demografi', yakni tingginya jumlah penduduk usia produktif–usia sekolah dan berpendidikan menengah tinggi antara 16 hingga 30 tahun sejumlah lebih dari 63 juta jiwa. Sementara itu, untuk data kependudukan di Provinsi DIY pada tahun


7

2016 ini, Biro Pusat Statistik diproyeksikan akan mencapai angka 3,6 juta manusia. Padahal di Provinsi ini saja, tingkat kepadatan penduduk yang menghuni ruang secara spasial cukup tinggi di tahun 2010, yakni 1.100 jiwa/km2. Sementara itu, jumlah kaum muda berusia produktif (19-35 tahun) di Provinsi DIY (data sensus BPS tahun 2014), menunjukkan angka 30% dari total jumlah penduduk. Tidak dapat disangkal lagi bahwa di Yogyakarta sendiri, kaum muda menjadi angkatan yang harus dipertimbangkan dalam berbagai kebijakan. Hal ini tidak hanya penting, tetapi juga mendesak, mengingat tantangan perubahan spasial di Yogyakarta yang bahkan nyaris meniadakan ruang publik untuk memfasilitasi gairah dan kreativitas kaum muda. Terkait geliat kaum muda di Yogyakarta, hal yang juga perlu dicermati adalah perubahan esensial yang terjadi di banyak perguaran tinggi di kota ini. Perubahan tersebut memberi dampak pada pola interaksi yang dijalani oleh para mahasiswa. Pascareformasi, arah kebijakan perguruan tinggi cenderung semakin mendukung sistem 'marketisasi universitas', di mana pola manajemen universitas dijalankan ibarat sebuah korporasi. Pada konteks inilah, infrastruktur yang dibangun oleh perguruan tinggi diupayakan untuk menjadi ruang pendukung bagi sistem kerja universitas sebagai mesin pencetak tenaga kerja produktif yang efektif. Pada gilirannya, suprastruktur (sistem nilai dan budaya) yang tercipta dari ruang itu mempengaruhi pola interaksi mereka yang terlibat di dalamnya. Ini yang tampak dari hasil penelitian saya di tahun 2014 pada empat Perguruan Tinggi di Yogyakarta (UGM, ISI, USD dan UMY). Depolitisasi kampus sejak masa Orde Baru–yang menjauhkan perhatian mahasiswa dari masalah sosial dan politik–justru baru dirasakan dampaknya pada masa ini. Ini nampak pada semakin terpolarisasinya mahasiswa ke dalam unit-unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang mendukung

infrastruktur kampus sebagai korporasi. Akibatnya, mahasiswa lebih suka membangun solidaritas mereka berdasarkan 'peergrouping', cenderung bersifat eksklusif, ditambah lagi ketiadaan ruang publik sehingga mereka menjadikan 'kampus' sebagai ruang komunal mereka. Memang masih ada beberapa gerakan mahasiswa lintas kampus, tetapi basisnya tidak lagi di dalam kampus. Orientasi inilah yang menjadikan banyak mahasiswa saat ini lebih suka menjadi 'event organizer' ketimbang 'aktivis'. Dengan kata lain, kemerdekaan yang dimiliki para mahasiswa saat ini bukan lagi kemerdekaan untuk memperjuangkan perubahan kondisi kelas sosial mereka, melainkan kemerdekaan untuk berkompetisi di dalam sistem ekonomi yang melanggengkan individualisme. Para Pemuda 'Transfomer': Pemuda Karangtaruna, Seniman dan Komunitas Subkultur “Karangtaruna itu memang ciptaannya Orde Baru. Ini adalah organisasi yang didirikan dengan platform yang sangat absurd, meskipun dengan jargon yang memuliakan bangsa Indonesia. Kita tahu kalau organisasi kepemudaan yang didirikan Orde Baru itu semua memanipulasi kaum muda untuk menjadi sekrup-sekrup kekuasaan yang serakah. Persoalannya semenjak Orba runtuh, organisasi ini terus mau diapakan? Ini masih ada di seluruh Indonesia di setiap kelurahan malahan, dan sekarang dalam kondisi 'sekarat' nyaris seperti anak ayam kehilangan induknya! Orang-orangnya juga masih ada yang berminat meskipun semakin hari semakin sedikit terutama di perkotaan, apalagi kalau aktif di Karangtaruna itu sekarang dianggapnya nggak keren, ndeso, seperti agen Orba yang tolol mau-


8

PLBK (Penataan Lingkungan Berbasis Komunitas) Karangwaru Riverside, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta (Arsip Tia Pamungkas)

maunya didikte kekuasaan. Ini nggak benar! Justru karena Karangtaruna itulah puing-puing rumahnya kaum muda yang terbengkalai, kita perlu mengisi semangatnya di sana, ideologinya apa? Tujuannya untuk apa? Kan bangsa Indonesia ini banyak mengalami ancaman perpecahan, nah Karangtaruna itulah tempatnya kita mulai menyemai kembali pengetahuan kita sebagai kaum muda, kaum muda Transformers!� (Wawancara saya di bulan September 2015 dengan Venzha Christian, seniman multimedia, aktivis digital dan penggerak pemuda di akar rumput, pendiri House of Natural Fibers/HONF). Karangtaruna memiliki stigma sebagai organisasi kepemudaan yang hanya bisa menjalankan perintah penguasa otoriter. Dan saat ini, masa di mana kemerdekaan berpendapat dan berkreasi dimunculkan, organisasi itu seakan-akan lumpuh. Meski demikian, sebagian pemuda berusaha untuk merevitalisasi peran Karangtaruna sebagai sebuah organisasi kepemudaan di mana semangat solidaritas sosial menjadi basis bagi kegiatannya. Hal inilah yang dilakukan Venzha dan kawan-kawannya melalui kegiatan 'Transformaking'–sebuah platform transformasi sosial dengan langsung mempraktekkan pengetahuan dan saling berbagi di dalam komunitas. Venzha sudah mengupayakannya dengan membangun jaringan kaum muda urban di perkotaan yang relatif lebih terdidik dan mudah mengakses teknologi, tetapi galau dengan arah perubahan sosial. Komunitas inilah yang


9

kemudian berusaha menjangkau kaum muda di wilayah-wilayah agraris yang juga terdampak oleh kehidupan urban, yakni komunitas pemuda yang tergabung di dalam Karangtaruna. Mereka memanfaatkan perkembangan teknologi dan upaya 'berbagi pengetahuan' khususnya bagi kaum muda yang dapat menjadi agen perubahan sosial di wilayahnya masing-masing. HONF sebagai komunitas seni dan teknologi, dalam hal ini telah mempelopori suatu upaya untuk memfasilitasi revitalisasi Karangtaruna sebagai instrumen kepemudaan yang memang telah ada tetapi terbengkalai. Upaya untuk merevitalisasi Karangtaruna juga dilakukan oleh Karangtaruna Waru Mandiri di kelurahan Karangwaru, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta. Karangtaruna ini mengupayakan agar para pemuda urban dapat memiliki keterampilan seperti menggunakan komputer, akses pada internet, berbahasa Inggris, dan menjalankan koperasi yang bekerjasama dengan koperasi milik warga kelurahan itu–BKM (Badan Keuangan Mandiri) Tridaya Waru. Melalui ketrampilan yang mereka miliki dan juga didukung oleh pendanaan koperasi, di tahun 2009, para pemuda ini berhasil menyusun sebuah proposal dan mendapatkan hibah dari World Bank untuk merehabilitasi pemukiman kumuh di sekitar Kali Buntung yang kini dikenal dengan PLBK (Penataan Lingkungan Berbasis Komunitas) – Karangwaru Riverside. Hibah Bank Dunia itu hanya dapat membiayai pembangunan infrastruktur di kampung Karangwaru hingga 2011 dan semenjak itu, program ini menjadi proyek percontohan dan mulai didanai oleh Pemerintah. Justru pada situasi itu tantangan baru mulai datang bagi para pemuda Karangtaruna ini. Bagaimana mereka dapat memanfaatkan kesinambungan ruang yang telah mereka inisiasi agar menjadi 'ruang bersama' yang pemanfaatannya dapat dirasakan bagi warga dan dapat terhidar dari intervensi kekuasaan politik. Para pemuda ini

kemudian mengadakan kegiatan usaha pertanian hidroponik yang memanfaatkan ruang di kampung dan menyosialisasikan pada para warga. Merekalah yang secara langsung melakukan praktek spasial dan berdampak pada kondisi lingkungan setempat. Para pemuda Karangtaruna di Karangwaru ini menganggap bahwa kegiatan produktif lebih baik mereka lakukan secara bersama karena langsung dapat dilihat efek perubahannya. Meski demikian, mereka tidak menampik bahwa dalam hal berjejaring dengan para penggerak perubahan yang melibatkan para pemuda, masih mengalami kesulitan. Di satu sisi, nampak bahwa ada ketakutan ketika harus bersinggungan dengan isu atau tema-tema politik sehingga cenderung menghindar. Tetapi di sisi lain, nampak kegelisahan mereka sebagai kaum muda urban yang sehari-harinya berjuang untuk melanjutkan kehidupan tetapi masih berpikir tentang solidaritas sosial. Upaya untuk memfasilitasi potensi kaum muda sebagai 'Transformers' inilah yang justru tidak difasilitasi oleh kegiatan di dalam kampus seperti KKN misalnya. Bukan pula difasilitasi oleh partai politik, apalagi Organisasi Massa yang acapkali mengerahkan para pemuda secara sesaat demi kepentingan politik golongan atau kelompok mereka sendiri. Para seniman muda yang mendirikan komunitas-komunitas sub-kultur seperti Venzha dan kawan-kawan itulah yang ikut terjun langsung untuk membidani upaya memaksimalkan kembali potensi dan kreativitas kaum muda sebagai agen perubahan sosial. Hal serupa juga dilakukan oleh komunitas 'Ketjil Bergerak' misalnya. Vanny, salah satu pendiri Ketjil Bergerak menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh komunitasnya justru berbasis pada potensi para pemuda yang ada di kampungkampung, baik di wilayah perkotaan maupun di pedesaan di Yogyakarta, dan mereka itu ada di Karangtaruna. Kegiatan yang dilakukan oleh Vanny dan kawan-kawannya bukan hanya


10

pada upaya melakukan suatu praktek spasial yang dapat memberi 'ruang komunal inklusif' sebagai pengganti ruang publik yang nyaris absen, melainkan juga upaya untuk mengakomodasikan 'kultur pemuda' dari akar rumput sehingga dapat menjadi perekat solidaritas sosial di antara mereka sendiri yang melampaui perbedaanperbedaan kelas sosial. Hal inilah yang menarik, karena para pemuda yang terlibat pada upaya untuk mengubah lingkungan fisik dan kondisi sosial mereka, kemudian juga bersemangat untuk belajar dan berbagi pengetahuan tanpa merasa didikte atau digurui. Keberadaan komunitas subkultur yang menggabungkan kreativitas seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan strategi advokasi yang berbasis pada kesadaran kelas inilah yang justru marak di luar kampus. Meski memang tidak sedikit mahasiswa yang ikut bergabung di dalam komunitas-komunitas semacam Ketjil Bergerak. Sayangnya, memang kecendrungan secara umum yang paling diminati oleh banyak pemuda dan mahasiswa justru menjadi 'event organizer' itu yang sebenarnya hanya memberikan keuntungan sesaat bagi mereka. Keesokan harinya, mereka harus dihadapkan pada kenyataan kompetisi manusia atas manusia lainnya, di mana kekuatan modal memengaruhi eksistensi dan posisi tawar mereka. Oleh karenanya, perhatian pada upaya menggalakkan peran pemuda sebagai agen perubahan sosial tidak akan mungkin berjalan tanpa suatu basis ideologis yang mampu mengikat solidaritas kaum muda itu sendiri. Hanya saja basis ideologis ini tak perlu lagi dikonstruksikan melalui medium yang justru menindas kemerdekaan berekspresi kaum muda itu sendiri. Tanpa adanya basis ideologis yang berbasis pada solidaritas sosial inilah kaum muda hanya akan menjadi 'robotrobot serangga pemangsa' seperti di dalam film Transformer, yang rapuh dan mudah dihancurkan. Sebagai penutup saya ingin mengutip perkataan sastrawan Pramoedya Ananta Toer berikut ini: “Hanya pada kaum muda sajalah kita bisa berharap untuk melanjutkan kesinambungan bangsa Indonesia ini, kalau kita ingin Indonesia masih ada esok hari.�

Sumber Referensi Biro PusatStatistik, 2014. ProyeksiPenduduk Indonesia 2010-2035. BPS: Jakarta. BKM TridayaWaruMandiri, 2010. Dokumen RPLPRencanaPenataanLingkunganPemukiman (tidakdipublikasikan). Lefebvre, Henri, 2003. The Urban Revolution. University of Minneapolis Press: Minneapolis. Pamungkas, Arie Setyaningrum, 2015. LaporanPenelitianHibah DIKTI. ProduksiRuangdanPerubahanSosialdi Kota Yogyakarta.DepartemenSosiologi, FakultasIlmuSosialdanIlmuPolitik, UGM (tidakdipublikasikan).


11

Atas: Kegiatan Pemuda Karangtaruna Waru Mandiri dan pembuatan kebun pot hidroponik di Karangwaru Lor pada tahun 2015 (Arsip Tia Pamungkas) Tengah: Kebun pot hidroponik di sepanjang sungai Kali Buntung PLBK Karangwaru Riverside pada tahun 2015 (Arsip Tia Pamungkas). Bawah: Pembibitan Karangwaru Riverside pada tahun 2015 (Arsip Tia Pamungkas).


12

Do It Yourself dan Do It With Others: Praktik Produksi Anak Muda Yogyakarta Mesin Torch dan lanskap meja kerja Ivan Bestari

Hamada Adzani Mahaswara Mahasiswa Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM


13

Do It Yourself (DIY) belakangan ini menjadi terminologi yang mengemuka di kalangan anak muda. Istilah ini—seakan latah—sering disematkan pada praktik produksi, reparasi sampai kolaborasi independen yang dianggap kreatif, kekinian dan berbeda. Beriringan dengan DIY, dikenal juga terminologi Do It With Others (DIWO). Lantas, apa itu sesungguhnya DIY dan DIWO? Dari mana istilah tersebut berasal dan bagaimana praktiknya di Indonesia saat ini? Kemunculan DIY-DIWO Dalam beberapa literatur yang telah disarikan, Do It Yourself merupakan kegiatan kreasi, modifikasi atau reparasi obyek tertentu, secara mandiri tanpa bantuan dari ahli/profesional. Para pelaku DIY biasa disebut “amatir” dan pada umumnya praktik DIY tidak dimotivasi oleh tujuan komersial. Praktik DIY merupakan salah satu efek kultural dari revolusi industri di Eropa yang turut berdampak ke USA. Sementara itu, Do It With Others (DIWO) merupakan upaya kolaborasi bersama antar-individu dengan saling berbagi pengetahuan/keahlian dalam rangka mengkreasikan produk tertentu. Terminologi DIY tidak lepas dari ideologi punk dan semangat anti-konsumerisme. Ia merupakan reaksi atas praktik produksi massal yang kian masif, khususnya industri mode. Punk mencoba tampil berbeda dengan menjahit sendiri pakaian dan atributnya, serta menciptakan identitas dan tren baru. DIY secara tajam menolak budaya konsumsi massa yang menciptakan kebergantungan pada struktur yang sudah stabil. Pada tahun 1990 kultur DIY menjadi semakin kuat seiring dengan globalisasi dan perkembangan teknologi. Hal ini didorong oleh kehadiran netlabel movement yang berfokus pada industri rekaman independen. Di awal abad ke-21, seiring dengan kehadiran internet, pertukaran informasi menjadi semakin mudah dan turut membuat kultur DIY semakin meluas, tidak hanya di bidang

musik atau mode, tetapi juga merambah ke bidang elektronik, furnitur dll. Juan Ignacio Gallego Perez, dalam artikelnya bertajuk Do It Yourself: Cultura y Tecnologia memandang platform ini memungkinkan setiap orang untuk menciptakan, mendistribusikan dan mempromosikan produk melewati batas peraturan dasar yang diciptakan oleh industri kapitalis (2009). Ia kemudian menjelaskan bahwa DIY juga berpengaruh terhadap ideologi tunggal, menjadi bentuk perlawanan terhadap struktur pemasaran yang hegemonik, serta mendorong ekspresi warga. Salah satu tujuan utama DIY adalah meniadakan spesialisasi dan memisahkan jarak antara pekerja/buruh dan kreator. Gerakan DIY telah mengubah relasi sosial, menciptakan komunitas baru, dan perlahan lepas dari kebergantungan terhadap industri. Belakangan, DIY-DIWO telah menjadi semangat bagi praktik kreasi anak muda. Terminologi hackers, makers sampai makers movement muncul dan berkembang untuk mendeskripsikan proses reka-cipta yang menggunakan metode peretasan dan teknologi informasi. Kehadiran majalah Make di tahun 2005 merangsang partisipasi individu untuk membuat segala sesuatu secara kustom, sesuai dengan keinginan mereka. Gelombang makers yang muncul ini disadari sebagai potensi besar, hingga kemudian digelar suatu perhelatan bertajuk “Maker Faire” di Amerika Serikat (2007) sebagai ajang pertemuan para makers untuk saling berbagi pengalaman dan memamerkan inovasi ciptaan mereka. Kegiatan tahunan ini masih berlangsung hingga kini dan dianggap sebagai ajang prestisius bagi para pegiat DIY. Kultur DIY dan Perkembangannya di Indonesia Berdasarkan paparan di atas, sesungguhnya DIY bukanlah metode kerja baru di Indonesia. Jauh sebelum para ilmuwan saintifik


14

menemukan terminologi mengenai DIY, nenek moyang kita telah memulainya. Misalnya dengan merakit perahu/kapal secara mandiri, merancang sistem pertanian dengan peralatan tradisional (misalnya sistem Subak di Bali), tambal ban, reparasi dan duplikat kunci dan masih banyak lagi bidang kerja yang dipraktikan secara amatir—yaitu tanpa sekolah dan berbekal keahlian yang diwariskan turun-temurun. Namun demikian, kita tidak pernah mengenal terminologi DIY. Adapun istilah yang dikenal berkisar antara 'utak-atik', 'ngulik', atau 'ngoprek'. Sama halnya dengan DIY, istilah DIWO sendiri sebelumnya telah mengemuka dengan istilah gotong royong atau kerja sama. Praktik ini biasa dilakukan ketika sebuah keluarga menggelar hajatan perkawinan, sunatan atau kegiatan kerja bakti membersihkan desa. Istilah kolaborasi, belakangan menjadi terminologi yang jamak kita dengar untuk sebuah upaya saling membantu ini. Dengan segala keterbatasan (baik itu akses dan teknologi) yang ada, praktik DIY-DIWO menjadi relevan hingga sekarang. Berbeda dengan konteks negara Barat di mana DIYDIWO merupakan representasi dari sikap anti konsumerisme dan upaya perlawanan, semangat ngoprek dan gotong royong di Indonesia sesungguhnya dilatar-belakangi keadaan yang mendesak. Kebanyakan praktik DIY-DIWO dilakukan oleh anak muda, mengingat fleksibilitas waktu dan rasa keingintahuan yang tinggi untuk mengeksplorasi tema/isu tertentu. Populasi anak muda di Indonesia terbilang besar. Kondisi ini turut andil dalam merangsang pergerakan sosial, dimulai dari revolusi 1945 hingga reformasi. Di sisi lain, pada ranah mikro, kaum muda juga berperan terhadap perubahan budaya. Mereka digadang-gadang untuk dapat menciptakan suatu kondisi yang ideal dalam masyarakat, tetapi juga kerap ditampilkan dalam stigma negatif yang dapat menimbulkan chaos. Kesan paradoks perihal

kaum muda seperti itulah yang terus berbenturan hingga kini. Menganai hal itu, ada kaum muda memilih diam dan menerima begitu saja, ada yang memilih menjadi oposan, tetapi–di luar dari dua kutub ekstrim itu–ada juga yang melakukan negosiasi dengan menciptakan peluang dari berbagai kemungkinan yang tersedia. Dalam penelitian bertajuk “Generation DIY: Youth, Class, and the Culture of Indie Production in Digital-Age Indonesia” yang dikerjakan oleh Brent Luvaas (2009), kultur DIY di Indonesia tidak bisa lepas dari konteks sosio-kultural yang melatar-belakanginya. Pada awal periode 1990, anak-anak muda di Bandung merupakan kelas menengah yang cenderung konsumtif. Dengan harga dollar yang masih terbilang rendah, mereka terbiasa membeli majalah, CD, T-Shirt band luar negeri dengan leluasa. Hal ini juga didorong oleh kondisi musik Indonesia saat itu yang cenderung menampilkan band-band cengeng dan film India. Bagi mereka, apa yang ditampilkan cenderung norak dan tidak mewakili semangat zaman yang progresif. Senada dengan temuan Luvaas, penelitian yang digelar oleh Youth Studies Centre UGM (2014) mengungkapkan, ketidakpuasan anak muda pada masa itu mendorong mereka untuk berkreasi dan berkolaborasi untuk menciptakan semangat kemandirian atau indie. Karena buruknya kondisi ekonomi di akhir 90-an, anak muda ini tidak bisa lagi mengimpor barang-barang yang mereka sukai. Kondisi tersebut merangsang mereka untuk “mencari jalan keluar”, seperti misalnya menggambar figur artis idola dan menyablonnya di atas kaos. Produk inilah yang kemudian digandrungi oleh banyak anak muda di Bandung dan menjadi embrio distro. Selain di bidang mode, anak muda di Bandung juga membangun 'skena musiknya sendiri' dengan membuat kamar rekaman independen dan menyelenggarakan konser musik atau gigs dari panggung-panggung kecil di Bandung.


15

Karya Ivan Bestari dari hasil teknik flameworking

Dalam perkembangannya, penggunaan social media, Youtube sampai Pinterest yang semakin massif, turut mempermudah praktik DIYDIWO. Video tutorial dan petunjuk pembuatan produk tertentu secara sederhana dengan mudah ditemukan di Youtube atau fasilitas lain di internet. Setidaknya hal itu telah membuka ruang kemungkinan bagi kita untuk menciptakan sesuatu (produk) sesuai dengan yang diinginkan atau dibutuhkan. Praktik DIY-DIWO di Yogyakarta saat ini Dalam sub tema ini, saya mencoba mengangkat dua praktik kreatif individu dan komunitas yang menjalankan praktik DIY-DIWO di Yogyakarta. Keduanya memang memiliki karakter berbeda, tetapi diharapkan mampu memberi gambaran singkat perihal gerakan ini. Konsep reduce, re-use dan recycle menjadi istilah yang booming dalam satu dekade terakhir. Pemanasan global yang semakin terasa efeknya, membuat tiga kata tersebut dipercaya dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan. Di tangan Ivan Bestari (28), limbah kaca menjadi medium yang menarik untuk diolah. Di 'bengkel kreatifnya'—Otakatik Creative Workshop, ia menyulap botol-botol dan serpihan kaca bekas menjadi mug, gelang, kalung sampai elemen dekoratif yang terbilang rumit. Ivan mengawali eksplorasinya secara tidak sengaja. Suatu hari di tengah kesibukannya menggarap tugas akhir kuliah, ia menemukan sebuah tempat produksi pipa kaca dan tabung reaksi kimia yang biasa digunakan oleh industri farmasi maupun laboratorium kampus. Merasa kagum atas teknik pembentukan kaca, ia memutuskan untuk 'magang' di sana. “Di industri kaca pada umumnya, ada dua teknik pembentukan, cetak panas dan dingin. Sampai akhirnya menemukan teknik yang pas buat saya, namanya flameworking,� ujar Ivan. Ia juga membuat mesin torch sendiri dari material tidak terpakai. Tidak adanya literatur yang


16

menjelaskan teknik kreasi kaca, membuat Ivan giat mengeksplorasi medium dengan mencoba berbagai teknik, alat dan jenis kaca. Ivan sendiri menolak disebut sebagai glass artist. “Sebut saja glass addict,” terangnya. Memang hingga kini tidak ada seniman Indonesia yang berfokus pada material kaca. Kebanyakan, kaca digunakan sebagai elemen glasir pada keramik atau industri kaca patri. Ivan juga mengikuti serangkaian pameran internasional untuk bertemu dengan glass artist lain di luar negeri. “Tidak banyak orang yang menggeluti kaca sebagai medium utama berkarya,” kata Ivan sambil menyebutkan seniman dan maker fair yang ia datangi di Singapura dua tahun lalu. Ia juga menambahkan bahwa kultur DIY dan makers di luar negeri telah menjadi bisnis. Pameran yang ia datangi dikomersilkan dengan menjual tiket masuk dan mendatangkan korporasi yang beririsan. Fungsinya, industri yang tertarik dapat membeli langsung produk yang dipamerkan atau mengajak makers untuk berkolaborasi.

Kiri: Ivan Bestari Kanan: Pemetaan sungai pada Jogja River Project yang diinisasi Lifepatch tahun 2012

Apa yang ia bentuk melalui karyanya dapat dibaca sebagai keresahan sekaligus kritik terhadap industri minuman yang menggunakan botol kaca sebagai kemasan. “Mau sampai berapa banyak diproduksi? Kapan limbahnya akan terurai?” kritik Ivan. Setidaknya, hingga saat ini, Ivan telah mengolah lebih dari 100 botol bir dan karung-karung yang penuh pecahan kaca. Saat ditanya bagaimana strateginya bertahan, Ivan menjawab bahwa memang kultur DIY atau yang akhir-akhir ini dikenal sebagai industri kreatif di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. “Ini kan bukan UKM, sulit menghitung pendapatan dan biaya produksinya. Sejauh ini, saya membuka kelas workshop


17

dan memasarkan produk melalui social media, website atau www.etsy.com (situs yang menjual produk-produk DIY, -pen),” tutupnya. Aktor kedua yang menjalankan semangat DIYDIWO dalam proses berkaryanya adalah Lifepatch. Senada dengan apa yang dijelaskan dalam dua penelitian sebelumnya, bagi Lifepatch, kita semua adalah makers dan praktik DIY sebetulnya telah dimulai dari halhal sederhana. “Repair culture (kemampuan reparasi, -pen) misalnya telah kita adopsi dan reproduksi secara organik,” ungkap Adhani Donora (Ade) salah satu anggota Lifepatch. Lifepatch sendiri merupakan sebuah inisiatif warga di bidang seni, sains dan teknologi—organisasi lintas disiplin berbasis komunitas yang mengajak siapapun terlibat dalam aktivitas meneliti, menggali dan mengembangkan kehadiran teknologi, sumber daya alam, serta sumber daya manusia di daerah sekitarnya. Istilah inisiatif warga dipilih untuk memberi ruang lebih luas bagi keberagaman praktik anggotnya dan memacu kreativitas masing-masing anggota dalam berkolaborasi. Do It Yourself (DIY) dan Do It With Others (DIWO) adalah semangat yang dipegang oleh Lifepatch untuk memacu kemunculan suatu pola dan sistem baru yang lugas dari proses kreatif individu maupun komunitas, serta interaksi antar-individu dalam rangkaian kerja komunitas. Lifepatch sendiri menolak untuk disebut sebagai hackers atau makers, karena apa yang mereka kerjakan tidak melulu membincang persoalan teknologi informasi, peretasan sistem dan komputerisasi. “Sebut saja komunitas kreatiflah untuk lebih mudahnya, salah satu proyek yang digarap Lifepatch yaitu Jogja River Project, justru jauh dari aspek high technology,” lanjutnya. Dalam Jogja River Project (JRP) yang telah dikerjakan secara berkelanjutan sejak tahun

2012, Lifepatch justru menggali aspek pengetahuan lokal dari warga pinggiran sungai di beberapa titik seperti Code, Winongo dan Gajah Wong, melakukan pemetaan terhadap potensi lokal serta berkolaborasi dengan warga memecahkan masalah sehari-hari seperti pencemaran bakteri dan filtrasi air. Pada proyek Lifepatch bertajuk “Proyek Nenek” yang berkolaborasi dengan Cindy Linn dan Stefanie Wuschitz, ditemukan bahwa sumber produksi dan reproduksi pengetahuan dalam sebuah keluarga berasal dari interaksi yang terjadi dapur. Tidak dipungkiri, perubahan sosial dalam skala lokal hingga global dapat berasal dari peran ibu-ibu. Lifepatch juga pernah bekerja dengan Paguyuban Warga Stren Kali, Surabaya. Paguyuban ini merupakan sebuah organisasi inisiatif warga yang bermukim di Wonokromo, Surabaya. Ada banyak permasalahan di kawasan tersebut, misalnya, prostitusi, campur tangan partai politik dalam kebijakan warga, terbatasnya infrastruktur (listrik dan air bersih), legalitas pemukiman, dan penggusuran. Lifepatch memilih bekerja dengan warga dalam permasalahan sumber air bersih. Permasalahan ini dipandang cukup ironis mengingat PDAM Bratang Tangkis berlokasi persis di sebelah pemukiman warga. Namun demikian, warga sama sekali tidak mendapatkan air bersih dari PDAM. Hal ini membuat mereka menggunakan air sungai yang (diduga) tercemar limbah industri di Surabaya. Dugaan tersebut disebabkan adanya buliran kertas yang naik ke permukaan air setelah warga menampung air dari sungai dan melakukan penanganan “pembersihan air” secukupnya (menggunakan tawas). Menyadari rumitnya penanganan air, Lifepatch juga berkolaborasi dengan komunitas dan ilmuwan lokal yang berbasis di Surabaya. Kolaborasi yang dilakukan adalah penyelidikan kualitas air sungai serta


18

pembuatan prototype filtrasi fisik untuk penjernihan air. Hasil kolaborasi ini disalurkan kepada warga baik dalam bentuk filtrasi yang telah jadi pun dalam bentuk lokakarya bagi warga untuk pembuatan dan perawatan filtrasi tersebut. Aktivitas lainnya adalah penanaman pohon kelor bersama warga. Pohon kelor sendiri berfungsi untuk penjernihan air secara biologis. Tentu saja, hasil dari penanaman tersebut baru dapat terlihat di masa depan. Hasil kerja Lifepatch dengan warga Stren Kali, komunitas, dan ilmuwan lokal itu kemudian diwujudkan dalam bentuk karya instalasi di Pameran Utama Jakarta Biennale 2015. “Prinsip yang perlu dipertahankan dalam menjalankan praktik DIY adalah originalitas para pegiatnya dalam berkreasi. Ketika mereka mencoba menelaah masalah, mengeksplorasi teknik/peralatan sampai mahir dan melakukan negosiasi dengan situasi yang ada,” pungkas Ade. Simpulan Bagi filsuf Perancis dan kritikus seni Jacques Ranciere, seni tidak hanya menciptakan karya atau benda, tetapi menciptakan bentuk situasi baru yang mendorong bentuk baru dalam konteks relasirelasi sosial. Kebangkitan dari pergerakan kolektif (DIY-DIWO) dalam budaya jejaring—diikuti pula oleh revolusi digital yang jamak dipraktikan di berbagai wilayah telah menerima pengakuan atas potensinya yang besar dan menyediakan solusi inovatif terhadap permasalahan sehari-hari yang terjadi di aras lokal. Sesungguhnya, keberadaan para makers, inisiatior kreatif atau praktisi DIY ini jika digali lebih jauh, dapat memberikan sumbangan besar bagi situasi kehidupan yang “serba global” seperti saat ini. Sumber Referensi Luvaas, Brent. 2009. Generation DIY: Youth, Class, and the Culture of Indie Production in Digital-Age Indonesia. University of California. Perez, J.I.G. 2009. DO IT YOURSELF: Cultura y Tecnologia. Revista Icono, 278-291. Madrid. Ranciere, J. 2009. The Politics of Aesthetics. New York: Ed. Continum Youth Studies Centre. 2014. Masih ada Alternatif lain: Pemuda, Transisi dan Dinamika Kewirausahaan Kreatif di Yogyakarta, Bandung, dan Bali.


19

BUDAYA TONTONAN PASCA-ORBA Irham Nur Anshari, Peneliti SOAP (Study on Art Practice)

Suasana di salah satu bilik internet di Yogyakarta Sumber: studyinjogja.net

Aksan, anak seorang pemilik penyewaan laser disc yang terobsesi untuk membuat film, berencana merampok uang ayahnya. Belum juga rencananya terwujud, ia tertembak oleh sekawanan remaja iseng yang merampok penyewaan laser disc ayahnya. Bersimbah darah, Aksan pun berucap, “Gue cuma mau bikin film..., gue kan cuma pengen bikin film...� Kisah tersebut merupakan satu dari empat cerita lain yang terekam dalam film Indonesia tahun 1998 berjudul Kuldesak. JB


20

SERBA-SERBI BIENNALE JOGJA XIII INDONESIA BERTEMU NIGERIA

Kiri atas: "Black Market Museum", karya Olanrewaju Tejuoso berkolaborasi dengan Prison Art Programs yang ditampilkan di bangunan kosong milik Bakmi Kadin di Jl. Bintaran, Yogyakarta.

Tengah bawah: Para pengunjung sedang berpartisipasi pada karya interaktif Amarachi Okafor, "I Learnt This!".

Kanan atas: Biennale Forum, Kuliah Umum Nicholas Kiri tengah: Aderemi Bourriaud di Societet Taman Adegbite, Victor Ehikhamenor Budaya Yogyakarta bersama bersama seorang voluntir BJ Alia Swastika, Antariksa, XIII sedang berdiskusi soal Agung Hujatnika, Enin rencana kerja selama di Supriyanto Yogyakarta. Kanan tengah: Mukernas cari Kiri bawah: Seorang Padu, kolaborasi antara Rully pengunjung sedang Shabara bersama Wukir mengambil gambar karya Suryadi, Lifepatch, dan Tarlen Kainebi Osahenye, "People to Handayani. People". Kanan bawah: Tour Margi Tengah atas: Festival Tanah: Wuta, bagian dari performing Lemahku Kekuatanku, bagian art Joned Suryatmoko pada dari acara Festival Equator di Biennale Jogja XIII. Para Kulon Progo. pengunjung diajak berkeling sembari menutup mata dan dipandu oleh seorang difabel Tengah : Parade Punkasila di netra. Alun-alun Selatan Keraton Yogyakarta


21


22

TERIMAKASIH SAMPAI JUMPA DI TAHUN 2017

Sebagian Volunteer Biennale Jogja XIII, Foto oleh Ari Nugroho


23

Kristanto mencatat, film tersebut melukiskan dunia dalam anak muda dari kacamata mereka sendiri, bukan kacamata orangtua atau para “ahli” yang sering membuat analisa-analisa sosial atau psikologis, tetapi tak pernah kena penjelasannya.1 Kuldesak, yang diambil dari kata cul-de-sac –yang berarti jalan buntu–ironisya justru menjadi jalan awal bagi sejarah anak muda di kancah perfilman nasional. Tidak lama berselang, film-film sutradara muda Indonesia kemudian banyak diserbu juga oleh anak muda di bioskop, ataupun ditonton melalui VCD dan DVD dalam perkembangan zamannya.Tidak hanya di layar lebar, film-film pendek pun berkembang seiring munculnya teknologi film digital. Setidaknya pada 2002, digelar Festival Film Independen dengan salah satu kategorinya dikhususkan untuk pelajar. Meskipun lembaga sensor masih menghantui, setidaknya dalam beberapa tahun saja telah tumbuh pesat tontonan oleh anak muda, tentang anak muda, dan untuk anak muda. Tontonan, baik itu film maupun program TV, seperti halnya budaya populer lain dapat dilihat sebagai kontrol ideologi antargenerasi dalam skala nasional. Sadar ketika film-film di bioskop masih mendapat kontrol negara, bahkan ketika dibuat oleh anak muda sendiri, pada tahun 2000-an marak muncul ruang pemutaran alternatif. Dimulai dari banyaknya kine klub yang lahir di kampus-kampus, khususnya di sekolahsekolah film, ruang pemutaran alernatif berkembang atas inisiasi-inisiasi anak muda yang percaya bahwa menonton bisa berfungsi sebagai edukasi alternatif. Pada tahun 2010 misalnya, saya melakukan riset mengenai ruang pemutaran di Yogyakarta bernama Kinoki yang sejak 2005 hingga 2010 aktif dan rutin menawarkan pemutaran film-film dari berbagai penjuru dunia dalam bingkai wacana yang

terprogram.2 Ruang ini tidak hanya dinikmati oleh para pembuat film, tapi juga aneka anak muda yang berharap pada tawaran baru dalam tontonan bersama. Nampaknya perlu disadarai pula bahwa teknologi media berpengaruh besar terhadap kontrol generasi tua dalam tontonan anak muda. Maraknya VCD dan DVD disertai kemudahan anak muda dalam mengakses yang didukung oleh rentalrental dan pembajakan, juga kemungkinannya untuk dapat ditonton melalui komputer atau laptop, telah menyebabkan “perpecahan layar” di dalam keluarga. Pada awal 90-an, kita masih banyak menemukan satu rumah yang dikunjungi banyak warga lain hanya untuk menonton TV. Dan jika kemudian pada akhir 90-an satu keluarga umumnya menyaksikan tayangan yang sama dalam satu layar kaca, pada tahun 2000-an menjadi tidak asing bagi satu keluarga untuk menonton tontonan berbeda-beda di kamar masing-masing. Keadaan menjadi semakin rumit ketika sekitar satu dekade terakhir, anak muda mulai akrab dengan internet. Berbeda dengan film dan televisi, internet telah mengaburkan batasan antara produsen dan konsumen. Beberapa penulis lebih merasa cocok menggunakan istilah “pengguna” (user) untuk melabeli orang yang bersentuhan dengan internet. Warnet (akronim dari warung internet) adalah ruang fisik penting dalam sejarah internet di Indonesia. Meski kini anak muda telah dimungkinkan untuk mengakses internet melalui perangkat personal seperti ponsel ataupun laptop, nyatanya bisnis warnet tetap bertahan. Sebaliknya, sekitar tahun 2012, saya menduga bisnis warnet di Yogyakarta telah meruntuhkan beberapa bisnis rental VCD/DVD. Dua bisnis ini seolah tidak saling terkait, tetapi pada titik inilah saya menyadari bahwa bahasan mengenai


24

komodifikasi warnet di Yogyakarta berhak mendapat porsi besar dalam membicarakan budaya tontonan anak muda kontemporer.3 Warnet dan Sekat-sekatnya Setidaknya dalam lima tahun terakhir, terdapat suatu aktivitas baru pada beberapa warnet di Yogyakarta. Beberapa warnet seolah beralih fungsi dari tempat yang sebelumnya hanya menyediakan layanan koneksi internet, menjadi penyedia data multimedia yang dapat dikopi oleh konsumen warnet. Data multimedia tersebut antara lain: film, program TV, musik, game, aplikasi komputer, dan e-book. Jika sebelumnya konsumen warnet harus mengunduh sendiri data-data tersebut dengan menggunakan jasa koneksi internet, kini konsumen bisa langsung mengopi data yang ditawarkan dengan hanya membayar jasa warnet dalam tarif hitungan waktu. Riset saya pada 2013-2014 mendapati bahwa alih fungsi warnet ini membentuk budaya baru pada konsumen warnet.4 Konsumen tidak lagi datang ke warnet (hanya) untuk mengakses koneksi internet, melainkan untuk mengopi beberapa data menggunakan alat penyimpan data (hard disk external atau flashdisk) untuk mereka akses di ruang personalnya. Sebagian narasumber dalam riset saya menghabiskan waktunya untuk menonton sendiri tontonan dari warnet di laptop. Dibandingkan dengan film yang ditawarkan di bioskop lokal, film yang ditawarkan di warnet jauh lebih beragam. Selain film-film box-office Hollywood, film asal Jepang dan Korea jadi yang paling banyak ditawarkan warnet. Pilihan lain misalnya film-film dari Inggris, Perancis, atau bahkan negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura. Untuk program TV pun, tayangan TV Amerika, Jepang, dan Korea jadi yang paling banyak ditemui di warnet. Hampir seluruh tayangan tersebut tidak bisa ditonton di stasiun televisi Indonesia. Yang menarik,

beberapa penonton mengaku bahwa tayangan TV yang ditawarkan warnet memiliki waktu update yang hampir bersamaan dengan masa tayang di negara asalnya. Penggunaan bahasa negara asal tayangan membuat para penonton terbiasa menonton menggunakan subtitle berbahasa Inggris. Perlu dicatat pula, sebagian besar anak muda Yogyakarta yang menjadi konsumen warnet ini adalah perantauan yang tinggal di kamar kos tanpa TV. Beberapa konsumen warnet ini nyaris tidak pernah menonton siaran TV “nasional.” Kemudahan memperoleh tontonan secara masif dalam waktu singkat menjadi salah satu implikasi dari budaya mengopi di warnet. Di sini beberapa pengopi berkembang dari sekadar penonton menjadi kolektor. Tidak seperti video dalam keping VCD/DVD, video digital dalam bentuk softfile dapat disimpan secara lebih efisien karena tidak memiliki fisik yang menyita tempat ataupun mudah rusak. Akses para pengopi dalam bilik-bilik warnet, di luar intervensi pihak warnet, membuat tidak terbentuknya dialog dalam praktik budaya mengopi ini. Namun sifat media digital yang mungkin untuk dikoleksi dan dibagikan membuat para pengopi mampu menjadi “media centre” yang baru. Sebagian kolektor memilih langkah aktif dengan menawarkan pada orang di sekitarnya apa yang bisa dan perlu untuk ditonton, menjadi “kurator” tontonan di lingkup sosialnya.

Warnet dengan data film dan program TV yang sangat banyak bukanlah bioskop atau televisi yang memprogram apa yang harus ditonton audiens saat ini. Warnet berbeda pula dengan rental video di mana ia menawarkan


25

produk dalam jumlah terbatas. Di warnet, audiens seolah dituntut untuk aktif menentukan sendiri apa yang ingin mereka tonton, atau dalam konteks konsumen warnet: apa yang harus mereka kopi. Beberapa pengopi menyiapkan daftar yang ingin dikopi sebelumnya, misalnya mengacu pada referensi tayangan populer yang disebut dalam forum-forum online. Sementara beberapa yang lain, datang ke warnet tanpa rencana, berselancar dalam database warnet yang luas, mengakses pengetahuan yang sangat personal. Pada titik ini kita melihat bahwa sekat dalam bilik-bilik warnet tidak hanya membatasi para penonton secara fisik, tapi juga membatasi dialog, intervensi, ataupun kontrol antara satu penonton dengan yang lain, terlebih lagi antara satu generasi dengan yang lain. Menarik lebih luas ke dalam konteks nasional, praktik menonton dalam sekat-sekat membawa kita menjadi perlu mempertanyakan lagi kondisi nasionalisme saat ini. Jika Benedict Anderson secara tegas menyatakan bahwa nasion (bangsa) adalah suatu komunitas imajiner yang kebersamaannya dibangun melalui media nasional, kini komunitas imajiner macam apa yang terbentuk dari simpang-siur media global melalui internet? Komunitas yang terkait dengan budaya populer Jepang atau Korea misalnya, semakin menjamur dengan agenda utama seperti menonton tayangan idola bersama. Sebagian pemikir memilih untuk menjelaskan situasi kontemporer ini dengan istilah kosmopolitanisme, di mana sekat-sekat nasion di antara masyarakat dunia telah pudar.

Dalam praktik lokal yang spesifik, kondisi ini setidaknya memunculkan dua hal. Pertama adalah apa yang lebih mudah disebut misrepresentasi, di mana pengguna internet ataupun penonton media global sulit menemukan dirinya dalam layar, sekaligus sulit menemukan imajinasinya di dalam realitas. Drama-drama Hollywood ataupun Asia Timur misalnya, seringkali menempatkan kehidupan generasi muda yang jauh dari tekanan keluarga ataupun tuntutan agama. Sedangkan implikasi kedua dari kondisi aliran media global adalah lahirnya anak muda hibrid, yang secara sadar atau tak sadar mampu membaurkan budaya yang ada di luar dan dalam layar. Anak muda hibrid ini misalnya ditemukan pada sosok perempuan muda berjilbab yang gemar menirukan tarian (cover dance) K-pop. Sosok hibrid ini seolah menerabas batas wacana perempuan berjilbab yang harus bertindak-tanduk kalem sekaligus menabrak imaji girl band-girl band K-pop yang umumnya mengurai rambut dan memperlihatkan kaki-kaki yang panjang. Menonton Masa Depan Pertanyaannya kemudian, sejauh mana “kebebasan baru� baru anak muda dan budaya tontonan ini dapat disikapi secara optimis? Apakah aliran baru budaya populer ini sejalan dengan tumbuhnya daya kritis baru kaum muda Indonesia? Atau jangan-jangan, hilangnya aliran ideologi dari generasi tua ke muda di ranah lokal menciptakan aliran ideologi global dan relasi kuasa yang lebih terpusat? Tentunya pertanyaan tersebut bukan merupakan pertanyaan yang bisa dijawab, mengingat kompleksnya aliran budaya populer yang bersifat cepat, fluid, sekaligus temporer. Seperti halnya yang digagas Arjun Appadurai dalam membaca aliran transaksi budaya dalam ekonomi budaya global,5 alih-alih menunjuk jelas mana yang hulu ataupun hilir (seperti Amerikanisasi, Westernisasi, atau Asianisasi), aliran-airan itu perlulah dipahami sebagai gejala tak


26

beraturan dan bervariasi. Menanggapi fenomena konsumsi K-Pop di kalangan perempuan Indonesia misalnya, Ariel Heryanto melihat implikasi yang dimunculkan adalah: satu tahap pemberdayaan perempuan muda penggemar budaya populer dari Asia Timur, meredanya prasangka rasial pada wajah oriental, dan sebuah bentuk baru hibriditas di kalangan post-Islamis.6 Bagi Ariel, hal ini dapat berkembang–atau tidak –menjadi sesuatu yang lebih besar dengan kemungkinan untuk menantang status quo. Namun tambahnya, energi ini tak dapat secara pasti dianggap sebagai tren atau gerakan politik yang progresif mengingat di sisi lain, kelas menengah yang (memproklamirkan diri sebagai) lebih politis telah mengkritik K-Pop mania sejak jauh hari. Setidaknya salah satu masa depan yang patut diperhatikan, bisa dengan rasa optimisme ataupun pesimisme, dalam budaya tontonan di Indonesia adalah cepat-tanggapnya anak muda Indonesia dalam memanfaatkan Youtube sebagai media sosial. Sebagai tolok ukur misalnya, kita bisa melihat beberapa anak muda ini telah membuat channel yang memiliki penonton pelanggan (subscribers) hingga satu juta akun, yang kemungkinan besar terdiri dari anak muda pula. Peringkat seratus channel dengan subscriber terbanyak di Indonesia dipenuhi oleh anak-anak muda yang memproduksi video-video yang berpusat pada dirinya, entah sebagai komedian, gammers, ataupun musisi.7 Menariknya, dalam konten-konten video Youtubers muda Indonesia tersebut yang dapat dibilang lepas dari kontrol ataupun sensor generasi tua, banyak video misalnya mengandung tindakan maupun ucapan yang cenderung dianggap kasar oleh orang tua dan mustahil muncul di televisi maupun bioskop nasional terkini. Salah satu video yang diproduksi gamers/komedian bernama Reza Oktavian dalam channel-nya misalnya, berkali-

kali menyuarakan pisuhan kata “anjing”, “bangsat”, hingga“ngentot”. Fakta lain yang mungkin membuat beberapa generasi tua turut misuh adalah data yang menunjukkan bahwa video ini telah ditonton lebih dari 700 ribu kali dan disukai oleh lebih dari lima ribu akun.8

Catatan: JB Kristanto, 1998,“Kuldesak: Keterserpihan Anak Muda” dalam Kompas, 5 Desember 1998. Terarsip di JB Kristanto, 2004,Nonton Film Nonton Indonesia,Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2 Lihat Irham Nur Anshari, 2013, “Sistem Klasifikasi dalam Pemutaran Film,” dalam JSPVol 17:3. 3 Istilah “budaya tontonan” di sini dalam referensi lain dapat juga disebut sebagai “budaya layar”. Saya memilih istilah yang pertama dengan asumsi istilah yang kedua secara harfiah juga mencakup budaya permainan layar (game), meskipun istilah yang pertama secara harfiah pun mencakup tontonan di luar layar seperti tontonan di panggung. 4 Lihat Irham Nur Anshari, 2014, “All You Can Copy: Rekomodifikasi dalam Budaya Mengopi Video di Warnet,”dalam Prosiding CCCMS, Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi UII. 5 Arjun Appadurai, 1990, “Disjuncture and difference in the global cultural economy,” in Public Culture, 2:2. 6 Ariel Heryanto, 2015, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, Jakarta: KPG, hal 276-277. 7 Terarsip dalam http://socialblade.com/youtube/top/country/id/mostsubscri ed diakses 1 Februari 2016. 8 Video berjudul GTA V JADI DREADOUT!@#$% [3 IDIOTS] terarsip dalam https://www.youtube.com/watch?v=HMOrHNgS3X0 diakses 1 Februari 2016. 1


27

Studi Kajian Budaya pertama kali dibuka di Universitas Birmingham, Inggris. Sumber: moderncontemporarybham .wordpress.com

MENJADI POLITIS LEWAT YANG POPULER Maria Puspitasari Munthe Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma


28

Ketika mendengar frasa “budaya populer”, ada kecenderungan dalam benak saya untuk langsung mengasosiasikannya dengan anak muda. Saya kira hal ini tidaklah aneh, mengingat barangkali sebagian besar tindakan yang masuk dalam kategori budaya populer dilakukan oleh kelompok anak muda. Di Yogyakarta, hal yang demikian tentu tidak sukar ditemui. Hampir di setiap sudut kota bisa dilihat bentuk aktivitas (atau hasilnya) yang dapat ditautkan dengan praktik budaya populer. Sebut saja mural; di samping sifat vandalnya, beberapa tahun belakangan mulai diambil pendekatan berbeda untuk melihat aktivitas menggambar di ruang publik kota ini. Misalnya dengan pemersepsian mural sebagai salah satu medium penyampaian kritik sosial. Selain itu, ada panggung musik swadaya, pasar serupa konsep pasar tiban yang dengan inisiatif kolektif dijadikan wahana dagang produk anak muda, pameran karya, dan forum diskusi untuk menyebut beberapa di antaranya. Aktivitas ini tampak begitu riuh dan ramai. Ada energi besar yang berputar di sekitarnya. Energi kolektif yang sekilas tampak kuat dan ligat. Banyak yang menyebut bahwa kegiatan itu adalah bentuk resistensi anak muda atas mekanisme sosial tertentu yang kurang ideal. Mereka mencoba menciptakan peluang dan ruang lebih untuk geliat kreativitas dan upaya bertahan hidup mereka. Dalam kacamata cultural studies (untuk konteks tulisan ini, frasa “kajian budaya” juga merujuk pada maksud yang sama), dinamika budaya populer ini banyak dikaitkan dengan semangat populisme seperti yang muncul dalam permulaan tradisi cultural studies di Inggris. Aktivitas budaya yang awalnya berasal dari kelas pekerja ini memang punya fitur makna resisten. Menanggapi klaim tersebut, muncul pertanyaan lanjutan: apakah semua aktivitas budaya populer bernada resisten? Tulisan ini akan mencoba melihat sekelumit fenomena budaya populer dalam ruang perdebatan antara klaim-klaim dalam tradisi cultural studies menyoal resistensi di dalam praktiknya.

Dari Populis Menjadi Populer Saat tradisi kajian budaya periode awal muncul tahun 1960an, politik sayap kiri sedang menempati posisi dominan. Dengan Marxisme sebagai dasarnya, objek yang banyak menjadi perhatian kajian ini adalah budaya kelas pekerja. Budaya kelas pekerja yang merupakan representasi dari kaum marjinal banyak disebut sebagai bentuk oposisi dari 'budaya tinggi'. Dalam perkembangannya, budaya kelas pekerja inilah yang menjadi acuan makna saat orang menyebut istilah “budaya populer”. Dalam konteks itulah istilah “populisme”ditempatkan. Fitur makna yang menonjol dalam istilah itu adalah populi atau rakyat. Kepentingan politis budaya kelas pekerja memang punya keterkaitan erat dengan istilah ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, populisme berarti paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Pada masa itu, budaya kelas pekerja hadir mewakili aspirasi bernada perlawanan dari kaum bekas petani yang terpapar gelombang revolusi industri itu. Oleh karena kajian budaya awal menaruh perhatian pada budaya populer, banyak yang terserempet mengartikannya sebagai kajian budaya populer. John Storey, dalam pengantar bukunya Cultural Studies and The Study of Popular Culture: Theories and Methods, mengutarakan bahwa “[w]alaupun cultural studies tidak bisa (dan seharusnya tidak) direduksi menjadi kajian budaya pop, tak dapat disangkal bahwa kajian budaya pop bersifat sentral bagi proyek cultural studies”.1 Lantaran praktik budaya yang menjadi perhatiannya merupakan bagian dari bentuk perlawanan masyarakat atas budaya industrialis yang dominan kala itu, maka hasil kajian yang dilakukan dalam kerangka tradisi cultural studies banyak menyoroti perkara resistensi yang tersirat dalam praktik itu. Budaya juga dianggap berfungsi mengalihbentukkan politik radikal, dengan


29

menyisipkannya dalam aktivitas harian manusia.2 Pernyataan ini sedikit banyak sejalan dengan corak tradisi kajian budaya awal yang berupaya melihat sikap politik yang tersirat dalam praktik budaya populer. Beberapa contoh genre musik yang saat itu marjinal, misalnya punk dan reggae, dilihat sebagai ekspresi yang “menggantikan” pernyataan politik (surrogate politics) yang dibangun oleh kalangan subordinat. Kajian budaya lantas identik dengan pencarian sikap politis tertentu dalam budaya populer. Identifikasi ini tidak diterima mulus begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan: apakah benar budaya populer mengandung sikap resisten?; apakah dengan melakukan praktik budaya populer maka orang dapat dikatakan politis?; apakah motivasi utama dari semua bentuk budaya populer adalah melawan budaya dominan?; dan lain sebagainya. Melihat praktik budaya populer yang dikenal saat ini, pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah aneh terlontar. Sebut saja jika di tepi jalan ada segerombolan anak muda berdandan punk, apakah benar itu pernyataan sikap politik mereka? Atau mungkin ketika menghadiri sebuah gig musik indie, apakah dengan jelas terlihat bahwa orang-orang yang berkumpul di sana menyadari benar mengapa mereka harus bersikap resisten terhadap produksi musik dari kalangan industri dan berupaya mencipta musik mereka sendiri? Dalam lanjutan argumennya, John Storey menyatakan bahwa “penciptaan budaya pop ('praktik produksi') bisa menentang pemahaman dominan terhadap dunia serta menjadi pemberdayaan bagi mereka yang subordinat. Namun, bukan berarti bahwa budaya pop selamanya memberdayakan dan menentang”.3 Saya sendiri mencoba melihatnya dari sudut yang berbeda berdasarkan pengalaman bersinggungan dengan praktik budaya populer ini. Apa yang dipahami dari budaya populer sebagai frasa yang lahir dari penamaan oleh tradisi kajian budaya di Inggris tahun 1960an tampaknya tidak lagi serupa

dengan bagaimana orang-orang masa kini memaknainya. Fitur makna populi yang menjadi penanda kepemilikan budaya “rakyat” itu telah bergeser. Jika menyebut budaya populer di masa kini, kebanyakan orang akan mengasosiasikannya dengan praktik budaya tertentu yang diproduksi sekaligus dikonsumsi oleh begitu banyak orang/massa (sehingga menjadi “populer”). Konten politis hampir tak kasatmata. Dalam beberapa kondisi, bahkan terdapat pula kesan bahwa budaya populer malah cenderung apolitis, atau dalam situasi lainnya lagi, politis dengan menjadi bagian dari arus utama. Anak Muda Yogyakarta: Berkarya Secara Komunal Tidaklah berlebihan untuk menyebut Yogyakarta sebagai kota yang menjadi wadah besar untuk berbagai macam gerakan anak muda. Kota ini layaknya melting pot tempat bertemunya ragam orang dalam jumlah yang besar. Julukan lawasnya sebagai “Kota Pelajar” membawa dampak berkumpulnya sejumlah besar anak muda, mulai dari penduduk asli hingga yang merantau jauh untuk mendapatkan pendidikan yang diinginkan. Keberadaan begitu banyak anak muda di kota ini ternyata memberikan energi yang cukup besar dalam geliat gerakan masyarakatnya. Corak relasi sosial anak muda di Yogyakarta cenderung komunal. Komunitas tumbuh dengan subur (dan bahkan mudah!) bak cendawan di musim penghujan. Sekelompok orang dengan ketertarikan atau minat yang sama bertemu, berkumpul, lalu mulai melakukan aktivitas rutin produksi karya tertentu, hingga akhirnya memutuskan untuk mengorganisasi diri menjadi sebuah komunitas. Selain berproduksi, ada satu corak lain dalam kehidupan komunitas anak muda di Yogyakarta: berjejaring. Membangun relasi antarkomunitas. Pada level kontribusi terendah, jejaring ini paling tidak berfungi sebagai massa audiens yang mungkin


30

memberikan apresiasi atas karya komunitas tertentu. Pada level yang lebih tinggi, tak jarang komunitas-komunitas ini saling memberikan sponsor, entah itu materi, tenaga, dan bahkan kolaborasi penciptaan karya atau produksi. Pola ini menjadi kekuatan utama komunitas anak muda Yogyakarta untuk bertahan dan berproduksi. Salah satu contoh pemanfaatan pertumbuhan komunitas yang amat subur di Yogyakarta tampak dalam perhelatan JAFF (Jogja-Netpac Asian Film Festival). Pada event terakhir tahun 2015 lalu, JAFF yang berusia 10 tahun, melalui jajaran konseptornya, menyatakan bahwa mereka berhasil bertahan dan berkembang oleh karena geliat komunitas film di Yogyakarta yang terbilang tekun dan ramai. Bahkan dalam beberapa sesi khusus, acara ini sempat menghadirkan komunitas-komunitas film dari luar Pulau Jawa untuk berinteraksi dengan komunitas film di Yogyakarta, mulai dari kelompok pelajar pembuat film hingga mereka yang sudah cari makan dari film. Dalam tulisan sambutannya sebagai presiden festival, Garin Nugroho secara jelas menyatakan bahwa “JAFF dilahirkan untuk melakukan perlawanan”.Perlawanan atas keterbatasan sumber daya yang mendukung kerja mereka. Juga perlawanan sebagai momen yang mampu menghidupkan dua momen sekaligus, yakni momen apresiasi dan kreasi, lewat menghidupkan dan mendiskusikan karya-karya film di luar arus utama.4 Corak komunal yang sama juga muncul dalam musik, misalnya dalam skena musik indie. Indie dapat berarti alternatif pola produksi dan distribusi karya yang tidak mengikuti mekanisme industri arus utama. Dalam konteks berbeda juga dapat merujuk pada genre musik tertentu. Dalam pengertian pertama, indie bukan semata-mata berlaku untuk produksi musik saja, melainkan dapat juga diterapkan pada bentuk karya lainnya. Sebagai sebuah pola produksi alternatif dengan etos do it yourself (lakukan sendiri), memilih berada di jalur indie membuat

pelakunya punya ruang lebih untuk melakukan eksplorasi ekspresinya tanpa banyak intervensi dari kriteria industri arus utama. Tak jarang mencuat pernyataan bahwa orang mulai (atau bahkan sudah lama) muak dengan produksi musik industri arus utama (acara musik pagi di televisi contohnya). Pada titik itu, indie menjadi jawaban untuk alternatif karya yang layak dapat apresiasi lebih. Tak jarang, karya para seniman dari jalur produksi indie ini malah memberikan angin segar dan terbilang gemilang. Elemen pendukung produksinya pun berkembang. Kini ada banyak netlabel yang mendistribusikan karya musik dengan memberikan fasilitas unduh gratis legal. Dengan cara ini, karya dapat menjangkau publik dengan lebih luas. Salah satu netlabel, Yes No Wave, dalam keterangan yang termuat di situs webnya, menyebut pola ini sebagai “aksi 'gift economy', sebuah eksperimentasi dalam menerapkan model musik gratis kepada pecinta musik di dunia yang kapitalistik ini”.5 Ada pula jenis komunitas di Yogyakarta yang mengambil bentuk lebih cair dan fleksibel dalam medium yang digunakan. Sebut saja contohnya ketjilbergerak. Komunitas ini mencoba mengantarkan gagasan mereka lewat medium yang dekat dengan anak muda, misalnya mural, musik, dan festival rakyat. Salah satunya yang belum lama ini mereka tampilkan adalah “Taman Tiban” dalam perhelatan Biennale XIII Yogyakarta tahun lalu. Tagline yang mengiringi judul proyek ini adalah “Sebelum semua ruang diukur dengan uang”. Dengan karya ini, ketjilbergerak mencoba menghadirkan simulasi ruang publik yang belakangan susah (atau bahkan tidak mungkin) diakses oleh warga Yogyakarta akibat kencangnya laju pembangunan yang tidak memberi porsi cukup untuk itu. Lantas, Politiskah Itu Semua? Kembali pada pertanyaan yang diajukan kepada (teoretikus) cultural studies mengenai budaya populer dalam kaitannya dengan sikap


31

politis dan resistensi, apakah gugatan ini benar adanya dalam konteks gerakan anak muda Yogyakarta seperti yang dipaparkan di atas? Pada satu titik, budaya populer yang dikenal sekarang ini punya benang merah fitur makna yang sama dengan “budaya populer” sebagaimana dipahami pada masa awal penyebutan istilah tersebut. Garin dan jajaran manajemen Yes No Wave dengan jelas menyebutkan bahwa ada resistensi yang dengan sadar menjadi motif gerakan mereka. Mencoba peluang untuk mengangkat produkproduk alternatif di luar dominasi industri arus utama. Pada portal unduh gratis musik pun terlihat sebuah upaya untuk melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dari kecenderungan kapitalistik masyarakat masa kini. Tidak semuanya mesti dijual untuk mendapatkan keuntungan. Pada contoh komunitas ketjilbergerak, tendensi resistensi tampak dari gagasan yang mereka angkat sebagai tema kegiatan. Ada unsur kritik atas kehidupan masyarakat secara umum yang menandai adanya kondisi tidak ideal dan upaya untuk membuatnya jadi lebih baik. Nah, pada titik lainnya, saya rasa kita tidak bisa menutup mata pada kritik atas cultural studies seperti yang disebutkan sebelumnya. Pernyataan tegas dari founder gerakan tertentu bahwa mereka melakukan perlawanan atas budaya dominan tertentu tidak dapat menjadi jaminan atas afirmasi konsep dan motif yang merata pada para pelakunya secara individual. Budaya punya dimensi personal yang terwujud dalam diri pelakunya. Di sinilah ada lebih banyak ragam motivasi yang menjadi dorongan mereka untuk bergabung dalam praktik budaya populer ketimbang semata-mata ambil bagian dalam gerakan perlawanan. Bahkan pada sebagian orang anak muda, terkadang ada gelagat untuk menghindari label “politis”, “resisten”, dan semacam itu bagi aktivitas budaya populer yang mereka geluti. Barangkali enggan punya asosiasi dengan kaum yang resisten dan rajin protes.

Dengan kondisi semacam itu, penilaian soal politis atau tidaknya sebuah praktik budaya populer mesti dilihat secara terpisah dari segi motivasi tindakannya secara individual dan tujuan gerakannya secara komunal. Di bawah payung komunal, barangkali bisa disebut politis lantaran praktik ini masih mencoba menghadirkan bentuk alternatif yang berbeda dari “budaya tinggi” atau produk industri arus utama. Sementara dalam ranah motivasi individual, perlu dilihat lebih jauh apa yang menggerakkan tiap-tiap orang di dalamnya. Bisa jadi, dimensi politis tindakan mereka dapat terlihat, akan tetapi pelaku yang bersangkutan tidak berniat atau bahkan enggan dikatakan demikian.

Meski sikap politis tidak untuk dipaksakan, tetapi “populer”-nya budaya populer memang masih banyak diharapkan bisa jadi atribut strategis untuk menggalang kesadaran politis tertentu. 1

Storey, John. 2007. Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Diterjemahkan dari Cultural Studies and The Study of Popular Culture: Theories and Methods. Yogyakarta: Jalasutra. 2 Gitlin, Todd. 1997. “The Anti-political Populism of Cultural Studies” dalam Cultural Studies in Question. Eds. Ferguson, Marjorie dan Peter Golding. London: Sage Publications. 3 Op. cit 4 Disarikan dari tulisan sambutan Garin Nugroho (presiden festival JAFF) berjudul “Melawan Dengan Sederhana” untuk JAFF ke-10 yang diselenggarakan awal Desember 2015. 5 http://www.yesnowave.com/about/


32

Posisi Kesenian dalam Kebebasan Berekspresi Aquino Hayunta, Koalisi Seni Indonesia

Ekspresi adalah kata yang cukup bermasalah untuk dijelaskan, dan pada umumnya orang masih curiga pada kata ini. Bagi mereka yang besar di zaman Orde Baru tentu sudah sering mendengar ungkapan macam “kebebasan yang bertanggung jawab” atau “berekspresi boleh tapi jangan kebablasan”. Jadilah ekspresi anak muda zaman itu seperti teriakan yang tertahan; ada sesuatu yang ingin dikeluarkan dari dada, tapi karena tidak boleh kebablasan maka teriakan yang keluar pelan saja bunyinya. Rasanya tidak puas karena sebetulnya kita masih harus patuh pada aturan (lebih tepatnya patuh pada orang yang suka mengatur–aturan yang benar munculnya dari konsensus bersama, sedangkan orang yang suka mengatur itu dasarnya suka-suka dia saja, yang penting dia memegang kendali), sementara apa yang ingin kita ungkapkan belum dikeluarkan semua. Dan begitulah aturan-aturan itu berkembang, ia mengatur cara kita berpakaian,

berpotongan rambut, beragama dan seterusnya. Bahkan setelah zaman reformasi pun masih saja banyak aturan yang ingin diciptakan oleh orang-orang yang senang mengatur itu; ada yang mengatur bagaimana perempuan mesti berpakaian, bagaimana kita mesti beribadah, bagaimana relasi kita dengan orang lain, bahkan ada aturan yang mengatur bagaimana seorang perempuan harus duduk di sepeda motor. Namun mengapa orang-orang yang memegang kekuasaan tampaknya secara alami senang mengatur kebebasan berekspresi? Karena mereka tahu bila ekspresi seseorang sudah bisa dikendalikan, maka itu menjadi pintu masuk untuk mengendalikan hak-hak lainnya yang lebih asasi. Mengatur ekspresi sebetulnya adalah mengatur isi kepala seseorang. Dalam rezim otoriter, setiap manusia “dipotong” kepalanya, tidak dibolehkan berpikir secara berbeda, tidak


33

boleh menjadi pribadi yang otentik, harus taat aturan dan adat. Penyeragaman membuat orang jadi mirip satu sama lain, bahkan sampai-sampai penampilannya pun mirip. Tidak heran jika kita melihat pada suatu korps yang sangat mengekang kebebasan berekspresi seperti militer, sepintas kita melihat wajah anggotaanggotanya mirip semua. Dan ketika isi kepala orang mulai sama, maka tidaklah terlalu sulit untuk kemudian merampas tanah mereka, merampas hak suara mereka dalam pemilu atau mengorupsi pajak mereka. Toh kalaupun ada segelintir orang yang sadar bahwa telah terjadi perampasan hak, mereka ini pun tidak bisa menyampaikan kesadaran mereka ke banyak orang karena kesempatan mengeskpresikan kesadaran itu sudah dikendalikan. Dan begitulah kita terbiasa diatur sehingga kemudian secara otomatis mengatur dan membatasi sendiri ekspresi kita. Begitu kerapnya ekspresi kita diatur sehingga kita kehilangan pegangan tentang apa yang disebut kebebasan berekspresi itu. Bentukbentuk ekspresi yang tertahan itu kemudian muncul dalam bentuk, tempat, dan waktu yang tidak tepat. Kemarahan terpendam terhadap ketidakadilan biasa dilampiaskan dengan menggebuki maling motor yang tertangkap basah. Buah pikiran yang kerap dipendam (karena tidak ada budaya berdebat dalam sekolah maupun keluarga) bisa muncul dalam sesi tanya jawab seminar sehingga menghasilkan pembicara-pembicara dadakan yang kadang bicara sama panjangnya dengan para narasumber. Mampetnya ekspresi/kebutuhan untuk menikmati layanan dasar transportasi yang layak menghasilkan perilaku yang seenaknya dalam berlalu lintas. Orang tidak biasa mengkritik dan dikritik sehingga ketika ada persoalan dengan orang lain, maka kekerasanlah yang muncul sebagai ekspresinya. Intinya, ekspresi yang ditekan tidaklah hilang-menguap dengan sendirinya. Ia berubah bentuk menjadi ekspresi lainnya

yang justru kerap merugikan sesama warga masyarakat. Dan konflik horizontal semacam ini justru makin menguntungkan penguasa, yang tidak menginginkan konflik vertikal, antara penguasa dan rakyat, terjadi. Jadi sejauh ini, apakah ekspresi itu? Dalam konteks hak asasi manusia, ekspresi berarti kesempatan bagi seseorang untuk menampilkan pemikiran, perasaan, sikap dan kebutuhannya. Basis dasar dari ekspresi adalah menyampaikan kebutuhan yang asasi. Butuh air susu ibu? Maka bayi menangis. Kesakitan karena diinjak kakinya? Maka orang meringis atau mengaduh. Gelisah karena upah bulanan tidak mencukupi kebutuhan hidup? Maka buruh berdemonstrasi. Ekspresi dalam konteks hak asasi berarti kesempatan untuk menyatakan bahwa ada hak lain yang lebih asasi yang perlu dipenuhi. Bila kita melihat kebebasan berekspresi dari konteks ini, maka tidak akan ada istilah “kebebasan ekspresi yang kebablasan�. Selama hak kita belum terpenuhi, maka penyampaian ekspresi masih akan terus ada. Dan karena konsep hak asasi manusia memberikan kesempatan bagi semua manusia untuk tampil setara, memiliki keunikan, memenuhi kebutuhan khususnya, menumbuhkan kembali kepala yang dipotong, maka seolaholah kebebasan berekspresi bersifat individualis dan karenanya bertentangan dengan masyarakat Indonesia yang “kolektif�. Padahal sebetulnya, individualis atau kolektif itu adalah suatu fase, bukan sifat dari suatu masyarakat. Artinya, ada masa di mana suatu masyarakat menjadi individualis, dan ada masanya mereka menjadi kolektif. Pada masyarakat yang baru bebas dari penindasan tentu saja pengakuan terhadap hak-hak individu menjadi agenda setiap orang, sehingga terkesan bahwa setiap orang menonjolkan diri sendiri. Padahal penonjolan terhadap individu merupakan sesuatu yang perlu dalam rangka menghilangkan penyeragaman dan kontrol. Setiap orang menjadi otonom dan ini terlihat sebagai


34

sesuatu yang egois. Begitu juga ketika suatu saat hak-hak dasar manusia mulai terpenuhi satu persatu, maka kelompok masyarakat akan mengusahakan agar kelompok lainnya juga memperoleh haknya sama dengan mereka. Dan disinilah suatu masyarakat memasuki fase kolektif, fase di mana mereka saling membantu untuk memenuhi hak anggota masyarakat yang lain. Konsep kebebasan berekspresi dari konteks hak di atas dapat memberikan jawaban atas pertanyaan lainnya yang juga kerap muncul; “bila kebebasan berekspresi itu telah diperoleh, lantas untuk apa? Apakah hanya untuk sekadar membebaskan ekspresi, atau adakah hal-hal lain yang lebih esensial yang bisa kita dapatkan dari berekspresi tersebut?� Dengan itu kita bisa menjawab bahwa kebebasan berekspresi yang kita peroleh adalah untuk memastikan bahwa hak-hak kita dan hak orang lain bisa terpenuhi. Namun harus diakui, dengan makin banyaknya orang mengekspresikan diri, hirukpikuk tidak dapat dihindarkan. Dan sebagaimana lazimnya kehiruk-pikukan, akan ada ekspresi yang sifatnya esensial dan ada yang sifatnya atributif belaka. Ada orang yang tahu mengapa dia bersuara dan ada yang bersuara karena sekadar tidak mau ketinggalan. Ada orang yang melancarkan kritik karena ingin negara memenuhi kebutuhan warganya, dan ada juga yang melancarkan kritik karena kebetulan pihak yang berkuasa bukan merupakan pilihannya pada Pemilu yang lalu. Ada buruh dan warga tergusur yang menyampaikan aspirasi mereka, sementara itu semakin banyak pula orang yang menyampaikan syahwat berkuasa mereka secara terang-terangan, membuat batas antara ekspresi dan praktek kekuasaan menjadi kabur. Orang menjadi bingung karena kebisingan tersebut dan tergoda untuk kembali percaya bahwa kebebasan berekspresi perlu diatur

dan dikekang. Ada sejumlah indikasi yang mengarah pada upaya membungkam kembali kebebasan berekspresi seperti kian populernya penggunaan pasal 27 UU ITE untuk membungkam orang lain. Begitu juga aturan gubernur DKI Jakarta yang hendak membatasi ekspresi demonstrasi, pelarangan sejumlah diskusi dan perhelatan seni, pembredelan pers kampus, rencana perluasan wewenang lembaga sensor film, adanya ide pembentukan KomisiPerlindungan Kebudayaan di draft RUU Kebudayaan yang bertugas menyensor kebudayaan, sampai program Bela Negara yang berusaha meyeragamkan cara wargamengekspresikan nasionalismenya. Di tengah kebisingan ini tentu masyarakat butuh penyegaran, dan seni mampu memberikan penyegaran tersebut. Melalui seni, ekspresi-ekspresi yang disampaikan bisa lebih mudah diterima, relatif lebih estetis dan lebih segar. Selain itu, ekspresi melalui seni umumnya sudah melalui proses pematangan ide, eksekusi hingga ke bentuk akhirnya. Dengan kata lain, ada unsur refleksi yang kuat ketika sebuah ekspresi dituangkan ke dalam sebuah karya atau proses artistik. Ada dua level di mana seni bisa menjadi alat penyampaian ekspresi: 1. Seniman menyuarakan isu sosial melalui karya seninya: masyarakat bersentuhan dengan gagasan sang seniman melalui produk akhir berupa karya yang ditampilkan di ruang publik. Proses perjumpaan antara warga dengan karya seni semacam ini disebut kampanye. Sebuah pesan yang sudah diolah oleh si seniman kemudian dibawa ke ruang publik agar publik dapat menangkap pesan yang sudah diolah tersebut. 2. Pelaku seni bekerja bersama konstituennya untuk menghasilkan suatu karya seni atau menggunakan


35

metode seni ketika bekerja bersama konstituennya untuk menghasilkan perubahan sosial berbasis hak asasi manusia. Dalam hal ini, proses artistik seringkali menjadi lebih penting daripada hasil akhirnya. Warga atau dampingan berproses bersama pegiat seni sejak awal dan diajak mengerti prinsip-prinsip mengapa ekspresi tersebut lahir. Pada proses semacam ini biasanya batasan antara seniman dengan konstituennya menjadi lebur. Praktek seni pada level yang pertama, saat ini sudah banyak tersedia. Seniman-seniman telah menyampaikan berbagai jenis ekspresi atau kegelisahan masyarakat dalam karyakaryanya, mulai dari isu lingkungan, hak asasi manusia, kesetaraan gender, kapitalisme dan demokrasi. Perdebatan antara “seni untuk seni” dan “seni untuk masyarakat” sudah lama lewat. Kini karya seni yang berbicara mengenai problem-problem sosial makin mudah ditemukan di mana-mana. Bahkan kini ada semacam kecenderungan bahwa “kritis itu menjual”, “kritis itu keren” sehingga kerap kali seniman menghasilkan karya sosial karena ingin tampak “keren”. Atau barangkali mencari ketenaran dan pengakuan cepat melalui kegiatan progresif–radikal itu menjual. Biasa juga ditempatkan sebagai sarana untuk mencari beasiswa atau bepergian ke luar negeri. Ada beberapa kasus di mana seniman menghasilkan karya-karya yang peka secara sosial, tetapi di lain waktu, ia justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pesan-pesan yang dibawa karyanya. Kejadian seperti ini sebetulnya menegaskan bahwa sebuah ekspresi yang asasi tidaklah berdiri sendiri. Ia lahir dari sebuah kebutuhan akan hak-hak lain yang lebih esensial sebagaimana telah disebut di atas. Ekspresi hendaknya merupakan pengejawantahan sikap para pelakunya, bukan sesuatu yang dihasilkan hanya agar lebih unik atau lebih “politically correct”.

Sementara itu, belum banyak praktek seni di Indonesia yang berinteraksi dengan masyarakat sebagaimana disebutkan pada level kedua di atas. Padahal seni mampu menumbuhkan semangat kolektivitas di antara masyarakat. Kegunaan ekspresi pada zaman ini adalah untuk merangsang agar kelompok masyarakat yang selama ini tidak bisa berekspresi menjadi sadar bahwa mereka juga perlu dan bisa berekspresi. Ini awalnya, tapi kemudian kebebasan berekspresi diharapkan bisa menyadarkan orang terhadap kebutuhan mereka yang lebih asasi. Untuk itu seni perlu menjangkau lebih banyak orang dan berani keluar dari galeri, studio, gedung kebudayaan, museum atau hanggar tempat mereka biasa diletakkan. Dengan bekerja dan berproses bersama warga, sesungguhnya pegiat seni telah mengajak warga untuk secara bersama melakukan proses refleksi tentang bagaimana ekspresi seni diartikulasikan–dan proses inilah yang mengubah noise menjadi voice, mengubah kebisingan menjadi suara yang lebih berarti. Ada sejumlah praktek semacam ini yang patut dicatat. Misalnya bagaimana sebuah sanggar pendampingan anak-anak marginal menggunakan seni musik dan teater sebagai pelajaran pokok untuk memberdayakan anakanak tersebut. Proses belajar musik dan bermain teater telah mengajarkan anak-anak tersebut untuk menghargai perbedaan yang mereka miliki, dan juga pada gilirannya, menjadi lebih berdaya karena mereka memiliki ketrampilan khusus. Ketrampilan yang bahkan bisa menjadikan mereka pengajar musik di sekolah-sekolah formal. Komunitas pendamping anak lainnya menggunakan seni musik, teater dan olah raga egrang sebagai materi pokok ajar mereka. Dan karena konsistensi mereka dalam berkarya dan membuat pagelaran pentas anak-anak, mereka bisa memperoleh pengakuan dari pejabat setempat sampai ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Karena


36

Salah satu aktivitas seni, Komunitas Tanoker, Jember Dokumentasi Aquino Hayunta

adanya pengakuan tersebut, maka mereka bisa memasukkan perempuan dan anak ke dalam komposisi Musrembang kabupaten sehingga pada gilirannya menghasilkan aturan lokal yang ramah terhadap anak dan buruh migran perempuan. Komunitas lain di Sulawesi Tengah berkeliling dari satu daerah konflik ke daerah konflik lainnya, dan di setiap desa mendorong anak mudanya untuk mendirikan sanggar musik. Ketika sanggarsanggar tersebut sudah terbentuk, maka komunitas ini mengajak sanggar-sanggar tersebut (yang berasal dari desa yang saling bertikai) untuk pentas bareng sehingga tercipat perdamaian. Melalui seni perdamaian tercipta lebih efektif daripada melalui mediasi pihak keamanan setempat. Ada juga komunitas teater yang bekerja bersama warga di suatu pulau untuk menggali nilai-nilai budaya setempat yang sudah lama dilupakan warganya. Mereka mendorong anak muda di pulau itu untuk mengumpulkan cerita-cerita dari pada orang tua dan menggubahnya menjadi pentas seni dan teater. Hal ini memberikan kepercayaan diri kepada warga dan menyadari bahwa mereka memiliki sesuatu yang berharga untuk dikembangkan. Praktek-praktek seni semacam inilah yang menjadi “janji baru� dari kebebasan berekspresi, karena selain mempromosikan hakhak asasi, praktek semacam ini juga mengajak sebanyak mungkin


37

pihak untuk turut bekerja sama dalam membangun apa yang akan diekspresikan. Antara bentuk, proses dan tujuan melebur menjadi satu. Bila rezim otoriter sadar bahwa seni dapat menjadi senjata ampuh untuk menyeragamkan pikiran masyarakatnya (dengan cara membungkam ekspresi), maka tentu situasi dapat dibalik: seni dapat dipakai untuk meniupkan kembali semangat keberagaman dan kebebasan. Bila dengan membungkam ekspresi dapat menjadi pintu masuk bagi pembungkaman hak lainnya, maka bisa dibalik: seni dapat menjadi pintu agar hak-hak lainnya dapat dipenuhi. Kita tidak perlu meributkan apakah ekspresi kebebasan itu bisa “kebablasan� atau tidak, tetapi hakekat kebebasan dasar yang dimiliki semua individu adalah sama. Bahwa mereka bisa dan berhak mengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Kata kunci ekspresi kebebasan di sini adalah “mengembangkan diri�, termasuk di dalamnya mengembangkan masyarakat dan lingkungan.

Untuk bisa berkembang, masyarakat harus bisa menghargai hak-hak asasi manusia. Pada gilirannya nanti masyarakat akan sadar bahwa untuk bisa terpenuhi hakhaknya dengan baik, mereka akan butuh suatu sistem yang demokratis, bebas dari korupsi, menghargai kesetaraan, sadar akan jaminan sosial dan penghargaan terhadap lingkungan. Dan seni bisa menjadi titik awal bagi terbukanya kesadaran luas tersebut.


38

NANTIKAN SIMPOSIUM KHATULISTIWA 2-3 November 2016

YAYASAN

YOGYAKARTA

TAMAN BUDAYA The Window of Yogyakarta

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan


39

BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolaholah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


YAYASAN

YOGYAKARTA

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.