THE EQUATOR Edisi 6, Agustus 2014 Terbitan triwulan | GRATIS Terbit sejak Juni 2013
NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA
MELAWAN ARUS
2
PENGANTAR REDAKSI
Pembaca yang budiman, Di edisi sebelumnya kita telah memantik pembicaraan tentang Afrika dalam konteks geo-politik dan geoekonomi. Pada edisi ini, kita akan mengulik soal seni dan politik di Afrika dalam konteks kajian pascakolonial, khususnya wilayah Nigeria. Kolonialisme Eropa telah memoles wajah Afrika, memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat termasuk praktik seninya. Situasi yang sama juga terjadi di negara-negara pascakolonial lain seperti Indonesia. Kolonialisme bukan hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga secara psikis melalui proses hegemoni. Mereka mengintegrasikan suatu cara berpikir agar kawula terjajah memandang diri lebih rendah dibanding bangsa penjajah, Barat. Selepas proses dekolonialisasi, cara pandang itu tetap ada; minder pada bangsa sendiri dan memandang Barat dengan semua tetek bengek kebudayaannya sebagai yang paling unggul meski membencinya. Benci tapi rindu, begitu kira-kira. Situasi inilah yang disoroti dalam pascakolonialisme. Sebagai wacana, pascakolonialisme tidak bermaksud untuk mencari otentitas atau “diri yang hilang” sebelum Eropa datang, tapi merefleksikan ulang semua situasi yang pernah dialami–termasuk penderitaan di masa penjajahan–untuk membentuk kebudayaan atau identitas baru secara kreatif. Pada titik ini kesenian di kawasan pascakolonial hadir secara mengejutkan. Ia hadir sebagai cara bagi masyarakat pascakolonial membicarakan dirinya, traumanya, hingga perlawanannya atas pesona “kemajuan” Barat. Afrika adalah ladang subur bagi seni dan pemikiran pascakolonial. Edisi ini akan melihat fenomena itu, khususnya dalam praktik seni kontemporer di kawasan Afrika. Untuk itu, kami mengundang enam orang penulis untuk mengulik wacana ini dengan berbagai tema khas kajian pascakolonial. Tulisan pertama berbicara tentang carnavele; masalah kemunculannya di Indonesia yang tanpa basis sejarah hingga hibriditas dalam carnavele di Karibia. Pertanyaan-pertanyaan mendasar soal masalah ini akan dijawab secara lugas oleh Citra Aryandari. Tulisan kedua berbicara tentang seni kaum imigran Afrika di Eropa. Lewat tulisannya, Umar menunjukkan bagaimana kaum imigran Afrika di Eropa memperjuangkan hakhaknya melalui karya seni, khususnya sastra. Tulisan ketiga dan keempat masuk dalam semesta pembicaraan yang lebih spesifik, yakni sastra dan industri perfilman di Nigeria. Umi Lestari akan berbicara tentang Nollywood, sedang Wahmuji akan membicarakan pemikiran Chinua Achebe, sastrawan besar Nigeria. Kedua tulisan ini akan memberi terang gagasan bagi kita tentang sastra dan film di Nigeria. Adapun tulisan kelima akan menyuguhkan gagasan Direktur Artistik Biennale Jogja, Rain Rosidi, tentang isu yang akan diangkat dalam penyelenggaraan Biennale tahun 2015. Tulisan terakhir berupa laporan perjalanan singkat tim YBY di Bangalore, India dan salah satu negara Afrika, yakniMadagaskar. Paparan para penulis di edisi ini tentu menarik untuk menjadi bahan baku awal dalam memahami wacana seni dan politik Afrika. Harapannya, paparan tersebut dapat kita kembangkan lebih lanjut dan memunculkan perdebatan kritis. Semoga bermanfaat! Salam Hangat, Tim Redaksi
Potret salah satu warung makan di Madagaskar
3
The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org. Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 800 1000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta Misi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis senibudaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org. Agustus 2014, 1000 exp Penanggung jawab: Yustina Yeni Redaktur Pelaksana: Arham Rahman Kontributor: Citra Aryandari, Umar Muda, Umi Lestari, Wahmuji, Rain Rosidi, Fuji Riang Prastowo. Fotografi: Yustina Neni, Fuji Riang Prastowo Desainer: Yohana T.
Atas: Rumah di salah satu daerah di Antananarivo, Madagaskar Tengah: Tim YBY dan Taman Budaya Yogyakarta, bertemu kepala jurusan animasi dan visual effect, Srishti School of Art, Design & Technology, Bangalore Bawah: Lapak sayur di pinggiran kota Antananarivo, Madagaskar
Outlet Penyebaran Jakarta: Ruangrupa, IFI Jakarta, Komunitas Salihara, Dewan Kesenian Jakarta, dia.lo.gue, Kedai Tjikini Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Common Room, IFI Bandung, Galeri Soemardja, Tobucil Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, IFI Jogjakarta, Cemeti Art House, Via Via Cafe, LKiS, Sangkring Art Space, Ark Gallerie, Ruang Kelas SD, Warung Lidah Ibu Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Denpasar: Kopi Kultur Makasar: Rumata Artspace Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000
4
KARNAVAL: PERAYAAN SEJARAH & TANPA SEJARAH Citra Aryandari (Dosen Etnomusikologi ISI Yogyakarta) Hadirnya karnaval busana di Indonesia merupakan fenomena baru dalam dekade akhir ini. Karnaval busana awalnya hadir di kota Jember. Jember Fashion Carnival (JFC) menjadi fenomena yang mengejutkan karena sebuah karnaval mode semacam itu bisa hadir di Indonesia, apalagi di sebuah kota yang jauh dari Jakarta atau pusat-pusat mode di Indonesia. JFC mengilhami enam provinsi untuk menggelar kegiatan serupa. Bahkan, agar terjadi standardisasi karnaval, baik secara nasional maupun internasional, dibentuk Asosiasi Karnaval Indonesia (Akari).
Cosmo Girl, Jember Fashion Carnival XIII sumber: http://www.cosmogirl.co.id/galler y/teaser/5efda882893df6637174b 167f78194ac.jpg)
Pada awalnya masyarakat Jember yang jauh dari pusat kota provinsi, memandang bahwa apa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang diprakarsai putra daerah Dynan Fariz dengan pakaian aneh itu merupakan perbuatan kontroversial dan main-main. Pakaian yang mereka kenakan tidak seperti layaknya pakaian keseharian, akan tetapi didesain “nyleneh� seakan tidak jelas dari mana rujukan dan asalnya. Mereka hanya melihat ada kain batik, tali, akar, topeng, dan lain
5
sebagainya yang disusun sedemikian rupa menutupi tubuh, bahkan wajah. Jember dikenal sebagai daerah pendalungan, artinya hampir semua tradisi atau budaya yang ada dipunyai juga oleh daerah lain. Asal-usul warga Jember sebagian besar dari migrasi daerah tapal kuda (daerah yang memiliki tradisi dan budaya Madura) dan Mataraman (daerah yang memiliki kultur Jawa). Pendalungan adalah gambaran wilayah yang menampung beragam kelompok etnik dengan latar belakang budaya berbeda, yang kemudian melahirkan kebudayaan hibrid. Jember Fashion Carnaval (JFC) lahir dari hasil hibridisasi budaya yang sangat kreatif. Dalam tataran internasional JFC bukanlah hal baru. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan Rio de Jeneiro Carnival, Nottinghill Carnival, Mardi Gras Carnival, dll sebagai interteks dari Jember Fashion Carnival. Karnaval-karnaval tersebut bisa dikatakan sebagai “referenceserta hypogram” dari JFC. Meskipun demikian, tetap saja JFC telah melakukan dekonstruksi karnaval di Indonesia. JFC juga telah membuat Jember sebagai pusat perhelatan mode dunia tanpa kesejarahan sebelumnya. Ini menjadi menarik untuk diperbincangkan kemudian yakni, bagaimana sebuah karnaval “mode” bisa muncul di Jember dan kemudian diikuti oleh beberapa kota di Indonesia tanpa sejarah yang mendahuluinya? Apakah ini penanda dari salah satu gejala postmoderisme dalam kehidupan budaya Indonesia? Hibriditas dalam Alunan Samba Istilah karnaval berasal dari carnevale –yang berarti untuk menyingkirkan daging. Carnevale merupakan kegiatan yang dilakukan oleh para pengikut agama Katolik di Italia. Mereka memiliki tradisi penyelenggaraan festival kostum liar tepat sebelum hari pertama puasa (menyingkirkan daging). Agama Katolik menganjurkan untuk tidak makan daging selama Prapaskah. Seiring waktu, praktek tersebut menyebar ke seluruh negara yang
mayoritas masyarakatnya beragama Katolik di Eropa. Kolonialisme Eropa memungkinkan penyebaran carnevale di berbagai belahan dunia, termasuk Karibia. Pada awal abad ke-17, Karibia menjadi medan tempur berbagai bangsa yang mencari kejayaan. Spanyol, Perancis, Inggris, dan Belanda berperang memperebutkan kepulauan yang mereka sebut sebagai Hindia Barat. Kesuburan wilayah Karibia merupakan alasan utama hadirnya koloni, tetapi minimnya tenaga kerja yang dapat menggarap lahan menjadi alasan utama terjadinya perbudakan di wilayah itu. Impor pekerja budak dari Afrika Barat menjadi jalan keluar untuk mengatasi terbatasnya tenaga kerja. Kehadiran budak Afrika di Karibia tentunya menimbulkan persinggungan budaya yang menarik. Tradisi carnevale yang dibawa oleh Bangsa Eropa bercampur dengan bermacam teks lain yang ada di Karibia. Percampuran budaya yang terjadi pada wilayah koloni membawa ketegangan antara penjajah dan terjajah yang disebut hibriditas (Babha, 2004). Hibrid secara teknis dipahami sebagai persilangan antara dua “spesies” yang berbeda –silang budaya. Hibriditas mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan budaya dan identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstualnya sendiri. Teks budaya Afrika secara perlahan turut menjadi bagian dari perayaan carnevale. Dalam praktik budaya masyarakat Afrika, aneka kostum dan topeng menempati posisi yang istimewa. Penggunaan kostum dan topeng (yang dibuat dengan mengambil bahan dari alam) dalam upacara tertentu diyakini dapat membawa keberuntungan, mengatasi masalah, hingga mengantar arwah orang meninggal ke dunia berikutnya. Carnevale akhirnya meminjam tradisi Afrika dengan menyusun benda-benda alam (tulang, rumput, manik-manik, kerang, kain, bulu). Bulu-bulu yang sering digunakan oleh orang Afrika pada
6
hiasan kepala, dipercaya sebagai simbol dari kemampuan manusia untuk bangkit dari berbagai permasalahan seperti perbudakan. Dan akhirnya, bulu-bulu banyak digunakan dalam menciptakan kostum karnaval. Tarian dan musik tradisi Afrika pun menjadi bentuk baru dalam perayaan karnaval. Hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk perpaduan budaya itu sendiri, tetapi lebih pada cara bagaimana produk-produk budaya ini ditempatkan dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan kolonial (Moore-Gilbert, 2000). Karnaval yang hadir di Karibia merupakan ruang liminal persinggungan budaya yang terjadi antara penjajah dan terjajah. Tradisi prapaskah yang dibawa bangsa Eropa berpadu dengan ritus pembebasan masalah yang dilakukan budak Afrika dengan berarak memainkan musik dan tari berhiaskan bulu-bulu menjadi identitas baru samba dalam karnaval.
para penari perempuan yang menampilkan kostum minim, unik, namun penuh warnawarni dan aksesoris mewah nan glamour. Mereka berlenggak-lenggok eksotis mengikuti iringan samba. Karnaval di Mardi Gras di New Orleans sudah ada sejak tahun 1730, tapi dalam bentuk pesta dansa. Kemudian pada tahun 1830 karnaval mulai berubah menjadi bentuk arak-arakan berkostum warna emas, ungu, dan hijau. Pada tahun 1872, karnaval ini ditambah dengan kehadiran seorang raja karnaval yang dimitoskan bernama Rex. Dalam karnaval ini, banyak manik-manik berwarna-warni dan koin bergambar wajah Rex yang dilemparkan ke sekeliling kota oleh peserta karnaval. Masyarakat percaya, koin tersebut membawa keberuntungan jika berhasil mendapatkannya.
Karibia sebagai segitiga perdagangan antara Afrika-Karibia-Eropa, membuat karnaval sebagai produk budaya hibrid tak berhenti di wilayah ini saja. Kondisi perdagangan yang dinamis membuat karnaval ikut menyebar ke berbagai wilayah sekitar Karibia seperti Trinidad, Brazil, Venezuella, hingga New Orleans Amerika. Tak hanya itu, migrasi para budak ke Eropa membuat karnaval hadir di Nottinghill Inggris, dan tentu saja dalam sajian yang berbeda.
Selain manik-manik dan koin, Mardi Gras juga memiliki tradisi lain yaitu king cake atau kue raja. Kue ini terbuat dari roti donat besar yang sederhana bertabur gula berwarna khas Mardi Gras yakni, hijau, emas, ungu dan berisi sebuah boneka bayi kecil. Keberuntungan akan diperoleh apabila berhasil mendapatkan potongan kue berisi bayi. Tak hanya itu karnaval Mardi Gras banyak menggunakan topeng dalam paradenya. Hal ini berawal dari dilarangnya masyarakat budak (kulit hitam) mengikuti pesta, dan kemudian mereka (budak) mengikuti karnaval dengan menggunakan topeng sehingga tak tampak warna kulitnya. Sampai kini topeng menjadi identitas karnaval Mardi Gras.
Sebagai budaya hibrid karnaval mengalami adaptasi di setiap ruang. Brazil misalnya, karnaval Rio de Janeiro merupakan karnaval terbesar di dunia, karena mampu menghadirkan dua juta orang perhari selama seminggu. Dalam karnaval ini pengunjung bisa menyaksikan aneka atraksi sirkus, pawai kostum, dan aksi menawan tari Samba yang diperagakan perempuan-perempuan Brasil yang cantik dan seksi. Yang paling menjadi sorotan dalam karnaval ini tentu adalah aksi
Notting Hill sebuah wilayah di sudut Barat London, memiliki sejarah kelam dengan munculnya kerusuhan rasial pertama di Inggris tahun 1950-an. Kehadiran bangsa kulit hitam di wilayah ini tidak terlepas dari sejarah kolonial Inggris di Karibia. Sekitar 30 tahun lalu warga Karibia di Inggris merayakan kebebasannya dengan berkanaval hingga saat ini. Lebih dari 12.000 polisi berjaga saat kegiatan ini berlangsung. Karnaval Notting Hill yang kini termasuk karnaval terbesar di Eropa
7
Jember Fashion Carnival 2011 sumber: https://c1.staticflickr.com/7/6030/ 5983978948_ded390262d_z.jpg)
menghadirkan parade jalanan musik dan tarian, penjualan makanan dan street trading lainnya. Setiap orang dapat berpartisipasi dalam acara ini dengan turut menjual kerajinan tangan, home made cookies, parade kostum ataupun street band. The Notting Hill Carnival membuka pintu bagi semua pengunjung termasuk turis, seperti mottonya yaitu: “Every Spectator is A Participant – Carnival is for all who dare to participate� Kritikus sastra Rusia Mikhail Bakhtin menelurkan satu konsep penting mengenai karnaval, yang belakangan banyak dipakai untuk memahami budaya tanding dan infra-politics. Apa yang terjadi di Notting Hill dapat menjelaskan budaya tanding yang terjadi. Represi terhadap minoritas warga Karibia di London membuat karnaval hadir sebagai alat perlawanan. Konsep karnaval bergerak pada tataran simbolik sehingga tidak berkaitan langsung dengan politik formal. Di masyarakat Eropa abad pertengahan, sebenarnya ada sebuah acara rutin dimana seluruh relasi kuasa yang normal dibalik begitu saja melalui pesta rakyat, parade, sirkus, dan lain sebagainya. Dalam kesempatan itu, mereka dibiarkan mengejek raja dan pemuka gereja, memparodikan ritual-ritual misa dan istana, dan sebagainya. Meski demikian, ada beberapa hal yang patut dicermati lebih lanjut menyangkut penarikan konsep karnaval ke dalam kajian budaya tanding yang mengasumsikan bahwa karnaval memiliki potensi subversif membalik relasi kuasa. Tidak boleh dilupakan jika karnaval merupakan suatu ruang dan momentum yang memberi bentuk pada aksi simbolik dan bukan isi dari aksi itu sendiri. Artinya, jika merujuk pada penjelasan Bakhtin tentang budaya tanding yang sudah ada sebelum dan terepresi oleh budaya resmi, karnaval sekadar memberikan kesempatan
8
penyaluran represi secara kolektif dimana tidak ada perbedaan antara aktor dan penonton (semuanya merupakan subjek yang terlibat aktif dalam ritual). Inilah yang membedakan karnaval dengan aksi individual biasa, atau bahkan satir yang berlangsung searah dan dalam ruang privat (Hirschkop,1989). Karnaval akhirnya bersifat kosmopolitan di setiap ruang yang menaunginya. Penyesuaian dengan budaya lokal membuat karnaval hadir dalam identitas yang berbeda. Persinggungan budaya merupakan reaksi wajar dari dinamisasi masa. Mentahbiskan Berbagai Batas Sejarah perjalanan karnaval memperlihatkan pertautan dengan dimensi ruang yang melingkupinya. Indonesia sebagai sebuah negara multietnis juga memiliki sejarah karnaval dalam bentuk berbeda. Dalam acara kenegaraan, seperti perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus, Jakarta selalu menyelenggarakan gelar budaya Nusantara (karnaval). Kegiatan ini selalu menampilkan bentuk-bentuk kesenian dan budaya dari setiap provinsi di Indonesia. Karnaval Agustusan di Jakarta dan mungkin di beberapa wilayah Indonesia memberikan suatu penanda sebuah kebebasan negeri atas represi lampau yang berbentuk imperialisme. Sebelum tahun 90-an masih banyak terlihat drama-drama yang memperlihatkan bambu runcing, tentara Belanda, dan pekik “merdeka”. Akan tetapi pada masa ini hal-hal semacam itu tidak lagi menjadi ikon dalam karnaval 17-an Agustus. Para peserta lebih banyak menyajikan bentukbentuk kesenian yang berupaya semakin memperlihatkan jati diri wilayah. Ada suatu orientasi yang lebih menjurus pada orientasi ke-lokal-an atau mungkin juga “indigenisasi” (pembumian; meminjam istilah Geertz, 1999; 86). Namun apa yang digagas oleh Dynand Fariz nampaknya lebih dari sekedar meneruskan sebuah karnaval yang telah berevolusi menjadi tontonan di bulan Agustus. Ia telah
mendekonstruksi Jakarta sebagai wilayah pusat mode dan pusat perhelatan dalam skala nasional. Sampai saat ini karnaval budaya dan karnaval memperingati hari kemerdekaan selalu diselenggarakan di Jakarta. Demikian juga dengan pertunjukan-pertunjukan musik maupun fashion yang menghadirkan “bintangbintang” dari penjuru dunia. Masyarakat di luar Jakarta hanya bisa menyaksikan pertunjukan itu melalui layar televisi yang disiarkan secara nasional. Dikotomi sentralperiferal menjadi keabsahan untuk menjadikan yang periferal hanyalah penonton pasif, terbelakang, temaram, dan lain sebagainya. Pusat cahaya selalu ada di “pusat”. Hal ini nampaknya telah digugurkan oleh Dinand Fariz dengan JFC. Jember secara tibatiba memancing perhatian khalayak nasional bahkan internasional. Satu hal lagi, para peserta fashion dalam JFC bukanlah para bintang dalam dunianya. Mereka orang kebanyakan yang tidak dibebani persyaratanpersyaratan cantik, putih, semampai, demikian pula tidak harus ganteng dan macho untuk yang lelaki. Siapapun bisa menjadi peragawati atau peragawan dan bebas berekspresi. JFC juga memberikan makna yang berbeda dalam tradisi karnaval di Indonesia. JFC tidak berkeinginan untuk menghadirkan kemegahan sebuah karnaval kebangsaan, atau juga bukan menjadikan karnaval sebagai bagian dari prosesi sakral keagamaan, akan tetapi lebih pada kemeriahan hiburan. Gagasan Dynand Fariz menjadikan jalan raya sebagai catwalk adalah perlawanan atas kelaziman dalam fashion show. Dalam rentang 3,5 kilometer peserta JFC berjalan dengan pakaian yang “ditawarkannya”. Mereka layaknya peragawati/peragawan yang berjalan di depan para penonton dari segala lapisan. Tidak ada batas umur maupun batasan sosial. Peristiwa fashion show menjadi milik masyarakat. Sebuah terobosan yang sangat dekonstruktif mengingat kebiasan peragaan busana biasanya menjadi milik kalangan tertentu. JFC dalam hal ini menjadi kabur
9
batasannya apakah merupakan bagian dari karnaval ataupun sebuah peragaan busana. Kehadiran JFC yang muncul tanpa narasi kesejarahan ditengarai sebagai gejala postmodernisme. Beberapa masalah pokok yang dikaitkan dengan postmodernisme dalam bidang seni antara lain hilangnya batasbatas sekaligus hierarki antara budaya elite dan budaya populer, budaya tinggi dengan budaya massa (Kutha Ratna, 2007; 91). JFC sebagai produk budaya tanpa sejarah mengisyaratkan pembacaan teks yang dekonstruktif. Tubuh dan Ruang dalam Persilangan Sejarah Dalam presentasi JFC, Dynand Fariz sebagai tubuh menggoreskan sejarahnya sendiri. Ini dapat dilihat dari usahanya melakukan pembacaan ulang atas tradisi karnaval di Indonesia dengan sebuah upaya dekonstruksi. Kemudian dalam pencarian bentuk presentasi, intertekstualitas dijadikan sebagai dasar pijakan. Jika melihat fenomena tiadaannya batas segmentasi ataupun stratafikasi seni, maka fenomena JFC berelasi sepenuhnya dengan wacana postmodernisme. Karnaval hadir dalam bentuk yang berbeda di setiap ruang. Narasi sejarah tubuh dan ruang menjadi determinan penting dalam membentuk identitas karnaval. Brazil merayakan kebebasan tubuh dalam berekspresi, Mardi Gras menghadirkan demisfikasi raja Rex, Notting Hill membalik relasi kuasa, dan Jember membaca ulang teksteks yang ada. Semua untuk karnaval yang meriah dan megah.
Rujukan: Homi K. Babha. The Location of Culture. New York: Routledge, 2004. Cliford Geertz. After the Fact Dua Negeri Empat Dasa Warsa Satu Antropolog. Yogyakarta: LKiS, 1999. Bart Moore-Gilbert. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso, 2000. Ken Hirschkop. Bakhtin and Cultural Theory. Manchester: Manchester University Press, 1989. Nyoman Kutha Ratna. Estetika Sastra dan Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
10
KAUM IMIGRAN AFRIKA DI EROPA Umar Muda (Peneliti Sulawesi Intitute, Jakarta)
Hubungan Eropa dengan negara-negara dunia ketiga memang selalu menarik untuk dilihat, salah satunya adalah hubungan Eropa dengan negara-negara di Afrika. Hubungan kedua wilayah ini tidak hanya soal oposisi antara negara maju dan berkembang, melainkan juga problem rasial yang sampai hari ini belum bisa diselesaikan. Ketegangan terus berlanjut sampai pada ranah kesenian. Tulisan ini akan mencermati bagaimana negara-negara Afrika melakukan kontak dengan Eropa melalui kaum imigran. Penting untuk melihat bagaimana pengetahuan yang terbangun ketika orang-orang Eropa datang ke Afrika. Orang-orang Eropa selalu melihat Afrika sebagai sesuatu yang eksotis, mistis dan tidak beradab. Eropa menganggap dirinya lebih beradab sehingga orang-orang Afrika harus di peradabkan. Orang Eropa kemudian mewujudkannya dengan jalan kolonialisme. Hal semacam inilah yang diproduksi menjadi pengetahuan tekstual dan di kemudian hari setelah kolonialisme berakhir menjadi konsumsi negara-negara Afrika. Lebih parahnya, kadang orang-orang Afrika menganggap apa yang datang dari Eropa selalu baik. Bangsa Eropa yang pernah menjajah Afrika didaku dan dirindukan, terutama oleh mereka yang berimigrasi ke Eropa untuk “menjadi Eropa� atau karena dorongan tertentu. Apakah kaum imigran Afrika di Eropa sepenuhnya “menjadi Eropa� hanya karena secara demografis mendiami salah satu negara Eropa? Apakah sepenuhnya takluk? Tentu hal ini masih butuh dicermati lebih lanjut. Kaum imigran mencari ruang Perang dunia ke II secara drastis telah mengubah konstelasi politik dunia dan turut menjadi salah satu penyebab proses migrasi orang-orang Afrika ke Eropa. Masrshall Plan di Eropa yang mendapat dukungan keuangan dari Amerika membuat ekonomi Eropa bangkit lebih cepat dan industriindustri yang hancur karena perang kembali beroperasi. Kebutuhan tenaga kerja di Eropa lantas mendorong kedatangan orang-orang Afrika yang hendak mencari peruntungan. Ini bukan hal baru,
11
sebab jauh sebelumnya–terutama di masa kolonial–telah banyak orang Afrika yang hijrah ke Eropa untuk “bekerja,” diperbudak. Hubungan kolonial memudahkan akses mereka untuk masuk dan bekerja di perusahaan-perusahaan Eropa. Imigran gelombang pertama yang datang ke Eropa sekitar tahun 1950-an merupakan para pekerja di perusahaan. Kehadiran imigran Afrika secara fisik dalam kehidupan orangorang Eropa membuat definisi ulang bagaimana Eropa melihat orang-orang Afrika, begitupun sebaliknya. Meski ruang negosiasi baru muncul dengan kehadiran imigran Afrika di Eropa, oposisi-hierarkis antara Eropa-Afrika tetap ada. Imigran Afrika tetap dianggap sebagai ras yang lebih rendah, terlebih perannya dalam perusahaan yang sebatas pekerja kasar. Walaupun demikian, bagi imigran Afrika, kehadirannya di Eropa bukan sebatas kehadiran secara fisik, bermotif ekonomi maupun perpindahan secara demografis. Lebih dari itu, mereka turut menghadirkan budaya dan keseniannya dalam lingkungan Eropa meski itu dilakukan secara tidak sadar. Gelombang kedua datang di sekitar tahun 1970-an ketika Eropa mengalami resesi ekonomi. Resesi yang membuat perekonomian Eropa jatuh tidak mendorong para pendatang meninggalkan Eropa. Para imigran yang mayoritas laki-laki turut mengundang sanak keluarganya tinggal di Eropa. Periode ini sering disebut “reunifikasi keluarga” (Amin Mudzakkir, 2009). Sedang gelombang ketiga, datang setelah tahun 1980 dan berlangsung hingga sekarang. Mereka adalah para pencari suaka dan pengungsi yang negara asalnya dikacaukan perang. Namun, lantaran aturan keimigrasian semakin ketat di negara-negara Eropa, para imigran menempuh berbagai cara untuk dapat memasuki Eropa. Salah satu cara yang cukup unik adalah dengan membakar semua dokumen atau penghancuran identitas
awal sebelum melakukan penyeberangan melalui laut untuk mencapai kawasan Eropa. Ini bisa dilihat sebagai taktik, sebab bila tertangkap di negara yang dituju, aturan deportasi tidak akan berlaku lantaran mereka tidak memiliki kelengkapan dokumen. Pada periode awal pasca-perang, imigran Afrika sangat dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar yang enggan dikerjakan orang Eropa. Meski dibutuhkan, mereka tidak sepenuhnya diterima. Mereka diperlakukan secara berbeda sekaligus membedakan dirinya dengan orang-orang Eropa, tinggal berkelompok berdasarkan asalusul dan membentuk pemukiman sendiri. Area pemukiman menjadi ruang interaksi dan ekspresi seni yang sangat menunjang eksistensi imigran Afrika di tengah “pribumi” Eropa yang lebih makmur. Meski menampilkan kesenian yang dibawa dari daerah asalnya di Afrika, apa yang diekspresikan oleh kaum imigran di pemukimannya menunjukkan sesuatu yang berbeda dan juga dipandang secara berbeda. Meski jenis kesenian yang disuguhkan sama, perbedaan lingkungan dan tekanan sosial membuat bentuk kesenian yang dihasilkan di Eropa berbeda ketika itu disajikan di daerah asalnya. Saat mereka di Afrika, kesenian merupakan bentuk komunikasi dengan alam. Alam menjadi titik tolak dalam berkesenian. Namun, ketika berada di Eropa, kesenian menjadi penegasan identitas Afrika di tengah masyarakat Eropa. Begitu juga saat kesenian itu ditonton oleh penonton Eropa. Kesan saat kesenian itu dipentaskan di Afrika dengan saat dipentaskan oleh kaum imigran di Eropa berbeda. Dengan kata lain, makna kesenian itu mengalami apropriasi saat dipentaskan oleh kaum imigran. Ia adalah kesenian kaum imigran yang kerap dipandang sebelah mata.
12
Kapal imigran gelap asal Libya yang berlayar dari Tunisia menuju Lampedusa, Italia. (http://www.tempo.co/read/news /2014/04/12/119570142/400Imigran-Afrika-Ditangkap-di-Libya)
Potret karya imigran Afrika Para imigran yang datang pada periode ketiga, terutama mereka yang “menerobos� atau melalui jalur illegal, selalu berjuang untuk mendapat pengakuan secara hukum baik di Eropa maupun di negara asalnya. Meski pengakuan secara hukum itu tidak pernah mereka dapatkan, yang justru menarik untuk dicermati adalah bentuk perjuangannya melalui seni pertunjukan maupun karya sastra. Mungkin kita bisa melihat bentuk perjuangan itu melalui tulisan Hakim Abderrezak yang menganalisa karya sastra tiga penulis Maroko; Tahar Ben Jelloun, Youssouf Amine Elalamy, dan Mahi Binebine. Hakim menunjukkan bahwa sastra yang dihasilkan termasuk dalam sub-genre sastra imigran. Karya-karya sastra itu menjadi “alat politik� untuk mencela Maroko dan menunjukkan adanya penindasan wacana oleh media resmi di Eropa. Proses imigrasi yang melalui selat Gibraltar sarat dengan kriminalitas. Wacana seperti itu yang coba mereka lawan. Salah satu kasus yang barangkali bisa ditilik adalah cerita tentang imigran Maroko yang datang ke Eropa dengan menyeberangi selat Gibraltar. Kisah-kisah imigran gelap yang tidak berdokumen diceritakan dalam bentuk kilas balik saat mereka sembunyi pada malam hari di pantai menunggu perahu nelayan yang kecil untuk berangkat ke Spanyol. Cerita-cerita seperti ini diangkat dalam karya sastra. Karya itu digunakan sebagai alat perlawanan terhadap pemberitaan media yang selalu menyudutkan kelompok imigran dan bahkan menutupi adanya proses penyeberangan bawah tanah. Melalui karya sastra, para imigran gelap ini dihadirkan atau menghadirkan diri mereka dalam narasi Eropa maupun dalam narasi negara asal mereka. Para imigran gelap menganggap Media tidak mungkin mengangkat kisah perjalanan mereka ke Eropa.
13
Adanya karya sastra bertemakan perjalanan imigrasi orang-orang Maroko yang sarat bahaya mendapat respon positif dari masyarakat Eropa. Mereka kemudian mengutuk kelompok yang mendapat keuntungan dari proses imigrasi bawah tanah tersebut. Efeknya, pemerintah di negara-negara Eropa akhirnya berbenah, memperketat pengawasan pada tempat-tempat penyeberangan para imigran tersebut. Sastra kemudian menjadi ruang negosiasi antara para imigran dengan pemerintah negara-negara Eropa. Respon positif yang diberikan oleh masyarakat Eropa terhadap cerita tentang imigrasi gelap ini kelihatannya bersifat mendua. Di satu sisi berhasil menekan pemerintah, tetapi di sisi lain karya sastra atau kesenian lain yang dihasilkan oleh imigran Afrika dijadikan komoditas. Selain kesenian, tema kehidupan mereka juga sangat rawan dieksploitasi untuk keuntungan pihak tertentu. Pada titik ini, dirasa perlu untuk melihat semesta ekonomi-politik yang bekerja terhadap regulasi kesenian imigran di Eropa. Ke arah mana modal terakumulasi, apakah keuntungan mengalir ke kelompok imigran Afrika atau hanya dinikmati segelintir orang Eropa. Sejauh apapun seorang imigran menghasilkan keuntungan, pengakuan sebagai bagian dari Eropa tidak sepenuhnya bisa didapatkan. Imigran Gelap Maroko yang ingin masuk wilayah Spanyol Sumber: http://www.tempo.co/read/berita foto/16368/Imigran-GelapBeramai-ramai-Lompati-Pagaruntuk-ke-Spanyol
Rujukan: Amin Mudzakkir, "Antara Iman dan Kewarganegaraan: Pergulatan Muslim Eropa," 2009, Jurnal Kajian Wilayah Eropa Vol. V No. 1. Hakim Abderrezak, "Burning The Sea: Clandestine Migration Across The Strait of Gibraltar in Francophone Moroccan 'Illiterature',� September2009, Contemporary French and Francophone Studies Vol. 1 No. 14
14
POP POP POP STYLE ala NOLLYWOOD Umi Lestari Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Lagos yang riuh. Lagos yang tumbuh layaknya kebun tanpa tukang kebun. Gedung-gedung bertingkat, gedung-gedung terabaikan, berpadu dengan pemukiman yang beratap seng. Pasarnya ramai. Jalanannya padat. Kendaraan-kendaraan berlomba untuk mendapatkan tempat. Penjaja VCD berlarian mengejar mobil atau angkutan, menawarkan dagangan mereka. Poster film menempel di tembok-tembok dan bergelayut di jalanan. Di satu sisi, orang-orang berkumpul di kios-kios penjual kepingan film untuk melihat apa yang ditawarkan lewat layar. Di sisi lain, televisi bekas dan baru diangkut, dikumpulkan, diperjual-belikan kembali, masuk ke rumahrumah –kemudian orang-orangnya menonton dengan khidmad. Lagos, kota yang menjanjikan madu dan susu. Dari kota inilah beragam etnis di Nigeria berjumpa. Dan dari kota inilah industri film Nigeria yang terkenal dengan julukan Nollywood berkembang menjadi yang ketiga dalam hal jumlah produksi film setelah India dengan Bollywood dan Amerika Serikat dengan Hollywood.
“So its basically Africans telling Africans stories� Doa-doa untuk memuja yang kristus terlantun di awal film. Kamera bergerak perlahan mengambil satu per satu wajah kru film yang sedang berdoa, kamera VHS, dan sosok Lancelot Imanuen yang memimpin acara. Lancelot merupakan salah satu sutradara Nollywood yang menjadi favorit orang Nigeria. Sepak terjang Lancelot saat membuat filmnya yang ke-157 terabadikan dalam Nollywood Babylon (2008), dokumenter karya Ben Addelman dan Samir Mallal. Film yang diproduksi oleh National Film Board of Canada dan menjadi nominasi di ajang Sundance Film Festival 2008 ini mengangkat fenomena Nollywood. Selain mencari lebih jauh mengenai proses produksi Nollywood lewat kacamata Lancelot sebagai subjeknya, dokumenter ini juga menunjukkan sekilas sejarah film di Nigeria dan imbas kekacauan politik yang memberikan pengaruh besar pada budaya menonton dan budaya mengopimenjual film-film Nollywood.
15
Sekilas Sejarah Sinema di Nigeria Sebagai bekas jajahan Eropa, kisah kehadiran sinema di Nigeria tak jauh berbeda dari negara-negara pascakolonial lain di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sinema sendiri lahir saat Lumiere Bersaudara memutar film-filmnya pada pulik di Grand Cafe, Prancis, pada 28 Desember 1895. Sedangkan di Nusantara, melalui fotografer Prancis, L. Talbot, pita seluloid telah diputar di Batavia (Jakarta) pada Oktober 1896 dan Surabaya pada April 1897.š Kehadiran sinema di Nigeria sendiri ternyata hanya berjarak tujuh tahun dengan kehadiran sinema di Nusantara. Merujuk sejarah, budaya menonton bermula saat masa kolonial ketika pada Agustus 1903, masyarakat Nigeria bisa menyaksikan film pertama kali di Glover Memorial Hall, Lagos. Alasan pemerintah kolonial membawa film ke Nigeria pada dasarnya untuk mendistribusikan propaganda politik kolonial. Konten dari film-film yang dibawa ke Nigeria pada masa kolonial meliputi isu seputar kesehatan, pendidikan, agrikultur, dan industri.²
Gambar dari potongan Film “Nollywood Babylon�
Penghadiran sejarah sinema Nigeria dalam Nollywood Babylon ditunjukkan melalui footage film Palaver (Geoffrey Barkas,1928) dan Sanders of the River (Zelton Kroda, 1935). Selain membawa teknologi sinema, pemerintahan kolonial Inggris juga membangun kebudayaan
16
menonton melalui bioskop-bioskop yang didirikan di Lagos. Palaver dan Sanders of the River merupakan dua film produksi Inggris yang dibuat di Nigeria dan menggunakan orang-orang Nigeria sebagai pemeran pembantu. Dari footage dua film tersebut tampak sudut pandang orang koloni dalam melihat orang-orang Afrika yang dianggap pribumi, belum dewasa, dan brutal. Ironis. Walaupun sudut pandang kolonial yang merendahkan orang-orang Afrika kental terlihat dalam film, ternyata Sanders of the River digemari oleh orang Nigeria yang kala itu bisa menonton. Salah seorang yang terpikat dengah hadirnya gambar bergerak di Nigeria adalah Eddie Ugbomah, sutradara veteran Nigeria. Pada tahun 1959, ia mengintip dari dinding bioskop untuk melihat film yang diputar. Ia terpesona. Tapi di sisi lain ia marah saat melihat bagaimana orang Afrika direndahkan dalam film. Penggambaran orang Afrika dari sudut pandang kolonialis inilah yang membuat Eddie memutuskan untuk menjadi sutradara. Sama halnya dengan sejarah film Indonesia yang memiliki kedekatan dengan teater, peran kelompok teater tak lepas dari sejarah sinema Nigeria. Setelah Nigeria mendapatkan kemerdekaan pada 1 Oktober 1960, industri film Nigeria lahir. Kelahiran ini tak lepas dari nama “The Yoruba Travelling Theatre Groupâ€? yang pada era 1960an dan 1970an menunjukkan kepiawaian teaterikal mereka ke dalam film dengan format seluloid. Pemanfaatan teknologi sinema untuk membuat film dengan bahasa Nigeria ini menciptakan era Celluloid Boom pada tahun 1970an. Eddie Ugbomah sendiri termasuk sutradara era seluloid bersama dengan sutradara veteran lainnya seperti Ola Balogun, Herbert Ogunde, Adeyemi Afolayan, Ladi Ladebo, Moses Adejumo, Adebayo Salami and Afolabi Adesanya.Âł Kekacauan Politik, Budaya TV, dan Nollywood Pemerintahan yang baru seumur jagung tiba-
tiba dikagetkan oleh banyaknya kudeta. Pada tahun 1967 – 1970, kudeta militer berkali-kali terjadi dan menimbulkan perang sipil. Kerusuhan terjadi dimana-mana. Bioskop pun bangkrut. Keamanan yang tidak menentu membuat orang-orang memilih untuk tinggal di rumah masing-masing. Pada tahun 1970, Junta Militer mengambil alih kekuasaan. Keadaan tak kunjung membaik, penjarahan dimana-mana. Kondisi ekonomi menurun sehingga pada tahun 1980 pemerintah Nigeria menyetujui bantuan dana dari International Monetary Fund (IMF). Mata uang Nigeria, neira, mengalami devaluasi dan hal ini berimbas pada pembuat film Nigeria yang harus membayar sangat mahal untuk mengimpor rol film. Ketika budaya sinema mati, televisi berkembang. Pembuat film pada era seluloid beralih menjadi produser film pada tahun 1980an, termasuk Eddie Ugbomah. Akal-akalan pun dimulai oleh sekelompok anak muda yang mengimpor kaset-kaset kosong. Pertama-tama mereka hanya mengopi tayangan TV yang bagus lalu dijual di pinggir jalan. Kemudian hal ini berlanjut dengan kehadiran Living in Bondage (1992), film tentang penyihir dan bagaimana menjadi social climber, yang diproduksi dengan kamera VHS meledak di pasaran. Inilah era revolusi digital di Nigeria. Hadirnya Living in Bondage menjadi penanda perubahan budaya menonton TV ke budaya akal-akalan (mengopimenyebarluaskan film). Hadirnya revolusi digital di Nigeria membuat pembuat filmnya cukup menekan tombol ON/OFF, dan jadilah film. Penggiat Nollywood pun bukanlah mereka yang belajar seni membuat film di kampus-kampus seni. Mereka mulanya pegawai TV yang belajar membuat film dari jalanan (mengutip Lancelot) dan menjual filmnya di jalanan. Dalam dokumenter ini, film-film Nollywood ditunjukkan memiliki ciri khas berawal dari kesengasaraan, diakhiri dengan kebahagian dan fantasi untuk terus bertahan hidup.
17
Gambar dari potongan Film “Nollywood Babylon”
Pembuat filmnya berusaha menampilkan kerasnya kehidupan di Nigeria tapi di akhir cerita akan memberikan janji –sebuah harapan untuk menjadi kaya layaknya orang-orang yang hidup di kota besar. Bila sutradara lama menganggap Nollywood sampah, maka generasi Nollywood menampik hal itu dengan mengatakan bahwa inilah cara mereka berkomunikasi dengan orang-orang. Walaupun dalam film mereka selalu ada hal-hal yang tak masuk akal macam voodo, juju, atau ritual menjadi kaya (cukup familiar di Indonesia) –namun inilah realita masyarakat Afrika. Efek kekuatan lain di luar kemampuan manusia, asap yang keluar dari tubuh, roh jahat, selalu menjadi langganan dalam filmfilm Nollywood. Bentrokan antara yang tradisional dan modern selalu ada dalam film dan inilah yang diyakini oleh Lancelot sebagai identitas orang-orang Nigeria itu sendiri. “Nollywood style is the pop pop pop style. It is the sharp sharp let's go let's go style” Perputaran pasar yang sangat cepat membuat proses kerja sutradara Nollywood juga harus hap hap hap –serba sigap. Lancelot di sepanjang film menunjukkan proses kerjanya sebagai sutradara Nollywood. Hanya dalam jangka waktu dua minggu ia menyelesaikan proses syuting “Bent Arrows”. Budget yang digunakan untuk membuat film pun cukup rendah. Film-film Noollywood memiliki budget produksi di bawah 15.000 USD. Tak heran bila dalam film dokumenter ini, kita akan melihat seringnya Lancelot uring-uringan entah karena untuk menghemat pengeluaran atau karena kru yang bekerja tidak efisien. Begitu Lancelot selesai memproduksi film, ia akan memberikannya ke bagian editing kemudian akan memulai untuk membuat film lagi. Lancelot
18
menambahkan beginilah cara sutradara Nollywood bekerja. Biaya produksi film dihasilkan dari penjualan kepingan VCD di pasar, dan begitu mendapatkan untung mereka akan memproduksi film mereka selanjutnya. Tumbuh-kembangnya industri film di Nigeria yang pesat dengan 200 judul film setiap bulannya cukup mencengangkan. Anak-anak dan orang dewasa yang ditanyai dalam Nollywood Babylon mengungkapkan bahwa mereka terbiasa menonton tiga sampai lima film sehari. Nollywood telah menjadi arus utama dari sinema populer di Afrika. Saking besarnya industri ini, ia mampu memikat pembuat film dari Kenya maupun Ghana untuk belajar film sekaligus bergabung dengan distributor Nollywood. Kebesaran Nollywood ini mampu menghipnotis orang-orang di Nigeria untuk ikut bermain film. Lebih ekstrimnya, Nollywood mampu mengubah pemikiran orang-orang Nigeria untuk tidak berkiblat lagi ke Hollywood. Penutup Dokumenter yang cukup padat ini kadang bisa membuat penonton (yang belum tahu apa itu Nollywood) tersenyum dengan penghadiran footage film-film Nollywood yang bisa dibilang “norak” tapi nyata, apalagi bagi penonton Indonesia yang dulu tumbuh bersama Mak Lampir dan Suzanna dengan efek magic dan misteri kegelapan ritual dalam film. Ia juga bisa membuat penonton tertegun dengan hadirnya footage kerusuhan dan juga gambar adegan saat gereja mencoba menjadi ahli terapi bagi masyarakat Nigeria yang sudah lelah karena Negara tidak bisa memberikan jaminan pada mereka. Jauh tapi mirip dengan di Indonesia dengan adanya motivator-motivator di TV. Maka, ada baiknya setelah menonton Nollywood Babylon, siap-siaplah untuk mengunduh film-film Nollywood di jagad maya. Karena film ini utamanya hanya menjadi pager ayu atau pager bagus yang mempersilahkan penonton untuk memahami bagaimana cara orang Afrika bercerita tentang cerita Afrika. Catatan Akhir: ¹Hafiz. 2013. “Arkipel dan Kehadiran Pertama”. Katalog Arkipel. Jakarta: forum lenteng. Dalam artikel ini, Hafiz merujuk pada makalaj dana Ruppin “The Arrival of Moving Pictures to Indonesia”. Ruppin menjilis bahwa rekaman film berupa situasi jalanan di Jakarta yang diproses oleh Talbot sendiri. ²Uchenna, Onuzulike. 2009. “Nollywood: Nigerian Videofilms as a Cultural and Technological Hybridity”. Intercultural Communication Studies XVIII: 1 2009. http://www.uri.edu/iaics/content/2009v18n1/12%20uchenna%20Onuzulike.pdf (diakses pada 10 Juli 2014) ³Nigeria Movie Network. 2014. “The History of NOLLYWOOD: Nigeria's Movie Industry”. http://www.nigeriamovienetwork.com/pages/History-of-Nollywood.html (diakses pada 8 Juli 2014)
19
CHINUA ACHEBE DAN KAJIAN PASCAKOLONIAL Wahmuji (Koordinator Umum mediasatra.com)
Chinua Achebe Sumber foto: http://www.brainpickings.org/ind ex.php/2014/07/11/chinuaachebe-meaning-of-life/
Di antara sekian banyak sastrawan ternama Nigeria, Wole Soyinka dan Chinua Achebe bisa dianggap sebagai yang paling terkenal dan berpengaruh, baik di dalam negeri maupun internasional. Di Indonesia, posisi mereka bisa kita sejajarkan dengan WS Rendra dan Pramoedya Ananta Toer. Keempat sastrawan tersebut, dengan caranya masing-masing, banyak mengeksplorasi kondisi keterjajahan negerinya dan memberi pengaruh pada cara pandang terhadap identitas masyarakatnya. Eksplorasi seperti yang mereka lakukan itulah yang kemudian melahirkan sebuah disiplin akademis bernama Kajian Pascakolonial pada awal dasawarsa 1990an. Tepatnya, eksplorasi macam apa yang dilakukan oleh mereka dan banyak sastrawan, seniman, dan intelektual lain sehingga bisa melahirkan satu disiplin akademis tersendiri? Tanpa mengesampingkan peran yang lain, pertanyaan itu akan coba saya jawab dengan mendekati tulisan-tulisan Chinua Achebe dan memfokuskannya di bidang sastra—awalnya, isu-isu dalam kajian ini memang muncul dari sastra. Biasanya, kritikus sastra pascakolonial akan mendekati beberapa isu pokok. Pertama, menolak klaim universalisme dari sastra kanon Barat dan berusaha menunjukkan batas-batas pandangannya, terutama ketidakmampuannya dalam memahami secara empatik budaya yang berbeda dengan Barat. Kedua, terkait dengan tujuan itu, memeriksa representasi budaya liyan dalam sastra. Ketiga,
20
menunjukkan betapa seringnya sastra diam dan mengelak untuk membicarakan persoalanpersoalan terkait penjajahan dan imperialisme. Keempat, mengedepankan pertanyaan-pertanyaan terkait perbedaan dan keragaman budaya dan memeriksanya dalam karya-karya sastra tertentu yang relevan. Selanjutnya, merayakan hibriditas, yakni situasi dimana individu atau kelompok secara bersamaan berada dalam dua budaya berbeda—penjajah dan lokal. Terakhir, dan yang dapat diterapkan di luar sastra, mengembangkan sebuah perspektif yang mengangkat pluralitas dan Keliyanan (Otherness) sebagai sumber energi dan potensi perubahan. Beragam isu yang diperiksa oleh kritikus pascakolonial itu secara sederhana bisa dibagi menjadi dua kategori besar, yakni representasi (bagaimana Timur atau kawasan spesifik atau masyarakat tertentu direpresentasikan oleh Barat) dan eksplorasi-diri (mengangkat kondisi dan subjek pascakolonial). Hampir semua isu yang diselidiki oleh kritikus pascakolonial di atas dibicarakan oleh Chinua Achebe baik melalui novel maupun esaiesainya. Achebe berbicara soal representasi Afrika dalam karya sastra dan mengangkat kebudayaan suku Igbo, salah satu suku terbesar di Nigeria, sebelum penjajah datang. Ia berbicara soal universalisme dalam sastra, penggunaan bahasa dalam karya sastra Afrika, dan peran penulis di negara pascakolonial. Ia mengetengahkan posisi subjek di negara bekas terjajah dan merayakan hibriditasnya. Tahun 1975 Achebe memberi kuliah di University of Massachusetts Amherst, Amerika Serikat, dengan makalah berjudul “An Image of Africa: Racism in Conrad's Heart of Darkness.” Materi kuliah itu, seperti tertera jelas dalam judulnya, memeriksa rasisme yang ada di novel terkenal Conrad dimaksud, dan menyimpulkan bahwa “Conrad melihat dan mengutuk kejahatan eksploitasi imperial tapi anehnya tak menyadari rasisme yang justru menajamkan gigi imperialisme itu.” Representasi Afrika di karya sastra, seperti yang dikritiknya itu, sebenarnya juga merupakan faktor yang mendorongnya untuk menulis novel. Saat belajar di Universitas, Achebe membaca berbagai novel yang berbicara tentang Afrika,
dan merasa bahwa “kisah yang harus kita ceritakan tidak bisa diceritakan pada kita oleh orang lain tak peduli betapa berbakatnya ia atau betapa baik niatnya.” Hasrat sebagai insider researcher atau insider story-teller, hasrat untuk merepresentasikan diri-sendiri, memang sedang naik daun pasca-Perang Dunia II, saat negara-negara terjajah berjuang untuk, dan akhirnya berhasil, meraih kemerdekaan. Namun, kemerdekaan politik saja dirasa tidak cukup—apalagi ternyata penjajahan politik tidak lantas musnah; penjajahan lebih halus, yakni neokolonialisme, penjajahan ekonomi dan politik tanpa pendudukan langsung dan dilaksanakan melalui tekanan negara Barat, lembagalembaga keuangan internasional, termasuk berbagai funding tertentu, dan korporasi transnasional, lambat laun menggantikan kolonialisme “klasik.” Yang lebih mendalam, lebih susah dicapai dan butuh waktu lebih lama, adalah kemerdekaan budaya. Dengan kata lain, terciptanya budaya baru dan manusia-manusia baru. Negara baru yang lahir ternyata dikelola dengan mesin birokrasi kolonialis, bahkan kadang orang lokal lebih kejam perilakunya dari orang kulit putih yang dulu menjajah. Di kalangan seniman dan intelektual Afrika, awalnya dan terutama jajahan Perancis, pernah muncul gerakan negritude, sebuah upaya untuk melawan dominasi budaya Eropa dengan menggali keluhuran dan kekhasan orang kulit hitam, sekaligus mengangkat blackness atau nigger sebagai sebuah kata yang tidak lagi bernada menghina. Namun, gelombang gerakan yang bersifat romantis itu kemudian dipertanyakan. Persoalannya, ketika orang mencari kebudayaan asli Afrika, Asia, atau Jawa, misalnya, ia hanya menemukan jejak-jejak kabur, ditumpangi representasi kolonialis dan rasis dari penelitian-penelitian Barat, dan keadaan aktual masyarakat yang tidak lagi seperti dulu sebelum penjajah datang. Penjajahan berlangsung lama dan berhasil mengubah kebudayaan bangsa terjajah. Kebudayaan bangsa terjajah telah bercampur dengan kebudayaan penjajahnya. Istilah terkenalnya hibriditas. Atau dalam katakata Achebe, “[k]ita hidup di persimpangan berbagai kebudayaan.” Dulu dan kini. Hidup di persimpangan seperti itu punya potensi
21
bahaya, tapi sekaligus potensi pencerahan. Bahaya “karena orang mungkin akan hilanglenyap di sana bertarung dengan beragam semangat-mental yang berbeda,” tapi mungkin juga “ia beruntung dan kembali ke masyarakatnya dengan anugerah berupa visi yang profetik.” Hibriditas dan potensi pencerahan itulah yang dirangkul dan digenggam Achebe. Ia mengkritik universalisme Barat, terutama dalam sastra, dengan menegaskan bahwa ia “ingin kata 'universal' dilarang dipakai dalam diskusi mengenai sastra Afrika sampai tiba waktunya orang berhenti menggunakannya sebagai sinonim dari pandangan-picik Eropa yang sempit dan menguntungkan-diri-merekasendiri, sampai horizon mereka meluas dan mencakup seluruh dunia.” Akan tetapi, ia juga tidak menganjurkan pandangan-picik baru, chauvinisme baru. Ia paham dengan kondisi percampuran-budaya masyarakat Afrika, mengakui terciptanya negara-negara Afrika sebagai efek penjajahan, dan memilih untuk bersikap realistis, bahkan kadang-kadang praktis. Dalam menulis novel, misalnya, ia memilih menggunakan bahasa Inggris alih-alih bahasa Igbo, Bahasa Ibunya, bahasa yang diakuinya lebih banyak dipakainya saat percakapan. Pilihan itu tampak praktis karena alasannya adalah potensi pembaca yang lebih luas, tetapi juga historis karena memandang persatuan Nigeria salah satunya dibentuk oleh bahasa Inggris. Bagaimanapun, bahasa Inggris yang dipakai dan diekspresikannya adalah bahasa Inggris kreol, bahasa Inggris campuran, atau, mengutip Aschroft, dkk., more english than English. Penulis Afrika, menurut Achebe, musti menggunakan bahasa Inggris untuk mengungkapkan pesannya dengan baik tanpa kehilangan fungsinya sebagai bahasa komunikasi internasional—maksudnya mungkin tidak terlalu banyak mengubah tata bahasa, ejaan, dll—tetapi juga tidak kehilangan karakter dari pengalaman khusus yang mau diungkapkan. Artinya, kalau bahasa Inggris itu 'universal' atau global sifatnya, maka ia harus juga mampu atau dimampukan untuk memikul beban pengalaman lokal penggunanya. Beragam pemikiran dalam berbagai isu penting masyarakat (bekas)
terjajah itulah yang, salah satunya, membuat nama Chinua Achebe bersinar, menjadi rujukan wajib bagi orang yang memelajari Kajian Pascakolonial. Dalam konteks Indonesia, terutama saat datangnya gelombang otonomi daerah, bangkitnya wacana 'kearifan lokal', dan turisme yang mengumbar eksotisme, pemikiran-pemikirannya mengenai sastra dan budaya bisa kita jadikan pengingat akan relasi kekuasaan yang sedang berlangsung. Membuat kita lebih peka pada representasi, identitas, dan fungsi seniman/intelektual bagi masyarakat kita sendiri. Catatan Akhir: Disarikan dari Beginning Theory: An Introduction to Literary and Cultural Theory karya Peter Barry. Terkait novelnya Things Fall Apart, Achebe bilang "[i] would be quite satisfied if my novels (especially the ones I set in the past) did no more than teach my readers that their past – with all its imperfections – was not one long night of savagery from which the first Europeans acting on God's behalf delivered them" (dari Morning Yet on Creation Day, 1975) Makalah ini kemudian muncul di kumpulan esainya Hopes and Impediments yang terbit tahun 1988. Lih. esai Chinua Achebe “Named for Victoria, Queen of England. http://en.wikipedia.org/wiki/N%C3%A9gritude, saya pikir cukup baik sebagai pengantar untuk melihat lebih jauh gerakan ini. Lih. esai Chinua Achebe “Named for Victoria, Queen of England” Lih. esai Chinua Achebe “The African Writer and the English Language” Lih. Bill Ashcroft, Gareth Griffiths and Helen Tiffin The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literature Pemilihan bahasa Inggris sebagai medium penulisan karya ini bertentangan dengan pendapat Ngugi Wa Thiong'o, seorang penulis Kenya, yang menganjurkan, dan melaksanakan, penggunaan bahasa lokal dalam menulis karya sastra. Kedua pilihan yang bertentangan itu, saya rasa, adalah persoalan cara saja. Dua-duanya mengklaim menggunakan cara terbaik untuk menyapa, sekaligus mendidik, masyarakatnya. Chinua Achebe, dalam esainya yang lain, “Novelist as Teacher,” memang mengeksplorasi fungsi pendidik dari sastrawan/seniman.
22
BIENNALE JOGJA XIII EQUATOR #3 2015 BERSAMA NIGERIA MENAFSIR PERSOALAN TANAH Rain Rosidi Direktur Artistik Biennale Jogja XIII Biennale Jogja (BJ) yang ketigabelas ini sekaligus merupakan BJ seri Equator yang ketiga. Meneruskan strategi dua BJ sebelumnya, BJ XIII menggunakan garis equator sebagai sarana bersama untuk 'membaca kembali dunia'. Setelah India, dan kawasan Arab sebagai negara-negara partner, BJ kali ini bertemu dengan kawasan Afrika. Afrika adalah kawasan yang luas sebagai sebuah benua dengan bermacam ras, suku, budaya, dan kebangsaan. Nigeria akhirnya dipilih sebagai pintu masuk kawasan itu dengan pertimbangan hubungan kedua negara yang sudah terjalin baik dan posisi negara tersebut yang menjadi kunci dalam perkembangan kebudayaan di kawasan Afrika, terutama bagian barat. Gagasan artistik BJ kali ini berangkat dari strategi yang ditempuh oleh Bennale Jogja (BJ) seri Equator dalam menggali potensi kebudayaan pada kawasan yang terentang antara 23.27 LU dan 23.37 LS. Dengan menempuh perjalanan ke barat, BJ bertema Equator yang ketiga akhirnya bertemu dengan kawasan Afrika dan secara khusus menjadikan Nigeria sebagai negara partner. Strategi ini mengandung resiko bahwa negara rekanan BJ belum tentu sebuah negara yang dikenal akrab secara budaya dan kesenian oleh masyarakat seni Indonesia, termasuk Nigeria. Negara rekanan juga bukan negara yang dianggap dapat menjadi jembatan para perupa kita menuju pentas internasional, seperti negara-negara yang dianggap pusat kesenian maupun pusat pasar seni. Secara umum, Nigeria adalah negara yang asing bagi masyarakat Indonesia, terutama pelaku seni rupa. Kita mengenal Nigeria hanya pada hal-hal umum yang mempopulerkan negara ini di dunia internasional, seperti sepakbola dan perdagangan narkoba. Dalam kancah seni rupa, Nigeria hanyalah sebuah negara lain yang asing dan tidak atau belum memiliki keterikatan dengan perkembangan yang terjadi di tanah air.
23
Justru itulah tantangan dan potensi yang sejak awal dicanangkan oleh BJ seri Equator ini. Secara politis, BJ Equator mengambil Konferensi Asia Afrika sebagai pijakan awal, yang bertujuan melakukan intervensi terhadap konstelasi seni rupa dewasa ini. Dengan menyisir kawasan-kawasan yang sebelumnya tidak dikenal akrab oleh masyarakat kita, BJ ingin membangun jejaring baru yang berkelanjutan melalui dialog, kerjasama, dan kemitraan di antara para pelaku di kawasan tersebut. TITIK BERANGKAT PERTEMUAN BJ tidak saja menggali kesamaan, tetapi juga menjadi titik berangkat untuk mewadahi berbagai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. Untuk itu dalam mengejawantahkan hubungan antara dua kawasan (Indonesia dan Nigeria/Afrika) dapat dilihat beberapa titik persamaan kedua kawasan. Secara umum pengetahuan kita mengenai Nigeria dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini. Pertama adalah nostalgia sejarah yang juga sudah dikemukakan Newsletter Biennale Jogja, The Equator, sebagai alasan mengapa Nigeria dipilih sebagai negara rekanan berikutnya. KAA di Bandung menjadi penanda hubungan sejarah yang romantis itu, sebagai sesama kawasan yang membebaskan diri dari kolonialisme Eropa. Kesamaan lain dengan Indonesia adalah kedua negara sama-sama mempunyai kekayaan etnis dan bahasa yang bermacam-macam. Untuk kasus Nigeria, keragaman itu juga membuat negara ini acapkali berada dalam konflik. Jumlah kelompok etnis di Nigeria disebutkan sebanyak 250, termasuk etnis Igbo, Yoruba, dan Hausa yang terbesar. Secara politis Nigeria dibagi menjadi 37 negara bagian. Sumber daya alam kedua kawasan juga sangat melimpah, termasuk energi dan mineral, serta hutan dan perkebunan. Kedua negara samasama mempunyai persoalan pengelolaan sumber daya alam, terkait dengan bentukbentuk eksplorasi alam yang dikelola oleh
perusahaan-perusahaan besar dunia. Baik Indonesia maupun Nigeria sama-sama memiliki masalah dengan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Kualitas hidup yang masih harus ditingkatkan dan masih tidak sesuai dengan potensi kekayaan alam yang dimiliki keduanya. Hubungan kedua kawasan ini dikembangkan melalui beberapa proses. Beberapa proses yang diharapkan muncul yaitu, dua kawasan mengatasi persoalan yang sama, wacana pluralisme: mengenal sang liyan, dan menemukan diri melalui orang lain. Pertemuan kedua kawasan digunakan untuk mendukung situasi yang baik dalam kerja-kerja seni yang terjadi untuk membuka kemungkinan estetik baru. Gagasan konsep artistik ditempatkan dalam proses penciptaan. Bagian proses kreatif perlu dimunculkan untuk menemukan identitas. Persitiwa seni ini dikelola untuk dapat mengabsorsi pengalaman untuk menemukan residu, mengakumulasi energi kreatif para seniman. Meninjau Nigeria dan kawasan Afrika yang asing dapat dimulai dari pengalaman dan imajinasi kita terhadap kawasan itu. Misalnya tentang warga kulit hitam, betulkah kita mengakui orang Nigeria sebagai manusia? Dalam merumuskan rasa dan pikiran kita tentang Nigeria, kita perlu mengambil sikap disposisi. Pada langkah selanjutnya kita juga perlu meneliti persoalan-persoalan yang ada di sana untuk memperoleh gambaran cukup akurat. Dalam proses ini bayangan kita tentang Nigeria bisa berubah. Sebenarnya dalam bidang kebudayaan, kita tidak buta sama sekali mengenai Nigeria. Di tahun 1986 Penerbit Pustaka Sinar Harapan menerbitkan versi bahasa Indonesia novel karya Chinua Achebe, yang berjudul “All Things Apart� (dalam bahasa Indonesia menjadi “Segalanya Berantakan�. Chinua Achebe merupakan novelis Nigeria kenamaan, selain Soyinka yang mendapat hadiah Nobel). Penerbitan novel ini walaupun mungkin
24
didasari karena mendapat penghargaan Man Booker Prize dan karena sudah diterjemahkan dalam 50 bahasa, tapi setidaknya membuka mata pembaca Indonesia mengenai bagaimana Nigeria dilihat oleh seorang tokoh sastranya. Chinua Achebe dikenal dengan pemikiran kritisnya melihat kondisi masyarakat Nigeria berhadapan dengan kolonialisme Eropa. Novel “Segalanya Berantakan� menggambarkan kebingungan sebuah suku dalam menghadapi datangnya invasi masyarakat kolonial. Struktur masyarakat yang selama ini mereka percayai tergoyahkan oleh kooptasi kepercayaan yang baru dikenalnya, dan sistem masyarakat Eropa yang menyertai kolonialisme. Di luar bahwa novel ini mendapat penghargaan internasional, hubungan novel ini dengan masyarakat pembaca kita adalah kesamaan sejarah dalam mengalami kolonialisme dan menjalani pembentukan identitas masyarakat sesudahnya. Dari titik sentral ini, kita bisa mengambil satu kata kunci bersama antara Nigeria dan Indonesia, yaitu pembentukan identitas masyarakat pascakolonial. Tema yang juga sentral dalam karya itu adalah mengenai hubungan manusia dengan tanahnya. Tanah bagi suku-suku di daratan Afrika adalah sentral dalam perihal mereka melihat realitasnya. Tanah adalah segalanya. Novel tersebut pada dasarnya menggambarkan bagaimana sang tokoh protagonis yang juga seorang pemuka suku, mengalami konflik yang sangat kuat karena terusir dari tanahnya. MENAFSIR TANAH Tema utama yang diambil dalam BJ kali ini adalah mengenai 'tanah'. Pertimbangan tema ini digagas melalui cara pandang dua kawasan sebagai kawasan rekanan untuk merespon persoalan yang sama. Langkah pertama adalah melihat Indonesia dan Nigeria sebagai dua kawasan terpisah yang mengadakan kerja sama untuk menafsir pesoalan yang sama. Langkah kedua adalah memposisikan kawasan
yang berbeda itu sebagai 'yang lain', sebagai upaya untuk saling mengenal. Langkah ketiga adalah melihat identitas diri sendiri melalui 'yang lain'. Pada BJ XIII kali ini titik tekan hubungan antar-kawasan adalah menempatkan Nigeria dan kawasan Afrika sebagai kawan untuk menafsir persoalanpersoalan yang dialami kedua kawasan. Pertanyaan utama yang hendak diajukan dalam perhelatan ini adalah: “bagaimana respon visual/spasial dari seniman/komunitas seni terhadap persoalan tanah sebagai bagian dari masyarakat yang mengalami persoalan psikologis dari bangsa bekas negara jajahan? Dan “bagaimana seniman merespon kemampuan masyarakat beradaptasi pada persoalan tanah?� Persoalan tanah dan hubungannya dengan pascakolonialisme dilihat dalam perspektif kajian budaya. Pascakolonial dilihat sebagai kasus psikoanalisis, yaitu terapi membebaskan dari pengalaman traumatik. Dalam hubungan antara kedua negara ini, terma pascakolonial digunakan untuk memobilisasi sentimen kolonial. Persoalan tanah di kedua kawasan bisa terjadi pada bentuk-bentuk yang mirip secara esensial, sedang bedanya adalah pada respon dan strategi penyelesaiannya. Termasuk juga faktor-faktor historis yang spesifik dalam persoalan itu (historisitas dan konteksnya). Fokus yang perlu: bagaimana dua negara ini merespon persoalan tanah, seperti dalam konteks globalisasi, involusi pertanian, dan sebagainya. Dilihat pula bentuk-bentuk strategi dalam masyarakat sebagai local knowledge, melalui apa yang hidup sehari-hari dalam perubahan masyarakat. Respon itu bisa berbentuk respon struktural dan kultural.
25
MENYAPA (BALIK) INDIA, MENENGOK (WAJAH INDONESIA) MADAGASKAR Fuji Riang Prastowo (Peneliti Yayasan Biennale Yogyakarta) Catatan Perjalanan Riset Simposium Khatulistiwa
Suasana pasar di pinggiran Kota Antananarivo, Madagaskar
Pada Mei 2014, kami kembali mengitari garis khatulistiwa, terus melangkah menuju ke barat, meloncat dari benua Asia ke benua Afrika, ialah menyambangi dua negara yakni India dan Madagaskar dalam rentang waktu yang singkat. Lantas, perjalanan tersebut kami namakan sebagai perjalanan riset Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) guna persiapan Equator Symposium atau Simposium Khatulistiwa. Simposium Khatulistiwa dicetuskan YBY sebagai wadah dialog orangorang kreatif (tidak hanya seniman) yang negaranya berada dalam wilayah kerja Biennale Jogja, yakni di seputar khatulistiwa. Kegiatan yang akan dilaksanakan pada November 2014 ini diharapkan mampu menjadi media pertukaran pengetahuan, serta diseminasi isu antara negara-negara yang seringkali tidak menempatkan sektor kebudayaan sebagai kebijakan strategis. Menarik melihat bagaimana orang-orang kreatif ini mampu menemukan 'cara alternatif menjalani hidup' dalam menghadapi masa depan dunia. Simposium Khatulistiwa yang diselenggarakan di sela-sela perhelatan Biennale Jogja ini adalah 'cara' Yayasan Biennale Yogyakarta untuk
26
memberikan ruang yang lebih besar dan cair 窶電engan mengundang lebih banyak orang, di tengah eksposisi Biennale Jogja yang terbatas. Nah, melalui simposium ini, hubungan dengan negara mitra pada Biennale Jogja sebelumnya, seperti India dan kawasan Arab dapat terus dijaga keberlanjutannya.
Kiri atas Galeri Ske, Bangalore, India Tengah Atas: Grace Samboh di studio las, Srishti, Bangalore Kanan atas: Pemandangan kota Bangalore, India Kiri bawah: Lapak handphone di pinggiran Kota Antananarivo, Madagaskar Tengah bawah: Pemandangan Kota Antananarivo, Madagaskar Kanan bawah: Tarian Selamat Datang, Madagaskar
Kunjungan 'berlabel' perjalanan riset ini diikuti oleh Yustina Neni (Ketua Yayasan Biennale Yogyakarta), Grace Samboh (Manajer Program Simposium Khatulistiwa), dan Fuji Riang Prastowo (Kepala Divisi Riset Yayasan Biennale Yogyakarta). Perjalanan ini turut didampingi pihak pemerintah, yakni Diah Tutuko Suryandaru (Kepala Taman Budaya Yogyakarta) dan Suharyanto (Kepala Seksi Seni Rupa Taman Budaya Yogyakarta). Proses penelitian di India memakan waktu yang lebih panjang, dari 18 hingga 29 Mei 2014, sedangkan Madagaskar pada 2229 Mei 2014. Kunjungan lapangan adalah wujud keyakinan kami bahwa mempelajari suatu peradaban serta permasalahan bangsa lain tak cukup hanya dengan membacanya lewat buku atau internet. Tapi dengan model 'konvensional' seperti mengoptimalkan panca indera dan besentuhan langsung dengan masyarakat adalah cara paling efektif untuk membangun hubungan dialogis yang lebih intim. Singkat kata, apa yang
27
kami paparkan dalam tulisan ini adalah sekilas dari perjalanan riset yang kami lakukan. Hanyalah sebuah reportase panca indera, bukan laporan penelitian. Presentasi hasil riset ini sendiri telah dilakukan pada 2 Juli 2014 di Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Sedangkan dokumen laporan riset fenomenologis yang komprehensif tersimpan di kantor YBY. Kenapa harus kembali mendatangi India? Tentunya apa yang kami lakukan ini akan menimbulkan pertanyaan, karena YBY pernah menggandengnya pada Biennale Jogja Seri Equator #1 tahun 2011 silam. Selain alasan menjaga keberlanjutan, kunjungan YBY ke India, dalam hal ini spesifik ke Bangalore, dimaksudkan untuk mengundangnya pada simposium khatulistiwa dan rencana program residensi seniman Yogyakarta di Bangalore. Riset yang dilakukan di Bangalore lebih bersifat 'listing' dengan pendekatan snowball, dimana hasil riset bukanlah datadata akademis, melainkan riset dalam definisi lain, yakni meneliti (mencari) orangorang kreatif Bangalore yang akan diundang ke Simposium serta listing tempat guna residensi seniman Yogyakarta ke Bangalore. Namun, YBY sudah berkomitmen sejak awal untuk tidak menemui 'jaringan lama' –kolega pada Biennale Jogja Seri Equator #1, dari kawan lama diharapkan dapat memunculkan nama-nama baru untuk ditemui, sehingga jaringannya lebih berkembang. Grace Samboh yang tinggal lebih lama di Bangalore, menjadi peneliti tunggal dengan tugas yang lebih spesifik untuk bertemu lebih banyak komunitas, lebih banyak seniman, dan lebih banyak pelaku kreatif seantero Bangalore. Rupanya, periset YBY di Bangalore dituntut
memiliki insting yang tajam, menggantikan fungsi telepon genggam yang mati suri akibat 'blunder'-nya kebijakan ketat India kepada orang asing untuk mendapatkan registrasi nomor lokal. Tentunya ini menyebabkan koordinasi menjadi tersendat, diperparah pula dengan kebiasaan seniman Bangalore yang tidak menjawab surel dengan cepat. Selama proses riset, tim periset (khususnya Grace Samboh) berhasil menemui banyak orang dari beragam kalangan seperti Suresh Kumar, Yashas Shetty, Jasmeen Patheja, Ravindranath Gutta, Shuresh Jayaram, Christoph Bertrans, Maureen Gonsalves, Lawrence Liang, Namita Malhota, Archana Prasad, Jacob Cherian, Kanal Kar, Ayisha Abraham, Naveen Mahantesh, dan Anjana Kothamachu. Serta menemui komunitas atau institusi seperti 1 Shanti Road Gallery and Residencies, Srishti School of Art Design and Technology, Goethe Institute, Gallery SKE, Taj Residency, Alternative Lawyer Forum, Peaking Duck, BAR 1, Jaaga, Artscience BLR, Chitrakala Parishtah Art School, dan sebagainya. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke Madagaskar. Hal pertama yang terlintas dalam pikiran semua orang ketika mendengar kata Madagaskar adalah “kartun�!, lengkap dengan imajinasi visual si Alex Singa dan kawanannya yang berusaha kabur dari Central Park Zoo New York untuk kembali pulang ke 'surga impian' mereka yaitu tanah Afrika. Setelah dua kali Biennale Jogja seri equator memilih negara yang cenderung berada di utara garis khatulistiwa maka Madagaskar dipilih dan diundang sebagai peserta residensi dan simposium. Kunjungan ke Madagaskar dilakukan oleh Yustina Neni dan Fuji Riang Prastowo pada 23-29 Mei 2014. Selama proses riset, tim berada dalam lingkaran koordinasi KBRI Antananarivo sehingga situasinya lebih formal. Penelitian di Madagaskar dilakukan dalam jangka waktu yang singkat. Jadwal kami terhitung sangat padat dengan bertemu informan yang
28
Kiri atas: Stencil art (detil) karya Tahina Rakoto Arivony, seniman Madagaskar Kanan atas: Studio pribadi Tahina Rakoto Arivony Kanan dan kiri bawah: Calon studio Is’art Galeri, Antananarivo, Madagaskar
variatif dari kalangan anak muda hingga menteri kebudayaan. Beberapa orang atau kelompok yang berhasil kami temui selama di Madagaskar adalah I'sart Contemporary Art Antananarivo, Artist Residency Ambohimangakely, Romo Anton di Dodorosy, Mireille Mialy Rakotomalala (ex-Minister of Culture and Heritage, sekarang Presidente Comite National du Patrimoine), Vaoloanary (Minister of Culture and Heritage), Michel Rabariharivelo (Presiden Koalisi Arsitek di Madagaskar), serta menghadiri penandatanganan MoU antara Universitas Antananarivo dan Universitas Trisakti lengkap dengan jamuan makan malam resmi di Wisma KBRI bersama Prof. Emil Salim. Afrika dalam bayangan populer kami adalah benua yang panas dan penuh hewan-hewan liar. Namun, setibanya di bandara Jomo Kenyatta di Nairobi menuju Madagaskar, sungguh di luar dugaan kami. Udara di Afrika dingin, kami salah kostum! Tidak sampai di situ, kami merasa tidak sedang di Afrika ketika melihat Madagaskar untuk pertama kalinya. Orang Malagasy begitu mirip dengan perawakan Indonesia, terlebih alam Madagaskar yang juga tidak jauh berbeda dengan Nusantara. Sudah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa leluhur orang Malagasy adalah penjelajah dari Nusantara sejak abad ke 7 M-13 M. Lebih lanjutnya, cerita tersebut terangkum dalam laporan riset kami. Memang, sudah menjadi pengetahuan umum orang Malagasy bahwa 'kita' adalah nenek moyang mereka. Pada akhirnya, dengan terus menjaga dialog dengan negara mitra seperti India, serta mengembangkan dialog dengan rekanan baru tidak hanya akan berdampak positif bagi Yayasan Biennale Yogyakarta, tetapi juga pemerintah Yogyakarta dan komunitas pemuda kreatif di Yogyakarta. Uniknya, justru ide yang terbangun tidak diinisiasi oleh Nation to Nation (NtN), melainkan lebih spesifik lagi yakni City to City (CtC). Isunya tidak lagi hanya dalam tataran menyelenggarakan sebuah kegiatan bersama dengan klaim internasional, melainkan terus menjaga keberlanjutan hubungan dua negara yang dialogis dan intens.
Profil Direktur Artistik Dan Kurator Biennale Jogja XIII 2015
Wok The Rock
29
Rain Rosidi Direktur Artistik asal Muntilan
Rain Rosidi, (Lahir di Magelang, 1975) adalah kurator seni rupa dan dosen di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia. Bekerja sebagai pengelola dan kurator di ruang alternatif Gelaran Budaya (2000). Tahun 2003 mengikuti program residensi Manajemen Seni di Queensland Art Gallery, Brisbane, dan di Asian Australian Art Centre, Sydney. Kerja kuratorial antara lain: Neo Iconoclasts, Magelang (2014), Future of Us, Yogyakarta (2012), Jogja Agro Pop, Yogyakarta (2011), Indonesian Disjunction, Bali (2009), Utopia Negativa, Magelang (2008), Jawa Baru, Jakarta (2008).
Kurator asal Madiun Wok The Rock (Lahir di Madiun, 1975). Lulus dari Program Studi Disain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Wok The Rock adalah seniman lintas disiplin yang menghasilkan karya seni berbasis kolaborasi yang melihat gabungan penciptaan ruang, penyelidikan spekulatif dan eksperimentasi medium sebagai praktik artistiknya. Penciptaan ruang dan platform kerja juga berlanjut pada aktivitasnya di berbagai komunitas seni dan budaya. Saat ini ia menjabat sebagai direktur Ruang MES 56, sebuah artist-run-space fotografi kontemporer. Ia tinggal dan bekerja di Yogyakarta
30
BIENNALE JOGJA Selama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi sangat penting untuk mengukur kemajuan seni rupa Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya untuk menjadikan BJ sebagai rangkuman dari seluruh potensi kreativitas budaya dalam bidang seni rupa Indonesia, Asia maupun dunia.
bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman dari negaranegara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta.
Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021
Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu Yayasan Biennale Yogyakarta yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011.
Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai rangkaian pameran dengan agenda jangka panjang yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian biennale ini akan mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ akan
Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021), dan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022. Mengapa 'Khatulistiwa'? Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik
31
berangkat untuk mengejawantahkan berbagai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk 'membaca kembali' dunia. Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru.
YAYASAN
YOGYAKARTA
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan