Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

Page 1

THE EQUATOR Edisi 7, Oktober 2014 Terbitan triwulan | GRATIS Terbit sejak Juni 2013

NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

EDISI KHUSUS SIMPOSIUM KHATULISTIWA

ORANG DAN ORANG BANYAK


2

PENGANTAR REDAKSI Pembaca yang budiman, Edisi ini mungkin tiba sebulan lebih cepat. Demi menyambut Simposium Khatulistiwa I yang akan dilaksanakan pada17 dan 18 November 2014 yang akan datang, edisi ke-7 ini sengaja dihadirkan lebih awal. Di edisi sebelumnya, Newsletter The Equator membicarakan soal seni dan politik di kawasan Afrika (khususnya Nigeria) dalam konteks kajian pascakolonial. Isu yang dibahas tersebut berkepentingan memberi terang gagasan tentang praktik seni di kawasan Afrika. Pada edisi ini, kita tidak akan memulai dengan satu sudut pandang yang sama dalam membaca masalah. Redaksi The Equator memberi kebebasan pada para penulis untuk mengeksplorasi berbagai isu tentang praktik/estetika maupun sosiologi seni di Nigeria. Adapun informasi utama yang hendak kami suarakan lewat edisi ini adalah Simposium Khatulistiwa yang pertama. Simposium Khatulistiwa dirancang sebagai ruang yang mempertemukan berbagai pihak; pemikir, akademisi, praktisi, peneliti bidang seni rupa dan kebudayaan secara umum. Forum berskala internasional ini akan menjadi ajang percakapan kritis dan pertukaran pengetahuan tentang praktik seni rupa kontemporer. Lebih dari itu, pagelaran ini juga akan mengembangkan jaringan baik perorangan maupun lembaga serta mendorong keterlibatan berbagai pihak di Indonesia ke dalam sebuah forum internasional. Karena itu, sebagai pemantik menjelang pagelaran itu, kami akan menyajikan informasi-informasi khusus tentang simposium ini di bagian awal edisi ini. Selain menyuguhkan informasi tentang Simposium Khatulistiwa, edisi ini juga akan menyuguhkan beberapa tulisan tentang seni rupa kontemporer di Indonesia dan Afrika. Untuk itu, di edisi ini kami mengundang beberapa penulis, di antaranya Alia Swastika, Lucia Dianawuri, dan Ignatia Nilu. Alia Swatika secara kritis menggugat eksotisme praktik seni rupa di kawasan Afrika. Lewat tulisannya, Alia juga menunjukkan potensi kawula seni lain di Nigeria yang semestinya bisa dibicarakan dalam skala lebih luas. Adapun Lucia Dianawuri mengkaji praktik artistik seorang fotografer Nigeria yang dia anggap sangat jujur dalam menunjukkan kenyataan sosialnya. Berbeda dengan Alia dan Lucia, Ignatia Nilu mencoba melihat potensi praktik artistik seni kontemporer di Indonesia tetapi tetap coba ia tautkan dengan isu Nigeria. Seni dalam penjara adalah kredo yang coba disuarakan Nilu. Sebagai tambahan, kami turut menyertakan sebuah tulisan tentang laporan singkat perjalanan tim Yayasan Biennale Yogyakarta di Nigeria. Perjalan singkat berdurasi tujuh hari itu memberi sedikit gambaran yang lebih nyata tentang kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan yang paling utama, praktik artistik seni rupa kontemporer di Nigeria. Pada akhirnya kami berharap apa yang disuguhkan di edisi ke-7 bisa lebih bermanfaat. Kami percaya, para penulis di edisi ini telah berupaya keras untuk menyuarakan gagasan dan pembacaan kritisnya dalam merespon berbagai isu. Maka dari itu, sangat patut bagi kita untuk meresponnya secara kritis sebagai bentuk penghormatan kita pada upaya keras mereka. Semoga bermanfaat! Salam Hangat,

Seri Relief Patung Foto oleh Arief


3

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org. Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 800 1000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta Misi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis senibudaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org. Oktober 2014, 1500 exp Penanggung jawab: Yustina Yeni Redaktur Pelaksana: Arham Rahman Kontributor: Enin Supriyanto, Elly Kent, Arham Rahman, Lucia Dianawuri, Ignatia Nilu, Alia Swastika Fotografi: Yustina Neni, Arham Rahman Desainer: Yohana T.

Atas: Tim YBY bersama Bapak Kukuh D. Djayadi, Sekretaris II untuk urusan ekonomi KBRI Nigeria dan para pejabat National Council for Arts and Culture Nigeria di Abuja Bawah: Ruang presentasi di Center for Contemporary Art Lagos

Outlet Penyebaran Jakarta: Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Roni, Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, IFI, Cemeti Art House, Via Via Cafe, LKiS, Sangkring Art Space, Ark Gallerie, Ruang Kelas SD, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Jl. WR. Supratman No.34 Kediri Jawa Timur Denpasar: Kopi Kultur Makasar: Rumata Artspace Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

LATAR PEMIKIRAN SIMPOSIUM KHATULISTIWA Enin Supriyanto (Kepala Proyek Simposium Khatulistiwa)

Biennale Jogja mencoba untuk memandang ke depan, mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Wacana seni kontemporer sangatlah dinamis, namun dikotomi sentral/pusat dan periferi/pinggiran agaknya masih sangat nyata. Ada kebutuhan untuk mencari peluang baru dalam memberikan makna lebih atas event ini. Diangankan untuk mereka suatu common platform yang sekaligus mampu memberikan provokasi atas munculnya berbagai keragaman dalam perspektif untuk menghadirkan alternatif-alternatif baru atas wacana yang hegemonik. – Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Simposium Khatulistiwa dan Biennale Jogja merupakan dua komponen program Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) yang tidak bisa dikurangi nilainya atau diperbandingkan. Pada pehelatannya, Biennale Jogja seri khatulistiwa ini selalu bekerja dengan sedikit negara dan pada kesempatan berikutnya akan selalu meninggalkan mitra sebelumnya sehingga kesempatan mengembangkan pemikiran bersama menjadi berkurang, kalau bukan hilang sama sekali. Oleh karena pola kerja ini juga, Biennale Jogja akan selalu kehilangan kesempatan untuk berdialog dengan pemikiranpemikiran jenius dari individu-individu lain di luar negara mitranya. Simposium Khatulistiwa ingin menjadi penghubung antara sebanyak mungkin jenius lokal dari seputar khatulistiwa. Hal-hal kecil yang terjadi di sana-sini yang menjadi pemicu untuk beragam perubahan perlu dikumpulkan dan disuarakan keberadaannya untuk terus menyegarkan pikiran kita dan terus menginspirasi kita. Kecerdikan mereka menghadapi kerumitan masing-masing negara di sepanjang khatulistiwa adalah apa yang menjadi ketertarikan Simposium Khatulistiwa. Kami percaya bahwa bersama kita bisa memberi dunia alasan untuk berubah! Melalui Simposium Khatulistiwa, YBY memosisikan diri sebagai agen penghubung dan juga titik penyebaran untuk ide-ide terkini, perkembangan, dan pertumbuhan dari seluruh negara-negara di wilayah khatulistwa. Apapun yang berhubungan dengan pembuatan wacara di seputar khatulistiwa terbuka untuk dinegosiasikan. Simposium Khatulistiwa menyandarkan semangat penyelenggaraannya pada pidato presiden RI pertama Ir. Sukarno ketika membuka Konferensi Asia-Afrika, 18 April 1955, “Apa yang dapat kita


5

lakukan? Kita bisa melakukan banyak hal! Kita bisa menyuntikkan berbagai alasan ke urusanurusan dunia. Kita bisa menggerakan segala kekuatan spiritual, moral, dan politis Asia dan Afrika untuk kedamaian!” Apa yang berlangsung di Indonesia pascareformasi ini seringkali kami sederhanakan sebagai “defisit perubahan” (meminjam istilah dari Dr. ST Sunardi). Untuk itu, kami merasa perlu menginspirasi diri kami sendiri, orang-orang di sekitar kami, dan juga masyarakat Indonesia secara umum bahwa kita bisa berubah. Kita bisa melakukan perubahan. Yang menarik dari penjelasan resmi YBY tadi adalah bahwa tidak ada bagian yang secara langsung menyinggung kenyataan bahwa secara “kebetulan” sesungguhnya pilihan wilayah dan agenda politis tadi menggemakan persoalan-persoalan sosial-politik-kebudayaan yang pernah membawa Indonesia sampai pada posisi penting dalam peta pergaulan antarbangsa, sekaligus suatu prestasi khusus dalam perjalanan sejarah Indonesia modern. Inisiatif dan agenda kerja YBY adalah juga gaung yang terdengar di masa lalu, dari suatu peristiwa pertemuan “bangsa-bangsa di sabuk Khatulistiwa”, di pertengahan abad ke-20, dengan Indonesia sebagai salah satu inisiator utama, sekaligus penyelenggara dan tuan rumah. Risalah ringkas ini justeru akan memanfaatkan “kebetulan” tadi. Kebetulan yang saya maksud adalah: Negara-negara yang ada dalam wilayah sabuk Khatulistiwa—antara 23.27° LU dan 23.27° LS, adalah bagian terbesar dari 29 negara (baru merdeka, bekas wilayah jajahan kolonialis Barat) peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA), Bandung, 1955.[1] Lebih jauh lagi, jika kita terima bahwa Gerakan Negara-negara Non-Blok (GNB) adalah kelanjutan dari KAA, maka hampir semua negara yang sudah dan akan jadi rekanan BJ adalah juga adalah anggota GNB.[2]Saya beranggapan bahwa pelajaran dari—dan refleksi terhadap—KAA dapat memberi bekal pada kita untuk lebih

memahami persoalan kita hari ini, dan juga tantangan-tantangannya. Upaya ini akan dapat memberi sejumlah bekal bagi kita untuk memasuki wilayah persoalan dan tantangan yang segera akan dihadapi juga oleh BJ jika sungguh-sungguh ingin menjalankan agenda politiknya di medan seni rupa kontemporer global. Sejumlah catatan penting tentang KAA dapat memberikan gambaran pada kita mengenai pemikiran yang pernah berkembang di negaranegara Asia–Afrika saat para pemimpin dan intelektualnya mulai sungguh-sungguh memikirkan posisi dan sikap mereka berhadapan dengan imperium yang menata dan menguasai hirarki hubungan negarabangsa setelah berakhirnya kolonialisme, seusai Perang Dunia II, dan menjelang ketegangan global Perang Dingin. Dalam konteks sejarah yang khusus inilah kita bisa memahami mengapa Soekarno, Presiden Indonesia ketika itu, dalam pidato sambutannya berani dengan lantang mendaku bahwa KAA adalah “konferensi antarbenua yang pertama dari bangsa-bangsa kulit berwarna sepanjang sejarah umat manusia!” [3] Sementara Richard Wright (1908-1960) —penulis/jurnalis/aktivis gerakan sipil kulit hitam AS yang kemudian pindah ke Paris dan jadi warga Perancis—demikian bersemangat datang ke Bandung atas inisiatif dan biaya sendiri hanya untuk menyaksikan langsung peristiwa KAA.[4] “Dari hari ke hari kerumunan orang berdiri di bawah terik matahari tropis, memandang, menyimak, bersorak; ini kali pertama dalam pengalaman hidup mereka yang terhinakan mereka menyaksikan orang-orang hebat dari bangsa, ras dan warna kulit yang serupa dengan mereka tampil berkuasa, bangsa mereka sendiri mengatur ketertiban, Asia dan Afrika mereka yang sedang mengatur nasibnya sendiri.”[5]


6

YBY adalah apa yang disebut Wright sebagai 'upaya mengatur nasibnya sendiri' karena ia lahir dari kebutuhan sekumpulan praktisi seni rupa kontemporer yang membutuhkan sejumlah kesepakatan tertentu dalam penyelenggaraan Biennale Jogja agar ada standar, sehingga bisa terus-menerus bisa dikembangkan dan dalam realitas macam itu jugalah kritik dapat hadir dengan masuk akal. Simposium Khatulistiwa adalah sebuah forum internasional yang dirancang sebagai arena pertemuan ahli, pemikir, praktisi, peneliti dari berbagai bidang ilmu. Ini adalah acara untuk berbagi informasi dan pengetahuan, bertukar pikiran dan pendapat sebagai upaya membangun pemahaman kritis atas berbagai praktik seni rupa kontemporer dalam kaitannya dengan dinamika sosial, budaya, dan politik di kawasan khatulistiwa. Dengan ini, praktik dan wacana seni kontemporer membutuhkan sebuah ruang yang terbuka, inklusif dan siap akan beragam studi kritis dari berbagai disiplin yang relevan. Simposium Khatulistiwa juga akan berfungsi sebagai upaya untuk mengembangkan jejaring antara berbagai perorangan dan lembaga yang bisa mengaktivasikan peran para ahli dan praktisi seni kontemporer Indonesia ke dalam sebuah forum internasional. ________________ [1] 29 negara peserta KAA, Bandung 1955: Afghanistan, Indonesia, Pakistan, Burma/Myanmar, Iran, Filipina, Kamboja, Irak, Iran, Arab Saudi, Ceylon (Sri Lanka), Jepang, Sudan, Republik Rakyat Cina, Yordania, Suriah, Laos, Thailand, Mesir, Lebanon, Turki, Ethiopia, Liberia, Vietnam (Utara), Vietnam (Selatan), Pantai Emas (Gold Coast, sekarang Ghana), Libya, India, Nepal, Yaman. [2] Wilayah gerak Biennale Jogja seri Khatulistiwa dibingkai dalam batas garis balik utara (tropic 23'27'') dan garis balik selatan (tropic 23'27''). YBY

mempertemukan Indonesia dengan negara-negara (wilayah): India (2011), Negara-negara Arab (2013), Afrika (2015), Amerika Selatan (2017), Negaranegara di Kepulauan Pasifik dan Australia (2019) – Karena kekhasan cakupan wilayah ini, acara BJ tahun 2019 juga disebut sebagai 'Bienal Laut' (Ocean Biennale), dan kemudian Asia Tenggara (2021). Seluruh rangkaian acara ini kemudian akan diakhiri dengan penyelenggaran Konferensi Equator di tahun 2022. [3] Sampai sampai tenggat naskah awal ini tersusun, saya belum mendapatkan naskah pidato dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan dalam buku: Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru! Pidato P.J.M. Presiden Soekarno pada pembukaan Konferensi Asia-Afrika, tanggal 18 April 1955, (Terdjemahan dari bahasa Ingris oleh Intojo), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 1955. Untuk keperluan kali ini, saya gunakan terjemahan bebas ke Bahasa Indonesia, berdasarkan naskah Bahasa Inggris yang justeru banyak tersebar di sejumlah situs internet. Nasakah Bahasa Inggris: Let a New Asia and New Africa Be Born, http://www.bandungspirit.org [4] Catatan dan ulasannya tentang KAA 1955 langsung dipublikasikan di AS dalam bentuk buku kecil setahun setelah konferensi: Richard Wright, The Color Curtain, A Report on Bandung Conference, World Publishing Company, N.Y., 1956. Dalam esai ini saya merujuk pada terbitan baru, buku yang memuat 3 naskah sekaligus, yakni: Richard Wright,Black Power, Three Books from Exile: Black Power; The Color Curtain; and White Man, Listen!, Harper Perennial Modern Classics, N.Y., 2008.—pp. 429-629. [5] Richard Wright, 2008, p. 536.


7

SIMPOSIUM KHATULISTIWA I

SIAPA AKAN BICARA Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) mengundang sejumlah pakar dan aktivis lintas disiplin dari dalam dan luar negeri untuk berbagi ilmu dan pengalamannya, selama 2 hari, pada 17 dan 18 November 2014 di Gedung Lengkung Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta. Program-program yang telah disiapkan adalah: Forum A merupakan forum pertemuan akademisi, Forum B merupakan ruang bagi praktisi dari berbagai disiplin berbagi pengalaman berkegiatan bersama masyarakat, dan Forum C merupakan ruang pamer dokumentasi dan arsip para praktisi FORUM A 1. 2.

Rudolf Mrazek (Profesor tamu, Northwestern University, Chicago, USA) Suka Hardjana (Musisi, Staff pengajar di Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia – Surakarta, ID) 3. Hilmar Farid (Peneliti, Staff pengajar di Univ. Indonesia, Jakarta, ID) 4. Farah Wardani (Indonesian Visual Art Archive, ID) 5. Rony Gunawan (Staff pengajar, Jur. Arsitektur, Univ. Kristen Petra, Surabaya, ID) 6. Sazkia Noor Anggraini (Mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta, ID) 7. Inyiak Ridwan Muzir (Peneliti, alumnus IRB Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta, ID) 8. Hariyadi (Staff pengajar, Univ. Jend. Soedirman, Purwokerto, ID) 9. Hendra Himawan (Peneliti, alumnus Pascasarjana ISI Yogyakarta, ID) 10. Stanislaus Yangni (Penulis, Alumnus Pascasarjana ISI Yogyakarta, ID) 11. Chabib Duta Hapsoro (Kurator, mahasiswa S2 Seni Rupa ITB, Bandung, ID) 12. Frans Ari Prasetya (Peneliti, alumnus S2 Arsitektur ITB, Bandung, ID) FORUM B 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Suman Gopinath (Kurator, Bangalor, IN) Ade Darmawan (Seniman/ kurator, Ruang Rupa, Jakarta, ID) Mahardika Yudha (Peneliti, pembuat film, Forum Lenteng, Jakarta, ID) Yeah! & Bujangan Urban (Gardu House, Jakarta, ID) Archana Prasad (Jaaga, Bangalor, IN) Arief Yudi Rahman (Jatiwangi art Factory, ID) Pitra Hutomo (Indonesian Visual Art Archive, Yogyakarta, ID) Lawrence Liang (Peaking Duck, Bangalor, IN) Inyiak Ridwan Muzir (Peneliti, alumnus IRB Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta, ID) Kathleen Azali (C2O, Surabaya, ID) Ardi Yunanto (Karbon Journal, Jakarta, ID) Dian Herdiany (Kampung Halaman, Yogyakarta, ID) Frans Ari Prasetya (Peneliti, alumnus S2 Arsitektur ITB, Bandung, ID) Lian Gogali (Sekolah Perempuan Mosintuwu, Poso, ID) Sustriana Saragih (Mahasiswa Magister Profesi Klinis, Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta, ID) Yulius Pratomo (Staff pengajar, FEB Univ. Kristen Satya Wacana, Salatiga, ID) Bintang Chairul Putra (Peneliti lepas, mahasiswa Teknik Industri ITS, Surabaya, ID).


8

LOKAKARYA SIMPOSIUM KHATULISTIWA 2014 Elly Kent (Pemagang YBY 2104, Kandidat Doktoral di Australian National University)

Pada tanggal 29-30 Agustus 2014, Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) menyelenggarakan Lokakarya Khatulistiwa #1, dalam rangka program persiapan untuk Simposium Khatulistiwa 2014 (SK2014), yang akan dilaksanakan pada tanggal 17-19 November, 2014. Lokakarya Khatulistiwa #1 diikuti 17 akademisi dan peneliti yang masih di tahapan awal karirnya, yang diundang khusus atas rekomendasi akademisi mapan dari 12 Universitas dari seluruh Jawa. Akademisi-akademisi ini datang dari berbagai latar belakang, termasuk kajian ekonomi, sosial budaya, media, agama, dan seni rupa; mereka juga bergerak dalam macam macam bidang, dari aktivisme sampai pendidikan tinggi dan gerakan komunitas urban. YBY menyediakan program yang dilaksanakan dalam tiga 'putaran', dan beberapa pembicara terhormat diundang untuk membagikan pengalaman dan keahlian dengan para peserta Lokakarya. Lokakarya ini diadakan di SaRang Art Space, Kali Pakis, Bantul


9

Putaran #1: Cendekiawan: Ilmu, Modal, dan Kekuasaan. Dr. ST Sunardi menyampaikan kesannya terhadap peran cendekiawan di masyarakat, dan bagaimana berbagai keilmuan yang diwakili bisa memberi sumbangan kepada wacana kritis di Indonesia. Putaran #2: Cendekiawan, Inspirasi, dan Imajinasi. Panitia lokakarya mengundang empat peserta yang diseleksi berdasarkan tulisan yang diserahkan ke panitia untuk merespon teks dari Dr. Hilmar Farid dan Herlambang Wijaya. Putaran #3: Teori Kritis untuk Indonesia Sekarang. Dr. Martin Suryajaya membawakan makalahnya sendiri yang membahas dasar sejarah teori kritis dari Eropa dan manfaatnya dalam menghadapi soal politik, ekonomi sosial, dan budaya di Indonesia saat ini. Diantara putaran ini para peserta juga menikmati beberapa video tentang proyek seni yang berorientasi kepada kepentingan sosial di dalam dan di luar Indonesia, dan bergabung dalam kelompok kecil untuk membahas penelitiannya dan hasil dari putaran-putaran tersebut.


10

CARA MENJADI PESERTA SIMPOSIUM KHATULISTIWA Biaya Pendaftaran: 1. Pelajar dan Mahasiswa S1 (WNI): Rp 50.000,(dengan melampirkan Kartu Identitas Pelajar/ Mahasiswa) 2. Mahasiswa S2 dan Umum: Rp 100.000,3. ADA KESEMPATAN IKUT TANPA BAYAR bagi 150 peserta terpilih plus mendapat bantuan transportasi. (Caranya lihat keterangan di bawah)

Fasilitas: 1. Sertifikat 2. Makan Siang dan Coffee Break

Cara Mendaftar menjadi Peserta Simposium Khatulistiwa 2014: 1. Mengisi formulir pendaftaran peserta SK 2014. Formulir dapat diunduh melalui www.biennalejogja.org atau www.equatorsymposium.org. 2. Membayar biaya pendaftaran melalui rekening bank : Yayasan Biennale Yogyakarta, BNI 46 Yogyakarta, No Rek. 224031615 Yayasan Biennale Yogyakarta, BCA Yogyakarta, No Rek 0373030772 3. Kirimkan formulir pendaftaran, bukti pembayaran, dan scan KTP/KTM bagi mahasiswa, ke reach@equatorsymposium.org. 4. Pendaftaran paling lambat 24 Oktober 2014.

Beasiswa Peserta Simposium Khatulistiwa 2014 (Hanya Untuk WNI): 1. Gratis biaya pendaftaran bagi 150 pesertaterpilih. 2. Mendapat subsidi transportasi senilai Rp 150,000,3. Sertifikat

Cara Mendaftar Untuk Mendapatkan Beasiswa 1. Mengisi formulir pendaftaran peserta SK 2014. Formulir dapat diunduh melalui www.biennalejogja.org atau www.equatorsymposium.org. 2. Mengirimkan satu karya (baru atu lama) dengan tema terkait, bisa berupa: esai, komik, foto, lukisan, dokumentasi proyek dll dalam bentuk digital 3. Kirimkan berkas anda, ke reach@equatorsymposium.org. 4. Batas waktu pendaftaran beasiswa paling lambat 24 Oktober 2014.


11

TEMA SIMPOSIUM KHATULISTIWA-2014 ORANG DAN ORANG BANYAK: PRAKTIK ETIKA DAN ESTETIKA DALAM DEMOKRASI ABAD KE 21 Simposium Khatulistiwa 2014 berusaha mengungkap ekosistem kumpulan orang banyak (baik kelompok seniman, kelompok masyarakat berbasis hobi, sekumpulan pengusaha, dst) dalam tatanan tempat hidupnya (baik kota, desa, kampung, negara, maupun antar kesemuanya). Pertemuan, baik fisik maupun virtual, dan bagaimana pertemuan itu kemudian disebarluaskan kepada lebih banyak lagi orang menjadi langkah awal kami dalam upaya mengungkap ekosistem kumpulan-kumpulan tersebut. Topik utama: Pemberdayaan komunitas Perkembangan urban Globalisasi dan politik regional Pertemuan dan situs di era Internet Tegangan, krisis, dan negosiasi sosial Praktik-praktik baru dalam demokrasi terkini Memikirkan kembali keberlangsungan Informasi lebih lanjut silahkan hubungi: Ratna Mufida HP: +62817277679 Simposium Khatulistiwa Yayasan Biennale Yogyakarta d.a. Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sriwedani 1, Yogyakarta, Indonesia P: +62 274 587712 E: reach@equatorsymposium.org www.equatorsymposium.org


12

KESAN SEDERHANA DARI SEBUAH PERJALANAN SINGKAT Arham Rahman (Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sanata Dharma)

Nigeria, negerinya Soyinka dan Achebe. Negeri yang belakangan ini, bagi beberapa media internasional, identik dengan aneka gangguan keamanan dan penyebaran virus ebola. Di Indonesia, orang kerap mengenang Nigeria sebagai negara asal kartel-kartel narkoba kelas kakap. Begitulah cerita tentang Nigeria disuguhkan. Orang sering lupa bahwa, seperti Indonesia, Nigeria juga negara berkembang yang tengah berbenah untuk bisa menjadi setara dengan negara-negara maju, bukan semak belukar seperti yang sering dibayangkan orang.

Rain Rosidi, Direktur Artistik Biennale Jogja XIII Equator #3 bersama Victor Ehikhamenor, seniman, desainer, penulis, Nigeria

Kesan sinis dan ungkapan nyinyir sangat akrab diterima tim Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) beberapa saat sebelum berkunjung ke Nigeria. Tidak jarang kabar-kabar ngeri dibagikan untuk sekadar mengingatkan agar menangguhkan kunjungan. Berita dari media nasional dan internasional mengangkat tajuk yang sama setiap kali berbicara tentang Nigeria; Boko Haram dan ebola. Berita direproduksi, dikonsumsi khalayak, dan “berkembang” saat diomongkan sebagai gosip. Namun apa mau dikata, biduk sudah terlanjur mengarah ke laut lepas. Membatalkan kunjungan sama artinya dengan menunda pernikahan sesaat sebelum ijab qabul di depan calon mertua! Maka berangkatlah kami, tim YBY, dengan beragam isu di kepala. Saat pertama kali mendarat di bandara Abuja, Ibu Kota Nigeria, isu-isu miring yang banyak beredar–seperti kekhawatiran tentang virus ebola misalnya–tidak sepenuhnya benar. Virus ebola menjadi isu yang sangat seksi, terutama oleh kalangan media yang menjadikan Nigeria sebagai salah satu kawasan terdampak. Perlu diingat, Nigeria merupakan negara yang paling maju di daerah Afrika Barat sehingga antisipasi dan penanganan


13

masalahnya jauh lebih baik dibanding negara lain di kawasan itu. Begitu juga dengan kekhawatiran pada kelompok Boko Haram yang bersembunyi di daerah Kano, wilayah Utara Nigeria. Dalam imaji kita, sebagaimana sering disuguhkan film-film Holywood, setiap pergolakan di kawasan Afrika diandaikan kacau balau; AK 47, baku tembak, pembunuhan, perkosaan, dan penculikan ada di mana-mana. Karena sudah terlanjur tertanam dalam benak, Afrika selalu dibayangkan kacau, tanpa kemajuan, dan dipenuhi orang bebal. Orang yang berkulit hitam dan berambut keriting kerap diasosiasikan dengan penjahat, tidak maju, berasal dari daerah konflik atau daerah endemik penyakit-penyakit ganas. Imaji seperti itulah yang layak dibuang ke tong sampah dan mulai mempelajari secara jernih bagaimana calon mitra kerja sama kita di Biennale Jogja nanti menjalani hidupnya serta melakukan “praktik artistiknya.� Abuja dan Lagos Abuja adalah kota yang relatif masih baru. Pembangunan infrastruktur kota masih banyak berlangsung. Kota yang gaya arsitekturnya sangat modern dan megah ini menjadi persinggahan awal kami. Pada tahun 2008 Ibu Kota Nigeria dipindahkan dari Lagos ke Abuja. Itu karena Lagos dianggap sudah terlalu sumpek dan tidak lagi ideal sebagai tempat mengurusi pemerintahan. Begitu juga kantor perwakilan berbagai negara yang turut dipindahkan ke Abuja, termasuk Kedutaan Besar Republik Indonesia. Abuja menjadi pusat pemerintahan, sedang Lagos dipertahankan sebagai pusat bisnis. Lagos adalah kota di tepi pantai. Foto diambil dari laguna

Di Abuja, kami menemui tiga bagian otoritas pemerintahan Nigeria yang mengurusi masalah seni dan budaya. Pertama-tama kami


14

Pemandangan kota Lagos di area Yaba. Foto diambil dari kantor CCA

mengunjungi National Council for Arts and Culture, lalu dilanjutkan ke Federal Capital Territory for Tourism Department, dan terakhir ke National Gallery of Arts. Kunjungan ini tentu lebih formal dan cenderung membicarakan hal-hal yang sifatnya prosedural. Seperti umumnya terjadi di Indonesia, otoritas pemerintahan Nigeria yang kami temui juga mengerangkeng urusan seni dan budaya sebatas pada masalah turisme atau sesuatu yang bisa mendatangkan pemasukan bagi negara. Bentuk kerja sama yang dibayangkan selalu diandaikan bakal mendatangkan keuntungan finansial di kedua belah pihak atau sekadar harapan agar bisa jalan-jalan dengan menggunakan uang negara. Bukan pertukaran pengetahuan atau “investasi sumber daya manusia.” Ketiga lembaga itu juga tidak melihat potensi lain yang muncul dari inisiatif perseorangan atau komunitas seni-budaya di negaranya–hal yang sangat sering kita temui di Indonesia. Dengan begitu, produk seni yang ditunjukkan melulu berbentuk kerajinan dan kesenian sejenis yang memungkinkan untuk “diperjual-belikan” atau


15

menegaskan identitas/tradisi masyarakat lokal. Nampak eksotis memang, toh eksotisme menjadi jualan paling laris di mana-mana. Itulah mengapa, pemerintah di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia atau Nigeria mendudukkan seni, budaya, dan pariwisata di atas panggung yang sama; supaya bisa dikunjungi, ditonton, dan ujung-ujungnya, duit. Seperti Abuja, Lagos juga disesaki bangunanbangunan megah. Bedanya Lagos lebih riuh. Dari pabrik-pabrik hingga pusat-pusat perbelanjaan terbesar di Nigeria ada di Lagos. Di kota inilah orang-orang dari berbagai suku di Nigeria berkumpul dan bekerja. Sebagai pusat perekonomian dan bekas jantung pemerintahan, Lagos jauh lebih dinamis dibanding Abuja. Di Lagos pula kami menemui berbagai komunitas maupun perseorangan yang bekerja di luar “pantauan” negara. Ada tiga komunitas dengan corak berbeda yang kami kunjungi di Lagos, yakni; Centre for Contemporary Art (CCA) Lagos, kantor redaksi majalah Position, dan African Art Foundation. Sedang pihak perorangan yang kami temui adalah Ndidi Dike, seorang seniman senior di Nigeria dan Victor Ehikhamenor, salah seorang seniman muda terpenting di Lagos. Selain mengunjungi beragam komunitas dan seniman, kami berkunjung dan berdiskusi dengan Marc Andrew, direktur Goethe Institute untuk wilayah Nigeria. Darinya, kami memperoleh beragam pembacaan tentang seni kontemporer di Lagos dari sudut pandang orang luar yang telah lama bekerja dan membangun jaringan di Nigeria. Di hari yang sama kami menyempatkan diri untuk mengunjungi National Museum of Lagos dan Nigeria National Theatre, bangunan super megah yang terakhir kali digunakan untuk menggelar pertunjukan lebih dari sepuluh tahun lalu. Ketimpangan Sosial-Ekonomi Tahun 2012 lalu, pemerintah kota Lagos menerbitkan sebuah buku yang judulnya

cukup menggelitik; “RRS: Landmarks of CrimeFighting in a Megacity.” Buku itu sedikit memberi gambaran tentang Lagos di tahuntahun yang lalu dan bagaimana masalah keamanan di kota–menurut klaim pemerintah kota Lagos dalam buku itu–dapat diatasi. Pemerintah kota Lagos khususnya, membuat kebijakan penting untuk mengatasi masalah kriminalitas. Kebijakan seperti itu nampaknya menjadi cetak biru penanganan keamanan di Nigeria. Tak heran bila kemudian masalah keamanan menjadi prioritas bagi pemerintah setempat untuk diselesaikan, baik di Lagos maupun Abuja. Pengamanan di Abuja nampak lebih ketat, sebab kendali keamanan diambil alih tentara. Belum lama ini, Abuja diguncang teror bom kelompok Boko Haram sehingga ada pemberlakuan jam malam dan pemeriksaan setiap kendaraan yang hendak memasuki wilayah kota oleh tentara. Sedang di Lagos, urusan kota diserahkan kepada polisi dan kelompok polisi bantu yang di sebut LASTMA (Lagos State Traffic Management Agency). LASTMA ditugasi untuk mengurusi masalah lalu lintas. Dari seorang sumber kami mengetahui bahwa orang-orang yang direkrut sebagai Lastma adalah bekas pelaku kejahatan di Lagos. Merekrut mereka merupakan salah satu strategi untuk menekan tingkat kejahatan di kota Lagos. Namun, keberadaan LASTMA bukan tanpa masalah, sebab mereka jauh lebih galak dibanding polisi yang sebenarnya. Masalah keamanan tentu menyita perhatian kami. Mengapa kota seperti Abuja dan Lagos rentan tindak kriminal sehingga harus mengerahkan banyak tenaga pengamanan? Siapa yang hendak dilindungi? Kami tergelitik untuk merunut pusaran masalahnya secara sederhana. Kejahatan di sebuah wilayah tentu bukan sesuatu yang alamiah, termasuk Abuja dan Lagos. Sejauh yang kami amati, kesenjangan ekonomi mungkin menjadi penyebab utama tingginya angka kejahatan. Belum lagi biaya hidup di kedua kota itu yang terbilang sangat mahal. Masalah elektrifikasi yang salah urus menyebabkan biaya produksi


16

setiap barang menjadi sangat tinggi dan berimbas pada harga barang di pasaran. Di Nigeria, pemadaman listrik terjadi tidak kurang dari tiga kali sehari. Itulah mengapa setiap rumah, kantor, pabrik, atau tempat apapun yang membutuhkan listrik, ada generator yang berbahan bakar bensin. Sebagai negara yang sangat kaya akan minyak (dengan rerata produksi dua koma tujuh juta barel perhari atau tiga kali lipat dari produksi Indonesia) dan sumber daya lain, tentu sangat ganjil bila listrik menjadi barang langka. Kompleksnya masalah di Nigeria memungkinkan kesenjangan ekonomi yang terlalu lebar. Orang-orang kaya Nigeria hidup di dalam komplekskompleks mewah yang sangat tertutup. Setiap kompleks dikelilingi tembok tinggi yang dilengkapi dengan kawat berduri di bagian atasnya. Di dalam kompleks, setiap rumah juga dikelilingi tembok tinggi. Begitu juga di hampir semua ruang publik yang sempat kami lihat, dikelilingi tembok dan penjagaan ketat. Pemandangan itu sedikit kontras dengan pemukiman warga berekonomi lemah. Mereka tinggal secara berdempetan, tanpa tembok tinggi maupun penjagaan. Setiap orang yang kami temui tidak merekomendasikan untuk masuk areal seperti itu dengan alasan keamanan. Boleh jadi aparat keamanan sekadar melindungi aset-aset orang kaya (dan atau wisatawan) dari gangguan orang yang merasa haknya tidak dipenuhi negara. Mereka lantas kita sebut sebagai “penjahat.�

Kiri: Perkenalan resmi tim YBY dengan National Council for Arts and Culture, Nigeria di Abuja Kanan: Jude Anogwih, seniman, kurator, Lagos, sedang menerangkan karyanya.

Dengan gambaran situasi sosial macam itu tentu sangat sah bila kita membayangkan ada perlawanan dari kelas bawah pada kelas atas. Begitu juga perlawanan kelas menengah yang mungkin akan mengambil posisi untuk membela kalangan bawah. Namun kenyataannya, sejauh yang kami amati, tanda-tanda atau jejak perlawanan semacam parlemen jalanan tidak nampak. Lebih parahnya, dari orang-orang yang kami temui, tidak ada kelas menengah. Hanya ada kelas atas yang terlalu kaya dan kelas bawah yang terlalu miskin. Lantas, mengapa jejak perlawanan terhadap pemerintah (dalam amatan


17

kami) tidak ada? Ada dua asumsi yang mungkin kelak bisa dikembangkan atau diuji secara lebih objektif. Pertama, takut pada represi aparat keamanan khususnya tentara. Nigeria lama dikuasai rezim militer. Mereka baru lepas dari dari rezim militer pada 8 Juni 1998 setelah Sani Abacha meninggal karena serangan jantung. Pihak junta militer Nigeria memang menunjuk Jendral Abubakar sebagai pengganti Abacha. Tetapi, di tahun 2000, pemilu tetap dilakukan dan mendudukkan Olusegun Obasanjo di tampuk kepemimpinan. Perubahan iklim politik rupanya tidak sepenuhnya mengubah cara pandang atau “nyali” masyarakat Nigeria saat berhadapan dengan militer. Bila dicermati, pola perubahan politik di Nigeria hampir mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Bedanya, reformasi politik 1998 diraih setelah ada perlawanan langsung dari berbagai kelompok (mahasiswa, masyarakat, dan kalangan lain), sedangkan di Nigeria lebih karena pemimpin otoriternya meninggal dunia, bukan karena berhadap-hadapan langsung dengan militer. Peluang itulah dimanfaatkan masyarakat Nigeria untuk membalik keadaan. Asumsi kedua, masyarakat dimabukkan di tempat-tempat ibadah dan ilusi tentang kesejahteraan. Asumsi ini sangat spekulatif karena berawal dari kesimpulan sebuah film dokumenter yang berjudul “Nollywood Babylon.” Film ini mengangkat fenomena Nollywood, sebutan untuk industri film populer di Nigeria. Dalam film itu sempat diceritakan tentang peran pemuka agama di rumah ibadah yang rajin memberi khutbah tentang kerja keras sebagai pangkal kesuksesan. Orang yang telah bekerja keras tetapi belum sukses dianggap terkena gunaguna sehingga perlu disembuhkan. Ketidaksuksesan dalam kasus ini ada lebih karena alasan mistis, bukan karena struktur sosial yang timpang atau negara yang salah urus. Karena itu, orang dianjurkan untuk menjalani hidupnya dengan baik; bekerja sebaik-baiknya tanpa banyak cingcong.

Begitu juga dengan ilusi tentang kesejahteraan yang disuguhkan dalam film-film Nollywood. Kesejahteraan, dalam hal ini kejayaan dan kekayaan, bisa dicapai manakala orang bekerja keras meski mulai dari bawah. Normatif dan nampak wajar. Namun, salah satunya lewat Nollywood-lah ilusi itu ditanamkan sehingga orang kerap menganggap dunia masih baikbaik saja dan lumrah untuk dijalani. Awalnya, saya menganggap kesimpulan dalam film itu sebagai “gombal” semata atau terlalu dilebih-lebihkan. Namun, setelah melihat dan berdiskusi dengan seorang warga Lagos, saya menganggap kesimpulan itu sangat memungkinkan untuk didalami dan dibuktikan kebenarannya secara lebih objektif. Hal ini tentu menarik untuk dicermati lebih lanjut. Hanya saja, waktu yang terbatas tidak memungkinkan kami untuk mengeksplorasi lebih dalam lagi. Sehingga apa yang kami amati sangat terbatas dan kurang mendalam. Praktik Seni Kontemporer di Lagos Serabut masalah sosial-ekonomi di Lagos rupanya tidak menutup ruang kreatif bagi berbagai komunitas maupun individu. Lagos adalah ladang subur bagi pengembangan praktik seni kontemporer di Nigeria. Kesan itu kami dapat saat berkunjung ke salah satu ruang seni kontemporer di Lagos yang dinamai Centre of Contemporary Art (CCA). Di CCA, kami berdiskusi panjang dengan Jude Anogwih, seorang seniman yang mengeksplorasi berbagai medium dalam praktik artistiknya, mulai dari fotografi, video, hingga drawing. Selain sebagai seniman, Jude juga merupakan seorang kurator di CCA. CCA bukan ruang yang asing dalam peta seni kontemporer internasional. Seniman-seniman yang belajar dan besar di CCA sangat sering diundang dalam pameran seni rupa lima tahunan, dOCUMENTA di Kassel, Jerman ataupun acara-acara besar lain. Bila partisipasi dalam pameran-pameran bergengsi dijadikan sebagai satu-satunya tolok ukur perkembangan seni rupa kontemporer di


18

sebuah negara maka Nigeria telah jauh meninggalkan Indonesia. Hingga perhelatan dOCUMENTA yang terakhir kali diadakan tahun 2012 lalu, belum ada satu pun seniman Indonesia yang berpartisipasi di dalamnya. Tentu penilaian yang demikian sangat parsial sebab masih banyak kategori lain yang perlu dilihat. Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang menurut hemat saya sangat menarik di CCA dan menjadi cermin praktik seni rupa kontemporer di Nigeria. Selain ruang eksplorasi isu yang sangat kaya, mereka juga kuat dalam membedah maupun menarasikan sebuah karya seni. Boleh dikata, secara konseptual CCA sangat kuat. Itu nampak saat berdiskusi secara panjang lebar dengan Jude dan seniman-seniman yang sempat terlibat dalam sebuah project di CCA seperti Ndidi Dike dan Victor Ehikhamenor. Ndidi mengeksplorasi dan menggunakan beragam media dalam praktik artistiknya. Dalam sebuah project di CCA, Ndindi mengangkat tajuk jejak perbudakan di negerinya. Dia menelusuri secara historis dan genealogis praktik perbudakan di masa lalu; bagaimana orang Nigeria ditangkap, dikumpulkan, dipasung, dikemas, hingga dikirim ke berbagai kawasan seperti Eropa dan Amerika. Untuk mendukung project-nya, Ndidi melakukan penelitian panjang tentang praktik perbudakan di Afrika selama masa kolonial berlangsung. Kedalaman dalam mengeksplorasi isu juga ditunjukkan Victor Ehikhamenor. Victor adalah seniman serba bisa di Lagos. Selain menekuni drawing, painting, dan fotografi, Victor juga menjadi kolumnis di Washington Post, kontributor beberapa media terkemuka di USA dan Eropa baik untuk tulisan fiksi maupun non-fiksi. Dia sempat tinggal di USA sebelum akhirnya kembali dan menetap di Nigeria. Dalam praktik artistiknya, Victor mengeksplorasi tema-tema sosial, ekonomi, dan politik. Seniman ini sangat penting dalam peta seni kontemporer di Lagos. Okey Ndibe, seorang kolumnis The Sun, menggambarkan

Victor sebagai seorang patriot yang rela meninggalkan segala “kemapanannya” di USA dan kembali ke Lagos atas permintaan Dele Olojede–seorang jurnalis terbesar dalam sejarah Nigeria dan sempat memenangkan hadiah Pulitzer–untuk mengurusi surat kabar Next. Dalam hal eksplorasi isu, Jude juga punya kecenderungan Ndidi dan Victor. Hanya saja, karya Jude jauh lebih rumit dan sangat konseptual. Untuk memahami karyanya, orang perlu mendengar paparan Jude secara langsung. Dia tidak peduli pada orang yang akan melihat karyanya. Begitupun dengan gagasan yang hendak ia sampaikan. Mau sepakat atau tidak, Jude sama sekali tidak peduli. Menurutnya, apa yang dia sampaikan adalah cara bacanya terhadap sebuah persoalan. Lantaran terlalu konseptual, muncul kesan–setidaknya bagi saya secara pribadi–jika karyanya terlalu ditekan gagasan. Gampangannya, pemikirannya serumit karyanya. Tulisan sederhana ini tentu belum mencerminkan keseluruhan pengalaman kami selama mengunjungi Nigeria. Begitupun dengan apa yang kami temui dan lihat di sana, belum cukup untuk memberi kesimpulan umum perihal praktik seni kontemporernya. Ini hanya menjadi pemantik awal bagi kita semua untuk sedikit melihat kehidupan masyarakat dan praktik seni kontemporer Nigeria. Setidaknya ada satu hal yang perlu direnungkan; Nigeria bukan semak belukar! Mereka bergerak secara progresif dan sangat penting untuk dijadikan mitra kerja sama. YBY akan mengirim 2 orang untuk tinggal di Lagos lebih lama yaitu 30 hari pada November 2014 yang akan datang. 2 orang yang akan berangkat itu adalah Wok The Rock, kurator Biennale Jogja XIII dan Syafiatudina, peneliti. Mereka berdua akan melakukan eksplorasi lebih mendalam perihal kehidupan masyarakat dan praktik seni kontemporer di Nigeria. ____


19

NIGERIAN MONARCHS; SEBUAH REKONSTRUKSI IDENTITAS LEWAT FOTO Lucia Dianawuri (Peneliti Pusaka Institut)

Fotografi adalah medium. Ia juga bisa menjadi bahasa. Sarana untuk bercerita, menyampaikan kisah atau sebuah pesan. Lewat gambar-gambar fotografis, sebuah cerita diartikulasi secara personal oleh pembacanya. Beberapa gambar bahkan diartikulasi menjadi sebuah realitas. Nigerian Monarchs karya George Osodi ini adalah salah satu essai foto yang dibuat untuk memanfaatkan kemampuan medium fotografi itu. Karya ini muncul dari kegelisahan George akan realitas di negerinya akhir-akhir ini. Sebuah realitas yang menurutnya tidak menyenangkan. Kegelisahan George pada negerinya itu kemudian disampaikan secara menarik lewat karya yang hingga kini masih terus ia kerjakan. Sebuah karya yang dibuat agar ia bisa merekonstruksi ulang realitas negerinya. Realitas Nigeria Masa Kini

Unknown gunmen have stormed a viewing center in Nigeria's northeastern town of Potiskum, killing two people and leaving several others wounded. http://www.presstv.ir/detail/2014 /04/10/357985/two-killed-innigeria-viewing-center-attack/

Nigeria kini adalah sebuah negeri yang sedang bergerak dinamis. Negeri ini adalah salah satu negara terluas di Afrika Barat. Nigeria memiliki kekayaan sumber daya, baik manusia serta alam, yang amat melimpah. Ia kaya minyak dan memiliki etnis yang berwarna. Namun, kekayaan negeri ini selain menguntungkan, rupanya juga sangat merisaukan. Sumber-sumber kekayaan negeri itulah yang selama ini sering menjadi pemicu konflik. Seperti Indonesia, Nigeria juga sempat menjadi jajahan negara Barat. Baru pada 1 Oktober 1960, Nigeria mendapat kemerdekaan dari Inggris. Lepas dari Inggris, Nigeria akhirnya memasuki


20

pemerintahan diktator dan baru ketika Olusegun Obasanyoda terpilih sebagai presiden, Nigeria memasuki era demokrasi. Olusegun terpilih secara demokratis dengan mengantongi 2/3 suara. Ia diusung oleh People's Democratic Party (PDP). Ini menjadi tanda berakhirnya masa kediktatoran di Nigeria. Namun Nigeria yang sejatinya amat beragam itu, belum benar-benar bisa bersatu, karena keberagaman itu juga memunculkan banyak kepentingan. Tercatat, selama lebih kurang 30 tahun Nigeria sempat mengalami perang saudara. Salah satu nya adalah berbagai konflik yang dipicu oleh kelompok Boko Haram yang ingin mendirikan negara Islam murni. Kelompok ini sempat menjadi perhatian dunia karena belum lama ini telah menculik 200 pelajar perempuan. Selain Boko Haram, sejumlah kelompok militan yang tersebar di beberapa penjuru Nigeria sering berkonflik dengan pemerintah, dan menyebarkan teror. Sejumlah realitas yang terjadi di Nigeria itu diabadikan oleh para pembidik gambar yang kemudian didistribusikan ke berbagai belahan dunia melalui media massa ataupun sosial media. Imaji fotografis seperti itulah yang memonopoli gambaran tentang Nigeria selama ini. Imaji yang kemudian diartikulasi menjadi realitas tentang Nigeria. Gambaran fotografis tentang Nigeria yang “hitam”¹, miskin, penuh dengan konflik dan korup.

Unknown gunmen have stormed a viewing center in Nigeria's northeastern town of Potiskum, killing two people and leaving several others wounded. http://www.presstv.ir/detail/2014 /04/10/357985/two-killed-innigeria-viewing-center-attack/

Foto dan Realitas Nigeria Sejak awal ditemukan, kemudian diproduksi secara massal, kamera telah menjadi benda yang amat revolusioner. Dengan kemampuannya merekam gambar serta memberhentikan momen, kamera telah mencipta revolusi pada sejarah kebudayaan umat manusia. Apalagi ketika kamera semakin kecil dan semakin terjangkau, semua orang pun berlomba-lomba memiliki kamera. George Eastman, seorang pebisnis yang melihat peluang besar dari bisnis visual ini, adalah salah satu pioner dari keterjangkauan kamera itu. Dengan tagline, “You Press The Button We Do The Rest” kamera Brownie keluaran Kodak ciptaan Eastman itu, menjadi barang yang ketika itu layaknya camilan populer, jika belum memiliki bisa dianggap tidak mengikuti semangat zaman. Orang-orang pun menjadi penikmat fotografi dan menjadi produsen serta obyek foto itu sendiri. Wabah itu pun menjangkiti dunia. Fotografi menjadi medium yang sangat berguna. Ia juga digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk mencapai tujuannya. Salah satunya adalah


21

rezim yang berkuasa. Citra fotografis yang diproduksi dan direproduksi terus-menerus, lalu disebarkan pada ruang-ruang yang pas, adalah alat sempurna untuk menciptakan realitas ala rezim itu. Ia adalah alat propaganda yang mujarab. Dalam sejumlah catatan, medium fotografi mulai digunakan untuk mendokumentasikan Afrika, khususnya Afrika Barat dan Tengah, pada tahun 1850 an dan 1860 an. Ketika itu studio foto mulai dibuka di kota-kota pelabuhan seperti Freetown, Monrovia atau Accra.² Ketika itu fotografer, termasuk fotografer Afrika sendiri, berlomba-lomba menampilkan Afrika yang eksotis,³ sekaligus sebagai negeri “hitam”. Konstruksi bahwa Afrika itu “hitam”, miskin, dan “tidak beradab” adalah salah satu peninggalan kolonialisme yang masih tetap kronis pada era pascakolonial. Oleh para penjajah, Afrika dicitrakan secara fotografis sebagai sesuatu di luar diri mereka. Sesuatu dari negeri jauh yang pada beberapa bagian amat eksotis. Pada masa kolonial, bagi khalayak pribumi, kamera adalah sesuatu yang tidak tersentuh. Sebuah medium yang asalnya dari negeri Barat yang hanya mampu diakses oleh segelintir orang saja. Pribumi menjadi tidak bersuara. Keterbatasan akses pada kamera itu pun dimanfaatkan dengan semena oleh segelintir orang yang berkepentingan membentuk realitas orang-orang yang mereka anggap sebagai jajahan. Fotografi kemudian menjadi medium untuk menciptakan citra tentang bangsa Barat yang datang ke benua itu sebagai Mesias untuk memperadabkan Afrika. Salah satu fotografer asal Afrika yang menampilkan Afrika secara elegan dari mata Afrika sendiri adalah Seydou Keita. Ia adalah salah satu fotografer asal Afrika yang tercatat dalam sejarah fotografi kontemporer dunia. Seydou adalah fotografer asal Mali. Lewat lensanya, Keita menampilkan Afrika yang glamor dan berkelas. Ketika itu, jika warga Mali dan sekitarnya, terutama kalangan atas dan pesohor ingin membuat citra fotografis yang elegan, mereka akan datang ke Keita. Ia berjaya pada tahun 1950-an. Namun Keita baru mendunia puluhan tahun kemudian, ketika ia sudah tidak aktif lagi memotret. Sebelum itu, di Eropa, Seydou Keita hanya dikenal dengan sebutan unknown. Seorang unknown yang memotret wajah-wajah Afrika yang eksotis, yang sesuai dengan harapan masyarakat Barat tentang negeri jauh itu.4 Hingga kini, tidak bisa dipungkiri, citra-citra fotografis tentang Afrika yang beredar di dunia kebanyakan adalah gambaran eksotis penuh dengan stereotipe negeri “hitam” itu. Di luar Keita, sejumlah fotografer –baik orang Afrika sendiri- yang namanya tidak tercatat, seringkali masih mencitrakan Afrika dalam satu citra fotografis seperti ini.

Diunduh dari http://www.b.dk/kommentarer/af rika-i-vore-hjerter


22

Gambar fotografis ini tampaknya sudah menjadi semacam realitas yang dimaklumi kebenarannya oleh khalayak. Ini terbukti, ketika saya sedang melakukan riset sederhana untuk tulisan ini. Saya bertanya kepada sejumlah kawan fotografer tentang apa yang ada di kepala mereka, ketika membicarakan Nigeria dan fotografi. Kebanyakan dari mereka akan menjawab, “Kayaknya fotografinya belum berkembang dan yang kelihatan ya foto-foto tentang kerusuhan, Boko Haram, atau kemiskinan.� Namun setelah saya berselancar di dunia maya, ternyata ada sebuah essay foto karya fotografer asli Nigeria yang begitu menarik mata saya. Dalam karya itu terlihat para lelaki kulit hitam mengenakan pakaian tradisional berwarna-warni yang tampak begitu berwibawa, dan sangat elegan. Ya, karya itu adalah Nigerian Monarchs, milik George Osodi. Rekonstruksi Identitas Nigeria Lewat Nigerian Monarchs George Osodi adalah seorang fotografer kelahiran Nigeria yang sudah memiliki rekam jejak di dunia internasional. Ia mendokumentasikan Nigeria dari berbagai sisi. Ia tidak hanya mendokumentasikan soal-soal yang gelap dan hitam saja. Ia mendokumentasikan Nigeria yang begitu berwarna, Nigeria yang sebenar-benarnya. George adalah salah satu generasi baru fotografi di Nigeria yang memanfaatkan medium ini bukan hanya sebagai alat propaganda yang berkuasa, tetapi sebagai alat untuk merepresentasikan diri, refleksi dan merayakan diri sendiri. Nigerian Monarchs adalah salah satu contoh karya fotografis itu. Dalam foto essai ini, George memotret para penguasa tradisional dari berbagai kerajaan di Nigeria yang banyak diantaranya telah ada semenjak konsep Nigeria sebagai sebuah negeri belum dimunculkan oleh pemerintahan kolonial Inggris pada tahun 1914.

screenshot dari http://georgeosodi.photoshelter.c om/gallery/NIGERIANMONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/


23

Bila ditelusuri ke belakang, kerajaan-kerajaan tradisional di Nigeria sudah bermunculan lebih dari 2000 tahun yang lalu, termasuk Kerajaan Kanem-Borno, kerajan Hausa dari Katsina, Kano, Zaria dan Gobir di bagian utara Nigeria, Kerajaan Yourba dari Ife, Oyo dan Ijebu di Nigeria Barat Daya dan Kerajaan Benin di sebelah Selatan, serta komunitas Ibo di bagian Timur. 5 Namun ada sejumlah kerajaan yang baru muncul sesudah tahun 1914, dan bahkan juga ada yang muncul baru-baru saja. Kemunculan kerajaan-kerajaan yang baru saja adalah gambaran dari begitu besarnya tarik ulur kepentingan di antara mereka. Sejumlah kerajaan yang muncul sesudah 1914 kebanyakan adalah bentukan pemerintah kolonial Inggris yang ingin menciptakan Raja-Raja boneka yang dapat mereka kontrol secara langsung. Memang secara formal dalam pemerintahan negara, kedudukannya tidak terlalu berpengaruh dalam hal kebijakan publik. Namun secara informal para Raja ini memiliki pengaruh sangat kuat di antara rakyat pendukungnya. Hal ini terjadi karena para Raja umumnya memiliki kapital ekonomi, kapital sosial, kultural serta simbolik yang amat kuat. Pada mulanya Nigeria adalah bagian dari kebudayaan kuno Nok. Perbatasan Nigeria dan Kamerun adalah rumah bagi orang-orang yang berbicara bahasa Bantu, sebuah bahasa yang secara umum menjadi bahasa ibu bagi banyak negara-negara Afrika di bagian selatan Gurun Sahara. Kini tercatat kurang lebih ada 500 kerajaan tradisional di Nigeria. Masing-masing kerajaan itu memiliki corak dan warna yang beragam. Masing-masing juga memiliki pemerintahan dan kepemimpinan tradisional yang khas sesuai dengan adat tradisi serta pengalaman sejarah mereka masing-masing. Para pemimpin tradisional ini mendapat pengakuan akan kekuasaanya dari kesetian rakyat mereka, walaupun tidak ada Undang-Undang yang menjadi dasarnya. Kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional ini dibiayai oleh kekayaan serta properti yang diwariskan, selain itu juga berbagai kontribusi dari seluruh anggota komunitas. Kebanyakan dari kelompok etnis ini tersebar di sepanjang Delta Niger, tempat dimana sumber daya alam Nigeria yang paling kaya tersembunyi. Perebutan kuasa atas ladang-ladang minyak yang besar itu pula yang seringkali menjadi sumber konflik antar kelompok di Nigeria. Selain juga karena sejumlah perbedaan keyakinan dan kepentingan yang sudah tidak bisa dijembatani lagi secara damai.


24

screenshot dari http://georgeosodi.photoshelter.c om/gallery/NIGERIANMONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/

Dalam rentetan foto itu, para Raja serta para pendampinya tampak berpose secara kaku di hadapan kamera George. Mereka pun mengenakan pakaian kebesaran lengkap beserta ornamenornamennya. Para Raja beserta pendampingnya, dipotret dilatari interior desain istana. Hal ini menggambarkan kekuasaan atas rakyat mereka. Beberapa Raja juga tampak duduk di atas kursi kebesarannya. Secara simbolik foto semacam ini jelas sebuah afirmasi atas bentuk kekuasaan. Dalam konteks ini adalah, kekuasaan para Raja ini atas rakyat Nigeria di daerah yang mereka kuasai. Foto-foto ini memang tampak berjarak. Namun justru jarak inilah yang membuat rakyat serta pemerintahan Nigeria segan kepada para pemegang kekuasaan Monarki. Para Raja ini justru yang paling kenal dan 'dekat' dengan rakyat Nigeria, karena keterbatasan wilayah kekuasaan membuat mereka sering berhubungan secara langsung dengan rakyat. Kekuasaan para Raja ini masih bisa terus hidup, justru karena mereka dihidupi oleh loyalitas rakyat. Dalam beberapa hal, menurut George, pendapat para Raja ini akan lebih didengar dibanding pendapat Presiden atau bahkan Tuhan sekalipun. Cara mendokumentasikan yang demikian itu adalah upaya George menampilkan Nigeria yang berwibawa dan tidak sehitam seperti yang selama ini ditampilkan. Dengan barisan foto yang berwarnawarni, serta barisan jubah yang tampak anggun dan elegan, George ingin menggambarkan bahwa orang-orang Nigeria adalah orangorang yang bangga akan dirinya sendiri, akan identitasnya serta akan kebudayaannya. Nigerian Monarchs adalah gambaran bahwa Nigeria memiliki kekayaan yang tidak banyak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Oleh karena itu, kekayaan ini tidak seharusnya menjadi sumber konflik yang membabibuta. Bagi George, keberagaman ini adalah harta karun Nigeria yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan seluruh bangsa. Sebuah identitas Nigeria yang kaya warna namun tetap harmonis dalam perbedaan.


25 Lewat essai foto ini, George ingin merekonstruksi identitas Nigeria. George ingin merayakan identitas ke-Nigeriaan-nya. Lewat dokumentasi serta arsip-arsip visual ini, George berharap khalayak pembaca Nigerian Monarchs dapat semakin mengerti sejarah bangsa Nigeria. Dan selanjutnya, ia berharap, hal ini bisa menjadi cara ampuh untuk mengembangkan rasa cinta pada identitas nasional bangsa Nigeria. Kecintaan pada identitas nasional Nigeria ini menjadi begitu krusial karena berbagai konflik yang terjadi selama ini adalah gambaran betapa bangsa Nigeria belum benar-benar mengenal, atau menurut George, sudah melupakan budaya serta sejarahnya sendiri. Jika diri sendiri belum benar-benar mengenal diri, bagaimana mungkin orang luar juga akan mengenal mereka dengan baik. Jika kita tidak mengenal diri dengan baik dan tidak mewartakan yang baik ke luar, maka orang luar akan memiliki kuasa untuk mewartakan hal apapun yang dianggap laku dijual. Berbagai stereotipe serta hal-hal kontroversiallah yang akan diwartakan. Sudah saatnya, menurut George, orang Nigeria sendiri, bercermin pada budaya sendiri, bangga akan hal itu lalu menampilkannya pada dunia luar.

screenshot dari http://georgeosodi.photoshelter.c om/gallery/NIGERIANMONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/

Nigerian Monarchs adalah on going project. Hingga kini George masih terus mendokumentasikan Raja-Raja kecil Nigeria yang tersebar di penjuru negeri. Perjalanan jauh serta akses ke para Raja ini yang ternyata tidak mudah, membuat projek ini menjadi proyek yang tidak sebentar. Namun, hingga kini, tanggapan amat positif telah bermunculan dari khalayak. Karya George ini telah melanglang buana dan dipamerkan di sejumlah negara Eropa. Khalayak Nigeria sendiri pun amat positif menyambut karya ini, karena akhirnya ada mata Nigeria sendiri yang mengabadikan Nigeria sebenarsebenarnya.


26

¹ Hitam di sini adalah metafora terhadap situasi yang buruk, negatif. Berkebalikan dengan putih yang secara umum dipersepsikan orang sebagai kondisi yang baik, bersih, atau tidak tercela. Secara faktual, sejumlah gerakan separatis memang sering muncul di dalam negeri. Walaupun kaya akan sumber minyak, tingkat kemiskinan juga cukup tinggi di negara ini. Selain itu Nigeria juga terkenal menjadi salah satu tempat bersarangnya kejahatan terorganisir atau mafia, terutama dalam hal penjualan narkoba. Pembajakan juga kerap terjadi, umumnya menyerang kapal-kapal milik perusahaan penambangan minyak di Delta Niger. Sejak Januari 2007, sudah terhitung sekitar 26 pembajakan dilakukan. ² http://africaphotography.org/about ³ Ini tidak jauh berbeda dengan terma Moi Indie (Beautiful Indies) di Nusantara. Saat Nusantara masih dikolonisasi oleh Barat, foto-foto juga lukisanlukisan yang ditampilkan adalah, citra-citra yang menampilkan eksotisme visual Nusantara. Hindia-Belanda yang cantik dan indah. 4 BBC The Genius of Photography, episode 6 5 http://www.kingdomsofnigeria.com/history.php Referensi : Peres, Michael R (ed), Focal Encyclopedia of Photography, 4th Edition, Oxford: Elsevier Inc., 2007. Contemporary Arts in Northern Nigeria file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Contemporary%20Arts%20in%20Northern%20Nigeria%20%20%20First%20Impressions%20%20Contemp orary%20Photography%20in%20Nigeria.htm Exposing Nigeria's historical photographs. file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Exposing%20Nigeria's%20historical%20photographs%20%20%20Daily%20Times%20Nigeria.htm George Osodi : Kings of Nigeria file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/George%20Osodi%20%20Kings%20of%20Nigeria%20-%20Artscape%20-%20Al%20Jazeera%20English.htm Mengenal Sejarah Nigeria file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Mengenal%20Sejarah%20Nigeria%20-%20ANNEAHIRA.COM.htm Nairaland Forum file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigeria%20Most%20Influential%20Monarch%20-%20Culture%20-%20Nairaland.htm Nigeria's Image in Africa : Big Country Thin Skin file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigeria%E2%80%99s%20image%20in%20Africa%20%20Big%20country,%20thin%20skin%20%20%20The %20Economist.htm Nigerian Monarchs file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/NIGERIAN%20MONARCHS%20-%20Images%20%20%20George%20Osodi.htm Nigerian Artist, George Osodi file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigerian%20artist,%20George%20Osodi,%20talks%20about%20his%20exhibition%20in%20London.htm Nigerian Monarchs : A Major Exhibition By Acclaimed Nigerian Photographer George Osodi file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigerian%20Monarchs%20%20A%20major%20exhibition%20by%20acclaimed%20Nigerian%20photograp her%20George%20Osodi%20%20%20Gateway%20for%20Africa.htm Press Release announced for George Osodi's “Nigeria Monarchs Exhibition” file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Press%20Release%20announced%20for%20George%20Osodi's%20%20Nigeria%20Monarchs%20%20Exhi bition%20%20%20Z%20Photographic.htm Photography of West Africa and beyond, 1840 to now. file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/About%20us%20%20%20African%20Photography.htm Traditional States of Nigeria file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigerian%20Traditional%20States.htm Sumber foto-foto Nigerian Monarchs http://georgeosodi.photoshelter.com/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/ Sumber foto Kemiskinan Afrika http://www.b.dk/kommentarer/afrika-i-vore-hjerter Sumber foto Kekerasan di Nigeria http://www.bet.com/news/global/2014/03/03/nigeria-bloodshed-continues-with-32-dead.html Sumber foto Unknown Gunmen in Nigeria http://www.presstv.ir/detail/2014/04/10/357985/two-killed-in-nigeria-viewing-center-attack/ Film New African Photography 2013 episode George Osodi, Produksi Aljazeera Film BBC The Genius of Photography episode 6, Produksi BBC


27

MELIHAT NIGERIA DARI DALAM PENJARA Ignatia Nilu (Menejer Artistik Prison Art Programs | PAPs)

Program Exterior/Interior Art Nice Movement

Yayasan Biennale Yogyakarta akan menjalin hubungan kerja atau kolaborasi dengan Nigeria pada Biennale Jogja 2015 nanti. Untuk itu, di awal tahun 2014 lalu digelar berbagai agenda evaluasi maupun diskusi demi memperoleh masukkan dari berbagai pihak. Pihak-pihak yang dimaksud terdiri dari akademisi, praktisi hingga peneliti seni rupa. Tujuannya, mengelaborasi berbagai perspektif dalam melihat dan menyikapi konteks relasi Indonesia-Nigeria. Langkah pertama yang ditempuh adalah menggelar FGD dengan menghadirkan setidaknya 20 orang. Agenda utama dalam pertemuan itu adalah mengevaluasi hasil biennale yang lalu, lalu merumuskan kriteria dan mencari kandidat direktur artistik yang nantinya akan membuat gagasan artistik untuk pelaksanaan Biennale Jogja tahun 2015 nanti. Di hari itu, banyak yang beranggapan bahwa pilihan pada Nigeria sebagai negara mitra kurang ideal. Sebab sejauh ini, orang hanya melihat dan mengenal Nigeria secara negatif. Gembong-gembong narkoba dari luar Indonesia sedikit banyak berasal dari Nigeria. Begitu juga kesan terhadap Nigeria yang identik dengan kriminalitas dan kekacauan, turut membentuk persepsi negatif orang tentang Nigeria.


28

Indonesia dan Nigeria memiliki persamaan sebagai negara yang sama-sama berada di garis equator. Selain itu, kedua negara ini sempat dijajah oleh bangsa Eropa. Sebagai sesama negara pascakolonial, berbagai potensi isu sangat memungkinkan untuk dibicarakan bersama-sama. Persamaan itu turut serta dipaparkan oleh Rain Rosidi, direktur artistik Biennale Jogja dalam ajuan programnya yang akan dilaksanakan pada 2015 mendatang. Namun demikian, masih banyak hal yang masih kabur tentang Nigeria, terutama tentang praktik artistik dan produk budayanya.

pada gembong-gembong besar, bisa dikenai hukuman mati. Namun demikian, untuk saat ini, berbagai kebijakan telah dirumuskan dengan membedakan beban hukuman antara pengedar dan pemakai. Pemerintah melalui Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga memberi perhatian khusus dengan membangun Lapas Khusus Narkotika. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan kebutuhan terpidana yang berbeda-beda, baik itu sifatnya fisik, psikis, hingga rehabilitasi bagi pemakai maupun pecandu.

Sejauh ini, kita hanya disuguhi berbagai isu seputar virus ebola dan stabilitas politik Nigeria yang terganggu. Kenyataan lain yang ramai disuarakan media dan barangkali sangat populer bagi kita adalah kartel dan kurir narkoba dari Nigeria. Heroin, ganja, dan terpidana narkoba dari Nigeria menjadi informasi yang sangat tidak asing. Di tahuntahun belakangan ini, jumlah narapidana yang terjerat karena kasus narkoba asal Nigeria terus bertambah. Informasi itu sangat mendominasi dan lumrah kita temui. Tak heran bila ketika kita menyebut Nigeria maka citra yang pertama kali sering muncul adalah Narkoba. Seolah-olah Nigeria itu sangat identik dengan Narkoba.

Ruang-ruang seperti itu tersebar di berbagai tempat; Grasia di Yogyakarta, Nusakambangan untuk lingkup nasional, Cipinang untuk Jakarta, dan lain sebagainya. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Khusus Narkoba umumnya memiliki situasi fisik yang memadai dan dilengkapi dengan standar baku kelayakan hidup bagi para terpidana. Ruang istirahat yang layak, sanitasi yang baik, hingga ruang aktivitas harian yang lebih luas meski mobilitas para terpidana tetap dibatasi dengan aturan tertentu. Beberapa dari terpidana distimulasi untuk bekerja dengan membangun beberapa sektor kegiatan yang menopang wadah itu. Mereka dilatih mengurusi administrasi, bekerja di ruang studio yang disebut Bimbingan Kerja (BIMKER), ruang olah raga, kepustakaan, hingga dalam mengembangkan peternakan dan pertanian. Semua itu mestinya dipandang secara positif. Dan di ruang seperti itulah seni bisa turut masuk, selain sebagai aktivitas harian, juga sebagai alat atau metode terapi.

Tulisan ini bermaksud melihat dari sisi lain yang kadang diabaikan. Dalam setiap evaluasi maupun diskusi kelompok terbatas, tematema yang sifatnya stereotipikal disarankan untuk dihindari. Justru di situ letak masalahnya. Sesuatu yang kadang dipandang rendah atau “hitam� justru bisa dieksplorasi lebih jauh, melihat potensi artistiknya tanpa terjebak pada pandangan yang sifatnya stereoripikal. Seni di dalam Penjara Beban menjadi terpidana kasus narkoba bukan suatu yang mudah untuk dijalani. Umumnya, mereka dibebani hukuman dengan kurun waktu yang cukup lama. Secara umum, durasi hukuman penjara untuk kasus ini di atas tiga tahun. Untuk kasus tertentu, misalnya terjadi

Penggunaan seni sebagai metode terapi bagi para terpidana narkoba dan kasus lainnya juga telah diterapkan di berbagai negara seperti Australia, USA, negara-negara di kawasan Eropa, dan negara-negara Asia. Praktik itu dilakukan dan didesain untuk memberdayakan para narapidana sebagai bekal saat bebas nanti. Model pemberdayaan semacam ini mungkin terlihat biasa. Namun dalam praktiknya, lebih dari apa yang dibayangkan orang. Praktik yang paling nampak adalah pembekalan kecakapan hidup, mengajak para


29

Program Exterior/Interior Art Nice Movement

narapidana untuk menguasi keahlian tertentu. Tidak berbeda dengan itu, seni sebagai metode terapi dan edukasi juga dinilai sangat efektif untuk membenahi sisi asertif dan kognitif para narapidana. Pendapat itu didukung oleh beberapa penelitian yang sempat saya baca. Ada dua contoh yang kiranya bisa kita ketengahkan di sini untuk melihat bentuk kesamaan yang ditemukan dengan menggunakan dua pendekatan yang berbeda. Toni Tack, seorang Belanda, yang menggelar workshop musik di dalam penjara dan penelitian Alexandra Djurichkovic yang mengkaji filsafat dan dampak program seni visual melalui pendekatan seni penjara yang ia lakukan di Australia. Mereka sampai pada kesimpulan yang sama, melihat potensi seni sebagai metode rehabilitasi. Hal yang sama juga nampak dalam karya Lee Beerstein, “America is Prison,� yang menilai bahwa seni memiliki tingkat keberhasilan siginifkan dalam perannya merehabilitasi aspek psikis para narapidana.


30

Sampai di titik ini, kita tidak hanya melihat potensi artistik dalam ruang penjara, melainkan lebih dari itu, fungsinya bisa digiring menjadi lebih metodis. Kita mungkin bisa melirik praktik serupa di Yogyakarta yang diinisiasi oleh Angki Purbandono, seniman fotografi kontemporer yang melihat persoalan penjara sebagai sebuah fenomena yang dapat disikapi secara baru melalui pendekatan seni. Pembacaan dan praktik artistiknya mungkin bisa membantu dalam melihat persoalan yang selama ini kurang dieksplorasi. Prison Art Program Dua tahun silam boleh jadi menjadi tahun yang cukup berat bagi beberapa seniman dan kawula seni rupa di Yogyakarta. Beberapa seniman terjerat kasus pidana karena Narkotika. Sebagian besar dari mereka menjalani hukuman pidana di Lapas narkotika. Beberapa dari mereka terus berkarya selama proses hukuman tersebut. Kegiatan dan gerakan seni di dalam penjara berlangsung secara parsial, sebelum akhirnya muncul sebuah inisiatif dari Angki Purbandono untuk membuat sebuah program seni yang terstruktur. Untuk merealisasikan idenya, Angki berhasil meyakinkan petugas Lapas agar mau memfasilitasi seniman-seniman yang ada di dalam penjara dengan sebuah studio kerja dan sekretariat. Pihak Lapas setuju dengan usulan itu dan tidak lama berselang sebuah kantor disulap menjadi studio kerja merangkap sekretariat komunitas. Dari tempat itu beberapa kegiatan berhasil dikerjakan. Beberapa orang dari WBP (Warga Binaan Permasyarakatan) turut membawa material artistiknya untuk diolah lagi melalui diskusi dan eksekusi karya. Akhir 2013, Setelah Angki Purbandono bebas, PAPs mendapatkan perhatian yang besar dari beberapa pihak. Project yang dikerjakan di dalam penjara direspon Hermanto dari Garis Art Space dan Mizuma Art Gallery. Di tahun berikutnya, sebuah pameran yang diberi tajuk “The Swimmer� di Mizuma Gallery Singapore berhasil dihelat. Dari sana, muncul komitmen untuk mewujudkan sebuah ruang kegiatan

resmi. Maka lahirlah PAPs sebagai ruang resmi. Secara umum PAPs memiliki dua areal yang utama, yakni program Lapas dan yayasan. Dalam program Lapas, PAPs memiliki agenda untuk menyelenggarakan workshop, memproduksi merchandise, dan menggarap areal interior/eksterior art movement. Pada areal yayasan, PAPs memiliki agenda untuk melaksanakan Program Pameran dua tahunan, menyelenggarakan residensi seniman dan mendukung program beasiswa. Kalau boleh disebut, PAPs berhasil menjadikan wacana seni penjara menjadi nyata. Melalui seni, kita dapat berdialog dengan berbagai pihak dari banyak wilayah, termasuk wilayah yang bagi sebagian orang mengerikan dan penuh kejahatan. Nigeria dengan semua mitos yang berkembang tentangnya, terutama para pendatang dari negara itu yang terjerat kasus narkoba. Ada peluang untuk menyapa mereka seara lebih intim, berbagi kisah dan saling berefleksi diri. Ini sekaligus hendak menegaskan bahwa ruang penjara bisa dikemas sebagai ruang kreatif dan ruang perbincangan yang jujur, mampu menyentuh segala aspek paling faktual di masyarakat saat ini. Seni adalah salah satu media yang mampu menjadi bahasa baru, ruang percakapan antarpengalaman, termasuk ruang memori. Ini adalah metode kerja yang dilakukan PAPs bersama para senimannya, membangun bahasa visual baru melalui memori mereka di masa lalu dan masa sekarang. Sangat mungkin dari kita untuk tidak mengelak dari segala kenyataan pahit tanpa melakukan penilaian secara stereotipikal.


31

MENGGUGAT EXOTISISME SANG LIYAN Alia Swastika (Direktur Biennale Jogja XIII)

Kiri: Kemang Lawahere, karya yang dipamerkan di Berlin Biennale 8, Dahlem Museum, 2014

Pada bulan Juli 2014 lalu, dalam sebuah perjalanan di seputaran benua Eropa, saya mampir ke Frankfurt sebelum terbang kembali ke Indonesia. Frankfurt selalu menjadi kota ideal untuk saya sejenak berhenti, terutama karena saya punya beberapa teman baik di sana yang juga bekerja di dunia kesenian. Dua teman saya bekerja untuk institusi yang cukup menarik, yang satu di Museum Modern Art Frankfurt, dan satu lagi di Museum Kebudayaan Dunia. Kebetulan ketika saya bertandang ke sana, dua institusi ini sedang menggelar pameran seni yang merujuk pada Afrika dan konteks kebudayaannya yang lebih luas. Pameran pertama yang saya kunjungi adalah The Devine Comedy: Heaven, Hell and Purgatory Revisited by Contemporary African Artists di Museum Modern Art Frankfurt. Tak kurang dari 50 seniman Afrika, baik yang hibrid maupun mereka yang lahir dan besar di Afrika, terlibat dalam salah satu pameran terbesar yang berfokus Afrika dua dekade terakhir ini. Pameran ini juga melibatkan sebuah struktur dramatika dalam teater, yang membuat alur pameran menjadi cukup hidup, karena terbagi dalam tiga babak, dengan fokus pada relasi dua tokoh dalam drama karya Dante Alighieri yang digunakan sebagai judul pameran: The Devine Comedy. Kurator pameran, Simon Njami (kurator Afro-Eropa berbasis di Paris), mengundang para seniman untuk menerjemahkan gagasan inferno melalui karya-karya mereka. Pendekatan tema yang cukup spesifik membuat pameran ini tidak terlalu memberi kesan sebagai pameran survei untuk memperkenalkan seniman Afrika


32

kontemporer, tetapi mempelajari lebih dalam gagasan seniman dalam satu tema khusus. Meski demikian, saya tetap merasa tema yang ditawarkan terlalu kering dan romantis untuk membicarakan konteks Afrika kontemporer, yang tentu saja melingkupi beragam dimensi sosial politik yang berkelindan mulai dari pascakolonialisme, globalisasi budaya, kreolisasi, dan sebagainya. Sebagian karya yang dipamerkan terutama beririsan dengan gagasan atas agama dan mitologi, atau citra visual dari dewa dan figur-figur dalam narasi besar berbagai suku di Afrika, dengan konteks politik yang menurut saya cenderung superfisial. Meski demikian, dalam hal bentuk dan kecenderungan estetik, Simon Njami berhasil menjajarkan berbagai medium mulai dari lukisan, instalasi, fotografi, video instalasi–beberapa dalam skala yang cukup massif–dalam desain pameran yang mudah dinikmati. Pameran ini memajang karya dari beberapa nama besar tradisi seni kontemporer Afrika yang sekarang banyak menghiasi berbagai biennale, pameran museum dan bursa seni internasional seperti Ghada Amer (Mesir), Kader Attia (Prancis), Julie Mehretu (Etiopia), Wangechi Mutu (Kenya), Aida Muluneh (Etiopia) dan sebagainya.

Kiri: Kemang Lawahere, karya yang dipamerkan di Berlin Biennale 8, Dahlem Museum, 2014

Kanan: .Performance Otobong Ngkana (Nigeria), di Maxim Gorky Theater, Berlin, November, 2013

Hari berikutnya, saya mengunjungi pameran di Museum Kebudayaan Dunia untuk bertemu teman saya, Dr. Clementine Deliss, direktur museum tersebut. Pameran yang sedang diadakan di sana, “Foreign Exchange” memang tidak secara langsung berfokus pada Afrika, tetapi ada beberapa seniman Afrika yang diundang untuk menciptakan satu karya yang merupakan hasil bacaan dan terjemahannya atas berbagai arsip dan koleksi museum yang sebagian besar merupakan artefak etnografi. Beberapa seniman meneliti foto-foto koleksi museum yang berhubungan dengan “cara memandang”; bagaimana lensa kamera yang diarahkan pada masyarakat adat di pedalaman, oleh para peneliti atau etnografer masa lalu, merupakan representasi kekerasan kolonialisme yang ampuh dengan menggunakan kamera sebagai senjata. Dr Deliss sendiri merupakan salah satu pakar penting dalam


33

wilayah kajian seni kontemporer Afrika, terutama ketika ia menyelenggarakan Afrika 95, sebuah festival besar di London yang untuk pertama kalinya membicarakan Afrika dalam perspektif sosial politik kontemporer. Pengalaman menonton dua pameran dalam waktu bersamaan, dan juga membaca sebuah ulasan atas pameran Afrika lainnya di Eropa pada periode tersebut, saya merasa perlu mempertanyakan lebih jauh bagaimana modus-modus pameran bercorak atau yang mengusung nama Afrika ini berlangsung di berbagai belahan dunia dalam kurun waktu setidaknya dua dekade lebih ini. Pertemuan saya dengan beragam pelaku seni dari benua Afrika, termasuk mereka yang telah banyak menjadi kurator internasional berkedudukan di Eropa atau Amerika, membawa saya pada pembacaan-pembacaan kritis untuk merespon fenomena ini. Tahun 1989, kurator Jean Hubert Martin dari Center Pompidou Paris, menyelenggarakan pameran penting berjudul Magiciens de le Terre, yang pada akhirnya memberi perubahan besar pada lanskap seni kontemporer dunia, terutama karena pameran ini memberi ruang yang cukup signifikan pada seniman dari Negara-negara Asia dan Afrika yang pada waktu itu lebih sering tampak sebagai “liyan” (others). Dalam sejarah seni kontemporer, pameran ini menghasilkan apa yang disebut sebagai “global turn”, juga merujuk dari peristiwa bersejarah runtuhnya tembok Berlin pada tahun yang sama, pasca-peristiwa Tiannamen, dan sebagainya. Pada tahun-tahun selanjutnya, semakin banyak pameran diselenggarakan dengan mengikutsertakan seniman-seniman dari Negara Afrika, dan beberapa di antaranya merupakan pameran skala besar (blockbuster exhibitions) seperti Africa Explore (1991) di New York dengan Susan Vogel sebagai kurator dan pameran Africa Remix (2004), dengan arahan artistik Simon Njami, yang berawal di Dusseldorf Jerman, lalu mampir ke London, Johannesburg dan Tokyo pada tahun-tahun berikutnya. Meski pameran-pameran skala besar semacam ini memberikan kontribusi atas makin tampilnya, atau meningkatnya visibilitas seni kontemporer Afrika, akan tetapi sebagian besar kritikus dan sejarawan juga mengenangnya sebagai upaya menampilkan

Afrika sebagai sebuah wilayah yang eksotis. Sebagian besar peristiwa seni semacam ini diinisiasi dan dikuratori oleh institusi dari luar Afrika sendiri, sehingga tidak sepenuhnya bisa menyuarakan perspektif orang dalam. Pada periode yang sama, kurator-kurator Afrika terkemuka seperti Okwui Enwezor atau Olu Olguibe, lebih banyak bekerja dengan seniman-seniman Afrika diaspora, yang memang tersebar di seantero Amerika dan Eropa, atau mereka yang telah dikenal dan mapan seperti William Kentridge atau Yonke Shonibar, misalnya. Dalam ranah kuratorial, benua Afrika juga menunjukkan kemunculan figur-figur kurator internasional yang disegani, seperti Okwui Enwezor, N Gone Fall, Olabisi Silva, dan beberapa nama lain. Sebagian besar dari mereka memang mengenyam pendidikan formal di Eropa atau Amerika, baik belajar Ilmu Politik, Susastra dan bidang ilmu sosial lain. Okwui Enwezor misalnya, baru satu semester belajar di Universitas Nigeria, memutuskan untuk pergi ke Amerika dan belajar ilmu politik di Jersey City State College. Ia banyak mempelajari sastra dan puisi sebelum akhirnya berada di lingkup pergaulan seni rupa kontemporer. Pameran awalnya yang mengundang perhatian dunia adalah In/Sight: African Photographers, 1940 to Present, yang menampilkan karya dari 30 fotografer Afrika di Guggenheim Museum di New York pada tahun 1996. Pameran ini merupakan penanda kuat untuk mempresentasikan “cara lihat baru” (a new way of seeing, merujuk pada John Berger) atas Afrika. Pameran ini juga membuka pada publik riset panjang yang dilakukan oleh Okwui Enwezor terhadap arsip citra visual berkaitan dengan Afrika dan representasinya secara umum. Setelah pameran itu, ia juga merancang pameran foto terpenting dalam isu pascakolonialisme dan rasialisme, Rise and Fall of the Apartheid: The Bureaucracy of Everyday Life di International Center of Photography, New York. Generasi kurator pasca Okwui Enwezor sendiri kemudian banyak mengritik kecenderungan kurator senior yang lebih sering mempromosikan seniman Afrika diaspora ketimbang mencoba untuk bekerja dan memahami situasi Afrika kontemporer dari ranah Afrika sendiri. Perkembangan seni rupa


34

Afrika pada pertengahan 1990an dan sesudahnya memang cukup pesat dengan makin terbukanya wilayah ini pada arena global. Pameran-pameran Afrika berlangsung di berbagai belahan dunia, mulai London, New York hingga Tokyo, sementara seniman mereka terus menjadi bagian dari pergerakan dinamis seni rupa kontemporer dengan keikutsertaan mereka pada berbagai pameran di museum dan biennale/triennale internasional. Fenomena menarik terbaru adalah kemenangan pavilion nasional Angola pada Venice Biennale 2013. Angola merebut tempat kehormatan, mendapat Golden Lion yang sangat bergengsi ketika mempresentasikan Edgor Chagas dengan karyanya Luanda, Encyclopedia City. Kemenangan Angola ini mematahkan dominasi Negara-negara dunia pertama dalam sejarah Venice Biennale seperti Jerman, Perancis, Swiss, Inggris, dan sebagainya. Paviliun Angola mempresentasikan tidak saja satu kecenderungan estetik yang cukup radikal, tetapi juga membawa diskusi tentang fenomena pertumbuhan kota dan ruang publik di Afrika, yang dipresentasikan dalam sebuah respons yang menarik atas kelas borjuis Eropa melalui pemilihan ruang pameran yang serupa vila kelas atas. Menanggapi situasi eksotisisme atas seni Afrika yang terus berlanjut, N Gone Fall, salah satu generasi kurator Afrika pasca 1990an, menyebutkan: “Apakah semua pameran ini menyebutkan kata Afrika dalam judul pamerannya untuk meyakinkan penonton bahwa mereka sedang menonton sesuatu yang betul-betul berbeda dan spesial? Hampir semua pameran ini mengandung konten yang sangat lemah, kalau tidak bisa dibilang kosong, bahkan nyaris mirip dengan pameran nasional Afrika yang diselenggarakan tahun 1960an dan berkelana keliling dunia. Seolah-olah motivasi satu-satunya untuk membuat pameran ini adalah untuk merayakan budaya Afrika secara internasional. Tetapi, apakah seni itu hanya semata tentang perayaan? Apakah senimanseniman Afrika itu cuma rombongan hiburan yang tidak punya pemikiran dan hal-hal untuk dikatakan?�

N Gone Fall saya kira menyebut poin penting untuk digarisbawahi: bahwa melibatkan seniman dari sebuah wilayah kebudayaan bukan saja menjadi laku untuk merayakan keberagaman, tetapi lebih merupakan upaya untuk mendiskusikan gagasan-gagasan yang signifikan dan kritis sehingga ada rintisan untuk menciptakan dunia yang lebih adil. Saya sendiri melihat bahwa ada banyak seniman yang menciptakan karya menarik dan kritis, yang isunya tidak saja bisa dibawa untuk berbicara tentang Afrika, tetapi merefleksikan lebih jauh apa yang terjadi secara universal di berbagai belahan dunia. Karya-karya monumental Kader Attia dan William Kentridge adalah inspirasi yang sangat berharga untuk mendiskusikan gagasan eksploitasi dan kolonialisme, dan penting pula bagi kita untuk belajar bagaimana melihat sejarah dari perspektif yang kalah. Pada karyakarya seniman generasi awal seperti mereka, narasi-narasi besar pasca-perang, kisah perbudakan dan genosida merupakan isu yang digali sebagai bagian dari upaya memformulasikan gagasan nasionalisme dan kebangsaan. Ini juga bisa dijumpai sesungguhnya pada gerakan kebudayaan Asia pada periode yang sama (sekitar akhir 1950an dan 1960an), misalnya pada kasus upaya besar-besaran dari Presiden Soekarno untuk menjadikan seni dan budaya sebagai senjata diplomasi, dan keinginannya untuk membangun hubungan dengan Negara-negara non imperialis, termasuk di dalamnya Negara Asia-Afrika. Generasi seniman muda seperti Otobong Ngkana, kelompok seniman Invisible Borders, Kemang Wa Lehulere, Lynette Yiadom Boakye, dan sebagainya mewakili satu generasi baru yang membicarakan Afrika dengan perspektif baru dan pendekatan yang segar, yang membagi bahasa-bahasa visual atau persoalan yang barangkali sama dengan seniman muda di tempat-tempat lain. Generasi muda ini juga terbuka pada platform seni yang baru, di mana mereka bertemu dan bekerja dengan kelompok aktivis, akademisi ataupun inisiatif komunitas dan membawa seni menjadi bagian dari ruang baru untuk bersuara.


35

BIENNALE JOGJA Selama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi sangat penting untuk mengukur kemajuan seni rupa Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya untuk menjadikan BJ sebagai rangkuman dari seluruh potensi kreativitas budaya dalam bidang seni rupa Indonesia, Asia maupun dunia. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai rangkaian pameran dengan agenda jangka panjang yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian biennale ini akan mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ akan bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan senimanseniman, kelompok-kelompok, organisasiorganisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta.

Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu Yayasan Biennale Yogyakarta yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021), dan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022. Mengapa 'Khatulistiwa'? Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik berangkat untuk mengejawantahkan berbagai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk 'membaca kembali' dunia. Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru.


YAYASAN

YOGYAKARTA

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.