Newsletter edisi 5 Mei 2014

Page 1

THE EQUATOR Edisi 5, Mei 2014 Terbitan triwulan | GRATIS Terbit sejak Juni 2013

NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

BERJUMPA KARENA GELISAH


2

PENGANTAR REDAKSI Pembaca yang Budiman, Selalu sulit untuk memulai sesuatu yang baru. Begitupun dengan Newsletter The Equator edisi Mei 2014 yang dituntut untuk menjadi tiang pancang pertama bagi perbincangan kita tentang kawasan Afrika. Secara khusus, edisi ini akan lebih banyak berbicara mengenai hubungan geo-ekonomi dan geo-politik antara Indonesia dan kawasan Afrika. Pertimbangannya lebih karena kebutuhan untuk memberikan kerangka awal dalam membaca hubungan antara Afrika dengan Indonesia. Ke depan, Biennale Jogja akan menggandeng salah satu negara Afrika sebagai mitra, yakni Nigeria. Wacana di edisi ini setidaknya akan menjadi pengantar awal untuk masuk ke isu-isu spesifik soal Nigeria pada edisi-edisi selanjutnya. Kami memulai wacana di edisi ini dengan sebuah pertanyaan; “mengapa Indonesia melupakan kawasan Afrika?” Pertanyaan bernada tudingan itu mungkin agak berlebihan. Namun, melihat sumber yang tersedia saat ini, Indonesia memang lebih banyak memupuk hubungannya dengan negara-negara Eropa, Amerika, dan sesama negara Asia. Padahal, kita punya pengalaman yang sama; pernah sama-sama dijajah dan gelisah pada dua kutub kekuatan adidaya yang bermaksud mendominasi dunia. Atas dasar pengalaman yang sama itu juga, tepatnya di Bandung tahun 1955, kita berjumpa dan berjanji untuk selalu memupuk kebersamaan. Berangkat dari alasan itu, kita akan mencoba membaca dan mendialogkan ulang arus hubungan kedua kawasan. Kepentingannya sederhana; menelusuri kembali jejak kebersamaan yang mulai samar. Untuk itu, edisi ini akan membicarakan beberapa topik khusus. Pertama, soal interaksi antara masyarakat Indonesia dengan kawasan Afrika khususnya Afrika Selatan. Topik ini diulik Theresia D. Wulandari yang lewat tulisannya mengjak kita jauh menjelajah ke belakang, menilik kembali perjumpaan kita dengan Afrika Selatan. Untuk topik kedua dan ketiga, orientasinya kurang lebih sama, berbicara pada level makro politik-ekonomi, tetapi dengan cara baca yang berbeda. Hadisaputra melihat isu-isu kontemporer yang memungkinkan untuk didialogkan dengan negara di kawasan Afrika. Tidak berbeda dengan topik ketiga dimana Sayfa Auliya Achidsti melihat secara kritis kecenderungan orang untuk memposisikan KTT Asia-Afrika sebagai romantisme sejarah belaka. Sayfa mau menunjukkan kemungkinan-kemungkinan lain yang patut dijajaki karena secara de facto nasib kita masih sama; sama-sama dibelenggu pasar bebas. Sebagai tambahan, akan turut disuguhkan ulasan tentang estetika di wilayah konflik. Bagian ini akan mengulas film dokumenter yang berjudul “War Dance.” Ulasan film ini akan sedikit memberi gambaran soal seni dan aneka tantangannya di salah satu negara Afrika, Uganda. Mencermati isu yang dijajaki maka edisi ini kami beri tajuk “Berjumpa karena Gelisah.” Harapan besarnya, wacana yang ditawarkan dalam edisi ini bisa melahirkan perdebatan kritis yang akan turut memperkaya pembacaan kita soal Afrika. Salam Hangat, Redaksi

Suasana FGD (Focus Group Discussion) di Taman Budaya Yogyakarta Suasana sosialisasi BJ XIII dan penjurian seleksi Direktur Artistik


3

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org. Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 800 1000 kata dengan tema terkait Nusantara Khatulistiwa . Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta Misi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis senibudaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedari No.1 Yogyakarta Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org. Mei 2014, 1000 exp Penanggung jawab: Yustina Yeni Redaktur Pelaksana: Arham Rahman Kontributor: Theresia D. Wulandari, Hadisaputra, Sayfa Aulia Achidsti Arham Rahman Fotografi: Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta Fotografer: Arief Sukardono, Indra Ariesta, Wisnu ASA, Alfian Pramananta Desainer: Yohana T.

“Efulepu: The Lost One� Njideka Akunyili 2011 Acrylic, charcoal, colored pencil, collage and xerox transfer on paper. Sumber: http://chikaduahblog.com//2012/1 0/19/ njideka-akunyili-a-nigerian-visualartist.

Outlet Penyebaran Jakarta: Ruangrupa, IFI Jakarta, Komunitas Salihara, Dewan Kesenian Jakarta, dia.lo.gue Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Common Room, IFI Bandung, Galeri Soemardja, Tobucil Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, IFI Jogjakarta, Cemeti Art House, Via Via Cafe, LKiS, Sangkring Art Space, Ark Gallerie Surabaya: C2O Denpasar: Kopi Kultur Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

INDONESIA KECIL DI BENUA AFRIKA Theresia D. Wulandari Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Menyebut kata “Afrika�, tidak lepas dari sejarah Politik Apartheid dengan tokoh pesohornya, Nelson Mandela. Di Indonesia, nama Nelson Mandela menjadi sosok yang dikagumi sebagai pejuang kebebasan hak-hak warga kulit hitam dari benua Afrika. Sebagai pesohor dari benua Afrika, Mandela yang wafat pada 5 Desember 2013 pada usia 95 tahun ini ternyata sudah memiliki hubungan istimewa dengan Indonesia. Sejak didaulat sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1994, Mandela tercatat empat kali mengunjungi Indonesia. Pertama, pada masa Soeharto tahun 1990 dan 1997, kedua, pada masa BJ. Habibie tahun 1998, dan pada masa Megawati Soekarnoputri tahun 2002. Selama itu pula, hubungan diplomasi antara Indonesia dan Afrika Selatan relatif aman, tanpa cela. Mandela sudah mengenal Indonesia di masa mudanya. Tepatnya saat Mandela masih menjadi aktivis muda dan sempat menghadiri Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Saat itulah Mandela mengenal sosok Soekarno dan sangat mengguminya. Konon, perjuangan Mandela yang menuntut kesetaraan antara ras kulit putih dan kulit hitam di Afrika Selatan juga banyak terinspirasi dari pidato-pidato Soekarno. Mandela juga dikenal sebagai sosok yang sangat mengagumi batik. Saat kunjungan kenegaraannya pada 1990, Mandela datang

dengan mengenakan batik menemui Soeharto yang justru mengenakan pakaian jas. Dalam kunjungan kenegaraan lain, Mandela selalu mengenakan batik yang secara khusus dia pesan dari desainer kenamaan Indonesia, Iwan Tirta. Sering sekali Mandela mengenakan batik dalam acara-acara resmi, seperti saat bertemu dengan Ratu Elizabeth II, Bill Clinton, George W. Bush, dan acara-acara resmi kenegaraan lain, termasuk ketika berpidato di Sidang Umum PBB. Secara tidak langsung, Mandela turut mempopulerkan batik di mata dunia sebagai karya asli Indonesia. Setidaknya itu yang disampaikan Duta Besar Afrika Selatan untuk Indonesia, Noa Noel Lehoko. Selain dekat dengan Soekarno dan Iwan Tirta, Mandela juga mengenal sosok pesohor asal Indonesia yang diakuinya juga sebagai penyemangat perjuangannya. Dia adalah Syekh Yusuf Al-Makassari. Tokoh yang akrab disebut Syekh Yusuf ini adalah sosok dari Indonesia yang juga turut menginspirasi Mandela memperjuangkan penghapusan praktik perbudakan di Benua Afrika. Syekh Yusuf yang lahir di Gowa pada 3 Juli 1962 merupakan pejuang sekaligus keponakan Raja Gowa Sulawesi Selatan. Dia menjadi salah satu tokoh yang sangat dihormati bagi masyarakat Afrika Selatan. Selain dikukuhkan sebagai pahlawan nasional Indonesia pada 9 November 1996, Afrika


5

Kiri: Antoinette Sithole dan Mbuyisa Makhubo menggendong Hector Pieterson (12 tahun). Momen setelah Hector Pieterson tertembak oleh polisi Afrika Selatan selama Pemberontakan Soweto. Ini menjadi simbol perlawanan atas tindakan brutal pemerintahan apartheid. Sumber: https://nladesignvisual.wordpress.c om/2013/04/06/resistance-orprotest-art-in-south-africabackground/ Kanan: Ayanda Mabulu, Yakhal'inkomo (Black Man's Cry), 2013. Oil on canvas, 250 x 350cm. Courtesy of Commune 1 Gallery. Sumber: http://www.manifestajournal.org/is sues/futurescohabitation/speaking-truthpower-censorship-and-criticalcreativity-south-africa#

Selatan juga menobatkannya sebagai pahlawan pada 27 September 2005. Menurut sejarah, Syekh Yusuf merupakan sosok pejuang yang hidup di era pemerintahan Hindia Belanda (VOC) pada abad 17. Akibat pemberontakannya, di tahun 1694 Syekh Yusuf bersama 49 anggota rombongannya diangkut menggunakan kapal De Voetboog, diasingkan di tenggara kota Cape Town. Kawasan itu merupakan kota kecil bernama Zandvleit, dekat Sungai Eerste. Dalam perjalanan hidupnya, Syekh Yusuf menyebarkan Islam dan membangun pedusunan dengan sebutan Kampoeng Makassar di distrik Stellenbosch, Cape Town. Syekh Yusuf menghabiskan sisa hidupnya di distrik itu dan makamnya dapat ditemukan di sebuah petilasan bernama Kramat Macassar. Hingga kini, kawasan itu dikenal sebagai cikal bakal perkembangan komunitas Islam bernama Cape Malay. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Afrika Selatan di tahun 2008, ia mengungkap fakta menarik soal ikatan sosial-budaya antara Indonesia dan Afrika Selatan. Sebanyak 26 tokoh terkemuka di Afrika Selatan memiliki silsilah nenek moyang dari Indonesia. Salah satunya adalah Ebrahim Rasool, Gubernur Western Cape, yang memiliki nenek moyang asal Sleman Yogyakarta. Mengenal karaktertistik masyarakat Afrika Selatan melalui perjalanan penulis selama kurang lebih seminggu lamanya,


6

mengubah persepsi tentang Afrika Selatan yang dikenal sebagai negara miskin, kumuh, liar, dan rawan konflik. Sebagai benua yang menjadi jembatan perdagangan rempahrempah antara kawasan Eropa dan Asia Timur, negara ini ternyata sangat terbuka dengan dunia luar. Keterbukaan ini tampak dalam penyelenggaraan Piala Dunia 2010 kala itu. Betapa negara tersebut sangat siap menerima kedatangan tamu asing dari banyak bangsa, menunjukkan Afrika Selatan bukan lagi negara rasis, tetapi sangat egaliter. Ya, benua Afrika memang bukanlah kawasan asing bagi banyak bangsa. Hal ini dimulai pada cerita sejarah penjelajahan para tokoh navigasi asal Eropa yang berhasil menemukan benua yang kaya akan kandungan mineral intan. Alkisah, dua tokoh penjelajah dunia, Vasco da Gama dan Bartholomew Diaz, menyusuri pantai benua Afrika untuk menjangkau kawasan benua di daerah timur terutama benua Asia yang kaya rempah. Diawali dengan perjalanan Bartholomew Diaz, penjelajah asal Portugis yang menyusuri pantai benua Afrika dengan dukungan raja Portugis King JoĂŁo II dan Henrique sang Navigator. Diaz memulai perjalanannya dari Sungai Tagus di Lisboa Portugal pada Agustus 1487 dengan menggunakan iring-iringan tiga kapal, lengkap dengan 3 nahkoda. Visi perjalanan Diaz kala itu tidak lain sebagai perpanjangan tangan sang raja untuk mendekati Prester John, raja kaum Kristen Ethiopia yang legendaris, sekaligus menyampaikan maksudnya untuk berdagang hingga ke tanah India. Pada awal perjalanan lautnya, Diaz singgah di Cape Verde Island sebelum akhirnya ke Cape of Good Hope (Semenanjung Harapan) pada 1488. Di situ Diaz menemukan keindahan Afrika Selatan, salah satunya Table Mountain

(Gunung Meja) yang kini dikenal sebagai kawasan wisata ternama di Afrika Selatan. Setelah mengarungi perjalananselama 16 bulan dan 17 hari, Diaz kembali ke titik keberangkatannya di Lisboa Portugal setelah sebelumnya dia sempat singgah di Namibia, Angola, dan Congo. Ekspedisi melewati benua Afrika kemudian dilanjutkan oleh Vasco da Gamma. Seperti disebut dalam “South Africa Encyclopaedia: Prehistory to the year 2000,� da Gamma adalah seorang penjelajah berkebangsaan Portugis yang mendapat mandat dari Manuel I, raja Portugis kala itu. Da Gama memulai perjalanannya 8 Juli 1497 dengan iringiringan empat kapal dan 170 orang kelasi. Ekspedisi pertamanya, ia berlayar menuju kepulauan Tanjung Verde atau Cape of Verde Island di sisi barat Afrika Selatan. Bercermin pada ekspedisi yang dilakukan oleh Dias sebelumnya, perjalanan da Gama diarahkan ke sisi luar Samudera Atlantik. Berlayar terus jauh ke selatan, dan kemudian membelok ke timur mencapai Tanjung Harapan (Cape of Hope). Da Gama mengitari Tanjung Harapan pada tanggal 22 November, kemudian berlayar ke utara menyelusuri pantai timur Afrika. Dalam pelayaran ke utara itu dia membuang sauh di pelbagai kota yang dikuasai orang Muslim, termasuk Mambasa dan Malindi yang kini bernama Kenya. Bukan hanya pelaut asal Portugis, adalah Sir Francis Darke (1534-1596), pelaut asal Inggris yang pertama kali melakukan ekspedisi keliling dunia dengan memulai perjalanannya pada tahun 1557 mengelilingi Amerika Selatan dan sampai ke Pantai Pasifik di Amerika Utara. Dalam perjalanannya, Darke kembali ke Inggris melalui Filipina dan Tanjung Harapan di Afrika Selatan.


7

Sekelumit perjalanan navigasi dan pelayaran bangsa-bangsa ini menjadi bukti bahwa benua Afrika, lebih khusus Afrika Selatan, memiliki akses yang strategis (terutama jalur pelayaran) antar-dua benua. Benua Amerika dan Eropa yang berada di sisi barat, seakan terjembatani dengan keberadaan benua Asia dan Australia di sisi timur. Ada sekitar 23 pelabuhan dan persinggahan kapal yang dapat diakses di sepanjang pantai Afrika Selatan. Beberapa lokasi pelabuhan dan kapal persinggahan memenuhi kebutuhan lalu lintas kapal, mulai dari perdagangan, kargo, persinggahan kapal pelayaran, hingga pangkalan militer. Negara yang menjadi republik pada 31 Mei 1961 ini memiliki motto Unity in Diversity. Bagaimana tidak, selain 79% masyarakatnya berkulit hitam, 20% lainnya berkulit putih, dan sisanya adalah penduduk ras Indian dan

Asia. Maka tidak sulit saat berkunjung ke Afrika Selatan, mencari restoran Chinesse Food misalnya dan beberapa spot restoran yang menyediakan menu masakan berbagai bangsa, termasuk sebuah minimarket yang khusus menjual produk-produk asli Indonesia, Indomart. Semakin jelas jika hubungan sosial dan budaya yang telah terbina antara Indonesia dan Afrika Selatan menjadi semakin mesra. Bukan saja karena pengesahan Komunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik oleh Wakil Tetap Republik Indonesia dan Afrika Selatan di New York pada 12 Agustus 1994, tetapi juga dalam kegiatan yang lebih konkret dan mutualis. Setidaknya, upaya memahami Afrika, khususnya Afrika Selatan juga merupakan upaya meneruskan interaksi bersama yang sudah dibina secara aktif sejak masa Madiba Nelson Mandela.


8

INDONESIA-AFRIKA: BERSAMA, KITA BISA APA? Hadisaputra Peneliti pada Institute for Research and Education (I-REd), Makassar

Pertemuan Pemimpin Netral Dunia. Pemimpin dari lima negara netral penting dunia bertemu di markas delegasi Yugoslavia di PBB, New York, pada 30 September 1960. Dari kiri adalah Perdana Menteri India Jahwaral Nehru, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Indonesia Soekarno dan Presiden Yugoslavia Josef Broz Tito sebagai tuan rumah pertemuan. (foto: file arsip copy indhie — ja60715atr-AP/Photo) Sumber: Medan-indhie.com


9

“Kalau liong barongsai China bekerjasama dengan sapi keramat India, sphinx dari Mesir, burung merak dari Birma, gajah putih dari Siam, ular dari Vietnam, harima dari Filipina dan banteng dari Indonesia, maka kolonialisme akan hancur lebur” (Soekarno dalam Rosihan Anwar, 2009) Pengantar Kutipan pernyataan di atas, adalah pesan Presiden Soekarno kepada Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo, agar menginisiasi perjumpaan negara-negara Asia-Afrika dalam rangka konsolidasi melawan kolonialisme. Ali Sastroamijoyo –dengan dukungan sejumlah kolega dari India, Ceylon (Sri Lanka), Burma, dan Mohammed Ali dari Pakistan– akhirnya berhasil mengemban amanah tersebut dengan terselenggaranya Konferensi AsiaAfrika (KAA) pada tanggal 18-24 April 1955 di Kota Bandung. KAA ini melahirkan prinsipprinsip yang dikenal dengan “Dasa Sila Bandung”, kemudian menjadi dasar hubungan antara negara-negara Asia-Afrika. Prinsip-prinsip dasar yang disepakati dalam Konferensi Asia-Afrika menjadi cikal bakal pembentukan Gerakan Non Blok (GNB) pada tahun 1961. GNB telah mempelopori upaya untuk mengakhiri kolonialisme. GNB telah membantu memastikan bahwa isu-isu pembangunan menempati posisi utama dalam agenda global, mempererat dialog Utara-Selatan dan mempromosikan kerjasama Selatan-Selatan. GNB juga senantiasa konsisten dalam mendukung penyelesaian konflik secara damai serta kegiatan pemeliharaan dan pembangunan

perdamaian. Oleh karena itu, Indonesia mengirimkan penjaga perdamaian pertama (Kontingen Garuda I) untuk bergabung dengan UN Emergency Force I pada awal tahun 1957. Sejak itu, tidak kurang dari 27 kontingen telah dikirimkan. Untuk pembangunan ekonomi global yang adil, Indonesia, selaku ketua GNB di tahun 1992-1995, mengaktifkan kembali Dialog Utara-Selatan dan berhasil membantu meringankan beban utang negara-negara berkembang. Pada saat yang sama, Indonesia telah memajukan kerjasama Selatan-Selatan. Dengan semangat ini, Pusat GNB untuk Kerjasama Selatan-Selatan didirikan. Dalam rangka terus menggelorakan semangat KAA, pada tanggal 22-23 April 2005, Indonesia dan Afrika Selatan menggagas New Asian-African Strategic Partnership (NAASP). NAASP adalah perjumpaan dalam rangka memperbaharui solidaritas negara-negara Asia dan Afrika yang telah berjalan lama. Pertemuan yang digelar di Jakarta tersebut , dihadiri oleh perwakilan dari 106 negara Asia dan Afrika yang terdiri dari 54 negara Asia dan 52 negara Afrika. Terlepas dari berbagai kontribusi di atas, nampaknya Indonesia lebih memprioritaskan


10

hubungan luar negerinya dengan kawasan lainnya, dibanding kawasan Afrika. Secara ekonomi perhatian utama Indonesia masih ditujukan kepada mitra dagang utamanya yang ada di kawasan Asia Pasifik, seperti Jepang, AS, Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong. Memandang Ulang Afrika Mengapa Afrika cenderung terlupakan? Afrika yang melekat di benak kita mungkin hanya rentetan kisah penderitaan.

Ilustrasi Unesco tentang kondisi perdagangan budak di Nigeria. Dari rentang waktu abad 16 hingga 18, jutaan orang Nigeria dikirim ke AS untuk dijual sebagai budak. Sumber: http://www.fascinatingnigeriamaga zine.com/2013/07/unesco-keepingthe-history-of-slavery-alive/

Mulai dari bencana kelaparan, kekeringan, perang saudara, tingginya angka kematian ibu dan anak, dan lain sebagainya. Bahkan sering kita mendengar candaan, “Saya kutuk kamu jadi manusia Afrika�. Candaan yang kadang tanpa sengaja, menggambarkan betapa persepsi serba buruk tentang kondisi Afrika telah bersemayam di alam bawah sadar kita. Mungkin cerita keseharian itu ada benarnya jika merujuk data yang dirilis Bank Dunia 15 tahun lalu. Dalam World Development


11

Report 1998/1999, Afrika adalah kawasan dimana angka harapan hidup di bawah 60 tahun terdapat di 28 negara. Harapan hidup di bawah 50 tahun terdapat di 18 negara. Sedang harapan hidup di Sierra Leon hanya 37 tahun. Fakta lainnya adalah kawasan yang memiliki setengah dari 600 juta orang di selatan sahara berada dalam kemiskinan. Afrika juga adalah kawasan yang setengah atau lebih penduduk dewasa dari setidaknya 13 negara, buta huruf. Kawasan ini juga mencatatkan rekor dimana anak balita pada angka lebih dari 100 per 1000 setidaknya terdapat di 28 negara, bahkan di Sierra Leon angkanya mencapai 335 per 1000 (Manguelle dalam Harrison dan Huntington, 2006). Lebih dari satu dekade setelah data di atas dirilis, Prof. Aleksius Jemadu (2012) berpendapat bahwa pandangan negatif tentang Afrika sudah saatnya diubah dan digantikan dengan cara pandang yang lebih positif dengan melihat perkembangan Afrika belakangan ini. Berbagai laporan dari lembaga keuangan internasional menunjukkan bahwa prospek ekonomi benua Afrika semakin cerah. Pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi Sub-Sahara Afrika mencapai 5,8%. Pada tingkatan negara, ada kemajuan signifikan pada negara-negara penghasil minyak seperti Angola dan Nigeria. Afrika Selatan merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dan menjadi wakil benua Afrika di G20. Selain itu, Afrika memiliki 8% cadangan minyak dunia. Kawasan ini juga memiliki berbagai kandungan mineral lainnya, misalnya Afrika Selatan memiliki 88% cadangan platinum dunia. The Economist menjuluki Afrika sebagai benua masa depan. Jika berbagai konflik lokal dapat diselesaikan secara damai, demikian pula reformasi di bidang politik dan ekonomi, maka dalam

waktu tidak terlalu lama Afrika bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru, yang dilirik oleh investor dari negara maju maupun negara berkembang (Jemadu, 2012). Prospek Kerjasama Ada beberapa ruang dimana Indonesia dan Kawasan Afrika dapat saling bersinergi dan mendukung satu sama lain. Misalnya, keterlibatan Indonesia dan Afrika Selatan sebagai anggota G20 dapat memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang di Afrika agar tidak tergilas oleh pertarungan kekuatan-kekuatan besar termasuk China dan India. Di samping itu, kisah sukses Indonesia dalam mengonsolidasikan demokrasi dan menciptakan stabilitas politik dapat direplikasi oleh negara-negara Afrika yang juga sedang berproses menjalankan praktek demokrasi. Demikian pula pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berimplikasi terhadap bertumbuhnya potensi daya beli kelas menengah, merupakan salah satu magnet bagi kawasan Afrika dalam menjalin hubungan perdagangan. Demikian pula sebaliknya. Data sementara yang dirilis oleh Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa beberapa komoditas yang diekspor Indonesia ke Afrika cukup diminati. Produk-produk Indonesia sangat laku di Pasar Afrika karena dikenal murah. Beberapa produk seperti alas kaki (sepatu dan sandal), mobil, mie instant, produk-produk kelapa sawit, makanan daging dan olahan, ikan dan olahan sangat laku di pasar Afrika. Demikian pula penjualan mobil dan sparepart kendaraan produksi Indonesia juga diminati konsumen Afrika (Detik.com, 17/05/2013).


12

Prospek lain yang menjadi daya tawar Indonesia bagi kawasan Afrika, adalah pengalaman Indonesia dalam mengatasi sejumlah

Sumber Rujukan: Daniel Etounga Manguelle, “Perlukah Afrika Sebuah Program Penyesuaian Budaya” dalam Harrison dan Huntington, Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Jakarta: LP3ES. Jemadu, Aleksius. 2012. Hubungan Indonesia dengan Benua Afrika Kaya dengan Nuansa Ikatan Emosional Yang Kuat, (online), (http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/168pebruari-2012-/1350-hubungan-indonesia-dengan-benua-afrika-kaya-dengan-nuansa-ikatanemosional-yang-kuat.html. Diakses tanggal 07 April, Pukul 15:29) Nurhayat, Wiji. 2013. Sepatu, Mie Instan Hingga Mobil Made in Indonesia Laris di Afrika, (online), http://finance.detik.com/read/2013/05/17/152635/2248980/1036/sepatu-mieinstan-hingga-mobil-made-in-indonesia-laris-di-afrika. Diakses tanggal 07 April, Pukul 15:50). Rosihan Anwar, 2009. Sejarah Kecil “Petite Historie” Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas.


13

INDONESIA-AFRIKA BUKAN HANYA ROMANTISME SEJARAH Sayfa Auliya Achidsti Penulis lepas

Pemukiman Kumuh di Afrika (Afrika Selatan) Sumber: www.nytimes.com

Membincang kaitan Indonesia dengan negara-negara di Afrika, menjadi terlalu sederhana jika dikaitkan hanya dengan adanya pertemuan sejarah yang pernah dilakukan di antara keduanya. Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KAA) –beberapa menyebut “Konferensi Bandung”– yang diadakan pada 18-24 April 1955 memang menjadi tonggak sejarah yang memunculkan hubungan erat di masa lalu secara “legalistik”. Hal ini punya arti penting dalam hubungan sesudah-sesudahnya hingga sekarang. Namun, KAA sebagai sebuah pilihan politik, memiliki alasannya sendiri untuk diadakan dalam konteks masa dulu. Secara momentual, KAA menjadi kejadian besar dalam sejarah


14

dengan konferensi terbuka yang memiliki implikasi politis dalam konstelasi dunia saat itu. Momen sejarah ini dapat dianalogikan sebagai sebuah status kekeluargaan di atas kertas. Selain itu, hubungan antara negaranegara Asia (yang Indonesia di dalamnya) dengan Afrika menjadi “hubungan darah”, dengan “status kekeluargaan” yang dilandaskan karena kesamaan nasib. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah sebuah hubungan antarnegara harus dipertahankan hanya karena adanya latar sejarah semacam itu, atau perlu sebuah alasan lain dengan melihat kondisi kontekstual? “Hubungan Darah” Indonesia-Afrika Pada saat itu, beberapa negara di Asia (Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, India, dan Pakistan)¹ mengadakan sebuah langkah politis menunjukkan eksistensi negara-negara baru. Asia dan Afrika, yang memiliki kesamaan latar sejarah sebagai negara yang sedang/pernah terjajah, melakukan sebuah komitmen ekonomi dan kebudayaan sebagai perlawanan kolonialisme dan neokolonialisme yang sedang ditampilkan oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, dan negaranegara industri lainnya. KAA sendiri dalam periode sejarah dunia pada saat itu menjadi sebuah momen besar, di mana 29 negara yang secara kuantitas memiliki jumlah penduduk setengah dari total dunia. Adanya masa Perang Dingin menjadi alasan utama diadakannya KAA, dengan tujuan selain menjalin hubungan dan kekuatan yang tidak memihak Barat atau Timur adalah mencoba untuk menjadi penengah di antara kedua blok tersebut. Bagi beberapa negara yang baru melepaskan diri dari kolonialisme sebagai negara baru, KAA menjadi payung pengakuan kemerdekaan mereka.² Di sini,

Indonesia sendiri menjadi negara yang diuntungkan dalam konteks melepaskan diri dari negara kolonial, yaitu Belanda yang masih ingin melakukan klaim terhadap Irian Barat. Implikasi politik dari adanya KAA ini adalah terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961. Aliansi politik antarnegara ini menjadi sebuah blok besar tersendiri dengan jumlah anggota 120 negara. Keputusan politik diplomasi nonblok (tidak memihak/non-alignment) inilah yang pada akhirnya membawa gaya politik diplomasi Indonesia kelak, hingga hari ini. Dengan adanya “hubungan darah” tersebut, tentunya komunikasi antarnegara menjadi lebih mudah. Secara diplomatik “formal”, Indonesia telah membuka diplomasi dengan 40 negara Afrika dan 17 perwakilan RI di negara Afrika. Hal yang menjadi persoalan, justru apa yang akan dilakukan dengan telah adanya “hubungan darah” tersebut? Pada kenyataannya, keterkaitan Indonesia dengan negara-negara Afrika bukan hanya soal latar sejarah sebagai “hubungan darah”. Namun realisme politik memperlihatkan adanya kesamaan nasib, karakter relatif, posisi dalam relasi kuasa dunia secara ekonomi dan politik, dan kondisi faktual domestiknya. Dengan adanya kesamaan ini, pertanyaan mengenai sebab Indonesia seharusnya membuka kembali kegairahan sejarah 1955 di Bandung terjawab. Keterkaitan Indonesia dan Afrika bukan hanya romantisme sejarah. Hingga kini, nasib keduanya masih relatif sama dalam penekanan skema pasar global. Refleksi Ulang Diplomasi Melihat fakta yang ada, diplomasi antara Indonesia dengan dunia Barat lebih ditampilkan oleh pemerintah. Sedangkan, di sisi lain, Indonesia dan negara selatan pada


Pemukiman kumuh di Jakarta (ilustrasi kaskus.us) Sumber: http://www.gresnews.com/

dasarnya lebih memiliki alasan untuk membentuk sebuah kedekatan jika bicara konteks keseimbangan global (seperti pada era KAA dan GNB) dan perekonomian. Jika kemudian mempersoalkan apakan relevan untuk memiliki pemikiran bahwa masih perlukah keseimbangan global dibentuk dengan penguatan wilayah selatan, tentu jawabannya masih sangat urgen untuk diupayakan. Hal ini bukan berarti bahwa mempersoalankan hal itu dalam kondisi damai sekarang adalah pengeruhan suasana. Namun, sistem pasar bebas yang dilakukan oleh negara industri lama telah memposisikan banyak negara sebagai konsumen. Posisi asimetris antara negara selatan dan utara, bagaimanapun masih tetap menjadi gambar besar perekonomian dunia, walaupun beberapa negara telah tampak dapat mengatasi keterbelakangan mereka dan menjadi negara industri.Âł Dalam konteks Asia-Afrika, belakangan kembali muncul gairah untuk memunculkan lagi suasana keakraban “ala 1955â€? dengan mengadakan Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (NAASP). Dalam kegiatan ini, Indonesia telah melaksanakan 26 program kerjasama untuk pembangunan Afrika. Namun, melihat kenyataan yang ada, diplomasi yang diadakan Indonesia kepada Afrika merupakan hubungan yang belum lebih dari tataran simbolik. Pada akhirnya, diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia lebih tampak sebagai sebuah diplomasi dalam pilihan irasional (irrationality diplomacy) dan dengan cara yang tidak rasional (irrationally diplomacy). Sedangkan, realisme politik dalam hubungan internasional merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah negara yang mengutamakan nasib


16

bangsanya, selalu memilih jalan yang realistis untuk penduduk negaranya.

Suasana pasca meledaknya sebuah bom di salah satu terminal bus di Nyayan, Abuja, Nigeria pada 14 April 2014 yang menewaskan 71 orang dan melukai 124 orang lainya. Sumber: http://www.nbcnews.com

š KAA diadakan di Gedung Merdeka, Bandung (Indonesia). Beberapa perwakilan dari negara yang menginisiasi KAA adalah: Ali Sostroamijoyo (Indonesia), U Nu (Myanmar), Sir John Kotelawala (Sri Lanka), Jawaharlal Nehru (India), dan Mohammad Ali Bogra (Pakistan). ² Paling tidak, pada saat KAA diadakan, hanya terdapat 9 negara yang sudah merdeka. Mayoritas negara yang hadir masih dalam suasana kolonialisme. ³ Misalnya kemunculan BRICS, yang merupakan akronim dari Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Konferensi Tingkat Tinggi pertamanya diadakan pada 2009 di Rusia.


17

MEMBACA FILM “WAR DANCE” Seni Sebagai Selingan Yang Menggairahkan Arham Rahman Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Gambar dari potongan-potongan film “War Dance”


18

“When I dance, my problems vanish. The camp is gone. I can feel the wind. I can feel the fresh air. I am free and I can feel my home‌,â€? Demikian kata Nancy menggambarkan pengalaman estetisnya setiap kali mementaskan tari Bwola, tarian khas suku Acholi yang rumit dan berbelit-belit. Nampaknya, lewat Bwola Nancy dapat merasakan sensasi ketakberhinggaan, sublim. Saat menari, Nancy lupa kalau ia berasal dari kawasan paling mengerikan di Uganda. Nancy masih sangat belia saat ayahnya mati di tangan pemberontak. Sedang ibunya, sempat diculik dan hidup di kamp pengungsian lain. Nancy bertanggung jawab mengurus tiga orang adiknya di kamp pengungsian Patongo, sebuah wilayah di utara Uganda. Tidak berbeda dengan Nancy, Dominic dan Rose juga menderita karena perang berkepanjangan. Rose, penyanyi di kelompok paduan suara sekolah, menyaksikan kedua orang tuanya dibunuh pemberontak. Sedang Dominic kehilangan kakaknya dan pernah dipaksa oleh kelompok pemberontak untuk membunuh sepasang tukang kebun dengan sebuah cangkul. Dominic lihai memainkan alat musik Xylophone. Memainkan alat musik itu membantu Dominic melupakan pengalaman buruknya. Sejak masa Jendral Idi Amin di tahun 1970an, Uganda telah dilanda konflik politikš. Idi Amin memerintah dengan tangan besi, mengusir komunitas India, dan menyingkirkan ratusan lawan politiknya.

Pemerintahan Idi Amin berakhir di tahun 1979 saat tentara Tanzania yang menamakan diri Uganda National Liberation Army meruntuhkan rezimnya. Setelah itu, pemerintahan singkat terjadi silih berganti di Uganda hingga tahun 1986. Di tahun itu, Yoweri Museveni memenangkan pemilihan dan secara politis menetapkan National Resistance Army/Movement (NRA/M) sebagai partai tunggal. Kebijakan itu tidak disetujui orang-orang dari suku Acholi. Akibatnya, orang-orang Acholi di dalam pasukan NRA memilih keluar dan memulai gerakan perlawanan terhadap pemerintah yang diberi nama Ugandan People's Democratic Army. Di saat bersamaan, seorang perempuan bernama Alice Auma tampil sebagai pemimpin gerakan perlawanan Acholi. Dia mengklaim diri sebagai nabi dan mengganti namanya menjadi Alice Lakwena. Dia berjanji akan menggulingkan Yoweri Museveni dengan guna-guna. Alice Lakwena menang di banyak pertempuran melawan pasukan pemerintah sebelum akhirnya kalah di tahun 1997. Dia kabur ke Kenya dan posisinya digantikan Joseph Kony yang mengubah nama kelompok perlawanan Acholi menjadi Lord's Resistance Army (LRA). Selain itu, Joseph Kony juga mengubah ideologi dan cita-cita perlawanan; mengintegrasikan 10 perintah Tuhan sebagai dasar gerakan. Karena perubahan ini, Acholi dan LRA mulai saling menjauhi. Bencana pun dimulai di


19

Acholi. Demi menambah kekuatan, LRA mulai menculik ribuan remaja –terutama dari suku Acholi– untuk dijadikan tentara atau budak seks. Nancy, Rose, dan Dominic hanya tiga dari sekian banyak anakanak Acholi yang menjadi korban perang sipil; kehilangan orang tua, keceriaan, tempat tinggal, dan selalu berada di bawah ancaman penculikan. Kamp pengungsian di bawah pengawasan tentara pemerintah Uganda seperti Patongo menjadi satusatunya tempat yang paling aman. Situasi sosial tempat anakanak Acholi hidup tentu sangat berbeda dengan anak-anak dari wilayah lain di Uganda. Mereka terbiasa dengan perang, hidup di bawah tekanan dan menggantungkan hidup dari bantuan internasional.

Gambar dari potongan-potongan film “War Dance”

Lewat latar sosial-politik di Uganda inilah film dokumenter “War Dance” dikemas oleh Sean Fine dan Andrea Nix Fine. Film ini menyoroti perjuangan sekelompok anak sekolah dasar dari kamp pengungsian Patongo untuk mengikuti sebuah festival seni nasional di Ibu Kota Uganda, Kampala pada tahun 2005. Nancy, Rose, dan Dominic menjadi “aktor utama” dalam film


20

Gambar dari potongan-potongan film “War Dance”

dokumenter ini. Pengalaman tragis mereka dieksplorasi sedemikian rupa dan masing-masing individu leluasa bercerita secara langsung di hadapan kamera. Dengan gaya penggarapan bernada “heroisme” ala Amerika, film ini sekaligus hendak menunjukkan bagaimana “ekspresi estetik” tetap hidup meski di tengah wilayah konflik dan aneka keterbatasan. From Zero to Hero of What? Nancy, Rose, dan Dominic adalah bagian dari orang-orang Acholi yang sejak lahir telah mendengar letusan senjata. Meski begitu, warisan kebudayaan Acholi seperti tari Bwola tetap hidup. Sebagai ritual, tari Bwola hendak mengatasi kesuntukan hidup, membawa keceriaan bagi orang yang mementaskannya. Bwola


21

menjadi ajang “main-main” kelompok penari Sekolah Dasar Patongo, sejenak melupakan kamp pengungsian yang kumuh dan sesak oleh puluhan ribu manusia. Posisi seni di kawasan ini seolah menjadi selingan atau boleh jadi, mekanisme pelarian dari kondisi sosial yang keras. Bwola disebut-sebut sebagai tarian tradisi (kerajaan) yang telah berumur 500 tahun dan diwariskan secara turun-temurun. Tari ini menjadi penanda identitas etnik –menegaskan kedirian sebagai orang Acholi yang terkait dengan tanah kelahirannya– dan spiritualitas orang-orang Acholi. Lewat musik dan tarian Bwola pula, anak-anak Patongo mengatasi rasa takut dan rasa sakitnya. Setidaknya, itu yang dikesankan Nancy, Rose, dan Dominic saat “larut” dalam Bwola.

Gambar dari potongan-potongan film “War Dance”

Selain lewat Bwola dan kesenian lain, film War Dance juga hendak menunjukkan bahwa Kompetisi Tari Nasional di Kampala menjadi semangat baru yang layak dipertaruhkan oleh siswa di Kamp Pengungsian Patongo. Kompetisi itu seperti menjadi ajang untuk membuktikan bahwa mereka bisa melakukan sesuatu yang baik meski hidup di wilayah konflik. Ada kehendak untuk menjadi


22

yang terbaik, menghentak seantero Uganda dengan penampilan mereka seperti tergambar pada diri Domenic yang menaruh minat besar pada alat musik Xylophone. Dominic, dengan semua potensinya, pada akhir lomba memang berhasil dinobatkan sebagai pemain Xylophone terbaik di kompetisi itu. Film ini mampu mengolah peristiwa alamiah menjadi sangat dramatis, seperti dalam salah satu adegan saat para siswa Patongo merasa inferior di hadapan kontestan dari sekolah lain. Siswa dari Patongo merasa inferior karena asalnya dari kawasan yang dilanda perang, terbiasa dengan peristiwa pembunuhan dan kawasannya jauh tertinggal dibanding kawasan lain di Uganda. Mereka berangkat dari Uganda Utara dengan menggunakan truk, berjalan sejauh 200 mil melintasi daerah yang rawan penyergapan kelompok bersenjata. Sejauh itu pula mereka dikawal tentara sampai ke daerah yang relatif aman. Butuh waktu dua hari perjalanan darat untuk mencapai Kampala. Upaya penciptaan peristiwa dramatis dalam film ini nampaknya hiperbolis. Pola film War Dance hampir tidak berbeda dengan pola film-film Hollywood yang sok herois. Ada penderitaan, kerja keras, rintangan, dan akhirnya kemenangan. Hanya saja, dalam War Dance, sekolah dari Patongo tidak menjadi pemenang utama kompetisi seni di Kampala meski berhasil meraih kemenangan di bidang tari tradisi. Namun demikian, dengan segala keterbatasan dan serabut masalah yang dihadapi oleh para pengungsi yang hidupnya dikacaukan perang, Patongo tetaplah pemenang sejati. Film ini didesain untuk menyentil sisi kemanusiaan sekaligus cerita tentang kerja keras dan kemenangan. Lantas, bagaimana jadinya film ini sekiranya

siswa Patongo tidak berhasil menyabet satu pun penghargaan dalam kompetisi seni di Kampala? Apakah War Dance akan kehilangan daya pikatnya sebagai film yang memberi pesan moril tentang kemenangan sebagai resiko logis dari kerja keras dan kesungguhan? Pertanyaan itu mungkin layak diajukan untuk film yang memang menjajakan air mata dan penderitaan demi membangun efek dramatis ini. Bukankah air mata memang jualan yang paling laris di seluruh alam semesta? Mungkin karena itu juga film War Dance memenangkan banyak penghargaan. Penutup Terlepas dari heroisme yang nampaknya sengaja ditonjolkan oleh produser, film War Dance tetap memiliki bagian-bagian menarik yang layak direnungkan. Film ini memang menjadikan kompetisi di Kampala sebagai titik perhatian atau menonjolkan aspek heroisme lewat kompetisi, seolah anak-anak Acholi hanya berjuang untuk memenangkannya. Kita bisa mengambil pijakan lain, memandang bahwa kesenian menjadi bagian kehidupan yang menyenangkan bagi anak-anak Acholi. Seni menyela rutinitas keseharian yang menjemukan dan “mengatasi� teror yang dialami para pengungsi di Patongo. Tari Bwola dan musik yang dibawakan anakanak Patongo boleh dikata mengandung ekspresi kerinduan akan kebebasan. Di tengah keterpurukan, Nancy dan kelompoknya masih mampu membawakan Bwola dengan ceria, tanpa beban. Begitu juga saat bernyanyi atau bermain musik. “Dengan musik, semuanya terasa menjadi baik,� kata Nancy. Bwola dan musik menjadi jalan lain untuk menemukan ketenangan dan kebebasan. Ia mengajak untuk keluar dari


23

rasa takut, menawarkan pengalaman yang lebih menggairahkan. Barangkali, itu yang dimaksud sebagai seni yang menghidupkan.

šSemua informasi mengenai sejarah politik dan pergolakan di Uganda ini disaripatikan dari War Dance Companion Curriculum yang dirilis Amnesty International USA Human Rights Education Program

Gambar dari potongan-potongan film “War Dance�


24

BIENNALE JOGJA Selama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi sangat penting untuk mengukur kemajuan seni rupa Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya untuk menjadikan BJ sebagai rangkuman dari seluruh potensi kreativitas budaya dalam bidang seni rupa Indonesia, Asia maupun dunia. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai rangkaian pameran dengan agenda jangka panjang yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA).

Rangkaian biennale ini akan mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ akan bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman dari negaranegara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan senimanseniman, kelompok-kelompok, organisasiorganisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu Yayasan Biennale Yogyakarta yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negara-negara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negara-negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena


25

kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021), dan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022. Mengapa 'Khatulistiwa'? Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik berangkat untuk mengejawantahkan berbagai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk 'membaca kembali' dunia. Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru.


DOKUMENTASI PENJURIAN SELEKSI DIREKTUR ARTISTIK BIENNALE 2015 FOCUS GROUP DISCUSSION DAN SOSIALISASI BIENNALE JOGJA XIII


27

Kandidiat pesert ujian seleksi Direktur Artistik Biennale Jogja 2015. Atas ke bawah: 1.Ali Umar (Yogyakarta) 2.Frigidanto Agung (Jakarta) 3.Gintani Nur Apresia Swastika (Yogyakarta) 4.Iwan Wijono (Yogyakarta) 5.Jaya Lim (Yogyakarta) 6.Rain Rosidi (Yogyakarta) 7.Wok The Rock (Yogyakarta) 8.Yustoni Volunteero (Yogyakarta)


28


29

Salah satu proses persiapan Biennale Jogja XIII Equator #3 - 2015 adalah mencari Direktur Artistik. Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) menerima 9 lamaran. Pada 7 Mei 2014 telah dilakukan seleksi tahap I dalam format Sidang Umum Terbatas yang terdiri dari Panel Juri dan 30 orang Panel Umum. Satu-persatu secara bergiliran para pelamar melakukan presentasi langsung di hadapan Panel Juri dan Panel Umum. Sidang Umum Terbatas yang dilaksanakan di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta dan berlangsung mulai pukul 09.00 s.d 17.00 itu menghasilkan 3 nama kandidat Direktur Artistik BJXIII dengan proposal terbaik. 3 nama itu adalah Rain Rosidi, Wok The Rock, dan Yustoni Voluntero. Ke 3 kandidat harus melakukan revisi proposal untuk dipresentasikan kembali di hadapan Panel Juri pada tanggal 21 Mei 2014. Panel Juri beranggotakan 7 orang yaitu: Prof. PM Laksono (Antropolog Universitas Gadjah Mada), Alia Swastika (kurator BJXI), Tita Rubi (seniman), Eko Nugroho (seniman), Ong Hari Wahyu (Dewan YBY), Eko Prawoto (Dewan YBY), dan Nindityo Adipurnama (Dewan YBY). Siapakah Direktur Artistik Biennale Jogja XIII terpilih? Kita tunggu saja pengumumannya pada 1 Juni 2014


30


31

Focus Group Discussion (FGD) dan sosialisasi yang diadakan Yayasan Biennale Jogja melibatkan beragam pihak, baik individu maupun komunitas. Tercatat ada tiga kali pertemuan yang dilakukan untuk membicarakan berbagai masalah dan agenda strategis terkait rencana penyelenggaraan BJ XIII. Pertemuan pertama dilaksanakan di Ruang Seminar TBY pada 11 Maret 2014. Ada empat poin yang diagendakan untuk dibicarakan pada pertemuan itu: Mencari format sosialisasi BJ XIII yang paling tepat, materi sosialisasi BJ XIII yang disarankan, mencari narasumber/pemateri yang sesuai dengan format sosialisasi yang diusulkan, dan mencari kriteria Direktur Artistik BJ XIII. Meskipun FGD dimulai dari pukul 09.00-16.00, tidak semua agenda berhasil diselesaikan. Karena itu pihak yayasan kembali mengadakan pertemuan pada 25 Maret di Barak Seni dan 14 April di Studio Lindu Prasekti. Gagasan dan aneka kritik yang muncul dalam tiga pertemuan itu menjadi ‘PR’ baru bagi Yayasan Biennale Yogyakarta.


YAYASAN

YOGYAKARTA

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.