BERHADAP-HADAPAN DENGAN KEKACAUAN

Page 1

ISSN: 9772442302110

THE EQUATOR Vol. 5/No. 3 Juli - September 2017 Terbitan triwulan | GRATIS Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta

BERHADAP-HADAPAN DENGAN KEKACAUAN


2

PENGANTAR REDAKSI Para pembaca yang baik. Biennale Jogja XIV Equator #4 sudah di depan mata. Serangkaian aktivitas yang kami gelar dalam perhelatan ini akan mulai diselenggarakan pada bulan Oktober, dan akan terus berlangsung hingga Desember. Kami tak sabar, energinya begitu besar. Segala sesuatu sedang disiapkan dan tentunya bolehlah Anda sekalian ikut memantau dan berperan serta. “The Equator� edisi ini adalah terbitan ketiga di tahun 2017. Edisi kali ini mencoba mendiskusikan salah satu poin turunan dari tema Biennale Jogja XIV, STAGE OF HOPELESSNESS, yang berkaitan dengan kekacauan dan keputusasaan. Kedua hal ini tak mungkin luput dari keseharian manusia di mana pun berada. Akan tetapi, kekacauan dan keputusasaan bukanlah hal yang gampang dihadapi. Sering kali, keduanya terus dinafikan supaya seakan-akan hidup berjalan lancar dan baik-baik saja. Meski demikian, selalu ada saatnya di mana kekacauan tidak lagi dapat dihindari dan individu harus berhadap-hadapan dengannya secara nyata. Terbitan ini akan menyajikan beberapa cerita tentang bagaimana rasanya mengalami peristiwa berhadaphadapan dengan atau setidaknya menyadari kekacauan dan keputusasaan itu. Kisah-kisah itu dihadirkan lewat beberapa sudut pandang yang memungkinkan kita kemudian mempertimbangkan seperti apa realitas macam itu akan kita pahami, atau bahkan namai. Tulisan pertama dihadirkan oleh seorang sahabat yang kami temui saat kunjungan ke Brasil, yakni Pastor Fernando Doren, SVD. Ia menceritakan bagaimana memandang stigma buruk terkait kekacauan yang dilekatkan pada penjara. Dari pengalamannya mendampingi para narapidana, kisahnyamemotret bagaimana kemanusiaan para narapidana dipersepsi dan dibentuk oleh kondisi penahanan itu sendiri. Ia mencatat bahwa ruang bernama penjara itu tidaklah sepenuhnya berisi kekacauan dan keputusasaan. Tulisan kedua, kebetulan masih berkutat di seputar topik penjara, disajikan oleh A. Harimurti, yang sempat meneliti tentang kasus pembantaian Cebongan, yang sempat ramai sekitar tahun 2013 silam di Yogyakarta. Ia membingkai kisah kekacauan ini dalam persoalan seputar citra pahlawan yang justru disematkan pada mereka yang dianggap tidak taat pada aturan hukum. Selanjutnya, kami memuat sebuah catatan reflektif pribadi dari seorang penulis lagu dan musisi dari skena musik independen Yogyakarta, Sabina Thipani, tentang pengalamannya melagukan realita yang tidak manis. Ia mengisahkan pula pergulatan saat lagu-lagu yang ditulisnya, yang berangkat dari kekacauan serta kemarahan akan kenyataan, secara tidak sengaja berhadap-hadapan langsung dengan para pihak yang dilagukan dan punya andil dalam kekacauan itu. Selain ketiga tulisan di atas, Muhammad Abe, anggota Tim Riset BJ XIV juga membagikan ceritanya berkunjung ke Brasil dalam rangka mempersiapkan kemitraan untuk perhelatan Biennale Jogja XIV. Tak lupa, kami sampaikan pula tema program dan kuratorial yang diusung Biennale Jogja XIV kali ini. Semoga sajian edisi ini mendapat ruang di benak para pembaca sekalian, untuk menginisiasi dialog lebih lanjut tentang tiap-tiap situasi kacau dalam masyarakat yang pernah kita hadapi. Salam, Redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org Juli - September 2017, 1000 exp Penanggung jawab: Direktur Biennale Jogja XIV Equator #4 Redaktur Pelaksana: Maria Puspitasari Kontributor: Fernando Doren, A. Harimurti, Muhammad Abe, Sabina


3

DAFTAR ISI 4|

Penjara dan Manusianya: Antara Institusi Penghukum dan Lembaga Pemasyarakatan Rm. Ferdinand Doren, SVD (Misionaris asal Flores, NTT, bekerja di São Paulo, Brasil. Staf Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Katolik São Paulo)

10|

Kalau Pembantai Jadi Pahlawan Tidak Mau Tahu Atau Tidak Tahu Malu? A. Harimurti (Peneliti di Lembaga Studi Realino)

18|

Kekacauan Ini Sabina Thipani (Penulis lagu, bermusik bersama band Agoni)

24|

Catatan dari São Paulo dan Rio Muhammad Abe (Tim Riset dan Basis Data Biennale Jogja XIV)

30|

BIENNALE JOGJA XIV EQUATOR #4: STAGE OF HOPELESSNESS Indonesia Bertemu Brasil | 2 November – 10 Desember 2017

Thipani Fotografi: Arsip YBY, kontributor, sumber-sumber internet Foto sampul: A. Harimurti Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space,

Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie,

Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM, Angkringan Mojok Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Rumata Artspace, Colliq Puji’e

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

Penjara dan Manusianya: Antara Institusi Penghukum dan Lembaga Pemasyarakatan Rm. Ferdinand Doren, SVD Misionaris asal Flores, NTT, bekerja di São Paulo, Brasil. Staf Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Katolik São Paulo.

Penjara dan manusianya merupakan topik yang sangat kompleks. Untuk menjelaskannya, saya menyajikan tiga fakta dari dunia seberang, Brasil, yang menampilkan tiga model penjara dan output dari tiap-tiapnya, lewat evaluasi kritis saya sendiri berdasarkan pengalaman dan observasi selama beberapa tahun di Brasil. Sebelum masuk ke sana, terlebih dahulu, perlu dijelaskan beberapa terminologi terkait “penjara”.

Indonesia, hukum dan hukuman merupakan dua sisi dari koin yang sama. Di satu sisi, hukum berfungsi sebagai penunjuk jalan, di sisi lain, hukuman adalah koreksi bagi yang keluar dari jalur hukum, konsensus sosial. Dalam pemahaman umum, terhukum dengan sendirinya menjadi terkucil atau, lebih tragis lagi, terkutuk. Sebagai konsekuensi lanjutan, hilang pula integrasinya dengan kelompok sosialnya.

Penjara, Bui, Rutan, Lapas

Penjara merupakan term vulgar, populer, yang mengacu pada berbagai institusi yang ada di bawah koordinasi penegak hukum satu negara, seperti Rumah Tahanan Negara—disingkat rutan—dan Lembaga Pemasyarakatan—disingkat lapas atau LP. Term populer lain yang sering didengar dalam percakapan harian ialah “bui”. Rutan adalah tempat tahanan untuk pribadi yang sedang berada dalam proses penyidikan dan/atau yang sedang menunggu putusan pengadilan. Bila yang bersangkutan divonis bersalah, maka ia akan berpindah ke lapas. Bila sebaliknya, ia akan dibebaskan dan kembali ke tengah kelompok masyarakatnya.

“Penjara” bukanlah kata asing untuk kita. Tatkala masih hidup desa, di pulau Flores, di masa kecil saya, kata ini biasanya membangkitkan kesan seram dan menakutkan. Konotasinya selalu negatif. Penjara diartikan sebagai tempat kurungan sekelompok warga, di mana semua kebebasan dibatasi, sebagai konsekuensi dari delik hukum mereka. Dalam praktik, mereka yang pernah berada dalam lembaga tersebut mendapat stigma negatif, sebagai pribadi bernoda, bercacat, berbahaya dan terkadang harus dihindari. Dalam semua kelompok sosial, diketahui bahwa setiap agresivitas dan pelanggaran terhadap hukum dan perundang-undangan harus ditimpali dengan tindakan pemulihan dan koreksi bagi pelakunya. Oleh karena itu, bisa dimengerti kalau dalam bahasa

Hukum positif sebenarnya tak mengakui konsep dan konotasi penjara, bui, atau rutan pertama-tama sebagai tempat tahanan dan hukuman. Yang sesungguhnya ada, terkait dengan fungsi


5

yuridis institusi penjara, adalah “tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan di Indonesia.” Inilah pengertian Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan pasal 1 UU No. 12 Tahun 1995, butir 3. Dalam artian tersebut, eksistensi lembaga ini sama sekali bukan untuk mencoreng wajah seseorang, melainkan sebaliknya, membantu pribadi tersbut untuk kembali berintegrasi dengan masyarakatnya. Dalam sosiologi, proses ini dikenal dengan sebutan resosialisasi, proses reintegrasi seseorang ke dalam kelompok sosialnya. Sebagaimana dalam sosialisasi, seseorang dibantu untuk mengenal, menerima, dan menghayati nilai-nilai yang dijunjung oleh kelompok sosialnya. Oleh satu pelanggaran, seseorang dipaksa secara hukum untuk melewatinya sekali lagi. Penjara dalam arti inilah yang dianut oleh semua negara di dunia, termasuk Brasil, yang menjadi referensi tulisan ini. Benarkah lapas berhasil menjawab fungsinya dan bagaimana sesungguhnya manusia yang dibentuknya? Beberapa kasus konkret berikut diharapkan bisa membangkitkan refleksi untuk menjawab pertanyaan ini. Untuk selanjutnya, dalam tulisan ini, kita akan memakai terminologi “penjara” dalam pengertian lapas. Penjara sebagai Tempat Pendidikan dengan Sebuah Disiplin yang Ketat, Terkadang Antipedagogis Sejak tahun 2002, sebagai imam misionaris Katolik, sering saya mengunjungi beberapa penjara di Brasil, guna memberikan pendampingan rohani yang dibutuhkan oleh para tahanan tanpa membedakan agama yang bersangkutan. Bagi saya, pengalaman religius seseorang

tidak sepenuhnya terkondisi oleh institusi agama yang dianut. Pengalaman jenis ini bisa melampaui framework yang disajikan oleh doktrin teologis dari agama apa pun. Tak dapat dimungkiri bahwa framework keagamaan bisa menjadi pedoman dan kondisi pengalaman religius, namun dia bukanlah seratus persen elemen penentu. Elemen pribadi dan budaya juga mempunyai andil yang besar dalam pengalaman religius seseorang. Atas pertimbangan inilah, saya memutuskan untuk bermisi melayani narapidana yang ada kota São Paulo, Brasil, dan sekitarnya. Pengalaman awal saya terjadi pada tahun 2002, ketika saya mengunjungi penjara khusus untuk anak remaja di bawah 18 tahun. Di Provinsi São Paulo, penjara ini disebut Lembaga Kesejahteraan Anak Remaja, atau dalam bahasa Portugis disingkat Febem. Di lembaga ini, mereka melewati proses sosial-edukatif, sampai mencapai umur 21 tahun. Dalam tiga tahun, bersama beberapa anak muda yang tergabung dalam kerasulan kaum muda paroki tempat saya bekerja, saya melaksanakan pelayanan ini. Dalam setiap kunjungan, sekitar seratus warga Febem dikumpulkan di satu patio, di tengah bangunan penjara. Di sana, dilaksanakan dinamika kelompok untuk pengenalan diri sendiri dan orang lain. Karena hampir semuanya beragama Kristen, meskipun dari denominasi berbeda, mereka diperkenalkan juga dengan pelbagai kisah dan renungan dari Alkitab, yang bertujuan untuk mengingatkan mereka akan kasih Allah atas manusia, tanpa mempertimbangkan besar kecilnya kesalahan manusia. Aktivitas seperti ini biasanya diteruskan dengan nyanyian, tarian, teater, dan cerita


6

lelucon. Kunjungan dan kegiatan itu biasanya ditutup dengan perayaan ekaristi, yang diadaptasikan dengan situasi penjara dan publik yang tidak semuanya Katolik. Sebagai imam Katolik, tugas utama saya ialah mendengarkan satu per satu warga penjara tersebut, dalam sebuah ruangan khusus. Dalam pembicaraan pribadi inilah, kemanusiaan seseorang menjadi nyata. Setiap pribadi memiliki cerita istimewa, yang melampaui pandangan umum masyarakat terhadap para tahanan. Hampir tak seorang tahanan pun bebas dari rasa bersalah dan keinginan untuk bertobat, untuk selanjutnya kembali berintegrasi dengan masyarakat. Walaupun sarana dan prasarana pendidikan dan kehidupan disiapkan—terbatas tentunya—namun kebebasan bergerak (pergi dan pulang) merupakan sesuatu yang tak tergantikan. Oleh karena itu, keluhan terhadap ketidakbebasan lahir dari setiap anak remaja itu. Ketidakbebasan itu didukung pula oleh situasi fisik: bangunan tembok yang tinggi mengelilingi kompleks Febem. Tembok itu masih dilengkapi pula dengan jaringan kawat elektrik berduri, disertai penjaga bersenjata lengkap di setiap menara kontrol yang dibangun di semua sudut. Sebagai tambahan, CCTV juga dipasang di berbagai pelosok untuk mengontrol setiap gerak-gerik penghuninya. Dalam seluruh rangkaian kegiatan yang kami adakan, hadir selalu petugas dan pengawas penjara, dalam siaga penuh, untuk mencegah kemungkinan pemberontakan dan aksi makar. Sebelum masuk untuk pembicaraan pribadi dengan saya, misalnya, setiap orang harus melewati pemeriksaan ketat, apakah tak membawa benda metal atau benda tajam lain yang bisa membahayakan fisik orang lain.

Sementara itu, sebagian besar dari mereka juga cemas akan pandangan manusia lain tentang diri mereka di masa-masa mendatang. Mendengarkan ungkapan kecemasan mereka, saya teringat akan lirik lagu Orang-Orang Terkucil gubahan Ebiet G. Ade: “Kini aku pulang, semoga dapat diterima. Ingin kubuktikan maknanya bertobat... ingin kubaktikan sisa hidupku untuk kebajikan. Namun, ternyata apa yang kuterima? Semburan ludah, sumpah serapah... Ternyata, jiwaku tetap terpidana. Sesungguhnya, aku t´lah mati dalam hidup.” Keseluruhan elemen yang digambarkan di atas, dalam pengamatan saya, berdampak antipedagogis. Saya tetap yakin bahwa situasi opresif yang ditandai dengan ketakutan sama sekali tidak kondusif untuk proses pendidikan. Sebaliknya, pendidikan yang baik membutuhkan situasi kebebasan dan kepercayaan. Berbagai “riot” atau pemberontakan dalam Febem merupakan pembuktian empiris akan hal itu. Dalam tiga tahun (2003-2005), di beberapa Febem di negara bagian São Paulo, tercatat 167 pemberontakan besar-besaran yang menelan korban jiwa dan melibatkan pasukan khusus untuk meredakannya. Di setiap pemberontakan, selalu saja dituntut agar pendisiplinan tidak disamakan dengan penindasan. Kesimpulannya, seluruh sistem penjara perlu ditinjau kembali dari kategori ini, teristimewa pembatasan kebebasan yang diaplikasikan di sana. Penjara sebagai Sekolah Kejahatan Bentrokan antar “geng” narkoba di penjara Anisio Jardim, di Kota Manaus, AM, Brasil, yang terjadi pada 1 Januari 2017, sungguh menarik perhatian internasional. Dalam peristiwa ini, 56 orang tahanan terbunuh. Kerusuhan serupa terjadi beberapa hari


7

kemudian di Lapas Agricola, Monte Cristo, RR, di mana 31 napi terbunuh secara kejam. Apa yang terjadi di sana hanya merupakan “puncak gunung es” dari permasalahan struktural hukum kriminal di negara ini. Adapun beberapa permasalahan bisa diidentifikasikan di sini. Pertama, saat ini, rata-rata setiap harinya terbunuh seorang tahanan. Brasil merupakan negara keempat di dunia yang paling banyak menggiring warganya ke dalam penjara, sebuah rekor yang hanya terlampaui oleh AS, Cina, dan Rusia. Kedua, berdasarkan data yang diolah oleh Forum Keamanan Masyarakat Brasil, antara tahun 1999-2014, jumlah tahanan melonjak tiga kali lipat—kini mencapai 579.243. Sementara itu, kapasitas lapas hanya untuk 375.892 orang. Data ini menunjukkan bahwa ada defisit 203.531 tempat untuk para tahanan di seluruh Brasil. Ketiga, mandek dan molornya sistem peradilan mempunyai andil besar dalam menyelesaikan masalah kapasitas yang penuh sesak sebagaimana disinggung sebelumnya. Dari sekian banyak warga penjara, lebih dari 220.000 masuk dalam kategori tahanan temporer dan preventif, yang menantikan putusan pengadilan. Sekitar 35% warga lapas tidak seharusnya berada di sana. Mereka tidak dipisahpisahkan lagi berdasarkan kategori kriminalitas. Keempat, semua permasalahan di atas bermuara pada jeleknya kapasitas dan fasilitas (seperti ruang tidur, sanitasi, dan makanan) yang tidak memadai untuk mengakomodasi kebutuhan populasi yang berlebih itu. Ditambah lagi, rasio jumlah tahanan dan petugas penjara tidak berimbang.

Sebagai konsekuensi lanjutan, oleh para tahanan kelas berat, penjara dimanfaatkan sebagai sekolah kriminal dan pembentukan geng. Para tahanan kelas teri direkrut untuk memperkuat geng-geng kelas kakap, lewat indoktrinasi dan paksaan. Demi memperoleh perlindungan dan kenyamanan dalam penjara, setiap mereka tak punya pilihan selain menjadi anggota geng tertentu. Geng yang ada di dalam penjara biasanya juga memperluas eksistensinya di luar penjara dan beraksi di tengah masyarakat. Keberadaan geng merupakan jaminan buat keluarga para tahanan dalam hal keamanan, perekonomian, dan kebutuhan lainnya. Kegagalan struktural dalam penanganan delik hukum dan kriminalitas bisa membuka ruang untuk para tahanan mencari jalannya sendiri, dan tak jarang masuk ke “sekolah” kejahatan. Lapas yang semestinya menjadi lembaga resosialisasi dan reintegrasi malah mengarahkan warganya ke tujuan yang berlawanan. Penjara sebagai Tempat Pertobatan dan Reintegrasi Beberapa waktu lalu, saya dihubungi oleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brasil, untuk mendapatkan advokat yang bisa mendampingi seorang warga negara Indonesia, wanita, yang oleh pengadilan negeri São Paulo sudah dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun dan 1 bulan. Sebagai catatan kecil, advokat tidak dibutuhkan hanya sebagai pembela dalam proses pengadilan, tapi juga sebagai pendamping selama terhukum menjalani masa tahanan. Hanya dengan bantuan advokat, seorang tahanan bisa mengajukan permohonan remisi yang dijamin oleh undang-undang. Dengan perantaraan seorang advokat, tahanan


8

bisa mengeluhkan perlakuan yang tidak sesuai dengan etika dan tata aturan penjara kepada pihak yang berwajib. Seorang advokat dibutuhkan untuk mengajukan permohonan peralihan status tahanan: tahanan kota, bebas bersyarat, dan lain sebagainya. WNI yang bersangkutan, sebut saja Nikky, dihukum dan dipenjarakan karena tertangkap di bandara internasional SĂŁo Paulo, membawa dalam kopernya 3,5 kg narkotik-kokain. Menurut cerita, dia sedang dalam perjalanan kembali dari salah satu negara Amerika Latin menuju Indonesia dan harus transit di SĂŁo Paulo, Brasil. Di SĂŁo Paulo, salah satu kopernya dideteksi mengandung substansi yang mencurigakan. Perjalanannya akhirnya diinterupsi, sebelum mencapai tujuan yang direncanakan. Terlepas dari soal bagaimana sampai Nikky terperangkap dalam kasus internasional “drug traffickingâ€?, kita mau mengarahkan perhatian kita pada perihal penjara, pengalaman, dan dampaknya dalam kehidupan Nikky. Saat ini, sudah lebih dari setahun, Nikky berada dalam status kebebasan bersyarat. Dia tinggal di sebuah rumah kontrakan dan beraktivitas layaknya warga lain, hanya saja diwajibkan untuk melaporkan diri ke Federal Police, setiap tiga bulan. Selama 4 tahun mendampingi Nikki, saya mencatat beberapa hal dari observasi saya dan apa yang diceritakan langsung oleh Nikky. Pertama, menurut pengakuan Nikky, penjara untuk perempuan yang ditempatinya tidaklah setraumatis yang dia saksikan di film atau dengar dari pelbagai cerita. Bangunan fisik penjara terawat baik dan tak ada keluhan menyangkut

kebersihan lingkungan. Meskipun, harus berbagi sel dengan beberapa tahanan lain, yang umumnya orang asing (Nigeria, Filipina, Thailand, dll.), tak ada kendala berarti yang mempersulit relasi di antara mereka. Kedua, rutinitas penjara diatur dalam jadwal, dengan aktivitas yang bervariasi, sehingga tidak membosankan. Ada waktu untuk belajar, sesuai dengan kurikulum umum dan pelajaran bahasa nasional, Portugis. Ada waktu untuk membaca, bekerja, olah raga, rekreasi, coffee-break, dan istirahat. Menurutnya, dinamika keseharian seperti ini sangat mempermudah dalam menghadapi masa tahanan. Dalam kaitan dengan kerja, setiap tahanan ditempatkan di pos-pos pilihan, sesuai dengan kemampuan yang bersangkutan. Untuk setiap tiga hari kerja, mereka diberi remisi satu hari tahanan. Di samping itu, mereka masih diberi gaji sesuai dengan standar gaji nasional. Menurut Nikky, itu sangat membantu. Dengan gaji tersebut, Nikky masih bisa, menyicil utang kartu kreditnya tanpa harus membebani keluarganya di Indonesia. Ketiga, sebagai seorang muslim, tak pernah ada halangan untuk dia melaksanakan kewajiban agamanya di dalam penjara. Namun, semuanya harus disesuaikan dengan tuntutan keamanan di sana. Pernah, bersama staf KBRI, kami membawakan mukena untuk kebutuhan salatnya. Namun, di pintu masuk mukena ditahan karena dianggap membahayakan integritas fisik tahanan. Kami tidak permasalahkan hal itu, karena yang jadi pertimbangan adalah keamanan warga tahanan. Kejadian serupa juga terjadi ketika harus merayakan ekaristi di Febem. Saya diminta untuk menggantikan anggur


9

misa dengan jus anggur. Terkadang, tuntutan satu agama harus tunduk pada tuntutan kebersamaan pelbagai agama. Keempat, lain dari yang pernah didengarnya, Nikky mengalami perlakuan yang sangat baik dan penuh hormat dari para pegawai dan petugas keamanan penjara. Selama lebih dari tiga tahun menjalani masa tahan tertutup, dia tak pernah menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh para petugas penjara. Dia malah merasa bersyukur bahwa dia ditangkap dan ditahan di Brasil. Dia tidak bisa membayangkan apa yang harus dia lalui seandainya tertangkap dan dihukum di Indonesia. Menurutnya, masa tahanan itu juga menjadi kesempatan untuk memperbarui diri, mengubah arah hidup; sebuah pengalaman pertobatan. Mungkin pengalaman Nikky ini bisa menjadi acuan bagi para penegak dan pelaksana keputusan hukum di Indonesia untuk meninjau kembali penerapan hukuman mati atas seseorang. *** Pengalaman Nikky menunjukkan wajah penjara di Brasil yang bersahabat, berbeda dari dua situasi terdahulu, Febem dan lapas pada umumnya. Kontras di antara kedua wajah ini menunjukkan bahwa sejauh struktur penjara dan sistem peradilan dilaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan, penjara sesungguhnya bisa menjalankan fungsi utamanya sebagai lembaga reintegrasi atau lembaga pemasyarakatan. Sementara itu, masyarakat pun harus terbuka terhadap pembaruan diri yang dialami seseorang dalam penjara. Stigma buruk yang biasanya dikenakan masyarakat pada

seorang mantan narapidana bisa memperpanjang masa penjara yang bersangkutan dan menutup kemungkinan untuk orang itu kembali berintegrasi dengan masyarakatnya. Jangan sampai tragedi “sesungguhnya, aku t'lah mati dalam hidup� tetap menjadi realita yang dihidupi para mantan napi. Keterbukaan untuk menerima dan membantu mereka dalam proses reintegrasi merupakan apa yang selalu mereka harapkan. Mengakhiri tulisan ini, saya hanya ingin mengutip apa yang dikirim oleh Nikky dalam salah satu status Facebook-nya, menanggapi keterbukaan saya dan rekan saya, Maria Antonia, dalam menerimanya: “Saya tak memiliki anggota keluarga di negara ini. Namun, pribadi-pribadi ini telah menopang dan menguatkan aku, sehingga kutemukan lagi optimisme hidup. Terima kasih atas penerimaan dan kasih sayang, tanpa mempertanyakan dari mana aku dan masa laluku. Semoga Allah selalu memberkatimu. Kasihku selalu untukmu!�


10

Kalau Pembantai Jadi Pahlawan Tidak Mau Tahu atau Tidak Tahu Malu? 1 A. Harimurti (Peneliti di Lembaga Studi Realino) Delapan belas tahun setelah pembantaian 1965, terjadi Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang dikenal sebagai Petrus (Penembak[an] Misterius). Operasi ini berawal dari Yogyakarta dan dipimpin oleh seorang Komandan Kodim 0734, Letkol M. Hasbi, untuk kemudian merambah ke kota-kota besar seperti Solo, Bandung, Jakarta, dan Medan dari bulan Maret 1983 hingga tahun 1984.² Lima belas tahun setelah reformasi, peristiwa pembantaian yang melibatkan militer dengan pola yang berbeda kembali terjadi. Dukungan untuk Kopassus dan pelabelan citra preman pada "musuhnya" di Pengadilan Militer II Yogyakarta, 5 September 2013. Dok: A. Harimurti

Pada tanggal 23 Maret 2013, Lembaga Pemasyarakatan Cebongan diserang oleh sekelompok orang yang kemudian teridentifikasi sebagai anggota Kopassus (Komando Pasukan Khusus). Serangan tersebut menewaskan empat tahanan kasus pembunuhan terhadap seorang anggota Kopassus, Sersan Kepala (Serka) Heru Santoso, yakni Hendrik Benyamin Angel Sahetapi


11

alias Diki Ambon (31 tahun), Adrianus Candra Galaja alias Dedi (33 tahun,) Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi (29 tahun), dan Yohanes Juan Manbait alias Juan (38 tahun). Meskipun demikian, pembantaian ini justru diikuti dengan kemunculan dukungan oleh elemen masyarakat di Yogyakarta yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Keistimewaan (Sekber Keistimewaan). Perayaan pembantaian ini dilakukan lewat eksploitasi istilah “preman� untuk menyebut para tahanan yang mati dibantai. Para korban pembantaian ditempatkan sebagai pihak yang tidak bermoral dan layak untuk dibantai. Bahkan, para pembantai justru dielu-elukan sebagai kesatria yang menyelamatkan masyarakat Yogyakarta dari aksi premanisme. Mengapa pembantaian-pembantaian yang melibatkan militer terjadi berulang di Yogyakarta? Mengapa pembantaian Cebongan memperoleh dukungan sekaligus pengabaian dari sebagian kalangan warga Yogyakarta? Mengapa muncul dalih bahwa kriminalitas di Yogyakarta meningkat sebelum terjadi pembantaian dan menurun setelahnya? Mengapa pembantaian Cebongan menegaskan bahwa Yogyakarta memang sebenar-benarnya istimewa sehingga keamanan dan ketenteramannya perlu dijaga? Tulisan ini berminat untuk menjawab mengapa pembantaian Cebongan justru diceritakan sebagai kisah kepahlawanan. Penyingkiran para korban pembantaian Cebongan muncul dalam wacana preman kontra pahlawan. Para korban yang dilabeli preman diasosiasikan dengan para pendatang asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Penyingkiran ini bisa dijelaskan

lewat alam pikir fantasmatik gerakan pendukung pelaku pembantaian maupun para pelaku pembantaian. Sebab itu, sebelum menjawab pertanyaan yang telah disebut sebelumnya, perlulah dijabarkan singkat soal fantasi gerakan pro-Kopassus dalam pembantaian ini. Setidaknya, ada empat bentuk fantasi yang mendasari terjadinya dukungan terhadap pembantaian. Pertama berkaitan dengan pelaku pembantaian yang difantasikan sebagai pahlawan, yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini. Kedua adalah fantasi mengenai pembelaan kepentingan orang banyak, yang dalam hal ini terkait dengan 'jiwa korsa', yakni istilah militer untuk membela dan bersolidaritas terhadap sesama anggota korps. Kedua fantasi yang berkaitan dengan pelaku pembantaian didukung dengan formasi fantasi ketiga yang berkaitan dengan pendatang yang secara khusus merujuk pada para “premanâ€? asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Lantas, bentuk fantasi keempat dapat ditemukan dalam kaitannya dengan bagaimana menjadi subjek Yogyakarta yang ideal menurut gerakan pendukung pembantaian, yakni subjek yang njawani.Âł Meskipun demikian, fantasi mengenai subjek ideal ini berlangsung bukan hanya saat riuhnya wacana pembantaian Cebongan, namun juga dalam praktik kehidupan sehari-hari. Ketika berbicara soal mengapa sebuah tindakan pembantaian diceritakan sebagai sebuah kisah kepahlawanan, pertanyaan pertama yang mungkin muncul adalah: Apakah pembantai ini memang pahlawan? Sebagai sebuah istilah yang butuh kesepakatan dalam dunia simbolik, pertama-tama mestilah disadari bahwa seorang pahlawan menjadi benar-benar


12

Dukungan untuk Kopassus dan pelabelan citra preman pada "musuhnya" di Pengadilan Militer II Yogyakarta, 5 September 2013. Dok: A. Harimurti

pahlawan ketika orang-orang memperlakukannya laiknya pahlawan. Orang tersebut tidak menjadi pahlawan semenjak lahir, melainkan ia menduduki tempat pahlawan dalam rangkaian hubungan sosio-simbolik. Masyarakat dianggap sebagai subjek yang diandaikan percaya bahwa mereka adalah pahlawan. Pahlawan ini mampu menggantikan masyarakat Yogyakarta untuk melakukan tindakan primitif yang melibatkan fisik sehingga orang lainnya mendapatkan ruang untuk menikmati kebebasannya (primordial substitution). Awalnya, para pelaku pembantaian tidak diperlakukan layaknya pahlawan. Bahkan sebaliknya, sebelum para pelaku teridentifikasi sebagai anggota Kopassus, mereka dinyatakan sebagai pengacau yang menebar teror. Tidak bisa i dimungkiri bahwa pertanyaan-pertanyaan di atas berujung pada: mengapa terjadi alih-ubah dari pembuat teror menjadi pahlawan? Pahlawan dalam pembantaian Cebongan merupakan sosok yang mengalami mistifikasi. Bahkan, para pembantai justru ditempatkan


13

sebagai penyelamat yang mendatangkan berkah dengan membuat Yogyakarta menjadi aman. Tidak diketahui kapan muncul, namun membawa aman, nyaman, damai, dan tenteram. Pahlawan dalam wacana seputar pembantaian Cebongan ini berada dalam momen saat Yogyakarta membutuhkan “tokoh, entah perorangan entah institusi, yang bisa menyelamatkan Jogja dari kriminalitas” .4 Meskipun demikian, tindak kriminalitas yang meningkat tajam, yakni 193,98% pada tahun 2014,5 menunjukkan bahwa pembantaian Cebongan bukannya mengatasi kriminalitas di Yogyakarta. Perlu dicatat bahwa gagasan balas dendam yang dilakukan prajurit Kopassus, yakni Sersan Dua (Serda) Ucok dkk., awalnya dilihat sebagai bentuk kriminalitas. Namun, ketika mendapatkan dukungan, balas dendam ini menjadi sesuatu yang terampuni—bahkan sesuatu yang lumrahlumrah saja. Terjadi perubahan makna sosial ketika aksi balas dendam ini ditempatkan dalam sebuah konteks individu dan kemudian menjadi aksi kolektif. Sesuatu yang tadinya tabu menjadi prestasi heroik atau bahkan kewajiban mulia seorang prajurit yang mengangkat tinggi jiwa korsa mereka.6 Setidaknya ada dua kategori penting terkait dengan peristiwa pembantaian dan dukungan yang mengikuti, yakni keistimewaan dan jiwa korsa.7 Menjadi Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan tenteram mewakili apa yang dinamakan oleh gerakan pendukung pembantaian Cebongan sebagai keistimewaan. Sementara “kesatria [yang] telah mengakui perbuatannya” dan “siap mempertanggungjawabkan apa pun risiko

atas dasar kehormatan prajurit ksatria” mewakili apa yang disebut sebagai jiwa korsa-nya Kopassus. Keduanya berpadu membentuk sebuah introyeksi 8 mengenai bagaimana Yogyakarta menjadi 'Yogyakarta' simbolik atau Yogyakartayang-ideal. Introyeksi ini menciptakan sebuah moralitas paling tinggi yang mengganti dan meruntuhkan sistem moralitas umum demi kepentingan Yogyakarta. 9 Bagaimana dengan jiwa korsa sendiri? Pendefinisian dan munculnya konsep preman dihadapkan dengan jiwa korsa—yang didefinisikan sebagai semangat untuk “membantu, melindungi, berbagi, mengingatkan, menjaga [atau] dengan kata lain senasib, sepenanggungan untuk bersama dalam satu unit memenangkan pertempuran.” 10 Frasa “dalam satu unit memenangkan pertempuran” mengindikasikan bahwa jiwa korsa merupakan sentimen solidaritas kelompok. Penggunaan istilah jiwa korsa menunjukkan bahwa terdapat retakan dalam ruang sosio-simboliknya yang memungkinkan jiwa korsa ditafsir sesukanya dan menjadi penanda mengambang yang bisa diisi berdasarkan kepentingan pihak penafsir. Retakan inilah yang memungkinkan jiwa korsa melumrahkan apa yang di depan moralitas kebanyakan dinilai salah. Orang dengan mudah akan berpikir bahwa penyerangan Lapas Cebongan tidak direncanakan 11 atau perbuatan pelaku merupakan respons atas pembacokan Sersan Satu (Sertu) Sriyono (kemudian Serka Heru Santoso) oleh Diki dkk. yang dilandasi jiwa korsa. Pengejawantahan jiwa korsa ini bisa diamati dalam kisah Sertu Tri Juwanto dan


14

Serda Ucok Simbolon. Sertu Tri Juwanto mengungkapkan bahwa secara pribadi dia terganggu dengan berita yang menimpa Sertu Sriyono.12 Serda Ucok Simbolon juga mengaku bahwa Sertu Sriyono adalah sahabat sejatinya, selain itu Ucok merasa kesatuannya dilecehkan.13 Pelecehan Sriyono berarti pelecehan korps, kesamaan arti keduanya memunculkan emosi—yang dianggap wajar karena didahului jiwa korsa—lalu meluap jadi agresi yang destruktif. Seorang prajurit mesti memegang teguh jiwa korsa, yang tidak sama artinya dengan memegang teguh hukum yang berlaku. Istilah keistimewaan dan jiwa korsa yang ditafsirkan oleh gerakan pendukung pembantaian Cebongan dengan demikian melegitimasi dan membalikkan gagasan mengenai kriminalitas. Ancaman dari musuh yang sama, yakni Diki dkk., menjadikan pembantaian ini suatu hal yang mulia baik bagi Kopassus maupun gerakan elemen masyarakat Yogyakarta yang mendukungnya. Pembantaian ini justru menjadi cara memberikan pelajaran bagi orang-orang yang tidak bisa diatur sehingga kegusaran para pendukung pembantaian bisa terpuaskan. Keadaan yang menunjukkan bahwa pembantaian ini adalah sesuatu yang mulia, oleh Ruth Stein disebut sebagai kondisi perkecualian (state of exception) dikarenakan adanya superlaw (hukum di atas hukum).15 Kondisi perkecualian ini memungkinkan terjadinya pelanggaran hukum, solidaritas, maupun hak asasi manusia. Pembantaian menjadi bukan lagi sekadar pembantaian, melainkan sebuah cerita kepahlawanan yang dielu-elukan.

Namun, mengapa pemahaman bahwa sebuah pembantaian adalah pelanggaran terhadap HAM justru dinafikan? Dalam tubuh TNI sendiri, sejarah buruk pelanggaran HAM menjadi persoalan yang sampai saat ini senantiasa diperdebatkan. Meskipun penghormatan terhadap HAM juga mulai tertanam di TNI, namun pandangan bahwa HAM menjadi musuh utama TNI juga masih hadir. Seorang anggota Kostrad mengatakan bahwa 'musuh utama kami [TNI] adalah HAM'; 16 atau Kapten Kopassus yang berziarah ke makam Jenderal Sudirman mengatakan kepada seorang anggota gerakan proKopassus bahwa mereka dididik untuk membunuh, namun demi kepentingan orang banyak. Dalam pengertian ini, ada gagasan yang tampak tumpang-tindih: “jangan membunuh, kecuali demi kepentingan orang banyak.” Dengan kata lain, “membunuh boleh-boleh saja, asal dibutuhkan oleh sebagian besar anggota masyarakat.” Beberapa anggota gerakan pro-Kopassus menyampaikan bahwa mesti ada pemisahan antara HAM dan kepentingan keistimewaan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa HAM memang menjadi isu yang penting.17 Bahkan ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila sempat diusir dari Yogyakarta karena menyatakan bahwa pembantaian tersebut bertentangan dengan HAM. Hal tersebut menunjukkan adanya penarikan diri dari para pendukung Kopassus, bahwa ada suara lain yang dengan sengaja ditekan supaya tidak lagi menimbulkan kebimbangan (disavowal of an uncomfortable proximity).18 Mangkirnya suara lain (dan berisik!) ini membentuk penyangkalan bahwa apa yang menjadi pengetahuan bersama tidak perlu diketahui


15

(fetishistic disavowal). Lantas, gerakan pro-Kopassus sebenarnya mengetahui telah terjadi pelanggaran HAM, namun karena tidak mau tahu kalau mereka tahu, maka mereka bertindak seolah-olah mereka tidak tahu.19 Ke-tidak-mau-tahu-an ini boleh jadi sebagai dampak dari adanya musuh bersama dan mengikuti logika jiwa korsa yang dilakukan oleh pelaku pembantaian. Dengan tidak-mautahu, maka penciptaan rasa kapok terhadap preman yang dianggap menganggu Yogyakarta dapat terartikulasikan.

Elemen masyarakat sipil (paramiliter) yang menjadi perangkat dukungan bagi Kopassus dalam sidang pembacaan vonis terdakwa kasus pembantaian Cebongan. Dok: A. Harimurti

Apabila diperhatikan, hubungan antara Kopassus dengan gerakan pro-Kopassus ini layaknya penonton dengan pemain ketoprak. ᾢ Proses pengadilan para pelaku pembantaian diperlakukan layaknya pertunjukan drama dengan ritual yang penuh sorak-sorai perayaan pembantaian. Perayaan dan ritual dukungan dilakukan bukan hanya di jalanan, melainkan juga di dalam persidangan dengan saksi dari beberapa pihak yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan pembantaian.20 Berbeda dengan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri ABRI (FKPPI), Pemuda Pancasila (PP), atau Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam) yang memang melibatkan pihak militer dalam pembentukannya, Sekber


16

Keistimewaan merupakan elemen masyarakat yang berdiri atas dasar kepentingan keistimewaan. Artinya, hubungan antara Sekber dengan Kopassus lebih lentur dan bisa renggang kapan saja. Beberapa anggota Sekber bahkan lahir dari aktivis yang anti-rezim militer Orde Baru. Boleh jadi, dalam momen selanjutnya, Sekber berada di pihak yang bertentangan dengan Kopassus, tapi mungkin saja pertalian berbasis kepentingan yang sama kembali terjadi. Penciptaan hubungan ini juga terjadi lewat ziarah yang secara khusus terjadi dalam rangkaian pembantaian Cebongan. Pada tanggal 18 Juni 2013, 12 tersangka dipindahkan dari Mako Denpom IV/5 Semarang ke Denpom IV/2 di Jalan Magelang. Pada hari yang sama, para prajurit Kopassus melakukan ziarah ke makam Jenderal Sudirman di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusumanegara. Tidak hanya prajurit, gerakan proKopassus juga turut serta dalam peziarahan ini. Menurut para prajurit, ziarah dilakukan sebagai wujud solidaritas dan dukungan morel. Ziarah merupakan salah satu strategi politik dengan tujuan yang sangat beragam. Pada zaman Soekarno, ziarah menjadi “praktik populer untuk mengenang dan menghormati korban-korban perang kemerdekaan.” 21 Karena perang kemerdekaan yang terjadi tidak terpusat, maka ziarah dilakukan di lingkup komunitas lokal di mana pejuang antikolonial dimakamkan. Tujuannya adalah “membawa ke permukaan suatu penyatuan secara nasional melalui simbolsimbol baru.” Tujuan tersebut akan sangat berbeda dengan ziarah yang terpusat seperti di Lubang Buaya, Kalibata, atau

Kusumanegara, yang arahnya adalah “mendominasi simbol-simbol kekuasaan.” 22 Ziarah adalah ritual yang “merepresentasikan mode memori untuk menciptakan suatu arti komunitas.” 23 Dengan ziarah, maka ingatan dapat terorganisasi dan membentuk ingatan bersama dalam anggota komunitas yang mengingat. Cara menggunakan simbol kekuasaan lewat ziarah ke makam Jenderal Sudirman ini menunjukkan bahwa figur-figur nenek moyang ini sebenarnya tidak mati atau lebih tepatnya tidak bisa mati. Mereka hanya ada berada di suatu tempat yang “tidak di sini” namun sewaktu-waktu bisa dipanggil ulang. Pemanggilan ulang lewat ziarah ini diharapkan akan meringankan hukuman para pelaku, dengan pengandaian figur kematian ini memiliki kuasa untuk mengubahnya. Di sinilah pembalikan fetisistik terjadi; bukan kenyataan bahwa figur kematian yang salah dimengerti, melainkan fantasi mengenai figur kematian ini yang menyusun kenyataan.24 Dalam hal ini, fantasi membangun sebuah dunia di mana figur kematian tidak melakukan apa pun untuk memperingan hukuman, namun, meskipun demikian mereka diyakini akan melakukannya. Singkat kata, pembantaian ini dielu-elukan karena Yogyakarta dianggap berada dalam kondisi perkecualian. Kondisi perkecualian ini memungkinkan pihak otoritas Kopassus sebagai institusi negara masuk sebagai pahlawan. Masuknya jejaring otoritas ini menjadikan kekuasaan lama semakin ditegaskan, yakni dengan cara menjaga tatanan tetap stabil dan mewujudkan ketertiban. Demi kepentingan tatanan


17

keamanan dan ketertiban tersebut, maka pengetahuan mengenai HAM tidak lagi penting, bahkan orang mesti abai atau tidak-mau-tahu soal HAM. Lebih penting adalah tatanan tetap tersusun rapi. Di sinilah masalah utama muncul: orang menjadi tidak malu untuk membela pembantaian. Sebenarnya, tidak-mau-tahu atau tidak-tahu-malu? _______________________________________________________ 1

Tulisan ini dicuplik dari bagian tesis berjudul “Merayakan Pembantaian Preman: Fantasi dalam Penyerangan Lapas Cebongan” (2017), Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.

2

Siegel menyebutkan bahwa Petrus merupakan neologisme dari penembak(an) dan misterius. Benedict Anderson menyebutnya sebagai “A grim joke of the time called the soldiers-in-mufti death-squads Petrus—as in St. Peter—an acronym derived from Penembak Misterius, Mysterious Killers.” Lihat dalam James T. Siegel, A New Criminal Type in Jakarta: Counter-Revolution Today (Durham, NC: Duke University Press, 1998), hal. 104; juga dalam Benedict Anderson, “Petrus Dadi Ratu”, dalam Indonesia, Volume 70 (October 2000), hal. 5. 3 'Njawani' (mirip orang Jawa) berarti telah relevan untuk menjadi orang Jawa atau kualitas kejawaannya tidak lagi perlu dipertanyakan. Penyebutan 'njawani' menunjukkan bahwa Jawa asli tidak benar-benar ada, yang ada hanya mendekati Jawa. 4 Wawancara dengan Subjek 1. 5 Lihat dalam Seksi Statistik Ketahanan Nasional & Bidang Statistik Sosial, Statistik Politik dan Ketahanan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 (Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2015), hal. 10. 6 Ruth Stein, For Love of the Father: A Psychoanalytic Study of Religious Terrorism (Meridian: Crossing Aesthetics) (California: Stanford University Press, 2010), hal. 108. 7 Istilah 'Jiwa Korsa' menjadi populer dalam wacana pembantaian Cebongan setelah sidang tanggal 20 Juni 2013. Mereka berteriak bahwa yang dilakukan para terdakwa tidak terencana seperti dakwaan. "Yang dilakukan para terdakwa disemangati jiwa korsa," kata salah seorang anggota ormas. Jiwa korsa adalah solidaritas kelompok yang ditanamkan dalam pendidikan kemiliteran untuk saling melindungi dan membantu bahkan hingga mempertaruhkan nyawa. Lihat dalam Jun Honna, Military Politics and Democratization in Indonesia (Oxon & New York: RoutledgeCurzone, 2003), hal. 65. 8 Dalam fantasi, intoyeksi berarti pengubahan kualitas objek luar untuk kemudian diinternalisasi ke dalam diri subjek. Lihat dalam dalam J. Laplanche & J.B. Pontalis, The Language of Psychoanalysis (London: Hogarth, 1967), hal. 229. 9 Ibid., hal. 110. 10 TB Hasanudin dalam http://www.viva.co.id/ramadan2016/read/403014-jiwa-korsakopassus-apa-itu. Lihat juga kesaksian dalam johanheru.blogspot.com oleh seorang saksi pembunuhan di Hugo's Café yang justru mempertanyakan semangat solidaritas. Dalam perkelahian di Hugo's Cafe diceritakan bahwa Serka Heru datang bersama empat orang lainnya yang kemudian meninggalkan Serka Heru sendiri.

11 Dalam persidangan pembantaian Cebongan ini dikatakan tidak terencana, namun akan sulit untuk mempercayaianya apabila mendengar isu mengenai prajurit Kopassus yang lima hari sebelumnya bersiap datang ke Yogyakarta dan ada pertemuan antara Pangdam dengan Kapolda. 12 Kedaulatan Rakyat, 18 Juli 2013, “Saksi Kasus Cebongan: Penyerangan Didasari Jiwa Korsa”. 13

Tribun Jogja, 24 Juli 2013, “Serda Ucok Mengaku Menyesal”. 14 Dalam cerita keseharian masyarakat Indonesia (Jawa khususnya), adalah wajar untuk memberi pelajaran kepada pencuri atau kriminal lain dengan cara menyiksa/menghukum seberat-beratnya untuk membuat kapok. Pola demikian juga muncul dalam perayaan pembantaian Cebongan. 15 Stein, 2010, Op.Cit., hal. 121. 16 Lihat juga dalam Douglas Kammen, “Where are They now?: The Carreers of Army Officers who Served in East Timor, 1998-99”, dalam Indonesia, Number 94, October 2012, hal. 111-130. Kammen menuliskan bahwa: Colonel Burhanudin Siagian, who was the district military commander in Bobonaro in 1999, was appointed sub-regional military commander of Abefura, Papua, where further reports of human rights abuses have surfaced. In defense of his hard-line approach to the Free Papua Organization, Siagian is reported to have stated publicly “[w]hat is absolutely certain is that anyone who tends towards separatism will be crushed by TNI,” adding, “we are not afraid of human rights.” 17 Wawancara dengan Subjek 1 dan Subjek 2. Meskipun demikian, dalam wawancara dengan Subjek 3, dari Laskar Srikandhi, dikatakan bahwa Subjek 2 tidak menyetujui penggunaan kekerasan. 18 Žižek, S. (2013). For They Know not What They Do. London & New York: Verso, hal. 660. Dalam obrolan dengan seorang prajurit Kostrad, ia mengatakan mengatakan bahwa “musuh kami ya cuma HAM.” 19 Lihat dalam Slavoj Žižek, Violence (New York: Picador, 2008), hal. 53. Lihat juga Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology (London and New York: Verso, 1989), hal. 32. 20 Dalam wawancara dengan Subjek 4: FKPM Paksi Katon ditugasi untuk menjaga persidangan, Subjek 4 mengatakan demikian, “Mengapa Paksi Katon yang dipilih? Padahal ada FKPPI yang lebih besar? Kalau tentara atau polisi nanti dikira mempengaruhi persidangan.” Dalam tradisi militer di Indonesia, model ini disebut dengan proxy war. 21 Klaus H. Schreiner, “Nenek Moyang Nasional”, dalam Henri Chambert-Loir & Anthony Reid (Ed.), Kuasa Leluhur: Nenek Moyang, Orang Suci, dan Pahlawan di Indonesia Kontemporer (Medan: Bina Media Perintis, 2002), hal. 375. 22 Ibid., hal. 377. 23 Ibid., hal. 375. Lihat juga tulisan Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (Ithaca: Cornell University Press, 1991), hal. 94-130. 24 Slavoj Žižek, Sublime Object of Ideology (London & New York: Verso, 2009), hal. 9.


18

Kekacauan Ini Sabina Thipani (Penulis lagu, bermusik bersama band Agoni)

Diri Ini Sebagai perempuan, saya dididik untuk berperilaku sopan, lemah lembut, tidak mengungkapkan perasaan suka pada laki-laki, fasih dalam pekerjaan rumah tangga, dan masih banyak lagi; sesuatu yang tidak mesti dijalani oleh saudara laki-laki saya. Di sisi lain, sebagai individu yang hidup dalam dunia modern, saya juga dididik untuk sukses secara akademis, dalam pekerjaan dan banyak hal yang bisa mengantarkan saya pada kemapanan dan kestabilan status sosial; sesuatu yang saya rasa mesti dijalani juga oleh lakilaki dalam masyarakat tempat saya hidup. Saya tahu didikan seperti itu bukan bertujuan mendiskriminasi dan menaruh beban ganda pada saya. Tuntutan-tuntutan tersebut sebenarnya datang dari masyarakat; dan didikan orang tua hanyalah bekal yang mereka siapkan agar saya kuat hidup dalam masyarakat yang demikian. Membuat "kekacauan" yang seakan-akan diselubungi ingar-bingar kota kembali ke permukaan. Dok.: Anti-Tank

Ironisnya, ketika beberapa hal tersebut berhasil saya capai, respons yang saya dapatkan tidak sebaik itu. Pencapaian itu dianggap masih kurang; dan saya akan dituntut untuk bisa mengerjakan hal lain yang belum saya kuasai. Tindakan tidak menganggap serius itu


19

hadir dengan cara yang sangat tidak eksplisit sehingga butuh waktu sangat lama buat saya untuk menyimpulkan bahwa tindakan yang kebanyakan muncul dari kerabat atau teman laki-laki itu meremehkan saya. Itu karena saya perempuan, yang semestinya tidak punya posisi setara, apalagi lebih dari laki-laki. Sebagai anak pertama, saya diajari untuk mengalah dan menerima saat sesuatu yang saya inginkan tidak dapat saya miliki dan harus diberikan ke orang lain yang lebih kecil, lebih sakit, lebih membutuhkan. Kecenderungan untuk gampang mengalah, menerima, dan memendam perasaan itu mulai saya lawan semasa kuliah. Di lembaga pers mahasiswa, saya belajar memperjuangkan apa yang semestinya jadi milik saya. Belajar bicara frontal dan mengekspresikan (terutama) kemarahan saya dengan spontan begitu sadar kalau apa yang semestinya jadi milik saya direnggut oleh orang lain. Namun kemudian saya merasa tidak fasih dalam hal kefrontalan dan spontanitas. Saat tenggelam dalam rasa sakit yang disebabkan oleh keharusan mengalah, menerima, dan memendam perasaan itu, saya harus mencerna rasa sakit itu terlebih dahulu sebelum mengungkapkannya sambil perlahan-perlahan melatih kefrontalan dan spontanitas yang menurut saya kadang penting untuk dilakukan saat kita dalam kondisi tertindas. Saat remaja, saya berkenalan dengan gitar dan mulai intens membuat lagu. Musik jadi ruang yang sangat lain dari banyak hal lain dalam hidup saya. Saat bermain gitar dan menulis lagu, saya merasa tidak punya tuntutan untuk jadi seperti yang orang lain/orang tua saya inginkan. Saya tidak harus rajin, disiplin, sukses, memendam perasaan, mengalah, dan masih banyak

lagi. Saya bisa menjadi seperti apa yang saya inginkan. Namun, pengalaman memublikasikan lagulagu saya bersama band Ilalang Zaman (2012-2015) ternyata mengubah ruang determinasi yang diberikan musik pada saya. Ruang itu jadi milik banyak orang dan saya kelimpungan menyelamatkannya. Saya merasa sakit saat satu-satunya ruang untuk mewujudkan keinginan saya mulai dimasuki keinginan banyak orang. Saya merasa sakit saat orang-orang ingin saya menjadi seperti apa yang mereka inginkan: energik dan komunikatif di panggung, luwes saat diwawancarai soal musik dan band, menulis lirik yang lebih panjang, memainkan gitar dengan lebih skillful, memerhatikan branding, mengomersilkan lagu, menjadi terkenal, menjadi mapan lewat musik, dan lain sebagainya. Meski tidak harus dituruti, entah kenapa keinginan-keinginan itu jadi terasa seperti tuntutan yang harus saya jalani. Mungkin karena terbiasa mengalah, maka saat orang lain meminta ruang musik itu, saya merasa harus mengalah dan memberikannya. Tapi saat berusaha memberikannya, saya sangat tidak rela. Itu satu-satunya ruang di mana saya bisa melakukan apa saja yang saya inginkan. Satu-satunya. Akhirnya, saya berusaha keras mempertahankan ruang itu. Kota Ini Pada tahun 2008, saya melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Saya langsung jatuh cinta pada kota ini begitu tiba di sini. Kota ini begitu tenang dan menyamankan. Jalanannya yang sempit tidak begitu ramai karena kebanyakan hanya diisi sepeda motor. Pengemudi kendaraannya sabar. Tempat berdiskusi bertebaran. Acara musik dan kebudayaan lain ada setiap hari. Buku-


20

buku dan informasi sangat mudah diakses. Biaya hidup tak semahal biaya hidup di kota asal saya, Palembang. Tidak perlu menguras kantong untuk tamasya karena banyak tempat murah bahkan gratis yang bisa dikunjungi untuk menyegarkan pikiran. Suasana sekitar tahun 2008 itu jadi langka sekarang. Saya tidak tahu kapan tepatnya perubahan itu terasa, mungkin karena saya hidup di dalamnya. Meski diskusi, bukubuku, dan acara kebudayaan tidak berkurang jumlahnya, hal-hal lain banyak berubah. Tahu-tahu jalanan sudah ramai saja. Jalan-jalan yang sudah sempit itu ditambahi sempit lagi dengan kehadiran mobil-mobil besar. Pengemudi sepeda motor sekarang harus rebutan jalan dengan mobil-mobil itu. Orang-orang di jalanan jadi tidak sabaran. Biaya hidup semakin mahal. Tempat-tempat tamasya yang dulunya murah atau gratis sekarang jadi berbayar atau dimahalkan. Baliho-baliho semakin banyak, tak mau kalah dengan berjubelnya pengemudi kendaraan bermotor di jalanjalan. Bangunan-bangunan baru berjenis hotel dan mall semakin banyak seiring menyempitnya kebun dan sawah. Bukan hanya kota ini yang berubah, saya rasa. Cara saya memandang hidup dan kota ini pun berubah. Kami sama-sama berubah dan makin mengenali sisi terkelam diri kami satu sama lain. Kemuraman kota ini jadi lebih kentara: orang-orang yang tidur di pinggir-pinggir jalan, di emperan toko, di seberang hotel mewah, cerita-cerita soal orang tua yang tidak bisa menyekolahkan anaknya ke tingkat lebih lanjut, sumur-sumur yang asat karena hotel yang baru dibangun, wajah-wajah legam dan lelah, anak-anak yang berjualan koran, mengamen, menari di perempatan lampu merah...

Negara Ini Tahun 2009 hingga 2010, saya dan temanteman di pers mahasiswa Natas meliput permasalahan yang dihadapi para petani di sana untuk majalah kami. Dari cerita petani di sana, kami mengetahui bahwa beberapa puluh tahun lalu, tanah pesisir bukanlah tempat yang nyaman untuk dihuni manusia. Keganasan angin dan debunya membuat para petani sering terkena penyakit mata dan kulit. Hasil dari menanam singkong, kentang, dan kacang-kacangan hanya cukup untuk membangun rumah bertembok anyaman bambu atau daun kelapa. Keganasan tanah pesisir terus-menerus direspons oleh petani dengan cara menanaminya. Pada akhirnya mereka bisa memelihara sejumlah tanaman lain, seperti cabai, bawang merah, selada, melon, dan semangka. Mereka juga mulai mengombinasikan kegiatan menanam dengan teknologi. Semua petani PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pantai) di wilayah pesisir Kulon Progo yang pernah berbincang dengan saya selalu membicarakan soal betapa bersyukurnya mereka atas hasil pertanian yang bisa memberikan kondisi hidup yang lebih baik ketimbang dulu. Sangat wajar kalau kemudian para petani itu menolak rencana penambangan pasir besi yang berembus di wilayah pesisir mereka. Penolakan itu sudah coba diredam oleh pihak-pihak yang punya kepentingan dalam rencana penambangan itu, mulai dari cara yang paling persuasif sampai represif. Tapi para petani PPLP tetap teguh mempertahankan tanahnya. Para petani, misalnya, diberi tahu bahwa tanah pesisir tidak akan ditambang secara serentak. Jadi mereka bisa bergantian merelakan tanahnya untuk ditambang


21

sementara. Selama tanahnya ditambang, mereka akan mendapat ganti untung atas tanaman dan hasil produksi mereka, serta dijanjikan lowongan pekerjaan sebagai buruh. Semua tawaran itu tidak mereka terima karena mereka mencintai tanah mereka dan tidak percaya pada perusahaan penambang. Dua kali kriminalisasi Tukijo, salah seorang petani anggota PPLP, (masing-masing 3 bulan kurungan/6 bulan masa percobaan dan 3 tahun kurungan/6 bulan masa percobaan) juga tidak mengubah pendirian mereka. Apa yang dialami kawan-kawan petani di Kulon Progo itu terjadi juga di banyak tempat lain: Parangkusumo, Watu Kodok, Kebumen, Jepara, Rembang, Sidoarjo, Lumajang, Karawang, Bangka, Jambi, Ogan Ilir, Deli Serdang, Papua, dan di banyak tempat lain di negara ini. Mereka punya cerita dan keintiman masing-masing dengan tanah tempat mereka hidup; sebagai petani, sebagai nelayan, sebagai pedagang, sebagai apa saja. Namun tanah tempat mereka hidup itu coba direnggut secara pelan-pelan pun paksa oleh pihak lain: pemerintahnya sendiri dan perusahaan resort, semen, minyak, gas, emas, sawit, air minum, pasir, pembangkit listrik. Masih banyak yang lain. Mereka memilih tetap tinggal di atas tanah yang sudah dihidupi dan menghidupi mereka untuk waktu lama itu. Dan untuk itu mereka mesti berhadaphadapan dengan ancaman, bui, pukulan, tembakan, dan bahkan kematian. Rasa Sakit Ini Diskriminasi dan beban ganda yang saya terima karena keperempuanan, ruang determinasi dengan musik yang terenggut, kota yang berubah jadi lebih muram, dan negara yang tidak peduli pada kemaslahatan rakyatnya, adalah sekian dari banyak hal yang melahirkan perasaan-

perasaan yang bisa saya rangkum dan namai sebagai 'rasa sakit'. Rasa sakit yang saya maksud tidak hanya lahir dari situasi mengalah, menerima, dan memendam. Tidak hanya lahir dari situasi ketertindasan. Rasa sakit itu juga lahir dari perjuangan saya untuk tidak mengalah, tidak menerima, dan tidak memendam saat saya tidak ingin melakukannya. Rasa sakit itu juga lahir dari perlawanan atas ketertindasan. Rasa sakit itu lahir pula dari kegagalan dalam melawan; dari penemuan bahwa butuh waktu panjang untuk emansipasi. Rasa sakit itu bahkan kadang datang dari perbuatan menyakiti orang lain, baik sengaja maupun tidak. Ia kadang juga lahir dari keterlibatan saya/orang lain secara sengaja/tidak dalam sistem yang menindas. Rasa sakit yang berasal dari semua itu adalah perasaan yang kerap mendorong saya untuk membuat lagu. Lagu-lagu saya sering lahir dari rasa sakit karena mungkin saya cenderung gampang mengalah, menerima, dan memendam perasaan. Kecenderungan ini membuat saya sulit mengomunikasikan rasa sakit pada orang lain. Lagu jadi sebuah cara terdekat yang bisa saya jadikan medium untuk bercakap-cakap dengan rasa sakit itu; mengetahui seperti apa bentuknya, apa/siapa yang menyebabkannya. Percakapan dengan rasa sakit adalah jalan awal yang menurut saya penting untuk menyembuhkannya. Dalam konteks yang lebih luas, saya juga merasa banyak orang lain kerap berada dalam posisi yang sulit mengemukakan rasa sakit kepada kekuasaan yang menindas. Kekuasaan itu begitu dekat dalam arti ia mengambil apa yang semestinya jadi milik kami; ia berpengaruh pada ruang paling intim dalam hidup kami.


22

Namun, ia juga begitu jauh, dalam arti kami sering kali kesulitan mengemukakan rasa sakit yang disebabkan oleh kekuasaan itu. Dan kalau rasa sakit itu tersampaikan, kekuasaan tidak akan menghilangkan penindasan itu kecuali kami merebut atau menggulingkannya. Ada jarak antara rasa sakit yang kami rasakan dengan pihak yang mesti mendengar dan memahami rasa sakit itu. Dalam konteks ketertindasan, percakapan dengan rasa sakit itu penting untuk mengeksplisitkan bentuk ketertindasan itu, mencari tahu kekuasaan macam apa yang menyebabkannya, dan pada akhirnya mencari jalan/imajinasi untuk mengubahnya. Lagu-Lagu Ini Bagian paling akhir ini kurang lebih akan bercerita tentang interaksi yang lahir dari pertemuan tak sengaja antara dua lagu saya dengan pihak-pihak yang saya nyanyikan dalam lagu itu. Lagu pertama berjudul Aku Melihat Matahari. Lagu ini bercerita tentang pergulatan saya dalam mempertahankan determinasi dalam bermusik. 3 Mei 2016, saya dan kawan-kawan Agoni (band saya saat ini) mengisi acara peringatan World Press Freedom Day. Dalam acara itu, dijadwalkan pula pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta. Siang hari sebelum acara dimulai, beberapa intel datang ke lokasi untuk menanyakan acara yang digelar oleh AJI Yogyakarta itu. Sore harinya, beberapa polisi dan anggota Koramil mendatangi lokasi acara. Mereka meminta AJI Yogyakarta mengganti film yang akan diputar dengan film lain karena alasan administrasi dan keamanan. AJI Yogyakarta mengatakan akan tetap memutar film Pulau Buru Tanah Air Beta.

Acara tetap berlangsung. Selama kami memainkan musik, negosiasi antara panitia dengan polisi masih berjalan. Di tengah pentas, tepat saat saya menyanyikan lagu Aku Melihat Matahari, seorang komisaris polisi yang memimpin rombongan berteriak pada saya dan kawan-kawan Agoni, meminta kami berhenti memainkan musik. Kawan-kawan pemusik lain meminta kami tetap melanjutkan lagu. Secara refleks, saya memang malah merasa harus melanjutkan lagu itu. Peserta yang datang menonton ikut bertepuk tangan mengikuti ritme lagu selanjutnya, Kalimantan, yang kebetulan bertempo cepat. Tak berapa lama, segerombolan massa dari FKPPI datang, mendesak acara dihentikan dengan teriakan dan ancaman-ancaman. Kami diminta menghentikan lagu oleh kawankawan pemusik lain dan kali ini kami menurutinya. Bukan hanya lagu kami, malam itu, seluruh acara dihentikan oleh AJI Yogyakarta setelah terjadi cekcok mulut antara massa FKPPI dan peserta/panitia. Saat diteriaki untuk menghentikan lagu Aku Melihat Matahari, perasaan yang muncul seketika dalam diri saya adalah marah. Kemarahan itu sebenarnya sudah dipupuk sejak mendengar acara itu didatangi dan ditanya-tanyai oleh polisi. Tapi pada saat kami diteriaki untuk menghentikan lagu, kemarahan saya memuncak. Rasa takut karena kesadaran akan besarnya kekuasaan pihak yang meminta saya dan kawan-kawan berhenti memang ada. Tapi tergilas oleh rasa marah saya. Lagu Aku Melihat Matahari adalah lagu yang berbicara tentang menyempitnya ruang determinasi dalam bermusik saya yang dimasuki banyak keinginan orang lain. Pada saat diteriaki untuk berhenti, bukan hanya diminta menyempit, ruang itu diminta


23

untuk dihilangkan. Kawan-kawan lain di Agoni mungkin punya alasan lain untuk melanjutkan lagu kami. Tapi keputusan saya pribadi untuk melanjutkan lagu malam itu adalah karena saya tidak terima dengan perintah untuk menghilangkan ruang determinasi saya itu begitu saja. Komisaris polisi yang meminta kami berhenti itu tibatiba jadi subjek antagonis dalam lagu Aku Melihat Matahari begitu ia memerintahkan kami untuk menghentikan lagu yang sedang kami nyanyikan. Secara kebetulan lagu itu dihadapkan pada subjek yang ia bicarakan sendiri. Malam itu, bukan hanya saya dan kawankawan Agoni yang direnggut ruang determinasinya. Kawan-kawan AJI Yogyakarta dan semua yang datang malam itu juga. Dan dengan berat hati saya mengakui kalau malam itu kami kalah. Tapi saya merasa kami harus mensyukuri usaha terbaik yang sudah kami lakukan untuk memperjuangkan ruang determinasi kami malam itu. Lagu kedua yang secara tidak sengaja menemui subjek yang ia bicarakan sendiri Potret Dodo Hartoko adalah lagu saya yang berjudul Sesaji Raja Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta untuk Dewa Kapital. Lagu ini bercerita tentang keresahan petani Kulon Progo akan rencana pertambangan pasir besi di tanah mereka. Kali itu adalah pembukaan Paperu FKY 2015. Menjelang tampil, barulah kami ketahui kalau acara malam itu dihadiri oleh seorang petinggi dalam Kesultanan yang juga memiliki posisi dalam perusahaan penambang yang akan menjalankan rencananya di Kulon Progo. Daftar lagu kami malam itu tidak berubah. Lagu Sesaji Raja untuk Dewa Kapital tetap kami bawakan. Penjelasan soal kenapa lagu itu lahir juga kami paparkan sebelum kami memainkannya. Sebelum, saat, dan

setelah pentas memang ada rasa cemas dalam diri saya karena saya tahu posisi tawar Agoni begitu kecil dalam acara itu. Namun, mungkin justru karena posisi tawar yang kecil itulah, maka apa yang kami sampaikan malam itu sehubungan dengan yang terjadi di Kulon Progo tidak direspons sama sekali. Bisa jadi juga apa yang kami sampaikan tidak terdengar. Bisa jadi ia didengar tapi pura-pura tidak didengarkan. Tapi yang paling mungkin: ia didengar tapi tidak dianggap sebagai ancaman. Apalah arti omongan dan lagu empat orang anak muda yang tidak punya kekuatan apa-apa ini? Ketiadaan respons itu tidak mengurangi kepuasan yang kami peroleh dari usaha menyampaikan keresahan kami pada representasi kekuasaan yang menyebabkan petani-petani di Kulon Progo merasa terancam itu. Kedua lagu yang saya ceritakan ini kebetulan direspons dengan cara yang tidak sesuai dengan harapan saya, meskipun respons itu sudah bisa saya duga. Tapi tak ada yang lebih membahagiakan buat saya ketika mengetahui kalau lagu yang saya tulis bisa membuat orang lain bercakap-cakap dengan rasa sakitnya sendiri, seperti apa yang saya lakukan ketika menulis sebagian besar lagu-lagu itu. Rasa sakit adalah suatu hal yang saya rasa penting untuk membantu orang yang ditindas atau bahkan menindas mengeksplisitkan bentuk ketertindasan itu, mencari tahu kekuasaan macam apa yang menyebabkannya, dan pada akhirnya mencari imajinasi untuk mengubahnya.


24

Catatan dari SĂŁo Paulo dan Rio Muhammad Abe Tim Riset dan Basis Data Biennale Jogja XIV

Pius Sigit Kuncoro (Kurator BJ XIV) dan Dodo Hartoko (Direktur BJ XIV) berdiskusi dengan Rodrigo Braga (tengah) di studionya, di kawasan pusat kota lama Rio. Dok: Arsip YBY

Bulan Juli lalu, saya bersama Dodo Hartoko (Direktur BJ XIV) dan Pius Sigit (Kurator BJ XIV) berkesempatan mengunjungi Brasil. Kunjungan ini adalah kunjungan kali kedua untuk Pius, dan yang pertama untuk saya dan Dodo. Kami berada di sana selama sepuluh hari dan berkesempatan mengunjungi kota SĂŁo Paulo dan Rio de Janeiro. Di dua kota tersebut, kami bertemu dengan para seniman, mengunjungi beberapa galeri dan museum seni, serta berkesempatan untuk melihat ritme dan kehidupan Brasil. Tulisan ini bercerita tentang pengalaman ketika berada di dua kota tersebut dan merefleksikan pertemuan-pertemuan kami dengan kota dan kehidupan Brasil dalam kerangka tema yang diajukan pada BJ XIV: Age of Hope.


25

Brasil sejak dua tahun terakhir sedang mengalami krisis politik yang menjalar ke krisis ekonomi. Sejak Operation Car Wash dijalankan pada tahun 2014, para pejabat tinggi perusahaan-perusahaan pemerintah diciduk polisi dan masuk penjara karena praktik suap pada politisi pemerintahan. Kasus ini turut membawa presiden terpilih Brasil, Dilma Rousseff ke penjara, bersama dengan separuh dari menterinya yang berasal dari Partai Buruh. Eskalasi perubahan politik yang membesar dalam waktu singkat berakibat pada merosotnya perekonomian Brasil selama dua tahun terakhir. Sebagian masyarakat percaya bahwa Operation Car Wash adalah cara lawan politik Partai Buruh untuk menjatuhkan partai yang berkuasa, sedangkan sebagian yang lain percaya bahwa sudah saatnya sayap kanan radikal yang didukung militer mengambil alih pemerintahan. Setidaknya itu yang saya baca di artikel surat kabar sebelum berangkat ke Brasil. Krisis ekonomi menyebabkan permasalahan sosial, kesenjangan antarkelas, dan ketidakadilan hukum yang sudah menjadi soal lama di Brasil kembali mengemuka. Beberapa seniman yang kami temui merasa bahwa cepat atau lambat akan terjadi perubahan sosial. Perubahan seperti apakah yang terjadi? Tidak ada yang bisa membayangkan. Situasi yang tidak pasti tersebut merupakan salah satu gejala yang ditangkap oleh Pius Sigit, sebagai gejala yang tampak di Indonesia dan Brasil, yang kemudian menjadi dasar untuk menuju tema BJ XIV yang akan menceritakan proses menuju harapan. SĂŁo Paulo: Kota yang Ramah dan Pucat SĂŁo Paulo merupakan kawasan bisnis

yang padat. Kota ini merupakan tempat tinggal orang-orang dari berbagai suku bangsa, misalnya keturunan Italia, Jerman, Prancis, Jepang, Korea, Lebanon, Irak, Yahudi, dan berbagai macam suku bangsa lain. SĂŁo Paulo juga merupakan salah satu wilayah pusat perkembangan seni di Brasil; beberapa museum seni penting yang telah berjalan sejak beberapa dekade lalu berada di kota ini. Sebagian besar seniman Brasil yang akan turut serta dalam Main Exhibition BJ XIV juga tinggal di kota ini. Sebagai kota yang multikultural dan multiras, pada hari kerja kita akan kesulitan melihat orang-orang selain ras Kaukasian atau Asia di pusat kota SĂŁo Paulo. Pada hari Minggu baru kita dapat menyaksikan orang-orang dari berbagai macam suku bangsa, walaupun mereka berjalan dalam kelompok-kelompok kecil dan baru akan berbaur untuk menari, mendengarkan musik, atau berdesakan melihat atraksi juggling dari seorang gelandangan yang memakai kostum timnas sepak bola Brasil. SĂŁo Paulo merupakan wilayah yang memang dikembangkan orang-orang keturunan Eropa sejak awal 1800-an. Mereka tinggal di pusat kota, sedangkan orang-orang dari suku bangsa lain tinggal mengitari pusat kota. Pembagian wilayah tempat tinggal ini berakar dari sejarah perbudakan yang panjang di Brasil, di mana orang-orang keturunan Afrika tinggal di wilayah perkebunan di pinggiran dan baru masuk ke kota sejak perbudakan dilarang pada akhir 1800-an. Meskipun pembagian tersebut semakin cair dari waktu ke waktu, namun tampaknya dalam aktivitas sehari-hari keterpisahan tersebut masih terlihat. Hanya pada satu kesempatan orang-orang dari berbagai macam suku bangsa tersebut berkumpul dalam jumlah besar, yaitu saat menonton


26

tim sepak bola São Paulo, Corinthians, secara langsung di stadion maupun lewat layar televisi di kafe-kafe. Keunikan lain dari São Paulo adalah keragaman arsitektur bangunannya. Ada arsitektur modern seperti bangunan Museu de Arte de São Paulo (MASP) yang selesai dibangun pada awal tahun 1960-an; bangunan ini adalah salah satu ikon São Paulo yang terletak di pusat kota. MASP sangat mencolok karena desainnya berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya; ia “mengambang” ditopang empat pilar di empat sikunya. Bangunan tersebut terdiri dari tiga tingkat yang digunakan untuk kantor, ruang penyimpanan, dan ruang pajang karya. Di bawah gedung tersebut biasanya para musisi dari berbagai macam genre tampil. Di waktu lain, tempat ini menjadi lokasi demonstrasi (kami hanya menemukan aspal menghitam bekas ban dibakar di depan museum). Pada hari yang lain, kami melihat seseorang dengan kostum berupa bendera Amerika yang menutupi seluruh tubuhnya berjalan di tengah jalan, di kesempatan lain kami bertemu dengan dua orang yang berdiri di pinggir jalan, membawa baliho yang tampaknya menuntut keadilan sosial. Di permukaan memang tidak tampak ada keresahan, semua orang sibuk dalam ritmenya masing-masing. Barangkali banyak yang tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi, lagi pula São Paulo adalah kota bisnis yang sibuk, mungkin mereka tidak terlalu terpengaruh oleh perubahan politik tersebut. Ikon lain dari São Paulo adalah Ibirapuera Park, tempat bangunan Biennale São Paulo berdiri. Di kawasan ini terdapat

beberapa museum serta danau dan trek lari yang jadi tempat orang-orang berolahraga atau sekadar menghabiskan waktu di pagi atau sore hari. Ibirapuera Park ditandai dengan sebuah bangunan besar di tengahnya, bentuknya meminjam tempat tinggal Suku Yanomami, penduduk asli kawasan Amazon yang baru “ditemukan” pada tahun 1960-an. Bangunan yang besar dan megah tersebut adalah semacam Taman Budaya yang digunakan untuk pameran seni rupa. Di setiap museum yang kami kunjungi, kami kagum dengan apresiasi masyarakat Brasil terhadap seni. Tua, muda, anakanak, laki-laki, dan perempuan, mereka datang berombongan bersama temanteman atau keluarganya. Mereka tampak khusyuk menikmati bermacam bentuk karya seni, dari yang klasik, modern, sampai yang kontemporer. Pada karya-karya seni kontemporer, tampak bahwa para seniman mulai berbicara tentang kekerasan, atau lukaluka dari masa lalu, atau kerusakan lingkungan yang membuat ekosistem berubah. Berbeda dari karya seni dari zaman sebelumnya yang lebih banyak menggambarkan keindahan sebagai rahmat Ilahi, atau seni modern Brasil yang banyak menampilkan bentuk-bentuk abstrak tentang etos kerja para pekerja perkebunan atau kehidupan para ndoro dan budaknya. Di São Paulo kami bertemu dengan Gabriel Bogossian (yang menyediakan banyak waktunya mendampingi kami) serta beberapa seniman partisipan BJ XIV, yaitu Icaro Lira, Leticia Ramos, dan Deyson Gilbert. Kami juga mengunjungi beberapa tempat, yakni Oswaldo de Andrade Cultural


27

O Monumento às Bandeiras, terletak tepat di depan pintu utama Ibirapuera Park, São Paulo. Berdiri tahun 1954, monumen ini terletak di jantung kota São Paulo. Dibuat untuk memperingati para penakluk di abad ke-18 yang membuka hutanhutan dan menaklukkan suku-suku di pedalaman untuk membangun kota São Paulo. Senja di Largo de Parque, kastil berusia lebih dari 100 tahun yang menjadi salah satu ikon kota Rio. Terletak di bawah patung Christ the Redeemer, kastil ini juga difungsikan sebagai taman yang terbuka untuk publik, juga menjadi gedung untuk salah satu sekolah seni tertua di Brasil. Dok: Arsip YBY

Oficina, Casa do Povo (tempat independen yang menerima proyek residensi berbasis kerja dengan komunitas), MASP, Indonesian Trade & Promotion Centre, Tomie Ohtake Institute (galeri dan institut seni yang gedungnya luar biasa megah), Museu do Futebol, Videobrasil, Galeria Vermelho, Museu Afro Brasil, dan Ibirapuera Park. Bangunan dan tembok di São Paulo banyak berwarna putih, abuabu, atau krem. Beberapa gedung yang menjulang tinggi memang dihiasi dengan grafiti warna-warni, tapi itu tidak mengurangi kesan pucat dan muram kota ini. Meskipun orang-orang di São Paulo ramah dan menyenangkan untuk diajak berbicara, tapi kota ini terkesan kaku dan seakan-akan menutupi keresahan atau kecemasan. Di kawasan tempat kami tinggal, di setiap jalan ada pos keamanan yang dijaga oleh seorang kulit hitam. Barangkali merekalah yang memberi warna pada tembok-tembok tinggi abuabu atau putih atau krem yang membatasi para pemilik rumah dengan dunia di luarnya. Rio de Janeiro: Kota yang Tertulis di Laut Waktu kami di Rio de Janeiro tidak banyak, tapi meninggalkan kesan di kepala dan hati kami. Di Rio de Janeiro, kami berkesempatan untuk mengunjungi Favela Maré yang terletak di pinggir kota Rio. Favela ini merupakan salah satu yang paling besar di Amerika Selatan, begitu diterangkan pada kami. Kami menuju ke Maré dari pusat kota Rio dengan taksi. Dalam perjalanan tersebut tersebut terasa perubahan fisik tata kota Rio


28

dan perubahan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Bangunan di pusat kota Rio kebanyakan adalah bangunan lama bergaya Eropa yang tinggi menjulang dengan aksen dan ornamen seperti gaya Yunani atau Romawi. Meninggalkan pusat kota, taksi yang membawa kami menembus masuk ke dalam batu karang (ya, mereka melubangi batu karang, seperti yang ada di Gunungkidul, dan membuat jalan raya di dalamnya sepanjang kurang lebih empat kilometer—di Rio banyak jalan seperti ini dengan panjang bervariasi) lalu keluar di wilayah yang di kiri dan kanannya berdiri gudang-gudang kuno, sebagian seperti mau rubuh sedang sebagian lain atapnya hilang. Di dalamnya terlihat manekin raksasa yang dikeluarkan untuk karnaval Rio setiap tahunnya. Sepanjang jalan tersebut, permukiman semakin padat, makin banyak gudanggudang yang kusam, lalu mulai tampak kerumunan orang di pinggir jalan—makin jauh kami berjalan, kerumunan tersebut semakin padat. Sebelum taksi berhenti, kami diingatkan oleh sopir taksi untuk memasukkan barang-barang berharga ke dalam tas, dan ia meminta kami berjalan dengan cepat, tidak berhenti dan menoleh sampai ke tempat yang kami tuju. Agaknya inilah favela yang dimaksud. Kami berhenti di sebuah pom bensin usang, lalu berjalan cepat menuju galeri yang terletak di favela tempat salah satu seniman BJ XIV, Lourrival Chiquinha, bekerja. Di galeri tersebut sedang berlangsung pameran dari para seniman kontemporer Brasil. Galeri ini berdampingan dengan ruang pertunjukan, keduanya adalah ruang alternatif yang didanai pemerintah untuk pendidikan bagi

anak-anak muda di favela. Di dalam galeri ada satu atau dua anak yang berlari-lari ke sana kemari, sambil ikut nimbrung dalam obrolan bersama kami dalam bahasa Portugis. Galeri ini terletak kurang lebih 200 meter dari jalan raya besar, di sebelahnya adalah bengkel mobil yang sibuk. Ternyata kendaraan di luar tidak ada yang berani masuk, padahal jalan di dalam wilayah favela ini cukup lebar (cukup untuk dua mobil bersimpangan). Wilayah dalam favela ini seperti bekerja dengan sistem sendiri; tidak ada polisi yang masuk, orang luar tanpa didampingi penduduk setempat berisiko tidak dapat keluar lagi, sepeda motor semacam Honda Tiger berjalan ke sana kemari, hilir mudik dalam kecepatan tinggi. Ternyata itu adalah ojek yang membawa para penduduk favela dari pinggir jalan besar ke labirin permukiman padat di dalamnya. Wilayah ini terletak tepat di pinggir laut. Terlihat bekas gudang-gudang lama yang masih berdiri. Di antara permukiman padat tersebut kami mendapati gedung-gedung sekolah dan perpustakaan yang menjadi pusat kegiatan anak-anak muda. Hanya saja, kami tidak melihat adanya fasilitas kesehatan di dalam kompleks favela yang luar biasa besar ini. Dari dalam kompleks Favela MarĂŠ kami dapat melihat bukit-bukit karang yang menjulang di Rio de Janeiro, tampak padat rapat, ratusan ribu hingga jutaan orang tinggal di kawasan padat ini. Mereka tinggal di pinggiran kota, dataran tinggi dan rendah seperti mengepung kota di dalamnya. Mereka yang tinggal di dalam favela terdiri dari berbagai maca ras dan suku bangsa. Mereka mulai tinggal di sana secara ilegal sejak tahun 1950-an.


29

Semakin masuk ke dalam, pada temboktembok rumah di Favela MarĂŠ akan terlihat banyak bekas lubang, bekas peluru tajam—saya menemukan selongsong peluru tajam yang tergeletak di jalan. Di beberapa pintu masuk gang, ada dua-tiga anak berumur belasan tahun yang berjaga dengan sigap, lengkap dengan M-16 di tangannya. Mereka terlihat cukup bangga dengan senjata yang mereka bawa ketika kami melintas di depannya. Pemandu kami membisikkan agar kami terus berjalan dan jangan berhenti atau menoleh. Mereka adalah drugs army, yang menjaga wilayahnya dari serbuan polisi atau dari geng seteru. Pada satu kesempatan, salah satu dari kami mengeluarkan telepon pintar untuk mengambil foto bersama, seketika orangorang di sekitar berdiri dan menatap kami. Foto tidak jadi diambil. Kami melanjutkan tur kecil itu. Di dalam kompleks favela terbesar di Amerika Selatan ini kami menemukan suasana pasar di pinggir jalan, dengan musik yang menggema ke segala arah, kurang lebih seperti suasana pasar tiban Pantura yang semrawut, lengkap dengan lalu lintas padat yang tak beraturan. Gema musik yang mendayu pun mirip dengan lagu-lagu dangdut yangYogyakarta berbicara tentang Dokumentasi Yayasan Biennale cinta yang gagal. Di Rio de Janeiro, bersama Gabriel kami bertemu dengan Lourival Cuquinha dan Rodrigo Braga yang juga menjadi partisipan dalam Main Exhibition BJ XIV. Kami juga sempat mengunjungi pameran Nam June Paik di pusat kota Rio de Janeiro, serta ke kawasan kota lama Rio yang bernama Cinelândia, yang dibangun meyerupai pusat kota Paris di akhir abad

ke-19. Kami juga mengunjungi salah satu sekolah seni paling tua di Rio, yaitu Largo de Parque. Di salah satu sudut kota Rio, di pinggir Pantai Copacabana, duduk patung Carlos Drummond de Andrade membelakangi laut, di sampingnya tertera petikan kalimatnya, “Cidade escrita no mar� (sebuah kota yang tertulis di laut). Mar dalam bahasa Indonesia berarti laut, sedangkan mare adalah gelombang laut. *** Pengalaman perjalanan di dua kota di atas semakin mengerucutkan pemikiran Pius Sigit bahwa Brasil adalah bangsa yang berpikir dengan cara Eropa namun tubuhnya mengikuti naluri Afrika. Dalam pandangan saya, di Brasil keteraturan dan kekacauan berjalan beriringan; tata kotanya rapi dan teratur namun di antaranya kita dapat dengan mudah menemukan gelandangan yang tidur sembarangan di tengah trotoar, atau ada lokasi-lokasi seperti favela di mana keteraturan dan kerapian tidak berasal dari orde strukturalis yang kaku, melainkan dari kesepakatan kelompok-kelompok yang ada di dalamnya. Kami tidak melihat kecemasan dan kegelisahan atas perubahan situasi politik atau merosotnya ekonomi Brasil, tapi ketika berbicara dengan salah satu seniman, ia mengaku dunia seni rupa Brasil sedang lesu. Ketidakpastian akan masa depan dan perubahan seperti apa yang akan terjadi di Brasil menjadi salah satu kendala para seniman dalam berkarya. Dari poin inilah tampaknya dialog antara Brasil dan Indonesia dapat menemukan titik berangkat pembicaraan yang sama.


30

BIENNALE JOGJA XIV EQUATOR #4: STAGE OF HOPELESSNESS Indonesia Bertemu Brasil 2 November – 10 Desember 2017

Narasumber dalam Konferensi Pers BJ XIV (kanan ke kiri): Dodo Hartoko (Direktur BJ XIV), Pius Sigit Kuncoro (Kurator BJ XIV), Adelina Luft (Peneliti BJ XIV) dan Atta (designer BJ XIV) Dok.: YBY

BIENNALE JOGJA XIV telah mengumumkan tema program dan kuratorial untuk seri Equator keempat yang akan diselenggarakan pada tanggal 2 November hingga 10 Desember 2017 di JNM (Jogja National Museum), Yogyakarta. Dengan arahan dari Dodo Hartoko sebagai Direktur dan Pius Sigit Kuncoro sebagai Kurator, BJ XIV Equator #4 mengumumkan tema utama biennale tahun ini: STAGE OF HOPELESSNESS, yang akan direspons dalam empat program utama biennale, yakni Festival Equator (10 Oktober–2


31

November), Main Exhibition (2 November–10 Desember), Parallel Events (4 November–7 Desember), dan Biennale Forum (4 November–7 Desember). Pada kunjungan pertama ke Brasil pada November 2016, Tim Biennale Jogja menemukan momen estetik dalam São Paulo Biennial ke-32, Live Uncertainty. Perhelatan ini tidak hanya merefleksikan persoalan ketidakstabilan politik ekonomi karena momen traumatik dari pergantian kekuasaan di Brazil yang terjadi pada tahun sebelumnya, tapi juga mengetengahkan persoalan ekologi sebagai pangkal persoalannya. Biennale Jogja XIV Equator #4 hendak menjawab persoalan ketidakpastian hidup yang telah membuat kita tidak berani untuk berharap karena kenyataan semakin sulit untuk dipahami. Narasi besar ini akan mengajak kita pada suatu pengalaman melintas dari ketidakpastian menuju harapan. Sembilan repertoar yang akan ditampilkan terdiri dari tiga bagian besar, yaitu Organizing Chaos sebagai tema untuk Festival Equator, STAGE OF HOPELESSNESS sebagai tema untuk Main Exhibition dan Parallel Events, dan Managing Hope sebagai tema untuk Biennale Forum. ORGANIZING CHAOS Festival Equator: 10 Oktober–2 November 2017 Menjadi tema untuk Festival Equator yang diadakan sebelum pameran utama berlangsung, Organizing Chaos adalah kumpulan kekacauan yang tertata. Keadaan yang tidak biasa dan peristiwa yang tidak lazim ditampilkan di ruangruang publik untuk mengingatkan kembali orang-orang pada momen-momen traumatik di masa lalu. Tema ini menjadi pembuka bagi pagelaran biennale kali ini.

Sejumlah komunitas dan seniman akan berpartisipasi dengan cara mengintervensi ruang-ruang publik; dan sebagian dari karya tersebut akan dipanggungkan dalam pembukaan pada tanggal 2 November di JNM. STAGE OF HOPELESSNESS Main Exhibition: 2 November–10 Desember 2017 Tema ini akan dijawab oleh karya-karya seniman Indonesia dan Brasil melalui pameran utama di Jogja National Museum dan ruang-ruang pamer lain di Yogyakarta yang menjadi peserta Parallel Events. Tema ini adalah perlintasan panjang yang merupakan tahapan-tahapan psikologis dari ketidakpastian menuju harapan. Tujuh narasi yang dicakup dalam tahapan ini adalah Penyangkalan atas Kenyataan, Kemarahan pada Keadaan, Keputusasaan atas Kehilangan, Kepasrahan dalam Ketiadaan, Penghiburan atas Kehilangan, Kesadaran pada Keadaan, dan Penerimaan atas Kenyataan. Bersama dengan 27 seniman Indonesia terpilih, Main Exhibition akan turut diramaikan oleh 12 seniman Brasil. Tiga dari antara seniman Brasil tersebut akan mengikuti residensi selama dua bulan di Yogyakarta, dan dua seniman lainnya diharapkan akan datang dan ikut membuat karya baru untuk biennale. Para seniman Brasil terpilih ialah: Cinthia Marcelle dan Tiago Mata Machado, Clara Ianni, Daniel Lie, Deyson Gilbert, Ícaro Lira, Jonathas de Andrade, Leticia Ramos, Lourival Cuquinha, Rodrigo Braga, Virginia de Medeiros, Waléria Americo, dan Yuri Firmeza.


32

Konferensi Pers Biennale Jogja XIV Equator #4 diselenggarakan di IVAA pada tanggal 6 September 2017. Dok: YBY

Seniman yang terpilih untuk mengikuti residensi dari tanggal 18 September hingga 9 November adalah Daniel Lie, Rodrigo Braga, dan Yuri Firmeza. Daniel Lie sendiri punya keluarga yang berasal dari Indonesia, maka ia akan tiba lebih awal untuk terlebih dahulu menemui keluarganya dan selanjutnya memproduksi sebuah karya instalasi untuk Biennale. Sementara itu, Rodrigo Braga akan menelusuri sejumlah ritual serta artefak untuk membuat karya video atau instalasi dari objek-objek yang ditemukannya. Selain tiga seniman yang diundang untuk residensi, dua seniman lainnya dijadwalkan akan tiba pada bulan Oktober dan membuat karya baru untuk Biennale. Formasi lengkap (39) seniman dalam Main Exhibition ialah: Adi Dharma a.k.a. Stereoflow (IND), Aditya Novali (IND), Arin Sunaryo (IND), Cinanti “Keni� Astria Johansjah (IND), Cinthia Marcelle dan


33

Tiago Mata Machado (BRA), Clara Ianni (BRA), Daniel Lie (BRA), Deyson Gilbert (BRA), Faisal Habibi (IND), Farid Stevy Asta (IND), Gatot Pujiarto (IND), Ícaro Lira (BRA), Indieguerillas (IND), Jonathas de Andrade (BRA), Julian Abraham (IND), Kinez Riza (IND), Leticia Ramos (BRA), Lourival Cuquinha (BRA), Lugas Syllabus (IND), Maria Indriasari (IND), Mulyana (IND), Narpati Awangga (IND), Ngakan Ardana (IND), Nurrachmat Widyasena (IND), Patriot Mukmin (IND), Roby Dwi Antono (IND), Rodrigo Braga (BRA), Sangkakala (IND), Syaiful Aulia Garibaldi (IND), Tattoo Merdeka (IND), Timoteus Anggawan Kusno (IND), Virginia de Medeiros (BRA), Waléria Americo (BRA), Wiguna Valasara (IND), Wisnu Auri (IND), Yudha “Fehung” Kusuma Putera (IND), Yunizar (IND), Yuri Firmeza (BRA), Zico Albaiquni (IND). Parallel Events: 28 Oktober–3 Desember 2017 Parallel Events akan melibatkan sederet ruang seni di Yogyakarta untuk menyelenggarakan pameran terkait tema tersebut selama linimasa Biennale. Sekitar 20 ruang dan kolektif seni akan bergabung dalam perhelatan ini, di antaranya Ark Galerie, PKKH Universitas Gadjah Mada, Taman Budaya Yogyakarta, Kedai Kebun Forum, Museum Dan Tanah Liat, Galeri Lorong, Ruang MES 56, dan lain-lain. Tiaptiap ruang/kolektif seni akan menyajikan sebuah acara (pameran, lokakarya, diskusi, pemutaran film, dll.) untuk merespons satu dari tujuh tahap narasi yang diajukan untuk Main Exhibition. Peran serta ruang-ruang seni ini akan berkontribusi dalam merefleksikan caracara yang dapat ditempuh untuk melintas dari ketidakpastian menuju harapan bersama.

MANAGING HOPE Biennale Forum: 4 November–7 Desember 2017 Tentang percakapan-percakapan produktif yang dilandasi kesadaran akan hadirnya momen-momen traumatik dalam kehidupan kita sebagai momen-momen estetik yang dapat menjawab persoalan tentang ketidakpastian hidup yang dihadapi hari ini. “Managing Hope” adalah tema untuk Biennale Forum yang berupa serangkaian pertemuan diskusi yang memantik pembicaraan-pembicaraan yang berdasar pada kenyataan-kenyataan hari ini untuk mencari kemungkinan baru untuk masa depan yang lebih baik. Berbeda dari format Biennale Forum periode sebelumnya, Biennale Forum kali ini mencakup berbagai ragam forum diskusi, yang lebih berfungsi sebagai semacam payung bagi terlaksananya forum diskusi dan pertukaran gagasan, baik yang diagendakan dalam forum akademis maupun ruang-ruang seni yang terlibat dalam penyelenggaraan biennale kali ini.


34


35

BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


YAYASAN

YOGYAKARTA

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.